Epifani Sebagai Ilmu Hudhuri: Suatu Tinjauan Epistemologis Oleh: Nusyirwan dan Benny Baskara* Abstrak Makna kata epifani telah mengalami perluasan, dari makna harfiahnya sebagai pengejawantahan Tuhan, menjadi pengejawantahan suatu pengalaman spiritual atau ilahiah di dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam karya-karya seni. Pergeseran makna ini tentu melalui proses yang cukup panjang, terutama berdasarkan pada konteks dinamika kehidupan manusia yang selalu berkembang. Epifani tidak hanya terjadi atau dialami dalam pengertian religius atau berkenaan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan agama, namun secara lebih luas epifani terjadi dalam kaitannya dengan hal-hal yang bersifat spiritual. Bentuk pengetahuan manusia bukan hanya pengetahuan yang diperoleh dari penalaran atau olah akal budi semata, namun juga pengetahuan yang diperoleh dari intuisi dengan olah spiritual. Pengetahuan tersebut dikenal dengan istilah ilmu hudhuri, atau pengetahuan dengan kehadiran, yang berbeda dengan pengetahuan yang diperoleh dari proses penalaran akal budi, yaitu ilmu hushuli. Tulisan ini menunjukkan bahwa epifani sebagai perwujudan nilai-nilai spiritual merupakan suatu bentuk pengetahuan yang diperoleh dari intuisi atau olah spiritual, yaitu ilmu hudhuri. Epifani diperoleh dari hasil olah spiritual, dan bukan olah penalaran akal, dan di situlah perbedaan epistemologis ilmu hudhuri dan ilmu hushuli. Epifani sebagai bentuk ilmu hudhuri diejawantahkan dalam kehidupan manusia sehari-hari, pada umumnya melalui karya-karya seni. Kata kunci: ilmu hudhuri, ilmu hushuli, epifani, epistemologi A. Pendahuluan Pengertian umum ilmu1 hudhuri adalah pengetahuan yang diperoleh langsung tanpa melalui wasilah atau proses pembelajaran. Ilmu hudhuri biasanya dilawankan dengan ilmu hushuli, yaitu pengetahuan yang dihasilkan melalui proses pengajaran atau melalui berita yang diterima dari * Keduanya adalah Dosen pada Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. 1 Istilah “ilmu” di sini diambil dari Bahasa Arab “al-‘ilm”, yang artinya “pengetahuan”, atau dalam Bahasa Inggris “knowledge”. Biasanya dalam Bahasa Indonesia, istilah “ilmu”, atau digabungkan menjadi “ilmu pengetahuan” bermakna sama dengan “science” dalam Bahasa Inggris. Oleh karena itu, agar tidak terjadi kerancuan istilah, maka dalam penelitian ini istilah yang akan digunakan adalah “ilmu” yang berarti “pengetahuan”, yang akan dibedakan dengan istilah “sains”, sehingga menjadi jelas perbedaan maknanya.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Nusyirwan dan Benny Baskara: Epifani Sebagai Ilmu Hudhuri: Suatu ...
640
orang lain2. Ilmu hudhuri sering juga disebut dengan istilah ilmu laduni atau menurut Mehdi Hairi Yazdi3 disebut sebagai “knowledge by presence”, yaitu ilmu yang diperoleh dengan “menghadirkan diri”, bukan dengan mempelajarinya. Dalam kamus bahasa Arab-Inggris, Hans Wehr4 mendefinisikan ilmu laduni sebagai “knowledge imported directly by God through mystic intuition/sufism.” (pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan melalui intuisi mistis atau sufisme). Sebagai suatu bentuk pengetahuan langsung, ilmu hudhuri berkaitan dengan intuisi. Menurut Bahm5, intuisi adalah suatu bentuk pengetahuan langsung, yaitu tanpa perantaraan dalam perolehannya. Ketika kesadaran akan sesuatu terjadi, dan tak ada intervensi antara kesadaran dengan yang disadari, maka di situlah intuisi terjadi. Maka, intuisi adalah istilah yang diberikan untuk suatu cara bagi kesadaran dalam mengetahui yang disadari secara langsung, tanpa perantaraan apa pun. Menilik pengertian di atas, tampak jelas bahwa ilmu hudhuri juga berkaitan erat dengan spiritualitas atau mistisisme. Ilmu hudhuri sebagai ilmu yang langsung diperoleh dari Tuhan, dan bukan dengan olah akal atau rasio melalui pembelajaran, melainkan melibatkan proses olah spiritual dan mistis untuk menajamkan intuisi dalam rangka memperolehnya. Ketika seseorang telah memperoleh ilmu hudhuri, maka ia akan mengalami suatu pengalaman spiritual yang luar biasa, bahkan seolah-olah ia telah “menyatu” dengan Tuhan, atau telah mengalami epifani. Makna epifani secara umum adalah bentuk dari pengejawantahan Tuhan. Ketika seseorang telah berada pada puncak pengalaman spiritualnya, ia dikatakan telah mengalami epifani. Pada saat itu ia seolaholah bisa berjumpa dengan Tuhan, ia seperti telah “melihat” dan “merasakan” kehadiran Tuhan, mengalami kontak langsung dengan Tuhan, sehingga bisa merasakan pengejawantahan Tuhan secara sepenuhnya dalam jiwanya. Tampaknya, epifani hanya terjadi pada para rohaniwan atau orangorang yang tekun dalam menjalankan agamanya serta selalu melaksanakan “laku” spiritual. Namun demikian, epifani juga lazim terjadi di kalangan 2
Jalaluddin Rahmat, Kuliah-kuliah Tasawwuf, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2000), p.
29. 3 Mehdi Hairi Yazdi, The Principle of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence, (New York: State University of New York Press, 1992). 4 Hans Wehr, Dictionary of Modern Written Arabic (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1979). 5 Archie J.Bahm, Epistemology: Theory of Knowledge, (Albuquerque: World Books, 1995), p. 5.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Nusyirwan dan Benny Baskara: Epifani Sebagai Ilmu Hudhuri: Suatu ...
641
para seniman, sehingga pengalaman spiritual yang luar biasa ini diejawantahkan dalam karya-karya seni. Bagaimana sang seniman tersebut dalam kontemplasi spiritualnya mendapatkan suatu pengalaman batin yang luar biasa, yang kemudian dituangkan dalam karya-karyanya. Tidak jarang kita mendengar lantunan irama musik yang begitu syahdu, syair puisi yang menggetarkan jiwa, lukisan atau ornamen-ornamen dengan goresan imajinasi yang tiada tara. Oleh karena itu, masalah epifani banyak bermunculan dalam kajian-kajian tentang seni maupun estetika. Epifani dengan demikian juga bermakna pengejawantahan suatu pengalaman spiritual yang luar biasa ke dalam karya-karya seni.6 Berangkat dari latar belakang tersebut, tulisan ini memahami landasan-landasan filosofis, khususnya landasan epistemologis yang mendasari ilmu hudhuri sebagai suatu bentuk pengetahuan yang berbasis pada intuisi, dan bukan akal atau rasio. Tulisan ini juga berusaha menjelaskan pengertian tentang epifani, termasuk perluasan dan penyempitannya dari makna yang sesungguhnya, serta berusaha menggali nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam pengalaman spiritual yang membentuk pengetahuan intuitif, serta menjelaskan hubungan dan pengaruh nilai-nilai dari suatu pengalaman spiritual terhadap pembentukan sebuah pengetahuan intuitif, proses perolehannya, bagaimana pengungkapan serta pengejawantahan pengetahuan tersebut dalam sudut pandang epistemologi. B. Kerangka Teori Istilah epifani (dalam bahasa Inggris Epiphany) arti harfiahnya adalah ”pengejawantahan Zat Tuhan”. Dalam The Compact Edition of the Oxford English Dictionary7 istilah epifani berasal dari kata Yunani “epiphanea” yaitu manifestation, striking appearence, an appearance of divinity: 1) ”A manifestation of some divine or super human being. 2) There had been two manifestation or bright epiphanies of the Grecian intellect”. (manifestasi, penampakan keilahian: 1. manifestasi ilahi atau manusia luar biasa; 2. dua bentuk manifestasi luar biasa dari intelektual Yunani). Dimensi epifani hingga kini merupakan nilai yang tetap penting, yang pada akhirnya manusia memang dapat menentukan apa yang bermakna bagi kehidupan mereka. Makna merupakan kebaikan-kebaikan tertinggi sejauh dapat diketahui dan 6 BoŜena Shallcross, “The Devining Moment: Adam Zagajewski's Aesthetics of Epiphany”, The Slavic and East European Journal, Vol. 44, No. 2, (Summer, 2000), pp. 234252, American Association of Teachers of Slavic and East European Languages. 7 The Compact Edition of the Oxford English Dictionary, (Oxford Univ.Press, 1987), p. 38.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
642
Nusyirwan dan Benny Baskara: Epifani Sebagai Ilmu Hudhuri: Suatu ...
