ISSN: 2089-7553 PENERAPAN SANKSI DALAM AWIG-AWIG MASYARAKAT HINDU DI DESA MANTAREN II KECAMATAN KAHAYAN HILIR KABUPATEN PULANG PISAU Oleh: Ni Made Ratini* dan Ni Luh Sudiasih* Abstrak Awig-awig, bentuk hukum hidup, dilestarikan dan ditaati setiap masyarakat Bali-Hindu di desa Mantaren II Kecamatan Kahayan Hilir Kabupaten Pulang Pisau. Awig-awig mengatur hak dan kewajiban masyarakat desa serta anggota masyarakat. Sanksi yang ditimpakan kepada anggota yang melanggar awig-awig berupa sejumlah uang atau bentuk lainnya. Penelitian ini menelusuri penerapan sanksi dalam awig-awig masyarakat Hindu di Desa Mantarena dengan fokus permasalahan yaitu: (1) Dasar penerapan sanksi dalam awig-awig masyarakat Hindu di Desa Mantaren). (2) fungsi penerapan sanksi dalam awig-awig. (3) Dampak penerapan sanksi dalam awig-awig masyarakat Hindu di Desa Mantaren. Penelitian ini penelitian sosial lapangan, dengan pendekatan penelitian deskriptif. Tekhnik pengumpulan data tekhnik observasi, wawancara, studi kepustakaan dan dokumentasi. Sedangkan analisis data penelitian ini dipergunakan metode analisis kualitatif. Hasil penelitian: 1). Dasar hukum diterapkannya sanksi dalam awigawig bagi masyarakat Hindu di Desa Mantaren II Kecamatan Kahayan Hilir Kabupaten Pulang Pisau mengacu pada UUD 1945 Republik Indonesia Pasal 18B Ayat 2 serta kesepakatan bersama seluruh warga masyarakat Hindu. 2). Fungsi dari diterapkannya sanksi dalam awig-awig bagi masyarakat di Desa Mantaren II Kecamatan Kahayan Hilir Kabupaten Pulang Pisau, mengatur dan mengendalikan prilaku warga masyarakat dalam pergaulan hidupnya guna mencapai ketertiban dan ketenteraman masyarakat, mengintegrasikan warga masyarakat dalam suatu persatuan dan kesatuan yang hidup bersama sepenanggungan dan seperjuangan dalam manyatukan tujuan bersama mewujudkan kehidupan yang aman, tertib, dan sejahtera. 3). Dampak dari diterapkannya sanksi dalam awig-awig bagi masyarakat Hindu di Desa Mantaren II Kecamatan Kahayan Hilir Kabupaten Pulang Pisau, berdampak positif dan apabila sanksi dalam awig-awig tersebut tidak diterapkan akan berdampak negatif. Kata Kunci : Penerapan, Sanksi, Awig-Awig, Masyarakat Hindu.
*Dosen Jurusan Hukum Agama Hindu STAHN-TP Palangka Raya *Mahasiswa Jurusan Hukum Agama Hindu STAHN-TP Palangka Raya.
