KARAKTERISTIK PENDERITA KANKER SERVIKS YANG DIRAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ARIFIN ACHMAD PEKANBARU TAHUN 2011-2013 Khairun Nikmah Hasibuan1, Rasmaliah2, Jemadi2 1
Mahasiswa Departemen Epidemiologi FKM USU 2 Dosen Departemen Epidemiologi FKM USU Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, 20155 Abstract
Cervical cancer is one of malignant disease in women, especially in developing countries, including Indonesia. Hospital Information System data in 2007 there were 11.78% of cervical cancer patients who were admitted to hospital in Indonesian and more than 70% of patients present in an advanced stage. The characteristics of a patient that suffer from sevic cancer that are treated on RSUD Arifin Achmad Hospital in Pekanbaru years 2011-2013, descriptive study design Case series. This research population is 110 and all of these are samples, the analysis of data with Chi-Square, Fisher's Exact and Mann Whitney. The highest proportion of sociodemographic : age >35 years 90.9%, Malay 44.6%, Muslim 89.1%, 47.3% primary school education, Housewife 84.5% , marital status 95.5% and living outside Pekanbaru 69.1%. The main complaint of vaginal bleeding 57.3%, Multipara parity 51.8%, advanced clinical stage 85.5%, radiotherapy medical management 53.6%, not own cost 87.3%, long maintainability average 5.26 days and outpatient return 67.3 %. There are differences in the proportion of medical management based on clinical stage (p = 0.000). There is no difference between the proportions of age (p = 0.146), parity (p = 0.620), education (p = 0.161), marital status (p = 0.552) , the main complaint (p = 0.501), the source charge (p = 0.688), average long treatment (p = 0.817) based on clinical staging. Difference in the proportion of unknown clinical stage based on the circumstances at any home, the source of the cost based on the circumstances when home. Hospital and staff’s are advised to be more active in sharing any information based on cervical cancer, including early detection (Pap’s test/IVA) and moreover women should always be more cautions at any sign and symptoms also risk factors that can lead to cervical cancer. Key Words : Cervical Cancer, Characteristics. kematian akibat kanker pada tahun 2007 sebanyak 7,9 juta kematian. Angka kematian akibat kanker secara global diproyeksikan akan meningkat sebesar 45% dari kondisi tahun 2007 yaitu menjadi 11,5 juta kematian pada tahun 2030.2 Di seluruh dunia, kanker serviks memengaruhi setengah juta perempuan dan membunuh seperempat juta perempuan setiap tahunnya. Lebih dari 85% kasus kanker serviks dan kematian terjadi di negara berkembang. Hampir semua kasus terkait dengan infeksi persisten dengan Human Papilloma Virus (HPV).3
Pendahuluan Penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab utama kematian secara global. Data WHO pada tahun 2008 menunjukkan bahwa dari 57 juta kematian yang terjadi di dunia, sebanyak 36 juta disebabkan oleh penyakit tidak menular. Diantaranya terdapat penyakit kanker 27%. Hingga saat ini kanker serviks masih merupakan penyebab kematian terbanyak akibat penyakit kanker di Negara berkembang.1 Berdasarkan laporan WHO (World Health Organization) tahun 2010, jumlah
1
Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2007, kanker serviks menempati urutan kedua pada pasien rawat inap di seluruh RS di Indonesia (11,78%).4 Pada tahun 2004 jumlah pasien kanker yang berkunjung ke Rumah Sakit di Indonesia mencapai 6.511 dengan proporsi pasien kanker serviks yang rawat jalan adalah 16,47% dan rawat inap adalah 10,9%, selain itu lebih dari 70% kasus kanker serviks datang ke Rumah Sakit dalam keadaan stadium lanjut.5 Kanker serviks merupakan keganasan yang paling banyak ditemukan di Indonesia. Setiap satu jam perempuan Indonesia meninggal dunia karena kanker dalam tiga dasa warsa terakhir. Tingginya angka kematian itu akibat terlambatnya penanganan, sekitar 70% datang dengan kondisi stadium lanjut.6 Hasil survei pendahuluan berdasarkan data rekam medik di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Propinsi Riau, jumlah penderita kanker serviks pada tahun 2011 terdapat 25 orang tahun 2012 sebanyak 44 orang dan tahun 2013 ada 41 orang yang menderita kanker serviks. Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik penderita kanker serviks yang dirawat inap di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2011-2013.
proporsi penderita kanker serviks berdasarkan keluhan utama. Mengetahui distribusi proporsi penderita kanker serviks berdasarkan paritas. Mengetahui distribusi proporsi penderita kanker serviks berdasarkan stadium klinik. Mengetahui distribusi proporsi penderita kanker serviks berdasarkan deteksi dini. Mengetahui distribusi proporsi penderita kanker serviks berdasarkan penatalaksanaan medis. Mengetahui distribusi proporsi penderita kanker serviks berdasarkan sumber biaya. Mengetahui lama rawatan rata-rata penderita kanker serviks yang dirawat inap di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tahun 20112013. Mengetahui distribusi proporsi penderita kanker serviks berdasarkan keadaan sewaktu pulang. Mengetahui distribusi proporsi umur berdasarkan stadium klinik. Mengetahui distribusi proporsi paritas berdasarkan stadium klinik. Mengetahui distribusi proporsi pendidikan berdasarkan stadium klinik. Mengetahui distribusi proporsi status perkawinan berdasarkan stadium klinik. Mengetahui distribusi proporsi keluhan utama berdasarkan stadium klinik. Mengetahui distribusi proporsi penatalaksanaan medis berdasarkan stadium klinik. Mengetahui distribusi proporsi sumber biaya berdasarkan stadium klinik. Mengetahui lama rawatan rata-rata penderita kanker serviks berdasarkan stadium klinik. Mengetahui distribusi proporsi stadium klinik berdasarkan keadaan sewaktu pulang. Mengetahui distribusi proporsi sumber biaya berdasarkan keadaan sewaktu pulang.
Perumusan Masalah Belum diketahui karakteristik penderita kanker serviks yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2011-2013.
Manfaat Penelitian Sebagai bahan informasi dan masukan bagi pihak RSUD Arifin Achmad Pekanbaru dalam rangka meningkatkan fasilitas serta upaya pelayanan kesehatan bagi penderita kanker serviks. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian mengenai kanker serviks. Sebagai sarana untuk menambah wawasan dan pengetahuan peneliti tentang penyakit kanker serviks.
Tujuan Penelitian Mengetahui karakteristik penderita kanker serviks yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2011-2013. Tujuan khusus penelitian: Mengetahui distribusi proporsi penderita kanker serviks rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2011-2013 berdasarkan sosiodemografi yaitu : umur, suku, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, tempat tinggal. Mengetahui distribusi 2
terendah Akademi/ Perguruan tinggi 2,7% (3 orang). Berdasarkan pekerjaan proporsi tertinggi adalah Ibu rumah tangga 84,5% (93 orang) dan terendah Pensiunan 0,9% (1 orang). Berdasarkan status perkawinan proporsi tertinggi adalah status kawin 95,5% (105 orang) dan janda 4,5% (5 orang). Berdasarkan Tempat tinggal proporsi tertinggi adalah dari luar Kota Pekanbaru 69,1% (76 orang) dan terendah dalam Kota Pekanbaru 30,9% (34 orang).
Hasil dan Pembahasan Hasil proporsi penderita kanker serviks yang dirawat inap di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2011-2013 berdasarkan sosiodemografi meliputi : umur, suku, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan dan tempat tinggal dapat dilihat pada tabel 1 : Tabel 1 Distribusi Proporsi Penderita Kanker Serviks Yang Dirawat Inap Berdasarkan Sosiodemografi di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Tahun 2011-2013 Sosiodemografi Umur (tahun) 20-35 >35 Suku Melayu Minang Batak Jawa Tionghoa Agama Islam Katholik Protestan Budha Pendidikan SD SMP SMA Akademi/Perguruan Tinggi Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Peg.Swasta/Wiraswasta PNS Pensiunan Petani Status Perkawianan Kawin Janda Daerah Asal Dalam Kota Pekanbaru Luar Kota Pekanbaru
f
%
10 100
9,1 90,9
49 16 15 26 4
44,6 14,6 13,6 23,6 3,6
98 1 10 1
89,1 0,9 9,1 0,9
52 31 24 3
47,3 28,2 21,8 2,7
93 7 2 1 7
84,5 6,4 1,8 0,9 6,4
105 5
95,5 4,5
34 76
30,9 69,1
Tabel 2 Distribusi Proporsi Penderita Kanker Serviks Yang Dirawat Inap Berdasarkan Keluhan Utama di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Tahun 20112013 Keluhan Utama f % Keputihan 11 10 Perdarahan Pervaginam 63 57,3 Sakit perut bagian bawah 36 32,7 Jumlah 110 100
Tabel 2 menunjukkan bahwa proporsi tertinggi penderita kanker serviks berdasarkan keluhan utama yaitu perdarahan pervaginam sebanyak 63 orang (57,3%), sedangkan sakit perut bagian bawah ada 36 orang (32,7%) dan proporsi terendah adalah keputihan sebanyak 11 orang (10%). Tabel 3 Distribusi Proporsi Penderita Kanker Serviks Berdasarkan Paritas di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Tahun 2011-2013 Paritas Nullipara Primipara Multipara Grande Multipara Jumlah
Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah penderita kanker serviks yang dirawat inap di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tahun 20112013 berdasarkan kelompok umur adalah tertinggi pada kelompok umur >35 tahun yaitu 100 orang (90,9%), sedangkan yang terendah ditemukan pada kelompok umur 2035 tahun yaitu 10 orang (9,1%). Berdasarkan suku proporsi tertinggi adalah suku Melayu yaitu sebesar 44,6% (49 orang) sedangkan terendah adalah Tionghoa yaitu 3,6% (4 orang). Berdasarkan Agama proporsi tertinggi adalah Agama Islam 89,1% (98 orang) sedangkan terendah Katholik dan Budha 0,9% (1 orang). Berdasarkan Pendidikan proporsi tertinggi adalah SD 47,3% (52 orang) dan
f 6 3 57 44 110
% 5,5 2,7 51,8 40 100
Tabel 3 menunjukkan bahwa proporsi tertinggi penderita kanker serviks berdasarkan paritas adalah Multipara sebanyak 57 orang (51,8%), disusul Grande Multipara 44 orang (40%), Nullipara 6 orang (5,5%) dan proporsi terendah adalah Primipara sebanyak 3 orang (2,7%). Tabel 4 Distribusi Proporsi Penderita Kanker Serviks Berdasarkan Stadium Klinik di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Tahun 2011-2013 Stadium Klinik Stadium I Stadium II Stadium III Stadium IV Jumlah
3
f 6 50 47 7 110
% 5,4 45,5 42,7 6,4 100
Tabel 4 menunjukkan bahwa proporsi tertinggi penderita kanker serviks berdasarkan stadium klinik adalah stadium II sebanyak 50 orang (45,5%), disusul stadium III 47 orang (42,7%), stadium IV 7 orang (6,4%) dan proporsi terendah stadium I 6 orang (5,4%).
hari dan lama rawatan maksimum 14 hari. Berdasarkan Confidence Interval 95% diperoleh lama rawatan rata-rata penderita kanker serviks 4,80–5,73 hari. Tabel 8 Distribusi Proporsi Penderita Kanker Serviks Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Tahun 2011-2013
Tabel 5 Distribusi Proporsi Penderita Kanker Serviks Berdasarkan Penatalaksanaan Medis di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Tahun 2011-2013 Penatalaksanaan Medis Operasi Radioterapi Kemoterapi Radioterapi+Kemoterapi Jumlah
f 12 59 12 27 110
Keadaan Sewaktu Pulang PBJ PAPS Meninggal Jumlah
% 10,9 53,6 10,9 24,6 100
Tabel 9 Distribusi Proporsi Umur Penderita Kanker Serviks Berdasarkan Stadium Klinik Yang Dirawat Inap di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Tahun 2011-2013
Tabel 6 Distribusi Proporsi Penderita Kanker Serviks Berdasarkan Sumber Biaya di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Tahun 2011-2013 f 14 96
% 67,3 30,9 1,8 100
Tabel 8 menunjukkan bahwa proporsi tertinggi penderita kanker serviks berdasarkan keadaan sewaktu pulang adalah pulang berobat jalan (PBJ) 74 orang (67,3%), pulang atas permintaan sendiri (PAPS) 34 orang (30,9%) dan penderita yang meninggal 2 orang (1,8%).
Tabel 5 menunjukkan bahwa proporsi tertinggi penderita kanker serviks berdasarkan penatalaksanaan medis adalah radioterapi 59 orang (53,6%), radioterpai+kemoterapi 27 orang (24,6%), sedangkan proporsi terendah adalah operasi dan kemoterapi 12 orang (10,9%).
Sumber Biaya Biaya sendiri Bukan biaya sendiri (Askes,Jamkesmas, Jamkesda) Jumlah
f 74 34 2 110
Umur (tahun) Stadium Klinik
% 12,7 87,3
Awal Lanjut
20-35 f % 3 18,7 7 7,4
Jumlah
>35 f 13 87
% 81,3 92,6
f 16 94
% 100 100
p=0,146 110
Berdasarkan tabel 9 dapat dilihat bahwa proporsi penderita kanker serviks dengan stadium klinik awal pada kelompok umur 20-35 tahun adalah 18,7% sedangkan pada kelompok umur >35 tahun 81,3%. Proporsi penderita kanker serviks dengan stadium klinik lanjut pada kelompok umur 20-35 tahun 7,4% sedangkan pada kelompok umur >35 tahun 92,6%. Hasil analisa statistik dengan uji Chisquare diperoleh nilai p>0,05 yang artinya tidak ada perbedaan proporsi antara umur berdasarkan stadium klinik.
100
Tabel 6 menunjukkan bahwa proporsi tertinggi penderita kanker serviks berdasarkan sumber biaya adalah bukan biaya sendiri (Askes, Jamkesmas dan Jamkesda) sebanyak 96 orang (87,3%) dan proporsi terendah biaya sendiri 14 orang (12,7%). Tabel 7 Lama Rawatan Rata-rata Penderita Kanker Serviks Yang Dirawat Inap di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Tahun 2011-2013
Lama Rawatan Rata-rata (hari) Mean 5,26 Standard deviation 2,448 95% CI 4,80 – 5,73 Min 2 Max 14
Tabel 10 Distribusi Proporsi Paritas Penderita Kanker Serviks Berdasarkan Stadium Klinik Yang Dirawat Inap di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Tahun 2011-2013 Paritas Stadium Klinik
Berdasarkan tabel 7 dapat dilihat bahwa lama rawatan rata-rata penderita kanker serviks 5,26 hari dengan SD (Standar Deviasi) 2,448 hari, lama rawatan minimum 2
Awal Lanjut
f 9 59
Jumlah
≤3
>3 % 56,3 62,8
f 7 35
% 43,7 37,2
f 16 94
% 100 100
p=0,620
4
Berdasarkan tabel 10 dapat dilihat bahwa proporsi penderita kanker serviks dengan stadium klinik awal yang memiliki paritas > 3 adalah 56,3% sedangkan yang memiliki paritas ≤ 3 adalah 43,7%. Proporsi penderita kanker serviks dengan stadium klinik lanjut yang memilki paritas > 3 adalah 62,8% sedangkan yang memiliki paritas ≤ 3 adalah 37,2%. Hasil analisa statistik dengan uji Chisquare diperoleh nilai p>0,05 yang artinya tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara paritas penderita kanker serviks berdasarkan stadium klinik.
93,7%, status janda 6,3%. Proporsi penderita kanker serviks pada stadium klinik lanjut dengan status kawin 95,7% dan status janda 4,3%. Analisa statistik dengan uji chisquare tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 2 sel (50,0%) expected count yang besarnya kurang dari 5, kemudian dilanjutkan dengan uji Exact Fisher diperoleh nilai p>0,05 berarti tidak ada perbedaan proporsi status perkawinan berdasarkan stadium klinik. Tabel 13 Distribusi Proporsi Keluhan Utama Penderita Kanker Serviks Berdasarkan Stadium Klinik Yang Dirawat Inap di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Tahun 2011-2013
Tabel 11 Distribusi Proporsi Pendidikan Penderita Kanker Serviks Berdasarkan Stadium Klinik Yang Dirawat Inap di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Tahun 2011 – 2013 Pendidikan Stadium Klinik Awal Lanjut
Rendah f % 10 62,5 73 77,7
Tinggi f % 6 37,5 21 22,3
Keluhan Utama
f 16 94
% 100 100
Awal Lanjut
Janda f % 1 6,3 4 4,3
f 1 10
f 16 94
% 100 100
Tabel 14 Distribusi Proporsi Penatalaksanaan Medis Penderita Kanker Serviks Berdasarkan Stadium Klinik Yang Dirawat Inap di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Tahun 2011-2013
Jumlah f 16 94
% 6,3 10,6
Jumlah
p=0,501
Tabel 12 Distribusi Proporsi Status Perkawinan Penderita Kanker Serviks Berdasarkan Stadium Klinik Yang Dirawat Inap di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Tahun 2011-2013
Kawin f % 15 93,7 90 95,7
Awal Lanjut
Perdarahan pervaginam / Sakit perut bagian bawah f % 15 93,7 84 89,4
Berdasarkan tabel 13 dapat dilihat bahwa proporsi penderita kanker serviks pada stadium klinik awal dengan keluhan utama keputihan 6,2% dan yang mengalami keluhan perdarahan pervaginam / sakit perut bagian bawah 93,8%. Proporsi penderita kanker serviks pada stadium klinik lanjut yang mengalami keluhan utama keputihan 10,6%, perdarahan pervaginam / sakit perut bagian bawah 89,4%. Analisa statistik dengan uji chi-square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 1 sel (25%) expected count yang besarnya kurang dari 5, kemudian dilanjutkan dengan uji Exact Fisher diperoleh nilai p>0,05 (p=0,501) berarti tidak ada perbedaan proporsi keluhan utama berdasarkan stadium klinik.
Berdasarkan tabel 11 dapat dilihat bahwa proporsi penderita kanker serviks dengan stadium klinik awal yang memiliki pendidikan rendah ada 62,5%, dan yang memiliki pendidikan tinggi 37,5%. Proporsi penderita kanker serviks dengan stadium klinik lanjut yang memiliki pendidikan rendah ada 77,7% dan pendidikan tinggi 22,3%. Analisa statistik dengan uji chi-square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 1 sel (25%) expected count yang besarnya kurang dari 5, kemudian dilanjutkan dengan uji Exact Fisher diperoleh nilai p>0,05 yang berarti tidak ada perbedaan proporsi antara pendidikan penderita kanker serviks berdasarkan stadium klinik.
Status Perkawinan
Keputihan
Jumlah
p=0,161
Stadium Klinik
Stadium Klinik
Penatalaksanaan Medis Stadium Klinik
% 100 100
Awal Lanjut
p=0,552
Operasi f % 12 75 0 0
Non Operasi f % 4 25 94 100
Jumlah f 16 94
% 100 100
p=0,000
Berdasarkan tabel 12 dapat dilihat bahwa proporsi penderita kanker serviks pada stadium klinik awal dengan status kawin
Beradsarkan tabel 14 dapat dilihat bahwa proporsi penderita kanker serviks pada 5
stadium klinik awal yang penatalaksanaan medisnya operasi 75% dan yang non operasi 25%. Proporsi penderita kanker serviks pada stadium klinik lanjut tidak ada yang operasi, yang penatalaksanaan medisnya non operasi 100%. Analisa statistik dengan uji chi-square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 1 sel (25%) expected count yang besarnya kurang dari 5, kemudian dilanjutkan dengan uji Exact Fisher diperoleh nilai p<0,05 berarti ada perbedaan proporsi penatalaksanaan medis berdasarkan stadium klinik.
(SD) 3,098. Dari 94 penderita kanker serviks dengan stadium klinik lanjut lama rawatan rata-rata 5,18 hari dengan standar deviasi (SD) 2,360. Berdasarkan hasil uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov diperoleh p<0,05 (p=0,018) artinya data lama rawatan tidak berdistribusi normal sehingga tidak dapat dilakukan dengan uji t-test kemudian dilanjutkan dengan uji MannWhitney. Berdasarkan uji Mann-Whitney diperoleh nilai p>0,05. Hal ini berarti tidak ada perbedaan bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan stadium klinik.
Tabel 15 Distribusi Proporsi Sumber Biaya Penderita Kanker Serviks Berdasarkan Stadium Klinik Yang Dirawat Inap di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Tahun 2011-2013
Tabel 17 Distribusi Proporsi Stadium Klinik Penderita Kanker Serviks Yang Dirawat Inap Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Tahun 20112013
Sumber Biaya Stadium Klinik Awal Lanjut
Biaya sendiri f % 1 6,3 13 13,8
Bukan biaya sendiri f % 15 93,7 81 86,2
Jumlah f 16 94
Keadaan Sewaktu Pulang
% 100 100
PBJ PAPS Meninggal
p=0,688
Berdasarkan tabel 15 dapat dilihat bahwa dari 16 penderita kanker serviks dengan stadium klinik awal yang menggunakan sumber biaya sendiri 6,3%, dan bukan biaya sendiri 93,7%. Dari 94 penderita kanker serviks dengan stadium klinik lanjut yang menggunakan sumber biaya sendiri 13,8%, dan bukan biaya sendiri 86,2%. Analisa statistik dengan uji chi-square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 1 sel (25%) expected count yang besarnya kurang dari 5, kemudian dilanjutkan dengan uji Exact Fisher diperoleh nilai p>0,05 (p=0,688) berarti tidak ada perbedaan proporsi sumber biaya berdasarkan stadium klinik.
Awal Lanjut
Jumlah f 74 34 2
% 100 100 100
Berdasarkan tabel 17 dapat dilihat bahwa dari 74 penderita kanker serviks yang pulang berobat jalan terdapat 13 orang (17,6%) dengan stadium klinik awal dan 61 orang (82,4%) dengan stadium klinik lanjut. Dari 34 penderita yang pulang atas permintaan sendiri terdapat 3 orang (8,8%) dengan stadium klinik awal dan 31 orang (91,2%) dengan stadium klinik lanjut. Dari 2 orang yang meninggal ditemukan dengan stadium klinik lanjut, tidak ada penderita yang meninggal dengan stadium klinik awal. Hasil analisa statistik menggunakan uji Chi-Square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 3 sel (50%) expected count nya kurang dari 5.
Tabel 16 Lama Rawatan Rata-rata Penderita Kanker Serviks Berdasarkan Stadium Klinik Yang Dirawat Inap di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Tahun 2011-2013 Stadium Klinik
Stadium Klinik Awal Lanjut f % f % 13 17,6 61 82,4 3 8,8 31 91,2 0 0 2 100
Tabel 18 Distribusi Proporsi Sumber Biaya Penderita Kanker Serviks Yang Dirawat Inap Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Tahun 20112013
Lama Rawatan Rata-rata (hari) f Mean SD 16 5,56 3,098 94 5,18 2,360 p=0,817
Keadaan Sewaktu Pulang
Berdasarkan tabel 16 dapat dilihat bahwa dari 16 penderita kanker serviks dengan stadium klinik awal lama rawatan rata-rata 5,56 hari dengan standar deviasi
PBJ PAPS Meninggal
6
Sumber Biaya Biaya sendiri f % 9 12,2 4 11,8 1 50
Bukan biaya sendiri f % 65 87,8 30 88,2 1 50
Jumlah f 74 34 2
% 100 100 100
Berdasarkan tabel 18 dapat dilihat bahwa dari 74 penderita kanker serviks yang pulang berobat jalan terdapat 9 orang (12,2%) menggunakan biaya sendiri dan 65 orang (87,8%) menggunakan bukan biaya sendiri. Dari 34 penderita yang pulang atas permintaan sendiri terdapat 4 orang (11,8%) menggunakan biaya sendiri dan 30 orang (88,2%) bukan biaya sendiri. Dari 2 orang yang meninggal ada 1 orang (50%) yang menggunakan biaya sendiri dan 1 orang (50%) juga yang mengunakan bukan biaya sendiri. Hasil analisa statistik menggunakan uji Chi-Square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 3 sel (50%) expected count nya kurang dari 5.
f. Distribusi proporsi penderita kanker serviks yang dirawat inap di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2011-2013 berdasarkan sumber biaya tertinggi adalah bukan biaya sendiri (Askes, Jamkesmas, Jamkesda) (87,3%). g. Lama rawatan rata-rata penderita kanker serviks yang dirawat inap adalah 5,26 hari. h. Distribusi proporsi penderita kanker serviks yang dirawat inap di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2011-2013 berdasarkan keadaan sewaktu pulang tertinggi adalah pulang berobat jalan (67,3%). i. Ada perbedaan proporsi penatalaksanaan medis berdasarkan stadium klinik (p=0,000) j. Tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara umur (p=0,146), paritas (p=0,620), pendidikan (p=0,161), status perkawinan (p=0,552), keluhan utama (p=0,501), sumber biaya (p=0,688), lama rawatan rata-rata (p=0,817), berdasarkan stadium klinik k. Dengan menggunakan uji Chi-Square tidak dapat diketahui perbedaan proporsi stadium klinik berdasarkan keadaan sewaktu pulang, sumber biaya berdasarkan keadaan sewaktu pulang karena terdapat 3 sel (50%) expected countnya < 5.
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan a. Distribusi proporsi penderita kanker serviks berdasarkan sosidemografi yang dirawat inap di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2011-2013 tertinggi pada umur >35 tahun (90,9%), suku Melayu (44,6%), agama Islam (89,1%), pendidikan SD (47,3%), pekerjaan Ibu Rumah Tangga (84,5%), status kawin (95,5%) dan tempat tinggal luar Kota Pekanbaru (69,1%). b. Distribusi proporsi penderita kanker serviks yang dirawat inap di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2011-2013 berdasarkan keluhan utama tertinggi adalah perdarahan pervaginam (57,3%. c. Distribusi proporsi penderita kanker serviks yang dirawat inap di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2011-2013 berdasarkan paritas tertinggi adalah paritas multipara (51,8%). d. Distribusi proporsi penderita kanker serviks yang dirawat inap di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2011-2013 berdasarkan stadium klinik tertinggi adalah stadium klinik II (45,5%). e. Distribusi proporsi penderita kanker serviks yang dirawat inap di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2011-2013 berdasarkan penatalaksanaan medis tertinggi adalah radioterapi (53,6%).
2. Saran a. Kepada pihak rumah sakit dan unit pelayanan kesehatan agar lebih aktif dalam memberikan informasi tentang kanker serviks, termasuk upaya deteksi dini melalui tes Pap’s/IVA. b. Dianjurkan kepada kaum wanita yang belum menikah dan mampu untuk melakukan vaksinasi HPV(Human Papilloma Virus). c. Kepada kaum wanita agar lebih memperhatikan tanda dan gejala serta faktor resiko yang dapat memyebabkan terjadinya kanker serviks dan segera memeriksakan diri apabila timbul kelainan yang dialami pada alat reproduksi sehingga kanker serviks yang ditemukan masih dalam stadium awal dan dapat diobati serta diatasi dengan cepat. 7
DAFTAR PUSTAKA 1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan Penyakit Tidak Menular, Volume 2, Semester II. Jakarta. 2. IARC. 2010. Globocan 2008. From International Agency for Research on Cancer. http://globocan.iarc.fr, diakses tanggal 10 Oktober 2013. 3. CDC-Global Health-Noncommunicable Disease. Cervical Cancer, diakses tanggal 17 September 2013. 4. Yayasan Kanker Indonesia. 2012. Tentang Kanker www.yayasan kanker indonesia.org. Diakses tanggal 17 September 2013. 5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Profil Kesehatan RI Tahun 2005. 6. Prawirohardjo, S. 2006. Onkologi Ginekologi. Yayasan Bina Pustaka, Cetakan I Jakarta.
8
KARAKTERISTIK PENDERITA INFEKSI MENULAR SEKSUAL DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BANDAR BARU TAHUN 2013 Sylvana Dyna1, Rasmaliah2, Jemadi2 1
Mahasiswa Departemen Epidemiologi FKM USU 2 Dosen Departemen Epidemiologi FKM USU Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, 20155
ABSTRACT STIs is a public health problem that is quite prevalent in some parts of the world. It is estimated that more than 340 million cases of STIs occur each year. To determine the characteristics of patients with STIs at Bandar Baru Public Health Center in 2013. This research conducted a descriptive study with case series design. Location is in Bandar Baru Public Health Center. Population and sample the data amount to 155 STI patients. Collecting data using secondary data. Univariate data were analyzed descriptively and bivariate data were analyzed with Chi-square. From the recorded data, obtained results the highest proportion aged 25-29 years (31.6%) with the youngest aged 18 and the eldest 62 years old, female (78.1%), education level is moderate (79.4%), married (34.2%), District Sibolangit (52.95), female from District Sibolangit (80,5%), the first visit (85.2%), the last time having sex ≤ 2 days (78.7%), sexual partner in the week ≤ 5 people (58.7%), the type of IMS suffered IGNS (55.5%). From analysis of data obtained, the proportion of patients with marital status were significantly different (78,1% vs 21%; X2=26,908; p=0.001), the proportion of patients with the last time having sex ≤ 2 days was significantly different (78.7% vs. 21.3%, X2=18.616, p= 0.000), and the proportion of patients with a sexual partner in a week ≤ 5 were significantly different (58.7% vs. 41.3%, X 2=6.058, p=0.014). Bandar Baru Public Health Center expected to increase dissemination of the importance went to the STI clinics; improve preventive and promotive programs for the prevention of STIs; run distribution of free condoms regularly; cooperation with stakeholders and NGOs; doing some efforts to close a prostitution location in Bandar Baru; complete recording data of STI patients, especially regarding the type of work. Keywords: STIs, Patients Characteristics tetapi memberikan kontribusi hampir 50% dari semua kasus IMS baru yang didapat.1),2) Di Amerika Serikat angka kejadian Gonore tercatat 110 per 100.000 penduduk pada tahun 2008, klamidia tercatat 398 per 100.000 penduduk pada tahun 2008, dan sifilis tercatat 15 per 100.000 penduduk.3) Pada beberapa kota besar di Afrika, rata – rata infeksi gonore per tahun berkisar 3.000 sampai 10.000 per 100.000 populasi penduduk yang berarti bahwa dari setiap 10 populasi penduduk akan ada 1 kasus terinfeksi setiap tahunnya. 4)
Pendahuluan Infeksi menular seksual (IMS) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup menonjol pada sebagian besar wilayah dunia. Insiden kasus IMS diyakini tinggi pada banyak negara. Menurut WHO, Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan salah satu dari sepuluh penyebab pertama penyakit pada dewasa muda laki- laki dan penyebab kedua terbesar pada dewasa muda perempuan di negara berkembang. Remaja dan dewasa muda (15- 24 tahun) merupakan 25% dari semua populasi yang aktif secara seksual, 1
Di Indonesia IMS menjadi masalah kesehatan dan masalah sosial budaya yang serius, akan tetapi sulit untuk mengetahui insidensi dan prevalensinya. Hasil penelitian P2M-ASA di tujuh kota pada tahun 2003, menunjukkan prevalensi gonore berkisar 16-43% (WPS lokasi), 931% (WPS tempat hiburan), 28-50% (WPS jalanan). Klamidiosis berkisar antara 14 -29% (WPS lokasi), 23-29% (WPS tempat hiburan), 12-55% (WPS jalanan). 4) Menurut penelitian Prevalensi ISR pada PSK di Medan, Sumatera Utara pada tahun 2005, ditemukan prevalensi gonore dan klamidia pada WPS di Kota Medan secara umum sebesar 16% dan 40%, vaginal kandidiasis 26% dan sifilis 22%.5) Berdasarkan Laporan dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara bidang P2P tahun 2014, jumlah penderita IMS pada tahun 2013 adalah sebanyak 13.736 orang dengan rincian jumlah penderita laki - laki adalah 3.597 orang dan perempuan 10.139 orang.6) Sedangkan untuk kasus HIV/AIDS di Sumatera Utara setiap tahunnya mengalami peningkatan yang begitu pesat. Pada tahun 2012, jumlah kasus HIV/AIDS adalah sebanyak 6.430 kasus dengan rincian, 2.189 kasus HIV dan 4.241 kasus AIDS, dan kemudian pada tahun 2013, kasus HIV/AIDS meningkat begitu tajam menjadi 13.736 orang, dengan rincian kasus HIV sebanyak 7.967 orang dan kasus AIDS sebanyak 1.301 orang.7),8) Salah satu wilayah Sumatera Utara yang memiliki penderita HIV (+) yang tinggi adalah Kabupaten Deli Serdang. Untuk wilayah Kabupaten Deli Serdang pada tahun 2013, jumlah penderita HIV (+) adalah sebanyak 135 orang.6)
Tujuan Penelitian Mengetahui gambaran mengenai karakteristik penderita IMS di wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru. Tujuan khusus penelitian Mengetahui distribusi proporsi penderita IMS menurut sosio demografinya antara lain : jenis kelamin dan usia, pendidikan, status pernikahan, daerah asal. Mengetahui distribusi proporsi penderita IMS berdasarkan jenis kelamin dan daerah asal. Mengetahui distribusi proporsi penderita IMS menurut jenis kunjungan, waktu berhubungan seks terakhir, jumlah pasangan seks dalam seminggu, penggunaan kondom,dan jenis infeksi menular yang diderita. Mengetahui distribusi proporsi status pernikahan berdasarkan jenis kelamin. Mengetahui distribusi proporsi jenis IMS berdasarkan jenis kunjungan. Mengetahui distribusi proporsi waktu berhubungan seks terakhir berdasarkan jenis IMS. Mengetahui distribusi proporsi jumlah pasangan seks penderita dalam seminggu berdasarkan jenis IMS. Mengetahui distribusi proporsi penggunaan kondom berdasarkan jenis IMS. Manfaat penelitian Sebagai bahan referensi ataupun masukan bagi pihak Puskesmas Bandar Baru dalam merencanakan ataupun melakukan upaya pencegahan dan pengobatan infeksi menular seksual. Sebagai syarat untuk menyelesaikan studi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Untuk bahan referensi ataupun masukan bagi peneliti lainnya. Metode Penelitian Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif dengan menggunakan desain case series. Penelitian dilakukan di Puskesmas Bandar Baru, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang. Penelitian dimulai dari bulan Januari - Juli 2014. Populasi adalah semua data
Perumusan Masalah Tidak diketahui karakteristik penderita infeksi menular seksual di wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru Tahun 2013.
2
penderita IMS yang dicatat di rekam medis Puskesmas Bandar Baru tahun 2013 yang berjumlah 155 orang. Sampel adalah semua data penderita IMS yang dicatat di rekam medis Puskesmas Bandar Baru tahun 2013. Besar sampel sama dengan populasi (total sampling).
Rendah Sedang Tinggi Jumlah Status Pernikahan Menikah Tidak Menikah Cerai Jumlah Daerah Asal Kec. Sibolangit Luar Kec. Sibolangit Jumlah
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari pencatatan rekam medis penderita IMS. Data univariat dianalisis secara deskriptif dan data bivariat dianalisis dengan Chi-square.
Daerah Asal
Tabel 1. Distribusi Proporsi Penderita IMS Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin di Puskesmas Bandar Baru Tahun 2013 Usia Jenis Kelamin Jumlah (Tahun) Laki - laki Perempuan 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 ≥ 40 Jumlah
% 0 1,3 3,9 5,2 3,9 7,7 21,9
f 8 36 43 18 6 10 121
% 5,2 23,2 27,7 11,6 3,9 6,5 78,1
f 8 38 49 26 12 22 155
Kec. Sibolangit Luar Kec. Sibolangit
Distribusi Penderita IMS berdasarkan Pendidikan, Status Pernikahan, dan Daerah Asal di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru Tahun 2013 Sosiodemografi f %
8
5,2
23
14,8
64
41,3
59
38,1
1
0,6
155
100,0
57 48 50 155
36,7 31,0 32,3 100,0
82 73
52,9 47,1 155
100
Jenis Kelamin Laki Perempu Laki an f % f % 16 19,5 66 80,5
f 82
% 100
18
73
100
24,7
55
75,3
Jumlah
Proporsi penderita IMS pada lakilaki tertinggi pada kelompok umur diatas 40 tahun yaitu sebesar 7,7%. Proporsi penderita IMS pada perempuan tertinggi pada kelompok umur 25-29 tahun yaitu sebesar 27,7%. Penderita IMS lebih banyak terdapat pada perempuan. Hal ini terjadi memang pasien yang diperiksa di Klinik IMS sebagian besar adalah perempuan. Selain itu Tim Klinik IMS yang turun ke lapangan rutin memeriksa barak - barak tempat tinggal PSK dan pada penghujung tahun 2013 pelayanan Klinik IMS difokuskan pada ibu rumah tangga. Proporsi tertinggi pada penderita IMS adalah penderita dengan tingkat pendidikan sedang yaitu SMP dan SMA sebesar 79,4%. Tingginya proporsi penderita IMS dengan tingkat pendidikan sedang (SMP dan SMA) ini berkaitan dengan jumlah penderita yang diperiksa oleh tim Klinik IMS Puskesmas Bandar Baru paling banyak adalah PSK yang putus sekolah atau tidak melanjutkan sekolah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Prevalensi ISR pada PSK di
% 5,2 24,5 31,6 16,8 7,7 14,2 100
Tabel 2.
Pendidikan Tidak Sekolah/Tidak tamat SD Tamat SD/Sederajat Tamat SLTP/Sederajat Tamat SLTA/Sederajat Tamat Akademi/PT
20,0 79,4 0,6
Tabel 3. Distribusi Proporsi Penderita IMS berdasarkan Jenis Kelamin dan Daerah Asal di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru Tahun 2013
Hasil dan Pembahasan Proporsi penderita IMS berdasarkan sosiodemografi di Puskesmas Bandar Baru Tahun 2013 dapat dilihat pada tabel 1 dan tabel 2 :
f 0 2 6 8 6 12 34
31 123 1
3
Tabel 4.
Distribusi Proporsi Penderita IMS Berdasarkan Jenis Kunjungan di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru Tahun 2013 Jenis Kunjungan f % 132 85,2 Kunjungan 1
Medan tahun 2005 dengan menggunakan desain cross sectional menyatakan bahwa proporsi tertinggi tingkat pendidikan PSK adalah SMP (36%) dan SMA (27%).5) Proporsi penderita IMS berdasarkan status pernikahan tertinggi adalah menikah sebesar 36,7%. Menurut laporan dari data statistik Indonesia, rata rata umur perkawinan penduduk berdasarkan jenis kelamin adalah pada usia 26,9 tahun pada laki-laki dan 23,2 tahun pada perempuan.9) Sesuai dengan hasil penelitian, proporsi penderita IMS tertinggi pada laki - laki terdapat pada kelompok umur ≥ 40 tahun (7,7%) dan pada perempuan terdapat pada kelompok umur 25 - 29 tahun (27,7%), artinya sebagian besar penderita IMS yang diperiksa sudah menikah. Proporsi tertinggi pada penderita IMS berdasarkan daerah asal adalah penderita yang berasal dari Kecamatan Sibolangit yaitu sebesar 52,9% dan proporsi tertinggi penderita IMS berdasarkan jenis kelamin dan daerah asal adalah perempuan yang berasal dari Kecamatan Sibolangit sebesar 80,5% atau sebanyak 66 orang. Hal ini terjadi karena wilayah kerja Klinik IMS Puskesmas Bandar Baru memang mencakupi seluruh Kecamatan Sibolangit. Selain itu, pasien IMS yang akan dirujuk ke rumah sakit memang harus melalui Klinik IMS Puskesmas Bandar Baru. Selain itu di daerah Bandar Baru terdapat sarana hiburan malam berupa kafe, tempat penginapan dan tempat dimana PSK sering dijumpai, memungkinkan untuk terjadinya hubungan seksual yang beresiko secara bebas.
Kunjungan 2 Jumlah
23 155
14,8 100,0
Proporsi penderita IMS tertinggi berdasarkan jenis kunjungan adalah kunjungan 1 sebesar 85,2%. Hal ini disebabkan karena sebagian besar penderita IMS yang diperiksa adalah PSK, sebagian besar PSK ini terkadang ketika Tim dari Klinik IMS melakukan kunjungan ke barak sedang tidak diperbolehkan untuk mengikuti pemeriksaan IMS. Hal lain yang menjadi alasan adalah sebagian PSK takut untuk memeriksakan dirinya. Selain hal tersebut, sebagian besar dari penderita IMS tinggalnya tidak menetap sehingga tidak bisa untuk mengikuti pemeriksaan rutin. Proporsi penderita IMS berdasarkan waktu hubungan seks terakhir di wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru Tahun 2013 dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 5.
Distribusi Proporsi Penderita IMS Berdasarkan Waktu Hubungan Seks Terakhir di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru Tahun 2013 Waktu Hubungan Seks f % Terakhir 122 78,7 ≤ 2 hari > 2 hari Jumlah
33 155
21,3 100,0
Proporsi penderita IMS tertinggi berdasarkan waktu seks terakhir adalah pada waktu kurang sama dengan dua hari sebesar 78,7% atau sebanyak 122 orang. Wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru ini menjadi salah satu lokasi prostitusi dan sebagian besar penderita IMS yang diperiksa juga berprofesi sebagai PSK. Hal inilah yang menyebabkan sebagian besar dari penderita IMS waktu berhubungan seks terakhirnya kurang dari dua hari karena mereka harus melayani pelanggan.
Proporsi penderita IMS berdasarkan jenis kunjungan di wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru Tahun 2013 dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
4
Proporsi penderita IMS berdasarkan jumlah pasangan seks dalam seminggu di wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru Tahun 2013 dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
kondom dengan pelanggan terakhir mereka. Selain itu sekitar 40% laki - laki usia subur yang berhubungan seks dengan lebih dari satu pasangan menyatakan tidak menggunakan kondom dalam hubungan seksual terakhir mereka.11) Penggunaan kondom yang konsisten (selalu menggunakan kondom dalam setiap hubungan seks) merupakan perilaku yang efektif untuk mencegah penularan IMS/HIV, akan tetapi berdasarkan Penelitian Prevalensi ISR di Kota Medan pada tahun 2005, sebagian besar dari PSK tidak menggunakan kondom (62%).5) Proporsi penderita IMS berdasarkan jenis IMS yang diderita di wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru Tahun 2013 dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 6.
Distribusi Proporsi Penderita IMS Berdasarkan Jumlah Pasangan Seks Selama Seminggu di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru Tahun 2013 Jumlah Pasangan f % Seks 91 58,7 ≤ 5 orang > 5 orang Jumlah
64 155
41,3 100,0
Proporsi penderita IMS tertinggi berdasarkan jumlah pasangan seks dalam seminggu adalah pada kurang sama dengan lima orang sebesar 58,7% atau sebanyak 91 orang. Pasangan seks lebih dari satu orang dapat semakin memperbesar kemungkinan tertular ataupun menularkan IMS pada orang lain. Hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Teguh, bahwa proporsi IMS cenderung meningkat pada PSK yang memiliki pasangan seksual satu hingga lebih dari 4 per harinya.10) Proporsi penderita IMS berdasarkan penggunaan kondom di wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru Tahun 2013 dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 8.
Distribusi Proporsi Penderita IMS Berdasarkan Jenis IMS di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru Tahun 2013 Jenis IMS f % 13 8,4 Gonore 86 55,5 IGNS 16 10,3 Sifilis 9 5,8 HIV 26 16,8 Kandidiasis vulvovaginalis 5 3,2 HIV + Sifilis Jumlah
Distribusi Proporsi Penderita Infeksi Menular Seksual Berdasarkan Penggunaan Kondom di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru Tahun 2013 Penggunaan Kondom f % 30 19,4 Ya
Jumlah
125 155
100,0
Proporsi penderita IMS tertinggi berdasarkan jenis IMS yang diderita adalah IGNS sebesar 55,5% atau sebanyak 86 orang. Hal ini sesuai dengan penelitian di rumah sakit umum di delapan kota besar di Indonesia menemukan bahwa IMS yang paling sering dijumpai adalah IGNS sebesar 36,6%. Selain itu, penelitian di rumah sakit pendidikan juga diperoleh bahwa persentase IGNS lebih tinggi daripada di rumah sakit umum.12) Proporsi status pernikahan penderita IMS berdasarkan jenis kelamin di wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru Tahun 2013 dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 7.
Tidak
155
80,6 100,0
Proporsi penderita IMS tertinggi berdasarkan penggunaan kondom adalah tidak menggunakan kondom sebesar 80,6% atau sebanyak 125 orang. Pada tahun 2011, sepertiga perempuan pekerja seks menyatakan tidak mengggunakan 5
Tabel 9.
Distribusi Proporsi Status Pernikahan Berdasarkan Jenis Kelamin di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru Tahun 2013
Jenis Kelamin
Laki-laki
Status Pernikahan Menikah Tidak Cerai Menikah f % f % f % 25 73,5 7 20,6 2 5,9
f 34
% 100
Perempuan
32
121
100
26,4
41
33,9
48
pada penderita IMS diasumsikan karena sebagian besar dari penderita IMS yang diperiksa adalah PSK yang berpindahpindah tempat/barak. Selain itu, pada saat adanya pemeriksaan ke lapangan oleh Tim Klinik IMS, PSK tersebut tidak selalu mendapat izin untuk memeriksakan diri mereka. Sedangkan untuk pasien yang datang ke Klinik IMS sebagian besar bukan merupakan penduduk tetap ataupun pendatang. Proporsi waktu hubungan seks terakhir penderita IMS berdasarkan jenis IMS di wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru Tahun 2013 dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Jumlah
39,7
Proporsi penderita IMS dengan jenis kelamin melalui status pernikahan tertinggi adalah pada status pernikahan cerai pada jenis kelamin laki-laki sebesar 73,5% Sedangkan proporsi status pernikahan penderita IMS pada perempuan tertinggi adalah status pernikahan cerai sebesar 39,7%. Penelitian Prevalensi ISR pada PSK di Kota Medan menyatakan bahwa status pernikahan tertinggi pada PSK adalah cerai sebesar 62%. Sedangkan menurut Surveilans Terpadu Biologi dan Perilaku pada Tahun 2011 menyatakan bahwa status pernikahan tertinggi pada pria dengan potensial resiko tinggi adalah menikah sebesar 71%. 5),13) Proporsi jenis kunjungan penderita IMS berdasarkan jenis IMS di wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru Tahun 2013 dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 10.
Jenis Kunjungan
Tabel 11.
Jenis IMS
IMS Indikator IMS bukan Indikator
Kunjungan 1
f 132
% 100
Kunjungan 2
10
23
100
43,5
13
56,5
Waktu Hubungan Seks Terakhir ≤ 2 hari > 2 hari f % f % 24 55,8 19 44,2
f 43
% 100
98
112
100
87,5
14
12,5
Jumlah
Proporsi penderita IMS dengan jenis IMS melalui waktu hubungan seks tertinggi adalah waktu hubungan seks kurang sama dengan dua hari pada penderita IMS bukan indikator (IGNS dan Kandidiasis) sebesar 87,5% atau sebanyak 98 orang. Infeksi gonore, sifilis dan, HIV merupakan jenis IMS yang salah satu penyebaran utamanya melalui hubungan seksual dan juga merupakan IMS yang terkadang tidak menunjukkan gejala. Sukarnya mendiagnosa IMS tersebut merupakan penghalang penting dalam memberantas IMS ini. Sekitar 80 hingga 90% wanita menderita gonore tanpa gejala, terutama para istri yang mendapat penyakitnya dari suami sama sekali tidak mengetahui telah menderita gonore, sehingga tetap berhubungan seks dengan suaminya dan terjadilah infeksi bola pingpong. Para kelompok tersebutlah yang menjadi reservoir tersembunyi dan tidak
Distribusi Proporsi Jenis IMS Berdasarkan Jenis Kunjungan di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru Tahun 2013 Jenis IMS IMS IMS Bukan Indikator Indikator f % f % 33 25 99 75
Proporsi Waktu Hubungan Seks Terakhir Berdasarkan Jenis IMS di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru Tahun 2013
Jumlah
Proporsi penderita IMS dengan jenis kunjungan melalui jenis IMS tertinggi adalah pada jenis IMS bukan indikator (IGNS dan Kandidiasis) sebesar 75% atau sebanyak 99 orang . Pemeriksaan ulang ataupun pemeriksaan rutin harus dilakukan untuk mengobati penderita IMS yang tanpa gejala. Selain itu, pemeriksaan juga wajib dilakukan untuk menghindari terjadinya penularan. Rendahnya kunjungan kedua 6
Tabel 13.
mendapatkan pengobatan, meskipun reservoir utamanya tetaplah PSK.14), 15) Proporsi jumlah pasangan seks dalam seminggu penderita IMS berdasarkan jenis IMS di wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru Tahun 2013 dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 12.
Jenis IMS
IMS Indikator IMS bukan Indikator
Jenis IMS
f 43
% 100
59
112
100
52,7
53
47,3
Penggunaan Kondom Ya
IMS Indikator
Distribusi Proporsi Jumlah Pasangan Seks Dalam Seminggu Berdasarkan Jenis IMS di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru Tahun 2013 Jumlah Pasangan dalam Seminggu ≤ 5 orang > 5 orang f % f % 32 74,4 11 25,6
Distribusi Proporsi Penggunaan Kondom Berdasarkan Jenis IMS di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru Tahun 2013
IMS Bukan Indikator
Jumlah
f 5
% 11,6
f 38
Tidak % 88,4
f 43
% 100
25
22,3
87
77,7
112
100
Proporsi penderita IMS dengan jenis IMS melalui penggunaan kondom adalah tidak menggunakan kondom pada penderita IMS bukan indikator sebesar 77,7% atau sebanyak 87 orang. Berganti ganti pasangan tanpa menggunakan kondom dan melakukan hubungan seksual anal tanpa menggunakan kondom meningkatkan resiko penularan IMS. Menggunakan kondom pada saat berhubungan seks dapat mencegah penularan IMS dan juga termasuk HBV. 25) Penelitian Prevalensi ISR pada PSK di Medan menunjukkan bahwa kondom tidak banyak dipakai sebagai alat kontrasepsi. Penapisan dan pengobatan IMS saja, tanpa peningkatan pemakaian kondom yang konsisten, tidak akan dapat menurunkan prevalensi IMS. Hal itu terkait risiko pekerjaannya yang selalu terpapar sumber penularan pada saat melayani pelanggannya. Makin banyak jumlah pelanggan, makin besar kemungkinan salah satu di antaranya menularkan IMS/HIV kepada PSK.5)
Jumlah
Proporsi penderita IMS dengan jenis IMS melalui jumlah pasangan seks dalam seminggu tertinggi adalah jumlah pasangan seks kurang sama dengan lima orang dalam seminggu pada penderita IMS indikator sebesar 74,4% atau sebanyak 32 orang. Penelitian Prevalensi ISR pada PSK di Kota Medan memperoleh bahwa rata - rata PSK melayani 3 orang pelanggan per minggunya dengan persentase sebesar 37%. Berganti - ganti pasangan seksual merupakan faktor dasar dalam penyebaran IMS. Menurut penelitan Nurviana di KliniK VCT pada RSU Dr. Pirngadi menyatakan bahwa proporsi tertinggi penularan HIV/AIDS berdasarkan faktor resiko penularan adalah penderita yang tertular melalui hubungan seksual yang berganti - ganti yaitu sebesar 61,2%. Resiko untuk tertular IMS meningkat sesuai semakin meningkatnya proporsi jumlah pertemuan seksual dengan pasangan yang berbeda.5),16),17)
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan a.
Proporsi penggunaan kondom penderita IMS berdasarkan jenis IMS di wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru Tahun 2013 dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
b.
7
Proporsi penderita IMS berdasarkan sosiodemografi diperoleh bahwa proporsi tertinggi adalah umur 25 - 29 tahun (31,6%); jenis kelamin perempuan (78,1%); pendidikan tingkat sedang (79,4%); status pernikahan menikah (36,7%); daerah asal Kecamatan Sibolangit (52,9%). Proporsi Penderita IMS berdasarkan jenis kelamin dan daerah asal tertinggi
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
a.
b.
adalah perempuan yang berasal dari Kecamatan Sibolangit (80,5%). Proporsi jenis kunjungan penderita IMS tertinggi adalah jenis kunjungan pertama (85,2%). Proporsi waktu hubungan seks terakhir penderita IMS tertinggi adalah waktu hubungan seks terakhir kurang sama dengan dua hari (78,7%). Proporsi jumlah pasangan seks dalam seminggu penderita IMS tertinggi adalah jumlah pasangan kurang sama dengan lima orang dalam seminggu (58,7%). Proporsi penggunaan kondom penderita IMS tertinggi adalah tidak menggunakan kondom (80,6%). Proporsi jenis IMS yang diderita penderita IMS tertinggi adalah Infeksi Genital Non Spesifik (55,5%). Ada perbedaan proporsi secara bermakna antara status pernikahan dengan jenis kelamin. Tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara jenis kunjungan dengan jenis IMS. Ada perbedaan proporsi secara bermakna pada jenis IMS berdasarkan waktu berhubungan seks terakhir. Ada perbedaan proporsi secara bermakna pada jenis IMS berdasarkan jumlah pasangan seks dalam seminggu. Tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara jenis IMS dengan penggunaan kondom.
dan promotif untuk pencegahan IMS. Seperti memberikan penyuluhan kepada laki-laki (terutama para suami) dan PSK tentang bahaya IMS dan ABCDE (Abstinensia, Be Faithful, Condom, Drugs injection, Education). c.
Diharapkan pihak Klinik IMS Puskesmas Bandar Baru dapat tetap menjalankan ataupun mengupayakan pembagian kondom gratis secara rutin, terutama kepada kelompok resiko tinggi.
d.
Diharapkan pihak Klinik IMS Puskesmas Bandar Baru dapat menjalin kerjasama dengan para stakeholder dan LSM setempat agar dapat mendampingi penderita IMS dalam hal ini terutama kelompok PSK.
e.
Kiranya para stakeholder dan pihak berwenang setempat dapat melakukan upaya-upaya penutupan lokasi prostitusi di Kecamatan Sibolangit.
f.
Diharapkan pihak klinik IMS Puskesmas Bandar Baru agar meningkatkan kelengkapan pencatatan data penderita IMS terutama mengenai jenis pekerjaan. Daftar Pustaka 1.
Saran Diharapkan kepada pihak Klinik IMS Puskesmas Bandar Baru agar dapat meningkatkan sosialisasi tentang pentingnya memeriksakan diri secara rutin ke klinik IMS terutama pada kelompok resiko tinggi (germo dan PSK).
2.
3.
