Energi, Sumberdaya Alam dan Lingkungan, BPPT
Jakarta, 4-5 Juli 2001
KARAKTERISTIK SUMBERDAYA DAN PROSES PESISIR: ALASAN PERLUNYA KERJASAMA DALAM MENGELOLA WILAYAH PESISIR Oleh: Wahyu Budi Setyawan Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI, Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur, Jakarta Utara 14430 Tlp 02164713850, Fax 02164711948 E-mail:
[email protected] Abstrak Sumberdaya dan proses pesisir berkaitan erat satu sama lain dengan pola keterkaitan yang kompleks, dan batas penyebaran kehadirannya tidak mengikuti batas-batas yang ditentukan oleh manusia. Untuk mengelolanya agar dapat mendatangkan keuntungan dan tidak mendatangkan kerugian diperlukan suatu rezim pengelolaan wilayah pesisir yang terpadu. Salah satu hal yang penting dalam hal itu adalah diperlukan adanya keterpaduan dalam kerjasama dan koordinasi antar instansi pemerintah baik vertikal maupun horizontal. Dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, eforia otonomi menyebabkan usaha membangun keterpaduan itu menjadi persoalan tersendiri. Pemahaman karakteristik sumberdaya dan proses wilayah pesisir diharapkan membangkitkan semangat kerjasama dalam mengelola wilayah pesisir. Diberikan beberapa contoh kasus persoalan pengelolaan wilayah pesisir dari berbagai negara untuk memperkuat alasan perlunya kerjasama dalam mengelola wilayah pesisir. Kata Kunci: pengelolaan wilayah pesisir, sumberdaya, proses, otonomi daerah, konflik.
1. PENDAHULUAN Kebijakan pemerintah tentang otonomi daerah memberikan kesempatan kepada daerah-daerah di Indonesia untuk mengelola sendiri wilayah pesisir masing-masing. Menyusul kebijakan tersebut, membayang persoalan besar tentang bagaimana pengelolaan wilayah pesisir. Gambaran umum yang ada sekarang adalah bahwa otonomi daerah meningkatkan rasa kedaerahan di tiap-tiap daerah, terutama pada level kabupaten. Selain itu, dalam kaitannya dengan pengelolaan wilayah pesisir, kita belum memiliki pengalaman yang cukup untuk mengelola wilayah pesisir yang memadai. Dengan keadaan demikian itu, ditambah dengan tingkat ketergantungan suatu daerah akan sumberdaya yang berbeda-beda, maka akan sangat mungkin terjadi konflik dalam pengelolaan wilayah pesisir. Dalam mengelola sumberdaya wilayah pesisir sekarang ini, telah banyak muncul berbagai teori maupun contoh-contoh praktek di lapangan yang dapat dipelajari dari berbagai publikasi. Meskipun demikian diakui bahwa tidak ada satu resep khusus yang
dapat diterapkan dimana-mana, karena setiap daerah mempunyai persoalan masing-masing yang unik. Namun demikian, satu hal yang pasti adalah diperlukannya adanya kerjasama dan koordinasi yang baik dalam pengelolaan wilayah pesisir (vide Dahuri et al., 1996; Brown, 1997; Cicin-Sain dan Knecht, 1998; dan Kay dan Alder, 1999). Sumberdaya atau proses-proses yang penyebarannya melintasi batas negara, diperlukan kerjasama antar negara untuk mengelolanya; sedang bila keduanya hanya berada dalam satu negara, persoalannya juga belum tentu sederhana. Diperlukan kerjasama dan koordinasi vertikal maupun horizontal dari berbagai tingkat pemerintahan. Di Indonesia sekarang, setelah berlakunya undang-undang otonomi daerah, karena pengalaman sejarah, kerjasama dan koordinasi vertikal terasa mengalami kegamangan (vide Mulyadi, 2001; Anonim_isw, 2001). Demikian pula dengan kerjasama horizontal, kegamangan terjadi karena tiap daerah merasa merdeka (vide Anonim_msh, 2001). Dengan demikian, menghilangkan kegamangan dalam bekerjasama dan berkoordinasi itu dapat menjadi persoalan tambahan dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu.
