KARAKTER VEGETATIF TANAMAN ZAITUN (Oleo europaea L.) PADA KONDISI TANAM BERBEDA SERTA KONSENTRASI OLEUROPEIN DAN ASAM ASKORBAT PADA DAUNNYA
ARLINDA PUSPITA SARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakter Vegetatif Tanaman Zaitun (Olea europaea L.) pada Kondisi Tanam yang Berbeda serta Konsentrasi Oleuropein dan Asam Askorbat pada Daunnya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2016 Arlinda Puspita Sari G353130091
RINGKASAN ARLINDA PUSPITA SARI. Karakter Vegetatif Tanaman Zaitun (Oleo europaea L.) pada Kondisi Tanam yang Berbeda serta Konsentrasi Oleuropein dan Asam Askorbat pada Daunnya. Dibimbing oleh YULIANA MARIA DIAH RATNADEWI dan TRIADIATI. Zaitun (Olea europaea L.) adalah salah satu tanaman yang berasal dari daerah Mediterania dan bermanfaat dalam bidang pengobatan dan kesehatan. Hal ini disebabkan oleh senyawa metabolit sekunder yang diproduksi oleh tanaman tersebut. Oleuropein dan asam askorbat merupakan kelompok senyawa fenolat yang diturunkan masing-masing dari secoiridoid dan asam fenolat. Oleuropein dan asam askorbat tidak hanya ditemukan pada buah zaitun, melainkan juga terdapat pada daun, namun pemanfaatan tanaman zaitun saat ini masih terbatas pada pengolahan buahnya menjadi minyak zaitun. Daun zaitun juga memiliki potensi untuk diolah menjadi produk bermanfaat, salah satunya adalah menjadi teh daun zaitun. Meski demikian, kondisi lingkungan yang berbeda diduga dapat mempengaruhi karakter vegetatif tanaman zaitun. Perbedaan kondisi lingkungan salah satunya disebabkan oleh sistem perkebunan yang menyebabkan perbedaan asupan sinar matahari. Zaitun umumnya ditanam secara monokultur sehingga memungkinkan memperoleh sinar matahari penuh, namun dengan terbatasnya lahan menyebabkan zaitun ditanam secara polikultur di bawah tegakan tanaman lain dan menyebabkan tanaman zaitun berada dalam kondisi ternaung. Kondisi lingkungan juga dipengaruhi oleh kesuburan tanah yang bergantung pada jenis pupuk yang digunakan. Perbedaan kondisi lingkungan ini diduga tidak hanya mempengaruhi karakter vegetatif tanaman, namun juga produksi senyawa metabolit sekundernya. Penelitian ini memiliki dua tujuan utama yakni: (1) untuk mengukur karakter vegetatif tanaman zaitun pada beberapa kondisi tanam yang merupakan kombinasi dari perlakuan naungan dan pemupukan; (2) untuk menganalisis pengaruh dari perlakuan terhadap konsentrasi oleuropein pada teh daun zaitun dan daun segar zaitun serta; (3) menganalisis konsentrasi asam askorbat pada daun segar zaitun. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2014 sampai Maret 2015 di PT. Bumi Chalipa Nusantara, Laboratorium Bioteknologi BPPT Serpong, dan Laboratorium Fisiologi Tumbuhan, Departemen Biologi, FMIPA, IPB. Penelitian ini menggunakan rancangan split plot design dengan naungan sebagai petak utama dan pemupukan sebagai anak petak. Peubah yang diamati yakni: karakter vegetatif (tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah ranting, dan diameter batang), konsentrasi oleuropein, dan konsentrasi asam askorbat. Karakter vegetatif diukur setiap tiga minggu selama empat bulan. Daun zaitun yang digunakan untuk diolah menjadi teh adalah daun pertama hingga daun ke enam. Daun dikumpulkan dan diolah menjadi teh dimulai dari dua minggu setelah perlakuan (MSP) hingga 15 MSP. Metode yang digunakan untuk pembuatan teh mengikuti prosedur pengolahan daun Camelia sinensis menjadi teh hijau. Konsentrasi oleuropein pada teh daun zaitun dan daun segar zaitun dianalisis menggunakan High Performance Liquid Chromatography. Konsentrasi asam askorbat pada daun segar dianalisis menggunakan metode titrasi.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tanaman zaitun dapat tetap tumbuh dengan baik pada semua kombinasi perlakuan. Pertumbuhan tanaman zaitun cenderung meningkat yang ditunjukkan oleh tinggi tanaman, jumlah daun, dan jumlah ranting. Naungan 50% meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah daun dibanding tanaman yang berada pada kondisi terpapar sinar matahari penuh. Pemberian pupuk kompos menghasilkan jumlah daun dan jumlah ranting yang lebih banyak dibandingkan tanaman yang diberi pupuk NPK. Secara umum, konsentrasi oleuropein pada teh daun zaitun lebih tinggi dibanding pada daun segar. Interaksi antara naungan dan pemupukan tidak mempengaruhi konsentrasi oleuropein teh daun zaitun, begitu pula masing-masing faktor tunggal. Namun konsentrasi oleuropein teh daun zaitun pada penelitian ini lebih tinggi dibanding konsentrasi oleuropein pada penelitian lain yang juga menggunakan daun zaitun yang dikeringkan. Sementara itu, konsentrasi oleuropein pada daun segar dewasa lebih tinggi dibanding daun segar muda. Interaksi antara naungan, pemupukan dan jenis daun tidak mempengaruhi konsentrasi asam askorbat daun segar zaitun, namun dipengaruhi oleh interaksi antara naungan dan jenis daun. Pada kondisi ternaung maupun tanpa naungan, konsentrasi asam askorbat pada daun segar dewasa lebih tinggi dibanding pada daun segar muda. Kata kunci: asam askorbat, karakter vegetatif, naungan, oleuropein, pupuk
SUMMARY ARLINDA PUSPITA SARI. Vegetative Performance of Olive (Oleo europaea L.) Plant under Various Planting Conditions and Oleuropein and Ascorbic Acid Concentration in it’s Leaves. Supervised by YULIANA MARIA DIAH RATNADEWI and TRIADIATI. Olive (Olea europaea L.) is a beneficial plant from Mediterranean region, especially as medicine and healthy diet due to secondary metabolite produced by the plant. Oleuropein and ascorbic acid are phenolic compounds derived from secoiridoid and phenolic acid. Oleuropein and ascorbic acid are found not only in olive fruit, but also in leaves. However, olive utilization is largely limited to olive fruits processing to olive oil. Olive leaves also have a high potential as beneficial products, for example as olive leaves tea. Different environmental conditions may affect vegetative characteristics of plant. Environmental conditions are influenced by planting system. Actually, olives are planted in monoculture system and grow under full exposure of sunlight, but in the area where land is limited, the plants are grown in polyculture system. It means that the plants grow under living stands and possibly grow under shade condition. Besides that, environmental conditions are also related to soil fertility that depends on type of fertilizer used. The different environmental conditions are assumed not only influence vegetative characteristic but also the secondary metabolites. This study has three main objectives: (1) to study the vegetative characteristics of olive plant in various planting conditions, i.e. shading in combination with fertilizer regime; (2) to analyze the effect of treatments in oleuropein content in olive leaves tea and fresh leaves and; (3) to analyze ascorbic acid content in fresh olive leaves. This research was conducted from September 2014 to March 2015, at PT. Bumi Chalipa Nusantara, Laboratory of Biotechnology BPPT Serpong, and Laboratory of Plant Physiology Department of Biology, FMIPA Bogor Agricultural University. The experiment used split plot design with shading as the main plot and fertilizer as the subplot. Parameters observed were vegetative characteristics (plant height, number of leaves, number of branches, and stem diameter), oleuropein concentration, and ascorbic acid concentration. Vegetative parameters were observed every three weeks for four months. Olive leaves detached for processing to leaves tea were leaves from the first to the sixth from shoot tip. Leaves were collected and were processed every week, starting from 2 weeks after treatment (WAT) up to 15 WAT. The method followed the procedure of processing Camelia sinensis leaves to green tea. Oleuropein concentration in olive leaf tea and fresh leaves was analyzed by using HPLC. Ascorbic acid concentration in fresh leaves was analyzed using titration method. The results showed that olive still grow well in each combination treatment which were presented by the data of plant height, number of leaves, and number of branches. Fifty percent shading significantly increased the plant height and the number of leaves compared to those under full sunlight; and compost fertilizer significantly gave more branches and leaves than NPK fertilizer. Generally, the oleuropein concentration in olive leaves tea was higher than in fresh leaves. The interaction between shading and fertilizer factors had no effect on the oleuropein
concentration of olive leaves tea, neither was every single factor. This research gave better result of oleuropein content in leaves tea than other researches that used drying olive leaves. Type of leaves significantly affected oleuropein concentration in fresh leaves. Oleuropein concentration in fresh old leaves was higher than in fresh young leaves. The interaction between shading, fertilizer, and type of leaves had no significant effect on ascorbic acid concentration, but there was interaction between shading and type of leaves. Either under shading or without shading, old fresh leaves contained higher amount of ascorbic acid. It was shown therefore that shade condition and types of fertilizers do not reduce the oleuropein content in olives tea as well as in fresh leaves. Key words: ascorbic acid, fertilizer, oleuropein, shading, vegetative characteristic
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang–Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KARAKTER VEGETATIF TANAMAN ZAITUN (Oleo europaea L.) PADA KONDISI TANAM BERBEDA SERTA KONSENTRASI OLEUROPEIN DAN ASAM ASKORBAT PADA DAUNNYA
ARLINDA PUSPITA SARI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi Tumbuhan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Aris Tjahjoleksono, DEA
Judul Tesis
Nama NIM
: Karakter Vegetatif Tanaman Zaitun (Oleo europaea L.) pada Kondisi Tanam yang Berbeda serta Konsentrasi Oleuropein dan Asam Askorbat pada Daunnya : Arlinda Puspita Sari : G353130091
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. YM Diah Ratnadewi Ketua
