KATA PENGANTAR Segala puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dimana telah memberikan kemudahan dalam segala hal dalam penulisan skripsi ini, sehingga penulis mampu menyelesaikan tulisan
ini
yang
berjudul
“AKTIVITAS
DAKWAH
ISLAM
ANDI
MAPPETAHANG FATWA” Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa ajaran kebenaran yang hakiki yaitu Islam, dan juga ucapan terima kasih yang tiada terhingga kepada kedua orang tua penulis yaitu H. Ahmad Djailani, BA dan Hj. Maesaroh yang selama ini telah tulus merawat, mendidik, dan mencintai penulis dengan segenap jiwa dan raganya, serta mencurahkan segala perhatiannya dan melafadzkan doa di setiap waktu, selalu membangkitkan semangat saat ujian dan cobaan yang dihadapi penulis, dan juga beliau yang selama ini telah membimbing penulis dalam menjalani kehidupan yang tidak pernah penulis dapatkan di bangku pendidikan. Selain itu penulis menyadari betul tanpa doa, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, penulis tidak akan dapat menyelesaikan tulisan ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada : 1. Drs. Arief Subhan, MA sebagai Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi, serta para Pembantu Dekan I, Drs. Wahidin Saputra, MA, Pembantu Dekan II, Drs. Mahmud Djalal, MA, dan Pembantu Dekan III, Drs. Study Rizal Lolombulan Kontu, MA. Serta para Guru Besar dan Dosen-dosen yang telah mentransfer ilmu-ilmu yang bermanfaat
ii
bagi penulis selama duduk di bangku perkuliahan, dan juga segenap karyawan FDK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dra. Hj. Asriati Jamil, M.Hum, selaku Koordinator Teknis dan Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, MA selaku Sekertaris Jurusan pada Program Non-Reguler
Fakultas Dakwah dan
Komunikasi
UIN
Syarif
Hidayatullah Jakarta, serta kakak Fathoni, S.Sos.I 3. Hj. Umi Musyarofah, MA selaku Dosen Pembimbing yang juga menjabat sebagai Sekertaris Jurusan KPI yang telah memberikan motivasi, perhatian, masukan dan selalu bersedia meluangkan waktunya untuk membantu mengarahkan dan memberikan petunjuk pada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ilmiah ini hingga selesai. 4. Mantan Wakil Ketua DPR-RI dan MPR-RI yang sekarang menjadi Dewan Kehormatan DPD-RI sekaligus menjadi Anggota DPD-RI yaitu Dr. (HC) H. Andi Mappetahang Fatwa, dimana beliau sebagai Narasumber dalam penulisan ini, yang telah bersedia memberikan masukkan dan meluangkan waktu untuk bertemu serta berdiskusi dengan penulis dimana sebenarnya beliau memiliki jadwal yang sangat sibuk dan padat. 5. Bpk. Dr. Abdoel Fatah selaku Staf Ahli A.M. Fatwa di MPR-RI dan DPD-RI yang telah membantu penulis dengan memberikan seluruh data yang diperlukan penulis guna menyelesaikan tulisan Ilmiah ini.
iii
6. Kakak tercinta Ikhwanushofa, Amd yang selalu memberikan nasehat, masukan, dan kritikan untuk kebaikan penulis, dan juga Zaimah Adik tersayang yang sekarang sedang melanjutkan pendidikannya di bangku SMU. 7. Sahabat-sahabat Muhammad Jarmadi, S.Sos.I, Anas Ba Syarahil, M.Ag, Fery Fadly, S.Sos.I, Fathun Fajar, S.Pd, Qubil, S.Pd. Umar Halim, S.Sos.I, Ryan Abdilah, Nasrullah Nahrawi, Wildan Futuhi, Andiyas, M.Ervan, S.Sos.I, Abdurrahman SP, S.Sos.I, M. Syakur, S.Sos.I, Iqbal Reza,SE, Rina Agusnine,SE, Irma Istarizkizra, S.Sos.I, Julia Isna, SE, Sony Yaser, SH.I, Imadudin Nasution, S.Sos. Su’udi Dahri, Khoirul Anwar, Hery Rhomadona, Agin, Syauqilah, Mohalli, Mawardi, Danar, Fajar, Danang, Acit, dimana mereka semua yang telah memberikan motivasi bagi penulis sehingga tulisan ilmiah ini selesai. 8. Seluruh Alumni, Anggota dan Pengurus Keluarga Mahasiswa Betawi (KMB) Ahmad Fatahillah, SH.i, Imam Rhomdhoni, S.Hum, Ahmad Sahal, S.Hum, Fahmi Innayatullah, S.Th., Farhan Faris, SH.i, Ahmad Khudori, SH.i, Tarmizi Tohir,SH.i, Yayah Fauziah, M.Hum, Indah Septiarini M.Hum, yang telah membantu penulis selama ini. 9. Pegurus Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEM-U) dan Civitas Akademika KBM UIN Syarif Hidayatullah Periode 2006-2007, Periode 2007-2008 dimana penulis melakukan aktvitasnya dan dipercaya menjadi Menteri pada dua priode tersebut, sehigga penulis
iv
mendapatkan pengalaman yang luar biasa dan juga mendewasakan penulis di lingkungan kampus terutama di Organisasi. 10. Seluruh sahabat pergerakkan yang ada di PMII (Pergerakan Mahasiswa
Islam
Indonesia),
IMM
(Ikatan
Mahasiswa
Muhammadiyah), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), Forum Kota (FORKOT) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dimana seluruh sahabat tersebut memberikan kritikan dan menambah wawasan penulis selama ini. 11. Pengurus Lingkar Study M@kar tempat bernaung penulis, special thanks’ to : kabrut Kahfi, kabrut Jarwo, kabrut Abi, kabrut Hamdi, kabrut Sehan, karbrut Jamal, kabrut, Aan, kabrut Udi, dimana mereka menjadi pendengar dan tempat keluh kesah penulis dalam menjalani aktifitas sebagai mahasiswa. 12. OK Studio dimana sahabat Junaidi Syaifuddin, S.Sos.I, Nasuri, S.Sos.I, Edi Suyanto, S.Sos.I, Heri Susanto dan penulis berkreatifitas selama satu tahun ini diluar kesibukan kuliah. 13. Sahabat-sahabat KPI Reguler dan Non-Reguler serta Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu namun tidak mengurangi rasa bangga dan ucapan terima kasih sebesarbesarnya.
v
Dengan segala kerendahan hati, akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini menjadi buah karya yang bermanfaat bagi semua orang dan menjadi khasanah ke-ilmuan khususnya Komunikasi Penyiaran Islam. Amiiin….. Jakarta, 11 Januari 2010
Ihsan Suri
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................... i KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang .......................................................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................................... 10 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. 11 D. Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 12 E. Sistematika Penulisan ................................................................................ 13 BAB II LANDASAN DAN KAJIAN TEORI A. Pengertian Aktivitas .................................................................................. 14 1. Pemikiran ............................................................................................ 15 2. Kiprah ................................................................................................. 18 B. Pengertian Dakwah .................................................................................... 19 1. Tujuan Dakwah .............................................................................. 22 2. Unsur-unsur Dakwah ..................................................................... 23 a. Subjek Dakwah (Da’i) ........................................................ 23 b. Objek Dakwah (Sasaran Dakwah) ...................................... 25 c. Materi Dakwah ................................................................... 28 d. Metode Dakwah ................................................................. 29 1. Bi al-hikmah (Dengan Cara Bijaksana) ......................... 31
vii
2. Mauidzah Hassanah al-Hasanah (Dengan Cara Baik) .. 32 3. Mujadalah (Berdiskusi yang Baik) ................................ 33 e. Media Dakwah ................................................................... 35 C. Peluang dan Tantangan Dakwah di Indonesia ............................................ 37 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Subjek dan Objek Penelitian ...................................................................... 45 B. Waktu Penelitian ....................................................................................... 46 C. Teknik Pengumpulan Data ......................................................................... 46 D. Teknik Analisis Data ................................................................................. 46 BAB IV TEMUAN DAN ANALISA DATA A. Latar Belakang Keluarga dan Masa Kecil Andi Mappetahang Fatwa ....................................................... 48 B. Pendidikan dan Pengalaman Andi Mappetahang Fatwa ............................. 49 C. Dakwah Menurut Andi Mappetahang Fatwa .............................................. 59 D. Aktivitas Dakwah Andi Mappetahang Fatwa ............................................. 70 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................................... 90 B. Saran ......................................................................................................... 91 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 92
viii
LAMPIRAN-LAMPIRAN Nama Perihal Tempat Waktu
: Ihsan Suri : Wawancara dengan Drs. H. A.M. Fatwa : Gedung Nusantara 3 Lt, 9 Senayan Jakarta Selatan. :16 Juni 2009
Apa itu Dakwah menurut A.M. Fatwa ? Dakwah merupakan segala aktivitas yang bersifat mengajak atau menyeru kepada kebenaran dan kebaikan yang diajarkan agama dengan tujuan untuk menciptakan taraf kehidupan yang bahagia, baik di dunia maupun di akhirat. Kriteria Da’i yang ideal Menurut A.M. Fatwa? Seorang da’i disebut ideal tidak hanya memiliki kemampuan teknik dan kepandaian dalam menguasai materi dakwah, seperti pemahaman terhadap kandungan – dan – kefasihan membaca ayat dan hadis, tetapi juga harus mampu menampilkan keteladanan dalam kehidupan keseharian (dakwah bi al-hal). Selain itu, seorang da’ di tuntut untuk memahami perkembangan kontemporer agar dapat mengkontekstualisasikan ajaran-ajaran Islam, sehingga ajaran Islam dapat dijadikan sebagai rujukan dalam menyelesaikan masalah-masalah kehidupan nyata yang di hadapi oleh umat. Seorang da’i yang baik adalah yang dapat menampilkan wajah Islam yang memudahkan, bukan yang menyulitkan umat. Bagaimana metode yang tepat dalam menyampaikan dakwah Islam di Indonesia ? Setiap masyarakat memiliki tradisi dan budaya sendiri. Karena itu, metode dakwah yang tepat untuk berdakwah di Indonesia adalah metode yang dapat mengakomodasi budaya lokal masyarakat tanpa mendistorsi ajaran substansi Islam. Dengan demikian, masyarakat akan lebih mudah untuk memahami ajaranajaran Islam karena terasa menyentuh secara langsung kehidupan keseharian mereka. Media apa yang tepat untuk digunakan dalam mendukung penyebaran pesan dakwah ? Sekarang ini terdapat banyak sekali media yang dapat digunakan untuk berdakwah, tergantung segmen audiensinya. Jika untuk masyarakat awam, tentu saja dakwah bil-lisan dengan melakukan ceramah-ceramah di masjid, mushala, dan majelis ta’lim tetap relevan. Dan untuk menjangkau masyarakat luas, ceramah-ceramah tersebut bisa disebarkan melalui media elektronik. Namun, untuk masyarakat kelas menengah terpelajar, media massa cetak dan media lain dalam bentuk tulisan juga sangat efektif untuk menyampaikan pesan. Dan bagi
ix
masyarakat yang melek teknologi, tentu dakwah akan lebih mudah di akses melalui media internet, baik melalui blog, facebook, dan lain sebagainya. Yang jelas, media dakwah senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan para da’i dituntut untuk mengikuti perkembangan tersebut agar dapat menjangkau seluruh masyarakat yang membutuhkan bimbingan agama agar berada dalam rel yang digariskan.
Faktor apa saja yang menjadi pendukung dan penghambat aktifitas dakwah Islam di Indonesia ? Media-media yang sekarang ada merupakan faktor pendukung dakwah Islam, sehingga dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Bisa di katakan bahwa, saat ini, seluruh masyarakat tidak ada yang tidak memiliki akses media. Ini dari sisi kulutral. Dari sisi politik, sekarang sudah tidak ada lagi yang mencurigai setiap gerakan dakwah Islam. Bahkan negara saat ini sudah relatif memberikan kesempatan kepada setiap aktivitas dakwah. Dengan demikian, dapat dikatakan aktivitas dakwah saat ini tidak mengalami hambatan yang signifikan. Tergantung kemauan kuat para pendakwahnya saja. Bagaimana dinamika dakwah Islam di Indonesia hingga saat ini ? Di masa lalu, dakwah Islam pernah mengalami kecurigaan rezim. Sering kali dakwah Islam dianggap sebagai upaya penentangan terhadap ideologi negara. Tidak sedikit da’i yang sesungguhnya menyampaikan ajaran agama sebagaimana yang diyakini, diangap sebagai penentang ideologi negara, sehingga kemudian ditangkap dan dipenjarakan. Tapi saat ini, kejadian-kejadian semacam itu sudah tidak ada lagi. Kontribusi apa saja yang harus diberikan oleh seorang da’i dalam menyelesaikan persoalan di masyarakat di Indonesia sekarang ? Satu hal penting agar para da’i memiliki kontribusi yang signifikan dalam pembangunan umat adalah menjadi motivator yang baik. Umat Islam perlu diberi motivasi agar mereka menjadi umat yang maju. Motivasi tersebut sangat diperlukan mengingat sebagian umat Islam masih mengidap inferiority complex atau kompleks rendah diri. Umat harus di dorong untuk memahami ajaran Islam sebagai sumber nilai yang ingin menciptakan masyarakat yang berperadaban tinggi.
x
Nama Perihal Tempat Selatan. Waktu
: Ihsan Suri : Wawancara dengan Bpk. A.M. Fatwa : Kantor DPD RI, Gedung A Lt. 2 km 201, Senayan Jakarta : Kamis, 05 November 2009
Selama menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, bapak memposisikan diri sebagai politisi, da’i atau rakyat sipil? Sebenarnya memposisikan diri ketiga-tiganya, karena semuanya saling berkaitan. Amar ma’ruf akan lebih mengajak pada kebaikan atau kebenaran, dan saya sangat banyak memposisikan sebagai da’i ketika saya melawan ketidakadilan, karena saya melihatnya dari sisi rakyat yang harus membela dan dibela dengan menggunakan sarana politik, yang berarti bisa terkait dengan peran sebagai politisi. Jadi, saya memadukan antara dakwah dengan politik. Dakwah yang bersih akan membawa politik yang baik. Apa prinsip bapak untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar tersebut? Prinsip yang saya lakukan adalah Pertama, siapa saja yang berbuat baik dan benar harus di dukung, dan siapa yang berbuat tidak baik harus dikritik. Kedua, pada saat mengkritisi tidak melakukan kekerasan atau bahkan melanggar hukum, karena tindakan yang menyebabkan kerusakan (fasad) sangat bertentangan dengan Islam. Sedangkan islam adalah damai atau kedamaian. Dengan cara atau pendekatan apa bapak mengaplikasikannya? Pendekatan yang perlu digunakan adalah dengan al-akhlak al-karimah (akhlak mulia). Karena, seorang da’i harus memiliki akhlak yang mulia agar dapat menjadi contoh dan menjadikan dirinya sebagai contoh. dan juga, seorang politisipun harus memiliki fatsoen sehingga mampu menempatkan perbedaan pendapat secara proporsional. Harapan bapak dari perjuangan yang selama ini bapak jalankan dan bagaimana relevansinya saat ini? Harapannya, antara lain dari apa yang saya perjuangan selama ini dapat berarti dan bermanfaat bagi umat dan lingkungan, karena rahmatan lil ’alamin harus diwujudkan. Jadi relevansinya bagi kemashalatan umat dalam rangka melaksanakan ajaran Islam dengan damai dan merasa aman. Saat bapak menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, apa saja hambatan dan tantangan yang bapak rasakan?
xi
Banyak orang yang tidak sama presepsinya dan memandang sesuatu dari ”kacamata” kekuasaan atau ”kacamata” sendiri. Oleh karena itu diperlukan keberanian yang kuat, dan teguh dalam prinsip, namun tetap fleksible dalam pelaksanaan sampai tujuannya tersebut dapat dicapai. Dan juga, ada sebagian orang yang menempatkan dirinya sebagai superior dengan prasangka-prasangka yang tidak berdasar. Bagaimana menurut bapak gerakan dakwah Islam yang terjadi di Indonesia saat ini di tinjau dari metode dan sasaran? Dari segi metode harus terus dikembangkan, terutama dalam penggunaan teknologi komunikasi dan informasi serta penerapannya. dan juga sasaran dakwah harus di kategorikan sesuai dengan tingkat pendidikan, taraf hidup, tingkatan sosial dan sebagainya. Sehingga perlu adanya fokus materi yang disampaikan dan disesuaikan dengan kondisi khalayak sasaran. Selain itu dakwah bil hal harus menjadi perhatian utama, dan dakwah juga harus menyentuh segi kehidupan sehari-hari. Seperti apa perkembangan gerakan dakwah Islam di Indonesia ke depan dalam kaca mata bapak? Gerakan dakwah prospeknya kedepan akan jauh akan lebih baik dengan menggunakan metode-metode yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, artinya tidak selalu konservatif. Fenomena munculnya aliran-aliran sesat saat ini merupakan tantangan bagi para da’i untuk mencermatinya dan melakukan intropeksi, dari apa yang menjadi penyebabnya. Boleh jadi, saat ini seluruh dakwah yang disampaikan sangat kurang memperhatikan akar rumput permasalahan yang terjadi serta mengetengahkan empati atau perhatian kepada khalayak. Bagaimana seharusnya sikap praktisi agama dalam menyikapi setiap kedhzaliman yang di buat oleh pemerintahan? Harus bersikap kritis dan tegas, tetapi harus tetap santun. Sehingga bisa tercipta hubungan yang harmonis antara ulama (da’i) dan umaro. Dan semuanya harus bersikap aktif pro-aktif dengan terus memberikan masukan-masukan atau saran secara bijak dan modern. Menurut pembacaan bapak, dalam pemerintahan di mana seharusnya umat Islam memposisikan tempatnya guna terciptanya pemerintahan yang bersih? Seharusnya umat Islam harus menempatkan diri di posisi terdepan dan juga harus menjadi contoh yang baik, sehingga mendorong dan ikut mengajak umat untuk berbuat baik, serta selalu aktif mengawasi sesuai dengan porsinya masing-masing.
xii
Kapasitas apa yang harus dimiliki oleh aktivis keagamaan saat terjun dalam sebuah gerakan keagamaan? Menguasai ajaran agama dan ilmu lain (capable), secara moral dapat diterima oleh masyarakat (acceptable), serta harus memiliki wibawa dan di akui kompetensinya secara intelektual, emosional dan spiritual (credible). Dan juga harus memiliki citra yang baik dengan karakter yang meyakinkan. Di mana posisi pemerintah terhadap organisasi keagamaan di Indonesia? Sebagai Penjaga stabilitas, yaitu dengan cara membangun toleransi kehidupan antar umat beragama serrta mewujudkan persatuan antar pemeluknya (ukhuwah islamiyah).dan menjalin Persatuan bangsa (nasional) atau ukhuwah wathoniyah. Seperti apa pencitraan masyarakat dan media di Indonesia terhadap organisasi gerakan dakwah Islam? Pada umumnya, organisasi gerakan dakwah Islam sudah memiliki citra yang baik, artinya dari segi prilaku dan program-programnya juga baik dan bersikap toleran. Namun ada kelompok tertentu yang perlu mawas diri dan tidak mengangap dirinya sebagai kelompok yang paling benar, sehingga terkadang bersikap eksklusif terhadap sesama Muslim. Menurut bapak, Apakah perubahan (reformasi) di Indoneisa sudah terjadi atau hanya menjadi sebuah keniscayaan yang belum terlaksana? Saat ini reformasi sudah terjadi, namun harus terus berjalan untuk menyelesaikan yang masih tersisa. Oleh karena itu Susilo Bambang Yudhoyono menamakannya reformasi jilid II, karena masih banyak harus di teruskan terutama hal yang menyangkut soal moral dan etika. Harapan apa yang sampai saat ini bapak harapkan terjadi dari sebuah gerakan keagamaan? Harapan saya agar gerakan keagamaan semakin kuat dalam menjaga koridor toleransi (tasamuh), ukhuwah basyariah (wawasan egalitarium), ukhuwah wathoniyah (toleransi beragama dan kebersamaan-bangsa). Ada lima hak dasar umat manusia menurut Islam yaitu : Hifdh al-hayat (perlindungan kehidupan), hifdh al-syaraf (perlindungan kehormatan), hifdh alnasl (perlindungan keturunan), hifdh al-mal (perlindungan harta benda) , dan hifdh al-din (perlindungan terhadap agama dan kepercayaan). Bagaimana bapak menyimpulkan hasil perjuangan bapak sampai ini? Perjuangan saya selama ini tidak akan berhenti selama hayat masih di kandung badan. Apa yang saya capai hanyalah sebuah hasil dari kewajiban sebagai seorang
xiii
muslim yang berjiwa nasionalis, terutama dalam mengamalkan ajaran agama dalam upaya mewujudkan rahmatan lil ’alamin.
xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlu terlebih dahulu penulis jelaskan bahwa skripsi ini merupakan sebuah karya ilmiah yang dibuat guna menyelesaikan persyaratan menjadi sarjana pada jenjang pendidikan strata satu (1) jurusan Komunikasi Penyiaran Islam di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini akan membahas tentang gerakan atau aktivitas salah seorang tokoh agama besar di Indonesia yang lahir dari sebuah rahim organisasi keagamaan bernama Muhammadiyyah, yaitu Andi Mappetahang Fatwa yang lahir di Mare, Bone, Sulawesi Selatan pada tanggal 12 Februari 1939. Dalam penyampaian pesan dakwah kepada orang awam tentunya berbeda cara dengan orang-orang akademisi. Menyampaikan pesan dakwah kepada orang awam harus lugas dan menggunakan bahasa yang dapat mereka pahami. Sedangkan kepada orang akademisi atau intelektual, harus ada pendekatan tersendiri agar mereka dapat memahami apa yang disampaikan oleh seorang da’i. Hal inilah yang menjadi salah satu esensi dalam aktivitas dakwah dan komunikasi (make to common). Bila pesan yang disampaikan oleh seorang da’i tidak dapat dimengerti oleh mad’u atau komunikan, maka bisa dibilang dakwah yang dilakukannya gagal dan sia-sia belaka. Kata dakwah merupakan bentuk masdar dari kata da’a, yad’u, da’watan (dakwah), yang berarti ajakan. Ini merupakan mauzun (yang menyerupai) dari
xv
wazan fa’ala, yaf’ulu, fa’lan (tsulatsi mujarad). Memang banyak para pakar yang mendefinisikan tentang dakwah, tetapi pada hakikatnya memiliki maksud yang sama, yaitu sebuah ajakan. Dakwah merupakan kewajiban bagi setiap individu untuk menyerukan kebenaran agama Islam dan mengajak masyarakat di manapun mereka berada menuju jalan yang diridhai oleh Allah SWT (siroth al-mustakim). Masalah ini juga sebagaimana pernah disinggung oleh M. Natsir: “Islam sebagai agama mempunyai dua dimensi, yaitu keyakinan atau aqidah dan sesuatu yang diamalkan atau alamiah. Amal perbuatan tersebut merupakan perpanjangan dan implementasi dari aqidah itu sendiri. Islam adalah agama risalah untuk manusia keseluruhan. Umat Islam adalah pendukung amanah untuk melaksanakan risalah dengan dakwah baik kepada umat yang sama maupun kepada umat yang lain, ataupun selaku perseorangan maupun kolektif, di tempat manapun ia berada, menurut kemampuan masing-masing.”1
Bentuk aktivitas dakwah sangat variatif. Karena itu dakwah bisa dilakukan: melalui lisan (bil lisan), tulisan (bil qalam), maupun perbuatan (bil hal).2 Masing-masing cara ini memiliki keunggulan dan kelemahannya sendiri sebagai sebuah pendekatan dalam aktivitas berdakwah. Selain itu, menurut sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa dakwah pun bisa dilakukan cukup dengan hati. Dalam proses penyampaian pesan dakwah, seorang da’i memerlukan simbol (alat) untuk mentransformasikan pesan dakwah kepada khalayak, agar masyarakat mengerti dengan apa yang seorang da’i sampaikan. Simbol itu adalah bahasa. Meminjam istilah James W. Carey bahwa “communication is a symbolic process.”3
1
M. Natsir, “Fiqhudh Dakwah,” (Jakarta: Media Dakwah, 1983), Cet. Ke-4, h. 110.
2 J. Suyuti Pulungan, “Universalisme Islam,” (Jakarta: PT. Moyo Segoro Agung, 2002), Cet. Ke-1, hal. 65. 3 Idi Subandi Ibrahim, ed., “Cultural and Communication Studies,” (yogyakarta: Jalasutra, 2004),Cet. Pertama, hal. x.
xvi
Tanpa bahasa tidak akan mungkin manusia bisa mentransformasikan ide, gagasannya, dan keinginannya kepada masyarakat. Jika hal ini terjadi, maka manusia sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain akan musnah. Manusia sebagai makhluk sosial tidak boleh tidak berkomunikasi. Karena menurut Wilbur Schramm manusia adalah “the communication animal”.4 Seperti yang kita bahas sebelumnya, bahwa kita umat Islam harus selalu menyampaikan ajaran Islam yang merupakan kewajiban kita semua, guna menyerukan yang hak dan memerangi yang batil di muka bumi. Dalam kerangka epistemologinya, dakwah memiliki sistem. Sistem ini saling berkesinambungan antara satu dengan yang lainnya, yaitu:
da’i, mad’u, materi dakwah, media
dakwah, metode dakwah, dan tujuan dakwah. Jika aktivitas dakwah ingin berjalan dengan baik, maka keenam sistem tersebut harus diperhatikan (seiring berjalan). Apabila salah satu di antaranya tidak terpenuhi, maka secara otomatis aktivitas dakwah tidak akan berjalan dengan baik. Sejak era reformasi yang membuka peluang kehidupan dakwah agak lebih longgar dibandingkan zaman Orde Baru yang diktator dan militeristik. Keterlibatan para da’i pada aktivitas politik praktis telah membuat wawasan terhadap keislaman mereka menjadi semakin dangkal dan menyempit, bahkan terkadang kacau, karena seluruh perhatian, waktu, pikiran dan bahkan mimpi-pun terfokus pada masalah politik praktis. Banyak fakta telah membuktikan bahwa keterlibatan ribuan kader dakwah di parlemen (legislatif) sejak sepuluh tahun 4
Toto Asmara, “Komunikasi Dakwah”, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1957), Cet. Ke-
2, hal. 6.
xvii
belakangan, belum mampu memberikan pengaruh yang berarti dalam sistem pemerintahan ”jahiliyah”, apalagi untuk melakukan perubahan yang signifikan, kendati beberapa kader dakwah yang sudah menjabat di eksekutif sebagai menteri, walikota, bupati dan sebagainya. Sebaliknya, yang terpengaruhi sistem atau prilaku yang kontra dengan nilai-nilai dakwah mulai bermunculan. Kalau kita tanyakan, mereka hanya akan berkata ”untuk melakukan perubahan atau perbaikan itu tidak semudah membalikkan telapak tanganí, atau dengan dalil ”kelompok kita (orang yang beragama Islam) masih minoritas di parlemen dan eksekutif”. Dan lebih di perparah lagi yaitu syahwat harta dan kekuasaan mereka lebih dominan ketimbang strategi, ikhtiyar, dan kreatifitas dakwah yang mereka lakukan. Disamping itu, mereka tidak mau membuka pintu diskusi dan dialog secara ilmiah. Pintu dialog dengan mereka seakan-akan tertutup mati. Sebaliknya kritik dan kajian ilmiah pun dianggap sebagai dosa yang bernama ”najwa” (berbisik-bisik) dab berbagai label negatif lainnya. Sosok A.M. Fatwa yang sudah mendapatkan pendidikan agama sejak dini dari keluarganya dan sangat senang membaca buku-buku karangan Buya Hamka ini sudah memulai aktivitas dakwahnya sejak tahun 1959. Tokoh yang hidup di empat zaman ini (penjajahan, orde lama, orde baru, dan reformasi) dan telah melewati lika-liku dalam perjalanan dakwahnya guna menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dengan gigih dan pantang menyerah. Banyak sekali tembok-tembok raksasa kezoliman yang ia coba hancurkan, baik yang hadir dari kultur masyarakat, pemerintahan, dan lingkungan di sekitarnya demi menegakkan yang hak.
xviii
Visualisasi
aktivitasnya
ini
bisa
kita
lihat
mulai
dari
sejarah
perlawanannya terhadap tindakan klenis masyarakat di sekitar rumahnya, yang sering melakukan ritual-ritual persembahan (animisme) dan tidak sesuai dengan ajaran Islam seperti membuat sesaji untuk para dewa agar panen padi bisa melimpah. A.M. Fatwa selalu merusak altar sesaji dan menyirami dengan air seninya sendiri. Perlawanannya terhadap kemunkaran tidak berhenti di situ saja, sebagai warga sekaligus tokoh muslim di Indonesia, A. M. Fatwa sangat kritis terhadap pemerintahan yang lalim. Hal ini sudah ia lakukan sejak duduk di bangku kuliah, di antaranya melawan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan seperti kebobrokan pemerintahan baik di masa orde lama maupun orde baru yang pada saat itu mencoba ia bongkar saat dipercayai menjadi khatib hari raya Idhul Fitri saat shalat ied tahun 1080 H di lapangan Oerip Soemohardjo, Jatinegara, dan diakhiri penangkapan oleh Pangdam Jaya Norman Sasono terhadapnya. Aktivitas dan gerakan dakwah yang ia lakukan terhadap lingkungan di sekitarnya hingga kini masih konsisten beliau lakukan dengan berbagai cara, yaitu bil lisan, bil hal, dan bil qalam. Dakwah bil lisan atau dengan perkataan ia lakukan dengan cara memberikan teguran yang baik dan mengingatkan kepada rekan dan sahabatnya yang akan dan sedang membuat maksiat. Dakwah bil hal atau dengan tindakan ia lakukan dengan memberikan contoh dan mengamalkan segala hal yang diperintahkan oleh agama sepeti shalat, puasa, zakat, dan sebagainya.
xix
Sebagai muslim yang memiliki wawasan dan ilmu yang luas, A. M. Fatwa juga cukup produktif menulis buku guna menyebarkan gagasan dan nilai-nilai kebaikan bagi kemaslahatan masyarakat luas, khususnya umat Islam. Banyak sekali buku-buku karyanya yang ditulis dan disebarkan luaskan, baik itu buku umum maupun bernafaskan Islam, di antaranya: Dulu Demi Revolusi, Kini Demi Pembangunan; Ekspresi di Pengadilan (1985), Islam dan Negara (1995), Dari Mimbar ke Penjara (1999), Demokrasi Teistis (2001), Catatan Dari Senayan (2004), dan masih banyak lagi yang lainnya. Sebagai orang Islam dan warga negara Indonesia yang peduli dengan nasib rakyat serta keadaan dan kondisi bangsa yang dipandangnya sangat tidak adil, sehingga Ia menanamkan dalam dirinya jiwa nasionalis yang militan, A. M. Fatwa merupakan salah satu tokoh yang sampai saat ini masih konsern dan memiliki giroh power full dalam menyebarkan ajaran Islam melalui pemikiran-pemikiran dan khutbah-khutbah yang disampaikannya dari mimbar ke mimbar. Bahkan sekarang ini beliau banyak menyuarakan (melaui tulisan-tulisannya) kebobrokan sebuah sistem pemerintahan di Indonesia yang tidak mengacu pada nilai-nilai hakiki. “Mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya”, inilah kalimat terakhir yang ditorehkan secara kuat oleh A. M. Fatwa dalam bukunya ”Dari Mimbar ke Penjara”. Perjalanan panjang dan melelahkan dari penjara ke penjara untuk menemukan sebuah keadilan bagi masyarakat luas yang ia lakukan sepertinya mengacu pada firman Illahi tersebut. Kita memang tidak dapat menukik ke dalam sanubari A.M. Fatwa dan ikut bersamanya menyelami
xx
kepahitan hidup yang pernah dilaluinya dan cahaya yang kemudian menyinarinya. Hanya saja beliau pernah melontarkan sebuah ungkapan bahwa: “Barangkali memang kita harus menemukan kembali identitas religiussosiologis dari agama fitrah (Islam) ini, sebagaimana terwujud dalam misi para nabi, ‘Menolong orang yang lemah, miskin, sakit, janda, lumpuh, telantar, yatim, terlilit utang, yang dipenjara, dan sebagainya yang termasuk katagori duafa,” ujarnya saat mengakhiri penulisan buku tersebut.” 5 A. M. Fatwa yang multi talenta ini tidak hanya dikenal sebagai seorang da’i, namanya di dalam dunia perpolitikan Indonesia mungkin sudah tidak asing lagi. Sosok pribadi beliau yang merupakan salah satu tokoh politik yang agamis dan produktif hingga saat ini, tetap dan terus menyuarakan pemikiran dan pengamatannya melalui tinta dan catatan yang kemudian disebarluaskan dalam bentuk buku. Berbekal banyak pengalaman pahit serta pengamatan terhadap persoalan masyarakat membuatnya tergerak untuk merubah keadaan sekarang menjadi lebih baik agar tidak terulang lagi kelaliman yang pernah dilakukan oleh orde baru berserta kroninya selama 32 tahun lamanya. A.M. Fatwa pun sebenarnya sangat mengharapkan muncul kembali da’ida’i yang lebih berkompeten dan mampu mengikuti perkembangan zaman terutama di bidang teknologi informasi, karena saat ini dimana era yang serba praktis, seorang da’i mampu menjawab tantangan perkembangan zaman. Apabila hal ini di biarkan, maka yang terjadi adalah proses penyebaran ajaran agama islam semakin ternggal jauh, dan umat akan melupkannya atau bahkan bisa di belokkan ajaran Islam. Dimana saat ini, banyak ajaran-ajaran yang mengatasnamakan ajaran
5
A.M. Fatwa “Dari Mimbar ke Penjara” (penerbit : Terraju Jakarta) 1999
xxi
Islam tetapi banyak di belokkan dengan berbagai dalil guna meyakinkan umat yang pemahaman agamanya sangat sedikit. Dalam hal ini, aktivitas dakwah yang dilakukan A. M. Fatwa merupakan salah satu bentuk usaha menyampaikan pesan (message) yang bisa disebut sebagai kebenaran. Di mana ia menyampaikan apa yang ada dalam pemikirannya (melalui penggalian, pengamatan, dan pengalaman) untuk diberikan kepada masyarakat luas atau khalayak guna menciptakan suatu kondisi yang biasa disebut adil dan makmur. Ciri khas atau gaya dakwah yang dilakukan A. M. Fatwa adalah terletak pada metodenya yang persuasive dan tujuannya, yaitu mengharapkan terjadinya perubahan atau pembentukan akhlak juga tingkah laku yang sesuai dengan ajaranajaran agama Islam. Sebagaimana Rasulullah bersabda: ''Berkatalah dengan baik, atau diam'', merupakan substansi dalam kegiatan dakwah yang dilakukannya. Orientasinya kepada penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia (Human Oriented), dimana setiap bentuk dawah tersebut adalah mutlak menghargai prinsip-prinsip humanisme. Tidak dibenarkan sama sekali dalam prinsip ini adanya cara yang bersifat memaksa (coersive) dan juga dengan cara kekerasan. Karena dakwah merupakan aktivitas yang mulia dan sangat dianjurkan dalam agama. Jadi, dakwah harus dilakukan dengan penuh hikmat dan totalitas. Sebagaimana Allah anjurkan dalam salah satu firman-Nya dalam Al-Qur'an surat surat An-Nahl ayat 125 yang berbunyi:
☺ !
xxii
☺
%' ()*! $ "# 56 4 0#123 / +,-. 5; 0☺ 9%:13 8/ 7 9%:13 8/! $ <3 0 @;A =>(?1'☺
Artinya : "Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehatnasehat yang baik dan bertukar fikiranlah dengan cara yang lebih baik Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan dia-Lah yang mengetahui siapa yang terpimpin". {Q.S. An-Nahl 125}
Atas dasar ini dapat kita katakan bahwa dakwah merupakan proses komunikasi keagamaan yang memiliki nilai transenden walaupun tidak semua proses komunikasi merupakan proses dakwah. Dengan demikian, dakwah itu merupakan suatu bentuk komunikasi yang khas dan mengandung unsur-unsur Ilahiyah, serta bertujuan mengajak umat manusia menuju jalan yang diridhai oleh Allah SWT untuk keselamatan umat manusia di dunia dan akhirat. Dakwah yang dilakukan oleh para da’i yang berakhlak mulia adalah sebuah usaha yang dahulu dilakukan oleh para an-biya. Jika dakwah dijalankan dengan keyakinan dan keikhlasan, maka seorang da’i akan menuai sesuatu yang tak ternilai, yaitu ridha Ilahi. Sebagai seorang da’i dan politikus, A. M. Fatwa merupakan sosok yang cukup diperhitungkan dalam konsistensinya menjalankan aktivitas dakwah hingga saat ini. Meskipun beliau saat ini lebih sering eksis dalam dunia politik, kegiatan dakwahnya tidak pernah ditinggalkan dari prinsip kehidupannya kesehariannya. Dua aktivitas yang digelutinya seperti sudah mendarah daging dan sulit dipisahkan dalam kehidupannya sehari-hari.
xxiii
Meminjam istilah Muhammad Natsir, politik baginya adalah pelaksanaan al-amru bi al-ma’ruf wa al-nahyi ‘an al munkar. Dalam kegiatan dakwah, komunikasi merupakan suatu variabel yang tidak dapat terpisahkan. Terdapat pararelisme yang sifatnya saling mengisi dan melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Dalam melakukan aktivitas dakwah, harus ada metode komunikasi yang tepat dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah. Oleh karena itu, metode ini harus diperhitungkan secara matang. Karena boleh jadi metode menjadi lebih penting daripada isi pesan yang ingin disampaikan oleh para da’i saat ingin menyampaikan pesan-pesan dakwah. Dan akhirnya, tujuan penulis membuat Skripsi ini tiada lain adalah ingin menelusuri dan melihat secara mendalam bagaimana gagasan dan aktivitas dakwah yang dilakukan oleh A. M. Fatwa lewat pembahasan skripsi yang penulis sajikan dengan judul ”Pemikiran dan Kiprah Dakwah Andi Mappetahang Fatwa.”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah a. Pembatasan Masalah Penilitian skripsi ini dimana penulis melakukan penelusuran tentang bagaimana dakwah yang dilakukan oleh Andi Mappetahang Fatwa, baik secara teoritis maupun praktik sejak tahun 1979 hingga 2009. b. Perumusan Masalah Perumusan masalah yang penulis angkat di dalam skripsi ini adalah tentang pemikiran dan kiprah dakwah AM Fatwa yang terdiri dari : 1. Apa gagasan A. M. Fatwa tentang Dakwah?
xxiv
2. Bagaimana kiprah dakwah yang dilakukan oleh AM Fatwa?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui apa saja gagasan Andi Mappetahang Fatwa tentang Dakwah. 2. Bagaimana
kiprah
dakwah
yang
telah
dilakukan
Andi
Mappetahang Fatwa. b. Manfaat penelitian ini adalah : 1. Segi Akademisi Hasil penelitian ini penulis harapkan dapat menambah dan memperkaya wawasan penulis khususnya, dan semua pembaca pada umumnya. 2. Segi Praktisi Hasil Penelitian skripsi ini diharapkan dapat menjadi acuan dan referensi bagi kalangan teoritis, praktisi dan aktivis yang konsern pada kajian dakwah dan komunikasi khususnya, dan umumnya bagi para praktisi dakwah dan politik yang menjadikan jabatan
pemerintahan
sebagai
menyebarkan ajaran Islam.
D. Tinjauan Pustaka
xxv
medium
untuk
berdakwah
Dakwah dan komunikasi merupakan dua buah disiplin ilmu yang memiliki keterkaitan yang sangat erat di dunia akademisi. Kedua disiplin ini memiliki sebuah pembahasan yang khas dan saling berkaitan antara satu sama lain. Dalam skripsi ini penulis membahas tentang pemikiran dan aktivitas dakwah Andi Mapetahang Fatwa. Objek pembahasan ini memang pernah disusun oleh Muhajir Arief Rahmani salah satu mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul ”Pemikiran, Pergerakan Dakwah dan Politik A. M. FATWA” yang disusun pada tahun 2006. dimana yang membedakannya adalah hasil yang di dapatkan oleh penulis terutama data di lapangan ”field research” saat penulis mengikuti aktifitas yang dilakukannya dan juga buku-buku yang baru di terbitkan sejak 2007, dimana buku yang terbitkannya merupakan kumpulan dari pemikiran dan perjalanan beliau yang belum pernah di tulis dibuku sebelumnya. Dan penulis mendapatkan data baru berdasarkan buku-buku ”library research” yang merupakan buah karya A.M. Fatwa. Dalam skripsi ini penulis kemudian menjadi tertarik mengangkat objek yang sama dengan judul yang agak berbeda, yaitu tentang apa dan bagaimana pemikiran serta kiprah dakwah yang dilakukan oleh A. M. Fatwa saat ini seiring dengan berubahnya kondisi Indonesia. Di sini penulis ingin menyusuri bagaimana implementasi pemikiran dakwah A. M. Fatwa ketika dikongkritkan dalam sebuah tindakan praktis. Karena itu, penulis coba mengupasnya dengan judul ”Pemikiran dan Kiprah Dakwah A. M. Fatwa.”
E. Sistematika Penulisan
xxvi
Untuk mengetahui secara global tentang penulisan ini, maka sistematika penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut : Bab I. : Berisi PENDAHULUAN yang mencakup latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan. Bab II : Berisikan LANDASAN DAN KAJIAN TEORITIS mengenai pokok pembahasan tentang Pemikiran dan Kiprah Dakwah Bab III : Memberikan
gambaran
umum
tentang
METODOLOGI
PENELITIAN yang digunakan. Bab IV : ANALISA DATA DARI AKTIVITAS DAKWAH ISLAM yang dilakukan H. Andi Mappetahang Fatwa dari pertama kali berdakwah hingga sekarang ini. Bab V : Merupakan bab PENUTUP yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
xxvii
BAB II LANDASAN DAN KAJIAN TEORI Aktivitas merupakan sebuah kegiatan dari pemikiran maupun kiprah dimana dapat menghasilkan atau menciptakan sebuah nilai yang positif atau negatif. Dan hal tersebut dapat dikatakan sebagai aktivitas apabila kegiatan tersebut dilakukan secara terus menerus dan menimbulkan effek dan memiliki pengaruh yang besar maupun kecil terhadap sesuatu yang dilakukannya. Dalam hal ini, aktivitas dapat dikatakan sebagai sebuah pemikiran apabila dapat dipahami dan dimaknai apapun bentuknya. A. Pengertian Pemikiran Berfkir merupakan aktivitas yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Selama kesadaran terjadi, selama itu pula aktivitas berfikir berlangsung. Objek pemikiran pun sangat luas, seluas wilayah jagad raya ini. Untuk itu, otak yang dipandu nilai, ibarat pengembara di padang luas berjalan tanpa arah, bisa dianggap dan bahkan bisa dikatakan tersesat daripada selamat. Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata “pikir” mempunyai arti akal budi, ingatan, angan-angan; dan kata dalam hati, pendapat (pertimbangan). Sedangkan kata “berpikir” diartikan menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu dengan menimbang-nimbang dalam ingatan. “Memikirkan” arti mencari daya upaya untuk menyelesaikan sesuatu dengan menggunakan akal budi. “Pemikiran” adalah cara atau hasil dari pikir. Karena “pikir” berasal dari bahasa arab fikr, tentu akan lebih utama jika merujuk kepada asal usul bahasa.
xxviii
Kata fikr terdiri dari huruf fa’( ;) فkaf ( ) كdan ra’( ) ر, dari bentuk fi’l; fikara-yafkiru, artinya “menggunakan akal untuk sesuatu yang di ketahui, untuk mengungkapkan perkara yang tidak diketahui”. Dari kata fikr timbul tafkir (dari fakkara-yufakkiru), yang artinya “memfungsikan akal dalam suatu masalah untuk mendapatkan pemecahannya” (Al-mu’jam Al-Wasiith). Ada beberapa pendapat atau pengertian yang dikemukakan oleh para ahli pikir. Tidak ada perbedaan yang mendasar diantara mereka, definisi atau ta’rif itu sebagai berikut : •
Pemikiran atau berfikir adalah kata benda dari aktivitas akal yang ada di dalam diri manusia, baik kekuatan akal berupa qalbu, roh, atau dhzin, dengan pengamatan atau pendalaman untuk menemukan makna yang tersembunyi dari persoalan yang dapat diketahui, maupun untuk sampai pada hukum atau hubungan antar sesuatu (Toha Jabir AlAlwani, 1989). (Referensi Toha Jabir Al-Alwani, Dr.t.t., Krisis Pemikiran Modern Diagnosi dan Resep Pengobatan. LKPS. T.k,)
•
Menurut Ibnu Khaldun (1986), berfikir atau fikr ialah penjamahan bayang-bayang yang telah di indra – di balik perasaan – dan aplikasi akal di dalamnya untuk membuat analisis dan sintesis (Ibnu Khaldun, 1986).
