Katalisis Enzimatis Dalam Pelarut Organik (Enzymatic Catalysis in Organic Solvents)
Purwiyatno Hariyadi
SUMMARY Enzymes are considered to be highly efficient and specific in facilitating a chemical reaction, such that side reactions are negligible. However, due to their relatively high cost and instability in industrial environment, widespread application in industrial processes remain rather limited. Furthermore, in industrial setting, enzymes are used mainly because of their ability to degrade or hydrolyze food components relative to all other types of reaction they can mediate. Microaqueous enzymology has received considerable attention in the last decade or so. Microaqueous system has been defined as those containing very limited amount of water and are typically composed of organic solvents. The fact that enzyme can function in microaqueous system, substantially broadenes the scope of potential enzyme applications in the food and related industries. Not only do many enzymes remain fully active in microaqueous media, they often are observed to exhibit unusual reactivities and spesificity in water-deprived media. In the area of food science, these recent advances have provided new avenues for the application of enzymes to improve and modify foods, synthesize food ingredients, and potentially produce new food ingredients.
PENDAHULUAN Dalam berbagai literatur biokimia dikatakan bahwa air secara mutlak diperlukan dalam katalisis enzimatis. Pernyataan ini didasarkan p a d a kenyataan bahwa air tidak hanya berperan dalam interaksi-interaksi non-kovalen, khususnya dalam menjaga struktur protein dalam konformasi aktifnya, tetapi air j u g a mempunyai peranan yang krusial dalam dinamika enzim. Sebagai konsekuensinya, ada anggapan b a h w a enzim tidak akan m a m p u menunjukkan aktivitasnya sebagai katalis dengan adanya pelarut organik. Pengertian yang demikian ini tidak sepenuhnya benar, dan secara praktis telah merugikan, karena pengertian ini mengharuskan aplikasi enzim dilakukan dengan menggunakan air sebagai pelarut utamanya.
Purwiyatno Hariyadi adalah Staf Pengajar pada Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, FATETA-1PB. PO.BOX 220, Bogor 16002.
Dari segi teknologi, penggunaan air sebagai pelarut dapat menghambat aplikasi enzim dalam kegiatan beberapa industri, karena air bukanlah pelarut y a n g baik bagi beberapa senyawa kimia, khususnya senyawa-senyawa organik. Pelarut organik, tentunya lebih cocok untuk kepentingan melarutkan senyawa-senyawa organik tersebut. Pertanyaannya adalah: mungkinkah enzim tetap m a m p u mempertahankan aktivitasnya dalam pelarut organik? Tulisan ini akan mencoba menjawab dan membahas pertanyaan tersebut secara lebih rinci. Enzim dan Pelarut Organik Sesungguhnya, banyak enzim di alam yang telah terbiasa dengan lingkungan y a n g tidak sepenuhnya menggunakan air sebagai pelarut. Enzim-enzim di dalam sel (in vivo), khususnya enzim-enzim yang berasosiasi dengan membran sel, seperti lipase, esterase, dan dehidrogenase, telah terbiasa dengan lingkungan y a n g hidrofobik. Konsentrasi air di lingkungan sekitar atau dalam m e m b r a n sel tentunya sangat kecil dibandingkan dengan lingkungan yang
J. Ilmu dan Tek. Pangan, 1996, Vol 1 No. 1, hal 52-60
Katalisis menggunakan air sebagai pelarut (konsentrasi air sebagai pelarut adalah sekitar 5 5 , 5 M ) . Hanya dengan data diatas, sesungguhnya tidaklah mengherankan kalau dikatakan b a h w a enzim mempunyai potensi untuk aktif dalam pelarut organik y a n g hidrofobik. Pada prakteknya, paling tidak terdapat tiga konfigurasi penggunaan pelarut organik sebagai media reaksi, yaitu (i) sistem ko-pelarut satu fase, (ii) sistem dua fase, dan (iii) sistem mikroakueus. Sistem ko-pelarut didisain dengan p e n a m b a h a n pelarut y a n g larut dalam air ke dalam sistem akueus (larutan penyangga), sehingga masih tetap membentuk pelarut satu fase, tetapi m a m p u meningkatkan kelarutan substrat hidrofobik (Chen dan Sih, 1989). Pelarut organik y a n g sering digunakan pada sistem ko-pelarut ini adalah aseton, metanol, etanol, dimetil formamida ( D M F ) dan dimetil sulfoksida ( D M S O ) . P a d a sistem dua fase, pelarut terdiri dari sistem bufer dan pelarut organik y a n g t a k larut dalam air, sehingga membentuk dua fase. P a d a sistem ini enzim didispersikan p a d a sistem akueus, sedangkan substrat dilarutkan p a d a sistem organik (Brink dan Tramper, 1988). Sistem ini didisain sedemikian rupa sehingga substrat akan berpartisi ke fase akueus dimana katalisis terjadi, dan kemudian hasil reaksi akan berpartisi balik ke sistem organik. K a r e n a itu maka pemilihan pelarut (berdasarkan p a d a polaritasnya) akan sangat krusial dalam menentukan kemamp u a n substrat dalam berpartisi ke sistem akueus dan produk dalam berpartisi ke sistem organik. Kerugian yang nyata dari sistem ini adalah adanya pemisahan fase antara sistem organik dan sistem akueus y a n g dapat menyebabkan proses denaturasi enzim (Brink dan Tramper, 1985; Creighton, 1991).
