KARAKTERISTIK FISIK DAN KIMIA CAMPURAN TANAH, KOMPOS BOKASHI, DAN SERASAH DAUN KARET TERHADAP PENYERAPAN GAS AMONIAK (NH3)
SKRIPSI
SUKARDI F34060540
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PHYSICAL AND CHEMICAL CHARACTERISTICS OF MIXED OF SOIL, BOKASHI COMPOST, AND RUBBER-LEAF PEAT TO AMMONIA ABSORBTION
Mohamad Yani and Sukardi Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, Bogor16680, Indonesia E-mail :
[email protected],
[email protected],
ABSTRACT
Ammonia (NH3) odor release from many industries to environment should be treated. Recently, waste gas treatment use biofilter that reliable, simple and inexpensive. The main factor of biofilter in degrading the target pollutant is physical and chemical characteristics of packing material. The objectives this research is to characterize physical and chemical of packing materials such as top soil, bokashi compost, and rubber-leaf peat to ammonia absorbtion. The mixed of packing material has characterized and tested, such as density, porosity, water holding capacity (WHC) and ammonia holding capacity (AHC). Bokashi compost have good results for density 0.41 g/cm3, porosity 34%, water content 57%, pH 7.4, the ratio C/N of 32, WHC 0.50 g-water/g-dry material, AHC -0.024 gN/g-dry material, NH3 absorption capacity after left in an open space 0.039 g-N/g-dry material, and capacity NH3 saturated absorption at 0.97 g-N/g-dry material. The composition of packing material, K122 (composted of soil, bokashi compost, and rubber-leat peat by weight at 1:2:2) was the best for all parameter rangked. This treatment shown good results in density 0.13 g/cm3, porosity 83%, water content 34%, pH 6.8, the ratio C/N 56, WHC 0.26 g-water/g-dry material, AHC 0.014 g-N/g-dry material, NH3 absorption capacity after left at open room 0.081 g-N/g-dry material,and the absorption capacity of saturated NH3 at 1.43 g-N/g-dry material. Keywords: top soil, bokashi compost, rubber-leaf peat, ammonia absorbtion
Sukardi. F34060540. Karakteristik Fisik dan Kimia Campuran Tanah, Kompos Bokashi, dan Serasah Daun Karet Terhadap Penyerapan Gas Amoniak (NH3). Di bawah bimbingan Mohamad Yani. 2011.
RINGKASAN Amoniak (NH3) merupakan gas yang sangat berbau, sangat mudah terbang sehingga sangat mengganggu pernafasan dan menyebabkan perih di mata. Ketika amoniak ini teroksidasi menjadi nitrit akan bersifat toksik dan dapat menyebabkan keracunan. Teknologi pengolahan limbah gas dengan menggunakan biofilter telah banyak diaplikasikan oleh berbagai industri sebagai salah satu metode yang dapat diandalkan, sederhana, murah, mudah didapat, dan digunakan. Faktor utama yang menjadi penentu keberhasilan penggunaan biofilter dalam mendegradasi sanyawa polutan target adalah kondisi fisika, kimia dan mikrobiologi bahan pengisi. Bahan pengisi yang baik harus mempunyai beberapa karakteristik tertentu sehingga dapat digunakan sebagai biofilter, diantaranya jumlah pori-pori yang banyak dan mampu menopang kehidupan mikroorganisme. Bahan pengisi berupa tanah, kompos bokashi, dan serasah daun karet merupakan jenis bahan pengisi organik yang sangat murah dan mudah didapat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan bahan pengisi terhadap penyerapan gas polutan NH3 pada masing-masing komposisi bahan pengisi dan menentukan formulasi campuran bahan pengisi yang terbaik kemampuan daya serapnya terhadap gas polutan NH 3. Metode pengujian yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara fisik dan kimia. Pengujian fisik kimia dilakukan dengan penentuan kadar air, densitas, porositas, water holding capacity, dan ammonia holding capacity. Pengujian kimia dilakukan untuk mengetahui kandungan N pada amoniak. Kombinasi perbandingan yang dilakuakan antara tanah, kompos bokashi, dan serasah daun karet adalah 1:1:1, 1:1:2, 1:2:1, 1:2:2, 2:1:1, 2:1:2, dan 2:2:1. Analisis laju penyerapan dilakukan dengan persamaan Freundlich dan pengolahan data dilakukan dengan software Statistical Analysis System (SAS). Hasil penelitian menunjukkan perlakuan yang memiliki tingkat densitas paling tinggi yaitu K221 dengan rata-rata sebesar 0.213g/cm3, densitas paling rendah adalah perlakuan K112 sebesar 0.117g/cm3. Pori-pori serasah daun karet lebih tahan lama menyimpan air dibandingkan dengan poripori tanah dan kompos bokashi yang kasar. Pada uji kadar air perlakuan K221 dan KI2I memiliki nilai % kadar air yang tinggi, perlakuan yang memiliki nilai % kadar air rendah adalah perlakuan K212 dan K112. Semua perlakuan mempunyai derajat keasaman yang bersifat agak netral, yaitu antara 6.3-6.9. Nilai tersebut masih berada dalam kisaran nilai derajat keasaman yang optimal bagi pertumbuhan mikroorganisme pengoksidasi amoniak. Berdasarkan lamanya waktu penurunan mulai jam ke 0 – 24 komposisi K122 memiliki nilai WHC yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain, yaitu sebesar 0.26 g-air/g-bahan kering. Perlakuan K112 dan K212 memiliki nilai AHC lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, yaitu 0.019 dan 0.018 g-N/g-bahan kering. Perlakuan K112, K122, dan K212 yang memiliki daya serap amoniak lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan K121, K211, dan K221. Berdasarkan uji ranking yang dilakukan, kompos bokashi lebih baik dibandingkan dengan serasah daun karet dan tanah. Jika diurutkan maka kompos bokashi lebih baik dari serasah daun karet dan tanah. Kompos bokashi memiliki hasil pengujian densitas sebesar 0.41 g/cm3, porositas 34 %, kadar air 56%, pH 7.4, rasio C/N 32, WHC 0.50 g-air/g-bahan kering, AHC -0.024 g-N/g-bahan kering, kapasitas penyerapan NH3 setelah dibiarkan di ruang terbuka 0.039 g-N/g-bahan kering, dan kapasitas penyerapan NH3 pada saat jenuh 0.97 g-N/g-bahan kering. Hasil analisis yang diperoleh menunjukkan bahwa komposisi bahan pengisi dengan perlakuan K122 merupakan komposisi terbaik. Perlakuan ini memiliki hasil yang baik pada pengujian densitas 0.13 g/cm3, porositas 83%, kadar air 34%, pH 6.8, rasio C/N 56, WHC 0.26 g air/g bahan kering, AHC 0.014 g-N/g-bahan kering, kapasitas penyerapan NH3 setelah dibiarkan di ruang terbuka 0.081 g-N/g-bahan kering, kapasitas penyerapan NH3 pada saat jenuh 1.43 g-N/g-bahan kering. Hasil analisis yang diperoleh akan dijadikan pertimbangan dalam penentuan formulasi terbaik sebagai rekomendasi komposisi bahan pengisi biofilter.
KARAKTERISTIK FISIK DAN KIMIA CAMPURAN TANAH, KOMPOS BOKASHI, DAN SERASAH DAUN KARET TERHADAP PENYERAPAN GAS AMONIAK (NH3)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh SUKARDI F34060540
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Fakultas Judul Skripsi Nama NIM
: Teknologi Pertanian : Karakteristik Fisik dan Kimia Campuran Tanah, Kompos Bokashi, dan Serasah Daun Karet Terhadap Penyerapan Gas Amoniak (NH3) : Sukardi : F34060540
Menyetujui, Pembimbing,
(Dr. Ir. Mohamad Yani, M. Eng.) NIP. 19630805 199002 1 001
Mengetahui: Ketua Departemen,
(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti ) NIP : 19621009 198903 2 001
Tanggal Lulus : 14 Januari 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Karakteristik Fisik dan Kimia Campuran Tanah, Kompos Bokashi, dan Serasah Daun Karet Terhadap Penyerapan Gas Amoniak (NH3) adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2011 Yang membuat pernyataan
Sukardi F 34060540
© Hak cipta milik Sukardi, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tetulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
BIODATA PENULIS Penulis yang bernama lengkap Sukardi, dilahirkan di Perambanan, Klaten Jawa Tengah pada tanggal 4 April 1987 merupakan anak kedua dari enam bersudara dari pasangan bapak Sumarso dan ibu Kumrotin. Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1994 di SD Negeri 009 Harapan Makmur. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Bagan Sinembah dan pada tahun 2006 penulis telah berhasil lulus Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Bagan Sinembah. Pada tahun yang sama penulis menjadi salah satu mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Kabupaten Rokan Hilir Riau. Setelah satu tahun di Tingkat Persiapan Bersama (TPB), penulis memutuskan untuk melanjutkan ke Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Pada tahun 2009 penulis melakukan praktek lapangan di PTPN VIII Wangunreja, yang merupakan pabrik pengolahan karet dengan judul “Kajian Penerapan Produksi Bersih Pada Pengolahan RSS dan Penanganan Limbah Cair di PT. Perkebunan Nusantara VIII Wangunreja, Subang, Jawa Barat”. Penulis menyelesaikan studi di IPB dengan melakukan penyusunan skripsi dengan judul “Karakteristik Fisik dan Kimia Campuran Tanah, Kompos Bokashi, dan Serasah Daun Karet Terhadap Penyerapan Gas Amoniak (NH3)” di bawah bimbingan Dr. Ir. Mohamad Yani, M. Eng.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Selama penelitian dan penyusunan skripsi, penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan, fasilitas, pengetahuan, dan pengalaman yang sangat berharga dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada : 1. Dr. Ir. Mohamad Yani, M. Eng., selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan motivasi, arahan, dan bimbingan selama penelitian hingga penyusunan skripsi ini. 2. Drs. Purwoko, MSi dan Ir. Andes Ismayana, MT., sebagai dosen penguji dalam ujian skiripsi ini yang telah memberikan masukkan dan kritik kepada penulis. 3. Kedua orang tua dan semua keluarga besar saya atas do’a dan dukungan yang telah diberikan selama ini. 4. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penyusun sebutkan satu-persatu. Penulis menyadari masih banyak yang harus disempurnakan dalam skripsi ini, untuk itu penulis menerima semua saran dan kritik yang bersifat membangun dalam penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya dalam penanganan limbah gas dan bau.
Bogor, Januari 2011 Sukardi
iii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................................................. iii DAFTAR TABEL ................................................................................................................... v DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................................... vii I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ................................................................................................ 1 B. TUJUAN PENELITIAN ............................................................................................. 2 C. RUANG LINGKUP PENELITIAN ............................................................................. 2 D. HIPOTESIS PENELITIAN ......................................................................................... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA A. IDENTIFIKASI SUMBER PENCEMARAN UDARA DAN BAU ............................. 3 B. BAKU MUTU EMISI GAS ........................................................................................ 7 C. GAS AMONIAK (NH3) .............................................................................................. 9 D. PENGGUNAAN NH3 DI INDUSTRI ......................................................................... 11 E. METODE PENGHILANGAN EMISI GAS ................................................................. 12 F. BIOFILTER ................................................................................................................ 14 G. BAHAN PENGISI ....................................................................................................... 15 H. ADSORPSI ................................................................................................................. 18 III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT ................................................................................................. 20 B. METODE PENELITIAN ............................................................................................ 20 C. ANALISIS DATA ...................................................................................................... 22 D. DIAGRAM ALIR PENELITIAN ................................................................................. 24 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK FISIK KIMIA BAHAN PENGISI............................................... 25 1. Densitas Bahan Pengisi ........................................................................................ 25 2. Porositas Bahan Pengisi ....................................................................................... 26 3. Kadar Air Bahan Pengisi ....................................................................................... 28 4. pH Bahan .............................................................................................................. 29 5. Komposisi C, N, P Bahan Pengisi ......................................................................... 30 B. WATER HOLDING CAPACITY BAHAN PENGISI ................................................... 32 C. AMMONIA HOLDING CAPACITY BAHAN PENGISI .............................................. 34 D. DAYA SERAP BAHAN PENGISI TERHADAP GAS NH3 ...................................... 36 E. BIAYA BAHAN PENGISI ........................................................................................ 39 F. UJI RANKING ........................................................................................................... 39 V. .KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN .......................................................................................................... 43 B. SARAN ...................................................................................................................... 43 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 44 LAMPIRAN ............................................................................................................................ 47
iv
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Dampak pencemaran udara berupa gas ......................................................................... 5 Tabel 2. Sumber-sumber polusi bau di lingkungan ..................................................................... 6 Tabel 3. Senyawa-senyawa bau dengan rumus kimia dan kesan baunya ..................................... 7 Tabel 4. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak untuk jenis kegiatan lain ................................ 8 Tabel 5. Baku tingkat kebauan untuk beberapa jenis senyawa kimia .......................................... 8 Tabel 6. Sifat-sifat fisik amoniak ............................................................................................... 9 Tabel 7. Sifat-sifat bahaya amoniak ........................................................................................... 10 Tabel 8. Keselamatan dan Pengamanan Bahaya Amoniak .......................................................... 10 Tabel 9. Klasifikasi bioreaktor untuk pemurnian limbah gas ...................................................... 14 Tabel 10. Perbandingan komposisi bahan pengisi ...................................................................... 21 Tabel 11. Nilai Derajat Keasaman (pH) Bahan Pengisi .............................................................. 30 Tabel 12. Kandungan C, N, dan P Tanah, Kompos Bokashi, dan Serasah Daun Karet ................ 31 Tabel 13. Kandungan C, N, dan P komposisi bahan pengisi ....................................................... 31 Tabel 14. Nilai Regresi Eksponensial WHC bahan pengisi ........................................................ 32 Tabel 15. Perbandingan Regresi Eksponensial WHC campuran bahan pengisi ........................... 33 Tabel 16. Regresi Linear AHC bahan pengisi ............................................................................ 34 Tabel 17. Regresi Eksponensial AHC campuran bahan pengisi .................................................. 35 Tabel 18. Nilai Regresi Linear penyerapan NH3 bahan pengisi .................................................. 36 Tabel 19. Nilai Regresi Power penyerapan NH3 campuran bahan pengisi .................................. 37 Tabel 20. Perbandingan Kapasitas Penyerapan Berdasarkan Komposisi Bahan Pengisi ............. 38 Tabel 21. Uji Ranking Bahan Pengisi ......................................................................................... 41 Tabel 22. Uji Ranking Komposisi Bahan Pengisi ....................................................................... 42
v
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Biofilter, biotrickling filter, dan bioscrubber ............................................................ 14 Gambar 2. Mekanisme adsorbsi berdasarkan isotherm adsobsi Freundlich ................................. 19 Gambar 3. Bahan pengisi yang digunakan, (a) Tanah, (b) Kompos Bokashi, (c) Serasah Daun Karet ........................................................................................................................ 20 Gambar 4. Alat untuk menguji daya serap bahan pengisi ........................................................... 22 Gambar 5. Diagram Alir Penelitian ............................................................................................ 24 Gambar 6. Densitas bahan pengisi ............................................................................................. 25 Gambar 7. Densitas campuran bahan pengisi ............................................................................. 26 Gambar 8. Porositas bahan pengisi ........................................................................................... 27 Gambar 9. Porositas campuran bahan pengisi ............................................................................ 27 Gambar 10. Kadar air bahan pengisi .......................................................................................... 28 Gambar 11. Kadar air campuran bahan pengisi .......................................................................... 29 Gambar 12. WHC bahan pengisi ................................................................................................ 32 Gambar 13. WHC campuran bahan pengisi ............................................................................... 33 Gambar 14. AHC bahan pengisi ................................................................................................ 34 Gambar 15. AHC campuran bahan pengisi ................................................................................ 34 Gambar 16. AHC campuran bahan pengisi setelah 24 jam ......................................................... 35 Gambar 17. Penyerapan NH3 bahan pengisi ............................................................................... 36 Gambar 18. Penyerapan NH3 campuran bahan pengisi ............................................................... 37 Gambar 19. Jumlah amoniak dalam campuran bahan pengisi pada kondisi jenuh ....................... 38
vi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Metode Analisis Proksimat .................................................................................. 48 Lampiran 2a. Uji Densitas Bahan............................................................................................... 51 Lampiran 2b. Uji Anova Densitas Bahan ................................................................................... 52 Lampiran 2c. Uji lanjut Duncan densitas.................................................................................... 53 Lampiran 3a. Uji Porositas Bahan .............................................................................................. 54 Lampiran 3b. Uji Anova Porositas Bahan .................................................................................. 55 Lampiran 3c. Uji lanjut Duncan porositas .................................................................................. 56 Lampiran 4a. Uji Kadar Air ....................................................................................................... 57 Lampiran 4b. Uji Anova Kadar Air Bahan ................................................................................. 58 Lampiran 4c. Uji lanjut Duncan kadar air .................................................................................. 59 Lampiran 5. Amoniak Nitrogen setelah uji AHC...................................................................... 60 Lampiran 6. Besarnya penyerapan amoniak oleh bahan pengisi ............................................... 61
vii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Amoniak merupakan salah satu senyawa gas yang dapat mencemari udara. Pencemaran udara merupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan. Udara menjadi faktor yang fundamental dalam kehidupan, namun dengan meningkatnya pembangunan fisik kota dan pusatpusat industri, kualitas udara telah mengalami perubahan. Udara yang awalnya segar kini kering dan kotor. Bila tidak segera ditanggulangi, perubahan tersebut dapat membahayakan kesehatan manusia, kehidupan hewan serta tumbuhan. Kualitas udara yang melebihi baku mutu emisi yang ditetapkan akan menyebabkan kerusakan lingkungan. Semakin banyak polutan berbahaya akan menyebabkan keseimbangan lingkungan terganggu. Amoniak merupakan gas yang sangat berbau, sangat mudah menguap sehingga sangat mengganggu pernafasan dan menyebabkan perih di mata. Ketika amoniak ini teroksidasi menjadi nitrit akan bersifat toksik dan dapat menyebabkan keracunan. Emisi gas penyebab kebauan bersifat iritan pada paru-paru dan efek utamanya adalah melumpuhkan pusat pernafasan. Gejala yang ditimbulkan adalah kehilangan kemampuan membau, batuk, sesak nafas, iritasi selaput lendir mata, muntah, pusing, sakit kepala dan pada konsentrasi bau yang tidak dapat ditolerir dapat menimbulkan kematian (Soemirat 2002). Teknologi pengolahan limbah gas dengan menggunakan biofilter telah banyak diaplikasikan oleh berbagai industri sebagai salah satu metode yang dapat diandalkan, sederhana, murah, mudah didapat, dan digunakan. Faktor utama yang menjadi penentu keberhasilan penggunaan biofilter dalam mendegradasi sanyawa polutan target adalah kondisi fisika, kimia dan mikrobiologi bahan pengisi. Bahan pengisi yang baik harus mempunyai beberapa karakteristik tertentu sehingga dapat digunakan sebagai biofilter, diantaranya jumlah pori-pori yang banyak dan mampu menopang kehidupan mikroorganisme. Bahan pengisi berupa tanah, kompos bokashi, dan serasah daun karet merupakan jenis bahan pengisi organik yang sangat murah dan mudah didapat. Penggunaan bahan pengisi organik mempunyai beberapa kelemahan diantaranya adalah ketidaklembaman bahan pengisi organik terhadap senyawa polutan dan terdegradasinya bahan pengisi tersebut sehingga menyebabkan bahan pengisi berubah bentuk. Perubahan bentuk menjadi partikel yang lebih kecil akan mengakibatkan terjadinya pemadatan dan penyumbatan bahan pengisi yang diikuti dengan terbentuknya saluran-saluran udara. Terbentuknya saluran udara ini dapat mengganggu proses penyerapan polutan ke dalam pori-pori bahan pengisi sehingga efisiensi daya serapnya berkurang. Melihat kondisi ini maka diperlukan studi tentang karakteristik bahan pengisi ini untuk mempermudah dalam menentukan komposisi terbaik dari bahan pengisi serta karakteristik baru yang lebih baik pula. Karakterisasi ini dilakukan untuk lebih memahami dan mengenal lebih jauh terhadap jenis bahan pengisi yang akan digunakan. Melalui berbagai macam uji yang dilakukan diharapkan dapat dengan mudah mengetahui komposisi yang baik terhadap penyerapan gas polutan. Selain itu karakterisasi ini dilakukan untuk menyeleksi bahan pengisi (packing material) terbaik. Bahan pengisi dapat dibedakan berdasarkan sifat kimiawinya yaitu bahan pengisi organik dan anorganik. Namun demikian bahan pengisi organik lebih menjadi pilihan sebab bahan ini lebih murah dibandingkan dengan bahan anorganik. Bahan organik yang berasal dari residu biologi seperti kompos, gambut, tanah, kulit kayu, serasah daun telah banyak digunakan sebagai bahan
pengisi biofilter. Penelitian biofilter menggunakan kompos, serpihan kulit kayu dan gambut sebagai bahan pengisi mampu menghilangkan amoniak (NH3), bau dan senyawa organik yang mudah menguap antara 75-85% (Sun et al. 2000). Komposisi dari bahan pengisi yaitu tanah, kompos bokashi, dan serasah daun karet ini diharapkan mampu memberikan tambahan karakteristik yang terbaik terhadap penyerapan gas polutan, sehingga tingkat penyerapannya pun menjadi lebih baik.