-
Muhammad Imarah (1994), mengatakan bahwa “pemikiran” secara terminologi adalah pendayagunaan pemikiran terhadap sesuatu dan sejumlah aktivitas otak, berupa berpikir, berkehendak, dan perasaan
xxix
yang bentuk paling tingginya adalah kegiatan menganalisis, menyusun, dan mengkoordinasi. Dari beberapa makna dan pengertian berpikir tersebut, kita dapat mengetahui bahwa dalam berpikir terdapat beberapa hal, yaitu : 1. Adanya kegiatan atau aktivitas akal budi yang berupa pengamatan, perenungan, analisis, dan sintesis. 2. Adanya “sarana” yang berupa indra, akal, dan hati (roh). 3. Adanya sesuatu yang telah diketahui. 4. Adanya sesuatu yang akan diketahui atau dihasilkan berdasarkan hal-hal yang telah diketahui. Pengertian berpikir sangat dikenal oleh para mufakkir adalah yang dikemukakan oleh Imam Ghazali. Pengertian yang dikemukakannya lebih praktis dan operasional. Beliau mengatakan,6 “Ketahuilah, berfikir itu menghadirkan dua makrifat (premis, pernyataan, tinjauan, aspek) yang mendahuluinya. Jika permasalahannya lebih luas, maka semakin banyak premis atau makrifat yang dikemukakan, kesimpulannya akan semakin kuat. Dari
definisi
Al-Ghazali
tersebut,
dapat
pula
dipahami
bahwa
menyimpulkan sesuatu hanya dengan satu premis (makrifat/mukadimah), besar kemungkinannya tidak akan bisa sampai pada hakikatnya; atau dengan kata lain, tidak akan memperoleh konklusi yang benar dan valid. Jika benar, hanyalah sebuah kebetulan dan kadang bersifat parsial. Karena itu, ia belum atau tidak dapat mempertanggungjawabkan secara ilmiah. 6
Sebagaimana di kutip oleh Dr. Thoha Jabir Al-Alwani dalam Krisis Pemikiran Modern Diagnosis dan Resep Pengobatannya (1989), dan M. Yaqzhan dalam Anatomi Budak Kufar (1993).
xxx
Kita sedikit mencerna dan memahami bahwa pemikiran adalah sebuah pendayagunaan otak dengan menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu ; menimbang-nimbang dalam ingatan. “Memikirkan” artinya mencari daya upaya untuk menyelesaikan sesuatu dengan menggunakan akal budi. “Pemikiran” adalah cara atau hasil pikir. Oleh karena itu, berfikir, sesungguhnya suatu kebutuahn insani yang tdak terelakkan untuk tumbuh dan berkembang, yang sekaligus merupakan kebutuhan akan aktualisasi fitrahnya. Lebih tegasnya, manusia tidak dapat lepas dari berfikir, seberapa pun intensitas dan kuantitasnya. B. Pengertian Kiprah Kiprah adalah sebagai tindakan, aktivitas, kemampuan kerja, reaksi cara pandang seseorang terhadap ideologi atau institusinya.7 Segala sesuatu yang berhubungan dengan tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh manusia merupakan aktivitas, yang mana aktivitas tidak bisa dipisahkan dengan organ keseluruhan yang melekat pada diri. Aktivitas dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (2000). Aktivitas berarti keaktifan ; kegiatan ; kerja atau salah satu kegiatan kerja yang dilaksanakan dalam tiap bagian. Sedangkan aktivitas dakwah adalah salah satu aktivitas keberagamaan yang sangat urgen dalam Islam, serta memiliki posisi strategis, sentral dan menentukan. Di dalamnya mengandung seruan atau ajakan kepada keinsafan atau usaha mengubah situasi yang buruk kepada situasi yang lebih baik dan sempurna, 7
WJS. Purwodarminata, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1976),
h. 57
xxxi
baik terhadap pribadi maupun masyarakat. Dalam ajaran Islam, dakwah merupakan suatu kewajiban yang dibebankan oleh agama kepada pemeluknya. Terwujudnya dakwah bukan sekedar usaha peningkatan pemahaman keagamaan dalam tingkah laku dan pandangan hidup saja, tetapi juga menuju sasaran yang lebih luas. Apalagi pada masa sekarang ini, dakwah harus lebih berperan menuju pelaksanaan ajaran Islam secara menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupan. M. Quraish Shihab memberikan pengertian tentang dakwah dalam bukunya membumikan Al-Qur’an sebagai sebuah seruan ajakan kepada keinsyafan atau usaha mengubah situasi kepada situasi yang lebih baik terhadap pribadi maupun masyarakat. Perwujudan dakwah bukan sekedar usaha peningkatan pemahaman keagamaan dalam tingkah laku dan pandangan hidup saja, tetapi juga menuju sasaran yang lebih luas. Apabila pada masa sekarang ini, ia harus lebih berperan menuju kepada pelaksanaan ajaran Islam secara menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupan.8 C. Pengertian Dakwah Secara etimologi, kata dakwah berasal dari bahasa Arab yang berarti “doa, seruan, panggilan, ajakan, undangan ataupun permintaan.9 Sementara dalam kamus bahasa Indonesia, dakwah didefinisikan : “Penyiaran atau propaganda,
8
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1995), h. 466 A. W. Munawir, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia Lengkap, (Jakarta: Pustaka Progresif, 1997), Cet Ke-14, edisi 2, h.407 9
xxxii
penyiaran agama dan pengembangannya dikalangan masyarakat, seruan untuk memeluk, mempelajari dan mengamalkan ajaran agama.10 Dari makna kata dakwah di atas dapat disimpulkan bahwa kata dakwah mengandung unsur panggilan, ajakan atau seruan. Sedangkan secara terminology, banyak pendapat tentang difinisi dakwah. Quraish Shihab mendifinisikan dakwah sebagai “seruan atau ajakan kepada keinsyafan, atau usaha mengubah situasi kepada situasi yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap pribadi maupun masyarakat, dan dakwah seharusnya berperan dalam pelaksanaan ajaran agama Islam secara menyeluruh dalam berbagi aspek kehidupan.11 Keterlibatan seorang muslim di dalam gerakan dakwah menjadi suatu keharusan, sesuai dengan potensi yang dimilikinya masing-masing. Dengan demikian menjadi jelas bahwa dakwah merupakan kewajiban yang harus diemban oleh setiap pribadi
yang merasa dan mengaku muslim demi terwujudnya
kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dakwah memang berintikan pada pengertian mengajak manusia untuk berbuat kebajikan dan menghindarkan diri dari keburukan. Ajakan tersebut dilakukan dengan tujuan tegaknya Islam. Dengan kata lain, dakwah sebenarnya bertujuan untuk menghidupkan atau untuk memberdayakan,
sehingga
masyarakat
memperoleh
momentum
untuk
meningkatkan taraf hidup sejahtera, serta menimbulkan suasana yang kondusif bagi tegaknya nilai-nilai Islam.12
10
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1997), Cet.ke 9, h.205 11 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an Fungsi dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1988) Ce. Ke-17, h. 194 12 Yunan, Dakwah dalam Perspektif Otonomi Daerah, Risalah dakwah, Penerbit Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, vol. 5 No.1 Juni 2003 h. 16
xxxiii
Memahami dakwah bukan hanya mengajak orang lain untuk selalu mengikuti larangan dan perintah Allah. Akan tetapi adalah ajakan pada kebaikan, dengan tulisan, lisan dan keteladanan diri. Dakwah merupakan nilai kepedulian dan kesadaran dan merupakan pekerjaan mulia yang membutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Dakwah akan semakin memiliki makna bila dimulai dari diri sendiri. Bila sudah dimulai orang lain pun akan melihat kenyataan jalan hidupnya, karena mana mungkin orang lain berubah kalau dalam diri da’i tidak ada tindakan nyata. Dalam kerangka epistemologinya, dakwah memiliki sistem. Sistem ini saling berkesinambungan antara satu dengan yang lainnya, yaitu: da’i, mad’u, materi dakwah, media dakwah, metode dakwah, dan tujuan dakwah. Jika aktivitas dakwah ingin berjalan dengan baik, maka keenam sistem tersebut harus ada (seiring berjalan). Apabila salah satu diantaranya tidak ada, otomatis aktivitas dakwah tidak akan berjalan dengan baik. Di era globalisasi, media dakwah yang digunakan sangat memegang peran penting. Oleh karena itu, media dakwah harus menjadi salah satu unsur yang harus diperhatikan. Hamzah Ya’qub membagi media dakwah menjadi lima, yaitu: media lisan, tulisan, lukisan, audio visual, dan akhlak. Sedangkan Moh. Ali aziz membagi media menjadi dua, yaitu: media tradisional dan modern (elektronik). 13 Media tradisonal ini cukup banyak, salah satu diantarnya adalah wayang. Media wayang ini dahulu digunakan oleh para Walisongo saat berdakwah menyebarkan ajaran agama Islam di Indonesia, khususnya di pulau Jawa.
13
DR. Moh. Ali Aziz M.Ag,”Ilmu Dakwah”, (Jakarta: Kencana, 2004), Cet. Ke-1, h. 120.
xxxiv
Di era tradisional dakwah biasa dilakukan di tempat ritual keagamaan (mesjid atau surau) atau majlis ta’lim dengan media seadanya. Seiring dengan perkembangan zaman, media dakwah lebih variatif dan bisa dilakukan dimana saja (fleksibel). Tentunya dengan bantuan media yang canggih, yang dapat meminimalisir hambatan-hambatan efektivitas dakwah. Sementara media modern (elektronik) ramai digunakan di millenium ke tiga, yaitu di zaman sekarang ini. Media modern ini berupa radio, film, televisi, internet, dan semacamnya. Dakwah sebagai komunikasi keagamaan dihadapkan kepada perkembangan dan kemajuan teknologi komunikasi yang semakin canggih, memerlukan adaptasi terhadap kemajuan tersebut.14 Kalau di era tradisional dakwah hanya dilakukan di tempat tertentu, maka saat ini dakwah bisa dilakukan dimanapun dan kapanpun. Karena media massa sudah mampu mengatasi salah satu faktor penghambat aktivitas dakwah (jarak, ruang, dan waktu). Media massa yang dimaksud adalah televisi. Kemampuannya melipat jarak, ruang, dan waktu ditambah dengan kekuatan audio-visual membuat aktivitas dakwah menjadi lebih masif dan komprehensif. 1. Tujuan Dakwah Tujuan Dakwah dalam agama Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits pada hakikatnya untuk mengubah orang lain atau situasi (changing situation) ke arah yang lebih baik dengan cara menanamkan ajaran Islam untuk menciptakan kehidupan yang Islami dalam berbagai bidang, baik di bidang ekonomi, sosial, politik, maupun budaya. 14
DR. M. Bahri Ghazali, “Dakwah Komunikatif: Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikasi Dakwah,” (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1997), Cet. Ke-1, h. 33.
xxxv
Menurut Sayyid Qutub, bahwa tujuan dakwah adalah mengenal Allah SWT dan mengesakan-Nya (tauhid)15 bila manusia memiliki landasan tauhid yang kuat, maka implementasi dari sikap tauhid tersebut adalah bagaimana mengaplikasikan ke dalam aspek tata kehidupan. Oleh karena itu, dakwah sebagai suatu sistem perjalanan peradaban manusia harus berfungsi membentuk manusia mencari kebaikan, dan dakwah harus hadir sebagai pedoman manusia untuk dijadikan pelita hidup, serta mengarah pada pencapaian kemajuan manusia untuk tujuan yang baik, dan juga mempererat tali Allah dengan tali manusia. 2. Unsur-unsur Dakwah Islam adalah agama dakwah, yaitu agama yang menugaskan ummatnya untuk menyebarkan dan menyiarkan Islam kepada seluruh umat manusia sebagai rahmatan lil ‘alamina. Islam dapat menjamin terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan manakala ajarannya dijadikan sebagai pedoman hidup dan dilaksanakan secara konsisten serta konsekuen. Usaha menyebarluaskan Islam dan realisasi terhadap ajarannya melalui dakwah. Terlepas dari perbincangan dan analisis dari definisi dakwah yang sudah ada dalam fokus pembahasan ilmu dakwah ada lima faktor atau komponen dalam dakwah yang selalu ada dalam pelaksanaan kegiatan dakwah. Diantaranya, subjek dakwah (al-da’i), kedua objek dakwah atau sasaran (al-mad’u) ketiga materi dakwah (maudu’u al-dakwah) keempat metode dakwah (asalib al-dakwah) dan kelima media dakwah (wasail al-dakwah).
15
Sayyid Qutub, Ma’lim Fi Thoriq (Kairo : Dasar al-Syuruq 1979)
xxxvi
a. Subjek Dakwah (Da’i) Dalam tinjauan terminologis bahwa dakwah adalah menyeru atau mengajak umat manusia baik perorangan maupun kelompok kepada agama Islam. Dalam pengertian tersebut diatas, maka dapat diambil kata da’i sebagai subjek dakwah itu sendiri.16 Maju mundurnya Islam tergantung dari kegiatan dakwah yang dilakukan umatnya, karena dakwah pada hakekatnya adalah untuk meningkatkan kualitas dari berbagai segi kehidupan. Setiap muslim berkewajiban melakukan dakwah dengan cara masing-masing tanpa kecuali. Dengan melalui profesinya seorang dapat melakukan dakwah, begitupun dengan keterampilan dan kegiatan seharihari. Seorang muslim dimanapun berada, harus sadar bahwa dirinya adalah subjek dakwah, muslim sendiri merupakan pelaku dakwah yang tidak boleh absent. Tidak pengecualian seseorang untuk lepas dari partisipasinya sebagai subjek dakwah. Dalam keadaan dan situasi bagaimanapun manusia yang merasa dirinya muslim berkewajiban mengingatkan orang lain pada sesuatu yang mendekatkan diri pada tuhannya, sehingga sebagai subjek ia harus terlebih dahulu mengadakan intropeksi terus menerus terhadap perilaku dirinya, agar apa-apa yang dilakukannya bisa diikuti dan di teladani oleh yang lain.
16
Zaini Muhtaram, Dasar-dasar Manajemen Dakwah (Yogyakarta : al-Amin Press dan IFKA, 1996), h. 14
xxxvii
Subjek dakwah yang tidak mau memperbaiki dan mendidik diri dengan kesabaran dan keteguhan hati serta kemauan yang keras untuk merubah maka akan mendapat celaan dari orang lain serta dimurka oleh Allah SWT sesuai dengan surat As-Shaff ayat 2 dan 3 :
=>F.G BC(D)E J I "H N O @A 68:8M L H 63 G (R Q H J8:8M L H @S
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”(Qs : As-Shaff :2-3)
Oleh karenanya dalam rangka mengemban tugas amanah Allah SWT, para pelaku dakwah (da’i) yang bertugas menyampaikan pesan Illahi, maka seorang da’i harus memiliki bekal ilmu yang cukup baik entah itu ilmu agama maupun ilmu lainnya. Ini semua dibutuhkan, sebab tantangan yang di hadapi subjek dakwah semakin berat. Disamping itu sebagai bekal tambahan da’i, seharusnya berkonsentrasi pada suatu bidang tertentu sesuai dengan bakatnya. Sehingga objek dakwah dapat diarahkan dengan modal memadai dalam rangka menyesuaikan kapasitas mad’unya. Dengan cara seperti itu da’i akan mampu mewujudkan sikap menuju kearah sikap yang lebih baik.
b. Objek Dakwah (Sasaran Dakwah)
xxxviii
Dakwah adalah proses mengajak umat manusia menuju jalan Tuhan demi kebahagiaan mereka di dunia maupun di akhirat. Manusia yang menjadi objek dari aktivitas dakwah tersebut tidak hanya bersifat individual (perorangan) tetapi juga dapat bersifat kelompok. Karenanya, dalam menentukan strategi dakwah perlu memperhatikan keunikan individu sebagai individu dan keunikan individu sebagai anggota masyarakat.17 Objek dakwah sangat luas yang merupakan bentuk masyarakat yang beraneka ragam latar belakang dan kedudukannya. Beraneka ragam pola problematika yang dihadapinya, melibatkan di dalamnya manusia yang merupakan anggota masyarakat yang mempunyai kepentingan dan kepribadian. Mereka adalah manusia yang menjadi khalayak yang akan diajak kedalam Islam secara kaffah, karena mereka bersifat heterogen dari segi latar belakang sosial maupun ideologi. Keunikan individu dalam masyakat terjadi karena pola tingkah laku yang spesifik dari individu tersebut. Keunikan individu artinya, setiap individu memiliki karakteristik, sifat, dan kebutuhan yang berbeda. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya pertama, faktor usia. Kelompok usia yang tidak sama menimbulkan ciri, sifat, dorongan, perhatian, dan kebutuhan yang tidak sama. Kedua faktor ideologi. Dalam masyarakat terdapat beberapa macam ideologi missalnya yang beragama Islam namun masih mempercayai hal-hal yang mistik,
17
Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta : Rineka Cipta) h. 73
xxxix
beragama Islam non sekte, beberapa sekte Islam dan lain-lain. Ketiga, faktor status sosial dan status ekonomi. Tinggi rendah
status sosial
seseorang menunjukkan derajatnya. Status sosial di pengaruhi oleh pendidikan yang telah di capai atau jabatan maupun pekerjaan sehari-hari. Sedangkan tinggi rendah status ekonomi di ukur oleh sedikit banyaknya penghasilan dan harta kekayaan yang dimiliki. Adanya status sosial dan status ekonomi yang berbeda-beda membawa implikasi praktis terhadap pola kehidupan seseorang di masyarakat. Bila pola hidup tidak sama, tentu cara hidup individu tersebut menimbulkan keunikan-keunikan individu dalam masyarakat.18 Sehubungan dengan kenyataan-kenyataan diatas, maka dalam pelaksanaan program kegiatan dakwah perlu mendapatkan konsedarasi yang tepat meliputi hal-hal sebagai berikut : 1. Sasaran yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari segi sosiologis, berupa masyarakat terasing, pedesaan, kota besar dan kecil serta masyarakat di daerah marginal dari kota besar. 2. Sasaran
masyarakat
yang
dilihat
dari
segi
struktur
kelembagaan, berupa masyarakat, pemerintah dan keluarga. 3. Sasaran masyarakat yang dilihat dari tingkat usia, berupa golongan anak-anak, remaja, dan orang tua.
18
Asmuni Syukri, DasarStrategi Dakwah Islam, (Surabaya : al-Ikhlas, 1983) h. 96
xl
4. Sasaran masyarakat yang dilihat dari segi tingkat hidup sosialekonomis berupa golongan orang kaya, menengah, miskin dan seterusnya.19 Bila dilihat dari psikologis kehidupan masing-masing golongan masyarakat tertentu, maka dapat dilihat bahwa mereka memiliki ciri-ciri khusus yang menuntut sistem dakwah yang berbeda satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu masalah masyarakat ini harus dipelajari dengan sebaik mungkin sebelum melangkah ke dalam aktivitas dakwah sesungguhnya. Da’i
hendaknya melengkapi dirinya dengan beberapa
pengetahuan dan pengalaman yang erat hubungannya dengan masalah masyarakat seperti sosiologis, ekologi, psikologi, ekonominya, serta mengaplikasikan sabda Rasulullah “bicaralah dengan mereka (manusia) sesuai dengan kemampuannya. c. Materi Dakwah Pada dasarnya materi dakwah hanyalah berlandaskan Al-Qur’an dan As-sunah sebagai sumber utamannya, kuduanya merupakan materi utama yang harus disampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat. Al-qur’an yang merupakan wahyu Allah mutlak kebenarannya dan dijaga keutuhan dan kebenarannya, al-quran adalah kitab suci umat Islam yang di turunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman hidup yang harus di taati
19
Arifin, Psikologi Dakwah Suatu Pengantar Studi (Jakarta : Bumi Aksara, 1994), h. 3
xli
dan dipatuhi umat manusia sebagai landasan hidup demi keselamatan hidup di dunia maupun di akhirat Sebagai pedoman hidup, Al-quran mengandung secara lengkap petunjuk, pedoman, sejarah serta prisip-prinsip baik mengangkat masalah keyakinan, peribadatan, pergaulan, akhlak dan lain-lain.20 Al-Quran sebagai rujukan asal dakwah Islam, apabila ada da’i yang tidak berpedoman kepada Al-Qur’an, maka ia jauh dari panduan dan rujukan Islam. Al-Qur’an yang merupakan kitab petunjuk dan pembawa rahmat untuk seluruh alam, segala panduan terhadap aturan hidup dan kehidupan antara manusia dengan sang khalik, alam, masyarakat, dan diri sendiri termuat dalam Al-quran. Jadi dengan melihat keluasan ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dan hadits sedemikian rupa, maka seorang da’i dituntut untuk memilah dan menentukan topik tertentu yang akan di sampaikan pada mad’u yang menjadi objek dakwahnya, dengan harapan mad’unya dapat memahami apa yang disampaikan dan sesuai dengan Al-Qur’an. d. Metode Dakwah Dari segi bahasa, metode berasal dari dua perkataan yaitu “meta” (melalui) dan “hodos” (jalan, cara).21 Dengan demikian kita dapat artikan bahwa metode dakwah merepakan cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan.
