KARAKTERISASI BIOPLASTIK POLI-HIDROKSIALKANOAT (PHA) DENGAN PENAMBAHAN POLIOKSIETILEN-(20)-SORBITAN MONOLAURAT SEBAGAI PEMLASTIS
Oleh : EVA ROSALINA LUMBANRAJA F34102023
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
EVA ROSALINA LUMBANRAJA. F34102023. Karakterisasi Bioplastik Polihidroksialkanoat (PHA) dengan Penambahan Polioksietilen-(20)-Sorbitan Monolaurat sebagai Pemlastis. Dibawah bimbingan Chilwan Pandji dan Khaswar Syamsu. 2007
RINGKASAN Perkembangan teknologi berlangsung dengan pesat beberapa dekade terakhir ini. Perkembangannya mengarah pada optimasi pemanfaatan sumber daya terbarukan dan minimalisasi sumber daya tak terbarukan. Salah satu penggunaan sumber daya tak terbarukan saat ini adalah dalam produksi plastik komersial. Plastik dari bahan baku tak terbarukan tersebut mempunyai sifat yang sulit diuraikan oleh alam sehingga menimbulkan masalah pencemaran. Salah satu solusinya adalah dengan pemanfaatan biodegradabel polimer (bioplastik). Poli-hidroksialkanoat (PHA) termasuk jenis bioplastik poliester yang diproduksi oleh berbagai macam mikroorganisme, seperti bakteri dan ganggang. PHA berpotensi dikomersialisasikan di berbagai macam industri, terutama di sektor medis, sektor pertanian dan sektor pengemasan. Karakteristik plastik yang dihasilkan dari bahan baku PHA bersifat kaku dan rapuh. Hal ini menjadi kendala pemanfaatan PHA sebagai pengganti plastik sintesis yang bersifat elastis, fleksibel dan kuat. Peningkatan karakteristik PHA yang dihasilkan dapat dilakukan dengan cara penambahan zat aditif seperti pemlastis. Polioksietilen-(20)-sorbitan monolaurat atau lebih dikenal dengan nama Tween20 merupakan salah satu jenis pemlastis dari golongan asam lemak tersubstitusi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan pemlastis Tween20 terhadap karakteristik bioplastik PHA, mendapatkan konsentrasi pemlastis Tween20 yang terbaik berdasarkan sifat elastisitas bioplastik PHA, serta memperkirakan aplikasi yang cocok bagi bioplastik yang dihasilkan. Proses pembuatan bioplastik dilakukan dengan teknik solution casting dan menggunakan konsentrasi Tween20 sebesar 0% (sebagai kontrol), 5%, 10%, dan 15%. Karakterisasi yang dilakukan pada bioplastik yang dihasilkan antara lain karakterisasi densitas, karakterisasi sifat mekanis, analisa gugus fungsi, karakterisasi sifat termal dan derajat kristalinitas. Hasil karakterisasi densitas bioplastik menunjukkan bahwa terjadi penurunan densitas bioplastik seiring dengan peningkatan konsentrasi pemlastis. Hal itu disebabkan oleh peranan pemlastis yang mengubah sifat kaku polimer menjadi lebih elastis. Densitas bioplastik pada konsentrasi Tween20 0%, 5%, 10% dan 15% secara berturut-turut sebesar 0,67 g/cm3, 0,64 g/cm3, 0,62 g/cm3, dan 0,52 g/cm3. Peningkatan konsentrasi pemlastis Tween20 juga akan menurunkan kekuatan tarik bioplastik. Bioplastik dengan konsentrasi Tween20 0%, 5%, 10% dan 15% memiliki kekuatan tarik secara berturut-turut sebesar 3,11 MPa, 2,28 MPa, 2,26 MPa, dan 1,38 MPa. Bioplastik tanpa penambahan pemlastis (Tween20 0%) memiliki perpanjangan putus sebesar 1,06%. Penambahan pemlastis dengan konsentrasi 5% Tween20, mampu meningkatkan perpanjangan putus menjadi 1,22% yang berarti peningkatan elastisitas bioplastik. Namun perpanjangan putus bioplastik semakin menurun pada konsentrasi Tween20 10% dan 15% yaitu sebesar 1,11% dan 0,99.
Hasil analisa gugus fungsi bioplastik Tween20 0% menunjukkan bahwa bioplastik Tween20 0% mempunyai gugus-gugus penyusun struktur rantai PHA yaitu C=O/C-O-C ester, CH2, OH asam karboksilat, CH serta CH3. Terdapatnya gugus CH3 (metil) pada hasil analisa membuktikan bahwa jenis PHA yang dihasilkan selama proses kultivasi adalah jenis poli-hidroksibutirat (PHB). Hasil analisa gugus fungsi bioplastik Tween20 5% memperlihatkan adanya puncak absorbansi (peak) gugus OH ikatan hidrogen. Hal ini membuktikan bahwa perubahan karakteristik bioplastik PHA dengan penambahan pemlastis Tween20 disebabkan oleh terbentuknya ikatan hidrogen. Hasil analisa gugus fungsi bioplastik 5% bioplastik juga memperlihatkan puncak absorbansi (peak) gugusgugus dominan penyusun molekul Tween20 yaitu gugus C-O eter serta C=O/C-OC ester. Pada analisa sifat termal, terjadi penurunan titik leleh bioplastik dari 168,72oC pada bioplastik Tween20 0% menjadi 163,88oC pada bioplastik Tween20 5%. Penambahan pemlastis Tween20 dengan konsentrasi 5% juga mampu menurunkan derajat kristalinitas bioplastik Tween20 0% dari 50,52 % menjadi 49,86 % pada bioplastik Tween20 5%. Berdasarkan sifat elastisitasnya, karakteristik bioplastik terbaik dihasilkan oleh bioplastik Tween20 5% yang mempunyai densitas 0,64 g/cm3, kekuatan tarik 2,28 MPa, perpanjangan putus 1,22%, Tm 163,88oC, serta derajat kristalinitas 49,86%. Aplikasi yang cocok untuk bioplastik ini yaitu sebagai bahan penyalut obat lepas lambat (slow release medicine).
EVA ROSALINA LUMBANRAJA. F34102023. Characterization of Polyhydroxyalkanoates (PHA) Biopolymer with an Addition of Polyoxyethylene(20)-Sorbitan Monolaurate Plasticizer. Supervised by Chilwan Pandji and Khaswar Syamsu. 2007.
SUMMARY Technology is growing strongly this decade on exploring natural resources to minimize the usage of non-renewable resources. Plastics are one of the commodities that mainly use non-renewable resources. The accumulation of these petrochemical based plastics in soils, rivers and lakes leads to a serious waste problem because of their hardly degraded characteristic. Polyhydroxyalkanoate (PHA) biopolymers are polyesters produced by numerous microorganisms in response to nutrient limitation. The commercial potential for PHA spans many industries, such as medical sectors, agricultural sectors and packaging sectors. The PHA films often remain stiff and brittle for many applications. Various methods have been attempted to improve the PHA physical properties such as addition of plasticizers. Polyoxyethylene-(20)-sorbitan monolaurate or commercially known as Tween20 is a substituted fatty acid plasticizer. The purposes of this research are observing the effects of Tween20 plasticizer addition in PHA bioplastic, obtaining the optimum Tween20 concentration based on the bioplastic’s elastic physical properties and to reckon the suitable application for the bioplastics. Bioplastic films were made by solution casting technique using 0% (control), 5%, 10% and 15% Tween20 concentration. The bioplastic characterization consists of density measurement, mechanical properties measurement, functional group analysis, thermal properties and degree of crystallinity measurement. The results of density measurement showed that the increasing of Tween20 concentration caused the decrease of bioplastics density value. The decreasing of density value was caused by the addition of Tween20 plasticizer that changed PHA physical properties from stiff and brittle into more flexible character. The density value for bioplastic with 0%, 5%, 10% and 15% Tween20 concentration respectively are 0,67 g/cm3, 0,64 g/cm3, 0,62 g/cm3, and 0,52 g/cm3. The increasing of Tween20 concentration also caused the decreasing of tensile strength value. The tensile strength value for bioplastic with 0%, 5%, 10% and 15% Tween20 concentration respectively are 3,11 MPa, 2,28 MPa, 2,26 MPa, and 1,38 MPa. The addition of 5% Tween20 concentration can increase the bioplastic elongation at break value from 1,06% to 1,22% which indicates the increasing of bioplastic’s elasticity. However the bioplastic elongation at break value decreases at 10% and 15% Tween20 concentration. The results of functional group analysis showed that bioplastic without Tween20 addition, has PHA functional group compiler such as C=O/C-O-C ester, CH2, OH carboxylic acid, CH and CH3. The presence of CH3 functional group showed that Polyhydroxybutyrate (PHB) was formed during the PHA cultivation process. Hydrogen bonding absorption peak was showed by bioplastic 5% Tween20 concentration functional group analysis. The presence of hydrogen bonding peak proved that the revising of PHA bioplastic properties after the
addition of Tween20 was caused by the forming of hydrogen bonding. The functional group analysis for 5% Tween20 bioplastic also showed the Tween20 dominant functional group such as C=O/C-O-C ester, and C-O eter. The addition of 5% Tween20 concentration can decrease the PHA’s melting point from 168,72oC to 163,88oC. The addition of 5% Tween20 concentration can also decrease the PHA’s degree of crystallinity from 50,52 % to 49,86 %. Based on the elastic properties, bioplastic with 5% Tween20 concentration is the best bioplastic result. This bioplastic has the density value of 0,64 g/cm3, tensile strength value of 2,28 MPa, elongation at break value of 1,22%, melting point of 163,88oC, and degree of crystallinity about 49,86 %. The suitable application for this bioplastic is for slow release medicine coating.
KARAKTERISASI BIOPLASTIK POLI-HIDROKSIALKANOAT (PHA) DENGAN PENAMBAHAN POLIOKSIETILEN-(20)-SORBITAN MONOLAURAT SEBAGAI PEMLASTIS
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh EVA ROSALINA LUMBANRAJA F34102023
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN KARAKTERISASI BIOPLASTIK POLI-HIDROKSIALKANOAT (PHA) DENGAN PENAMBAHAN POLIOKSIETILEN-(20)-SORBITAN MONOLAURAT SEBAGAI PEMLASTIS SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh EVA ROSALINA LUMBANRAJA F34102023
Dilahirkan pada tanggal 4 Januari 1984 Di Bandar Lampung
Tanggal Kelulusan : 31 Januari 2007
Menyetujui, Bogor, Februari 2007
Drs. Chilwan Pandji, Apt. M.Sc.
Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc.
Pembimbing I
Pembimbing II
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung tanggal 4 Januari 1984. Penulis merupakan anak kedua dari Bapak J. Lumbanraja dan Ibu Rosma Hasibuan. Pada tahun 1991 sampai dengan 1996 penulis mengikuti pendidikan formal di SD Xaverius No.1 Tanjung Karang. Penulis melanjutkan pendidikan tingkat menengah
di
SLTP
Fransiscus
Bandar
Lampung
dan
menyelesaikannya pada tahun 1999. Penulis menamatkan pendidikan tingkat atas di SMU Negeri 2 Bandar Lampung pada tahun 2002. Penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).
Penulis aktif di Himpunan Profesi
Teknologi Industri (HIMALOGIN) periode 2003-2004. Penulis juga aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) pada tahun 2004-2005. Semasa kuliah penulis pernah menjadi asisten praktikum matakuliah Teknologi Minyak Atsiri dan Kosmetika dan Laboratorium Bioproses pada tahun ajaran 2005/2006. Penulis mendapatkan beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) untuk periode 2006. Penulis melaksanakan kegiatan Praktek Lapang dengan judul ”Mempelajari Aspek Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis JACQ.) di Unit Usaha Bekri – PTPN VII, Lampung” pada tanggal 1 Juli sampai dengan 27 Agustus 2005. Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Karakterisasi Bioplastik Polihidroksialkanoat (PHA) dengan Penambahan Polioksietilen-(20)-Sorbitan Monolaurat Sebagai Pemlastis” untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor di bawah bimbingan Drs. Chilwan Pandji, Apt. M.Sc. dan Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc.
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Karakterisasi Bioplastik Poli-hidroksialkanoat (PHA) dengan Penambahan Polioksietilen-(20)-Sorbitan Monolaurat Sebagai Pemlastis” adalah karya saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2007 Yang Membuat Pernyataan
Nama : Eva Rosalina Lumbanraja NRP : F34102023
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
baik.
Skripsi
ini
berjudul
“Karakterisasi
Bioplastik
Poli-
hidroksialkanoat (PHA) dengan Penambahan Polioksietilen-(20)-Sorbitan Monolaurat Sebagai Pemlastis” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian (STP) pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari selama pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini tidak luput dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada : 1. Bpk. Drs. Chilwan Pandji, Apt. M.Sc. selaku dosen pembimbing I dan Bpk. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc. selaku dosen pembimbing II atas segala bimbingan, arahan, serta bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Bpk. Drs. Purwoko, M.Si. selaku dosen penguji atas saran dan masukan bagi perbaikan skripsi ini. 3. Para Laboran PAU (Mba Pepi, Mba Emi, Bu Eni, Pak Mulya dan Laboran PAU lainnya) yang telah memberi bantuan dan dorongan selama penelitian. 4. Staf administrasi dan para Laboran Departemen Teknologi Industri Pertanian (Bu Sri, Pak Edi, Pak Sugi, Bu Nina, Pak Anwar dan lainnya) yang banyak membantu penulis selama penelitian hingga terselesainya skripsi ini. 5. Orang tua (Daddy dan Mama), saudara (Rosy dan Anggita) dan seluruh keluarga penulis yang telah memberikan dorongan, semangat, serta kasih sayang yang sangat berlimpah. 6. Teman-teman satu perjuangan “Bioplastic team” (Juari, Vico, Dede, Dosi, Iwal, Bana, Evi dan Maria Ulfah) atas kebersamaan dalam suka dan duka selama penelitian serta penyelesaian skripsi. 7. Teman dekat penulis (Willy) yang tiada lelah menemani dan membantu penulis selama penelitian, memberikan masukan, dorongan serta semangat hingga skripsi ini dapat terselesaikan.
8. Sahabat-sahabat penulis (Fitri, Harti, Fifi, Vico, Yoga dan Santo) atas semua kebersamaan, dorongan, serta bantuan yang telah diberikan. 9. Teman-teman Komisi Kesenian ‘39 (Jimmy, Ico, Risna, Siera, Julia, Aninda, Julian, Benjo, Ochi, Ruth) atas keceriaan dan kebersamaan yang diberikan. 10. Penghuni Ar-riyadhers yang terdahulu maupun masa sekarang, atas segala kekeluargaan yang diberikan kepada penulis. 11. Teman-teman TIN 39 atas kebersamaannya selama ini. 12. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga kritik dan saran yang membangun senantiasa diharapkan. Semoga skripsi ini memberikan manfaat dan wawasan bagi yang membaca.
Bogor, Januari 2007
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ................................................................................
i
DAFTAR ISI ..............................................................................................
iii
DAFTAR TABEL .......................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR...................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................
vii
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ......................................................................
1
B. TUJUAN...........................................................................................
2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. POLIMER BIODEGRADABEL .......................................................
3
1. Poli-hidroksialkanoat (PHA) .......................................................
3
2. Poli-hidroksibutirat (PHB)...........................................................
5
B. RALSTONIA EUTROPHA DAN SINTESIS PHB ..........................
7
C. HIDROLISAT PATI SAGU .............................................................
8
D. PEMLASTIS ....................................................................................
10
1. Definisi .......................................................................................
10
2. Polioksietilen-(20)-sorbitan monolaurat ......................................
11
E. PENGUJIAN KARAKTERISTIK BIOPLASTIK ............................
13
F. APLIKASI BIOPLASTIK PHA .......................................................
17
III METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN............................................................................................
19
B. ALAT ..............................................................................................
19
C. METODE PENELITIAN .................................................................
20
1. Persiapan Bahan Baku Biji Bioplastik .........................................
20
a. Persiapan Substrat ................................................................
20
b. Proses Kultivasi PHA ............................................................
22
c. Proses Hilir PHA ..................................................................
23
2. Penelitian Pendahuluan ...............................................................
24
a. Metode pembuatan lembaran bioplastik .................................
24
b. Penentuan perbandingan PHA dan kloroform ........................
25
c. Penentuan konsentrasi pemlastis Tween20 ............................
25
3. Penelitian Utama .........................................................................
26
a. Pembuatan bioplastik untuk karakterisasi...............................
26
b. Karakterisasi bioplastik..........................................................
27
4. Analisa Data ...............................................................................
30
D. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN ..........................................
31
IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PERSIAPAN BIJI BIOPLASTIK .........................................
32
B. PENELITIAN PENDAHULUAN ....................................................
33
1. Hasil penentuan perbandingan PHA dan kloroform .....................
33
2. Hasil penentuan konsentrasi pemlastis Tween20..........................
33
C. PENELITIAN UTAMA ..................................................................
35
1. Bioplastik untuk karakterisasi .....................................................
35
2. Hasil karakterisasi bioplastik ......................................................
36
a. Densitas.................................................................................