disadari, adalah cinta kasih personal dan perenungan terhadap objek-objek yang indah. Lazimnya kata epifani dalam agama Kristen digunakan dalam peristiwa-peristiwa keagamaan, seperti perayaan epifani (yaitu peristiwa kedatangan tiga raja membawa persembahan kepada bayi Yesus). Tiga raja ini mencermikan negara-negara tetangga yang menyembah berhala, yang menerima kabar baik tentang Mesias, sebagaimana telah diramalkan dalam Kitab Perjanjian Lama. seperti diungkapkan dalam Yesaya: ”Kami datang dari Timur untuk Menyembah Dia”. Kita merayakan Pesta ”Penampakan Tuhan”. Pesta ini sering disebut dengan Pesta Tiga Raja, karena berkisah tentang tiga orang yang datang dari tempat yang jauh. Mereka diberi nama Kaspar, Melkior, dan Baltasar. Mereka adalah orang-orang Majusi, para ahli perbintangan.8 Epifani sering juga diartikan sebagai pengalaman misterius yang dialami oleh seseorang yang di luar kemampuan pikirnya, mereka menyambut adanya bimbingan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan menampakkan karyanya dalam kehidupan manusia. Tuhan langsung memberikan pertolongannya dan menunjukkan kemahakuasaannya. Epifani adalah peristiwa istimewa yang bisa menjadi titik balik kehidupan seseorang. Makna epifani di atas terelaborasi lebih jauh dalam bidang seni dan estetika. Bozena Shallcross9, menyatakan bahwa epifani pada hakikatnya merupakan suatu pengalaman batin. Dalam bentuknya yang paling murni, epifani menunjukkan suatu pengalaman spiritual dalam kehidupan seseorang yang tertinggi, terjelas, dan terterang, walaupun dialami secara sangat singkat, dan merupakan suatu bentuk manifestasi dan pencerapan intuitif yang tertinggi dari hakikat realitas alam semesta. Lebih lanjut, Zagajewski10 menyatakan bahwa epifani adalah suatu keadaan yang luar biasa, “penuh cahaya”, suatu keadaan yang penuh dengan “ekstase”, “inspirasi”, dan “iluminasi”, tak terbatas, tak terindrakan, penuh kebahagiaan dan anugerah, sehingga kita bisa mengetahui sesuatu yang sebelumnya tak pernah kita ketahui. Morris Beja, seorang kritikus seni11, mendefinisikan epifani sebagai suatu manifestasi spiritual langsung, apakah berasal dari sebuah objek, penampakan, peristiwa, atau tahapan yang 8Nusyirwan,
Kerja Sebagai Epifani: Akar Kultural Etos Kerja Minangkabau, (Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM, 2007) 9 Bozena Shallcross, the devining 10 Ibid. 11 Arthur M. Saltzman, “Epiphany and Its Discontents: Coover, Gangemi, Sorrentino, and Postmodern Revelation”, Journal of Modern Literature, Vol. 15, No. 4, (Indiana: Indiana University Press, Spring, 1989), pp. 497-518. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Nusyirwan dan Benny Baskara: Epifani Sebagai Ilmu Hudhuri: Suatu ...
643
membekas dalam jiwa, yang termanifestasikan begitu saja, terlepas dari proporsi, signifikansi, atau relevansi logis dari sebab-sebab atau latar belakangnya. Dalam pandangan Islam, alam semesta ini adalah bentuk pengejawantahan Tuhan. Alam semesta adalah ayat-ayat Tuhan yang kauniyah, di samping ayat-ayat kauliyah yang telah termaktub dalam alQur'an. Bahkan seorang ahli tasawuf, Hamzah Fansuri12, menyatakan bahwa dunia ini hanyalah penampakan Tuhan semata, dan bukanlah realitas yang sesungguhnya. Keberadaan dunia adalah seperti bayangan atau gambar yang tampak dalam cermin. Meskipun gambar itu mempunyai bentuk, namun pada hakikatnya tidaklah memiliki wujud. Hanya Tuhanlah satu-satunya yang memiliki keberadaan sejati, semuanya selain Tuhan hanyalah bayangan-Nya semata. Al-Qur'an terus-menerus menyerukan kepada kaum Muslim untuk melihat alam ini sebagai epifani (bukti keberadaan Tuhan). Mereka harus mencoba melihat ”menembus” alam yang terbagi-bagi ini menuju kuasa penuh dari keberadaan yang asali, kepada realitas transenden yang meresapi segala sesuatu. Kaum Muslim harus memupuk sikap sakramental (memandang suci dan simbolik) sebelumnya dikatakan bahwa kita hanya dapat ”melihat” sedikit tentang Allah dalam ’tanda-tanda’-Nya di alam semesta, dan Dia sendiri begitu transenden sehingga kita hanya bisa bicara tentang Dia dalam ’perumpamaan-perumpamaan’. Epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang berarti pengetahuan. Terdapat tiga persoalan pokok dalam epistemologi, yaitu: (1) Apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimanakah kita mengetahui? (2) Apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar di luar pikiran kita, dan kalau ada, apakah kita dapat mengetahuinya? Ini adalah persoalan tentang apa yang kelihatan (phenomena/appearance) versus hakikat (noumena/essence). (3) Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimanakah kita dapat membedakan yang benar dari yang salah? Ini adalah soal tentang mengkaji kebenaran atau verifikasi.13 Epistemologi juga lazim dikenal sebagai “teori tentang pengetahuan.” Pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul seputar epistemologi antara lain “apakah pengetahuan itu?”, “apakah kebenaran 12 Amin Abdullah, ”Aspek Epistemologis Filsafat Islam”, dalam Filsafat Islam, Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif, (Yogyakarta: LESFI, 1992) 13 Harold H. Titus, Problem-problem Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1984), p. 187.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Nusyirwan dan Benny Baskara: Epifani Sebagai Ilmu Hudhuri: Suatu ...
