KANDUNGAN MINERAL, VITAMIN A, B12, DAN KOMPONEN BIOAKTIF SOTONG (Sepia recurvirostra)
SITI KARMILA
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
RINGKASAN SITI KARMILA. C34070103. Kandungan Mineral, Vitamin A, B12, dan Komponen Bioaktif Sotong (Sepia recurvirostra). Dibimbing oleh NURJANAH dan AGOES M. JACOEB. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan rendemen, komposisi kimia (air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat), kadar mineral (makro dan mikro), vitamin (A dan B12), komponen bioaktif, dan logam berat (Cd, Pb, dan Hg) yang terkandung dalam sotong. Pengujian yang dilakukan meliputi analisis proksimat, uji mineral dan logam berat dengan AAS, uji vitamin dengan HPLC, dan uji fitokimia. Sotong pada penelitian ini diperoleh dari pasar ikan Muara Angke, Jakarta. Rendemen kepala, badan, jeroan, dan cangkang sotong berturutturut sebesar 32,53%, 45,09%, 18,06% dan 4,32%. Sotong mengandung air sebesar 84%, protein sebesar 13-14%, lemak sebesar 0,7-0,9%, abu sebesar 0,8%, dan karbohidrat sebesar 1,1-1,4%. Kandungan mineral makro pada sotong adalah natrium sebesar 1533-1610 mg/kg bb, magnesium sebesar 60-65 mg/kg bb, kalsium sebesar 186-198 mg/kg bb, kalium sebesar 211-278 mg/kg bb, dan fosfor sebesar 440-570 mg/kg bb. Kandungan mineral mikro pada sotong adalah besi sebesar 4-7 mg/kg bb, seng sebesar 19-21 mg/kg bb, tembaga sebesar 6-12 mg/kg bb, dan selenium sebesar 0,02-0,06 mg/kg bb. Hasil analisis logam berat menunjukkan bahwa sotong mengandung logam kadmium sebesar 0,04-0,15 mg/kg bb di bawah ambang batas aman kadmium pada makanan yaitu 1 mg/kg bb, sedangkan logam timbal dan merkuri tidak terdeteksi sehingga sotong masih aman untuk dikonsumsi. Sotong juga mengandung vitamin A sebesar 580-680 µg/100 g dan vitamin B12 sebesar 3-5 µg/100 g. Ekstrak kasar sotong berupa daging, tinta, dan cangkang mengandung lima komponen bioaktif yang terdeteksi melalui uji alkaloid, steroid, karbohidrat, peptida, dan asam amino. Komponen-komponen bioaktif ini diduga memiliki banyak aktivitas fisiologis yang positif bagi tubuh manusia.
KANDUNGAN MINERAL, VITAMIN A, B12, DAN KOMPONEN BIOAKTIF SOTONG (Sepia recurvirostra)
SITI KARMILA C34070103
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul
: Kandungan Mineral, Vitamin A, B12, dan Komponen Bioaktif Sotong (Sepia recurvirostra)
Nama
: Siti Karmila
NRP
: C34070103
Departemen
: Teknologi Hasil Perairan
Menyetujui: Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Nurjanah, MS NIP. 19591013 198601 2 002
Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol NIP. 19591127 198601 1 005
Mengetahui: Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., MPhil NIP. 19580511 198503 1 002
Tanggal Lulus:
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Kandungan Mineral, Vitamin A, B12, dan Komponen Bioaktif Sotong (Sepia recurvirostra)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2011
Siti Karmila C34070103
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pangkal Pinang pada tanggal 17 Februari 1989 dari pasangan Hasan dan Marwah sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai dari TK Melati II Manggar (1994-1995), SD Negeri No.261 Tarasu, Kajuara, Bone (1995-2001), dan dilanjutkan di SLTP Negeri 1 Manggar (2001-2004). Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMA Negeri 1 Manggar (2004-2007) dan pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Departemen Teknologi Hasil Perairan melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Pemerintah Daerah Belitung Timur. Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (Himasilkan) sebagai anggota divisi PSDM periode 2008-2009, anggota divisi HRD Forum Keluarga Muslim Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FKM-C) periode 2008-2010, dan anggota Ikatan Keluarga Pelajar Belitung (IKPB). Penulis juga aktif sebagai asisten mata kuliah Teknologi Produk Tradisional Hasil Perairan tahun ajaran 2010/2011 dan Pengetahuan Bahan Baku Industri Hasil Perairan tahun ajaran 2010/2011. Sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Kandungan Mineral, Vitamin A, B12, dan Komponen Bioaktif Sotong (Sepia recurvirostra)” di bawah bimbingan Dr. Ir. Nurjanah, MS dan Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol.
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan Gelar Sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi hasil penelitian ini berjudul “Kandungan Mineral, Vitamin A, B12, dan Komponen Bioaktif Sotong (Sepia recurvirostra)”. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama penyusunan skripsi ini, terutama kepada: 1. Dr. Ir. Nurjanah, MS dan Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl.-Biol selaku dosen pembimbing, atas segala bimbingan, pengarahan, dan masukan yang diberikan kepada penulis. 2. Dra. Pipih Suptijah, MBA selaku dosen penguji, yang telah memberikan kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini. 3. Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan. 4. Pemerintah Daerah Kabupaten Belitung Timur yang telah memberikan beasiswa selama penulis kuliah di Institut Pertanian Bogor. Bapak Ali Imran selaku Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Belitung Timur yang terus memberikan motivasi serta dukungan kepada penulis. 5. Keluarga di Belitung (Umak, Bapak, Bang Nuni, Bang Daud) yang telah memberikan doa, semangat, dukungan, dan perhatian kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Suhana Sulastri dan Nurzakiah atas doa, kebersamaan, nasehat, semangat, dan dukungan selama ini. 7. Keluarga besar Departemen Teknologi Hasil Perairan (THP), staff Dosen dan Tata Usaha (TU), serta teman-teman THP 43, 44 (”OK Siippp’), 45, dan 46 yang telah memberikan dorongan dan semangat. 8. Marhamah’ers atas doa dan dukungannya (semoga ”kasih sayang” itu selalu ada dalam pondok kita).
9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dalam penyempurnaan skripsi ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Bogor, September 2011
Siti Karmila
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .................................................................................................... vii DAFTAR TABEL ............................................................................................ ix DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xi 1 PENDAHULUAN .........................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................
1
1.2 Tujuan ......................................................................................................
3
2 TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................
4
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Sotong (Sepia recurvirostra) .........................
4
2.2 Komposisi Kimia Sotong (Sepia recurvirostra) ......................................
6
2.3 Mineral .................................................................................................... 7 2.3.1 Mineral makro ................................................................................ 8 2.3.2 Mineral mikro ................................................................................. 11 2.4 Vitamin ................................................................................................... 14 2.4.1 Vitamin A (Retinol) ........................................................................ 15 2.4.2 Vitamin B12 (Kobalamin) ............................................................... 15 2.5 Analisis Fitokimia ................................................................................... 2.5.1 Alkaloid .......................................................................................... 2.5.2 Steroid/Triterpenoid ...................................................................... 2.5.3 Flavonoid ........................................................................................ 2.5.4 Saponin ........................................................................................... 2.5.5 Fenol hidrokuinon .......................................................................... 2.5.6 Karbohidrat ..................................................................................... 2.5.7 Gula pereduksi ................................................................................ 2.5.8 Peptida ........................................................................................... 2.5.9 Asam amino ....................................................................................
16 16 17 18 18 19 19 20 21 21
2.6 Logam Berat ........................................................................................... 2.6.1 Kadmium (Cd) ............................................................................... 2.6.2 Timbal (Pb) .................................................................................... 2.6.3 Merkuri (Hg) .................................................................................
22 23 23 24
3 METODOLOGI ........................................................................................... 26 3.1 Waktu dan Tempat .................................................................................. 26 3.2 Bahan dan Alat ....................................................................................... 26 3.3 Metode Penelitian .................................................................................... 27 3.3.1 Preparasi bahan baku dan perhitungan rendemen .......................... 27 vii
3.3.2 Analisis proksimat (AOAC 1995) .................................................. 1) Kadar air .................................................................................... 2) Kadar abu .................................................................................. 3) Kadar protein ............................................................................. 4) Kadar lemak ............................................................................... 5) Kadar karbohidrat (by difference) .............................................. 3.3.3 Analisis mineral dan logam berat (Reitz et al. 1987) ...................... 1) Pengujian total mineral (K, Na, Ca, Mg, Zn, Fe, Cu) ................ 2) Pengujian fosfor ......................................................................... 3) Pengujian logam Hg ................................................................... 3.3.4 Analisis vitamin (Rooche 1992) ...................................................... 1) Vitamin A ................................................................................... 2) Vitamin B12 ................................................................................ 3.3.5 Uji fitokimia (Harborne 1987) ........................................................
28 28 29 29 30 30 31 31 31 31 32 32 32 33
4 HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 37 4.1 Karakteristik Bahan Baku ........................................................................ 37 4.1.1 Rendemen ....................................................................................... 38 4.1.2 Komposisi kimia ............................................................................. 40 4.2 Komposisi Mineral Sotong (Sepia recurvirostra) ................................... 44 4.2.1 Mineral makro ................................................................................ 44 4.2.2 Mineral mikro ................................................................................. 47 4.3 Kandungan Vitamin Sotong (Sepia recurvirostra) ................................ 49 4.3.1 Vitamin A ...................................................................................... 49 4.3.2 Vitamin B12 .................................................................................... 50 4.4 Komponen Bioaktif Sotong (Sepia recurvirostra) .................................. 4.4.1 Alkaloid .......................................................................................... 4.4.2 Steroid ............................................................................................. 4.4.3 Karbohidrat ..................................................................................... 4.4.4 Peptida ........................................................................................... 4.4.5 Asam amino ....................................................................................
51 52 53 53 54 55
4.5 Logam Berat ........................................................................................... 4.5.1 Kadmium (Cd) ................................................................................ 4.5.2 Timbal (Cd) .................................................................................... 4.5.3 Merkuri (Hg) ..................................................................................
55 56 57 58
5 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 60 5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 60 5.2 Saran ..................................................................................................... 60 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 61 LAMPIRAN ....................................................................................................... 67
viii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1 Komposisi kimia sotong sotong (Sepia recurvirostra) ...............................
6
2 Komposisi mineral cumi-cumi, sotong, dan gurita .....................................
7
3 Rekomendasi kebutuhan harian beberapa mineral makro ...........................
8
4 Rekomendasi kebutuhan harian beberapa mineral mikro ............................ 12 5 Ukuran dan bobot rata-rata sotong (Sepia recurvirostra) ........................... 38 6 Komposisi kimia kepala dan badan sotong (Sepia recurvirostra) .............. 40 7 Kandungan mineral makro dan mikro sotong (Sepia recurvirostra) (mg/kg bb) .................................................................................................... 44 8 Kandungan vitamin A dan B12 sotong (Sepia recurvirostra) (µg/100 g) .... 49 9 Hasi uji fitokimia ekstrak kasar daging, tinta, dan cangkang sotong (Sepia recurvirostra) ....................................................................... 52 10 Kadar logam berat sotong (Sepia recurvirostra)(mg/kg bb) ....................... 56
ix
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1 Anatomi sotong (Sepia recurvirostra) .........................................................
4
2 Diagram alir metode penelitian ................................................................... 28 3 Diagram alir proses ekstraksi sampel .......................................................... 34 4 Sotong (Sepia recurvirostra) tampak (a) dorsal (b) ventral......................... 37 5 Sotong (Sepia recurvirostra) tampak dorsal (a) kepala dengan organ dalam (b) cangkang (c) kepala (d) badan .............................................................. 39 6 Rendemen daging (kepala dan badan), jeroan, dan cangkang sotong (Sepia recurvirostra) ....................................................................... 39
x
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1 Data morfometrik sotong ............................................................................. 68 2 Perhitungan rendemen sotong ..................................................................... 69 3 Perhitungan analisis proksimat .................................................................... 69 4 Perhitungan mineral (kalsium) ..................................................................... 72 5 Perhitungan vitamin A ................................................................................. 73 6 Rekapitulasi komponen gizi sotong (Sepia recurvirostra) .......................... 75 7 Dokumentasi kegiatan analisis proksimat ................................................... 76 8 Dokumentasi kegiatan analisis kandungan mineral .................................... 76 9 Dokumentasi kegiatan uji fitokimia ............................................................. 77
xi
1
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makanan laut merupakan salah satu sumber pangan hewani yang kaya kandungan nutrisi, umumnya kaya protein dengan komposisi asam amino yang seimbang serta kandungan polyunsaturated fatty acid (PUFA) yang tinggi (Laurenco et al. 2009). Makanan laut juga mengandung beberapa jenis mineral dan vitamin B. Ikan merupakan sumber protein utama di beberapa negara Asia, khususnya Asia Tenggara (Hajeb et al. 2009). Salah satu makanan laut yang banyak mengandung nutrisi adalah sotong. Sotong (cuttlefish) merupakan salah satu Cephalopoda yang dikenal dalam dunia perdagangan di samping cumi-cumi (loligo) dan gurita (octopus). Sebanyak 11-15 ribu ton sotong ditangkap di dunia setiap tahunnya (Ozyurt et al. 2006). Sotong juga banyak tersebar di perairan Indonesia, terutama di perairan pantai (KKP 2005). Sotong merupakan komoditi ekspor ke negara-negara Mediterania, terutama Perancis dalam bentuk beku (Bihan et al. 2006). Sotong memiliki rasa dan aroma yang khas serta hanya mengandung sedikit lemak. Sotong juga merupakan sumber mineral yang bagus, diantaranya kalsium, potassium, seng, besi, fosfor, dan tembaga (Thanonkaew et al. 2006). Sotong juga mengandung sodium dan kolesterol (Okuzumi dan Fujii 2000). Mineral merupakan zat gizi yang dikenal sebagai zat anorganik atau kadar abu (Winarno 2008). Mineral memiliki peranan penting bagi tubuh manusia, baik dalam pemeliharaan fungsi tubuh maupun berbagai tahap metabolisme tubuh. Kekurangan mineral tertentu dapat menyebabkan gangguan gizi, diantaranya ialah terhambatnya pertumbuhan, anemia karena gizi, dan osteoporosis (Biziuk dan Kuczynska 2007). Pemenuhan kebutuhan mineral pada manusia dapat diperoleh dengan cara mengkonsumsi bahan pangan baik yang berasal dari tumbuhan (nabati) maupun hewan (hewani). Sumber mineral paling baik adalah makanan hewani karena mempunyai ketersediaan biologik lebih tinggi dibandingkan makanan nabati (Almatsier 2001). Menurut Thanonkaew et al. (2006), bagian kepala dan mantel sotong mengandung kadar abu sebesar 1,2-1,3%, sedangkan sotong kering
2
mengandung kadar abu sebesar 1% (Sediaoetama 1987). Hal ini menunjukkan bahwa mineral sotong cukup tinggi, namun informasi mengenai mineral yang terkandung dalam sotong di Indonesia masih terbatas. Vitamin merupakan kelompok senyawa organik penting yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah sedikit untuk fungsi normal tubuh. Vitamin tidak disintesis oleh tubuh, oleh karena itu vitamin penting dalam susunan makanan, meskipun terdapat dalam jumlah yang kecil (Sizer dan Whitney 2002). Makanan laut merupakan sumber vitamin yang bagus, diantaranya vitamin B12. Golongan moluska memiliki kandungan vitamin B12 yang lebih tinggi dibandingkan ikan. Kandungan vitamin B12 pada moluska sebesar 3,3-38,9 µg/100 g (Okuzumi dan Fujii 2000). Makanan laut juga mengandung vitamin larut lemak, diantaranya vitamin A. Analisis fitokimia adalah analisis yang diterapkan untuk mengetahui golongan senyawa yang terkandung dalam suatu bahan yang tidak dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh, tetapi memiliki efek menguntungkan bagi manusia (Astawan dan Kasih 2008), oleh karena itu uji kualitatif untuk mengetahui komponen bioaktif yang terkandung dalam sotong juga perlu dilakukan. Keamanan makanan laut juga perlu diperhatikan di samping kandungan nutrisinya yang tinggi. Hal ini terkait dengan pencemaran perairan terutama oleh logam berat yang semakin meningkat. Meningkatnya pencemaran perairan terjadi karena tingginya aktivitas dan penggunaan logam berat oleh manusia, misalnya dalam bidang pertanian, perindustrian, pertambangan, dan rumah tangga maupun aktivitas lain misalnya perbengkelan (Nurjanah et al. 1999). Pencemaran suatu perairan oleh unsur-unsur logam berat dapat berbahaya baik secara langsung terhadap kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa terdapat beberapa macam penyakit pada manusia akibat mengonsumsi makanan yang mengandung logam berat, yaitu kanker, gangguan saluran cerna, dan ginjal (Siagian 2004). Adanya dampak yang berbahaya bagi tubuh jika mengkonsumsi makanan yang tercemar logam berat serta informasi mengenai mineral, vitamin, dan komponen bioaktif sotong masih sangat terbatas, maka penelitian ini perlu dilakukan.
3
1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menentukan rendemen, komposisi kimia (air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat), kadar mineral (makro dan mikro), vitamin (A dan B12), komponen bioaktif, dan logam berat (Cd, Pb, dan Hg) yang terkandung dalam sotong (Sepia recurvirostra).
4
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Sotong (Sepia recurvirostra) Cephalopoda merupakan salah satu sumberdaya hayati penting dalam sektor perikanan laut (Bihan et al. 2006). Cephalopoda adalah salah satu kelompok binatang lunak (filum moluska), meliputi cumi-cumi (squid), sotong (cuttlefish), gurita (octopus) dan kerabatnya. Sotong (Sepia recurvirostra) merupakan salah satu jenis Cephalopoda yang cukup dikenal dan digemari oleh masyarakat. Terdapat kurang lebih 100 spesies sotong di dunia (Ozyurt et al. 2006). Klasifikasi sotong (Sepia recurvirostra) adalah sebagai berikut (Jereb dan Roper 2005): Filum
: Moluska
Kelas
: Cephalopoda
Ordo
: Sepiida
Famili
: Sepiidae
Genus
: Sepia
Spesies
: Sepia recurvirostra Steenstrup, 1875 Sotong (cuttlefish) sering kali disalahartikan sebagai cumi-cumi (loligo).
Sotong memiliki tubuh yang lebih pipih, sementara cumi-cumi lebih berbentuk silinder. Berikut disajikan gambar anatomi sotong pada Gambar 1.