B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik fisik dan kimia komposisi/ campuran bahan pengisi tanah, kompos bokashi, dan serasah daun karet untuk aplikasi penyerapan polutan gas NH3. Tujuan lainnya adalah untuk menentukan komposisi yang terbaik terhadap penyerapan amoniak secara fisik-kimia. Pengujian karakteristik yang dilakukan meliputi uji penentuan kadar air, densitas, porositas, water holding capacity (WHC), ammonia holding capacity (AHC), pH, C/N ratio, kandungan C, N, dan P serta kemampuan daya serap bahan terhadap polutan gas NH3.
C. RUANG LINGKUP PENELITIAN Ruang lingkup penelitian ini adalah mengkarakterisasi secara fisik dan kimia komposisi bahan pengisi tanah, kompos bokashi, dan serasah daun karet terhadap penyerapan gas NH 3 dengan perbandingan komposisi campuran 1:1:1, 1:1:2, 1:2:1, 1:2:2, 2:1:1, 2:1:2, dan 2:2:1. Efektivitas penyerapan gas NH3 ditentukan berdasarkan seberapa besar kemampuan bahan menyerap gas NH3 per gram berat bahan kering serta karakteristik fisik dan kimia dari komposisi bahan pengisi.
D. HIPOTESIS PENELITIAN Hipotesis dari penelitian ini adalah adanya pengaruh karakteristik fisik dan kimia bahan pengisi terhadap penyerapan gas polutan NH3.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. IDENTIFIKASI SUMBER PENCEMARAN UDARA DAN BAU Pengertian pencemaran udara adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam udara dan atau berubahnya tatanan (komposisi) udara oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. BAPEDAL (1999), mendefinisikan bahwa pencermaran udara adalah adanya kontaminasi atmosfer oleh gas, cairan atau limbah padat serta produk samping dalam konsentrasi dan waktu sedemikian rupa yang mengakibatkan gangguan, kerugian atau memiliki potensi merugikan terhadap kesehatan dan kehidupan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda serta menciptakan ketidaknyamanan. Selain itu, dapat membahayakan daya penglihatan dan menghasilkan bau yang tidak menyenangkan. Pengertian lain dari Canter (1977) menyatakan bahwa pencemaran udara yaitu adanya atau masuknya satu atau lebih zat pencemar atau kombinasinya di atmosfer dalam jumlah dan waktu tertentu baik yang masuk ke udara secara alami maupun aktivitas manusia, yang dapat menimbulkan gangguan pada manusia, hewan, tumbuhan, dan terhadap harta benda atau terganggunya kenyamanan dan kenikmatan hidup dan harta benda. Pencemaran udara tidak mengenal secara tegas batas wilayah pengaruhnya, baik di kota maupun di daerah-daerah lainnya. Masalah yang ditimbulkan oleh pencemaran udara bahkan dapat meliputi ruang lingkup antar negara. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi penyebaran, seperti volume bahan pencemar, geografis, topografi, dan klimatologi. Jenis-jenis pencemaran udara, yaitu menurut bentuk (gas, partikel), menurut tempat (ruangan /indoor dan udara bebas /outdoor) dan menurut asal (primer, sekunder). Gangguan kesehatan yang ditimbulkan dapat berupa iritansia, asfiksia, anetesia, dan toksis. Bahan atau zat pencemaran udara dapat berbentuk gas dan partikel, pencemaran udara berbentuk gas dapat dibedakan menjadi: •
Golongan belerang terdiri dari sulfur dioksida (SO2), hidrogen sulfida (H2S) dan sulfat aerosol.
•
Golongan nitrogen terdiri dari nitrogen oksida (N2O), nitrogen monoksida (NO), amoniak (NH3) dan nitrogen dioksida (NO2).
• Golongan karbon terdiri dari karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO), hidrokarbon. • Golongan gas yang berbahaya terdiri dari benzen, vinyl klorida, air raksa uap. Pencemaran udara berbentuk partikel dibedakan menjadi: • •
Mineral (anorganik) dapat berupa racun seperti air raksa dan timah. Bahan organik terdiri dari ikatan hidrokarbon, klorinasi alkan, Benzen.
• Makhluk hidup terdiri dari bakteri, virus, telur cacing. Pencemaran udara menurut tempat dan sumbernya ada dua macam: •
•
Pencemaran udara bebas (Outdoor air pollution), sumber pencemaran udara bebas: alamiah, berasal dari letusan gunung berapi, pembusukan, dll. Kegiatan manusia, misalnya berasal dari kegiatan industri, rumah tangga, asap kendaraan, dll.
Pencemaran udara ruangan (Indoor air pollution), berupa pencemaran udara di dalam ruangan yang berasal dari permukiman, perkantoran ataupun gedung tinggi. Pencemaran udara dapat pula dikelompokkan ke dalam:
•
Pencemar primer: Polutan yang bentuk dan komposisinya sama dengan ketika dipancarkan, lazim disebut sebagai pencemar primer, antara lain CO, CO 2, hidrokarbon, SO, nitrogen oksida, ozon serta berbagai partikel.
•
Pencemar sekunder: Berbagai bahan pencemar kadangkala bereaksi satu sama lain menghasilkan jenis pencemar baru, yang justru lebih membahayakan kehidupan. Reaksi ini dapat terjadi secara otomatis ataupun dengan cara bantuan katalisator, seperti sinar matahari. Pencemar hasil reaksi disebut sebagai pencemar sekunder. Contoh pencemar sekunder adalah Ozon, formal dehida, dan Peroxy Acyl Nitrate (PAN). Sumber pencemaran udara berdasarkan pergerakannya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (Krisnayya dan Bedi (1986) dan Sutamihardja (1985)): 1. Sumber pencemaran yang tidak bergerak (industri, pemukiman, dan pembangkit tenaga listrik) yang menghasilkan unsur-unsur polutan ke atmosfir sebagai berikut: kabut asam, oksida nitrogen, CO, partikel-partikel padat, hidrogen sulfida (H2S), metil merkatan (CH3SH), NH3, gas klorin, H2S, flour, timah hitam, gas-gas asam, seng, air raksa, kadmium, arsen, antimon, radio nuklida, dan asap. 2. Sumber pencemaran yang bergerak (kendaraan bermotor atau transportasi) yang menghasilkan CO, SO2, oksida nitrogen, hidrokarbon, dan partikel-partikel padat. Menurut Andrews (1972), penyebab pencemaran udara terbagi tiga kelompok, yaitu: 1. Gesekan permukaan, seperti menggergaji, menggali, gesekan (gosokan) dari beberapa bahan (aspal, tanah, besi, dan kayu) yang membuang partikel padat ke udara dengan berbagai ukuran. 2. Penguapan yang berasal dari cairan yang mudah menguap, seperti bensin, minyak cat, dan uap yang dihasilkan oleh industri logam, kimia dan lainnya. 3. Pembakaran, seperti pembakaran bahan bakar fosil (minyak, solar, bensin, batubara, pembakaran hutan, dsb.). Pembakaran tersebut merupakan proses oksidasi sehingga menghasilkan gas-gas CO2, CO, SOx, NOx, atau senyawa hidrokarbon yang tidak terbakar dengan sempurna. Hehanusa (1986) menjelaskan bahwa sumber pencemar udara terutama SOx dan NOx dibagi menjadi tiga kelompok yaitu dari alam, anthropogenik, dan campuran antara keduanya. Proses alam yang banyak menyebabkan peningkatan konsentrasi SOx dan NOx di udara adalah : (1) Proses dekomposisi biologis, (2) Kegiatan yang berhubungan dengan vulkanik, (3) Aktivitas geotermal, dan (4) Kilat atau petir. Sumber pencemar anthropogenik atau akibat aktivitas manusia adalah dipakainya secara besar-besaran bahan bakar fosil. Sumber pencemar campuran antara keduanya adalah pemakaian pupuk di bidang pertanian yang melalui proses biologis akan melepaskan SOx dan NOx ke udara dan pembakaran hutan. Dampak pencemaran udara dari berbagai sumber ini bisa mempengaruhi terhadap makhluk hidup baik secara langsung maupun tidak langsung (Tabel 1). Industri terutama industri-industri besar merupakan salah satu sumber utama bagi pencemaran udara lokal dan merupakan sumber yang harus diperhitungkan bagi pencemaran udara regional. Pencemaran industri dikombinasikan dengan pencamaran dari sumber-sumber lain seperti sampah perkotaan merupakan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia. Industri-industri yang menjadi sumber polusi bau dapat dilihat pada Tabel 2.
4
No 1.
Tabel 1. Dampak pencemaran udara berupa gas Bahan pencemar Sumber Sulfur Dioksida (SO2)
Dampak/akibat pada individu/masyarakat
Batu bara atau bahan
Menimbulkan efek iritasi pada saluran nafas
bakar minyak yang
sehingga menimbulkan gejala batuk dan
mengandung Sulfur.
sesak nafas.
Pembakaran limbah pertanah. Proses dalam industri. 2.
Hidrogen Sulfa (H2S)
Dari kawah gunung
Menimbulkan bau yang tidak sedap, dapat
yang masih aktif.
merusak
indera
penciuman
(nervus
olfactory) 3.
4.
Nitrogen Oksida (N2O)
Berbagai jenis
Menggangu sistem pernapasan.
Nitrogen Monoksida
pembakaran. Gas
Melemahkan sistem pernapasan paru dan
(NO)
buang kendaran
saluran
Nitrogen Dioksida
bermotor. Peledak,
terserang infeksi.
(NO2)
pabrik pupuk.
Amoniak (NH3)
Proses Industri
nafas
sehingga
Menimbulkan
bau
paru
mudah
yang
tidak
sedap/menyengat. Menyebabkan
sistem
pernapasan,
Bronchitis, merusak indera penciuman. 5.
Karbon Dioksida (CO2)
Semua hasil
Menimbulkan
efek
sistematik,
karena
Karbon Monoksida
pembakaran. Proses
meracuni tubuh dengan cara pengikatan
(CO) Hidrokarbon
Industri
hemoglobin yang amat vital bagi oksigenasi jaringan tubuh akaibatnya apabila otak kekurangan oksigen dapat menimbulkan kematian.
Dalam
jumlah
kecil
dapat
menimbulkan gangguan berfikir, gerakan otot, gangguan jantung. Sumber: Yuwono (2003)
Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (SK.MENLH No. Kep.50/MENLH/11/1996), bau adalah suatu rangsangan dari zat yang diterima oleh indra penciuman, sedangkan kebauan adalah bau yang tidak diinginkan dalam kadar dan waktu tertentu yang dapat mengganggu kesehatan dan kenyamanan lingkungan. Baku tingkat kebauan adalah batas maksimal bau dalam udara yang diperbolehkan yang tidak mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan.
5
Tabel 2. Sumber-sumber polusi bau di lingkungan Sumber bau Chemical and petroleum industries 1.
Senyawa atau kelompok bau
Hydrogen sulphide, sulphur dioxide, ammonia,
Refineries
Hydrocarbons,
organic
acids,
mercaptans,
aldehydes 2.
Inorganic
chemicals
(fertilisers,
phosphates production, soda ash, lime,
Ammonia, aldehydes, hydrogen sulphide, sulphur dioxide
sulfuric acids, etc.) 3.
Organic chemicals ( paint industry,
Ammonia,
plastics,
mercaptans, organic acid
rubber,
soap,
detergents,
aldehydes,
sulphur
dioxide,
textiles Pharmaceutical industry
Aldehydes, aromatic, phenol, ammonia, etc.
Rubber, plastics, glass industries
Nitro compounds (amines, axides), Sulphur oxides, aldehydes, ketones, phenol, alcohols, etc.
Composting facilities
Ammonia,
sulphur
containing
compounds,
terpene, alcohols, aldehydes, ester, ketones, volatile fatty acids (VFA) Animal feedlots
Ammonia,
hydrogen
sulphides,
alcohol,
mercaptan,
ammonia,
aldehydes, N2O Wastewater treatment plant
Hydrogen
sulphydes,
amines, skatoles, indoles, etc. Sumber: Yuwono (2003)
Yuwono dan Gardjito (2005), mengemukakan pada dasarnya senyawa yang berbau adalah senyawa kimia yang bersifat mudah menguap (volatile compound) dan pada umumnya berasal dari golongan alkohol (alcohols), aldehida (aldehyde), keton (ketones), asam karboksilat (carbocxylic acids), amina (amines), atau thiols (dengan gugus fungsional sulfhydryl). Contoh senyawa, rumus kimia, dan kesan bau dapat dilihat pada Tabel 3.
6
Tabel 3. Senyawa-senyawa bau dengan rumus kimia dan kesan baunya Nama senyawa Rumus kimia Kesan bau CH3CHO Pungent Acetaldehyde Ammonia
NH3
Pungent
Butyric asid
CH3CH2CH2COOH
Rancid
Diethyl sulphide
C2H5C2H5S
Garlic
Dimethyl amine
CH3CH3NH
Fishy
Dimethyl sulphide
CH3CH3S
Decayed cabbage
Ethyl mercaptan
C2H5SH
Decayed cabbage
Formaldehyde
HCHO
Pungent
Hydrogen sulphide
H2S
Rotten eggs
Methyl marcaptan
CH3SH
Decayed cabbage
Phenol
C6H5OH
Empyreumatic
Propyl marcaptan
C3H7SH
Unpleasant
Sulphur dioxide
SO2
Pungent
Trimethyl amine
CH3CH3CH3N
Fishy
Valeric acid
CH3CH2CH2CH2COOH
Body odour
Sumber : Yuwono (2003)
B. BAKU MUTU EMISI GAS Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (SK.MENLH No. Kep.50/MENLH/11/1996), pencemaran adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam air/udara, dan/atau berubahnya tatanan (komposisi) air/udara oleh kegiatan manusia dan proses alam, sehingga kualitas air/udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya. Pengelolaan lingkungan yang tercemari oleh gas polutan dibutuhkan pengendalian yang efisien dan efektif. Hal ini dikarenakan adanya cemaran dapat merusak lingkungan serta mengganggu kestabilan kehidupan makhluk hidup, terutama bagi manusia. Meningkatnya intensitas kegiatan penduduk dan industri perlu dikendalikan untuk mengurangi kadar kerusakan lingkungan di banyak daerah. Hal tersebut antara lain pencemaran industri, pembuangan limbah yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan kesehatan, penggunaan bahan bakar yang tidak aman bagi lingkungan, kegiatan pertanian, penangkapan ikan dan pengelolaan hutan yang mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Upaya pencegahan terjadinya pencemaran terhadap lingkungan oleh berbagai aktivitas industri dan aktivitas manusia memerlukan pengendalian terhadap pencemaran lingkungan dengan menetapkan baku mutu lingkungan. Dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan menyebutkan baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. Baku mutu emisi gas dan ambang batas untuk beberapa jenis senyawa bau dalam udara yang diperbolehkan dan tidak mengganggu manusia serta kenyamanan lingkungan diatur dalam Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup untuk
7
baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan baku tingkat kebauan dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.
Tabel 4. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak untuk jenis kegiatan lain Parameter Satuan Batas Maksimum Bukan Logam : (mg/m3)
1. Amoniak (NH3)
10
3
5
3
10
3
(mg/m )
1000
%
35
(mg/m )
2. Gas Klorin (Cl2)
(mg/m )
3. Hidrogen Klorida (HCl)
(mg/m )
4. Hidrogen Fluorida (HF) 5. Nitrogen Oksida (NO2) 6. Opasitas
3
350
3
800
3
35
(mg/m )
7. Partikel
(mg/m )
8. Sulfur Dioksida (SO2)
(mg/m )
9. Total Sulfur Tereduksi (H2S)
0.5
3
Sumber: (SK. MENLH No. Kep. 13/MENLH/3/1995)
1.
Tabel 5. Baku tingkat kebauan untuk beberapa jenis senyawa kimia Parameter Satuan Nilai Metode Peralatan Batas Pengukuran Amoniak ppm 2.0 Metode Indofenol Spektrofotometer
2.
Metil
No
ppm
0.002
Absorpsi gas
Gas khromatograf
ppm
0.02
Merkuri tiosianat
Spektrofotometer
Absorpsi gas
Gas khromatograf
Merkaptan 3.
Hidrogen Sulfida
4.
Metil
ppm
0.01
Absorpsi gas
Gas khromatograf
ppm
0.1
Absorpsi gas
Gas khromatograf
Sulfida 5.
Stirena
Sumber: (SK. MENLH No. Kep. 50/MENLH/11/1996)
1. 2. 3. 4. 5.
Dalam KEP-50/MENLH/11/1996 tentang baku mutu kebauan tertulis sebagai berikut: Bau adalah suatu rangsangan dari zat yang diterima oleh indra penciuman; Kebauan adalah bau yang tidak diinginkan dalam kadar waktu tertentu yang dapat mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan; Baku tingkat kebauan adalah batas maksimal bau dalam udara yang diperbolehkan yang tidak mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan; Sumber bau atau zat odoran adalah setiap zat yang dapat menimbulkan rangsangan bau pada keadaan tertentu; Zat odoran adalah zat yang dapat berupa zat tunggal maupun campuran berbagai macam senyawa.