36
b. Kekuatan tarik .......................................................................
38
c. Perpanjangan putus................................................................
40
d. Analisa hubungan kekuatan tarik dan perpanjangan putus .....
42
e. Analisa gugus fungsi..............................................................
46
f. Analisa sifat termal................................................................
48
g. Derajat kristalinitas ...............................................................
51
V KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................
53
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
55
LAMPIRAN ...............................................................................................
60
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1.
Karakteristik PHB dan polipropilen .............................................
6
Tabel 2.
Daerah spektrum infra merah ......................................................
16
Tabel 3.
Komposisi media propagasi dan media kultivasi PHA .................
21
Tabel 4.
Komposisi larutan mikroelemen ..................................................
22
Tabel 5.
Formulasi bioplastik untuk karakterisasi ......................................
26
Tabel 6.
Hasil penentuan perbandingan PHA dan kloroform .....................
33
Tabel 7.
Hasil penentuan konsentrasi pemlastis Tween20..........................
34
Tabel 8.
Identifikasi gugus fungsi bioplastik .............................................
48
Tabel 9.
Hasil pengukuran derajat kristalinitas berdasarkan entalpi pelelehan bahan...........................................................................
51
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.
Struktur umum poli-hidroksialkanoat (PHA) ...........................
4
Gambar 2.
Struktur model granula PHB ...................................................
5
Gambar 3.
Tahap sintesis PHB dengan penggunaan enzim (1) β-ketothiolase, (2) asetoasetil-CoA reduktase, (3) PHB polimerase.........
8
Gambar 4.
Reaksi hidrolisa pati................................................................
9
Gambar 5.
Reaksi pembentukan polioksietilen-(20)-sorbitan monolaurat..
12
Gambar 6.
Kurva tegangan-regangan........................................................
14
Gambar 7.
Transisi termal polimer ..........................................................
15
Gambar 8.
Serbuk PHA ............................................................................
32
Gambar 9.
Lembaran bioplastik dengan konsentrasi Tween20 (a) 6%, (b) 9%, (c) 13%, (d) 18%.........................................................
35
Gambar 10. Lembaran bioplastik PHA dengan konsentrasi Tween20 (a) 0%, (b) 5%, (c) 10%, (d) 15%................................................
36
Gambar 11. Grafik hubungan densitas dan konsentrasi Tween20 ...............
37
Gambar 12. Proses pembentukan (a) ikatan hidrogen antara (b) PHA dan (c) Tween20 ............................................................................
38
Gambar 13. Grafik hubungan kekuatan tarik dan konsentrasi Tween20 ......
39
Gambar 14. Grafik hubungan perpanjangan putus dan konsentrasi Tween20 .................................................................................
40
Gambar 15. Kurva tegangan-regangan bioplastik .......................................
43
Gambar 16. Karakteristik kurva tegangan-regangan lima tipe bahan polimer ...................................................................................
40
Gambar 17. Mekanisme kerja obat lepas lambat (slow release medicine)....
45
Gambar 18. Hasil FTIR pada bioplastik Tween20 0% (a) dan bioplastik Tween20 5% (b) .....................................................................
46
Gambar 19. Hasil analisa termal DSC pada bioplastik Tween20 0% (a) dan bioplastik Tween20 5% (b) ..............................................
49
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1.
Diagram Alir Pembuatan Hidrolisat Pati Sagu .....................
60
Lampiran 2.
Diagram Alir Kultivasi PHA ................................................
61
Lampiran 3.
Diagram Alir Proses Hilir ....................................................
62
Lampiran 4.
Diagram Alir Proses Pembuatan Bioplastik ..........................
64
Lampiran 5.
Kelarutan PHB .....................................................................
65
Lampiran 6.
Prosedur Analisis Total Gula dengan Metode Fenol-Sulfat ...
66
Lampiran 7.
Prosedur Penghitungan .........................................................
67
Lampiran 8.
Hasil Pengujian Kekuatan Tarik dan Perpanjangan Putus .....
69
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Perkembangan teknologi berlangsung dengan pesat beberapa dekade terakhir ini. Perkembangannya mengarah pada optimasi pemanfaatan sumber daya terbarukan dan minimalisasi sumber daya tak terbarukan. Salah satu penggunaan sumber daya tak terbarukan saat ini adalah dalam produksi plastik komersial. Menurut Ren (2002), lebih dari 99% plastik saat ini terbuat dari bahan baku minyak bumi. Plastik dari bahan baku tak terbarukan tersebut mempunyai sifat yang sulit diuraikan oleh alam sehingga menimbulkan masalah pencemaran. Plastik yang memanfaatkan sumber daya terbarukan serta dapat didegradasi secara alami merupakan solusi bagi persoalan tersebut. Jenis plastik yang dapat terdegradasi secara alami oleh alam disebut sebagai polimer biodegradabel (bioplastik). Biro Pusat Statistik (1999) memproyeksikan produksi bioplastik dunia tahun 2010 akan mencapai 1,2 juta ton dan Amerika Serikat merupakan produsen terbesar. Salah satu jenis polimer biodegradabel yang terbuat dari sumber daya terbarukan yaitu polihidroksialkanoat (PHA). PHA merupakan poliester alami yang dapat diproduksi oleh mikroorganisme, seperti bakteri dan ganggang. Karakteristik plastik yang dihasilkan dari bahan baku PHA bersifat kaku dan rapuh. Hal ini merupakan kendala pemanfaatan PHA sebagai pengganti peran plastik sintesis yang bersifat elastis, fleksibel dan kuat. Peningkatan karakteristik PHA yang dihasilkan dapat dilakukan dengan cara penambahan zat aditif seperti pemlastis. Juari (2006) telah melakukan kajian pengaruh penambahan pemlastis dimetil ftalat (DMF) terhadap bioplastik PHA dari hidrolisat pati sagu. Menurut Anonimb (2005), dimetil ftalat merupakan zat aditif yang bersifat racun (toxic) dan dapat menimbulkan kematian jaringan dan kanker pada manusia (karsinogenik) sehingga pemlastis ini tidak aman jika ditambahkan pada bioplastik yang akan diaplikasikan pada sektor pangan. Penggunaan pemlastis yang bersifat aman diperlukan untuk memperluas aplikasi pemanfaatan PHA pada sektor pangan.
Polioksietilen-(20)-sorbitan monolaurat atau yang lebih dikenal dengan nama Tween20 merupakan salah satu jenis pemlastis dari golongan asam lemak tersubstitusi. Tween20 bersifat tidak beracun (non toxic) karena terbuat dari bahan alami yaitu minyak kelapa dan bersifat biodegradabel. Penggunaan zat Tween20 sebagai pemlastis diharapkan mampu meningkatkan sifat elastisitas bioplastik PHA yang dihasilkan tanpa mengubah sifat-sifat penting dari bioplastik PHA tersebut yaitu dapat terdegradasi secara alami dan bersifat tidak beracun.
B. TUJUAN 1. Mengetahui
pengaruh
penambahan
pemlastis
Tween20
terhadap
karakteristik bioplastik PHA yang dihasilkan. 2. Mendapatkan konsentrasi pemlastis Tween20 yang terbaik berdasarkan sifat elastisitas bioplastik PHA yang dihasilkan 3. Memperkirakan aplikasi yang cocok bagi bioplastik yang dihasilkan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
C. POLIMER BIODEGRADABEL Menurut Huang dan Edelman di dalam Scott dan Gilead (1995), polimer biodegradabel dapat dibagi menjadi menjadi tiga kelas : (1) polimer alami yang diperoleh dari tanaman maupun hewan (selulosa, pati, protein, kolagen, dan sebagainya), (2) biosintesis polimer yang diproduksi melalui proses kultivasi dengan penggunaan mikroorganisme (poli-hidroksialkanoat), (3) polimer sintetis yang memiliki sifat biodegradabel (polikaprolakton, asam polilaktat). Polimer alami seperti selulosa dan pati tidak dapat diproses secara termal apabila tidak dimodifikasi. Selulosa memiliki suhu degradasi yang lebih rendah dari titik lelehnya sehingga tidak dapat diproses dengan cara pelelehan yang umumnya digunakan dalam pembuatan plastik. Morfologi daerah kristalin yang rumit serta ikatan hidrogen juga menyebabkan selulosa sulit dilarutkan dalam pelarut. Selulosa termodifikasi, seperti selulosa ester, dapat diproses dengan cara pelelehan seperti polimer termoplastik lainnya karena titik lelehnya dapat diturunkan secara signifikan dibawa suhu degradasinya (Sealey et al, 1996). Pati termodifikasi juga dapat dicampur dengan polimer sintetis untuk mendapatkan sifat biodegradabel dari hasil pencampuran tersebut (Maddever dan Campbell di dalam Barengerg et al, 1990). Poli-hidroksialkanoat (PHA) merupakan substitusi plastik sintetis yang menjanjikan karena sifat polimernya menyebabkannya mampu diproses dengan peralatan konvensional pembuat plastik pada umumnya walaupun tanpa modifikasi polimer (Lee, 1996). 1. Poli-hidroksialkanoat (PHA) Poli-hidroksialkanoat (PHA) merupakan polimer yang diproduksi oleh berbagai jenis bakteri.
PHA berfungsi sebagai cadangan karbon dan
energi bagi mikroorganisme dalam kondisi pertumbuhan yang tidak seimbang (Anderson dan Dawes, 1990). PHA diekstraksi dari granula sel
bakteri, dan dapat digunakan sebagai pengganti plastik sintetis pada berbagai
aplikasi.
Karakteristik
fisiknya
serupa
dengan
plastik
konvensional dan dapat didaur ulang. Namun karakteristik utama dari PHA yaitu sifat biodegradasinya, dimana dapat didegradasi secara enzimatis menjadi karbondioksida (CO2) dan air (H2O) (Lee, 1996). Menurut Ojumu et al (2004), sekitar 250 jenis bakteri, baik gram negatif maupun gram positif, dapat memproduksi PHA dalam granula selnya. Namun hanya beberapa jenis bakteri yang mampu memproduksi PHA dalam jumlah yang besar, yaitu jenis Alcaligenes latus, Pseudomonas oleveorans, Ralstonia eutropha, dan rekombinan E. Coli. (Chakraborty et al, 2004). PHA terbentuk dari monomer asam lemak 3-hidroksi, dimana gugus karboksil (C=O) dari satu monomer teresterifikasi oleh gugus hidroksil (O-H) dari monomer lainnya (Madison dan Huisman, 1999). Terdapat lebih dari 90 jenis variasi monomer unit pembentuk rantai PHA yang diproduksi dari berbagai jenis bakteri. Struktur umum PHA dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur umum poli-hidroksialkanoat (PHA) (Ojumu et al, 2004)
Jenis PHA yang umumnya dikenal antara lain poli (3-hidroksibutirat) (PHB), poli (3-hidroksibutirat-co-3-hidroksivalerat) (PHBV), dan poli (3hidroksioktanoat-co-3-heksanoat) (PHOH). Dari ketiga jenis tersebut, PHB merupakan polimer PHA yang paling banyak diteliti (Byrom, 1987).
2. Poli (3-hidroksibutirat) (PHB) PHB merupakan polimer linier yang termasuk golongan PHA dengan variasi gugus karboksil dan metil di sepanjang rantai polimernya. Sifat PHB yang tahan terhadap kelembaban serta tidak larut air yang membedakan polimer ini dengan polimer biodegradabel lainnya yang sensitif terhadap kelembaban serta larut dalam air. PHB juga merupakan barier yang baik terhadap oksigen (Holmes di dalam Bassett, 1988). Secara morfologi, ukuran granula PHB di dalam sel bakteri diameternya bervariasi antara 100 nm – 800 nm dan diselubungi oleh lapisan non membran dengan ketebalan 2 – 4 nm. Pada umumnya, komposisi PHB yang terisolasi dari granula yaitu 98% PHB dan 2% protein (Lafferty et al di dalam Rehm dan Reed, 1988).
Gambar 2. Struktur model granula PHB (Ramachander, 2003)
PHB adalah polimer makromolekul dari monomer asam 3– hidroksibutanoat. Makromolekul adalah molekul besar yang dibangun oleh pengulangan kesatuan kimia yang kecil dan sederhana yang disebut sebagai monomer (Cowd, 1991). Jumlah pengulangan monomer pada polimer PHB bisa mencapai 35.000. Jumlah ini sangat tergantung oleh berbagai faktor antara lain : metode isolasi (ekstraksi granula PHB dari biomassa prokariotik), galur bakteri yang digunakan, waktu pemanenan
sel, substrat yang digunakan, serta kondisi kultivasi (suhu, tekanan oksigen parsial) (Lafferty et al di dalam Rehm dan Reed, 1988). Menurut Lafferty et al di dalam Rehm dan Reed (1988), PHB yang diisolasi dari biomassa sel mempunyai densitas (berat jenis) antara 1,171 1,260 g/cm3. Nilai densitas yang rendah menunjukkan densitas amorf yang lebih besar daripada nilai densitas kristalin. Karakteristik polimer PHB mirip dengan plastik konvensional seperti polipropilen (Lee, 1996). Tabel 1 menunjukkan perbandingan karakteristik PHB dan polipropilen.
Tabel 1. Karakteristik PHB dan Polipropilen. Karakteristik
PHB
Polipropilen
171 - 182
171 - 186
Suhu Transisi Kaca, Tg (oC)
5 - 10
-15
Kristalinitas (%)
65 - 80
65 - 70
1,2 - 1,5
0,9
1-8
2 -7
40
39
6-8
400
o
Titik Leleh, Tm ( C)
3
Densitas (g/cm ) Bobot Molekul, Mw (105) Kekuatan Tarik (Mpa) Pemanjangan Hingga Putus (%)
Sumber: Brandl et al (1990) di dalam Atkinson dan Mavituna (1991)
Titik leleh (Tm) PHB yang bervariasi di antara 157oC – 188oC, mendekati suhu degradasinya (185oC – 250oC) sehingga menyebabkan beberapa proses PHB dengan menggunakan pemanasan sulit untuk dilakukan (Lafferty et al di dalam Rehm dan Reed 1988; Ojumu et al, 2004). Oleh karena itu banyak penelitian dilakukan untuk menurunkan titik leleh PHB tanpa mengubah suhu degradasinya. Karakteristik polimer PHB sangat ditentukan oleh berat molekul dan kemurnian sampel yang diuji. Secara umum, berat molekul polimer PHB tidak selalu dipengaruhi oleh substrat tetapi dipengaruhi oleh galur bakteri yang digunakan dan kondisi proses kultivasi. Semakin lama proses kultivasi, maka terjadi penurunan berat molekul secara signifikan pada polimer PHB. Degradasi berat molekul polimer PHB juga dapat terjadi
saat proses ekstraksi dari biomassa (Lafferty et al di dalam Rehm dan Reed, 1988).
D. RALSTONIA EUTROPHA DAN SINTESIS PHB Ralstonia eutropha (sebelumnya dikenal dengan nama Alcaligenes eutrophus) merupakan galur bakteri yang banyak digunakan dalam produksi PHA karena bakteri ini mampu mengakumulasi PHA dalam selnya hingga mencapai 80% dari berat kering sel (Lee, 1996). Ralstonia eutropha termasuk bakteri aerobik gram negatif yang dapat diisolasi dari tanah maupun air. Suhu optimum pertumbuhannya berkisar antara 20-37oC (Chakraborty et al, 2004). Lafferty et al di dalam Rehm dan Reed (1988) mengatakan bahwa akumulasi pertumbuhan PHA dapat distimulasi pada kondisi pertumbuhan yang tidak seimbang, yaitu pada saat zat nutrien seperti nitrogen, pospat, dan sulfat dalam jumlah terbatas, sedangkan konsentrasi oksigen rendah, atau pada saat rasio C : N yang tinggi pada substrat umpan. Selain keterbatasan nitrogen, pospat, oksigen dan sulfat, akumulasi PHA juga dapat distimulasi oleh kekurangan zat ferum, magnesium, mangan, potasium dan sodium. Menurut Doi (1990), saat kondisi pertumbuhan dalam keadaan tidak seimbang, asetil-CoA tidak dapat masuk ke dalam siklus TCA (asam trikarboksilat) karena tingginya konsentrasi NADH. Tingginya konsentrasi NADH merupakan akibat dari kurangnya zat nitrogen sehingga menyebabkan terhentinya sintesis protein. Tingginya konsentrasi NADH menyebabkan terhambatnya enzim sitrat sintase yang merupakan enzim kunci pada siklus TCA, sehingga berakibat pada bertambahnya jumlah asetil-CoA. Asetil-CoA kemudian digunakan sebagai substrat bagi biosintesis PHB dengan menggunakan tiga reaksi enzimatis (Gambar 3). Enzim β-ketothiolase mengkondensasi asetil-CoA menjadi asetoasetilCoA. Asetoasetil-CoA kemudian direduksi oleh asetoasetil-CoA reduktase menjadi R(-)-3-hidroksibutiril-CoA. Pada tahap akhir, monomer-monomer PHB teresterifikasi menjadi polimer PHB dengan bantuan enzim PHB polimerase. (Poirier et al, 1995; Lee, 1996). Reaksi ini hanya terjadi pada permukaan granula dalam sel bakteri.