Gambar 1 Anatomi sotong (Sepia recurvirostra) (Sumber: Cole dan Hall 2009)
5
Sotong memiliki badan berbentuk bulat telur agak pendek dengan sirip daging melingkari seluruh badan dan bagian belakang tubuh bundar. Punggung sotong keras karena di dalam dagingnya terdapat kerangka dari kapur yang bentuknya lonjong dan berwarna putih. Sekitar mulut terdapat delapan tangan pendek dan dua tangan panjang (tentakel). Tangan yang pendek dilingkari dengan alat pengisap sepanjang tangan, sedangkan tangan yang panjang (tentakel) hanya terdapat pada ujungnya. Warna sotong bervariasi tetapi umumnya coklat atau kuning kecoklatan tergantung dari warna dasar perairan, pada bagian punggungnya terdapat garis bengkok-bengkok. Ukuran panjang sotong dapat mencapai 30-35 cm, tetapi biasanya 20-25 cm (KKP 2005). Sotong, termasuk Cephalopoda lainnya, pada dasarnya ialah hewan pelagis yang berenang dengan gaya dorong (jet propulsion). Tenaga dorong tersebut berasal dari air yang disemburkan dari rongga mantel yang keluar melalui sifon. Sotong dengan tubuhnya yang pendek dan agak pipih berenang lebih lambat dibandingkan dengan cumi-cumi yang tubuhnya lebih langsing. Dalam kondisi bahaya, sotong akan mengeluarkan cairan tinta berwarna cokelat sampai hitam dengan kandungan pigmen melanin yang lebih tinggi. Tinta yang dikeluarkan akan menyebabkan air di sekitarnya akan menjadi gelap dan membingungkan predator sehingga sotong dapat kabur (Karleskint et al. 2010). Sotong juga mempunyai kemampuan berubah warna seperti bunglon, sehingga tersamar dengan pola warna latar belakangnya seperti pasir atau batu, kebanyakan spesies berubah warna apabila ketakutan. Perubahan warna tersebut disebabkan karena pada bagian kulit terdapat pigmen yang disebut kromatofor (Boal et al. 2000). Kebanyakan Cephalopoda memiliki sistem peredaran darah tertutup, dimana darahnya mengandung hemocyanin. Aliran air dalam rongga mantel selain untuk tenaga gerak, juga menyediakan oksigen untuk pernapasan. Sotong umumnya dioccious, dimana gonad terletak diujung posterior dan selalu terjadi perkawinan (Suwignyo et al. 2002). Sotong merupakan hewan karnivora yang biasanya memangsa ikan-ikan kecil, udang, dan kepiting. Sotong mempunyai penglihatan yang tajam untuk mencari mangsa dan menggunakan tangan atau tentakelnya untuk menangkap mangsa tersebut (Boal et al. 2000). Alat ekskresi pada cephalopoda adalah nephridia, yang terletak pada rongga mantel. Pada
6
bagian kepala terdapat mata sebagai alat indera dan sistem syaraf yang terdiri atas beberapa pasang ganglia (Suwignyo et al. 2002). Sotong bernilai ekonomi tinggi dan banyak dikonsumsi oleh penduduk Asia, terutama Jepang, Korea, Filipina, Malaysia, Taiwan (Suwignyo et al. 2002), dan Thailand (Thanonkaew et al. 2006). 2.2 Komposisi Kimia Sotong (Sepia recurvirostra) Salah satu sumber pangan hewani yang kaya kandungan nutrisi adalah makanan hasil laut. Makanan laut kaya protein, dengan komposisi asam amino yang seimbang serta kandungan polyunsaturated fatty acid (PUFA) yang tinggi. Beberapa spesies makanan laut juga mengandung sebagian besar dari 90 jenis mineral alami (Laurenco et al. 2009). Ikan merupakan sumber protein utama di beberapa negara Asia, khususnya Asia Tenggara. Ikan memiliki kandungan protein yang lebih baik dibandingkan dengan daging, susu atau telur. Ikan juga merupakan sumber asam lemak omega-3 yang baik, kalsium, fosfor, besi, tembaga, dan mengandung vitamin B (Hajeb et al. 2009). Cephalopoda, yakni cumi-cumi, sotong, dan gurita merupakan sumberdaya sektor perikanan laut yang penting dan hanya memiliki sedikit bagian yang tidak bisa dimanfaatkan. Cephalopoda tidak hanya dikonsumsi dalam bentuk segar, tapi juga yang telah diolah, diantaranya dalam bentuk kering, beku, dan produk dingin (Thanonkaew et al. 2006). Sotong banyak dijual dalam keadaan segar (Suwignyo et al. 2002). Cephalopoda hanya mengandung sedikit lemak, namun merupakan sumber mineral yang bagus, diantaranya kalsium, potassium, seng, besi, fosfor, dan tembaga (Thanonkaew et al. 2006). Cephalopoda juga mengandung sodium dan kolesterol (Okuzumi dan Fujii 2000). Berikut disajikan komposisi kimia dan kandungan mineral sotong pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1 Komposisi kimia sotong (Sepia pharaonis) Komposisi kimia Kepala Kadar air 84,42 ± 0,13 Kadar abu 1,29 ± 0,02 Protein 11,90 ± 0,14 Lemak 0,52 ± 0,01 Sumber : Thanonkaew et al. (2006)
Badan 82,78 ± 0,05 1,20 ± 0,24 14,91 ± 0,61 0,47 ± 0,01
7
Tabel 2 Komposisi mineral cumi-cumi, sotong, dan gurita Mineral Cumi-cumi Sotong Br (mg/kg) 13,3 ± 1,4 21,5 ± 2,9 Ca (mg/kg) 136 ± 43 134 ± 26 Cl (mg/100 g) 267 ± 36 439 ± 75 Cu (mg/kg) 1,5 ± 0,2 4,5 ± 2,5 Fe (mg/kg) 1,7 ± 1,2 1,4 ± 0,7 K (mg/100 g) 261 ± 55 289 ± 46 Mg (mg/kg) 435 ± 108 567 ± 99 Mn (mg/kg) 0,16 ± 0,03 0,11 ± 0,04 Na (mg/100 g) 157 ± 33 266 ± 60 Ni (mg/kg) 0,02 ± 0,01 0,05 ± 0,02 P (mg/100 g) 260 ± 20 249 ± 23 Rb (mg/kg) 0,68 ± 0,12 0,77 ± 0,12 S (mg/100 g) 229 ± 24 338 ± 55 Se (mg/kg) Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Sr (mg/kg) 1,8 ± 0,2 2,3 ± 0,3 Zn (mg/kg) 12,6 ± 1,3 17,7 ± 2,3
Gurita 34,0 ± 3,7 213 ± 108 629 ± 97 3,8 ± 1,6 4,2 ± 1,7 223 ± 38 938 ± 262 0,31 ± 0,07 572 ± 143 0,02 ± 0,01 147 ± 39 0,44 ± 0,16 257 ± 54 Tidak terdeteksi 3,8 ± 0,5 17,7 ± 2,2
Sumber: Laurenco et al. (2009)
2.3 Mineral Mineral merupakan elemen anorganik yang terdapat di alam (lapisan bumi), hewan, maupun tumbuhan. Pada proses pengabuan kering atau pengabuan basah, bahan-bahan organik akan hancur dan menguap, sedangkan sisanya merupakan zat anorganik (abu) yang mengandung komponen mineral. Mineral merupakan komponen penting bagi kehidupan organisme. Beberapa mineral berfungsi dalam mengatur proses fisiologi (pengatur tekanan osmotik, transport oksigen, kontraksi otot, dan kepekaan syaraf terhadap rangsangan), elemen essensial bagi enzim serta diperlukan dalam proses pengaturan dan pertumbuhan jaringan dan tulang (Nabrzyski 2007). Kekurangan mineral tertentu dapat menyebabkan gangguan gizi, diantaranya ialah terhambatnya pertumbuhan, anemia karena gizi, dan osteoporosis (Biziuk dan Kuczynska 2007). Pemilihan bahan pangan yang beragam, baik nabati maupun hewani akan dapat mencukupi kebutuhan tubuh akan mineral. Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organik dan air, sisanya sekitar 4% terdiri dari unsur-unsur mineral. Sumber mineral paling baik adalah makanan hewani, kecuali magnesium yang lebih banyak terdapat dalam makanan nabati. Mineral yang berasal dari makanan hewani mempunyai ketersediaan biologik lebih tinggi daripada makanan nabati (Almatsier 2001). Beberapa mineral, misalnya kalsium
8
dan fosfor terdapat dalam jumlah yang relatif besar dan dikenal sebagai mineral makro. Mineral-mineral lainnya, misalnya tembaga dan seng terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit dan dikenal sebagai “trace element” atau mineral mikro (Winarno 2008). 2.3.1 Mineral makro Mineral makro adalah unsur mineral yang dibutuhkan dalam jumlah besar, yaitu lebih dari 100 mg sehari. Kelompok mineral makro terdiri dari natrium, kalium, kalsium, magnesium, sodium, potassium, dan fosfor (Nabrzyski 2007). Kebutuhan harian mineral makro dalam tubuh dapat dilihat pada Tabel 3. Mineral makro berperan sebagai zat pembangun tubuh, selain itu mineral ini juga berperan dalam mempertahankan tekanan osmotik dan keseimbangan asam basa tubuh (Biziuk dan Kuczynska 2007). Tabel 3 Rekomendasi kebutuhan harian beberapa mineral makro Mineral Kebutuhan harian (mg/hari) Kalsium 1000* Fosfor 800-1200* Magnesium 300-400* Natrium < 2300* Kalium 2000* Sulfur 800-1000* Potassium 2000** Klor 2300*** Sumber: * ** ***
Laurenco et al. (2009) Biziuk dan Kuczynska (2007) Sizer dan Whitney (2002)
a. Kalsium (Ca) Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh, yaitu 1,5-2% dari berat badan orang dewasa atau kurang lebih sebanyak 1 kg. Berdasarkan jumlah tersebut, 99% berada dalam jaringan keras, yaitu tulang dan gigi terutama dalam bentuk hidroksiapatit dan sisanya tersebar di dalam tubuh (Almatsier 2001). Kalsium berperan dalam proses pembentukan gigi dan tulang, selain itu kalsium yang berada dalam sirkulasi darah dan jaringan berperan dalam transmisi impuls syaraf, kontraksi otot, penggumpalan darah, pengaturan permeabilitas membran sel, serta keaktifan enzim (Winarno 2008).
9
Kebutuhan tubuh akan kalsium berbeda bagi setiap orang. Di Amerika kebutuhan kalsium bagi orang dewasa adalah 800 mg per kapita per hari, namun untuk orang yang hidup di daerah tropis dapat mempertahankan status kalsiumnya dengan hanya mengkonsumsi 200-400 mg per kapita per hari. Hal ini disebabkan karena adanya sinar matahari yang dapat membantu pembentukan vitamin D yang selanjutnya membantu peningkatan metabolisme kalsium (Muchtadi et al. 1993). Status vitamin D pada tubuh seseorang turut mempengaruhi kebutuhan terhadap kalsium (Sizer dan Whitney 2002). Konsumsi makanan sangat berpengaruh terhadap absorpsi kalsium. Konsumsi fosfor dan protein yang tidak seimbang dengan kalsium cenderung akan menurunkan penyerapan kalsium. Konsumsi serat dan lemak yang berlebihan juga akan menurunkan absorpsi kalsium jika dikonsumsi bersamaan dengan kalsium. Sumber kalsium utama adalah susu dan produk olahannya, yaitu keju, yoghurt, es krim, serta ikan. Beberapa sayur, brokoli dan bayam juga mengandung kalsium, namun absorpsinya tidak setinggi kalsium pada susu karena sayur umumnya berserat tinggi (UI 2009). Kekurangan kalsium dapat menyebabkan osteomalasia atau disebut juga riketsia pada orang dewasa. Osteomalasia terjadi karena kekurangan vitamin D dan ketidakseimbangan konsumsi kalsium terhadap fosfor. Kadar kalsium yang sangat rendah juga dapat menyebabkan tetani atau kejang. Konsumsi kalsium sebaiknya tidak melebihi 2500 mg sehari. Kelebihan kalsium dapat menimbulkan gangguan ginjal dan konstipasi (susah buang air besar) (Almatsier 2001). b. Natrium (Na) Natrium dan klorida biasanya berhubungan sangat erat baik sebagai bahan makanan maupun fungsinya dalam tubuh. Sebagian besar natrium terdapat dalam plasma darah dan cairan di luar sel (ekstraseluler), beberapa diantaranya juga terdapat dalam tulang. Jumlah natrium dalam tubuh manusia diperkirakan 100-110 g (Winarno 2008). Natrium merupakan bagian terbesar dari cairan ekstraseluler dan berfungsi mengatur tekanan osmotik, yaitu menjaga cairan tidak keluar dari darah dan masuk ke dalam sel-sel. Natrium juga berfungsi menjaga keseimbangan asam basa tubuh, transmisi saraf, kontraksi otot, absorpsi glukosa, dan alat angkut zat gizi lain melalui membran (Almatsier 2001).
10
Natrium dan klorida biasanya bergabung membentuk garam meja, yaitu natrium klorida (NaCl) yang merupakan sumber utama natrium. Kebanyakan makanan alami mengandung relatif sedikit natrium, tetapi sesungguhnya banyak garam yang ditambahkan selama proses pengolahan beberapa makanan, diantaranya garam yang ditambahkan pada pembuatan ikan asap, roti, dan sayuran kaleng (Gaman dan Sherrington 1992). Tanda pertama kekurangan natrium adalah rasa haus. Kekurangan natrium juga menyebabkan kejang dan kehilangan nafsu makan. Kelebihan natrium akan menyebabkan hipertensi (tekanan darah tinggi). Kasus hipertensi banyak ditemukan pada masyarakat Asia yang sudah terbiasa mengkonsumsi natrium dalam jumlah besar pada makanannya (7,6-8,2 g/hari) (Winarno 2008). c. Magnesium (Mg) Magnesium merupakan kation nomor dua paling banyak setelah natrium dalam cairan ekstraseluler. Kurang lebih 60% dari 20-28 mg magnesium dalam tubuh terdapat pada tulang dan gigi, 26% di dalam otot, dan sisanya di jaringan lunak lainnya serta cairan tubuh (Almatsier 2001). Magnesium merupakan aktivator enzim peptidase dan enzim lain yang berfungsi memecah dan memindahkan gugus fosfat (fosfatase) (Winarno 2008). Magnesium juga berperan dalam mencegah kerusakan gigi, mengendorkan otot, transmisi syaraf, dan berbagai aktivitas enzim (Sizer dan Whitney 2002). Sumber magnesium diantaranya sayuran hijau, daging, susu dan turunannya, biji-bijian, dan kacang-kacangan. Kekurangan magnesium terjadi apabila kurangnya konsumsi protein dan energi, yang dapat mengakibatkan gangguan dalam pertumbuhan, kurangnya nafsu makan, kejang, gangguan sistem saraf pusat, koma, dan gagal jantung. Kelebihan magnesium biasanya terjadi pada penyakit gagal ginjal (Almatsier 2001). d. Fosfor Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak di dalam tubuh setelah kalsium. Kurang lebih 85% fosfor di dalam tubuh terdapat dalam bentuk kristal pada gigi dan tulang bersama dengan kalsium (Sizer dan Whitney 2002). Fosfor dalam fungsinya sebagai pembentuk tulang dan beberapa fungsi biologik tubuh berhubungan erat dengan kalsium. Perbandingan optimum kalsium dan fosfor
11
sekitar 1:2 (Sediaoetama 1987), tetapi beberapa produk perikanan tidak sesuai dengan perbandingan ini (Okuzumi dan Fujii 2000). Peranan fosfor mirip dengan kalsium, yaitu untuk pembentukan tulang dan gigi serta penyimpanan dan pengeluaran energi. Fosfor juga berperan dalam mengatur keseimbangan asam basa, absorpsi dan trasnportasi zat gizi (Almatsier 2001) serta merupakan bagian dari DNA dan RNA (Sizer dan Whitney 2002). Kebutuhan fosfor orang dewasa sebesar 600-1000 mg/hari (Winarno 2008). Sumber fosfor yang utama adalah bahan makanan dengan kadar protein tinggi, diantaranya daging, unggas, ikan, dan telur. Kekurangan fosfor dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan, kerusakan gigi, dan kerusakan tulang (Sediaoetama 1987). e. Kalium (K) Berbeda dengan natrium, sebanyak 95% kalium terdapat di dalam sel (cairan intraseluler). Peranan kalium mirip dengan natrium, yaitu kalium bersamasama dengan klorida membantu menjaga tekanan osmotik dan keseimbangan asam basa. Kalium juga berperan dalam mengaktivasi reaksi enzim diantaranya piruvat kinase yang dapat menghasilkan asam piruvat dalam proses metabolisme karbohidrat (Winarno 2008). Tubuh orang dewasa mengandung kalium (250 g) dua kali lebih banyak dari natrium (110 g), meskipun demikian biasanya konsumsi kalium lebih sedikit daripada natrium. Kebutuhan minimum akan kalium sebanyak 2000 mg sehari. Kalium terdapat di dalam semua makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan terutama makanan mentah atau segar. Kekurangan kalium pada manusia akan mengakibatkan lemah, lesu, kehilangan nafsu makan dan kelumpuhan, sedangkan kelebihan akan menyebabkan gagal jantung yang berakibat kematian serta gangguan fungsi ginjal (Almatsier 2001). 2.3.2 Mineral mikro Mineral mikro adalah unsur mineral pada tubuh manusia yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit. Mineral mikro dibutuhkan tubuh dalam jumlah kurang dari 100 mg sehari. Kelompok mineral mikro terdiri dari besi, seng, tembaga, selenium, iodium, mangan, seng, kobalt, dan fluor (Nabrzyski 2007). Kebutuhan harian mineral makro dapat dilihat pada Tabel 4. Mineral mikro berfungsi dalam
12
proses metabolisme tubuh serta merupakan bagian dari enzim, hormon dan vitamin (Biziuk dan Kuczynska 2007). Tabel 4 Rekomendasi kebutuhan harian beberapa mineral mikro Mineral Kebutuhan harian (mg/hari) Besi 15* Seng 10-15* Tembaga 1-1.5* Flor 3-4*** Iodium 0.15-0.16** Selenium 0.06-0.075** Mangan 2-5* Nikel 0.025-0.030* Sumber: * ** ***
Laurenco et al. (2009) Biziuk dan Kuczynska (2007) Sizer dan Whitney (2002)
a. Besi (Fe) Besi adalah mineral mikro yang paling banyak terdapat dalam tubuh manusia. Besi merupakan bagian penting dari hemoglobin, mioglobin, dan enzim. Besi tergolong zat gizi essensial sehingga harus disuplai dari makanan. Sumber utama besi adalah pangan hewani terutama berwarna merah, yaitu hati, daging, ayam, dan ikan, sedangkan sumber lain adalah sayuran berdaun hijau (UI 2009). Besi mempunyai beberapa fungsi penting di dalam tubuh, yaitu sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh. Defisiensi besi merupakan defisiensi gizi yang paling umum terjadi, baik di negara maju maupun negara berkembang. Defisiensi gizi secara klasik selalu dikaitkan dengan anemia gizi besi. Kekurangan besi pada umumnya menyebabkan pucat, rasa lemah, letih, pusing, kurang nafsu makan, dan menurunnya kekebalan tubuh. Kelebihan besi jarang terjadi karena makanan, tetapi karena konsumsi suplemen besi. Kelebihan besi dapat menyebabkan muntah, diare, sakit kepala, denyut jantung meningkat, dan pingsan (Almatsier 2001). Zat besi dapat diabsorpsi sekitar 5-15% dari makanan oleh tubuh dalam kondisi normal, sedangkan dalam kondisi kekurangan zat besi dapat mencapai 50%. Absorpsi besi dalam pencernaan dipengaruhi oleh simpanan serta hal-hal lain terkait dengan cara besi dikonsumsi. Zat penghambat absorpsi besi
13
diantaranya adalah tanin (teh), phitat (serelia), dan serat. Zat peningkat absorpsi besi adalah sistein (daging), vitamin C, sitrat, malat, dan laktat yang umum terdapat dalam buah-buahan (UI 2009). b. Seng (Zn) Seng memiliki peranan penting dalam banyak fungsi tubuh, diantaranya dalam
berbagai
aspek
metabolisme,
sintesis
dan
degradasi
kolagen,
pengembangan fungsi reproduksi laki-laki serta berperan dalam fungsi kekebalan tubuh (Almatsier 2001). Dalam tubuh, zat gizi ini terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit dan banyak tersimpan di dalam pankreas, hati, ginjal, paru, otot, tulang, dan mata. Seng dapat diperoleh dari pangan hewani, terutama daging, telur, kerang, dan serelia (UI 2009). Kekurangan seng dapat terjadi pada golongan rentan, yaitu anak-anak, ibu hamil dan menyusui serta orang tua. Kekurangan seng dapat menyebabkan fungsi pencernaan terganggu, gangguan pertumbuhan dan kematangan seksual, gangguan sistem saraf dan fungsi otak serta gangguan pada fungsi kekebalan tubuh. Kelebihan seng dapat menurunkan absorpsi tembaga serta mempengaruhi metabolisme kolesterol (Almatsier 2001). c. Tembaga (Cu) Tembaga dalam tubuh manusia umumnya terdapat pada hati, ginjal, dan rambut. Tembaga berperan dalam beberapa kegiatan enzim pernapasan, yaitu sebagai kofaktor enzim tiroksinase dan sitokrom oksidase. Tembaga juga diperlukan dalam proses pertumbuhan sel-sel darah merah yang masih muda (Winarno 2008). Tembaga dapat diperoleh dari makanan laut, kacang, dan daging (Sizer dan Whitney 2002). Kekurangan tembaga pernah dilihat pada anak-anak kekurangan protein dan menderita anemia kurang besi serta pada anak-anak yang mengalami diare. Kelebihan tembaga secara kronis menyebabkan penumpukan tembaga di dalam hati yang dapat mengakibatkan nekrosis hati atau serosis hati (Almatsier 2001). d. Selenium (Se) Selenium adalah mineral mikro yang merupakan bagian essensial dari enzim glutation peroksidase. Selenium bekerja sama dengan vitamin E dalam peranannya sebagai antioksidan. Selenium juga berperan serta dalam sistem enzim
14
yang mencegah terjadinya radikal bebas dengan menurunkan konsentrasi peroksida dalam sel, sedangkan vitamin E menghalangi bekerjanya radikal bebas setelah terbentuk. Konsumsi selenium dalam jumlah cukup menghemat penggunaan vitamin E (Almatsier 2001). Selenium dapat diperoleh dari sayur, jamur, ikan dan daging. Kekurangan selenium dapat menyebabkan sirosis hati, kanker, katarak serta penurunan produksi antibodi (Sizer dan Whitney 2002). 2.4 Vitamin Vitamin merupakan kelompok senyawa organik penting yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah sedikit untuk fungsi normal tubuh, diantaranya pemeliharaan, pertumbuhan dan pembangunan. Vitamin tidak disintesis oleh tubuh, oleh karena itu vitamin penting dalam susunan makanan, meskipun terdapat dalam jumlah yang kecil. Vitamin yang terdapat dalam makanan dikenal sebagai prekursor atau provitamin. Provitamin adalah senyawa yang tidak termasuk vitamin tetapi dapat diubah menjadi vitamin (Sizer dan Whitney 2002). Vitamin berfungsi dalam beberapa tahap reaksi metabolisme energi, pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh, pada umumnya sebagai koenzim atau sebagai bagian dari enzim (Almatsier 2001). Susunan makanan yang seimbang dan beragam akan dapat memenuhi kebutuhan tubuh akan vitamin. Kekurangan vitamin telah lama dikenal mengakibatkan penyakit defesiensi yang serius. Kelebihan dosis vitamin tertentu, terutama vitamin yang larut dalam lemak, dapat mengakibatkan keracunan yang serius, karena alasan ini penambahan vitamin ke dalam makanan harus dikendalikan secara hati-hati (deMan 1989). Vitamin dikelompokkan ke dalam dua golongan utama, yaitu vitamin larut lemak dan vitamin larut air. Vitamin larut lemak merupakan molekul hidrofobik, yang semuanya adalah turunan isopren. Molekul-molekul ini tidak disintesis tubuh dalam jumlah yang memadai sehingga harus disuplai dari makanan (Ottaway 1993). Vitamin larut lemak diabsorpsi bersama dengan lipida lain dan diangkut ke hati melalui sistem limfe sebagai bagian dari lipoprotein. Vitamin larut lemak terdiri dari vitamin A, D, E, dan K (Almatsier 2001). Vitamin C dan vitamin B-kompleks merupakan vitamin larut air. Kelarutannya dalam air membuat vitamin ini tidak tersimpan dalam tubuh, karena jika berlebihan akan dikeluarkan bersama dengan urin (Gaman dan Sherrington 1992).
