KARAKTERISTIK GUNDUKAN BERTELUR DAN PERILAKU BERTELUR BURUNG GOSONG KAKI-MERAH (Megapodius reinwardt Dumont 1823) DI PULAU RINCA, TAMAN NASIONAL KOMODO
MARIA ROSDALIMA PANGGUR
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
KARAKTERISTIK GUNDUKAN BERTELUR DAN PERILAKU BERTELUR BURUNG GOSONG KAKI-MERAH (Megapodius reinwardt Dumont 1823) DI PULAU RINCA, TAMAN NASIONAL KOMODO
MARIA ROSDALIMA PANGGUR
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelas Sarjana Kehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
EXECUTIVE SUMMARY MARIA ROSDALIMA PANGGUR. Mound Characteristics and Breeding Behaviour of Orange-footed Scrubfowl (Megapodius reinwardt Dumont 1823) in Rinca Island, Komodo National Park. Under Supervision of YENI A. MULYANI AND HARYANTO R. PUTRO. Orange-footed Scrubfowl (Megapodius reinwardt) is a kind of bird which uses heat of its environment to incubate its eggs through the process of plant decomposition (rotting) found in the forest floor. The bird lives in the lowland forest which provides nutrition and litter for constructing its mound, such as those found in TN Komodo. In this area, the bird has a unique interaction with komodo in the common use of mound and prey. This research is to examine the mound characteristics of orange-footed scrub fowl, the absences of the breeding behavior and population of Orange-footed Scrubfowl. This research was taken place in Rinca Island, Komodo NP for ± 3 months, March – May 2008. Data type taken is primary data consisting of soil texture, density of subsoil-water, soil pH, organic composition of the soil, and altitude from sea level, solar ray intensity, the condition of the plant around mound, distance from the sea shore, temperature inside mound and humidity and temperature outside mound. Another thing observed was breeding behavior, interaction with Komodo and population of Orange-footed Scrubfowl in Rinca. Vegetation analysis was carried out using the section-line method, each 60 m X 20 m. Temperature inside the mound was measured in various level of depth (25 cm, 50 cm and 75 cm). Temperature and humidity outside the mound was measured using dry-wet thermometer. Solar ray intensity was measured using solar meter. The value, yet, of subsoil-water comes from the percentage of comparison of dry weight and wet weight of the nest soil. Soil texture of each sample of the mound was analyzed in the Soil Laboratory, Fakultas Pertanian IPB. The measurement soil pH was done by reading the Universal indicator paper pH 0-14 MERCK. The value of organic content in the soil comes from burning the substrate, assuming that all organic things can be burnt completely so that the value of organic content derives from the percentage of former organic weight minus the weight without ash divide former weight. Observation of breeding behavior used Focal Animal Sampling Method. Data of the bird population was captured by using combination method of transect line and measure spot method. The nest of M. reinwardt is a mound in 0.40-0.90 m average height, the outermost diameter about 5.11-9.30 m, diameter of the mound mouth about 2.25-6.05 m and its depth until 80 cm. Soil pH about 7.5-8, organic content about 40.4659.16%, altitude of the mound 4-30 m asl and the distance from seashore 300-1100 m. Soil texture is dominant of sand in Loh Baru and dominant of dust in Loh Buaya. Solar ray intensity is various between 18.83-238.56 kw/m2, water content between 21.42-47.06%, temperature outside mound about 26.13-30.500C, and humidity about
46.25-92.25%. Temperature inside mound is different in each level of depth; 29.2533.250C (depth 75 cm), 25.75-33.250C (depth 50 cm), and 27.75-32.250C (depth 25 cm). Generally, the temperature of the inactive mound is cold compared with the active mound. Mounds in Loh Baru are situated in vegetation a bit dense. Breeding behavior begins in the morning and it starts by digging a hole for eggs. There are 11 behavior during egging i.e. coming near to the nest, sweep, digging, abandoning the nest, step out from the egging hole, voicing, observe, egging, covering egging hole and controlling. Each pair of M. reinwardt needs different period of time to dig and lay the eggs. Covering the egging holes majority was done by the male birds. Interaction of gosong bird and komodo is in the usage of the nest together and the prey of the eggs komodo. Estimated population of Orange-footed Scrubfowl in Loh Baru about 12.64 + 1.61 and in Loh Buaya is more i.e. 34.58 + 3.73. The temperature inside the nest is influenced by the subsoil water, organic content, altitude from the sea level, and distance from seashore, solar ray intensity and temperature outside nest. Each pair shows the differences of duration of time in acting a behavior. The eggs are different in each bird and different also in size influence the duration for the female bird to give eggs. The relation between the two species was seen in using the same nest to egging and the relation of prey of the eggs by komodo. Population density in Loh Buaya is higher than in Loh Baru. It can be traced with the width of the plain forest and the level of disturbance of the habitants. Keywords: Orange-footed Scrubfowl, mound, breeding behavior
RINGKASAN MARIA ROSDALIMA PANGGUR. Karakteristik Gundukan (Sarang Bertelur) dan Perilaku Bertelur Burung Gosong Kaki-merah (Megapodius reinwardt Dumont 1823) di Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo. Dibimbing oleh Dr. Ir. Yeni A. Mulyani, M. Sc dan Ir. Haryanto R. Putro, MS. Burung Gosong kaki-merah (Megapodius reinwardt) termasuk salah satu jenis burung yang menggunakan panas dari lingkungan untuk mengerami telurnya. Panas tersebut diperoleh melalui proses dekomposisi tumbuhan di lantai hutan sekitarnya. Burung ini menghuni hutan dataran rendah seperti yang dijumpai di TN Komodo. Di kawasan ini burung gosong memiliki interaksi yang unik dengan biawak komodo. Sarang gundukan yang dibangun oleh burung gosong juga dimanfaatkan oleh komodo untuk meletakan telurnya. Selain memanfaatkan sarang untuk bertelur, komodo juga melakukan pemangsaan terhadap telur burung gosong. Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik gundukan bertelur burung gosong, perilaku bertelur dan kondisi populasi burung gosong di Pulau Rinca. Penelitian ini dilakukan di Loh Baru dan Loh Buaya, Pulau Rinca, TN Komodo pada bulan Maret - Mei 2008. Jenis data yang diambil yaitu data primer meliputi tekstur tanah, kadar air tanah, pH tanah, komposisi bahan organik tanah, ketinggian dari permukaan laut, intensitas cahaya matahari, kondisi vegetasi sekitar gundukan, jarak dari pantai, suhu di dalam gundukan serta suhu dan kelembaban udara di luar gundukan sarang. Selain itu, perilaku bertelur, interaksi dengan komodo serta populasi burung gosong di Pulau Rinca juga diamati. Analisis vegetasi dilakukan dengan metode jalur berpetak dengan ukuran jalur 60 m X 20 m. Suhu udara di dalam gundukan diukur pada kedalaman 25 cm, 50 cm dan 75 cm. Suhu dan kelembaban udara di luar gundukan diukur dengan menggunakan termometer bola kering dan bola basah. Intensitas matahari diukur dengan menggunakan solarimeter. Nilai kadar air tanah diperoleh dari persentase perbandingan berat kering dan berat basah tanah sarang. Tekstur tanah dari setiap sampel tanah gundukan dianalisis di Laboratorium Tanah, Fakultas Pertanian IPB. Pengukuran pH tanah dengan pembacaan pada kertas Universalindikator pH 0-14 MERCK. Nilai kandungan bahan organik diperoleh dengan membakar substrat dengan asumsi bahwa semua bahan organik dapat terbakar sempurna sehingga besarnya kandungan bahan organik tanah diperoleh dari persentase berat awal bahan organik dikurangi berat tanpa abu dibagi berat awal. Pengamatan perilaku bertelur dilakukan dengan metode Focal Animal Sampling. Pengambilan data populasi burung gosong dilakukan dengan menggunakan metode kombinasi jalur transek dan metode titik hitung. Sarang burung gosong berbentuk gundukan dengan tinggi rata-rata 0.40-0.90 m. Diameter terluar berkisar 5.11-9.30 m, diameter mulut gundukan berkisar 2.256.05 m dengan kedalaman gundukan mencapai 80 cm. pH tanah berkisar 7.5-8,
kandungan bahan organik antara 40.46-59.16 %, ketinggian gundukan 4-30 mdpl dan jarak dari pantai 300-1100 m. Tekstur tanah dominan pasir di Loh Baru dan dominan debu di Loh Buaya. Intensitas cahaya bervariasi antara 18.83-238.56 kw/m2, kadar air berkisar antara 21.42-47.06 %, suhu udara di luar sarang berkisar 26.13-30.500C, dan kelembaban udara berkisar 46.25-92.25 %. Suhu di dalam gundukan berbeda pada tiap kedalaman; 29.25-33.250C (kedalaman 75 cm), 25.75-33.250C (kedalaman 50 cm), dan 27.75-32.250C (kedalaman 25 cm). Secara umum, suhu gundukan tidak aktif lebih dingin dibandingkan dengan gundukan aktif. Gundukan di Loh Baru terletak pada vegetasi yang relatif lebih rapat. Perilaku bertelur dimulai pada pagi hari dan diawali dengan aktivitas menggali lubang telur. Terdapat 11 perilaku utama selama bertelur yaitu mendekati sarang, mengais, menggali, meninggalkan sarang, keluar dari lubang bertelur, bersuara, mengawasi, bertelur, menutup lubang telur dan memeriksa. Setiap pasangan burung gosong membutuhkan waktu yang berbeda untuk menggali dan meletakkan telur. Penimbunan lubang telur sebagian besar dilakukan oleh individu jantan. Interaksi burung gosong dengan komodo berupa pemanfaatan sarang secara bersama dan pemangsaan telur burung oleh komodo. Populasi dugaan burung gosong di Loh Baru berkisar 12.64 ± 1.61 ekor dan di Loh Buaya lebih banyak yaitu 34.58 ± 3.73 ekor. Suhu di dalam sarang dipengaruhi oleh kadar air tanah, bahan organik, ketinggian dari permukaan laut, jarak dari pantai, intensitas cahaya dan suhu udara di luar sarang. Setiap pasangan menunjukkan perbedaan durasi waktu dalam melakukan suatu perilaku. Telur yang dihasilkan berbeda pada tiap induk dan perbedaan ukuran ini berpengaruh pada durasi betina mengeluarkan telur. Hubungan antara dua spesies ini terjadi dalam hal penggunaan sarang secara bersama-sama untuk bertelur dan hubungan pemangsaan telur oleh komodo. Kepadatan populasi di Loh Buaya lebih tinggi dibandingkan dengan Loh Baru. Hal ini terkait dengan luas hutan dataran rendah, tingkat gangguan oleh manusia dan ketersediaan tumbuhan potensial pakan burung gosong. Kata kunci: Burung gosong kaki-merah, gundukan, perilaku bertelur.
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Karakteristik Gundukan (Sarang Bertelur) dan Perilaku Bertelur Burung Gosong Kaki-merah (Megapodius reinwardt Dumont 1823) di Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo” adalah benarbenar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor,
Maria Rosdalima Panggur E34104004
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas terselesaikannya penyusunan skripsi dengan judul “Karakteristik Gundukan (Sarang Bertelur) dan Perilaku Bertelur Burung Gosong Kaki-merah (Megapodius reinwardt Dumont 1823) di Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo” sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Tema ini dipilih karena Burung gosong kaki-merah memiliki keterkaitan erat dengan biawak komodo dalam hal penggunaan sarang bertelur dan pemangsaan. Tulisan ini diharapkan dapat memberi masukan bagi pengelola Taman Nasional dalam setiap pengambilan keputusan bagi konservasi kedua jenis satwa liar tersebut sehingga kelestariannya dapat dipertahankan. Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu pengerjaan karya ilmiah ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua orang yang membacanya. Bogor,
Penulis
RIWAYAT HIDUP PENULIS Penulis dilahirkan pada tanggal 23 Agustus 1985 di Mano, Flores, Nusa Tenggara Timur, sebagai anak kedua dari pasangan Arnoldus Panggur dan Mathilda Muwa. Penulis menamatkan pendidikan dasar dari SDK Lewe pada tahun 1998, kemudian melanjutkan pada Sekolah Menengah Pertama St. Klaus-Kuwu dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2004, penulis menamatkan pendidikan dari SMA Negeri 1 Ruteng dan berhasil diterima di IPB melalui jalur USMI dengan program studi Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan. Selama kuliah, penulis aktif dalam organisasi HIMAKOVA (Himpunan Mahasiswa Konservasi) dan tercatat sebagai anggota Kelompok Pemerhati Burung ”Perenjak”. Penulis pernah menjabat sebagai ketua kelompok pemerhati tersebut pada periode 2007/2008. Selain itu penulis juga merupakan anggota PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia) Cabang Bogor. Penulis melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan di Cagar Alam (CA) Leuweung Sancang, CA Kamojang dan KPH Cianjur. Pada tahun 2008, penulis melakukan Praktek Kerja Lapang-Profesi (PKL-P) di Taman Nasional Komodo. Kegiatan lapang lain yang pernah diikuti yaitu Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) di TN Way Kambas (2006), Field Course in Animal Ecology: Krakatau Islands and Ujung Kulon NP (2006) dan Surili TN Bantimurung-Bulusaraung (2007). Penulis melakukan penelitian dengan judul “Karakteristik Sarang (Tempat Bertelur) dan Perilaku Bertelur Burung Gosong Kaki-merah (Megapodius reinwardt Dumont, 1823) di Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo” di bawah bimbingan Dr. Ir. Yeni A. Mulyani, M.Sc dan Ir. Haryanto R. Putro, MS sebagai syarat kelulusan.
UCAPAN TERIMAKASIH Penelitian ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan tulus penulis ingin megucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Tuhan Yesus, Bapa Arnoldus Panggur, Mama Mathilda Muwa, K Erlyn, Yornes dan Deni atas cinta yang tak terbatas dan tak kenal waktu. Selain itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1.
Dr. Ir. Yeni A. Mulyani, MSc dan Ir. Haryanto R. Putro, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang banyak memberi masukan dan arahan selama melaksanakan tugas skripsi ini.
2.
Prof. Dr. Ir. Iding M. Padlinurjaji selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Ir. Emi Kinarsih, MS selaku dosen penguji dari Departeman Manajemen Hutan yang telah memberi masukan dalam perbaikan karya ilmiah ini.
3.
Segenap dosen dan pengajar di DKSHE pada khususnya dan Fahutan umumnya
4.
Ir. Tamen Sitorus, Msi selaku Kepala BTN Komodo beserta staf yang memberi ijin dan bantuan selama melaksanakan penelitian di Taman Nasional Komodo.
5.
Bpk Fransiskus Harum, selaku Project Leader PT. Putri Naga Komodo yang telah memberi banyak bantuan selama penelitian.
6.
Bpk Hendrikus Rani Siga, Ka Koni dan Alvin Siga yang telah bersedia direpotkan selama penelitian dan praktek. Terimakasih untuk segalanya.
7.
Keluarga besar KSH 41, HIMAKOVA, Gamanusratim dan Maria A. Puspitasari atas persahabatan dan kebersamaan selama ini. Serta semua pihak yang telah membantu dengan caranya masing yang namanya
tidak dapat ditulis satu per satu. Terimakasih untuk segala bentuk bantuannya. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .......................................................................................... i RIWAYAT HIDUP ................................................................................................ ii UCAPAN TERIMAKASIH .................................................................................. iii DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv DAFTAR TABEL ................................................................................................ vii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... ix BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2 Tujuan .................................................................................................. 3 1.3 Manfaat ................................................................................................ 3 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 4 2.1 Taksonomi dan Morfologi ................................................................... 4 2.2 Penyebaran ........................................................................................... 5 2.3 Makanan ............................................................................................... 6 2.4 Perilaku ................................................................................................ 6 2.5 Musim Kawin dan Bersarang ............................................................... 7 2.6 Sarang ................................................................................................... 8 2.7 Habitat dan Ekologi Burung Gosong kaki-merah .............................. 11 BAB III. METODE 3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................ 12 3.2 Alat dan Bahan ..................................................................................... 12 3.3 Jenis Data .............................................................................................. 13 3.3.1 Data Primer ..................................................................................... 13 3.3.2 Data Sekunder ................................................................................. 13 3.4 Metode Pengambilan Data .................................................................... 13 3.4.1 Karakteristik Fisik dan Kimia Lapangan Tempat Bertelur ............. 13
3.4.2 Perilaku di Tempat Bertelur ............................................................ 18 3.4.3 Interaksi dengan Komodo ............................................................... 19 3.4.4 Populasi Burung Gosong di lokasi pengamatan ............................. 20 3.5 Pengumpulan Data Sekunder ................................................................ 21 3.6 Analisis Data ......................................................................................... 21 3.6.1 Kondisi Vegetasi ............................................................................. 21 3.6.2 Karakteristik Fisik dan Kimia Lapangan Tempat Bertelur ............. 22 3.6.3 Perilaku di Tempat Bertelur ............................................................ 23 3.6.4 Interaksi dengan Komodo ............................................................... 24 3.6.5 Populasi Burung Gosong di lokasi pengamatan ............................. 24 BAB IV. KONDISI UMUM 4.1
Taman Nasional Komodo ..................................................................... 25
4.2
Pulau Rinca ........................................................................................... 26
4.3
Kondisi Lapangan Lokasi Penelitian .................................................... 29
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Jumlah dan Status Sarang ...................................................................... 31
5.2
Karakteristik Sarang Bertelur ................................................................ 32 5.2.1 Kondisi Vegetasi ............................................................................. 32 5.2.2 Bentuk dan Dimensi Sarang ............................................................ 36 5.2.3 Posisi Sarang ................................................................................... 38 5.2.4 Suhu, Kelembaban dan Intensitas Cahaya ...................................... 39 5.2.5 Sifat Tanah ...................................................................................... 44 5.2.6 Hubungan Antara Variabel Sarang dengan Suhu Udara di dalam Sarang
5.3
.......................................................................................... 46
Perilaku di Tempat Bertelur .................................................................. 47 5.3.1 Beberapa perilaku yang terjadi selama proses bertelur ................... 48 5.3.2 Alokasi waktu setiap perilaku selama pengamatan ......................... 52 5.3.3 Ukuran dan Jumlah Telur ................................................................ 56
5.4
Interaksi dengan Komodo ..................................................................... 57
5.4.1 Pemanfaatan sarang bertelur ............................................................ 58 5.4.2 Pemangsaan...................................................................................... 60 5.5
Populasi Burung Gosong di Lokasi Pengamatan .................................. 60
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1
Kesimpulan ........................................................................................... 61
6.2
Saran ...................................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 64 LAMPIRAN ......................................................................................................... 67
DAFTAR TABEL No
Halaman
1. Perilaku burung gosong di lokasi bertelur yang akan diamati ....................... 23 2. Kondisi vegetasi dominan pada sarang aktif .................................................. 33 3. Kondisi vegetasi dominan pada sarang tidak aktif ......................................... 35 4. Variasi tinggi, lebar dan jumlah lubang sarang burung gosong ..................... 36 5. Posisi sarang berdasarkan ketinggian dari permukaan laut dan jarak dari pantai .............................................................................................................. 39 6. Tekstur tanah penyusun sarang burung gosong ............................................. 44 7. Alokasi waktu bertelur pada masing-masing pasangan burung gosong ......... 51 8. Variasi dimensi telur ...................................................................................... 57 9. Populasi burung gosong di kedua lokasi pengamatan ................................... 61
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1. Burung Gosong kaki-merah ............................................................................ 5 2. Lokasi penelitian ............................................................................................ 12 3. Petak pengukuran analisis vegetasi sekitar sarang.......................................... 14 4. Model pengukuran dimensi sarang ................................................................ 15 5. Pengukuran morfometri telur burung gosong ................................................ 19 6. Ilustrasi penggunaan kombinasi metode titik dan metode jalur ..................... 20 7. Penutupan vegetasi di TN Komodo ............................................................... 26 8. Sarang yang dipagari ...................................................................................... 32 9. Profil sarang burung gosong .......................................................................... 37 10. Fluktuasi suhu di dalam sarang pada kedalaman 50 cm dan 25 cm ............... 41 11. Fluktuasi suhu dan kelembaban udara di luar sarang ..................................... 42 12. Besar intensitas cahaya matahari ................................................................... 43 13. Nilai kadar air tanah pada masing-masing sarang .......................................... 43 14. Kandungan bahan organik pada setiap sarang pengamatan ........................... 46 15. Perbedaan persentasi perilaku per total waktu pengamatan pada pengamatan ke-1 ................................................................................................................. 53 16. Perbedaan persentasi perilaku per total waktu pengamatan pada pengamatan ke-2 ................................................................................................................. 54 17. Perbedaan persentasi perilaku per total waktu pengamatan pada pengamatan ke-3 ................................................................................................................. 55 18. Posisi dan bentuk telur burung gosong .......................................................... 57 19. Aktivitas komodo di sarang bertelur .............................................................. 59
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran
Halaman
1. Peta penyebaran satwa liar di Taman Nasional Komodo ............................... 68 2. Segitiga pengukuran tekstur tanah (USDA) ................................................... 68 3. Panduan pengamatan perilaku bertelur burung Gosong ................................ 68 4. Hasil analisis vegetasi sekitar gundukan sarang aktif di Loh Baru ................ 69 5. Hasil analisis vegetasi sekitar gundukan sarang aktif di Loh Buaya ............. 70
6. Pengukuran suhu rata-rata harian di dalam gundukan ................................... 71 7. Pengukuran suhu gundukan per waktu pengamatan (kedalaman 50 cm) ...... 72 8. Pengukuran suhu gundukan per waktu pengamatan (kedalaman 25 cm) ...... 73 9. Data suhu rata-rata harian di luar gundukan .................................................. 74 10. Data suhu di sekitar gundukan per waktu pengamatan .................................. 74 11. Data kelembaban rata-rata harian di luar gundukan ...................................... 75 12. Data kelembaban udara di sekitar gundukan per waktu pengamatan ............ 75 13. Data pengamatan intensitas cahaya matahari pada gundukan ........................ 76 14. Perilaku bertelur selama pengamatan ke-1 (LBy 2) ....................................... 77 15. Perilaku bertelur selama pengamatan ke-2 (LBy 1) ....................................... 78 16. Perilaku bertelur selama pengamatan ke-3 (LBy 1) ....................................... 79 17. Data populasi burung gosong di Loh Baru .................................................... 81 18. Data populasi burung gosong di Loh Baru .................................................... 81
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Burung Gosong kaki-merah (Megapodius reinwardt) termasuk dalam suku Megapodiidae, yaitu satu-satunya suku burung yang meletakkan telurnya di dalam tanah dan menggunakan panas dari lingkungan (radiasi matahari, aktivitas panas bumi, dekomposisi mikroorganisme) untuk penetasan telur-telurnya (Frith 1956; Jones & Birks 1992, diacu dalam Palmer et al. 2000). Sarang burung gosong biasanya berbentuk gundukan yang terdiri atas tanah dan serasah. Burung ini memiliki penyebaran yang cukup luas. Penyebarannya secara global meliputi Indonesia bagian tenggara, New Guinea bagian tenggara dan wilayah pantai Australia bagian utara dan tenggara (Jones et al. 1995). Di Indonesia, wilayah penyebaran M. reinwardt mencakup Lombok, Sumbawa, Komodo, Sumba, Flores, Pantar, Alor, Wetar, mungkin juga di Timor, ke arah timur hingga ke Romang, Damar dan Babar hingga ke Kepulauan Kai, tetapi tidak terdapat di Kepulauan Tanimbar (Monk et al. 1997). Secara global, jenis ini belum termasuk dalam status spesies terancam (IUCN 2008-Least Concern) (Birdlife 2008) namun di Indonesia sudah dimasukkan dalam daftar jenis satwa yang dilindungi oleh PP No.7 Tahun 1999 (Noerdjito dan Maryanto 2007). Di Indonesia, burung gosong dilindungi karena adanya berbagai ancaman terhadap kelestarian burung tersebut. Ancaman terhadap kelestarian burung gosong berasal dari aktivitas perburuan dan pengambilan telur oleh manusia serta kerusakan habitat. Secara alami, kegiatan pemangsaan oleh predator seperti biawak juga dapat mempengaruhi populasi burung gosong. Burung gosong kaki-merah diketahui juga menghuni wilayah hutan dataran rendah di Taman Nasional (TN) Komodo. Kawasan TN Komodo merupakan habitat satwa komodo (Varanus komodoensis), yaitu reptilia purba yang masih tersisa di bumi ini. Selain sebagai habitat alami komodo yang terakhir, kawasan ini juga mendukung kehidupan satwa langka seperti Tikus rinca (Rattus rintjanus) dan burung Kakatua-kecil jambul-kuning (Cacatua sulphurea parvula), serta satwa lain seperti
Rusa timor (Cervus timorensis). Burung gosong kaki-merah dijumpai di pulau-pulau besar di TN Komodo kecuali di Pulau Padar. Informasi tentang ekologi burung gosong kaki-merah di TN Komodo telah digali oleh Jessop et al. (2006) namun terbatas di Pulau Komodo. Ada kemungkinan terdapat perbedaan perilaku burung gosong di Pulau Komodo dan Pulau Rinca, mengingat adanya perbedaan kondisi habitat antara kedua pulau tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui ekologi bertelur burung gosong, populasi burung gosong dan keterkaitannya dengan biawak komodo di Pulau Rinca. Di TN Komodo, biawak komodo merupakan predator alami bagi burung gosong dan telurnya. Selain sebagai predator, biawak komodo juga menggunakan sarang burung gosong untuk meletakkan telurnya. Seperti reptil pada umumnya, komodo diketahui tidak mengerami sendiri telurnya tetapi menguburnya di dalam tanah. Proses penetasan telurnya memanfaatkan panas dari lingkungan. Berdasarkan penelitian Jessop et al. (2004), lebih dari 70 % betina biawak komodo menggunakan sarang burung gosong untuk meletakkan telur. Pemilihan sarang ini kemungkinan didasarkan atas karakteristik fisik dan kimia sarang yang akan mempengaruhi keberhasilan reproduksi komodo. Adanya pemangsaan dan penggunaan sarang oleh komodo ini kemungkinan akan mempengaruhi populasi burung gosong. Data dan informasi mengenai status populasi burung gosong di TN Komodo masih sangat terbatas, terutama di Pulau Rinca. Kondisi gundukan yang sesuai merupakan faktor penting bagi keberhasilan pengeraman telur burung gosong. Sebagian besar sarang burung gosong berupa tumpukan serasah. Di dalam tumpukan serasah tersebut terjadi aktivitas mikrobial, yang kemudian akan menentukan tingkat kelembaban sarang. Pada umumnya, suhu inkubasi (pengeraman) bagi sebagian besar megapoda berkisar antara 32 - 350C (Jones et al. 1995), sedangkan telur komodo memerlukan suhu inkubasi sekitar 300C (Jessop et al. 2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi suhu sarang adalah komposisi gundukan, tipe substrat, kadar air tanah, ketinggian dari permukaan laut, penutupan vegetasi, jarak dari pantai serta suhu dan kelembaban di luar sarang. Penelitian ini
ingin mengetahui karakteristik fisik dan kimia gundukan yang digunakan oleh burung gosong dan komodo. Perilaku bertelur meliputi semua pola perilaku yang ditunjukkan selama burung gosong mempersiapkan lubang peneluran, pengeluaran telur oleh betina dan penimbunan kembali lubang telur. Informasi mengenai perilaku bertelur burung gosong di TN Komodo masih kurang. Penelitian ini menyajikan data mengenai perilaku bertelur burung gosong di Pulau Rinca. . 1.2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Mengidentifikasi karakteristik sarang bertelur burung gosong yaitu karakteristik fisik dan kimia gundukan.
