KANDUNGAN BAHAN BERBAHAYA PADA KULINER MIE ACEH DAN DAMPAKNYA BAGI KESEHATAN MASYARAKAT DI KOTA BLANG PIDIE
YULIZAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kandungan Bahan Berbahaya Pada Kuliner Mie Aceh dan Dampaknya Bagi Kesehatan Masyarakat di Kota Blang Pidie adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2015
Yulizar NIM: P052120401
RINGKASAN Mie Aceh adalah Mie yang disajikan dengan bumbu khusus Aceh dan bahan baku Mie basah. Mie Aceh sangat disukai oleh masyarakat Aceh. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis tirtrimetri, photometri dan kualitatif. Masalah penggunakan air abu, boraks dan formalin pada Mie Aceh yang beredar di Kota Blang Pidie Provinsi Aceh perlu diteliti. Setelah dilakukan wawancara dengan 10 responden produsen Mie di Kota Blang Pidie, ada tiga faktor yang diidentifikasi penyebab produsen Mie menggunakan air abu dan formalin. Ketiga faktor adalah faktor ekonomi, faktor pengetahuan dan faktor kebutuhan adonan. Analisis laboratorium dilakukan untuk melihat kandungan air abu, boraks dan formalin pada Mie Aceh. Hasil analisis air abu terhadap 25 sampel (100%) Mie Aceh dengan indikator uji natrium karbonat menunjukan kandungan berkisar antara 0.22 % b/b-0.27 % b/b. Hasil uji boraks terhadap 25 sampel Mie Aceh (100%) menunjukkan hasil negatif. Hasil uji formalin terhadap 25 sampel (100%) menunjukkan hasil positif (100%) dengan kandungan formalin masing-masing sampel >4 mg/L. Dengan demikian menunjukkan bahwa Mie Aceh yang beredar di Kota Blang Pidie kurang aman untuk dikonsumsi juga berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Dampak kesehatan dikeluhkan oleh konsumen setelah konsumsi Mie Aceh adalah hilangnya nafsu makan, sakit perut, perih tenggorokan, batuk dan badan lemas. Penyebab paling penting dari dampak kesehatan yang timbul disebabkan oleh kandungan kimia formalin. Kondisi sosial responden konsumen Mie Aceh di Kota Blang Pidie didominasi oleh responden berpendidikan menengah Atas dan perguruan Tinggi, pendapatan di bawah 1 juta, dengan pekerjaan swasta tanpa tanggungan dan yang mengkonsumsi Mie Aceh 3-4 kali atau lebih dari 4 kali dalam seminggu.
Kata kunci: air abu, boraks, formalin, Mie Aceh, Mie basah.
SUMMARY Mie Aceh is the noodle that formulated with special spices and raw materials wet noodle. Mie Aceh greatly favored by the Aceh’s peoples. This research is conducted by using analysis of tirtrimetri, photometri and qualitative. The issue of usingair abu, borax and formaldehyde of Mie Aceh which circulate at Blang Pidie’s City in Aceh province been examined. After interview with 10 respondents noodle manufacture in Blang Pidie’s City, there were three factors were identified that make them use air abu and formaldehyde.The three factors were economics factor, knowledgefactor and the dough needs factor. Laboratory analysis was done to see the content of air abu, borax and formaldehyde in Mie Aceh. Theresults of the 25 samples (100%) containing air abu with sodium carbonate test indicators ranges from 0.22% b/b - 0.27 %b/b, borax test results of 25 samples of noodles (100%) showed a negative result. Formalin test on 25 samples showed that positive test results (100%) of formaldehyde content of each sample war >4 mg/L. The results show that Mie Aceh circulating in Blang Pidie’ s City was less safe for consumption and dangerous for public health. Health impacts complained of by the consumer after Mie Aceh consumption were loss of appetite, abdominal pain, itchy throat, cough and fatigue and the most important was health effects of chemical content’s of formaldehyde. Social conditions of respondents Mie Aceh in Blang Pidie’s City dominated by high-educated respondents, income below 1 million, with private jobs without dependents, who consume 3-4 Mie Aceh and over 4 times a week.
Keywords: air abu, borax, formaldehyde, Mie Aceh, wet noodles.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KANDUNGAN BAHAN BERBAHAYA PADA KULINER MIE ACEH DAN DAMPAKNYA BAGI KESEHATAN MASYARAKAT DI KOTA BLANG PIDIE
YULIZAR
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Perumusan Masalah Tujuan Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 2 2 2 3
TINJAUAN PUSTAKA Mie Basah Air Abu Natrium Kabonat Boraks Formalin Pengaruh Formalin Terhadap Kesehatan
4 4 5 6 7 8 10
METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Lokasi Alat dan Bahan Analisis Data
10 10 11 11
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Air abu Kandungan Boraks Kandungan Formalin Faktor Penyebab Penggunaan Air abu dan Formalin Faktor Ekonomi Faktor Pengetahuan Faktor Kebutuhan dari Adonan Kaitan Masyarakat Terpapar Dengan Kesehatan
13 13 15 16 17 18 19 20 21
KESIMPULAN Kesimpulan Saran
26 26 26
DAFTAR PUSTAKA
27
RIWAYAT HIDUP
31
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7
Hasil Uji Kadar Air Abu, boraks dan Formalin Hasil identifikasi faktor penyebab penggunaan air abu dan formalin Strata Pendidikan responden Konsumen Mie Aceh di Kota Blang Pidie Strata Pendapatan Responden yang Mie Aceh di Kota Blang Pidie Strata Pekerjaan responden Konsumen Mie Aceh di Kota Blang Pidie Tanggungan Keluarga responden Mie Aceh di Kota Blang Pidie Frekuensi responden mengkonsumsi Mie Aceh di Kota Blang Pidie
14 18 22 22 22 23 23
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 6
Kerangka Pemikiran Fisik Mie Basah Fisik Boraks Peta Kota Blang Pidie Kabupaten Aceh Barat Daya Skema metode kerja uji Kualitatif Merek Jual Formalin Grafik penyakit yang diderita konsumen sebelum dan sesudah konsumsi Mie Aceh Kota Blang Pidie 8 Jaringan Hirarki Penentuan penyebab utama dari dampak kesehatan yang ditimbulkan 9 Efek penyakit paling penting setelah konsumsi Mie dan alternatif kimia berbahaya penyebabnya
3 5 7 11 12 17 24 25 25
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
Tabel Frekuensi Tabel Grafik Penyakit sebelum Konsumsi Mie Aceh Kuesioner Analisis Hirarki Proses Kuesioner dan Panduan Wawancara Surat Izin Penelitian Dari Kecamatan Blang Pidie Hasil Uji Formalin Hasil Uji Natrium karbonat dan Boraks
31 32 34 44 48 49 51
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Bahan makanan yang dikonsumsi sangat mempengaruhi tingkat kesehatan dan kecerdasan seseorang. Sehingga makanan haruslah sehat, aman serta harusmengandung gizi lengkap. Bahan makanan dikatakan aman apabila tidak mengandung komponen fisik, kimia dan mikrobiologi yang berbahaya. Rinto et al (2009) menyebutkan bahwa secara fisik pangan yang aman adalah bahan pangan yang bersih dari logam dan bahan yang secara kimiawi dapat berasal dari zat-zat berbahaya yang tidak boleh digunakan dalam bahan pangan. Bahan tambahan pangan diantaranya adalah pewarna, penyedap rasa dan aroma, pengawet dan pengental (Siaka 2009). Faisal (2002) menyatakan bahwa pangan yang tidak aman dapat menyebabkan penyakit (food borne diseases), gejala penyakit yang timbul akibat mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan atau senyawa beracun dan atau organisme patogen maupun bahan yang dapat mengganggu pencernaan manusia. Pengawet yang banyak dibicarakan dikalangan masyarakat adalah penggunaan formalin sebagai pengawet bahan makanan Elmatris (2008). Selain keberadaan formalin, juga ada boraks dan air abu yang dijadikan sebagai Bahan Tambahan Pangan (BTP). Air abu atau air alkali atau eye water atau garam alkali merupakan salah satu bahan tambahan yang sering dipakai dalam pembuatan Mie, ketupat, lontong dan bakcang. Air abu ini akan membuat tekstur menjadi kenyal yang bentuk dan warnanya persis seperti air biasa dan banyak dijual ditempat penjualan bahan kue dan PasarTradisional. Pasal 1 ayat 4 Undang-undang RI No. 7 tahun 1996 tentang Pangan menyatakan keamanan pangan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. BPOM RI (2006) menyatakan bahwa walaupun tidak bisa dipastikan berapa persen dari masyarakat Indonesia yang mengerti dan sadar tentang keamanan pangan, tetapi jumlah orang yang tidak mengerti atau sadar tentang perlunya keamanan pangan lebih banyak.Sejumlah produsen Mie basah dan bakso di Bantul, banyak menggunakan formalin atau boraks yang telah menjadi semacam keharusan dan dengan penggunaan dosis yang melebihi batas (Cahyadi 2008). Laporan BPOM tahun 2002 menunjukkan bahwa dari 29 sampel Mie basah yang dijual di pasar dan supermarket di Jawa Barat ditemukan 2 sampel (6,9 persen) mengandung boraks, 1 sampel (3,45 persen) mengandung formalin, sedangkan 22 sampel (75,8 persen) mengandung formalin dan boraks. Hanya empat sampel yang dinyatakan aman dari formalin dan borak (Astrawan 2005). Mie Aceh merupakan salah satu produk yang disukai oleh semua kalangan masyarakat, bukan saja hanya masyarakat Aceh tetapi juga masyarakat luar Aceh. Mie Aceh menggunakan bahan utama Mie basah namun diolah dengan bumbu khusus Kuliner Aceh. Sama dengan Mie basah di daerah lain, Mie Aceh juga menjadi sasaran penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang berbahaya. Makanan yang mengandung formalin dan bahan kimia berbahaya lainnya ditemukan pada makanan yang beredar bebas di Provinsi Aceh. Hasil penelitian Yulizar (2011) menyebutkan bahwa 32 sampel Mie Aceh yang di ambil di Pasar
2 Gampoeng Baroe dan diuji formalin di laboratorium menunjukkan semua positif menggunakan formalin dengan kadar di atas 1,5 mg/liter. Melihat kondisi di atas penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut terkait adanya dugaan penggunaan air abu, boraks dan formalin pada Mie Aceh di Kota Blang Pidie Provinsi Aceh dan menganalisis pengaruhnya terhadap kesehatan masyarakat. Persoalan penggunaan BTP pada sebagian makanan berhubungan erat dengan persoalan lingkungan sosial yang perlu diteliti lebih lanjut. Kota Blang Pidie Provinsi Aceh adalah kota perdagangan yang besar di sepanjang pantai Barat Selatan Aceh selain Meulaboeh. Masyarakat setempat adalah pengkomsumsi Mie Aceh dan keberadaan produsen mie serta banyaknya warung Mie Aceh menjadi alasan utama untuk dilakukan kajian secara mendalam kandungan bahan berbahayapada kuliner Mie Aceh dan dampaknya bagi kesehatan masyarakat di Kota Blang Pidie.
Perumusan Masalah Pada penelitian ini penulis ingin mengkaji mengenai isu adanya penggunaan air abu, boraks dan formalin pada kuliner Mie Aceh dan bagaimana dampaknya bagi kesehatan, adapun masalah penelitian sebagai berikut; a. Apakah kuliner Mie Aceh yang beredar dikota Blang Pidie Provinsi Aceh mengandung BTP air abu, boraks dan formalin dan berapa kadar kandungannya? b. Faktor yang menyebabkan produsen Mie basah dan pedagang Mie Aceh di Kota Blang Pidie Provinsi Aceh menggunakan BTP air abu, boraks dan formalin? c. Apakah ada kaitan secara umum antara masyarakat terpapar dengan kesehatan? Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengindentifikasi ada tidaknya penggunaan BTP air abu, boraks, formalin pada kuliner Mie Aceh yang beredar di Kota Blang Pidie Provinsi Aceh dan mengetahui kadar air abu, boraks dan formalin. 2. Mengindentifikasi faktor yang menyebabkan produsen Mie Aceh menggunakan air abu, boraks dan formalin 3. Melihat kaitan secara umum antara masyarakat terpapar (pengkonsumsi) dengan kesehatan masyarakat.
Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat menjadi informasi bahwa ada dan tidaknya kandungan air abu, boraks, formalin pada Mie Aceh yang beredar di Kota Blang Pidie Aceh Barat Daya sehingga bisa diketahui pengaruhnya terhadap kesehatan juga bermanfaat agar masyarakat menghindari penggunaan bahan berbahaya untuk makanan.
3
Ruang Lingkup Penelitian Aspek yang ditinjau dalam penelitian ini adalah aspek sosial yang meliputi prilaku produsen Mie basah, budaya kuliner, zat berbahaya yang dijadikan BTP serta kaitannya dengan kesehatan masyarakat. Konsumen sebagai penikmat perlu diketahui pengaruhnya terhadap kesehatan masyarakat. Aspek toksikologi kesehatan lingkungan pada air abu, boraks dan formalin juga sangat penting untuk dikaji, sehingga bisa diketahui seberapa efek terhadap masyarakat yang mengkonsumsi, mengingat bahwa Mie Aceh adalah salah satu makanan kesukaan masyarakat Aceh dan Indonesia pada umumnya.
