PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI BIOPLASTIK DARI POLY-3-HIDROKSIALKANOAT (PHA) YANG DIHASILKAN Ralstonia Eutropha PADA HIDROLISAT PATI SAGU DENGAN PENAMBAHAN DIMETIL FTALAT (DMF)
Oleh JUARI F34102051
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
1
PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI BIOPLASTIK DARI POLY-3-HIDROKSIALKANOAT (PHA) YANG DIHASILKAN Ralstonia Eutropha PADA HIDROLISAT PATI SAGU DENGAN PENAMBAHAN DIMETIL FTALAT (DMF)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh JUARI F34102051
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI BIOPLASTIK DARI POLY-3-HIDROKSIALKANOAT (PHA) YANG DIHASILKAN Ralstonia Eutropha PADA HIDROLISAT PATI SAGU DENGAN PENAMBAHAN DIMETIL FTALAT (DMF)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh JUARI F34102051
Dilahirkan pada tanggal 15 Januari 1985 di Karanganyar, Jawa Tengah Tanggal lulus, 13 Oktober 2006
Disetujui Bogor, 17 Oktober 2006
Dr. Ir. Khaswar Syamsu, MSc. Dosen Pembimbing
3
JUARI. F34102051. Pembuatan dan Karakterisasi Bioplastik dari Poly-3Hidroksialkanoat (PHA) yang Dihasilkan Ralstonia eutropha pada Hidrolisat Pati Sagu dengan Penambahan Dimetil Ftalat (DMF). Dibawah bimbingan Dr. Ir. Khaswar Syamsu, MSc. 2006
Ringkasan Sampah plastik merupakan salah satu faktor penyebab kerusakan lingkungan. Sampah plastik menjadi masalah lingkungan karena kebanyakan plastik merupakan plastik sintetis yang berasal dari minyak bumi. Plastik berbasis minyak bumi sulit diurai oleh alam baik oleh curah hujan dan panas matahari maupun oleh mikroba tanah. Selain itu minyak bumi yang dijadikan sebagai bahan baku, sifatnya tidak terbaharukan. Adanya plastik berbahan baku sumber daya terbaharukan dan bersifat biodegradable diperlukan untuk mengatasi masalah yang timbul dari penggunaan plastik berbasis minyak bumi. Polihidroksialkanoat (PHA) merupakan poliester alami yang disintesa oleh sejumlah bakteri sebagai komponen simpanan energi dan karbon intraseluler, diakumulasi sebagai granula dalam sitoplasma sel. Polihidroksibutirat (PHB) merupakan salah satu jenis PHA yang banyak diteliti karena karakteristiknya mirip dengan polipropilen (PP). PHB dapat dihasilkan melalui proses kultivasi menggunakan bakteri Ralstonia eutropha dengan glukosa sebagai sumber karbon. Penggunaan PHB sebagai bahan baku pembuatan bioplastik diharapkan dapat mengatasi masalah lingkungan yang timbul akibat penggunaan plastik berbasis minyak bumi. Bioplastik merupakan salah satu bentuk plastik yang berasal dari sumber daya hayati dan bersifat biodegradable. Bioplastik yang dibuat dari PHB mempunyai sifat lebih kaku dan rapuh. Penggunaan bahan tambahan pada proses pembuatan bioplastik dari PHB diharapkan dapat memperbaiki kekurangan tersebut. Pemlastis adalah cairan aditif yang digunakan untuk melembutkan polimer plastik sehingga dapat merubah sifat kaku menjadi lebih fleksibel. Salah satu jenis pemlastis yang biasa digunakan adalah dimetil ftalat (DMF). Pada penelitian ini dilakukan pembuatan bioplastik dari PHA pati sagu dengan penambahan DMF sebagai pemlastis. Konsentrasi DMF yang digunakan adalah 0% (kontrol), 12,5%, 25%, 37,5%, dan 50% (b/b) dari bobot PHA. Untuk melihat pengaruh penambahan DMF maka dilakukan karakterisasi sifat mekanis, gugus fungsi, sifat termal, dan derajat kristalinitas dari bioplastik yang dihasilkan. PHA dari hidrolisat pati sagu dapat dibuat bioplastik dengan teknik solution casting menggunakan pelarut kloroform. Bioplastik yang dibuat dengan konsentrasi DMF 0%, 12,5%, 25%, dan 37,5% dapat terbentuk dengan baik. Sedangkan bioplastik yang dibuat dengan konsentrasi DMF 50% tidak dapat terbentuk. Bioplastik yang dihasilkan termasuk jenis film plastik dengan ketebalan sekitar 0,03 mm. Peningkatan konsentrasi DMF menyebabkan kuat tarik bioplastik semakin menurun. Bioplastik dengan konsentrasi DMF 0%, 12,5%, 25%, dan 37,5% mempunyai kuat tarik sebesar 3,571±2,269 MPa, 3,592±2,104 MPa 3,382±2,656 MPa, dan 3,044±2,160 MPa. Peningkatan konsentrasi DMF sampai 25% menyebabkan perpanjangan putus bioplastik semakin meningkat. Namun
4
perpanjangan putus bioplastik menurun setelah konsentrasi DMF dinaikkan lagi menjadi 37,5%. Bioplastik dengan konsentrasi DMF 0%, 12,5%, 25%, dan 37,5% mempunyai perpanjangan putus sebesar 7,000±3,430%, 12,660±5,775%, 23,880±4,252%, dan 22,910±9,398%. Berdasarkan karakteristik mekanik tersebut dinyatakan bahwa bioplastik yang dibuat dengan konsentrasi DMF 25% adalah yang terbaik. Bioplastik yang dibuat tanpa pemlastis (0% DMF) memiliki gugus fungsi karbonil ester (C=O), ikatan polimerik C-O-C, OH, CH, CH2, dan CH3 yang merupakan gugus fungsi dominan pada PHA jenis PHB. Penggunaan konsentrasi DMF sebesar 25% menyebabkan intensitas gugus fungsi OH pada PHA semakin melemah akibat pembentukan ikatan hidrogen antara PHA dan DMF. Suhu pelelehan bioplastik yang dibuat tanpa pemlastis lebih tinggi dari pada bioplastik yang dibuat dengan konsentrasi DMF 25%, yaitu 168,72oC untuk bioplastik tanpa pemlastis dan 166,71oC untuk bioplastik dengan konsentrasi DMF 25%. Demikian halnya dengan derajat kristalinitas, bioplastik tanpa pemlastis mempunyai derajat kristalinitas yang lebih tinggi dari pada bioplastik dengan konsentrasi DMF 25%.
5
JUARI. F34102051. Production and Characterization of Bioplastic from Poly-3Hydroxyalkanoate (PHA) Produced by Ralstonia eutropha on Hydrolyzed Sago Starch with The Addition of Dimethyl Phthalate (DMP). Supervised by Dr. Ir. Khaswar Syamsu, MSc. 2006
SUMMARY Plastic waste is one of the factors that cause environmental damage. Plastic waste becomes an environmental issue because it is produced majority from petroleum source. Petroleum based plastics are hardly decomposed naturally by rainfall, sunlight or even by microorganisms. Besides that, petroleum is a non renewable source. Plastics from renewable sources with biodegradable characteristic are needed to solve petroleum based plastics problems. PHA is natural polyester which is synthesized by groups of bacteria as a carbon intercellular material and it is accumulated as granules in the cell cytoplasm. PHB is a kind of PHA which has big interest of being researched because its similar characteristics with PP. PHB can be produced by cultivation process of RE bacteria using glucose as carbon source. PHB as a bioplastic source can hopely solve environmental issue caused by petroleum based plastics. Bioplastic is a plastic produced from natural source which has biodegradable characteristics. Bioplastic from PHB source has a stiff and brittle characteristic. The usage of additives can hopefully reduce the limitations of this kind of bioplastic. Plasticizer is a liquid additive which is used to soften a polymer and can change its characteristic into a more flexible shape. One kind of plasticizer which is often be used is DMP. This research produces bioplastics from sago starch PHA with DMP as plasticizer. The DMP concentrations used in this research were 0% (control), 12.5%, 25%, 37.5%, and 50% (w/w). Mechanic, functional group, thermal and crystalline analyses were used to observe the effects of DMP addition. PHA from hydrolyzed sago starch can be produced by solution casting technique using chloroform solvent. Bioplastic with additions of 0%, 12.5%, 25%, and 37.5% DMP can be formed well. But, with the addition of 50% DMP, plastic can not be formed. Bioplastic that is produced has 0.03 mm thickness. The increasing of DMP concentration tend to decrease the bioplastics tensile strength. The tensile strength of bioplastics with 0%, 12.5%, 25%, and 37.5% DMP concentration were 3.571±2.269 MPa, 3.592±2.104 MPa 3.382±2.656 MPa, and 3.044±2.160 MPa. The increasing of DMP concentration until 25% causes the increasing of elongation break. But the elongation break decrease after the addition of 37.5% DMP. The elongation break of bioplastics with 0%, 12.5%, 25%, and 37.5% DMP concentration were 7.000±3.430%, 12.660±5.775%, 23.880±4.252%, and 22.910±9.398% respectively. Based on the mechanical properties, it is concluded that bioplastic with addition of 25% DMP is the best bioplastic. Bioplastic without plasticizer addition (0% DMP), has carbonyl ester (C=O) functional group, C-O-C, OH, CH, CH2, and CH3 polymeric bonding which is the dominant functional group in PHB. The addition of 25% DMP causes the
6
decrease of OH functional group intensity which is caused by the hydrogen bonding between PHA and DMP. The melting point temperature of bioplastic without plasticizer is higher than that of bioplastic with 25% DMP concentration, which is 168.72oC for bioplastic without plasticizer and 166.71oC for bioplastic with 25% DMP concentration. Crystalline degree for bioplastic without plasticizer is also higher than that for bioplastic with 25% DMP concentration.
7
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil¶aalamin penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. Berkat ijin dan petunjuknya, penulis akhirnya mampu menyelesaikan penelitian dan berhasil menulis skripsi dengan judul “Pembuatan dan Karakterisasi Bioplastik dari Poly-3-Hidroksialkanoat (PHA) yang Dihasilkan Ralstonia eutropha pada Hidrolisat Pati Sagu dengan Penambahan Dimetil Ftalat (DMF)”. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Khaswar Syamsu, MSc atas segala bantuan, perhatian dan bimbingan yang telah diberikan selama penelitian dan penyusunan skripsi ini. 2. Bapak Dr. Ir. Ono Suparno, MT dan Ibu Dr. Ir. Endang Warsiki, MS yang telah memberi masukkan dan koreksi pada tulisan ini. 3. Semua keluarga di kota Karanganyar tercinta (Ibu, Bapak, Mas Min, Mas Pardi, Mbak Sri, Mbak ku yang berada nun jauh disana “Mbak Harni” serta keluarga lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu) atas investasi, semangat, perhatian, kasih sayang, doa dan wejangan selama menjalani hidup di kampus IPB Bogor. 4. Keponakanku satu-satunya “Afrand” atas kegembiraan yang muncul dari wajah imut dan cerianya. 5. Mbak Pepi, Mbak Emi, Pak Mulya, Pak Fairi serta Bapak, Ibu, Mas dan Mbak yang ada di Laboratorium Biorin, Genetika, Kultur Jaringan, dan Mikrobiologi PAU-IPB atas semua bantuan yang telah diberikan. 6. Pak Gun, Bu Ega, Pak Edi, Bu Rini, Pak Sugi, dan Bu Sri atas bantuan yang telah diberikan selama kerja di laboratorium TIN-IPB. 7. Rekan- rekan “Bioplasticers” : Dede, Vico, Dossi, Eva, Bana, Evi, MU, dan Iwal atas kebersamaan dalam menjalani pahit manis penelitian ini. 8. “Al Farabi¶s
Crew” : Topan, Setyo, dan Fadiel serta teman sekamarku,
Dehixs. 9. Teman-temanku : Oci, Rheni, dan Annisa. 10. “The Java¶s Community” : Hendro, Lani, Makki Bao, Farikhin, Wahyu, Ipul, Lenk Parmadi. 11. Rekan- rekan TIN 39 atas bantuan dan kebersamaannya.
i
12. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas semua bantuan dan doa selama penelitian dan penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sebuah kesempurnaan, semoga tulisa ini bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Bogor, Oktober 2006
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR...................................................................................i DAFTAR ISI .................................................................................................iii DAFTAR GAMBAR.....................................................................................vi DAFTAR TABEL .........................................................................................vii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................viii I. PENDAHULUAN ...................................................................................1 A. LATAR BELAKANG ........................................................................1 B. TUJUAN ............................................................................................2 II. TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................3 A. HIDROLISAT PATI SAGU ...............................................................3 B. POLY-3-HIDROKSIALKANOAT (PHA)..........................................4 1. Definisi dan Klasifikasi.................................................................4 2. Ralstonia eutropha dan Biosintesis PHB.......................................5 3. Kultivasi PHA ..............................................................................7 4. Proses Hilir PHA ..........................................................................9 5. Karakteristik PHA.........................................................................11 6. Aplikasi PHA................................................................................12 C. PLASTIK BIODEGRADABLE ...........................................................13 1. Definisi.........................................................................................13 2. Proses Pembuatan Plastik Biodegradable......................................14 D. KARAKTERISASI PLASTIK BIODEGRADABLE ............................15 1. Karakterisasi Sifat Mekanik ..........................................................15 2. Karakterisasi Gugus Fungsi...........................................................16 3. Karakterisasi Sifat Termal.............................................................17 4. Karakterisasi Derajat Kristalinitas .................................................17 E. PEMLASTIS ......................................................................................18 1. Definisi dan Karakteristik .............................................................18 2. Dimetil Pthalat..............................................................................19
iii
III. METODOLOGI PENELITIAN.............................................................20 A. BAHAN DAN ALAT .........................................................................20 B. METODE PENELITIAN....................................................................21 1. Persiapan Bahan Baku ..................................................................21 a. Persiapan substrat ...................................................................21 b. Kultivasi PHA secara fed-batch ..............................................23 c. Proses hilir PHA .....................................................................23 2. Pembuatan Bioplastik ...................................................................24 a. Formulasi bioplastik................................................................24 b. Karakterisasi bioplastik...........................................................25 c. Analisa data ............................................................................27 C. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN............................................27 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................28 A. PERSIAPAN BAHAN BAKU............................................................28 1. Pembuatan Sirup Glukosa .............................................................28 2. Kultivasi PHA ..............................................................................29 3. Proses Hilir PHA ..........................................................................31 B. PEMBUATAN BIOPASTIK ..............................................................35 1. Formulasi Bioplastik .....................................................................35 a. Teknik pembuatan bioplastik ..................................................35 b. Penentuan ukuran bioplastik ...................................................37 c. Penentuan jumlah kloroform ...................................................37 d. Penentuan jumlah PHA ...........................................................38 e. Penentuan jumlah pemlastis dimetil ftalat (DMF)....................40 2. Karakterisasi Bioplastik ................................................................41 a. Kuat tarik dan perpanjangan putus ..........................................44 b. Gugus fungsi...........................................................................50 c. Sifat termal .............................................................................53 d. Derajat kristalinitas .................................................................58 V. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................60 A. KESIMPULAN ..................................................................................60 B. SARAN ..............................................................................................61
iv
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................62 LAMPIRAN ..................................................................................................67
v
DAFTAR GAMBAR
1. Struktur umum molekul PHA..................................................................... 5 2. Struktur molekul PHB................................................................................ 6 3. Lintasan umum biosintesis dan degradasi PHB oleh mikroba (Ralstonia eutropha, Azotobacter beijerinckii) ...................... 8 4. Kurva tegangan-regangan suatu bahan termoplastik ................................... 16 5. Struktur kimia dimetil ftalat ....................................................................... 19 6. PHA kering hasil ekstraksi dengan NaOH atau NaOCl............................... 34 7. PHA hasil ekstraksi kloroform ................................................................... 35 8. Bioplastik dari PHA pati sagu .................................................................... 41 9. Proses pembentukan ikatan hidrogen antara PHA dan dimetil ftalat (DMF).................................................................... 43 10. Kurva hubungan antara konsentrasi DMF dengan kuat tarik dan perpanjangan putus bioplastik PHA pati sagu ....................... 45 11. Bioplastik dari PHB murni ......................................................................... 48 12. Spektra FTIR bioplastik PHA pati sagu ...................................................... 51 13. Perbedaan transisi antara polimer amorf dan kristalin................................. 54 14. Spektra DSC bioplastik PHA pati sagu....................................................... 55
vi
DAFTAR TABEL
1. Perbandingan karakteristik fisik antara PHB dengan polipropilen............... 11 2. Kelarutan PHB pada berbagai pelarut......................................................... 12 3. Aplikasi praktis PHA ................................................................................. 13 4. Karakteristik hidrolisat pati sagu ................................................................ 30 5. Formulasi bioplastik pada berbagai konsentrasi pemlastis .......................... 40 6. Perbandingan kuat tarik dan perpanjangan putus bioplastik PHA pati sagu dan bioplastik PHB murni................................... 49 7. Nilai kuat tarik dan perpanjangan putus PHB dan PP ................................. 49 8. Hasil identifikasi spektrum FTIR bioplastik PHA pati sagu ........................ 52
vii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Diagram alir pembuatan hidrolisat pati sagu ............................................... 67 2. Prosedur analisis hidrolisat pati sagu .......................................................... 68 a. Total gula dengan metode Fenol-Sulfat ................................................ 68 b. Total nitrogen dengan metode Kjeldahl ................................................ 68 3. Diagram alir pembuatan bioplastik ............................................................. 70 4. Perhitungan formulasi bioplastik ................................................................ 71 5. Hasil pengukuran kuat tarik dan perpanjangan putus bioplastik dari PHA pati sagu ..................................................................... 72 a. Konsentrasi DMF 0%........................................................................... 72 b. Konsentrasi DMF 12,5% ...................................................................... 73 c. Konsentrasi DMF 25% ......................................................................... 74 d. Konsentrasi DMF 37,5%%................................................................... 75 6. Hasil pengukuran kuat tarik dan perpanjangan putus bioplastik dari PHB murni.......................................................................... 76 a. Konsentrasi DMF 0%........................................................................... 76 b. Konsentrasi DMF 25% ......................................................................... 77
viii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Salah satu masalah lingkungan timbul ketika manusia dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan bahan plastik. Plastik yang biasa digunakan merupakan polimer sintetis dengan minyak bumi sebagai bahan dasar, ditambah bahan-bahan tambahan yang umumnya merupakan logam berat (kadmium, timbal, nikel) atau bahan beracun lainnya seperti klor. Racun dari plastik ini dapat terlepas pada saat terurai atau terbakar (Sutasurya, 2006). Minyak bumi sebagai bahan dasar plastik sintetis merupakan sumber daya tak terbaharukan. Selain itu, plastik sintetis tidak ramah lingkungan karena tidak mudah diurai oleh alam baik oleh curah hujan dan panas matahari maupun oleh mikroba tanah (Anonim, 2002). Penggunaan plastik berbahan baku sumber daya terbaharukan dan bersifat biodegradable diperlukan untuk mengatasi masalah lingkungan yang timbul dari penggunaan plastik sintetis. Poli-3-hidroksialkanoat (PHA) merupakan salah satu alternatif bahan baku alami yang dapat digunakan untuk membuat
bioplastik yang ramah
lingkungan. PHA merupakan poliester yang disintesa oleh berbagai jenis bakteri dan diakumulasi sebagai cadangan energi dan karbon dalam bentuk granula di dalam sitoplasma (Lee et al., 1999). Salah satu jenis PHA adalah poli-3-hidroksibutirat (PHB). PHB merupakan bahan termoplastik dengan banyak karakteristik menarik, salah satunya adalah kemiripannya dengan polipropilen. Permintaan pasar akan bahan termoplastik yang bersifat biodegradable ini juga sangat besar (Lafferty et al., 1988). Bioplastik adalah suatu bentuk plastik yang berasal dari sumber daya hayati yang bersifat biodegradable (Anonim, 2006). PHB merupakan salah satu jenis biopolimer yang dapat digunakan untuk membuat bioplastik. Pemanfaatan PHB sebagai bahan bioplastik dapat mengurangi masalah lingkungan yang disebabkan oleh limbah plastik sintetis. Bioplastik dari PHB lebih mudah didegradasi oleh mikroorganisme (biodegradable) dan sumber daya untuk memproduksi PHB bersifat terbaharukan. Kekurangan PHB sebagai bioplastik adalah bersifat rapuh dan kaku (Kim et al, 1994).