Gambar 3. Tahap sintesis PHB dengan penggunaan enzim : (1) β-ketothiolase, (2) asetoasetil-CoA reduktase, (3) PHB polimerase. (Zinn et al, 2001).
Kandungan sel bakteri Ralstonia eutropha antara lain polipospat, glikogen, mesosom, serta PHA sebagai cadangan makanannya. Jenis komposisi polimer yang terbentuk dalam sel bakteri Ralstonia eutropha dipengaruhi oleh substrat yang digunakan (Doi, 1990). Jenis polimer yang diproduksi oleh Ralstonia eutropha adalah homopolimer PHB dengan penggunaan glukosa maupun fruktosa sebagai substrat. Komposisi kopolimer 3-hidroksibutirat dan 3-hidroksivalerat (3HB-3HV) dapat terbentuk dengan penggunaan asam propionik dan glukosa sebagai substrat (Doi et al di dalam Dawes, 1990).
E. HIDROLISAT PATI SAGU Produksi polimer biodegradabel dalam skala besar menjadi terbatas karena mahalnya substrat yang digunakan serta rendahnya produksi polimer. Hal ini menyebabkan PHA sebagai polimer biodegradabel tidak mampu bersaing dengan plastik sintesis di pasar komersial (Yamane, 1993). Oleh karena itu dikembangkan berbagai cara untuk mendapatkan PHA dengan produksi yang tinggi namun menggunakan substrat yang murah. Hidrolisat pati sagu merupakan salah satu alternatif substrat yang baik untuk dikembangkan bagi produksi polimer biodegradabel PHA karena selain harga pati sagu yang murah, ketersediaan bahan tersebut di Indonesia juga banyak. Indonesia merupakan pemilik areal sagu terbesar di dunia dengan luas areal sekitar 1,128 juta ha atau 51,3% dari 2,201 juta ha areal sagu dunia. Namun
dari
segi
pemanfaatannya
Indonesia
masih jauh tertinggal
dibandingkan Malaysia dan Thailand yang masing-masing hanya memiliki areal sagu seluas 1,5% dan 0,2% (Abner dan Miftahorrahman 2002). Jepang
merupakan negara yang sudah memanfaatkan sagu sebagai bahan baku industri plastik biodegradabel (Abner dan Miftahorrahman, 2002). Menurut Pandji (1988), sirup glukosa adalah suatu larutan kental yang diperoleh dari hidrolisa pati secara tidak sempurna dengan katalis asam atau enzim. Sirup glukosa dapat dihasilkan dari bahan-bahan pertanian yang mengandung pati seperti sagu, singkong, tebu, dan sebagainya. Pembuatan sirup glukosa pada prinsipnya merupakan penguraian polisakarida (pati) menjadi monosakarida. Pati tidak mempunyai rasa manis tetapi apabila unitunit glukosa dibebaskan dari polimernya maka akan menimbulkan rasa manis. Pelepasan unit glukosa tersebut dilakukan dengan proses hidrolisis. Reaksi selama proses hidrolisa pati dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Reaksi hidrolisa pati (Pandji, 1988)
Pemecahan polisakarida menjadi glukosa dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap tersebut yaitu tahap likuifikasi dan tahap sakarifikasi. Likuifikasi adalah proses pencairan gel pati melalui hidrolisa pati menjadi molekulmolekul oligosakarida atau yang disebut dengan dekstrin. Sakarifikasi merupakan tahap lanjutan dari tahap likuifikasi untuk menghidrolisa pati atau oligosakarida menjadi glukosa yang mempunyai rasa manis. (Pandji, 1988). Enzim α-amilase yang digunakan dalam tahap likuifikasi merupakan endoamilase, yaitu enzim yang memecah ikatan α-1,4 yang terletak di bagian dalam dari rantai polisakarida secara acak. Pemecahan ini menghasilkan glukosa, maltosa dan α-limit dekstrin, yaitu oligosakarida dengan empat atau lebih residu glukosa yang semuanya mengandung ikatan α-(1,6). Tahap ini ditandai dengan menurunnya viskositas suspensi pati dan daya pewarnaan larutan yodium terhadap amilosa. Pengaruh pH terhadap kestabilan dan
keaktifan enzim sangat penting. Enzim α-amilase dari Bacillus subtilis mempunyai pH optimum antara 5,8 – 6,0 (Fullbrook di dalam Dzieldzic dan Kearsley, 1984). Glukoamilase atau amiloglukosidase atau AMG yang digunakan pada tahap sakarifikasi merupakan eksoenzim, yaitu enzim yang bekerja melepaskan unit glukosa secara berturut-turut dari ujung non reduksi pati. AMG mempunyai keaktifan optimal pada pH 4-5 dengan suhu 50-60oC. Pada tahap sakarifikasi ini terjadi hidrolisis oligosakarida atau dekstrin menjadi glukosa. Tidak seperti liquifikasi yang hanya memakan waktu sekitar 60 menit, sakarifikasi biasanya memakan waktu yang lebih lama yaitu 24-96 jam (Fullbrook di dalam Dzieldzic dan Kearsley, 1984).
F. PEMLASTIS 1. Definisi Menurut Banker (1966) pemlastis adalah substansi non volatil yang mempunyai titik didih yang tinggi dan jika ditambahkan ke dalam materi lain dapat mengubah sifat fisik maupun sifat mekanik materi tersebut. Jika ditambahkan pada suatu polimer,
pemlastis dapat menyebabkan
penurunan gaya tarik intermolekul sehingga polimer menjadi lebih fleksibel dan lebih mudah untuk diproses (Knapczyk dan Simon di dalam Kent, 1992). Pemlastis yang ditambahkan ke dalam suatu polimer cenderung menurunkan modulus dan kekuatan tarik polimer tersebut. Namun pada saat yang bersamaan, pemlastis yang ditambahkan dapat meningkatkan perpanjangan putus, kekuatan tubruk, dan kekuatan robek dari produk polimer tersebut. Pemlastis juga menurunkan titik leleh komposisi sehingga dapat dilelehkan pada suhu yang lebih rendah (Figuly, 2004). Menurut Kirk dan Othmer (1953), penambahan pemlastis ke dalam suatu polimer dapat mengubah sifat polimer yang kaku menjadi lebih elastis atau fleksibel. Menurut Beeler dan Finney di dalam Anonim (1982), perubahan sifat polimer menjadi lebih elastis setelah penambahan
pemlastis disebabkan oleh terbentuknya ikatan hidrogen antara molekul polimer dengan molekul pemlastis. Ikatan hidrogen adalah ikatan lemah yang menghubungkan atom hidrogen pada satu molekul dengan atom elektronegatif pada molekul lain. Ikatan hidrogen terjadi pada molekul yang mengandung atom H yang terikat secara kovalen dengan atom yang sangat elektronegatif seperti F, N, atau O (Companion, 1991). Pada ujung rantai PHA terdapat dua gugus OH, dimana atom H pada gugus tersebut berikatan secara kovalen dengan atom O. Atom O merupakan atom dengan elektronegativitas yang sangat tinggi dan karena jarak yang dekat antara atom O dan atom H, maka atom O akan menarik elektron dari atom H. Kondisi inti hidrogen yang hampa elektron, menyebabkan terbentuknya ujung positif dipol yang kuat (δ+) dan mencari daerah berkerapatan elektron tinggi seperti misalnya atom elektronegatif (mempunyai muatan δ-) yang terdapat pada rantai tetangganya. Hasilnya adalah tarik menarik antarrantai yang dinamakan ikatan hidrogen antarmolekul. Menurut Syarifuddin (1994), ikatan hidrogen dapat terbentuk antara atom H pada gugus hidroksil (OH) dengan atom O pada gugus hidroksil (OH) maupun gugus karboksil (C=O). Sifat yang harus dimiliki suatu pemlastis adalah tidak berbau, tidak berasa, tidak beracun serta tidak mudah terbakar. Dalam pemilihan pemlastis hal-hal yang harus diperhatikan antara lain kecocokan dengan resin,
permanen atau tidaknya
pemlastis tersebut dan efisiensi
penggunaannya (Beeler dan Finney di dalam Anonim, 1982). 2. Polioksietilen-(20)-Sorbitan Monolaurat Polioksietilen-(20)-sorbitan monolaurat atau yang lebih dikenal dengan nama Tween20 merupakan pemlastis dari golongan asam lemak tersubstitusi (Figuly, 2004). Zat cair ini merupakan turunan dari PEG (polietilen glikol) dan sorbitan (turunan dari sorbitol yang direaksikan dengan asam lemak) (Anonimc, 2006).
Polioksietilen dihasilkan dari monomer etilen oksida (oksietilen) melalui reaksi radikal bebas dengan struktur umum -(OCH2CH2)nOH. Sorbitan merupakan produk dehidrogenasi dari gula alkohol alami yaitu sorbitol. Sorbitan dapat diesterifikasi langsung dengan asam lemak dan sorbitan ester yang dihasilkan dapat dikondensasikan langsung dengan polioksietilen membentuk polioksietilen-sorbitan-ester (Taylor, 1980). Reaksi pembentukan polioksietilen-(20)-sorbitan monolaurat dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Reaksi pembentukan polioksietilen-(20)-sorbitan monolaurat (Taylor, 1980).
Asam laurat penyusun struktur Tween20 umumnya berasal dari minyak kelapa. Struktur molekul Tween20 yaitu C58H114O26, bersifat relatif stabil dan tidak beracun. Tween20 banyak digunakan sebagai emulsifier nonionik maupun stabilizer pada produk-produk kosmetik dan produk farmasi. Emulsifier nonionik adalah senyawa organik yang mempunyai karakteristik hidrofilik pada satu bagian dan karakteristik hidrofobik pada bagian yang lain. Emulsifier tipe ini tidak membentuk reaksi ionik seperti tipe emulsifier lainnya (Anonima,1982). Menurut World Health Organization (WHO), Tween20 aman dikonsumsi manusia
dengan batas konsumsi setiap hari sebesar 0-25 mg/kg berat tubuh (Anonimc, 2006). G. PENGUJIAN KARAKTERISTIK BIOPLASTIK Polimer banyak digunakan di berbagai aplikasi. Tiap aplikasi umumnya membutuhkan karakteristik plastik yang spesifik. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian terhadap plastik untuk menentukan kelemahan dan kelebihan plastik tersebut (Allcock dan Lampe, 1981). Pengujian yang penting dari suatu bahan polimer antara lain densitas, titik leleh (Tm), glass transition temperature (Tg), reologi, konduktifitas, kekuatan tarik, permeabilitas gas, ketahanan terhadap radiasi kimia, dan sebagainya (Knapczyk dan Simon di dalam Kent, 1992). Fourier tranform infrared spectrofotometer (FTIR) merupakan analisis penting pada biopolimer untuk mengetahui struktur suatu polimer secara detail. Analisis derajat kristalinitas juga perlu dilakukan karena karakteristik fisik biopolimer seperti PHB sangat dipengaruhi oleh derajat kristalinitasnya (Lafferty et al di dalam Rehm dan Reed, 1988). 1. Densitas Densitas menunjukkan kerapatan rantai suatu polimer. Polimer dengan struktur yang teratur cenderung mempunyai kerapatan rantai yang tinggi karena rantai mampu berdekatan dalam jarak yang dekat sehingga densitasnya pun tinggi. Polimer dengan struktur yang tidak teratur cenderung mempunyai densitas yang rendah karena jarak rantai yang jauh (Allcock dan Lampe, 1981). 2. Kekuatan Tarik dan Perpanjangan Putus Kekuatan tarik (tensile strength) menggambarkan kekuatan tegangan maksimum spesimen untuk menahan gaya yang diberikan. Perpanjangan pada saat putus (elongation at break) adalah pertambahan panjang yang dihasilkan oleh ukuran tertentu panjang spesimen akibat gaya yang diberikan pada saat putus (Sutiani, 1997).
Istilah yang digunakan dalam pengukuran kekuatan tarik antara lain tegangan (stress) yaitu gaya yang diberikan pada sampel dan regangan (strain) yaitu perpanjangan sampel saat ditarik (Allcock dan Lampe, 1981).
Menurut Allcock dan Lampe (1981), respon sampel terhadap
tegangan maupun regangan tergantung dari rata-rata kecepatan tekanan atau kekuatan yang diberikan kepadanya. Jika ditarik tiba-tiba dengan kekuatan tinggi maka suatu bahan bisa langsung patah. Jika ditarik dengan kecepatan yang lebih lambat maka bisa didapat bahan dengan elongasi dan daya tahan putus yang lebih baik. Hasil kekuatan tarik sampel akan memberikan informasi yang digunakan dalam kurva tegangan-regangan (stress-strain) (Gambar 6).
Gambar 6. Kurva tegangan-regangan (Allcock dan Lampe, 1981).
3. Penentuan Titik Leleh (Tm) dan suhu transisi gelas (Tg) Titik leleh (Tm) merupakan titik perubahan bentuk suatu polimer menjadi cairan (liquid). Suhu transisi gelas (Tg) merupakan titik perubahan dari sifat gelas (kaku padat) menjadi sifat karet (elastis) ataupun termoplastik fleksibel. (Alcock dan Lampe, 1981). Suhu transisi gelas (Tg) didapatkan dari proses pendinginan polimer yang telah dilelehkan. Polimer yang benar-benar kristalin tidak mempunyai suhu Tg. Suhu Tg hanya terdapat pada polimer yang mempunyai daerah amorf. Suhu Tg pada polimer benar-benar amorf dapat
terukur dengan jelas, seperti pada polistiren, polimetil-metakrilat, PVC, dan sebagainya. Namun pada polimer semikristalin, suhu Tg tidak dapat diukur dengan jelas karena suhu Tg hanya terukur pada bagian atau daerah amorf pada polimer semikristalin tersebut. Nilai Tg yang didapatkan tergantung metode pengukuran dan rata-rata kecepatan pengukuran (Rabek, 1983).
Gambar 7. Transisi Termal Polimer (Allcock dan Lampe, 1981)
Suhu Tg bervariasi menurut struktur atom yang tersusun pada polimer tersebut, tipe gugus fungsi, dan penyusunan gugus fungsi tersebut. Karakteristik dari suatu polimer sangat ditentukan oleh suhu Tg (Alcock dan Lampe, 1981). Metode yang umum digunakan untuk pengukuran Tm maupun Tg adalah dengan metode Differential Scanning Calorimetry (DSC). Pada metode DSC, terdapat dua wadah logam, satu wadah untuk sampel dan satu lagi untuk substansi (zat) kontrol. Kedua wadah logam ini dipanaskan oleh pemanas elektrik. Temperatur tiap wadah dikontrol dengan sensor panas. Jika sampel menyerap panas pada saat transisi, perubahan ini akan dideteksi oleh sensor, yang berdampak pada aliran panas yang besar untuk mengganti panas yang terserap. Oleh karena itu, penyerapan panas oleh
sampel menyebabkan aliran yang besar. Perubahan panas elektrik dapat dimonitor dengan akurat sehingga DSC dipandang sebagai pengukuran Tm dan Tg yang sensitif (Allcock dan Lampe, 1981). 4. Fourier Transform Infra-Red Spectrofotometer (FTIR) Spektroskopi infra merah merupakan salah satu teknik indentifikasi struktur baik untuk senyawa organik maupun senyawa anorganik. Analisa ini merupakan metoda semi empirik dimana kombinasi pita serapan yang khas dapat diperoleh untuk menentukan struktur senyawa yang terdapat dalam suatu bahan (Sutiani, 1997). Energi dari kebanyakan vibrasi molekul berhubungan dengan daerah infra-merah. Vibrasi molekul dapat dideteksi dan diukur pada spektrum infra merah bila vibrasinya menghasilkan perubahan momen dipol. Radiasi infra merah yang penting dalam penentuan struktur atau analisa gugus fungsi terletak pada daerah infra merah sedang yaitu antara 4000650 cm-1. Daerah di bawah 650 cm-1 dinamakan daerah infra merah jauh, dan daerah di atas 4000 cm-1 dinamakan daerah infra merah dekat (Nur dan Adijuwana, 1989). Tabel 2. Daerah spektrum Infra Merah
Daerah Dekat Pertengahan Jauh
Panjang Gelombang (μm) 0,8 – 2,5 2,5 – 50 50 – 1000
Bilangan Gelombang (cm-1) 12800 – 4000 4000 – 200 200 – 10
Frekuensi (Hz) 3,8x1014 – 1,2 x1014 1,2x1014 – 6,0 x1012 6,0x1012 – 3,0 x1011
Sumber : Nur dan Adijuwana (1989)
Sampel yang digunakan untuk analisa ini dapat berupa padat, cair dan gas. Metode penyiapan untuk polimer dilakukan dengan berbagai cara antara lain melarutkan polimer ke dalam suatu pelarut seperti karbon disulfida (CS2), karbon tetraklorida (CCl4), atau kloroform, pembuatan film transparan dan metode pelet KBr. Pada temperatur kamar, molekul senyawa organik berada dalam keadaan vibrasi tetap. Setiap ikatan mempunyai frekuensi ulur dan teknik yang khas dan dapat menyerap sinar dari frekuensi tersebut (Sutiani, 1997).