L-23
Energi, Sumberdaya Alam dan Lingkungan, BPPT
Prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman pengelolaan wilayah pesisir dapat dikembangkan antara lain berdasarkan pada karakteristik sumberdaya dan proses-proses yang ada di wilayah pesisir itu (Cicin-Sain dan Knecht, 1996). Oleh karena itu, pemahaman akan karakteristik sumberdaya dan proses di wilayah pesisir merupakan hal yang penting untuk dipahami sebelum menentukan kebijakan pengelolaannya. Dalam kaitannya dengan pengelolaan wilayah pesisir, ada dua karakter penting yang perlu diperhatikan dari sumberdaya dan proses-proses yang ada, yaitu (1) kehadiran keduanya tidak mengikuti batas-batas yang ditentukan oleh manusia, melainkan oleh kondisi lingkungan setempat, dan (2) berkaitan erat satu sama lain, baik antar sumberdaya atau antar proses, maupun antara sumberdaya dan proses. Tulisan ini mencoba memberikan gambaran tentang karakteristik sumberdaya dan proses-proses di wilayah pesisir dengan memberikan berbagai contoh; dengan harapan dapat memperjelas dan memperkuat pemahaman tentang perlunya kerjasama dan koordinasi dalam pengelolaan wilayah pesisir, sehingga dapat memudahkan dalam menjalin hubungan kerjasama dan koordinasi dalam pengelolaan wilayah pesisir. Di sini pembicaraan akan dibatasi pada sumberdaya air (aliran sungai), perikanan, dan proses transportasi sedimen sepanjang pantai.
2. SUMBERDAYA AIR Air tawar adalah salah satu sumberdaya yang penting bagi wilayah pesisir. Air tersebut dapat berupa air tanah maupun air permukaan yang berupa aliran sungai. Di sini, pembicaraan difokuskan pada sumberdaya aliran sungai. Kehadiran suatu aliran sungai di suatu daerah berkaitan erat dengan kondisi geologi daerah tersebut. Hulu sungai dari suatu aliran sungai dapat berada dekat dengan wilayah pesisir, dan dapat pula jauh di pedalaman, sedang muaranya berada di daerah pesisir. Suatu sistem aliran sungai umumnya terdiri dari sungai utama dan cabang-cabangnya atau anak-anak sungai yang mengalirkan airnya ke sungai utama. Selanjutnya, dari suatu sistem aliran sungai dikenal dengan apa yang disebut dengan Daerah Aliran Sungai (DAS atau watershed area). Secara sederhana, DAS dapat didefinisikan sebagai
L-24
Jakarta, 4-5 Juli 2001
daerah dari suatu aliran sungai yang bila air hujan jatuh di daerah itu maka aliran air akan masuk ke dalam sistem aliran sungai dari daerah itu. Air adalah unsur utama dari suatu aliran sungai. Melalui air itulah segala bentuk aktifitas atau peristiwa yang terjadi di daerah hulu sungai efeknya akan sampai ke daerah hilir atau pesisir. Selain itu, air sungai itu sendiri diperlukan untuk berbagai kebutuhan hidup seperti dikonsumsi sebagai air minum, untuk pengairan lahan pertanian, pembangkit tanaga listrik dan berbagai kebutuhan lainnya. Muara sungai di daerah pesisir dapat berupa sebuah delta atau sebuah estuari. Di kawasan delta atau estuari di daerah tropis umumnya terdapat hutan mangrove. Estuari adalah kawasan yang rentan terhadap dampak-dampak karena pembangunan, seperti: kenaikan temperatur kari pembangkit listrik, penurunan oksigen terlarut karena kegiatan pengerukan atau penambangan, penurunan fitoplankton dan produksi lamun karena kekeruhan yang disebabkan oleh erosi atau pengerukan, stres kronis karena bahan pencemar, kerusakan habitat lahan basah (Salm, 1989).
3. SUMBERDAYA PERIKANAN Pada perikanan pesisir dikenal akan adanya habitat-habitat kritis. Hal ini berkaitan dengan siklus kehidupan dari spesies-spesies hewan yang menjadi komoditas perikanan pantai, seperti jenis-jenis ikan dan udang. Ikan misalnya, pada setiap tahap perkembangan kehidupannya membutuhkan habitat yang berbeda, sehingga dalam dunia perikanan dikenal adanya berbagai tempat yang berkaitan dengan aktifitas dan siklusnya dengan habitat yang berbeda. Tempat-tempat tersebut antara lain adalah daerah pemijahan, daerah asuhan, dan tempat mencari makan. Tempat-tempat tersebut dapat berupa daerah terumbu karang, padang lamun, atau kawasan hutan mangrove. Selain itu juga dikenal adanya jalur migrasi, jalur yang biasa dipakai oleh suatu jenis ikan tertentu untuk bermigrasi. Disebutkan oleh Salm (1989) bahwa banyak lokasi penangkapan ikan dunia umumnya terletak dekat dengan daerah pesisir yang memiliki hutan mangrove dan padang lamun, atau rawa garam untuk daerah subtropis. Ada keterkaitan antara kondisi habitat-habitat kritis dengan tingginya
Energi, Sumberdaya Alam dan Lingkungan, BPPT
Jakarta, 4-5 Juli 2001
Gambar 1. Siklus hidup ikan Gray Snapper (Lutjanus griseus) dan habitat-habitat kritisnya (Odum, 1982; dikutip dari Salm, 1989 hal. 274).