Enzimatis
m a u p u n pada pelarut air. P a d a laporan-laporan penelitian selanjutnya, Klibanov dan koleganya menunjukkan b a h w a b a n y a k reaksi-reaksi yang dikatalisis oleh enzim d a p a t berlangsung dengan baik p a d a pelarut organik, khususnya y a n g melibatkan substrat-substrat (atau p r o d u k reaksi) yang tidak larut dalam air (Klibanov, 1986). Sejak itu, maka dari berbagai belahan dunia b a n y a k muncul laporanlaporan serupa ( L a a n e et al., 1987b; Usui dan M u r a t a , 1988; Nishio, 1988; Elliot, 1990; Selisko et al.,1990; Gupta, 1992). Perkembangan-perkembangan inilah yang mendorong munculnya " c a b a n g " b a r u enzimologi, yang disebut sebagai enzimologi mikroakueus (microaqueous enzymology). Berbagai istilah yang berusaha menjelaskan sifat-sifat lingkungan reaksi dalam pelarut organik ini kemudian banyak diperkenalkan, antara lain digunakannya istilahistilah seperti lingkungan organic solvent, low wateractivity media, dan anhydrous atau nearly anhydrous solvent. Namun demikian, istilah mikroakueus, y a n g diberi batasan sebagai lingkungan reaksi dengan jumlah atau konsentrasi air yang sangat terbatas (biasanya tidak lebih dari 0 , 1 % , v/v) merupakan istilah y a n g cukup tepat. Nilai Lebih Enzimologi Mikroakueus Teknik enzimologi mikroakueus ini dari sudut aplikasi industri memberikan h a r a p a n praktis yang sangat menjanjikan, terutama m e m b u k a peluangpeluang b a r u untuk bisa mensintesis senyawasenyawa organik dengan nilai ekonomi tinggi melalui proses enzimatis. Oleh Klibanov (1986) dan Zaks dan Russell (1988) beberapa kelebihan enzimologi mikroakueus itu diungkapkan sebagai b e r i k u t :
Fokus dari tulisan ini adalah p a d a konfigurasi yang terakhir, yaitu sistem mikroakueus y a n g dipelopori, belakangan, oleh Klibanov (1986). Enzimologi mikroakueus sebenarnya telah mulai diteliti p a d a tahun 1 9 1 1 , yaitu ketika Bourquelot dan rekan-rekannya melaporkan adanya aktivitas emulsin (mengandung β-glukosidase) dalam pelarut organik (Neidieman,1990). Sym ( 1 9 3 6 ) j u g a melaporkan adanya aktivitas esterase (dari pankreas babi) dalam pelarut organik. Jadi, sebetulnya ide tentang enzimologi mikroakueus bukanlah sesuatu y a n g betul-betul baru. H a n y a saja, b a r u belakangan saja perhatian tentang ide ini dimunculkan dan dipopulerkan kembali oleh laporan dari Z a k s dan Klibanov (1984), y a n g menunjukkan b a h w a lipase dan peroksidase mempunyai keaktifan y a n g sama tingginya, baik p a d a lingkungan pelarut organik
•
Lingkungan mikroakueus akan membatasi atau menghilangkan air dalam sistem reaksi. Hal ini sangat menguntungkan terutama untuk reaksireaksi sintesis, karena terbatasnya air akan mendorong keseimbangan reaksi ke arah kanan, yaitu lebih ke arah sintesis daripada ke arah hidrolisis y a n g tidak dikehendaki.
•
Enzimologi mikroakueus akan memungkiftkan penggunaan senyawa-senyawa organik yang tidak larut dalam air. Hal ini berarti, akan banyak senyawa-senyawa organik potensial yang akan terlibat dalam sintesis enzimatis, yang selama ini tidak mungkin dilakukan kalau air masih digunakan sebagi pelarut. Lebih lanjut, hal ini j u g a berarti m e m b u k a kemungkinankemungkinan baru yang menarik untuk
53
J. Ilmu dan Tek. Pangan, 1996, Vol. 1 No. 1, hal 52-60
Katalisis melakukan modifikasi atas reaksi-reaksi y a n g ada atau bahkan melakukan reaksi y a n g sama sekali baru. •
•
•
•
•
Dari segi keseimbangan termodinamika, kebanyakan proses sintesis tidak efisien jika dilakukan dengan air sebagai pelarut. Karena itu, penggunaan pelarut organik merupakan keharusan untuk m e n g e m b a n g k a n reaksi-reaksi sintesis. Usaha isolasi p r o d u k j u g a sering sangat sulit jika reaksi dilakukan dengan menggunakan air sebagai pelarut D e n g a n pelarut organik, isolasi hasil reaksi sering sekali dapat dilakukan hanya dengan p e n g u a p a n pelarut y a n g m u d a h dilakukan, karena titik didih untuk kebanyakan pelarut organik cukup rendah. Karena enzim (protein) u m u m n y a tidak larut dalam pelarut organik, m a k a usaha pemakaian kembali enzim-enzim d a p a t dilakukan dengan mudah, yaitu dengan cara filtrasi sederhana. Pelarut organik j u g a bisa meniadakan atau mengurangi perlunya menggunakan enzim imobil, karena setelah reaksi selesai m a k a enzim dapat diendapkan dan dapat dengan mudah disaring untuk digunakan kembali. Kalaupun perlu dilakukan imobilisasi enzim, m a k a dapat dilakukan dengan m e n g g u n a k a n teknik adsorpsi yang relatif lebih m u r a h , karena pada pelarut organik enzim a k a n cenderung lebih berpartisi ke matriks pengadsorpsi daripada berpartisi ke pelarut organik y a n g lebih hidrofobik. Enzim-enzim menjadi sangat stabil p a d a suhu tinggi jika digunakan pelarut organik. Hal ini disebabkan karena air y a n g berperan dalam berbagai reaksi denaturasi p a d a suhu tinggi telah ditiadakan atau dikurangi secara maskimal. Penggunaan pelarut organik j u g a akan menghilangkan adanya kemungkinan kontaminasi mikrobial selama proses.
