KARAKTERISASI PROTEIN ISOLAT Trypanosoma evansi DARI WILAYAH KASUS SURRA DI INDONESIA
ICHWAN YUNIARTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakterisasi Protein Isolat Trypanosoma evansi dari Wilayah Kasus Surra di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2016 Ichwan Yuniarto NIM B252130051
RINGKASAN ICHWAN YUNIARTO. Karakterisasi Protein Isolat Trypanosoma evansi dari Wilayah Kasus Surra di Indonesia. Dibimbing oleh UMI CAHYANINGSIH dan FADJAR SATRIJA. Surra merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Trypanosoma evansi yang menimbulkan kerugian ekonomi tinggi di negara-negara Afrika, Amerika Selatan, Timur Tengah dan Asia. Kasus Surra di Indonesia sudah sejak lama terjadi, namun kasus dengan kematian ternak terbesar terakhir terjadi pada tahun 2010 – 2011 di Nusa Tenggara Timur (NTT). Pengendalian Surra belum optimal dilakukan karena adanya keragaman Trypanosoma evansi (T.evansi) khususnya yang berkaitan dengan kepekaan beberapa galur terhadap beberapa trypanosidal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya varian atau biotipe Trypanosoma evansi dilihat dari profil protein menggunakan metode SDS PAGE dan karakter protein imunogenik isolat Trypanosoma evansi yang berasal dari wilayah kasus Surra di Indonesia. Penelitian ini terbagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pertama adalah identifikasi profil protein Soluble Trypanosoma Antigen (STrAg) Trypanosoma evansi menggunakan teknik Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrilamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) dan tahap kedua adalah karakterisasi protein imunogenik Trypanosoma evansi menggunakan teknik Western Blot. Hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa berat molekul (BM) protein sembilan isolat dari provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur dan Lampung berada pada kisaran 15,76 – 85,46 kD dan masing – masing isolat mempunyai profil protein yang berbeda. Perbedaan dapat dilihat dari jumlah dan ketebalan protein (garis/pita) yang teridentifikasi. Ketebalan protein pada tiap – tiap isolat lebih berkaitan dengan regulasi ekspresi protein terkait fisiologi individual dari setiap isolat. Isolat A13 dan A14 yang diisolasi dari tempat yang sama mempunyai profil protein yang berbeda. Demikian juga dengan isolat S13 dan S18 yang berbeda profil proteinnya meskipun diisolasi dari tempat dan waktu yang sama. Di sisi lain, isolat 372, isolat 87 dan isolat 06 mempunyai profil protein yang berbeda tetapi termasuk dalam biotipe yang sama, yaitu biotipe 1. Tidak semua protein yang muncul pada gel SDS PAGE dikenali antibodi anti Surra pada metode Western Blot. Pita protein ukuran 39 – 42 kD kesembilan isolat bereaksi sama kuat dengan antibodi anti Surra. Protein 50 – 93 kD sembilan isolat menunjukkan adanya perbedaan respon imunogenik terhadap antibodi anti Surra. Hal ini dapat dikatakan bahwa protein 39 – 42 kD merupakan protein imunogenik yang dapat disebut sebagai common protein dan protein 50 – 93 kD merupakan protein spesifik yang menunjukkan keragaman / varian pada sembilan isolat Trypanosoma evansi. Perbedaan profil protein dan karakter imunogenik merupakan indikasi lain adanya perbedaan varian atau tipe Trypanosoma evansi. Kata kunci : Trypanosoma evansi, Surra, profil protein, common protein, protein spesifik.
SUMMARY ICHWAN YUNIARTO. Characterization of Polypeptide Trypanosoma evansi Isolate from Surra Case Region in Indonesia. Supervised by UMI CAHYANINGSIH and FADJAR SATRIJA. Surra is an infectious diseases caused by Trypanosoma evansi and have high economic importance in the world of animal husbandry and veterinary, especially in African countries, South America, Middle East and Asia. Surra cases in Indonesia has long been occured, but the latest case with high mortality was occurred in 2010 - 2011 in East Nusa Tenggara. Surra control is not optimal because the various reports that prove the diversity of Trypanosoma evansi (T.evansi) especially with regard to the sensitivity of some strains against some trypanosidal. This study aims to determine the variant or biotype Trypanosoma evansi seen from the protein profile using SDS PAGE and the immunogenic character of Trypanosoma evansi proteins derived from the region Surra cases in Indonesia. This research is divided into two phases, the first stage is the identification of the protein profile of Trypanosoma evansi Trypanosoma Soluble Antigen (STrAg) using Polyacrilamide Sodium Dodecyl Sulphate Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) technique and the second stage is the characterization immunogenic protein of Trypanosoma evansi using Western Blot technique. The results generally show that the protein molecular weight (MW) nine isolates from East Java, Central Java, Banten, South Kalimantan, Central Kalimantan, East Nusa Tenggara and Lampung province are in the range of 15.76 to 85.46 kD and each isolates have different protein profiles. Differences can be seen from the amount and thickness of protein (lines/bands) that identified. The thickness of the proteins in each isolate has more associated with the regulation of the expression of proteins related to individual physiology of each isolate. Isolates A13 and A14 were isolated from the same place have different protein profiles. Likewise, isolates S13 and S18 have different protein profiles though isolated from the same place and time. On the other hand, isolate 372, 87 and 06 have different protein profiles but are included in the same biotype, ie biotype 1. Not all proteins that appeared on SDS PAGE identified by antibody anti Surra on Western Blot method. Protein band sizes 39-42 kD nine isolates has same reacted strongly with antibody anti Surra. The protein 50 – 93 kD ninth isolates showed differences in antigenic response against antibody anti Surra. It can be concluded that protein 39 – 42 kD is an immunogenic protein which can be called a common protein and protein 50 – 93 kD are specific proteins that show the diversity / variants in nine isolates of Trypanosoma evansi. Differences in protein profiles and immunogenic character is another indication of a difference variant or type of Trypanosoma evansi. Keywords: Trypanosoma evansi, Surra, protein profiles, common proteins, specific proteins.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARAKTERISASI PROTEIN ISOLAT Trypanosoma evansi DARI WILAYAH KASUS SURRA DI INDONESIA
ICHWAN YUNIARTO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. drh. Sri Murtini, M.Si.
Judul Tesis : Karakterisasi Protein Isolat Trypanosoma evansi dari Wilayah Kasus Surra di Indonesia Nama : Ichwan Yuniarto NIM : B252130051
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Drh. Umi Cahyaningsih, MS. Ketua
Drh. Fadjar Satrija, MSc., Ph.D. Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Drh. Upik Kesumawati Hadi, MS.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 1 Februari 2016
Tanggal Lulus :
PRAKATA Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT Tuhan seru sekalian alam atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga studi dan tesis ini berhasil diselesaikan dengan baik serta sholawat dan salam juga penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2015 ini ialah tentang Trypanosoma evansi, dengan judul Karakterisasi Protein Isolat Trypanosoma evansi dari Wilayah Kasus Surra di Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Prof. Dr. Drh. Umi Cahyaningsih, MS. selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Drh. Fadjar Satrija, M.Sc., Ph.D. selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan bimbingan dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. Drh. Upik Kesumawati Hadi, MS. selaku Ketua Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan pada Sekolah Pascasarjana IPB dan Dr. Drh. Sri Murtini, M.Si. selaku dosen penguji luar komisi. Terima kasih penulis sampaikan kepada Balai Veteriner Banjarbaru, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian yang telah memberikan beasiswa dan kesempatan bagi penulis untuk dapat menjalani proses pendidikan magister (S2) di Sekolah Pascasarjana IPB dan Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor atas kerjasamanya dalam memberikan fasilitas selama penelitian berjalan. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ayahanda Sumadi, Ibunda Sudarwati, Adinda Ichsan Wahyuniardy serta istri tercinta Ratih Anggraini dan anak-anakku tersayang Zulfikar, Jasmine dan Aulia atas segala doa, kesabaran, semangat dan kasih sayangnya. Penghargaan penulis sampaikan kepada Drh. Didik Tulus Subekti, M.Med.Sc. dan kawan-kawan seperjuangan Thaif, Isrok, Wendi, Taryu, Aji, Imam, Agus, Maya serta seluruh pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya tesis ini Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat.