5. Derajat Kristalinitas Derajat kristalinitas menunjukkan besarnya daerah kristalin pada suatu polimer. Rabek (1983) mengatakan bahwa derajat kristalinitas yang absolut dari suatu bahan polimer tidak dapat ditentukan karena adanya cacat pada konfigurasi kristal (crystal defect structure) di daerah kristalin polimer.
Pada
pengukuran
derajat
kristalinitas,
daerah
kristalin
diasumsikan sebagai daerah dengan keteraturan yang sempurna tanpa adanya cacat, sedangkan daerah amorf diasumsikan sebagai daerah yang tidak teratur yang menyerupai struktur pada molekul cair. Derajat kristalinitas dengan satuan (%) dapat diukur dengan menggunakan berbagai metode antara lain spektroskopi inframerah, spektroskopi NMR, inverse chromatography, difraksi sinar-X, pengukuran densitas, metode DTA-DSC. Pengukuran derajat kristalinitas pada berbagai metode akan mendapatkan hasil yang bervariasi. Oleh karena itu perlu diberi keterangan metode pengukuran derajat kristalinitas (Rabek, 1983).
H. APLIKASI BIOPLASTIK PHA Penelitian dan pengembangan merupakan satu tahap yang dilakukan untuk memperkenalkan kegunaan dari suatu bahan polimer biodegradabel. Desain bahan tersebut biasanya dimulai dengan suatu konsep aplikasi. Bahan tersebut mungkin akan menggantikan bahan yang sudah ada atau berfungsi sebagai pelengkap. Sektor dimana polimer biodegradabel dapat diaplikasikan terpusat pada sektor medis, sektor pengemasan dan penyimpanan, dan sektor pertanian (Lafferty et al di dalam Rehm dan Reed, 1988). Perkembangan pesat penggunaan polimer PHA terjadi pada bidang medis terutama farmasi. Mukhopadhyay
(2002)
menyebutkan
bahwa
telah
dilakukan
pengembangan di bidang teknik jaringan, untuk mengaplikasikan polimer PHA sebagai organ yang dapat diimplantasikan ke dalam tubuh manusia.
Polimer
tersebut
mendapat
perlakuan
tambahan
untuk
merangsang
pertumbuhan sel serta pertumbuhan pembuluh darah di dalam organ baru. Selain sebagai organ buatan, polimer PHA juga dapat digunakan sebagai tulang buatan (artificial bone) yang dapat menyatu dengan tulang lainnya dalam tubuh manusia. Bioglass merupakan salah satu produk yang digunakan dalam aplikasi ini (Kokubo et al, 2003). Aplikasi polimer PHA lainnya yaitu sebagai pengontrol pelepasan obat (controlled release delivery of medicine). Bahan bioaktif yang terdapat dalam obat dilepaskan dalam waktu yang telah ditentukan dengan penggunaan degradasi enzimatik (Sakiyama et al, 2001). Polimer PHA juga digunakan sebagai alat medis seperti jarum bedah, benang jahit untuk operasi (Selin, 2002). Penggunaan bahan biodegradabel akan mengurangi resiko reaksi antara jaringan tubuh dengan alat, mempercepat masa penyembuhan, dan mengurangi jumlah kunjungan pasien ke dokter. Aplikasi polimer biodegradabel di sektor pertanian yaitu sebagai plastik pelindung tunas muda. Tunas muda perlu dilindungi karena sifatnya yang rentan terhadap penyakit dan perubahan cuaca. Keuntungan penggunaan bioplastik ini yaitu pada akhir musim panen tidak perlu dilakukan pengambilan plastik karena telah terdegradasi di dalam tanah. (Li et al, 1999). Aplikasi polimer PHA lainnya yaitu sebagai pot tanaman, kantung penumbuhan benih, pengontrol pelepasan bahan-bahan aktif pada insektisida, herbisida dan pupuk. (Huang et al, 1990; Lafferty et al di dalam Rehm dan Reed, 1988). Salah satu yang hal yang perlu diperhatikan dari penggunaan polimer biodegradabel di sektor pertanian yaitu hasil degradasi polimer tersebut dapat dimanfaatkan sebagai suplemen tertentu bagi tanah. Pada bidang pengemasan polimer PHA digunakan sebagai kantong sampah, wadah pengemas, pengemas makanan, produk sekali pakai seperti popok, pembalut, serta cukur (Lafferty et al di dalam Rehm dan Reed, 1988). Selain itu, telah diciptakan tempat bola golf, serta kait pemancing dari polimer biodegradabel (Ichikawa, 1997).
II. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN 1. Biakan Murni Biakan murni yang digunakan yaitu bakteri Ralstonia eutropha IAM 12368 yang diperoleh dari IAM Culture Collection, Institute of Molecular and Celular Bioscience, The University of Tokyo. 2. Media Media yang digunakan antara lain media nutrient broth dan media kultivasi. Media kultivasi berupa hidrolisat pati sagu dan media garam yang terdiri dari (NH4)2HPO4, K2HPO4, KH2PO4, MgSO4 0,1 M, larutan mikroelemen (FeSO4.7H2O, MnCl2.4H2O, CoSO4.7H20, CaCl2.7H2O, CuCl2.2H2O, ZnSO4.7H2O, buffer tri-hidroklorida). 3. Bahan Tambahan Bahan tambahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain NaOH 4 N dan H3PO4 1,33 M sebagai asam dan basa pada proses kultivasi, antifoam sebagai penghilang busa, NaOCl 0,2% dan metanol yang digunakan pada proses hilir, kloroform yang digunakan pada proses hilir maupun pembuatan bioplastik, serta Tween20 sebagai pemlastis.
B. ALAT 1. Proses Kultivasi dan Proses Hilir PHA Alat utama yang digunakan dalam proses kultivasi dan proses hilir PHA antara lain bioreaktor berkapasitas 13 liter dengan volume kerja 10 liter, laminar, waterbath shaker, autoklaf, pH meter, centrifuge, oven, dan penyaring vakum.
2. Proses Pembuatan Bioplastik Proses pembuatan bioplastik menggunakan peralatan antara lain alatalat gelas, neraca analitik, pipet mikro, hotplate stirer, pendingin tegak, termometer, desikator serta plat kaca sebagai cetakan bioplastik. 3. Karakterisasi Bioplastik Pada proses karakterisasi bioplastik, alat-alat yang digunakan yaitu UTM (Universal Testing Machine) untuk mengetahui kuat tarik dan perpanjangan
putus
bioplastik,
Fourier
Transform
Infra-Red
Spectrofotometer (FTIR) untuk analisa gugus fungsi bioplastik, serta DSC (Differential Scanning Calorimetry) untuk mengetahui Tm (melting point), Tg (glass transition temperature) dan derajat kristalinitas bioplastik.
C. METODE PENELITIAN 1. Persiapan Bahan Baku Biji Bioplastik Persiapan bahan baku dilakukan untuk memperoleh biji bioplastik PHA yang akan digunakan dalam proses pembuatan lembaran bioplastik. Persiapan bahan baku terdiri dari tiga tahap, yaitu persiapan substrat, kultivasi PHA, dan proses hilir PHA. a. Persiapan substrat Persiapan substrat meliputi proses pembuatan hidrolisat pati sagu serta persiapan kultur dan media kultivasi. Proses pembuatan hidrolisat pati sagu dilakukan secara enzimatis berdasarkan penelitian Akyuni (2003). Diagram alir proses pembuatan hidrolisat pati sagu dapat dilihat pada Lampiran 1. Hidrolisat pati sagu hasil proses hidrolisis, dianalisis total gulanya dengan menggunakan metode Fenol-Sulfat untuk mengetahui banyaknya hidrolisat yang digunakan sebagai substrat pada kultivasi PHA. Prosedur analisis total gula dapat dilihat pada Lampiran 6.
Sebelum proses kultivasi, dilakukan beberapa tahap propagasi untuk mendapatkan kultur 10% dari volume media kultivasi. Pada propagasi awal, biakan murni Ralstonia eutropa diinokulasi pada media nutrient broth yang kemudian diinkubasi selama 24 jam dalam waterbath shaker pada suhu 34oC dan kecepatan 150 rpm. Kultur hasil propagasi awal kemudian ditumbuhkan pada media propagasi selanjutnya, yang juga diinkubasi selama 24 jam dalam waterbath shaker pada suhu 34oC dan kecepatan 150 rpm. Propagasi ini dilakukan terus menerus hingga didapatkan kultur 10% dari volume media kultivasi. Media propagasi memiliki formulasi yang sama dengan media kultivasi PHA.
Tabel 3. Komposisi media propagasi dan media kultivasi PHA. Media Bahan Nutrient Broth
Propagasi I (10 ml) 10 ml
Propagasi II (90 ml) -
Propagasi III (900 ml) -
Kultivasi (9000 ml) -
Hidrolisat sagu
-
7,2 ml
72 ml
720 ml
(NH4)2HPO4
-
0,510 g
5,10 g
50,1 g
K2HPO4
-
0,522 g
5,22 g
52,2 g
KH2PO4
-
0,342 g
3,42 g
34,2 g
MgSO4 0.1 M
-
0,9 ml
9 ml
90 ml
Mikro Elemen
-
0,09 ml
0,9 ml
9 ml
Media kultivasi PHA terdiri dari hidrolisat pati sagu sebagai sumber karbon, (NH4)2HPO4 sebagai sumber nitrogen, KH2PO4 sebagai sumber pospat, serta garam-garam lainnya. Komposisi media propagasi dan media kultivasi dapat dilihat pada Tabel 3, sedangkan komposisi larutan mikroelemen dapat dilihat pada Tabel 4. Banyaknya hidrolisat pati sagu dan (NH4)2HPO4 yang digunakan, didasarkan pada rasio C : N = 10 : 1. Prosedur perhitungan sumber karbon dan nitrogen yang digunakan pada media kultivasi dapat dilihat pada Lampiran 7.
Tabel 4. Komposisi Larutan Mikroelemen Bahan
Konsentrasi per liter larutan
FeSO4.7H2O MnCl2.4H2O CoSO4.7H2O CaCl2.2H2O CuCl2.2H2O ZnSO4.7H2O HCl 1 N
2,78 g 1,98 g 2,81 g 0,17 g 1,67 g 0,29 g 1 liter
b. Proses Kultivasi PHA (Atifah, 2006; Byrom, 1987; Kim et al, 1994) Kultivasi PHA dilakukan secara fed batch dalam bioreaktor berkapasitas 13 liter dengan volume kerja 10 liter selama 96 jam (4 hari). Kultivasi PHA dilakukan secara fed batch, karena dengan sistem ini konsentrasi dan rendemen PHA di dalam sel dapat ditingkatkan hingga dua kali lipat dibandingkan dengan kultivasi sistem curah (Atifah, 2006). Proses kultivasi PHA dilakukan pada suhu 34oC, aerasi 0,2 vvm, dan agitasi 150 rpm. Selama proses kultivasi PHA, pH dijaga tetap netral (pH 7) dengan penambahan basa (NaOH 4 N) atau asam (H3PO4 1,33 M). Proses pengumpanan dilakukan pada jam ke-48 yaitu pada saat mikroba memasuki fase pertumbuhan stasioner (Byrom, 1987). Pada titik stasioner tersebut jumlah sel bakteri mencapai titik maksimum tetapi konsentrasi gula dalam media kultivasi hampir habis (Atifah, 2006). Proses pengumpanan dilakukan untuk menjaga konsentrasi sumber karbon tetap berada dalam rentang yang optimal bagi akumulasi PHA (Lee dan Choi 2001 di dalam Atifah, 2006). Besarnya hidrolisat pati sagu yang diumpankan ke dalam media kultivasi setara dengan kadar total gula 20 g/liter media dan diumpan dengan kecepatan 16,6 ml/menit (Kim et al, 1994). Prosedur perhitungan gula umpan dapat dilihat pada Lampiran 7. Diagram alir kultivasi PHA dapat dilihat pada Lampiran 2.
c. Proses hilir PHA (Atifah 2006; Hahn et al, 1995; Senior et al, 1982) Proses hilir PHA terdiri dari dua tahap yaitu ekstraksi PHA dari sel bakteri dan tahap pemurnian PHA. Pada tahap pertama, dilakukan sentrifugasi sebanyak lima kali pada cairan hasil kultivasi dengan kecepatan 13.000 rpm, suhu 4oC dan berlangsung selama sepuluh menit. Sentrifugasi pertama bertujuan untuk memisahkan biomassa dengan fase cair. Endapan yang diperoleh pada sentrifugasi pertama dibilas dengan aquades kemudian dilakukan sentrifugasi yang kedua. Endapan hasil sentrifugasi kedua ditambah NaOCl 0,2% kemudian dilakukan proses pemecahan sel (digest) selama satu jam untuk mengeluarkan PHA dari biomassa sel. Penggunaan larutan NaOCl 0,2% dalam proses pemecahan sel karena kemampuannya yang tinggi untuk memisahkan materi non-PHA (Hahn et al, 1995). Penggunaan konsentrasi NaOCl yang rendah (0,2%) dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya degradasi PHA selama proses pemecahan sel. Sentrifugasi ketiga dilakukan untuk memisahkan endapan (PHA) dan cairan (larutan NaOCl dan biomassa non-PHA). Endapan hasil sentrifugasi ketiga yang berisi PHA, dibilas dengan aquades kemudian dilakukan sentrifugasi yang keempat. Endapan hasil sentrifugasi keempat kemudian dicampurkan dengan metanol sebanyak 80 ml/200 ml cairan kultivasi kemudian disentrifugasi kembali. Pencampuran endapan dengan metanol dilakukan untuk melarutkan lemak dan pigmen yang terdapat di dalam sel (Senior et al, 1982). Endapan hasil sentrifuge kelima kemudian dikeringkan dalam oven suhu 40OC selama 24 jam. PHA yang telah kering kemudian dihaluskan dengan menggunakan mortar hingga didapatkan serbuk PHA halus. Tahap pemurnian PHA dilakukan dengan cara refluks. Serbuk PHA halus dilarutkan ke dalam kloroform kemudian dipanaskan dan diaduk secara konstan selama 24 jam pada suhu ± 50oC. Proses refluks dilakukan pada suhu 50oC karena Senior et al (1982) menyebutkan bahwa proses ekstraksi PHA akan lebih efisien pada suhu diatas 40oC.
Penggunaan suhu 50oC karena berada diantara suhu efisien ekstraksi PHA dan dibawah titik didih kloroform (61,7oC). Banyaknya
kloroform
yang
digunakan
didasarkan
pada
perbandingan PHA : kloroform sebesar 1 : 50 (b/v). Larutan hasil refluks
kemudian
disaring
pada
penyaring
vakum
dengan
menggunakan kertas saring whatman 42. Kloroform yang terdapat pada hasil filtrat kemudian diuapkan pada suhu ruang hingga didapatkan lembaran PHA murni. Diagram alir proses hilir dapat dilihat pada Lampiran 3.
2. Penelitian Pendahuluan. a. Metode pembuatan lembaran bioplastik (Akmaliah, 2003; Allcock dan Lampe, 1981) Proses pembuatan bioplastik dilakukan dengan teknik solution casting. Metode ini digunakan karena tekniknya yang sederhana dan mudah serta tidak memerlukan banyak bahan baku PHA. Prinsip dasar teknik ini adalah melarutkan polimer pada pelarut yang sesuai untuk membentuk larutan yang kental (viscous). Larutan tersebut kemudian dituangkan ke wadah yang rata dan permukaannya non-adhesif, lalu pelarutnya diuapkan. Lapisan film yang sudah kering selanjutnya dilepaskan dari permukaan wadah pencetak (Allcock dan Lampe, 1981). Pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelarut kloroform. Pelarut yang ideal pada proses solution casting antara lain mudah menguap secara berkala pada suhu kamar atau suhu yang tidak jauh diatasnya, namun tidak menguap dengan cepat sehingga membentuk gelembung pada polimer, mempunyai titik didih antara 60 – 100oC, serta memiliki kecocokan sifat dengan bahan yang akan dilarutkan (Allcock dan Lampe, 1981). Kloroform merupakan pelarut yang tepat karena memenuhi kriteria-kriteria tersebut. Selain memiliki titik didih 61,7oC dan mudah menguap pada suhu kamar, kloroform juga mempunyai kemampuan yang tinggi dalam melarutkan PHA
karena sifat kedua bahan yang sama yaitu non-polar. Tingkat pelarutan PHA (PHB) dalam berbagai pelarut dapat dilihat pada Lampiran 5. Diagram alir pembuatan bioplastik dapat dilihat pada Lampiran 4. b. Penentuan perbandingan PHA dan kloroform Perbandingan PHA dan kloroform yang digunakan untuk optimasi pelarutan antara lain 1: 15 (b/b), 1: 20 (b/b), 1 : 25 (b/b), 1 : 30 (b/b), 1 : 35 (b/b), 1 : 40 (b/b). Penentuan perbandingan terbaik ditentukan oleh pelarutan yang sempurna dengan waktu penguapan yang cepat. Perbandingan PHA dan kloroform yang terbaik yang akan digunakan dalam penelitian utama. c. Penentuan konsentrasi pemlastis Tween20 Pemlastis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tween20. Syarat ideal yang harus dimiliki suatu pemlastis yaitu kekocokan pemlastis dengan bahan polimer, permanen atau tidaknya pemlastis tersebut dalam polimer serta efisiensi penggunaannya (Beeler dan Finney di dalam Anonim, 1982). Tween20 memenuhi semua syarat tersebut sehingga layak dijadikan pemlastis PHA. Tween20 memiliki gugus hidrofilik maupun hidrofobik. Gugus hidrofilik bersifat polar sedangkan gugus hidrofobik bersifat nonpolar. PHA yang bersifat non-polar dapat bercampur dengan Tween20 karena gugus hidrofobik yang dimilikinya. Tween20 termasuk bahan yang stabil sehingga bersifat permanen bila telah menyatu dengan PHA. Pada Tween20 juga terdapat banyak gugus fungsi yang dapat membentuk ikatan hidrogen dengan PHA. Semakin banyak gugus fungsi yang mampu membentuk ikatan hidrogen dengan PHA, semakin sedikit pemlastis yang digunakan. Namun alasan utama pemilihan Tween20 sebagai pemlastis adalah karena sifatnya yang tidak beracun dan aman dikonsumsi tubuh sehingga bioplastik ini dapat diaplikasikan sebagai edible film.
