BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KOSTUM KABUKI
2.1. Unsur-unsur Drama Kabuki Dilihat dari kata yang membentuk kata Kabuki, ada tiga unsur yang membentuknya, yaitu: 1. lagu, 2. tarian, 3. peran /keahlian. Dari penggalan kata tersebut dapat dikatakan bahwa Kabuki adalah paduan dari nyanyian, tarian, dan seni peran yang menjadi satu kesatuan yang melengkapi, sehingga terciptalah suatu pertunjukan yang indah (Nakamura, 1990:20). Selain ketiga unsur pokok yang membentuk kata Kabuki tersebut masih terdapat unsur-unsur penting lainnya yang mempunyai peranan penting dalam pertunjukan Kabuki, yaitu: kostum, tata rias, musik dan tarian, panggung, asisten panggung, dialog serta aktor.
2.1.1. Pameran Kabuki Dalam setiap pementasan drama pameran atau aktor adalah manusiamanusia yang diciptakan oleh pengarang.
Mereka adalah tokoh imajinasi.
Pameran atau aktor adalah manusia-manusia bukan boneka-boneka pengarang, karena itu ia haruslah seperti manusia yang terjadi dari darah dan daging dengan perasaan, kemauan, nafsu-nafsu, kwalitas mental sendiri, yang hidup dalam suatu lingkungan manusia.
Universitas Sumatera Utara
Demikian juga dalam pertunjukan Kabuki, bagi penonton Kabuki atraksi utama adalah pemain, bukan plot atau kebenaran teks asli. Mereka datang melihat aktor favorit mereka dalam adegan terkenal. Kuatnya suatu cerita tidak terlepas dari peran serta karakter para pemainnya. Dengan kata lain, para aktor adalah tulang punggung dari suatu pementasan drama. Dengan pemilihan aktor yang tepat dan berpengalaman, maka dapat dimungkinkan terciptanya suatu pementasan yang bermutu. Dengan memahami kehebatan dan keindahan peran dan juga karakter yang dibawakan oleh para aktor, penonton akan lebih mudah memahami inti dari suatu cerita yang disampaikan. Oleh karena itu keberhasilan dari suatu pertunjukan teater, tidak hanya bergantung dari nama besar sutradara, isi cerita yang dimainkan, tetapi juga para pemainnya dalam menjalankan peran yang dimainkannya. Salah satu keluarga yang memegang peranan penting dalam memerankan peran-peran dalam Kabuki, selain Tsuruya Namboku, Chikamatsu Monzaemon, Kawatake Mokuami, dan Sakata Tanjuuro, yaitu keluarga Ichikawa Danjuro. Keluarga ini telah menurunkan kemampuan akting mereka sampai generasi ke-12. kehadiran keluarga ini mempunyai keistimewaan bagi masyarakat bahkan mereka memberikan julukan kepada keluarga mereka sebagai Edokko (anak-anak Edo). 1. Ichikawa Danjuro I (1660-1704) Pada awalnya dia seorang Samurai, namun ia menjadi seniman. Ia menciptakan jenis peran Aragato pada era Gengroku, selain itu ia juga menciptakan Kumodori. Sayang sekali ia harus mengakhiri hidupnya dengan tragis, ia dibunuh dengan cara ditusuk dari belakang sampai
Universitas Sumatera Utara
mati ditengah-tengah adegan perkelahian diatas panggung, hal ini karena dendam. 2. Ichikawa Danjuro II (1688-1758) Ia anak dari Ichikawa Danjuro I.
ia melakukan perubahan pada
kostum maupun Kuodari. Pada tahun 1712, ia menggembangkan SujiGuma (make-up dasar dari setiap pemakaian kumadori, yang membentuk
karakter
tempramen
dari
suatu
peran),
dengan
menggunakan teknik Bakashi (pembuatan bayangan dari garis-garis suji-gama). 3. Ichikawa Danjuro III (1721-1742) Ia anak sari Sanshoya Sukejuro. Ia menggantikan Ichikawa Danjuro II, tapi ia meninggal pada usia muda. 4. Ichikawa Danjuro IV (1711-1779) Perannya tidak sehebat para pendahulunya dalam Kabuki.
