Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi II Program Studi MMT-ITS, Surabaya 30 Juli 2005
STRATEGI LINDUNG NILAI (HEDGING) UNTUK MENEKAN KERUGIAN AKIBAT FLUKTUASI HARGA MINYAK DUNIA Iwan Budhiarta Staf Program MMT-ITS
ABSTRAK Minyak dan Gas termasuk golongan Sumberdaya Alam yang Tak Terbaharui. Ketersediaan minyak dan gas di alam semakin menipis dari waktu ke waktu dan sebaliknya, permintaan dari pasar dunia meningkat dari hari ke hari. Sementara saat ini, terjadi eksploitasi besar-besaran oleh para eksplorator yang mengakibatkan gangguan terhadap kemampuan suplai minyak dunia untuk kehidupan sehari-hari. Adanya gangguan suplai minyak menimbulkan permasalahan lanjutan yang memerlukan penyesaian yang tidak mudah, tidak murah dan memerlukan kerjasama lintas sektoral. Permasalahan tersebut antara lain kenaikan harga BBM, yang diikuti oleh naiknya harga barang-barang konsumsi pokok sehari-hari. Fluktuasi nilai tukar mata uang asing, khususnya Rupiah terhadap Dollar, menyumbang masalah tersendiri. Pada kuartal kedua 2005, nilai mata uang US$ mengalami penguatan secra signifikan terhadap mata uang kawasan regional Asia, termasuk Indonesia. Di lain pihak, posisi negara Indonesia saat ini dalam perdagangan minyak dunia adalah net importir, yang berarti produksi harian Indonesia masih tidak mencukupi untuk kebutuhan penduduknya sehingga harus menambah stok dengan cara membeli/mengimpor minyak dari luar negeri. Dengan naiknya harga minyak dunia, maka jumlah nominal yang dibutuhkan untuk membeli/mengimpor minyak dalam mata uang US$ bertambah besar. Sehingga, Pertamina ’terpaksa’ membeli minyak dengan denominasi US$ dalam jumlah besar pula. Permintaan akan mata uang US$ yang lebih tinggi daripada mata uang Rupiah akan mengakibatkan jatuhnya nilai tukar mata uang Rupiah lebih dalam lagi. Oleh karena itu, diperlukan strategi jitu untuk meredam kerugian yang akan muncul dari akibat fluktuasi nilai tukar Rupiah-Dollar. Salah satu strategi jitu tersebut adalah strategi lindung nilai (Hedging). Dengan melakukan lindung nilai, maka potensi resiko dapat diminimalisir, dan juga memberikan kepastian berusaha karena membantu pengendalian produk dan persediaan bahan baku guna memenuhi kebutuhan produsen, pengolah atau pabrikan. Kata kunci: Hedging, Harga Minyak Mentah, Nilai Tukar, USDollar, Rupiah. Krisis Produksi Minyak Dunia Seperti diketahui, minyak dan gas merupakan jenis sumber daya alam yang terbatas dan memakan waktu lama untuk proses recovery-nya. Beberapa kenyataan mengenai kemungkinan penipisan cadangan minyak sebagai sumberdaya alam terbatas, yaitu produksi bermula dari nol, produksi mencapai puncaknya dan kemudian akan menurun terus sampai cadangan minyak mendekati batas yang mengkhawatirkan. Teori ini dirilis pertama kali oleh Dr. M. King Hubbert pada tahun 1950, dan telah diaplikasikan hingga kini. Dan bahkan, Dr. C. J. Campbell, di dalam bukunya yang berjudul “The Coming Oil Crisis”, dapat memprediksikan bahwa cadangan minyak akan sampai pada titik yang sangat
ISBN : 979-99735-0-3
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi II Program Studi MMT-ITS, Surabaya 30 Juli 2005
mengkhawatirkan pada tahun 2050, yaitu empat puluh lima tahun kemudian jika dihitung mulai tahun ini (Gambar 1).
Gambar 1. Prediksi Produksi Minyak dalam 100 Tahunan Selanjutnya, Dr.Campbell menyatakan bahwa titik balik produksi minyak dunia akan terlewati pada tahun 1999. Setelah tahun ini, produksi minyak dunia akan mengalami penurunan secara bertahap. Hal tersebut bertolak belakang dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh EIA (Energy Information Administrator), bahwa sesuai dengan pertumbuhan penduduk dan meningkatnya penindustrian dunia, konsumsi minyak dunia akan meningkat berdasarkan regional sebesar 10% setiap 10 tahun. Pada tahun 2010, diperkirakan kebutuhan total minyak dunia mencapai 100 juta barrel per hari (Gambar 2).
Gambar 2. International Energy Outlook, 2004 Analis energi lainnya, Dr. Jean Laherrere, staf perusahaan TOTAL, sebuah perusahaan eksplorasi minyak dunia, mengatakan bahwa puncak produksi minyak dunia akan terjadi antara tahun 2005-1010, yang kemudian akan mengalami penurunan secara bertahap untuk tahun-tahun berikutnya (Gambar 3).
ISBN : 979-99735-0-3
A-25-2
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi II Program Studi MMT-ITS, Surabaya 30 Juli 2005
Gambar 3. World’s Liquid Production Dengan demikian, kita dapat mengambil pesan inti dari laporan-laporan analis di atas, bahwa ketersediaan minyak sebagai sumberdaya alam yang tak terbaharui dan terbatas akan memasuki tahun-tahun yang mengkhawatirkan setelah melewati tahun 2010. Sehingga, sudah tiba saatnya bagi kita untuk memikirkan penggunaan energi alternative agar terhindar dari krisis yang lebih parah. Indonesia: Penghasil sekaligus Pembeli Minyak Sejak jaman dahulu kala, Negara Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Salah satu kekayaan utama Indonesia adalah kandungan minyak bumi dan gas alam yang melimpah ruah. Minyak merupakan sumber daya alam yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia dan hingga saat ini masih menjadi andalan untuk mendongkrak perekonomian Indonesia yang masih terpuruk. Alasannya, komoditi ini sampai kapanpun masih memiliki pasar potensial di luar negeri. Menurut penelitian yang telah dilakukan, di wilayah Indonesia, terdapat 60 cekungan yang diperkirakan mengandung cadangan migas. Separuh dari cekungan tersebut telah dilakukan eksplorasi. Penyebaran cekungan yang produktif saat ini umumnya terdapat di Indonesia bagian barat. Sementara di kawasan timur masih kurang berkembang dan dimanfaatkan secara optimal. Seperti juga negara-negara lainnya, usaha pertambangan minyak Indonesia dilakukan di darat (drilling on shore) dan daerah lepas pantai (drilling off shore). Tingginya minat investor melakukan pengeboran lepas pantai, selain lantaran pengeboran di darat yang mulai jenuh, juga karena perkembangan teknologi yang memungkinkan dilakukannya pengeboran lepas pantai. Pengeboran minyak di lepas pantai Indonesia dimulai sejak 1966. Sama halnya dengan pengeboran di darat, pengeboran lepas pantai juga membutuhkan investasi yang besar dan resiko tinggi. Biaya yang harus dikeluarkan untuk setiap pengeboran, sangat bergantung pada lokasi, kedalaman, keadaan bawah permukaan laut dan teknologi yang digunakan. Untuk setiap kegiatan eksplorasi yang memakan waktu 3-6 tahun, menurut Indrayana, biaya yang diperlukan berkisar antara US$ 400 ribu – US$ 3 juta. Dalam beberapa hal, pengeboran minyak di darat malahan lebih mahal daripada pengeboran di laut lepas karena masalah yang dihadapi lebih kompleks. Misalnya soal pembebasan tanah yang berlarut-larut, hukum dan keamanan.
ISBN : 979-99735-0-3
A-25-3
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi II Program Studi MMT-ITS, Surabaya 30 Juli 2005
Meski pengeboran lepas pantai cukup menjanjikan, bukan berarti tidak ada masalah yang menghadang. Persoalan yang biasa dihadapi dalam pengeboran lepas pantai, antara lain pencemaran laut akibat semburan minyak yang terbawa arus. Selain itu juga kebiasaan nelayan membuang limbah sembarangan ke pantai. Untuk meminimalisir pencemaran laut, pemerintah telah melakukan sosialisasi kepada perusahaan yang bersangkutan dan juga masyarakat setempat. Produksi Minyak Per Hari Saat ini, Indonesia dinilai sudah tidak relevan lagi menjadi anggota OPEC, karena mengingat volume produksi minyak nasional yang terus turun hingga kurang dari 1 juta barrel per hari (Tabel 1). Kemungkinan Indonesia akan menggenjot produksi minyaknya untuk mencapai quota OPEC amatlah sulit. Pemerintah diperkirakan hanya akan sanggup menahan laju penurunan produksi dari 16 persen per tahun saat ini menjadi 2-3 persen per tahun. Sehingga, keikutsertaan Indonesia di OPEC dinilai bersifat politis dan tidak efektif karena hanya menghabiskan dana US$ 2 juta per tahun, atau Rp 19,6 miliar per tahun. Alangkah baiknya jika dana tersebut dialihkan untuk memberdayakan rakyat miskin. Salah satu solusinya adalah saatnya Pemerintah Indonesia harus memaksa dan mendorong masyarakat, pebisnis dan kalangan pemerintahan sendiri untuk lebih berhemat dalam memanfaatkan energi, terutama bahan bakar minyak (BBM), kemudian memberikan pilihan untuk beralih ke penggunaan energi alternatif sejak dini. Jika tidak dimulai dari sekarang, besar kekhawatiran bahwa negara kita akan terlambat dalam menangani krisis energi yang kapan saja dapat terjadi. Perlu diingat bahwa ketersediaan energi adalah faktor penting tumbuhnya perekonomian sebuah negara. Tabel 1. Produksi Minyak Negara-Negara OPEC World Oil & NGL Production Million barrels per day Apr 2005
Mar 2005
Avg 2004
Avg 2003
OPEC - Crude Oil Saudi Arabia
9.16
9.06
8.75
8.48
Iran
3.90
3.76
3.93
3.78
Iraq
1.83
1.80
1.99
1.32
United Arab Emirates
2.45
2.40
2.35
2.29
Kuwait
2.16
2.11
2.05
1.87
Qatar
0.78
0.78
0.78
0.72
Nigeria
2.45
2.40
2.32
2.15
Libya
1.64
1.62
1.55
1.42
Algeria
1.35
1.35
1.21
1.11
Venezuela
2.16
2.12
2.17
2.01
Indonesia
0.95
0.95
0.97
1.01
Sumber: International Energy Agency
ISBN : 979-99735-0-3
A-25-4
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi II Program Studi MMT-ITS, Surabaya 30 Juli 2005
Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa di dalam jajaran negara OPEC, hanya Indonesia sajalah yang ’terpaksa’ menurunkan kuota produksi minyak per harinya, hingga sebesar 0,95 juta bpd dari 1,01 juta bpd pada tahun 2003. Pertamina dan Dilemanya Sebagai sebuah perusahaan minyak, Pertamina beroperasi di bagian hulu (eksplorasi dan produksi minyak mentah) dan di bagian hilir (refinery, marketing dan distribusi minyak mentah). Dahulu, Pertamina (sampai 2001) mengelola kepentingan Pemerintah di bidang hulu, dengan mengurusi seluruh kontrak produksi minyak di Indonesia yang memungkinkan perusahaan asing seperti Caltex/Chevron, BritishPetroleoum, dan ExxonMobil melakukan eksplorasi minyak di Indonesia. Di dalam kapasitasnya sebagai wakil Pemerintah, Pertamina memiliki otoritas yang kuat untuk mengatur distribusi minyak mentah yang diproduksi oleh para kontraktornya. Tetapi kemudian, fungsi dan peranan Pertamina ini digantikan oleh BP-Migas (Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi) yang didirikan berdasarkan UU Migas yang baru (UU No. 22/2001). Dengan adanya BP Migas ini, Pertamina ’turun derajatnya’ sama dengan kontraktor yang dahulu dibawahinya dan harus bersaing dengan perusahaan minyak asing lainnya untuk mendapatkan kontrak eksplorasi dan produksi minyak bumi di Indonesia. Termasuk hak mengatur, marketing dan distribusi minyak mentah yang diberikan ke BP Migas. Lebih lanjut, hal ini mengakibatkan Pertamina hanya menjadi produsen minyak mentah minor di Indonesia, karena saat ini lebih dari 2/3 kontrak eksplorasi dan produksi minyak dikuasai oleh kontraktor asing, dengan Caltex/Chevron sebagai produsen terbesar di Indonesia. Jika dibandingkan dengan kontraktor asing, Pertamina sudah jelas kalah dalam segala hal, seperti penguasaan teknologi, kecanggihan peralatan, kualitas SDM dan yang tak kalah pentingnya adalah dukungan modal asing yang sangat kuat. Di lain pihak, status Pertamina sebagai pemasok utama BBM di Indonesia tetap tidak berubah. Pertamina memiliki kewajiban untuk menjaga stok BBM di Indonesia dengan melakukan kegiatan refinery minyak mentah untuk menjadi BBM dan juga impor BBM untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Kemudian BBM tersebut harus dijual ke dalam pasar negeri dengan harga di bawah biaya produksi Pertamina, dengan alasan bahwa harga BBM tersebut disubsidi oleh Pemerintah berupa pembayaran perbedaan biaya produksi dan harga BBM di pasaran. Kedua hal di atas kemudian menimbulkan masalah-masalah sebagai berikut: 1. Dengan hilangnya fungsi kontrol terhadap minyak mentah, Pertamina menjadi kekurangan bahan mentah untuk memproduksi BBM. Sekarang para kontraktor minyak di Indonesia bisa lebih bebas menjual produksi minyak mentahnya ke luar negeri dan ini mengurangi pasokan minyak mentah ke kilang-kilang minyak Pertamina, yang mengakibatkan Pertamina harus meningkatkan impor minyak mentah untuk produksi BBM. 2. Hal ini juga diperburuk dengan produksi minyak mentah Indonesia yang terus menurun. Selama beberapa waktu terakhir produksi harian Indonesia tidak pernah mencapai kuota yang ditetapkan OPEC sebesar 1,27 juta bph dan hanya bisa memproduksi sebesar 0,97 juta bph. Dan volume produksi ini harus dikurangi bagian kontraktor asing sebesar 350.000 barrel.
ISBN : 979-99735-0-3
A-25-5
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi II Program Studi MMT-ITS, Surabaya 30 Juli 2005
