Habis Karst Terbitlah Nestapa Rabu, 01 Desember 2010 18:00
Kawasan karst masih dipandang sebagai bahan tambang semata. Pengelolaannya pun dilakukan secara parsial.
Lelaki tua itu berjalan tertatih. Jemarinya meremas erat batang bambu melengkung yang melintangi pundak. Di kedua ujung bambu itu bergelayut dua jerigen air berukuran besar. Keringat mengalir deras, saat sang lelaki tua menuruni jalan setapak. Sesekali ia berhenti, karena telapak kakinya yang tak beralas itu menginjak sudut runcing batu cadas. Seperti sebagian besar warga Desa Becok, Tegal Rejo, Tuban, Karyadi (55 tahun) bekerja sebagai penambang batu kumbung—batugamping untuk dijadikan pondasi bangunan dan batu bata. Sambil mengunyah sejumput tembakau, bertabur kapur yang terbungkus daun sirih, Karyadi kemudian menyeruak ke lorong tambang sedalam 10 meter di bawah permukaan tanah.
Selama 14 jam sehari, Karyadi membanting tulang, mengiris, membelah, mengepras dinding batugamping menjadi bongkahan batu-batu berbentuk kubus berukuran 1,5 x 1,5 meter. Pada akhirnya bongkahan-bongkahan tersebut dipotong rata, kecil-kecil seukuran bata. Selama bekerja, Karyadi sesungguhnya menggadang nyawa. Runtuhnya dinding kerap membayangi penambang batu kumbung. Dalam setahun, sedikitnya sembilan penambang Desa Becok menjemput ajal. Tradisi menambang kumbung di tempat ini lahir begitu saja. Praktis karena desakan ekonomi. Orang tua Karyadi sebenarnya adalah petani. Begitu pula ratusan penambang lainnya. Namun, lahan sawah yang semakin sempit dan diperparah kondisi tanah yang semakin tandus membuat sebagian warga desa Becok berduyun jadi penambang. “Inilah pekerjaan terbaik,” kata Karyadi tersenyum dalam wajah berpupur putih debu gamping. Terbaik menurut Karyadi adalah 20 ribu rupiah. Inilah upah yang biasa ditukar dengan jam kerja nonstop sepanjang hari. Upah ini ia terima dari bos toko material yang biasa mengepul hasil tambangnya. Tiap batang batu kumbung hanya dihargai 200 rupiah. Belum lagi upah angkut dari lokasi tambang ke toko-toko material yang dibebankan pada penambang.
Bersisian dengan lokasi tambang rakyat berdiri lokasi tambang milik UD Makario Utama. Meski mengklaim diri berskala kecil, Makario Utama menggunakan alat berat. Mulai dari alat keruk hingga truk-truk yang mengular di lokasi tambang.
