Karang Keras Rekruitmen (Scleractinia) Di Perairan Natuna..... ( Muhammad Abrar) KARANG KERAS REKRUITMEN (SCLERACTINIA) DI PERAIRAN NATUNA, PROVINSI KEPULAUAN RIAU RECRUITMENT OF HARD CORAL (SCLERACTINIA) IN NATUNA WATERS, RIAU ISLANDS PROVINCE Muhammad Abrar UPT Loka Pengembangan Kompetensi SDM Oseannografi, Pulau Pari, Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI, Jakarta. Gedung LIPI Tisna Amidjaya lt.4, Jl. Raden Saleh No 43, Cikini, Jakarta Pusat Email:
[email protected] Received 12 August 2014, Accepted 24 April 2015 ABSTRAK Pemulihan terumbu karang setelah mengalami kerusakan ditandai dengan proses rekruitmen, yaitu penambahan individu karang baru (rekruit) dalam suatu populasi karang. Penelitian rekruitmen karang di perairan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau dilaksanakan pada 12-29 April 2011, di tiga lokasi, yaitu Kepulauan Subi, Pulau Natuna dan Pulau Salaut dengan total 16 stasiun. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kekayaan genus, kelimpahan dan kepadatan rekruit karang serta hubungannya dengan karang dewasa dan algae. Ukuran rekruit karang dibatasi mulai dari ukuran yang dapat diamati oleh mata sampai dengan diameter maksimal 10 cm. Untuk menilai populasi rekruit karang digunakan metode bentik kuadrat berukuran 1 x 1 m2, dengan 9 kali ulangan pada kedalaman 5-7 m. Data pendukung seperti kekayaan jenis karang dewasa dan kekayaan genus rekruit karang diperoleh dengan cara inventarisasi langsung menggunakan SCUBA. Secara keseluruhan, dari penelitian ini ditemukan 41 genus rekruit karang yang mewakili 14 famili, rekruit karang total berjumlah 1.321 koloni dengan kepadatan rata-rata 9,06 koloni/m2. Kekayaan jenis (jumlah genus) rekruit karang didominasi oleh genus-genus dari famili Faviidae, sedangkan kelimpahan (jumlah koloni dalam 1 famili) didominasi oleh genus-genus dari famili Acroporidae. Secara umum, ada variasi rekruitmen karang di antara stasiun penelitian, namun tidak berbeda nyata pada skala lokal dan spasial yang lebih luas, kecuali pada stasiun dengan tutupan karang hidup yang rendah. Kata kunci: karang keras, rekruit karang, kelimpahan, kepadatan, perairan Natuna. ABSTRACT Following damage, coral recovery is indicated by the coral recruitment process, which is the addition of new corals (recruits) into the population. This study of coral recruitment in Natuna waters, Riau Islands Province was conducted from 12th to 29th April 2011 at 16 sites across three different locations (Subi Islands, Natuna Islands and Salaut Island). Coral recruits range in size from those colonies just visible to the naked eye to a maximum size of 10 cm. Coral recruitment assessment was done using the method of benthic squares measuring 1 x 1 m2, with 9 replications at a depth of 5-7 m. A direct inventory method using SCUBA was conducted to obtain supporting data for the species richness of adult corals and genus richness of coral recruits. This research found a total of 1,321 coral recruit colonies, which consisted of 41 genera representing 14 families with an average density of 9.06 colonies/m2. The richness (amount of genera) was dominated by Faviidae and the abundance (amount of colonies in one family) was dominated by Acroporidae. Generally, there were variations in coral recruitment among the study sites, but they were not significantly different at the local scale or the broader spatial scale, except at stations with lower live-coral cover. Keywords: hard coral, coral recruits, abundance, density, Natuna waters. 133
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. Vol. 41, No. 2, Agustus 2015:133-147 PENDAHULUAN Rekruitmen dalam suatu populasi didefinisikan sebagai penambahan individu baru ke dalam populasi dari hasil reproduksi, baik secara seksual maupun aseksual (Caley et al., 1996; Soto & Weil, 2009). Proses rekruitmen memberikan dampak langsung terhadap perubahan struktur dan fungsi populasi dalam komunitas serta menjadi dasar dalam kajian ekologis, evolusi, biogeografi dan upaya konservasinya di alam (Caley et al., 1996). Salah satu fungsi penting rekruitmen karang di alam adalah menjamin keberlangsungan populasinya dan menjadi proses penting dalam pemulihan dan pembentukan kembali ekosistem terumbu karang setelah mengalami kerusakan akibat berbagai tekanan (Glassom et al., 2006). Perubahan kondisi lingkungan akibat aktivitas manusia dan kejadiankejadian alam telah memberikan dampak kerusakan bagi terumbu karang dalam skala luas. Secara alami, respon terumbu karang terhadap perubahan dan tekanan lingkungan adalah bertahan (resistancy), beradaptasi (adaptability) atau pulih kembali (recovery) setelah mengalami kerusakan hingga terbentuk komunitas yang stabil (resilient) (Obura & Grimsditch, 2009). Hewan karang keras (Scleractinia) merupakan biota dominan pembentuk dan pembangun terumbu karang. Keberhasilan dan kemampuan bertahan hidup karang muda (juvenile) ditentukan oleh tipe dan strategi reproduksi koloni induk, keberhasilan penempelan dan metamorfosis planula serta kelangsungan hidup rekruit karang setelah penempelan. Ada tiga komponen penting dalam proses rekruitmen karang, yaitu ketersediaan induk karang sebagai sumber larva, ketersediaan substrat sebagai media penempelan larva dan pengaruh faktor lingkungan perairan seperti arus, sedimentasi, cahaya, salinitas dan faktor lainnya. Komponen tersebut tidak sama pada setiap lingkungan terumbu, sehingga memengaruhi keberagaman dan variasi rekruitmen karang, baik secara temporal maupun spasial. Kondisi inilah yang menyebabkan perbedaan pola rekruitmen karang pada setiap lokasi dan wilayah perairan.
