ISBN 978-602-72699-0-3
KATA PENGANTAR Buku Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk ini merupakan sintesis dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Peneliti Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPTKPDAS) Surakarta di berbagai Daerah Tangkapan Air (DTA) di Indonesia, mulai dari proses perencanaan, termasuk identifikasi masalah, pelaksanaan sampai bagaimana monitoring dan evaluasi dilakukan. Buku ini berisikan bagaimana mengelola DTA Waduk agar kelestarian waduk dapat dipertahankan, khususnya dari pengaruh erosi dan sedimentasi. Diharapkan buku ini dapat dijadikan pedoman untuk memelihara waduk-waduk, baik yang akan dibangun maupun yang sudah ada. Dengan demikian diharapkan kinerja dan fungsi waduk dapat dipertahankan, sehingga ketersediaan air dapat terjamin. Buku yang disusun ini tidak terlepas dari kelemahan dan kekurangan, oleh karena itu kritik membangun akan diterima dengan senang hati. Kepada peneliti terkait diucapkan terima kasih dan diharapkan terus bersemangat dan berkarya untuk dapat memandu pembangunan kehutanan, terutama dalam Pengelolaan DTA. Surakarta, November 2014 Kepala Balai
Dr. Nur Sumedi, S.Pi, MP NIP. 19690718 199403 1 001
i | Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk
Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk |
ii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................. i DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii DAFTAR TABEL ................................................................................................ iv 1. Pendahuluan .................................................................................................. 1 1.1. Permasalahan Daerah Tangkapan Air Waduk ............................................. 1 1.2. Tujuan ................................................................................................................... 2 2. Pengelolaan DTA Waduk ............................................................................... 3 2.1. Perencanaan ....................................................................................................... 3 2.2. Pelaksanaan ...................................................................................................... 21 2.3. Monitoring dan Evaluasi ................................................................................ 25 3. Penutup ....................................................................................................... 34 Daftar Pustaka ................................................................................................ 35 Lampiran 1. Usulan Kegiatan RLKT sesuai Kerentanan .................................. 37 Lampiran 2. Kegiatan RLKT ............................................................................. 42 Lampiran 3 Kriteria Kemampuan Penggunaan Lahan .................................... 45
iii | Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk
DAFTAR TABEL Tabel 1. Klasifikasi tingkat kerentanan/degradasi Daerah Tangkapan Air Waduk ......................................................................... 5 Tabel 2. Formulasi Kekritisan Lahan ................................................................. 7 Tabel 3. Formulasi Kerentanan Tanah Longsor .............................................. 10 Tabel 4. Formulasi Kerentanan Kekeringan dan Potensi Air .......................... 13 Tabel 5. Formulasi Kerentanan dan Potensi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan .................................................................................... 17 Tabel 6. Kriteria Monitoring dan Evaluasi tata air .......................................... 27 Tabel 7. Kriteria Monitoring dan Evaluasi Lahan ............................................ 29 Tabel 8. Kriteria Monitoring dan Evaluasi Sosial Ekonomi ............................. 29 Tabel 9. Kriteria Monitoring dan Evaluasi Kelembagaan ............................... 31 Tabel 10. Bobot dari parameter lahan dan tata air ......................................... 31 Tabel 11. Klasifikasi Kategori Nilai Kinerja DTA ............................................... 33
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Diagram Alir Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk ............... 3 Gambar 2 Formulasi Kekritisan Lahan .............................................................. 6 Gambar 3. Kriteria Kerentanan Tanah Longsor .............................................. 10 Gambar 4. Kerentanan Kekeringan dan Potensi Air....................................... 12 Gambar 5. Kriteria Kerentanan dan Potensi Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan Masyarakat ............................................................ 15
Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk |
iv
1. Pendahuluan 1.1. Permasalahan Daerah Tangkapan Air Waduk Waduk dibangun untuk dapat menampung air yang pada akhirnya digunakan untuk mengairi lahan-lahan pertanian dan penggunaan lainnya. Permasalahan utama pada pembangunan waduk tersebut adalah besarnya erosi yang kemudian terangkut ke dalam aliran menuju waduk dan terendapkan menjadi sedimen. Erosi dan sedimentasi dapat menyebabkan pendangkalan pada waduk yang pada akhirnya akan mengurangi umur pakai, sehingga mengakibatkan tidak dapat berfungsi sesuai dengan rencana. Erosi, baik berupa erosi permukaan ataupun longsor yang terjadi pada DTA Waduk disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam yang menyebabkan erosi/longsor adalah tingginya curah hujan dan kemiringan lereng sedangkan longsor selain disebabkan oleh kedua faktor tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi geologinya (Feizizadeh dan Blaschke, 2011), sifat-sifat tanah terutama sifat fisik dan kandungan mineral (Galeandro et al., 2014) serta dapat terjadi akibat gempa (Dong et al., 2011). Faktor manusia yang paling berpengaruh adalah mengelola lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya, membangun infrastruktur tanpa mengikuti kaidah konservasi tanah, serta merubah penggunaan lahan menjadi tidak sesuai dengan kemampuan penggunaannya. Permasalahan yang lain lagi adalah makin meningkatnya jumlah penduduk yang mengakibatkan makin meningkatnya tekanan masyarakat terhadap lahan-lahan yang ada, bahkan seringkali merambah kawasan hutan. Masyarakat melakukan perubahan 1 | Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk
penutupan lahan hutan menjadi lahan untuk tanaman semusim. Perubahan ini menyebabkan kemampuan tanah menahan air berkurang, akibatnya terjadi erosi. Erosi ini terbawa oleh aliran permukaan menuju ke sungai dan akhirnya terendapkan di waduk dan menjadi sedimentasi. Perubahan ini juga akan menyebabkan berkurangnya infiltrasi sehingga menyebabkan tata air terganggu. Kerusakan tata air tersebut terlihat dari banyaknya air yang mengalir pada musim penghujan dan tidak ada aliran pada saat musim kemarau. Kondisi ini juga akan mengurangi masukan air pada waduk khususnya saat musim kemarau. Memperhatikan begitu banyaknya faktor yang dapat menyebabkan berkurangnya umur suatu waduk, maka diperlukan upaya-upaya untuk mencegah dan mengurangi erosi/longsor. Dengan demikian diharapkan umur waduk dapat dipertahankan sesuai dengan estimasi umur saat perencanaannya. Dalam upaya mempertahankan waduk agar berfungsi sesuai dengan yang direncanakan tidak dapat dilakukan secara parsial, namun harus didekati dengan pengelolaan secara menyeluruh dalam suatu DTA. 1.2. Tujuan Buku ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pedoman bagaimana mengelola suatu Daerah Tangkapan Air Waduk sehingga dapat memelihara dan memperpanjang umur melalui pengendalian erosi dan sedimentasi.
Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk |
2
2. Pengelolaan DTA Waduk Untuk mengurangi laju erosi di lahan dan sedimentasi di waduk maka perlu dilakukan pengelolaan DTA Waduk antara lain melalui perencanaan dan implementasi penggunaan lahan yang baik, dan diikuti oleh tahap monitoring dan evaluasi (monev) secara periodik. Secara garis besar pengelolaan DTA Waduk dapat dijelaskan melalui Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Diagram Alir Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk
2.1. Perencanaan Pada tahap perencanaan hal penting yang perlu dilakukan adalah identifikasi masalah serta menetapkan kegiatan yang sesuai dengan kondisi biofisik lahan serta sosial ekonomi masyarakat setempat. Identifikasi masalah dapat diketahui dari karakterisasi 3 | Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk
DTA untuk melihat kerentanan dan potensi DTA yang bersangkutan. Hasil karakterisasi tersebut digunakan sebagai bahan penyusunan rencana awal pengelolaan.
2.1.1. Identifikasi masalah Identifikasi masalah sebagai bahan perencanaan pengelolaan DTA dapat dilakukan dengan berbagai metode, antara lain dengan SWOT (Strength, Weaknesses, Opportinities, and Threats) yang menekankan pada kelebihan dan kelemahan suatu DTA. Dari hasil penelitian BPTKPDAS (Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS) diperoleh formula “Sidik Cepat Degradasi Sub DAS” (Paimin, et al., 2010), dimana karakteristik DTA dicerminkan oleh sifat rentan dan potensinya terhadap banjir, kekritisan lahan, kekeringan, tanah longsor, dan sosial ekonomi. Sifat/watak tersebut dibedakan antara sifat alami dan sifat yang dipengaruhi oleh manajemen (Paimin et al., 2010). Sifat alami menunjukkan watak yang lebih sulit untuk dikelola, sedangkan sifat yang dipengaruhi oleh majemen (intervensi manusia) lebih mudah dimanipulasi atau dikelola. Masing-masing parameter penyusun setiap komponen/aspek tersebut selanjutnya diklasifikasi dalam 5 (lima) kategori, yaitu: ’sangat tinggi’ – ’tinggi’ – ’sedang’ – ’rendah’ – ’sangat rendah’. Kategori ’sangat rendah’ menunjukkan kondisi ’tidak rentan’ dan kategori ’sangat tinggi’ menunjukkan kondisi ’sangat rentan’ terhadap komponen/aspek yang dilihat. Setiap parameter dalam komponen/aspek diberi bobot sesuai dengan besarnya peran dalam aspek tersebut, seperti yang terlihat pada Tabel 1.
Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk |
4
Tabel 1. Klasifikasi tingkat kerentanan/degradasi Daerah Tangkapan Air Waduk Kategori
Nilai
Tingkat Kerentanan/Degradasi
Sangat Tinggi
> 4,3
Sangat Rentan/Sangat terdegradasi
Tinggi
3,5 – 4,3 Rentan/Terdegradasi
Sedang
2,6 – 3,4
Sedang
Rendah
1,7 - 2,5
Agak Rentan/Agak terdegradasi
Sangat Rendah
< 1,7
Tidak Rentan/Tidak terdegradasi
Sumber: Paimin et al. (2012) Penghitungan nilai setiap komponen/aspek karakteristik DTA dilakukan dengan cara menjumlahkan seluruh hasil kali dari skor dan bobot pada setiap parameter dibagi 100 (Tabel 2). Berlandaskan parameter penyusun formula karakteristik DTA maka pada bobot dengan skor (nilai kategori) tinggi menunjukkan bahwa DTA tersebut yang bermasalah. Kategori tingkat karakter masing-masing komponen/aspek dinyatakan berdasarkan hasil perhitungan nilai bobot tersebut. Penilaian terhadap karakteristik lahan dilakukan pada setiap satuan (unit) lahan, sedangkan nilai lahan dalam keseluruhan DTA dihitung secara tertimbang dari seluruh satuan lahan yang ada. Demikian juga penilaian terhadap tanah longsor dilakukan seperti pada karakteristik lahan. Untuk memperoleh sumber penyebab degradasi pada setiap komponen/aspek karakteristik DTA dilakukan dengan menelusuri parameter yang memiliki nilai/skor 5 | Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk
tinggi, sehingga prioritas penanganannya akan disesuaikan dengan nilai/skor setiap parameter.
2.1.1.1. Kekritisan Lahan Parameter terkait kerentanan kekritisan lahan meliputi: (1) parameter alami yang terdiri dari solum tanah, kelas lereng, batuan singkapan, morfoerosi, kepekaan tanah terhadap erosi, dan (2) parameter manajemen yang terdiri dari tingkat/sifat penutupan lahannya dan teknik konservasi tanah yang diaplikasikan. Parameter manajemen dibedakan antara kawasan budidaya pertanian dan kawasan hutan serta perkebunan. Formula ini diaplikasikan untuk setiap unit lahan. Formulasi kekritisan lahan dalam Gambar 2 dan perinciannya pada Tabel 2.
Gambar 2. Kriteria Kekritisan Lahan
Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk |
6
Tabel 2. Formulasi Kekritisan Lahan No A. 1.
Parameter/Bobot Alami (45%) Solum tanah (Cm) (10%)
Besaran
Kategori Nilai
Skor
>90
Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi
1
60 - <90 30 - <60 15 - <30 <15 2.
Lereng (%) (15%)
0 - <8 8 - <15 15 - <25 25 - <45 >45
3.
4.
5.
Batuan Singkapan (%) (5%)
Morfoerosi (erosi jurang, tebing sungai, sisi jalan). Persen dari Unit Lahan (10%) Jenis Tanah terhadap kepekaan erosi (5%)
<20 20 – <40 40 - <60 60 – 80 >80 0% 1 - <20 % 20 - <40% 40 - 60% >60 % Sand, lomy sand Silty clay, sandy loam, clay Clay loam, silty clay loam Loam, sandy clay loam, sandy clay Silt, silt loam
7 | Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk
Sangat Tinggi
2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
No
B. 1. a.
b.
Parameter/Bobot
Besaran
Manajemen (55%) *) Kawasan Budidaya Pertanian (55%) Vegetasi Penutup 50 – 80% (40%) hutan/perkebunan + tanaman semusim 30 - 50% hutan/perkebunan + tanaman semusim rapat 30 - 50% hutan/perkebunan + tanaman semusim jarang 10 - 30% hutan/perkebunan + tanaman semusim rapat Tanaman semusim rapat 10 - 30% hutan/perkebunan + tanaman semusim jarang Tanaman semusim jarang
Konsevasi tanah mekanis (15%)
Teras bangku datar/miring ke dalam Teras bangku miring ke luar Teras campuran Teras gulud, hillside ditch, tanaman terasering Tanpa teras
Kategori Nilai
Skor
Sangat rendah
1
Rendah
2
Sedang
3
Sedang
3
Sedang Tinggi
3 4
Sangat tinggi
5
Sangat rendah Rendah
1 2
Sedang Tinggi
3 4
Sangat Tinggi
5
Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk |
8
No
Parameter/Bobot
2.
Kawasan hutan dan Perkebunan (55%) Kondisi vegetasi (45%)
a.
Besaran
Kategori Nilai
Skor
Vegetasi hutan baik, Sangat 1 Tanaman perkebunan rendah baik + cover crop atau Tanaman perkebunan berseresah banyak Vegetasi utama <50% + Rendah 2 semak belukar Semak belukar Sedang 3 Alang-alang Tinggi 4 Vegetasi sedikit (>50% Sangat 5 tanah tebuka) Tinggi b. Konservasi tanah Teras gulud + tanaman Sangat 1 (10%) penguat rendah Tanaman terasering/alley Rendah 2 cropping Guludan mulsa Sedang 3 Teras gulud Tinggi 4 Tanpa tanaman Sangat 5 terasering Tinggi ) Catatan: * Apabila unit lahan merupakan areal pertanian, maka menggunakan formula “Kawasan Budidaya Pertanian”, sedangkan kawasan hutan dan perkebunan menggunakan formula “Kawasan Hutan dan Perkebunan”.
2.1.1.2. Kerentanan Tanah Longsor Parameter dalam formula kerentanan tanah longsor tersusun atas: (1) parameter alami hujan harian maksimum kumulatif 3 (tiga) hari berurutan, lereng lahan, geologi/batuan, keberadaan sesar/patahan/gawir, kedalaman regolit, dan (2) parameter manajemen dari penutupan/ penggunaan lahan, keberadaan infrastruktur, dan kepadatan pemukiman. Gambar 3 dan Tabel 3 memperlihatkan penilaian terhadap kerentanan tanah longsor. 9 | Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk
Gambar 3. Kriteria Kerentanan Tanah Longsor Tabel 3. Formulasi Kerentanan Tanah Longsor No A a
b
Kategori Nilai
Parameter/Bobot
Besaran
ALAMI (60%) Hujan harian maksimum kumulatif 3 hari berurutan (mm/3 hari) (25%)
< 50 50 - 99 100 - 199 200 - 300 >300
Sangat rendah
< 25 25 - 44 45 - 64 65 - 85 > 85
Sangat rendah
Lereng lahan (%) (15%)
Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
Skor 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk |
10
No c
d
e
B a
b
c
Parameter/Bobot Geologi (Batuan) (10%)
Keberadaan sesar patahan/ gawir (m) (5%) Kedalaman tanah (regolit) sampai lapisan kedap (m) (5%)
MANAJEMEN (40%) Penggunaan Lahan (20%)
Infrastruktur (jika lereng <25% = skore 1) (15%) Kepadatan Pemukiman (org/km2) (jika lereng <25%, skor=1) (5%)
Besaran Dataran Aluvial Perbukitan Kapur Perbukitan Granit Perbukitan Bat. sedimen Bkt Basal-Clay Shale Tidak ada
Kategori Nilai Sangat rendah
Rendah Sedang Tinggi
Skor 1 2 3 4
Sangat tinggi
5
Sangat rendah
1
Ada <1 1-2 2-3 3-5 >5
Sangat tinggi Sangat rendah
5 1 2 3 4 5
Hutan Alam Hutan/Perkebunan Semak/Blkar/ Rumput Tegal/Pekarangan Sawah/Pemukiman
Sangat rendah
Tak Ada Jalan Memotong Lereng Lereng Terpotong Jalan <2000 2000-5000
Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Sangat rendah Sangat tinggi Sangat rendah Rendah
1 2 3 4 5 1 5 1 2
5000-10000 Sedang 3 10000-15000 Tinggi 4 Sangat tinggi >15000 5 Catatan: Formula ini hanya berlaku pada lereng >25%. Cara pengukuran dan penghitungan masing-masing parameter dapat dilihat pada Paimin et al. (2009)
11 | Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk
2.1.1.3. Kerentanan Kekeringan dan Potensi Air Parameter penyusun kerentanan kekeringan dan potensi air meliputi: (1) parameter alami dari hujan tahunan, evapotranspirasi (ET) potensial tahunan, bulan kering, geologi, dan (2) parameter manajemen dari indeks penggunaan air (IPA) dan debit minimum spesifik. Di samping itu karakterisasi kekeringan dapat didekati dengan melakukan pengukuran langsung debit sungai pada musim kemarau. Debit air dinyatakan dalam satuan debit air spesifik yakni debit air per satuan daerah tangkapan airnya (m3/det./km2). Formulasi kerentanan terhadap kekeringan dan potensi air disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Kriteria Kekeringan dan Potensi Air Kori (1976) mengklasifikasi debit air spesifik (m3/det./km2) musim kemarau (minimum) dalam tiga kategori, yaitu < 0,015 (buruk), 0,015 – 0,21 (baik) dan > 0,21 (sangat baik). Berdasarkan data yang
Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk |
12
telah dikumpulkan, maka kategori dari Kori (1976) mengalami beberapa penyesuaian sebagaimana terlihat dalam Tabel 4. Tabel 4. Formulasi Kerentanan Kekeringan dan Potensi Air No A a
Parameter/Bobot ALAMI (60%) Hujan tahunan (mm) (20%)
b
c
d
Evapotranspirasi aktual tahunan (mm) (17.5%)
Besaran > 2000 1501-2000 1001-1500 500-1000 < 500
< 750 751-1000 1001-1500 1501-2000 > 2000
Bulan kering (< 100 mm/bl)
<2
(12.5%)
3-4 5-7 7-8 >8
Geologi
Vulkan
(10%)
Cmp VulkPgn Lpt Pgn Lipatan Batuan Sedimen Batuan Kapur
13 | Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk
Kategori Nilai Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Sangat rendah Rendah
Skor 1 2 3 4 5
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2
Sedang Tinggi
3 4
Sangat tinggi
5
No B
Parameter/Bobot
MANAJEMEN (40%) a Kebutuhan Air (Indeks Penggunaan Air) Kebutuhan Air (m3) IPA = -----------------------Potensi Air (m3) (25%)
Besaran
Kategori Nilai
Skor
< 0,3
Sangat 1 rendah 0,3-0,49 Rendah 2 0,5-0,79 Sedang 3 0,8-1,0 Tinggi 4 > 1,0 Sangat 5 tinggi b Debit minimum spesifik > 0,035 Sangat 1 3 2 (m /dt/km ) rendah (15%) 0,022-0,035 Rendah 2 0,015-0,021 Sedang 3 0,010-0,014 Tinggi 4 < 0,010 Sangat 5 tinggi Catatan: cara pengukuran dan penghitungan masing-masing parameter dapat dilihat pada Paimin et al. (2009)
2.1.1.4. Kerentanan dan Potensi Sosial Ekonomi Kelembagaan Masyarakat Untuk menilai kerentanan dan potensi sosial, ekonomi, dan kelembagaan karakteristik DTA dipilah atas kriteria sosial, ekonomi, dan kelembagaan. Secara garis besar kriteria kerentanan dan potensi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan masyarakat dijelaskan pada Gambar 5. Kriteria sosial terdiri dari parameter tekanan/kepadatan penduduk, budaya, dan nilai tradisional. Parameter kepadatan penduduk dipilah antara kepadatan penduduk geografis dan agraris; sedangkan parameter budaya dipilah antara perilaku konservasi dan hukum adat. Kepadatan penduduk mencerminkan besarnya tekanan penduduk pada lahan. Semakin tinggi kepadatan Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk |
14
penduduk semakin besar pula tekanannya pada lahan. Wilayah yang kepadatan penduduknya tinggi perlu mendapat perhatian karena mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terjadi kerusakan lingkungan akibat pemanfaatan lahan dan air yang lebih besar.
Gambar 5. Kriteria Kerentanan dan Potensi Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan Masyarakat Parameter perilaku konservasi menunjukkan pengetahuan dan pelembagaan konservasi di dalam masyarakat. Untuk parameter hukum adat yang berkaitan dengan konservasi diperlukan aturan adat yang masih dipegang berkaitan dengan pengelolaan lahan maupun konservasi, alasan-alasan memegang aturan yang ada, bentuk sanksi yang diberikan bila hal tersebut dilanggar, dan kekuatan penerapan sanksinya. Parameter nilai tradisional yang berkaitan dengan pengelolaan lahan maupun konservasi tanah dan 15 | Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk
air adalah ada tidaknya nilai konservasi tanah dan air yang diturunkan dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya. Parameter ekonomi terdiri dari ketergantungan penduduk terhadap lahan, tingkat pendapatan, dan kegiatan dasar wilayah (location quotient = LQ). Ada dua pendekatan untuk menghitung parameter ketergantungan terhadap lahan, yaitu: (1) Untuk kecamatan yang memiliki buku PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), ketergantungan terhadap lahan dapat didekati dengan PDRB dari sumbangan sektor pertanian, yang terdiri dari Sub Sektor: (a) Tanaman Pangan, (b) Perkebunan, (c) Peternakan, (d) Kehutanan, dan (e) Perikanan, terhadap PDRB total kecamatan yang bersangkutan. Apabila sumbangan sektor pertanian besar maka ketergantungan masyarakat terhadap lahan juga besar. (2)
Untuk kecamatan yang tidak memiliki buku PDRB, ketergantungan terhadap lahan didekati dengan cara survei sumber-sumber pendapatan keluarga. Dari data sumber pendapatan keluarga dapat diketahui seberapa besar sumbangan dari pengelolaan lahan terhadap pendapatan keluarga.
Tingkat pendapatan penduduk diperoleh dari survei baik pendapatan yang bersumber dari lahan maupun sumber lainnya. Pendapatan tersebut kemudian dibandingkan dengan standar kemiskinan yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik. Untuk parameter kegiatan dasar wilayah juga digunakan pendekatan Location Quotient berdasarkan tenaga kerja yang bekerja pada sektor tertentu. Pada DTA yang sebagian besar masyarakatnya bekerja di sektor pertanian (LQ sektor pertanian Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk |
16
>1), maka hal ini menunjukkan tekanan terhadap lahan di DTA lebih besar dibanding sektor non-pertanian (LQ<1). Parameter kelembagaan terkait dengan keberdayaan kelembagaan informal dan formal. Parameter keberdayaan kelembagaan informal pada kegiatan konservasi tanah, seperti: pengajian, kelompok arisan, dan lain-lain, memiliki peran yang perlu diperhitungkan dalam kegiatan konservasi tanah. Parameter kelembagaan formal meliputi: jenis lembaga (kelompok tani, LMDH, BPD dll), tujuan lembaga (hal yang ingin dicapai, dan jenis kegiatan yang dilakukan), struktur organisasi (bentuk kepengurusan, pemilihan pengurus, dan pengambilan keputusan), fungsi lembaga (penyaluran informasi, keterlibatan anggota dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan, serta peran serta anggota dalam pertemuan rutin, kewajiban dalam lembaga, dan pencarian informasi), serta pembinaan dan pemeliharaan lembaga (frekuensi pertemuan rutin, kehadiran penyuluh, dan peran penyuluh dalam informasi). Tabel 5. Formulasi Kerentanan dan Potensi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Kriteria SOSIAL (50%)
Parameter Kepadatan Penduduk: Geografis (10%)
Besaran < 250 jiwa/Km2
Kepadatan Penduduk: Agraris (10%)
> 0,05 ha (kepadatan agraris < 20 orang/ha) 0,025 – 0,05 ha < 0,025 (kepadatan agraris > 40 orang/ha)
250 – 400 jiwa/Km2 >400 jiwa/Km2
17 | Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk
Kategori Sangat rendah Sedang Sangat tinggi Sangat rendah Sedang Sangat tinggi
Skor 1 3 5 1 3 5
Kriteria
Parameter Budaya : Perilaku/tingkah laku konservasi (20%)
Budaya : Hukum Adat (5%)
EKONOMI (40%)
Besaran - konservasi telah melembaga dalam masyarakat (masyarakat tahu manfaat konservasi, tahu tekniknya dan melaksanakan) - masyarakat tahu konservasi tetapi tidak melakukan - tidak tahu dan tidak melakukan konservasi - Adat istiadat (custom) pelanggar dikucilkan - Kebiasaan (folkways) pelanggar didenda dengan secara adat. - Tata kelakuan (Mores) - pelanggar biasanya ditegur ketua adat/orang lain - Cara (usage) pelanggar dicemooh - Tidak ada hukuman
Nilai Tradisional (5%)
Ada
Ketergantungan terhadap lahan
< 50% 50 – 75% > 75%
(20%)
Tidak ada
Kategori Sangat rendah
Skor 1
Sedang
3
Sangat tinggi Sangat rendah Rendah
5
Sedang
3
Tinggi
4
Sangat tinggi Sangat rendah Sangat tinggi Sangat rendah Sedang Sangat tinggi
5
1 2
1 5 1 3 5
Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk |
18
Kriteria
Parameter Tingkat Pendapatan*) (10%)
Besaran > 1,5 Std. Kemiskinan (SK) 1,26 – 1,5 SK 1,1 – 1,25 SK 0,67 – 1 SK < 0,67 SK
Kegiatan Dasar Wilayah (LQ pertanian) (10%)
LQ < 1
Kategori Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Sangat rendah
LQ = 1
Keberdayaan kelembagaan informal konservasi (5%)
Sedang
Ada dan berperan Ada tapi tidak berperan
5 Sangat tinggi Sangat rendah
1 3
Sedang 5
Tidak berperan Keberdayaan lembaga formal pada konservasi (5%)
1 3
LQ > 1
Kelembag aan (10%)
Skor 1 2 3 4 5
Sangat berperan
Sangat tinggi Sangat rendah
Cukup berperan
1 3
Sedang Tidak berperan
5 Sangat tinggi
2.1.1.5. Analisis Masalah Analisis masalah dimulai dengan menghitung nilai kerentanan masing-masing aspek sesuai dengan Tabel 2 s/d Tabel 4 yang menghasilkan nilai kerentanan parameter dari masing-masing aspek yang diukur. Untuk mendapatkan tingkat kerentanan DTA, masing-masing aspek diberi bobot sebagai berikut: kekritisan lahan (sub bab 2.1.1.1) dan Kerentanan Tanah terhadap Longsor (Sub bab 19 | Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk
2.1.1.2) masing-masing mempunyai bobot 15 dan 5%. Kerentanan Kekeringan dan Potensi Air mempunyai bobot 50%, sedangkan kerentanan dan potensi Sosek dan Kelembagaan mempunyai bobot 30%. Penghitungan nilai keseluruhan permasalahan pada DTA dengan cara menjumlahkan masing-masing aspek (nilai x bobot /100%) dan hasilnya diklasifikasikan menurut Tabel 1. Prioritas penanganan DTA ditentukan melalui tumpangsusun masing-masing parameter dari masing-masing aspek yang mempunyai nilai tertinggi.