produksi perikanan pesisir. Dengan demikian kehilangan atau kerusakan habitat kritis akan menyebabkan turunnya produksi perikanan. Studi yang dilakukan oleh Martosubroto dan Naamin (1977) di Indonesia menunjukkan korelasi positif antara luas areal mangrove dengan produksi udang yang ditangkap di perairan di dekatnya. Sebagai ilustrasi keterkaitan antara habitat-habitat kritis dengan sumberdaya perikanan dapat dilihat gambaran tahapan siklus hidup ikan Gray Snapper (Lutjanus griseus) berikut ini yang diberikan oleh Stark dan Schroeder (1971 vide Salm, 1989 h. 274). Gambar 1 memperlihatkan lokasi-lokasi dari tahapan siklus yang berbeda dari ikan tersebut. Ikan tersebut memijah di daerah terumbu karang. Setelah sekitar dua minggu postlarva bergerak ke arah pantai masuk ke daerah padang lamun. Di daerah padang lamun ikan itu mendapat makanan yang baik dan perlindungan. Setelah juvenil mencapai panjang sekitar 70 mm, ikan itu berpindah lagi ke arah pantai, masuk ke habitat perakaran mangrove. Di daerah mangrove, ikan itu dapat bergerak ke arah salinitas yang lebih rendah atau tetap di air laut bersalinitas tinggi. Setelah dewasa, ikan tersebut kembali lagi ke daerah terumbu karang dan memijah. Setelah memijah, ikan dewasa tetap berada di kawasan terumbu, sedang larva menjalani siklus seperti induknya tadi. Dari contoh ini
terlihat bahwa daerah terumbu karang, padang lamun, dan kawasan hutan mangrove merupakan habitat-habitat kritis bagi ikan tersebut. Perlu diketahui bahwa setiap jenis ikan memiliki pola siklus yang berbeda yang membutuhkan habitat-habitat yang berbeda pula untuk setiap tahapan siklusnya itu. Gambaran tentang ikan pelagis dapat dilihat dari contoh berikut ini, tentang ikan Indo-Pacific mackerel (Rastrellinger brachysoma) di perairan Teluk Thailand. Ikan tersebut merupakan ikan pelagis komersil di Thailand, dengan daerah penangkapan di Teluk Thailand (Poopetch dan Rungruangsilpa, 1991). Gambar 2 memperlihatkan pola migrasi ikan tersebut di Teluk Thailand. Jalur migrasi itu sekitar 550 km dan melintasi perairan pesisir beberapa propinsi. Di daerah pesisir di teluk itu banyak terdapat mangrove.
4. TRANSPORTASI SEDIMEN SEPANJANG PANTAI Pergerakan sedimen sepanjang pantai adalah salah satu proses geologi yang penting di daerah pesisir. Faktor-faktor penting yang terlibat dalam proses ini adalah (1) muatan sedimen, dan (2) pergerakan arus di sepanjang pantai. Sumber utama muatan sedimen itu adalah dari daratan yang masuk
L-25
Energi, Sumberdaya Alam dan Lingkungan, BPPT
Jakarta, 4-5 Juli 2001
Gambar 2. Pola migrasi ikan Indo-Pacific mackerel (Rastrelliger brachysoma) di Teluk Thailand (Oil Chem. Ltd., 1985; dikutip dari Poopetch dan Rungruangsilpa, 1991 hal. 180).
melalui aliran sungai, hasil erosi tebing pantai, serta transportasi sepanjang pantai dari daerah lain (Komar, 1976). Sementara itu, pergerakan arus di sepanjang pantai berkaitan erat dengan arah datang gelombang laut terhadap garis pantai, dan arah dan kekuatan gelombang ditentukan oleh arah dan kekuatan tiupan angin, serta kedalaman perairan. Ada 2 sistem arus yang muncul karena induksi gelombang di daerah pesisir, yang mendominasi pergerakan air di sepanjang pantai disamping pergerakan gelombang. Sistem itu adalah (1) sistem sirkulasi sel arus rip dan arus sepanjang pantai yang berasosiasi dengannya, dan (2) arus sepanjang pantai karena gelombang mendekati pantai dengan arah miring (Komar, 1976). Sebagaimana diketahui bahwa bila gelombang mendekati suatu garis pantai yang lurus dengan sudut datang miring,
L-26
terbentuklah arus sepanjang pantai yang mengalir sejajar dengan garis pantai di zona dekat pantai. Arus ini sangat penting dalam transportasi sedimen sepanjang pantai. Apabila garis pantai tidak lurus, maka gerakan arus sepanjang pantai akan menimbulkan arus rip yang bergerak ke arah laut. Arus inilah yang membawa muatan sedimen ke bagian laut yang lebih dalam. Arah transportasi sedimen di daerah pesisir kadang-kadang dapat ditentukan dari pengamatan terhadap konfigurasi garis pantai di sekitar struktur-struktur pantai, baik yang alamiah atau buatan manusia (Gambar 3).