Sehingga dalam hitungan riilnya, Indonesia hanya menguasai 650.000 barrel minyak mentah. Padahal, kebutuhan minyak mentah Indonesia adalah 1,05 juta bph, yang mengakibatkan Pertamina harus mengimpor 400.000 barrel minyak mentah per hari. Dan ini sudah cukup untuk mengatakan bahwa Indonesia saat ini adalah net importer minyak mentah. 3. Subsidi yang seharusnya dibayarkan oleh Pemerintah kepada Pertamina ternyata sering mengalami hambatan. Subsidi tersebut besarnya tidak tanggung-tanggung, Rp 3 triliun, dan terhambat selama 3 bulan. Hal ini mengakibatkan Pertamina kesulitan cash flow untuk melunasi utang-utang impor BBM-nya, yang berlanjut kepada hilangnya kepercayaan mitra dagangnya di luar negeri untuk melanjutkan pasokan minyak mentah dan BBM ke Pertamina. Menurunnya kemampuan kas Pertamina mengakibatkan terganggunya kelancaran impor BBM ke Indonesia dan akhirnya mengurangi cadangan BBM yang dimiliki Indonesia, yang berlanjut kepada krisis BBM saat ini. Fluktuasi Harga Minyak Dunia Di dalam ilmu ekonomi dan prinsip perdagangan dikenal istilah yang sangat terkenal, yaitu penjual-pembeli, pasar, spekulan, supply-demand, dan fundamental-teknikal. Prinsip-prinsip tersebut juga berlaku dalam menentukan harga pasar untuk minyak mentah dunia. Saat ini, minyak mentah dunia terbagi menjadi dua golongan besar, yaitu Crude Oil dan Brent-North Sea Oil. Masing-masing memiliki spesifikasi dan karakteristik tersendiri. Lebih lanjut, terdapat beberapa hal penting yang mempengaruhi pergerakan harga minyak dunia, yaitu kondisi ekonomi, politik dan keamanan global, isu lingkungan, isu terorisme, peperangan antar-bangsa penghasil minyak, dan isu-isu yang melekat pada Negara-negara penghasil minyak dunia. Sebagai contoh, tragedi invasi Amerika Serikat ke Iraq, yang hingga kini menyisakan persoalan keamanan dalam negeri Iraq. Hingga kini masih sering terjadi baku tembak antara pasukan multinasional pimpinan Amerika dengan tentara yang mendapat dukungan rakyat Iraq. Sebagai implikasinya, sering terjadi serangan tiba-tiba pada tempat pengilangan minyak. Gangguan keamanan tersebut akan berdampak pada terhambatnya produksi minyak harian Iraq. Hal tersebut membuat pasar perdagangan minyak dunia merespon negatif. Pasar khawatir akan kelangsungan stok minyak dunia selama beberapa hari kedepan. Harga minyak dunia pun terkena imbasnya. Contoh lainnya adalah terjadinya bencana alam di Negara Meksiko baru-baru ini. Badai Emily yang terkenal sangat dahsyat, dengan kecepatan angin lebih dari 250 km/jam, telah memporakporandakan instalasi perminyakan Meksiko. Hal tersebut langsung direspon negatif oleh pasar perdagangan minyak dunia. Harga minyak mentah pun sempat naik beberapa poin setelah kejadian tersebut. Hingga kini, harga minyak mentah dunia diperkirakan masih berada dalam teritori negatif atau berpotensi besar untuk melemah kembali. Rentang harga toleransi minyak mentah berada pada kisaran 55-60 US$ per barrel (1 barrel = 42 gallon, 1 US$ = Rp 9800/18 Juli 2005), tepatnya untuk pasar spot NYMEX 17 Juni 2005 pada level 58.47 dollar per barrel dan pasar forward untuk pengantaran bulan Desember pada level 60.43 dollar per barrel. Hal tersebut dikarenakan terdapat level support pada posisi US$ 55/barrel dan level resistant pada posisi US$ 60/barrel. Maksudnya, jika harga minyak mentah
ISBN : 979-99735-0-3
A-25-6
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi II Program Studi MMT-ITS, Surabaya 30 Juli 2005
sanggup menembus level support atau resistant-nya, maka kemungkinan untuk bergerak melemah/menguat sangat besar. Dalam lima tahun ke depan, harga minyak dunia akan menyentuh level US$ 200 per barrel-nya. Tidak masuk akal? Tidak mungkin? Jawabannya: Mungkin saja terjadi. Dalam iklim dan situasi global seperti saat ini, dimana ketersediaan minyak mentah dunia semakin menipis, akan memicu gesekan kepentingan antar bangsa, yang berujung dengan konflik nasional. Aset penting perminyakan akan terganggu sehingga dapat mempengaruhi persepsi pasar akan kelangsungan stok minyak mentah dunia yang berakhir dengan respon negative pasar dan meningkatnya harga minyak mentah dunia. Analisis tersebut didukung oleh geolog senior Anders Sivertsson, Kjell Aleklett dan Colin Campbell, Uppsala University Sweden, yang mengatakan bahwa akan terjadi kelangkaan stok minyak mentah dunia pada tahun 2010. Tetapi, sekali lagi, arah pergerakan ini hanyalah prediksi. Selebihnya, pasarlah yang menentukan. Analisis Historikal dan Teknikal Pergerakan Harga Minyak Mentah Dunia (NYMEX Crude Oil – Forward Market) Secara historikal, terjadi kenaikan harga minyak mentah dunia secara bertahap. Hingga akhir kuartal 1 dan pertengahan kuartal 2 tahun 2005 saja, telah terjadi kenaikan harga minyak mentah dunia sebesar 15 poin, dari US$ 45/barrel pada bulan Februari 2005 menuju US$ 60/barrel pada bulan Juli 2005 (Gambar 4). Harga tersebut merupakan harga tertinggi selama kurun waktu lima tahunan, dari tahun 2000 – 2005.