Dr. Triadiati, M.Si Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Miftahudin, M.Si
Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 14 Juni 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis ini berhasil terselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 hingga Maret 2015 ini diberi judul Karakter Vegetatif Tanaman Zaitun (Oleo europaea L.) pada Kondisi Tanam yang Berbeda serta Konsentrasi Oleuropein dan Asam Askorbat pada Daunnya. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Yuliana Maria Diah Ratnadewi dan Dr. Triadiati, M.Si selaku pembimbing yang telah banyak memberi ide, saran dan masukan bermanfaat selama proses penelitian hingga penulisan tesis. Terimakasih kepada Dirjen Dikti atas beasiswa BPPDN 2013 untuk biaya pendidikan dan penelitian. Penulis juga mengucapkan segenap rasa terimakasih kepada Bapak Muhaimin Iqbal, Bapak Hamka, serta staf PT. Bumi Chalipa Nusantara yang telah memberi izin penggunaan lahan dan tanaman zaitun sebagai bahan penelitian ini serta telah membantu dalam pengumpulan data di lapangan, kepada Bapak Imron beserta staf laboratorium Bioteknologi BPPT Serpong dan staf laboratorium Fisiologi Tumbuhan IPB yang telah banyak membantu penulis selama penelitian. Ungkapan terimakasih sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Ayahanda Arifin (alm), Ibunda Harlina, adik Rezky Kurniansyah, seluruh keluarga dan sahabat atas doa restu yang tulus, didikan, kasih sayang, dorongan semangat dan motivasi bagi penulis selama menempuh pendidikan di IPB. Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini memberikan manfaat dan sumbangan ilmu pengetahuan. Bogor, Juli 2016 Arlinda Puspita Sari
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
xi xi xii
PENDAHULUAN LatarBelakang Tujuan
1 1 2
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Zaitun Oleuropein pada Tanaman Zaitun Asam Askorbat pada Tanaman Zaitun Pengaruh Lingkungan Terhadap Tanaman Zaitun
3 3 4 6 7
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Prosedur Penelitian Rancangan Penelitian Penyiapan Lahan dan Tanaman Pemberian Perlakuan Pemeliharaan Tanaman Pengamatan Pengukuran Karakter Vegetatif Tanaman Zaitun Pengambilan Sampel Pengolahan Daun Zaitun Menjadi Teh Analisis Konsentrasi Oleuropein Analisis Konsentrasi Asam Askorbat Analisis Data
9 9 9 9 9 10 10 10 10 10 10 11 11 12 12
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi Umum Karakter Vegetatif Konsentrasi Oleuropein Konsentrasi Asam Askorbat Pembahasan
13 13 13 13 15 18 18
KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
24 25 28
DAFTAR TABEL 1
Kisaran peubah lingkungan pada masing-masing perlakuan
13
2
14
3
Pengaruh naungan dan pemupukan terhadap peubah karakter vegetatif yang diamati pada 15 MSP Konsentrasi oleuropein pada sampel teh daun zaitun
4
Konsentrasi oleuropein pada sampel daun segar zaitun
17
5
Estimasi konsentrasi oleuropein per bobot kering daun zaitun berdasarkan 17 konsentrasinya dalam sampel daun segar
6
Pengaruh interaksi naungan dan jenis daun terhadap konsentrasi asam 18 askorbat daun zaitun
17
DAFTAR GAMBAR 1
Pohon zaitun dewasa
3
2
Morfologi tanaman zaitun
4
3
Struktur molekul oleuropein
4
4
Jalur biosintesis senyawa oleuropein
5
5
Jalur biosintesis senyawa asam askorbat
7
6
Pertumbuhan tanaman zaitun hingga 15 MSP berdasarkan karakter vegetatif 14 tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah ranting, dan diameter batang
7
Kondisi ranting tanaman zaitun pada kedua kondisi pengamatan
15
8
Perbedaan warna daun zaitun pada kedua kondisi pengamatan
15
9
Chromatogram oleuropein daun zaitun
16
DAFTAR LAMPIRAN 1
Bagan susunan pot di lapangan
29
2
Hasil analisis sidik ragam peubah karakter vegetatif tanaman pada 15 minggu setelah perlakuan (MSP) Hasil analisis sidik ragam peubah konsentrasi oleuropein pada teh daun zaitun Hasil analisis sidik ragam peubah konsentrasi oleuropein pada daun segar zaitun Hasil analisis sidik ragam peubah konsentrasi asam askorbat pada daun segar zaitun
30
3 4 5
31 32 33
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Zaitun (Oleo europaea L.) merupakan salah satu tanaman yang berasal dari Mediterania dan sangat kaya akan manfaat, khususnya untuk kesehatan. Manfaat ini diperoleh dari senyawa metabolit sekunder pada tanaman zaitun. Kelompok senyawa fenolat merupakan senyawa metabolit sekunder terbesar yang ditemukan pada tanaman zaitun, di antaranya adalah oleuropein dan asam askorbat. Oleuropein merupakan senyawa metabolit sekunder yang diturunkan dari secoiridoid (De La Torre-Carbot et al. 2005; Silva et al. 2006). Oleuropein bermanfaat sebagai antioksidan, anti inflamasi, anti kanker, anti mikroba, anti virus, dan sebagai pelindung kulit (Omar 2010). Sementara itu, asam askorbat merupakan kelompok senyawa asam fenolat yang dikenal bermanfaat sebagai antioksidan dan pembentuk kolagen (Smirnoff 1996). Kedua senyawa ini tidak hanya ditemukan pada buah zaitun melainkan ditemukan pula pada organ tanaman zaitun lainnya, seperti pada daun, batang ataupun biji zaitun. Konsentrasi oleuropein tertinggi tidak hanya ditemukan pada buah zaitun (pastes dan pulps), namun juga pada daun zaitun (Ryan et al. 2002; Silva et al. 2006). Hingga saat ini pemanfaatan tanaman zaitun masih terbatas pada pengolahan buahnya menjadi minyak zaitun (Vossen 2013). Hal ini menjadi kendala bagi pembudidaya tanaman zaitun di Indonesia, sebab untuk memperoleh buah zaitun diperlukan suhu yang cukup rendah. Tanaman zaitun membutuhkan suhu berkisar 7-10 oC untuk merangsang pembungaan dan memecah dormansi (Orlandi et al. 2013). Kondisi ini tidak didapati secara alami di Indonesia, sehingga membutuhkan perlakuan khusus pada ruang tertutup untuk memanipulasi suhu tersebut. Habitus tanaman zaitun yang berupa pohon menjadi kendala lain apabila akan ditumbuhkan pada ruang tertutup, dengan kata lain pembudidaya tanaman zaitun di Indonesia mengalami kesulitan untuk memperoleh buah zaitun. Alternatif lain pemanfaatan tanaman zaitun yakni dari daunnya, mengingat konsentrasi oleuropein cukup tinggi pada daun zaitun. Diduga konsentrasi asam askorbat pada daun zaitun juga cukup tinggi, mengingat peran asam askorbat sebagai antioksidan untuk melindungi daun zaitun dari paparan sinar matahari. Salah satu bentuk pemanfaatan daun zaitun yakni pembuatan teh daun zaitun sebagaimana pengolahan daun Camelia sinensis menjadi teh. Pemanfaatan daun zaitun ini tentunya harus didukung dengan produksi daun yang lebih banyak. Berbeda dengan fase generatif, fase vegetatif zaitun dapat tetap tumbuh baik selama tetap memperoleh suhu yang hangat dan sinar matahari yang cukup (Briante et al. 2002). Hal ini memungkinkan untuk memperoleh daun dalam jumlah yang cukup untuk diolah menjadi teh daun zaitun. Meski demikian, tanaman zaitun yang ditanam pada kondisi lingkungan berbeda, terlebih dalam hal sinar matahari yang diterima diduga akan memiliki perbedaan pertumbuhan dan karakter vegetatif. Perbedaan perolehan sinar matahari ini salah satunya disebabkan oleh sistem perkebunan tanaman zaitun. Tanaman zaitun pada umunya ditanam dalam sistem monokulutur pada satuan lahan yang cukup luas sehingga memungkinkan tanaman zaitun
2
memperoleh sinar matahari yang memadai. Namun keterbatasan lahan menyebabkan tanaman zaitun harus ditanam secara polikultur di bawah tegakan tanaman lain. Kondisi ini menyebabkan tanaman zaitun tidak dapat memperoleh sinar matahari penuh dan berada dalam kondisi ternaung. Perbedaan kondisi lingkungan pada kedua sistem perkebunan ini diduga akan mempengaruhi pertumbuhan vegetatif tanaman zaitun, sehingga diperlukan suatu penelitian untuk mengamati pengaruh perbedaan kondisi lingkungan tersebut. Sistem perkebunan monokultur disimulasikan dengan menanam zaitun di tempat terbuka, sedangkan sistem perkebunan polikultur disimulasikan dengan menanam zaitun pada kondisi dinaungi. Kondisi lingkungan juga dipengaruhi oleh kesuburan tanah. Penggunaan pupuk menjadi alternatif untuk membantu meningkatkan kesuburan tanah, yaitu membantu dalam menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Kalium (K) merupakan unsur hara yang paling dibutuhkan oleh tanaman zaitun (López-Granados et al. 2004). Pupuk yang digunakan dapat berupa pupuk organik maupun anorganik, namun kajian mengenai perbedaan pengaruh dari kedua jenis pupuk tersebut terhadap pertumbuhan tanaman zaitun masih sangat terbatas. Perbedaan sinar matahari yang diperoleh tanaman zaitun pada kedua sistem perkebunan dan perbedaan penggunaan jenis pupuk diduga tidak hanya mempengaruhi karakter vegetatif tanaman zaitun namun juga mempengaruhi kandungan metabolit sekundernya. Berdasarkan hal tersebut maka dirancanglah suatu penelitian untuk mengamati karakter vegetatif tanaman zaitun yang ditanam pada beberapa kondisi tanam, yakni pada kombinasi perlakuan naungan dan pemupukan. Pengamatan juga dilakukan untuk menganalisis pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap konsentrasi oleuropein dan asam askorbat pada daun zaitun dalam kaitannya sebagai antioksidan.
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Mengukur pertumbuhan karakter vegetatif tanaman zaitun (Olea europaea L.) pada beberapa kondisi tanam dengan kombinasi perlakuan naungan dan pemupukan. 2. Menganalisis konsentrasi senyawa oleuropein yang terdapat pada daun segar dan daun olahan zaitun (Olea europaea L.) menjadi teh. 3. Menganalisis konsentrasi asam askorbat pada daun segar zaitun (Olea europaea L.).
3
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Zaitun (Olea europaea L.) Zaitun merupakan tanaman yang berasal dari daerah Mediterania khususnya Spanyol, Italia, dan Turki, namun kini pembudidayaannya tersebar ke California, Australia, Cina, Afrika Selatan, dan negara lain dengan iklim sub-tropis dan bersuhu hangat (Fabbri et al. 2009). Di daerah Mediterania, zaitun dikenal sebagai tanaman yang memiliki umur hingga ratusan tahun. Tanaman zaitun tidak hanya dimanfaatkan sebagai obat-obatan, tetapi juga dimanfaatkan sebagai tanaman hias dan tanaman pelindung. Zaitun (Olea europaea L.) merupakan anggota dari famili Oleaceae (Ryan et al. 2002).