8
C. GAS AMONIAK (NH3) Amoniak (NH3) merupakan bahan dasar pembuatan pupuk yang berbasis nitrogen, senyawa ini digunakan sebagai penyedia nitrogen yang siap digunakan dibandingkan dengan nitrogen bebas yang merupakan senyawa inert karena lebih mudah dikonversi oleh tanaman. Amoniak mempunyai bau yang sangat menyengat. Titik didihnya sangat rendah (-33.35 oC) pada tekanan atmosfer sehingga berwujud gas yang tidak berwarna dan sangat mudah larut dalam air membentuk basa lemah amonium hidroksida (NH4OH). NH3(g) + H2O(l)
NH4OH(l)
Amoniak dapat berwujud cair jika berada pada tekanan tingi yaitu sekitar 10 atm. Sifatsifat amoniak dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Sifat-sifat fisik amoniak Karakteristik Nilai 17.03 Berat Molekul Titik Beku (oC) o
-77.07
Titik didih ( C)
-33.35
Densitas (g/mL)
0.817 (80 oC)
Viskositas (cP)
0.255 (-30 oC)
Panas Pembentukan (kJ/mol)
46.2 (18 oC)
Panas Penguapan (kJ/mol)
23.3 (-33.3 oC)
Panas spesifik (J/g oC)
2.225
Sumber: Perry (1999)
Emisi gas amoniak menyebabkan gangguan kesehatan gangguan pada saluran pernafasan, iritasi selaput lendir mata, pusing serta gangguan kesehatan yang lainnya (Tabel 7 dan Tabel 8) (Soemirat 2002). Amoniak merupakan produk dekomposisi senyawa organik yang tidak teroksidasi secara sempurna karena kondisi anaerobik. Amoniak memiliki nilai kesetimbangan untuk pH yaitu 9.26. Menurut Saeni (1989) reaksi kimianya adalah sebagai berikut: NH4+
H+ + NH3
Reaksi tersebut memiliki arti bahwa bila nilai pH lebih dari 9.26 maka keseimbangan terletak di sebelah kanan yaitu amoniak dalam bentuk NH3, sedangkan jika nilai pH kurang dari 9.26 maka keseimbangan akan terletak di sebelah kiri yaitu amoniak berbentuk NH4+ (Jenie dan Rahayu 2004). Amoniak mempunyai bau yang sangat menyengat, sangat korosif terhadap logam serta berbahaya bagi kesehatan manusia.
9
Tabel 7. Sifat-sifat bahaya amoniak Parameter Efek Jangka Pendek (Akut) Kesehatan
Bahaya Amoniak
Iritasi terhadap saluran pernapasan, hidung, tenggorokan dan mata terjadi pada 400 - 700 ppm, sedangkan pada 5000 ppm menimbulkan kematian. Kontak dengan mata dapat menimbulkan iritasi hingga kebutaan total. Kontak dengan kulit dapat menyebabkan luka bakar (frostbite). Efek Jangka Panjang (Kronis) Menghirup uap asam pada jangka panjang mengakibatkan iritasi pada hidung, tenggorokan dan paru-paru. Termasuk bahan teratogenik. Nilai Ambang Batas: 25 ppm (18 mg/m3) (ACGIH 1987-88) STEL 35 ppm (27 mg/m3). Toksisitas: LD 50 = 3 mg/kg (oral, tikus). LC 50 = 200 ppm (tikus menghirup 4 jam). Kebakaran
Dapat terbakar pada daerah mudah terbakar: 16-25 % (LFL-UFL). Suhu kamar: 651 oC.
Reaktivitas
Stabil pada suhu kamar, tetapi dapat meledak oleh panas akibat kebakaran. Larut dalam air membentuk ammonium hidroksida.
Sumber: Anonim (www.pupukkaltim.com 2010)
Tabel 8. Keselamatan dan Pengamanan Bahaya Amoniak Parameter Keselamatan dan Pengamanan Penanganan & Hindari gas berada dalam ruang kerja, hindari dari loncatan api dan sumber panas. Penyimpanan
Simpan pada tempat dingin, kering dan berventilasi dan jauh dari populasi. Hindarkan dari asam, oksidator, halida, etoksi, logam alkali dan kalium klorat.
Tumpahan &
Bila terjadi tumpahan atau bocoran, harus ditangani oleh orang yang terlatih
Bocoran
dengan memakai alat pelindung diri. Jauhkan dari sumber api. Kabut amoniak dapat disemprot oleh air.
Alat Pelindung
Paru-paru : Masker dengan Filter Amoniak atau respirator udara
Diri
Mata
: Safety goggles dan pelindung muka
Kulit
: Gloves (neoprene, karet, PVC karet butil)
Pertolongan Pertama
Terhirup
: Bawa ke tempat aman dan udara yang segar, beri pernapasan buatan jika perlu, segera bawa ke dokter.
Terkena mata : Cuci dengan air bersih dan mengalir selama 20 menit dan segera bawa ke dokter. Terkena kulit : Cuci dengan air bersih dan mengalir selama 20 menit, lepaskan pakaian yang terkontaminasi. Pemadam Api
Hentikan kebocoran gas dengan aman, gunakan semprotan air sebagai pendingin. Media pemadaman CO2, halon, bubuk bahan kimia kering.
Sumber: Anonim (www.pupukkaltim.com 2010)
10
Amoniak dapat langsung direaksikan dengan oksigen menjadi nitrit. Reaksi antara amoniak dengan asam nitrit dapat menghasilkan amonium nitrat yang memungkinkan diaplikasikan sebagai pupuk. Kotoran hewan yang membusuk juga dapat menghasilkan nitrat. Nitrifikasi merupakan konversi amonium menjadi nitrat secara biologis yang terjadi dari dua tahap yang melibatkan dua kelompok mikroorganisme yaitu Nitrosomonas sp dan Nitrobacter sp. Pada tahap pertama, amonium dikonversi menjadi nitrit dan pada tahap kedua nitrit dikonversi menjadi nitrat (Sutedjo et al. 1991). Tahapan yang terjadi yaitu: Tahap pertama: +
NH4 + 11 2 O2
Nitrosomonas sp
NO2- + 2H+ + H2O
Tahap kedua: Nitrobacter sp
-
NO2 + 1 2 O2
NO3-
Kedua reaksi tersebut menghasilkan energi yang dibutuhkan Nitrosomonas sp dan Nitrobacter sp untuk pertumbuhan dan perawatan sel. Reaksi energi secara keseluruhan dijabarkan sebagai berikut: NH4+ + 2O2
NO3- + 2H+ + H2O
Bersamaan dengan energi yang dihasilkan, sebagian dari ion amonium diasimilasi menjadi jaringan sel. Reaksi sintesis biomassa dijabarkan dengan persamaan sebagai berikut: 4CO2 + HCO3- + NH4+
C5H7O2N + 5O2
Proses nitrifikasi secara keseluruhan dapat dijabarkan dengan persamaan sebagai berikut: NH4+ + 1.86O2 + 1.98HCO(Sutedjo et al. 1991).
0.02C5H7NO2 + 0.98NO3- + 1.88H2CO3 + 1.04H2O
D. PENGGUNAAN NH3 DI INDUSTRI Beberapa industri menggunakan amoniak dalam jumlah besar, sehingga emisi amoniak yang dihasilkan juga dalam jumlah besar. Pabrik lateks pekat salah satu pabrik yang menghasilkan emisi amoniak. Menurut Saputra (2008), emisi pabrik lateks pekat untuk amoniak adalah 1-600 ppm. Industri lateks pekat menggunakan amoniak sebagai bahan anti koagulan untuk mencegah terjadinya prakoagulasi lateks serta desinfektan untuk pengawetan lateks. Selain industri karet, amoniak juga banyak dihasilkan oleh industri peternakan, industri petrokimia, manufaktur logam, industri makanan, pulp dan kertas, industri tekstil, pabrik pengolahan limbah, dan industri pupuk urea. Amoniak banyak digunakan dalam memproduksi asan nitrat, sebagai indikator universal untuk menguji gas yang berbeda-beda sehingga diketahui keberadaan gas tersebut, pupuk dengan mencampurkan amoniak dengan air tanpa proses kimiawi tambahan, amoniak banyak digunakan sebagai refrigerant sebelum ditemukannya dichlorodifluoromethane (Freon), amoniak juga digunakan sebagai desinfektan, dan amoniak cair digunakan sebagai bahan bakar pada roket (Busca 2003).
11
E. METODE PENGHILANGAN EMISI GAS Menurut Devinny et al. (1999), ada dua bentuk pengendalian emisi udara yang dapat diaplikasikan. Pengendalian sumber melibatkan pengurangan emisi melalui penggantian bahan baku, pengurangan maupun pendaurulangan. Bagaimanapun, mekanisme pengurangan ini mungkin dapat mengurangi kualitas produk atau meningkatkan biaya. Pengendalian yang kedua merupakan cara dengan melakukan pengolahan gas yang dihasilkan. Pemilihan teknologi sering ditentukan oleh desakan ekonomi ataupun ekologi. Beberapa batasan datang dari keadaan senyawa yang akan diolah, konsentrasi dan bentuk emisi dari aliran limbah gas.
1. Pengendalian Emisi Gas Seacara Fisik dan Kimia Metoda pemurnian gas buang secara fisik-kimia adalah berdasarkan pada perubahan fase gas diserap oleh fase gas lain, fase cair atau fase padat, sebagai berikut: a. Metode fase gas Metode ini sebenarnya bukan metode penghilangan gas atau bau, akan tetapi menyamarkan bau (busuk) yang tidak disukai dengan memberikan bau yang enak atau lebih disukai. b. Metode fase cair Gas buang dialirkan dan dipertemukan dengan senyawa penyerap gas (adsorban) dalam fase cair, pada umumnya menggunakan air. Metode ini sangat baik untuk gas-gas yang memiliki kelarutan yang tinggi terhadap zat cair (air). Adsorban yang sudah jenuh perlu dimurnikan kembali bila memungkinkan, dimanfaatkan untuk penggunaan lain atau dibuang. c. Metode fase padat Pada proses ini, gas dialirkan dan dipertemukan dengan senyawa penyerap gas dalam bentuk padat. Molekul-molekul gas akan terserap, terkondensasi dipermukaan adsorban, secara fisik maupun kimia. Arang aktif sudah banyak dikenal sebagai bahan penyerap bau yang relatif murah dan efektif. Arang aktif dalam bentuk butiran (granular activatedcarbon, GAC) sudah banyak dipergunakan sebagai bahan penyerap bau dan warna. Arang aktif dalam bentuk serat (activated carbon fiber, ACF) memiliki daya serap yang lebih besar dibandingkan dengan GAC. Daya serap ACF type FN-300GF-15 terhadap gas amoniak adalah 0.72g-NH3/kgdry AC sedangkan daya serap ACF-1300 terhadap senyawa organik yang mudah menguap (volatile organic carbon, VOC) seperti alkohol, aseton dan tetra-hidrofuran adalah 0.44gVOC/kg-dry ACF (Lens dan Pol 2000). Daya serap secara fisik-kimia ini hanya berlangsung dalam waktu yang relatif singkat sebelum mencapai titik jenuh. ACF atau GAC yang telah jenuh ini perlu dipanaskan pada suhu diatas 100 oC untuk melepaskan gasgas tersebut (regenerasi) dan kemudian dapat digunakan kembali. Dengan demikian polutan gas ini tidak dihilangkan, tetapi diubah menjadi bentuk lain, dan mungkin akan tetap menimbulkan polusi. d. Pembakaran Senyawa-senyawa gas organik dapat juga langsung dibakar dan menghasilkan karbon dioksida dan air pada tingkat suhu yang cukup. Metoda ini memerlukan biaya energi yang cukup besar, sehingga banyak dihindari.
12
Devinny et al. (1999) dan Lens dan Pol (2000) menambahkan beberapa metode yang dapat digunakan untuk menangani limbah gas secara fisik-kimia antara lain: 1. Kondensasi: limbah gas yang pekat dilakukan pendinginan dan dikompres. 2. Insinerasi: terdiri dari insinerasi termal (700-1400 oC) dan insinerasi katalis (300-700 oC dengan katalis platinum, palladium dan rubidium). Produksi NOx dan beberapa dioksin juga bisa terjadi. Teknologi ini sesuai untuk aliran limbah gas pekat dan laju alir sedang. 3. Adsorpsi: adsorpsi terjadi dalam bahan pada fixed atau fluidized bed seperti karbon aktif atau zeolite dan sangat efektif untuk uap dengan konsentrasi rendah. Regenerasi karbon dimungkinkan dengan cara recovery polutan dengan desorpsi menggunakan uap air atau udara panas. 4. Absorpsi: penghilangan limbah gas pencemar dengan larutan penyerap, seperti air maupun pelarut organik (minyak silikon). Kesuksesan ditentukan oleh afinitas polutan terhadap cairan. Menurut Nathanson (1997), metode ini disebut Flue Gas Desulfurization (FGD), dengan larutan penyerap dapat berupa kapur (CaO) atau batu kapur (CaCO 3).
5. Sistem membran: menggunakan perbedaan tekanan pada dua sisi membran. Tekanan aliran gas sekitar 310-1400 kPa. Membran yang digunakan biasanya merupakan membran hidrofobik mikroporous yang terbuat dari polietilen dan polipropilen.
2. Pengendalian Emisi Gas Secara Biologis Penghilangan gas secara biologis ini dilakukan dengan memanfaatkan aktivitas mikroba. Pertama, gas-gas buangan diserap oleh bahan pengisi tertentu, kemudian dioksidasi dan diuraikan atau digunakan sebagai sumber energi bagi mikroba. Mikroba memerlukan kondisi tertentu untuk hidup. Kebutuhan ini harus dipenuhi dengan menumbuhkannya dalam fase cair atau medium tertentu. Senyawa gas yang akan diolah dan sejumlah oksigen harus dialirkan dari fase gas ke dalam fase cair. Populasi mikroba dapat terdispersi secara bebas dalam fase cair, terimobilisasi pada suatu bahan pengepak atau bahan pengisi padat. Dengan demikian dapat dibedakan tiga metoda biologi sebagi berikut (Ottengraf 1986): (1) Bioscrubber, (2) Biotrickling filter, dan (3) Biofilter. 1. Bioscrubber: Kontaminan gas diabsorb dalam bentuk fase cair bebas. Fase gas yang dialirkan akan dicuci dengan scrubber. Absorbsi dan biodegradasi terjadi secara terpisah. Setelah kontaminan diabsorbsi secara fisik, degradasi terjadi dengan bantuan konsorsium mokroorganisme tersuspensi pada tempat terpisah. Absorpsi terjadi pada kolom filter, spray tower atau buble column. Air ditransfer ke vessel terpisah dimana kondisi lingkungan lebih optimal untuk biodegradasi. Pada sistem dilakukan aerasi untuk memastikan degradasi maksimal. 2. Biotrickling Filter: Kontaminan gas diabsorp sebagai fase cair bebas yang digunakan untuk biodegradasi baik dengan menggunakan bakteri yang tersuspensi maupun dengan bakteri terimobilisasi. Pada biotrickling filter, mikroba terjerap pada bahan organik yang bersifat inert/lembam sedangkan mikroba tersuspensi dalam fase cair yang mendegradasi polutan yang dilewatkan pada filter terkontaminasi. Udara yang dialirkan mengalami daur ulang sedangkan nutrient, keasaman dan kebasaan ditambahkan oleh operator, disesuikan dengan kondisi lingkungan agar polutan dapat dihilangkan secara optimal. Fenomena absorpsi dan biodegradasi terjadi dalam satu reaktor yang sama. Reaksi berkelanjutan pada media dalam fase gas.
13
3. Biofilter: Biofilter merupakan reaktor yang memiliki mikroorganisme terjerap pada media untuk mengolah polutan gas. Mikroorganisme yang tumbuh membentuk biofilm pada permukaan medium yang tersuspensi dalam fase air yang tersebar pada partikel media. Media yang digunakan mengandung bahan yang inert (kompos, gambut, serasah daun, dsb) yang memiliki luas permukaan untuk absorpsi dan penambahan nutrient. Gas dialirkan pada bahan pengisi, kontaminan pada fase gas dijerap ke dalam biofilm dan ke permukaan media tempat degradasi polutan. Biofilter merupakan kombinasi terhadap proses absorbsi, adsorbsi, degradasi dan desorpsi polutan gas. Biofilter membutuhkan penambahan air untuk mengontrol kadar air dan penambahan nutrient. Efektifitas secara keseluruhan dipengaruhi oleh karakteristik dan sifat fisiko-kimia media yang digunakan, dimana termasuk porositas, tingkat kepadatan media, kemampuan penyerapan air dan kemampuan penjerapan populasi mikroorganisme. Titik kristis kinerja biofilter dan parameter performansi terdiri dari pH media, suhu, kadar air media dan kandungan nutrient.
Tabel 9. Klasifikasi bioreaktor untuk pemurnian limbah gas Tipe Reaktor Mikroorganisme Fase Air Biofilter
Terjerap
Tidak bergerak
Biotrickling Filter
Terjerap
Bergerak
Tersuspensi
Bergerak
Bioscrubber Sumber: Devinny et al. (1999)
Gambar 1. Biofilter (a), biotrickling filter (b), dan bioscrubber (c) ( Yuwono 2003).