Belom Bahadat: Volume III No. 1 April 2013
94
A. Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya. Secara resmi, hukum adat diakui keberadaanya namun dibatasi dalam peranannya. Hukum adat merupakan seperangkat norma dan aturan adat/kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah yang sebagian besar bentuk aturan itu tidak tertulis dan tersebar di berbagai masyarakat Indonesia, sebenarnya merupakan suatu kekhasan dan kekayaan dari kemajemukan bangsa Indonesia yang seharusnya kita jaga. Upaya untuk melestarikan budaya dan tradisi dengan sendirinya tidak akan terlepas dari upaya mempertahankan norma dan aturan adat atau kebiasaan tersebut. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa kehidupan ini tidak pernah terlepas dari perubahan. Setiap kehidupan akan membawa perubahan karena perubahan adalah bagian dari pada kehidupan. Terkait dengan norma tersebut diatas, dalam pelaksanaannya tentu tidak terlepas dari manusia sebagai pelaku dari norma itu sendiri. Sebagai mana di katakan bahwa manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial, sebagai individu ia mempunyai kemauan dan kehendak yang mendorong ia berbuat dan bertindak. Dari apa yang diperbuatnya dan dari sikap hidupnya orang dapat mengetahui pribadi seseorang. Hidup sebagai makhluk pribadi sematamata tidak mungkin tanpa juga sebagai makhluk sosial. Manusia hanya dapat hidup dengan sebaik-baiknya dan akan mempunyai arti, apabila ia hidup bersama-sama dengan manusia lainnya di dalam masyarakat. Tidak dapat dibayangkan adanya manusia yang hidup menyendiri tanpa berhubungan dan bergaul dengan sesama manusia lainnya. Hanya dalam hidup bersama manusia dapat berkembang dengan wajar dan sempurna. Hal ini ternyata bahwa sejak lahir sampai meninggal manusia memerlukan bantuan orang lain untuk kesempurnaan hidupnya. Bantuan ini tidak hanya bantuan untuk memenuhi kebutuhan jasmani tetapi juga untuk kebutuhan rohani. Untuk mencapai ketentraman dalam hidup ini, perlu adanya aturan-aturan atau norma didalam bertingkah laku. Tak seorangpun boleh berbuat sekehendak hatinya ia harus menyesuaikan dirinya dengan lingkungan dan tunduk kepada aturan yang berlaku. Seperti halnya Masyarakat Bali sejak zaman dahulu telah mengenal sistem Kahyangan pakraman Tiga yang dalam kehidupan sosial masyarakatnya diimplementasikan dalam wadah desa adat/ desa pakraman yang terbagi lagi dalam konsep banjar-banjar. Konsep ini sekaligus menjadi pilar utama kehidupan masyarakat Bali dalam menopang adat dan budayanya yang diwarisi sampai sekarang. Kegiatan ngayah (gotong -royong/ kerja bakti) sebagai bagian dari pelaksanaan konsep Kahyangan Tiga dijalankan
Belom Bahadat: Volume III No. 1 April 2013
95
oleh desa pakraman dan biasanya diatur dalam awig-awig (peraturan) desa pakraman menurut Desa (tempat), Kala (waktu) dan patra (kondisi) di masing-masing desa pakraman/ desa adat setempat yang seringkali disertai sanksi bagi setiap pelanggarnya. Tak hanya di Bali, Hukum adat juga merupakan sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia maupun di Negaranegara lainnya, seperti halnya di desa Mantaren II Kecamatan Kahayan Hilir Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah. Dimana di desa tersebut juga telah turun temurun memiliki/mewarisi suatu tata yang disebut awig-awig yang mengatur hak dan kewajiban masyarakat desa serta berbagai sanksi yang akan ditimpa apabila ada anggota masyarakat melanggar aturan yang termuat di dalam awig-awig. Sanksi yang ditimpakan kepada anggota yang melanggar awig-awig desa itu bisa berupa sejumlah uang atau bentuk lainnya. Sistem masyarakat yang majemuk sangat berperan dalam kemajuan di desa tersebut. Dalam hal pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan hal religius masyarakat di desa tersebut sangat antusias. Masyarakat Hindu khususnya masyarakat Hindu Bali yang berada di desa tersebut