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
4
TINJAUAN PUSTAKA Mie Basah Mie merupakan jenis makanan yang diperkirakan berasal dari Cina. Hal ini dapat dilihat dari budaya bangsa Cina, yang selalu menyajikan Mie pada perayaan ulang tahun sebagai simbol untuk umur yang panjang. Dalam perkembangannya, Mie merupakan produk yang sangat dikenal di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, Mie bahkan telah menjadi pangan alternatif utama setelah nasi (Munarso dan Haeryanto 2007). Mie basah (fresh noodle atau wet noodle) merupakan salah satu jenis Mie yang sudah dikenal luas dan menjadi makanan yang disukai masyarakat di Indonesia. Industri Mie basah tersebar luas di banyak wilayah di Indonesia dan kebanyakan diproduksi oleh industri rumah tangga, dan industri kecil/ menengah. Mie basah dijual dalam bentuk segar baik dalam keadaan terkemas, baik di pasar tradisional maupun supermarket. Mie basah juga dijual dalam bentuk olahan oleh pedagang makanan, seperti soto Mie, toge goreng, Mie ayam, Mie Aceh dsb, selain dapat juga diolah menjadi aneka makanan di tingkat rumah tangga (BPOM 2006). Mie basah memiliki kadar air cukup tinggi (+ 60%) sehingga daya simpannya tidak lama. Apabila proses pembuatannya baik maka pada musim panas Mie basah dapat disimpan selama 36 jam, sedangkan pada musim penghujan hanya dapat bertahan selama 20-22 jam (Anonimous 2007 ). Sedangkan menurut BPOM (2006), Mie dalam kondisi tidak ada penambahan bahan pengawet umumnya memiliki umur simpan yang relatif pendek, yaitu berkisar antara 1-2 hari bila disimpan pada suhu ruang. Pendeknya umur simpan ini disebabkan Mie basah memiliki kadar air dan aktivitas air yang tinggi sehingga mudah ditumbuhi oleh mikroorganisme. Kerusakan Mie basah disebabkan oleh pertumbuhan mikroba. Istilah umum yang sering digunakan produsen atau konsumen tentang kerusakan Mie basah adalah Mie menjadi basi. Nilai gizi Mie pada umumnya dapat dianggap cukup baik karena selain karbohidrat terdapat pula sedikit protein yang disebut gluten. Menurut Munarso dan Heryanto (2007), Mie basah adalah jenis Mie yang mengalami proses perebusan setelah tahap pemotongan. Biasanya Mie basah dipasarkan dalam keadaan segar. Kadar air mie basah dapat mencapai 52% dan karenanya daya simpannya relatif singkat (40 jam pada suhu kamar). Proses perebusan dapat menyebabkan enzim polifenol-oksidase terdenaturasi, sehingga Mie basah tidak mengalami perubahan warna selama distribusi. Di Cina, Mie basah biasa dibuat dari terigu jenis lunak dan ditambahkan Kan-sui. Kan-sui adalah larutan alkali yang tersusun oleh garam natrium dan kalium karbonat. Larutan ini digunakan untuk menggantikan fungsi natrium klorida dalam formula. Garam karbonat ini membuat adonan bersifat alkali yang menghasilkan Mie yang kuat dengan warna kuning yang cerah. Warna tersebut muncul akibat adanya pigmen flavonoid yang berwarna kuning pada keadaan alkali.
5
Gambar 2 Fisik Mie basah (Yulizar 2011)
Mie basah rawan terhadap penambahan formalin dan boraks. Zat kimia ini dapat berdampak buruk bagi kesehatan. Sayangnya, kandungan formalin dan boraks hanya bisa diketahui melalui pemeriksaan laboratorium. Mie pertama kali dibuat dan berkembang di Cina. Teknologi pembuatan Mie disebarkan oleh Marcopolo ke Italia, hingga ke seluruh daratan Eropa. Kini Mie populer di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Mie yang beredar di Indonesia terdiri dari empat jenis yaitu Mie mentah, Mie basah, Mie kering, dan Mie instan. Keempat jenis Mie tersebut mempunyai pasar sendiri-sendiri yang jumlah permintaannya meningkat dari waktu ke waktu (Alghifary 2009).
Air Abu Air abu atau air alkali atau iye water atau garam alkali atau disebut juga natrium karbonat merupakan salah satu bahan tambahan yang sering dipakai dalam pembuatan Mie, ketupat, lontong dan bakcang. Air abu ini akan membuat tekstur menjadi kenyal. Bentuk dan warna air abu persis seperti air biasa dan banyak dijual di toko bahan kue dan pasar tradisional. Diah (2013) menyebutkan bahwa air abu bisa digunakan sebagai pewarna masakan alami dan pengenyal makanan. Air abu yang biasa digunakan adalah natrium karbonat atau sodium Carbonate (soda Ash), sodium ini digunakan untuk meningkatkan kemampuan Mie untuk mengikat air abu adalah unsur-unsur mineral zat organik, merupakan sisa yang tertinggal setelah contoh dibakar sampai bebas karbon dan air. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam-macam bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan terdiri dari dua macam, yaitu : a. Garam-garam organik (asam malat, oksalat, asetat) b. Garam-garam anorganik (phospat, karbonat, klorida, sulfat, nitrat, dan logam alkali). Selain kedua garam tersebut, kadang-kadang mineral dapat terbentuk sebagai senyawa yang kompleks bersifat organis. Apabila akan ditentukan jumlah mineralnya dalam bentuk aslinya itu sangat sulit. Oleh karena itu dilakukan dengan menentukan sisa pembakaran garam mineral tersebut dengan cara pengabuan. Air abu yang beredar di Kota Blang Pidie adalah air abu produksi Medan dengan komposisi Natrium karbonat 22.62 % b/b. Mie basah sebagai bahan baku Mie Aceh juga dibuat dengan menggunakan air abu untuk membuat
6 lembut lentur dan kenyal. Sodium tri poliphospat (STPP) berfungsi sebagai pengemulsi sehingga akan dihasilkan adonan yang lebih homogen (rata). Menurut Guna (2011), sodium carbonate yang sering disebut dengan Soda kie, pengenyal karena sifatnya yang dapat mempengaruhi terbentuknya gluten pada Mie, sehingga sangat berpengaruh terhadap tekstur Mie yang dihasilkan, dimana tekstur Mie akan menjadi lebih liat. Selain itu STPP juga dapat mengikat air sehingga dapat menurunkan aktivitas air sehingga kerusakan karena factor mikroba dapat dicegah, penggunaan bahan ini sebesar 0,25 % dari jumlah adonan.
Natrium Karbonat
Natrium karbonat (Na2CO3) adalah bahan lunak yang larut dalam air dingin dan kelarutan dalam air kira-kira 30% berat larutan, dalam industri kimia di kenal dengan “soda ash”. Di negara Eropa dan beberapa kota distrik di USA istilah soda mengacu pada monohidrat (Na2CO3H2O) yang digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, tapi komoditi monohidrat (Na2CO3H2O) jumlahnya relatif kecil di bandingkan dengan bentuk anhidrat, karena natrium karbonat larut dalam air. (Toch 2012). SIKerNas Pusat Informasi Obat dan Makanan, Badan POM RI pada tahun 2012, menyebutkan bahwa natrium karbonat berbentuk padat, serbuk, atau kristal serbuk dan granul, berwarna putih dan tidak berbau; berat molekul 105,99; titik lebur 1563,8ºF (851ºC ); berat jenis 2,532 (air = 1). Kelarutan = 45,5 g/100 mL air @ 100oC (212 oF); larut dalam air panas dan gliserol, larut sebagian dalam air dingin, tidak larut dalam aseton dan alcohol. Natrium karbonat biasa digunakan sebagai buffer, reagen laboratorium, resin penukar ion regenerasi, manufaktur deterjen dan kaca. Dalam beberapa kondisi natrium karbonat memiliki dampak bahaya terhadap kesehatan manusia. Menurut Material Safety Data Sheet (MSDS), natrium karbonat dapat menyebabkan bahaya seperti efek kesehatan akut: Berbahaya jika terjadi kontak kulit (iritan), kontak mata (iritan), tertelan, inhalasi (iritasi paru-paru). Potensi Efek Kesehatan kronis: Sedikit berbahaya jika terjadi kontak kulit. Substansi mungkin beracun ke saluran pernapasan bagian atas, kulit, mata. Paparan berulang atau berkepanjangan untuk zat dapat menghasilkan kerusakan target organ. Natrium karbonat diproduksi dengan proses Solvay pada 1861, industri kimia Belgia Ernest Solvay mengembangkan metode untuk mengkonversi natrium klorida untuk natrium karbonat menggunakan amonia (Imafa 2008). Namun demikian Pemerintah RI melului Kementrian Kesehatan telah mengatur penggunaan natrium karbonat untuk pangan dengan dikeluarkan Permenkes No. 033 Tahun 2012 dan selanjutnya di atur dalam Peraturan Ka.BPOM RI no 8 Tahun 2013 bahwa ambang batas natrium karbonat pada pangan adalah 2600mg/kg atau 0.26 gr/100 gram.
Boraks Boraks merupakan senyawa kimia yang mengandung unsur Boron (B). Boraks merupakan kristal lunak tidak berwarna, terjadi dalam suatu deposit hasil
7 proses penguapan hot spring (pancuran air panas) atau danau garam. Boraks termasuk kelompok mineral borat, suatu jenis senyawa kimia alami yang terbentuk dari Boron (B) dan oksigen (O2). Beberapa jenis boraks jarang ditemui pada pangan dan terjadi pada daerah tertentu saja, sebaliknya beberapa diantaranya, misalnya boraks, kernite (Na2B4O74H2O) dan colemanite (Ca2B6O11.5H2O) secara komersil ditambang untuk pembuatan boraks, asam borat serta berbagai garam boron sintesis (Winarno dan Tati1993). Boraks berupa hablur transparan tidak berwarna atau serbuk hablur putih dan tidak berbau, bila difenoftalen larutannya menjadi basa. Hablur sering dilapisi serbuk warna putih. Larut dalam 20 bagian air, 0,6 bagian air mendidih dan 1 bagian gliserol, praktis tidak larut dalam etanol (Reynold,1982; FI 4 1995; FI31979).