2.
Mempelajari perilaku bertelur burung gosong.
3.
Mempelajari interaksi burung gosong dengan komodo di sekitar gundukan.
4.
Mengetahui kondisi populasi burung gosong di TN Komodo.
1.3. Manfaat Manfaat penelitian ini adalah untuk menyediakan data dan informasi terbaru mengenai karakteristik fisik dan kimia sarang bertelur burung gosong dan perilaku burung gosong di habitat bertelurnya. Data dan informasi tersebut dapat menjadi acuan bagi pengelola dalam melakukan tindakan konservasi spesies burung ini serta mendukung konservasi biawak komodo sehingga dapat mendukung kelestarian kedua spesies tersebut.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi dan Morfologi Berdasarkan klasifikasi Sibley dan Monroe (1993), ada enam jenis megapoda yang hidup di Nusa Tenggara dan Maluku yaitu Megapodius bernsteinii, Megapodius freycinet, Megapodius forstenii, Megapodius reindwardt, Megapodius tenimberensis dan Eulipoa wallacei. Lima jenis Megapodius yang terdapat di Nusa Tenggara dan Maluku berkerabat dekat dan telah lama dianggap sebagai tiga jenis saja, yaitu M. bernsteinii, M. freycinet, dan M. reinwardt atau bahkan ada yang menganggap satu jenis M. freycinet (Jones et al. 1995). Taksonomi burung gosong kaki-merah adalah (Sibley dan Monroe 1993): Kingdom : Animalia Filum
: Chordata
Kelas
: Aves
Suku
: Galliformes
Famili
: Megapodiidae
Genus
: Megapodius
Spesies
: Megapodius reinwardt (Dumont 1823)
Nama burung ini dalam bahasa Inggris adalah Orange-footed Scrubfowl (White dan Bruce 1986) dan juga disebut Reinwardt’s scrubfowl (del Hoyo et al. 1994). Dalam bahasa Indonesia disebut burung gosong sedangkan masyarakat Komodo dan Flores menyebutnya dengan nama wontong (Jones et al. 1995). Panjang tubuh burung gosong berkisar 35-47 cm dengan berat jantan 851-1200 g dan berat betina 562-1200 g. Punggung berwarna cokelat kemerahan; kakinya berwarna jingga sampai berwarna agak merah muda. Betina lebih kecil dan ramping dibanding jantan. Remaja sangat mirip dengan dewasa, tetapi lebih kecil, kadangkadang warna kepala lebih pucat (del Hoyo et al. 1994). Burung ini berwarna coklat keabu-abuan dengan sisi muka kemerah-merahan dan jambul pendek, sedangkan burung-burung muda berbintik dan bergaris-garis coklat serta coklat gelap (PPA 1998).
Bagian fisik yang terkenal dari famili Megapodius adalah kedua kakinya yang sangat kuat yang dimiliki oleh seluruh spesiesnya. Famili ini disebut megapode yang berasal dari bahasa Yunani yaitu mega berarti besar dan podos berarti kaki. Sehingga menurut asal katanya megapode berarti “kaki besar”. Kekuatan kakinya secara umum diperlihatkan dengan kemampuan mereka memindahkan benda besar dan berat seperti cabang mati. Burung gosong kaki-merah, dengan berat 550-1200 g, tercatat mampu menggali batu dengan berat 6920 g dan memindahkannya sejauh 70 cm (del Hoyo et al. 1994).
Foto oleh P. Purba Gambar 1. Burung gosong kaki-merah (Megapodius reinwardt Dumont 1823)
2.2. Penyebaran Burung gosong kaki-merah memiliki penyebaran yang tergolong luas yaitu di wilayah Indonesia Timur, Australia bagian utara dan Papua Nugini bagian selatan (Jones et al. 1990). Di Indonesia, Monk et al. (1997) mencatat penyebaran jenis Megapodius reindwardt dengan sub-jenis reindwardt terdapat di Lombok, Sumbawa, Komodo, Sumba, Flores, Pantar, Alor, Wetar, mungkin juga di Timor, ke arah timur hingga ke Romang, Damar dan Babar hingga ke Kep. Kai. Del Hoyo et al. (1994) menyebutkan bahwa jenis ini tidak menyebar di Jawa, Sumatera dan Kalimantan, namun ada publikasi lain yang menuliskan bahwa burung ini juga terdapat di Pulau Kangean, Jawa Timur (Jones et al. 1990; PPA 1998).
2.3. Makanan Del Hoyo et al. (1994) menyatakan sangat sedikit data mengenai jenis makanan megapoda, sekalipun pada jenis yang telah banyak dipelajari yaitu Maleefowl (Leipoa ocellata). Walaupun demikian, secara umum makanan dan perilaku makan mirip pada semua spesies. Menurut Campbell dan Lack (1985) umumnya pengamatan menunjukkan bahwa semua jenis megapoda bersifat omnivora. Selanjutnya del Hoyo et al. (1994) menuliskan bahwa burung gosong kakimerah memakan bagian tumbuhan, termasuk biji, beri dan akar; juga buah-buahan, tunas dan bunga; kadang-kadang siput, cacing, kumbang, dan serangga lainnya beserta larvanya. Pola mencari makannya yaitu dengan berjalan terus, lalu berhenti dengan interval yang sering untuk menggaruk tumpukan serasah pada lantai hutan; kadang-kadang memeriksa tumpukan secara detail dan meninggalkan tumpukan serasah tidak beraturan di belakangnya. 2.4. Perilaku Perilaku satwa adalah segala proses yang dapat diamati yang merupakan respon satwa terhadap perubahan-perubahan yang dirasakannya. Perubahan tersebut berasal dari dalam dirinya dan dari lingkungan sekitarnya (Barnard 2003). Drickamer et al. (2002) menjelaskan bahwa pola perilaku merupakan hasil interaksi yang kompleks dari rangsangan eksternal dan kondisi internal. Untuk mempelajari perilaku, Scott (1960) menggolongkan perilaku ke dalam 9 sistem perilaku, yaitu perilaku makan dan minum (ingestive behaviour), perilaku mencari tempat bernaung dan berlindung (shelter seeking), perilaku bertentangan atau yang berhubungan dengan konflik antar satwa (agonistic behaviour), perilaku seksual (sexual behaviour), perilaku merawat tubuh (etepimeletic behaviour), perilaku meniru sesama (allelomimetic behaviour), perilaku membuang feses (eliminative behaviour) dan perilaku memeriksa lingkungan (investigation behaviour). Menurut del Hoyo et al. (1994), burung gosong selalu berpasangan sepanjang waktu dan diperkirakan bahwa burung yang terlihat sendiri adalah burung yang masih remaja. Burung ini kadang-kadang terbang kemudian hinggap serta bertengger di
pohon dan tidur juga di pohon. Sayap burung gosong bukan untuk terbang, tetapi lebih untuk memukul musuhnya pada saat berkelahi. Jika dikejutkan atau dikejar musuh, ia dapat terbang sambil berlari; terbangnya tidak dapat tinggi dan juga tidak dapat jauh. Pada keadaan biasa mereka selalu berada di atas tanah, hanya pada waktu tidur saja mereka memanjati pohon dan bertengger di atas pohon untuk menghindari predator. Sangat sedikit diketahui mengenai kebiasaan sebagian besar spesies megapoda saat mereka jauh dari tempat bersarang. Burung-burung ini cenderung tidak mencolok dan agak pemalu, sehingga biasanya sulit diamati. Palmer et al. (2000) menjelaskan bahwa jantan dan betina burung gosong menghabiskan banyak waktu memelihara sarang pada pagi hari. Proses memelihara sarang yaitu dengan memindahkan serasah dari lantai hutannya ke arah gundukan. Frekuensi aktivitas ini meningkat terutama pada musim hujan. 2.5. Musim Kawin dan Bersarang Musim bertelur pada burung gosong kaki-merah berbeda pada setiap lokasi. Di Australia bagian timur laut, sebagian besar burung gosong bertelur selama bulan JuliMaret. Di Papua Nugini bagian tenggara, musim bertelur terjadi pada pertengahan November-Mei, pada saat dan setelah hujan. Di Buru, burung ini bertelur pada bulan Februari-Maret, di Seram pada bulan Mei dan mungkin Agustus-November di Komodo dan sepanjang tahun di Flores (del Hoyo et al. 1994). Pranowo (1976) menjelaskan musim bertelur biasanya pada permulaan bulan Oktober, yang diawali dengan kegiatan pembuatan atau pembentukan sarang yang dilakukan pada musim hujan sekitar bulan Juli dan Agustus. Jika betina akan bertelur, ia mengais-ngais tanah pada sarang tersebut sehingga terbentuklah lubang yang dalamnya antara 20120 cm. Satu sarang hanya dipakai oleh satu pasang jantan dan betinanya. Namun Dekker (1990) dan Campell dan Lack (1985) menjelaskan bahwa satu gundukan dapat digunakan oleh pasangan burung yang berbeda. Kemudian oleh Pranowo (1976) dikemukakan pula bahwa setiap musim satu pasang burung hanya menghasilkan 9 butir telur. Jarak waktu bertelur dari satu telur ke telur berikutnya ialah 4 hari. Setiap lubang di dalam sarang hanya berisi satu butir
telur yang diletakkan secara vertikal. Walters (1994) menyebutkan telur megapoda umumnya berbentuk longitudinal dan berwarna putih sedikit merah muda dan ada yang coklat tanah terang. Ukurannya bervariasi dengan panjang 70,93 dan lebar 40,57 (dalam mm). Masa inkubasi telur megapoda secara umum berkisar antara 56-63 hari walaupun del Hoyo et al. (1994) mengatakan bahwa masa inkubasi telur megapoda tidak diketahui secara pasti. Pranowo (1976) bahkan menjelaskan bahwa telur-telur burung gosong akan menetas pada umur 40 hari sejak mulai diletakkan dalam sarang. 2.6. Sarang Burung gosong kaki-merah membangun gundukan yang besar dan mencolok sebagai sarang bertelur (Jones et al. 1995). Sarang burung gosong terbuat dari dedaunan, ranting, cabang, dan bahan organik dan non-organik dari lantai hutan seperti humus dan pasir yang dikumpulkan dengan menggunakan kakinya yang kuat. Proses dekomposisi (pembusukan) material vegetatif tersebut, dengan dirangsang oleh iklim hutan (sub) tropis, menghasilkan panas yang dibutuhkan untuk pengeraman (Dekker 1990). Tumpukan tanah bercampur serasah hutan (sampah) yang digunakan sebagai sarang, dapat mencapai tinggi 5 m dan lebar 12 m (van Balen 1916, diacu dalam Pranowo 1976). Selanjutnya dikatakan pula bahwa suhu yang sangat tinggi untuk keperluan pengeraman diserahkan kepada alam. Jadi secara otomatis kenaikan suhu diatur oleh fermentasi yang terjadi dalam campuran sampah dengan tanah. Suhu dalam sarang dapat naik sampai setinggi 420C sehingga induknya tidak perlu mengerami telur-telurnya. Del Hoyo et al. (1994) menjelaskan bahwa sumber panas pada sarang burung gosong juga berasal dari sinar matahari. Bila suhu di dalam gundukan terlalu tinggi maka burung gosong membuka gundukan sarang tersebut agar panasnya keluar sehingga suhu dalam sarang yang ideal dapat dipertahankan (340C). Untuk memperoleh suhu ideal ini burung gosong melakukan persiapan selama beberapa bulan. Suhu yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan telur tidak dapat menetas karena “terlalu matang”. Bila suhunya terlalu dingin burung gosong membuka dan
menghamparkan gundukan sarang tersebut agar sinar matahari dapat menghangatkan telur-telur yang sedang dierami. Beberapa orang berpendapat bahwa burung gosong mendeteksi tinggi rendah suhu sarangnya dengan menggunakan lidah atau suatu bagian pada mulutnya. Dekker (1990) menyatakan bahwa suhu dan kelembaban tanah dimana telur dierami mempengaruhi proses pengeraman dan keberhasilan penetasan. Suhu tanah diukur mulai dari dasar lubang pada sarang. Lubang tempat telur-telurnya diletakkan dapat bervariasi menurut ukuran dan kedalaman. Suhu tanah di dalam dan di luar lubang meningkat pada musim kemarau dan turun pada musim hujan. Penurunan suhu semakin mengecil dan melambat dengan bertambahnya kedalaman. Pada burung maleo (Macrocephalon maleo), yang merupakan kerabat burung gosong, sumber panas untuk pengeraman telurnya adalah panas matahari sehingga peletakan telur hanya dilakukan pada musim kemarau. Dibandingkan dengan saat musim kemarau, pada musim hujan matahari jarang muncul dan sangat sulit bagi tanah yang basah untuk menjadi hangat kembali (Dekker 1990). Sedangkan menurut Martin (1987), burung gosong membenamkan telurnya pada awal musim hujan. Selama musim hujan, lantai hutan menyediakan banyak bahan organik yang merupakan bahan penyusun utama gundukan. Panas untuk penetasan telur diperoleh dari dekomposisi bahan organik tersebut oleh mikroorganisme tanah. Proses ini berlangsung dengan cepat pada musim hujan dimana kondisi kelembaban tanah dan udara tinggi yang merangsang aktivitas mikroorganisme tanah dalam mengurai bahan organik tersebut. Di beberapa tempat burung gosong dianggap sebagai pertanda turunnya hujan, karena tidak lama setelah mereka menggali kembali sarangnya biasanya musim hujan segera datang. Menurut Pranowo (1976) lubang-lubang di dalam sarang dibangun secara sembarang. Ada yang tegak lurus, mendatar dan ada pula yang menyerong. Kedalaman tiap lubang dalam satu sarang tidak sama. Jarak antar sarang yang satu dengan yang lainnya lebih kurang 200 meter. Tahun-tahun pertama ketika sarang dibangun tingginya hanya 60 cm dan lebarnya 1,5 cm. Burung gosong mempunyai kebiasaan dan aktivitas merawat sarang
sehingga sarang gosong yang aktif juga ditunjukkan dengan banyaknya serasah dan ranting yang ada di atas gundukan sarang. Tahun-tahun berikutnya gundukan sarang tersebut semakin besar sehingga menjadi anak bukit, lama-kelamaan sarang tersebut akan ditinggalkan karena tidak mungkin lagi terjadi fermentasi di dalamnya untuk mendapatkan suhu yang sesuai untuk pengeraman telur-telurnya. Mereka kemudian membuat gundukan sarang yang baru (Pranowo 1976). Menurut del Hoyo et al. (1994) gundukan sarang burung gosong yang terdapat di Pulau Komodo rata-rata tingginya mencapai 95 cm, lebar 715 m dan terdiri atas 20 m3 material. Suhu gundukan 29-380C selama pengeraman. Gundukan biasanya dibangun pada tanah yang datar, dan tanah pada sedikit kemiringan, sebagian besar pada tempat teduh. Menurut Jessop et al. (2006), sarang burung gosong kaki-merah ditemukan pada rentang ketinggian 2 hingga 111 m di atas permukaan laut. Sarang tidak tersebar secara acak, tetapi secara signifikan lebih cenderung terletak pada tempat dengan penutupan naungan 25%. Sementara itu, hampir semua sarang dibangun di dalam mosaik hutan musim terbuka, sedangkan sisanya ditemukan di hutan tertutup dan di padang rumput. Burung gosong kaki-merah tampak lebih memilih membangun sarang pada tanah berlempung atau berpasir, dan hampir semuanya menghindari tanah yang berbatu dan berkerikil. Sarang lebih sering ditemukan berasosiasi dengan pohon Asam (Tamarindus indica), sedangkan sisanya ditemukan berdekatan dengan jenis tumbuhan yang sangat bervariasi. Jessop et al. (2006) melakukan pengamatan pada sarang aktif dan sarang tidak aktif. Sarang aktif yaitu sarang yang masih digunakan oleh burung gosong sedangkan sarang tidak aktif adalah sarang yang tidak digunakan dan ditinggalkan oleh burung gosong. Panjang sarang aktif berkisar dari 0,8-15 m, tinggi sarang berkisar antara 0,32,2 m, dan jumlah lubang sarang berkisar antara 0-9. Panjang sarang tidak-aktif berkisar antara 4,5-8,1 m, lebar sarang berkisar antara 3,5-8,6 m, tinggi sarang berkisar antara 0,02-,0 m. Uji T terhadap perbedaan antara panjang dan lebar menunjukan bahwa sarang aktif lebih panjang secara signifikan dari pada sarang tidak-aktif dan sarang yang sudah ditinggalkan, demikian juga lebih tinggi. Namun
tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam lebar antara sarang aktif dan tidak aktif. 2.7. Habitat dan Ekologi Burung Gosong Menurut Dekker (1990), sebagian besar megapoda menghuni hutan hujan tropika, dimana mereka mengubur telur dalam gundukan pengeraman atau mengubur pada tanah panas. Del Hoyo et al. (1994) menjelaskan bahwa hutan tersebut juga digunakan untuk mencari makan. Variasi tipe hutan dan lahan berpohon ini menyediakan habitat yang cocok bagi burung megapoda. Sebagai contoh, di Komodo, burung gosong kaki-merah hidup dan berbiak pada hutan kering terbuka dan semak berlukar, kadang-kadang membangun sarang sekitar 100 m dari kampung. Di tempat lain, spesies yang sama bahkan dijumpai pada lahan yang sama lembabnya seperti rawa mangrove. Lebih jauh Palmer et al. (2000) menyebutkan bahwa burung gosong tidak hanya membangun gundukan di hutan musim tapi juga di hutan pantai dan hutan regenerasi. Hutan regenerasi tersebut merupakan hutan yang sedang mengalami pertumbuhan setelah sebelumnya merupakan areal kosong bekas tebangan. Habitat burung gosong adalah hutan hujan dan variasi area berpohon lainnya, termasuk hutan rawa. Kadang-kadang burung ini terlihat pergi ke area terbuka, khususnya habitat yang telah terfragmen. Di Komodo, burung ini berbiak di lahan hutan dan semak pantai, atau pada habitat yang serupa sepanjang sisi badan sungai yang kering; gundukan kadang-kadang hanya 100-200 m dari pemukiman penduduk, walaupun biasanya tersembunyi dengan baik (del Hoyo et al. 1994).