Satu-
satunya peran yang terkenal adalah ketika ia berperan sebagai Matsuomaru dakam drama Sugawara Denju Tenarai Kagami. 5. Ichikawa Danjuro V (1741-1806) Ia dikenal karena sering memainkan peran wanita. 6. Ichikawa Danjuro VI (1778-1799) Ia tidak begitu banyak berperan, karena ia juga meninggal pada usia sangat muda yaitu usia 24 tahun. 7. Ichikawa Danjuro VII (1791-1859) Ia dikatakan sebagai orang yang sangat penting karena ia adalah orang yang menciptakan Juhachiban dan sekaligus bertanggung jawab dalam
Universitas Sumatera Utara
menentukan dan memilih cerita didalamnya. Pada tahun 1840, untuk pertama kalinya ia mempertunjukan Kanjincho, suatu pertunjukan yang diangkat dari teater No. 8. Ichikawa Danjuro VIII (1823-1854) Ia termasuk aktor yang sangat hebat dan berbakat, namun ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri pada usia 32 tahun di Osaka. 9. Ichikawa Danjuro IX (1838-1903) Ia dikenal karena jasanya menaikkan status sosial Kabuki. Terkadang ia diundang oleh kerajaan untuk mempersembahkan suatu pertunjukan. Ia juga seorang penulis yang handal. Ia mempunyai ketajaman dalam menggunakan warna-warni dan membuat desain, hal ini sangat penting karena merupakan faktor yang sangat dominan dalam kemajuan dalam kemajuan kostum Kabuki. 10. Ichikawa Danjuro X Ia tidak begitu banyak menunjukan peran dalam perkembangan kabuki pada waktu itu. 11. Ichikawa Danjuro XI Ia paling terkenal adalah ketika ia berperan sebagai Sukeroku. 12. Ichikawa danjuro XII Ia terkenal karena parasnya yang elok dan bakatnya yang tinggi didalam dirinya.
Pada tahun 1985, ia dinilai sebagai orang yang
berharga dalam dunia Kabuki dan dinobatkan sebagai Ichikawa Danjuro XII.
Universitas Sumatera Utara
Kabuki diwariskan dari anggota keluarga aktor yang lebih tua ke anggota yang lebih muda. Tetapi pada tahun 1969, teater nasional mendirikan Pusat Latihan Aktor Kabuki untuk mengajar pemain yang bercita-cita tinggi dari luar dunia Kabuki. Program latihan ini diselesaikan dalam dua tahun dan bebas biaya. Perlu diketahui ada tiga cara untuk menjadi seorang aktor Kabuki: 1. Ia adalah anak dari seorang keluarga aktor Kabuki. 2. Ia dapat belajar sehari penuh dibawah bimbingan seorang aktor. 3. Ia diterima masuk ke pusat latihan Aktor Kabuki.
2.1.2. Musik Dan Tarian Kabuki Selama abad ke-18, aliran Tokimawasu dan Tomimoto (seni naratif dan musik) serta aliran Edo dari Nagauta (nyanyian dan tari yang diiringi Shamisen) telah memperkaya pertunjukan Kabuki sendiri. Bentuk lirik yang paling sering dipakai adalah Nagauta, yaitu sajian lagulagu yang sangat panjang. Sedangkan Kiyamoto Bushi, Tokiwazu Bushi dan Bidayu Bushi digolongkan sebagai tokoh utama. Bentuk cerita utama diperoleh dari musisi-musisi yang pertama kali menciptakan bentuk cerita tersebut, yaitu Kiyamoto Enjudayuu, Tokiwazu Mojidayuu dan Takemoto Gidayu. Pada permulaan abad ke-19 aliran Kiyamoto berkembang mengalahkan aliran yang dengan cepat merosot posisinya. Masa ini merupakan masa keemasan dari musik kabuki. Dipanggung musik biasanya digunakan untuk mengiring para penari. Musik dalam Kabuki memilih banyak fungsi, diantaranya mengiring aksi panggung menentukan suasana hati, menyusun tempat dan kondisi kejadian,
Universitas Sumatera Utara
memperkenalkan tingkah laku dan mengatur suara yang dibuat sebagai latar belakang suatu pertunjukan teater Kabuki. Pemain-pemain Kabuki hampir tidak pernah bernyanyi atau bermain musik. Oleh sebab itu Kabuki disini berfungsi untuk menggambarkan isi hati pemain yang tidak diucapkan, apakah sedih, gembira, marah dan sebagainya. Musik selalu dimainkan dari sebuah ruangan kecil yang berada disudut kanan panggung. Ruangan tersebut memiliki jendela yang ditutupi dengan tirai bambu. Untuk menciptakan efek khusus digunakan alat musik seperti gendang bersenar tiga, suling, koto bersenar tiga belas serta alat-alat musik Shamisen dan keindahan dari suatu pertunjukan drama.
2.1.3. Kostum Dan Tata Rias Kabuki Kostum atau pakaian merupakan suatu elemen yang sangat penting untuk menunjang lakon dan keberhasilan suatu pertunjukan. Salah satu yang termasuk didalam perlengkapan untuk para pemain Kabuki dalam mementaskan sebuah drama adalah kostum.
Berdasarkan kegunaanya maka pemakaian kostum
mempunyai beberapa tujuan, yaitu: 1. Membantu mengidentifikasi periode saat lakon itu dilaksanakan, menyangkut tema, karakter asli dan aksi. 2. Membantu mengindividualisasikan para pemain. Warna dan bentuk kostum akan membedakan secara visual, tokoh yang satu dengan yang lain. Karena itu warna kostum sebaiknya beraneka ragam. 3. Menunjukan asal-usul dan status sosial orang tersebut. Dengan jenis pakaianya orang dapat menyimpulkan apakah ia dari desa atau dari
Universitas Sumatera Utara
4. Menunjukan waktu peristiwa terjadi, misalnya pakaian pagi hari, sore, atau malam, pakaian sekolah, kerja atau sebagainya. 5. Mengekspresikan usia orang. Kostum harus dapat menunjukan aktor tersebut berusia muda atau tua, sudah kawin atau belum, anak-anak atau remaja. 6. Mengekspresikan gaya permainan. Jika kostumnya aneh maka ini bukan jenis drama yang serius, mungkin jenis banyolan atau lawakan. 7. Membantu gerak-gerik aktor diatas pentas dan membantu aktor untuk mengekspresikan wataknya. Salah satu alasan kenapa para penonton dapat merasakan kedekatan pribadi terhadap para pemain Kabuki adalah penggunaan kostum para pemain Kabuki.
