PENDAHULUAN
Gerakan motorik halus mempunyai peranan yang sangat penting, motorik halus adalah gerakan yang hanya melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu yang dilakukan oleh otot-otot kecil saja. Oleh karena itu gerakan didalam motorik halus tidak membutuhkan tenaga akan tetapi membutuhkan koordinasi yang cermat serta teliti ( Guyton, 2007) Menurut Gunadi (2010) motorik halus adalah aktivitas motorik yang melibatkan aktivitas otot-otot kecil atau halus gerakan ini menuntut koordinasi mata dan tangan serta pengendalian gerak yang baik yang memungkinkannya melakukan ketepatan dan kecermatan dalam gerak. Wenar (1994) menjelaskan bahwa motorik halus adalah kemampuan anak dalam beraktivitas dengan menggunakan otot-otot halus (kecil) seperti menulis, meremas, menggenggam, menggambar, menyusun balok dan memasukkan kelereng. Sedangkan menurut Kartono (1995) motorik halus adalah ketangkasan, keterampilan, jari tangan dan pergelangan tangan serta penugasan terhadap otototot urat pada wajah. Pendapat lain yang dikemukakan oleh Davison dan Kring (2010) bahwa motorik halus adalah gerak yang hanya menggunakan otot-otot tertentu saja dan dilakukan oleh otot-otot kecil yang membutuhkan koordinasi gerak dan daya konsentrasi yang baik. Menurut Wenar (1994) motorik halus yaitu aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk melakukan gerakan pada bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan oleh otot–otot kecil tetapi memerlukan koordinasi yang cermat. Elizabeth B. Hurlock (2003) mengemukakan bahwa perkembangan motorik anak adalah suatu proses kematangan yang berhubungan dengan aspek deferensial bentuk atau fungsi termasuk perubahan sosial emosional. Proses motorik adalah gerakan yang langsung melibatkan otot untuk bergerak dan proses persyaratan yang menjadikan seseorang mampu menggerakkan anggota tubuhnya ( tangan, kaki, dan anggota tubuhnya). Berdasarkan kutipan-kutipan diatas, maka pengertian motorik halus adalah pengorganisasian penggunaan otot-otot kecil seperti jari-jemari dan tangan yang sering membutuhkan kecermatan koordinasi mata dan tangan.
11
Kartono (1995), mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik anak sebagai berikut: a. Faktor hereditas (warisan sejak lahir atau bawaan) b. Faktor lingkungan yang menguntungkan atau merugikan kematangan fungsifungsi organis dan fungsi psikis c. Aktivitas anak sebagai subyek bebas yang berkemauan, kemampuan, punya emosi serta mempunyai usaha untuk membangun diri sendiri. Dalam penelitian Puspitawati (1995) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kualitas perkembangan anak antara lain: faktor genetik, faktor kesehatan pada periode prenatal, faktor kesulitan dalam melahirkan, kesehatan dan gizi, rangsangan, perlindungan, prematur, kelainan, dan kebudayaan. Faktor-faktor yang mempengaruhi motorik halus tidak lepas dari sifat dasar genetik (organ otak) sebagai faktor internal yaitu semakin matangnya perkembangan sistem saraf otak yang mengatur otot memungkinkan berkembangnya kompetensi atau kemampuan motorik anak, serta keadaan pasca lahir sebagai faktor eksternal yang berhubungan dengan stimulasi, pola perilaku yang diberikan, dan pemberian gizi yang cukup (Santrock,2007). Tahapan perkembangan motorik halus anak dijelaskan menurut Samsudin (2008), sebagai berikut: a. Pada saat anak berusia tiga tahun Pada saat anak berusia tiga tahun kemampuan gerakan halus pada masa bayi. Meskipun anak pada saat ini sudah mampu menjumput benda dengan menggunakan jempol dan jari telunjuknya tetapi gerakan itu sendiri masih kikuk. b. Pada usia empat tahun Pada usia empat tahun koordinasi motorik halus anak secara substansial sudah mengalami kemajuan dan gerakannya sudah lebih cepat bahkan cenderung ingin sempurna. c. Pada usia lima tahun Pada usia lima tahun koordinasi motorik halus anak sudah lebih sempurna lagi tangan, lengan, dan tubuh bergerak dibawah koordinasi mata. Anak juga telah
12