Jadi terlihat b a h w a enzimologi mikroakueus mempunyai b a n y a k keunggulan y a n g dapat dieksploitasi untuk diaplikasikan di lingkungan industri. N a m u n demikian, beberapa kerugian dan kemungkinan-kemungkinan negatif lainnya perlu pula diantisipasi. B e b e r a p a diantaranya adalah (i) adanya kemungkinan inaktivasi atau denaturasi enzim oleh pelarut organik y a n g tidak sesuai, (ii) kekhawatiran-kekhawatiran tentang kemungkinan adanya residu pelarut organik p a d a hasil akhir, dan (iii) biaya y a n g diperlukan untuk pemakaian dan pembuangan pelarut organik (Brink dan T r a m p e r ,
54
Enzimatis
1985). N a m u n secara keseluruhan penggunaan pelarut organik sebagai media katalisis enzimatis telah m e m b u k a peluang-peluang b a r u yang perlu dieksplorasi, terutama untuk kepentingan sintesis biokimia dan transformasi-transformasi lainnya. A p a k a h Air Diperlukan Pada Katalisis Enzim D a l a m Pelarut O r g a n i k ? Air tetap diperlukan p a d a proses katalisis enzim. N a m u n pertanyaan y a n g lebih tepat seharusnya adalah seberapa besar/kecil air diperlukan untuk katalisis enzim. T e n t a n g peranan air dalam katalisis enzim ini, Klibanov (1986) pada dasarnya menyatakan b a h w a j u m l a h air y a n g diperlukan hanyalah kecil saja. Dia menyebutkan adanya sejumlah kecil air (disebut sebagai air esensial) yang tetap diperlukan bagi enzim untuk melakukan perannya sebagai katalis. Asalkan air esensial tetap berada ditempatnya y a n g tepat p a d a molekul enzim, maka penggantian sisa-sisa air y a n g lain dengan pelarut organik tidak akan mengganggu aktivitas enzim, bahkan sebaliknya bisa memunculkan sifatsifat y a n g menguntungkan dari enzim tersebut yang tidak akan muncul jika masih digunakan air sebagai pelarutnya (Klibanov, 1986). K a r e n a itulah penulis memilih memakai istilah mikroakueus, sebab dalam istilah ini secara emplisit disadari b a h w a air tetap diperlukan tetapi j u m l a h n y a hanya sedikit saja. Jumlah air minimum y a n g diperlukan oleh enzim untuk tetap memelihara aktivitasnya telah ditentukan untuk beberapa enzim tertentu. Sebagai gambaran, dengan menggunakan lisozim sebagai model, telah ditunjukkan b a h w a hidrasi suatu protein pada dasarnya dapat dibedakan atas beberapa tahap (Rupley et al., 1983) Pada t a h a p hidrasi dibawah 0,07 g/g (g air/g protein), air hampir semuanya berinteraksi dengan g u g u s - g u g u s polar bermuatan, dan p a d a kondisi ini sistem y a n g ada dapat dianggap sebagai sistem t a n p a air. P a d a t a h a p hidrasi antara 0,07 dan 0,25 g/g, molekul air akan membentuk kelompok (clusters) y a n g akan bertumbuh-kembang dan menutupi sebagian p e r m u k a a n protein. Pada kondisi ini, protein (lisozim) mulai menunjukkan adanya mobilitas dan plastisitas molekuler. Lebih lanjut, diketahui b a h w a aktivitas lisozim sudah mulai bisa dideteksi p a d a t a h a p hidrasi serendah 0,2 g/g, y a n g secara fisik air hanya akan menutup sekitar separuh/setengah p e r m u k a a n protein. Aktivitas lisozim terus meningkat p a d a t a h a p hidrasi antara 0,25 sampai 0,38 g/g. Pada t a h a p hidrasi ini, air berasosiasi dengan seluruh p e r m u k a a n lisozim. Pada t a h a p hidrasi diatas 0,38 g/g (sekitar 300 molekul air
J. Ilmu dan Tek. Pangan, 1996, Vol. 1 No. 1, hal 52-60
Katalisis per molekul lisozim) m a k a lisozim telah terhidrasi secara sempurna, dan diluar sejumlah 0,38 g/g, air hanya akan berperan sebagai pelarut. Rupley et al. (1983) menyimpulkan b a h w a j u m l a h air minimum yang diperlukan oleh suatu protein untuk mendapatkan konformasi alaminya (sebagai konsekuensinya akan menunjukkan aktivitas biologinya) adalah sekitar 5 0 % dari j u m l a h air y a n g diperlukan untuk membentuk selapis (monolayer) molekul air y a n g menutup p e r m u k a a n protein. Jadi hasil penelitian ini m e n d u k u n g pendapat Klibanov (1986), b a h w a hanya sejumlah kecil saja air yang diperlukan oleh suatu protein, yaitu sekitar selapis (monolayer) molekul air y a n g menutup permukaan protein, y a n g bersifat esensial untuk aktivitasnya. Beberapa peneliti y a n g lain j u g a melaporkan hal y a n g sama, yaitu b a h w a hanya sejumlah kecil air saja y a n g diperlukan oleh suatu protein untuk dapat melakukan aktivitas katalisisnya. N a m u n perlu diperhatikan b a h w a j u m l a h air esensial ini berbeda untuk enzim-enzim y a n g berbeda. Lebih lanjut, penelitian Z a k s dan Klibanov (1988) menunjukkan b a h w a j u m l a h air esensial y a n g diperlukan oleh suatu enzim tertentu tenyata dipengaruhi oleh jenis pelarut organik y a n g digunakan. Umumnya, enzim y a n g disuspensikan p a d a pelarut organik hidrofobik memerlukan air y a n g lebih sedikit daripada jika digunakan pelarut y a n g lebih hidrofilik. Penjelasan tentang hal ini diberikan oleh Z a k s dan Klibanov (1988), y a n g menyatakan b a h w a p a d a pelarut hidrofobik, air akan cenderung berpartisi ke dalam molekul enzim, sehingga w a l a u p u n hanya ada sedikit air di dalam pelarut ( < 1 % ) akan menyebabkan terjadinya akumulasi sampai sekitar 3 0 % air di molekul protein. Sebaliknya, pelarut hidrofilik kemungkinan akan menarik sebagian air esensial dari molekul enzim sehingga menyebabkan terganggunya aktivitas enzimatisnya. K a r e n a itu, untuk mengembalikan aktivitas enzim, m a k a perlu ditambahkan lebih banyak air, untuk terlebih dulu menjenuhkan pelarut hidrofilik y a n g digunakan. Jadi, pada dasarnya hal penting y a n g perlu ditekankan adalah konsentrasi air pada molekul enzim merupakan faktor yang sangat mempengaruhi aktivitas enzimatisnya.
