PENGARUH DURASI TAHAP PENGISIAN DAN SIKLUS PENDEK DALAM SEQUENCING BATCH REACTOR (SBR) TERHADAP PEMBENTUKAN POLIHIDROKSIALKANOAT (PHA) Neni Damajanti 1) dan Tjandra Setiadi 2) 1)
Program Studi Teknik Kimia Universitas Muhammadiyah Purwokerto Jl. Raya Dukuhwaluh PO Box 202 Purwokerto, 53182 2) Departemen Teknik Kimia, Institut Teknologi Bandung Labtek X, Jl. Ganesa 10 Bandung, 40132
ABSTRAK Polihidroksialkanoat (PHA) merupakan salah satu jenis plastik pengganti plastik konvensional, yang dapat diuraikan oleh mikroorganisme di semua lingkungan. Bakteri yang terdapat dalam sistem lumpur aktif dapat dimanfaatkan untuk memproduksi PHA. Penggunaan limbah industri dapat menekan harga bahan baku yang relatif tinggi, sehingga harga jual plastik biodegradabel ini menjadi lebih murah. Sequencing batch reactor (SBR) sebagai salah satu modifikasi sistem lumpur aktif diharapkan mampu mengatasi kelemahan sistem lumpur aktif konvensional, sehingga PHA dapat terakumulasi semaksimal mungkin. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh durasi tahap pengisian dan siklus pendek terhadap jenis dan banyaknya PHA yang diperoleh. Siklus pendek adalah siklus yang terjadi bila proses aerob dan anaerob dalam tahap reaksi dilakukan berselang-seling. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa durasi tahap pengisian yang semakin panjang memberikan hasil PHA yang semakin kecil, namun penyusutan COD yang diperoleh semakin baik. Disamping itu, siklus pendek memberikan hasil PHA yang lebih kecil dibandingkan siklus biasa, namun penyusutan TKN yang diperoleh semakin baik. Kandungan hidroksivalerat (HV) terbesar diperoleh pada tahap pengisian terpanjang dan siklus pendek. Kata Kunci : PHA, SBR, siklus pendek, tahap pengisian PENDAHULUAN Plastik merupakan salah satu penemuan dibidang kimia yang menjadikan hidup manusia lebih mudah. Penggunaan plastik yang semakin meluas disebabkan oleh kelebihan yang dimilikinya, yaitu plastik mudah dibuat dalam berbagai bentuk dan ukuran, mempunyai ketahanan kimia yang tinggi, dapat diatur keelastisannya, murah, dan dapat bertahan untuk waktu yang lama . Namun, kelebihan ini pula yang menjadikan plastik sebagai salah satu polutan yang sangat besar pengaruhnya. Karena murah, orang membuang plastik dengan mudah dan menjadikannya tumpukan sampah yang sulit dihancurkan oleh alam. Salah satu usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh plastik tersebut adalah dengan membuat material plastik yang dengan mudah dapat diuraikan oleh alam. Plastik semacam ini dinamakan plastik biodegradabel. Jenis plastik ini sangat sesuai dengan siklus karbon alami, karena ketika dibuang ke lingkungan dan didegradasi oleh mikroorganisme diperoleh hasil CO2. Peristiwa biodegradasi dapat terjadi di semua lingkungan, baik pada kondisi aerob maupun anaerob, dan di dalam tubuh hewan. Dan bila plastik biodegradabel dibakar, hasil pembakaran tersebut bukan merupakan senyawa beracun.
