KARAKTERISTIK BERPIKIR ANALITIS MAHASISWA DALAM MENYELESAIKAN “MASALAH SEDERHANA” (Studi kasus pada Persamaan Garis Lurus dengan Gradien Tak Terdefinisi) I Nengah Parta Jurusan Matematika, FMIPA Universitas Negeri Malang
[email protected]
Abstrak: Dalam berpikir matematis, ada dua model berpikir yang cenderung digunakan, yaitu berpikir prosedural dan berpikir analitis. Berpikir prosedural digunakan untuk menyelesaikan soal rutin dan berpikir analitis digunakan dalam menyelesaikan soal non rutin (masalah). Pada kenyataannya, berpikir prosedural sering digunakan pebelajar untuk menyelesaikan hampir semua jenis soal, termasuk soal tidak rutin. Tiga puluh pebelajar calon guru ketika diminta mencari persamaan garis yang melalui titik (2,1) dan (2,5), seluruhnya menggunakan persamaan dan akibatnya akan diperoleh pecahan berpenyebut nol. Walaupun mereka dihadapkan dengan pecahan dengan penyebut nol, proses itu masih tetap dilanjutnya untuk memperoleh persamaan . Pemilihan persamaan pada kasus ini mengindikasikan bahwa pebelajar hanya berpikir prosedural. Mereka tidak memeriksa syarat perlu atau syarat cukup dari penggunaan bentuk-bentuk persamaan garis itu. Pada situasi “kedudukan dua itu titik vertikal”, maka persamaan garisnya harus diturunkan melalui bentuk umum persamaan garis, yaitu . Pada tulisan ini akan dikaji berpikir analitis pebelajar dalam menentukan persamaan garis menggunakan bentuk umum persamaan garis . Penelitian ini adalah penelitian survey pada tiga subyek penelitian. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis perbandingan tetap. Kata Kunci: Karakteristik, Berpikir Analitis, Masalah Sederhana Pendahuluan Berpikir analitis merupakan salah satu model berpikir yang perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika. Model berpikir ini sangat dibutuhkan karena obyek kajian dalam pembelajaran matematika merupakan obyek abstrak. Preiss, D. D., Sternberg, R. J. (2010: 424) mengatakan it is important to teach students not just to learn facts but also to think analytically, creatively, practically, and wisely. Grigorenko, Jarvin, & Sternberg, 2002; Sternberg & Grigorenko, 2004; Sternberg, Torff, & Grigorenko, 1998) dalam Sternberg, R.J, dkk (2012:22) mengatakan teaching students to use all of their analytic, creative, and practical abilities has resulted in improved school achievement for every student, whatever their ability pattern. Selain itu, dalam pembelajaran matematika akan senantiasa terjadi pengaitan pengetahuan lama dan situasi baru. Pengaitan itu dapat terjadi secara otomatis atau melalui restrukturisasi skema yang telah dimiliki pebelajar. Dalam proses pengaitan ini akan diidentifikasi kesesuaian struktur informasi yang baru dan pengetahuan yang telah dimiliki. Gambar di bawah ini mengilustrasikan pengaitan pengetahuan lama dan informasi baru.
Gambar 1 Pengaitan Pengetahuan Lama dan Pengetahuan Baru
Banyak ahli yang telah memformulasikan tentang berpikir analitis (analytical Thinking) dari berbagai sudut pandang. Berdasar sudut pandang kegunaannya, Ferdinando, Arzarello (2005: PME29) mengatakan analytic thinking is normally employed when people have to organize information for speech production. Jadi, Ferdinando memandang bahwa berpikir analitis merupakan “model” berpikir yang digunakan mengorganisasikan informasi yang akan diartikulasikan. Dari segi domain berpikir matematis, Greenwald, S. J (2012: 866) mengatakan bahwa mathematical thinking, which is a crucial tool for every member of society, includes skills such as pattern recognition, generalization, abstraction, problem solving, proof, and analytical thinking. Jadi menurut pandangan Greenwald, dkk berpikir analitis itu merupakan sub domain dari berpikir matematis yang setara dengsn berpikir tingkat tinggi lainnya, seperti pengenalan pola, generalisasi, abstraksi, pemecahan masalah, dan pembuktian matematis. Zhang, Li-Fang, dkk (2012:284) mengontraskan berpikir analitis dengan berpikir holistik. Menurut Zang, Li-fang, holistic thought involves an orientation to the context or field as a whole, including the relationship between a focal object and the field, and a preference for explaining and predicting events on the basis of existing relationships. Analytic thought, on the other hand, is defined as detaching the object from its context, a tendency to focus on attributes of the object, to assign it to categories, and a preference for using rules about the categories to explain and predict the object’s behavior. Jadi berdasar batasan yang diberikan oleh Zhang, berpikir analitis itu mencakup empat aspek, yaitu; (1) pemisahan obyek dari konteksnya, (2) kecederungan untuk fokus pada atribut tertentu, (3) penetapan kategori, dan (4) pemilihan pada penggunaan aturan. Sternberg, R.J, dkk (2012:20-21) dalam The Triarchic Theory of Intelligence mengelompokkan berpikir dalam tiga model, yaitu; (1) Kreatif, (2) Praktis, dan (3) Analitis. Ketiga jenis berpikir itu digambarkan pada diagram di bawah ini.
