Tinjauan Pustaka
KASUS MALPRAKTEK ANTARA PENEGAKAN HUKUM DENGAN RASA KEADILAN MASYARAKAT Agus Budianto Fakultas Hukum, Universitas Pelita Harapan
ABSTRACT Malpractice is professional negligence and medical malpractice is the negligence of a health care provider. Medical malpractice occurs when a health care provider fails to act in accordance with accepted medical practice. This can either occur when a provider does something that shouldn’t have been done or fails to do something that should have been done. When malpractice accurs, the problem faced is wheather procedural law enforcement is inline with equality and fairness in society. Keywords: malpraktek - law enforcement - equality - fairness in society LATAR BELAKANG Seperti yang telah diamanatkan dalam UUD 1945 hasil amandemen, dalam Pasal 28 H ayat1 dikatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Di sini secara jelas diatur bahwa hidup secara sehat dan memperoleh pelayanan kesehatan merupakan hak setiap warga negara dan menjadi kewajiban negara untuk merealisasikannya. Sejak awal sebelum diatur secara jelas dalam amandemen UUD 1945, kesehatan sudah menjadi bagian dari kehidupan warga negara, termasuk didalamnya telah diatur dalam UN Universal Declaration of Human Rights tahun 1948, kemudian dituangkan dalam WHO Basic Document, GENEVA 1973, yang berbunyi, “The enjoyment of the highest attainable standard of health is one of the fundamental rights of every human being ”. -------------------------------------------------------Agus Budianto ( ) Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan Jl. Boulevard Jend.Sudirman, Lippo Karawaci, Tangerang, Indonesia. Tel.: +62 21 5460055; Fax: +62 21 5460921. e-mail:
[email protected]
32
Pada tahun 1960-an hak warga negara perihal kesehatan ini tidak menjadi perhatian utama pemerintah. Hal ini terbukti dengan adanya pencatatan sejarah mengenai hukum kesehatan yang diatur di Indonesia, yaitu dengan UU Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan1, dimana upaya kesehatan hanya dipandang sebagai suatu bentuk pencegahan dan pemerantasan suatu penyakit serta pemulihannya dalam masyarakat. Dari sini dapat dilihat bahwa kesadaran akan kesehatan hanya sampai pada tingkat ”asal jangan terkena wabah” bukan pada tingkatan menjadi sehat itu sangat penting. Oleh karena itu pada tahun-tahun setelah berlakunya tersebut banyak terjadi kasus-kasus menyimpang yang merugikan pasien seperti misalnya2: 1. Kasus bayi Wong (salah obat); 1
Pasal 4 UU Nomor 9 Tahun 1960 berbunyi: ”Pemerintah memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan rakyat dengan menyelenggarakan dan menggiatkan usaha-usaha dalam lapangan : a) pencegahan dan pemberantasan penyakit; b) pemulihan kesehatan; c) penerangan dan pendidikan kesehatan pada rakyat; d) pendidikan tenaga kesehatan; e) perlengkapan obat-obatan dan alat-alat kesehatan; f) penyelidikan-penyelidikan; g) pengawasan, dan h) lain-lain usaha yang diperlukan.” 2 Guwandi, Hukum Medik, Fakultas Kedokteran UI, 2005, hal. 10.
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
MEDICINUS · Vol. 3 No. 1 Februari 2009 – Mei 2009 1367 KUHPerdata juga dapat didasarkan pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. Dalam Pasal 1 ayat (1) dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan. Sementara pengertian Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi. Kedua pengertian ini sudah mewakili hubungan hukum antara Para Tergugat dengan pasien (isteri Penggugat). Pasal Pasal 51, menyatakan bahwa Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban : a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien; b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan; c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia; d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi. Namun, jika kita mendampingkan dengan Pasal Pasal 52 nya, tentang hak pasien, dikatakan bahwa pasien mempunyai hak, antara lain: a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3); b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain; c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; d. menolak tindakan medis; dan e. mendapatkan isi rekam medis.
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
Apabila terdapat dugaan malpraktek yang dilakukan oleh seorang dokter dalam menjalankan pekerjaannya sebagai seorang dokter, maka setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Pengaduan tersebut, tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan. Tugas untuk melakukan pemeriksaan atas aduan tersebut berada pada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, yang memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia meneruskan pengaduan pada organisasi profesi. KESIMPULAN Dari pembahasan tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk melihat sebuah kasus, khususnya kasus-kasus mal praktek yang selalu mempertentangkan antara penegakkan hukum dengan rasa keadilan dalam masyarakat, seorang hakim harus cermat dan jeli untuk menemukan jawaban dalam putusannya. Dalam praktek beracara di Indonesia, kurang cermatnya gugatan dan niklai gugatan akan menyebabkan tidak dikabulkannya gugatan itu sendiri. Dengan tidak dikabulkannya gugatan, maka masyarakat akan mempunyai self judgement terhadap lembaga peradilan, bahwa lembaga peradilan tidak memiliki rasa keadilan dalam masyarakat. Terlebih juga terhadap institusi kedokteran yang semakin kebal akan hukum. Bahwa pada asasnya perjanjian antara dokter dengan pasien merupakan perjanjian ”berusaha sebaik mungkin” (inspanningsverbintenis), yang tidak berarti dokter boleh berbuat sesuka hatinya dalam menjalankan profesinya dan hal itu harus berdasarkan standar profesi medik yang berlaku.