Bogor, April 2016 Ichwan Yuniarto
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xv
DAFTAR GAMBAR
xv
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 2 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA Trypanosoma evansi Siklus Hidup dan Morfologi Epidemiologi Variasi Profil Protein Variasi Karakter Imunogenik Variasi Daya Hidup, Periode Prepaten dan Pola Parasitemia Variasi Kepekaan Terhadap Trypanosidal
4 4 4 5 6 8 10 13
3 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Desain Penelitian Diagram Alur Penelitian Isolat Parasit Pembuatan Soluble Trypanosoma Antigen (STrAg) Kuantifikasi Protein Identifikasi Profil Protein Persiapan Sampel Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrilamide Gel Electrophoresis / SDS-PAGE Karakterisasi Protein Imunogenik Western Blot Penentuan Berat Molekul Protein Analisis Data
16 16 16 16 17 17 18 18 18
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Profil Protein Karakterisasi Protein Profil dan Karakter Protein serta Respon Trypanosidal Profil dan Karakter Protein serta Pola Parasitemia
21 21 24 27 28
18 19 19 19 20
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
30 30 30
DAFTAR PUSTAKA
31
LAMPIRAN
34
RIWAYAT HIDUP
40
DAFTAR TABEL 1 Profil protein dengan SDS PAGE 2 Hasil Western blot antigen Trypanosoma evansi dengan serum yang berbeda 3 Variasi lama hidup dan periode prepaten isolat dari Indonesia 4 Variasi kepekaan isolat Filipina terhadap trypanosidal 5 Variasi kepekaan isolat Indonesia terhadap trypanosidal 6 Trypanosoma evansi dari wilayah kasus Surra di Indonesia 7 Berat Molekul (BM) protein STrAg (Soluble Trypanosoma Antigen) dari sembilan isolat
9 10 11 13 14 17 22
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4
5 6 7
8 9 10 11
12 13 14 15 16
Trypanosoma evansi pada ulas darah sapi bali dengan pewarnaan Giemsa Morfologi lengkap Trypanosoma spp. Penyebaran kasus Surra di Indonesia (warna merah) Profil protein isolat Indonesia (A), Mesir (C) dan Yaman (E) tanpa proses iodinasi; Profil protein isolat Indonesia (B), Mesir (D) dan Yaman (F) setelah proses iodinasi. Profil protein sel membran (kiri) dan flagella (kanan) 7 isolat India Hasil Western Bloting isolat dari kuda (2), anjing (4) dan coati (6) menggunakan serum tikus. Hasil Western Bloting isolat dari kerbau (B), kuda (H) dan sapi (C) menggunakan hiperimun serum kelinci (A) dan serum kuda yang terinfeksi alami (B). Pola parasitemia biotipe 1 Biotipe 2 dengan ciri parasitemia undulan Pola parasitemia biotipe 3 Profil protein STrAg (Soluble Trypanosoma Antigen) dari isolat yang berbeda pada SDS PAGE 12% dengan pewarnaan Commasie Brilliant Blue Perbedaan profil protein STrAg A13 dan A14, STrAg S13 dan S18 yang diisolasi dari daerah yang sama Western Blot STrAg (Soluble Trypanosoma Antigen) dari sembilan isolat yang berbeda dengan serum pool sapi dan kerbau terinfeksi alami Perbedaan hasil Western Blot dan SDS PAGE Perbedaan profil protein STrAg A14, PLS, S13 dan S18 yang juga mempunyai perbedaan respon terhadap trypanosidal Perbedaan profil protein STrAg 372, 87 dan 06 yang mempunyai pola parasitemia sama yaitu biotipe 1
4 5 6
7 7 8
9 12 12 13
21 23 25 26 27 28
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Bahan penelitian Proses purifikasi Trypanosoma evansi STrAg (Soluble Trypanosoma Antigen) Trypanosoma evansi Proses pengisian gel dengan STrAg (Soluble Trypanosoma Antigen) Proses SDS PAGE Proses pewarnaan dengan Commasie Brilliant Blue Proses pencucian gel dengan larutan destaining Proses transfer protein Proses inkubasi dengan antibodi anti Surra
35 36 36 37 38 38 39 39 40
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Surra merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit darah Trypanosoma evansi. Parasit ini yang tersebar luas di kawasan Asia Tenggara, Afrika dan Amerika (Davison et al. 2000; Abdel-Rady, 2008; Ravindran et al. 2008). Surra dapat menyerang seluruh jenis ternak dan hewan liar antara lain sapi, kerbau, onta, kuda, keledai, domba, kambing, anjing, kucing, gajah, coati, capybara dan marsupial (Stephen, 1986). Trypanosoma evansi hanya mengalami perkembangan secara membelah diri pada fase trypomastigot di dalam tubuh inang tanpa adanya tahapan stadium amastigot, promastigot dan epimastigot. Penularan Surra melalui vektor lalat penghisap darah (Tabanid sp dan Haematopota sp) secara mekanik. Surra oleh Kementerian Pertanian telah ditetapkan sebagai salah satu penyakit hewan menular strategis (PHMS) yang harus ditangani dengan serius dengan Keputusan Menteri Pertanian No. 4026/Kpts./OT.140/3/2013. Kerugian ekonomis yang timbul akibat Surra di Indonesia diperkirakan sebesar US$ 22,4 juta per tahun (Ronohardjo et al. dalam Davison et al, 2000). Saat ini Surra telah ditemukan di seluruh wilayah Indonesia, kecuali Maluku dan bagian barat Papua. Atas dasar tersebut Pemerintah melakukan kajian intensif tentang penyakit ini melalui kegiatan surveilans dan kajian biologi parasit beserta vektornya. Pengendalian Surra belum optimal dilakukan karena adanya berbagai laporan yang membuktikan adanya keragaman Trypanosoma evansi (T.evansi) khususnya yang berkaitan dengan kepekaan beberapa galur terhadap beberapa trypanosidal. Keragaman T.evansi berdasarkan kepekaan terhadap trypanosidal di Asia Tenggara telah dilaporkan oleh Macaraeg et al. (2013) di Filipina dan Subekti et al. (2015) di Indonesia. Keragaman Trypanosoma evansi di Indonesia juga tercermin dari perbedaan pola parasitemia dan patogenesis pada mencit (Subekti et al, 2013). Penelitian yang serupa sebelumnya pernah dilaporkan oleh De Menezes et al (2004) di Brazil. Protein mempunyai peranan penting dalam proses biologi karena protein merupakan komponen utama penyusun sel makhluk hidup termasuk Trypanosoma evansi. Uche et al (1992) telah melakukan penelitian untuk membandingkan profil protein T. evansi isolat dari Indonesia, Mesir dan Yaman. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa isolat Indonesia memiliki sedikit perbedaan dengan isolat Mesir tetapi keduanya memiliki perbedaan yang besar dibandingkan isolat dari Yaman. Singh et al (1995) juga telah melaporkan adanya keragaman profil protein pada membran sel dari 7 isolat T. evansi dari India bagian utara. Namun sebaliknya, penelitian yang telah dilakukan oleh Laha et al (2008) tidak menemukan adanya perbedaan profil protein antara tiga isolat T. evansi yang berasal dari kuda, kerbau dan sapi dari India Timur.
2 Perbedaan profil protein tidak hanya komposisinya tetapi karakteristik imunogenik protein Trypanosoma evansi juga bervariasi. Menurut Queiroz et al. (2001) isolat Brasil dari kuda, anjing dan coati yang diinokulasikan ke tikus Wistar (Rattus norvegicus) mempunyai karakter imunogenik yang berbeda meskipun menggunakan serum tikus yang sama. Laha dan Sasmal (2008) melaporkan bahwa adanya perbedaan karakter imunogenik protein isolat India yang diinkubasi menggunakan hiperimun serum kelinci yang diimunisasi dengan whole cell lysate antigen dibandingkan dengan serum kuda yang terinfeksi alami. Penelitian tersebut juga menemukan adanya protein yang tidak terdeteksi pada hasil SDS PAGE tetapi terdeteksi pada hasil Western Blot. Perbedaan karakter imunogenik protein tidak hanya terjadi pada isolat yang berbeda dengan serum yang berbeda tetapi dapat juga pada isolat yang sama dengan beberapa serum yang berbeda. Menurut Aquino et al. (2010) isolat Brasil yang sama mempunyai karakter imunogenik yang berbeda ketika diinkubasi dengan serum sapi, keledai/kuda, anjing dan coati yang terinfeksi alami maupun infeksi buatan. Perbedaan tersebut menunjukkan dalam satu spesies Trypanosoma evansi mempunyai keragaman atau varian. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan pada komponen dasar makhluk hidup yaitu protein, mengingat fungsi protein yang vital dalam metabolisme tubuh. Informasi mengenai perbedaan profil protein dan karakter imunogenik isolat dari luar negeri merupakan gambaran bahwa terdapat perbedaan inter spesies pada Trypanosoma evansi sehingga diharapkan adanya penelitian tentang profil protein dan karakter imunogenik isolat Indonesia yang nantinya dapat menjadi informasi dasar mengenai profil protein isolat Trypanosoma evansi dalam pengembangan alat dan bahan diagnostik Surra untuk mendukung upaya pengendalian Surra di Indonesia.
Perumusan Masalah Adanya perbedaan / variasi dalam hal profil protein dan karakter imunogenik, kepekaan terhadap trypanosidal, pola parasitemia, periode prepaten dan daya hidup hewan yang terinfeksi menunjukkan bahwa Trypanosoma evansi mempunyai varian / strain / tipe beragam yang membutuhkan metode pengendalian yang berbeda pula. Meningkatnya kasus Surra di Indonesia menunjukkan bahwa belum optimalnya metode pengendalian yang dilaksanakan karena masih kurangnya informasi mengenai perbedaan / variasi isolat – isolat Indonesia.
3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi profil protein isolat Trypanosoma evansi dari wilayah kasus Surra di Indonesia. 2. Mengetahui karakter imunogenik protein isolat Trypanosoma evansi dari wilayah kasus Surra di Indonesia.
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dasar mengenai profil dan karakter imunogenik protein isolat Trypanosoma evansi dari Indonesia dalam pengembangan alat dan bahan diagnostik penyakit Surra di Indonesia.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA Trypanosoma evansi Trypanosoma evansi merupakan parasit darah yang menyebabkan penyakit Surra pada hewan mamalia. Pertama kali ditemukan oleh Griffith Evans pada tahun 1880 di darah kuda dan unta India (Hoare, 1972). Trypanosoma evansi masuk dalam ordo Kinetoplastida, famili Trypanosomatidae, genus Trypanosoma, subgenus Trypanozoon dan kelompok salivaria. Penularannya melalui vektor mekanik lalat Tabanus dan Stomoxys (Stephen, 1986). Penyebaran Trypanosoma evansi sangat luas meliputi wilayah Afrika, Timur Tengah, Asia Tenggara sampai Eropa (Hoare, 1972). Trypanosoma evansi tidak hanya penyebaran wilayah yang luas tapi juga penularannya ke hewan, hampir semua mamalia dapat terinfeksi. Hewan yang paling rentan terhadap Trypanosoma evansi adalah unta dan kuda selain itu dapat juga menginfeksi keledai, babi, kerbau, sapi, kambing, domba dan anjing. Selain itu juga dapat menginfeksi hewan liar rusa, gajah, babi rusa dan tapir.