15
2.4.1 Vitamin A (Retinol) Secara luas, vitamin A merupakan nama generik yang menyatakan semua retinoid dan provitamin A (karotenoid). Vitamin A adalah suatu kristal alkohol berwarna kuning dan larut dalam lemak atau pelarut lemak. Vitamin A biasanya terdapat pada makanan dalam bentuk retinil, yaitu terikat pada asam lemak rantai panjang. Bentuk aktif vitamin A hanya terdapat pada pangan hewani. Pangan nabati mengandung karotenoid yang merupakan prekursor (provitamin) A (Almatsier 2001). Vitamin A berperan dalam berbagai fungsi normal tubuh, diantaranya penglihatan, kekebalan tubuh, reproduksi, serta pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Jumlah harian vitamin A yang diperbolehkan bagi orang dewasa adalah sebesar 900 µg/hari untuk laki-laki dan 700 µg/hari untuk perempuan (Sizer dan Whitney 2002). Sumber provitamin A yang baik terdapat dalam produk sayuran, yaitu wortel, ubi, tomat, dan brokoli. Kandungan tertinggi vitamin A ditemukan dalam minyak hati ikan tertentu, misalnya ikan Gadus morrhua dan Gadus macrocephalus dan Opuntia tuna. Sumber-sumber lain yang penting, ialah hati mamalia, kuning telur, dan susu serta produk susu (deMan 1989). Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan kulit kering, mata kering, menurunkan daya tahan tubuh terhadap infeksi, pertumbuhan dan perkembangan yang terhambat (Gaman dan Sherrington 1992), dan buta malam yang merupakan tanda-tanda yang biasa digunakan bagi diagnosis kekurangan vitamin A pada manusia (Lehninger 1988). Kelebihan vitamin A biasanya disebabkan karena penggunaan suplemen yang mengandung vitamin A dengan dosis yang berlebihan (Gaman dan Sherrington 1992). 2.4.2 Vitamin B12 (Kobalamin) Vitamin B12 adalah kristal merah yang larut air, warna merah karena adanya kobalt. Vitamin B12 (kobalamin) mempunyai struktur cincin yang kompleks (cincin corrin) dan serupa dengan cincin porfirin, pada cincin ini ditambahkan ion kobalt dibagian tengahnya. Bentuk utama vitamin B12 dalam makanan adalah adenosilkobalamin, metilkobalamin, dan hidroksikobalamin (Almatsier 2001). Vitamin B12 hanya ditemukan pada pangan hewani. Hati adalah
16
sumber yang paling kaya akan vitamin B12, selain itu vitamin ini juga ditemukan dalam susu, daging, ikan, dan telur (Gaman dan Sherrington 2002). Vitamin B12 berfungsi dalam metabolisme asam amino serta biosintesis protein dan asam nukleat (Okuzumi dan Fujii 2000). Vitamin B12 juga diperlukan untuk mengubah folat menjadi bentuk aktif dan fungsi normal tubuh terutama jaringan syaraf serta merupakan kofaktor enzim. Jumlah harian vitamin B12 yang diperbolehkan bagi orang dewasa adalah sebesar 2,4 µg/hari. Kekurangan vitamin B12 dapat menyebabkan pernicious anemia (anemia karena kekurangan folat). Penyakit ini hampir selalu disebabkan oleh gangguan penyerapan vitamin daripada defesiensi (Sizer dan Whitney 2002). 2.5 Analisis Fitokimia Analisis fitokimia adalah analisis yang diterapkan untuk mengetahui golongan senyawa yang terkandung dalam suatu bahan yang tidak dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh, tetapi memiliki efek menguntungkan bagi manusia. Senyawa fitokimia bukan merupakan zat gizi, karena tanpa komponen tersebut tubuh manusia tetap melakukan metabolisme secara normal. Konsumsi senyawa fitokimia akan membantu meningkatkan kesehatan dan ketahanan tubuh manusia (Astawan dan Kasih 2008). 2.5.1 Alkaloid Alkaloid pada umumnya mencangkup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik, yaitu cincin heterosiklik (Harborne 1987). Alkaloid adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang terbentuk berdasarkan prinsip pembentukan campuran (Sirait 2007). Alkaloid merupakan turunan yang paling umum dari asam amino. Secara kimia, alkaloid merupakan suatu golongan heterogen. Secara fisik, alkaloid dipisahkan dari kandungan tumbuhan lainnya sebagai garamnya dan sering diisolasi sebagai kristal hidroklorida atau pikrat (Harborne 1987). Senyawa alkaloid dikelompokkan menjadi tiga antara lain, alkaloid sesungguhnya, protoalkaloid, dan pseudoalkaloid. Alkaloid sesungguhnya adalah racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas fisiologis yang luas, hampir tanpa
17
terkecuali bersifat basa, umumnya mengandung nitrogen dalam cincin heterosiklik, diturunkan dari asam amino, dan biasanya terdapat di tanaman sebagai garam asam organik. Protoalkaloid merupakan amin yang relatif sederhana dimana di dalam nitrogen asam amino tidak terdapat cincin heterosiklik dan diperoleh berdasarkan biosintesis dari asam amino yang bersifat basa. Pseudoalkaloid tidak diturunkan dari prekursor asam amino dan biasanya senyawa ini bersifat basa (Sastrohamidjojo 1996). 2.5.2 Steroid/Triterpenoid Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Triterpenoid dapat dibagi menjadi empat kelompok senyawa, yaitu triterpen sebenarnya, steroid, saponin, dan glikosida jantung (cardiac glycoside). Beberapa triterpen dikenal dengan rasanya, terutama rasa pahit. Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid. Steroid merupakan golongan triterpena yang tersusun atas sistem cincin cyclopetana perhydrophenanthrene. Steroid pada mulanya dipertimbangkan hanya sebagai komponen pada substansi hewan saja (sebagai hormon seks, hormon adrenal, asam empedu, dan lain-lain), akan tetapi akhir-akhir ini steroid juga ditemukan pada jaringan tumbuhan (Harborne 1987). Prekursor pembentukan steroid adalah kolesterol atau fitosterol. Menurut Bose et al. (1997), profil steroid yang terdapat pada Achatina fulica yang merupakan salah satu jenis gastropoda, meliputi progesterone, 17-β-estradiol, testosterone, 4-androstene-dione dan cortisol. Steroid juga diduga memiliki efek peningkat stamina tubuh (aprodisiaka) dan anti-inflamasi. Hasil penelitian Setzer (2008) menunjukkan bahwa sejumlah triterpenoid alami memiliki aktivitas antitumor
karena
mempunyai
kemampuan
menghambat
kinerja
enzim
topoisomerase II, dengan cara berikatan dengan sisi aktif enzim yang nantinya akan mengikat DNA dan membelahnya. Hal ini menyebabkan enzim menjadi terkunci dan tidak dapat mengikat DNA.
18
2.5.3 Flavonoid Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa polifenol, karena itu larutan ekstrak yang mengandung komponen flavonoid akan berubah warna jika diberi larutan basa atau ammonia. Flavonoid mengandung sistem aromatik konjugasi dan dapat menunjukkan pita penyerapan yang kuat pada spektrum wilayah UV dan sinar tampak (Astawan dan Kasih 2008). Flavonoid umumnya merupakan komponen larut air (polar). Komponen ini dapat diekstrak dengan etanol 70% dan tertinggal pada lapisan aqueous, diikuti dengan pemisahan ekstrak menggunakan petroleum ether. Flavonoid dapat dikelompokkan menjadi sembilan kelas yaitu anthosianin, proanthosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil, chlacone dan aurone, flavanon, serta isoflavon (Harborne 1987). Flavonoid sangat efektif untuk digunakan sebagai antioksidan. Senyawa flavonoid juga dapat mencegah penyakit kardiovaskuler dengan cara menurunkan laju oksidasi lemak. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa flavonoid dapat menurunkan hiperlipidemia pada manusia. Pada kasus penyakit jantung, penghambatan oksidasi LDL oleh flavonoid dapat mencegah pembentukan sel-sel busa dan kerusakan lipid (Astawan dan Kasih 2008). Hasil penelitian Sukadana (2009) menunjukkan bahwa komponen flavonoid yang diisolasi dari buah belimbing manis memiliki aktivitas antibakteri pada bakteri Gram positif (S. aureus) pada konsentrasi 500 ppm dan bakteri Gram negatif (E. coli) pada konsentrasi 100 ppm. 2.5.4 Saponin Saponin atau glikosida sapogenin adalah salah satu glikosida yang tersebar luas dalam tanaman. Tiap saponin terdiri dari sapogenin yang merupakan molekul aglikon dan sebuah gula. Saponin merupakan senyawa yang menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah, sehingga sering digunakan sebagai deterjen. Saponin dapat digunakan untuk meningkatkan diuretika serta merangsang kerja ginjal, namun saponin dapat menyebabkan iritasi pada selaput lendir, serta bersifat toksik pada binatang berdarah dingin yaitu ikan (Harborne 1987). Hal inilah yang menyebabkan saponin banyak dimanfaatkan sebagai racun ikan yang disebut sapotoksin (Sirait 2007).
19
Terdapat dua senyawa saponin, yaitu glikosida triterpenoid alkohol dan glikosida struktur steroid tertentu yang mempunyai rantai samping spiroketal. Kedua jenis ini larut dalam air dan etanol, tetapi tidak larut dalam eter. Aglikonnya yang disebut sapogenin diperoleh dengan hidrolisis dalam suasana asam atau hidrolisis memakai enzim dan tanpa bagia gula ciri kelarutannya sama dengan ciri sterol lain (Robinson 1995). 2.5.5 Fenol hidrokuinon Fenol meliputi berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan dan mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil. Flavonoid merupakan golongan fenol yang terbesar, selain itu juga terdapat fenol monosiklik sederhana, fenilpropanoi, dan kuinon fenolik. Kuinon adalah senyawa bewarna dan mempunyai kromofor dasar, seperti kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Kuinon untuk tujuan identifikasi dapat dipilah menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama biasanya terhidroksilasi dan bersifat senyawa fenol serta mungkin terdapat in vivo dalam bentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinol tanpa warna, kadang-kadang juga bentuk dimer (Harborne 1987). Senyawa kuinon yang terdapat sebagai glikosida mungkin larut sedikit dalam air, tetapi umumnya kuinon lebih mudah larut dalam lemak dan akan terdeteksi dari tumbuhan bersama-sama dengan karotenoid dan klorofil. Reaksi yang khas adalah reduksi bolak-balik yang mengubah kuinon menjadi senyawa tanpa warna, kemudian warna kembali lagi bila terjadi oksidasi oleh udara. Reduksi dapat dilakukan menggunakan natrium borohidrida dan oksidasi ulang dapat terjadi hanya dengan mengocok larutan tersebut di udara (Harborne 1987). 2.5.6 Karbohidrat Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia dan hewan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Melalui proses fotosintesis, klorofil tanaman dengan bantuan sinar matahari mampu membentuk karbohidrat dari karbon dioksida (CO2) yang berasal dari udara dan air dari tanah. Proses fotosintesis
20
menghasilkan karbohidrat sederhana, glukosa, dan oksigen yang dilepas di udara (Almatsier 2001). Karbohidrat dapat dikelompokkan menjadi monosakarida, oligosakarida, serta polisakarida. Monosakarida merupakan suatu molekul yang dapat terdiri dari 5-6 atom C, sedangkan oligosakarida merupakan polimer dari 2-10 monosakarida, dan pada umumnya polisakarida merupakan polimer yang terdiri lebih dari 10 monomer monosakarida yang membentuk rantai lurus ataupun bercabang (Winarno 2008). Karbohidrat mempunyai peran penting untuk mencegah pemecahan protein tubuh yang berlebihan, mencegah timbulnya ketosis, kehilangan mineral, dan berguna untuk metabolisme lemak dan protein dalam tubuh (Budiyanto 2002). Karbohidrat yang terdapat pada hewan umumnya berbentuk glikogen dan dapat dipecah menjadi D-glukosa. Karbohidrat dalam tubuh hewan dapat dibentuk dari beberapa asam amino dan sebagian dari gliserol lemak, tetapi sebagian besar karbohidrat diperoleh dari bahan makanan yang dimakan seharihari, terutama bahan makanan yang berasal dari sari tumbuhan (Winarno 2008). 2.5.7 Gula pereduksi Gula pereduksi merupakan kelompok gula atau karbohidrat yang mampu mereduksi senyawa pengoksidasi. Sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan oleh ada tidaknya gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada glukosa (aldosa) biasanya terletak pada karbon nomor satu (anomerik), sedangkan pada fruktosa (ketosa) terletak pada karbon nomor dua. Sukrosa tidak mempunyai gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat, sedangkan laktosa mempunyai OH bebas pada atom C nomor 1 pada gugus glukosanya (Winarno 2008). Sifat sebagai reduktor pada monosakarida dan beberapa disakarida disebabkan oleh adanya gugus aldehida atau keton bebas dalam molekul karbohidrat. Sifat ini dapat digunakan untuk keperluan identifikasi karbohidrat maupun analisis kuantitatif. Pereaksi Benedict berupa larutan yang mengandung kuprisulfat, natrium karbonat dan natrium sitrat. Glukosa dapat mereduksi ion Cu2+ menjadi Cu+ yang kemudian mengendap sebagai Cu2O, adanya natrium karbonat dan natrium sitrat membuat pereaksi Benedict bersifat basa lemah. Endapan yang terbentuk dapat bewarna hijau, kuning atau merah bata. Warna
21
endapan
ini
tergantung
pada
konsentrasi
karbohidrat
yang
diperiksa
(Poedjiadi 1994). 2.5.8 Peptida Peptida merupakan ikatan kovalen antara dua atau lebih molekul asam amino melalui suatu ikatan amida substitusi. Ikatan ini dibentuk dengan menarik unsur H2O dari gugus karboksil suatu asam amino dan gugus α-amino dari molekul lain, dengan reaksi kondensasi yang kuat. Transisi dari polipeptida menjadi protein tidak banyak dijelaskan, tetapi batasan pengertian protein umumnya diasumsikan sebagai rantai peptida yang memiliki berat molekul sekitar 10 kDa atau mengandung kurang lebih 100 residu asam amino (Lehninger 1988). Beberapa peptida menunjukkan aktivitas biologis yang nyata. Salah satunya adalah peptida pendek enkefalin, yaitu hormon yang dibentuk dalam pusat sistem syaraf. Hormon ini berperan sebagai analgesik alami dalam tubuh yang dapat meniadakan rasa sakit ketika molekul-molekul ini berikatan dengan reseptor spesifik pada sel tertentu dalam otak, yang biasanya berikatan dengan morfin, heroin dan jenis candu lainnya (Lehninger 1988). Hasil penelitian Kannan et al. (2009) menunjukkan bahwa hidrolisat peptida dari kulit padi yang memiliki berat molekul < 5 kDa memiliki aktivitas antikanker. 2.5.9 Asam amino Asam amino merupakan unit struktural dasar dari protein. Asam amino dapat diperoleh dengan menghidrolisis protein dalam asam, alkali, atau enzim. Sebuah asam amino terdiri dari sebuah gugus amino, sebuah gugus karboksil, sebuah atom hidrogen dan gugus R yang terikat pada sebuah atom C yang dikenal sebagai karbon α, serta gugus R merupakan rantai cabang. Semua asam amino berkonfigurasi α dan mempunyai konfigurasi L kecuali glisin yang tidak mempunyai atom C asimetrik (Winarno 2008). Asam amino dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat interaksi gugus rantai R dengan air menjadi dua kelompok besar, yaitu asam amino yang memiliki sifat polar (hidrofilik), baik yang bermuatan ataupun yang tidak bermuatan, diantaranya arginin, histidin, lisin (asam amino polar bermuatan), treonin (asam
22
amino polar tak bermuatan) dan asam amino non polar (hidrofobik), yaitu asam amino dengan kelarutan terbatas dalam air (Kamil et al. 1998). Asam amino dalam kondisi netral, berada dalam bentuk ion dipolar atau disebut juga ion zwitter. Pada asam amino yang dipolar, gugus amino mendapat tambahan sebuah proton dan gugus karboksil terdisosiasi. Derajat ionisasi dari asam amino sangat dipengaruhi oleh pH. Pada pH rendah, misalnya pH 1,0 gugus karboksilatnya tidak terdisosiasi, sedangkan gugus aminonya menjadi ion. Pada pH tinggi, misalnya pH 11,0 karboksilnya terdisosiasi sedang gugusan aminonya tidak (Winarno 2008).
2.6 Logam Berat Logam berat merupakan unsur-unsur metalik yang memiliki sifat berbahaya dengan berat atom lebih dari 40 (Panjaitan 2009). Pencemaran suatu perairan oleh unsur-unsur logam berat, dapat berbahaya baik secara langsung terhadap kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia (Siagian 2004). Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam berat, yaitu tidak dapat terurai (non degradable) dan mudah diabsorbsi (Darmono 1995), dapat terakumulasi dalam kerang dan ikan serta mudah terakumulasi pada sedimen (Marganof 2003). Logam di dalam air jarang berbentuk atom, biasanya terikat dengan senyawa lainnya membentuk molekul. Ikatan yang terbentuk dapat berupa garam organik (senyawa metil, etil, fenil) maupun garam anorganik (oksida, klorida, sulfide, karbonat, hidroksida). Bentuk ion dari garam tersebut biasanya banyak ditemukan dalam air kemudian bersenyawa atau diserap dan tertimbun dalam tanaman dan hewan air (Darmono 1995). Unsur-unsur logam berat dapat masuk ke dalam tubuh organisme dengan tiga cara, yaitu melalui rantai makanan, insang, dan difusi melalui permukaan kulit. Beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa terdapat beberapa macam penyakit pada manusia akibat memakan makanan yang mengandung logam berat, yaitu kanker, gangguan saluran cerna, dan ginjal (Siagian 2004).