43
KASUS MALPRAKTEK Lisa Vincler13 dalam tulisanya berjudul "Law and Medical Ethics" memperkenalkan bahwa dari dua pilar utama tersebut di atas ialah hukum dan etik, bisa dibangun pilar ketiga, ialah "Risk Management" yang bertujuan untuk mengurangi atau mencegah terjadinya risiko lewat memberlakukan berbagai peraturan dan berbagai kebijaksanaan dalam institusi. Di antara ketiga pilar pilar tersebut ada saling keterkaitan dan saling overlap, dan perbedaanya adalah bahwa : Etik : identifikakasi dari nilai-nilai apa sebaiknya, sebagai pedoman (ought to). Hukum : Pernyataan mengenai nilai-nilai / aturan bermasyarakat (have to) dan Manajemen Risiko : Pilihan untuk mengurangi risiko (choose to). Dalam bidang perumahsakitan "Hospital ByLaws" adalah merupakan "Manjemen Risiko", sekaligus juga merupakan "Manajemen Konflik". "Hospital By-Laws" ini dibangun dari sumber-sumber hukum dan etik (modal), yang memuat berbagai aturan-aturan (rules & regulations) intern dalam rumah sakit, dengan tujuan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya berbagai risiko dan konflik, baik di bidang administratif,maupun di pelayanan medik dan perawatan. "Hospital By-Laws" ini terjadi dua komponen, ialah : 1) Komponen Administratif, yaitu yang memuat peraturanperaturan mengenai Pembagian Tugas, Kewajiban, Kewenangan dan Tanggung Jawab antara Pemilik Rumah Sakit, Dewan Penyatun/Dewan Pembina (Governing Board / board of Trustees), dan Pimpinan Eksekutif Rumah Sakit, serta pengaturan hubungan diantara satu sama lainnya. 2) Komponen Staf Medik, yaitu yang memuat peraturanperaturan mengenai Tugas /Kewajiban, Kewenangan dan Yanggung Jawab tenagatenaga medik (yang didukung tenega-tenaga profesi lainnya) di rumah sakit, serta mengatur hubungan satu sama lain dan hubungannya dengan Komponen Administrasi Rumah Sakit. 3. Tumpang tindih pengaturan menyebabkan dasar gugatan menjadi kabur 13
Penyusunan Hospital By-Laws yang sesuai untuk Indonesia, Seminar ”Konflik Etik Legal dan Sengketa Medik di rumah Sakit, Tanggal 26 – 27 Mei 2000, di Jakarta.
42
Untuk dapat melihat apakah para Tergugat tersebut dapat dipersalahkan atau menjadi pihak yang bertanggung jawab atas ”dugaan” malpraktek tersebut, dan terkait dengan analisis tersebut di atas, maka kita perlu melihat apakah dalam kasus tersebut, meman benar-benar terjadi dugaan malpraktek atau tidak. Jika kita melihat pada dalil-dalil Penggugat dan dalil-dalil Penggugat yang telah dikoreksi pada salinan putusan ini, terdapat ketidakmustahilan pada kasus tersebut. Dimana akan sangat tidak mungkin, Tergugat I dan Tergugat II dapat dipersalahkan sengan perbuatan malpraktek, jika hanya karena obat tetes mata yang diberikan oleh Tergugat II atas permintaan Tergugat I dapat menyebabkan isteri Penggugat mengalami pendarahan pada batang otak. Di dalam dunia kedokteran, pemberian obat tetes mata tidak akan berpengaruh pada batang otak, kalaupun obat yang diteteskan tersebut tidak dianjurkan untuk mata, ataupun obat keras terhadap mata, maka akan menyebabkan rusaknya sel-sel yang ada pada mata saja, yang akibatnya akan menimbulkan kebutaan saja. Setelah melihat pada sejarah penyakit isteri Penggugat, dapat kita lihat, bahwa serangan stroke sangat besar berpengaruh pada pendarahan batang otak isteri korban. Hal ini pun diakui oleh keluarga korban dan saksi, bahwa sebelum isteri Penggugat menjalani operasi isteri Penggugat sedang menjani terapi penyembuhan atas penyakit strokenya. Dengan demikian, akan sangat beralasan jika Majelis Hakim tidak menerima gugatan dari Penggugat, karena dasar Perbuatan Melawan Hukum tidak terbukti terhadap perbuatan Tergugat I dan Tergugat II, bukan karena bertumpang-tindihnya peraturan, antara Pasal 1365 KUHPerdata dan Pasal 1367 KUHPerdata yang menjadi dasar gugatan itu merupakan peraturan umum yang dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum, sedangkan di sisi lainnya juga mendasarkan suatu perbuatan pelanggaran dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UndangUndang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Akan lebih tepat, jika gugatan tersebut selain didasarkan kepada Pasal 1365 jungto Pasal
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
MEDICINUS · Vol. 3 No. 1 Februari 2009 – Mei 2009 Dalam hal tanggung jawab Personalia, terdapat doktrin hubungan majikan-karyawan (Vicarious Liability), Respondeat Superior, Let the Master Answe). Yang perumusan yuridisnya tercantum dalam pasal 1367 junto 1365, 1366 KUH perdata. Namun perkembangan hukum kedokteran di luar negeri, baik di negara anglosaxon maupun Eropa Kontinental sudah menjurus ke arah tanggung jawab badan hukum (corporate Liability). Berdasarkan doktrin tersebut di atas, sebuah rumah sakit hanya bertanggung jawab terhadap tindakan negara organik atau Employee yang mempunyai hubungan kerja dengan rumah sakit. 11 Sementara itu yang berkaitan dengan kewajiban memberikan layanan yang baik atau (duty of due care) yaitu berkaitan dengan mutu. Mutu dalam arti luas dan mencakup segala komponen yang dipergunakan dalam memberikan pelayanan tersebut. Kewajiban ini tidak bisa terlepas dan saling kait mengkait dengan butir-butir sebelumnya. Yaitu tanggung jawab hukum Rumah Sakti trhadap personalia dan sarana. Dalam kaitan dengan tenaga dokter maka adalah kewajiban seorang Direktur rumah sakit untuk sebelum menerima tenaga medik tersebut harus menyeleksi dan memeriksa riwayatnya. Bahkan sesudahnya ia harus mengontrol dan memberhentikan tenaga Dokter yang membahayakan pasiennya. Fred Ameln12 membagi ikatan kerja dokter dengan rumah sakit dalam 2 golongan, yaitu dokter-in dan dokter –out. Dokter in adalah dokter yang bekerja penuah waktu, diangkat sebagai staf rumah sakit, serta mendapat gaji tetap dan segala hak-hak dan kewajiban lain sebagaimana karyawan lainnya. Untuk dokter ini pihak rumah sakit dapat dituntut untuk ikut bertanggung jawab jika terjadi tuntutan akibat kelalaian dokter sesuai dengan prinsip respondeat superior. Sementara dokter-out adalah dokter yang bukan pegawai rumah sakit, bertindak sebagai dokter tamu yang 11
Guwandi, Siapa Bertanggung Jawab Yuridis: Dokter, Rumah Sakti atau Pasien?, Diskusi Panel Hubungan Kerja Dokter-Rumah Sakii dalam kaitannya dengan tanggung jawab Hukum, Jakarta, 3 Desember 1994. 12 Fred Ameln, Tanggung Jawab Hukum, Dokter dan Perawat Dalam Rumah Sakit, Temu Ilmiah Hukum Kedokteran Dalam Rangka Dies Natalis Universitas Indonesia 13 Februari 1990.