Diharapkan pihak Klinik IMS Puskesmas Bandar Baru dapat meningkatkan lagi program preventif 8
Murtiastutik, Dwi. 2008. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual.Surabaya : Airlangga University Press World Health Organization, 2007. Sexually Transmitted Infections. Diakses Padahttp://www.who.int/mediace ntre/factsheets/fs110/en/ pada tanggal 12 Februari 2014 Centers for Disease Control and Prevention, 2009. Sexually Transmitted Disease Surveillance 2008. Georgia: U.S. Department of Health and Human
Services, Division of STD Prevention. 4. Dirjen PP&PL Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Buku Pedoman Interaktif “PedomanPenatalaksanan Penderita Infeksi Menular Seksual Dengan Pendekatan Sindrom. Jakarta. 5. Dirjen PP&PL Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Laporan Hasil Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Pada Wanita Penjaja Seks di Medan, Sumatera Utara, Indonesia. Jakarta. 6. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. 2014. Laporan Penderita IMS Pada Tahun 2013. Medan. 7. Profil Kesehatan Sumatera Utara 2012. Diakses dari http://www.depkes.go.id/do wnloads/PROFIL_KES_PR OVINSI_20/02_Profil Kes_Prov.SumateraUtara_2 012.pdf pada 21 Februari 2014 8. Dirjen PP&PL Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Kasus HIV/AIDS di Indonesia. Jakarta. 9. Statistik Indonesia. 2005. Susenas 1992 2005 Rata - rata Umur Perkawinan Menurut Daerah dan Jenis Kelamin, Indonesia 19922005.www.datastatistikindone sia.cm 10. Supriyadi, Teguh. 2000. Gambaran Distribusi Penyakit Menular
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
9
Seksual dan Faktor yang Berhubungan Dengan Penderita PMS Pada WTS Di Lokasi Desa Bandar Baru Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang.Skripsi Mahasiswa FKM USU. UNICEF. 2011. Respon Terhadap HIV & AIDS. Diakses pada : http://www.unicef.com/indone sia/id/ringkasan-kajian-hiv.pdf pada tanggal 1 juni 2014 Saifuddin, Abdul. 1996. Overview of Sexually Transmitted Diseases in Indonesia. Diakses pada http://www.hawaii.edu/hiv andaids/overviewofSTDsin Indonesia.pdf pada tanggal 12 Februari 2014 Kementerian Kesehatan Indonesia. 2011. STBP 2011. Diakses http://www.aidsindonesia.o r.id/repo/perpustakaan/STB P2011Final29- 22012.pdf pada tanggal 25 juni 2014 Pinem, Saroha. 2009. Kesehatan Reproduksi dan Kontrasepsi. Jakarta : Trans Info Media Harahap, Marwali. 1984. Penyakit Menular Seksual. Jakarta: PT Gramedia. Nurviana. 2008. Karakteristik Penderita HIV/AIDS Di Klinik VCT (Voluntary Counseling And Testing) RSU Dr. Pirngadi Medan Tahun 2005 - 2007. Skripsi Mahasiswa FKM USU Jawetz, Melnick. 1996. Mikrobiologi kedokteran. Jakarta : EGC
KARAKTERISTIK PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK YANG RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN TAHUN 2012-2013 Imelda Sari1, Jemadi2, Hiswani2 1
Mahasiswa Departemen Epidemiologi FKM USU 2 Dosen Departemen Epidemiologi FKM USU Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, 20155
Abstract Chronic Renal Failure (CRF) is a failure of kidney function and metabolism to maintain fluid and electrolyte balance due to the progressive destruction of kidney structure. The report of Riskesdas 2013, the prevalence of CRF in Indonesia had been diagnosed by doctors 0,2%. To know the characteristic patients with CRF, conducted a research with a case series design in RSU Haji Medan. Population and sample was 180 people in 2012-2013 were recorded in hospital medical record. Univariate data were analyzed by descriptive while bivariate data were analyzed using Chi square test, Kruskal-Wallis test. The highest proportion of CRF patients in the age group 48-55 years (25,6%), Male (50,6%), Moslem (91,7%), Housewives (38,9%), come from Medan (69,4%), the main complaints of nausea + vomiting (38,3%), diseases history of Hypertension (28,3%), medical treatment of Medicine + Diet + HD (71,1%), average length of stay 7.22 days (7 days), clinical recovery out patient (76,1%), and Askes (35,0%). There was a significant difference between the proportion of age based medical management, the average long treatment by medical management.. There was no difference in the proportion of age by the state as home, the average long care by the state during the home. The writer suggest to improve the early detection and prevention of the disease CRF early age. The hospital is expected to complement a data-stage CRF patient on the status of the patient and insight into the diet to patients who have a history of hypertension and diabetes mellitus. Key Words : Chronic Renal Failure (CRF), the characteristic of patients Pendahuluan Penyakit gagal ginjal kronik sekarang menjadi perhatian dunia kesehatan karena beberapa alasan, yaitu peningkatan prevalensi yang cepat, tingginya biaya yang dikeluarkan dalam proses pengobatan, menjadi fenomena gunung es yang menutupi penyakit terselubung, dan berperan penting meningkatkan resiko penyakit jantung serta ditemukannya langkah-langkah efektif untuk mencegah progresivitas penyakit.1 Gagal ginjal kronik (GGK) adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifest-
tasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah.2 Berdasarkan Data Laporan Tahunan USRDS (United States Renal Data System) tahun 2013, lebih dari 615.000 orang Amerika sedang dirawat karena gagal ginjal. Prevalensi ESRD pada tahun 2011 di Amerika Serikat sebesar 1.901/1.000.000 penduduk.3 Di Indonesia, menurut data Asuransi Kesehatan (ASKES) sebanyak 80.000-90.000 orang memerlukan terapi pengganti ginjal dan setiap tahun terdapat 7.000 kasus baru.4 Hasil survei Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI), ada sekitar 12, 5 % atau 18 juta orang dewasa diIndonesia yang menderita penyakit ginjal kronik.5
Prevalensi gagal ginjal kronik berdasarkan pernah didiagnosis dokter sebesar 0,2% dan penyakit batu ginjal sebesar 0,6% di Indonesia.6 Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis pada umur ≥15 tahun menurut provinsi di Indonesia tahun 2013, provinsi Sumatera Utara sebesar 0,2 %.5 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Umri di RSU. Dr. Pirngadi Medan pada (2010) proporsi penderita GGK tertinggi pada kelompok umur 50-57 tahun sebanyak 25,8% dengan prevalens terbanyak pada laki-laki sebanyak 54,7%.7 Hasil penelitian Aisyah di Rumah Sakit Haji Medan (2009), penderita gagal ginjal sebesar 106 orang, dimana 93 orang menderita GGK, sedangkan 13 orang penderita gagal ginjal akut.8
pulang. Manfaat Penelitian Sebagai bahan masukan bagi pihak RSU Haji Medan dalam usaha peningkatan pelayanan kesehatan sehubungan dengan upaya perawatan dan pengobatan terhadap penderita gagal ginjal kronik. Sebagai bahan referensi dan masukan bagi pihak lain yang ingin melakukan penelitian selanjutnya tentang penyakit gagal ginjal kronik. Sebagai sarana penambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis tentang gagal ginjal kronik dan sebagai salah satu prasyarat untuk menyelesaikan studi di FKMUSU Medan. Metode Penelitian
Perumusan Masalah Belum diketahuinya karateristik penderita gagal ginjal kronik yang rawat inap di RSU Haji Medan tahun 2012 2013. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui karakteristik penderita gagal ginjal kronik yang rawat inap di RSU Haji Medan tahun 2012-2013. Tujuan Khusus Penelitian Mengetahui distribusi proporsi penderita GGK berdasarkan sosiodemografi yang meliputi umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan, dan tempat tinggal. Mengetahui distribusi proporsi penderita GGK berdasarkan keluhan utama, riwayat penyakit sebelumnya, penatalaksanaan medis, lama rawatan rata-rata, keadaan sewaktu pulang, sumber biaya. Mengetahui sumber biaya berdasarkan keadaan sewaktu pulang. Mengetahui penatalaksanaan medis berdasarkan keadaan sewaktu pulang. Mengetahui umur berdasarkan penatalak-sanaan medis dan keadaan sewaktu pulang. Mengetahui lama rawatan rata-rata berdasarkan penatalaksanaan medis dan keadaan sewaktu
Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan menggunakan desain case series. Penelitian ini berlokasi di RSU Haji Medan. Waktu penelitian dilakukan dari bulan Januari sampai dengan Juli 2014. Populasi penelitian adalah seluruh data penderita penyakit gagal ginjal kronik yang tercatat di rekam medik RSU Haji Medan tahun 2012-2013 sebanyak 180 orang. Besar sampel sama dengan besar populasi (total sampling). Data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data univariat dianalisis secara deskriptif sedangkan data bivariat dianalisa dengan uji Chi-Square, uji Mann Whitney dan uji Kruskal - Wallis.
Hasil dan Pembahasan Distribusi proporsi penderita GGK berdasarkan umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Distribusi Proporsi Umur Berdasarkan Jenis Kelamin Penderita GGK yang Rawat Inap Berdasarkan di RSU Haji Medan Tahun 2012-2013 Umur (Tahun) 8-15 16-23 24-31 32-39 40-47 48-55 56-63 64-71 >71 Jumlah
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan F
%
f
%
1 1 3 7 16 23 23 10 7 91
0,6 0,6 1,7 3,9 8,9 12,8 12,8 5,6 3,9 50,6
0 2 5 9 11 23 20 12 7 89
0,0 1,1 2,8 5,0 6,1 12,8 11,1 6,7 3,8 49,4
Dari tabel 1. dapat dilihat bahwa proporsi penderita GGK berdasarkan kelompok umur tertinggi pada kelompok umur 48-55 tahun yaitu 46 orang (25,6%), dengan proporsi laki-laki yaitu 23 orang (12,8%) dan perempuan yaitu 23 orang (12,8%). Proporsi penderita GGK terendah pada kelompok umur 8-15 tahun yaitu 1 orang (0,6%), dengan proporsi laki-laki yaitu 1 orang 0,6% dan perempuan tidak ada 0,0%. Pertambahan usia, membuat fungsi ginjal juga akan menurun. Setelah umur 40 tahun, manusia akan mengalami kehilangan beberapa nefron, yaitu saringan penting di dalam ginjal. Penurunan fungsi ginjal berdasarkan pertambahan umur tiap dekade adalah sekitar 10 ml/menit/1,73 m2.9 Distribusi proporsi laki-laki 50,6% lebih tinggi dibandingkan perempuan 49,4% dengan Sex ratio laki-laki terhadap perempuan adalah 91:89 = 1,02:1.
Tabel 2. Distribusi Proporsi Penderita GGK yang Rawat Inap Berdasarkan Agama, Pekerjaan dan Tempat Tinggal di RSU Haji Medan Tahun 2012-2013 No. 1.
2.
3.
Sosiodemografi Agama Islam Kristen Hindu
f
%
165 14 1
91,7 7,8 0,5
Jumlah Pekerjaan PNS/Pensiunan Pegawai Swasta Ibu Rumah Tangga Petani Wiraswasta Pelajar/Mahasiswa Tidak bekerja
180
100,0
48 7 70 16 18 4 17
26,7 3,9 38,9 8,9 10,0 2,2 9,4
Jumlah
180
100,0
Tempat Tinggal Medan Luar Medan
125 55
69,4 30,6
Jumlah
180
100,0
Dari tabel 2. Dapat dilihat bahwa proporsi penderita GGK berdasarkan agama tertinggi adalah agama Islam yaitu 165 orang (91,7%) dan terendah Hindu yaitu 1 orang (0,5%). Hal ini tidak menunjukkan keterkaian antara agama dengan kejadian GGK, namun hanya menunjukkan bahwa jumlah penderita GGK yang datang berobat ke RSU Haji Medan mayoritas beragama Islam. Proporsi pekerjaan penderita GGK yang tertinggi adalah ibu rumah tangga yaitu 70 orang (38,9%) dan terendah pelajar/mahasiswa sebanyak 4 orang (2,2%). Proporsi tempat tinggal penderita GGK yang tertinggi adalah berdomisili di Medan 125 orang (69,4%) sedangkan dari luar Medan 55 orang ( 30,6%). Penderita GGK tertinggi berasal dari Medan kemungkinan karena letak rumah sakit ini berada di kota Medan, dan merupakan salah satu rumah sakit yang sudah menjadi milik Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sehingga pengunjung yang datang lebih banyak dari Medan. Sedangkan penderita yang dari luar Medan dapat disebabkan karena ingin mendapatkan fasilitas yang lebih ba-
ik dan memadai. Penderita yang berasal dari luar Medan yaitu berasal dari Deli Serdang, Padang Sidempuan, Asahan, Tebing Tinggi, Asahan, Pematang Siantar, dan Aceh. Distribusi proporsi penderita GGK berdasarkan keluhan utama dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Dari tabel 3. dapat dilihat bahwa proporsi penderita GGK berdasarkan keluhan utama tertinggi adalah mual + muntah yaitu 69 orang (38,3%) dan terendah adalah kesadaran menurun dan sakit pinggang yaitu 7 orang (3,9%). Distribusi proporsi penderita GGK berdasarkan riwayat penyakit sebelumnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tekanan darah tinggi menyebabkan perubahan struktur arteri yang dapat menyebabkan gagal ginjal. Patogenesis hipertensi pada gagal ginjal kronis sering menjadi salah satu atau kombinasi dari retensi cairan dengan volume dikeluarkan ekstraseluler, meningkat vasokonstriksi, atau aktivasi sistem renin angiotensin.10 Diabetes melitus mempengaruhi truktur dan fungsi ginjal dalam berbagai cara. 11 Sumbatan saluran kemih dapat menjadi penyebab GGK. Sumbatan bisa terjadi sepanjang sakuran kemih mulai dari piala ginjal, sumbatan saluran kemih atau pembesaran kelenjar prostat. Penyumbatan saluran kemih yang menimbulkan statis urin merupakan faktor predisposisi infeksi saluran kemih berulang.12 Batu ginjal (kalkuli urinaria) terbentuk dari pengendapan garam kalsium, magnesium, asam urat, atau sistein. Batubatu kecil dapat mengalir bersama urin, batu yang lebih besar akan tersangkut dalam ureter dan menyebabkan rasa nyeri yang tajam (kolik ginjal) yang menyebar dari ginjal ke selangkangan. 13 Distribusi proporsi penderita GGK berdasarkan penatalaksanaan medis dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4. Distribusi Proporsi Riwayat Penyakit Sebelumnya Penderita GGK yang Rawat Inap di RSU Haji Medan Tahun 2012-2013
Tabel 5. Distribusi Proporsi Penatalaksanaan Medis Penderita GGK yang Rawat Inap di RSU Haji Medan Tahun 2012-2013
Riwayat Penyakit Sebelumnya Hipertensi Diabetes melitus Batu ginjal Penyakit ginjal polikistik Infeksi Saluran Kemih (ISK) Lebih dari satu riwayat penyakit sebelumnya Tidak ada riwayat
f 51 39 4 6 10 41
Penatalaksanaan Medis Obat-obatan + diet Obat-obatan + diet + HD
F 52 128
% 28,9 71,1
Jumlah
180
100,0
29
16,1
Jumlah
180
100,0
Tabel 3. Distribusi Proporsi Keluhan Utama Penderita GGK yang Rawat Inap di RSU Haji Medan Tahun 2012-2013 Keluhan Utama Mual + Muntah Badan lemas Kesadaran menurun Buang Air Kecil sedikit Sakit Pinggang Lebih dari satu keluhan Jumlah
F 69 65 7 8 7 24 180
% 38,3 36,1 3,9 4,4 3,9 13,4 100,0
% 28,3 21,7 2,2 3,3 5,6 22,8
Dari tabel 4. dapat dilihat bahwa proporsi penderita GGK berdasarkan riwayat penyakit sebelumnya tertinggi adalah hipertensi yaitu 51 orang (28,3%) dan terendah adalah batu ginjal yaitu 4 orang (2,2 %).
Dari tabel 5. dapat dilihat bahwa proporsi penderita GGK yang rawat inap di RSU Haji Medan tahun 2012-2013 berdasarkan penatalaksanaan medis tertinggi adalah obat-obatan + diet + HD yaitu 128 orang (71,1%) dan terendah adalah obatobatan + diet yaitu 52 orang (28,9%). Penderita GGK yang datang berobat ke RSU Haji Medan sebagian besar sudah dalam kondisi yang cukup parah atau tidak dapat lagi ditangani hanya dengan
obat-obatan + diet, sehingga dilakukan penatalaksanaan medis dengan obat-obatan + diet + HD. Hemodialisis dilakukan pada penderita GGK, dikarenakan sifat penyakit GGK yang tidak reversibel.11 Kemudian diet pada penderitaGGK yang diberikan adalah diet natrium dan pembatasan protein. Pembatasan asupan protein telah terbukti menormalkan kembali dan memperlambat progresivitas gagal ginjal. Jumlah kebutuhan protein biasanya dilonggarkan sampai 60-80 gram/hari, apabila penderita mendapatkan pengobatan dialisis teratur. Asupan natrium yang melebihi batas normal (1-2 g/hari) dapat mengakibatkan retensi cairan, edema perifer, edema paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif.14 Distribusi proporsi penderita GGK berdasarkan lama rawatan rata-rata dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 6. Lama Rawatan Rata-Rata Penderita GGK yang Rawat Inap di RSU Haji Medan Tahun 20122013 Lama Rawatan Rata-Rata (hari) Mean 7,22 Standard deviation 7,157 95 % CI 6,16-8,27 Minimum 1 Maksimum 50
Dari tabel 6. dapat dilihat bahwa proporsi penderita GGK berdasarkan lama rawatan rata-rata adalah 7,22 hari (7 hari) dan standar deviasi 7,157 hari (7 hari). Lama rawatan minimum 1 hari sedangkan maksimum 50 hari. Berdasarkan Confidence Interval 95% didapatkan bahwa lama rawatan rata-rata selama 6,16-8,27 hari. Distribusi proporsi penderita GGK berdasarkan keadaan sewaktu pulang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 7. Distribusi Proporsi Keadaan Sewaktu Pulang Penderita GGK yang Rawat Inap di RSU Haji Medan Tahun 2012-2013 Keadaan Sewaktu Pulang Pulang Berobat Jalan Pulang Atas Permintaan Sendiri Meninggal
f 137 6 37
% 76,1 3,3 20,6
Jumlah
180
100,0
Dari tabel 7. dapat dilihat bahwa proporsi penderita GGK yang rawat inapdi RSU Haji Medan tahun 2012-2013 berdasarkan keadaan sewaktu pulang yaitu pulang berobat jalan 137 orang (76,1%), meninggal 37 orang (20,6%) dan pulang atas permintaan sendiri 6 orang (3,3%). Proporsi penderita GGK paling tinggi dengan keadaan pulang berobat jalan karena penyakit GGK membutuhkan pengobatan ulang yang berkelanjutan. Penderita yang pulang atas permintaan sendiri sebesar 3,3 %, hal ini kemungkinan disebabkan karena keadaan ekonomi yang tidak memungkinkan penderita untuk lebih lama dirawat inap di rumah sakit tersebut. Distribusi proporsi penderita GGK berdasarkan sumber biaya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 8. Distribusi Proporsi Sumber Biaya Penderita GGK yang Rawat Inap di RS Haji Medan Tahun 20122013 Sumber Biaya Umum/biaya sendiri Askes Jamkesmas Jamsostek Jamkesda Jumlah
f 24 63 39 7 47 180
% 13,3 35,0 21,7 3,9 26,1 100,0
Dari tabel 8. dapat dilihat bahwa proporsi penderita GGK berdasarkan sumber biaya tertinggi adalah Askes yaitu 63 orang (35%) dan terendah adalah Jamsostek yaitu 7 orang (3,9%). Tingginya proporsi penderita GGK yang datang berobat dengan sumber biaya Askes, dikarenakan sebagian besar pekerjaan penderita GGK adalah PNS.
Analisa Statistik Distribusi proporsi sumber biaya berdasarkan keadaan sewaktu pulang penderita GGK 2012-2013 dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 9. Distribusi Proporsi Sumber Biaya Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang Penderita GGK yang Rawat Inap di RSU Haji Medan Tahun 2012-2013 Keadaan Sewaktu Pulang PBJ PAPS Meninggal
Sumber Biaya Biaya Bukan sendiri biaya sendiri f % f % 16 11,7 121 88,3 4 66,7 2 33,3 4 10,8 33 89,2
Jumlah
f 137 6 37
% 100,0 100,0 100,0
Dari tabel 9. dapat dilihat bahwa proporsi keadaan sewaktu pulang yang pulang berobat jalan tertinggi pada pende-rita dengan bukan biaya sendiri 121 orang (88, 3 %), sedangkan pada penderita yang biaya sendiri 16 orang (11,7%). Proporsi keadaan sewaktu pulang yang pulang atas permintaan sendiri tertinggi pada penderita dengan biaya sendiri 4 orang (66,7%), sedangkan pada penderita yang bukan biaya sendiri 2 orang (33,3%). Proporsi keadaan sewaktu pulang yang meninggal tertinggi pada penderita dengan bukan biaya sendiri 33 orang (89,2 %),sedangkan pada penderita yang biaya sendiri 4 orang (10,8%). Hasil analisa statistik dengan menggunakan uji Chi-Square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 2 sel (33,3%) yang memiliki nilai expected count kurang dari 5. Distribusi proporsi penatalaksanaan medis berdasarkan keadaan sewaktu pulang penderita GGK dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 10. Distribusi Proporsi Penatalaksanaan Medis Berdasarkan Keadaaan Sewaktu Pulang Penderita GGK yang Rawat Inap di RSU Haji Medan Tahun 2012-2013 Keadaan Sewaktu Pulang
PBJ PAPS Meninggal
Penatalaksanaan Medis ObatObatobatan + obatan + diet diet + HD f % f % 35 25,5 102 74,5 4 66,7 2 33,3 13 35,1 24 64,9
Jumlah
f 137 6 37
% 100,0 100,0 100,0
Dari tabel 10. dapat dilihat bahwa proporsi keadaan sewaktu pulang yang pulang berobat jalan tertinggi pada penderita dengan obat-obatan + diet + HD 102 orang (74,5%), sedangkan pada penderita dengan obat-obatan + diet 35 orang (25,5%). Proporsi keadaan sewaktu pulang yang pulang atas permintaan sendiri tertinggi pada penderita dengan obat-obatan + diet 4 orang (66,7%), sedangkan pada penderita dengan obat-obatan + diet + HD 2 orang (33 ,3%). Proporsi keadaan sewaktu pulang yang meninggal tertinggi pada penderita dengan obat-obatan + diet + HD 24 orang (64,9 %),sedangkan pada penderita dengan obat-obatan + diet 13 orang (35,1%). Hasil analisa statistik dengan menggunakan uji Chi-Square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 2 sel (33,3%) yang memiliki nilai expected count kurang dari 5. Distribusi proporsi umur berdasarkan penatalaksanaan medis penderita GGK dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 11. Distribusi Proporsi Umur Berdasarkan Penatalaksanaan Medis Penderita GGK yang Rawat Inap di RSU Haji Medan Tahun 2012-2013 Penatalaksanaan Medis Obat-obatan + diet Obat-obatan + diet + HD
Umur > 40 tahun
≤ 40 tahun f % 14 26,9 17 13,3
f 38 111
% 73,1 86,7
Dari tabel 11. dapat dilihat bahwa proporsi penatalaksanaan medis dengan obat-obatan + diet + HD tertinggi pada kelompok umur > 40 tahun sebanyak 111 orang (86,7%), sedangkan pada kelompok umur ≤ 40 tahun sebanyak 17 orang (13,3 %). Proporsi penatalaksanaan medis dengan obat-obatan + diet tertinggi pada kelompok umur > 40 tahun sebanyak 38 orang (73,1%) sedangkan pada pada kelompok umur ≤ 40 tahun sebanyak 14 orang (26,9 %). Hasil analisis statistik dengan uji Chi-square diperoleh nilai p=0,028 yang artinya ada perbedaan proporsi yang bermakna antara umur berdasarkan penatalaksanaan medis. Distribusi proporsi umur berdasarkan keadaan sewaktu pulang penderita GGK dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 12. Distribusi Proporsi Umur Berdasar-kan Keadaan Sewaktu Pulang Penderita GGK yang Rawat Inap di RSU Haji Medan Tahun 2012-2013 Keadaan Sewaktu Pulang PBJ PAPS Meninggal
Umur ≤ 40 > 40 tahun tahun f % f % 27 19,7 110 80,3 1 16,7 5 83,3 3 8,1 34 91,9
Jumlah f 137 6 37
% 100,0 100,0 100,0
Dari tabel 12. dapat dilihat bahwa proporsi keadaan sewaktu pulang yang pulang berobat jalan tertinggi pada kelompok umur > 40 tahun sebanyak 110 orang (80,3%), sedangkan pada kelompok umur ≤ 40 tahun sebanyak 27 orang (19,7%). Proporsi keadaan sewaktu pulang yang pulang atas permintaan sendiri tertinggi pada kelompok umur > 40 tahun sebanyak 5 orang (83,3%), sedangkan pada pada kelompok umur ≤ 40 tahun sebanyak 1 orang (16,7%). Proporsi keadaan sewaktu pulang yang meninggal tertinggi pada kelompok umur > 40 tahun sebanyak 34 orang (91,9%), sedangkan pada pada kelompok umur ≤ 40 tahun
sebanyak 3 orang (8,1%). Hasil analisa statistik dengan menggunakan uji Chi-Square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 2 sel (33,3%) yang memiliki nilai expected count kurang dari 5. Distribusi proporsi lama rawatan rata-rata berdasarkan penatalaksanaan medis penderita GGK dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 13. Lama Rawatan Rata-Rata Berdasarkan Penatalaksanaan Medis Penderita GGK yang Rawat Inap di RSU Haji Medan tahun 2012-2013 Penatalaksanaan Medis Obat-obatan + diet Obat-obatan + diet + HD
Lama Rawatan Rata-Rata (hari) n Mean SD 52 3,52 3,893 128 8,72 7,631
Berdasarkan tabel 13. dapat dilihat bahwa lama rawatan rata-rata 52 orang dengan penatalaksanaan medis obat-obatan + diet adalah 3,52 hari (4 hari) dan lama rawatan rata-rata 128 orang dengan penatalaksanaan medis obat-obatan + diet + HD adalah 8,72 hari (9 hari). Dari hasil uji Mann-Whitney diperoleh p=0,001, maka dapat disimpulkan ada perbedaan lama rawatan rata-rata berdasarkan penatalaksanaan medis. Distribusi proporsi lama rawatan rata-rata berdasarkan keadaan sewaktu pulang penderita GGK dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 14.
Lama Rawatan Rata-Rata Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang Penderita GGK yang Rawat Inap di RSU Haji Medan Tahun 2012-2013
Keadaan Sewaktu Pulang PBJ PAPS Meninggal
Lama Rawatan Rata-Rata (hari) n Mean SD 137 7,14 5,607 6 3,00 2,530 37 8,19 11,448
Dari tabel 14. dapat dilihat bahwa dari seluruh penderita GGK terdapat 137 orang yang pulang berobat jalan (PBJ) dengan lama rawatan rata-rata 7,14 hari (7
hari), 6 orang yang pulang atas permintaan sendiri (PAPS) dengan lama rawatan ratarata 3,00 hari (3 hari) dan 37 orang yang meninggal dengan lama rawatan rata-rata 8,19 hari (8 hari). Dari hasil uji Kruskal Wallis diperoleh p=0,069 maka dapatdisimpulkan tidak ada perbedaan lama rawatan rata-rata berdasarkan keadaan sewaktu pulang.
k. Tidak ada perbedaan proporsi umur berdasarkan keadaan sewaktu pulang. l. Ada perbedaan antara lama rawatan rata-rata berdasarkan penatalaksanaan medis (p=0,001). m. Tidak ada perbedaan antara lama rawatan rata-rata berdasarkan keadaan sewaktu pulang (p=0,069). Saran
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan a. Proporsi penderita GGK berdasarkan sosiodemografi tertinggi terdapat pada kelompok umur 48-55 tahun 25,6%, jenis kelamin laki-laki 50,6%, agama Islam 91,7%, pekerjaan ibu rumah tangga 38,9% dan tempat tinggal Medan 69,4%. b. Proporsi penderita GGK berdasarkan keluhan utama tertinggi adalah mual + muntah yaitu 38,3%. c. Proporsi penderita GGK berdasarkan riwayat penyakit sebelumnya tertinggi adalah hipertensi 28,3%. d. Proporsi penderita GGK berdasarkan penatalaksanaan medis tertinggi adalah obat-obatan + diet + HD 71,1%. e. Lama rawatan rata-rata penderita GGK adalah 7,22 hari (7 hari). f. Proporsi penderita GGK berdasarkan keadaan sewaktu pulang tertinggi adalah pulang berobat jalan (PBJ) 76,1%. g. Proporsi penderita GGK berdasarkan sumber biaya tertinggi adalah Askes 35,0%. h. Penderita GGK yang pulang atas permintaan sendiri lebih banyak pada penderita dengan sumber biaya sendiri. i. Proporsi penderita yang pulang atas permintaan sendiri dengan penatalaksanaan medis obat+obatan + diet lebih banyak daripada obat-obatan + diet + HD. j. Ada perbedaan proporsi yang bermakna antara umur berdasarkan penatalaksanaan medis (p=0,028).
a. Kepada penderita GGK yang pulang berobat jalan (PBJ) diharapkan untuk selalu mengontrol penyakitnya agar tidak berlanjut menjadi parah. b. Kepada pihak rumah sakit agar memberikan pemahaman mengenai diet yang harus dilakukan penderita GGK dengan riwayat penyakit Hipertensi dan Diabetes Melitus, agar mampu mengatur diet/menjaga pola makan yang telah dianjurkan, mengingat banyak penderita yang memiliki riwayat penyakit Hipertensi (28,3%) dan Diabetes Melitus (21,7%). c. Kepada penderita Hipertensi dan Diabetes Melitus diharapkan untuk melakukan deteksi dini terhadap penyakit GGK, mengingat banyak penderita GGK dengan penatalaksanaan medis tertinggi adalah obat-obatan + diet + HD 71,1%. d. Kepada pihak RSU Haji Medan sebaiknya melengkapi dan menambahkan pencatatan data pada kartu status pasien seperti penambahan data stadium penderita GGK. e. Diharapkan agar pencegahan GGK dilakukan mulai usia dini, mengingat resiko untuk terkena penyakit GGK setelah umur 40 tahun, hal ini dikarenakan penurunan fungsi ginjal.
Daftar Pustaka 1. Barsoum, RS., 2006. Chronic Kidney Disease In The Developing World. (www.Content.Nej.Org/Cgi/Co ntent/Full) Diakses tanggal 27 Februari 2014 2. Muttaqin dan Kumala Sari, 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta : Salemba Medika 3. United States Renal Disease System (USRDS), 2013. USRDS Annual Data Report 2013. (www.usrds.org) Diakses tanggal 30 Januari 2014 4. Medika Jurnal Kedokteran Indonesia, 2013. (www.jurnalmedika.com/edisitahun-2013/edisi-no-06-volxxxix-2013/) Diakses tanggal 20 Februari 2014 5. . Tjempakasari, A., 2011. Penyakit Ginjal Diabetik. Perhimpunan Nefrologi Indonesia Wilayah Jawa Timur (www.bumn.go.id/bbi/files/201 1/03/SeminarHariGinjal20111.) Diakses tanggal 10 Februari 2014 6.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)2013.(www.ter bitan.litbang.depkes.go.id/pene rbitan/index.php/blp/catalog) Diakses tanggal 15 Februari 2014
7. Umri, M., 2011. Karakteristik Penderita Gagal Ginjal Kronis Yang Dirawat Inap di RSU. Dr. Pirngadi Medan Tahun 2010.
Skripsi Mahasiswa FKM USU, Medan
8. Aisyah, J., 2011. Karakteristik Penderita Gagal Ginjal Rawat Inap Di Rumah Sakit Haji Medan Tahun 2009. Skripsi Mahasiswa FKM USU, Medan 9. Aziz, M. F., dkk., 2008. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta : EGC 10. Slaughter, M., 2007. Cardiac Surgery in Chronic Renal Failure. Massachusetts : Blackwell Futura 11. Isselbacher, Kurt J., et.al., 2000. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi13. Jakarta : EGC 12. Lumenta, N., dkk., 1992. Penyakit Ginjal. Cetakan pertama. Jakarta : Gunung Mulia 13. Sloane, E., 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Cetakan I. Jakarta : EGC 14. Suharyanto dan Abdul Madjid., 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta : Trans Info Media
HUBUNGAN JENIS DAN LAMA PENGGUNAAN ALAT KONTRASEPSI HORMONAL TERHADAP GANGGUAN MENSTRUASI PADA IBU PUS DI KELURAHAN BINJAI KECAMATAN MEDAN DENAI KOTA MEDAN TAHUN 2014 Febria Octasari1, Sori Muda Sarumpaet2, Yusniwarti Yusad3 Alumni Mahasiswa Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, USU 2,3 Staf Pengajar Departemen Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, USU Email :
[email protected] 1
ABSTRACT Prevention of maternal morbidity and mortality is the main reason for family planning programs. The survey showed that 62% of married women aged 15-49 years using a family planning method, most of them using modern contraceptive methods were 58% and 4% using the traditional method of contraception. The purpose of this research is to analyze association between the type and duration of use of hormonal contraceptives on menstrual disorders in Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai 2014. Analytic study was observational, using cross-sectional design with 210 person as samples. The sampling technique was simple random sampling. The result of this research is the type of hormonal contraception that many in demand by the respondent is kind of 3-month injectable contraceptive with a percentage of 35,7%. The results of the bivariate analysis showed the type of hormone contraceptive associated with menstrual disorders (RP=3,07; 95% CI: 2,254,19) longer menstrual disorders (RP=2,52; 95% CI: 1,85-3,42) disruption of the menstrual cycle (RP=2,88; 95% CI: 2,13-3,89) spotting (RP=3,85; 95% CI: 2,24-6,60). Duration of use of menstrual disorders associated with long periods (RP=1,53; 95% CI: 1,17-2,03) and disruption of the menstrual cycle (RP=1,49; 95% CI: 1,17-1,91). Acceptor is expected to choose the right contraception and ask health worker about various contraceptives before choosing contraceptives. Keywords : types of contraception, contraceptive use and duration of menstrual disorders PENDAHULUAN Tingginya laju pertumbuhan penduduk dan kurang seimbangnya penyebaran dan struktur umur penduduk merupakan masalah utama yang sedang dihadapi negara-negara berkembang. Keadaan penduduk yang demikian telah mempersulit usaha peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Semakin tinggi pertumbuhan penduduk semakin besar usaha yang diperlukan untuk mempertahankan tingkat kesejahteraan penduduk.1 Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan pada tahun 2010, kepadatan penduduk di Indonesia mencapai 124 orang per kilometer persegi dengan laju pertumbuhan penduduk mencapai 1,5%, jauh dari angka ideal yang semestinya di
bawah 1%. Hal ini dibarengi dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia yaitu dari 205,1 juta jiwa pada 2000 menjadi 237,6 juta jiwa pada 2010. Pada tahun 2035, Indonesia diproyeksi akan mempunyai 304,9 juta jiwa penduduk.2 Dalam sepuluh tahun terakhir trend Angka Kelahiran Total (TFR) Indonesia dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2012 menunjukkan stagnansi yakni masih diangka 2,6. Sedangkan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia mencapai 359 meninggal dunia per 100.000 ibu hamil/melahirkan. Fakta ini sangat memprihatinkan mengingat, kurang lebih 14.000 ibu yang meninggal karena melahirkan setiap tahunnya dan menjadikan Indonesia sebagai negara 1
yang memiliki angka kematian ibu tertinggi di kawasan Asia Tenggara.3 Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2012 memperlihatkan proporsi akseptor KB untuk semua tercatat sebesar 57,9 %. Bila dirinci lebih lanjut proporsi akseptor KB yang terbanyak adalah suntik (31,9%), diikuti oleh pil (13,6%), IUD (3,9%), implant atau susuk KB (3,3%), MOW (3,2%), kondom (1,8%), MOP (0,2%), MAL (Metode Amenore Laktasi) (0,0%), dan sisanya merupakan peserta KB tradisional masingmasing menggunakan cara tradisional, pantang berkala (1,3%), senggama terputus (2,3%) dan cara lain (0,4%).3 Hasil survei menunjukkan bahwa 62% wanita kawin usia 15-49 tahun menggunakan alat cara KB, sebagian besar di antaranya menggunakan metode kontrasepsi modern sebanyak 58% dan 4% menggunakan metode kontrasepsi tradisional. Diantara cara KB modern yang dipakai, suntik KB merupakan alat kontrasepsi terbanyak digunakan oleh wanita berstatus kawin sebanyak 32% , diikuti oleh pil KB hampir 14%.3.6 Berdasarkan survey BKKBN 2013 di Kecamatan Medan Denai, jumlah PUS yang menjadi akseptor KB aktif sampai dengan Desember 2013: 15.973 akseptor, dengan proporsi aksepor KB IUD 18,47%, MOW 4,06%, MOP 0,58%, Kondom 11,20%, Implant 6,85%, KB Suntik 27,78% dan KB Pil 31,05%.5 Data akseptor KB di Kelurahan Binjai sampai dengan Desember 2013: jumlah akseptor KB aktif 4.874 peserta yang terdiri dari: 1.328 akseptor IUD (27,2%), 424 akseptor Kondom (8,7%), 204 akseptor implant (4,2%), MOP 0%, 190 MOW (3,9%), 1.185 akseptor KB Suntik (24,3%) dan 1.543 akseptor KB Pil (31,7%). Berdasarkan studi pendahuluan terhadap akseptor 10 akseptor KB dengan wawancara langsung menggunakan kuesioner di Kelurahan Binjai pada tanggal 8 Maret 2014. Didapatkan bahwa 7 akseptor KB suntik yang diwawancarai
mengalami pola menstruasi yang tidak teratur dan tidak menstruasi > 3bulan (amenorea), 5 akseptor mengalami spotting dan 4 akseptor mengalami hipomenorea lebih dari 1 tahun penggunaan. Sedangkan pada 3 akseptor KB pil yang diwawancarai, 1 akseptor mengalami pola menstruasi tidak teratur dan amenorea dengan lama pemakaian kurang dari 1 tahun dan 2 akseptor pil lainnya pernah mengalami spotting dengan lama pemakaian lebih dari 1 tahun. Rumusan Masalah Belum diketahuinya hubungan jenis dan lama penggunaan kontrasepsi hormonal terhadap gangguan menstruasi pada ibu PUS di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan tahun 2014. Tujuan Penelitian Menganalisis hubungan jenis dan lama penggunaan alat kontrasepsi hormonal terhadap gangguan menstruasi pada ibu PUS di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai tahun 2014. Tujuan Khusus 1) Mengetahui distribusi responden menurut karakteristik ibu PUS. 2) Mengetahui distribusi responden menurut jenis dan lama penggunaan alat kontrasepsi hormonal. 3) Mengetahui hubungan jenis dan lama penggunaan alat kontrasepsi hormonal terhadap gangguan pola menstruasi. 4) Mengetahui hubungan jenis dan lama penggunaan alat kontrasepsi hormonal terhadap gangguan lama menstruasi. 5) Mengetahui hubungan jenis dan lama penggunaan alat kontrasepsi hormonal terhadap gangguan siklus menstruasi. 6) Mengetahui hubungan jenis dan lama penggunaan alat kontrasepsi hormonal terhadap kejadian spotting Manfaat Penelitian 1) Sebagai informasi bagi institusi terkait (tenaga kesehatan dan BKKBN) untuk 2
memberikan masukan guna meningkatkan kualitas pelayanan KIE bagi PUS. 2) Sebagai pengalaman untuk meningkatkan pengetahuan dan memperluas wawasan penulis dalam melakukan penelitian tentang dampak penggunaan kontrasepsi hormonal terhadap akseptor dan hubungan jenis dan lama penggunaan kontrasepsi hormonal dengan gangguan menstruasi. 3) Sebagai referensi bagi perpustakaan FKM USU dan penelitian selanjutnya. METODE Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik, dengan menggunakan desain cross sectional. Data primer dilakukan melalui wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner, sedangkan data sekunder diperoleh dari Kantor Kelurahan Binjai dan BKKBN Kecamatan Medan Denai. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu PUS yang menggunakan kontrasepsi hormonal: KB pil, suntik 1 bulan dan suntik 3 bulan, implan sebanyak 2.932 akseptor. Sampel dalam penelitian diambil secara simple random sampling yaitu sebanyak 210 orang. Untuk menentukan besar sampel digunakan rumus : pqz 2 n
d2
deff
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai. Kelurahan Binjai adalah satu dari 6 (enam) Kelurahan yang ada di Kecamatan Medan Denai. Kelurahan Binjai merupakan kawasan pemukiman dengan luas wilayah ±414,5 ha. Tabel 1. Distribusi Proporsi Responden Menurut Karakteristik Ibu PUS Karakteristik Ibu PUS Umur 21-24 tahun
Jumlah n
%
15
7,1
25-28 tahun 29-32 tahun 33-36 tahun 37-40 tahun 41-44 tahun 45-48 tahun
Jumlah Pendidikan Tidak Sekolah Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat PT Jumlah Pekerjaan PNS Pegawai Swasta Wiraswasta IRT Jumlah Jumlah Anak 1-2 orang ≥ 3 orang Jumlah
57 34 53 33 13 5 210
27,1 16,2 25,2 15,7 6,2 2,4 100
3 21 16 137 33 210
1,4 10 7,6 65,2 15,7 100
16 7 51 136 210
7,6 3,3 24,3 64,8 100
95 115 210
45,2 54,8 100
Berdasarkan tabel 1 diatas menunjukkan bahwa distribusi proporsi responden terbesar yaitu umur 26-28 tahun yaitu 27,1%. Menurut Hartanto (2004) dinyatakan bahwa usia 20-35 tahun merupakan fase menjarangkan kehamilan dan merupakan usia yang terbaik untuk mengandung dan melahirkan.7 Pendidikan yang banyak ditempuh responden adalah tamat SMA/ sederajat yaitu 65,2%. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan semakian luas wawasannya sehingga akan mudah dalam menerima informasi yang bermanfaat bagi dirinya. Pengetahuan yang didapatkan oleh seseorang tentang metode kontrasepsi berdampak pada pemilihan jenis alat kontrasepsi. Bagi sebagian akseptor dapat menerima perubahan menstruasi dari jenis kontrasepsi yang dipilih, tetapi bagi yang tidak bisa menerima perubahan akseptor akan memilih kontrasepsi lain.8 Berdasarkan jenis pekerjaan sebagian besar responden (64,8%) jenis 3
pekerjaannya adalah sebagai ibu rumah tangga. Hal ini menunjukkan bahwa dengan banyaknya wanita yang tidak bekerja diluar rumah dan ikut serta dalam program KB akan dapat meningkatkan kualitas keluarganya. Responden yang sebagian besar sebagai Ibu Rumah Tangga memiliki ketidakterbatasan waktu untuk melakukan pelayanan KB. Sebagian besar responden memiliki jumlah anak ≥ 3 orang yaitu 54,8%. Pada responden dengan umur antara 20-35 tahun merupakan periode paling baik untuk melahirkan, dengan jumlah anak 2 orang dan jarak antara kelahiran 2-4 tahun. Tabel 2. Distribusi Responden Menurut Jenis dan Lama Kontrasepsi Hormonal Jumlah Kontrasepsi Hormonal N % Jenis Kontrasepsi Pil 69 28,1 Suntik 1 bulan 51 24,3 Suntik 3 bulan 76 36,2 Implan 24 11,4 Jumlah 210 100 Lama Penggunaan ≤ 1 tahun 101 48,1 > 1 tahun 109 51,9 Jumlah 210 100 Berdasarkan tabel 2 diatas menunjukkan bahwa proporsi jenis kontrasepsi terbesar yaitu suntik 3 bulan. Banyaknya responden memilih kontrasepsi hormonal suntik 3 bulan dikarenakan keuntungan kontrasepsi tersebut yaitu lebih praktis dan murah dibandingkan suntik 1 bulan (DMPA) dan tidak perlu meminum pil setiap hari. Hal ini sejalan dengan hasil presurvey BKKBN Kota Medan 2013 yang menunjukkan KB suntik sebagai pilihan KB tertinggi yaitu 80.459 akseptor KB Suntik peserta (35,0%).5.7 Berdasarkan lama penggunaan kontrasepsi, proporsi lama penggunaan kontrasepsi terbesar adalah lama penggunaan > 1 tahun yaitu 51,9%. Efek pola menstruasi tergantung pada lama
pemakaian. Perdarahan inter menstrual dan bercak darah berkurang dengan jalannya waktu, sedangkan kejadian amenorea bertambah besar pada penggunaan kontrasepsi suntik 3 bulan (DMPA).9 Tabel 3. Distribusi Proporsi Pola Menstruasi Sebelum dan Setelah Penggunaan Alat Kontrasepsi Hormonal Pola Menstruasi f % Sebelum Penggunaan Kontrasepsi Teratur 174 82,9 Tidak Teratur 36 17,1 Jumlah 210 100 Setelah Penggunaan Kontrasepsi Teratur 84 40 Tidak Teratur 126 60 Jumlah 210 100 Berdasarkan Tabel 3 diatas menunjukkan bahwa setelah penggunaan kontrasepsi sebanyak 126 orang (60%) mengalami pola menstruasi tidak teratur. Tabel 4. Distribusi Proporsi Lama Menstruasi Sebelum dan Setelah Penggunaan Alat Kontrasepsi Hormonal Lama Menstruasi F % Sebelum Penggunaan Kontrasepsi Hipomenorea 11 5,2 Normal 190 90,5 Hipermenorea 9 4,3 Jumlah 210 100 Setelah Penggunaan Kontrasepsi Tidak Menstruasi 70 33,3 Hipomenorea 44 21 Normal 92 43,8 Hipermenorea 4 1,9 Jumlah 210 100 Berdasarkan tabel 4 diatas menunjukkan bahwa setelah penggunaan kontrasepsi sebanyak 70 orang (33,3%) mengalami tidak menstruasi, 44 orang (21%) mengalami hipomenorea, dan 4 orang (1,9%) mengalami hipermenorea.
4
Tabel 5. Distribusi Proporsi Siklus Menstruasi Sebelum dan Setelah Penggunaan Alat Kontrasepsi Hormonal Siklus Menstruasi f % Sebelum Penggunaan Kontrasepsi Normal 183 87,1 Oligomenorea 14 6,7 Amenorea 13 6,2 Jumlah 210 100 Setelah Penggunaan Kontrasepsi Normal 75 35,7 Oligomenorea 35 16,7 Amenorhea 100 47,6 Jumlah 210 100 Berdasarkan tabel 5 diatas menunjukkan bahwa setelah penggunaan kontrasepsi sebanyak 100 orang (47,6%) mengalami amenorhea dan 35 orang (16,7) responden mengalami oligomenorea. Tabel 6. Distribusi Proporsi Kejadian Spotting Spotting f (%) Mengalami Spotting 66 32,4 Tidak Mengalami Spotting 142 67,6 Jumlah 210 100 Berdasarkan tabel 6 diatas menunjukkan bahwa sebanyak 66 orang (32,4%) responden mengalami spotting/ bercak darah. Jenis kontrasepsi hormonal dikategorikan menjadi kontrasepsi progestin dan kontrasepsi kombinasi. Gangguan menstruasi dikategorikan menjadi teganggu dan tidak terganggu. Selanjutnya dilakukan tabulasi silang variabel jenis kontrasepsi dengan gangguan menstruasi yang meliputi pola menstruasi, lama menstruasi, siklus menstruasi, dan spotting. Variabel lama pemakaian dilakukan tabulasi silang dengan gangguan menstruasi yang meliputi pola menstruasi, lama menstruasi, siklus menstruasi, dan spotting. Tabel 7. Tabulasi Silang Proporsi Hubungan Jenis Kontrasepsi Hormonal Terhadap Gangguan Pola Menstruasi
Jenis Kontrasepsi Progestin Kombinasi Jumlah
Pola Menstruasi Jumlah RP* Teratur Tidak Teratur χ2/ p (95% CI) f (%) F (%) f % 5 2,9 74 42,5 79 45,4 71,199/ 3,07 66 37,9 29 16,7 95 54,6 <0,001 (2,25-4,19) 71 40,8 103 59,2 174 100
Berdasarkan hasil analisis bivariat tetang hubungan jenis kontrasepsi hormonal terhadap gangguan pola menstruasi diperoleh ada hubungan yang bermakna antara jenis kontrasepsi hormonal terhadap gangguan pola menstruasi (p<0,001), RP = 3,07 artinya responden yang menggunakan jenis kontrasepsi progestin kemungkinan untuk mengalami gangguan pola menstruasi 3 kali lebih besar dari pada pengguna kontrasepsi kombinasi. Semua sistem kontrasepsi progesteron mengubah pola menstruasi. Pada penggunaan kontrasepsi progesteron yaitu suntik kombinasi sering ditemukan gangguan perdarahan menstruasi yang tidak teratur. Sama hal nya dengan kontrasepsi implan, efek samping yang sering terjadi pada pemakaian implan adalah perubahan pola menstruasi.4 Tabel 8. Tabulasi Silang Proporsi Hubungan Jenis Kontrasepsi Hormonal Terhadap Gangguan Lama Menstruasi Ganggunan Lama Menstruasi Jenis Tidak Jumlah RP* Terganggu χ2/ p Kontrasepsi Terganggu (95% CI) f (%) f (%) f % Progestin 68 35,8 19 10 87 45,8 41,955/ 2,52 Kombinasi 32 16,8 71 37,4 103 54,2 <0,001 (1,85-3,42) Jumlah 100 52,6 90 47,4 190 100
Berdasarkan hasil analisis statistik tetang hubungan jenis kontrasepsi hormonal terhadap gangguan lama menstruasi diperoleh p<0,001 bahwa ada hubungan yang bermkana anatra jenis kontrasepsi hormonal terhadap gangguan lama menstruasi, RP = 2,52 artinya responden yang menggunakan jenis kontrasepsi progestin kemungkinan untuk mengalami gangguan lama menstruasi 2,5 5
kali lebih besar dari pada pengguna kontrasepsi kombinasi. Pada penggunaan kontrasepsi suntik 3 bulan sering ditemukan tidak menstruasi dan oligomenorea pada penggunaan jangka panjang. Semakin lama penggunaan suntik 3 bulan, maka kejadian lama menstruasi responden menjadi berubah tidak menstruasi sama sekali.7 Tabel 9. Tabulasi Silang Proporsi Hubungan Jenis Kontrasepsi Hormonal Terhadap Gangguan Siklus Menstruasi Siklus Menstruasi Jenis Tidak Jumlah RP* Terganggu χ2/ p Kontrasepsi Terganggu (95% CI) f (%) f (%) f % Progestin 80 43,7 8 4,4 88 48,1 67,064/ 2,88 Kombinasi 30 16,4 65 35,5 95 51,9 <0,001 (2,13-3,89) Jumlah 110 60,1 73 39,9 183 100 Berdasarkan hasil analisis bivariat tetang hubungan jenis kontrasepsi hormonal terhadap gangguan siklus menstruasi diperoleh p<0,001 bahwa ada hubungan yang bermakna antara jenis kontrasepsi hormonal terhadap gangguan siklus menstruasi, RP = 2,88 artinya responden yang menggunakan jenis kontrasepsi progestin kemungkinan untuk mengalami gangguan lama menstruasi 2,9 kali lebih besar dari pada pengguna kontrasepsi kombinasi. Berdasarkan teori, pemberian kontrasepsi suntikan sering menimbulkan gangguan haid (amenorhoe). Gangguan haid ini biasanya bersifat sementara dan sedikit sekali mengganggu kesehatan dan pada pemakaian kontrasepsi suntik setelah satu tahun biasanya sering tidak mengalami haid atau amenorhoe.8.10 Tabel 10. Tabulasi Silang Proporsi Hubungan Jenis Kontrasepsi Hormonal Terhadap Kejadian Spotting
Spotting Jenis Kontrasepsi
Tidak Jumlah RP* χ2/ p Spotting (95% CI) (%) f (%) f % 26,2 55 26,2 110 52,4 37,751/ 3,85 6,2 87 41,4 100 47,6 <0,001 (2,24-6,60) 32,4 142 67,6 210 100
Spotting
f Kombinasi 55 Progestin 13 Jumlah 68
Berdasarkan hasil analisis bivariat tetang hubungan jenis kontrasepsi hormonal terhadap kejadian spotting diperoleh p<0,001 bahwa ada hubungan yang bermakna antara jenis kontrasepsi hormonal terhadap kejadian spotting, RP = 3,85 artinya responden yang menggunakan jenis kontrasepsi kombinasi kemungkinan untuk mengalami kejadian spotting 3,85 kali lebih besar dari pada pengguna kontrasepsi progestin. Berdasarkan hasil penelitian Agustina didapatkan Kejadian spoting lebih banyak terjadi pada awal penggunaan DMPA. Spoting ini penyebab pastinya belum diketahui, kemungkinan karena pelebaran pembuluh darah vena kecil di endometrium dan vena tersebut akirnya rapuh sehingga terjadi perdarahan lokal.9 Tabel 11. Tabulasi Silang Proporsi Hubungan Lama Penggunaan Kontrasepsi Hormonal Terhadap Gangguan Pola Menstruasi Lama Penggunaan > 1 tahun ≤ 1 tahun Total
Gangguan Pola Menstruasi Total RP* Teratur Tidak Teratur χ2/ p (95% CI) f (%) f (%) f % 39 22,4 60 34,5 99 56,9 0,189/ 1,06 32 18,4 43 24,7 75 43,1 0,664 (0,82-1,36) 71 40,8 103 59,2 174 100
Berdasarkan hasil analisis bivariat tetang hubungan lama penggunaan kontrasepsi hormonal terhadap gangguan pola menstruasi diperoleh p=0,189, RP = 1,06 artinya lama penggunaan kontrasepsi belum dapat disimpulkan sebagai faktor resiko terjadinya gangguan pola menstruasi. Semua sistem kontrasepsi progesteron mengubah pola menstruasi. Pada penggunaan jangka panjang sering 6
dijumpai gangguan menstruasi pada akseptor kontrasepsi progestin beruba siklus menstruasi memanjang atau memendek, perdarahan yang banyak ataupun sedikit, perdarahan tidak teratur, dan amenorea.6 Tabel 12. Tabulasi Silang Proporsi Hubungan Lama Penggunaan Kontrasepsi Hormonal Terhadap Gangguan Lama Menstruasi Lama Penggunaan > 1 tahun ≤ 1 tahun Total
Lama Menstruasi Tidak Total RP* Terganggu χ2/ p Terganggu (95% CI) f (%) f (%) f % 60 31,6 34 17,9 94 49,5 9,358/ 1,53 40 21,1 56 29,5 96 50,5 0,002 (1,17-2,03) 100 52,6 90 47,4 190 100
Berdasarkan hasil analisis bivariat tetang hubungan lama penggunaan kontrasepsi hormonal terhadap gangguan lama menstruasi diperoleh p=0,002, RP = 1,53 artinya responden dengan lama penggunaan kontrasepsi > 1 tahun kemungkinan untuk mengalami gangguan lama menstruasi 1,53 kali lebih besar dari pada lama pengguna kontrasepsi ≤ 1 tahun. Semua sistem kontrasepsi progesteron mengubah pola menstruasi, tetapi mekanisme yang mendasari gangguan menstruasi ini masih belum banyak dipahami. Pada sebagian besar pemakai, terjadi insiden bercak darah yang tidak teratur dan sedikiti atau perdarahan diluar siklus kadang- kadang berkepanjangan dan kadang- kadang dengan oligomenorea atau bahkan amenorea. Sebagian besar wanita mengalami penurunan volume darah total perbulan karena kehilangan darah. 8 Tabel 13. Tabulasi Silang Proporsi Hubungan Lama Penggunaan Kontrasepsi Hormonal Terhadap Gangguan Siklus Menstruasi
Siklus Menstruasi Lama Tidak Total RP* Terganggu χ2/ p Penggunaan Terganggu (95% CI) f (%) f (%) f % > 1 tahun 65 35,5 25 13,7 90 49,2 10,837/ 1,49 ≤ 1 tahun 45 24,6 48 26,2 93 50,8 0,001 (1,17-1,91) Total 110 60,1 73 39,9 183 100
Berdasarkan hasil analisis bivariat tetang hubungan lama penggunaan kontrasepsi hormonal terhadap gangguan siklus menstruasi diperoleh p=0,001, RP = 1,49 artinya responden dengan lama penggunaan kontrasepsi > 1 tahun kemungkinan untuk mengalami gangguan siklus menstruasi 1,49 kali lebih besar dari pada lama pengguna kontrasepsi ≤ 1 tahun. Hal ini sejalan dengan penelitian Selvia di Di Rb Kusmahati I Karanganyar bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara lama penggunaan jenis kontrasepsi suntik DMPA dengan kejadian amenorhea. Artinya semakin lama penggunaan KB suntik DMPA maka semakin meningkat kejadian amenorhea.14 Tabel 14. Tabulasi Silang Proporsi Hubungan Lama Penggunaan Kontrasepsi Hormonal Terhadap Kejadian Spotting Spotting Lama Tidak Total RP* Spotting χ2/ p Penggunaan Spotting (95% CI) f (%) f (%) f % > 1 tahun 37 17,6 72 34,3 109 51,9 0,253/ 1,11 ≤ 1 tahun 31 14,8 70 33,3 101 48,1 0,615 (0,75-1,64) Total 68 32,4 142 67,6 210 100
Berdasarkan hasil analisis bivariat tetang hubungan lama penggunaan kontrasepsi hormonal terhadap kejadian spotting diperoleh p=0,253, RP = 1,11 artinya lama penggunaan kontrasepsi belum dapat disimpulkan sebagai faktor resiko terjadinya spotting Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Agustina bahwa, ada hubungan antara lama pemakaian depo 7
medroksiprogesteron asetat dengan spoting .15 Perdarahan dan spotting menurun secara progresif seiring setiap satu kali penyuntikan ulang sehingga setelah lima tahun, 80% pengguna menjadi amenorhea. Suntikan DMPA lebih sering menyebabkan perdarahan, spotting dan amenorhea dibanding dengan NET-EN.7 KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN 1. Karakteristik umur ibu PUS lebih banyak berumur 25-28 tahun 27,1% 2. Karakteristik pendidikan ibu PUS di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai tahun 2014 yang lebih banyak terdapat pada pendidikan ibu tamat SMA/sederajat 65,2% 3. Karakteristik pekerjaan ibu PUS di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai tahun 2014 yang lebih banyak terdapat pada pekerjaan IRT 64,8% 4. Karakteristik jumlah ibu PUS di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai tahun 2014 yang lebih banyak terdapat pada jumlah anak ≥ 3 orang 54,8% 5. Kontrasepsi hormonal yang banyak diminati oleh responden adalah jenis kontrasepsi suntik 3 bulan dengan persentase 35,7%,, pil 28,6%. suntik 1 bulan 24,3% dan implan 11,4%. Lama pemakaian kontrasepsi yang digunakan ibu PUS adalah ≤ 1 tahun dengan persentase 48,1% dan lebih dari 1 tahun 51,9%. 6. Ada hubungan yang bermakna antara jenis kontrasepsi hormonal dengan gangguan pola menstruasi pada ibu PUS di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai tahun 2014 7. Ada hubungan yang bermakna antara jenis kontrasepsi hormonal dengan gangguan lama
menstruasi pada ibu PUS di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai tahun 2014. 8. Ada hubungan yang bermakna antara jenis kontrasepsi hormonal dengan gangguan siklus menstruasi pada ibu PUS di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai tahun 2014. 9. Ada hubungan yang bermakna antara jenis kontrasepsi hormonal dengan kejadian spotting pada ibu PUS di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai tahun 2014. 10. Tidak ada hubungan yang bermakna antara lama penggunaan kontrasepsi hormonal dengan gangguan pola menstruasi pada ibu PUS di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai tahun 2014. 11. Ada hubungan yang bermakna antara lama penggunaan kontrasepsi hormonal dengan gangguan lama menstruasi pada ibu PUS di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai tahun 2014. 12. Ada hubungan yang bermakna antara lama penggunaan kontrasepsi hormonal dengan gangguan siklus menstruasi pada ibu PUS di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai tahun 2014 13. Tidak ada hubungan yang bermakna antara lama penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian spotting pada ibu PUS di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai tahun 2014. Saran 1. Selalu memberikan KIE kepada akseptor KB tentang macammacam KB serta efek sampingnya sehingga akseptor dapat memakai alat kontrasepsi secara efektif 8
2. Diharapkan akseptor dapat memilih alat kontrasepsi yang tepat. Menanyakan kepada bidan atau tenaga kesehatan tentang macammacam alat kontrasepsi sebelum memilih alat kontrasepsi tertentu. Selalu memantau perubahan efek samping sehingga apabila ada kelainan dapat segera di atasi. 3. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi gangguan menstruasi. DAFTAR PUSTAKA 1. BKKBN. 2006. Profil Perkembangan Pelaksanaan Program KB di Indonesia. Jakarta:BKKBN. 2. BPS, BKKBN. 2010. Survey Demografi Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta. 3. BPS, BKKBN. 2012. Survey Demografi Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta. 4. BKKBN. 2011. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. PT Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo. Jakarta. 5. BKKBN Medan. 2013. Informasi Analisi Program Tahun 2013. Medan. 6. Melani, Niken, dkk. 2010. Pelayanan Keluarga Berencana. Yogyakarta: Fitramaya. 7. Hartanto, Hanafi. 2004. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta: Pustaka Harapan. 8. Glasier, Anna, A.G. 2006. Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi. Jakarta; EGC. 9. Baziad, Ali. 2008. Kontrasepsi Hormonal. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo.