III. METODE 3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama ± tiga bulan, mulai pertengahan bulan Maret sampai akhir bulan Mei 2008. Lokasi penelitian yaitu di Resort Loh Baru dan Resort Loh Buaya Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo, Manggarai Barat.
B
A
Gambar 2. Lokasi penelitian (A: Loh Baru, B: Loh Buaya)
3.2 Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain binokuler, kamera, Global Positioning System (GPS), solarimeter, termometer bola kering dan bola basah, sendok semen, kantong plastik, tabung bekas film (berwarna putih dan agak transparan, diameter 3 cm, tinggi 5 cm) yang digunakan untuk menyimpan contoh tanah dalam pengukuran pH, kertas pH Universalindikator pH 0-14 MERCK, serta
air minum mineral AQUA (air ini dipilih karena memiliki nilai pH netral/sekitar 7), pipa paralon, kaliper, timbangan, tali, stopwatch, meteran gulung dan peta kerja. 3.3 Jenis Data 3.3.1
Data Primer Data primer meliputi tekstur substrat, kadar air tanah, pH tanah,
kandungan bahan organik tanah, ketinggian dari permukaan laut, intensitas cahaya matahari, kondisi vegetasi sekitar gundukan, jarak dari pantai, suhu di dalam sarang serta suhu dan kelembaban udara di luar sarang. Selain itu, diamati perilaku bertelur, interaksi dengan komodo serta populasi burung gosong di Pulau Rinca. 3.3.2
Data Sekunder Data sekunder berupa informasi yang diperoleh dari studi literatur dan
keterangan dari petugas tentang ekologi burung gosong. 3.4 Metode Pengambilan Data 3.4.1
Karakteristik Fisik dan Kimia Lapangan Tempat Bertelur Sarang burung gosong terbagi atas dua macam yaitu sarang aktif dan sarang
tidak aktif. Sarang aktif dicirikan dengan adanya penumpukkan sampah yang baru di sekitar sarang, adanya bekas galian pada lubang, terdapat jejak kaki dan kehadiran burung gosong di sekitar sarang serta kondisi lantai hutan sekitar sarang yang bersih dari serasah (Sinclair 2001; Jessop et al. 2006). Sarang tidak aktif dicirikan dengan tidak adanya bekas galian, tidak terjadi penimbunan sampah, permukaan sarang mulai ditumbuhi tumbuhan bawah, tanah telah mengalami pengerasan dan masih terdapat banyak serasah pada lantai hutan di sekitar sarang (Jessop et al. 2006). Pengukuran karakteristik sarang dilakukan hanya dilakukan pada lima sarang aktif dan dua sarang tidak aktif di kedua lokasi penelitian. Penentuan jumlah sarang yang diukur dan diamati dilakukan berdasarkan pertimbangan aksesibilitas menuju sarang serta ketersediaan waktu dan dana. Tiga sarang aktif
diukur di lokasi Loh Baru dan dua lainnya di Loh Buaya. Sarang tidak aktif yang menjadi objek pengamatan semuanya berada di Loh Buaya. a. Kondisi vegetasi sekitar sarang Data kondisi vegetasi di sekitar sarang diperoleh dengan melakukan analisis vegetasi dengan metode jalur berpetak dengan panjang dan lebar jalur adalah 60 m X 20 m (Gambar 3). 10 m
B A 10 m
C C
60 m Gambar 3. Petak pengukuran analisis vegetasi sekitar sarang Keterangan : A B C D
: : : : :
Sarang burung gosong Petak ukur untuk semai dan tumbuhan bawah (2 x 2 m2) Petak ukur untuk Pancang (5 x 5 m2) Petak ukur untuk Tiang (10 x 10 m2) Petak ukur untuk Pohon (20 x 20 m2)
b. Bentuk dan dimensi sarang Sarang bertelur burung gosong berbentuk gundukan (Gambar 4a). Variabelvariabel yang diukur untuk mengetahui dimensi sarang yaitu diameter sarang yang merupakan panjang garis tengah sarang, kedalaman sarang yaitu jarak tegak lurus dari dasar bagian dalam sarang ke permukaan sarang dan tinggi total sarang yaitu jarak dari sarang bagian bawah ke bagian tertinggi sarang. Pengukuran terhadap diameter dan tinggi sarang dilakukan dengan menggunakan meteran fiber. Diameter sarang diukur dua kali, baik diameter pada mulut sarang maupun diameter sarang (dan keduanya saling memotong tegak lurus kemudian diambil rata-ratanya) (Gambar 4b). Kedalaman sarang diukur dengan menggunakan patok kayu yang dimasukkan ke dalam lubang. Batas kayu yang dapat dimasukkan kedalam lubang ditandai dan diukur sehingga diperoleh nilai kedalaman sarang.
Ds Dm
t
h
Keterangan: Ds: Diameter sarang Dm: diameter mulut sarang t: Tinggi sarang h : kedalaman sarang
(a)
Ds2
Ds1
Dm2
Dm1
(b) Gambar 4.
Model pengukuran dimensi sarang, (a) penampang vertikal, (b) penampang horizontal mulut sarang
Ketinggian dari permukaan laut, jarak dari pantai diukur dengan menggunakan GPS. c. Suhu, Kelembaban dan Intensitas cahaya i. Suhu dan kelembaban Telur megapoda menetas pada kedalaman antara 20 cm sampai 1 m (Jones et al. 1995). Suhu gundukan diukur pada berbagai kedalaman yaitu 25 cm, 50 cm dan 75 cm pada tipe habitat yang digunakan burung gosong untuk bertelur. Pengukuran suhu dalam sarang dilakukan dengan menggunakan termometer. Termometer diikat dengan tali lalu dimasukkan ke dalam pipa
paralon sampai ujung termometer tersebut menyentuh tanah. Setelah 5 menit, paralon segera dikeluarkan dari lubang untuk segera dibaca dan dicatat angkanya. Pada awalnya direncanakan pengukuran suhu dilakukan juga pada kedalaman 75 cm. Tetapi kedalaman 75 cm sangat sulit diukur secara konstan. Seringkali terjadi perbedaan kedalaman tanah yang diukur karena perbedaan komposisi sarang dan aktivitas pemeliharaan sarang oleh burung gosong. Komposisi sarang yang sebagian besar adalah bebatuan menyulitkan pengukuran melalui pipa paralon pada kedalaman ini. Selain itu, burung gosong merawat sarang dengan cara menggali lalu menimbun kembali. Kedalaman sarang 75 cm akan berubah lebih rendah jika digali oleh burung gosong. Oleh karena itu, selama pengukuran data yang lebih lengkap mengenai suhu sarang hanya pada kedalaman 50 cm dan 25 cm. Untuk mengetahui fluktuasi suhu tanah harian maka dalam sehari dilakukan tiga kali pengukuran yaitu pada jam 07.30, 13.30 dan 17.30 (berdasarkan standar Badan Meteorologi dan Geofisika). Fluktuasi suhu dan kelembaban udara di atas lapangan tempat bertelur juga diukur dengan interval waktu yang sama dengan memasang termometer bola kering dan bola basah pada ketinggian 1,5 m di atas permukaan lubang sarang bertelur. Suhu dan kelembaban rata-rata harian baik di dalam lubang maupun di luar lubang bertelur diukur dengan menggunakan persamaan dalam Handoko (1995), yaitu: Trata2 =
2 T07.30 + T 13.30 + T17.30
Keterangan:
4 T07.30
= Suhu pada pengukuran pagi pukul 07.30
T13.30
= Suhu pada pengukuran siang pukul 13.30
T17.30
= Suhu pada pengukuran sore pukul 17.30
ii. Intensitas cahaya matahari Besarnya intensitas cahaya (Kw/m2) yang mengenai sarang diukur dengan menggunakan solarimeter yang diletakkan pada ketinggian 1 meter di atas gundukan sarang. d.
Sifat tanah Dari tujuh sarang pengamatan baik aktif maupun tidak aktif diambil lima sampel tanah untuk dianalisis sifat fisik dan kimia sarang. i. Tekstur tanah Contoh substrat diambil dari lubang sarang pada kedalaman sekitar 50 cm dengan menggunakan sendok semen dan disimpan dalam kantong plastik (poly ethilen) untuk dianalisis di Laboratorium Tanah IPB. Tipe tekstur ditentukan berdasarkan kandungan pasir (%), debu (%) dan liat (%) berdasarkan klasifikasi tekstur tanah menurut segitiga USDA (Lampiran 2). ii. pH tanah Pengukuran pH tanah dilakukan di lapangan. Sampel tanah dimasukkan ke dalam tabung bekas film sebanyak ⅔ tinggi tabung, kemudian diikuti dengan memasukkan air ke dalam tabung bekas film tersebut. Tabung ditutup lalu dikocok selama 10-15 menit sampai suspensi tanahnya mengendap dan bagian atas tidak keruh untuk dimasuki kertas pH. Setelah bagian atas air tidak keruh lagi, maka kertas pH dicelupkan selama 1 menit. Setelah dicelup selama 1 menit, kertas pH dikeluarkan dan segera dilakukan pembacaan nilai pH tanah dengan pencocokan warna. Jika warna berubah menjadi biru maka pH tanah termasuk basa dan jika warna menjadi merah menunjukkan pH tanah yang asam. iii. Kandungan bahan organik Contoh substrat diambil dari tiap lokasi penelitian, kemudian dibakar. Asumsi yang digunakan adalah semua bahan organik dapat terbakar sempurna sehingga besarnya kandungan bahan organik tanah diperoleh dengan menggunakan persamaan:
Bo =
a-b a
X 100 %
Keterangan: Bo = kandungan bahan organik a
= berat awal bahan organik
b
= berat tanpa abu
iv. Kadar air substrat Sampel substrat diambil lalu dimasukkan dalam kotak plastik. Pengukuran kadar air dilakukan dengan mengeringkan substrat di dalam oven yang bersuhu 1050C selama 24 jam. Sebelum dikeringkan, sampel tanah diukur berat basahnya. Nilai kadar air substrat diperoleh dengan persamaan (Wahjunie dan Kukuh 2004): % KA
=
BB – BK BK
X 100 %
Keterangan: KA = Kadar air tanah (dalam %) BB = berat basah sampel BK = berat kering sampel
3.4.2
Perilaku di Tempat Bertelur Perilaku burung gosong yang diamati di lapangan tempat bertelurnya
meliputi perilaku sebelum bertelur, saat bertelur dan setelah bertelur. Perilaku utama yang tampak yaitu mendekati sarang, mengais, menggali, meninggalkan sarang, keluar dari lubang bertelur, bersuara, mengawasi, bertelur, menutup lubang telur dan memeriksa. Untuk itu dilakukan pengamatan perilaku dari jam 06.00-17.00 WITA dan dicatat pada panduan (Lampiran 3). Metode yang digunakan adalah Focal Animal Sampling yaitu pengamatan perilaku difokuskan pada satu pasang individu terhadap perilaku secara umum. Pasangan yang menjadi objek pengamatan adalah pasangan yang melakukan perilaku bertelur. Setiap perilaku yang ditunjukkan oleh pasangan burung gosong baik jantan maupun betina dicatat dan difoto. Pencatatan perilaku satwa dengan
cara Continuous recording yaitu mencatat perilaku yang tampak dan frekuensi/lamanya waktu. Cara ini digunakan untuk menghitung alokasi waktu (dalam bentuk presentase) yang dibutuhkan untuk melakukan suatu aktivitas tertentu. Telur yang dihasilkan dari setiap perilaku bertelur diukur morfometrinya meliputi panjang, lebar maupun berat telur (Gambar 5). Panjang dan lebar telur diukur dengan menggunakan kaliper, sedangkan berat telur diukur dengan menggunakan neraca timbangan. Perbedaan morfometri telur yang dihasilkan oleh induk burung gosong kemungkinan berkaitan dengan perilaku bertelur yang ditunjukkan. Panjang
Lebar
Gambar 5. Pengukuran morfometri telur burung gosong
3.4.3
Interaksi dengan Komodo Komodo dan burung gosong diketahui memiliki interaksi dalam hal
penggunaan sarang bertelur dan pemangsaan (Sunanto 1998). Untuk melihat interaksi yang terjadi antar dua satwa ini dilakukan dengan mengamati perilaku kedua satwa tersebut di sekitar sarang burung gosong. Setiap perilaku biawak Komodo saat berada di sekitar sarang burung gosong dicatat baik jenis aktivitasnya maupun waktu dan frekuensinya. Penggunaan kembali sarang burung gosong yang telah dipakai oleh komodo dilakukan dengan mengidentifikasi sarang-sarang yang telah dipakai oleh komodo. Sarang komodo dapat dibedakan dengan sarang burung gosong berdasarkan perbedaan ukuran dan jumlah lubang dalam sarang. Ukuran sarang
komodo lebih panjang dengan jumlah lubang yang lebih banyak dibandingkan dengan sarang burung gosong (Jessop et al. 2004; Muslich & Kartono 2005). Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap kemungkinan burung gosong bertelur di sarang yang pernah digunakan oleh komodo untuk meletakkan telurnya. 3.4.4
Populasi Burung Gosong di Lokasi Pengamatan Pengambilan data populasi burung gosong di lokasi penelitian dilakukan
dengan menggunakan metode kombinasi jalur transek dan metode titik hitung (Gambar 6). Survey populasi burung gosong dilakukan pada lokasi penelitian yaitu Loh Baru dan Loh Buaya, Pulau Rinca. Bg
p O
O p
O
Bg Bg 1000 m Keterangan:
p = jarak pandang rata-rata bagi pengamat (25 m) O = posisi pengamat Bg = Burung gosong
Gambar 6. Ilustrasi Penggunaan Kombinasi Metode Titik dan Metode Jalur
Pelaksanaan pengamatan dilakukan dengan berjalan sepanjang transek dengan kecepatan konstan, memeriksa setiap sisi dari garis yang dijalani dan mencatat jenis kontak (langsung atau tidak langsung), aktivitas burung pada saat terjadi kontak dan jarak antara burung dengan pengamat. Burung yang masuk ke plot tidak dihitung dalam data.
3.5 Pengumpulan Data Sekunder Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari pihak pengelola TNK, antara lain : a.
Informasi dan data lokasi-lokasi gundukan burung gosong di TNK.
b.
Data letak dan luas wilayah TNK beserta pembagian wilayahnya.
c.
Data tipe iklim dan curah hujan.
d.
Data kondisi tanah dan formasi geologi.
e.
Data populasi dan penyebaran burung gosong di TNK.
f.
Informasi tentang perilaku harian burung gosong.
g.
Data formasi hutan.
h.
Data jenis flora dan fauna yang terdapat di TNK.
Data sekunder meliputi wawancara dengan petugas TNK dan pihak lain yang dianggap mengetahui kondisi burung gosong di daerah tersebut. Disamping itu pula melalui studi literatur mengenai bioekologi burung gosong, keadaan daerah penelitian dan metode-metode penelitian. 3.6 Analisis Data 3.6.1 Kondisi vegetasi Data hasil inventarisasi vegetasi tumbuhan sekitar gundukan selanjutnya dianalisis untuk menentukan besarnya nilai Kerapatan (K), Kerapatan Relatif (KR), Dominansi (D), Dominansi Relatif (DR), Frekuensi (F), Frekuensi Relatif (FR) serta indeks nilai penting (INP). Untuk vegetasi tingkat bawah maka indeks nilai penting merupakan penjumlahan antara kerapatan relatif (KR) dan frekuensi relatif (FR). Persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut (Soerianegara dan Indrawan 2005) : Kerapatan Jenis (K)
=
Kerapatan Relatif (KR) =
Jumlah individu jenis ke - i Luas total petak contoh Kerapatan jenis ke - i x100% Kerapatan seluruh jenis
=
Jumlah luas bidang dasar x100% Luas petak contoh
Dominansi Relatif (DR) =
Dominansi jenis ke - i x100% Dominansi seluruh jenis
Frekuensi Jenis (F)
Jumlah petak ditemukan jenis ke - i Jumlah seluruh petak contoh
Dominasi Jenis (D)
=
Frekuensi Relatif (FR) =
Frekuensi kerapatan jenis ke - i x100% Jumlah frekuensi seluruh jenis
INP = KR + DR + FR 3.6.2. Karakteristik Fisik dan Kimia Lapangan Tempat Bertelur Karakteristik fisik dan kimia lokasi bertelur dianalisis secara deskriptif untuk melihat hubungannya dengan kondisi sarang dan kondisi lingkungan secara umum. Selain itu digunakan analisis regresi linear berganda untuk mengetahui hubungan antara besarnya suhu dalam sarang yang dipengaruhi oleh tekstur tanah, kadar air tanah, kandungan bahan organik, suhu dan kelembaban di luar sarang, jarak dari pantai, ketinggian tempat dan intensitas cahaya matahari. Nilai pH tanah tidak dimasukkan dalam analisis regresi karena tingkat keasaman yang dapat ditolerir berbeda pada setiap jenis mikroba. Jenis mikroba dalam gundukan tidak diteliti sehingga menyulitkan perumusan keterkaitannya dengan suhu gundukan. Hipotesa yang ingin diuji adalah: Ho
: Suhu di dalam sarang dipengaruhi oleh karakteristik fisik dan kimia gundukan
H1
: Suhu di dalam sarang tidak dipengaruhi oleh karakteristik fisik dan kimia gundukan
Model regresi linear sederhana yang digunakan yaitu: Yj
= β0 + β1X1 + β2X2 + ...+β8X8 + Ej
Keterangan: Yi
= peubah tak bebas yaitu suhu dalam sarang
Xi
= peubah bebas yaitu tekstur tanah (X1), kadar air tanah (X2), bahan organik (X3), suhu (X4) dan kelembaban (X5) di luar sarang, jarak dari pantai (X6), ketinggian tempat (X7) dan intensitas cahaya (X8).
β0
= Konstanta
βi
= Kemiringan
Ej
= Sisaan
Kriteria pengujian hipotesa adalah: Fhit < Ftabel maka terima H0 Fhit > Ftabel maka tolak H0 atau terima H1 3.6.3 Perilaku Burung Gosong Hasil pengamatan terhadap perilaku burung gosong disajikan dalam bentuk persentase, grafik, analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. a. Etogram perilaku bertelur Tahapan pembuatan etogram yaitu membagi perilaku bertelur burung gosong yang teramati ke dalam 10 perilaku utama. Perilakuperilaku tersebut dideskripsikan secara terperinci untuk menerangkan proses dan tujuan perilaku tersebut dilakukan. Etogram perilaku bertelur burung gosong dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perilaku burung gosong di lokasi bertelur yang diamati No. Perilaku Deskripsi 1.
Mengawasi lokasi
2. 3.
Mendekati sarang Memeriksa sarang
4.
Masuk dan menggali sarang Bertelur Keluar dari lubang sarang Menutup sarang Membuat sarang palsu Istirahat Meninggalkan lokasi
5. 6. 7. 8. 9. 10.
Berada tidak jauh dari lokasi bertelur, sambil melihat-lihat keadaan sekeliling lokasi bertelur Berjalan, berlari atau terbang menuju lokasi Memeriksa semua lubang yang ada dan memilih lubang untuk meletakkan telur Menggali sarang untuk meletakkan telur dan lubang tipuan menggunakan dua kakinya yang kuat Berada di dalam lubang selama beberapa saat untuk bertelur Burung gosong keluar dari lubang bertelur. Memindahkan tanah ke dalam sarang Menggali gundukan untuk membuat sarang palsu Berhenti dari aktivitas untuk sementara. Berjalan, terbang atau berlari meninggalkan lokasi bertelur
b.