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
menentapkan sendiri tarif jasanya sehingga dalam hal tindakannnya itu, ia bertanggung jawab sendiri. Sifat hubungan kerja antara rumah sakit dengan dokter out ada 2 macam: 1. dokter bertindak sebagai kontraktor yang diserahi tanggung jawab mengobati pasien rumah sakit sehingga muncul hubungan kontraktual terapeutic yang terjadi hanyalah antara pasien dengan rumah sakit. 2. dokter bertindak sebagai dokter tamu yang memperlakukan sebagai pasien pribadinya. Dengan demikian, tidak perlu lagi dipermasalahkan apakah RS H tersebut sebagai badan usaha yang diselenggarakan oleh (PT. SRA) atau tidak, yang dalam hal ini perlu kita kaji kembali pertimbanganpertimbangan hukum dari Majelis Hakin Pengadilan Negeri Tangerang, yang mempermasalahkan bahwa gugatan Penggugat tersebut tidak diterima, karena gugatannya seharusnya ditujukan kepada (PT. SRA). Di Indonesia, rumah sakit dibangun melalui 2 pilar, yaitu hukum dan etik. Hukum di Indonesia bersumber dari Pancasila dan UUD1945, berbagai Undang-Undang lainnya khususnya UU No.23, Tahun 1992 tentang Kesehatan, SK-SK Menkes, PP, dll. Sedangkan pilar Etik bersumber dari kebijaksanaan organisasi profesi, standar profesi, dan kode etik profesi. Sebagai sumber utama dari pilar Etik ini adalah Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI) bersama Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI), adalah merupakan "Kewajiban –kewajiban moral yang harus ditaati oleh setiap rumah sakit (sebagai satu lembaga) dalam menjalankan tugas memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di Indonesia". yang selanjutnya kewajiban-kewajiban moral lembaga ii harus diterjemahkan menjadi "Rangkuman nilainilai moral untuk dijadikan pegangan dan pedoman bagi para insan perumahsakitan di Indonesia dalam hal penyelenggaraan, dan pengoperasian rumah sakit di Indonesia".
41
KASUS MALPRAKTEK karena kesalahan dalam gugatan perbuatan melangar hukum, adalah termasuk perbuatan orang-orang yang berada di bawah pengawasannya. Dimana berdasarkan pasal tersebut, yang seharusnya digugat adalah pemerintah Cq. Rumah Sakit. Hal ini didasarkan pada teori yang dikenal dengan teori ”hubungan majikan dengan buruh” atau yang dikenal dengan istilah doktrin respondeat superior, dimana antara rumah sakit dan dokter tersebut terdapat suatu hubungan kerja yang diatur dalam Pasal 1367 KUHPerdata. Penerapan doktrin ini mempunyai dua tujuan, yaitu9: 1. adanya jaminan bahwa ganti rugi dibayar pada pasien yang menderita kerugian akibat tindakan medis dokter; 2. hukum dan keadilan menghendaki sikap kehati-hatian dari dokter. Dua kasus tersebut mempunyai kemiripan, yang menjadi persoalan adalah sampai dimana pasien yang menjadi korban akan mendapatkan keadilan? Jikalau dalam perkara nomor 188/2005 PN.TNG, Majelis Hakim menggunakan yurisprudensi tersebut, bagaimana dengan Tergugat III (rumah sakit honoris)?. 2. Hubungan hukum antara dokter dan rumah sakit Sampai saat ini, paling tidak tercatat 387 kasus dugaan malapraktik di Indonesia10. Dari jumlah tersebut hanya 10 persen yang bisa diproses secara hukum. Anehnya, sampai kini belum ada pasien korban malapraktik yang dimenangkan di pengadilan. Bahkan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran (salah satunya adalah kasus perkara nomor 188/2005 PN.TNG), Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah Supari memerintahkan untuk segera diperiksa sambil menunggu terbentuknya Majelis Kehormatan Disiplin Kedokeran Indonesia (MKDI). Menkes menjelaskan bahwa berdasarkan laporan yang ada sedikitnya terdapat empat kasus dugaan 9
Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medik, Airlangga Press, Surabaya, 1984, hal. 34. 10 Upaya Lindungi Pasien dari kasus malpraktek, http://www.sinarharapan.co.id/berita /0512/19/lipsus01.html
40
malapraktik dokter yang mulai diselidiki. Kasus malpraktik itu, yakni kasus yang menimpa Sisi CK Chalik, kasus almarhum Adya Vitry Hadisusanti, kasus Sellywayin Carolin Lubis dan kasus Syintia AN. “Sudah seharusnya kasus-kasus tersebut mulai dibuka dan dipelajari untuk memastikan apakah malapraktik terjadi pada setiap kasus itu,” tegasnya. Kasus Sisi CK Chalik adalah kasus salah operasi mioma yang mengakibatkan perut bolong dan mengeluarkan kotoran lewat lubang di perut. Korban adalah pasien di Rumah Sakit Ibu dan Anak Budi Jaya di Jalan Sahardjo No 120, Jakarta Selatan pada 2002. Sedangkan, kasus almarhum Adya Vitry Hadisusanti adalah kasus terlambat operasi mioma di Rumah Sakit PMI Bogor, Jawa Barat dan kesalahan pemasangan Central Vena Preassure (CVP) yang menyebabkan kematian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta Pusat pada 2002. Lainnya, kasus Sellywayin Carolin Lubis, anak dari Darwis Lubis adalah kasus kesalahan operasi pemasangan pen dipunggung dan menyebabkan cacat di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan pada 2000. Kasus Syintia AN anak dari Ari Djuhara yang salah diberi obat menyebabkan bisu, tuli dan lumpuh di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta Timur. Pertanyaannya adalah siapa yang bertanggung jawab? Dokter atau Rumah Sakit? Pada hakekatnya rumah sakit adalah sebuah organisasi yang dibuat oleh badan hukum (yayasan, perkumpulan, PT, atau badan hukum lain). Salah satu prinsip organisasi adalah prinsip authority, yaitu bahwa di dalam organisasi manapun harus ada pucuk pimpinan yang memikul tanggung jawab tertinggi, harus ada batas wewenang yang tegas mulai dari yang tertinggi sampai setiap orang di kelompok organisasi tersebut. Di dalam sebuah rumah sakit, otoritas tertinggi adalah CEO yang juga disebut sebagai Direktur/Kepala Rumah Sakit. Namun tanggung jawab hukum (Legal Liability) pada instansi terakhir adalah tetap di pundak pemilik (Badan Hukum-nya). Tanggung jawab yuridis rumah sakit mencakup 3 bidang yaitu, Personalia; sarana dan peralatan medik; kewajiban memberikan pelayanan yang baik.
