Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.194
123
Artikel Penelitian
Perubahan Konsentrasi Biomassa, Kadar Asam Sianida (HCN), pH dan Tampilan Sensori dari Koro Pedang Selama Proses Fermentasi 4 Hari The Changes in Biomass Concentration, Concentration of Cyanide Acid (HCN), Texture Objective and Sensory of Canavalia ensiformis during Fermentation for Four Days Felia Wahono*, Setya Budi Muhammad Abduh, Nurwantoro
Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang *Korespondensi dengan penulis (
[email protected]) Artikel ini dikirim pada tanggal 12 Mei 2016 dan dinyatakan diterima tanggal 1 Oktober 2016. Artikel ini juga dipublikasi secara online melalui www.jatp.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial. Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists® ©2016
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan biomassa, kadar asam sianida, pH, tekstur objektif dan tampilan sensori koro pedang yang difermentasi dengan jumlah inokulum yang berbeda selama 4 hari. Koro pedang kering, direndam dalam air selama 2 hari kemudian dikukus selama 30 menit sebelum ditambahkan inokulum berupa ragi tempe yang telah diketahui kepadatan selnya, sebanyak 1%, 2% dan 3% (b/b). Koro kemudian dibungkus dengan plastik yang telah dilubangi sekitar 10% dari luas areanya. Koro lalu diinkubasi selama 4 hari pada suhu 27°C. Mutu koro pedang diamati setiap 24 jam. Biomassa ditentukan secara TPC (Total Plate Count), kadar asam sianida ditentukan secara spektrofotometri, dan tampilan sensori dilakukan secara visual. Selama fermentasi hingga 4 hari, koro pedang dengan inokulum 1%, biomassanya semakin banyak, asam sianidanya semakin rendah, pH-nya semakin rendah, tampilannya semakin kompak dan berwarna putih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi inokulum 1% menghasilkan pola fermentasi yang konsisten dan mudah dipahami sesuai teori dengan mutu hingga hari ke-4 yang masih dapat diterima. Penurunan kadar asam sianida yang terjadi mengindikasikannya sebagai efek dari dihasilkannya produk metabolit primer.
Kata kunci: biomassa, kadar asam sianida, pH, tampilan visual
Abstract This study was purposed observe the changes in some paramaters i.e. biomass, concentration of cyanide acid (HCN), pH, and sensory characteristic of Canavalia ensiformis during fermentation for four days. An amount of sun-dried Canavalia ensiformis were soaked in water for 2 days and then steamed for 30 minutes prior to addition of inoculum in 1%, 2% and 3% (w/w). Samples then were wrapped in 10%-hollowed transparetnt plastic bags and incubated for 4 days at 27°C. Every 24 hours, the quality of the fermented Canavalia ensiformis were observed. Biomass concentration was determined by mean of TPC (Total Plate Count), cyanide acid was determined by mean of spectrophotometry, whereas the visual appearance was determined by sensory assessment. During fermentation, Canavalia ensiformis with 1% inoculum resulted in a lowering concentration of cyanide, lowering concentration of biomass, lowering in pH, and more compact and white visual appearance. The results indicated that 1% inoculum yielded a consistent pattern in fermentation and easily understood in accordance with some theories. It also resulted in an acceptable final product. The lowering concentration in cyanid indicated that it was influenced by the production of primary metabolites.