1/9
Habis Karst Terbitlah Nestapa Rabu, 01 Desember 2010 18:00
Sebenarnya masyarakat Desa Becok telah memerotes keberadaan tambang. Mereka menuntut agar aktivitas penambangan dolomit di gunung kapur segera dihentikan, karena merusak lingkungan karst di sana. Dasar pertimbangannya: tidak jauh dari lokasi tambang ada sumber air utama bagi warga Becok. Tersembul di sebuah bukit karst berpuncak datar—ciri karst wilayah Tuban—mata air ini berkualitas tinggi. Jernih karena sedimen yang ada terperangkap dalam material rekahan—salah satu ciri utama mata air daerah karst. Debitnya pun stabil meskipun hujan terakhir kali jatuh pada empat bulan sebelumnya. Jelaslah, mata air ini, jadi napas buat warga Becok. Selain buat minum dan kehidupan sehari-hari, airnya juga dipakai mengairi 20 hektare areal ladang. “Kini mengering dan menjadi mata air musiman,” jelas Enggan (30 tahun), salah seorang warga. Walaupun aktivitasnya diprotes, Makario Utama memiliki dasar pula. “Kami punya izin,” ucap Usman, seorang kepala proyek sambil mengembuskan kepulan asap rokok kretek. “Mulai dari Surat Izin Penambangan Daerah hingga Hak Guna Usaha,” lanjutnya. Lebih dari itu, selama ini Makario telah memberikan toleransi dengan tetap memperbolehkan aktivitas penambangan tradisional oleh warga Becok di areal 10 hektare lahan milik perusahaan. Meski sudah digarap selama delapan tahun, bukit karst ini masih dapat ditambang hingga 5-6 tahun ke depan. “Siapa yang tahu akan habis?” tanya Usman. Ia menghamburkan kembali asap rokok yang diisapnya. Karst adalah bentang alam unik yang berkembang pada bantuan mudah larut—terutama batugamping—karena proses karsifikasi. Air hujan plus karbondioksida akan melarutkan batugamping sehingga di permukaan terbentuk aneka jenis bukit dan lembah. Di bawah permukaan pun berkembang sistem per-gua-an dan sungai bawah tanah. Proses karsifikasi ini berlangsung selama jutaan tahun sehingga menghasilkan bentangan alam seperti yang ada sekarang. Istilah karst diadopsi dari bahasa Yugoslavia/Slovenia. Istilah aslinya adalah “krst/krast”—terdiri dari kar (batuan) dan hrast (oak) yang merupakan nama suatu kawasan di perbatasan Yugoslavia dengan Italia Utara, dekat Kota Trieste. Istilah ini digunakan pertama kali oleh pembuat peta-peta Austria pada 1774 sebagai tautan nama untuk daerah berbatuan gamping berhutan.
Istilah karst akhirnya dipakai untuk menyebut semua kawasan berbatuan gamping di seluruh dunia yang mempunyai keunikan dan spesifikasi yang sama. Keanekaan hayati maupun nirhayati kawasan karst merupakan unsur penting di Bumi. Begitu pentingnya sehingga pada 1997, International Union for Conservation of Nature (IUCN) mengukuhkan karst sebagai kawasan yang harus dilestarikan. Di Tuban, Jawa Timur, terdapat sebuah contoh lain mengenai pemanfaatan kawasan karst yang seharusnya dilindungi ini. Tuban memang memiliki 123 ribu hektare bentang alam karst berupa pegunungan kapur. Banyak kalangan menilai, kawasan kapur di Tuban menyimpan potensi tambang besar dan
2/9
Habis Karst Terbitlah Nestapa Rabu, 01 Desember 2010 18:00
strategis. Simak APBD Tuban tahun lalu: Dari total pendapatannya, 542 miliar, seperlimanya disumbangkan oleh sektor pengolahan, khususnya tambang. Kontribusi tambang sendiri menempati posisi kedua dengan 110 miliar rupiah, di bawah pertanian (142 miliar). Di sektor tambang inilah PT Semen Gresik Tbk yang paling banyak memberikan kontribusi: tak kurang dari 80 miliar rupiah. Gelontoran dana dari PT Semen Gresik buat pendapatan pemda Tuban sepertinya akan terus melonjak. Perlu dicatatat bahwa konsumsi semen dalam negeri terus meningkat. Pada tahun lalu, tercatat 38 juta ton semen dibutuhkan buat industri nasional. Tahun lalu pula, Semen Gresik di Tuban memeroduksi tak kurang dari 8,9 juta ton. Sukses ini berbuah manis dengan ditetapkannya perusahaan tersebut sebagai pabrik dengan produksi terbaik se-Asia Tenggara sepanjang 2008.
Bupati Tuban, Haeny Relawati, tahu betul potensi kawasannya. Lantaran itu, dirinya mendukung rencana pembangunan pabrik semen PT Holcim Indonesia Tbk. Berlokasi di empat desa yakni Sawir, Mliwang, Kedungrejo, Dasin, dan Gaji, pabrik Holcim membutuhkan lahan tanah seluas 1.075 hektare. Dari jumlah tersebut tinggal 177,9 hektare yang masih diproses pembebasannya. Tahun ini pembangunan pabrik akan dimulai dengan nilai investasi tak kurang dari 3,13 triliun rupiah.