Persentase penggunaan waktu Untuk mengetahui besar persentase waktu yang dikerjakan satwa liar dalam setiap perilaku per total waktu pengamatan yaitu: menit perilaku % Perilaku
=
X 100 % Total waktu pengamatan
Indeks telur yang dihasilkan burung gosong ditetapkan berdasarkan rumus: Indeks telur = Lebar / panjang X 100 3.6.4
(Rumanoff dan Rumanoff 1963).
Interaksi dengan Komodo Interaksi burung gosong dengan biawak komodo dianalisis secara
deskriptif yaitu menggambarkan perilaku bertelur burung gosong dengan kehadiran komodo di sekitar sarang. Selain itu analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan tentang kemungkinan penggunaan kembali sarang yang telah dipakai oleh komodo. 3.6.5
Populasi Burung Gosong di Lokasi Pengamatan Besarnya populasi dugaan dapat dihitung dengan menggunakan rumus
Caughley (1977) diacu dalam Alikodra (2002) sebagai berikut: ∑ Pi P =
X A ∑ ai
Keterangan: P : Populasi dugaan Pi : Jumlah satwa (ekor) ai : Luas petak contoh (ha) A : Luas total lokasi pengamatan (ha)
Sehingga besarnya populasi adalah P ± SE, dimana Sp -2 x N – n SE
= n
Sp-2 =
N
∑ (Pi – P)2 n-1
IV. KONDISI UMUM 4.1 Taman Nasional Komodo TN Komodo merupakan salah satu dari sekian banyak kawasan konservasi yang terdapat di Indonesia. Secara geografis, TN Komodo terletak di antara pulau Sumbawa dan pulau Flores, di antara dua laut, Laut Sulawesi atau Flores di sebelah Utara, dan Selat Sunda dan Samudera Indonesia di sebelah Selatan dan secara administratif termasuk dalam Kabupaten Manggarai Barat, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kawasan TN Komodo ditetapkan melalui Pengumuman Menteri Pertanian Republik Indonesia pada tanggal 6 Maret 1980 dan kemudian dikukuhkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 306/Kpts-II/1992 tanggal 29 Pebruari 1992, yang meliputi kawasan seluas 173.300 Ha yang terdiri dari 40.728 Ha daratan dan 132.572 Ha perairan laut. Terdapat empat pulau di TN Komodo yaitu Pulau Komodo dengan luas 33.937 Ha, Pulau Rinca seluas 19.625 Ha, Pulau Padar seluas 2.017 Ha, dan Pulau Gilimotang 3.328 Ha (Taman Nasional Komodo 2000). TN Komodo mempunyai kekayaan sumber daya hayati dan budaya yang bernilai tinggi. TN Komodo memiliki dataran hutan savana, sedikit hutan tropis pada puncak gunung, hutan pesisir, hutan bakau, perairan maritim serta sederetan pegunungan dan perbukitan (Gambar 7). Kawasan ini dipengaruhi oleh angin musim, dan pada umumnya beriklim kering. Pada bentang alam tertentu, seperti pada perbukitan dan pegunungan, iklimnya lebih lembab. Bentang alam TN Komodo dapat dibagi menjadi dua komponen utama,yaitu terestrial dan perairan. Setiap komponen mempunyai ciri-ciri yang unik, keduanya penting dan saling tergantung.
Gambar 7. Penutupan vegetasi di TN Komodo berdasarkan analisis citra satelit Landsat TM 2004. (Keterangan: HKA: Hutan Kuasi Awan, HLT: Hutan Lebat Tertutup, HGT: Hutan Gugur Terbuka, SH & SR : Savana Hutan dan Savana Rumput, HM: Hutan Mangrove) (Taman Nasional Komodo, 2000)
4.2 Pulau Rinca 4.2.1 Topografi Pulau Rinca terletak di paling ujung timur daerah TN Komodo dan dipisahkan dari daratan Flores oleh selat yang sempit yaitu Selat Molo. Pulau ini berbentuk membulat di bagian Selatan dan di sebelah Utara terbagi dua oleh teluk Loh Kima. Luas daratan pulau adalah 211 km2, pantainya sepanjang 172 km dan 28 km dari Tenggara ke Timur Laut. Gunung Doro Ora di sebelah Selatan mencapai 677 m di atas permukaan laut dan merupakan gunung tertinggi di Pulau Rinca. Gunung tertinggi di bagian Timur Laut adalah Gunung Pankarmea (542 m) yang membentuk pegunungan gersang bersama dengan Gunung Doro Radja (351m) dan beberapa puncak lainnya. Di bagian tengah
dan Barat Laut pulau terdapat topografi yang lebih melandai, dengan pantai pasir putih di sana sini. Pantai Selatan memiliki tebing-tebing yang curam dan pantai yang sempit dan landai (Taman Nasional Komodo 2000). 4.2.2 Iklim Iklim di Rinca mirip dengan iklim di pulau-pulau Padar dan Komodo. Pulau ini dipengaruhi oleh angin muson. Mulai November sampai Maret, angin Barat Laut bertiup membawa curah hujan yang banyak. Dari April sampai Oktober angin kering bertiup dari Barat Daya. Curah hujan yang diterima kawasan TN Komodo secara umum kurang dari 800 mm per tahun. Puncak pegunungan, seperti di daerah lainnya, hampir senantiasa tertutup kabut atau awan, dengan tingkat kelembaban yang tinggi (Erdmann 2004). 4.2.3 Tanah dan Geologi Secara umum, pertanahan dan keadaan geologis Rinca tidak banyak berbeda dari kepulauan di sekitarnya. Terdapat sedikit perbedaan dengan di pulau-pulau lainnya yaitu kehadiran tanah kuning Mediterranean yang sangat rawan terhadap erosi (Erdman 2004). Formasi geologis di pulau ini terdiri atas: 1) karang, 2) aluvium, 3) tufa (batu cadas), 4) napal; dan 5) endapan vulkanis, seperti: 1) andesit dan 2) dasitik yang menonjol. Formasi tersebut tersebar di bagian tengah dan sebagian besar di utara (bagian barat) dan sisanya terdapat di wilayah sekeliling Gunung Doro Radja dan Tanjung Koloh. 4.2.4 Vegetasi Secara umum hutan pesisir terdapat di sepanjang pantai. Hutan bakau terdapat pada loksi-lokasi adanya endapan lumpur. Pada bagian yang lebih tinggi, terdapat hutan musim (deciduous) dan savana. Di puncak perbukitan atau pegunungan terdapat hutan kuasi-awan. Di hutan kuasi-awan ada beberapa spesies tanaman termasuk rotan (Callamus spp.), bambu (Bambusa spp.), dan
aneka jenis pohon (Podocarpus nerifolia, Ficus orupacea, dan Terminalia zollingeri). Vegetasi di Pulau Rinca (Gambar 7) seperti halnya di kepulauan lainnya di wilayah TN Komodo, didominasi oleh jenis-jenis vegetasi savana. Di antara vegetasi rumput savana atau belukar terdapat lontar (Borassus flabellifer). Vegetasi hutan deciduous didominasi oleh Zizyphus jujuba (bidara), asam (Tamarindus indica) dan kesambi (Schleichera oleosa). Hutan bakau di sepanjang pantai utara didominasi oleh Rhizopora mucronata. Jenis lainnya adalah Ceriops tagal, Sonneratia alba, dan Avicenia mariana (Taman Nasional Komodo 2000). 4.2.5 Fauna Selain satwa Komodo yang terkenal, di pulau ini juga terdapat populasi kuda liar (Equus caballus). Populasi kuda liar hanya terdapat di wilayah antara desa Rinca dan desa Kerora, dan bertumpang tindih dengan penyebaran kerbau liar (Bubalus bubalis). Ada juga anjing liar (Canis familiaris), yang bersaing dengan satwa Komodo terhadap sumber makanan, seperti rusa (Cervus timorensis), babi hutan (Sus scrofa vittatus), tikus (Rattus sp), burung serta bangkai binatang. Bahkan anjing liar tersebut juga mengincar satwa Komodo muda. Kera ekor panjang (Macaca fascicularis) terdapat di pulau Rinca, tetapi tidak terdapat di Komodo atau Padar. Spesies satwa primata ini dapat berenang dan menyeberangi selat yang sempit dari Flores. Selat yang lebih lebar antara Rinca, Padar dan Komodo mungkin menghalangi penyebarannya makin ke Barat Laut. Rusa seringkali terdapat di wilayah Gunung Tumbuh dan Doro Ora sampai ke Loh Dasami. Sebagai tambahan, populasi babi hutan cukup banyak dan tersebar dari pesisir sampai ke hutan savana dan hutan deciduous. Babi hutan bersaing dengan Komodo memperebutkan bangkai. Beberapa spesies burung yang terancam kepunahannya terdapat di Rinca (juga terdapat di pulau-pulau lain dalam kawasan). Ini termasuk elang ikan
(Pandion haliaetus), alap-alap sapi (Falco moluccensis) dan burung gosong (Megapodius reinwardt). Sepanjang tebing curam di pesisir terdapat burung walet (Collocalia spp.) dan beraneka jenis burung lainnya. Gundukan sarang buatan burung gosong merupakan daya tarik wisatawan, terutama mengenai struktur sosial yang unik dalam populasi serta perilaku pembuatan sarang. Spesies ini tersebar di seluruh Rinca. Burung lain yang menarik perhatian adalah ayam hutan (Gallus varius). Spesies ini tersebar di hampir seluruh Rinca, mulai dari daerah pesisir sampai ke wilayah pegunungan, dan penyebarannya tumpang tindih dengan penyebaran burung gosong. 4.2.6 Tata guna lahan Seperti halnya dengan pulau-pulau lainnya, masyarakat setempat mempunyai metode sederhana untuk pemanfaatan lahan. Mereka hanya menggunakan lahan di wilayah pesisir yang melandai, tidak terlalu jauh dari laut. Pusat pemanfaatan tanah adalah Rinca, Kerora dan Loh Buaya. Pemanfaatan tanah, selain sebagai hunian, lazimnya berkaitan dengan eksploitasi sumber daya perairan, seperti tempat pengeringan ikan dan tempat penambatan kapal nelayan. Ada sebagian tanah yang digunakan untuk bercocok tanam, namun ini tidak terlalu intensif. Penduduk setempat menanam padi gogo (di tanah kering) di ladang yang terbatas, juga jagung, ubi, singkong dan pohon kelapa (Erdmann 2004). 4.3 Kondisi Lapangan Lokasi Penelitian 4.3.1 Loh Baru Lokasi pengamatan Loh Baru merupakan wilayah yang dipengaruhi oleh keberadaan hutan tropis musim yang sangat luas. Topografi kawasan hutan berbukit-bukit dengan campuran tipe hutan musim dan savana yang luas. Hutan musim terdapat pada puncak-puncak bukit yang tinggi dan sedikit pada daerah dataran rendah. Kawasan ini dulunya juga merupakan bekas perkampungan penduduk yang masih menyisakan berbagai jenis tanaman budidaya seperti
nangka (Artocarpus integra), kedondo (Garuga floribunda), kelapa (Cocos nucifera) dan lainnya. Keberadaan hutan tropis musim dan hutan budidaya tersebut menyebabkan wilayah Loh Baru kaya akan sumber air. Terdapat tiga aliran sungai dalam kawasan ini yang merupakan pasokan air utama bagi masyarakat dan penting dalam mendukung kegiatan patroli yang diadakan BTNK. 4.3.2 Loh Buaya Loh Buaya merupakan lokasi dengan hutan dataran rendah paling luas di pulau Rinca. Selain itu kawasan ini juga merupakan salah satu pusat aktivitas wisata utama andalan TN Komodo selain Loh Liang di Pulau Komodo. Pada dataran yang lebih tinggi di Loh Buaya merupakan padang savana yang luas, sehingga dalam hal ketersediaan air sangat berbeda dengan Loh Baru. Sungaisungai yang terdapat di Loh Buaya merupakan sungai musiman yang dialiri air hanya pada musim hujan.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Jumlah dan Status Sarang Jumlah sarang yang dijumpai di lokasi Loh Baru (n = 5) lebih sedikit dibandingkan dengan di lokasi penelitian di Loh Buaya (n = 11). Hal ini dapat disebabkan karena Loh Baru memiliki hamparan hutan dataran rendah yang sempit yang dibatasi dengan laut dan pegunungan, sehingga luas habitat yang tersedia terbatas. Selain itu lokasi ini dulunya merupakan bekas perkampungan penduduk, sehingga diduga adanya gangguan manusia berpengaruh terhadap perkembangan populasi burung gosong di Loh Baru. Lima sarang yang memiliki ciri sebagai sarang burung gosong terdiri atas empat sarang aktif dan satu sarang tidak aktif. Di lokasi ini ditemukan empat sarang komodo yang semuanya terletak pada lereng bukit. Keberadaan sarang komodo tersebut menunjukkan bahwa komodo menggunakan sarang yang dibangun sendiri untuk bertelur. Kecenderungan biawak komodo yang tidak menggunakan sarang burung gosong di Loh Baru juga terkait dengan letak sarang burung gosong yang relatif jauh dari savana. Purwandana (2007) menyatakan komodo memilih sarang burung gosong yang lebih dekat dengan savana agar dapat melakukan aktivitas berjemur sambil menjaga sarang pada musim bertelur. Berbeda dengan Loh Baru, Loh Buaya memiliki hamparan dataran rendah yang luas yang mampu mendukung berkembangnya populasi burung gosong. Terdapat 11 sarang yang ada di Loh Buaya, sembilan diantaranya adalah sarang aktif dan dua sarang lainnya adalah sarang tidak aktif. Sarang-sarang ini merupakan sarang yang dipakai bersama oleh burung gosong dengan biawak komodo. Hanya dijumpai satu sarang yang merupakan sarang yang dipakai sendiri oleh burung gosong. Sarang ini baru dibangun sekitar bulan Agustus tahun 2007 (Urbanus Teso-komunikasi pribadi). Sarang ini diketahui hanya digunakan oleh burung gosong untuk bertelur. Walaupun demikian, terdapat kemungkinan sarang tersebut juga akan digunakan oleh komodo pada masa bertelurnya.
Selama pengamatan di Loh Buaya, dua sarang aktif dalam kondisi sedang dipagar. Pemagaran sarang merupakan salah satu program yang dilakukan pengelola TN dalam rangka memantau keberhasilan tetasan komodo. Pagar sarang terbuat dari seng yang dipasang mengelilingi sarang dan kayu sebagai patok dan penguat seng. Pada bagian dalam dipasang jaring yang menutupi lubang sehingga tetasan komodo yang keluar akan tertahan pada jaring tersebut (Gambar 8). Rencana waktu pemagaran adalah selama musim telur komodo menetas (hatching) yang dimulai pada bulan Februari – April 2008. Namun sampai bulan Juni, pagar tersebut belum dibuka.
Foto oleh M.R.Panggur
Foto oleh M.R.Panggur
(a) (b) Gambar 8. Sarang yang dipagari, (a) tampak luar sarang, (b) jaring yang dipasang diatas lubang sarang.
5.2 Karakteristik Sarang Bertelur Karakteristik sarang burung gosong di daerah Loh Baru dicirikan dengan gundukan yang tinggi, asosiasi yang erat dengan pohon besar, relatif dekat sungai dan keberadaan vegetasi yang rapat. Gundukan yang relatif tinggi menunjukkan tidak adanya penggunaan sarang untuk bertelur oleh komodo betina. Loh Buaya memiliki karakteristik sarang yang berbeda dengan sarang yang terdapat di Loh Baru. Sarang di lokasi ini tidak tinggi, lebih lebar, memiliki jumlah lubang yang banyak, dan berasosiasi terutama dengan jenis pohon asam (Tamarindus indica). 5.2.1 Kondisi Vegetasi Komposisi vegetasi penyusun sekitar sarang di lokasi Loh Baru terdiri dari 18 spesies tumbuhan dengan jenis dominan adalah nita (Grewia sp), kukun (Schoutenia
ovata), paci (Voacanga sp), sita (Alstonia spectabilis), nyamplung (Callophylum inophylum) dan asam. Jenis dominan berbeda pada setiap sarang. INP terbesar untuk tingkat pertumbuhan pohon pada sarang LBr 1, LBr 2 dan LBr 3 berturut-turut adalah asam (109,90 %), nita (105,09 %) dan paci (89,89 %). Pada tingkat tiang, INP terbesar pada sarang LBr 1, LBr 2 dan LBr 3 berturut-turut adalah sita (133.33 %), nita (90 %) dan kukun (110 %). Pada tingkat pancang, INP terbesar pada sarang LBr 1, LBr 2 dan LBr 3 berturut-turut adalah sita (83.33 %), kukun (120 %), dan nita (62,5 %). Pada tingkat semai dan tumbuhan bawah, INP terbesar pada LBr 2 adalah jenis nita sebesar 70,83 %. Pada sarang LBr 3, INP terbesar tingkat semai dan tumbuhan bawah adalah jenis nyamplung (94,87 %) (Tabel 2). Tabel 2. Kondisi vegetasi dominan pada setiap sarang aktif Tingkat Pertumbuhan Pohon Tiang Pancang
Nama Jenis Asam Sita Sita
Nama Ilmiah Tamarindus indica Alstonia spectabilis Alstonia spectabilis
LBr 2
Pohon Tiang Pancang Semai
Nita Nita Kukun Nita
LBr 3
Pohon Tiang Pancang Semai
Lby 1
Lby 2
.Sarang LBr 1
KR 34.78 66.67 50.00
DR 50.12
FR 25.00 66.67 33.33
INP 109.90 133.33 83.33
Grewia sp Grewia sp Schoutenia ovata Grewia sp
50.00 50.00 70.00 37.50
21.76
33.33 40.00 50.00 33.33
105.09 90.00 120.00 70.83
Paci Kukun Nita Nyamplung
Voacanga sp Schoutenia ovata Grewia sp Callophylum inophylum
31.25 60.00 50.00 61.54
38.64
20.00 50.00 12.50 33.33
89.89 110.00 62.50 94.87
Pohon Tiang Pancang
Asam Asam Kesambi
Tamarindus indica Tamarindus indica Schleichera oleosa
61.54 81.82 100.00
61.77
60.00 50.00 100.00
183.31 131.82 200.00
Pohon Tiang
Asam Asam
Tamarindus indica Tamarindus indica
31.58 50.00
60.29
28.57 33.33
120.44 83.33
25.00 60.00
75.00 135.00
Pancang Paci Voacanga sp Semai Kirinyuh Eupatorium ororatum Keterangan: LBr : Loh Baru, Lby : Loh Buaya
Lby 2
50.00 75.00
Sarang burung gosong di Loh Baru memiliki asosiasi langsung dengan jenis tumbuhan tertentu. Ketiga sarang ini dibangun menyatu dengan pangkal batang pohon besar. LBr 1 berasosiasi dengan pohon asam sedangkan LBr 2 dan LBr 3
langsung berasosiasi dengan pohon Ficus sp. Hal ini diduga terkait dengan ketersediaan daun, cabang, ranting bahkan akar pohon besar tersebut sebagai sumber bahan penyusun utama sarang. Jenis vegetasi yang umum dijumpai di sekitar sarang aktif Loh Buaya terdiri dari 9 jenis yang didominasi oleh kehadiran kesambi, asam, bidara (Zizyphus jujuba), paci dan mbiring (Pithecellobium umbelatum). Kelompok tumbuhan bawah utama yaitu kirinyuh dan bael. Pada sarang LBy 1, asam memiliki INP terbesar baik pada tingkat pohon (183,31 %) maupun tingkat tiang (131,82 %). Pada tingkat pancang, jenis yang dijumpai hanya kesambi. Sarang Lby 2 memiliki tingkat pertumbuhan jenis yang lebih lengkap. Pada tingkat pohon dan tiang, asam memiliki nilai INP tertinggi dengan nilai berturut-turut adalah 120,44 % dan 83,33 %. Pada tingkat pancang, INP terbesar adalah jenis paci (75%). Tingkat semai dan tumbuhan bawah, nilai INP terbesar adalah jenis kirinyuh (135 %) (Tabel 2). Jenis ini merupakan tumbuhan bawah yang melimpah dan tersebar di seluruh wilayah Loh Buaya. Pohon asam merupakan jenis yang penting bagi kedua sarang aktif di lokasi ini. Berbeda dengan Loh Baru, gundukan di Loh Buaya tidak dibangun menempel pada pangkal pohon besar. Posisi gundukan memang dekat dengan pohon besar dengan jarak 2-4 m. Hal ini kemungkinan terkait dengan kebutuhan panas matahari bagi pengeraman telur. Jarak yang tidak terlalu jauh dari pohon memudahkan burung gosong memperoleh material organik (serasah) pohon tersebut, tetapi gundukan sarang yang tidak ternaungi oleh pohon juga memungkinkan gundukan menerima panas matahari langsung. Secara umum, pelapukan bahan organik lebih cepat terjadi pada iklim yang lembab. Loh Buaya yang kondisinya relatif terbuka cenderung memiliki kelembaban rendah, sehingga dekomposisi bahan organik diduga lambat dan panas yang dihasilkan rendah. Dengan demikian gundukan sarang membutuhkan paparan sinar matahari agar mendapatkan suhu yang ideal yang dibutuhkan untuk penetasan. Lantai hutan di sekitar sarang aktif baik di Loh Baru maupun di Loh Buaya relatif bersih. Hal ini juga terlihat dengan ketidakhadiran tingkat pertumbuhan semai pada beberapa lokasi analisis vegetasi. Kondisi ini merupakan akibat dari aktivitas
mengais yang dilakukan oleh burung gosong. Selama mengais, burung gosong akan memindahkan serasah dan bahan organik lain ke arah sarang. Kemungkinan biji tumbuhan, bahkan yang telah menjadi semai, akan ikut terbawa sehingga tingkat pertumbuhan ini jarang dijumpai. Terdapat 13 jenis tumbuhan yang dijumpai di kedua sarang tidak aktif. Jenis dominan adalah jenis asam, kesambi, kukun dan wajur (Pterospermum diversifolium). Pada Sta 1, asam merupakan spesies penting yang ditunjukkan dengan INP sebesar 128,18 % pada tingkat pohon dan 66,67 % pada tingkat tiang. Jenis kukun memiliki INP terbesar pada tingkat tiang (nilai yang sama dengan asam yaitu 66,67 %), pancang (98,41 %) dan semai (66,67 %). Seperti halnya Sta 1, spesies penting di Sta 2 pada tingkat pohon adalah asam dengan INP sebesar 133,31 %. Pada tingkat tiang dan pancang, nilai INP adalah sama pada setiap jenis yang dijumpai (Tabel 3). Tingkat semai dan tumbuhan bawah tetap didominasi dengan keberadaan kirinyuh yang melimpah (INP 126,92 %). Kondisi vegetasi pada Sta 1 berbeda dengan Sta 2. Vegetasi pada Sta 1 memiliki pentupan tajuk yang lebih terbuka dibandingkan dengan Sta 2. Namun keduanya memiliki kesamaan bahwa keberadaan vegetasi sekitar sarang tidak mempengaruhi burung gosong untuk menggunakan kembali sarang tersebut. Tabel 3. Kondisi vegetasi dominan pada sarang tidak aktif Sarang Sta 1
Sta 2
Tingkat Pertumbuhan Nama Jenis Pohon Asam Tiang Asam Kukun Pancang Kukun Semai Kukun Pohon Tiang
Asam Asam Kesambi Wajur Pancang Kukun Wajur Semai Kirinyuh Keterangan: Sta: Sarang tidak aktif
Nama ilmiah Tamarindus indica Tamarindus indica Schoutenia ovata Schoutenia ovata Schoutenia ovata
KR 43.75 33.33 33.33 55.56 33.33
DR 46.93
FR 37.50 33.33 33.33 42.86 33.33
INP 128.18 66.67 66.67 98.41 66.67
Tamarindus indica Tamarindus indica Schleichera oleosa Pterospermum diversifolium Schoutenia ovata Pterospermum diversifolium Eupatorium ororatum
45.45 33.33 33.33 33.33 50.00 50.00 76.92
65.63
22.22 33.33 33.33 33.33 50.00 50.00 50.00
133.31 66.67 66.67 66.67 100.00 100.00 126.92
5.2.2 Bentuk dan Dimensi Sarang Secara umum, sarang bertelur burung gosong berbentuk gundukan tanah yang tersusun dari tumpukan serasah, cabang dan ranting pohon yang telah terdekomposisi serta bebatuan. Proses penumpukan ini terjadi setiap hari saat burung gosong memelihara sarang, yang dilakukan pada pagi dan sore hari. Dimensi sarang sangat dipengaruhi oleh kegiatan ini seperti tinggi sarang, diameter sarang dan jumlah lubang. Sarang aktif burung gosong di Loh Baru rata-rata lebih tinggi (t = 0.72, n= 3) dibandingkan dengan sarang burung gosong di Loh Buaya (t = 0.51, n = 2 ). Ukuran diameter sarangnya pun lebih sempit (Ds = 6.82, Dm = 3.39, t = 3) dibandingkan dengan Loh Buaya (Dt = 7.98, Dm = 4.8 , n = 2) (Tabel 4). Sarang LBr 1 merupakan sarang yang paling tinggi dibandingkan sarang lain (Gambar 9). Sarang LBr 1 berada pada lokasi yang datar, selalu dipelihara dan tidak dipakai bersama dengan komodo. Sarang yang paling rendah adalah LBy 2. Sarang ini merupakan sarang yang baru dibangun sekitar enam bulan sebelumnya. Tabel 4. Variasi tinggi, lebar dan jumlah lubang sarang burung gosong (n=7 ). No
Tinggi (m)
Diameter (m)
∑ Lubang
Total Kode Lubang Lubang lubang Sarang Ds Dm tipuan T1 T2 Trata-rata 1. LBr 1 0.90 0.90 0.90 6.63 2.73 2 1 3 2. LBr 2 0.84 0.44 0.64 8.73 4.80 2 2 4 3. LBr 3 1.17 0.05 0.61 5.11 2.65 2 2 4 4. Lby 1 0.55 0.50 0.53 9.30 6.05 5 4 9 5. Lby 2 0.77 0.20 0.49 6.65 3.60 2 2 4 6. Sta 1 1.07 0.20 0.64 5.13 2.25 2 * 2 7. Sta 2 0.50 0.45 0.48 8.70 3.50 3 * 3 Keterangan: T1: Tinggi maksimal, T2: Tinggi minimal, Dt: rata-rata diameter sarang, Dm: rata-rata diameter mulut, * : Tidak terdapat lubang tipuan.