Siklus hidup dan Morfologi Siklus hidup Trypanosoma evansi hanya mengalami perkembangan dengan membelah diri tanpa melalui tahapan stadium amastigot, promastigot dan epimastigot seperti Trypanosoma yang lain baik di tubuh inang maupun vektornya. Di luar tubuh inang Trypanosoma evansi hanya mampu bertahan hidup selama 6 – 12 jam. Trypanosoma evansi mempunyai panjang 19,4 – 35,3 µm, lebar 1,3 – 1,6 µm (Stephen, 1986), alat geraknya berupa flagela, terdapat undulating membrane, kinetoplas dan nukleus berada di tengah (Gambar 1 dan Gambar 2).
d b c
a
Gambar 1. Trypanosoma evansi pada ulas darah sapi bali dengan pewarnaan Giemsa. a : flagela, b : undulating membrane, c : kinetoplas, d : nukleus. Sumber : Dokumentasi Balai Veteriner Banjarbaru, 2012
5
Gambar 2. Morfologi lengkap Trypanosoma spp. Sumber : http://www.parasitemuseum.com/trypanosome
Epidemiologi Kejadian Surra di Indonesia pertama kali dilaporkan pada tahun 1897 yang menyerang populasi kuda di Pulau Jawa, tetapi literatur lain menyebutkan bahwa Trypanosoma sp. di Indonesia telah terjadi sejak tahun 1808 (De Does dalam Partoutomo, 1996; Martindah dan Husein, 2007). Menurut Payne et al. (1991) Kurang dari kurun waktu 10 tahun sejak dilaporkan, seluruh Pulau Jawa menjadi daerah endemis Surra dan dalam waktu relatif singkat Indonesia teridentifikasi sebagai daerah endemis Surra berdasarkan hasil uji serologis. Prevalensi Surra pada kerbau di Sumatera, Jawa, Kalimantan Selatan, Lombok, Sulawesi Selatan dan Utara berkisar 5,8-7%. Menurut Partoutomo (1996), prevalensi Surra akan meningkat dengan bertambahnya umur ternak. Hasil survei yang dilakukan oleh Davison et al. (2000) di lima kabupaten di Jawa Tengah menunjukkan bahwa dengan MHCT 4% kerbau positif Surra dan dengan Ag ELISA lebih dari 50% positif Surra. Kasus terbaru di Indonesia terjadi di Pulau Sumba Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2010 – 2011. Kasus tersebut mengakibatkan 4268 ekor ternak (kuda 1608, kerbau 2464, sapi 196) terjangkit trypanosomiasis (Ditkeswan, 2012). Kematian akibat Surra di pulau Sumba tersebut dilaporkan sebanyak 1760 ekor, terdiri dari kuda 1159 ekor, kerbau 600 ekor dan sapi 1 ekor (Ditkeswan 2012).
6 Menurut hasil surveilans Balai Veteriner Banjarbaru tahun 2012 di wilayah Kalimantan terjadi 14 kasus Surra, tahun 2013 terjadi 25 kasus dan pada tahun 2014 terjadi 26 kasus Surra melalui pemeriksaan ulas darah.
Gambar 3. Penyebaran kasus Surra di Indonesia (warna merah) Sumber : Infolab, 2014 Pada Gambar 3 terlihat hampir semua wilayah Indonesia berwarna merah yang merupakan wilayah adanya laporan kasus Surra. Sebagian wilayah Maluku dan Papua yang berwarna putih menandakan tidak ada kasus ataupun belum adanya laporan mengenai kasus Surra di wilayah tersebut.
Variasi Profil Protein Istilah protein pertama kali dikemukakan oleh pakar kimia Belanda GJ. Mulder pada tahun 1939, berasal dari bahasa Yunani “proteios” yang mempunyai arti yang pertama atau yang paling utama (Sumarjo, 2009). Protein merupakan makro molekul yang menyusun lebih dari separuh bagian dari sel. Protein menentukan ukuran dan struktur sel, komponen utama dari sistem komunikasi antar sel serta sebagai katalis berbagai reaksi biokimia di dalam sel. Protein berfungsi sebagai katalisator, sebagai pengangkut dan penyimpan molekul lain seperti oksigen, mendukung secara mekanis sistem kekebalan (imunitas) tubuh, menghasilkan pergerakan tubuh, sebagai transmitor gerakan syaraf dan mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan (Katili, 2009). Protein ini memainkan berbagai peranan dalam benda hidup dan bertanggung jawab untuk fungsi dan ciri-ciri benda hidup. Protein dapat dibedakan menurut berat molekulnya yang dinyatakan dengan satuan Dalton (D).
7
Gambar 4. Profil protein isolat Indonesia (A), Mesir (C) dan Yaman (E) tanpa proses iodinasi; Profil protein isolat Indonesia (B), Mesir (D) dan Yaman (F) setelah proses iodinasi. Sumber : Uche et al. (1992) Penelitian mengenai profil protein Trypanosoma evansi masih sedikit dibandingkan dengan Trypanosoma brucei dan Trypanosoma cruzi. Kurangnya data ini kemungkinan disebabkan oleh faktor kerugian yang ditimbulkan Trypanosoma evansi hanya pada kematian hewan sedangkan Trypanosoma brucei pada manusia. Uche et al. (1992) dalam laporannya menyebutkan bahwa adanya perbedaan profil protein Trypanosoma evansi dari tiga negara yang berbeda yaitu isolat dari Indonesia, Mesir dan Yaman dengan menggunakan metode SDS PAGE seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 5. Profil protein sel membran (kiri) dan flagella (kanan) 7 isolat India Sumber : Singh et al. (1995)
8 Isolat India dari wilayah yang berbeda juga menunjukkan profil protein yang berbeda sebagaimana yang dilaporkan Singh et al. (1995) tentang profil protein sel membran dan flagella. Pada Gambar 5 menunjukkan adanya variasi profil protein dari isolat India nomor 1 sampai 7 yang berasal dari wilayah dan inang yang berbeda. Perbedaan dapat dilihat dari jumlah dan ketebalan pita protein serta komposisi berat molekulnya.
Variasi Karakter Imunogenik Karakter protein imunogenik dari isolat Trypanosoma evansi yang berbeda akan memberikan reaksi yang berbeda meskipun diinkubasikan dengan serum yang sama. Hal ini disebabkan tidak semua protein dikenali oleh antibodi anti Surra. Perbedaan karakter imunogenik juga dipengaruhi oleh kuat / lemahnya sifat imunogenik protein. Queiroz et al. (2001) melaporkan perbedaan karakter protein imunogenik tiga isolat Brasil yang diinokulasikan ke tikus Wistar (Rattus norvegicus) dan diinkubasi dengan serum tikus positif yang sama. Pada Gambar 6 (dalam kotak) terlihat lebih banyak protein isolat dari kuda yang bereaksi dengan antibodi anti Surra dari serum tikus yang sama. Protein dengan berat molekul > 50 kD lebih banyak dikenali pada isolat dari kuda dibandingkan isolat dari anjing dan coati.
Gambar 6. Hasil Western Bloting isolat dari kuda (2), anjing (4) dan coati (6) menggunakan serum tikus. a : 7 hari, b : 14 hari, c : 21 hari, d : 28 hari setelah infeksi, n : kontrol negatif. Sumber : Queiroz et al. (2001)
9 Tabel 1. Profil protein dengan SDS PAGE Sapi Kuda Kerbau Range 95,2 95,0 95,0 95,0 – 95,2 Berat Molekul 88,37 87,73 88,37 87,37 – 88,73 (kD) 76,55 75,27 75,91 75,27 – 76,55 64,24 63,76 64,08 63,76 – 64,24 54,02 53,06 52,9 52,9 – 54,02 47,31 47,4 47,42 47,31 – 47,42 40,7 40,0 40,2 40,0 – 40,7 37,3 36,4 36,7 36,4 – 37,3 29,8 28,86 29,2 28,86 – 29,8 26,29 26,2 26,4 26,2 – 26,4 14,73 13,76 13,32 13,32 – 14,73 11 11 11 11 Total Sumber : Laha dan Sasmal (2008) Menurut Laha dan Sasmal (2008) terdapat perbedaan jika Tabel 1 dibandingkan dengan Gambar 7A, protein BM 28-29 kD dan 25-26 kD yang teridentifikasi sebagai protein minor (pita tipis) di SDS PAGE tetapi setelah Western Bloting teridentifikasi sebagai protein mayor (pita tebal). Hal ini dapat terjadi disebabkan oleh kuatnya ikatan protein sebagai antigen dengan antibodi yang direaksikan. Protein BM 127, 81-82, 44-45, 34-35, 22 dan 19-20 kD teridentifikasi pada Western Bloting tetapi tidak pada SDS PAGE. Begitu juga antara Tabel 1 dan Gambar 7B, protein 178-180, 172, 140-141, 121-122, 68-69, 3132, 23-24, 18 dan 16 kD teridentifikasi pada Western Bloting tetapi tidak pada SDS PAGE. Sensitivitas bahan pewarna yang digunakan dalam SDS PAGE mempengaruhi perbedaan identifikasi protein.
Gambar 7. Hasil Western Bloting isolat dari kerbau (B), kuda (H) dan sapi (C) menggunakan hiperimun serum kelinci (A) dan serum kuda yang terinfeksi alami (B). Sumber : Laha dan Sasmal (2008)
10
Tabel 2. Hasil Western blot antigen Trypanosoma evansi dengan serum yang berbeda. Sapi Kuda Anjing Coati BM (kD) B A B A B A B A x x o x o 160 x x o 88 x x o x o 74 x x o x o x o 66 x x o 52/50 x x o x o x o 48/47/46 x x o x o x o 38 x x o o o 32/30 x x o x o 27 x o x o o 25 x x o x o 20 x x o 17 Keterangan : Serum infeksi buatan (B), serum infeksi alami (A); (x, o) menunjukkan protein yang teridentifikasi Sumber : Aquino et al. (2010)
Karakterisasi protein Trypanosoma evansi juga dilaporkan oleh Aquino et al. (2010) yang menggunakan satu isolat Trypanosoma evansi Brasil dengan serum sapi, kuda, anjing dan coati. Menurut Aquino et al. (2010) protein yang sama ketika dilakukan Western Bloting menggunakan serum hewan yang berbeda baik yang terinfeksi alami maupun buatan menunjukkan perbedaan karakter imunogenik (Tabel 2).