Dengan dibangunannya pabrik semen ini, selain menambah pundi penghasilan Tuban, Haeny berharap bahwa program inpres desa tertinggal (IDT) yang sedang getol ia genjot akan mulus berjalan—baik dari segi produk maupun lingkungan. Masyarakat sekitar tambang akan mendapat perhatian dari pabrik semen. “Meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar pabrik,” katanya saat ditemui di kantor anyarnya di jantung Kota Tuban. Di Desa Sukolilo, Pati, Jawa Tengah, seorang perempuan muda bernama Surkati terus membungkuk. Kedua tangannya sigap mencerabut pokok-pokok kacang. Sekali angkat, daun, batang, hingga kacang tercerai dari tanah. Secepat ia mencabut, secepat itu pula Surkati melempar tanaman kacang dalam genggaman ke wadah anyaman bambu yang menempel di punggung. Di sisinya, berjajar lima gadis seusia, melakukan hal yang sama. Mereka bergerak serentak seperti berlomba dengan gelincir matahari yang bergerak ke barat. Seluruh keluarga Surkati menggantungkan hidupnya dari bertani. Sepanjang hidupnya yang kini 21 tahun, Surkati paham betul, hamparan tanah yang ada di desanya sangatlah subur. Makanya, dirinya bingung saat mendengar kabar akan dibangun pabrik semen di atas ladang keluarganya. Tidak itu saja, nyaris seluruh penduduk desa harus direlokasi. “Bagaimana nasib saya kalau kami harus pindah?” kata gadis berkulit legam ini. Kegalauan ternyata bukan milik Surkati seorang. Hampir 320 kepala keluarga desa Sukolilo berpendar pertanyaan yang sama.
3/9
Habis Karst Terbitlah Nestapa Rabu, 01 Desember 2010 18:00
Adalah pabrik PT Semen Gresik Tbk yang tertarik kepada lokasi tambang di lereng Gunung Kendeng ini. Rencananya, mereka beroperasi pada 2012 dengan kapasitas 2,5 juta ton. “Kami tidak akan mengeksekusi sebelum verifikasi status pemilik lahan tuntas,” kata Syaifuddin Zuhri, humas PT Semen Gresik Tbk. Pabrik akan dibangun di empat kecamatan—Sukolilo, Kayen, Gabus, dan Margorejo—dan tiga belas desa dengan total luas 1.560 hektare. Apabila mengacu pada Keputusan Menteri Eenergi dan Sumber Daya Mineral nomor: 1456 K/20/MEM/2000, tentang Pedoman pengelolaan Kawasan Karst, sebenarnya calon lokasi tambang itu terletak pada kriteria karst kelas I lantaran menyimpan cadangan air bawah tanah yang permanen. Kenyataan ini didukung oleh temuan Pusat Studi Manajemen Bencana UPN (Universitas Pembangunan Nasional) “Veteran” Yogyakarta dan Acintyacunyata Speleological Club (ASC) Yogyakarta. Dalam bentang karst Kendeng terdapat 33 sumber mata air yang memagari kawasan karst Grobogan. Sebanyak 79 mata air lain mengelilingi karst Sukolilo Pati. Seluruh mata air bersifat parenial—terus mengalir dalam debit yang konstan—pada musim kemarau sekalipun. Bahkan saat permukaan Bumi kering-kerontang, 38 sumber air yang ada di kawasan Sukolilo berdebit 1.000 liter per detik. Cukup untuk memenuhi kebutuhan 7.882 kepala keluarga di Kecamatan Sukolilo. Begitulah. Dalam pengelolaannya, kawasan karst Indonesia sebenarnya telah memiliki sederet rambu-rambu hukum. Sayang, pada tahapan realisasinya masih jauh panggang dari api. Mengacu pada Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, kawasan karst dibagi ke dalam tiga kriteria yakni kawasan karst kelas I, II, dan III. Yang boleh ditambang hanyalah kawasan karst kelas III. “Tapi realisasinya semua kawasan karst sepertinya digiring masuk kelas III,” ucap Cahyo Alkantana, ketua Hikespi.