1
Penggunaan bahan tambahan seperti pemlastis pada proses pembuatan bioplastik dari PHB diharapkan dapat memperbaiki kekurangan tersebut. Pemlastis adalah cairan aditif yang digunakan untuk melembutkan polimer plastik sehingga dapat merubah sifat kaku menjadi fleksibel (Allcock dan Lampe, 1981). Ester ftalat merupakan kelompok pemlastis yang biasa digunakan untuk menghasilkan film plastik yang fleksibel, salah satu jenisnya adalah dimetil ftalat. Dimetil ftalat merupakan pemlastis yang bersifat larut dalam alkohol, eter dan kloroform. Titik didih dimetil ftalat antara 134-138oC. Penampakan dimetil ftalat adalah cairan tidak berwarna dan tidak berbau (Merck, 1999). Penambahan dimetil ftalat pada proses pembuatan bioplastik dari PHB diharapkan dapat menghasilkan bioplastik yang lebih fleksibel.
B. Tujuan 1. Mendapatkan formulasi yang tepat untuk menghasilkan bioplastik dari PHA dengan penambahan dimetil ftalat sebagai pemlastis. 2. Menganalisa pengaruh konsentrasi dimetil ftalat dengan melakukan karakterisasi terhadap bioplastik yang dihasilkan.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Hidrolisat Pati Sagu Indonesia merupakan pemilik areal sagu terbesar di dunia. Luas areal sagu di Indonesia sekitar 1,128 juta ha atau 51,3% dari 2,201 juta ha areal sagu dunia disusul Papua New Guinea 43,3% (Abner dan Miftahorrahman, 2002). Produktivitas pati sagu kering mencapai 25 ton/ha/tahun, lebih banyak dibanding ubi kayu yang hanya 1,5 ton/ha/tahun, kentang sebesar 2,5 ton/ha/tahun maupun jagung sebesar 5,5 ton/ha/tahun (Haryadi, 2004). Sentra penanaman sagu di Indonesia adalah Papua, Maluku, Riau, Sulawesi Tengah dan Kalimantan. Papua merupakan daerah yang mempunyai areal sagu paling besar, yaitu 90% dari luas areal sagu di Indonesia. Pemanfaatan sagu di Indonesia hanya 10% dari potensi yang ada (Abner dan Miftahorrahman, 2002). Bagian terpenting dari sagu adalah batang. Batang sagu merupakan tempat
penyimpanan
cadangan
makanan
(karbohidrat)
yang
dapat
menghasilkan pati. Sagu dapat dipanen untuk diambil patinya pada umur 11 tahun. Pati sagu dapat diperoleh dengan cara melakukan ekstraksi terhadap batang sagu (Haryanto dan Pangloli, 2002). Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan Į-glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas, fraksi yang terlarut disebut amilosa sedangkan yang tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur rantai lurus dengan ikatan Į-(1,4)-D-glukosa sedangkan amilopektin selain mempunyai rantai lurus juga mempunyai cabang dengan ikatan Į-(1,6)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari berat total (Winarno, 1989). Sirup glukosa adalah cairan jernih dan kental dengan komponen utama glukosa dan diperoleh dari proses hidrolisis pati dengan cara kimia atau enzimatik (SNI 01-2978-1992). Hidrolisis pati secara kimiawi dengan menggunakan asam lebih mudah dilakukan dibandingkan secara enzimatis. Peralatan yang diperlukan juga tidak terlalu rumit. Namun timbul beberapa masalah, seperti peralatan yang digunakan harus tahan korosi dan DE
3
(dextrose equivalent) yang dihasilkan lebih rendah dibanding hidrolisis secara enzimatis (Berghmans, 1981). Hidrolisis pati secara enzimatis terdiri dari dua tahap, yaitu likuifikasi dan sakarifikasi. Likuifikasi terjadi setelah gelatinisasi dengan adanya aktifitas enzim Į-amilase yang memecah ikatan Į-(1,4)-glikosidik di bagian dalam rantai polisakarida secara acak menghasilkan oligosakarida yang mengandung 6-7 maltosa. Sakarifikasi dengan enzim amiloglukosidase (AMG) selanjutnya akan memutuskan rantai molekul maltosa menjadi glukosa bebas. Tidak seperti likuifikasi yang hanya memakan waktu sekitar 60 menit, sakarifikasi biasanya memakan waktu yang lebih lama yaitu 24-96 jam (Fullbrook di dalam Dzieldzic dan Kearsley, 1984). Berdasarkan penelitian Akyuni (2004) tentang produksi sirup glukosa melalui hidrolisis pati sagu secara enzimatis, nilai DE tertinggi (50,83) pada tahap likuifikasi diperoleh pada konsentrasi Į-amilase 1,75 U/g pati dan waktu likuifikasi 210 menit. Sedangkan pada tahap sakarifikasi, nilai DE tertinggi (98,99) diperoleh pada konsentrasi amiloglukosidase 0,3 U/g pati dan waktu sakarifikasi 48 jam.
B. Poly-3-Hidroksialkanoat (PHA) 1. Definisi dan Klasifikasi Poli-3-hidroksialkanoat (PHA) merupakan poliester hidroksialkanoat yang disintesa oleh sejumlah bakteri sebagai komponen simpanan energi dan karbon intraseluler, diakumulasi sebagai granula dalam sitoplasma sel (Lee, 1996). PHA secara umum dibagi menjadi 2 kelas utama, yaitu PHA rantai pendek atau short-chain-length PHA (SCL-PHA) dan PHA rantai menengah atau
medium-chain-length
PHA
(MCL-PHA).
PHA
rantai
pendek
monomernya mengandung asam 3-hidroksi dari 3 sampai 5 atom karbon pada rantainya. Sedangkan PHA rantai menengah monomernya mengandung asam 3-hidroksi dari 6 sampai 16 atom carbon pada rantainya (Anderson dan Dawes, 1990). PHA rantai pendek dengan karakteristik paling baik adalah polihidroksibutirat hidroksibutirat.
(PHB) Contoh
yang PHA
merupakan rantai
homopolimer
pendek
yang
asam
lain
3-
adalah
4
polihidroksivalerat (PHV) dengan 5 atom karbon. Ralstonia eutropha merupakan bakteri yang dapat mensintesis PHB. Sedangkan PHA rantai menengah biasa disintesis oleh kelompok Pseudomonas, seperti Pseudomonas oleovorans dan Pseudomonas aeruginosa (Poirier et al., 2001). Struktur umum PHA dapat dilihat pada Gambar 1. R
PHA rantai pendek R = H, CH3, CH2CH3
O
O
O
PHA rantai menengah R = (CH2)2CH3–(CH2)8CH3
n
Gambar 1. Struktur umum molekul PHA (Atkinson dan Mavituna, 1991) Penamaan PHA ditentukan berdasarkan gugus alkil R pada unit monomer penyusunnya. Disebut PHB (poli-3-hidroksibutirat) jika R adalah CH3 (metil), PHV (poli-3-hidroksivalerat) jika R adalah CH2CH3 (etil), PHC (poli-3-hidroksikaproat)
jika
R
adalah
n-propil,
PHH
(poli-3-
hidroksiheptanoat) jika R = n-butil, PHO (poli-3-hidroksioktanoat) jika R = npentil,
PHN
(poli-3-hidroksinanoat)
jika
R=n-heksil,
PHD
(poli-3-
hidroksidekanoat) jika R = n-heptil, PHUD (poli-3-hidroksi undekanoat) jika R = n-oktil dan PHDD (poli-3-hidroksidodekanoat) jika R = n-nonil (Atkinson dan Mavituna, 1991; Brandl et al., 1990). 2. Ralstonia eutropha dan Biosintesis PHB Terdapat lebih dari 300 jenis mikroorganisme yang dapat mensintesis PHA (30-80% dari berat kering selnya) namun hanya sejumlah bakteri termasuk Alcaligenes eutrophus, Alcaligenes latus, Azotobacter venelandii, Chromobacterium violaceum, metilotrof, pseudomonas, dan rekombinan E. coli yang prospektif digunakan dalam komersialisasi produksi PHA karena produktifitasnya lebih besar dari 2 g/L/jam (Lee, 1996; Lee dan Choi, 2001). Berdasarkan kajian sekuens dan hibridisasi 16S RNA, Alcaligenes eutrophus sekarang dikelompokkan ke dalam genus Ralstonia dengan nama baru Ralstonia eutropha (Klem, 1999 di dalam Robinson et al., 2000). R. eutropha termasuk bakteri gram negatif, aerob obligat, motil, suhu optimum
5
20-37oC, koloni pada NA (Nutrient Agar) tidak berwarna, termasuk oksidase positif dan katalase positif, tidak memproduksi indol, kemoorganotrofik atau dapat menggunakan berbagai macam asam organik dan asam amino sebagai sumber karbon, dapat mereduksi NO3 - menjadi NO2- dan dapat tumbuh secara anaerobik dengan adanya NO3 -. Habitat alaminya adalah tanah dan air tapi juga dapat ditemukan pada usus vertebrata (John et al., 1994). Menurut Ayorinde et al. (1998), galur bakteri dan sumber karbon yang digunakan sangat berpengaruh terhadap PHA yang dihasilkan. Ralstonia eutropha dapat memproduksi PHB (poli-ȕ-hidroksibutirat) menggunakan glukosa dan PHV (poli-ȕ-hidroksivalerat) menggunakan glukosa dan asam propionat. PHB dapat disintesa oleh Ralstonia eutropha jika salah satu elemen nutrisi seperti N, P, S, O atau Mg ada dalam jumlah terbatas namun sumber karbon ada dalam jumlah berlebih (Lee dan Choi, 2001). Sumber karbon yang dapat digunakan untuk pertumbuhannya adalah D-glukosa (mutan), Dfruktosa, D-glukonat, asetat, adipat, itakonat (John et al., 1994). Bailey dan Ollis (1991) menyatakan bahwa PHB merupakan polimer cadangan makanan bagi bakteri. Polimer ini terbentuk sebagai granula-granula di dalam sel. Saat pasokan nutrisi tidak memadahi, sel-sel akan memecah cadangan makanan ini sehingga menghasilkan asam ȕ-hidroksibutirat yang bersifat dapat larut dan mudah dicerna. Struktur molekul PHB dapat dilihat pada Gambar 2. CH3 | CH
O
O || C
O
CH2
n
Gambar 2. Struktur Molekul PHB (Laferty et al., 1988) Pada R. eutropha terdapat operon tunggal yang mengandung 3 jenis gen yang diperlukan untuk sintesis PHB, yaitu phbA, phbB dan phbC. PhbA (suatu ketothiolase) bergabung dengan dua molekul asetil-KoA untuk menghasilkan asetoasetil-KoA yang kemudian direduksi menjadi R-ȕ-
6
hidroksibutiril-KoA oleh phbB (yaitu suatu reduktase asetosetil-CoA yang membutuhkan NADPH). Molekul R-ȕ-hidroksibutiril-KoA membentuk unit monomer PHB, kemudian dipolimerisasi melalui ikatan ester oleh phbC (suatu PHB sintase).
Pada lingkungan yang kaya, PHB secara enzimatis
didegradasi menjadi asetil-KoA yang masuk ke jalur primer metabolisme dan dimineralisasi menjadi CO2.
Degradasi dimulai oleh depolimerase yang
dikode sebagai gen phbZ (Klem, 1999). Jalur metabolisme dan degradasi PHB oleh Ralstonia eutropha dari karbohidrat dapat dilihat pada Gambar 3. 3. Kultivasi PHA Kultivasi PHA merupakan suatu proses pertumbuhan biomassa sel dan akumulasi biopolimer PHA. Menurut Kessler et al. di dalam Scheper (2001), proses kultivasi PHA terdiri dari 2 tahap, yaitu produksi biomassa dan akumulasi polimer PHA. Tahap produksi biomassa merupakan tahap perkembangbiakan sel pada kondisi pertumbuhan seimbang. Sedangkan tahap akumulasi polimer PHA merupakan tahap akumulasi polimer cadangan pada kondisi nutrisi terbatas. Kultivasi PHA dengan produktivitas dan yield yang tinggi harus dapat dilakukan dengan biaya yang murah. Salah satu metode yang dapat dilakukan adalah dengan menentukan jenis kultivasi yang akan dilakukan. Kultivasi dapat dilakukan dengan sistem batch (curah), fed-batch (terumpani) atau continuous (sinambung). Sistem fed-batch banyak diterapkan terutama untuk memicu peningkatan akumulasi PHA di dalam sel. Pada saat pergantian operasi dari batch ke fed-batch, densitas biomassa telah mencapai level yang tinggi dan konsentrasi substrat kunci menurun dan hampir habis.
Level substrat
pembatas yang rendah tersebut dipertahankan dengan pengumpanan perlahan substrat berkonsentrasi tinggi secara konstan (Nielsen dan Villadsen 1993). Terkait dengan penggunaan glukosa sebagai sumber karbon bagi Ralstonia eutropha, beberapa strategi pengumpanan substrat telah dikembangkan selama kultivasi fed-batch untuk menjaga konsentrasi glukosa agar tetap berada dalam rentang yang optimal bagi akumulasi PHB (Lee dan Choi 2001).
7
Metabolisme karbohidrat Jalur EMP, HM, ED CO2
Piruvat Siklus TCA
Asetil-SKoA
PhaA
CoASH
Asetasetil-SKoA Suksinat Suksinil-SKoA NADH2 NAD
NADH2
Asetoasetat
PhaB
NAD
D(-)-ȕ-hidroksibutiril-SKoA
D(-)-ȕ-hidroksibutirat
Protein-AI
PhaC
PhaZ
D(-)-ȕ-hidroksibutiril-AI
Oligomer, trimer, dimer
PhaZ
PhaC
Poli-ȕ-hidroksibutirat
Keterangan : ȕ-ketothiolase (ȕ-ketoasilthiolase, asetoasetil-KoA, asetasetil-KoA thiolase) Asetasetil-KoA reduktase PHB polimerase (PHB sintetase) PHB hidrolase Dimer hidrolase ȕ-hidroksibutirat dehidrogenase Thiophorase (asetasetil-SKoA thiokinase; Asetoasetat-suksinil-KoA transferase) EMP : jalur glikolisis Embden-Meyerhof-Parnas HM : jalur Heksosa Monofosfat ED : jalur Entner-Doudoroff
Gambar 3. Lintasan umum biosintesis dan degradasi PHB oleh mikroba (Ralstonia eutropha, Azotobacter beijerinckii) (Lafferty et al., 1988).
8
Atifah (2006) telah melakukan penelitian untuk memproduksi PHA melalui kultivasi batch dan fed-batch dengan bakteri Ralstonia eutropha. Pada penelitian tersebut digunakan sumber karbon dari hidrolisat pati sagu dengan nitrogen sebagai substrat pembatas. Ralstonia eutropha tumbuh paling baik pada konsentrasi gula awal 30 g/L dengan laju pertumbuhan spesifik maksimal 0,108/jam dan rendemen molekuler (Yx/s) sebesar 0,227 g sel/g gula. Masih menurut Atifah (2006), kultivasi fed-batch dengan jenis umpan hidrolisat pati sagu paling efektif diterapkan untuk meningkatkan konsentrasi PHA dan rendemen PHA di dalam sel meskipun tidak efektif untuk meningkatkan konsentrasi sel. Konsentrasi PHA dan rendemen PHA di dalam sel dapat meningkat lebih dari dua kali lipat (3,72 g/L atau 76,54% dari bobot kering sel) dibandingkan dengan hasil kultivasi batch (1,44 g/L atau 32,65% dari bobot kering sel) pada kondisi karbon berlebih dengan indikasi nutrisi pembatas berupa magnesium, sulfat, nitrogen dan fosfat. 4. Proses Hilir PHA Proses hilir merupakan tahapan proses yang dilakukan setelah proses kultivasi PHA. Berbagai metode proses hilir telah dikembangkan dalam upaya menurunkan biaya produksi PHA. Metode tersebut meliputi ekstraksi dengan pelarut dan pemecahan (digestion) dengan sodium hipoklorit (Doi, 1990; Lee, 1996). Menurut Punrattanasin (2001), metode proses hilir PHA melalui ekstraksi dengan pelarut merupakan metode yang biasa digunakan pada skala laboratorium dan sama baiknya apabila digunakan untuk skala besar pada produksi komersial. Metode ini banyak digunakan karena dapat diterapkan untuk berbagai jenis PHA yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang berbeda. Namun dibutuhkan pelarut dalam jumlah banyak karena larutan PHA sangatlah viskous. Menurut Lee (1996), dibutuhkan 20 bagian pelarut untuk mengekstrak satu bagian PHA. Oleh karena itu metode ini memerlukan biaya yang besar. Beberapa jenis pelarut yang biasa digunakan adalah kloroform, metilen klorida, dan 1-2 dikloroetana.
9
Pada proses ekstraksi PHA dengan pelarut kloroform, biomassa hasil kultivasi dicuci dengan metanol kemudian disentrifugasi. Hasil sentrifugasi dikeringkan pada tekanan rendah sehingga diperoleh biomassa kering. Pada biomassa kering ditambahkan kloroform dan diaduk pada suhu 50oC selama 24 jam untuk mengekstrak PHA. Proses penguapan kloroform pada evaporator dilakukan untuk memekatkan larutan PHA. PHA yang terlarut dalam kloroform dipisahkan dengan cara presipitasi dengan menambahkan metanol, kemudian PHA dikeringkan pada tekanan rendah. Pada akhirnya diperoleh PHA sebanyak 45% dari bobot biomassa keringnya (Imamura et al., 2001). Penggunaan sodium hipoklorit pada proses ektraksi PHA akan melarutkan komponen non-PHA. PHA dapat dipisahkan dari larutan sodium hipoklorit dengan cara sentrifugasi. Penggunaan sodium hipoklorit dapat menyebabkan terjadinya degradasi bobot molekul PHA. Lee (1996) menyatakan bahwa penggunaan sodium hipoklorit pada proses ekstraksi PHA dapat menyebabkan penurunan bobot molekul PHA sebanyak 50% karena sodium hipoklorit merupakan oksidan kuat. Choi dan Lee (1999) telah meneliti kemampuan berbagai jenis bahan kimia untuk memecah bahan sel selain PHB, meliputi asam (HCl, H2SO4), alkali
(NaOH,
KOH,
NH4OH)
dan
surfaktan
(garam
sodium
dioktilsulfosuksinat / AOT, heksadeciltrimetilamonium bromida / CTAB, sodium dodesil sulfat / SDS, polioksietilen-p-tert-oktil fenol / Triton X-100 dan polioksietilen (20) sorbitan monolaurat / Tween 20). SDS merupakan bahan kimia yang efisien untuk isolasi PHB dari rekombinan E. coli namun harganya mahal dan limbahnya menimbulkan masalah baru. Sodium hidroksida (NaOH) dapat digunakan sebagai pengganti sodium hipoklorit pada proses ektraksi PHA. Lee et al (1999) melakukan pemecahan sel rekombinan E. coli yang mengandung 69% PHB dengan NaOH 0,2 N selama 1 jam pada suhu 30oC dan PHB yang diperoleh menunjukkan kemurnian 97%.