F. BIOFILTER Menurut Janni et al. (2000), ada beberapa metode penanganan yang digunakan untuk mengontrol emisi gas penyebab bau yang meliputi metode fisika, kimia maupun biologi antara lain adalah:
14
1. 2. 3. 4. 5. 6.
metode pengontrolan langsung dari sumbernya penambahan bahan kimia tertentu pada limbah penyebab bau menyimpan limbah pada storage (drum-drum penampungan) penambahan ozon (ozonisasi) teknologi plasma non thermal penerapan metode biofiltrasi Berdasarkan metode penanganan yang telah disebutkan, metode pada no. 1 hingga 5 termasuk dalam metode fisika-kimia. Dahulu metode ini banyak digunakan untuk menangani masalah gas penyebab kebauan, namun karena biaya operasional metode ini cukup tinggi, sulit dalam perawatan dan juga menimbulkan limbah sekunder, akhirnya metode ini telah banyak ditinggalkan (Sun et al. 2000). Metode no. 6 adalah metode penanganan emisi gas penyebab bau dengan biofiltrasi, metode ini merupakan pengembangan dari metode biologi. Menurut Sun et al. (2000), biofiltrasi adalah teknologi yang digunakan untuk mengolah gas dan bau yang biodegradable (dapat terurai oleh mikroorganisme). Metode biofiltrasi dibedakan menjadi tiga tipe yaitu biofilter, bioscrubber dan biotrickling filter (Ottengraf 1986). Biofilter didefinisikan sebagai packed tower deodorization apparatus atau alat penghilang bau yang berupa tower dengan bahan pengisi didalamnya (Devinny et al. 1999). Teknik biofilter ini terus dikembangkan sebagai alternatif teknologi untuk menggantikan metode fisika-kimia. Jika dibandingkan dengan metode fisika dan kimia, beberapa keunggulan metode biologi antara lain adalah biaya investasi dan pemeliharaan yang rendah, mudah perawatan, operasional alat yang stabil pada jangka waktu lama serta tidak menimbulkan polusi baru (Cho et al. 2000). Ditambahkan oleh Hirai et al. (2001) bahwa biofilter merupakan salah satu teknik yang efektif sebab tidak membutuhkan wilayah konstruksi yang besar. Menurut Ottengraf (1986), kinerja biofilter dalam penanganan gas penyebab bau dapat dinilai berdasarkan beberapa hal berikut ini yaitu: 1. kapasitas penyerapan maksimum (g/kg-media kering/hari) 2. efisiensi penyerapan gas oleh media biofilter sekitar 95% dalam waktu yang relatif lama 3. kemampuan bahan pengisi dalam mempertahankan kondisi pH, suhu dan kadar air Mekanisme kerja dari biofilter ini adalah melewatkan gas penyebab bau ke dalam kolom biofilter. Pada awalnya gas-gas tersebut akan diserap oleh material padat dari bahan pengisi. Penyerapan yang terjadi ini sering disebut dengan penyerapan secara fisik. Setelah material padat jenuh dengan gas maka penyerapan gas akan dilanjutkan oleh mikroorganisme yang telah membentuk lapisan tipis (biofilm atau biolayer) di dalam biofilter. Target komponen gas akan larut atau terserap ke dalam lapisan biolayer ini, selanjutnya dioksidasi dan diuraikan oleh mikroorganisme yang hidup dalam bahan pengisi (Yani 1999). Mikroorganisme menggunakan gas penyebab bau sebagai sumber energi dan nutrient bagi kelangsungan hidupnya. Produk utama yang dihasilkan dari reaksi ini adalah H2O, CO2, garam mineral, beberapa senyawa organik dan sel-sel mikroorganisme (Degorce-Dumas et al. 1997).
G. BAHAN PENGISI Penentuan bahan pengisi yang tepat sangatlah penting diperhatikan untuk memaksimalkan efisiensi biofilter, sebab bahan yang dipilih akan menjadi media tempat tumbuh bakteri, sehingga bahan pengisi dipilih yang bisa mendukung kehidupan bakteri (Hirai et al. 2001). Bahan pengisi merupakan jantung dari sebuah biofilter (Ottengraf 1986). Hal tersebut
15
karena bahan pengisi atau packing material atau filter beds merupakan inti operasional suatu biofilter. Menurut Hirai et al. (2001), syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pemilihan bahan pengisi untuk biofilter antara lain adalah: 1. mempunyai kapasitas penyangga air yang tinggi 2. mempunyai tingkat porositas yang tinggi 3. mempunyai daya memadat (compacting) yang rendah 4. tidak mengalami penurunan kinerja walaupun kadar air menurun 5. tidak berubah dalam jangka panjang 6. ringan 7. murah 8. mampu menyerap gas penyebab bau 9. mempunyai kapasitas penyangga yang tinggi terhadap produk akhir yang bersifat asam. Bahan pengisi biofilter secara kimiawi dibagi menjadi dua jenis yaitu bahan anorganik dan bahan organik. Bahan anorganik misalnya berasal dari kalsinat kristobalit, keramik, batu karang, arang aktif, lava dan sebagainya. Efisiensi penghilangan bau yang dicapai biofilter dengan menggunakan bahan pengisi anorganik ini cukup tinggi.
1. Tanah Lapisan tanah bagian atas mengandung bahan organik relatif lebih tinggi dibandingkan lapisan tanah bagian bawah. Pada lapisan atas (top soil) terdapat akumulasi bahan organik berwarna gelap dan subur yang sangat penting untuk kehidupan makhluk didalamnya. Tiga komponen tanah yang menyediakan nutrient adalah bahan organik, turunan bahan batuan induk dan serpih-serpih lempung. Umumnya partikel tanah menempati lebih dari separuh rongga dalam tanah. Rongga selebihnya yang terdapat antara partikel, disebut ruang pori, ditempati oleh air dan udara. Kepadatan tanah didefinisikan sebagai massa per satuan volume tanah kering yang juga mencerminkan ruang pori total dari tanah (Rao 1992). Tanah dapat digunakan sebagai bahan pengisi pada biofilter sebab sangat murah, sangat mudah didapat, tersedia dalam jumlah yang melimpah, serta mengandung populasi mikroba yang tinggi pula. Tanah secara alami bersifat hidrofilik dan kemampuan untuk menahan kehilangan air lebih tinggi bila dibandingkan dengan kompos dan gambut walaupun dalam kondisi yang kering. Namun kekurangan dari bahan pengisi tanah yaitu mempunyai daya penurunan tekanan yang besar dan sering terdapat garis-garis kecil pada media untuk lewat aliran udara. Tanah juga mempunyai permeabilitas yang cukup rendah terhadap gas. Tanah sangat bagus digunakan untuk open-bed biofilter (Devinny et al. 1999).
2. Kompos Bokashi Kompos merupakan bahan organik yang mempunyai keragaman dan kelimpahan mikroorganisme yang tinggi, mempunyai kapasitas penyangga air yang tinggi serta pH yang netral. Bahan kompos mempunyai tahanan terhadap penurunan permukaan lebih tinggi dibandingkan dengan gambut. Kompos juga cepat memadat, maka untuk memperbesar pori media dapat ditambahkan bahan tambahan lain (Devinny et al. 1999). Kompos merupakan bahan organik yang berfungsi sebagai pupuk yang dapat memperbaiki sifat fisik tanah karena tanah
16
menjadi remah dan mikroba-mikroba tanah yang bermanfaat dapat hidup dengan subur (Wudianto 1996). Menurut Cosico (1985) pengomposan berarti suatu proses yang dapat mengakibatkan suatu campuran bahan-bahan organik akan terurai menjadi produk akhir (kompos) yang stabil di bawah kondisi yang optimum. Kompos tersebut dapat dipergunakan sebagai pupuk dan penyubur tanah. Harada et al. (1993), menyatakan bahwa bahan organik yang dikomposkan dan akan digunakan untuk tanah pertanian sebaiknya terdekomposisi dengan baik dan tidak menimbulkan berbagai efek yang merugikan terhadap pertumbuhan tanaman. Kompos dicirikan oleh sifat-sifat berikut: 1. berwarna coklat tua sampai hitam 2. tidak larut dalam air meskipun sebagian dari kompos dapat membentuk suspensi 3. sangat larut dalam pelarut alkali, natrium pirofosfat, atau larutan amoniak oksalat menghasilkan ekstrak berwarna gelap dan dapat difraksinasi lebih lanjut menjadi humic, fulfic, dan humin 4. nisbah C/N berkisar antara 10 – 20 (tergantung bahan baku dan derajat humidifikasi) 5. memiliki kapasitas pemindahan kation dan absorbsi air yang tinggi 6. jika digunakan pada tanah, kompos memberikan efek-efek menguntungkan bagi tanah dan pertumbuhan tanaman. Nilai pupuknya ditentukan oleh N, P, K, Ca, dan Mg. 7. tidak berbau 8. secara biokimiawi tidak stabil tetapi komposisinya berubah karena aktifitas mikroba, sepanjang kondisi lingkungannya sesuai (seperti suhu dan kelembaban), yang akan dioksidasi menjadi garam-garam anorganik, karbon dioksida, dan air. Mutu kompos dipengaruhi oleh tingkat kematangannya. Kompos yang telah matang akan memiliki kandungan bahan organik yang dapat didekomposisi dengan mudah dan nisbah C/N yang rendah. Kompos yang baik tidak mengandung bahan-bahan yang dapat merugikan pertumbuhan tanaman dan tidak menebarkan bau yang ofensif serta kandungan airnya mencukupi. Kompos juga bisa digunakan sebagai bahan pengisi organik, karena memiliki keragaman dan jumlah mikroorganisme yang tinggi, mempunyai kapasitas penyangga air yang tinggi serta pH yang netral. Bahan kompos mempunyai tahanan penurunan permukaan lebih tinggi dibanding gambut (Devinny et al. 1999).
3. Serasah Daun Karet Bahan organik tanah merupakan fraksi organik tanah yang berasal dari biomassa tanah dan biomassa luar tanah. Sumbangan biomassa tanah dan tinggalannya yang telah mati, mulamula berupa serasah yang kemudian secara berangsur digabungkan dengan tanah. Penggabungan dilakukan secara fisik oleh fauna tanah, khususnya makro fauna, atas serasah yang banyak sedikit masih utuh, oleh air resapan infiltrasi yang membawa masuk hasil dekomposisi serasah terlarutkan dan kolodial, serta gerakan kembang kerut tanah yang menarik masuk serasah dan dekomposisinya (Notohadiprawiro 1999). Serasah adalah daun-daun kering yang merupakan bahan pengisi tambahan yang ditambahkan dalam media pengisi biofilter yang berfungsi untuk meningkatkan porositas pada campuran bahan pengisi (Sun et al. 2000). Pemberian serasah daun karet dalam bahan pengisi, yaitu sebagai bahan pengisi tambahan untuk memperkaya kandungan organik dalam media
17
(Liang et al. 2000). Serasah daun karet mengandung sedikit air tetapi memiliki banyak karbon dan nitrogen (Djaja 2008).
H. ADSORPSI Adsorpsi adalah suatu peristiwa fisik atau kimia pada permukaan yang dipengaruhi oleh suatu reaksi kimia antara adsorben dan adsorbat. Adsorben adalah padatan atau cairan yang mengadsorpsi sedang adsorbat adalah padatan, cairan atau gas yang diadsorpsi. Jadi proses adsorpsi dapat terjadi antara padatan dengan padatan, gas dengan padatan, gas dengan cairan dan cairan dengan padatan (Ketaren 1986). Menurut Setyaningsih (1995), adsorpsi adalah proses terjadinya perpindahan massa adsorbat dari fase gerak (fluida pembawa adsorbat) ke permukaan adsorben. Adsorpsi terjadi karena adanya gaya tarik menarik antara molekul adsorbat dengan tempat-tempat aktif di permukaan adsorben. Adsorpsi merupakan peristiwa terjadinya perubahan kepekatan dari molekul, ion atau atom antara permukaan dua fase. Walstra (2003) mendefinisikan adsorpsi sebagai proses difusi suatu komponen pada suatu permukaan atau antar partikel. Komponen yang terserap disebut adsorbat dan bahan yang dapat menyerap disebut adsorben. Adsorben dapat berupa padatan atau cairan. Adsorbat terlarut dalam cairan atau berada dalam gas. Dalam proses adsorpsi terjadi proses pengikatan oleh permukaan adsorben padatan atau cairan terhadap adsorbat atom-atom, ion-ion atau molekul-molekul gas atau cairan lainnya yang melibatkan ikatan intramolekuler diantara keduanya (Osmonics 2000). Melalui proses pengikatan tersebut, maka proses adsorpsi dapat menghilangkan warna (Kadirvelu dan Namasivayam, 2003) dan logam (Rossi et al. 2003). Pari (1995) mengatakan bahwa ada dua metode adsorpsi yaitu adsorpsi secara fisik (physicosorption) dan adsorpsi secara kimia (chemoisorption). Adsorpsi secara fisik terjadi karena perbedaan energi atau gaya tarik menarik elektrik (gaya Van der Waals) sehingga molekul-molekul adsorbat secara fisik terikat pada molekul adsorben. Jenis adsorpsi ini umumnya adalah lapisan ganda (multi layer) dalam hal ini tiap lapisan molekul terbentuk di atas lapisan-lapisan yang proporsional dengan konsentrasi kontaminan. Makin besar konsentrasi kontaminan dalam suatu larutan maka makin banyak lapisan molekul yang terbentuk pada adsorben. Adsorpsi fisik ini bersifat dapat balik (reversible) yang berarti atom-atom atau ion- ion yang terikat dapat dilepaskan kembali dengan bantuan pelarut tertentu yang sesuai dengan sifat ion yang diikat. Sedangkan adsorpsi secara kimia, ikatan yang terjadi adalah ikatan kimia yang kuat dan bersifat tidak dapat balik (irreversible) karena pada pembentukannya diperlukan energi pengaktifan sehingga untuk melepaskannya diperlukan pula energi yang besarnya relatif sama dengan energi pembentukan. Menurut Setyaningsih (1995), mekanisme adsorpsi dapat diterangkan sebagai berikut: molekul adsorbat berdifusi melalui suatu lapisan batas ke permukaan luar adsorben (disebut difusi eksternal), sebagian ada yang teradsorpsi di permukaan luar, sebagian besar berdifusi lanjut di dalam pori-pori adsorben (disebut difusi internal). Proses adsorpsi pada bahan terjadi melalui tiga tahap dasar, yaitu: zat terjerap pada bagian luar, zat bergerak menuju pori-pori bahan dan zat terjerap ke dinding bagian dalam dari bahan. Suatu zat dapat digunakan sebagai adsorben untuk tujuan pemisahan bila mempunyai daya adsorpsi selektif, berpori (mempunyai luas permukaan per satuan massa yang besar) dan mempunyai daya ikat yang kuat terhadap zat yang hendak dipisahkan secara fisik maupun kimia (Setyaningsih 1995).
18
Kirk dan Othmer (1957) dalam Pari (1995) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi adsorpsi suatu bahan antara lain adalah: 1. Karakteristik fisik dan kimia adsorben, seperti luas permukaan, ukuran pori dan komposisi kimia permukaan bahan. 2. Karakteristik fisik dan kimia adsorbat, seperti ukuran molekul, kepolaran molekul dan komposisi kimianya. 3. Konsentrasi adsorbat dalam fase cair. 4. Karakteristik fase cair, yaitu pH dan temperatur. 5. Lamanya proses adsorpsi berlangsung. Kapasitas adsorpsi dipengaruhi oleh sifat adsorben. Struktur pori adsorben berhubungan dengan luas permukaan, semakin kecil pori-pori adsorben, mengakibatkan luas permukaan semakin besar. Dengan demikian kecepatan adsorpsi bertambah. Kinetika adsorbsi dalam penyerapan NH3 dapat digambarkan dengan model isotermis adsorbsi Freundlich. Teori isoterm adsorbsi Freundlich mengasumsikan bahwa permukaan pori adsorben bersifat heterogen dengan distribusi panas adsorbsi yang tidak seragam. Adapun bentuk persamaan Freundlich sebagai berikut (Gokce 2009): log x/m = log Kf + 1/n log Ce dimana: x = m = Ce = Kf = 1/n =
jumlah yang adsorbat diserap (mg) berat adsorben (g) konsentrasi kesetimbangan (mg/L) intersep, menunjukkan kapasitas penyerapan dari adsorbent slope yang menunjukkan keragaman adsorbsi dan konsentrasinya
x/m (mg/g adsorbat)
Kurva isotherm Freundlich
Kf
Ce (mg/L)
Gambar 2. Mekanisme adsorbsi berdasarkan isotherm adsobsi Freundlich (www.nature.com 2010)
19
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan NH3 12.5%, HCl 0.1 N, H3BO3 5%, aquadest, dan bahan pengisi, yaitu tanah (bagian paling atas yang mengandung humus), kompos bokashi, dan serasah daun karet. Tanah yang digunakan berasal dari hutan di kawasan Cifor (Center for International Forestry Research), kompos bokashi yang digunakan berasal dari petani pembuat pupuk organik di Desa Cikarawang (Dramaga), dan serasah daun karet yang digunakan berasal dari perkebunan karet sekitar perumahan dosen IPB Dramaga. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan, oven, peralatan gelas, magnet bar, pH meter, buret, keran udara, air pump, toples berpenutup dan timbangan.
B. METODE PENELITIAN 1. Karakterisasi Bahan Pengisi Pada tahap ini dilakukan uji proksimat untuk masing-masing bahan yang akan dipergunakan. Bahan pengisi berupa tanah, kompos bokashi, dan serasah daun karet masingmasing akan di uji densitas, porositas, kadar air, pH, besarnya nilai C, N, dan P, C/N ratio, water holding capacity (WHC), ammonia holding capacity (AHC) (Lampiran 1). Hal ini dilakukan untuk mengetahui kualitas karakteristik dari masing-masing bahan. Bahan pengisi yang akan dipergunakan diperlihatkan pada Gambar 3.
(a)
(b)
(c) Gambar 3. Bahan pengisi yang digunakan, (a) Tanah, (b) Kompos Bokashi, (c) Serasah Daun Karet
2. Penelitian Utama Bahan pengisi berupa tanah dan kompos bokashi tidak mendapat perlakuan apapun sebelum dilakukan pengujian. Serasah daun karet dicincang (diperkecil ukurannya) terlebih dahulu sebelum dilakukan pengujian untuk mempermudah penelitian. Ketiga jenis bahan pengisi ini akan dicampur atau dikombinasikan untuk mengetahui jenis kombinasi yang lebih baik terhadap tingkat penyerapan gas polutan NH3 berdasarkan karakteristik yang diperoleh. Dengan adanya kombinasi tersebut diharapkan akan lebih mudah mengetahui karakteristik komposisi jika dilakukan penambahan dan pengurangan bahan tertentu, baik itu tanah, kompos bokashi, atau serasah daun karet. Kombinasi tersebut di baca berurutan dari mulai tanah, kompos bokashi, dan serasah daun karet seperti terlihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Perbandingan Komposisi bahan pengisi Komposisi Bahan
Tanah : Kompos Bokashi : Serasah Daun Karet
Perbandingan Jumlah Bahan (gram) 1:1:1
Kode
1:1:2
K112
1:2:1
K121
1:2:2
K122
2:1:1
K211
2:1:2
K212
2:2:1
K221
K111
3. Analisis Parameter Uji a. Karakterisasi Campuran Bahan Pengisi Bahan pengisi yang sudah diformulasi masing-masing dari komposisi akan dilakukan uji densitas, porositas, kadar air, pH, besarnya nilai C, N, dan P, C/N ratio, water holding capacity (WHC), ammonia holding capacity (AHC) (Lampiran 1). Hal ini perlu dilakukan karena pada masing-masing bahan mempunyai sifat yang berbeda-beda sehingga sifat dari komposisi/campuran bahan juga akan berbeda juga.
b. Daya Serap Bahan Pengisi Terhadap Gas Amoniak (NH3) Pada tahap ini masing-masing bahan pengisi dan masing-masing dari komposisi atau campuran bahan pengisi akan dilakukan uji daya serap bahan terhadap pulutan NH 3. Hal ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar daya serap masing-masing bahan pengisi dan masing-masing komposisi/campuran bahan pengisi (g-N/g-bahan kering). Caranya yaitu dengan meletakkan bahan pengisi dan campuran bahan pengisi di dalam wadah tertutup dan dilakukan penimbangan setiap satu jam (Gambar 4). Penimbangan dilakukan pada masing-masing bahan pengisi dan juga komposisi bahan hingga beratnya
21
konstan yang menandakan bahwa bahan tersebut sudah jenuh (sudah maksimal daya serapnya terhadap polutan NH3).