Gambar 1 Pohon zaitun dewasa (Vossen 2013) Habitus tanaman zaitun berupa herba hingga pohon dan dapat mencapai tinggi hingga 4-8 meter (Gambar 1). Kulit batang berwarna hijau pada saat muda, dan berwarna abu-abu pada saat dewasa. Gambar 2 menunjukkan morfologi daun, bunga dan buah zaitun. Daunnya berbentuk lanceolate dengan permukaan atas yang dilapisi kutin sehingga berwarna hijau mengkilap dan permukaan bawah yang dilapisi peltat sehingga berwarna hijau keabu-abuan, duduk daun berhadapan bersilang; bunga berwarna putih dan berukuran kecil yang terdiri atas sepuluh mahkota dan kelopak bunga, dua stamen dan satu stigma, tanaman zaitun menghasilkan dua macam bunga yakni bunga hermaprodit (memiliki sel kelamin jantan dan betina) serta bunga jantan, zaitun akan berbunga setelah mendapat perlakuan vernalisasi; buah zaitun merupakan buah drupa berukuran 1 - 2.5 cm yang berwarna hijau ketika muda dan berwarna ungu kehitaman ketika matang, terdiri atas dua bagian utama yakni perikarp dan biji, biji dilindungi oleh kulit biji dan memiliki endosperm yang tebal (Fabbri et al. 2009). Zaitun merupakan tanaman yang sangat bermanfaat baik sebagai bahan makanan, bahan bangunan, kosmetik, maupun sebagai obat (Fabbri et al. 2009). Minyak yang dihasilkan oleh tanaman zaitun sangat bermanfaat bagi kesehatan sebab mengandung triasilgliserol, asam lemak, senyawa aromatik, sterol, tokoferol, fenol, dan lain sebagainya (Omar 2010). Selain minyak, tanaman zaitun juga menghasilkan beberapa senyawa metabolit sekunder, khususnya senyawa
4
fenolat. Senyawa fenolat terbanyak yang ada pada tanaman zaitun adalah asam fenolat, fenol alkohol, flavonoid, dan seoiridoid (Silva et al. 2006).
a
b
c c
Gambar 2 Morfologi tanaman zaitun (a) bunga, (b) daun, (c) buah (Vossen 2013)
Oleuropein pada Tanaman Zaitun Oleuropein (Gambar 3) merupakan senyawa turunan dari secoiridoid dan merupakan senyawa fenolat terbesar yang ada pada zaitun. Secoiridoid merupakan metabolit sekunder yang hanya ada pada famili Oleaceae. Secoiridoid dikelompokkan sebagai senyawa fenolat karena adanya asam elenolat atau turunan dari asam elenolat pada struktur molekulernya (Servili et al. 2004; Silva et al. 2006). Secoiridoid merupakan turunan dari glukosida oleosida yang terbentuk dari berbagai indol alkaloid dan biasanya dicirikan dengan kombinasi antara asam elenolat dan residu glukosidik (Silva et al. 2006). Oleosida sendiri bukanlah senyawa fenol tapi terlibat dalam beberapa sintesis fenol, hasil esterifikasi melalui percabangan jalur asam mevalonat dalam sintesis terpen (Ryan et al. 2002).
Gambar 3 Struktur molekul oleuropein (Omar 2010)
5
Oleuropein disintesis secara alami oleh tanaman zaitun dan menyebabkan rasa buah zaitun sedikit pahit (Silva et al. 2006). Biosintesis oleuropein memanfaatkan asam mevalonat sebagai penyedia rangka karbon untuk pembentukan geraniol. Asam mevalonat terbentuk melalui jalur mevalonat dengan menggunakan senyawa asetil Co-A dari glikolisis tanaman sebagai prekursornya (Taiz & Zeiger 2002). Gambar 4 menunjukkan jalur sintesis oleuropein dengan asam mevalonat sebagai prekursornya. Biosintesis oleuropein dimulai dengan pembentukan geraniol hingga terbentuk ligustrosid melalui senyawa asam deoksiloganik dan asam 7-epiloganik dengan perantara senyawa asam 7-ketologanik (Omar 2010). Senyawa lain yang dapat menjadi prekursor sintesis oleuropein adalah sekologanin dan sekoksiloganin, sebanyak 0.34% oleuropein disintesis melalui prekursor sekologanin dan 0.2% melalui sekoksiloganin (Ryan et al. 2002).
Asam mevalonat
Geraniol
10- hidroksigeraniol
Asam deoksilogat aglukon
Iridotrial
Iridodial
Asam deoksilogat
7-β-1-D-glukopiranisil 11-metil oleosida
Ligustrosida
Asam 7-epiloganat
Asam 7-ketologanat
Oleosida 11-metil ester
Asam 8-epikingisidat
Oleuropein
Gambar 4 Jalur biosintesis senyawa oleuropein (Omar 2010) Senyawa oleuropein terdapat pada bagian batang, buah, daun, akar, dan kulit batang, namun senyawa ini banyak terakumulasi pada bagian buah dan daun zaitun. Penelitian yang dilakukan untuk melihat konsentrasi oleuropein selama periode pematangan buah zaitun menunjukkan bahwa kandungan oleuropein pada daun lebih tinggi dibandingkan yang ada pada buah saat tahap pertama pematangan buah. Konsentrasi oleuropein pada daun terus meningkat hingga tahap akhir pematangan buah (Ortega-garcía et al. 2007). Hasil analisis senyawa oleuropein dan hidroksitirosol pada daun zaitun menunjukkan bahwa konsentrasi senyawa oleuropein mencapai 2.44 g/ 100 g bobot kering daun (Jemai et al. 2009).
6
Oleuropein bermanfaat sebagai anti inflamasi, menurunkan tekanan darah, anti atherogenik, anti rematik dan terutama sebagai antioksidan (Durlu-özkaya & Özkaya 2011). Senyawa ini juga berperan sebagai anti mikroba, yakni dengan menghambat pertumbuhan mikroba yang ada pada saluran pencernaan dan pernafasan seperti Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis, Salmonella typhi, Vibrio parahaemolyticus, Staphylococcus aureus, Vibrio cholerae dan Vibrio alginolyticus (Pereira et al. 2007). Senyawa oleuropein yang ada pada daun zaitun juga berpotensi sebagai antioksidan yang amat bermanfaat bagi kesehatan. Hidroksitirosol yang merupakan turunan dari oleuropein memiliki kemampuan untuk mengikat radikal bebas dengan membentuk ikatan hidrogen antara hidrogen bebas dari gugus hidroksil dan radikal fenoksilnya (Bouaziz et al. 2008). Hidroksitirosol memiliki kemampuan antioksidatif yang lebih baik dibanding antioksidan sintetik hidroksitoluen terbutilasi atau BHT (Bouaziz & Sayadi 2005)
Asam Askorbat pada Tanaman Zaitun Asam askorbat merupakan senyawa metabolit sekunder pada tanaman zaitun selain oleuropein yang juga bermanfaat. Asam askorbat berperan dalam pembelahan sel, meregulasi pertumbuhan tanaman, serta berperan dalam transduksi signal (Pastori et al. 2003; Gallie 2013). Menurut Smirnoff (1996), terdapat empat fungsi biokimia senyawa asam askorbat, yakni: (1) Antioksidan; asam askorbat mampu mengikat senyawa radikal bebas seperti superoksida, monoksigen, ozon, dan hidrogen peroksida. (2) Kofaktor enzim; asam askorbat merupakan kofaktor bagi enzim hidroksilase seperti enzim prolil hidroksilase dan lisil hidroksilase. Enzim tersebut berperan dalam sintesis senyawa hidroksiprolin dan hidroksilisin. (3) Transport elektron; di dalam sitoplasma asam askorbat dapat dikatalisis menjadi monodehidroaskorbat (MDA) dan menjadi akseptor elektron dari sitokrom b untuk ditransport ke protein akseptor elektron lainnya. Proses ini berlangsung di fotosistem II. (4) Sintesis oksalat dan tartarat. Selain itu, asam askorbat juga bermanfaat bagi kesehatan manusia. Asam askorbat merupakan prekursor pembentuk vitamin C yang bermanfaat untuk kesehatan kulit dan peredaran darah (Rekha et al. 2012). Asam askorbat juga berperan untuk membentuk kolagen, reduksi besi anorganik, mengurangi tingkat plasma kolesterol, menghambat pembentukan nitrosoamin, berperan dalam sistem kekebalan tubuh, dan bereaksi dengan monoksigen serta senyawa radikal bebas lainnya (Koh et al. 2012). Asam askorbat terakumulasi pada beberapa organel sel tumbuhan, khususnya pada kloroplas. Sintesis asam askorbat memanfaatkan senyawa berkarbon enam hasil metabolisme primer yakni D-glukosa dan D-galaktosa. Gambar 5 merupakan jalur sintesis asam askorbat pada tumbuhan dengan prekursor D-glukosa. Proses sintesis ini diawali dengan oksidasi D-glukosa pada C2 menghasilkan D-glukoson yang dilanjutkan dengan epimerisasi C5 menghasilkan L-sorboson, laktonisasi L-sorboson dan oksidasi C3 menghasilkan asam askorbat (Smirnoff 1996). Teori lain menjelaskan bahwa proses sintesis asam askorbat dimulai dengan oksidasi D-glukosa pada C6 menghasilkan asam Dglukuronat yang dilanjutkan dengan reduksi C1 menghasilkan asam L-gulonat,
7
laktonisasi asam L-gulonik yang diikuti dengan oksidasi senyawa tersebut menghasilkan asam askorbat (Loewus 1999).
Oksidasi
D- Glukoson
D- Glukosa D- Asam galakturonat ester L- Sorboson
Rotasi 180o
Epimerisasi Sorboson dehidrogenase
D- Glukoson
Laktonisasi
L- Galakton-1,4- lakton
L- Asam askorbat
Gambar 5 Jalur biosintesis senyawa asam askorbat (Smirnoff 1996)
Pengaruh Lingkungan Terhadap Tanaman Zaitun Pertumbuhan tanaman zaitun sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya seperti halnya tumbuhan pada umumnya. Tanaman zaitun pada daerah Mediterania tumbuh pada kondisi lingkungan yang memiliki suhu hangat dan utamanya memperoleh penyinaran yang cukup. Tanaman zaitun merupakan tanaman hari panjang, oleh karena itu membutuhkan cahaya pada jangka waktu yang lebih lama. Tanaman zaitun dapat tumbuh di daerah lain karena kemampuan adaptasinya yang baik pada kisaran suhu yang lebar, namun fase generatifnya membutuhkan suhu dingin yakni berkisar 7oC untuk vernalisasi yang dapat menstimulasi pembentukan bunga (Fabbri et al. 2009). Selain suhu, kondisi ternaung juga merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman zaitun. Fase vegetatif tanaman zaitun dapat berlangsung baik pada daerah bersuhu hangat dengan kecepatan angin yang sedang, kondisi tanah dengan aerasi yang baik, dengan pH berkisar 7-8.5; dan tanaman zaitun dewasa biasanya membutuhkan 2500-3000 m3 air per tahun (USAID 2011). Menurut Fabbri et al. (2009) salah satu faktor abiotik yang sering menjadi kendala dalam pertumbuhan tanaman zaitun adalah salinitas. Beberapa kultivar zaitun tidak dapat tumbuh
8
dengan baik pada kondisi salinitas yang tinggi yakni di atas 20 mM NaCl, namun ada pula beberapa kultivar yang toleran hingga 100 mM NaCl. Kultivar yang sensitif akan tumbuh dengan jarak ruas batang yang lebih kecil, daun yang tipis dan kecil serta buah yang berukuran kecil. Kondisi lingkungan tidak hanya mempengaruhi pertumbuhan atau morfologi yang nampak pada tanaman zaitun, namun juga turut mempengaruhi metabolisme tanaman termasuk dalam produksi senyawa metabolit sekunder. Terdapat korelasi antara kondisi lingkungan (iklim, suhu, curah hujan, dan kondisi air tanah), faktor agronomis (naungan, perbandingan daun dan buah, irigasi, dan tahap pematangan buah) dan kultivar (genetik). Ketiga faktor tersebut berpengaruh terhadap senyawa kimia tanaman zaitun seperti warna minyak zaitun (pigmen), aroma (senyawa volatil), rasa (fenol), serta beberapa jalur biosintesis dan reaksi kimia pada tanaman zaitun (Vossen 2013). Senyawa oleuropein merupakan salah satu metabolit sekunder dari kelompok fenolat. Enzim fenilalanin ammonia liase (PAL) adalah enzim yang digunakan untuk biosintesis senyawa fenolat, dimana enzim tersebut sangat sensitif terhadap kondisi lingkungan seperti pelukaan, suhu, sinar UV, dan tahap pematangan buah (Ryan et al. 2002). Menurut Briante et al. (2002) perbedaan konsentrasi total senyawa fenol berhubungan dengan karakteristik agronomik dan tahap pertumbuhan tanaman zaitun. Konsentrasi asam askorbat juga dipengaruhi oleh banyak faktor di antaranya adalah faktor genotipe dan kondisi lingkungan tanaman (Koh et al. 2012).