5. KESEIMBANGAN GARIS PANTAI Wilayah pesisir adalah tempat berinteraksinya kekuatan-kekuatan asal darat dan asal laut. Dalam konteks pembicaraan
Energi, Sumberdaya Alam dan Lingkungan, BPPT
Jakarta, 4-5 Juli 2001
Gambar 3. Arah arus dan pola garis pantai di sekitar strukturstruktur pantai (dikutip dari Komar, 1976 hal. 240).
tentang erosi dan sedimentasi dalam kaitannya dengan keseimbangan garis pantai, secara sederhana, kekuatan asal darat dapat diwakili oleh suplai sedimen ke wilayah pesisir, sedang kekuatan asal laut oleh kekuatan gelombang dan arus untuk mentransport sedimen yang dimasukkan dari darat melalui sungai. Apabila kekuatan asal darat lebih besar dari pada kekuatan asal laut, maka terjadi sedimentasi di pantai. Sebaliknya, bila kekuatan asal laut lebih kuat dari pada kekuatan asal darat, maka terjadi erosi pantai. Keadaan makin besarnya kekuatan asal darat dapat dilihat dari makin besarnya debit aliran sungai maupun suplai sedimen ke laut melalui sungai. Hal ini dapat terjadi terutama karena pembukaan lahan di DAS atau penggabungan aliran sungai. Dalam hal ini, apabila kekuatan asal laut di daerah muara sungai tidak ikut membesar, maka akan terjadi sedimentasi di perairan pesisir. Sedimentasi yang terjadi dapat menggeser garis pantai ke arah laut karena perluasan daratan, dan dapat pula menutupi daerah padang lamun atau terumbu karang, yang dapat menyebabkan kerusakan pada kedua ekosistem itu. Di sisi lain, kekuatan asal laut dapat membesar karena berbagai sebab. Kekuatan gelombang yang memukul ke pantai dapat membesar karena perubahan kedalaman perairan, baik karena kegiatan pengerukan,
pasang surut, atau karena kenaikan muka laut global; meningkatnya kekuatan tiupan angin pada waktu badai, atau karena tsunami. Dalam kehidupan sehari hari, yang sering terjadi adalah perubahan kedalaman karena pengerukan dan pasang surut. Selain itu, perubahan keseimbangan kekuatan dimana kekuatan asal laut menjadi lebih kuat dari pada kekuatan asal daratan, dapat terjadi karena pembangunan bangunan pengontrol aliran sungai, seperti dam atau bendungan, atau karena pengalihan aliran sungai. Kegiatan-kegiatan tersebut menyebabkan berkurangnya debit aliran sungai dan muatan sedimen yang masuk ke daerah pesisir. Dalam keadaan demikian, maka hal-hal berikut ini dapat terjadi, yaitu garis pantai akan mengalami erosi; di estuari, batas air asin dan air tawar bergeser ke arah darat; di dataran pantai dapat terjadi intrusi air laut; di kawasan hutan mangrove dapat terjadi kematian mangrove di bagian belakang.