Enzimatis
ke lingkungan, serta tentunya masalah biaya (Dordick, 1989). Dari berbagai faktor tersebut, yang mendapatkan perhatian sangat besar adalah masalah hidrofobisitas pelarut. Hidrofobisitas pelarut organik y a n g digunakan sebagai media reaksi enzimatis ini mulai menarik perhatian ketika L a a n e et al. ( 1 9 8 7 a ) mempublikasikan hasil penelitiannya. L a a n e et al. (1987a) menemukan b a h w a ada kecenderungan y a n g proporsional antara aktivitas katalisis y a n g tinggi dengan hidrofobisitas pelarut y a n g tinggi pula. Jadi, aktivitas katalisis y a n g tinggi u m u m n y a diamati pada pelarut y a n g hidrofobik, sementara pelarut yang hidrofilik tidak m e n d u k u n g munculnya aktivitas katalisis. D a l a m hal ini, hidrofobisitas suatu pelarut dapat dinyatakan secara kuantitatif dengan berbagai parameter, antara lain adalah parameter kelarutan Hildebrand (δ), konstanta dieletrika (ε), dipole moment (µ), dan nilai logaritma koefisien partisi (log P) . Telah ditunjukkan oleh L a a n e et al. (1987a,b) bahwa korelasi terbaik, antara aktivitas katalisis dan hidrofobisitas, diperoleh jika parameter hidrofobisitas y a n g dipakai adalah nilai log P dari pelarut yang digunakan. Nilai P diberi b a t a s a n sebagai koefisien partisi suatu pelarut p a d a suatu sistem dua fase yang terdiri dari 1-oktanol dan air ( P e r s a m a a n 1). Nilai P ini dapat ditentukan dengan mudah melalui percobaan atau pun dengan perhitungan mengg u n a k a n konstanta hidrofobisitas gugus-gugus atau fragmen-fragmen y a n g telah ditentukan sebelumnya (Rekker, 1977). Nilai log P untuk beberapa pelarut dapat dilihat p a d a Tabel di b a w a h ini.
Nilai log P suatu c a m p u r a n pelarut-pelarut dapat ditentukan dengan memakai r u m u s empiris yang diajukan oleh Hilhorst et al. ( 1 9 8 4 ) , proporsional dengan fraksi molar (X), sesuai dengan persamaan 2 berikut ini
Memilih Pelarut Organik Dalam memilih jenis pelarut organik, beberapa faktor perlu diperhatikan. Faktor-faktor itu antara lain adalah kelarutan substrat dan produk dalam pelarut, hidrofobisitas pelarut, reaktivitas pelarut, densitas, viskositas, tekanan p e r m u k a a n , toksisitas, mudah/tidaknya terbakar, masalah p e m b u a n g a n n y a
Nilai log P juga telah diusulkan untuk digunakan sebagai alat untuk menduga posisi baru keseimbangan suatu sistem reaksi dengan menggunakan sistem pelarut y a n g lain (Hailing, 1990).
55
J. Ilmu dan Tek. Pangan, 1996, Vol. 1 No. 1, hal 52-60
Katalisis Tabel 1. Nilai log P untuk beberapa m a c a m pelarut organik* )
*)
Pelarut dimetil sulfoksida dimetil formamida metanol asetonitril etanol propanol asam butirat pentanol kloroform pentana dekanol heptana fenol heptanol nonana heksana heksanol oktana asam heksanoat oktanol dekana dodekana heksadekana Laane et al. (1987a)
Log P -1,3 -1,0 -0,76 -0,33 -0,24
0,28 0,81 1,3 2,0 3,0 4,0 4,0 1,5 2,4 5,1 3,5 1,8 4,5 1,9 2,9 5,6 6,6 8,8
Pada umumnya, Laane et al. (1987a, b) menunjukkan bahwa aktivitas katalisis suatu biokatalisis adalah (i) tinggi p a d a pelarut dengan nilai log P >4 (misalnya dekanol, heksadekana, heptana, oktana), (ii) sedang p a d a pelarut dengan nilai log P antara 2 dan 4 ( misalnya heptanol, toluen, oktanol, heksana), dan (iii) rendah p a d a pelarut dengan nilai log P dibawah 2 (misalnya alkohol-alkohol rantai pendek serta pelarut organik larut air), beberapa penelitian setelah itu j u g a banyak y a n g mendukung kesimpulan yang dikemukakan oleh Laane et al. (1987 a,b) tersebut (Reslow et al., 1987; van Erp et al., 1991). Penjelasan u m u m y a n g sering diberikan atas fenomena ini adalah bahwa pelarut-pelarut y a n g mempunyai nilai log P <2 cenderung untuk mengganggu struktur enzim sehingga menyimpang dari konformasi aktifnya, atau menarik sebagian air esensial dari molekul enzim sehingga menyebabkan menurunnya aktivitas enzimatisnya ( L a a n e et al., 1987a,b; Zaks dan Klibanov, 1988; Chen dan Sih, 1989). Untuk pelarut organik dengan nilai log P >4 maka gangguan terhadap konformasi dan air esensial enzim tersebut tidak terjadi.