mampu membuat dan melaksanakan kegiatan yang lebih majemuk, seperti kegiatan proyek. d. Pada akhir masa kanak-kanak usia enam tahun Perkembangan motorik halus anak usia ini ditekankan pada koordinasi gerakan motorik halus dalam hal ini berkaitan dengan kegiatan meletakkan atau memegang suatu objek dengan menggunakan jari tangan. Koordinasi gerakan motorik halus berkembang pesat. Pada masa ini anak telah mampu mengkoordinasikan gerakan motorik halus, seperti mengkoordinasikan gerakan mata dengan tangan, lengan, dan tubuh secara bersamaan,antara lain dapat dilihat pada waktu anak menulis atau menggambar. Ia telah belajar bagaimana menggunakan jari jemarinya dan pergelangan tangannya untuk menggerakkan ujung pensilnya. Proses perkembangan motorik halus menurut Yuniarni (2010) terdapat tiga tahap yang harus dilampaui untuk dapat mencapai pengintegrasian persepsi yang utuh, yaitu : a. Global perception, berlangsung sampai dengan usia 3 tahun. Pada tahap ini anak cenderung mengamati objek secara keseluruhan tanpa memperhatikan bagian-bagian atau detail. b. Analytic Perception, berlangsung mulai usia 4 sampai 5 tahun. Pada tahap ini anak lebih memperhatikan bagian (parts) daripada keseluruhan. c. Synthetic Perception, berlangsung mulai usia 9 tahun. Pada tahap ini anak mulai mampu mengintegrasikan bagian menjadi satu bentuk yang utuh. Usia 6 sampai dengan 8 tahun anak berada dalam masa peralihan dari analytic perception menuju synthetic perception. Seorang anak adakalanya mampu mempersepsi dengan baik, bahkan mampu mendeskripsikan suatu stimulus dengan sempurna, namun sesuatu yang dipersepsinya tersebut belum tentu dapat direproduksi atau disalin kembali. Menurut Puspitawati (1995), seorang anak
untuk
menyalin
sesuatu
yang
dipersepsikannya,
harus
mampu
menerjemahkannya ke dalam bentuk aktivitas motorik. Anak 6 tahun memiliki perkembangan motorik halus yang lebih meningkat . Tangan, lengan dan tubuh, semuanya bergerak bersama dibawah koordinasi mata.
13
Aspek pengembangan fisik untuk motorik halus meliputi (Musbikin, 2012): mencontoh bentuk +, X, Lingkaran, bujur sangkar, segi tiga, menjiplak angka, bentuk-bentuk lain, menjahit sederhana dengan menggunakan tali sepatu, benang woll, memasukkan surat ke dalam amplop, membentuk dengan plastisin, memasukkan benang ke dalam jarum, menggunting mengikuti bentuk, menganyam, membentuk berbagai objek dengan tanah liat, menggambar sesuai gagasan-nya, meniru bentuk, melakukan eksplorasi dengan berbagai media dan kegiatan, menggunakan alat tulis dengan benar, menggunting sesuai dengan pola, menempel gambar dengan tepat, mengekspresikan diri melalui gerakan menggambar secara detail. Retardasi mental merupakan masalah dunia dengan implikasi yang besar terutama bagi negara berkembang. Diperkirakan angka kejadian retardasi mental berat sekitar 0,3% dari seluruh populasi dan hampir 3% mempunyai IQ di bawah 70.Sebagai sumber daya manusia tentunya mereka akan sulit dimanfaatkan karena 0,1% dari anak-anak ini memerlukan perawatan, bimbingan serta pengawasan sepanjang hidupnya (data UNICEF, 2013) Pada data pokok Sekolah Luar Biasa di seluruh Indonesia tahun 2009 (Ciptono dan Supriyanto, 2010), dilihat dari kelompok usia sekolah, jumlah penduduk di Indonesia yang menyandang keterbelakangan mental adalah 62.011 orang. Dengan perbandingan 60% diderita anak laki-laki dan 40% diderita anak perempuan. Dari jumlah tersebut anak yang terkena retardasi mental sangat berat disebut idiot sebanyak 2,5%, anak retardasi mental berat sebanyak 2,8%, retardasi cukup berat disebut imbisil debil profound sebanyak 2,6%, anak retardasi mental ringan atau lemah pikiran disebut pander debil moyen sebanyak 3,5% dan sisanya disebut anak dungu. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah ( Pusat Data dan Informasi Kemsos, 2012) jumlah penyandang cacat usia 0-17 tahun yang ada berjumlah 1732 orang. Dari total jumlah tersebut 31, 93% atau 553 orang adalah penderita retardasi mental (RM). Penyandang cacat retardasi mental tersebut tersebar di 10 Kabupaten & Kota yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Apabila dibandingkan dengan data jumlah tersebut, program-program intervensi yang selama ini dilakukan belum maksimal karena jumlah program yang
14