sangat menjunjung tinggi ajaran agama dari leluhur mereka yang telah dilaksanakan secara turun temurun. Berdasarkan fenomena aturan sanksi dalam awig-awig yang diterapkan bagi masyarakat Hindu di desa tersebut, maka penulis tertarik dalam penelitian ini untuk mengangkat dan menjelaskan bagaimana sesungguhnya “Penerapan Sanksi Dalam Awig-awig Bagi Masyarakat Hindu di Desa Mantaren II Kecamatan Kahayan Hilir Kabupaten Pulang Pisau”. B. Pembahasan (1) Dasar Hukum Penerapan Sanksi dalam awig-awig Masyarakat Hindu di Desa Mantaren II Kabupaten Pulang Pisau Seperti diketahui, awig-awig itu tumbuh dari bawah yaitu dari ketulusan masyarakat adat untuk kepentingan ketentraman dan keharmonisan masyarakat adat itu sendiri. Sedang di zaman kini peraturan yang ditimpakan kepada masyarakat untuk mengatur kehidupan dalam rangka bernegara, segala aturan itu selalu diukur dari apa dasar berlakunya. Awig-awig yang tumbuh dan mengikuti perkembangan masyarakat mempunyai kekuatan berlaku karena ia lekat dan diperlakukan karena dirasa mutlak untuk tentram. Sedangkan dari sudut kekuatan berlakunya yang justru sering diberikan oleh penguasa sebagai landasan hukum yang tegas dapat disebutkan sejumlah pasal-pasal perundang-undangan yang saling berkaitan. Berdasarkan teori Efektivitas Hukum, adapun yang menjadi landasan daripada hukum adat ini sendiri adalah melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut:
Belom Bahadat: Volume III No. 1 April 2013
96
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Sebagai masyarakat hukum adat, maka berdasarkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 keberadaan desa adat beserta hak-hak tradisionalnya diakui dan dihormati oleh Negara. Salah satu hak tradisional desa adat adalah membuat awig-awig, disamping menyelenggarakan pemerintahan sendiri, serta menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang terjadi diwilayahnya, baik yang berupa sengketa ataupun pelanggaran adat. Semua itu merupakan bagian dari pelaksanaan otonomi desa adat. Dengan demikian, landasan konstitusional kewenangan desa adat untuk membuat awig-awig dalam konstitusi terletak pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Menurut Ketut Sumarta (wawancara 21 mei 2013), diterapkannya peraturan di desa Mantaren II ialah sejak umat beragama Hindu yang berasal dari transmigrasi asal Bali pada tahun 1971 dan diperkirakan pada tahun 1972 masyarakat setempat mulai mengadakan musyawarah untuk membuat suatu aturan di desa tersebut. Aturan itu hanya berlaku bagi masyarakat Hindu yang ada di Desa Mantaren II dan belum memiliki dasar hukum yang kuat, sehingga aturan itu hanya bersifat biasa tanpa adanya suatu sanksi atau hukuman bagi yang melanggar. Menurut Wayan Alit, (wawancara 22 Mei 2013) berdasarkan UUD 1945 Pasal 18B ayat 2, masyarakat desa Mantaren II kemudian melakukan musyawarah yang dipimpin oleh Kelihan Desa pertama desa Mantaren II yaitu alm. Pan Srie. Dari hasil musyawarah tersebut, menghasilkan beberapa pokok aturan-aturan yang diberlakukan di desa tersebut. Aturan itu berupa awig-awig yang tidak tertulis (tidak dibuat dalam pembukuan) yang telah disepakati bersama oleh semua masyarakat Hindu yang ada di desa Mantaren II. Jadi, acuan atau dasar hukum masyarakat Hindu di desa Mantaren II membuat awig-awig adalah berdasarkan UUD 1945 Republik Indonesia Pasal 18B Ayat 2 dan juga kesepakatan seluruh warga masyarakat Hindu yang ada di desa tersebut. (2) Fungsi Penerapan Sanksi Dalam Awig-awig Bagi Masyarakat Hindu di Desa Mantaren II Kecamatan Kahayan Hilir Kabupaten Pulang Pisau Fungsi merupakan kegunaan, pekerjaan atau jabatan, tindakan atau kegiatan perilaku dan kategori bagi aktivitas-aktivitas. (Komaruddin, 1994:168). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun, 2001:322) mendefinisikan bahwa fungsi adalah jabatan (pekerjaan) yang dilakukan dan kegunaan suatu hal.