56
Enzimatis
W a l a u p u n demikian, penggunaan kriteria log P suatu pelarut untuk pemilihan pelarut organik tidak selalu tepat, khususnya jika dalam pelarut tersebut ditambahkan air. Seperti diketahui, penambahan air (pers. 2) akan selalu menurunkan nilai log P sistem pelarut. N a m u n , penurunan log P ini temyata menyebabkan kenaikan aktivitas enzimatik (Klibanov, 1986; Reslow et al., 1987). Jadi ke-gunaan log P sebagai kriteria untuk menduga kecocokan suatu pelarut digunakan sebagai media reaksi enzimatis tidak berlaku jika ke dalam sistem reaksi tersebut ditambahkan air. Lebih lanjut, b e b e r a p a peneliti menyarankan bahwa dalam memilih suatu pelarut maka perlu dipertimbangkan k a r a k t e r i s t i k keseluruhan sistem reaksi, khususnya pertimbangan tent a n g polaritas substrat dan p r o d u k reaksi, dan kemungkinan interaksinya dengan pelarut yang digunakan (Hailing, 1990; Y a n g et al., 1994). Pertimbangan tentang polaritas substrat, produk reaksi dan pelarut ini menjadi penting, terutama dalam hubungannya dengan pengendalian keseimbangan reaksi. Sebagaimana telah dikemukakan, salah satu nilai lebih dari penggunaan pelarut organik adalah adanya p e r u b a h a n kesetimbangan reaksinya y a n g akan lebih menguntungkan kelangsungan reaksi sintesis. Untuk suatu reaksi : A + B <=> C +D konstanta kesetimbangan pada suatu situasi pelarut tertentu dapat didefmisikan sebagai b e r i k u t :
dimana, tanda " a " dan " o " , berturut-turut menunjukkan sistem pelarut air dan sistem pelarut organik Rasio antara kedua konstanta kese-timbangan ter sebut diberikan oleh p e r s a m a a n 4, dimana P adalah koefisien partisi sebagaimana ditunjukkan oleh persamaan 1.
Jadi, secara teori kalau nilai koefisien partisi suatu pelarut diketahui, maka pengaruh sistem pelarut tersebut terhadap konstanta kesetimbangan dapat diprediksi sebelumnya (Hailing, 1990). Hal demikian tentunya bisa digunakan sebagai alat untuk memilih
J. Ilmu dan Tek. Pangan, 1996, Vol. 1 No. 1, hal 52-60
Katalisis jenis pelarut dikehendaki.
sesuai
dengan
tujuan
reaksi
yang
Pengaruh Pelarut Organik Pada Stabilitas Enzim Melakukan reaksi p a d a suhu tinggi adalah praktek yang biasa di industri-industri. Suhu tinggi dikehendaki pada proses katalisis industrial, bukan semata-mata karena suhu tinggi akan mengurangi tingkat kontaminasi, tetapi suhu tinggi j u g a akan mengurangi masalah-masalah viskositas dan sekaligus meningkatkan laju reaksi. Tetapi, pemakaian suhu tinggi ini menimbulkan masalah besar pada proses enzimatis karena enzim p a d a u m u m n y a bersifat labil oleh p a n a s . Industri p a n g a n sampai saat ini menggunakan enzim p a d a skala produksi pada suhu 50-65°C (yaitu untuk glukoamilase dan glukose isomerase) dan bahkan lebih tinggi lagi, sampai 85-110°C untuk proses hidrolisis pati dengan menggunakan α-amilase bakterial (Ahren dan Klibanov, 1987). Inaktivitasi enzim p a d a suhu tinggi disebabkan oleh paling tidak dua hal, yaitu adanya p e m b u k a a n parsial ( p a r t i a l unfolding) struktur molekul enzim dan perubahan struktur primer enzim karena adanya perubahan atau kerusakan a s a m - a s a m amino tertentu oleh p a n a s (Ahern dan Klibanov, 1987). Pada kedua hal itu, air selalu mempunyai peranan y a n g penting. Karena itu, jika air dikurangi seperti pada kondisi mikroakueus, m a k a bisa diharapkan bahwa reaksi inaktivasi oleh p a n a s itu akan diperlambat, atau dengan kata lain stabilitas termal p a d a kondisi mikroakueus akan meningkat. Bisa diduga, b a h w a stabilitas panas suatu enzim akan j a u h lebih tinggi pada kondisi kering daripada p a d a kondisi basah. Hal ini dibuktikan dengan adanya data-data y a n g mendukung. Z a k s dan Klibanov (1984) melaporkan bahwa, p a d a kondisi mikroakueus, lipase masih menunjukkan aktivitasnya p a d a suhu 100°C. Lebih lanjut, jika konsentrasi air p a d a sistem mikroakueus tersebut ditingkatkan, m a k a kestabilan termal lipase akan menurun dengan drastis (Zaks dan Klibanov, 1984). Hariyadi (1995) j u g a menunjukkan bahwa waktu paruh aktivitas lipase dalam pelarut heksana pada suhu 70, 90 dan 110°C, berturut-turut adalah 127, 19, dan 2,4 j a m .
En z imatis
media/pelarut. Konstanta dielektrika y a n g rendah dari pelarut organik akan meningkatkan ikatan elektrostatika dalam struktur molekul enzim yang akan meningkatkan stabilitas termalnya. Hipotesis ini telah didukung oleh data-data dari electron spin resonance (ESR) dan electron paramagnetic resonance (EPR), yang menunjukkan bahwa turunnya konstanta dielektrika suatu pelarut berkorelasi dengan semakin melebarnya spektrumspektrum E S R / E P R , y a n g menunjukkan bahwa molekul protein bersifat lebih rigid (Guinn et al., 1991). Burke et al. ( 1 9 8 9 ) j u g a menunjukkan hal serupa dengan menggunakan teknik N M R . Dilaporkan bahwa laju pergerakan bolak-balik residu H-tirosin dari protease di pelarut organik secara nyata lebih rendah ( 1 0 per detik) dibandingkan dengan pergerakan yang sama di media akueus ( 1 0 per detik; Burke et al., 1989). 2
3
7
Stabilitas termal lisozim p a d a suhu 100°C, misalnya, telah ditunjukkan akan j a u h lebih tinggi jika lisozim tersebut diinkubasikan dalam bentuk b u b u k kering atau dalam medium pelarut organik yang kering daripada jika digunakan pelarut air (Ahern dan Klibanov, 1987). Juga, stabilitas lipase p a d a s u h u l 0 0 ° C akan lebih besar (waktu paruh 12 j a m ) p a d a medium y a n g berisi tributirin kering (mengandung 0 , 0 1 5 % air, v/v) daripada stabilitasnya di medium air, dimana w a k t u paruhnya hanya beberapa detik saja (Zaks dan Klibanov, 1984). Teknik D S C (differential scanning calorimetry) j u g a telah digunakan untuk mengukur suhu transisi (yang menunjukkan suhu dimana terjadi perubahan konformasi protein) suatu enzim y a n g disuspensikan pada medium organik. Dengan menggunakan ribonuklease (RN ase) dalam bentuk bubuk dengan kadar air 16%, Volkin et al. ( 1 9 9 1 ) menunjukkan bahwa suhu transisinya adalah 92-104°C dengan puncak ( T m ) pada 99°C, jika disuspensikan di pelarut nonana anhidrous. Sedangkan enzim yang sama mempunyai nilai Tm 61 °C jika disuspensikan dengan pelarut air.
Lebih lanjut, adanya pelarut organik j u g a telah dihubungkan dengan adanya kenaikan rigiditas molekul enzim (Russel dan Klibanov, 1988, Guinn et al., 1991, Burke et al., 1989), y a n g mana peningkatan rigiditas tersebut akan meningkatkan stabilitas termal (Volkin et al.., 1991). Hal ini dapat dijelaskan dengan perbedaan konstanta dielektrika
Spesifisitas Enzim Pada Pelarut Organik Salah satu ciri keunggulan enzim sebagai katalis adalah adanya sifat-sifat spesifisitas. Dalam hal ini, lagi-lagi, air mempunyai peranan y a n g penting didalam menentukan karakteristik ikatan kompleks enzim-substrat yang akan menentukan spesifisitasnya. Karena pelarutnya tidak lagi air, maka lingkungan mikroakueus diharapkan akan rnerubah spesifisitas enzim.
57
J. llmu dan Tek. Pangan, 1996, Vol. 1 No. 1, hal 52-60
Katalisis Z a k s dan Klibanov ( 1 9 8 4 ) melaporkan b a h w a spesifisitas lipase, kimotripsin, dan substilisin terhadap substrat, secara nyata berubah dengan penggunaan pelarut organik. Ketiga enzim ini telah diketahui mempunyai sisi aktif y a n g bersifat hidrofobik. K a r e n a itu, p a d a media air, substrat nonpolar (yaitu ester-ester fenilalanin dan tirosin) lebih disukai untuk dihidrolisis daripada substrat y a n g lebih polar (ester-ester serin). Dilaporkan oleh Z a k s dan Klibanov ( 1 9 8 4 ) b a h w a di media air, kecepatan hidrolisis enzimatis atas ester-ester fenilalanin adalah 4 siklus logaritma lebih cepat daripada kecepatan hidrolisis enzimatis atas ester-ester serin. Sebaliknya, dengan menggunakan pelarut oktana, maka kecepatan hidrolisis enzimatis atas ester-ester serin adalah 20 kali lebih cepat daripada hidrolisis enzimatis atas ester-ester fenilalanin. D a l a m hal ini, perubahan spesifisitas enzim dipengaruhi oleh perubahan afinitas enzim-substrat y a n g sangat tergantung p a d a hidrofobisitas pelarut. P a d a pelarut air, maka interaksi hidrofobik-hidrofobik antara sisi aktif enzim dan substrat m e r u p a k a n hal y a n g secara termodinamika sangat menguntungkan. Sebaliknya, pada pelarut oktana m a k a substrat y a n g bersifat hidrofobik akan lebih cenderung berpartisi ke pelarut, daripada ke sisi aktif enzim. Karena itulah, maka ester-ester serin y a n g bersifat lebih hidrofilik akan mempunyai afinitas lebih besar untuk membentuk kompleks enzim-substrat, sehingga dihidrolisis lebih cepat. Beberapa peneliti y a n g lain j u g a banyak melaporkan adanya p e r u b a h a n spesifisitas dengan perubahan sistem pelarut y a n g digunakan. Kalo et al. (1988), misalnya, menunjukkan b a h w a lipase dengan spesifisitas sn-1,3 ternyata m a m p u melakukan transesterifikasi a s a m lemak p a d a posisi sn2, jika reaksi dilakukan dengan menggunakan isooktana sebagai pelarut. Lebih lanjut, seperti telah diutarakan dimuka, penggunaan pelarut organik telah diketahui menyebabkan meningkatnya rigiditas enzim, y a n g berarti meningkat pula rigiditas sisi aktif enzim y a n g bersangkutan. Hal ini ditunjukkan oleh Z a k s dan Klibanov (1984) y a n g mempelajari reaksi transesterifikasi dengan menggunakan lipase dari pankreas babi. Jika lipase y a n g digunakan dalam keadaan basah (kadar air 0 , 7 5 % v/v), ternyata lipase tersebut m a m p u melakukan transesterifikasi antara tributirin dan alkohol-alkohol primer, sekunder, dan tersier. N a m u n , jika lipase y a n g digunakan dalam keadaan kering ( 0 , 0 1 5 % , v/v), lipase tersebut hanya m a m p u melakukan transesterifikasi antara tributirin
58
Enzimatis
dengan alkohol primer dan sekunder saja, dan sama sekali tidak aktif dengan substrat alkohol tersier. Perubahan spesifisitas ini dijelaskan dengan adanya peningkatan rigiditas sisi aktif enzim, sedemikian sehingga sisi aktif ini telah kehilangan kemamp u a n n y a untuk mengakomodasikan substrat yang berukuran lebih besar (bulky). D i s a m p i n g p e r u b a h a n spesifisitas atau selektivitas terhadap substrat, pelarut organik juga diketahui dapat mempengaruhi selektivitas terhadap enansiomer-enansiomer substrat (Langrand et al., 1986; Koshiro et al., 1985). Selektivitas terhadap enansiomer (bentuk 1 dan d), biasanya dinyatakan sebagai bilangan kelebihan enansiomer, sesuai dengan p e r s a m a a n 5.
Kelebihan enansiomer dari suatu reaksi hidrolisis mentil laurat y a n g dikatalisis oleh lipase dari Candida rugosa diukur dan dibandingkan pada dua media reaksi y a n g berbeda, yaitu medium air dan medium heptana. Kelebihan enansiomer di medium air adalah 7 0 % , sedangkan di medium heptana mencapai 9 5 % (Langrand et al., 1986). Hal ini menunjukkan b a h w a lipase di media organik melakukan katalisis secara lebih persis, sehingga menghasilkan kelebihan enansiomer y a n g mendekati 100%. Penjelasan y a n g digunakan untuk menerangkan fenomena ini adalah bahwa pelarut organik akan menyebabkan peningkatan rigiditas enzim sehingga akan lebih menajamkan spesifisitasnya. Hal y a n g mirip j u g a dilaporkan oleh peneliti lain (Koshiro et al., 1985). Penutup Penelitian tentang enzimologi mikroakueus dengan menggunakan pelarut organik masih bisa dikatakan masih dalam t a h a p awal. Tetapi, kenyataan bahwa enzim t e m y a t a bisa dibuat aktif pada medium selain air, khususnya medium organik telah membuka peluang y a n g tidak sedikit untuk aplikasi enzim, tidak hanya di dalam bidang biokimia dan biologi, tetapi secara lebih luas ke industri kimia secara keseluruhan. H a r u s diakui b a h w a masih banyak hal y a n g tidak didiskusikan dalam tulisan ini. Begitu pula, masih banyak hal-hal mendasar tentang enzimologi mikroakueus y a n g belum terjawab sampai saat ini.
J. Ilmu dan Tek. Pangan, 1996, Vol. 1 No. 1, hal 52-60
Katalisis media. P h D Dissertation. Wisconsin-Madison, U S A
DAFTAR PUSTAKA
Ahern, T J dan Klibanov, A. M 1987. W h y do enzymes irreversibly inactivate at high temperature? Di dalam "Biotec 1 Microbial Genetic Engineering and Enzyme Technology' C P Hollenberg and H Sahm, Eds. G u s t a v Fischer Stuttgart, N e w York. p p . 131-136. 1
B n n k , L . E . S . dan T r a m p e r , J. 1985. Optimization of organic solvents in multiphase biocatalysis. Biotechnol. Bioeng. 27: 1258-1269. Burke, P A , Smith, S O , Bachavchin, W W , dan Klibanov, A.M. 1989. Demonstration of structural integrity of an enzyme in organic solvent by solid-state N M R . J. Am. Chem. Soc. 1 l l : 8290-8291. Chen, C.S dan Sih, C.J. 1989. General aspects and optimation of enantioselective biocatalysis in organic solvents : t h e use of lipase. Angew Chem. Int. Ed. Engl. 28: 6 9 5 - 7 0 7 . Creighton, T.E. 1991. Protein : Structure Molecular Principles. Freeman, N e w York.
and
Dordick, J. S. 1989. Enzymatic catalysis in monophasic organic solvents. Enzyme Microb Technol. 11: 194-211. Elliott, J. M 1990 Modification of butteroil by lipase-catalyzed acyl-exchange reactions in anhydrous media. Thesis Wisconsin- Madison.