9
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2014 hingga Maret 2015. Lokasi pertanaman zaitun berada di PT Bumi Chalipa Nusantara, Depok, Jawa Barat. Analisis konsentrasi asam askorbat dilakukan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan Departemen Biologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor, sedangkan analisis senyawa oleuropein dilakukan di Puspitek Bioteknologi BPPT, Serpong, Tangerang Selatan.
Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan antara lain, tanaman zaitun hasil kultur jaringan usia 2 tahun, polibag, pupuk kompos dari kotoran kambing, pupuk NPK (20:10:10), larutan standar oleuropein (Sigma-Aldrich), air, metanol, kertas saring, meteran, asam fosforat 0.1%, asetonitril 70%, asam metafosforat 5%, 2.6diklorofenol indofenol (2.6-DCIP) 0.025%, asam askorbat murni, aquades, paranet, gunting, wajan, oven, baki aluminium, neraca analitik, evaporator, tabung vial, High Performance Liquid Chromatograph (HPLC) Hitachi Elite LaChrom, kolom Phenomenex® Luna C 18 (250 x 4.60 mm, 5 µm).
Prosedur Penelitian Rancangan Penelitian Rancangan penelitian untuk peubah karakter vegetatif dan konsentrasi oleuropein teh daun zaitun adalah split plot design yang terdiri dari naungan sebagai petak utama dan pemupukan sebagai anak petak. Naungan terdiri dari dua taraf yaitu naungan 50% (N1) dan tanpa naungan (N2); pemupukan terdiri dari dua taraf yaitu menggunakan pupuk NPK 20:10:10 (P1) dan pupuk kompos dari kotoran ternak (P2). Rancangan penelitian untuk peubah konsentrasi oleuropein dan asam askorbat pada daun segar zaitun adalah split split plot design yang terdiri dari naungan sebagai petak utama, pemupukan sebagai anak petak, dan jenis daun sebagai anak anak petak. Jenis daun terdiri dari dua taraf yakni daun segar muda (D1, daun pertama sampai daun ke enam) dan daun segar dewasa (D2, daun ke tujuh sampai daun ke duabelas). Rancangan percobaan ini dibuat menjadi dua set, yakni untuk pengamatan karakter vegetatif dan untuk pengambilan sampel (Lampiran 1).
10
Penyiapan lahan dan tanaman Lahan yang akan ditanami dibersihkan dari rumput. Bibit yang digunakan merupakan tanaman zaitun hasil dari kultur jaringan berumur kurang lebih 2 tahun dan dipilih bibit dengan ukuran dan tinggi yang relatif seragam. Bibit tersebut ditanam di dalam pot berdiameter 45 cm. Setiap pot ditanami satu tanaman zaitun. Pot diatur sesuai dengan bagan letak pot untuk penelitian (Lampiran 1). Jarak antar pot adalah 70 cm. Pemberian perlakuan Tanaman dipisahkan berdasarkan perlakuan naungan yang diberikan. Perlakuan naungan menggunakan paranet 50% yang dipasang pada ketinggian 2.5 m dari permukaan tanah, sedangkan perlakuan tanpa naungan dilakukan pada tempat terbuka sehingga tanaman terpapar sinar matahari langsung. Perlakuan pemupukan dilakukan setelah tanaman diatur sesuai posisinya masing-masing. Pupuk NPK (20:10:10) diberikan sebanyak dua kali yaitu pemupukan pertama pada hari ke-0 sebanyak 105 g/ tanaman dan pemupukan kedua pada hari ke-56 sebanyak 50 g/ tanaman. Pupuk kompos hanya diberikan pada hari ke-0 yakni sebanyak 2 kg/ tanaman. Pemeliharaan tanaman Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman yang dilakukan setiap pagi dan sore hari kecuali apabila hujan. Penyiangan tanaman dari gulma dilakukan setiap minggu. Pengamatan Karakter vegetatif yang diamati adalah tinggi tanaman (cm), jumlah daun (helai), jumlah ranting (ranting), dan diameter batang (cm). Konsentrasi oleuropein diamati pada sampel teh daun zaitun dan daun segar zaitun yakni pada daun muda dan daun dewasa. Konsentrasi asam askorbat diamati pada sampel daun segar zaitun yakni pada daun muda dan daun dewasa. Pengukuran karakter vegetatif tanaman zaitun Karakter vegetatif tanaman zaitun diukur setiap 3 minggu selama 4 bulan. Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang zaitun yang ada di permukaan tanah sampai pucuk daun yang paling tinggi. Diameter batang diukur pada batang utama, yakni 3 cm dari permukaan tanah dengan menggunakan jangka sorong. Pengamatan jumlah ranting dilakukan dengan menghitung jumlah ranting pada seluruh tanaman pada masing-masing tanaman zaitun. Begitupun dengan pengamatan jumlah daun dilakukan dengan menghitung seluruh jumlah daun pada masing-masing tanaman zaitun yang diamati. Pengambilan sampel Daun zaitun dipetik setiap minggu dimulai pada 2 minggu setelah perlakuan (MSP) hingga 15 MSP untuk dibuat menjadi teh. Daun yang dipetik adalah daun pertama sampai ke enam. Pengambilan sampel untuk analisis konsentrasi oleuropein dan asam askorbat pada daun segar dilakukan pada akhir pengamatan. Daun yang diambil adalah daun muda, yakni daun pertama sampai ke enam dan daun dewasa, yakni daun ke tujuh sampai ke duabelas.
11
Pengolahan daun zaitun menjadi teh Daun zaitun diolah menjadi teh mengikuti prosedur pengolahan daun Camelia sinensis menjadi teh hijau (Shi & Schlegel 2012) dengan modifikasi suhu dan lama pengeringan. Daun zaitun yang telah dipetik segera dilayukan untuk menghindari terjadinya fermentasi. Pelayuan dapat dilakukan secara sederhana yakni dengan cara dijemur di bawah sinar matahari selama 1-2 jam atau hingga daun menjadi layu yang ditandai dengan perubahan kelenturan daun dan mudah untuk digulung, namun tidak sampai menghilangkan warna hijaunya. Daun kemudian diangin-anginkan selama 1-2 hari hingga benar-benar layu. Selanjutnya penggulungan daun dilakukan di atas wajan yang telah dipanaskan hingga suhu 40oC, lama penggulungan tidak lebih dari 15 menit. Tahap terakhir adalah pengeringan menggunakan oven pada suhu 40oC selama 90 menit. Sampel kemudian disimpan di tempat yang sejuk dan terlindung dari sinar matahari langsung untuk kemudian diakumulasikan dengan hasil olahan minggu selanjutnya. Analisis konsentrasi oleuropein Analisis konsentrasi oleuropein pada teh daun zaitun dan daun segarnya menggunakan High Performance Liquid Chromatograph (HPLC) dengan mengacu pada Bouaziz et al. (2008). Sampel teh daun zaitun dibuat menjadi bubuk terlebih dahulu kemudian disimpan dalam plastik sampel di tempat yang sejuk dan tertutup sampai akan dianalisis dengan HPLC, sedangkan sampel daun segar zaitun diblender selama kurang lebih 2 menit atau hingga tercacah kasar. Masing-masing sampel diulang sebanyak dua kali. Sampel diambil sebanyak 6 g dan dilarutkan dengan larutan metanol 80% sebanyak 30 ml, kemudian dibiarkan selama semalam dan diletakkan pada tempat yang gelap. Selanjutnya, larutan disaring menggunakan kertas saring. Ekstrak sampel kemudian diuapkan dengan evaporator pada suhu 40oC hingga kering dan residu yang dihasilkan dilarutkan dalam 10 ml metanol lalu disonikasi menggunakan sonikator selama 10 menit. Sampel kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 10,000 rpm selama 10 menit, kemudian sampel disimpan dalam gelas vial pada suhu 0oC di tempat gelap sebelum analisis HPLC dilakukan. Oleuropein standar dilarutkan dengan methanol 80%, kemudian dibuat seri larutan standar oleuropein dengan konsentrasi 3, 5, 100, 300, dan 500 ppm untuk membuat kurva standar oleuropein. Fase gerak yang digunakan untuk analisis oleuropein adalah asetonitril (70%) dan air (30%) sebagai larutan A serta asam fosforat (0.1%) dan air (99.9%) sebagai larutan B. Sebelum menginjeksikan sampel, eluen atau fase gerak pada HPLC diatur dalam kondisi 10-25% larutan A pada menit ke 0-25, dilanjutkan dengan 25-80% larutan A pada menit ke 25-35; 80-100% larutan A pada menit ke 35-75; 100% larutan A pada menit ke 37-40 dan terakhir pencucian serta rekondisi kolom menggunakan 100-10% larutan A pada menit ke 40-50. Sebanyak 20 µl sampel diinjeksikan ke dalam injection hall kemudian sampel dipompa (LC-10ATvp) ke kolom dalam tekanan tinggi. Kolom yang digunakan untuk analisis fenol adalah Phenomenex® Luna C 18 (250 mm x 4.60 mm, 5 µm). Sampel yang melewati kolom akan dideteksi menggunakan detektor PDA pada panjang gelombang 280 nm dan terbaca sebagai retention time dan peak yang ditampilkan pada layar komputer yang telah dihubungkan dengan HPLC. Sampel
12
dideteksi pada suhu 40oC, laju aliran 0.6 ml/menit untuk total running time 50 menit. Konsentrasi oleuropein dianalisis berdasarkan luas peak area yang dikalibrasikan dengan kurva standar oleuropein (Al-Rimawi 2014; Afaneh et al. 2015). Berdasarkan kurva standar oleuropein diperoleh persamaan: y = 84149.7 x + 148754.4 dengan: y = luas peak area x = konsentrasi oleuropein (mg g-1) Analisis konsentrasi asam askorbat Sebanyak 0.5 g sampel daun segar zaitun digerus dengan 5 ml asam metafosforat 5% kemudian disaring melalui kertas saring. Hasil saringan dilarutkan menjadi 10 ml dengan menambahkan asam metafosforat 5%. Sampel dititrasi dengan 2.6-DCIP 0.025% sampai berwarna merah muda (Rao & Sresty 2000). Analisis terhadap masing-masing sampel diulang sebanyak dua kali. Setelah diperoleh volume titrasi untuk tiap sampel, konsentrasi asam askorbat dihitung sebagai berikut: - Standarisasi larutan 2.6-DCIP 0.025% : .
Asam askorbat murni (mg) =
%
.
(
)
- Menghitung jumlah asam askorbat pada ekstrak aliquot: Asam askorbat/ aliquot (mg) =
.
( .
)
%
- Menghitung jumlah asam askorbat per 100 g sampel: Asam askorbat (mg/100 g) = Asam askorbat/ aliquot x
. .
x
Analisis data Seluruh data yang diperoleh dianalisis sidik ragam (ANOVA). Jika terdapat pengaruh perlakuan, dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT), α = 5% (Mattjik & Sumertajaya 2006).