23
2.6.1 Kadmium (Cd) Kadmium (Cd) merupakan logam berwarna putih keperakan menyerupai alumunium. Logam ini banyak bercampur dengan logam lain terutama Zn dan Hg. Kadmium memiliki sifat yang tahan panas sehingga digunakan untuk campuran pembuatan keramik, enamel, dan plastik, serta sangat tahan terhadap korosi sehingga dapat digunakan untuk melapisi pelat baja dan besi. Kadmium (Cd) dalam air laut berbentuk senyawa klorida (CdCl2), dalam air tawar berbentuk karbonat (CdCO3), sedangkan pada air payau yang biasanya terdapat di muara sungai, kedua senyawa tersebut jumlahnya berimbang (Darmono 1995). Pencemaran Cd pada air biasanya berasal dari pembuangan limbah industri dan limbah pertambangan (Yuningsih 2007). Kadmium masuk ke dalam tubuh hewan melalui dua jalur, yaitu saluran pencernaan dan saluran pernafasan. Kadmium dalam saluran pencernaan akan diabsorpsi melalui saluran dinding usus dan diangkut melalui pembuluh darah serta didistribusikan dalam jaringan terutama ginjal dan hati, dimana kurang lebih 50% dari logam tersebut terakumulasikan.
Moluska
seringkali
mengakumulasi
Cd
pada
kelenjar
pencernaanya (Laurenco et al. 2009). Keracunan kadmium dapat mengakibatkan efek yang kronis dan akut. Efek akut ditunjukkan dengan gejala diare, kejang perut dan pusing, sedangkan efek kronis biasanya mengakibatkan kerusakan pada ginjal dan kerusakan pada sistem syaraf (Darmono 1995). Batas aman logam berat Cd dalam makanan adalah 1 ppm (Nurjanah et al. 1999). 2.6.2 Timbal (Pb) Timbal (Pb) adalah logam lunak kebiruan atau kelabu keperakan yang lazim terdapat dalam kandungan endapan sulfit yang tercampur mineral-mineral lain, terutama seng dan tembaga. Pencemaran Pb dapat terjadi di udara, air, maupun tanah. Timbal merupakan logam yang bersifat toksik bagi manusia, yang bisa berasal dari tindakan mengkonsumsi makanan, minuman, inhalasi dari udara, maupun kontak lewat kulit (Panjaitan 2009). Timbal (Pb) dan persenyawaannya dapat berada di dalam badan perairan secara alamiah dan sebagai dampak dari aktivitas manusia, diantaranya air buangan (limbah) industri dan dari pertambangan biji timah hitam. Senyawa Pb dalam perairan berada dalam bentuk ion Pb2+ dan Pb4-. Ikan dapat mengadsorbsi Pb dari permukaan tubuh dan
24
makanan yang dikonsumsinya, sedangkan kerang dapat mengakumulasi Pb dalam jumlah besar (Siagian 2004). Logam Pb tidak dibutuhkan oleh manusia sehingga bila makanan tercemar oleh logam tersebut, maka tubuh akan mengeluarkan sebagian dan sisanya akan terakumulasi pada bagian tubuh tertentu, diantaranya ginjal, hati, kuku, jaringan lemak, dan rambut (Panjaitan 2009). Senyawa Pb yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan minuman akan diikutkan dalam proses metabolisme tubuh. Jumlah Pb yang masuk tersebut masih mungkin ditolerir oleh asam lambung (HCl) yang mempunyai kemampuan untuk menyerap logam Pb, walaupun Pb lebih banyak dikeluarkan bersama tinja (Siagian 2004). Termakannya senyawa timbal dalam konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan gejala keracunan, diantaranya iritasi gastrointestinal akut, rasa logam pada mulut, muntah, sakit perut, dan diare (Darmono 1995). Batas aman logam berat Pb dalam makanan adalah 2 ppm (Nurjanah et al. 1999). 2.6.3 Merkuri (Hg) Merkuri (Hg) merupakan unsur renik pada kerak bumi. Merkuri terdapat di lingkungan sebagai senyawa anorganik dan organik. Logam ini tersebar luas dalam bentuk gabungan pada batu dan tanah. Merkuri biasanya disebut air raksa, dan bersenyawa dengan sulfid membentuk HgS. Merkuri digolongkan sebagai pencemar paling berbahaya diantara berbagai macam logam berat. Sumber merkuri dapat berasal dari pelapukan batuan dan erosi tanah yang melepas merkuri ke dalam perairan. Berbagai jenis aktivitas manusia dapat meningkatkan kadar merkuri di lingkungan. Aktivitas tersebut antara lain adalah penambangan, peleburan, pembakaran bahan bakar fosil, dan produksi baja, semen serta fosfat (Putri 2009). Pencemaran perairan oleh merkuri mempunyai pengaruh terhadap ekosistem setempat yang disebabkan oleh sifatnya yang stabil dalam sedimen, kelarutan yang rendah dalam air dan kemudahan diserap dan terkumpul maupun biomagnifikasi yaitu melalui rantai makanan. Efek toksik Hg berkaitan dengan susunan syaraf yang sangat peka tehadap Hg dengan gejala pertama adalah parastesia, lalu ataksia, disartria, ketulian, dan akhirnya
kematian.
Merkuri
(Hg)
bisa
menghambat
pelepasan
GnRH
(antioksidan) oleh kelenjar hipotalamus dan menghambat ovulasi sehingga terjadi
25
akumulasi Hg pada korpus luteum (Widowati et al. 2008). Keracunan akut dapat mengakibatkan rasa mual, muntah-muntah, diare berdarah, kerusakan ginjal serta
dapat
mengakibatkan
kematian.
Keracunan
kronis
ditandai
oleh
peradangan mulut dan gusi, pembengkakan kelenjar ludah dan pengeluaran ludah secara berlebihan, gigi menjadi longgar, dan kerusakan pada ginjal (Yuliani 2010). Batas aman logam berat Hg dalam makanan adalah 0,5 ppm (Nurjanah et al. 1999).
26
3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai Juni 2011. Penelitian bertempat di Laboratorium Moluska, Puslit Biologi LIPI Cibinong, Bogor untuk identifikasi spesies sampel. Preparasi sampel dan uji fitokimia dilakukan di Laboratorium Karakteristik dan Penanganan Hasil Perairan, serta untuk uji proksimat dilakukan di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis mineral dilakukan di Laboratorium Pengujian Nutrisi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan dan Laboratorium Terpadu Baranangsiang, Institut Pertanian Bogor, sedangkan analisis vitamin A dan vitamin B12 dilakukan di Laboratorium Pasca Panen, Cimanggu, Bogor. 3.2 Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah sotong (Sepia recurvirostra) yang diperoleh dari nelayan Muara Angke, Jakarta. Bahanbahan yang digunakan untuk analisis proksimat antara lain kertas saring, kapas bebas lemak, selenium, heksana, H2SO4, H3BO3 2%, NaOH 40%, HCl 0,1 N, akuades, bromcherosol green 0,1%, dan methyl red 0,1%. Bahanbahan yang digunakan untuk analisis mineral adalah akuades, kertas saring, H2SO4, HCl, HNO3, dan HClO4. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis vitamin antara lain HCl 0,01 N, etanol, heksan, akuades, Na2SO4 anhidrad, tetrahidrofuran (THF), buffer asetat, kalium sianida, metanol, asam asetat 2%. Bahan-bahan yang digunakan untuk uji fitokimia antara lain metanol, kertas saring, pereaksi Wagner; pereaksi Meyer; pereaksi Dragendroff (uji
alkaloid),
kloroform;
anhidra
asetat;
H2SO4 pekat
(uji
steroid),
serbuk magnesium dan amil alkohol (uji flavonoid), air panas dan larutan HCl 2 N (uji saponin), etanol 70% dan larutan FeCl3 5% (uji fenol hidrokuinon), pereaksi Molisch dan H2SO4 pekat (uji Molisch), pereaksi Benedict (uji Benedict), pereaksi Biuret (uji Biuret), dan larutan Ninhidrin 0,1% (uji Ninhidrin).
27
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain nampan, pisau bedah, cawan petri, dan mikroskop untuk identifikasi sampel. Alat-alat yang digunakan untuk preparasi bahan baku antara lain timbangan digital, penggaris, pisau, nampan, dan grinder. Alat-alat yang digunakan untuk analisis proksimat antara lain timbangan digital, cawan porselin, gegep, desikator, oven, kompor, tanur, pipet, bulb, labu kjeldahl, tabung sokhlet, labu lemak, desilator, buret, dan erlenmeyer. Alat-alat yang digunakan untuk analisis mineral adalah timbangan digital, sudip, pipet, bulb, hotplate, corong, labu takar, labu destruksi, spektrofotometer dan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS). Alat-alat yang digunakan untuk analisis vitamin adalah shaker, saringan milipore, tabung reaksi, penangas air, sentifugasi dan High Performance Liquid Chromatografi (HPLC). Alat-alat yang digunakan untuk uji fitokimia adalah oven, timbangan digital, erlenmeyer, sudip, pipet, bulb, orbital shaker, rotary vacuum evavorator, tabung reaksi, rak tabung reaksi, labu takar, dan penangas air. 3.3 Metode Penelitian Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu identifikasi spesies sampel, preparasi sampel, perhitungan rendemen, analisis proksimat (kadar air, abu, lemak, protein, karbohidrat (by difference)), analisis mineral dan logam berat, analisis vitamin, dan analisis fitokimia. Tahapan penelitian disajikan dalam diagram alir pada Gambar 2. 3.3.1 Preparasi bahan baku dan perhitungan rendemen Sotong (Sepia recurvirostra) diperoleh dari pasar Muara Angke, Jakarta. Bahan baku selanjutnya dianalisis morfometrik meliputi berat total, panjang, lebar dan tebal. Bagian kepala, badan, jeroan, dan cangkang sotong dipisahkan untuk kemudian dihitung rendemennya. Daging kepala dan badan sotong, masingmasing dicampur, dihancurkan dan dihomogenkan, kemudian dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama untuk kepentingan analisis proksimat, bagian kedua untuk analisis mineral dan logam berat, dan bagian ketiga untuk analisis kandungan vitamin. Daging badan, tinta, dan cangkang digunakan untuk analisis fitokimia.
28
Sotong
Identifikasi spesies
Pengukuran berat dan morfometrik
Preparasi sampel
Pengukuran rendemen
Kepala
Badan
Jeroan
Cangkang
Tinta Analisis proksimat Analisis mineral dan logam berat Analisis vitamin
Analisis fitokimia
Gambar 2 Diagram alir metode penelitian Rendemen masing-masing bagian dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Rendemen (%) =
x 100%
3.3.2 Analisis proksimat (AOAC 1995) Analisis proksimat yang dilakukan meliputi penentuan kadar air, kadar abu, protein, lemak, dan karbohidrat (by difference). 1) Kadar air Analisis kadar air didasarkan pada perbedaan berat contoh sebelum dan sesudah dikeringkan. Cawan porselin kosong dikeringkan di dalam oven selama 30 menit dengan suhu 102-105 oC, lalu didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 5 g ditimbang dan dimasukkan ke dalam
29
cawan tersebut, kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 102-105 oC selama ± 6 jam. Setelah ± 6 jam cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit hingga dingin kemudian ditimbang bobotnya. Pengukuran diulang sebanyak 2 kali sampai mendapat bobot tetap . Persentase kadar air dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Kadar air (%) = Keterangan:
x 100%
A = Berat cawan porselen kosong (g) B = Berat cawan porselen dengan sampel (g) sebelum dioven C = Berat cawan porselen dengan sampel (g) setelah dioven
2) Kadar abu Analisis kadar abu dilakukan dengan mengabukan sampel di dalam tanur. Cawan porselin kosong dikeringkan di dalam oven selama 30 menit dengan suhu 102-105 oC, lalu didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 5 g ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselin, kemudian dibakar dengan menggunakan kompor listrik hingga tidak berasap. Cawan kemudian dimasukkan ke dalam tanur dengan suhu 600 oC selama ± 8 jam hingga diperoleh abu yang berwarna putih keabu-abuan. Setelah itu, cawan beserta sampel didinginkan dalam desikator selama 30 menit hingga dingin dan ditimbang. Pengukuran diulang sebanyak 2 kali sampai mendapat bobot tetap. Persentase kadar abu dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Kadar abu (%) = Keterangan:
x 100%
A = Berat cawan porselen kosong (g) B = Berat cawan porselen dengan sampel (g) sebelum ditanur C = Berat cawan porselen dengan sampel (g) setelah ditanur
3) Kadar protein Analisis kadar protein dilakukan dalam tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan metode semi mikro Kjeldahl. Sampel sebanyak 0,5 g dimasukkan ke dalam labu Kjedahl, kemudian ditambahkan 0,25 g selenium dan 3 ml H2SO4 pekat. Sampel didestruksi pada suhu 410 oC selama ± 2 jam sampai larutan jernih lalu didinginkan. Setelah dingin, ditambahkan akuades sampai 100 ml. Sebanyak
30
10 ml larutan sampel dan 20 ml NaOH 40% dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl, kemudian dilakukan proses destilasi dengan suhu destilator 100 oC. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer yang berisi campuran 10 ml larutan H3BO3 2% dan 2 tetes indikator (bromcherosol green 0,1% dan methyl red 0,1% (2:1)). Setelah volume destilat mencapai 40 ml dan berwarna hijau kebiruan, maka proses destilasi dihentikan. Destilat dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna merah muda, kemudian volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti contoh. Persentase kadar protein dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Kadar nitrogen (%) = Kadar protein (%) = kadar nitrogen (%) x faktor konversi (6,25) 4) Kadar lemak Sampel sebanyak 5 g ditimbang dan dibungkus dalam kertas saring kemudian kedua ujungnya ditutup dengan kapas bebas lemak. Setelah itu sampel dimasukkan ke dalam tabung soxhlet. Labu lemak yang sudah dikeringkan ditimbang, kemudian disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet. Pelarut lemak (n-heksana) dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya. Proses refluks dilakukan selama 6 jam sampai pelarut yang turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105 ˚C, setelah itu dimasukkan dalam desikator sampai beratnya konstan. Selanjutnya lemak beserta labunya ditimbang dan kadar lemak dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Kadar lemak (%) = Keterangan:
x 100%
W1 = berat sampel (g) W2 = berat labu lemak tanpa lemak (g) W3 = berat labu lemak dengan lemak (g)
5) Kadar karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat total ditentukan dengan metode by difference yaitu: Karbohidrat (%) = 100% - (kadar air + kadar abu + kadar lemak + kadar protein)
31
3.3.3 Analisis mineral dan logam berat (Reitz et al. 1987) 1) Pengujian total mineral (K, Na, Ca, Mg, Zn, Fe, Cu) Sampel yang akan diuji dilakukan proses pengabuan basah. Pada proses pengabuan basah, sebanyak 10 g contoh dimasukkan ke dalam erlenmeyer 150 ml. Selanjutnya ditambahkan 10 ml HNO3 dan dibiarkan selama 1 jam, kemudian dipanaskan di atas hotplate selama 4 jam dan didinginkan. Selanjutnya ditambahkan 0,8 ml H2SO4 pekat dan dipanaskan kembali. Setelah terjadi perubahan warna dari cokelat menjadi kuning bening, sampel ditambahkan campuran HClO4 dan HNO3 (2:1) sebanyak 4 tetes dan dipanaskan kembali 15 menit. Selanjutnya sampel ditambahkan 4 ml akuades dan 1,2 ml HCl pekat dan dipanaskan kembali sampai larut kemudian didinginkan. Setelah larut, sampel diencerkan menjadi 50 ml di dalam labu takar dan dilakukan analisis mineral menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) merk Shimadzu tipe AA 7000. Kadar mineral pada sampel dihitung dengan memasukkan nilai absorban sampel ke dalam persamaan garis standar y = ax ± b, maka akan diperoleh nilai x yang merupakan konsentrasi sampel. Kadar mineral dalam sampel dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Kadar mineral (mg/kg bb) = Keterangan:
FP = faktor pengencer
2) Pengujian fosfor Sebanyak 10 g ammonium molibdat 10% ditambah dengan 60 ml akuades. Selanjutnya ditambahkan 28 ml H2SO4 dan dilarutkan dengan akuades hingga 100 ml (larutan A). Tahap selanjutnya adalah membuat larutan B, sebanyak 10 ml larutan A ditambah dengan 60 ml akuades dan 5 g FeSO4.7H2O, kemudian dilarutkan dengan akuades hingga 100 ml. Sampel hasil pengabuan basah dimasukkan ke dalam tabung kuvet kemudian ditambah dengan 2 ml larutan B. Intensitas warna diukur dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 660 nm. 3) Pengujian logam Hg Sampel yang akan diuji dilakukan proses destruksi basah. Pada proses destruksi basah, sebanyak 1 g contoh dimasukkan ke dalam labu destruksi 100 ml.
32
Selanjutnya ditambahkan 15 ml HNO3 pekat dan 5 ml HCLO4 dan dibiarkan selama satu malam. Setelah satu malam, larutan didestruksi sampai jernih, didinginkan dan ditambahkan 10-20 ml akuades. Pemanasan dilanjutkan selama ± 10 menit, diangkat dan didinginkan. Larutan kemudian dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml, kemudian dibilas dengan akuades sampai tanda tera. Selanjutnya dikocok dan disaring dengan kertas Whatman. Filtrat dianalisis menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS). 3.3.4 Analisis vitamin (Rooche 1992) 1) Vitamin A Sebanyak 1-5 g sampel ditambah dengan 20 ml HCl 0,01 N. Selanjutnya dihomogenisasi dengan ultrasonic pada suhu 65 ˚C selama 5 menit dan didinginkan. Setelah itu, ditambahkan 75 ml etanol dan dihomigenisasi lagi dengan ultrasonic pada suhu ruang selama 5 menit. Selanjutnya diekstrak dengan heksan sebanyak tiga kali. Hasil ekstrak ditampung dan dibilas dengan 50 ml akuades, kemudian disaring dengan milipore dan ditambah dengan Na2SO4 anhidrad. Selanjutnya dievaporasi menggunakan campuran larutan etanol dan THF (trihidrofuran) (90:10). Hasil evaporasi disaring dan siap diinjek ke High Performance Liquid Chromatografi (HPLC), dengan kondisi sebagai berikut: Fase gerak
: etanol/THF (90/10)
Kolom
: C18
Kecepatan alir
: 1.9 ml/menit
Program
: Isokratik
Detektor
: UV visible
Panjang gelombang
: 328 nm
Kadar vitamin A dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Kadar vitamin A = Keterangan:
x [standar vitamin A] x
x FP
FP = faktor pengencer
2) Vitamin B12 Sebanyak 1-5 g sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi tertutup. Buffer asetat sebanyak 20 ml dan 0,2 ml larutan kalium sianida ditambahkan
33
pada tabung reaksi. Tabung dimasukkan ke dalam penangas air mendidih selama 30 menit, lalu didinginkan dan diencerkan sampai 50 ml dengan air suling dan disaring dengan
kertas
Whatman 42.
