JURNAL SAINS DAN SENI POMITS, (2013) 1-6
1
Pengaruh Variasi Komposisi Hibrid Epoksi-Nilon Dengan Poliamin Terhadap Kualitas Sifat Mekaniknya Sebagai Pelapis Kayu Silvia Ermawati dan Lukman Atmaja Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia e-mail:
[email protected] Abstrak— Resin epoksi merupakan pelapis yang bersifat protektif yang sering digunakan yang bersifat anti korosif dan memiliki ketahanan kimia yang baik. Dimana penelitian ini dilakukan dengan cara membuat polipaduan epoksi-poliamida (nilon) dengan menggunakan hardener poliamina dengan menggunakan variasi komposisi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi ideal dari polipaduan untuk mendapatkan sifat mekanik terbaik yang dilakukan dengan metode hybrid. Berdasarkan karakterisasi FTIR dapat dilihat struktur dari polipaduan. Analisa sifat mekanik polipaduan dapat diukur dengan uji tensile strength, dimana diperoleh % elongasi tertinggi yakni 55,33%. Pengaruh penambahan poliamida mempunyai peran tersendiri terhadap sifat alami epoksi yang dapat diamati dalam analisis termal, ketahanan kimia, dan morfologi permukaan. Penambahan poliamida (nilon) ini secara tidak langsung juga menambah terbentuknya ikat silang dalam polipaduan yang dapat digunakan sebagai pelapis karena sifat mekanik, ketahanan termal, dan ketahanan kimia yang baik. Kata Kunci : Epoksi, poliamina, poliamida (nilon), FTIR, sifat mekanik, analisa termal, ketahanan kimia
I. PENDAHULUAN
P
ERUSAKAN hutan hujan tropik telah menjadi sinonim dengan kepunahan berbagai jenis kayu. Berdasarkan data yang melibatkan penelitian di darat, foto udara dan penginderaan jauh, diketahui bahwa pada tahun 1982 hanya tersisa sekitar 9,5 juta km2 hutan tropis [8]. Hal inilah yang menyebabkan kelangkaan kayu yang merupakan bahan utama pembuatan transportasi laut. Kelangkaan kayu tersebut menjadikan dasar kami untuk membuat penelitian tentang pelapis kayu dari hibrid epoksi yang berfungsi untuk melapisi kayu kapal yang sudah ada agar tetap terjaga fungsinya maupun untuk meningkatkan kualitas kayu dengan pelapis kayu dari hibrid epoksi ini. Komposit hibrid merupakan penggabungan dua jenis serat yang biasa digunakan dalam matriks resin. Namun, dalam penelitian sebelumnya seperti yang telah dijelaskan Atta et al. (2005) komposit hibrid memiliki tingkat kekuatan yang rendah. Komposit hibrid yang telah dikembangkan berasal dari resin epoksi jenis diglycidyl ether of bisphenol-A (DGEBA). Oleh sebab itu untuk memperkuatnya diperlukan sebuah polimer yang memberikan pengaruh pada kekakuan dan kekuatan [4] yang memungkinkan membentuk polipaduan yang memiliki sifat saling memperbaiki [11]. Atta et al. (2005) menjelaskan dengan penambahan hardener diharapkan mampu menambah fungsi dari epoksi dalam ketahanan kimia dan ketahanan termal. Resin epoksi merupakan salah satu jenis resin yang luas digunakan, yang merupakan bahan perekat sintetik yang bersifat fleksibel, resisten terhadap impak tinggi dan
daya mengelupas yang kuat bila dibanding dengan resin yang tidak dimodifikasi, serta memiliki daya kohesi dan adhesi cukup kuat [9]. Resin epoksi ini pada dasarnya merupakan polieter. Epoksi merupakan kelas resin termoset yang luas digunakan sebagai matriks untuk campuran dalam aplikasi struktural. Pada tahun 1994 Bussi dan Ishida mempelajari sifat mekanik dari paduan diglycidyl ether of bisphenol-A (DGEBA) dan hidroksil terminated dalam karet polibutadiena terterminasi. Untuk meningkatkan sifat mekanik, karet yang mudah bereaksi dengan epoksi, dimana dalam penelitian ini digunakan karet nilon, direaksikan