20
Slamet Muhaimin Abda, Prinsip-prinsip Metodologi Dakwah, Cet I (Surabaya : Usaha Nasional, 1994), h.45 21 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Akasara, 1991), cet. Ke-1 h. 61
xlii
Sumber yang lain menyebutkan bahwa metode berasal dari bahasa Jerman methodica artinya ajaran tentang metode. Dalam bahasa Yunani metode berasal dari kata thariq.22 Apabila kita artikan secara bebas, metode adalah cara yang telah di atur dan melalui proses pemikiran untuk mencapai suatu maksud. Dalam memahami metode dakwah, yakni bagaimana cara yang digunakan oleh para juru dakwah untuk menyampaikan ajaran atau materi dakwah. Dalam menyampaikan suatu pesan dakwah, metode sangat penting peranannya, suatu pesan walaupun baik,
tetapi apabila
disampaikan dengan metode yang tidak benar, maka pesan itu bisa saja di tolak oleh si penerima pesan. Metode juga seperti halnya prinsip dimana mengandung pengertian dasar atau berdasarkan asas kebenaran yang menjadi pokok dasar berfikir, bertindak, dan sebagainya yang dianggap sebagai sebuah metode dalam menyampaikan pesan dakwah. Sekalipun dakwah merupakan kewajiban terhadap setiap muslim tanpa memandang apakah ia berasal dari golongan manapun dan mengesampingkan status sosialnya. Akan tetapi, bukan berarti dakwah dapat dilaksanakan sekehendak hati tanpa mengindahkan tata cara yang sopan dan juga santun. Secara tersurat prinsip-prinsip dakwah terdapat dalam Al-Qur’an yang terdapat dalam surat An-Nahl ayat 125, yang di dalamnya terdapat tiga hal penting sebagai acuan dalam melakukan dakwah.
22
Hasanudin, Hukum Dakwah, (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya 1996), Cet Ke-1 h. 35
xliii
☺ "# ☺ ! +,-. %' ()*! $ 7 56 4 0#123 / 0 5; 0☺ 9%:13 8/ 9%:13 8/! $ <3 @;A =>(?1'☺ Artinya : “Serulah (manusia) kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.(Qs : An-Nahl : 125) 1. Bi al-Hikmah (dengan cara bijaksana) Secara etimologi al-hikmah mempunyai arti : al-adl (keadilan), alhilmu (kesabaran), al-Nubuwah yang dapat mencegah seseorang dari kebodohan, mencegah seseorang dari kerusakan dan kehancuran, setiap perkataan yang cocok dengan al-haq (kebenaran), juga meletakkan sesuatu pada tempatnya.23 Secara terminologi, hikmah adalah memperhatikan situasi dan kondisi sasaran dakwah, materi yang disampaikan tidak memberatkan mad’u, tidak membebani sesuatu yang memberatkan sebelum jiwa menerimannya, banyak sekali cara yang di tempuh untuk mengajak mereka sesuai dengan keadaannya, tidak perlu mengebu-gebu dan bernafsu, karena semua itu melampaui batas hikmah.24
23
Muhammad Husain Abdullah, Metodologi Dakwah dalam Al-Quran, cet-I (Jakarta : lentera, 1997) h. 40 24 Ghazali Darus Salam, Dakwah Yang Bijak, Cet-II (Jakarta : Lentera), h. 26
xliv
Selain itu, hikmah sering
kali diterjemahkan dalam pengertian
bijaksana, yaitu suatu pendekatan sedemikian rupa sehingga pihak objek dakwah mampu melaksanakan apa yang di dakwahkan, apakah atas kemauan sendiri, tidak merasa ada paksaan konflik maupun tertekan. Dalam bahasa komunikasi, hikmah menyangkut apa yang disebut sebagai frame of reference, field of reference dan field of experience, yakni situasi total yang mempengaruhi sikap terhadap sikap komunikan (objek dakwah). 25 Dengan kata lain, hikmah yaitu berdakwah dengan memperhatikan situasi dan kondisi sasaran dakwah dengan menitik beratkan pada kemampuan mereka, sehingga di dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam selanjutnya, mereka tidak lagi merasa terpaksa atau keberatan. 2. Mauidzah al-Hasanah (dengan cara yang baik) Nasehat yang baik maksudnya adalah memberikan nasehat kepada orang lain dengan cara yang baik, berupa petunjuk-petunjuk kearah kebaikan dengan bahasa yang baik dan dapat mengubah hati, agar nasehat tersebut dapat di terima, yang berkenan di hati dan menyentuh qalbu. Sedangkan Ali Mustafa Yakqub menyatakan bahwa Mauidzah Hasanah ialah ucapan yang berisi nasehat-nasehat yang baik dimana ia dapat bermanfaat bagi siapa saja yang mendengarkannya, seperti pesan
25
Toto Tasmoro, Komunikasi Dakwah (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1987), h. 37
xlv
dakwah yang memuaskan sehingga mad’u dapat membenarkan apa yang disampaikan oleh subjek dakwah.26 Begitu juga dengan filosof Tantowi Jauhari, yang di kutip Faruq Nasution yang mengatakan bahwa Mauidzah Hasanah adalah Mauidzah Illahiyah, yakni upaya apa saja dalam menyeru manusia kepada jalan kebaikan dengan cara rangsangan yang menimbulkan cinta dan rangsangan yang menimbulkan waspada.27 Seorang da’i diwajibkan menyampaikan nasehat-nasehatnya, dengan nasehat-nasehatnya yang faktual berupa Mauidzah Hasanah agar objek dakwah dapat menentukan pikiran terhadap rangsangan, dengan kata lain bahwa subjek dakwah harus mampu menyesuaikan dan mengarahkan pesan
dakwahnya,
agar
tujuan
dakwah
sebagai
ikhtiar
untuk
mengaktualisasikan nilai ajaran Islam kedalam kehidupan pribadi dapat terwujud dengan benar, dan menjadi khairu ummah, yaitu umat yang adil dan terpilih sehingga terwujudlah umat yang sejahtera lahir batin dan bahagia dunia akhirat.28 3. Mujadalah Kata wajadilhum bi-al-ati hiya ahsan adalah bertukar pikiranlah dengan cara yang baik, melalui ayat tersebut betapa pentingnya berdakwah, menyeru kebaikan dengan cara diskusi yang baik, selain ayat
26
Ali Mustafa Yakqub, Sejarah Metode Dakwah Nabi, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1997), h.
16. 27 Faruq Nasution, Aplikasi Dakwah dalam Studi Kemasyarakatan (Jakarta : Bulan Bintang 1986 ), h. 2. 28 Dra. Siti Muriah, Metodologi Dakwah Kontemporer, Cet-I (Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2000), h. 48
xlvi
tersebut Al-qur’an juga menaruh perhatian besar pada gaya percakapan dan diskusi. Dari fenomena ini tidaklah mengherankan, karena dakwah merupakan cara yang terbaik dalam meyakinkan dan memberikan kepuasan hati objek dakwah, rasa puas itulah yang menjadi pondasi iman seseorang, karena iman tidak dapat dipaksakan. Ia timbul dari lubuk hati manusia itu sendiri, diskusi merupakan salah satu upaya dalam bertukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, tanpa adanya suasana yang mengaharuskan lahirnya permusuhan diantara keduanya. Selain metode diatas, dalam hadits muslim juga di terangkan tentag dakwah, sebagaimana sabda rasul :
! ا ا ري ر ا ل رل ا ا " ن$ '&ﻥ$ ()*&ن " ی$ , ,- . $ ا-/" ﻡ/ل ﻡ! رأي ﻡ2و" ی ("& ا,ین )روا4 ا5 ا6' وذ2'$ ()*&ی Artinya : “Abu Said al-Chudry R.A. berkata : Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tanggannya, kalau tidak mampu hendak menasehati dengan lisannya, kalau tidak mampu hendaklah ingkar dengan hatinya dan itu adalahpaling lemahnya iman.29
Dari sumber itulah tumbuh metode dakwah yaitu : pertama dakwah dengan lisan yang berupa ceramah, seminar, khutbah dan lain-lain. Kedua, dengan tulisan yang berupa buku, majalah, surat-surat kabar dan ketiga
29
Salim Bahresi, Terjemahan Riadhus Shalihin, Cet. IV (Bandung : PT al-Ma’arif, 1978),
h. 199
xlvii
dakwah dengan perbuatan yaitu berupa prilaku yang sopan dan sesuai dengan ajaran Islam. Seorang juru dakwah harus tetap menghormati seseorang yang akan di ajak bicara tanpa melihat status sosialnya. Yang terpenting adalah harus memiliki prinsip-prinsip yang kokoh dan bahwa kemenangan dalam berdiskusi bukan menjadi tujuan yang utama. Akan tetapi berdiskusi hanyalah semata-mata menyapaikan sebuah informasi yang benar dan membawanya ke jalan kebenaran. Salah satu sifat manusia adalah sombong dan berwatak keras kepala. Maka apabila mereka menempati kedudukan yang terhormat di lingkungannya. Akan tetapi tugas yang terpenting adalah harus selalu menjaga dan selalu membimbing kepada jalan yang di ridhai oleh Allah. Dengan menggunakan ketiga prinsip di atas, bahwa dakwah dapat dikatakan berjalan serta mudah di terima oleh masyarakat yang pada waktunya dapat mengantarkan mereka ke pintu kebahagiaan. e. Media Dakwah Media dakwah berasal dari kata media berasal dari bahasa latin yaitu median yang berarti alat atau perantara, sedangkan menurut istilah, “media adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alat perantarauntuk mencapai tujuan tertentu.30 Sedangkan dalam kamus istilah komunikasi, “media berarti sarana yang digunakan oleh komunikator sebagai saluran untuk menyampikan
30
Asmuni Syukri, Dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya : al Ikhlas, 1983),h. 163
xlviii
pesan kepada komunikan, apabila komunikan jauh tempatnya, banyak jumlahnya atau keduanya. Media juga mempunyai bentuk dan jenis yang beranekaragam. 31 Adapun media dakwah adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan dakwah yang telah ditentukan. Media dakwah yang dimaksud dapat berupa barang (material), orang, tempat, kondisi tertentu dan sebagainya.32 Dakwah adalah sebuah kewajiban bagi umat muslim, kepentingan dakwah terhadap adanya alat atau media yang tepat untuk digunakan dalam berdakwah sangat penting. Dapat dikatakan media dakwah dapat memudahkan para juru dakwah untuk menyampaikan pesan pada khalayak atau komunikannya dengan cepat dan pesan yang disampaikan dapat tersebar dengan luas.33 Adapun media yang dapat digunakan oleh para da’i sebagi berikut : 1. Mimbar atau media tatap muka yaitu salah satu media dakwah yang tertua yaitu melalui mimbar, para juru dakwah dapat menyampaikan pesan dakwahnya atau isi ceramahnya pada jama’ah dari atas mimbar. 2. media elektronik yang merupakan salah satu media yang terpenting dan
sangat
tepat
untuk digunakan,
karena
menyeimbangkan
perkembangan dunia yang serba digital, sehingga keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas. Para praktisi dakwah dapat memaksimalkan media-media elektronik mengingat fungsi strategis 31
Ghazali BC.TT, Kamus Istilah Komunikasi,(Bandung:Djambatan, 1992)H, 1992), h. .227 Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2002) Cet. Ke-2.h. 33 M. Bahri Ghazali, Dakwah Komunikasi, cet I (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1997), h.12 32
xlix
dalam mentransfer informasi dengan cepat dan dapat menembus berbagai penjuru. Dan dengan media elektronik ini kita dapat dengan cepat memberikan pengetahuan dan wawasan keagamaan pada khalayak sebagai objek dakwah dengan cepat. 3. media cetak yakni media dakwah yang berupa tulisan, dan juga merupakan media awal yang usianya sama dengan bertatap muka. Media cetak yang dapat digunakan dalam menyampaikan pesan diantaranya melalui buku, majalah, surat kabar dan lain sebagainya. Agar dapat di terimanya media cetak dalam menyampaikan pesannya, hendaknya memperhatikan kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki mad’u agar mereka dapat dengan cepat meresap dan memahami sekaligus menyampaikan kembali pesan yang terkandung dalam subtansi dakwahnya dengan baik.
D. Peluang dan Tantangan Berdakwah di Indonesia Menurut catatan sejarah, Islam datang ke Indonesia berasal dari India, sehingga Islam yang ada di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh ajaran Hindu. Unsur-unsur ajaran agama Hindu justru memudahkan menyebarkan ajaran Islam di nusantara, khususnya di pulau jawa, karena mereka sudah mengenal ajaran agama Hindu. Sejarah juga mencatat bahwa tersiarnya ajaran Islam di Indonesia merupakan karya besar dari kaum sufi dan mistik yang bersikap toleran terhadap kebiasaan yang hidup di dalam masyarakat yang sebenarnya belum tentu sesuai
l
dengan ajaran tauhid. Oleh karena itu, bukan suatu hal yang kebetulan jika umat Islam di Indonesia umumnya menyukai aspek tasawuf dan amalan-amalan daripada ilmu theology dan fiqih34 Di antara kesemua, baik itu tasawuf, fiqih, kalam dan mistik. Maka ajaran tasawuflah yang mendapat minat masyarakat, karena ajarannya berusaha menyesuaikan diri dengan tradisi-tradisi dan adat yang ada di dalam masyarakat, dan akhirnya ahli ilmu fiqih dan ilmu kalam, sedikit demi sedikit berkompromi dengan ajaran mistik dan tasawuf yang terbuka terhadap adat dan istiadat yang hidup dan berkembang di masyarakat Indonesia yang sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran pokok Islam yang didasari pada tauhid. Harus diketahui juga, bahwa nama-nama kehormatan bagi raja-raja, seperti misalnya Djohan Syah di Aceh, juga Sultan-sultan di Mataram yang menggunakan Kalipatullah Panatagama yang berarti Khalifatullah yang menata dan mengatur amalan-amalan agama. Demikian juga Istilah sembahyang untuk sholat yang dipakai hingga saat ini tanpa konotasi bahwa sembahyang itu menyembah ”Yang” yang bermakna dewa. Demikian pengaruh kaum sufi di abad ke 16-17. Disamping itu, banyak sisa animisme yang masih hidup berdampingan dengan tauhid, seperti kepercayaan terhadap jimat, jampi-jampi, kayu dan batu yang dianggap mempunyai daya untuk membuat untung-rugi, bahaya dan bahagia.
34
Pemimpin-pemimpin agama pada waktu itu bukanlah para Fuqoha atau Mutakalimun, akan tetapi kebanyakan adalah guru-guru dan mubaligh penyiar Islam yang terkenal di abad 15 di Sumatera Utara anatara lain Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniri, dan Abdul Rauf Singkel. Mereka kesemuanya adalah ahli tasawuf. Begitu pula para penyiar agama Islam di Pulau Jawa yang terkenal dengan ”Wali Songo”, semuanya adalah ahli mistik dan tasawuf yang toleran terhadap adat dan kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat jawa pada waktu itu
li
Kemudian keadaan itu tidaklah tetap. Tempat dimana pengaruh hindu tidak kuat, maka sisa-sisa Hinduisme mulai hilang, dan ajaran-ajaran Islam murni berangsur-angsur mengikisnya sedikit demi sedikit. Pada abad ke-16 datang bangsa Eropa ke Indonesia yang membawa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat memajukan perdagangan dan pelayaran dengan kapal laut serta tarnsportasi lainnya. Hubungan laut antara Eropa dan negeri Timur Tengah membuka juga hubungan Indonesia dengan bangsa Arab. Hubungan tersebut memberi pengaruh yang tidak kecil dalam budaya bangsa Indonesia. Mereka mulai pergi haji, dan tidak sedikit mereka yang pergi haji tersebut menjadi Ulama dan pengarang kitab-kitab dalam bahasa daerah yang hidup di Indonesia dan mempunyai pengaruh dalam mengikis sisa ajaran Hinduisme. Disisi lain, banyak orang-orang Arab datang ke Indonesia untuk mengadu nasib, sampai akhir abad ke-19, jumlah imgran semakin banyak, mereka berdagang sambil mengajar atau menyiarkan agama. Dengan literatur yang ditulis ulama-ulama Indonesia, diperkuat dengan kehadiran orang Arab Hadromaut (Yaman), maka pelajaran-pelajaran agama di Pesantren-pesantren sedikit demi sedikit mulai murni. Demikian juga rakyat jelata yang berhubungan langsung dengan bangsa Arab, baik sebagai pedagang maupun mubaligh, dan juga mendapatkan praktek-praktek agama yang murni.35
35
Soeroyo, dkk, Problematika dan Peta Dakwah di Abad XXI (Jakarta : Penerbit Yayasan Kamil bekerjasama dengan PP IKPM Gontor, 1997) h. 11.
lii
Pada Awal abad ke 20, bangsa Arab mengambil tempat di Indonesia yang sebelumnya di tempati India, sementara itu Muhammad Abduh dari Mesir pad akhir abad 19 melancarkan usahanya untuk memodernisasi ajaran Islam, dengan membentuk kelompok bernama Salafiyah. Golongan ini mempunyai pengaruh yang tidak kecil, artinya dalam alam pikiran dan kehidupan agama Islam di Indonesia.36 Di sisi lain, penetrasi bangsa Eropa, khususnya Belanda mempunyai pengaruh buruk terhadap perkembangan Islam di Indonesia, mereka membawa misi agama, baik Katolik maupun Protestan, dan bukan hanya di Pulau Jawa tetapi juga di luar jawa dengan mendirikan sekolah-sekolah, sementara itu, lembaga pendidikan Islam tidak efisien. Pada cendikiawan didikan Barat sikapnya acuh dan terkadang memandang rendah kepada umat Islam. Mereka beranggapan bahwa Islam itu kolot, menghambat kemajuan, dan lain sebagainya. Tentu sikap ini tidak dapat disalahkan sepenuhnya, karena keadaan umat Islam di Indonesia sendiri memang membenarkannya, ketika dalam keadaan sehari-hari yang tidak dapat mencerminkan ketinggian dan keluhuran Islam. Dan faktor-faktor tersebut yang melatarbelakangi berdirinya gerakan-gerakan Islam seperti Sarekat Dagang Islam (1909), Sarekat Islam (1911) Muhammadiyah (1912) dan Nahdlatul Ulama (1926). Keadaan tersebut terus berjalan sampai zaman kemerdekaan. Setelah kemerdekaan dakwah berjalan dengan pasang surut, karena pemerintah republik Indonesia mencurigai umat Islam yang menginginkan
36
Ibid., h. 1.
liii
berdirinya negara Islam, sehingga kedudukan umat Islam dipinggirkan dan sering di pojokkan baik pada pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru. Pada akhir Orde Baru, keadaan umat Islam sudah mengalami perubahan, setelah berdirinya ICMI pada tahun 1990 dan umat Islam mulai ikut mengambil keputusan. Bahkan kabinet Persatuan Pembangunan VI yang disebut kabinet yang ijo royo-royo, disebabkan banyak tokoh Islam yang duduk di dalamnya. Gerakan-gerakan Islam pada zaman kemerdekaan sampai reformasi ini ditandai dengan usaha membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh-pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islami ; reformasi ajaran-ajaran pendidikan Islam ; serta mempertahankan Islam dari pengaruh serangan-serangan dari luar termasuk apologi, yaitu usaha untuk membuktikan kebaikan dan kebenaran Islam. Kegiatan ini merupakan kerangka modernisme Islam di Indonesia, hal tersebut dilakukan untuk memberi pengertian tentang Islam dengan nilai-nilai dan ide-ide kemanusiaan. Secara umum, peluang dan tantangan dakwah di Indonesia melalui kondisi umat Islam Indonesia saat ini dapat digambarkan pada : •
Secara geografis, umat Islam Indonesia mendiami wilayah kepulauan Nusantara yang membentang antara dua benua, Asia dan Australia dengan luas wilayah 1.9 juta mil2 yang terdiri lebih dari 17.000 pulau dengan ratusan suku dan bahasa.
•
Jumlah umat Islam diperkirakan sekitar 85 % dari total penduduk Indonesia yang mencapai 220 juta jiwa atau sekitar 187 juta.
liv
•
Background (latar belakang) keagamaan sebelum kedatangan Islam adalah Hindu dan animisme.
•
Backgroud politik dan sistem pemerintahan adalah kerajaan-kerajaan, baik sebelum Islam maupun setelah kedatangan Islam.
•
Sepanjang sejarahnya Indonesia adalah satu-satunya wilayah Islam yang terbesar yang belum pernah menikmati sistem Islam secara total atau sistem Khilafah Islamiyah.
•
Fakta historisnya, pernah dijajah selama 350 tahun oleh Belanda dan 3.5 tahun oleh Jepang. Nusantara adalah wilayah yang paling lama terjajah dalam sejarah dunia Islam.
•
Setelah merdeka dari jajahan Jepang 1945, berubah dan bersatu dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
•
Dalam masyarakat Islam Indonesia masih terdapat berbagai ragam kultur dan budaya peninggalan agama Hindu, khususnya di pulau Jawa. seperti acara-acara keagamaan dalam pernikahan, kematian dan sebaginya, animisme (khurafat dan kepercayaan-kepercayaan pada makhluk halus), kerajaan-kerajaan dan peninggalan penjajahan Belanda veodalisme dan sebagainya. Aneka ragam kultur dan buadaya tersebut masih mendominasi kehidupan sebagian besaar umat Islam Indonesia, khususnya di pulau Jawa.
•
Background politik pasca kemerdekaan ialah 21 tahun (1945 – 1966) dalam pemerintahan Seakarno (Orde Lama) yang cenderung sosialiskomunis, 32 tahun (1966-1998) dalam kendali dan genggaman Soeharto
lv
(Orde Baru) yang otoriter, militeristik, kapitalis dan sekular. Sejak 1998 sampai sekarang (2008) dalam era reformasi dan demokrasi kacau balau yang telah dipimpin empat orang Presiden yakni, Habibie, Gusdur, Megawati Soekarno Putri dan Jendral Susilo Bambang Yudhoyono yang terkenal dengan sebutan “SBY’. Pemerintahan SBY kemarin kembali memenangkan PEMILU 2009 yang kini berlanjut dan diberi nama menjadi Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. •
Kondisi ekonomi mayoritas umat Islam sangat lemah di mana mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Tingkat kemiskinan semakin hari semakin meningkat. Bahakn sudah menembus angka 100 juta orang yang pendapatan harian mereka hanya sekitar Rp 5.000,-.
•
Kondisi pendidikan mayoritas Umat Islam adalah berpendidikan rendah, bahkan banyak yang tidak tamat SD, khususnya yang tinggal di pedesaan.
•
Kondisi pemahaman keagaman sangat hiterogen, kendati mazhab Imam Syafii’e yang menjadi panutan dalam Fiqih (Hukum) Islam dan Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam masalah ‘Aqidah dan keimanan. Tariqat atau Tasawuf sangat diminati dan mudah tersebar luas tanpa melihat apakah menyimpang dari ajaran Islam atau tidak.
•
Umat Islam Indonesia terpolarisasi ke dalam banyak Ja’mah dan kelompok organisasi sosial keagamaan seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Dewan Dakwah Islam iyah Indonesia (DDII) Persatuan Islam (Persis), Al-Irsyad (kelompok keturunan Arab), Persatuan Umat Islam (PUI), Al-Jam’iyyatul Al-Washliyah dan lain sebaginya.
lvi
•
Di era Reformasi ini, secara politik, umat Islam terpolarisai ke dalam banyak partai, baik yang menamakan diri Partai Islam seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembanguna (PPP), Partai BulanBintang (PBB), Partai Bintang Reformasi (PBR), ataupun partai nassionalis sekular seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, Partai Demokrat (PD), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN) serta berbagai partai gurem lainnya.
•
Secara Gerakan Dakwah (Pergerakan Dakwah) umat Islam Indonesia terpolarisasi kedalam banyak kelompok dan jama’ah seperti, Hizbuttahrir Indonesia (HTI), Kelompok Tarbiyah/Ikhwanul Muslimin, Kelompok Salafi, Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Hidayatullah dan lain sebagainya.
•
Secara psikologis, mayoritas Umat Islam Indonesia trauma dengan sistem pemerintahan otoriter Orde Baru dan merindukan perubahan dan perbaikan dalam berbagai lapangan kehidupan. Pemerintahan di era Reformasi, khususnya setelah SBY-JK dan kini SBY-Boediono saat ini, belum ada harapan yang besar dalam melakukan berbagai upaya untuk macapa perubahan karena kurang mampu mengatasi berbagai bentuk krisis yang diahadapi negara dan bangsa pasca kejatuhan Orde Baru tahun 1998.
lvii
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Bentuk penelitian skripsi ini, adalah penelitian lapangan (field research), dimana penulis melakukan penelitian langsung ke lapangan guna mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini. Dan penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang memberikan gambaran secara objektif suatu masalah dalam skripsi ini. Sedangkan teknik penulisan saya menggunakan teknik deskriptif analisis yaitu memberikan gambaran terhadap subjek dan objek penelitian. A. Subjek dan Objek Penelitian Subjek penelitian adalah tempat memperoleh keterangan37, yaitu Andi Mappetahang dan referensi-referensi pendukung, serta dokumendokumen yang berkaitan baik dari buku, tulisan serta aktivitasnya terutama dalam berdakwah. Dan yang menjadi objek penelitian ini adalah Andi Mappetahang Fatwa atau lebih di kenal dengan A.M. Fatwa. Sumber data adalah mereka yang memberikan informasi tentang objek penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi narasumber adalah H. Andi Mappetahang Fatwa dan semua yang terlibat atau memiliki hubungan baik secara organisasi maupun kerabat dekat A.M. Fatwa dengan alasan mereka layak menjadi subjek penelitian.
37
Tatang M. Arifin, “Menyusun Rencana Penelitian,” (Jakarta: Rajawali Press, 1989), hal. 13.
lviii
B. Waktu Penelitian Penelitian ini akan di mulai awal bulan Desember 2008 hingga April
2009,
dari
memulai
pengurusan
perizinan
hingga
tahap
pengumpulan data yang dilakukan secara incidental (sesuai dengan keperluan dalam melengkapi data). C. Teknik Pengumpulan Data a. Interview Merupakan suatu alat pengumpulan informasi langsung tetang beberapa jenis data.38 Dalam penelitian ini penulis langsung mewawancarai H. Andi Mappetahang Fatwa. b. Dokumentasi Data diperoleh dari dokumen-dokumen yang berupa catatan formal, dan juga buku-buku, majalah, Koran, dan catatan lain yang ada kaitannya dengan penelitian ini. c. Obeservasi Yaitu penulis langsung mendatangi tempat di mana A. M. Fatwa melakukan aktivitas kesehariannya, guna memperoleh data yang valid tentang hal-hal yang menjadi objek penelitian. D. Teknik Analisis Data Dari data yang dikumpulkan, kemudian akan dianalisis dan diinterpretasikan. Ada pun metode yang penulis gunakan dalam menganalisa data adalah deskriptif analitik, maksudnya adalah cara 38
Sutrisno Hadi, “Metodologi Research” (Yogyakarta : Andi Offset, 1983), hal. 49
lix
melaporkan data dengan menerangkan dan memberi gambaran mengenai data yang terkumpul secara apa adanya dan kemudian data tersebut disimpulkan. Penulisan skripsi ini mengacu kepada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” edisi terbaru terbitan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta CeQDA Press (Center for Quality Development and Assurance)tahun 2007.
lx
BAB IV TEMUAN DAN ANALISA DATA
A. Latar Belakang Keluarga dan Masa Kecil A.M. Fatwa Andi Mappetahang Fatwa atau AM. Fatwa yang lahir di Mare, Bone Sulawesi Selatan pada tanggal 12 Februari 1939. Anak bungsu dari 6 bersaudara pasangan dari pasangan suami istri Petta Wawa dan Petta Pajja ini menempuh pendidikan dasarnya (dulu Sekolah Rakyat /SR), di Mare.39 Mare merupakan sebuah desa kecil di kawasan Propinsi Sulawesi Selatan tepatnya berada di sebelah barat yang berbatasan dengan laut yang memisahkan antara Sulawesi Selatan dengan Sulawesi Tenggara (Pesisir). Keadaan lingkungan, adat istiadat, serta keberagaman masyarakat di desa Mare pada saat itu (A.M. Fatwa kecil) mayoritas masyarakat disana memeluk agama Islam, akan tetapi sangat kental dengan dunia Animisme sehingga dalam keberagamaan / ritualnya pun tak lepas dari dunia Animisme. Saat masih duduk di SD/SR, A.M. Fatwa sedikit mendapatkan pendidikan agama dari keluarganya karena minim pendidikan dan hanya sebatas pelajaran mengaji Al-quran secara tradisional di rumah. Keterbukaan pandangan agama menjadi modern dimulai ketika Beliau membaca buku-buku karangan Hamka, yang dipinjamnya dari tetangganya di kampung yang sering berpergian ke Jawa. Dari membaca buku Hamka-lah yang
39
A.M. Fatwa, Demi Sebuah Rezim Demokrasi dan Keyakinan Beragama Diadili, (Jakarta ; PT. Gramedia Pustaka, 2000) h. 521
lxi
mempengaruhi pola pikir dan pandangan mengenai wawasan keIslamannya. Sehingga buku-buku tersebut yang mendorong Beliau mengambil sikap terhadap praktek-praktek keagamaan di kampungnya yang masih tradisional dan terbelakang dengan cara mengkritik cara-cara orang dalam mengunjungi maqam (kuburan) yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dari pasca membaca buku-buku Hamka serta karena keadaan di kampungnyalah yang menyebabkan A.M. Fatwa berkeinginan untuk hijrah sekolah ke Sumbawa.
B. Pendidikan dan Pengalaman A.M. Fatwa Setelah beliau menyelesaikan pendidikan SR-nya di Mare, ia melanjutkan pendidikan ke PGA/PGAA di Sumbawa dan Lombok, Nusa Tenggara Barat. Saat kuliah di IAIN Jakarta, beliau juga kuliah di Universitas Ibnu Chaldun Jakarta hingga menjadi sarjana muda Publisistik pada tahun 1964. Kemudian Beliau melanjutkan kuliahnya di Fakultas Ketatanegaraan dan Ketataniagaan Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Surabaya, hingga menyelesaikan kuliah dengan mendapatkan gelar sarjana pada tahun 1970 dengan ujian persamaan di UNTAG Jakarta. Disamping itu, Beliau mengikuti program pendidikan dan pelatihan keorganisasian, selain ikut kursus Staf dan Kepemimpinan Pegawai PEMDA DKI pada tahun 1975, beliau pun mengikuti latihan militer di Sekolah Dasar Perwira KKO-AL (Marinir 1966/1967), serta kursus dan pelatihan manajemen pada Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (LPPM) tahun 1979-1980.
lxii
Pengalaman hidupnya banyak di isi dengan kegiatan keorganisasian. Pada usia muda A.M. Fatwa sudah menjadi anggota Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Pandu Islam, Pelajar Islam Indonesia (PII) dari menjabat Sekertaris Umum, tingkat Cabang dan sampai kini beliau menjadi Dewan Penasehat Perhimpunan Keluarga Besar PII. Beliaupun salah satu pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di IAIN Jakarta yang kini telah menjadi UIN Jakarta. Kirpahnya di HMI pernah menjadi ketua II Komisariat IAIN, ketua I Cabang Ciputat, dan sempat menjadi Anggota Pengurus Besar pada tahun 1963-1964. Sebagai Alumni HMI, Beliau pernah menjadi Wakil Ketua Korps Alumni HMI (KAHMI) Jakarta, dan kini menjadi Penasehat Majelis Nasional KAHMI, Beliau pun aktif dalam berbagai kegiatan Front Nasional Pusat dan menjadi Sekertaris Perserikatan Organisasi-organisasi Pemuda Islam Seluruh Indonesia (PORPISI tahun 1962 / 1963)40 Beliau pun saat kuliah pernah mendapat beasiswa dari Angkatan Laut sebagai Pelajar Calon Perwira AL untuk jurusan Imam Tentara tahun 1960 – 1963, dengan menjadi Ketua Korps Pelajar Calon Perwira AL-Komisariat Jakarta, yang saat kongres di Malang tahun 1961 beliau terpilih sebagai Ketua Senat Korps Pelajar Calon Perwira AL Se-Indonesia menggantikan Tarmizi Taher (terakhir berpangkat Laksamana Muda) dari Universitas Airlanga. Beliau pun pernah menjadi Staf Pribadi Gubernur DKI, Letjen Marinir Ali Sadikin untuk masalah-masalah agama dan politik hingga tahun 1979, dan merangkap Kepala Sub-Direktorat Pembinaan Masyarakat Direktorat Politik
40
A.M. Fatwa, Demi Sebuah Rezim Demokrasi.... h. 527
lxiii
Pemda DKI, Beliau pun memegang beberapa jabatan semi-official Pemda DKI sebagai ketua Umum LP MTQ, Ketua Umum KODI (Koordinasi Dakwah Islam), Sekertaris Badan Amil Zakat, Tim Pembina Rohani Pemda DKI, Sekertaris Majelis Ulama DKI, dan Pimpinan Proyek Pembinaan Massa Pemda DKI. Sejak tahun 1958 beliau menjadi anggota Muhammadiyah di Sumbawa, dan Beliau pernah menjadi Pengasuh Panti asuhan Yatim di Mataram, dan beliau menjadi Pengurus Pemuda Muhammadiyah Jakarta, Ranting sampai menjadi Wakil Ketua Lembaga Hikmat PP Muhammadiyah, Beliau pun mengetuai beberapa yayasan yang dirintis oleh Keluarga Muhammadiyah. Dan bahkan sempat menjadi anggota Pleno Badan Kerjasama Ulama Militer (BKSUM) Jakarta Raya. Beliau juga aktif di PTDI (Pendidikan Tinggi Dakwah Islam) dan turut mendirikan dan menjadi ketua bidang Organisasi dan Manajemen Dewan Masjid Pusat tahun 1972 – 1979, setelah menjabat Sekjend Panitia Nasional Penyelenggaraan MTQ Nasional V tahun 1972, Official Qory Indonesia MTQ Internasional Kuala Lumpur Malaysia, dan kemudian beliau mendirikan Lembaga Pembina MTQ DKI dan memimpin hingga 1979, beliaun pun sempat merintis Konsep Pelembagaan MTQ secara nasional hingga terbentuknya LPTQ (Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an) tingkat nasional dan kini duduk sebagai penasehat. Sebagai tindak lanjut MTQ Nasional beliau mendirikan Yayasan Pendidikan berupa Kampus Pondok Karya Pembangunan di Cibubur. Bersama Istrinya Nunung Nurdjanah, mendirikan Yayasan Putra Fatahilah dengan mengelola beberapa Taman Kanak-kanak (TK) Islam dan Pendidikan
lxiv
Guru Taman Kanak-kanak Islam (PGTI). Tahun 1975, Beliau turut menjadi anggota Yayasan Badan Pembina Universitas Ibnu Khaldun Jakarta, dan juga mendirikan dan menjadi salah seorang
Ketua Yayasan Kebajikan Islam
Samanhudi Jakarta tahun 1974, bersama KH. Abdurrahman Wahid, Prof. DR. Nurcholis Majid dan Kefrawi Ridwan, yang kemudian berlanjut menjadi Majelis Pengajian Reboan yang dipimpin Eki Syachrudin dan Utomo Danajaya. Beliau mensponsori berdirinya Group Diskusi Haji dan Menjadi Sekertarisnya, dengan Ketua Syukri Ghozali (Ketua MUI Pusat) yang mengumpulkan bahan, saran, dan perbaikan dan penyempurnaan perjalanan haji Indonesia kepada Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dan Pemerintah Pusat. Kemudian, beliau memimpin proyek percobaan kafilah haji Pemda DKI tahun 1976, yang selanjutnya di kembangkan secara nasional menjadi kloter (kelompok terbang). A.M. Fatwa juga menjadi Sekjen Amal Muslimin 1976, saat di ketuai Letjend Soedirman, sebuah konfederasi dari ormas-ormas Islam yang saat diketuai Ny. R.A. B. Syamsuridjal mengantarkan kelahiran Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Bersama Mr. Sjafruddin Prawiranegara, pada tanggal 5 Mei 1980, AM. Fatwa turut serta dalam pernyataan dan keprihatinan/petisi 50 dan menjadi Sekertaris Kelompok Kerja (POKJA) hingga di penjara dan menjadi tahanan politik karena kasus “Lembaran Putih” Peristiwa Tanjung Priok 1984 dengan hukuman 18 tahun penjara atas tuntutan seumur hidup, lalu diganti oleh Cris Siner Key Timu.
lxv
Sebelumnya Beliau pun mendirikan Korps Mubaligh Indonesia (KMI) dan menjadi Ketua II KMI pada tahun 1982. hingga kini masih menjadi Badan Pembina Yayasan Asrama Pelajar Islam (YAPI) yang mengelola Asrama Mahasiswa Islam Sunan Giri dan Sunan Gunung Djati, yang dulu di rintis oleh tokoh-tokoh
Islam,
seperti
Prawoto
Mangkusasmito,
Yusuf
Wibisono,
Muhammad Roem, Yusdi Ghozali, Anton Timur Djaelani dan Wartomo. Beliau merupakan salah satu tokoh agama yang di tangkap karena pidato dan ceramah agama yang di sampaikan kepada masyarakat di anggap menentang pemerintahan Soeharto, karena Beliau melihat bahwa kebijakan yang dilakukan dan diterapkan oleh Soeharto sangat merugikan masyarakat, sehingga AM Fatwa sangat berani mengambil sikap dengan melakukan perlawanan dengan cara berdakwah yang isinya membahas dan mengkritisi kebobrokan/kedzoliman pemerintahan Soeharto, sehingga pemerintahan Soeharto mengharuskan dia untuk dijebloskan ke penjara selama beberapa tahun oleh pemerintahan Soeharto karena dianggap merusak keharmonisan dan cita-cita asas ideologi tunggal yaitu Pancasila. AM Fatwa merupakan salah satu tokoh politik yang sampai saat ini masih konsern dalam menyebarkan Islam melaui pemikiran-pemikiran dan khutbahkhutbah yang di sampaikan, bahkan sekarang beliau banyak menyuarakan melaui tulisan-tulisannya, beliau juga pernah dipenjara pada masa rezim orde baru, akibat dari khutbah-khutbah beliau yang menceritakan tentang kondisi rill pada saat itu, dimana kekuasaan orde baru sangat otoriter dan sangat menghimpit umat Islam.
lxvi
“Mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya”. Inilah kalimat terakhir yang digoreskan secara kuat oleh A.M. Fatwa dalam buku AM Fatwa dari Mimbar ke Penjara. Perjalanan panjang dan melelahkan dari penjara ke penjara – untuk menemukan kebebasan dan keadilan – sepertinya dia simbolkan dalam sabda Illahi tersebut. Kita memang tidak dapat menukik ke dalam sanubari A.M. Fatwa dan ikut bersamanya menyelami “kegelapan” yang pernah dilaluinya dan cahaya yang kemudian menyinarinya. AM Fatwa pun tidak hanya berdakwah saja, kita saat ini mengenal beliau sebagai salah satu tokoh politik yang masih produktif hingga saat ini karena masih menyampaikan pemikiran-pemikirannya melalui karya-karya dan buku yang di terbitkan. Dengan banyak pengalaman yang dimiliki dan bahkan pernah merasakan keadaannya sewaktu menjalankan aktifitasnya, sehingga membuatnya ingin merubah keadaan sekarang agar tidak seperti kejadian-kejadian yang pernah dialaminya pada saat ia menyampaikan pesan-pesan dakwah yang di anggap mengandung unsur provokatif di masyarakat A.M. Fatwa merupakan tokoh yang dikenal sangat kritis dan banyak melakukan perlawanan melalui dakwah berserta materi yang disajikan di dalamnya mempunyai beberapa konsep pemikiran untuk tetap kritis terhadap rezim. Konsistensi beliau terhadap nasib umat Islam, baik pada saat rezim Orde Baru maupun setelah Orde Baru masih tetap diperjuangkan. Orde Baru harus dijadikan pembelajaran, karena beliau selalu mengingatkan agar umat Islam harus
lxvii
bangkit untuk mengisi masa depan, agar lebih baik dan tidak hancur dan terpecah belah dalam keterpurukan serta termarjinalisasi. A.M. Fatwa saat ini telah menjadi ikon sebuah perlawanan yang telah dilakukannya dengan sikap kritis pada rezim Orde Baru. Sikap kritis dan perlawanannya terhadap setiap bentuk otoritarianisme dan penindasan sudah menjadi ruh didalam dirinya. Keprihatinan terhadap kondisi penguasa yang semakin otoriter, telah mendorong A.M. Fatwa untuk aktif dan menjadi sekertaris Kelompok Kerja Petisi 50, yang merupakan sebuah gerakan moral yang melakukan perlawanan sengit terhadap rezim Soeharto yang semakin represif, hal inilah yang membuat A.M. Fatwa semakin tidak menyurutkan kritisismenya dan bahkan melakukan perlawanan yang semakin sengit, dan hal tersebutlah yang menyebabkan A.M. Fatwa di vonis 18 tahun penjara atas peristiwa Tanjung Priok pada tahun 1984. Walaupun masa tahanan tersebut tidak dijalani sepenuhnya karena mendapatkan pembebasan bersyarat dan juga mendapatkan amnesti setelah jatuhnya rezim Soeharto. Akan tetapi, dari masa tahanan yang dijalani A.M. Fatwa beberapa kali masuk penjara dan mendekam tidak kurang dari 12 tahun, sebuah masa tahanan politik paling lama dibandingkan tahanan politik lainnya khususnya di Asia Tenggara. Bagi A.M. Fatwa, penjara bukan senjata yang bisa menghabiskan sikap kritisnya, bahkan dari penjaralah perjalanan hidup politiknya dan menjadi tempat pematangan politiknya. Dari penjara tersebut lahir banyak ide dan kreatifitas yang
lxviii
tidak jarang mengguncang peradaban. Banyak karya-karya yang monumental yang tercetus dari balik jeruji penjara. Selama masa perjuangan hidup, Beliau dalam perjalanan terutama dalam karir Dakwah telah menulis beberapa buku diantaranya : 1. Dulu demi Revolusi, kini demi pembangunan ; Eksepsi di Pengadilan (1985) 2. Demi Sebuah Rezim, Demokrasi dan Keyakinan Beragama Diadili; Ringkasan Pledoi di Pengadilan (1986, 2000) 3. Saya Menghayati dan Mengamalkan Pancasila, Justru Saya Seorang Muslim ; Sebuah Skripsi Pembebasan (1994) 4. Islam dan Negara (1995) 5. Agama dan Negara Dalam Konstelasi Politik Orde Baru (1997) 6. Menggugat dari balik Penjara, Surat-surat Politik A.M. Fatwa (1999) 7. Dari Mimbar ke Penjara (1999) 8. Satu Islam Multipartai (2000) 9. Demokrasi Teistis (2001) 10. Otonomi Daerah dan Demokratisasi Bangsa (2003) 11. PAN mengangkat Harkat dan Martabat Bangsa (2003) 12. Kampanye Partai Politik di Kampus (2003) 13. Dari Cipinang ke Senayan (2003) 14. Catatan dari Senayan (2004) 15. Melanjutkan Reformasi Membangun Demokrasi (2004) 16. Problem Kemiskinan, Zakat sebagai solusi Alternatif (ditulis bersama Djamal Doa dan Arief Mufti (2004)
lxix
17. PAN Menyongsong Era Baru Keharusan Reorientasi (2005) 18. Pengadilan HAM AD HOC Tanjung Priok ; Pengungkapan kebenaran untuk rekonsiliasi Nasional (2005) 19. Khutbah-khutbah politik A.M. Fatwa di Masa Orde Baru (2007) 20. Satu Dasawarsa Reformasi Antara Harapan dan Kenyataan (2008)41 Dari seluruh buku yang telah ditulisnya, sangat terlihat bahwa perjalanan hidupnya tidak pernah lepas dari perjuangan yang telah memberinya kesempatan untuk mengabdi pada kepentingan rakyat melalui perannya di parlemen. Selain Produktif
menulis buku, A.M. Fatwa juga banyak menerima
penghargaan dari berbagai Instansi-instansi organisasi atas peran yang dimainkannya di parlemen. diantaranya : 1. Menerima
Award
sebagai
“Pegawai
Negeri
dan
Politisi
yang
berpendirian” dari DPP KNPI, tahun 1999. 2. Menerima “Profil Top Indonesia 2002” dari pusat Profil dan Biografi Indonesia, Mei 2002 3. Menerima “Top Executive Award 20002” dari yayasan Prestasi Indoensia, 10 Mei 2002 4. Menerima “Citra Manajemen Award 2002” dari Media Exekutive Penunjang Karir dan Profesi, 30 Juni 2002 5. Menerima “Man of the Year 2002”, dari yayasan Penghargaan Indonesia, 13 September 2002.
41
Watson, C.W , Margono, Muhajjir Arief Rahmani, Membaca A.M. Fatwa ; Perubahan dan Konsistensi, (Jakarta : Teraju, 2008) h. 159
lxx
6. Menerima “Well Performed Men and Women of the Year 2003 Award” dari Indonesia Lestari Foundatioon 19 September 2003. 7. Menerima Penganugrahan Gelar Marga “Ginting”, di Bastagi, Sumatera Utara. 1 Maret 1999. 8. Menerima Penganugrahan Gelar Marga “Harahap” dengan panggilan “Mangraja Ompu Sarudak Hatorangan”, dan sebutan untuk Istri “Namora Ikutan Boru Regar”, di Padang Sidempuan, 4 Agustus 2001 9. Menerima Piagam Adat dari Sai Batin Raja Adat Keratuan Paksi Pak Skala Brak (kerajaan tertua di Lampung) dengan gelar “Tumenggung Alip Jaya”, 7 September 2003. 10. Menerima Piagam Adat dari Padang Sidempuan
“Kanjeng Pangeran
Notohadinagoro” dari Pakubuwono XII Keraton Surakarta 11. Penyerahan ”Anugerah Negara Mahaputera Adipradana” dari Presiden SBY pada Peringatan HUT Proklamasi RI ke-63 di Istana Negara tanggal 14 Agustus 2008 12. Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad menyerahkan pengahargaan sebagai ”Pejuang Anti Kezaliman” di Teheran pada tanggal 29 Januari 2009. 13. Mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Negeri Jakarta di Bidang Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan pada tanggal 16 Juni 2009.
lxxi
C. Dakwah menurut A. M. Fatwa Dakwah merupakan suatu aktivitas yang sifatnya mengajak dan merupakan suatu kewajiban yang harus dijalankan oleh seorang muslim guna menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini sudah menjadi suatu tradisi sejak Allah SWT menurunkan surat an-Nahl ayat 125 sebagai perintah kepada rasulNya dan kemudian untuk dilanjutkan kepada generasi penerus umat (warisatul anbiya’).42 Kata ud’u yang artinya diterjemahkan dengan “serulah” atau “ajaklah” adalah fiil amr. Dalam kaidah atau aturan ushul fiqih menjadi wajib hukumnya selama belum ada ketentuan lainnya yang dapat menggantikan hukum tersebut. Sebagaimana dijelaskan Prof. H.M. Toha Yahya Omar, MA “…setiap fiil amr menjadi perintah wajib yang harus dipatuhi selama tidak ada dalil-dalil lain yang memalingkannya dari wajib itu kepada “sunnat” dan lainnya...”.43 Secara definitif banyak sekali para pakar ilmu dakwah yang memberikan pengertian tentang apa itu dakwah. Dari berbagai pengertian yang mereka buat dapat disimpulkan bahwa dakwah adalah mengajak seluruh umat manusia untuk selalu menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya berdasarkan al-Quran dan hadis yang telah diwariskan oleh nabi Muhammad SAW. Berbicara mengenai definisi, A. M. Fatwa juga memiliki definisinya sendiri. Sebagai seorang praktisi dakwah yang bergelut di dunia politik, A. M.
42 Lihat TK. Ismail Yakub, “Dakwah Islam dan Kepastian Hukum : Aturan Permainan Itu Sudah Ada” (Yogyakarta: Prima Duta, 1983), Cet. Ke-1, hal. 101. 43 Prof. H. M. Toha Yahya Omar, MA, ”Islam dan Dakwah ,” (Jakarta: PT. Al-
Mawardi Prima, 2004), Cet. Ke-1, hal. 71.
lxxii
Fatwa melihat dakwah merupakan “segala aktivitas yang bersifat mengajak atau menyeru kepada kebenaran dan kebaikan yang diajarkan agama dengan tujuan untuk menciptakan taraf kehidupan yang bahagia, baik di dunia maupun di akhirat.” 44 Definisinya tentang dakwah bisa kita telisik lebih dalam bahwa ajakan yang diserukan oleh para da’i saat berdakwah pada hakikatnya merupakan untuk kemaslahatan seluruh umat manusia. Karena pesan-pesan yang disampaikan oleh para da’i adalah nilai-nilai ilahiyah yang selalu dianjuran Tuhan untuk menghindari umat manusia dari segala bentuk kerugian, baik materil maupun non materil. A. M. Fatwa merupakan tokoh Islam di Indonesia yang lahir dari rahim organisasi Muhamadiyyah. Dalam menjalankan aktivitas dakwahnya, ranah politik merupakan kendaraan strategis yang beliau gunakan untuk menyebarkan pesan kebenaran. Karena target utamanya dalam berdakwah pada saat itu (sejak tahun 1970-an) adalah meluruskan rezim otoriter orde baru yang selalu berlaku lalim terhadap amanat yang diembannya dalam memimpin masyarakat Indonesia. Nasionalisme di Indonesia, merupakan hasil dari intensitas pergumulan nilai-nilai agama dan konstruksi kenegaraan. Pancasila dan UUD 1945 begitu transparan meletakkan agama sebagai panduan kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah corak nasionalisme (nationhood) religius. Nasionalisme religius ini merupakan mainstream dalam perjalanan nasionalisme diberbagai Negara,
44
Wawancara pribadi dengan A. M. Fatwa, Jakarta, 16 Juni 2009.
lxxiii
setelah sekian lama berada dalam cengkraman sekularisme45 dan menjadi suatu kewajiban bagi semua individu untuk mencintai bangsa dan Negara yang merupakan tempat lahir, tumbuh dan juga untuk menikmati hasil bumi yang dipijak dan pada akhirnya akan meninggal dalam tanah air yang sama. Tak hanya itu A.M. Fatwa menambahkan bahwa landasan nasionalisme (kecintaan terhadap tanah air) bagi setiap muslim sudah cukup kuat. Dengan landasan tersebut maka ketika memaknai dan mengaplikasikan semangat nasionalisme tidak akan terdapat keraguan lagi, serta menjadikan suatu nilai ibadah. A.M. Fatwa pun mengungkapkan bahwa makna genetik dari kata Islam adalah damai atau kedamaian, dari ajaran-ajaran Islam yang komperhensif dapat dipahami bahwa Islam mengajarkan sikap dan prilaku untuk menciptakan perdamaian. Islam pun melarang tindakan kekerasan dan perusakan baik terhadap sesama manusia maupun pada alam, karena Islam merupakan agama yang menjadi rahmat bagi sekalian alam (rahmatan li al-amiin) Banyak saat ini sering terjadi konflik dan tindakan kekerasan dan bahkan aliran-aliran sempalan yang mengatasnamakan agama dan ajaran Islam, baik menggunakan simbol-simbol tertentu atau pengungkapan secara verbal, yang mengakibatkan agama Islam mendapat image negatif. Ini adalah sebuah realitas kontradiktif antara idealitas ajaran dengan realitas perilaku pemeluknya dalam kehidupan keseharian Dalam pandangannya A.M. Fatwa mengungkapkan bahwa, tindakan tersebut dapat terjdai dalam lingkungan masyarakat disebabkan oleh beberapa 45
A.M. Fatwa, “Nasionalisme Religius dan Stereotip Terorisme Global”, http://www.amfatwa.com, diakses pada tanggal 19Desember 2009
lxxiv
faktor. Pertama karena pesoalan politik, hal ini terlihat dari beberapa peristiwa perusakan dan tindak kekerasan karena persaingan politik maupun rekayasa yang bernuansa politik, sehingga emosi masyarakat naik dan memuncak untuk saling berhadapan dengan saudaranya sendiri. Kedua, karena kekecewaan terhadap kensenjangan sosial yang tidak sejalan dengan harapannya, baik dalam masalah ekonomi, politik, hukum, maupun budaya. Ketiga, karena pemahaman sepihak terhadap ajaran keagamaan yang mendorongnya bertindak dan berlaku ekstrem tanpa mempertimbangkan maslahat dan madharatnya bagi kehidupan masyarakat yang sangat beragam, baik dari segi suku, agama, maupun golongan.46 Untuk mendapatkan hasil yang maksimal seorang da’i harus benar-benar mempersiapkan segala kebutuhan yang ia perlukan untuk berdakwah. Hal ini ditegaskan juga oleh A. M. Fatwa saat penulis melakukan wawancara kepadanya. Dari hasil wawancara tersebut ternyata secara praktis beliau juga sangat memperhatikan segala sesuatu yang dibutkan oleh seorang da’i saat berdakwah, yaitu unsur dakwah. Dalam kerangka epistemologi ilmu dakwah, kita semua mungkin sudah mengenal bahkan akrab dengan unsur-unsur dakwah. Unsur dakwah merupakan hal yang harus diperhatikan oleh para praktisi dakwah yang ingin melaksanakan aktivitas dakwah. Semua unsur tersebut merupakan salah satu kunci sukses yang
46 A.M. Fatwa mengungkapkan Dari ketiga Faktor tersebut merupakan potensi yang bisa menimbulkan tindakan anarkis yang sangat mengerikan untuk lebih jelas baca dari kumpulan Artikel, makalah dan khutbah yang disampaikan pada Hari Raya Idul Fitri pada tahun 2005 bertempat di Lapangan Jl. Proklamasi Depok II Tengah, Depok, dan kini dibukukan pada buku ”Menghadirkan Moderatisme Melawan Terorisme” Penerbit Hikmah tahun 2006 cetakan I, hal. 24 25
lxxv
harus dikuasai oleh seorang da’i yang ingin mencurahkan keseluruhan hidupnya untuk benar-benar berdakwah, guna mencapai hasil yang maksimal. Sistem merupakan perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk sebuah totalitas. Karena antara unsur yang satu dengan yang lain saling berkesinambungan, maka kesemua unsur tersebut harus dipersiapkan dengan baik dan paripurna. Unsur dakwah tidak dapat terpisahkan antara bagian yang satu dengan yang lainnya. Apabila ada satu unsur yang tidak terpenuhi, sangat mustahil dakwah yang dialakukan oleh seorang da’i bisa berjalan dengan baik. Unsur-unsur dakwah ini terbagi dalam enam bagian,47 yang terdiri dari: da’i, mad’u, materi (maddah), media (wasilah), metode (thariqah), yaitu cara atau model yang digunakan oleh seorang da’i untuk menyampaikan pesan-pesan dakwahnya agar dapat diserap atau diterima oleh khalayak luas, efek (atsar). Da’i merupakan subjek dakwah yang melaksanakan kegiatan dakwah, menyebarkan pesan-pesan keagamaan kepada umat Islam. Selain itu, seorang da’i merupakan regenerasi atau pewaris tugas kenabian dalam menyebarkan ajaran Islam kepada seluruh umat manusia di dunia. Mereka merupakan orang-orang pilihan Allah SWT yang diciptakan untuk menjadi agent of change. Seorang da’i disebut ideal dalam pandangan A. M. Fatwa bukan hanya memiliki kemampuan teknik dan kepandaian dalam menguasai materi dakwah, seperti pemahaman terhadap kandungan – dan – kefasihan membaca ayat dan hadis, tetapi juga harus mampu menampilkan keteladanan dalam kehidupan 47
M. Munir dan Wahyu Ilham, “Manajemen Dakwah,” (Jakarta: Kencana, 2004), Cet. Ke-1, hal. 21-35.
lxxvi
keseharian (dakwah bi al-hal). Selain itu, seorang da’i di tuntut untuk memahami perkembangan kontemporer agar dapat mengkontekstualisasikan ajaran-ajaran Islam,
sehingga
ajaran Islam
dapat dijadikan
sebagai rujukan dalam
menyelesaikan masalah-masalah kehidupan nyata yang di hadapi oleh umat. Seorang da’i yang baik adalah yang dapat menampilkan wajah Islam yang memudahkan, bukan yang menyulitkan umat.48 Dakwah sebagai komunikasi keagamaan adalah salah satu kebutuhan batiniah manusia yang sangat mendasar.49 Tanpa agama, maka kita akan kembali kepada kehidupan jahiliyah. Sebab itu, seorang da’i harus mengerahkan segala usaha dan kemampuannya untuk bisa memberikan pencerahan spiritual kepada umat Islam di tanah air. Untuk merealisasikan hal tersebut, maka saat menyampaikan materi dakwah seorang da’i harus pandai mengartikulasikan bahasa, cakap dalam beretorika, dan pandai mengolah bahasa, agar apa yang ia sampaikan mudah dipahami, ditangkap, diserap dan tidak membingungkan mad’u. Apabila bahasa yang digunakan oleh seorang da’i tidak dimengerti dan tidak dipahami oleh mad’u, dakwah yang ia lakukan jangan harap mendapat perhatian dari para pemirsa (mad’u). Salah satu usaha tersebut menurut penulis adalah seorang da’i
48
Wawancara penulis dengan A. M. Fatwa tanggal 16 Juni 2009 Dalam wacana komunikasi, Wilbur Schramm mengatakan manusia adalah “the communication animal”. Karena itu, manusia tidak boleh tidak berkomunikasi. Dalam konteks ini, jika para “warisatul anbiya” tidak menyampaikan pesan-pesan Tuhan dengan baik, maka manusia di seluruh muka bumi ini akan hidup dalam kesesatan. Lihat Toto Asmara, “Komunikasi Dakwah”, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1957), Cet. Ke-2, hal. 6. 49
lxxvii
yang berdakwah harus pandai memilah kata sesuai dengan objek dakwah (mad’u) yang dihadapi.50 Saat berdakwah, metode merupakan hal yang sangat penting diperhatikan oleh seorang da’i. Karena terkadang metode menjadi lebih penting daripada pesan yang ingin disampaikan oleh seorang da’i ketika berdakwah. Metode adalah cara atau model yang digunakan oleh seorang da’i untuk menyampaikan pesanpesan dakwahnya agar dapat diserap atau diterima oleh khalayak luas. Negara kita merupakan negara multikultur yang tiap wilayahnya memiliki karakteristik berbeda. Penerapan metode dakwah yang tepat terkait dengan konteks Indonesia menurut A. M. Fatwa adalah metode yang dapat mengakomodasi budaya lokal masyarakat tanpa mendistorsi ajaran substansi Islam. Dengan demikian, masyarakat akan lebih mudah untuk memahami ajaranajaran Islam karena terasa menyentuh secara langsung kehidupan keseharian mereka.51 Selain metode, saat berdakwah media merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan. Media adalah alat bantu yang digunakan oleh seorang da’i saat melaksanakan aktivitas dakwah. Seorang da’i harus mampu beradaptasi dengan media dakwah yang terus berkembang seiring berkembangnya teknologi komunikasi, terutama media massa, baik catak maupun elektronik. 50
Berkaitan dengan hal ini kemudian Benjamin L. Whorf bahasa adalah pandu realitas sosial. Pandangan kita tentang dunia dibentuk oleh bahasa, dan karena bahasa berbeda, pandangan kita tentang dunia pun berbeda pula. Lihat Jalaluddin Rakhmat, “Psikologi Komunikasi,” hal. 248-249. kemudian Mc Luhan juga mengatakan bahwa setiap media memiliki tata bahasa sendiri, yakni seperangkat peraturan yang erat kaitannya dengan berbagai alat indra dalam hubungannya dengan penggunaan media. Setiap tata bahasa media memiliki kecenderungan pada alat indra tertentu. Televisi misalnya, adalah perpanjangan alat indra lihat dan dengar. 51 Wawancara pribadi dengan A. M. Fatwa, Jakarta, Rabu, 16 Juni 2009
lxxviii
Seiring dengan perkembangan teknologi yang selalu dinamis, terdapat banyak sekali media yang dapat digunakan untuk berdakwah. Pemilihan media dakwah yang tepat akan membantu seorang da’i saat menyampaikan pesan-pesan dakwahnya kepada mad’u. Pemilihan media dakwah yang tepat bisa kita lihat dari medan dakwah yang akan dihadapi da’i. Untuk konteks di Indonesia, mungkin televisi merupakan salah satu media komunikasi yang efektif. Karena televisi mampu mengatasi hambatan aktivitas dakwah, yaitu jarak, ruang, dan waktu. Komentar A. M. Fatwa mengenai media dakwah memang cukup mengesankan. Menurutnya pemilihan media dakwah yang tepat tergantung pada segmen audiensi yang dihadapi oleh seorang da’i saat berdakwah. Saat penulis wawancarai beliau menanggapi hal ini demikian: ”Jika untuk masyarakat awam, tentu saja dakwah bil-lisan dengan melakukan ceramah-ceramah di masjid, mushala, dan majelis ta’lim tetap relevan. Dan untuk menjangkau masyarakat luas, ceramah-ceramah tersebut bisa disebarkan melalui media elektronik. Namun, untuk masyarakat kelas menengah terpelajar, media massa cetak dan media lain dalam bentuk tulisan juga sangat efektif untuk menyampaikan pesan. Dan bagi masyarakat yang melek teknologi, tentu dakwah akan lebih mudah di akses melalui media internet, baik melalui blog, facebook, dan lain sebagainya. Yang jelas, media dakwah senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan para da’i dituntut untuk mengikuti perkembangan tersebut agar dapat menjangkau seluruh masyarakat yang membutuhkan bimbingan agama agar berada dalam rel yang digariskan”52.
Pemahaman A. M. Fatwa mengenai dakwah memang sangat luas. Untuk mempermudah memahami pemikiran A. M. Fatwa tentang dakwah, penulis akan coba menyimpulkannya dalam bentuk tabel sebagai berikut:
52
Wawancara Penulis dengan A.M. Fatwa pada tanggal 16 Juni 2009
lxxix
DAKWAH MENURUT A. M. FATWA Media; da’i harus mengikuti perkembangan teknologi komunikasi
Da’i; Kompeten dan memiliki kapasitas keilmuan yang mumpu-ni (keislaman dan IPTEK).
Metode; 1. Dialogis 2. Akomodatif, dan 3. Adaptif
Mad’u (pemirsa); Universal (seluruh umat manusia) Materi; 1. Informatif 2. Edukatif 3. Menghibur 4. Relevan
Tujuan; amar ma’ruf nahi munkar
Tabel. 1
Da’i yang ideal dalam pandangan A.M. Fatwa ; Pertama, Tidak hanya memiliki kepandaian dalam menguasai materi dakwah seperti kandungan maupun kefasihan dalam membaca ayat dan hadits, akan tetapi harus mampu, Kedua, Menampilkan keteladanan dalam kehidupan sehari-hari (dakwah bi al-hal) di masyarakat. Ketiga, Harus bisa memahami perkembangan kontemporer agar dapat mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam agar ajaran tersebut dijadikan rujukan dalam menyelesaikan masalah-masalah kehidupan nyata yang di hadapi oleh umat. Dan juga materi yang akan di sampaikan oleh da’i haruslah bersifat
lxxx
a. Informatif dimana isi materi menjelaskan / memaparkan apa yang sebenar-benarnya
terjadi
sehingga
mad’u
(masyarakat)
mengetahuinya b. Edukatif, yaitu mengajarkan kepada mad’u (masyarakat) apa yang seharusnya dilakukan. c. Menghibur, dimana materi yang disampaikan juga tidak monoton sehingga mad’u
tidak jenuh untuk menerima
pesan
yang
disampaikan hingga selesai. d. Bahasa yang digunakan relevan, sehingga dalam penyampaian harus mudah diserap, dipahami dan tidak membingungkan.
Dan seorang da’i pun di tuntut harus menggunakan metode-metode yang efektif dalam menyampaikan pesan dakwah seperti : a. Metode Dialogis : dimana seorang da’i harus memiliki keterbukaan dalam penyamapaian pesan, dan tidak ada yang dirahasiakan b. Metode Akomodatif : dimana da’i diharuskan untuk mampu menjembatani permasalahan yang terjadi di masyarakat c. Metode Adaptif : seorang da’i harus mengetahui dan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi mad’u agar pesan yang disampaikan mudah dipahami.
Menurut A.M. Fatwa pemilihan ataupun penggunaan media dakwah yang tepat yaitu tergantung pada audience yang dihadapi oleh da’i saat berdakwah. Dimana media merupakan sebagai alat bantu sehingga sangat penting untuk
lxxxi
digunakan oleh da’i dalam menyampaikan pesan dakwahnya. Saat ini para da’i harus bisa beradaptasi dengan perkembangan teknologi komunikasi, terutama media massa baik cetak maupun elektronik agar dapat menjangkau seluruh masyarakat yang membutuhkan bimbingan agama agar berada dalam rel yang digariskan
Di masa orde baru dakwah Islam selalu dicurigai rezim Soeharto. Sering kali dakwah Islam dianggap sebagai upaya penentangan terhadap ideologi negara. Tidak sedikit da’i yang sesungguhnya menyampaikan ajaran agama sebagaimana yang diyakini, dianggap sebagai penentang ideologi negara, sehingga kemudian ditangkap dan dipenjarakan. Tapi saat ini, kejadian-kejadian semacam itu sudah tidak ada lagi. Karena itu, sudah saatnya dan sudah seharusnya seorang da’i saat ini harus lebih nyaring menyuarakan pesan kebenaran. Satu hal penting agar para da’i memiliki kontribusi yang signifikan dalam pembangunan umat adalah menjadi motivator yang baik. Umat Islam perlu diberi motivasi agar mereka menjadi umat yang maju. Motivasi tersebut sangat diperlukan mengingat sebagian umat Islam masih mengidap inferiority complex atau kompleks rendah diri. Umat harus di dorong untuk memahami ajaran Islam sebagai sumber nilai yang ingin menciptakan masyarakat yang berperadaban tinggi.53
53
Wawancara pribadi dengan A. M. Fatwa, Jakarta, Rabu, 18 Juli 2009.
lxxxii
D. Aktivitas Dakwah A. M Fatwa A. M. Fatwa merupakan tokoh Islam di Indonesia yang lahir dari rahim organisasi Muhamadiyyah. Dalam menjalankn aktivitas dakwahnya, ranah politik merupakan kendaraan strategis yang beliau gunakan untuk menyebarkan pesan kebenaran. Karena target utamanya dalam berdakwah pada saat itu (sejak tahun 1970-an) adalah meluruskan rezim otoriter orde baru yang selalu berlaku lalim terhadap amanat yang diembannya dalam memimpin masyarakat Indonesia. Aktivitas dakwah yang dilakukan A. M. Fatwa pada rezim orde baru selalu mendapatkan kontrol yang sangat ketat. Seluruh khutbah, ceramah, pidato, makalah ditelisik secara detail oleh penguasa dan agen-agennya. Saat berdakwah, banyak sekali khutbah dan tulisan A.M. Fatwa yang menurut pandangan orde baru dianggap tabu dan tidak layak untuk disampaikan. Karena materi dakwah yang beliau sampaikan cenderung mengkritik dan bahkan menolak kebijakan pemerintah pada saat itu. Sehingga beliau sering ditangkap dan dipenjara. Hal ini dapat dibuktikan saat A.M. Fatwa dipercayai untuk menjadi khatib Idul Fitri di Lapangan Pacuan Kuda Pulomas, tahun 1979. Saat itu beliau menyampaikan isi khutba ied dengan judul “Para Pemimpin, Sadar dan Istigfarlah atas peringatan tuhan dengan berbagai Bencana di Tanah Air”. Selesai beliau khutbah, Satgas Intel Laksus Kodam Jaya menangkap A.M. Fatwa dan seluruh panitia penyelenggara di tahan sebulan lamanya, karena khutbah ied yang disampaikannya tersebut banyak mengkritik kebijakan pemerintah, khususnya gerakan politik yang dilakukan oleh Ali Moertopo yang merupakan bentuk indoktrinasi terhadap P4, serta intervensi CSIS dalam hal mempengaruhi
lxxxiii
kebijakan
politik-ekonomi
pemerintah,
sehingga
terlihat
Ali
Moertopo
menginterfensi dan mendominasi BAPPENAS.54 Tahun 1980, A.M. Fatwa dan ketua panitia dari Asrama Pelajar dan Mahasiswa Islam Sunan Gunung Djati, ditahan kurang lebih sebulan oleh Laksus Kopkamtibda Jaya akibat peristiwa Idul Fitri di Lapangan Urip Sumohardjo, Jatinegara, dikarenakan aparat intel yang sudah melarang A.M. Fatwa untuk menyampaikan khutbahnya yang diberi judul “Tegakkan Pancasila dalam Wajah Manusia, Bukan Wajah Hantu”. Bentuk pelarangan sudah dilayangkan sebelum A.M. Fatwa menyampaikan khutbah tersebut. Karena sebelumnya para intel dan agen telah melihat isi naskah khutbah yang isinya lagi-lagi mengkritik pemerintahan orde baru. Pada hari raya Idul Adha tahun 1980, A.M. Fatwa ingin menyampaikan khutbah yang berjudul “Peranan Ulama Keraton dan Pengorbanan Ulama Rakyat” bertempat di Lapangan Setiabudi, Jakarta Selatan. Namun A.M. Fatwa gagal menyampaikan khutbahnya karena seminggu sebelum Idul Adha, panitia di tekan untuk segera membatalkan penyampaian khutbah yang akan disampaikan oleh A.M. Fatwa. Akan tetapi, karena ketua panitia H. Marwin Maulana tetap bersikeras menolak, maka Kodim Jakarta Selatan membentuk shalat Ied (tandingan) dan juga melakukan teror. Maka untuk menghindari kejaran Intel, A.M Fatwa mengajak H. Mawin untuk bersembunyi beberapa hari di Masjid
54 Pengantar A.M. Fatwa dalam buku ”Khutbah-khutbah Politik A.M. Fatwa Di Masa Orde Baru” dimana A.M. Fatwa menceritakan secara kronologis
apa yang dialaminya pada saat itu yang berakhir dengan pemecatannya. Penerbit Suara Muhammadiyah Cet I April 2007
lxxxiv
Istiqamah, kampus PTDI, Tanjung Priok yang di pimpin oleh Prof. Osmani AlHamidy dan akhirnya pulang kerumah saat malam Idul Adha. Tiga hari sebelum hari raya, tepatnya Pada tahun 1984 A.M. Fatwa pun sudah diinapkan oleh panitia di rumah penduduk yang dekat dengan masjid. Ketika menjelang subuh pada hari raya Idul Fitri, A.M. Fatwa dipindahkan ke rumah tepat dipinggir lapangan tempat shalat Ied yang akan diselenggarakan, sementara petugas Intel yang sudah mengetahui bahwa A.M. Fatwa akan menyampaikan khutbah di tempat tersebut, sehingga mereka berkeliaran di berbagai sudut lapangan untuk mencegah A.M. Fatwa untuk menjadi khotib, dan panitia pun telah menyiapkan mimbar “tipuan” di samping tempat Imam yang orangnya telah ditentukan oleh Panitia. A.M. Fatwa pun ikut menjadi makmum shalat Ied dari dalam rumah panggung dipinggir lapangan. dan ketika Imam mengucapkan salam, A.M. Fatwa langsung keluar dari panggung dan langsung mendirikan mimbar khotib yang semula dibaringkan. Dan saat itu juga dengan selesainya sholat Idul Fitri, A.M. Fatwa langsung menyampaikan khutbahnya dengan memulai salam dan takbir di halaman masjid Istiqomah Kemayoran Jakarta Pusat dengan judul khutbahnya “Akhlak Politik Orde Baru di Mata Umat dan Sorotan Al-Quran”, seketika itu pula intel-intel kebingungan dan berkeliaran, dan juga tidak mungkin mereka langsung menurunkan dari mimbar.55 Pada
55
Setelah selesai berkhutbah A.M. Fatwa dibawa kabur dan bersembunyi di rumah orang Arab dekat pasar Tanah Abang selama seminggu. Selama dalam persembunyiannya A.M. Fatwa mendapatkan kabar oleh tetangga yang rumahnya berada di depan rumah Pak Harto di Jalan Cendana, bahwa dia sempat mendengar percakapan melalui handy talky para intel yang mencoba mengepung penulis dengan mengatakan “Kecoak berhasil tampil menjadi khotib.” cerita ini berdasarkan tulisan Pengantar A.M. Fatwa dalam buku Khutbahkhutbah Politik A.M. Fatwa di Masa Orde Baru, Penerbit : Suara Muhammadiyah Yogyakarta Cet. I April 2007”
lxxxv
khutbah ini, A.M. Fatwa berhasil menyampaikan khutbahnya melalui tipu daya yang dilakukan oleh Panitia. Setelah selesai khutbah A.M. Fatwa pun langsung dibawa lari oleh panitia dan bersembunyi dirumah orang Arab dekat pasar Tanah Abang selama seminggu, setelah itu A.M. Fatwa diinterograsi dan ditahan. Selain itu, banyak Dakwahan yang di arahkan kepada A.M. Fatwa di antaranya adalah delik subversi, delik penghinaan terhadap kekuasaan yang ada, dan delik penyebaran berita bohong yang menyebabkan keonaran di dalam masyarakat. Dasar dakwaan adalah khutbah-khutbah atau ceramah A.M. Fatwa dan juga keterlibatan A.M. Fatwa dalam petisi 50 atas terbitnya Lembaran Putih Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984. Dalam perkara menurut Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dikoordinir oleh Bob Nasution, SH yang menjabat sebagai Kajari Jakarta Pusat, ada tujuh khutbah dan ceramah penulis yang isinya subversif, yaitu berisi ucapan-ucapan dan juga memuat kalimat-kalimat yang bersifat merongrong/menyelewengkan ideologi Negara yaitu Pancasila atau Haluan Negara, merongrong kewibawaan pemerintah yang sah dan aparatur Negara, serta menyebarkan rasa permusuhan atau menimbulkan permusuhan, pertentangan di antara kalangan penduduk atau masyarakat yang bersifat luas. Ketujuh khutbah dan ceramah itu adalah “Tegakkan Kekuatan Politik Islam, Jangan Ciptakan Fir’aunisme di Indonesia”, di mana khutbah tersebut disampaikan pada saat Idul Fitri pada tanggal 1402 H/24 Juli 1982 yang bertempat di Lapangan Bomber, Kawi-kawi Sentiong, Jakarta Pusat, akan tetapi penulis dilarang menyampaikan khutbah ini, akan tetapi telah dicetak dalam bentuk brosur atau buku.
lxxxvi
Khutbah yang berjudul “Azas Islam Hingga Titik Darah Terakhir” merupakan khutbah Idul Fitri pada tanggal 12 Juli 1983/1403 H yang bertempat di halaman parkir Pasar Cikini, Jakarta Pusat, khutbah ini telah dicetak dalam bentuk brosur/buku,56 akan tetapi tidak jadi disampaikan oleh A.M. Fatwa, karena pada hari Idul Fitri tersebut, secara tiba-tiba A.M. Fatwa diganti oleh khotib dari Laksus Kopkamtibda Jaya dengan penjagaan ketat dari ABRI, dan akhirnya A.M. Fatwa beserta beberapa orang jamaah pindah shalat Ied di Taman Ismail Marzuki (TIM) Cikini. Khutbah ini merupakan bentuk inspirasi dari pidato Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aceh, H. Hanafiah di muka sidang Tanwir Muhammadiyah di Yogyakarta terutama pada saat ramainya perdebatan sikap Muhammadiyah terhadap ketentuan asa tunggal Pancasila bagi partai dan ormas, dan larangan asas ciri. Sebagaimana diketahui, Muhammadiyah saat di bawah kepemimpinan A.R. Fachruddin terpaksa “menghapuskan” asas Islam, seperti yang dilakukan oleh partai dan ormas lainnya. Dan barulah pada mukhtamar di Jakarta tahun 2000 Muhammadiyah kembali mencantumkan secara formal asas Islam. Perubahan paradigma pembangunan dari sentralistik kepada desentralisasi di Indonesia sejak tahun 1998, dan kemudian menjadi komitmen pemerintah orde reformasi. Selama lebih 32 tahun fakta dilapangan menunjukkan bahwa pembentukkan pranata sosial modern oleh rezim orde baru, seperti KUD,
56 Penulis mendapatkan tulisannya dalam salah satu judul pada buku A.M. Fatwa yang berjudul ”Khutbah-khutbah Politik A.M. Fatwa di Masa Orde Baru” dimana tulisan tersebut masih lengkap dan berada di hal. 105 penerbit : Suara Muhammadiyah : Yogyakarta Cet. I April 2007
lxxxvii
Kelompok Tani, Karang Taruna dan lain-lain kurang mampu menggalang partisipasi masyarakat secara murni. Banyak para ahli antara lain Jack Stumph sebagaimana dikutip Sumarnonugroho membahas masalah sosial sebagai proses sosial. Masalah sosial mencakup konsepsi tentang disorganisasi sosial dan konflik nilai. Masalah sosial timbul sebagai akibat dari proses perubahan, sehubungan dengan perkembangan dalam sistem kepribadian manusia serta sistem sosial. Dalam proses ini dapat juga terjadi hambatan-hambatan terhadap realisasi nilai-nilai sosial. Dan terjadinya masalah sosial tersebut merupakan sebagai sebuah proses alami dan tidak dapat dielakkan lagi.57 A.M. Fatwa menjadi salah satu pelaku sejarah dalam hubungan Islam politik dan negara dimana pernah mengalami ketidakharmonisan. Dalam dua dasawarsa pertama, terutama pada rezim Orde Baru, Islam sering ”dikambing hitamkan” dalam pergumulan ideologi negara, yang akhirnya melahirkan antagonisme antara pemerintah dan aktivis Islam. Kecurigaan kedua belah pihak semakin menyudutkan posisi Islam. Hal tersebut terlihat dari penolakan Soeharto terhadap tokoh-tokoh Islam dan ditambah dengan faktor Islam yang ingin dijadikan sebagai Ideologi dasar perjuangan politik umat sehingga dianggap sebagi sesuatu yang mengancam konstruk ideologi negara-bangsa. ”Hidup adalah ibadah, dakwah pun tidak hanya diartikan bicara, tetapi perbuatan. Usaha yang dilakukan bukanlah didasarkan pada hadiah dan penghargaan”, termasuk apa yang dilakukan oleh A.M. Fatwa sendiri. Dakwah 57
Sumarnonugroho T, Sistem Intervensi Kesejahteraan Sosial, (Yogyakarta : Hanindita 1991), hal. 94
lxxxviii
dalam perspektif A.M. Fatwa yaitu bagaimana mengubah suatu tatanan kehidupan secara ekonomi dan politik dunia, terkait dengan posisi strategis umat Islam dalam menghadapi globalisme, umat Islam seharusnya membela ketika Islam sedang dituduh dan harus membelanya secara kreatif, dengan cara mengisi ruang kehidupan di masyarakat dengan menebar kemaslahatan melalui peningkatan yang dirasakan langsung oleh masyarakat, yang dibuktikan dengan amal usaha pada kehidupan dengan wajah kedamaian, persaudaraan, dan kemanusiaan. Hal ini sesuai dengan tujuan pembangunan yakni pembangunan manusia seutuhnya. A.M. Fatwa yakin dengan apa yang dilakukannya, karena selalu bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi, dimana kedua hal tersebut mengajarkan kepada umat manusia untuk memikirkan ”dunia” juga di samping akhirat, memikirkan lingkungan, berbuat baik dengan tetangga dan mengabdi pada tanah air adalah bentuk amal shaleh yang patut dikembangkan. Saat sebagian kelompok masyarakat masih menggangap dan menilai kinerja bahwa parlemen pada periode 1999-2004 kurang optimal. Setidaknya jika dibandingkan dengan parlemen pada masa Orde Baru, sangat berbeda jauh, Parlemen 1999-2004 lebih fungsional dan relatif lebih efektif dalam memainkan peran-peran substansialnya sebagai sebuah lembaga parlemen yang berdasarkan Undang-undang. Menurut A.M. Fatwa parlemen sangat efektif apabila digunakan sebagai media dakwah dan bahkan dapat menjadi sebuah lembaga penyampaian aspirasi umat Islam khususnya di Indoensia. Beliau mengatakan bahwa anggota parlemen (anggota DPR/MPR) yang duduk untuk mewakili umat Islam di Indonesia adalah
lxxxix
mereka yang harus mengangkat, menjaga, dan menyi’arkan Islam, karena mereka telah dipilih oleh umat Islam melalui Pemilihan Umum (PEMILU) yang sangat demokratis. Karena eksistensi anggota parlemen yang mempunyai legitimasi kuat, yang secara tidak langsung telah mewakili rakyat, maka suara rakyat-lah yang harus anggota parlemen serap dan angkat agar segera dirumuskan untuk diaktualisasikan secara politik. Banyak cara yang untuk dapat dilakukan anggota parlemen dalam menyampaikan dakwah di parlemen, yaitu dengan menggunakan Media Massa sebagai alat untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat umum untuk melakukan pengawasan dan bahkan mengontrol pemerintah, dan juga bisa dilakukan dalam bentuk anggaran. Sehingga parlemen dapat menentukan dan mengatur anggaran untuk pemerintah dan mengalokasikan jumlah untuk pemerintah termasuk dalam merumuskan undang-undang demi kebaikan bersama untuk rakyat. Dengan cara seperti itulah anggota parlemen menjalankan tugas dan fungsinya sebagai wakil rakyat. Menurut A.M. Fatwa, dalam mengemban amanat dan aspirasi umat Islam di Indonesia, caranya yang saat ini dilakukan tidak harus berdasarkan warna. Akan teapi dengan cara menerapkan ajaran Islam dalam konteks apapun dan dapat mengaktualisasikan aspirasi rakyat itu yang sesuai dengan ajaran Islam yang dikemas dengan baik dan ditransformasikan dalam rumusan-rumusan yang dapat diterima secara menyeluruh atau nasional, artinya adalah bagaimana orang yang memeluk agama apapun selain agama Islam bisa menerima keberadaan ajaran Islam. Semua itu semestinya bisa diterima oleh semua kalangan, tetapi hal itu
xc
tergantung bagaimana cara menyampaikannya. Jadi, menurut beliau hal yang harus dilakukan anggota parlemen yang mewakili umat Islam adalah bagaimana mereka
merumuskan ajaran-ajaran Islam (syari’at Islam)
kemudian di
transformasikan di dalam rumusan-rumusan nasional atau di dalam hukum nasional. A.M Fatwa dalam menentukan pilihannya untuk terjun ke dalam dunia politik praktis sebagai politisi, yang pada dasarnya dengan motivasi ibadah melalui apa yang telah dilakukannya dan juga atas dorongan serta pangilan hati nurani. Karena dalam pandangan beliau, perkerjaan hanya bisa dilakukan dengan jiwa yang merdeka. Persyaratan untuk menjadi politisi ideal sangat dibutuhkan jiwa yang bebas dari tekanan dalam bentuk apapun, baik ujian maupun pujian. Seorang politisi mempunyai tanggung jawab yang sangat berat saat memelihara kepercayaan dan tanggung jawab yang diberikan oleh rakyat (umat). Banyak politisi yang mengunakan pengaruh sebagai senjata yang digunakan politisi untuk membangun fanatisme, sehingga semakin besar hal tersebut terbangun dalam ruang lingkup negatif yang isi hanya menciptakan puji sanjung semata, dan juga menciptakan perasaan yang tidak suka di kritik, pantang menerima teguran yang berangapan bahwa dirinya adalah yang paling benar dan hebat, maka hal tersebut menciptakan sebuah penghormatan dan kepatuhan yang pada hakikatnya hanya milik Allah. Penghormatan tidak boleh berlebihan yang menyebabkan pemujaan manusia atas manusia, hal tersebut sesuai dalan firman Allah :
L M!T V,WX3 H! =Z[\:E8 G !( 8
xci
M"2 =>^G 3G _:`\ ☺ , E! 4 _b5c 8aE! 0E d! (, : : ' @ )ا☺f Artinya : ”.....dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (Q.s : Al-Bayyinah ;5) Selama A.M. Fatwa melakukan dakwahnya, A.M. Fatwa selalu mengetengahkan isi dan pelaksanaan menjadi lebih di prioritaskan daripada slogan-slogan atau merek. Akan tetapi, semuanya harus sesuai dengan kondisi objektif umat sekarang ini. Name calling “Negara Islam” sering diangkat bukan berdasarkan dari arus besar umat, melainkan hanya sejarah masa lalu yang bagi pihak diluar Islam sangat diperlukan untuk mendeskreditkan kelompok-kelompok dinamis dalam umat secara politis.58 Pembinaan mental seseorang muslim haruslah dimulai sejak kecil, karena semua perjalanan yang dilalui A.M. Fatwa hingga saat ini, dengan kondisi pada saat ia melakukan pertentangan terhadap keaadaan di lingkungan rumahnya dan bahkan sampai ia berani melawan pemerintahan dari zaman Orde Lama, Orde Baru dan bahkan sampai sekarang A.M. Fatwa masih tetap konsisten melakukan dan memberikan kritikan-kritikan dari kebijakan-kebijakan melalui medium yang ada. Baik disadari atau tidak, hal yang menjadi unsur-unsur pembentuk kepribadian banyak berasal dari beberapa faktor pernah dialaminya pada masa
58
A.M. Fatwa, Dari Mimbar ke Penjara ; Suara Nurani Pencari Keadilan dan Kebebasan, (Bandung : Mizan 1999) cet. Ke-2 hal. 141-143
xcii
lalu, dan keadaan yang dialaminya di kemudian hari yang merupakan bagian dari nilai-nilai yang diambil berdasarkan keadaan lingkungannya, nilai yang dimaksud adalah nilai agama, moral dan sosial. Menurut A.M. Fatwa apabila ajaran / hukum Islam itu langsung diterima secara utuh yang diambil dari ayat Al-Qur’an secara mentah yang dilandasi tanpa penafsirah dari pemahaman yang dangkal dan juga tidak dikemas dengan baikbaik, maka hal itu akan menjadi tidak terarah maksud dan tujuannya, sehingga sangat sulit untuk diterima oleh orang yang memahami makna yang terkandung.. A.M. Fatwa adalah seorang yang mengharapkan adanya keselarasan dan keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat, menyadari masyarakatnya adalah masyarakat tradisional maka A.M. Fatwa menggunakan metode pendekatan yang persuasif, dimana masyarakat harus ikut aktif berperan serta dalam melakukan gerakan perubahan. Perubahan ini disebut dengan perubahan yang direncanakan.59 Stephen R. Covey mengungkapkan dalam sebuah bukunya The Eight Habit from Effectiveness to Greatness yang disingkat the Eight Habit (the 8th Habit) tentang pola manajemen hidup melalui delapan kebiasaan yang biasa di praktikan oleh orang-orang sukses dan berhasil dengan apa yang dilakukannya. Delapan kebiasaan ala Covey60 yang tercermin dalam diri A.M Fatwa : 1. Proaktif (be proactive) Proaktif berarti lebih sekedar berinisiatif dan aktif, A.M. Fatwa merupakan orang yang aktif, tidak pernah mengeluh, tidak pernah menyalahkan apapun atau
59 Drs. Abdul Syani, Sosiologi dan Perubahan Masyarakat. (Jakarta : Pustaka Jaya) cet.I hal.130 60 Covey, Stephen R. the 8th Habit From Effectiveness to Greatness. New York. Free Press hal. 4
xciii
siapapun atas keadaan yang dialaminya dalam perjuangannya membela Islam. Dimana A.M. Fatwa selalu mencermati dan mengamati kegiatan serta kebijakankebijakan yang dilakukan pemerintah dengan melihat perkembangan yang terjadi di masyarakat. Sikap proaktif A.M. Fatwa dibuktikan dengan komitmennya dengan membela kepentingan Islam di Parlemen terutama pada saat A.M. Fatwa duduk sebagai Wakil Ketua DPR-RI dengan menyerukan kepada pemerintah agar melakukan pendekatan kepada masyarakat Aceh dan mencari apa yang sebenarnya terjadi dibelakang terhadap desakan referendum yang diinginkan dengan cara membentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi serta mengadakan dialog-dialog yang jujur, tulus, terbuka dan damai serta menerapkan prinsipprinsip otonomi daerah dan juga memproses pelanggaran HAM di Aceh secara menyeluruh. A.M. Fatwa pun mengunjungi Aceh dan mengadakan dialog dengan muspida dan tokoh masyarakat Aceh untuk mendengar secara langsung apa yang sebenarnya mereka alami.61 Tak hanya itu A.M. Fatwa pun sangat aktif memberikan masukan pada saat Tanwir Muhammadiyah di Semarang dan beliau pun memberi masukan kepada Amien Rais dan Syafii Maarif untuk membuat platform baru yaitu partai politik yang sebelumnya mereka berkumpul dalam kelompok MARA (Majelis Amanat Rakyat).