Jika waktu pemecahan (digestion)
diperpanjang hingga 5 jam maka kemurnian PHB meningkat menjadi 98%, begitu juga jika konsentrasi NaOH ditingkatkan menjadi 2 N. Pemecahan
10
bahan-bahan sel non-PHA dengan NaOH (NaOH digestion) memiliki beberapa kelebihan, yaitu murah dan ramah lingkungan, PHB yang diperoleh memiliki kemurnian tinggi (>98%) dan selama proses ekstraksi tidak terjadi degradasi PHB. 5. Karakteristik PHA Menurut Kim et al. (1994), PHB merupakan jenis PHA yang pertama ditemukan dan paling banyak diteliti. PHB merupakan alifatik homopolimer yang memiliki sifat termoplastik dengan sifat mekanis bagus, mirip dengan polipropilen (PP). Perbandingan karakteristik fisik antara PHB dengan polipropilen dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan karakteristik fisik antara PHB dengan polipropilen (Lee, 1996; Poirier et al., 1995) Karakteristik Melting point, Tm (oC) Glass-transition temp, Tg (oC) Kristalinitas (%) Kuat tarik (MPa) Perpanjangan putus (%)
PHB Polipropilen 175 176 5 -10 80 70 40 34,5 6 400
PHB merupakan produk intraseluler yang pada saat masih berada di dalam sel bersifat amorf. Namun setelah melalui proses ekstraksi dengan menggunakan pelarut organik, PHA akan berubah sifat menjadi sangat kristalin. Tingginya kristalinitas menyebabkan PHB menjadi material yang kaku tetapi rapuh. Kerapuhan tersebut menyebabkan PHB tidak tahan terhadap tekanan. Suhu pelelehan PHB (175oC) mendekati suhu degradasi termalnya (200oC)
menyebabkan adanya keterbatasan dalam proses
pengolahannya (Madison dan Huisman, 1999). Menurut Kim et al. (1994), kelemahan ini dapat diperbaiki dengan kopolimerisasi poli-ȕ-hidroksibutirat (PHB)
dan poli-ȕ-hidroksivalerat
(PHV)
menjadi kopolimer
poli-ȕ-
hidroksibutirat-co-poli-ȕ-hidroksivalerat (PHB-co-HV) yang lebih fleksibel dan rendah suhu prosesnya. Karakteristik PHB seperti kristalinitas dan kuat tarik, tergantung pada bobot molekul polimernya. Besarnya bobot molekul ini dipengaruhi oleh strain mikroorganisme yang digunakan, kondisi kultivasi, dan kemurnian PHB
11
(Punrattanasin, 2001). Lee (1996) menambahkan bahwa bobot molekul PHA berada pada kisaran 2*105 sampai dengan 3*106. Bourque et al. (1995) menyatakan bahwa bobot melekul PHB dapat berkurang selama proses pengerjaan polimer. Lafferty et al. (1988) menambahkan bahwa pengurangan bobot molekul PHB dapat terjadi sepanjang proses ekstraksi dari biomassa. Menurut Hrabak (1992), PHB mempunyai karakteristik mirip polipropilen dengan 3 keunikan, yaitu termoplastik, 100% tahan air, dan 100% biodegradable. Lindsay (1992) dan Holmes (1988) menambahkan bahwa PHB mempunyai beberapa karakteristik yang banyak diinginkan seperti ketahanan terhadap uap air dan tidak larut di air. Karakter inilah yang membedakan PHB dengan biodegradable plastik yang lain. PHB juga mempunyai impermeabilitas yang baik terhadap oksigen. Poli-ȕ-hidroksialkanoat (PHA) dapat larut pada berbagai pelarut seperti kloroform, metilen klorida, etilen klorida, piridin atau campuran diklorometan/etanol (Atkinson dan Mavituna, 1991). Kelarutan PHB dalam beberapa pelarut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kelarutan PHB pada berbagai pelarut (Laferty et al.,1988) Kelarutan Tinggi Kloroform Diklorometan Di-, tri-, tetra-kloroetan Etilenkarbonat Propilenkarbonat Asam asetik Alkohols (>3 atom C)
Kelarutan Sedang Dioksan Oktanol Toluene Piridin
Tidak Larut H2O Metanol Etanol 1-propanol 2-propanol Benzen Etil asetat Etilmetilketon Butil asetat Tributil sitrat Heksan
6. Aplikasi PHA Kemampuan PHA untuk diaplikasikan menjadi suatu produk dikarenakan sifat PHA itu sendiri. Sifat tersebut meliputi kemampuan didegradasi secara biologis, karakter termoplastik, sifat piezoelektrik, dan kemampuan
depolimerisasi
PHB
menjadi
monomer
asam
D(-)-3-
hidroksibutirat (Lafferty et al., 1988). Secara umum aplikasi PHA terbagi
12
menjadi 3 lingkup area, yaitu bidang medis dan farmasi, pertanian, dan kemasan (Lafferty et al., 1988; Lee, 1996). Beberapa contoh aplikasi praktis PHA dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Aplikasi praktis PHA (Brandl et al., 2001; Punrattanasin, 2001) Medis dan farmasi - Keperluan operasi bedah: benang jahit, pin, penyeka - Pembalut luka - Pemasangan pembuluh darah dan jaringan tubuh (karena kemampuan depolimerisasi PHB menjadi monomer asam D(-)-3-hidroksibutirat - Pemasangan tulang dan lempeng tulang - Stimulasi pertumbuhan tulang (karena PHA mempunyai sifat piezoelektrik) - Pembawa (biodegradable carrier) bahan aktif pada obat-obatan Pertanian - Pembawa (biodegradable carrier) bahan aktif pada herbisida, - fungisida, insektisida atau pupuk (karena kemampuan degradasi di - dalam tanah) - Kontainer semaian bibit - Matrik (biodegradable matrix) untuk obat pada bidang veteriner Kemasan dan komoditas lain - Kemasan kontainer, botol, pembungkus, kantong, dan film - Bahan-bahan sekali pakai seperti popok bayi dan pembalut wanita
C. Plastik Biodegradable 1. Definisi Biodegradabilitas plastik tergantung pada struktur kimia materialnya dan konstitusi dari produk akhirnya, bukan hanya bahan baku untuk pembuatannya. Oleh karena itu plastik biodegradable dapat berbasis bahan alami maupun resin sintetis. Plastik biodegradable alami terutama berasal dari sumber daya terbaharukan (misalnya pati). Plastik biodegradable sintetis berasal dari sumber daya tak terbaharukan, yaitu minyak bumi (NIIR, 2006). Bioplastik adalah suatu bentukan plastik yang berasal atau bersumber dari tumbuhan, misalnya berasal dari minyak rami, minyak kacang kedelai atau pati. Bioplastik ini mempunyai sifat biodegradable (Anonim, 2006). Menurut ASTM D-5488-84d, biodegradable berarti mampu diurai menjadi gas karbon dioksida, metana, air, inorganic compounds atau biomassa dimana
13
mekanisme yang utama adalah karena aktivitas enzim yang dihasilkan suatu mikroorganisme. 2. Proses Pembuatan Plastik Biodegradable Istilah plastik meliputi produk hasil proses polimerisasi baik yang sintetis maupun semisintetis. Plastik dapat dibentuk menjadi suatu objek, film ataupun serat (Anonim, 2006). Menurut Allcock dan Lampe (1981), film plastik dapat dibuat melalui dua teknik dasar yang berbeda, yaitu solution casting atau molten polymer. Pada penelitian ini digunakan teknik solution casting untuk membuat film bioplastik dari polihidroksialkanoat (PHA). Pada pembuatan film plastik dengan teknik solution casting, bahan polimer dilarutkan ke dalam pelarut yang cocok untuk menghasilkan larutan yang viskous. Larutan yang dihasilkan dituang pada suatu permukaan yang rata (cetakan) yang bersifat non-adesif dan pelarut dibiarkan menguap sampai habis. Film plastik yang sudah kering kemudian diangkat dari cetakannya Teknik molten polymer dilakukan dengan cara pemanasan polimer sampai di atas titik lelehnya (Allcock dan Lampe, 1981). Masih menurut Allcock dan Lampe (1981), teknik solution casting menjadi pilihan yang cepat dan mudah untuk dilakukan pada skala laboratorium. Pemilihan jenis pelarut yang cocok dengan bahan polimer menjadi faktor penting yang perlu diperhatikan. Menurut Waddington (2000), polihidroksialkanoat (PHA) merupakan material biodegradable yang dapat dibuat film plastik dengan teknik solution casting. Pelarut yang cocok untuk digunakan adalah pelarut yang mengandung unsur klorin, misalnya kloroform. Teknik solution casting dilakukan dengan membuat larutan polimer 20% (b/v) untuk menghasilkan larutan dengan viskositas yang sesuai. Pengadukan diperlukan untuk mempercepat kelarutan, misalnya pengadukan dengan strirrer (Allcock dan Lampe, 1981).
Allcock dan Lampe (1981)
menambahkan bahwa apabila larutan polimer perlu disaring sebelum proses casting, maka dapat dilakukan penyaringan vakum karena larutan terlalu viskous. Pada skala laboratoium, proses casting dapat dilakukan pada plat kaca atau cawan gelas. Untuk larutan polimer 20% (b/v), diperlukan plat kaca
14
yang dapat membentuk ketebalan larutan sebesar kira-kira lima kali ketebalan film plastik yang akan dihasilkan. D. Karakterisasi Plastik Biodegradable Kualitas plastik biodegradable yang dihasilkan dapat ditentukan dengan
melakukan karakterisasi.
Beberapa
karakterisasi
yang dapat
menentukan kualitas plastik biodegradable adalah karakterisasi sifat mekanik meliputi kuat tarik dan perpanjangan putus, karakterisasi gugus fungsi dengan FTIR, karakterisasi sifat termal meliputi titik leleh dan titik transisi kaca dengan DSC serta karakterisasi derajat kristalinitas. 1. Karakterisasi Sifat Mekanik Sifat mekanik suatu bahan berhubungan erat dengan struktur kimianya,
terutama
struktur
molekulnya.
Struktur
molekul
yang
mempengaruhi sifat mekanik suatu bahan meliputi bentuk molekul, kekompakan molekul, kristalinitas, kekuatan ikatan molekul, dan gaya antarmolekul (Allcock dan Lampe, 1981). Menurut Surdia dan Saito (1995), kuat tarik adalah tegangan regangan maksimum yang dapat diterima sampel. Datsko (1996) menyatakan bahwa perpanjangan putus adalah perubahan panjang maksimum yang dialami plastik pada saat pengujian kuat tarik. Menurut Stevens (2001), tegangan tarik ı) adalah gaya yang diaplikasikan (F) dibagi dengan luas penampang (A). Pengujian kuat tarik akan menghasilkan kurva tegangan-regangan (stress-strain). Informasi yang diperoleh dari kurva tegangan-regangan untuk polimer adalah kekuatan tarik saat putus (ultimate strength) dan perpanjangan saat putus (elongation at break, İ) dari bahan (Billmayer, 1971). Suatu kurva tegangan-regangan yang umum untuk bahan termoplastik memperlihatkan tegangan tarik dan perpanjangan putus, yaitu pada mulanya tinggi sampai mencapai suatu titik hingga plastik tersebut terdeformasi. Sebelum titik deformasi tersebut perpanjangan masih dapat balik dan setelah sampai pada titik yield, perpanjangan tidak dapat balik yang selanjutnya sampel tersebut patah pada titik break. Kurva tegangan-regangan suatu bahan termoplastik dapat dilihat pada Gambar 4.
15
Gambar 4. Kurva tegangan-regangan suatu bahan termoplastik (Allcock dan Lampe, 1981). 2. Karakterisasi Gugus Fungsi Adanya gugus fungsional pada suatu bahan dapat dianalisa dengan menggunakan FTIR (Fourier Transform Infra-Red Spectroscopy). Menurut Sutiani (1997), spektroskopi inframerah merupakan salah satu teknik identifikasi struktur baik untuk senyawa organik maupun senyawa anorganik. Analisa ini merupakan metode semi empirik dimana kombinasi pita serapan yang khas dapat diperoleh untuk menentukan struktur senyawa yang terdapat pada suatu bahan. Menurut Mohsenin (1984), infra merah merupakan gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang diatas daerah sinar tampak yaitu pada 700-3000 ȝm. Energi dari kebanyakan vibrasi molekul berhubungan dengan daerah inframerah. Vibrasi inframerah dapat dideteksi dan diukur pada spektrum inframerah bila vibrasinya menghasilkan perubahan momen dipol. Daerah inframerah dibagi dalam daerah dekat (12800-4000 cm-1), daerah sedang (4000-200 cm-1), dan daerah jauh (200-10 cm-1). Radiasi inframerah yang penting dalam penentuan struktur atau analisa gugus fungsi dan paling banyak digunakan untuk keperluan praktis adalah daerah inframerah sedang yaitu dengan bilangan gelombang antara 4000-650 cm-1 (Khopkar, 2002). Stevens (2001) menyatakan bahwa spektrum-spektrum dari sebagian besar polimer
16
komersial telah dicatat, karena itu indentifikasi kualitatif zat-zat yang belum diketahui seringkali bisa diselesaikan melalui perbandingan. 3. Karakterisasi Sifat Termal Menurut Jandali dan Widmann (1995), analisa sifat termal merupakan suatu teknik untuk megetahui karakteristik suatu bahan berdasarkan fungsi suhu dan waktu. Pada teknik ini, sampel dipanaskan atau didinginkan pada laju konstan. Salah satu teknik analisis sifat termal adalah DSC (Diffrential Scanning Calorimetry). DSC mengukur sejumlah energi (panas) yang diserap atau dilepaskan oleh suatu sampel ketika dipanaskan, didinginkan atau didiamkan pada suhu konstan. DSC juga mengukur suhu sampel pada kondisi tersebut. Prinsip kerja menggunakan metode ini adalah pengukuran aliran panas berdasarkan kompensasi tenaga (Rabek 1983). Jandali dan Widmann (1995) menambahkan bahwa pada saat energi ditransmisikan akan terjadi perubahan entalpi pada sampel. Ketika sampel menyerap energi maka entalpi akan berubah dan prosesnya disebut endoterm, sedangkan ketika sampel melepas energi prosesnya disebut eksoterm. Perubahan entalpi maupun suhu yang terjadi pada sampel selalu dimonitor oleh sensor yang terpasang pada DSC sehingga dapat memberikan informasi tentang suhu transisi kaca (transition glass temperature, Tg) dan suhu pelelehan (melting temperature, Tm). 4. Karakterisasi Derajat Kristalinitas Knapczyk dan Simon di dalam Kent (1992) menyatakan bahwa struktur molekul yang susunan keteraturannya tinggi disebut kristalin. Sedangkan struktur molekul yang susunannya tidak teratur disebut amorf. Polimer termoplastik yang kristalinitasnya tinggi, lebih resisten terhadap pelarut dan meleleh lebih tajam pada suhu tinggi dari pada polimer amorf. Polimer dengan kristalinitas tinggi mempunyai kekakuan yang tinggi, lebih rapuh atau ketahanan guncang yang rendah daripada polimer amorf. Oleh karena itu Cullity dan Stock (2001) menyatakan bahwa derajat kristalinitas menetukan aplikasi dari bahan polimer tersebut.
17
Pengukuran derajat kritalinitas dapat dilakukan dengan menggunakan Difraktometer sinar-X (X-Ray Diffractometer, XRD). Menurut Sutiani (1997), difraktometer sinar-X merupakan suatu alat yang dapat mentukan derajat kristalinitas suatu polimer. Bagian kristalin dan amorf suatu polimer dapat berinteraksi dengan sinar-X dan menunjukkan aktifitas difraksi yang spesifik. Derajat kristalinitas dapat ditentukan bila difraksi kristalin dapat dipisahkan dari difraksi amorf. Derajat kristalinitas diketahui dengan cara menghitung perbandingan luas difraksi kristalin terhadap luas total difraksi
E. Pemlastis 1. Definisi dan Karakteristik Menurut Hammer (1978), pemlastis adalah bahan kimia yang dapat digunakan untuk mengurangi kekakuan resin termoplastik. Prinsip kerja pemlastis adalah dengan membentuk interaksi molekuler rantai polimer untuk meningkatkan kecepatan respon viskoelastis pada polimer. Hal ini akan meningkatkan mobilitas molekuler rantai polimer dan akibatnya dapat menurunkan suhu transisi kaca (Tg). Billmeyer
(1994)
menambahkan
bahwa
jika
suatu
polimer
semikristalin mendapat tambahan pemlastis maka akan terjadi penurunan suhu pelelehan (Tm) dan derajat kristalinitas. Pemlastis akan lebih banyak berinteraksi dengan fase amorf dan sangat sedikit yang berinteraksi dengan fase kristalin. Efektivitas penambahan pemlastis dapat dilihat melalui beberapa parameter semi empiris, seperti penurunan suhu transisi kaca dan titik leleh, karakteristik mekanik serta kondisi molekuler. Menurut Hammer (1978), beberapa kondisi yang harus dimiliki pemlastis adalah (1) mampu berinteraksi secara molekuler dengan polimer; (2) mempunyai Tg yang cukup rendah untuk menurunkan Tg polimer; (3) mempunyai bobot molekul yang cukup tinggi untuk tetap menjaga agar bobot molekul polimer tetap tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Kalnins et al. (1999), penambahan pemlastis dan peningkatan konsentrasi pemlastis dapat menyebabkan penurunan suhu transisi kaca (Tg) film plastik berbasis PHB. Penurunan Tg ini
18
diakibatkan oleh peningkatkan mobilitas makromolekul PHB. Selain itu juga dapat menyebabkan penurunan suhu pelelehan (T m) sehingga dapat meningkatkan kemampuan proses dari film plastik tersebut. 2. Dimetil Ftalat Menurut Allcock dan Lampe (1981), untuk meningkatkan fleksibilitas film plastik dapat ditambahkan bahan pemlastis berupa ester ftalat. Penambahan ester ftalat pada umumnya dilakukan untuk mengurangi kekakuan material termoplastik yang berbasis polivinilklorida (PVC). Salah satu jenis pemlastis yang termasuk dalam golongan ester ftalat adalah dimetil ftalat. Dimetil ftalat merupakan pemlastis yang bersifat dapat larut dalam alkohol, eter, dan kloroform. Titik didih dimetil ftalat adalah 134-138oC. Penampakan dimetil ftalat adalah tidak berwarna dan tidak berbau. Struktur kimia dimetil ftalat dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur kimia dimetil ftalat (Merck, 1999) Menurut Akmaliah (2003), pada pembuatan lembaran bioplastik dari poli-ȕ-hidroksialkanoat (PHA) dengan pemlastis dimetil ftalat, lembaran plastik terbentuk pada penambahan pemlastis dengan konsentrasi 10% dan 12,5%, sedangkan pada konsentrasi 5% tidak terbentuk lembaran bioplastik. Lembaran bioplastik dengan karakteristik terbaik diperoleh pada penambahan pemlastis dimetil ftalat dengan konsentrasi 12,5%.