Polihidroksialkanoat (PHA) adalah salah satu jenis plastik biodegradabel yang termasuk dalam kelompok poliester. PHA dapat terdegradasi sempurna dan memiliki sifat yang mirip dengan kelebihan yang dimiliki oleh plastik konvensional. Nilai tambah PHA dibandingkan dengan plastik biodegradabel lain adalah bahan bakunya selalu dapat diperbaharui (renewable), seperti glukosa dan asam lemak volatil. PHA dapat dihasilkan dari bermacam-macam bakteri, seperti Alcaligenes latus, Pseudomonas oleovorans dan Escherichia coli. Masing-masing bakteri akan menghasilkan PHA dengan komposisi yang berbeda. Jenis substrat yang dikonsumsi oleh bakteri pun menentukan jenis PHA yang diproduksi. Produksi PHA saat ini semakin berkembang luas karena kebutuhan plastik yang ‘ramah lingkungan’ semakin meningkat. Namun, pemakaian PHA sebagai material pengganti plastik konvensional dibatasi oleh harga jual yang sangat mahal. Kendala ini berasal dari biaya produksi yang cukup tinggi, terutama biaya untuk memenuhi kebutuhan substrat dan biaya pengambilan dan pemurnian PHA dari biomassa. Untuk menekan biaya substrat dilakukan usaha pemanfaatan substrat yang selama ini terbuang, yaitu bahanbahan organik yang terdapat dalam limbah industri. Pemanfaatan karbon yang berasal dari limbah industri makanan dilakukan oleh Chua dkk. [1998] untuk memproduksi PHA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan jenis limbah makanan yang berbeda sebagai sumber karbon menghasilkan kopolimer PHA yang berbeda pula. Pengolahan limbah secara biologis ini menggunakan sistem lumpur aktif yang mengandung bermacam-macam mikroorganisme. Selain dapat menghasilkan PHA dengan biaya substrat rendah, cara ini dapat mengurangi lumpur hasil pengolahan limbah dengan sistem lumpur aktif. Sequencing batch reactor (SBR) sebagai salah satu modifikasi sistem lumpur aktif diharapkan mampu mengatasi kelemahan sistem lumpur aktif konvensional, sehingga PHA dapat terakumulasi semaksimal mungkin.
PELAKSANAAN PENELITIAN Pada penelitian ini digunakan sequencing batch reactor (SBR) yang merupakan salah satu modifikasi dari sistem pengolahan limbah lumpur aktif. SBR dilengkapi dengan sistem pengaturan operasi untuk mengendalikan jalannya proses anaerobik-aerobik. 1. Peralatan Peralatan utama yang digunakan dalam penelitian untuk memproduksi PHA berupa rangkaian SBR yang terdiri atas bioreaktor berukuran (20 x 20 x 25) cm3 yang terbuat dari bahan flexiglass. Bioreaktor ini dilengkapi dengan sistem aerasi, sistem pengaduk magnet, sistem pengumpanan, dan sistem pembuangan. Keseluruhan sistem tersebut dikendalikan oleh sistem pengendali operasi berbasis komputer, yang dirancang oleh Laboratorium Kontrol Departemen Teknik Fisika FTI ITB. Peralatan utama dilengkapi dengan peralatan pendukung yang berupa tangki umpan, katup-katup, dan tangki keluaran. Hasil yang diperoleh dari proses yang terjadi dalam peralatan utama dengan bantuan peralatan pendukung tersebut di atas kemudian dianalisa untuk dapat diambil kesimpulan penelitian yang telah dilakukan. Peralatan yang diperlukan untuk analisis sampel meliputi instrumen analisis dan peralatan gelas atau penunjang. Instrumen analisis berupa neraca, pH meter, oven, alat sentrifugasi, pengukur titik leleh, dan spektrofotometer ultraviolet. Sedangkan peralatan penunjangnya adalah pompa vakum, desikator, digester, kondensor, pemanas listrik, gelas kimia, labu erlenmeyer, buret, pipet volum, labu takar, gelas ukur, dan lain-lain.