Gambar 3 Fisik Boraks Penggunaan Boraks pada Mie Aceh mungkin saja ada, seperti yang dikatakan Mudjajanti dan Yulianti (2004) bahwa orang dewasa dapat meninggal dunia apabila mengkonsumsi asam borat sebanyak 15-25 gr, sedangkan anak-anak 5-6 gr. Gejala awal keracunan boraks setelah dikonsumsi bisa berlangsung beberapa jam atau seminggu. Gejala klinis keracunan boraks biasanya ditandai dengan sakit perut sebelah atas, muntah, mencret, sakit kepala, penyakit kulit berat, sesak nafas dan kegagalan sirkulasi darah, tidak nafsu makan, dehidrasi, koma dan jika berlangsung terus menerus akanmengakibatkan kematian. Penggunaan boraks pada Mie Aceh tidak terlepas dari prilaku produsen Mie. Menurut Notoatmodjo (2007), dalam proses pembentukan atau perubahan, perilaku manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan luar individu itu sendiri. Menurut Sugiyatmi (2006), mengkomsumsi makanan yang mengandung boraks tidak langsung berakibat buruk terhadap kesehatan, tetapi senyawa tersebut diserap dalam tubuh secara akumulatif dalam hati, otak dan testis. Dosis yang cukup tinggi dalam tubuh akan menyebabkan timbulnya gejala pusing, muntah, mencret dan kram perut. Pada anak kecil dan bayi bila dosis dalam tubuhnya sebanyak 5 gram dapat menyebabkan kematian. Sedangkan untuk orang dewasa kematian terjadi pada dosis 10-20 gram. Sedangkan menurut Tanu (1987), kandungan boraks dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa dengan dosis 1520 gram dan pada anak-anak dengan dosis 5-6 gram. Penggunaan boraks pada makanan mempunyai dampak masing-masing terhadap produsen maupun konsumen. Dari sudut pandang produsen dengan menggunakan boraks pada
8 produk makanan akan menghasilkan tekstur makanan yang lebih baik dan tahan lebih lama sehingga pada ujungnya akan memberikan keuntungan dari segi ekonomi terhadap pedagang. Walgito (2002), menyebutkan pengaruh boraks terhadap konsumen dapat membahayakan kesehatan baik dalam jangka waktu panjang maupun dalam jangka pendek. Bahan-bahan ini dapat terakumulasi pada tubuh manusia dan bersifat karsinogenik yang dalam jangka panjang menyebabkan penyakit-penyakit seperti antara lain kanker dan tumor pada organ tubuh manusia. Belakangan juga terungkap bahwa efek samping makanan tertentu ternyata dapat mempengaruhi fungsi otak termasuk gangguan perilaku pada anak sekolah, gangguan perilaku tersebut meliputi gangguan tidur, gangguan konsentrasi, gangguan emosi, hiperaktif dan memperberat gejala pada penderita autis. Formalin Formalin atau formaldehid merupakan bahan makanan tambahan kimia yang efisien, tetapi dilarang ditambahkan pada bahan pangan (makanan), tetapi ada kemungkinan formaldehid digunakan dalam pengawetan susu, tahu, Mie, ikan asin, ikan basah, dan produk pangan lainnya. Formalin biasanya diperdagangkan di pasaran dengan nama berbeda-beda (Harmoni 2006). Larutan formaldehid atau larutan formalin mempunyai nama dagang formalin, formol, atau mikrobisida dengan rumus molekul CH2O mengandung kira-kira 37% gas formaldehid dalam air. Biasanya ditambahkan 10-15% metanol untuk menghindari polimerisasi. Pada umumnya, metanol atau unsur-unsur lain ditambahkan kedalam larutan sebagai alat penstabil untuk mengurangi polimerisasi formaldehid, dalam bentuk padat, formaldehid dijual sebagai trioxane [(CH2O)3] dan polimernya paraformaldehid, dengan 8-100 unit formaldehid (WHO 2002). Nama lain formalin adalah Formol, Methylenealdehyde, Paraforin, Morbicid, Oxomethane, Polyoxymethyleneglycols, Methanal, Formoform, Superlysoform, Formic aldehyde, Formalith, Tetraoxymethylene, Methyl oxide, Karsan, Trioxane, Oxymethylene, Methylene glycol (Judarwanto 2006). Larutan ini sangat kuat dan dikenal dengan formalin 100% yang mengandung 40 gram formaldehid dalam 100 ml pelarut (Cahyadi 2008). Formaldehid murni tidaklah tersedia secara komersial, tetapi dijual dalam 30-50% (b/b) larutan mengandung air. Formalin (37% CH2O) adalah larutan yang paling umum. Formalin sebenarnya sudah dilarang sejak tahun 1982 dan kemudian diperkuat dengan Undang-Undang No. 7/1996 tentang Perlindungan Pangan. Beberapa petunjuk tentang ciri-ciri makanan yang terindikasi diberi formalin, seperti pada Mie basah adalah : tidak rusak sampai dua hari pada suhu kamar dan bertahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es, bau agak menyengat, tidak lengket dan mie lebih mengkilap dibandingkan mie normal, teksturnya sangat kenyal (Yulizar 2011). Menurut Cahyadi (2008), formaldehid digunakan sebagai obat pembasmi hama untuk membunuh bakteri, jamur, dan benalu yang efektif dalam konsentrasi tinggi, ganggang, amuba (binatang bersel satu), dan organisme uniseluler lain, relatif sensitif terhadap formaldehid dengan konsentrasi yang mematikan berkisar
9 antar 0,3-22 mg/liter. Hewan vertebrata air menunjukkan respon dengan cakupan yang luas. Beberapa binatang berkulit keras adalah yang paling sensitif dengan nilai konsentrasi efektif menengah berkisar antara 0,4-20 mg/liter. Zat yang sebetulnya banyak memiliki nama lain berdasarkan senyawa campurannya ini memiliki senyawa CH2OH yang reaktif dan mudah mengikat air. Bila zat ini sudah bercampur dengan air barulah dia disebut formalin. Pengawet ini memiliki unsur aldehida yang bersifat mudah bereaksi dengan protein, karenanya ketika disiramkan ke makanan seperti tahu, formalin akan mengikat unsur protein mulai dari bagian permukaan tahu hingga terus meresap kebagian dalamnya. Dengan matinya protein setelah terikat unsur kimia dari formalin makabila ditekan tahu terasa lebih kenyal. Selain itu protein yang telah mati tidak akan diserang bakteri pembusuk yang menghasilkan senyawa asam, Itulah sebabnya tahu atau makanan lainnya menjadi lebih awet (Hasyim 2006). Hasyim (2006) juga menyebutkan bahwa Formaldehida membunuh bakteri dengan membuat jaringan dalam bakteri dehidrasi (kekurangan air), sehingga sel bakteri akan kering dan membentuk lapisan baru di permukaan. Artinya, formalin tidak saja membunuh bakteri, tetapi juga membentuk lapisan baru yang melindungi lapisan di bawahnya, supaya tahan terhadap serangan bakteri lain. Bila desinfektan lainnya mendeaktifasikan serangan bakteri dengan cara membunuh dan tidak bereaksi dengan bahan yang dilindungi, maka formaldehida akan bereaksi secara kimiawi dan tetap ada di dalam materi tersebut untuk melindungi dari serangan berikutnya. Melihat sifatnya, formalin juga sudah tentu akan menyerang protein yang banyak terdapat di dalam tubuh manusia seperti pada lambung, terlebih bila formalin yang masuk ke tubuh itu memiliki dosis tinggi. Sifat antimikrobal dari formaldehid merupakan hasil dari kemampuan menginaktivasi protein dengan cara mengkondensasi dengan amino bebas dalam protein menjadi pencampur lain. Kemampuan dari formaldehid meningkat dengan peningkatan suhu. Mekanisme formalin sebagai pengawet adalah jika formaldehid bereaksi dengan protein yang berdekatan. Akibat dari reaksi tersebut, protein, protein mengerasdan tidak dapat larut. Formaldehid mungkin berkombinasi dengan asam amino bebas dari protein pada sel protoplasma, merusak nucleus, dan mengkougulasi protein (Cahyadi 2008). Pengaruh Formalin Terhadap Kesehatan Karakteristik risiko yang membahayakan bagi kesehatan manusia yang berhubungan dengan formaldehid adalah berdasarkan konsentrasi dari substansi formaldehid yang terdapat di udara dan juga dalam produk-produk pangan. Formalin merupakan bahan beracun dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Jika kandungannya dalam tubuh tinggi, akan bereaksi secara kimia dengan hampir semua zat di dalam sel sehingga menekan fungsi sel dan menyebabkan kematian sel yang menyebabkan keracunan pada tubuh. Selain itu, kandungan formalin yang tinggi dalam tubuh juga menyebabkan iritasi lambung, alergi, bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker) dan bersifat mutagen (menyebabkan perubahan fungsi sel/jaringan), serta orang yang mengkonsumsinya akan muntah, diare bercampur darah, kencing bercampur darah, dan kematian yang disebabkan adanya kegagalan peredaran darah. Formalin bisa menguap di udara, berupa gas
10 yang tidak bewarna, dengan bau yang tajam menyesakkan sehingga merangsang hidung, tenggorokan dan mata (Cahyadi 2008). Menurut Syukur (2006) dalam Hasyim (2006), pengaruh formalin terhadap kesehatan antara lain jika terhirup rasa terbakar pada hidung dan tenggorokan, sukar bernafas, nafas pendek, sakit kepala, kanker paru-paru, akan terjadi mual, muntah, perut perih, diare, sakit kepala, pusing, gangguan jantung, kerusakan hati, kerusakan saraf, kulit membiru, hilangnya pandangan, kejang, koma dan kematian. Pemerintah RI telah melarang penggunaan formalin pada pangan dengan dikeluarkan Permenkes no 033 tahun 2012 karena sangat berbahaya bagi kesehatan, namun dalam International Programme on Chemical Safety (IPCS) disebutkan bahwa batas toleransi formaldehida dapat diterima tubuh dalam bentuk air minum adalah 0,1 mg per liter atau dalam satu hari asupan yang diperbolehkan adalah 0.2 mg. Sementara formalin yang boleh masuk ke tubuh dalam bentuk makanan untuk orang dewasa adalah 1,5 mg sampai 14 mg per hari. Hampir semua jaringan di tubuh mempunyai kemampuan untuk memecah dan memetabolisme formaldehida. Salah satunya membentuk asam format dan dikeluarkan melalui urine. Formaldehida dapat dikeluarkan sebagai CO2 dari dalam tubuh. Tubuh juga diperkirakan bisa memetabolisme formaldehida bereaksi dengan DNA atau protein untuk membentuk molekul yang lebih besar sebagai bahan tambahan DNA atau protein tubuh. Formaldehida tidak disimpan dalam jaringan lemak. NIOSH menyatakan formaldehida berbahaya bagi kesehatan pada kadar 20 ppm, dalam MSDS, formaldehida dicurigai bersifat kanker (Hasyim 2006).
METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian dilakukan pada bulan Juli – Agustus 2014, lokasi penelitiannya dilaksanakan di Kota Blang Pidie, Provinsi Aceh. Kota Blang Pidie ini adalah kota perdagangan terbesar kedua setelah Meulaboh Aceh Barat disepanjang wilayah pesisir Barat Selatan Aceh. Di Kota Blang Pidie banyak terdapat warung Mie Aceh dan produsen Mie basah, untuk analisis formalin dilakukan di laboratorium Kesehatan Daerah Aceh dan uji air abu dan boraks dilakukan di Balai Riset Dan Standarisasi Industri Medan.
11
Gambar 4 Peta Kota Blang Pidie Kabupaten Aceh Barat Daya Alat dan Bahan Penelitian ini menggunakan peralatan dalam bentuk perangkat keras (hardware), seperti lebar kuesioner, kamera, rekorder, gunting, fhotometer, Selang Aspirator, Pompa peristaltik, buret, labu, pipet volume, larutan standar, indikator dan ingkubator. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk data dan contoh Mie Aceh yang diperlukan untuk analisis.
Analisis Data a. Analisis kandungan air abu, boraks dan formalin Air Abu Pengambilan keseluruhan sampel bahan Mie Aceh dilakukan di 10 produsen Mie dan 15 sampel Mie dari warung-warung Mie Aceh yang berada di Kota Blang Pidie Kabupaten Aceh Barat Daya Provinsi Aceh. Setelah itu sampel dibawa ke laboratorium Balai Riset dan standarisasi Industri Medan. Sampel ditimbang kemudian dianalisis dengan metode analisa titrimetri atau analisa volumetrik adalah analisis kuantitatif dengan mereaksikan suatu zat yang difiltrasi dengan larutan baku HCL yang telah diketahui konsentrasinya 0.01 normal, dilakukan pengenceran dengan aquades lalu ditambahkan indikator, dari pemakaian standar yang digunakan beberapa millimeter.
Boraks Kandungan boraks dilakukan dengan metode kualitatif dilakukan dengan proses pembakaran sampel hingga menjadi abu dengan api biasa. Sampel diambil sebanyak 10 gram dimasukkan ke dalam cawan porselin dipijarkan dalam tanur pada suhu 800°C selama 3 jam. Sisa pemijaran ditambahkan 1-2 tetes asam sulfat pekat dan 5-6 tetes metanol, kemudian dibakar. Bila timbul nyala hijau maka menandakan adanya senyawa boron sebagai metal boraks (Roth 1988).
12
Gambar 5 Skema metode kerja uji Kualitatif(Maria Tumbel 2010)
Formalin Mengindentifikasi kadar formalin pada 10 sampel Mie dari produsen Mie dan 15 dari warung Mie di Kota Blang Pidie, kemudian dianalisis dengan metode fotometri di Laboratorium Kesehatan Daerah Aceh dengan cara pengamatan langsung pada sampel. b. Analisis faktor penyebab penggunaan air abu, boraks dan formalin oleh produsen Untuk mengindentifikasi penyebab produsen menggunakan air abu, boraks dan formalin dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisis data yang dikumpulkan melalui wawancara dan observasiter hadap 10 orang responden produsen mie yang ada di Kota Blang Blang Pidie. Data yang terkumpul dilakukan analisis secara deskriptif. c. Kaitan Masyarakat Terpapar dengan Kesehatan Data yang diperoleh dari wawancara terhadap 35 responden konsumen Mie Aceh kemudian dianalisis untuk melihat kondisi sosial responden pengkonsumsi Mie Aceh dengan SPSS, setelah itu dilakukan perbandingan perubahan kondisi kesehatan sebelum dan sesudah konsumsi. Penyebab perubahan kondisi responden dianalisis dengan Analisis Hirarki Proses (AHP) dengan 3 orang responden pakar untuk menentukan komponen utama yang menyebabkan kesehatan konsumen menurun.