Kostum yang digunakan selalu disesuaikan dengan tipe drama dan
zaman pada saat ceria terjadi, apakah drama jenis sejarah atau hanya cerita rumah tangga masyarakat biasa. Pada umumnya kostum para pemain Kabuki dari tipe Jidaimono lebih mewah, karena hendak menggambarkan pakaian dari keluarga bangsawan dan kelas samurai. Sebaliknya mode pakaian dari masyarakat pada umumnya dari periode Edo digambarkan dengan lebih realistis dalam drama Kabuki tipe Sewamono. Aktor utama terkadang menciptakan perubahan-perubahan pada kostum yang sesuai dengan perkembangan trend sosial pada zaman itu. Namun secara
Universitas Sumatera Utara
umum kostum yang digunakan sekarang ini tetap mempertahankan keaslian yang telah dipopulerkan oleh aktor-aktor terdahulu. Pada zaman Edo keadaan ekonomi tidak stabil sebagai dampak dari pelaksanaan sistem Sankin Kotai oleh pemerintah. Hal ini menyebabkan terjadi perubahan terhadap kostum Kabuki, yaitu pemerintah melarang penggunaan material kostum yang berlebihan diatas panggung, dengan tujuan agar masyarakat hidup sederhana. Pada sekitar tahun 1804-1830, Kabuki mulai menetapkan model pakaian Kabuki ini tidak terbatas dan inio terus berlanjut sampai tahun 1826.
tetapi akibat
mahalnya bahan-bahan pakaian Kabuki dan dana tidak mencukupi dari para pemain untuk membeli, menjaga dan memelihara kostum mereka, maka menimbulkan efek yang tidak seimbang dalam pementasan kabuki. Dengan alasan ini akhirnya Kabuki dibiayai oleh penyandang dana yang mengakibatkan kostum Kabuki semakin bertambah indah, mewah dan megah. Berbagai macam warna mulai digunakan, sehingga kostum tampil lebih menarik, elegan dan lebih hidup. Demikian juga tata rias mempunyai peranan penting dalam pertunjukan kabuki untuk mendukung kesuksesan permainan yang dimainkan oleh aktor Kabuki. Warna dasar untuk semua jenis tatarias adalah putih. Warna itu dibuat dari tepung beras, pada Onnagata warna itu menimbulkan kelembutan kulit.
Warna tersebut sudah menyerupai aslinya dan juga untuk
membuat wajah aktor bercahaya karena lampu yang redup di teater. Gaya rias wajah yang paling menarik yaitu Kumadori. Gaya rias ini adalah gaya rias wajah yang mirip dengan topeng dan seluruhnya berjumlah 100 buah gaya. Gaya rias ini pertama sekali digunakan oleh Ichikawa Danjuro I pada tahun 1673 dan sangat
Universitas Sumatera Utara
membantu melakonkan karakter Aragato yang ia perankan dalam teater. Ia terus mengembangkan Kumadori dengan berbagai warna yang melambangkan tempramen setiap karakter.
Berikut warna-warni dan tempramen yang
digambarkan melalui warna tersebut. Merah tua
:Marah, kemarahan, pemaksaan, larangan
Merah
:Keaktifan, kemauan,keras, nafsu, kekuatan.
Merah jambu/merah pucat
:Kebahagiaan, gairah, semangat muda
Biru muda
:ketengangan, kesabaran
Nila
:Kesedihan
Hijau muda
:Kemakmuran
Ungu
:Keagungan, kesombongan
Coklat
:Kesediahan
Abu-abu
:Kekeringan, ketidakbahagiaan
Hitam
:Ketakutan, terror, kesedihan
2.2. Penggunaan Kostum Dalam Pertunjukan Drama atau Teater Di dalam mementaskan sebuah drama ataupun teater, termasuk juga dalam mementaskan kabuki sudah pasti diperlukan berbagai macam perlengkapan, baik perlengkapan panggung, maupun perlengkapan para aktor dan aktrisnya. Salah satu yang termasuk di dalam perlengkapan untuk para aktor dan aktris dalam mementaskan sebuah drama ataupun teater adalah kostum. Kostum atau tata pakaian merupakan elemen yang sangat penting untuk menunjang aktor dan aktris dalam memainkan peran mereka sesuai dengan tuntutan lakon dalam cerita.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu Herman J. Waluyo juga merumuskan penggunaan pakaian dalam pementasan drama atau teater berdasarkan sifat dan fungsinya. 1. pakaian Dasar atau foundation. Pakaian dasar ini, entah kelihatan atau tidak, merupakan bagian kostum yang berperan memberikan siluet (latar belakang) pada kostum.