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
MEDICINUS · Vol. 3 No. 1 Februari 2009 – Mei 2009 I dan Tergugat II dalam menangani isteri Penggugat sudah tepat dan mendasar. Persoalan selanjutnya adalah bagaimana merumuskan ketidakhati-hatian dan ketidaktelitian Tergugat I dan II tersebut, menjadi suatu pertanggungjawaban karena kesalahan (fault liability), yang harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1. Setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. 2. Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kekuranghati-hatiannya. 3. Setiap orang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabakan karena perbuatan orang-orang yang berada dibawah tanggungjawabnya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Bertitik tolak pada ketiga prinsip ini, dapat disimpulkan bahwa kesalahan berdasarkan perbuatan melanggar hukum melahirkan pertanggungjawaban hukum, baik terhadap perbuatannya sendiri maupun terhadap perbuatan orang yang berada di bawah pengawasannya. Namun, untuk mengajukan gugatan berdasarkan PMH, harus dipenuhi 4 syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, yaitu: 1) Pasien harus mengalami suatu kerugian; 2) ada kesalahan; 3) ada hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian; dan 4) perbuatan itu melawan hukum. Dalam arti, bahwa untuk melihat suatu gugatan yang didasarkan dengan PMH, maka pembuktiannya adalah adanya hubungan kausal antara kesalahan dan kerugian yang diserita oleh pasien. Dalam hal ini dikenal adanya 2 ajaran pokok, yaitu7: 1. Teori Conditio Sine Qua Non. Penerapan teori ini menyebabkan pertanggungjawaban menurut Pasal 1365 7
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan: Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hal. 67.
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
KUHPerdata, menjadi sangat diperluas, karena perbuatan yang jauh hubungannya dengan akibat yang timbul, harus dianggap juga sebagai sebab. 2. Adequate Theorie. Teori ini dikembangkan oleh von Kries dan mempunyai pengertian sebagai berikut: a. suatu kerugian hanya merupakan akibat dari perbuatan melanggar hukum, kalau kerugian tersebut menurut akal manusia yang sehat dapat diharapkan merupakan suatu akibat dari perbuatan melanggar hukum tersebut. b. Kerugian tersebut merupakan akibat dari perbuatan melangar huikum yang dapat diduga semula. a. Kerugian tersebut menurut pengalaman dapat diharapkan merupakan akibat perbuatan melanggar hukum. Dalam praktek, pembuktian adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian menurut ajaran teori conditio sine qua non tidak dapat diterapkan secara sempurna, tetapi hanya disimpulkan sebagai the must possible cause yaitu, sebab yang paling mungkin. Sebaliknya, dalam adequate theorie yang bertujuan memberi pembatasan pada pertanggungjawaban, telah diterima oleh Hoge Raad sejak tahun 1927. Dalam sebuah kasus yang terjadi di Pengadilan Negeri Sukabumi8, dimana Ayah Muhidin Sukendar, melakukan gugatan atas seorang dokter mata yang melakukan operasi tanpa seizin Penggugat selaku ayah korban. Putusan Pengadilan Negeri menyatakan ”Gugatan tidak dapat diterima”. Dasar pertimbangan hukumnya, bahwa Tergugat bertugas sebagai direktur rumah sakit umum dan juga sebagai dokter mata pada rumah sakit yang bersangkutan, maka segala perbuatan dokter tersebut dilakukan dalam rangka tugas kedinasannya, sehingga segala akibat yang timbul tidak dapat dibebankan kepada direktur tersebut secara pribadi. Putusan Pengadilan Negeri Sukabumi tersebut mirip dengan Putusan Pengadilan Negeri Tangerang, No. 188/2005, yaitu menggunakan Pasal 1367, yaitu salah satu prinsip pertanggungjawaban 8
Ibid, hal 71.
39
KASUS MALPRAKTEK wanprestasi yang dimaksud telah terjadi pada pihak dokternya.
Dalam kasus tersebut, Penggugat telah mendasarkan gugatannya terhadap Para Tergugat dengan dasar Perbuatan Melawan Hukum, seperti yang telah disebutkan di atas, yaitu Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III, dengan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1) Tergugat I dan II telah melakukan kesalahan dalam menangani tindakan medis terhadap isteri Penggugat; 2) Tergugat I dan II tidak menjalankan seluruh peraturan yang ada mengenai standar profesi medis, dimana sudah menjadi kewajiban bagi seorang dokter atau penyelenggara kesehatan untuk memberitahukan kepada seseorang pasien atau/keluarga pasien tentang dampak dari dilakukannya sesuatu tindakan medis terhadap medis; dan 3) Tergugat I, II dan III telah melanggar PATIHA, yakni tindakan kehati-hatian dan tidak teliti dalam melakukan tindakan medis, perawatan maupun pengobatan terhadap isteri Penggugat.