13
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL Kondisi Umum Pengamatan yang dilakukan di lapangan meliputi beberapa peubah, seperti suhu udara, intensitas cahaya, dan kelembapan udara. Data yang ditunjukkan pada Tabel 1 merupakan data kisaran peubah lingkungan yang diukur setiap minggu selama 15 minggu. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tanaman zaitun dapat tetap tumbuh dengan baik pada kisaran kondisi lingkungan tersebut. Hal ini didukung oleh hasil pengamatan karakter vegetatif tanaman zaitun seperti yang terlihat pada Gambar 6. Tabel 1 Kisaran peubah lingkungan pada masing-masing perlakuan Peubah lingkungan
Naungan 50%
Tanpa naungan
Suhu (oC)
28.8 – 30
30.3 - 34.3
Intensitas cahaya (lux)
6870 – 8600
19800 - 21567
Kelembapan (%)
41.3 – 52.4
38.9 -45.1
Karakter Vegetatif Karakter vegetatif merupakan peubah yang paling mudah diamati untuk melihat respon tanaman terhadap perlakuan yang diberikan. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk mengamati pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan tanaman zaitun, khususnya pada peubah jumlah daun, sebab daun inilah yang akan dimanfaatkan sebagai sumber oleuropein. Pengukuran karakter vegetatif tanaman zaitun menunjukkan hasil yang cenderung meningkat pada peubah tinggi tanaman, jumlah daun, dan jumlah ranting (Gambar 6). Interaksi antara faktor naungan dan pemupukan tidak mempengaruhi (P>0.05) peubah karakter vegetatif tanaman zaitun berdasarkan data yang diambil pada 15 MSP (Lampiran 2). Karakter vegetatif yang diamati dipengaruhi oleh masing-masing faktor perlakuan secara tunggal, kecuali pada peubah diamater batang. Faktor naungan maupun pemupukan tidak mempengaruhi (P>0.05) diamater batang tanaman zaitun (Tabel 2). Faktor naungan berpengaruh (P<0.05) terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun zaitun, sedangkan faktor pemupukan berpengaruh (P<0.05) terhadap jumlah daun dan jumlah ranting zaitun. Tinggi tanaman dan jumlah daun pada perlakuan naungan 50% nyata lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan perlakuan tanpa naungan (Tabel 2). Jumlah daun dan jumlah ranting pada perlakuan pupuk kompos nyata lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan perlakuan pupuk NPK (Tabel 2). Tanaman zaitun pada kondisi ternaung menunjukkan gejala etiolasi yang mempengaruhi peningkatan tinggi tanaman dan jumlah daunnya. Ranting tanaman zaitun pada kondisi naungan 50% (Gambar 7a) lebih panjang dan lentur sedangkan ranting tanaman pada kondisi tanpa naungan (Gambar 7b) lebih tegak dan kaku. Daun zaitun pada
14
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
3000 2500 Jumlah daun
Tinggi tanaman (cm)
kondisi naungan 50% (Gambar 8a) berwarna hijau muda sedangkan daun zaitun pada kondisi tanpa naungan (Gambar 8b) berwarna hijau lebih tua.
1500 1000 500 0
3
6
9
12
15
2,5 0 Diameter batang (cm)
70 0 60 Jumlah ranting
2000
50 40 30 20 10 0
3
6
9
12
15
2 1,5 1 0,5 0
0 3 6 9 12 15 Waktu (minggu setelah perlakuan)
0 3 6 9 12 15 Waktu (minggu setelah perlakuan)
Gambar 6 Pertumbuhan tanaman zaitun hingga 15 MSP berdasarkan karakter vegetatif tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah ranting dan diameter batang. N1P1 (Naungan 50% + pupuk NPK), N1P2 (Naungan 50% + pupuk kompos), N2P1 (Tanpa naungan + pupuk NPK), N2P2 (Tanpa naungan + pupuk kompos).
Tabel 2 Pengaruh naungan dan pemupukan terhadap peubah karakter vegetatif yang diamati pada 15 MSP Tinggi Jumlah Diameter Jumlah Perlakuan tanaman Ranting batang Daun (helai) (cm) (ranting) (cm) Naungan (N) 147.83 a 2553.90 a 59.80 a 1.885 a Naungan 50% (N1) b b a 130.83 2300.50 55.80 1.886 a Tanpa naungan (N2) Pupuk (P) 133.00 a 2240.50 b 54.20 b Pupuk NPK (P1) 1.858 a a a a 145.66 2613.90 61.40 Pupuk kompos (P2) 1.913 a Ket: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom pada masing-masing faktor tidak berbeda nyata menurut uji DMRT (α= 5%)
15
a
b
Gambar 7 Kondisi ranting tanaman zaitun zaitun pada kedua kondisi pengamatan (a) kondisi naungan 50%, (b) kondisi tanpa naungan a
b
zaitun pada kedua kondisi pengamatan Gambar 8 Perbedaan warna daun zaitun (a) kondisi naungan 50%, (b) kondisi tanpa naungan
Konsentrasi Oleuropein Analisis konsentrasi oleuropein pada tanaman zaitun dilakukan pada dua jenis sampel yakni sampel daun segar berupa daun muda dan daun dewasa, serta sampel olahan daun zaitun menjadi teh. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan HPLC, yang menggambarkan bahwa puncak oleuropein terdeteksi pada menit ke-166 (Gambar 9). 9 Interaksi antara faktor naungan dan pemupukan tidak m mempengaruhi (P>0.05) konsentrasi oleuropein pada sampel sampel teh daun zaitun (Lampiran 33). Begitu pula pada masing-masing masing masing faktor tunggal tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsentrasi oleuropein teh daun zaitun (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa wa perlakuan naungan dan pemupukan yang diberikan pada tanaman zaitun tidak membedakan konsentrasi oleuropein pada teh daun zaitun.
16
a Absorbance (AU)
1.0 0.8 16.79, 3650139 0.6 0.4 0.2 0.0
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
35
40
45
35
40
45
Retention time (min) 0.20
Absorbance (AU)
b
0.15 16.65, 1067702
0.10
0.05
0.00
0
5
10
15
20
25
30
Retention time (min) 1.0
Absorbance (AU)
c
0.8 0.6 16.81, 3327930 0.4 0.2 0.0
0
5
10
15
20
25
30
Retention time (min)
Gambar 9 Chromatogram oleuropein daun zaitun. Sampel dideteksi pada panjang
gelombang 280 nm dan laju aliran 0.6 ml/menit untuk total running time 50 menit. a) Oleuropein standar, b) Sampel daun segar muda, c) Sampel teh daun zaitun
17
Tabel 3 Konsentrasi oleuropein pada sampel teh daun zaitun Perlakuan
Konsentrasi oleuropein pada teh daun zaitun (mg g-1)
Naungan (N) Naungan 50% (N1) Tanpa naungan (N2)
29.17 a 34.43 a
Pupuk (P) Pupuk NPK (P1) Pupuk kompos (P2)
33.93 a 29.68 a
Ket: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom pada masing-masing faktor tidak berbeda nyata menurut uji DMRT (α= 5%).
Tabel 4 Konsentrasi oleuropein pada sampel daun segar zaitun Konsentrasi oleuropein pada sampel daun segar zaitun (mg g-1)
Perlakuan Jenis daun (D) Daun segar muda (D1) Daun segar dewasa (D2)
10.17 b 12.91 a
Ket: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata menurut uji DMRT (α= 5%).
Tabel 5 Estimasi konsentrasi oleuropein per bobot kering daun zaitun berdasarkan konsentrasinya dalam sampel daun segar
Perlakuan
Jenis daun (D) Daun segar muda (D1) Daun segar dewasa (D2)
Bobot basah (g)
Bobot kering (g)
Kandungan air (%)
Estimasi konsentrasi oleuropein/ bobot kering daun (mg g-1)
6 6
1.825 2.425
69.58 59.58
33.44 a 31.95 b
Ket: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata menurut uji DMRT (α= 5%).
Interaksi antara faktor naungan, pemupukan, dan jenis daun tidak mempengaruhi (P>0.05) konsentrasi oleuropein pada daun segar zaitun (Lampiran 4), tetapi faktor tunggal jenis daun secara nyata berpengaruh. Konsentrasi oleuropein pada daun segar dewasa nyata lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan pada daun segar muda (Tabel 4). Secara umum konsentrasi oleuropein pada sampel teh daun zaitun jauh lebih tinggi dibandingkan sampel daun segar, namun apabila konsentrasi oleuropein pada daun segar diperkirakan berdasarkan bobot keringnya, maka konsentrasi oleuropeinnya relatif sama. Tabel 5 menunjukkan nilai estimasi konsentrasi oleuropein daun segar zaitun yang dihitung berdasarkan bobot keringnya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa konsentrasi
18
oleuropein pada daun segar muda menjadi lebih tinggi dibanding pada daun segar dewasa. Konsentrasi Asam askorbat Perlakuan yang diberikan tidak hanya berpengaruh terhadap karakter vegetatif tanaman zaitun, namun juga terhadap konsentrasi asam askorbat pada daun zaitun. Konsentrasi asam askorbat daun segar zaitun tidak dipengaruhi (P>0.05) interaksi antara faktor naungan, pemupukan, dan jenis daun (Lampiran 5), tetapi interaksi antara naungan dan jenis daun secara nyata memberikan efek terhadap konsentrasi asam askorbat. Tabel 6 menunjukkan bahwa perlakuan N2D2 (daun segar dewasa pada kondisi tanpa naungan) nyata lebih besar menghasilkan asam askorbat dibandingkan perlakuan N1D1 (daun segar muda pada kondisi naungan 50%) dan N2D1 (daun segar muda pada kondisi tanpa naungan), namun tidak berbeda dengan perlakuan N1D2 (daun segar dewasa pada kondisi naungan 50%). Hasil tertinggi didapatkan dari perlakuan N2D2 (daun segar dewasa pada kondisi tanpa naungan). Tabel 6 Pengaruh interaksi naungan dan jenis daun terhadap konsentrasi asam askorbat daun zaitun Konsentrasi asam Perlakuan askorbat daun (mg g-1) N1D1 (daun segar muda, kondisi naungan 50%) 0.165 b N1D2 (daun segar dewasa, kondisi naungan 50%) 0.190 ab 0.139 b N2D1 (daun segar muda, kondisi tanpa naungan) N2D2 (daun segar dewasa, kondisi tanpa naungan) 0.241 a Ket: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada uji DMRT (α= 5%).