Foundation ini membuat kostum menjadi tertib dan
kokoh. Dapat juga berupa penambahan pada bagian tertentu untuk membentuk tubuh seperti yang dikehendaki lakon (misalnya: bongkok, wanita hamil, perut gendut, pinggang menebal, dan sebagainya). 2. Pakaian Kaki (sepatu). Style dari sepatu di samping memberi efek visual pada penonton, juga mempengaruhi gaya jalan dari aktor. Cara berjalan ditentukan dari tinggi rendahnya tumit sepatu itu.
Juga untuk mempertinggi
tubuh, atau menunjukan profesi tertentu (militer, raja, dewa) sepatu ini tidak sekedar pakaian kaki. 3. Pakaian Tubuh (body). Pakaian tubuh disesuaikan dengan kebutuhan lakon, dengan mempertimbangkan usia, watak, status sosial, keadaan emosi, dan sebagainya. Pemilihan warna pakaian biasanya selaras dengan karakter. Karakter warna erat hubungannya dengan karakter tokoh yang dibawakan. Juga suasana hati tertentu memerlukan pertimbangan warna atau pakaian tubuh yang sesuai. Dalam keadaan biasa (normal), seyogianya aktor berias secantik mungkin, dan berkostum sebagus mungkin, dan berkostum sebagus mungkin (tanpa dituntut watak tertentu). Tipologi pakaian tubuh dari zaman ke zaman, dari bangsa satu ke bangsa lain, perlu dipelajari oleh juru kostum, sebab pakaian harus mengekspresikan sifat lahir dari aktor atau aktris.
Universitas Sumatera Utara
4. Pakaian Kepala (headdress). Pakaian kepala ini dapat berupa mahkota, topi, kopiah, gaya rambut, sanggul, gelung, wig, topeng, dan sebagainya. Corak pakaian kepala harus mendukung kostum tubuh. Juga disesuaikan dengan makeup yang digereskan, karena akan melukiskan peranan secara langsung.
Juru
kostum juga harus mempelajari gaya sanggul rambut dari masa ke masa, bentuk ikat kepala dari daerah ke daerah lainnya, bentuk topi baja tentara dari zaman ke zaman, dari bangsa yang satu ke bangsa yang lainnya, gaya rambut dan cara menyisir dari satu kurun waktu ke kurun waktu yang lain.
Semua itu akan
membantu menghidupkan peran yang dibawakan oleh aktor di pentas. 5. Kostum Pelengkap (accessories). Kostum pelengkap ini dimaksudkan untuk memberikan efek dekoratif, efek watak, atau tujuan lain yang belum dicapai dalam kostum yang lain. Misalnya: jenggot, kumis palsu, kaus tangan, hiasan permata, kaca mata hitam (untuk bandit), dompet, ikat pinggang besar (misalnya untuk Mat Kontan), pipa, tongkat, dan sebagainya. Kemudian berdasarkan tipe pakaian itu, maka tata pakaian dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Kostum historis, yaitu kostum yang disesuaikan dengan periodeperiode spesifik dalam sejarah. 2. Kostum modern, yaitu kostum yang dipakai oleh masyarakat masa kini 3. Kostum nasional, kostum dari daerah-daerah atau tempat spesifik. Dapat sekaligus kostum nasional dan historis. 4. Kostum tradisional, yaitu kostum yang disesuaikan dengan karakter spesifik secara simbolis.
Kostum wayang orang dapat dipandang
sebagai kostum tradisional.
Universitas Sumatera Utara
Disamping kostum tersebut, Herman J. Waluyo juga mengatakan adanya kostum binatang, kostum tari, kostum sirkus, kostum fantastis, dan sebagainya. Untuk menyediakan kostum yang sesuai dan tepat bagi aktor, maka seorang juru kostum diharuskan untuk: 1. Mempelajari watak peran. 2. Usaha riset periode sejarah dan pakaian nasional yang dibawakan. Sebagai contohnya, untuk memberi kostum pada film November 1828, Teguh Karya dan asistennya mengadakan riset yang mendalam tentang pakaian, bentuk pistol, bentuk ikat kepala, bedil, sanggul, seragam militer, pakaian lurah, dan sebagainya, dari periode itu. Demikian pula untuk film Kartini, Sjumandjaja mangadakan riset mandalam tentang pakaian pada periode itu. Untuk film Roro Mendut, Ami Priyono mengadakan riset pula tentang kostum zaman mataram.
Kostum
berfungsi untuk memberikan latar belakang fisik atau psikis.
2.3. Awal Kostum Kabuki Di dalam sejarah perkembangan Kabuki, tidak ada dokumentasi yang menyatakan secara jelas kapan Kabuki itu ditemukan.
Beberapa orang yang
mempelajari Kabuki percaya bahwa Kabuki mulai dipertunjukan di Kyoto sekitar tahun kelima Keichoo, atau sekitar tahun 1600.
pada waktu itu, Tokugawa
Ieyasu, seorang pendiri pemerintah dinasti Shogun yang terlama di Jepang yaitu pertempuran militer terbesar di Jepang yaitu pertempuran Sekigahara, dengan megalahkan pasukan Hideyori, anak dari Hideyoshi.