2.1.2. Usulan kegiatan Data dan informasi kerentanan dan potensi DTA Waduk disajikan dalam bentuk peta-peta tematik. Dari peta-peta tematik yang berupa prioritas penanganan DTA tersebut, selanjutnya digunakan untuk penyusunan perencanaan pengelolaan DTA, yaitu berupa matriks usulan kegiatan seperti upaya rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), pemberdayaan masyarakat dan lain-lain. Usulan kegiatan untuk menentukan jenis dan volume kegiatannya harus selaras dengan arahan penggunaan lahan atau Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota, yang dibatasi hanya pada fungsi utama kawasan yang berada di wilayah DTA bersangkutan. Penyelarasan antara tingkat kerentanan DTA dengan fungsi kawasan untuk menetapkan rencana lokasi kegiatan dilakukan dengan perangkat SIG, yaitu dengan cara menumpang-susunkan (overlay) antara peta tingkat kerentanan dengan peta fungsi kawasan di DTA. Jenis kegiatan yang dapat diusulkan disajikan pada Lampiran 1 dan 2.
Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk |
20
2.1.3. Mekanisme perencanaan Perencana pengelolaan DTA dapat mengacu pada mandat yang tertuang dalam PP No.37 th 2012 tentang Pengelolaan DAS dimana DAS/DTA yang wilayahnya dalam satu kabupaten dominan adalah bupati atau walikota dimana DTA tersebut berada. Sedangkan DAS/DTA lintas kabupaten adalah Gubernur. Dalam pelaksanaannya penyusunan perencanaan pengelolaan DTA harus bersifat partisipatif dan melibatkan semua pihak yang terkait. Bappeda Tingkat II atau Tingkat I selaku badan yang mempunyai tugas dan fungsi perencanaan di daerah bertugas mengkoordinir perencanaan tersebut. 2.2. Pelaksanaan Berdasarkan peta kerentanan dan prioritas penanganan, maka kegiatan pengelolaan lebih diarahkan pada pencegahan dan pengurangan erosi dan sedimentasi melalui pendekatan secara biofisik dan pemberdayaan masyarakat. Pendekatan penanganan erosi dan sedimentasi secara biofisik dapat dilakukan melalui sipil teknis, vegetatif dan kimiawi. Teknik pengendalian erosi maupun sedimentasi secara detil dapat dilihat pada buku Pedoman Praktik Konservasi Tanah dan Air yang telah disusun oleh Tim Peneliti BP2TPDAS-IBB pada tahun 2002 dan buku tentang mitigasi banjir dan longsor telah disusun oleh Paimin et al. (2009). Lampiran 1 menjelaskan matrik hubungan antara berbagai usulan kegiatan sebagai upaya pengelolaan DTA untuk mengendalikan tingkat kerentanannya sesuai dengan fungsi utama kawasannya. Untuk tingkat kerentanan ‘sangat rendah’ dan ‘rendah’ usulan kegiatan berupa pemeliharaan dalam rangka mempertahankan atau pemeliharaan (P) daya dukungnya. Uraian usulan kegiatan 21 | Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk
Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) dan atau Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) yang merupakan jabaran Lampiran 1 disajikan pada Lampiran 2. Daerah yang dalam kondisi kritis tetapi juga rentan tanah longsor diperlukan pertimbangan seksama dalam memberikan perlakuan. Pada lahan kritis diperlukan upaya peningkatan infiltrasi sebesar mungkin atau limpasan permukaan ditekan sekecil mungkin, sebaliknya lahan rentan longsor harus dihindarkan dari penjenuhan lapisan tanah di atas permukaan batuan padu (Paimin, et al., 2009). 2.2.1. Penerapan Teknik Konservasi Tanah Telah banyak teknik konservasi tanah yang dihasilkan untuk mengurangi besarnya erosi dan sedimentasi yang pada akhirnya akan terdeposisi pada bangunan-bangunan air seperti waduk dan menyebabkan berkurangnya umur waduk tersebut. Teknik konservasi tanah tersebut dapat berupa pembangunan sarana prasarana sipil teknis, penanaman berbagai jenis dan pola tanam secara vegetatif serta penanganan secara kimiawi. Pembangunan sarana secara sipil teknis banyak diterapkan pada lahan-lahan budidaya pertanian, dimana pengolahan lahan tersebut secara intensif. Pengolahan lahan secara intensif ini yang memicu terjadinya erosi. Beberapa contoh teknik konservasi tanah secara sipil teknis adalah: Penyempurnaan teras yang diikuti dengan pembangunan Saluran Pembuangan Air (SPA) Pembuatan guludan, rorak, hillside ditches, gully plug, dam penahan serta dam pengendali untuk mempercepat sedimen terdeposisi sebelum mencapai waduk
Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk |
22
Pembuatan sumur resapan dan embung penyimpan air hujan untuk menahan agar air hujan tidak mengalir sebagai aliran permukaan (runoff) Teknik konservasi tanah secara sipil teknis selain diterapkan pada lahan-lahan budidaya, juga diperbolehkan untuk diterapkan pada kawasan lindung. Pada kawasan lindung juga dapat berupa penanaman pohon secara multi strata, reboisasi dan penghijauan untuk perlindungan mata air, sempadan sungai, perlindungan waduk, situ dan bangunan air lainnya. Pada kawasan budidaya beberapa teknik konservasi tanah dan air secara vegetatif yang disarankan adalah: Penanaman vegetasi campuran daur panjang dan pendek, Multi Purpose Tree Species (MPTS) Pengembangan agrosilvofishery
agroforestry,
agrosilvopasture,
Penanaman secara alley cropping, strip cropping dan pengaturan pola tanam Pemberian mulsa, kompos dan beberapa pemantap agregat tanah lainnya 2.2.2. Mitigasi Longsor Longsor adalah gerakan masa tanah beserta batuan menuju lereng bawah oleh gaya gravitasi karena adanya lapisan kedap yang jenuh air (Paimin et al., 2009). Hasil penelitian Paimin et al. (2009) menunjukkan bahwa longsor dapat terjadi apabila pada lereng yang cukup curam (lebih dari 25%) terdapat lapisan yang kedap air di bawah tanah yang bekerja sebagai bidang luncur, serta kondisi permukaan tanah jenuh air. Gaya gravitasi yang menyebabkan tanah tersebut turun ke bawah/longsor. 23 | Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk
Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya longsor pada daerahdaerah yang rawan longsor, beberapa hal yang dapat dilakukan, yaitu: (Paimin et al., 2009) Membentuk lereng menjadi lebih landai Membuat bronjong kawat untuk penguatan kaki lereng yang terjal Menutup retakan/rekahan tanah dengan segera, karena apabila hujan memenuhi rekahan tersebut dapat membuat tanah di atas lapisan kedap cepat jenuh. Memperbaiki drainase untuk mengurangi aliran permukaan dan bawah permukaan juga dapat mengurangi tanah yang cepat jenuh Untuk pemukiman penduduk, membangun rumah dengan konstruksi kayu lebih tahan retakan/rekahan tanah daripada konstruksi batu/bata/beton Menanam vegetasi yang sesuai dengan posisi lereng; tanaman yang jarang dengan biomassa ringan pada lereng bagian atas, makin rapat pada lereng bagian tengah dan tanaman rapat pada lereng bagian bawah. Tanaman dengan perakaran yang rapat dan dalam serta dapat mengikat agregat tanah adalah jenis-jenis yang tanaman yang sesuai.