udara reaktor limbah
efluen
pompa
magnetic stirrer
circuit controller
komputer
Gambar 1. Skema rangkaian alat utama 2. Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah sintetis tapioka, dengan kandungan COD sekitar 1000-1500 mg/L. Limbah ini dibuat setiap hari untuk kebutuhan dua waktu siklus (24 jam). Komposisi lengkap limbah sintetis pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Nutrien yang ditambahkan dihitung berdasarkan perbandingan BOD/nutrien dalam Gerardi (1994). Tabel 1. Komposisi limbah sintetis tapioka No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Komponen Tepung tapioka (NH4)2SO4 Na2HPO4.12H2O KCl MgSO4.7H2O FeCl3.6H2O CaCl2 Na2MoO4.2H2O CoCl2.6H2O ZnSO4.2H2O CuSO4 MnSO4.H2O
Konsentrasi (mg/L) 1526,5 36,21 6,04 3,75 2,5 4,17 5,17 0,36 0,108 0,13 0,125 0,082
3. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian pada awalnya dibagi menjadi dua tahap, yaitu (1) tahap pembibitan dan aklimatisasi, dan (2) tahap percobaan utama. Pengamatan pada tahap kedua dibedakan menjadi dua, yaitu pada kondisi transien dan pada kondisi stabil. Pada penelitian kali ini tahap pembibitan dan aklimatisasi tidak dilakukan, karena bibit mikroorganisme telah mengalami adaptasi pada penelitian yang telah dilakukan oleh Purnama (2001). Lumpur aktif sebanyak 1,5 liter dimasukkan ke dalam reaktor. Kemudian reaktor diisi dengan limbah sintetis tapioka hingga mencapai volum kerja 6 liter. Satu siklus SBR membutuhkan waktu 12 jam. Kondisi-kondisi yang diusahakan tetap adalah pH netral (pada awal operasi) dan SRT selama 20 hari. SRT diatur dengan mengeluarkan sejumlah lumpur setiap akhir siklus, yaitu 75 ml untuk volum 1,5 liter. Lumpur ini digunakan untuk
keperluan analisa MLSS, COD, TKN, dan PHA. Variabel tetap lainnya adalah waktu pengendapan 2 jam dan waktu dekantasi 1 jam. Kondisi aerob dicapai dengan mengalirkan udara ke dalam reaktor hingga kelarutan oksigen sekitar 2 mg/L. Pada kondisi anaerobik, sistem pengaduk magnet dijalankan untuk membantu sirkulasi dan mencegah pengendapan, sehingga reaksi masih dapat terus berlangsung. Pada akhir waktu siklus, sampel diambil dan dianalisis untuk besaran-besaran MLSS, COD, TKN, dan kandungan PHA. Prosedur analisa penentuan kandungan PHA disajikan secara lengkap dalam laporan Purnama (2001). Pengamatan ini dilakukan sampai diperoleh kondisi stabil, yaitu konsentrasi MLSS dan COD efluen relatif tetap. Percobaan utama dilakukan untuk mengamati perbedaan kandungan PHA yang dihasilkan jika waktu pengumpanan dan saat dimulainya tahap aerob dan tahap pengadukan (mixing, tanpa aerasi) dalam satu siklus divariasikan. Meskipun waktu pengumpanan bervariasi, namun volum keseluruhan yang ditambahkan tetap sama, yaitu 4,5 L untuk setiap tempuhan. Variabel yang dipilih adalah variasi waktu pengisian 2, 5, dan 8 jam dengan siklus biasa anaerob : aerob = 4 : 5 jam/jam dan siklus pendek anaerob : aerob : anaerob : aerob = 2 : 2 : 2 : 3 jam/jam/jam/jam. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian dan pembahasan akan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu melihat pengaruh variasi percobaan terhadap parameter parameter yang dipantau yaitu COD, TKN dan kandungan PHA. 1. Chemical Oxygen Demand (COD) Analisa COD menunjukkan jumlah kandungan senyawa organik dalam limbah. Semakin kecil angka COD dari analisa efluen menunjukkan kinerja proses pengolahan yang semakin baik. Penelitian kali ini memberikan hasil yang cukup baik, yang ditunjukkan oleh persentase penyusutan dari masing-masing tempuhan, seperti terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Persentase penyusutan COD untuk masing-masing tempuhan Siklus biasa Siklus pendek Tahap pengisian : Rentang Rata-rata Rentang Rata-rata 2 jam 51,2 - 96,6 66,4 52,2 – 90,3 68,8 5 jam 71,0 - 84,2 75,4 65,2 – 81,7 74,6 8 jam 68,9 – 92,0 77,3 69,2 – 88,6 76,4 Dari Tabel 2 terlihat bahwa durasi tahap pengisian dan siklus pendek ternyata tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penyusutan COD. Penyusutan COD yang diperoleh dari masing-masing tempuhan mempunyai angka yang tidak terlalu jauh berbeda. Dari penelitian sebelumnya (Purnama, 2001) telah diketahui bahwa periode aerob yang semakin panjang memberikan hasil keluaran dengan COD semakin kecil. Pada periode aerob yang lebih panjang, mikroorganisme dapat berkembang biak dengan baik. Untuk pertumbuhannya tersebut, mikroorganisme membutuhkan sumber karbon yang cukup besar, yang didapatkannya dari limbah. Hal inilah yang menyebabkan konsentrasi COD efluen menjadi kecil. Pada penelitian ini, periode aerob dan anaerob dilakukan secara bergantian dalam siklus pendek. Meskipun demikian, jumlah periode aerob keseluruhan tetaplah sama, yaitu 5 jam untuk tiap tempuhan. Jadi penyusutan COD yang diperoleh tidak menunjukkan angka yang terlalu berbeda.