University
of
Guinn, R M , Skerker, P S , Kavanaugh, P , dan Clark, D.S. 1991. Activity and flexibility of alcohol dehydrogenase in organic solvents. Biotech. Bioenng 37: 3 0 3 - 3 0 8 . Gupta, M. N. 1992. E n z y m e function in organic solvents. Eur. J. Biochem. 2 0 3 : 25-32 Hailing, P. J. 1990. Solvent selection for biocatalysis in mainly organic systems Predictions of effects on equilibrium position. Biotech. Bioeng. 3 5 : 6 9 1 - 7 0 1 .
Enzimatis
University
of
Hilhorst, R, Spruijt, R , Laane, C dan Veeger, C 1984. Rules for regulation of enzyme activity in reversed micelles as illustrated by conversion of apolar steroids by 20b-hydroxy-steroid dehydrogenase. Eur J. Biochem, 144 : 459-466. Kalo, P., Perttila, M, Kemppinen, A. dan Antila, M 1988. Modification of butter fat by interesterifications catalyzed by Aspergillus niger and Mucor miehei lipases Meijeritieteellinen Aikakauskirja X L V I , 0 1 , 36. Klibanov, A. M 1986 Enzymes that work in organic solvents. Chemtech. 16: 354-144. Koshiro, S , Sonomoto, K , T a n a k a , A , dan Fukui, S. 1985. Stereoselective esterification of dlmenthol by polyurethane entrapped lipase in organic solvent J. Biotechnol. 2: 47-57 Laane, C , Boeren, S , Hilhorst, R , dan 1987a. Optimization of biocatalysis media. Didalam " Biocatalysis media". C. Laane, J. T r a m p e r , dan Eds. Elsevier, Amsterdam.
Veeger, C . in organic in organic M . D Lilly,
Laane, C, Tramper, J , dan Lilly, M. D. ( E d s ) . 1987b. Biocatalysis in organic media Elsevier, Amsterdam Langrand, G, Baratti, J, Buono, G dan Traintaphlylides, C 1986. Lipase-catalyzed ester formation in organic solvents An easy preparative resolution of a-substituted cyclohexanols. Tetrahedron Lett. 26: 18571860 Neidleman, S L. 1990. T h e archeology of enzymology. Di dalam "Biocatalysys", D A . Abramowics, ed. Van Nostrand Reinhold, New York Nishio, T , Kamimura, M , M u r a t a , M , Terao, Y . dan Achiwa, K. 1988. Enzymatic transesterification with the lipase from Pseudomonas fragi 22.39 B in a non-aqueous reaction system J. Biochem. 104 : 681-682
Hariyadi, P. 1995. Synthesis of monoesters and mono- and diacylglycerols from butteroil by lipase-catalyzed esterification in microaqueous
Rekker, R. F. 1977 T h e Hydrophobic Fragmental Constant. Elsevier, Amsterdam
59
J. Ilmu dan Tek. Pangan, 1996, Vol 1 No.1, hal 52-60
Katalisis Reslow, M , Adlercreutz, P., dan Mattiasson, B . 1987. Organic solvents for bioorganic synthesis. 1. Optimation of parameters for chymotrypsin catalyzed process. Appl. Microbiol. Biotechnol. 26: 1-8. Rupley, J. A., Gratton, E dan Careri, G 1983. W a t e r and globular proteins. Trends Biochem. Sci. 8: 18-22. Russel, A.J. dan Klibanov, A . M . 1988. Inhibitorinduced enzyme activation in organic solvents. J. Biol. Chem. 2 6 3 : 1 1 6 2 4 - 1 1 6 2 6 .
Zaks, A
dan Klibanov, A. M.
Enzimatis
1984. Enzymatic
catalysis in organic media at 100°C. Science 224:1249-1251. Z a k s , A. dan Klibanov, A. M. 1988. T h e effect of water on enzyme action in organic media. J Biol Chem. 2 6 3 : 8 0 1 7 - 8 0 2 1 . Z a k s , A. dan Russell, A. J. 1988. Enzymes in organic solvents: properties and applications. J. Biotechnol. 8: 2 5 9 - 2 7 0 .
Selisko, B., Ulbrich, R. Schellenberger, A. dan Muller, U. 1990. Invertase-catalyzed reactions in alcoholic solutions. Biotechnol. Bioeng. 35 : 1006-1010. Sym, E. A. 1936. Action of esterase in the presence of organic solvents. Biochem J. 30: 6 0 9 - 6 1 7 . Tramper, J., Vermue, M. H . , Beeftink, H. H. dan von Stockar, U. ( E d s ) . 1992. Biocatalysis in nonconventional media. Elsevier, Amsterdam. Usui, T. dan M u r a t a , T. 1988. E n z y m a t i c synthesis of p-nitrophenyl a-maltopentaoside in an aqueous-methanol solvent system by maltotetraose-forming amylase: A substrate for h u m a n amylase in serum. J. Biochem. 103 : 9 6 9 972. van
Erp, S.H.M., Kamenskaya, E.O., dan Khmelnitsky, Y.L. 1 9 9 1 . T h e effect of water content and n a t u r e of organic solvent on enzym activity in low-water media. Eur. J. Biochem. 202: 379-384.
Volkin, D . B . , Staubli, A., Langer, R., dan Klibanov, A.M. 1991. E n z y m e tliermoinactivation in anhydrous organic media. Biotechnol. Bioeng. 37: 8 4 3 - 8 5 3 . Yang, B.K., K u o , S.J., Hariyadi, P. dan Parkin, K.L. 1994. Solvent suitability for lipase-mediated acyl-transfer and esterification reactions in microaqueous milieu is related to substrate and product polarities. E n z y m e M i c r o b . Technol. 16: 5 7 7 - 5 8 3 .
60
/. Hmu dan Tek. Pangan, 1996, Vol 1 No. /, hal 52-60