yang menjadi acuannya adalah standarstandar dan prosedur profesi medik di dalam melakukan suatu tindakan medik tertentu, yaitu Kode Etik dan Sumpah Dokter yang dengan tegas telah mengatur pelbagai kewajiban tersebut. Bab I dan Bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia yang mengatur tentang kewajiban umum dan kewajiban dokter terhadap penderita menyebutkan antara lain: - seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran yang tertinggi (ayat 2) - dalam melakukan pekerjaan kedokterannya seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi (ayat 3) - tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan makhluk insani, baik jasmani maupun rohani hanya diberikan untuk kepentingan penderita (ayat 5) - serta seorang dokter hanya memberikan keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan kebenarannya (ayat 7) - setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup makhluk insani (ayat 10) - setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan penderita (ayat 11) - dalam hal ia tidak mampu melakukan sesuatu pemeriksaan atau pengobatan, maka ia wajib merujuk penderita kepada dokter lain yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut (ayat 12) - setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia (ayat 13) - setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu untuk memberikannya (ayat 14)
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apa yang dimaksud dengan ketidakhati-hatian atau ketidaktelitian?,
Dengan demikian, dasar gugatan pihak Penggugat yang memasukkan unsur-unsur ketidakhati-hatian dan ketidaktelitian Tergugat
b. Undang-undang (ius delicto) Di dalam KUHPerdata, selain gugatan mendasarkan pada wanprestasi, juga dapat mendasarkan pada perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), yang diatur dalam Pasal 1365. Dalam Arrest Hoge Raad, 31 Januari 1919 telah merumuskan perbuatan melanggar hukum, ”dat onder onrechtmatige daad is te verstaan een handelen of nalaten, dat of inbreuk maakt op eens anders recht, of in strijd is met des daders rechtsplicht of indruist, hetzij tegen de goede zaden, hetzij tegen de zorgvuldigheid, welke in het maatschappelijk verkeer betaamt ten aanzien van een anders persoon of goed” (sebagai suatu tindakan atau non-tindakan yang atau bertentangan dengan kewajiban sipelaku, atau bertentangan dengan susila baik, atau kurang hati-hati dan ketelitian yang seharusnya dilakukan di dalam masyarakat terhadap seseorang atau barang orang lain).
38
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
MEDICINUS · Vol. 3 No. 1 Februari 2009 – Mei 2009 Dalam praktek kedokteran di Indonesia, terdapat hubungan perikatan untuk penanganan penyakit (behandelingsovereenkomst). Terdapat 4 jenis hubungan perikatan, yaitu: 1. Rumah Sakit dengan Perawat yang diatur dengan Perjanjian Kerja (arbeidsovereenkomst), Pasal 1601 KUHPerdata. 2. Dokter Spesialis dengan rumah Sakit yang diatur dengan toelatingscontract 3. Dokter Spesialis dengan pasien yang diatur dengan behandelingsovereenkomst 4. Pasien dengan Rumah Sakit yang diatur dengan verzorgingsovereenkomst Secara yuridis, timbulnya hubungan antara dokter dan pasien bisa berdasarkan 2 hal, yaitu: a. Perjanjian (ius contractul) Timbulnya hubungan hukum antara dokter-pasien berdasarkan perjanjian mullai trejadi saat seorang pasien datang ke tempat dokter atau ke rumah sakit dan dimulainya anamnesa dan pemeriksaan oleh dokter. Seorang dokter tidak bisa menjamin bahwa ia pasti akan dapat menyembuhkan penyakit pasiennya, karena hasil suatu pengobatan sangat tergantung kepada banyak faktor-faktor yang berkaitan (usia, tingkat keseriusan penyakitnya, macam penyakit yang diderita, komplikasi, dan lain-lain). Dengan demikian, maka perjanjian antara dokter-pasien itu secara yuridis dimasukkan ke dalam golongan ”perjanjian berusaha sebaik mungkin” (inspanningsverbintenis). Namun, hal ini tidaklah berarti bahwa dokter itu boleh berbuat sesuka hatinya dalam menjalankan profesinya dan hal itu harus berdasarkan standar profesi medik yang berlaku. Dari seorang dokter dapat disyaratkan bahwa ia didalam melakukan suatu tindakan medik harus: bertindak dengan hati-hati dan teliti; berdasarkan indikasi medik; tindakan yang dilakukan berdasarkan standar profesi medik; dan adanya persetujuan pasien (informed consent). Sehingga jika seorang dokter (1) tidak melakukan, (2) salah melakukan, atau 93) terlambat melakukan, sehingga sampai menimbulkan kerugian/cedera kepada pasien, maka ia dapat dituntut
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
berdasarkan wanprestasi seperti tercantum di dalam KUHPerdata, Pasal 1243, yaitu: ”Penggantian dari biaya, kerugian dan bunga yang timbul karena tidak dipenuhinya suatu perjanjian hanya dapat dituntut, apabila siberhutang sesudah ditagih, tetap lalai tidak memenuhi kewajibannya, atau apabila siberhutang wajib memberi atau melakukan sesuatu, hanya dapat memberikan atau melakukan dalam jangka waktu tertentu, dan waktu mana telah dilampauinya.” Dalam hal kasus tersebut di atas, Penggugat dapat melakukan gugatan atas dasar wanprestasi yang dilakukan oleh Tergugat I, hal ini dapat dibuktikan dari ketarangan saksi MA. RP, yang memberikan keterangan sebagai berikut: bahwa percaya dengan penjelasan dari Tergugat I, saksi dan keluarga menyetujui ibu saksi untuk dilakukan operasi katarak dibagian mata dan pada hari itu tanggal 25 Mei 2005 jam 11.00 WIB dilakukan operasi katarak. Selain itu, Tergugat I juga mengatakan kepada isteri Penggugat beserta keluarganya, bahwa isteri Penggugat layak untuk menjalani operasi katarak. Dari sini, secara tersirat sudah dapat diketahui telah terjadi perjanjian antara dokter dan pasien. Prinsip ini juga dianut dalam sistem hukum Anglo Saxon, dikatakan suatu wanprestasi (breach of contract) jika seorang dokter telah menyanggupi atau menjamin akan kesembuhan pasiennya, namun kemudian ternyata telah gagal. Di dalam hal kesanggupan semacam ini, maka secara yuridis dikatakan telah terjadi suatu kontrak atau perjanjian akan tercapainya suatu hasil tertentu. Negara kontinental menamakannya suatu perjanjian hasil (resultaatsverbintenis). Di dalam perjanjian hasil semacam ini, maka seolah-olah telah terjadi suatu kontrak di dalam mana dijanjikan suatu hasil khusus akan tercapai dari tindakan medik dokter tersebut. Jika gagal, maka unsur