Tinggi sarang menggambarkan tingginya aktivitas merawat sarang dan pemakaian gundukan oleh betina dari komodo. Merawat sarang berarti menambah material organik dan bebatuan ke atas permukaan sarang sehingga dimensi tinggi serta diameter sarang bertambah (Palmer et al. 2000). Sarang yang digunakan bersama dengan komodo memiliki dimensi yang berbeda dengan sarang yang tidak dipakai bersama. Sarang yang dipakai bersama memiliki ukuran dimensi tinggi yang
lebih rendah dan diameter lebih lebar dibandingkan dengan sarang yang tidak dipakai bersama.
Foto oleh MR Panggur
Foto oleh MR Panggur
(a) (b) Gambar 9. Profil sarang burung gosong, (a) Sarang LBr 1 yang merupakan sarang tertinggi, (b) Sarang LBy 2 yang merupakan sarang terpendek.
Terdapat dua jenis lubang yang digali burung gosong di atas permukaan sarang yaitu lubang yang dipakai bertelur dan lubang yang tidak dipakai bertelur. Lubang yang dipakai bertelur merupakan lubang yang digali untuk meletakkan telur. Lubang yang tidak dipakai bertelur berupa lubang yang digunakan sebagai lubang tipuan dan lubang yang telah digali namun tidak digunakan. Kedalaman lubang yang digunakan untuk meletakan telur bervariasi. Selama pengamatan, kedalaman lubang telur yang digali berbeda pada tiap lubang. Telur pertama diletakkan pada kedalaman 75 cm, telur kedua pada kedalaman 86 cm dan telur ketiga pada kedalaman 25 cm. Variasi kedalaman lubang telur ini menunjukkan bahwa burung gosong dapat meletakan telur pada berbagai kedalaman yang kondisinya sesuai dengan kebutuhan penetasan. Lubang yang telah berisi telur berukuran lebih besar dan terdapat tumpukkan serasah, ranting besar dan bebatuan di atas lubang. Lubang tipuan merupakan lubang samaran untuk mengelabui predator telur seperti komodo dan babi hutan. Lubang tipuan berukuran lebih kecil, tidak dalam dan jarang ditimbun lagi. Lubang tipuan yang dibuat kadang-kadang tidak cukup ampuh untuk menipu predator kecuali predator yang masih muda seperti komodo anak.
Tidak semua lubang yang digali digunakan untuk meletakkan telur. Selama pengamatan dijumpai burung gosong menggali lubang yang sangat dalam namun tidak dipakai meletakan telur. Hal ini kemungkinan karena kondisi lubang tersebut tidak menyediakan panas yang cukup bagi penetasan telur. Selain itu, lubang tersebut kemungkinan tidak cukup aman dari predator. Jumlah lubang sarang burung gosong lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah lubang sarang bersama dengan komodo. Rata-rata jumlah lubang pada sarang burung gosong adalah 2-4 lubang, sedangkan sarang bersama dengan komodo memiliki jumlah lubang 4-9. Bentuk dan ukuran lubang telur dan lubang tipuan relatif selalu berubah. Perubahan ini terkait dengan perilaku burung gosong yang membuka atau menutup lubang selama kegiatan merawat sarang. Menurut Dekker (1990), kegiatan membuka dan menutup sarang merupakan kontrol terhadap kondisi suhu udara dalam sarang. Jika suhu terlalu tinggi, burung akan memindahkan material organik dari atas gundukan sehingga suhu kembali normal. Lubang telur pada sarang tidak aktif relatif telah tertutup tanah dan mengalami pengerasan serta ditumbuhi banyak tumbuhan bawah. Kondisi ini menyebabkan kedua jenis lubang, yaitu lubang telur dan lubang tipuan sulit dibedakan. 5.2.3 Posisi Sarang Rata-rata sarang burung gosong berada pada rentang 4 – 30 mdpl dan berjarak 300 - 1104 m dari pantai (Tabel 5). Hal ini sedikit berbeda dengan gundukan sarang di Pulau Komodo yang berada pada jarak 2 – 111 mdpl (Jessop et al. 2006). Posisi sarang burung gosong berdasarkan ketinggian dari permukaan laut sangat bervariasi pada lokasi Loh Baru dibandingkan dengan sarang di Loh Buaya. Hal ini kemungkinan terkait dengan kondisi topografi kawasan Loh Baru dengan luas dataran rendah yang sedikit dan berbatasan dengan bukit-bukit.
Tabel 5. Posisi sarang berdasarkan ketinggian dari permukaan laut dan jarak dari pantai No 1 2 3 4 5 6 7
Sarang LBr 1 LBr 2 LBr 3 Lby 1 Lby 2 Sta 1 Sta 2
Ketinggian dari permukaan laut (m) 4 30 25 26 30 27 25
Jarak dari pantai (m) 300 500 700 600 1100 1104 628
5.2.4 Suhu, Kelembaban dan Intensitas Cahaya Suhu merupakan faktor penentu dalam pengeraman telur bangsa burung pada umumnya. Menurut Jones et al. (1995), sumber panas bagi pengeraman telur megapoda antara lain berasal dari respirasi mikrobial, dimana panas pengeraman diperoleh melalui dekomposisi bahan-bahan organik oleh mikroorganisme dan radiasi matahari, dimana substrat seperti pasir pantai atau tanah dihangatkan oleh sinar matahari. Hampir semua sarang di Loh Baru mendapatkan sumber panas dari respirasi mikrobial dimana sarang-sarang tersebut banyak mengandung bahan-bahan organik seperti serasah, ranting, cabang dan dahan pohon mati. Berbeda dengan di Loh Baru, di Loh Buaya, yang memiliki kondisi vegetasi yang lebih terbuka, sarang burung gosong banyak mendapat panas dari matahari. Tiap sarang memiliki perbedaan suhu bergantung pada kondisi vegetasi sekitar sarang, bahan penyusun sarang, dan tekstur sarang. Dari tiga pengukuran terhadap kedalaman sarang yang berbeda, terlihat bahwa semakin dalam lubang sarang semakin tinggi suhu tanah yang terbaca. Rata-rata suhu gundukan aktif di Loh Baru pada kedalaman 50 dan 25 cm berturut-turut adalah 30,560C dan 29,470C (n = 3). Nilai ini lebih rendah dibandingkan suhu gundukan di Loh Buaya pada kedalaman yang sama yaitu 31,40C dan 30,710C (n = 2). Suhu gundukan aktif secara keseluruhan pada kedalaman 50 cm dan 25 cm berturut-turut adalah 30,90C dan 29,960C (n = 5). Sarang tidak aktif memiliki suhu rata-rata yang lebih rendah yaitu 27,790C (kedalaman 25 cm dengan n = 2). Suhu gundukan diperlukan dalam proses penetasan telur burung gosong. Suhu
yang terukur dalam penelitian ini termasuk dalam skala suhu yang digunakan oleh burung gosong untuk mengerami telur yang berkisar antara 28-350C (del Hoyo et al. 1994). Semua perilaku bertelur burung gosong dijumpai pada gundukan aktif Loh Buaya. Suhu gundukan aktif pada lokasi ini tidak berbeda jauh pada kedalaman 75, 50 dan 25 cm. Suhu yang cenderung stabil pada berbagai kedalaman tersebut kemungkinan merupakan faktor yang mendorong burung gosong meletakan telur pada berbagai kedalaman. Suhu sarang tertinggi pada kedalaman 75 cm terdapat di sarang LBy 1 dengan nilai suhu rata-rata adalah 32,460C. LBr 2 dan sarang LBr 3 memiliki suhu rata-rata yang sama pada kedalaman 75 cm. Nilai suhu terendah pada kedalaman ini adalah pada sarang LBr 1. Pada sarang LBy 2, sulit untuk mengukur suhu pada kedalaman 75 cm karena komposisi tanah dari bebatuan sehingga pipa pengukur tidak dapat dimasukkan sampai kedalaman tersebut. Pada kedalaman 50 cm suhu sarang cenderung stabil dibandingkan dengan kedalaman 25 cm. Suhu tertinggi pada kedalaman 50 cm adalah 32,140C (sarang LBy 1) dan suhu terendah adalah 30,060C (sarang LBr 1). Semakin dekat dengan permukaan tanah, suhu banyak dipengaruhi oleh fluktuasi suhu udara di luar sarang. Suhu tertinggi pada kedalaman 25 cm adalah 31,250C (sarang LBy 1) dan suhu terendah tercatat pada sarang LBr 1 dengan nilai 29,130C. Sarang LBy 1 memiliki nilai suhu yang relatif tinggi dibandingkan dengan sarang lain baik pada kedalaman 50 cm maupun 25 cm (Gambar 10). Tingginya suhu sarang ini disebabkan karena sarang menerima panas matahari yang lebih banyak dibandingkan dengan sarang lain. Suhu tersebut cenderung meningkat kemudian turun lagi pada pengukuran ke-7. Penurunan ini dipengaruhi oleh hujan pada saat sebelum pengukuran. Sarang LBr 1 menunjukkan nilai yang berfluktuasi dengan suhu awal yang lebih rendah dibandingkan sarang lain, sedangkan sarang dengan nilai suhu di dalam sarang yang cenderung stabil adalah sarang LBr 3. Suhu sarang tidak aktif berbeda dengan suhu sarang aktif. Sinclair (2001) menyebutkan bahwa suhu inti gundukan tidak aktif lebih dingin dibandingkan
gundukan aktif. Hal ini dapat disebabkan karena tidak adanya perawatan sarang oleh burung gosong. Suhu Sta 2 hanya dapat diukur pada kedalaman 25 cm karena tanah telah mengalami pengerasan (Gambar 10). Suhu sarang rata-rata lebih rendah pada pagi dan sore hari kecuali LBy 2 yang menunjukkan suhu yang hampir sama sepanjang waktu pengamatan (Gambar 10c). Pada kedalaman 25 cm, suhu sarang lebih rendah pada pagi hari, kemudian meningkat pada siang dan sore hari kecuali LBy 2 dan Sta 2 menunjukkan penurunan suhu pada sore hari. Sepanjang hari, intensitas penyinaran oleh matahari berubahubah menurut waktu sehingga dapat mempengaruhi suhu tanah. Suhu tanah relatif tinggi pada siang hari akibat menerima panas matahari yang lebih banyak
34
34
33
33
32
32
31
31
Suhu (0C)
Suhu (0C)
dibandingkan pagi dan sore hari.
30 29 28
30 29 28
27
27
26
26
25
25
1 LBr 1
2
3
Ulangan ke-
LBr 2
LBr 3
4
5
1
6
2
3
Lby 1
Lby 2
LBr 1
Sta 1
LBr 2
LBr 3
(a)
5
6
Lby 1
Lby 2
Sta 1
Sta 2
(b)
33
35
32
33 Suhu ( 0C )
31 Suhu ( 0 C)
4
Ulangan ke-
30 29 28
31 29 27
27
25
26
7.30
13.30
17.30
7.30
13.30 Waktu
Waktu LBr 1
Gambar 10 .
LBr 2
LBr 3
Lby 1
Lby 2
Sta 1
LBr 1
LBr 2
LBr 3
17.30
Lby 1
Lby 2
Sta 1
Sta 2
(c) (d) Fluktuasi suhu di dalam sarang pada kedalaman (a) 50 cm (b) 25 cm berdasarkan ulangan dan (c) 50 cm (d) 25 cm berdasarkan waktu pengukuran.
Terdapat perbedaan suhu dan kelembaban udara di luar sarang antara kedua lokasi. Suhu udara di Loh Baru relatif lebih rendah dan kelembaban udara lebih tinggi
dibandingkan di Loh Buaya (Gambar 11). Suhu udara di luar sarang bervariasi pada setiap sarang dengan nilai terendah adalah 26,230C yang tercatat di Loh Baru dan nilai tertinggi adalah 30.50C yang terukur pada pengamatan terhadap sarang 1 Loh Buaya. Kelembaban udara terendah pada sarang Lby 1 (46.75 %) dan tertinggi pada sarang LBr 2 (94.25 %). Suhu dan kelembaban udara di luar sarang dipengaruhi oleh radiasi matahari yang sampai pada permukaan sarang. Sarang di Loh Baru memiliki kondisi vegetasi yang rapat yang menghalangi masuknya panas matahari. Vegetasi pepohonan membentuk iklim mikro yang lebih dingin sehingga menaikkan kelembaban udara dan menurunkan suhu udara. Berbeda dengan Loh Buaya yang memiliki vegetasi terbuka dengan penerimaan sinar matahari lebih banyak menyebabkan suhu udara cenderung tinggi dengan kelembaban yang rendah. Kondisi ini juga sejalan dengan suhu udara dalam gundukan sarang. Suhu gundukan di Loh Buaya lebih tinggi dibandingkan suhu gundukan di Loh Baru. K e le m b a b a n u d a r a ( % )
35
S u h u (0 C )
33 31 29 27 25 7.30
13.30
17.30
95 90 85 80 75 70 65 60 55 50 7.30
13.30
LBr 1
LBr 2
LBr 3
Lby 1
17.30
Waktu
Waktu Lby 2
Sta 1
Sta 2
LBr 1
LBr 2
LBr 3
(a)
Lby 1
Lby 2
Sta 1
Sta 2
(b)
Gambar 11. Fluktuasi suhu dan kelembaban udara di luar sarang baik sarang aktif maupun sarang tidak aktif per waktu pengamatan (a) Suhu udara di luar gundukan, (b) Kelembaban udara di luar gundukan
Intensitas cahaya matahari menunjukkan besarnya radiasi matahari yang diterima permukaan sarang. Banyaknya intensitas matahari yang sampai pada permukaan sarang bergantung pada kerapatan vegetasi dan penutupan awan. Intensitas matahari pada sarang aktif di Loh Baru relatif lebih sedikit dibandingkan dengan sarang aktif di Loh Buaya (Gambar 12). Perbedaan ini berkaitan dengan penutupan vegetasi yang menghalangi masuknya sinar matahari.
300 Intensitas matahari (kW/m 2)
250 200 150 100 50 0 1
2
3
4
5
6
Ulangan LBr 1
LBr 2
LBr 3
Lby 1
Lby 2
Sta 1
Sta 2
Gambar 12. Besar intensitas cahaya matahari pada sarang aktif dan tidak aktif
Kadar air tanah menunjukkan banyaknya air yang terkandung dalam substrat tanah. Setiap sarang mengandung jumlah kadar air yang berbeda (Gambar 13). Sarang aktif yang memiliki kadar air paling tinggi adalah sarang LBr 3 (47.06 %). Hal ini disebabkan karena sarang ini terletak sangat dekat dengan badan sungai dan memiliki penutupan vegetasi yang rapat. Kondisi sarang yang tertutup tersebut
2 St a
1 St a
2 Lb y
1 Lb y
LB r3
LB r2
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 LB r1
Kadar Air Tanah (%)
membuat tanah tidak cepat kehilangan kandungan airnya.
Sarang
Gambar 13. Nilai Kadar air tanah pada masing-masing sarang
Sarang aktif dengan kadar air paling rendah adalah sarang Lby 1 (21.83 %). Sarang Lby 1 memiliki penutupan vegetasi yang rendah dan berada jauh dari sungai.