6. BEBERAPA CONTOH KASUS 6.1. Pendangkalan Lagoon Segara Anakan Segara Anakan adalah sebuah lagoon, yang merupakan sebuah teluk yang terkurung oleh daratan dengan dua celah penghubung yang menghubungkan perairan lagoon itu dengan Samudera Hindia. Beberapa sungai
L-27
Energi, Sumberdaya Alam dan Lingkungan, BPPT
bermuara di lagoon itu. Sungai-sungai tersebut dapat dikelompokkan menjadi sungai-sungai yang berasal dari DAS Segara Anakan dan DAS Cintanduy. DAS Citanduy mencakup daerah seluas 350.000 ha, sedang DAS Segara Anakan hanya 96.000 ha (PRCECI, 1975 vide Purba, 1991). Segara geografis, Segara Anakan berada di dalam wilayah Propinsi Jawa Tengah, sedang DAS Citanduy sebagian besar berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Purba (1991) menyebutkan bahwa perairan lagoon Segara Anakan semakin menyempit dan semakin dangkal. Karena ukurannya makin kecil, pergerakan air masuk dan ke luar Segara Anakan menjadi terganggu sehingga sehingga mempercepat laju sedimentasi. Alur-alur yang semakin sempit menyebabkan pengeluaran air menjadi semakin sulit. Akibatnya adalah sering terjadi banjir di daerah yang rendah, alur-alur pelayaran perlu dikeruk, produksi perikanan menurun. Sumber sedimen yang masuk terutama berasal dari DAS Citanduy dan DAS Segara Anakan. Menurut Napitupulu dan Ramu (1980 vide Purba, 1991), muatan sedimen yang masuk ke Segara Anakan dari DAS Citanduy adalah 15,2 juta ton per tahun, dan 2,2 juta ton per tahun dari DAS Segara Anakan. Rencana penyelamatan lagoon itu adalah dengan jalan melakukan sodetan terhadap aliran sungai Citanduy. Sodetan itu dimaksudkan untuk mengalihkan muatan sedimen dari Citanduy agar tidak masuk ke Segara Anakan. Direncanakan, aliran sungai tersebut dialihkan ke Pantai Pangandaran. Rencana tersebut ditentang oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Ciamis dengan alasan akan menyebabkan kerusakan ekosistem pantai, dan akan merusak daerah wisata Pantai Pangandaran (Anonim, 2000). 6.2. Degradasi DAS di Costa Rica (Mack et al., 1992) Ancaman yang serius terhadap sumberdaya pesisir dan laut di Costa Rica adalah berasal dari penebangan hutan, polusi, dan penggunaan lahan DAS yang tidak ramah lingkungan. Walaupun peraturan yang mengatur penebangan hutan dan polusi di DAS ada, tetapi tidak menyeluruh atau terpadu, dan administrasi tersebar diberbagai lembaga yang besar. Dengan demikian, pelaksanaannya menjadi lemah.
L-28
Jakarta, 4-5 Juli 2001
Penyebab utama kerusakan DAS adalah penebangan hutan. Problem ini sangat rumit, dipengaruhi oleh berbagai persoalan ekonomi dan sosial. beberapa diantaranya adalah pencarian lahan baru oleh perusahaan agribisnis besar, peternakan, spekulator dan petani subsisten, dan industri kayu yang agresif. Penebangan hutan menyebabkan air hujan cepat mencapai sungai-sungai, meningkatkan kesempatan terjadinya banjir, dan menambah panjang periode kekeringan. Tetapi, problem terbesar adalah erosi tanah. Curah hujan yang tinggi berkombinasi dengan lahan yang berlereng terjal menyebabkan erosi yang serius di lahan-lahan terbuka karena penebangan hutan. Erosi tidak saja menurunkan kemampuan produksi lahan, tetapi juga memberikan dampak bagi daerah pesisir dan sumberdaya laut. Contoh terbaik dari dampak degradasi DAS terhadap sumberdaya laut adalah kerusakan berat terumbu karang di pantai Atlantik. Terumbu karang yang terletak di kawasan di antara muara sungai Esterella dan Sixaola sangat penting bagi Costa Rica (Gambar 4). Peduli dengan kematian terumbu karang di daerah itu, pemerintah menetapkan Cahuita National Park pada tahun 1979 dan Gandoca Manzanillo National Wildlife Refuge tahun 1987. Meskipun demikian, kerusakan terumbu karang tidak dapat dihindari. Sampai tahun 1987, sekitar 75 % koral pembentuk terumbu di seluruh pantai Atlantik mati. Ikan-ikan daerah tropis menjadi jarang. Muncul kekhawatiran bahwa degradasi terumbu karang dan lagoon Gandoca, yang diketahui sebagai satu-satunya tempat memijah ikan Tarpon di Costa Rica, dapat menyebabkan kehilangan jutaan dolar dari kegiatan olah raga memancing di lepas pantai Tortuguero. Karena persentase tutupan koral hidup di daerah terumbu adalah penentu utama produktifitas, baik populasi ikan maupun invertebrata, maka kehilangan koral hidup dapat menyebabkan tragedi lingkungan dan sosial. Implikasi sosial membentang, berupa pengurangan makanan dan mata pencaharian dari kehidupan laut terasa oleh penduduk di pesisir Limon dan Talamanca. Peningkatan sedimentasi dari Rio Esterella, yang mengurangi cahaya dan oksigen terlarut, adalah penyebab utama kematian terumbu karang. Peningkatan sedimen itu terutama disebabkan oleh penebangan hutan dan aliran permukaan dari
Energi, Sumberdaya Alam dan Lingkungan, BPPT
Jakarta, 4-5 Juli 2001
Gambar 4. Peta aliran sungai utama di Costa Rica. Hasil kompilasi beberapa gambar dari Mack et al. (1992).