13
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Air abu Hasil uji air abu (Tabel 2), menunjukkan bahwa ke 25 sampel mie yang di uji semua positif mengandung air abu dengan parameter uji natrium karbonat dengan nilai berkisar antara 0.22 % b/b sampai dengan 0.27 % b/b. Dari 25 sampel yang diuji, 3 sampel (12 %) mengandung natrium karbonat dengan kandungan 0.22 % b/b, 10 sampel ( 40 %) mengandung 0.23 % b/b, 7 sampel ( 28 %) mengandung 0.24 %b/b, 2 sampel ( 8 %) mengandung 0.25 %b/b dan 3 sampel ( 12 %) mengandung natrium karbonat 0.25 % b/b. Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI) No.033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Makanan menyebutkan bahwa natrium karbonat diperbolehkan untuk ditambahkan pada pangan, namun ditentukan ambang batas maksimum dalam Peraturan Kepala BPOM RI nomor 8 Tahun 2013 adalah 2600 mg/kg atau 0.26 gr/100 gr. Hasil uji natrium karbonat dalam Mie di Kota Blang Pidie dari 25 sampel yang diuji, 22 sampel (88 %) memiliki kandungan natrium karbonat 0.22 gr/100 gr s/d 0.25 gr/100 gr, kandungan sejumlah ini berada diambang bahaya karena sangat mendekati ambang batas yang ditetapkan yaitu 0.26 gr/100 gr, 3 sampel (12 %) mengandung natrium karbonat 0.27 gr/100 gr melebihi ambang batas yang ditetap 0.26 gr/100 gr berarti ini berbahaya untuk kesehatan masyarakat jika dikonsumsi terus menerus. SIKerNas Pusat Informasi Obat dan Makanan, Badan POM RI pada tahun 2012 menyebutkan bahwa jika tertelan dalam jumlah banyak natrium karbonat atau tertelan melebihi ambang batas secara berturut-turutdapat mengakibatkan korosif pada saluran pencernaan dengan gejala nyeri perut, muntah, diare, kolaps dan keluhan pada saluran gastrointestinal dan kematian dan efek kronik akan bersifat reversibel jika paparan berkurang. Pada dasarnya Pemerintah melalui Surat keputusan Ka. BPOM nomor 8 tahun 2008 telah mengeluarkan batasan penggunakan natrium karbonat pada pangan khususnya adonan mie 0.26 gram/100 gram, akan tetapi faktanya masyarakat belum terlalu memahami tentang batasan-batasan yang telah dibuat, sehingga kecendrungan menggunakan bahan kimia ini di atas ambang batas sangat besar peluangnya. Mengingat saat diwawancara para produsen Mie menyebutkan bahwa para produsen tidak memiliki standar tertentu dalam penggunaan natrium karbonat atau air abu, satu-satunya standar bagi para produsen adalah ketika adonan bisa dibentuk dengan kondisi adonan tidak terlalu keras dan terlalu lembek sehingga memudahkan dalam penggilingan. Pemanfaaatan natrium karbonat dalam pangan sebagai pengatur keasaman, anti-caking agent, meningkatkan agen, dan stabilizer. Ini adalah salah satu komponen kansui, larutan garam alkali digunakan untuk memberikan Mie ramen rasa khas dan tekstur. Hal ini juga digunakan dalam produksi snus (Swedia-gaya tembakau) untuk menstabilkan pH produk akhir. Di Swedia, snus diatur sebagai produk makanan karena dimasukkan ke dalam mulut, membutuhkan pasteurisasi, dan berisi bahan-satunya yang disetujui sebagai aditif makanan. Natrium karbonat juga digunakan dalam produksi bubuk serbat. Di Cina, natrium karbonat
14 digunakan untuk menggantikan larutan alkali air di kerak kue bulan tradisional Kanton. Imafa (2008) menyebutkan sepanjang sejarah industri kimia, persediaan natrium karbonat Na2CO3, soda, merupakan isu penting. Soda adalah bahan dasar penting bukan hanya untuk keperluan sehari-hari (seperti sabun) tetapi juga untuk produk industri yang lebih canggih (seperti gelas). Beberapa penggunaan natrium karbonat selain untuk pangan juga digunakan dalam proses pembuatan pulp (bubur kayu), kertas, sabun, detergen, kaca, dan untuk melunakkan air sadah, natrium karbonat juga digunakan oleh industri batu bata sebagai agen pembasahan untuk mengurangi jumlah air yang dibutuhkan untuk mengusir tanah liat. Dalam casting, ini disebut sebagai "bonding agent" dan digunakan untuk memungkinkan alginat basah untuk mematuhi alginat gel.
Tabel 1 Hasil uji kadar air abu atau natrium karbonat, boraks dan formalin
Sampel 25 Produsen A Warung 1 Warung 2 Produsen B Warung 3 Warung 4 Produsen C Warung 5 Warung 6 Produsen D Warung 7 Produsen E Warung 8 Produsen F Warung 9 Warung 10 Produsen G Warung 11 Warung 12 Produsen H Warung 13 Produsen I Warung 24 Produsen J Warung 25
Natrium Karbonat (% b/b) 0.27 0.27 0.27 0.23 0.23 0.23 0.22 0.22 0.22 0.24 0.24 0.25 0.25 0.23 0.23 0.23 0.24 0.24 0.24 0.23 0.23 0.23 0.23 0.24 0.24
Boraks (positif/Negatif) Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Nagatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negaitf Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
Formalin (ml/L) 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
15
Kandungan Boraks Hasil uji boraks (Tabel 2) terhadap seluruh sampel dengan metode kualitatif menunjukkan seluruh sampel (100%) tidak mengandung boraks atau negatif. Kandungan boraks dalam kuliner Mie Aceh di Kota Blang Pidie negatif, hal ini sesuai dengan nilai ambang batas boraks dalam Permenkes RI No.033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Makanan menyebutkan bahwa Boraks tidak boleh ada dalam pangan dan makanan walau sedikit. Boraks adalah zat pengawet yang banyak digunakan dalam industri pembuatan taksidermi, insektarium dan herbarium, tapi dewasa ini orang cenderung menggunakannya dalam industri rumah tangga sebagai bahan pengawet makanan seperti pada pembuatan Mie dan bakso. Mudjajanti dan Yuliarti (2004), menyebutkan bahwa orang dewasa dapat meninggal dunia apabila mengonsumsi asam borat sebanyak 15-25 gr, sedangkan anak-anak 5-6 gr. Gejala awal keracunan boraks bisa berlangsung beberapa jam hingga seminggu setelah mengonsumsi atau kontak dalam dosis toksik. Gejala klinis keracunan boraks biasanya ditandai dengan sakit perut sebelah atas, muntah, mencret, sakit kepala, penyakit kulit berat, sesak nafas dan kegagalan sirkulasi darah, tidak nafsu makan, dehidrasi, koma dan jika berlangsung terus menerus akan mengakibatkan kematian. Penggunaan boraks dapat mengganggu daya kerja sel dalam tubuh manusia, sehingga menurunkan aktivitas organ, oleh karena itu penggunaan bahan pengawet ini sangat dilarang oleh pemerintah khususnya Departemen Kesehatan karena dampak negatif yang ditimbulkan sangat besar. Ketiadaan kandungan boraks dalam seluruh sampel Mie di Kota Blang Pidie menunjukkan bahwa masyarakat mengetahui bahwa boraks tidak layak digunakan dalam pangan terutama untuk kuliner Mie Aceh. Penggunaan boraks pada Mie Aceh tidak terlepas dari faktor prilaku. Notoatmodjo (2007) dalam Yasmin dan Madanijah (2010), menyebutkan proses pembentukan dan atau perubahanperilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan luar individu itu sendiri. Tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan merupakan faktor dari dalam individu, dengan demikian faktor dari luar individu dapat mempengaruhi perilaku contoh terkait keamanan pangan, dengan demikian produsen Mie di Kota Blang Pidie memiliki pemahaman yang jelas tentang bahaya boraks dan pelaranganya oleh pemerintah sehingga tidak menggunakan boraks sebagai bahan tambahan pangan pembuatan mie. Boraks sudah dilarang penggunaannya dalam pangan sejak dikeluarkan Undang-undang RI.No.7 tahun 1996 tentang pangan yang menyebutkan bahwa boraks sebagai bahan kimia yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat.Walgito (2002), menyebutkan pengaruh boraks terhadap konsumen akanmembahayakan kesehatan baik dalam jangka waktu panjang maupun dalam jangka waktu pendek. Bahan-bahan ini dapat terakumulasi pada tubuh manusia dan bersifat karsinogenik yang dalam jangka panjang menyebabkan penyakitpenyakit seperti antara lain kanker dan tumor pada organ tubuh manusia.
16
Kandungan Formalin Hasil uji kandungan formalin dalam sampel yang diuji, menunjukkan bahwa seluruh sampel mie yang diuji (100%) mengandung formalin dengan kandungannya >4mg/L setiap sampelnya (Tabel 2). Keberadaan formalin pada Mie Aceh di Kota Blang Pidie dengan nilai > 4 mg/L sangat berbahaya karena melebihi ambang batas yang ditetapkan Permenkes RI No. 033 yaitu 0 mg/l. Formalin adalah bahan kimia berbahaya yang tidak boleh digunakan dalam pangan. Permenkes RI. No 033 Tahun 2012 Tentang bahan tambahan pangan, menyebutkan bahwa formalin ini dilarang dan sangat berbahaya bila digunakan untuk pengawet makanan. Selain pelarangan penggunaan formalin oleh Kementrian Kesehatan RI, International Programme on Chemical Safety (IPCS) (Hasyim 2006), memiliki ambang batas sendiri, disebutkan bahwa batas toleransi formaldehida yang dapat diterima tubuh dalam bentuk air minum adalah 0,1 mg/ liter atau dalam satu hari asupan yang dibolehkan adalah 0.2 mg. Sementara formalin yang boleh masuk ke tubuh dalam bentuk makanan untuk orang dewasa adalah 1,5 mg hingga 14 mg per hari. NIOSH menyatakan formaldehida berbahaya bagi kesehatan pada kadar 20 ppm(Hasyim 2006). Formalin tidak diizinkan ditambahkan dalam bahan makanan atau digunakan sebagai pengawet makanan, hanya saja formalin sangat mudah diperoleh di pasar bebas dengan harga murah. Formalin sebenarnya telah dilarang sejak tahun 1982, kemudian diperkuat dengan Undang-Undang No. 7/1996 tentang Perlindungan Pangan.Winarno (1988) mengemukakan beberapa petunjuk tentang ciri-ciri makanan yang terindikasi diberi formalin antara lain : tidak rusak sampai dua hari pada suhu kamar dan bertahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es, bau agak menyengat, tidak lengket dan mie lebih mengkilap dibandingkan mie normal. Kerusakan Mie disebabkan oleh pertumbuhan mikroba. Istilah umum yang sering digunakan produsen atau konsumen tentang kerusakan Mie basah adalah Mie menjadi basi. Pendeknya umur simpan Mie ini disebabkan oleh kondisi iklim tropis seperti di Indonesia, dimana kecenderungan terjadinya pencemaran pangan oleh mikroorganisme menjadi sangat tinggi, karena udara yang hangat sehingga menjadi lembab, dan kondisi ini yang sangat mendukung pertumbuhan mikroba. Di samping itu, praktek pengolahan yang kurang memperhatikan sanitasi dapat bekontribusi pula pada pendeknya umur simpan Mie basah ini (BPOM 2006). Cahyadi (2008) menyebutkan sifat antimikrobal dari formaldehid merupakan hasil dari kemampuan menginaktivasi protein dengan cara mengkondensasi dengan amino bebas dalam protein menjadi pencampur lain. Kemampuan dari formaldehid meningkat dengan peningkatan suhu. Mekanisme formalin sebagai pengawet adalah jika formaldehid bereaksi dengan protein yang berdekatan. Akibat dari reaksi tersebut, protein mengeras dan tidak dapat larut. Formaldehid mungkin berkombinasi dengan asam amino bebas dari protein pada sel protoplasma, merusak nucleus, dan mengkougulasi protein. Syukur (2006) dalam Hasyim (2006) menyebutkan efek dari formalin terhadap kesehatan seperti sukar bernafas, nafas pendek, sakit kepala, kanker, paruparuakan terjadi mual, muntah, perut perih, diare, sakit kepala, pusing, gangguan
17
jantung, kerusakan hati, kerusakan saraf, kulit membiru, hilangnya pandangan, kejang, koma dan kematian.
Gambar 6 Merek Jual Formalin Ketika penggalian informasi dilakukan, produsen-produsen Mie di Kota Blang Pidie mengakui tidak menggunakan formalin dan menyatakan bahwa formalin dilarang karena berbahaya bagi kesehatan jika digunakan dalam Mie Aceh, namun mereka mengakui menggunakan pengawet agar mie bisa bertahan dengan menambah komponen lain yang mereka sebut anti basi. Hasil uji laboratorium menunjukan hasil berbeda dari pengakuan produsen-produsen Mie di Kota Blang Pidie, seluruh Mie yang di hasilkan dan didistribusikan ke warungwarung Mie Aceh positif mengandung Formalin.
Faktor Penyebab Penggunaan Air Abu dan Formalin Sesuai dengan hasil uji laboratorium pada Mie dengan boraks yang negatif, maka hasil analisis yang dilakukan untuk melihat faktor penyebab dari produsen mie ini, hanya mencakup penggunaan Air abu dan formalin.Responden yang diwawancara dalam penelitian ini 10 orang produsen mie di Kota Kota Blang Pidie. Hasil wawancara (Tabel 2) menunjukkan 10 responden (100%) mengatakan bahwa ekonomi menjadi faktor penyebab penggunaan air abu dan formalin, 10 responden (80%) menunjukkan bahwa pengetahuan menjadi faktor pendukung penggunaan air abu dan formalin, namun khusus terkait formalin ada 2 responden yang tidak mengetahui dampak dari formalin. 10 responden (100 %) mengatakan bahwa kebutuhan adonan mie menjadi faktor pendukung penggunaan air abu dan formalin.