644
itu?”, “apakah ketidaktahuan itu?”, “apakah keraguan itu”, dan “apakah kesadaran itu?” Demikian pula pertanyaan mengenai istilah-istilah yang muncul dalam epistemologi, antara lain “sensasi, persepsi, konsepsi, imajinasi, pemikiran, dan penalaran”. Proses mengetahui tidak terlepas dari sebab-musabab dan prasyaratnya, sehingga penyelidikan tentang asalusul pengetahuan tidak terlepas dari sebab-musabab dan prasyarat pengetahuan tersebut, dan itulah yang dilakukan oleh epistemologi.14 Secara garis besar, ada dua aliran pokok dalam epistemologi. Pertama, adalah idealisme, atau juga dikenal sebagai rasionalisme, yaitu suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran akal atau ide sebagai sumber pengetahuan. Aliran kedua adalah realisme atau juga dikenal sebagai empirisisme, yang lebih menekankan pada peran indrawi (penglihatan, pendengaran, penciuman, sentuhan, dan pencicipan) sebagai sumber sekaligus alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan.15 Dalam khazanah keislaman, ada tiga macam teori tentang pengetahuan, yaitu pertama, pengetahuan rasional; kedua, pengetahuan empiris; dan ketiga, pengetahuan intuitif yang diperoleh lewat ilham. Pengetahuan idealistik-rasionalistik bercorak normatif, dogmatis, dan tekstual, dan mengikuti metode naqliyah atau bayani. Pengetahuan yang empiristis-realistis bercorak eksperimental-historis, dan mengikuti metode tajribiyah atau burhani, sedangkan pengetahuan intuitif bercorak spiritualmistis, dengan metode kasyfiyah atau laduniyah. Menurut Mehdi Aminrazavi16, pengetahuan itu tergolongkan secara hierarkis, dari yang terendah hingga yang tertinggi. Hierarki pengetahuan adalah sebagai berikut: (1) Pengetahuan berdasarkan definisi (knowledge by definition), (2) Pengetahuan dari pencerapan indrawi (knowledge by sense of perception), (3) Pengetahuan melalui konsep a priori (knowledge through a priori concept), (4) Pengetahuan dengan kehadiran (knowledge by presence), dan (6) Pengetahuan melalui pengalaman mistis langsung (knowledge through direct experience, mysticism). Hierarki pengetahuan tersebut berasal dari konsep status ontologis objek pengetahuan, yang juga bersifat hiearkis. Dengan demikian, pengetahuan juga berjenjang mengikuti struktur ontologis objeknya. Selanjutnya, Aminrazavi menyatakan bahwa bentuk ilmu hudhuri (knowledge by presence) yang paling sederhana adalah kesadaran diri (selfconsciousness), dan yang paling tinggi adalah pengetahuan mistis berdasarkan 14
Archie J. Bahm, Epistemology, p.1 Amin Abdullah, "Aspek, pp. 28-29. 16 Mehdi Aminrazavi, “How Ibn Sinian Is Suhrawardi's Theory of Knowledge?”, Philosophy East and West, Vol. 53, No. 2, University of Hawaii Press, (April, 2003), pp. 203-214. 15
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Nusyirwan dan Benny Baskara: Epifani Sebagai Ilmu Hudhuri: Suatu ...
645
pengalaman spiritual langsung. Bentuk kesadaran diri itu terdiri dari dua bagian, yaitu kesadaran diri tentang identitasnya sebagai seseorang, dan kesadaran akan dirinya sebagai sebuah “ada” (wujud). Kesadaran diri ini adalah kesadaran yang paling mendasar, bukan kesadaran yang timbul karena perenungan kita terhadap diri kita sendiri, karena itu sudah merupakan olah pemikiran. Ilmu hudhuri sebagai suatu bentuk kesadaran langsung berkaitan erat dengan intuisi dalam perolehannya. Bastick17 telah mengumpulkan beberapa definisi intuisi, antara lain dari William of Ockham: “Intuisi adalah pengetahuan langsung mengenai apakah sesuatu itu ada atau tidak”; Immanuel Kant: “Intuisi adalah kesadaran langsung tentang sebuah objek dengan mengalaminya”; Henri Bergson: “Intuisi adalah suatu pengetahuan langsung tentang fenomena vital dan merupakan perluasan dari insting”; C.G. Jung: “Intuisi adalah suatu bentuk persepsi murni yang dicapai oleh kesadaran irrasional”; M.L. Bigge dan M.P. Hunt: Pengetahuan intuitif tidak memerlukan verifikasi data dan pengujian hipotesis, serta tidak perlu merujukkan pada fakta apakah suatu asumsi itu benar atau salah. Pengetahuan intuitif adalah selalu benar.” Demikianlah, secara garis besar, dalam perkembangan sejarah pemikiran secara umum, dan pemikiran Islam khususnya, terlihat menyatu-padunya kajian metafisika, etika, dan epistemologi. Pendekatan holistik ini dalam bidang epistemologi Islam diperkaya juga dengan kalam dan sufisme.18 Oleh karena itu, epistemologi menjadi relevan untuk menelaah ilmu hudhuri dan epifani, mengingat lingkup kajiannya yang luas dan holistik tersebut. C. Penjelasan Mengenai Ilmu Hudhuri Ilmu hudhuri, pengertian sederhananya adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menghadirkan diri, tanpa melalui proses pembelajaran atau pengkonsepsian. Untuk membedakannya, ilmu hudhuri biasanya selalu dilawankan dengan ilmu hushuli, yaitu pengetahuan yang diperoleh dengan pembelajaran, latihan, atau pengkonsepsian. Menurut Mehdi Hairi Yazdi, ilmu hudhuri disebut juga sebagai knowledge by presence atau diterjemahkan sebagai “pengetahuan dengan kehadiran” atau “pengetahuan presentasional”, yang dilawankan dengan ilmu hushuli, yang disebutnya sebagai knowledge by correspondence atau knowledge by acquintance, yang
17
Tony Bastick, Intuition: How We Think and Act, (Indiana: John Wiley and Sons, 1992), pp. 25-29. 18 Amin Abdullah, "Aspek, p. 36. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Nusyirwan dan Benny Baskara: Epifani Sebagai Ilmu Hudhuri: Suatu ...
646
diterjemahkan sebagai “pengetahuan dengan korespondensi” atau “pengetahuan representasional”. Lebih lanjut, Yazdi mengemukakan ciri-ciri ilmu hudhuri atau pengetahuan dengan kehadiran sebagai berikut: Pengetahuan dengan kehadiran adalah jenis pengetahuan yang semua hubungannya berada dalam kerangka dirinya sendiri, sehinga seluruh anatomi gagasan tersebut bisa dipandang benar tanpa implikasi apa pun terhadap acuan objektif eksternal yang membutuhkan hubungan eksterior. Artinya, hubungan mengetahui, dalam bentuk pengetahuan tersebut adalah hubungan swaobjek tanpa campur tangan koneksi dengan objek eksternal.19 Dari penjelasan di atas, kita bisa mengetahui bahwa dalam ilmu hudhuri, semua pengetahuan berada dalam kerangka dirinya sendiri, atau merupakan suatu bentuk pengetahuan-diri-sendiri (self knowledge). Dalam bentuk pengetahuan ini, subjek sekaligus menjadi objek pengetahuan, dan tidak ada perbedaan atau jarak (distingsi) antara subjek dan objek. Bentuk ilmu hudhuri yang paling sederhana adalah pengetahuan tentang keadaan diri kita sendiri, yang tercermin dalam ungkapan-ungkapan seperti “saya lapar”, “saya lelah”, “saya senang”, dan seterusnya, yang merupakan ungkapan-ungkapan yang menggambarkan keadaan diri kita, yang tentunya kita mengetahui sepenuhnya keadaan diri kita sendiri. Mengenai hubungan subjek-objek dalam ilmu hudhuri, Yazdi menjelaskan: Dalam pengetahuan dengan kehadiran, apa yang disebut objek objektif sama sekali tidak berbeda status eksistensialnya dengan objek subjektif. Artinya, jenis objek yang kita sebut sebagai objek esensial bagi gagasan pengetahuan seperti ini bersifat imanen dalam pikiran subjek yang mengetahui, dan dalam pengetahuan dengan kehadiran ia mutlak bersatu dengan objek objektif. Dengan demikian, objek objektif tidak lagi absen dan aksidental bagi nilai kebenaran pengetahuan dengan kehadiran, atau dengan kata lain, dalam pengetahuan dengan kehadiran, objek objektif dan objek subjektif adalah satu dan sama.20 Dengan demikian, pada hakikatnya subjek dan objek dalam ilmu hudhuri adalah satu dan sama, atau dengan kata lain, baik yang mengetahui maupun yang diketahui itu adalah satu dan sama. Selanjutnya Yazdi melawankan karakteristik ilmu hudhuri dengan ilmu hushuli sebagai berikut:
19 20
Mehdi Hairi Yazdi, The Principle, p. 76. Ibid., p. 76.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Nusyirwan dan Benny Baskara: Epifani Sebagai Ilmu Hudhuri: Suatu ...