Variasi Daya Hidup, Periode Prepaten dan Pola Parasitemia Isolat Trypanosoma evansi Indonesia mempunyai daya hidup, periode prepaten dan pola parasitemia yang berbeda – beda. Menurut Subekti et al. (2013) lama hidup mencit yang diinfeksi isolat Indonesia antara 3 – 17 hari setelah infeksi dan periode prepaten 2 – 6 hari setelah infeksi (Tabel 3). Hal ini menunjukkan adanya keragaman antar isolat – isolat dari Indonesia.
11 Tabel 3. Variasi lama hidup dan periode prepaten isolat dari Indonesia Estimasi Estimasi Periode Lama LHP3 Waktu Waktu Isolat Prepaten Hidup (hpi) Tercapai LD50 Tercapai LD50 (hpi) (hpi) (hari) (hari) 4 4,4±0,4 0,8 5,61 8 EJ1 2,8±0,49 4 1,2 5 6 EJ2 2 3,2±0,49 1,2 4,11 6 CJ1 2,4±0,4 4,8±0,8 2,4 6,19 10 CJ2 2,4±0,4 4,8±0,49 2,4 5,84 8 CJ3 4,4±0,4 17,2±1,49 12,8 18,3 22 CJ4 2 4 2 5,61 8 SC1 2 4 2 5,61 8 NC 2 4,4±0,4 2,4 5 6 L 2,8±0,8 4,4±0,4 1,6 10,16 18 SB1 2 4,4±0,4 2,4 5 6 WJ 2 9,2±2,94 7,2 5,61 8 SC2 2,2±0,2 10,6±1,4 8,4 11,16 18 SB2 2 4 2 5 6 NT1 2 14,4±0,4 12,4 15,6 18 NT2 6±0,82 11±2,08 5 10,5 18 NT3 2 7,6±1,47 5,6 8,42 14 NT4 4,8±0,49 9,4±1,78 4,6 10,05 14 NT5 2,4±0,4 10±1,09 7,6 11,08 ≥14 NT6 Sumber : Subekti et al. (2013) Parasitemia sangat erat hubungannya dengan kemampuan suatu mikroorganisme dalam berkembang di dalam tubuh inangnya. Pada Trypanosoma evansi parasitemia mempunyai pola yang beragam dan tidak semua Trypanosoma evansi akan terus mengalami peningkatan sampai inangnya mati. Hal ini disebabkan oleh adanya parasitemia undulan yang merupakan regulasi biologi Trypanosoma evansi dalam mengatur kemampuan berkembang biak dan mempertahankan inang tetap hidup dengan cara mengurangi kepadatan populasi dalam darah ketika jumlahnya sudah sangat tinggi dan akan kembali meningkat setelahnya (Subekti et al, 2013). Dalam laporannya Subekti et al. (2013) membagi pola biologis Trypanosoma evansi berdasarkan perbedaan pola parasitemia dan patogenesis pada mencit menjadi tiga kategori yaitu biotipe 1 mempunyai kemampuan membunuh, periode prepaten dan peningkatan parasitemia paling cepat, biotipe 2 dan biotipe 3 kemampuan membunuh, periode prepaten dan peningkatan parasitemianya lebih lama dari pada biotipe 1. Biotipe 2 mempunyai ciri adanya parasitemia undulan dan biotipe 3 mampu mempertahankan parasitemia tinggi dalam waktu lama tanpa adanya parasitemia undulan.
12
Gambar 8. Pola parasitemia biotipe 1. Sumber : Subekti et al. (2013). Pada Gambar 8 menunjukkan bahwa biotipe 1 mempunyai kemampuan membunuh yang cepat dan peningkatan parasitemia yang cepat ± 4 hari. Gambar 9 merupakan biotipe 2 yang lebih lama dalam membunuh mencit ± 14 hari dan adanya penurunan parasitemia kemudian naik kembali yang disebut parasitemia undulan. Gambar 10 adalah biotipe 3 meskipun mempunyai peningkatan parasitemia yang cepat tetapi kemampuan membunuh mencit relatif lebih lama ± 12 – 14 hari. Hal ini menunjukkan bahwa adanya keragaman atau varian antar spesies Trypanosoma evansi dalam pola parasitemia. Penelitian yang serupa sebelumnya pernah dilaporkan oleh De Menezes et al. (2004) yang melaporkan adanya bentuk parasitemia undulan dan parasitemia tinggi yang kontinyu yang serupa dengan biotipe 2 dan biotipe 3 sebagaimana dilaporkan Subekti et al. (2013).
Gambar 9. Biotipe 2 dengan ciri parasitemia undulan (dalam kotak). Sumber : Subekti et al. (2013).
13
Gambar 10. Pola parasitemia biotipe 3. Sumber : Subekti et al. (2013).
Variasi Kepekaan Terhadap Trypanosidal Trypanosidal merupakan kontrol utama yang dilakukan untuk mengendalikan penyakit Surra. Saat ini ada beberapa macam trypanosidal yang sering digunakan atau sebagai drug of choice yaitu Diminazene aceturate, isomethamidium chloride, suramin, melarsomine dan quinapyramine. Tabel 4. Variasi kepekaan isolat Filipina dari tiga pulau terhadap trypanosidal Pulau Dosis Diminazene Quinapyramine Isometamidium (mg/kg BB) Sembuh Mati Sembuh Mati Sembuh Mati (%) (hpi) (%) (hpi) (%) (hpi) 1 0 12 20 30,5 0 10,6 3 0 23,75 0 26 20 11 5 100 20 32 60 13 Luzon 10 100 80 Td 100 15 atau 20 100 100 100 1 0 13,6 20 21 40 19 3 60 22 100 20 32,7 5 80 Td 100 40 53,3 Visayas 10 100 100 100 15 atau 20 100 100 100 1 20 24,5 60 35 0 5,8 3 100 100 20 24,5 5 100 100 0 18,6 Mindanau 10 100 100 20 32,75 15 atau 20 100 100 100 Sumber : Macaraeg et al. (2013)
14 Menurut Macaraeg et al. (2013) isolat Filipina yang berbeda mempunyai kepekaan yang berbeda terhadap trypanosidal (Tabel 4), isolat Luzon memerlukan trypanosidal dengan bahan aktif diminazene dengan dosis terapi 5 mg/kg berat badan untuk menyembuhkan 100% mencit, sedangkan isolat Visayas memerlukan dosis 10 mg/kg berat badan dan isolat Mindanao hanya dengan dosis 3 mg/kg berat badan. Tabel 4 juga menunjukkan bahwa dengan pengobatan menggunakan quinapyramine, mencit yang diinfeksi dengan isolat Visayas dan Mindanao hanya memerlukan dosis terapi 3 mg/kg berat badan untuk mencapai kesembuhan 100%, sedangkan isolat Luzon memerlukan dosis terapi ≥15 mg/kg berat badan. Tabel 5. Variasi kepekaan isolat Indonesia terhadap trypanosidal Trypanosidal
Melarsomine Hydrochloride
Suramin
Diminazene Aceturate
Isometamidium
Dosis 0,25 mg/kg BB 0,75 mg/kg BB 5 mg/kg BB 10 mg/kg BB 3,5 mg/kg BB 7 mg/kg BB 0,5 mg/kg BB 1 mg/kg BB
Status Sembuh Relaps Resisten Sembuh Relaps Resisten Sembuh Relaps Resisten Sembuh Relaps Resisten Sembuh Relaps Resisten Sembuh Relaps Resisten Sembuh Relaps Resisten Sembuh Relaps Resisten
ST372 100% 100% 100% 100% 20% 80% 100% 100% 100%
ST373 100% 100% 100% 80% 20% 80% 20% 80% 20% 100% 100%
S13 60% 20% 20% 100% 100% 75% 25% 80% 20% 100% 100% 100%
S18 75% 25% 100% 75% 25% 60% 40% 100% 100% 20% 80% 100%
HSU 20% 80% 50% 50% 100% 100% NS NS NS 100% 100% 100%
Sumber : Subekti et al. (2015) Perbedan respon terhadap trypanosidal juga terjadi pada isolat dari Indonesia. Hasil ini dilaporkan oleh Subekti et al. (2015) bahwa isolat Indonesia dari wilayah yang berbeda menunjukan kepekaan yang bervariasi terhadap trypanosidal (Tabel 5). Salah satu yang ditunjukkan pada Tabel 5 yaitu adanya kepekaan yang berbeda antara isolat Hulu Sungai Utara (Kalimantan) dengan isolat
PLS 80% 20% 100% 100% 100% 100% 75% 25% 20% 80% 100%
15 lain terhadap melarsomine hydrochloride dosis 0,75 mg/kg berat badan. Isolat HSU mengalami tingkat kesembuhan 50% sedangkan isolat lain mengalami kesembuhan 100 %. Tabel 5 juga menunjukkan adanya perbedaan kepekaan terhadap trypanosidal dari isolat yang diisolasi secara bersamaan dari daerah yang sama. Isolat S13 dan S18 merupakan isolat yang sama – sama berasal dari Banten tetapi mempunyai kepekaan yang berbeda terhadap trypanosidal. Demikian juga dengan isolat ST372 dan ST373 yang berasal dari Nusa Tenggara Timur.