PEMBAHASAN Perlakuan yang diberikan pada tanaman zaitun berupa naungan dan pemupukan tidak menghambat pertumbuhannya. Sebaliknya pertumbuhan tanaman zaitun cenderung meningkat yang ditunjukkan oleh beberapa peubah yakni tinggi tanaman, jumlah daun, dan jumlah ranting. Peningkatan pertumbuhan tanaman zaitun tersebut dipengaruhi oleh masing-masing faktor tunggal pada minggu pengamatan yang berbeda-beda. Secara umum, pertumbuhan tanaman zaitun yang dipengaruhi oleh faktor naungan menunjukkan bahwa tinggi tanaman dan jumlah daun zaitun pada kondisi naungan 50% lebih tinggi dibandingkan tanpa naungan. Tanaman zaitun pada kondisi ternaung cenderung mengalami etiolasi sebagai bentuk adaptasi tanaman yang pada dasarnya hidup pada kondisi terbuka dengan sinar matahari penuh. Keadaan ini menyebabkan tanaman pada kondisi ternaung lebih tinggi dibanding pada kondisi tanpa naungan, sebagai upaya untuk memperoleh sinar matahari yang dibutuhkan untuk fotosintesis. Hal ini secara tidak langsung juga mempengaruhi peningkatan jumlah daun. Tanaman yang mengalami etiolasi akibat kondisi terhalang cahaya dicirikan dengan warna daun yang lebih muda dibandingkan daun yang memperoleh cahaya. Tanaman
19
mensintesis lebih banyak klorofil pada intensitas cahaya tinggi dibandingkan kondisi intensitas cahaya rendah, sehingga daun menjadi lebih hijau pada kondisi intensitas cahaya tinggi (Zhang et al. 2016). Selain itu ranting tanaman yang mengalami etiolasi lebih lentur dibanding ranting tanaman yang memperoleh cahaya. Hal ini dipengaruhi oleh produksi auksin pada meristem apikal tanaman. Auksin akan disintesis lebih banyak pada bagian tanaman yang terlindung cahaya, sehingga aktivitas pembelahan sel pada bagian tersebut lebih tinggi dibanding pada bagian yang terpapar cahaya (Taiz & Zeiger 2002). Jumlah sel pada ujung ranting yang terpapar cahaya lebih sedikit sehingga membengkok untuk menopang bagian ranting pada sisi lainnya yang selnya lebih padat. Hal ini menyebabkan ranting tanaman yang mengalami etiolasi terlihat melengkung dan pertumbuhannya mengarah ke arah datangnya cahaya. Pertumbuhan tanaman zaitun yang dipengaruhi oleh faktor pemupukan menunjukkan bahwa jumlah daun dan jumlah ranting zaitun pada perlakuan kompos lebih banyak dibandingkan perlakuan pupuk NPK. Pupuk kompos merupakan pupuk yang berasal dari bahan-bahan organik seperti kotoran ternak, sisa tanaman, ataupun bahan limbah. Bahan-bahan tersebut akan mengalami dekomposisi dan menjadi sumber nutrisi bagi tanaman (Brinton 2000; Hargreaves et al. 2008; Ryals et al. 2014). Pupuk kompos memiliki sumber nutrisi yang lebih kaya dibandingkan pupuk sintetik, meskipun membutuhkan waktu yang lebih lama untuk proses dekomposisi bahan organiknya hingga menjadi tersedia bagi tanaman (Wei & Liu 2005). Oleh karena itu pupuk kompos dikenal sebagai pupuk slow released, dan memungkinkan penyediaan unsur hara bagi tanaman terjadi secara bertahap. Pupuk kompos mempengaruhi pertumbuhan tanaman secara langsung dan tidak langsung. Secara tidak langsung, pupuk kompos membantu memperbaiki kondisi fisik, kimia, dan biologi tanah (Hafez et al. 2015). Bahan organik dari pupuk kompos mampu memperbaiki sifat fisik tanah dengan cara meningkatkan porositas dan agregat tanah serta membentuk humus yang dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam menyimpan air. Secara kimia, bahan organik kompos yang mengalami mineralisasi menyediakan unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman, tidak hanya unsur makro namun juga unsur mikro (Ryals et al. 2014). Pupuk kompos juga berperan secara biologis dengan cara menyediakan sumber karbon bagi mikroorganisme tanah sehingga meningkatkan pertumbuhan dan keragamannya (Wei & Liu 2005). Sebaliknya, mikroorganisme tanah berperan dalam melarutkan fosfat, kalium, fiksasi nitrogen, dan menyediakan asam-asam amino penting bagi tumbuhan. Secara langsung, pupuk kompos sebagai sumber nutrisi untuk tanaman dapat membantu meningkatkan kandungan klorofil, meningkatkan proses respirasi tanaman, dan meningkatkan respon tanaman terhadap hormon pertumbuhan (Hafez et al. 2015). Pemberian pupuk NPK dengan perbandingan 20:10:10 diharapkan dapat meningkatkan proses pembentukan daun, sebab diketahui bahwa nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K) adalah unsur makro yang dibutuhkan dalam proses pertumbuhan tanaman. Nitrogen dibutuhkan dalam pembentukan klorofil dan aktivitas fotosintetik, fosfor dibutuhkan dalam penyimpanan energi melalui transfer ATP dan ADP, sedangkan kalium dibutuhkan dalam proses pengambilan air yang berpengaruh terhadap pembesaran sel (Freihat & Masadeh 2006). Namun perbandingan dan dosis pupuk NPK yang digunakan nyatanya belum cukup efektif dalam meningkatkan jumlah daun dibandingkan dengan penggunaan
20
pupuk kompos. Kajian mengenai penggunaan pupuk NPK bagi tanaman zaitun masih sangat terbatas, sehingga sulit untuk menetapkan dosis pupuk NPK yang tepat bagi tanaman zaitun. Freihat dan Masadeh (2006) melakukan penelitian untuk mengamati pertumbuhan tanaman zaitun menggunakan pupuk NPK (20:20:20) dan pupuk N tunggal pada dua lokasi penelitian, yakni di rumah kaca dan di lapangan. Hasil yang diperoleh menunjukkan kedua jenis pupuk memberikan pengaruh yang berbeda pada kedua lokasi penelitian. Pengamatan di rumah kaca menunjukkan bahwa penggunaan pupuk NPK lebih efektif dibandingkan penggunaan pupuk N tunggal, namun untuk meningkatkan konsentrasi N total daun dibutuhkan dosis pupuk NPK tertinggi (48 g) sedangkan untuk meningkatkan tinggi tanaman dibutuhkan konsentrasi pupuk NPK terendah (16 g). Pengataman di lapangan menunjukkan hasil yang berbeda, yakni kedua jenis pupuk tidak mempengaruhi konsentrasi N total daun zaitun, tetapi tinggi tanaman dipengaruhi oleh pupuk NPK dosis terendah (16 g). Hal ini menunjukkan bahwa dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai perbandingan dan dosis pupuk NPK yang tepat digunakan untuk tanaman zaitun yang disesuaikan dengan kondisi lingkungannya. Pengamatan terhadap diameter batang menunjukkan hasil yang berbeda dibanding karakter vegetatif yang lain. Seluruh kombinasi perlakuan yang diberikan tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Hal ini disebabkan zaitun merupakan tanaman tahunan, sehingga untuk pengamatan diameter batang membutuhkan waktu yang lebih lama. Penelitian yang dilakukan oleh Chiraz (2013) menunjukkan bahwa pada tahun pertama pengamatan, diameter batang zaitun tidak mengalami perubahan yang signifikan. Perubahan diameter batang mulai terlihat pada tahun ketiga berdasarkan ukuran dan bentuk yang semakin bulat dan kasar. Tahun ke enam diameter batang semakin besar. Peningkatan pertumbuhan tanaman zaitun menandakan tingginya aktivitas metabolisme tanaman zaitun khususnya dalam memproduksi metabolit primer untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Hal ini secara tidak langsung juga mempengaruhi aktivitas tanaman dalam memproduksi senyawa metabolit sekunder, dalam hal ini adalah oleuropein dan asam askorbat. Proses respirasi tanaman zaitun menghasilkan senyawa asetil-CoA hasil dekarboksilasi oksidatif dari piruvat. Asetil-CoA kemudian dapat menjadi prekursor bagi pembentukan asam mevalonat melalui jalur mevalonat. Jalur ini kemudian mengalami percabangan yakni dari asam mevalonat menjadi isopentenil difosfat (IPP) dan ligustrosid. Ligustrosid merupakan senyawa yang kemudian menjadi prekursor langsung untuk sintesis oleuropein (Omar 2010). Sementara itu asam askorbat juga menggunakan senyawa yang berasal dari metabolisme primer. Prekursor asam askorbat merupakan karbon yang disintesis melalui proses fotosintesis, yakni D-galaktosa dan D-glukosa (Loewus 1999). Oleuropein dan asam askorbat berperan penting melindungi tanaman zaitun dari kondisi lingkungan yang berpotensi menyebabkan stress pada tanaman. Oleuropein disintesis pada sitoplasma sel dan berperan melindungi sel tanaman dari kerusakan oksidatif. Oleuropein mencegah terjadinya oksidasi protein-protein penting oleh senyawa radikal bebas seperti nitrit oksida, dengan cara mengikat radikal bebas tersebut (Omar 2010). Asam askorbat terakumulasi pada sitoplasma, kloroplas, vakuola, mitokondria, dan dinding sel, dengan jumlah terbanyak terdapat pada kloroplas, sebab pada organel inilah pusat proses fotosintesis
21
(Smirnoff 1996). Asam askorbat berperan penting sebagai kofaktor beberapa enzim dalam proses metabolisme tanaman serta melindungi perangkat fotosintetik tanaman dari radikal bebas akibat radiasi sinar matahari yang tinggi (Pignocchi & Foyer 2003; Gallie 2013). Pada beberapa penelitian, asam askorbat juga digunakan sebagai indikator ketahanan tumbuhan terhadap cekaman biotik ataupun abiotik (Rao & Sresty 2000; Pastori et al. 2003; Cervilla et al. 2007). Konsentrasi oleuropein tidak hanya dianalisis pada daun segar saja, melainkan juga pada daun yang telah diolah menjadi teh. Konsentrasi oleuropein pada sampel teh daun zaitun secara umum lebih tinggi dibandingkan sampel daun segar. Hal ini disebabkan analisis oleuropein pada teh daun zaitun berdasarkan bobot kering (6 g daun teh per sampel), sedangkan analisis oleuropein daun segar berdasarkan bobot basahnya (6 g daun segar per sampel). Nilai estimasi konsentrasi oleuropein yang dikonversi dari bobot keringnya menunjukkan bahwa konsentrasi oleuropein yang terkandung pada daun segar dan daun yang dikeringkan menjadi teh relatif sama. Hal ini menunjukkan kandungan oleuropein pada daun zaitun tidak banyak terhidrolisis selama proses pengeringan. Perbedaan konsentrasi oleuropein antara sampel teh daun zaitun dan sampel daun segar juga dapat disebabkan oleh metode yang digunakan untuk menyiapkan sampel yang akan dianalisis menggunakan HPLC. Sampel teh daun zaitun dipreparasi dengan terlebih dahulu diblender hingga menjadi bubuk, sedangkan sampel daun segar dipreparasi dengan cara diblender hingga tercacah kasar saja. Seluruh kombinasi perlakuan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsentrasi oleuropein teh daun zaitun, namun berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman zaitun