647
Pengetahuan dengan korespondensi adalah jenis pengetahuan yang melibatkan objek subjektif maupun objek objektif yang terpisah, dan mencakup hubungan korespondensi antar keduanya. Dalam kenyataannya, kombinasi objek-objek eksternal dan internal beserta derajat korespondensi di antara mereka membentuk esensi pengetahuan ini. Karena korespondensi betul-betul merupakan hubungan dua pihak secara hakiki, maka dapat dikatakan dengan logis bahwa jika hubungan ini terjadi, pasti ada konjungsi antara satu objek dengan objek yang lain. Hubungan ini tidak berlaku jika salah satu arah konjungsi tidak benar. Selanjutnya, seandainya tidak ada objek eksternal, maka tidak akan ada representasinya. Akibatnya, tidak ada kemungkinan hubungan korespondensi antara keduanya, sehingga tidak ada pula kemungkinan bagi eksistensi pengetahuan ini.21 Dengan pembedaan tersebut, maka karakteristik ilmu hushuli dan ilmu hudhuri menjadi jelas, sehingga bisa diketahui perbedaannya serta perbedaan hakikat atau esensi ilmu hushuli dan ilmu hudhuri. Dari pemaparan di atas, bisa juga diketahui bahwa salah satu ciri pengetahuan dengan kehadiran adalah kebebasannya dari dualisme kebenaran dan kesalahan. Dengan kata lain, pengetahuan dengan kehadiran itu selalu benar. Hal tersebut disebabkan tidak adanya dualisme subjek-objek dalam ilmu hudhuri, sehingga tidak akan ada dualisme salahbenar. Telah diketahui bahwa dalam ilmu hudhuri subjek dan objeknya adalah satu, yaitu diri yang mengetahui dan yang diketahui adalah sama. Oleh sebab itu, kita selalu mengetahui apa yang terjadi pada diri kita, sehingga pengetahuan kita tentang diri kita sendiri tentu selalu benar dan tidak akan pernah salah. Lebih lanjut, Yazdi menjelaskan bahwa karena hubungan kebenaran dan kesalahan bergantung kepada hubungan korespondensi antara subjek dengan objek serta antara sebuah pernyataan dengan acuan objektifnya, maka karakteristik ini hanya ada pada ilmu hushuli, dan bukan pada ilmu hudhuri. Dengan kata lain, dalam pengetahuan dengan korespondensi, kebenaran dinilai dari korespondensi antara subjek dan objek, dan korespondensi antara sebuah pernyataan dengan objeknya. Apabila dalam proses korespondensi tersebut terjadi kesesuaian, maka pengetahuan itu disebut benar, dan sebaliknya, apabila dalam proses korespondensi itu tidak terjadi kesesuaian, maka ia disebut salah. Dalam ilmu hudhuri, korespondensi seperti ini tidak terjadi, karena tidak ada dualitas antara subjek dan objek, subjek dan objek adalah satu dan sama. Secara otomatis, 21
Ibid., pp. 76-77.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Nusyirwan dan Benny Baskara: Epifani Sebagai Ilmu Hudhuri: Suatu ...
648
tidak ada juga korespondensi antara keadaan internal dan eksternal, maupun antara “pernyataan” dan “fakta eksternal”. Oleh karena itu, karena terbebas dari korespondensi, maka ilmu hudhuri terbebas dari dualisme kebenaran dan kesalahan, dan bisa dikatakan sebagai selalu benar.22 Karena ilmu hudhuri terbebas dari proses korespondensi, maka ia juga terbebas dari proses pembentukan konsepsi dan konfirmasi. Pembedaan proses pembentukan pengetahuan dengan konsepsi dan konfirmasi ini pertama kali dilakukan oleh Ibnu Sina, yang selain untuk menggambarkan proses terbentuknya pengetahuan diskursif manusia, ia juga bisa digunakan untuk menguji kebenarannya, yaitu sebagai logika. Dari proses tersebut, kemudian juga bisa diuji mengenai “makna” dan “nilai kebenaran” sebuah pernyataan. Oleh karena proses tersebut, maka lahirlah “definisi” serta rujukan-rujukan untuk menguji definisi tersebut, antara lain dengan kesesuaian antara pernyataan dengan objeknya, maupun kesinambungan pernyataan-pernyataan tersebut dalam membentuk sebuah konsepsi. Bagaimanapun sahihnya proses tersebut, ia hanya bisa diterapkan pada ilmu hushuli, dan tidak dapat diterapkan pada ilmu hudhuri. Kedua proses yang digambarkan di atas, konsepsi dan konfirmasi, adalah ciri-ciri konseptualisasi yang termasuk ke dalam tataran makna dan representasi, bukan pada tatanan wujud dan kebenaran faktual. Ilmu hudhuri sama sekali tidak melibatkan proses konsepsi maupun konfirmasi.23 Walaupun kriteria pengujian kebenaran seperti konsepsi dan konfirmasi tidak bisa diterapkan pada ilmu hudhuri, namun bukan berarti tidak ada pengertian kebenaran yang bisa diterapkan pada ilmu hudhuri. Dalam hal ini, kebenaran ilmu hudhuri akan setara dengan gagasan wujud, atau lebih secara ontologis. Jika bisa disetarakan adanya pengetahuan dengan kehadiran dengan suatu “kehadiran” atau “keseketikaan” realitas objek dalam pikiran, maka cukup kuat untuk diterapkan pengertian eksistensial tentang kebenaran ilmu hudhuri.24 Setelah mengetahui bagaimana asal-usul dan perolehan ilmu hudhuri, sekarang bagaimana mode dan metode ilmu hudhuri. Ada tiga mode ilmu hudhuri, yaitu pengetahuan-diri (self-knowledge), pengetahuan Tuhan tentang Diri-Nya dan ciptaan-Nya (atau emanasi-Nya, menurut Suhrawardi), dan pengetahuan manusia tentang Tuhan. Pengetahuan mistis bisa diaplikasikan pada kombinasi dua mode ilmu hudhuri yang 22
Ibid., p. 79. Ibid., p. 79-80. 24 Ibid., p. 81. 23
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Nusyirwan dan Benny Baskara: Epifani Sebagai Ilmu Hudhuri: Suatu ...
649
terakhir, karena puncak pengetahuan mistis sesungguhnya adalah penyatuan antara diri dengan Tuhan.25 Pada mode ilmu hudhuri yang pertama, yaitu pengetahuan-diri, manusia harus melakukan penyelidikan ke dalam kesadaran dirinya sendiri terlebih dahulu, baru kemudian berlanjut kepada objek-objek eksternal. Ada dua pembuktian bahwa seseorang benar-benar sadar akan dirinya. Pertama, dengan mengetahui sesuatu selain dirinya, yang berarti melakukan penisbatan terhadap dirinya dan objek tersebut. Kedua, dengan mengetahui diri secara langsung, hingga sampai pada pernyataan “aku mengetahui diriku”, yang berarti melakukan perenungan terhadap dirinya sendiri.26 Pada mode ilmu hudhuri yang kedua, yaitu pengetahuan Tuhan akan Diri-Nya dan ciptaan-Nya, untuk ini secara garis besar adalah gambaran dari proses penciptaan dengan emanasi dan iluminasi, yang merupakan garis besar pemikiran Plotinus, kemudian Al-Farabi, dan Suhrawardi. Bagaimana pada awalnya Tuhan memikirkan diri-Nya sendiri, dan dari pikiran tersebut memancarlah cahaya-cahaya yang mewujud menjadi makhluk-makluk-Nya. Dalam tahapan emanasi Plotinus adalah Akal Tuhan → Nous → Soul (jiwa) → Materi. Inilah mode ilmu hudhuri yang kedua, bagaimana pengatahuan Tuhan akan diri-Nya kemudian memancar kepada makhluk-Nya, sekaligus sebagai pengetahuan tentang ciptaan-Nya tersebut. Pada mode ilmu hudhuri yang ketiga, yaitu pengetahuan manusia tentang Tuhan, berkaitan dengan mode ilmu hudhuri yang kedua, akan membentuk suatu pengetahuan mistis. Puncak pengetahuan mistis adalah penyatuan antara diri dengan Tuhan. Pada mulanya, hal ini diawali dengan pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri, kemudian ia merenungkan dirinya hingga sampai pada asal-usulnya bagaimana ia diciptakan oleh Tuhan. Inilah mengapa Plato mengatakan “kenalilah dirimu sendiri”, yang sejalan dengan bunyi sebuah Hadits “Barangsiapa mengetahui dirinya, maka ia mengetahui Tuhannya”. Dari proses tersebut menuju suatu kesadaran mistis yang merupakan penyatuan dengan Tuhan, Hairi Yazdi menjelaskannya secara detail: Ilmu hudhuri Tuhan tentang Diri-Nya berkat swa-identitas memiliki arti bahwa realitas Tuhan mutlak hadir kepada dan identik dengan Diri-Nya. Di lain pihak, pengetahuan-kehadiran Tuhan melalui pencerahan dan supremasi berarti bahwa Dia hadir dalam tindak 25
Choir, Epistemologi Ilmu Hudhuri dalam pandangan Mehdi Hairi Yazdi, (Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2004), p. 63. 26 Mehdi Hairi Yazdi, The principle, p. 123. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Nusyirwan dan Benny Baskara: Epifani Sebagai Ilmu Hudhuri: Suatu ...