Gambar 4. Grafik Harga Minyak Mentah pada Pasar Forward Jika kita mundur sejenak ke tahun 2002, di sepanjang tahun telah terjadi kenaikan sebesar 88,9 %. Pada awal kuartal I – 2002 terjadi konsolidasi harga di kisaran US$ 18-22 /barrel. Memasuki kuartal II – 2002, harga mengalami kenaikan hingga mencapai US$ 29/barrel dan kemudian terkoreksi tetapi tidak cukup signifikan,yang pada akhirnya membuat konsolidasi harga baru di kisaran US$ 24-28 /barrel. Hal yang sama juga terjadi di akhir kuartal II – 2002. Memasuki kuartal III- 2002, harga minyak mentah dunia mengalami koreksi sebesar 8 basis poin setelah mengukir nilai puncak pada posisi US$ 32
ISBN : 979-99735-0-3
A-25-7
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi II Program Studi MMT-ITS, Surabaya 30 Juli 2005
/barrel. Ternyata, pada akhir tahun, aksi para korporasi kakap yang memborong minyak dalam jumlah besar dan ulah para spekulan yang mempermainkan harga cukup membuat pasar bergejolak. Harga menjadi naik secara signifikan hingga mampu menembus level US$ 32 dan bertengger di posisi US$ 34 /barrel (Gambar 5). Satu tahun berikutnya, tahun 2003, harga minyak mampu mengukir nilai puncaknya pada kuartal I, yaitu pada posisi US$ 38-40/barrel. Tetapi, ternyata harga tinggi tersebut kurang signifikan, para investor/pedagang dan spekulan merealisasikan untung, sehingga mengalami koreksi harga dan membentuk konsolidasi harga bawah di kisaran US$ 24/barrel. Kemudian, sepanjang tahun, selama kuartal II dan III, harga minyak mentah dunia selalu berfluktuasi di kisaran harga US$ 27-34/barrel (Gambar 6). Memasuki kuartal I tahun 2004, harga minyak tanah berada di level support-nya pada US$ 32-34/barrel. Di akhir kuartal I dan memasuki kuartal II, harga minyak mentah menuju titik tertinggi di tahun 2003, yaitu US$ 40/barrel yang merupakan level resistant, dan berhasil menembus sehingga membuat puncak baru di US$ 42/barrel. Harga minyak kembali menembus harga tertinggi yang telah dibuat pada kuartal II, dan memasuki kuartal III membuat harga konsolidasi di posisi US$ 48/barrel. Ternyata, pasar merespon dengan cepat, para investor/pedagang merealisasikan untung, sehingga harga sempat terkoreksi di kisaran US$ 42/barrel untuk kemudian berbalik arah ke atas lagi. Posisi ini merupakan level support yang cukup kuat untuk melanjutkan pergerakan selanjutnya. Pada kuartal III, tepatnya bulan Oktober 2004, harga minyak kembali menembus angka tertingginya dan berada pada posisi US$ 55/barrel. Sekali lagi, para investor dan spekulan mengambil untung dengan menjual minyak secara besar-besaran. Harga minyak terkoreksi ke bawah karena pasar kelebihan stok. (Gambar 7).
Gambar 5. Pergerakan Historikal Harga Minyak Mentah – 2002
ISBN : 979-99735-0-3
A-25-8
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi II Program Studi MMT-ITS, Surabaya 30 Juli 2005
Gambar 6. Pergerakan Historikal Harga Minyak Mentah – 2003
Gambar 7. Pergerakan Historikal Harga Minyak Mentah – 2004 Dampak Kenaikan Harga Minyak Mentah Dunia terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Harga minyak dunia yang bertengger di sekitar US$ 60 per barrel ini, jika terus bertahan hingga tahun depan, maka ekonomi dunia diperkirakan bakal terpukul hebat. Membubungnya harga minyak menimbulkan kekhawatiran baru akan munculnya fenomena perlambatan ekonomi dan meningkatnya inflasi (kenaikan harga barang dan jasa secara umum) di Kawasan Asia. Besar kecilnya dampak yang ditimbulkan tergantung seberapa lama harga minyak akan bertahan pada level itu. Lebih lanjut, dampaknya akan terlihat pada besaran-besaran perekonomian Asia tahun depan. Menurut kalkulasi Kepala Ekonom Morgan Stanley untuk Asia-Pasifik, Andy Xie, setiap kenaikan harga minyak US$ 1 per barel akan menyebabkan terjadinya penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi Asia Timur (di luar Jepang) sebesar 0,1 persen (Sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2004/09/29/brk,20040929-02,id.html). Mengingat harga minyak mentah dunia yang terus naik dan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS yang melemah, sulit bagi pemerintah untuk tetap mempertahankan harga dasar BBM seperti saat ini. Untuk mempertahankan keberlanjutan kebijakan fiskal dan menyelamatkan anggaran negara, pemerintah tidak punya pilihan lain selain menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Tetapi, untuk menaikkan harga dasar BBM itu, perlu ditetapkan target waktu dan prasyarat kondisi sebelum harga dinaikkan. Pentahapan pengurangan subsidi perlu diumumkan jauh hari sebelum direalisasikan. (Sumber: http://www.suarapembaruan.com/News/2005/07/14/Ekonomi/eko01.htm). Sementara itu, keputusan menaikkan harga BBM merupakan keputusan strategis terhadap Pembangunan Berkelanjutan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, karena dampak negatif dari harga BBM yang murah menyebabkan tingginya kebergantungan pada sumber energi minyak bumi. Jika ketergantungan terhadap minyak mentah dibiarkan, maka akan terjadi krisis energi nasional bila cadangan minyak mentah Indonesia sudah habis. Sinyal harga tidak mendukung penggunaan energi yang efisien, baik dari sisi keanekaragaman maupun dari sisi penghematannya. Subsidi BBM di