Selanjutnya dihomogenisasi
selama 5 menit dengan ultrasonic dan didiamkan pada suhu ruang sampai dingin. Sebanyak 25 ml metanol ditambahkan dan ditepatkan sampai volume 50 ml dengan asam asetat 2%. Sampel disentrifuse selama 30 menit pada 4000 rpm. Supernatan dipisahkan untuk disuntikkan ke High Performance Liquid Chromatografi (HPLC), dengan kondisi sebagai berikut : Fase gerak
: H2O pH 2
Kolom
: C18
Kecepatan aliran
: 0,5 ml/menit
Program
: Isokratik
Detektor
: UV visible
Panjang gelombang
: 280 nm
Kadar vitamin B12 dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Kadar vitamin B12 = Keterangan:
x [standar vitamin B12] x
x FP
FP = faktor pengencer
3.3.5 Uji fitokimia (Harborne 1987) Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya komponenkomponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak kasar daging badan, tinta, dan cangkang sotong. Ekstrak kasar sampel diperoleh dengan mengeringkan sampel di dalam oven selama ± 24 jam pada suhu 40-50 oC. Sampel sebanyak 25 g yang telah dihancurkan, dimaserasi dengan pelarut kloroform sebanyak 100 ml (1:4) selama 48 jam dan dishaker dengan kecepatan 8 rpm. Hasil maserasi yang berupa larutan kemudian disaring dengan kertas saring Whatman 42 sehingga didapat filtrat dan residu. Filtrat yang diperoleh dievaporasi hingga pelarut memisah dengan ekstrak menggunakan rotary vacuum evavorator pada suhu 50 oC. Proses ekstraksi sampel dapat dilihat pada Gambar 3. Uji fitokimia yang dilakukan meliputi uji alkaloid, steroid/triterpenoid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, Molisch, Benedict, Biuret dan Ninhidrin.
34
Sampel 25 g
Maserasi dengan metanol 100 ml (1:4) selama 48 jam
Penyaringan
Residu
Filtrat
Evaporasi
Ekstrak metanol Gambar 3 Diagram alir proses ekstraksi sampel 1) Uji alkaloid Sampel sebanyak 0,05 g dilarutkan dalam beberapa tetes H2SO4 2 N, kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid, yaitu pereaksi Dragendorff, pereaksi Meyer, dan pereaksi Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila terbentuk endapan putih kekuningan dengan pereaksi Meyer, endapan coklat dengan pereaksi Wagner dan endapan merah hingga jingga dengan pereaksi Dragendorff. Pereaksi Meyer dibuat dengan cara menambahkan 1,36 HgCl2 dengan 0,5 gram KI lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades sampai 100 ml. Pereaksi ini tidak berwarna. Pereaksi Wagner dibuat dengan cara mencampurkan 10 ml akuades dengan 2,5 gram iodin dan 2 gram KI, kemudian dilarutkan dan diencerkan dengan akuades sampai 200 ml. Pereaksi ini berwarna coklat. Pereaksi Dragendorff dibuat dengan cara menambahkan 0,8 gram bismut subnitrat dengan 10 ml asam asetat dan 40 ml air. Larutan ini dicampur dengan larutan yang dibuat dari 8 gram KI dalam 20 ml air. Satu volume campuran diencerkan terlebih dahulu dengan 2,3 volume campuran 20 ml asam asetat glasial dan 100 ml air sebelum digunakan. Pereaksi ini berwarna jingga.
35
2) Uji steroid/triterpenoid Sebanyak 0,05 g sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung reaksi. Anhrida asetat ditambahkan ke dalam larutan sebanyak 10 tetes, kemudian ditambahkan H2SO4 pekat 3 tetes. Terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau menunjukkan reaksi positif. 3) Uji flavonoid Sebanyak 0,05 g sampel ditambahkan dengan serbuk magnesium 0,1 mg dan 0,4 ml amil alkohol (campuran asam klorida 37% dan etanol 95% dengan volume yang sama) dan 4 ml alkohol kemudian campuran dikocok. Terbentuknya warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol menunjukkan adanya flavonoid. 4) Uji saponin Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan adanya saponin. 5) Uji fenol hidrokuinon Sebanyak 1 gram sampel diekstrak dengan 20 ml etanol 70%. Larutan yang dihasilkan diambil sebanyak 1 ml kemudian ditambahkan 2 tetes larutan FeCl3 5%. Terbentuknya warna hijau atau hijau biru menunjukkan adanya senyawa fenol dalam bahan. 6) Uji molisch Sebanyak 1 ml larutan sampel diberi 2 tetes pereaksi Molish dan 1 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Uji positif yang menunjukkan adanya karbohidrat ditandai terbentuknya kompleks berwarna ungu diantara 2 lapisan cairan. 7) Uji benedict Larutan sampel sebanyak 8 tetes dimasukkan ke dalam 5 ml pereaksi Benedict.
Campuran dikocok dan dididihkan selama 5 menit.
Terbentuknya warna hijau, kuning, atau endapan merah bata menunjukkan adanya gula pereduksi.
36
8) Uji biuret Sebanyak 1 ml larutan sampel ditambahkan dengan 4 ml pereaksi Biuret. Campuran dikocok dengan seksama. Terbentuknya larutan berwarna ungu menunjukkan hasil uji positif adanya peptida. 9) Uji ninhidrin Sebanyak 2 ml larutan sampel ditambah beberapa tetes larutan Ninhidrin 0,1%. Campuran dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit. Terjadinya larutan berwarna biru menunjukkan reaksi positif terhadap adanya asam amino.
37
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Bahan Baku Sotong (Sepia recurvirostra) yang digunakan pada penelitian ini memiliki ciri-ciri, yaitu bentuk badan bulat telur dengan sirip melingkari seluruh badan, warna kulit kecoklatan, pada bagian kepala terdapat 8 tangan pendek dan 2 tangan panjang (tentakel). Sepanjang tangan pendek terdapat alat pengisap tangan, sedangkan pada tentakel hanya terdapat pada ujungnya. Ciri khusus yang membedakan sotong jenis ini ialah adanya 5-6 alat pengisap pada tentakel yang mengalami modifikasi sehingga ukurannya lebih besar dibandingkan alat penghisap lainnya. Jika kulit dibuang, maka akan terlihat daging yang berwarna putih bersih dengan tekstur yang kenyal. Bagian dalam tubuh sotong terdiri dari organ dalam dan cangkang. Cangkang sotong berwarna putih, berbentuk lonjong, dan pada bagian ujung terdapat bagian yang tajam. Sotong yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 4.
(a)
(b)
Gambar 4 Sotong (Sepia recurvirostra) tampak (a) dorsal (b) ventral Sotong juga diukur sifat morfometriknya. Panjang sotong diukur mulai dari bagian tangan yang pendek hingga bagian ujung badan, lebar sotong diukur dari bagian sisi kiri tubuh sampai bagian sisi kanan tubuh, sedangkan tebal sotong diukur dari bagian dorsal yang paling tinggi sampai bagian ventral. Perhitungan ukuran ini dilakukan dengan menggunakan penggaris, sedangkan bobot sotong diperoleh dengan menimbang sotong pada timbangan analitik. Data morfometrik
38
dapat dilihat pada Lampiran 1. Ukuran dan bobot rata-rata sotong dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Ukuran dan bobot rata-rata sotong (Sepia recurvirostra) Parameter Nilai Panjang (cm) 12,70 ± 1,30 Lebar (cm) 5,59 ± 0,53 Tebal (cm) 1,95 ± 0,40 Bobot total (gram) 59,43 ± 10,91 Keterangan: Data diperoleh dari 30 sampel
Tabel 5 menunjukkan bahwa sotong memiliki panjang rata-rata 12,70 cm, lebar rata-rata 5,59 cm, tebal rata-rata 1,95 cm dan bobot total rata-rata sebesar 59,43 gram. Ukuran panjang badan sotong sebelum musim memijah bisa mencapai 14,5 cm dengan bobot tubuh sebesar 254 gram, sedangkan setelah musim memijah ukuran panjang hanya sekitar 13,5 cm dengan berat tubuh sebesar 241 gram (Okuzumi dan Fujii 2000). Perbedaan ukuran dan bobot sotong dapat dipengaruhi oleh pertumbuhan. Menurut Bower dan Ichii (2005), pertumbuhan dipengaruhi oleh jenis kelamin, waktu penangkapan, dan geografi daerah penangkapan, selain itu pertumbuhan dipengaruhi suhu, salinitas, oksigen dan cahaya, makanan, persaingan, ukuran, dan usia (Forsythe et al. 2002). 4.1.1 Rendemen Rendemen adalah persentase perbandingan antara berat bagian bahan yang dapat dimanfaatkan dengan berat total bahan. Nilai rendemen digunakan untuk mengetahui nilai ekonomis suatu produk atau bahan. Semakin tinggi nilai rendemennya, maka semakin tinggi pula nilai ekonomisnya sehingga pemanfaatannya dapat menjadi lebih efektif. Analisis rendemen yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari analisis rendemen daging berupa kepala dan badan, rendemen jeroan, dan rendemen cangkang. Bagian sotong yang dihitung nilai rendemennya dapat dilihat pada Gambar 5. Perhitungan rendemen dilakukan dengan menghitung bobot sotong terlebih dahulu, kemudian dipreparasi dengan memisahkan bagian kepala dengan badan. Setelah itu, cangkang dipisahkan dengan bagian badan, sedangkan kepala dipisahkan dengan bagian organ dalam. Selanjutnya masing-masing bagian
39
ditimbang dengan timbangan analitik. Perhitungan nilai rendemen dapat dilihat pada Lampiran 2. Nilai rendemen daging (kepala dan badan), jeroan, dan cangkang dapat dilihat pada Gambar 6.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 5 Sotong (Sepia recurvirostra) tampak dorsal (a) kepala dengan jeroan (b) cangkang (c) kepala (d) badan Cangkang 4,32% Jeroan 18,06% Kepala 32,53% Badan 45,09%
Gambar 6 Rendemen daging (kepala dan badan), jeroan, dan cangkang sotong (Sepia recurvirostra)
40
Gambar 6 menunjukkan bahwa rendemen daging (kepala dan badan) sotong memiliki nilai yang cukup tinggi yaitu lebih dari tiga per empat bobot sotong utuh, masing-masing bagian sebesar 32,53% pada kepala dan badan sebesar 45,09%. Sedangkan, nilai rendemen pada jeroan sebesar 18,06% dan cangkang sebesar 4,32%. Nilai rendemen pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan nilai rendemen pada penelitian Thanonkaew et al. (2006), dimana rendemen tubuh sotong (Sepia pharaonis) sebesar 38,20% dari total berat dan rendemen kepala sebesar 25,60%. Menurut Bihan et al. (2006), nilai rendemen jeroan sotong sekitar 15-20% dari berat total. Sotong memiliki rendemen badan sebesar 45-48%, kepala sebesar 24-29%, jeroan sebesar 20-24%, dan cangkang sebesar 3,9-4,6% (Okuzumi dan Fujii 2000). Perbedaan rendemen ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jenis, bentuk tubuh, dan umur (Suzuki 1981). 4.1.2 Komposisi kimia Bahan baku yang baik yaitu bahan yang mempunyai komposisi gizi yang meliputi air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat. Setiap komponen ini harus diketahui jumlahnya agar pemenuhan kebutuhan gizi dalam tubuh dapat terpenuhi secara tepat. Komposisi gizi ini dapat diketahui dengan cara analisis proksimat. Contoh perhitungan analisis proksimat dapat dilihat pada Lampiran 3. Komposisi kimia kepala dan badan sotong dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Komposisi kimia kepala dan badan sotong (Sepia recurvirostra) Komposisi kimia Kepala (%) Badan (%) Kepala (%)* Badan (%)* Kadar air 84,06 ± 0,08 83,65 ± 0,43 84,42 ± 0,13 82,78 ± 0,05 Kadar abu 0,89 ± 0,14 0,69 ± 0,14 1,29 ± 0,02 1,20 ± 0,24 Protein 13,16 ± 0,10 13,51 ± 0,68 11,90 ± 0,14 14,91 ± 0,61 Lemak 0,77 ± 0,001 0,79 ± 0,001 0,52 ± 0,01 0,47 ± 0,01 Karbohidrat 1,13 ± 0,68 1,36 ± 0,61 1,87 0,64 Sumber: * Thanonkaew et al. (2006)
Air merupakan komponen yang paling banyak terdapat pada kepala maupun badan sotong yaitu sebesar 84%, diikuti protein sebesar 13-14%. Kadar abu dan lemak pada sotong masing-masing sebesar 0,7-0,9% dan 0,8%. Kandungan karbohidrat dihitung secara by difference yaitu sebesar 1,1-1,4%. Secara umum, komposisi kimia yang ada pada badan sotong lebih besar dibandingkan pada kepala. Komposisi kimia sotong penelitian ini dan
41
Thanonkaew et al. (2006) lebih rendah bila dibandingkan dengan cumi-cumi seperti yang dilaporkan Okuzumi dan Fujii (2000) dimana cumi-cumi mengandung 81,8% air, 15,6% protein kasar, 1,0% lemak kasar dan 1,5% abu. Komposisi kimia ikan dapat bervariasi antar spesies, antar individu dalam satu spesies, dan antar bagian dari satu individu ikan. Variasi tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain umur, laju metabolisme, aktivitas pergerakan, makanan, dan kondisi sebelum dan sesudah musim bertelur (Suzuki 1981). Komposisi kimia organisme dipengaruhi juga oleh waktu penangkapan, jenis kelamin, dan daerah penangkapan (Suarez et al. 2008). Komposisi kimia cephalopoda dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya spesies,
tahap
pertumbuhan,
habitat,
musim,
dan
anatomi
wilayah
(Thanonkaew et al. 2006). 1) Kadar air Kadar air merupakan jumlah air yang terkandung dalam bahan pangan. Air merupakan komponen yang paling penting dalam bahan pangan, karena dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa bahan pangan. Kandungan air dalam bahan pangan juga menentukan daya terima, kesegaran, serta daya simpan bahan tersebut. Produk hasil perikanan memiliki kandungan air yang sangat tinggi, sekitar 80% (Winarno 2008). Ikan biasanya mengandung lebih banyak air dibanding dengan daging (Gaman dan Sherrington 1992). Hasil pengujian kadar air kepala dan badan sotong pada penelitian ini masing-masing sebesar 84,06% dan 83,65%. Kadar air pada kepala hasil penelitian ini lebih rendah, sedangkan pada badan lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Thanonkaew et al. (2006), yakni sebesar 84,42% pada kepala dan 82,78% pada badan. Guimaraes et al. (2005) menyatakan bahwa kadar air pada cumi-cumi (Loligo plei) yakni sebesar 74,2%, sedangkan kadar air pada gurita (Octopus vulgaris) yakni sebesar 80,71-83,41% (Ozogul et al. 2008). Perbedaan kadar air dapat disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan hidup dan tingkat kesegaran organisme (Ayas dan Ozogul 2011). Prinsip analisis kadar air yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengukur berat air yang teruapkan dan tidak terikat kuat dalam jaringan bahan dengan bantuan panas. Air yang teruapkan ini merupakan air tipe III. Air tipe III
42
ini biasa disebut air bebas dan merupakan air yang hanya terikat secara fisik dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler, serat dan lain sebagainya. Air ini dapat dimanfaatkan unutk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksireaksi kimiawi (Winarno 2008). Tingginya kadar air pada sotong, dapat menyebabkan sotong mudah sekali mengalami kerusakan (highly perishable) apabila tidak ditangani dengan benar. 2) Kadar abu Hasil pengujian kadar abu penelitian ini masing-masing sebesar 0,89% pada kepala dan 0,69% pada badan, dan hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Thanonkaew et al. (2006), yakni sebesar 1,29% pada kepala dan 1,20% pada badan. Kadar abu penelitian ini dan Thanonkaew et al. (2006) lebih rendah dibandingkan dengan kadar abu cumi-cumi
yakni
sebesar 1,7% (Guimaraes
et
al. 2005) dan gurita
sebesar 1,17-2,06% (Ozogul et al. 2008). Tinggi rendahnya kadar abu dapat disebabkan oleh perbedaan habitat dan lingkungan hidup yang berbeda. Setiap lingkungan perairan dapat menyediakan asupan mineral yang berbeda-beda bagi organisme akuatik yang hidup di dalamnya. Masing-masing individu organisme juga memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam meregulasi dan mengabsorbsi mineral, sehingga hal ini nantinya akan memberikan pengaruh pada nilai kadar abu dalam masing-masing bahan (Rusyadi 2006). 3) Kadar protein Protein merupakan komponen kedua yang paling banyak terdapat pada sotong setelah air. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis proksimat sotong yang disajikan pada Tabel 6. Protein merupakan komponen terbesar setelah air pada sebagian jaringan tubuh (Winarno 2008). Hasil pengujian kadar protein kepala sotong pada penelitian ini yaitu sebesar 13,16% dan pada badan sotong sebesar 13,51%. Protein yang terdapat pada daging lebih besar dibandingkan kepala mengingat massa protein yang paling banyak terdapat di dalam tubuh adalah pada otot (Yuliani 2010). Kadar protein pada kepala hasil penelitian ini lebih tinggi, sedangkan pada badan lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Thanonkaew et al.
43
(2006), yakni sebesar 11,90% pada kepala dan 14,91% pada badan. Cumi-cumi memiliki kadar protein yakni sebesar 14,4% (Guimaraes et al. 2005), sedangkan gurita sebesar 14,78-15,28% (Ozogul et al. 2008). Kandungan protein pada hewan invertebrata laut pada umumnya lebih rendah dibandingkan dengan vertebrata (ikan). Kandungan protein pada cumi-cumi (Cephalopoda) berbeda antar spesies, namun jumlahnya 14-16%. Perbedaan kandungan protein ini dipengaruhi oleh jenis dan waktu penangkapan (Okuzumi dan Fujii 2000). 4) Kadar lemak Hasil pengujian kadar lemak penelitian ini masing-masing sebesar 0,77% pada kepala dan 0,79% pada badan. Lemak pada tubuh makhluk hidup disimpan sebesar 45% di sekeliling organ dan rongga perut (Yuliani 2010). Pada tubuh hewan, lemak disimpan di bawah kulit dan di sekitar organ tertentu, misalnya lemak di sekitar ginjal (Gaman dan Sherrington 1992). Kadar lemak pada kepala dan badan sotong hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Thanonkaew et al. (2006), yakni sebesar 0,52% pada kepala dan 0,47% pada badan. Kadar lemak pada penelitian ini dan Thanonkaew et al. (2006) lebih rendah dari yang dilaporkan Okuzumi dan Fujii (2000) dan Guimaraes et al. (2005) yang menyatakan bahwa kadar lemak pada cumi-cumi sebesar 1-2%, sedangkan pada gurita sebesar 0,54-0,94% (Ozogul et al. 2008). 5) Karbohidrat Kadar karbohidrat
yang dihitung dengan metode
by difference
menunjukkan bahwa kepala dan badan sotong mengandung karbohidrat masingmasing sebesar 1,13% dan 1,36%. Kadar karbohidrat pada kepala hasil penelitian ini lebih rendah, sedangkan pada badan lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Thanonkaew et al. (2006) yaitu sebesar 1,87% pada kepala dan 0,64% pada badan. Menurut Suarez et al. (2008) menyatakan bahwa kaadar karbohidrat pada cumi-cumi sebesar 1,8%, sedangkan karbohidrat pada gurita sebesar 1,38% (Pires dan Barbosa 2004), Bagian tubuh pada suatu organisme memiliki fungsinya masing-masing dengan kandungan karbohidrat yang berbeda-beda (Moral et al. 2002).