37
KASUS MALPRAKTEK Kerugian materiil Rp.500.000.000,(lima ratus juta rupiah). Kerugian immateriil Rp. 3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah). Sehingga totalnya Rp. 3.500.000.000,- (tiga milyar lima ratus rupiah) 4. Mengajukan permohonan maaf yang harus dimuat pada 4 media cetak nasional dan 2 media cetak internasional serta disiarkan pula melalui 3 media elektronik selama 3 kali penerbitan dan penayangan. 5. Menyatakan putusan hakim dapat dijalankan lebih dahulu walaupun ada verzet, banding maupun kasasi. Putusan Hakim : 1. Dalam Kompensi : Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima; dan Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 354.000,- (taga ratus lima puluh empat ribu rupiah) 2. Dalam Rekonpensi : Menyatakan gugatan Para Penggugat Rekonpensi tidak dapat diterima; dan Menghukum Para Penggugat Rekonpensi untuk membayar biaya perkara sebesar Nihil. Atas putusan majelis hakim tersebut, pertimbangan-pertimbangan hukumnya antara lain, bahwa Majelis Hakim mempelajari gugatan Penggugat ternyata Penggugat mendasarkan bukan hanya kepada Pasal 1365 KUHPerdata dan Pasal 1367 KUHPerdata, melainkan gugatan juga didasarkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pasal 1365 KUHPerdata dan Pasal 1367 KUHPerdata merupakan peraturan umum untuk menggugat suatu perbuatan yang dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum, karena terdapat pertanggujawab langsung dan pertanggungjawab antara atasan dan bawahan. Sementara suatu perbuatan pelanggaran yang didasarkan atas UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 dan UndangUndang Nomor 23 Tahun 1992 merupakan pelanggaran hukum khusus yang diatur di dalam Undang-undang yang bersangkutan. Oleh karena gugatan Penggugat yang mendasarkan gugatannya dengan Pasal 1365 KUHPerdata, Pasal 1367 KUHPerdata, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan
36
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 adalah tidak tepat karena Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tidak dapat digabungkan dengan Pasal 1365 KUHPerdata dan Pasal 1367 KUHPerdata di dalam suatu gugatan, sehingga dasar gugatan menjadi kabur. Menambahkan pihak yang tersengketa, yaitu (dr. H) sebagai pihak Tergugat untuk ikut digugat dalam sengketa ini, hal ini dikarenakan (dr. H) adalah dokter yang merawat isteri Penggugat selama masa pemeriksaan penyakit stroke, sehingga apabila (dr. H) ikut digugat dalam perkara ini akan terang pengungkapan penanganan/pengobatan isteri Penggugat yang bermasalah. Bahwa RS H sebagai badan usaha yang diselenggarakan oleh (PT. SRA), maka dalam perkara ini, (PT. SRA) harus ikut digugat berhubung dengan kedudukannya sebagai penyelenggara rumah sakit ikut bertanggung jawab secara hukum dalam perbuatan RS H. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan trsebut maka gugatan Penggugat terdapat sejumlah kekurangan atau ketidaktepatan dalam menyusun surat gugatan, sehingga tidak mungkin Majelis Hakim akan mempertimbangkan pokok perkaranya. PEMBAHASAN Pada kasus No. 188/PDT.G/2005/PN.TNG, menarik untuk diberikan komentar hukum, karena baik Penggugat maupun Para Tergugat sama-sama memberikan dalil-dalil yang dalam keyakinannya adalah benar dan dapat dibuktikan. Namun kembali lagi pada persoalan awal, siapa yang harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh korban?, adakah unsur-unsur kelalaian yang mengakibatkan seseorang dapat dikenakan dengan perbuatan melawan hukum? Ataukah karena posisi yang tidak seimbang antara pasien di satu sisi dengan penyelenggara kesehatan di sisi lain, menyebabkan setiap terjadi kerugian yang muncul dalam setiap penyelenggaraan kesehatan tidak dapat diselesaikan melalui proses hukum? Hal-hal yang dapat kami berikan komentar-komentar terhadap Putusan ini, adalah antara lain : 1. Dasar gugatan mendasar pada hubungan hukum dokter dengan pasien
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
MEDICINUS · Vol. 3 No. 1 Februari 2009 – Mei 2009 tanggal 20 Maret 2004 – tanggal 28 Maret 2004 karena menderita penyakit stroke. Pada tanggal 13 Maret 2005 bukan pertama kali isteri Penggugat memeriksakan matanya ke Tergugat I di tempat Tergugat III. Pada tanggal 21 Mei 2005, isteri Penggugat telah dikonsultkan oleh dokter syaraf untuk memeriksakan matanya pada Tergugat I. Juga setahun sebelumnya, 17 April 2004, isteri Penggugat juga sudah dikonsultkan oleh dokter syaraf yaitu (dr. H.P., Sp.S), untuk memeriksakan matanya pada Tergugat I. Yang menginginkan operasi katarak adalah isteri Penggugat sendiri karena akan menikahkan puterinya, hal ini juga diketahui oleh Penggugat beserta anak-anaknya. Perkataan ”layak” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah berarti patut, pantas, dengan demikian isteri Penggugat layak untuk dilakukan operasi bukan berarti Tergugat I menyuruh isteri Penggugat untuk melakukan operasi. Tergugat I sama sekali tidak pernah memberikan obat tetes mata kepada isteri Penggugat, karena Tergugat II bukan merupakan tim dokter yang akan melakukan operasi katarak trehadap isteri Penggugat. Selain itu, Tergugat II dipanggil oleh perawat untuk menolong isteri Penggugat yang pada saat itu diruang persiapan operasi katarak tibatiba mengalami muntah-muntah, saat itu Tergugat II sedang menangani pasien di ruang operasi lain yang letaknya berdekatan dengan ruang persiapan operasi katarak isteri Penggugat. Tindakan yang dilakukan oleh Tergugat II adalah memberikan obat sakit lambung untuk mengatasi muntah-muntah yang terjadi pada isteri Penggugat. Fakta yang terjadi di ruang operasi adalah pukul 13.30 WIB, kondisi isteri Penggugat sudah tidak sadarkan diri dan tidak bereaksi lagi pada saat isteri Penggugat akan dipindahkan oleh perawat ke meja operasi. Melihat keadaan isteri Penggugat yang tidak sadarkan diri tersebut, Tergugat I langsung menyuruh perawat untuk memanggil Tergugat II kembali (dokter anastesi), di tempat Tergugat III, karena Tergugat II lah yang dapat melakukan tindakan penyelamatan / emergency (live saving) terhadap isteri Penggugat.