Keywords: biomass, cyanide acid (HCN), pH, visual appearance
Pendahuluan Fermentasi dalam pembuatan produk pangan telah dikenal secara tradisional. Di Indonesia, salah satu produk yang populer adalah tempe. Tempe yang biasa dikenal oleh masyarakat Indonesia adalah tempe yang menggunakan bahan baku kedelai. Tempe ini mengandung protein sebanyak 40% - 43% (Handayani, 2001). Fermentasi kedelai dalam proses pembuatan tempe menyebabkan perubahan kimia maupun fisik pada biji kedelai, menjadikan tempe lebih mudah dicerna oleh tubuh (Sarwono, 2005). Peningkatan akan konsumsi kedelai terkhusus tempe yang begitu pesat belum diimbangi dengan peningkatan produksi kedelai dalam negeri. Kesenjangan itu ditutup dengan kedelai impor yang banyak menyita devisa (Amang, 1993). Kondisi ini
kontraproduktif dengan kepentingan kemandirian pangan. Upaya menggantikan kedelai impor dengan kacang-kacangan lokal telah dilakukan, misalnya dengan cara substitusi (Samson et al.,1987). Salah satu jenis kacang yang telah dicoba digunakan adalah koro pedang. Koro pedang merupakan salah satu jenis kacang-kacangan yang memiliki kandungan protein sebesar 27,4%, yaitu relatif lebih besar dibandingkan dengan kacang lainnya seperti kacang hijau, kacang tanah, kacang tolo, dan kacang gude (Ekanayake, 2006). Upaya memanfaatkan kacang koro pedang sebagai bahan baku pembuatan tempe menemui kendala dengan adanya senyawa toksik yang dikandung di dalamnya. Salah satunya adalah senyawa asam sianida yang cukup tinggi dan sangat berbahaya
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.194
apabila masuk ke dalam tubuh manusia. Senyawa ini termasuk senyawa atau faktor anti gizi yang ditemukan pada koro pedang. Sianida yang dihasilkan oleh bahan nabati tersebut biasanya sekitar 100-800 mg/100 g (Ariani, 2003). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan biomassa, kadar asam sianida, dan tekstur objektif serta tampilan sensori dengan perlakuan jumlah inokulum yang berbeda selama fermentasi berlangsung. Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi teknis untuk dasar fermentasi koro pedang yang aman dan efisien sebagai sumber lauk pauk nabati. Dengan demikian, masyarakat dapat menerapkan jumlah inokulum dan substrat yang digunakan dalam pembuatan tempe koro pedang.
Materi dan Metode Materi Materi yang digunakan untuk penelitian yaitu, koro pedang biji putih, inokulum ragi tempe, medium Plate Count Agar (PCA), kloramfenikol, aquadest steril, NaCl fisiologis, NaH2PO4 15M, NaOH 0,1 N, asetat buffer 0,1 M pH 5,6, chloramine T 0,15%, 0,4 methyl barbiturate, dan iodine. Peralatan yang digunakan yaitu tempat plastik, timbangan analitik, pisau, panci pengukus, plastik pembungkus, inkubator, cawan spetri, gelas ukur, labu takar, buret, statip, rak tabung, tabung reaksi, pipet mikro, tip pipet mikro, kertas saring whatman 42, erlenmeyer, bunsen, aluminium foil, kapas, penangas air, beaker glass, pH meter, kamera dan lemari pendingin. Metode Metode yang dilakukan terdiri dari beberapa tahapan yaitu persiapan pembuatan sampel tempe dengan ditambahkan perlakuan jumlah inokulum yang berbeda dan lama fermentasi 4 hari, kemudian diuji menurut variabel yang sudah ditentukan yaitu kadar asam sianida, total biomassa, pH, dan tampilan sensori serta kadar air. Pengujian Total Biomassa Kepadatan inokulum diuji dengan teknik perhitungan secara total kapang (Pelczar dan Chan, 2008). Pengujian dimulai dengan cara mempersiapkan 2,25 gram medium PCA dan menambahkan kloramfenikol sebanyak 0,01 gram sebelum proses sterilisasi basah dengan autoklaf. Kemudian menyiapkan 1 gram sampel, larutkan dalam 9 ml larutan NaCl Fisiologis 0,85%. Selanjutnya, sampel dihomogenisasi dan diencerkan dengan tingkat -5 pengenceran sampai dengan 10 . Pencawanan dilakukan secara duplo pada tiga tingkat pengenceran terakhir. Selanjutnya, menuangkan 1 ml sampel pada cawan petri lalu ditambahkan medium sebanyak + 15 ml, segera dilakukan gerakan dipermukaan meja membentuk pola angka 8 sehingga suspensi tersebar merata. Seluruh cawan petri diinkubasi pada suhu ° ruang yaitu 27 C selama 24 jam. Jumlah koloni yang tumbuh diamati dan dihitung.