terlaksana dari tahun ke tahun masih tetap yaitu 317 program atau sekitar 29,07%, padahal menurut Armatas (2009) penanganan anak retardasi mental harus secara holistik supaya perkembangannya dapat dioptimalkan. Keterbelakangan mental atau lazim disebut retardasi mental adalah suatu keadaan dimana intelegensi anak kurang (subnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa kanak-kanak). Biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi gejala utama adalah intelegensi yang terbelakang. Retardasi mental juga disebut oligofrenia (oligo = kurang atau sedikit, fren = jiwa), atau tuna mental. Keadaan tersebut ditandai dengan fungsi kecerdasan umum yang berada di bawah rata-rata dan disertai berkurangnya kemampuan untuk menyesuaikan diri, atau perilaku adaptif, dan interaksi social (Mangunsong, 1998). Retardasi mental sebenarnya bukan suatu penyakit walaupun retardasi mental merupakan hasil dari proses patologik di dalam otak yang memberikan gambaran keterbatasan terhadap intelektualitas dan fungsi adaptif (Soemantri, 2006). Retardasi
mental
adalah
kondisi
yang
ditandai
dengan
rendahnya
kecerdasan (biasanya nilai IQ-nya di bawah 70), sulit beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari, dan kondisi ini mulai terlihat sebelum usia 18 tahun (Santrock, 2007). Kelemahan kecerdasan tidak hanya berakibat pada kelemahan fungsi kognitif, tetapi juga berpengaruh pada sikap dan keterampilan lainnya. Kriteria retardasi mental dalam DSM IV adalah sebagai berikut: fungsi intelektual secara signifikan berada di bawah rata-rata, IQ kurang dari 70, terjadi sebelum usia 18 tahun, kurangnya fungsi sosial adaptif dalam minimal dua bidang komunikasi, mengurus diri sendiri, kehidupan keluarga, keterampilan interpersonal, penggunaan sumber daya komunitas, kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri, keterampilan akademik fungsional, rekreasi, pekerjaan, kesehatan dan keamanan. Penyebab retardasi mental menurut Armatas (2009), antara lain adalah : Infeksi atau intoksi, masalah prenatal, masalah postnatal, gangguan metabolis, kelainan kromosom, gangguan jiwa berat, deprivasi psikososial Penggolongan/Klasifikasi retardasi mental menurut DSM IV sebagai berikut: a) Retardasi mental ringan ( debil )
15
Anak retardasi mental ringan memiliki wajah dan kondisi fisik yang tidak jauh berbeda dengan anak normal lainnya, namun mereka mempunyai kisaran IQ 5070. Mereka termasuk ke dalam kelompok mampu didik yang artinya masih dapat dididik (diajarkan) membaca, menulis, dan berhitung. Menurut penelitian Armatas (2009), tanda-tanda kelemahan mental telah dapat terlihat pada saat usia anak mencapai periode prasekolah. Kriteria sosial dan emosional merupakan faktorfaktor yang menentukan dalam klasifikasi ini. Anak retardasi mental tipe ini tidak memiliki kemampuan untuk mengontrol diri, melakukan koordinasi, dan adaptasi yang wajar. Mereka masih dapat diajarkan keterampilan tangan dan perawatan diri sendiri. Mereka masih dapat mandiri secara ekonomi dan menunjang keluarga mereka kelak ketika dewasa. Akan tetapi mereka tidak mampu bersaing dalam mendapatkan mata pencaharian dengan orang-orang normal. b) Retardasi mental sedang ( imbisil ) Anak retardasi mental sedang memiliki kisaran intelegensi (IQ) antara 30-50. Wajah dan kondisi fisiknya sudah dapat dibedakan dengan anak normal. Kelompok ini termasuk dalam mampu latih. Menurut penelitian Armatas (2009), anak retardasi mental sedang dapat belajar berbicara dan menyampaikan kebutuhan-kebutuhan dasarnya, tetapi tidak dapat belajar membaca, berhitung, dan menulis. Mereka dapat melindungi dirinya sendiri dan dapat dilatih untuk melakukan pekerjaan sederhana yang konkret, misalnya makan dan minum, berpakaian, serta mencuci piring atau baju. Anak retardasi mental sedang mempunyai gerakan yang lamban dan tidak stabil, ekspresi wajah nampak kosong, serta mempunyai daya tahan tubuh yang lemah terhadap penyakit. Biasanya pertumbuhan fisik baik berat badan maupun tinggi badan juga lamban sehingga selalu di bawah usia normalnya. Pertumbuhan mental jarang sekali melewati usia kronologis 12 tahun. Mereka tidak dapat belajar di sekolah konvensional, dan sangat tergantung kepada orangtua atau keluarga. c) Retardasi mental berat ( idiot ) Kelompok ini termasuk sangat rendah intelegensinya yaitu berkisar 30 ke bawah, sehingga tidak mampu untuk menerima pendidikan secara akademis. Anak retardasi mental berat termasuk ke dalam golongan mampu rawat. Dalam
16