Belom Bahadat: Volume III No. 1 April 2013
97
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa fungsi memiliki arti pekerjaan dan pola perilaku yang diharapkan dari seseorang dalam manajemen dan ditentukan berdasarkan status yang ada padanya. Berdasarkan teori fungsional struktural pelaksanaan dari penerapan sanksi dalam awig-awig dapat dipandang sebagai organisme yang memiliki struktur dan fungsi masing-masing pada penerapan sanksi dalam awig-awig tersebut. Awig-awig adalah peraturan-peraturan hidup bersama bagi masyarakat desa di desa adatnya, untuk mewujudkan kehidupan yang aman, tentram, tertib, dan sejahtera di desa adat. Awig-awig itu memuat aturan-aturan dasar yang menyangkut wilayah adat, krama desa adat, keagamaan serta sanksi. Awig-awig merupakan hukum adat yang mempunyai fungsi untuk menjaga kebersamaan, kedisiplinan, kekompakkan dari semua masyarakat desa sehingga kegiatan sekecil apapun dilakukan secara bersama-sama. Menurut Wayan Merto (wawancara, 18 Mei 2013), fungsi dari diterapkannya sanksi dalam awig-awig di desa Mantaren II adalah untuk mengatur dan mengendalikan prilaku warga masyarakat dalam pergaulan hidupnya guna mencapai ketertiban dan ketentraman masyarakat, untuk mengintegrasikan warga masyarakat dalam suatu persatuan dan kesatuan yang hidup bersama sepenanggungan dan seperjuangan sedangkan arti penting awig-awig adalah merupakan pengikat persatuan dan kesatuan masyarakat desa guna menjamin kekompakan dan keutuhan dalam manyatukan tujuan bersama mewujudkan kehidupan yang aman, tertib, dan sejahtera di wilayah desa tersebut. Mangku Santi (wawancara 19 Mei 2013) menambahkan bahwa fungsi awig-awig didalam kehidupan masyarakat mempunyai nilai yang sangat menentukan didalam menata kehidupan masyarakat, oleh karena itu adat istiadat bersifat dinamis disamping merupakan pengikat yang seolah-olah memaksa para masyarakat desa untuk bertindak sesuatu demi kehidupan kolektifnya dapat terus berlangsung. Dalam penerapannya awig-awig merupakan aturan-aturan yang dibuat oleh masyarakat yang diikuti dengan adanya sanksi-sanski hukum yang dapat menjamin kewibawaan demi tegaknya nilai-nilai dari peraturan-peraturan yang berlaku, untuk menuntun suatu hubungan yang harmonis dalam kehidupan di masyarakat. a.
Tempat Pelaksanaan Penerapan Sanksi dalam awig-awig Sesuai dengan hasil pengamatan yang dilakukan tempat pelaksanaan penerapan sanksi dalam awig-awig dilaksankan di Pura. Menurut Wayan Merto (wawancara, 18 Mei 2013), tempat pelaksanaan penerapan sanksi dalam awig-awig itu menyesuaikan dengan konsep yang
Belom Bahadat: Volume III No. 1 April 2013
98
dimiliki oleh agama Hindu yaitu konsep desa, kala dan patra, artinya menyesuaikan dengan keadaan tempat waktu, situasi dan kondisi. b. Waktu Pelaksanaan Penerapan Sanksi dalam Awig-awig Waktu pelaksanaan Penerapan sanksi dalam awig-awig, Mangku Santi (wawancara, 17 Mei 2013), mengatakan “Desa mawa cara, Negara mawa tata”. Artinya setiap tempat, masyarakat dan kaum memiliki cara-cara tersendiri dalam segala hal. Termasuk dalam waktu pelaksanaan penerapan sanksi dalam awig-awig yaitu pada saat adanya kegiatan di Pura seperti rapat, gotong Royong, Ngayah maupun kegiatan-kegiatan lainnya yang dilakukan oleh Kelihan Desa bersama seluruh anggota masyarakat yang beragama Hindu. c. Pemimpin Pelaksanaan Penerapan Sanksi dalam Awig-awig Menurut I Wayan Suparta (wawancara 22 Mei 2013) yang menjadi pemimpin pelaksanaan penerapan sanksi dalam awig-awig bagi umat Hindu di desa Mantaren II Kahayan Hilir Kabupaten Pulang Pisau adalah seorang Kelihan Desa. Dimana kelihan Desa yang bertugas mengatur tentang jalannya