2. Total Kjeldahl Nitrogen (TKN) Banyaknya nitrogen yang terdapat dalam limbah diketahui dari analisa TKN. Hasil penelitian menunjukkan penyusutan TKN yang berfluktuasi. Secara garis besar, Tabel 3 memperlihatkan perbedaan penyusutan antara siklus biasa dengan siklus pendek. Tabel 3. Persentase penyusutan TKN untuk masing-masing tempuhan Siklus biasa Siklus pendek Tahap pengisian : Rentang Rata-rata Rentang Rata-rata 2 jam 22,5 – 73,5 44,4 20,0 – 81,4 51,9 5 jam 28,6 – 80,5 55,0 36,5 – 81,6 60,8 8 jam 16,9 – 64,7 38,0 31,6 – 70,6 54,1 Data yang diperoleh menunjukkan adanya kenaikan penyusutan TKN dari waktu pengisian 2 jam ke waktu pengisian 5 jam, kemudian terjadi penurunan penyusutan untuk waktu pengisian 8 jam. Untuk pengaruh siklus, terlihat bahwa siklus pendek memberikan hasil penyusutan yang lebih baik, kecuali untuk waktu pengisian 8 jam. Nitrogen merupakan pembentuk utama protein dan asam nukleat sel, yang besarnya 14 % dari material sel. Penyisihan nitrogen dari limbah melalui dua tahap, yaitu nitrifikasi dan denitrifikasi. Nitrifikasi melibatkan reaksi oksidasi amonia-nitrogen (NH3) menjadi nitrit-nitrogen (NO2), yang kemudian teroksidasi menjadi nitrat-nitrogen (NO3). Bakteri yang terlibat dalam reaksi ini bersifat kemoautotrof dan bernafas secara aerob. Denitrifikasi, yang merupakan kelanjutan proses nitrifikasi, mengubah nitrat menjadi gas nitrogen (N2) melalui reaksi reduksi. Proses ini dikatalisasi oleh bakteri yang bernafas secara anaerob [Gerardi, 1994]. Perbedaan penyusutan TKN antara siklus biasa dan siklus pendek terjadi karena dari 9 jam tahap reaksi, periode aerob berada pada siklus biasa selama 5 jam terakhir, sedangkan periode aerob terakhir pada siklus pendek berlangsung selama 3 jam diperkirakan dalam periode aerob yang lebih lama, proses nitrifikasi menghasilkan nitrat yang lebih banyak. Dengan demikian, hasil analisa TKN yang dilakukan memberikan angka yang lebih besar, sehingga penyusutan TKN menjadi lebih kecil. 3. Polihidroksialkanoat (PHA) Pembahasan tentang PHA dibagi menjadi dua, yaitu dilihat dari (1) titik leleh dan kandungan hidroksivalerat, dan (2) perolehan PHA. 3.1. Titik Leleh dan Kandungan Hidroksivalerat Kandungan hidroksivalerat (HV) dalam PHB mempengaruhi titik leleh polimer yang terbentuk. Semakin tinggi kandungan HV, semakin rendah titik leleh yang terukur. Pengaruh durasi tahap pengisian dan siklus pendek dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Titik leleh dan % HV untuk masing-masing tempuhan Siklus biasa Siklus pendek Tahap Titik leleh % HV Titik leleh % HV pengisian : rata-rata (oC) rata-rata rata-rata (oC) rata-rata 2 jam 149,5 6,982 142 12,43 5 jam 144,9 10,3 128,9 21,93 8 jam 128,1 22,52 135,9 16,87 Secara umum, siklus pendek memberikan hasil PHA dengan komposisi HV yang lebih besar dibandingkan dengan siklus biasa. Kandungan HV banyak ditentukan oleh pH, pH yang lebih kecil (kondisi asam) menghasilkan PHA dengan kandungan HV yang lebih
besar. Dari jalur pembentukan PHB dan P(3HB-ko-3HB) dapat diperkirakan bahwa kandungan asam propionat dalam siklus pendek lebih banyak dibandingkan dengan siklus biasa. 3.2. Perolehan PHA Durasi tahap pengisian dan siklus pendek memberikan pengaruh yang nyata terhadap perolehan PHA, seperti tercantum dalam Tabel 5 dan digambarkan dalam Gambar 2 – 4. Dengan waktu pengisian 2 jam didapatkan kandungan PHA terbesar, yaitu rata-rata 0,247 g/g sel untuk siklus biasa dan 0,226 g/g sel untuk siklus pendek.
