RELEVANSI KEMANDIRIAN DALAM PENDIDIKAN Oleh : Drs. Supriyoko, M.Pd *)
A. Pendahuluan
Pujangga ternama kita Ranggawarsita, dan beberapa futurolog yang kita kenal seperti Alvin Toffler, Daniel Bell, Duane Elgin, dsb pernah mengisyaratkan bahwa dunia kita akan semakin maju; dan dalam dunia yang sudah maju (baca: industri) maka aspek kompetisi di berbagai sektor kehidupan akan semakin nampak di permukaan. Dalam kondisi dan situasi yang demikian itu maka pola hidup serta kultur masyarakat mengalami pergeseran. Terjadilah apa yang sering disebut dengan "transformasi kultural"; dari kelompok masyarakat yang semula pasif menjadi aktif, atau dari yang aktif menjadi lebih aktif lagi. Ibarat orang yang berjalan maka mereka akan saling berkompetisi untuk mencapai tujuan secepat mungkin. Ke- tatnya kompetisi ini seringkali menghantarkan masyarakat kepada pola hidup yang "impersonal relationship".
_________________ *) Makalah Ringkas Disampaikan dalam Seminar Sehari oleh Panitya Reuni Taman Madya Ibu Pawiyatan Yogyakarta, 16 Juli 1989 Di dalam struktur dan sistem masyarakat yang kompetitif tersebut maka masalah kemandirian akan menjadi semakin aktual dan menarik; hal ini sangat wajar karena setiap anggota masyarakat yang tidak dapat mandiri maka dengan sendirinya akan gagal dalam berkompetisi. Di negara kita hal seperti tersebut di atas sudah dapat kita lihat dan cermati; karena meskipun mayoritas masyarakat kita masih berada dalam taraf "pre-industrial society", akan tetapi sudah bermunculan berbagai kelom pok minoritas yang sudah berada dalam taraf "industrial society", bahkan sudah dapat kita jumpai pula kelompok mini-minoritas yang sudah laik dikategorikan dalam taraf "post-industrial society".
B. Kemandirian dalam Pendidikan
Di dalam dunia pendidikan sudah barang tentu ke- mandirian memperoleh tempat yang sangat strategis karena pendidikan itu sendiri bertugas untuk mengantisipasi ha- ri esok. Logikanya: dalam perjalanan suatu bangsa atau kelompok masyarakat menuju era industri maka pendidikan harus mampu mempersiapkan kelompok masyarakat tersebut untuk memasuki gerbang industri, salah satunya dengan cara memberikan bekal keterampilan berkompetisi; dan ke- mandirian adalah termasuk di dalamnya. Tegasnya: pendi- dikan perlu memberikan bekal kemandirian pada kelompok masyarakat untuk memasuki era industri.
Itulah sebabnya maka secara konseptual masalah kemandirian tidak mungkin dapat dilepaskan dari dunia pendidikan, baik pendidikan melalui jalur sekolah maupun jalur nonsekolah, karena pendidikan itu sendiri memiliki tanggung jawab untuk menanamkan kemandirian terhadap a- nak didiknya.
Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, atau yang lebih kita kenal dengan UU Sisdiknas, maka masalah kemandirian mendapat perhatian yang layak; bahkan secara eksplisit UU Sisdiknas mencantumkan masalah kemandirian anak didik sebagai tujuan yang hendak dicapainya. Pasal 4 dengan tegas menyebutkan sebagai berikut. Pasal 4: Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Penegasan secara eksplisit tentang kemandirian anak didik sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang dicantumkan dalam UU Sisdiknas tersebut di atas sebenarnya terlebih dahulu juga sudah tercantum di dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN), misalnya saja GBHN Tahun 1988, pada saat UU Sisdiknas itu sendiri be- lum lahir. Tokoh Pendidikan Nasional Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, sesungguhnya jauhjauh hari sebelumnya secara tersirat juga telah mengenalkan konsep kemandirian terse but; misalnya melalui konsep kemerdekaan dalam mendidik sang anak yang di dalamnya terkandung tiga unsur, yaitu unsur-unsur "zelfstandig" (berdiri sendiri), "onafhanke- lijk" (tidak tergantung kepada orang lain), serta "zelf- beschikkingsrecht" (dapat mengatur diri
sendiri).
Sementara itu di bagian yang lain Ki Hadjar juga pernah mengenalkan konsep "zelfbeheersching" (menguasai diri) dan "zelfdiscipline" (disiplin diri) untuk mengem bangkan budi pekerti yang luhur; serta konsep "zelfbe- druipings-systeem" dalam me"manaje" suatu kelompok atau organisasi. Hal itu semua merupakan bukti bahwa masalah ke- mandirian memang memperoleh tempat yang sangat strategis dalam dunia pendidikan.