Penutup rapat
Rak tempat meletakkan bahan pengisi
Larutan gas amoniak (NH3) 12.5%
Gambar 4. Alat untuk menguji daya serap bahan pengisi
c. Penentuan Bahan Pengisi dan Campuran Bahan Pengisi Terbaik Pada tahap ini, semua data yang diperolah dari semua uji dilakukan uji ranking untuk mengetahui karakteristik yang terbaik dari masing-masing bahan dan juga campuran bahan. Metode ranking dilakukan dengan cara memberikan nomor urut dimulai dari angka 1, yaitu komposisi dengan hasil pengukuran karakteristik terbaik, seterusnya dilakukan hingga parameter uji yang telah ditentukan.
C. ANALISIS DATA Data yang diperoleh akan disajikan dengan menggunakan metode analisis deskriptif dengan grafik yang akan menggambarkan kondisi seluruh parameter selama penelitian dilaksanakan (Walpole 1995). Sedangkan pengolahan datanya akan dilakukan dengan software statistik yaitu Statistical Analysis System (SAS). Penentuan bahan pengisi terbaik dilakukan dengan menggunakan metode ranking dengan parameter uji, kadar air, densitas, porositas bahan, pH, rasio C/N, water holding capacity (WHC), dan ammonia holding capacity (AHC). Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 7 perlakuan dan 3 atau 2 ulangan. Tujuh perlakuan tersebut ditentukan dari tiga jenis bahan pengisi yang digunakan. Tiga ulangan dilakukan untuk uji densitas, porositas, kadar air, dan water holding capacity (WHC). Dua ulangan dilakukan untuk uji ammonia holding capacity (AHC) dan daya serap bahan terhadap amoniak (NH3). Model matematis Rancangan Acak Lengkap (RAL) dapat ditulis sebagai berikut: Yij = μ + αi + εij Dimana : i j
= Perlakuan ke 1, 2, ……, 6 = Ulangan ke 1, 2, dan 3
22
Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j μ = Rataan umum αi = Pengaruh perlakuan ke-i εij = Pengaruh galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulanagn ke-j Data yang diperoleh diuji dengan uji F dan apabila menunjukkan pengaruh nyata maka akan dilakukan analisis uji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) taraf 5% (Mattjik dan Sumertajaya 2006).
23
D. DIAGRAM ALIR PENELITIAN
Tanah
Kompos Bokashi
Serasah Daun Karet
Karakterisasi Bahan Pengisi
Pembuatan formulasi bahan dengan perbandingan Tanah : Kompos Bokashi : Serasah Daun Karet 1:1:1, 1:1:2, 1:2:1, 1:2:2, 2:1:1, 2:1:2, 2:2:1
Karakterisasi Campuran Bahan Pengisi
Pengujian fisik-kimia: Kadar air Densitas, Porositas, pH, Kandungan C, N, P, Rasio C/N
Water Holding Capacity (WHC)
Ammonia Holding Capacity (AHC)
Penjenuhan dengan gas polutan NH3 Pengujian pH, Analisis penyerapan NH3 dan N
Hasil
Pengolahan data
Kesimpulan dan saran
Gambar 5. Diagram Alir Penelitian
24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISTIK FISIK KIMIA BAHAN PENGISI 1. Densitas Bahan Pengisi Densitas akan menentukan besarnya penyerapan bahan terhadap polutan. Densitas bahan yang tinggi dipengaruhi oleh berat bahan yang tinggi karena densitas bahan selalu berbanding lurus dengan berat bahan. Densitas bahan yang rendah menunjukkan volume bahan yang tinggi karena densitas berbanding terbalik dengan besarnya volume bahan yang digunakan. Bahan yang mempunyai densitas yang tinggi memiliki volume yang kecil sehingga bahan pengisi lebih terlihat padat. Hal ini dikarenakan berat bahan lebih besar nilainya dibandingkan dengan volume yang dimiliki bahan tersebut. Semakin besar jumlah volume bahan pengisi maka akan semakin kecil pula densitas bahan pengisi tersebut. Densitas yang rendah ini akan membuat bahan pengisi tersebut menjadi lebih besar rongga udaranya dibandingkan dengan bahan yang memiliki densitas tinggi.
Densitas (g/cm3)
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 Tanah
Kompos Bokashi Serasah Daun Karet Gambar 6. Densitas bahan pengisi
Gambar 6 menunjukkan bahwa tingkat densitas bahan pengisi untuk tanah dan kompos bokashi memiliki densitas yang tinggi, yaitu 0.56 g/cm3 dan 0.41 g/cm3, sedangkan serasah daun karet hanya memiliki densitas 0.04 g/cm3. Densitas yang tinggi yang dimilki oleh tanah dan kompos bokashi karena kedua bahan tersebut mempunyai kandungan kadar air dan kepadatan yang tinggi. Kondisi seperti ini kurang baik untuk digunakan sebagai biofilter sehingga diperlukan jenis bahan pengisi yang memiliki nilai densitas rendah, yaitu serasah daun karet. Pencampuran dari ketiga jenis bahan ini diharapkan akan saling melengkapi kekurangan dari masing-masing bahan (Gambar 7 dan Lampiran 2a). Secara uji statistik dari masing-masing komposisi parameter densitas bahan diperoleh nilai berbeda nyata dan tidak berbeda nyata pada analisis keragamannya. Lampiran 2b menunjukkan analisis keragaman dari masing-masing campuran bahan pengisi pada pengujian densitas. Pada analisis tersebut diperoleh nilai F-hitung = 42.83 lebih tinggi dari nilai F0.05(6.14) = 2.85. Hasil tersebut menunjukkan bahwa masing-masing komposisi berpengaruh nyata terhadap densitas tersebut.
Densitas (g/cm3)
0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00 K111 K112 K121 K122 K211 K212 K221 Komposisi Bahan Pengisi Gambar 7. Densitas Campuran bahan pengisi
Selanjutnya dilakukan uji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) taraf 5% (Lampiran 2c). Berdasarkan uji Duncan dapat diketahui bahwa perlakuan K221 dan K211 tidak berbeda nyata, perlakuan K111 dan K121 tidak berbeda nyata, perlakuan K212 dan K122 tidak berbeda nyata, dan antara perlakuan K122 dab K112 juga tidak berbeda nyata. Perlakuan K221 dan K212 berbeda nyata, perlakuan K211 dan K112, perlakuan K111 dan K112 juga berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa pada komposisi yang memiliki jumlah tanah dan kompos bokashi lebih besar dibandingkan dengan jumlah serasah daun karet cenderung memiliki nilai densitas yang lebih besar. Sebaliknya pada perlakuan dengan jumlah serasah daun karet lebih besar dari jumlah tanah dan kompos bokashi akan cenderung memiliki nilai densitas yang lebih rendah. Dari hasil uji anova dapat dikatakan bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata dengan peluang nyata 0.0001 (<<α = 0.01). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa serasah daun karet pada setiap komposisi dapat menurunkan nilai densitas pada setiap perlakuan. Perlakuan yang memiliki tingkat densitas paling tinggi yaitu K221 dengan rata-rata sebesar 0.213g/cm3, sedangkan yang memiliki nilai densitas paling rendah adalah perlakuan K112 sebesar 0.117g/cm3.
2. Porositas Bahan Pengisi Nilai porositas menunjukkan tingkat kemampuan bahan dalam melakukan penyerapan bahan terhadap air. Porositas ini terkait dengan besar pori memegang air dan pori memegang udara selama 1 jam dan 24 jam. Porositas dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total. Rongga-rongga ini akan diisi oleh air dan udara. Bahan yang digunakan memiliki nilai porositas sebesar 25.09% untuk tanah, kompos bokashi 34.28%, dan serasah daun karet 94.54% (Gambar 8).
26
Porositas (%)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Tanah
Kompos Bokashi Serasah Daun Karet Gambar 8. Porositas bahan pengisi
Dari Gambar 9 dan Lampiran 3a terlihat bahwa adanya penambahan jumlah serasah daun karet pada perlakuan akan meningkatkan nilai porositas seperti yang terlihat pada K111 dan K112. Secara uji statistik dari masing-masing komposisi parameter porositas menunjukkan analisis keragaman dari masing-masing campuran bahan pengisi. Pada analisis tersebut diperoleh nilai F-hitung = 21.44 lebih tinggi dari nilai F0.05(6.14) = 2.85. Hasil tersebut menunjukkan bahwa masing-masing komposisi berpengaruh nyata terhadap besarnya porositas tersebut dengan peluang nyata 0.0001 (<<α = 0.01) (Lampiran 3b).
Porositas (%)
100 80 60 40 20 0 K111 K112 K121 K122 K211 K212 K221 Komposisi Bahan Pengisi Gambar 9. Porositas campuran bahan pengisi
Berdasarkan pengaruh nyata selanjutnya dilakukan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) taraf 5% (Lampiran 3c). Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa perlakuan K121 berbeda nyata dengan semua perlakuan. Antara perlakuan K112, K122, dan K212 tidak berbeda nyata. Antara perlakuan K111, K211, dan K221 juga tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan dengan komposisi jumlah serasah daun karet yang rendah akan menghasilkan nilai porositas yang tinggi, sedangkan sebaliknya untuk komposisi perlakuan dengan jumlah serasah daun karet yang besar akan menurunkan nilai porositas bahan. Menurut Sun et al. (2000), serasah adalah daun-daun kering yang berfungsi untuk meningkatkan porositas pada campuran bahan pengisi. Serasah daun karet memiliki pori-pori
27
yang lebih halus dibandingkan dengan tanah dan kompos bokashi. Pori-pori serasah daun karet lebih tahan lama menyimpan air dibandingkan dengan pori-pori tanah dan kompos bokashi yang kasar. Menurut Hardjowigeno (2003) pori-pori kasar mengandung udara atau air yang mudah hilang melalui gaya gravitasi. Porositas berbanding terbalik dengan densitas, jika suatu bahan densitasnya rendah maka tingkat porositas bahan tersebut tinggi dan begitu juga sebaliknya.
3. Kadar Air Bahan Pengisi
Kadar Air (%)
Kadar air yang cukup akan sangat mempengaruhi kualitas kinerja mikroorganisme dan dapat memperlama masa pakai bahan pengisi tersebut. Hal ini menjadi penting karena selama pemakaian jumlah kadar air dalam bahan akan berkurang. Menurut Ottenggraf (1986), kadar air dalam bahan pengisi berkisar antara 30-65 %. Dari ketiga jenis bahan pengisi yang dipergunakan menunjukkan bahwa tanah memiliki kadar air 37.67 %, kompos bokashi 56.67 %, dan serasah daun karet hanya memiliki kadar air 9.67 % (Gambar 10). 70 60 50 40 30 20 10 0 Tanah
Kompos Bokashi
Serasah Daun Karet
Bahan Pengisi Gambar 10. Kadar air bahan pengisi
Kompos bokashi memiliki kadar air yang paling tinggi dibandingkan dengan tanah dan serasah daun karet. Komponen-komponen organik yang ada dalam kompos menyebabkan kompos bokashi memiliki kadar air yang lebih tinggi. Serasah daun karet merupakan material dengan kadar air yang paling rendah karena kondisinya yang sudah mengering. Jumlah kadar air yang tinggi menjadi salah satu syarat yang baik untuk digunakan sebagai bahan pengisi. Gambar 11 menunjukkan bahwa K221 mempunyai kandungan kadar air yang cukup tinggi dibandingkan komposisi yang lain, yaitu sekitar 40.27%. Sedangkan untuk komposisi K112 memiliki kadar air yang terendah, yaitu 29.25%. Berdasarkan keterangan gambar diagram kadar air diatas terlihat jelas bahwa kadar air yang yang dimiliki oleh tanah dan kompos bokashi sangat besar pengaruhnya terhadap jumlah kadar air pada setiap komposisi. Penambahan jumlah tanah dan juga kompos bokashi akan menambah jumlah kadar air pada setiap komposisi seperti terlihat pada perlakuan K121 dan K211 jika dibandingkan dengan K111. Sementara itu, adanya penambahan jumlah serasah daun karet akan mengakibatkan menurunnya jumlah kadar air pada komposisi seperti terlihat antara K111 dan K112, K121 dan K122, serta K211 dan K212 (Lampiran 4a).
28
Kadar Air (%)
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
K111
K112
K121
K122
K211
K212
K221
Komposisi Bahan Pengisi Gambar 11. Kadar air campuran bahan pengisi
Secara statistik dari masing-masing komposisi parameter kadar air diperoleh nilai berbeda nyata dan tidak berbeda nyata pada analisis keragamannya (ANOVA). Lampiran 4b menunjukkan analisis keragaman dari masing-masing campuran bahan pengisi pada pengujian kadar air. Pada analisis tersebut diperoleh nilai F-hitung lebih tinggi dari nilai F-tabel. Hasil tersebut menunjukkan bahwa masing-masing komposisi memiliki tingkat signifikan yang nyata pada parameter uji kadar air tersebut. Uji Duncan pada Lampiran 4c menunjukan hasil yang beda nyata dari parameter kadar air. Hasil uji tersebut menunjukkan perbandingan antara perlakuan K221 dan K121 tidak berbeda nyata, selain itu perbandingan antara perlakuan K211 dan K122 tidak berbeda nyata, sedangkan antara perlakuan K221 dan K211 berbeda nyata, selain itu perbandingan antara K121 dan K211 berbeda nyata juga. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah tanah dan kompos bokashi yang tinggi berbanding lurus dengan tingginya jumlah kadar air yang dikandungnya. Selanjutnya menurut Sun et al. (2000), kadar air yang paling baik untuk perawatan (maintenance) suatu biofilter dengan bahan pengisi campuran kompos adalah antara 30 - 70%. Berdasarkan hasil uji Duncan ini dapat dilihat bahwa pada perlakuan K221 dan KI2I memiliki nilai % kadar air yang tinggi. Perlakuan yang memiliki nilai % kadar air rendah adalah perlakuan K212 dan K112. Perbedaan yang ditunjukkan antara perlakuan yang % kadar airnya tinggi dengan perlakuan yang % kadar airnya rendah membuktikan bahwa penambahan jumlah serasah daun karet tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penambahan % kadar air.
4. pH Bahan Pengukuran pH untuk setiap perlakuan dilakukan dengan menggunakan alat pH meter yang telah distandarisasi. Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan aktivitas bakteri pengoksidasi amoniak (Esoy et al., 1998). Nilai pH bahan pengisi (Tabel 11) menunjukkan tanah memiliki pH sekitar 4.1, Kompos bokashi memiliki pH sebesar 7.4, dan serasah daun karet memiliki pH sebesar 6.3. Kondisi pH tanah lebih asam dibandingkan dengan serasah daun karet, tetapi pH kompos bokashi lebih netral. Mikroorganisme pendegradasi amoniak seperti Nitrosomonas,
29
Nitrosococcus, Nitrosospira, Nitrosolobus, dan Nitrosovibiro hidup baik pada pada kondisi pH antara 6 sampai 8 (Kleinjan 2005).
Tabel 11. Nilai Derajat Keasaman (pH) Bahan Pengisi. Bahan Pengisi pH Bahan 4.1 Tanah Kompos Bokashi
7.4
Serasah Daun Karet
6.3
K111
6.4
K112
6.4
K121
6.9
K122
6.8
K211
6.3
K212
6.4
K221
6.7
Derajat keasaman (pH) dari kombinasi campuran dilakukan supaya sesuai untuk pertumbuhan mikroorganisme. Devinny et al. (1994) menyatakan bahwa derajat keasaman (pH) berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba nitrifikasi dan menghambat kecepatan laju degradasi senyawa amoniak dalam proses nitrifikasi. Nilai optimum bagi pertumbuhan mikroba nitrifikasi adalah pH 6 sampai 9. Djatmiko et al. (1985) menyatakan nilai pH sangat berpengaruh dalam proses adsorbsi secara fisik, karena pH mempengaruhi kelarutan suatu zat. Mikroorganisme yang berperan mengoksidasi amoniak adalah Nitrosomonas, Nitrosococcus, Nitrosospira, Nitrosolobus, dan Nitrosovibiro (Agustiyani et al. 2004). Komposisi bahan pengisi (Tabel 11) memiliki derajat keasaman yang bersifat agak netral, yaitu antara 6.3-6.9. Nilai tersebut masih berada dalam kisaran nilai derajat keasaman yang optimal bagi pertumbuhan mikroorganisme pengoksidasi amoniak.
5. Komposisi C, N, P, dan C/N Ratio Bahan Pengisi Dalam penelitian ini menggunakan bahan organik sebagai bahan pengisi dengan tujuan agar bahan pengisi tersebut tidak hanya untuk menyerap gas polutan, tetapi sebagai tempat hidup mikroorganisme sekaligus sumber nutrisi dan mineralnya. Bahan pengisi organik yang digunakan adalah tanah, kompos bokashi, dan serasah daun karet. Tiga jenis bahan pengisi ini dipilih karena pertimbangan-pertimbangan syarat sebagai bahan pengisi dan disesuaikan dengan jenis polutan yang akan diabsorpsi. Menurut Devinny et al. (1999), selain sumber karbon, mikroorganisme juga membutuhkan nutrisi mayor dan minor untuk memetabolisme zat pencemar. Nutrisi mayor yang biasa dibutuhkan adalah nitrogen, fosfor dan kalium. Sedangkan nutrisi minornya meliputi zat besi, magnesium, kalsium, seng, mangan dan sulfur. Untuk mendukung keberlangsungan pertumbuhan bakteri tersebut nutrient penting yang diperlukan pada bahan adalah karbon, nitrogen, dan fosfor (Tabel 12 dan 13). Karbon dan nitrogen merupakan elemen yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroorganisme dalam jumlah besar. Unsur karbon dapat meningkatkan energi dan biosintesis,
30
sehingga unsur karbon yang cukup sangat diperlukan, sedangkan unsur nitrogen untuk mempercepat pertumbuhan sel (Trismilah dan Sumaryanto 2005). Fosfor diperlukan dalam jumlah yang cukup untuk perkembangbiakan dan pertumbuhan mikroba. Dari Tabel 12, karbon lebih banyak terkandung pada serasah daun karet yaitu 54.95% , selanjutnya kompos bokashi sebesar 26.64%, dan paling kecil pada tanah sebesar 5.98%. Unsur karbon banyak terkandung pada bahan-bahan yang kering, seperti serasah daun karet. Kompos bokashi mengandung unsur Nitrogen (N), yaitu sebesar 0.83%, tanah sebesar 0.61%, dan serasah daun karet sebesar 0.35%. Fosfor banyak terdapat pada kompos bokashi, yaitu sebesar 0.36%, sedangkan pada tanah sebesar 0.16%, dan pada serasah daun karet sebesar 0.18%. Persentase C/N paling besar terkandung pada serasah daun karet, yaitu sebesar 157. kompos bokashi hanya mengandung 32.09, dan tanah memiliki C/N yang paling kecil, yaitu 9.2. Tabel 12. Kandungan C, N, dan P Tanah, Kompos Bokashi, dan Serasah Daun Karet. Bahan Pengisi C (%) N (%) P (%) C/N 5.98 0.65 0.16 9.20 Tanah Kompos Bokashi
26.64
0.83
0.36
32.09
Serasah Daun Karet
54.95
0.35
0.18
157.00
Tabel 13. Kandungan C, N, dan P komposisi bahan pengisi Perlakuan C (%) N (%) P (%) C/N 29.19 0.61 0.23 47.85 K111 K112
35.63
0.55
0.22
64.78
K121
28.55
0.66
0.27
43.26
K122
33.83
0.60
0.25
56.38
K211
23.38
0.62
0.22
37.70
K212
29.70
0.57
0.21
52.11
K221
24.04
0.66
0.24
36.42
Untuk komposisi bahan pada Tabel 13, perlakuan K112 mengandung jumlah Karbon paling besar dibandingkan dengan perlakuan lain yaitu sebesar 35.63%, perlakuan yang memiliki jumlah serasah daun karet yang lebing banyak cenderung memiliki kandungan karbon yang lebih tinggi. Hal tersebut terlihat pada jumlah karbon pada K112, K122, dan K212 memiliki jumlah karbon yang lebih banyak dibandingkan yang perlakuan yang lain. Perlakuan dengan jumlah nitrogen paling banyak terdapat pada K121 dan K221 yaitu sebesar 0.66%. Tingginya jumlah nitrogen ini karena pada perlakuan tersebut memiliki jumlah kompos bokashi yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah serasah daun karet. Begitu juga dengan jumlah Fosfor, perlakuan dengan jumlah kompos bokashi yang lebih banyak maka akan menambah kandungan jumlah fosfor pada komposisi tersebut yaitu K121 sebesar 0.27%, K122 0.25 %, dan K221 0.24%. Rasio C dan N yang paling besar terdapat pada K112, yaitu 64.78. Perlakuan dengan penambahan jumlah serasah akan meningkatkan jumlah rasio C/N yang dikandung oleh komposisi tersebut. Hal itu terlihat pada perlakuan K112, K122, dan K212 memiliki C/N lebih besar dibandingkan perlakuan lain.