dari awig-awig yang ada dan Kelihan Desa merupakan pedoman yang sangat dominan di dalam menjalankan pemerintahan di desa tersebut. Selain memiliki tugas mengatur tentang awig-awig dan pedoman dalam menjalankan pemerintahan desa, kelihan desa juga memiliki beberapa tugas penting lainnya, antara lain : 1. Memimpin rapat desa di Pura. 2. Mengawasi pelaksanaan awig-awig yang ada di desa. 3. Bertanggungjawab terhadap properti atau sarana dan prasarana yang ada di desa dan menentukan tata cara pengunaan peralatan tersebut apabila diperlukan oleh masyarakat desa. 4. Membimbing masyarakat Hindu apabila diperlukan, menyaksikan dan mengesahkan setiap upacara yang dilakukan oleh warga desa terutama dalam hal pernikahan. 5. Menjadi juru bicara apabila ada pertemuan di tingkat yang lebih tinggi, semisal pertemuan di tingkat kabupaten. 6. Membacakan dan mengumumkan segala keputusan yang diputuskan melalui rapat. Jika kelihan desa berhalangan hadir maka yang menjadi pemimpin dalam suatu kegiatan yang dilakukan adalah Sekretaris Kelihan Desa atau yang dipercayai. (3) Dampak Penerapan Sanksi dalam awig-awig Masyarakat Hindu di Desa Mantaren II Kabupaten Pulang Pisau a. Jenis Sanksi dalam Awig-awig di Desa Mantaren II
Belom Bahadat: Volume III No. 1 April 2013
99
Adapun jenis dari sanksi dalam awig-awig yang berlaku di desa Mantaren II antara lain sebagai berikut: 1. Denda dengan tenaga, denda/sanksi yang dimaksud yaitu; melakukan kegiatan gotong royong. 2. Denda artha, denda/sanksi yang dimaksud yaitu: berupa pembayaran sejumlah uang atau harta benda. 3. Denda penghasilan, denda/sanksi yang dimaksud yaitu berupa pembayaran sejumlah barang dan uang. 4. Denda kesepekang (dikucilkan), denda/sanksi yang dimaksud yaitu: tidak diajak ngomong/mekrama desa bagi krama yang melanggar ketentuan awigawig. 5. Hukuman dalam bentuk upacara agama seperti, melakukan upakara pakeling di Pura Kahyangan Tiga untuk menyucikan dan menyeimbangkan unsur skala dan niskala (dunia akhirat). Berdasarkan hasil wawancara, menurut Wayan Merto (wawancara 18 Mei 2013) mengatakan bahwa jenis sanksi yang terdapat dalam awig-awig di desa Mantaren II adalah sebagai tersebut diatas. Tetapi, sanksi yang sering diberlakukan kepada masyarakat di desa Mantaren II yang melanggar berupa sanksi ringan yaitu Denda Artha dan Denda Penghasilan. Dimana, masyarakat di desa Mantaren II hanya melakukan pelanggaran awig-awig yang sifatnya ringan, seperti tidak mengikuti kegiatan gotong royong dalam pemeliharaan lingkungan Pura yang dilaksanakan 1 (satu) bulan sekali seperti kegiatan gotong royong sehari sebelum pelaksanaan persembahyangan Purnama atau Tilem. Bagi masyarakat yang tidak mengikutinya, maka akan dikanakan denda sebesar Rp. 4.000,- sebagai pemasukan uang kas. Jika ada kegiatan gotong royong yang bersifat membangun atau membuat prasarana di dalam lingkungan Pura seperti, membangun prasarana Pura, membangun tempat persembahyangan, memperbaiki bangunan Pura yang rusak, membuat Balai Piasan atau kegiatan-kegiatan lainnnya yang tidak hanya rutin dilakukan dalam waktu 1 (satu) bulan, maka bagi masyarakat Hindu yang tidak mengikuti pelaksanaan gotong royong tersebut dikenakan sanksi yang lebih besar yaitu membayar uang sebesar Rp. 25.000,- per hari. Hasil pembayaran uang denda tersebut menjadi pemasukan uang kas Pura. Wayan Suparta menambahkan (wawancara, 18 mei 2013), selain kegiatan gotong royong rutin yang diadakan setiap 1 (satu) bulan 1 (satu) kali, ada juga kegiatan ngayah yang dilaksanakan pada saat piodalan atau hari raya keagamaan yang kegiatannya dilaksanakan beberapa kali dalam 1 (satu) tahun. Dimana pelaksanaan upakara tersebut bersifat upakara kecil dan upakara besar. Dalam pelaksanaan upakara kecil biasanya banten dibuat secara bergiliran oleh warga masyarakat di desa tersebut dan apabila ada warga yang