650
emanasi imanen-Nya. Dengan demikian, tidak mungkin ada interupsi atau keterputusan dalam pencerahan dan supremasi-Nya atas emanasi sedemikian rupa sehingga menyebabkan pemisahan antara Diri-Nya dan tindak emanasi-Nya.27 Dari uraian di atas, diketahui bahwa sesungguhnya secara ontologis terjadi kesatuan wujud antara Tuhan dengan makhluk-Nya, atau dapat dikatakan sebagai suatu bentuk pantheisme. Melalui proses emanasi, Tuhan mengejawantah kepada makhluk-makhluk-Nya, seperti kesatuan antara matahari dengan sinarnya. Kesatuan mistis pada hakikatnya adalah kesatuan wujud antara Tuhan dengan makhluk-Nya, dan kesadaran mistis akan kesatuan ini adalah suatu bentuk ilmu hudhuri, karena kita memperoleh dan mengalaminya secara langsung. Akal dan pemikiran hanyalah sarana awal saja untuk membangkitkan kesadaran ini. D. Penjelasan Mengenai Epifani Di atas telah dijelaskan tentang makna epifani, yaitu secara harfiah adalah “pengejawantahan Tuhan”. Kamaluddin Al-Hadjdj Khawadja28 mengadopsi istilah epifani ini dan mengartikannya sebagai “pengejawantahan Zat Tuhan”. Dalam bukunya “Rahasia Hidup”. Khawadja menggunakan istilah epifani untuk menggambarkan segala kemakmuran dan pencapaian di muka bumi ini sebagai pengejawantahan sifat-sifat Tuhan, terutama sifat Rahman (Maha Pemurah) dan Rahim (Maha Penyayang). Segala bentuk kekayaan, kekuatan, kebesaran, dan kemuliaan yang ada di dunia sesungguhnya merupakan bentuk pengejawantahan kemurahan Tuhan, atau menunjukkan sifat Maha Pemurah Tuhan. Seluruh kekayaan dan kemuliaan tersebut sesungguhnya merupakan tandatanda pengejawantahan Tuhan. Khawadja dalam salah satu bagian karyanya menjelaskan: Epifani raksasa yang telah membangkitkan tenaga-tenaga terpendam dalam kodrat manusia dan telah membawa perubahan raksasa di seluruh masyarakat itu adalah sifat Tuhan yang disebut Rahmaniyat (Maha Pemurah). Seperti halnya makhluk-makhluk lain di dunia, manusia mempunyai bertumpuk-tumpuk tuntutan kodrat yang harus dipenuhi, dan bahkan hidup manusia bergantung atas dipenuhinya kodrat itu. … Tuhan Yang Maha-Murah dan Maha27
Ibid., p. 220. Al-Hadjdj Khawadja Kamaluddin, The Secret of Existence or The Gospel of the Action. Alih bahasa H.M. Bachrun, Rahasia Hidup. (Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1966), p. 48. 28
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Nusyirwan dan Benny Baskara: Epifani Sebagai Ilmu Hudhuri: Suatu ...
651
Asih sangat memperhatikan persediaan perbekalan yang sangat kita perlukan. Akan tetapi untuk apa? Bukan sebagai pembalasan jasa baik kita kepada Tuhan, melainkan semata-mata karena cinta kasih Tuhan. Semua ini adalah manifestasinya sifat Tuhan yang disebut Rahmaniyat.”29 Jadi, segala sesuatu yang tersedia di muka bumi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup manusia adalah suatu bentuk pengejawantahan kemahamurahan Tuhan. Namun demikian, untuk mendapatkan segala kemurahan Tuhan tersebut manusia tidak bisa memperolehnya begitu saja. Manusia harus berusaha dan bekerja keras untuk bisa memperolehnya. Manusia sendirilah yang harus mengambil langkahnya yang pertama, agar ia menjadi layak akan manifestasinya sifat ini. Oleh karena itu, usaha manusia merupakan prasyarat utama bagi manifestasinya sifat Rahmaniyat ini. Kurangnya bahan-bahan dan sumber daya tidak menjadi masalah, Tuhan akan menjamin segala kebutuhan manusia, asalkan manusia tegak berdiri di atas perbuatan, dengan tekun dan bekerja. Inilah bekerjanya sifat Tuhan Rahmaniyat yang memberi pertolongan kepada manusia yang tekun berusaha.30 Mengenai bekerja dan berusaha sebagai prasyarat manifestasinya sifat Maha Pemurah Tuhan, Khawadja menjelaskannya sebagai berikut: Adapun dasar motifnya epifani ini adalah untuk menyelamatkan manusia dari bahaya putus asa karena tidak adanya alat-alat penolong. Jika manusia telah memasuki lapangan perbuatan, maka tidak adanya bahan-bahan yang diperlukan itu tidaklah menjadi rintangan. Itulah sebabnya mengapa al-Qur'an dalam tiap-tiap suratnya dimulai dengan kalimat Bismillahi-rahmanirahim (Dengan nama Allah yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang). Itulah sebabnya pula mengapa kita dianjurkan membaca kalimat itu setiap kita mulai mengerjakan sesuatu. Hal ini dimaksud untuk memperingatkan manusia, bahwa segala sesuatu yang diperlukan pasti sudah diciptakan oleh Tuhan atas kasih-sayang-Nya. Akan tetapi, ini semua baru dapat dimanfaatkan setelah manusia mau menggunakan tenaganya.31 Di samping sebagai prasyarat bagi manifestasinya sifat Maha Pemurah Tuhan, bekerja keras dan berusaha juga merupakan prasyarat bagi manifestasinya sifat Rahimiyat atau Maha Pengasih Tuhan. 29
Ibid., pp. 51-52. Ibid., p. 49. 31 Ibid., pp. 53-54. 30
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Nusyirwan dan Benny Baskara: Epifani Sebagai Ilmu Hudhuri: Suatu ...