ISBN : 979-99735-0-3
A-25-9
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi II Program Studi MMT-ITS, Surabaya 30 Juli 2005
APBN pun mengancam keberlangsungan fiskal pemerintah. Dengan tingkat harga minyak mentah dunia mencapai US$ 60 per barel, ujarnya, subsidi 2005 diperkirakan akan lebih dari Rp 100 triliun. Harga BBM yang murah pun berdampak tidak optimalnya pemanfaatan sumber energi yang lain. Kebijakan Pemerintah Indonesia yang tertuang dalam Inpres No 10/2005 tentang hemat energi dinilai kontraproduktif terhadap kebijakan lainnya, yakni upaya mempercepat pertumbuhan investasi. Kebijakan ini hanyalah suatu upaya untuk meraih simpati masyarakat tanpa memperhitungkan dampak yangakan terjadi selanjutnya. Kebijakan itu dikhawatirkan akan membatasi kapasitas produksi, sehingga investor akan segan menambah investasi. Seperti diketahui, perkembangan investasi pada semester I 2005 dapat dikatakan sebagai kebangkitan awal investasi. Tetapi hasil yang dicapai belum ideal, karena untuk mendukung target pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sebesar 6% pada 2005 dibutuhkan investasi sekitar Rp 100 triliun. Kalau hingga semester I sudah tercatat Rp 39,7 triliun, semestinya pada semester II lebih baik, sehingga bisa mendekati Rp 100 triliun hingga akhir tahun 2005. Kontribusi investasi yang sudah mencapai 15 persen pada PDB di kuartal I, masih harus digenjot karena idealnya memberi kontribusi 30 persen, sehingga konsumsi bisa lebih rendah dari 65 persen. (Sumber: http://www.suarapembaruan.com/News/2005/07/14/Utama/ut01.htm). Strategi Lindung Nilai (Hedging - Doing nothing to manage risk is in itself a risky move). Dalam setiap kegiatan perdagangan, selain mengharapkan keuntungan, pengusaha juga dihadapkan kepada resiko kerugian yang selalu melekat dalam kegiatan usahanya. Resiko tersebut umumnya sebagai akibat perubahan harga barang, perubahan kurs mata uang, suku bunga, inflasi dan lain sebagainya. Untuk melindungi pengusaha dari resiko tersebut, salah satu cara adalah melalui lindung nilai (hedging). Dengan melakukan lindung nilai, resiko tersebut dapat dialihkan (transfer of risk) kepada investor yang mengharapkan keuntungan dari perubahan harga di pasar. Pasar yang dimaksud adalah bursa berjangka. Lindung nilai adalah suatu kegiatan pengambilan posisi di bursa berjangka yang berlawanan dengan posisinya di pasar fisik. Dengan mengambil posisi yang berlawanan antara bursa berjangka dan pasar fisik, maka kerugian yang timbul akibat adanya fluktuasi harga di pasar fisik dapat dikurangi dengan keuntungan yang diperoleh di bursa berjangka, atau sebaliknya. Lindung nilai bukan kegiatan yang bersifat spekulasi, karena untuk melakukannya dibutuhkan pengetahuan yang memadai dan perhitungan yang cermat. Dengan demikian, sebelum melakukan lindung nilai, para investor/pengusaha perlu menentukan strategi yang tepat untuk mencegah terjadinya kerugian. Dunia usaha yang terlibat dalam perdagangan komoditi primer seperti produsen, petani, prosesor, eksportir maupun pabrikan (user), sangat membutuhkan sarana lindung nilai. Jenis Lindung Nilai Secara garis besar ada dua jenis lindung nilai yaitu lindung nilai jual (selling hedge) untuk mengatasi resiko turunnya harga dan lindung nilai beli (buying hedge) untuk mengatasi resiko kenaikan harga. a. Lindung Nilai jual (selling hedge) Lindung Nilai Jual adalah mengambil posisi jual bursa berjangka dengan tujuan untuk melindungi dari kemungkinan penurunan harga komoditi yang akan dihasilkan atau dimilikinya, seperti hasil panen. Lindung Nilai Jual umumnya dilakukan oleh kalangan produsen, termasuk petani. Cara ini dinamakan selling hedge karena tindakan yang dilakukan di bursa berjangka adalah menjual, sehingga kemungkinan kerugian yang diakibatkan oleh turun harga di
ISBN : 979-99735-0-3
A-25-10
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi II Program Studi MMT-ITS, Surabaya 30 Juli 2005