terlebih dahulu dengan resin epoksi yang akan menghasilkan ikatan yang lebih kuat antara partikel karet dan epoksi [3]. Karet nilon merupakan jenis karet sintetis untuk kegunaan khusus. Untuk terapan struktural karet nilon sering dipadu dengan resin sintetik agar kuat mekanismenya [10]. Nilon mulai banyak digunakan dalam pembuatan polipaduan dengan resin epoksi. Poliamina merupakan polimer termoplastik yang memiliki kualitas superior dengan bahan pelarut yang tidak merusak kesehatan, ekonomis, dan biaya produksi yang rendah [9]. Oleh sebab itu bahan ini merupakan bahan dasar yang penting dalam membuat pelapis kayu. Menurut Atta et al (2005) penambahan amina dapat berfungsi sebagai hardener yang memperbaiki sifat alami dari epoksi, serta menambah ketahanan kimia saat digunakan dalam proses coating. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa dengan perbandingan konsentrasi tertentu baik dari resin epoksi dan poliamina maupun dari hibrid epoksi dan poliamina akan membentuk perekat sintetik yang kuat dan memiliki elastomer yang tinggi. Untuk mengetahui kemampuan perekat sintetik tersebut dilakukan pengujian uji tarik serta ukuran pori yang sesuai bagi perekat sintetik dilakukan analisa Scanning Electron Microscope (SEM). II. METODOLOGI A. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain neraca analitik, beaker glass, termometer, kaca arloji, pengaduk, gelas ukur, corong, labu ukur 100 mL, penggaris, cutter, gunting, aluminium foil, pipet tetes, seperangkat alat tensile ”STROGRAPH VG-10E”, scanning electron microscope tipe FEI INSPECT S50, TGA-DSC tipe Stare sistem dan spektrofotometer FTIR tipe JASCO FT/IR-5300. Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah poliamida (nilon), resin epoksi jenis bisphenol-A, poliamina, NH4OH 6M, larutan NaCl, kerosin, bensin, etanol, H2SO4 96% dan aquades.
JURNAL SAINS DAN SENI POMITS, (2013) 1-6
2
B. Prosedur Kerja 1. Pembuatan Hibrid Epoksi Larutan resin epoksi jenis bisphenol-A diambil sesuai perbandingan volum/volum dengan poliamina dimasukkan ke dalam beaker gelas 250 mL. Ditambahkan sedikit demi sedikit poliamida (nilon) dan diaduk hingga rata. Perbandingan komposisi antara resin epoksi dengan poliamida (nilon) digambarkan pada Tabel 1 berikut : Tabel 1 Perbandingan Komposisi antara Resin Epoksi dengan Poliamida (Nilon)
Bahan Resin Epoksi Poliamida/Nilon
100 0
100 25
Campuran 100 100 50 75
100 100
2.
Pembuatan Poliapaduan Larutan epoksi dicampur dengan poliamina sebanyak 90% dari jumlah volume resin epoksi jenis bisphenol-A dan diaduk hingga rata. Kemudian larutan dicetak dalam cetakan kaca. Selanjutnya didiamkan hingga 1x24 jam. 3. Karakterisasi a) Analisis Fourier Transform Infrared (FTIR) Analisis menggunakan spektrofotometer Fourier Transform Infrared (FTIR) dilakukan dengan mengeringkan sampel dibawah vakum pada 423 K dan mencampurkan sampel ke dalam KBr dengan komposisi sampel 1% terhadap total campuran. Sampel dan KBr dicampur kemudian ditumbuk pada mortar agat hingga homogen, setelah itu ditempatkan dalam pellet holder beberapa milligram sehingga terbentuk pelet. Pelet kemudian dimasukkan pada alat FTIR dan dilakukan karakterisasi pada bilangan gelombang antara 4000 cm-1 sampai 400 cm-1 dengan resolusi 4 cm-1. b) Analisis Sifat Mekanik Sifat mekanik dikarakterisasi menggunakan alat uji tensile strength tipe Comten PSB 5000. Sebelumnya cuplikan polipaduan telah dibentuk dengan dimensi panjang 12 cm, lebar 2 cm, dan tebal 2 mm. Dari hasil pengukuran selanjutnya dihitung nilai stress, strain, dan modulus elastisitasnya. c) Analisis Termal Sampel yang akan dianalisis dengan DSC-TGA terlebih dahulu dibentuk dengan dimensi panjang 2 cm, lebar 6 mm, dan tebal 2 mm. Dalam analisis ini menggunakan program peningkatan temperatur yang meningkat secara linier bersama dengan waktu. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui nilai Tm (titik leleh) dari polipaduan. d) Analisis Morfologi Permukaan Sampel terlebih dahulu dibentuk dengan dimensi 2 cm, lebar 6 mm, dan tebal 2 mm. Kemudian sampel direndam masing-masing ke dalam HCl (pH 3-4); larutan NaCl, larutan amonia 25%, kerosin, etanol, dan bensin. Sampel diamati setiap hari selama tujuh hari. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pembuatan hibrid Epoksi-Poliamida (Nilon) Larutan resin epoksi jenis bisphenol-A yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari PT. Great Chemindo Satria Putramas. Larutan resin epoksi jenis bisphenol-A ini merupakan polimer cair yang tidak berwarna, bening, agak kental, dan tidak berbau. Resin epoksi ini diambil sesuai
perbandingan volum 1:0,9 dengan poliamina dan dimasukkan ke dalam beaker gelas 250 mL. Kemudian ditambahkan poliamida (nilon) yang juga diperoleh dari sumber yang sama, dimana poliamida (nilon) ini juga merupakan salah satu jenis polimer. Poliamida ini merupakan polimer cair berwarna kuning, sangat kental, dan sedikit berbau seperti karet. Penambahan poliamida (nilon) ini dilakukan sedikit demi sedikit dan diaduk hingga rata, pengadukan dilakukan secara perlahan-lahan dan diusahakan tidak ada udara yang terjebak didalamnya. Adanya gelembung udara yang terjebak di dalam larutan akan menghasilkan permukaan polimer tidak rata dan akan mempengaruhi sifat mekanik dari hibrid polimer yang akan terbentuk. Dengan adanya penambahan poliamida (nilon) ini campuran larutan menjadi semakin kental sehingga diperlukan pengadukan yang lebih kuat dengan tetap diusahakan tidak ada gelembung yang terperangkap didalamnya. Perbandingan komposisi antara resin epoksi dengan poliamida (nilon) diberikan pada Tabel 2 berikut: Tabel 2 Perbandingan Komposisi antara Resin Epoksi dengan Poliamida (Nilon)
Bahan Resin Epoksi Poliamida/Nilon
100 0
100 25
Campuran 100 100 50 75
100 100
B. Pembuatan Polipaduan Hibrid Epoksi dalam Hardener Poliamina Poliamina ini diperoleh dari PT. Great Chemindo Satria Putramas, merupakan polimer cair yang tidak berwarna, bening, agak kental, dan tidak berbau. Kedalam larutan hibrid epoksi yang telah terbentuk pada tahap sebelumnya ditambahkan poliamina sesuai dengan perhitungan dari hasil perbandingan volum. Perbandingan komposisi antara resin epoksi, poliamida (nilon), dan poliamina diberikan pada Tabel 3 berikut: Tabel 3 Komposisi antara Resin Epoksi, Poliamida (Nilon), dan Poliamina
Epoksi Poliamida Poliamina (mL) (nilon) (mL) (mL) sampel 1 (100:0) 15 0 13,5 sampel 2 (100:25) 12 6 10,8 sampel 3 (100:50) 10 10 9 sampel 4 (100:75) 8 12 7,2 sampel 5 (100:100) 7,5 15 6,8 Proses penambahan poliamina ini pun dilakukan sedikit demi sedikit dan dilakukan pengadukan perlahanlahan dan diusahakan tidak ada gelembung udara yang terjebak didalamnya. Dengan adanya penambahan poliamina ini larutan mulai berkurang kekentalannya. Setelah larutan tercampur sempurna hingga berwarna kekuningan, larutan dituang ke cetakan kaca dan didiamkan mengeras hingga 1x24 jam. Gambar 1 merupakan hasil polipaduan yang telah mengeras. Nama Sampel
JURNAL SAINS DAN SENI POMITS, (2013) 1-6
3 perbedaan pada panjang gelombang ~1640 cm-1 . Panjang gelombang ~1640 cm-1 menunjukkan ikatan bebas dan vibrasi ulur yang berasal dari ikatan C=O [12].