Tahap pengisian : 2 jam 5 jam 8 jam
Tabel 5. Kandungan PHA untuk masing-masing tempuhan Siklus biasa Siklus pendek Rentang (g/g Rata-rata (g/g sel) Rata-rata Rentang (g/g sel) sel) (g/g sel) 0,02 – 0,713 0,247 0,06 – 0,588 0,226 0,01 – 0,049 0,03 0,027–0,081 0,054 0,008 – 0,082 0,039 0,011–0,061 0,027
Untuk dua tahap pengisian, yaitu 2 jam dan 8 jam, kandungan PHA terbesar diperoleh pada siklus biasa. Karena laju beban organik ke dalam SBR tetap, jumlah substrat yang ditambahkan per jam menjadi berkurang bila tahap pengisian diperpanjang. Temmink dkk (1995) melaporkan bahwa periode dengan beban organik rendah menyebabkan PHA berkurang cepat. Konsentrasi yang rendah ini menyebabkan efek pembatasan laju pada aktivitas pengambilan fosfor, sehingga jumlah PHA yang terbentuk berkurang pula. Namun timbul perkecualian pada waktu pengisian 5 jam, yaitu jumlah PHA pada siklus pendek lebih besar daripada jumlah PHA pada siklus biasa. Hal ini diduga disebabkan oleh saat pengisian umpan terjadi pada periode aerob dan anaerob yang berbeda. Pada tahap pengisian 2 jam, umpan dimasukkan pada periode anaerob yang sama, yaitu selama 2 jam. Demikian pula untuk tahap pengisian 8 jam, umpan dimasukkan pada 4 jam periode aerob dan 4 jam periode anaerob, baik untuk siklus biasa maupun siklus pendek. Ketika pengisian dilakukan selama 5 jam, siklus biasa menerima umpan pada 4 jam periode anaerob dan 1 jam periode aerob, sedangkan umpan pada siklus pendek masuk pada 3 jam periode anaerob dan 2 jam periode aerob. Dua hal yang diduga menjadi penyebab turunnya perolehan PHA adalah turunnya pH dan denitrifikasi. Denitrifikasi dapat terjadi pada kondisi anaerob yang cukup lama. Proses ini mengakibatkan terdegradasinya PHA yang telah terbentuk, yang digunakan sebagai substrat padat. Pemanfaatan PHA dalam peristiwa denitrifikasi dinamakan dengan denitrifikasi fasa padat (solid-phase denitrification). Dari penelitian yang dilakukan oleh Hiraishi dan Khan (2003) diketahui bahwa diantara beberapa biopolimer yang pernah digunakan, PHA merupakan substrat padat yang paling sesuai. PHA sendiri adalah material cadangan mikroba, sehingga diharapkan mudah termetabolisasi oleh mikroorganisme denitrifikasi. Salah satu faktor yang mempengaruhi proses denitrifikasi jenis ini adalah kristalinitas polimer. PHA yang bersifat amorf lebih mudah terdegradasi daripada PHA yang bersifat kristalin. PHA bentuk amorf berada dalam tubuh bakteri (intraseluler), sedangkan produk PHA yang telah diekstraksi (ekstraseluler) berbentuk kristalin. Faktor lain yang juga mempengaruhi efisiensi degradasi adalah kandungan hidroksivalerat (HV). Mergaert dkk (1995) melaporkan bahwa PHBV lebih cepat terdegradasi dibandingkan dengan PHB dalam lingkungan berair.