Belom Bahadat: Volume III No. 1 April 2013
100
mendapat giliran tetapi tidak membuat banten yang telah ditentukan, maka warga tersebut dikenakan sanksi sebesar Rp. 25.000,-. Sedangkan dalam pelaksanaan upakara besar, biasanya banten dibuat oleh warga desa di Pura secara bersama-sama. Setiap kepala keluarga wajib menyerahkan atau melakukan urunan berupa beras, ketan, kelapa, ayam, telor itik, minyak goreng, janur, dan kayu bakar untuk meringankan pengeluaran dari uang kas Pura. Jika ada warga yang tidak mampu urunan berupa sarana upakara, maka dapat membayar berupa uang sesuai dengan nilai bahan yang telah diwajibkan. Serta jika dalam Ngayah Piodalan Besar 1 (satu) hari tidak dapat mengikuti Ngayah maka dikenakan sanksi berupa membayar uang sebesar Rp. 75.000,- per hari. Berdasarkan uraian diatas, bentuk dari pelanggaran awig-awig yang dilakukan oleh masyarakat serta jenis sanksi yang diberikan bagi masyarakat yang melanggar. Lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Tabel 1 Bentuk Pelanggaran awig-awig dan Jenis Sanksi yang diberikan No Bentuk Pelanggaran awig-awig Jenis Sanksi 1. Masyarakat yang tidak mengikuti Membayar kegiatan gotong royong yang uang dilaksanakan satu bulan sekali (gotong Rp. 4.000,royong rutin sehari sebelum kegiatan persembahyangan di Pura). 2. Masyarakat yang tidak mengikuti Membayar kegiatan gotong royong yang uang dilaksanakan satu bulan sekali (gotong Rp. 25.000,royong yang bersifat membangun prasarana Pura). 3. Masyarakat yang sudah mendapat Membayar giliran membuat banten dalam Upacara uang Rp. kecil tetapi tidak membuatnya. 25.000,4. Masyarakat yang tidak menyerahkan Membayar atau melakukan urunan yang telah sesuai dengan ditentukan pada saat Upacara besar. nilai bahan yang telah diwajibkan 5. Masyarakat yang tidak mengikuti Membayar kegiatan Ngayah dalam Piodalan di uang Rp. Pura. 75.000,-
Belom Bahadat: Volume III No. 1 April 2013
101
Semua hasil pembayaran sanksi tersebut dikelola oleh Kelihan Desa sebagai pemasukan uang kas Pura. Selanjutnya, Mangku Santi (wawancara, 20 mei 2013) menyatakan bahwa sampai saat ini masyarakat di desa Mantaren II tidak pernah melakukan pelanggaran awig-awig yang bersifat berat, hanya sanksi yang bersifat pembayaran uang denda saja yang sering diberlakukan sehingga sanksi dalam bentuk lainnya tidak pernah diterapkan bagi masyarakat desa yang melanggar awig-awig tersebut. b. Hambatan dalam Penerapan Sanksi Awig-awig bagi Masyarakat Menurut Wayan Alit (wawancara, 19 Mei 2013), selama ini yang menjadi hambatan penerapan sanksi dalam awig-awig di desa Mantaren II yaitu belum adanya suatu pemahaman dan pengertian oleh masyarakat desa itu sendiri mengenai awig-awig yang diterapkan dalam masyarakat, karena belum adanya sosialisasi secara terus-menerus kepada masyarakat desa oleh para perangkat desa dalam hal ini dilakukan oleh Kelihan Desa (Ketua Adat) dan juga para perangkat desa lainya. Disamping itu pula Ketut Sumarta (wawancara 22 Mei 2013) mengatakan bahwa hambatan-hambatan dalam penerapan sanksi awig-awig ialah dimana Kelihan Desa umumnya tidak mengetahui bahwa dirinya mempunyai kewenangan untuk bertindak sebagai Hakim Perdamaian Desa, sehingga adanya keragu-raguan dalam penerapan sanksi atau menyelesaikan sengketa-sengketa adat terjadi di desanya, hal ini jelas sangat menghambat dan mempengaruhi dalam bertindak atau menerapkan sanksi-sanksi yang tercantum dalam awig-awig di desa Mantaren II. c.