16
3 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Januari – Maret 2015 di dua lokasi yaitu Balai Veteriner Banjarbaru, Kalimantan Selatan dan Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor, Jawa Barat.
Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang terbagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pertama adalah identifikasi protein Trypanosoma evansi menggunakan teknik Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrilamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) dan tahap kedua adalah karakterisasi protein Trypanosoma evansi menggunakan teknik Western Blot.
Diagram Alur Penelitian
Isolat Trypanosoma evansi Purifikasi dan Pembuatan Soluble Trypanosoma Antigen (STrAg) SDS PAGE
Identifikasi Protein
Karakterisasi Protein Western Blot
Pewarnaan Comassie Blue
Transfer ke membran nitrocellulose
Penentuan Berat Molekul
Serum Pool Infeksi Alami Surra Konjugat Antibovine IgG
Substrat
Penentuan Berat Molekul
17
Isolat Parasit Penelitian ini menggunakan sembilan isolat Trypanosoma evansi dari beberapawilayah kasus Surra pada kerbau yang terjadi di Indonesia antara tahun 1988 – 2014 (Tabel 6). Isolat-isolat tersebut disimpan beku pada nitrogen cair (Kryopreservasi) di Balai Veteriner Banjarbaru, Balai Veteriner Lampung, maupun Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor. Dalam rangka penelitian ini isolat dibawa ke BBalitVet Bogor melalui kerja sama kelembagaan. Tabel 6. Isolat Trypanosoma evansi dari wilayah kasus Surra di Indonesia No. Kode Asal Daerah Hewan Tahun 87c Kabupaten Bangkalan, Provinsi Jawa Timur Kerbau 1988 1 c 06 Kabupaten Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah Kerbau 1996 2 Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa 372ac Kerbau 2012 3 Tenggara Timur Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Kerbau 2013 4 PLSab Lampung Kabupaten Hulu Sungai Utara, Provinsi Kerbau A13a 2013 5 Kalimantan Selatan rawa Kabupaten Hulu Sungai Utara, Provinsi Kerbau A14a 2014 6 Kalimantan Selatan rawa S13c Kabupaten Serang, Provinsi Banten Kerbau 2014 7 S18c Kabupaten Serang, Provinsi Banten Kerbau 2014 8 Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi SPTa Kerbau 2014 9 Kalimantan Tengah Keterangan : Huruf superscript menunjukkan lembaga asal isolat aBalai Veteriner Banjarbaru, bBalai Veteriner Lampung, cBalai Besar Penelitian Veteriner Bogor.
Pembuatan Soluble Trypanosoma Antigen (STrAg) Prosedur pembuatan Soluble Trypanosoma Antigen (STrAg) Trypanosoma evansi yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan prosedur anion exchange chromatography yang dikembangkan bersama oleh Balai Veteriner Banjarbaru dan Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor. STrAg dipurifikasi dari sembilan isolat yang sebelumnya diinokulasikan ke mencit secara intraperitoneal. Pengamatan parasitemia dilakukan setiap hari dengan cara memotong ujung ekor mencit dan dilakukan pemeriksaan darah secara natif. Darah diambil dari jantung mencit yang telah parasitemia 4+ atau 108-109 trypanosoma/ml darah dengan dilakukan euthanasi menggunakan ketamin (Ketalar®) 0,1 mg/kg berat badan secara intra muscular lebih dulu. Darah ditampung dalam tabung yang berisi heparin 10 % dan dipurifikasi dengan anion exchange chromatography menggunakan diethylaminoethyl anion exchange cellulose (DE52® Whatman) dengan larutan PBSG (phosphate-buffered saline glucose) pH 8 sebagai pelarutnya. Suspensi DE anion exchange dengan PBS glukosa dimasukkan ke dalam polypropylene column sebanyak 4 – 5 ml sampai
18 suspensi mengendap, lalu darah 1 ml dimasukkan ke dalam polypropylene column. Penambahan PBS glukosa ke dalam polypropylene column dilakukan untuk menjaga endapan suspensi tetap basah, filtrat ditampung dalam centrifuge tube dengan penambahan Protease inhibitor (Aprotinin). Kemudian filtrat disentrifus dengan kecepatan 3500 rpm selama 15 menit. Supernatan dibuang kemudian filtrat diresuspensi dengan menambahkan PBS + Aprotinin sampai 1 ml. Trypanosoma evansi yang ada dalam suspensi dirusak dengan teknik freeze-thow sampai tidak ada bentuk sel utuh. Selanjutnya, suspensi disentrifus dengan kecepatan 3500 rpm selama 15 menit kemudian supernatan diambil dan endapan dibuang dan disimpan dalam freezer dengan suhu -20ºC. Kuantifikasi Protein Konsentrasi protein masing – masing STrAg diukur menggunakan metode Bradford (Bradford, 1976) yang telah dimodifikasi. Protein standar dibuat menggunakan Bovine Serum Albumin (Sigma, USA), dengan konsentrasi 0; 0,5; 0,75; 1; 1,25; 1,50 mg/ml. STrAg dan protein standar masing – masing diambil 10 µl dan dilarutkan dalam 190 µL larutan Bradford. Setelah dilakukan homogenisasi, 80 µl dari setiap protein standar dan protein sampel (STrAg) dimasukkan ke microplate (flat bottomed 96 well microplate, Nunc - Denmark) dan dibaca menggunakan ELISA Reader (Multiskan EX Colorimeter Reader, Thermo Scientific – Finlandia) dengan panjang gelombang 600 nm. Nilai absorbansi kemudian dikonversi menjadi kadar protein.
Identifikasi Profil Protein Identifikasi profil protein Soluble Trypanosoma Antigen (STrAg) Trypanosoma evansi dilakukan menggunakan teknik Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrilamide Gel Electrophoresis / SDS-PAGE (Laemmli, 1970). Persiapan Sampel Sampel / STrAg dengan konsentrasi 10 µg dicampur dengan sampel buffer (Laemmli sample buffer + 2-mercaptoethanol, Biorad) dengan perbandingan 1 : 1 ke dalam microtube. Homogenisasi sampel dengan menggunakan mikropipet kemudian dilakukan pemanasan dengan air panas 65ºC selama lima menit. Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrilamide Gel Electrophoresis / SDS-PAGE Gel (Mini protean TGX stain-free precast gels, Biorad) dipasang pada casting frame alat elektroforesis (Mini protean tetra system, Biorad) kemudian ditambahkan running buffer (Tris/Glycine/SDS buffer, Biorad). Sampel yang telah disiapkan dan marker dengan batasan berat molekul 250 – 10 kDa (Precision plus protein all blue standard, Biorad) dimasukkan ke dalam well. Elektroforesis dijalankan dengan tegangan 200 volt dan kuat arus 300 mA selama 35 menit atau setelah warna biru turun seluruhnya.
19 Gel hasil elektroforesis dilepaskan pelan-pelan ke dalam cawan petri yang berisi larutan pewarna (Commasie Brilliant Blue, Remazol) kemudian digoyang menggunakan gel rocker shaker selama satu jam atau sampai timbul pita-pita proteinnya. Selanjutnya, larutan pewarna dibuang dan diganti dengan larutan destaining (digoyang sampai gel jernih) kemudian setelah gel jernih larutan destaining diganti dengan aquades.
Karakterisasi Protein Imunogenik Karakterisasi imunogenik Soluble Trypanosoma Antigen (STrAg) Trypanosoma evansi dilakukan menggunakan teknik Western Blot sesuai dengan prosedur Towbin et al (1979). Western Blot Gel hasil elektroforesis tanpa pewarnaan diletakkan pada membran nitrocellulose (Mini format 0,2 µm nitrocellulose, Biorad) dan ditransfer menggunakan transblot turbo transfer system (Biorad) selama 10 menit. Membran nitroselulose dicuci dengan washing buffer (PBS tween 20 0,05%) dan diblok menggunakan blocking buffer (PBS tween 20 – BSA 0,5%) selama 60 menit di atas gel rocker shaker kemudian dicuci tiga kali dengan washing buffer (PBS tween 20 0,05%) masing-masing selama lima menit. Sebagai pendeteksi imunologi, membran nitrocellulose diinkubasi dengan serum pool infeksi alami Surra. Serum diencerkan 1 : 50 dengan PBS tween 20 – BSA 0,5% lalu ditambahkan pada cawan petri yang terdapat membran nitrocellulose selama satu jam (digoyang dengan gel rocker shaker). Selanjutnya dicuci tiga kali dengan washing buffer masing-masing selama lima menit kemudian ditambahkan konjugat (antibovine IgG, Sigma) yang diencerkan 1 : 3000 dengan PBS tween 20 – BSA 0,5% selama satu jam dan digoyang dengan gel rocker shaker. Setelah inkubasi satu jam dengan konjugat kemudian dicuci dengan washing buffer tiga kali masing-masing selama lima menit. Selanjutnya ditambahkan larutan substrat dan digoyang selama 10 menit atau sampai muncul pita – pita protein pada membran nitrocellulose kemudian dicuci dengan washing buffer.
Penentuan Berat Molekul Protein Penentuan berat molekul dilakukan dengan menghitung nilai Rf (Retention factor) dari masing-masing pita (band) dengan rumus seperti di bawah ini : Jarak pergerakan protein dari tempat awal Rf
= Panjang gel (Jarak pergerakan warna dari tempat awal)
20
Formula yang diperoleh dapat berupa regresi linier, kuadratik atau kubik dan digunakan untuk menghitung berat molekul pada sampel dengan menentukan nilai Rf sampel (X) dan berat molekul sampel (Y). Selanjutnya, hasil dimasukkan ke software penghitungan berat molekul (Rf converter).
Analisa Data Data hasil identifikasi profil protein dengan metode SDS PAGE dan karakterisasi protein imunogenik dengan metode Western Blot dianalisa menggunakan analisa deskriptif.