19
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Bahan dan Alat 1. Bahan Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan film bioplastik adalah poli-3-hidroksialkanoat (PHA) hasil kultivasi secara fed-batch. Proses kultivasi tersebut menggunakan strain bakteri Ralstonia eutropha IAM 12368 yang diperoleh dari IAM Culture Collection, Institute of Molecular and Celular Bioscience, The University of Tokyo. Sumber karbon yang digunakan dalam substrat kultivasi adalah hidrolisat pati sagu (Metroxylon sp) yang dipersiapkan melalui hidrolisis enzimatis pati sagu dengan enzim Į-amilase dan amiloglukosidase. Bahan-bahan untuk kultivasi bakteri dan isolasi PHA adalah nutrient broth, (NH4)2HPO4, K2HPO4, KH2PO4, MgSO4 0,1 M, FeSO4.7H2O, MnCl2.4H2O, CoSO4.7H20, CaCl2.7H2O, CuCl2.2H2O, ZnSO4.7H2O, buffer tris-hidroklorida, NaOH, NaOCl dan NH4OH. Pembuatan film bioplastik dilakukan dengan menggunakan pelarut kloroform untuk melarutkan PHA dan menggunakan dimetil ftalat sebagai pemlastis. 2. Alat Alat-alat utama yang digunakan untuk kultivasi PHA adalah bioreaktor skala 13 liter dengan volume kerja 10 liter, alat-alat gelas, penyaring vakum, oven, shaking waterbath, termometer, neraca analitik, rotary shaking inkubator, autoklaf, pH meter, sentrifuse kecepatan tinggi, homogenizer, refrigator, freezer, desikator, clean bench, dan pipet mikro. Plat kaca untuk casting bioplastik dan penguapan pelarut dilakukan di dalam lemari asap. Peralatan yang digunakan untuk karakterisasi film bioplastik adalah UTM (Universal Testing Machine) untuk mengukur kuat tarik dan perpanjangan putus, FTIR (Fourier Transform Infra-Red Spectroscopy) untuk analisis gugus fungsi, DSC (Differential Scanning Calorimetry) untuk analisis Tm (melting point) dan Tg (glass transition temperature).
20
B. Metode Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu tahap persiapan bahan baku pembuatan bioplastik dan tahap penelitian utama. Penelitian utama terdiri dari pembuatan dan karakterisasi bioplastik. 1. Persiapan Bahan Baku Persiapan bahan baku bertujuan untuk memperoleh PHA sebagai bahan utama pembuatan bioplastik. Persiapan bahan baku terdiri dari tiga tahap, yaitu persiapan substrat, kultivasi PHA, dan proses hilir PHA. a. Persiapan substrat Tahap pesiapan substrat meliputi proses pembuatan hidrolisat pati sagu secara enzimatis serta persiapan kultur dan media fermentasi. i. Pembuatan hidrolisat pati sagu (Akyuni, 2004) Suspensi pati sagu dalam air 30% (b/v) diatur pH-nya 6-6,5 dengan penambahan CaCO3 kemudian digelatinisasi sempurna dengan cara pemanasan (70-80oC) dan mengaduknya hingga kental dan bening.
Likuifikasi dilakukan dengan menambahkan Į-
amilase sebanyak 1,75 U/g pati ke dalam suspensi pati yang telah tergelatinisasi kemudian dipanaskan dan diaduk pada suhu 90-95oC selama 210 menit. Hasil likuifikasi selanjutnya disakarifikasi pada suhu 60oC, pH 4-4,5 selama 48 jam pada inkubator goyang 150 rpm dengan menambahkan amiloglukosidase (AMG) sebanyak 0,3 U/g pati. Hidrolisat pati sagu hasil sakarifikasi dipanaskan pada suhu o
105 C selama 5 menit untuk menginaktifkan enzim.
Untuk
menjernihkan warna, hidrolisat ditambah arang aktif (1-2 % bobot pati), dipanaskan 80oC selama satu jam lalu disaring vakum. Hidrolisat pati sagu tersebut telah siap digunakan sebagai sumber karbon kultivasi PHA dan sebelumnya dilakukan analisis total gula (metode Fenol Sulfat), total nitrogen (Kjeldahl), kadar mineral (AAS/Spektofotometri Absorpsi Atom) (Apriyantono et al., 1989) dan profil gula (High Performance Liquid Chromatography atau
21
HPLC). Diagram alir pembuatan hidrolisat pati sagu dapat dilihat pada Lampiran 1. Prosedur analisis total gula dan nitrogen secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 2a dan 2b. ii. Persiapan kultur dan media fermentasi (Atifah, 2006) Kultur R. eutropha dipelihara dalam bentuk kering-beku. Kultur disegarkan setiap dua minggu dengan menumbuhkannya pada media cair Nutrient Broth (inkubasi 34oC selama 24 jam). Formulasi media kultivasi per liter adalah X ml hidrolisat pati sagu dan Y gram (NH4)2HPO4 sedemikian sehingga rasio C/N awal 10:1 dengan asumsi bahwa konsentrasi karbon pada hidrolisat pati sagu adalah 40% dari total gula dan konsentrasi N pada (NH4)2HPO4 adalah 21,21%; 5,8 gram K2HPO4; 3,7 gram KH2PO4 ; 10 ml MgSO4 0,1 M; dan 1 ml larutan mikroelemen. Larutan mikroelemen terdiri dari 2,78 g FeSO4.7H2O; 1,98 g MnCl2.4H2O; 2,81 g CoSO4.7H2O; 1,67 g CaCl2.2H2O; 0,17 g CuCl2.2H2O dan 0,29 g ZnSO4.7H2O yang dilarutkan dalam 1 liter HCl 1 N. Sebelum digunakan, media terlebih dahulu disterilisasi pada suhu 121oC selama 15 menit (sumber karbon dan sumber nitrogen disterilisasi dalam wadah yang terpisah untuk menghindari reaksi pencoklatan). Media didiamkan beberapa saat setelah disterilisasi sehingga suhunya mencapai 25-30oC dan siap diinokulasi. Untuk keperluan kultivasi, terlebih dahulu dilakukan propagasi kultur dengan menumbuhkan kultur segar R. eutropha ke dalam media steril (10% v/v) pada inkubator goyang 150 rpm, suhu 34oC selama 24 jam. Komposisi media propagasi disesuaikan dengan media yang akan digunakan pada kultivasi, volume kultur propagasi 10% dari volume media kultivasi. Kultur hasil propagasi selanjutnya diinokulasikan ke dalam media kultivasi.
22
b. Kultivasi PHA secara fed-batch (Atifah, 2006) Kultivasi fed-batch dilakukan pada bioreaktor skala 13 liter, volume kerja 10 L, pH 6,9, agitasi 150 rpm, suhu 34oC dan aerasi 0,2 vvm. Kultivasi dilakukan selama 96 jam. Metode pengumpanan dilakukan pada saat mikroba diperkirakan memasuki fase pertumbuhan stasioner yaitu pada jam ke-48. Umpan berupa hidrolisat pati sagu yang setara dengan 20 g gula per liter kultur atau sekitar 640,5 mL dengan kecepatan pengumpanan konstan 1,7 ml/menit. c. Proses hilir PHA (Atifah, 2006; Imamura et al., 2001 dan Lee, 1996) Tahap 1 Setelah proses kultivasi selesai, cairan kultivasi disentrifugasi sebanyak empat tahap pada kecepatan 13000 rpm selama sepuluh menit. Sentrifugasi tahap pertama bertujuan untuk memisahkan biomassa dengan fase cair. Endapan yang diperoleh pada sentrifugasi pertama dibilas dengan aquades untuk pembersihan, kemudian dilakukan sentrifugasi tahap kedua. Endapan hasil bilasan ditambah NaOH 0,2 N atau NaOCl 0,2 %, kemudian dilakukan proses digest selama satu jam untuk mengeluarkan PHA dari biomassa sel. Proses sentrifugasi ketiga dilakukan untuk memisahkan hasil digest dengan cairannya (NaOH atau NaOCl). Endapan hasil sentrifugasi ketiga dibilas dengan aquades, kemudian dilakukan sentrifugasi tahap keempat. Endapan hasil sentrifugasi keempat diambil dan dimasukkan ke cawan petri, kemudian dioven pada suhu 40OC sampai kering. Tahap 2 PHA kering hasil hasil tahap 1 dilarutkan pada kloroform. Setiap 1 gram PHA kering dilarutkan ke dalam 50 ml kloroform. Kemudian larutan PHA dipanaskan dan diaduk selama 24 jam. Pemanasan dan pengadukan dilakukan dengan pemasangan pendingin tegak pada wadah gelas untuk mencegah penguapan. Diakhir proses pemanasan, larutan diangkat dan disaring menggunakan kertas saring wathman 42 dengan sistem penyaringan vakum. Filtrat hasil penyaringan yang
23
mengandung PHA yang terlarut dalam pelarut kloroform diuapkan dalam lemari asap untuk memperoleh PHA kering yang lebih murni.
2. Pembuatan Bioplastik a. Formulasi Bioplastik i. Metode pembuatan bioplastik (modifikasi Akmaliah, 2003) Proses pembuatan bioplastik dilakukan dengan teknik solution casting. Proses dimulai dengan pencampuran (blending) antara PHA–pelarut kloroform–pemlastis dimetil ftalat. Pencampuran dilakukan dengan cara pengadukan biasa sampai terbentuk larutan PHA-pelarut-pemlastis yang homogen. Kemudian larutan yang sudah homogen dituang pada cetakan (plat kaca). Diagram alir proses pembuatan bioplastik dapat dilihat pada Lampiran 3. ii. Penentuan ukuran bioplastik Jenis plastik yang akan dibuat pada penelitian ini adalah film bioplastik. Ukuran bioplastik ditentukan berdasarkan kebutuhan sampel untuk pengujian kuat tarik, yaitu berdasarkan ASTM D 882-97. ASTM D 882-97 merupakan standar metode pengujian kuat tarik lembaran plastik sangat tipis (ketebalan kurang dari 1 mm). Berdasarkan ASTM D 882-97, ukuran sampel uji mempunyai lebar minimal 0,5 cm dengan panjang bervariasi tergantung persen perpanjangan putus (İ). Apabila İ kurang dari 20% maka panjang sampel adalah 17,5 cm; İ antara 20-100% panjang sampel 15 cm; İ lebih dari 100%, panjang sampel 10 cm. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka bioplastik dibuat pada cetakan dengan ukuran 4,5 x 19 cm. iii. Penentuan jumlah kloroform Menurut Lee (1996), untuk melarutkan satu bagian PHA diperlukan 20 bagian pelarut. Jumlah pelarut yang optimal akan ditentukan dengan cara melarutkan PHA pada kloroform dengan perbandingan PHA-kloroform 1:5, 1:10, 1:15 dan 1:20.
24
iv. Penentuan jumlah PHA Jumlah PHA yang digunakan disesuaikan dengan ketebalan bioplastik yang akan dihasilkan. Jumlah PHA yang optimal akan ditentukan dengan cara melarutkan PHA pada kloroform kemudian di tuang pada cetakan dan diukur ketebalannya. Perbandingan PHA-kloroform yang digunakan adalah perbandingan optimal yang dihasilkan pada tahap penentuan jumlah kloroform. Jumlah PHA yang optimal adalah jumlah PHA yang mampu menghasilkan larutan PHA yang mampu menutup permukaan cetakan dengan sempurna jika larutan tersebut dituang pada cetakan dan ketebalan bioplastik yang dihasilkan kurang dari 0,25 mm. v. Penentuan jumlah pemlastis dimetil ftalat (DMF) Konsentrasi pemlastis dihitung berdasarkan jumlah PHA yang digunakan. Pada penelitian ini akan diujikan konsentrasi pemlastis dimetil ftalat (DMF) mulai dari 0% (kontrol), 12,5%, 25%, 37,5%, dan 50% (b/b) dari jumlah PHA. Sebagai pembanding dibuatlah bioplastik dari PHB murni yang dibeli dari Sigma-Aldrich. Bioplastik pembanding dibuat tanpa pemlastis (0% DMF) dan dengan pemlastis pada konsentrasi terbaik hasil karakterisasi sifat mekanik bioplastik yang dibuat dengan PHA pati sagu. b. Karakterisasi Bioplastik i. Kuat tarik dan perpanjangan putus (ASTM D 882-97) Pengukuran kuat tarik dilakukan dilakukan di Sentra Teknologi Polimer (STP) kawasan Puspitek Serpong. Alat yang digunakan adalah Universal Testing Machine (UTM) dengan merk Simadzu AGS-10KNG. Penggunaan ASTM D 882-92 karena sampel uji termasuk film plastik yang sangat tipis (thin plastic sheeting) dengan ketebalan kurang dari 0,1 mm. Sampel yang berbentuk lembaran dipotong dengan panjang 130 mm dan lebar 8 mm. Sebelum pengujian dilakukan, sampel dikondisikan dalam climatic chamber pada suhu 23oC dan kelembaban 50% selama 48 jam.
25
Kondisi ruang uji: suhu 23,7oC dan kelembaban 60,0%. Pengujian dilakukan berdasarkan standar ASTM D 882-97 dengan kecepatan 500 mm/menit. Kuat tarik plastik (tensile strength) dapat dihitung dengan persamaan berikut : IJ = Fmax / A Keterangan: IJ
= kuat tarik (MPa)
Fmax
= tegangan maksimum (Kgf)
A
= luas penampang melintang (mm2)
ii. Gugus fungsi Analisa gugus fungsi dilakukan di Departemen Teknik Gas dan Petrokimia Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Alat yang digunakan adalah Fourier Transform Infra-Red Spectroscopy (FTIR) dengan merk ATI Mattson. Sampel pengujian yang berbetuk lembaran dipotong melingkar dengan diameter 10 mm. iii. Sifat Termal (ASTM D3418-99) Analisa sifat termal meliputi suhu pelelehan (melting point, Tm) dan suhu transisi kaca (glass transition temperature, Tg). Analisa dilakukan di Sentra Teknologi Polimer (STP) kawasan Puspitek Serpong. Alat yang digunakan adalah Differential Scanning Calorimetry (DSC) dengan merek Mettler Toledo. Sampel ditimbang sekitar 20 mg dimasukkan dalam crucible 40 µl. Pengujian dilakukan berdasarkan standar ASTM D 3418-99. Analisa dilakukan dengan temperature program dimulai dengan pemanasan sampel dari temperatur -90oC hingga 200oC. Kecepatan pemanasan adalah 10oC/menit. Sebagai purge gas digunakan gas nitrogen dengan kecepatan aliran 50 ml/menit.
26
iv. Derajat kristalinitas (Hahn et al., 1995) Pengukuran derajat kristalinitas dilakukan dengan metode pendekatan. Metode ini didasarkan pada perubahan entalpi yang terjadi pada saat tercapainya suhu pelelehan yang terukur pada saat pengukuran suhu pelelahan dengan DSC. PHA dengan derajat kristalinitas 100% akan mempunyai perubahan entalpi sebesar 146 J/g. Dengan melakukan perbandingan perubahan entalpi sampel uji dan PHA dengan kristalinitas 100% maka akan dapat diketahui derajat kristalinitas sampel uji.
c. Analisa Data Analisa data yang digunakan adalah statistika deskriptif. Statistika deskriptif adalah metode-metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna.
C. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa Bioproses Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor dan laboratorium di lingkungan Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Karakterisasi PHA dilakukan di Sentra Teknologi Polimer Kawasan Puspitek Serpong dan Departemen Teknik Gas dan Petrokimia Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Penelitian berlangsung selama delapan bulan yaitu mulai bulan Januari sampai Agustus 2006.
27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Bahan Baku Persiapan bahan baku merupakan tahap pertama dari penelitian ini. Pada tahap ini dilakukan produksi PHA hingga cukup digunakan untuk masuk pada tahap penelitian utama, yaitu tahap pembuatan bioplastik. Tahap persiapan bahan baku terdiri dari proses pembuatan hidrolisat pati sagu, kultivasi dan proses hilir PHA. 1. Pembuatan hidrolisat pati sagu Sirup glukosa adalah cairan jernih dan kental dengan komponen utama glukosa dan diperoleh dari proses hidrolisis pati dengan cara kimia atau enzimatis (SNI 01-2978-1992). Sirup glukosa yang dibuat pada penelitian ini berasal dari pati sagu yang dihidrolisis secara enzimatis. Hidrolisat pati sagu (sirup glukosa) tersebut digunakan sebagai sumber karbon pada kultivasi PHA. Pemilihan pati sagu sebagai bahan baku pembuatan sirup glukosa adalah untuk menurunkan biaya produksi PHA. Menurut Lefebvre et al. (1997), salah satu strategi penurunan biaya produksi PHA adalah melalui penggunaan substrat yang murah. Produksi sagu di Indonesia cukup besar namun pemanfaatannya masih relatif rendah. Menurut Abner dan Miftahorrahman (2002), Indonesia merupakan pemilik areal sagu terbesar di dunia, yaitu 1,128 juta ha atau 51,3% dari 2,201 juta ha areal sagu dunia. Produktivitas pati sagu kering mencapai 25 ton/ha/tahun namun pemanfaatannya hanya 10% dari potensi yang ada. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan Į-glikosidik sehingga harus dihidrolisis menjadi molekul yang lebih sederhana (glukosa) agar dapat digunakan sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan bakteri. Proses hidrolisis pati sagu menjadi sirup glukosa dilakukan secara enzimatis. Selain itu pembuatan sirup glukosa juga dapat dilakukan dengan menggunakan asam. Namun metode hidrolisis dengan asam akan
28
menghasilkan DE (dextrose equivalent) yang lebih rendah dibanding hidrolisis secara enzimatis (Berghmans, 1981). Proses pembuatan sirup glukosa dari pati sagu secara enzimatis terdiri dari dua tahap, yaitu tahap likuifikasi dan sakarifikasi. Pada tahap likuifikasi, pati sagu yang telah digelatinisasi ditambah enzim Į-amilase. Pada tahap ini enzim Į-amilase akan memecah ikatan Į-(1,4)-glikosidik di bagian dalam rantai polisakarida secara acak menghasilkan oligosakarida yang mengandung 6-7 maltosa. Tahap sakarifikasi bertujuan untuk memecah oligosakarida hasil likuifikasi menjadi monosakarida yang siap digunakan oleh bakteri sebagai sumber karbon. Tahap sakarifikasi dilakukan dengan bantuan enzim amiloglukosidase (AMG). Karakteristik hidrolisat pati sagu yang dihasilkan sangat penting untuk diketahui. Karakteristik hidrolisat pati sagu akan berpengaruh terhadap komposisi media kutivasi. Kandungan gula, nitrogen, dan mineral pada hidrolisat pati sagu akan mempengaruhi perhitungan rasio C dan N serta kebutuhan mineral mikro untuk media yang akan digunakan pada kultivasi PHA. Karakteristik hidrolisat pati sagu yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 4. 2. Kultivasi PHA Kultivasi dilakukan dengan
menggunakan
bakteri Ralstonia
eutropha. Kultivasi dilakukan pada bioreaktor kapasitas 13 liter volume kerja 10 liter dengan sistem fed-batch. Kultivasi sistem fed-batch mampu meningkatkan konsentrasi PHA dan rendemen PHA di dalam sel sebesar lebih dari dua kali lipat apabila dibandingkan dengan kultivasi sistem curah (Atifah, 2006). Kultivasi dilakukan selama 96 jam. Agitasi yang digunakan sebesar 150 rpm dengan aerasi 0,2 vvm dan suhu 34oC. Pada kultivasi sistem fedbatch
berarti ada pengumpanan. Pengumpanan dilakukan ketika
konsentrasi sel mencapai maksimum dan konsentrasi gula dalam media hampir habis dikonsumsi mikroba, yaitu pada awal fase pertumbuhan stasioner. Fase pertumbuhan stasioner (ketika konsentrasi gula sisa dalam
29
media mendekati 1 g/L) mulai terjadi pada jam ke-48. Oleh karena itu pengumpanan dilakukan pada jam ke-48 (Atifah, 2006). Tabel 4. Karakteristik hidrolisat pati sagu *) Komponen Konsentrasi total gula Komposisi gula : Glukosa Maltosa Maltotriosa Matotetrosa Maltopentosa Maltoheksosa Maltoheptosa Lainnya Nitrogen Kandungan logam : Pb Zn Cu Fe Ca Mn Mg Na K *)
Jumlah 281
Satuan g/L
43,29 9,04 14,71 9,71 7,46 4,82 9,46 1,51 141,75
% % % % % % % % mg/L
0,057 0,276 0,024 0,411 78,725 4,416 7,325 2,111 99,75
ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm
Atifah (2006)
Pada awal proses kultivasi pH diatur sebesar 6,9-7,0. Selama proses kultivasi nilai pH cenderung mengalami penurunan karena adanya sintesis asam hidroksialkanoat oleh Ralstonia eutropha. Nilai pH optimum 6,9-7,0 perlu dipertahankan dengan melakukan penambahan basa. Basa yang digunakan adalah NaOH 4 N (Atifah, 2006). Pengukuran nilai pH dan penambahan basa dapat dilakukan secara otomatis dengan memanfaatkan sensor pH dan pompa peristaltik yang terdapat pada bioreaktor. Sumber karbon yang digunakan pada kultivasi ini adalah sirup glukosa (hidrolisat) pati sagu. Menurut Ayorinde et al. (1998), galur bakteri dan sumber karbon yang digunakan sangat berpengaruh terhadap PHA yang dihasilkan. Ralstonia eutropha dapat memproduksi PHB (poliȕ-hidroksibutirat) menggunakan glukosa dan PHV (poli-ȕ-hidroksivalerat)
30
menggunakan glukosa dan asam propionat. PHB dapat disintesa oleh Ralstonia eutropha jika salah satu elemen nutrisi seperti N, P, S, O atau Mg ada dalam jumlah terbatas namun sumber karbon ada dalam jumlah berlebih (Lee dan Choi, 2001). Pada penelitian ini kultivasi dilakukan pada media yang mempunyai rasio C dan N sebesar 10:1 (Atifah, 2006). Nitrogen dijadikan sebagai nutrisi pembatas bagi pertumbuhan Ralstonia eutropha dalam mensintesis PHB. Sumber nitrogen yang digunakan adalah (NH4)2HPO4. Perhitungan besarnya (NH4)2HPO4 yang perlu ditambahkan pada saat formulasi media didasarkan pada total gula sirup glukosa. Total gula pada media fermentasi adalah 30g/L. Konsentrasi C yang terdapat pada sirup glukosa (C6H12O6) adalah 40% nilai total gula atau sebesar 12g/L sehingga konsentrasi N yang diperlukan adalah 1,2 g/L. Selain C dan N, media yang digunakan juga mengandung sumber K, P, dan Mg. Sumber K dan P adalah K2HPO4 dan KH2PO4 dengan konsentrasi sebesar 5,8 g/L dan 3,8 g/L. Sedangkan sumber Mg adalah MgSO4 dengan konsentrasi sebesar 10 ml/L. Umpan yang digunakan pada kultivasi fed-batch adalah sirup glukosa pati sagu. Atifah (2006) telah melakukan kultivasi fed-batch dengan perlakuan jenis umpan. Jenis umpan tersebut adalah sirup glukosa, sirup glukosa dengan MgSO4 , sirup glukosa dengan (NH4)2HPO4 dan MgSO4, dan umpan berupa media lengkap. Pengumpanan dengan sirup glukosa saja tanpa penambahan kompenen lain menghasilkan rendemen PHA dalam sel lebih besar bila dibandingkan jenis umpan yang lain. 3. Proses hilir PHA Setelah proses kultivasi selama 96 jam, PHA dipanen dan kemudian dilakukan proses hilir untuk memperoleh PHA dari biomassa sel. Proses hilir tersebut akan memisahkan PHA dari bahan-bahan pengotor seperti asam nukleat, protein, lemak maupun sisa media yang masih ada. Proses hilir dilakukan dalam dua tahap, yaitu digest dengan NaOH dan ekstraksi dengan pelarut.