khususnya jumlah daun. Hal ini memberikan dampak positif sebagai sumber bahan untuk pembuatan teh daun zaitun. Rerata konsentrasi oleuropein teh daun zaitun dari seluruh kombinasi perlakuan (31.8 mg g-1) lebih tinggi dibandingkan konsentrasi oleuropein pada penelitian lain yang juga menggunakan daun zaitun yang dikeringkan. Pada penelitian Jemai et al. (2009), daun zaitun dikeringkan pada suhu 40oC dan diperoleh konsentrasi oleuropein sebesar 24.4 mg g-1, sedangkan pada penelitian Afaneh et al. (2015) konsentrasi oleuropein dari daun yang dikeringkan pada suhu 25oC adalah 10.0 mg g-1 dan pada suhu 50oC sebesar 1.7 mg g-1. Suhu 50oC diduga menyebabkan berubahnya struktur senyawa fenol oleuropein yang menyebabkan rendahnya konsentrasi oleuropein yang terdeteksi. Kelompok senyawa fenolat merupakan senyawa yang mudah terdegradasi akibat suhu tinggi, cahaya, dan mudah teroksidasi (Vuong et al. 2013). Pada suhu 25oC atau pada suhu normal, diduga enzim β-glukosidase masih bekerja optimal dalam menghidrolisis senyawa oleuropein. Enzim ini berperan dalam menghidrolisis oleuropein menjadi senyawa asam elenolat glukosida dan demetiloleuropein (Briante et al. 2002; Omar 2010). Enzim ini tidak hanya menghidrolisis oleuropein secara langsung, namun dapat pula menghidrolisis oleoside-11-metil ester yang merupakan salah satu prekursor bagi oleuropein (Gutierrez-Rosales et al. 2010). Hal ini menyebabkan konsentrasi oleuropein yang terdeteksi menjadi lebih rendah. Suhu 40oC diduga merupakan suhu optimum untuk mengeringkan daun zaitun dan memperoleh senyawa oleuropein dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Terlebih lagi apabila pengeringan dilakukan melalui tiga tahap seperti yang dilakukan pada penelitian ini. Ketiga tahap tersebut adalah pengeringan langsung
22
di bawah sinar matahari, penggulungan pada suhu 40oC dan pengeringan lanjut menggunakan oven pada suhu 40oC. Konsentrasi oleuropein pada daun segar hanya dipengaruhi oleh jenis daun yang digunakan sebagai sampel. Kondisi lingkungan sendiri tidak banyak mempengaruhi konsentrasi oleuropein daun zaitun. Oleuropein tetap disintesis oleh tanaman zaitun dalam kondisi normal untuk berperan dalam fungsi tertentu. Konsentrasi oleuropein yang terdapat pada daun segar dewasa lebih tinggi dibanding yang terdapat pada daun segar muda. Dalam kondisi normal konsentrasi antioksidan pada daun dewasa lebih tinggi dari pada daun muda; dalam kondisi tercekam konsentrasi antioksian pada daun muda akan meningkat lebih cepat (Majer & Hideg 2012; Abdallah et al. 2012). Hal ini disebabkan peran senyawa metabolit sekunder sebagai pertahanan tanaman, dan sebagian besar disintesis ketika laju pertumbuhan tanaman mulai menurun (Mazid et al. 2011). Berdasarkan nilai estimasi, konsentrasi oleuropein pada daun segar muda lebih rendah dibanding daun segar dewasa sebab kandungan air pada daun segar muda lebih tinggi dibanding daun segar dewasa. Hasil yang sedikit berbeda ditunjukkan oleh konsentrasi asam askorbat, yakni terdapat pengaruh dari interaksi naungan dan jenis daun. Hal ini menunjukkan bahwa asam askorbat lebih responsif dibanding oleuropein terhadap perbedaan kondisi lingkungan yang disebabkan oleh paparan sinar matahari. Diduga dalam kondisi terpapar sinar matahari dengan intensitas cukup tinggi, tanaman zaitun akan meningkatkan sintesis asam askorbatnya untuk mengurangi resiko cekaman. Menurut Gallie (2013), asam askorbat dapat berperan untuk mendetoksifikasi senyawa radikal bebas yang terbentuk akibat intensitas cahaya tinggi. Kondisi intensitas cahaya tinggi dapat meningkatkan resiko produksi hidrogen peroksida. Senyawa tersebut dapat menghambat asimilasi CO2 pada siklus Calvin dan menyebabkan polusi ozon. Selain itu intesitas cahaya tinggi juga dapat menyebabkan terbentuknya mono oksigen yang dapat mengakibatkan rusaknya membran dan pigmen pada PSI dan PSII. Konsentrasi asam askorbat daun dewasa pada kondisi tanpa naungan (N2D2) lebih tinggi dibanding kombinasi perlakuan lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa tanaman zaitun pada kondisi tersebut mengalami cekaman lebih besar dibanding tanaman lainnya. Asimilat tanaman zaitun yang berada dalam kondisi tanpa naungan lebih banyak digunakan untuk sintesis asam askorbat, sebagai upaya pertahanan terhadap kondisi cekaman tersebut. Kondisi ini berdampak terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman. Tinggi tanaman dan jumlah daun pada kondisi tanpa naungan menjadi lebih rendah dibandingkan pada kondisi ternaung. Di satu sisi, kondisi tanpa naungan justru berdampak pada peningkatan stress tanaman, namun di sisi lain, kondisi ini memberi dampak positif pada tingginya konsentrasi asam askorbat yang terkandung pada daun yang akan diolah menjadi teh. Konsentrasi asam askorbat yang tinggi pada daun yang diolah menjadi teh bermanfaat sebagai antioksidan bagi orang yang mengonsumsinya. Seperti halnya pada pengamatan konsentrasi oleuropein, konsentrasi asam askorbat juga diperoleh lebih banyak pada daun segar dewasa dibanding daun segar muda baik pada kondisi ternaung maupun tanpa naungan. Senyawa metabolit sekunder disintesis tumbuhan sebagai mekanisme pertahanannya terhadap cekaman. Senyawa metabolit sekunder diproduksi lebih banyak pada tahap awal pertumbuhan, misalnya pada daun muda sebab, lebih rentan terhadap
23
cekaman. Namun hal ini tidak berlaku umum, beberapa senyawa metabolit sekunder diproduksi lebih banyak pada tanaman dewasa, seperti halnya asam askorbat pada penelitian ini. Peningkatan sintesis senyawa metabolit sekunder suatu tanaman tidak selalu berbanding lurus dengan usia tanaman. Menurut Kohler et al. (2014) konsentrasi senyawa metabolit sekunder suatu tanaman tidak hanya dipengaruhi oleh usia tanaman namun juga dipengaruhi oleh ontogeni dan ketahanan tanaman terhadap cekaman lingkungan. Teh daun zaitun memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan. Hal ini disebabkan karena daun zaitun mengandung oleuropein dan asam askorbat yang sangat bermanfaat. Kedua senyawa ini berperan sebagai antioksidan yang dapat memperkaya manfaat teh daun zaitun bagi kesehatan manusia. Mengingat besarnya manfaat senyawa tersebut, beberapa peneliti bahkan telah mengembangkan teknologi untuk meningkatkan produksi asam askorbat melalui manipulasi jalur biosintesisnya (Gallie 2013). Diharapkan penelitian semacam itu dapat membantu meningkatkan konsentrasi asam askorbat pada tanaman dan dapat pula dikembangkan untuk meningkatkan produksi oleuropein.
24
KESIMPULAN 1. Perlakuan naungan dan pemupukan cenderung meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman. Pada kondisi naungan 50 % diperoleh tanaman zaitun yang lebih tinggi dan jumlah daun yang lebih banyak dibandingkan kondisi tanpa naungan, selain itu diperoleh jumlah daun dan jumlah ranting zaitun yang lebih banyak pada penggunaan pupuk kompos dibandingkan pupuk NPK. 2. Konsentrasi oleuropein pada teh daun zaitun sama pada semua kombinasi perlakuan. Daun zaitun dewasa menghasilkan oleuropein yang lebih banyak dibanding pada daun muda. 3. Pada daun segar dewasa diperoleh konsentrasi asam askorbat yang lebih tinggi dibanding pada daun segar muda, baik pada kondisi naungan 50% maupun tanpa naungan.
25
DAFTAR PUSTAKA Abdallah SB, Rabhi M, Harbaoui F, Zar-kalai F, Lachâal M, Karray-Bouraoui N. 2012. Distribution of phenolic compounds and antioxidant activity between young and old leaves of Carthamus tinctorius L. and their induction by salt stress. Acta Physiol Plant. 35:1161–1169. Afaneh I, Yateem H, Al-Rimawi F. 2015. Effect of olive leaves drying on the content of oleuropein. Am J Anal Chem. 6:246–252. Al-Rimawi F. 2014. Development and validation of a simple reversed-phase HPLC-UV method for determination of oleuropein in olive leaves. J Food Drug Anal. 22:285–289. Bouaziz M, Fki I, Jemai H, Ayadi M, Sayadi S. 2008. Effect of storage on refined and husk olive oils composition: Stabilization by addition of natural antioxidants from Chemlali olive leaves. Food Chem. 108:253–262. Bouaziz M, Sayadi S. 2005. Isolation and evaluation of antioxidants from leaves of a Tunisian cultivar olive tree. Eur J Lipid Sci Technol. 107:497–504. Briante R, Patumi M, Terenziani S, Bismuto E, Febbraio F, Nucci R. 2002. Olea europaea L. leaf extract and derivatives: Antioxidant properties. J Agric Food Chem. 50:4934–4940. Brinton WF. 2000. Compost quality standards and guidlines: An international view. New York (US).Woods End Research Laboratory, Inc. Cervilla LM, Blasco B, Rios JJ, Romero L, Ruiz JM. 2007. Oxidative stress and antioxidants in tomato (Solanum lycopersicum) plants subjected to boron toxicity. Ann Bot. 100:747–756. Chiraz M. 2013. Growth of young olive trees: Water requirements in relation to canopy and root development. Am J Plant Sci. 4:1316–1344. De La Torre-Carbot K, Jauregui O, Gimeno E, Castellote AI, Lamuela-Raventos RM, Lopez-Sabater MC. 2005. Characterization and quantification of phenolic compounds in olive oils by solid-phase extraction, HPLC-DAD, and HPLC-MS/MS. J Agric Food Chem. 53:4331–4340. Durlu-özkaya F, Özkaya MT. 2011. Oleuropein using as an additive for feed and products used for humans. Food Process Technol. 2:1–7. Fabbri A, Lambardi M, Ozden-Tokatli Y. 2009. Olive Breeding dalam Breeding plantation tree crops: Tropical species. Jain SM, Priyadarshan P., editors. New York (US): Springer. Freihat NM, Masadeh YK. 2006. Response of two-year-old trees of four olive cultivars to fertilization. Am J Agric Environ Sci. 1:185–190. Gallie DR. 2013. L-Ascorbic acid: A multifunctional molecule supporting plant growth and development. Sci World J. 2013:1–24. Gutierrez-Rosales F, Romero MP, Casanovas M, Motilva MJ, Mínguez-Mosquera MI. 2010. Metabolites involved in oleuropein accumulation and degradation in fruits of Olea europaea L.: Hojiblanca and Arbequina varieties. J Agric Food Chem. 58:12924–12933. Hafez MM, Shafeek M, Mahmoud AR, Ali AH. 2015. Beneficial effects of nitrogen fertilizer and humic acid on growth, yield and nutritive values of spinach (Spinacia olivera L.). J Appl Sci. 05:597–603.