Seperti bakal lokasi tambang PT Semen Gresik di Sukolilo, kondisi serupa juga terjadi di Tuban. Tepatnya di empat desa yang akan menjadi lokasi dibangunnya pabrik semen milik Holcim. “Sekurangnya ada 50 mata air yang terserak di sana,” kata Muhamad Nafik, anggota Hikespi Tuban. Air memang menjadi satu aspek penting yang menjadi keniscayaan pada kawasan karst. Perilaku air di kawasan karst membentuk sistem hidrologi yang rumit, sekaligus khas. Air karst bergerak melalui sistem retakan celah-celah gua. Hampir seluruh masyarakat di sekitar karst menggantung hajatnya pada sumber daya alam ini. Di gugusan Gunung Sewu, Jawa Tengah, setidaknya terdapat 217 sumber mata air. Di Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan, seluruh kebutuhan air masyarakat di dua kabupaten tersebut disuplai dari karst. Sementara itu, di sisi lain, pabrik semen baik besar maupun kecil kerap menyedot air karst untuk keperluan operasional. “Air karst sangat rentan polusi,” jelas Bambang Sunarto, seorang ahli hidrologi karst. Di Indonesia, kawasan karst mencakup 20 persen seluruh daratan yang ada. Menurut laporan
4/9
Habis Karst Terbitlah Nestapa Rabu, 01 Desember 2010 18:00
yang dibuat Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia (Hikespi), kawasan karst ditemukan di hampir seluruh pulau besar di Indonesia. Sedangkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebut bahwa sedikitnya 15,4 juta hektare kawasan batuan gamping terpendam di pelosok Indonesia. Sekitar 70 persen kandungan bahan tambang ini terperangkap dalam bentang alam karst. Apabila melihat data dari Departemen Pertambangan dan Energi yang memperkirakan, Indonesia memiliki cadangan bahan tambang batuan kapur sebanyak 28 miliar ton. Ini belum termasuk bahan-bahan lain yang terbentuk bersamaan batuan kapur. Aset yang menggiurkan buat ditambang.
Sebagai bahan baku industri, kebutuhan batugamping di Indonesia meningkat tajam tahun ke tahun. Sepuluh tahun silam, pabrik-pabrik semen yang ada di Indonesia membutuhkan sedikitnya 66 juta ton batugamping. Laju kebutuhannya mencapai 17-19 persen per tahun. Lima tahun belakangan, pemakaian batugamping naik tajam: 122 persen atau 163 juta ton. Pengguna terbesar adalah industri semen. Dalam skala kecil, penduduk seperti Karyadi menggali bukit guna mendapat bongkahan batugamping buat pondasi, bata atau pengeras jalan. Sebagian lagi dapat mengambil kalsit yang terjebak dalam rongga batugamping. Batugamping juga menjadi bahan dasar pembuatan karbid, peleburan dan pemurnian baja, pengendapan bijih logam non-ferrous, campuran keramik, pembuatan bata silica, soda abu, penjernih air dan kaca, gula, hingga pemutih pada industri kertas, pulp, dan karet. Dengan sederet kegunaannya, “Inilah pukau karst buat ditambang,” kata Hanang Samodra, ahli geologi dari Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumberdaya Mineral. Namun, benarkah karst hanyalah sebuah aset tambang? Di tanah air, tampaknya demikian. “Stigma ini sungguh memprihatinkan,” kata Dr Eko Haryono pengajar Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Dari segi keilmuan kawasan karst justru adalah “tambang” lain yang tak pernah surut buat digali. Tak akan habis obyek buat diteliti. Fenomena bentang lahan permukaan karst yang unik, bawah permukaannya yang berupa sistem perguaan dan sungai bawah tanah merupakan obyek yang sangat menarik untuk diteliti.