31
Proses hilir dua tahap tersebut dilakukan untuk memperoleh PHA dengan kemurnian yang lebih tinggi. Pada proses hilir tahap pertama melalui digest menggunakan NaOH, bahan-bahan non-PHA yang umumnya bersifat polar akan larut dalam NaOH sementara PHA tidak larut sehingga dapat dipisahkan (Lee, 1996). Proses hilir tahap kedua dilakukan untuk lebih memurnikan PHA hasil tahap pertama. Kloroform yang digunakan sebagai pelarut akan melarutkan PHA. Sementara komponen non-PHA yang belum sepenuhnya terpisahkan pada tahap pertama tidak larut dalam kloroform. Kelarutan bahan pada kloroform sangat ditentukan oleh kepolaran bahan itu sendiri. Kloroform merupakan pelarut yang bersifat non-polar sehingga bahan-bahan yang bersifat nonpolar seperti PHA akan larut. PHA yang terlarut dalam kloroform dipisahkan dengan pengotornya (bahan yang tidak larut) dengan cara vaccum filtration. Proses ekstraksi dengan NaOH menghasilkan PHA dengan kemurnian sekitar 70% (Atifah, 2006). Kemurnian tersebut dapat dikatakan masih cukup rendah karena PHA dengan kemurnian 70% belum bisa dibuat bioplastik. Pada saat proses pembuatan bioplastik dengan teknik solution casting dari PHA hasil ekstraksi dengan NaOH masih terlihat adanya komponen yang tidak larut dalam kloroform. Kloroform merupakan pelarut yang digunakan untuk membuat larutan PHA dalam casting bioplastik. Oleh karena itu apabila masih terdapat komponen yang tidak larut pada kloroform maka bioplastik yang diinginkan tidak terbentuk. Proses hilir tahap pertama melalui digest menggunakan NaOH dilakukan dengan sentrifugasi empat tahap. Sentrifugasi dilakukan pada kecepatan tinggi (13.000 rpm) agar proses pemisahan padatan dengan cairannya menjadi lebih cepat. Sentrifugasi tahap pertama dilakukan untuk memisahkan biomassa sel dengan cairan kultivasi. Biomassa sel yang diperoleh dicuci dengan menggunakan akuades. Kemudian dilakukan sentrifugasi tahap kedua untuk memisahkan biomassa dengan akuades. Biomassa sel hasil sentrifugasi tahap kedua ditambah NaOH 0,2 N
32
sebanyak 80 ml per 200 ml cairan kultivasi sedemikian rupa sehingga konsentrasi sel menjadi 1%. Dengan asumsi bahwa jumlah PHA yang terdapat pada satu liter cairan kultivasi adalah 4 g. Proses digest dilakukan dengan cara mengaduk
larutan biomassa
dalam NaOH dengan
menggunakan shaker selama 1 jam. Selama proses digest akan terjadi proses pemecahan sel oleh NaOH dan pelarutan komponen non-PHA dalam NaOH. PHA yang tidak larut dalam NaOH dipisahkan dari larutan NaOH dengan melakukan sentrifugasi tahap ketiga. PHA hasil sentrifugasi tahap ketiga mungkin masih mengandung NaOH sehingga dilakukan pembilasan dengan akuades. PHA yang telah dibilas dengan akuades dipisahkan dari akudes melalui sentrifugasi tahap keempat. Padatan yang diperoleh dari sentrifugasi tahap keempat merupakan PHA basah yang harus dikeringkan. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 40oC sampai kering. Pada penelitian ini, proses hilir tahap pertama juga dilakukan dengan mengganti NaOH dengan NaOCl. Menurut Lee (1996), proses digest juga dapat dilakukan dengan menggunakan NaOCl. Maksud dari penggantian ini adalah untuk membuktikan apakah digest dengan NaOCl mampu menghasilkan PHA yang lebih murni dan langsung bisa digunakan untuk casting bioplastik. Ternyata hal tersebut tidak terbukti, baik PHA hasil ekstraksi dengan NaOH maupun NaOCl masih belum cukup murni sehingga tidak bisa langsung digunakan untuk casting bioplastik. Perbedaan dari penggunaan NaOH dan NaOCl pada proses ekstraksi PHA adalah pada rendemen PHA kering hasil pengovenan. Proses ekstraksi dengan NaOCl mempunyai rendemen yang lebih tinggi, yaitu sebesar 4,043 g/L cairan kultivasi. Sedangkan rendemen PHA pada ekstraksi dengan NaOH hanya 1,880 g/L cairan kultivasi. Gambar PHA kering hasil proses hilir tahap pertama dengan NaOH atau NaOCl dapat dilihat pada Gambar 6.
33
Gambar 6. PHA kering hasil ekstraksi dengan NaOH atau NaOCl Proses hilir tahap kedua dilakukan dengan cara melarutkan PHA hasil proses hilir tahap pertama ke dalam kloroform. Satu bagian PHA dilarutkan ke dalam lima puluh bagian kloroform. Perbandingan ini didasarkan pada hasil penelitian Lee (1996), dimana diperlukan dua puluh bagian pelarut untuk melarutkan satu bagian PHA. Penggunaan kloroform sebanyak 50 kali bagian PHA dimaksudkan untuk lebih dapat mengekstrak PHA dari pengotornya dan juga untuk mengurangi viskositas larutan sehingga memudahkan penyaringan. PHA yang telah dilarutkan dalam kloroform kemudian dipanaskan pada suhu 50oC dan diaduk selama 24 jam dengan menggunakan hot plate stirrer. Proses pemanasan dilakukan dengan pemasangan pendingin tegak untuk mengkondensasi kloroform yang menguap sehingga kloroform kembali lagi dan tidak habis. Selama proses ekstraksi, PHA akan larut ke dalam kloroform sedangkan komponen non-PHA tidak larut. Penggunaan suhu 50oC dimaksudkan untuk mempercepat proses pelarutan PHA dalam kloroform. Pada akhir proses ekstraksi, larutan diangkat dan disaring sehingga komponen nonPHA (pengotor) tertahan diatas kertas saring. Sedangkan filtrat penyaringan merupakan PHA yang terlarut dalam kloroform. Penguapan kloroform dilakukan untuk memperoleh PHA. Rendemen PHA yang berbeda diperoleh pada saat ekstraksi dengan kloroform. Dari PHA yang proses hilir tahap pertamanya dilakukan dengan menggunakan NaOH, diperoleh rendemen sebesar 0,787 g/L cairan kultivasi. Sedangkan PHA yang proses hilir tahap pertamanya
34
dilakukan dengan menggunakan NaOCl, diperoleh rendemen sebesar 1,651 g/L cairan kultivasi. Gambar PHA hasil proses hilir tahap kedua dengan kloroform dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. PHA hasil ekstraksi kloroform. PHA
yang
dihasilkan
melalui
kultivasi
secara
fed-batch
menggunakan bakteri Ralstonia eutropha dengan sumber karbon hidrolisat pati sagu diduga termasuk ke dalam jenis polihidroksibutirat (PHB). Hal ini dapat dilihat dari kemiripan gugus fungsi dan sifat termal dengan PHB murni. Penjelasan lebih lanjut tetang dugaan tersebut akan disampaikan pada bagian karakterisasi bioplastik.
B. Pembuatan Biopastik Setelah bahan baku (PHA) yang diperlukan untuk pembuatan bioplastik tersedia maka selanjutnya masuk pada tahap penelitian utama, yaitu pembuatan bioplastik. Tahap pembuatan bioplastik dibagi menjadi dua bagian, yaitu formulasi bioplastik dan karakterisasi bioplastik. 1. Formulasi bioplastik Teknik Pembuatan Bioplastik Proses pembuatan bioplastik dilakukan dengan teknik solution casting. Penggunaan teknik tersebut didasarkan pada kesederhanaan alat maupun metode yang digunakan. Menurut Allcock dan Lampe (1981), teknik solution casting merupakan pilihan yang cepat dan mudah untuk membuat film plastik pada skala laboratorium.
35
Pemilihan jenis pelarut yang tepat merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan dalam membuat larutan untuk casting bioplastik. Pelarut yang digunakan harus cocok dalam hal polaritas. PHA merupakan bahan yang bersifat non-polar sehingga pelarut yang dipilih haruslah bersifat non-polar juga. Salah satu jenis pelarut non-polar adalah kloroform. Menurut Waddington (2000), polihidroksialkanoat (PHA) merupakan material biodegradable yang dapat dibuat film plastik dengan teknik solution casting. Pelarut yang cocok untuk digunakan adalah pelarut yang mengandung unsur klorin, misalnya kloroform. Laferty et al. (1988) menambahkan bahwa PHB mempunyai kelarutan paling tinggi pada pelarut kloroform. Oleh karena itu pelarut yang digunakan untuk pembuatan bioplastik pada penelitian ini adalah kloroform. Pembuatan bioplastik dengan teknik solution casting dilakukan dengan cara melarutkan PHA ke dalam kloroform. Untuk mempercepat proses pelarutan PHA ke dalam kloroform maka larutan dipanaskan pada suhu 50oC dan diaduk selama 1,5 jam. Kemudian dilakukan penambahan pemlastis dimetil ftalat. Setelah penambahan pemlastis, pemanasan dan pengadukan dilanjutkan kembali selama setengah jam sehingga total waktu prosesnya adalah 2 jam. Namun apabila pembuatan bioplastik dilakukan tanpa penambahan pemlastis maka pemanasan dan pengadukan larutan PHA berlangsung selama 2 jam. Pemasangan pendingin tegak pada wadah gelas yang digunakan untuk membuat larutan diperlukan untuk mencegah penguapan kloroform ke lingkungan sehingga larutan tidak kering karena kloroform habis menguap. Setelah 2 jam pemanasan dan pengadukan dihasilkan larutan yang homogen sehingga larutan siap diangkat dan dituang pada cetakan. Setelah dituang pada cetakan, kloroform dibiarkan habis menguap hingga diperoleh bioplastik yang kering dan siap diangkat. Cetakan yang digunakan berasal dari plat kaca agar nantinya bioplastik yang dihasilkan mudah diangkat. Menurut Allcock dan Lampe (1981), cetakan yang digunakan untuk casting film plastik harus mempunyai permukaan yang rata dan bersifat non-adesif.
36
Sifat non-adesif dimaksudkan agar film plastik yang dihasilkan tidak melekat pada cetakan. Penentuan Ukuran Bioplastik Jenis bioplastik yang dibuat pada penelitian ini adalah film bioplastik. Menurut American Society of Testing and Materials (ASTM) D883-91a tentang istilah baku mengenai plastik, istilah film digunakan untuk menyebut lembaran plastik yang ketebalannnya kurang dari 0,25 mm. Oleh karena itu ketebalan bioplastik yang akan dibuat kurang dari 0,25 mm. Pembuatan bioplastik yang sangat tipis dimaksudkan untuk penghematan bahan baku. Ukuran bioplastik ditentukan berdasarkan kebutuhan sampel untuk pengujian kuat tarik, yaitu berdasarkan ASTM D 882-97 tentang metode pengujian standar untuk karakteristik kuat tarik lembaran plastik sangat tipis (ketebalan kurang dari 1 mm). Berdasarkan ASTM D 882-97, ukuran sampel uji mempunyai lebar minimal 50 mm dengan panjang bervariasi tergantung persen perpanjangan putus (İ). Apabila İ kurang 20% maka panjang sampel adalah 175 mm; İ antara 20-100% panjang sampel 150 mm; İ lebih dari 100%, panjang sampel 100 mm. Pengujian kuat tarik dilakukan sebanyak minimal 5 ulangan. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka bioplastik dibuat pada cetakan dengan ukuran 4,5 x 19 cm. Pembuatan bioplastik dilakukan sebanyak dua kali ulangan sehingga ukuran tersebut cukup untuk membuat sampel sebanyak 6 buah. Dengan asumsi bahwa sampel dibuat dengan cara memotong lembaran yang dihasilkan dengan ukuran 1 x 17,5 cm. Penentuan Jumlah Kloroform Jumlah kloroform yang diperlukan untuk satu formula ditentukan dengan melakukan percobaan melarutkan PHA dalam kloroform pada berbagai perbandingan PHA-kloroform (b/b), yaitu 1:5, 1:10, 1:15 dan 1:20. Penentuan besarnya perbandingan didasarkan pada pernyataan Lee (1996), bahwa untuk melarutkan satu bagian PHA diperlukan 20 bagian pelarut. Dari percobaan tersebut akan dicari perbandingan terkecil dimana
37
lembaran bioplastik dapat terbentuk. Pada percobaan tersebut tidak dilakukan penambahan pemlastis karena baru dimulai dengan pencarian jumlah kloroform yang tepat. Pada percobaan pembuatan bioplastik dengan perbandingan PHAkloroform 1:5, jumlah PHA yang digunakan sebanyak 0,1 g. Pada perbandingan ini lembaran bioplastik yang diinginkan tidak bisa terbentuk. Bioplastik tidak terbentuk karena pada perbandingan tersebut larutan yang terbentuk seperti pasta sehingga sulit untuk dituang pada cetakan. Dari kondisi tersebut dapat dinyatakan bahwa jumlah kloroform yang digunakan
masih
kurang
sehingga
perbandingan
PHA-kloroform
dinaikkan menjadi 1:10. Pada perbandingan PHA-kloroform 1:10, jumlah PHA yang digunakan sebanyak 0,1 g. Pada perbandingan ini lembaran bioplastik sudah dapat terbentuk namun karena larutannya masih terlalu kental maka banyak bahan yang masih tertinggal (menempel) pada wadah gelas yang digunakan untuk mengaduk. Oleh karena itu jumlah kloroform yang digunakan dinaikkan lagi. Pada perbandingan PHA-kloroform 1:15 dengan jumlah PHA yang digunakan sebanyak 0,1 g dapat dihasilkan lembaran bioplastik yang baik. Dimana hampir semua bahan bisa dituang pada cetakan (tidak menempel pada wadah gelas). Bioplastik yang dihasilkan mempunyai ketebalan sekitar 0,05 mm. Karena pada perbandingan PHA-kloroform 1:15 sudah dapat membentuk lembaran bioplastik dengan baik maka percobaan untuk perbandingan PHA-kloroform 1:20 tidak dilakukan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk menghasilkan lembaran bioplastik yang baik diperlukan 15 bagian pelarut untuk melarutkan satu bagian PHA. Penentuan Jumlah PHA Pada tahap ini dicari jumlah PHA yang mampu membentuk larutan yang dapat menutup semua permukaan cetakan yang berukuran 4,5 x 19 cm dengan sempurna dan menghasilkan bioplastik dengan ketebalan kurang dari 0,25 mm. Jumlah PHA dan kloroform yang digunakan sangat
38
berpengaruh terhadap ketebalan bioplastik yang dihasilkan. Untuk jumlah PHA yang sama, apabila jumlah kloroform yang digunakan sedikit maka bioplastik yang dihasilkan akan lebih tebal bila dibandingkan dengan penggunaan kloroform yang lebih banyak. Pada penggunaan kloroform yang banyak, distribusi PHA pada permukaan plat kaca akan lebih luas sehingga bioplastik yang dihasilkan lebih tipis. Pada awal percobaan, digunakan cetakan berukuran 1 x 18 cm sehingga untuk menghasilkan bioplastik dengan ketebalan 0,2 mm diperlukan larutan sebanyak 1,8 ml. Hal ini disesuaikan dengan pernyataan Allcock dan Lampe (1981), bahwa untuk membuat film plastik diperlukan sejumlah larutan yang mampu menutup permukaan plat kaca cetakan dengan ketebalan kira-kira 5 kali ketebalan film plastik yang akan dihasilkan. Dari hasil pencarian jumlah kloroform minimal yang diperlukan agar bioplastik dapat terbentuk dengan baik adalah pada perbandingan PHA-kloroform 1:15. Sehingga untuk menghasilkan larutan sebanyak 1,8 ml diperlukan PHA sebanyak 0,1764 g. Dengan alasan penghematan penggunaan PHA maka jumlah PHA yang digunakan sebesar 0,1 g. Agar jumlah larutan yang terbentuk mencapai 1,8 ml maka perbandingan
PHA-kloroform
diubah
menjadi
1:30.