134
Penelitian rekruitmen karang telah dilakukan di beberapa wilayah perairan Indonesia. Bachtiar & Windy (2010) menemukan 1-76 rekruit karang per module pada 30 terumbu buatan reef ball, di Teluk Benete, Pulau Sumbawa. Penelitian rekruitmen karang di Kepulauan Seribu mendapatkan 15 genus rekruit karang dari 13 famili (Abrar et al., 2011), sedangkan di Perairan Lembata, Nusa Tenggara Timur didapatkan 30 genus rekruit karang. Terumbu karang di sisi selatan-barat pulau-pulau kecil di Kepulauan Natuna, Kepulauan Riau, berada di perairan terbuka (Laut Cina Selatan). Bentuk geomorfologi pulau, kondisi lingkungan perairan serta struktur dan keragaman biota bentik, terutama hewan karang batu memberikan pola terhadap sebaran dan populasi rekruit karang di perairan tersebut. Kejadian pemutihan karang (coral bleaching) di sepanjang perairan Indonesia tahun 2010 dilaporkan juga terjadi di pulau-pulau kecil Kepulauan Natuna (Rudi, 2012). Penelitian rekruitmen karang di terumbu karang Kepulauan Natuna tersebar pada skala luas, yaitu pada rangkaian pulau-pulau kecil yang memanjang dari utara sampai ke selatan. Tulisan ini difokuskan pada komposisi rekruitmen karang dengan tujuan untuk mengetahui kekayaan genus, kelimpahan dan kepadatan rekruit karang di perairan Kepulauan Natuna serta mengetahui hubungan penurunan populasi induk karang akibat pemutihan (bleaching) tahun 2010 terhadap kepadatan rekruit karang.
METODOLOGI Penelitian dilaksanakan dari tanggal 12 sampai 29 April 2011 di perairan Natuna, Kepulauan Riau. Penelitian ini dilakukan di tiga lokasi, yaitu di perairan Pulau Salaut (3 stasiun), Pulau Natuna (6 stasiun) dan Kepulauan Subi (7 stasiun). Hampir sebagian besar stasiun penelitian terdistribusi pada sisi utara-barat-selatan pulau. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada pola sebaran terumbu karang dan kondisi lingkungan perairan (Gambar 1).
Karang Keras Rekruitmen (Scleractinia) Di Perairan Natuna..... ( Muhammad Abrar)
Gambar 1. Lokasi stasiun penelitian rekruitmen karang di perairan Natuna. Figure 1. Location of coral recruitment research stations in Natuna waters.
Secara alami, ada tiga tahap rekruitmen biota bentik sessil, yaitu tahap sebelum penempelan larva (pre larvae settlement), tahap penempelan
larva (larvae settlement) dan tahap setelah penempelan larva (post larvae settlement) (Lamare & Barker, 2001). Pengamatan rekruit karang dibatasi 135
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. Vol. 41, No. 2, Agustus 2015:133-147 pada tahap setelah penempelan larva (post larvae settlement), yaitu mulai dari ukuran koloni yang dapat diamati dengan mata sampai dengan diameter koloni maksimal 10 cm (Obura & Grimsditch, 2009). Pengukuran rekruit karang dilakukan dengan menggunakan metode bentik transek kuadrat berukuran 1 x 1 m2 yang ditempatkan secara acak sebanyak 9 kali ulangan pada kedalaman 5-7 m. Pada setiap transek kuadrat dilakukan pencatatan nama dan jumlah genus rekruit karang serta tipe substrat dasarnya. Identifikasi rekruit karang dilakukan sampai tingkat genus, karena ukuran koloni relatif kecil, sehingga sulit untuk mengidentifikasi sampai tingkat spesies. Inventarisasi kekayaan jenis karang dewasa dan kekayaan genus rekruit karang dilakukan dengan pencacahan langsung pada area terumbu secara bebas, menggunakan peralatan selam SCUBA. Penilaian tutupan karang hidup dilakukan dengan metode Line Intercept Transect (LIT) sepanjang 10 m pada kedalaman 5-7 m, dengan tiga kali ulangan yang diletakkan pada permukaan terumbu sejajar garis pantai (Hill & Wilkinson, 2004; Manuputty et al., 2006). Identifikasi spesies karang dewasa dan rekruit karang dilakukan berdasarkan buku identifikasi Corals of the World, Volume 1 - 3 (Veron, 2000) dan Jenis-Jenis Karang di Indonesia (Suharsono, 2010). Analisis dilakukan terhadap dua kelompok data, yaitu data kekayaan genus dan populasi rekruit karang serta tutupan bentik terumbu. Data inventarisasi kekayaan jenis karang dewasa dan kekayaan genus rekruit karang dianalisis secara deskriptif, antara lain jumlah genus dan distribusi. Pengukuran bentik terumbu dihitung berdasarkan persentase tutupan bentik, yaitu jumlah panjang suatu kategori bentik yang diukur per panjang transek yang digunakan, dikalikan dengan seratus. Data kuantitas populasi rekruit karang dianalisis secara deskriptif, antara lain kelimpahan dan kepadatan pada setiap stasiun dan lokasi. Kepadatan rekruit karang diukur dengan menghitung jumlah koloni rekruit karang per luas area yang diamati (koloni/m2). Analisis statistik dilakukan untuk Secara umum, sebaran jenis karang di perairan Natuna termasuk dalam sebaran jenis karang Laut Cina Selatan. Veron et al. (2009) menggambarkan bahwa keanekaragaman jenis karang di perairan Natuna tidak termasuk dalam wilayah segi tiga karang dunia (coral triangle), melainkan terbatas dan mirip dengan jenis-jenis 136