Gambar 2 Klasifikasi berpikir menurut Sternberg Jadi berdasar pengelompokkan ini, berpikir analitik merupakan tipe berpikir yang diposisikan setara dengan berpikir praktis dan berpikir kreatif. Berpikir yang termasuk dalam jenis berpikir analitis mencakup kemampuan menganalisis, membandingkan, dan mengevaluasi. Dalam pengklasifikasian yang diusulkan Sternberg, R.J ini, berpikir kritis tidak diposisikan sebagai tipe berpikir tersendiri. Jika ditinjau dari tingkatan berpikir Krulik, dkk (2003, 89) pengelompokan Sternberg ini masuk akal karena berpikir kritis itu merupakan salah satu fase/tahap dalam berpikir kreatif. Dalam pandangan Kanar, C.C (2011: 53-55), berpikir analitis adalah bagian dari berpikir kritis. Kanar C.C mengatakan bahwa critical thinking is logical or analytical, self-reflective, conscious, and purposeful thinking. Secara diagram hubungan kedua jenis berpikir ini dapat dilihat pada diagram berikut.
Gambar 3 Kedudukan berpikir analitik terhadap berpikir Kritis dan Berpikir Kreatif Pendapat para ahli ini mengindikasikan bahwa berpikir analitis ini tidak dapat diposisikan pada suatu domain atau tipe berpikir yang spesifik. Walaupun demikian, dari perspektif pedagogi berpikir analitis ini mempunyai posisi sangat strategis baik sebagai karakteristik berpikir tersendiri maupun sebagai dampak dari suatu pengalaman belajar. Karena itu, diperlukan kajian mendalam tentang berpikir analitik baik dari perspektif pebelajar, calon guru, maupun guru berpengalaman. Dalam beberapa pengamatan awal, guru maupun calon guru belum mengindikasikan berpikir analitis dalam menyelesaikan “masalah” matematis. Indikasi berpikir “analitis” itu hanya tampak saat terjadinya benturan dalam penyelesaian masalah. Lebih dari itu, berpikir analitis yang dilakukan cenderung parsial atau semi analitis. Berpikir analitis parsial maksudnya, bagian demi bagian skema berpikir itu analitis tetapi secara keseluruhan skema berpikir itu masih terputus. Sedangkan berpikir semi analitis apabila rantai atau skema berpikir itu masih ada daerah “abu-abu”. Ilustrasi dari kadua situasi berpikir analitis itu disajikan pada gambar di bawah ini.
Gambar 4 Ilustrasi Berpikir Analitis Parsial dan Berpikir Semi Analitis Persamaan linier dua variabel (Model linier), , memiliki penerapan yang sangat luas dalam pendidikan, sain-teknologi, maupun dalam ilmu sosial. Studi tentang hubungan perlakuan dan respon pada desain eksperimen, konversi suhu dalam Fisika, dan hubungan permintaan dan penawaran dalam ekonomi merupakan contoh-contoh penggunaan model linier. Contoh penggunaan model linier pada konversi suhu disajikan pada gambar di bawah ini.