Konsentrasi pemlastis dihitung berdasarkan jumlah PHA yang digunakan. Penentuan konsentrasi pemlastis Tween20 dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap pertama menggunakan konsentrasi Tween20 10%, 20%, 30%, tahap kedua menggunakan konsentrasi 4%, 6%, 9%, 13%, 18%, dan tahap ketiga menggunakan konsentrasi 14%, 15%, 16%, 17%. Ketiga tahap itu dilakukan untuk menentukan konsentrasi Tween20 yang tidak mampu membentuk lembaran bioplastik.
3. Penelitian Utama. a. Pembuatan bioplastik untuk karakterisasi Bioplastik yang diuji untuk proses karakterisasi antara lain bioplastik dengan konsentrasi Tween20 0% (sebagai kontrol), 5%, 10%, dan 15%. Bahan baku PHA sebanyak 0,25 g dilarutkan ke dalam kloroform dengan perbandingan PHA dan (kloroform+Tween20) sebesar 1 : 35 (b/b) kemudian dipanaskan pada suhu 50oC selama 1 jam. Proses pemanasan dilakukan untuk mempercepat proses pelarutan serta proses pengikatan PHA dengan pemlastis. Larutan PHA tersebut kemudian ditambah pemlastis Tween20 dan dipanaskan selama 30 menit pada suhu 50oC. Larutan bioplastik dituang pada cetakan kaca dengan ukuran 45 mm x 150 mm dan dibiarkan selama + 30 menit pada suhu ruang hingga seluruh kloroform menguap dan didapatkan lembaran bioplastik. Formulasi untuk pembuatan bioplastik dengan konsentrasi 0%, 5%, 10%, 15% dapat dilihat pada Tabel 5 dan prosedur perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 7. Tabel 5. Formulasi bioplastik untuk karakterisasi Konsentrasi Tween20
PHA (g)
Kloroform (g) (ml)
Tween20 (g) (ml)
0%
0,25
8,75
5,952
-
-
5%
0,25
8,737
5,943
0,013
0,012
10%
0,25
8,722
5,933
0,028
0,025
15%
0,25
8,706
5,922
0,044
0,040
b. Karakterisasi Bioplastik. i.
Densitas (Rabek, 1983). Nilai densitas diperoleh dengan cara membagi nilai massa terhadap volume. Nilai massa didapatkan dari hasil penimbangan sampel pada neraca analitik. Nilai volume didapatkan dari hasil perkalian panjang, lebar dan tebal sampel. Ketebalan sampel diukur dengan menggunakan mikrometer sekrup pada 5 titik yang berbeda dan dihitung rata-ratanya. Densitas bioplastik dapat dihitung dengan persamaan berikut : Г=
m V
Keterangan: Г = densitas (g/cm3) m = massa bahan (g) V = volume bahan (cm3)
ii. Kekuatan tarik (ASTM D 882-97). Proses
pengujian
kekuatan
tarik
dilakukan
dengan
menggunakan alat Universal Testing Machine (UTM) dengan merk Simadzu AGS-10KNG yang terdapat di Sentra Teknologi Polimer (STP), kawasan Puspiptek, Serpong. Pengujian dilakukan berdasarkan standar ASTM D 882-97. Proses pengujian kekuatan tarik dilakukan berdasarkan standar ASTM D 882-97. ASTM D 882-92 merupakan standar pengukuran kekuatan tarik film plastik yang sangat tipis (thin plastic sheeting) dengan ketebalan kurang dari 1 mm. Pengujian dilakukan dengan standar ini karena bioplastik yang dihasilkan mempunyai ketebalan 0,05 mm (kurang dari 1 mm). Sampel yang akan diuji dikondisikan terlebih dahulu dalam ruang climatic chamber dengan suhu dan kelembaban relatif standar (23oC, 50%) selama 48 jam. Pengujian dilakukan dengan cara ujung sampel dijepit mesin penguji tensile. Selanjutnya
dilakukan pencatatan ketebalan dan panjang awal sampel. Tombol start ditekan kemudian alat akan menarik sampel dengan kecepatan 500 mm/menit sampai sampel putus. Nilai kekuatan tarik didapatkan dari hasil pembagian tegangan maksimum dengan luas penampang melintang. Tegangan maksimum didapatkan dari nilai tegangan sampel saat putus. Luas penampang melintang didapatkan dari hasil perkalian panjang awal sampel dengan ketebalan awal sampel. Uji kekuatan tarik dilakukan pada lima sampel bioplastik yang kemudian dihitung rata-ratanya. Kekuatan tarik bioplastik dihitung dengan persamaan berikut: τ = Fmax / A Keterangan: τ
= kekuatan tarik (MPa)
Fmax
= tegangan maksimum (N)
A
= luas penampang melintang (mm2)
iii. Perpanjangan putus (ASTM D 882-97) Pengukuran perpanjangan putus dilakukan dengan cara yang sama dengan pengujian kuat tarik. Perpanjangan dinyatakan dalam persentase, dihitung dengan cara :
Perpanjangan putus (%) = Regangan saat putus (mm) x 100% Panjang awal (mm)
iv. Analisa gugus fungsi (Nur dan Adijuwana, 1989) Analisa gugus fungsi dilakukan di Departemen Teknik Gas dan Petrokimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia. Alat yang digunakan adalah Fourier Transform Infra-Red Spectroscopy (FTIR) dengan merk ATI Mattson. Sampel film transparan yang
akan diuji, dipotong melingkar dengan diameter 10 mm kemudian dimasukkan ke dalam alat. Alat dinyalakan kemudian dilakukan pemanasan sumber radiasi hingga suhu antara 1500 dan 2000 K. Senyawa-senyawa pada sampel akan menyerap radiasi infra merah yang dihasilkan kemudian dikonversi ke dalam energi rotasi dan vibrasi molekul. Detektor pada spektrofotometer infra merah akan mengukur besarnya energi tersebut yang kemudian direkam sebagai spektrum infra merah yang menghasilkan puncak-puncak absorbsi dengan intensitas rendah hingga tajam. Spektrum infra merah ini menunjukkan hubungan antara absorbsi dan frekuensi atau bilangan gelombang atau panjang gelombang. Nilai absorbsi pada panjang gelombang tertentu akan menunjukkan gugus fungsi yang terdapat pada sampel tersebut. Identifikasi gugus fungsi dilakukan berdasarkan tabel identifikasi gugus fungsi menurut Nur dan Adijuwana (1989).
v. Sifat Termal (ASTM D3418-99) Analisa sifat termal meliputi titik leleh (melting point, Tm) dan suhu transisi kaca (glass transition temperature, Tg). Analisa dilakukan di Sentra Teknologi Polimer (STP), kawasan Puspiptek, Serpong. Alat yang digunakan adalah Differential Scanning Calorimetry (DSC) dengan merek Mettler Toledo. Pengujian dilakukan berdasarkan standar ASTM D 3418-99. Pada alat DSC terdapat dua wadah yaitu satu wadah untuk sampel dan satu lagi untuk substansi (zat) kontrol. Sampel sekitar 20 mg dimasukkan ke dalam wadah sampel kemudian dilakukan pemanasan dari suhu (-90oC) hingga 200oC dengan kecepatan pemanasan 10oC/menit. Temperatur tiap wadah dikontrol dengan sensor panas. Jika sampel menyerap panas pada saat transisi, perubahan ini akan dideteksi oleh sensor, yang berdampak pada aliran panas yang besar untuk mengganti panas yang terserap.
Aliran panas ini kemudian direkam sebagai kurva DSC yang menunjukkan puncak-puncak absorbsi panas pada suhu tertentu. Suhu-suhu
saat
sampel
menyerap
panas
yang
akan
diidentifikasikan sebagai titik leleh atau suhu transisi gelas sampel. Identifikasi titik leleh dan suhu transisi gelas dilakukan berdasarkan Lafferty et al di dalam Rehm dan Reed (1988).
vi. Derajat kristalinitas (Barham et al, 1984 dan Hahn et al, 1995) Pengukuran derajat kristalinitas dilakukan dengan metode pendekatan. Metode ini didasarkan pada perubahan entalpi yang terjadi saat tercapainya suhu pelelehan pada pengukuran titik leleh dengan DSC. PHA dengan derajat kristalinitas 100% akan mempunyai perubahan entalpi titik leleh sebesar 146 J/g (Barham et al, 1984). Dengan melakukan perbandingan perubahan entalpi sampel uji dan PHA dengan kristalinitas 100% maka akan dapat diketahui derajat kristalinitas sampel uji. Menurut Hahn et al (1995), derajat kristalinitas dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Xc = ΔHf / ΔHo x 100% Keterangan: Xc
= kristalinitas (%),
ΔHf = entalpi pelelehan sampel (J/g), ΔHo = entalpi pelelehan PHB 100% kristalin (146 J/g)
4. Analisa Data Analisa data yang digunakan adalah statistika deskriptif. Statistika deskriptif adalah metode-metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna.
D. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa Bioproses Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Pengawasan Mutu dan Laboratorium Bioindustri, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Karakterisasi bioplastik PHA dilakukan di Sentra Teknologi Polimer, Kawasan Puspiptek, Serpong dan Departemen Teknik Gas dan Petrokimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia. Penelitian berlangsung selama sepuluh bulan yaitu mulai bulan Februari sampai November 2006.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PERSIAPAN BIJI BIOPLASTIK Proses kultivasi PHA yang dilakukan dengan sistem fed batch pada substrat hidrolisat pati sagu menghasilkan biomassa sebesar 3,875 g/l. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan biomassa hasil kultivasi Atifah (2006) dengan kondisi kultivasi yang sama yaitu 3,72 g/l. Namun jika dibandingkan dengan hasil biomassa menurut Ryu et al (1997) yang mencapai 281 g/l, hasil kultivasi ini jauh lebih rendah. Proses hilir PHA dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap ekstraksi PHA dan tahap pemurnian PHA. Pada tahap pertama dihasilkan serbuk PHA yang belum murni (Gambar 8). Serbuk PHA yang belum murni tersebut kemudian direfluks dan dihasilkan rendemen PHA murni sebesar 10-30% dari bobot kering biomassa atau 0,55 g/l cairan kultivasi. PHA murni tersebut berupa lembaran bioplastik. Nilai rendemen ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan rendemen PHA menurut Choi dan Lee (1999) yang mencapai 77% atau 157 g/l cairan kultivasi. Hasil rendemen yang sangat berbeda ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain perbedaan substrat kultivasi, galur bakteri, metode isolasi PHA serta kondisi kultivasi PHA (Lafferty et al di dalam Rehm dan Reed, 1988).
Gambar 8. Serbuk PHA
B. PENELITIAN PENDAHULUAN d. Hasil Penentuan Perbandingan PHA dan Kloroform Perbandingan PHA dan kloroform yang digunakan untuk optimasi pelarutan antara lain 1: 15 (b/b) , 1: 20 (b/b), 1 : 25 (b/b), 1 : 30 (b/b), 1 : 35 (b/b), dan 1 : 40 (b/b). Perbandingan PHA dan kloroform 1 : 15, 1 : 20, 1: 25 dan 1 : 30 (b/b) menghasilkan lembaran bioplastik yang tidak sempurna karena jumlah pelarut yang kurang untuk melarutkan PHA yang ada
sehingga
cetakan
tidak
seluruhnya
tertutupi
oleh
larutan.
Perbandingan 1 : 40 (b/b) menghasilkan lembaran bioplastik yang baik namun memiliki waktu penguapan yang lebih lama daripada perbandingan 1 : 35 karena jumlah kloroform yang lebih banyak. Perbandingan 1 : 35 (b/b) merupakan perbandingan terbaik karena menghasilkan lembaran yang baik dengan waktu penguapan pelarut yang cepat. Hasil penentuan perbandingan PHA dan kloroform dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil penentuan perbandingan PHA dan kloroform Perbandingan PHA
Waktu penguapan pelarut
dan kloroform (b/b)
kloroform
1: 15
10 menit
-
1: 20
19 menit
-
1 : 25
20 menit 30 detik
-
1 : 30
24 menit
-
1 : 35
29 menit 30 detik
+
1 : 40
36 menit
+
Pembentukan lembaran
Keterangan : (-) = tidak sempurna (+) = sempurna
e. Hasil Penentuan Konsentrasi Pemlastis Tween20 Penentuan konsentrasi pemlastis Tween20 dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap pertama menggunakan konsentrasi Tween20 10%, 20%, 30%, tahap kedua menggunakan konsentrasi Tween20 4%, 6%, 9%, 13%, 18%, dan tahap ketiga menggunakan konsentrasi Tween20 14%, 15%, 16%,
17%. Ketiga tahap itu dilakukan untuk menentukan konsentrasi Tween20 yang tidak mampu membentuk lembaran bioplastik. Hasil penentuan konsentrasi pemlastis Tween20 dapat dilihat pada Tabel 7. Pada tahap pertama, formulasi dengan konsentrasi Tween 10% dapat membentuk lembaran bioplastik, sedangkan formulasi dengan konsentrasi Tween 20% dan 30 % tidak dapat membentuk lembaran. Pada tahap kedua digunakan konsentrasi Tween 20 sebesar 4%, 6%, 9%, 13%, dan 18%. Formulasi dengan konsentrasi pemlastis Tween20 4%, 6%, 9% dan 13% mampu membentuk lembaran bioplastik yang baik. Namun formulasi dengan konsentrasi 18% tidak mampu membentuk lembaran bioplastik (Gambar 9.d). Pada tahap ketiga digunakan konsentrasi Tween20 14%, 15%, 16%, dan 17%. Formulasi dengan konsentrasi Tween 14%, 15%, 16%, dan 17% dapat membentuk lembaran bioplastik.
Tabel 7. Hasil penentuan konsentrasi pemlastis Tween20 Konsentrasi Tween20 10% Tahap I
Tahap II
Tahap III
Pembentukan lembaran +
20%
-
Bentuk fisik bioplastik secara visual Berwarna krem, permukaan sedikit basah -
30%
-
-
4%
+
6%
+
9%
+
13%
+
18%
-
Berwarna krem bersih, permukaan licin dan tipis Berwarna krem bersih, permukaan licin dan tipis Berwarna krem bersih, permukaan sedikit basah Berwarna krem, permukaan basah -
14%
+
15%
+
16%
+
17%
+
Keterangan : (-) = tidak terbentuk (+) = terbentuk
Berwarna krem, permukaan basah Berwarna krem, permukaan basah Berwarna krem, permukaan basah Berwarna krem, permukaan basah
Hasil dari ketiga tahap di atas menunjukkan bahwa lembaran bioplastik dapat terbentuk pada konsentrasi Tween20 0%-17%, sedangkan formulasi dengan konsentrasi Tween20 diatas 18% tidak dapat membentuk lembaran (Gambar 9.d). Tidak terbentuknya lembaran pada konsentrasi Tween20 diatas 18% dikarenakan PHA telah mencapai titik jenuh (gugus OH pada PHA telah habis berikatan dengan Tween20), namun masih terdapat molekul Tween20 bebas dalam jumlah berlebih sehingga tidak dapat membentuk lembaran yang utuh.
Gambar 9. Lembaran Bioplastik dengan konsentrasi (a) Tween20 6%, (b) Tween20 9%, (c) Tween20 13%, (d) Tween20 18%.