Peningkatan
perbandingan tersebut akan menghasilkan larutan sebanyak 2, 041 ml dan jumlah ini cukup untuk menutup permukaan cetakan. Setelah dicobakan ternyata mampu menghasilkan lembaran bioplastik yang baik. Penurunan jumlah PHA dan pengingkatan jumlah kloroform yang digunakan menyebabkan bioplastik yang dihasilkan lebih tipis dengan ketebalan 0,05 mm. Dari penampakan secara fisik, ketebalan 0,05 mm masih bisa dikurangi menjadi 0,03 mm dengan maksud untuk menghemat penggunaan PHA, sehingga jumlah PHA yang digunakan dikurangi menjadi 0,06 g dan perbandingan PHA-kloroform tetap. Setelah dicobakan ternyata mampu menghasilkan lembaran bioplastik yang baik dengan ketebalan sekitar 0,03 mm. Setelah percobaan dengan menggunakan cetakan 1 x 18 cm berhasil dengan baik selanjutnya digunakan cetakan berukuran 4,5 x 19 cm untuk
39
membuat bioplastik yang akan digunakan sebagai sampel pengujian kuat tarik. Penentuan jumlah PHA yang digunakan didasarkan pada percobaan dengan cetakan 1 x 18 cm. Sehingga pada cetakan 4,5 x 19 cm digunakan PHA sebanyak 0,285 g dengan perbandingan PHA-kloroform 1:30. Penentuan Jumlah Pemlastis Dimetil Ftalat (DMF) Menurut Allcock dan Lampe (1981), ester ftalat merupakan pemlastis yang banyak digunakan untuk meningkatkan elastisitas film plastik. Polivinil klorida (PVC) merupakan material yang kaku sehingga sering ditambah ester ftalat agar lebih elastis. Salah satu jenis ester ftalat yang sering digunakan sebagai pemlastis adalah dimetil ftalat (DMF). Pada penelitian ini dilakukan pembuatan bioplastik dari PHA pati sagu pada berbagai konsentrasi pemlastis. Konsentrasi yang diujikan adalah 0% (kontrol), 12,5%, 25%, 37,5% dan 50% (b/b) dari jumlah PHA. Agar bobot total setiap formula sama maka untuk formula dengan penambahan pemlastis, perbandingan 1:30 digunakan untuk perbandingan PHA dengan kloroform-pemlastis. Sebagai pembanding dibuat bioplastik dari PHB murni yang dibeli dari Sigma-Aldrich. Bioplastik pembanding dibuat tanpa pemlastis (0% DMF) dan dengan pemlastis pada konsentrasi terbaik hasil karakterisasi sifat mekanik bioplastik yang dibuat dari PHA pati sagu. Formulasi bioplastik pada berbagai konsentrasi DMF dapat dilihat pada Tabel 5. Setiap formula dibuat sebanyak dua kali ulangan. Tabel 5. Formulasi bioplastik pada berbagai konsentrasi DMF*) No Kode 1 2 3 4 5 *)
F000 F125 F250 F375 F500
Konsentrasi DMF (%) 0 12,5 25 37,5 50
PHA (g) 0,285 0,285 0,285 0,285 0,285
Kloroform (g) 8,550 8,509 8,455 8,379 8,265
DMF (g) 0,000 0,041 0,095 0,171 0,285
Total (g) 8,835 8,835 8,835 8,835 8,835
Cara perhitungan dapat dilihat pada lampiran 4.
40
2. Karakterisasi bioplastik Baik pada ulangan pertama maupun kedua, bioplastik yang dibuat tanpa penambahan pemlastis (0% DMF) dan dengan penambahan pemlastis sebesar 12,5%, 25% dan 37,5% dapat berhasil membentuk lembaran dengan baik. Sedangkan penambahan pemlastis sebesar 50% menyebabkan tidak terbentuknya lembaran bioplastik. Bioplastik yang dihasilkan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Bioplastik dari PHA pati sagu dengan konsentrasi DMF 0% (a), 12,5% (b), 25% (c), dan 37,5% (d).
41
Apabila dilihat dari penampakan secara fisik, bioplastik yang dibuat tanpa penambahan pemlastis mempunyai tekstur lebih keras dari pada bioplastik
dengan
penambahan
pemlastis.
Penambahan
pemlastis
menjadikan bioplastik yang dihasilkan menjadi lebih lembek dan lunak. Hal ini sesuai dengan fungsi pemlastis yaitu sebagai bahan pelembut meterial yang kaku sehingga elastisitasnya meningkat (Allcock dan Lampe, 1981). Semakin banyak pemlastis yang ditambahkan maka bioplastik yang dihasilkan semakin lembek dan lunak. Namun pada penambahan pemlastis dengan konsentrasi 50% menyebabkan tidak terbentuknya bioplastik. Pembuatan bioplastik dengan konsentrasi pemlastis sebesar 50% menyebabkan tidak terbentuknya bioplastik yang diinginkan. Konsentrasi pemlastis yang mencapai 50% menyebabkan bioplastik dibuat menjadi sangat lunak sehingga tidak tidak bisa diangkat dari cetakan. Apabila pengangkatan dari cetakan dilakukan dengan pencukilan maka bagian yang dicungkil langsung hancur karena terlalu lunak. Penambahan pemlastis DMF diduga menyebabkan terbentuknya ikatan hidrogen antara molekul PHA dengan DMF. Proses pembentukan ikatan hidrogen antara PHA dan DMF dapat dilihat pada Gambar 9. Gugus OH yang terdapat pada kedua ujung polimer PHA merupakan ikatan kovalen polar antara O dan H. Menurut Sukardjo (1985), ikatan kovalen merupakan ikatan yang terbentuk dengan pembagian elektron. Pada ikatan kovalen yang terdapat pada gugus OH
diujung rantai polimer PHA,
elektron tidak terbagi merata dan akan lebih dekat kepada atom yang mudah
menarik
elektron.
Atom
O
merupakan
atom
dengan
elektronegativitas tinggi sehingga akan menarik elektron dari atom H. Penarikan elektron ke arah atom O menyebabkan atom H semakin menjauh karena terbentuk kutup positif pada atom H dan kutub negatif pada atom O. Sementara itu atom O dengan ikatan rangkap yang terdapat pada gugus ester molekul DMF cenderung kurang stabil sehingga membentuk ikatan hidrogen dengan atom H terpolarisasi yang terdapat pada ujung rantai polimer PHA. Menurut Sukardjo (1985), ikatan hidrogen
42
tersebut terbentuk karena gaya elektrostatik antara H dan O. Ikatan hidrogen sifatnya lebih lemah dari pada ikatan kovalen. Ikatan hidrogen terjadi antara atom-atom yang sangat polar, yaitu atom-atom yang mempunyai elektronegativitas tinggi seperti F, O, dan N dengan atom H.
DMF
Gambar 9. Proses pembentukan ikatan hidrogen antara PHA dan dimetil ftalat (DMF).
43
Dari Gambar 9 dapat diketahui bahwa pemlastis DMF mengikat gugus OH yang terdapat pada kedua ujung rantai polimer PHA. Semakin tinggi konsentrasi DMF yang digunakan maka semakin banyak gugus OH yang terikat. Apabila konsentrasi DMF terus dinaikkan maka semakin habis gugus OH bebas pada ujung rantai polimer PHA. Tidak adanya gugus OH bebas pada ujung rantai polimer PHA menyebabkan DMF tidak bisa membentuk ikatan lagi dengan polimer PHA. Pada kondisi yang demikian dapat dikatakan bahwa polimer PHA sudah jenuh dengan penambahan DMF.
Apabila polimer PHA sudah jenuh dengan
penambahan DMF maka penambahan DMF akan menyebabkan bioplastik yang dibuat menjadi sangat lunak atau bahkan tidak bisa kering karena banyak molekul DMF dengan kondisi bebas (tidak berikatan dengan PHA). Pada pembuatan bioplastik dengan konsentrasi DMF 50% menyebabkan polimer PHA sudah jenuh dengan penambahan DMF sehingga bioplastik yang dibuat tidak terbentuk. Setelah proses pembuatan bioplastik selesai dilakukan, selanjutnya dilakukan karakterisasi terhadap bioplastik yang dihasilkan untuk mentukan kualitas dan melihat pengaruh konsentrasi DMF. Karakterisasi yang dilakukan meliputi pengukuran kuat tarik dan perpanjangan putus, analisa gugus fungsi, analisa sifat termal, dan pengukuran derajat kristalinitas. Kuat Tarik dan Perpanjangan Putus Kuat tarik dan perpanjangan putus merupakan karakteristik mekanik yang banyak diuji untuk menentukan kualitas plastik. Pengukuran kuat tarik dan perpanjangan putus dilakukan dengan menggunakan Universal Testing Machine (UTM) dengan merek Simadzu AGS-10KNG. Pengujian dilakukan dengan menggunakan standar ASTM D 882-92 tentang pengukuran kuat tarik film plastik yang sangat tipis (thin plastic sheeting) dengan ketebalan kurang dari 0,1 mm. Pengukuran kuat tarik dilakukan pada bioplastik dengan konsentrasi DMF 0%, 12,5%, 25%, dan 37,5%.
44
Sedangkan bioplastik dengan konsentrasi DMF 50% tidak bisa diuji karena bioplastik tidak terbentuk. Pengaruh peningkatan konsentrasi DMF terhadap nilai kuat tarik dan perpanjangan putus bioplastik PHA pati sagu dapat dilihat pada Gambar 10. Sedangkan hasil pengukuran kuat tarik dan perpanjangan putus secara
Kuat Tarik (MPa)
lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5.
3,7 3,6 3,5 3,4 3,3
3,6
3,6 3,4
3,2 3,1 3,0 2,9 2,8 2,7
3,0
0
12,5
25
37,5
Konsentrasi DMF (%)
(a)
Perpanjangan Putus (%)
30,0 23,9
25,0
22,9 20,0 15,0 12,7 10,0 7,0
5,0 0,0 0
12,5
25
37,5
Konsentrasi DMF (%)
(b) Gambar 10. Kurva hubungan antara konsentrasi DMF dengan kuat tarik (a) dan perpanjangan putus (b) bioplastik PHA pati sagu.
45
Nilai kuat tarik menunjukkan kekuatan tarik plastik yang dihasilkan ketika mendapat beban. Nilai tersebut menggambarkan kekuatan tegangan maksimum bahan untuk menahan gaya yang diberikan. Pada Gambar 10(a) terlihat bahwa peningkatan konsentrasi DMF menyebabkan terjadinya penurunan nilai kuat tarik bioplastik. Penurunan nilai kuat tarik terjadi setelah konsentrasi DMF lebih dari 12,5%. Pada selang konsentrasi DMF 0% (tanpa pemlastis) sampai konsentrasi DMF 12,5%, nilai kuat tarik bioplastik tidak mengalami perubahan. Menurut Allcock dan Lampe (1981), sifat mekanik suatu bahan dipengaruhi bentuk molekul, kekompakan molekul, kristalinitas, kekuatan ikatan molekul, dan gaya antarmolekul. Penambahan pemlastis DMF menyebabkan terbentuknya interaksi molekuler dengan rantai polimer PHA dalam bentuk ikatan hidrogen (lihat Gambar 9). Ikatan hidrogen merupakan ikatan yang sangat lemah, lebih lemah dari ikatan kovalen (Sukardjo, 1985). Sehingga pembentukan ikatan hidrogen tersebut menyebakan peningkatan kecepatan respon viskoelastis dan mobilitas molekuler rantai polimer PHA. Peningkatan mobilitas molekuler tersebut menjadikan kekompakan molekul menjadi berkurang. Kekompakan molekul polimer yang semakin berkurang seiring dengan peningkatan konsentrasi DMF menyebabkan semakin sedikitnya gaya yang dibutuhkan untuk menarik bahan sehingga kuat tarik bahan semakin turun. Pernyataan diatas didukung oleh Hammer (1978) yang menyatakan bahwa prinsip kerja pemlastis adalah dengan membentuk interaksi molekuler rantai polimer untuk meningkatkan kecepatan respon viskoelastis pada polimer sehingga dapat meningkatkan mobilitas molekuler rantai polimer. Billmeyer (1994) menambahkan bahwa pemlastis yang ditambahkan pada polimer semikristalin akan lebih banyak berinteraksi dengan fase amorf dan sangat sedikit yang berinteraksi dengan fase kristalin sehingga struktur polimer menjadi lebih amorf. Perubahan struktur polimer ke arah lebih amorf menjadikan polimer lebih elastis. Perpanjangan putus merupakan regangan maksimum yang dialami bahan saat dikenai gaya. Pada Gambar 10(b) terlihat bahwa peningkatan
46
konsentrasi
DMF
sampai
dengan
25%
menyebabkan
semakin
meningkatnya perpanjangan putus bioplastik. Namun peningkatan konsentrasi DMF di atas 25% menyebabkan terjadinya penurunan perpanjangan putus. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pemlastis dapat meningkatkan kecepatan respon viskoelastis dan mobilitas molekuler
rantai polimer.
Peningkatan
konsentrasi DMF
berarti
meningkatkan kecepatan respon viskoelastis dan mobilitas molekuler rantai polimer PHA. Meningkatnya mobilitas molekuler rantai polimer menunjukkan bahwa bahan semakin elastis sehingga perpanjangan putus juga akan semakin meningkat. Peningkatan tersebut akan berlaku selama masih terbentuk interaksi molekuler rantai polimer dengan pemlastis. Pada penelitian ini, peningkatan konsentrsi DMF diatas 25% menyebabkan penurunan perpanjangan putus bioplastik. Penurunan tersebut dikarenakan peningkatan konsentrasi pemlastis tidak diikuti oleh pembentukan interaksi molekuler dengan rantai polimer bioplastik. Pada Gambar 9 terlihat bahwa pembentukan interaksi molekuler melalui adanya ikatan hidrogen antara PHA dan DMF akan terjadi apabila masih ada gugus OH bebas pada ujung rantai PHA. Apabila pada ujung rantai PHA tidak terdapat gugus OH bebas maka DMF yang ditambahkan tetap berdiri sendiri sebagai molekul DMF tanpa adanya ikatan dengan PHA. Hal inilah yang
menyebabkan
peningkatan
konsentrasi
DMF
diatas
25%
menyebabkan perpanjangan putus bahan semakin menurun. DMF yang ditambahkan tidak bisa lagi membentuk ikatan hidrogen dengan PHA karena gugus OH bebas pada ujung rantai PHA sudah tidak ada lagi. Penambahan DMF hanya akan menyebabkan bahan menjadi terlalu lunak atau tidak bisa kering seperti yang terjadi pada pembuatan bioplastik dengan konsentrasi DMF 50%. Karakterisasi yang selanjutnya hanya dilakukan untuk bioplastik yang mempunyai sifat mekanik terbaik dan bioplastik kontrol (DMF 0%). Dari hasil pengujian kuat tarik dan perpanjangan putus ditetapkan bahwa bioplastik dengan konsentrasi DMF 25% adalah yang terbaik karena mempunyai perpanjangan putus terbesar. Namun sebelumnya untuk
47
menentukan kulitas bioplastik yang dihasilkan, dibuatlah bioplastik dari PHB murni yang dibeli dari Sigma-Aldrich. Pembuatan bioplastik dari PHB murni dilakukan dengan menggunakan teknik dan metode yang sama dengan pembuatan bioplastik dari PHA pati sagu. Bioplastik dari PHB murni dibuat dengan konsentrasi DMF 25% karena pada konsentrasi tersebut diperoleh bioplastik PHA pati sagu dengan sifat mekanik terbaik. Selain itu dibuat juga bioplastik PHB murni tanpa penambahan DMF yang digunakan sebagai kontrol. Gambar 11 merupakan bioplastik yang dibuat dari PHB murni.
Gambar 11. Bioplastik dari PHB murni dengan konsentrasi DMF 0% (a) dan 25% (b). Kuat tarik dan perpanjangan putus bioplastik PHB murni pada konsentrasi DMF 0% dan 25% dapat dilihat pada Tabel 5. Sedangkan hasil pengujian secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 6. Sama halnya dengan bioplastik PHA pati sagu, kuat tarik bioplastik PHB murni juga mengalami penurunan dengan adanya penambahan pemlastis DMF. Sedangkan perpanjangan putus menjadi meningkat dengan penambahan pemlastis DMF.
48
Terdapat perbedaan nilai kuat tarik dan perpanjangan putus antara bioplastik PHA pati sagu dengan bioplastik PHB murni. Bioplastik PHB murni mempunyai kuat tarik dan perpanjangan putus yang lebih besar dari pada bioplastik PHA pati sagu. Perbedaan ini disebabkan oleh kemurnian bahan yang berbeda. PHB murni kemurniannya sekitar 99% sedangkan kandungan PHB pada PHA pati sagu hanya sekitar 70-80%, 20-30% berupa pengotor dan PHA jenis lain (Atifah, 2006). Tabel 6. Perbandingan kuat tarik dan perpanjangan putus bioplastik PHA pati sagu dan bioplastik PHB murni. Konsentrasi DMF (%) 0 25
Kuat Tarik (MPa) Bioplastik Bioplastik PHA Pati Sagu PHB Murni 3,571 8,465 3,382 3,620
Perpanjangan Putus (%) Bioplastik Bioplastik PHA Pati Sagu PHB Murni 7,00 16,12 23,88 35,98
Tabel 7. Nilai kuat tarik dan perpanjangan putus PHB dan PP (Lee, 1996; Poirier et al., 1995). Karakteristik Kuat tarik (MPa) Perpanjangan putus (%)
PHB 40 6
Polipropilen 34,5 400
Apabila dibandingkan dengan literatur (Tabel 7), bioplastik PHA pati sagu maupun bioplastik PHB murni mempunyai kuat tarik yang lebih rendah dan perpanjangan putus yang lebih tinggi dari PHB literatur. Sedangkan apabila dibandingkan dengan polipropilen, baik bioplastik PHA pati sagu maupun bioplastik PHB murni mempunyai kuat tarik dan perpanjangan putus yang lebih rendah. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan dalam hal jenis sampel maupun teknik dan metode pembuatan bioplastik. Bioplastik yang dihasilkan pada penelitian ini berupa film plastik dengan ketebalan sekitar 0,03 mm dan dibuat dengan teknik solution casting.
49
Gugus Fungsi Analisa gugus fungsi bioplastik dilakukan dengan menggunakan Fourier Transform Infra-Red Spectroscopy (FTIR) dengan merek ATI Mattson. Menurut Nur (1989), inframerah merupakan salah satu jenis gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang 0,78 sampai 1000 µm atau bilangan gelombang 12800 sampai 10 cm-1. Penggunaan inframerah yang paling banyak adalah pada daerah pertengahan dengan kisaran bilangan gelombang 4000 sampai 670 cm-1. Kegunaan yang paling penting adalah untuk identifikasi senyawa organik karena spektrumnya sangat komplek yang terdiri dari banyak puncak. Spektrum inframerah dari senyawa organik mempunyai sifat fisik yang khas, artinya kemungkinan dua senyawa mempunyai spektrum sama adalah kecil sekali. Energi radiasi inframerah akan diabsorpsi oleh senyawa organik sehingga molekulnya akan mengalami rotasi atau vibrasi. Setiap ikatan kimia yang berbeda seperti C-C, C=C, C=O, O-H dan sebagainya mempunyai frekuensi vibrasi yang berbeda sehingga kemungkinan dua senyawa berbeda akan mempunyai absorpsi yang sama adalah kecil sekali. Hasil analisa gugus fungsi bioplastik dengan FTIR dapat dilihat pada Gambar 12. Beberapa peak (puncak absorbsi) yang muncul pada spektra FTIR bioplastik (Gambar 12) menunjukkan bahwa dalam bioplastik yang dianalisa terdapat lebih dari satu jenis ikatan (gugus fungsi). PHA merupakan suatu poliester yang mempunyai beberapa gugus fungsi dominan seperti karbonil ester (C=O), ikatan polimerik -C-O-C-, -OH, CH-, dan -CH2. Identifikasi terhadap spektrum FTIR sampel bioplastik perlu dilakukan untuk mengetahui jenis gugus fungsi yang ada berdasarkan bilangan gelombang dimana suatu peak muncul. Tabel 8 menyajikan hasil identifikasi jenis-jenis gugus fungsi terkait dengan pita spektrum FTIR yang terbaca pada bilangan gelombang tertentu.