21
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Profil Protein
Gambar 11. Profil protein STrAg (Soluble Trypanosoma Antigen) dari isolat yang berbeda pada SDS PAGE 12% dengan pewarnaan Commasie Brilliant Blue. Identifikasi profil protein sembilan isolat Trypanosoma evansi dari wilayah kasus Surra yang berbeda di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 11, yang secara umum terlihat jelas bahwa dari sembilan isolat Trypanosoma evansi menunjukkan profil protein yang berbeda. Meskipun demikian perbedaan itu tidak menjadikan isolat tersebut berbeda spesies tetapi masih satu spesies yang sama yaitu Trypanosoma evansi. Perbedaan dapat dilihat dari jumlah protein (garis/pita) yang teridentifikasi dan ketebalan protein pada tiap – tiap isolat lebih berkaitan dengan regulasi ekspresi protein terkait fisiologi individual dari setiap isolat. Pada penelitian ini, protein isolat Trypanosoma evansi dari wilayah kasus Surra di Indonesia berada pada kisaran 15,76 – 85,46 kD dengan jumlah dan distribusi berat molekul protein yang berbeda pada masing – masing isolat (Tabel 7). Tiga isolat dari Kalimantan mempunyai kisaran berat molekul yang berbeda yaitu isolat A13 antara 16,09 – 55,83 kD dengan 13 protein yang teridentifikasi, isolat A14 teridentifikasi 14 protein dengan BM 15,76 – 71,92 kD, isolat SPT 14 protein teridentifikasi dengan BM 16,21 – 70,23 kD. Isolat dari Banten S13 terdapat 20 protein dengan BM 16,04 – 85,46 kD dan S18 terdapat 23 protein dengan BM 16,34 – 83,14 kD yang teridentifikasi, isolat PLS dari Lampung terdapat 18 protein dengan BM 16,13 – 83,75 kD dan isolat 372 dari Nusa Tenggara Timur
22 teridentifikasi 17 protein dengan BM 16,23 – 84,6 kD. Sedangkan dua isolat dari Jawa yaitu isolat 87 dari Jawa Timur dan isolat 06 dari Jawa Tengah masing – masing 12 protein dengan 16,12 – 74,29 kD serta 11 protein dengan 16,27 – 59,88 kD. Protein 30 – 60 kD teridentifikasi pada semua isolat meskipun ketebalan dari masing – masing pita protein berbeda. Sebaliknya, protein dengan berat molekul > 60 kD dan < 30 kD tidak semua ada pada sembilan isolat, seperti pada isolat A13 dari provinsi Kalimantan Selatan dan isolat 06 dari provinsi Jawa Tengah yang tidak mempunyai protein dengan berat molekul > 60 kD. Demikian juga dengan protein < 30 kD yang tidak merata pada semua isolat, protein 17 – 18 kD hanya ada pada isolat PLS dari provinsi Lampung dan isolat S18 dari provinsi Banten serta protein < 16 kD hanya ada pada isolat A14 dari provinsi Kalimantan Selatan. Tabel 7. Berat Molekul (BM) protein STrAg (Soluble Trypanosoma Antigen) dari sembilan isolat. Pita ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
A13 55,83 50,91 48,68 44,55 38,32 36,54 34,84 33,18 28,99 26,23 24,53 22,17 16,09
A14 71,92 64,48 57,28 49,31 43,83 37,68 34,60 31,83 29,07 26,14 24,68 22,33 19,95 15,76
Berat Molekul STrAg (kilo Dalton / kD) SPT PLS S13 S18 372 70,23 83,75 85,46 83,14 84,60 55,29 76,65 66,14 77,57 73,31 49,07 69,17 60,46 71,45 66,05 38,80 63,23 57,91 63,80 60,28 36,67 56,32 51,63 47,97 57,70 34,97 48,56 48,20 43,71 52,55 32,39 44,50 43,90 39,88 44,12 29,64 38,86 42,51 39,16 34,21 26,50 39,73 32,46 35,34 36,25 24,37 31,66 38,12 32,54 29,40 23,15 29,54 35,22 29,56 28,15 22,29 27,80 28,48 26,61 32,11 19,68 25,89 29,54 27,36 25,51 16,21 24,47 28,05 26,21 23,12 22,90 26,00 25,24 20,91 19,52 22,85 19,95 23,11 17,65 21,20 21,28 16,23 16,13 16,99 20,29 16,48 19,69 16,04 18,92 17,55 16,95 16,34
Keterangan : Cetak tebal merupakan protein – protein yang lebih tebal
87 74,29 66,44 58,89 50,10 42,51 39,20 30,22 25,07 23,94 22,31 19,64 16,12
06 59,88 50,38 46,75 40,67 35,91 33,05 30,48 27,89 24,78 22,45 16,27
23
Profil protein pada masing – masing isolat dalam penelitian ini tidak berbeda dengan hasil yang dilaporkan oleh Uche et al. (1992) bahwa adanya perbedaan profil protein Trypanosoma evansi dari tiga negara yang berbeda yaitu isolat dari Indonesia, Mesir dan Yaman dengan menggunakan metode SDS PAGE. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa isolat Indonesia memiliki sedikit perbedaan dengan isolat Mesir tetapi keduanya memiliki perbedaan yang besar dibandingkan isolat dari Yaman. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Singh et al. (1995) bahwa terdapat perbedaan profil protein membran sel dan flagella dari tujuh isolat yang diisolasi dari hewan dan wilayah yang berbeda di India.
Gambar 12. Perbedaan profil protein STrAg A13 dan A14, STrAg S13 dan S18 yang diisolasi dari daerah yang sama. Anak panah menunjukkan protein yang hanya teridentifikasi pada STrAg A14 dan S18. Kepala panah menunjukkan perbedaan ketebalan protein yang teridentifikasi. Isolat dari wilayah yang sama juga dapat berbeda profil proteinnya (Gambar 12) seperti pada isolat A13 dan A14 yang sama – sama berasal dari kerbau rawa di kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan tetapi berbeda waktu isolasinya, A13 diisolasi pada tahun 2013 sedangkan A14 pada tahun 2014. Jumlah protein yang teridentifikasi pada STrAg A13 sebanyak 13 protein sedangkan pada STrAg A14 sebanyak 14 protein. Anak panah pada Gambar 12 menunjukkan bahwa protein BM 71,92 kD dan 19,95 kD yang teridentifikasi pada STrAg A14 tetapi tidak pada STrAg A13. Kepala panah pada Gambar 12 menunjukkan protein yang teridentifikasi sebagai protein mayor (tebal) pada STrAg A13 tetapi sebagai protein minor (tipis) pada STrAg A14. Perbedaan profil protein ini tidak boleh diartikan
24 bahwa telah terjadi peristiwa mutasi pada populasi Trypanosoma evansi di daerah itu, karena tidak adanya bukti perubahan dari isolat asal (yaitu A13) menjadi isolat baru (yaitu A14). Perbedaan profil protein dari isolat tersebut lebih cenderung mengarah pada keragaman populasi Trypanosoma evansi di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Provinsi Kalimantan Selatan. Perbedaan profil protein juga terjadi pada isolat S13 dan S18 yang berasal dari kerbau di Kabupaten Serang, Banten meskipun diisolasi pada tahun yang sama yaitu tahun 2014. Gambar 12 menunjukkan protein 71,45 kD teridentifikasi pada STrAg S18 tetapi tidak teridentifikasi pada STrAg S13 (anak panah). Kepala panah pada Gambar 12 menunjukkan protein yang teridentifikasi sebagai protein mayor (tebal) pada STrAg S13 tetapi pada STrAg S18 sebagai protein minor (tipis) dan juga sebaliknya. Berdasarkan penelitian ini menunjukkan bahwa isolat dari hewan yang sama dan diisolasi pada waktu dan daerah yang sama memiliki profil protein yang berbeda. Hasil penelitian ini berbeda dengan laporan Laha et al. (2008) bahwa tiga isolat yang diisolasi dari kerbau, kuda dan sapi menunjukkan profil protein yang tidak berbeda jauh.
Karakterisasi Protein Secara umum protein yang teridentifikasi pada hasil Western Blot berada pada kisaran 27,15 – 97,75 kD. Sembilan isolat mempunyai kesamaan respon imunogenik pada protein antara 39 – 42 kD seperti yang terlihat pada Gambar 13. Protein – protein tersebut dikenali kuat oleh antibodi IgG anti Surra dari serum pool infeksi alami Surra walaupun pada SDS PAGE teridentifikasi lemah / tipis. Konsistensi pengenalan antibodi oleh protein 39 – 42 kD dalam penelitian ini yang dapat disebut sebagai common protein karena pengenalan yang seragam dari sembilan isolat Indonesia. Kesamaan respon imunogenik ini serupa dengan laporan Aquino et al. (2010) bahwa protein 46 – 48 kD selain dikenali oleh antibodi infeksi buatan juga dikenali oleh antibodi infeksi alami. Laha dan Sasmal (2008) juga melaporkan bahwa dalam penelitiannya tidak mendapatkan perbedaan yang berarti dalam pengenalan protein antara serum hiperimun kelinci dan serum kuda yang terinfeksi alami. Aquino et al. (2010) juga menyatakan bahwa protein 46 – 48 kD yang dikenali oleh antibodi alami maupun buatan pada penelitian yang dilakukannya dapat dijadikan kandidat untuk keperluan diagnosis. Hal yang sama dapat juga dilakukan pada protein 39 – 42 kD yang teridentifikasi dalam penelitian ini sebagai bahan diagnosis serologis. Meskipun demikian masih perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut dengan menggunakan antibodi anti Surra dari berbagai hewan yang terinfeksi untuk memastikan konsistensi pengenalan antibodi anti Surra terhadap protein tersebut.