124
Pengujian Kadar Asam Sianida (HCN) Kadar asam sianida diuji dengan metode spektrofotometri (Sudarmadji et al., 1997). Kadar asam sianida dianalisis pada sampel di setiap tahap percobaan yaitu koro pedang yang akan difermentasi, koro pedang yang sudah dilakukan perendaman dan pengukusan, koro pedang yang sudah difermentasi dengan 5 titik waktu yang berbeda. Sampel koro pedang sebanyak 1 gram dihaluskan dan dimasukkan ke dalam beker glass. Kemudian, sampel dilarutkan dalam NaOH 0,1 N hingga 100 ml dalam labu takar lalu didiamkan selama 1 jam di dalam lemari pendingin. Larutan disaring dengan kertas saring whatman 42. Filtrat diambil sebanyak 2 ml lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambah 3 ml NaH2PO4 15M, 1 ml asetat buffer 0,1 M pH 5,6; 0,4 ml Chloramine T 0,15% dan 0,4 methyl barbiturate dan ditambahkan 0,2 ml iodine. Kemudian tabung reaksi dimasukkan dalam pendingin selama 30 menit. Perubahan warna ungu kemudian diamati dengan spektrofotomer pada panjang gelombang 587,6 nm dan dicatat absorbansinya. Pengujian pH Nilai pH diuji dengan menggunakan metode alat pH meter (Apriyantono dan Fardiaz, 1989). Sampel tempe yang diuji disiapkan sebanyak 1 g untuk kemudian diencerkan dengan aquades hinga 10 ml. Elektrode pH meter lalu dicelupkan ke dalam sampel. Nilai pH yang terbaca dan ditampilkan pada panel pH meter dicatat. Pada tiap sampel yang diencerkan, pengujian dilakukan 3 kali. Pengujian Tampilan Sensori Tampilan sampel diuji secara visual atau sensori (Setyaningsih et al., 2010). Parameter uji secara visual yaitu meliputi warna dan kekompakan miselium. Parameter warna dinilai dengan cara memberi skor 1 4 dengan atribut sangat putih, putih, agak putih, tidak putih sedangkan skor pada kerapatan miselium (1 - 4) adalah sangat kompak, kompak, agak kompak, tidak kompak. Analisis Data Data penelitian yang didapat kemudian disusun dalam tabulasi dan di analisis dalam bentuk ordinat untuk mendapatkan pola fermentasi yang representatif dan berkesinambungan dengan variabel lainnya. Kemudian diamati setiap ordinatnya di tiap jumlah inokulum yang berbeda dan setiap titik waktu proses fermentasi berlangsung. Data yang sudah ada dalam bentuk ordinat kemudian diinterpretasikan dengan pola sehingga dapat menyimpulkan dan membuat pembahasan dan disesuaikan dengan teori yang ada. Hasil dan Pembahasan Perubahan Biomassa Selama Fermentasi Kepadatan biomassa sel diamati setiap hari pada jumlah inokulum yang berbeda yaitu 1%, 2% dan 3% dengan metode pengujian menggunakan Total Plate Count (TPC) pada koro pedang yang diamati selama 4 hari. Biomassa sel (cfu/g) fermentasi kacang koro
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.194
125
Tabel 1. Biomassa sel (CFU/g) selama Fermentasi Kacang Koro Pedang hingga 4 Hari Lama Fermentasi (Hari) Konsentrasi Inokulum 0 1 2 3 4 5 3 4 3 5 1,20 x 10 1% 3,00 x 10 4,05 x 10 1,50 x 10 1,03 x 10 4 4 4 4 4 9,70 x 10 2% 1,75 x 10 5,03 x 10 2,25 x 10 2,65 x 10 5 4 4 4 4 1,12 x 10 9,60 x 10 3% 2,50 x 10 6,65 x 10 3,25 x 10 Tabel 2. Kadar Asam Sianida (ppm/bk) Selama Fermentasi Kacang Koro Pedang hingga 4 Hari Lama Fermentasi (Hari) Konsentrasi Inokulum 0 1 2 3 4 1,48 1% 7,61 12,93 9,84 1,89 2,11 2% 13,88 8,06 13,11 3,09 1,58 2,56 3% 13,28 7,41 6,10
pedang dapat dilihat Tabel 1. Koro pedang yang diberi jumlah inokulum awal sebanyak 1%, 2% dan 3% mengalami fase pertumbuhan kapang yang sama dan terdapat fenomena puncak/ fase logaritmik yang berulang. Setelah mengalami fase adaptasi dan logaritmik (thropophase) pada hari ke-0 hingga ke-1, diantara ketiga perlakuan inokulum yang ditambahkan, semua mengalami fase penurunan padahal seharusnya belum mencapai tahap tersebut. Hal ini dimungkinkan dari sampah metabolit yang dihasilkan dari proses fermentasi terlalu banyak sehingga menyebabkan banyak inokulum yang tidak dapat bertahan hidup pada hari ke-2 dan mengalami penurunan yang tajam, namun tidak sampai mencapai garis nol cfu/g. Hal lain yang menyebabkan penurunan drastis adalah karena terjadinya fluktuasi suhu pada sistem. Koro pedang yang difermentasi akan menghasilkan uap air dan CO2 yang kemudian menjadikan suhu di dalam tempe menjadi panas. Akibatnya, beberapa kapang yang hidup di dalamnya mengalami kematian karena suhu yang terlalu ekstrim sehingga tidak dapat bertahan hidup. Setelah mengalami penurunan pada hari yang ke-2, masih ada beberapa kapang yang masih mampu bertahan hidup dengan ditunjukkan kepadatan inokulum yang masih diatas populasi 0 cfu/g. Keadaan yang baru dan proses adaptasi membuat populasi kapang mengalami kenaikan kembali hingga mencapai puncak yang ke-2 dan akhirnya mengalami fase stasioner atau bisa disebut dengan fase idiophase dimana pertumbuhan mulai mengalami perlambatan. Namun dalam mencapai puncak yang ke-2 masingmasing inoukulum memiliki waktu yang berbeda yaitu 1 dan 3% yang mencapai puncak kedua pada hari ke-3, dan 2% mencapai puncak yang ke-4. Hal ini dimungkinkan terjadi, karena setelah proses adaptasi yang dilakukan setelah terjadinya fluktuasi suhu dan sampah metabolit menyebabkan kapang menjadi terhambat pertumbuhannya. Penyebab lain bisa diakibatkan karena populasi inokulum pada 1% dalam keadaan awal lebih sedikit sehingga pada saat hari ke2 mengalami penurunan yang sangat signifikan karena antara kapang satu dengan yang lain tidak mampu bertahan hingga akhirnya mati. Menurut Richard dan Dale (1984) keadaan populasi mikroba yang terlalu sedikit pada saat fermentasi menyebabkan mikroba menjadi rentan terhadap faktor eksternal seperti suhu dan kelembaban khususnya pada dinding sel yang
terbentuk dalam proses pembelahan belum sempurna pada fase logaritmik sehingga dinding sel mudah rusak dan terjadi kematian. Perubahan Kadar HCN selama Fermentasi HCN adalah senyawa toksik yang berada dalam koro pedang secara alami. Apabila dikonsumsi secara langsung akan menyebabkan bahaya bagi yang mengonsumsi. Oleh karena itu dilakukan perlakuan fermentasi untuk mengurangi jumlah HCN pada koro pedang. Fermentasi dilakukan selama 4 hari dengan melakukan penambahan inokulum yang berbeda yaitu sebanyak 1 %, 2% dan 3%. Dengan demikian, setiap titik waktu dan proses fermentasi diamati dan dihitung jumlah asam sianida yang berkurang. Data hasil pengamatan dan perhitungan kadar asam sianida (ppm/bk) selama fermentasi kacang koro pedang hingga 4 hari dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan hasil penelitian yang didapat, dapat disimpulkan dari grafik yang dihasilkan dengan inokulum yang berbeda yaitu 1%, 2% dan 3% memiliki kesamaan fase yaitu mengalami kenaikan kadar HCN hingga mengalami penurunan. Namun pada konsentrasi inokulum 1% mengalami kenaikan jumlah asam sianida yang sangat signifikan. Hal ini dimungkinkan pada pengujian ada beberapa senyawa yang terikut yang menyumbang nilai pada pengujian spektrofotometri hingga menghasilkan nilai yang tinggi pada absorbansi dalam satuan ppm. Setelah mengalami fenomena kenaikan yang cukup signifikan pada hari yang ke-2 mulai mengalami penurunan kembali hingga hari ke-4. Tabel 2 menampilkan informasi bahwa jumlah inokulum dan lama proses fermentasi yang berlangsung menyebabkan asam sianida yang terdapat pada koro pedang mengalami penurunan hingga hari ke-4 meskipun ada beberapa kenaikan pada titik tertentu. Penurunan asam sianida pada proses fermentasi dipengaruhi oleh inokulum ragi tempe yang ditambahkan yaitu Rhizopus oligosporus. Kapang ini mampu memanfaatkan unsur N bukan protein dari HCN sendiri sehingga mampu menurunkan kadar HCN pada koro pedang yang difermentasi. Menurut Kobawila et al. (2005) pada proses fermentasi cassava asam sianida mampu diturunkan dengan adanya aktivitas pertumbuhan kapang dimana mampu merombak senyawa nitrogen yang lebih sederhana dibandingkan dengan senyawa kompleks protein. Nilai asam sianida
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.194
semakin menurun dapat dipengaruhi dengan adanya kemampuan kapang dalam mendegradasi zat anti nutrisi yang ada dalam koro pedang. Menurut Tope (2014) kapang Rhizopus oligosporus sebagai agen fermentasi mampu mendegradasi zat anti nutrisi pada kedelai. Salah satunya adalah senyawa asam fitat dan asam posfat. Fermentasi dalam hal ini mampu mengurangi senyawa pengganggu dalam suatu bahan pangan untuk memperbaiki produk akhir. Hubungan Biomassa dengan Perubahan Kadar HCN Proses fermentasi mampu menurunkan kadar asam sianida hingga level tertentu selama proses fermentasi dan dengan peran inokulum ragi yang ditambahkan. Kadar asam sianida menurun seiring dengan lama fermentasi. Hal ini dapat disimpulkan total biomassa kapang dalam proses fermentasi mempengaruhi kadar asam sianida. Grafik hubungan antara total biomassa dan kadar HCN selama fermentasi dapat dilihat pada Figur 1.
Figur 1. Grafik Hubungan antara Total Biomassa dengan Kadar HCN Selama Fermentasi Kacang Koro Pedang.
Berdasarkan grafik hubungan antara total biomassa dengan kadar HCN dapat disimpulkan ada keterkaitan antara satu dengan yang lain dan ada beberapa fase yang terjadi di dalamnya. Dapat diamati pada hari ke-0 hingga hari ke-2 mengalami adaptasi dalam menurunkan asam sianida. Hal ini pertumbuhan kapang masih menyesuaikan dengan faktor-faktor lain seperti suhu, kelembaban udara dan substrat yang dimanfaatkan seperti yang dibahas sebelumnya. Dengan kondisi yang sudah sesuai, kapang mulai mengalami pertumbuhan yang maksimal sehingga dapat menurunkan asam sianida pada level tertentu. Pertumbuhan yang maksimal juga dapat disebabkan senyawa metabolik primer yang dihasilkan dari proses fermentasi sehingga mampu memicu pertumbuhan biomassa hingga level tertinggi pada fase stasioner. Senyawa metabolik primer yang dihasilkan, salah satunya adalah berupa enzim tertentu yang mampu berperan dan merombak HCN menjadi senyawa yang tidak toksik sehingga dalam hal ini fase stasioner menghasilkan produk enzim yang cukup banyak hingga mampu menurunkan asam sianida hingga level terendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Kobawilla (2005) yang menyatakan bahwa proses fermentasi mampu menurunkan asam sianida dan enzim tertentu seperti linamarase pada cassava. Sehingga pendekatan ini dimungkinkan, enzim berperan di dalam
126
fermentasi kacang koro pedang. Tope (2014) menambahkan pertumbuhan dan aktivitas fermentasi dari mikroorganisme dalam hal ini kapang mampu menurunkan kadar asam sianida pada bahan. Pola perubahan dari kadar asam sianida dan biomasa dapat disimpulan bahwa semakin lama fermentasi, mampu menurunkan asam sianida. Total biomassa yang semakin tinggi mampu menurunkan asam sianida hingga level terendah dibawah 2 ppm. Kondisi ini dapat ditunjukkan dari hari ke-0 hingga hari ke-2 dimana antara total biomassa dalam menurunkan asam sianida masih mengalami fase adaptasi yang cukup hingga akhirnya dapat menunjukkan pola penurunan yang maksimal pada hari ke-3 hingga ke-4 dengan populasi di atas 10 cfu/g dalam ln mampu menurunkan hingga dibawah 2 ppm. Pada hari ke-4 inilah secara maksimal total biomassa mampu menurunkan asam sianida. Hal ini disebabkan pada fase stasioner hari ke-4 banyak produk metabolit primer yang dihasilkan khususnya enzim yang mampu mereduksi asam sianida sehingga mampu hingga ke titik level terendah. Perubahan Nilai pH Selama Fermentasi Koro Pedang Parameter pH menjadi salah satu komponen penting yang perlu dilakukan pengujian. Hal ini dilakukan karena dari proses fermentasi biasanya menghasilkan senyawa alkalin dan amino dari pemecahan senyawa kompleks protein menjadi senyawa- senyawa yang lebih sederhana. Untuk melihat potensi agen fermentasi secara optimal dalam memecah senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana. Oleh karena itu, dilakukan pengamatan dan pengukuran pH di setiap proses fermentasi setiap titik waktu dan inokulum berbeda. Nilai pengukuran pH selama fermentasi kacang koro pedang hingga 4 hari disajikan pada dan Tabel 3. Berdasarkan dari hasil penelitian ditunjukkan bahwa nilai pH dari perlakuan 1%, 2%, dan 3 % mengalami siklus nilai pH yang tidak stabil. Pada titik tertentu bersifat basa dan kemudian kembali ke asam. Hal ini terjadi karena perombakan protein yang dilakukan oleh mikroba melalui proses fermentasi yang kemudian memecah oligopeptida menjadi senyawa yang lebih sederhana yaitu asam amino yang bersifat asam dan basa. Menurut Ariani (2003), menyatakan bahwa yang paling banyak dihasilkan dari proses fermentasi adalah asam amino bersifat asam yaitu glutamat dan aspartam yang dihasilkan dari hidrolisis protein sehingga menyebabkan pH cenderung asam. Hal ini ditambahkan Sulchan dan Endang (2007) bahwa nilai pH yang cenderung basa dan tidak stabil di keadaan asam karena hasil metabolit primer berupa CO2 atau karbondioksida yang dihasilkan dari proses fermentasi sehingga pH menjadi naik dan menjadi lebih basa pada jumlah inokulum dan titik waktu tertentu. Proses fermentasi juga mengamati perubahan pH yang terjadi. Penambahan konsentrasi inokulum 1%, 2% dan 3% mengalami perubahan siklus yan tidak stabil. Ada beberapa yang menuju ke arah sangat basa dan menuju ke arah sangat asam. Hal ini ditunjukkan
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.194
127
Tabel 3. Nilai Pengukuran pH Selama Fermentasi Kacang Koro Pedang hingga 4 Hari Lama Fermentasi (Hari) Konsentrasi Inokulum 0 1 2 3 4 5,29 1% 6,62 4,5 6,38 8,45 5,45 2% 6,79 4,15 4,54 5,41 5,57 5,61 3% 6,23 7,72 4,59 Tabel 4. Sifat Sensori Warna Selama Fermentasi Kacang Koro Pedang hingga 4 Hari Lama Fermentasi (Hari) Konsentrasi Inokulum 0 1 2 3 1% agak putih agak putih putih Putih 2% agak putih putih sangat putih agak putih agak putih 3% agak putih putih sangat putih
4 agak putih tidak putih tidak putih
Tabel 5. Sifat Sensori Kepadatan Miselium selama Fermentasi Koro Pedang hingga 4 Hari Lama Fermentasi (Hari) Konsentrasi Inokulum 0 1 2 3 1% tidak kompak agak kompak kompak kompak 2% tidak kompak agak kompak kompak kompak kompak 3% tidak kompak agak kompak sangat kompak
4 agak kompak agak kompak agak kompak
pada konsentrasi inokulum 1% pada hari ke-3 pH mampu mencapai 8,45 sedangkan keadaan asam dicapai pada konsentrasi inokulum 2% pada hari ke-1. Siklus pH yang tidak stabil disebabkan karena dari proses pemecahan perombakan protein menjadi asam amino yang bersifat asam dan basa sehingga ada yang bersifat asam. Keadaan yang sangat basa juga dipengaruhi hasil fermentasi yaitu berupa karbondioksida. Sifat Sensori Selama Fermentasi Hasil fermentasi mengubah keadaan awal dari bahan pangan menjadi lebih lunak dari aslinya sehingga tampilan sensori menjadi salah satu perubahan yang dapat dilhat dengan mudah selama proses fermentasi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, tempe koro pedang diamati tampilan sensori di setiap titik waktu dan jumlah inokulum yang ditambahkan dari segi warna dan kepadatan miselium. Berdasarkan dari hasil pengamatan secara sensori berdasarkan warna yang dihasilkan dari fermentasi adalah pada perlakuan 2% dan 3% inokulum lebih cepat mengalami perubahan warna menjadi putih. Sifat sensori warna selama fermentasi kacang koro pedang hingga 4 hari dapat dilihat pada Tabel 4. Hal ini dikarenakan terbentuknya hifa-hifa yang berasal dari miselia kapang yang tumbuh pada permukaan kedelai sehingga memunculkan warna putih. Menurut Samson et al. (1987) bahwa seiring dengan pertumbuhan hifahifa pada tempe maka miselium akan semakin kompak dan membentuk warna putih yang sebenarnya hingga proses fermentasi yang optimal. Sarwono (2005) menambahkan bahwa pada proses pembuatan tempe, ragi memegang peranan penting dalam membentuk benang-benang halus yang nampak berwarna putih. Berdasarkan hasil dari pengamatan tampilan sensori berdasarkan kepadatan miselium, dapat dilihat bahwa pada konsentrasi inokulum 2% dan 3% lebih cepat membentuk struktur yang kompak. Sifat Sensori Kepadatan Miselium selama fermentasi koro pedang
hingga 4 hari dapat dilihat pada Tabel 5. Hal ini dipengaruhi oleh konsentrasi inokulum awal yang ditambahkan pada pembuatan tempe. Menurut Sarwono (2005) Rhizopus oligosporus sebagai agen fermentasi membentuk spora terlebih dahulu baru kemudian muncul hifa-hifa yang menembus biji dari kacang koro dan tumbuh mengambil substrat dari biji tersebut. Sehingga tempe semakin lunak dan terbentuk jaringan miselium yang kompak, karena sebagian substrat dimanfaatkan untuk membentuk hifa-hifa jamur. Cahyadi (2006) berpendapat bahwa struktur yang sangat kompak pada tempe yang dihasilkan dari fermentasi hanya terjadi pada titik optimal fermentasi. Setelah itu akan mengalami pematangan sehingga akhirnya mengalami proses pembusukan sehingga sering dikatakan tempe busuk. Kesimpulan Berdasarkan dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa konsentrasi inokulum ragi tempe 1% di awal fermentasi merupakan inokulum yang paling mudah dipahami pola fermentasinya dan menjadi perlakuan paling efisien dalam menurunkan asam sianida hingga level terendah yaitu mencapai angka 1,48 ppm dengan total biomassa yang tertinggi yaitu 5 1,20 x 10 cfu/g. Penurunan kadar asam sianida seiring dengan petumbuhan biomassa sehingga diduga penurunan tersebut disebabkan dari senyawa metabolik primer yang dihasilkan. Dengan kadar asam sianida yang cukup rendah, konsentrasi inokulum 1% juga mampu mempertahankan mutu produk tempe hingga hari ke-4 dilihat dari parameter tekstur objektif dan tampilan sensori yang masih dapat diterima. Dengan demikian, Konsentrasi ragi 1% menjadi konsentrasi inokulum yang polanya mampu mereduksi sianida seiring dengan pertumbuhan biomassa. Artinya, mengindikasikan bahwa reduksi merupakan efek dari adanya metabolit primer dalam fermentasi, yang belum ditentukan secara spesifik karena perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 ©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.194
Daftar Pustaka Amang, B. 1993. Ekonomi Perberasan, Jagung dan Minyak Sawit di Indonesia, PT Dharma Karsa Utama, Jakarta Apriyantono, A., dan D. Fardiaz. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Insitut Pertanian Bogor, Bandung. Ariani, S.R.D. 2003. Pembuatan keju kedelai yang mengandung senyawa faktor hasil biokonversi isoflavon pada tahu oleh Rhizopus oligosporus. BioSmart 5(1): 8-12. Cahyadi, W. 2006. Kedelai Khasiat dan Teknologi. Bumi Aksara, Bandung. Ekanayake, S. 2006. Canavanine content in swordbeans (Canavalia gladiata): analyis and effect of processing. Department of Biochemistry, Faculty of Medical Sciences, University of Sri Jayewardenepura, Nugegoda. Srilanka. Handayani, S. 2001. Indigenous Mucuna Tempe as Functional Food. Department of Agriculture, University of Sebelas Maret. Surakarta. Kobawila SK, Louembe, Keleke, Hounhouigan J, and Gamba C. 2005. Reduction of the cyanide content during fermentation of cassava roots and leaves to produce bikedi and ntoba mbodi, two food products from Congo. Academic J 4(7): 689696.
128
Larmond, E. 1987. Laboratory Methods for Sensory Analysis of Food. Canada: Department Agriculture Pelczar, M., and J. Chan. 2008. Dasar-Dasar Mikrobiologi. UI Press, Jakarta. Richard, D.M., and Dale W.G. 1984. Germination of Rhizopus oligosporus Sporangispore. App and Environt Microbio 48(6): 1067-1071. Rosenthal, A.J. 1999. Food Texture Measurement and Perception. An Aspen Publication. Gaithersburg, Maryland. Samson, R.A., J.A. Van Kooij, and E.S. De Boer. 1987. Microbiological quality of commercial tempeh in nederlands. J. Food Protect 50 (2): 92-94. Sarwono, B. 2005. Membuat Tempe dan Oncom. Penebar Swadaya, Jakarta. Setyaningsih, D., A. Apriyantono, dan Sari. 2010. Analisis Sensori untuk Industri Pangan dan Argo. Bogor: IPB Press. Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisis untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty: Yogyakarta. Sulchan, M dan Endang N. 2007. Nilai gizi dan komposisi asam amino tempe gembus serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan tikus. Maj Kedokt Indon 57(3). Tope, A.K. 2014. Effect of fermentation on nutrient composition and anti-nutrient contents of ground Lima bean seeds fermented with Aspergillus fumigatus, Rhizopus stolonifer and Saccharomyces cerevisiae. Intern J of Advanced Research 2 (7): 1208-1215