PHA (g/g s e l)
0,8
0,09
0,7
0,08
0,6
0,07
0,5
0,06 0,05
0,4
0,04
0,3
0,03
0,2
0,02
0,1 0,01
0 1
3
5
7
9
11
13
15
17
0
19
1
2
3
4
5
6
7
Waktu (hari) siklus biasa
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Wa k t u ( ha r i )
siklus biasa
siklus pendek
Gambar 2. Perolehan PHA untuk waktu pengisian 2 jam
siklus pendek
Gambar 3. Perolehan PHA untuk waktu pengisian 5 jam
0,18 0,16 0,14 0,12 0,1 0,08 0,06 0,04 0,02 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Wa k t u ( h a r i )
siklus biasa
siklus pendek
Gambar 4. Perolehan PHA untuk waktu pengisian 8 jam
KESIMPULAN Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Tahap pengisian berpengaruh dalam pembentukan PHA, yaitu semakin lama waktu pengisian umpan, diperoleh kandungan PHA yang semakin sedikit. 2. Jenis siklus juga memberikan pengaruh terhadap pembentukan PHA, yaitu siklus pendek memberikan hasil PHA yang lebih sedikit dibandingkan dengan siklus biasa. 3. Dalam penelitian ini didapatkan kandungan PHA terbesar pada waktu pengisian 2 jam dalam siklus biasa, yaitu sebanyak 0,247 g/g sel. 4. Durasi tahap pengisian yang lebih panjang dan siklus pendek memberikan hasil PHA dengan kandungan hidroksivalerat (HV) yang lebih besar dibandingkan dengan durasi tahap pengisian pendek dan siklus biasa. 5. Periode pengisian umpan diduga juga berpengaruh terhadap pembentukan PHA. Pada penelitian ini hal itu teramati pada waktu pengisian 5 jam, yaitu siklus pendek memberikan hasil PHA yang lebih banyak dibandingkan siklus biasa. 6. Penyusutan COD tidak terlalu dipengaruhi oleh durasi tahap pengisian maupun jenis siklus. Namun demikian ada kecenderungan tahap pengisian yang lebih lama
menghasilkan penyusutan COD yang semakin besar. Pada penelitian ini diperoleh penyusutan COD sebesar 66,4-76,4%. 7. Meskipun sangat berfluktuasi, penyusutan TKN terbesar cenderung terjadi pada siklus pendek dibandingkan dengan siklus biasa. Angka penyusutan TKN yang diperoleh adalah 38,0-60,8%. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini dibiayai oleh Kementerian Riset dan Teknologi, Republik Indonesia melalui proyek RUT X dengan no kontrak: 14.28/SK/RUT/2003. DAFTAR PUSTAKA 1. Gerardi, Michael H., 1994, Wastewater Biology : The Life Process, Water Environtment Federation, Alexandria, hal. 15-126. 2. Hiraishi, A., dan S.T. Khan, 2003, Application of Polyhydroxyalkanoates for Denitrification in Water and Wastewater Treatment, Appl. Microbiol. Biotechnol., 61, hal. 103-109. 3. Kim, D.Y., dan Y.H. Rhee, 2003, Bodegradation of Microbial and Synthetic Polyesters by Fungi, Appl Microbiol Biotechnol, 61, hal. 300-308. 4. Mergaert, J., A. Wouters, C. Anderson dan J. Swings, 1995, In situ Biodegradation of Poly(3-hydroxybutyrate) and Poly(3-hydroxybutyrate-co-3-hydroxyvalerate) in Natural Waters, Can J Microbiol, 41 [Suppl 1], hal. 154-159 (Kutipan : Kim dan Rhee, 2003). 5. Petersen, B., H. Temmink, M. Henze, dan S. Isaacs, 1998, Phosphate Uptake Kinetics in Relation to PHB under Aerobic Conditions, Wat. Res., 32 (1), hal. 91100. 6. Purnama, H., 2001, Kajian Awal Pembentukan Polihidroksialkanoat (PHA) pada Sistem Pengolah Limbah Lumpur Aktif dengan Sequencing Batch Reactor (SBR), Tesis Magister, Program Studi Teknik Kimia, Institut Teknologi Bandung. 7. Temmink, H., B. Petersen, S. Isaacs, dan M. Henze, 1995, Recovery of Biological Phosphorus Removal after Periods of Low Organic Loading, The Water Quality International ’96, IAWQ 18th Biennial Conference, Singapore, 23-28 June 1996 (Kutipan : Petersen dkk, 1998). 8. Yu, P., H. Chua, A.L. Huang, W. Lo, dan C.Q. Chen, 1998, Conversion of Food Industrial Waste into Bioplastics, Appl. Biochem. Biotech., 70, hal. 603-614.