C. Bukan Impersonal
Ada sementara orang yang keliru menafsirkan bahwa pengembangan jiwa kemandirian pada diri seseorang selalu akan diikuti oleh pengembangan sikap dan perilaku yang individualistik, sehingga orang yang jiwa kemandirian tinggi akan menjadi tidak bisa bekerja sama dengan orang lain. Pandangan ini tidak benar, meski kasus-kasus yang demikian ini bisa saja terjadi. Marilah kita tengok masyarakat di Jepang sebagai ilustrasi. Kiranya tidak ada yang tidak sependapat bahwa Jepang merupakan negara "super industri" di antara nega- ra-negara industri. Kemajuan Jepang bagaikan anak panah yang lepas dari busurnya untuk meninggalkan negara-nega ra lain di manapun. Seorang pengarang terkenal Amerika Serikat (AS), Ezra F. Vogel, yang semula terkagum-kagum pada kemajuan AS dan negaranegara Eropa, akhirnya meng- akui keunggulan Jepang dengan sanjungannya yang cukup dikenal itu, "Japan is number one". Kekaguman tersebut cukup wajar, pada saat negara- negara di Eropa dan AS dibuat pusing oleh "resesi dunia" sehingga banyak yang tidak mengalami pertumbuhan GNP dalam beberapa tahun, dan pertumbuhan di AS hanya sekitar 2%-3%, maka pertumbuhan GNP di Jepang mampu bertahan pa- da angka sekitar 5%. Ini hanya satu aspek kemajuan saja. Di manakah letak kunci kemajuan bangsa Jepang ..? Kuncinya terletak pada sistem manajemen yang khas, yaitu kombinasi antara sistem manajemen tradisional yang berwawasan manajerial paternalistik dengan sistem manajemen modern yang berwawasan manajerial birokratik. Setidak- tidaknya ada tiga kerangka landasan yang membuat kuatnya konstruksi sistem manajemen khas Jepang, yaitu (1) jiwa mandiri pada setiap individu, (2) kesungguhan bekerja, dikenal dengan "makoto", serta (3) dipertahankannya pola "gemeinschaft" dalam berorganisasi. Pola gemeinschaft dalam berorganisasi menandakan bahwa unsur kebersamaan antar anggota lebih ditonjolkan dalam mencapai prestasi kerja; bukan menonjolkan indivi- duindividu atau pimpinan saja sebagaimana yang terjadi dalam pola gessellschaft.
Keadaan tersebut sekaligus merupakan bukti bahwa konsep jiwa mandiri tidak senantiasa akan mengakibatkan terbentuknya pola hidup yang "impersonal-individualis tik", bahkan kalau jiwa mandiri tersebut dikombinasikan dengan jiwa kebersamaan (gemeinschaft) dan jiwa kesung guhan (makoto/sincerety) maka akan menghasilkan prestasi yang sangat memadai. Berdasarkan kesimpulan empiris tersebut di atas maka tidak ada alasan sedikitpun bagi dunia pendidikan, baik pendidikan jalur sekolah maupun jalur nonsekolah, untuk tidak mengembangkan jiwa mandiri terhadap para a- nak didiknya.
D. Kasus Pengangguran
Meskipun masalah kemandirian telah dieksplisitkan dalam formulasi tujuan pendidikan nasional di negara ki- ta, akan tetapi jalan untuk merealisasikan kemandirian tersebut nampaknya masih penuh dengan liku dan kendala. Hal ini dapat dicermati dengan masih tingginya tingkat pengangguran di negara kita, khususnya pengangguran pada para lulusan lembaga pendidikan. Masalah pengangguran tenaga potensial di Indone- sia selama ini masih merupakan salah satu kompleksitas ketenagakerjaan yang secara langsung telah menghambat berputarnya roda-roda pembangunan nasional yang tengah digalakkan.
Berdasarkan Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS) pada thn 1985 yang lalu di Indonesia terdapat 62.457.138 angkatan kerja produktif. Akan tetapi dari keseluruhan jumlah tersebut yang benar-benar bekerja secara penuh, yaitu dengan kriteria bekerja di atas 35 jam per minggu, hanya sebanyak 35.804.329 orang saja. Jadi, kalau diper sentasekan maka jumlah tenaga kerja potensial Indonesia yang bekerja secara penuh hanya 57,3% dari keseluruhan angkatan kerja.