61
Salah satu Perjalanan A.M. Fatwa sebagai wakil rakyat dimana A.M. Fatwa menceritakan seluruh proses apa yang dilakukannya dalam mengatasi dan menyelesaikan di wilayah-wilayah yang sedang terjadi konflik, dan itu semua di tulis dalam buku “Dari Cipnang Ke Senayan – catatan gerakan reformasi dan aktivitas legislative hingga ST MPR 2002” (penerbit :Intrans Jakarta, 2003) hal 154-194
xciv
2. Mulai dengan akhir dalam pikiran (begin with the end in mind) Konsep seperti ini sangat penting, terutama bagaimana memikirkan terlebih dahulu apa yang harus dilakukan, dan kemudian harus kembali memikirkan akibatnya dari yang telah dilakukan tersebut. A.M. Fatwa pun memiliki tujuan untuk duduk sebagai salah satu wakil rakyat dengan niat unuk mendamaikan konflik-konflik yang selama ini terjadi, serta diskriminasi yang diterima golongan-golongan yang terkait di dalamnya dengan visi dan misi perdamaian serta persaudaraan antar umat beragama serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “diperlukan keberanian yang kuat dan teguh dalam prinsip, namun tetap fleksibel dalam pelaksanaan sampai tujuannya tersebut dapat dicapai.62 A.M. Fatwa mengatakan ini agar hal-hal yang dahulu pernah dialaminya tidak akan terjadi kembali, karena A.M. Fatwa sendiri merasakan betapa pedihnya hidup dengan penuh kekhawatiran, terutama di kalangan aktivis Islam yang sangat menentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang pada saat itu berkuasa dengan cara mendeskreditkan kepentingan Islam. A.M. Fatwa sendiri sangat menginginkan perdamaian baik itu antar agama maupun golongan dan bahkan suku-suku yang ada di seluruh Indonesia, karena dengan perdamaian maka akan tercipta kemakmurkan dan kesejahteraan masyarakat 3. Dahulukan yang utama (put first things first)
62
Wawancara Penulis dengan A.M. Fatwa pada tanggal 5 November
2009
xcv
Mendahulukan yang utama merupakan suatu tuntutan yang menciptakan Integritas, disiplin dan komitmen. Hal ini sebagai perwujudan dalam memilih mana yang harus diselesaikan terlebih dahulu yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, disamping itu juga harus memilih aktifitas yang membawa pada tercapainya tujuan. Hal ini telah di buktikan bahkan diserukan oleh A.M. Fatwa sebagai da’i melalui khutbah-khutbahnya dengan menyerukan kepada umat Islam agar tetap berpegang teguh untuk memperjuangkan aqidah Islam, sehingga umat Islam tidak lagi dianggap lemah dan juga tidak mudah diprovokasi akibat kepentingan-kepentingan yang sangat merugikan Islam, dan A.M. Fatwa juga menegaskan bahwa umat Islam harus lebih mampu mengatur dan lebih menekankan pada pemanfaatan waktu untuk dipergunakan sebaik-baiknya, terutama mengenai hal yang berkaitan dengan keadaan umat Islam.63 Islam pun mengajarkan agar umat dalam menyiarkan Islam terutama dalam berdakwah harus medahulukan yang lebih utama, dalam arti, jangan mementingkan kepentingan pribadi diatas kepentingan yang bersifat bersama, karena hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam. 4. Berpikir menang-menang (think win-win) Hal ini berasal dari latihan yang menuntut untuk sebuah kejujuran (honesty,
menyesuaikan
kata
dengan
perbuatan)
Integritas
(Integrity,
menyesuaikan perbuatan dengan perkataan), kematangan (maturity), dan mentalitas kelimpahan (abundance mentality) dimana semua hal tersebut merupakan sebuah konsep ideal dalam mempertahankan keyakinan agar tidak 63
Fatwa, A.M. Khutbah-khutbah Politik A.M. Fatwa Dimasa Orde Baru, Penerbit : Suara Muhammadiyah, Cet I April 2007
xcvi
mudah terpengaruh dan bahkan harus mempengaruhi agar harapan tersebut dapat tercapai sesuai dengan apa yang diharapkan, karena bila hanya berfikir seperti ini terutama bila kepentingannya yang berorientasi negatif, maka akan mendapatkan respon yang negatif pula, dan yang terjadi adalah pertentangan. Hal ini sangat bertujuan yang sesuai dengan harapan A.M. Fatwa yang menginginkan semua lapisan komponen terutama di lingkungan masyarakat agar tercipta kemesraan antar sesama manusia dan menjalin ukhuwah islamiah yang akan menjadi sebuah pernik mutiara yang harus tetap terjaga, sehingga dapat menjadi insan yang bermanfaat bagi yang lainnya, dimana A.M. Fatwa mengatakan “umat Islam harus memposisikan diri di posisi terdepan dan juga harus menjadi contoh yang baik.”64 dan juga pada saat melaksanakannya sangat di perlukan keberanian yang kuat, karena dalam mempertahankan sebuah kebenaran pun harus teguh. 5. Memahami terlebih dahulu, baru minta dipahami (seek first to understand than to be understood) Dengan hal ini, merupakan salah satu kunci kesuksesan dalam menyampaikan sesuatu harus menunjukkan dengan saling memahami, membantu, mengerti dan mengasihi65. A.M. Fatwa memahami karakter masyarakat pada saat pemerintahan baik di Era Orde Lama, Orde Baru, hingga sekarang dengan cara menyampaikan pesan-pesan melalui media tulisan serta khutbah-khutbah yang disampaikannya pada saat Peringatan hari besar Islam maupun pengajian-
64
Wawancara dengan A.M. Fatwa pada tanggal 5 November 2009 Dio Martin, Anthony Emotional Quality Management, (Jakarta : Penerbit Arga 2003), hal.21-34 65
xcvii
pengajian di lingkungan masyarakat, agar masyarakat memahami apa yang sebenarnya terjadi. A.M. Fatwa pun ikut menyuarakan aspirasi masyarakat di Parlemen terutama pada saat anggota parlemen membahas suatu kebijakan yang akan disahkan, dan ketika A.M. Fatwa memandang kebijakan tersebut dapat merugikan umat Islam, maka Ia akan bersuara dan menyampaikan pesan kepada parlemen untuk dijadikan pertimbangan dalam memutuskan sebuah kebijakan yang akan ditetapkan dalam rapat tersebut. Apabila hal yang ingin dicapai tidak terpenuhi, A.M. Fatwa pun menyampaikan beberapa pertimbangan apabila pendapatnya tidak di dengar oleh anggota Parlemen, akan tetapi A.M. Fatwa pun sebenarnya memahami dan menghormati apa yang ingin diperjuangkan oleh anggota yang berbeda pandangan dengannya. Hal ini merupakan bentuk simbolisasi yang harus dilakukan oleh setiap orang untuk menghormati, memahami hak orang lain apabila dia ingin dihormati dan dipahami agar tercipta sesuai dengan apa yang diharapkan. Dan inilah yang selalu dilakukan oleh A.M. Fatwa dengan mengatakan ”seorang da’i harus memiliki akhlak yang mulia agar dapat menjadi contoh dan menjadikan dirinya sebagai contoh, dan juga, seorang politisi-pun harus memiliki ’fatsoen’ sehingga mampu menempatkan perbedaan pendapat secara proporsional.” dimana setiap figur seorang pemimpin harus selalu memberikan masukan-masukan dan saran secara bijak dan modern terhadap suatu permasalahan yang sedang terjadi.66 6. Wujudkan sinergi (synergize) 66
Wawancara penulis dengan A.M. Fatwa pada tanggal 5 November
2009.
xcviii
Bersinergi berarti keseimbangan yang dapat diperoleh. Sinergi sendiri dapat dipahami jika ada kerjasama yang harmonis antara pemerintah, tokoh masyarakat dan rakyat (human capital), karena tiap-tiap individu selalu berbeda pandangan. A.M. Fatwa menginginkan sebuah sinergi yang tercipta, antara pemerintah dan masyarakat, dimana A.M. Fatwa pun ikut menjembatani agar terciptanya hal tersebut. Akan tetapi yang terjadi pada zaman Orde Baru malah pemerintah mencoba mematikan sinergi hanya untuk melanggengkan pemerintahan agar tidak ada yang menggantikan kepemimpinan Soeharto. Dengan segala cara A.M. Fatwa mencoba melakukan itu semua dan bahkan merelakan dirinya hingga di zhalimi oleh pemerintah hanya untuk menciptakan sinergi demi kemajuan bangsa Indonesia antara umat Islam dan Pemerintah. Dan untuk mencari solusi terbaik dalam berbagai ragam perbedaan yang ada baik aqidah maupun pendapat harus terpola dengan saling menghargai (open minded) dan kerjasama dengan pihak yang berkepentingan. Oleh karena itu, kerjasama semua komponen dalam kebaikan sangat dianjurkan, hal ini dilakukan oleh A.M. Fatwa saat duduk sebagai wakil ketua DPR-RI tahun 1999-2004 dan wakil ketua MPR-RI 2004-2009. Intinya adalah, bagaimana tiap-tiap individu maupun lembaga terutama di pemerintahan harus dapat bersikap fleksibel, A.M Fatwa pun juga mengatakan ”Banyak orang yang tidak sama presepsinya dan memandang sesuatu dari ’kacamata’ kekuasaan atau ’kacamata’ sendiri” walaupun tidak sama dalam hal presepsi maupun pandanganya terhadap sesuatu hal harus segera di sinergis-kan.
xcix
Dan jika hal itu terus menerus diterapkan atau dilakukan, maka akan terciptanya sebuah stabilitas yang dapat mewujudkan persatuan baik antar sesama pemeluk agama demi menjaga persautan bangsa.67 7. Mengasah gergaji (sharpen the saw) Hal ini sangat menekankan pada tiap individu atau umat Islam untuk terus mengasah emosional, intelektual, sosial, finansial, mental dan spiritual.68 Hal ini A.M. Fatwa menyampaikan agar umat Islam harus terus berjuang dalam meningkatkan kesuksesan. Islam menganjurkan kepada kita untuk memperbaiki prestasi yang digapai, karena hal ini akan mengantarkan masyarakat untuk memperbaiki dirinya sendiri untuk menjadi lebih baik sebagai umat Islam yang kuat dan sejahtera. A.M. Fatwa pun menggali terus apa yang sebenarnya terjadi, dan keadaan masyarakat di bangun dengan opini yang menganggap bahwa akan berbahaya apabila Islam diterapkan sebagai Ideologi negara. Dengan makna bahwa apabila seorang muslim yang kuat Imannya duduk sebagai pemimpin sebuah negara, maka yang akan terjadi semua hal yang berkaitan dengan aturan negara akan berasaskan dengan aturan Islam yang mungkin dianggap belum cocok untuk diterapkan di Indoensia, dan juga di karenakan faktor kepemimpinan yang dijalankan oleh sang pemimpin tidak sesuai dengan ajaran Islam sehingga banyak yang menolak dan bahkan menentang, apabila Islam dijadikan Ideologi Negara, karena Indonesia sendiri didalamnya banyak agama selain Islam, sehingga konsep
67
Wawancara penulis dengan A.M. Fatwa, Kamis 05 November 2009. Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (Jakarta : Penerbit Arga, 2001), hal.273 68
c
Islam dianggap dapat merugikan agama lain dengan keyakinan ajaran agama tersebut. Intinya adalah, sebagai seorang da’i harus selalu menggunkan metodemetode yang sesuai dengan perkembangan zaman, terutama dalam penggunaan tekhnologi komunikasi Informasi dan penerapannya artinya tidak konservatif, dan juga seorang da’i harus fokus pada materi yang disampaikan serta harus di sesuaikan dengan kondisi khalayak masyarakat. Terutama dakwah bil hal dan juga dakwah yang menyentuh kehidupan sehari-hari yang harus menjadi perhatian utama saat ini. A.M. Fatwa pun mengungkapkan ” akan lebih baik menggunakan metode-metode yang sesuai dengan perkembangan zaman, agar tidak selalu konservatif dan juga seluruh pesan yang disampaikannya harus memperhatikan segala permasalahan yang terjadi dan mengetengahkan empati masyarakat” sehingga fenomena-fenomena ajaran atau aliran sesat yang sedang berkembang, mampu diredam melalui pesan yang disampaikan oleh da’i.69 Untuk itu, kita sebagai muslim hendaknya menggali terus pemahamanpemahaman terhadap apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat, sehingga agama lain pun dapat mengerti dan memahami bahwa ajaran Islam sebenarnya tidak merugikan ajaran lain,
dan bahkan lebih menguntungkan serta
lebih
mensejahterakan agama lain, karena Islam mengajarkan agar selalu menghargai keyakinan yang diyakini orang lain, dan juga Islam merupakan agama yang rahmatan lil ’alamiin.
69
wawancara penulis dengan A.M. Fatwa, Kamis 05 November 2009
ci
8. Temukan suara Anda dan Ilhami orang lain menemukan suara mereka (Find your voice and inspire others to find their voices) A.M. Fatwa menganjurkan agar tiap individu khususnya umat Islam harus menemukan suara hati mereka. Hal ini dimaksudkan agar setiap individu menjadi bermanfaat bagi lainnya, karena akan memberikan kontribusi yang nyata dan bermanfaat bagi dirinya, keluarga, masyarakat, agama, bangsa, dan negara.70 A.M. Fatwa pun mengungkapkan bahwa ”agar para da’i atau pemimpin memiliki kontribusi yang signifikan dalam pembangunan umat, serta menjadi motivator yang baik. Karena motivasi tersebut sangat diperlukan sebagian umat yang masih mengidap rendah diri (inferiority complex).”.71 Dengan sikap individu terutama para da’i yang seperti ini, diharapkan untuk menjadi posisi yang terdepan atau pemimpin dengan memberikan contoh yang baik, karena hal itu sangat penting guna mengajak umat Islam dan umat lainnya untuk selalu berbuat lebih baik, serta mereka juga harus selalu aktif dan turut serta dalam mengawasi seluruh bentuk kegiatan yang dilakukan akan tetapi harus sesuai dengan porsinya terutama kemampuan tiap-tiap individu. Hal ini sangat sesuai dengan ajaran Islam, dimana baik sesama muslim maupun non-muslim harus saling memahami dan tidak bergantung pada orang lain. Dan sangat diutamakan bahwa umat muslim harus bisa membantu orang lain baik sesama muslim maupun dengan non-muslim yang membutuhkan, karena manusia diciptakan sebagai mahluk sosial.
70 71
Ary Ginanjar Agustian,.Op.Cit, hal. 68 Wawancara penulis dengan A.M. Fatwa, 16 Juni 2009
cii
BAB IV PENUTUP 1. Kesimpulan Secara eksplisit dapat diungkapkan bahwa, A.M. Fatwa merupakan salah satu tokoh yang hingga saat ini masih eksist memberikan kontribusinya terhadap perkembangan Islam, dimana A.M. Fatwa masih tetap berperan aktif dengan memberikan masukan-masukan kepada pemerintah dan tidak takut untuk langsung mengkritiknya apabila ia menilai kebijakan yang dilakukan pemerintah itu salah, dan juga selalu menyerukan kepada seluruh umat Islam terutama di Indonesia untuk tetap menjalin silaturahim baik sesama muslim maupun dengan agama lain, serta menjaga keutuhan untuk tidak terpecah belah yang disampaikannya melalui tulisan, khutbah, makalah yang disampaikannya baik di mimbar masjid dan majlis taklim, hingga media massa. Hal ini dilakukan oleh A.M. Fatwa agar masyarakat Indonesia, terutama tokoh-tokoh agama agar tidak mengalami hal serupa yang pernah dialaminya. Dimana saat A.M. Fatwa mencoba menebar amar ma’ruf nahi munkar yang terbelenggu dan dibungkam oleh pemerintah baik semasa rezim Orde Lama hingga Orde Baru. Namun kini, A.M Fatwa sudah merasa mendapatkan apa yang dulu diharapkannya walupun belum sepenuhnya terpenuhi. Perjuangannya pun belum berhenti hingga saat ini, untuk menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemerintah, terutama kepentingan umat Islam yang dulu hak-haknya selalu di
ciii
belenggu. Dan aktivitas dakwahnya saat ini pun masih tetap dijalankannya walau usianya sudah semakin tua. Dengan tetap menyampaikan tulisan-tulisannya baik di buku-buku, makalah maupun khutbah-khutbah yang masih tetap dilakukannya, A.M. Fatwa pun tidak segan-segan turun langsung di masyarakat untuk mendengar keluhan rakyat walau dia sudah duduk sebagai wakil ketua MPR-RI. Dan A.M. Fatwa pun terus mencoba menyemangati kaum muda, terutama aktivis Islam untuk terus dan selalu menegakkan amar ma’ruf nahi munkar hingga akhir hidup. 2. Saran A.M. Fatwa diharapkan untuk tetap terus memberikan kontribusinya, baik itu di Parlemen maupun di masyarakat, karena saat ini rakyat sangat membutuhkan orang-orang yang mau memperjuangkan kepentingan rakyat. Karena saat ini sudah sangat sulit mencari orang yang mau memperjuangkan aspirasi rakyat, terutama kepentingan yang telah memojokkan umat Islam dan bahkan banyak yang ingin menghancurkan Islam dari segala sisi. Dan juga untuk para aktivis Islam, untuk terus memperjuangakan hak dan kewajibannya sebagai muslim dan bahkan tetap menyebarkan agama Islam yang sesuai dengan ajaran, serta hendaknya juga memperkaya diri dengan memperbanyak wawasan agar tidak timbul pemahaman yang dangkal tentang ajaran Islam. Karena saat ini banyak sekali ajaran Islam yang dislewengkan, sehingga menimbulkan ajaran-ajaran dan aliran kepercayaan baru, dan bahkan sampai timbul nabi baru, yang jelas dalam ajaran agama Islam sudah dikatakan bahwa Nabi Muhammad adalah nabi yang terakhir.
civ
DAFTAR PUSTAKA Abda,
Slamet Muhaimin. Prinsip-prinsip Surabaya : Usaha Nasional, 1994
Metodologi Dakwah,
Agustian, Ary Ginanjar. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual Jakarta : Penerbit Arga, 2001. Ahmadi, Abu. Ilmu Sosial Dasar, Jakarta : Rineka Cipta Arifin, Psikologi Dakwah Suatu Pengantar Studi Jakarta : Bumi Aksara, 1994 Arifin, Muhammad. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Akasara, 1991, cet. Ke-1. Arifin, Tatang M. Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: Rajawali Press, 1989 Asmara, Toto. Komunikasi Dakwah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1957, Cet. Ke-2. Aziz, DR. Moh. Ali M.Ag. Ilmu Dakwah, Jakarta: Kencana, 2004, Cet. Ke-1, A.W.
Munawir, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia Lengkap, (Jakarta: Pustaka Progresif, 1997), Cet Ke-14, edisi 2.
Bahresi, Salim. Terjemahan Riadhus Shalihin, Bandung : PT alMa’arif, 1978. Cet. IV Covey, Stephen R. the 8th Habit From Effectiveness to Greatness. New York. Free Press Darus Salam, Ghazali. Dakwah Yang Bijak, Cet-II Jakarta : Lentera Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1997), Cet.ke 9, Dio Martin, Anthony Emotional Quality Management, Jakarta : Penerbit Arga 2003. Fatwa, A.M. Demi Sebuah Rezim Demokrasi dan Keyakinan Beragama Diadili, Jakarta ; PT. Gramedia Pustaka, 2000
cv
Fatwa, A.M. Khutbah-khutbah Politik A.M. Fatwa Di Masa Orde Baru, Penerbit : Suara Muhammadiyah, Cet I April 2007 Ghazali BC.TT, Kamus Istilah Komunikasi, Bandung:Djambatan, 1992 Ghazali, DR. M. Bahri. Dakwah Komunikatif: Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikasi Dakwah, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1997. Cet. Ke-1, Ghazali, M. Bahri. Dakwah Komunikasi, Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1997 cet I Hadi, Sutrisno. Metodologi Research, 1983
Yogyakarta : Andi Offset,
Hasanudin, Hukum Dakwah, Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya 1996, Cet Ke-1 Husain Abdullah, Muhammad Metodologi Dakwah dalam Al-Quran, cet-I Jakarta : lentera, 1997 Ibrahim, Idi Subandi. ed., Cultural and Communication Studies, Yogyakarta: Jalasutra, 2004, Cet. Pertama. Jabir, Dr. Thoha Al-Alwani. dalam Krisis Pemikiran Modern Diagnosis dan Resep Pengobatannya (1989), dan M. Yaqzhan dalam Anatomi Budak Kufar (1993). Yakub, Ismail. Dakwah Islam dan Kepastian Hukum : Aturan Permainan Itu Sudah Ada, Yogyakarta: Prima Duta, 1983, Cet. Ke-1. Omar, Prof. H. M. Toha Yahya, MA, Islam dan Dakwah, Jakarta: PT. Al-Mawardi Prima, 2004, Cet. Ke-1 Muhtaram, Zaini. Dasar-dasar Manajemen Dakwah Yogyakarta : alAmin Press dan IFKA, 1996. Munir, M dan Wahyu Ilham, Manajemen Dakwah, Jakarta: Kencana, 2004, Cet. Ke-I Muriah, Dra. Siti. Metodologi Dakwah Kontemporer, Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2000 Cet-I
cvi
Nasution, Faruq. Aplikasi Dakwah dalam Studi Kemasyarakatan Jakarta : Bulan Bintang 1986. Natsir, Muhammad. Fiqhudh Dakwah, Jakarta: Media Dakwah, 1983, Cet. Ke-4. Pulungan, J. Suyuti. Universalisme Islam, Jakarta: PT. Moyo Segoro Agung, 2002, Cet. Ke-1. Qutub, Sayyid. Ma’lim Fi Thoriq Kairo : Dasar al-Syuruq 1979 Rakhmat, Jalaluddin “Psikologi Komunikasi,” Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an, Bandung : Mizan, 1995. Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an Fungsi dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1988 Ce. Ke-17, Sobur, Alex . Analisis Teks Media, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2002. Cet. Ke-2. Soeroyo, dkk, Problematika dan Peta Dakwah di Abad XXI Jakarta : Penerbit Yayasan Kamil bekerjasama dengan PP IKPM Gontor, 1997 Sumarnonugroho T, Sistem Intervensi Kesejahteraan Sosial, Yogyakarta : Hanindita 1991. Syani, Drs. Abdul. Sosiologi dan Perubahan Masyarakat. Jakarta : Pustaka Jaya. cet.I. Syukri, Asmuni. DasarStrategi Dakwah Islam, Surabaya : al-Ikhlas, 1983. Syukri, Asmuni. Dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya : al Ikhlas, 1983 Tasmoro, Toto. Komunikasi Dakwah Jakarta : Gaya Media Pratama, 1987. Yakqub, Ali Mustafa. Sejarah Metode Dakwah Nabi, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1997. Yusuf, Prof. DR. Yunan. Dakwah dalam Perspektif Otonomi Daerah, Risalah dakwah, Penerbit : Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, vol. 5 No.1 Juni 2003.
cvii
Watson, C.W , Margono, Muhajjir Arief Rahmani, Membaca A.M. Fatwa ; Perubahan dan Konsistensi, (Jakarta : Teraju, 2008) WJS. Purwodarminata, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1976.
cviii
cix