KEADILAN DALAM SOROTAN Oleh : Drs. Muntasir Syukri∗
“Hukum kita mengalami krisis orientasi, aparat hukum kita menegakkan peraturan, bukan menegakkan keadilan”, itulah pendapat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie dalam mengomentari kasus Rasminah yang mencuri 6 piring milik majikannya yang kemudian divonis 130 hari.1 Kasus Rasminah adalah salah satu contoh kasus dari kesekian kasus hukum, yang pada saat ini sedang menjadi sorotan publik. Tidak lama dan belum hilang dari ingatan kita beberapa hari yang lalu adanya kasus pencurian kakao yang dilakukan oleh nenek Minah, pencurian semangka, dan sandal oleh seorang anak sekolah serta kasus lain yang melibatkan orang pinggiran. Kenapa kasus-kasus hukum tersebut menjadi sorotan masyarakat terlebih oleh pers ?. Tidak lain karena penanganan hukum terhadap kasus tersebut telah “mencederai” rasa keadilan masyarakat. Tidaklah heran kemudian publik dibantu pers berbondong memberikan perhatian dan pembelaan. Penegakan keadilan kembali menjadi sorotan. Karena keadilan itu sendiri memiliki tingkat kepentingan yang besar di tengah masyarakat. Menurut John Rawls, salah satu filosuf politik terkemuka abad 20 berkebangsaan Amerika Serikat menyatakan bahwa “Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran“. Masih adakah keadilan itu bisa dinikmati oleh masyarakat kecil ? ∗ 1
Hakim Pengadilan Agama Bangil. DetikNews, Selasa 31/01/2012
2
sehingga tidak seperti ibarat yang menyatakan, hukum seperti sebilah pisau yang tajam sekali kebawah namun tumpul keatas. Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau perlakuan yang adil. Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak dan hanya berpihak kepada yang benar. Keadilan dalam kajian filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip, pertama tidak merugikan seseorang dan kedua perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya. Sementara itu menurut Lord Denning (seorang Hakim Agung Inggris), keadilan bukanlah sesuatu yang bisa dilihat, keadilan itu abadi dan tidak temporal. Bagaimana seseorang mengetahui apa itu keadilan, padahal keadilan itu bukan hasil penalaran tetapi produk nurani. Sehingga Paul Scholten memaknai keadilan tidak boleh bertentangan dengan hati nurani, hukum tanpa keadilan bagaikan badan tanpa jiwa. Sedangkan
John
Rawl
memberikan
makna
keadilan
adalah
keadaan
keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama.
Keadilan, Antara Substantif dan Prosedural Dalam praktiknya, pemaknaan keadilan terhadap penanganan sengketasengketa hukum ternyata masih menjadi debatable di tengah masyarakat. Banyak pihak merasakan dan menilai bahwa lembaga pengadilan kurang adil karena terlalu syarat dengan prosedur, formalistis, kaku, dan lamban dalam memberikan putusan terhadap suatu sengketa. Hal itu tidak dapat dilepaskan karena cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatifprosedural dalam melakukan konkretisasi hukum. Sedangkan semestinya hakim mampu menjadi living interpretator yang mampu menangkap semangat keadilan
3
dalam masyarakat dan tidak terbelenggu oleh kekakuan normatif-prosedural yang ada dalam suatu peraturan perUndang-Undangan, karena hakim bukan lagi sekedar corong Undang-Undang (spreekbuis van de wet, bouche de la hoi). Artinya, hakim dituntut untuk memiliki keberanian mengambil keputusan yang berbeda dengan ketentuan normatif Undang-Undang, sehingga keadilan substansial selalu saja sulit diwujudkan melalui putusan hakim pengadilan, karena hakim dan lembaga pengadilan hanya akan memberikan keadilan formal. Munculnya permasalahan sebagaimana tersebut dimuka tidak dapat dilepaskan karena adanya sebuah dikotomi antara keadilan substantif disatu sisi dan keadilan prosedural disisi yang lain. Keadilan substantif dalam Black’s Law Dictionary dimaknai sebagai : “Justice Fairly Administered According to Rules of Substantive Law, Regardless of Any Prosedural Errors Not Affecting The Litigant’s substantive Rights”.2
“Keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan prosedural yang tidak berpengaruh pada hakhak substantif Penggugat”. Hal ini berarti bahwa apa yang secara formal-prosedural adalah benar bisa menjadi salah, jika secara materiil dan substansinya melanggar keadilan. Demikian pula sebaliknya, apa yang secara formal adalah salah bisa menjadi benar, jika secara materiil dan substansinya sudah cukup adil (hakim dapat menoleransi pelanggaran prosedural asalkan tidak melanggar substansi keadilan). Dengan kata lain, keadilan substantif bukan berarti hakim harus selalu mengabaikan bunyi Undang-Undang, namun dengan keadilan substantif berarti
2
Black’s Law Dictionary, 7th Edition, hal. 869
4
hakim bisa mengabaikan Undang-Undang yang tidak memberi rasa keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal-prosedural Undang-Undang yang sudah memberi rasa keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum. Sebaliknya, merujuk pada definisi yang diberikan oleh Wikipedia, prosedural justice atau keadilan prosedural adalah : “Refers to the idea of fairness in the processes that resolve disputes and allocate resources. One aspect of prosedural justice is related to discussions of the administration of justice and legal proceedings. This sense of prosedural justice is connected to due process (US), fundamental justice (Canada), prosedural fairness (Australia) and natural justice (other common law jurisdictions), but the idea of prosedural justice can also be applied to nonlegal contexts in which some process is employed to resolve or divide benefits or burdens. Prosedural justice concern the fairness and the transparency of the processes by which decisions are made, and may be contrasted with distributive justice (fairness in the distribution of rights or resources),and retributive justice (fairness in the rectification of wrongs). Hearing all parties before a decision is made is one step which would be considered appropriate to be taken in order that a process may then be characterised as prosedurally fair. Some theories of prosedural justice hol that fair prosedural leads to equitable outcomes, even if the requirements of distributive or corrective justice are not met”.3 “Keadilan prosedural menunjuk pada gagasan tentang keadilan dalam prosesproses penyelesaian sengketa dan pengalokasian sumber daya. Salah satu aspek dari keadilan prosedural ini berkaitan dengan pembahasan tentang bagaimana memberikan keadilan dalam proses hukum. Makna keadilan prosedural yang seperti ini dapat dihubungkan dengan proses peradilan yang patut (Amerika Serikat), keadilan fundamental (Kanada), keadilan prosedural (Australia), dan keadilan alamiah (Negara-negara Comon Law lainnya), namun gagasan tentang keadilan prosedural ini dapat pula diterapkan terhadap konteks non hukum di mana beberapa proses digunakan untuk menyelesaikan konflik atau untuk membagi-bagi keuntungan atau beban”. 3
www.wikipedia.com
5
Dengan merujuk pada definisi di atas, keadilan prosedural terkait erat dengan kepatutan dan transparansi dari proses-proses pembuatan keputusan, dan konsep keadilan prosedural ini dapat dibedakan dengan konsep keadilan distributif (keadilan dalam distribusi hak-hak atau sumber daya), dan keadilan korektif (keadilan dalam membenahi kesalahan-kesalahan). Mendengarkan keterangan semua pihak sebelum membuat keputusan merupakan salah satu langkah yang dianggap tepat untuk diambil agar suatu proses dapat dianggap adil secara prosedural. Beberapa teori tentang keadilan prosedural berpendirian bahwa prosedur yang adil akan membawa hasil yang adil pula, sekalipun syaratsyarat keadilan distributif atau keadilan korektif tidak terpenuhi. Diskursus mengenai tentang keadilan substantif (substantive justice), dengan keadilan prosedural (procedural justice) juga disampaikan Gustav Radbruh. Menurut Gustav Radbruh, hukum harus mengandung tiga nilai identitas. 1. Asas kepastian hukum atau rechtmatigheid. Asas ini meninjau dari sisi yuridis. 2. Asas keadilan hukum atau gerectigheit. Asas ini meninjau dari sisi filosofis. 3. Asas Kemanfaatan hukum atau zwechmatigheid atau doelmatigheid atau utility. Asas ini meninjau dari sisi sosiologis. Keadilan atau kepastian yang lahir dari hakim adalah keadilan atau kepastian yang dibangun atas dasar dan menurut hukum. Sebagai hukum dan hak asasi, hakim dibatasi menafsirkan atau melakukan konstruksi terhadap hukum acara. Suatu perbuatan disebut adil atau tidak sepenuhnya bergantung pada peraturan yang dibuat oleh negara. Saat terjadi pertentangan antara
6
keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, yang harus diprioritaskan secara berurutan adalah keadilan, kemudian kemanfaatan, dan terakhir kepastian. Mahfud, MD juga menyatakan bahwa walaupun secara prinsip harus diutamakan adalah kepastian hukum namun juga harus dititikberatkan kepada keadilan dan kemanfaatan.4 Munculnya dikotomi antara keadilan substantif dan keadilan prosedural dalam proses penegakan hukum karena pemahaman filosofis terhadap penegakan hukum itu sendiri, dengan berkiblat pada sistem hukum Eropa kontinental yang dikenal dengan civil law yang bersumber dari pemikiran positivisme. Hans Kelsen dengan teori positivisme-nya menyatakan, keadilan itu lahir dari hukum positif yang ditetapkan manusia, konsep keadilan itu mencakup pengertian yang jernih dan bebas nilai. Hakim terikat dengan hukum positif yang sudah ada, berdasarkan paham legisme dalam konsep positivisme, hakim hanya sebagai corong Undang-Undang. Dalam praktiknya, konsep positivisme dalam penegakan hukum ini ternyata sangat jauh dari keadilan, karena sering sekali hukum positif itu tertinggal dengan perkembangan masyarakat dan kemajuan teknologi, sehingga dalam penerapan teori positivisme tidak bisa serta merta dilaksanakan dengan paham legisme. Oleh karena itulah penerapan hukum positif oleh hakim harus memperhatikan nilai-nilai dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat,5 dengan sebaik-baiknya sehingga putusan yang dihasilkan oleh hakim bisa diterima oleh para pihak. 4 5
Mahfud MD, Asas Keadilan dan Kemanfaatan , Suara Karya, 12 Desember 2006. Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
7
Penutup Indonesia menganut sistem hukum civil law, yang mendasarkan bangunan sistem hukumnya pada Undang-Undang. Oleh karenannya para hakim adalah pelaksana Undang-Undang, bukan pencipta Undang-Undang, sebagaimana yang dilakukan para hakim di Inggris yang menganut sistem common law. Sehingga pakem yang berlaku adalah bahwa meskipun para hakim di Indonesia dapat melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) melalui putusannya, mereka tidak boleh menabrak isi dan falsafah peraturan Perundang-Undangan yang sudah ada. Akhirnya yang perlu dicermati adalah “hakim harus sebagai pengadil bukan penghukum, hakim seharusnya menciptakan keadilan”, demikian kata Prof. Jimly Asshiddiqie. Namun demikian “keadilan dalam sebuah perkara adalah keadilan bagi para pihak dalam perkara itu, bukan bagi yang lainnya. Tidak pernah ada satu pun kasus/perkara di pengadilan yang sama. Oleh karenanya keadilannya pun akan berbeda dari satu perkara atas perkara yang lain”, kata Prof. Baqir Manan, mantan Ketua Mahkamah Agung RI. Wallahu a’lam…….!!!
Bangil, 21 Pebruari 2012
Penulis,