50
(a)
(b) Gambar 12. Spektra FTIR bioplastik PHA pati sagu 0% DMF (a) dan 25% DMF (b).
51
Tabel 8. Hasil identifikasi spektrum FTIR bioplastik
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Bioplastik 0% DMF Bilangan IntenIdentifikasi Gelombang sitas -1 (cm ) NH amida 3440,38 Sedang protein OH 2974,79* Sedang karboksilat 2931,13* Tajam CH 2854,13* Sedang 1751,04* Tajam C=O ester 1455,57* Sedang CH2 1380,61* Tajam CH3 1310,87 Tajam N=O 1310,87C-O-C Tajam 1064,10* polimer 979,65Sedang ttd 462,83
11 Catatan:
Bioplastik 25% DMF Bilangan IntenIdentifikasi Gelombang sitas -1 (cm ) NH amida 3440,48 Sedang protein 2930,83*
Tajam
2854,67* Sedang 1735,57* Tajam 1457,57 Tajam <1457,57* Sedang 1380,39* Tajam 1310,87 Tajam 1310,87Tajam 1072,22* 748,24**
Sedang
516,82
Sedang
CH C=O ester ttd CH2 CH3 N=O C-O-C polimer Aromatis Orto ttd
1
Identifikasi didasarkan Nur (1985) ttd = tidak diketahui * Gugus fungsi PHA ** Gugus fungsi DMF
Tujuan dari analisa gugus fungsi adalah untuk mengetahui gugus fungsi yang ada pada molekul bioplastik baik yang berasal dari bahan baku bioplastik (PHA) maupun pemlastis (DMF). Hasil identifikasi gugus fungsi yang tersaji pada Tabel 8 menunjukkan bahwa semua gugus fungsi dominan dari molekul PHA muncul pada spektra FTIR bioplastik tanpa pemlastis (0% DMF). Gugus fungsi tersebut meliputi karbonil ester (C=O), ikatan polimerik C-O-C, -OH, CH, dan CH2. Sedangkan pada spektra FTIR bioplastik dengan konsentrasi DMF 25% menunjukkan bahwa peak gugus OH semakin tidak terdeteksi. Keberadaan gugus OH pada molekul PHA semakin melemah karena adanya penambahan pemlastis DMF. Penambahan DMF menyebabkan terbentuknya ikatan hidrogen yang menyebabkan atom H pada gugus OH molekul PHA semakin menjauh dengan atom O (lihat Gambar 9). Akibatnya intensitas gugus OH semakin melemah yang ditunjukkan dengan tidak munculnya peak pada bilangan gelombang untuk gugus OH (~2974 cm-1).
52
DMF merupakan senyawa yang mempunyai struktur molekul aromatis orto, yaitu molekul dengan rantai karbon melingkar dengan dua cabang pada dua atom karbon berurutan (lihat Gambar 9). Adanya gugus aromatis orto ditunjukkan pada spektra FTIR bioplastik dengan konsentrasi DMF 25%, yaitu adanya peak yang muncul pada bilangan gelombang 735-770 cm-1 (Nur, 1985). Sedangkan pada spektra FTIR bioplastik tanpa pemlastis (0% DMF) tidak ditemukan adanya gugus aromatis. Hasil identifikasi gugus fungsi yang tersaji pada Tabel 8 menunjukkan adanya gugus fungsi yang tidak terdapat pada molekul PHA seperti gugus N-H (amida protein) dan N=O. Gugus fungsi tersebut diduga berasal dari pengotor yang belum terpisahkan pada saat proses hilir PHA. Pengotor tersebut dapat berupa protein yang berasal dari pecahan sel (cell debris). Lafferty et al. (1988) menyatakan bahwa PHB dilapisi oleh satu lapisan membran yang mengandung protein sehingga dikatakan granula PHB terdiri dari 98% PHB dan 2% protein. Dari spektra FTIR bioplastik tanpa pemlastis (0% DMF) terlihat adanya gugus metil (CH3) selain gugus karbonil ester (C=O), OH, CH, CH2, dan ikatan polimerik C-O-C. Adanya gugus metil memperkuat dugaan bahwa PHA yang digunakan untuk membuat bioplastik merupakan jenis PHB. Atifah (2006) juga menyatakan bahwa kultivasi fed-batch dengan bakteri Ralstonia eutropha dan sumber karbon hidrolisat pati sagu akan menghasilkan PHA jenis PHB. Sifat Termal Analisa sifat termal dilakukan dengan menggunakan Differential Scanning Calorimetry (DSC) dengan merek Mettler Toledo. Standar pengujian yang digunakan adalah ASTM 3418-99. Sifat termal yang dianalisa adalah suhu pelelehan (melting point, Tm) dan suhu transisi kaca (glass transition temperature, Tg). Tg dan Tm merupakan sifat termal yang penting untuk dianalisa guna mengetahui kemampuan proses suatu polimer. Menurut Allcock dan Lampe (1981), Tg merupakan suhu
53
peralihan dari bentuk kaca ke karet (rubber) untuk polimer amorf atau peralihan dari kaca ke termoplastik untuk polimer kristalin. Sedangkan T m merupakan suhu dimana polimer berubah bentuk menjadi cair (liquid). Ilustrasi atas Tg dan Tm untuk polimer amorf dan kristalin dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Perbedaan transisi antara polimer amorf dan kristalin (Allcock dan Lampe, 1981) Menurut Jandali dan Widmann (1995), analisa sifat termal merupakan suatu teknik untuk megetahui karakteristik suatu bahan berdasarkan fungsi suhu dan waktu. Pada teknik ini, sampel dipanaskan atau didinginkan pada laju konstan. Salah satu teknik analisis sifat termal adalah DSC (Diffrential Scanning Calorimetry). DSC mengukur sejumlah energi (panas) yang diserap atau dilepaskan oleh suatu sampel ketika dipanaskan, didinginkan atau didiamkan pada suhu konstan. DSC juga mengukur suhu sampel pada kondisi tersebut. Hasil analisa sifat termal bioplastik PHA pati sagu dengan DSC dapat dilihat pada Gambar 14.
54
73,76 J/g
168,72oC
(a)
75,37 J/g
166,71oC
(b)
Gambar 14. Spektra DSC bioplastik PHA pati sagu 0% DMF (a) dan 25% DMF (b)
55
Hasil analisa sifat termal (Gambar 14) menunjukkan bahwa kedua bioplastik baik yang dibuat tanpa pemlastis (0% DMF) maupun dengan pemlastis (25% DMF) mempunyai dua suhu pelelehan yang ditandai dengan munculnya dua peak pada masing-masing spektra. Bioplastik 0% DMF meleleh pada suhu 149,84 dan 168,72oC. Sedangkan bioplastik 25% DMF meleleh pada suhu 122,55 dan 166,71oC. Peak yang terlihat pada spektra menuju ke arah bawah dengan tingkat ketajaman yang berbeda. Peak yang menuju ke arah bawah menunjukkan bahwa sampel menyerap energi (kalor) sehingga entalpi akan berubah dan prosesnya disebut endoterm. Energi yang diserap oleh sampel menyebabkan terjadinya pelelehan sampel. Oleh karena itu suhu pada saat tercapai puncak absorbsi energi kalor (peak) disebut sebagai suhu pelelehan (Tm). Kemunculan dua peak yang berbeda pada masing-masing spektra DSC bioplastik menunjukkan bahwa pada bioplastik yang diuji terdapat dua buah komponen. Satu komponen lebih dominan yang ditandai dengan peak tajam. Komponen tersebut diduga PHA yang merupakan bahan baku bioplastik. PHA yang dimaksud diduga termasuk jenis PHB karena suhu pelelehannya (168,72 dan 166,71oC) mendekati suhu pelelehan PHB murni. Atifah (2006), menyatakan bahwa PHB murni mempunyai suhu pelelehan sebesar 170,15oC. Dugaan ini diperkuat oleh hasil analisa gugus fungsi yang telah dilakukan sebelumnya. Berdasarkan jenis-jenis ikatan yang teridentifikasi diketahui bahwa PHA pati sagu yang digunakan untuk membuat bioplastik termasuk dalam jenis PHB. Penjelasan di atas menyatakan bahwa peak yang tajam menunjukkan adanya komponen dominan berupa PHA. Sedangkan komponen lain yang komposisinya lebih rendah, ditunjukkan oleh peak yang lemah, diduga merupakan pengotor. Adanya pengotor tersebut didasarkan pada kemurnian PHA pati sagu yang digunakan untuk membuat bioplastik sekitar 70-80%. Selain itu adanya pengotor juga teridentifikasi dari adanya gugus fungsi non-PHA pada karakterisasi dengan FTIR yang telah dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu suhu pelelehan yang ditunjukkan oleh peak yang lemah dianggap bukan suhu pelelehan bioplastik yang
56
dibuat. Sebaliknya suhu pelelehan bioplastik ditunjukkan oleh peak yang tajam. Bioplastik yang dibuat tanpa pemlastis (0% DMF) mempunyai suhu pelelehan 168,72oC. Sedangkan bioplastik yang dibuat dengan konsentrasi DMF 25% mempunyai suhu pelelehan 166,71. Bioplastik yang dibuat dengan penambahan pemlastis DMF mempunyai suhu pelelehan yang lebih rendah dari pada bioplastik yang dibuat tanpa pemlastis. Penurunan tersebut dikarenakan DMF yang ditambahkan membentuk interaksi molekuler dengan rantai polimer PHA (Gambar 9). Interaksi tersebut berupa pembentukan ikatan hidrogen antara PHA dan DMF. Interaksi yang terjadi menyebabkan struktur molekul polimer PHA menjadi kurang teratur atau dengan kata lain jumlah fraksi amorf meningkat sedangkan fraksi kristalin menurun. Penurunan jumlah fraksi kristalin inilah yang menyebabkan penurunan suhu pelelehan. Pernyataan tersebut sejalan dengan Billmeyer (1994) yang menyatakan bahwa jika suatu polimer semikristalin mendapat tambahan pemlastis maka akan terjadi penurunan suhu pelelehan (Tm) dan derajat kristalinitas. Pemlastis akan lebih banyak berinteraksi dengan fase amorf dan sangat sedikit yang berinteraksi dengan fase kristalin. Menurut Jandali dan Widmann (1995), suhu transisi kaca (Tg) dapat dianalisa dengan menggunakan DSC. Suhu transisi kaca terdeteksi oleh adanya peak yang berbentuk seperti anak tangga (tanpa puncak) yang menunjukkan terjadinya peralihan bentuk dari kaca ke termoplastik atau karet. Pada hasil analisa sifat termal bioplastik (Gambar 14) tidak ditemukan peak yang menunjukkan Tg. Ketidakmunculan Tg mungkin disebabkan selang temperatur uji antara -90 sampai 200 tidak mencakup keberadaan Tg. Namun menurut Lee (1996) dan Poirier et al. (1995), PHB mempunyai Tg sekitar 5oC. Dengan demikian, tidak terdeteksinya nilai Tg mungkin disebabkan oleh kemampuan respon alat yang digunakan masih kurang sehingga tidak bisa menangkap perubahan entalpi pada saat terjadi transisi sampel dari kaca ke termoplastik.
57
Derajat Kristalinitas Pengukuran derajat kristalinitas dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan berdasarkan perubahan entalpi yang terjadi saat tercapai suhu pelelehan yang terukur pada saat pengukuran dengan DSC. Metode ini mengacu pada Hahn et al. (1995) yang menyatakan bahwa PHA dengan derajat kristalinitas 100% akan mempunyai perubahan entalpi sebesar 146 J/g. Dari hasil analisa DSC (Gambar 14) diketahui bahwa perubahan entalpi pada saat tercapai suhu pelelehan adalah 73,76 J/g untuk bioplastik 0% DMF dan 75,37 J/g untuk bioplastik 25% DMF. Dengan menggunakan metode perbandingan maka dapat diperoleh nilai derajat kristalinitas. Bioplastik 0% DMF mempunyai derajat kristalinitas sebesar 50,52% sementara bioplastik 25% DMF sebesar 51,62%. Metode pendekatan yang dilakukan menghasilkan derajat kritalinitas yang lebih besar untuk bioplastik yang dibuat dengan penambahan pemlastis. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip kerja pemlastis. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa penambahan pemlastis menyebabkan peningkatan jumlah fraksi amorf sehingga menurunkan suhu pelelehan dan derajat kristalinitas (Billmeyer,1994). Oleh karena itu metode pendekatan yang digunakan tersebut tidak cocok untuk digunakan. Knapczyk dan Simon (1992) menambahkan bahwa polimer termoplastik yang kristalinitasnya tinggi meleleh lebih tajam pada suhu tinggi dari pada polimer amorf. Berdasarkan hal tersebut maka analisa derajat kristalinitas lebih didasarkan pada ketajaman peak yang terbentuk pada saat suhu pelelehan. Dari hasil analisa DSC (Gambar 14) terlihat bahwa peak suhu pelelehan bioplastik tanpa pemlastis (0% DMF) lebih tajam dari pada bioplastik dengan konsentrasi DMF 25%. Peak yang lebih tajam menunjukkan bahwa polimer mempunyai kristalinitas tinggi sehingga bioplastik 0% DMF mempunyai derajat kristalinitas yang lebih besar dari pada bioplastik 25% DMF. Pernyataan ini juga sejalan dengan Allcock dan Lampe (1981) yang menyatakan bahwa pada suhu pelelehan, polimer kristalin meleleh menjadi cairan viskous secara lebih tajam dari pada polimer amorf.
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa
58
penambahan pemlastis DMF menyebabkan derajat kristalinitas bioplastik menjadi turun.
59
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Kultivasi secara fed-batch dengan memanfaatkan bakteri Ralstonia eutropha dan sumber karbon hidrolisat pati sagu dapat menghasilkan PHA yang mampu dibuat bioplastik dengan teknik solution casting. Penggunaan PHA sebanyak 0,2850 g, perbandingan PHA dengan Kloroform-DMP 1:30, dan ukuran cetakan 45x190 mm2 menjadikan bioplastik yang dihasilkan termasuk dalam jenis film plastik dengan ketebalan sekitar 0,03 mm. Bioplastik yang berhasil terbentuk adalah bioplastik yang dibuat dengan konsentrasi DMP 0% (kontrol), 12,5%, 25%, dan 37,5% (b/b) dari jumlah PHA. Sedangkan bioplastik yang dibuat dengan konsentrasi DMP 50% tidak terbentuk. Kuat tarik bioplastik semakin menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi DMP. Bioplastik dengan konsentrasi DMP 0%, 12,5%, 25%, dan 37,5% mempunyai kuat tarik sebesar 3,571±2,269 MPa, 3,592±2,104 MPa 3,382±2,656 MPa, dan 3,044±2,160 MPa. Peningkatan konsentrasi DMP sampai 25% menyebabkan perpanjangan putus bioplastik semakin meningkat. Namun perpanjangan putus bioplastik menurun setelah konsentrasi DMP dinaikkan lagi menjadi 37,5%. Bioplastik dengan konsentrasi DMP 0%, 12,5%,
25%,
7,000±3,430%,
dan
37,5%
mempunyai
12,660±5,775%,
perpanjangan
23,880±4,252%,
dan
putus
sebesar
22,910±9,398%.
Berdasarkan karakteristik mekanik tersebut dinyatakan bahwa bioplastik yang dibuat dengan konsentrasi DMP 25% adalah yang terbaik. Bioplastik yang dibuat tanpa pemlastis (0% DMP) memiliki gugus fungsi karbonil ester (C=O), ikatan polimerik C-O-C, OH, CH, CH2, CH3 yang merupakan gugus fungsi dominan pada PHA jenis PHB. Penggunaan konsentrasi DMP sebesar 25% menyebabkan intensitas gugus fungsi OH pada PHA semakin melemah akibat pembentukan ikatan hidrogen antara PHA dan DMP. Suhu pelelehan bioplastik yang dibuat tanpa pemlastis lebih tinggi dari pada bioplastik yang dibuat dengan konsentrasi DMP 25%, yaitu 168,72oC
60
untuk bioplastik tanpa pemlastis dan 166,71oC untuk bioplastik dengan konsentrasi DMP 25%. Demikian halnya dengan derajat kristalinitas, bioplastik tanpa pemlastis mempunyai derajat kristalinitas yang lebih tinggi dari pada bioplastik dengan konsentrasi DMP 25%.
B. Saran 1. Perlu dilakukan optimasi kultivasi dan proses hilir PHA agar dapat dihasilkan PHA yang lebih baik kuantitas maupun kualitasnya sehingga mampu menyetarai kualitas kuat tarik bioplastik dari PHB murni. 2. Perlu dilakukan pengkajian untuk mengetahui waktu optimal yang dibutuhkan untuk melarutkan PHA dalam kloroform. 3. Perlu pengembangan teknik pembuatan bioplastik yang lain, seperti injection molding atau molten polymer, agar dihasilkan bioplastik dengan karakteristik mekanik lebih baik.
61
DAFTAR PUSTAKA Abner, L. dan Miftahorrahman. 2002. Keragaman Industri Sagu Indonesia. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Vol 8 No 1. Juni 2002. Akmaliah, P. 2003. Pengaruh Konsentrasi Pemlastis Dimetil Ftalat Terhadap Karakteristik Bioplastik Dari Polyhydroxyalkanoates (PHA) Yang Dihasilkan Ralstonia Eutropha Pada Substrat Hidrolisat Minyak Sawit. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Akyuni, D. 2004. Pemanfaatan Pati Sagu (Metroxylon sp.) untuk Pembuatan Sirup Glukosa Menggunakan Į-Amilase dan Amiloglukosidase. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian-Institut Pertanian Bogor, Bogor. Allcock, H.R. dan F.W. Lampe. 1981. Contemporary Polymer Chemistry. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey 07632 Anderson, A.J. dan E.A. Dawes. 1990. Occurrence, Metabolism, Metabolic Role, and Industrial Uses of Bacterial Polyhydroxyalkanoates. Microbiol Rev. 54:450–472. Anonim. 2006. Bioplastics. http://www.wikipedia.org [26 Juni 2006] Anonim. 2002. Menghancurkan Plastik dengan Air. http://www.kompas.com [26 Oktober 2002]. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati dan Budiyanto S. 1989. Analisa Pangan. Bogor: IPB Press. Atifah, N. 2006. Pemanfaatan Hidrolisat Pati Sagu Sebagai Sumber Karbon Pada Produksi Bioplastik Poli-(3-Hidroksialkanoat) Secara Fed-Batch oleh Ralstonia eutropha. Tesis. Fakultas Teknologi Pertanian-Institut Pertanian Bogor, Bogor. Atkinson, B. dan F. Mavituna. 1991. Biochemical Engineering and Biotechnology Handbook. 2 nd edition. M Stockton Press, New York. Ayorinde, F.O., K.A. Saeed, E. Price, A. Morrow, W.E. Collins, F. Mclnnis, S.K. Pollack dan B. E. Eribo. 1998. Production of Poly-ȕ-Hydroxybutirate from saponified Vernonia galamensis oil by Alcaligenes eutrophus. Journal of Industrial Microbiology and Biotechnology. (21):46-50. Berghmans, E. 1981. Carbohydrate Simposium in Indonesia “Starch Hydrolisates Improved Sweeteners Obtained by The Use Enzyme”. Novo Industry AS. Novo Alle, Denmark. Billmayer, F.W. Jr. 1971. Text Book of Polymer Science. John Wiley and Sons, New York.