31
B. WATER HOLDING CAPACITY BAHAN PENGISI Parameter terpenting dalam uji ini adalah untuk mengetahui seberapa besar daya genggam (holding capacity) fisik bahan terhadap air. Penyerapan bahan terhadap air berpengaruh pada daya ketahanan bahan menyimpan air, hal tersebut akan terkait dengan kelarutan gas pada proses absorpsi dalam bahan pengisi. Hirai et al. (2001) menyatakan bahwa bahan pengisi mempunyai daya ikat maksimum terhadap air, hal ini dipengaruhi oleh ukuran diameter pori dan porositas bahan sehingga mempengaruhi kapasitas penghilangan polutan secara fisik. Bahan pengisi yang memiliki pori-pori yang kasar akan lebih cepat menyerap air, tetapi akan lebih cepat kehilangan air juga. Hal ini menunjukkan bahwa bahan dengan pori kasar memiliki kemampuan memegang air (Water Holding Capacity) yang kecil dibandingkan dengan bahan pengisi yang yang memiliki pori lebih halus. Penurunan WHC pada bahan dapat dilihat pada Gambar 12 dan 13 serta persamaan regresinya pada Tabel 14 dan 15.
Penurunan WHC (g air/g bahan kering)
7.00 6.00 5.00 4.00
Tanah
3.00
Kompos Bokashi
2.00
Serasah Daun Karet
1.00 0.00 0
5
10
15
20
25
Jam ke
Gambar 12. WHC bahan pengisi
Pada gambar 12 terlihat bahwa tanah dan kompos bokashi memiliki nilai WHC yang lebih baik dibandingkan dengan serasah daun karet. Hal itu terlihat dari grafik penurunan WHC serasah daun karet yang terlalu curam dan memiliki nilai konstanta pada variabel x yang lebih kecil dibandingkan dengan tanah dan kompos bokashi, yaitu -0.15 (Tabel 14). Kondisi ini menunjukkan bahwa tanah dan kompos bokashi lebih banyak memegang air pada jam ke 0 hingga jam ke 6.
Tabel 14. Nilai Regresi Eksponensial WHC bahan pengisi Perlakuan Persamaan Regresi Eksponensial y = 2.183e-0.11x Tanah Kompos Bokashi Serasah Daun Karet
R2 0.940
y = 6.244e-0.11x
0.974
-0.15x
0.960
y = 2.275e
Berdasarkan Gambar 13 grafik WHC campuran bahan pengisi (g air /g bahan kering) terhadap waktu (jam) diperoleh hasil dari regresi eksponensial (Tabel 15), terlihat bahwa perlakuan K112, K122, dan K212 secara berurutan mempunyai nilai konstanta terhadap variabel x yang lebih tinggi, yaitu -0.11, -0.9, dan -0.10. Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya penambahan serasah daun karet akan meningkatkan nilai WHC dari komposisi bahan pengisi.
32
Penambahan jumlah tanah dan kompos juga akan meningkatkan nilai WHC, tetapi hanya sedikit jika dibandingkan dengan serasah daun karet. Semakin besar nilai konstanta terhadap variabel x maka nilai WHC perlakuan tersebut semakin baik.
3.50
Penurunan WHC (g-air/g- bahan kering)
3.00 K111
2.50
K112 2.00
K121 K122
1.50
K211
1.00
K212
0.50
K221
0.00 0
5
10
15
20
25
Jam ke
Gambar 13. WHC campuran bahan pengisi
Tabel 15. Perbandingan Regresi Eksponensial WHC campuran bahan pengisi Perlakuan Persamaan Regresi Eksponensial R2 -0.16x y = 3.423e 0.992 K111 K112
y = 2.469e-0.11x
0.990
K121
-0.15x
y = 3.319e
0.994
K122
y = 2.446e-0.09x
0.991
K211
-0.15x
0.997
K212
-0.10x
y = 2.139e
0.989
K221
y = 2.865e-0.15x
0.992
y = 3.211e
Berdasarkan nilai R2 dan trend grafik yang terbentuk dapat dikatakan perlakukan K211, K121, K111, dan K221 akan mengalami penurunan WHC yang lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan K112, K122, dan K212. Komposisi dengan jumlah bahan pengisi tanah dan kompos bokashi yang lebih banyak maka akan lebih cepat pula menyerap air, tetapi memiliki kelemahan yaitu lebih cepat pula melepas air yang dikandungnya. Komposisi dengan jumlah serasah daun karet yang lebih besar menunjukkan lebih lama menyerap air, tetapi komposisi ini akan lebih memiliki nilai WHC yang lebih tinggi. Pori-pori bahan pengisi tanah dan kompos bokashi lebih kasar dibandingkan dengan poripori yang dimiliki serasah daun karet. Dengan adanya komposisi ini maka daya WHC yang dimiliki oleh bahan pengisi akan menjadi lebih baik. Berdasarkan lamanya waktu penurunan mulai jam ke 0 – 24 komposisi K122 memiliki nilai WHC yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain, yaitu sebesar 0.26 g-air/g-bahan kering. Hal ini menunjukkan bahwa adanya serasah daun karet yang besar maka akan memperbaiki daya WHC dalam komposisi tersebut.
33
C. AMMONIA HOLDING CAPACITY BAHAN PENGISI Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan bahan untuk mempertahankan/memegang gas pulutan NH3 (Ammonia Holding Capacity) yang diserapnya. Komposisi bahan yang memiliki nilai AHC yang tinggi akan sangat baik jika digunakan sebagai bahan pengisi. Bahan pengisi yang memiliki daya WHC yang tinggi akan cenderung memiliki nilai AHC yang tinggi (Gambar 14 dan Tabel 16).
0.05 Tanah Kompos Bokashi
0.03
Serasah Daun Karet
0.02 0.01 0.00 -0.01 1
2
3
4
5
6
7
Jam ke
-0.02 -0.03 Gambar 14. AHC bahan pengisi
Tabel 16. Regresi Linear AHC bahan pengisi Persamaan Regresi Linear R2 y = -0.002x + 0.018 0.824
Perlakuan Tanah Kompos Bokashi
y = -0.002x - 0.012
0.685
Serasah Daun Karet
y = -0.003x + 0.042
0.829
0.035
K111 0.030 Penurunan AHC (g-N/g-bahan kering)
Penurunan AHC (g-N/g-bahan kering)
0.04
K112 K121
0.025
K122 0.020
K211
0.015
K212 K221
0.010 0.005 0.000 1
2
3
4
5
6
7 Jam ke
Gambar 15. AHC campuran bahan pengisi
34
Tabel 17. Regresi Eksponensial AHC campuran bahan pengisi Perlakuan Persamann Regresi Eksponensial R2 -0.19x y = 0.023e 0.956 K111 K112
y = 0.031e-0.09x
0.846
K121
y = 0.022e
-0.15x
0.931
y = 0.025e
-0.11x
0.870
y = 0.022e
-0.15x
0.870
y = 0.025e
-0.07x
0.861
y = 0.028e
-0.11x
0.962
K122 K211 K212 K221
Berdasarkan Gambar 15 grafik AHC terlihat bahwa perlakuan K112, K122, dan K212 lebih cepat konstan dibandingkan dengan perlakuan K111, K121, K211, dan K221. Selain itu pada gambar tersebut juga terlihat bahwa pada perlakuan K112 dan K212 memiliki nilai konstanta variabel x yang lebih tinggi yaitu -0.09 dan -0.07, sehingga nilai AHC lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, yaitu 0.019 dan 0.018 g-N/g-bahan kering (Tabel 17). Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya penambahan serasah daun karet maka akan meningkatkan nilai AHC pada perlakuan. Serasah daun karet memiliki pori-pori yang lebih halus dibandingkan tanah dan juga kompos bokashi. Nilai AHC tersebut menunjukkan seberapa lama dan seberapa besar kemampuan bahan pengisi mampu menyerap gas polutan yang tertangkap oleh pori-pori bahan tersebut.
0.09
Amoniak Nitrogen (g-N/g-bahan kering)
0.08 0.07 0.06 0.05 0.04 0.03 0.02 0.01 0.00 K111
K112
K121 K122 K211 Komposisi Bahan Pengisi
K212
K221
Gambar 16. AHC campuran bahan pengisi setelah 24 jam
Selanjutnya semua sampel pada bahan pengisi dilakukan pengujian kadar amoniak nitrogen (NH3-N) (Lampiran 5). Seperti terlihat pada Gambar 16, hasil tersebut menunjukkan bahwa masing-masing komposisi memiliki perbedaan yang nyata pada kandungan amoniak nitrogennya setelah dibiarkan selama 24 jam dalam ruangan terbuka. Semakin tinggi nilai AHC suatu bahan pengisi maka nilai amoniak nitrogennya juga akan tinggi.
35
Komposisi K112, K122, dan K212 juga memiliki kadar amoniak nitrogen (NH 3-N) yang lebih besar dibandingkan dengan komposisi lainnya, yaitu 0.083, 0.081, dan 0.081 g-N/g-bahan kering. Jumlah amoniak nitrogen terkecil terdapat pada komposisi K111, yaitu sebesar 0.042 gN/g-bahan kering karena komposisi ini memiliki nilai AHC yang rendah.
D. DAYA SERAP BAHAN PENGISI TERHADAP GAS NH3 Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa banyak bahan pengisi tersebut mampu menyerap polutan NH3 dan berapa lama bahan pengisi tersebut jenuh. Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa bahan pengisi tersebut akan mengalami kejenuhan pada rentang waktu 5 – 6 jam. Penyerapan gas polutan amoniak terhadap bahan dapat dilihat pada Gambar 17 dan 18 serta persamaan regresinya pada Tabel 18 dan 19. Gambar 17 menunjukkan bahwa serasah daun karet memiliki tingkat penyerapan yang sangat baik dibandingkan dengan tanah dan kompos bokashi, tetapi mengalami waktu konstan yang lebih cepat. Hal tersebut kemungkinan disebabkan olaeh banyaknya kandungan karbon yang dimiliki oleh serasah daun karet lebih besar dibandingkan dengan tanah dan kompos bokashi, yaitu sebesar 54.94% sehingga mudah berikatan dengan NH3 yang diserap oleh bahan tersebut.
Penyerapan NH3 ( g-N/g-bahan kering)
0.07
Tanah
0.06 0.05
Kompos Bokashi
0.04 0.03
Serasah Daun Karet
0.02 0.01 0.00 1
2
3
4
5
6
7
Jam ke
Gambar 17. Penyerapan NH3 bahan pengisi
Tabel 18. Nilai Regresi Linear penyerapan NH3 bahan pengisi Perlakuan Persamaan Regresi Linear R2 y = 0.003x + 0.029 0.882 Tanah Kompos Bokashi
y = 0.005x + 0.032
0.873
Serasah Daun Karet
y = 0.004x + 0.023
0.853
Tabel 19 dan Gambar 18 menunjukkan penyerapan komposisi bahan pengisi terhadap gas polutan NH3. Tingkat penyerapan dari masing-masing komposisi untuk jam ke 1 berbeda-beda. Jika diurutkan dari tingkat penyerapan jam ke 1 dari yang terbesar sampai yang terkecil adalah sebagai berikut: K122 = K212 > K121 > K112 = K221 > K211 > K111. Pada saat daya serap bahan jenuh banyaknya polutan NH3 yang terserap urutan dari yang terbesar hingga yang terkecil
36
Penyerapan NH3 ( g-N/g-bahan kering)
adalah sebagai berikut: K122 > K212 > K121 > K112 > K221 > K211 > K111. Perlakuan K211, K122, K211, K221 lebih cepat mengalami kejenuhan dibandingkan perlakuan K111, K112, dan K212.
0.050 0.045 0.040 0.035 0.030 0.025 0.020 0.015 0.010 0.005 0.000
K111 K112 K121 K122 K211 K212 K221
1
2
3
4
5
6
7 Jam ke
Gambar 18. Penyerapan NH3 campuran bahan pengisi Tabel 19. Nilai Regresi Power penyerapan NH3 campuran bahan pengisi Perlakuan Persamaan Regresi Power R2 0.513 y = 0.014x 0.964 K111 K112
y = 0.028x0.183
0.976
K121
0.208
0.938
0.228
0.961
0.319
0.973
0.186
0.941
0.191
0.937
K122 K211 K212 K221
y = 0.028x y = 0.030x y = 0.022x y = 0.030x y = 0.028x
Secara umum terlihat bahwa pada perlakuan dengan jumlah serasah daun karet lebih banyak akan menyerap lebih banyak pula gas pulutan NH3. Perlakuan dengan jumlah serasah daun karet yang sedikit maka akan sedikit juga jumlah gas polutan NH3 yang diserap oleh bahan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan antara perlakuan K122 dan K212 yang memiliki daya serap lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan lain. Ini menunjukkan bahwa jumlah serasah daun karet memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan daya serap bahan pengisi. Perlakuan dengan jumlah tanah lebih banyak memiliki daya serap yang rendah dibandingkan dengan komposisi perlakuan dengan jumlah tanah yang lebih sedikit. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pori-pori halus yang dimiliki serasah daun karet lebih banyak menyerap gas polutan NH3 dibandingkan dengan pori-pori kasar yang dimilki oleh tanah dan kompos bokashi. Berdasarkan uji kadar amoniak nitrogen (NH3-N) bahwa bahan pengisi yang memiliki tingkat kejenuhan yang tinggi maka akan memiliki kandungan amoniak nitrogen yang tinggi Gambar 19.
37
1.60 N-NH3 (g-N/g-bahan kering)
1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00
K111
K112 K121 K122 K211 Komposisi Bahan Pengisi
K212
K221
Gambar 19. Jumlah amoniak dalam campuran bahan pengisi pada kondisi jenuh
Besarnya amoniak nitrogen komposisi bahan pengisi tersebut adalah K111 0.726 g-N/gbahan kering, K112 1.291 g-N/g-bahan kering, K121 1.349 g-N/g-bahan kering, K122 1.430 gN/g-bahan kering, K211 1.276 g-N/g-bahan kering, K212 1.360 g-N/g-bahan kering, dan K221 0.865 g-N/g-bahan kering (Lampiran 6). Bahan pengisi dengan jumlah serasah daun karet lebih banyak cenderung memiliki daya serap yang tinggi terhadap polutan NH 3. Hal ini akan sebanding lurus dengan jumlah amoniak nitrogen yang diserap oleh bahan pengisi tersebut. Jika penambahan jumlah serasah daun karet diikuti dengan penambahan tanah atau kompos bokashi maka jumlah polutan yang diserap juga akan semakin banyak, tetapi lebih banyak tingkat penyerapannya jika diikuti penambahan kompos bokashi. Perbandingan kapasitas penyerapan N dari beberapa sumber dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Perbandingan Kapasitas Penyerapan Berdasarkan Komposisi Bahan Pengisi Bahan Perbandingan Kapasitas Penyerapan N (gSumber N/kg bahan kering/hari Tanah:arang sekam:kompos
1:1:0.2
0.167
Aditya 2008
Tanah:arang sekam:serasah
2:1:1
101.03
Saputra 2008
1:1:2
90.89
Saputra 2008
1:1:0.5:0.5
194.78
Saputra 2008
2:1:1
30.7
Purnamasari 2008
1:2:1
27.3
Purnamasari 2008
2:2:1
28.5
Purnamasari 2008
daun karet Tanah:arang sekam:kompos Tanah:arang sekam:kompos:serasah daun karet Kompos bokashi:arang sekam:serasah daun karet Kompos bokashi:arang sekam:serasah daun karet Kompos bokashi:arang sekam:serasah daun karet
38
E. BIAYA BAHAN PENGISI Faktor ekonomi menjadi salah satu faktor yang harus juga diperhatikan dalam penentuan pemilihan bahan pengisi. Salah satu faktornya adalah bahan pengisi yang dipergunakan harus murah dan mudah didapat. Jika harga bahan pengisi tersebut murah dan mudah memperolehnya maka penggunaan bahan tersebut dalam skala besar tidak akan mengalami kesulitan. Dari ketiga jenis bahan yang dipergunakan yaitu tanah, kompos bokashi, dan serasah daun karet, hanya kompos bokashi yang harus dibeli. Harga kompos bokashi untuk satu karung dijual dengan harga sekitar Rp. 15.000,- sehingga hal ini menjadi perhatian khusus untuk aplikasi skala lapangan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa, tanah dan serasah daun karet dapat diperoleh tanpa harus membeli. Misalnya, jika perusahaan pengolahan karet akan menggunakan bahan-bahan ini di dalam penanganan limbah amoniaknya maka tanah dan serasah daun karet yang akan dipergunakan sudah tersedia secara alami di perkebunan karetnya. Beberapa permasalahan yang timbul dari penggunaan bahan anorganik adalah biaya yang cukup tinggi karena harga media memang cukup mahal, serta belum tersedianya nutrient secara alami pada bahan tersebut. Bahan pengisi organik adalah bahan pengisi biofilter yang berasal dari residu-residu bahan alami misalnya tanah, kompos, serasah daun, kulit kayu, sabut kelapa, gambut, kulit padi/sekam dan sebagainya (Cho et al. 2000). Bahan-bahan tersebut mudah diperoleh, murah, telah mengandung nutrient anorganik yang melimpah bagi kehidupan mikroorganisme serta telah ada mikroorganisme alami pada bahan tersebut.