Kawasan karst Indonesia, yang cenderung beriklim tropika basah, menjadi ladang flora berendemisitas tinggi. Kondisi karst yang cukup ekstrem, sepertinya tingginya kalsium dan magnesium tanah, melahirkan jenis tumbuhan unik. Di kawasan karst Maros-Pangkep, misalnya, setidaknya ditemukan 30 jenis ara atau beringin yang sanggup menyiasati kondisi yang kurang menguntungkan bagi sebagian besar jenis tanaman. Fauna unik pun banyak dijumpai di bentang karst Indonesia. Mulai yang hidup di habitat karst luar seperti misalnya kupu-kupu endemik seperti di Maros hingga penghuni gua yang beranak
5/9
Habis Karst Terbitlah Nestapa Rabu, 01 Desember 2010 18:00
pinak di dalam kegelapan abadi. Hingga kini, sejumlah spesies anyar penghuni gua kerap dijumpai. “Masih banyak lainnya yang belum terdata,” jelas Nurdjito dari Puslit-Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Kawasan karst—termasuk gua dan ceruk—dikenal pula sebagai tempat tinggal manusia purba. “Gua karst menjadi saksi bisu pola hidup, pemukiman, budaya manusia purba,” kata R Cecep Eka Permana, arkeolog yang meneliti sebaran cap tangan di gua-gua di kawasan Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan. Tinggalan arkeologis yang masih tersisa di sejumlah ceruk di kawasan karst Indonesia sangat beragam. Mulai dari alat-alat batu, lukisan gua, sisa makanan hingga tengkorak manusia purba. “Namun banyak gua prasejarah rusak akibat penambangan. Padahal belum diteliti,” kata Cecep. Adanya Undang-Undang Cagar Budaya tak otomatis mengamankan gua-gua di kawasan karst dari intaian bencana.
Suatu kali ketika sedang mengagumi peninggalan arkeologis berupa lukisan-lukisan cap tangan peninggalan manusia purba di Gua Lambatorang, di kawasan Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan, saya dikejutkan oleh suara gemuruh yang memecah kesunyian gua. Bahkan saking kuatnya suara tersebut, dinding gua ikut berderak, tergetar. Partikel-partikel dari dinding dan langit-langit gua rontok seperti ketombe yang gugur dari rambut. Di luar gua, kurang dari 20 meter jaraknya, berdiri sebuah pabrik marmer. Pemilik suara bising adalah mesin gergaji pemotong marmer beserta alat pembangkit listrik. Kompresor dan dua mesin bor Jack Hammer tergeletak di sudut lokasi tambang. Sebuah alat berat mondar-mandir meratakan tanah. Seperti halnya penambangan marmer di daerah lain, warga dilarang mendekat, apalagi masuk lokasi. Menurut ketua Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala Makasar, Andi Muhammad Said, “Jelas lokasi tambang menyalahi aturan.” Sebabnya, di lokasi sekitar situ terdapat cagar budaya. Artinya, melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang cagar budaya. Lokasi Gua Lambatorang memang masih berada dalam kawasan Taman Prasejarah Leang-Leang. Di kawasan ini terserak puluhan gua yang menyimpan tinggalan arkeologis. Secara umum, kondisi lukisan-lukisan gua yang tersebar di ceruk kawasan karst Maros-Pangkep—tercatat ada 90 gua prasejarah—dalam lima tahun terakhir sangatlah memerihatinkan. Diperkirakan masih ada sekitar 268 gua yang mengandung tinggalan arkeologis namun belum terkaji.
Aktivitas tambang menjadi ancaman paling nyata. Mengakibatkan perubahan suhu yang meningkat secara drastis di sekitar situs. “Lukisan gua menjadi pudar,” kata Said. Mungkin, dalam 10 tahun ke depan, sekalipun guanya mungkin dapat bertahan, “Lukisannya lenyap.”