Dampak Penerapan Sanksi dalam Awig-awig bagi Masyarakat Pengertian dampak dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusun (2001: 125) adalah benturan, mempunyai pengaruh kuat yang mendatangkan akibat (baik negatif maupun positif), benturan yg cukup hebat antara dua benda sehingga menyebabkan perubahan. Menurut Mangku Santi (wawancara 21 Mei 2013), mengatakan dampak dari diterapkannya sanksi dalam awig-awig yaitu berupa dampak yang sangat positif. Dimana penerapan sanksi dalam awig-awig berupaya untuk: 1. Selalu mengadakan pendekatan terhadap masyarakat desa mengenai pentingnya memelihara rasa persatuan dan kesatuan ditingkat desa guna terciptanya keadaan yang aman, tentram tertib di lingkungan desa. 2. Lebih mementingkan dan meningkatkan persatuan dan kesatuan demi ajegnya desa mantaren II khususnya dan Indonesia pada umumnya. 3. Menghilangkan kebiasaan-kebiasaan negatif yang hidup di masyarakat. 4. Desa diharapkan mampu menumbuhkan serta mengaktifkan kegiatan yang ada di lingkungan desa.
Belom Bahadat: Volume III No. 1 April 2013
102
5. Lembaga Desa selalu netral dalam bidang kasta atau warna yang ada di masyarakat khususnya yang ada kaitannya dengan upacara. 6. Mengadakan suatu sistem komunikasi yang terbuka dengan seluruh masyarakat agar mampu mengikuti dan menghormati kebiasaan dan adat istiadat yang berlaku di Desa mantaren II. 7. Desa sebagai organisasi musyawarah untuk mufakat, selalu menyediakan diri untuk mengadakan dialog atau musyawarah dengan tokoh-tokoh masyarakat dan pemuka agama yang berada di wilayah Desa Mantaren II untuk bersama-sama mengadakan suatu tukar pikiran. 8. Memupuk rasa kekeluargaan dan solidaritas dalam kebersamaan terhadap masyarakat desa melalui pesangkepan atau mengaktifkan sekaha teruna (organisasi kepemudaan) dengan tujuan untuk melestarikan kesenian dan kebudayaan juga bertujuan untuk membina rasa kekeluargaan dan rasa persatuan untuk menciptakan tatanan hubungan harmonis setiap masyarakat desa di dalam wilayah Desa Mantaren II. Jika penerapan sanksi dalam awig-awig tidak diterapkan maka akan menimbulkan dampak yang sangat negatif terutama bagi masyarakat Hindu di Desa Mantaren II Kecamatan Kahayan Hilir Kabupaten Pulang Pisau, dampak tersebut antara lain akan mengakibatkan ketidakharmonisan dalam bermasyarakat dan menimbulkan perselisihan antar warga masyarakat, contohnya dalam kegiatan gotong royong, ngayah atau kegiatan yang bersifat keagamaan hanya ada beberapa warga masyarakat yang hadir meskipun kegiatan sudah diberitahukan atau diumumkan oleh kelihan desa (pengurus), sehingga kegiatan tersebut tidak berjalan dengan maksimal. C. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang “Penerapan Sanksi Dalam Awigawig bagi Masyarakat Hindu di Desa Mantaren II Kecamatan Kahayan Hilir Kabupaten Pulang Pisau” maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1) Dasar hukum dari diterapkannya sanksi dalam awig-awig bagi masyarakat Hindu di desa Mantaren II Kecamatan Kahayan Hilir Kabupaten Pulang Pisau adalah berdasarkan UUD 1945 Negara Republik Indonesia Pasal 18B ayat 2 dan juga kesepakatan seluruh warga masyarakat Hindu yang ada di desa tersebut. 2) Fungsi dari diterapkannya sanksi dalam awig-awig bagi masyarakat di desa Mantaren II Kecamatan Kahayan Hilir Kabupaten Pulang Pisau adalah untuk mengatur dan mengendalikan prilaku warga masyarakat dalam pergaulan hidupnya guna mencapai ketertiban dan ketentraman masyarakat, untuk mengintegrasikan warga masyarakat dalam suatu persatuan dan kesatuan yang hidup bersama sepenanggungan dan
Belom Bahadat: Volume III No. 1 April 2013
103