perkebunan pisang yang luas di lembah Rio Esterella. Kontaminasi dari kegiatan komersil, pemukiman dan perseorangan terutama di Port of Limon adalah juga penyumbang bagi kematian terumbu karang itu. Penyembuhan dari keadaan itu hanya mungkin dilakukan bila problem yang mempengaruhi DAS dan kontaminasi dari perkotaan diselesaikan. 6.3. Delta Sungai Nil dan Bendungan Aswan (Frihy dan Lotfy, 1994) Delta Sungai Nil mempunyai dua mulut yang berbentuk tanjung (promontory), yaitu Rosetta dan Danietta. Dalam uraian ini, yang dibicarakan adalah promontori Rosetta. Antara tahun 1800 sampai 1900, promontori itu bertambah ke arah laut sejauh sekitar 9 km. Fase erosi dimulai sekitar tahun 1900 dengan laju mundur garis pantai –53 sampai –58 meter per tahun. Perubahan dari fase
progradasi ke retrogradasi terutama disebabkan oleh pengurangan debit dan muatan sedimen sungai Nil yang mengalir ke muara Rosetta, karena pembangunan bangunan pengontrol aliran air di sepanjang sungai Nil. Kemudian, sejak selesainya pembangunan High Aswan Dam pada tahun 1964, muatan sedimen di mulut-mulut sungai Nil berkurang sampai mendekati nol. Akibatnya, terjadi erosi yang dramatis pada promontori itu. 6.4. Konflik Sungai Eufrat (Frederick, 1996) Sungai Eufrat mengalir melalui negara Turki, Siria, dan Irak, dan kemudian bermuara di Teluk Persia. Sumber air sungai itu 90 % berasal dari wilayah Turki. Dalam 30 tahun terakhir, beberapa kali perselisihan antara Turki, Siria, dan Irak mengenai pembangunan
L-29
Energi, Sumberdaya Alam dan Lingkungan, BPPT
dan penggunaan sungai Eufrat hampir berakhir dengan konflik bersenjata. Perselisihan muncul tahun 1960-an ketika Turki dan Siria mulai merencanakan pemanfaatan air berskala besar untuk irigasi. Konflik itu memanas dalam tahun 1974 ketika Irak menyerang dengan membom bendungan di Tabqa, Siria, dan mengerahkan tentara ke sepanjang perbatasan karena berkurangnya aliran sungai itu yang mereka terima. Dengan selesainya Bendungan Attaturk pada bulan januari 1990, Turki berada pada posisi puncak untuk mempengaruhi aliran sungai itu. Dam tersebut berpotensi mendatangkan keuntungan bagi seluruh negara yang berada dalam DAS Eufrat dengan mengurangi ketidak-menentuan aliran alamiah sungai itu. Tetapi bendungan itu juga memberikan kepada Turki senjata air yang potensial yang dapat dipergunakan melawan negara-negara di bagian hilir. Bendungan Attaturk dan proyek-proyek air lainnya dapat mengurangi aliran air sebanyak 40 % ke Siria, dan 80 % ke Irak. Tekanan dengan mengurangi aliran air telah digunakan dalam usaha menekan Siria untuk menarik dukungan kepada Suku Kurdi di Turki bagian selatan. Keamanan perbatasan dan pembagian air telah dikaitkan dalam perundingan diantara kedua negara itu. 6.5. DAS Gangga – Brahmaputra (Brown, 1997) Banglades adalah negara yang memiliki daerah dengan luas sekitar 145.000 km persegi, dan 80 % darinya mencakup delta dari sistem sungai utama dunia: Gangga, Brahmaputra, dan Meghna. Hanya 8 % dari total luas permukaan DAS dari ketiga sungai itu yang berada dalam wilayah Banglades, sedang sisanya berada di India (62 %), Cina (18 %), Nepal (8%), dan Bhutan (4%). Hampir semua sungai di Banglades berhulu di luar negara itu, yaitu di Pegunungan Himalaya. Curah hujan tahunan tinggi dan pada musim tertentu sangat ekstrim (maksimum antara Juli
dan Oktober). Muatan sedimen dalam jumlah yang sangat besar dibawa oleh sungai Gangga dan Brahmaputra dan secara periodik diendapkan dengan membentuk pulau-pulau dan gosong pasir temporer. Erosi tebing sungai adalah pemandangan yang umum dan alur-alur di dalam dataran banjir mudah berpindah secara lateral dengan cara yang dramatis. Sebagian besar lahan DAS ditanami dan dalam beberapa dekade terakhir ini penggunaan lahan mengalami intensifikasi, memberikan tekanan besar pada sumberdaya air. Peningkatan jumlah penduduk dan masuknya cara bertani moderen meningkatkan kebutuhan akan suplai air. Berbagai intervensi mengontrol aliran air dibangun dan memainkan peranan penting dalam merubah skala dan waktu aliran sungai. Perubahan aliran air di daerah hulu untuk irigasi dan pelayaran berperanan dalam pengeringan beberapa sungai di banyak bagian DAS, dan kekurangan air selama musim kering merupakan hambatan serius dalam produksi pertanian. Pembangunan bendungan untuk mengalihkan aliran sungai, baik untuk irigasi atau untuk mengendalikan banjir telah mengurangi aliran air ke muara sungai. Pengurangan suplai itu menyebabkan kematian mangrove di bagian belakang.
7. PERLUNYA KERJASAMA Pada Tabel 1 terlihat bahwa suatu persoalan atau konflik muncul bukan hanya di tempat suatu aktifitas pemanfaatan sumberdaya dilakukan, tetapi dapat juga di tempat lain di luar daerah tempat aktifitas tersebut dilakukan. Dari contoh-contoh tersebut terlihat adanya interaksi antara daerah hulu dan hilir yang berada dalam daeerah yurisdiksi yang berbeda, baik dalam tingkat nasional antar negara, maupun tingkat propinsi dalam satu negara.
Tabel 1. Isu, penyebab, dan pihak-pihak terkait. Contoh Kasus Isu Penyebab Segara Anakan Pendangkalan Aktifitas pertanian di hulu Costa Rica Degradasi ekosistem Aktifitas pertanian di hulu Sungai Nil Erosi pantai Pembuatan Dam Sungai Eufrat Penurunan suplai air Pembuatan Dam Sungai Gangga Degradasi ekosistem Pembuatan Dam
L-30
Jakarta, 4-5 Juli 2001
Interaksi Hulu-hilir Dua propinsi Satu propinsi Satu negara Tiga negara Dua negara
Energi, Sumberdaya Alam dan Lingkungan, BPPT
Dengan demikian, untuk menyelesaikan persoalan tersebut yang diperlukan adalah kerjasama antara daerah hulu sebagai daerah sumber persoalan dan daerah hilir sebagai daerah tempat persoalan terjadi. Untuk hal ini, tidak ada pilihan lain untuk menyelesaikan persoalan-persoalan seperti itu selain kerjasama, karena penyelesaian secara sepihak dengan tidak mengindahkan pihak lain dapat menimbulkan persoalan lain yang lebih besar dan serius, yang dapat berupa konflik bersenjata. Sebagai contoh adalah konflik bersenjata antara Irak, Siria dan Turki dalam kasus Sungai Eufrat; antara India dan banglades dalam kasus Sungai Gangga (Frederick, 1996). Antara India dan Banglades kemudian terjadi berbagai kesepakatan kerjasama dalam mengelola aliran Sungai Gangga (Brown, 1997). 8. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian di atas antara lain adalah: 1) Sumberdaya dan proses-proses pesisir memiliki keterkaitan yang erat, dimana perubahan yang terjadi pada satu bagian akan menyebabkan perubahan pada bagian yang lain. Selain itu. penyebarannya tidak dipengaruhi oleh batas-batas buatan manusia. 2) Penyebaran sumberdaya dan prosesproses di wilayah pesisir tidak mengikuti batas-batas administrasi yang ditetapkan oleh manusia. Batas itu dapat melewati batas negara, propinsi, atau kabupaten. 3) Persoalan yang berkaitan dengan sumberdaya dan proses-proses di wilayah pesisir sangat rumit. Berbagai metoda pengelolaan wilayah pesisir telah ada yang telah diterapkan, meskipun demikian, kerjasama dan koordinasi dalam kegiatan pengelolaan adalah sangat penting. Kerjasama itu dapat antar negara, antar propinsi dalam negara, antar kabupaten dalam propinsi, atau berbagai kemungkinan lainnya antara pemerintah pusat dengan daerah, atau antara dua kabupaten dari dua propinsi yang berbeda, dan berbagai kemungkinan lainnya. 4) Pemahaman akan karakter berbagai sumberdaya dan proses-proses adalah penting bagi penyusunan rencana pengelolaannya. Selain itu pemahaman itu diperlukan untuk meningkatkan semangat kerja sama dalam menyelesaikan berbagai masalah yang
Jakarta, 4-5 Juli 2001
berkaitan dengan sumberdaya pesisir.
pengelolaan
Ucapan Terima Kasih Terima kasih penulis ucapkan kepada Ir. Wisyanto, MT atas informasi-informasi yang diberikannya, dan kepada Dra. Nurul Dhewani Mirah Sjafrie, Msi atas bantuan literaturnya. Juga tidak lupa kepada Dr. Zainal Arifin dan Yunia Witasari, ST atas kesediaannya membaca dan saran konstruktifnya untuk perbaikan naskah ini.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2000, Proyek Citanduy ancam perairan Pangandaran. Harian Kompas, 2 Maret 2000, http://www.kompas.com. Anonim_isw, 2001, Pembentukan propinsi Flores perlu kesepakatan semua kabupaten. Harian Kompas, 22 Mei 2001, hal 22, kol. 1-3. Anonim_msh, 2001, Eforia otonomi bawa konflik pengelolaan sampah. Harian Kompas, 22 Mei 2001, hal. 25, kol. 1-4. Brown, B.E., 1997, Integrated Coastal Management: South Asia. Departement of Marine Sciences and Coastal Management, Univ. Newcastle, Newcastle upon Tyne, UK Cicin-Sain, B. and Knecht, R.W., 1998, Integrated Coastal and Ocean Management: concept and practices. Island Press, Washington, D.C., 517 p. Dahuri, R., Rasi, J., Ginting, S.P. dan Sitepu, M.J., 1996, Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT Pradnya Paramita, Jakarta, 305 h. Frederich, K.D., 1996, Water as source of international conflict. Resources 123, http://www.rff.org/resources_articles/files/ waterwar.htm. Frihy, O.E. and Lotfy, M.F., 1994, Mineralogy and texture of beach sands in relation to erosion and accretion along the Rosetta promontory of the Nile Delta, Egypt. Journal of Coastal Research, v. 10, n. 3: 588-599. Kay, R. and Alder, J., 1999, Coastal Planning and Management. E & FN SPON, an imprint Routledge, London, 375 p. Komar, P.D., 1976, Beach Processes and Sedimentation. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey, 429 p.
L-31
Energi, Sumberdaya Alam dan Lingkungan, BPPT
Mack, S., Epler, B., Atelsek, P. and Dudenhoefer, D., 1992, Profile of coastal recources of Costa Rica, p. 61-97. In: G. Foer and S. Olsen (eds.), Central America’s Coast: profile and agenda for action. U.S.Agency for International Development, Research & Development, Environment and Natural Resources; AID Regional Office for Central America Programs; and The Coastal Recources Center, The University of Rhode Island. Martosubroto, P. and Naamin, N., 1977, Relationship between tidal forest (mangroves) and commercial shrimp production in Indonesia. Marine Research in Indonesia, n. 18: 81 – 86. Mulyadi, 2001, Indonesia Negara “Persekongkolan”. Harian Kompas, 22 Mei 2001, h. 4 & 5. Poopetch, T. and RungRuangsilpa, T., 1991, Oil polution in Ban Don Bay, Upper South, Thailand, p. 177-181. In: L.M. Chou, T.-E. Chua, H.W. Khoo, P.E. Lim, J.N. Paw, G.T. Silvestre, M.J. Valencia, A.T. White and P.K. Wong (eds.), Toward an integrated management of tropical coastal resources. ICLARM Conference Proceedings 22, 455 p. National University of Singapore, Singapore; National Sciences and Technology Board, Singapore; and International Center for Living Aquatic Recources Management, Philippines. Purba, M., 1991, Impact of high sedimentation rates on the coastal resources of Segara
L-32
Jakarta, 4-5 Juli 2001
Anakan, Indonesia, p. 143-152. In: L.M. Chou, T.-E. Chua, H.W. Khoo, P.E. Lim, J.N. Paw, G.T. Silvestre, M.J. Valencia, A.T. White and P.K. Wong (eds.), Toward an integrated management of tropical coastal resources. ICLARM Conference Proceedings 22, 455 p. National University of Singapore, Singapore; National Sciences and Technology Board, Singapore; and International Center for Living Aquatic Recources Management, Philippines. Salm, R.V., 1989, Marine and Coastal Protected Areas: a guide for planners and managers, 2-nd ed., IUCN and Natural Resources, Gland, Switzerland, 302 p. RIWAYAT PENULIS Wahyu Budi Setyawan, lahir di Yogyakarta pada tanggal 1 Nopember 1961. Pendidikan S1 pada Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik – UGM diselesaikan tahun 1988; pendidikan S2 pada Jurusan Teknik Geologi, FIKTM – ITB tahun 1999. Saat ini bekerja sebagai peneliti di Balitbang Oseanografi, Puslitbang Osanologi LIPI. Selain melakukan penelitian utama dalam bidang geologi, khususnya sedimentologi, penulis juga berminat dan aktif dalam bidang pengelolaan wilayah pesisir, dan Sistem Informasi Geografi.