Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia – ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398 Vol. 2, No 8 Agustus 2017
MEMAHAMI DAN MENGURAI PENYEBAB MEDICAL MALPRAKTICE Harmono Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon
[email protected] Abstraks Memperoleh pelayanan kesehatan yang maksimal adalah hak azasi manusia demikian halnya juga dengan memilih serta menjalankan profesi dengan tenang dan nyaman juga adalah hak azasi manusia. Hal ini terjadi menunjukan semakin tingginya sekesadaran manusia akan haknya. Dalam menggunakan atau memenuhi hak azasi manusia itu sering kali antar manusia yang satu dan yang lainnya saling bersinggungan bahkan terbuka terjadinya sengketa. Seperti halnya dalam dunia kesehatan yang dulu jauh dari hingar-bingar urusan hukum, seiring dengan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, maka hubungan dokter-pasien yang semula hanya didasarkan pada kepercayaan dengan pengharapan untuk mendapat kesembuhan sekarang sering kali bermuara pada urusan hukum. Dengan metoda penelitian yuridis normatif dan menggunakan Undang-undang yang terkait dengan profesi kesehatan sebagai data primer berikut putusan pengadilan yang terkait, penulis mencoba meneliti tentang faktor-faktor yang mendorong terjadinya sengketa medik dan penulis menemukan kesimpulan bahwa faktor-faktor yang memicu terjadinya sengketa medik adalah; terjadinya misorientasi dari pengertian medical malpraktik dari para dokter maupun yang disebabkan dikarenakan buruknya komunikasi antara dokter dan pasien terutama pada saat proses pemberian persetujuan tindakan medis (informed consen). Kata Kunci: medical malpraktek, hubungan pasien-dokter dan miskomunikasi Pendahuluan Dunia kedokteran yang dahulu seakan tak terjangkau oleh hukum, dengan berkembangnya kesadaran warga perihal perlindungan hukum membuat dunia kesehatan beralih dari yang awal adalah hubungan keperdataan menjadi pidana. Maraknya malpraktek yang terjadi akhir–akhir ini
membuat pasien merasa cemas
begitupun dengan dokter. Indonesia merupakan negara hukum bahkan jika malpraktek itu terjadi pasien dapat mengangkatnya sebagai tindak pidana. Hal ini membuat pasien dan Dokter menyadari bahwa mereka mendapatkan perlindungan hukum yang sama dan adil.
49
Harmono
Jika hal ini terjadi secara terus menerus dan dibiarkan begitu saja dapat memberi dampak negatif yang sangat besar. Tidak dapat dipungkiri dokter merupakan manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Bahkan dapat melanggar kode etik dan norma norma hukum. Soerjono Soekanto dan Kartono Muhammad berspekulasi bahwanya belum terdapat parameter terkait batas pelanggaran mengenai kode etik dan pelanggaran hukum. Dibutuhkan pemahaman yang baik dalam memahami fenomena kode etik dan profesi Kedokteran. Sejauh ini tidak terdapat parameter yang tepat yang dapat digunakan jika dokter melanggar kode etik maupun melakukan perbuatan pelanggaran dokter terhadap pasien. Beberapa pasien khawatir untuk mengungkapkan pelayanan yang diberikan praktisi kesehatan. Sebab, karena menurut mereka, hal itu dapat mempengaruhi proses pengobatan yang diberikan dokter pada mereka selaku pasien. Banyak sebagian dari mereka memilih bungkam dan pasrah terhadap pelayanan yang diberikan. Namun, ada juga pasien yang menuntut karena adanya pelanggaran prosedural yang dilakukan oleh dokter. Pada proses pelaksanaannya, kasus yang melibatkan dokter dan pasien umumnya menyangkut kualitas pelayanan, dimana pelayanan yang dipermasalahan pasien adalah pelayanan yang tidak maksimal serta menyalahi prosedural kesehatan biasanya mereka dapat dokter lain. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa saat ini pasien dengan dokter memiliki kedudukan yang sama adalah pasien memiliki hak untuk mempertimbangkan dan memilih melakukan operasi atau tidak. Pasien dapat menuntut hingga ganti rugi apabila mendapatkan pelayanan dokter yang dapat berbuntut kerugian bagi pasien. Begitupun dengan dokter, mereka merasa terancam terhadap tuntutan yang disampaikan oleh pasien. Dan Menganggap hal ini sebagai Intervensi Hukum. Adanya KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) yang mengatur dan/atau mengawasi dokter dalam bekerja dirasa sudah cukup sebagai acuan dokter dalam menjalankan profesinya dengan baik. Disamping itu, dokter dapat kehilangan martabatnya jika terpaku terhadap hukum. Merekapun menuntut perlindungan hukum yang adil untuk dokter agar dapat menjalankan profesinya dengan baik. Sehingga baik pasien maupun dokter tidak rugi satu sama lain.