Gambar 5 Contoh penggunaan Model Linier pada konversi suhu
Karena luasnya penggunaan konsep maupun model linier itu, maka pebelajar perlu memiliki pemahaman yang baik tentang hal itu sejak dini. Namun faktanya, masih banyak pebelajar mulai jenjang pendidikan menengah sampai jenjang pendidikan tinggi belum memiliki pemahaman yang komprehensif tentang “model” linier itu. Ada indikasi kuat bahwa pemahaman mereka tentang bentuk hanya prosedural/instrumental. Indikasi itu dapat dilihat pada cuplikan pekerjaan tiga pebelajar calon guru dalam menyelesaikan masalah persamaan garis (lurus) dengan gradien yang tak terdefinisi berikut. Suatu garis melalui titik P(2,1) dan Q(2,5). Tentukan persamaan garis itu secara analitis. Cuplikan penyelesaian yang dibuat beberapa mahasiswa disajikan pada gambar di bawah ini.
Gambar 6 Cuplikan Pekerjaan Pebelajar Pada gambar (a) pebelajar hanya mengerjakan perhitungan secara algoritmik (prosedural) tanpa memperhatikan pertanyaan pokok. Situasi serupa juga terjadi pada gambar (b). Pada pebelajar ketiga, indikasi pemahaman prosedural itu diperkuat dengan adanya langkah yang berlebih (redundant) pada sistem {
. Informasi
yang diperoleh, tidak dipergunakan
untuk menemukan hubungan . Berdasar temuan-temuan awal ini peneliti ingin melakukan kajian tentang berpikir analitik pebelajar calon guru dalam menyelesaikan “masalah” persamaan garis lurus yang gradiennya tak terdefinisi. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian survey (Creswell, J.W., 2012: 377). Subyek penelitian ini terdiri dari 30 pebelajar calon guru semester 6 pada Program Studi S1 Pedidikan Matematika FMIPA UM dalam matakuliah Kesalahan dan Miskonsepsi dalam Matematika. Berpikir analitis subyek penelitian dilihat berdasar solusi masalah yang dikerjakan secara tertulis. Pengambilan data dilakukan dengan memberi masalah itu pada 15 menit pertama sebelum perkuliahan dimulai. Setiap subyek menyelesaikan masalah itu secara individu. Setelah pengerjaan masalah selesai, beberapa pebelajar diminta untuk menyajikan kembali hasilnya di papan dan memberi penjelasan secukupnya. Tahap
selanjutnya, peneliti membahas secara lebih mendetail lagi penyelesaian masalah itu. Pembahasan itu dilakukan secara dialogis dan memberikan “hint” kepada pebelajar untuk memperoleh penyelesaian final. Setelah proses pembahasan dianggap cukup, semua pebelajar diminta menuliskan kembali penyelesaian yang lengkap dan menyeluruh kemudian melaporkan hasilnya dalam portofolio. Data dianalisis dengan teknik deskriptif. Hasil Penelitian Berdasar pandangan beberapa ahli dan temuan-temuan awal, teridentifikasi bahwa berpikir analitis pebelajar dapat dikategorikan dalam empat kategori, yaitu; (1) pre-analitis, (2) analitis-parsial, (3) semi analitis, dan (4) analitis (complete analytics). Berikut akan dipaparkan ulasan untuk masingmasing kategori berpikir analitis. 1. Berpikir pre-analitis Kinard, James T., Alex Kozulin (2008:70) mengatakan bahwa seseorang dikatakan pre-analitik apabila dia hanya menjabarkan sifat-sifat permukaan dari suatu tugas/masalah dan cenderung menggunakan prosedur standar walaupun prosedur itu mutlak tidak dapat digunakan pada masalah yang sedang dihadapi. (They take into account only surface features of the tasks
and tend to apply the standard algorithm even when it is absolutely inapplicable to a given task). Cuplikan pekerjaan subyek yang pre-analitis disajikan pada gambar 7 di bawah ini.
Gambar 7 Selesaian masalah dari berpikir pre-analitis Pada langkah kedua dalam perhitungan itu terjadi pembagian dengan nol. Dalam sistem matematika manapun, pembagian dengan nol itu mutlak tidak dibenarkan. Jika pembagian dengan nol itu diperbolehkan, maka semua sistem matematika yang ada akan rusak. Pada penyelesaian ini meskipun telah diperoleh ekspresi “pecahan” dengan penyebut nol, proses itu tetap dilanjutkan sampai memperoleh persamaan . Model jawaban lain yang mencerminkan berpikir pre-analitis disajikan pada gambar di bawah ini.