10. Saifuddin, 2003. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo. 11. Anggia. Riyanti. 2012. Hubungan Jenis dan Lama Pemakaian Kontrasepsi Hormonal Dengan Gangguan Menstruasi di BPS (Bidan Praktek Swasta) Wolita M.J. Sawong Kota Surabaya. Surabaya: FKM UNAIR. 12. Lesmana. 2012. Hubungan Penggunaan Alat Kontrasepsi Kb Suntik Dengan Gangguan Siklus Haid Di Wilayah Kerja Puskesmas Rantau Tijang Kecamatan Pugung Kabupaten Tanggamus Tahun 2012. Universitas Malahayati Bandar Lampung. 13. Notoatmodjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta 14. Selvia. 2012. Hubungan Antara Lama Pemakaian Kb Suntik DMPA Dengan Kejadian Amenorhea Pada Akseptor Kb Suntik Dmpa Di Rb Kusmahati I Karanganyar. Maternal Volume 7 Edisi Oktober 2012. 15. Agustina. 2008. Hubungan Lama Pemakaian Depo Medroksi progesteron Asetat Dengan Gangguan Menstruasi Di Perumahan Petragriya Indah Purwodadi Tahun 2008. Akademi Kebidanan An-Nur Purwodadi.
9
HUBUNGAN KARAKTERISTIK, GAYA HIDUP, DAN ASUPAN GIZI DENGAN STATUS GIZI PADA LANSIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS AEK HABIL KOTA SIBOLGA (THE RELATIONSHIP OF CHARACTERISTICS, LIFESTYLE, NUTRITION INTAKE WITH NUTRITIONAL STATUS IN ELDERLY IN THE WORK AREA AEK HABIL HEALTH CENTER SIBOLGA) Adelina Situmorang¹, Etti Sudaryati², Mhd. Arifin Siregar² ¹Alumni Mahasiswi Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Staf Pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat USU, Jl. Prof. T. Maas No 1, Kampus USU Medan ABSTRACT The elderly is seen as a group of people who are at risk of experiencing health problems with physical deterioration and often have problems in terms of eating. In fact, although the activity decreases with age, they still require a complete nutrient intake. This study aims to determine the relationship of age, disease status, lifestyle, intake of energy and protein intake and nutritional status of the elderly in Aek Habil Health Center Sibolga. The study was a descriptive survey study with cross-sectional design. The population is elderly aged 55 years and older as 607 people. Determination of the sample using a sample size formula Isgianto (2009) obtained a sample of 83 people. Data collection age, disease status, lifestyle, intake of energy and protein intake using a questionnaire and a food recall form. While the nutritional status data obtained from anthropometric measurements.Univariate test results of research showed that 38.6% of elderly are in the age ≥ 65 years category. 60.2% of elderly disease status was not classified as either. Lifestyle elderly 67.5% classified as not good. Elderly energy intake 92.8% classified as deficit, as well as protein intake was 71.1% classified deficit. Nutritional status of the elderly 60.2% classified as normal. Bivariate test results showed that there was a significant association between illness status of the last 3 months, as well as the lifestyle of protein intake and nutritional status of elderly (p <0.05). While the data age, and energy intake did not show any significant relationship with nutritional status (p> 0.05). It is recommended to the Department of Health Sibolga to create policies to improve nutrition-related counseling of the elderly. Aek Habil Health Center Sibolga in order to provide knowledge and raise awareness about the importance of the elderly run lifestyle, healthy nutrition, to realize a good nutritional status of the elderly, increasing life expectancy, health care and elderly posyandu capable of being upgraded. Keywords: Lifestyle, Nutritional Status, Elderly
PENDAHULUAN Keberhasilan pembangunan merupakan cita-cita suatu bangsa dan salah satu keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan adalah meningkatnya Umur Harapan Hidup (UHH). Meningkatnya umur harapan hidup ini mengakibatkan jumlah penduduk lanjut usia meningkat pesat di seluruh penjuru dunia. Fenomena meningkatnya jumlah penduduk lansia ini disebabkan karena menurunnya angka fertilitas penduduk, perbaikan status kesehatan akibat kemajuan teknologi dan penelitianpenelitian kedokteran, transisi epidemiologi dari penyakit infeksi menuju penyakit degeneratif, perbaikan status gizi yang ditandai oleh peningkatan kasus obesitas lansia daripada underweight, peningkatan umur harapan hidup dari 45 tahun di awal tahun 1950 menjadi 65 tahun pada saat ini, pergeseran gaya hidup menjadi sedentary urban lifestyle dari urban rural lifestyle (Fatmah, 2010). Berdasarkan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa 2011, pada tahun 20002005 UHH adalah 66,4 tahun (dengan persentase populasi lansia tahun 2000 adalah 7,74%), angka ini akan meningkat pada tahun 2045-2050 yang diperkirakan UHH menjadi 77,6 tahun (dengan persentase populasi lansia tahun 2045 adalah 28,68%). Begitu pula dengan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) terjadi peningkatan UHH. Pada tahun 2000 UHH di Indonesia adalah 64,5 tahun (dengan persentase populasi lansia adalah 7,18%). Angka ini meningkat menjadi 69,43 tahun pada tahun 2010 (dengan persentase populasi lansia adalah 7,56%) dan pada tahun 2011 menjadi 69,65 tahun (dengan persentase populasi lansia adalah 7,58%) (Depkes RI, 2013). Meningkatnya populasi lansia ini membuat pemerintah perlu merumuskan kebijakan dan program yang ditujukan kepada kelompok penduduk lansia sehingga dapat berperan dalam
pembangunan dan tidak menjadi beban bagi masyarakat. Menurut Tamher (2009), menjadi tua merupakan suatu fenomena alamiah sebagai akibat proses menua. Fenomena ini bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu keadaan yang wajar yang bersifat universal. Menurut Penelitian Anggraini (2008), yang dilaksanakan di Puskesmas Pekayon Jaya Kota Bekasi menunjukkan bahwa status kesehatan rendah pada lansia binaan puskesmas Pekayon Jaya sebesar 66,9%. Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara pola makan dengan status kesehatan (nilai p=0,914) dan kebiasaan merokok dengan status kesehatan (nilai p=0,975), serta ada hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik dengan status kesehatan (nilai p=0,004) dan kebiasaan istirahat dengan status kesehatan (nilai p=0,000). Berdasarkan hasil penelitian di atas maka disarankan untuk meningkatkan pengetahuan lansia mengenai gaya hidup dan dampak terhadap status kesehatan melalui promosi kesehatan di wilayah binaan Puskesmas Pekayon Jaya Kota Bekasi. Penelitian yang dilakukan di Malang oleh Indarwati (2006) tentang Peran Perawat Dalam Upaya Membantu Mempertahankan Status Kesehatan Lansia Dinoyo Malang memberikan gambaran bahwa status kesehatan lansia didapatkan 10% status kesehatan lansia baik, 83,3% status kesehatan lansia cukup dan 6,7% status kesehatan lansia kurang. Secara keseluruhan hasil penelitian menjelaskan bahwa perlunya memberikan informasi tentang kesehatan (Bustan, 2007). Kelompok lanjut usia dipandang sebagai kelompok masyarakat yang beresiko mengalami gangguan kesehatan seperti meningkatnya disabilitas fungsional fisik serta sering punya masalah dalam hal makan. Padahal meskipun aktivitas menurun sejalan dengan bertambahnya usia, ia tetap membutuhkan asupan zat gizi lengkap, seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan
mineral. Ia masih tetap membutuhkan energi untuk menjalankan fungsi fisiologis tubuhnya (Adriani & Wirjatmadi, 2012). Dalam penelitian ini batasan lansia yang digunakan adalah menurut Departemen Kesehatan RI (2006) dalam Fatmah (2010), memberikan batasan lansia antara lain : 1) virilitas (prasenium), yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan kematangan jiwa (usia 5559 tahun), 2) usia lanjut dini (senescen), yaitu kelompok yang mulai memasuki masa usia lanjut dini (usia 60-64 tahun), 3) lansia beresiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit degeneratif, yaitu usia di atas 65 tahun. Berdasarkan survei awal yang dilakukan di Puskesmas Aek Habil Kota Sibolga didapatkan informasi bahwa wilayah kerja Puskesmas Aek Habil Kota Sibolga terdiri dari 4 kelurahan, yaitu kelurahan Aek Habil, kelurahan Aek Manis, kelurahan Aek Muara Pinang dan kelurahan Aek Parombunan. Selain itu diperoleh data jumlah lansia yang berumur 55 tahun keatas sebanyak 607 orang. Selanjutnya peneliti mendapat informasi melalui wawancara singkat dengan beberapa orang lansia yang datang berkunjung ke Puskesmas Aek Habil bahwa nafsu makan mereka sudah menurun, tidak bervariasi ditambah dengan berbagai penyakit yang mulai bermunculan seperti Rematik, Hipertensi, dan Diabetes Melitus. Gaya hidup lansia di wilayah kerja puskesmas Aek Habil ini paling banyak waktu mereka dihabiskan di rumah, baik itu berjualan atau mengurus cucu. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan karakteristik, gaya hidup dan asupan gizi dengan status gizi pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Aek Habil Kota Sibolga. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan umur, status penyakit yang diderita 3 bulan terakhir, gaya hidup, asupan energi dan asupan protein dengan status gizi pada lansia di
wilayah kerja Puskesmas Aek Habil Kota Sibolga. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan masukan dan informasi untuk perencanaan kesehatan penduduk kelompok lanjut usia bagi Dinas Kesehatan Kota Sibolga dan sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan yang berada di Puskesmas Aek Habil Kota Sibolga agar dapat memberikan pengetahuan dan meningkatkan kesadaran kelompok lanjut usia tentang pentingnya menjalankan gaya hidup, asupan gizi yang sehat, sehingga terwujud status gizi lansia yang baik, meningkatkan umur harapan hidup, pelayanan kesehatan dan pelaksanaan posyandu lansia mampu ditingkatkan. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain cross-sectional. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Aek Habil Kota Sibolga. Populasi dalam penelitian ini adalah kelompok lansia yang berumur 55 tahun keatas yang berada di wilayah kerja Puskesmas Aek Habil Kota Sibolga sebanyak 607 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan cara simple random sampling dan dengan kriteria inklusi yaitu tidak demensia dan/atau mampu diajak berkomunikasi dan mampu merentangkan kedua tangannya. Sehingga diperoleh sampel sebanyak 83 orang. Pengumpulan data terdiri dari data primer dan data skunder. Untuk data primer terdiri dari karakteristik (umur, status penyakit yang diderita 3 bulan terakhir), gaya hidup (pola makan, aktivitas fisik, olahraga, kebiasaan istirahat, kebiasaan merokok, kebiasaan mengonsumsi obat) diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner. Data asupan energi dan protein diperoleh melalui wawancara menggunakan formulir food recall 24 jam sementara data status gizi (berat badan dan panjang depa) diperoleh dari pengukuran antropometri.
Data sekunder adalah data jumlah lansia dan gambaran umum Puskesmas Aek Habil Kota Sibolga. HASIL DAN PEMBAHASAN Adapun karakteristik lanjut usia pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 1. Distribusi Karakteristik Lanjut Usia di Wilayah Kerja Puskesmas Aek Habil Sibolga No. Karakteristik Jumlah Persentase (%) 1. Umur 55-59 Tahun 29 34,9 60-64 Tahun 22 26,5 ≥ 65 Tahun 32 38,6 Total 83 100,0 2. Status Penyakit 3 Bulan Terakhir Tidak Baik 50 60,2 Baik 33 39,8 Total 83 100,0
Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa lebih banyak lansia yang berumur ≥ 65 tahun keatas atau yang disebut beresiko tinggi yaitu sebesar 38,6%. Sementara hasil penelitian tentang status penyakit yang diderita 3 bulan terakhir didapat lebih banyak lansia yang memiliki status penyakit yang tidak baik sebesar 60,2%. Distribusi gaya hidup lanjut usia pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 2. Distribusi Gaya Hidup Lanjut Usia di Wilayah Kerja Puskesmas Aek Habil Sibolga Gaya Hidup Jumlah Persentase (%) Tidak Baik 56 67,5 Baik 27 32,5 Total
83
100,0
Dari tabel 2 dapat dijelaskan bahwa lebih banyak lansia yang memiliki gaya hidup tidak baik yaitu 67,5%. Distribusi gaya hidup lansia berdasarkan pola makan diketahui bahwa sebanyak 64 orang (77,1%) yang memiliki pola makan baik
dan 19 orang (22,9%) yang pola makannya tidak baik. Distribusi gaya hidup lanjut usia berdasarkan aktivitas fisik diperoleh sebanyak 68 orang (81,9%) yang memiliki aktivitas fisik yang cukup dan sebanyak 15 orang (18,1%) yang aktivitas fisiknya tidak cukup. Distribusi gaya hidup lansia berdasarkan olahraga diperoleh sebanyak 52 orang (62,7%) yang tidak cukup berolahraga dan sebanyak 31 orang (37,3%) yang cukup olahraga. Distribusi gaya hidup lansia berdasarkan kebiasaan istirahat menunjukkan bahwa sebanyak 53 orang (63,9%) memiliki kebiasaan istirahat yang cukup dan sebanyak 30 orang (36,1%) yang kebiasaan istirahatnya tidak cukup. Distribusi gaya hidup lansia berdasarkan kebiasaan merokok Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 61 orang (73,5%) yang memiliki kebiasaan merokok yang baik dan sebanyak 22 orang (26,5%) yang kebiasaan merokoknya tidak baik. Distribusi gaya hidup lansia berdasarkan kebiasaan mengonsumsi obat diperoleh sebanyak 48 orang (57,8%) yang memiliki kebiasaan mengonsumsi obat yang tidak baik dan sebanyak 35 orang (42,2%) yang baik. Distribusi asupan energi lanjut usia pada penelitian ini dapat dilihat pada ttabel 3 berikut : Tabel 3. Distribusi Asupan Energi Lanjut Usia di Wilayah Kerja Puskesmas Aek Habil Sibolga Persentase Asupan Energi Jumlah (%) Defisit 77 92,8 Kurang 1 1,2 Sedang 4 4,8 Baik 1 1,2 Total 83 100,0
Berdasarkan penelitian yang saya teliti menunjukkan bahwa paling banyak lansia berada pada kategori asupan energi defisit yaitu sebesar 92,8%. Distribusi asupan protein pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 4. Distribusi Asupan Protein Lanjut Usia di Wilayah Kerja Puskesmas Aek Habil Sibolga Persentase Asupan Protein Jumlah (%) Defisit 59 71,1 Kurang 7 8,4 Sedang 12 14,5 Baik 5 6,0 Total 83 100,0
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa paling banyak lansia yang asupan proteinnya defisit yaitu sebesar 71,1%. Distribusi status gizi lanjut usia pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 5. Distribusi Status Gizi Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Aek Habil Sibolga Persentase Status Gizi Jumlah (%) Kurus 10 12,0 Normal 50 60,2 Gemuk 23 27,7 Total 83 100,0
Berdasarkan hasil penelitian didapat lansia yang status gizinya normal sebesar 60,2%. Hasil tabulasi silang antara umur dengan status gizi lansia di wilayah kerja Puskesmas Aek Habil Kota Sibolga dapat diketahui bahwa dari 29 orang lansia yang berusia 55-59 tahun terdapat 2 orang (6,9%) yang status gizinya kurus, 17 orang (58,6%) yang normal dan 10 orang (34,5%) yang gemuk. Dari 22 orang lansia yang berusia 60-64 tahun terdapat 2 orang (9,1%) yang status gizinya kurus, 13 orang (59,1%) yang normal dan 7 orang (31,8%) yang gemuk. Sedangkan dari 32 orang lansia yang berusia ≥ 65 tahun terdapat 6 orang (18,8%) yang status gizinya kurus, 20 orang (62,5%) yang normal dan 6 orang (18,8%) yang gemuk. Hasil tabulasi silang antara status penyakit yang diderita 3 bulan terakhir dengan status gizi lansia di wilayah kerja Puskesmas Aek Habil Kota Sibolga diketahui bahwa dari 50 orang lansia yang status penyakitnya tidak baik terdapat 5
orang (10,0%) yang status gizinya kurus, 22 orang (61,0%) yang normal dan 23 orang (26,8%) yang gemuk. Sedangkan dari 33 orang lansia yang status penyakitnya baik ada 5 orang (15,2%) yang status gizinya baik, 28 orang (84,8%) yang normal dan tidak ada yang gemuk. Tabulasi silang gaya hidup dengan status gizi di wilayah kerja puskesmas aek habil sibolga dapat dilihat bahwa dari 56 orang lansia yang gaya hidupnya tidak baik terdapat 9 orang (16,1%) yang status gizinya kurus, 35 orang (62,5%) yang normal dan 12 orang (21,4%) yang gemuk. Sedangkan dari 27 orang lansia yang gaya hidupnya baik, terdapat 1 orang (3,7%) yang status gizinya kurus, 15 orang (55,6%) yang normal dan 11 orang (40,7%) yang gemuk. Tabulasi silang antara asupan energi dengan status gizi lansia menunjukkan bahwa 1 orang lansia yang temasuk kategori asupan energi yang baik berada pada status gizi yang normal, dari 4 orang yang asupan energinya sedang terdapat 1 orang (25,0%) yang status gizinya kurus, 3 orang (75,0%) yang normal dan tidak ada yang gemuk. Selanjutnya 1 orang (100%) termasuk pada kategori asupan energi yang kurang namun berstatus gizi normal dan dari 77 orang yang asupan energinya defisit, terdapat 9 orang (11,7%) yang status gizinya kurus, 45 orang (58,4%) yang normal dan 23 orang (29,9%) yang gemuk. Tabulasi silang asupan protein lansia dengan status gizi di wilayah kerja puskesmas aek habil sibolga diperoleh bahwa dari 5 orang lansia yang asupan proteinnya baik, terdapat 1 orang (20,0%) yang status gizinya kurus, 4 orang (80,0%) yang normal dan tidak ada yang gemuk. Dari 12 orang yang asupan proteinnya sedang diperoleh 2 orang (16,7%) yang status gizinya kurus, 9 orang (75,0%) yang normal dan 1 orang (8,3%) yang gemuk. Selanjutnya dari 7 orang yang asupan proteinnya kurang terdapat 2 orang (28,6%) yang status gizinya kurus, 4 orang (57,1%) yang normal dan 1 orang (14,3%)
yang gemuk. Dari 59 orang yang asupan proteinnya defisit diperoleh 5 orang (8,5%) yang status gizinya kurus, 33 orang (55,9%) yang normal dan 21 orang (35,6%) yang gemuk. Hasil analisis bivariat antara umur dengan status gizi lansia adalah tidak signifikan (p=0,080) > 0,05 yang berarti tidak ada hubungan antara umur dengan status gizi lansia. Hal ini sejalan dengan penelitian Setiani (2012) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara umur dengan status gizi berdasarkan IMT. Namun hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Simanjuntak (2010) dimana terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan status gizi. Tidak ditemukannya hubungan yang bermakna secara statistik antara umur dengan status gizi berdasarkan IMT pada penelitian ini mungkin disebabkan sampel penelitian yang kecil, dimana jumlah sampel yang besar akan lebih mudah untuk mendeteksi adanya hubungan statistik. Sementara itu korelasi antara status penyakit 3 bulan terakhir dengan status gizi lansia adalah signifikan (p=0,000) < 0,05 yang berarti ada hubungan antara status penyakit 3 bulan terakhir dengan status gizi lansia. Hubungan itu positif, yang artinya semakin baik status penyakit seseorang maka semakin baik pula status gizinya atau sebaliknya. Selanjutnya korelasi antara gaya hidup dengan status gizi lansia adalah signifikan (p=0,028) < 0,05 berarti ada hubungan antara gaya hidup dengan status gizi lansia, yang artinya semakin baik gaya hidup seseorang maka semakin baik status gizinya atau sebaliknya. Berdasarkan hasil penelitian tentang pola makan diperoleh sebesar 77,1% lansia pada kategori baik. Menurut hasil wawancara dengan lansia yang pola makannya baik mereka mengatakan bahwa di puskesmas mereka sering mendapatkan informasi mengenai pola makan yang baik bagi kesehatan tubuh mereka misalnya tidak boleh mengonsumsi makanan yang terlalu asin karena dikhawatirkan dapat memicu
terjadinya hipertensi, juga dianjurkan menjaga konsumsi gula agar terhindar dari penyakit kencing manis. Para lansia juga diberikan makanan tambahan seperti bubur kacang hijau, biskuit dan telur rebus. Disamping itu pemeriksaan fisik dilakukan setiap posyandu lansia guna memantau kesehatan lansia seperti pemeriksaan tebal lemak dan pemeriksaan tekanan darah. Hal ini merupakan fakta yang terjadi di lapangan karena peneliti juga turut serta dalam beberapa kegiatan posyandu lansia yang dilaksanakan setiap bulannya. Hasil penelitian juga didapat sebesar 81,9% lansia pada kategori aktivitas fisik yang cukup. Menurut hasil wawancara dengan lansia yang aktivitas fisiknya cukup mereka mengatakan bahwa mereka banyak melakukan aktivitas sehari-hari dengan berjalan kaki, selain itu mereka juga masih dapat melakukan tugas rutin di dalam maupun di luar rumah seperti merawat cucu, memasak, berbelanja ke pasar, berjualan, bekerja di sawah, dan lain lain. Lansia yang aktivitasnya cukup juga melakukan aktivitas fisik yang dilakukan secara terus-menerus minimal 10 menit seperti menyapu, memasak, menyetrika setiap kalinya dan mereka beraktivitas ± 7 jam dalam satu hari. Berdasarkan hasil penelitian tentang olahraga diperoleh sebesar 62,7% lansia berada pada kategori tidak cukup olahraga. Olahraga yang dimaksud disini adalah serangkaian aktivitas fisik yang dilakukan secara terstruktur dengan berpedoman pada aturan-aturan atau kaidah-kaidah tertentu tetapi tidak terikat pada intensitas dan waktunya (Afriwardi, 2010). Olahraga merupakan bagian dari kegiatan fisik secara terencana, terstruktur, berulang untuk meningkatkan kebugaran tubuh. Kurang olahraga juga beresiko terhadap penurunan kekuatan, massa tulang dan absorpsi kalsium. Semakin bertambahnya usia seseorang, maka aktivitas fisik yang dilakukannya semakin menurun. Hal ini terkait dengan penurunan kemampuan fisik yang terjadi secara alamiah (Fatmah, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian kebiasaan istirahat diperoleh sebesar 63,9% lansia berada pada kategori kebiasaan istirahat yang cukup. Menurut hasil wawancara diketahui bahwa ternyata banyak lansia yang cukup beristirahat/tidur yaitu 7-8 jam perhari. Lansia juga tidur pada siang hari dan pada malam hari jarang terbangun sewaktu tidur, bila terbangun pun tidak sulit untuk tidur kembali. Berdasarkan hasil penelitian kebiasaan merokok diperoleh sebesar 73,5% lansia pada kategori kebiasaan merokok yang baik, artinya adalah tidak pernah merokok baik dahulu maupun sekarang. Hal ini diperoleh karena mayoritas responden berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan hasil penelitian kebiasaan mengonsumsi obat diperoleh sebesar 57,8% lansia berada pada kategori kebiasaan mengonsumsi obat yang tidak baik dengan persentase tertinggi yang artinya bahwa lansia suka mengonsumsi obat. Korelasi asupan energi dengan status gizi lansia adalah tidak signifikan (p=0,165) > 0,05 yang berarti tidak ada hubungan antara asupan energi dengan status gizi lansia. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Setiani (2012) dalam penelitiannya yang berjudul Hubungan Antara Riwayat Penyakit, Asupan Protein dan Faktor-faktor lain dengan Status Gizi Lansia yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan total energi dengan status gizi berdasarkan IMT. Namun hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Citraningsih (2003) dan Napitupulu (2002) dimana terdapat hubungan yang bermakna antara asupan total energi dengan status gizi. Penelitian ini tidak signifikan karena berbeda kategori yang digunakan. Penelitian ini membandingkan asupan energi dengan angka kecukupan energi berdasarkan umur dan jenis kelamin hasil Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 2004. Sedangkan penelitian lain membandingkan asupan energinya dengan rata-rata kebutuhan energi untuk orang Indonesia
yaitu menggunakan hasil Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 1998. Korelasi asupan protein dengan status gizi lansia adalah signifikan (p=0,007) < 0,05 yang berarti ada hubungan antara asupan protein dengan status gizi lansia, yang berarti bahwa semakin baik asupan protein seseorang maka semakin baik status gizinya atau sebaliknya. Sejalan dengan penelitian Setiani (2012) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara asupan protein dengan status gizi berdasarkan IMT. Namun hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Simanjuntak (2010) dimana tidak adanya hubungan yang bermakna antara asupan protein dengan status gizi lansia. Secara lebih jelas hal ini dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 6. Analisis Bivariat Umur, Status Penyakit 3 Bulan Terakhir, Gaya Hidup, Asupan Energi dan Asupan Protein dengan Status Gizi Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Aek Habil Sibolga No. Variabel Sig. (2-tailed) 1.
0,080
2.
Umur Status Penyakit 3 Bulan Terakhir
3.
Gaya Hidup
0,028
4.
Asupan Energi
0,165
5.
Asupan Protein
0,007
0,000
KESIMPULAN 1. Status gizi lansia di wilayah kerja Puskesmas Aek Habil 60,2% tergolong normal. 2. Ada hubungan signifikan antara status penyakit 3 bulan terakhir, gaya hidup dan asupan protein dengan status gizi lansia (p<0,05). Hubungan itu positif, yang artinya semakin baik status penyakit, gaya hidup dan asupan protein lansia maka semakin baik pula status gizinya atau sebaliknya. Sementara itu tidak ada hubungan signifikan
antara umur dengan status gizi lansia dan asupan energi dengan status gizi lansia (p>0,05). SARAN 1. Dinas Kesehatan Kota Sibolga agar membuat kebijakan untuk meningkatkan penyuluhan terkait asupan gizi para lansia. 2. Puskesmas Aek Habil Kota Sibolga agar dapat memberikan pengetahuan dan meningkatkan kesadaran kelompok lanjut usia tentang pentingnya menjalankan gaya hidup, asupan gizi yang sehat, sehingga terwujud status gizi lansia yang baik, meningkatkan umur harapan hidup, pelayanan kesehatan dan pelaksanaan posyandu lansia mampu ditingkatkan. DAFTAR PUSTAKA Adriani, M & Wirjatmadi, B, 2012. Peranan Gizi Dalam Siklus Kehidupan. Kencana. Jakarta Anggraini F, 2008. Hubungan antara Gaya Hidup dan Status Kesehatan Lansia Binaan Puskesmas Pekayon Jaya Kota Bekasi tahun 2008. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Bustan MN, 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Rineka Cipta. Jakarta Citraningsih, Krisnatalina, 2003. Faktorfaktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Menurut IMT (Indeks Massa Tubuh) Usia Lanjut Binaan Puskesmas Kecamatan Gambir Tahun 2003. Skripsi Peminatan Gizi Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia Fatmah, 2010. Gizi Usia Lanjut. Erlangga. Jakarta
Depkes RI, 2013. Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia. Penerbit Kementrian Kesehatan RI. Jakarta. Hal : 1 Napitupulu, Halasan, 2002. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Pada Usia Lanjut di Kota Bengkulu Tahun 2001. Tesis Peminatan Gizi Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia Setiani, Wenni Dwi, 2012. Hubungan Antara Riwayat Penyakit, Asupan Protein dan Faktorfaktor lain dengan Status Gizi Peserta Posyandu Lansia di Kecamatan Grogol Petamburan Jakarta Barat Tahun 2011. Skripsi Peminatan Gizi Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia Simanjuntak, Elva, 2010. Status Gizi Lanjut Usia di Daerah Pedesaan, Kecamatan Porsea Kabupaten Toba Samosir, Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010. Tesis Peminatan Gizi Kesehtan Masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. Tamher, S & Noorkasiani, 2009. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta
HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL DAN FAKTOR EKSTERNAL IBU DALAM PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DI KELURAHAN PEKAN BAHOROK KECAMATAN BAHOROK KABUPATEN LANGKAT TAHUN 2014 Ayu Yulia Ningsih Sirait1, Ria Masniari Lubis2, Erna Mutiara2 1
2
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ABSTRACT
The most perfect of baby’s nutrition is breastfeeding, because breastfeeding is the best natural nutrition for baby. The decrease of exclusive breastfeeding in Indonesia was caused by two factors, namely internal factors that included knowledge, behavior and physical factor, and external factors included family support, culture and integrated service post (Posyandu). The objective of the research was to know correlation between internal factors and external factors for mothers in giving exclusive breastfeeding at the Pekan Bahorok village in 2014. The type of research was analytic survey with cross sectional design. The population of the research were all mothers that had babies aged 7-12 months and ever giving breastfeeding on their babies as many as 58 mothers and all population were become sample by using test of data analyzing chi-square at α=0,05. The research result showed that 18 respondents (31.0%) were giving exclusive breastfeeding. There was a correlation between behavior (p<0.001), family support (p=0.012), culture (p<0.001) and integrated service post (p=0.017) with giving exclusive breastfeeding except knowledge and physical factor. It was suggested to the midwife for not directly to give formula milk to the babies when they were birth. And also to the Pekan Bahorok health centre to be more diligent to give information either in integrated service post (Posyandu) or moslem women organization so that mother and family can more receive and change the behavior more positive and it also can change the wrongness exclusive breastfeeding customs. Key Words : Exclusive Breastfeeding, Knowledge, Behavior, Physical Factor, Family Support, Culture, Integrated Service Post PENDAHULUAN Indikator utama derajat kesehatan masyarakat adalah Angka Kematian Bayi (AKB) atau Infant Mortality Rate (IMR). Angka Kematian Bayi tidak berdiri sendiri, melainkan terkait dengan faktorfaktor lain, salah satunya adalah faktor gizi. Gizi untuk bayi yang
paling sempurna adalah Air Susu Ibu (ASI). Setiap ibu menghasilkan ASI sebagai makanan alamiah yang disediakan oleh ibu. ASI merupakan nutrisi alamiah terbaik bagi bayi karena mengandung kebutuhan energi dan zat yang dibutuhkan oleh bayi. Selain itu ASI juga memiliki
1
faktor protektif dan nutrien yang sesuai dengan status gizi bayi. Beberapa penelitian epidemiologis menyatakan bahwa ASI melindungi bayi dan anak dari penyakit infeksi, misalnya diare, otitis media, dan infeksi saluran pernapasan akut bagian bawah (Ambarwati dan Wulandari, 2009). Selain ASI merupakan makanan yang tepat untuk bayi, pencernaan bayi usia dini belum memiliki cukup enzim pencernaan makanan tetapi, secara alamiah ASI dibekali enzim pencernaan susu sehingga organ pencernaan bayi mudah mencerna dan menyerap gizi ASI. Oleh karena itu berikan pada bayi ASI eksklusif hingga usia 6 bulan tanpa tambahan minuman atau makanan apapun (Arief, 2009). ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja selama 6 bulan tanpa tambahan cairan lain, seperti susu formula, jeruk, madu, air teh dan air putih, serta tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, bubur susu, biskuit, bubur nasi dan nasi tim, kecuali vitamin, mineral dan obat sesuai anjuran oleh dokter. Rendahnya pemberian ASI eksklusif di Indonesia disebabkan oleh 2 faktor, yakni faktor internal yang meliputi rendahnya pengetahuan serta sikap ibu tentang pemberian ASI eksklusif dan faktor eksternal yang meliputi kurangnya dukungan keluarga, masih kuatnya budaya, dan kurangnya dukungan petugas kesehatan untuk melaksanakan kebijakan pemerintah tentang pemberian ASI eksklusif (Prasetyono, 2009). Target Millenium Development Goals (MDGs) ke 4 adalah menurunkan AKB dan Balita menjadi 2/3 dalam kurun waktu 1990-2015. Pemberian ASI secara
eksklusif selama 6 bulan dan diteruskan sampai 2 tahun disamping pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) secara adekuat terbukti merupakan salah satu intervensi efektif yang dapat menurunkan AKB. Maka dari itu jika kita dapat meningkatkan cakupan pemberian ASI eksklusif akan memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan pembangunan Millenium Development Goals (MDGs). Diketahui data WHO menunjukkan pada tahun 2012, pemberian ASI eksklusif di India sudah mencapai 46%, di Filipina 34%, di Vietnam 27% dan Myanmar 24% sedangkan di Indonesia saja sendiri data menurut Susenas cakupan ASI eksklusif tahun 2010 masih rendah 33,6%. Sementara itu cakupan pemberian ASI eksklusif untuk provinsi DKI Jakarta tahun 2011 sebesar 38,6%. Data Susenas di Sumatera Utara cakupan ASI eksklusif pada tahun 2010 sebesar 56,6%. Data Puskesmas Bahorok Kabupaten Langkat tahun 2009 cakupan ASI eksklusifnya mencapai 51,38% sedangkan tahun 2012 cakupan ASI eksklusif di Puskesmas Bahorok mencapai 63,9%, dimana cakupan ini masih jauh dari target nasional yaitu 80%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mulianda (2010) di Desa Baru Dusun II Batang Kuis diketahui dari 46 responden menggambarkan pengetahuan terhadap 38 responden (82,6%) memiliki pengetahuan baik dan 8 responden memiliki pengetahuan cukup (17,4%), memiliki sikap positif sebanyak 10,9%, dan sikap negatif sebanyak 89,1% terhadap pemberian ASI eksklusif. Selanjutnya penelitian yang
2
dilakukan oleh Hartatik (2010) terhadap tenaga kesehatan di Puskesmas Bahorok dari 30 responden yang memberikan ASI eksklusif sebanyak 6 orang (20%), yang mendapat dukungan suami sebanyak 8 orang (26,7%) dan yang tidak mendapat dukungan suami sebanyak 22 orang (73,3%). Dapat ditarik kesimpulan bahwa tenaga kesehatan yang sudah mengerti tentang berbagai manfaaf dari ASI eksklusif saja tidak semua memberikan ASI eksklusif. Berdasarkan survei awal pada bulan April 2013 terhadap 10 orang ibu yang memiliki bayi di Kelurahan Pekan Bahorok Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat ternyata 80% ibu tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya. Dari 10 orang ibu yang disurvei, sebanyak 60% ibu yang mengatakan bahwa ASI saja tidak cukup untuk bayi 0-6 bulan, dikarenakan masi kuatnya budaya yang membuat ibu memberikan tambahan selain ASI eksklusif seperti memberikan madu, air tajin, pisang dan susu formula kepada bayi. Selain itu dengan ibu memberikan tambahan makanan kepada bayi agar ibu dapat mengerjakan pekerjaan rumah, karena ibu berpikir dengan memberikan makanan tambahan selain ASI agar bayi bisa tidur lebih lama. Ada sekitar 70% ibu yang memiliki respon negatif terhadap pemberian ASI eksklusif dikarenakan rata-rata ibu bekerja diluar rumah sehingga proses pemberian ASI tidak dapat dilakukan secara eksklusif, padahal walaupun ibu bekerja tetap dapat memberikan ASI eksklusif kepada bayinya dengan cara memeras ASI dan
disimpan di freezer agar dapat diberikan pada bayi saat ibu bekerja, 60% ibu kurang mendapat dukungan dari keluarga, dukungan keluarga adalah salah satu faktor yang sangat memengaruhi ibu dalam pemberian ASI eksklusif seperti suami, ibu kandung maupun ibu mertua, 70% ibu yang beranggapan bahwa kandungan gizi dalam ASI rendah sehingga rata-rata ibu mengikuti kebiasaan yang terjadi dilingkungan keluarga dan sekitar ibu tentang pemberian makanan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan,seperti memberi tambahan madu, pisang dan susu formula kepada bayi agar bayi lebih sehat dan cepat besar. Dan ada 60% ibu yang mengatakan tidak pernah mengikuti penyuluhan tentang ASI eksklusif yang diadakan oleh tenaga kesehatan sehingga ibu kurang mengetahui manfaat dari ASI eksklusif. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara faktor internal (pengetahuan, sikap dan faktor fisik ibu) dan faktor eksternal ibu (dukungan keluarga, budaya dan dukungan tenaga kesehatan) dengan rendahnya pemberian ASI eksklusif di Kelurahan Pekan Bahorok tahun 2014. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini ialah dengan diketahuinya faktorfaktor yang berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif maka dapat menjadi bahan masukan bagi Puskesmas Bahorok dalam menyusun perencanaan kegiatan untuk meningkatkan pencapaian ASI eksklusif.
3
METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian survei analitik dengan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang mempunyai bayi umur 7-12 bulan dan pernah memberikan ASI pada bayinya di Kelurahan Pekan Bahorok Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat sebanyak 58 orang. Hasil analisis data disajikan dalam tabel distribusi frekuensi dan persentase. Adapun analisis data meliputi tahapan : 1. Analisis Univariat Untuk mengetahui distribusi frekuensi yang menggambarkan masing-masing faktor internal, faktor eksternal dan pemberian ASI eksklusif.
2. Analisis Bivariat Untuk mengetahui hubungan masing-masing variabel independen faktor internal (pengetahuan, sikap, pekerjaan, faktor fisik) serta faktor eksternal (dukungan keluarga, budaya, tenaga kesehatan) dengan variabel dependen (pemberian ASI Eksklusif), dengan menggunakan uji chi square dengan tingkat kemaknaan (level of significance) α = 0,05. HASIL DAN PEMBAHASAN Faktor internal dan faktor eksternal ibu yang berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif terdiri dari faktor pengetahuan, sikap, faktor fisik, dukungan keluarga, budaya dan dukungan tenaga kesehatan.
Tabel 1. Hubungan Pengetahuan dengan Pemberian ASI Eksklusif di Kelurahan Pekan Bahorok Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat Pemberian ASI eksklusif Jumlah ASI eksklusif Tidak ASI Pengetahuan p eksklusif n % n % n % Baik 10 27,8 26 72,2 36 100,0 0,345 Tidak Baik 8 36,4 14 63,6 22 100,0 diperoleh nilai p=0,345. Artinya tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan pemberian ASI eksklusif di Kelurahan Pekan Bahorok. Pengetahuan tentang ASI eksklusif sangat penting untuk didapat karena dengan pengetahuan dan informasi yang dimiliki oleh para ibu mengenai segala nilai plus nutrisi dan manfaat yang terkandung dalam ASI ibu dapat memberikan ASI eksklusif. Dalam hal ini informasi dan pengetahuan juga harus diberikan kepada orang tua agar dapat memberikan dukungan
Berdasarkan Tabel 1 di atas diketahui hasil analisis hubungan antara pengetahuan ibu dalam pemberian ASI eksklusif didapat 36 ibu yang memiliki pengetahuan baik sebanyak 10 orang (27,8%) yang memberikan ASI eksklusif dan 26 orang (72,2%) yang tidak memberikan ASI eksklusif sedangkan dari 22 ibu yang memiliki pengetahuan tidak baik sebanyak 8 orang (36,4%) yang memberikan ASI eksklusif dan 14 orang (63,6%) yang tidak memberikan ASI eksklusif. Hasil uji statistik chi square
4
kepada anaknya dalam memberikan ASI eksklusif. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sinaga (2010) mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif yaitu tidak terdapat hubungan pengetahuan dengan
pemberian ASI eksklusif. Dengan kata lain tindakan yang dilakukan oleh seseorang tidak harus didasari oleh pengetahuan. Namun, perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih bertahan dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.
Tabel 2. Hubungan Sikap dengan Pemberian ASI Eksklusif di Kelurahan Pekan Bahorok Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat Pemberian ASI eksklusif Jumlah ASI eksklusif Tidak ASI Sikap p eksklusif n % n % n % Baik 16 47,1 18 52,9 34 100,0 <0,001 Tidak Baik 2 8,3 22 91,7 24 100,0 menurunkan berat badan ibu, tetapi Dari tabel di atas diketahui hasil masih banyak ibu yang belum analisis hubungan antara sikap ibu mengetahuinya. Kemudian jika ibu dalam pemberian ASI eksklusif bekerja ibu tidak memberikan ASI didapat 34 ibu yang memiliki sikap secara eksklusif, padahal walaupun baik sebanyak 16 orang (47,1%) ibu bekerja ibu tetap dapat yang memberikan ASI eksklusif dan memberikan ASI secara eksklusif 18 orang (52,9%) yang tidak kepada bayinya dengan cara ASI memberikan ASI eksklusif dapat disimpan di kulkas (freezer) sedangkan dari 24 ibu yang memiliki kemudian dapat diberikan kepada sikap tidak baik sebanyak 2 orang bayi dengan terlebih dahulu (8,3%) yang memberikan ASI dihangatkan saja. Kemudian masih eksklusif dan 22 orang (91,7%) yang ada ibu yang ragu-ragu tentang tidak memberikan ASI eksklusif. fungsi dari ASI jika dibandingkan Hasil uji statistik chi square diperoleh dengan susu formula yang mahal, nilai p<0,001, artinya ada hubungan padahal ASI adalah makanan dan antara variabel sikap dengan minuman yang paling baik untuk pemberian ASI eksklusif di Kelurahan bayi selama 0-6 bulan, dimana Pekan Bahorok. pencernaan bayi belum dapat Dari hasil penelitian yang menerima makanan selain ASI yang dilakukan kepada ibu yang tinggal di dapat menyebabkan bayi diare Kelurahan Pekan Bahorok memiliki maupun konstipasi. sikap tidak baik yaitu tentang Hal ini sejalan dengan penelitian pemberian ASI secara eksklusif yang yang dilakukan oleh Mulianda juga memiliki manfaat yang besar (2010) mengenai hubungan kepada ibu, seperti dapat mengurangi pengetahuan dan sikap ibu terhadap perdarahan setelah persalinan, dapat pemberian ASI eksklusif yaitu ada mencegah anemia defesiensi besi, hubungan sikap dengan pemberian menunda kesuburan, aspek ASI eksklusif. Dari penelitian psikologis dan dapat membantu Mulianda (2010), didapatkan ibu bersikap setuju tentang ASI tidak
5
mesti sampai 6 bulan lebih baik membuat bayi mencret yang dilanjutkan sampai 2 tahun (93,5%), menjawab setuju sebanyak (69,6%), sedangkan bagi ibu yang bekerja ASI dan susu formula sering tidak dapat diganti dengan susu formula membuat bayi alergi yang menjawab menjawab setuju yaitu sebanyak setuju sebanyak (69,6%). (34,7%), yang menjawab ASI sering Tabel 3. Hubungan Faktor Fisik dengan Pemberian ASI Eksklusif di Kelurahan Pekan Bahorok Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat Pemberian ASI eksklusif Jumlah ASI eksklusif Tidak ASI Faktor Fisik p eksklusif n % n % n % Baik 6 21,4 22 78,6 28 100,0 0,127 Tidak Baik 12 40,0 18 60,0 30 100,0 Berdasarkan Tabel 3 diketahui hasil analisis antara faktor fisik ibu dalam pemberian ASI eksklusif didapat 28 ibu yang memiliki faktor fisik baik sebanyak 6 orang (21,4%) yang memberikan ASI eksklusif dan 22 orang (78,6%) yang tidak memberikan ASI eksklusif sedangkan dari 30 ibu yang memiliki faktor fisik tidak baik sebanyak 12 orang (40,0%) yang memberikan ASI eksklusif dan 18 orang (60,0%0 yang tidak memberikan ASI ekkslusif. Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,127. Artinya tidak ada hubungan antara variabel faktor fisik dengan pemberian ASI eskklusif di Kelurahan Pekan Bahorok. Dari penelitian yang dilakukan oleh ibu yang tinggal di Kelurahan Pekan Bahorok dapat diketahui bahwa tidak ada hubungan antara
faktor fisik ibu dengan pemberian ASI eksklusif. Rata-rata ibu memiliki faktor fisik yang baik hanya saja ibu lebih banyak tidak melakukan pemijatan payudara sebelum hamil yang dapat memperlancar ASI. Kemudian penolong persalinan jarang sekali melakukan inisiasi menyusu dini yang juga dapat memperlancar pengeluaran ASI. Sebenarnya jarang sekali ada penyakit yang mengaharuskan ibu untuk berhenti menyusui, lebih jauh berbahaya untuk mulai memberi bayi berupa makanan buatan dari pada membiarkan bayi menyusu dari ibunya yang sakit. Jika bayi dalam keadaan lemah sehingga tidak sanggup untuk menyusu maka sebaiknya ASI diberikan melalui selang.
6
Tabel 4. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Pemberian ASI Eksklusif di Kelurahan Pekan Bahorok Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat Pemberian ASI eksklusif Jumlah Dukungan ASI eksklusif Tidak ASI p Keluarga eksklusif n % n % n % Mendukung 16 42,1 22 57,9 38 100,0 0,012 Tidak 2 10,0 18 90,0 20 100,0 Mendukung Dari tabel di atas diketahui hasil analisis hubungan antara dukungan keluarga dalam pemberian ASI eksklusif didapat 38 ibu yang mendapat dukungan keluarga sebanyak 16 orang (42,1%) yang memberikan ASI eksklusif dan 22 orang (57,9%) yang tidak memberikan ASI eksklusif sedangkan dari 20 ibu yang tidak mendapat dukungan keluarga sebanyak 2 orang (10,0%) yang memberikan ASI eksklusif dan 18 orang (90,0%) yang tidak memberikan ASI eksklusif. Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,012. Artinya ada hubungan antara variabel dukungan keluarga dengan pemberian ASI eksklusif di Kelurahan Pekan Bahorok.
Ibu sangat membutuhkan dukungan dari keluarga baik suami, ibu kandung, maupun ibu mertua dalam pemberian ASI eksklusif. Dari hasil penelitian yang dilakukan kepada ibu yang tinggal di Kelurahan Pekan Bahorok sebagian besar keluarga masih menyarankan kepada ibu agar menambahkan makanan atau minuman selain ASI sebagai tambahan vitamin kepada bayi agar bayi sehat dan cepat besar. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Malau (2010) yaitu ibu yang menyusui mendapat dukungan baik dari suami sebesar (87,50%), dan yang mendapat dukungan cukup sebesar (12,50%). Hal ini bermakna bahwa semakin besar dukungan suami maka semakin besar pula kemauan ibu memberikan ASI eksklusif.
Tabel 5. Hubungan Budaya dengan Pemberian ASI Eksklusif di Kelurahan Pekan Bahorok Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat Pemberian ASI eksklusif Jumlah ASI eksklusif Tidak ASI Budaya p eksklusif n % n % n % Tidak Baik 0 0,0 35 100,0 35 100,0 <0,001 Baik 18 78,3 5 21,7 23 100,0 Dari Tabel 5 diketahui hasil analisis hubungan antara budaya dalam pemberian ASI eksklusif didapat 35 ibu yang memiliki budaya baik sebanyak 18 orang (78,3%)
yang memberikan ASI eksklusif dan 5 orang (21,7%) yang tidak memberikan ASI eksklusif sedangkan dari 35 ibu yang memiliki budaya tidak baik tidak ada yang
7
memberikan ASI eksklusif. Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p<0,001, artinya ada hubungan antara variabel budaya dengan pemberian ASI eksklusif di Kelurahan Pekan Bahorok. Dijaman yang moderen ini masih banyka ibu yang percaya pada kebiasaan yang
percaya pada kebiasaan yang dilakukan oleh keluarga maupun disekeliling ibu yang dapat menambah asupan gizi kepada bayi selain ASI pada 6 bulan pertama seperti memberikan madu, pisang, air tajin dan susu formula.
Tabel 6.
Hubungan Dukungan Tenaga Kesehatan dengan Pemberian ASI Eksklusif di Kelurahan Pekan Bahorok Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat Pemberian ASI eksklusif Dukungan Jumlah ASI eksklusif Tidak ASI Tenaga p eksklusif Kesehatan n % n % n % Mendukung 16 41,0 23 59,0 39 100,0 Tidak 2 10,5 17 89,5 19 100,0 0,017 Mendukung
Berdasarkan tabel di atas diketahui hasil analisis hubungan antara dukungan tenaga kesehatan dalam pemberian ASI eksklusif didapat 39 ibu yang mendapat dukungan sebnayk 16 orang (41,0%) yang memberikan ASI eksklusif dan 23 orang (59,0%) yang tidak memberikan ASI eksklusif sedangkan dari 19 ibu yang tidak mendapat dukungan tenaga kesehatan sebanyak 2 orang (10,5%) yang memberikan ASI eksklusif dan 17 orang (89,5%) yang tidak memberikan ASI eksklusif. Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,017. Artinya ada hubungan antara variabel dukungan tenaga kesehatan dengan pemberian ASI eksklusif di Kelurahan Pekan Bahorok. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh ibu yang tinggal di Kelurahan Pekan Bahorok hampir rata-rata ibu pernah datang ke posyandu, diharapkan pada saat posyandu petugas kesehatan selain
memberikan imunisasi juga dapat memberikan penyuluhan kepada ibu yaitu salah satunya mengenai ASI eksklusif agar ibu lebih memahami manfaat dari ASI eksklusif yaitu berfungsi untuk bayi, ibu, keluarga dan negara. Kemudian ada beberapa ibu yang mengatakan mereka mendapat langsung dari rumah sakit susu formula dikarenakan ibubelum sanggup untuk memberikan ASI kepada bayinya. Padahal walaupun ibu operasi melahirkan, ibu tetap dapat memberikan ASI kepada bayinya dengan bantuan perawat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sinaga (2010) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif yaitu terdapat hubungan antara sumber informasi dengan pemberian ASI eksklusif. Sumber informasi dari tenaga kesehatan merupakan salah satu faktor risiko ibu untuk memberikan ASI eksklusif.
8
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Dari 58 responden terdapat 18 responden (31,0%) yang memberikan ASI eksklusif yaitu dikarenakan masih banyak ibu yang tidak mengaplikasikan pengetahuannya serta masih banyak ibu yang memiliki kebiasaaan yang salah dalam pemberian ASI eksklusif. 2. Tidak terdapat hubungan antara pengetahuan dengan pemberian ASI eksklusif. 3. Ada hubungan signifikan antara sikap dengan pemberian ASI eksklusif. Ibu yang memiliki sikap tidak baik terhadap pemberian ASI eksklusif dikarenakan ibu masih ada yang belum mengerti tentang manfaat pemberian ASI secara eksklusif serta masih ada ibu yang beranggapan bahwa susu formula yang mahal juga sama baiknya dengan ASI. 4. Tidak terdapat hubungan antara faktor fisik dengan pemberian ASI eksklsuif. 5. Ada hubungan signifikan antara dukungan keluarga dengan pemberian ASI eksklusif. Masih ada keluarga yang kurang dalam memberikan dukungan terhadap ibu dalam pemberian ASI eksklusif yaitu suami dan ibu mertua. 6. Ada hubungan signifikan antara faktor budaya dengan pemberian ASI eksklusif. Rata-rata ibu masih memberikan tambahan minuman maupun makanan kepada bayi agar bayi sehat dan cepat besar. 7. Ada hubungan signifikan antara dukungan tenaga kesehatan dengan pemberian ASI eksklusif.
Saran Saran yang dapat peneliti sampaikan pada skripsi ini adalah kepada Puskesmas Pekan Bahorok untuk melakukan penyuluhan kepada ibu dan keluarga: 1. Agar ibu dan keluarga dapat lebih menerima serta dapat merubah sikap menjadi lebih positif tentang pemberian ASI eksklusif. 2. Agar dapat merubah kebiasaankebiasaan yang salah dan tidak sejalan dengan pemberian ASI eskklsuif seperti penyuluhan dengan menggunakan media gambar tentang perbedaan bayi yang diberi ASI eksklusif dengan bayi yang tidak ASI eksklusif yang dapat dilakukan baik di posyandu maupun di perwiritan ibu-ibu. 3. Untuk tenaga kesehatan agar tidak langsung memberikan susu formula kepada bayi, jika ASI belum juga keluar. Sebaiknya penolong persalinan melakukan inisiasi menyusu dini karena itu dapat merangsang pengeluaran ASI. DAFTAR PUSTAKA Ambarwati dan Wulandari, 2009. Asuhan Kebidanan Nifas. Yogyakarta: Mitra Cendika Press. Arief, N, 2009. ASI dan Tumbuh Kembang Bayi. Yogyakarta: MedPress. Hartatik, 2010. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Tenaga Kesehatan Wanita dalam Pemberian ASI Eksklusif di Puskesmas Bahorok Kabupaten Langkat. Skripsi FKM USU.
9
Malau, 2010. Hubungan Dukungan Suami dan Kemauan Ibu Memberikan ASI Eksklusif di Puskesmas Teladan Medan. Skripsi FKM USU. Mulianda, 2010. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu Terhadap Pemberian ASI Eksklusif di Posyandu Delima II Desa Baru Dusun II Batang Kuis. Skripsi FKM USU. Prasetyono, 2009. Buku Pintar ASI Eksklusif Pengeanalan, Praktis dan KemanfaatanKemanfaatannya. Yogyakarta: DIVA Press. Sinaga, 2010. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian ASI Eksklusif Pada Balita di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru. Skripsi FKM USU.
10
PENGARUH FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP TERJADINYA PERNIKAHAN USIA MUDA DI DESA SEUMADAM KECAMATAN KEJURUAN MUDA KABUPATEN ACEH TAMIANG TAHUN 2014 Siti Zubaidah Harahap¹, Heru Santosa², Erna Mutiara³ ¹Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM USU ²Peminatan Kependudukan dan Kesehatan Reproduksi FKM USU Email :
[email protected] ABSTRACT Early marriage is a holly/sacred relationship between a man and a woman who had age under 19 years or were currently enrolled in high school and the relationship have been legally recognized in law and religion. The purpose of research was to know the influence of internal and external factors on early marriage among teens at Seumadam Village, Kejuruan Muda Subdistrict, Aceh Tamiang District. This was observational research with a crossectional approach. Population were all teens of 15-19 years as many as 556 people. Samples of the research were married teens aged 15-19 years, or who have a boyfriend or were engaged as many as 95 people. Data were obtained through interview using a questionnaire and analyze with the step of univariate, bivariate using chi square test and multivariate using multiple logistic regression test. The result showed that respondents marriaged at age 15-19 year were 26,3%. There was an influence of knowledge, emotional maturity, culture, exposure to mass media and free sex on early marriage among teens. The variable that most influenced on early marriage among teens was culture with the coefficient of B = 3.404. It is suggested to the Seumadam Village to cooperate with the local government such as institution of religion affair office, education and health to reactivate PIK-KRR (information center of counseling adolescence reproductive health) as a forum to get information about complication a pregnancy problem. Keyword : Early Marriage, Teens PENDAHULUAN Dalam proses perkembangannya, manusia untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Pernikahan sebagai jalan untuk bisa mewujudkan suatu keluarga atau rumah tangga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada umumnya pernikahan dilakukan oleh orang dewasa dengan
tidak memandang pada profesi, agama, suku bangsa, miskin atau kaya, tinggal dikota maupun didesa. Namun apabila pernikahan dilakukan pada usia yang terlalu muda dapat mengakibatkan meningkatnya kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk bertanggung jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri (Astuty, 2011).
1
Pernikahan usia muda juga dapat memberikan risiko yang lebih besar pada remaja perempuan khususnya pada aspek kesehatan reproduksi, dimana alat reproduksi remaja belum matang untuk melakukan fungsinya. Rahim (uterus) baru siap melakukan fungsinya setelah berumur 20 tahun keatas, karena pada masa ini fungsi hormonal melewati masa yang maksimal. Pernikahan usia muda juga akan berimplikasi pada keterbelakangan pengetahuan akibat terhambatnya proses pendidikan yang disebabkan karena pernikahan tersebut. Aspek sosial budaya masyarakat memberi pengaruh terhadap pelaksanaan pernikahan usia muda (Landung, 2009). Untuk mencegah terjadinya pernikahan usia muda, dapat dilakukan dengan penentuan batas minimum usia perkawinan. Karena secara tidak langsung mempengaruhi kualitas dalam kehidupan berumah tangga. Keluarga yang berkualitas akan melahirkan sebuah generasi yang lebih baik (Rohmat, 2009). Menurut undang-undang no. 1 tahun 1974, pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Sedangkan usulan perubahan pada pasal 7 tahun 1974 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan dapat dilakukan jika pihak laki-laki dan perempuan berusia minimal 19 tahun, ayat (2) untuk melangsungkan pernikahan bagi calon yang belum mencapai 21 tahun, harus mendapatkan izin dari orang tua, artinya pernikahan dapat dilakukan apabila masing-masing calon mempelai sudah mencapai usia 19 tahun dengan catatan harus mendapatkan izin dari orang tua dan
jika masing-masing calon mempelai sudah berusia 21 tahun tidak perlu lagi mendapatkan ijin dari orang tua. Sesuai dengan kesepakatan pihak Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BkkbN) menyatakan bahwa usia perkawinan pertama diijinkan apabila pihak wanita mencapai usia 21 tahun dan pria 25 tahun (Astuty, 2011). Studi yang dilakukan United Nations Children’s Fund (UNICEF), fenomena kawin diusia dini (early marriage) masih sering dijumpai pada masyarakat di Timur Tengah dan Asia Selatan dan pada beberapa kelompok masyarakat di Sub Sahara Afrika. Di Asia Selatan terdapat 9,7 juta anak perempuan atau 48% menikah pada umur dibawah usia 18 tahun, Afrika sebesar 42% dan Amerika Latin sebesar 29% (Landung, 2009). Di Indonesia perempuan muda usia 10-14 tahun menikah sebanyak 0,2% atau lebih dari 22.000 wanita muda berusia 10-14 tahun Indonesia sudah menikah yang disebabkan karena hamil, karena ingin memperbaiki ekonomi, keluar dari kemiskinan, dipaksa orang tua dan karena status sosial. Jumlah perempuan muda berusia 15-19 tahun yang menikah lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki muda usia 15-19 tahun (11,7% P : 1,6% L) yang menikah sedangkan kelompok umur perempuan 20-24 tahun, lebih dari 56,2% sudah menikah. Hal ini dikarenakan pada usia tersebut organ reproduksi perempuan secara psikologis sudah berkembang dengan baik dan kuat serta siap untuk melahirkan keturunan dan secara fisik pun mulai matang (BkkbN, 2012). Berdasarkan Data Riskesdas tahun 2010, jumlah perempuan yang pernah kawin dengan umur kawin pertama (UKP) 15-19 tahun cukup tinggi,
2
yakni sebesar 41,9% sedangkan umur 20-24 tahun sebesar 33,6%. Kondisi ini menunjukkan masih rendahnya umur perkawinan pertama di Indonesia terutama terjadinya di daerah pedesaan (13,49%) dan di daerah perkotaan (8,13%) (Indrayani & Sjafli, 2012). Pada masyarakat pedesaan, pernikahan usia muda terjadi pada golongan ekonomi menengah kebawah yang lebih merupakan bentuk sosial pada pembagian peran tanggung jawab dari keluarga perempuan pada suami. Sedangkan di masyarakat perkotaan pernikahan usia muda umumnya terjadi karena kecelakaan (married by accident) akibat salah pergaulan oleh remaja (Landung, 2009). Berdasarkan data profil Kantor Urusan Agama Kecamatan Kejuruan Muda jumlah perkawinan tahun 2011 s/d 2013 sebanyak 958 pasang dengan jumlah remaja menikah usia dibawah 20 tahun sebanyak 336 pasang (35,1%) dengan rincian pada tahun 2011 sebanyak 93 pasang (27,7%), tahun 2012 sebanyak 115 (34,2%) dan tahun 2013 sebanyak 128 pasang (38,1%). Pernikahan usia muda juga terjadi di Desa Seumadam Kecamatan Kejuruan Muda Kabupaten Aceh Tamiang. Menurut data tahunan dari Kepala Desa Seumadam dari tahun 2011 s/d 2013 terjadi peningkatan jumlah pernikahan usia dibawah 20 tahun sebanyak 122 pasang (64,5%) dimana wanita 100 orang (81,96%) dan pria sebanyak 22 orang (11,6%). Dengan rincian tahun 2011 sebanyak 34 orang, tahun 2012 sebanyak 43orang dan tahun 2013 sebanyak 45 orang. Pada tahun 2013 jumlah remaja usia 15-19 tahun sebanyak 556 jiwa yang terdiri dari 312 remaja putri dan 244 remaja putra.
Dari hasil wawancara kepala desa setempat mengatakan pengetahuan remaja pada saat konseling pernikahan, mereka masih kurang mengetahui makna pernikahan yang sebenarnya. Selain itu dorongan orang tua, budaya dan pergaulan bebas sangat mempengaruhi terjadinya pernikahan usia muda. Faktor budaya disini orang tua takut jika anaknya lama menikah akan dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan dan didorong juga dengan keadaan lingkungan sekitar yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat menikahkan anak pada usia muda. Dorongan orang tua adalah usaha orang tua untuk mempengaruhi anaknya agar mau menikah diusia muda, seperti orang tua menganjurkan segera menikah dengan pria pilihan anaknya baik itu yang berdomisili satu lingkungan maupun diluar lingkungan agar tidak terlalu lama pacaran dan bertunangan. Hal ini sesuai dengan dikatakan Suparyanto (2013) bahwa faktor yang menyebabkan pernikahan usia muda dikalangan remaja itu yang berasal dari diri sendiri (internal) seperti pengetahuan,kemauan sendiri, agama dan faktor dari luar (eksternal) seperti kemauan orang tua, budaya, pergaulan bebas, ekonomi. Berdasarkan survei pendahuluan terakhir yang dilakukan langsung di Desa Seumadam Kecamatan Kejuruan Muda Kabupaten Aceh Tamiang pada 15 responden remaja yang sudah menikah di usia muda didapatkan 5 orang (33,3%) mengatakan tujuan pernikahan untuk memperoleh keturunan, tanpa perlu kematangan emosional, agar terhindar dari perilaku seks pranikah serta mereka menganggap kesehatan reproduksi berkaitan dengan kehamilan dan persalinan yang sehat tanpa tahu akibat yang timbul karena pernikahan
3
usia muda. Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan remaja tentang dampak pernikahan usia muda terhadap kesehatan reproduksi serta kurangnya pemahaman remaja mengenai makna pernikahan. Padahal pernikahan itu bukan hanya untuk memperoleh keturunan saja tetapi kematangan emosional, kesiapan mental dan sosial serta rasa tanggung jawab terhadap materi. Dorongan orang tua sebanyak 4 orang (26,7%) dimana orang tua mereka sengaja menganjurkan anaknya menikah dengan tetangga yang berdomisili satu lingkungan agar jadi satu keluarga dan tidak terlalu lama tunangan atau pacaran. Budaya sebanyak 3 orang (20,0%) dimana orang tua menganjurkan mereka untuk segera menikah dikarenakan takut disebut perawan tua jika lama menikah dan karena sudah tradisi keluarga cepat menikah karena orang tua mereka juga cepat menikah. Karena pergaulan bebas sebanyak 3 orang (20,0%) yang menyebabkan mereka hamil dan harus berhenti sekolah untuk menikah. Berdasarkan data diatas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap terjadinya pernikahan usia muda pada remaja di Desa Seumadam Kecamatan Kejuruan Muda Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2014. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan penelitian adalah “faktor internal dan eksternal apa sajakah yang memengaruhi terjadinya pernikahan usia muda pada remaja di Desa Seumadam Kecamatan Kejuruan Muda Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2014”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh faktor internal (pengetahuan, pemahaman agama,
kematangan emosi) dan eksternal (dorongan orang tua, budaya, paparan media massa dan pergaulan bebas) terhadap terjadinya pernikahan usia muda pada remaja di Desa Seumadam Kecamatan Kejuruan Muda Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2014. Sebagai bahan masukan bagi kepala desa untuk merencanakan pengadaan kerjasama dengan instansi terkait seperti instansi pendidikan, kesehatan, agama, lembaga swadaya masyarakat dalam rangka menurunkan angka pernikahan usia muda dan agar dapat menambah pengetahuan remaja mengenai dampak pernikahan usia muda terhadap kesehatan reproduksi. METODE PENELITIAN Jenis penelitian bersifat observasional dengan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh remaja usia 15-19 tahun di Desa Seumadam Kecamatan Kejuruan Muda Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2014 sebanyak 556 jiwa dengan pengambilan sampel menggunakan acak sistematis sebanyak 95 orang. Metode pengumpulan data menggunakan data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari responden dengan wawancara menggunakan angket yang berisi daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya dan data skunder yang terdiri dari data Kantor Urusan Agama Kecamatan Kejuruan Muda Kabupaten Aceh Tamiang dan Kantor Datuk Penghulu Desa Seumadam berupa daftar nama remaja. Teknik pengolahan data dimulai dari editing, coding, entry dengan analisis data menggunakan analisis univariat, bivariat dan multivariat.
4
kematangan emosi) dan faktor eksternal (dorongan orang tua, budaya, paparan media massa, pergaulan bebas) terhadap pernikahan usia muda.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dalam penelitian ini terdiri dari 2 faktor yaitu internal dan eksternal yaitu faktor internal (pengetahuan, pemahaman agama
Tabel 1. Hubungan Faktor Internal dengan Pernikahan Usia Muda Pengetahuan Baik Kurang Pemahaman Agama Baik Kurang Kematangan Emosi Baik Kurang
Pernikahan usia muda Menikah usia muda Belum menikah n % n % 3 9,1 30 90,9 22 35,5 40 64,5 Pernikahan usia muda Menikah usia muda Belum menikah n % n % 20 25,0 60 75,0 5 33,3 10 66,7 Pernikahan usia muda Menikah usia muda Belum menikah n % n % 18 46,2 21 53,8 7 12,5 49 87,5
Dari faktor internal di atas menunjukkan hasil analisis hubungan antara pengetahuan dengan pernikahan usia muda didapatkan dari 33 remaja dengan pengetahuan baik sebanyak 3 orang (9,1%) remaja menikah usia muda dan 30 orang (90,9%) remaja belum menikah sedangkan dari 62 remaja dengan pengetahuan kurang terdapat 22 orang (35,5%) remaja menikah usia muda dan 40 orang (64,5%) remaja belum menikah. Hasil analisis bivariat didapatkan ada pengaruh antara pengetahuan dengan pernikahan usia muda (p = 0,005). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Priyanti (2013) yang mengatakan pengetahuan berhubungan dengan perkawinan usia muda pada penduduk kelompok umur 12-19 tahun. Hasil analisis hubungan antara pemahaman agama terhadap pernikahan usia muda didapatkan 80 remaja dengan pemahaman agama baik sebanyak 20 orang (25,0%) remaja menikah usia muda dan 60
Jumlah n 33 62
% 100,0 100,0 Jumlah
n 80 15
% 100,0 100,0 Jumlah
n 39 56
% 100,0 100,0
p 0,005 p 0,501 p 0,0001
orang (75,0%) remaja belum menikah sedangkan dari 15 remaja dengan pemahaman agama kurang sebanyak 5 orang (33,3%) remaja menikah usia muda dan 10 orang (66,7%) remaja belum menikah. Hasil analisis bivariat di dapatkan tidak ada pengaruh pemahaman agama dengan pernikahan usia muda pada remaja (p = 0,501). Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Hakim (2010) yang mengatakan ada pengaruh pemahaman agama terhadap pernikahan dini. Hasil analisis hubungan antara kematangan emosi dengan pernikahan usia muda, didapatkan 39 remaja dengan kematangan emosi baik sebanyak 18 orang (46,2%) remaja menikah usia muda dan 21 orang (53,8%) remaja belum menikah sedangkan 56 remaja dengan kematangan emosi kurang sebanyak 7 orang (12,5%) remaja menikah usia muda dan 49 orang (87,5%) remaja belum menikah. Hasil analisis bivariat ada pengaruh antara kematangan emosi terhadap pernikahan usia muda pada remaja (p=0,0001) karena 5
semakin tinggi kematangan emosi maka semakin rendah kecendrungan menikah dini. Sebaliknya semakin rendah kematangan emosi maka semakin tinggi kecendrungan menikah dini.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Marlina (2012) yang mengatakan ada hubungan negatif yang signifikan antara kematangan emosi dengan kecendrungan menikah dini.
Tabel 2. Hubungan Faktor Eksternal dengan Pernikahan Usia Muda Dorongan orang tua Mendukung Tidak mendukung Budaya Ada Tidak ada Paparan media massa Terpapar Tidak terpapar Pergaulan bebas Melakukan Tidak melakukan
Pernikahan usia muda Menikah usia muda Belum menikah n % n % 23 32,9 47 67,1 2 8,0 23 92,0 Pernikahan usia muda Menikah usia muda Belum menikah n % n % 23 42,6 31 57,4 2 4,9 39 95,1 Pernikahan usia muda Menikah usia muda Belum menikah n % n % 21 42,0 29 58,0 4 8,9 41 91,1 Pernikahan usia muda Menikah usia muda Belum menikah n % n % 24 33,3 48 66,7 1 4,3 22 95,7
Dari faktor eksternal di atas menunjukkan hasil analisis hubungan antara dorongan orang tua dengan pernikahan usia muda didapatkan 70 remaja dengan dorongan orang tua mendukung sebanyak 23 orang (32,9%) remaja menikah usia muda dan 47 orang (67,1%) remaja belum menikah sedangkan 25 remaja dengan dorongan orang tua tidak mendukung sebanyak 2 orang (8,0%) remaja menikah usia muda dan 23 orang (92,0%) remaja belum menikah. Hasil analisis bivariat ada pengaruh dorongan orang tua dengan pernikahan usia muda pada remaja (p=0,015) sedangkan hasil analisis multivariat dibuktikan tidak ada pengaruh dorongan orang tua terhadap pernikahan usia muda (p = 0,256). Hal ini sesuai dengan penelitian Tarigan (2008) yang mengatakan tidak ada hubungan dorongan orang
Jumlah n 70 25
% 100,0 100,0
Jumlah n 41 54
% 100,0 100,0
Jumlah n 50 45
% 100,0 100,0
Jumlah n 72 23
% 100,0 100,0
P 0,015 P 0,0001 p 0,0001 P 0,006
tua terhadap perkawinan usia muda di Desa Cingkes Kecamatan Doloksilau Kabupaten Simalungun. Hasil analisis hubungan antara budaya dengan pernikahan usia muda, didapatkan 41 remaja dengan kategori ada budaya sebanyak 23 orang (42,6%) remaja menikah usia muda dan 31 orang (57,4%) remaja belum menikah sedangkan dari 54 remaja dengan kategori tidak ada budaya sebanyak 2 orang (4,9%) remaja menikah usia muda dan 39 orang (95,1%) remaja belum menikah. Dari analisis bivariat ada pengaruh budaya dengan pernikahan usia muda pada remaja (p=0,0001). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Masnawi (2013) yang mengatakan ada hubungan budaya dengan penyebab terjadinya pernikahan dini di Desa Sawah
6
Tingkeum Kecamatan Bakongan Timur Kabupaten Aceh Selatan. Hasil analisis hubungan antara paparan media massa terhadap pernikahan usia muda didapatkan dari 50 remaja terpapar media massa sebanyak 21 orang (42,0%) remaja menikah usia muda dan 29 orang (58,0%) remaja belum menikah sedangkan dari 45 remaja tidak terpapar media massa sebanyak 4 orang (8,9%) remaja sudah menikah dan 41 orang (91,1%) remaja belum menikah. Hasil analisis bivariat ada pengaruh paparan media massa dengan pernikahan usia muda pada remaja (p=0,0001). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan sulandjari (2007) yang mengatakan terdapat hubungan antara sajian pornoteks media massa dengan perilaku seksual remaja di pemukiman kecamatan candisari kota semarang.
Hasil analisis hubungan pergaulan bebas dengan pernikahan usia muda didapatkan 72 remaja melakukan pergaulan bebas sebanyak 24 orang (33,3%) remaja menikah usia muda dan 48 orang (66,7%) remaja belum menikah sedangkan dari 23 remaja tidak melakukan pergaulan bebas sebanyak 1 orang (4,3%) remaja menikah usia muda dan 22 orang (95,7%) remaja belum menikah. Secara statistik bivariat dibuktikan ada hubungan pergaulan bebas dengan pernikahan usia muda pada remaja (p=0,006). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Priyanti (2013) yang mengatakan pergaulan bebas berhubungan dengan perkawinan usia muda pada penduduk kelompok umur 12-19 tahun di Desa Puji Mulyo Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang Tahun 2013.
Tabel 3. Hasil Analisis Multivariat Variabel Pengetahuan Kematangan emosi Budaya Paparan media massa Pergaulan bebas Konstanta
B 1,703 -1,671 3,404 1,988 2,633 -7,425
Sig 0,048 0,019 0,0001 0,013 0,031 0,0001
Setelah dilakukan analisis multivariat, didapatkan hasil bahwa pengetahuan, kematangan emosi, budaya, paparan media massa dan pergaulan bebas berpengaruh terhadap pernikahan usia muda pada remaja di Desa Seumadam Kecamatan Kejuruan Muda Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2014. Hasil analisis uji regresi logistik juga menunjukkan bahwa variabelvariabel pengetahuan dengan nilai p = 0,048, kematangan emosi nilai p = 0,019, budaya dengan nilai p = 0,0001, paparan media massa dengan nilai p = 0,013 dan pergaulan bebas dengan nilai p = 0,031 berpengaruh
Exp (B) 5,490 0,188 30,075 7,299 13,918 0,001
95% CI 1,013-29,744 0,046-0,762 4,682-193,198 1,521-35,017 1,274-151,987
terhadap pernikahan usia muda di Desa Seumadam Kecamatan Kejuruan Muda Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2014. Variabel yang paling dominan pengaruhnya terhadap pernikahan usia muda adalah variabel budaya dengan nilai koefisien regresi B = 3,404. Berdasarkan hasil analisis uji regresi logistik, budaya diperoleh nilai Exp (B) sebesar 30,075 sehingga dapat disimpulkan kemungkinan remaja untuk menikah usia muda karena ada budaya 30 kali lebih besar dibandingkan yang tidak ada budaya menikah usia muda.
7
dan elektronik untuk tidak menyebar luaskan secara bebas segala bentuk situs, video dan gambar-gambar menyangkut pornografi. 3. Diharapkan kepada orang tua untuk lebih memberikan pandangan yang positif kepada remaja baik laki-laki dan perempuan terhadap pernikahan. Agar lebih memantau segala kegiatan remaja sehari-hari agar mereka bisa membedakan pergaulan yang baik dan buruk supaya mereka tidak melakukan seksual sebelum menikah. 4. Kepada remaja agar tidak ada lagi remaja yang melakukan pernikahan di usia muda karena menikah di usia muda akan mempunyai dampak yang buruk terhadap kesehatan reproduksi seperti kematian ibu dan bayi sehingga dapat mengurangi angka kematian ibu dan bayi. 5. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai pernikahan usia muda agar dapat diketahui penyebab lain dari pernikahan usia muda.
KESIMPULAN DAN SARAN Adapun kesimpulan dalam penelitian ini adalah : 1. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh dari 95 remaja terdapat 25 orang (26,3%) yang menikah diusia muda. 2. Berdasarkan analisis bivariat melalui uji Pearson Chi Squarediketahui dari 7 variabel independent didapatkan 6 variabel yang mempunyai hubungan antara lain pengetahun, kematangan emosi, dorongan orang tua, budaya, paparan media massa, pergaulan bebas terhadap pernikahan usia muda pada remaja. 3. Berdasarkan analisis multivariat dengan uji regresi logistik ganda diperoleh 5 variabel yang berpengaruh terhadap pernikahan usia muda yaitu pengetahuan kurang, kematangan emosi kurang, budaya, paparan media massa dan pergaulan bebas. Adapun saran dalam penelitian ini adalah : 1. Kepada pemerintah Desa khususnya Desa Seumadam agar dapat bekerja sama dengan instansi pemerintah lain seperti instansi pendidikan dan kesehatan untuk mengaktifkan PIK-KRR ( Pusat Informasi Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja) sebagai wadah untuk mendapatkan infomasi tentang kesehatan reproduksi khususnya tentang pernikahan usia muda dan dampak yang terjadi pada kesehatan reproduksi remaja dan konseling tentang akibat dari pergaulan bebas agar remaja lebih berhatihati dalam memilih teman. 2. Diharapkan kepada bagian pemerintah yang bergerak di bidang media massa baik cetak
DAFTAR PUSTAKA Astuty,S.Y. 2011. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Perkawinan Usia Muda Dikalangan Remaja di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Skripsi-Fisip USU. BkkbN, 2012. Kajian Pernikahan Dini Pada Beberapa Provinsi di Indonesia : Dampak Overpopulation, Akar Masalah dan Peran Kelembagaan di Daerah. Tersedia di http://www.bkkbn.go.id/pernikaha ndinippt. Diakses pada tanggal 12 September 2013.
8
Hakim, L. 2010. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pernikahan Usia Dini Perspektif Hukum Islam. Skripsi-Fakultas Syari’ah Dan Hukum Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta. Indrayani & Sjafii, 2012. Dampak Pendidikan Bagi Usia Pernikahan Dini dan Kemiskinan Keluarga. Forum Kita. Tersedia di http://www.dampakpendidikanbag iusiapernikahandinidankemiskinan keluarga.com.Diakses pada tanggal 12 September 2013. Kantor Urusan Agama Kecamatan Kejuruan Muda, 2013. Laporan Tahunan Kantor Urusan Agama Kecamatan Kejuruan Muda Tahun 2013, Kota Kuala simpang, Aceh Tamiang. Landung. 2009. Studi Kasus Kebiasaan Pernikahan Usia Dini Pada Masyarakat Kecamatan Sanggalangi Kabupaten Tana Toraja. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 5 (4) : 89-94. Marlina, N. 2012. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Orang Tua dan Kematangan Emosi dengan Kecendrungan Menikah Dini. Tersedia dihttp://repository.uad.ac.id/ipi123 305.com. Diakses pada tanggal 20 Februari 2014. Masnawi. 2013. Gambaran Faktor Yang Menyebabkan Pernikahan Dini di Desa Sawah Tingkeum Kecamatan Bakongan Timur Kabupaten Aceh Selatan. KTIDiploma III Kebidanan STIkes U’budiyah Banda Aceh. Priyanti, 2013. Faktor Yang Berhubungan dengan Pernikahan Usia Muda Pada Penduduk Kelompok Umur 1219 Tahun Di Desa Puji Mulyo
Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang. Skripsi-FKM USU. Rohmat. 2009.Pernikahan Dini dan Dampaknya Dalam Keutuhan Rumah Tangga (Studi Kasus di Desa Cikadu Kecamatan Cijambe Kabupaten Subang). Skripsi-Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sulandjari, R. 2007. Pengaruh Pornoteks Media Massa dan Selektifitas Orang Tua Pekerja terhadap Persepsi Pengetahuan Seksual Remaja di Kecamatan Candisari Semarang. SkripsiFisip Universitas pandanaran. Suparyanto, 2013. Pernikahan Usia Muda. Tersedia di http://www.drsuparyanto/konseppernikahandini. com. Diakses pada tanggal 16 Juli 2013. Tarigan, 2008. Faktor Yang Menyebabkan Pernikahan Usia Muda di Desa Cingkes Kecamatan Doloksilau Kabupaten Simalungun. KTIDiploma IV Kebidanan USU.
9
10
PENGARUH PENGETAHUAN DAN MOTIVASI TERHADAP SIKAP REMAJA PUTRI YANG MELAKUKAN PEMERIKSAAN PAYUDARA SENDIRI (SADARI) SEBAGAI UPAYA DETEKSI DINI KANKER PAYUDARA DI SMA NEGERI 1 MARBAU KABUPATEN LABUHANBATU UTARA TAHUN 2014 Rosiah Hasibuan1; Heru Santosa2; Yusniwarti Yusad2. 1 Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat USU 2 Staf Pengajar Kesehatan Masyarakat USU Abstract Breast cancer is a malignant tumor which grows in the breast tissue. Nowadays, many patients were found suffered breast cancer at an early age even in fourteen years old has suffered this disease. One of the early detection methods of breast cancer is breast self-examination (BSE). BSE is the most effective and efficient way to find breast cancer at an early stage. This study is aimed to examine the effect of knowledge and motivation to the attitude of girls who do breast self-examination (BSE) as an efforet early detection of breast cancer in SMA 1 Marbau of Labuhanbatu Utara district. The populations in this study were all girls who do the BSE in SMA 1 Marbau with a total sample of 122 respondents. The analysis was used is path analysis The results showed that the normality test of data, all data were normal distribution and conformance test which used Amos software resulted Goodness of Fit models which fulfill the criteria of fit model. In the hypothesis test resulted that the knowledge obtained significantly influence to the motivations of girls who do BSE with probability value 0,012<0,05 and the motivations significantly influence the attitudes of girls who do BSE with probability value 0,002<0,05 as well as a significant influent between the knowledge toward the girls’ attitudes who do BSE with probability value 0,002<0,05. Furthermore, the results showed that there was the influence of knowledge on the girls’ attitudes through girls’ motivations who do BSE in SMA Negeri 1 Marbau. As a suggestion to reader, the researcher recommend to the school to collaborate with the public health center that would organize counseling activities of the BSE to students so that they can do BSE routinely and regularly. Keywords: Knowledge, Motivation, Attitude, Breast self-examination (BSE), Early detection of Breast cancer
Pendahuluan Kanker payudara adalah tumor ganas yang tumbuh dijaringan payudara, yakni didalam kelenjar susu, saluran susu, jaringan lemak hingga jaringan ikat pada payudara (Saydam, 2012). Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mayoritas (69%) kematian akibat kanker payudara terjadi dinegara berkembang. Di Indonesia kanker payudara adalah jenis kanker tertinggi pada pasien rawat inap maupun rawat jalan dengan proporsi 28,7% (KemenKes, 2013). Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2011 terdapat 103
kasus kanker payudara dan tahun 2012 angka kejadian kanker payudara meningkat menjadi 431 kasus (Profil Kesehatan Dinkes Provsu, 2013) Saat ini telah banyak ditemukan penderita kanker payudara pada usia muda bahkan tidak sedikit remaja putri usia empat belas tahun menderita tumor dipayudaranya, dimana tumor dapat berpotensi menjadi kanker bila tidak terdeteksi lebih awal (Sutjipto dikutip oleh Lily, 2008). Salah satu metode deteksi dini kanker payudara pemeriksaan payudara sendiri
1
(SADARI). SADARI perlu dilakukan ketika seorang wanita telah mencapai masa pubertas dan mengalami perkembangan payudara. SADARI merupakan metode yang paling efektif dan efisien untuk menemukan kanker pada stadium dini. Masalah utama pelaksanaan SADARI sebagai metode deteksi dini kanker payudara adalah ketidakteraturan dan jarang sekali dilakukan dengan benar (Erniyati, 2006). Pengetahuan seseorang tentang suatu obyek mengandung 2 aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek inilah yang akhirnya akan menumbuhkan dorongan/motivasi dan sikap seseorang terhadap obyek tertentu (Notoatmodjo, 2007), dengan mempelajari motivasi maka dapat diprediksi perilaku seseorang. Jika seseorang sudah memiliki motivasi yang kuat untuk melakukan perilaku kesehatan maka perilakunya menjadi konsisten dan dapat diramalkan Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan peneliti melalui wawancara mengenai kanker payudara dan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) kepada 10 siswi yang bersekolah di SMA Negeri 1 Marbau, diperoleh hasil bahwa 7 orang siswi memiliki pengetahuan yang baik tentang SADARI dan kanker payudara, 2 orang memiliki pengetahuan yang cukup serta 1 orang tidak mengetahui tentang SADARI dan kanker payudara, sedangkan tindakan SADARI hanya 2 orang yang melakukan dengan frekuensi yang tidak teratur. Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Pengaruh Pengetahuan dan Motivasi Terhadap Sikap Remaja Putri Yang Melakukan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) Sebagai Upaya Deteksi Dini Kanker Payudara Di SMA Negeri 1 Marbau Kabupaten Labuhanbatu Utara Tahun 2014 Penelitian secara umum bertujuan untuk melihat besarnya pengaruh pengetahuan dan motivasi terhadap sikap remaja putri yang melakukan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) sebagai upaya deteksi dini kanker payudara di SMA Negeri 1 Marbau Kabupaten Labuhanbatu Utara tahun 2014. Dan secara khusus untuk mengetahui pengaruh pengetahuan terhadap motivasi remaja putri yang melakukan SADARI sebagai upaya
deteksi dini kanker payudara di SMA Negeri 1 Marbau, untuk mengetahui pengaruh pengetahuan terhadap sikap remaja putri yang melakukan SADARI sebagai upaya deteksi dini kanker payudara di SMA Negeri 1 Marbau tahun 2014 dan untuk mengetahui pengaruh motivasi terhadap sikap remaja putri yang melakukan SADARI sebagai upaya deteksi dini kanker payudara di SMA Negeri 1 Marbau tahun 2014. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi SMA Negeri 1 Marbau agar kiranya dalam memberikan edukasi tidak hanya ilmu pendidikan namun juga ilmu kesehatan, dan sebagai tambahan pengetahuan dan wawasan bagi siswi SMA Negeri 1 Marbau serta sebagai bahan referensi atau bahan pertimbangan bagi peneliti lain yang ingin melanjutkan penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian causal komparatif. Teknik analisis data menggunakan analisis jalur (Path Analysis). Lokasi penelitian dilakukan diSMA Negeri 1 Marbau Kabupaten Labuhanbatu Utara, yang dilakukan pada bulan Mei tahun 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh remaja putri yang melakukan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) yang berjumlah 122 orang. Sampel dalam penelitian adalah seluruh populasi dijadikan sampel yakni remaja putri yang melakukan SADARI yang berusia 15-18 tahun yang merupakan siswi SMA Negeri 1 Marbau kelas X dan XI sebanyak 122 orang. Data yang dikumpulkan adalah data primer yaitu data yang diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner dan data sekunder adalah data yang diperoleh dari tata usaha yakni berupa absensi dan rekapitulasi data siswa-siswi SMA Negeri 1 Marbau Kabupaten Labuhanbatu Utara serta informasi dari para pengajar di sekolah tersebut.
2
Hasil dan Pembahasan Distribusi frekuensi umur, agama, dan sumber informasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 1 Distribusi Frekuensi Umur, Agama dan Sumber Informasi Variabel Umur 15 tahun 16 tahun 17 tahun 18 tahun Jumlah
f
%
10 60 46 6 122
8,2 49,2 37,7 4,9 100,0
Agama Islam Kristen Jumlah
113 9 122
92,6 7,4 100,0
Sumber Informasi Media Elektronik Media Cetak Internet Orang Tua Teman Jumlah
40 14 50 10 8 122
32,8 11,5 41,0 8,2 6,5 100,0
kesimpulan bahwa data berdistribusi secara normal. Dari beberapa uji kesesuaian model diperoleh bahwa pengujian goodness of fit model berdasarkan chi Square menunjukkan nilai p 0,000 < 0,05 dan RMSEA (Root Mean Square Error of Approximation) 0,265 > 0,08 yang berarti bahwa data tidak memenuhi kriteria berdasarkan chi Square dan RMSEA sehingga data disebut sebagai model yang kurang baik. Namun jika ditinjau dari indikator lain yakni GFI 1,000 dan CFI 1,000 maka model persamaan stuktural ini masih memenuhi Goodness of Fit Model Hasil analisis berdasarkan GFI dan CFI dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 3 Model Fit Summary Model GFI CFI Default model 1.000 1.000 Saturated model 1.000 1.000 Independence model .854 .000 Berdasarkan tabel 3 diatas indeks keselarasan (GFI) dan indeks kecocokan komparatif (CFI) memiliki nilai 1 yang berarti menunjukkan bahwa model memiliki kecocokan yang sangat tinggi dan baik Setelah uji kesesuaian model selanjutnya dilakukan uji hipotesis penelitian yakni dengan melakukan analisis berdasarkan nilai estimasi dan probabilitas. Hasil analisis dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 4. Regression Weights (Group Number 1-Default Model)
Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa responden terbanyak pada umur 16 tahun yaitu berjumlah 60 orang (49,2%), mayoritas responden beragama islam yakni sebanyak 113 orang (92,6%), dan sebagian besar responden menggunakan internet dalam mencari informasi kesehatan sebesar 41,0% disusul oleh media elektronik sebesar 32,8%.. Hasil analisis menggunakan AMOS yakni uji normalitas data dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 2 Uji Distribusi Normalitas Data Variable Pengetahuan Motivasi Sikap Multivariate
Skew
c.r.
-1.184 -.486 .376
-5.338 -2.190 1.695
kurtosi s 2.519 .093 -.072 2.440
Estimates (Group number 1 - Default model) Scalar Estimates (Group number 1 - Default model) Maximum Likelihood Estimates Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
c.r. 5.679 .211 -.162 2.460
Motivasi
Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa cr kurtosis univariat yang paling kecil adalah 0,162 dan cr kurtosis multivariate adalah 2,460 yang berarti berada pada interval -2,58 s/d 2,58 sebagaimana dipersyaratkan sebagai cr kurtosis untuk distribusi data yang normal pada tingkat signifikansi 1%, sehingga dapat diambil
Sikap Sikap
3
<-<-<--
S.E.
C.R.
P
Pengetahuan
Esti mate .457
.181
2.526
.012
Pengetahuan
.578
.185
3.125
.002
Motivasi
.275
.091
3.035
.002
SMA Negeri 1 Marbau dengan nilai P sebesar 0,002 < 0,05 dan estimasi koefisien regresi sebesar 0,275. Berdasarkan Standardized Regression Weights motivasi berpengaruh terhadap sikap sebesar 0,258. Hal ini berarti korelasi variabel motivasi dengan sikap cukup kuat dan searah. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai estimasi variabel motivasi terhadap sikap sebesar 0,258 yang berada pada interval >0.25 0,5 (cukup kuat dan searah). Dengan demikian motivasi memberikan kenaikan kontribusi ratarata sebesar 25,8% terhadap sikap, sedangkan pengaruh sebesar 74,2% disebabkan oleh variabel-variabel lain diluar variabel motivasi. 3. Pengujian Hipotesis III H1 : Ada pengaruh pengetahuan terhadap sikap remaja putri yang melakukan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) Pengetahuan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap sikap remaja putri yang melakukan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI). Hal ini dapat kita lihat nilai probabilitas (P) sebesar 0,002 < 0,05 dan nilai estimasi koefisien regresi sebesar 0,578. Sedangkan nilai estimasi berdasarkan Standardized Regression Weights sebesar 0,266. Hal tersebut menunjukkan bahwa korelasi pengetahuan terhadap sikap cukup kuat dan searah yang artinya semakin tinggi pengetahuan yang dimiliki remaja putri mengenai SADARI maka akan semakin baik pula sikap remaja putri dalam melakukan SADARI. Dengan demikian pengetahuan memiliki pengaruh sebesar 26,6% terhadap sikap remaja putri yang melakukan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) sedangkan pengaruh sebesar 73,4% disebabkan oleh variabel lain. Perhitungan Pengaruh terdiri atas pengaruh langsung, pengaruh tidak langsung dan pengaruh total. Pengaruh langsung pengetahuan dan motivasi terhadap sikap remaja putri yang melakukan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) dapat dilihat pada tabel 7 :
Tabel 5. Standardized Regression Weights (Group Number 1 – Default Model) Estimate Motivasi <--- Pengetahuan .224 Sikap <--- Pengetahuan .266 Sikap <--- Motivasi .258 Tabel 6. Pengujian Hipotesis Penelitian Berdasarkan Probabilitas Hipotesis
P
Estimasi
Keterangan
0,012
0,457
Signifikan
Motivasi terhadap Sikap
0,002
0,275
Signifikan
Pengetahuan
0,002
0,578
Signifikan
Pengetahuan terhadap Motivasi
terhadap
Sikap
1. Pengujian Hipotesis I H1 : Ada pengaruh pengetahuan terhadap motivasi remaja putri yang melakukan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) Berdasarkan hasil uji hipotesis menunjukkan pengetahuan berpengaruh signifikan terhadap motivasi. Hal ini ditandai dengan nilai P (Probabilitas) sebesar 0,012 < 0,05. Pengaruh positif pengetahuan terhadap motivasi ditunjukkan dari estimasi koefisien regresi yakni sebesar 0,457, namun korelasi pengetahuan terhadap motivasi dapat dilihat pada tabel 4.7 yaitu pada tabel Standardized Regression Weights sebesar 0,224 yang berarti bahwa pengetahuan dan motivasi memiliki hubungan yang sangat lemah dan searah. Hal ini terlihat dari nilai estimasi variabel pengetahuan terhadap motivasi yakni 0,224 yang berada pada interval 0-0,25 (korelasi sangat lemah). Dengan demikian pengetahuan berpengaruh terhadap motivasi sebesar 22,4%, sedangkan pengaruh sebesar 77,6% disebabkan oleh variabelvariabel lain diluar variabel pengetahuan. 2. Pengujian Hipotesis II H1 : Ada pengaruh motivasi terhadap sikap remaja putri yang melakukan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) Motivasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap sikap remaja putri yang melakukan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) di
4
Tabel 7 Standardized Direct Effects (Group Number 1 – Default Model)
Motivasi Sikap
Pengetahuan .224 .266
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan 1. Pada uji normalitas diperoleh bahwa data berdistribusi secara normal dan pada uji kesesuaian model diperoleh hasil goodness of fit yakni menghasilkan model yang sesuai dan cocok. 2. Pada uji hipotesis diperoleh hasil bahwa ada pengaruh pengetahuan terhadap motivasi remaja putri yang melakukan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) sebagai upaya deteksi dini kanker payudara di SMA Negeri 1 Marbau tahun 2014 namun korelasi variabel pengetahuan dengan sikap terlihat sangat lemah. 3. Pada uji hipotesis diperoleh hasil bahwa motivasi berpengaruh secara signifikan terhadap sikap remaja putri yang melakukan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) sebagai upaya deteksi dini kanker payudara di SMA Negeri 1 Marbau tahun 2014 dan motivasi memiliki pengaruh yang cukup kuat dan searah terhadap sikap remaja putri yang melakukan SADARI. 4. Pada uji hipotesis diperoleh hasil bahwa ada pengaruh pengetahuan terhadap sikap remaja putri yang melakukan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) sebagai upaya deteksi dini kanker payudara di SMA Negeri 1 Marbau tahun 2014 dan besarnya korelasi pengetahuan terhadap sikap menunjukkan hal yang positif yakni cukup kuat dan searah. 5. Pengaruh tidak langsung pengetahuan terhadap sikap melalui motivasi remaja putri yang melakukan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) adalah sebesar 0,058. Hal ini menunjukkan hanya 5,8% kontribusi tidak langsung pengetahuan terhadap sikap remaja putri yang melakukan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) 6. Pengaruh total melalui uji analisis menggunakan software AMOS diperoleh hasil sebesar 0,324. Hal ini berarti bahwa pengaruh keseluruhan antara pengetahuan terhadap sikap remaja putri yang melakukan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) sebesar 32,4%.
Motivasi .000 .258
1. Pengaruh langsung pengetahuan terhadap motivasi sebesar 0,224 yang berarti pengetahuan memberikan kontribusi rata-rata sebesar 22,4% terhadap motivasi remaja putri dalam melakukan SADARI. 2. Pengaruh langsung motivasi terhadap sikap sebesar 0,258. Hal ini menunjukkan pengaruh motivasi terhadap sikap remaja putri dalam melakukan SADARI sebesar 25,8%. 3. Pengaruh langsung pengetahuan terhadap sikap sebesar 0,266 yang artinya pengetahuan berpengaruh langsung terhadap sikap sebesar 26,6%. Tabel 8 Standardized Indirect Effects (Group Number 1 – Default Model)
Motivasi Sikap
Pengetahuan .000 .058
Motivasi .000 .000
Dari tabel 8 diatas dapat dilihat pengaruh tidak langsung yang merupakan perkalian antara pengaruh langsung pengetahuan terhadap motivasi dengan pengaruh langsung motivasi terhadap sikap yaitu (0,224 x 0,258) = 0,058 Tabel 9 Standardized Total Effects (group Number 1 – Default Model)
Motivasi Sikap
Pengetahuan .224 .324
Motivasi .000 .258
Dari tabel 9 diatas dapat dilihat pengaruh total yang merupakan hasil penjumlahan pengaruh langsung dan tidak langsung yaitu 0,266 + 0,058 = 0,324
5
Saran Kepada pihak sekolah khususnya team pengajar SMA Negeri 1 Marbau agar kiranya dapat menambahkan kegiatan ekstrakulikuler mengenai kesehatan kedalam kurikulum baru dan diharapkan dalam kegiatan ekstrakulikuler tersebut terdapat pendidikan dan pelatihan khususnya mengenai SADARI dengan menggunakan alat peraga yang sebaiknya dilaksanakan sekurang-kurangnya 1 kali dalam sebulan. Kepada team pengurus dan pengendali program usaha kesehatan sekolah (UKS), sebaiknya lebih aktif dalam mencari informasi kesehatan khususnya mengenai kesehatan reproduksi remaja dan tidak hanya memfokuskan pada tanaman herbal saja. Kepada petugas kesehatan di puskesmas sebaiknya lebih giat dalam menggalakkan program kesehatan reproduksi remaja disetiap sekolah serta aktif dalam memberikan penyuluhan khususnya mengenai SADARI dan kepada remaja putri yang belum pernah melakukan SADARI agar kiranya lebih meningkatkan keinginan dan kemauan untuk melakukan SADARI dan bagi responden sebaiknya lebih rutin melakukan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) dengan prosedur yang baik dan benar. Daftar Pustaka 1. Saydam, Syafni, G. 2012. Waspadai Penyakit Reproduksi Anda!!! Dan berbagi Masalah Seks dari A-Z. Pustaka Reka Cipta: Jakarta 2. Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2008. Pedoman Teknis Pengendalian Kanker Payudara dan Kanker Leher Rahim. 3. Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2013. 4. Lily. (2012). Hati-Hati ABG Rentan Terkena Kanker Payudara. http://www.Rileks.com, diakses 27 Oktober 2013 5. Erniyati, Seni Artika S. 2006. Perilaku SADARI Wanita Pedesaan dan Wanita Perkotaan. Abstrak. PSIK FK USU 6. Notoatmodjo, S. 2007. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta
6
GAMBARAN PENGETAHUAN DAN KETERAMPILAN KADER POSYANDU DALAM PEMANTAUAN PERTUMBUHAN BAYI DAN BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DESA LALANG TAHUN 2014 (DESCRIPTION OF CADRES KNOWLEDGE AND SKILLS IN MONITORING THE GROWTH OF INFANT AND UNDER FIVE CHILDREN IN PUSKESMAS DESA LALANG 2014)
Oleh: Ria Sutiani¹, Zulhaida Lubis², Albiner Siagian3 ¹Program Sarjana, FKM USU, Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat ²,3Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara Medan, 20155, Indonesia Email:
[email protected]
ABSTRACT The results of growth monitoring which is not appropriate can lead to the wrong interpretation of nutritional status and so do in making decisions to solve it. The success of these activities related to the cadres qualifications including their knowledge and skills in performing their duties. This study aimed to determine the knowledge and skills of cadres in monitoring the growth of infant and under five children in Puskesmas Desa Lalang. This research is an analytical study with cross sectional approach. The knowledge of cadres was measured by using a questionnaire, while their skills by the observation sheet. The population in this study was 155 cadres while the sample of 62 cadres chosen purposively. Data analysis was performed by using frequency distributions, while the correlation between knowledge and skills of cadres by Chi-square test (CI = 95%). The results showed that 80,6% of cadres had knowledge in good category and 66,1% of them has less skilled in carrying out their duties. There was a significant correlation between knowledge and skills of cadres in growth monitoring of infant and under five children (p = 0,046). Based on the results it can be concluded that growth monitoring of infant and under five children has not been performing optimally because of many cadres has less skills although their knowledge is good. It is suggested that health workers can held the training with practice methods than lecturing method so that good knowledge of cadres can be applied into action to improve their skills. Cadres are suggested to following the training which is organized by Puskesmas and applying their information obtained in the action when carrying out their duties at Posyandu.
Keywords: Posyandu, cadres knowledge, infant and under five children growth monitoring Pendahuluan Pemantauan pertumbuhan merupakan kegiatan yang penting dalam rangka kewaspadaan gizi bayi dan balita. Menurut Kemenkes RI (2011), kegiatan ini mempunyai tiga tujuan penting, yaitu mencegah bertambah buruknya keadaan gizi, mempertahankan keadaan gizi yang baik, dan meningkatkan keadaan gizi. Apabila ketiga tujuan tersebut dapat dilaksanakan oleh petugas kesehatan, kader, dan masyarakat dengan baik, maka
penurunan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk dapat segera terwujud. Secara nasional status gizi anak di Indonesia masih menjadi masalah. Prevalensi beratkurang pada tahun 2013 adalah 19,6% yang terdiri dari 5,7% gizi buruk dan 13,9% gizi kurang (Riskesdas, 2013). Jumlah kasus gizi kurang dan gizi buruk yang ada di Kota Medan adalah sebanyak 1491 yang terdiri dari 1367 gizi kurang dan 124 gizi buruk. Salah satu Puskesmas yang jumlah gizi kurang dan gizi buruknya cukup banyak dan 1
meningkat dari tahun 2012 hingga tahun 2013 adalah Puskesmas Desa Lalang. Ada 30 kasus pada tahun 2012, terdiri dari 25 gizi kurang dan 5 gizi buruk (Profil Kesehatan Kota Medan tahun 2012). Sedangkan pada tahun 2013, ada 43 kasus yang terdiri dari 38 gizi kurang dan 5 gizi buruk. Artinya, telah terjadi peningkatan kasus gizi kurang sebesar 52% sedangkan jumlah kasus gizi buruk tidak berkurang. Hal ini terlihat pula pada cakupan hasil penimbangan (N/D) yang tidak mencapai target, yaitu sebesar 78,73% pada tahun 2013 dari target 80%. Menurut Sukiarko (2007), salah satu penyebab terjadinya peningkatan kasus gizi kurang adalah kurang berfungsinya lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat, seperti Posyandu. Kesalahan yang terjadi merupakan pertanda keterampilan kader yang kurang sehingga dapat menyebabkan interpretasi status gizi yang salah dan berakibat pula pada kesalahan dalam pengambilan keputusan dalam penanganan masalah gizi. Peran kegiatan ini dalam mencegah buruknya keadaan gizi dapat juga dilakukan melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan kader dalam melaksanakan tugasnya di Posyandu. Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu bagaimana gambaran pengetahuan dan keterampilan kader dalam pemantauan pertumbuhan bayi dan balita di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang tahun 2014. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan keterampilan kader dalam pemantauan pertumbuhan bayi dan balita. Sedangkan tujuan khususnya adalah untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan keterampilan kader tersebut dalam pemantauan pertumbuhan bayi dan balita.
penelitian ini adalah pada 31 Posyandu yang ada di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang yang dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2014. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh kader posyandu yang ada di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang, yaitu sebanyak 155 orang. Besar sampel ditentukan berdasarkan rumus Slovin dengan perhitungan sebagai berikut: n= n= n = 60,7 Keterangan : N : besar populasi yang diketahui n : besar sampel e : tingkat kesalahan yang dapat ditolerir (10%)
Setiap Posyandu diambil 2 orang kader sebagai sampel sehingga besar sampel digenapkan menjadi 62 orang. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara pusposif dimana kader yang dipilih adalah mereka yang bertugas pada kegiatan penimbangan dan pengisian KMS. Data primer tentang pengetahuan kader diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner, sedangkan keterampilan kader diperoleh dengan menggunakan lembar observasi terhadap kegiatan kader dalam malaksankan pemantauan pertumbuhan bayi dan balita. Berdasarkan jumlah skor yang diperoleh, maka pengetahuan kader dikategorikan sebagai berikut (Arikunto, 2009): Baik, jika skor>66,6% atau >10 poin. Cukup, jika skor 33,3%-66,6% atau 5– 10 poin. Kurang, jika skor <33,3% atau <5 poin. Keterampilan kader dikategorikan sebagai berikut (DepKes RI, 2003 dalam Hamariyana, 2011): Terampil, jika skor ≥ 80% atau ≥ 12 poin. Kurang terampil, jika skor <80% atau <12 poin.
Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. Lokasi 2
Gambaran pengetahuan dan keterampilan kader dalam pemantauan pertumbuhan bayi dan balita dianalisis dengan menggunakan distribusi frekuensi. Sedangkan hubungan pengetahuan dengan keterampilan kader dalam pemantauan pertumbuhan bayi dan balita dianalisis dengan uji Chi-Square pada tingkat kepercayaan 95% (p<0,05).
36 orang (58,1%) yang masa kerjanya kurang dari lima tahun. Tabel 2. Distribusi Pengetahuan Kader dalam Pemantauan Pertumbuhan Bayi dan Balita No Pengetahuan n % 1 Baik 50 80,6 2 Cukup 11 17,7 3 Kurang 1 1,6 Jumlah 62 100,0
Hasil dan Pembahasan Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Kader Posyandu No. 1
2
3
4
Karakteristik
n
%
4 9 14 16 12 5 2 62
6,5 14,5 22,6 25,8 19,4 8,1 3,2 100, 0
3 11 44 2 2 62
4,8 17,7 71,0 3,2 3,2 100,0
52 2 6 2 62
83,9 3,2 9,7 3,2 100,0
36 8 18 62
58,1 12,9 29,0 100,0
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa lebih dari setengah kader di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang memiliki pengetahuan yang baik tentang tugasnya di Posyandu, yaitu sebanyak 50 orang (80,6%). Sebagian besar kader sudah mengetahui tugas mereka dalam kegiatan penimbangan namun agak kurang pada kegiatan pengisian KMS. Kebanyakan kader kurang memahami prosedur pengisian KMS yang benar sehingga kolom informasi di KMS tidak diisi dengan lengkap, misalnya status pertumbuhan. Pengetahuan kader yang kurang mengenai tata cara pengisian KMS juga didukung oleh penelitian Mashudi dan Rossita (2011) yang menyebutkan bahwa hanya 6,25% kader yang pengetahuannya baik dalam penggunaan KMS. Sedangkan Hamariyana (2011) menyebutkan bahwa 48,6% tingkat pengetahuan kader sudah baik tentang penilaian kurva pertumbuhan balita. Munfarida (2012) juga menyebutkan bahwa 79,5% kader di wilayah kerja Puskesmas Jagir telah memiliki pengetahuan yang baik. Selain itu, faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan adalah umur, pendidikan, lama menjadi kader, keaktifan, pelatihan dan pembinaan. Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa sebagian besar dari kader tersebut termasuk pada kategori usia produktif bekerja dan pengetahuannya relatif baik, yaitu sebesar 82,1% dari 56 orang. Artinya pengetahuan kader yang termasuk pada usia produktif bekerja lebih baik daripada kader yang merupakan termasuk pada usia tidak
Umur: 15-22 tahun 23-30 tahun 31-38 tahun 39-46 tahun 47-54 tahun 55-62 tahun >62 tahun Total Pendidikan Terakhir: 1. SD 2. SMP 3. SMA 4. Akademi/Diploma 5. Perguruan Tinggi Total Pekerjaan: 1. Ibu Rumah Tangga 2. Karyawan Swasta 3. Pedagang 4. Lain-lain Total Lama Menjadi Kader: 1. <5 Tahun 2. 5-10 Tahun 3. >10 Tahun Total
Berdasarkan Tabel 1 diketahui umur kader paling banyak berkisar antara 39-46 tahun. Ada sebanyak 44 orang (71,0%) yang pendidikannya setingkat SMA sedangkan 52 orang (83,9%) merupakan ibu rumah tangga atau tidak bekerja. Menurut Saifullah (2011) seorang kader posyandu sebaiknya tidak mempunyai pekerjaan tetap sehingga tersedia waktu luang untuk menjalankan peran mereka sebagai kader. Ada sebanyak 3
produktif bekerja. Hal ini sesuai dengan penelitian Sukiarko (2007) yang menyebutkan bahwa umur tidak berepengaruh terhadap keterampilan kader dalam melaksanakan tugasnya.
Tabel 5. Distribusi Pengetahuan Kader Tentang Tugasnya Dalam Pemantauan Pertumbuhan Bayi dan Balita Berdasarkan Lama Menjadi Kader
Tabel 3. Distribusi Pengetahuan Kader Tentang Tugasnya Dalam Pemantauan Pertumbuhan Bayi dan Balita Berdasarkan Umur Kader Umur Kader Usia Produktif (15-55 tahun) Usia Tidak Produktif (>55 tahun)
Pengetahuan Kader Kurang Baik Baik n % n %
N
%
46
82,1
10
17,9
56
100,0
4
66,7
2
33,3
6
100,0
Jumlah
N
%
Tinggi
42
87,5
6
12,5
48
100,0
Rendah
8
57,1
6
42,9
14
100,0
N
%
Baru (<5tahun)
29
80,5
7
19,5
36
100,0
Lama(≥5 tahun)
21
80,8
5
19,2
26
100,0
Jumlah
Tabel 6. Distribusi Keterampilan Kader dalam Pemantauan Pertumbuhan Bayi dan Balita
Tabel 4. Distribusi Pengetahuan Kader Tentang Tugasnya Dalam Pemantauan Pertumbuhan Bayi dan Balita Berdasarkan Pendidikan Kader Pengetahuan Kader Kurang Baik Baik n % n %
Pengetahuan Kader Kurang Baik Baik n % n %
Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa frekuensi pengetahuan kader lama dengan kader baru tidak terlalu berbeda. Adapun kader lama yang pengetahuannya baik adalah sebesar 80,8% dari 26 orang. Artinya, tidak semua kader yang telah lama bertugas penegtahuannya baik jika tidak ada penyegaran informasi melalui pelatihanpelatihan yang diadakan oleh Puskesmas.
Untuk keperluan analisis kategori pendidikan dibagi menjadi dua, yaitu tinggi jika kader tersebut tamat SMA, Akademi, atau Perguruan Tinggi dan rendah jika kader tersebut tamat SD atau SMP.
Pendidikan Kader
Lama Menjadi Kader
No 1 2
Jumlah
Keterampilan Terampil Kurang Terampil Jumlah
n 21 41 62
% 33,9 66,1 100,0
Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa keterampilan kader dalam kegiatan pemantauan pertumbuhan bayi dan balita lebih banyak termasuk pada kategori kurang terampil, yaitu sebesar 66,1% yang menunjukkan bahwa kegiatan pemantauan pertumbuhan bayi dan balita di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang belum terlaksana dengan optimal. Sebagian kader kurang terampil pada kegiatan penimbangan dan penyuluhan, misalnya dalam menggunakan dacin saat penimbangan, kader juga tidak mengusahakan anak ditimbang dengan pakaian yang seminimal mungkin. Menurut Aliyatun (2014), kesalahan menimbang anak biasanya juga
Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa 48 orang merupakan kader yang berpendidikan tinggi dan 87,5% dari mereka memiliki pengetahuan yang baik tentang tugasnya. Saifullah (2011) menyebutkan bahwa kader yang memiliki pendidikan menengah (SMA) lebih cepat mengerti, memahami kegiatan serta mampu melaksanakan pencatatan prosedur kegiatan penimbangan balita yang telah ditetapkan dibandingkan dengan yang memiliki pendidikan dasar. 4
disebabkan oleh pemasangan dacin yang salah dimana batang dacin tidak diatur agar seimbang setelah meletakkan sarung penimbang, akibatnya berat anak berlebih dari yang seharusnya. Sedangkan untuk pengisian KMS masih banyak kader yang ragu karena kurang mengetahui prosedurnya. Kekurangan dalam pengisian KMS yang banyak terjadi adalah tidak adanya penilaian status pertumbuhan bayi dan balita di KMS sehingga ibu bayi dan balita tidak mendapatkan informasi tentang keadaan pertumbuhan anaknya serta kebanyakan kader tidak menghubungkan grafik berat badan sehingga pertumbuhan tidak dapat dideskripsikan dengan jelas. Peneliti juga memperoleh informasi bahwa hampir seluruh posyandu tidak melakukan pembagian tugas diantara kader sehingga kader tetap melakukan tugas yang sama dalam setiap kegiatan posyandu. Hal ini dapat mengakibatkan kejenuhan akibat tugas yang monoton. Oleh karena itu, diharapkan kebijakan dari ketua posyandu ataupun pihak terkait untuk memperhatikan pembagian tugas tersebut agar setiap kader dapat terampil dalam mengejakan setiap tugas yang ada di posyandu. Menurut Munfarida (2012), sebanyak 67,5% kader masih termasuk pada kategori kurang terampil. Sedangkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keterampilan kader tersebut adalah paritas, pendidikan, pekerjaan, lama menjadi kader, tugas di Posyandu, keaktifan, pelatihan dan pembinaan. Berdasrakan penelitian Irma (2013), terdapat 54,1% kader yang tidak terampil di Puskesmas Hamparan Perak. Sedangkan faktor yang paling mempengaruhi keterampilan kader dalam melaksanakan tugas adalah pengetahuannya sehingga diperlukan pelatihan dan pembinaan yang berkesinambungan agar keterampilan kader menjadi baik dan kinerja posyandu juga meningkat.
Tabel 7. Distribusi Keterampilan Kader Dalam Pemantauan Pertumbuhan Bayi dan Balita Berdasarkan Umur Kader Umur Kader Usia Produktif (15-55 tahun) Usia Tidak Produktif (>55 tahun)
Keterampilan Kader Kurang Terampil Terampil (≥80%) (<80%) n % n %
N
%
19
33,9
37
66,1
56
100,0
2
33,3
4
66,7
6
100,0
Jumlah
Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa sebanyak 66,1% dari 56 kader kurang terampil dalam melaksanakan tugasnya. Namun jumlah kader yang kurang terampil pada usia tidak produktif bekerja lebih banyak, yaitu sebesar 66,7% dari 6 orang kader. Artinya keterampilan kader yang termasuk pada usia produktif bekerja lebih baik daripada kader yang termasuk usia tidak produktif bekerja. Tabel 8. Distribusi Keterampilan Kader Dalam Pemantauan Pertumbuhan Bayi dan Balita Berdasarkan Pendidikan Kader Keterampilan Kader Kurang Terampil Terampil (≥80%) (<80%) n % n %
N
%
Tinggi
19
33,9
37
66,1
56
100,0
Rendah
2
33,3
4
66,7
6
100,0
Pendidikan Kader
Jumlah
Untuk keperluan analisis kategori pendidikan dibagi menjadi dua, yaitu tinggi jika kader tersebut tamat SMA, Akademi, atau Perguruan Tinggi dan rendah jika kader tersebut tamat SD atau SMP. Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa hanya 37,5% dari 48 orang yang berpendidikan tinggi dan terampil dalam melaksanakan pemantauan pertumbuhan bayi dan balita. Artinya kader yang berpendidikan tinggi lebih cenderung 5
terampil dibanding dengan kader yang memiliki pengetahuan baik.
pengetahuannya baik namun mereka tidak selalu merupakan kader yang terampil dan kebanyakan mereka tidak menerapkan pengetahuannya kedalam tindakan saat melaksanakan tugas di Posyandu sehingga mereka termasuk pada kategori kurang terampil.
Tabel 10. Hubungan Pengetahuan dengan Keterampilan Kader dalam Pemantauan Pertumbuhan Bayi dan Balita Pengetahuan Kader
Tabel 9. Distribusi Keterampilan Kader Dalam Pemantauan Pertumbuhan Bayi dan Balita Berdasarkan Lama MenjadiKader Keterampilan Kader Kurang Terampil Terampil (≥80%) (<80%) n % n %
N
%
Baru (<5tahun)
19
33,9
37
66,1
56
100,0
Lama(≥5 tahun)
2
33,3
4
66,7
6
100,0
Lama Menjadi Kader
Baik Kurang
Jumlah
Keterampilan Kader Kurang Terampil Terampil n % n % 20 40,0 30 60,0 1 8,3 11 91,7
Jumlah N 50 12
% 100 100
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kader yang pengetahuannya baik cenderung lebih terampil dibandingkan dengan kader yang pengetahuannya kurang. Namun tidak berarti bahwa semua kader yang berpengetahuan baik selalu merupakan kader yang terampil. Pengetahuan yang baik tidak menjamin seseorang akan menerapkannya dalam tindakan dan membuatnya terampil dalam melaksanakan tugas mereka sehingga diperlukan pelatihan yang lebih mengutamakan praktek daripada hanya dengan metode ceramah saja dari pihak Puskesmas. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,046. Nilai p yang kecil dari 0,05 menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan keterampilan kader dalam pemantauan pertumbuhan bayi dan balita. Hal ini sesuai dengan hasil-hasil penelitian terdahulu yang menyebutkan bahwa pengetahuan berhubungan dengan keterampilan. Hasil penelitian Fitrianingrum pada tahun 2010 menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan dengan keterampilan kader dalam pemantauan pertumbuhan balita walaupun banyaknya kader yang memiliki pengetahuan baik mencapai 77,1%, sedangkan kader yang terampil hanya 22,9%. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua kader menerapkan pengetahuannya kedalam tindakan sehingga menyebabkan mereka menjadi tidak terampil.
Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa 75,0% dari 36 orang kader baru merupakan kader yang kurang terampil. Sedangkan kader lama ada 46,1% dari 26 orang yang terampil dalam melaksanakan pemantauan pertumbuhan bayi dan balita di Posyandu. Artinya, kader lama lebih terampil daripada kader baru. Oleh karena itu, pelatihan dengan metode praktek dapat menjadi pilihan sebagai upaya untuk meningkatkan keterampilan kader yang masih baru. Pelaksanaan kegiatan pemantauan pertumbuhan bayi dan balita membutuhkan kemampuan dan keterampilan yang baik dari tenaga kesehatan, termasuk juga kader Posyandu. Adapun sumber utama dari suatu keterampilan kader adalah pengetahuan tentang metode dalam melaksanakan tugas disamping pengalaman kader tersebut. Hal ini juga ditegaskan dalam penelitian Irma (2013) bahwa pengetahuan merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap keterampilan kader dalam melaksanakan kegiatan Posyandu. Menurutnya, kader yang berpengetahuan kurang mempunyai kemungkinan 10 kali lebih besar untuk tidak 6
Hamariyana (2011) juga menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan keterampilan kader dalam menilai kurva pertumbuhan balita. Kader yang memiliki pengetahuan yang baik ada sebanyak 48,6 % sedangkan kader yang terampil dalam menilai kurva pertumbuhan balita adalah sebesar 25,7%. Selain itu, Rosphita (2007) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan dengan keterampilan kader dalam menginterpretasikan hasil penimbangan dan menggambar grafik pertumbuhan anak. Tingkat pengetahuan individu berpengaruh terhadap keadaan yang ikut serta dalam suatu kegiatan dan mempunyai dampak terhadap perilaku. Namun apabila dianalisis lebih jauh proses terbentuknya suatu tindakan tidak hanya dipengaruhi oleh pengetahuan. Jadi, pengetahuan saja belum cukup untuk merubah perilaku seseorang karena perubahan perilaku merupakan proses yang kompleks dan memerlukan waktu yang panjang. Oleh karena itu, pelatihan yang rutin dan berkesinambungan dapat membantu kader untuk tetap mengaplikasikan pengetahuannya dalam tindakan sehingga dalam waktu tertentu dapat menjadikannya terampil dalam melaksanakan pemantauan pertumbuhan bayi dan balita di Posyandu.
Keterampilan kader masih banyak yang berada pada kategori kurang terampil, yaitu sebesar 66,1%, terutama dalam penggunaan dacin. Lebih dari setengah kader tidak menyeimbangkan dacin sebelum melakukan penimbangan sehingga berat badan anak berlebih dari berat yang seharusnya. Ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan keterampilan kader dalam pemantauan pertumbuhan bayi dan balita. Artinya, ada kecenderungan bahwa kader yang pengetahuannya baik lebih terampil daripada keder yang pengetahuannya kurang dalam melaksanakan pemantauan pertumbuhan bayi dan balita di Posyandu. 2. Saran Saran yang dapat diberikan adalah agar pihak Puskesmas diharapkan lebih mengutamakan pelatihan dengan metode praktek daripada metode ceramah, seperti tahapan penimbangan balita dengan dacin, mengisi dan membaca KMS, penyuluhan gizi menggunakan pesan yang ada di KMS. Selain itu, kader diharapkan dapat mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh pihak Puskesmas dan menerapkan informasi yang didapatkan tersebut dalam tindakan saat melaksanakan tugas di Posyandu. Daftar Pustaka Aliyatun, S. 2014. Makalah tentang pertumbuhan balita. Dinas Kesehatan Kota Semarang Arikunto, S. 2009. Manajemen Penelitian. (Ed. Rev.) Cet. XI. Jakarta: Rineka Cipta Dinas Kesehatan Kota Medan. Profil Kesehatan Kota Medan Tahun 2012. Medan: Dinkes Kota Medan Fitrianingrum, H.Y. 2010. Hubungan Tingkat Keaktifan Kader dan Tingkat Pengetahuan Kader dengan Ketrampilan Pemantauan
Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan Sebagian besar kader memiliki pengetahuan yang baik tentang tugasnya dalam melaksanakan pemantauan pertumbuhan bayi dan balita di Posyandu, yaitu sebesar 80,6%. Namun masih ada 19,4% kader yang pengetahuannya kurang baik terutama dalam hal melakukan penilaian terhadap pertumbuhan yang dapat menimbulkan kesalahan dalam menginterpretasikan status gizi bayi dan balita tersebut.
7
Pertumbuhan Balita di Desa Suwawal Timur Kecamatan Pakis Aji Kabupaten Jepara. Semarang: Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang Hamariyana. 2011. Hubungan Pengetahuan dan Lama Kerja dengan Keterampilan Kader dalam Menilai Kurva Pertumbuhan Balita di Posyandu Kelurahan Tegal Sari Kecamatan Candisari Kota Semarang. Jurnal Gizi Unimus vol 2, No 1. Semarang: Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang Irma, J. 2013. Pengaruh Karakteristik dan Pembinaan Kader dalam Pelaksanaan Kegiatan Posyandu Terhadap Keterampilan Kader di Wilayah Kerja Puskesmas Hamparan Perak tahun 2013. Tesis. Medan: Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Tentang Penggunaan Kartu Menuju Sehat (KMS) Bagi Balita. Jakarta: Kemenkes RI Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Buku Panduan Kader Posyandu Dalam Menuju Keluarga Sadar Gizi. Jakarta: Kemenkes RI Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar Mashudi, S. dan Rossita, M.D. 2011. Pengetahuan kader posyandu tentang Kartu Menuju Sehat (KMS) Baru. Jurnal. Ponorogo: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo Muhammad, P. 2011. Tingkat pengetahuan kader tentang penanggulangan balita dengan gizi di Kecamatan
Klangenan Kabupaten Cirebon. Skripsi [Abstrak]. Bandung: Universitas Padjajaran Munfarida, S. 2012. Faktor yang berhubungan dengan tingkat pengetahuan dan keterampilan kader posyandu. Skripsi [Abstrak]. Surabaya: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Puskesmas Desa Lalang. Profil Puskesmas Desa Lalang Tahun 2013. Medan Rosphita, A. 2007. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keterampilan Kader dalam Menginterpretasikan Hasil Penimbangan (N dan T) dalam KMS di Puskesmas Baumata Kabupaten Kupang. Skripsi [Abstrak]. Yogyakarta: Program Studi S-1 Gizi Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Saifullah. 2011. Pengaruh karakteristik kader posyandu terhadap penimbangan balita di Kecamatn Kembang Tanjung Kabupaten Pidie Provinsi Aceh. Tesis. Medan: Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Sukiarko, E. 2007. Pengaruh Pelatihan dengan Metode Belajar Berdasarkan Masalah Terhadap Pengetahuan dan Keterampilan Kader Gizi Dalam Kegiatan Posyandu. Tesis. Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang
8
PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA DAN KONFORMITAS TEMAN SEBAYA TERHADAP PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA DI DESA BANGUN REJO KECAMATAN TANJUNG MORAWA KABUPATEN DELI SERDANG TAHUN 2014 Dwi Putri Armiyati1, Asfriyati2, Abdul Jalil Amri Arma2 1
2
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ABSTRACT
Based on BkkbN (2013) data, adolescents aged 10-19 years old that had done sexual activity before merried 46,18%. According to researcher there were some factors that effected by sexual behavior to the adolescene, there were parenting pattern and peer group conformity The purpose of research was to know the effect of parenting pattern and peer group conformity on adolescents’s sexual behavior in Bangun Rejo village. The type of this research was analitic survey by using cross sectional method. The population of the research were all aged 13-19 years old and lived together with their parents. The sampling of the research were 114 teenagers that had taken by using purposive sampling technique, with criteria they were adolescents that ever angaged. The results of research by using regression logistic test that shown that there were any significant effect sexual behavior in adolescents in Bangun Rejo village, they were authoritarian mothers (p=0,0001), mothers permissive (p=0,0001) and peer group conformity (p=0,041). Probability prediction with predictor 1 (bad), that was adolescents with authoritarian mothers or permissive and getting strong peer group conformity possibility to had been sexual behavior as much as 99,8%. While with predictor 0 (good), with authoritative mothers and getting weak peer group possibility sexual behavior as much as 12,26%. The parents was askadolescents to discuss living activities, guide, supervise and directing of the adolescents in choosing the good friends. Explained to adolescents about the risk of the dating beyond. For adolescents give priority to learning, establish a good relationship with parents and having a fixed estabilishment in order to avoid from the behavior of peer group that can lead to negative things as well as follow the positive activities. Key words : Sexual Behavior, Parenting Patterns, Peer Group Conformity organ-organ seksual. Kematangan seksual ini menyebabkan munculnya minat seksual dan keinginan remaja tentang seksual. Dan dalam rangka mencari pengatahuan mengenai seks, ada remaja yang melakukannya secara terbuka bahkan remaja mengekspresikan perasaannya dalam bentuk-bentuk perilaku yang
Pendahuluan Masa remaja merupakan tahap dimana seseorang sedang mengalami periode penting dalam hidupnya yakni transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Masa remaja diawali oleh masa pubertas, yaitu masa terjadinya perubahanperubahan fisik dan kematangan 1
menuntut keintiman secara fisik dengan pasangannya, seperti berciuman, bercumbu, dan lain-lain (Kusmiran, 2011). Berdasarkan penelitian Kementerian Kesehatan RI di kota Medan, Jakarta Pusat, Bandung dan Surabaya (2009) menunjukkan bahwa 35,9% remaja mempunyai teman yang sudah melakukan hubungan seks pranikah dan 6,9% responden telah melakukan hubungan seks pranikah. Penelitian Australia National University (ANU) dan Puslitkes UI di JATABEK (2010) dengan jumlah sampel 3.006 responden, usia <17-24 tahun mengindikasikan sebanyak 20,9% remaja mengalami kehamilan dan kelahiran sebelum menikah, sedangkan 38,7% remaja mengalami kehamilan sebelum menikah dan kelahiran setelah menikah (BkkbN, 2012). Hasil survei Pusat Penelitian Kesehatan UI, Sentra Kawula Muda PKBI Lampung dan World Population Foundation Indonesia, dari 635 responden remaja di Bandar Lampung, sebanyak 13,1% pernah melakukan petting, 6,5% pernah berhubungan seks oral, 4,6% pernah seks via vaginal, 3,5% pernah masturbasi bersama, dan 1,1% pernah berhubungan seks via anal (Alin, 2011). Lingkungan keluarga juga mempengaruhi perilaku seksual remaja. Pengaruh keluarga dalam pembentukan dan perkembangan kepribadian anak sangat besar karena keluarga merupakan tempat dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral, dan pendidikan kepada anak (Kartono, 2010). Menurut Taganing (2008) dalam Hidayat (2013), pola asuh juga memiliki pengaruh yang amat besar
dalam membentuk kepribadian anak. Pola asuh yang salah dapat menyebabkan anak melakukan perilaku agresif. Berdasarkan analisa World Health Organization (WHO) pada berbagai literatur kesehatan reproduksi menyatakan bahwa pola asuh merupakan faktor risiko perilaku seksual risiko berat. Berdasarkan penelitian Nursal (2008) di SMU Kota Padang, dimana didapat responden dengan pola asuh permisif mempunyai peluang 600,92 kali berperilaku seksual berisiko berat dibandingkan pola asuh demokrasi dan otoriter. Kenyataannya remaja lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah atau di lingkungan pergaulannya. Bagi remaja tekanan dari teman sebayanya itu dirasakan lebih kuat sehingga dapat mengalahkan semua nilai yang didapat dari orang tua. Dan pada umumnya remaja melakukan hubungan seks hanya sebatas ingin membuktikan bahwa dirinya sama dengan teman-teman sebayanya, sehingga dapat diterima menjadi bagian dari anggota kelompoknya (Dianawati, 2006). Berdasarkan penelitian Maryatun (2013) di SMA Muhammadiyah 3 Surakarta, terdapat 84% remaja yang berperilaku seksual pranikah dan sebanyak 62% menyebutkan adanya peranan teman sebaya. Tujuan Penelitian Untukmengetahuipengaruh pola asuh orang tua dan konformitas teman sebaya terhadap perilaku seksual pada remaja di Desa Bangun Rejo Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang tahun 2014.
2
tahun tinggal dengan kedua orangtua, sudah pernah atau sedang berpacaran yang berada di Desa Bangun Rejo tahun 2014. Dimana pola asuh ayah demokrasi sebanyak 52 orang (45,6%), ayah otoriter sebanyak 29 orang (25,%) dan ayah permisif sebanyak 33 orang (28,9%). Sedangkan pola asuh ibu demokrasi sebanyak 59 orang (51,8%), ibu otoriter sebanyak 23 orang (20,2%), dan ibu permisif sebanyak 32 orang (28,0%). KonformitasTemanSebaya Konformitas teman sebaya paling banyak dalam kategori lemah, yaitu sebesar 81 orang (71,1%). ini berarti remaja di Desa Bangun Rejo sebagian besar responden tidak mengalami tekanan teman sehingga responden tidak meniru perilaku atau sikap teman sebaya dalam berperilaku seksual. PerilakuSeksualPadaRemaja Dari 114 responden, 61 orang telah berperilaku seksual. 52 orang (46,6%) pernah menonton video porno, 25 orang (21,9%) pernah onani/masturbasi, 61 orang (53,5%) pernah berpegangan tangan, 53 orang (46,5%) pernah berpelukan dan pernah dicium/mencium pipi dan kening, 52 orang (45,6%) pernah berciuman bibir, 38 orang pernah petting. Dan 2 orang (1,8%) pernah oral seks, saling menggesekkan alat kelamin bahkan berhubungan seksual.
Manfaatpenelitian 1. Sebagaibahaninformasikepada orangt tua mengenai pengaruh pola asuh dan konformitas teman sebaya terhadap perilaku seksual pada remaja, sehingga orang tua dapat mengantisipasi dan lebih memperhatikan perkembangan anaknya baik secara fisik, psikis, sosial maupun moral agar anak tidak terjerumus dalam perilaku seksual pranikah. 2. Sebagaibahaninformasikepada remaja mengenai pengaruh konformitas teman sebaya terhadap perilaku seksual pada remaja, sehingga remaja dapat mengantisipasi dal lebih selektif dalam memilih teman. 3. Sebagaibahanreferensi bagipenelitiselanjutnya yang berminat menelitiberkaitandenganpermasa lahan remaja. Metode Penelitian Penelitianini bersifatsurveianalitikdenganrancanga npenelitiancross sectional.Populasiadalahseluruhrema ja berusia 13-19 tahun dan tinggal bersama kedua orang tua (ayah dan ibu) yang berada di Desa Bangun Rejo Kecamatan Tanjung Morawa tahun 2014. Hasildan Pembahasan KarakteristikResponden Responden pada penelitian ini sebesar 114 remaja berusia 13-19
3
Bivariat Tabel 1. HubunganPola Asuh Ayah dengan Perilaku Seksual pada Remaja Perilaku Seksual pada Remaja Jumlah Pola Asuh Melakukan TidakMelakuk p Ayah an f % f % f % Demokrasi 7 13,5 45 86,5 52 100,0 Otoriter 22 75,9 7 24,1 29 100,0 <0,001 Permisif 32 97,0 1 3,0 33 100,0 BerdasarkanTabel 1 menunjukkanadahubungan pola asuh ayahdenganperilaku seksual pada remaja (p < 0,001). Hal inidikarenakanayah yang menerapkan pola asuh otoriter dapat membentuk kepribadian anak yang agresif. Begitu juga dengan ayah yang menerapkan pola asuh permisif yang
kurang memberi pengawasan yang berarti pada anak. Sehingga anak mempunyai kebebasan dalam berperilaku sesuai yang dikehendakinya. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hidayat dkk (2013) bahwa pola asuh permisif dan otoriter berpeluang untuk remaja melakukan perilaku seksual pranikah.
Tabel 2. HubunganPola Asuh Ibu dengan Perilaku Seksual pada Remaja Perilaku Seksual pada Remaja Pola Asuh TidakMelakuka Melakukan Jumlah p Ibu n f % f % f % Demokrasi 9 15,3 50 84,7 59 100,0 Otoriter 21 91,3 2 8,7 23 100,0 <0,001 Permisif 31 96,9 1 3,1 32 100,0 BerdasarkanTabel 2menunjukkanadahubunganpola asuh ibu dengan perilaku seksual pada remaja (p < 0,001). Remajayang mendapat pola asuh permisif lebih banyak berperilaku seksual karena
pola asuh ini ibu tidak memberi pengawasan dan peringatan apabila remaja dalam bahaya, khususnya perilaku seksual.
Tabel 3. HubunganKonformitas Teman Sebaya dengan Perilaku Seksual pada Remaja Perilaku Seksual pada Remaja Jumlah Konformitas Teman Melakukan TidakMela p Sebaya kukan f % f % f % Konformitas Kuat 29 87,9 4 12,1 33 100,0 <0,001 Konformitas Lemah 32 39,5 49 60,5 81 100,0
4
BerdasarkanTabel 3menunjukkanadahubungankonformi tas teman sebaya dengan perilaku seksual pada remaja (p <0,001). Hal inisejalandenganSarwono (2011) menjelaskan karena kuatnya ikatan emosi dan konformitas kelompok pada remaja, maka biasanya hal ini sering dianggap juga sebagai faktor
yang menyebabkan munculnya tingkah laku remaja yang buruk. Apabila lingkungan peer remaja tersebut mendukung untuk melakukan seks bebas, serta konformitas remaja yang juga tinggi pada peer-nya, maka remaja tersebut sangat berpeluang untuk melakukan seks bebas
Multivariat Tabel4.HasilUjiAnalisisMultivariatDenganRegresiLogistikBerganda Variabel
B
Pola Asuh Ibu otoriter Pola Asuh Ibu permisif Konformitas Teman Sebaya Konstanta
Sig
3,794 0,0001 4,873 0,0001 1,635 0,041 -1,968 0,0001
BerdasarkanTabel 4dapatdihitungnilaiprobabilitasremaj a yang berperilaku seksualyaitusebagaiberikut :
1 1 + 𝑒 −(𝛼 + 𝛽1 𝑋1 + 𝛽2 𝑋2 + ∙∙∙ + 𝛽𝑖 𝑋𝑖
95% CI for Exp (B) 8,537-231,333 15,445-1105,982 1,070-24,574
remaja ( p = 0,0001). Dari hasilpenelitianpola asuh otoriter didapatnilaiExp (B) = 44,439 yangdapatdiartikanbahwa remajadengan ibu yang menerapkan pola asuh otoriter berpeluang 44,439 kali lebih besar melakukan perilaku seksual dibandingkan dengan remaja yang ibunya menerapkan pola asuh demokrasi. Pada pola asuh permisif didapat nilai Exp (B) = 130,697, artinya remaja dengan ibu yang menerapkan pola asuh permisif berpeluang 130,697 kali lebih besar untuk melakukan perilaku seksual dibandingkan dengan remaja yang ibunya menerapkan pola asuh demokrasi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hidayat dkk (2013) bahwa pola asuh otoriter dan permisif berpeluang untuk remaja melakukan perilaku seksual pranikah. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Nursal (2007), bahwa responden dengan pola asuh permisif mempunyai peluang 600,92 kali berperilaku seksual beresiko berat dibandingkan pola asuh demokrasi.
𝑝 =
Exp(B) (OR) 44,439 130,697 5,128 0,140
)
sehinggadapatdibuatramalantentangp robabilitasremaja yang berperilaku seksual. PengaruhPola Asuh Ayah terhadap Perilaku Seksual pada Remaja. Tidakadapengaruhpola asuh ayah terhadap perilaku seksual di Desa Bangun Rejo. Hal ini mungkin variabel lain lebih dominan, sehingga untuk pola asuh ayah tidak terdapat pengaruh terhadap perilaku seksual pada remaja. PengaruhPola Asuh IbuterhadapPerilaku Seksual pada Remaja. Ada pengaruhpola asuh ibu otoriterterhadapperilaku seksual pada remaja ( p = 0,0001) dan ada pengaruh pola asuh ibu permisif terhadap perilaku seksual pada
5
Pengaruh Tingkat PendapatanterhadapPemenuhanHakhakReproduksidalamber-KB padaWanita PUS. Tidakadapengaruhtingkatpendap atanterhadappemenuhanhakhakreproduksidalamber-KB padawanita PUS (p = 0,175).Dalamhalinifaktorlainmungki nlebihdominansehinggauntuktingkatp endapatantidakadapengaruhterhadapp emenuhanhak-hakdalamber-KB padawanita PUS. PengaruhKonformitas Teman Sebaya terhadap Perilaku Seksual pada Remaja Ada pengaruhkonformitas teman sebayaterhadapperilaku seksual pada remaja (p = 0,041). Dari hasilpenelitiandidapatnilaiExp (B) = 5,128 yang dapatdiartikanbahwaremaja yang mengalami konformitas teman sebaya dalam kategori kuat mempunyai peluang 5,128 kali lebih besar untuk melakukan perilaku seksual dibandingkan dengan remaja yang mengalami konformitas teman sebaya kategori lemah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Damanik (2012) di SMA XYZ yang memperoleh bahwa remaja yang mendapat konformitas teman sebaya kuat berpeluang 25,590 kali lebih besar dibandingkan remaja yang mendapat konformitas teman sebaya lemah. Sejalan dengan Sarwono (2011) menjelaskan karena kuatnya ikatan emosi dan konformitas kelompok pada remaja, maka biasanya sering dianggap sebagai faktor yang menyebabkan munculnya tingkah laku remaja yang buruk. Menurut Dianawati (2006), pada umumnya remaja melakukan hubungan seks hanya sebatas ingin membuktikan bahwa dirinya sama dengan teman-
teman sebayanya, sehingga dapat diterima menjadi bagian dari anggota kelompoknya. Berdasarkanhasilakhiranalisismu ltivariatregresilogistikgandadiperoleh variabel yang paling berpengaruhsignifikanterhadapperila ku seksual pada remaja yaitu variabel pola asuh ibu otoriter dan pola asuh ibu permisif.Dengan model persamaanregresidiperoleh, makaramalantentangprobabilitasrema ja yang melakukan perilaku seksual dengannilaivariabelprediktorsebagaib erikut : 1. Remaja dengan ibu yang menerapkan pola asuh demokrasi dan mengalami konformitas teman sebaya kategori lemah maka nilai probabilitas melakukan perilaku seksual sebesar 12,26%. 2. Remaja dengan ibu yang menerapkan pola asuh otoriter, remaja dengan ibu yang menerapkan pola asuh permisif dan mengalami konformitas teman sebaya kategori kuat maka nilai probabilitas malakukan perilaku seksual sebesar 99,98%. Remaja yang mempunyai ibu dengan pola asuh otoriter ataupun permisif dan mengalami konformitas teman sebaya kuat akan berperilaku seksual lebih besar dibandingkan remaja yang mempunyai ibu demokrasi dan mengalami konformitas teman sebaya lemah karena ibu merupakan orangtua yang paling banyak berinteraksi dan menghabiskan waktu dengan anak, sehingga jika ibu menerapkan pola asuh permisif ataupun otoriter maka tidak akan tercipa interaksi yang baik antara ibu dan remaja. Dan jika remaja lebih banyak berinteraksi dengan teman sebaya tanpa pengawasan yang berarti dari orangtua khusunya ibu,
6
ditambah remaja mengalami konformitas teman sebaya yang negatif dapat menimbulkan perilaku negatif pada remaja khususnya perilaku seksual.
2. Bagi Remaja - Disarankan kepada remaja untuk mengutamakan belajar. - Menjalin komunikasih yang baik dengan orang tua - Memiliki pendirian yang tetap untuk menghindari dari perilaku teman sebaya yang mengarah ke hal-hal negatif - Mengikuti kegiatan-kegiatan positif di luar rumah seperti seni, olahraga ataupun keagamaan.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Dari 114 responden sebanyak61 orang (53,5%) telah melakukan perilaku seksual (menonton video porno, berpegangan tangan, berciuman, petting)bahkan 2 diantaranya telah melakukan oral seks, menggesekkan alat kelamin sampai berhubungan seksual (hubungan kelamin).. Seluruh variabel yang diteliti yaitu pola asuh ayah, pola asuh ibu, dan konformitas teman sebaya mempunyai hubungan yang signifikan dengan perilaku seksual pada remaja Dari variabel pola asuh ayah, pola asuh ibu, dan konformitas teman sebaya yang berpengaruh paling signifikan adalah variabel pola asuh ibu otoriter, pola asuh ibu permisif dan variabel konformitas teman sebaya terhadap perilaku seksual pada remaja.
DAFTAR PUSTAKA Alin, Parlin, 2011.Remaja dan Aktivitas Seks (Seks Bebas). Tersedia di http://www.bascommetro.co m/2011/09remaja-danaktivitas-seks-seksbebasra.html. Diakses pada tanggal 21 Juli 2013 BkkbN, 2012.Gendre Goes To School : Yang Muda Harus Berencana. Tersedia di http://www.bkkbn.go.id/Lists /SiaranPers/DispForm.Asp?I D=7. Diakses pada tanggal 21 Juli 2013 Damanik, Hotmelia, 2012. Pengaruh Paparan Media Internet Dan Teman Sebaya Terhadap Perilaku Seks Bebas Pada Remaja.TesisFakultasKeseha tanMasyarakat Program PascaSarjanaUniversitas Sumatera Utara. Dianawati, Ajen, 2006. Pendidikan Seks Untuk Remaja.Jakarta: Kawan Pustaka. Hidayat, dkk, 2013.Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua Dengan Perilaku Seksual Pranikah Pada Remaja Di SMK Batik 1 Surakarta.Jurnal STIKES Aisyiayah Surakarta.
Saran 1. Bagi OrangTua - Mengajak remaja untuk mendiskusikan kegiatan seharihari yang dilakukan remaja, membimbing dan mengikutsertakan remaja dalam kegiatan keagamaan - Melakukan pengawasan dan mengenali teman-teman yang bergaul dengan remaja serta mengarahkan remaja dalam memilih teman yang baik - Menjelaskan pada remaja risiko berpacaran melewati batas.
7
Kartono, Kartini, 2010. Kenakalan Remaja.Jakarta : Raja Gravindo Persada Kusmiran, Eny, 2012. Kesehatan Repsroduksi Remaja Dan WanitaJakarta Selatan : Salemba Medika. Maryatun, 2013. Peran Teman Sebaya Terhadap Perilaku Seksual Pranikah Pada Remaja Di SMA Muhammadiyah 3 Surakarta. Jurnal STIKES Aisyiyah Surakarta Nursal, D.G.A, 2007.Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Seksual Murid SMU Negeri di Kota Padang.Jurnal Kesehatan Masyarakat UNAND. Sarwono, S.W, 2011. Psikologi Remaja. Edisi Revisi, Jakarta: Raja Gravindo Persada.
8
POLA KONSUMSI JAJAN, STATUS GIZI DAN PRESTASI BELAJAR SISWA SD NEGERI 064027 KECAMATAN MEDAN POLONIA SNACK CONSUMPTION, NUTRITIONAL STATUS AND LEARNING ACHIEVEMENT STUDENT OF SD NEGERI 064027 DISTRICT MEDAN POLONIA Imaniar Hasibuan1), Mhd. Arifin Siregar2), Fitri Ardiani2) 1)
Alumni Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, USU 2) Staf Pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Email :
[email protected]
ABSTRACT Good food intake will affect the nutritional status of primary school children, related to the immune system, the level of attendance, concentration and the ability to follow the lessons in the school so that the impact on learning achievement. This study aims to determine the pattern of snack consumption, nutritional status and student achievement in SDN 064 027 District of Medan Polonia. This study used a cross sectional design. The population is all fifth grade students aged 10-12 years. Samples were taken as many as 103 students of class V aged 10-12 years with a total sampling technique. Primary data was collected by interviews using questionnaires, 24-hour food recall forms, food frequency form, measurement of weight and height. Secondary data were collected from the description of the school, attendance, report grades students. The results showed that the types of snacks consumed in a week with a daily frequency is soft drinks, frequency is often soft drinks and fried, frequency is a rare savory rice and fried rice, frequency is never guava. Energy consumption in the snack food is not enough as big as 59.2%, protein snack food consumption is enough as 63.1%. Snack food in male respondents accounted for 19.0% energy and 13.5% protein from total consumption a day, the female respondents accounted for 17.9% of energy and 14.1% protein from the total consumption a day. Nutritional status by indicator IMT/U and TB/U is normal respectively 75.5% and 71.8%. Learning achievement is enough respectively 42.7%. It is recommended to the school in order to convey to the parents to pay attention to major food consumption in terms of quantity and diversity as well as choosing calorie-dense snack foods. Keywords: Snack Consumption, Nutritional Status, Learning Achievement
PENDAHULUAN Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dan terpenting dari pembangunan nasional. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dinyatakan bahwa dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing, maka kesehatan bersama-sama dengan pendidikan dan peningkatan daya beli keluarga/masyarakat adalah
tiga pilar utama untuk meningkatkan kualitas SDM dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia. Prospek ke depan pembangunan SDM diarahkan pada peningkatan kualitas SDM (Departemen Kesehatan RI, 2009). Anak sekolah dasar perlu diperhatikan dengan baik karena sekitar 30% dari jumlah penduduk Indonesia adalah kelompok anak sekolah dasar. Program gizi pada kelompok ini berdampak luas tidak saja pada aspek kesehatan, gizi dan pendidikan masa kini, tetapi juga
yang secara langsung memengaruhi kualitas SDM di masa mendatang. Hal ini tentunya akan terwujud apabila anak usia sekolah terpelihara kesehatannya (Direktorat Gizi Masyarakat, 2005). Terkait dengan masalah gizi penduduk adalah masalah asupan makanan yang tidak seimbang. Tujuan MDG’s pertama adalah memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem, salah satu indikator yang digunakan yaitu persentase penduduk yang mengonsumsi energi dibawah kebutuhan minimal. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, menunjukkan bahwa sebanyak 40,6% penduduk mengonsumsi makanan di bawah 70% dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan tahun 2004. Keadaan ini banyak dijumpai pada kelompok anak usia sekolah sebesar 41,2%, remaja sebesar 54,5%, dan ibu hamil sebesar 44,2% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2010). Kebutuhan kalori anak sekolah dasar adalah sekitar 15002000 kalori setiap hari, tergantung kelompok usia. Untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut dapat diperoleh dari makanan yang disediakan di rumah dan dari makanan jajanan. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Trihono, 2010), prevalensi kurang gizi (berat badan menurut umur) pada anak balita di Indonesia sebesar 17,9 persen sedangkan anak balita gizi lebih sebesar 12,2 persen. Prevalensi balita pendek dan sangat pendek juga masih terjadi sebesar 18,0 persen dan 18,5 persen. Hal ini berdampak jangka pendek berupa terganggunya perkembangan otak, kecerdasan,
gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh serta gangguan jangka panjang berupa penurunan kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan resiko tinggi untuk munculnya penyakit degeneratif pada usia tua. Keseluruhan hal tersebut akan menurunkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, produktifitas, dan daya saing bangsa. Anak yang memiliki status gizi kurang atau buruk (underweight) berdasarkan pengukuran berat badan terhadap umur (BB/U) dan pendek atau sangat pendek (stunting) berdasarkan pengukuran tinggi badan terhadap umur (TB/U) yang sangat rendah dibanding standar WHO mempunyai risiko kehilangan tingkat kecerdasan atau intelligence quotient (IQ) sebesar 10-15 poin (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2011). Rendahnya status gizi anakanak sekolah akan menyebabkan mereka mudah terkena penyakit infeksi, hal ini akan berdampak terhadap angka ketidakhadiran anakanak di sekolah yang cukup tinggi, kemampuan anak dalam mengikuti pelajaran dan prestasi belajar yang buruk karena sakit. Hasil penelitian Wilma (2006) dalam Isdaryanti (2007), pada studi kasus anak di kabupaten Nabire menemukan bahwa semakin rendah status gizi siswa semakin rendah pula nilai prestasi mereka. Penelitian Huwae (2005) menyatakan dari 43 sampel anak sekolah yang diteliti di Kabupaten Nabire terdapat 36% menderita gizi kurang dan 1,3% mengalami gizi buruk. Penelitian ini menyatakan terdapat hubungan yang
erat antara status gizi dengan prestasi belajar siswa sekolah dasar. Berdasarkan hasil survei pendahuluan di SD Negeri 064027, siswa kelas V dan VI memiliki waktu belajar di sekolah yang paling lama dibandingkan kelas di bawahnya, yaitu mulai pukul 07.0013.00 WIB sehingga semakin tinggi pula konsumsi jajannya di sekolah karena terdapat dua jam istirahat, yaitu istirahat pertama pukul 10.00 WIB dan istirahat kedua pukul 12.00 WIB. Di sekolah terdapat makanan jajanan yang beragam yang disediakan oleh dua buah kantin di dalam sekolah, enam penjual jajanan di depan pagar sekolah dan satu warung jajanan di depan sekolah. Dalam hal kesehatan, jika dilihat secara visual, sebagian murid secara fisik kelihatan kurus dan kecil. Dari informasi pihak sekolah juga dikatakan bahwa sebagian besar murid SD tidak masuk ke sekolah menengah pertama (SMP) negeri dikarenakan nilai ujian nasional yang tidak memenuhi syarat dari sekolah yang dituju. Selain itu berdasarkan informasi dari pihak sekolah sebagian besar siswa berasal dari keluarga menengah ke bawah, sehingga ingin dilihat bagaimana kaitannya dengan pola konsumsi jajan, status gizi, dan prestasi belajar. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian survey yang bersifat analitik dengan desain cross sectional study. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2013 hingga Juli 2014 di SD Negeri 064027 Kecamatan Medan Polonia. adalah seluruh siswa kelas V usia 1012 tahun SD Negeri 064027 Kecamatan Medan Polonia tahun ajaran 2013/2014 sebanyak 113
orang. Pemilihan sampel dilakukan dengan metode total sampling. Data primer yaitu karakteristik (jenis kelamin, umur, uang saku, pekerjaan orang tua, status kesehatan ) diperoleh dari kuesioner, jumlah konsumsi makanan harian dan makanan jajanan diperoleh dari food recall 24 jam, sedangkan jenis dan frekuensi jajan diperoleh melalui food frequency questionnaire,, status gizi diperoleh dari menimbang berat badan menggunakan timbangan injak (bathroom scale) dan mengukur tinggi badan menggunakan microtoise. Sementara itu, data sekunder berupa gambaran umum dan jumlah siswa diperoleh dari kepala sekolah, prestasi belajar diperoleh dari nilai raport, jumlah ketidakhadiran karena sakit diperoleh dari absensi. Jumlah konsumsi makanan harian akan dilihat tingkat kecukupannya dengan rumus (Supariasa, 2001) : TK K KC
: Tingkat kecukupan : Konsumsi : Konsumsi yang dianjurkan (AKG 2004) dikategorikan baik jika 100% AKG, sedang jika 80%-99% AKG, rendah jika 70%-79%, defisit jika < 70% AKG. Jenis konsumsi jajan selama seminggu dikategorikan menjadi (Nuraida et al., 2009) : a. Makanan utama/sepinggan b. Makanan camilan/panganan c. Minuman d. Buah Frekuensi konsumsi jajan dikategorikan menjadi (Ramadani, 2004) : a. 1x/hari : Sering
b. 4-6x/hari : Selalu c. 1-3x/hari : Jarang d. Tidak Pernah Jumlah konsumsi jajan dikategorikan menjadi : konsumsi energi rata-rata dan < rata-rata, konsumsi protein rata-rata dan < rata-rata. Status gizi menurut TB/U dikategorikan menjadi ‘normal’ jika -2,0 SD, ‘pendek/stunted’ jika <-2,0 SD. Status gizi menurut IMT/U dikategorikan menjadi ‘obesitas’ jika >+2 SD, gemuk jika >+1,0 SD s/d +2 SD, ‘normal’ jika -2,0 SD s/d +1,0 SD, ‘kurus/wasted’ jika -3,0 SD s/d <-2,0 SD, ‘sangat kurus jika <-3,0 SD. Prestasi belajar dikategorikan menjadi ‘sangat baik’ jika nilai raport 80-100, ‘cukup’ jika nilai raport 60-69, ‘kurang’ jika nilai raport 50–59 (Syah, 2010). HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden SD Negeri 064027 terletak di jalan SD Inpres No. 171 Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia. Sekolah ini didirikan pada lahan seluas 2100 m2, dengan fasilitas yang terdiri dari 9 ruang belajar, 1 ruang kantor, 4 kamar kecil, 2 kantin sekolah. Sekolah dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang dibantu oleh 22 orang guru, seorang staf tata usaha dan seorang penjaga sekolah. Jumlah responden terbanyak adalah laki-laki (59,2%). Kisaran umur responden adalah 10-12 tahun. Responden terbanyak adalah mereka yang berumur 11 tahun (54,4%). Jenis pekerjaan orang tua terbanyak adalah sebagai kuli bangunan (30,1%). Berdasarkan uang saku sebagian besar responden memiliki
uang saku Rp 3.000,- a/d Rp 6.000,per hari (45,6%). Konsumsi Makanan Harian Berdasarkan penelitian yang dilakukan di SD Negeri 064027 Kecamatan Medan Polonia diketahui bahwa tingkat kecukupan energi responden paling banyak berada pada kategori defisit (<70% AKG) 54,1% responden laki-laki dan 40,5% responden perempuan. Tingkat kecukupan protein responden paling banyak berada pada kategori baik ( 100% AKG) 57,4% responden laki-laki dan 47,6% responden perempuan. Keadaan defisit energi diasumsikan terjadi karena konsumsi makanan harian yang tidak teratur seperti jarang sarapan atau makan malam, faktor ekonomi keluarga yang memengaruhi ketersediaan makanan di rumah, porsi makan yang lebih sedikit, kurangnya perhatian keluarga karena siswa kelas V sudah dianggap mulai dewasa dan dapat menentukan jenis makanan yang ingin dikonsumsinya sendiri. Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Rata-Rata Tingkat Kecukupan Energi & Protein Makanan Harian Tingkat Kecukupan Energi Jenis Kelamin
Baik n
Laki-laki Perempuan Jenis Kelamin
n
%
Rendah n
%
Defisit n
6 9,8 17 27,9 5 8,2 33 5 11,9 7 16,7 13 31,0 17 Tingkat Kecukupan Protein Baik n
Laki-laki Perempuan
%
Sedang
%
Sedang n
Rendah
%
n
%
35 57,4 8 13,1 20 47,6 14 33,3
8 4
13,1 9,5
%
n
%
54,1 40,5
61 42
100 100
Defisit n 10 4
Jumlah
Jumlah
%
n
%
16,4 9,5
61 42
100 100
Pola Konsumsi Jajan Pola konsumsi jajan terdiri dari jenis, frekuensi dan jumlah konsumsi jajan. Jenis dan Frekuensi Jajan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di SD Negeri 064027
Kecamatan Medan Polonia diketahui bahwa jenis jajan yang dikonsumsi setiap hari selama seminggu adalah jenis minuman yaitu minuman ringan/kemasan (11,7%). Jajan yang sering dikonsumsi atau 4-6 kali seminggu adalah jenis minuman yaitu minuman ringan/kemasan (11,7%) dan jenis makanan camilan yaitu gorengan (13,6%). Jajan yang jarang dikonsumsi atau dikonsumsi 1-3 kali seminggu adalah jenis makanan utama/sepinggan yaitu nasi gurih (76,7%) dan nasi goreng (70,9%). Jajan yang tidak pernah dikonsumsi selama seminggu adalah jenis buah yaitu jambu biji (74,8%). Anak sekolah sudah cukup baik dalam menggunakan uang sakunya untuk memilih jenis jajanan yang cukup memberikan sumbangan energi bagi tubuh. Jajanan yang dikonsumsi ketika istirahat umumnya sudah cukup memberikan energi bagi anak selama beraktivitas di sekolah. Konsumsi Energi Makanan Jajanan
dan
Protein
Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kecukupan Energi & Protein Makanan Jajanan Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Jumlah Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Jumlah
Konsumsi Energi Makanan Jajanan Rata-Rata < Rata-Rata ( 276,5 kal) (<276,5 kal) n % n % 29 28,2 32 31,1 20 19,4 22 21,4 49 47,6 54 52,4 Konsumsi Protein Makanan Jajanan Rata-Rata < Rata-Rata ( 7,4 gr) (<7,4 gr) n % n % 34,4 38,8 21 40 18,4 22,3 19 23 40 38,8 63 61,2
protein makanan jajanan berada pada kategori
Jumlah n % 61 59,2 42 40,8 103 100,0 Jumlah n % 61 59,2 42 40,8 103 100,0
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa sebagian besar konsumsi energi makanan jajanan berada pada kategori
Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan
Rata-Rata Rata-Rata Konsumsi Konsumsi Energi Energi Makanan Makanan Jajanan (kal) Sehari (kal) 283,2 1487,8 266,7 1488,7 Rata-Rata Rata-Rata Konsumsi Konsumsi Protein Protein Makanan Makanan Jajanan (gr) Sehari (gr) 7,2 53,5 7,7 54,5
Sumbangan Energi Jajanan (%) 19,0 17,9 Sumbangan Protein Jajanan (%) 13,5 14,1
Status Gizi Dari hasil penelitian di SD Negeri 064027 Kecamatan Medan Polonia diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki status giz (IMT/U) pada kategori normal
(75,7%). Status gizi (TB/U) sebagian besar responden berada pada kategori normal (71,8%). Menurut WHO (2007) IMT/U merupakan indikator yang paling baik untuk menggambarkan keadaan status gizi masa lalu dan masa kini karena berat badan memiliki hubungan linear dengan tinggi badan, dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Supariasa, dkk (2001) menyebutkan indeks TB/U memberikan gambaran keadaan status gizi masa lalu, dalam jangka waktu yang relatif panjang. Tabel 4. Distribusi Status Gizi Berdasarkan IMT/U dan TB/U Siswa SD Negeri 064027 Kecamatan Medan Polonia No 1 2 3 4 5 No 1 2
IMT/U Obesitas Gemuk Normal Kurus/Wasted Sangat Kurus Jumlah TB/U Normal Pendek/Stunted Jumlah
Jumlah n 2 14 78 7 2 103
% 1,9 13,6 75,7 6,8 1,9 100,0 Jumlah n % 74 71,8 29 28,2 103 100,0
Prestasi Belajar Berdasarkan hasil penelitian pada SD Negeri 064027 Kecamatan Medan Polonia diketahui bahwa menurut nilai raport siswa semester ganjil tahun ajaran 2013/2014 sebagian besar responden memiliki prestasi belajar pada kategori cukup (42,7%) (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa prestasi belajar sebagian besar anak sekolah tergolong baik, sehingga dapat diasumsikan bahwa anak sekolah di SD Negeri 064027 Kecamatan Medan Polonia sangat sedikit yang melanjutkan ke sekolah menengah pertama (SMP) negeri
bukan dikarenakan prestasi belajar yang rendah, tetapi bisa saja dikarenakan pilihan dari siswa itu sendiri yang memilih untuk melanjutkan ke sekolah swasta dikarenakan kualitas pendidikannya yang baik. Tabel 5. Distribusi Prestasi Belajar Siswa SD Negeri 064027 Kecamatan Medan Polonia Tahun Ajaran 2013/2014 Jumlah Prestasi No Belajar n % 1 Sangat Baik 20 19,4 2 Baik 32 31,1 3 Cukup 44 42,7 4 Kurang 7 6,8 Jumlah 103 100
Status Kesehatan Berdasarkan hasil penelitian pada siswa SD 064027 Kecamatan Medan Polonia mengenai jenis sakit yang diderita selama satu bulan terakhir maka dapat diketahui frekuensi sakit yang sering terjadi adalah 1-6 hari dengan jenis sakit batuk (28,2%), pilek (21,4%), sakit kepala (20,4%), panas (19,4%). Keadaan jasmani yang tidak sehat akan memengaruhi konsentrasi belajar anak di sekolah, kemampuan mengikuti pelajaran di seklah akan terganggu karena kondisi tubuh yang tidak sehat. Keadaan kesehatan yang semakin buruk juga akan menyebabkan anak tidak hadir ke sekolah. Jumlah Ketidakhadiran Karena Sakit Berdasarkan hasil penelitian pada siswa SD Negeri 064027 Kecamatan Medan Polonia diketahui bahwa sebagian besar jumlah ketidakhadiran karena sakit selama satu bulan terakhir terjadi selama 1-2 hari (3,9%) (Tabel 6). Pada WNPG VI dinyatakan bahwa pada anak usia sekolah yang kondisi tubuhnya lemah, cepat lelah
dan sakit-sakitan akan menyebabkan anak seringkali absen dan akan kesulitan dalam mengikuti dan memahami pelajaran (Achmad, 2000). Tabel 6. Distribusi Jumlah Ketidakhadiran Karena Sakit Selama Satu Bulan Terakhir Jumlah Ketidakhadiran Jumlah No Karena Sakit Satu Bulan n % Terakhir 1 Selalu hadir 96 93,2 2 1-2 hari 4 3,9 3 3-4 hari 2 1,9 4 5-6 hari 1 1,0 Jumlah 103 100,0
KESIMPULAN 1. Rata-rata tingkat kecukupan energi makanan harian berupa makanan jajanan dan non jajanan, pada responden laki-laki dan perempuan berada dalam kategori rendah (70% - 79% dari AKG) dengan rata-rata konsumsi energi sebesar 1487,8 kalori pada responden laki-laki dan 1488,7 kalori pada responden perempuan. 2. Rata-rata tingkat kecukupan protein makanan harian berupa makanan jajanan dan non jajanan, pada responden laki-laki dan perempuan berada dalam kategori baik ( 100% dari AKG) dengan rata-rata konsumsi protein sebesar 53,5 gram pada responden lakilaki dan 54,5 gram pada responden perempuan. 3. Jumlah konsumsi energi makanan jajanan pada sebagian besar responden laki-laki maupun perempuan berada pada kategori < rata-rata (<276,5 kalori/hari) yaitu sebesar 52,4%. Jumlah konsumsi protein makanan jajanan pada sebagian besar responden laki-laki maupun perempuan berada pada kategori < rata-rata (< 5 gram/hari) yaitu sebesar 61,2%.
4. Rata-rata konsumsi energi jajanan sebesar 283,2 kalori dan menyumbang sebanyak 19,0% dari total asupan energi sehari pada responden laki-laki, selanjutnya pada responden perempuan rata-rata konsumsi energi jajanan sebesar 266,7 kalori dan menyumbang sebanyak 17,9% dari total asupan energi sehari. 5. Rata-rata konsumsi protein jajanan sebesar 7,7 gram dan menyumbang 14,1% dari total asupan protein sehari pada responden laki-laki, selanjutnya pada responden perempuan ratarata konsumsi protein jajanan sebesar 7,2 gram dan menyumbang 13,5% dari total asupan protein sehari. 6. Status gizi berdasarkan IMT/U pada sebagian besar responden berada dalam kategori normal ( 2,0 SD s/d +1,0 SD) sebesar 75,5%. Selanjutnya status gizi berdasarkan TB/U pada sebagian besar responden berada dalam kategori normal ( -2,0 SD) sebesar 71,8%. 7. Prestasi belajar responden berada dalam kategori cukup yaitu dengan nilai raport rata-rata 60-69 sebesar 42,7%. SARAN 1. Pihak sekolah diharapkan dapat menyampaikan hasil dari penelitian ini kepada orang tua siswa sehingga pola makan anak sehari-hari dapat lebih diperhatikan konsumsi makanan utama di rumah (non jajanan) baik dari segi kuantitas yaitu kebiasaan sarapan, makan siang dan makan malam maupun dari segi keragaman makanan agar
terpenuhi dengan baik kebutuhan gizi anak sekolah. 2. Pihak sekolah diharapkan memberikan informasi kepada siswa dalam hal pemilihan makanan jajanan yang yang padat kalori sehingga kebutuhan energi dan protein anak selama di sekolah dapat terpenuhi dan aktivitas belajar nya di sekolah tidak terganggu. 3. Pihak sekolah diharapkan memerhatikan dan mengawasi jenis jajanan yang dijual di lingkungan sekolah untuk memastikan jajanan yang dijual aman, bersih, dan beragam. DAFTAR PUSTAKA Achmad. 2000. Penuntasan Masalah Gizi Kurang dalam Widya Karya Pangan dan Gizi VI. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010. Jakarta. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappennas). 2011. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015. Jakarta. Departemen Kesehatan RI. 2009. Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025. Jakarta. Direktorat Gizi Masyarakat, 2005. Pedoman Perbaikan Gizi Anak Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta.
Huwae. 2005. Hubungan antara Status Gizi dan Kadar Hb dengan Prestasi Belajar Murid SD di Daerah Endemis Malaria (tesis yang tidak dipublikasikan). Program Sarjana UGM. Yogyakarta. Isdaryanti, Christien. 2007. Asupan Energi, Protein, Status Gizi dan Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar Arjuwinangan I Pacitan. Skripsi. FK UGM. Yogyakarta. Nuraida et al. 2009. Menuju Kantin Sehat di Sekolah. Bogor Seafast Center. Bogor. Ramadani. 2004. Pola Konsumsi Jajan, Status Gizi dan Prestasi Belajar Pada Anak Vegetarian di Kota Medan Tahun 2004. Skripsi. FKM USU. Medan. Supariasa, dkk. 2001. Penilaian Status Gizi. EGC. Jakarta. Syah, Muhibbin. 2010. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.
GAMBARAN POLA KONSUMSI PANGAN DENGAN PENDEKATAN POLA PANGAN HARAPAN PADA KELUARGA PEROKOK DI KECAMATAN BERASTAGI (DESCRIPTION OF FOOD CONSUMPTION PATTERNS WITH DESIRABLE DIETARY PATTERN APPROACH IN SMOKER FAMILIES IN BERASTAGI DISTRICT) Afriani Christina KS1, Etti Sudaryati2, Evawany Y Aritonang3 1 Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat, FKM USU 2,3 Staf Pengajar Gizi Kesehatan Masyarakat, FKM USU ABSTRACT Smoking habits in the family can affect the quantity and quality of food consumed by the family. Dangers of cigarette smoke can reduce appetite, food expenditure, nutritional status families, and cause disease. This study is a descriptive survey with the aim to reveal the pattern of food consumption with Desirable Dietary Pattern (DDP) approach in smoking households in the District of Berastagi. The population in this study is the entire family that has one or more family members who smoke and have toddlers or pregnant women in the District of Berastagi that is 2410 families. The sample is a portion of the population which selected by using the cluster method, that is 100 families. Primary data collection use Food List and Food Frequency form. The results show that mostly smokers families do not consume appropriate food in accordance with the food classification in Desirable Dietary Pattern (DDP). Low energy consumption of smokers families can see from 100 families only 34,0% consume adequate energy (≥AKERK), whereas for 66,0% is inadequate (
bangsa. Penganekaragaman pangan berarti mengonsumsi aneka ragam pangan dari berbagai jenis pangan, baik pangan pokok, lauk-pauk, sayuran, maupun buah-buahan. Penganekaragaman pangan bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi pangan dan mengurangi ketergantungan konsumsi pangan yang dominan pada salah satu jenis pangan saja (Hardinsyah, 1996 dalam Baliwati, 2004). Konsumsi zat gizi sangat dipengaruhi oleh pola konsumsi pangan atau dapat disebut dengan kebiasaan makan. Pola konsumsi pangan merupakan susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang, kelompok, atau masyarakat dalam jangka waktu tertentu. Pola konsumsi pangan masyarakat dapat menunjukkan tingkat 1
keberagaman pangan yang dikonsumsi masyarakat tersebut (Suhardjo, 1986). Menurut BKP (2013), penilaian pola konsumsi pangan terdiri dari dua aspek penilaian. Yang pertama, aspek kuantitas konsumsi yang dinilai dari angka kecukupan gizi dengan parameter tingkat kecukupan energi dan tingkat kecukupan protein. Yang kedua, aspek kualitas konsumsi yang lebih ditekankan pada penganekaragaman pangan. Keanekaragaman pangan dinilai dengan menggunakan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). Semakin tinggi skor PPH menunjukkan konsumsi pangan semakin beragam dan berimbang. Ketahanan pangan tingkat rumah tangga atau keluarga saat ini masih menghadapi tantangan, hal ini dapat dilihat dari masalah konsumsi pangan yang kurang beragam dan ditambah pula dengan perilaku anggota keluarga yang buruk yang berdampak pada kuantitas dan kualitas konsumsi pangan dalam keluarga. Salah satu diantaranya ialah kebiasaan merokok yang pada umumnya dijumpai pada kepala keluarga. Merokok merupakan kebiasaan atau pola hidup yang tidak sehat yang akan berdampak pada status kesehatan keluarga perokok tersebut. Karena bahaya yang ditimbulkan oleh asap rokok bukan pada si perokok saja namun juga pada anggota keluarganya yang terpapar asap rokok tersebut, khususnya bagi mereka yang termasuk ke dalam kelompok rawan seperti balita. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2008, proporsi perokok di Kabupaten Karo sebesar 40,2% dan merupakan kabupaten di Sumatera Utara dengan prevalensi perokok yang paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kebiasaan merokok di Tanah Karo masih cukup tinggi. Perilaku merokok masyarakat Karo tidak terlepas dari kebudayaan dan adat istiadat Suku Karo yang menjadikan rokok sebagai syarat mutlak dalam setiap acara kebudayaannya. Ini merupakan salah satu faktor penyebab tingginya kebiasaan merokok Suku Karo. Tingginya kebiasaan merokok dapat menggeser pengeluaran pangan, sehingga pada keluarga yang memiliki anggota kelompok rawan seperti balita, ibu hamil, anak usia sekolah dapat mengalami risiko
kekurangan pangan (Balitbangkes Kemenkes RI, 2008). Sudaryati (2013), melakukan penelitian untuk melihat ketahanan keluarga sehat pada rumah tangga perokok di Kecamatan Berastagi. Salah satunya yaitu faktor pangan yang dilihat dari ketersediaan pangan, tingkat konsumsi energi, dan tingkat konsumsi protein. Berdasarkan ketahanan keluarga sehat dari 120 rumah tangga perokok yang diteliti terdapat 75 (62,5%) rumah tangga yang baik dan 45 (37,55%) rumah tangga yang kurang baik. Sedangkan faktor pangan yang diteliti menunjukkan bahwa keluarga perokok yang mempunyai faktor pangan yang baik hanya ada pada 49 keluarga (40,8%), dan 71 keluarga (59,2%) berada dalam kategori faktor pangan kurang. Ketersediaan pangan pada keluarga perokok yang diteliti menunjukkan bahwa tidak dijumpai keluarga dengan kategori rawan kelaparan tingkat sedang dan berat, tetapi hanya dijumpai keluarga yang rawan kelaparan tingkat ringan sebanyak 41 (34,2%) keluarga dan 79 (65,8%) mempunyai ketersediaan pangan yang terjamin. Sedangkan untuk tingkat konsumsi energi dan protein keluarga sebagian besar defisit yaitu kurang dari 75% dari angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Keluarga yang defisit konsumsi energi dijumpai pada 42 (35%) keluarga, sedangkan keluarga yang defisit konsumsi protein dijumpai pada 48 (40%) keluarga. Konsumsi yang kurang dalam keluarga ini disebabkan oleh ketersediaan pangan yang kurang dan daya beli yang rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Sembiring (2002), menunjukkan bahwa pola konsumsi pangan masyarakat Kabupaten Karo belum berimbang yang kemudian menyebabkan skor mutu dan keanekaragaman pangan yang masih rendah yang ditunjukkan oleh skor PPH 63,21 masih jauh dari skor PPH ideal yakni 100. Kecamatan Berastagi merupakan salah satu Kecamatan yang berada di Kabupaten Karo dan termasuk salah satu kecamatan dengan jumlah penduduk paling banyak. Sebagian besar penduduknya merupakan Suku Karo dan perilaku merokok sudah menjadi kebiasaan penduduk setempat. 2
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana pola konsumsi pangan keluarga berdasarkan pola pangan harapan pada keluarga perokok di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo.penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola konsumsi pangan (jenis pangan, jumlah pangan, dan frekuensi makan) dan skor mutu Pola Pangan Harapan (PPH). Manfaat dari penelitian ini yaitu dapat memberi informasi yang berhubungan dengan pola konsumsi pangan di Kecamatan Berastagi bagi pemerintah atau instansi terkait; menjadi bahan pertimbangan bagi program pemerintah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Tanah Karo, khususnya Kecamatan Berastagi dalam hal ketahanan pangan; sebagai bahan evaluasi terhadap program pangan dan gizi yang telah dilakukan oleh pemerintah setempat; dan sebagai bahan rujukan bagi peneliti-peneliti yang relevan. METODE Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan metode survei. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh rumah tangga yang ada di Kecamatan Berastagi yang mempunyai satu atau lebih anggota keluarga yang merokok baik perempuan maupun laki-laki yakni sebanyak 2410 rumah tangga. Sedangkan sampel adalah sebagian rumah tangga yang ada di Kecamatan Berastagi yang mempunyai satu atau lebih anggota keluarga yang merokok baik perempuan maupun laki-laki yakni sebanyak 100 rumah tangga. Penentuan sampel menggunakan metode cluster. Data primer diperoleh dari responden secara langsung melalui wawancara menggunakan kuesioner, sedangkan data sekunder diperoleh melalui dokumendokumen rumah sakit dan berbagai hasil penelitian. Analisa data dilakukan dengan menggunakan distribusi frekuensi. HASIL DAN PEMBAHASAN Kecamatan Berastagi merupakan salah satu dari 17 kecamatan yang ada di Kabupaten Karo dengan luas wilayah 3050 Ha dan berada pada ketinggian ± 1.375 meter di atas permukaan laut dengan temperatur
antara 190C s/d 260C. Kecamatan Berastagi mempunyai jumlah penduduk sebanyak 43.494 jiwa, dimana laki-laki sebanyak 21.651 jiwa dan perempuan sebanyak 21.843 jiwa. Tabel 1. Karateristik Kepala Keluarga dan Responden Pada Keluarga Perokok di Kecamatan Berastagi KK Responden Karateristik n f n f Umur ≤ 20 tahun 21-35 tahun > 35 tahun
Total Suku Karo Batak Toba Jawa Pakpak Mandailing Simalungun Lainnya
Total Agama Protestan Katolik Islam Hindu Budha Total Pendidikan Terakhir Tidak Sekolah Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat PT Total Pekerjaan Utama PNS Pegawai/karyawan swasta Wiraswasta Petani Buruh Karyawan BUMN IRT Lainnya
Total
0 60 40 100
0,0 60,0 40,0 100,0
3 65 32 100
3,0 65,0 32,0 100,0
51 20 24 0 2 3 0 100
51,0 20,0 24,0 0,0 2,0 3,0 0,0 100,0
44 22 28 1 0 4 1 100
44,0 22,0 28,0 1,0 0,0 4,0 1,0 100,0
47 10 43 0 0 100
47,0 10,0 43,0 0,0 0,0 100,0
47 10 43 0 0 100
47,0 10,0 43,0 0,0 0,0 100,0
1 7 29 52 11 100
1,0 7,0 29,0 52,0 11,0 100,0
2 7 27 47 17 100
2,0 7,0 27,0 47,0 17,0 100,0
3
3,0
2
2,0
8
8,0
6
6,0
48 23 13 1 0 4 100
48,0 23,0 13,0 1,0 0,0 4,0 100
44 15 6 0 27 0 100
44,0 15,0 6,0 0,0 27,0 0,0 100
3
Berdasarkan tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa jumlah KK terbesar berada pada golongan umur 21-35 tahun yaitu sebanyak 60 orang (60,0%). Sebanyak 51 kepala keluarga (51,0%) merupakan suku Karo dan jumlah KK terbesar menganut agama Kristen Protestan yakni sebanyak 47 kepala keluarga (47,0%). Pendidikan terakhir sebagian besar kepala keluarga yakni sebanyak 52,0% adalah tamat SMA. Sementara itu pekerjaan utama kepala keluarga yang ada di daerah penelitian sebagian besar merupakan wiraswasta yakni sebanyak 48 kepala keluarga atau sebesar 48,0%. Responden dalam penelitian ini adalah ibu rumah tangga pada keluarga perokok. Jumlah responden terbesar seperti yang terlihat pada tabel 1 di atas berada pada golongan umur 21-35 tahun yakni sebanyak 65 orang (65,0%). Sebagian besar responden merupakan suku Karo yakni sebanyak 44 orang (44,0%), sedangkan jumlah responden yang terkecil ialah suku Pakpak yakni sebanyak 1 orang (1,0%). Mayoritas agama yang dianut responden sama dengan kepala keluarga yaitu agama Kristen Protestan yaitu sebesar 47 (47,0%) dan yang terkecil adalah agama Katolik yakni sebesar 10 (10,0%). Begitu pula halnya dengan pendidikan terakhir yang cenderung sama antara responden dengan kepala keluarga yakni tamat SMA yaitu sebanyak 47 responden atau sebesar 47,0 %. Sebagian besar responden merupakan wiraswasta yaitu sebesar 44,0%. Tabel di bawah ini merupakan distribusi karateristik keluarga perokok di Kecamatan Berastagi. Berdasarkan tabel 2 di bawah dapat dilihat bahwa sebanyak 58 keluarga perokok (58,0%) memiliki jumlah anggota keluarga <4 orang. Dari 100 keluarga, ada sebanyak 82 keluarga (82,0%) hanya memiliki balita saja, 3 keluarga (3,0%) hanya memiliki ibu hamil saja, dan 15 keluarga (15,0%) memiliki balita dan ibu hamil. Pendapatan keluarga perokok sebagian besar berada pada kelompok di atas UMR Kabupaten Karo, yakni sebanyak 81 keluarga (81,%). Pengeluaran pangan, non pangan, dan rokok sebagian besar keluarga berada pada kelompok Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000 per bulan. Masing-masing
sebanyak 71 keluarga, 55 keluarga, dan 62 keluarga. Tabel 2. Karateristik Keluarga Perokok di Kecamatan Berastagi Karateristik n f Jumlah Anggota Keluarga Kecil (<4 orang) Sedang (5-6 orang) Besar (>7 orang)
58 32 10
100 Total Jumlah Balita dan Ibu Hamil Hanya ada Balita Hanya ada Ibu Hamil Ada Balita dan Ibu Hamil
58,0 32,0 10,0
100,0
82
82,0
3
3,0
15
15,0
100 Total Pendapatan Keluarga Di atas UMR 81 Di bawah UMR 19 Total 100 Pengeluaran Pangan < Rp. 500.000 8 Rp. 500.000 – Rp. 71 1.000.000 > Rp. 1.000.000 21 100 Total Pengeluaran Non Pangan < Rp. 500.000 38 Rp. 500.000 – Rp. 55 1.000.000 > Rp. 1.000.000 7 100 Total Pengeluaran Rokok < Rp. 500.000 34 Rp. 500.000 – Rp. 62 1.000.000 > Rp. 1.000.000 4 100 Total
100,0 81,0 19,0 100,0 8,0 71,0 21,0 100,0 38,0 55,0 7,0 100,0 34,0 62,0 4,0 100,0
Jenis Pangan Berdasarkan hasil pengumpulan data dengan menggunakan formulir food list method diketahui jenis pangan yang dikonsumsi oleh keluarga perokok dalam satu hari atau selama 24 jam yang dikelompokkan ke dalam kelompok pangan berdasarkan Pola Pangan Harapan. Jenis pangan yang 4
dikonsumsi tersebut dapat dilihat di dalam tabel di bawah ini. Tabel 3. Distribusi Keluarga Perokok Berdasarkan Jenis pangan yang Dikonsumsi Keluarga di Kecamatan Berastagi Dikonsumsi Tidak Kelompok Pangan n f n f Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah
100 25 95 100 29 44 49 99
100,0 25,0 95,0 100,0 29,0 44,0 49,0 99,0
0 75 5 0 71 56 51 1
0,0 75,0 5,0 0,0 71,0 56,0 51,0 1,0
Tabel 3. di atas menunjukkan bahwa kelompok pangan padi-padian serta minyak dan lemak yakni sebanyak 100 keluarga atau sebesar 100,0%. Sedangkan kelompok pangan yang paling sedikit dikonsumsi yaitu buah/biji berminyak yakni sebanyak 29 keluarga atau sebesar 29,0%. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data mengenai jenis pangan yang dikonsumsi oleh keluarga perokok di Kecamatan Berastagi yang diperoleh dengan menggunakan formulir food list method dan disajikan dalam tabel 3 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga perokok hanya mengonsumsi makanan pokok yaitu beras (padi-padian), lauk (pangan hewani), dan sayuran, sementara buah tidak dikonsumsi setiap hari. Ini menunjukkan bahwa jenis pangan yang dikonsumsi keluarga belum beragam dan belum sesuai dengan jenis pangan yang sebaiknya dikonsumsi seperti yang telah diatur dalam Pola Pangan Harapan (PPH). Jika dilihat dari tingkat pendidikan terakhir reponden dan kepala keluarga yang disajikan dalam tabel 1 di atas, sebagian besar responden dan KK memiliki pendidikan terakhir SMA/SLTA sederajat. Meski demikian konsumsi pangan tidak beragam dan masih tingginya konsumsi energi yang berasal dari padi-padian dibandingkan dari kelompok pangan yang lain. Ini menunjukkan bahwa masih rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai gizi.
Pola kebiasaan makan yang selalu mengutamakan padi-padian dalam hal ini beras, sedangkan pangan lain seperti umbiumbian, kacang-kacangan, serta sayur dan buah jarang dikonsumsi atau seadanya saja membuat konsumsi pangan masyarakat menjadi tidak beragam. Jumlah Pangan Berdasarkan hasil pengumpulan data dari 100 keluarga perokok yang diwawancarai dengan menggunakan formulir food list method diketahui rata-rata jumlah konsumsi energi dan protein keluarga perokok di kecamatan Berastagi. Dari tabel 4 di bawah dapat dilihat bahwa konsumsi energi pada keluarga perokok dengan kategori cukup sebanyak 34 keluarga (34,0%) dan kategori tidak cukup sebanyak 66 keluarga (66,0%). Konsumsi protein keluarga perokok yang berada pada kategori cukup sebanyak 72 keluarga (72,0%) dan keluarga yang berada pada kategori tidak cukup sebanyak 28 keluarga (28,0%). Tabel 4. Distribusi Keluarga Perokok Berdasarkan Jumlah Pangan di Kecamatan Berastagi Jumlah Pangan n f Konsumsi Energi/Keluarga/Hari Cukup (≥ AKERK) 34 34,0 Tidak Cukup (< AKERK) 66 66,0 100 100,0 Total Konsumsi Protein/Keluarga/Hari Cukup (≥ AKPRK) 72 72,0 Tidak Cukup (< AKPRK) 28 28,0 100 100,0 Total Rendahnya konsumsi energi penduduk dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti dengan pendapatan keluarga yang rendah, seperti yang terlihat pada tabel 5 di bawah yang menunjukkan bahwa seluruh keluarga yang memiliki pendapatan di bawah UMR konsumsi energinya tidak cukup. Pengeluaran rokok yang tinggi juga dapat menyebabkan rendahnya konsumsi energi keluarga. Sebagian besar keluarga mengeluarkan uang sebesar Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000 hanya untuk rokok. Bahkan nilai itu sebanding dengan uang yang dikeluarkan keluarga untuk 5
pangan seperti pada tabel 2 di atas. Pengeluaran rokok yang tinggi inilah yang menyebabkan pengeluaran pangan semakin berkurang dan otomatis akan menurunkan konsumsi energi dan protein. Kosumsi energi yang rendah dapat juga disebabkan oleh tingkat pendidikan terakhir ibu. Ibu merupakan orang yang menyediakan makanan bagi seluruh keluarganya. Tinggi atau rendahnya pendidikan seorang ibu memengaruhi pengetahuan ibu akan gizi yang pada akhirnya akan memengaruhi kebiasaan ibu dalam menyusun menu makanan dalam keluarganya. Seperti pada tabel 5 di bawah dapat dilihat bahwa dari 36 ibu dengan tingkat pendidikan dasar ada sebanyak 25 keluarga (25,0%) konsumsi energinya tidak cukup. Pendidikan terakhir ibu juga memengaruhi tingkat konsumsi protein keluarga. Pada tabel 6 di bawah dapat dilihat bahwa dari 64 ibu dengan tingkat pendidikan lanjut, ada sebanyak 49 keluarga (49,0%) konsumsi proteinnya cukup. Ini menunjukkan bahwa konsumsi energi dan protein lebih tinggi pada keluarga perokok dengan tingkat pendidikan terakhir ibu berada pada tingkat lanjut. Menurut BPS (2001) dalam Arbaiyah (2013), besarnya keluarga atau rumah tangga menyatakan seluruh anggota yang menjadi tanggungan dalam keluarga tersebut yang dapat memberi indikasi beban rumah tangga. Semakin tinggi besaran keluarga berarti semakin banyak anggota keluarga yang selanjutnya akan meningkatkan berat beban rumah tangga tersebut dalam memenuhi kebutuhannya. Namun dalam penelitian ini, jumlah anggota keluarga tidak begitu berpengaruh terhadap konsumsi energi maupun protein seperti terlihat pada tabel 5 dan 6 di bawah. Rendahnya konsumsi energi dan protein akan menimbulkan dampak pada keluarga khususnya ibu hamil dan balita. Kebutuhan energi dan protein yang lebih tinggi pada ibu hamil bila tidak dipenuhi akan meningkatkan kemungkinan bayi yang akan dilahirkan memiliki berat lahir rendah. Begitu pula dengan balita, pertumbuhan akan terganggu dan meningkatkan kejadian gizi kurang dan gizi lebih yang pada akhirnya akan menurunkan kualitas SDM bangsa ini.
Di bawah ini merupakan tabel distribusi karateristik keluarga perokok berdasarkan konsumsi energi. Tabel 5. Distribusi Karateristik Keluarga Perokok Berdasarkan Tingkat Kecukupan Konsumsi Energi Keluarga di Kecamatan Berastagi Kecukupan energi Cukup Tidak Cukup n f n f Pendapatan Keluarga Di atas UMR 34 34,0 47 47,0 Di bawah UMR 0 0,0 19 19,0 34 34,0 66 66,0 Total Pendidikan Terakhir Ibu Tingkat Dasar 11 11,0 25 25,0 Tingkat Lanjut 23 23,0 41 41,0 34 34,0 66 66,0 Total Jumlah Anggota Keluarga Kecil 17 17,0 41 41,0 (< 4 orang) Besar 17 17,0 25 25,0 (> 4 orang) 34 34,0 66 66,0 Total
Total
Karateristik
n
f
81 19 100
81,0 19,0 100,0
36 64 100
36,0 64,0 100,0
58
58,0
42
42,0
100
100,0
Di bawah ini merupakan tabel distribusi karateristik keluarga perokok berdasarkan konsumsi protein. Tabel 6. Distribusi Karateristik Keluarga Perokok Berdasarkan Tingkat Kecukupan Konsumsi Protein Keluarga di Kecamatan Berastagi Kecukupan protein Karateristik
Cukup
n f Pendapatan Keluarga Di atas UMR 62 62,0 Di bawah 10 10,0 UMR 72 72,0 Total Pendidikan Terakhir Ibu Tingkat Dasar 23 23,0 Tingkat Lanjut 49 49,0 72 72,0 Total Jumlah Anggota Keluarga Kecil 40 40,0 (< 4 orang) Besar 32 32,0 (> 4 orang) 72 72,0 Total
Total
Tidak Cukup n f
n
f
19
19,0
81
81,0
9
9,0
19
19,0
28
28,0
100
100,0
13 15 28
13,0 15,0 28,0
36 64 100
36,0 64,0 100,0
18
18,0
58
58,0
10
10,0
42
42,0
28
28,0
100
100,0
6
Frekuensi Makan Berdasarkan hasil pengumpulan data menggunakan formulir food frequency pada keluarga perokok diketahui bagaimana frekuensi pangan keluarga yang dikelompokkan ke dalam beberapa frekuensi yakni selalu (1-3 x/hari), sering (4-5 x/minggu), kadang-kadang (1-3 x/minggu dan 1-3 x/bulan), jarang, dan tidak pernah. Pangan yang dikonsumsi dikelompokkan ke dalam kelompok pangan Pola Pangan Harapan yaitu padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berminyak, kacang-kacangan, gula, serta sayur dan buah. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa untuk kelompok pangan padi-padian yang selalu dikonsumsi oleh keluarga perokok adalah beras yakni sebanyak 100 keluarga (100,0%). Sedangkan kelompok pangan padi-padian yang jarang dikonsumsi adalah beras ketan yakni sebanyak 91 keluarga (91,0%). Kelompok pangan umbi-umbian jarang dikonsumsi oleh keluarga perokok. Yang paling jarang ialah tepung tapioka sebanyak 86 keluarga atau sebesar 86,0%. Kelompok pangan pangan hewani yang paling sering dikonsumsi ialah susu bubuk yakni sebanyak 13 keluarga atau sebesar 13,0%. Sementara pangan yang tidak pernah dikonsumsi yaitu babi sebanyak 43 keluarga atau sebesar 43,0%. Sebagian besar keluarga perokok mengonsumsi kelompok pangan kacangkacangan dalam frekuensi kadang-kadang. Hanya 5 keluarga perokok (5,0%) yang sering mengonsumsi roti kacang ijo. Seluruh keluarga perokok tidak pernah mengonsumsi minyak kelapa. Sementara minyak kelapa sawit dikonsumsi oleh seluruh keluarga setiap harinya. Kelompok pangan buah/biji berminyak yang selalu (1-3 x/hari) dikonsumsi oleh keluarga perokok ialah kemiri yakni sebanyak 17 keluarga atau sebesar 17,0%. Sementara kelapa hanya kadang-kadang dikonsumsi. gula pasir lebih banyak dikonsumsi oleh keluarga perokok dalam frekuensi makan selalu yakni sebanyak 54 keluarga atau sebesar 54,0%. Sementara itu, sebanyak 74 keluarga atau sebesar 74,0% jarang mengonsumsi gula aren. Kelompok sayur dan buah yang paling sering dikonsumsi ialah tomat yaitu sebanyak 48 keluarga atau
sebesar 48,0% mengonsumsi tomat selalu (13 x/hari) dan 40 keluarga (40,0%) sering mengonsumsinya. Sementara kelompok pangan sayur dan buah yang paling jarang dikonsumsi ialah durian yakni sebanyak 94 keluarga atau sebesar 94%. Skor Pola Pangan Harapan Skor pola pangan harapan merupakan hasil perhitungan presentase masing-masing kelompok pangan terhadap energi yang dikonsumsi dan mengalikannya dengan bobot/rating yang telah disusun oleh FAO. Tabel berikut merupakan tabel hasil perhitungan Skor PPH keluarga perokok. Tabel 7. Distribusi Keluarga Perokok Berdasarkan Hasil Perhitungan Skor Pola Pangan Harapan (PPH) di Kecamatan Berastagi Skor PPH n f Segitiga Perunggu (<78)
85
85,0
Segitiga Perak (78 – 87)
12
12,0
Segitiga Emas (>87)
3
3,0
100
100,0
Total
Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa skor PPH masyarakat di Kecamatan Berastagi tertinggi berada pada segitiga perunggu (<78) sebanyak 85 keluarga atau sebesar 85,0%. Sementara keluarga perokok yang berada pada segitiga emas (>87) hanya 3 keluarga atau sebesar 3,0%. KESIMPULAN 1. Jenis pangan yang dikonsumsi oleh keluarga perokok di Kecamatan Berastagi belum beragam dan belum sesuai dengan susunan pangan dalam Pola Pangan Harapan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan masyarakat untuk memanfaatkan bahan pangan yang tersedia sebagai bahan pengganti. 2. Tingkat kecukupan energi rata-rata keluarga perokok sebagian besar tidak cukup (
3.
4.
5.
keluarga (72,0%). Ini disebabkan oleh karena kurang beragamnya pangan yang dikonsumsi mengakibatkan energi yang diperlukan oleh keluarga tidak terpenuhi. Frekuensi makan keluarga perokok pada kelompok padi-padian didominasi oleh beras. Kelompok pangan umbi-umbian jarang dikonsumsi dan yang paling banyak dikonsumsi yaitu ubi jalar goreng dan perkedel. Kelompok pangan hewani yang paling sering dikonsumsi keluarga perokok adalah ikan asin, sedangkan daging dan keju jarang dikonsumsi. Kelompok pangan kacang-kacangan yang paling banyak dikonsumsi ialah tahu dan tempe. Seluruh keluarga perokok mengonsumsi minyak kelapa sawit setiap hari. Sebagian keluarga selalu menggunakan kemiri dalam makanan mereka. Sebagian besar keluarga perokok selalu mengonsumsi gula pasir setiap hari. Sebagian besar keluarga mengonsumsi sayur dan buah dalam frekuensi kadang-kadang dan jarang. Rata-rata skor Pola Pangan Harapan keluarga perokok di Kecamatan Berastagi ialah 61,15 yang berarti masih sangat jauh dari target yaitu 93,3 di tahun 2014. Dari 100 keluarga perokok hanya 3 keluarga (3,0%) yang memiliki skor PPH di atas 87. Hal ini menyatakan bahwa keluarga perokok di Kecamatan Berastagi kurang mengonsumsi pangan yang beraneka ragam. Pengeluaran rokok sebagian besar keluarga perokok cukup tinggi, berkisar pada Rp. 500.000 – 1.000.000 per bulan. Pengeluaran tersebut hampir sama bahkan sebagian lebih dari pengeluaran pangan keluarga.
SARAN 1. Dinas Kesehatan perlu melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat ataupun pemuka-pemuka agama untuk bekerja sama mencari solusi guna menurunkan kebiasaan merokok masyarakat di Tanah Karo khususnya Kecamatan Berastagi. Memberikan penyuluhan mengenai bahaya rokok dengan disertai gambar-gambar yang menunjukkan akibat dari konsumsi rokok
2.
3.
dalam waktu yang cukup lama. Memberikan gambaran gizi kurang dan gizi buruk yang akan dialami oleh anak yang kekurangan pangan. Bekerja sama dengan Dinas Pertanian untuk memberikan penyuluhan dan pelatihan serta menyediakan bibit gratis bagi masyarakat agar dapat memanfaatkan pekarangan mereka menjadi tempat untuk bercocok tanam, sehingga bisa menambah ketersediaan pangan keluarga. Dan untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai pangan Beragam, Bergizi, dan Berimbang untuk menerapkan penganekaragaman pangan dalam kehidupan sehari-hari guna mencapai status gizi yang baik. Karena status gizi yang baik dapat diwujudkan apabila pangan yang dikonsumsi cukup, baik dalam jumlah, mutu, dan keragaman, serta aman bagi kesehatan manusia. Bagi masyarakat dianjurkan untuk memanfaatkan lahan yang ada sehingga bisa memanfaatkan bahan makanan dari pekarangan sendiri.
DAFTAR PUSTAKA Arbaiyah, Ita. 2013. Hubungan Pola Konsumsi Pangan dan Ketersediaan Pangan dan Status Gizi Keluarga di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara Kota Padangsidimpuan Tahun 2013. [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara. Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. 2008. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2008. Jakarta. Baliwati, Y.F, dkk. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Cetakan ketiga. Depok: Penebar Swadaya. Hardinsyah & Martianto, Drajat. 1992. Gizi Terapan. Bogor: IPB Press. Sembiring, ET. 2002. Pengembangan Pola Konsumsi Penduduk Dengan Pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH) di Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara [Skripsi]. Bogor: Sarjana Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, 8
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sudaryati, Etti. 2013. Model Pemberdayaan Keluarga Dalam Meningkatkan Ketahanan Keluarga Sehat Pada Rumah Tangga Perokok. [Penelitian – unpublished]. Medan: Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara. Suhardjo, dkk. 1986. Pangan, Gizi, dan Pertanian. Cetakan kedua. Jakarta: UI Press.
9
HUBUNGAN POLA KONSUMSI MAKANAN DAN KONSUMSI SUSU DENGAN TINGGI BADAN ANAK USIA 6-12 TAHUN DI SDN 173538 BALIGE (THE RELATIONSHIP BETWEEN FOOD AND MILK CONSUMPTION WITH BODY HEIGHT OF CHILDREN 6-12 YEARS OLD IN SDN 173538 BALIGE) Ria Solia Nainggolan1, Evawany Y Aritonang2, Fitri Ardiani 2 1
2
Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, USU Staf Pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, USU
ABSTRACT Primary student is an investment the nation because children that age are the future generation. Nutrition becomes important for primary student because it can support the growth physically. Consumption of food and milk of children 6-12 years old can help the nutritional optimally to support the child's growth in height. The objective of this study was to know the relationship between food and milk consumption with body height of children 6-12 years old in SDN 173538 Balige (consist of 60 children as samples). Design of study was cross sectional study. The study was conducted by calculating the adequacy of energy, protein, and calcium from food and milk consumption of children using 24 hour food recall method. Child’s body height was measured by microtoise instrument. The result of study showed that in general, child's body height by age is 81.7% in normal category, 16,7% in short category, and 1,7% in stunting category. There was a significant relationship between the adequacy protein of food, the adequacy protein and calcium of milk with body height. While there was no relationship the adequacy energy and calcium of food and the adequacy energy of milk with body height. The school suggested to cooperate with Balige Health Center provide education to primary student about daily nutrition and benefits of drink milk for height growth. Parents should also pay more attention to children’s food consumption in terms of quantity. Keywords: Food consumption, milk consumption, body height, primary student PENDAHULUAN Anak usia sekolah adalah investasi bangsa karena anak usia tersebut merupakan generasi penerus bangsa. Tumbuh kembang anak usia sekolah yang optimal tergantung pemberian nutrisi dengan kualitas dan kuantitas yang baik dan benar. Dalam masa tumbuh kembang tersebut pemberian nutrisi atau asupan gizi pada anak tidak selalu dapat dilaksanakan dengan baik. Pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan akan mengakibatkan gangguan pada organ dan sistem tubuh anak (Judarwanto, 2012). Kenyataan yang terjadi saat ini, tidak sedikit dari anak Indonesia justru memiliki pertumbuhan fisik yang tidak optimal. Berdasarkan Riskesdas 2013, prevalensi anak usia 5-12 tahun yang memiliki tubuh pendek adalah 30,7% (12,3% sangat pendek dan
18,4% pendek). Bila dibandingkan dengan prevalensi sangat pendek tahun 2010 mengalami penurunan dari 18,5% menjadi 12,3%, namun prevalensi pendek justru mengalami peningkatan dari 17,1% menjadi 18,4%. Masih terdapat sebanyak 15 provinsi dengan prevalensi kependekan di atas prevalensi nasional, salah satunya ialah Sumatera Utara. Pola makan yang baik akan membantu terpenuhinya asupan gizi seimbang bagi anak. Hal itu dapat terjadi bila asupan makanan yang dikonsumsi memiliki gizi yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan tubuh anak. Makanan yang dibutuhkan anak usia sekolah hendaknya memiliki sumber energi yang berasal dari karbohidrat, protein, dan lemak. Selain itu zat gizi mikro seperti mineral dan vitamin juga diperlukan tubuh. Pola makan yang baik 1
diharapkan dapat menyumbangkan kecukupan energi, protein, dan mineral seperti kalsium. Ketiga zat gizi tersebut dapat membantu proses pertumbuhan badan anak. Asupan zat gizi tidak hanya diperoleh dari makanan pokok saja, melainkan juga ditambah dengan asupan pangan lainnya yang bernilai zat gizi tinggi seperti susu. Susu adalah bahan pangan yang dikenal kaya akan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh manusia. Susu merupakan salah satu sumber zat gizi yang paling lengkap dan diperlukan oleh semua kelompok umur, terutama balita, anak-anak, dan remaja. Susu adalah sumber kalsium dan fosfor yang sangat penting untuk pembentukan tulang. Susu tidak hanya bermanfaat untuk pembentukan tulang, melainkan beberapa penelitian menyebutkan bahwa susu berperan dalam pertumbuhan tinggi badan. Penelitian dengan studi prospektif yang dilakukan oleh Okada, et al (2004) mengenai “Effect of cow milk consumption on longitudinal height gain in children”, menjelaskan bahwa ada pengaruh positif antara mengkonsumsi susu sapi dengan jumlah yang banyak dengan tinggi badan anak. Konsumsi makanan dan susu berperan penting dalam pertumbuhan tinggi badan anak karena memberikan asupan energi, protein, dan kalsium. Namun di sisi lain rendahnya konsumsi susu dan prevalensi anak yang memiliki tubuh pendek di Indonesia khususnya Sumatera Utara cukup tinggi. Berangkat dari keadaan tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan pola konsumsi makanan dan konsumsi susu dan tinggi badan pada anak 612 tahun di SDN 173538 Balige. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan kecukupan energi, protein, dan kalsium yang diperoleh dari makanan dan susu dengan tinggi badan anak usia 6-12 tahun di SDN 173538 Balige. Dengan manfaat sebagai bahan informasi bagi pihak sekolah dan pihak Puskesmas Balige dalam rangka penyampaian pengetahuan kepada anak sekolah mengenai pentingnya memperhatikan pola konsumsi makanan dan konsumsi susu yang berkaitan dengan pertumbuhan tinngi badan anak.
METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat observasional dengan desain cross sectional yaitu suatu rancangan yang digunakan untuk menyediakan informasi yang berhubungan dengan faktor penelitian dengan cara mengamati status paparan serentak pada individu dari suatu populasi pada saat itu. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak sekolah di SDN 173538 Balige. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 99 orang. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji Chi-Square. Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini adalah kecukupan energi, protein, dan kalsium dari makanan dan susu dan tinggi badan siswa. Pengumpulan data krcukupan energi, protein, dan kalsium dari makanan dan susu dalam penelitian ini dilakukan dengan metode food recall 24 jam. Pengumpulan data tinggi badan dilakukan dengan mengukur tinggi badan siswa menggunakan microtoise. Data kecukupan energi, protein, dan kalsium dari makanan dikategorikan menjadi 4 (empat) dengan cut of points sebagai berikut. (Depkes RI, 1990) a. Baik : ≥ 100% AKG b. Sedang : 80% - 99% AKG c. Kurang : 70% - 80% AKG d. Defisit : < 70% AKG Tinggi badan menurut umur (TB/U) diperoleh dengan menggunakan baku World Health Organization (WHO) tahun 2007. Kategori status gizi berdasarkan TB/U antara lain : a. Tinggi : jika nilai simpangan baku > 3,0 SD b. Normal : jika nilai simpangan baku 2,0 ≤ Z ≤ 3,0 SD c. Pendek : jika nilai simpangan baku 3,0 ≤ Z ≤ -2,0 SD d. Sangat Pendek : jika nilai simpangan baku < -3,0 SD HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Karakteristik responden dalam penelitian ini dilihat berdasarkan jenis kelamin, umur, dan tinggi badan. Hasil penelitian dapat dilihat pada tabel berikut. 2
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasakan Karakteristik Responsen di SDN 173538 Balige
Karakteristik Anak Sekolah Jenis Kelamin a. Laki-laki b. Perempuan Total Umur (Tahun) a. 8 – 9 b. 9 - 10 c. 10 - 11 d. 11 - 12 Total Status Gizi Menurut TB/U a. Sangat Pendek b. Pendek c. Normal Total
n
%
24 36 60
40,0 60,0 100,0
10 25 16 9 60
16,7 41,7 26,7 15,0 100,0
1 10 49 60
1,7 16,7 81,7 100,0
Berdasarkan tabel 1 di atas diketahui bahwa bahwa jenis kelamin anak sekolah yang paling banyak adalah perempuan sebanyak 36 orang (60,00%), sedangkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 24 orang (40,00%). umur anak sekolah yang paling banyak adalah berkisar 9-10 tahun yaitu sebanyak 25 orang (41,7%). Sebagian besar anak sekolah memiliki tinggi badan normal sesuai umurnya masing-masing yaitu sebanyak 49 orang (81,7%). Sedangkan ada 10 orang (16,7%) memiliki tinggi badan pendek dan 1 orang (1,7%) sangat pendek. Karakteristik Orang Tua Karakteristik orang tua responden meliputi pendidikan, pekerjaan, penghasilan, dan tinggi badan orang tua. tingkat pendidikan orang tua responden paling banyak adalah tamat SLTA/SMA yaitu sebanyak 35 orang (58,3%). Mata pencaharian orang tua responden paling banyak adalah wiraswasta yaitu 25 orang (41,7%). Penghasilan orang tua responden mayoritas berkisar Rp 1.000.000 – Rp 3.000.000 per bulan yaitu sebanyak 42 orang (70,0%). Tinggi badan ayah responden paling banyak berkisar 150-160 cm yaitu sebanyak 30 orang (50%). Sedangkan tinggi badan ibu responden paling banyak juga berkisar 150160 cm yaitu sebanyak 53 orang (88,3%).
Kecukupan Energi, Protein, dan Kalsium dari Konsumsi Makanan Kecukupan energi, protein, dan kalsium yang diperoleh dari makanan adalah rata-rata asupan ketiga zat gizi tersebut dari hasil food recall 24 jam terhadap responden. Tingkat konsumsi energi, protein, dan kalsium responden dikategorikan menjadi 4 (empat) berdasarkan sumbangan ketiga zat gizi terhadap AKG yang dianjurkan yaitu baik, sedang, kurang, dan defisit. Distribusi data responden berdasarkan kecukupan energi dari konsumsi makanan paling banyak mengalami kecukupan energi sedang yaitu 23 orang (38,3%), seperti terlihat pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Distribusi Responden Berdasakan Kecukupan Energi dari Konsumsi Makanan di SDN 173538 Balige
Kecukupan Energi Baik (≥ 100% AKG) Sedang ( 80% - 99% AKG) Kurang (70% - 80% AKG) Defisit (< 70% AKG) Jumlah
n 7 23 11 19 60
% 11,7 38,3 18,3 31,7 100,0
Namun, tidak sedikit juga anak sekolah yang mengalami kecukupan energy kurang dan defisit. Hal ini dikaitkan dengan penghasilan orang tua anak rata-rata sebanyak Rp 1.601.667 per bulan, ini menunjukkan tingkat perekonomian keluarga anak sekolah di SDN 173538 Balige mayoritas termasuk dalam ekonomi menengah ke bawah. Bila dilihat dari hasil food recall, banyak juga anak sekolah tidak rutin makan tiga kali sehari sehingga asupan energi kurang terpenuhi. Sedangkan jajanan mereka di sekolah juga tidak banyak menyumbangkan energi. Anak sekolah juga kurang mendapat informasi mengenai konsumsi makanan bergizi dan kecukupannya sehari-hari yang penting bagi tubuh anak. Distribusi data responden berdasarkan kecukupan protein dari konsumsi makanan paling banyak mengalami kecukupan protein baik dan sedang yaitu masing-masing sebanyak 22 orang (36,7%), seperti terlihat pada Tabel 3 di bawah ini. 3
Tabel 3. Distribusi Responden Berdasakan Kecukupan Protein dari Konsumsi Makanan di SDN 173538 Balige
Kecukupan Protein Baik (≥ 100% AKG) Sedang ( 80% - 99% AKG) Kurang (70% - 80% AKG) Defisit (< 70% AKG) Jumlah
n 22 22 10 6 60
% 36,7 36,7 16,7 10,0 100,0
Konsumsi protein anak lebih baik bila dibandingkan dengan konsumsi energi. Dari hasil wawancara food recall, peneliti mendapat informasi makanan harian anakanak dan dapat diketahui bahwa anak sekolah di SDN 173538 Balige ini sering mengkonsumsi ikan. Bila dilihat dari daerah tempat tinggal mereka juga dekat dengan perairan sehingga tidak sulit untuk mendapatkan ikan dan ikan selalu tersedia di pasar yang dapat dijangkau oleh setiap keluarga. Distribusi data responden berdasarkan kecukupan kalsium dari makanan paling banyak mengalami kecukupan kalsium baik yaitu sebanyak 23 orang (38,3%), seperti terlihat pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4. Distribusi Responden Berdasakan Kecukupan Kalsium dari Konsumsi Makanan di SDN 173538 Balige
Kecukupan Kalsium Baik (≥ 100% AKG) Sedang ( 80% - 99% AKG) Kurang (70% - 80% AKG) Defisit (< 70% AKG) Jumlah
n 23 4 4 29 60
% 38,3 6,7 6,7 48,3 100,0
Kalsium dalam tubuh hanya terdapat ± 2% dan 99% terdapat dalam tulang. Kalsium sangat penting dan dibutuhkan tubuh saat masa pertumbuhan karena dibutuhkan dalam pertumbuhan tulang dan gigi. Konsumsi kalsium yang kurang pada responden dapat dipengaruhi karena kurangnya asupan makanan yang mengandung kalsium tinggi. Kecukupan Energi, Protein, dan Kalsium dari Konsumsi Susu Kecukupan energi, protein, dan kalsium yang diperoleh dari susu adalah rata-
rata asupan ketiga zat gizi tersebut dari hasil food recall 24 jam terhadap responden. Tingkat konsumsi energi, protein, dan kalsium dari konsumsi susu dikategorikan berdasarkan persentase sumbangan ketiga zat gizi tersebut terhadap AKG yang dianjurkan. Tabel 5. Distribusi Responden Berdasakan Kecukupan Energi, Protein, dan Kalsium dari Konsumsi Susu di SDN 173538 Balige
Kecukupan Energi < 10% AKG 10% - 30% AKG Jumlah Kecukupan Protein < 10% AKG 10% - 30% AKG > 30% AKG Jumlah Kecukupan Kalsium > 10 % AKG 10% - 30% AKG 30% - 50% AKG > 50% AKG Jumlah
n 34 26 60
% 56,7 43,3 100,0
28 27 5 60
46,7 45,0 8,3 100,0
4 25 26 5 60
6,7 41,7 43,3 8,3 100,0
Berdasarkan hasil food recall diketahui rata-rata konsumsi energi anak sekolah. tingkat kecukupan energi yang diperoleh responden dari konsumsi susu paling banyak masih kurang dari 10% AKG yaitu sebanyak 34 orang (56,7%). Tingkat kecukupan protein yang diperoleh responden dari konsumsi susu paling banyak masih kurang dari 10% AKG yaitu sebanyak 28 orang (46,7%). Sedangkan tingkat kecukupan kalsium yang diperoleh responden dari konsumsi susu paling banyak di antara 30% 50% AKG yaitu sebanyak 26 orang (43,3%). Tingkat kecukupan energi dan protein dari konsumsi susu masih terlihat sedikit. Hal ini dikarenakan kuantitas konsumsi susu anak tidak banyak, rata-rata hanya 1-2 gelas per hari, begitu juga dengan frekuensi minum susu rata-rata hanya 1-2 kali dalam sehari. Bila dibandingkan kecukupan kalsium, maka asupan kalsium lebih banyak disumbangkan oleh susu dibanding energi dan protein. Hal ini karena susu adalah salah satu bahan pangan yang mengandung kalsium tinggi. 4
Susu merupakan salah bahan pangan yang mempunyai zat gizi lengkap dan bersumber kalsium tinggi, namun susu juga memiliki kelemahan dalam hal penyediaannya di keluarga yaitu karena harganya yang relatif mahal. Tidak semua keluarga pada anak sekolah di SDN 173538 Balige menyediakan susu untuk dikonsumsi secara rutin. Hal ini dikarenakan status ekonomi juga yang rata-rata masih menengah ke bawah. Namun, di sisi lain sebenarnya susu sangat mudah diterima oleh usia anak sekolah, bahkan tidak sedikit juga yang sangat menyukai susu. Sehingga bila konsumsi susu secara rutin tiap harinya dapat membantu menambah kecukupan gizi harian dan berguna juga untuk pertumbuhan anak sekolah. Hubungan Tinggi Badan Orangtua Dengan Tinggi Badan Anak Hasil tabulasi silang hubungan antara tinggi badan ayah dan ibu dengan tinggi badan anak diteliti dengan menggunakan uji chi-square dengan nilai signifikansi p value = 0,793 dan 0,818 artinya secara statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tinggi badan ayah dan ibu dengan tinggi badan anak. Hasil dari penelitian ini juga diketahui beberapa anak yang tinggi badannya dalam kategori pendek dan sangat pendek. Namun, bila dilihat dari tinggi badan orang tua anakanak tersebut, tinggi badan ayah dan ibunya masih masuk kategori normal atau standar. Hal ini dapat diasumsikan bahwa anak yang tinggi badannya pendek dan sangat pendek tidak dipengaruhi faktor genetik melainkan oleh faktor lainnya yaitu faktor asupan gizi. Bila dilihat dari kecukupan energi, protein, dan kalsium harian anak-anak tersebut masih kurang dari kecukupan gizi yang dianjurkan. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan teori bahwa genetik mempengaruhi tinggi badan. Namun, hal ini bisa saja terjadi karena tinggi badan anak juga tidak mutlak harus diturunkan dari orang tuanya melainkan juga dapat dipengaruhi asupan gizi pada masa bayi dan balita. Hal ini juga terjadi karena keterbatasan penelitian bahwa tinggi badan orang tua tidak diukur langsung saat itu juga setelah mengukur tinggi badan anak
melainkan hanya dengan menggunakan kuesioner yang diisi oleh orang tua, sehingga bisa saja tinggi badan yang diisi oleh orang tua tidak begitu pas dengan tinggi badan sebenarnya. Hubungan Kecukupan Energi dari Konsumsi Makanan Dengan Tinggi Badan Anak Hasil tabulasi silang antara kecukupan energi dari konsumsi makanan dengan tinggi badan anak diteliti dengan menggunakan uji chi-square dengan nilai signifikansi p value = 0,414, artinya secara statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kecukupan energi dari makanan dengan tinggi badan anak. Terdapat 31,7% anak mengalami defisit energi, hal ini tidak berpengaruh pada tinggi badan anak yang sebagian besar adalah normal. Food recall 24 jam yang dilakukan 2 kali tidak dapat menggambarkan kebiasaan makan seseorang karena makanan yang dikonsumsi selama satu atau dua hari tidak dapat memberikan efek terhadap perubahan tinggi badan pada seseorang secara langsung. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Jumirah, dkk tahun 2007 pada anak sekolah dasar di desa Namo Gajah Kecamatan Medan Tuntungan bahwa anak dalam penelitian tersebut anak yang sangat pendek umumnya mempunyai konsumsi energi yang kurang dan defisit, sementara anak-anak yang status gizinya normal (tidak pendek) menunjukkan konsumsi energi yang bervariasi dari tingkat konsumsi energi baik sampai defisit. Dengan kata lain ada anak yang tinggi badannya menurut umur normal tetapi mempunyai konsumsi energi yang defisit, sebaliknya ada anak yang status tinggi badannya pendek dan sangat pendek mempunyai konsumsi energi yang kurang dan sedang. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi badan sebagai indikator pertumbuhan linier lebih merupakan refleksi asupan gizi masa lalu bukan masa sekarang.
5
Hubungan Kecukupan Protein dari Konsumsi Makanan Dengan Tinggi Badan Anak Hasil tabulasi silang kecukupan protein dari konsumsi makanan dengan tinggi badan anak diteliti dengan menggunakan uji chi-square dengan nilai signifikansi p value = 0,000, artinya secara statistik menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara kecukupan protein dari makanan dengan tinggi badan anak. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Regar dan Sekartini tahun 2012 pada anak usia 5 - 7 tahun di kelurahan Kampung Melayu Jakarta Timur yaitu terdapat hubungan yang bermakna antara kecukupan asupan protein terhadap indeks TB/U dengan nilai signifikansi p = 0,037. Tinggi badan seseorang dipengaruhi oleh faktor langsung dan tidak langsung. Faktor langsung salah satunya adalah asupan makanan. Protein memiliki fungsi untuk pertumbuhan, merawat tubuh, dan fungsi pertahanan tubuh. Sesorang yang konsumsi proteinnya baik, maka proses pertunbuhan akan berjalan lancar, dan sistem kekebalan tubuh tidak akan terganggu dengan demikian tinggi badan akan terjaga dan tubuh tidak mudah terkena infeksi sehingga berpengaruh positif terhadap tinggi badan seseorang. Pengaruh protein terhadap pertumbuhan juga berkaitan dengan banyaknya hormon pertumbuhan yang disintesis oleh protein sehingga semakin banyak hormon pertumbuhan yang disintesis oleh protein makanya pertumbuhan tinggi badan akan berlangsung dengan baik. Hubungan Kecukupan Kalsium dari Konsumsi Makanan Dengan Tinggi Badan Anak Hasil tabulasi silang antara kecukupan kalsium dari konsumsi makanan dengan tinggi badan anak diteliti dengan menggunakan uji chi-square dengan nilai signifikansi p value = 0,077, artinya secara statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kecukupan kalsium dari konsumsi makanan dengan tinggi badan anak.
Hasil yang sama juga didapat dari penelitian Hardinsyah, dkk tahun 2008 pada siswa remaja di Bogor yaitu tidak terdapat hubungan yang nyata antara konsumsi kalsium dari pangan non susu dengan tinggi badan. Hal ini dapat terjadi karena konsumsi kalsium dari non-susu hanya merupakan sebagian dari asupan total kalsium harian. Pangan sumber kalsium seperti tahu, tempe, kacang-kacangan dan sayuran hijau mengandung serat dan oksalat yang akan membentuk garam tidak larut, sehingga menghambat absorpsi kalsium dalam tubuh (Almatsier, 2009). Kalsium di dalam tulang mudah dimobilisasikan ke dalam cairan tubuh dan darah, bila diperlukan untuk diteruskan kepada sel-sel jaringan yang lebih memerlukan. Kalsium secara nyata diperlukan untuk pertumbuhan karena merupakan bagian penting dalam pembentukan tulang dan gigi, juga dibutuhkan dalam jumlah yang lebih kecil untuk mendukung fungsi sel dalam tubuh. Diet rendah kalsium berarti rendah protein, dan protein juga dibutuhkan untuk pertumbuhan termasuk pembentukan tulang. Hubungan Kecukupan Energi dari Konsumsi Susu Dengan Tinggi Badan Anak Hasil tabulasi silang antara kecukupan energi dari konsumsi makanan dengan tinggi badan anak diteliti dengan menggunakan uji chi-square dengan nilai signifikansi p value = 0,164, artinya secara statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kecukupan energi dari susu dengan tinggi badan anak. Kecukupan energi paling banyak kurang dari 10% AKG yaitu 56,7%, hal ini tidak berpengaruh pada tinggi badan anak yang sebagian besar adalah normal. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suciati (2008) pada anak usia 4 – 6 tahun di TK Al-Husna Bekasi menyebutkan tidak ada hubungan antara sumbangan energi sehari dari makanan sumber kalsium dengan status gizi berdasarkan TB/U. Peneliti mengaitkan hasil penelitian ini dengan penelitian Suciati (2008) sebab susu juga termasuk ke dalam makanan bersumber kalsium tinggi. 6
Hubungan Kecukupan Protein dari Konsumsi Susu Dengan Tinggi Badan Anak Hasil tabulasi silang antara kecukupan protein dari konsumsi makanan dengan tinggi badan anak diteliti dengan menggunakan uji chi-square dengan nilai signifikansi p value = 0,039, artinya secara statistik menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara kecukupan protein dari susu dengan tinggi badan anak. Rata-rata tingkat kecukupan protein dari konsumsi susu yaitu sebesar 6,2675 mg dan kecukupan energi paling banyak kurang dari 10% AKG yaitu. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Suciati (2008) yang menyebutkan tidak ada hubungan yang bermakna antara sumbangan protein sehari yang berasal dari bahan makanan sumber kalsium dengan status gizi berdasarkan TB/U. Protein penting dan dibutuhkan seseorang pada masa pertumbuhan, khususnya anak-anak dan remaja. Tingkat energi yang kurang menyebabkan tubuh menggunakan protein untuk menggantikan fungsi energi, sehingga fungsi protein yaitu salah satunya untuk pertumbuhan akan terhambat. Kekurangan protein juga dapat mengakibatkan kekebalan tubuh sesorang menurun dan mudah terserang penyakit infeksi. kelebihan protein dapat mengakibatkan seseorang menjadi kelebihan berat badan (Almatsier, 2009). Hubungan Kecukupan Kalsium dari Konsumsi Susu Dengan Tinggi Badan Anak Hasil tabulasi silang antara kecukupan kalsium dari konsumsi makanan dengan tinggi badan anak diteliti dengan menggunakan uji chi-square dengan nilai signifikansi p value = 0,017 artinya secara statistik menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara kecukupan kalsium dari susu dengan tinggi badan anak. Rata-rata tingkat kecukupan kalsium dari konsumsi susu yaitu sebesar mg dan kecukupan energi paling banyak adalah antara 30% - 50% AKG yaitu 43,3%. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Hardinsyah, dkk (2008) yang menyebutkan bahwa tidak ada hubungan yang
nyata antara kalsium dari susu dengan tinggi badan. Hal itu karena selain kalsium, faktor yang mempengaruhi tinggi badan yaitu hormon pertumbuhan, IGF-I, faktor genetik, aktivitas harian dan olahraga. Dalam penelitian ini, justru tidak didapat hubungan genetik (tinggi badan orang tua) dengan tinggi badan anak. Rendahnya asupan kalsium bisa berdampak buruk terhadap kesehatan, terutama masalah pertumbuhan dan masalah kesehatan lain yang berhubungan dengan fungsi kalsium dalam tubuh. Kalsium merupakan komponen terbesar dalam tulang, sehingga asupan kalsium dari makanan penting untuk meningkatkan penambahan kekuatan dan kesehatan tulang (Krummel, 2006). KESIMPULAN 1. Kecukupan energi anak sekolah yang berasal dari makanan diperoleh hasil sebanyak 38,3% anak kecukupan energi sedang. Sedangkan kecukupan energi yang berasal dari konsumsi susu diperoleh hasil sebanyak 56,7% anak kecukupan energi < 10% AKG. 2. Kecukupan protein yang berasal dari makanan diperoleh hasil sebanyak 36,7% anak kecukupan protein sedang dan 36,7% anak kecukupan protein baik. Sedangkan kecukupan protein yang berasal dari konsumsi susu diperoleh hasil sebanyak 46,7% anak kecukupan protein < 10% AKG. 3. Kecukupan kalsium yang berasal dari makanan diperoleh hasil sebanyak 48,3% anak mengalami defisit kalsium. Sedangkan kecukupan kalsium yang berasal dari konsumsi susu diperoleh hasil sebanyak 43,3% anak kecukupan kalsium 30% - 50% AKG. 4. Status gizi berdasarkan tinggi badan anak menurut umur yaitu sebanyak 81,7% anak memiliki tinggi badan normal, 16,7% anak pendek, dan 1,7% anak sangat pendek. 5. Terdapat hubungan antara kecukupan protein dari makanan, kecukupan 7
protein dan kalsium dari susu dengan tinggi badan. 6. Tidak terdapat hubungan antara kecukupan energi dan kalsium dari makanan, dan kecukupan energi dari konsumsi susu dengan tinggi badan anak. SARAN Pihak sekolah SDN 173538 Balige disarankan bekerjasama dengan pihak Puskesmas Balige agar membuat suatu kegiatan penyuluhan mengenai asupan gizi harian yang baik dan manfaat minum susu bagi anak sehingga dapat meningkatkan status gizi dan prestasi belajar anak sekolah. Orang tua siswa juga sebaiknya dapat memperhatikan asupan makanan anak dari segi kuantitas sehingga kecukupan energi, protein, dan kalsium dapat terpenuhi sesuai kebutuhan. Dan anak sekolah di SDN 173538 Balige disarankan membiasakan makan secara teratur tiga kali sehari dan banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung sumber energi seperti nasi dan ubi, dan makanan sumber kalsium seperti ikan teri dan susu. Anak sekolah juga sebaiknya minum susu kerbau atau yang biasa disebut susu horbo untuk asupan gizi harian yang lebih optimal. DAFTAR PUSTAKA Almatsier, S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Cetakan VII. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Depkes RI. 1990. Pedoman Tenaga Gizi Puskesmas. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan RI.
peternakan.litbang.deptan.go.id/fulltek s/lokakarya/loksp08-35. Judarwanto, Widodo. 2012. Perilaku Makan Anak Sekolah. gizi.depkes.go.id/perilaku-makananak-sekolah.pdf. Diakses pada 19 Februari 2014. Jumirah, Zulhaida, dan Evawany. 2008. Status Gizi dan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Anak Sekolah Dasar di Desa Namo Gajah, Kecamatan Medan Tuntungan. Medan: FKM USU. Krummel B. 1996. Nutrition in Women’s Health. New York: Aspen Publication. Okada, Tomoo. 2004. Effect of cow milk consumption on longitudinal height gain in children. The American Journal of Clinical Nutrition, 80 (4), 1088-1089. Diperoleh 15 Mar 2014 dari http://ajcn.nutrition.org/content/80/4/1 088.2.full. Regar dan Sekartini. 2013. Hubungan Kecukupan Asupan Energi dan Makronutrien dengan Status Gizi Anak Usia 5-7 Tahun di Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur Tahun 2012. eJurnal Kedokteran Indonesia, 1: 3. Diperoleh 18 Juni 2014 dari http://journal.ui.ac.id. Suciati, Laila. 2008. Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Kalsium Dan Frekuensi Kalsium Serta Asupannya Dengan status Gizi Anak Usia 4-6 Tahun di TK AlHusna Bekasi Tahun 2008. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia.
Hardinsyah E, Damayanti dan W.Zulianti. 2008. Hubungan Konsumsi Susu dan Pangan Sumber Kalsium dengan Densitas Tulang dan Tinggi Badan Remaja. Prosiding Lokakarya Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020; 247-245. Diperoleh 14 Maret 2014 dari 8
GAMBARAN POLA KONSUMSI PANGAN DAN STATUS GIZI PADA PECANDU NARKOBA DI PANTI SOSIAL PAMARDI PUTRA INSYAF SUMATERA UTARA TAHUN 2014 Agustia Niranda Dalimunthe 1), Etti Sudaryati2), Mhd. Arifin Siregar2) 1)
Alumni Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, USU 2) Staf Pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Email : [email protected] ABSTRACT
Drug addicts are generally prone to nutritional problems. Nutritional problems experienced by drug addicts due to a decrease in appetite during the period when the influence of drugs and drug withdrawal. Low food intake and takes place in a relatively long period of time will cause a drug addict nutrient deficiency resulted in a decrease in nutritional status. This study aims to determine the pattern of food consumption and nutritional status of drug addicts in Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf. This study used a cross sectional design. The study population are drug addicts undergoing rehabilitation in PSPP Insyaf. Samples taken as many as 71 people with purposive sampling technique. Data was collected through interviews using questionnaires, forms of food records, a food frequency form and the form of food history. Drug addicts undergoing rehabilitation in PSPP Insyaf mostly aged 16-19 (57.7%) and undergo the most rehab for 5 months (38%). Frequency of drug addicts eat 3x / day with white rice consumed every day. For side dishes consumed 1-5x / week. Consumption of vegetables 1-5x / week. Unlike the long beans were consumed ≤2x / month. Fruits like banana, papaya, watermelon and cucumber consumed with 1-5x frequency / week. Energy consumption drug addicts mostly in the medium category (54.5%). Consumption of protein drug addicts mostly in the category of either 94.4%). Nutritional status of drug addicts in the vast majority is in the normal category (83.1%). Based on these results it is suggested to head the kitchen PSPP Insyaf more unwelcome attention of food or foods that cause allergies that are not often included in the diet or by replacing it with other foods. The energy consumption should be increased in order to meet the needs of drug addicts should be. There needs to be a nutritionist to set up the necessary nutritional needs of drug addicts. Keywords: Food Consumption, Nutritional Status, Drug Addicts PENDAHULUAN Penyalahgunaan narkoba merupakan penyakit kronik yang berulang kali kambuh, yang hingga sekarang belum ditemukan upaya penanggulangan yang memuaskan
secara universal, baik dari sudut prevensi, terapi, maupun rehabilitasi. Narkoba di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Disisi lain, apabila disalahgunakan
narkoba dapat menimbulkan ketergantungan dan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda (UU RI Nomor 35 Tahun 2009). Menurut United Nation Office on Drugs and Crime (2006) pemakai narkotika di dunia sebanyak 162,4 juta orang, pada tahun 2008 diperkirakan terjadi peningkatan 4% penyalahgunaan narkotika di seluruh dunia. Jumlah pengguna terus meningkat sampai dengan 2013, dari 24% pengguna ditahun 2004 menjadi 28% ditahun 2013. Sasaran utama peredaran narkotika yang sangat potensial bagi bandar atau pengedar narkotika adalah pelajar dan mahasiswa, dengan populasi yang cukup besar di dunia yaitu sekitar 16,9 juta orang pada tahun 2008 dan diperkirakan meningkat menjadi 22,3 juta orang pada tahun 2013 (BNN dan Pusat Penelitian Universitas Indonesia, 2008). Prevalensi penyalahgunaan narkotika di Indonesia mengalami peningkatan mulai 1,5% penduduk Indonesia pada 2004 menjadi 2,8% atau setara 5,6 juta jiwa. Pada tahun 2008 sebanyak 2 juta orang, mayoritas berumur 20-25 tahun dengan pengguna laki-laki yaitu 90%, usia 20-29 tahun sebanyak 68% terdiri dari perempuan sebanyak 9%, laki-laki 59%, sebagian besar telah menyelesaikan jenjang pendidikan tinggi sebanyak 80%. Sementara itu, jumlah kerawanan penyalahgunaan narkotika pada tahun 2008 hingga 2010 (Laporan Survei Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia, 2008). Prevalensi penyalahgunaan narkoba di lingkungan pelajar Sumatera Utara pada tahun 2009 mencapai 4,7 persen dari jumlah
pelajar dan mahasiswa atau sekitar 921.695 orang. Dari jumlah tersebut, 61 persen di antaranya menggunakan narkoba jenis analgesik dan 39 persen jenis ganja, amphetamine, ekstasi dan lem (Badan Narkotika Nasional, 2010). Para pengguna narkoba pada umumnya rawan terhadap masalah gizi. Menurut Damayanti (2002) dalam penelitian Ekawati (2009), tingkat keparahan ketergantungan narkoba berhubungan erat dengan tingkat keparahan malnutrisi. Energi dan protein dibutuhkan untuk meningkatkan ataupun mempertahankan status gizi pasien rehabilitasi narkoba. Status gizi yang optimal sangat dibutuhkan untuk mempercepat proses rehabilitasi dan untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Masalah gizi yang dialami pasien ketergantungan narkoba disebabkan oleh penurunan nafsu makan selama masa pengaruh obat dan ketika pecandu mengalami gejala putus obat (withdrawal symptoms) yang berupa kecemasan, kegelisahan, depresi, dan gejala psikis lainnya (Tjay, 2007;Hawari, 2001). Bagian penting dari mengobati kecanduan adalah untuk melengkapi gizi yang hilang melalui makanan dan suplemen (Gant 2002 dalam Miller 2010). Pengaturan diet dalam perawatan pecandu narkoba adalah suatu keharusan. Selain kerusakan oleh obat secara langsung pada tubuh, pecandu cenderung memiliki kebiasaan makan yang buruk, sehingga gizi yang baik sangat penting bagi kesehatan. Kementrian Sosial Republik Indonesia telah mengadakan beberapa tempat rehabilitasi dan Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSJO) bagi para pecandu narkoba untuk membantu mengurangi dan
menghilangkan ketergantungan narkoba. Dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang narkotika dan psikotropika, rehabilitasi terhadap penyalahgunaan narkoba dibagi menjadi dua jenis yaitu rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan yang dilakukan secara terpadu baik fisik, mental maupun sosial agar mantan penyalahguna narkoba dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat (Badan Narkotika Nasional, 2010). Di Sumatera Utara terdapat Pusat Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkoba PSPP “Insyaf” yang menampung para pengguna narkoba. Pengguna narkoba atau kelayan di PSPP Insyaf direhabilitasi paling cepat 9 bulan dan paling lama 12 bulan. Para kelayan dibedakan berdasarkan ketergantungannya yaitu detoksifikasi, entri unit, primary, reentri A dan re-entri B. Para kelayan tidak dikenakan biaya apapun selama direhabilitasi di panti tersebut. Semua dana yang berkaitan dengan panti berasal dari pemerintah. PSPP Insyaf bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kelayannya. Panti rehabilitasi narkoba harus memberikan pengaturan diet dan pola konsumsi makan yang baik pada pasien rehabilitasi narkoba yang bertujuan untuk menjaga dan mempertahankan status gizi dalam keadaan baik, sehingga daya tahan tubuh menjadi lebih baik. asupan makanan rendah dan berlangsung dalam jangka waktu yang relatif panjang, seseorang akan mengalami
defisiensi zat gizi yang berakibat pada penurunan status gizi. Pada pecandu narkoba hal ini akan berdampak pada proses pemulihannya dari ketergantungan narkoba. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2013 hingga Juli 2014 di Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Sumatera Utara. Populasi adalah seluruh pecandu narkoba yang menjalani rehabilitasi di PSPP Insyaf. Sebanyak 71 pecandu narkoba terpilih sebagai sampel penelitian. Pemilihan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Data primer yaitu data konsumsi makanan yang ambil untuk mengetahui jumlah energi, protein dan jumlah makanan yang dikonsumsi dengan menggunakan formulir food records dan riwayat makanan. formulir food frequency untuk mengetahui jenis dan frekuensi makanan yang dikonsumsi. Sedangkan status gizi dilihat dari pengukuran berat badan dan tinggi badan pecandu narkoba di Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf. Jenis makanan dan frekuensi makan diperoleh melalui food frekuensi. Jumlah makanan diperoleh dengan menggunakan formulir food records untuk pecandu narkoba yang hanya menerima asupan makanan dari panti dan formulir metode riwayat makanan untuk pecandu narkoba yang sudah bisa mengonsumsi makanan dari luar. Jumlah zat gizi diukur dengan menggunakan food record dan riwayat makanan dan hasilnya ditampilkan dalam bentuk persen. Tingkat kecukupan gizi diukur dengan melihat tingkat
konsumsi Energi dan Protein dengan menggunakan rumus (Supariasa, 2001): Hasil analisis bahan makanan akan dihitung rata-rata konsumsi energi dan proteinnya, kemudian dibandingkan dengan angka kecukupan energi dan protein. Tingkat energi dan protein dapat digolongkan atas (Supariasa, 2001) : Baik : ≥ 100% AKG, Sedang: 80%99% AKG, Rendah:70%-79% AKG, Defisit : < 70% AKG. Penilaian status gizi pecandu narkoba menggunakan metode antropometri dengan mengukur berat badan dan tinggi badan berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT). HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden PSPP insyaf terletak di Desa Lau Bakeri, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang. PSPP Insyaf saat ini memiliki 55 orang pegawai. Tahapan rehabilitasi di panti ini dibedakan dalam beberapa tahap yaitu entry unit, primary dan re-entry. Umur pecandu narkoba sebagian besar berada pada usia 1619 tahun sebanyak 41 orang (57,7%). pecandu narkoba saat dilakukan penelitian sebagian besar menjalani rehabilitasi selama 5 bulan (38%). Jenis narkoba yang digunakan pecandu narkoba yaitu ganja, shabu, inex, lem, dan miras. Ganja merupakan jenis narkoba yang paling banyak dikonsumsi (70,4%). Sebagian besar pecandu narkoba memakai narkoba selama 13-60 bulan sebesar (57,7%).
Pola Makan Pecandu Narkoba Menurut Jenis dan Frekuensi Makanan Jenis makanan yang dikonsumsi pecandu narkoba di PSPP Insyaf beragam jenisnya terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, sayur-sayuran, buah-buahan dan lain-lain. Frekuensi makan pecandu tersebut adalah 3xsehari. Dengan menu yang disajikan bervariasi setiap harinya. Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan food record dan food frequency makanan pokok yang dikonsumsi pecandu narkoba adalah nasi putih ≥1x/hari (100%). Dibandingkan dengan mie, roti, kentang atau sumber makanan pokok lainnya, para pecandu narkoba lebih memilih nasi putih untuk makanan pokok mereka. Bahkan untuk sarapan pagi juga mengonsumsi nasi putih atau terkadang nasi uduk. Penyelenggara makanan di Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf menyediakan jenis makanan yang beragam untuk lauk pauk. Lauk pauk memiliki protein yang tinggi. Sumber protein ada dua yaitu sumber protein hewani dan nabati. Protein hewani yang paling banyak dikonsumsi adalah ayam (97,2%) mengonsumsinya. Sedangkan untuk protein nabati yang paling banyak dikonsumsi adalah tahu (100%). Frekuensi makan pecandu narkoba sudah baik bila dilihat dari pola makan yang terdiri dari 3 kali makan utama. Frekuensi makan yang baik disebabkan para pecandu narkoba semua tinggal di dalam panti yang jadwal makannya sudah diatur dengan baik oleh pengurus panti. Begitu pula dengan jenis makanan yang dikonsumsi pecandu narkoba. makin beragam jenis makanan yang dikonsumsi akan semakin baik,
karena tidak ada satu makanan yang menyediakan semua unsur yang dibutuhkan (Wirakusumah, 1994). Tingkat Konsumsi Energi Pecandu Narkoba Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar pecandu narkoba memiliki tingkat konsumsi energi (53,3%). Hasil penelitian ini sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Syahputra (2011) di Pusat Rehabilitasi Sibolangit Center, yang menyatakan bahwa tingkat konsumsi energi pecandu narkoba sebagian besar berada pada kategori sedang (77,5%). Penelitian yang sama dilakukan oleh Putri (2012) di UPT Terapi dan Rehabilitasi BNN, yang menyatakan bahwa tingkat konsumsi energi berada pada kategori normal (56,4%). Hal yang menyebabkan konsumsi energi belum mencapai kategori baik dikarenakan keinginan mereka untuk memakan jenis makanan tertentu terhambat dikarenakan penetapan menu yang telah di buat oleh panti sehingga jika ada makanan yang tidak mereka suka, mereka tidak akan memakannya,. Jika hal ini berlangsung terus menerus akan berakibat pada jumlah konsusmsi energi mereka. Tabel
1.Distribusi Pecandu Narkoba Berdasarkan Tingkat Konsumsi Energi di PSPP Insyaf Sumatera Utara Tahun 2014 Tingkat Konsumsi Persen Jlh Energi (%) Sedang (80%-99%) 38 53,5 Rendah (70%-79%) 33 46,5 71 100 Jumlah
Tingkat Konsumsi Protein Pecandu Narkoba Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar pecandu narkoba memiliki tingkat
konsumsi protein kategori baik dengan jumlah (94,4%). Konsumsi protein pecandu narkoba di Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf hampir seluruhnya dalam kategori baik dengan kriteria ≥ 100. Ini menunjukkan bahwa penyelenggara makanan dipanti memerhatikan kebutuhan protein pecandu narkoba agar terpenuhi protein yang seharusnya. Konsumsi protein yang baik diperlukan bagi pecandu narkoba, tetapi tidak dianjurkan jika terlalu berlebih . Sebaiknya konsumsi protein tidak melebihi 120 persen. Menurut Depkes (1996) tingkat konsumsi protein ≥ 120 persen AKG termasuk ke dalam kategori kelebihan. Tabel
2.Distribusi Pecandu Narkoba Berdasarkan Tingkat Konsumsi Protein di PSPP Insyaf Sumatera Utara Tahun 2014 Tingkat Konsumsi Jlh Persen Protein (%) Baik (≥100%) 67 94,4 Sedang (80%-99%) 3 4,2 Rendah (70%-79%) 1 1,2 71 100 Jumlah
Status Gizi Pecandu Narkoba Status gizi merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara makanan yang masuk kedalam tubuh dengan kebutuhan tubuh akan zat gizi tersebut (Supariasa, 2001). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar pecandu narkoba memiliki status gizi normal (83,1%). Sedangkan untuk status gizi kurus ada sebanyak 7 orang (9,9%) dan status gizi gemuk sebanyak 5 orang (7%). Hal ini sedikit berbeda dengan status gizi saat awal pecandu narkoba menjalani rehabilitasi di Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Sumatera Utara. Status gizi kurus pada awal masuk sebanyak 16 orang (22,5%), status
gizi normal sebanyak 50 orang (70,4%) dan status gizi gemuk sebanyak 5 orang (7%). Terjadi perubahan dibeberapa kategori status gizi pada saat penelitian, ada pecandu narkoba yang turun berat badannya ada pula yang naik berat badannya, untuk tinggi badan tidak banyak berubah dari awal masuk. Perubahan berat badan ini dapat dipicu oleh selera makan, kondisi fisik dan psikologis pecandu narkoba tersebut. Ada saat mereka merasa tidak memiliki selera untuk makan dan ada saat mereka selera untuk makan. Kondisi fisik dan psikologi pecandu narkoba pun naik turun sehingga memengaruhi berat badan mereka yang nantinya berdampak pada status gizinya. Tabel
3.Distribusi Pecandu Narkoba Berdasarkan Status Gizi di PSPP Insyaf Sumatera Utara Tahun 2014 Awal Penelitian Status Gizi n % n % Kurus 16 22,5 7 9,9 Normal
50
70,4
59
83,1
Gemuk
5
7,0
5
7,0
Jumlah
71
100
71
100
Status Gizi Berdasarkan Tingkat Konsumsi Energi Pecandu Narkoba Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan didapat hasil bahwa untuk status gizi kurus paling banyak terdapat pada pecandu narkoba dengan tingkat konsumsi energi rendah sebanyak 4 orang (12,1%), untuk status gizi normal paling banyak terdapat pada pecandu narkoba dengan tingkat konsumsi energi sedang sebanyak 34 orang (89,5%). Sedangkan untuk status gizi gemuk terdapat pada pecandu narkoba dengan tingkat konsumsi
energi rendah sebanyak 4 orang (12,1%).Hal ini disebabkan pecandu narkoba memilah-milih makanan yang disajikan dan ada pecandu narkoba yang tidak menghabiskan makanan nya. Menu yang telah disiapkan oleh penyelenggara makanan Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Sumatera Utara ada yang tidak disukai oleh pecandu narkoba sehingga makanan yang disajikan tidak dimakan atau tidak dihabiskan. Pengaruh dari narkoba yang dikonsumsi juga masih berperan terhadap nafsu makan pecandu narkoba. Tabel
4.Distribusi Status Gizi Berdasarkan Tingkat Konsumsi Energi di PSPP Insyaf Sumatera Utara Tahun 2014
Tingkat Konsumsi Energi Sedang
Kurus n % 3 7,9
Status Gizi Normal n % 34 89,5
Gemuk n % 1 2,6
n 38
% 100
Rendah
4
25
4 12,1
33
100
12,1
75,8
Jlh
Status Gizi Berdasarkan Tingkat Konsumsi Protein Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan didapat hasil bahwa status gizi kurus terdapat pada pecandu narkoba dengan tingkat konsumsi protein baik sebanyak 6 orang (9%) dan sedang sebanyak 1 orang (33,3%). Untuk status gizi normal paling banyak terdapat pada pecandu narkoba dengan tingkat konsumsi protein baik sebanyak 56 orang (83,6%). Sedangkan status gizi gemuk paling banyak terdapat pada pecandu narkoba dengan tingkat konsumsi protein baik sebanyak 5 orang (7,5%). Tingkat konsumsi protein pecandu narkoba di Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf lebih tinggi dibandingkan tingkat konsumsi energi. Tingginya konsumsi protein pecandu narkoba
tidak ada berarti jika konsumsi energi masih rendah, karena protein makanan akan diubah menjadi energi untuk memenuhi kekurangan energi tubuh (Hardinsyah & Martianto 1992). Tapi, jika konsumsi protein terus meningkat dan melebihi batas maka akan tidak baik pengaruhnya terhadap tubuh. Kelebihan protein dalam makanan yang dikonsumsi dirusak dan sebagian besar nitrogennya dikeluarkan dalam bentuk urea. Beban yang harus dikerjakan dalam menyaring dan membuang hasil metabolisme oleh ginjal, meningkat bila konsumsi protein meningkat (Winarno 1993). Tabel
Tingkat Konsumsi Protein
5. Distribusi Status Gizi Berdasarkan Tingkat Konsumsi Protein di PSPP Insyaf Sumatera Utara Tahun 2014 Kurus
Status Gizi Normal
Baik
n 6
% 9
n 56
% 83,6
Sedang Rendah
1 0
33.3 0
2 1
66,7 100
Gem uk n % 5 7, 5 0 0 0 0
Jlh n 6 7 3 1
% 100 100 100
KESIMPULAN 1. Pecandu narkoba yang menjalani rehabilitasi di Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf sebanyak 71 orang. Sebagian besar berusia 15-19 tahun dengan jumlah 41 orang dan menjalani masa rehabilitasi sebagian besar selama 5 bulan yaitu sebanyak 27 orang. 2. Pecandu narkoba mengonsumsi makanan beragam jenisnya terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, sayur-sayuran, buah-buahan dan lain-lain. Frekuensi makan pecandu narkoba tersebut adalah 3xsehari dengan nasi putih dikonsumsi setiap hari dan nasi
uduk dikonsumsi ≤2x/bulan). Untuk lauk pauk seperti Ayam, telur, ikan dikonsumsi 15x/minggu. Begitu pula dengan konsumsi sayuran, tauge, bayam, kentang, wortel dan lainnya di konsumsi 15x/minggu. Berbeda dengan kacang panjang yang dikonsumsi ≤2x/bulan. Untuk buah-buahan yang biasa dikonsumsi adalah pisang, pepaya, semangka dan timun. Dikonsumsi dengan frekuensi 1-5x/minggu. 3. Konsumsi energi pecandu narkoba sebagian besar ada pada kategori sedang (80%99%) yaitu sebanyak 38 orang dan sebagian lagi masuk kedalam kategori rendah (70%79%) yaitu sebanyak 33 orang. 4. Konsumsi protein pecandu narkoba dengan kategori baik (≥100%) yaitu sebanyak 67 orang, dengan kategori sedang (80%-99%) yaitu sebanyak 37orang dan dengan kategori rendah (70%-79%) yaitu sebanyak 1 orang. 5. Status gizi pecandu narkoba yang menjalani rehabiltiasi di Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf paling banyak terdapat pada status gizi normal sebanyak 59 orang. SARAN 1. Perlu perhatian dari penyelenggara makanan Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Sumatera Utara terhadap makanan yang tidak disukai ataupun makanan yang menyebabkan alergi kepada pecandu narkoba agar tidak sering dimasukkan kedalam menu makanan atau dengan
cara menggantinya dengan makanan lain. 2. Perlu ditingkatkan konsumsi energi para pecandu narkoba agar memenuhi kebutuhan yang seharusnya. 3. Perlu adanya ahli gizi untuk mengatur kebutuhan gizi yang diperlukan pecandu narkoba. 4. Pihak Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf baiknya bekerjasama dengan dinas kesehatan untuk kepentingan pecandu narkoba yang menjalani rehabilitasi dipanti tersebut. DAFTAR PUSTAKA Badan Narkotika Nasional. 2010. Permasalahan Narkotika. Diakses tanggal 2 Februari 2014. http://www.bnn.go.id. Badan Narkotika Nasional dan Pusat Penelitian Universitas Indonesia, 2008. Pemakai Narkotika Dunia. Diakses tanggal 14 februari 2014. http://www.bnn.go.id. Depkes RI. 1996. Buku Pedoman Petugas Gizi dan Puskesmas. Jakarta : Depkes. Ekawati, Francisca Indah. 2009. Hubungan Antara Keadaan Depresi Dengan Status Gizi Pada Pengguna Opiat di Pusat Rehabilitasi Narkoba. [Skripsi]. Semarang : Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Hardinsyah, Martianto D. 1992. Gizi Terapan. Bogor : Kerjasama Depdikbud Dirjen Dikti
dengan PAU Pangan dan Gizi IPB. Hawari, Dadang. 2001. Manajemen Stress, Cemas, dan Depresi. Jakarta : Fakultas Kedokteran UI. Indonesia. Undang-undang Tentang Narkotika. UU No 35 Tahun 2009, LN No 143 tahun 2009, TLN No 562. Laporan Survei Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia. 2008. Studi Kerugian Ekonomi, Sosial Akibat Narkotika. Diakses tanggal 2 februari 2014. Miller, R. 2010. Nutrition in Addiction Recovery. Diakses tanggal 14 Maret 2014. http://www.mhof.net. Putri, Ayuningtyas Nur Husna. 2012. Penyelenggaraan Makanan, Konsumsi Pangan, dan Status Gizi Residen di Unit Pelaksana Teknis Terapi dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional. [Skripsi]. Bogor : Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Intstitut Pertanian Bogor. Supariasa DN, Bakri Bachyar, Fajar Ibnu. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC. Syahputra, Irfan. 2011. Pola Makan. Aktifitas Fisik, dan Status Gizi Penderita Narkoba di Pusat Rehabilitasi Sibolangit Center Kabupaten Deli Serdang. [Skripsi]. Medan : Fakultas Kesehatan
Masyarakat Sumatera Utara.
Universitas
Tjay TH, Rahardja. 2007. Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya. Jakarta : Gramedia. Winarno, FG. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta : Gramedia Pustaka. Wirakusumah, E. 1994. Cara Aman dan Efektif Menurunkan Berat Badan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
POLA KONSUMSI, STATUS GIZI DAN PRESTASI BELAJAR PADA ANAK VEGETARIAN DAN NON VEGETARIAN KELAS V SEKOLAH DASAR DI YAYASAN PERGURUAN BODHICITTA MEDAN TAHUN 2013 Roy Charles Marpaung 1, Albiner Siagian 2, Etti Sudariyati 2 1 Program Sarjana Gizi Kesehatan Masyarakat FKM-USU 2 Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM-USU, Medan 20155, Indonesia
ABSTRACT Having consumption in vegetarian pattern is defined taking consumption pattern of meal and food resources of vegetable only. Accordingly, a kid having less protein energy is going to get retardation in growth, susceptible on illness, noted mainly resulted in poorly condition in intelligence. The objective of this study is to determine the differences of the consumption pattern, nutritional status and study performance of kids with vegetarian and non vegetarian at Yayasan Perguruan Buddhis Bodhicitta-Institute of Medan for 2014. This study adopted a descriptive survey method with cross sectional approach. The research dealt with the condition differenced in consumption pattern, nutrition status and performance in study of those kids with vegetarian and non-vegetarian, provided them questionnaire involved 86 respondents that took them all in simple randomly. The result of study indicated that those kids in vegetarian in totally 52 kids (60.4%) and non-vegetarian of total 34 kids (39.6%). The distribution of age as respondent mostly noted in 11 years old about 37 kids (43.0%), the education rate of parent of respondent noted mostly having graduated SMA namely 30 kids (34.9%), their profession as parent of kid noted in private noted 50 people (58.1%), their consumption rate in energy noted in category of moderate namely about 32 kids (37.2%), consumption rate in protein noted of category moderate about 31 kids ((36.0%). height/age of respondent mostly noted is category in normal of 48 kids (55.85), body mass index of respondent mostly noted is category in normal of 23 kids (26.7%). Their performance as respondent mostly noted in category of less some 50 kids (58.1%). It is expected to those parent of kid in their daily life got consumption pattern of vegetarian could taken their food for meal in vegetarian with highly protein, calcium, and contained sufficiently zinc so that the nutrition required for growth should be fulfilled and the kids got as required. Keywords : Consumption Pattern, Nutrition Status, Study Performance, Vegetarian
1
guna mempertahankan kesehatan dan untuk meningkatkan prestasi siswa tersebut dalam bidang akademik. Pada anak usia masa sekolah, tubuh mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat baik fisik maupun psikis yaitu perubahan unik dan banyak pula pemantapan pola-pola kedewasaan (Riyadi, 2003). Oleh karena itu diperlukan zat gizi dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan kelompok umur lainnya. Keadaan gizi dan kesehatan yang baik merupakan beberapa faktor yang dapat mewujudkan keberhasilan siswa dalam mencapai prestasi belajar yang baik. Pengaruh makanan terhadap perkembangan otak, apabila makanan tidak cukup mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan, dan keadaan ini berlangsung lama, akan menyebabkan perubahan metabolisme dalam otak, berakibat terjadi ketidakmampuan berfungsi normal. Pada keadaan yang lebih berat dan kronis, kekurangan gizi menyebabkan pertumbuhan badan terganggu, badan lebih kecil diikuti dengan ukuran otak yang juga kecil. Jumlah sel dalam otak berkurang dan terjadi ketidakmatangan dan ketidaksempurnaan organisasi biokimia dalam otak. Keadaan ini berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan anak (Anwar, 2008). Dari hasil penelitian prestasi belajar siswa di salah satu sekolah dasar di kecamatan yang dilakukan pada tahun 2005, ternyata masih ada prestasi belajar siswa di bawah nilai rata-rata yaitu 7,04 sebesar 44,8% (Sukadi, 2005). Vegetarian secara umum ialah orang yang tidak mengonsumsi daging, baik daging sapi, ayam, kambing hingga ikan, dan hanya memakan sayur-sayuran, buah-buahan maupun bahan nabati lainnya. Pola hidup vegetarian sudah bukan hal
PENDAHULUAN Sepanjang hidup setiap manusia selalu mengejar prestasi menurut bidang dan kemampuan masing-masing, oleh karena itu prestasi merupakan suatu yang bersifat umum dan berlaku untuk semua manusia. Apabila dikaitkan dengan pendidikan, prestasi merupakan suatu hal yang harus dicapai dalam proses pembelajaran. Purwanto (2011), memberikan pengertian prestasi belajar yaitu “hasil yang dicapai oleh seseorang dalam usaha belajar sebagaimana yang dinyatakan dalam raport” dimana faktorfaktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa ada dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri siswa itu sendiri salah satunya adalah status gizi siswa, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar salah satunya adalah faktor keluarga. Menurut Purnakarya (2010), kekurangan zat gizi akan mengurangi kemampuan dan konsentrasi belajar siswa. Kekurangan zat gizi pada masa remaja akan berdampak pada aktivitas siswa di sekolah antara lain, sluggishness (lesu), mudah letih/lelah, hambatan pertumbuhan, kurang gizi pada masa dewasa, dan penurunan prestasi di sekolah (Elnovriza, 2008). Pengaturan keseimbangan zat gizi antara asupan dan kebutuhan tubuh sangat penting oleh karena kekurangan atau kelebihan zat gizi berpengaruh pada kondisi kesehatan dan status gizi siswa tersebut. Pengaturan makanan terhadap seorang siswa harus individual. Pemberian makanan juga harus memperhatikan jenis kelamin, umur, berat badan, serta aktivitas fisiknya (Giam, 2002). Bagi para siswa, faktor gizi merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk diperhatikan
1
pada ajaran agama Buddha, perguruan ini mengemban misi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Mayoritas siswa-siswi Perguruan Buddhis Bodhicitta merupakan anak yang vegetarian, dimana di kantin perguruan tersebut tidak diperbolehkan makanan yang mengandung daging. Berdasarkan survei awal yang dilakukan oleh peneliti pada 40 anak SD kelas 5 di Sekolah Bodhicitta Medan didapatkan data bahwa 26 anak (65%) yang vegetarian sedangkan sisanya 14 anak (35%) nonvegetarian, untuk rangking kelas 1-3 diraih oleh anak yang nonvegetarian sedangkan prestasi belajar/ranking anak vegetarian rata-rata berada di bawah anak yang nonvegetarian. Anak nonvegetarian juga memiliki berat badan dan tinggi badan yang lebih baik. Hal ini menjadi latar belakang peneliti untuk mengetahui pola konsumsi, status gizi dan prestasi belajar anak vegetarian dan non vegetarian siswa sekolah dasar di Yayasan Perguruan Bodhicitta Medan Tahun 2013. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah bagaimanakah, “ pola konsumsi, status gizi dan prestasi belajar anak vegetarian dan non vegetarian sekolah dasar di Yayasan Perguruan Bodhicitta Medan Tahun 2013”.
yang baru lagi untuk saat ini. Pada kenyataannya ada dua pola makan yang mempengaruhi pola hidup seseorang yaitu vegetarian dan non-vegetarian. Dewasa ini, penganut pola hidup vegetarian ini terus bertambah. Makanan mengandung nutrisi yang dibutuhkan otak untuk menghasilkan suatu zat kimia sebagai bahan dasar neurotransmiter, yang memungkinkan untuk dapat mempertinggi tugas mental seseorang, kandungan nutrisi tersebut juga akan berpengaruh pada terbentuknya proses emosi di otak. Pola konsumsi vegetarian merupakan suatu pola konsumsi yang mengkonsumsi makanan dari sumber nabati saja. Anak yang mengalami kurang energi protein akan terhambat pertumbuhannya, rentan terhadap penyakit terutama penyakit infeksi dan mengakibatkan rendahnya prestasi balajar anak. Beberapa studi mengatakan bahwa pertumbuhan anak vegetarian lebih bertahap dibandingkan dengan nonvegetarian. Dengan kata lain, anak vegetarian tumbuh lebih lambat sedikit pada awalnya, tetapi mereka akan menyusul juga nantinya. Pada akhirnya, tinggi dan berat anak vegetarian seimbang dengan anak yang mengkonsumsi daging. Adapun beberapa alasan orang untuk menjadi vegetarian yaitu alasan spiritual, alasan kesehatan, lebih hemat, dan untuk mengurangi pemanasan global, dimana fakta yang diungkap FAO tahun 2006 menjelaskan bahwa daging merupakan komoditi penghasil emisi karbondioksida paling tinggi (20%). Ini bahkan melampaui jumlah emisi gabungan dari semua kendaraan di dunia. Perguruan Buddhis Bodhicitta merupakan perguruan Buddhis pertama di Medan. Dengan berlandasan
Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pola konsumsi dan status gizi serta prestasi belajar anak vegetarian dan non vegetarian. 2. Tujuan Khusus 1. Mengetahui pola konsumsi energi dan protein anak vegetarian dan non
2
vegetarian di Yayasan Perguruan Bodhicitta Medan Tahun 2013 2. Mengetahui status gizi anak vegetarian dan non vegetarian di Yayasan Perguruan Bodhicitta Medan Tahun 2013 3. Mengetahui tingkat prestasi belajar siswa sekolah dasar baik yang vegetarian maupun nonvegetarian di sekolah dasar Perguruan Bodhicitta Medan Tahun 2013. 4. Mengetahui jenis vegetarian anak.
Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah survei yang bersifat deskriptif dengan menggunakan desain penelitian cros sectional. Dimana semua pengamatan pada semua variabel dilakukan sekali waktu dalam saat bersamaan. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar Yayasan Perguruan Bodhicitta Jalan Selam no 39/41 Medan, Sumatera Utara. Proses penelitian ini dilaksanakan pada bulan April tahun 2013 sampai dengan bulan Juli 2013.
Manfaat Penelitian 1. Sebagai masukan kepada Sekolah Dasar Perguruan Bodhicitta Medan Tahun 2013 tentang pola konsumsi, status gizi dan prestasi belajar anak vegetarian dan non vegetarian. 2. Diharapkan juga penelitian ini bermanfaat bagi wali murid dan guru yaitu dengan cara memberikan informasi tentang status gizi yang baik dapat meningkatkan prestasi belajar siswa sehingga guru tersebut akan menerapkannya kepada anak didik mereka.
Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah seluruh murid Sekolah Dasar kelas V di Yayasan Perguruan Bodhicitta Medan Tahun 2013 yaitu sebanyak 180 orang. Alasan memilih anak kelas V SD sebagai populasi adalah karena anak kelas V tersebut sudah memiliki kematangan berpikir secara ilmiah. Sampel adalah bagian dari populasi, yang pengambilannya dilakukan dengan metode non random sampling yaitu dengan teknik purposive sampling. Sampel pada penelitian ini adalah murid kelas V Sekolah Dasar Yayasan Perguruan Bodhicitta Medan. Adapun pertimbangannya yaitu siswa kelas V dianggap sudah dapat diwawancarai dan lebih mudah memahami pertanyaan yang diajukan. Berdasarkan survei awal populasi murid kelas V di Sekolah Dasar Yayasan Perguruan Bodhicitta Medan adalah 180 orang. Maka, besar sampel penelitian adalah berjumlah 86 orang.
Kerangka Konsep
Gambar 1. Kerangka Konsep
Pengolahan dan Analisa Data
METODE PENELITIAN
3
tahun 34 (39,5%) responden, umur 10 tahun sebanyak 15 (17,4%). Berdasarkan jenis kelamin, dimana jumlah responden anak laki-laki sebanyak 40 (46,5%) responden, dan responden anak perempuan sebanyak 46 (53,5%). Dari 86 responden terdapat 8 responden yang orangtuanya tamat SD (9,3%), 12 responden yang orangtuanya tamat SMP (13,9%), 30 responden yang orangtuanya tamat SMA (34,9%), 28 responden yang orangtuanya tamat S1 (32,6%), 6 responden yang orangtuanya tamat S2 (7,0%), dan 2 responden yang orangtuanya tamat S3 (2,3%). Dari 86 responden terdapat 50 responden yang orangtuanya bekerja sebagai wiraswasta (58,1 %), 16 responden yang orangtuanya bekerja sebagai tenaga pengajar (18,6%), dan 20 responden yang orangtuanya bekerja sebagai karyawan (23,3%)
Data yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah dengan tahapan sebagai berikut : 1. Editing (pemeriksaan data) bertujuan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan jawaban atas pertanyaan. Apabila terdapat jawaban yang belum lengkap atau terdapat kesalahan, maka data harus dilengkapi dengan wawancara kembali terhadap responden. 2. Coding (pemberian kode) yaitu data yang telah terkumpul dikoreksi ketepatan dan kelengkapannya, kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual. 3. Entry (pemasukan data dalam komputer) setelah semua data terkumpul maka dilakukan pemasukan data ke komputer. 4. Cleaning data entry bertujuan untuk memeriksa data yang telah dimasukkan kedalam komputer guna menghindari terjadinya kesalahan pada saat pemasukan data. Data yang telah diolah selanjutnya dianalisa dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi kemudian dapat dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi yang disertai dengan uraian tentang jumlah dan persentase menurut masing-masing variabel penelitian.
2. Pola Konsumsi Energi dan Protein Anak Vegetarian dan NonVegetarian Tabel 1. Distribusi Tingkat Konsumsi Energi Pada Anak Vegetarian dan Nonvegetarian Kelas V Sekolah Dasar di Yayasan Bodhicitta Medan Tahun 2013
No
HASIL PENELITIAN 1. Karakteristik Anak dan Orangtua Data hasil penelitian ditunjukan dalam Tabel 1. Dari hasil penelitian yang dilakukan di Yayasan Perguruan Bodhicitta Medan tahun 2013 diperoleh hasil distribusi responden umur 11 tahun sebanyak 37 (43,0%) responden, umur 12
1 2 3 4
4
Non Vegetari Vegetari Jumlah an an n % n % n % Defisit < 70% 12 14,0 2 2,3 14 16,2 AKG Kurang 70%- 20 23,3 8 9,3 28 32,6 80% AKG Sedang 80%- 16 18,6 16 18,7 32 37,2 99% AKG Baik ≥ 100% 4 4,7 8 9,3 12 14,0 Jumlah 52 60,6 34 39,6 86 100,0 Tingkat Konsumsi Energi
4. Prestasi Belajar Anak Vegetarian dan Anak Nonvegetarian Diperoleh bahwa jumlah responden dengan prestasi belajar kurang sebanyak 55 (64,0%), dan jumlah responden dengan prestasi belajar baik sebanyak 31 (36,0%) responden. Jumlah anak dengan prestasi belajar pada kelompok anak vegetarian dikatakan baik sebanyak 14 (16,3%) responden dan pada nonvegetarian sebanyak 22 (25,6%) responden. Jumlah anak dengan prestasi belajar kurang pada kelompok vegetarian sebanyak 38 (44,2%) responden dan pada nonvegetarian sebanyak 12 (13,9%) responden.
Pola konsumsi Berdasarkan tingkat konsumsi energi responden diperoleh responden dengan pola konsumsi defisit sebanyak 14 (16,2%) responden, responden dengan pola konsumsi energy kurang sebanyak 28 (32,6) responden, responden dengan tingkat konsumsi energi sedang sebanyak 32 (37,2%) responden dan responden dengan tingkat konsumsi energi baik sebanyak 12 (14,0) responden. 3. Status Gizi Anak Vegetarian dan Nonvegetarian Tabel 2. Distribusi Frekuensi Tinggi Badan Menurut Umur Pada Anak Vegetarian dan Nonvegetarian Kelas V Sekolah Dasar di Yayasan Bodhicitta Medan Tahun 2013
No 1 2 3
Tinggi Badan/ Umur
Tinggi Normal Pendek Sangat 4 Pendek Jumlah
Tabel 3. Distribusi Prestasi Belajar Pada Anak Vegetarian dan Nonvegetarian Kelas V Sekolah Dasar di Yayasan Bodhicitta Medan Tahun 2013
Anak Vegetaria Nonveget Total n arian f % f % f % 17 19,7 6 7,0 23 26,7 25 29,1 23 26,7 48 55,8 8 9,3 5 5,8 13 15,2 2 2,3 2 2,3 0 0 52
60,4
34 39,6
86
Anak Prestasi Nonvegeta Total No Vegetarian rian Belajar n % n % n % 1 Kurang 38 44,2 12 13,9 50 58,1 2 Baik 14 16,3 22 25,6 36 41,9 Jumlah 52 60,5 34 39,5 86 100
5. Jenis Vegetarian Diperoleh bahwa jumlah responden dengan menganut jenis vegetarian lactoovo sebanyak 26 (50,0%), jumlah responden yang menganut jenis vegetarian ovo sebanyak 12 (23%), Diperoleh bahwa jumlah responden dengan menganut jenis vegetarian lacto sebanyak 10 (19,2%), dan jumlah responden dengan menganut jenis vegetarian murni/vegan sebanyak 4 (7,7%).
100
Jumlah anak dengan indeks massa tubuh menurut umur dikatakan normal pada anak vegetarian sebanyak 19 (22,1%) responden dan pada nonvegetarian sebanyak 4 (4,6%) responden. Jumlah anak dikatakan sangat kurus pada anak vegetarian sebanyak 12 (13,8%) responden dan pada anak nonvegetarian sebanyak 3 (3,6%) responden.
Tabel 4. Distribusi Jenis Vegetarian Pada Anak Vegetarian Kelas V
5
aspek lainnya yang membuat penakaran terhadap asupan makanan tidak baik.
Sekolah Dasar di Yayasan Bodhicitta Medan Tahun 2013 N o 1 2 3 4
Jenis Vegetarian Vegetarian Murni Lacto-ovo Vegetarian Lacto Vegetarian Ovo Vegetarian Jumlah
Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) Anak Vegetarian dan Non Vegetarian
Jumlah n % 4 7,7 26 50,0 10 19,2 12 23,0 52 100,0
Berdasarkan tinggi badan menurut umur pada anak vegetarian yang dikatakan normal sebanyak 17 (19,7%) responden dan nonvegetarian 23 (26,7%) responden di Yayasan Perguruan Bodhicitta tahun 2013. Menerapkan pola makan yang benar kepada anak-anak sejak dini, akan berdampak positif terhadap kesehatan, berat badan, kebutuhan pelayanan kesehatan mereka di kemudian hari. Hal ini banyak dikarenakan oleh konsumsi makanan yang kurang beragam serta pada penelitian terdahulu yang dilakukan peneliti anak vegetarian memang memiliki pertumbuhan yang lebih lambat dibanding anak non vegetarian di Yayasan Perguruan Bodhicitta tahun 2013.
PEMBAHASAN Pola Konsumsi Anak Vegetarian dan Non Vegetarian Diketahui bahwa pola konsumsi anak vegetarian defisit sebanyak 34 (39,5%) dan nonvegetarian 16 (18,6%) pada anak kelas V sekolah dasar di Yayasan Perguruan Bodhicitta Medan Tahun 2013. Hal ini dikarenakan jenis makanan yang diasup oleh para anak mencakup jenis makanan, frekuensi makanan ataupun tingkat konsumsi energi dan tingkat konsumsi protein pada anak vegetarian kurang baik dan penelitian ini dilakukan hanya dalam 1 (satu) hari jadi hasil (sistem recall 24 jam) yang diperoleh kurang memuaskan pada anak kelas V sekolah dasar di Yayasan Perguruan Bodhicitta Medan tahun 2013. Kemungkinan daya ingat anak pada jenis, jumlah makanan yang diasup kurang tepat pengkategoriannya. Menurut Siagian (2010), sistem metode ingatan 24 jam ini kurang cocok diterapkan pada usia anak-anak karena daya ingat yang masih kurang sehingga subjek akan memperkirakan secara berlebihan atau kurang dari perkiraan asupan makanan yang dikonsumsi serta
Indeks Massa Tubuh Menurut Umur Pada Anak Vegetarian dan Non Vegetarian Jumlah anak dengan indeks massa tubuh menurut umur dikatakan normal pada anak vegetarian sebanyak 19 (22,1%) responden dan pada nonvegetarian sebanyak 4 (4,6%) responden. Jumlah anak dikatakan sangat kurus pada anak vegetarian sebanyak 12 (13,8%) responden dan pada anak nonvegetarian sebanyak 3 (3,6%) responden. Vegetarian atau vegetarianisme merupakan aliran agama Budha dimana kaum penganutnya tidak mengonsumsi produk-produk hewani dan turunannya. Banyak alasan seseorang mengubah pola makan dari semula pemakan daging
6
menjadi vegetarian seperti alasan kesehatan, ekonomi, etika dan alasan spiritual. Isu kesehatan menjadi salah satu alasan utama seseorang menjadi vegetarian. Makanan nabati ternyata berdampak sangat baik bagi kesehatan umum dan bisa menghindarkan atau mengurangi risiko berbagai penyakit degeneratif. Sehingga mempengaruhi indeks massa tubuh anak.
SARAN 1. Memberikan penyuluhan tentang makanan bergizi dan mendorong anak agar memperbaiki pola belajar dan konsumsi yang tidak baik pada anak vegetarian dan nonvegetarian. 2. Perlu diadakannya seminar kepada orangtua murid vegetarian agar para orangtua tersebut lebih tepat memilih bahan makanan vegetarian yang mempunyai nilai protein, kalsium, zat besi yang dibutuhkan dalam masa pertumbuhan anak. 3. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat memberikan masukan yang lebih baik dan pada populasi yang besar dengan menilai aspek-aspek lainnya yang mempengaruhi pola konsumsi, status gizi dan prestasi belajar pada anak sekolah dasar kelas V.
Prestasi Belajar Pada Anak Vegetarian dan Non Vegetarian Jumlah anak dengan prestasi belajar pada kelompok anak vegetarian dikatakan baik sebanyak 14 (16,3%) responden dan pada nonvegetarian sebanyak 22 (25,6%) responden. Jumlah anak dengan prestasi belajar kurang pada kelompok vegetarian sebanyak 38 (44,2%) responden dan pada nonvegetarian sebanyak 12 (13,9%) responden. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA Setelah data dianalisa maka dihasilkan kesimpulan sebagai berikut : 1. Pola konsumsi anak non vegetarian sedikit lebih baik dari anak vegetarian dikarenakan asupan makanan anak non vegetarian lebih bervariasi sehingga tingkat kecukupan energi dan proteinnya lebih baik daripada anak vegetarian. 2. Jenis vegetarian yang paling banyak ditemukan adalah Lacto-ovo sebanyak 26 anak (50%). Yaitu anak vegetarian yang masih boleh mengkonsumsi telur dan susu serta olahannya. 3. Prestasi belajar pada kelompok anak non vegetarian lebih tinggi dibanding anak vegetarian dilihat dari perbandingan nilai pelajaran.
Anwar, M.H. 2008. Peranan Gizi dan Pola Asuh dalam Meningkatkan Kualitas Tumbuh Kembang Anak. http://www.whandi.net, diakses 22 Januari 2013 Almatsier, S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama As’ad, S. 2007. Gizi Kesehatan Ibu dan Anak. Proyek Peningkatan Pendidikan Tertinggi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Christien, I. 2007. Asupan Energi Protein, Status Gizi, dan Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar Arjowinangun I Pacitan. Skripsi. Jurusan Gizi
7
Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta Fajriyah, N. 2008. Gambaran Karakteristik Ibu. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Giam, CK, Teh KC. 2002. Sport Medicine Exercise and Fitness Singapore : PG Publishing Pte Ltd Judarwanto, W. 2004. Mengatasi Kesulitan Makan pada Anak. Jakarta: Penebar Swadaya Khomsan, A. 2004. Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Lemeshow, David, WH, Janelle, K & Stephen KL, 1997, Penerjemah Pramono Kusnanto. Besar Sampel dalam Penelitian. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Miewald C. 2003. Dietetian of Canada. Canadian Journal of Dietetic Practice and Research 64(2):62-81. Moehji, 2003. Ilmu Gizi 2. Jakarta: Penerbit Paras Sinar Siranti Notoatmojo, S. 2002. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Novita, 2007. Pengaruh Status Gizi dan Lingkungan Belajar terhadap Prestasi Belajar Siswa SD di Beberapa Kelurahan Kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan. {Skripsi}. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB Prapti, A. 2008. Konsumsi Pangan, Status Gizi, dan Prestasi Belajar pada Siswa-Siswi SMA Assalam Surakarta.{Skripsi}. Surakarta: Universitas Negeri Surakarta Purnakarya. 2010. Pengaruh Zat Gizi Pada Prestasi. (online). http://zatgizi,wordpress.com/
2010/10/13/, diakses tanggal 19 Januari 2013 Purwanto, Ngalim, M. 1996. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Riyadi, H. 2001. Buku Ajar Metode Penilaian Status Gizi secara Antropometri. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga Fakultas Pertanian IPB _______. 2003. Penilaian Status Gizi Secara Antropometri. Diklat Kuliah Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Falkutas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Sediaoetama, AD. 1996. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta: Dian Rakyat Siagian, A. 2010. Epidemiologi Gizi. Jakarta : Erlangga Soekirman. 1999. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Soemantri, AG. 1978. Hubungan Anemia Kekurangan Zat Besi dengan Konsentrasi dan Prestasi Belajar. {Skripsi}. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang Suhardjo. 1989. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya Sukadi, O. 2005. Hubungan Status Gizi dengan Prestasi Belajar Siswa di Sekolah Dasar Negeri Jrakah II Desa Jrakah Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali. TA Gizi, UMS Supariasa, dkk. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit EGC
8
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KETERLAMBATAN RUJUKAN IBU BERSALIN KE RUMAH SAKIT UMUM DAERAH GUNUNG SITOLI KABUPATEN NIAS TAHUN 2014 Christianty Olivia Zebua1; Ria Masniari Lubis2; Abdul Jalil Amri Arma2 1 Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat USU 2 Staf Pengajar Kesehatan Masyarakat USU
ABSTRACT
Gunungsitoli Hospital is a government hospital that became a referral centers in Nias Island. Referred to the maternity hospital, there are many who experience delays. Conducted this study in order to determine the factors associated with maternal referral delay to Gunungsitoli Hospital, in Nias Regency. The kind of this research was observational by the collection method of data was cross sectional. Population is all maternal who were referred to Gunungsitoli Hospital. The number of sample was 19 persons and this research used consecutive as technique sampling. It means that the sample were patients who were coming to the hospital when the research was done. The result of the research got that family decision, fund, and geographic did not have a significant relationship with maternal referral delay to Gunungsitoli Hospital. While the birth attendants factor have a significant relationship with maternal referral delay to Gunungsitoli Hospital by p value = 0,005 (<0,05). Competent birth attendants there are 10 people, which is 8 people (80%) is not too late and 2 (20%) were referred late. While birth attendants who are not competent, ie 1 (11.1%) is not too late and 8 (88.9%) were referred late. Advice is mainly health workers midwife or health centers are expected to more concerned about pregnant through antenatal surveillance and maternal and delivery is more sensitive to problems or indications that require immediate action and should be referred to hospital. Region governments are expected to pay more attention to public access to reach the health services and counseling efforts and training of the tradisional healer or shaman.
Keyword : Family decision, fund, geographic, birth attendants, maternal referral delay, Gunungsitoli Hospital
Pendahuluan Peningkatan status kesehatan masyarakat di Indonesia sudah mulai menunjukkan hasil nyata. Keberhasilan pembangunan kesehatan ini, salah satunya dapat dilihat dari periode 2004 sampai dengan 2007 terjadi penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dari 307 per 100.000
kelahiran hidup menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup. Keberhasilan tersebut masih perlu terus ditingkatkan, mengingat AKI di Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Berdasarkan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014, mengupayakan agar AKI dapat diturunkan menjadi 118 per
100.000 kelahiran hidup pada tahun 2014. Selain itu, kesepakatan global Millennium Development Goals (MDGs) menargetkan AKI di Indonesia dapat diturunkan menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 (Kemkes, 2011). Menurut Diah Saminarsih (2011) sebagai Asisten Utusan Khusus Presiden Indonesia untuk tujuan pembangunan Millennium Development Goals (MDGs), tingginya AKI dipengaruhi banyak faktor, diantaranya pembangunan yang belum merata sehingga infrastruktur maupun layanan kesehatan antara satu provinsi dengan provinsi lainnya berbeda. Terkadang, satu daerah hanya memiliki satu puskesmas dan itu jaraknya sangat jauh serta dengan kondisi jalan yang tidak baik. Selain itu, pengetahuan masyarakat agar bisa hidup sehat juga masih sangat kurang. Masih kurangnya tenaga kesehatan di daerah terutama daerah terpencil di Indonesia, juga merupakan salah satu penyebab masih tingginya angka kematian ibu melahirkan. Kebanyakan dari mereka yang hidup di daerah terpencil masih percaya dukun beranak. Menurut Riskesdas 2010, sekitar 43,2 % persalinan masih dilakukan di rumah, dan itu pun hampir separuhnya masih dibantu oleh tenaga non kesehatan atau dukun bersalin (Kemkes, 2011). Dalam upaya menjamin akses pelayanan persalinan yang dilakukan oleh dokter atau bidan, maka pada tahun 2011 Kementerian Kesehatan meluncurkan upaya terobosan berupa Jaminan Persalinan (Jampersal). Jampersal dimaksudkan untuk menghilangkan hambatan finansial bagi ibu hamil untuk mendapatkan jaminan persalinan, yang di dalamnya termasuk pemeriksaan kehamilan, pelayanan nifas termasuk KB pasca persalinan, dan pelayanan bayi baru lahir. Dengan demikian, kehadiran Jampersal diharapkan dapat mengurangi terjadinya hambatan dalam pertolongan persalinanan sehingga dapat mengakselerasi tujuan pencapaian MDGs, khususnya MDGs 4 dan 5 (Kemkes, 2011). Di Kabupaten Nias tahun 2008, AKI tercatat 286 per 100.000 kelahiran hidup.
Data ini diperoleh dari Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Nias, dari kejadian AKI yang dilaporkan di puskesmas. Hasil penelitian ini kemudian tidak dapat dijadikan patokan karena data yang diperoleh hanya dari puskesmas, dan tidak melibatkan pusat pelayanan kesehatan yang lain seperti dari klinik, balai pengobatan dan terutama dari RSUD Gunungsitoli sebagai rumah sakit rujukan dan merupakan satu-satunya rumah sakit pemerintah di pulau Nias (Dinkes Nias, 2008). Tingginya AKI disebabkan oleh berbagai faktor, seperti umur ibu, paritas, kehamilan yang tidak dikehendaki (unwanted pregnancy), komplikasi kehamilan seperti perdarahan, infeksi masa nifas, pre-eklampsi, eklampsi, partus macet, ruptur uteri, komplikasi abortus provokatus. Faktor lain yang mempengaruhi tingginya AKI adalah kurangnya sarana kesehatan, penanganan medis yang tidak tepat, kurangnya tenaga kesehatan yang terampil dan kompeten, serta kemiskinan. Tingginya AKI juga dipengaruhi oleh tiga terlambat yang kemudian dikembangkan menjadi empat terlambat, yaitu terlambat pengenalan dini adanya tanda bahaya atau masalah atau faktor resiko melalui skrining antenatal proaktif; terlambat mengambil keputusan oleh keluarga tentang persiapan dan perencanaan persalinan, tempat dan penolong yang sesuai dengan ibu hamil, didukung dengan kesiapan mental, biaya, transportasi dan kesiapan persalinan yang aman; terlambat pengiriman dan transportasi ke pusat rujukan, mencegah keterlambatan ini adalah bertujuan agar sampai di rumah sakit rujukan dengan keadaan ibu dan bayi masih baik; penanganan yang adekuat di rumah sakit rujukan, penanganan diberikan dengan segera, oleh tenaga professional secara efektif dan efesien, baik dilihat dari segi waktu dan biaya (Wahyuningsih, 2009). Meskipun penanggulangan biaya telah diupayakan melalui program Jamkesmas, namun ada faktor lain yang menghambat penurunan AKI terutama di daerah terpencil seperti di Pulau Nias.
Seperti halnya faktor non medik terlambatnya rujukan masih sangat besar pengaruhnya. Hal ini disebabkan karena pengaruh komplikasi persalinan yang tidak terduga, penolong pertama, jumlah penolong dan lama pertolongan di luar rumah sakit, pertolongan estafet atau berantai dan faktor geografis. Berdasarkan survei awal yang dilakukan peneliti di Rumah Sakit Umum Gunungsitoli Kabupaten Nias, jumlah ibu bersalin yang dirujuk yaitu antara 60-90 orang disetiap bulannya pada Januari 2012 sampai dengan Oktober 2013. Pada tahun 2012, jumlah rujukan ibu bersalin yang masuk ke kamar bersalin mencapai 1210 orang dan pada tahun 2013 per Oktober sebanyak 898 orang. Ibu bersalin yang dirujuk sebagian besar dirujuk oleh dokter bersalin dari tempat praktek dokter. Namun walau telah memeriksakan diri pada tenaga kesehatan, seringkali ibu bersalin tidak langsung datang untuk mendapat perawatan di rumah sakit. Beberapa diantaranya ada yang pulang ke kampung untuk mencari pengobatan tradisional atau malah pergi ke praktek bidan. Selain itu, masih ada juga yang dibantu oleh dukun bersalin dan kemudian dilarikan ke tempat praktek bidan dan akhirnya terlambat untuk dirujuk ke rumah sakit. Banyaknya tenaga kesehatan yang tidak kompeten pun mempengaruhi banyaknya masalah terlambat rujukan ibu bersalin. Meski mengetahui bahwa kondisi ibu bersalin harus dirawat di rumah sakit, namun tidak sedikit yang mencoba untuk menangani sendiri sehingga kondisi ibu sudah parah ketika akhirnya dibawa ke rumah sakit. Faktor lain yang turut menunjang terlambatnya rujukan, diantaranya karena yang mengambil keputusan adalah laki-laki atau suami dan keluarga. Sangat jarang untuk meminta atau mendengar pendapat ibu, memutuskan apa yang diinginkannya untuk persalinannya. Hal ini juga membuat terlambatnya ibu untuk datang dirujuk ke rumah sakit. Survei awal peneliti dilakukan dengan mewawancarai 2 orang ibu bersalin yang dirujuk dengan kondisi yang berbeda.
Ibu Y, berumur 32 tahun, telah melahirkan 3 orang anak hidup, pendidikan terakhir kelas II SD, persalinan terakhir ditolong oleh dukun beranak dan karena mengeluarkan banyak darah setelah plasenta lahir ibu dibawa ke bidan dan dirujuk ke RSUD Gunungsitoli. Ibu mengatakan selama kehamilan dan proses persalinan, dia tidak pernah dilibatkan atau ditanyakan pendapatnya. Suami dan keluarga (mertua) yang mengambil keputusan tentang pengobatan dan penolong persalinannya. Keluarga ini bekerja sebagai petani, dengan penghasilan kurang dari Rp. 500.000,- per bulan. Keluarga enggan membawa ke puskesmas karena merasa kurang diperhatikan dan pengobatannya juga biasabiasa saja. Jarak RSUD Gunungsitoli dengan Desa Tetehosi, sekitar 35-37 km dan butuh biaya besar dan tidak selalu ada kendaraan angkutan yang membawa. Karena hal tersebut, keluarga memutuskan untuk memanggil dukun beranak yang sudah biasa menolong persalinan di desa tersebut. Ibu mengatakan telah merasakan perutnya mules sejak kemarin malam dan oleh dukun, ibu Y diurut dengan tujuan agar cepat melahirkan kemudian disuruh mengedan. Pagi hari ibu baru melahirkan dan merasakan kelelahan karena sepanjang malam disuruh mengedan. Setelah plasenta lahir ibu merasakan keluar darah dari jalan lahir terus menerus. Hingga siang hari, darahnya masih keluar. Karena melihat tidak ada perubahan pada kondisi ibu, akhirnya keluarga memutuskan untuk membawa ibu ke tempat bidan. Setelah diperiksa oleh bidan, ibu Y dianjurkan untuk dirujuk ke RSUD. Sore hari, keluarga baru mendapatkan kendaraan untuk membawa ibu ke RS dan memerlukan waktu sekitar 45 menit sampai 1 jam selama diperjalanan. Ibu X, berumur 35 tahun, memiliki 5 orang anak hidup dan 2 kali mengalami keguguran. Ibu X tidak pernah bersekolah, dan riwayat persalinan yang lalu hanya dilakukan dirumah dan ditolong oleh dukun beranak. Ibu mengatakan kalau sesekali memeriksakan diri ke bidan desa setempat. Kehamilan ini merupakan kehamilan yang tidak direncanakan dan terjadi karena ibu
lupa untuk menyuntikan dirinya ke tempat bidan. Ibu bekerja sebagai petani sama dengan anggota keluarga lainnya. Ibu tinggal di Kecamatan Gunungsitoli Selatan tepatnya kurang lebih 8 km dari pusat kota atau RSUD Gunungsitoli. Seminggu yang lalu ibu X sempat memeriksakan diri ke dokter spesialis Obgin, oleh dokter ibu dirujuk ke RSUD atas indikasi plasenta previa totalis dan dianjurkan untuk opname. Namun mendengar hal tersebut, suami memutuskan untuk mengumpulkan semua keluarga untuk merembukannya dulu. Ibu baru dibawa ke rumah sakit karena rasa sakit yang menjalar dan darah yang banyak keluar dari jalan lahir, setelah sebelumnya ditolong oleh dukun beranak. Rumusan masalah pada penelitian ini yaitu Banyaknya ibu bersalin yang terlambat dirujuk ke RSUD Gunungsitoli, Kabupaten Nias. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan keterlambatan rujukan ibu bersalin ke RSUD Gunungsitoli, Kabupaten Nias.
Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah observasional, dengan metode pengumpulan data secara cross sectional yaitu pengumpulan seluruh variabel dilakukan pada waktu yang bersamaan. Penelitian ini dilakukan di RSUD Gunungsitoli Kabupaten Nias mulai dari dari Februari sampai dengan Mei 2014. Sampel yaitu seluruh ibu bersalin yang datang dirujuk ke RSUD Gunungsitoli tanggal 20 – 31 Mei 2014, yang berjumlah 19 orang. Teknik pengambilan sampel secara consecutive artinya pasien yang datang pada saat penelitian dijadikan sebagai sampel. Data primer diperoleh melalui teknik wawancara sesuai dengan kuesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya dan observasi menggunakan cheklist. Data sekunder diperoleh dari rekam medik dan catatan medik ruang kamar bersalin RSUD Gunungsitoli.
Hasil dan Pembahasan Analisis Univariat Responden dalam penelitian ini adalah ibu bersalin yang datang dirujuk ke RSUD Gunungsitoli tanggal 20 – 31 Mei 2014, yang berjumlah 19 orang. Dari 19 ibu yang terbanyak berumur 25-30 tahun yaitu berjumlah 9 orang (47,4%) dan yang paling sedikit berumur di bawah 25 tahun yang berjumlah 2 orang (10,5%). Distribusi responden berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1. Distribusi Berdasarkan Umur No. 1. 2. 3. Total
Usia (Tahun) <25 25-30 >30
Responden
Jumlah 2 9 8 19
(%) 10,5 47,4 42,1 100,0
Pekerjaan ibu yang paling banyak sebagai ibu rumah tangga (IRT) yang berjumlah 11 orang (57,9%) dan yang paling sedikit bekerja sebagai wiraswata yang berjumlah 1 orang (5,3%). Distribusi responden berdasarkan pekerjaan dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2. Distribusi Berdasarkan Pekerjaan No. 1. 2. 3. 4. Total
Pekerjaan Ibu Rumah Tangga (IRT) Petani Pegawai Negeri Sipil (PNS) Wiraswasta
Responden
Jumlah 11
(%) 57,9
5 2
26,3 10,5
1 19
5,3 100,0
Dari 19 ibu bersalin yang dirujuk ke RSUD Gunungsitoli, yang paling banyak adalah ibu yang mengalami kehamilan 1 kali yang berjumlah 5 orang (26,3%) dan yang paling sedikit adalah ibu yang mengalami kehamilan 6 kali, 7 kali, dan 8 kali, masingmasing berjumlah 1 orang (5,3%). Distribusi responden berdasarkan frekuensi kehamilan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Kehamilan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Total
Frekuensi Kehamilan 1 Kali 2 Kali 3 Kali 4 Kali 6 Kali 7 Kali 8 Kali
Jumlah
(%)
5 4 3 4 1 1 1 19
26,3 21,0 15,8 21,0 5,3 5,3 5,3 100,0
(52,6%). Distribusi responden berdasarkan frekuensi abortus dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 6. Berdasarkan Ibu Bersalin No. 1. 2. Total
Distribusi Responden Keterlambatan Rujukan
Rujukan Tidak Terlambat Terlambat
Jumlah 9 10 19
(%) 47,4 52,6 100,0
Dari 19 ibu bersalin yang dirujuk ke RSUD Gunungsitoli, yang paling banyak adalah ibu yang belum pernah bersalin yang berjumlah 6 orang (31,6%) dan yang paling sedikit adalah ibu mengalami persalinan 4 kali berjumlah 1 orang (5,3%). Distribusi responden berdasarkan frekuensi persalinan dapat dilihat pada tabel berikut.
Dari 19 ibu bersalin yang dirujuk ke RSUD Gunungsitoli, ada 5 orang (26,3%) yang cepat dalam mengambil keputusan dan ada 14 orang (73,7%) yang lambat dalam mengambil keputusan. Distribusi responden berdasarkan keputusan keluarga terhadap keterlambatan rujukan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Persalinan
Tabel 7. Distribusi Responden Berdasarkan Keputusan Keluarga Terhadap Keterlambatan Rujukan
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Total
Frekuensi Persalinan Belum Pernah 1 Kali 2 Kali 3 Kali 4 Kali 6 Kali
Jumlah
(%)
6 4 3 3 1 2 19
31,6 21,0 15,8 15,8 5,3 10,5 100,0
Dari 19 ibu bersalin yang dirujuk ke RSUD Gunungsitoli, yang tidak pernah abortus berjumlah 12 orang (63,2%) dan yang 1 kali abortus berjumlah 7 orang (36,8%). Distribusi responden berdasarkan frekuensi abortus dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Abortus No. 1. 2. Total
Frekuensi Abortus Tidak Pernah 1 Kali
Jumlah
(%)
12 7 19
63,2 36,8 100,0
Dari 19 ibu bersalin yang dirujuk ke RSUD Gunungsitoli, yang tidak terlambat dirujuk berjumlah 9 orang (47,4%) dan yang terlambat dirujuk berjumlah 10 orang
No. 1. 2.
Keputusan Keluarga Cepat dalam pengambilan keputusan Lambat dalam pengambilan keputusan
Total
Jumlah (%) 5 26,3 14
73,7
19
100,0
Dari 19 ibu bersalin yang dirujuk ke RSUD Gunungsitoli, ada 6 orang (31,6%) yang memiliki ketersediaan dana dan ada 13 orang (68,4%) yang tidak memiliki ketersediaan dana. Distribusi responden berdasarkan faktor dana terhadap keterlambatan rujukan dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 8. Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Dana Terhadap Keterlambatan Rujukan No. 1. 2. Total
Faktor Dana Ada tersedia dana Tidak tersedia dana
Jumlah 6 13 19
(%) 31,6 68,4 100,0
Dari 19 ibu bersalin yang dirujuk ke RSUD Gunungsitoli, ada 9 orang (47,4%) dengan faktor geografis yang tidak menghambat proses rujukan dan ada 10
orang (52,6%) dengan faktor geografis yang menghambat proses rujukan. Distribusi responden berdasarkan faktor geografis terhadap keterlambatan rujukan dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 9. Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Geografis Terhadap Keterlambatan Rujukan No. 1. 2. Total
Faktor Geografis Tidak sulit Sulit
Jumlah
(%)
9 10 19
47,4 52,6 100,0
Dari 19 ibu bersalin yang dirujuk ke RSUD Gunungsitoli, ada 10 orang (52,6%) penolong persalinan yang kompeten dan ada 9 orang (47,4%) penolong persalinan yang tidak kompeten. Distribusi responden berdasarkan penolong persalinan terhadap keterlambatan rujukan dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 10. Distribusi Responden Berdasarkan Penolong Persalinan Terhadap Keterlambatan Rujukan No. 1. 2. Total
Penolong Persalinan Kompeten Tidak kompeten
Jumlah
(%)
10 9 19
52,6 47,4 100,0
Tabel 11. Hubungan Keputusan Keluarga dengan Keterlambatan Rujukan Ibu Bersalin No.
1
2
Keterlambatan Rujukan Tidak Terlambat terlambat n % n % Cepat dalam 3 60,0 2 40,0 mengambil keputusan Lambat dalam 6 42,9 8 57,1 mengambil keputusan Keputusan Keluarga
Total
n 5
14
% 100,0
0,628
100, 0
Tabel silang antara faktor dana dengan keterlambatan rujukan bahwa keluarga yang memiliki ketersediaan dana sebanyak 6 responden yaitu terlambat dirujuk sebanyak 1 orang (16,7%) dan yang tidak terlambat dirujuk sebanyak 5 orang (83,3%). Keluarga dengan tidak memiliki ketersediaan dana sebanyak 13 orang yaitu terlambat dirujuk sebanyak 9 orang (69,2%) dan yang tidak terlambat dirujuk sebanyak 4 orang (30,8%). Hasil uji statistik dengan uji chi square menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara faktor dana dengan keterlambatan rujukan (p = 0,057). Tabel 12. Hubungan Faktor Dana dengan Keterlambatan Rujukan Ibu Bersalin Keterlambatan Rujukan Total p Tidak Terlambat terlambat n % n % n % Tersedia dana 5 83,3 1 16,7 6 100,0 0,057 Tidak tersedia 4 30,8 9 69,2 13 100,0 dana
No. Faktor Dana
Analisi Bivariat Hubungan keputusan keluarga dengan keterlambatan rujukan ibu bersalin didapat bahwa keluarga yang cepat mengambil keputusan sebanyak 5 orang yaitu terlambat dirujuk sebanyak 2 orang (40,0%) dan yang tidak terlambat dirujuk sebanyak 3 orang (60,0%). Keluarga yang lambat dalam mengambil keputusan sebanyak 14 orang yaitu terlambat dirujuk sebanyak 8 orang (57,1%) dan yang tidak terlambat dirujuk sebanyak 6 orang (42,9%). Hasil uji statistik dengan uji chi square menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara keputusan keluarga dengan keterlambatan rujukan (p = 0,628).
p
1 2
Tabel silang antara faktor geografis dengan keterlambatan rujukan bahwa faktor geografis yang tidak sulit dalam proses rujukan sebanyak 9 responden yaitu terlambat dirujuk sebanyak 3 orang (33,3%) dan yang tidak terlambat dirujuk sebanyak 6 orang (66,7%). Faktor geografis yang sulit dalam proses rujukan sebanyak 10 orang yaitu terlambat dirujuk sebanyak 7 orang (70,0%) dan yang tidak terlambat dirujuk sebanyak 3 orang (30,0%). Hasil uji statistik dengan uji chi square menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara faktor
geografis dengan keterlambatan rujukan (p = 0,179). Tabel 13. Hubungan Faktor Geografis dengan Keterlambatan Rujukan Ibu Bersalin No.
Faktor Geografis
1
Tidak sulit Sulit
2
Keterlambatan Rujukan Total p Tidak Terlambat terlambat n % n % n % 6 66,7 3 33,3 9 100,0 0,179 3
30,0
7
70,0
10 100,0
Tabel silang antara penolong persalinan dengan keterlambatan rujukan bahwa penolong persalinan yang kompeten sebanyak 10 responden yaitu terlambat dirujuk sebanyak 2 orang (20,0%) dan yang tidak terlambat dirujuk sebanyak 8 orang (80,0%). Penolong persalinan yang tidak kompeten sebanyak 9 orang yaitu terlambat dirujuk sebanyak 8 orang (88,9%) dan yang tidak terlambat dirujuk sebanyak 1 orang (11,1%). Hasil uji statistik dengan uji chi square menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara penolong persalinan dengan keterlambatan rujukan (p = 0,005). Tabel 14. Hubungan Penolong Persalinan dengan Keterlambatan Rujukan Ibu Bersalin No. Penolong Persalinan 1 2
Kompeten Tidak kompeten
Keterlambatan Rujukan Tidak Terlambat Total terlambat n % n % n %
p
8
80,0
2
20,0
10 100,0 0,005
1
11,1 8
88,9
9
100,0
ibu bersalina. Kurangnya pengetahuan akan indikasi yang memerlukan rujukan segera, mengakibatkan penanganan yang salah pada ibu. Hal inilah mengakibatkan tingginya morbiditas dan mortalitas pada ibu bersalin. Selain itu, kurangnya sarana dan prasarana serta pengalaman pada tenaga kesehatan juga menimbulkan keterlambatan rujukan. Terkadang bidan mengabaikan indikasi yang sudah ada sehingga ketika melakukan tindakan ibu mengalami masalah akibat persalinan. Hal ini yang mengakibat keterlambatan rujukan ibu bersalin ke RSUD Gunungsitoli.
Saran Diharapkan kepada petugas kesehatan seperti bidan desa atau bidan puskesmas yang ditempatkan didaerah yang jauh dari rumah sakit, lebih peduli terhadap ibu hamil dalam pengawasan anatenatal care dan ibu bersalin dalam proses persalinan serta lebih peka terhadap masalah atau adanya indikasi yang membutuhkan penanganan segera dan perlu dirujuk ke rumah sakit. Kepada pemerintah diharapkan lebih memperhatikan akses masyarakat dalam mencapai tempat pelayanan kesehatan. Ketersediaan ambulans yang siap sedia di puskesmas dapat membantu masyarakat sebagai akses ke rumah sakit. Pemerintah juga diharapkan dapat melakukan upaya penyuluhan serta pelatihan terhadap tenaga tradisional atau dukun. DAFTAR PUSTAKA
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Berdasarkan penelitian didapatkan bahwa penolong persalinan berhubungan dengan keterlambatan rujukan ibu bersalin ke RSUD Gunungsitoli. Faktor penolong persalinan menghambat proses rujukan ibu bersalin ke rumah sakit. Pertolongan persalinan oleh penolong persalinan yang tidak kompeten mengakibatkan keterlambatan rujukan pada
APN, 2011. Asuhan Persalinan Normal Dan Inisiasi Menyusui Dini. Penerbit JNPK-KR, Jakarta. Data dan Informasi Kesehatan, 2011. 5 Provinsi Penyumbang Angka Kematian Ibu dan Bayi Terbanyak. http://infodakes.blogspot.com/2011/ 12/5-provinsi-penyumbang-angkakematian.html, diakses 11 Desember 2011.
Depkes, 2013. Menkes Luncurkan RAN PPAKI 2013-2015, RAN PPIA 2013-2017 dan Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. http://depkes.go.id/index.php?vw=2 &id=2417, diakses 26 September 2013. Kemkes, 2011. Jaminan Persalinan, Upaya Terobosan Kementerian Kesehatan dalam Percepatan Pencapaian Target MDGs http://www.kesehatanibu.depkes.go.i d/archives/99, diakses 28 Juli 2011. Manuaba, I, B, G, 2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi Dan KB. Penerbit EGC, Jakarta. Nazhrah, S, W, 2012. Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) Di Provinsi Sumatera Utara sebagai patokan bahwa target MDG5 belum tercapai. http://widnazpuff.blogspot.com/2012 /04/tingginya-angka-kematian-ibuaki-di.html, diakses 2012. Rachmaningtyas, A, 2013. Data SDKI 2012, Angka Kematian Ibu Melonjak. http://nasional.sindonews.com/read/ 2013/09/25/15/787480/data-sdki2012-angka-kematian-ibumelonjak, diakses 26 September 2013. Sindonews, 2013. Data SDKI 2012. http://nasional.sindonews.com/read/2 013/09/25/15/787480/data-sdki2012-angka-kematian-ibu-melonjak, diakses 26 September 2013. Sindonews, 2013. Diluncurkan, Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2012. http://www.poskotanews.com /2013/09/25/diluncurkan-hasil-
survei-demografi-kesehatanindonesia-2012/, diakses September 2013.
25
Sulistyawati, dkk, 2010. Asuhan Kebidanan Pada Ibu Bersalin. Penerbit Salemba Medika, Jakarta. Wahyuningsih, H, P, dkk, 2009. Dasardasar Ilmu Kesehatan Masyarakat Dalam Kebidanan. Penerbit Fitramaya, Yogyakarta.
GAMBARAN POLA MAKAN DAN STATUS GIZI IBU HAMIL DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BUHIT KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2014 Juspen Pery Simarmata1; Albiner2; Mhd.Arifin2 1 Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat USU 2 Staf Pengajar Kesehatan Masyarakat USU
Abstract In the pregnancy phase, a pregnant need food with content of different nutrients and a fulfill of nutrient that much bigger than before. One of problem that surface cause of undernutrition is energy chronic malnutrition which is recognized by size of upper arm circumference <23,5 cm that be found in Kabupaten Samosir Puskesmas Buhit work area. The purpose of this research is to find out diet of kind of food and food frequence, the number of energy and protein adequacy and the nutritional status of pregnant women in Puskesmas Buhit work area. This is a descriptive research with cross sectional design. Technic sampling in this research is simple random sampling. This research did on August 2014 located in Puskesmas Buhit work area, Kecamatan Pangururan with 74 of pregnant sample. This research takes the diet of kind of food and food frequence, the number of energy and protein adequacy and nutritional status data were analyzed by univariate to get the frequency distributions. The research shows that most of the nutritional status of pregnant women based on Upper Arm Circle did not have a high risk in Energy Chronic Malnutrition (>23,5 cm) is about 94,6%. Adequacy of energy in pregnant women shows 47,3% in medium category and adequacy of protein in pregnant women shows 45,9% in low category. It is required to pregnant women to pay attention her diet and give some information about nutrient, pregnancy and the influence of nutrient for pregnancy through health promotion that handle with health servant. Keywords: diet, nutritional status, pregnant women
Pendahuluan Masa kehamilan suatu janin bergantung sepenuhnya kepada ibunya untuk memperoleh zat gizi dan suatu lingkungan yang melindungi. Beberapa faktor yang menciptakan lingkungan ini dikendalikan oleh genetika , tetapi lainnya tergantung pada perilaku dan makanan si ibu (Walker, 2012). Pola makan ibu hamil yang baik selalu mengacu kepada gizi seimbang yaitu terpenuhinya semua zat gizi sesuai dengan kebutuhan dan seimbang. Pola makan ibu hamil sangat erat kaitannya dengan
kebiasaan makanan yang dikonsumsinya. Secara umum faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola makan ibu hamil adalah faktor ekonomi, faktor sosial budaya, pendidikan, dan lingkungan (Muliarini, 2010). Status gizi ibu hamil bisa diketahui dengan mengukur ukuran lingkar lengan atas, bila kurang dari 23,5 cm maka ibu hamil tersebut Kekurangan Energi Kronis (KEK). Ini berarti ibu sudah mengalami keadaan kurang gizi dalam jangka waktu yang telah lama, bila ini terjadi maka 1
kebutuhan nutrisi untuk proses tumbuh kembang janin menjadi terlambat, akibatnya melahirkan bayi BBLR (Depkes RI 2008). Ibu hamil yang menderita KEK dan Anemia mempunyai resiko kesakitan yang lebih besar terutama pada trimester III kehamilan dibandingkan dengan ibu hamil yang normal. Akibatnya mereka mempunyai resiko yang lebih besar untuk melahirkan bayi dengan BBLR, kematian saat persalinan, pendarahan, pasca persalinan yang sulit karena lemah dan mudah mengalami gangguan kesehatan. Bayi yang dilahirkan dengan BBLR umumnya kurang mampu meredam tekanan lingkungan yang baru, sehingga dapat berakibat pada terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan, bahkan dapat menganggu kelangsungan hidupnya (Maryunani, 2013). Hasil Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan prevalensi resiko KEK secara nasional mencapai 13,6 %. Tiga propinsi dengan resiko KEK yang tertinggi adalah NTT sebesar 24,6 %, Papua 21,3 % dan DIY 20,2 %. Sedangkan tiga propinsi dengan prevalensi resiko KEK terendah adalah Sulawesi Utara 5,8 %, Sumatera Utara 7,9 % dan Bengkulu 8,2 %. Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1992 dengan angka anemia Ibu hamil sebesar 63,5% sedangkan data SKRT turun menjadi 50,9%. Pada tahun 1999 didapatkan anemia gizi pada ibu hamil sebesar 39,5 %, pada tahun 2001 sebesar 40,1%. Banyak faktor yang terkait dengan status anemia ibu hamil yaitu status ekonomi, serta perolehan tablet zat besi. Menurut perkiraan WHO, pada tahun 1995 hampir semua (98 %) dari 5 juta kematian neonatal dinegara berkembang atau berpenghasilan rendah. Lebih dari dua pertiga kematian adalah BBLR yaitu berat badan lahir kurang dari 2500 gram. Secara global diperkirakan terdapat 25 juta persalinan pertahun dimana 17 % diantaranya adalah BBLR dan hampir terjadi dinegara berkembang. Daerah pedesaan banyak dijumpai ibu hamil dengan malnutrisi atau kekurangan gizi sekitar 33%. Secara umum penyebab
kekurangan gizi pada ibu hamil ini adalah konsumsi makanan yang tidak memenuhi syarat gizi yang dianjurkan. Jarak kehamilan dan persalinan yang berdekatan dengan ibu hamil dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah, sehingga menyebabkan ibu tidak mengerti cara pemenuhan nutrisi yang dibutuhkan si ibu selama kehamilannya (Depkes RI, 2002). Dari data Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir tahun 2011 dari 223 ibu hamil yang ada di wilayah kerja Puskesmas Buhit terdapat kasus ibu hamil Kekurangan Energi Kronis (KEK) sebanyak 26 orang dan kasus BBLR 7 orang, sedangkan pada tahun 2012 dari 217 ibu hamil yang ada di wilayah kerja Puskesmas Buhit terdapat kasus ibu hamil Kekurangan Energi Kronis (KEK) sebanyak 29 orang dan kasus BBLR 8 orang. Pada tahun 2013 jumlah ibu hamil 202 terdapat kasus ibu hamil KEK 25 orang dan kasus BBLR 5 orang. Dari hasil survey awal yang dilakukan dengan wawancara langsung pada ibu hamil yang hadir di posyandu terhadap 10 orang yang ada diwilayah kerja Puskesmas Buhit menunjukkan sebanyak 7 ibu hamil tidak mengetahui bagaimana pola makan yang baik dan kebutuhan gizi yang baik pada masa kehamilan. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran pola makan dan status gizi ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Buhit Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pola makan dan status gizi ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Buhit Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir. Metode Penelitian Jenis penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain penelitian cross sectional (pengamatan sesaat) untuk mengetahui gambaran pola makan dan status gizi ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Buhit Kabupaten Samosir 2014. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Buhit Kecamatan 2
Pangururan Kabupaten Samosir pada bulan Agustus 2014. Sampel yaitu ibu hamil yang berjumlah 74 ibu hamil dengan teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan simple random sampling. Data primer diperoleh melalui teknik wawancara sesuai dengan tabel food recall dan food frequency yang telah dipersiapkan sebelumnya. Data sekunder diperoleh dari instansi dan literatur-literatur terkait.
Dari 74 ibu hamil juga diketahui bahwa menurut frekuensi makanan, jenis makanan pokok yang paling sering (1-3x/hari) dikonsumsi adalah nasi yaitu 95,9%, lauk pauk yang paling sering (1-3x/hari) dikonsumsi adalah ikan basah yaitu ikan gembung sebesar 2,7%, sayuran yang paling sering (1-3x/hari) dikonsumsi adalah sawi yaitu 5,4% dan buah-buahan yang paling sering (1-3x/hari) dikonsumsi adalah jeruk yaitu 14,9%. Dari 74 ibu hamil diketahui bahwa sebagian besar ibu hamil tingkat kecukupan energinya berada pada kategori sedang yaitu sebesar 47,3% dan tidak ada yang berada pada kategori defisit yang dapat dilihat pada Tabel 1.1 sebagai berikut:
Hasil dan Pembahasan Analisis Univariat Dari 74 ibu hamil yang terbanyak berumur 30-34 tahun yaitu berjumlah 25 orang (33,8%) dan yang paling sedikit berumur 15-19 tahun yang berjumlah 1 orang (1,4%). Berdasarkan karakteristik, pendidikan ibu hamil terbanyak adalah SMA yang berjumlah 45 orang (60,8%) dan yang paling sedikit SMP berjumlah 2 orang (2,7%). Pekerjaan ibu hamil terbanyak sebagai petani yang berjumlah 32 orang (43,2%) dan yang paling sedikit bekerja sebagai pedagang yang berjumlah 1 orang (1,4%). Pendapatan rumah tangga terbanyak berada pada rentang 1.000.000-2.000.000 yaitu sebesar 55,4%. Dan berdasarkan usia kehamilan, paling banyak pada trimester II yaitu 35 orang (47,3%) dan paling sedikit adalah pada trimester I yaitu 12 orang (16,2%). Dari 74 orang diketahui bahwa menurut jenis makanan yang dikonsumsi, seluruh ibu hamil (100,0%) mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok. Lauk hewani yang paling banyak dikonsumsi adalah ikan basah yaitu ikan gembung sebesar 29,7%. Lauk nabati yang paling banyak dikonsumsi adalah tempe yaitu 16,2%. Sayuran yang paling banyak dikonsumsi adalah sawi yaitu 39,2%. Buah-buahan yang paling banyak dikonsumsi adalah jeruk yaitu 18,9%. Jenis minuman yang paling banyak dikonsumsi adalah susu yaitu 44,6% dan makanan tambahan lainnya yang banyak dikonsumsi adalah bubur yaitu 16,2%. Dan ditemukan ibu hamil yang mengkonsumsi kopi (4,1%) dan teh manis (6,8%).
Tabel 1.1 Distribusi Ibu Hamil Menurut Tingkat Kecukupan Energi di Puskesmas Buhit Kecamatan Pangururan Tahun 2013 Tingkat Kecukupan Energi Baik Sedang Kurang Defisit Total
f
%
25 35 14 0 74
33,8 47,3 18,9 0,0 100,0
Dari 74 ibu hamil diketahui bahwa sebagian besar ibu hamil tingkat kecukupan energinya berada pada kategori sedang yaitu sebesar 47,3% dan tidak ada yang berada pada kategori defisit yang dapat dilihat pada Tabel 1.2 sebagai berikut: Tabel 1.2 Distribusi Ibu Hamil Menurut Tingkat Kecukupan Protein di Puskesmas Buhit Kecamatan Pangururan Tahun 2013 Tingkat Kecukupan Protein Baik Sedang Kurang Defisit Total
f 7 33 34 0 74
% 9,5 44,6 45,9 0,0 100,0
Dari 74 ibu hamil ditemukan 4 orang (5,4%) mengalami KEK yang dapat dilihat pada Tabel 1.3 sebagai berikut:
3
Hasil pengukuran status gizi ibu hamil yang dilakukan berdasarkan ukuran LILA menunjukkan sebagian besar ibu hamil memiliki status gizi yang baik (tidak KEK) yaitu sebesar 94,6% dan hanya 5,4% yang mengalami KEK dan seluruh ibu hamil yang mengalami KEK, tingkat kecukupan energi dan proteinnya berada pada kategori kurang.
Tabel 1.3 Distribusi Ibu Hamil Menurut Status Gizi di Puskesmas Buhit Kecamatan Pangururan Tahun 2013 Status Gizi KEK Tidak KEK Total
f 4 70 74
% 5,4 94,6 100,0
Dari hasil tabulasi silang diketahui bahwa seluruh ibu hamil yang mengalami KEK (LILA <23,5 cm) memiliki tingkat kecukupan energi dan protein pada kategori kurang.
Saran Diharapkan kepada seluruh ibu hamil untuk memperhatikan pola makan mereka, baik jenis, jumlah, kandungan gizi serta frekuensi makan selama kehamilan maupun setelah kehamilan agar kecukupan energi dan proteinnya terpenuhi. Diharapkan peran serta petugas puskesmas untuk memberikan informasi tentang gizi, kehamilan serta pengaruh gizi terhadap kehamilan dalam program promosi kesehatan.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa seluruh ibu hamil (100,0%) mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok, lauk hewani yang paling banyak dikonsumsi adalah ikan basah yaitu ikan gembung sebesar 29,7%, lauk nabati yang paling banyak dikonsumsi adalah tempe yaitu 16,2%, sayuran yang paling banyak dikonsumsi adalah sawi yaitu 39,2% dan buah-buahan yang paling banyak dikonsumsi adalah jeruk yaitu 18,9%. Jenis minuman yang paling banyak dikonsumsi adalah susu yaitu 44,6% dan makanan tambahan lainnya yang banyak dikonsumsi adalah bubur yaitu 16,2%. Ditemukan ibu hamil yang mengkonsumsi kopi (4,1%) dan teh manis (6,8%). Menurut frekuensi makanan, jenis makanan pokok yang paling sering (1-3x/hari) dikonsumsi adalah nasi yaitu 95,9%, lauk pauk yang paling sering (13x/hari) dikonsumsi adalah ikan basah yaitu ikan gembung sebesar 2,7%, sayuran yang paling sering (1-3x/hari) dikonsumsi adalah sawi yaitu 5,4% dan buah-buahan yang paling sering (1-3x/hari) dikonsumsi adalah jeruk yaitu 14,9%. Sebesar 47,3% ibu hamil, tingkat kecukupan energinya berada pada kategori sedang dan sebesar 45,9% ibu hamil tingkat kecukupan proteinnya berada pada kategori kurang.
DAFTAR PUSTAKA Alam, 2012. Warning! Ibu Hamil, Cinta. Surakarta. Ambarwati, 2012. Gizi & Kesehatan Reproduksi, Cakrawala Ilmu. Yogyakarta. Arisman, 2007. Gizi dalam Daur Kehidupan. Cetakan III, Jakarta: EGC. Astuti, 2011. Gizi Ibu hamil, Rineka Cipta. Jakarta. Berliana, 2013. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Kesehatan Ibu Hamil Di RSUD Labuhan Batu Utara. Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan. Chairiah, 2012. Pengaruh Pola Makan Dan Status Gizi Terhadap Kejadian Hypertensi Pada Ibu Hamil Di RSU Tanjung Pura Kabupaten Langkat. Tesis, 4
Universitas Medan..
Sumatera
Utara,
Martina, 2012. Pengetahuan Ibu Hamil Tentang GIZI semasa Kehamilan Di Wilayah Kerja Puskesmas Tukka Kabupaten Tapanuli Tengah. Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Departemen Kesehatan RI, 2002. Nutrisi Ibu Selama Kehamilan, 2002. , 2008. Nutrisi Ibu Selama Kehamilan, 2008.
Maryunani, 2013. Asuhan Bayi Dengan Berat Badan Lahir Rendah, Trans Info Media, Jakarta.
Dewi, 2006. Hubungan Status Gizi Ibu Hamil Dengan Kejadian BBLR Di RSU Dr. Pringadi Medan. Karya Tulis Ilmiah, Universitas Sumatera Utara, Medan.. Dinkes Samosir, 2011. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir.
Melvitha.Y.C, 2013. Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Pentingnya Asupan Nutrisi Selama Kehamilan Di RSUP H. Adam Malik Medan. Karya Tulis Ilmiah, Universitas Sumatera Utara, Medan.
, 2012. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir.
Muliarini, 2010. Pola Makan & Gaya Hidup Sehat Selama Kehamilan, Yogyakarta.
, 2013. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir.
Ibrahim, 2010. Nutrisi Janin & Ibu Hamil, Medical Book. Yogyakarta.
Nurmilawati, 2012. Hubungan Pola Makan Ibu Selama Hamil Dengan Berat Badan Lahir Dan Panjang Badan Lahir Bayi Pada Golongan Keluarga Miskin Di Kecamatan Percut Sei Tuan. Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Karyadi, 2001. Gizi Jakarta:FKUI.
Hamil.
Path,dkk. 2005. Gizi dalam Kesehatan Reproduksi. Jakarta : EGC.
Leni, 2011. Hubungan Lingkar Lengan Atas Ibu Hamil dengan Berat Bayi Lahir di Puskesmas Sigumpar Kabupaten Toba Samosir. Karya Tulis Ilmiah, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Prastiwi, Laely, 2010. Menu Sehat & Lezat Ibu Hamil dan Menyusui, Cable Book. Klaten.
Francin, 2005. Gizi Tentang Kesehatan Reproduksi, FKUI: Jakarta. Huliana, 2001. Gizi Ibu Hamil, Arcan : Jakarta.
Ibu
Putri, 2012. Pola Makan dan Konsumsi Tablet Besi Pada Ibu Hamil Trimester Ketiga di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Sikaping. Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Mangihut, 2008. Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Anemia Ibu Hamil Di Kabupaten Dairi Tahun 2006. Tesis, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Riris, 2006. Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Ditinjau Dari Sosial Ekonomi Dan Perolehan Tablet Zat Besi (Fe) Di Desa Maligas Tongah Kecamatan Tanah Jawa
Marsetyo, 1999. Ilmu Gizi, Rineka Cipta, Jakarta. 5
Kabupaten Simalungun. Skripsi Universitas Sumatera Utara, Medan.
Tesis, Universitas Sumatera Utara, Medan. Swandi, 2008. Hubungan Faktor Risiko Dengan Kejadian Anemia Sebagai Alternatif Penaggulangan Anemia Ibu Hamil Di Kota Sibolga. Tesis, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Rohana, 2010. Pola Makan Pada Ibu Hamil Dengan Hyperemesis Gravidarium Dan Anemia Di Wilayah Puskesmas Cunda Muara Dua Lhoksemawe Aceh (NAD). Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Walker. 2012. Pola Makan Sehat Saat Hamil. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
Simarmata, Marice, 2008. Hubungan Pola Konsumsi, Ketersediaan Pangan, Pengetahuan Gizi Dan Status Kesehatan Dengan Kejadian KEK Pada Ibu Hamil Di Kabupaten Simalungun. Tesis, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Zulfadli, 2011. Perilaku ibu hamil Dalam mengkonsumsi tablet zat besi (Fe) di Puskesmas Alue Ie Mirah Kecamatan Indra Makmu Kabupaten Aceh Timur. Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Sipahutar, Helena, 2013. Gambaran Pengetahuan Gizi Ibu Hamil Trimester Pertama Dan Pola Makan Dalam Pemenuhan Gizi Di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kabupaten Toba Samosir. Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan. Soetjiningsih, 2001. Gizi Untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Graha Ilmu, Yogyakarta. Suhardjo, 1996. Kebutuhan Makan Ibu Hamil. Jakarta : FKUI Sukarni, 2013. Kehamilan, Persalinan, dan Nifas. Nuha Medika, Yogyakarta. Surya, 2013. Pengaruh Status Sosial Ekonomi, Budaya Dan Pemeriksaan Kehamilan Ibu Terhadap Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) Di Wilayah Kerja Puskesmas Pancur Kabupaten Deli Serdang.
6