18
Tabel 2 Hasil identifikasi faktor penyebab penggunaan air abu dan formalin
Faktor Penyebab Ekonomi Pengetahuan Kebutuhan Adonan
Jumlah Responden ( 10 ) 10 10 10
Air Abu
Formalin
(Responden) 10 10
(%) 100 100
10
100
(Responden) (%) 10 100 8 80 10
100
Faktor Ekonomi Hasil wawancara terhadap 10 orang responden produsen Mie Aceh (Tabel 2) diketahui bahwa faktor ekonomi yang mendorong penggunaan air abu dan formalin meliputi penghematan dalam pembiayaan produksi, karena dengan menggunakan natrium karbonat dan formalin Mie yang dihasilkan lebih tahan hingga 24 jam, dengan demikian tingkat kerugian kerusakan Mie dapat dikurangi. Selain itu dengan digunakan air abu atau natrium karbonat Mie kelihatan lebih menarik sehingga warung-warung Mie Aceh membeli Mie yang sudah ditambah air abu dan formalin. Bahan Mie dan anti basi mudah didapatkan di Kota Blang Pidie dan harga lebih murah dan dibandingkan dengan menggunakan pengawet alami seperti kunyit sehingga lebih menguntungkan. Di Kota Blang Pidie air abu atau natrium karbonat dijual bebas di pasaran dengan harga 6 ribu rupiah/liter sehingga harga yang murah dan mudah didapat cukup meringankan produsen dalam memproduksi Mie sebagai bahan utama Mie Aceh. Dalam proses penggalian informasi yang dilakukan, responden mengatakan bahwa untuk produksi Mie yang mereka hasilkan tidak menggunakan formalin, namun mereka menggunakan anti basi, akan tetapi hasil laboratorium menunjukan bahwa produk Mie yang dihasilkan seluruhnya mengandung formalin. Moenir (2006), mengatakan tingkat sosial ekonomi atau pendapatan ialah seluruh penerimaan seseorang sebagai imbalan atas tenaga dan pikiran yang telah dicurahkan untuk orang lain dirinya maupun keluarga. Namun hal ini pada masyarakat yang berteknologi maju, dimana kebutuhan hidup yang makin meningkat tidak hanya dalam jenis tetapi juga dalam hal kegunaan, pendapatan seseorang tidak lagi menjangkau kebutuhannya bersama keluarga. Kebutuhan hidup yang makin meningkat di satu pihak, kurang dapat diimbangi dengan pendapatan yang relatif tetap, sehingga menyebabkan perubahan pola ketenagakerjaan. Dengan demikian hubungan kepentingan ekonomi sangat mendukung produsen mie untuk menggunakan bahan natrium karbonat atau air abu dan formalin berkaitan dengan asumsi pendapatan dan keuntungan. Kebutuhan akan keuntungan besar atau takut terjadi kerugian pada usaha memungkinkan produsen Mie di Kota Blang Pidie melakukan kecurangan dalam penjualan produknya, hal ini menyangkut dengan kondisi produk Mie yang dihasilkan mengandung kimia berbahaya dan dapat merugikan kesehatan konsumen. Penghasilan berhubungan dengan usaha-usaha manusia untuk memenuhi kebutuhannya yang tidak terbatas dalam masyarakat tertentu. Pendapatan akan mempengaruhi status sosial seseorang, terutama akan ditemui
19
dalam masyarakat yang materialis dan tradisional yang menghargai status sosial ekonomi yang tinggi terhadap kekayaan. Mie yang dihasilkan produsen kemudian didistribusikan ke warungwarung Mie Aceh yang ada di Kota Blang Pidie bahkan kebeberapa warungwarung Mie Aceh yang berada di kecamatan lain, keberadaan produsen Mie yang cukup banyak tentunya menimbulkan persaingan dalam penjualan Mie karena bertambah tempat-tempat penjualan Mie Putih (Mie Cina) sehingga dapat mengurangi daya jual produk Mie Aceh, dalam hal ini perlu dilakukan strategi dalam penjualan Mie Aceh ini, salah satunya dengan membuat Mie yang dihasilkan bisa bertahan kurun waktu 48 jam sehingga memberi peluang penjualan kembali di hari kedua jika Mie yang diproduksi tidak habis terjual di hari pertama. Faktor Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan merupakan hasil yang terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi perilaku dan keyakinan seseorang, selain itu kemampuan kognitif membentuk cara berpikir seseorang, meliputi kemampuan untuk mengerti faktor-faktor yang berpengaruh dalam kondisi sakit dan praktek kesehatan personal (Potter dan Perry 2009). Meningkatnya pengetahuan dapat menimbulkan perubahan persepsi dan kebiasaan seseorang, pengetahuan juga membentuk kepercayaan seseorang serta sikap terhadap suatu hal. Perilaku yang didasari pengetahuan lebih langgeng dari yang tidak didasari pengetahuan (Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan dapat diperoleh seseorang secara alami atau diintervensi baik langsung maupun tidak langsung. Perkembangan teori pengetahuantelah berkembang sejak lama. Filsuf pengetahuan yaitu Plato menyatakan pengetahuan sebagai “kepercayaan sejati yang dibenarkan (valid)” (justifiedtrue belief). Pada umumnya, pengetahuan memiliki kemampuan prediktif terhadap sesuatu sebagai hasil pengenalan atas suatu pola. Sebagai contoh, pengetahuan seorang ibu tentang pentingnya imunisasi dasar bagi anaknya diperoleh dari suatu pola kemampuan prediktif dari pengalaman dan informasi yang diterima (Budiman dan Riyanto 2013). Pengetahuan bukanlah fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia, sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru (Budiman dan Riyanto 2013). Pengetahuan para produsen mie di Kota Blang Pidie Provinsi Aceh menjadi salah satu pendorong penggunaan air abu dan formalin pada produk mereka, dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap 10 orang responden produsen Mie di Kota Blang Pidie Provinsi Aceh (Tabel 2), diketahui bahwa alasan produsen Mie menggunakan air abu dan formalin meliputi ketidaktahuan bahwa ada dampak negatif dari air abu untuk bahan tambahan mie, produsen mie tidak memahami bahwa air abu atau natrium karbonat ada standarnya untuk digunakan dalam pangan yaitu 0.26 gram/100 gram. Ketidaktahuan produsen ini
20
mendorong produsen Mie menggunakan natrium karbonat secara bebas tanpa memiliki standar ambang batasnya kecuali hanya perkiraan terbentuknya adonan Mie antara lembek dan keras sehingga Mie mudah dalam penggilingan. Selain itu produsen mengetahui bahwa pemerintah tidak melarang penggunaan natrium karbonat, namun untuk formalin produsen Mie yang (80%) mengetahui tentang bahaya dan larangan dari pemerintah untuk menggunakannya dalam makanan dan yang (20%) yang mengaku tidak mengetahui bahwa formalin sangat berbahaya bagi kesehatan. Seluruh responden (100%) yang diwawancara mengaku tidak mengetahui bahwa dalam anti basi yang mereka gunakan juga memiliki kandungan sama dengan formalin atau memang formalin dengan nama jual yang berbeda. Pengakuan bahwa responden tidak menggunakan formalin pada Mie ternyata berbeda dengan hasil uji laboratorium yang menunjukkan ke 25 sampel (100%), 10 sampel dari produsen dan 15 dari warung Mie Aceh positif mengandung formalin dengan nilai > 4 mg/L. Dengan demikian faktor pengetahuan dari produsen Mie ini didapatkan berdasakan input informasi yang masuk sangat mendorong dalam penggunaan air abu dan formalin pada mie yang dihasilkannya, karna pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia, sementara orang lain tinggal menerimanya. Rinto et al (2009) menyebutkan bahwa secara fisik pangan yang aman adalah bahan pangan yang bersih dari bahan-bahan yang tidak dapat dicerna oleh tubuh yaitu plastik, logam dan bahan bahan-bahan lainnya yang mengganggu pencernaan manusia, secara kimiawi dapat berasal dari zat-zat berbahaya yang tidak boleh digunakan dalam bahan pangan seperti formalin, boraks, insektisida serta bahan tambahan makanan yang sangat dibatasi penggunaannya. Maraknya penggunaan bahan tambahan atau zat aditif pada makanan belakangan ini untuk membuat makanan tampak lebih menarik, tahan lama, serta rasa dan teksturnya lebih sempurna. Bahan tambahan tersebut pengawet dan pengental (Siaka 2009).
Faktor Kebutuhan dari Adonan Mie Aceh adalah produk makanan tradisional Aceh yang menggunakan bahan baku Mie basah. Mie adalah makanan yang terbuat dari tepung terigu, garam dan air serta bahan tambahan pangan lain (Hou and Kruk 1998). Dalam perkembangannya, Mie merupakan produk yang sangat dikenal di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, Mie bahkan telah menjadi pangan alternatif utama setelah nasi (Munarso dan Haryanto 2007). Hasil wawancara yang dilakukan terhadap 10 responden produsen, didapatkan informasi bahwa penggunaan air abu dan formalin sebagai kebutuhan dan pembuatan adonan Mie basah itu sendiri, dengan air abu Mie bisa di bentuk, dengan air abu Mie tidak putus dan dengan air abu Mie tampak basah dan tidak kering. Hal ini sesuai dengan dikatakan Cahyadi (2008) bahwa natrium karbonat telah sejak dulu dipakai sebagai alkali pembuat Mie. Diah (2013) menyatakan bahwa air abu bisa digunakan untuk pewarna masakan alami dan pengenyal makanan. Air abu yang biasa digunakan adalah natrium karbonat atau sodium Carbonate (soda Ash), sodium ini digunakan untuk meningkatkan kemampuan Mie untuk mengikat air abu adalah unsur-unsur mineral zat organik, merupakan sisa yang tertinggal setelah contoh dibakar sampai bebas karbon dan air.