44
4.2 Komposisi Mineral Sotong (Sepia recurvirostra) Mineral merupakan bagian dari tubuh dan memegang peranan penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ maupun fungsi tubuh secara keseluruhan (Almatsier 2001). Mineral berperan dalam mengatur proses fisiologi (pengatur tekanan osmotik, transport oksigen, kontraksi otot, dan kepekaan syaraf terhadap rangsangan), elemen essensial bagi enzim serta diperlukan dalam proses pengaturan dan pertumbuhan jaringan dan tulang (Nabrzyski 2007). Berdasarkan kebutuhannya, mineral dibagi menjadi dua golongan, yaitu mineral makro dan mineral mikro. Kandungan mineral pada kepala dan badan sotong dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Kandungan mineral makro dan mikro sotong (Sepia recurvirostra) (mg/kg bb) Mineral Mineral makro Na Mg Ca K P Mineral mikro Fe Zn Cu Se
S. recurvirostra Kepala Badan 1610,42±301,47 1532,69±366,92 60,02 ± 2,79 64,87 ± 9,33 197,86 ± 8,07 186,23 ± 8,61 210,72 ± 2,99 277,48 ± 1,12 439,26 ± 16,20 569,67 ± 37,68
6,77 ± 0,22 21,42 ± 0,71 11,82 ± 0,06 0,06 ± 0,01
4,03 ± 0,53 19,62 ± 1,06 5,70 ± 0,15 0,02 ± 0,01
S. pharaonis* Kepala Badan -
-
15,49±1,15 2,07±0,11 7,65 ± 0,46 10,36±0,76 1,94 ± 0,07 2,54 ± 0,04 -
S.officinalis**
2660 ± 600 567 ± 99 134 ± 26 2890 ± 460 2490 ± 230
1,4 ± 0,7 17,7 ± 2,3 4,5 ± 2,5 ttd
Keterangan: ttd = Tidak terdeteksi Sumber: * Thanonkaew et al. (2006) ** Laurenco et al. (2009)
4.2.1 Mineral makro Mineral makro adalah unsur mineral yang dibutuhkan dalam jumlah besar, yaitu lebih dari 100 mg sehari. Kelompok mineral makro terdiri dari natrium, kalium, kalsium, magnesium, sodium, potassium, dan fosfor (Nabrzyski 2007). Mineral makro berperan sebagai zat pembangun tubuh, selain itu mineral ini juga berperan dalam mempertahankan tekanan osmotik dan keseimbangan asam basa tubuh (Biziuk dan Kuczynska 2007). Kandungan mineral makro pada kepala sotong masing-masing adalah natrium (1610,42 mg/kg bb), fosfor (439,26 mg/kg bb), kalium (210,72 mg/kg
45
bb), kalsium (197,86 mg/kg bb), dan magnesium (60,02 mg/kg bb). Kandungan mineral makro pada badan sotong berturut-turut adalah natrium (1532,69 mg/kg bb), fosfor (569,67 mg/kg bb), kalium (277,48 mg/kg bb), kalsium (186,23 mg/kg bb), dan magnesium (64,87 mg/kg bb). a. Kalsium (Ca) Kadar kalsium pada kepala sotong hasil penelitian ini yaitu sebesar 197,86 mg/kg bb, sedangkan pada badan sotong sebesar 186,23 mg/kg bb. Kandungan kalsium pada produk perikanan bervariasi antar spesies. Ikan yang dimakan beserta tulangnya, merupakan sumber kalsium yang bagus. Kekerangan dan krustasea memiliki kandungan kalsium yang tinggi bila dibandingkan dengan ikan (Okuzumi dan Fujii 2000). Kadar kalsium pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Laurenco et al. (2009) pada sotong (Sepia officinalis) yaitu sebesar 134 mg/kg bb. Kadar kalsium ini juga lebih tinggi dari kadar kalsium pada cumi-cumi yaitu sebesar 136 mg/kg bb, namun lebih rendah dari gurita yaitu sebesar 213 mg/kg bb. b. Natrium (Na) Natrium merupakan mineral makro pada sotong yang komposisinya paling tinggi diantara mineral makro yang lain. Kadar natrium pada kepala sotong hasil penelitian ini sebesar 1610,42 mg/kg bb, sedangkan pada badan sotong sebesar 1532,69 mg/kg bb. Tingginya kadar natrium pada sotong diduga karena sotong merupakan hewan laut, dimana air laut mengandung mineral natrium dan klorida dalam jumlah besar. Kandungan natrium pada kekerangan lebih tinggi dibandingkan dengan ikan. Moluska biasanya memiliki kandungan natrium yang lebih tinggi dibandingkan dengan makanan laut lainnya (Okuzumi dan Fujii 2000). Spesies cephalopoda memiliki kandungan natrium dan klorida yang tidak jauh berbeda (Vlieg et al. 1991). Kadar natrium pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Laurenco et al. (2009) pada sotong yaitu sebesar 2660 mg/kg bb. Kadar natrium ini lebih tinggi dari kadar natrium pada cumi-cumi yaitu sebesar 1570 mg/kg bb, namun lebih rendah dari gurita yaitu sebesar 5720 mg/kg bb.
46
c. Magnesium (Mg) Magnesium merupakan aktivator enzim peptidase dan enzim lain yang berfungsi memecah dan memindahkan gugus fosfat (fosfatase) (Winarno 2008). Magnesium juga berperan dalam mengendorkan otot, transmisi syaraf, dan berbagai aktivitas enzim (Sizer dan Whitney 2002). Kadar magnesium pada kepala sotong hasil penelitian ini sebesar 60,02 mg/kg bb, sedangkan pada badan sotong sebesar 64,87 mg/kg bb. Kadar magnesium hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Laurenco et al. (2009) pada sotong yaitu sebesar 567 mg/kg bb. Kadar magnesium ini juga lebih rendah dari kadar magnesium pada cumi-cumi yaitu sebesar 435 mg/kg bb dan gurita yaitu sebesar 938 mg/kg bb. Produk perikanan umumnya mengandung magnesium sebesar 200-500 mg/kg (Okuzumi dan Fujii 2000). d. Fosfor (P) Kadar
fosfor
pada
kepala
sotong
hasil
penelitian
ini
ialah
sebesar 439,26 mg/kg bb, sedangkan pada badan sotong sebesar 569,67 mg/kg bb. Kadar fosfor pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Laurenco et al. (2009) pada sotong yaitu sebesar 2490 mg/kg bb. Kadar fosfor ini juga lebih rendah dari kadar fosfor pada cumi-cumi yaitu sebesar 2600 mg/kg bb dan gurita yaitu sebesar 1470 mg/kg bb. Kandungan fosfor pada produk perikanan umumnya berkisar antara 1000-3000 mg/kg. Kandungan mineral pada produk perikanan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jenis, habitat, umur, dan ukuran (Okuzumi dan Fujii 2000). e. Kalium (K) Kadar kalium pada kepala sotong hasil penelitian ini sebesar 210,72 mg/kg bb, sedangkan pada badan sotong sebesar 277,48 mg/kg bb. Kadar kalium pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Laurenco et al. (2009) pada sotong yaitu sebesar 2890 mg/kg bb. Kadar kalium ini juga lebih rendah dari kadar kalium pada cumi-cumi yaitu sebesar 2610 mg/kg bb dan gurita yaitu sebesar 2230 mg/kg bb. Perbedaan kandungan mineral pada suatu organisme dapat disebabkan oleh habitat yang berbeda (Carvalho et al. 2005; Villanueva dan Bustamante 2006). Perbedaan kandungan mineral ini juga
47
dipengaruhi oleh umur, jenis dan ukuran, habitat dan kondisi lingkungan, serta letak geografis (Gocke et al. 2004) 4.2.2 Mineral mikro Mineral mikro adalah unsur mineral pada tubuh manusia yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit. Mineral mikro dibutuhkan tubuh dalam jumlah kurang dari 100 mg sehari. Kelompok mineral mikro terdiri dari besi, seng, tembaga, selenium, iodium, mangan, seng, kobalt, dan fluor (Nabrzyski 2007). Mineral mikro berfungsi dalam proses metabolisme tubuh serta merupakan bagian dari enzim, hormon dan vitamin (Biziuk dan Kuczynska 2007). Kandungan mineral mikro pada kepala sotong masing-masing adalah seng (21,42 mg/kg bb), diikuti tembaga (11,82 mg/kg bb), besi (6,77 mg/kg bb), dan selenium (0,06 mg/kg bb). Kandungan mineral mikro pada badan sotong berturutturut adalah seng (19,62 mg/kg bb), diikuti tembaga (5,70 mg/kg bb), besi (4,03 mg/kg bb), dan selenium (0,02 mg/kg bb). a. Besi (Fe) Besi adalah mineral mikro yang paling banyak terdapat dalam tubuh manusia. Besi tergolong zat gizi essensial sehingga harus disuplai dari makanan. Sumber utama besi adalah pangan hewani terutama berwarna merah, yaitu hati, daging, ayam, dan ikan (UI 2009). Kadar besi pada kepala sotong hasil penelitian ini sebesar 6,77 mg/kg bb, sedangkan pada badan sotong sebesar 4,03 mg/kg bb. Kadar besi pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Laurenco et al. (2009) pada sotong yaitu sebesar 1,4 mg/kg bb. Kadar besi ini juga lebih tinggi dari kadar besi pada cumi-cumi yaitu sebesar 1,7 mg/kg bb dan gurita yaitu sebesar 4,2 mg/kg bb. Thanonkaew et al. (2006) melaporkan bahwa kadar besi pada kepala sotong sebesar 15,49 mg/kg bb dan 2,07 mg/kg bb pada badan. Perbedaan kandungan besi disebabkan oleh umur, waktu penangkapan, dan habitat (Carvalho et al. 2005). b. Seng (Zn) Seng dapat diperoleh dari pangan hewani, terutama daging, telur, kerang, dan serelia (UI 2009). Kadar seng pada kepala sotong hasil penelitian ini sebesar 21,42 mg/kg bb, sedangkan pada badan sotong sebesar 19,62 mg/kg bb. Kadar besi pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian
48
Thanonkaew et al. (2006) yaitu sebesar 7,65 mg/kg pada kepala dan 10,36 mg/kg pada badan dan Laurenco et al. (2009) yaitu sebesar 17,7 mg/kg bb. Kadar seng penelitian ini juga lebih tinggi dari kadar seng pada cumi-cumi yaitu sebesar 12,6 mg/kg bb dan gurita yaitu sebesar 17,7 mg/kg bb (Laurenco et al. 2009). Tingginya kandungan seng diantara mineral mikro lainnya pada penelitian ini, menguatkan pernyataan bahwa seng selalu terdapat pada makanan laut,
dimana
kandungan
tertinggi
umumnya
terdapat
pada
moluska
(Celik dan Oehlenschleger 2004). c. Tembaga (Cu) Tembaga dapat diperoleh dari makanan laut, kacang, dan daging (Sizer dan Whitney 2002). Kadar tembaga pada kepala sotong hasil penelitian ini sebesar 11,82 mg/kg bb dan pada badan 5,70 mg/kg bb. Kadar tembaga pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Thanonkaew et al. (2006) yaitu sebesar 1,94 mg/kg bb pada kepala dan 2,54 mg/kg bb pada badan dan Laurenco et al. (2009) yaitu sebesar 4,5 mg/kg bb. Kadar tembaga ini juga lebih tinggi dari kadar tembaga pada cumi-cumi yaitu sebesar 1,5 mg/kg bb dan gurita yaitu sebesar 3,8 mg/kg bb. Nurjanah et al. (1999) melaporkan bahwa sotong dengan kulit memiliki kadar tembaga 0,35-1,71 mg/kg, sedangkan sotong tanpa kulit memiliki kadar tembaga sebesar 0,90-1,38 mg/kg. Kandungan tembaga pada kekerangan dan krustasea biasanya lebih tinggi bila dibandingkan dengan ikan. Hal ini disebabkan karena darah pada hewan ini mengandung hemocyanin, yang di dalamnya terdapat tembaga (Okuzumi dan Fujii 2000). d. Selenium (Se) Selenium adalah mineral mikro yang merupakan bagian essensial dari enzim glutation peroksidase. Selenium bekerja sama dengan vitamin E dalam peranannya sebagai antioksidan. Selenium juga berperan serta dalam sistem enzim yang mencegah terjadinya radikal bebas dengan menurunkan konsentrasi peroksida dalam sel, sedangkan vitamin E menghalangi bekerjanya radikal bebas setelah terbentuk (Almatsier 2001). Kadar selenium pada kepala sotong hasil penelitian ini sebesar 0,06 mg/kg bb, sedangkan pada badan sotong sebesar 0,02 mg/kg bb. Produk perikanan
49
memiliki kadar selenium 0,3-0,4 mg/kg (Okuzumi dan Fujii 2000). Selenium dapat diperoleh dari sayur, jamur, ikan dan daging. Kekurangan selenium dapat menyebabkan sirosis hati, kanker, katarak serta penurunan produksi antibodi (Sizer dan Whitney 2002). 4.3 Kandungan Vitamin Sotong (Sepia recurvirostra) Vitamin merupakan kelompok senyawa organik penting yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah sedikit untuk fungsi normal tubuh, diantaranya pemeliharaan, pertumbuhan dan pembangunan. Vitamin tidak disintesis oleh tubuh, oleh karena itu vitamin penting dalam susunan makanan, meskipun terdapat dalam jumlah yang kecil. Vitamin yang terdapat dalam makanan dikenal sebagai prekursor atau provitamin. Provitamin adalah senyawa yang tidak termasuk vitamin tetapi dapat diubah menjadi vitamin (Sizer dan Whitney 2002). Vitamin dikelompokkan ke dalam dua golongan utama, yaitu vitamin larut lemak dan vitamin larut air. Vitamin larut lemak merupakan molekul hidrofobik yang tidak disintesis tubuh dalam jumlah yang memadai sehingga harus disuplai dari makanan (Ottaway 1993). Vitamin larut lemak terdiri dari vitamin A, D, E, dan K (Almatsier 2001). Vitamin C dan vitamin B-kompleks merupakan vitamin larut air. Kelarutannya dalam air membuat vitamin ini tidak tersimpan dalam tubuh (Gaman dan Sherrington 1992). Kandungan vitamin A dan B12 pada kepala dan badan sotong dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Kandungan vitamin A dan B12 sotong (Sepia recurvirostra) (µg/100 g) Udang Jenis vitamin Kepala Badan ronggeng* Vitamin A 686,83 ± 11,74 582,98 ± 10,56 81,77 Vitamin B12 5,45 ± 0,33 3,28 ± 0,63 1,29 Sumber: Jacoeb et al. (2008)
4.3.1 Vitamin A Vitamin A merupakan nama generik yang menyatakan semua retinoid dan provitamin A (karotenoid). Vitamin A adalah suatu kristal alkohol berwarna kuning dan larut dalam lemak atau pelarut lemak. Vitamin A biasanya terdapat pada makanan dalam bentuk retinil, yaitu terikat pada asam lemak rantai panjang. Bentuk aktif vitamin A hanya terdapat pada pangan hewani. Pangan nabati
50
mengandung karotenoid yang merupakan prekursor (provitamin) A (Almatsier 2001). Vitamin A pada jaringan hewan terdapat dalam tiga bentuk, yaitu alkohol (retinol), aldehid (retinal), dan asam (asam retinoik) (Mohamed 2003). Kandungan vitamin A pada kepala sotong hasil penelitian ini sebesar 686,83 µg/100 g, sedangkan pada badan sebesar 582,98 µg/100 g. Tingginya kandungan vitamin A pada kepala dibandingkan pada bagian badan karena vitamin A pada cephalopoda berperan dalam regenerasi dua foto-pigmen retina mata, yaitu rodopsin dan retinokrom yang keduanya berfungsi dalam proses penglihatan cephalopoda (Villanueva et al. 2009). Kadar vitamin A pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Jacoeb et al. (2008) pada udang ronggeng, yaitu sebesar 81,77 µg/100 g. Jumlah harian vitamin A yang diperbolehkan bagi orang dewasa adalah sebesar 900 µg/hari untuk laki-laki dan 700 µg/hari untuk perempuan. Vitamin A berperan dalam berbagai fungsi normal tubuh, diantaranya penglihatan, kekebalan tubuh, reproduksi, serta pertumbuhan dan perkembangan tubuh (Sizer dan Whitney 2002). Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan kulit kering, mata kering, menurunkan daya tahan tubuh terhadap infeksi, pertumbuhan dan perkembangan yang terhambat (Gaman dan Sherrington 1992), dan buta malam yang merupakan tanda-tanda yang biasa digunakan bagi diagnosis kekurangan vitamin A pada manusia (Lehninger 1988). Kelebihan vitamin A biasanya disebabkan karena penggunaan suplemen yang mengandung vitamin A dengan dosis yang berlebihan (Gaman dan Sherrington 1992). 4.3.2 Vitamin B12 Vitamin B12 adalah kristal merah yang larut air, warna merah karena adanya kobalt. Vitamin B12 (kobalamin) mempunyai struktur cincin yang kompleks (cincin corrin) dan serupa dengan cincin porfirin, pada cincin ini ditambahkan ion kobalt dibagian tengahnya. Bentuk utama vitamin B12 dalam makanan adalah adenosilkobalamin, metilkobalamin, dan hidroksikobalamin (Almatsier 2001). Vitamin B12 hanya ditemukan pada pangan hewani. Hati adalah sumber yang paling kaya akan vitamin B12, selain itu vitamin ini juga ditemukan dalam susu, daging, ikan, dan telur (Gaman dan Sherrington 2002).
51
Kandungan vitamin B12 pada kepala sotong hasil penelitian ini sebesar 5,45 µg/100 g, sedangkan pada badan sebesar 3,28 µg/100 g. Kadar vitamin B12 pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Jacoeb et al. (2008) pada udang ronggeng, yaitu sebesar 1,29 µg/100 g. Makanan laut merupakan sumber vitamin B12 yang bagus. Moluska diantaranya cumi, kerang, dan tiram memiliki kandungan vitamin B12 yang lebih tinggi dibandingkan ikan. Kandungan vitamin B12 pada moluska 3,3-38,9 µg/100 g (Okuzumi dan Fujii 2000). Vitamin B12 berfungsi dalam metabolisme asam amino serta biosintesis protein dan asam nukleat (Okuzumi dan Fujii 2000). Vitamin B12 diperlukan untuk mengubah folat menjadi bentuk aktif dan fungsi normal tubuh terutama jaringan syaraf serta merupakan kofaktor enzim. Jumlah harian vitamin B12 yang diperbolehkan bagi orang dewasa adalah sebesar 2,4 µg/hari. Kekurangan vitamin B12 dapat menyebabkan pernicious anemia (anemia karena kekurangan folat). Penyakit ini hampir selalu disebabkan oleh gangguan penyerapan vitamin daripada defesiensi (Sizer dan Whitney 2002). 4.4 Komponen Bioaktif Sotong (Sepia recurvirostra) Analisis fitokimia adalah analisis yang diterapkan untuk mengetahui golongan senyawa yang terkandung dalam suatu bahan yang tidak dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh, tetapi memiliki efek menguntungkan bagi manusia. Senyawa fitokimia bukan merupakan zat gizi, karena tanpa komponen tersebut tubuh manusia tetap melakukan metabolisme secara normal. Konsumsi senyawa fitokimia akan membantu meningkatkan kesehatan dan ketahanan tubuh manusia (Astawan dan Kasih 2008). Uji fitokimia tidak terbatas hanya mendeteksi komponen bioaktif pada metabolit sekunder saja, tetapi juga terhadap metabolit primer yang memberikan aktivitas biologis fungsional, diantaranya protein dan peptida (Kannan et al. 2009). Uji fitokimia yang dilakukan pada penelitian ini, meliputi uji alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, uji Molisch, uji Benedict, uji Biuret, dan uji Ninhidrin. Hasil uji fitokimia ekstrak kasar daging, tinta, dan cangkang sotong dapat dilihat pada Tabel 9.