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
Setelah keadaan isteri Penggugat disampaikan kepada Penggugat beserta keluarganya, dan atas persetujuan Penggugat eserta keluarganya pula, maka terhadap isteri Penggugat dilakukan pemeriksaaan CT-SCAN dan hasil dari CT-SCAN tersebut diketahui isteri Penggugat mengalami pendarahan di batang otak. Pendarahan yang dialami oleh isteri Penggugat ini adalah merupakan yang kedua kalinya sebelum menjalani operasi katarak yang diakibatkan oleh serangan stroke. Serangan stroke tidak bisa dicegah dan dapat menyerang siapa saja secara tiba-tiba. Dengan demikian, pendarahan batang otak yang dialami oleh isteri Penggugat tersebut bukan dikarenakan oleh tindakan medik yang dilakukan oleh Tergugat II atas perintah Tergugat I yang berupa pemberian obat tetes mata yang diberikan di ruangan operasi di tempat Tergugat III dan bukan terjadi saat operasi katarak, karena isteri Penggugat belum dilakukan operasi katarak. Dimana, pendarahan batang otak yang dialami oleh isteri Penggugat tersebut dikarenakan akibat serangan stroke yang kedua. Dengan demikian, Para Tergugat menolak dengan tegas dalil Penggugat, yang menggugat Para Tergugat dengan unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum, karena perbuatan Para Tergugat Konvensi telah sesuai dengan prosedur dan tidak menyimpang dari standar profesi kedokteran. Dalam Rekonvensi6 1. Mengabulkan seluruh gugatan Para Penggugat Rekonpensi; 2. Menyatakan Tergugat Rekonpensi telah melakukan perbuatan melawan hukum; 3. Menghukum Tergugat Rekonpensi untuk membayar kerugian materiil dan immateriil secara tunai dan sekaligus kepada Para Penggugat Rekonpensi sejak putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu:
6
Reconventie (Bld), gugatan balasan. Dalam hal seseorang mendapat gugatan iapun berhak memasukkan atau mengajukan gugatan balasan atau gugatan melawan; gugatan aseli yang telah diajukan ke Pengadilan kepada pihak mungkin akan mengadukan gugatan balasan itu dinamakan: Conventie.
35
KASUS MALPRAKTEK tersebut diketahui bahwa isteri Penggugat mengalami pendarahan di kepala. Akibatnya isteri Penggugat harus menjalani operasi pada batang otak, akan tetapi operasi yang dilakukan itu juga tidak membawa perubahan yang berarti, yaitu sampai sekarang isteri Penggugat tidak sadarkan diri (koma) sampai sekarang ditempat Tergugat III. Oleh sebab itu, Penggugat melakukan gugatan terhadap Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III atas dasar Perbuatan Melawan Hukum, yaitu Pasal 1365 KUH Perdata. Dengan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: a. Tergugat I dan II telah melakukan kesalahan dalam menangani tindakan medis terhadap isteri Penggugat; b. Akibat dari kesalahan Tergugat I dan II menyebabkan isteri Penggugat harus menjalani tindakan medik berikutnya, yaitu operasi terhadap batang otak isteri Penggugat. Dalam hal ini, Tergugat I dan II tidak menjalankan seluruh peraturan yang ada mengenai standar profesi medis, dimana sudah menjadi kewajiban bagi seorang dokter atau penyelenggara kesehatan untuk memberitahukan kepada seseorang pasien atau/keluarga pasien tentang dampak dari dilakukannya sesuatu tindakan medis terhadap medis; c. Sampai sekarang isteri Penggugat masih tidak sadarkan diri ditempat Tergugat III; d. Tergugat I, II dan III telah melanggar PATIHA, yakni tindakan kehati-hatian dan tidak teliti dalam melakukan tindakan medis, perawatan maupun pengobatan terhadap isteri Penggugat. Juncto pada Pasal 1367 KUH Perdata yang mengatur tentang pertanggung jawaban majikan atas perbuatan yang merugikan yang dilakukan oleh karyawannya. Bahkan majikan turut bertanggung jawab atas perbuatan yang merupakan yang dilakukan karyawannya. Bahwa melihat pada bentuk hubungan hukum antara Tergugat I, II dan III dapat dipandang sebagai suatu hubungan hukum antara majikan dengan karyawannya. Maka doktrin Vicarious Liability Let The Men Answer, in Casu dapat diterapkan dalam hubungan Tergugat I, II dan III. Gugatan Penggugat antara lain adalah (Primair) : a. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat
34
b. Menyatakan Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat V telah melakukan perbuatan melawan hukum. c. Menyatakan perbuatan Tergugat I sampai Tergugat V telah menimbulkan kerugian, baik kerugian materiil, yaitu hilangnya uang Penggugat untuk membiayai pengobatan isteri Penggugat sebagai akibat dari perbuatan Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dan tidak terlaksananya fungsi Tergugat IV dan Tergugat V yang apabila dijumlahkan sebesar Rp. 129.909.893,- (seratus dua puluh sembilan juta sembilan ratus sembilan ribu delapan ratus sembilan puluh tiga rupiah). Kerugian non materiil, yang apabila dijumlahkan sebesar Rp. 3.008.200.000,(tiga milyar delapan juta dua ratus ribu rupiah). d. Apabila dijumlahkan keduanya materiil dan immateriil), sebesar Rp. 3.138.019.893,- (tiga milyarseratus tiga puluh delapan juta sembilan belas ribu delapan ratus sembilan puluh tiga rupiah). e. Membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) setiap harinya atas keterlambatan memenuhi isi putusan terhitung sejak putusan ini dibacakan. f. Meletakkan sita jaminan (conservatoir beslaag). g. Memerintahkan Tergugat IV untuk mencabut izin praktek Tergugat I dan Tergugat II dan mencabut izin operasional dari Tergugat III. h. Menghukum dan merintahkan Tergugat I sampai V untuk meminta maaf kepada Penggugat melalui 2 (dua) Harian Nasional dan 3 (tiga) Stasiun Televisi Nasional dengan forma yang ditentukan oleh Penggugat. i. Putusan dapat dilaksanakan walaupun ada verzet, banding maupun kasasi. Gugatan Penggugat Subsidair : mohon keadilan seadil-adilnya (Ex Aequo Et Bono). Dalam Konvensi5 Isteri Penggugat adalah pasian ditempat Tergugat III yang mendapat perawatan dari 5
Conventie (bld), berarti gugatan; tuntutan; konvensi. Istilah gugatan atau tuntutan dalam konventie sering kali diperlawankan dengan reconventie artinya gugatan atau tuntutan balasan.