Pemerintah Ieyasu
berlangsung selama 2,5 abad dan dikenal dengan nama Tokugawa Bakufu atau
Universitas Sumatera Utara
Keshogunan Tokugawa. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa Kabuki belum ditemukan sampai tahun ke-8 Keichoo atau sekitar tahun 1603. Sampai jatuhnya Keshogunan pada tahun 1868, era itu disebut dengan Edo atau periode Tokugawa, dan nama Edo dipakai karena Keshogunan Tokugawa menetapkan Ibu kota di Edo, yang sejak tahun 1869 sampai sekarang berubah menjadi Tokyo. Pada masa itu Jepang sedang dalam masa pemulihan dari perang yang berkepanjangan.
Di tenggah-tenggah kejenuhan masyarakat Jepang terhadap
kehidupan yang penuh penderitaan itu, tiba-tiba muncul suatu trend baru ketika orang-orang mulai memakai pakaian yang berlebihan atau sesuatu yang mencolok disertai dengan tingkah laku yang tidak biasa. Hal ini secara umum disebut dengan Kabuki (dari kata Kabuku) atau Kabuki mono. Fonomena ini memberikan suasana dan nuansa kesenangan, sensualitas, emansipasi dan mungkin sedikit amoral, mengingat Jepang adalah Negara yang sangat terikat dengan hukum tradisi dan norma perilaku yang sangat kuat (Ruth M. Shaver, 1996:34). 2.3.1. Okuni Kabuki Pada masa ini muncul seorang pendeta bernama Okuni dari kuil Izumo no Ooyashiro, yang terkenal karena dianggap sebagai pelopor dari berbagai macam pertunjukan teater yang selanjutnya berkembang menjadi Kabuki yang sekarang ini. Ia berpetualang dan mempertunjukan tarian doa nenbutsu-odori (tarian doa kepada Budha) yang selanjutnya dikenal sebagai tarian rakyat. Ia sampai di Kyoto pada tahun 1600. Dikota ini ia kemudian bergabung sebagai Miko atau perawan kuil. Sebagai miko atau perawan kuil ia mempunyai tugas yang sangat berat. Selain bertugas untuk melayani dewa-dewa dari kuil Shinto, seperti salah satunya adalah menari untuk mereka, para perawan kuil ini secara umum harus
Universitas Sumatera Utara
bersedia untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar. Tetapi sayangnya, setelah menari untuk para dewa, para perawan kuil ini dipaksa untuk menari di rumahrumah mucikari, yang banyak didirikan di sekitar kuil. Kehidupan keras inilah yang membuat Okuni tumbuh menjadi seorang dengan kepribadian yang kuat. Pertunjukan tarian nenbutsu-odori oleh Okuni sangat memikat masyarakat Kyoto. Okuni mempertunjukan tariannya di suatu taman di pinggir sungai Kamo. Di tempat tersebut lahannya luas dan para penghibur kelas rendah dapat bermain kapan saja tanpa dikenakan pajak. Di kaki jembatan Gojo, ia membuat panggung terbuka yang disebut dengan koyagake (bangunan sementara berupa panggung), (Ruth M. Shaver, 1996:35). Pada saat mempersembahkan tarian pertamanya di Kyoto, ia mengenakan jubah pendeta berwarna hitam yang terbuat dari sutra. Sebelum mengenakan jubah pendeta itu ia terlebih dahulu mengenakan kimono. Kedua pakaian ini panjangnya semata kaki semata kaki.
Kemudian ia menggunakan nurigasa
(payung yang berbentuk seperti topi) di kepalanya. Sementara itu di lehernya dikalungkan karaori (selempang yang berwarna merah marun yang panjangnya sedada, dikalungkan dileher) tersebut terdapat kane (sebuah gong kecil dari besi yang terdapat pada karaori). Ia memasang kane itu dengan menggunakan shumoku (palu kecil yang digunakan oleh Okuni untuk memasang kane). Sambil menyanyikann lagu yang terkenal ia menari dengan gerakan yang sangat menarik perhatian penonton. Di tengah-tengah perjalanannya, ia bertemu seorang pria, bernama Nagoya Sanzaburo.
Pria inilah yang nantinya akan menjadi pembingbing, sekaligus
kekasihnya.
Nagoya Sanzaburo lahir pada tahun 1576, dan merupakan anak
Universitas Sumatera Utara
ketujuh dari seorang samurai.
Ia pernag belajar menjadi seorang pendeta di
sebuah kuil di Kyoto sampai tahun 1590. Pada usia 14 tahun ia berhenti belajar dan meninggalkan Kyoto, menjadi pelayan dari seorang Daimyo bernama Gamo Ujisato Aizu. Kematian dari Ujisato pada tahun 1595, membawanya kembali ke Kyoto dengan dibekali warisan dari tujuan itu. Sanza kemudian terkenal karena kesuksesannya di bidang kesenian. Ia yang mengajari Okuni lagu-lagu terkenal dengan menggunakan alat musik fue(alat musik flute atau seruling yang digunakan oleh Nagoya Sanzaburo) dan tsuzumi (alat musik seperti gendang atau hand-drum, yang digunakan oleh Nagoya Sanzaburo). Dalam pertunjukannya, Okuni mengenakan pakaian pria, sementara itu Sanza mengenakan pakaian wanita.