2.2.3. Peningkatan Partisipasi Masyarakat Upaya pencegahan erosi dan longsor tidak akan dapat berhasil dengan baik apabila tidak melibatkan masyarakat setempat untuk berpartisipasi dalam upaya pencegahan tersebut. Partisipasi masyarakat tersebut dapat ditingkatkan melalui beberapa cara, antara lain: Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk |
24
Penyuluhan dan sosialisasi teknik konservasi tanah, perlindungan hutan, peringatan dini bencana longsor Pembentukan dan pemberdayaan kelompok tani Pelatihan teknik Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) Pengembangan Kebun Bibit Desa (KBD), demplot pelestarian sumber air dan penyediaan air bersih Pemberian insentif dan dis-insentif pada masyarakat 2.3. Monitoring dan Evaluasi Untuk dapat mempertahankan kelestarian waduk perlu dilakukan monitoring dan evaluasi yang ketat pada DTA. Monev yang dilakukan secara periodik akan dapat melihat dan menanggulangi masalah-masalah yang muncul sehingga mengurangi kemungkinan penyelesaian masalah yang berat dimana untuk memperbaiki memerlukan waktu, tenaga, dan biaya yang jauh lebih banyak. Informasi yang diperoleh dari hasil monitoring dan evaluasi ini dapat dijadikan masukan untuk perencanaan berikutnya. Monev DTA meliputi aspek tata air, lahan, sosial ekonomi serta kelembagaan masyarakat. Kriteria untuk monitoring dan evaluasi DTA dapat menggunakan Perdirjen RLPS No 04 tahun 2009. 2.3.1. Tata Air Kriteria yang digunakan untuk monev DTA meliputi tata air, lahan, dan sosek. Masing-masing kriteria mempunyai indikator yang spesifik. Untuk kriteria tata air menggunakan indikator kuantitas air yang terdiri dari Koefisien Regim Sungai (KRS), Koefisien Aliran (C) dan Indek Penggunaan Air (IPA). Sedangkan indikator kualitas 25 | Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk
air meliputi sedimentasi, dan bahan pencemar. Kontinuitas aliran didekati dengan perhitungan Koefisien variasi (CV). Kualitas air penting untuk dimonev guna mengetahui pengaruh perubahan penggunaan lahan dan polusi air (Levine et al., 2014). Monitoring dan evaluasi kualitas air dilakukan pada outlet sungai sebelum masuk waduk, baik yang berasal dari daerah industri, namun yang berasal dari lahan-lahan pertanian dimana pemupukan dilakukan secara intensif (Collins, 2009). Mengingat untuk memperoleh indikator bahan pencemar air sungai cukup susah, maka kualitas air didekati dengan sedimen dan BOD saja. Dalam hal ini BOD tetap digunakan karena parameter ini dapat menggambarkan parameter-parameter kualitas air lainnya seperti COD, turbidity, KmnO4 seperti halnya penelitian Chaves and Alipaz (2007). Selain menyebabkan polusi, areal pertanian juga dapat merupakan penyumbang sedimen terbesar yang berasal dari erosi saat pengolahan tanah. Untuk kontinuitas aliran hanya menggunakan debit minimum spesifik dengan satuan m3/dt/km2. Debit minimum di DAS hulu saat musim kemarau sangat kecil atau sering tidak ada aliran sehingga dalam perhitungan nilai KRS, C, dan CV sering tidak bisa. Parameter-parameter tersebut bisa diwakili dengan debit minimum spesifik. Penyederhanaan parameter yang digunakan akan lebih menghemat waktu dan biaya dan data juga lebih tersedia. Untuk memberi skor aspek tata air, kriteria yang digunakan dapt dilihat dalam Tabel 6.
Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk |
26
Tabel 6. Kriteria Monitoring dan Evaluasi tata air Indikator Koefisien Regim Sungai (KRS)
Parameter
Indeks Penggunaan Air (IPA)
Koefisien Limpasan (C)
Koefisien Variansi (CV) Tingkat Sedimentasi
Warna Air
Total Padatan Terlarut Turbidity (Kekeruhan) pH
DHL atau konduktivitas
=
Standar Evaluasi < 50 - baik = 50 - 120 - sedang > 120 - buruk ℎ ≤ 0,5 - baik = 0,6 – 0,9 sedang ≥ 1,0 - buruk ℎ < 0,25 - baik = 0,25 – 0,50 ℎ sedang > 0,5 - buruk < 0,1 – baik 0,1 -0,3 sedang 100% > 0,3 buruk − = 0.0864 < 2 – baik 2- 5 sedang > 5 buruk Jernih tak berwarna Agak berwarna/tdk bau Berwarna/bau ≤ 1000 1001 - 2000 ≥ 2000 ≤5 5 – 25 ≥ 25 6,5 – 7,5 5,5-6,5 atau 7,58,5 <5,5 atau >8,5 ≤ 500 500 - 2000 ≥ 2000
27 | Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk
Skor 1 3 5 1 3 5 1 3 5 1 3 5 1 3 5 1 3
5 1 3 5 1 3 5 1 3 5 1 3 5
Indikator Nitrat sbg N
Sulfat
Posfat sbg P
Khlorida/Cl
DO/oksigen terlarut
Parameter
Standar Evaluasi ≤10 11 – 20 > 20 ≤ 100 100 – 400 ≥ 400 ≤1 1-5 >5 ≤ 250 250 - 600 > 600 ≥6 3-6 <3
Skor 1 3 5 1 3 5 1 3 5 1 3 5 1 3 5
Catatan: cara pengukuran dan penghitungan masing-masing parameter dapat dilihat pada Perdirjen BPDAS PS No 04/2009 2.3.2. Lahan Parameter lahan meliputi Indeks Penggunaan Lahan (IPL), IE (Indeks Erosi), Kelas Kemampuan Lahan (KPL), dan kerawanan tanah longsor. Dalam monitoring dan evaluasi kinerja DTA, untuk analisis lahan digunakan satuan lahan. Penggunaan citra yang bebas diunduh secara gratis dan dapat memberikan tingkat akurasi yang cukup baik merupakan alternatif untuk memonitor parameter lahan seperti hasil penelitian Basuki dan Wahyuningrum (2014), dan sekaligus akan sangat mengurangi biaya monitoring. Kriteria monitoring dan evaluasi lahan disajikan pada Tabel 7.
Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk |
28
Tabel 7. Kriteria Monitoring dan Evaluasi Lahan Indikator Indeks Penutupan Lahan (IPL)
Kesesuaian Penggunaan Lahan (KPL)
Parameter
Skor
1 3 5
=
=
Indeks Erosi (IE)
= Kerawanan Tanah Longsor (KTL)
Standar Evaluasi > 75% - baik 100% 30 – 75% sedang < 30% - buruk > 75% - baik 40 – 75% 100% sedang < 40% - buruk < 1 baik > 1 buruk 100%
Tabel 3
< 2,5 – baik 2,5 -3,5 sedang > 3,5 buruk
1 3 5 1 5 1 3 5
Catatan: cara pengukuran dan penghitungan masing-masing parameter dapat dilihat pada Perdirjen RLPS No 04/2009 2.3.3. Sosial Ekonomi Data monev untuk sosial ekonomi diperoleh dari pengumpulan data sekunder seperti “Kabupaten Dalam Angka” dan data primer melalui wawancara dan diskusi dengan masyarakat. Analisis social ekonomi menggunakan pendekatan wilayah kecamatan atau desa yang masuk dalam DTA tersebut. Kriteria monitoring dan evaluasi sosial ekonomi disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Kriteria Monitoring dan Evaluasi Sosial Ekonomi Indikator Ketergantungan Penduduk terhadap Lahan (LQ) Tingkat Pendapatan (TD)
Parameter / = / =
∑ ∑
Standar Evaluasi < 0,5 - baik 0,5 - 1 - sedang > 1 - buruk ≥5 x grs kmiskin 2-4 grs kmiskinan ≤ grs kemiskinan
29 | Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk
Skor 1 3 5 1 3 5
Produktivitas Lahan (PL) (ton/ha) Jasa Lingkungan (JL)
Trend produktivitas lahan dari waktu ke waktu Jasa yang ditimbulkan oleh kegiatan pengelolaan DTA, baik berupa pajak, retribusi, iuran atau sawah yang diairi
Meningkat – baik Stabil – sedang Menurun – buruk Ada – baik Sebag ada – sedang Tidak ada – buruk
1 3 5 1 3 5
Catatan: cara pengukuran dan penghitungan masing-masing parameter dapat dilihat pada Perdirjen RLPS No 04/2009 2.3.4. Kelembagaan Parameter monev untuk aspek kelembagaan terdiri dari 4 (empat) indikator, yaitu Keberdayaan Lembaga Lokal/ Adat (KLL), Ketergantungan Masyarakat pada Pemerintah (KMP), kondisi KISS/konflik dan Kegiatan Usaha Bersama (KUB). KLL adalah peran lembaga adat/lokal dalam pengelolaan DTA yang dapat dilihat dari tugas, aturan dan kegiatan lembaga yang ada, terutama yang berkaitan dengan konservasi tanah dan air. KMP adalah tingkat intervensi pemerintah dalam pengelolaan DTA. Pada kondisi lembaga yang baik, KMP ditunjukkan oleh nilai yang kecil yang berarti lembaga tersebut mandiri. KISS atau konflik adalah sejauh mana koordinasi, integrasi, sinkronitas dan sinergitas kegiatan pengelolaan DTA dengan lembaga adat yang ada. Kondisi KISS yang bagus adalah konflik yang rendah. KUB adalah kegiatan yang muncul sebagai akibat kegiatan pengelolaan DTA dan sejauh mana perkembangannya. Informasi tersebut dapat diperoleh melalui wawancara langsung dengan masyarakat atau lembaga lokal yang ada pada tingkat desa. Kriteria monitoring dan evaluasi lahan disajikan pada Tabel 9.
Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk |
30
Tabel 9. Kriteria Monitoring dan Evaluasi Kelembagaan Indikator Keberdayaan Lembaga Lokal/ Adat (KLL) Ketergantungan Masyarakat pada Pemerintah (KMP) Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi, Sinergi (KISS) Kegiatan Usaha Bersama (KUB)
Standar Evaluasi Berperan Sebagian berperan Kurang berperan Mandiri Ketergantungan sedang Sangat tergantung Rendah Sebagian konflik Banyak konflik Berkembang/aktif Tetap/kurang aktif Tdk berkembang/ belum ada
Kelas Baik Sedang Buruk Baik Sedang Buruk
Skor 1 3 5 1 3 5
Baik Sedang Buruk Baik Sedang Buruk
1 3 5 1 3 5
Catatan: cara pengukuran dan penghitungan masing-masing parameter dapat dilihat pada Perdirjen RLPS No 04/2009 2.3.5. Analisis Kinerja DTA Semua parameter yang telah dikumpulkan dikelaskan dan diberi bobot dan selanjutnya dipergunakan untuk menilai kinerja DTA seperti yang disampaikan dalam Tabel 10. Hasil perkalian tersebut dikategorikan untuk melihat kinerja DTA. Tabel 11. memperlihatkan nilai kinerja dari DTA yang bersangkutan. Hasil dari penilaian tersebut dapat dijadikan masukan untuk perencanaan selanjutnya. Tabel 10. Bobot dari parameter lahan dan tata air Parameter Aspek tata air Kuantitas Koefisien Regim Sungai (KRS) Koefisien Limpasan (C)
31 | Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk
Bobot (%) 50 25 10 10
Parameter Indeks Penggunaan Air (IPA) Kualitas Tingkat Sedimentasi Sifat Fisik Warna Total Padatan Terlarut (TDS) Turbidity atau Kekeruhan Sifat Kimia pH DHL atau Konduktivitas NO3 sebagai N SO4 PO4 sebagai P Cl/khlorida Sifat Biologi KMnO4 BOD COD Kontinuitas aliran Koefisien Variansi (CV) JUMLAH Tata Air Aspek DTA Pengelolaan Lahan Indeks Penggunaan Lahan (IPL) Indeks Kemampuan Penggunaan Lahan (KPL) Indeks Erosi (IE) Kerawanan tanah longsor (KTL) Aspek Sosial Ekonomi Kepedulian Individu (KI) Partisipasi Masyarakat (PM) Tekanan Penduduk (TP) Aspek Ekonomi Ketergantungan Terhadap Lahan (LQ) Tingkat Pendapatan (TD) Produktivitas Lahan (PL) Jasa Lingkungan (JL)
Bobot (%) 5 20 10 4 1 2 1 4 1 1 0,5 0,5 0,5 0,5 2 0,5 1 0,5 5 5 50 50 20 4 4 7 5 10 3 3 4 10 4 2 2 2
Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk |
32
Parameter Aspek Kelembagaan Keberdayaan Lembaga Lokal (KLL) Ketergantungan Masyarakat pada Pemerintah (KMP) Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi, Sinergi (KISS) Kegiatan Usaha Bersama (KUB) JUMLAH DTA JUMLAH KESELURUHAN
Bobot (%) 10 2 2 4 2 50 100 100
100
Untuk menilai kondisi DTA digunakan klasifikasi seperti Tabel 11 , dimana angka-angka tersebut diperoleh dari Tabel 10.
Tabel 11. Klasifikasi Kategori Nilai Kinerja DTA No
Nilai Klasifikasi Kinerja DTA
Kategori
1
< 1,7
Baik
2
1,7 – 2,5
Agak Baik
3
2,6 – 3,4
Sedang
4
3,5 – 4,3
Agak Buruk
5
> 4,3
Buruk
33 | Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk
3. Penutup Agar waduk dapat berfungsi sesuai dengan rencana maka pada saat atau sebelum dibangun waduk, DTA harus dijaga kelestariannya sehingga tidak terjadi erosi, sedimentasi, dan gangguan tata air yag meliputi kuantitas, kualitas dan kontinuitas. Implementasi pengelolaan DTA harus disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakatnya.
Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk |
34
Daftar Pustaka Basuki, T.M. dan N. Wahyuningrum. 2014. Pemanfaatan citra dari Google Earth dan DEM Aster yang bebas diunduh untuk mendapatkan beberapa parameter lahan. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS, Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS, Surakarta. Chaves, H.M.L and S. Alipaz. 2007. An Integrated indicator based on basin hydrology, environment, life, and policy: The watershed sustainability index. Water Resources Management, 21: 883-895. Collins, A.L., D. F. Mc Gonigle, R. Evans, Y. Zhang, dan D. Duethmann. 2009. Emerging priorities in the management of diffuse pollution at catchment scale. International Journal of River Basin management, 7(3): 179-185. Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 2009. Pedoman Monitoring dan Evaluasi DAS. Jakarta. Dong, J., Y. Tung, C. Chen, J. Liao, and Y. Pan. 2011. Logistic regression model for predicting the failure probability of a landslide dam. Engineering Geology, 117: 52–61. Feizizadeh, B and T. Blaschke. 2011. Landslide Risk Assessment Based on GIS Multi-Criteria Evaluation: A Case Study in Bostan-Abad County, Iran. Journal of Earth Science and Engineering, 1: 66-71. Galeandro, A., A. Doglioni , V. Simeone , and J. J. Šimůnek. 2014. Analysis of infiltration processes into fractured and swelling soils as triggering factors of landslides. Environmental of Earth Science , 71: 2911–2923. Kori, K. 1976. Managing Forest for Water Supplies and Resource Conservation. Conservation Division. Forest Agency. Tokyo. Japan. In. Kunkle, S.H., and J.L Thames. Hydrological 35 | Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk
Techniques for Upstream Conservation. FAO Conservation Guide 2. FAO UN. Rome. Kurnia, U. dan Suwardjo. 1984. Kepekaan erosi beberapa jenis tanah di Jawa menurut metode USLE. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk, 3: 17 – 20. Levine, C.R., R.D. Yania, G.G. Lampman, D.A. Burn, C.T. Driscoll, G.B. Lawrence, J.A. Lynch, and N. Scoch. 2014. Evaluating the efficiency of environmental monitoring programs. Ecological Indicators, 39: 94-101. Paimin, Sukresno, dan I.B. Pramono. 2009. Teknik Mitigasi Banjir dan tanah longsor. Ginting, A.N. (editor). Tropenbos International Indonesia Programme. Paimin, Sukresno, Purwanto. 2010. Sidik Cepat Degradasi Sub Daerah Aliran Sungai (DAS). Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Badan Litbang Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Paimin, I.B. Pramono, I.B., Purwanto, dan D.R. Indrawati. 2012. Sistem Perencanaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi. Badan Litbang Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Tim Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Indonesia Bagian Barat (BP2TPDAS IBB. 2002. Pedoman Praktek Konservasi Tanah dan Air. 144 p. Tresnawati, D. 1991. Prediksi erosi menggunakan USLE pada beberapa Kecamatan di Kabupaten Sukabumi. Skripsi, IPB., Bogor.
Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk |
36
Lampiran 1. Usulan Kegiatan RLKT sesuai Kerentanan
No
A.1 1. a.