Gambar 8 Model lain berpikir pre-analitis
Pada situasi ini pebelajar telah memeriksa dan mengetahui bahwa gradien garis itu tidak terdefinisi (bukan bilangan riil), tetapi pada langkah selanjutnya algoritma yang melibatkan penggunaan gradien itu tetap digunakan. Selain penggunaan algoritma yang tidak sah, berpikir pre-analitis juga ditandai oleh penggunaan informasi permukaan (berupa gambar). Dalam matematika formal, gambar bukan penyelesaian final dari suatu masalah. Gambar atau sketsa grafik digunakan hanya untuk identifikasi awal tentang kemungkinan model matematika atau strategi penyelesaian masalah yang sesuai. Penyelesaian masalah yang sesungguhnya adalah penyelesaian yang menggunakan model matematika, sistem aksiomatik tertentu, dan kaidah-kaidah penalaran logis. Pada kasus ini contohnya, gambar yang diperoleh menujukkan bahwa kedudukan garis itu vertikal (sejajar sumbu Y). Karena itu jelas bahwa nilai tidak akan berubah, akibatnya nilai tidak akan bergantung kepada . Analisis situasi inilah yang akan membantu proses konstruksi persamaan garis yang dimaksud.
Gambar 9 Berpikir pre-analitis penggunaan gambar untuk membuat kesimpulan 2. Berpikir analitis-parsial Model berpikir analitis kedua yang digunakan pebelajar adalah berpikir analitis parsial. Pada berpikir analitis parsial ini, bagian-bagian dari solusi masalah itu analitis, tetapi bagian-bagian penyelesaian masalah itu tidak terhubung secara logis. Pada gambar di bawah ini, gambar (a) adalah selesaian menyeluruh dari masalah itu. Jika selesaian masalah itu diorganisasikan, maka diperoleh empat sub penyelesaian, yaitu (I), (II), (III), dan (IV). Keempat sub penyelesaian itu ditunjukkan pada gambar (b). Sub penyelesaian (I) memuat tiga langkah, yaitu L1, L2, dan L3.
Gambar 10 Penyelesaian masalah akibat berpikir analitis parsial Tiga langkah pada sub penyelesaian I tersusun dalam urutan yang logis. Prosedur ini mengindikasikan bahwa subyek berpikir analitis dalam menghasilkan jawaban ini. Langkah 2 (L2), diawali dari kondisi bahwa . “Pengondisian” , mengakibatkan . Prosedur pemerolehan ini masuk akal (valid), karena pada langkah 1 sub penyelesaian I (L1) telah
diketahui bahwa nilai mutlak nol ( ). Dikatakan mutlak nol karena diperoleh secara deduktif dan valid. Nilai pada L1 sub penyelesaian I mengakibatan . Persamaan garis (lurus) jika dinyatakan dalam persamaan umum , menyaratkan bahwa tidak keduanya nol. Karena telah diperoleh dan , maka pada situasi ini tidak boleh bernilai nol. Karena itu, sub penyelesaian II yang diwali dengan mengakibatkan hubungan sub penyelesaian I dan sub penyelesaian II menjadi tidak logis. Sub penyelesaian IV menggunakan persamaan umum garis lurus, yaitu . Nilai masih tetap digunakan pada proses ini. Selain itu subyek juga menggunakan informasi . Berdasar dua situasi itu diperoleh , yang selanjutnya dihasilkan atau . Secara algoritma prosedur ini tampak “wajar”, karena kalau hasil kali dua bilangan nol, maka minimal satu dari kedua bilangan itu pasti nol. Pada konteks ini dua kuantitas yang menentukan kedudukan suatu grafik, sehingga tidak bisa keduanya bernilai nol pada saat bersamaan. Karena secara eksak telah diperoleh bahwa , maka tidak boleh bernilai nol. Karena itu penyimpulan atau pada sub penyelesaian IV mengakibatkan terjadinya berpikir analitik yang parsial. 