Hal ini yang membawa Okuni sampai pada puncak tertinggi dari
kepopulerannya, karena ide itu dianggap masyarakat sebagai sesuatu yang lain dari pada yang lain, lucu, dan menyegarkan. Dari kesuksesannya tersebut ia mulai menarik biaya pada setiap pertunjukannya. Sejak bergabung dengan Sanza, pakaian ia gunakan berbeda. Ia memakai kimono sepanjang mata kaki yang terbuat dari kain sutra dan sulaman, dengan lengan yang panjangnya mencapai bawah siku, dan tanpa memakai hakama (semacam kulot atau celana dengan motif berlipat). Pada kimononya digunakan obi (ikat pinggang) sederhana, diikat dengan gaya karuta-musubi (suatu gaya ikat obi). Rambutnya ditata seperti anak laki-laki dengan menggunakan hachimaki (kain yang dilipat, yang diikat di kepala). Dilengkapi dengan ogi (kipas lipat), haku-sen (kipas lipat dengan sepuluh rusuk yang berwaran putih), dan tas bulu. Ia juga membawa hyootan (botol tempat menyimpan air atau sake), yang digantung di sisi kanan obinya, dan juzu (rosario budha) yang dugantung di
Universitas Sumatera Utara
lehernya. Untuk menyamai penampilan seorang samurai, Okuni membawa pula katana (pedang) yang panjang dan pendek di sisi kiri obinya. Para pengikut Okuni dan Sanza juga memakai kalung dan menggunakan kimono yang bercorak seperti salib.
Okuni menciptakan tarian musim panas Kagura (suatu bentuk
tarian keagamaan Shinto). Kostum yang ia gunakan adalah suikan (jubah yang dikenakan oleh orang yang terhormat di kerajaan Jepang zaman dulu), dan naga bakama (hakama dengan ukuran yang panjang) yang berwarna merah, juga celana panjang dua kaki yang lebih panjang dari ukuran biasanya, untuk memberikan kesan seolah-olah pemakaianya sedang merangkak dengan lututnya. Untuk rambutnya, ditata rapi sederhana diikat di bawah leher. Keindahan dari kostum ini adalah aksen tambahan dari sakaki (karangan bunga kamelia yang dianggap suci) yang dibawa dengan tangan. Pemakaian kostum ini oleh Okuni disebabkan karena kostum semacam ini sudah pernah digunakan sebelumnya oleh seorang penari gay profesional yang bernama Shirabyoshi. Ia sangat terkenal pada zaman Heian dan Kamakura, dan dikatakan sebagai pendulu kaum geisha (Ruth M. Shaver, 1996:37). Setelah berpisah dengan Sanza, Okuni tetap melanjutkan profesinya. Sanza yang olebih dari kehidupan gaynya, mengubah namanya menjadi samurai. Sanza meninggal pada tahun 1604, sementara untuk Okuni, tidak ada catatan sejarah yang menyebutkan kapan dan dimana ia meninggal. 2.3.2. Onna Kabuki Di bawah pengaruh Okuni, banyak berkembang kelompok pemain wanita yang selanjutnya dikenal sebagai Onna Kabuki atau Kabuki wanita. Pengaruhnya luas sekali sampai ke dunia pelacuran, yang digunakan mereka sebagai alasan
Universitas Sumatera Utara
unruk memikat dan menarik para pelanggan.
Kabuki ini disebut juga Yujo
Kabuki, atau Kabuki wanita penghibur. Prostitusi yang dilakukan oleh pemain Yujo Kabuki semakin lama semakin meluas hingga pada tahun 1629, atas perintah Shogun, semua wanita dengan tujuan apapun di atas panggung harus dihapuskan, karena penampilan mereka telah mengikis moral masyarakat. Namun disamping alasan sosial, ada juga alasan politik mengapa pemain wanita dihapuskan, yaitu karena banyak samurai yang kehilangan hakikatnya sebagai seorang samurai ketika menghadiri pertunjukan Kabuki, ditambah dengan banyaknya biaya yang harus dikeluarkan kalau ia sedang terlibat dengan salah seorang pemain. 2.3.3. Wakashu Kabuki Wakashu Kabuki adalah Kabuki dengan semua pemainnya anak laki-laki berusia 13-14 tahun. Kata Wakashu ini diambil dari zaman dahulu yaitu ketika seorang anak laki-laki dari kuge (keluarga ningrat) atau keluarga samurai beranjak dewasa, melalui suatu ritual yang dikenal sebagai gempuku yaitu upacara pemotongan maegami (gombak: rambut yang dipanjangkan di atas ubun-ubun anak kecil, biasanya pada anak bangsawan atau anak orang kaya). Anak laki-laki yang masih memakai maegami, disebut wakashu. Masa pertunjukan wakashu kabuki dalam pertunjukan kurang lebih sama dengan Onna Kabuki. Kabuki ini juga tidak bertahan lama karena banyak terjadi hubungan homoseksual diantara para pemainnya, sehinga pada tahun 1652 atas perintah Shogun, Wakashu Kabuki di wilayah Edo, Osaka dan Kyoto, dihapuskan. 2.3.4. Yaroo Kabuki Pada tahun 1653, setahun setelah hilangnya Wakashu Kabuki, secara tidak disangka pemerintah Shogun memberikan izin diadakannya lagi pertunjukan
Universitas Sumatera Utara
teater.