Sarang secara signifikan tersinari secara langsung oleh cahaya matahari yang dapat menyebabkan kandungan air tanah cepat menghilang. Sta 1 tidak aktif memiliki kandungan air yang banyak dengan didukung dengan keberadaan serasah yang banyak, dekat dengan sungai walaupun sungai musiman. Berbeda dengan Sta 2 dengan tanah yang telah mengeras sebagai penutup sarang. 5.2.5 Sifat Tanah a. Tekstur tanah Tekstur tanah berperan penting dalam sarang karena berkaitan dengan kemampuan menahan air, porositas dan konsistensi tanah. Tanah bertekstur kasar seperti pasir mempunyai kemampuan menahan air yang lebih rendah dari pada tanah bertektur halus seperti liat. Hal ini disebabkan karena tanah berpasir memiliki luas permukaan yang kecil sedangkan tanah bertekstur pasir memiliki luas permukaan yang besar (Hardjowigeno 1992). Tanah-tanah pasir juga memiliki pori-pori makro yang banyak dari pada tanah liat sehingga sulit menahan air tetapi memudahkan terjadinya pertukaran udara. Tanah penyusun sarang di Loh Baru sebagian besar bertekstur pasir, menyusul debu dengan persentasi yang sedang dan liat dengan persentasi yang lebih sedikit. Keadaan ini berbeda dengan sarang di Loh Buaya yang sebagian besar bertekstur debu. Pasir berada dalam jumlah yang sedang dan liat tersedia dalam jumlah yang lebih sedikit. Pada sarang tidak aktif, debu dan liat terdapat dalam jumlah yang tidak berbeda jauh (Tabel 6). No 1 2 3 4 5 6 7
Tabel 6. Tekstur tanah penyusun sarang burung gosong Kode Sarang Tekstur (%) Pasir Debu LBr 1 60.45 36.19 LBr 2 61.37 32.40 LBr 3 63.49 30.26 Lby 1 30.21 57.53 Lby 2 33.65 56.47 Sta 1 23.31 52.74 Sta 2 26.74 55.93
Liat 3.36 6.23 6.25 12.26 9.88 23.95 17.33
Tekstur tanah berpasir memiliki sifat mudah lepas. Hal ini menyebabkan kecenderungan semua sarang di Loh Baru menempel pada akar pohon besar. Akar tersebut berperan sebagai pengikat tanah agar tidak mudah lepas. Selain akar pohon, proses granulasi tanah juga berperan dalam mengikat tanah. Satu-satunya cara mempercepat proses ganulasi pada tanah adalah dengan penambahan bahan organik. Kandungan bahan organik di LBr 1 tinggi dibandingkan sarang lain pada lokasi yang sama dan tekstur debu yang lebih banyak dibandingkan sarang lain. b. pH Tanah Rata-rata pH tanah sarang tergolong sama, berkisar antara 7,5-8. Semua sarang yang diamati memiliki pH tanah 7,5 kecuali sarang LBr 3 (pH tanah = 8). Besarnya nilai pH tanah penyusun sarang tidak jauh berbeda dengan pH air di Loh Baru dan Loh Buaya yang berkisar antara 6,5-7. Besar kecilnya nilai pH tanah diduga berhubungan dengan kesesuaian lingkungan bagi mikroba pengurai karena jenis mikroba tanah yang berbeda akan toleran terhadap tingkat keasaman tanah yang berbeda juga. Nilai pH tanah gundukan tidak secara langsung berpengaruh terhadap suhu gundukan. c. Kandungan bahan organik Kandungan bahan organik menunjukkan banyaknya bahan organik yang berperan sebagai penyusun komposisi sarang. Kandungan bahan organik yang terdapat pada sarang burung gosong berasal dari jaringan tumbuhan yaitu daun, cabang dan ranting pohon serta biota tanah. Bahan organik yang dikumpulkan oleh burung gosong, mengalami pelapukan atau dekomposisi oleh mikroba tanah. Proses pelapukan ini dapat menghasilkan panas yang membantu proses penetasan telur burung gosong. Kandungan bahan organik paling banyak terdapat pada sarang LBr 1 sebanyak 59 %. Sarang dengan kandungan bahan organik yang rendah adalah sarang LBr 3 ( 40.46 %) (Gambar 14). Sarang LBr 1 memiliki banyak tumpukan serasah, cabang dan ranting pohon yang menutupi sarang. Berbeda dengan sarang LBr 3 yang terlihat memiliki sedikit tumpukan serasah. Sarang LBr 3 ini terletak pada tepi badan sungai dan diapit dua buah batu yang besar. Hal ini menyebabkan
burung gosong tidak dapat mengumpulkan serasah lebih banyak ke arah sarang. Sta 1 memiliki kandungan bahan organik yang lebih banyak (41.8 %) dibandingkan dengan Sta 2 (41.15 %). Sta 2 sudah ditumbuhi banyak tumbuhan bawah di atasnya dan tanah telah mengalami pengerasan.
Bahan Organik (%)
70 60 50 40 30 20 10 2 St a
1 St a
Lb y
2
1 Lb y
LB r3
LB r2
LB r1
0
Sarang
Gambar 14. Kandungan bahan organik pada setiap sarang pengamatan
5.2.6 Hubungan Antara Variabel Sarang dengan Suhu Udara di dalam Sarang Pengujian hipotesa menunjukkan suhu gundukan dipengaruhi oleh variabel karakteristik gundukan (terima H0 dimana F hit = 0.00 < F tab = 6.99). Berdasarkan analisis regresi, pada kedalaman 50 cm, persamaan yang diperoleh yaitu Y = 36.090 – 0.023 X2 – 0.93 X3 – 0.002 X6 - 0.009 X7 + 0.007 X8 (dimana Y: Suhu di dalam sarang, X2: Kadar air, X3: Bahan Organik, X6: jarak dari pantai, X7: ketinggian dari permukaan laut, X8: intensitas cahaya). Kadar air, bahan organik, jarak dari pantai dan ketinggian dari permukaan laut berhubungan negatif dengan suhu dalam sarang. Semakin tinggi nilai variabel tersebut, semakin rendah suhu yang dihasilkan. Kadar air di dalam gundukan berkaitan dengan kondisi kelembaban udara dalam gundukan. Kelembaban yang sesuai diperlukan untuk respirasi mikroba (Palmer et al. 2000). Namun kelebihan kadar air dalam tanah akan mengurangi difusi oksigen dan menurunkan suhu (Jones et al. 1995). Pengaruh bahan organik pada tanah adalah menambah kemampuan tanah
dalam menahan air (sehingga tanah tetap lembab) dan memperbaiki struktur tanah (Hardjowigeno 1992). Kandungan bahan organik yang tinggi akan menurunkan suhu dalam gundukan terkait kemampuannya menahan air terutama selama musim hujan. Dekomposisi bahan organik yang mampu menghasilkan panas seharusnya dapat meningkatkan suhu gundukan. Persamaan regresi yang menunjukkan nilai bahan organik yang negatif dapat disebabkan karena pengamatan dilakukan pada permulaan musim kemarau. Pada saat tersebut, iklim semakin panas sehingga menghambat kegiatan penguraian bahan organik oleh mikroorganisme. Besarnya kadar air dan kandungan bahan organik pada gundukan diatur oleh perilaku burung gosong yaitu menambah atau memindahkan tumpukan serasah dari gundukan sehingga tercapai kondisi yang ideal bagi aktivitas mikroba dan konduksi panas. Semakin jauh jarak dari pantai dan semakin tinggi lokasi dari permukaan laut akan menurunkan suhu gundukan. Intensitas cahaya berhubungan positif sehingga kenaikan intensitas cahaya akan meningkatkan suhu di dalam gundukan sarang. Pada kedalaman 25 cm, persamaan yang dihasilkan adalah Y = 30.308 – 0.000 X2 – 0.098 X3 + 0.037 X4 – 8.6 x 10-5 X6 – 0.039 X7 + 0.015 X8 (dimana X4 : Suhu udara di luar sarang). Pada kedalaman ini, faktor luar berhubungan positif dengan suhu di dalam sarang yaitu suhu udara di luar sarang dan intensitas cahaya. Peningkatan suhu udara di luar sarang akan meningkatkan suhu gundukan (Seymour dan Bradford, 1992). Radiasi matahari yang tinggi dapat menaikkan suhu udara di luar sarang yang kemudian akan meningkatkan suhu gundukan.
5.3 Perilaku di Tempat Bertelur Selama pengamatan dijumpai tiga kali perilaku bertelur burung gosong pada waktu yang berbeda. Perilaku pertama dijumpai pada 13 Maret 2008 di sarang LBy 2 (pengamatan Lby 2). Perilaku ke dua pada tanggal 28 April 2008 dan perilaku ketiga dijumpai pada tanggal 9 Mei 2008. Kedua perilaku terakhir dijumpai pada lokasi yang sama yaitu sarang LBy 1 (pengamatan Lby 1 dan Lby 1a).
Terdapat 11 perilaku utama yang diperlihatkan oleh burung gosong selama aktivitas bertelur. Aktivitas tersebut yaitu mendekati sarang, mengais, menggali, meninggalkan sarang, keluar dari lubang bertelur, bersuara, mengawasi, bertelur, menutup lubang telur dan memeriksa. Setiap pola aktivitas yang dilakukan berbeda pada masing-masing perilaku bertelur yang dijumpai. Di luar waktu bertelur, sangat sulit membedakan antara individu jantan dengan betina karena kemiripan morfologi yang dimilikinya. Selama perilaku bertelur, secara pasti individu jantan dan betina dapat dibedakan pada saat perilaku bertelur dan menutup sarang. Pada saat bertelur, jantan akan menunggu di luar dan semua aktivitas lain terhenti. Aktivitas menutup sarang sebagian besar dilakukan oleh salah satu individu sedangkan individu lain kelihatan sangat lemah seperti kehabisan tenaga. Individu yang lebih aktif tersebut diperkirakan adalah individu jantan dan individu yang lain adalah individu betina. 5.3.1 Beberapa perilaku yang terjadi selama proses bertelur a. Mendekati sarang Perilaku ini menggambarkan aktivitas berjalan menuju sarang setelah sebelumnya berada agak jauh dari sarang. Mendekati sarang dilakukan dengan berjalan beriring-iringan, salah satu individu berjalan duluan kemudian individu lain menyusul. Dari ketiga pengamatan, perilaku mendekati sarang merupakan perilaku awal yang tampak selama proses bertelur. Pada pengamatan pertama dan kedua, perilaku mendekati sarang terjadi antara pukul 7.00-8.00 WITA, sedangkan pada pengamatan ketiga perilaku mendekati sarang terjadi lebih awal yaitu pada pukul 6.00-7.00 WITA. b. Mengais Kegiatan memindahkan material tanah dengan menggunakan dua kakinya bertujuan menutupi sarang dan mencari makanan berupa serangga, ulat, buah dan makanan lain yang terdapat pada tanah. Saat mengais, kepala kadang ditegakkan,
kadang menunduk. Saat menemukan makanan kepala ditundukkan dan paruh akan dipatukan ke tanah. c. Masuk lubang dan menggali Kegiatan mengais tanah sampai terbentuk lubang dilakukan dengan menggunakan kedua kakinya yang kuat, sambil sedikit menundukkan kepala. Jari kaki mencengkeram tanah dan melemparnya ke belakang sampai material tanah tersebut keluar dari lubang. Pada saat menggali seluruh anggota badan bergerak seirama. Aktivitas menggali tanah berfungsi untuk membuat lubang yang akan dipakai untuk meletakkan telur dan lubang yang digunakan sebagai lubang tipuan. Menggali lubang telur merupakan kegiatan bersama antara individu jantan dan betina. Pada saat menggali terlihat material tanah seperti tanah, bebatuan, cabang dan ranting pohon, serasah dan material lain beterbangan keluar dari lubang. Saat menggali, salah satu individu berada di depan individu lain untuk menggali dan tanah yang sudah digali akan disingkirkan keluar lubang oleh pasangannya. Perilaku menggali pada saat akan bertelur agak berbeda dengan perilaku menggali pada saat merawat sarang. Pada saat akan bertelur, menggali dilakukan dengan semangat dan cepat, sedangkan menggali diluar waktu bertelur dilakukan lebih lambat dan sekedarnya serta hanya bertujuan memindahkan serasah. d. Meninggalkan sarang Aktivitas yang dilakukan dengan berjalan menjauh dari sarang. Aktivitas ini disebabkan oleh beberapa hal seperti kehadiran manusia, komodo dan kerbau liar di sarang. Selain karena gangguan tersebut, perilaku meninggalkan sarang juga dilakukan di antara perilaku menggali dan beristirahat. Burung gosong meninggalkan sarang dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari sarang. Aktivitas meninggalkan sarang dilakukan secara cepat jika gangguan yang datang mengagetkan burung gosong seperti yang terjadi pada saat seekor anak komodo yang menyerang burung gosong saat burung gosong menggali lubang telur pada pengamatan ketiga. Dalam kejadian ini, burung gosong meninggalkan sarang dengan cara terbang rendah keluar dari lubang sarang.
e. Istirahat Aktivitas ini merupakan aktivitas berhenti sejenak dari kegiatan untuk mengumpulkan kembali energi agar dapat melanjutkan kegiatan lagi. Saat istirahat burung gosong tidak melakukan aktivitas apa pun. Istirahat dilakukan dengan berdiri di bawah pohon yang berada tidak jauh dari sarang sambil mengawasi keadaan sarang. f.
Keluar dari lubang telur Aktivitas dimana burung gosong berpindah posisi keluar lubang bertelur dengan cara melompat atau berjalan. Aktivitas ini dilakukan saat individu burung gosong yang berada di dalam lubang ingin berganti posisi dengan pasangannya yang berada di belakangnya.
g. Bersuara Aktivitas bersuara adalah kegiatan mengeluarkan suara dari tenggorokan dengan maksud tertentu. Pada saat persiapan bertelur, salah satu dari burung gosong selalu mengeluarkan suara. Individu tersebut bersuara hanya saat berada di luar lubang. Saat menggali paling depan burung tersebut tidak mengeluarkan suara. Suara yang dikeluarkan adalah ”krrrrr....krrrrr...krrrrr”. Suara tersebut kemungkinan bertujuan untuk memberi semangat pada pasangannya dan memberitahukan kedalaman lubang yang telah digali. Jenis suara ini juga digunakan jika ingin mendekati sarang. Kemungkinan untuk memanggil pasangannya agar segera mendekati sarang. Jenis suara lain adalah suara keras yang bernada membentak pasangannya. Suara yang dikeluarkan adalah ”kiok.....!!”. Perilaku ini pernah ditunjukkan oleh burung gosong saat menggali lubang telur di sarang LBy1. h. Mengawasi Aktivitas ini dilakukan dengan mendongakkan kepala, memandang sekeliling sambil tetap waspada. Perilaku ini dimaksudkan untuk mempelajari situasi sekitar sarang. Aktivitas ini biasanya dilakukan setelah aktivitas keluar dari sarang atau disela-sela aktivitas menggali.
i.
Bertelur Perilaku bertelur adalah perilaku burung gosong betina masuk ke dalam lubang bertelur untuk mengeluarkan telur. Tidak terjadi aktivitas menggali oleh pasangan burung gosong. Saat betina bertelur, burung gosong jantan berjaga di mulut lubang sambil mengawasi burung betina. Perilaku bertelur yang diamati pada tiga pengamatan burung gosong terjadi dalam waktu dan durasi yang berbeda (Tabel 7). Pada pengamatan kedua (Lby 1), proses penggalian berjalan cepat dengan intensitas gangguan rendah menyebabkan proses bertelur bagi betina burung gosong terjadi lebih awal dibandingkan dengan pengamatan lain. Saat menggali, pasangan burung gosong pada pengamatan kedua (Lby 1) langsung menggali lubang yang akan dipakai bertelur. Hanya satu lubang tipuan yang digali dan penggalian dilakukan di sela-sela waktu menggali lubang telur. Hal ini sangat berbeda dengan perilaku pasangan burung gosong pada pengamatan ketiga (Lby 1a) . Pasangan ini menggali lubang tipuan sebanyak tiga buah dengan kedalaman yang cukup dalam. Penggalian lubang tipuan pun dilakukan di awal, sehingga waktu menggali lubang sarang telur terjadi lebih lama. Tabel 7. Alokasi waktu bertelur pada masing-masing pasangan burung gosong. Perilaku pada pengamatan ke1 (Lby 2) 2 (Lby 1) 3 (Lby 1a) Perilaku Durasi % perilaku Durasi % perilaku Durasi % perilaku (detik) per jam (detik) per jam (detik) per jam 10.00-11.00 294 8.17 12.00-13.00 480 13.33 Bertelur 14.00-15.00 305 8.47 Waktu
j.
Menutup lubang telur Merupakan aktivitas memasukkan tanah bekas galian ke dalam lubang telur. Rangkaian aktivitas ini adalah menggaruk dinding lubang telur, mengais tanah dari luar sarang dan memindahkan material seperti batu dan cabang-cabang kayu ke atas lubang telur. Selain lubang telur, aktivitas menutup juga dilakukan terhadap lubang tipuan yang dilakukan setelah menutup lubang telur.
k. Memeriksa Aktivitas ini dilakukan dengan berjalan mengelilingi gundukan sarang, sesekali masuk kedalam lubang, sambil menjulurkan kepala ke dalam lubang. Aktivitas ini dillakukan sebelum mulai menggali dalam jangka waktu yang relatif singkat. Setelah menutup lubang telur, jantan juga biasanya datang ke sarang lagi untuk memeriksa sambil sesekali mengais dan mengatur penutupan lubang. 5.3.2 Alokasi waktu setiap perilaku selama pengamatan Waktu yang digunakan untuk melakukan satu perilaku berbeda pada tiap individu dan berbeda pada masing-masing pengamatan. Pada pengamatan ke-1, terdapat 9 persamaan perilaku yang ditunjukkan pasangan burung gosong yang terjadi dalam durasi waktu yang berbeda (Gambar 15). Hanya terdapat satu perbedaan perilaku yaitu perilaku bertelur yang hanya dilakukan oleh individu ke-2. Perilaku meninggalkan sarang, istirahat, mengais, dan mendekati sarang merupakan perilaku yang dilakukan secara bersamaan antara individu 1 dan individu 2 dengan durasi waktu yang sama. Perilaku yang terjadi dalam durasi waktu yang berbeda adalah perilaku menggali, keluar, memeriksa, mengawasi dan menutup lubang. Perilaku menggali dan menutup lubang telur lebih banyak dilakukan oleh individu 1. Kedalaman lubang telur yang digali adalah 75 cm. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada saat menggali, individu 2 menahan beban telur di perutnya sehingga mengalami kesulitan saat menggali. Setelah meletakkan telur, individu 2 telah kehabisan tenaga sehingga proses penutupan lubang sebagian besar dilakukan oleh pasangannya. Perilaku mengais tidak terjadi sepanjang waktu. Konsentrasi burung gosong selama proses bertelur adalah menggali lubang pada gundukan sarang dan bukan mengais. Pada pengamatan pertama, perilaku mengais dilakukan diluar gundukan sarang. Perilaku tersebut dilakukan karena terdapat komodo dewasa sedang menggali sarang. Burung gosong berada tidak jauh dari sarang dan mengais mencari makanan di antara akar pepohonan sambil menunggu komodo meninggalkan sarang. Pada jam berikutnya, komodo anak yang mendekati sarang dan burung gosong kembali
mengais sampai komodo anak pergi. Perilaku mengais pada pukul 14.00-17.00 adalah memindahkan material tanah ke arah gundukan sambil sesekali mematuk makanan yang ditemukan. Perilaku istirahat burung gosong memiliki intensitas yang tinggi. Pada saat tersebut berkali-kali burung gosong beristirahat. Hal ini disebabkan kondisi cuaca yang panas sehingga burung gosong merasa perlu untuk berhenti sejenak dari kegiatannya menggali. Berbeda dengan pengamatan ketiga, burung gosong sedikit menggunakan waktunya untuk sengaja beristirahat. Hal ini dipengaruhi oleh aktivitas meninggalkan sarang karena terjadi banyak gangguan yang dapat dimanfaatkan oleh burung gosong untuk beristirahat.
Istirahat, 3.75 Keluar, 1.22
Memeriksa, Mengawasi 5.64 ,0.53 Menutu lubang 10
Menggali, 10.29
Istirahat, 3.75 Keluar, 0.41 Menggali, 8.22
Memeriksa, 4.73
Mengawasi , 0.37 Menutup lubang, 7.18 Bertelur,
Mengais, Meninggalkan sarang, 11.20
Mendekati sarang, 3.57
Mengais, 2.23 Meninggalkan sarang, 11.20
Mendekati sarang, 3.57
(a) (b) Gambar 15. Perbedaan persentasi perilaku per total waktu pengamatan pada pengamatan 1 (Lby 2). (a) Perilaku individu 1, (b) Perilaku individu 2.
Pada pengamatan perilaku bertelur Lby 1, terdapat tujuh perilaku yang ditunjukkan oleh pasangan burung gosong (Gambar 16). Perilaku yang dilakukan bersama-sama yaitu menggali, keluar, istirahat, meninggalkan sarang dan mendekati sarang. Perilaku yang hanya ditunjukkan oleh individu 1 adalah menutup lubang dan mengawasi keadaan sekitar sarang. Perilaku yang hanya ditunjukkan oleh individu 2 adalah mengais dan bertelur. Perilaku yang dilakukan secara bersama-sama dengan durasi waktu yang sama yaitu mendekati sarang, keluar, istirahat, dan meninggalkan sarang. Perilaku bersama
dengan durasi yang berbeda yaitu menggali. Perilaku menggali lebih banyak dilakukan oleh individu 1, yang merupakan individu jantan karena tidak bertelur. Burung gosong hanya mendekati sarang tiga kali. Jumlah ini berbeda dengan pengamatan pertama (Lby 2) dan ketiga (Lby 1a) yang memiliki frekuensi mendekati sarang yang lebih sering. Hal ini terkait dengan perilaku burung gosong menjauh dari sarang akibat berbagai gangguan. Pada waktu sebelum meletakkan telur, burung gosong mendekati sarang untuk melanjutkan aktivitas menggali lubang telur. Telur diletakkan pada kedalaman 86 cm. Setelah aktivitas bertelur selesai dilakukan, burung gosong mendekati sarang dengan tujuan memeriksa kondisi sarang. Gangguan selama proses bertelur pada pengamatan kedua relatif lebih sedikit dibandingkan dengan dua pengamatan yang lain. Dengan gangguan yang kecil tersebut menyebabkan proses bertelur berjalan lancar dan cepat. Pada pengamatan ini, burung gosong betina mengeluarkan telur pada pukul 10.00 – 11.00 WITA. Menggali, 26.18
Keluar, 0.28 Menutup lubang, 14.11
Mendekati sarang, 1.71
Meninggalka n sarang, 9.56
Istirahat, 2.62
Menggali, 20.36
Mendekati sarang, 1.71 Bertelur, 2.04
Keluar, 0.28
Meninggalka n sarang, 9.56
Mengawasi, 0.08
Istirahat, 2.62 Mengais, 0.14
(a) (b) Gambar 16. Perbedaan persentasi perilaku per total waktu pengamatan pada pengamatan 2 (Lby 1). (a) Perilaku individu 1, (b) Perilaku individu 2.
Pada pengamatan ke-3 (Lby 1a), terdapat sembilan perilaku yang ditunjukkan oleh pasangan burung gosong (Gambar 17). Delapan perilaku dilakukan oleh kedua individu, sedangkan dua perilaku yaitu perilaku bertelur dan mengais hanya dilakukan oleh individu 2 dan perilaku melompat keluar hanya dilakukan oleh individu 1. Pasangan burung gosong pada pengamatan kali ini terlihat sangat pemalu dan berhati-hati dengan kehadiran pengunjung ataupun komodo.