62
Billmeyer, F.W. 1994. Text of Polymer Science. John Wiley and Sons., Chapters 7, 12 and 17. Bourque, D., Y. Pomerleau, dan D. Groleau. 1995. High-Cell-Density Production of Poly- -hydroxybutyrate (PHB) from Methanol by Methylobacterium extorquens: Production of High-Molecular-Mass PHB. Appl. Microbiol. Biotechnol. 44, 367-376. Brandl H., Gross RA, Lenz RW dan Fuller RC. 1990. Plastics from Bacteria and for Bacteria : Poly(ß-hydroxyalkanoates) as Natural, Biocompatible, and Biodegradable Polyesters. Adv Biochem Eng/Biotechnol 41:77. Braunegg, G., Lefebvre, G., and Genser, K. 1998. Polyhydroxyalkanoates, Biopolyesters from Renewable Resources: Physiological and Engineering Aspects. Journal of Biotechnology. 65, 127-161. Choi, J. dan Lee, S.Y. 1999. Efficient and Economical Recovery of Poly(3Hydroxybutyrate) from Recombinant Escherichia coli by Simple Digestion with Chemicals. Biotechnol Bioeng 62:546-553. Cullity, B. D. dan S. R. Stock. 2001. Elements of X-Ray Diffraction, 3rd Edition. Prentice Hall, Inc. New Jersey Fessenden dan Fessenden, 1986. Datsko, J. 1996. Material Properties and Manufacturing Processes. John Wiley and Sons, New York. Doi, Y. 1990. Microbial Polyesters. VCH Publishers, Inc. New York, USA. Fullbrook, P.D. 1984. The Enzyme Production of Glucose Syrups. In Dzieldzic, S. Z. dan M. W. Kearsley (eds.). Glucose Syrups: Science and Technology. Elsevier Applied Science Publisher, London. Hahn SK, Chang YK dan Lee SY. 1995. Recovery and characterization of poly (3-hydroxybutyric acid) synthesized in Alcaligenes eutrophus and recombinant Escherichia coli. Applied and Environmental Microbiology 61(1):34-39. Januari 1995. Hammer, C.F. 1978. Polymer Blends. vol.2, 17, 219, D. R. Paul and S. Newman, eds. New York, Academic Press. Haryadi. 2004. 2010 Masih Defisit Beras: Kembangkan Sagu untuk Tekan Impor Beras dalam Jangka Panjang. http://www.pikiran-rakyat.com [10 Juni 2004]. Haryanto, B. Dan P. Pangloli. 2002. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius, Yogyakarta.
63
Holmes PA. 1988. Biologically produced PHA polymers and copolymers. In: Developments in crystalline polymers, Bassett DC (ed), Elsevier, London 2: pp. 1-65. Hrabak, O. 1992. Industrial Production of Poly-3-hydroxybutyrate. FEMS Microbiology Reviews. 103, 251-256. Imamura, T., Yano, T., Kobayashi, S., Suda, S., dan Honma, T. 2001. Method for producing microbial polyester. United States Patent Application : 20010031488. Jandali, M.Z. dan G. Widmann. 1995. Thermoplastics : Collected Applications Thermal Analysis. Mettler Toledo. Switzerland. John GH, Kriegh NR, Sneath PHA, Staley JT, Wiliams ST. 1994. Bergey¶s Manual of Determinative Bacteriology. Ed ke-9. Baltimore, Maryland : William & Wilkins. Kalnins, M., I. Øics, L. Savenkova dan U. Viesturs. 1999. Environmentally Degradable Polymeric Composite Materials. Riga Technical University, Latvia; Latvian University, Latvia Kessler B, Weisthuis R, Witholt B dan Eggink G. 2001. Production of Microbial Polyester: Fermentation and Downstream Processes. Di dalam: Scheper T, managing editor. Biopolyester: Advances in Biochemical Engineering/Biotechnology. Vol 71. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Khopkar, S.M. 2002. Konsep Dasar Kimia Analitik. UI-Press, Jakarta. Kim, B.S., S.C. Lee, S.Y. Lee, H.N. Chang dan S.I. Woo. 1994. Production of Poly-3-Hydroxybutiric Acid by Fed Batch Culture of Alcaligenes eutrophus with Glucose Concentration Control. Biotechnol. Bioeng. 43:892-898. Klem JK. 1999. Alcaligenes. Di dalam: Robinson RK, Batt CA, Patel PP. Encyclopedia of Food Microbiology. Vol 1. 2000. London: Academic Press. Knapczyk, J. K. dan R. H. M. Simon. Synthetic Resins and Plastic. Di dalam. J. A. Kent (ed). 1992. Riedel’s Handbook of Industrial Chemistry 9th Edition. Van Nostrans Reinhold. New York. Lafferty RM, Korstko B dan Korsatko W. (1988). Microbial Production of Poly (3-hydroxybutyric acid). In: Rehm H.J. and Reed G. eds. Biotechnology, Vol. 6. Verlagsgesellschaft, Weinheim, Germany. pp. 135-176. Lee, S.Y. 1996. Bacterial Polyhydroxyalkanoates. Biotechnol. Bioeng. 49:1-14.
64
Lee, S.Y. dan J. Choi. 2001. Production of Microbial Polyester by Fermentation of Recombinant Microorganism. In Babel, W dan A. Steinbuchel. Biopolyester: Advances in Biochemical Engineering/Biotechnology. Vol 71. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Lee, S.Y., Choi, J., Han, K. dan Song, J.Y. 1999. Removal of Endotoxin During Purification of Poly-3-hydroxybutyrate from Gram Negative Bacteria. Applied and Environmental Microbiology 65(6):2762-2764. Lefebvre G, Rocher M dan Braunegg G. 1997. Effect of low dissolved-oxygen concentrations on poly-(3-hydroxybutyrate-co-hydroxyvalerate) production by Alcaligenes eutrophus. Applied and Environmental Microbiology. Vol 63(3): 827-833. Maret 1997 Lindsay K. 1992. ‘Truly degradable’ resins are now truly commercial. Modern Plastics 2: 62-64. Madison, L.L. dan Gjalt W. Huisman. 1999. Metabolic Engineering of Poly(3Hydroxyalkanoates): From DNA to Plastic. Microbiology and Molecular Biology Reviews, March 1999, p. 21-53, Vol. 63, No. 1 Merck. 1999. Chemical Reagents. Merck and Co., Inc. USA. Mohsenin, N. M. 1984. Electromagnetic Radiation properties of Food and Agriculture Products. Gordon and Breach Science Publisher, New York. Nielsen J dan Villadsen J. 1993. Bioreactors: Description and Modeling. Di dalam : Rehm HJ, Reed G, Pühler A dan Stadler P, editor. Biotechnology. Bioprocessing. Ed ke-2 Vol 3. VCH, Weiheim. NIIR board. 2006. The Complete Book on Biodegradable Plastics and Polymers (Recent Developments, Properties, Analysis, Materials & Processes). Asia Pacific Business Press Inc. Nur, M.A. 1989. Spektroskopi. Pusat Antar Universitas-Institut Pertanian Bogor (PAU-IPB), Bogor. Poirier, Y., N. Erard dan J. MacDonald. 2001. Synthesis of Polyhydroxyalkanoate in the Peroxisome of Saccharomyces cerevisiae by Using Intermediates of Fatty Acid ȕ-Oxidation. Applied and Environmental Microbiology 67(11): 5254–5260. Poirier, Y., Nawrath C., Somerville C. 1995. Production of Polyhydroxyalkanoates, a Family of Biodegradable Plastics and Elastomers, in Bacterial and Plant. Biotechnol. 13: 142-150
65
Punrattanasin, W. 2001. The Utilization of Activated Sludge Polyhydroxyalkanoates for the Production of Biodegradable Plastics. Disertasi. Faculty of the Virginia Polytechnic Institute and State University. Rabek JF. 1983. Experimental Methods in Polymer Chemistry, Physical Principles and Applications. New York : A Wiley-Interscience Publication. Stevens, M.P. 2001. Kimia Polimer. PT Pradya Paramita, Jakarta. Sukardjo. 1985. Ikatan Kimia. Rineka Cipta, Yogyakarta. Surdia, T. dan S. Saito. 1995. Pengetahuan Bahan Teknik. PT Pradya Paramita, Jakarta. Sutasurya, D. 2006. Dampak Tipuan dari Sampah. http://www.terranet.or.id [27 Agustus 2006]. Sutiani, A.1997. Biodegradasi Polyblend Polystirene-Pati. Bidang Khusus Kimia Fisik. Program Studi Kimia, Program Pasca Sarjana ITB, Bandung. Waddington, S.D. 2000. Process for Preparing Films and Coatings. US Patent No. 663088 filed on 1997-07-07. Winarno, F.G. 1989. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
66
Lampiran 1. Diagram alir pembuatan hidrolisat pati sagu.
Pati sagu Air
Suspensi pati 30% CaCO3 Set pH 6-6,5
Gelatinisasi alfa amilase 1,75 U/g
Likuifikasi 90-95oC ~ 210 menit
positif
Uji iod HCl 0,2N
negatif
Set pH 4-4,5 AMG 0,3 U/g
Sakarifikasi 60oC, 48 jam, 150 rpm
Inaktivasi enzim 105oC ~ 5 menit Arang aktif 1-2%
Pemanasan 80oC~ 1 jam
Penyaringan vakum
Sirup glukosa
67
Lampiran 2. Prosedur analisis hidrolisat pati sagu a. Total gula dengan metode Fenol-Sulfat (Apriyantono et al. 1989) Prinsip metode ini adalah bahwa gula sederhana, oligosakarida, polisakarida dan turunannya dapat bereaksi dengan fenol dalam asam sulfat pekat menghasilkan warna orange-kekuningan yang stabil. Pembuatan kurva standar Sebanyak 2 ml larutan glukosa standar yang mengandung 0, 10, 20, 30, 40, dan 60 µ glukosa masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu ditambahkan 1 ml larutan fenol 5% dan dikocok.
Selanjutnya
ditambahkan dengan cepat 5 ml larutan asam sulfat pekat dan dibiarkan selama 10 menit, dikocok lalu dipanaskan dalam penangas air selama 15 menit.
Setelah dingin, absorbansi larutan standar diukur pada panjang
gelombang 490 nm dan dibuat kurva standar yang menunjukkan hubungan konsentrasi glukosa dengan absorbansi. Penetapan sampel Untuk menetapkan total gula, sampel harus berupa cairan yang jernih. Sebanyak 2 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu ditambahkan 1 ml larutan fenol 5% dan dikocok. Selanjutnya ditambahkan dengan cepat 5 ml larutan asam sulfat pekat dan dibiarkan selama 10 menit, dikocok lalu dipanaskan dalam penangas air selama 15 menit.
Setelah dingin,
absorbansinya diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm. Sampel sebelumnya diencerkan dengan tingkat pengenceran yang sesuai sehingga dapat terbaca pada kisaran 20-80% absorban.
Nilai rata-rata
absorbansi sampel hasil pengukuran dimasukkan ke persamaan kurva standar sehingga didapatkan nilai konsentrasi glukosa. b. Total nitrogen dengan metode Kjeldahl (Apriyantono et al. 1989) Sejumlah kecil sampel (kira-kira akan membutuhkan 3-10 ml HCl 0,01 N atau 0,02 N) dipindahkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml. Ke dalam labu ditambahkan 1,9 ± 0,1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO dan 2,0 ± 0,1 ml H2SO4. Jika sampel lebih dari 15 mg maka ditambahkan 0,1 ml H2SO4 untuk setiap kelebihan 10 mg bahan organik. Sampel didihkan dengan bantuan batu
68
didih selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih. Selanjutnya sampel didinginkan dan ditambahkan sejumlah kecil air secara perlahan-lahan kemudian didinginkan. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu dicuci dan dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air, air cucian dipindahkan ke dalam alat destilasi. Erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (campuran metil merah 0,2% dalam alkohol : metilen blue 0,2% = 2:1) diletakkan di bawah kondensor dimana ujung tabung kodensor harus terendam di bawah larutan H3BO3. Ke dalam erlenmeyer ditambahkan NaOH-Na2S2O3. Destilasi dilakukan sampai tertampung kira-kira 15 ml destilat.
Tabung
kondensor dibilas dengan air dan bilasannya ditampung dalam Erlenmeyer yang sama. Isi Erlenmeyer diencerkan kira-kira sampai 50 ml lalu dititrasi dengan HCl 0,02N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Prosedur yang sama juga dilakukan untuk penetapan blanko. % N = (ml HCl sampel - ml HCl blanko) x N HCl x 14,007 x 100 mg sampel
69
Lampiran 3. Diagram alir pembuatan bioplastik (modifikasi Akmaliah, 2003)
Serbuk PHA (0,2850 g)
Kloroform
Pencampuran dan Pengadukan (1,5 jam; 50oC)
Dimetil Ftalat
Pencampuran dan Pengadukan (0,5 jam; 50oC)
Penuangan Pada Plat Kaca
Penguapan Pelarut
Bioplastik
70
Lampiran 4. Perhitungan formulasi bioplastik Basis : Jumlah PHA = 0.2850 g Konsentrasi DMF = 0 %, 12.5 %, 25 %, 37.5 %, dan 50 % PHA : (Kloroform + DMF) = 1 : 30 Dicari : Jumlah DMF dan kloroform ? a. % DMF =
Jumlah DMF ( g ) x 100% Jumlah PHA ( g ) + Jumlah DMF ( g )
<=> Jumlah DMF ( g ) =
% DMF x Jumlah PHA ( g ) 1 − % DMF
b. Jumlah Kloroform ( g ) = ( Jumlah PHA ( g ) x 30) − Jumlah DMF ( g )
Catatan : Pada saat pembuatan bioplastik, DMF dan kloroform yang digunakan dihitung dengan satuan ml. Dimana bobot jenis DMF adalah 1,19 g/ml dan kloroform 1,47 g/ml.
71
Lampiran 5a. Hasil pengukuran kuat tarik dan perpanjangan putus bioplastik dari PHA pati sagu (konsentrasi DMF 0%)
Pada hasil pengukuran diatas, faktor ketebalan (a) diabaikan. Dibawah ini nilai kuat tarik setelah dikoreksi dengan faktor ketebalan: Test No Bno 11 F000a-1 12 F000a-2 13 F000a-3 14 F000a-4 16 F000b-6 Mean: Minimum: Maximum: Std. Dev.:
a (mm) 0,034 0,034 0,034 0,034 0,034 0,034 0,034 0,034 0,000
b (mm) 7,000 7,000 7,000 7,000 7,000 7,000 7,000 7,000 0,000
"M (MPa) 2,311 1,891 6,092 1,576 5,987 3,571 1,576 6,092 2,269
Fmax (Kgf) 0,550 0,450 1,450 0,375 1,425 0,850 0,375 1,450 0,540
Kuat tarik dihitung dengan persamaan dibawah ini: Tensile strength ( M ) =
Maximum load ( F max) Thickness (a) x Width (b)
72
Lampiran 5b. Hasil pengukuran kuat tarik dan perpanjangan putus bioplastik dari PHA pati sagu (konsentrasi DMF 12,5%)
Pada hasil pengukuran diatas, faktor ketebalan (a) diabaikan. Dibawah ini nilai kuat tarik setelah dikoreksi dengan faktor ketebalan: Test No 6 7 8 9 10 Mean: Minimum: Maximum: Std. Dev.:
Bno F125a-1 F125a-2 F125a-3 F125b-4 F125b-5
a (mm) 0,034 0,034 0,034 0,034 0,034 0,034 0,034 0,034 0,000
b (mm) 7,000 7,000 7,000 7,000 7,000 7,000 7,000 7,000 0,000
"M (MPa) 6,828 2,311 3,571 1,261 3,992 3,592 1,261 6,828 2,104
Fmax (Kgf) 1,625 0,550 0,850 0,300 0,950 0,855 0,300 1,625 0,501
Kuat tarik dihitung dengan persamaan dibawah ini: Tensile strength ( M ) =
Maximum load ( F max) Thickness (a) x Width (b)
73
Lampiran 5c. Hasil pengukuran kuat tarik dan perpanjangan putus bioplastik dari PHA pati sagu (konsentrasi DMF 25%)
Pada hasil pengukuran diatas, faktor ketebalan (a) diabaikan. Dibawah ini nilai kuat tarik setelah dikoreksi dengan faktor ketebalan: Test No 17 18 20 21 22 Mean: Minimum: Maximum: Std. Dev.:
Bno F250a-1 F250a-2 F250b-4 F250b-5 F250b-6
a (mm) 0,034 0,034 0,034 0,034 0,034 0,034 0,034 0,034 0,000
b (mm) 7,000 7,000 7,000 7,000 7,000 7,000 7,000 7,000 0,000
"M (MPa) 2,836 1,681 2,941 1,471 7,983 3,382 1,471 7,983 2,656
Fmax (Kgf) 0,675 0,400 0,700 0,350 1,900 0,805 0,350 1,900 0,632
Kuat tarik dihitung dengan persamaan dibawah ini: Tensile strength ( M ) =
Maximum load ( F max) Thickness (a) x Width (b)
74
Lampiran 5d. Hasil pengukuran kuat tarik dan perpanjangan putus bioplastik dari PHA pati sagu (konsentrasi DMF 37,5%)
Pada hasil pengukuran diatas, faktor ketebalan (a) diabaikan. Dibawah ini nilai kuat tarik setelah dikoreksi dengan faktor ketebalan: Test No Bno 23 F375a-1 24 F375a-2 25 F375a-3 26 F375b-4 27 F375b-5 Mean: Minimum: Maximum: Std. Dev.:
a (mm) 0,034 0,034 0,034 0,034 0,034 0,034 0,034 0,034 0,000
b (mm) 7,000 7,000 7,000 10,000 10,000 8,200 7,000 10,000 1,643
"M (MPa) 1,996 6,723 2,311 3,015 1,176 3,044 1,176 6,723 2,160
Fmax (Kgf) 0,475 1,600 0,550 1,025 0,400 0,810 0,400 1,600 0,505
Kuat tarik dihitung dengan persamaan dibawah ini: Tensile strength ( M ) =
Maximum load ( F max) Thickness (a) x Width (b)
75
Lampiran 6a. Hasil pengukuran kuat tarik dan perpanjangan putus bioplastik dari PHB murni (konsentrasi DMF 0%)
Pada hasil pengukuran diatas, faktor ketebalan (a) diabaikan. Dibawah ini nilai kuat tarik setelah dikoreksi dengan faktor ketebalan: Test No Bno 28 B000A-1 29 B000A-2 30 B000A-3 31 B000B-4 33 B000B-6 Mean: Minimum: Maximum: Std. Dev.:
a (mm) 0,031 0,031 0,031 0,031 0,031 0,031 0,031 0,031 0,000
b (mm) 7,000 7,000 7,000 10,000 10,000 8,200 7,000 10,000 1,643
"M (MPa) 9,217 10,945 11,521 6,452 4,194 8,465 4,194 11,521 3,096
Fmax (Kgf) 2,000 2,375 2,500 2,000 1,300 2,035 1,300 2,500 0,468
Kuat tarik dihitung dengan persamaan dibawah ini: Tensile strength ( M ) =
Maximum load ( F max) Thickness (a) x Width (b)
76
Lampiran 6b. Hasil pengukuran kuat tarik dan perpanjangan putus bioplastik dari PHB murni (konsentrasi DMF 25%)
Pada hasil pengukuran diatas, faktor ketebalan (a) diabaikan. Dibawah ini nilai kuat tarik setelah dikoreksi dengan faktor ketebalan: Test No Bno 35 B250A-2 36 B250A-3 38 B250B-5 39 B250B-6 40 B250B-7 Mean: Minimum: Maximum: Std. Dev.:
a (mm) 0,031 0,031 0,031 0,031 0,031 0,031 0,031 0,031 0,000
b (mm) 7,000 7,000 7,000 10,000 10,000 8,200 7,000 10,000 1,643
"M (MPa) 5,300 4,032 3,687 2,177 2,903 3,620 2,177 5,300 1,182
Fmax (Kgf) 1,150 0,875 0,800 0,675 0,900 0,880 0,675 1,150 0,174
Kuat tarik dihitung dengan persamaan dibawah ini: Tensile strength ( M ) =
Maximum load ( F max) Thickness (a) x Width (b)
77