Teater Kabuki yang paling terkenal adalah Ichimura-za, Morita-za,
Nakamura-za dan Murayama-za. Dengan adanya izin dari pemerintah ini, baik manajer maupun para pemainnya harus memenuhi tiga syarat penting yaitu: 1. Hanya meraka yang rambutnya dipotong didepan dan berpakaian dewasa dengan gaya yaroo-atama yang dapat tampil di panggung. 2. Penampilan harus jauh dari kesan amoral. 3. Wakashu tidak boleh ikut mempertunjukan Kabuki. Untuk menampilkan bentuk drama baru dengan akting yang realistis dan tulus hati, diadakanlah pengajaran tentang seni drama dan seni panggung. Sejalan dengan itu, berkembang juga desain baju dan warna yang menghasilkan berbagai macam kostum dan ditemukan wig atau katsura. Di dalam Yaroo Kabuki terdapat peran hanare-kyoogen, yang dialognya ditambahkan secara bebas oleh manejer teater atau aktor peminpin dengan tujuan ekonomis. Selain itu karena adanya tuntutan peran untuk memerankan wanita maka lahirlah onnagata, yaitu peran wanita, namun yang memerankan tetap pemain laki-laki. Murayama Sakon, dikenal sebagai pemeran onnagata pertama, meskipun pada waktu dahulu kita telah mengenal Nagoya Sanza, yang pernah tampil dengan menggunakan kostum wanita. Sakon pertama kali tampil di Kyoto pada tahun 1649, di Murayama-za milik kakaknya yang bernama Murayama Matasaburo. Penemuan Sakon ini diterima dengan antusias sekali. Ia mempunyai banyak rival, salah satunya adalah Ukon Genzaemon, Nakamura Kazuma dan Kokan Tarooji Kostum yang dipakai oleh Sakon adalah dari sutra dengan warna yang berbeda-beda di setiap perannya.
Universitas Sumatera Utara
Setiap pertunjukan selalu direkam oleh sang manejer, untuk pertunjukan ulang. Rekaman ini disebut daihon. Ada dua tipe permainan dari Yaroo Kabuki yaitu keisei-kai (keisei: pelacur, kai: pembelian/barang) dan Tanzen roppo (seni teater atau suatu gaya pakaian). Tipe keisei-kai biasanya bercerita tentang urusan atau hubungan cinta dalam kepelacuran yang berlatar di Irozato. Kostum yang digunakan glamour dan mewah.
Sedangkan tipe tanzen-roppo, menceritakan
karakter orang-oarang yang bersosialisasi dengan kehidupan mesum (Ruth M. Shaver, 1996:42).
Diciptakan di Edo, lalu berkembang sampai ke Kamigata
(sekarang kansai), yang pertama kali diperkenalkan oleh Tamon Shoozaemon. Kata tanzen bisa berarti dua hal, yang pertama berarti seni teater ataugeigoto (gei: seni teater/tarian/musik, goto: hal), yang kedua berarti gaya pakaian Jepang yang sedang popular pada masa itu. Selama Era Shoo (1652-54) di distrik Kanda Edo, di depan rumah Tuan Hori Tango-no-kami, terdapat pemandian yang biasanya didatangi oleh samurai untuk bersantai sambil ditemani oleh yuna (pelayan wanita), yang selain membantu mandi bagi para pengunjung, mereka juga diharuskan menghibur dengan samisen bahkan sampai menemani tidur. Akhirnya kata tanzen ini lebih ditunjukan kepada pakaian, yang desainnya banyak digemari, yang dipakai oleh pengunjung dari pemandian itu. Figurnya lebih dikenal dengan tanzen-sugata (tanzen: desain kimono, sugata: gaya). Untuk rambutnya ditata dengan gaya tanzen-tate-gami (model rambut pria, yang digunakan bersama dengan tanzensugata).
Mereka membawa macam pedang yang dikenal dengan musori-
kakutsuba katana (musori: lurus, ikaku: bundar, tsuba: pedang, katana: pedang) yang diselibkan di obinya.
Universitas Sumatera Utara
Komposisi drama yang semakin kompleks membuat panggung Kabuki juga berubah. Untuk pertama kalinya Kabuki menggunakan layar untuk setiap pergantian adegan. Perubahan-perubahan ini akhirnya membawa Kabuki pada bentuk yang matang.