3. Berpikir semi analitis Berpikir semi analitik ditandai oleh adanya “elemen-elemen” pengganggu yang mengakibatkan terputusnya struktur “logis” penyelesaian masalah. Selesaian masalah yang mencerminkan berpikir semi analitis disajikan pada gambar 11. Pemilihan beberapa nilai dan penghitungan nilai c berdasar hubungan mengganggu alur berpikir (dalam hal ini rantai ⃡ implikasi). Penentuan persamaan garis tidak bergatung kepada nilai c tertentu. Substitusi pada persamaan secara deduktif akan menghasilkan persamaan atau , karena pada kondisi ini . Selain munculnya elemen pengganggu, pada algoritma penyelesaian masalah itu juga terjadi penulisan hal sama secara berulang. Pada gambar 11 (a), ekspresi tertulis berulang sebanyak empat kali dan dalam beberapa ekspresi, yaitu; (1) , (2) , (3) , dan (4) . Penulisan berulang-ulang ini mengindikasikan bahwa subyek belum memiliki gambaran yang jelas tentang langkah selanjutnya untuk memeroleh selesaian final dari masalah tersebut. Selain itu, ekspresi muncul dari dua cara berbeda, yaitu; (1) eleminasi pada sistem {
, (2) substitusi b=0 pada persamaan
. Setelah
diperoleh hubungan atau , informasi tentang banyaknya pasangan a dan c yang memenuhi hubungan itu tidak relevan. Hubungan dan pada persamaan mengakibatkan dan dengan operasi aljabar elementer akan diperoleh itu. Kondisi berpikir semi analitik yang ketiga adalah terjadinya pembelokan arah atau logika berpikir pada penyelesaian masalah. Pada 11 (b) subyek mengambil beberapa nilai a untuk mendapatkan nilai c yang memenuhi. Berdasar pasangan nilai a dan c itu subyek memeroleh persamaan . Pada bagian ini terindikasi subyek melakukan proses yang pre-analitik, karena dua hal, yaitu (1) hanya memperhatikan sifat permukaan dari situasi yang dihadapi, (2) penggunaan algoritma standar. Pada situasi ini perhatian subyek terkecoh oleh hubungan , sehingga dia memberi nilai tertentu kepada a untuk memeroleh c, padahal masalah utamanya adalah mencari persamaan garis yang melalui dua titik tertentu. Dalam matematika, masalah yang memerlukan penyelesaian deduktif formal tidak dapat diselesaikan hanya dengan memilih “beberapa” calon solusi. Jawaban formal harus diturunkan dari struktur formal, menggunakan sistem matematika yang relevan, dan diselesaikan atau dibuktikan secara deduktif.
(a)
(b)
Gambar 11 Representasi berpikir semi analitis dalam penyelesaia masalah 4. Berpikir analitis Macchi (dalam Moldovan, Ana Maria, 2011) berpandangan bahwa analytical thinking is thinking processes information in different ways, depending on the characteristics of the tasks the subject has to solve, so that reasoning results in a stepwise, rule-based process or in a widespread activity of search where implicit parallel processes are also involved. Jadi dalam pandangan Macchi, berpikir analitik adalah berpikir fleksibel karena bergantung kepada karakteristik tugas atau masalah yang akan diselesaikan. Kinard, James T., Alex Kozulin (2008:70) mengatakan students who perform at the analytic level will discover the core principle of the above task, but they may still experience difficulty with planning.
Dua pandangan tentang berpikir analitik ini sangat sesuai dengan karakteristik tugas yang diberikan kepada subyek. Masalah persamaan garis lurus ini tidak dapat diselesaikan dengan “model” yang melibatkan gradien, karena gradien garis ini tidak terdefinisi. Persamaan garis ini harus diselesaikan secara analitik. Penyelesaian secara analitik itu perlu didukung oleh berpikir yang analitik. Berpikir analitik subyek dalam menyelesaikan masalah itu tampak pada empat bagian dari penyelesaian masalah itu. Keempat bagian itu diberi kode 1, 2, 3, dan 4. Penyelesaian masalah itu diawali dengan penentuan nilai b pada bagian (1). Penentuan nilai b dilakukan secara formaldeduktif, yaitu eleminasi pada sistem persamaan linier. Karena itu, nilai di sini adalah nilai eksak. Setelah diperoleh subyek menentukan hubungan a dan c melalui persamaan . Dari persamaan ini diperoleh Karena itu, ini adalah hubungan yang berlaku untuk seluruh a dan c, termasuk nol. Pada langkah (2), berdasar hubungan dan fakta , melalui operasi aljabar sederhana subyek memperoleh persamaan garis yang dimaksud yaitu Rantai implikasi pemerolehan persamaan digambarkan dalam bagan berikut.
Pemerolehan persamaan dari melibatkan pembagian dengan a, sehingga harus ada jaminan bahwa pada situasi ini a tidak nol. Menurut Larson, Ron., dkk (2008: 93) ... every line has an equation that can be written in the general form are not both zero. Pada langkah (1) telah ditunjukkan bahwa secara eksak
where a and b
Karena itu, berdasar prinsip persamaan garis, maka a tidak boleh bernilai nol ( . Penegasan bahwa pada langkah (3) subyek merujuk kepada definisi. Karena itu klaim bahwa yang mengakibatkan atau dilandasi oleh argumen yang valid. Pada langkah ke-4 (langkah terakhir) subyek menegaskan tentang persamaan garis menggunakan bentuk umumnya, yaitu bersamaan yang berbentuk dengan syarat a and b tidak keduanya nol. Kondisi ini sesuai dengan karakteristik berpikir analitik yang dinyatakan oleh Kinard, James T., Alex Kozulin, yaitu subyek menemukan prinsip dasar yang berlaku dalam penyelesaian tugas itu. Pembahasan 1. Gejala-gejala berpikir Pre-Analitik Jika dilihat dari empat aspek berpikir analitis Zhang, prosedur yang pre-analitik ini disebabkan oleh dua hal, yaitu; (1) kecederungan untuk fokus pada atribut tertentu, dan (2) keterikatan pada penggunaan aturan. Dua hal itu tampak dari langkah awal yang digunakan subyek, yaitu menghitung gradien garis itu. Subyek berkeyakinan bahwa setiap garis pasti memiliki gradien, sehingga untuk menentukan persamaan garis terlebih dahulu harus ditentukan gradiennya. Lebih dari itu, dalam memilih “bentuk” persamaan garis, subyek hanya berpatokan pada bentuk persamaan yang “sering” digunakan, yaitu persamaan garis yang melibatkan gradien atau persamaan garis yang melalui dua titik, yaitu ( dan ( . Subyek telah memahami dengan baik bahwa garis yang melalui dua titik ini dapat dinyatakan dalam persamaan
Tetapi, subyek kurang memperhatikan
betul bahwa pada masalah ini , sehingga pada ruas kanan persamaan itu terjadi pembagian dengan nol. Menurut Cockburn, Anne D. (2005: 9) subyek itu melakukan kesalahan implikasi (implication errors) yaitu kurang atau tidak memberikan perhatian kepada hal esensial pada masalah itu. Hal esensial yang dimaksud di sini adalah, gradien garis yang akan ditentukan tidak terdefinisi. Keterikatan pada penggunaan aturan tertentu mengakibatkan subyek cenderung bekerja secara prosedural. Duane F. S hell, dkk (2010:43) mengatakan procedural knowledge is purposeful or goal directed. Pada masalah ini karena perhatian subyek tertuju kepada persamaan garis yang melalui titik ( dan ( , maka dia memilih prosedur yang “tampak” paling relevan dengan kondisi yang diberikan. Karena itu, subyek memilih bentuk tanpa memperhatikan keterpenuhinya syarat penggunaan bentuk itu. Kesalahan pemilihan bentuk persamaan kepada kesalahan penggunaan hubungan ekuivalen ekuivalen dengan
, apabila
juga berakibat . Kesamaan
hanya
keduanya bernilai riil.