25
Gambar 13. Western Blot STrAg (Soluble Trypanosoma Antigen) dari sembilan isolat yang berbeda dengan serum pool infeksi alami Surra. Gambar 13 juga memperlihatkan adanya perbedaan karakter imunogenik yang ditunjukkan dengan penyebaran dan juga ketebalan protein dari sembilan isolat. Perbedaan ketebalan protein yang teridentifikasi disebabkan oleh banyaknya antibodi IgG anti Surra dari serum pool infeksi alami Surra yang terikat pada protein tersebut. Perbedaan terlihat pada protein > 50 kD yang mempunyai respon imunogenik yang berbeda dari sembilan isolat. Protein tersebut merupakan protein spesifik yang dimiliki oleh masing – masing isolat yang juga sebagai indikasi adanya keragaman / varian dalam satu spesies Trypanosoma evansi. Spesifitas yang ditunjukkan oleh protein > 50 kD dapat dijadikan bahan diagnosa serologis yang lebih spesifik. Perbedaan juga didapatkan dalam penelitian ini yaitu adanya protein yang teridentifikasi pada SDS PAGE tetapi tidak pada Western Blot begitu juga sebaliknya seperti ditunjukkan pada Gambar 14. Protein dengan berat molekul ≤ 27 kD dari STrAg A13 dan A14 hanya teridentifikasi pada SDS PAGE. Protein tersebut tidak dikenali atau tidak adanya antibodi IgG anti Surra dari serum pool infeksi alami Surra yang terikat pada protein tersebut. Hal ini dapat terjadi dikarenakan protein tersebut mempunyai sifat imunogenik yang lemah atau bahkan tidak imunogenik sehingga tidak teridentifikasi pada Western Blot.
26
Gambar 14. Perbedaan hasil Western Blot (kiri) dan SDS PAGE (kanan). Gambar 14 juga menunjukkan hasil yang sebaliknya yaitu protein ≥ 75 kD dari STrAg A13 dan A14 pada SDS PAGE 12% tidak teridentifikasi tetapi teridentifikasi pada pengujian Western Blot. Hasil ini sama dengan yang dilaporkan oleh Laha dan Sasmal (2008) bahwa ada beberapa protein isolat India yang berasal dari sapi, kerbau dan kuda yang teridentifikasi sebagai protein imunogenik dengan analisis Western Blot tetapi tidak teridentifikasi oleh SDS PAGE 10% setelah diwarnai dengan perwarnaan Commasie Brilliant Blue. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurang sensitifnya Commasie Brilliant Blue dalam mewarnai protein jika dibandingkan dengan metode lain seperti pewarnaan perak. Menurut laporan Switzer et al. (1979) pewarnaan perak mampu mewarnai albumin 0,38 ng/mm2 sedangkan Commasie Brilliant Blue hanya mampu mewarnai albumin 38 ng/mm2. Hal yang sama juga sesuai dengan laporan Kang et al. (2002) bahwa pewarnaan perak lebih sensitif dibandingkan dengan pewarnaan Commasie Brilliant Blue.
27
Profil dan Karakter Protein serta Respon Trypanosidal Perbedaan profil protein STrAg A14, S13, S18 dan PLS sejalan dengan hasil pengujian kepekaannya terhadap trypanosidal yang dilakukan oleh Subekti et al. (2015). Penggunaan melarsomine dehydrochloride dosis 0,25 mg/kg BB pada isolat A14, 80% terjadi relaps, isolat S13 dan S18 masing-masing hanya mengalami 25% relaps dan isolat PLS yang mengalami relaps 20% (Subekti et al. 2015). Relaps yaitu kembali terjadinya parasitemia pada mencit yang sudah diobati dan dinyatakan sembuh pada pengamatan sebelumnya. Menurut Subekti et al. (2015) isolat S13 mengalami kesembuhan 100% apabila diobati dengan diminazene diaceturate pada dosis 7 mg/kg BB sedangkan isolat S18 tidak. Hal ini menunjukkan bahwa selain mempunyai kepekaan yang berbeda terhadap trypanosidal, isolat A14, S13, S18 dan PLS juga mempunyai profil protein yang berbeda pula (Gambar 15).
Gambar 15. Perbedaan profil protein STrAg A14, PLS, S13 dan S18 yang juga mempunyai perbedaan respon terhadap trypanosidal. Perbedaan kepekaan terhadap trypanosidal juga dilaporkan Macaraeg et al. (2013) bahwa isolat Luzon memerlukan trypanosidal dengan bahan aktif diminazene dengan dosis terapi 5 mg/kg berat badan untuk menyembuhkan 100% mencit, sedangkan isolat Visayas memerlukan dosis 10 mg/kg berat badan dan isolat Mindanao hanya dengan dosis 3 mg/kg berat badan.
28 Perbedaan respon imunogenik juga sejalan dengan hasil pengujian kepekaan terhadap trypanosidal yang dilakukan oleh Subekti et al (2015). STrAg A14, PLS, S13 dan S18 mempunyai protein yang spesifik yaitu protein dengan berat molekul > 50 kD. Protein spesifik ini dapat dijadikan sebagai bahan diagnosa serologis untuk screening awal dalam hal kepekaan terhadap trypanosidal. Penelitian lebih lanjut dengan membandingkan karakter imunogenik isolat yang peka dan resisten terhadap trypanosidal sangat diperlukan. Hal ini dapat bermanfaat dalam menentukan strategi pengendalian Surra menjadi lebih terarah.
Profil dan Karakter Protein serta Pola Parasitemia
Gambar 16. Perbedaan profil protein STrAg 372, 87 dan 06 yang mempunyai pola parasitemia sama yaitu biotipe 1. Perbedaan profil protein tidak serta merta menyebabkan pola biologis yang berbeda seperti pada STrAg 372 dari NTT, STrAg 87 dari Jawa Timur dan STrAg 06 dari Jawa Tengah (Gambar 16). Menurut hasil penelitian yang dilaporkan oleh Subekti et al. (2013) isolat 372, isolat 87 dan isolat 06 termasuk dalam biotipe 1. Subekti et al (2013) menggolongkan isolat Trypanosoma evansi dari Indonesia berdasarkan pola parasitemia dan kecepatan membunuh mencit menjadi tiga golongan yaitu biotipe 1 yang ditandai dengan parasitemia tinggi (107 – 108 trypanosoma/ml darah) dalam waktu singkat disertai kematian mencit serentak dalam 2 – 4 hpi, biotipe 2 yang ditandai adanya parasitemia undulan yaitu regulasi biologi Trypanosoma evansi dalam mengatur kemampuan berkembang biak dan
29 mempertahankan inang tetap hidup dengan cara mengurangi kepadatan populasi dalam darah ketika jumlahnya sudah sangat tinggi dan akan kembali meningkat setelahnya dan biotipe 3 yaitu pola parasitemia tinggi yang dipertahankan dalam waktu lama tanpa adanya parasitemia undulan. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan oleh adanya protein spesifik yang sama dari ketiga isolat tersebut. Pada penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan profil protein dan karakter imunogenik secara umum antar isolat Trypanosoma evansi tidak dapat secara mutlak dijadikan sebagai penanda dalam penggolongan varian Trypanosoma evansi berdasarkan pola parasitemia. Hal ini disebabkan oleh adanya persamaan pola parasitemia / biotipe pada isolat 372, isolat 87 dan isolat 06 yang mempunyai perbedaan profil dan karakter protein imunogenik. Di sisi lain, perbedaan profil dan karakter protein imunogenik sejalan dengan adanya perbedaan respon terhadap trypanosidal yang diberikan. Meskipun demikian profil protein yang berbeda dapat menunjukkan bahwa Trypanosoma evansi yang ada di Indonesia mempunyai variasi walaupun isolat tersebut diisolasi pada waktu yang sama dan wilayah yang sama pula.
30
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Profil protein sembilan isolat dari wilayah kasus Surra yang berbeda di Indonesia yang teridentifikasi dalam penelitian ini yaitu tiga isolat yang berasal dari Kalimantan, isolat A13 terdapat 13 protein dengan BM 16,09 – 55,83 kD, isolat A14 teridentifikasi 14 protein dengan BM 15,76 – 71,92 kD, isolat SPT 14 protein teridentifikasi dengan BM 16,21 – 70,23 kD, isolat PLS dari Lampung terdapat 18 protein dengan BM 16,13 – 83,75 kD, isolat S13 terdapat 20 protein dengan BM 16,04 – 85,46 kD sedangkan isolat S18 terdapat 23 protein dengan BM 16,34 – 83,14 kD yang berasal dari Banten serta isolat 372 dari Nusa Tenggara Timur teridentifikasi 17 protein dengan BM 16,23 – 84,6 kD. Sedangkan dua isolat dari Jawa yaitu isolat 87 dari Jawa Timur dan isolat 06 dari Jawa Tengah masing – masing 12 protein dengan 16,12 – 74,29 kD serta 11 protein dengan 16,27 – 59,88 kD. Perbedaan profil protein merupakan indikasi lain adanya perbedaan varian atau tipe Trypanosoma evansi selain berdasarkan perbedaan kepekaan terhadap trypanosidal dan pola parasitemia. Karakter protein imunogenik antar isolat Trypanosoma evansi dalam penelitian ini juga menunjukkan perbedaan. Tidak semua protein pada SDS PAGE dikenali antibodi IgG anti Surra pada metode Western Blot yang menggunakan serum pool yang terinfeksi alami Surra. Sembilan isolat menunjukkan respon yang sama kuat terhadap antibodi IgG anti Surra pada protein 39 – 42 kD. Hal ini dapat dikatakan bahwa protein – protein tersebut merupakan protein imunogenik yang terdapat pada semua isolat atau bisa disebut sebagai common protein. Sedangkan pada protein > 50 kD sembilan isolat menunjukkan adanya perbedaan respon imunogenik terhadap antibodi IgG anti Surra. Protein tersebut merupakan protein spesifik yang dimiliki oleh masing – masing isolat yang juga sebagai indikasi adanya keragaman / varian dalam satu spesies Trypanosoma evansi.