652
Apabila sifat Rahmaniyat itu terjadi dalam proses manusia untuk mencapai tujuannya, yaitu dengan menyediakan bahan-bahan yang diperlukan, maka sifat Rahimiyat baru akan mengejawantah ketika manusia sudah mengenyam hasil dari usaha dan kerja kerasnya tersebut. Khawadja menjelaskan bahwa sifat Rahimiyat ini adalah “pemberian Tuhan yang jauh melebihi dari apa yang kita harapkan”. Penjelasan lebih lengkapnya sebagai berikut: Jika urusan hasil itu diserahkan sepenuhnya kepada kekuasaan manusia, maka hasil itu harus seimbang dengan perbuatannya. Akan tetapi, jika diserahkan kepada kekuasaan Tuhan, maka buahnya selalu lipat berpuluh-puluh kali dari hasil kerjanya. Mesin bikinan manusia pasti akan mengeluarkan jumlah yang sama dengan apa yang dimasukkan ke dalamnya. Akan tetapi, mesin alam, bumi umpamanya, (atas kuasa Tuhan) sebutir gandum yang dimasukkan ke dalamnya akan mengeluarkan beratus-ratus kali lipat. … Inilah manifestasinya sifat Tuhan Rahimiyat, yang hanya manusia ahli perbuatan saja yang dapat menghargai sebaik-baiknya. Sebab, yang langsung memang tindakan manusia itu sendiri, tetapi untuk memperoleh hasil yang berlipat-lipat, itu adalah bagiannya “Tangan Gaib” Rahimiyat, yang selalu mendampingi manusia dalam bidang perbuatan.32 Demikianlah pemaparan Khawadja tentang bagaimana epifani sifat Tuhan Rahmaniyat dan Rahimiyat akan mengejawantah kepada manusia yang senantiasa berusaha dan bekerja keras. Di satu sisi, perbuatan dan usaha keras manusia sangat dihargai sebagai prasyarat manifestasi sifat Tuhan tersebut, dan di sisi lain membuka kesadaran manusia bahwa jerihpayahnya itu bukanlah satu-satunya sebab bagi hasil dan buah yang ia nikmati. Ia senantiasa dikaruniai dengan epifani rahmaniyat yang menyediakan bahan-bahan yang dibutuhkannya, dan kemudian dengan Rahimiyat yang telah memberinya hasil yang berlipat ganda, yang tentu harus dilandasi dengan usaha dan kerja keras sebagai prasyaratnya. Dalam bidang seni, istilah epifani digunakan untuk menggambarkan suatu pengejawantahan nilai-nilai spiritual dalam karya-kaya seni. Karyakarya seni yang memiliki keagungan dan nilai keindahan yang luar biasa sehingga mampu memikat dan memesona para penikmatnya dikatakan mengandung epifani sang seniman di dalamnya. Epifani dalam bidang seni merupakan suatu perwujudan inspirasi batin yang sangat mendalam dari sang seniman yang tercermin dalam karyanya.
32
Ibid., pp. 55-56.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Nusyirwan dan Benny Baskara: Epifani Sebagai Ilmu Hudhuri: Suatu ...
653
Beberapa definisi mengenai epifani telah diutarakan sekilas di muka, dan sekarang kita akan mengeksplorasinya lebih jauh. Definisi dari Morris Beja bahwa epifani merupakan manifestasi spiritual langsung yang termanifestasikan begitu saja, menunjukkan bahwa epifani tidak diperoleh dari proses pemikiran ataupun akal budi. Epifani lebih merupakan perwujudan dari suatu pengalaman spiritual dan langsung, tanpa dipikirkan atau dianalisis terlebih dahulu. Memang demikianlah karakteristik karya seni, ia tidak dihasilkan dari proses pemikiran dan analisis yang tajam dan mendalam, namun lebih sebagai hasil perenungan dan kontemplasi spiritual dari sang seniman. Bozena Shallcross33 menyatakan bahwa epifani merupakan puncak pengalaman spiritual yang paling murni, tertinggi, terjelas, dan terterang, dan sebagai pencerapan intuitif yang tertinggi dari hakikat realitas alam semesta. Dengan demikian, epifani merupakan kulminasi dari kontemplasi seorang seniman, yang apabila kemudian diejawantahkan dalam karya seni, ia akan bisa membangkitkan nuansa spiritual para penikmatnya. Dengan demikian epifani juga merupakan manifestasi dari nilai-nilai keagungan, keluhuran, dan keadiluhungan sebuah karya seni. Adam Zagajewski34 juga menjelaskan bahwa epifani merupakan suatu pengalaman spiritual yang luar biasa, yang dengan mengalaminya kita akan mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak pernah manusia ketahui. Manusia seolah-olah masuk ke dalam pengalaman yang serba baru, manusia akan mendapatkan pengetahuan yang baru, yang sebelumnya belum pernah kita dapatkan. Situasi tersebut juga dilukiskan sebagai keadaan yang luar biasa serta penuh kegembiraan dan anugerah, yang tentunya bisa menjadi sumber inspirasi yang luar biasa bagi para seniman dalam menciptakan karya-karyanya. E. Epifani Sebagai Ilmu Hudhuri Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa epifani— dengan maknanya yang telah diperluas sebagai suatu bentuk perrwujudan pengalaman spiritual atau pengalaman batin yang luar biasa—dalam hal ini bisa disebut sebagai suatu bentuk ilmu hudhuri. Karya-karya seni yang begitu indah oleh para pengamat seni disebut sebagai suatu bentuk epifani, di mana sang seniman penciptanya dinilai telah mendapatkan suatu pengalaman spiritual yang luar biasa. Pengalaman spiritual ini dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk ilmu hudhuri. Bahkan, dalam satu kesempatan, ketika seorang pengamat seni sedang mendengarkan sebuah 33 34
Bozena Shallcross, the devining Ibid.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
654
Nusyirwan dan Benny Baskara: Epifani Sebagai Ilmu Hudhuri: Suatu ...
lagu yang begitu merdu dan liriknya sangat sarat makna, ia segera berujar, “Lagu ini, baik pencipta maupun penyanyinya, pasti telah memperoleh ilmu hudhuri”. Di muka telah diuraikan gambaran epistemologi ilmu hudhuri, bagaimana bentuknya, perolehannya, kriteria kebenarannya, serta metodenya. Telah disebutkan pula pengertian epifani, bagaimana makna sebenarnya sebagai bentuk pengejawantahan Tuhan dan dalam perkembangannya mengalami perluasan makna, yaitu pengejawantahan pengalaman spiritual atau pengalaman batin yang luar biasa, yang umumnya diwujudkan dalam bentuk karya-karya seni. Dalam hal ini, akan dicoba dianalisis apakah epifani merupakan suatu bentuk ilmu hudhuri. Analisis dilakukan dalam kerangka epistemologi, bagaimana perolehan epifani, kriteria kebenaran, dan metodenya. Sebagai pengejawantahan nilai dalam sebuah karya seni, epifani juga akan ditinjau dari sudut pandang estetika. Epifani yang telah dijelaskan oleh Khawadja adalah epifani sebagai bentuk pengejawantahan nilai-nilai ketuhanan, terutama nilai-nilai Rahman dan Rahim (pemurah dan penyayang). Dalam pandangan Khawadja, nilainilai tersebut tidaklah mengejawantah begitu saja, namun manusia harus berusaha untuk membuktikan pengejawantahannya dengan berusaha dan bekerja keras. Rahman dan Rahim tidak begitu saja bisa diperoleh atau dirasakan, ia haruslah diperjuangkan dengan segenap daya upaya manusia. Penjelasan di atas juga mengimplikasikan bahwa perolehan ilmu hudhuri itu tidaklah dengan proses belajar, mengingat, berpikir, dan menganalisis—atau pendek kata, tidaklah melalui proses diskursif rasional. Memang ilmu hudhuri dalam memperolehnya juga diperlukan proses, namun bukan proses berpikir rasional. Proses untuk memperoleh ilmu hudhuri di sini lebih bersifat mengasah intuisi, sehingga intuisi menjadi tajam dan bisa mendapatkan suatu pengalaman yang luar biasa, atau dengan kata lain mengalami epifani. Memang, bentuk ilmu hudhuri yang paling sederhana adalah pengetahuan langsung atas keadaan diri kita. Namun demikian, tentu epifani bukanlah suatu bentuk ilmu hudhuri yang sederhana. Epifani hanya bisa diperoleh atau dialami setelah melalui latihan atau olah spiritual tertentu yang cukup berat. Bahkan Khawadja sendiri mengisyaratkan bahwa untuk bisa merasakan sifat Rahman dan Rahim Tuhan, manusia pun harus bekerja keras. Oleh karena itu, epifani tidak bisa begitu saja diperoleh atau dirasakan oleh orang-orang yang tidak melakukan atau melaksanakan suatu olah spiritual. Kembali kepada pandangan Khawadja bahwa bekerja keras merupakan prasyarat bagi perolehan epifani, yaitu pengejawantahan nilai SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Nusyirwan dan Benny Baskara: Epifani Sebagai Ilmu Hudhuri: Suatu ...