Gambar 1
Hasil Polipaduan (dari kiri sampel 1)
C. Karakterisasi 1. Analisis Gugus Fungsi dengan Fourier Transform Infrared (FTIR) Karakterisasi menggunakan spektrofotometri FTIR merupakan teknik yang sesuai untuk identifikasi secara kualitatif material polimer melalui analisis gugus fungsi. Caranya adalah dengan melihat puncak serapan yang muncul dalam spektra, selanjutnya puncak serapan tersebut dianalisis dan dibandingkan dengan data referensi yang terdapat pada beberapa pustaka. Karakterisasi ini dilakukan pada semua produk yang dihasilkan. Gambar 2 merupakan data sampel 1 dimana hanya terdapat polipaduan antara resin epoksi dan poliamina. Dari spektra tersebut dapat dilihat bahwa terdapat serapan pita lebar dan kuat pada 3394,48 cm-1 yang menunjukkan gugus fungsi –OH, vibrasi ulur dari kelompok hidroksil. Hal ini dimungkinkan karena ikatan O pada epoksi yang tidak terlalu stabil mengalami pemutusan ikatan dan membentuk ikatan baru dengan H dari poliamina sehingga terbentuk gugus fungsi –OH. Serapan yang muncul pada panjang gelombang 2923,882869,88 cm-1 dan ~3030 cm-1 menggambarkan ikatan yang terbentuk dari golongan –C-H alifatik dan aromatik, vibrasi ulur. Pita yang muncul pada panjang gelombang 1608,52 cm-1 menunjukkan ikatan –C=C- vibrasi ulur. Sedangkan serapan yang muncul pada panjang gelombang 1249,79 cm-1 menunjukkan ikatan dari golongan aryl eter pada struktur polipaduan resin epoksi dan poliamina, untuk golongan alkil-aryl eter akan teramati pada panjang gelombang 1037,63 cm-1. Vibrasi asimetri pada cincin epoksi muncul pada panjang gelombang 829,33 cm-1 [2]. Serapan yang muncul pada panjang gelombang 1361-1037,63 cm-1 menunjukkan ikatan yang terbentuk antara C-N yang berasal dari golongan amina, sedangkan ikatan N-H vibrasi tekuk dapat teramati pada panjang gelombang 1581,52 cm-1 [6]. Gambar 3 merupakan spektra FTIR gabungan dari polipaduan sampel 1-5. Bila dibandingkan spektra dari polipaduan resin epoksi dan poliamina dengan polipaduan resin epoksi, poliamida (nilon), dan poliamina terdapat
Gambar 2 Spektra FTIR dari Polipaduan Epoksi-Poliamina
Panjang gelombang ini berasal dari penambahan poliamida (nilon) pada polipaduan yang terdapat pada sampel 2-5. Munculnya serapan pada panjang gelombang tersebut menunjukkan bahwa produk yang dihasilkan pada sampel 2-5 merupakan paduan antara epoksi yang mempunyai ciri khas pada panjang gelombang ~3200 cm-1 untuk ikatan –OH, poliamina yang mempunyai ikatan N-H yang muncul pada panjang gelombang ~1550 cm-1, dan poliamida (nilon) yang mempunyai ikatan C=O yang berasal dari amida muncul pada panjang gelombang ~1640 cm-1. Tabel 4 merupakan data referensi berdasarkan penelitian Wan et al. (2011). 2.
Analisis Sifat Mekanik Analisis sifat mekanik ini merupakan identifikasi secara kuantitatif material polimer melalui uji kuat putusnya dengan menggunakan alat uji tensile strength tipe Comten PSB 5000. Sebelum dilakukan pengukuran, produk dicetak sesuai standar dengan ukuran yang sama yakni panjang 12 cm, lebar 2 cm, dan tebal 2 mm. Tabel 4 merupakan data hasil pengukuran ini, terlihat dengan semakin bertambahnya konsentrasi poliamida (nilon) maka nilai elongasi polipaduan akan meningkat dan nilai tertinggi terlihat pada sampel 3. Hal ini dikarenakan menurut Mujiarto (2005) karakteristik sifat dari poliamida adalah menambah nilai elongasi dari polipaduan. Setelah penambahan poliamida (nilon) pada sampel 3 terjadi penurunan nilai elongasi, menunjukkan bahwa kemampuan maksimal ikat silang poliamida dengan epoksi terdapat diperbandingan sampel 3.
Tabel 4
Hasil Serapan FTIR Berdasarkan Wan et al. (2011) tentang Nilon Gugus Fungsi Amida tipe VI Amida tipe V CH2 twisting C-N-H (amida tipe III) CH2 scissoring vibration N-H & C-N ulur (amida tipe II) C=O bebas & vibrasi ulur (amida tipe I) Asimetri CH2 ulur Simetri CH2 ulur Frekuensi ganda dari amida tipe II
Wan et al.,2011 585 ~680 1121 1276 1446 1551 1640 2924 2853 3082
Sampel 1 1120,07 1276,50 1448,39 1581,52 2923,88 2869,88 3049,07
Serapan yang muncul (cm-1) Sampel 2 Sampel 3 584,63 587,54 675,73 675,90 1120,39 1119,07 1276,62 1276,93 1448,48 1448,41 1548,91 1550,29 1640,87 1643,24 2920,40 2920,83 2850,85 2851,11 3079,09 3078,76
Sampel 4 588,67 675,11 1118,79 1277,36 1448,86 1548,74 1642,73 2920,55 2851,32 3079,21
Sampel 5 584,57 676,86 1118,05 1277,76 1448,75 1548,23 1641,04 2920,72 2851,17 3078,24
JURNAL SAINS DAN SENI POMITS, (2013) 1-6
Tabel 5 Hasil Uji Tensile Strength Polipaduan Epoksi, Poliamida (Nilon), dan Poliamina Epoksi : Poliamida (nilon) sampel keDATA 1 2 3 4 5 Break elongation 26,12 53,08 96,7 81,57 80,95 (%) Max. force (kgf) 25,09 5,38 2,6 1,06 0,64 Modulus (MPa) 1000 114,8 1,9 1 0 Yield stress 20,5 4,4 2,1 0,9 0,5 (Mpa) Yield elongation 3 52,3 96,1 80,3 79,7 (%) Max. Stress 20,5 4,4 2,1 0,9 0,5 (MPa) Max Energy 22,82 120,52 70,3 26,36 16,59 (N/cm) Break Stress 6,6 2,6 0,7 0,3 0,3 (MPa)
Bertambahnya nilai elongasi yang berasal dari pertambahan konsentrasi poliamida (nilon) akan mengakibatkan berkurangnya nilai kekerasan pada polipaduan. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5, kekuatan maksimal yang diperlukan pada saat polipaduan patah (max. force) akan semakin menurun bersamaan dengan naiknya nilai elongasi. Nilai tertinggi dari max. Force terdapat pada sampel 1, dimana sampel 1 memiliki nilai elongasi terendah. Modulus merupakan nilai perbandingan antara tegangan dengan regangan tarik, nilai ini menjelaskan bahwa semakin rendah nilai elongasi maka nilai tegangan juga semakin tinggi dan nilai modulus berbanding terbalik dengan nilai regangan. Nilai modulus tertinggi pada penelitian ini juga dimiliki sampel 1. Hal ini menjelaskan bahwa sampel 1 memiliki nilai regangan terendah. Berdasarkan analisa ini maka dapat diketahui sampel terbaik dimiliki sampel 3 yakni dengan perbandingan 100:50. 3.
Analisis Termal Analisa termal DSC (Differential Scanning Calorimetry) dilakukan untuk mengkarakterisasi polipaduan epoksi, poliamida (nilon), dan poliamina yang bertujuan untuk mengetahui persen kristalinitas, pengaruh komposisi pada temperatur transisi glass, pembentukan kapasitas panas, dan karakterisasi dari polimer blend. Analisis ini dilakukan pada semua hasil produk. Gambar 3 merupakan hasil analisa DSC untuk sampel 1 dengan perbandingan 100:0. Gambar 3 merupakan hasil analisa DSC-TGA dari polipaduan epoksi-poliamina. Menurut Puglia et al. (2011) mekanisme degradasi termal aromatik amina-glycidyl ether jenis resin epoksi antara lain berasal dari reaksi dehidrasi bersamaan dengan reaksi homolitik dari alifatik karbon menjadi karbon, karbon menjadi oksigen, dan karbon menjadi ikatan nitrogen. Namun sebagian besar reaksi degradasi berasal dari reaksi dehidrasi dan pembentukan rantai ikatan rangkap, isomerisasi ikatan rangkap, dan allyloxygen bond scission [7]. Dari Gambar 3 terlihat bahwa hasil polipaduan pada penelitian ini menunjukkan puncak pada suhu 359,56°C yang merupakan titik leleh dari polipaduan sampel 1. Dari gambar tersebut juga menunjukkan adanya dua puncak transisi glass. Hal ini menunjukkan bahwa proses pemutusan ikatan pertama kali pada suhu 203,55 °C. Puncak pertama pada temperatur merupakan suhu dimana terjadi pemutusan ikatan fisik
4
Gambar 3 Termogram DSC-TGA untuk Polipaduan Epoksi dan Poliamina (100:0)
karena adanya reaksi degradasi oksidatif yang membentuk formaldehid, air, dan karbon dioksida [7]. Sedangkan puncak kedua yakni pada suhu 359,56 °C memiliki puncak yang lebar yang merupakan titik degradasi dari polipaduan. Sedangkan menurut Puglia et al. (2001) polipaduan epoksi dengan alifatic amina (TETA 70%) terjadi pada suhu 370 °C. Perbedaan suhu degradasi ini terjadi dikarenakan perbedaan sifat sistem aromatik dari alifatic poliamina. Hal inilah yang akan memberikan dampak pada kondisi proses thermal degradasi dari polipaduan epoksi-poliamina, dimana pada akhirnya berat massa yang hilang pun akan berbeda. Pada degradasi ini telah terbentuk H2, CO, dan CH4. Gambar 4 merupakan analisa DSC-TGA dari polipaduan epoksi, poliamina, dan poliamida (nilon) dengan perbandingan 100:50. Dari analisa ini didapatkan tujuh puncak yakni pada suhu 358,72°C; 367,59°C; 380,43°C; 423,68°C; 439,33°C; 453,98°C; dan 461,30°C. Puncakpuncak inilah yang membedakan hasil dari penambahan poliamida (nilon). Sampai penulisan laporan penelitian ini, penulis belum mengetahui maksud puncak-puncak tersebut. Puncak degradasi dari polipaduan ini yakni yang terjadi pada suhu 461,30°C, telah membuktikan bahwa dengan penambahan poliamida (nilon) maka akan memperbaiki ketahanan thermal dari polipaduan. Namun, juga dapat dilihat bahwa dari kedua data ini memiliki puncak yang lebar yakni pada suhu 380,43°C, puncak ini merupakan titik degradasi dari epoksi-poliamina. Kemampuan dalam membentuk ikat silang yang kuat membuat polipaduan ini memiliki kenaikkan suhu degradasi polipaduan. Komposisi 100:50 merupakan komposisi yang ideal dikarenakan memiliki suhu degradasi yang paling tinggi seperti yang terlihat pada tabel 6.
Gambar 4 Termogram DSC-TGA untuk Polipaduan Sampel 3
4.
Analisis Morfologi Permukaan
JURNAL SAINS DAN SENI POMITS, (2013) 1-6
5
Tabel 6 Data Suhu Degradasi Polipaduan
Nama Sampel Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Sampel 4 Sampel 5
Suhu Degradasi (°C) 359,56 373,55 461,30 447,87 438,79
Analisis morfologi permukaan hibrid epoksi dalam poliamina dilakukan dengan metode mikroskopi elektron (Scanning Electron Microscopy). Gambar 5 dan 6 merupakan hasil analisa SEM. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa pada Gambar 5a dan Gambar 6a memiliki spesifikasi serat yang sama. Hal ini menunjukkan pada dasarnya polipaduan epoksi dengan poliamina merupakan polipaduan yang juga bermanfaat pula sebagai coating [13] dikarenakan serat yang dihasilkan menunjukkan adanya ikat silang antara epoksi dan poliamina. Namun ikat silang yang dihasilkan dari polipaduan epoksi dan poliamina, lebih sedikit dibandingkan dengan ikat silang yang dihasilkan dari polipaduan epoksi, poliamina, dan poliamida (nilon). Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan poliamida (nilon) akan menambah jumlah ikat silang sehingga serat yang dihasilkan lebih banyak. Menurut A. M. Atta et al. (2006) penambahan jumlah ikat silang ini juga akan meningkatkan fungsi alami dari resin epoksi. Tabel 4
5.
Analisis Ketahanan Bahan Kimia Rumah Tangga
(a)
(b) Gambar 5
Data Analisa Ketahanan Kimia Bahan
Selain itu permukaan yang halus hasil dari polipaduan epoksi, poliamina, dan poliamida (nilon) menunjukkan bahwa polipaduan ini lebih sukar patah. Hal ini pun juga dikarenakan ikat silang yang terbentuk dari polipaduan lebih kuat. Selain itu, dari Gambar 5b dan Gambar 6b terlihat bahwa rongga yang dihasilkan lebih banyak terdapat pada Gambar 5b. Adanya rongga ini juga akan mempengaruhi sifat polipaduan. Rongga yang dihasilkan ini dimungkinkan juga dikarenakan pada saat proses pembuatan polipaduan yakni saat pengadukan berlangsung adanya gelembung udara yang terjebak didalamnya, sehingga polipaduan tidak berikat secara sempurna. Adanya rongga ini, mungkin akan menyumbang salah satu penyebab berkurangnya nilai elastisitas pada polipaduan epoksi dan poliamina seperti yang telah dijelaskan pada subbab C.2. Rongga yang nampak pada gambar 5b dan 6b dimungkinkan juga akan mempengaruhi sifat polipaduan pada ketahanan terhadap bahan kimia lainnya.