Kesimpulan Berpikir analitik subyek penelitian dalam menyelesaikan masalah “persamaan garis dengan gradien tak terdefinisi” dapat diklasifikasikan dalam empat kategori, yaitu; pre-analitik, analitik parsial, semi analitik, dan analitik. Berpikir pre-analitik ditandai oleh penggunaan prosedur standar,
tetapi penggunaan prosedur standar itu tidak sesuai oleh kondisi masalah. Penggunaan prosedur standar itu mengakibatkan adanya langkah yang tidak logis, yaitu terjadi pembagian dengan nol. Indikasi lain dari berpikir pre-analitik itu adalah penggunaan informasi permukaan, yaitu gambar sketsa. Subyek menyajikan selesaian masalah hanya berdasar sketsa gambargaris yang dimaksud. Berpikir analitik parsial ditandai oleh terputusnya satu bagian prosedur analitik dan bagian prosedur analitik lainnya. Secara bagian demi bagian subyek menyajikan prosedur analitik dari penyelesaian masalah itu, tetapi bagian-bagian dari prosedur analitik itu tidak terangkai menjadi kesatuan utuh. Berpikir semi analitik ditandai oleh prosedur yang “berbelok” dan prosedur yang “samar” atau duplikasi. Pembelokan prosedur itu tampak dari pencarian informasi kuantitatif dari hubangan formalabstran antara c dan a. Hubungan adalah hubungan formal abstrak karena diperoleh secara deduktif. Karena itu tidak diperlukan pengecekan atau perhitungan numerik terhadap hubungan ini. Sedangkan prosedur yang samar atau duplikasi itu ditandai oleh pencarian suatu informasi atau situasi dengan beberapa cara yang berbeda. Prosedur yang samar ini juga tidak menghasilkan penalaran yang bertahap (reasoning results in a stepwise), walaupun secara keseluruhan tidak mengganggu prosedur analitik dalam penyelesaian masalah itu. Berpikir analitik subyek dalam menyelesaian masalah ini ditandai oleh beberapa idikator, yaitu kejelasan algoritma, keruntutan penalaran, dan adanya pernyataan esensial yang mendasari proses itu. Kejelasan algoritma maksudnya, pada setiap langkah secara jelas ditunjukkan situasi atau informasi apa yang akan dicari. Runtut maksudnya, terdapat hubungan logis dari langkah yang mendahului ke langkah selanjutnya. Saran Pada penelitian ini ditemukan 33% dari 30 subyek masih berpikir pre-analitik dalam menyelesaikan masalah sederhana, yaitu “persamaan garis dengan gradien tak terdefinisi”. Berpikir pre-analitik yang dilakukan adalah penggunaan prosedur yang secara mutlak tidak dibenarkan dalam matematika. Dalam lingkup kurikulum di Indonesia, materi ini sudah dipelajari mulai jenjang Sekolah Menengah Pertama. Subyek penelitian ini adalah pebelajar yang akan membelajarkan materi itu ketika mereka lulus. Selain itu, konsep persamaan garis merupakan salah satu konsep matematika yang penggunaan sangat luas, baik dalam matematika maupun pada bidang di luas matematika. Oleh karena itu, perlu ada pendekatan pembelajaran yang lebih inovatif agar pengetahuan dan pengalaman belajar yang diperoleh pebelajar betul-betul terinternalisasi dengan baik. Daftar Pustaka Arzarello, Ferdinando., Ferrara, Francesca., Robutti, Ornella., Paola, Domingo. 2005. The genesis ofsigns by gestures. The case of Gustavo. Proceedings ofthe 29th Conference ofthe International Group for the Psychology ofMathematics Education. University of Melbourne Australia. Creswell, John W. 2012. Educational research : planning, conducting, and evaluating quantitative and qualitative research. 4th ed. Pearson Education, Inc. United States of America. Cockburn, Anne D. (2005). Teaching Mathematics with Insight: The identification, diagnosis and remediation of young children’s mathematical errors. London. UK Falmer Press Duane F., dkk. 2010. The Unified Learning Model: How Motivational, Cognitive, and Neurobiological Sciences Inform BestTeaching Practices. Springer.
Greenwald, Sarah J., Thomley, Jill E. 2012. Encyclopedia of mathematics and society. Volume 1. Salem Press. USA. Kanar, Carol C. 2011. The Confi dent Student, 7th Edition. Wadsworth, Cengage Learning. USA Krulik, Stephen., Rudnick, Jesse., Milou, Eric. 2003.Teaching Mathematics in Middle School: a Practical Guide. Pearson Education, Inc. New York. Larson, Ron. dkk. 2008. Precalculus A Graphing Approach. 5th edition. Houghton Mifflin Company. New York MOLDOVAN, Ana Maria. 2011. Use Of New Educational Technology In Undergraduate Education. Interdisciplinarity in Engineering International Conference “Petru Maior” University of Tîrgu Mureş, Romania, 2011. Sternberg, Robert J., Karin Sternberg. 2012. Cognitive Psychology. Sixth Edition. Wadsworth. USA Zhang, Li-fang., Sternberg, Robert J., Rayner, Stephen. 2012. Handbook of Intellectual Styles: Preferences in Cognition, Learning , and Thinking. Springer Publishing Company, LLC. Ew York