655
Rahman dan Rahim Tuhan. Sesungguhnya, berusaha dan bekerja keras merupakan suatu proses olah spiritual dan penajaman intuisi, sehingga dengan proses tersebut seseorang akan tajam intuisinya dan bisa memaknai kesuksesan yang diperolehnya sebagai perwujudan sifat Maha Pemurah dan Maha Pengasih Tuhan. Di sinilah sesungguhnya hakikat dimensi spiritual kerja manusia, yaitu kerja sebagai sarana olah spiritual untuk menajamkan intuisi dalam rangka mengupayakan diri untuk bisa menangkap perwujudan sifat Rahman dan Rahim Tuhan. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, banyak agama—Islam khususnya—yang menyatakan bahwa kerja adalah ibadah. Dalam Kristen kita kenal semboyan “Ora et Labora”, yang berarti manusia harus berdoa dan bekerja keras dalam hidupnya agar ia bisa berhasil dalam memperoleh apa yang diinginkannya. Dengan demikian, bekerja keras juga berada dalam kerangka penyembahan dan permohonan kepada Tuhan, agar dibukakan oleh-Nya pintu-pintu kemurahan dan kasih sayang-Nya, yang pada akhirnya kita akan merasakannya sebagai buah-buah dari hasil kerja keras kita tersebut. Dengan demikian, makna kerja menjadi sakral dan tidak lagi profan semata. Bagaimana kerja merupakan sarana untuk membuka pintu bagi terwujudnya sifat-sifat Tuhan, khususnya Rahman dan Rahim. Karena bekerja juga merupakan suatu bentuk ibadah, maka bisa dikatakan bahwa kerja juga merupakan suatu bentuk penyembahan, walaupun tidak secara formal dalam bentuk ritual. Dalam kerja yang disadari sebagai ibadah, kita selalu berharap untuk segera bisa memetik buah-buahnya, yaitu keberhasilan dan kesuksesan sebagai bentuk perwujudan nilai-nilai kemurahan dan kasih sayang Tuhan. Tanpa kerja, tanpa sarana, mustahil bagi kita untuk bisa mendapatkan epifani kemurahan dan kasih sayang Tuhan. Dalam bidang seni, epifani akan tampak dalam karya-karya seni yang begitu indah, anggun, dan memukau. Karya-karya seni tersebut seperti mengandung kedalaman spiritual dan penghayatan mendalam dari seniman penciptanya. Karya-karya seni yang demikian mampu menggetarkan jiwa dan membangkitkan nuansa khidmat bagi para penikmatnya. Dalam karya-karya seni yang demikian itulah epifani sang seniman mengejawantah. Karya-karya seni tersebut tentu saja tidak serta merta dihasilkan tanpa suatu proses yang mendalam. Karya-karya seni yang begitu indah dan agung, yang mencerminkan kedalaman spiritual seniman penciptanya, tentu dihasilkan melalui proses kontemplasi yang mendalam pula. Oleh karena itulah sering terdengar bagaimana seorang seniman berkontemplasi demi mencari inspirasi bagi karya seni yang akan dihasilkannya. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Nusyirwan dan Benny Baskara: Epifani Sebagai Ilmu Hudhuri: Suatu ...
656
Kontemplasi tersebut bukan hanya bersifat lahiriah saja, namun lebih pada olah batin spiritual untuk menajamkan intuisi, agar mendapatkan inspirasi yang mendalam. Epifani yang terdapat dalam karya-karya seni yang agung, seperti dalam nyanyian, tarian, lukisan, atau bentuk-bentuk karya seni lainnya, bukan hanya mengandung muatan spiritual semata, namun juga mampu membangkitkan nilai-nilai spiritualitas para penikmatnya. Seperti diungkapkan oleh definisi Adam Zagajewski bahwa epifani adalah suatu keadaan yang luar biasa, sehingga kita bisa mengetahui apa yang sebelumnya tidak kita ketahui. Di sini, terungkap bahwa seseorang akan terbangkitkan sisi spiritualitasnya, sehingga ia bisa mengetahui apa yang tidak diketahuinya sebelumnya. Dengan menikmati atau menghayati sebuah karya seni, misalnya mendengarkan sebuah lagu, seseorang bisa mengalami ekstase karena mendapatkan pengalaman spiritual yang luar biasa. Apbila epifani ditinjau dari sisi estetika, hal yang paling tampak menonjol adalah dalam keagungan atau sublimitas (sublime) sebuah karya seni. Epifani akan tampak dari karya-karya seni yang agung, yang menunjukkan kedalaman spiritual penciptanya, sekaligus ia mampu membangkitkan spiritualitas penikmatnya. Seperti diungkapkan oleh Beardsley35, bahwa “karya seni pada hakikatnya merupakan ungkapan diri, ketulusan jiwa sang seniman, dengan segenap detail biografinya serta kehidupan batin spiritualnya.” Gagasan tentang keagungan karya seni mulai berkembang pada abad ke-18, pada masa Romantisme, yang pada masa tersebut kecenderungan karya-karya seni diproduksi sebagai ekspresi individual sang seniman terutama emosi pribadinya.36 Namun demikian, keagungan dalam karya seni sebagai sebuah nilai yang terkandung di dalamnya akan selalu dapat kita cerap dan rasakan. Keagungan sebagai sebuah nilai adalah sesuatu yang universal, dan sejauh karya-karya seni yang mengemban nilai keagungan tersebut masih bisa dihadirkan, maka manusia sebagai penikmat seni tentu saja masih bisa menyerap nilai keagungan tersebut. Banyak karya seni yang agung yang bisa digunakan sebagai contoh, bahwa dalam karya-karya seni tersebut benar-benar terkandung nilai-nilai keagungan yang bisa memikat dan mempesona para penikmatnya. Tarian berputar para darwis (whirling dervishes) dan puisi-puisi dari Jalaluddin Rumi misalnya, drama Romeo dan Juliet dari Shakespeare, musik-musik klasik dari para komponis seperti Beethoven, Bach, Vivaldi, dan para komponis 35
M.C Beardsley, Aesthetics, from Classical Greece to the Present, a Short History, (Alabama: University of Alabama Press, 1975), p. 247. 36 Beardsley, ibid. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Nusyirwan dan Benny Baskara: Epifani Sebagai Ilmu Hudhuri: Suatu ...