Fungsi Kawasan
e. 2. a. b. c. d.
Kawasan Lindung Kawasan yang memberikan pelindungan kawasan bawahnya Kawasan perlindungan setempat Kawasan suaka alam dan cagar budaya Kawasan rawan bencana alam Kawasan lindung lainnya Kawasan Budidaya Kawasan hutan produksi Kawasan hutan rakyat Kawasan pertanian Kawasan perikanan
e. f. g. h. i. j. k.
b. c. d.
A.2 1. a.
b. c. d. e.
Usulan Kegiatan untuk Pengelolaan Sub DAS Tingkat Kerentanan Sangat Sangat Rendah Sedang Tinggi Rendah Tinggi (R) (S) (T) (SR) (ST) Potensi Banjir SR R S T ST P P A) 1 A) 1 A) 1
P
P
A) 3, 4
A) 2, 3, 4
A) 2, 3, 4
P
P
A) 1, 3
A) 1, 3
A) 1, 3
P
P
A) 5
A) 5
A) 5
P
P
A) 3, 4 T B) 1, 2 B) 3, 4 B) 9,10,11 B) 6,24,25 B)19,21,2 2 B) 20, 24 B) 20,24 B) 20,24 B) 20,24 B) 20,24 B) 20,24
A) 3, 4 ST B) 1, 2 B) 3,4,5 B) 4,5,7,8 B) 6,24,25
T
ST
P P P P
P P P P
A) 3, 4 S B) 2 B) 3, 6 B) 12,13 B) 6
Kawasan pertambangan
P
P
B) 19,21
Kawasan pemukiman Kawasan industri Kawasan pariwisata Kawasan tempat ibadah Kawasan pendidikan Kawasan pertahanan keamanan
P P P P P P
P P P P P P
B) 20 B) 20 B) 20 B) 20 B) 20 B) 20
Kawasan Lindung Kawasan yang memberikan pelindungan kawasan bawahnya Kawasan perlindungan setempat Kawasan suaka alam dan cagar budaya Kawasan rawan bencana alam Kawasan lindung lainnya
SR
R
B)19,21,22 B)20,24,25 B)20,24,25 B)20,24,25 B)20,24,25 B)20,24,25 B)20,24,25
Daerah Rawan Banjir SR R S P P A) 1
A) 1
A) 1
P
P
A) 2
A) 2
A) 2
P
P
A) 1
A) 1
A) 1
P
P
A) 5
A) 5
A) 5
P
P
A) 1
A) 1
A) 1
37 | Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk
No
Fungsi Kawasan
Usulan Kegiatan untuk Pengelolaan Sub DAS Tingkat Kerentanan Sangat Sangat Rendah Sedang Tinggi Rendah Tinggi (R) (S) (T) (SR) (ST) SR R S T ST P P B) 2 B) 1 B) 1 P P B) 3 B) 4,6 B) 4,5,6 P P B) 3 B) 4,6 B) 4,5,26 P P B) 6, 27 B) 6, 24 B)24,25,26 P P B) 27 B) 26,27 B) 26, 27 P P B) 27 B) 26, 27 B) 26, 27 P P B) 27 B) 26,27 B) 26,27 P P B) 27 B) 26, 27 B) 26, 27 P P B) 27 B) 26,27 B) 26,27 P P B) 27 B) 26, 27 B) 26, 27
2. a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.
Kawasan Budidaya Kawasan hutan produksi Kawasan hutan rakyat Kawasan pertanian Kawasan perikanan Kawasan pertambangan Kawasan pemukiman Kawasan industri Kawasan pariwisata Kawasan tempat ibadah Kawasan pendidikan Kawasan pertahanan keamanan
B 1. a.
e. 2. a. b. c. d.
Kekeringan dan Potensi Air Kawasan Lindung SR R S Kawasan yang memberikan P P A) 1 pelindungan kawasan bawahnya Kawasan perlindungan P P A) 3, 4 setempat Kawasan suaka alam dan P P A) 1, 3 cagar budaya Kawasan rawan bencana P P A) 5 alam Kawasan lindung lainnya P P A) 3, 4 Kawasan Budidaya SR R S Kawasan hutan produksi P P B) 2 Kawasan hutan rakyat P P B) 3, 6 Kawasan pertanian P P B) 12,13 Kawasan perikanan P P B) 6
e.
Kawasan pertambangan
P
P
B) 19,21
f. g. h. i. j. k.
Kawasan pemukiman Kawasan industri Kawasan pariwisata Kawasan tempat ibadah Kawasan pendidikan Kawasan pertahanan keamanan
P P P P P P
P P P P P P
B) 20 B) 20 B) 20 B) 20 B) 20 B) 20
b. c. d.
T
ST
A) 1
A) 1
A) 2, 3, 4
A) 2, 3, 4
A) 1, 3
A) 1, 3
A) 5
A) 5
A) 3, 4 T B) 1, 2 B) 3, 4 B) 9,10,11 B) 6,24,25 B)19,21,2 2 B) 20, 24 B) 20,24 B) 20,24 B) 20,24 B) 20,24 B) 20,24
A) 3, 4 ST B) 1, 2 B) 3,4,5 B) 4,5,7,8 B) 6,24,25 B)19,21,22 B)20,24,25 B)20,24,25 B)20,24,25 B)20,24,25 B)20,24,25 B)20,24,25
Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk |
38
No
C. 1. a.
Fungsi Kawasan
e. 2. a. b. c.
Kawasan Lindung Kawasan yang memberikan pelindungan kawasan bawahnya Kawasan perlindungan setempat Kawasan suaka alam dan cagar budaya Kawasan rawan bencana alam Kawasan lindung lainnya Kawasan Budidaya Kawasan hutan produksi Kawasan hutan rakyat Kawasan pertanian
d.
b. c. d.
Usulan Kegiatan untuk Pengelolaan Sub DAS Tingkat Kerentanan Sangat Sangat Rendah Sedang Tinggi Rendah Tinggi (R) (S) (T) (SR) (ST) Kekritisan Lahan SR R S T ST P P A) 1 A) 1 A) 1
P
P
A) 3, 4
A) 2, 3, 4
A) 2, 3, 4
P
P
A) 1, 3
A) 1, 3
A) 1, 3
P
P
A) 5
A) 5
A) 5
P
P
A) 3, 4 T B) 1, 2 B) 3, 4 B) 9,10, 11, 21, 22 B) 6,24, 25 B)19,21,2 2 B) 20, 24
A) 3, 4 ST B) 1, 2 B) 3,4,5 B) 4,5,7,8, 22, 23 B) 6,24,25
B) 20,24 B) 20,24 B) 20,24 B) 20,24 B) 20,24
B)20,24,25 B)20,24,25 B)20,24,25 B)20,24,25 B)20,24,25
P P P
P P P
Kawasan perikanan
P
P
A) 3, 4 S B) 2 B) 3, 6 B) 2,13, 17,18 B) 6, 18
e.
Kawasan pertambangan
P
P
B) 19,21
f.
Kawasan pemukiman
P
P
g. h. i. j. k.
Kawasan industri Kawasan pariwisata Kawasan tempat ibadah Kawasan pendidikan Kawasan pertahanan keamanan
P P P P P
P P P P P
B) 20, 27 B) 20 B) 20 B) 20 B) 20 B) 20
D. 1. a.
b. c. d. e.
Kawasan Lindung Kawasan yang memberikan pelindungan kawasan bawahnya Kawasan perlindungan setempat Kawasan suaka alam dan cagar budaya Kawasan rawan bencana alam Kawasan lindung lainnya
SR
R
B)19,21,22 B)20,24,25
Tanah Longsor SR R S P P A) 1
A) 1
A) 1
P
P
A) 3, 4
A) 2, 3, 4
A) 2, 3, 4
P
P
A) 1, 3
A) 1, 3
A) 1, 3
P
P
A) 5
A) 5
A) 5
P
P
A) 3, 4
A) 3, 4
A) 3, 4
39 | Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk
T
ST
No
2. a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. E. 1. a.
b. c. d. e. 2. a. b. c. d.