C. PENELITIAN UTAMA 1. Bioplastik untuk Karakterisasi Bioplastik yang diuji untuk proses karakterisasi antara lain bioplastik dengan konsentrasi Tween20 0% (sebagai kontrol), 5%, 10%, dan 15%. Selain karena berada di rentang konsentrasi Tween20 yang dapat membentuk lembaran, alasan pemilihan konsentrasi-konsentrasi tersebut adalah untuk melihat pengaruh penambahan pemlastis Tween20 terhadap PHA dengan rentang penambahan yang cukup jauh (5%). Pada proses pembuatan bioplastik, diperlukan bahan baku PHA sebesar 0,25 gram umtuk dapat menutupi cetakan bioplastik dengan ukuran 45 mm x 150 mm secara sempurna. Lembaran bioplastik yang dihasilkan mempunyai ketebalan + 0,05 mm dan dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Lembaran bioplastik PHA dengan konsentrasi Tween20 0%(a), 5%(b), 10%(c), dan 15%(d).
2. Hasil Karakterisasi Bioplastik a. Densitas Nilai densitas bioplastik Tween20 0%, 5%, 10%, dan 15% secara berturut-turut yaitu 0,67 g/cm3, 0,64 g/cm3, 0,62 g/cm3 dan 0,52 g/cm3. Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi penambahan konsentrasi pemlastis Tween20 maka semakin rendah densitas yang dihasilkan. Hal itu disebabkan oleh terbentuknya ikatan hidrogen pada saat penambahan pemlastis Tween20. Hasil denstitas bioplastik dapat dilihat pada Gambar 11.
Densitas (g/cm3)
0.8 0.7 0.6
0.67
0.64
0.62
0.5
0.52
0.4 0.3 0.2 0.1 0 0
5
10
15
Konsentrasi Tween20 (%)
Gambar 11. Grafik hubungan densitas (g/cm3) dengan konsentrasi Tween20 (%)
Ikatan hidrogen menyebabkan struktur rantai polimer semakin berongga. Semakin banyak pemlastis Tween20 yang ditambahkan, semakin banyak ikatan hidrogen yang terbentuk. Semakin banyak ikatan hidrogen yang terbentuk, maka struktur polimer semakin berongga, ruangan di antara molekul-molekul akan menjadi lebih besar, sehingga volume bertambah dan densitas pun berkurang. Proses pembentukan ikatan hidrogen antara PHA dan Tween20 diduga terjadi seperti tergambar pada Gambar 12. Nilai densitas bioplastik yang dihasilkan lebih rendah jika dibandingkan dengan densitas PHA (PHB) menurut Brandl et al (1990) di dalam Atkinson dan Mavituna (1991) yaitu sebesar 1,2 - 1,5 g/cm3. Lafferty et al di dalam Rehm dan Reed (1988) mengatakan bahwa nilai densitas yang rendah menunjukkan daerah amorf (tidak teratur) yang lebih besar daripada daerah kristalin (teratur). Oleh karena itu bisa diartikan rendahnya densitas bioplastik yang dihasilkan, disebabkan oleh daerah amorf yang lebih besar.
(b) (a)
(c)
Gambar 12. Proses pembentukan (a) ikatan hidrogen antara (b) PHA dan (c) Tween20 (berdasarkan Syarifuddin, 1994)
b. Kekuatan Tarik Kekuatan tarik merupakan salah satu karakterisasi terhadap sifat mekanik suatu bahan polimer. Pengukuran kekuatan tarik akan menghasilkan dua hasil uji yaitu kekuatan tarik saat putus (tensile strength) dan perpanjangan pada saat putus (elongation at break). Hasil pengujian kekuatan tarik dan perpanjangan putus selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8. Grafik hubungan kekuatan tarik dan konsentrasi Tween20 dapat dilihat pada Gambar 13. Pada grafik hubungan kekuatan tarik dengan konsentrasi Tween20, dapat dilihat bahwa terjadi penurunan kekuatan tarik seiring dengan peningkatan konsentrasi Tween20. Hal itu sesuai dengan pernyataan Figuly (2004) yang mengatakan bahwa pemlastis yang ditambahkan ke dalam suatu polimer cenderung menurunkan kekuatan tarik polimer tersebut.
Penurunan
kekuatan
tarik
tersebut
disebabkan
oleh
terbentuknya ikatan hidrogen antara PHA dan pemlastis Tween20 (Beeler dan Finney di dalam Anonim, 1982).
Kekuatan Tarik (MPa)
3.5 3 3.11
2.5 2
2.28
2.26
1.5 1.38
1 0.5 0 0
5
10
15
Konsentrasi Tween20 (%)
Gambar 13. Grafik hubungan kekuatan tarik (tensile strenght) (MPa) dengan konsentrasi Tween20 (%)
Ikatan hidrogen jauh lebih lemah dibandingkan dengan ikatan kovalen. Energi ikatan hidrogen berkisar antara 0,4 sampai 40 kJ/mol dan hanya merupakan sepersepuluh kekuatan ikatan kovalen (Companion, 1991). Semakin banyak pemlastis yang ditambahkan maka semakin banyak ikatan hidrogen yang terbentuk sehingga ikatan dalam polimer semakin lemah. Ikatan yang semakin lemah menyebabkan gaya yang dibutuhkan untuk memutuskan rantai ikatan semakin rendah. Hal ini yang menyebabkan nilai kekuatan tarik semakin menurun. Bioplastik PHA tanpa penambahan pemlastis (Tween20 0%) mempunyai kekuatan tarik sebesar 3,11 MPa. Angka ini menunjukkan bahwa diperlukan gaya sebesar 3,11 N untuk memutus rantai polimer bioplastik per satu satuan luas mm2. Nilai kekuatan tarik yang dihasilkan bioplastik ini sangat berbeda dengan nilai kekuatan tarik PHB menurut Brandl et al (1990) di dalam Atkinson dan Mavituna (1991), yaitu sebesar 40 MPa. Hal ini dikarenakan perbedaan derajat kristalinitas (Cowd,1991). Derajat kristalinitas yang dimiliki bioplastik PHA dari hidrolisat pati sagu lebih rendah (50,52%) dibandingkan derajat kristalinitas PHB menurut Brandl et al (1990) di dalam Atkinson dan Mavituna (1991) (65-80%). Derajat kristalinitas yang
lebih rendah menunjukkan daerah kristalin yang lebih rendah. Daerah kristalin yang lebih rendah menunjukkan gaya antarrantai polimer yang lebih rendah sehingga gaya yang dibutuhkan untuk memutuskan ikatan pun semakin rendah. c. Perpanjangan Putus Pengujian perpanjangan putus dilakukan untuk mengetahui besarnya pertambahan panjang suatu polimer sebelum akhirnya putus. Pengukuran
perpanjangan
putus
dilakukan
bersamaan
dengan
pengukuran kekuatan tarik. Hasil pengujian perpanjangan putus dapat
Perpanjangan Putus (%)
dilihat pada Gambar 14. 1.4 1.2 1.22
1
1.11
1.06
0.99
0.8 0.6 0.4 0.2 0 0
5
10
15
Konsentrasi Tween20 (%)
Gambar 14. Grafik hubungan perpanjangan putus (%) dengan konsentrasi Tween20 (%)
Pada grafik hubungan perpanjangan putus dengan konsentrasi Tween20, dapat dilihat bahwa bioplastik tanpa penambahan pemlastis (Tween20 0%) mempunyai perpanjangan putus sebesar 1,06 %. Angka ini menunjukkan bahwa dengan gaya sebesar 3,11 MPa, maka bioplastik dapat dipanjangkan hingga 1,06% dari panjang semula. Penambahan pemlastis Tween20 sebesar 5% mampu meningkatkan perpanjangan putus menjadi 1,22 %. Peningkatan nilai perpanjangan putus ini sesuai dengan pernyataan Figuly (2004) yang mengatakan
bahwa pemlastis yang ditambahkan dapat meningkatkan perpanjangan putus suatu bahan polimer. Peningkatan perpanjangan putus ini disebabkan oleh terbentuknya ikatan hidrogen antara molekul PHA dan molekul Tween20. Ikatan hidrogen lebih panjang dari ikatan kovalen tetapi ikatannya lebih lemah (Companion, 1991). Semakin banyak ikatan hidrogen yang terbentuk menyebabkan rantai semakin panjang. Oleh karena itu terjadi peningkatan perpanjangan putus rantai setelah penambahan pemlastis Tween20. Pada grafik hubungan perpanjangan putus dengan konsentrasi Tween20 dapat dilihat bahwa perpanjangan putus tertinggi didapatkan pada titik konsentrasi Tween20 5% kemudian menurun setelah ditambahkan Tween20 sebesar 10% dan 15%. Hal ini menunjukkan bahwa titik jenuh pembentukan ikatan hidrogen PHA dengan molekul Tween20 terjadi pada konsentrasi Tween20 5% dimana gugus OH pada PHA telah habis berikatan dengan molekul Tween20. Apabila ditambahkan pemlastis lagi, maka akan menyebabkan molekul pemlastis
tambahan
tersebut
dalam
keadaan
bebas
sehingga
menghambat pemuluran rantai PHA dan Tween20 yang terbentuk. Oleh karena itu terjadi penurunan perpanjangan putus pada konsentrasi Tween20 10% dan 15%. Nilai perpanjangan putus bioplastik PHA yang dihasilkan (1,06%) berbeda dengan perpanjangan putus PHB menurut Brandl et al (1990) di dalam Atkinson dan Mavituna (1991) yaitu sebesar 6-8%. Sifat suatu bahan polimer dipengaruhi panjang rantai polimer (bobot molekul), susunan rantai di dalam polimer, serta derajat kekristalan (Cowd, 1991). Dalam hal ini, perbedaan perpanjangan putus antara bioplastik dengan perpanjangan putus PHB menurut Brandl et al (1990) di dalam Atkinson dan Mavituna (1991) disebabkan oleh panjang rantai polimer (bobot molekul) berbeda. Bobot molekul PHB menurut Brandl et al (1990) di dalam Atkinson dan Mavituna (1991) yaitu sebesar 1.105 - 8.105.
Bobot molekul suatu polimer dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain metode isolasi (ekstraksi granula PHB dari biomassa prokariotik), galur bakteri yang digunakan, waktu pemanenan sel, substrat yang digunakan, serta kondisi kultivasi (suhu, tekanan oksigen) (Lafferty et al di dalam Rehm dan Reed, 1988). Brandl et al (1990) di dalam Atkinson dan Mavituna (1991) tidak menyebutkan metode isolasi, galur bakteri, waktu pemanenan sel, substrat, serta kondisi kultivasi yang digunakan untuk pembentukan PHB-nya, tetapi apabila dalam proses pembentukan bioplastik PHB terdapat salah satu faktor yang berbeda maka bioplastik yang dihasilkan akan mempunyai bobot molekul yang berbeda. Perpanjangan putus bioplastik PHA pati sagu yang lebih rendah menunjukkan bobot molekul yang lebih rendah dari PHB menurut Brandl et al (1990) di dalam Atkinson dan Mavituna (1991) yaitu lebih rendah dari nilai 1.105. d. Analisa Hubungan Kekuatan Tarik dan Perpanjangan Putus Hasil
dari
pengukuran
kekuatan
tarik
dan
pengukuran
perpanjangan putus bioplastik dihubungkan dalam kurva yang disebut sebagai kurva tegangan-regangan (stress-strain curve). Tiap formulasi bioplastik yang dihasilkan (Tween20 0%, 5%, 10%, dan 15%), diplotkan pada kurva yang berbeda-beda untuk menunjukkan perbedaan karakteristik dari bioplastik yang dihasilkan. Dari keempat kurva tegangan-regangan bioplastik yang dihasilkan, terlihat bahwa nilai perpanjangan putus (regangan) terbesar terdapat pada bioplastik dengan konsentrasi Tween20 sebesar 5%. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik terbaik bioplastik yang dihasilkan berdasarkan sifat elastisitasnya terdapat pada bioplastik Tween20 5%.
Gambar 15. Kurva tegangan-regangan bioplastik.
Kurva tegangan-regangan dapat menggambarkan tipe karakteristik bahan polimer. Menurut Allcock dan Lampe (1981), terdapat lima tipe karakteristik bahan polimer berdasarkan kurva tegangan-regangan yang dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Karakteristik kurva tegangan-regangan lima tipe bahan polimer (Allcock dan Lampe, 1981)
Berdasarkan lima tipe bahan menurut Allcock dan Lampe (1981), kurva tegangan-regangan bioplastik PHA yang dihasilkan tanpa penambahan pemlastis (Tween20 0%) menunjukkan karakteristik bahan polimer tipe (c) yaitu tipe karakterisitik kaku dan rapuh. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya kekuatan tarik bahan polimer dibandingkan perpanjangan putusnya. Namun seiring dengan penambahan pemlastis, kurva tegangan-regangan bioplastik cenderung menuju tipe kurva (a) yaitu tipe karakteristik elastis namun lemah. Berdasarkan karakteristik tegangan-regangan bahan bioplastik yang dihasilkan, aplikasi yang cocok untuk bioplastik tersebut yaitu sebagai bahan penyalut obat lepas lambat (slow release medicine). Obat lepas lambat berbeda dari obat lainnya dalam hal kecepatan pengeluaran zat aktif dalam obat tersebut. Menurut Sinaga (2004) obat yang dikapsulkan semata-mata untuk menutupi rasa atau baunya yang tidak enak, menggunakan bahan kapsul yang larut air. Zat aktif dalam obat tersebut akan segera dikeluarkan jika sudah masuk dalam tubuh karena sifat penyalutnya yang larut air. Namun pada obat lepas lambat mempunyai tujuan khusus. Obat-obat lepas lambat (slow release medicine) dirancang untuk bekerja secara bertahap, 8 jam, 12 jam, 24 jam atau lebih. Zat aktifnya dilepas sedikit demi sedikit dari formulasinya untuk diserap oleh tubuh dan bekerja dalam waktu yang cukup panjang. Dosisnya sudah diatur sedemikian rupa sehingga penyerapannya oleh tubuh sesuai dengan keperluan (Sinaga, 2004). Mekanisme kerja obat lepas lambat (slow release medicine) dapat dilihat pada Gambar 17. Bahan penyalut untuk obat lepas lambat (slow release medicine) ini harus mempunyai karakteristik tidak larut air supaya tidak mudah terdegradasi pada tubuh mengandung 80% air. Sifat PHA yang tidak larut air cocok dengan karakteristik yang diperlukan sebagai bahan penyalut untuk obat lepas lambat (slow release medicine).
Gambar 17. Mekanisme kerja obat lepas lambat (slow release medicine) (Allcock dan Lampe, 1981)
Hal yang perlu diperhatikan bahan penyalut untuk obat lepas lambat (slow release medicine) adalah kecepatan degradasinya dalam tubuh, serta sifat bahannya yang tidak beracun. Bioplastik PHA dapat terdegradasi
dalam
tubuh
melalui
reaksi
enzimatis.
Enzim
depolymerase yang terdapat dalam tubuh manusia dapat memecah polimer PHA menjadi monomer-monomernya. Hasil degradasi PHA yaitu asam D(-)-3-hidroksialkanoat merupakan bahan metabolit intermediat pada semua organisme tingkat tinggi termasuk manusia. Monomernya dapat berperan sebagai metabolisme lipid dan berfungsi sebagai sumber energi bagi jaringan tubuh terutama hati dan otak (Lafferty et al di dalam Rehm dan Reed, 1988). Tween20 merupakan satu jenis pemlastis dari golongan asam lemak tersubstitusi. Tween20 merupakan
turunan
dari
PEG-sorbitan
monolaurat.
Sorbitan
monolaurat sendiri merupakan hasil esterifikasi antara sorbitol dan asam laurat. Tween20 bersifat tidak beracun (non toxic) karena terbuat dari bahan alami yaitu minyak kelapa dan bersifat biodegradabel. WHO (World Health Organization) menyebutkan bahwa jumlah konsumsi Tween20 yang dapat diterima tubuh manusia sekitar 0-25 mg/kg berat tubuh (Anonimc, 2006).
e. Analisa Gugus Fungsi Analisa
gugus
fungsi
bioplastik
dilakukan
untuk
mengindentifikasikan struktur bioplastik baik yang mengandung senyawa organik maupun senyawa anorganik. Analisa gugus fungsi dilakukan dengan menggunakan Fourier Transform Infra Red Spectrofotometer (FTIR). Hasil analisa gugus fungsi pada bioplastik tanpa pemlastis (Tween20 0%) dan bioplastik konsentrasi Tween20 5% dapat dilihat pada Gambar 18.