Massa (g)
Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
Sampel 4
Sampel 5
Awal
0,2496
0,1776
0,2472
0,1871
0,1872
Akhir
0,2481
0,1774
0,2657
0,199
0,2001
Awal
0,1961
0,1716
0,1546
0,2048
0,2055
Akhir
0,1959
0,1725
0,1566
0,2051
0,2090
Awal
0,2664
0,1954
0,1766
0,1880
0,1971
Akhir
0,2574
0,2035
0,1991
0,2044
0,2146
Awal
0,2388
0,1720
0,1635
0,1989
0,1617
Akhir
0,2391
0,1777
0,1738
0,2100
0,1727
Awal
0,2103
0,1901
0,1339
0,1953
0,2076
Akhir
0,2144
0,1970
0,1448
0,2048
0,2304
Awal
0,2342
0,1857
0,1872
0,2114
0,1858
Akhir
0,2380
0,1937
0,2039
0,2321
0,2073
Hasil analisa SEM untuk polipaduan epoksi dan poliamina (100:0). (a) perbesaran 1000x, (b) perbesaran 4000x
Bensin Minyak Tanah Etanol
Ammonia
H2SO4
NaCl
Pada Gambar 5b merupakan perbesaran daerah pada Gambar 5a, dari hasil perbesaran ini dapat dilihat bahwa serat yang dihasilkan dari polipaduan epoksi dan poliamina cukup tajam. Dari penggumpalan yang tajam ini menunjukkan sifat polipaduan epoksi poliamina lebih bersifat kaku. Oleh sebab itu, menurut Mujiarto (2005) dengan penambahan poliamida (nilon) dapat menambah elastisitas dari produk polipaduan. Hal ini dapat terlihat pada Gambar 6b dimana hasil perbesaran dari gumpalan polipaduan yang terbentuk menunjukkan gumpalan yang lebih halus jika dibandingkan pada Gambar 5b. Permukaan yang lebih halus ini, mengindikasikan bahwa ikat silang yang dibentuk dari penambahan poliamida (nilon) menyebabkan elastisitas dari hasil polipaduan bertambah.
(a)
(b) Gambar 6 Hasil analisa SEM untuk polipaduan epoksi, poliamida (nylon), dan poliamina (100:0). (a) perbesaran 1000x, (b) perbesaran 4000x
Analisa ketahanan terhadap bahan kimia rumah tangga dilakukan dengan cara merendam semua produk yang dihasilkan ke dalam bahan seperti yang tertera dalam Tabel 4 selama 7 hari, dimana perlakuan yang dilakukan sebelum proses perendaman adalah menimbang satu per satu semua produk sebagai massa awal dengan ukuran 2 cm X 6 mm. Sedangkan massa akhir merupakan massa dimana produk telah direndam selama 7 hari. Tabel 4 merupakan hasil dari analisa ketahanan produk terhadap bahan kimia rumah tangga. Berdasarkan tabel diatas maka dapat dilihat bahwa pada sampel 1 mengalami degradasi pada saat proses perendaman pada bensin, minyak tanah, dan etanol. Menurut Wegmann (1997) penambahan poliamina yang merupakan hardener dalam proses coating ini merupakan penyebab ketidaktahanan polipaduan pada saat perendaman pada etanol, minyak tanah, maupun bensin. Hal ini dikarenakan poliamina memiliki ketahanan yang rendah
JURNAL SAINS DAN SENI POMITS, (2013) 1-6 terhadap senyawa polar. Meskipun proses ini tidak secara langsung mengurangi rantai dari polipaduan namun degradasi ini akan mengurangi sifat kepolaran dan ikatan hidrogen dari polipaduan [1]. Ammonia merupakan senyawa polar, namun ammonia yang digunakan dalam perendaman ini memiliki konsentrasi yang rendah sehingga proses perendaman dengan menggunakan ammonia hampir tidak mempunyai pengaruh pada polipaduan. Peningkatan massa pada polipaduan dimungkinkan karena pertambahan ikat silang yang terbentuk dengan air yang mengisi pori-pori polipaduan sebagaimana terlihat pada pembahasan C.4 dikarenakan adanya rongga. Namun ketahanan sampel 1 terlihat saat dilakukan perendaman pada asam sulfat dan natrium klorida. Fenomena ini diungkinkan karena poliamina memiliki ketahanan terhadap asam lemah dan garam [13]. Ketahanan ini terlihat pada peningkatan massa dari sebelum direndam dan setelah proses perendaman, hal ini dikarenakan meningkatnya jumlah ikat silang yang terbentuk. Pada sampel yang lain terlihat terjadi penambahan massa pada saat proses perendaman baik pada bensin, minyak tanah, etanol, ammonia, asam sulfat, maupun pada natrium klorida. Hal ini dikarenakan pada sampel 2-5 ada penambahan poliamida (nilon), dimana poliamida (nilon) ini memiliki ketahanan yang baik terhadap asam, alkali, garam maupun senyawa polar dan nonpolar [1]. Polipaduan yang berasal dari hardener poliamina dan poliamida (nilon) akan menciptakan fungsi spesifik yang berasal dari epoksi, selain itu akan meningkatkan ketahanan seiring dengan penambahan poliamida (nilon) seperti yang terlihat pada Tabel 4. Menurut Atta et al. (2005) penambahan sedikit larutan alkali maupun larutan asam lemah yang bersifat polar akan meningkatkan jumlah ikat silang yang terbentuk. IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil serta analisis pada penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa : 1. Polipaduan epoksi, poliamina, dan poliamida (nilon) dengan komposisi perbandingan 100:50 memiliki nilai % elongasi tertinggi yakni 96,7% berdasarkan hasil pengujian tensile strength. 2. Analisa termal dari polipaduan epoksi, poliamina, dan poliamida (nilon) dengan komposisi perbandingan 100:50 memiliki suhu degradasi tertinggi yakni pada suhu 461,30°C. 3. Analisa morfologi permukaan polipaduan menunjukkan jumlah serat yang lebih banyak dengan pertambahan poliamida, yang menunjukkan jumlah ikat silang yang lebih banyak pula. 4. Berdasarkan analisa ketahanan kimia pada polipaduan penambahan poliamida (nilon) akan memiliki ketahanan kimia yang baik terhadap bensin, minyak tanah, etanol, ammonia, asam sulfat, dan natrium klorida yang dapat dilihat dari meningkatnya massa polipaduan seiring dengan pertambahan jumlah poliamida (nilon). UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Lukman Atmaja, Ph. D. selaku dosen pembimbing yang telah berkenan membimbing, memberikan pengetahuan, saran dan nasehat dan semua rekan-rekan di kelompok riset atas
6 dukungan dan masukan-masukan yang bermanfaat serta semua pihak lain baik secara langsung maupun tidak langsung yang berperan dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA [1] Atta, Ayman M., Shaker N. O., and Maysour N. E., 2006. “
Influence of the Molecular Structure on the Chemical Resistivity and Thermal Stability of Cured Schiff Base Epoxy resins”. Progress in Organic Coatings vol. 56, p100-110. [2] Barua, S., Dutta, G., and Karak, N., 2013. “Gycerol Based Tough Hyberbranched Epoxy: Synthesis, Statistical Optimization and Property Evaluation”. Chemical Engineering Science vol. 95, p138-147. [3] Billmeyer, J.R., and Fred W. 1984. Text book of Polymer Science, 3rd edition. New York : John Wiley & Sons, Inc . [4] Duvis, T., Papaspyrides, C. D. 1992. “Polyamide Coating on Carbon Fibres and potential Application in Carbon/Kevlar/Epoxy Hybrid Composites”. Composites Scince and technology 48 (1993), 127-133. [5] Mujiarto, Iman. 2005. “Sifat dan Karakteristik Material Plastik dan Bahan Aditif”. Traksi vol. 3 no. 2. [6] Pavia, Donald L., Gary M. Lampman, and George S. Kriz. Introduction to Spectroscopy. Bellingham, Wshington : Thomson Learning, Inc. [7] Puglia, D., Manfredi, Liliana B., Vazquez, A., and Kenny, Jose M., 2001. “ Thermal Degradation and Fire Resistance of Epoxy-Amine-Phenolic Blends”. Polymer Degradation and Stability vol. 73, p521-527. [8] Supriatna, Jatna. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. [9] Tano, Eddy. 1997. Pedoman Membuat Perekat Sintetis. Jakarta : PT RINEKA CIPTA anggota IKAPI. [10] Tim Penulis PS. 2008. Panduan Lengkap Karet. Jakarta : Penebar Swadaya. [11] Trantina, Garry, and Hilmer. 1994. Structural Analysis of Thermoplastic Component. New York : Mc Graw Hill, Inc. [12] Wan, J., Bu, Z., Li, C., Fan, H., and Li, B., 2011. “Preparation, Melting, glass Relaxation and Nonisothermal Crystallization Kinetics of a Novel Dendritic Nylon-11”. Thermochimica Acta vol. 524, p117-127. [13] Wegmann, A., 1997. “Checal Resistance of Waterborne Epoxy/Amine Coatings”. Progress in Organic Coatings vol. 32, p231-239.