kegiatan sehari-hari mereka membutuhkan orang lain. Menurut penelitian Armatas (2009) anak pada kelompok ini biasanya tidak melampaui usia kronologis 9 tahun dalam pertumbuhan mentalnya. Karena tingkat intelektualnya yang rendah, mereka harus dijaga meskipun telah menginjak usia dewasa karena pada umumnya tidak mampu menjaga diri sendiri. Mereka sama sekali tidak dapat belajar membaca, menulis,dan berhitung, serta sering berbicara seperti bayi. Namun anak retardasi mental berat masih mampu untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan meskipun dalam pengawasan di segala bidang kehidupannya. Setiap anak mampu mencapai tahap perkembangan motorik halus yang optimal apabila mendapatkan stimulasi tepat. Di setiap fase, anak membutuhkan rangsangan untuk mengembangkan kemampuan mental dan motorik halusnya. Pada kenyataannya, ada anak yang memiliki keterbatasan dalam kemampuan motorik halus. Delphie, (2006) menyatakan bahwa anak dengan retardasi mental/hendaya perkembangan adalah anak yang mengalami kelainan khusus terhadap fisik atau mental. Anak retardasi mental mempelajari berbagai hal lebih lambat daripada anakanak lain sebayanya. Anak mengalami keterlambatan mulai dari bergerak, tersenyum, menunjukkan minat pada berbagai hal/benda, menggunakan tangannya, duduk, berjalan, berbicara dan mengerti. Dengan keterbatasan inteligensi inilah yang menyebabkan anak retardasi mental mengalami hambatan pada perkembangan motorik halus. Kemampuan motorik halus retardasi mental relatif rendah bila dibandingkan dengan anak normal. De Clerq (1994) menyatakan bahwa semakin berat keretardasi mentalan anak semakin berat defisiensi keterampilan motoriknya. Pada umumnya anak retardasi mental mengalami keterlambatan pada perkembangan kemampuan motorik halus. Kemampuan motorik halus anak sangat perlu dikembangkan karena pada anak retardasi mental, kemampuan motorik halus ini memiliki potensi yang lebih tinggi untuk dikembangkan dibandingkan dengan kemampuan yang lainnya. Aspek motorik halus anak retardasi mental yang perlu dikembangkan adalah kemampuan anak retardasi mental dalam memegang benda, menggenggam benda,
17
menjumput benda, memindahkan benda, memutar benda, dan menulis (Sunaryo dan Sunardi, 2007). Bermain sama dengan bekerja pada orang dewasa, dan merupakan aspek terpenting dalam kehidupan anak serta merupakan satu cara yang paling efektif mensejahterakan mental dan emosional anak (Bratton, 2005). Bermain merupakan bagian penting dari masa balita dan punya nilai pendidikan yang tinggi. “Bermain” (play) merupakan istilah yang digunakan secara bebas sehingga arti utamanya mungkin hilang. Arti yang paling tepat ialah setiap kegiatan
yang
dilakukan
untuk
kesenangan
yang
ditimbulkan,
tanpa
mempertimbangkan hasil akhir. Bermain dilakukan secara suka rela, dan tidak ada paksaan atau tekanan dari luar atau kewajiban (Ray, 2001). Piaget menjelaskan bahwa bermain “terdiri atas tanggapan yang diulang sekedar untuk kesenangan fungsional”. Kegiatan bermain adalah kegiatan yang “tidak mempuyai peraturan lain kecuali yang ditetapkan pemain sendiri dan tidak ada hasil akhir yang dimaksudkan dalam realita luar”. Bermain secara garis besar dapat dibagi ke dalam dua kategori, aktif dan pasif (Hurlock, 2003). Pada semua usia, anak melakukan permainan aktif dan pasif. Proporsi waktu yang dicurahkan ke masing-masing jenis bermain itu tidak bergantung pada usia, tetapi pada kesehatan dan kesenangan yang diperoleh dari masing-masing kategori. Meskipun umumnya permainan aktif lebih menonjol pada awal usia prasekolah dan permainan hiburan ketika anak mendekati masa puber, namun hal itu tidak selalu benar. Anak bermain pada dasarnya agar memperoleh kesenangan, sehingga ia tidak akan merasa jenuh. Bermain tidak sekedar mengisi waktu, tetapi merupakan kebutuhan anak seperti halnya makanan, perawatan dan cinta kasih. Bermain adalah unsur yang penting untuk perkembangan fisik, emosi, mental, intelektual, kreativitas dan sosial (Soetjiningsih, 2006). Anak dengan bermain dapat mengungkapkan konflik yang dialaminya, bermain cara yang baik untuk mengatasi kemarahan, kekuatiran dan kedukaan. Anak
dengan
bermain
dapat
menyalurkan
tenaganya
yang
berlebihan,
mengembangkan kemampuan motorik, dan bergaul dengan anak lainnya (Webb, 2011).