21
Nilai gizi Mie pada umumnya dapat dianggap cukup baik karena selain karbohidrat terdapat pula sedikit protein yang disebut gluten. Menurut Munarso dan Heryanto (2007), Mie basah adalah jenis Mie yang mengalami proses perebusan setelah tahap pemotongan. Biasanya Mie basah dipasarkan dalam keadaan segar. Kadar air Mie basah dapat mencapai 52% dan karenanya daya simpannya relatif singkat (40 jam pada suhu kamar). Proses perebusan dapat menyebabkan enzim polifenol-oksidase terdenaturasi, sehingga Mie basah tidak mengalami perubahan warna selama distribusi. Di Cina, Mie basah biasa dibuat dari terigu jenis lunak dan ditambahkan Kan-sui. Kan-sui adalah larutan alkali yang tersusun oleh garam natrium dan kalium karbonat Larutan ini digunakan untuk menggantikan fungsi natrium klorida dalam formula. Garam karbonat ini membuat adonan bersifat alkali yang menghasilkan Mie yang kuat dengan warna kuning yang cerah. Warna tersebut muncul akibat adanya pigmen flavonoid yang berwarna kuning pada keadaan alkali. Dalam kondisi tidak ada penambahan bahan pengawet, Mie basah umumnya memiliki umur simpan yang relatif pendek, yaitu berkisar antara 1-2 hari bila disimpan pada suhu ruang. Pendeknya umur simpan ini disebabkan Mie basah memiliki kadar air dan aktivitas air yang tinggi sehingga mudah ditumbuhi oleh mikroorganisme. Kerusakan Mie basah disebabkan oleh pertumbuhan mikroba. Istilah umum yang sering digunakan produsen atau konsumen tentang kerusakan Mie basah adalah Mie menjadi basi. Pendeknya umur simpan Mie basah ini disebabkan oleh kondisi iklim tropis seperti di Indonesia, dimana kecenderungan terjadinya pencemaran pangan oleh mikroorganisme menjadi sangat tinggi, karena udara yang hangat sehingga terjadi lembab yang sangat mendukung pertumbuhan mikroba. Di samping itu, praktek pengolahan yang kurang memperhatikan sanitasi dapat bekontribusi pula pada pendeknya umur simpan Mie basah ini (BPOM 2006). Pengawet ini memiliki unsur aldehida yang bersifat mudah bereaksi dengan protein, karenanya ketika disiramkan kemakanan seperti tahu dan Mie Aceh, Hasyim (2006) menyebutkan komponen berfungsi untuk mempercepat pengikatan gluten, meningkatkan elastisitas, fleksibilitas dan meningkatkan kehalusan tekstur Mie. Formalin akan mengikat unsur protein mulai dari bagian permukaan tahu hingga terus meresap kebagian dalamnya. Dengan matinya protein setelah terikat unsur kimia dari formalin maka bila ditekan adonan Mie terasa lebih kenyal. Selain itu protein yang telah mati tidak akan diserang bakteri pembusuk yang menghasilkan senyawa asam, itulah sebabnya Mie Aceh di Kota Blang Pidie atau makanan lainnya menjadi lebih awet. Kaitan Masyarakat Terpapar Dengan Kesehatan Melihat kaitan pengkonsumsi dengan kesehatan dilakukan penggalian informasi secara lengkap dengan melihat status pendidikan, pendapatan, pekerjaan, tanggungan keluarga, kondisi kesehatan sebelum konsumsi Mie Aceh hingga kondisi Kesehatan setelah konsumsi Mie Aceh dari konsumen. Berdasarkan analisis tingkat pendidikan pengkonsumsi menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden yang mengkomsumsi Mie Aceh di Blang Pidie (Table 3) sebagian
22
besar pendidikan SMA sebanyak 15 orang (42,9%), pendidikan tinggi 14 orang (40%), SMP 4 orang (11,4%) dan SD 2 orang (5,7%). Hal ini menunjukkan bahwa yang mengkonsumsi Mie Aceh lintas pendidikan dari paling dasar hingga Perguruan Tinggi, bahkan responden Perguruan Tinggi lebih dominan yang menjadi pengkonsumsi Mie Aceh di Kota Blang Pidie. Melihat tingkat pendapatan Responden Konsumen Mie Aceh di Kota Blang Pidie (Table 4) menunjukkan bahwa sebagian besar adalah < 1 juta sebanyak 16 orang (45,7%), pendapatan 1-3 juta sebanyak 14 orang (40%) dan pendapatan 3-5 juta sebanyak 5 orang (14,3%), hal ini menjelaskan tingkat pendapatan yang bervariasi dari pengkonsumsi dan yang berpenghasilan sangat relatif, yang berpendapatan dibawah 1 juta lebih mendominasi konsumsi Mie Acehdan responden berpenghasilan 3-5 juta paling sedikit dari responden konsumsi Mie Aceh di Kota Blang Pidie. Terkait dengan perkerjaan responden hasil analisis menunjukan menunjukkan bahwa pekerjaan responden yang mengkomsumsi Mie Aceh (Tabel 5) di Blang Pidie sebagian besar swasta sebanyak 16 orang (45,7%), pelajar sebanyak 9 orang (25,75), PNS sebanyak 5 orang (14,3%) dan tani sebanyak 5 orang (14,3%). Tabel 3 Strata Pendidikan responden Konsumen Mie Aceh di Kota Blang Pidie Pendidikan SD SMP SMA PT Total
Frekuensi 2 4 15 14 35
Persen 5.7 11.4 42.9 40.0 100.0
Tabel 4 Strata Pendapatan Responden yang Konsumsi Mie Aceh di Kota Blang Pidie Pendapatan <1 juta 1-3 juta 3-5 juta Total
Frekuensi
Persen 16 14 5 35
45.7 40.0 14.3 100.0
Tabel 5 Strata Pekerjaan responden Konsumen Mie Aceh di Kota Blang Pidie Pekerjaan Swasta PNS Tani Pelajar Total
Frekuensi 16 5 5 9 35
Persen 45.7 14.3 14.3 25.7 100.0
23
Hasil analisis mengenai tanggungan keluarga konsumen Mie Aceh (Tabel 6) di Kota Blang Pidie menunjukkan bahwa tanggungan keluarga responden yang mengkomsumsi Mie Aceh di Blang Pidie sebagian besar tidak ada sebanyak 21 orang (60%), tanggungan 2-3 sebanyak 8 orang (22,9%) dan tanggungan 3-4 sebanyak 6 orang (17,1%). Artinya responden konsumen yang mendominasi adalah para pemuda atau pelajar yang belum ada tanggungan keluarga, dan yang paling sedikit adalah responden yang memiliki tanggungan keluarga 3-4 orang.Maka bisa dikatakan penikmat utama konsumen Mie Aceh di Kota Blang Pidie adalah para pemuda atau pemudi yang belum berkeluarga. Analisis untuk melihat frekuensi konsumsi Mie Aceh di Kota Blang Pidie menunjukkan bahwa frekuensi konsumsi Mie Aceh perminggu sebagian besar 3-4 kali sebanyak 11 orang (31,4%), > 4 kali sebnayak 11 orang (31,4%), 2-3 kali sebanyak 8 orang (22,9%) dan 1 kali sebanyak 5 orang (14,3%). Artinya bahwa ada 11 orang dari 35 responden yang memiliki rutinitas konsumsi Mie Aceh 3 sampai dnegan 4 kali (Tabel 7)
Tabel 6 Tanggungan Keluarga responden Konsumen Mie Aceh di Kota Blang Pidie Tanggungan keluarga Tidak ada 2-3 orang 3-4 orang Total
Frekuensi 21 8 6 35
Persen 60.0 22.9 17.1 100.0
Tabel 7 Frekuensi responden mengkonsumsi Mie Aceh di Kota Blang Pidie Frekuensi Konsumsi 1 kali 2-3 kali 3-4 kali >4 kali Total
Frekuensi 5 8 11 11 35
Persen 14.3 22.9 31.4 31.4 100.0
Analisis penyakit diderita responden konsumen sebelum dan sesudah konsumsi Mie Aceh (Gambar 7) menunjukkan bahwa terjadi perbedaan kondisi kesehatan responden yang sebelum konsumsi Mie Aceh di Blang Pidie sebagian besar berpenyakit lambung sebanyak 8 orang (22,95), setelah konsumsi Mie Aceh menghilang dan berganti dengan keluhan hilang nafsu makan sebanyak 14 orang (40%), sakit perut 13 orang (37.14 %), keluhan sakit perut dan hilang nafsu makan adalah penyakit yang berhubungan dengan lambung, hal ini sesuai yang dikatakan Cahyadi ( 2008) bahwa formalin sangat berpengaruh pada lambung karena dengan kandungan pada Mie yang dikonsumsi masyarakat melebihi ambang batas sehingga pengaruhnya pada iritasi lambung.
24
Penyakit lainnya adalah badan lemas sebelum konsumsi ada 5 orang penderita (14.28%), setelah konsumsi turun menjadi 1 orang (2.85%). Penurunan responden yang menderita badan lemas hingga 4 orang (11,43%), lebih disebabkan pada kondisi rasa lapar dan kenyang, setelah konsumsi Mie Aceh badan lemas karna kekosongan perut berganti dengan badan bertenaga yang disebabkan konsumsi Mie Aceh yang bahan bakunya tepung yang memiliki kandungan karbohidrat. Keluhan perih tenggorokan sebelum konsumsi Mie Aceh hanya 1 orang (2.85%) meningkat menjadi 6 orang (17.14 %) setelah konsumsi Mie Aceh, peningkatan jumlah responden dengan keluhan perih tenggerokan hingga 5 orang (14.29 %), begitu juga dengan batuk yang dikeluhkan responden konsumen setelah konsumsi Mie Aceh 4 responden (11.42 %), batuk adalah keluhan yang masih berkaitan dengan perih tenggerokan. Seperti dikatakan Syukur (2006) dalam Hasyim (2006) bahwa formalin juga dapat menyebabkan sukar bernafas, nafas pendek hingga perih tenggerokan, dengan demikian peningkatan jumlah responden yang merasakan keluhan perih tenggerokan dan timbulnya batuk setelah konsumsi Mie Aceh disebabkan oleh formalin yang terkandung dalam Mie Aceh tersebut. 16
K o n s u m e n
14 12 10 8 6 4
sebelum konsumsi sesudah konsumsi
2 0
Penyakit yangdiderita dan timbulkan setelah konsumsi Mie Aceh di Kota Blang Pidie
Gambar 7 Grafik penyakit yang diderita oleh konsumen sebelum dan sesudah konsumsi Mie Aceh Kota Blang Pidie Hasil analis dengan Goal Bahan Kimia Penting dari pendapat para pakar menunjukan bahwa formalin menjadi penyebab paling utama dari efek yang ditimbulkan setelah konsumsi Mie Aceh di Kota Blang Pidie dengan nilai 0,840 sedangkan air abu menunjukan nilai 0,160 ( Gambar 9). Efek paling penting yang dirasakan oleh responden berdasarkan analisis AHP adalah hilang Nafsu makan dengan nilai 0.366, kemudian batuk 0.271, perih tenggorokan 0.260, lemas 0.058 dan 0.046 (Gambar 9).
25
Gambar 8 Jaringan Hirarki penentuan penyebab utama dari dampak kesehatan yang ditimbulkan Efek kesehatan tersebut sesuai dengan Winarno (1988) yang mengatakan bahwa dampak formalin terhadap kesehatan diantaranya sukar bernafas, nafas pendek, sakit kepala, paru-paru, akan terjadi mual, muntah, sakit perut perih, diare, sakit kepala, pusing, gangguan jantung, kerusakan hati, kerusakan saraf, kulit membiru, hilangnya pandangan, kejang, koma dan kematian. Begitu juga Syukur (2006) dalam Hasyim (2006) menyebutkan pengaruh formalin terhadap kesehatan antara lain jika terhirup rasa terbakar pada hidung dan tenggorokan, sukar bernafas, nafas pendek, sakit kepala, kanker paru-paru, akan terjadi mual, muntah, perut perih, diare, sakit kepala, pusing, gangguan jantung, kerusakan hati, 12/21/2014 4:45:13 PM Page 1 of 1 12/21/2014 4:42:15 PM Page 1 of 1 kerusakan saraf, kulit membiru, hilangnya pandangan, kejang, koma dan kematian. Selain formalin, air abu atau natrium karbonat jika dikonsumsi terus menerus juga Model Name: AHP MIE ATJEH BNA bisa mengakibatkan efek bagi kesehatan Model konsumen. Name: AHP MIE ATJEH BNA Priorities with respect to: Goal: BKPM
Treeview
Combined
Goal: BKPM
sakit perut (L: .271) .366 hilanghilang nafsu makan nafsu makan (L: .366) sakit perut .271 batuk (L: .046) perih tenggorokan .260 lemas (L: .058) lemas .058 batuk perih tenggorokan (L: .260) .046 Inconsistency = 0.01 with 0 missing judgments.
Alternatives
air abu formalin
Gambar 9 Efek penyakit paling penting setelah konsumsi Mie dan alternatif kimia berbahaya penyebabnya Cahyadi (2008) mengatakan formalin merupakan bahan beracun dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Jika kandungannya dalam tubuh tinggi, akan bereaksi secara kimia dengan hampir semua zat di dalam sel sehingga menekan
.160 .840
26
fungsi sel dan menyebabkan kematian sel yang menyebabkan keracunan pada tubuh. Selain itu, kandungan formalin yang tinggi dalam tubuh juga menyebabkan iritasi lambung, alergi, bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker) dan bersifat mutagen (menyebabkan perubahan fungsi sel/jaringan), serta orang yang mengkonsumsinya akan muntah, diare bercampur darah, kencing bercampur darah, dan kematian yang disebabkan adanya kegagalan peredaran darah. Formalin bisa menguap di udara, berupa gas yang tidak bewarna, dengan bau yang tajam menyesakkan sehingga merangsang hidung, tenggorokan dan mata. SIKerNas Pusat Informasi Obat dan Makanan, Badan POM RI pada tahun 2012 jika natrium karbonat tertelan dalam jumlah banyak dapat mengakibatkan korosif pada saluran pencernaan dengan gejala nyeri perut, muntah, diare, kolaps dan keluhan pada saluran gastrointestinal dan kematian dan efek kronik akan bersifat reversibel jika paparan berkurang.
KESIMPULAN Kuliner Mie Aceh yang beredar di Kota Blang Pidie Provinsi Aceh positif mengandung air abu dan formalin melebihi ambang batas yang ditetapkan dan negatif kandungan boraks, sehingga kurang aman untuk dikonsumsi. Tiga faktor penyebab penggunaan air abu dan formalin oleh produsen Mie di Kota Blang Pidie Provinsi Aceh adalah ekonomi, pengetahuan dan kebutuhan dari adonan. Dampak kesehatan yang dikeluhkan oleh konsumen setelah konsumsi Mie Aceh adalah hilang nafsu makan, sakit perut, perih tenggerokan, batuk dan lemas. Penyebab paling penting dari efek kesehatan yang di timbulkan adalah kandungan kimia formalin. SARAN Sesuai dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa Mie Aceh di Kota Blang Pidie kurang aman dikonsumsi masyarakat karna mengandung kimia air abu dan formalin yang melebihi ambang batas, dengan demikian penulis menyarankan agar pemerintah melaui badan terkait perlu melakukan penyeluhan tentang bahaya penggunaan bahan kimia pada Mie. Pemerintah perlu menyediakan BTP yang aman dan murah serta melakukan penertiban terhadap produsen mie yang terbukti menggunakan bahan berbahaya pada Mie, kemudian masyarakat untuk hati-hati dalam memilih makanan untuk di konsumsi demi terwujudnya kesehatan masyarakat yang optimal. Selain itu kedepan perlu dilakukan penelitian lanjutan.