2.4. Perkembangan Kostum Kabuki Era Genroku Pada tahun ke-15 era Genroku dalam periode Edo yaitu tahun 1688-1703, terkenal seorang tokoh Kabuki bernama Ichikawa Danjuro I. ia adalah seorang penulis naskah drama dan aktor yang hebat. Ia menciptakan suatu akting, yang disebut dengan aragoto. Sampai sekarang, aragoto ini dianggap sebagai ciri khas dari Kabuki Era Genroku. Aragoto ini merupakan tipe permainan serta gaya akting yang sangat unik yang pernah ada di dalam sejarah teater. Gaya aragoto ini selanjutnya disebut gei (gaya seni yang menjadi ciri spesial dari keluarga Ichikawa). Selain menciptakan gaya aragoto, Ichikawa Danjuro I juga menciptakan kumadori. Kumadori yang dipakai tidak hanya pada wajah saja, tetapi juga pada tangan dan kaki. Kumadori yang dipakai oleh ichikawa Danjuro I pertama kali adalah ketika ia berumur 14 tahun. Pada waktu itu ia berperan sebagai Sakata no kintoki, dalam drama Shitenno Osanadachi. Kumadori yang dipakainya sangat aneh, yaitu berupa garis-garis dengan warna yang tebal. Seluruh mukanya di make-up warna merah, dan garis yang tebal digambar di atasnya.
Seluruh
mukanya dimake-up berupa garis-garis yang tebal dengan menggunakan warna yang terang dan kontras ini adalah untuk mempertegas akting atau peran serta karakter yang dibawakannya. Kumadori semacam ini, selanjutnya berkembang
Universitas Sumatera Utara
terus pada Era Genroku, dan dikenal dengan Genroku-guma (sebutan untuk kumadori pada Era Genroku). Sebagai Kintoki, kostum yang digunakan Danjuro, berpola kotak-kotak, dengan paduan warna ungu dan putih. Untuk menonjolkan sisi kekuatan atau kejantanan dari tokoh Kintoki ini, ia menggunakan obi berwarna biru tua. Obi ini berukuran besar yang diilitkan di pinggang, diikat dengan gaya tombo-musubi (gaya ikat dari obi berukuran besar yang diilitkan di pinggang) atau simpul dragonfly. Ia menggunakan Kumadori pada tangan dan kakinya. Berbeda dengan zaman modern sekarang ini, Kumadori untuk tangan dan kaki tidak lagi digambar atau dimake-up langsung pada tangan dan kaki. Tetapi sebagai gantinya digunakanlah niku-juban (niku: daging; juban:pakaian) atau pakaian atau baju ketat dari bahan yang sangat tipis, yang berwarna menyerupai kulit, pada pakaian tersebut sudah tercetak atau tergambar pola kumadori. Nikujuban ini sangat praktis, karena terbuat dari kain yang tipis, sehingga ringan saat digunakan. Dengan niku-juban para aktor dapat dengan mudah dan cepat dalam berganti-ganti kostum diwaktu yang singkat. Keuntungan lain dari menggunakan niku-juban ini adalah para aktor tidak perlu khawatir lagi terhadap kumadori yang mereka kenakan pada tangan dan kaki akan luntur dan menodai kostum yang mereka kenakan. Dengan demikian, kostum yang digunakan oleh para aktor pada saat pertunjukan akan tetap terjaga kondisi serta keindahannya. Tiga buah dramanya yang masih terkenal sampai sekarang adalah Narukami (Thunder God atau the Fall of The Recluse Saint Narukami), Shibaraku (Wait a Moment) dan fuwa drama orisinil dari saya-ate (The Rude Challenge).
Universitas Sumatera Utara
Masa Genroku berlangsung selama lebih kurang 16 tahun yaitu tahun 1688-1703. pada tahun 1688 telah berkembang tiga tipe kabuki yang berbeda, yaitu: 1. Jidaimono (drama sejarah), biasanya dengan hiasan latar belakang panggung yang serba semarak dan menggunakan para pemain yang banyak. 2. Sewamono
(drama
rumah
tangga/
kemasyarakatan),
biasanya
mengisahkan kehidupan orang kota dan lebih bersifat realistis. 3. Shossagoto (pertunjukan tari-tarian), biasanya terdiri dari pertunjukan tari-tarian dan pantomim. Pada masa Genroku ini kesenian Jepang berkembang dengan pesat khususnya dalam bidang seni, sastra, dan teater. Kalau pada awalnya kabuki
banyak meminjam unsur-unsur tersendiri yang
kelamaan kabuki berkembang dan berhasil menciptakan unsur-unsur tersendiri yang diciptakan khusus untuk Kabuki. Pada masa Genroku muncul juga tokuhtokoh Kabuki yang sangat berperan dalam terbentuknya Kabuki sampai sekarang ini.
Salah satunya adalah Chikamatsu Monzaemon (1653-1724) dan dia
merupakan pelopor drama Kabuki. Di jepang dia dikenal sebagai Shakespearnya Jepang. Drama yang ia pentaskan adalah sindiran tentang kehidupan orang-orang kota yang suka berfoya-foya, termasuklah didalamnya pedagang, Samurai, Daimyo. Plot ceritanya menjadi semakin panjang dan makin menarik, jumlah pemeran bertambah dan seni perannya menjadi semakin rumit.
Universitas Sumatera Utara