seperjuangan sedangkan arti penting awig-awig adalah merupakan pengikat persatuan dan kesatuan masyarakat desa guna menjamin kekompakan dan keutuhan dalam manyatukan tujuan bersama mewujudkan kehidupan yang aman, tertib, dan sejahtera di wilayah desa tersebut. 3) Dampak dari diterapkannya sanksi dalam awig-awig bagi masyarakat di desa Mantaren II Kecamatan Kahayan Hilir Kabupaten Pulang Pisau adalah terdapat dampak dalam hal yang positif. Dimana penerapan sanksi dalam awig-awig berupaya untuk: a. Selalu mengadakan pendekatan terhadap masyarakat desa mengenai pentingnya memelihara rasa persatuan dan kesatuan ditingkat desa guna terciptanya keadaan yang aman, tentram tertib di lingkungan desa. b. Lebih mementingkan dan meningkatkan persatuan dan kesatuan. c. Menghilangkan kebiasaan-kebiasaan negatif yang hidup di masyarakat. d. Desa diharapkan mampu menumbuhkan serta mengaktifkan kegiatan yang ada di lingkungan desa. e. Lembaga Desa selalu netral dalam bidang kasta atau warna yang ada di masyarakat khususnya yang ada kaitannya dengan upacara. f. Mengadakan suatu sistem komunikasi yang terbuka dengan seluruh masyarakat agar mampu mengikuti dan menghormati kebiasaan dan adat istiadat yang berlaku di Desa mantaren II. g. Desa sebagai organisasi musyawarah untuk mufakat, selalu menyediakan diri untuk mengadakan dialog atau musyawarah dengan tokoh-tokoh. h. Memupuk rasa kekeluargaan dan solidaritas dalam kebersamaan terhadap masyarakat desa. Daftar Pustaka Ali Achmad, 1988. Perubahan Masyarakat, Perubahan Hukum dan Penemuan Hukum oleh Hakim. Ujung Pandang : Lembaga Penerbitas Unhas. Arikunto, Suharsimi, 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta : Rineka Cipta. Artana, Dewa Ketut, dkk. 1999, Agama Hindu. Jakarta Selatan : Ganeca Exact. Astika, Ketut Sudhana, 1986. Peranan Banjar Pada Masyarakat Bali. Denpasar : Dapertemen pendidikan dan kebudayaan. Bungin, Burhan. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodologi ke Arah Ragam Variasi Kontemporer. Jakarta : PT. Remaja Grafindo persada. Doyle. 1986. Teori Sosiolagi Klasik dan Modern. Jakarta : Gramedia. Ihromi. T.O. 2000. Antropologi dan Hukum. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Iqbal, Hasan, M. 2002, Metodologi penelitian. Jakarta : Ghalia Indo Press. Komaruddin. 1994. Ensiklopedia Manajemen. Jakarta : Gramedia. Moleong, Lexi J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. Nasution, S. 2000, Metodologi Penelitian. Jakarta : Bumi Aksara. Belom Bahadat: Volume III No. 1 April 2013
104
Nasikun. 2003, Sistem Sosial Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Riduwan, 2006. Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-Karyawan dan Peneliti Pemula. Bandung : Alfabeta. Roesmidi, 2003. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta : Bumi Aksara. Sagala, H. Syaipul, 2005. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Sarwono, Jonathan. 2006, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta : Graha Ilmu. Sedarmayanti, 2006. Metodologi Penelitian. Bandung : Bandar Maju. Subagyo, Joko. 1997, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek. Rineka Cipta. Jakarta : Rineka Cipta. Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung : Alfabeta. Suwarno, 1999, Pengantar Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Triguna, Ida Bagus Gde Yudha, 2011. Mengapa Bali Unik. Jakarta : Pusaka Jurnal Keluarga. Tim penyusun, 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. UUD 1945 Republik Indonesia. http://id.google.org/definisi_masyarakat. http://id.google.org./norma. http://id.wikipedia.org/wig/Umat Hindu. http://lawmetha.wordpress.com/teori-efektivitas-soerjono-soekanto.
Belom Bahadat: Volume III No. 1 April 2013
105