Angka tersebut sekaligus mengisyaratkan bahwa di negara kita masih terdapat kaum tuna kerja (penganggur) yang relatif tinggi; yaitu sebanyak 26.652.809 orang, terdiri dari para 'tuna kerja tidak kentara' bagi yang bekerja kurang dari 35 jam setiap minggunya, serta para 'tuna kerja kentara' bagi yang tidak atau belum memiliki pekerjaan sama sekali. Secara komparatif angka-angka ini relatif sangat tinggi mengingat bahwa pada awal tahun 80-an yang silam angkanya masih berkisar pada bilangan 19.000.000 orang. Jadi selama ini yang terjadi bukanlah penurunan angka penganguran, akan tetapi justru pening katan angka pengangguran. Tingginya angka pengangguran di negara kita juga terjadi pada tenaga kerja tingkat sarjana. Salah seorang staf ahli Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappe- nas), Prof. Dr. H.A.R Tilaar, MSc, Ed. bahkan baru-baru ini memberi informasi bahwa sekitar
650.000 (baca: enam ratus lima puluh ribu) sarjana lulusan perguruan tinggi dari berbagai keahlian diperkirakan tidak akan berhasil mendapatkan pekerjaan pada Pelita V. Ilustrasi tentang tingginya tingkat pengangguran tersebut bukan saja membuktikan masih kurang sempurnanya perencanaan pendidikan di negara kita, akan tetapi juga membuktikan belum berhasilnya lembaga pendidikan dalam menanamkan jiwa mandiri pada setiap lulusannya. Mengapa? Seandainya para lulusan lembaga tersebut sudah memiliki jiwa mandiri yang memadai maka mereka akan mampu mencip- takan kegiatan tertentu untuk menyiasati hidupnya, tidak perlu menganggur.
E. Konsep Hexagonal
Bagaimana mengajarkan kemandirian yang efektif terhadap anak didik itu? Inilah jawaban yang senantiasa ditunggu-tunggu oleh para pendidik; karena sampai saat ini belum ada penemuan dan bukti empiris tentang metode yang efektif untuk menanamkan jiwa kemandirian pada para anak didik itu. Apa yang dilakukan oleh dunia pendidikan dewasa ini lebih cenderung bersifat eksperimentatif. Salah satu teori yang pantas dieksperimentasikan untuk menanamkan kemandirian pada anak didik mensyarat- kan adanya kesesuaian antara karakteristik anak didik dengan bidang yang ditekuninya. Artinya: bila anak didik menekuni bidang yang sesuai dengan karakterisiknya maka jiwa kemandirian tersebut akan lebih mudah ditumbuhkan, sebaliknya apabila anak didik menekuni bidang yang tidak sesuai dengan karakteristiknya maka jiwa kemandiriannya lebih sulit ditumbuhkan. Secara ringkas teori tersebut dapat diparadigma- tisasikan sebagai berikut.
Dpd. Vr. _______________ | | ______________ ____________ | PRESTASI | | | | |--->|_______________| | KESESUAIAN |--->| MOTIVASI | _______________ |______________| |____________|--->| | | KEMANDIRIAN | Indp. Vr. Intv. Vr |_______________| Dpd. Vr.
Tingkat kesesuaian antara karakteristik seseorang dengan bidang studinya akan menyebabkan meningkatnya mo- tivasi belajar, dan meningkatnya motivasi belajar ini
akan menyebabkan meningkatnya prestasi belajar dan tum- buhnya jiwa kemandirian. Demikian juga sebaliknya, keti- daksesuaian antara karakteristik seseorang dengan bidang studinya akhirnya akan berakibat sulit tumbuhnya jiwa kemandirian. Dalam dunia kerja pun demikian keadannya; tingkat kesesuaian antara karakteristik seseorang dengan bidang kerjanya akan menyebabkan meningkatnya motivasi kerja, dan meningkatnya motivasi kerja akan menyebabkan mening katnya prestasi kerja serta tumbuhnya jiwa kemandirian. Sebaliknya, ketidaksesuaian antara karakteristik seseo rang dengan bidang kerjanya akhirnya akan mengakibatkan sulit tumbuhnya jiwa kemandirian.
John L. Holland membedakan karakteristik manusia menjadi enam kelompok, yang lebih dikenal dengan istilah "hexagonal model", sebagai berikut.
RE o
IN o
CO o
o EN
o AR
o SO
Keterangan: RE = Realistik IN = Investigative EN = Enterprising
AR = Artistic CO = Convensional SO = Social
Ada empat tingkat kesesuaian menurut J.L Holland, dari yang tingkat kesesuaiannya tinggi sampai rendah, masing-masing adalah sebagai berikut.
1) RE-RE, IN-IN, CO-CO, AR-AR, EN-EN, dan SO-SO 2) RE-IN, RE-CO, IN-RE, IN-AR, AR-IN, AR-SO, SO-AR, SO-EN, EN-SO, EN-CO, CO-EN, dan CO-RE 3) RE-AR, RE-EN, IN-SO, IN-CO, AR-EN, AR-RE,
SO-IN, SO-CO, EN-AR, EN-RE, CO-SO, dan CO-IN 4) RE-SO, IN-EN, AR-CO, SO-RE, EN-IN, dan CO-AR
Keterangan: RE-RE = karakteristik orangnya realistic (RE), dan bidangnya juga bersifat realistik (RE) SO-IN = karakteristik orangnya social (SO), tetapi bidangnya bersifat interprissing (IN) Dsb,.