(a)
(b) Gambar 18. Hasil FTIR pada bioplastik Tween20 0% (a) dan bioplastik Tween20 5% (b)
Identifikasi gugus fungsi pada bioplastik Tween20 0% pada Tabel 8 menunjukkan bahwa gugus-gugus pembentuk struktur rantai PHA (Gambar 1) terdapat pada bioplastik tersebut. Gugus-gugus tersebut antara lain C=O/C-O-C ester, CH2, OH karboksilat, CH serta CH3. Gugus ester yang terlihat pada hasil spektrum FTIR bioplastik Tween20 0% menunjukkan ikatan antar monomer PHA membentuk polimer PHA. Gugus OH karboksilat menunjukkan gugus OH pada ujung-ujung rantai PHA. Gugus CH3 (metil) menunjukkan jenis PHA pada bioplastik yaitu jenis PHB. Hal ini sesuai pernyataan Doi et al (1990) yang menyebutkan bahwa jenis polimer yang diproduksi oleh Ralstonia eutropha adalah homopolimer PHB dengan penggunaan glukosa sebagai substrat. Pada identifikasi gugus fungsi pada bioplastik Tween20 0% juga memperlihatkan adanya gugus NH amida protein pada bioplastik yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lafferty et al di dalam Rehm dan Reed (1988) yang menyebutkan bahwa komposisi PHB yang terisolasi dari granula terdiri dari 98% PHB dan 2% protein. Pada tabel identifikasi gugus fungsi bioplastik dengan konsentrasi Tween20 5%, terlihat adanya puncak absorbansi (peak) gugus OH ikatan hidrogen. Hal ini membuktikan bahwa perubahan karakteristik pada bioplastik PHA dengan penambahan pemlastis Tween20 disebabkan oleh terbentuknya ikatan hidrogen antara molekul PHA dan molekul Tween20. Pada tabel hasil identifikasi gugus fungsi bioplastik 5% Tween20 juga memperlihatkan gugus-gugus dominan pada molekul Tween 20, yaitu gugus C-O eter serta C=O/C-O-C ester. Pada tabel hasil identifikasi gugus fungsi bioplastik 5% Tween20, tidak terlihat adanya puncak absorbansi (peak) gugus OH asam karboksilat seperti yang terlihat pada hasil identifikasi bioplastik 0% Tween20. Hal ini menunjukkan bahwa gugus OH karboksilat pada rantai PHA telah habis bereaksi dengan molekul Tween20 membentuk ikatan hidrogen.
Tabel 8. Identifikasi Gugus Fungsi Bioplastik
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Bioplastik 0% Tween20 Bilangan IntenGelombang Identifikasi sitas (cm-1) NH amida 3440,38 sedang protein OH 2974,79* sedang karboksilat 2931,13* tajam CH 2854,13* sedang 1751,04* tajam C=O ester 1455,57* sedang CH2 1380,61* tajam CH3 1310,87 tajam N=O 1310,87C-O-C tajam 1064,10* polimer 979,65sedang ttd 462,83
Bioplastik 5% Tween20 Bilangan IntenGelombang Identifikasi sitas (cm-1) 2969,83*/** sedang 2877,27*/** sedang 1722,51*/** 1457,92 1380,78* 1283,92*/** 1227,35*/** 1132,58**
OH (ikatan hidrogen)
CH (stretching)
tajam C=O ester rendah ttd rendah CH3 sedang C-O ester sedang C-O ester sedang C-O eter
1055,60**
sedang
C-O eter
979,66516,82
rendah
ttd
Catatan: Berdasarkan Nur dan Adijuwana, 1989 *Gugus fungsi PHA ** Gugus fungsi Tween20 ttd = tidak diketahui
f. Analisa Sifat Termal Sifat termal suatu polimer ditentukan oleh titik leleh (melting point, Tm) maupun suhu transisi kaca (glass transition temperature, Tg). Hasil analisa sifat termal DSC pada bioplastik Tween20 0% dan bioplastik Tween20 5% dapat dilihat pada Gambar 19. Pada hasil analisa termal DSC bioplastik Tween20 0% (Gambar 19.a) terlihat bahwa terdapat dua puncak penyerapan energi untuk melelehkan sampel (titik leleh, Tm) yaitu sebesar 13,91 J/g pada suhu 149,84oC serta 73,76 J/g pada suhu 168,72oC. Dua titik leleh menunjukkan terdapatnya dua buah komponen pada bioplastik 0% Tween20. Komponen dengan titik leleh sebesar 168,72 oC merupakan komponen PHB karena menurut Lafferty et al di dalam Rehm dan Reed (1988) titik leleh PHB bervariasi di antara 157oC – 188oC. Puncak
penyerapan
energi
yang
tajam
pada
suhu
tersebut
menunjukkan bahwa PHB merupakan komponen dominan penyusun
bioplastik tersebut. Komponen dengan titik leleh sebesar 149,84oC, diduga sebagai pengotor bioplastik karena bioplastik yang dihasilkan tidak 100% murni PHB tetapi terdapat komponen-komponen lain seperti protein (+ 2%) (Lafferty et al di dalam Rehm dan Reed, 1988).
(a)
(b) Gambar 19. Hasil analisa termal DSC pada bioplastik Tween20 0% (a) dan bioplastik Tween20 5% (b)
Pada hasil analisa termal DSC bioplastik Tween20 5% (Gambar 19.b) terlihat adanya tiga titik leleh komponen penyusun bioplastik yaitu 30,54oC, 144,54oC dan 163,88oC. Komponen dengan titik leleh sebesar 163,88oC merupakan komponen PHB sesuai dengan pernyataan Lafferty et al di dalam Rehm dan Reed (1988). Dua komponen lainnya merupakan komponen pengotor. Bertambahnya komponen pengotor disebabkan oleh ditambahkannya pemlastis ke dalam bioplastik yang dihasilkan. Komponen PHB pada bioplastik Tween20 5% mempunyai titik leleh yang lebih rendah (163,88oC) jika dibandingkan titik leleh komponen PHB pada bioplastik 0% Tween20 (168,72oC). Hal ini disebabkan komponen PHB pada bioplastik 5% Tween20, tidak murni PHB tetapi sudah berikatan hidrogen dengan molekul Tween20. Hal ini sesuai dengan pernyataan Figuly (2004) yang menyatakan bahwa pemlastis yang ditambahkan dapat menurunkan titik leleh komposisi. Penurunan titik leleh inilah yang diinginkan setelah penambahan pemlastis karena dengan titik leleh yang lebih rendah pemrosesan bioplastik dengan metode pelelehan dapat dilakukan karena rentang antara suhu pelelehan dengan suhu degradasi bioplastiknya semakin jauh. Hasil analisa termal DSC baik pada bioplastik 0% Tween20 maupun bioplastik 5% Tween20 tidak memperlihatkan adanya suhu transisi gelas (Tg). Hal ini disebabkan karena bioplastik PHA merupakan jenis polimer semikristalin yang memiliki daerah kristalin maupun daerah amorf. Jenis polimer yang benar-benar kristalin (tidak memiliki daerah amorf) tidak mempunyai suhu Tg. Jenis polimer yang benar-benar amorf (tidak memiliki daerah kristalin), suhu Tg-nya dapat terukur dengan jelas. Namun pada polimer semikristalin, suhu Tg tidak dapat diukur dengan jelas karena suhu Tg hanya terukur pada daerah amorf pada polimer semikristalin tersebut (Rabek, 1983).
g. Derajat kristalinitas Pengukuran derajat kristalinitas dilakukan untuk mengetahui besarnya daerah kristalin pada suatu bahan polimer. Hasil pengukuran derajat kristalinitas berdasarkan entalpi pelelehan bioplastik dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil pengukuran derajat kristalinitas berdasarkan entalpi pelelehan bahan. Bioplastik
Entalpi pelelehan sampel (∆Hf)
Kristalinitas (Xc)
0% Tween20
73,76 J/g
50,52 %
5% Tween20
72,81 J/g
49,86 %
Dari hasil pengukuran derajat kristalinitas dapat dilihat bahwa terjadi penurunan kristalinitas bioplastik tanpa pemlastis (0% Tween20) yaitu sebesar 50,52 % menjadi 49,86 % sesudah ditambahkan pemlastis (5% Tween20). Penurunan derajat kristalinitas menunjukkan penurunan daerah kristalin pada polimer bioplastik. Penurunan daerah kristalin menunjukkan penyusunan struktur rantai yang semakin tidak teratur. Susunan rantai yang semakin tidak teratur (amorf) menyebabkan sifat polimer semakin elastis. Ketidakteraturan struktur polimer tersebut disebabkan oleh adanya ikatan hidrogen antara PHA dan molekul Tween20. Derajat kristalinitas bioplastik yang dihasilkan (50,52%) lebih rendah dibandingkan dengan PHB menurut Brand et al (1990) di dalam Atkinson dan Mativuna (1991) yaitu sebesar 65-80%. Hal ini menunjukkan bahwa daerah kristalin pada bioplastik PHA dari substrat hidrolisat pati sagu lebih rendah sehingga sifat polimer yang dihasilkan lebih elastis dibandingkan PHB menurut Brand et al (1990) di dalam Atkinson dan Mativuna (1991). Derajat kristalinitas berhubungan dengan sifat mekanik bahan polimer yaitu kekuatan tarik. Suatu polimer dengan derajat kristalinitas
yang tinggi mempunyai keteraturan struktur yang tinggi, rantainya dapat saling mendekat dalam jarak yang dekat secara sejajar. Jarak yang dekat ini menyebabkan gaya antarrantai yang kuat pada polimer tersebut. Gaya antarrantai yang kuat menyebabkan kekuatan untuk memutuskan rantai juga semakin besar. Oleh karena itu suatu polimer yang memiliki derajat kristalinitas yang tinggi, kekuatan tariknya akan tinggi pula.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
D. KESIMPULAN Proses pembuatan bioplastik dilakukan dengan teknik solution casting. Perbandingan PHA dan kloroform yang terbaik yaitu 1 : 35. Lembaran bioplastik dapat terbentuk pada konsentrasi pemlastis Tween20 0% - 17% (b/b) dari jumlah PHA sedangkan formulasi dengan konsentrasi Tween20 diatas 18% tidak dapat membentuk lembaran. Pengujian dilakukan pada bioplastik dengan konsentrasi Tween20 0% (kontrol), 5%, 10% dan 15% (b/b) dari jumlah PHA. Penambahan
konsentrasi
Tween20
pada
bioplastik
PHA
dapat
menyebabkan penurunan densitas dan kekuatan tarik bioplastik. Densitas bioplastik pada konsentrasi Tween20 0%, 5%, 10% dan 15% secara berturutturut yaitu 0,67 g/cm3, 0,64 g/cm3, 0,62 g/cm3, dan 0,52 g/cm3. Bioplastik dengan konsentrasi Tween20 0%, 5%, 10% dan 15% secara berturut-turut memiliki kekuatan tarik sebesar 3,11 MPa, 2,28 MPa, 2,26 MPa, dan 1,38 MPa. Penambahan pemlastis dengan konsentrasi 5% Tween20, mampu meningkatkan perpanjangan putus menjadi 1,22%. Namun perpanjangan putus bioplastik semakin menurun pada konsentrasi Tween20 10% dan 15% yaitu sebesar 1,11% dan 0,99%. Hasil analisa gugus fungsi bioplastik Tween20 0% menunjukkan bahwa bioplastik Tween20 0% mempunyai gugus-gugus penyusun struktur rantai PHA yaitu C=O/C-O-C ester, CH2, OH asam karboksilat, CH serta CH3. Terdapatnya gugus CH3 (metil) pada hasil analisa membuktikan bahwa jenis PHA yang dihasilkan selama proses kultivasi adalah jenis poli-hidroksibutirat (PHB). Hasil analisa gugus fungsi bioplastik Tween20 5% memperlihatkan adanya puncak absorbansi (peak) gugus OH ikatan hidrogen. Hal ini membuktikan bahwa perubahan karakteristik bioplastik PHA dengan penambahan pemlastis Tween20 disebabkan oleh terbentuknya ikatan hidrogen. Hasil analisa gugus fungsi bioplastik 5% bioplastik juga
memperlihatkan puncak absorbansi (peak) gugus-gugus dominan penyusun molekul Tween20 yaitu gugus C-O eter serta C=O/C-O-C ester. Pada analisa sifat termal, terjadi penurunan titik leleh bioplastik dari 168,72oC pada bioplastik Tween20 0% menjadi 163,88oC pada bioplastik Tween20 5%. Penambahan pemlastis Tween20 dengan konsentrasi 5% juga mampu menurunkan derajat kristalinitas bioplastik Tween20 0% dari 50,52 % menjadi 49,86 % pada bioplastik Tween20 5%. Berdasarkan sifat elastisitasnya, karakteristik bioplastik terbaik dihasilkan oleh bioplastik Tween20 5% yang mempunyai densitas 0,64 g/cm3, kekuatan tarik 2,28 MPa, perpanjangan putus 1,22%, Tm 163,88oC, serta derajat kristalinitas 49,86%. Aplikasi yang cocok untuk bioplastik ini yaitu sebagai bahan penyalut obat lepas lambat (slow release medicine).
E. SARAN 1. Perlu dilakukannya kajian tentang berat molekul PHA yang dihasilkan. 2. Perlu dilakukannnya pengamatan bioplastik dengan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy) untuk mendapatkan daerah amorf pada bioplastik sehingga pengukuran suhu transisi gelas (Tg) bioplastik dapat dilakukan. 3. Perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut tentang pengaplikasian bioplastik yang dihasilkan sebagai bahan penyalut obat lepas lambat (slow release medicine), baik dari lamanya proses degradasi dalam tubuh serta sifat bahan yang didegradasi.
DAFTAR PUSTAKA
Abner, L. dan Miftahorrahman. 2002. Keragaan Industri Sagu Indonesia. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri Vol 8 (1) : 12-15 Akmaliah, P. 2003. Pengaruh Konsentrasi Pemlastis Dimetil Ftalat Terhadap Karakteristik Bioplastik Dari Polyhydroxyalkanoates (PHA) Yang Dihasilkan Ralstonia Eutropha Pada Substrat Hidrolisat Minyak Sawit. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Akyuni, D. 2003. Pemanfaatan pati sagu (Metroxylon sp.) untuk pembuatan sirup glukosa menggunakan α-Amilase dan amiloglukosidase. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Allcock, H.R. dan F.W. Lampe. 1981. Contemporary Polymer Chemistry. Prentice-Hall Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. Anderson, A.J. dan E.A. Dawes. 1990. Occurrence, metabolism, metabolic role and industrial uses of bacterial polyhydroxyalkanoates. Microbiol. Rev. 54 : 450-472. Anonima. 1982. Emulsifiers. Di dalam: Anonim, editor. Modern Plastics Encyclopedia. Vol 59 : 10 A. Anonimb. 2005. Kemasan Plastik Praktis Boleh, http://www.mipa.uns.ac.id [28 Juni 2005]
Aman
Nanti
dulu.
Anonimc. 2006. Tween20. http://www.wikipedia.com [10 Oktober 2006] Apriyantono A, D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedarnawati dan Budiyanto S. 1989. Analisa Pangan. IPB Press, Bogor. ASTM D 882 – 97. 1997. Standard Test Method for Tensile Properties of Thin Plastic Sheeting, New York. ASTM D 3418 – 99. 1999. Standard Test Method for Transition Temperatures of Polymers By Thermal Analysis, New York. Atifah, N. 2006. Pemanfaatan hidrolisat pati sagu sebagai sumber karbon dalam produksi bioplastik poli-(β-Hidroksialkanoat) secara fed-batch oleh Ralstronia eutropha. Tesis. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Atkinson, B. dan F. Mavituna. 1991. Biochemical Engineering and Biotechnology Handbook. Second Edition. M. Stockton Press, New York Banker, G.S. 1966. Film coating, theory, and practices. J. Pharm, Sci. 55 : 81.
Barham P.J., A. Feller, E.L. Otun, P.A. Holmes. 1984. Crystallization and Morphology of a Bacterial Thermoplastic: Poly-3-Hydroxybutyrate. J Mater Sci 19(9): 2781-94. Beeler, A.D. dan D.C. Finney. 1982. Plasticizers. Di dalam: Anonim, editor. Modern Plastics Encyclopedia. Vol 59 : 10 A. Biro Pusat Statistik. 1999. Proyeksi produksi plastik biodegradabel, Jakarta. Byrom, D. 1987. Polymer synthesis by microorganisms : Technology and economics. Trend in Biotechnol. 5 : 246-250. Chakraborty, P., W. Gibbons, K. Muthukumarappan, dan J. Javers. Production of Polyhydroxyalkanoates from cellulosic feedstocks using Ralstonia eutropha. Paper for presentation at the 2004 North Central ASAE/CSAE Conference. Winnipeg, Manitoba, Canada. September 24-25, 2004. Paper number MB04-302. Choi J dan Lee SY. 1999. Efficient and economical recovery of poly(3hydroxybutyrate) from recombinant Escherichia coli by simple digestion with chemicals. Biotechnol Bioeng 62:546-553. Companion, A.L. 1991. Ikatan Kimia. Edisi Kedua. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Cowd, M.A. 1991. Kimia Polimer. Terjemahan : Harry Firman. Polymer chemistry. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Doi, Y. (1990). Microbial Polyesters. VCH Publishers, Inc. New York, USA. Doi, Y., A. Segawa, S. Nakamura, dan M. Kunioka. 1990. Production of biodegradable Copolymers by Alcaligenes eutrophus. Di dalam: E.A. Dawes, editor. Novel Biodegradable Microbial Polymers. Kluwer Academic Publishers, The Netherlands, 37-48. Figuly. 2004. Processing of polyhydroxyalkanoates using a nucleant and a plasticizer. U.S. Patent 6,774,158. Fullbrook, P.D. 1984. The Enzyme Production of Glucose Syrups. Di dalam: S.Z. Dzieldzic dan M.W. Kearsley, editors. Glucose Syrups: Science and Technology. Elsevier Applied Science Publisher, London. Hahn, S.K., Y.K. Chang, dan S.Y. Lee. 1995. Recovery and characterization of poly (3-hydroxybutyric acid) synthesized in Alcaligenes eutrophus and recombinant Escherichia coli. Applied and Environmental Microbiology 61(1):34-39.