27
DAFTAR PUSTAKA Alghifary, 2009). Hati-hati Makan Mie Basah, [internet] Tersedia pada: http://www.ahmad-alghifary.co.cc/2009 [diunduh 10 April 2014]. Anonymous. 2007. Dampak Buruk Formalin dalam Makanan di Indonesia, [internet] [diunduh 10 April 2014]. Tersedia pada; http: www/ detak.org/news.php?id. Astrawan M. 2005. Mie Lezat Bergizi tetapi Rawan Formalin. [internet] [diunduh 10 april 2014]. Tersedia pada: http: www/Gizi. Net. Com. Astrawan M, 2006. Membuat Mie dan Bihun. Penebar Swadaya, Jakarta. Budiarto 2002. Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakrta (ID): Buku Kedokteran EGC. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2006. Keamanan Pangan Mie Basah: Mencari Jalan Keluar dari Masalah Formalin dan Boraks, Jejaring Intelijen Pangan. (ID) BPOM RI. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan RI 2012. Natrium Karbonat. Sentra Informasi Keracunan Nasional (SIKerNas) Pusat Informasi Obat dan Makanan. Budiman dan Riyanto. 2013. Kapita Selekta Kuesioner Pengetahuan dan Sikap dalam Penelitian Kesehatan. Salemba Medika. Jakarta. Cahyadi. 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Jakarta (ID): Penerbit Bumi Aksara. Diah
D. 2013. Air Abu Pewarna Hitam Alami.[internet]tersedia: http://www.diahdidi.com[di unduh 20 april 2014]:
Elmatris. 2008. Analisis kualitatif dan kuantitatif kandungan formalin pada beberapa bahan makanan yang beredar di pasar raya padang dan sekitarnya. [internet]. Pada:http://lp.unand.ac.id[diunduh10 april 2014] Faisal, A. 2002. Pengantar Pangan dan Gizi. Swadaya, Jakarta (ID) Guna. 2011. Pembuatan Mie Basah. [internet] [diunduh 20 april 2014]. Pada: http://gunasoraya.blogspot.com Harmoni, D. 2006. Seluk Beluk Formalin.[internet] [diunduh 20 april 2014]. Pada: www.hd.co.id
Hasyim. 2006. Formalin Bukan Formalitas. Buletin cp. Januari 2006. Hou, Guoquan and Kruk, Mark. 1998. Asian Noodle Technology. Technical Bulletin Volume XX Imafa, 2008. Menghasilkan Soda dari garam. [internet] tersedia pada:http://industri17.blog.mercubuana.ac.id[diunduh 8 agustus 2014].
28
Judarwanto, W. 2006. Ancaman Formalin Bagi Kesehatan.[internet] Pada :http://www.pdpersi.co.id. [diunduh 20 april 2014]
Mudjajanti,E.S. &L.N. Yulianti, 2004. Membuat Aneka Roti. Penebar Swadaya, Jakarta Munarso danHeryanto. 2007. Perkembangan Teknologi Pengolahan Mie.[internet] Pada :http://www.pdfqueen.com/html. [diunduh 20 april 2014] Moenir, H.A.S. 2006.Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Edisi 1.Cetakan 7.Bumi aksara. Jakarta Notoatmodjo.2007.Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta. Jakarta. Notoatmodjo dan Soekidjo.2010. Metodelogi Penelitian Kesehatan.Cetakan ketiga. Jakarta: Rineka Cipta. Potter dan Perry. 2009. Fundamental of Nursing : Konsep, Proses dan Praktik. Buku 1.Edisi 7.Jakarta : Salemba Medika. Reynold JEF. 1982. Martindale The Extra Pharmacopoeia. 28th ed. The Pharmaceutical Press. London. 337- 432. Rinto, E., Arafah, S.B. Utama. 2009. Kajian Keamanan Pangan (Formalin, Garam dan Mikrobia) pada Ikan Sepat Asin Produksi Indralaya. Jurnal Pembangunan Manusia, 8 (2): (20-25). Roth, H. J. 1988. Analisis Farmasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Siaka, I.M. 2009. Analisis Bahan Pengawet Benzoat pada Saos Tomat yang Beredar di Wilayah Kota Denpasar. Jurnal Kimia, 3(2):87-92. Sugiyatmi S. 2006. Analisis Faktor-Faktor Resiko Pencemaran Bahan Toksik Boraks dan Pewarna pada Makanan Jajanan Tradsional yang Dijual di Pasar-pasar di Kota Semarang.[Tesis]. Program Pasca Sarjana. Universitas Diponegoro. Sugiyono. 2011. Metode Analisis Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Alfabeta. Bandung:246 Tanu, I. 1987. Farmakologi dan Farmasi Edisi 3.Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Toch, S. 2012. Natrium Karbonat/Pabrik Sodium Carbonate dari CaCO3, NaCl dan NH3 _ m4sr1_t0ch.htm.[internet] [diunduh 20 april 2014]. Pada: WordPress.com. Tumbel, Maria. 2010. Analisis Kandungan Boraks Dalam Mie Basah yang Beredar di Kota Makassar. Jurnal Chemica Vol II : 57 – 64 Walgito B. 2002. Psikologi Sosial. Yogyakarta (ID): Penerbit Andi. Widyaningsih, T.B.dan E.S. Murtini, 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada Produk Pangan. Trubus Agrisarana. Surabaya Winarno, F.G. 1988. Kimia Pangan dan Gizi. Gramadia Press. Jakarta :224
29
Winarno dan Tati, 1993.Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Yasmin G dan Madanijah S. 2010. Perilaku Penjaja Pangan Jajanan Anak Sekolah Terkait Gizi dan Keamanan Pangan di Jakarta dan Sukabumi. Jurnal Gizi dan Pangan. 5(3):148-157.
Yulizar. 2011. Analisis kualitatif dan Kuantitatif Penggunaan Formalin pada Mie Aceh yang Beredar di pasar Gampoeng Baroe. [Skripsi]: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Aceh.
30
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal Gampoeng teungoh, Aceh. Penulis merupakan anak ke 3 dari bersaudara, orang tua bernama alm. Drs. Tgk. Kasmuddin Bin Jamaluddin dan Aimar Siati binti Muhammad Jadam. Penulis mengawali pendidikan di Madrasah Ibtidayah Gampoeng Teungoh, Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Kuala Batee, Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Kuala batee, Aceh. Pada tahun 2006 penulis meneruskan studi pada Program Ilmu Kesehatan Masyarakat Peminatan Kesehatan Lingkungan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Acehhingga memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakatpada tahun 2011. Selanjutnya penulis terdaftar sebagai mahasiswa pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2012 pada Program Studi Pengembangan Sumberdaya Lingkungan.
31
lampiran Lampiran: Print Out SPSS Frequency Table Pendidikan Frequenc
Percent
y SD \ Valid
Valid Percent
Cumulative Percent
2
5.7
5.7
5.7
SMP
4
11.4
11.4
17.1
SMA
15
42.9
42.9
60.0
14
40.0
40.0
100.0
35
100.0
100.0
PT Total
Pendapatan Frequency
Percent
Valid Percent
Valid
Cumulative Percent
<1 juta
16
45.7
45.7
45.7
1-3 juta
14
40.0
40.0
85.7
3-5 juta
5
14.3
14.3
100.0
35
100.0
100.0
Total
Pekerjaan Frequency
Percent
Valid Percent
Swasta
Cumulative Percent
16
45.7
45.7
45.7
PNS
5
14.3
14.3
60.0
Valid Tani
5
14.3
14.3
74.3
9
25.7
25.7
100.0
35
100.0
100.0
Pelajar Total
Tanggung Jawab keluarga Frequenc y
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
32
Tidak ada
21
60.0
60.0
60.0
2-3 orang
8
22.9
22.9
82.9
3-4 orang
6
17.1
17.1
100.0
35
100.0
100.0
Valid Total
Frekuensi konsumsi/minggu Frequency
Percent
Valid
Cumulative
Percent
Valid
Percent
1 kali
5
14.3
14.3
14.3
2-3 kali
8
22.9
22.9
37.1
3-4 kali
11
31.4
31.4
68.6
>4 kali
11
31.4
31.4
100.0
Total
35
100.0
100.0
Penyakit sebelum konsumsi Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Kerongkongan perih
1
2.9
2.9
22.9
lemas
1
2.9
2.9
25.7
Lambung
8
22.9
22.9
60.0
Lambung,
1
2.9
2.9
62.9
Lemas
4
11.4
11.4
74.3
Tidak ada
5
14.3
14.3
100.0
35
100.
100.0
Total
0
33
Penyakit sesudah komsumsi Frequency
Percent
Valid
Cumulative
Percent
Percent
Hilang nafsu makan
13
37.1
37.1
40.0
Hilang nafsu makan,
1
2.9
2.9
42.9
Batuk, Lemas
1
2.9
2.9
45.7
Lemas, perih tenggorokan
2
5.7
5.7
51.4
Perih tenggorokan
3
8.6
8.6
60.0
Sakit perut
8
22.9
22.9
82.9
Sakit perut,
2
5.7
5.7
88.6
Sakit perut, hilang nafsu
2
5.7
5.7
94.3
Sakit perut, perih tenggokan
1
2.9
2.9
97.1
Tidak ada
1
2.9
2.9
100.0
35
100.0
100.
V valid
Total
0
34
Lampiran 2 : Kuisioner Pakar
KUISIONER PENELITIAN Kuisioner ini digunakan sebagai bahan dalam penyusunan penelitian mengenai KAJIAN KANDUNGAN AIR ABU, BORAKS DAN FORMALIN PADA KULINER MIE ACEH DI KOTA BLANG PIDIE Data yang diterima dari kuisioner ini bersifat rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan A. Identitas Respondenakademik.Terima kasih atas bantuan dan kerjasama anda. 1. Nama
: .........................................................................
2. Usia
: .........................................................................
3. Tempat Tinggal
: .........................................................................
4. Pendidikan
: .........................................................................
5. Jabatan
: .........................................................................
6. Tanda Tangan
: .........................................................................
Tanda
Tangan
Responden BAGIAN I. (…………………………………………) PETUNJUK PENGISIAN I. UMUM 1. Isi kolom identitas yang terdapat pada halaman depan kuesioner. 2. Berikan penilaian terhadap urutan hierarki penentuan efek paling penting antara penyakit yang di timbulkan dengan air abu dan formalin dengan cara mengisi lembaran pengisian. 3. Penilaian dilakukan dengan mengurutkan tingkat kepentingan/peran komponen dalam satu level hierarki yang berkaitan dengan komponenkomponen level lainnya. 4. Penilaian dilakukan dengan mengisi titik-titik pada kolom yang telah tersedia.
35
Contoh Pengisisan: Misalkan terdapat empat elemen yang mempengaruhi investasi yaitu faktor C, D, E, dan F. Berdasarkan tingkat kepentingan maka faktor tersebut disusun dalam bentuk tabel seperti berikut: Elemen
Faktor C
Urutan Tingkat Kepentingan ..4(a)..
Faktor D
..3(b)..
Faktor E
..1(c)..
Faktor F
..2(d)..
Keterangan: Nilai pada (a) : Elemen C memiliki urutan tingkat kepentingan ke-4 (Elemen C merupakan elemen yang paling tidak penting/paling sedikit mempengaruhi investasi) Nilai pada (b) : Elemen Dmemiliki urutan tingkat kepentingan ke-3 Nilai pada (c) : Elemen Ememiliki urutan tingkat kepentingan ke-1 (Elemen E merupakan elemen utama yang paling penting/paling mempengaruhi investasi) Nilai pada (d) : Elemen Fmemiliki urutan tingkat kepentingan ke-2 Perhatian
: Konsistensi penilaian sangat penting untuk diperhatikan
Tabel 1. Mengurutkan tingkat kepentingan elemen-elemen Kriteria dibawah ini berdasarkan Goal Menentukan bahan kimia yang paling mempengaruhi penyakit yang di timbulkan setelah konsumsi Mie Aceh Elemen Penyakit- Penyakit Yang Paling Sering di Timbulkan Setelah Mie di Konsumsi Sakit Perut
Urutan Tingkat Keseringan ....
Hilang nafsu Makan
....
Batuk
....
Lemas
....
Perih tenggorokan
….
36
Keterangan
: Dalam pengisisan kuesioner dalam tabel diatas, Bapak/Ibu diminta untuk
mengurutkan
pengaruhnya
hingga
dari
elemen
elemen
terpenting/paling yang
paling
kuat sedikit
pengaruhnya/tidak begitu penting. Keluaran dari kuesioner ini adalah memprioritaskan salah satu elemen berdasarkan pendapat Responden.
Tabel 2. Mengurutkanbahan tambahan pada mie aceh yang sering menimbukan gejala Hilang nafsu makan Alternatif
Urutan Tingkat Kepentingan ....
Air Abu Formalin Keterangan
....
: Dalam pengisisan kuesioner dalam tabel diatas, Bapak/Ibu diminta untuk mengurutkan dari elemen Alternatif terpenting/paling kuat pengaruhnya hingga elemen Alternatif yang paling sedikit pengaruhnya/tidak begitu penting. Keluaran dari kuesioner ini adalah memprioritaskan salah satu elemen berdasarkan pendapat Responden.
Tabel 3. Mengurutkanbahan tambahan pada mie aceh yang sering menimbukan gejala batuk Alternatif
Air abu Formalin
Urutan Tingkat Kepentingan .... ....
37
Keterangan
: Dalam pengisisan kuesioner dalam tabel diatas, Bapak/Ibu diminta untuk mengurutkan dari elemen Alternatif terpenting/paling kuat pengaruhnya hingga elemen Alternatif yang paling sedikit pengaruhnya/tidak begitu penting. Keluaran dari kuesioner ini adalah memprioritaskan salah satu elemen berdasarkan pendapat Responden.
Tabel 4. Mengurutkanbahan tambahan pada mie aceh yang sering menimbukan gejala lemas Alternatif
Urutan Tingkat Kepentingan ....
Air Abu Formalin Keterangan
....
: Dalam pengisisan kuesioner dalam tabel diatas, Bapak/Ibu diminta untuk mengurutkan dari elemen Alternatif terpenting/paling kuat pengaruhnya hingga elemen Alternatif yang paling sedikit pengaruhnya/tidak begitu penting. Keluaran dari kuesioner ini adalah memprioritaskan salah satu elemen berdasarkan pendapat Responden.
Tabel 5. Mengurutkanbahan tambahan pada mie aceh yang sering menimbukan gejala perih tenggorokan Alternatif
Urutan Tingkat Kepentingan ....
Air Abu Formalin Keterangan
....
: Dalam pengisisan kuesioner dalam tabel diatas, Bapak/Ibu diminta untuk mengurutkan dari elemen Alternatif terpenting/paling kuat pengaruhnya hingga elemen Alternatif yang paling sedikit pengaruhnya/tidak begitu penting. Keluaran dari kuesioner ini adalah memprioritaskan salah satu elemen berdasarkan pendapat Respon
38
BAGIAN II (Optional)
PETUNJUK PENGISIAN I. UMUM 1. Isi kolom identitas yang terdapat pada halaman depan kuesioner. 2. Berikan penilaian terhadap hierarki penentuan Efek Paling Penting Antara Penyakit Yang Di Timbulkan Dengan Air Abu Dan Formalin dengan cara mengisi lembar pengisian. 3. Penilaian dilakukan dengan membandingkan tingkat kepentingan/peran komponen dalam satu level hierarki yang berkaitan dengan komponenkomponen level sebelumnya menggunakan skala penilaian yang terdapat pada petunjuk bagian II. 4. Penilaian dilakukan dengan mengisi titik-titik pada kolom yang telah tersedia.
II. SKALA PENILAIAN Definisi skala yang digunakan adalah sebagai berikut: Nilai Perbandingan (A
Definisi
dibandingkan B) 1
A sama penting dengan B
3
A sedikit lebih penting dari B
1/3 5 1/5 7
Kebalikannya (B sedikit lebih penting dari A) A jelas lebih penting dari B Kebalikannya (B jelas lebih penting dari A) A sangat jelas lebih penting dari B
39
1/7
Kebalikannya (B sangat jelas lebih penting dari A)
9
A mutlak lebih penting dari B
1/9
Kebalikannya (B mutlak lebih penting dari A)
Contoh Pengisisan: Misalkan terdapat empat elemen yang mempengaruhi investasi yaitu faktor C, D, E, dan F. Berdasarkan tingkat kepentingan maka faktor tersebut disusun dalam bentuk tabel seperti berikut:
Elemen
Elemen B
A
C
D
E
F
C
1
..3(a)..
..1/3(b)..
..6..
1
..1/6..
..3..
1
..9..
D E F
1
Keterangan: Nilai pada (a)
: Elemen C sedikit lebih penting dari D
Nilai pada (b)
: Elemen E sedikit lebih penting dari C
Perhatian
: Konsistensi penilaian sangat penting untuk diperhatikan
Tabel 6.Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen Kriteria dibawah ini berdasarkan Goal Menentukan bahan kimia yang paling mempengaruhi penyakit yang di timbulkan setelah konsumsi Mie Aceh (merujuk pada urutan tingkat kepentingan Tabel 1/ Hal. 3 Kuesioner). Elemen Elemen Kriteria B Hilang Perih Sakit Nafsu Tenggerokan Kriteria A Perut Makan Batuk Lemas Sakit . …… Perut 1 ..... .... ..... Hilang nafsu . …… Makan 1 .... ..... …… Batuk 1 .....
40
Lemas 1 Perih Tenggeroka 1 n 1 Keterangan : Dalam pengisisan kuesioner dalam tabel diatas, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan mana yang lebih penting dari elemen kriteria A dengan elemen kriteria B, Lalu memberikan bobot berdasarkan petunjuk. Keluaran dari kuesioner ini adalah memprioritaskan salah satu elemen berdasarkan pendapat Responden.
P E
Nilai Perbandingan (A dibandingkan B) 1 3
T
1/3
U N J
5 1/5 7
Definisi A sama penting dengan B A sedikit lebih penting dari B Kebalikannya (B sedikit lebih penting dari A)
A jelas lebih penting dari B Kebalikannya (B jelas lebih penting dari A) A sangat jelas lebih penting dari B Kebalikannya (B sangat jelas lebih penting U 1/7 dari A) K 9 A mutlak lebih penting dari B Kebalikannya (B mutlak lebih penting dari 1/9 A) PERHATIAN: Konsistensi Penilaian sangat penting dalam penelitian ini Tabel 7.Mengurutkanbahan tambahan pada mie aceh yang sering menimbukan gejala Sakit perut (merujuk pada urutan tingkat kepentingan Tabel 2/ Hal. 3 Kuesioner). Elemen
Elemen Alternatif B
Alternatif A
Air Abu
Formalin
41
Air Abu
1
..... Formalin
Keterangan
: Dalam pengisisan kuesioner dalam tabel diatas, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan mana yang lebih penting dari elemen alternatif A dengan elemen alternatif B, Lalu memberikan bobot berdasarkan petunjuk. Keluaran dari kuesioner ini adalah memprioritaskan salah satu elemen
berdasarkan pendapat
Responden
Tabel 8.Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen Alternatif dibawah ini berdasarkan Kriteria Hilang Nafsu Makan (merujuk pada urutan tingkat kepentingan Tabel 3/ Hal. 4 Kuesioner).
Elemen Alternatif A Air Abu Formalin
Keterangan
Elemen Alternatif B
Air Abu
Formalin
1
..... 1
: Dalam pengisisan kuesioner dalam tabel diatas, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan mana yang lebih penting dari elemen alternatif A dengan elemen alternatif B, Lalu memberikan bobot berdasarkan petunjuk. Keluaran dari kuesioner ini adalah memprioritaskan salah satu elemen berdasarkan pendapat Responden.
42
Tabel 9.Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen Alternatif dibawah ini berdasarkan Kriteria Batuk (merujuk pada urutan tingkat kepentingan Tabel 4/ Hal. 4 Kuesioner). Elemen
Elemen Alternatif B
Alternatif A Air Abu Air Abu
Formalin
1
..... 1
Formalin
Keterangan
: Dalam pengisisan kuesioner dalam tabel diatas, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan mana yang lebih penting dari elemen alternatif A dengan elemen alternatif B, Lalu memberikan bobot berdasarkan petunjuk. Keluaran dari kuesioner ini adalah memprioritaskan salah satu elemen berdasarkan pendapat Responden.
Tabel 10.Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen Alternatif dibawah ini berdasarkan Kriteria Lemas (merujuk pada urutan tingkat kepentingan Tabel 5/ Hal. 5 Kuesioner). Elemen Alternatif A Air Abu Formali
Elemen Alternatif B Air Abu
Formalin
1
..... 1
43
Keterangan
: Dalam pengisisan kuesioner dalam tabel diatas, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan mana yang lebih penting dari elemen alternatif A dengan elemen alternatif B, Lalu memberikan bobot berdasarkan petunjuk. Keluaran dari kuesioner ini adalah memprioritaskan salah satu elemen berdasarkan pendapat Responden.
44
KUESIONER PENELITIAN KAJIAN KANDUNGAN AIR ABU, BORAKS DAN FORMALIN DALAM KULINER MIE ACEH YANG BEREDAR DI KOTA BLANG PIDIE Penelitian untuk Tugas Akhir dari : Nama : Yulizar Nrp : P052120401 Prodi :Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Institusi : Institut Pertanian Bogor (IPB)
DAFTAR PERTANYAAN INI DIISI OLEH PENELITI PADA SAAT INTERVIEW DENGAN PENYAJI KULINER MIE ACEH, PRODUSEN MIE BASAH, MASYARAKAT KONSUMEN DAN MASYARAKAT UMUM SERTA lEMBAGA TERKAIT DI KOTA BLANG PIDIE
Kuesioner ini merupakan wahana untuk menggali informasi mengenai fakta dilapangan apakah pedagang Mie Aceh dan produsen mie basah menggunakan unsur air abu, boraks dan formalin dalam budaya kuliner Mie Aceh Alasan-alasan penyaji Mie aceh dan produsen Mie Basah menggunakan air abu, bor, penenaks dan formalin hingga mencari keterkaitan antara masyarakat terpapar dengan Kondisi Kesehatan Masyarakat. Penelitian tidak ada hubungan dengan kepentingan diluar keperluan pengembangan ilmu pengetahuan dan akedemis.Sehingga identitas bapak/ibu/saudara sangat dirahasiakan dan dijamin oleh peneliti dan Institusi tempat peneliti belajar yaitu Institut Pertanian Bogor. Dalam penelitian ini sangat diharapkan bapak-bapak dapat memberikan informasi apa adanya (objektif) sesuai dengan yang terjadi dilapangan. Atas partisipasi bapak/ibu/saudara dalam mengisi kuesioner ini kami sampaikan terima kasih.
Nama Nama Usaha Umur Pendidikan Terakhir a. Tidak sekolah b. SD/MI c. SMP/Mts d. SMA/MA e. Perguruan Tinggi
: ( Di catat di Catatan Khusus) : ( Di catat di Catatan Khusus) : :
Perkerjaan
:
45
IDENTITAS RESPONDENT
1. Bagaimana pendapat Bapak terkait Kuliner Tradisional Mie Aceh? …………………………………………………………………… ………………………………………………………. 2. Apakah produk mie basah sebagai bahan baku mie aceh ditempat bapak menggunakan bahan tambahan seperti air abu, boraks dan formalin1 (ya/Tidak) Beri Alasan …………………………………………………………………… ………………………………………………………. 3. Sejak kapan bapak mulai menggunakan air abu, boraks dan formalin?2 …………………………………………………………………… ………………………………………………………. 4. Dari mana biasanya bapak/ibu mendapatkan bahan air abu, boraks dan formalin?
1
Formalin : bisa diganti bahasanya dengan anti basi jika ada kandungan ke tiga zat berbahaya, maka berlaku pertanyaan ke tiga zat nya Namun jika pada produsen atau warung mie tsb hanya mengandung satu atau dua jenis kimia tambahan maka pertanyaannya hanya 2 zat saja. Misalnya hanya terkandung Formalin dan Air abu untuk boraks tidak perlu ditanyakan. 2
46
…………………………………………………………………… ……………………………………………………….. 5. Bagaimana cara Bapak menggunakan air abu, boraks dan formalin pada mie? ........................................................................................................ ............................ 6. Apakah bapak mengetahui dampak dari air abu, boraks dan formalin bagi kesehatan? …………………………………………………………………… …………………………………………………………… 7. Apakah selamai ini ada penyuluhan terkait makanan yang sehat? …………………………………………………………………… …………………………………………………………. 8. Apa yang menyebabkan bapak menggunakan air abu, boraks dan formalin? a. ……………………………………………………………………… ………………………………………………… b. ……………………………………………………………………… ………………………………………………… c. ……………………………………………………………………… ………………………………………………… d. ……………………………………………………………………… ………………………………………………… e. ……………………………………………………………………… ………………………………………………… f. ……………………………………………………………………… ………………………………………………….
(Pertanyaan ini untuk konsumen)
9. Apakah ibu suka makan mie aceh? a. Ya b. Tidak 10. Bagaimana Rasa mie aceh menurut ibu? a. Enak b. Tidak enak c. Biasa aja 11. Dalam seminggu berapa kali ibu/bapak mengkonsumsi Mie aceh? a. 1< 2
47
b. >2-3 c. >3-4 d. >4 …………………………………………………………………… ……………………………………………………. 12. Apa yang membuat ibu suka mengkonsumsi mie aceh? ………………………………………………………………………… …………………………………………………. 13. Apakah ibu/bapak tau kalau dalam mie aceh mengandung bahan berbahaya seperti pengawet? (jelasin mengenai air abu, boraks dan formalin) a. Ya b. tidak 14. apakah setelah tau kandungan kimia berbahaya ibu/bapak masih rutin makan mie aceh? a. Ya b. Tidak c. kurangi 15. Apakah ibu/bapak pernah merasakan gejala yang tidak biasa setelah makan mie aceh, seperti a. Perih tenggeroka b. Sakit perut c. Sakit pinggang d. Hilang nafsu makan e. Batuk f. Lemas g. Keluhan lain
48
49
50
51
52