50
Syntax Literate, Vol. 2, No. 8 Agustus 2017
Memahami Dan Mengurai Penyebab Medical Malpraktice
Hingga saat ini, Perlindungan hukum baik dari kubu pasien maupun dokter masih menjadi Persoalan. bukan sekedar tanggung jawab tapi juga kesadaran terhadap hukum. Dokter harus memahami dengan baik mengenai etika dan hukum kedokteran. Begitu juga dengan kesalahpahaman mengenai medical malpractice, yang dapat menghadiahkan sanksi ancaman pidana dan dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma etis profesi. Medical malpractice dalam istilah sederhana kerap disandingkan dengan malpraktik, atau kesalahan dan/atau bukan kesalahan kesalahan yang dilakukan tim medis yang mengakibatkan kerugian bagi pasien. Dalam pengertian lain malpraktik adalah praktik dokter atau praktisi medis yang salah, tidak mengikuti prosedur maupun kode etik yang berlaku (Yunanto: 2009). Namun, menurut etimologi, malpraktik merupakan kata yang terbagi atas dua elemen, yakni “mal” dan “praktik”. “mal” sendiri berarti salah, kurang tepat, atau tidak selaras dengan tata aturan yang berlaku. Jika dikaitkan dengan elemen selanjutnya –praktik– maka malpraktik adalah tindakan yang dilakukan tim medis, yang dimana dalam pelaksanaannya tidak mengikuti prosedur yang berlaku (Setiadi: 2006). Merujuk dari pendapat di atas, Setiadi menambahkan bahwa dalam proses malpraktik harus terdapat beberapa hal, seperti adanya ketidaksengajaan, kecerobohan, kesem-bronoan, dan kekurangan mampuan yang tidak pantas, yang dipunyai oleh sang pengembang tugas. Dalam pandangan lain malpraktik diartikan sebagai perbuatan jahat atau ketidakcermatan seorang ahli dalam mengembang kewajibannya secara hukum (Soejatmiko: 2001). Di samping pengertian di atas Vironika menegaskan bahwa malpraktik ada kesalahan dalam pelaksanaan profesi yang menimbulkan beberapa kewajiban yang wajib dilaksanakan dokter (Komalasari: 1998).
Metode Penelitian Metode penelitian adalah cara ilmiah yang diterapkan untuk mencari data valid untuk kemudian digunakan sebagai material dalam memahami, memecahkan, dan mengantisifikasi suatu masalah (Sugiyono: 2009). Sedangkan dalam perspektif lain, metode penelitian merupakan cabang ilmu pengetahuan yang berbicara perihal cara-cara penelitian (Wirartha: 2006). Secara umum penulis menggunakan deskriptif analisis sebagai metode penelitian tunggal. Metode deskriptif sendiri adalah metode yang menjabarkan, mendeskripsikan, dan/atau memberikan gambaran atas objek yang sedang
Syntax Literate, Vol. 2, No. 8 Agustus 2017
51
Harmono
diteliti menggunakan data penelitian yang terkumpul (Sugiyono: 2009). Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan. Melalui teknik tersebut penulis mengumpulkan data terkait malpraktik di wilayah medis. Merujuk dari teknik di atas penulis berkesimpulan bahwa data yang terkumpul disini adalah data skunder mengingat penulis tidak mendapat data langsung dari subjek penelitian.
Hasil dan Pembahasan A. Hasil dan Pembahasan Pelayanan kesehatan pada umumnya memiliki tujuan untuk melaksanakan pencegahan dan/atau pengobatan atas penyakit, termasuk di dalamnya adalah pelayanan medis yang dilakukan atas dasar hubungan pasien dan dokter atas tugas dan kewajiban masing-masing. Keterkaitan antara dokter dan pasien yang masing– masing memiliki hak dan Kewajiban disebut dengan transaksi terapeutik. Pelayanan medis yang baik wajib diberikan dokter kepada pasiennya. Prosedur Diagnosis yang sesuai aturan, pemberian terapi, tindakan medik yang dilakukan sesuai standar pelayanan medik, serta tindakan wajar lainnya yang memang diperlukan bagi kesembuhan pasien. Adanya usaha tinggi yang dilakukan dokter atau praktisi medis memiliki tujuan untuk kesembuhan pasien. Kadang pula hasil yang didapat berbanding terbalik dengan yang diharapkan oleh pasien maupun dokter. Pasien yang berobat, gagal untuk
disembuhkan.
Bahkan adapula pasien yang mengalami cacat hingga berujung pada kematian. Hal ini membuat pasien menduga bahwa tindakan dokter sebagai penyebabnya. Kondisi ini yang kemudian menyudutkan dokter dan praktisi kesehatan dan beberapa dari pasien maupun kerabat pasien menuduh mereka melakukan malpraktik.
1.
Jenis Malpraktek
a.
Malpraktek Etik Malpraktik diartikan sebagai tindakan dokter atau praktisi medis yang bertentangan dengan kode etik dunia kesehatan yang berlaku. Etika kedokteran dapat sendiri diartikan sebagai seperangkat standar etis, aturan, norma, prinsip yang berlakuk bagi dokter.
52
Syntax Literate, Vol. 2, No. 8 Agustus 2017
Memahami Dan Mengurai Penyebab Medical Malpraktice
Ngesti Lestari berspekulasi bahwa malpraktik etik adalah dampak buruk atas kemajuan teknologi kedokteran. Kemajuan dalam hal teknologi kedokteran ternyata dapat berdampak
yang tak
diharapkan, walaupun bertujuan untuk
memberikan kenyamanan, kemudahan dan keamanan untuk pasien. Serta memudahkan dokter dan praktisi kesehatan unuk melakukan diagnosis cepat, tepat dan akurat sehingga rehabilitasi untuk pasien dapat dilakukan dengan lebih cepat. Di samping hal-hal yang disampaikan di atas, kemajuuan teknologi kedokteran memiliki dampak buruk lain, seperti: 1) Komunikasi dokter dan pasien menjadi lebih berkurang; 2) Kepentingan bisnis menjadi kerabat dekat dari etika kedokteran yang harusnya dijunjung tinggi dalam dunia kesehatan; 3) Meningginya harga pelayanan kesehatan, dsb. Adapun contoh penyalah gunaan kemajuan teknologi di bidang kedokteran penulis rangkum dalam uraian berikut: 1) Dibidang diagnostik Pemeriksanaan kondisi pasien di laboratorium kadang menjadi suatu hal yang tidak diperlukan saat ada dokter yang menangani untuk pemeriksanaan lebih lanjut. Namun, beberapa oknum laboratorium kadang menggunakan kata hadiah untuk mendorong dokter memeriksakan pasiennya ke laboratorium. Secara tidak langsung, berkat anjuran dokter, pasien pun kemudian memeriksanakan kondisi ke tubuhnya ke laboratorium dan mengeluarkan biaya lebih untuk hal tersebut. 2) Dibidang terapi Beberapa perusahaan yang menawarkan antibiotik kadang menawarkan hal lebih pada dokter. Hal tersebut kemudian mempengaruhi pertimbangan dokter untuk memberikan resep, terapi, maupun tindakan pada pasien. Yang lebih parah dari itu, dokter kadang tidak ambil pusing terkait terapi yang harusnya diterima pasien dan hanya mengindahkan terapi yang dianjurkan perusahaan untuk mengejar hal lebih untuknya. Secara tidak langsung hal tersebut adalah malpraktik etik yang dilakukan dokter.
Syntax Literate, Vol. 2, No. 8 Agustus 2017
53
Harmono
b. Malpraktek Yuridik Soedjatmiko berpendakan bahwa malpraktik yurudik terbagi atas beberapa jenis, yaitu: 1) Malpraktek Perdata (Civil Malpractice) Malpraktik ini timbul saat tidak adanya realisasi atas isi perjanjian transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain. Di samping itu malpraktik in juga terjadi apabila terdapat pelanggaran hukum sehingga berujung pada kerugian yang diderita pasien akibat tindakan yang dilakukan dokter. Terdapat beberapa pembagian terkait tidak dipenuhinnya perjanjian. Adapun pembagian yang dimaksud adalah: a) Tidak melaksanakan isi kesepakatan; b) Terlambat melakukan tindakan yang telah disepakati; c) Tidak sempurna dalam pelaksanaan hal-hal yang telah disepakati; d) Melaksanakan hal yang harusnya tidak dilaksanakan; Adakalanya seorang pasien tidak harus memberikan bukti kelalaian seorang dokter. Dalam hukum terdapat istilah “res ipsa loquitor” yang berarti fakta sudah berbicara. Hal seperti yang dimaksud terjadi akibat kesalahan yang jelas-jelas terlihat seperti tertinggalnya kain kasa di dalam perut atau belum tertutupnya lubang jahitan pada kulit yang berujung pada tindakan lanjutan. Dalam kondisi ini, untuk membersihkan namanya dari tudingan negatif, dokter diperkenankan memaparkan klarifikasi untuk membuktikan bahwa dirinya tidak sedang dalam kondisi kurang konsentrasi. 2) Malpraktek Pidana (Criminal Malpractice) Malpraktik ini terjadi apabila pasien kehilangan nyawa dan/atau meninggal, mengalami cacat seumur hidup, atau hal lain yang membuat praktisi kesehatan tidak dapat menangani dan menyembuhkannya. a)
Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional) Malpraktik jenis ini adalah malpraktik yang dilakukan dengan kondisi sadar. Adapun contoh dari malpraktik jenis ini adalah aborsi tanpa kaitan medis, pembocoran rasia dokter, euthanasia, dan hal-hal yang berkaitan dengan hal tersebut.
54
Syntax Literate, Vol. 2, No. 8 Agustus 2017
Memahami Dan Mengurai Penyebab Medical Malpraktice
b) Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness) Malpraktik ini adalah tindakan dokter dan praktisi kesehatan yang menyalahi etik namun bukan ditimbulkan akibat suatu kesengajaan, melainkan ketidaksengajaan yang dikategorikan sebagai suatu tindak pidana. c)
Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence) Malpraktik ini terjadi akibat kelalaian dan/atau kondisi alpa dokter maupun praktisi kesehatan yang menyebabkan kerugian bagi pasien namun bisa ditanggulangi dengan cepat dan tepat. Salah satu contoh malpraktik jenis ini adalah tertinggalnya instrumen bedah atau alat lain pada tubuh pasien.
d) Malpraktek Administratif (Administrative Malpractice) Malpraktik ini adalah malpraktik yang berkaitan dengan administrasi seperti tidak adanya lisensi dokter yang bertugas atau hal lain yang memiliki kaitan yang sama.
2.
Kewajiban Dokter dan Pasien dalam Pelayanan Kesehatan
a.
Hak dan Kewajiban Pasien Pasien sebagai klien palayanan medis merupakan orang yang membutuhkan pertolongan dokter untuk mengobati penyakit yang dideritanya. Sedangkan dokter orang yang bertindak sebagai orang yang memberi pertolongan pada pasien yang membutuhkan pertolongan di lingkup dunia kesehatan. Berbicara mengenai hak pasien tentunya tidak terlepas dari konsep hak asasi manusia yang bersumber pada hak seseorang dalam bidang kesehatan atau The Right of Self Determination. Walaupun antara hak asasi manusia dengan hak atas pelayanan kesehatan itu sama-sama pentingnya, akan tetapi seringkali hak atas pelayanan kesehatan itu dianggap lebih mendasar. Dalam hubungan keduanya, posisi pasien cenderung lebih lemah dibandingkan dengan posisi dokter itu sendiri. Pasien seringkali kurang mengerti dan kurang paham bagaimana prosedur untuk mendapatkan hak atas pelayanan kesehatan bagi dirinya. Hal ini yang kemudian menyebabkan ditentukannya hak-hak pasien dalam menghadapi para dokter yang mengobatinya itu. Pasien dan dokter sesungguhnya sama-sama subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban tertentu. Pada Musyawarah ke-34 Asosiasi
Syntax Literate, Vol. 2, No. 8 Agustus 2017
55
Harmono
Kedokteran Sedunia (World Medical Association) di Lisbon, September 1981, untuk pertama kalinya dideklarasikan hak-hak pasien. Hak tersebut termasuk kebebasan pasien memilih dokter, dan dirawat oleh dokter memiliki mempunyai kebebasan untuk membua putusan klinis, hak untuk menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi yang akurat, hak untuk mengharapkan bahwa dokternya akan merahasiakan rincian kesehatan dan pribadinya, hak untuk mati dalam kondisi bermartabat, dan hak untuk menerima maupun menolak layanan secara moral maupun spiritual. Di Indonesia, sebenarnya masih ada dokter yang enggan memberikan waktunya untuk memberikan informasi yang cukup kepada pasien sekaligus juga bersedia mendengarkan keluhan dan informasi kesehatan pasien secara lengkap. Padahal, informasi dan penjelasan dari pasien tersebut sangat penting bagi dokter untuk melakukan tindakan medis yang selanjutnya. Selain itu, dokter juga berkewajiban untuk memberi tahu kondisi dan penyakit yang diderita oleh pasiennya secara lengkap dan jelas. Hak pasien telah termaktub dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Secara umum, menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pasal 4 sampai pasal 8 disebutkan setiap orang berhak atas kesehatan, akses pada sumber daya, pelayanan kesehatan yang cukup aman, bermutu dan terjangkau, menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan, lingkungan yang sehat, mendapatkan informasi dan edukasi kesehatan yang seimbang dan bertanggungjawab, dan informasi tentang data kesehatan dirinya. Lebih rinci, hak-hak pasien dalam UU No. 36 Tahun 2009 mengenai Kesehatan itu diantaranya meliputi: 1.
Hak untuk menerima dan menolak segala hal yang berbentuk pertolongan. Pada pasal 56 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, disebutkan bahwa, setiap waktu berhak untuk menolak setiap tindakan kesehatan yang diberikan padanya setelah mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan pertolongan tersebut. Hanya saja ketentuan ini tidak berlaku apabila pasien menderita penyakit menulur yang penyebarannya relatif cepat dan membahayakan orang banyak.
56
Syntax Literate, Vol. 2, No. 8 Agustus 2017
Memahami Dan Mengurai Penyebab Medical Malpraktice
2.
Hak atas rahasia pribadi. Ketentuan ini diatur dalam pasal 57 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Ayat pertama menjelaskan bahwa, setiap orang berhak menutupi dan/atau menyembunyikan rahasia kesehatan pribadi yang telah disampaikan pada penyelenggara kesehatan. Namun pada ayat kedua dikatakan bahwa, hak atas rahasia pribadi ini tidak berlaku apabila ada perintah undang-undang untuk membukanya; perintah pengadilan; izin yang bersangkutan; kepentingan masyarakat; atau kepentingan orang tersebut. Hak tuntut ganti rugi akibat salah atau kelalaian. Dalam pasal 58 ayat pertama dikatakan bahwa, setiap individu berhak menyampaikan tuntutan dalam bentuk ganti rugi terhadap individu lain, baik bergelar praktisi kesehatan, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menyebabkan kerugian atasnya. Namun, tuntutanpraktisi kesehatan melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecatatan seorang pada kondisi darurat.
3.
Selain dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, hakhak pasien juga terdapat Kodeksi antara lain sebagai berikut: a.
Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri dan hak untuk mati secara wajar Setiap orang berhak untuk hidup karena hal ini merupakan salah satu hak asasi manusia. Begitu pula seorang pasien, ia memiliki hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri dan hak untuk mati secara wajar. Oleh karena itu, para dokter tidak boleh melakukan malpraktik medis terhadap pasiennya dan tidak boleh melakukan tindakan yang dapat membahayakan dan merugikan kondisi tubuh pasien. Hak mendapat aneka pelayanan kedokteran dan kesehatan yang manusiawi dengan orientasi pada standar profesi kedokteran.
b.
Hak mendapat penjelasan mengenai diagonisis serta terapi dari dokter yang menangani.
c.
Hak memperoleh penjelasan ini berhubungan dengan hak atas informasi. Dengan kata lain, pasien berhak mendapat segala informasi terkait kondisi kesehatannya dari dokter amupun praktisi kesehatan. berkaitan dengan hak atas informasi.