F. UJI RANKING Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil bahwa media organik yang digunakan sebagai bahan pengisi mempunyai karakteristik yang berbeda-beda setelah dikombinasikan. Dalam penelitian ini terdapat perbedaan hasil terhadap kandungan amoniak nitrogen yang diserap oleh bahan pengisi. Untuk menentukan komposisi mana yang memiliki karakteristik terbaik perlu dilakukan perbandingan parameter pada masing-masing perlakuan dengan metode ranking yang berdasarkan data yang diperoleh seperti data kadar air, porositas, densitas, pH, water holding capacity, ammonia holding capacity, kapasitas penyerapan N, dan harga total bahan. Perbandingan dari parameter-parameter tersebut adalah dengan cara metode ranking atau pemberian urutan. Metode ranking dilakukan dengan cara memberikan nomor urut dimulai dari angka 1, yaitu komposisi dengan hasil pengukuran karakteristik terbaik, seterusnya dilakukan hingga parameter uji yang telah ditentukan. Berdasarkan uji ranking terlihat bahwa secara keseluruhan uji yang dilakukan kompos bokashi lebih baik dibandingkan dengan serasah daun karet dan tanah (Tabel 21). Jika diurutkan maka kompos bokashi lebih baik dari serasah daun karet dan tanah. Kompos bokashi memiliki hasil pengujian densitas sebesar 0.41 g/cm3, porositas 34%, kadar air 56%, pH 7.4, rasio C/N 32, WHC 0.50 g-air/g-bahan kering, AHC -0.024 g-N/g-bahan kering, kapasitas penyerapan NH3 setelah dibiarkan di ruang terbuka 0.039 g-N/g-bahan kering, dan kapasitas penyerapan NH3 pada saat jenuh 0.97 g-N/g-bahan kering. Berdasarkan uji ranking yang telah dilakukan menunjukkan bahwa komposisi K122 memiliki nilai terkecil (Tabel 22). Hal ini berarti perlakuan dengan bahan pengisi tanah, kompos bokashi, dan serasah daun karet dengan perbandingan 1:2:2 mempunyai karakteristik terbaik dibandingkan dengan komposisi lainnya. Perlakuan ini memiliki hasil yang baik pada pengujian
39
densitas 0.13 g/cm3, porositas 83%, kadar air 34%, pH 6.8, rasio C/N 56, WHC 0.26 g air/g bahan kering, AHC 0.014 g-N/g-bahan kering, kapasitas penyerapan NH3 setelah dibiarkan di ruang terbuka 0.081 g-N/g-bahan kering, kapasitas penyerapan NH3 pada saat jenuh 1.43 g-N/g-bahan kering. Perlakuan terbaik berikutnya setelah K122 adalah pada perlakuan K212 dan K112 terlihat memiliki nilai yang sama, hal tersebut menunjukkan bahwa adanya penambahan tanah tidak berpengaruh terhadap kualitas karakteristik komposisi. Sebaliknya dengan penambahan kompos bokashi dan juga serasah daun karet akan meningkatkan kualitas karakteristik komposisi.
40
Tabel 21. Uji Ranking Bahan Pengisi Parameter
Nilai Parameter Tanah
Ranking
Densitas (g/cm3)
(semakin kacil semakin baik)
0.56
Kompos Bokashi 0.41
Porositas (%) Kadar air (%) pH Rasio C/N WHC (g-air/g-bahan kering) AHC (g-N/g-bahan kering)
(semakin besar semakin baik) (40-60%) (6 – 8) (semakin kecil semakin baik) (semakin besar semakin baik) (semakin besar semakin baik)
25.09 37.67 4.1 9.2 0.18 0.007 0.018
34.28 56.67 7.4 32.09 0.50 -0.024 0.039
94.54 9.67 6.3 157 0.07 0.023 0.031
3 2 2 1 2 2 2
2 1 1 2 1 3 1
1 3 1 3 3 1 1
0.578
0.970
0.587
2
1
2
0*
0.5*
0* Jumlah Ranking
1 20 3
2 16 1
1 17 2
Kapasitas penyerapan NH3 (g-N/g-bahan kering) setelah dibiarkan di ruang terbuka (semakin besar semakin baik) Kapasitas penyerapan NH3 (g-N/g-bahan kering) pada saat jenuh (semakin besar semakin baik) Estimasi biaya* (semakin murah semakin baik)
Serasah Daun Karet 0.04
Tanah 3
Kompos Bokashi 2
Serasah Daun Karet 1
Catatan : *Diasumsikan harga tanah dan sarasah daun karet Rp.0,- (karena tidak harus dibeli) Harga kompos bokashi di dapat dari : Harga 30 kg = Rp.15.000,Harga 1 g = Rp. 0.5,-
41
Tabel 22. Uji Ranking Komposisi Bahan Pengisi Parameter
Densitas (g/cm3) (semakin kacil semakin baik) Porositas (%) (semakin besar semakin baik) Kadar air (%) (40-60%) pH (6 – 8) Rasio C/N (semakin kecil semakin baik) WHC (g air/g bahan kering) (semakin besar semakin baik) AHC (g-N/g-bahan kering) (semakin besar semakin baik) Kapasitas penyerapan NH3 (gN/g-bahan kering) setelah dibiarkan di ruang terbuka (semakin besar semakin baik) Kapasitas penyerapan NH3 (gN/g-bahan kering) pada saat jenuh (semakin besar semakin baik) Estimasi biaya (semakin murah semakin baik)
Nilai Parameter
Ranking
K111
K112
K121
K122
K211
K212
K221
0.17
0.12
0.16
0.13
0.21
0.14
0.21
55.58
91.49
68.59
82.58
51.75
81.15
32.67
29.25
39.33
34.27
35.50
6.4
6.4
6.9
6.8
47.85
64.78
43.26
0.05
0.17
0.008
K111
K112
K121
K122
K211
K212
K221
2
1
2
1
3
1
3
53.87
3
1
2
1
3
1
3
31.07
40.27
3
3
1
2
2
3
1
6.3
6.4
6.7
1
1
1
1
1
1
1
56.38
37.7
52.11
36.42
2
3
2
3
1
3
1
0.07
0.26
0.08
0.21
0.07
4
3
4
1
4
2
4
0.019
0.010
0.014
0.010
0.018
0.015
2
1
2
1
2
1
1
0.042
0.083
0.074
0.081
0.065
0.081
0.070
3
1
2
1
2
1
2
0.726
1.291
1.349
1.430
1.276
1.360
0.865
3
2
1
1
2
1
3
0.5
0.5
1
1
0.5
0.5
1
1
1
2
2
1
1
2
Jumlah
24
17
19
14
21
15
21
Ranking
6
3
4
1
5
2
5
42
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Pengkombinasian bahan dengan urutan tanah, kompos bokashi, dan serasah daun karet, yaitu K111, K112, K121, K122, K211, K212, dan K221. Dari setiap parameter uji yang dilakukan yaitu uji kadar air, densitas, porositas, pH, water holding capacity, ammonia holding capacity, rasio C/N dan kapasitas penyerapan N menunjukkan hasil yang berbeda. Kompos Bokashi dan serasah daun karet menunjukkan pengaruh yang sangat signifikan untuk berbagai parameter uji yang dilakukan. Secara keseluruhan uji, kompos bokashi lebih baik dibandingkan dengan serasah daun karet dan tanah. Uji ranking menunjukkan bahwa komposisi K122 mempunyai karakteristik terbaik dibandingkan dengan komposisi lainnya. Perlakuan ini memiliki hasil yang baik pada pengujian densitas 0.13 g/cm3, porositas 83%, kadar air 34%, pH 6.8, rasio C/N 56, WHC 0.26 g air/g bahan kering, AHC 0.014 g-N/g-bahan kering, kapasitas penyerapan NH3 setelah dibiarkan di ruang terbuka 0.081 g-N/g-bahan kering, kapasitas penyerapan NH3 pada saat jenuh 1.43 g-N/g-bahan kering.
B. SARAN Perlu pengkajian lebih lanjut untuk mengetahui karakteristik bahan pengisi secara biologi dan bioteknologi dengan menggunakan mikroorganisme tertentu agar dapat diaplikasikan untuk biofilter skala lapangan dalam penanganan polutan NH3.
DAFTAR PUSTAKA Aditya R. 2008. Penghilangan H2S dan NH3 dengan Teknik Biofilter pada Gudang Penyimpanan Leum Pabrik Karet. Skripsi. Program Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Agustiyani D, Hartati I, Erni NF, dan Oedjijono. 2004. Pengaruh pH dan Substrat Organik Terhadap Pertumbuhan dan Aktivitas Bakteri Pengoksidasi Amoniak. J. of Biodiversitas. 5 (2): 43-47. Andrews WA. 1972. Environmental Pollution. Prentice Hall, Inc., New Jersey. Anonim. 2010. MSDS Amoniak. Hasil Kunjungan ke http://www.pupukkaltim.com/ img/images//page/MSDS%20Amoniak.pdf pada tanggal 25 Desember 2010. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemist. Washington.Andrews, W.A. 1972. Environmental Pollution. Prentice Hall, Inc., New Jersey. BAPEDAL. 1999. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. Catatan Kursus pengelolaan Kualitas Udara. Jakarta. Busca G and Piostarino C. 2003. Abatement of Ammonia and Amines from Waste Gases. A Summary. J. of Loss Prevention in the Process Industries. 16: 157-63. Canter LW. 1977. Environmental Impact Assesment. McGraw-Hill Book Company, New York. Cho KS, Ryu HW, and Lee NY. 2000. Biological deodorization of hydrogen sulfide using porous lava as a carrier of Thiobacillus thiooxidans. Journal of Biosciensce and Bioengineering. 90(1):2531. Cosico WC. 1985. Organic fertilizer. Their Nature Properties and Use. University of The Philipines at Los Banos. Degorce-Dumas JR, Kowal S, and Le Cloirec P. 1997. Microbiological oxidation of hydrogen sulphide in a biofilter. Can. J. Microbiol. 43:264- 271. Devinny JS, Deshusses MA, and Webster TS. 1999. Biofiltration for Air Pollution Control. Lewis, New York. Djaja W. 2008. Langkah Jitu Membuat Kompos. Agromedia. Jakarta. Djatmiko B, Ketaren S, dan Setyahartini S. 1985. Pengolahan Arang dan Kegunaanya. Agroindustry press. Teknologi Industri Pertanian. IPB. Bogor. Esoy A, Odegaard H, and Bentzen G. 1998. The Effect of Sulphide and Organic Matter on the Nitrification Activity in Biofilm Process. Water Science Technology. 37 (1): 115-122. Gokce, Cemal E, Sinan G, Serdar A, and Semiha A. 2009. Comparison of Activated Carbon and Pyrolyzed Biomass for Removal of Humic Acid from Aqueous Solution. The Open Environmental Pollution & Toxicology J. 1: 43-48. Harada Y, Haga K, Osada T, and Koshino M. 1993. Quality of Compost Produced From Animal Wastes. Ibaraki, Jepang. Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah. Akademika Presindo. Jakarta. Hehanusa PE. 1986. Hujan Asam, Hakekat dan Dampak terhadap Lingkungan. Panel Diskusi Pengamanan Sumberdaya Air dari Kemungkinan Hujan Asam. KLH-ASAI. Jakarta.
44
Hirai M, Kamamoto M, Yani M, and Shoda M. 2001. Comparison of the biological H2S removal characteristics among four inorganic packing materials. Journal of Biosciensce and Bioengineering. 91(4):396-402. Janni KA, Jacobson LD, Bicudo JR, Schmit DR, Guo H, and Koehler RG. 2000. Livestock and poultry odor workshop 1 : Emmisions, Measurement, Control. Deptartement of Biosystems and Agricultural Engineering and Extension Servise. St. Paul. Jenie BSL, dan Rahayu WP. 2004. Penanganan Limbah Industri Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. KepMen LH No. 50/MENLH/11/1996 tentang Baku Mutu Tingkat Kebauan. Himpunan Perundangundangan di Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pengendalian Dampak Lingkungan Era Otonomi Daerah. Kementerian Lingkungan Hidup. Keputusan Menteri. 1996. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep. 50/MENLH/11/1996.Tentang Baku tingkat kebauan. Himpunan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 13/MENLH/1995. Tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Untuk Jenis Kegiatan Lain. Himpunan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press, Jakarta. Kleinjan W. 2005. Biologically Produced Sulfur Particels and Polysulfide ions. Wageningen University. Wgeningen. Krisnayya NSR and Bedi SJ. 1986. Responses of Woody Plants to Environmental Pollution. Part I. Sources, Types of Pollutants and Plant Responses. For. Abstr. 47 : 5 – 51. Lens P and Pol LH. 2000. Environmental Technologies To Treat Sulfur Pollution. IWA Publishing. London. Liang Y, Quan X, Chen J, Chung JS, Chen S, Xue D, and Zhao Y. 2000. Long Term Result of Ammonia Removal and Transformation by Biofiltration. Journal of Hazardous Materials (B80) 259-269. Mattjik AA. dan Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan aplikasi SAS dan Minitab Jilid 1. IPB Press : Bogor. Notohadiprawiro. 1999. Tanah dan Lingkungan. Dirjen Pendidikan Tinggi Depdikbud. Jakarta. Nurcahyani PR. 2010. Penghilangan Polutan Gas Amoniak dengan Biofilter Skala Pilot. Studi Kasus: PTPN VIII Pabrik Karet Cikumpay, Purwakarta, Jawa Barat. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Osmoniscs, Inc. 2000. Activated Carbon. Osmonics, Inc. http://www.osmonics.com/products/ page842.htm. [20 Juni 200]. Ottengraf SPP. 1986. Exhaust Gas Purification; Rehm HJ, and Reed G [Editor]. Biotechnology. 8th Ed. VCH. Tokyo. 426-451. Pari G. 1995. Pembuatan dan Karakteristik Arang Aktif dari Kayu dan Batubara. Tesis Program Pasca Sarjana Magister Sains Kimia, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Perry RH, and Green D. 1999. Perry’s Chemical Engineerings Hand Book 5th ed. Mc Graw-Hill Book Company . New York.
45
Purnamasari H. 2008. Aplikasi Teknik Biofilter untuk Penghilangan Gas NH3 Oleh Bakteri Nitrosomonas sp dengan Menggunakan Bahan Pengisi Kompos, Arang Sekam, dan Serasah di Pabrik Lateks Pekat. Skripsi. Program Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rao CS. 1992. Environmental Pollution Control Engineering. Wiley Eastern Limited, New Delhi. 431 p. Rossi M, Gianazza M, Alamprese C, and Stanga F. 2003. The Role of Bleaching Clays and Synthetic Silica in Palm Oil Physical Refining. Food Chem 82 : 291-296. Saeni MS. 1989. Kimia Lingkungan. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Saputra F. 2008. Penggunaan Bahan Pengisi Tanah, Kompos, Arang Sekam dan Serasah Dengan Teknik Biofilter untuk Menghilangkan NH3 pada Ruang Produksi Lateks Pekat. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Sawyer CN dan McCarty PL. 2003. Chemistry For Environmental Engineering and Science, Fifth Edition. New York. Mc. Graw Hill. Setyaningsih H. 1995. Pengolahan Limbah batik dalam Proses Kimia dan Adsorpsi Karbon Aktif. Tesis Program Pascasarjana. Universitas Indonesia, Jakarta. Soemirat J. 2002. Kesehatan Lingkungan. Gadjah Mada University. Yogyakarta. Sun Y, Clanton CJ, Janni KA, and Malzer GL. 2000. Sulfur and nitrogen balance in biofilters for odorous gas emission control. American Society of Agricultural Engineers. 43(6):1861-1875. Sutamihardja RTM. 1985. Dampak pada Udara dan Kebisingan. Bahan Kuliah Kursus AMDAL, PUSDI-PSL-IPB, Bogor. Sutedjo M, Kartasapoetra AG, dan Sastroatmodjo S. 1991. Mikrobiologi Tanah. Rineka Cipta. Jakarta. Trismilah dan Sumaryanto. 2005. Pengaruh Kadar Nitrogen dalam Media pada Pembuatan Protease Menggunakan Bacillus megaterium DSM 319. J. Ilmu Kefarmasian Indonesia. 3(1) : 9-12. Walpole RE. 1995. Pengantar Statistika. Ed ke-3. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Walstra P. 2003. Physical Chemistry of Foods. Marcel Dekker, Inc. New York. Wudianto R. 1996. Membuat Stek, Cangkokan dan Okulasi. Penebar Swadaya. Jakarta. Yani M. 1999. Study of Ammonia Removal by Nitrifying Bacteria. PhD Thesis, Tokyo Institute of Technology. Tokyo. Yuwono AS. 2003. Odour Pollution in the Environment: Detection of Biogenic Odour Emissions Using a QCM Sensor Array-Based Instrument. Phd Dissertation. University of Bonn, Germany. Yuwono AS, dan Gardjito. 2005. Identifikasi Gas Polutan dari TPA Sampah Perkotaan dan Biodegradasinya dengan Menggunakan Sistem Biofiltrasi. Laporan akhir Penelitian Projek Due-Like. Institut Pertanian Bogor. http://www.agvise.com/waterholdingcapacity.html.[3 Juli 2010]. http://www.nature.com/nature/journal/V449/n7160/images/nature06144-f4.0.jpg. [11 Juni 2010].
46
LAMPIRAN
47
Lampiran 1. Metode Analisis Proksimat
1. Water Holding Capacity (WHC) (Modifikasi Agvise Laboratories). Pengujian WHC dilakukan dengan mengurangi berat bahan setelah ditambahkan air dengan berat bahan kering. Campuran bahan diberikan air sehingga semua permukaan bahan menjerap air. Banyaknya air yang dapat dijerap menunjukkan kemampuan bahan menahan air (Water Holding Capacity). Pengujian dilakukan setiap 3 jam sekali selama 24 jam.
2. Ammonia Holding Capacity (AHC) (Modifikasi Nurcahyani 2010). Pengujian AHC dilakukan dengan menjenuhkan bahan ke dalam wadah tertutup yang berisi larutan amoniak 12.5%. Wadah diisi dengan larutan amoniak yang diencerkan sampai 12.5% sebanyak 1 liter. Wadah dibuat tertutup sehingga tidak ada gas amoniak yang lepas ke udara. Pengukuran berat gas amoniak yang tertahan dalam bahan dilakukan setiap jam sampai bahan jenuh. Berat bahan yang menjerap amoniak dikurangi dengan berat awal bahan merupakan jumlah amoniak yang dapat ditahan oleh bahan. Bahan yang telah ditimbang di dalam cawan dimasukkan ke dalam wadah terebut dan dijenuhkan hingga bobot bahan konstan. Bahan yang telah jenuh selanjutnya ditambahkan asam borat 5% kemudian bahan didiamkan selama 30 menit agar asam borat dapat mengikat gas amoniak. Bahan kemudian diencerkan menggunakan aquadest dengan jumlah yang sama tiap bahannya. Selanjutnya, larutan disaring dengan kertas saring, dan diambil 25 ml kemudian dilakukan titrasi dengan menggunakan HCl 0.1 N sampai larutan berubah warna.
3. Pengukuran pH Pengukuran pH dari bahan pengisi dilakukan dengan menggunakan pH meter yang telah dikalibrasi dengan menggunakan larutan buffer standar. Sampel bahan pengisi direndam terlebih dahulu dengan penambahan aquadest untuk selanjutnya sampel disaring dan cairan yang dihasilkan langsung diukur dengan pH meter.