pasar fisik dapat dikompensasi dengan keuntungan dari kontrak jual di bursa berjangka. b. Lindung Nilai Beli (buying hedge) Lindung Nilai Beli (buying hedge) adalah mengambil posisi beli di bursa berjangka untuk melindungi naiknya harga komoditi yang dibeli di pasar fisik. ini dinamakan buying hedge karena cara pertama dilakukan adalah membeli, sehingga kerugian di panen fisik dapat diimbangi dengan keuntungan kontrak di bursa berjangka. Buying hedge umumnya dilakukan oleh kalangan eksportir, prosesor, pemakai bahan baku seperti pabrikan, dan lain sebagainya, guna menjaga kestabilan dan kontinuitas pasokan atau persediaannya. Mereka membutuhkan bahan baku secara berkesinambungan pada harga yang wajar. Akan tetapi, pada saatnya harus melakukan pembelian bahan baku di pasar fisik mereka sering menghadapi ketidakpastian harga dari bahan baku yang diperlukan. Manfaat Lindung Nilai a. Lindung nilai merupakan sarana untuk mengurangi atau meminimalkan resiko akibat perubahan harga. b. Memberikan kepastian berusaha karena membantu pengendalian produk dan persediaan bahan baku guna memenuhi kebutuhan produsen, pengolah atau pabrikan. c. Memberikan peluang bagi bank untuk menyediakan dana yang lebih besar karena lebih terjamin. Pada umumnya bank hanya menyediakan dana sekitar 50% untuk komoditi/persediaan yang dijaminkan tanpa dilindung-nilai, sementara untuk komoditi/persediaan yang dilindung-nilaikan akan mendapat kredit pinjaman dana sekitar 80% - 90% dari nilai yang dijaminkan. Aplikasi Lindung Nilai: Studi Kasus Pertamina sebagai Net-Importir Minyak Mentah Dunia Lindung nilai di bursa berjangka yang dilakukan oleh importir, pemakai bahan baku, seperti pengolah atau fabrikan (manufacturer), adalah sebagai usaha untuk mengurangi seminimal mungkin resiko yang ditimbulkan oleh kemungkinan naiknya harga, atau yang sering disebut dengan lindung nilai beli (buying hedge). Lindung nilai beli umumnya dilakukan oleh para pemakai atau yang memerlukan bahan baku sepanjang tahun karena mereka secara teratur harus membeli komoditi/bahan baku di pasar fisik, dalam kasus ini Pertamina sebagai pembeli minyak mentah dunia. Pertamina khawatir adanya kemungkinan fluktuasi harga bahan baku yang diperlukan. Untuk itu, Pertamina harus melakukan lindung nilai (hedging), guna memperkecil resiko yang diakibatkan oleh fluktuasi harga, yang merupakan salah satu faktor yang berada di luar kekuasaannya. Dibawah ini diuraikan studi kasus mengenai tindakan lindung nilai beli serta kemungkinan-kemungkinan yang dihadapi. Misalkan saja, Pertamina menerima pesanan dari Pemerintah Indonesia untuk mengapalkan 1000 ton minyak mentah untuk stok 2 bulan yang akan datang. Untuk melindungi dirinya dari kemungkinan kenaikan harga sawit di pasar fisik, Pertamina harus melakukan lindung-nilai. Pada lindung nilai beli dapat terjadi 4 kemungkinan situasi yang akan dihadapi, yaitu: Skenario 1: Penurunan Harga di Pasar Fisik dan Bursa Berjangka Dalam hal ini Pertamina tetap tidak memperoleh keuntungan atau kerugian selama basisnya tetap, karena keuntungan yang diperolehnya dari pasar fisik akan diimbangi dengan kerugian di bursa berjangka sehingga secara keseluruhan tetap tidak berubah. Tetapi jika terjadi selisih harga fisik dengan harga bursa, maka Pertamina
ISBN : 979-99735-0-3
A-25-11
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi II Program Studi MMT-ITS, Surabaya 30 Juli 2005
berpeluang menerima keuntungan/kerugian. Sebagai gambaran dapat dilihat ilustrasi dibawah ini: Pasar Fisik Pasar Berjangka Basis Net Profit/Loss 10 Juli 2005: Harga minyak 10 Juli 2005 Beli 250 lot US$ 4/barrel untuk Sept’ mentah tercatat US$56/barrel minyak mentah untuk Sept' 2005 2005, pada harga US$60/barrel 10 Agustus 2005: Beli 1000 ton 10 Agustus 2005 Jual 250 lot US$ 4/barrel untuk Sept’ minyak mentah pada harga US$ minyak mentah untuk Sept' 2005 52/barrel 2005, pada harga US$ 56/barrel Untung US$ 4/barrel Rugi US$ 4/barrel Tidak Berubah 1 lot = 4 ton Skenario 2: Harga naik di Pasar Fisik dan Bursa Berjangka Kemungkinan kedua adalah naiknya harga, baik di pasar fisik maupun di bursa berjangka. Dalam hal ini basis tetap atau tidak berubah. Akibat dari kenaikan harga tersebut maka posisi Pertamina adalah sebagai berikut: Pasar Fisik Pasar Berjangka Basis Net Profit/Loss 10 Juli 2005 Harga minyak 10 Juli 2005 Beli 250 lot US$ 2/barrel untuk Sept’ mentah tercatat US$ 59/barrel minyak mentah untuk Sept’ 2005 2005, pada harga US$ 61/barrel 10 Agustus 2005 Beli 1000 ton 10 Agustus 2005 Jual 250 lot US$ 2/barrel untuk Sept’ minyak mentah pada harga US$ minyak mentah untuk Sept' 2005 61/barrel 2005 pada harga US$ 63/barrel Selisih Rugi US$ 2/barrel
Untung US$ 2/barrel
Tidak Berubah
Skenario 3: Harga di Pasar Fisik naik - harga di Bursa Berjangka turun Fenomena ini sebagian besar disebabkan oleh pasar yang over demand. Apabila kenyataan tersebut yang terjadi, keadaan ini akan memberikan kerugian dua kali lipat bagi Pertamina, karena harga di pasar fisik semakin mahal (Pertamina harus menyediakan dana tambahan) dan harga yang diharapkan naik di pasar berjangka ternyata menjadi turun. Pasar Fisik Pasar Berjangka Basis Net Profit/Loss 10 Juli 2005 Harga minyak 10 Juli 2005 Beli 250 lot US$ 2/barrel untuk Sept’ mentah pada US$ 58/barrel minyak mentah untuk Sept’ 2005 2005 pada harga US$ 60/barrel 10 Agustus 2005 Beli 1000 ton 10 Agustus 2005 Jual 250 lot US$ 2/barrel untuk minyak mentah pada harga US$ minyak mentah untuk Sept’ Sept’2005 59/MT 2005, pada harga US$ 57/barrel Selisih Rugi US$ 1/barrel Rugi US$ 3/barrel Tidak Berubah
ISBN : 979-99735-0-3
A-25-12
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi II Program Studi MMT-ITS, Surabaya 30 Juli 2005
Skenario 4: Harga di Pasar Fisik turun - harga di Bursa Berjangka naik Situasi seperti ini biasanya menggambarkan fenomena over supply dalam pasar komoditi yang bersangkutan, dimana basisnya semakin membesar yang pada akhirnya konsumen akan memperoleh keuntungan kedua pasar. Pasar Fisik Pasar Berjangka Basis Net Profit/Loss 10 Juli 2005 Harga minyak 10 Juli 2005 Beli 250 lot US$ 1/barrel untuk mentah US$ 58/barrel minyak mentah untuk Sept’ Sept' 2005 2005 pada harga US$ 57/barrel 10 Agustus 2005 Beli 1000 10 Agustus 2005 Jual 250 lot US$ 4/barrel untuk minyak mentah pada harga US$ minyak mentah untuk Sept’ Sept' 2005 54/barrel 2005 pada harga US$ 60/barrel Selisih Untung US$ 4/barrel Untung US$ 3/barrel Basis Profit US$ 3/barrel Dari keempat skenario diatas, ternyata 2 skenario pertama memberikan perlindungan nilai mutlak, 1 skenario berikutnya memberikan kerugian signifikan dan skenario terakhir memberikan keuntungan mutlak. Para pelaku lindung-nilai (hedger) dapat memperkecil kerugian yang akan diderita dengan mengambil salah satu alternatif yang tersedia. Era perdagangan bebas mendatang yang akan kita hadapi antara lain akan diwarnai dengan semakin meningkatnya persaingan serta gejolak harga, yang membuat ketidakpastian usaha semakin meningkat. Untuk itu dunia usaha perlu meningkatkan aktivitas pengelolaan resiko (risk management strategy), antara lain melalui kegiatan lindung-nilai (hedging) di Bursa Berjangka. Tetapi, bagi para investor/pengusaha yang masih awam atau baru mengenal strategi hedging ini dianjurkan tidak menerapkannya seorang diri. Melakukan hedging tidaklah sesederhana seperti tertulis di atas dan yang dibayangkan atau seperti yang diceriterakan dalam buku-buku literatur lainnya, karena diperlukan pengetahuan, pemahaman serta pengalaman dalam mempraktekannya. Tersedia berbagai strategi penerapan hedging sesuai dengan keadaan atau situasi yang dihadapi penggunanya, yang perlu dicermati benar bila ingin berhasil sebagaimana yang diharapkan. KESIMPULAN 1. Agar tidak terjadi krisis energi, kelumpuhan ekonomi nasional dan mengurangi ketergantungan terhadap minyak mentah dunia, sebaiknya perlu diambil langkahlangkah strategis, seperti menaikkan harga dasar BBM, menerapkan prinsip hemat energi, dan kebijakan penggunaan bahan bakar alternative sebagai sumber energi. 2. Pemerintah sebaiknya mengkaji sistem pengelolaan perminyakan dan sumberdaya alam lainnya yang ada sedemikian hingga memberikan kontribusi positif/keuntungan bagi rakyat Indonesia, dan bukan hanya kepada segolongan pejabat dan perusahaan perminyakan asing saja. 3. Untuk mengatasi kerugian akibat fluktuasi harga minyak mentah dunia dan nilai tukar mata uang asing, sebaiknya perlu diterapkan strategi lindung-nilai (hedging). Strategi lindung-nilai telah terbukti dapat menimilkan resiko keuangan asalkan dilaksanakan berdasarkan pengalaman dan perhitungan yang matang.
ISBN : 979-99735-0-3
A-25-13
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi II Program Studi MMT-ITS, Surabaya 30 Juli 2005
DAFTAR PUSTAKA Cagan, Penny, 2005, Hedge Fund and Operational Risk, Fitch Risk Rating,
[email protected]. Campbell, C.J., 1995, Oil prospects in the Middle East and the future of the oil market, Energy and Exploration, vol. 13, no. 1, Oxford Energy Forum. Danielsson, J. and Yuji Morimoto, 2000, Forecasting Extreme Financial Risk:A Critical Analysis of Practical Methods For The Japanese Market, Financial Market Group, London School of Economics. Energy Information Administration, Official Energy Statistics from the U.S. Government, 2005, International Energy Outlook - 2004 , EI 30 1000 Independence Avenue, SW, Washington, DC 20585. Ercel, Gazi, 1999, Financial Risk Management, The Sixth Annual Global Finance Conference, Bilgi University, Istanbul. Haass, Richard N., 2000, Economic and Security Implications of Oil Price Increases, Statement before the Senate Committee on Governmental Affairs, Foreign Policy Studies Program, The Brookings Institution, 1775 Massachusetts Ave., NW, Washington, DC 20036. Owen, James P., 1999, HEDGE FUNDS: A CONSERVATIVE INVESTOR’S GUIDE, published by John Wiley and Sons. The Oilfield Information Source, Gulf Publishing Company, 2005, Industry at a glance: World Oil & NGL Production, 2 Greenway Plaza, Suite 1020 Houston, TX 77046. Ravindran, K (Ravi), 2001, Implementing A Hedging Strategy,
[email protected]. http://www.suarapembaruan.com/News/2005/07/14/Utama/ut01.htm). http://www.suarapembaruan.com/News/2005/07/14/Ekonomi/eko01.htm). http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2004/09/29/brk,20040929-02,id.html).
ISBN : 979-99735-0-3
A-25-14