18
Kategori bermain menurut Hurlock (2003), kategori bermain dibagi menjadi dua yaitu : a. Bermain aktif Dalam bermain aktif, kesenangan timbul dari apa yang dilakukan anak, apakah dalam bentuk kesenangan bermain alat misalnya mewarnai gambar, melipat kertas origami, puzzle dan menempel gambar. Bermain aktif juga dapat dilakukan dengan bermain peran misalnya bermain dokter-dokteran dan bermain dengan menebak kata b. Bermain pasif Dalam bermain pasif, hiburan atau kesenangan diperoleh dari kegiatan orang lain. Pemain menghabiskan sedikit energi, anak hanya menikmati temannya bermain atau menonton televisi dan membaca buku. Bermain tanpa mengeluarkan banyak tenaga, tetapi kesenangannya hampir sama dengan bermain aktif Bermain dapat dijadikan sebagai suatu terapi karena berfokus pada kebutuhan anak untuk mengekspresikan diri mereka melalui penggunaan mainan dalam aktivitas bermain (Mundy, 1957). Terapi bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa menggunakan alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberi kesenangan, maupun mengembangkan imaginasi anak. Terapi bermain dapat mengasah kemampuan fisik, intelektual, emosional,dan social. Dalam terapi bermain terdapat sarana pembelajaran karena dengan bermain, anak-anak akan berkata-kata (berkomunikasi), belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan, melakukan apa yang dapat dilakukannya, dan mengenal waktu, jarak serta suara (Goldstein, 2012). Terapi Bermain mempunyai fungsi utama bermain menurut Soetjiningsih (2006) sebagai berikut : a. Perkembangan Sensoris-motorik Pada saat melakukan permainan aktivitas sensoris-motoris merupakan komponen terbesar yang digunakan anak sehingga kemampuan penginderaan anak dimulai meningkat dengan adanya stimulasi-stimulasi yang diterima anak seperti:
19
stimulasi visual, stimulasi pendengaran, stimulasi taktil (sentuhan) dan stimulasi kinetik. b. Perkembangan Intelektual (Kognitif) Pada saat bermain, anak melakukan eksplorasi dan memanipulasi segala sesuatu yang ada di lingkungan sekitarnya, terutama mengenal warna, bentuk, ukuran, tekstur dan membedakan objek. c. Perkembangan Sosial Perkembangan
sosial
ditandai
dengan
kemampuan
berinteraksi
dengan
lingkungannya. Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar memberi dan menerima.
Bermain
dengan
orang
lain
akan
membantu
anak
untuk
mengembangkan hubungan sosial dan belajar memecahkan masalah dari hubungan sosial dan belajar memecahkan masalah dari hubungan tersebut. d. Perkembangan Kreativitas Dimana
melalui
kegiatan
bermain
anak
akan
belajar
mengembangkan
kemampuannya dan mencoba merealisasikan ide-idenya. e. Perkembangan Kesadaran Diri Melalui
bermain
anak
akan
mengembangkan
kemampuannya
dan
membandingkannya dengan orang lain dan menguji kemampuannya dengan mencoba peran-peran baru dan mengetahui dampak tingkah lakunya terhadap orang lain. f. Perkembangan Moral Anak mempelajari nilai yang benar dan salah dari lingkungan, terutama dari orang tua dan guru. Dengan melakukan aktivitas bermain, anak akan mendapat kesempatan untuk menerapkan nilai-nilai tersebut sehingga dapat diterima di lingkungannya dan dapat menyesuaikan diri dengan aturan-aturan kelompok yang ada dalam lingkungannya. Landreth (2001) macam-macam model dalam terapi bermain adalah : a. Model Adlerian, Model ini menggunakan dasar teori Psikologi Individual Adler, dengan dasar filosofi yaitu kehidupan sosial perlu untuk dimiliki, perilaku adalah tujuannya, melihat hidup secara subyektif dan hidup adalah sesuatu yang khusus
20
dan kreatif. Model ini digunakan untuk anak dengan kegagalan dalam berinteraksi sosial dan salah dalam mempercayai gaya hidupnya. b. Model Terapi Client-Centered, Teori yang mendasari adalah teori Rogers, yang berpandangan bahwa motivasi internal yang dimiliki anak-anak mendorong pertumbuhan dan aktualisasi diri. Terapi bermain dengan pendekatan Client Centered Non Directive (terapi yang berpusat pada anak secara tidak langsung), ini sesuai untuk anak-anak yang mengalami ketidaksesuaian antara kejadian hidup dengan dirinya. c. Model Kognitif-Behavioral, Model ini berpandangan bahwa anak memiliki pikiran dan perasaan yang sama seperti orang dewasa yaitu ditentukan melalui bagaimana anak berfikir tentang diri dan dunianya. Model ini digunakan untuk menangani anak dengan kepercayaan irrasional yang membawanya keluar dari perilaku maladaptif. d. Model Ekosistemik, Dasar yang digunakan adalah teori dari terapi realitas, yang mempunyai pandangan bahwa berada dalam interaksi terhadap lingkungan dapat mempengaruhi perkembangan. e. Model Eksistensialisme, Memiliki pandangan bahwa anak-anak adalah manusia berguna, unik, ekspresi diri dan pertolongan terhadap diri sendiri mendorong aktualisasi diri. Pendekatan ini menangani anak-anak yang mengalami kesulitan untuk
berkembang
sesuai
dengan
keunikannya
yang
melemahkan
pertumbuhandirinya sehingga mengalami penolakan dalam menjalin hubungan dengan teman-temannya. f. Model Gestalt, Model Gestalt melihat manusia secara total, dilahirkan dengan fungsi utuh. Pendekatan ini untuk terapi anak yang mengalami kesulitan bertumbuh secara alami, anak yang mencoba untuk memenuhi kebutuhan dengan cara yang tidak biasa, dan memiliki pengalaman luka baik secara fisik maupun psikologis. g. Model Jungian, Didasarkan pada teori analitik Jung, yang melihat bahwa psikis terdiri dari ego, ketidaksadaran diri, dan ketidaksadaran kolektif, kekuatan menyembuhkan adalah bawaan. Pendekatan ini biasanya digunakan untuk
21
membantu anak yang mengalami ketidakseimbangan psikis, ego tidak dapat menjebatani antara dunia luar dan dalam dirinya. h. Model Psikoanalitik, Pendekatan ini menggunakan teori psikoanalisa tradisional, yang memiliki dasar filosofi tentang anak yaitu anak memiliki rasa takut, memerlukan rasa aman, berusaha berhubungan dengan tuntutan lingkungan. Pendekatan ini sesuai untuk anak yang mengalami konflik internal, kekawatiran, represi, hambatan perkembangan, dan agresivitas. Menurut Goldstein (2012), macam terapi bermain dapat dibagi menjadi : a. Terapi Bermain Drama Bentuk bermain aktif di masa anak-anak, melalui perilaku dan bahasa yang jelas, berhubungan dengan materi atau situasi seolah-olah hal itu mempunyai atribut yang lain ketimbang yang sebenarnya. Jenis bermain ini dapat bersifat reproduktif atau produktif yang bentuknya sering disebut kreatif. Dalam permainan drama reproduktif dan produktif, anak sendiri yang memainkan peran penting, menirukan karakter yang dikaguminya dalam kehidupan nyata atau dalam media massa, atau ingin menyerupainya. b. Terapi Bermain Konstruktif Bentuk bermain dimana anak-anak menggunakan bahan untuk membuat sesuatu yang bukan untuk tujuan yang bermanfaat melainkan lebih ditujukan baqgi kegembiraannya yang diperolehnya dari membuatnya. Kebanyakan bermain konstruktif adalah reproduktif, dimana anak mereproduksi objek yang dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari atau dalam media massa ke dalam bentuk konstruksinya, misalnya kue dari tanah liat untuk mewakili kue yang dilihatnya di rumah atau kemah Indian seperti dilihatnya dalam buku atau melalui layar televisi. c. Terapi Bermain Dengan Musik Bermain aktif atau pasif, bergantung bagaimana penggunaannya. Musik dapat berbentuk reproduktif atau produktif. Apabila anak memproduksi kata-kata dan nada yang dihasilkan orang lain atau jika mereka berdansa mengiringi irama musik seperti yang telah diajarkan, bentuknya reproduktif. Sebaliknya bila menyusun sendiri kata-kata sebuah lagu atau menghasilkan nada untuk kata-kata yang ditulis orang lain, atau melakukan langkah dansa baru untuk menyertai
22
musik, bentuknya menjadi produktif dan karenanya merupakan bentuk kreativitas. Menyanyi merupakan bentuk paling umum dari ekspresi musical karena tidak membutuhkan latihan teknis. d. Terapi Bermain dengan mengumpulkan Kegiatan bermain yang umum di kalangan anak- anak dari semua latar belakang semua ras, agama dan sosio ekonomis. Biasanya dimulai pada tahun-tahun prasekolah, yakni pada anak usia 3 tahun. Pada mulanya anak mengumpulkan segala
sesuatu
yang
menarik
perhatiaannya,
tanpa
mempersoalkan
kegunaannya. Sejak anak memasuki sekolah hingga mencapai masa puber, mengumpulkan benda yang menarik perhatiannya pada saat itu atau yang serupa dengan benda yang dikumpulkan temannya merupakan salah satu bentuk bermain yang terpopulerbagi anak laki-laki dan perempuan. Kegiatan ini memiliki rasa bangga karena memiliki koleksi yang lebih banyak ketimbang temannya, dan mereka sering terlibat dalam musim tukar-menukar atau barter yang panjang. e. Terapi Bermain Dengan Mengeksplorasi Seperti halnya bayi yang memperoleh kegenbiraan besar dari mengeksplorasi apa saja yang baru atau berbeda, demikian pula halnya dengan anak yang lebih besar. Akan tetapi, permainan eksplorasi anak yang lebih besar berbeda dari kegiatan eksplorasi bayi yang sifatnya bebas dan spontan. f. Terapi Bermain Dengan Olah Raga Perlombaan dengan serangkaian peraturan, yang dilakukan sebagai hiburan atau taruhan. Bettelheim menjelaskan mereka merupakan kegiatan yang dicirikan oleh peraturan yang disetujui dan mempunyai persyaratan dan peraturan yang diadakan oleh luar untuk memanfaatkan kegiatan tersebut dengan cara yang diinginkan, dan tidak untuk kesenangan yang diperolehnya. Istilah olah raga biasanya dikaitkan dengan pertandingan antar tim yang sangat terorganisasi, misalnya sepak bola, atau bola basket dll. g. Terapi Bermain Dengan Hiburan Hiburan merupakan bentuk bermain pasif, tempat anak memperoleh kegembiraan dengan usaha yang minimum dari kegiatan orang lain. Bentuk hiburan yang paling umum di kalangan anak adalah sebagai berikut
23
h. Terapi Bermain Dengan Membaca Kesenangan tidak merupakan bentuk hiburan yang populer, dan anak-anak meneruskan kegembiraan dibacakan, seperti ketika mereka masih kecil. Jauh sebelum anak mampu membaca dan sebelum mereka mampu mengerti arti setiap kata kecuali yang sederhana, mereka ingin dibacakan. Sampai mereka dapat membaca dengan usaha minimum dan bagi kebanyakan anak hal ini tidak terjadi sebelum kelas tiga atau empat. Klasifikasi terapi bermain menurut Ray (2004), dapat diklasifikasikan berdasarkan isinya antara lain : a. Terapi bermain afektif sosial (social affective play). Permainan ini adalah adanya hubungan interpersonal yang menyenangkan antara anak dan orang lain. Misalnya, bayi akan mendapat kesenangan dan kepuasan dari hubungan yang menyenangkan dengan orangtua atau orang lain. Permainan
yang
tersenyum/tertawa
biasa atau
dilakukan sekedar
adalah
memberikan
”cilukba”, tangan
berbicara pada
bayi
sambil untuk
menggenggamnya tetapi dengan diiringi berbicara sambil tersenyum dan tertawa. b. Terapi bermain untuk senang-senang (sense of pleasure play) Permainan ini menggunakan alat yang bisa menimbulkan rasa senang pada anak dan biasanya mengasyikkan. Misalnya, dengan menggunakan pasir, anak akan membuat gunung-gunung atau benda-benda apa saja yang dapat dibentuk dengan pasir. Bisa juga dengan menggunakan air anak akan melakukan bermacam-macam permainan seperti memindahkan air ke botol, bak atau tempat lain. c. Terapi bermain untuk ketrampilan (skill play) Permainan ini akan menimbulkan keterampilan anak, khususnya motorik kasar dan halus. Misalnya, bayi akan terampil akan memegang benda-benda kecil, memindahkan benda dari satu tempat ke tempat lain dan anak akan terampil naik sepeda. Jadi keterampilan tersebut diperoleh melalui pengulangan kegiatan permainan yang dilakukan. d. Terapi bermain simbolik atau pura-pura (dramatic play role) Permainan anak ini yang memainkan peran orang lain melalui permainannya.
24
Anak berceloteh sambil berpakaian meniru orang dewasa. Misalnya, ibu guru, ibunya, ayahnya, kakaknya yang sebagai yang ia ingin ditiru. Apabila anak bermain dengan temannya, akan terjadi percakapan di antara mereka tentang peran
orang
yang
mereka
tiru.
Permainan
ini
penting
untuk
memproses/mengidentifikasi anak terhadap peran tertentu. Kemampuan motorik halus retardasi mental relatif rendah bila dibandingkan dengan anak normal. Sunaryo dan Sunardi (2007) menyatakan bahwa semakin berat retardasi mental anak semakin berat defisiensi keterampilan motoriknya. Pada umumnya anak retardasi mental mengalami keterlambatan pada perkembangan kemampuan motorik halus sehingga memerlukan latihan khusus untuk mengatasi keterlambatan tersebut. Apabila dilihat dari data jumlah penyandang cacat di atas terutama anak yang mengalami retardasi mental, maka diperlukan program-progam untuk membantu mengoptimalkan perkembangan mereka, karena tumbuh dan berkembang adalah hak yang dimiliki setiap anak. Menurut
Santrock
(2007),
kemampuan
motorik
halus
merupakan
keterampilan yang sangat penting untuk menunjang semua pembelajaran yang ada. Motorik merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap potensi gerak dalam keterampilan olah tubuh dan mobilitas hidup seseorang. Kemampuan motorik halus anak sangat perlu dikembangkan karena pada anak retardasi mental, kemampuan motorik halus ini memiliki potensi yang lebih tinggi untuk dikembangkan dibandingkan dengan kemampuan yang lainnya. Bila kemampuan motorik halus anak retardasi mental ringan meningkat, akan memudahkan untuk melalui tahap perkembangan selanjutnya dan juga menunjang pembelajarannya. Menurut Decaprio (2013), motorik halus pada anak dapat meningkatkan rasa percaya diri dalam bergaul, optimisme, mentalitas, pengalaman dan penyesuaian diri dengan lingkungan. Elizabeth B. Hurlock (2003) mencatat fungsi perkembangan motorik halus bagi perkembangan individu, yaitu : anak dapat menghibur dirinya dan pemperoleh perasaan senang, seperti anak merasa senang dengan memiliki keterampilan memainkan boneka, melempar dan menangkap bola, atau memainkan alat-alat mainan lainnya, anak dapat beranjak dari kondisi helpessness (tidak berbahaya), pada bulan-bulan pertama kehidupannya, ke kondisi
25
yang indepence (bebas dan tidak bergantung) anak dapat bergerak dari satu tempat ke tempat yang lainnya dan dapat berbuat sendiri untuk dirinya, kondisi ini akan dapat menunjang perkembangan self confidence ( rasa percaya diri). Seiring dengan pendapat Hurlock, agar perkembangan motorik halus anak dengan retardasi mental optimal (Samsudin, 2008), anak harus diberi kesempatan untuk belajar, diberi bimbingan dan model yang baik untuk di tiru, didampingi saat bermain, sehingga dapat diberikan contoh menggunakan motorik halusnya, diberi dukungan bila mengalami kesulitan, menciptakan suasana yang menyenangkan dalam bermain yang menstimulasi perkembangan motorik halusnya, tidak terlalu banyak menuntut diluar batas kemampuan anak. Pada skill play therapy (Ray, 2004), permainan yang dirancang di dalamnya akan menimbulkan keterampilan anak, khususnya motorik halus. Misalnya, bayi akan terampil akan memegang benda-benda kecil, memindahkan benda dari satu tempat ke tempat lain dan anak akan terampil naik
sepeda.
Jadi keterampilan tersebut
diperoleh melalui
pengulangan kegiatan permainan yang dilakukan. Banyak sekali penelitian yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan motorik halus pada anak dengan retardasi mental di antaranya penelitian yang dilakukan oleh Tasnila ( 2012) yang mengaplikasikan aktifitas menjahit menjelujur, namun tidak semua anak menyukai aktifitas menjahit terutama pada jenis kelamin laki-laki.
Penelitian
mengaplikasikan
yang
permainan
dilakukan maze
oleh
Sekarwati
matching
board
dan untuk
Riyanto
(2013)
mengembangkan
kemampuan motorik halus anak retardasi mental, penelitian ini perlu divariasikan supaya anak tidak bosan dengan aktifitas matching board dengan pola yang sama. Penelitian lain juga dilakukan oleh Amriliyanto dan Ainin (2013) yang meneliti mengenai pembelajaran bermedia origami untuk melatih kemampuan motorik halus. Penelitian Ray, dkk (2001) didapatkan bahwa terapi bermain dapat digunakan untuk mengatasi problem perilaku anak dengan retardasi mental, penelitian ini didukung oleh penelitian Landreth (2001) yang juga meneliti mengenai efektivitas terapi bermain untuk mengatasi anak dengan gangguan perilaku. Sedangkan penelitian Khaledi (2014) menguraikan bahwa terapi bermain ketrampilan (skill play therapy) mampu meningkatkan kemampuan menulis pada
26
anak yang mengalami disgrafia, juga dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan motorik halus pada anak dengan tingkat kecerdasan kurang (Helendoom, 1994). Berdasarkan pendapat Webb (2011), bermain ketrampilan (skill play) sangat penting bagi anak untuk melanjutkan tumbuh kembang dan mengembangkan kreativitas, dan menyediakan landasan bagi keterampilan motorik. Terapi bermain ketrampilan (skill play therapy) diharapkan dapat menimbulkan kematangan dalam pertumbuhan dan perkembangan karena salah satu fungsi bermain ketrampilan adalah merangsang perkembangan sensori dan motorik, termasuk didalamnya motorik halus. Penelitian ini juga seiring dengan pendapat Soemantri (2006) yang menjelaskan bahwa terapi bermain ketrampilan (skill play) juga dapat digunakan untuk tujuan pengembangan motorik halus anak yaitu:memfungsikan otot-otot kecil seperti gerakan jari tangan, mengkoordinasi kecepatan tangan dengan mata, dan mengendalikan emosi. Menurut Reid dan Schaefer (1986), terapi bermain ketrampilan dapat diaplikasikan tidak hanya kepada anak normal tetapi juga anak dengan retardasi mental. Hal ini didukung oleh penelitian Sudiarto (2013). Gerakan yang menghasilkan stimulus itulah yang dapat : a. Meningkatkan kemampuan kognitif (kewaspadaan, konsentrasi, kecepatan, persepsi, belajar, memori, pemecahan masalah dan kreativitas). b. Menyelaraskan kemampuan beraktivitas dan berfikir pada saat yang bersamaan c. Meningkatkan keseimbangan atau harmonisasi antara kontrol emosi dan logika d. Mengoptimalkan fungsi kinerja panca indera,
menjaga kelenturan
dan
keseimbangan tubuh e. Meningkatkan daya ingat dan pengulangan kembali terhadap huruf/angka (dalam waktu 10 minggu) f. Meningkatkan ketajaman pendengaran dan penglihatan g. Mengurangi kesalahan membaca, memori, dan kemampuan komperhensif pada kelompok dengan gangguan bahasa h. Meningkatkan respon terhadap rangsangan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh skill play therapy dalam membantu mengembangkan kemampuan motorik halus yang dimiliki oleh anak
27