52
Tabel 9 Hasil uji fitokimia ekstrak kasar daging, tinta, dan cangkang sotong Ekstrak metanol
Uji Alkaloid - Meyer - Dragendorff - Wagner Steroid Flavonoid Saponin Fenol hidroquinon Mollisch Benedict Biuret Ninhidrin
Ekstrak metanol* Daging Jeroan
Ekstrak metanol** Daging Jeroan
Daging
Tinta
Cangkang
++ +++ +++ + -
++ ++ +++ ++ -
+ + ++ + -
+ + + -
+ + + -
+ + + -
+ + + -
-
-
-
-
-
-
-
+ ++ ++
+ + +
+ +
+ + ++ ++
+ ++ ++
+ -
+ -
Keterangan: (-) = Tidak terdeteksi; (+) = Lemah; (++) = Kuat; (+++) = Sangat kuat Sumber: * Nurjanah et al. (2011) ** Suwandi et al. (2010)
4.4.1 Alkaloid Alkaloid pada umumnya mencangkup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik, yaitu cincin heterosiklik (Harborne 1987). Alkaloid adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang terbentuk berdasarkan prinsip pembentukan campuran (Sirait 2007). Hasil uji fitokimia pada daging, tinta, dan cangkang sotong menunjukkan reaksi positif adanya alkaloid. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Nurjanah et al. (2011) dan Suwandi et al. (2010) yang menyatakan bahwa keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) dan keong pepaya (Melo sp.) juga menunjukkan reaksi positif adanya alkaloid. Hasil positif menunjukkan bahwa ekstrak daging, tinta, dan cangkang sotong menggunakan metanol mengandung protoalkaloid dan pseudoalkaloid, bukan alkaloid sesungguhnya yang bersifat racun. Alkaloid umumnya merupakan senyawa yang larut dalam pelarut non polar, sedangkan beberapa kelompok protoalkaloid dan pseudoalkaloid larut dalam pelarut polar (Lenny 2006). Protoalkaloid merupakan amin yang relatif sederhana dimana di dalam nitrogen asam amino tidak terdapat cincin heterosiklik dan diperoleh berdasarkan biosintesis dari asam amino yang bersifat basa. Pseudoalkaloid tidak diturunkan
53
dari prekursor asam
amino dan biasanya senyawa ini bersifat basa
(Sastrohamidjojo 1996). Komponen bioaktif alkaloid yang terdapat pada ekstrak kasar sotong dapat digolongkan sebagai hasil metabolisme sekunder. Alkaloid digolongkan sebagai metabolit sekunder karena kelompok molekul ini merupakan substansi organik yang tidak bersifat vital bagi organisme yang menghasilkannya (Kutchan 1995), tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa komponen alkaloid pada sotong juga berasal dari makanan yang dikonsumsi oleh sotong itu sendiri. Alkaloid pada ekstrak kasar pada sotong diduga memiliki kandungan antioksidan. Hanani et al. (2005) menyatakan bahwa senyawa kimia dalam spons yang mempunyai aktivitas antioksidan secara kualitatif dan lanjutan yaitu alkaloid. Senyawa-senyawa yang berpotensi sebagai antioksidan dapat diprediksi dari golongan fenolat, flavonoid, dan alkaloid, yang merupakan senyawa-senyawa polar (Suratmo 2009). 4.4.2 Steroid Hasil uji fitokimia pada daging, tinta, dan cangkang sotong menunjukkan reaksi positif adanya steroid. Adanya komponen steroid yang terdeteksi pada ekstrak kasar sotong ini diduga merupakan hormon adrenal dan hormon seks (progesterone, 17-β-estradiol, testosterone, 4-androstene-dione dan cortisol) seperti steroid yang terdeteksi pada Achatina fulica yang merupakan salah satu jenis gastropoda (Bose et al. 1997). Hasil penelitian Nurjanah et al. (2011) juga menunjukkan hasil positif adanya steroid pada keong ipong-ipong. Steroid ini diduga memiliki efek peningkat stamina tubuh (aprodisiaka) dan anti-inflamasi. Hasil penelitian Setzer (2008) menunjukkan bahwa sejumlah triterpenoid alami juga memiliki aktivitas antitumor karena mempunyai kemampuan menghambat kinerja enzim topoisomerase II, dengan cara berikatan dengan sisi aktif enzim yang nantinya akan mengikat DNA dan membelahnya. Hal ini menyebabkan enzim menjadi terkunci dan tidak dapat mengikat DNA. 4.4.3 Karbohidrat Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia dan hewan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Melalui proses fotosintesis, klorofil tanaman dengan bantuan sinar matahari mampu membentuk karbohidrat dari karbon
54
dioksida (CO2) yang berasal dari udara dan air dari tanah. Proses fotosintesis menghasilkan karbohidrat sederhana, glukosa, dan oksigen yang dilepas di udara (Almatsier 2001). Karbohidrat dapat dikelompokkan menjadi monosakarida, oligosakarida, serta polisakarida. Monosakarida merupakan suatu molekul yang dapat terdiri dari 5-6 atom C, sedangkan oligosakarida merupakan polimer dari 2-10 monosakarida, dan pada umumnya polisakarida merupakan polimer yang terdiri lebih dari 10 monomer monosakarida (Winarno 2008). Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak kasar sotong positif mengandung unsur karbohidrat. Hasil ini mendukung hasil analisis proksimat karbohidrat pada daging sotong, yaitu sebesar 1-1,5%. Uji molisch (karbohidrat) pada keong ipong-ipong dan keong pepaya juga menunjukkan hasil yang positif (Nurjanah et al. 2011; Suwandi et al. 2010). Komponen karbohidrat yang terdeteksi pada ekstrak kasar sotong bukanlah komponen serat kasar melainkan komponen glikogen. Karbohidrat yang terdapat pada hewan umumnya berbentuk glikogen, dan dapat dipecah menjadi D-glukosa (Winarno 2008). Kandungan glikogen pada produk perikanan sebesar 1% pada ikan, 1% pada krustasea, dan 1-8% pada kekerangan (Okuzumi dan Fujii 2000). Karbohidrat mempunyai peran penting untuk mencegah pemecahan protein tubuh yang berlebihan, mencegah timbulnya ketosis, kehilangan mineral, dan berguna untuk metabolisme lemak dan protein dalam tubuh (Budiyanto 2002). 4.4.4 Peptida Hasil uji fitokimia pada badan dan tinta sotong menunjukkan hasil positif adanya unsur peptida, sedangkan pada cangkang tidak terlihat reaksi positif. Peptida yang terdeteksi ekstrak daging diduga jenis protein yang merupakan komponen metabolit primer, sedangakan untuk peptida yang terdeteksi pada ekstrak tinta diduga jenis hormon tertentu. Hasil penelitian Nurjanah et al. (2011) menunjukkan bahwa bagian daging dan jeroan keong ipong-ipong menunjukkan hasil positif adanya unsur peptida. Beberapa peptida menunjukkan aktivitas biologis yang nyata. Hasil penelitian Kannan et al. (2009) menunjukkan bahwa hidrolisat peptida dari kulit padi yang memiliki berat molekul < 5 kDa memiliki aktivitas antikanker.
55
4.4.5 Asam amino Asam amino merupakan unit struktural dasar dari protein. Asam amino dapat diperoleh dengan menghidrolisis protein dalam asam, alkali, atau enzim. Sebuah asam amino terdiri dari sebuah gugus amino, sebuah gugus karboksil, sebuah atom hidrogen dan gugus R yang terikat pada sebuah atom C yang dikenal sebagai karbon α, serta gugus R merupakan rantai cabang. Semua asam amino berkonfigurasi α dan mempunyai konfigurasi L kecuali glisin yang tidak mempunyai atom C asimetrik (Winarno 2008). Hasil uji fitokimia pada badan, tinta, dan cangkang sotong menunjukkan hasil positif adanya unsur asam amino. Asam amino yang terdeteksi ini diduga asam amino-asam amino yang dihasilkan dari proses hidrolisis protein, serta asam amino-asam amino non protein (bukan penyusun protein). Hasil penelitian Nurjanah et al. (2011) pada keong ipong-ipong juga menunjukan hasil positif adanya asam amino. Kamil et al. (1998) menyatakan bahwa asam amino-asam amino yang terlarut pada pelarut metanol ini merupakan asam amino yang memiliki sifat polar (hidrofilik), baik yang bermuatan ataupun yang tidak bermuatan, seperti arginin, histidin, lisin (asam amino polar bermuatan), treonin (asam amino polar tak bermuatan). 4.5 Logam berat Logam berat merupakan unsur-unsur metalik yang memiliki sifat berbahaya dengan berat atom lebih dari 40 (Panjaitan 2009). Pencemaran suatu perairan oleh unsur-unsur logam berat, dapat berbahaya baik secara langsung terhadap kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia (Siagian 2004). Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam berat, yaitu tidak dapat terurai (non degradable) dan mudah diabsorbsi (Darmono 1995), dapat terakumulasi dalam kerang dan ikan serta mudah terakumulasi pada sedimen (Marganof 2003). Kadar logam berat kepala dan badan sotong dapat dilihat pada Tabel 10.
56
Tabel 10 Kadar logam berat sotong (Sepia recurvirostra) (mg/kg bb) S. recurvirostra S. pharaonis* S. officinalis** Logam berat Kepala Badan Kepala Badan Cd 0,15 ± 0,02 0,04 ± 0,01 0,20±0,01 0,42±0,05 0,31 ± 0,28 Pb ttd ttd 0,01±0,01 0,01±0,01 0,04 ±0,01 Hg ttd ttd 0,15 ± 0,10 Keterangan: ttd = Tidak terdeteksi Sumber: * Thanonkaew et al. (2006) ** Laurenco et al. (2009)
4.5.1 Kadmium (Cd) Kadmium (Cd) merupakan logam berwarna putih keperakan menyerupai alumunium. Logam ini banyak bercampur dengan logam lain terutama Zn dan Hg. Kadmium (Cd) dalam air laut berbentuk senyawa klorida (CdCl2), dalam air tawar berbentuk karbonat (CdCO3), sedangkan pada air payau yang biasanya terdapat di muara sungai, kedua senyawa tersebut jumlahnya berimbang (Darmono 1995). Kadar kadmium pada kepala sotong hasil penelitian ini sebesar 0,15 mg/kg bb, sedangkan pada badan sotong sebesar 0,04 mg/kg bb, lebih rendah dari batas aman. Batas aman logam berat Cd dalam makanan adalah 1 mg/kg (Nurjanah et al. 1999). Kadar kadmium hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Thanonkaew et al. (2006) yaitu sebesar 0,20 mg/kg bb pada kepala dan pada badan sebesar 0,42 mg/kg bb. Hasil penelitian Nurjanah et al. (1999) menunjukkan bahwa sotong dengan kulit memiliki kadar kadmium sebesar 0,13-0,84 mg/kg, sedangkan sotong tanpa kulit memiliki kadar kadmium sebesar 0,15-0,83 mg/kg. Laurenco et al. (2009) melaporkan bahwa sotong memiliki kadar kadmium sebesar 0,31 mg/kg bb, lebih tinggi dari cumi-cumi yang hanya sebesar 0,04 mg/kg bb dan lebih rendah dari gurita sebesar 0,38 mg/kg bb. Pires dan Barbosa (2004) melaporkan bahwa gurita memiliki kadar kadmium sebesar 0,62 mg/kg. Masuknya logam kadmium (Cd) ke dalam jaringan sotong dapat melalui tiga cara, yaitu melalui rantai makanan, insang, dan difusi melalui permukaan kulit (Siagian 2004). Akumulasi terjadi karena logam berat yang masuk ke dalam tubuh organisme cenderung membentuk senyawa komplek dengan zat-zat organik yang terdapat dalam tubuh organisme, sehingga
57
logam berat terfiksasi dan tidak diekresikan oleh organisme bersangkutan (Nurjanah et al. 1999). Kadmium (Cd) masuk ke dalam tubuh hewan melalui dua jalur, yaitu saluran pencernaan dan saluran pernafasan. Cd dalam saluran pencernaan akan diabsorpsi melalui saluran dinding usus dan diangkut melalui pembuluh darah serta didistribusikan dalam jaringan terutama ginjal dan hati, dimana kurang lebih 50% dari logam tersebut terakumulasikan. Moluska seringkali mengakumulasi Cd pada kelenjar pencernaannya (Laurenco et al. 2009). Keracunan kadmium dapat mengakibatkan efek yang kronis dan akut. Efek akut ditunjukkan dengan gejala diare, kejang perut dan pusing, sedangkan efek kronis biasanya mengakibatkan kerusakan pada ginjal dan kerusakan pada sistem syaraf (Darmono 1995). 4.5.2 Timbal (Pb) Timbal (Pb) adalah logam lunak kebiruan atau kelabu keperakan yang lazim terdapat dalam kandungan endapan sulfit yang tercampur mineral-mineral lain, terutama seng dan tembaga. Pencemaran Pb dapat terjadi di udara, air, maupun tanah. Timbal merupakan logam yang bersifat toksik bagi manusia, yang bisa berasal dari tindakan mengkonsumsi makanan, minuman, inhalasi dari udara, maupun kontak lewat kulit (Panjaitan 2009). Kadar timbal pada kepala dan badan sotong hasil penelitian ini tidak terdeteksi, sehingga sotong pada penelitian ini aman untuk dikonsumsi. Batas aman logam berat Pb dalam makanan adalah 2 mg/kg (Nurjanah et al. 1999). Hasil penelitian Thanonkaew et al. (2006) menunjukkan bahwa kadar timbal pada kepala dan badan sotong yaitu sebesar 0,01 mg/kg bb. Nurjanah et al. (1999) melaporkan bahwa sotong dengan kulit memiliki kadar timbal 0,13-0,84 mg/kg, sedangkan sotong tanpa kulit memiliki kadar kadmium sebesar 0,15-0,83 mg/kg. Laurenco et al. (2009) melaporkan bahwa sotong memiliki kadar timbal sebesar 0,04 mg/kg bb, lebih tinggi dari gurita yang hanya sebesar 0,02 mg/kg bb dan
lebih
rendah
dari
cumi-cumi
sebesar
0,10
mg/kg
bb.
Menurut
Pires dan Barbosa (2004) gurita memiliki kadar timbal sebesar 0,51 mg/kg. Hasil penelitian ini belum melewati ambang batas aman kandungan timbal dalam makanan. Logam Pb tidak dibutuhkan oleh manusia sehingga bila makanan tercemar oleh logam tersebut, maka tubuh akan mengeluarkan sebagian dan
58
sisanya akan terakumulasi pada bagian tubuh tertentu, diantaranya ginjal, hati, kuku, jaringan lemak, dan rambut (Panjaitan 2009). Senyawa Pb yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan minuman akan diikutkan dalam proses metabolisme tubuh. Jumlah Pb yang masuk tersebut masih mungkin ditolerir oleh asam lambung (HCl) yang mempunyai kemampuan untuk menyerap logam Pb, walaupun Pb lebih banyak dikeluarkan bersama tinja (Siagian 2004). Termakannya senyawa timbal dalam konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan gejala keracunan, diantaranya iritasi gastrointestinal akut, rasa logam pada mulut, muntah, sakit perut, dan diare (Darmono 1995). 4.5.3 Raksa (Hg) Merkuri (Hg) merupakan unsur renik pada kerak bumi. Merkuri digolongkan sebagai pencemar paling berbahaya diantara berbagai macam logam berat. Sumber merkuri dapat berasal dari pelapukan batuan dan erosi tanah yang melepas merkuri ke dalam perairan (Putri 2009). Pencemaran perairan oleh merkuri mempunyai pengaruh terhadap ekosistem setempat yang disebabkan oleh sifatnya yang stabil dalam sedimen, kelarutan yang rendah dalam air dan kemudahan diserap dan terkumpul maupun biomagnifikasi yaitu melalui rantai makanan. Kadar merkuri pada kepala dan badan sotong hasil penelitian ini tidak terdeteksi, sehingga sotong pada penelitian ini aman untuk dikonsumsi. Batas aman logam berat Hg dalam makanan adalah 0,5 mg/kg (Nurjanah et al. 1999). Nurjanah et al. (1999) melaporkan bahwa kadar merkuri baik pada sotong dengan kulit maupun sotong tanpa kulit tidak terdeteksi. Hasil penelitian Laurenco et al. (2009) menunjukkan bahwa sotong memiliki kadar merkuri sebesar 0,15 mg/kg bb, lebih tinggi dari cumi-cumi yang hanya sebesar 0,05 mg/kg bb dan gurita sebesar 0,13 mg/kg bb. Menurut Pires dan Barbosa (2004) kadar merkuri pada gurita yaitu sebesar 0,05 mg/kg. Hasil penelitian ini tidak melebihi ambang batas aman logam merkuri dalam makanan. Kebiasaan makan sotong juga mempengaruhi akumulasi logam berat dalam jaringan tubuhnya. Sotong merupakan organisme laut yang bersifat karnivora, maka bila mangsa yang ditangkapnya mengandung logam berat berarti sotong meningkatkan akumulasi logam tersebut dalam tubuhnya (Nurjanah et al. 1999). Laurenco et al. (2009) melaporkan bahwa terdapat korelasi antara ukuran
59
tubuh sotong dengan kandungan merkuri, semakin besar tubuh sotong maka kandungan merkuri semakin besar pula. Efek toksik Hg berkaitan dengan susunan syaraf yang sangat peka tehadap Hg dengan gejala pertama adalah parastesia, lalu ataksia, disartria, ketulian, dan akhirnya
kematian.
Merkuri
(Hg)
bisa
menghambat
pelepasan
GnRH
(antioksidan) oleh kelenjar hipotalamus dan menghambat ovulasi sehingga terjadi akumulasi Hg pada korpus luteum (Widowati et al. 2008). Keracunan akut dapat mengakibatkan rasa mual, muntah-muntah, diare berdarah, kerusakan ginjal serta
dapat
mengakibatkan
kematian.
Keracunan
kronis
ditandai
oleh
peradangan mulut dan gusi, pembengkakan kelenjar ludah dan pengeluaran ludah secara berlebihan, gigi menjadi longgar, dan kerusakan pada ginjal (Yuliani 2010).
5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Sotong (Sepia recurvirostra) yang diperoleh dari pasar ikan Muara Angke, Jakarta memiliki rendemen daging (kepala dan badan) lebih dari tiga per empat bobot sotong utuh. Air merupakan komponen paling tinggi pada sotong, diikuti protein, karbohidrat, abu, dan lemak. Kandungan mineral makro tertinggi pada sotong adalah natrium, diikuti fosfor, kalium, kalsium, dan magnesium. Kandungan mineral mikro tertinggi pada sotong adalah seng, diikuti tembaga, besi, dan selenium. Sotong mengandung logam kadmium yang masih berada dalam batas aman kadmium pada makanan, sedangkan logam timbal dan merkuri tidak terdeteksi sehingga sotong aman untuk dikonsumsi. Sotong juga mengandung vitamin A dan vitamin B12 yang lebih besar bila dibandingkan dengan udang ronggeng. Tingginya kandungan vitamin A dan B12 pada sotong menunjukkan bahwa sotong dapat dijadikan sebagai sumber vitamin. Ekstrak kasar sotong berupa daging, tinta, dan cangkang mengandung lima komponen bioaktif yang terdeteksi melalui uji alkaloid, steroid, karbohidrat, peptida, dan asam amino. Komponen-komponen bioaktif ini diduga memiliki banyak aktivitas fisiologis yang positif bagi tubuh manusia. 5.2 Saran Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah perlu dilakukan penelitian lanjutan berupa kandungan mineral pada cangkang dan tinta sotong, pengujian kelarutan mineral dan bioavailabilitasnya secara in vivo, dan penentuan aktivitas antioksidan sotong.
61
DAFTAR PUSTAKA Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. [AOAC] Association of Official Analytical and Chemist. 1995. Official Methods of Analysis the Association of Official Analytical and Chemist. 16th ed. Virginia: Arlington. Astawan M dan Kasih AL. 2008. Khasiat Warna-Warni Makanan. Jakarta: PT Gramedia Ayas D dan Ozogul Y. 2011. The chemical composition of carapace meat of sexually mature blue crab (Callinectes sapidus, Rathbun 1896) in the Mersin Bay. Journal of Fisheries Science 38:645-650. Bihan EL, Zatylny C, Perrin A, Koueta N. 2006. Post mortem change in viscera of cuttlefish Sepia officinalis L. during storage at two different temperatures. Journal Foof Chemistry 98(1):39-51. Biziuk M dan Kuczynska J. 2007. Mineral component in Food-Analytical Implications. Di dalam: Szefer P dan Nriagu JO, editors. Mineral Components in Foods. New York: CRC Press. Boal JG, Wittenberg KM, Hanlon RT. 2000. Observational learning does not explain improvement in predation tactics by cuttlefish (mollusca: cephalopoda). Behavioural Processes 52(2):141-153. Bose R, Majumdar C, Bhattacharya S. 1997. Steroids in Achatina fulica (Bowdich): steroid profile in haemolymph and in vitro release of steroids from endogenous precursors by ovotestis and albumen gland. Comp Biochem Physiol 116C(3):179-182. Bower JR dan Ichii T. 2005. The red flying squid (Omnastrephes bartramii): A review of recent research and the fishery in Japan. Fisheries Research 76(1):39-55. Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wooton M. 1987. Ilmu Pangan. Jakarta: UI Press. Budiyanto AK. 2002. Dasar-Dasar Muhammadiyah Malang.
Ilmu
Gizi.
Malang:
Universitas
Carvalho ML, Santiago S, Nunes ML. 2005. Assessment of the essential element and heavy metal content of edible fish muscle. Analytical and Bioanalytical Chemistry 382(2):426-432.
62
Celik U dan Oehlenschlaeger J. 2004. Determination of zinc and copper in fish samples collected from Northeast Atlantic by DPSAV. Food Chemistry 87(3):343-347. Cole AG dan Hall BK. 2009. Cartilage differentiation in cephalopod molluscs. Journal of Zoology 112(1):2-15. Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Jakarta: UI Press. deMan JM. 1989. Kimia Makanan. Padmawinata K., penerjemah. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Terjemahan dari: Food Chemistry. Effendi I. 1997. Biologi Perikanan. Jakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. Ersoy B dan Ozeren A. 2009. The effect of cooking methods on mineral and vitamin contents of African catfish. Food Chemistry 115(2):419-422. Forsythe J, Lee P, Walsh L, Clark T. 2002. The effects of crowding on growth of the European cuttlefish, Sepia officinalis Linnaeus, 1758 reared at two temperatures. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 269(2):173-185. Gaman PM. dan Sherrington KB. 1992. Ilmu Pangan: Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Edisi kedua. Gardjito M, Naruki S, Murdiati A, Sardjono, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: The Science of Food, An Introduction to Food Science, Nutrition and Microbiology. Gocke MA, Tazbozan O, Celik M, Tabakoglu S. 2004. Seasonal variation in proximate and fatty acid of female common sole (Solea solea). Journal of Food Chemistry 88(3):419-423. Guimaraes JL, Felicio PED, Guzman ESC. 2005. Chemical and microbial analyses of squid muscle (Loligo plei) during storage in ice. Food Chemistry 91(3):477-483. Hajeb P, Jinap S, Ismail A, Fatimah AB, Jamilah B, Rahim MA. 2009. Assessment of mercury level in commonly consumed marine fishes in Malaysia. Food Control 20(20):79-84. Hanani E, Mun’im A, Sekarini R. 2005. Identifikasi senyawa antioksidan dalam spons Callyspongia sp. dari Kepulauan Seribu. Majalah Ilmu Kefarmasian 2(3):127-133. Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Terjemahan dari: Phytochemical Methods.
63
Jacoeb AM, Hamdani M., Nurjanah. 2008. Perubahan komposisi kimia dan vitamin daging udang ronggeng (Harpiosquilla raphidea) akibat perebusan. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 9(2):76-88. Jereb P dan Roper CFE. 2005. Cephalopods of the world. FAO Species Catalogue for Fishery Purpose 4(1):114-115. Kamil, Zahiruddin W, Sumaryanto H. 1998. Pengaruh metode pengolahan terhadap mutu tepung siput murbei (Pomacea sp.). Buletin Teknologi Hasil Perikanan 5(2):24-26. Kannan A, Hettiarachchy N, Narayan S. 2009. Colon and breast anti-cancer effects of peptide hydrolysates derived from rice bran. The Open Bioactive Coumpounds Journal 2(2):17-20. Karlenskint GJ, Turner R, Small JWJ. 2010. Introduction to Marine Biology. Third edition. USA: Cengage Learning. [KKP]
Kementerian Kelautan dan Perikanan. http://www.pipp.kkp.go.id [20 April 2011].
2005.
Sotong.
Kutchan TM. 1995. Alkaloid biosynthesis: the basis for metabolic engineering of medical plants. The Plant Cell 7(7):1059-1070. Laurenco HM, Anacleto P, Afonso C, Ferraria V, Martins MF, Carvalho ML, Lino AR, Nunes ML. 2009. Elemental composition of cephalopods from Portuguese continental waters. Journal Food Chemistry 113(4):11461153. Lehninger AL. 1988. Dasar-Dasar Biokimia Jilid 1. Thenawidjaja M, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Principles of Biochemistry. Lenny S. 2006. Senyawa flavonoida, fenilpropanoida, dan alkaloida [makalah]. Medan: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara. Marganof. 2003. Potensi limbah udang sebagai penyerap logam berat (timbal, kadmium, dan tembaga) di perairan [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Insitut Pertanian Bogor. Mohamed JS, Sivaram V, Roy TSC, Marian MP, Murugadass S, Hussain MR. 2003. Dietary vitamin A requirement of juvenile greasy grouper (Epinephelus tauvina). Journal Aquaculture 219(1):693-701. Moral A, Morales J, Capillas RC, Montero P. 2002. Muscle protein solubility of some cephalopods (pota and octopus) during frozen storage. Journal of Food and Agriculture 83(6):663-668.
64
Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1993. Metabolisme Zat Gizi Sumber, Fungsi, dan Kebutuhan bagi Tubuh Manusia Jilid II. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Nabrzyzki M. 2007. Functional Role of Some Minerals in Food. Szefer P dan Nriagu JO, editors. Di dalam: Mineral Components in Foods. New York: CRC Press. Nurjanah, Marlina L, Setyaningsih I. 1999. Kandungan logam Hg, Pb, Cd, Cu, dan As pada cumi-cumi dan sotong yang didaratkan di tepi Muara Angke dan Upaya Penurunannya. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 1(6):9-13. Nurjanah, Abdullah A, Apriandi A. 2011. Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif pada keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo). Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia 14(1):22-29. Okuzumi M dan Fujii T. 2000. Nutritional and Functional Properties of Squid and Cuttlefish. Tokyo: National Cooperative Association of Squid Processors. Ottaway PB. 1993. The Technology of Vitamins in Food. Great Britanian: Harnolls Ltd. Ozogul Y, Duysak O, Ozogul F, Ozkutuk AS, Tureli C. 2008. Seasonal effects in the nutritional quality of the body structural tissue of cephalopods. Food Chemistry 108(3):847-852. Ozyurt G, Duysak O, Akama E, Tureli C. 2006. Seasonal change of fatty acids of cuttlefish Sepia officinalis L. (mollusca:cephalopoda) in the north eastern Mediterranean Sea. Journal Foof Chemistry 95(3):382–385. Panjaitan GY. 2009. Akumulasi logam berat tembaga (Cu) dan timbal (Pb) pada pohon Avicennia marina di hutan mangrove [skripsi]. Medan: Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Pires PV dan Barbosa A. 2004. Sensory, microbiological, physical and nutritional properties of iced whole common octopus (Octopus vulgaris). LebensmWiss Technology 37(1):105-114. Poedjiadi A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: UI Press. Putri FI. 2009. Kandungan logam berat Hg, Cd, dan Pb pada kerang darah (Anadara granosa) di perairan Teluk Lada, Kabupaten Pandeglang, Banten [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
65
Reitz LL, Smith WH, Plumlee MP. 1987. A Simple Wet Oxidation Procedure for Biological Material. West Lafayee: Animal Science Purdue University. Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Padmawinata K, penerjemah. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Terjemahan dari: The Organic Constituents of Higher Plants. Rooche. 1992. Analytical Methods for Vitamin in Food/Pharma Premixes. New York: Open University Press, Inc. Rusyadi S. 2006. Karakteristik gizi dan potensi pengembangan kerang pisau (Solen spp.) di perairan Kabupaten Pamekasan Madura [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Sastrohamidjojo H. 1996. Sintesis Bahan Alam. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sediaoetama AD. 1987. Ilmu Gizi dan Ilmu Diit di Daerah Tropik. Jakarta: Balai Pustaka. Setzer WN. 2008. Non-intercalative triterpenoid inhibitors of topoisomerase II: a molecular docking study. The Open Bioactive Compounds Journal 1:13-17. Siagian LTI. 2004. Pengaruh pencemaran logam berat Pb, Cd, Cr terhadap biota laut dan konsumennya di Kelurahan Bagan Deli, Belawan [tesis]. Medan: Sekolah Pascasarjana. Universitas Sumatera Utara. Sirait M. 2007. Penuntun Fitokimia dalam Farmasi. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Sizer FS dan Whitney EN. 2002. Nutrition: Concepts and Controversus, International Students Edition. United States: Thomson Wadsworth. Suarez JCR, Leon LRI., Aguilar RP, Sanchez MEL, Sanchez GG, Ruiz GC. 2008. Physicochemical and functional changes in jumbo squid (Dosidicus gigas) mantle muscle during ice storage. Food Chemistry 111(3):586-591. Sukadana IM. 2009. Senyawa antibakteri golongan flavonoid dari buah belimbing manis (Averrhoa carambola Linn L.). Jurnal Kimia 3(2):109-116. Suratmo. 2009. Potensi ekstrak daun sirih merah (Piper crocatum) sebagai antioksidan. http://fisika.brawijaya.ac.id [25 Mei 2011]. Suwandi R, Nurjanah, Tias FN. 2010. Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif dari keong pepaya (Melo sp.). Jurnal Sumberdaya Perairan 4(2):16-20
66
Suwignyo S, Widigdo B, Wardianto Y, Krisanti M. 2002. Avertebrata Air Jilid 1. Jakarta: Penebar Swadaya. Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein Processing Technology. London: Applied Science Publisher Ltd. Thanonkaew A, Benjakul S, Visessanguan W. 2006. Chemical composition and thermal property of cuttlefish (Sepia pharaonis) muscle. Journal of Food Composition and Analysis 19(2):127-133. [UI] Universitas Indonesia. 2009. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rajawali Press. Villanueva R dan Bustamante P. 2006. Composition in essential and non-essential elements of early stages of cephalopods and dietary effects on the elemental profiles of Octopus vulgaris paralarvae. Aquaculture 261(1):225-240. Villanueva R, Escudero JM, Deulofeu R, Bozzano A, Casoliva C. 2009. Vitamin A and E content in early stages of cephalopods and their effects in Octopus vulgaris paralarvae. Journal Aquaculture 296(3):277-282. Vlieg P, Lee J, Grace ND. 1991. Elemental concentration of marine and freshwater finfish, and shelfish from New Zealand waters. Journal of Food Composition and Analysis 4(2):136-147. Widowati W, Sastiono A, Jusuf R. 2008. Efek Toksik Logam. Yogyakarta: Penerbit Andi. Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: MBrio Press. Yuliani U. 2010. Kandungan mineral dan logam berat lintah laut (Discodoris sp.) dari perairan kepulauan Belitung [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Yuningsih R. 2007. Kandungan logam berat kadmium (Cd) dan timbal (Pb) pada jaringan insang ikan air tawar di daerah Ciliwung, Cirata dan Cisaat [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.
67
LAMPIRAN
68
Lampiran 1 Data morfometrik sotong Panjang (cm) 13 13 12,2 13 11,5 15,5 13,2 14 13,2 11,1 13,5 12,2 16 14 12,5 11,4 11,5 12 12,5 12,2 14,5 10 11,3 13,7 12,8 13 11,5 13 12,5 11,3 Keterangan: Data dari 30 sampel
Lebar (cm) 6 6 5,3 5,5 5 6 5,5 6,3 6 5,5 5,5 5,5 6,5 5,3 5,7 5,5 5.5 4,5 5,3 5 5,5 5 4,5 6 5,5 5,8 5,7 5,3 7 6
Tebal (cm) 3,5 2 1,5 1,6 1,7 2 1,4 2 1,8 1,7 1,8 2,3 2,1 2 2 2,2 1,8 2,1 1,9 2,2 2,1 1,5 2 2 1,5 1,5 1,7 2 2,2 2,5
Bobot total (gram) 68 63 45 59 47 81 50 71 60 52 51 65 79 61 60 45 53 47 57 50 75 40 52 67 53 66 63 64 80 59
69
Lampiran 2 Perhitungan rendemen sotong Berat total
: 1783 gram
Berat daging
: 804 gram
Berat kepala
: 580 gram
Berat organ dalam
: 322 gram
Berat cangkang
: 77 gram
Rendemen (%) =
x 100%
Rendemen daging (%)
=
x 100% = 45,09%
Rendemen kepala (%)
=
x 100% = 32,53%
Rendemen organ dalam (%) =
x 100% = 18,06%
Rendemen cangkang (%)
x 100% = 4,32%
=
Lampiran 3 Perhitungan analisis proksimat 1) Kadar air Sampel B. cawan kosong Kepala (1) 46,8232 Kepala (2) 48,6947 Badan (1) 50,6996 Badan (2) 53,3984 Kadar air (%) = Ket:
B. sampel 38,2404 37,5242 38,3077 37,7323
B. cawan+sampel kering 52,9422 54,6568 57,0816 59,4531
x 100%
A = Berat cawan porselen kosong (g) B = Berat cawan porselen dengan sampel (g) sebelum dioven C = Berat cawan porselen dengan sampel (g) setelah dioven
Kadar air badan 1 (%) =
x 100% = 83,34%
Kadar air badan 2 (%) =
x 100% = 83,95%
Rata-rata (%) =
=
= 83,65%
Kadar air 84,00 84,11 83,34 83,95
70
2) Kadar abu Sampel Badan (1) Badan (2) Kepala (1) Kepala (2)
Bobot cawan 23,99 16,36 35,04 20,47
Kadar abu (%) = Ket:
Berat contoh 5,08 5,14 5,09 5,07
B.setelah abu 24,03 16,39 35,75 21,21
Nilai 0,79 0,58 0,79 0,99
x 100%
A = Berat cawan porselen kosong (g) B = Berat cawan porselen dengan sampel (g) sebelum ditanur C = Berat cawan porselen dengan sampel (g) setelah ditanur
Kadar abu badan 1 (%) =
x 100% = 0,79%
Kadar abu badan 2 (%) =
x 100% = 0,58%
Rata-rata (%) =
=
= 0,69%
3) Kadar protein Sampel Badan (1) Badan (2) Kepala (1) Kepala (2)
B.sampel (g) Vol.HCl (ml) 1,26 1,74 1,14 1,69 1,01 1,4 1,07 1,5
%N 2,0852 2,2384 2,0930 2,1168
% Protein 13,03 13,99 13,08 13,23
Kadar nitrogen (%) = Kadar protein (%) = kadar nitrogen (%) x faktor konversi (6,25)
Kadar nitrogen badan 1 (%) =
x 100% = 2,0852%
Kadar protein badan 1 (%) = 2,0852% x 6,25 = 13,03%
Kadar nitrogen badan 2 (%) =
x 100% = 2,2384%
Kadar protein badan 2 (%) = 2,2384% x 6,25 = 13,99%
71
Rata-rata (%) = =
= 13,51%
4) Kadar lemak Sampel Badan (1) Badan (2) Kepala (1) Kepala (2)
Berat contoh 5,05 5,04 5,16 5,17
Kadar lemak (%) = Ket:
Labu lemak kosong 77 77,66 75,09 73,96
Berat setelah lemak 77,04 77,7 75,13 74
Lemak 0,79 0,79 0,78 0,77
x 100%
W1 = berat sampel (g) W2 = berat labu lemak tanpa lemak (g) W3 = berat labu lemak dengan lemak (g)
Kadar lemak badan 1 (%) = Kadar lemak badan 2 (%) = Rata-rata (%) =
x 100% = 0,79% x 100% = 0,79% =
= 0,79%
5) Kadar karbohidrat Karbohidrat badan 1 (%) = 100% - (kadar air + kadar abu + lemak + protein) = 100% - (83,34 + 0,79 + 0,79 + 13,03) = 100% - 97,95 = 2,05% Karbohidrat badan 2 (%) = 100% - (kadar air + kadar abu + lemak +protein) = 100% - (83,95 + 0,58 + 0,79 + 13,99) = 100% - 99,31 = 0,69% Rata-rata (%) = =
= 1,36%
72
Lampiran 4 Perhitungan mineral (kalsium) Konsentrasi standar (ppm) 0,00 2,00 4,00 8,00 12,00 16,00
Absorbansi standar (ppm) 0,00 0,0837 0,1565 0,3108 0,4490 0,6038
Spl
B. spl (g)
Abs. spl
[ ] spl
[ ] spl x FP
[ ] spl x FP / b.spl
A1 1
13,319
0,1580
4,135135
2584,459
194,0431
A1 2
13,319
0,1579
4,132432
2582,770
193,9162
A1 3
13,319
0,1582
4,140541
2587,838
194,2967
A2 1
13,337
0,1459
3,808108
2380,068
178,4560
A2 2
13,337
0,1454
3,794595
2371,622
177,8227
A2 3
13,337
0,1462
3,816216
2385,135
178,8360
A3 1
12,246
0,1541
4,029730
2518,581
205,6656
A3 2
12,246
0,1533
4,008108
2505,068
204,5621
A3 3
12,246
0,1539
4,024324
2515,203
205,3897
A4 1
11,990
0,1396
3,637838
2273,649
189,6287
A4 2
11,990
0,1404
3,659459
2287,162
190,7558
A4 3
11,990
0,1407
3,667568
2292,230
191,1785
y = ax ± b
;
ket: y = absorbansi sampel
Kadar mineral (mg/kg bb) = Sampel A1: faktor pengencer = 50 x 12,5
Ratarata [ ] spl
[ ] spl
194,0853 18,2284 178,3716
205,2058 197,8634 190,5210
73
A1 1: 0,1580 = 0,037x + 0,005
Kadar mineral =
0,1580 – 0,005 = 0,037x = 194,0431 mg/kg
0,1530 = 0,037x x = 4,135135 A1 2: 0,1579 – 0,005 = 0,037x
Kadar mineral =
0,1529 = 0,037x = 193,9162 mg/kg
x = 4,132432
Kadar mineral =
A1 3: 0,1582 – 0,005 = 0,037x 0,1532 = 0,037x
= 194,2967 mg/kg
x= 4,140541 Rata-rata (mg/kg) = =
= 194,0853 mg/kg
Lampiran 5 Perhitungan Vitamin A
Standar vitamin A
74
Kepala 1
Kepala 2 Kadar vitamin A =
x [standar vitamin A] x
Kadar vitamin A kepala 1 =
x 50 µg/100 ml x
Kadar vitamin A kepala 2 =
x 50 µg/100 ml x
Rata-rata =
=
x FP x 1 = 695,13 µg/100 g x 1 = 678,53 µg/100 g
= 686,83 µg/100 g
75
Lampiran 6 Rekapitulasi komponen gizi sotong (Sepia recurvirostra) Komponen Komposisi kimia (%) Kadar air Kadar abu Protein Lemak Karbohidrat Mineral makro (mg/kg bb) Na Mg Ca K P Mineral mikro (mg/kg bb) Fe Zn Cu Se
Vitamin (µg/100 g) Vitamin A Vitamin B12
Kepala
Badan
84,06 ± 0,08 0,89 ± 0,14 13,16 ± 0,10 0,77 ± 0,001 1,13 ± 0,68
83,65 ± 0,43 0,69 ± 0,14 13,51 ± 0,68 0,79 ± 0,001 1,36 ± 0,61
Cangkang
++ +++ +++ + -
++ ++ +++ ++ -
+ + ++ + -
-
-
-
+ ++ ++
+ + +
+ +
1610,42±301,47 1532,69±366,92 60,02 ± 2,79 64,87 ± 9,33 197,86 ± 8,07 186,23 ± 8,61 210,72 ± 2,99 277,48 ± 1,12 439,26 ± 16,20 569,67 ± 37,68
6,77 ± 0,22 21,42 ± 0,71 11,82 ± 0,06 0,06 ± 0,01
4,03 ± 0,53 19,62 ± 1,06 5,70 ± 0,15 0,02 ± 0,01
686,83±11,74 5,45 ± 0,33
582,98±10,56 3,28 ± 0,63
Uji fitokimia Alkaloid - Meyer - Dragendorff - Wagner Steroid Flavonoid Saponin Fenol hidroquinon Mollisch Benedict Biuret Ninhidrin
Logam berat (mg/kg bb) Cd Pb Hg
Tinta
0,15 ± 0,02 ttd ttd
0,04 ± 0,01 ttd ttd
Keterangan: (-) = Tidak terdeteksi; (+) = Lemah; (++) = Kuat; (+++) = Sangat kuat
76
Lampiran 7 Dokumentasi kegiatan analisis proksimat
Analisis kadar air
Analisis kadar protein
Analisis kadar abu
Analisis kadar lemak
Lampiran 8 Dokumentasi kegiatan analisis kandungan mineral
Proses filtrasi
Hasil filtrasi
Shimadzu AAS 7000
77
Lampiran 9 Dokumentasi kegiatan uji fitokimia
Proses filtrasi hasil maserasi
Proses evaporasi
Hasil uji fitokimia