26
Hargreaves J, Adl SM, Warman P. 2008. A Review of the use of composted municipal solid waste in agriculture. Agric Ecosyst Environ. 123:1–14. Jemai H, El-Feki A, Sayadi S. 2009. Antidiabetic and antioxidant effects of hydroxytyrosol and oleuropein from olive leaves in alloxan-diabetic rats. J Agric Food Chem. 57:8798–8804. Koh E, Charoenprasert S, Mitchell AE. 2012. Effect of organic and conventional cropping systems on ascorbic acid, vitamin C, flavonoids, nitrate, and oxalate in 27 varieties of Spinach (Spinacia oleracea L.). J Agric Food Chem. 60:3144–3150. Kohler A, Maag D, Veyrat N, Glauser G, Wolfender J-L, Turlings TC, Erb M. 2014. Within-plant distribution of 1,4-benzoaxin-3-ones contributes to herbivore niche differentiation in maize. Plant Cell Environ. 37:1–13. Loewus FA. 1999. Biosynthesis and metabolism of ascorbic acid in plants and of analogs of ascorbic acid in fungi. Phytochemistry. 52:193–210. López-Granados F, Jurado-Expósito M, Álamo S, Garcia-Torres L. 2004. Leaf nutrient spatial variability and site-specific fertilization maps within olive (Olea europaea L.) orchards. Eur J Agron. 21:209–222. Majer P, Hideg E. 2012. Developmental stage is an important factor that determines the antioxidant responses of young and old grapevine leaves under UV irradiation in a green-house. Plant Physiol Biochem. 50:15–23. Mattjik MA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan MINITAB. Jilid 1. Bogor (ID): IPB Pr. Mazid M, Khan T, Mohammad F. 2011. Role of secondary metabolites in defense mechanisms of plants. Biol Med. 3:232–249. Omar SH. 2010. Oleuropein in olive and its pharmacological effects. Sci Pharm. 78:133–154. Orlandi F, Garcia-Mozo H, Dhiab A, Galán C, Msallem M, Romano B, Abichou M, Dominguez-Vilches E, Fornaciari M. 2013. Climatic indices in the interpretation of the phenological phases of the olive in mediterranean areas during its biological cycle. Clim Change. 116:263–284. Ortega-garcía F, Blanco S, Peinado MÁ. 2007. Polyphenol oxidase and its relationship with oleuropein concentration in fruits and leaves of olive (Olea europaea) cv.“ Picual ” trees during fruit ripening. Tree Physiol. 28:45–54. Pastori GM, Kiddle G, Antoniw J, Bernard S, Veljovic-jovanovic S, Verrier PJ, Noctor G, Foyer CH. 2003. Leaf vitamin C contents modulate plant defense transcripts and regulate genes that control development through hormone signaling. Plant Cell. 15:939–951. Pereira AP, Ferreira ICFR, Marcelino F, Valentão P, Paula B, Seabra R, Estevinho L, Bento A, Pereira JA. 2007. Phenolic compounds and antimicrobial activity of Olive (Olea europaea L. Cv. Cobrancosa) leaves. Moleculs. 12:1153–1162. Pignocchi C, Foyer CH. 2003. Apoplastic ascorbate metabolism and its role in the regulation of cell signalling. Curr Opin Plant Biol. 6:379–389. Rao KVM, Sresty TVS. 2000. Antioxidative parameters in the seedlings of pigeonpea (Cajanus cajan (L.) Millspaugh) in response to Zn and Ni stresses. Plant Sci. 157:113–128.
27
Rekha C, Poornima G, Manasa M, Abhipsa V, Devi JP, Kumar HV, Kekuda TP. 2012. Ascorbic acid, total phenol content and antioxidant activity of fresh juices of four ripe and unripe Citrus fruits. Chem Sci Trans. 1:303–310. Ryals R, Kaiser M, Torn MS, Asefaw A, Silver WL. 2014. Impacts of organic matter amendments on carbon and nitrogen dynamics in grassland soils. Soil Biol Biochem. 68:52–61. Ryan D, Antolovich M, Prenzler P, Robards K, Lavee S. 2002. Biotransformations of phenolic compounds in Olea europaea L. Sci Hort. 92:147–176. Servili M, Selvaggini R, Esposto S, Taticchi A, Montedoro G, Morozzi G. 2004. Health and sensory properties of virgin olive oil hydrophilic phenols: Agronomic and technological aspects of production that affect their occurrence in the oil. J Chroma. 1054:113–127. Shi Q, Schlegel V. 2012. Green tea as an agricultural based health promoting food: The past five to ten years. Agriculture. 2:393–413. Silva S, Gomes L, Leitao F, Coelhoa V, Boas LV. 2006. Phenolic compounds and antioxidant activity of Olea europaea L. fruits and leaves. Food Sci Technol Int. 12:385–395. Smirnoff N. 1996. The function and metabolism of ascorbic acid in plants. Ann Bot. 78:661–669. Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. Third Ed. California (US): Sinaeur Associates. [USAID] United State Agency International Development. 2011. Olives Production Manual. United State (US). The Louis Berger Group, Inc. Vossen P. 2013. Handbook of olive oil analysis and properties. Second Ed. Aparicio R, Harwood J, editors. New York (US): Springer. Vuong QV, Hirun S, Roach PD, Bowyer MC, Phillips PA, Scarlett CJ. 2013. Effect of extraction conditions on total phenolic compounds and antioxidant activities of Carica papaya leaf aqueous extracts. J Herb Med. 3:104–111. Wei Y, Liu Y. 2005. Effects of sewage sludge compost application on crops and cropland in a 3-year field study. Chemosphere. 59:1257–1265. Zhang DW, Yuan S, Xu F, Zhu F, Yuan M, Ye HX, Guo HQ, Lv X, Yin Y, Lin HH. 2016. Light intensity affects chlorophyll synthesis during greening process by metabolite signal from mitochondrial alternative oxidase in Arabidopsis. Plant Cell Environ. 39:12–25.
28
LAMPIRAN
29
Lampiran 1 Bagan susunan pot di lapangan Kondisi Naungan 50% (N1) PKV
70 cm
PS
N1P2D1 N1P2D2
N1P2D1 N1P2D2
N1P2D1 N1P2D2
N1P2D1 N1P2D2
N1P1D1 N1P1D2
N1P1D1 N1P1D2
N1P1D1 N1P1D2
N1P1D1 N1P1D2
N1P2D1 N1P2D2
N1P2D1 N1P2D2
N1P2D1 N1P2D2
N1P2D1 N1P2D2
N1P1D1 N1P1D2
N1P2D1 N1P2D2
N1P1D1 N1P1D2
N1P2D1 N1P2D2
N1P1D1 N1P1D2
N1P1D1 N1P1D2
N1P1D1 N1P1D2
N1P1D1 N1P1D2
70 cm Kondisi tanpa naungan (N2) PKV
70 cm
PS
N2P2D1 N2P2D2
N2P2D1 N2P2D2
N2P2D1 N2P2D2
N2P2D1 N2P2D2
N2P1D1 N2P1D2
N2P2D1 N2P2D2
N2P1D1 N2P1D2
N2P1D1 N2P1D2
N2P1D1 N2P1D2
N2P1D1 N2P1D2
N2P1D1 N2P1D2
N2P1D1 N2P1D2
N2P1D1 N2P1D2
N2P2D1 N2P2D2
N2P2D1 N2P2D2
N2P2D1 N2P2D2
N2P2D1 N2P2D2
N2P1D1 N2P1D2
N2P2D1 N2P2D2
N2P1D1 N2P1D2
70 cm Ket:
N1 = Naungan 50% P1 = Pupuk NPK N2 = Tanpa naungan P2 = Pupuk kompos PKV = Pengamatan karakter vehetatif PS = Pengambilan sampel
D1 = Daun muda D1 = Daun dewasa
30
Lampiran 2 Hasil analisis sidik ragam peubah karakter vegetatif tanaman pada 15 minggu setelah perlakuan (MSP) Derajat bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat tengah
F hitung
Sig.
Naungan
1
Tinggi tanaman 1445.000
1445.000
18.266
0.003
Galat Naungan
8
632.862
79.108
Pupuk
1
801.378
801.378
4.881
0.058
Naungan * Pupuk
1
40.328
40.328
0.246
0.633
Galat Pupuk
8
1313.474
164.184
Total
19
4233.042
222.792
Naungan
1
Jumlah Daun 321057.800
321057.800
9.735
0.014
Galat Naungan
8
263848.400
32981.050
Pupuk
1
697137.800
697137.800
12.646
0.007
Naungan * Pupuk
1
57888.800
57888.800
1.050
0.335
Galat Pupuk
8
441020.400
55127.550
Total
19
1780953
93734.38
Naungan
1
Jumlah ranting 80.000
80.000
3.150
0.114
Galat Naungan
8
203.200
25.400
Pupuk
1
259.200
259.200
8.361
0.020
Naungan * Pupuk
1
0.800
0.800
0.026
0.876
Galat Pupuk
8
248.000
31.000
Total
19
791.200
41.642
0.000
0.995
Sumber Keragaman
Diameter batang Naungan
1
0.000
0.000
Galat Naungan
8
0.817
0.102
Pupuk
1
0.015
0.015
0.334
0.579
Naungan * Pupuk
1
0.004
0.004
0.093
0.768
Galat Pupuk
8
0.361
0.045
Total
19
1.198
0.063
31
Lampiran 3 Hasil analisis sidik ragam peubah konsentrasi oleuropein pada teh daun zatun Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F hitung
Sig.
Naungan
1
55.283
55.283
3.688
0.195
Galat Naungan
2
29.984
14.992
Pupuk
1
36.083
36.083
1.821
0.310
Naungan * Pupuk
1
5.363
5.363
0.271
0.655
Galat Pupuk
2
39.638
19.819
Total
7
166.351
131.540
Sumber Keragaman
32
Lampiran 4 Hasil analisis sidik ragam peubah konsentrasi oleuropein pada daun segar zaitun Sumber Keragaman
Derajat bebas
Jumlah Kuadrat kuadrat tengah
F hitung
Sig.
0.059
0.831
Naungan Galat naungan
1
0.744
0.744
2
25.263
12.632
Pupuk
1
3.432
3.432
0.712
0.431
Naungan * Pupuk Galat pupuk
1
5.748
5.748
1.193
0.317
6
28.913
4.819
Daun
1
30.058
30.058
6.238
0.047
Naungan * Daun
1
10.514
10.514
2.182
0.190
Pupuk * Daun
1
0.946
0.946
0.196
0.673
Naungan * Pupuk * Daun Galat daun
1
3.563
3.563
0.739
0.423
6
28.913
4.819
Total
21
138.094
77.275
33
Lampiran 5 Hasil analisis sidik ragam peubah konsentrasi asam askorbat pada daun segar zaitun Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F hitung
Sig.
Naungan Galat naungan
1
9.677
9.677
0.308
0.609
4
125.806
31.452
Pupuk
1
60.484
60.484
7.500
0.018
Naungan * Pupuk Galat pupuk
1
2.419
2.419
0.300
0.594
12
96.774
8.065
Daun
1
241.935
241.935
30.000
0.000
Naungan * Daun
1
87.097
87.097
10.800
0.007
Pupuk * Daun
1
2.419
2.419
0.300
0.594
Naungan * Pupuk * Daun Galat daun
1
2.419
2.419
0.300
0.594
12
96.774
8.065
Total
35
725.804
454.032
Sumber Keragaman
34
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 3 Mei 1990 di Makassar, Sulawesi Selatan. Penulis merupakan putri dari pasangan Bapak Arifin (alm) dan Ibu Harlina. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis lulus dari Sekolah Dasar Negeri Toddopuli pada tahun 2002, lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri 13 Makassar pada tahun 2005, dan lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bontomatene pada tahun 2008. Pendidikan S1 ditempuh penulis pada Program Studi Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Makassar (UNM) dan lulus pada tahun 2012. Pada tahun 2013 penulis melanjutkan studi S2 di Mayor Biologi Tumbuhan (BOT) Departemen Biologi, Institut Pertanian Bogor (IPB). Selama menempuh Program Pascasarjana, penulis mendapatkan program Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) 2013. Hasil penelitian ini telah dikirimkan ke Journal of Tropical Agricultural Science dengan judul Vegetative Performance of Olive (Olea europaea L.) Plants and Oleuropein Content in Different Planting Conditions.