Saran Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai protein spesifik dari isolat di Indonesia untuk pengembangan alat diagnosa yang spesifik dalam rangka mendukung upaya pengendalian Surra menurut keragaman / variasi Trypanosoma evansi di Indonesia. Selain itu diperlukan juga penelitian tentang pola parasitemia dan kepekaan terhadap trypanosidal sebagai pendukung dalam pengembangan alat diagnosa Surra.
31
DAFTAR PUSTAKA Abdel-Rady A. 2008. Epidemiological studies (parasitological, serological and molecular techniques) of Trypanosoma evansi infection in camels (Camelus dromedarius) in Egypt. Vet.World 1 (11) : 325 – 328. Aquino LPCT, Machado RZ, Lemos KR, Marques LC, Garcia MV and Borges GP. 2010. Antigenic Characterization of Trypanosoma evansi Using Sera from Experientally and Naturally Infected Bovine, Equine, Dogs and Coatis. Rev. Bras. Parasitol. Vet. 19 (2) : 112 – 118. Balai Veteriner Banjarbaru. 2013. Peta Penyakit Hewan 2012. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Banjarbaru (ID). Balai Veteriner Banjarbaru. 2014. Peta Penyakit Hewan 2013. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Banjarbaru. (ID). Balai Veteriner Banjarbaru. 2015. Peta Penyakit Hewan 2014. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Banjarbaru. (ID). Bradford M. 1976. A rapid and sensitive method for de quantitation of microgram quantitites of protein utilizing the principle of protein-dye binding. Analytical Biochemistry. 72 : 248 – 254. Davison HC, Thrusfield MV, Husein A, Muharsini S, Partoutomo S, Rae P and Luckins AG. 2000. The occurrence of Trypanosoma evansi in buffaloes in Indonesia, estimated using various diagnostic tests. Epidemiol. Infect. 124 : 163 – 172. De-Menezes VT, Queiroz AO, Gomes MAM, MarqueSand MAP and Jansen AM. 2004. Trypanosoma evansi in inbred and Swiss-Webstermice : distinct aspects of pathogenesis. Parasitol Res. 94 : 193 – 200. Direktorat Kesehatan Hewan. 2012. Pedoman pengendalian dan pemberantasan penyakit Trypanosomiasis (Surra). Jakarta (ID) : Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Hoare CA. 1972. The Trypanosomes of Mammals : A Zoological Monograph. Blackwell Scientific Publications. Oxford (UK). Kang D, Gho YS, Suh M and Kang C. 2002. Highly Sensitive and Fast Protein Detection with Coomassie Brilliant Blue in Sodium Dodecyl SulfatePolyacrylamide Gel Electrophoresis. Bull. Korean Chem. Soc. Vol. 23 (11) : 1511 – 1512. Katili AS. 2009. Struktur dan fungsi protein kolagen. Jurnal Pelangi Ilmu 2 (5) : 19 – 29. Laemmli UK. 1970. Cleavage of structural proteins during assembly of head bacteriophage T4. Nature, 227 : 680 – 685.
32 Laha R and Sasmal NK. 2008. Characterization of immunogenic proteins of Trypanosoma evansi isolated from three different Indian hosts using hyperimmune sera and immune sera. Research in Veterinary Science 85: 534 – 539. Macaraeg BB, Lazaro JV, Abes NS, Mingala CN. 2013. In-vivo assessment of the effects of trypanocidal drugs against Trypanosoma evansi isolates from Philippine water buffaloes (Bubalus bubalis). Veterinarski Arhiv 83 (4): 381 – 392. Martindah E dan Husein A. 2007. Trypanosomiasis pada ternak kerbau. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. 103 – 109. Partoutomo S. 1996. Patogenesis Trypanosoma evansi pada kerbau yang diberi ransum bermutu tinggi dan rendah. JITV 2 (2): 137 – 144. Partoutomo S, Husein A, Muharsini S dan Damayanti R. 1996. Rangkuman Hasil Penelitian Surra di Balai Penelitian Veteriner. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Cisarua, Bogor, 7-8 November 1995, 145 – 156. Queiroz AO, Legey AP, Xavier SCC and Jansen AM. 2001. Specific Antibody Levels and Antigenic Recognition of Wistar Rats Inoculated With Distinct Isolates of Trypanosoma evansi. Memórias do Instituto Oswaldo Cruz, 96 (7) : 965 – 972. Ravindran R, Raol JR, Mishra AK, Pathak KML, Babu N, Satheesh C and Rahul S. 2008. Trypanosoma evansi in camels, donkeys and dogs in India : 36 comparison of PCR and light microscopy for detection – short communication. Vet Arch. 78 (1): 89 – 94. Ronohardjo P, Wilson AJ, Partoutomo S and Hirst RG. 1986. Some aspects of the epidemiology and economics of important diseases of large ruminants in Indonesia. Di dalam Davison HC, Thrusfield MV, Husein A, Muharsini S, Partoutomo S, Rae P and Luckins AG, editor. 2000. The occurrence of Trypanosoma evansi in buffaloes in Indonesia, estimated using various diagnostic tests. Epidemiol. Infect. 124 : 163 – 172. Singh V, Singh A and Chhabra MB. 1995. Protection conferred by Trypanosoma evansi infection against homologous and heterologous trypanosome challenge in rabbits. Veterinary Parasitology 56 : 269 – 279. Stephen Lorne E. 1986. Trypanosomiasis a veterinary perspective. Pergamon Press. Oxford (UK). Subekti DT, Sawitri DH, Wardhana AH dan Suhardono. 2013. Pola Parasitemia dan Kematian Mencit yang Diinfeksi Trypanosoma evansi Isolat Indonesia. JITV 18 (4) : 274 – 290. Subekti DT. 2014. Perkembangan, Struktur, Mekanisme Kerja dan Efikasi Trypanosidal untuk Surra. Wartazoa 24 (1) : 1 – 15.
33 Subekti DT, Yuniarto I, Sulinawati, Susiani H, Santosa B, Amaliah F, Utomo BN, Dahlan M, Suharyanto dan Sukarya. 2015. Perbedaan Kepekaan Antar Isolat Trypanosoma Indonesia Terhadap Beberapa Trypanosidal. JITV in press. Sumarjo D. 2009. Pengantar Ilmu Kimia : Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokteran dan Program strata I Fakultas Bioeksakta. Penerbit Buku Kedokteran ECG. Jakarta. (ID). Switzer RC III, Merril CR dan Shifrin S. 1979. A Highly Sensitive Silver Stain For Detecting Proteins And Peptides In Polyacrylamide Gels. Anal. Biochem. 98 : 231 – 237. Towbin H, Stalhelin T and Gordon J. 1979. Electrophoretic Transfer of Proteins from Polyacrylamide Gels to Nitrocellulose Sheets : Procedure and Some Applications. Proceedings of the National Academy of Science 76 : 43504354. Uche UE, Ross CA and Jones TW. 1992. Identification of the surface components of Trypanosoma evansi. Res. Vet. Sci. 53 : 252-253.
34
LAMPIRAN Lampiran 1. Bahan penelitian No Nama Bahan 1 Bovine Serum Albumin (BSA) 50 gr 2 Commasie Brilliant Blue R-250 25 gr 3 Mini protean TGX stain-free gels 12 % 4 Mini format 0,2 µm nitrocellulose 5 Precision plus protein dual color standard 500 µl 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
10x Tris/Glycine/SDS buffer 1 l 2x Laemmli sample buffer Gel loading pipet tips 200 µl Microtube 1,5 ml Konjugate antibovine IgG 1 ml Phosphate Buffer Saline 10 l Tween 20 1 l Microplate flat bottom Bradford reagen Protease inhibitor (Aprotinin) Serum pool sapi dan kerbau terinfeksi alami surra
Merk AppliChem AppliChem Biorad Biorad Biorad
Vol 1 1 1 1 1
Kemasan botol botol 10/box 10/box tube
Biorad Biorad Corning Gen3 Sigma Vivantis Vivantis Nunc Biorad Sigma
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
botol botol 200/pack 500/pack vial botol botol plate botol botol ml
35 Lampiran 2. Proses purifikasi Trypanosoma evansi
Lampiran 3. STrAg (Soluble Trypanosoma Antigen) Trypanosoma evansi
36 Lampiran 4. Proses pengisian gel dengan STrAg Trypanosoma evansi
37 Lampiran 5. Proses SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrilamide Gel Electrophoresis) dengan mini protean tetra system
Lampiran 6. Proses pewarnaan dengan Commasie Brilliant Blue
38 Lampiran 7. Proses pencucian gel dengan larutan destaining
Lampiran 8. Proses transfer protein dengan Trans-blot turbo
39 Lampiran 9. Proses inkubasi dengan antibodi IgG anti Surra
40
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 18 Juni 1980 sebagai anak dari pasangan Bapak Sumadi dan Ibu Sudarwati, merupakan anak sulung dari dua bersaudara. Pada tahun 2008 menikah dengan Ratih Anggraini dan dikaruniai tiga orang anak Zulfikar Ali Putra Yuniarto, Assyfatunayla Jasmine Putri Yuniarto dan Nafeeza Rizki Aulia Putri Yuniarto. Penulis bekerja sebagai supervisor produksi di PT. Ciomas Adi Satwa pada tahun 2007 – 2009. Sejak tahun 2009 bekerja sebagai Medik Veteriner di Laboratorium Parasitologi Balai Veteriner Banjarbaru. Penulis menempuh pendidikan dokter hewan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2013 diterima menjadi mahasiswa Pascasarjana IPB pada Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan. Beasiswa pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Balai Veteriner Banjarbaru, Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia.