Terapi dan Upaya Pemulihan Gangguan Zat Jenis Stimulan Karakteristik Terapi Adiksi yang Efektif, NIDA (National Institute on Drug Abuse, 1999) menunjuk 13 prinsip dasar terapi efektif berikut: 1. Tidak ada satupun bentuk terapi serupa yang sesuai untuk semua individu. 2. Kebutuhan mendapatkan terapi harus selalu siap tersedia setiap waktu. Seorang dengan an untuk masuk dalam program terapi. Pada kesempatan pertama ia mengambil keputusan, harus secepatnya dilaksanakan (agar ia tidak berubah pendirian kembali). 3. Terapi yang efektif harus mampu memenuhi banyak kebutuhan (‘needs’) individu tersebut, tidak semata-mata karena hanya untuk memutus menggunakan Napza. 4. Rencana program terapi seorang individu harus dinilai secara kontinyu dan kalau perlu dapat dimodifikasi guna memastikan apakah rencana terapi telah sesuai dengan perubahan kebutuhan orang tersebut atau belum. 5. Mempertahankan dalam satu periode waktu program terapi yang adekuat yang merupakan sesuatu yang penting guna menilai apakah terapi cukup efektif atau tidak. 6. Konseling (perorangan/kelompok) dan terapi perilaku lain merupakan komponen kritis untuk mendapatkan terapi yang efektif untuk pasien adiksi. 7. Medikasi atau psikofarmaka merupakan elemen penting pada terapi banyak pasien, teutama bila dikombinasikan dengan konseling dan terapi lain. 8. Seorang yang mengalami adiksi yang juga menderita gangguan mental, harus mendapatkan terapi keduanya secara integratif. 9. Detoksifikasi medik hanya merupakan taraf permulaan terapi adiksi dan detoksifikasi hanya sedikit bermakna untuk menghentikan terapi jangka panjang. 10. Terapi yang dilakukan secara sukarela tidak menjamin menghasilkan suatu bentuk terapi yang efektif. 11. Kemungkinan penggunaan zat psikoaktif selama terapi berlangsung harus dimonitorsecara kontinyu. 12. Program terapi harus menyediakan assesmentuntuk HIV/AIDS, Hepatitis B dan C, Tuberkulosis, dan penyakit infeksi lain, dan juga menyediakan konseling untuk membantu pasien agar mampu memodifikasi tidak menyebabkan dirinya atau diri orang lain pada posisi yang berisiko mendapatkan infeksi. 13. Recovery dari kondisi adiksi NAPZA merupakan suatu proses jangka panjang dan sering mengalami episoda terapi yang berulang-ulang. Sasaran Terapi Sasaran jangka panjang terapi pasien/klien dengan adiksi NAPZA termasuk di dalamnya mengurangi penggunaan dan efek penyalahgunaan NAPZA, mencapai konidis abstinensia (bebas NAPZA), mengurangi frekuensi kambuhan dan rehabilitasi. Pada beberapa
pasien/klien NAPZA, abstinensia tidak pernah dicapai dengan mudah, sebagian memperoleh abstinensia setelah mengalami berkali-kali episode terapi atau rehabilitasi dan bahkan mereka yang telah berhasil mencapai abstinensia bertahun-tahun dengan mudahnya ‘jatuh relaps’ dan akhirnya menggunakan NAPZA kembali secara rutin. Sasaran terapi adiksi NAPZA, antara lain: 1. Abstinensia atau mengurangi penggunaan NAPZA bertahap sampai abstinensia total. Hasil yang ideal untuk terapi adiksi NAPZA adalah penghentian total penggunaan NAPZA. Sebagian besar pasien/klien tidak mampu dan tidak memiliki motivasi yang cukup untuk mencapai sasaran ini, khususnya pada awal terapi. Pasien/klien masih dapat dibantu dengan meminimalisasi efek langsung dan tidak langsung dari NAPZA yang digunakan. Konselor yang melakukan intervensi pada kondisi ini mungkin dapat membicarakan mengenai kesulitan yang dialami pasien/klien ketika mengurangi NAPZA yang digunakan atau mengalihkan dengan menggunakan jenis NAPZA lain (‘alih profesi’) atau berkurangnya risiko perilaku yang berbahaya (misalnya tidak kriminal). Perjanjian pada awal terapi sangat penting dilakukan, terutama dalam komitmen terapi jangka panjang. Komitmen tersebut membantu menurunkan angka morbiditas dan penggunaan NAPZA. Dokter/psikiater sering menghadapi pasien-pasien yang hanya ingin mengurangi penggunaan NAPZA hanya sampai “tingkat penggunaan NAPZA terkendali”. Misalnya, pada penggunaan alkohol, seorang pasien/klien meminta pertolongan kepada dokter/psikiater agar mampu mencapai tingkat yang stabil pada “peminum yang terkendali”. Keadaan tersebut hanya bersifat sementara saja. Umumnya, mayoritas pasien/klien perlu mendapat motivasi yang cukup untuk menerima abstinensia total sebagai sasaran terapi. Pada beberapa pasien, pencapaian abstinensia yang terus menerus (sustained anstinence) adalah sasaran jangka panjang. Karena itu, beberapa klinisi bersama-sama pasien, dengan alasan klinis menetapkan bahwa pengurangan penggunaan zat secara bertahap dan pengurangan frekuensi harmful dari penggunaan zat (tanpa abstinensia total) dapat dipahami sebagai sasaran antara (“intermediate goal”). Pandangan lain berpendapat bahwa sasaran “penggunaan zat terkendali” dianggap tidak mungkin dapat dicapai. Klinisi menganggap pasien/klien tidak pernah mampu mencapai dan mengerjakannya. Karena itu, mereka menganjurkan agar pasien/klien tidak perlu mencobanya sebab mereka sangat yakin bahwa setiap penggunaan zat sekecil apapun pasti dapat membawa risiko akut/ kronik (misalnya risiko tinggi menimbulkan efek harmful untuk dirinya atau
orang lain seperti pada transmisi hepatitis, HIV-AIDS). Klinisi percaya bahwa sasaran abstinensia total adalah prognosis yang terbaik. Pengalaman mereka menunjukkan bahwa membenarkan penggunaan NAPZA “terkendali”, tetap saja selalu disertai ketidak mampuan menahan diri, meningkatkan craving terhadap jenis NAPZA lain, melemahnya penilaian umum (baik moral maupun kesehatan) dan meningkatnya relaps. Mereka tetap menganggap bahwa pasien harus abstinensia total dari semua jenis bentuk NAPZA termasuk minuman alkohol. Pasien/klien yang menyetujui dan patuh kepada pencapaian abstinensia total sebagai sasaran, dinasehatkan tentang adanya kemungkinan mengalami kekambuhan dan berpartisipasi aktif dalam pengembangan rencana terapi termasuk di dalamnya metode deteksi dini dan intervensi pada episode relaps. 2. Mengurangi frekuensi dan keparahan relaps. Pengurangan frekuensi penggunaan NAPZA dan keparahannya merupakan sasaran kritis dari terapi. Fokus utama dari pencegahan relaps adalah membantu pasien/klien mengidentifikasi situasi yang menempatkan dirinya kepada risiko relaps dan mengembangkan respons alternatif asal bukan menggunakan NAPZA. Tergolong dalam situasi berisiko tinggi adalah craving, yaitu suatu fenomena rumit yang terjadi sebagai akibat respon fisiologik menahun terhadap gejala-gejala withdrawal putus zat atau respons yang selama ini dialaminya secara klasik terhadap adanya isyarat-isyarat yang dikaitkan dengan tersedianya NAPZA atau respons unik yang menahun bila mereka mengalami withdrawal. Pada beberapa pasien/klien, situasi sosial atau interpersonal dapat merupakan faktor berisiko terjadinya relaps. 3. Perbaikan dalam fungsi psikologi dan penyesuaian fungsi sosial dalam masyarakat. Gangguan penggunaan NAPZA sering dikaitkan dengan masalah psikologi dan sosial, melepaskan diri dari hubungan antar teman dan keluargal, kegagalan dalam performance di sekolah maupun dalam pekerjaan, masalah finansil dan hukum dan gangguan dalam fungsi kesehatan umum. Sering juga adiksi NAPZA dikaitkan dengan kegagalan pasien/klien dalam mengembangkan keterampilan mengatasi persoalan dalam kelompok usia sebayanya, bahkan secara bertahap terjadi penurunan dari fungsi-fungsi tersebut. Pasien/klien adiksi NAPZA mengalami kesulitan di sekolah dan selalu tampak menonjol di masyarakat. Mereka memerlukan terapi spesifik untuk memperbaiki gangguan hubungannya dengan orang lain tersebut, mengurangi impulsivitas yang terjadi, mengembangkan keterampilan sosial dan vokasional serta mempertahankan status dalam pekerjaannya di samping mempertahankan dirinya semaksimal mungkin agar tetap dalam kondisi bebas zat. Tahapan Terapi
Proses terapi adiksi zat umumnya dapat dibagi atas beberapa fase, yaitu: 1. Fase Penilaian (assesment phase), sering disebut dengan fase penilaian awal (initial intake), pada fase ini diperoleh informasi dari pasien/klien tentang gambaran crosssectional dan longitudinal yang dinilai secara kritis dan integratif. Dalam melakukan penilaian terhadap pasien/klien yang dicurigai menggunakan zat, maka perlu dilakukan evaluasi psikiatrik yang komprehensif. Informed consent dapat diperoleh dari pasien. Informasi juga dapat diperoleh dari anggota keluarga, karyawan sekantor, atau orang yang menanggung biaya. Termasuk yang perlu dinilai adalah: - Penilaian yang sistematik terhadap tingkat intoksikasi, keparahan gejala-gejala putus zat, dosis zat terbesar yang digunakan terakhir, lama waktu setelah penggunaan zat terakhir, awitan gejala, frekuensi dan lamanya penggunaan, efek subjektif dari semua -
jenis-jenis NAPZA lain selain yang menjadi pilihan utama pasien/klien. Riwayat medik dan psikitri umum yang komprehensif, termasuk status pemeriksaan fisik dan mental lengkap, untuk memastikan ada atau tidaknya gangguan kormobiditas psikiatrik dan medik seperti tanda-tanda dan gejal-gejala intoksikasi atau withdrawal.
-
Pada beberapa kasus diindikasikan juga pemeriksaan psikologik dan neuropsikologik. Riwayat terapi gangguan penggunaan NAPZA sebelumnya, termasuk karakteristik berikut: setting terapi, kontekstual (voluntary, non-voluntary), modalitas terapi yang digunakan, kepatuhan terhadap program terapi, lamanya (singkat 3 bulanan, intermediate sedang 1 tahun, dan hasil dengan program jangka panjnag berikut dengan jenis NAPZA yang digunakan, level fungsi sosial dan okupasional yang telah dicapai dan variabel hasil terapi lainnya. Harus didiskusikan juga upaya-upaya untuk mengendalikan atau menghentikan penggunaan NAPZA sebelumnya, termasuk juga sikap pasien terhadap terapi-terapi yang telah dilakukan sebelumnya serta pengalaman-
-
pengalaman pasien ketika tidak mendapat terapi. Riwayat penggunaan NAPZA sebelumnya, riwayat keluarga, dan riwayat sosioekonomik lengkap, termasuk informasi tentang kemungkinan adanya gangguan penggunaan NAPZA dan gangguan psikiatri pada keluarga, faktor-faktor dalam keluarga yang mengkontribusi penggunaan NAPZA terus menerus (perilaku enabling), penyesuaian sekolah dan vokasional, hubungan dalam kelompok sebaya, masalah finansil dan hukum, pegaruh lingkungan kehidupan sekarang terhadap kemampuannya untuk mematuhi terapi agar tetap abstinensia di komunitasnya, karakteristik lingkungan pasien/klien ketika menggunakan NAPZA (di mana, dengan siapa, berapa kali/banyak, bagaimana cara penggunaanya: suntik, hisap, sedot, atau dragon).
-
Penapisan urin dan darah kualitatif dan kuantitatif untuk jenis-jenis NAPZA yang disalahgunakan, pemeriksaan laboratorium lainnya terhadap abnormalitas yang diakitkan dengan penggunaan NAPZA akut atau menahun. Pemeriksaan tersebut kelak
-
digunakan selama terapi untuk pemantauan potensi terjadinya relaps. Skrining penyakit infeksi dan penyakit lain yang sering ditemukan pada pasien/klien ketergantungan NAPZA (seperti HIV, tuberculosis, hepatitis). Khusus pada beberapa kasus dengan adanya fungsi immunitas yang mengkhawatirkan, yang umumnya berisiko tingi untuk gangguan penggunaan zat, perlu dilakukan pemeriksaan yang
lebih rinci. 2. Fase Terapi Detoksifikasi, sering disebut dengan fase terapi withdrawal atau fase terapi intoksikasi. Fase ini memiliki beragam variasi, antara lain: - Rawat inap dan rawat jalan - Intensive out-patient treatment, terapi residensi, home based detoxification program - Cold Turkey, terapi simptomatik - Rapid detoxification, Ultra Rapid Detoxification - Detoksifikasi dengan menggunakan: a. Kodein dan Ibuprofen b. Klontrex (klonidin dan naltrekson) c. Buprenorfin d. Metadon Bila program terapi selanjutnya adalah terapi substitusi, maka tidak perlu dilakukan terapi detoksifikasi, tetapi terapi withdrawal. Namun bila terapi selanjutnya adalah terapi yang berorientasi abstinensia maka mutlak dilakukan terapi detoksifikasi. Dalam setting One Stop Center, umumnya fasilitas-fasilitas sejenis mutlak harus disediakan dengan jelas. 3. Fase Terapi Lanjutan. Dalam fase ini perlu dikembangkan dan diimplementasikan strategi terapi secara keseluruhan. Tergantung kepada keadaan klinis, strategi terapi harus ditekankan kepada individual’s need agar tetap drug free atau menggunakan program terapi substitusi (seperti antagonis-naltrekson, agonis-metadon, partial-agonis buprenorfin). Gangguan penggunaan NAPZA dapat mempengaruhi banyak aspek kehidupan dan fungsi pecandu sehingga seringkali mereka membutuhkan multi-modalitas terapi yang beragam. Beberapa komponen terapi difoukuskan secara langsung kepada penggunaan NAPZA, dan yang lainnya berfokus pada kondisi-kondisi yang turut mengkontribusi terjadinya gangguan penggunaan NAPZA itu sendiri. Tergantung pada filosofi yang mendasarinya, ada beberapa variasi: a. Program Terapi Substitusi, ada Antagonis (naltrekson), Agonis Parsial (buprenorfin) atau dengan Full Agonist (metadon)
b. Program Terapi yang berorientasi abstinensia, ada therapeutic community, The 12step Recovery Program, Narcotic Anonymous, SMART recovery, Faith-based Recovery Program. Umumnya terapi yang baik berjalan antara 24 sampai 36 bulan. Terapi yang lamanya kurang dari jangka waktu tersebut, umumnya memiliki relapse rate yang tinggi. Beberapa ahli menyarankan aftercare program setealah terapi jangka panjang. Bentuk aftercare program adiksi NAPZA juga bervariasi. Terapi Substitusi Terapi substitusi sering juga disebut dengan terapi rumatan (“maintenance”). Karakteristik obat yang ideal untuk terapi rumatan: -
Rendah potensi untuk didiversikan Lamanya aksi cukup panjang Potensi rendah menggunakan zat lain selama terapi Toksisitas rendah untuk terjadinya overdose Fase detoksifikasi harus singkat, sederhana, dan gejala-gejala rebound withdrawal
-
minimal Memfasilitasi abstinensia terhadap opioid ilegal lain Pasien menerimanya dengan ikhlas dan baik
Tidak ada satu obatpun yang memenuhi persyaratan “ideal” tersebut. Untuk ketergantungan opioid, beberapa jenis obat yang “mendekati” kriteria karakteristik tersebut, seperti: -
Agonis : metadon Partial agonis : buprenorpin Antagonis : naltrekson Terapi rumatan yang tersedia di Indonesia, antara lain: Buprenorfin SL dan Metadon.
Metadon hanya masuk melalui akses khusus resmi pemerintah. Methadone Maintenance Treatment Program Sejak tahun 1960 an di Amerika dan Eropa, penggunaan metadon sebagai suatu substitusi opioid yang bersifat agonis dan long acting, merupakan terapi baku untuk pasien ketergantungan opioid. Klinik-klinik metadon berkembang di beberapa tempat dengan variasi program. Di AS terapi metadon disingkat dengan MMTP dan di Indonesia disebut dengan
PTRM atau Program Terapi Rumatan Metadon. Hasil cukup baik, bila diselenggarakan dalam program yang terstruktur dan dilaksanakan dengan baik. Metadon efektif secara oral, berpengaruh selama 24 jam, sehingga pasien harus meminumnya dalam program setiap hari. Beberapa kelemahan terapi metadon: harus memerlukan datang ke fasilitas kesehatan sekali sehari, terjadinya overdosis, ketergantungan sampai menaikkan dosis metadon, dan kemungkinan tejadinya peredaran ilegal metadon. LAAM-Levo alpha acetyl methadol, salah satu derivat metadon dengan efek durasi yang cukup panjang (72 jam), potensi abuse dan withdrawal berkurang. Dengan LAAM, pasien tidak perlu datang setiap 24 jam ke klinik metadon. LAAM diberikan secara take home dan kepatuhan pasien mengikuti program menjadi lebih baik. Karena adanya beberapa kasus cardiac arrest, maka LAAM ditarik dari peredaran. Buprenorphin- Partial Agonist Buprenorfin dewasa ini menjadi obat yang paling populer di banyak negara sebagai terapi rumatan bagi pasien pasien ketergantungan opioid. Seperti levacetyl-methadol, buprenorphin juga dapat diberikan 2 sampai 3 kali dalam seminggu karena masa aksinya yang panjang. Karena kemungkinan disalahgunakan, kombinasi formula buprenorfin dan nalokson telah digunakan untuk terapi ketergantungan opioid.buprenorfin mengurangi efek agonis opioid dan mengurangi potensi menekan sentra pernafasan. Gejala-gejala withdrawal lebih mudah dikendalikan. Pada pemberiaan awal dapat menimbulkan precipitated withdrwal. Buprenorphine diberikan secara sublingual. Sampai saat ini, buprenorfin menjadi satusatunya yang paling signifikans untuk adiksi heroin di Indonesia. Naltrekson- Opiate Antagonist Maintenance Treatment Program Farnakoterapi rumatan dapat dilakukan dengan menggunakan naltrekson. Program terapi tersebut dikenal dengan istilah Opamat-ED (Opiate antagonist Maintenance Therapy) yang merupakan komninasi antara farmakoterapi dan konseling kelompok Opamat-ED dimulai ketika setelah pasien berhasil menyelesaikan terapi rapid detox atau 1-2 minggu “clean” pada terapi detoksifikasi konvensional. Tujuan terapi adalah untuk mengurangi risiko relaps dan mencegah terjadinya ketergantungan fisik kembali. Ada banyak cara pemberiandosis harian naltrekson, antara lain dengan pemberian naltrekson 50 mg setiap hari atau dosis 100 mg/100 mg/150 mg dalam waktu 3 kali seminggu. Pemeberian naltrekson disarankan sekurang-kurangnya selam satu tahun.
Pemberian naltrekson disarankan sekurang-kurangnya selamanya satu tahun. Angka drop out dengan penggunaan naltrekson cukup tinggi khususnya kalau terapi tergantung pada hanya pemberian naltrekson tanpa relapse prevention therapy atau training. Namun program terapi naltrekson sangat bermanfaat untuk pasien yang mempunyai motivasi tinggi, dukungan keluarga yang kuat serta sedang meniti jenjang karir dalam pekerjaan atau legitimate. Umumny pemberian naltrekson digunakan sebagai tool dalam relapse prevention. Angka drop out cukup tinggi. Tujuan Terapi Rumatan Terapi rumatan ketergantungan oipiod bertujuan, antara lain: -
Mencegah atau mengurangi terjaidnya craving terhadap opioid ilegal Mencegah relaps untuk menggunakan kembali opioid Restrukturisasi kepribadian Memperbaiki fungsi fisiologi organ yang telah rusak akibat penggunaan opioid Penelitian menunjukan program terapi substitusi sangat bermanfaat untuk menekan
angka kriminal, mencegah transmisi HIV/AIDS dan blood borne disease lainnya dan pemulihan life style. Penggunaan farmakoterapi dalam program terapi bertujuan untuk: -
Menambah “holding power” untuk pasien yang berobat jalan sehingga menekan biaya
-
pengobatan Menciptakan suatu “window of oppurtunity” sehingga pasien dapat menerima
-
intervensi psikososial selama terapi rumatan dan mengurangi risiko Mempersiapkan kehidupan yang produktif selama menggunakan terapi rumatan.