6/9
Habis Karst Terbitlah Nestapa Rabu, 01 Desember 2010 18:00
Tidak hanya situs arkeologis. Ekosistem kawasan karst Maros-Pangkep kini juga babak belur oleh aksi penambangan. Selain dua industri semen besar, PT Semen Tonasa yang merupakan keluarga PT Semen Gresik Tbk, serta PT Semen Bosowa, terdapat pula perusahaan-perusahaan berskala menengah hingga kecil yang ikut menggerogoti, mengeruk, merusak lapis demi lapis gugusan karst. PT Semen Tonasa sendri memeroduksi 3,5 juta metrik ton semen tiap tahun, sekaligus memberikan kontribusi tak kurang 18 miliar buat pendapatan asli daerah Pangkep. Di sisi lain, untuk memeroduksi satu ton semen diperlukan paling sedikit lima ton batugamping di samping lempung dan kuarsa. “Terbayang, bagaimana rusaknya karst di sana,” ucap Taufik Kesaming, ketua Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Makasar. Dan uniknya, kawasan yang sedang digempur itu adalah kawasan yang direkomendasikan menjadi salah satu Natural World Heritage lantaran rona bentang karstnya yang indah dan unik. “Inilah pengrusakan yang dimaafkan,” ujar R.K.T. Ko, ketua Lembaga Karst Indonesia.
Seperangkat aturan main buat pengelolaan karst sudah diterbitkan. Terakhir, malah sudah terbit Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 mengenai Tata Ruang Wilayah Nasional yang juga menyinggung soal pengelolaan kawasan karst. Akan tetapi, kondisi lingkungan karst di Indonesia masih memprihatinkan. Simak saja, hampir seluruh bentang karst di Indonesia sudah dikuasai, atau akan menjadi proyek tambang. Misalnya di Cibinong, Gresik, Tuban, Nusakambangan, Gombong, Padang, dan Maros-Pangkep. Guratan tambang ini semakin besar sehingga dapat dilihat dari angkasa. Kawasan-kawasan karst di atas semuanya memiliki semua nilai strategis. Mulai lokasi hingga kandungan mineral di dalamnya. Karena inilah, tarik-ulur kepentingan dalam pemanfaatannya cukup tinggi. Kondisi lingkungan karst semakin tersudut, karena pada era otonomi daerah seperti sekarang ini, pengelolaan kawasan dilakukan secara parsial. Berbasis batas administratif, bukan batas ekologis. Karenanya, sejumlah ilmuwan sepertinya harus berlomba dengan berdiasporanya lokasi tambang di karst. Pemerintah hingga kini, dinilai masih pilih kasih, condong mendukung penelitian yang berkait dengan nilai ekonomi. Khususnya potensi nilai tambang dari karst. “Penelitian yang terkait dengan konservasi dan nilai ekologi masih terbatas,” kata Nurdjito.
Alternatif yang diusulkan sejumlah kalangan untuk mendapatkan nilai ekonomi dari kawasan karst tanpa dengan merusaknya pun sudah mengemuka. Salah satunya dari pariwisata, bahkan yang ekstrem. Di dasar Gua Jomblang di pedalaman karst Gunung Sewu, Gunung Kidul, Yogyakarta, sudah dimulai wisata minat khusus telusur gua. Tidak saja penelusuran gua-gua horisontal, melainkan juga yang vertikal dengan peralatan dan perlengkapan khusus. “Wisata
7/9
Habis Karst Terbitlah Nestapa Rabu, 01 Desember 2010 18:00
ini punya prospek bagus,” jelas Cahyo Alkantana, penelusur gua profesional. Pariwisata yang menjual keindahan bentang karst yang unik sebenarnya dapat mendatangi pendapatan yang besar. Contohnya di Kabupaten Gombong, Jawa Tengah. Pendapatan daerah ini ditopang oleh kegiatan pariwisata—baik wisata umum atau minat khusus—yang menjual keindahan bentangan karst. Jumlahnya mencapai dua miliar tiap tahunnya. “Bisa melonjak jika wisata di Kebumen digarap serius,” kata Cahyo. Di beberapa negara, pariwisata memang menjadi benteng pelestarian kawasan karst sekaligus penyumbang devisa yang menjanjikan. Thailand telah berhasil menawarkan keindahan karst untuk wisata dengan harga menjulang. Wisatawan disuguhkan panorama dengan berperahu berkeliling pulau-pulau karst yang menjulang tinggi. Vietnam sedang memasarkan Ha Long Bay sebagai kawasan wisata dengan resort-resort yang tarifnya ribuan dolar permalam. Begitu pula dengan Malaysia: Gua Mulu dan Gua Niah telah menjadi daerah tujuan wisata dunia bahkan dikukuhkan sebagai World Heritage. Indonesia sebenarnya berpeluang menjadi kawasan wisata yang menjual keindahan bentang karst lantaran memiliki sejumlah karst yang indah dan unik. Misalnya saja Maros-Pangkep, Gunung Sewu, Wawolesea (Sulawesi Tenggara), atau kawasan karst di Papua.
Sebenarnya dari sudut sustainabilitas ekonomi, kehadiran pabrik semen di kawasan karst tidak otomatis mengurangi kemiskinan atau langsung membuka lapangan kerja penduduk setempat. Biasanya hal ini disebbkan oleh tingkat pendidikan penduduk lokal yang rendah. Ujung-ujungnya, malah mereka termarginalisasi oleh pendatang. Sesungguhnya, kawasan karst memiliki potensi ekonomi lain yang tidak kalah penting—di luar tambang—yaitu nilai jasa lingkungan. Jika dihitung dapat menjadi masukan pendapatan daerah yang besar. Rachman Kurniawan, seorang peneliti karst, sempat melakukan penelitian ini di kawasan Maros-Pangkep. Survei lapangan dan pengambilan sampel dilakukan pada 100 responden yang dilakukan di 15 dusun dari sembilan desa dalam lima kecamatan. Selain itu dilakukan pengambilan sampel pengunjung tempat rekreasi Bantimurung, Taman Wisata Alam Gua Pattunuang, dan Tempat Pra Sejarah Sumpang Bita. Valuasi tiap tahunnya dilakukan menggunakan pendekatan perhitungan nilai guna langsung (direct use value). Hasilnya didapat nilai ekonomi jasa lingkungan secara total sebesar 2.072.501.086.700 rupiah. “Cukup signifikan buat pemerintah daerah dan masyarakat sekitar,” kata Rachman. Kawasan karst adalah sebuah ekosistem yang rentan terhadap perubahan. Bentang alamnya sulit pulih jika terjadi kerusakan akibat pemanfaatan yang tak tepat. Pertanyaan yang selalu muncul, apakah keuntungan ekonomi dari penambangan sepadan dengan kerugian lingkungannya pada masa mendatang? Bagi orang-orang seperti Karyadi atau Surkati, atau mereka yang menggantungkan sumber
8/9
Habis Karst Terbitlah Nestapa Rabu, 01 Desember 2010 18:00
airnya pada kawasan karst, kerusakan bentang alam karst berarti hidup yang semakin sulit. Sore itu, menjelang senja, ketika peluh dari tubuh Karyadi belum sepenuhnya kering, pemilik material datang berkunjung ke lokasi tambang yang pengap. Setelah menghitung batukumbung yang ditambang, ia langsung menyodorkan lembaran duit kertas kumal. Karyadi menerimanya dalam diam. Dari sinilah, ia dan ratusan penambang kumbung bertahan melewati hari. Penulis: Cahyo Junaedy, Foto oleh Alex Sumadijaya, Danu Primanto, Hari Primadi, Pindi Setiawan, Sigit Pamungkas, Johannes Christo (sumber: www.nationalgeographic.c o.id )
9/9