Sementara itu dunia pendidikan di negara kita se- cara tradisional cenderung membedakan karakteristik anak didik menjadi dua kelompok besar; yaitu karakteristik sosial (SO), artinya anak didik yang kemampuan dasarnya cenderung kepada ilmu-ilmu sosial, serta karakteristik eksakta (EK), artinya anak didik yang kemampuan dasarnya cenderung pada ilmu-ilmu eksakta. Apabila "teori kesesuaian" tersebut benar, atau dapat diasumsikan benar, maka belum berhasilnya sistem pendidikan di negara kita dalam menanamkan jiwa kemandi- rian kepada lulusannya, secara memuaskan, adalah wajar adanya. Mengapa....? Karena banyak anak didik kita yang menekuni bidang studi yang tidak sesuai dengan karakter- istiknya (banyak faktor yang menyebabkannya!). F. Kendala Kultural Paternalistik
Mengapa lembaga pendidikan di negara kita begitu terhadap anak didiknya?
sulitnya menanamkan jiwa mandiri
Salah satu penyebabnya adalah adanya kendala kultural paternalistik yang masih sering melilit kita. Masyarakat Timur pada umumnya serta masyarakat kita pada khususnya banyak yang pola hidupnya terbiasa lebih mengacu pada "sang pater". Hal ini kalau dilakukan secara berlebihan berakibat pada kurang memberikan iklim untuk menjadikan anak didik kita sebagai seorang yang mandiri dari awal. Lepas dari berbagai kelebihannya, tetapi kultur paternalistik tersebut seringkali kurang mendorong sang anak untuk berlaku "zelfstandig", "onafhankelijk", "zelf beschikkingsrecht", "zelfbeheersching", dan "zelfdisci pline", sebagaimana yang pernah dikonsepkan oleh tokoh pendidikan nasional kita, Ki Hadjar Dewantara. Meskipun demikian bukan berarti bahwa jiwa keman- dirian sama sekali tidak akan dapat ditanamkan di dalam sanubari anak didik yang hidup dalam masyarakat yang ber kultur paternalistik. Jiwa kemandirian tetap dapat kita tanamkan dalam jiwa anak didik kita, meskipun dukungan budaya paternalistik untuk merealisasikan upaya ini ku- rang
memadai; akan tetapi harus diakui bahwa diperlukan kerja yang ekstra keras dari berbagai pihak untuk dapat merealisasikannya. Bukankah hal ini justru merupakan tan tangan yang menarik? G. Penutup
Dalam menghadapi era industri pada masa-masa yang akan datang maka masalah kemandirian akan semakin aktual dan menarik saja. Menanamkan jiwa kemandirian pada anak didik tetap relevan dengan pendidikan, bahkan salah satu tujuan pendidikan nasional Indonesia adalah menciptakan generasi yang mampu hidup secara mandiri ditengah-tengah kebersamaannya dengan orang lain. Ditengah-tengah kultur paternalistik masyarakat kita maka tugas dan upaya untuk menanamkan jiwa mandiri kepada anak didik justru merupakan tantangan yang sangat menarik.
_________________
DAFTAR PUSTAKA
Bell, Daniel. The Coming of Post Industrial Society. New York: Basic Books Inc., 1976 Dukurst, O. Investment and Economic Growth. Paris: UNESCO, 1971 Harbison, Frederick and Myers, Charles A. Education, Man power and Economic Growth. New York: Mc Graw Hill Books Co., 1974 Holland, John L. Making Vocational Choices. Englewood Cl New Jersey: Prentice Hall Inc., 1985 Marbun, B.N (Penyunting). Manajemen Jepang. Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo, 1984 Republik Indonesia. Pidato Pertanggungjawaban Presiden/ Mandataris MPR RI, 1 Maret 1988 (Lampiran). Jakar ta: RI, 1988
Sasaki, Naoto. Management and Industrial Structure in Japan. Oxford: Pergamon Press, 1981 Simmons, John. The Education Dilemma : Policy Issues for Developing Countries in the 1980s. Oxford: Pergamon Press, 1980 Strong, Merle E. and Schaefer, Carl J. Introduction to Trade, Industrial and Technical Education. Ohio: Charles E Merril Publishing Co., 1985 Vaizey, John. Education in The Modern World. New York: McGraw Hill Book Company, 1967 Vogel, Ezra F. Modern Japanese Organization and Decision Making. London: Mac Millan Press, 1975
_________________