Syntax Literate, Vol. 2, No. 8 Agustus 2017
57
Harmono
4.
Pasien berhak untuk menolak prosedur kesehatan maupun kontrak terapeutik. Hal ini diakibatkan oleh hak asasi pasien untuk menentukan dirinya sendiri.
5.
Pasien berhak mendapat informasi dan/atau penjelasan terkait riset dokter yang akan diikutinya serta menolak atau menerima keikutsertaannya dalam riset kedokteran tersebut. Seseorang pasien berhak untuk mengetahui secara lengkap dan jelas mengenai riset kedokteran yang akan diikutinya dan berhak untuk menentukan apakah ia akan ikut serta atau tidak.
6.
Hak untuk dirujuk kepada dokter spesialis bila perlu, dan dikembalikan kepada dokter yang merujuknya setelah selesai konsultasi atau perlu pengobatan untuk memperoleh perawatan atau tindak lanjut dalam keadaan tertentu, seseorang pasien berhak untuk dirujuk kepada dokter spesialis oleh dokter yang sedang mengobatinya dan kembali lagi kepada dokter yang mengobatinya setelah selesai konsultasi dengan dokter spesialis tersebut.
7.
Hak atas kerahasiaan atau rekam medik yang bersifat pribadi Dalam melaksanakan profesinya, setiap profesional berkewajiban untuk merahasiakan keterangan yang diperoleh oleh kliennya. Keterangan klien yang harus dirahasiakan ini merupakan rahasia jabatan yang harus dijaga dan dipegang teguh oleh para professional. Di dalam dunia kedokteran, rahasia jabatan ini disebut sebagai rahasia kedokteran. Hak pasien atas kerahasiaan penyakitnya ini dilindungi denagn pasal 322 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang kemudian diperjelas dalam pasal 48 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
8.
Hak untuk memperolah penjelasan tentang peraturan rumah sakit Seorang pasien berhak untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai peraturan-peraturan yang berlaku di rumah sakit tempat ia dirawat.
9.
Hak untuk berhubungan dengan keluarga, penasihat atau rohaniwan dan lainlainnya yang diperlukan selama perawatan di rumah sakit Seorang pasien berhak untuk tetap dapat berkomunikasi dengan keluarga maupun kerabat-kerabatnya selama ia dirawat di rumah sakit tersebut. Sehingga, pihak rumah sakit tidak boleh melarang pasiennya untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan kerabatnya.
58
Syntax Literate, Vol. 2, No. 8 Agustus 2017
Memahami Dan Mengurai Penyebab Medical Malpraktice
10. Hak untuk memperoleh penjelasan tentang perincian biaya rawat inap, obat, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan Rotgen, Ultrasonografi (USG), CTScan, Magnetik Imaging (MRI) dan sebagainya, (kalau dilakukan) biaya kamar bedah, kamar bersalin, imbalan jasa dokter dan lain-lainnya. Berkaitan dengan imbalan jasa yang diberikan oleh pasien kepada dokter, dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran belum mengatur imbalan jasa ini. Yang berlaku selama ini, jasa dokter mengacu pada kesepakatan dalam ikatan profesi dalam keahlian masingmasing di daerah praktik kedokteran dilakukan. Sedangkan hak-hak pasien menurut pasal 52 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, adalah sebagai berikut. Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak untuk: a.
Mendapatkan
penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3); b.
Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c.
Mendapatkan pelayanan sesuai denagn kebutuhan medis;
d.
Menolak tindakan medis;
e.
Mendapatkan isi rekam medis.
Selain memiliki hak-hak seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, seorang pasien juga mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya. Kewajiban-kewajiban pasien ini telah diatur dalam pasal 53 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yaitu sebagai berikut ; Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban: a.
Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
b.
Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
c.
Memenuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
d.
Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Berkaitan dengan kewajiban pasien dalam memberikan informasi yang lengkap dan jujur, ada doktrin contributory negligence yang dapat diterjemahkan
Syntax Literate, Vol. 2, No. 8 Agustus 2017
59
Harmono
sebagai “pasien turut bersalah”. Inti dari doktrin ini adalah bahwa dalam hal medis pun tidak hanya dokter atau tenaga kesehatan lainnya saja yang dapat melakukan suatu kelalaian, akan tetapi seorang pasien pun dapat melakukan suatu kesalahan mengenai pemberian informasi yang tidak lengkap dan jujur mengenai kondisi tubuh dirinya. Menurut Guwandi, tidak saja dokter atau perawat yang bisa dianggap lalai, pihak pasien pun bisa turrut bersalah sehingga dapat menyebabkan penyakitnya bertambah buruk. Prof. Picard dalam buku Legal Liability of Doctors and Hospitals in Canada, mengatakan bahwa seorang pasien juga mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu terhadap dokternya dan juga terhadap dirinya sendiri. Di dalam melakukan kewajibannya, pasien diminta untuk memenuhi standar pasien yang wajar. b. Hak dan Kewajiban Dokter Sebelumnya, telah dijelaskan mengenai hak dan kewajiban pasien. Oleh karena itu, pada subbab ini akan dijelaskan hak dan kewajiban dokter. Profesi dokter, dalam menjalankan kewajibannya berlaku “Aegroti Salus Lex Suprema”, yang artinya keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi atau yang paling utama. Kewajiban dokter mencakup: 1. Kewajiban umum; 2. Kewajiban terhadap penderita atau pasien; 3. Kewajiban terhadap teman sejawat; 4. Kewajiban terhadap diri sendiri. Di Indonesia, kewajiban dokter atau dokter gigi diatur dalam pasal 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Adapun isi dari pasal 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, adalah sebagai berikut. Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban: a.
Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
60
Syntax Literate, Vol. 2, No. 8 Agustus 2017
Memahami Dan Mengurai Penyebab Medical Malpraktice
b.
Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
c.
Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;
d.
Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e.
Menambah ilmu pengetahun dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi. Selain memiliki kewajiban-kewajiban, dokter juga mempunyai hak-hak
tertentu dalam menjalankan profesi tersebut. Menurut pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, hak dokter atau dokter gigi adalah sebagai berikut. Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak: a.
Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melakukan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
b.
Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional;
c.
Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; atau
d.
Menerima imbalan jasa.
1.
Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent)
a.
Pengertian Informed Consent Di dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, disebutkan mengenai persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi. Dalam hal akan dilakukan suatu tindakan medis terhadap pasiennya, maka dokter atau dokter gigi perlu mendapatkan persetujuan dari pasien atau wakil sah dari pasien tersebut. Hal ini dikarenakan tidak semua jalan pikiran dan pertimbangan-pertimbangan yang dimiliki dokter atau dokter gigi sesuai dan
Syntax Literate, Vol. 2, No. 8 Agustus 2017
61
Harmono
sejalan dengan apa yang diinginkan oleh Pasien atau keluarganya. Oleh karenanya, maka diperlukan suatu lembar persetujuan tindakan medis atau informed consent. Secara istilah, informed consent dapat diartikan sebagai persetujuan yang diberikan pasien kepada dokter setelah pasien menerima penjelasan lengkap dari dokter. Menurut Komalawati, yang dimaksud dengan informed consent adalah suatu kesepakatan/persetujuan pasien atau upaya medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya, setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapay dilakukan untuk menolong dirinya, disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi. Informed consent merupakan syarat subjektif untuk terjadinya transaksi terapeutik yang bertumpu pada dua macam hak asasi sebagai hak dasar manusia, yaitu hak atas informasi dan hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Pasien merupakan seseorang yang paling memiliki kepentingan terhadap hal-hal yang akan terjadi pada dirinya sendiri dan segala akibat yang akan didapatnya. Maka dari itu, dalam transaksi terapeutik dengan adanya informed consent tersebut merupakan hak pasien yang harus dipenuhi sebelum ia menjalani suatu tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap penyakitnya tersebut. Secara hukum, hak adalah suatu kewenangan yang dimiliki oleh seseorang untuk berbuat sesuatu maupun tidak berbuat sesuatu. Jadi, pasien berhak dan bebas untuk menentukan apakah mau menyetujui atau tidak menyetujui tindakan medis dimaksud. Consent (persetujuan) merupakan dasar yuridis untuk pembenaran dilakukannya tindakan medic atau operasi. Misalnya, ketika seorang pasien akan dioperasi oleh dokter, maka tentu didalam tindakan operasi itu dokter akan menggunakan pisau. Kalau sebelumnya tidak ada persetujuan dari pasien yang bersangkutan, maka dokter dapat dianggap melakukan penganiayaan, karena tindakannya tersebut memenuhi unsur-unsur penganiayaan pada pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, hal tersebut tidak berlaku jika: 1) Orang yang dilukai tersebut memberikan persetujuannya; 2) Tindakan tersebut berdasarkan indikasi medik dan ditujukan pada suatu tujuan yang konkret;
62
Syntax Literate, Vol. 2, No. 8 Agustus 2017
Memahami Dan Mengurai Penyebab Medical Malpraktice
3) Tindakan medik tersebut dilakukan sesuai ilmu kedokteran (Notoatmodjo, 2010: 99) Oleh karena itu, bagi para dokter, sebelum melakukan suatu tindakan medik terhadap pasien haruslah memberikan informasi yang lengkap dan jelas mengenai tindakan medik yang akan diberikan. Informasi yang disampaikan tersebut bisa secara lisan. Adapun pernyataan persetujuan tindakan medik dari pasien itu juga bisa disampaikan secara lisan ataupun tulisan. Kalau resiko medik yang mungkin akan terjadi tergolong tinggi, maka harus dibuat persetujuan secara tertulis. Tapi, kalau tindakan medik yang akan dilakukan memiliki tingkat resiko yang rendah, maka cukup pernyataan secara lisan saja. Ketika seorang dokter akan menyampaikan informasi mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap Pasien, maka dalam menyampaikan informasi tersebut dokter tersebut harus menggunakan bahasa yang dapat dipahami oleh pasien tersebut. Hal lain yang perlu dijelaskan oleh dokter adalah mengenai besaran biaya yang akan ditanggung oleh pasien apabila tindakan medik itu jadi dilakukan. Karena, kalau dari awal tidak diberikan perkiraan biaya yang harus dibayar, maka seringkali akan menimbulkan rasa kaget dari pasien atau keluarga pasien, bias saja biayanya tergolong tinggi sehingga pihak keluarga pasien belum menyiapkan biaya yang cukup. Suatu informasi dan penjelasan dari dokter dianggap cukup, apabila telah mencakup beberapa hal di bawah ini, yaitu: 1) Tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medik yang akan dilakukan; 2) Tata cara tindakan medik yang akan dilakukan; 3) Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; 4) Alternative tindakan medik lain yang tersedia serta resiko masing-masing; 5) Prognosis penyakit apabila tindakan medik tersebut dilakukan; 6) Diagnosis. (Notoatmodjo, 2010:99)
Syntax Literate, Vol. 2, No. 8 Agustus 2017
63
Harmono
Kesimpulan Medical Malpraktek adalah suatu praktek pelayanan kesehatan khususnya yang dilakukan oleh para dokter yang tidak sesuai dengan standar profesi maupun standar operasinal prosedur yang berakibat timbulkan kerugian yang diderita oleh pasien, baik kerugian fisik maupun materil. Medical Malpraktic dapat dihindari manakala baik tenaga kesehatan khususnya para dokter maupun masyarakat sebagai pasien mamahami hak dan kewajibanya masing-masing sebagaimana yang termaktub dalam perjanjian tereupatic, baik secara tertulis maupun lisan.
64
Syntax Literate, Vol. 2, No. 8 Agustus 2017
Memahami Dan Mengurai Penyebab Medical Malpraktice
IBLIOGAFI HM. Soedjatmiko. 2001. Masalah Hukum Medik Dalam Malpraktek Yuridis. dalam kumpulan makalah seminar tentang Etika dan Hukum Kedokteran RSUD dr. Syaiful Anwar Malang. h. 3. Komalasari, Veronika. 1998. Hukum dan Etika dalam Praktik Kedokteran. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Notoatmodjo. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta Setiadi, Edi. 2006. Pertanggungjawaban pidana Dalam Kasus Mal Praktek Dokter, Makalah pada seminar sehari Penegakan Hukum Terhadap Malpraktek, kerjasama antara IKAHI dan IDI Cabang Sekayu di Sekayu. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta. Wirartha, Made I. 2006. Metode Penelitian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Andi Offset Yunanti, Ari. 2009. Hukum Pidana Malpraktik Medik. Yogyakarta: ANDI
Syntax Literate, Vol. 2, No. 8 Agustus 2017
65