Usulan Kegiatan untuk Pengelolaan Sub DAS Tingkat Kerentanan Fungsi Kawasan Sangat Sangat Rendah Sedang Tinggi Rendah Tinggi (R) (S) (T) (SR) (ST) Kawasan Budidaya SR R S T ST Kawasan hutan produksi P P B) 2,14 B) 1, 2, 15 B) 1, 2,16 Kawasan hutan rakyat P P B) 3,6, B) 3, 4, B)3,4,5, 18 14 15 Kawasan pertanian P P B)12,13 B) 9,10, B) 4,5,7,8 ,14 11,14, 15 , 15, 16 B) 6,15, 27 Kawasan perikanan P P B) 6, 14 B) 6,16,27 Kawasan pertambangan P P B)19,21 B)19,21,2 B)19,21,22 ,14 2 ,15,27 ,15,16,27 Kawasan pemukiman P P B)20,14 B) 20, 15, B)20,16,27 ,27 27 Kawasan industri P P B)20,14 B) 20, 15, B)20,16,27 ,27 27 Kawasan pariwisata P P B)20,14 B) 20, 15, B)20,16,27 ,27 27 Kawasan tempat ibadah P P B)20,14 B) 20, 15, B)20,16,27 ,27 27 Kawasan pendidikan P P B)20,14 B) 20, 15, B)20,16,27 ,27 27 Kawasan pertahanan P P B)20,14 B) 20, 15, B)20,16,27 keamanan ,27 27 Sosial-Ekonomi-Kelembagaan Kawasan Lindung SR R S T ST Kawasan yang memberikan P P C) 1 C) 1,2 C) 1,2, 5 pelindungan kawasan bawahnya Kawasan perlindungan P P C) 1 C) 1,2 C) 1,2, 5 setempat Kawasan suaka alam dan P P C) 1 C) 1,2 C) 1,2, 5 cagar budaya Kawasan rawan bencana P P C) 1 C) 1,2 C) 1,2, 5 alam Kawasan lindung lainnya P P C) 1 C) 1,2 C) 1,2, 5 Kawasan Budidaya SR R S T ST Kawasan hutan produksi P P C) 1, 2 C) 1,2, 11 C) 1,2, 5, 11 Kawasan hutan rakyat P P C) 3, 4 C) 3,4,5, C)2,5,8,12, 12 13 Kawasan pertanian P P C) 3,4 C) 4,5, 11, C)6,7,8,9,1 12, 13, 10 0,11, 12,13 Kawasan perikanan P P C) 7 C) 2,3,7, C)2,3,7,12, 12, 13 13 Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk |
40
No
Fungsi Kawasan
e.
Kawasan pertambangan
f.
Kawasan pemukiman
g.
Kawasan industri
h.
Kawasan pariwisata
i.
Kawasan tempat ibadah
j.
Kawasan pendidikan
k.
Kawasan pertahanan keamanan
Usulan Kegiatan untuk Pengelolaan Sub DAS Tingkat Kerentanan Sangat Sangat Rendah Sedang Tinggi Rendah Tinggi (R) (S) (T) (SR) (ST) P P C)2,9,11 C) 2,3,5, C)5,9,1,13 9, 11, 13 P P C)5,8,11 C)2,5,8,1 C)2,5,8,11, ,13 1,12, 13 12,13 P P C)5,8,11 C) 2,5, 8, C)2,5,8,11, , 12, 13 11, 12, 13 13 P P C)5,8,1 C) 2,5, C) 2,5,8,13 3 8,13 P P C)5,8,1 C) 2,5, C) 2,5,8,13 3 8,13 P P C)5,8,1 C) 2,5, C) 2,5,8,13 3 8,13 P P C)5,8,1 C) 2,5, C) 2,5,8,13 3 8,13
Catatan: P adalah kegiatan pemeliharaan atau tidak ada usulan kegiatan
41 | Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk
Lampiran 2. Kegiatan RLKT A) Arahan kegiatan RLKT/RHL pada wilayah dengan fungsi Kawasan Lindung 1. Reboisasi dengan jenis-jenis vegetasi/pohon insitu (tanaman asli) – multistrata tajuk 2. Reboisasi/penghijauan dengan jenis pohon yang berfungsi untuk resapan air 3. Reboisasi/penghijauan dengan jenis vegetasi/pohon yang berfungsi untuk tanaman sempadan sungai 4. Rebosisasi/penghijauan dengan jenis vegetasi/pohon yang berfungsi untuk perlindungan mata air, situ, telaga 5. Reboisasi/penghijauan dengan jenis vegetasi/pohon yang berfungsi sebagai pengendali daerah rawan bencana alam (tanah longsor)
B) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Arahan kegiatan RLKT/RHL pada wilayah dengan fungsi Kawasan Budidaya Reboisasi dengan vegetasi campuran – fast growing dan daur panjang (jati, mahoni, acasia, sengon, dll.) Reboisasi/penghijauan dengan vegetasi MPTS (multi purpose tree species) Hutan Rakyat – fast growing bernilai komersial-log process/agro bisnis Agroforestry – tanaman pertanian, hutan & buah-buahan Agrosilvopastur – tanaman pertanian, hutan & rumput Agrosilvofishery – tanaman pertanian, hutan & ikan Penanaman dalam sistim strip (tanaman semusim/rumput) Penanaman dalam sistim kontur (// kontur, / kontur) Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk |
42
9. Alley cropping – multiple cropping 10. Pengaturan pola tanam tanaman semusim/tahunan 11. Tanaman penutup tanah (cover crop) – jenis-jenis leguminosa 12. Penyempurnaan teras (teraserring yang dilengkapi dengan SPA) 13. Tanaman penguat teras (gamal, turi, dll.) 14. Tanaman penguat tebing sungai (bambu, gayam, dll.) 15. Tanaman pengendali lereng/tebing/longsor – jenis pohon/perdu berakar dalam 16. Tanaman pengendali lereng/tebing/longsor – sistim bioengineering, gabion, geotextil, retaining wall, dll 17. Pemberian mulsa – sisa tanaman, serasah daun, plastik 18. Pemberian kompos dan atau bahan organik 19. Penanaman sistim hydro-seeding – pada daerah yang remote 20. Penanaman pohon pelindung – tepi jalan, tempat ibadah, tempat pendidikan, perkantoran, mall, area parkir, dll. 21. Teknik konservasi tanah sipil teknis – guludan, rorak, hillside ditches 22. Teknik konservasi tanah sipil teknis – gully plug, Dpn 23. Teknik konservasi tanah sipil teknis – Dpi 24. Teknik konservasi air – sumur resapan air hujan, rorak gandul 25. Teknik konservasi air – embung 26. Pembuatan tanggul penahan banjir 27. Drainase air – SPA
43 | Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk
C)
Arahan kegiatan terkait Sosial Ekonomi kelembagaan Masyarakat Desa 1. Sosialisasi peran hutan (lindung, konservasi, dll.) sebagai pengendali lingkungan 2. Sosialisasi peran tata ruang wilayah untuk keseimbangan ekosistem dan lingkungan 3. Pelatihan teknik RHL/RLKT. 4. Pelatihan proses penanganan hasil pertanian pasca panen. 5. Pelatihan Partisipatory Rapid Apprasial dan RKTD. 6. Perbaikan infrastruktur pedesaan. 7. Pengembangan dan penyediaan air minum/air bersih di pedesaan. 8. Pengembangan Kebun Bibit Desa. 9. Pembuatan dan atau pengembangan demplot UPPSA. 10. Sertifikasi tanah. 11. Sosialisasi sistim peringatan dini bencana alam 12. Pengembangan skema sistim perkreditan bergulir. 13. Pemberdayaan kelompok untuk kegiatan RLKT/RHL
Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk |
44
Lampiran 3 Kriteria Kemampuan Penggunaan Lahan No Hambatan 1 Adanya teknik konservasi tanah, terasering, dll 2 Tingkat Erosi Drainase
Kelas I e 100
II 100
e
4
Tekstur tanah
s
5
Struktur tanah
s
6.
Kedalaman tanah (cm) Kedalaman regolith (cm) Prosentase gravel (%) Prosentase singkapan (%) Iklim Bulan basah (> 200 mm)
s
Granula r Kasar > 90
Ringan Seda ng Agak Seda Cepat ng SL, L, LS, SiCL Si, SC, C, SiC Granul Block ar y Halus -platy 60-90 30-60
15-30
0-15
s
> 200
100200
80100
6080
40-60
20- 1040 20
s
-
-
-
-
1-10
s
-
-
-
1-10
10-20
1020 2040
7-12
3-4 0-2 0-2 0-1 atau 0-3
c
0-1
2-6
7-8 atau 01
2-6 7-9 -
Slope (%)
g
0-8
5-6 atau 3-4 2-6 atau 01 8-15
3-4
Bulan kering ( < 100 mm)
7-9 atau 5-6 2-3 atau 0-1
15-25
-
25- >4 45 5
7
8 9
10.
11.
w
Terabai kan Terham bat L, SiL
III 6080
IV 6080
V 20-60
VI 1040
VII VIII 11-20 20
Berat -
-
-
-
Cepa t S
-
-3
-
-
-
-
-
-
-
Sangat Cepat -
Block y
<10
20- >60 60 40- >80 80
c
-
-
Catatan: e = erosion, w =wetness, s = soil, c = climate, g = gradient, L = loam, SiL = Silty loam, SL = Sandy loam, SCl = Silty clay loam, Cl = Clay loam, SiCl = Silty clay loam, LS = Loamy sand, Si = Silt , SC = Sandy clay, C = Clay, SiC = Silty clay
45 | Sistem Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Waduk