657
klasik lainnya, lukisan-lukisan klasik dari Michaelangelo, Picasso dan pelukis lainnya, hingga tari Bedaya dari Kraton Mataram, semuanya merupakan karya seni yang agung, yang bisa membangkitkan nuansa spiritual, bahkan katarsis, kepada para penikmatnya. Dalam perkembangan estetika kontemporer ditegaskan bahwa pengalaman estetis manusia dalam mencerap keindahan bukanlah sentimen emosional, melainkan suatu bentuk pemahaman dan pengetahuan. Hal tersebut diungkapkan oleh Dufrenne,37 seorang ahli estetika kontemporer, bahwa “dalam pertunjukan komedi, penonton akan tertawa; namun demikian tertawa itu berasal dari pengetahuan, bukan dari sentimen emosional”. Dengan demikian, manusia bisa menikmati seni itu dengan pengetahuan, dan bukan dengan emosi atau perasaan. Hal tersebut diperkuat dengan pandangan Husserl tentang “lebenswelt”-nya, yaitu totalitas pengalaman hidup manusia yang tercermin dalam segala aspek kehidupannya. Pandangan ini sangat berpengaruh kemudian pada corak estetika eksistensialisme, yaitu manusia selalu berusaha mencari eksistensi dirinya yang “otentik”. Proses pencarian diri yang “otentik” dari seorang seniman akan tercermin dalam karya-karya seni yang dihasilkannya.38 Dari penjelasan di atas, dapat ditegaskan bahwa proses menikmati seni itu adalah melalui pengetahuan, dan bukan dengan sentimen emosi. Oleh karena itu, nilai-nilai estetis sebuah karya seni tidak bisa ditangkap secara emosional. Memang pencerapan nilai-nilai estetis adalah suatu bentuk pengetahuan, namun demikian, nilai-nilai estetis juga tidak bisa diserap oleh pengetahuan akal budi atau intelek. Dengan demikian, tentunya bentuk pengetahuan yang sesuai dalam menangkap nilai-nilai estetika adalah pengetahuan non-diskursif, yaitu pengetahuan nonrepresentasional atau ilmu hudhuri. Hal ini sesuai dengan pandangan Husserl tentang lebenswelt sebagai totalitas pengalaman hidup manusia, bagaimana seorang seniman “menghadirkan diri” dalam karya-karyanya, dan orang lain menangkap “kehadiran” tersebut dengan ilmu hudhuri. Selanjutnya, hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa epifani itu sendiri merupakan perwujudan dari nilai-nilai spiritual. Memang, epifani tidak bisa dicapai atau diperoleh begitu saja tanpa upaya olah spiritual. Namun demikian, seringkali kita memahami bahwa proses olah spiritual merupakan bentuk epifani itu sendiri. Ini adalah pemahaman yang keliru. Epifani adalah hasil, bukan proses. Proses olah spiritual seperti kontemplasi, meditasi, atau dalam istilah Jawa adalah laku spiritual, 37 38
Beardsley, Aesthetics, p. 372. Ibid., pp. 373-374.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
658
Nusyirwan dan Benny Baskara: Epifani Sebagai Ilmu Hudhuri: Suatu ...
bukanlah epifani. Epifani mengejawantah dalam hasil, bukan dalam proses. Oleh karena itu, bisa ditangkap epifani dalam hasilnya, misalnya dalam karya-karya seni, dan bukan kontemplasi seniman itu sendiri. Dalam kaitannya dengan pandangan Khawadja bahwa epifani sifat Rahman dan Rahim Tuhan akan terwujud hanya dengan melalui kerja keras, sesungguhnya bentuk epifani adalah pada hasil kerja keras, dan bukan kerja keras itu sendiri. Oleh karena itu, pemahaman bahwa kerja keras adalah suatu bentuk epifani adalah salah. Yang benar, kesuksesan sebagai hasil dari kerja keras itulah yang merupakan epifani, yaitu pengejawantahan nilai-nilai kemurahan dan kasih sayang Tuhan. Kerja keras merupakan suatu bentuk olah spiritual untuk mencapai epifani. F. Penutup Dari penjelasan dan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa istilah epifani telah mengalami perluasan makna. Epifani tidak hanya bermakna pengejawantahan Tuhan semata, namun epifani juga bermakna pengejawantahan nilai-nilai spiritual atau pengalaman batin yang luar biasa, yang pada umumnya diwujudkan dalam karya-karya seni. Ilmu hudhuri adalah suatu bentuk pengetahuan langsung berdasarkan intuisi. Oleh karena itu, secara epistemologis ilmu hudhuri tidak bisa dinilai berdasarkan kriteria pengetahuan yang berdasarkan pemikiran rasional atau ilmu hushuli. Ilmu hudhuri memiliki fakultas, metode, dan kriteria kebenaran yang berbeda dengan ilmu hushuli. Epifani itu sendiri adalah suatu bentuk ilmu hudhuri. Epifani sebagai perwujudan spiritualitas atau pengalaman batin adalah suatu bentuk pengetahuan yang diperoleh langsung tanpa perantara dan bisa dinilai berdasarkan kriteria epistemologi ilmu hudhuri, sehingga bisa dikatakan bahwa epifani merupakan suatu bentuk ilmu hudhuri.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Nusyirwan dan Benny Baskara: Epifani Sebagai Ilmu Hudhuri: Suatu ...
659
Daftar Pustaka Abdullah, Amin, ”Aspek Epistemologis Filsafat Islam”, dalam Filsafat Islam, Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif, editor: Irma Fatimah, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI), 1992. Aminrazavi, Mehdi, 2003, How Ibn Sinian Is Suhrawardi's Knowledge? Philosophy East and West, Vol. 53, No. 2, (Apr., 2003), University of Hawaii Press. Bahm, Archie J., Epistemology: Theory of Knowledge, Albuquerque: World Books, 1995. Bakker, A., Ontologi Metafisika Umum, Filsafat Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan, Yogyakarta: Kanisius, 1991. Bastick, Tony, Intuition: How We Think and Act, Indiana: John Wiley and Sons, 1982. Beardsley, M.C., Aesthetics, from Classical Greece to the Present, a Short History, Alabama: University of Alabama Press, 1975. Carrel, A, , Man the Unknown, alih bahasa: Kania Roesli dkk, Misteri Manusia, Bandung: Remadja Karya, 1987. Choir, T., Epistemologi Ilmu Hudhuri dalam pandangan Mehdi Hairi Yazdi, Tesis, Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2004. Delfgauw, B., De Wijsbegeerte van de 20 e Eeuw Wereldvenster/Barn, alih bahasa Drs.Soejono Soemargono, Filsafat Abad 20, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1972. Denzin, Norman K & Lincoln, The Sage Handbook of Qualitative Research: Third Edition, London: Sage Publications, 2005. Dilthey, dalam Palmer, Richard E, Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, Northwestern University Press, 1969. Honderich, T., The Oxford Companion to Philosophy, New York: Oxford University Press, 1995. Kamalu’d-din, Al-Hadjdj Khawadja, The Secret of Existence or The Gospel of the Action, Alih bahasa H.M. Bachrun, Rahasia Hidup, Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1966.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
660
Nusyirwan dan Benny Baskara: Epifani Sebagai Ilmu Hudhuri: Suatu ...
Kartanegara, Mulyadhi, Epistemologi Islam, Menyibak Tirai Kejahilan, Jakarta: Penerbit Mizan, 2002. Leahy, L., Esai-Esai Filsafat untuk Masa Kini Telaah Masalah Roh-Materi Berdasarkan Data Empiris Baru, Jakarta: Gramedia, 1991. Mudhofir,A., Kamus Istilah Filsafat, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001. Nusyirwan, “Kerja Sebagai Epifani: Akar Kultural Etos Kerja Minangkabau.” Draft Disertasi Doktor. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM. (tidak diterbitkan), 2007. Peursen, C.A van., Filosofische Orientatie. Alih Bahasa Dick Orientasi di Alam Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1980.
Hartoko,
Poespowardojo, S. dan Bertens, K. Sekitar Manusia, Bunga Rampai Tentang Filsafat Manusia. Jakarta: Gramedia, 1987. Rahmat, Jalaluddin, Kuliah-kuliah Tasawwuf, Jakarta: Pustaka Hidayah, 2000. Randall, Jr .J.H & Buchler, J, Philosophy, An Introduction, New York: Barnes & Noble Inc., 1942. Saltzman, Arthur M., 1989, Epiphany and Its Discontents: Coover Gangemi, Sorrentino, and Postmodern Revelation, Journal of Modern Literature, Vol. 15, No. 4, (Spring, 1989), Indiana University Press. Shallcross, BoŜena, 2000, The Divining Moment: Adam Zagajewski's Aesthetics of Epiphany, The Slavic and East European Journal, Vol. 44, No. 2, (Summer, 2000), American Association of Teachers of Slavic and East European Languages. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/1400089 Accessed: 18/06/2008 11:59 Stable URL: http://www.jstor.org/stable/309951.Accessed: 06/06/2008 12:20 Stable
URL: http://www.jstor.org/stable/3831604. 06/06/2008 11:23
Accessed:
Titus, Harold H., Problem-problem Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1984. Wehr, Hans, Dictionary of Modern Written Arabic, Wiesbaden: Harrassowitz, 1979. Yazdi, Mehdi Hairi, The Principle of Epistemology in Islamic Philosophy Knowledge by Presence, New York: State University of New York Press, 1992. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009