4. Pengukuran kadar air Cawan porselen dikeringkan dalam oven pada suhu 100-105oC selama 1 jam (sampai didapat berat konstan oven). Dinginkan cawan dalam desikator selama 30 menit setelah itu ditimbang. Contoh yang akan ditentukan kadar airnya ditimbang sebanyak satu gram per sampel. Cawan yang telah berisi contoh dimasukkan dalam oven bersuhu 100-105oC selama 5 jam sampai bobotnya konstan. Kadar air dihitung berdasarkan persamaan berikut : % 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑖𝑟 =
𝐵1−𝐵2 𝐵
𝑋 100%..............(1)
Ket. : B = Bobot contoh (g) B1 = Bobot (contoh + cawan) sebelum dikeringkan (g) B2 = Bobot (contoh + cawan) setelah dikeringkan (g) ( AOAC 1995)
48
5. Kadar Nitrogen Total Contoh diambil sebanyak 0,5 g dan dimasukkan ke dalam labu Kjedalh. Menambahkan serbuk selenium mikser sebanyak 1,9 g, 5 ml H 2SO4 pekat dan 5 tetes paraffin cair. Panaskan pada suhu 350oC selama 2 jam sampai warna kehijauan, setelah itu didinginkan dan tambahkan air aquadest 50 ml (AOAC 1995). Pindahkan ke dalam tabung destilasi dan tambahkan 100 ml aquadest, NaOH 50% 20 ml. Destilasi dan hasilnya dimasukkan ke dalam Erlenmeyer yang telah berisi larutan H3O3 1 % 10 ml, tambahkan 5 tetes indikator Konway sampai volume ± 100 ml. Hasil destilasi dititrasi dengan HCl yang sudah diketahui normalitasnya. Catat volume HCl yang dipakai untuk titrasi sampai berwarna merah.
6. Kadar Karbon Timbang cawan poselin kosong, catat beratnya. Menambahkan 5-10 g, timbang dan catat beratnya. Masukkan ke dalam oven 105oC selama 24 jam dan dinginkan, timbang beratnya. Masukkan movel dengan suhu 700oC selama 2 jam. Dinginkan dan timbang beratnya. Ket. : A = Berat cawan kosong B = Berat cawan dan contoh C = Berat cawan + contoh setelah dikeringkan pada suhu 105oC D = Berat cawan + contoh setelah dikeringkan pada suhu 700oC 𝐶−𝐷
%𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐾𝑎𝑟𝑏𝑜𝑛 = 𝐶−𝐴 ∶ 1,724 𝑋 100% ..............(2)
7.
Porositas Dengan Metode Gravimetri (Modifikasi Nurcahyani 2010) Pengujian total porositas dilakukan dengan menjumlahkan besar pori memegang air dan besar pori memegang udara. Masing-masing bahan pengisi diberikan air sehingga semua permukaan bahan menjerap air. Pada jam ke-1 dan jam ke-24 dilakukan pengujian bahan. Besar pori memegang air selama 1 jam menunjukkan banyaknya air yang masih dijerap setelah 1 jam, sedangkan besar pori memegang udara setelah 1 jam menunjukkan ruang pori untuk sirkulasi udara bahan campuran setelah 1 jam. Tujuannya adalah untuk mengetahui pori-pori (porositas) yang terdapat dalam sampel. Porossitas merupakan satuan yang menyatakan keporositasan suatu material yang dihitung dengan mencari persen (%) berdasarkan daya serap bahan terhadap air dengan perbandingan volume air yang diserap terhadap volume total sampel. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut : Porositas = Dimana :
(𝑚 𝑏−𝑚 𝑘) 𝜌𝑎𝑖𝑟 ×𝑉𝑡
mb Mk ρ Vt
× 100% ...........(3)
= = = =
massa basah (g) massa kering (g) massa jenis (g/cm3) volume total sampel (cm3)
49
8.
Densitas Densitas pada material didefinisikan sebagai perbandingan antara massa (m) dengan volume (V). Densitas dinyatakan dalam g/cm3 dan dilambangkan dengan ρ (rho). ρ=
𝑚
......................(4)
𝑉
m = massa (gr) V = Volume (cm3) ρ = Densitas (gr/cm3) Pengujian Porositas dan densitas Sampel-sampel yang telah diketahui ukuran massa dan volume setelah pengeringan, lalu dicelupkan ke dalam wadah yang berisi air dan direndam atau dibiarkan dengan tidak disentuh sampai mencaai berat jenuhnya ± 48 jam. Kemudian sampel dikeluarkan dan di lap dengan mengguanakan tissue bersih lalu langsung ditimbang untuk mendapatkan nilai massa basah. Kemudian dilakukan hal yang sama untuk setiap komposisi yang telah diberi kode yang berbeda untuk tiap sampel. Persentase porositas sampel dapat dihitung dengan persamaan (3) sedangkan untuk pengujian densitas sampel dapat dihitung dengan persamaan (4).
9. Analisis amoniak Metode titrasi merupakan metode untuk menganalisis amoniak bebas yang kandungannya lebih dari 2 mg/L. Titrasi ini menggunakan larutan standar berupa asam sulfat dan asam borat sebagai larutan penyangga yang sempurna. Asam borat yang bereaksi dengan amoniak di dalam destilat membentuk ion ammonium dan borat. NH3 + H3BO3 NH4+ + H2BO3Hal ini menyebabkan pH agak meningkat, tetapi pH terjaga dalam daerah yang dapat terjadi absorpsi amoniak oleh asam borat. Amoniak mungkin dapat diukur dengan titrasi balik dengan asam kuat seperti asam sulfat. Tetapi kenyataannya, asam mengukur jumlah dari ion borat yang terdapat dalam larutan. H2BO3- + H+ H3BO3 Ketika pH dari larutan asam borat menurun ke harga awal, sejumlah asam kuat sebanding dengan amonia yamg ditambahkan. Titrasi adalah yang paling mudah dihubungkan dengan metode potensiometri yang mengeleminasi kebutuhan akan indicator internal (Sawyer, 2003). Ammonium ini dititrasi dengan HCl 0.1 N dengan alat indikator hingga pH netral yang merupakan titik akhir titrasi. Adapun tahap-tahap prosedur yang dilakukan yaitu sebagai berikut: 1. sebanyak 50 ml aquadest dimasukkan ke dalam sampel. 2. sampel ditambahkan larutan buffer borat 5% sebanyak 1 ml per g bahan, diamkan selama 1 jam. 3. Sampel di saring, 4. Air hasil saringan diambil sebanya 25 ml, selanjutnya di tintrasi dengan HCl 0.1 N. Amoniak nitrogen (mg/L) = Dimana : A B N S
= = = =
𝐴−𝐵 𝑥𝑁𝑥14𝑥1000 𝑆
...................(5)
volume penitar HCl untuk destilat (ml) volume penitar HCl untuk blanko (ml) normalitas larutan penitar HCl volume destilat yang dititrasi (ml)
50
Lampiran 2a. Uji Densitas Bahan Ulangan
Kode (Tanah:Kompos Bokashi:Serasah Daun Karet)
Massa (g)
Volume (ml)
Densitas (g/ml)
Rata-Rata Densitas (g/ml)
1
K111
3
18
0.17
0.17
2
3
19
0.16
3
3
16
0.19
4
33
0.12
2
4
34
0.12
3
4
36
0.11
4
25
0.16
2
4
25
0.16
3
4
24
0.17
5
39
0.13
2
5
38
0.13
3
5
35
0.14
4
20
0.20
2
4
19
0.21
3
4
18
0.22
5
36
0.14
2
5
35
0.14
3
5
40
0.13
5
25
0.20
2
5
24
0.21
3
5
22
0.23
1
1
1
1
1
1
K112
K121
K122
K211
K212
K221
0.12
0.16
0.13
0.21
0.14
0.21
51
Lampiran 2b. Uji anova densitas bahan
Class fak1
Levels 7
Densitas Bahan The GLM Procedure Class Level Information Values K111 K112 K121 K122 K211 K212 K221 Number of observations 21 Densitas Bahan The GLM Procedure
Dependent Variable: respon Source Model Error Corrected Total
DF 6 14 20
Sum of Squares 0.02569524 0.00140000 0.02709524
R-Square 0.948330 Source fak1
DF 6
Source fak1
DF 6
Coeff Var 6.104651
Type I SS 0.02569524
Mean Square 0.00428254 0.00010000
Root MSE 0.010000 Mean Square 0.00428254
F Value 42.83
Pr > F <.0001
respon Mean 0.163810 F Value 42.83
Pr > F <.0001
Type III SS Mean Square F Value 0.02569524 0.00428254 42.83 Densitas Bahan The GLM Procedure Level of N respon fak1 Mean Std Dev K111 3 0.17333333 0.01527525 K112 3 0.11666667 0.00577350 K121 3 0.16333333 0.00577350 K122 3 0.13333333 0.00577350 K211 3 0.21000000 0.01000000 K212 3 0.13666667 0.00577350 K221 3 0.21333333 0.01527525
Pr > F <.0001
52
Lampiran 2c. Uji lanjut Duncan densitas Densitas Bahan The GLM Procedure NOTE:
Duncan's Multiple Range Test for respon This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 14 Error Mean Square 0.0001 Number of Means Critical Range
2 .01751
3 .01835
4 .01887
5 .01922
6 .01946
7 .01964
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N fak1 A 0.213333 3 K221 A A 0.210000 3 K211
D D D
B B B
0.173333
3
K111
0.163333
3
K121
C C C
0.136667
3
K212
0.133333
3
K122
0.116667
3
K112
53
Lampiran 3a. Uji Porositas Bahan Ulangan
Kode (Tanah:Kompos Bokashi:Serasah Daun Karet)
1
K111
Mb (g)
Mk (g)
Vt (ml)
ρ air (1 g/cm3)
Porositas (%)
12.51
3.12
18.00
1.00
52.17
2
12.86
3.06
19.00
1.00
51.58
3
13.21
3.13
16.00
1.00
63.00
37.73
4.35
33.00
1.00
101.15
2
35.18
4.47
34.00
1.00
90.32
3
34.52
4.64
36.00
1.00
83.00
20.59
4.16
25.00
1.00
65.72
2
21.42
4.21
25.00
1.00
68.84
3
21.25
4.16
24.00
1.00
71.21
35.80
5.70
39.00
1.00
77.18
2
36.27
5.94
38.00
1.00
79.82
3
37.68
5.92
35.00
1.00
90.74
13.28
4.08
20.00
1.00
46.00
2
14.40
4.26
19.00
1.00
53.37
3
14.33
4.27
18.00
1.00
55.89
36.69
5.72
36.00
1.00
86.03
2
34.62
5.75
35.00
1.00
82.49
3
35.64
5.67
40.00
1.00
74.93
18.09
5.13
25.00
1.00
51.84
2
17.80
5.23
24.00
1.00
52.38
3
17.91
5.28
22.00
1.00
57.41
1
1
1
1
1
1
K112
K121
K122
K211
K212
K221
Rata-rata Porositas (%) 55.58
91.49
68.59
82.58
51.75
81.15
53.87
54
Lampiran 3b. Uji anova porositas
Class fak1
Levels 7
POROSITAS The GLM Procedure Class Level Information Values K111 K112 K121 K122 K211 K212 K221 Number of observations
21
POROSITAS The GLM Procedure Dependent Variable: respon Source Model Error Corrected Total
DF 6 14 20
R-Square 0.901850
Sum of Squares 4630.775781 503.973400 5134.749181 Coeff Var 8.659149
Mean Square 771.795963 35.998100
Root MSE 5.999842
F Value 21.44
Pr > F <.0001
respon Mean 69.28905
Source fak1
DF 6
Type I SS 4630.775781
Mean Square 771.795963
F Value 21.44
Pr > F <.0001
Source fak1
DF 6
Type III SS 4630.775781
Mean Square 771.795963
F Value 21.44
Pr > F <.0001
POROSITAS The GLM Procedure Level of N respon fak1 Mean Std Dev K111 3 55.5833333 6.42979264 K112 3 91.4900000 9.13139091 K121 3 68.5900000 2.75352501 K122 3 82.5800000 7.18899158 K211 3 51.7533333 5.13938064 K212 3 81.1500000 5.67002645 K221 3 53.8766667 3.07184527
55
Lampiran 3c. Uji lanjut Duncan porositas POROSITAS The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for respon NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 14 Error Mean Square 35.9981 Number of Means Critical Range
2 10.51
3 11.01
4 11.32
5 11.53
6 11.68
7 11.79
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N fak1 A 91.490 3 K112 A A 82.580 3 K122 A A 81.150 3 K212 B
68.590
3
K121
C C C C C
55.583
3
K111
53.877
3
K221
51.753
3
K211
56
Lampiran 4a. Uji Kadar Air Ulangan
Bobot Cawan (g)
Bobot Awal Sample (g)
Bobot Akhir Sample (g)
%Kadar Air
Rata-rata %Kadar Air
3.00
Bobot Cawan+Bahan Kering (g) 8.40
6.41
2
6.05
1.99
33.67
32.67
3.00
8.17
2.12
29.33
3
6.13
3.00
8.08
1.95
35.00
6.03
4.00
8.86
2.83
29.25
2
6.30
4.00
9.11
2.81
29.75
3
6.25
4.00
9.10
2.85
28.75
1
6.41
4.00
8.79
2.38
40.50
2
6.22
4.00
8.64
2.42
39.50
3
6.04
4.00
8.52
2.48
38.00
6.34
5.00
9.68
3.34
33.20
2
6.15
5.00
9.43
3.28
34.40
3
6.45
5.00
9.69
3.24
35.20
6.18
4.00
8.79
2.61
34.75
2
6.42
4.00
8.99
2.57
35.75
3
6.20
4.00
8.76
2.56
36.00
6.30
5.00
9.72
3.42
31.60
2
6.36
5.00
9.86
3.50
30.00
3
6.14
5.00
9.56
3.42
31.60
6.04
5.00
9.03
2.99
40.20
2
6.18
5.00
9.13
2.95
41.00
3
6.07
5.00
9.09
3.02
39.60
1
1
1
1
1
1
Kode (Tanah:Kompos Bokashi:Serasah Daun Karet) K111
K112
K121
K122
K211
K212
K221
29.25
39.33
34.27
35.50
31.07
40.27
57
Lampiran 4b. Uji Anova Kadar air
Class fak1
Levels 7
Kadar Air Bahan The GLM Procedure Class Level Information Values K111 K112 K121 K122 K211 K212 K221 Number of observations 21 Kadar Air Bahan The GLM Procedure
Dependent Variable: respon Source Model Error Corrected Total
DF 6 14 20
R-Square 0.918072
Sum of Squares 300.8345238 26.8461333 327.6806571 Coeff Var 3.999741
Mean Square 50.1390873 1.9175810
Root MSE 1.384767
F Value 26.15
Pr > F <.0001
respon Mean 34.62143
Source fak1
DF 6
Type I SS 300.8345238
Mean Square 50.1390873
F Value 26.15
Pr > F <.0001
Source fak1
DF 6
Type III SS 300.8345238
Mean Square 50.1390873
F Value 26.15
Pr > F <.0001
kadar air bahan The GLM Procedure Level of N respon fak1 Mean Std Dev K111 3 32.6666667 2.96517003 K112 3 29.2500000 0.50000000 K121 3 39.3333333 1.25830574 K122 3 34.2666667 1.00664459 K211 3 35.5000000 0.66143783 K212 3 31.0666667 0.92376043 K221 3 40.2666667 0.70237692
58
Lampiran 4 c. Uji lanjut Duncan kadar air Kadar Air Bahan The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for respon NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 14 Error Mean Square Number of Means Critical Range
2 2.425
3 2.541
1.917581 4 2.613
5 2.661
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N A 40.267 3 A A 39.333 3
C C C E E E
6 2.695
7 2.720
fak1 K221 K121
B B B
35.500
3
K211
34.267
3
K122
D D D
32.667
3
K111
31.067
3
K212
29.250
3
K112
59
Lampiran 5. Amoniak nitrogen setelah uji AHC Ulangan
Kode
pH sebelum titrasi
pH setelah titrasi
Volume Penitar HCl (ml)
Berat kering bahan (g)
Volume Destilat (ml)
Normalitas HCl
1 2 1
K100
7.7 7.6 8.4
7 7 7
0.2 0.2 0.3
1.60 1.60 2.31
25 25 25
0.1 0.1 0.1
Amoniak Nitrogen (g-N/g bahan kering) 0.018 0.018 0.039
8.4 8.3 8.3 8.4 8.4
7 7 7 7 7
0.3 0.5 0.5 0.5 0.5
2.31 1.11 1.11 1.49 1.49
25 25 25 25 25
0.1 0.1 0.1 0.1 0.1
0.039 0.031 0.031 0.042 0.042
8.6 8.5 8.5 8.6 8.9
7 7 7 7 7
0.9 1.2 0.8 0.8 1.0
1.41 1.41 1.65 1.65 1.52
25 25 25 25 25
0.1 0.1 0.1 0.1 0.1
0.071 0.095 0.074 0.074 0.085
8.8 8.6 8.5 8.6 8.6 8.6
7 7 7 7 7 7
0.9 0.9 0.6 1.0 1.0 0.8
1.52 1.55 1.55 1.45 1.45 1.67
25 25 25 25 25 25
0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1
0.077 0.078 0.052 0.081 0.081 0.075
8.6
7
0.7
1.67
25
0.1
0.065
2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
K010 K001 K111 K112 K121 K122 K211 K212 K221
Rata-rata
0.018 0.039 0.031 0.042 0.083 0.074 0.081 0.065 0.081 0.070
60
Lampiran 6. Besarnya penyerapan amoniak oleh bahan pengisi Ulangan
Perlakuan
pH sebelum titrasi
pH setelah titrasi
Volume Penitar HCl (ml)
Berat kering bahan (g)
Volume Destilat (ml)
Normalitas HCl
1
K100
9
7
6.8
1.60
25
0.1
Amoniak Nitrogen (gN/g bahan kering) 0.609
K010
9 9.2
7 7
6.1 7.7
1.60 2.31
25 25
0.1 0.1
0.547 0.996
0.970
2 1
K001
9.1 9.4
7 7
7.3 9.5
2.31 1.11
25 25
0.1 0.1
0.944 0.591
0.587
2 1
K111
9.5 9.2
7 7
9.4 8.8
1.11 1.49
25 25
0.1 0.1
0.584 0.734
0.726
2 1
K112
9.3 9.7
7 7
8.6 17.4
1.49 1.41
25 25
0.1 0.1
0.718 1.374
1.291
2 1
K121
9.6 9.5
7 7
15.3 14.7
1.41 1.65
25 25
0.1 0.1
1.208 1.358
1.349
K122
9.5 9.8
7 7
14.5 17.5
1.65 1.52
25 25
0.1 0.1
1.340 1.490
1.430
2 1
2 1
2 1 2 1 2
0.578
9.7
7
16.1
1.52
25
0.1
1.370
K211
9.6
7
14.8
1.55
25
0.1
1.285
1.276
K212
9.5 9.7
7 7
14.6 16.2
1.55 1.45
25 25
0.1 0.1
1.267 1.315
1.360
K221
9.7 9.3
7 7
17.3 9.2
1.45 1.67
25 25
0.1 0.1
1.405 0.860
0.865
9.3
7
9.3
1.67
25
0.1
0.870
2 1
Ratarata
61