membandingkan perbedaan rata-rata rekruit karang (kepadatan rekruit karang) pada tingkat taxa di lokasi dan stasiun yang berbeda. Analisis hubungan (korelasi) antara kepadatan rekruit karang dengan tutupan karang hidup dan turf algae dihitung dengan persamaan regresi dan dilanjutkan dengan Uji t pada α = 0,05, menggunakan aplikasi analisis data pada EXCEL 2007.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kekayaan Jenis Karang Dari hasil inventarisasi kekayaan jenis karang dewasa di tiga lokasi terumbu (Pulau Salaut, Pulau Natuna dan Kepulauan Subi) di Perairan Natuna diperoleh 191 spesies karang yang terdiri atas 60 genus yang mewakili 17 famili. Cappenberg & Djuariah (2008) melaporkan bahwa dari hasil transek dan pengamatan bebas di 8 stasiun penelitian di perairan Bunguran Barat, Pulau Sedanau, Pulau Genting, Pulau Kumbik dan Sabang Mawang di Kepulauan Natuna ditemukan 115 spesies karang yang terdiri atas 38 genus yang mewakili 16 famili. Budiyanto & Cappenberg (2009) juga melaporkan bahwa dari 16 stasiun transek permanen di perairan Kepulauan Bunguran (Klarik dan Ranai) di Kepulauan Natuna, ditemukan 159 spesies karang yang terdiri atas 46 genus yang mewakili 17 famili. Dari data tersebut, dapat diperkirakan bahwa kekayaan jenis karang di perairan Natuna berkisar 115- 191 spesies dengan 38-60 genus dan 16-17 famili. Variasi tersebut disebabkan oleh perbedaan luas daerah yang diteliti. Genus Acropora (Acroporidae) paling umum ditemukan, disusul Montipora (Acroporidae), Favia dan Favites (Faviidae), Porites (Poritidae) dan Lobophyllya (Mussidae). Genus Acropora memiliki jumlah speies paling tinggi, yaitu mencapai 113 spesies. Di Indonesia ditemukan 91 spesies Acropora (Suharsono, 2010). Kekayaan jenis karang bervariasi secara spasial karena ada variasi habitat, sejarah geologi masa lalu dan letak geografis (Veron, 2000; Veron et al., 2009; Suharsono, 2010). karang di perairan Selat Malaka dan Selat Karimata. Lebih lanjut, Veron et al. (2009) menjelaskan bahwa sebaran keanekaragaman jenis karang di Laut Cina Selatan terdiri atas 401-450 spesies, 50 genus yang mewakili 16 famili, namun tidak tercatat adanya jenis endemik.
Karang Keras Rekruitmen (Scleractinia) Di Perairan Natuna..... ( Muhammad Abrar) Kekayaan Genus Rekruitmen Karang Dari keseluruhan stasiun, jumlah genus rekruit karang yang ditemukan berkisar 4-26 genus dengan total 41 genus yang mewakili 14 famili. Keanekaragaman genus rekruit karang tersebut lebih tinggi dibanding penelitian lain di perairan Indonesia. Penelitian rekruitmen karang di perairan Kepulauan Seribu, Jakarta, menemukan 15 genus rekruit karang yang mewakili 9 famili (Rudi, 2006; Abrar et al., 2011). Penelitian Bachtiar et al. (2012) di perairan Lembata, Nusa Tenggara Timur, mendapatkan jumlah genus yang lebih rendah, yaitu 30 genus dan 13 famili. Abrar (2005) telah menginventarisasi 25 genus yang mewakili 12 famili rekruit karang, tiga tahun setelah kejadian pemutihan karang 1997/1998 di perairan Sipora, Kepulauan Mentawai. Studi struktur dan komposisi rekruitkarang juga dilaporkan di perairan lain di luar wilayah Indonesia. Zarate & Gonzales (2004), mendapatkan sebanyak 19 spesies rekruit karang, termasuk 8 spesies yang tidak dapat diidentifikasi dan 1 spesies Millepora di perairan sepanjang utara Mesoamerican Barrier Reef System (MBRS), Quintana Roo, Mexico. Dengan demikian, jumlah genus rekruit karang di perairan Natuna lebih tinggi dibanding lokasi-lokasi tersebut. Hal ini juga memberikan gambaran telah terjadi pemulihan terumbu karang setelah kejadian pemutihan karang tahun 2010. Perairan Natuna secara geologis dikelilingi oleh banyak terumbu pulau-pulau kecil dan terumbu daratan utama (Kalimantan, Kepulauan Riau Vietnam Selatan dan Thailand), sehingga koloni induk sebagai sumber larva karang dapat saja berasal dari berbagai lokasi terumbu tersebut. Dengan kata lain, Kepulauan Natuna bukan kawasan yang terisolasi (Soong et al., 2003). Keanekaragaman genus rekruit karang juga bervariasi secara temporal. Dari hasil pengamatan setiap bulan penempelan larva karang pada substrat buatan di perairan Bungus, Sumatra Barat, ditemukan 6 genus dan 3 famili yang berbeda pada setiap bulannya (Abrar, 2000). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keanekaragaman genus atau spesies rekruitmen karang bervariasi secara spasial dan temporal, serta menunjukkan pola yang tidak dapat dijelaskan dengan pasti pada kedua skala tersebut (Wallace, 1985; Soto & Weil, 2009; Glassom et al., 2004; Glassom et al., 2006).
Kepulauan Subi dan Pulau Natuna memiliki jumlah genus yang relatif sama, yaitu masingmasing berkisar 13-24 genus dan 14-22 genus di seluruh stasiun dalam setiap lokasi, dengan nilai rata-rata 16,14 ± 3,80 dan 17,83 ± 3,25 (Gambar 2). Di Pulau Salaut jumlah genus rekruit karang cukup bervariasi dibanding lokasi lainnya, yaitu berkisar 426 genus dengan rata-rata 13,33 ± 11,37 (Gambar 2), namun ketiga lokasi tidak menunjukkan perbedaan jumlah genus rekruit karang yang nyata (ANOVA, p = 0,53). Pulau Salaut bagian selatan (Stasiun NTN16) memiliki jumlah genus paling tinggi, yaitu 26, sedangkan bagian barat Pulau Salaut (Stasiun NTN15) memiliki jumlah genus paling sedikit, yaitu 4 genus. Hal ini diduga akibat fenomena pemutihan karang yang terjadi di Stasiun NTN15 yang ditandai dengan kematian koloni karang dalam posisi masih berdiri dan utuh, namun tidak terlihat adanya jaringan hidup karena permukaannya telah ditutupi filamentous/turf algae (Gambar 3). Rudi (2012) melaporkan bahwa telah terjadi pemutihan karang dalam skala lokal di beberapa lokasi terumbu karang pulau-pulau kecil di perairan Serasan dan Tambelan, bagian selatan perairan Natuna sejak awal sampai pertengahan tahun 2010 (Gambar 3). Informasi kejadian pemutihan karang tersebut juga dikuatkan oleh laporan Liu et al. (2012) dan NOAA Coral Reef Watch (2010) yang memprediksi potensi pemutihan tersebut meluas sampai ke utara Kepulauan Natuna termasuk perairan Pulau Salaut (Gambar 3). Jadi, terlihat jelas bahwa kejadian pemutihan karang menyebabkan penurunan jumlah rekruit karang (de-Leon et al., 2013), karena kematian massal koloni karang dewasa sebagai sumber larva menjadi tinggi. Sebaliknya, jenis-jenis karang yang terhindar dari kejadian pemutihan seperti di Stasiun NTN14 dan NTN15 memperlihatkan keaneka-ragaman dan kelimpahan rekruit karang lebih tinggi (Mc Clanahan et al., 2009). Dominasi pertumbuhan filamentous algae setelah kejadian pemutihan karang membatasi ruang dan menghalangi penempelan larva karang pada substrat dasar perairan (Rogers, 1990; Babcock & Mundy, 1996), mengakibatkan kekeruhan dan sedimentasi yang tinggi (Rogers, 1990; Babcock & Davies, 1991; Jordan-Dahlgren, 1992; Sammarco, 1994; Babcock & Mundy, 1996; Crabbe et al., 2002; de-Leon et al., 2013), temperatur dan pola arus yang bagaimana? (Green & 137
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. Vol. 41, No. 2, Agustus 2015:133-147 Edmunds, 2011) dan kompetisi dengan biota bentik
lainya, selain merupakan faktor pembatas rekruitmen
Gambar 2. Jumlah genus rata-rata rekruit karang di setiap lokasi penelitian. Figure 2. Mean of coral recruit genera at each sampling station.
karang (Babcock & Mundy, 1996; Harrington et al., 2004). Jumlah genus rekruit karang paling banyak ditemukan dari famili Faviidae (10 genus) dan diikuti oleh famili Fungiidae (4 genus), sedangkan jumlah genus paling sedikit adalah dari famili Astrocoeniidae dan Oculinidae, masing-masing 1 genus. Penelitian rekruit karang di sepanjang pesisir Kenya menunjukkan dominasi beberapa genus dari famili Faviidae (Karisa et al., 2008). Di sepanjang utara Mesoamerican Barrier Reef System (MBRS), Quintana Roo, Mexico, genus Agaricia, Siderasteria dan Porites adalah genus-genus utama yang ditemukan (Zarate & Gonzales, 2004). Faviidae adalah famili dalam ordo Scleractinia yang memiliki jumlah genus paling banyak (Veron, 2000; Suharsono, 2010), sehingga secara kuantitas kemunculan rekruit karang memiliki peluang lebih besar dibanding famili lainnya. Selain itu, genusgenus dalam famili Faviidae pada umumnya berbentuk masif dan sub masif dengan ukuran polip lebih besar serta menunjukkan tipe reproduksi hermaphrodite/ gonochoric spawning broadcasting. Koloni karang dengan bentuk masif dan ukuran polip besar lebih tahan terhadap tekanan lingkungan seperti sedimentasi dan perubahan suhu, sedangkan kelompok karang dengan tipe reproduksi seksual gonochoric spawning broadcasting memiliki jarak sebaran larva lebih jauh, serta kelangsungan hidup yang lebih tinggi (Soto & Weil, 2009). 138
Kelimpahan Rekruitmen Karang Jumlah koloni rekruit karang yang ditemukan mencapai 1.321 koloni yang tersebar di 16 stasiun dalam tiga lokasi yang berjauhan. Jumlah koloni rata-rata rekruit karang dari famili Acroporidae paling tinggi, yaitu 114, 33 koloni (21,32% dari total) dan terdapat pada setiap stasiun pengamatan (Gambar 4 dan Tabel 1). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jumlah individu/koloni rekruit karang dalam satu famili tidak selalu berbanding lurus dengan jumlah genus karang dalam famili tersebut. Tingginya kehadiran rekruit karang dari famili Acroporidae menunjukkan bahwa genus karang dalam Acroporidae termasuki tipe reproduksi pemijahan gamet (broadcast spawner). Larva yang dihasilkan memiliki masa sebelum penempelan lebih lama, yaitu 2-3 hari dan masa kompetensi saat penempelan selama 56 hingga 70 hari (Nozawa & Harrison, 2006; Glassom et al., 2006). Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa larva dari famili Acroporidae memiliki peluang tersebar lebih jauh dari lokasi induknya. Indikasi lain menunjukkan bahwa tingginya jumlah koloni rekruit karang dalam famili Acroporidae terutama genus Acropora berkaitan dengan dominansi dan kehadiran koloni induk (Quinn & Kojis, 2008) yang terdapat di setiap stasiun dan lokasi penelitian.
Karang Keras Rekruitmen (Scleractinia) Di Perairan Natuna..... ( Muhammad Abrar)
(a) Sumber: NOAA Reef Watch 2010
(b)
(c) Foto: Rudi, 2010
Foto: Abrar, 2011
Gambar 3. (a) Wilayah yang berpotensi mengalami kejadian pemutihan karang periode Maret-Juni 2010 dari NOOA Coral Reef Watch 2010, (b) Kejadian pemutihan karang (coral bleaching) tahun 2010 di perairan Tambelan dan Serasan, bagian selatan Kepulauan Natuna, (c) kematian massal karang akibat pemutihan di perairan Pulau Salaut, Kepulauan Natuna Utara. Figure 3. (a). Potential area of coral bleaching during period of March-June 2010, adopted from NOOA Reef Watch 2010, (b) the coral bleaching event in 2010 in Tambelan and Serasan waters, south of Natuna Islands, (c) the mass coral mortality due to coral bleaching in Salaut Island waters, North Natuna Islands.
139
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. Vol. 41, No. 2, Agustus 2015:133-147 Tabel 1. Jumlah famili, genus dan total koloni serta kepadatanrekruit karang di perairan Natuna. Table 1. The number of families, genera, colonies and densities of coral recruits in Natuna waters.
Location
Family Number
Genus Number
Coral Recruit Number
Coral Recruit Density (recruit/m2)
Subi Islands Site NTN-01 Site NTN-02 Site NTN-03 Site NTN-04 Site NTN-05 Site NTN-06 Site NTN-07
10 9 9 9 8 11 9
13 18 14 15 14 24 15
92 103 68 64 62 114 79
10.22 11.44 7.55 7.11 6.88 12.66 8.77
Natuna Islands Site NTN-08 Site NTN-09 Site NTN-10 Site NTN-11 Site NTN-12 Site NTN-13
10 11 11 9 6 7
22 20 19 18 14 14
131 85 84 57 51 105
14.55 9.44 9.33 6.33 5.66 11.66
Salaut Island Site NTN-14 Site NTN-15 Site NTN-16
5 2 13
10 4 26
82 11 133
9.11 1.22 14.77
Gambar 4. Jumlah koloni rata-rata rekruit karang berdasarkan level famili di perairan Natuna. Figure 4. The average number of coral recruitment, based on family, in Natuna waters.
140
Karang Keras Rekruitmen (Scleractinia) Di Perairan Natuna..... ( Muhammad Abrar) Hasil penelitian Wallace (1985) juga memperlihatkan tingginya total koloni rekuit karang famili Acroporidae dibandingkan famili lainnya di Big Brodhurst Reef, the Great Barrier Reef (GBR). Demikian pula menurut Bachtiar (2001) di Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Gili Indah, Lombok, Quinn & Kojis (2008) di Suva Harbour, Great Astrolabe Reef dan di Taveuni, Fiji, dan Bachtiar & Windy (2010) di Reef Ball, Teluk Benete, Sumbawa Barat. Namun, ada beberapa penelitian lain yang menunjukkan bahwa jumlah koloni rekruit karang dari famili Pocilloporidae lebih tinggi dari pada famili lainnya pada saat awal rekruitmen karang, baik pada substrat buatan (Dunstan & Johnson, 1998; Fox, 2004; Munasik et al., 2008; Abrar, 2000; Rudi, 2006; Adjroud et al., 2007; Bachtiar & Windy, 2010) maupun pada substrat alami (Abrar, 2005; Siringoringo, 2009; Bachtiar et al., 2012). Kepadatan Rekruitmen Karang Laju dan potensi pemulihan terumbu karang dapat diukur dari kepadatan rekruit karangnya, baik dalam skala spasial maupun temporal. Secara keseluruhan, kepadatan rata-rata rekruit karang di perairan Natuna adalah 9,06 koloni/m2 yang tergolong tinggi (Engelhardt, 2000). Kepadatan rata-rata rekruit karang di setiap lokasi bervariasi, dengan kisaran 8,36 ± 6,81 koloni/m2 hingga 9,57 ± 3,38 koloni/m2 (Gambar 5). Pengukuran kepadatan rekruit karang juga telah dilakukan di beberapa perairan Indonesia, antara lain di Pulau Pari (Suharsono, 1995), Kepulau Mentawai, Sumatra Barat (Abrar, 2000; 2005), Pulau Lombok dan Nusa Tenggara Timur (Bachtiar, 2002; Bachtiar et al., 2012), di perairan Padang, Sumatra Barat (Zakaria, 2004), di Kepulauan Seribu (Rudi, 2006), di Karimun Jawa (Munasik et al., 2008), di perairan Pulau Panjang, Nias, Sumatra Utara (Siringoringo, 2009) dan di perairan Wakatobi (de-Leon et al., 2013). Dari penelitian tersebut kepadatan rata-rata rekruit karang berkisar 5-15 koloni/m2 yang tergolong dalam kategori sedang hingga sangat tinggi. Karisa et al. (2008) juga mengukur kepadatan rekruit karang di perairan pesisir Kenya dan mendapatkan kepadatan rata-rata tertinggi 7,45 koloni/m2 dalam dua tahun pengamatan.
Pada beberapa lokasi terumbu di perairan Samudra Atlantik bagian barat, termasuk Mesoamerican Barrier Reef System (MBRS), Quintana Roo, Mexico, diperoleh kepadatan rekruit karang yang berkisar 0,8-274 koloni/m2 (Zarate & Gonzales, 2004). Penelitian Nozawa et al. (2006) di terumbu karang lintang tinggi Amakusa di selatan dan barat Jepang, didapatkan kelimpahan rekruit karang yang rendah, yaitu 2 koloni/m2 yang relatif sama dengan wilayah perairan Eilat di bagian utara Laut Merah, namun berbeda dari terumbu karang Great Barrier Reef, Australia (Glassom et al., 2004). Perbedaan kepadatan rekruit karang dapat terjadi karena perbedaan pengamatan pada habitat (substrat buatan atau alami), jarak waktu pengamatan dan sebaran daerah lintang (Hughes et al., 2002; Glassom et al., 2004, 2006). Di setiap lokasi, kepadatan rekruit karang terlihat bervariasi dan cenderung konsisten, namun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (ANOVA, p = 0,99). Kepadatan rekruit karang di Pulau Salaut 8,33 ± 4,36 koloni/m2, di Pulau Natuna 9,57 ± 3,38 koloni/m2 dan di Kepulauan Subi 9,25 ± 2,29 koloni/m2 (Gambar 5). Hasil penelitian de-Leon et al. (2013) di perairan Pulau Hoga dan Sampela, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, memperlihatkan kepadatan rekruit karang yang lebih tinggi, yaitu 22,15 koloni/m2, walaupun batasan ukuran rekruit yang diamati jauh lebih kecil, yaitu < 4 mm dan tidak termasuk rekruit dari fragmen karang. Penelitian Soto & Weil (2009) pada skala temporal (2003-2005) di La Parguera, tenggara atau selatan dan barat? Puerto Rico, Brazilia, menunjukkan penurunan jumlah rekruit karang dari 718 koloni pada tahun 2003 menjadi 396 koloni pada tahun 2005 dengan penurunan kepadatan rata-rata 4,8 koloni/m2. Hal ini menunjukkan bahwa variasi kepadatan rekruit karang dapat disebabkan oleh perbedaan batasan ukuran rekruit karang yang diamati dalam sebuah penelitian. Di samping itu, variasi kepadatan rekruit karang dapat juga disebabkan oleh perbedaan tingkat kematian setelah penempelan pada skala spasial dan temporal.
141
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. Vol. 41, No. 2, Agustus 2015:133-147
(a)
(c)
(b)
(d)
Gambar 5. Kepadatan rata-rata rekruit karang (koloni/m2) di setiap stasiun penelitian, (a). Pulau Salaut, (b). Pulau Natuna, (c). Kepulauan Subi, (d). Kepadatan rata-rata rekruit karang di setiap lokasi (koloni/m2). Figure 5. Mean of coral recruit density at each sampling site, (a). Salaut Island, (b). Natuna Island, (c). Subi Islands, (d). Mean of coral recruit density at each location (colonies/m2). Pada skala lokal, variasi kepadatan rata-rata rekruit karang terlihat lebih tinggi di Pulau Salaut, yaitu 8,36 ± 4,36 koloni/m2 dibanding lokasi lainnya, sehingga terlihat adanya perbedaan yang nyata antara stasiun penelitian (ANOVA, p = 0,013) di lokasi tersebut. Variasi kepadatan rekruit karang tersebut jelas terlihat antara Stasiun NTN15 (1,22 koloni/m2) dengan Stasiun NTN16 (14,77 koloni/m2) dan stasiun NTN14 (9,11 koloni/m2), walaupun berada dalam jarak yang tidak terlalu jauh. Hal ini disebabkan oleh rendahnya tutupan karang hidup di Stasiun NTN15 (Lampiran 1), sehingga menurunkan jumlah koloni induk sebagai sumber larva karang untuk rekruitmen awal (de-Leon et al., 2013; Potts et al., 1985). Faktor lain disebabkan oleh tingginya pertumbuhan filamentous algae/turf algae (Lampiran 1) sebagai pembatas dan penghalang terjadinya penempelan larva karang pada substrat 142
dasar perairan (Hughes & Jackson, 1980; Harrington et al., 2004; Zarate & Gonzales, 2004). Pada penelitian ini, jarak terjauh antarstasiun penelitian di setiap lokasi maksimal 47 km, sehingga secara spasial dapat dikatakan bahwa kondisi lingkungan perairan dan fisik terumbu serta ketersediaan induk dan variasi habitat relatif sama. Pada suatu lokasi terumbu, jumlah rekruit karang dipengaruhi oleh ketersediaan induk sebagai sumber larva, ketersediaan substrat dalam bentuk variasi habitat (dasar dengan substrat keras, dasar berpasir atau berlumpur, rugositas) dan dinamika perairan seperti arus, suhu dan cahaya. Pada skala lokal faktor yang memengaruhi tersebut cenderung sama, sehingga pola rekruitmen karang yang terjadi juga relatif sama dan konsisten (de Leon et al., 2013). Variasi kepadatan karang antarstasiun penelitian dipengaruhi oleh kondisi bentik terumbu
Karang Keras Rekruitmen (Scleractinia) Di Perairan Natuna..... ( Muhammad Abrar) terumbu kategori tutupan turf algae (R2 = 0,083). Namun, pengaruh kedua faktor bentik terumbu tersebut tidak signifikan terhadap variasi kepadatan rekruit karang (pada uji t pada α = 0,05), sehingga banyak faktor lain yang memengaruhinya.
dan bentuk substrat dasar perairan. Gambar 6 menunjukkan bahwa ada kecenderungan kepadatan rekruit karang yang tinggi, diikuti dengan peningkatan bentik terumbu kategori tutupan karang hidup (R2 = 0,077). Sebaliknya, terlihat kecenderungan penurunan kepadatan rekruit karang sejalan dengan terjadinya peningkatan bentik
(a)
(b) Gambar 6. (a). Hubungan antara kepadatan rekruit karang (koloni/m2) dan tutupan karang hidup (%) dan (b). tutupan turf algae (%). Figure 6. (a). Correlation between coral recruit density (colony/m2) and live coral cover (%) and (b). turf algae cover (%).
143
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. Vol. 41, No. 2, Agustus 2015:133-147 KESIMPULAN Kekayaan genus, kelimpahan dan kepadatan rekruit karang di lokasi kajian dipengaruhi oleh kejadian pemutihan karang di perairan Natuna sepanjang tahun 2010. Namun, telah terjadi pemulihan karang setelah kejadian pemutihan tersebut. Komposisi genus dan kelimpahan rekruit karang bervariasi, namun tidak berbeda dalam skala lokal (antarstasiun dalam satu lokasi) dan pada skala lebih luas antarlokasi. Kelimpahan dan kepadatan rekruit karang relatif sama di Kepulauan Subi dan Pulau Natuna, namun tidak signifikan berbeda dari Pulau Salaut.
PERSANTUNAN Penelitian ini dilakukan dalam Ekspedisi Widya Nusantara (EWIN) tahun 2011 yang didukung dan didanai oleh Pusat Penelitian Oseanografi LIPI menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya VIII. Ucapan terima kasih khusus disampaikan kepada Kepala Pusat Penelitian Oseanografi LIPI yang telah menyetujui dan mendanai ekspedisi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada tim ekspedisi, terutama rekan peneliti karang, Rikoh M. Siringoringo, ST, M.Si; Bayu Prayuda, S.Si, M.Si dan Abudullah Salatalohy, A.Md untuk GIS Analisis dan pemetaan.
DAFTAR PUSTAKA Abrar, M. 2000. Coral colonization (Scleractinian) on artificial substrate at Sikuai Island, Bungus Teluk Kabung Padang, West Sumatera: A conservation planning for damaged coral reef. In: Soemodihardjo (Ed). Prosiding Lokakarya Pengelolaan dan Iptek Terumbu Karang Indonesia; Jakarta, 22-23 November 1999. Jakarta. COREMAP LIPI Jakarta: 173-176. Abrar, M. 2005. Pemulihan populasi karang setelah pemutihan di perairan Sipora, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Widyariset, 8(1): 6072. Abrar, M., N. P. Zamani and I. W. Nurjaya. 2011. Survival and growth rate of corals recruitment at Pari Island water, Kepulauan Seribu, Jakarta. Journal of Indonesia Coral Reefs, 1(1): 7-14. 144
Adjroud, M., P. Lucie and C. Andrew. 2007. Spatiotemporal heterogenecity in coral recruitment around Moorea, French Polynesia: Implications for population maintenance. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology, 1(1): 204-218. Bachtiar, I. 2001. Reproduction of three scleractinian corals (Acropora cytherea, A. nobilis, and Hydnopora rigida) in eastern Lombok Strait, Indonesia. Ilmu Kelautan, 21: 18-27. Bachtiar, I. 2002. Promoting recruitment of Scleractinian corals using artificial substrate in the Gili Indah, Lombok Barat, Indonesia. In: Moosa (Ed). Proc. of the Ninth In Coral Reef Symp ; Bali, 23-27 Oktober 2000. Jakarta: Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia, LIPI dan ISRS: 425-430. Bachtiar, I and P. Windy. 2010. Coral recruitment on reef ball modules at the Benete Bay, Sumabwa Island, Indonesia. Journal of Coastal Development, 13: 119-125 Bachtiar, I. And M. Abrar, A. Budiyanto. 2012. Rekrutmen Scleractinia di Perairan Lembata, Nusa Tenggara Timur. Indonesian Journal of Marine Science, 17 (1): 1-7 Babcock, R. and P. Davies. 1991. Effects of on settlement of Acropora millepora. Coral Reef, 9: 205-208. Babcock, R. and C. Mundy. 1996. Coral recruitment: consequences of settlement choice for early growth and survivorship in two Scleratinians. J. Exp. Mar. Biol. Ecol., 206: 179-201. Budiyanto, A. dan A. W. H. Cappenberg. 2009. Monitoring terumbu karang Natuna (Ranai dan Kelarik). COREMAP II – LIPI. Jakarta. 60 hlm. Cappenberg, A. W. H dan Djuariah. 2008. Monitoring terumbu karang Natuna (Bunguran Barat). COREMAP II – LIPI. Jakarta. 53 hlm. Caley, M. J., M. H. Carr, M. A. Hixonn, T. P. Hughes, G. P. Jones and B. A. Menge. 1996. Recruitment and the local dynamics of open marine populations. Annu. Rev. Ecol. Syst., 27:477-500. Crabbe, M. J. C., J. M. Mendes and G. F. Warner. 2002. Lack of recruitment of non-branching corals in Discovery Bay is linked to severe storms. Bull. Mar. Sci, 70 (3): 939-945. Dunstan, P. K. and P. R. Johnson. 1998. Spatiotemporal variation in coral recruitment at
Karang Keras Rekruitmen (Scleractinia) Di Perairan Natuna..... ( Muhammad Abrar) different scale on Heron Reef, southern Great Barrier Reef. Coral Reef, 17: 71-81. Engelhardt, U. 2000. Monitoring protocol for assessing the status and recovery potential of scleractinian coral communities on reefs affected by major ecological disturbances. www.mcss/sc/coral. [14 Maret 2003]. Fox, H. E. 2004. Coral recruitment in blasted and unblasted sites in Indonesia: assess in rehabilitation potential. Mar. Pollut. Prog. Ser, 269: 131-139. Glassom, D., D. Zakai and N. E. Chadwick-Furman. 2004. Coral recruitment: a spatio-temporal analysis along the coastal of Eilat, northern Red Sea. Marine Biology, 144: 641-651. Glassom, D., L. Celliers and M. H. Scheleyer. 2006. Coral recruitment patterns at Sodwana Bay, South Africa. Coral Reef, 144: 641-651. Green, D. H. and P. J. Edmuns. 2011. Saptiotemporal variability of coral recruitment on shallow reefs St. Jhon, US Virgin Island. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology, 397: 220-229. Harrington, L., K. Fabricus, G. De’ath and A. Negri. 2004. Recognition and selection of settlement substrata determine post-settlement survival in corals. Ecology, 85: 3428-3437. Hill, J, and C. Wilkinson. 2004. Methods for ecological monitoring of coral reef, Version 1: A resource for Mamangers. Australian Institute of Marine Sciences (AIMS). Townsville. Australia. 177. Hughes, T. P and J. B. C. Jackson. 1980. Do corals lie about their age? Some demographic consequences of partial mortality, fission, and fusion. Science, 209: 713-715. Hughes, T. P., A. H. Baird, E. A. Dinsdale, V. J. Harriott, N. A. Moltschaniwsky, M. S. Pratchett, J. E. Tanner and B. L. Willis. 2002. Detecting regional variation using meta-analysis and large scale sampling: latitudinal patterns in recruitment. Ecology, 83(2): 436-451. Jordan-Dahlgren, E. 1992. Recolonization pattern of Acropora palmata in a marginal environment. Bul. Mar. Sci., 51(1): 104-117. Karisa, J. F., B. K. Arara and D. Obura. 2008. Spatial and temporal variation in coral recruitment and mortality in Coastal Kenya. In: D. Obura, J. Tamelander and O. Linden. (Eds) Ten years after bleaching-facing the
consequences of climate change in the Indian Ocean. CORDIO Status Report 2008. Coastal Ocean Research and Development in the Indian Ocean/Sida-SAREC. Mombasa 223-234. Lamare, M. D and M. F. Barker. 2001. Settlement and recruitment of the New Zealand sea urchin evechinus chloroticus. Mar. Ecol. Prog. Ser, 218: 153-166. Liu, G., C. M. Eakin, J. L. Rauenzahn, T. R. L. Christensen, S. F. Heron, J. Li, W. Skirving, A. E. Strong and T. Burgess. 2012. NOAA Coral Reef Watch’s decision support system for coral reef management. Proceeding 12th International Coral Reef Symposium, Cairns, Australia, 9-13 July 2012. Manuputty, A. E. W., Giyanto, Winardi, S. R. Suharti dan Djuwariah. 2006. Manual monitoring kesehatan karang (Reef Health Monitoring). CRITC COREMAP FASE II LIPI. Jakarta. 109 hlm. Munasik, Suharsono, J. Situmorang and H. N. Kamiso. 2008. Timing of larval release by reef coral Pocillopora damicornis at Panjang Island, Central Java. Marine Research in Indonesia, 33(1): 33-39. Mc. Clanahan, T. R., E. Weil, J. Cortes, A. Baird and W. Ateweberham. 2009. Consequences coral bleaching for sessile organisms. In coral bleaching: Pattern, processes, causes and consequences, M. Van Oppen and J. Lough (Eds). Berlin: Springer-Verlag: 121-138. Nozawa, Y., M. Tokeshi and S. Nojima. 2006. Reproduction and recruitment of scleractinian corals in a high-latitude coral community, Amakusa, southwestern Japan. Marine Biology, 149: 1047-1058. NOAA Coral Reef Watch. 2010. Seasonal coral bleaching thermal stress outlook (experimental product, 2x2 degree spatial resolution). http://coralreefwatch.noaa.gov/satellite/bleachin goutlook. Obura, D. and G. Grimsditch. 2009. Resilience assessment of coral reefs : Rapid assessment protocol for coral reefs, focusing on coral bleaching and thermal stress. IUCN. Gland. Switzerland. 70 pp. Potts, D. C. 1985. Sea-level fluctuations and speciation in Scleractinia. Fifth International Coral Reef Congress, 4, 127-132.
145
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. Vol. 41, No. 2, Agustus 2015:133-147 Quinn, N. J. and B. L. Kojis. 2008. Variation in coral recruitment on Fiji Reefs. Prod. of the 11th International Coral Reef Symposium, Ft. Lauderdale, Florida, 17-11 July 2008. Rudi, E. 2006. Rekruitmen karang (skleraktinia) di ekosistem terumbu karang Kepulauan Seribu DKI Jakarta. Disertasi (tidak dipublikasikan). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Rudi, E. 2012. Pemutihan karang di Perairan Natuna bagian selatan Tahun 2010. Biospecies, 10 (1): 1-7. Rogers, C. S. 1990. Responses of coral reefs and organisms to sedimentation. Mar. Ecol. Prog. Ser, 62:185-202. Sammarco, P. W. 1994. Larva dispersal and recruitment process in Great Barrier Reef Corals: Analysis and synthesis. In P.W. Sammarco and M.L. Heron (Eds.) The BioPhysics of marine larval dispersal. American Geophysical Union. Washington, DC: 35-72. Siringoringo, R. M. 2009. Potensi pemulihan komunitas karang setelah kejadian gempa dan tsunami di Pulau Nias, Sumatera Utara. Thesis (tidak dipublikasikan). Institut Pertanian Bogor. Bogor. 80 hlm. Soto, E. I. and E. Weil. 2009. Spatial and temporal variability in juvenile coral densities, survivorship and recruitment in La Parguera, Southwestern Puerto Rico. Caribean Journal of Science, (45) 2-3:269-281. Soong, K., M. Chen, C. Chen, C. Dai, T. Fan, J. Li and H. Fan. 2003. Spatial and temporal variation
146
of coral recruitment in Taiwan. Coral Reef, 22: 224-228. Suharsono. 1995. Coral and coral reefs of Pari Island complex and their uses. Proc. Fourth LIPI-JSPS Seminar on Marine Science, 15-18 November 1994. Jakarta: 33-41. Suharsono, 2010. Jenis-jenis karang di Indonesia. Program COREMAP II - LIPI. Jakarta: 372 hlm. Veron, J. E. N. 2000. Corals the World. Australian Institute of Marine Science: Volume 1-3. Townsville. Australia. 1410 hlm. Veron, J. E. N., L. M. Devantier, E. Turak, A. L. Green, S. Kininmonth, M. S. Smith and N. Peterson. 2009. Delineating the coral triangle. Galaxea, Journal of Coral Reef Studies, 11: 91100. Wallace, C. C. 1985. Seasonal peaks and annual fluctuation in recruitment of juvenile scleractinian corals. Mar. Ecol. Prog. Ser., 21: 289-298. Zakaria, I. J. 2004. On the growth of newly settled corals on concrete substrates in coral reefs of Pandan and Setan Islands, West Sumatera, Indonesia. PhD (Dissertation). Kiel University. Germany. 153 hlm. Zarate, R. A. M and J. E. A. Gonzales. 2004. Spatial study of juvenile corals in the Northern Region of the Mesoamerican Barrier Reef System (MBRS). Coral Reefs, 23: 584-594.
Karang Keras Rekruitmen (Scleractinia) Di Perairan Natuna..... ( Muhammad Abrar)
147
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. Vol. 41, No. 2, Agustus 2015:133-147
148