Dari delapan perilaku tersebut, terdapat 5 perilaku yang dilakukan dengan durasi waktu yang sama. Perilaku tersebut yaitu meninggalkan sarang, berhenti, istirahat, mendekati sarang dan memeriksa sarang. Tiga perilaku dengan durasi waktu yang berbeda yaitu menggali, menutup sarang dan mengawasi keadaan sekitar sarang. Ketiga perilaku tersebut paling banyak dilakukan oleh individu 1. Pada pengamatan ini, burung gosong meletakan telur pada kedalaman 25 cm. Sebelum menggali lubang telur tersebut, burung gosong menggali lubang yang lain sampai kedalaman ± 50 cm. Namun ternyata lubang tersebut tidak dipakai. Kemungkinan lubang awal tersebut dirasa tidak cukup mendukung penetasan telur. Aktivitas burung gosong meninggalkan sarang dengan durasi waktu terlama terjadi pada pengamatan ketiga pada pukul 11.00-14.00 WITA. Demikian juga halnya dengan frekuensi burung gosong meninggalkan sarang yang banyak terlihat pada pengamatan ketiga dan pertama. Hal ini disebabkan karena gangguan yang diakibatkan oleh kehadiran komodo dan pengunjung. Sarang di LBy 1 terletak pada jalur interpretasi di Pulau Rinca, dan digunakan sebagai obyek interpretasi. Selama pengamatan perilaku bertelur, pengunjung tercatat enam kali melewati sarang. Selama pukul 12.00-13.00 WITA terjadi gangguan dari pengunjung dan anak komodo, sehingga berkali-kali burung gosong meninggalkan sarang dalam waktu yang relatif lama (berkisar antara 3-28 menit). Meninggalka n sarang, 27.20
Meninggalka n sarang, 27.20 Memeriksa sarang, 0.27
Melomp keluar, 0
Bertelu Memeriksa sarang, 0.27
Mendekati sarang, 2.48
Menggali, 7.41
Menutup sarang, 3.33 Mengawasi, 2.65
Istirahat, 0.28
Berhenti, 0.13
Mengais
Mendekati Menggali, sarang, 2.48 Mengawasi, Berhenti, 0.13 6.46 2.32 Menutup Istirahat, 0.28 sarang, 0.30
(a) (b) Gambar 17. Perbedaan persentasi perilaku per total waktu pengamatan pada pengamatan 3 (Lby 1a). (a) Perilaku individu 1, (b) Perilaku individu 2.
Menurut Pranowo (1976), biasanya satu gundukan digunakan hanya oleh satu pasang burung, tetapi Dekker (1990) dan Campell dan Lack (1985) mendapatkan bahwa ada kemungkinan satu gundukan digunakan oleh lebih dari satu pasangan dengan waktu pemanfaatan yang berbeda. Palmer et al. (2000) juga mencatat bahwa pasangan yang berbeda terlihat merawat sarang yang sama. Namun pemanfaatan gundukan tersebut dilakukan dengan waktu yang berbeda untuk menghindari perkelahian. Selama pengamatan pernah terjadi perkelahian antara dua pasang burung gosong di dekat sarang LBy 2. Salah satu pasangan burung gosong dari sarang yang dipagari hendak mendekati sarang LBy 2 yang sedang dirawat pasangan yang lain. Burung gosong dari sarang LBy 2 kemudian mengusir pasangan burung lain tersebut melalui perkelahian. Dari hal tersebut, perilaku bertelur pada pengamatan 2 dan 3 kemungkinan dilakukan oleh pasangan burung yang berbeda yang ditunjukkan dengan perbedaan pola perilaku. Pasangan pertama terlihat telah terbiasa dengan kehadiran manusia di sekitar gundukan, sedangkan pasangan kedua terlihat sangat peka dengan keberadaan pengunjung. Pasangan kedua memerlukan waktu yang lebih lama untuk memulai kembali aktivitas bertelur jika ada pengunjung. Sedangkan pasangan pertama, kembali dalam waktu yang singkat ke gundukan setelah pengunjung atau gangguan hilang. 5.3.3 Ukuran dan Jumlah Telur Ukuran telur dapat mempengaruhi lamanya waktu yang dibutuhkan individu betina untuk mengeluarkan telur. Semakin besar telur, semakin lama waktu yang dibutuhkan. Pada pengamatan kedua proses pengeluaran telur berjalan lebih cepat sesuai dengan ukuran telur yang relatif kecil. Variasi dimensi telur pada setiap pengamatan disajikan pada Tabel 8. Jumlah telur yang dikeluarkan dalam satu kali proses bertelur adalah satu butir (Gambar 18).
Tabel 8. Variasi dimensi telur No 1 2 3
Panjang (cm) 8.92 8.80 8.58
Lebar (cm) 5.46 5.35 5.26
Berat (gram) 144 143 140
Indeks (L/P) 61.21 60.80 61.31
Lama betina bertelur (detik) 480 294 305
Indeks telur berkisar antara 60.80-61.31 dan berat telur berkisar antara 140-144 gram. Indeks telur terbesar terdapat pada pengamatan ketiga, sedangkan indeks telur terkecil terjadi pada pengamatan kedua. Posisi telur diletakkan dengan bagian yang runcing di bawah (Gambar 18a).
Foto oleh Maria RP
Gambar 18.
Foto oleh Maria RP
(a) (b) Posisi dan bentuk telur burung gosong (a) Telur diletakkan pada kedalaman 75 cm dari permukaan tanah, (b) profil telur burung gosong.
5.4 Interaksi dengan Komodo Burung gosong memiliki keterkaitan yang erat dengan komodo. Hubungan antara dua spesies ini terjadi dalam hal penggunaan sarang secara bersama-sama untuk bertelur dan hubungan pemangsaan telur oleh komodo. Interaksi antara kedua spesies ini dibagi kedalam dua tipe yaitu protokooperasi dan pemangsaan (Sunanto 1998).
5.4.1 Pemanfaatan sarang bertelur Komodo memanfaatkan sarang bertelur burung gosong untuk berbagai kepentingan seperti bertelur, tidur di malam hari dan membersihkan badan dari kutu-kutu yang menempel, sedangkan burung gosong memanfaatkan sarang hanya untuk bertelur. Dalam hal bertelur, terjadi tumpang tindih waktu penggunaan sarang. Periode waktu bersarang Komodo berlangsung antara bulan Juli - September. Masa pengeraman telur komodo berlangsung selama 8-9 bulan setelah telur diletakkan dan telur menetas pada minggu kedua Februari sampai awal April (Imansyah 2006). Periode pemakaian sarang oleh burung gosong berlangsung antara bulan Oktober - Maret. Berdasarkan informasi dari petugas di lapangan, pada pertengahan Februari 2008 ditemukan tetasan burung gosong keluar dari sarang yang dipagari. Hal ini merupakan bukti bahwa sarang tersebut dipakai bersama oleh komodo dan burung gosong dan terjadi tumpang tindih (overlap) waktu pemakaian sarang. Pemagaran sarang komodo, yang juga merupakan sarang burung gosong, bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan tetasan komodo. Musim menetas komodo telah berakhir pada bulan April tetapi pagar sarang belum dibongkar sampai pada bulan Mei. Hal ini merugikan burung gosong yang terbukti pada saat tersebut masih merupakan waktu bertelurnya. Dengan dipagarinya sarang yang akan dipakai untuk bertelur, burung gosong menggali kembali sarang yang sebelumnya tidak aktif untuk dipakai sebagai sarang bertelur. Sepasang burung lain mulai membuat sarang lagi yang dimulai pada bulan Mei 2008. Komodo tidak hanya memanfaatkan sarang bersama tersebut untuk bertelur, tetapi juga dipakai sebagai tempat tidur. Salah satu individu betina komodo selalu memakai sarang LBy 1 untuk tidur di malam hari. Hal ini kemungkinan terjadi karena lubang tersebut aman untuk dipakai, dan letaknya yang berdekatan dengan dapur petugas tempat komodo betina tersebut banyak menghabiskan waktunya. Mulut sarang yang agak keras kadang-kadang dipakai komodo untuk membersihkan tubuhnya dari kutu yang selalu menempel (Gambar 19a).
Foto oleh Maria RP
Foto oleh Maria RP
(b)
(a)
Foto oleh Maria RP
(c)
Foto oleh Maria RP
(d)
Gambar 19. Aktivitas komodo di sarang bertelur, (a) Perilaku membersihkan tubuh dari kutu-kutu, (b) dan (c) sehabis menggali lubang telur burung gosong, (d) komodo anak yang juga menggali sarang telur.
Interaksi dalam bentuk protokooperasi kemungkinan terjadi pada kedua satwa ini. Bentuk interaksi ini menggambarkan adanya keuntungan sebagai hasil dari interaksi antara kedua satwa tersebut. Komodo memperoleh keuntungan dengan memanfaatkan gundukan burung gosong untuk meletakkan telurnya tanpa harus menggali lubang sendiri. Burung gosong memperoleh keuntungan yang lebih kecil dari interaksi ini. Keuntungan tersebut adalah gundukan sarang yang dibangunnya relatif aman dari gangguan babi hutan yang cenderung dekstruktif terhadap sarang. Galian babi hutan pada sarang dapat mengubah bentuk sarang. Namun, walaupun saling bergantung, kedua satwa ini tetap dapat hidup jika tidak
terdapat salah satu jenis yang lain. Jessop et al. (2006) melaporkan bahwa di Loh Lawi, Pulau Komodo terdapat jumlah sarang burung gosong yang lebih sedikit, tetapi jumlah sarang komodo yang lebih banyak. Hal ini menunjukkan bahwa komodo tidak tergantung pada sarang burung gosong. Sebaliknya burung gosong terdapat di dataran Flores bagian timur dan Pulau Moyo yang diketahui tidak dihuni oleh komodo. 5.4.2 Pemangsaan Komodo merupakan pengunjung tetap di sarang burung gosong maupun di sarang bersama. Perilaku komodo yang teramati yaitu mendekati sarang, mengendus ke dalam lubang lalu menggali. Jika komodo mampu mendeteksi keberadaan telur dalam sarang maka komodo akan menggali sarang tersebut sampai menemukan telur burung gosong. Aktivitas ini tidak hanya dilakukan oleh komodo dewasa, tetapi juga komodo remaja dan anak. Selama pengamatan tidak dijumpai adanya pemangsaan burung gosong oleh komodo. Hal ini diperkuat oleh keterangan dari petugas yang mengatakan bahwa tidak pernah ditemukan pemangsaan terhadap burung gosong. Selama pengamatan terlihat bahwa saat komodo menggali sarang untuk mencari telur, burung gosong tetap mengais tanah tidak jauh dari sarang. Tanah yang dikais burung gosong malah mengenai badan komodo dan komodo mengabaikannya.
5.5 Populasi Burung Gosong di Lokasi Pengamatan Loh Buaya memiliki jumlah populasi yang lebih banyak dibandingkan dengan Loh Baru. Populasi burung gosong di Loh Baru hanya berkisar antara 11.03-14.25 ekor per luas kawasan Loh Baru (131,62 ha), sedangkan populasi burung gosong di Loh Buaya lebih banyak berkisar antara 30.85-38.31 ekor per luas Loh Buaya (160.1 ha) (Tabel 9).
Tabel 9. Populasi burung gosong di kedua lokasi pengamatan Lokasi N A P Loh Baru 4 131.6 12.64 ± 1.61 Loh Buaya 5 160.1 34.58 ± 3.73 N: Jumlah jalur, A: Luas areal pengamatan, P: Populasi dugaan
Kisaran 11.03 – 14.25 30.85 – 38.31
Kepadatan 0.08 – 0.12 0.19 – 0.24
Perbedaan jumlah populasi di kedua lokasi dapat disebabkan karena perbedaan luas dataran rendah yang merupakan habitat burung gosong. Jessop et al. (2006) menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang positif antara luas lembah dengan jumlah total sarang. Loh Baru memiliki dataran rendah yang sempit, dibatasi oleh laut dan tebing pegunungan Dora Ora. Berbeda dengan Loh Buaya yang memiliki hamparan hutan musim yang luas yang memungkinkan burung
gosong dapat hidup dan
berkembang. Dari hasil analisis vegetasi juga menunjukkan bahwa jenis-jenis pohon yang potensial sebagai pakan burung gosong lebih banyak terdapat di Loh Buaya dibandingkan dengan Loh Baru. Selain faktor luas dataran rendah dan ketersediaan pakan, peluang perjumpaan burung ini lebih tinggi terjadi di Loh Buaya dibandingkan dengan Loh Baru. Burung gosong di Loh Baru sangat sensitif dengan kehadiran manusia sehingga peluang perjumpaan juga rendah. Berbeda dengan Loh Buaya, burung gosong tidak takut dengan kehadiran manusia karena telah berhabituasi dengan kehadiran pengunjung.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Sarang burung gosong di Loh Buaya dan Loh Baru, Pulau Rinca berada di hutan dataran rendah. Sarang yang berbentuk gundukan selalu berdekatan dengan pohon besar, baik menempel pada pangkal pohon maupun tidak menempel. Kondisi ini merupakan adaptasi terhadap tekstur tanah yang berpasir, pengaturan suhu udara di dalam gundukan dan ketersediaan material organik. 2. Dimensi sarang di lokasi penelitian bervariasi. Variasi tersebut mungkin menunjukkan status penggunaan sarang. Secara umum sarang aktif berukuran lebih besar daripada sarang tidak aktif, dan sarang yang digunakan bersama komodo lebih besar daripada sarang yang hanya digunakan oleh burung gosong. 3. Karakteristik fisik gundukan yang bervariasi berpengaruh terhadap suhu sarang. Suhu di dalam sarang dipengaruhi oleh kadar air tanah, bahan organik, ketinggian dari permukaan laut, jarak dari pantai, intensitas cahaya dan suhu udara di luar sarang. sedangkan karakteristik kimia seperti pH tanah tidak berkaitan langsung dengan kondisi suhu gundukan. 4. Terdapat 11 perilaku utama yang diperlihatkan oleh burung gosong selama bertelur. Aktivitas tersebut yaitu mendekati sarang, mengais, menggali, meninggalkan sarang, keluar dari lubang bertelur, bersuara, mengawasi, bertelur, menutup lubang telur dan memeriksa. 5. Perbedaan lama waktu perilaku bertelur dipengaruhi oleh tingkat gangguan baik dari satwa lain maupun dari manusia. Setiap pasangan menunjukkan perbedaan durasi waktu dalam melakukan suatu perilaku. Telur yang dihasilkan pun berbeda pada tiap induk dan perbedaan ukuran ini berpengaruh pada durasi betina mengeluarkan telur. 6. Hubungan antara burung gosong dan komodo kemungkinan dalam bentuk protokooperasi. Kedua satwa ini memanfaatkan sarang secara bersama-sama untuk bertelur. Selain itu, tipe interaksi yang lain adalah pemangsaan telur oleh komodo.
7. Kepadatan populasi di Loh Buaya lebih tinggi dibandingkan dengan Loh Baru. Hal ini terkait dengan luas hutan dataran rendah, tingkat gangguan oleh manusia dan ketersediaan tumbuhan yang potensial untuk pakan. 6.2 Saran Burung gosong memiliki hubungan yang erat dengan spesies komodo yang merupakan satwa maskot bagi TN Komodo. Pentingnya kehadiran burung ini dalam ekologi bersarang komodo menyebabkan perlu adanya tindakan konservasi yang tepat agar spesies burung tersebut tetap lestari sehingga dapat terus mendukung kelestarian satwa komodo itu sendiri. Perlu diadakan penelitian yang lebih mendalam terhadap kondisi sarang burung gosong di lokasi yang berbeda serta faktor-faktor penentu bagi keberhasilan perkembangbiakan burung gosong. Pemagaran sarang yang dilakukan untuk mengetahui tetasan komodo sebaiknya dilakukan dengan perencanaan mengenai tata waktu yang tepat. Pemagaran sebaiknya dilakukan terutama pada sarang asli komodo yang terdapat lereng-lereng bukit. Jika dilakukan pada sarang bersama, perlu dilakukan pembongkaran pada saat burung gosong akan bertelur. Sarang LBy 1 merupakan sarang aktif dengan dijumpai dua perilaku bertelur pada sarang ini. Selain itu, sarang ini merupakan sarang yang dipakai sebagai sarang interpretasi bagi wisatawan. Kehadiran pengunjung di sekitar sarang mempengaruhi perilaku bertelur burung gosong. Selama burung gosong bertelur, intrepretasi sarang dilakukan di sarang lain yang sedang tidak digunakan sehingga tidak mengganggu proses bertelur burung tersebut . Pengetahuan mengenai burung gosong sangat sedikit diketahui oleh para naturalist guide maupun petugas sendiri. Perlu adanya transfer informasi terbaru bagi petugas lapangan mengenai keberadaaan burung gosong dan satwa lainnya sehingga dapat memberikan informasi yang akurat kepada pengunjung. Selama ini, petugas memberikan interpretasi bahwa burung gosong adalah jenis endemik TN Komodo, sementara pada kenyataannya burung tersebut juga terdapat di Pulau Flores.
Sebaiknya selalu ada pelatihan dan pertukaran informasi bagi petugas lapangan karena pengetahuan selalu berkembang dan terkadang ada yang berubah. Penelitian mengenai populasi sebaiknya dilakukan secara berkala agar diketahui tingkat kecenderungan populasi semakin meningkat atau menurun. Hal ini juga penting bagi keberlangsungan spesies lain terutama komodo yang memanfaatkan gundukan burung gosong untuk bertelur.
Lampiran 1. Peta Penyebaran Satwa Liar di Taman Nasional Komodo
Sumber: Taman Nasional Komodo, 2000
Lampiran 2. Segitiga Pengukuran Tekstur Tanah (USDA)
Lampiran 3. Panduan Pengamatan Perilaku Bertelur Burung gosong No
Perilaku
Durasi (detik)
Lampiran 4. Hasil Analisis Vegetasi Sekitar Gundukan Sarang Aktif di Loh Baru Sarang LBr 1
Tingkat Pertumbuhan
Nama Jenis
Nama Ilmiah
KR
DR
FR
INP
Pohon
Asam Wajur Pasalanga Dangi Nita Sita Ficus Nita Sita Sita Nita Pasalanga
Tamarindus indica Pterospermum diversifolium Voacanga grandifolia Kleihovia hospita Grewia sp Alstonia spectabilis Ficus sp Grewia sp Alstonia spectabilis Alstonia spectabilis Grewia sp Voacanga grandifolia
34.78 8.70 4.35 4.35 13.04 30.43 4.35 33.33 66.67 50.00 25.00 25.00
50.12 6.68 2.15 4.51 12.34 16.46 7.74 -
25.00 8.33 8.33 8.33 25.00 16.67 8.33 33.33 66.67 33.33 33.33 33.33
109.90 23.71 14.83 17.19 50.39 63.56 20.42 66.67 133.33 83.33 58.33 58.33
Paci Nita Niti Ficus sp Kesambi Ndeer Kukun Paci Nita Nita Kukun Kesambi Kukun Ndeer Nita
Voacanga sp Grewia sp Sterculia oblongata Ficus sp Schleichera oleosa Arytera litoralis Schoutenia ovata Voacanga sp Grewia sp Grewia sp Schoutenia ovata Schleichera oleosa Schoutenia ovata Arytera litoralis Grewia sp
30.00 50.00 5.00 5.00 5.00 5.00 33.33 16.67 50.00 30.00 70.00 12.50 25.00 25.00 37.50
27.03 21.76 5.74 6.83 34.25 4.40 -
22.22 33.33 11.11 11.11 11.11 11.11 40.00 20.00 40.00 50.00 50.00 16.67 16.67 33.33 33.33
79.25 105.09 21.85 22.94 50.36 20.51 73.33 36.67 90.00 80.00 120.00 29.17 41.67 58.33 70.83
Nyamplung Nita Paci Ndeer Bidara Ficus Nita Kukun Nita Niti Kemuning Kukun Paci Paci Kukun Nyamplung
Callophylum inophylum Grewia sp Voacanga sp Arytera litoralis Zizyphus jujuba Ficus sp Grewia sp Schoutenia ovata Grewia sp Sterculia oblongata Murraya paniculata Schoutenia ovata Voacanga sp Voacanga sp Schoutenia ovata Callophylum inophylum
6.25 18.75 31.25 12.50 25.00 6.25 40.00 60.00 50.00 18.75 6.25 12.50 12.50 30.77 7.69 61.54
6.46 12.39 38.64 11.59 17.42 13.50 -
10.00 20.00 20.00 20.00 20.00 10.00 50.00 50.00 12.50 37.50 12.50 25.00 12.50 33.33 33.33 33.33
22.71 51.14 89.89 44.09 62.42 29.75 90.00 110.00 62.50 56.25 18.75 37.50 25.00 64.10 41.03 94.87
Tiang Pancang
LBr 2
Pohon
Tiang
Pancang Semai
LBr 3
Pohon
Tiang Pancang
Semai dan Tumbuhan Bawah
Lampiran 5. Hasil Analisis Vegetasi di Sekitar Gundukan Sarang Aktif di Loh Buaya Sarang Lby 1
Tingkat Pertumbuhan Pohon
Tiang
Pancang Lby 2
Pohon
Tiang
Pancang
Semai TB
Nama Jenis
Nama Ilmiah
KR
DR
FR
INP
Asam Kesambi Bidara Asam Kesambi Paci Kesambi
Tamarindus indica Schleichera oleosa Zizyphus jujuba Tamarindus indica Schleichera oleosa Voacanga sp Schleichera oleosa
61.54 15.38 23.08 81.82 9.09 9.09 100.00
61.77 17.81 20.42 -
60.00 20.00 20.00 50.00 25.00 25.00 100.00
183.31 53.20 63.49 131.82 34.09 34.09 200.00
Bidara Paci Asam Kesambi Lontar Asam Bidara Nita Kesambi Lontar Mbiring Paci Mbiring Bael Sensus
Zizyphus jujuba Voacanga sp Tamarindus indica Schleichera oleosa Borassus flabellifer Tamarindus indica Zizyphus jujuba Grewia sp Schleichera oleosa Borassus flabellifer Pithecellobium umbelatum Voacanga sp Pithecellobium umbelatum
47.37 5.26 31.58 10.53 5.26 50.00 25.00 25.00 16.67 16.67 16.67 50.00 16.67 8.33 75.00
15.04 2.66 60.29 5.77 16.25 -
28.57 14.29 28.57 14.29 14.29 33.33 33.33 33.33 25.00 25.00 25.00 25.00 20.00 20.00 60.00
90.98 22.21 120.44 30.58 35.80 83.33 58.33 58.33 41.67 41.67 41.67 75.00 36.67 28.33 135.00
Eupatorium ororatum
Lampiran 6. Pengukuran Suhu Rata-rata Harian di Dalam Gundukan Kedalaman Sarang 75
50
25
Sarang LBr 1 LBr 2 LBr 3 Lby 1 LBr 1 LBr 2 LBr 3 Lby 1 Lby 2 Sta 1 LBr 1 LBr 2 LBr 3 Lby 1 Lby 2 Sta 1 Sta 2
1 29.25 30.75 30.75 31 28.25 29.75 30.50 30.50 30 28.75 28 28.75 29.375 30 28.875 28.5 27
Suhu 0C/Ulangan 3 4
2 31.00 31.00 31.75 30.50 30.00 30.50 31.25 31.00 29.25 28.75 27.75 29.00 29.75 30.63 28.75 25.75
0 29.125 30.00 30.50 31.25 30.50 28.50 28.875 27.75 29.125 30.75 30.00 28.00 26.125
33.25 31.00 32.75 31.00 33.25 30.50 28.25 29.375 31.125 30.75 32.50 29.75 28.00 26.50
5
33.25 30.75 31.75 30.25 33.25 31.00 29.25 30.00 30.25 30.25 32.25 31.00 28.75 26.25
6
33.25 30.75 32.00 30.75 33.25 31.00 28.25 29.75 31.25 30.25 32.25 30.75 28.75 26.25
7
31.25
Jumlah
162.500 180.375 186.250 183.500 192.750 184.000 172.250 174.750 176.875 178.750 187.500 181.000 170.750 157.875
Rata2 29.25 30.88 30.88 27.08 30.06 31.04 30.58 32.13 30.67 28.71 29.13 29.48 29.79 31.25 30.17 28.46 26.31
Lampiran 7. Pengukuran Suhu Gundukan Per Waktu Pengamatan (Kedalaman 50 cm) Sarang LBr 1
LBr 2
LBr 3
Lby 1
Lby 2
Sta 1
Waktu 7.30 13.30 17.30 7.30 13.30 17.30 7.30 13.30 17.30 7.30 13.30 17.30 7.30 13.30 17.30 7.30 13.30 17.30
1 28 29 28 30 30 29 31 31 29 30 31 31 30 30 30 28 30 29
2 31 31 29 30 30 30 30 31 31 32 31 30 30 32 32 29 30 29
Suhu 0C/Ulangan 3 29 29.5 29 30 29 31 30 31 31 31 32 31 30 32 30 28 29 29
4 30 32 32 33 33 32 31 31 31 33 34 33 30 32 30 28 29 28
5 29.5 32 32 32 32 31 30 31 30 33 34 33 31 31 31 29 30 29
6 30 32 31 32 32 32 31 31 30 33 34 33 30 32 32 28 29 28
Jumlah
Rata2 177.5 185.5 181 187 186 185 183 186 182 192 196 191 181 189 185 170 177 172
29.58 30.92 30.17 31.17 31.00 30.83 30.50 31.00 30.33 32.00 32.67 31.83 30.17 31.50 30.83 28.33 29.50 28.67
Lampiran 8. Pengukuran Suhu Gundukan Per Waktu Pengamatan (Kedalaman 25 cm) Sarang LBr 1
LBr 2
LBr 3
Lby 1
Lby 2
Sta 1
Sta 2
Waktu 7.30 13.30 17.30 7.30 13.30 17.30 7.30 13.30 17.30 7.30 13.30 17.30 7.30 13.30 17.30 7.30 13.30 17.30 7.30 13.30 17.30
1 27.5 29 28 29 28.5 28.5 30 29 28.5 29.5 30 31 28 30 29.5 28 29 29 26 29 27
2 29 29 28 27 28.5 28.5 29 29 29 29 31 30 30 31.5 31 29 29 28 25 27 26
Suhu 0C/Ulangan 3 4 29 28 29 30 28.5 31.5 27 33 28 28.5 29 30 28.5 31 30 31 29.5 30 31 32 31 33 30 33 30 29 30 31 30 30 28 28 28 28 28 28 25 25 28 29 26.5 27
5 29 31 31 30 31 30 30.5 30 30 32 32 33 31 31 31 29 29 28 26 27 26
6 29 30 31 31 32 31 30 31 30 32 32 33 30 32 31 29 29 28 26 28 25
Jumlah 178.80 191.30 195.30 184.30 189.80 194.30 186.30 193.30 194.30 192.80 202.30 207.30 185.30 198.80 199.80 178.30 185.30 186.30 160.30 181.30 174.80
Rata2 29.80 31.88 32.55 30.72 31.63 32.38 31.05 32.22 32.38 32.13 33.72 34.55 30.88 33.13 33.30 29.72 30.88 31.05 26.72 30.22 29.13
Lampiran 9. Data Suhu Rata-rata harian di Luar Gundukan Sarang LBr 1 LBr 2 LBr 3 Lby 1 Lby 2 Sta 1 Sta 2
1 27.5 27.625 28 28.5 29.25 29.25 29.25
Suhu 0C/Ulangan 3 4 28.5 27.75 27.5 28.5 28 28.75 27.75 29.5 28.25 29.75 29 28.5 28.25 29
2 26.125 26.5 27.25 28.75 28.5 27.75 28.75
5 27.5 28.5 27.5 28 28.75 29.25 28
6 28.25 28 27 29.5 29.5 28.75 29.75
7
Jumlah
30.5
165.625 166.625 166.5 172 174 172.5 173
Rata2
Lampiran 10. Data Suhu di Sekitar Gundukan Per Waktu Pengamatan Sarang LBr 1
LBr 2
LBr 3
Lby 1
Lby 2
1 7.30 13.30 17.30 7.30 13.30 17.30 7.30 13.30 17.30 7.30 13.30 17.30 7.30 13.30
2 27 28 28 27 29 27.5 28 29 27 26 34 28 28 33
26 27.5 25 26 28 26 26 30 27 28 32 27 27 32
Suhu 0C/Ulangan 3 4 28 26.5 30 30 28 28 26 28 30 30 28 28 27 28 30 31 28 28 24 28 34 34 29 28 26 28 34 33
5
6 27 29 27 28 30 28 27 29 27 26 32 28 27 32
28 30 27 27 30 28 26 29 27 28 33 29 28 34
162.5 174.5 163 162 177 165.5 162 178 164 160 199 169 164 198
27.08 29.08 27.17 27.00 29.50 27.58 27.00 29.67 27.33 26.67 33.17 28.17 27.33 33.00
Lanjutan Lampiran 10 Sta 1
Sta 2
17.30 7.30 13.30 17.30 7.30 13.30 17.30
28 28 33 28 28 33 28
28 26 32 27 29 30 27
27 29 30 28 28 30 27
30 28 30 28 29 33 29
29 28 33 28 30 33 29
28 28 32 27 29 33 28
5 80.75 81.75 80.75 69.5 76.75 75 47.25
6 84.5 84.75 81.25 58.5 73.75 78.75 65.5
7
170 167 190 166 173 192 168
28.33 27.83 31.67 27.67 28.83 32.00 28.00
Lampiran 11. Data Kelembaban Rata-rata harian di Luar Gundukan Sarang LBr 1 LBr 2 LBr 3 Lby 1 Lby 2 Sta 1 Sta 2
1 89.5 82.75 82.75 79.25 75 79 63.25
2 90.25 94.25 79.25 71.5 81 82.25 72.75
3 83.5 85.25 79.5 79 81 74.5 81.75
RH %/Ulangan 4 81 80.75 74.25 65.75 68.75 79.75 48
Jumlah
Rata2
46.75
509.5 509.5 477.75 423.5 456.25 469.25 378.5
84.92 84.92 79.63 70.58 76.04 78.21 63.08
91 72 84 91 72
527 448 536 530 462
87.83 74.67 89.33 88.33 77.00
Lampiran 12. Data Kelembaban udara di Sekitar Gundukan Per Waktu Pengamatan RH %/Ulangan Sarang LBr 1
LBr 2
7.30 13.30 17.30 7.30 13.30
91 84 92 77 85
92 77 100 100 85
85 72 92 92 72
84 72 84 85 76
84 71 84 85 72
Lanjutan Lampiran 12 LBr 3
Lby 1
Lby 2
Sta 1
Sta 2
17.30 7.30 13.30 17.30 7.30 13.30 17.30 7.30 13.30 17.30 7.30 13.30 17.30 7.30 13.30 17.30
92 84 77 92 92 56 77 77 61 85 85 61 85 70 56 57
92 84 72 77 70 61 85 92 56 84 92 61 84 71 65 84
85 84 65 85 91 56 78 92 56 84 78 65 77 85 72 85
77 77 66 77 77 56 53 77 56 65 85 72 77 64 56 64
85 84 71 84 69 55 85 84 61 78 77 61 85 64 59 71
85 84 65 92 85 58 64 77 56 85 85 61 84 71 56 64
516 497 416 507 484 342 442 499 346 481 502 381 492 425 364 425
86.00 82.83 69.33 84.50 80.67 57.00 73.67 83.17 57.67 80.17 83.67 63.50 82.00 70.83 60.67 70.83
Lampiran 13. Data Pengamatan Intensitas Cahaya Matahari pada Gundukan Sarang LBr 1 LBr 2 LBr 3 Lby 1 Lby 2 Sta 1 Sta 2
1 108.15 66.48 117.22 216.70 131.67 147.55 11.20
2 165.75 200.47 79.21 236.39 164.45 176.57 9.16
Intensitas cahaya Kw/m2/Ulangan 3 4 144.32 86.72 65.34 106.49 160.23 100.32 235.40 255.75 187.77 209.40 127.80 134.81 32.57 19.34
Keterangan : Faktor Kalibrasi 12.1mv/kw/m2 dan 13,3 mv/kw/m2
5 75.46 86.28 72.44 214.72 111.46 126.41 18.32
6 95.35 82.94 97.33 272.42 231.76 108.79 22.39
Jumlah 675.7516 607.9968 626.7523 1431.384 1036.513 821.9326 112.9723
Rata2 112.63 101.33 104.46 238.56 172.75 136.99 18.83
Lampiran 14. Perilaku Bertelur Selama Pengamatan ke-1 (LBy 2) Aktivitas Mengais
Jam 8.00-9.00 9.00-10.00 14.00-15.00 16.00-17.00
Durasi (detik) 300 360 77 147
% per jam 8.33 10.00 2.14 4.08
2
Mendekati sarang
7.00-8.00 11.00-12.00 12.00-13.00 13.00-14.00 14.00-15.00 15.00-16.00 16.00-17.00
300 120 156 14 45 240 540
8.33 3.33 4.33 0.39 1.25 6.67 15.00
5 2 2.6 0.23 0.75 4 9
3
Meninggalkan sarang
11.00-12.00 12.00-13.00 13.00-14.00 15.00-16.00 16.00-17.00 17.00-18.00
2280 660 354 60 480 600
63.33 18.33 9.83 1.67 13.33 16.67
38 11 5.9 1 8 10
4
B Menggali
12.00-13.00 13.00-14.00 14.00-15.00
1240 481 411
34.44 13.36 11.42
20.67 8.02 6.85
J menggali
10.00-11.00 11.00-12.00 12.00-13.00 11.00-12.00
1146 443 302 128
31.83 12.31 8.39 3.56
19.1 7.38 5.03 2.13
9.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00 12.00-13.00
480 122 210 312
13.33 3.39 5.83 8.67
8 2.03 3.5 5.2
11.00-12.00 9.00-10.00 11.00-12.00 12.00-13.00
120 180 53 578
3.33 5.00 1.47 16.06
2 3 0.88 9.63
10.00-11.00 12.00-13.00
38 14
1.06 0.39
0.63 0.23
No. 1
J menggali diluar Menggali bersama
Menggali lubang tipuan
5
B keluar
Durasi (Menit) 5 6 1.28 2.45
perilaku/ total pengamatan 0.758 0.909 0.194 0.371 2.232 0.758 0.303 0.394 0.035 0.114 0.606 1.364 3.573 5.758 1.667 0.894 0.152 1.212 1.515 11.197 3.131 1.215 1.038 5.384 2.894 1.119 0.763 0.323 5.098 1.212 0.308 0.530 0.788 2.838 0.303 0.455 0.134 1.460 2.351 0.096 0.035 0.131
Lanjutan Lampiran 14 J keluar
11.00-12.00
372
10.33
6.2
0.939
Keluar
11.00-12.00 12.00-13.00
60 52
1.67 1.44
1 0.87
6
Istirahat
10.00-11.00 11.00-12.00 12.00-13.00 13.00-14.00
52 1022 51 360
1.44 28.39 1.42 10.00
0.87 17.03 0.85 6
7
Bertelur
12.00-13.00
480
13.33
8
0.152 0.131 0.283 0.131 2.581 0.129 0.909 3.750 1.212
8
J memeriksa Memeriksa
13.00-14.00 11.00-12.00 14.00-15.00
360 75 1800
10.00 2.08 50.00
6 1.25 30
9
J mengawasi
12.00-13.00
61
1.69
1.02
0.909 0.189 4.545 4.735 0.154
Mengawasi
11.00-12.00
148
4.11
2.47
0.374
J menutup, B lemes Menutup lubang
13.00-14.00 12.00-13.00 13.00-14.00
960 1400 1442
26.67 38.89 40.06
16 23.33 24.03
2.424 3.535 3.641 7.177
13.00-14.00 14.00-15.00
158 240
4.39 6.67
2.63 4
0.399 0.606 1.005
10
Menutup lubang tipuan
Lampiran 15. Perilaku Bertelur Selama Pengamatan ke-2 (LBy 1) No 1
Durasi (detik) 20
% per jam 0.56
7.00-8.00 8.00-9.00 9.00-10.00 10.00-11.00
196 1540 1323 711
5.44 42.78 36.75 19.75
3.27 25.67 22.05 11.85
J menggali J menggali J menggali J menggali
7.00-8.00 8.00-9.00 9.00-10.00 10.00-11.00
82 1016 1040 362
2.28 28.22 28.89 10.06
1.37 16.93 17.33 6.03
Menggali bersama
8.00-9.00
23
0.64
0.38
Aktivitas B mengais
Jam 8.00-9.00
2
B menggali B menggali B menggali B menggali
3
4
Durasi (menit) 0.33
perilaku/ total pengamatan 0.139 1.361 10.694 9.188 4.938 26.181 0.569 7.056 7.222 2.514 17.361 0.160
Lanjutan Lampiran 15 5
Menggali lubang tipuan
8.00-9.00
305
8.47
5.08
2.118
6
Dua2nya didalam
9.00-10.00
8
0.22
0.13
0.056
7
Istirahat Istirahat
8.00-9.00 9.00-10.00
366 11
10.17 0.31
6.10 0.18
J waspada J menutup
8.00-9.00 10.00-11.00
11 2032
0.31 56.44
0.18 33.87
2.542 0.076 2.618 0.076 14.111
8 9 10
Masuk lubang Masuk lubang
7.00-8.00 8.00-9.00
70 26
1.94 0.72
1.17 0.43
11
Sama2 diluar Sama2 diluar Sama2 diluar
9.00-10.00 10.00-11.00
15 26
0.42 0.72
0.25 0.43
13
Mendekati sarang Mendekati sarang Mendekati sarang
7.00-8.00 8.00-9.00 9.00-10.00
96 19 131
2.67 0.53 3.64
1.60 0.32 2.18
14 15
Bertelur Meninggalkan sarang Pergi/Ada pengunjung Pergi/Ada pengunjung Pergi/Ada pengunjung
10.00-11.00 7.00-8.00 7.00-8.00 8.00-9.00 9.00-10.00
294 7 6 257 1106
8.17 0.19 0.17 7.14 30.72
4.90 0.12 0.10 4.28 18.43
0.486 0.181 0.667 0.104 0.181 0.285
0.667 0.132 0.910 1.708 2.042 0.049 0.042 1.785 7.681 9.556
Lampiran 16. Perilaku Bertelur Selama Pengamatan ke-3 (LBy 1) No.
Aktivitas B bertelur
Jam 14.00-15.00
Durasi (detik) 305
% per jam 8.47
Durasi (menit) 5.083
menit/total pengamatan 0.770
B mengais
13.00-14.00
34
0.94
0.567
0.086
10.00-11.00
513
14.25
8.550
1.295
11.00-12.00
144
4.00
2.400
11.00-12.00 12.00-13.00 13.00-14.00 14.00-15.00
428 16 62 670
11.89 0.44 1.72 18.61
7.133 0.267 1.033 11.167
0.364 1.659 1.081 0.040 0.157 1.692 2.970
B menggali lubang tipuan B menggali lubang tipuan B menggali 3 B menggali 3 B menggali 3 B menggali 3
Lanjutan Lampiran 16 J menggali lubang tipuan
10.00-11.00
1016
28.22
16.933
2.566
J menggali lubang tipuan
11.00-12.00
175
4.86
2.917
J menggali 3 J menggali 3 J menggali 3 J menggali 3
11.00-12.00 12.00-13.00 13.00-14.00 14.00-15.00
257 36 74 652
7.14 1.00 2.06 18.11
4.283 0.600 1.233 10.867
Menggali lubang tipuan Menggali lubang tipuan Menggali lubang tipuan
8.00-9.00 9.00-10.00 10.00-11.00
5 56 378
0.14 1.56 10.50
0.083 0.933 6.300
0.442 3.008 0.649 0.091 0.187 1.646 2.573 0.013 0.141 0.955
Menggali lubang 3
11.00-12.00
285
7.92
4.750
1.109 0.720
Berhenti
10.00-11.00
53
1.47
0.883
0.134
Istirahat Istirahat
10.00-11.00 12.00-13.00
11 100
0.31 2.78
0.183 1.667
J mengawasi J mengawasi
10.00-11.00 11.00-12.00
119 13
3.31 0.36
1.983 0.217
Mulai menutup
14.00-15.00
119
3.31
1.983
0.028 0.253 0.280 0.301 0.033 0.333 0.301
Mengawasi Mengawasi Mengawasi Mengawasi
10.00-11.00 11.00-12.00 13.00-14.00 17.00-18.00
47 42 276 554
1.31 1.17 7.67 15.39
0.783 0.700 4.600 9.233
Melompat keluar
11.00-12.00
12
0.33
0.200
Mendekati sarang Mendekati sarang Mendekati sarang Mendekati sarang Mendekati sarang Mendekati sarang
6.00-7.00 10.00-11.00 11.00-12.00 12.00-13.00 13.00-14.00 17.00-18.00
180 85 32 21 433 232
5.00 2.36 0.89 0.58 12.03 6.44
3.000 1.417 0.533 0.350 7.217 3.867
Memeriksa sarang Memeriksa sarang Memeriksa sarang
10.00-11.00 11.00-12.00 13.00-14.00
49 20 37
1.36 0.56 1.03
0.817 0.333 0.617
0.119 0.106 0.697 1.399 2.321 0.030 0.455 0.215 0.081 0.053 1.093 0.586 2.482 0.124 0.051 0.093 0.268
Lanjutan Lampiran 16 Ragu-ragu
10.00-11.00
71
1.97
1.183
0.179
Meninggalkan sarang
8.00-9.00
600
16.67
10.000
1.515
Meninggalkan sarang
13.00-14.00
531
14.75
8.850
1.341
Meninggalkan sarang
11.00-12.00
257
7.14
4.283
0.649
Meninggalkan sarang
11.00-12.00
219
6.08
3.650
0.553
Meninggalkan sarang
14.00-15.00
247
6.86
4.117
0.624
Meninggalkan sarang
13.00-14.00
1703
47.31
28.383
4.301
Meninggalkan sarang
11.00-12.00
685
19.03
11.417
1.730
Meninggalkan sarang
14.00-15.00
6
0.17
0.100
0.015
Pergi/ada pengunjung
9.00-10.00
300
8.33
5.000
0.758
Pergi/ada pengunjung
10.00-11.00
600
16.67
10.000
1.515
Pergi/ada pengunjung
10.00-11.00
344
9.56
5.733
0.869
Pergi/ada pengunjung
11.00-12.00
639
17.75
10.650
1.614
Pergi/ada pengunjung
11.00-12.00
401
11.14
6.683
1.013
Pergi/ada pengunjung
12.00-13.00
4058
112.72
67.633
10.247
Meninggalkan sarang
18.00-19.00
180
5.00
3.000
J menutup sendiri J menutup sendiri J menutup sendiri
14.00-15.00 16.00-17.00 17.00-18.00
800 200 200
22.22 5.56 5.56
13.333 3.333 3.333
0.455 27.197 2.020 0.505 0.505 3.030
Lampiran 17. Data populasi burung gosong di Loh Baru Ulangan Jalur 1 2 3 4 5
1 2 2 0 2 0
2 4 0 2 0 0
3 2 0 0 2 0
4 0 2 2 0 0
5 4 0 0 0 0
Lampiran 18. Data populasi burung gosong di Loh Baru Jalur 1 2 3 4 5
1 8 0 2 2 0
Ulangan 2 8 0 2 2 1
3 7 0 0 2 0
4 8 0 2 2 2
5 4 0 0 2 0