Holmes, P.A. 1988. Biologically produced PHA polymers and copolymers. Di dalam: D.C. Bassett, editor. Developments in crystalline polymers. Elsevier, London. Huang, J.C., A.S. Shetty, M.S. Wang. 1990. Biodegradable plastics: A review. Advances in Polymer Technology. 10(1): 23-30. Huang, S.J., dan P.G. Edelman. 1995. An Overview of Biodegradable Polymers and Biodegradation of Polymers. Di dalam : G. Scott dan D. Gilead, editors. Degradable Polymers : Principal and Applications. Chapman & Hall, New York. Ichikawa, S. 1997. Fishhook. Canadian Patent 2,198,680. Juari. 2006. Teknologi proses pembuatan dan karakterisasi bioplastik dari poly-3hidroksialkanoat (PHA) yang dihasilkan oleh Ralstonia eutropha pada sirup glukosa pati sagu dengan penambahan dimetil ftalat (DMF) sebagai pemlastis. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Kim B.S., S.C. Lee, S.Y. Lee, H.N. Chang, Y.K. Chang dan S.I. Woo. 1994. Production of poly(3-Hydroxybutyric acid) by fed-batch culture of Alcaligenes eutrophus with glucose concentration control. Biotechnol. Bioeng. 43:892-898. Kirk, R.E. dan D. Othmer. 1953. Encycopedia of Chemical Technology. The Inter Science Encyclopedia, Inc., New York. Knapczyk, J.K. dan R.H.M. Simon. 1992. Synthetic Resins and Plastics. Di dalam : J.A. Kent, editor. Riegel's Handbook of Industrial Chemistry. Edisi 9. VNB, New York. Kokubo, T., H. Kim, M. Kawashita. 2003. Novel bioactive materials with different mechanical properties. Biomaterials. 24: 2161-2175. Lafferty, R.M., B. Korsatko dan W. Korsatko. 1988. Microbial production of poly-β-hydroxybutyric acid. Di dalam : H.J. Rehm dan G. Reed, editors. Biotechnology: A Comprehensive Treatise. Vol 6B. Special Microbial processes. VCH, Weinheim. Lee, S.Y. 1996. Bacterial Polyhydroxyalkanoates. Biotechnol. Bioeng. 49 : 1 - 14. Li, F.M., A.H. Guo, H. Wei. 1999. Effects of clear plastic film mulch on spring wheat yield. Field Crops Research. 63: 79-86. Maddever, W.J. dan P.D. Campbell. 1990. Modified Starch Based Environmentally Degradable Plastics. Di dalam : S.A. Barengerg, J.L. Brash, R. Narayan., dan A.E. Redpath, editors. Degradable Materials : Perspektives, Issues and Oppurtunities. CRC, Boston.
Madison, L.L. dan G.W. Huisman. 1999. Metabolic Engineering of poly (3hydroxyalkanoates): from DNA to plasics. Microbiol and Molecular Bio. Rev. 63: 21-53. Mukhopadhyay, P. 2002. Emerging trends in plastic technology. Plastics Engineering. 58(9): 28-35. Nur, M. Anwar dan H. Adijuwana. 1989. Teknik Spektroskopi dalam Analisis Biologis. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, IPB, Bogor. Ojumu, T.V., J. Yu, B.O. Solomon. 2004. Production of Polyhydroxyalkanoates, a bacterial biodegradable polimer. Biotechnology Vol.3(1): 18-24. Pandji, Chilwan. 1988. Penuntun Praktikum Bioindustri. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Poirier,
Y., C. Nawrath, C. Somerville. 1995. Production of polyhydroxyalkanoates, a familly of Biodegradable plastics and elastomers, in bacterial and plant. Biotechnol. 13: 142-150
Rabek, J.F. 1983. Experimental Methods in Polymer Chemistry, Physical Principles and Applications. Wiley-Interscience Publication, John Wiley dan Sons, New York. Ramachander, T.V.N. 2003. Characterization of a 5.0 Kb Genomic DNA Fragment from Streptomyces Aureofaciens NRRL 2209 Involved in Polyhydroxybutyrate (PHB) Synthesis. Thesis. University of Pune, India. Ren, X. 2002. Biodegradable plastics: a solution or a challenge? Journal of Cleaner Production 11: 27-40 Ryu HW, Hahn SK, Chang YK dan Chang HN. 1997. Production of poly(3hydroxybutyrate) by high cell density fed-batch culture of Alcaligenes eutrophus with phosphate limitation. Biotechnol Bioeng 55:28-32. Sakiyama, S. Elbert, J. Hubbell. 2001. Functional biomaterials: Design of novel biomaterials. Annual Review of Materials Research. 31: 183-201. Sealey, J.E., G. Samaranayake, J.G. Todd, W.G. Glasser. 1996. Novel Cellulose Derivatives. IV. Preparation and Thermal Analysis of Waxy Esters of Cellulose. Polymer Science Vol.34(2) : 1613-1620. Selin, M. 2002. Process to Improve Thermal Properties of Natural Fiber Composites. Canadian Patent 2,350,112. Senior, P. J, L. F. Wright, B. Anderson. 1982. Extraction Process. United States Patent 4,324,907
Sinaga, E. 2004. Bolehkah tablet atau kapsul dihancurkan sebelum ditelan?. http://www.republika.co.id [31 Agustus 2004] Sutiani, A. 1997 Biodegradasi polyblend polystirene-pati. Bidang Khusus Kimia Fisik. Program Studi Kimia Program Pasca Sarjana ITB, Bandung. Syarifuddin, N. 1994. Ikatan Kimia. Edisi Pertama. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Taylor, R.J. 1980. Food Additives. Wiley International Edition. John Wiley & Sons, New York. Yamane, T. 1993. Yield of Poly-D(-)-3-Hydroxybutyrate from Various Carbon Source: A Theoretical Study. Biotechnol and Bioeng. 41: 165-170 Zinn, M., B. Witholt, T. Egli. 2001. Occurence, synthesis and medical application of bacterial polyhydroxyalkanoate. Advanced Drug Delivery Rev. 53 : 521
Lampiran 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Hidrolisat Pati Sagu (Akyuni, 2003)
Pati sagu Air Suspensi pati 30% CaCO3 Pengaturan pH (pH 6 - 6,5)
Gelatinisasi α -amilase (1,75 u/g)
Likuifikasi (90-95OC, 21 menit) tidak
Uji iod ya
HCl 0,2 N
Pengaturan pH (pH 4 - 4,5) AMG (0,3 u/g)
Sakarifikasi (60 C, 150 rpm, 48-60 jam) O
Inaktivasi enzim (105 OC, 5 menit) Arang aktif (1-2%)
Pemanasan (80 OC, 1 jam) Penyaringan vakum
Hidrolisat pati sagu
Lampiran 2. Diagram Alir Kultivasi PHA (Atifah, 2006; Byrom, 1987; Kim et al, 1994)
Kultur Ralstonia eutropha Nutrient broth steril (10 ml) Propagasi I (Suhu 34oC, agitasi 150 rpm, 24 jam) Media propagasi steril (90 ml) Propagasi II (Suhu 34oC, agitasi 150 rpm, 24 jam) Media propagasi steril (900 ml) Propagasi III (Suhu 34 C, agitasi 150 rpm, 24 jam) o
Media Kultivasi steril (9 liter) Kultivasi (Suhu 34oC, agitasi 150 rpm, pH 7, aerasi 0.2 vvm, 96 jam, pengumpanan pada jam ke-48)
Cairan Kultivasi
Lampiran 3. Diagram Alir Proses Hilir (modifikasi Atifah, 2006; Hahn et al, 1995; dan Senior et al, 1982)
Cairan Kultivasi
Sentrifugasi I (13000 rpm, 4oC, 10 menit)
Supernatan
Presipitat Aquadest Sentrifugasi II (13000 rpm, 4oC, 10 menit)
Supernatan
Presipitat Lar. NaOCl 2% Proses digest (60 menit)
Sentrifugasi III (13000 rpm, 4oC, 10 menit)
Supernatan
Presipitat Aquadest Sentrifugasi IV (13000 rpm, 4oC, 10 menit)
A
Supernatan
A
Presipitat Methanol Sentrifugasi V (13000 rpm, 4oC, 10 menit)
Supernatan
Presipitat
Pengeringan dengan oven (50oC, 24 jam)
Presipitat Kering Kloroform Proses Refluks (24 jam, 50oC)
Penyaringan Vakum
Sel debris dan Pengotor lainnya
PHA + Kloroform
Penguapan Kloroform (suhu ruang)
PHA
Uap Kloroform
Lampiran 4. Diagram Alir Proses Pembuatan Bioplastik (Akmaliah, 2003; Allcock dan Lampe, 1981)
Serbuk PHA (0,25 g)
Kloroform
Pencampuran dan pengadukan (1 jam; 50oC) Tween20
Pencampuran dan pengadukan (0,5 jam; 50oC)
Pencetakan larutan pada cetakan kaca
Penguapan pelarut
Bioplastik
Lampiran 5. Kelarutan PHB (Lafferty et al di dalam Rehm dan Reed, 1988)
Pelarut
Kelarutan PHB dalam pelarut
Kloroform
Tinggi
Diklorometan
Tinggi
Di-, tri-, tetra-kloroetan
Tinggi
Dikloroasetat
Tinggi
Etilenkarbonat
Tinggi
Propilen karbonat
Tinggi
Asam asetat
Tinggi
Dioksan
Sedang
Oktanol
Sedang
Toluene
Sedang
Piridin
Sedang
Air
Tidak larut
Metanol
Tidak larut
Etanol
Tidak larut
1-, 2-propanol
Tidak larut
Benzene
Tidak larut
Etil asetat
Tidak larut
Etil-metil-keton
Tidak larut
Butil asetat
Tidak larut
Tributil sitrat
Tidak larut
Heksan
Tidak larut
Lampiran 6. Prosedur Analisis Total Gula dengan Metode Fenol-Sulfat. (Apriyantono et al, 1989) Prinsip metode ini adalah bahwa gula sederhana, oligosakarida, polisakarida dan turunannya dapat bereaksi dengan fenol dalam asam sulfat pekat menghasilkan warna orange-kekuningan yang stabil. Penetapan sampel Untuk menetapkan total gula, sampel harus berupa cairan yang jernih. Sebanyak 2 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu ditambahkan 1 ml larutan fenol 5% dan dikocok. Selanjutnya ditambahkan dengan cepat 5 ml larutan asam sulfat pekat dan dibiarkan selama 10 menit, dikocok lalu dipanaskan dalam penangas air selama 15 menit.
Setelah dingin,
absorbansinya diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm. Sampel sebelumnya diencerkan dengan tingkat pengenceran yang sesuai sehingga dapat terbaca pada kisaran 20-80% absorban.
Nilai rata-rata
absorbansi sampel hasil pengukuran dimasukkan ke persamaan kurva standar sehingga didapatkan nilai konsentrasi glukosa. Kurva standar untuk penentuan kadar total gula hidrolisat pati sagu dengan metode Fenol-Sulfat (Atifah, 2006). Absorbansi λ 490nm 0,235 ± 0,043 0,309 ± 0,052 0,475 ± 0,069 0,627 ± 0,071 0,762 ± 0,040 0,917 ± 0,048
Kurva Standar Glukosa
Absorbansi 490 nm
Konsentrasi glukosa (μg/ml) 10 20 30 40 50 60
1 y = 0,0141x + 0,0616 R2 = 0,9931
0,8 0,6 0,4 0,2 0 0
10
20
30
40
50
Konsentrasi glukosa (mikrogram/ml)
60
Lampiran 7. Prosedur Perhitungan
1. Perhitungan sumber karbon dan nitrogen untuk media kultivasi Diketahui : Total gula pada sirup glukosa pati sagu
= 376,31 g/l
Persentase [C] pada sirup glukosa (C6H12O6)= 40% Konsentrasi gula yang dibutuhkan
= 30 g/l
Persentase [N] pada (NH4)2HPO4
= 21,21%
Rasio C : N media yang diinginkan
= 10:1
Dicari : Jumlah sirup glukosa dan (NH4)2HPO4 yang dibutuhkan? a) Sirup glukosa yang dibutuhkan pada media 9 liter
=
ml
30 g/l
x 9000
376,31 g/l = 720 ml
b) Jumlah [C] pada sirup (konsentrasi gula 30 g/L)
= 40% x 30 g/l = 12 g/l
Agar rasio C : N sebesar 10:1 maka jumlah [N]
= 1,2 g/l
Jadi, (NH4)2HPO4 yang dibutuhkan
=
100
x 1,2 g/l
21,21 = 5,66 g/l
2. Perhitungan sirup glukosa umpan dan lama waktu pengumpanan Diketahui : Total gula sirup glukosa pati sagu
= 376,31 g/l
Persentase [C] pada sirup glukosa (C6H12O6) = 40% Konsentrasi gula yang dibutuhkan
= 20 g/l
Laju pengumpanan (Atifah, 2006)
= 16,6 ml/menit
Dicari : Jumlah sirup glukosa umpan dan lama waktu pengumpanan ? a) Sirup glukosa umpan pada media 9 liter
=
20 g/l x 9000 ml 376,31 g/l
= 480 ml b) Lama waktu pengumpanan
= 480 ml : 16,6 ml/menit = 28,91 menit ~ 29 menit
3. Perhitungan Formulasi Bioplastik Diketahui : Jumlah PHA
= 0,25 g
Berat jenis (BJ) Tween20
= 1,1 g/ml
Berat jenis (BJ) Kloroform
= 1,47 g/ml
PHA : (Kloroform + Tween20)
= 1 : 35
Konsentrasi Tween20
= 5%, 10% dan 15%
Dicari : Jumlah Tween20 (ml) dan kloroform (ml) ? a) %Tween20 =
jumlah Tween20 (g)
x 100 %
jumlah PHA (g) + jumlah Tween20 (g)
Jumlah Tween20 (g) = %Tween20 x jumlah PHA (g) 1 ─ %Tween20
Jumlah Tween20 (ml) = Jumlah Tween20 (g) BJ Tween20
b) Jumlah Kloroform (g) = (jumlah PHA (g) x 35) ─ jumlah Tween20 (g)
Jumlah Kloroform(ml) = Jumlah Kloroform (g) BJ Kloroform
Lampiran 8. Hasil Pengujian Kekuatan Tarik dan Perpanjangan Putus
1. Bioplastik dengan konsentrasi Tween20 0%: Kode Sampel
Tebal (mm)
Lebar (mm)
Kekuatan Tarik (MPa)
Perpanjangan Putus (%)
Tegangan Maksimal (N)
F10-1 F10-2 F10-3 F10-5 F10-6 Rata-rata
0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05
6,85 6,89 6,87 7,4 7,42 7,08
2,13 2,24 3,14 3,97 3,96 3,11
0,69 1,12 0,91 1,25 1,34 1,06
0,73 0,77 1,08 1,47 1,47 1,1
2. Bioplastik dengan konsentrasi Tween20 5%: Kode Sampel
Tebal (mm)
Lebar (mm)
Kekuatan Tarik (MPa)
Perpanjangan Putus (%)
Tegangan Maksimal (N)
F20-1 F20-3 F20-6 F20-7 F20-8 Rata-rata
0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05
7,17 6,74 6,78 7,12 6,85 6,93
2,04 1,93 2,80 2,39 2,19 2,28
1,34 1,44 1,09 1,2 1,01 1,22
0,73 0,65 0,95 0,85 0,75 0,79
3. Bioplastik dengan konsentrasi Tween20 10%: Kode Sampel
Tebal (mm)
Lebar (mm)
Kekuatan Tarik (MPa)
Perpanjangan Putus (%)
Tegangan Maksimal (N)
F30-1 F30-2 F30-3 F30-4 F30-7 Rata-rata
0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05
6,8 7,4 6,84 6,99 7,4 7,09
2,21 2,43 2,05 2,43 2,30 2,26
1,13 1,26 0,9 1,25 0,99 1,11
0,75 0,9 0,7 0,85 0,85 0,8
4. Bioplastik dengan konsentrasi Tween20 15%: Kode Sampel
Tebal (mm)
Lebar (mm)
Kekuatan Tarik (MPa)
Perpanjangan Putus (%)
Tegangan Maksimal (N)
F40-3 F40-4 F40-5 F40-7 F40-8 Rata-rata
0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05
7,04 6,75 7,05 7,14 7,4 7,08
1,56 1,27 1,22 1,68 1,22 1,38
0,96 1 0,74 1,1 1,15 0,99
0,55 0,43 0,43 0,6 0,45 0,49