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
MEDICINUS · Vol. 3 No. 1 Februari 2009 – Mei 2009 2. Kasus Siti Aisyah, 1985 (suntikan oleh bidan); 3. Kasus Andirani, 1986 (operasi mata sampai harus amputasi kaki); 4. Kasus Pluit (bedah plastik); dll Selain kasus-kasus tersebut, masih banyak kasus yang belum terungkap oleh mass media atau kasus tersebut belum sampai masuk ke tahap pemeriksaan di pengadilan. Sehubungan dengan adanya kelemahan pada undang-undang tersebut maka pemerintah pun sadar akan pentingnya kesehatan, sehingga dikeluarkan Undang-undang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Dimana Undangundang Kesehatan yang dibuat kemudian bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal salah satu caranya adalah dengan adanya perealsisasian dan penjabaran lebih lanjut mengenai peran masyarakat serta juga pemerintah yang ikut membantu upaya penggerakan pembiayaan dalam kesehatan. Namun pada kenyataannya hanya dengan Undang-undang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan saja tidak cukup, masih banyak terjadi kelalaian di bidang medik yang membawa korban, yang sering disebut sebagai malpraktik3. Dari data yang didapat di Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), dari periode 1998 sampai dengan 2003 saja sudah mampir
3
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi. Definisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (di sari pengertian dari kasus Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
sekitar 18 kasus4, sedangkan di Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan di Jakarta sudah 19 kasus yang jenisnya relatif sama yaitu malpraktik, antara priode 2001 sampai dengan 2004. Khusus di DKI Jakarta sendiri, MKEK DKI Jakarta mencatat, Januari 2001 – Desember 2002 terdapat 12 kasus dan Januari 2002 – Desember 2003 terdapat 6 kasus. Dari kasus-kasus tersebut, hampir tidak ada putusan pengadilan yang memenangkan masyarakat sebagai pihak korban dari malpraktek tersebut. Hal ini sering dikaitkan dengan dukungan Rumah Sakit dari tempat dokter atau perawat tersebut bekerja yang mempunyai kekuasaan serta dukungan dana yang kuat dibandingkan dengan kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat sebagai korban dari malpraktek itu sendiri. Dengan kata lain, apakah kasus tersebut dapat diselesaikan dengan memenuhi unsur-unsur rasa keadilan dalam masyarakat atau tidak, baiklah disini akan kami paparkan sebuah kasus malpraktek yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dengan Putusan Nomor 188/pdt.G/2005/PN.TNG. A. Posisi Kasus Pada tanggal 23 Mei 2005 istri Penggugat memeriksakan matanya ke Tergugat I (dokter mata) ditempat Tergugat III (Rumah Sakit). Diagnosa oleh Tergugat I, dinyatakan bahwa isteri Penggugat terkena Katarak dan layak untuk dioperasi pada tanggal 25 Mei 2005. Pada tanggal 25 Mei 2005 pukul 11.00 WIB memasuki ruang operasi dan menyatakan siap untuk menjalani operasi mata. Namun demikian, pada pukul 14.30 WIB Tergugat II (dokter anestasi) keluar dari ruang operasi dengan wajah memerah dan gugup dan megatakan kepada Penggugat, bahwa operasi tidak jadi dilaksanakan karena isteri Penggugat muntah dan tidak sadarkan diri setelah pemberian obat tetes mata yang dilakukan oleh Tergugat II atas perintah Tergugat I di ruang operasi empat Tergugat III. Tergugat II juga menyatakan kalau isteri Penggugat sempat henti nafas. Kemudian terhadap isteri Penggugat dilakukan CT-SCAN kepala dan dari hasil CT-SCAN 4
Legal Review, Jangan Ambil Hak Kami, No.23/TH II 31 Juli, 31 Agustus 2004: 15.
33
KASUS MALPRAKTEK DAFTAR PUSTAKA 1. Nasution BJ. Hukum Kesehatan: Pertanggungjawaban Dokter. Jakarta: Rineka Cipta. 2005. 2. Koeswadji HH. Hukum dan Masalah Medik. Surabaya: Airlangga Press. 1984. 3. Guwandi. Siapa Bertanggung Jawab Yuridis: Dokter, Rumah Sakti atau Pasien? Diskusi Panel Hubungan Kerja Dokter-Rumah Sakit dalam Kaitannya dengan Tanggung Jawab Hukum. Jakarta. 3 Desember 1994. 4. Hukum Medik. Fakultas Kedokteran UI. 2005. 5. Ameln F. Tanggung Jawab Hukum, Dokter dan Perawat Dalam Rumah Sakit. Temu Ilmiah Hukum Kedokteran Dalam Rangka Dies Natalis Universitas Indonesia 13 Februari 1990. 6. Penyusunan Hospital By-Laws yang Sesuai untuk Indonesia. Seminar ”Konflik Etik Legal dan Sengketa Medik di Rumah Sakit. Jakarta; 26 – 27 Mei 2000. 7. Legal Review. Jangan Ambil Hak Kami. No.23/TH II 31 Juli. 31 Agustus 2004. 8. Upaya Lindungi Pasien /0512/19/lipsus01.html
44
dari
Kasus
Malpraktek.
http://www.sinarharapan.co.id/berita
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN