KALSINASI DAN KARAKTERISASI SISIK IKAN SEBAGAI KATALIS HETEROGEN
SITI USWATUN HASANA
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Kalsinasi dan Karakterisasi Sisik Ikan sebagai Katalis Heterogen adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016 Siti Uswatun Hasana NIM C34110039
ABSTRAK SITI USWATUN HASANA. Kalsinasi dan Karakterisasi Sisik Ikan sebagai Katalis Heterogen. Dibimbing oleh BAMBANG RIYANTO dan AKHIRUDDIN MADDU. Katalis heterogen telah banyak dikembangkan sebagai alternatif katalis pada berbagai proses kimia industri. Eksplorasi sumber bahan organik untuk katalis yang murah dan efektif juga turut dikembangkan. Sisik ikan merupakan komponen mineral yang tersusun atas hydroxyapatite (HA) dan beta-tri-calcium phosphate (TCP) yang mengandung unsur kalsium dan oksigen yang dapat berperan dalam memecah reaksi kimia. Secara parsial hydroxyapatite dapat diubah melalui proses kalsinasi diatas suhu 600℃ dan pada suhu diatas 1200℃ terjadi transformasi total. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kalsinasi dan karakterisasi sisik ikan sebagai katalis heterogen. Aktivitas penelitian meliputi preparasi dan karakterisasi sisik ikan, kalsinasi dengan suhu 900℃, 1000℃, dan 1100℃, serta karakterisasi sisik ikan sebagai katalis yang meliputi karakteristik fisik serta struktur dan komposisi. Katalis heterogen diperoleh pada kalsinasi suhu 1100 ℃ dengan rendemen 33,89 ± 0,07%, derajat putih 90,73±0,09%, dan derajat kristalinitas 90%. Gugus fungsi yang terdeteksi meliputi gugus fosfat, Ca-O dan hidroksil (O-H). Luas permukaan katalis memiliki nilai rentang 1-5 m2/g dan berbentuk mikropori. Kata kunci: beta-Tri Calcium Phosphat ( 𝛽 -TCP), hidroksiapatit, kalsinasi, katalis heterogen, sisik ikan. ABSTRACT SITI USWATUN HASANA. Calcination and Characterization of Fish Scales as a Heterogeneous Catalyst. Supervised by BAMBANG RIYANTO and AKHIRUDDIN MADDU. Heterogeneous catalysts have been developed excessively as an alternative catalyst in various industrial chemical process. Exploration of organic matter sources for catalyst which was cheap and effective also began to be developed. Fish scales are a mineral component composed of hydroxyapatite (HA) and beta-tri-calcium phosphate (TCP), which contained the elements of calcium and oxygen that can break chemical reaction. Hydroxyapatite can be changed partially through the calcination above 600℃ temperature, and total transformation occured on the temperature above 1200℃. This study aims to determine the calcination and characterization of fish scales as heterogeneous catalysts. Research activities includes preparation and characterization of waste fish scales, calcination at temperature of 900℃, 1000℃ and 1100℃, and characterization of fish scales as a catalyst that include physical characteristics, and structure and composition. Heterogeneous catalyst was obtained at calcination temperature of 1100 ℃ with yield of 33.89±0.07%, whiteness of 90.73±0.09%, and the degree of crystalinity of 90%. Detectable functional group include a phosphate group, Ca-O, and hydroxyl (OH). The surface area of the catalyst has a range value of 1-5 m2/g and shaped micropores. Keywords: Beta-Tri Calcium Phosphat (𝛽-TCP), calcination, heterogeneous catalyst, hydroxyapatite, fish scale.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KALSINASI DAN KARAKTERISASI SISIK IKAN SEBAGAI KATALIS HETEROGEN
SITI USWATUN HASANA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016
//&3 $+!*,!3
3 &,!(,!3 (3 +$-+!,,!3 !,!$3 %(3 ,!3 -&!,3
'3
3 !-!3,1.0(3 ,(3
3
+)+'3 -/"3
3 $()&)!3 ,!&3 +!+(3
-+)(3
!,-/#/!3 & 3
/3
+3 $ !
!3!3
'!'!(3
'!'!(3
-/3 *'(3
(&3/&/,3
KATA PENGANTAR Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Kalsinasi dan Karakterisasi Sisik Ikan sebagai Katalis Heterogen. Skripsi ini disusun dan diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1 Bambang Riyanto SPi MSi dan Dr Akhiruddin Maddu selaku dosen pembimbing yang telah memberikan masukan dan arahan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. 2 Dra Ella Salamah MSi selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan arahan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. 3 Dr Kustiariyah Tarman SPi MSi selaku Wakil Ketua Program Studi dan pembimbing akademik yang telah memberikan masukan dan arahan dalam penyelesaian skripsi ini. 4 Prof Dr Ir Joko Santoso MSi selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan yang telah memberikan arahan dan ilmu yang bermanfaat. 5 Ema Masruroh SSi, Dini Indriyani SSi, Saiful Bahri AMd dan Zacky Arivaie AMd sebagai Laboran THP IPB yang telah membantu penulis selama penelitian di laboratorium. 6 Kedua orang tua, suami Romadhona dan seluruh keluarga yang telah memberikan doa, kasih sayang dan dukungannya selama ini. 7 Keluarga besar THP 48, HKRB 48, FISIKA 48, kakak-kakak THP 47 yang telah memberikan motivasi dan semangat penelitian. 8 Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung hingga terselesaikannya skripsi ini. Saran dan kritik atas skripsi ini sangat diharapkan demi kebaikan dan kesempurnaan skripsi ini.
Bogor, Maret 2016
Siti Uswatun Hasana
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ...................................................................................... DAFTAR GAMBAR ................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. PENDAHULUAN ...................................................................................... Latar Belakang ....................................................................................... Tujuan Penelitian .................................................................................... METODE PENELITIAN ........................................................................... Waktu dan Tempat .................................................................................. Bahan ...................................................................................................... Alat ......................................................................................................... Prosedur Penelitian ................................................................................. Preparasi dan karakterisasi sisik ikan .............................................. Kalsinasi sisik ikan (Chakraborty et al. 2011) ................................. Karakterisasi sisik ikan sebagai katalis ............................................ Prosedur Pengujian ................................................................................. Rancangan Percobaan dan Analisis Data ............................................... HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. Karakteristik Visual dan Mikrostruktur Sisik Ikan Kering .................... Karakteristik Fisik Katalis Sisik Ikan ..................................................... Persentase rendemen katalis sisik ikan ............................................ Perbedaan warna putih katalis sisik ikan ......................................... Karakteristik Struktur dan Komposisi Katalis Sisik Ikan ...................... Karakterisasi fasa dan derajat kristalinitas dengan analisis X-Ray Diffraction (XRD) .......................................................................... Karakterisasi gugus fungsi dengan Fourier Transform Infra Red (FTIR) spectrophotometer .............................................................. Kenampakan mikrostruktur dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) ............................................................................................. Karakteristik porositas katalis sisik ikan dengan analisis BrunauerEmmett-Teller (BET) ..................................................................... KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. Kesimpulan ............................................................................................. Saran ....................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. LAMPIRAN ............................................................................................... RIWAYAT HIDUP ....................................................................................
xvi xvi xvii 1 1 2 2 2 3 3 3 4 4 4 5 6 7 7 9 9 10 11 11 13 15 16 17 17 18 18 23 35
xvi
DAFTAR TABEL 1 Rendemen dan derajat putih dari hasil kalsinasi sisik ikan .......................................................................................................... 2 Luas permukaan, volume pori, dan ukuran pori (analisis BET) pada sampel kalsinasi suhu 900℃, 1000℃, dan 1100℃. .................................
10 16
DAFTAR GAMBAR 1 Keterkaitan antar aktivitas penelitian ....................................................... 2 Kenampakan sisik ikan a) secara visual b) perbandingan 1 : 1 c) ilustrasi sisik ikan tipe stenoid pada ikan bertulang punggung .............................. 3 Mikrostruktur permukaan luar sisik ikan kakap putih a) antara bagian tepi dengan bagian tengah sisik ikan perbesaran 100X b) bagian tengah sisik ikan perbesaran 700X c) mikrostruktur sisik ikan yang disadur dari Zhu et al. 2012 ................................................................................................. 4 Perbedaan warna putih secara visual katalis sisik ikan pada suhu 900℃ (a), 1000℃ (b), dan 1100℃ (c) ................................................................ 5 Perubahan pola difraksi sinar-X sampel suhu kalsinasi 900℃ (a), suhu kalsinasi 1000℃ (b), dan suhu kalsinasi 1100℃ (c) ................................ 6 Perubahan spektrum FTIR hasil kalsinasi suhu 900℃ (a), 1000℃ (b), dan 1100℃ (c) ................................................................................................. 7 Perubahan mikrostruktur sisik ikan suhu kalsinasi 900 ℃ dengan perbesaran 100x (1a), 200x (1b) dan 500x (1c), suhu kalsinasi 1000℃ perbesaran 100x (2a), 200x (2b) dan 500x (2c), dan suhu kalsinasi 1100℃ perbesaran 100x (3a), 200x (3b) dan 500x (3c) ...........................
3 8
9 11 12 14
15
xvii
DAFTAR LAMPIRAN 1a 1b 2a 2b 3 4 5 6 7 8 9 10 11a 11b 11c 12a 12b 12c 13a 13b 13c
Analisis ragam rendemen hasil kalsinasi sisik ikan .................................... Uji lanjut Duncan rendemen hasil kalsinasi sisik ikan ............................... Analisis ragam derajat putih hasil kalsinasi sisik ikan ............................... Uji lanjut Duncan derajat putih hasil kalsinasi sisik ikan ........................... Karakteristik fasa dan derajat kristalinitas dengan analisis XRD sampel suhu kalsinasi 900℃ .................................................................................. Karakteristik fasa dan derajat kristalinitas dengan analisis XRD sampel suhu kalsinasi 1000℃ ................................................................................ Karakteristik fasa dan derajat kristalinitas dengan analisis XRD sampel suhu kalsinasi 1100℃ ................................................................................ JCPDS fasa 𝛽-TCP .................................................................................... JCPDS fasa HA .......................................................................................... JCPDS Fasa OCP ....................................................................................... Aransemen dan interpretasi spektra inframerah kalsinasi sisik ikan kakap putih ........................................................................................................... Aransemen dan interpretasi pergeseran spektra inframerah kalsinasi sisik ikan pada suhu 900℃, 1000℃, dan 1100℃ ............................................... Luas permukaan pori katalis sisik ikan suhu 900℃ ................................... luas permukaan pori katalis sisik ikan suhu 1000℃ .................................. luas permukaan pori katalis sisik ikan suhu 1100℃ .................................. Volume pori katalis sisik ikan suhu 900℃ ................................................ Volume pori katalis sisik ikan suhu 1000℃ .............................................. Volume pori katalis sisik ikan suhu 1100℃ .............................................. Ukuran pori katalis sisik ikan suhu 900℃ ................................................. Ukuran pori katalis sisik ikan suhu 1000℃ ............................................... Ukuran pori katalis sisik ikan suhu 1100℃ ...............................................
24 24 24 24 24 25 26 28 28 29 29 30 30 31 31 32 32 33 33 34 34
xviii
PENDAHULUAN Latar Belakang Sisik ikan merupakan unsur rangka ikan yang keras, berbentuk lembaran yang menutupi dan melindungi kulit ikan (Sire dan Akimenko 2004). Mondal et al. (2010) melaporkan bahwa sisik ikan memiliki beberapa fungsi antara lain memberikan perlindungan eksternal dari lingkungan dan mengurangi resistensi air. Umumnya sisik ikan memiliki komponen material yang mirip dengan jaringan keras lainnya seperti tulang dan gigi. Sisik ikan terdiri dari type I Collagen fibers dan calcium-deficient hydroxyapatite yang juga terdapat pada tulang dan gigi (Lin et al. 2011). Selama ini, sisik ikan belum banyak dimanfaatkan (Torres et al. 2008). Kandungan sisik ikan secara umum adalah air 70%, protein 27%, lipid 1%, dan abu 2%. Komponen organik yang terkandung dalam sisik ikan yaitu 40-90%. Komponen terbanyak adalah kolagen (Nagai et al. 2004). Kandungan komponen apatit sisik ikan juga sangat tinggi (Mondal et al. 2010). Fraksi volume hidroksiapatit sisik ikan rata-rata 21,5% yang jauh lebih rendah dibandingkan yang ditemukan pada tulang 45-50% (Ziv et al. 1996). Kajian terhadap komposisi kandungan telah mengarahkan akan potensi yang besar sebagai sumber kolagen (Thuy et al. 2014) dan hidroksiapatit (Mondal et al. 2010). Katalis berfungsi menurunkan energi aktivasi sehingga dapat mempercepat reaksi (Kirk dan Othmer 1980). Katalis yang telah dikembangkan meliputi katalis asam (Edgar et al. 2005), basa (Meher et al. 2006), dan enzim (Caballero et al. 2009). Katalis asam dan basa terbagi menjadi katalis homogen dan heterogen berdasarkan fasa atau bentuk fisik katalis (Zhang et al. 2003). Katalis basa homogen merupakan katalis yang banyak dimanfaatkan, karena memiliki tingkat kemampuan katalisator yang sangat tinggi (Ebiura et al. 2005), seperti NaOH (Berchmans dan Shizuko 2008) dan KOH (Vicente et al. 2004). Santoso et al. (2013) dan Xie dan Li (2006) melaporkan mengenai adanya kelemahan dari katalis basa homogen, yaitu sulit dipisahkan dari campuran reaksi, sehingga tidak dapat digunakan kembali dan pada akhirnya ikut terbuang sebagai limbah yang dapat mencemari lingkungan (Darnoko dan Cheryan 2000). Penggunaan katalis basa homogen juga menimbulkan permasalahan pada produk, misalnya terdapatnya kandungan katalis, yang seharusnya dilakukan separasi dan reaksi samping (misalnya proses penyabunan). Sistem katalis heterogen umumnya digunakan dalam bidang industri dan dapat digunakan pada suhu tinggi, dengan berbagai kondisi serta tidak memerlukan tahap yang panjang untuk memisahkan produk dari katalis (Andriayani 2005). Keuntungan lain adalah mudah dipisahkan dari produk akhir karena tidak larut dalam media reaksi sehingga menyederhanakan proses produksi dan pemurnian (Kawashima et al. 2008), serta memiliki sisi kekuatan asam atau basa yang tinggi sehingga memiliki selektivitas yang baik (Serio et al. 2008). Katalis heterogen juga memiliki keunggulan lain seperti reusability, prosedur operasional sederhana, pengurangan jumlah limbah cair yang dihasilkan, dan tidak sensitif terhadap air (Ebiura et al. 2005). Saat ini, katalis basa heterogen banyak dikembangkan, terutama dalam esterifikasi biodisel, misalnya oksida logam alkali (Liu et al. 2008) yang meliputi
2 KNO3/Al2O3 (Amish et al. 2009), CaO (Khemthong et al. 2012), MgO (Yijun et al. 2007), SrO (Xuejun et al. 2007), dan hydrotalcites (Zabeti et al. 2009). Berbagai sumber organik, yang murah dan efektif juga mulai digunakan, terutama yang berasal dari limbah industri pengolahan seperti cangkang telur (Wei et al. 2009), tiram (Nakatani et al. 2009), kulit udang (Yang et al. 2009), cangkang kepiting bakau (Boey et al. 2009) dan cangkang moluska (Viriya-empikul et al. 2010). Ikoma et al. (2003) menyatakan potensi sisik ikan sebagai penyerap bahan anorganik untuk digunakan dalam teknologi separasi, katalisis, dan aplikasi biomedikal. Chakraborty et al. (2011) melaporkan bahwa kalsinasi limbah sisik ikan pada suhu (>900℃) akan menghasilkan 𝛽-Tri Calcium Phosphat (𝛽-TCP) lebih banyak, sehingga lebih efektif dalam mengkatalis proses metanolisis minyak menjadi FAME (biodiesel). Hamada dan Mikuni (1990) melaporkan bahwa hidroksiapatit secara parsial dapat diubah menjadi 𝛽-Tri Calsium Phosphat (𝛽Ca3(PO4)2) melalui proses kalsinasi diatas 600℃. Tricalcium phosphate adalah senyawa dengan rumus kimia Ca3(PO4)2 yang memiliki dua bentuk kristalografi berbeda, yaitu 𝛼-TCP dan 𝛽-TCP. Keduanya dapat diperoleh dari perlakuan panas atau kalsinasi pada suhu diatas 700℃. TCP yang terbentuk pada suhu rendah, atau suhu kamar, biasa disebut juga HA calcium-deficient. HA calcium-deficient ini memiliki sifat solubilitas yang mirip dengan 𝛽-TCP tetapi memiliki struktur kimia dan kristalografi yang berbeda (Ylinen 2006). Hydroxyapatite (HA) dan beta-tricalsium phosphate (TCP) memiliki unsur senyawa kalsium (Ca) dan oksigen (O) yang dapat memecah senyawa metanol dan bereaksi dengan unsur trigliserida sehingga menghasilkan biodiesel (Chakraborty et al. 2011). Hal ini membuktikan bahwa kandungan yang terdapat pada sisik ikan berpotensi sebagai katalis. Zabeti et al. (2009) melaporkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas aktivitas katalis pada katalis padat meliputi luas permukaan, ukuran pori, volume pori, dan konsentrasi situs aktifnya. Bidang katalisis, luas permukaan spesifik merupakan gambaran banyaknya situs aktif yang ada pada permukaan katalis yang menentukan sifat katalitiknya. Melihat karakteristik kandungan yang ada pada sisik ikan sehingga berpotensi sebagai katalis, maka kajian tentang kalsinasi dan karakterisasi pada sisik ikan sebagai katalis heterogen menjadi sangat penting dilakukan. Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk mendapatkan katalis heterogen dari sisik ikan dengan kalsinasi dan menentukan karakteristiknya.
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga bulan November 2015 bertempat di Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Laboratorium
3 Pusat Studi Biofarmaka, Laboratorium Nanoteknologi, Balai Besar Pascapanen, Laboratorium Geologi Kuarter, Laboratorium Balai Besar Keramik, Bandung, dan Laboratorium Instrumen Analisis, Teknik Kimia, Institut Ternologi Bandung. Bahan Bahan yang digunakan adalah limbah sisik ikan kakap putih (Lates calcarifer) yang berasal dari hasil samping pengolahan produk frozen fillet ikan kakap PT. Fega Aquafarmindo (Jakarta) dan aquades. Alat Alat yang digunakan meliputi drum berputar (rotary drum dryer), furnace (Thermolyne 46100, Electric furnace kisaran suhu 50-1500℃, 220-240 V, 1060 W) dan timbangan digital (Sartorius BS 124S ketelitian 0,001 g). Derajat putih (Kett Electric Laboratory C-100-3), Fourier Transform Infra Red (FTIR) spectrophotometer model Bruker Tensor 27, X-ray Diffractometer model Bruker tipe D8 ADVANCE, SEM tipe JEOL JSM-6360 LA, dan Brunauer Emmett Teller (BET) Quantachrome NovaWin Version 11.0 Merek NOVA 3200e, 220 V. Prosedur Penelitian Tahapan penelitian yang dilakukan meliputi 1) Preparasi dan karakterisasi sisik ikan, 2) Kalsinasi sisik ikan (Chakraborty et al. 2011), 3) Karakterisasi sisik ikan sebagai katalis meliputi karakteristik fisik dengan perhitungan rendemen, perubahan visual, dan derajat putih (Ozawa et al. 2007) dan karakterisasi struktur dan komposisi (karakterisasi fasa dan derajat kristalinitas dengan X-Ray Diffraction (XRD) (Venkatesan dan Kim 2010), gugus fungsi dengan Fourier Transform Infra Red (FTIR) spectrophotometer (Chakraborty et al. 2011), kenampakan mikrostruktur dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) (Venkatesan dan Kim 2010), serta porositas katalis melalui analisis Brunauer Emmett Teller (BET) (luas permukaan partikel, volume pori, dan ukuran pori) (Chakraborty et al. 2011). Aktivitas penelitian selengkapnya disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Keterkaitan antar aktivitas penelitian
4 Preparasi dan karakterisasi sisik ikan Preparasi bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran yang masih menempel dan diperoleh sisik ikan kering. Preparasi diawali dengan pencucian sisik ikan yang mengacu Juraida et al. (2011). Teknik pencucian dilakukan dengan cara perendaman dengan perbandingan berat sisik ikan dan air 1 : 2 (100 g : 200 L). Pencucian dilakukan 2x dengan waktu ke-1 selama 30 menit dan waktu ke-2 selama 2 jam dengan drum berputar (rotary drum dryer). Teknik pengeringan menggunakan sinar matahari (solar dryer) selama 2 hari dengan 7 jam penjemuran (Mondal et al. 2010). Sisik ikan kering dikemas dengan menggunakan wadah yang bersih dan disimpan pada tempat yang kedap air (Mondal et al. 2010). Karakterisasi sisik ikan yang telah dikeringkan (Lin et al. 2011), meliputi, parameter mutu berupa kenampakan (visual) menggunakan kamera digital (Vernerey dan Francois 2014), dan mikrostruktur dengan menggunakan SEM pada pembesaran 100x dan 750x (Lin et al. 2011). Kalsinasi sisik ikan (Chakraborty et al. 2011) Kalsinasi menggunakan furnace (Vulcan 3-130 dan Nabertherm, kisaran suhu 50-1100℃, 220-240 V, 1060 W) selama 2 jam. Kisaran suhu yang dicobakan adalah 900℃, 1000℃, dan 1100℃ (Chakraborty et al. 2011) dengan ulangan sebanyak 3 kali. Jumlah sampel sisik ikan yang dikalsinasi 40 g. Setelah itu, produk kalsinasi dilakukan penghalusan menggunakan mortar dan dilakukan penyaringan dengan ukuran 150 mesh. Karakterisasi sisik ikan sebagai katalis Karakterisasi fisik katalis Efektivitas kalsinasi dilakukan dengan perhitungan persentase rendemen, perubahan visual, dan nilai derajat putih (Ozawa et al. 2007). Perhitungan rendemen dilakukan dengan timbangan digital (Sartorius BS 124S ketelitian 0,001 g) dan perubahan warna dilakukan secara visual dengan kamera digital (Canon 600D) dan analisis derajat putih dengan alat Kett Electric Laboratory C-100-3 (Venkatesan dan Kim 2010). Karakterisasi struktur dan komposisi Karakterisasi struktur dan komposisi mengacu Chakraborty et al. (2011), yang meliputi karakterisasi fasa dan derajat kristalinitas dengan analisis X-Ray Diffraction (XRD) (Venkatesan dan Kim 2010), gugus fungsi dengan analisis Fourier Transform Infra Red (FTIR) spectrophotometer (Chakraborty et al. 2011), kenampakan mikrostruktur dengan analisis Scanning Electron Microscopy (SEM) (Venkatesan dan Kim 2010), karakteristik porositas katalis dilakukan melalui parameter uji yang meliputi penentuan luas permukaan padatan berpori dengan menggunakan metode Brunauer-Emmet-Teller (BET). Luas permukaan padatan berpori berdasarkan pada data adsorpsi tekanan parsial (P-Po) di rentang 0,02-0,99, serta ukuran pori dengan model adsorpsi Barret-Joyner-Halenda (BJH), dan volume pori-porinya diambil dari jumlah nitrogen yang diadsorpsi pada P/Po=0,99 pada uji Brunauer Enmett Teller (BET) (Sun et al. 2007). Katalis yang baik memiliki bentuk luas permukaan mikropori
5 karena mempunyai luas permukaan lebih besar sehingga memiliki daerah kontak lebih banyak dengan molekul reaktan (Xin et al. 2009). Prosedur Pengujian Perhitungan persentase rendemen hasil kalsinasi (Venkatesan dan Kim 2010) Perhitungan persentase rendemen hasil kalsinasi sisik ikan mengacu (Venkatesan dan Kim 2010). Prinsip pengujian adalah menghitung bobot hasil kalsinasi sisik ikan dengan menggunakan timbangan digital (ketelitian 0,001 g). Perhitungan persentase rendemen diukur dengan cara sebagai berikut : 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑢𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛
Rendemen (%) = 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒l × 100% Analisis derajat putih (Yadav dan Jindal 2001) Prinsip pengujian adalah membandingkan derajat putih sampel dengan derajat putih standar yang telah ditentukan berdasarkan jenis sampel yang diuji (Kett Electric laboratory 1981). Mekanisme kerja peralatan ini adalah derajat putih hasil kalsinasi diukur dengan menggunakan alat Kett Electric Laboratory C-100-3 Whitenessmeter. Sebelum digunakan alat dikalibrasi dengan standar derajat putih yaitu BaSO4 yang memiliki derajat putih 100% (nilai standar 110). Setelah dikalibrasi, derajat putih sampel dapat diukur dengan memasukkan sejumlah sampel dalam wadah sampel yang tersedia sampai benar-benar padat, kemudian wadah ditutup. Wadah yang telah berisi sampel dimasukkan ke dalam tempat pengukuran lalu nilai derajat putih akan keluar pada layar (A). Semakin besar nilai derajat putih yang dihasilkan, maka warna yang dihasilkan semakin mendekati standar. Derajat putih diukur dengan cara sebagai berikut : 𝐻𝑎𝑠𝑖𝑙 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑢𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛
Derajat Putih (%) =𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 𝐵𝑎𝑆𝑂4 110 × 100% Analisis X-Ray Diffraction (XRD) (Chakraborty et al. 2011) Jenis fasa dan sifat kristal (kristalinitas) katalis dianalisis menggunakan XRay Diffractiion (XRD) (PANalytical). Kondisi operasional peralatan yaitu menggunakan sinar radiasi Cu-K𝛼 dengan sudut 2𝜃, 20° hingga 60° serta resolusi 0,1° yang dioperasikan dengan alat X-ray Diffractometer menurut ASTM D934 (2008). Sampel disiapkan sebanyak 2 mg ditempatkan di dalam holder yang berukuran 2 x 2 cm2 pada difraktometer. Tegangan yang digunakan adalah 40 kV dan arus generatornya sebesar 30 mA. Sudut awal diambil pada 5° dan sudut akhir pada 80° dengan kecepatan baca 4°/menit. Hasilnya berupa grafik fasa yang teridentifikasi berdasarkan intensitas dan sudut 2 theta yang terbentuk. Penentuan fasa yang muncul mengacu pada Joint Committee on Powder Diffraction Standard dan menghitung derajat kristalinitas dengan persaman sebagai berikut : 𝐴𝐹𝐾
DK (%) = 𝐴𝐹𝑇 x 100% Keterangan : DK = Derajat kristalinitas AFK = Luas fasa kristalin (FWHM x Height) AFT = Luas fasa total (FWHM x Height)
6 Analisis Spektroskopi Fourier Transform Infra Red (FTIR) Pengukuran dengan menggunakan Spektroskopi IR dioperasikan menurut ASTM E1252 (2013). Preparasi sampel dengan metode pelet KBr yaitu campuran sampel padat dengan serbuk KBr (5-10% sampel serbuk KBr). Campuran yang sudah homogen kemudian dibentuk pellet KBr (pil KBr) dengan alat Mini Hand Press. Setelah terbentuk pil KBr siap untuk dianalisis. Sampel berukuran 2,5×2,5 cm2 dipasang pada IR card. Spektrum gelombang inframerah ditembakkan melalui sampel yang diletakkan di antara elektroda spektrofotometer dan diteruskan menuju komputer. Data yang didapatkan berupa persentase nilai transmitansi, dengan pengukuran spektrum pada rentang bilangan gelombang 4000-400 cm-1. Selanjutnya nilai transmitan pada spektra hasil pengukuran dicocokkan dengan data dari perangkat lunak IR Pal 2.0 pada acuan Pattnayak et al. (2005), Venkatesan dan Kim (2010). Scanning Electron Microscopy (SEM) (Robbins 2015) Kenampakan mikrostruktur bagian luar sisik ikan dan hasil kalsinasi sisik ikan dilakukan dengan menggunakan Scanning electron Microscope (SEM) (ZEISS SUPRA 40 dengan tegangan 20 kV) yang dioperasikan menurut SEMO (Robbins 2013). Sampel serbuk katalis diambil sebanyak 2 g, diletakkan pada plat logam tembaga yang berbentuk bulat (sample holder). Kemudian dilakukan proses pelapisan (coating) dengan lapisan emas agar sampel memiliki sifat konduktif elektron. Pengukuran dilakukan dengan perbesaran 100x dan 750x untuk permukaan luar sisik ikan dan perbesaran 100x, 200x, dan 500x untuk mikrostruktur hasil kalsinasi sisik ikan. Analisis Brunauer-Emmett-Teller (BET) (Sun et al. 2007) Analisis BET dilakukan untuk mengetahui luas permukaan suatu padatan berpori, serta ukuran dan volume pori-porinya pada hasil kalsinasi sisik ikan yang telah dibuat. Metode BET menggunakan adsorpsi kimia gas inert, seperti helium, nitrogen, argon atau kripton, untuk mengukur total luas permukaan yang terkandung dalam atau mikropori, mesopori, makropori dan permukaan datar (Emmett and Brunauer 1937, Brunauer et al. 1938, Gregg and Sing 1982, IUPAC 1985). Prosedur dilakukan dengan menggunakan Quantachrome Quadrawin Version 3.12. Isoterm adsorpsi menggunakan gas nitrogen dengan outgas temperature 300℃ dan bath temperature 77.3 K. Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3 (tiga) kali ulangan (Steel & Toriie 1980). Unit yang dicobakan adalah suhu kalsinasi. Peubah respon yang diamati adalah rendemen dan derajat putih hasil kalsinasi sisik ikan. Analisis data secara statistik menggunakan analisis ragam (ANOVA), setelah sebelumnya dilakukan pengujian asumsi yang mendasari analisis ragam yang meliputi pengujian kenormalan dan homogenitas data. Apabila terdapat pengaruh yang signifikan, dilakukan uji Duncan untuk melihat perbedaan antar perlakuan yang diberikan (Walpole 1993).
7 Model matematis: Yij = μ + τi + εij Keterangan: Yij = Nilai pengamatan respon karena pengaruh taraf ke-i perbedaan suhu kalsinasi pada ulangan ke-j μ = Nilai rata-rata umum τi = Pengaruh perbedaan suhu pada taraf ke-i εij = Kesalahan penelitian karena pengaruh taraf ke-i dari perbedaan suhu kalsinasi pada ulangan ke-j i = Perbedaan suhu kalsinasi (i= 1,2,3) j = Jumlah ulangan (j= 1,2,3) Hipotesis yang diuji yaitu: H0 = Perbedaan suhu kalsinasi tidak memberikan pengaruh terhadap rendemen dan derajat putih sampel. H1 = Perbedaan suhu kalsinasi memberikan pengaruh terhadap rendemen dan derajat putih sampel. Model matematis uji Duncan sebagai berikut: 𝑲𝑻𝑺 𝑹𝒑 = 𝒓(∑𝒑; 𝒅𝒃𝒔; 𝒂)√ 𝒕
Keterangan: Rp p dbs a KTS t
= = = = = =
Nilai kritikal untuk perbedaan suhu kalsinasi yang dibandingkan Perbedaan suhu kalsinasi Derajat bebas Alpha (taraf nyata) Jumlah kuadrat tengah Banyaknya ulangan
Analisis FTIR, XRD, dan BET menggunakan data kualitatif dalam bentuk visual dan profil disajikan secara deskriptif. Pengolahan data menggunakan Microsoft Excel 2013 dan IBM SPSS Statistic 22 for Windows.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Visual dan Mikrostruktur Sisik Ikan Kering Sisik ikan kakap putih memiliki rangka yang keras yang sangat dipengaruhi bahan penyusunnya. Ikan dengan tingkat evolusi yang lebih modern, tingkat kekerasannya sudah tereduksi menjadi sangat lentur (Rahardjo et al. 1988). Sisik kakap putih berwarna putih transparan dengan ketebalan yang berbeda antara bagian tengah dan bagian tepi sisik ikan. Bagian tepi memiliki ketebalan yang lebih tipis dibandingkan bagian tengah. Bagian permukaan sisik ikan kakap putih memiliki corak yang melingkar serta bagian tengah sebagai pusat. Bentuk sisik ikan kakap putih (Lates calcarifer) pada Gambar 2. Jenis sisik ikan kakap putih adalah stenoid. Sisik ini sangat tipis, fleksibel, transparan dan tidak mengandung dentin ataupun enamel. Sisik stenoid terdapat pada sebagian besar golongan osteichthyes,
8 yang masing-masing terdapat pada golongan ikan berjari-jari sirip lemah (Malacopterygii).
a
c
Bagian yang tertanam pada dermis
Alur (Radii/radius)
Bagian yang tampak Anulus I
Fokus Geligi (stenii)
b
Garis tepi depan Kromatofor Sirkulus, garis gelap
Gambar 2 Kenampakan sisik ikan kakap putih a) secara visual b) perbandingan 1 : 1 c) ilustrasi sisik ikan tipe stenoid pada ikan bertulang punggung (Lagler et al. 1977). Karakteristik mikrostruktur dari permukaan bagian luar, yang dikenal sebagai lapisan luar menggunakan SEM, tampak berbentuk bulatan-bulatan yang berbeda antara bagian tengah dengan bagian pinggir. Sisik ikan kakap putih bagian tengah terlihat bulatan-bulatan yang stabil sedangkan bagian pinggir sisik terlihat bulatan yang mendekati oval. Torres et al. (2008) melaporkan sisik ikan bagian luar (lapisan luar) yang kontak langsung dengan air memiliki tekstur kasar dibuktikan dari terlihat bentuk bulatan-bulatan yang ada di permukaan luar sisik ikan. Mikrostruktur permukaan luar sisik ikan pada Gambar 3. Sisik ikan terdiri dari bahan organik, air, dan beberapa jumlah mineral (Pati et al. 2010). Sisik ikan mengandung air 30-36,8%, abu 18,7-26,3%, lemak 0,1-1,0%, protein 29,8-40,9%, karbohidrat by differences 2,0-5,7%, kitin 0,4-3,7%, dan kalsium 5,0-8,6% (Vanadia 2009). Sisik ikan mempunyai karakteristik yang ditemukan dalam struktur-struktur lain seperti tulang, gigi, dan urat daging yang bermineral. Semua bahan ini sebagian besar dibentuk oleh komponen organik (yaitu kolagen), komponen mineral (yaitu hydroxyapatite) dan air (Torres et al. 2008). Tingkat keasaman sisik berkisar antara 7,7-8,7 yang berarti sisik ikan bersifat basa (Vanadia 2009). Sifat basa pada sisik ikan merupakan salah satu potensi sisik dapat berfungsi sebagai katalis. Sisik ikan adalah jaringan yang mengandung osteoblast dan osteoclast seperti yang ditemukan pada tingkat vertebrata yang lebih tinggi, namun regulasi aktivitas sel dalam jaringan masih sedikit diketahui (Rotllant et al. 2005). Bagian sisik yang menempel ke tubuh kira-kira separuhnya. Penempelannya tertanam ke dalam sebuah kantung kecil di dalam dermis. Bagian yang tertanam pada tubuh disebut anterior, transparan, dan tidak berwarna. Bagian yang terlihat adalah bagian belakang (posterior), berwarna karena mengandung butir-butir pigmen (kromatofor). Rotllant et al. (2005) melaporkan bahwa secara histologi, sisik diserap kembali pada keadaan fisiologi tertentu seperti saat kelaparan, kematangan
9 seksual, dan perlakuan estradiol-17𝛽 (E2). Fenomena ini menjadi dugaan bahwa sisik berperan sebagai penyimpan untuk kalsium.
a
b
o
o
c o
Collagen Bony layer layer
Posterior
Lateral
Lateral Lateral
Gambar 3 Mikrostruktur permukaan luar sisik ikan kakap putih a) antara bagian tepi dengan bagian tengah sisik ikan kakap perbesaran 100X b) bagian tengah sisik ikan perbesaran 750X c) mikrostruktur sisik ikan yang disadur dari Zhu et al. 2012. Karakteristik Fisik Katalis Sisik Ikan Persentase rendemen katalis sisik ikan Sisik ikan kakap putih yang dikalsinasi dengan suhu yang berbeda menunjukkan pada suhu kalsinasi 900℃ dihasilkan rendemen 34,99±0,28%, suhu kalsinasi 1000 ℃ dihasilkan rendemen 34,38 ± 0,33%, dan pada suhu 1100 ℃ 33,89±0,07% (Tabel 1). Analisis ragam menunjukkan perlakuan suhu kalsinasi memberikan pengaruh terhadap rendemen yang dihasilkan (Lampiran 1a). Uji lanjut menunjukkan bahwa rendemen pada suhu kalsinasi 900℃ memiliki nilai yang berbeda nyata dengan rendemen suhu kalsinasi 1000℃ dan suhu 1100℃. Sedangkan rendemen pada suhu 1000℃ memiliki nilai yang tidak berbeda nyata dengan rendemen suhu 1100℃ (Lampiran 1b).
10 Tabel 1 Rendemen dan derajat putih dari hasil kalsinasi sisik ikan Rendemen (%) Derajat putih (%) suhu (℃) b 900℃ 34,99±0,28 82,06±0,28b a 1000℃ 34,38±0,33 79,85±0,05a 1100℃ 33,89±0,07a 90,73±0,09c a
Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada taraf uji 5% (uji DMRT).
Rendemen hasil kalsinasi sisik ikan yang dihasilkan menunjukkan semakin tinggi suhu kalsinasi semakin kecil rendemen yang dihasilkan. Penurunan rendemen pada proses kalsinasi diduga dikarenakan hilangnya kandungan air dan bahan organik yang terdapat pada sampel hasil kalsinasi (Al-Sokanee et al. 2009). Bahan organik yang terdapat pada sisik ikan yaitu kolagen, protein jaringan ikat, dan molekul protein organik seperti guanin, glisin, hidroksiprolin (Wang et al. 2008). Levingstone (2008) melaporkan pemanasan pada suhu 25℃-600℃ terjadi penguapan air yang terserap, 600 ℃ -800 ℃ terjadi dekarbonasi, dan >800 ℃ terbentuk kalsium fosfat. Yang termasuk senyawa ini adalah trikalsium fosfat dan hidroksiapatit. Kalsinasi merupakan proses pemanasan suatu benda hingga suhu yang tinggi, tetapi masih dibawah titik lebur untuk menghilangkan kandungan yang dapat menguap. Proses kalsinasi menyebabkan pelepasan air sehingga luar permukaan pori-pori bertambah yang meningkatkan kemampuan untuk adsorbsi (Firdaus 2013). Kalsinasi sisik ikan dimaksudkan untuk meningkatkan sifat-sifat khusus pada sisik ikan dengan cara menghilangkan unsur-unsur pengotor dan menguapkan air yang terperangkap dalam pori kristal sisik ikan. Pemanasan dengan suhu tinggi ini akan membuka pori-pori partikelnya, sehingga berpengaruh pada peningkatan aktivitas katalis tersebut. Proses tersebut termasuk reaktivasi secara fisik yang disebut reaksi oksidasi. Oksidasi bertujuan untuk menghilangkan elektron dari unsur sehingga unsur menjadi bermuatan positif dan bersifat reaktif. Perbedaan warna putih katalis sisik ikan Warna sampel yang dihasilkan dari kalsinasi secara kasat mata cenderung sama, yaitu putih (Gambar 4). Tingkatan warna melalui derajat putih menunjukkan bahwa pada suhu kalsinasi 900℃ dihasilkan derajat putih 82,06±0,28%, suhu kalsinasi 1000℃ dihasilkan derajat putih 79,85±0,05%, dan pada suhu 1100℃ 90,73±0,09% (Tabel 1). Analisis ragam menunjukkan perlakuan suhu kalsinasi memberikan pengaruh terhadap nilai derajat putih hasil kalsinasi sisik ikan (Lampiran 2a). Uji lanjut memperlihatkan bahwa nilai derajat putih pada suhu kalsinasi 900℃ memiliki nilai yang berbeda nyata dengan derajat putih pada suhu kalsinasi 1000℃ dan suhu 1100℃ (Lampiran 2b). Kalsinasi pada suhu 1000℃ mengalami penurunan pada nilai derajat putih dibandingkan pada suhu 900℃ dikarenakan masih adanya bahan organik berupa karbon yang lebih besar pada suhu 1000℃ dibandingkan pada suhu 900℃. Venkatesan dan Kim (2010) melaporkan bahwa nilai rendemen pada kisaran 60% atau kurang akan menyebabkan perubahan warna menjadi putih yang mengindikasikan hidroksiapatit yang lebih murni. Serbuk berwarna putih
11 menandakan terjadi proses penghilangan senyawa organik yang terdapat pada sisik ikan. Ozawa et al. (2007) menyatakan sampel yang dikalsinasi suhu tinggi (700℃1000℃) akan berwarna putih yang menandakan proses degradasi material organik sudah tidak terjadi lagi. Andriayani (2005) menyatakan bahwa katalis padat dalam bentuk abu atau serbuk diharapkan mampu meningkatkan aktivitas katalitiknya karena memiliki ukuran pori-pori yang besar sehingga menyediakan luas permukaan yang baik pula.
(a) (b) (c) Gambar 4 Perbedaan warna putih secara visual katalis sisik ikan pada suhu kalsinasi 900℃ (a), 1000℃ (b), dan 1100℃ (c). Karakteristik Struktur dan Komposisi Katalis Sisik Ikan Karakterisasi fasa dan derajat kristalinitas dengan analisis X-Ray Diffraction (XRD) Karakterisasi X-Ray Diffraction (XRD) bertujuan untuk menentukan fasa, ukuran kristal dan kristalinitas sampel. Menentukan fasa 𝛽 -TCP (𝛽 -Tricalcium Phosphate), HA (Hydroxyapatite), dan OCP (Octa calsium phosphate) disesuaikan dengan sampel berasal dari database joint comittee on powder diffraction standars (JCPDS) dengan nomor 09-0169 untuk 𝛽-TCP (Lampiran 6), 09-0432 untuk HA (Lampiran 7), dan 44-0778 untuk OCP (Lampiran 8) (Gambar 5). Hasil karakterisasi XRD pada suhu kalsinasi 900 ℃ menunjukkan bahwa terbentuk tiga fasa yang berbeda yaitu, 𝛽-TCP, HA, dan OCP (Lampiran 3). Pada suhu ini lebih didominanasi oleh fasa HA. Fase HA memiliki dua puncak tertinggi HA yaitu pada sudut 2𝜃 sebesar 31,83° dan pada sudut 32,96°. Selain itu fasa 𝛽TCP dan OCP juga telah menempati salah satu puncak tertinggi yaitu 𝛽-TCP pada sudut 2𝜃 sebesar 10,8° dan OCP pada sudut 2𝜃 sebesar 25,92°. Derajat kristalinitas adalah besaran yang menyatakan banyaknya kandungan kristal dalam suatu material dengan membandingkan luasan kurva kristal dan luasan kurva amorf. Pengukuran derajat kristalinitas langsung dari program karakterisasi XRD. Hasil suhu kalsinasi 900℃ didapat derajat kristalinitas 88,6%. Abadi et al. (2010) menyatakan bahwa fase 𝛽-TCP mulai terbentuk pada suhu 800℃ dengan menggunakan sumber kalsium Ca(NO3)2 dan (NH4)HPO4-. Kalsinasi pada suhu 900℃ didominasi oleh fasa HA dengan fasa TCP yang sedikit. Proses kalsinasi menyebabkan dekomposisi CaCO3 menjadi CaO yang kemudian diikuti oleh pembentukan TCP dengan mengikutsertakan sebagian gugus Ca dan PO4 dari
12 HA. Dekomposisi HA menjadi TCP juga disebabkan oleh proses dehidroksilasi (penguapan gugus OH pada HA) menjadi oksi-apatit yang merupakan fasa tidak stabil, segera berubah menjadi TCP (White et al. 2010). Proses ini terjadi pada suhu 900℃.
(a)
(b) = 𝜷-TCP = HA = OCP
(c)
Gambar 5 Perubahan pola difraksi sinar-X sampel suhu kalsinasi 900℃ (a), suhu kalsinasi 1000℃ (b), dan suhu kalsinasi 1100℃ (c). Fasa 𝛽-Trikalsium fosfat ( ), hidroksiapatit ( ), dan octa kalsium fosfat ( ).
13 Hasil karakterisasi XRD pada suhu kalsinasi 1000℃ masih didominasi oleh fasa HA sedangkan untuk senyawa 𝛽-TCP memiliki peningkatan dibandingkan pada suhu 900 ℃ (Lampiran 4). Fasa HA pada suhu ini masih memiliki fasa tertinggi dilihat dari dua puncak tertinggi yaitu pada sudut 2𝜃 sebesar 31,79° dan pada sudut 32,94°. Fasa 𝛽 -TCP pada suhu 1000℃ terlihat puncak lebih tinggi dibanding pada suhu 900 ℃ dilihat pada sudut 2 𝜃 sebesar 10,85 °. Hal ini menunjukkan mulai bertambahnya intensitas pada 𝛽 -TCP. Hasil suhu kalsinasi pada suhu 1000℃ didapat derajat kristalinitas 88,7%. Umumnya hasil kalsinasi 1000℃ masih didominasi oleh fasa HA dengan tingkat kemurnian lebih tinggi dilihat dari meningkatnya derajat kristalinitas pada kalsinasi suhu 1000 ℃ dibanding 900℃. Hasil karakterisasi XRD pada suhu kalsinasi 1100℃ masih didominasi oleh fasa HA sedangkan untuk senyawa 𝛽-TCP memiliki peningkatan dibandingkan pada suhu sebelumnya (Lampiran 5). Puncak tertinggi masih terdapat pada fasa HA yaitu pada sudut 31,83° dan 32,96°. Fasa 𝛽-TCP memiliki peningkatan puncak dibanding sebelumnya yaitu pada sudut 10,89°. Hasil suhu kalsinasi pada suhu 1100℃ didapat derajat kristalinitas 90%. Semakin tinggi suhu kalsinasi semakin besar derajat kristalinitasnya. Suhu kalsinasi yang semakin tinggi menyebabkan susunan atom semakin teratur sehingga menyebabkan banyak terbentuknya fasa kristal. Secara umum, sulit untuk memperoleh fasa murni dari 𝛽-TCP pada proses kalsinasi karena 𝛽 -TCP akan bertransformasi secara progresif menjadi 𝛼 -TCP ketika dikalsinasi diatas suhu 1300 ℃ (Ramay dan Zhang 2004). Menurut Levingstone (2008) suhu kalsinasi kalsium fosfat pada suhu 800℃-900℃ terjadi dehidroksilasi HA membentuk oksihidroksiapatit OHA (dehidroksilasi parsial) atau oksiapatit OA (dehidroksilasi sempurna). Suhu kalsinasi 1050 ℃ -1400 ℃ HA terdekomposisi menjadi 𝛽-TCP dan TTCP. Suhu kalsinasi <1120℃ TCP stabil dan 1120℃-1470℃ 𝛽-TCP terkonversi menjadi 𝛼-TCP. Karakterisasi gugus fungsi dengan Fourier Transform Infra Red (FTIR) spectrophotometer Analisis FTIR pada hasil kalsinasi sisik ikan, meliputi struktur gugus fungsi dari kalsinasi pada suhu 900℃, 1000℃, dan 1100℃ , serta puncak serapan dan persentase transmitan (Lampiran 9), yang disajikan pada Gambar 6. Kalsinasi suhu 900℃ menunjukkan serapan pada 570,89-568,96 cm-1 dengan nilai transmitan 9,0% yang menunjukkan fosfat (P-O bending asimetri), serta 1051,13-1033,77 cm-1 dengan nilai transmitan 1,0% yang menunjukkan gugus fosfat (P-O stretching asimetri) berintensitas strong. Serapan pada 1101,27 cm-1 dengan nilai transmitan 6% yang menunjukkan fosfat (P=O stretching asimetri) yang berintensitas strong. Pattanayak et al. (2005) menyatakan bahwa gugus fosfat dengan vibrasi bending asimetri terdeteksi pada panjang gelombang 610-560 cm-1. Selain itu, pada bilangan gelombang 1100-1000 cm-1 dengan vibrasi stretching asimetri untuk gugus fosfat merupakan indikasi pertama pembentukan senyawa hidroksiapatit (Mondal et al. 2012). Serapan pada 3573,84-3571,91 cm-1 dengan nilai transmitan 68% yang menunjukkan gugus hidroksil (O-H stretching) yang berintensitas medium puncak yang terdeteksi pada bilangan gelombang 3600-3300 cm-1 merupakan indikasi adanya gugus hidroksil (Venkatesan dan Kim 2010).
14 P-O
O-H
P-O
P=O
(a)
Transmitansi (%)
(b)
(c)
Bilangan gelombang (cm-1) Gambar 6 Perubahan spektrum FTIR hasil kalsinasi suhu 900℃ (a), 1000℃ (b), dan 1100℃ (c). Kalsinasi suhu 1000℃ menunjukkan gugus fosfat (P-O bending asimetri) pada serapan 599,75 cm-1 dengan nilai transmitansi 78,86% dan serapan 599,75 cm-1 dengan nilai transmitansi 83,12% pada kalsinasi suhu 1100 ℃ . Kalsinasi suhu 1000℃ menunjukkan gugus fosfat (P=O stretching asimetri) pada serapan 1029,8 cm-1 dengan nilai transmitansi 72,88% yang berintensitas strong dan serapan 1024,02 cm-1 dengan nilai transmitansi 79,95% pada kalsinasi suhu 1100℃. Gugus fosfat (P=O stretching asimetri) pada serapan 1101,5 cm-1 dengan nilai transmitansi 89,65% berintensitas strong untuk hasil kalsinasi 1000 ℃ , sedangkan pada serapan 1101,15 cm-1 dengan besar transmitansi 92,82% yang berintensitas strong untuk hasil kalsinasi suhu 1100℃. Gugus hidroksil (O-H stretching) pada serapan 3573,45 cm-1 dengan nilai transmitansi 97,93% yang berintensitas medium pada hasil kalsinasi suhu 1000℃ dan serapan 3573,45 cm-1 dengan nilai transmitansi 98,47% yang berintensitas medium untuk hasil kalsinasi 1100℃. Hasil analisis gugus fungsi pada Lampiran 10 menunjukkan perbedaan serapan gelombang dan transmitansi pada seiring meningkatnya suhu kalsinasi. Gugus fungsi yang teridentifikasi meliputi fosfat dan hidroksil terhadap nilai transmitansi dan stretching atau bending pita serapan.
15 Terjadi pergeseran nilai serapan seiring meningkatnya suhu kalsinasi pada gugus fosfat dan hidroksil pada Lampiran 10. Hasil gugus fungsi yang teridentifikasi mendukung adanya senyawa kalsium fosfat meliputi senyawa trikalsium fosfat dan hidroksiapatit pada hasil kalsinasi. Yakin (2013) menyatakan struktur kimia hidroksiapatit menunjukkan bahwa gugus fosfat berikatan dengan atom Ca dan atom O gugus hidroksil, sedangkan gugus hidroksil berikatan dengan atom P gugus fosfat ujung. Hasil analisis FTIR tidak ditemukan gugus karbonat (C-O). Hal ini menandakan bahwa hasil kalsinasi tidak ditemukan senyawa kalsium fosfat berupa apatit karbonat. Gugus hidroksil (O-H stretching) terjadi pergeseran nilai serapan seiring meningkatnya suhu kalsinasi, yaitu pada 3571,91 ke 3573,45 cm-1 dengan nilai transmitansi 68% (suhu 900℃), 97,83% (suhu 1000℃), dan 98,47% (suhu 1100℃). Spektra FTIR Gambar 6 menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu maka semakin berkurang gugus hidroksil. Gugus hidroksil yang teridentifikasi menunjukkan bahwa pada sampel tersebut masih mengandung H2O (Hardiyanti 2013). Kenampakan mikrostruktur dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) Mikrostruktur hasil kalsinasi sisik ikan tampak bahwa serbuk katalis tersebut tersusun atas butiran-butiran halus. Berdasarkan pengamatan dengan menggunakan SEM dapat terlihat perbedaan antara sampel dengan suhu kalsinasi 900℃, 1000℃, dan 1100℃ (Gambar 7). 1a
1b
1c
2a
2b
2c
3a
3b
3c
Gambar 7 Perubahan mikrostruktur sisik ikan suhu kalsinasi 900 ℃ dengan perbesaran 100x (1a), 200x (1b) dan 500x (1c), suhu kalsinasi 1000℃ perbesaran 100x (2a), 200x (2b) dan 500x (2c), dan suhu kalsinasi 1100℃ perbesaran 100x (3a), 200x (3b) dan 500x (3c).
16 Karakterisasi SEM menunjukkan bahwa partikel penyusun sampel hasil kalsinasi tidak berbentuk bulat, bentuk partikelnya bervariasi dan menyerupai bentuk kristal. Susunan dan jarak partikel penyusun sampel hasil kalsinasi tersebut juga tidak teratur. Mikrokristal yang terdapat pada tulang ikan berukuran sangat kecil, dengan ukuran kristal 5-10 nm (Ozawa dan Suzuki 2002). Sisik ikan secara umum mengandung hidroksiapatit dengan tingkat kristalinitas yang sangat rendah. Pada suhu pemanasan 800-1000 °C sisik ikan akan berubah dengan tingkat kristalinitas yang tinggi. Pallela et al. (2011) menyebutkan mikrostruktur hidroksiapatit yang telah mengalami proses pemanasan adalah berbentuk kristal yang tidak teratur, diduga bahwa ukuran granule akan meningkat seiring dengan peningkatan temperatur yang digunakan (Venkatesan dan Kim 2010). Proses kalsinasi atau sintering menghasilkan perbedaan ukuran granule diduga disebabkan akibat proses sintering yang dilakukan. Kalsinasi atau sintering adalah proses penggabungan partikel-partikel serbuk melalui peristiwa difusi pada saat suhu meningkat. Pada dasarnya sintering adalah peristiwa penghilangan poripori antara partikel bahan, pada saat yang sama terjadi penyusutan komponen, dan diikuti oleh pertumbuhan grain serta peningkatan ikatan antar partikel yang berdekatan sehingga menghasilkan bahan yang lebih mampat atau kompak (Ramlan dan Bama 2011). Karakteristik porositas katalis sisik ikan dengan analisis Brunauer-EmmettTeller (BET) Reaksi yang dikatalisis oleh material padatan banyak melibatkan pori-pori katalis tersebut sebagai tempat terjadinya reaksi. Sebagian reaksi katalisis tergantung pada luas permukaan katalis, dan sebagian tergantung pada sisi aktif katalis yang ada dalam pori-pori katalis. Analisis struktur pori dan permukaan suatu material sangat penting dilakukan dalam karakterisasi padatan (Octaviani 2012). Luas permukaan merupakan salah satu parameter penting yang menentukan kualitas padatan berpori. Luas permukaan spesifik merupakan parameter yang menggambarkan kapasitas adsorpsi suatu adsorben. Pada bidang katalisis, luas permukaan spesifik merupakan gambaran banyaknya situs aktif yang ada pada permukaan katalis yang menentukan sifat katalitiknya. Hasil luas permukaan katalis berbeda seiring dengan perbedaan suhu kalsinasi (Lampiran 11). Hasil analisis BET dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Luas permukaan, volume pori, dan ukuran kalsinasi suhu 900℃, 1000℃, dan 1100℃. Suhu (℃) 900℃ 2 Luas permukaan partikel (m /g) 4,059 173,259 Ukuran pori (Å) Volume pori (cc/g) 0,017580
pori uji BET pada sampel 1000℃ 4,176 85,1839 0,008893
1100℃ 1,256 151,021 0,004743
Luas permukaan partikel merupakan sifat yang penting dalam aplikasi katalis. Luas permukaan merupakan parameter penting yang erat kaitannya dengan katalis heterogen. Luas permukaan total merupakan kriteria krusial untuk katalis padat karena menentukan jumlah situs aktif didalam katalis kaitannya dengan aktivitas katalis (Firdaus et al. 2013). Suhu kalsinasi 1000℃ memiliki luas permukaaan terbesar 4,176 m2/g dan pada suhu 1100℃ memiliki luas permukaan terkecil 1,256
17 m2/g. Data tersebut memperlihatkan bahwa semakin meningkat suhu kalsinasi, maka semakin kecil luas permukaan. Hal ini disebabkan semakin tinggi suhu kalsinasi, semakin tinggi kristalinitas sampel katalis. Hal ini sesuai penelitian Goncalves et al. (2008) yang menyatakan bahwa kenaikan kristalinitas sampel, menurunkan luas permukaan. Namun terjadi peningkatan pada suhu 1000 ℃ dibandingkan dengan suhu 900℃ hal ini tidak sesuai literatur disebabkan karena pengambilan sampel yang acak. Xin et al. (2009) telah berhasil meningkatkan aktivitas katalis heterogen CaO dengan cara membuat CaO dalam bentuk mikropori dengan kalsinasi 1000 ℃ selama 3 jam yang menghasilkan yield biodiesel 98,72%. Hasil karakterisasi katalis heterogen CaO microsphere mempunyai luas permukaan BET SSA = 5,3 m2/g. Hasil ini menunjukkan bahwa katalis heterogen lebih aktif dalam bentuk bolamikro karena mempunyai luas permukaan yang lebih besar. Katalis yang memiliki luas permukaan lebih besar memiliki daerah kontak lebih banyak dengan molekul reaktan sehingga dapat menghasilkan yield biodiesel yang lebih banyak dan aktivitas katalis yang lebih besar. Liu et al. (2008) melaporkan transesterifikasi biodiesel dari minyak kedelai menggunakan katalis heterogen dengan luas permukaan 0,56 m2/g menghasilkan yield biodiesel 95%. Terjadi penurunan volume pori seiring meningkatnya suhu kalsinasi. Ukuran pori yang dihasilkan menunjukkan nilai tertinggi pada suhu 900℃ yakni 0,017580 cc/g dan nilai terendah pada suhu 1000 ℃ yakni 0,004743 cc/g (Lampiran 12). Hasil data menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu maka luas permukaan partikel mengecil dengan diikuti volume pori mengecil. Kalsinasi dapat mengakibatkan pengecilan ukuran volume pori sehingga luas permukaannya menjadi mengecil (Nurhayati 2008). Pada suhu 900 ℃ memiliki ukuran pori 173,259 Å yang merupakan nilai tertinggi sedangkan pada suhu 1000℃ memiliki ukuran pori terendah yaitu 85,1839 Å (Lampiran 13). Meningkatkan difusi reaktan pada katalis, maka diperlukan sistem mesopori tambahan di dalam mikropori kristal. Dengan demikian diharapkan molekul yang memiliki ukuran besar dapat masuk ke dalam sistem pori, untuk diproses dan untuk meninggalkan sistem pori-pori kembali (Goncalves et al. 2008). Namun terjadi penurunan pada suhu 1000℃ dibandingkan dengan suhu 900℃ hal ini tidak sesuai literatur disebabkan karena pengambilan sampel yang acak.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Suhu kalsinasi sisik ikan kakap putih dapat mempengaruhi rendemen dan nilai derajat putih hasil kalsinasi. Katalis heterogen terpilih diperoleh pada kalsinasi suhu 1100℃ dengan karakteristik berupa rendemen 33,89±0,07%, derajat putih 90,73±0,09%, dan derajat kristalinitas 90%. Gugus fungsi yang terdeteksi yakni gugus fosfat dan gugus hidroksil (O-H stretching). Luas permukaan katalis memiliki nilai rentang antara 1-5 m2/g. Hal ini menunjukkan luas permukaan katalis berbentuk mikropori mempunyai luas permukaan yang lebih besar.
18 Saran Perlu adanya pretreatment berupa pemisahan kolagen dengan kalsium pada sisik ikan sebelum kalsinasi untuk mendapatkan senyawa kalsium fosfat yang lebih murni. Aplikasi optimasi pada proses kimia industri misalnya pembuatan biodiesel.
DAFTAR PUSTAKA [ASTM] American Society for Testing Material. 2008. ASTM D934: Standard Practices for Identification of Crystalline Compounds in Water Formed Deposits By X-Ray Diffraction. Pennsylvania (US): American Society for Testing Material. [ASTM] American Society for Testing Material. 2013. ASTM E1252: Standard Practice for General Techniques for Obtaining Infrared Spectra for Qualitative Analysis. Pennsylvania (US): American Society for Testing Material. Abadi MBH, Ghasemi I, Khavandi A, Shokrgozar MA, Farokhi M, Homaeigohar SSH, Eslamifar A. 2010. Synthesis of nano 𝛽 − TCP and effects on the mechanical and biological properties of 𝛽 − TCP/HDE/UHMWPE nanocomposit. ProQuest Science. 31 (10): 1745. Al-Sokanee ZN, Toabi AAH, Al-Assadi MJ, Al-Assadi EA. 2009. The drug release study of cefiriaxone from porous hydroxyapatite scaffolds. AAPS pharmacy Science Technology. 10 (5): 772-779. Andriayani. 2005. Senyawa Heteropolyacid dan garam-garamnya sebagai katalis pada sistem heterogen dalam pelarut organik [skripsi]. Medan (ID): Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, USU. Amish PV, Subrahmanyam N, Payal AP. 2009. Production of biodiesel through transesterification of Jatropha oil using KNO3/Al2O3 solid catalyst. Fuel. 88: 625-628. Berchmans HJ, Shizuko H. 2008. Biodiesel production from crude Jatropha curcas L. Seed oil with a high content of free fatty acids. Bioresource Technology. 99: 1716-1721. Boey PL, Maniam GP, Hamid SA. 2009. Biodiesel production via transesterification of palm olein using waste mud crab (Scylla serrata) shell as a heterogeneous catalyst. Bioresource Technolology. 100: 6362–6368. Caballero V, Bautista FM, Campelo JM, Luna D, Marinas JM, Romero AA, Hidalgo JM, Luque R, Macario A, Giordano G. 2009. Sustainable preparation of a novel glycerol-free biofuel by using pig pancreatic lipase: partial 1,3regiospecific alcoholysis of sunflower oil. Process Biochemistry. 44: 334-342 Chakraborty RS, Bepari A, Banerjee. 2011. Application of calcined waste fish (Labeo rohita) scale as low-cost heterogeneous catalyst for biodiesel synthesis. Bioresource Technology. 102: 3610-3618. Darnoko D, Cheryan M. 2000. Kinetics of Palm Oil Transeterification in a Batch Reactor. Journal American Oil Chemical Society. 77: 1263-1267. Ebiura T, Echizen T, Ishikawa A, Murai K, Baba T. 2005. Selective transesterifikasi of triolein with methanol to methyl oleate and glycerol using alumina loaded
19 with alkali metal salt as a solid-base catalyst. Applied Catalysis A: General. 283: 111-116. Edgar L, Liu Y, Lopez DE, Kaewta S, Bruce DA, Goodwin JG. 2005. Systhesis of biodiesel via acid catalysis. Industrial and Engineering Chemistry Research. 44: 5353-5363. Firdaus LH, Wicaksono AR, Widayat. 2013. Pembuatan katalis H-Zeolit dengan impregnasi KI/KiO3 dan uji kinerja katalis untuk produksi biodiesel. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri. 2: 148-154. Goncalves ML, Dimitrov LD, Jordao MH, Wallau M, Ernesto AUG. 2008. Synthesis of mesoporous ZSM-5 by crystallisation of aged gels in the presence of cetyltrimethylammonium cations. Catalysis Today. 133-135, 6979. Hamada M, Mikuni A. 1990. X-ray diffraction analysis of sardine scale ash. Nippon Suisan Gakkaishi. 56: 947–951. Hardiyanti. 2013. Sintesis dan karakterisasi 𝛽-Tricalcium phosphate dari cangkang telur ayam dengan variasi suhu sintering [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Fisika, Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Ikoma T, Kobayashi H, Tanaka J, Walsh D, Mann S. 2003. Microstructure, mechanical, and biomimetic properties of fish scales from Pagrus major. Journal of Structural Biology. 142: 327-333. Juraida J, Sontang M, Ghapur EA, Isa MIN. 2011. Preparation and characterization of hydroxyapatite from fishbone. Empowering Science Technology and Innovation Towards a Better Tomorrow. Kalita SJ, Bhardwaj, Bhatt HA. 2007. Nanocrystalline calcium phosphate ceramics in biomedical engineering. Materials Science Engineering. 27: 441-449. Kawashima A, Matsubara K, Honda K. 2008. Development of heterogeneous base catalysts for biodiesel production. Bioresource Technology. 99: 3439-3443. Khemthong P, Luadthong C, Nualpaeng W, Changsuwan P, Tongprem P, Viriyaempikul N, Faungnawakij K. 2012. Industrial eggshell wastes as the heterogeneous catalysts for microwave-assisted biodiesel production. Catalysis Today. 190: 112-116. Kirk RE, Othmer DF. 1980. Encyclopedia of Chemical Technology. Ed ke-3, vol. 9. New York (US): John Wiley and Sons. Lagler KF, Bardach JE, Miller RR, Passino DRM. 1977. Ichthyology. Ed ke-2. New York (US): John Wiley and Sons. Levingstone TJ. 2008. Optimisation of Plasma Sprayed Hydroxyapatite Coatings. Dublin (IE): Academic Thesis, School of Mechanical and Manufacturing Engineering, Dublin City University. Lin YS, Wei CT, Olevsky EA, Meyer MA. 2011. Mechanical properties and the laminate structure of arapaima gigas scales. Journal of The Mechanical Behavior of Biomedical Materials. 4: 1145-1156. Liu X, He H, Wang Y, Zhu S, Piao X. 2008. Transesterification of soybean oil to biodiesel using Cao as a solid base catalyst. Fuel. 87: 216-221. Meher LC, SagerDV, Naik SN. 2006. Technical aspects of biodiesel production by transesterifikation-a review. Renewable Sustainable Energy Reviews. 10: 248-268.
20 Mondal S, Mahata S, Kundu S, Mondal B. 2010. Processing of natural resourced hydroxyapatite ceramics from fish scale. Advances in Applied Ceramics. 109 (4): 235. Nagai T, Izumi M, Ishii M. 2004. Preparation and partial characterization of fish scale collagen. International Journal of Food Science and Technology. 39, 239-244. Nakatani N, Takamori H, Takeda K, Sakugawa H. 2009. Transesterification of soybean oil using combusted oyster shell waste as a catalyst. Bioresource Technology. 100: 1510–1513. Nurhayati. 2008. Reaksi katalisis oksidasi stirena menjadi benzaldehida menggunakan katalis TiO2-Al2O3 (1:1)-U dan TiO2-Al2O3 (1:1)-PEG [skripsi]. Depok (ID) : Departemen Kimia, Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. Octaviani S. 2012. Sintesis dan karakterisasi zeolit ZSM-5 mesopori dengan metode desilikasi dan studi awal katalisis oksidasi metana [skripsi]. Depok (ID): Departemen Kimia, Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. Ozawa M, Hattori, M, Satake K. 2007. Waste management and application of fish bone hydroxyapatite for waste water treatment. Proceedings of International Symposium on Ecotopia Science 2007. ISETS07. 957-958. Ozawa M, Suzuki S. 2002. Microstructural development of natural hydroxyapatite originated from fish-bone waste through heat treatment. Journal American Ceramic Society. 85: 1315-1317. Pallela R, Venkatesan J, Kim SK. 2011. Polymer assisted isolation of hydroxyapatite from Thunnus obesus bone. Journal Ceramics International. 37: 3489-3497. Pati F, Adhikari B, Dhara S. 2010. Isolation and characterization of fish scale collagen of higher thermal stability. Bioresource Technology. 101: 37373742. Pattanayak DK, Divya P, Sujal U, Prasad RC, Rao BT, Mohan TRR. 2005. Synthesis and evaluation of hydroxyapatite ceramics. Bombay (IN): Trends Biomater Artif organs 18 (2), Indian Institute of Technology. Rahardjo MF, Sjafei DS, Affandi R, Sulistiono. 1988. Biologi Ikan I. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ramay HRR, Zhang M. 2004. Biphasic calcium phosphate nanocomposite porous scaffolds for load-bearing bone tissue engineering. Biomaterials. 25: 51715180. Ramlan, Bama AA. 2011. Pengaruh suhu dan waktu sintering terhadap sifat bahan porselen untuk bahan elektrolit padat (komponen elektronik). Jurnal Penelitian Sains. 14 (3B): 14305-14308. Robbins R. 2013. Scanning Electron Microscope Operation. Dallas (US): The University of Texas. Rotllant J, Redruello B, Guerreiro PM, Fernandes H, Canario AVM, Power DM. 2005. Calcium mobilization from fish scales is mediated by parathyroid hormone related protein via the parathyroid hormone type 1 receptor. Regulatory Peptides. 132: 33-40.
21 Santoso H, Ivan K, Aris S. 2013. Pembuatan Biodiesel Menggunakan Katalis Basa Heterogen Berbahan Dasar Kulit Telur. Bandung (ID): Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. Universitas Katolik Prahayangan. Sastry TP, Sankar S, Mohan R, Rani S, Sundaraseelan T. 2008. Preparation and partial characterization of collagen sheet from (Lates calcarifer) scales. Journal Biological Macromolecules. 42: 6-9. Serio MD, Riccardo T, Lu P, Elio S. 2008. Heterogeneos Catalysts for biodiesel production. Journal of Energy and Fuels. 22: 207-217. Sire JY, Akimenko MA. 2004. Scale development in fish : a review, with description of sonic hedgehog (shh) expression in the zebrafish (Danio rerio). International Journal of Development Biology. 48: 233-247. Thuy LTM, Emiko O, Kazufumi O. 2014. Isolation and characterization of acidsoluble collagen from the scales of marine fishes from Japan and Vietnam. Food Chemistry. 149: 264-270. Torres FG, Troncoso OP, Nakamatsu J, Grande CJ, G’omez CM. 2008. Characterization of the nanocomposite laminate structure occurring in fish scales from Arapaima gigas. Materials Science and Engineering C. 28 (8): 1276-1283. Vanadia Y. 2009. Karakteristik kimia dan fisik sisik ikan gurami (Osphronemus gouramy) [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Venkatesan J, Kim SK. 2010. Effect of temperature on isolation and characterization on hydroxyapatite from tuna (Thunnus obesus) bone. Journal Materials. 3: 4761-4772. Vernerey FJ, Francois B. 2014. Skin and scales of teleost fish: simple structure but high performance and multiple functions. Journal of the Mechanics and Physics of Solids. 68: 66-76. Viriya-empikul N, Krasae P, Puttasawat B, Yoosuk, B, Chollacoop N, Faungnawakij K. 2010. Waste shells of mollusk and egg as biodiesel production catalysts. Bioresource Technology. 101: 3765–3767. Vicente G, Martinez M, Aracil J. 2004. Integrated biodiesel production: a comparison of different homogeneous catalysts systems. Bioresource Technology. 92: 297-305. Walpole RE. 1993. Pengantar Statistika. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Wang L, An X, Yang F, Xin Z, Zhao L, Hu Q. 2008. Isolation and characterisation of collagen from the skin, scale, and bone of deep-sea redfish (Sebastes mentella). Food Chemistry. 108: 616-623. Wei Z, Xu C, Li B. 2009. Application of waste eggshell as low-cost solid catalyst for biodiesel production. Bioresource Technology. 100: 2883–2885. White AA, Ian A, Kinloch, Alan H, Windle, Serena MB. 2010. Optimization of the kalsinasi atmosphere for high-density hydroxyapatite-carbon nanotube composites. Journal of the Royal Socienty Interface. 7: 529-539. Xie W, Li H. 2006. Alumina-supported potassium iodide as a heterogeneous catalyst for biodiesel production from soybean oil. Journal Molecular Catalysis America Chemistry. 225: 1-9. Xin, Bai H, Zhen, Shen X, Hua, Liu X, Yong, Liu S. 2009. Synthesis of porous CaO microsphere and its application in catalyzing transesterification reaction for biodiesel. Transactios of Noferrous Metals Society of China. 19: 674-677.
22 Xuejun L, Huayang H, Yujun W, Shenlin Z. 2007. Transesterification of soybean oil to biodiesel using SrO as a solid base catalyst. Catalysis Communications. 8: 1107-1111. Yadav BK, Jindal VK. 2001. Monitoring milling quality of rice by image analysis. Computers and Electronics in Agriculture. 33: 19-33. Yakin K. 2013. Perhitungan energi disosiasi Ca-O dan C-O pada gugus fungsi hidroksiapatit menggunakan pemodelan spektroskopi inframerah [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Intitut Pertanian Bogor. Yang L. Zhang A. Zheng, X., 2009. Shrimp shell catalyst for biodiesel production. Energy Fuels. 23: 3859–3865. Yijun L, Lotero E, Goodwin JJG, Xunhua Mo. 2007. Transesterification of poultry fat with methanol using Mg-Al hydrotalcite derived catalysts. Applied Catalysis A: General. 331: 138-148. Ylinen P. 2006. Applications of coralline hydroxyapatite with bioabsorbable contaiment and reinforcement as bone graft substitute. Helsinki (FI): Academic dissertation, Medical Faculty, University of Helsinki. Zabeti M, Daud WMAW, Aroua MK. 2009. Activity of solid catalysts for biodiesel production: a review. Fuel Processing Technology. 90: 770-777. Zhang Y, Dube MA, McLean DD, Kates M. 2003. Biodiesel production from Waste cooking oil process design and technological assessment. Bioresource Technology. 89: 1-16. Ziv V, Wagner HD, Weiner S. 1996. Microstructure-microhardness relations in parallel-fibered and lamellar bone. Bone. 18 (5): 417-428.
23
LAMPIRAN
24 Lampiran 1 Uji statistik rendemen hasil kalsinasi sisik ikan Lampiran 1a Analisis ragam rendemen hasil kalsinasi sisik ikan Jumlah Rata-rata Sumber Kuadrat df Kuadrat F Sig. Variasi Simpangan Simpangan Interaksi 1,800 2 0,900 13,836 0,006 Galat 0,390 6 0,065 Total 2,191 8 Lampiran 1b Uji lanjut Duncan rendemen Subset for alpha = 0,05 Material N 1 2 Kalsinasi suhu 1100 3 33,8967 Kalsinasi suhu 1000 3 34,3833 Kalsinasi suhu 900 3 34,9900 Sig. 0,058 1,000 Lampiran 2 Uji statistik derajat putih hasil kalsinasi sisik ikan Lampiran 2a Analisis ragam derajat putih hasil kalsinasi sisik ikan Jumlah Rata-rata Sumber Kuadrat df Kuadrat F Sig. Variasi Simpangan Simpangan Interaksi 198,427 2 99,214 3444,920 0,000 Galat 0,173 6 0,029 Total 198,600 8 Lampiran 2b Uji lanjut Duncan derajat putih Subset for alpha = 0,05 Material N 1 2 3 Kalsinasi suhu 1000 3 79,8500 Kalsinasi suhu 900 3 82,0600 Kalsinasi suhu 1100 3 90,7300 Sig. 1,000 1,000 1,000 Lampiran 3 Karakteristik fasa dan derajat kristalinitas dengan analisis XRD sampel suhu kalsinasi 900℃ β-TCP
Sampel 1 2θ
HAP
Int-f
2θ
Int
%2θ
10,89 1750
415,68
10,85
12
16,89
612
145,37
17,00
18,89
378
89,79
21,82
807
22,93
655
Fasa
Int
%2θ
2θ
Int
%2θ
99,60 10,82
12
99,35
9,75
40
88,32 𝛽-TCP
20
99,34 16,84
6
99,70 16,06
90
94,80
HA
18,47
2
97,72 18,79
4
99,44 19,91
80
94,89
HA
191,69
21,87
16
99,77 21,82
10
99,98 22,74
80
95,96
HA
155,58
22,21
4
96,75 22,90
10
99,88
HA
25,92 5357 1272,45 25,80
25
99,56 25,88
40
99,85 25,98 100 99,77
OCP
Int
2θ
OCP
25 Lampiran 3 Karakteristik fasa dan derajat kristalinitas dengan analisis XRD sampel suhu kalsinasi 900℃ (Lanjutan) β-TCP
Sampel 1 2θ
Int
Int-f
28,17
1218
289,31
28,99
1563
371,26
31,83
2θ
Int %2θ
HAP Int %2θ
2θ
Fasa
Int
%2θ
27,77 55 98,56 28,13 12 99,85 28,15
80
99,93
OCP
28,68
90
99,00
HA
8258
1961,52 31,03 100 97,40 31,77 100 99,82 31,62 100
99,31
HA
32,24
5115
1214,96 32,45 20 99,36 32,20 60 99,86 32,32
90
99,76
HA
32,96
5981
1420,67 33,03 10 99,79 32,90 60 99,83 32,56
90
98,78
HA
34,10
2238
531,59
34,37 65 99,22 34,05 25 99,84 33,96
90
99,57
HA
39,85
1953
463,90
39,80 10 99,86 39,82 20 99,91 39,89
70
99,91
OCP
42,04
668
158,67
42,97
4
97,84 42,03 10 99,96 42,02
90
99,95
HA
43,91
637
151,31
43,89
6
99,97 43,80
99,77 43,51
80
99,08
𝛽-TCP
45,36
483
114,73
45,31
8
99,88
45,11
80
99,43
𝛽-TCP
46,73
2356
559,62
46,64
4
99,79 46,71 30 99,96 46,57
99,66
HA
48,12
1087
258,19
48,40 14 99,42 48,10 16 99,96 48,97
90
98,27
HA
49,51
3048
723,99
49,79 12 99,46 49,47 40 99,91 49,54
90
99,95
OCP
50,54
1384
328,74
50,73
6
99,62 50,49 20 99,91
HA
51,32
1043
247,74
51,47
8
99,70 51,28 12 99,94
HA
52,13
1044
247,98
52,62
4
99,08 52,10 16 99,93
HA
53,24
1829
434,44
53,51
8
99,49 53,14 20 99,82
HA
55,92
527
125,18
55,11
4
98,54 55,88 10 99,93
HA
57,17
421
100,00
57,44
6
99,53 57,13
8
99,93
HA
59,97
425
100,95
59,51 12 99,23 59,94
6
99,94
HA
61,71
536
127,32
61,57
4
99,77 61,66 10 99,91
HA
64,19
861
204,51
64,68
4
99,25 64,08 13 99,83
HA
65,07
629
149,41
65,24
4
99,74 65,03
9
99,94
HA
75,63
501
119,00
75,58
9
99,93
HA
77,23
456
108,31
77,18 11 99,94
HA
78,23
426
101,19
78,23
HA
2
2θ
OCP
98,93 28,97 18 99,93 29,28
8
9
100,0
Lampiran 4 Karakteristik fasa dan derajat kristalinitas dengan analisis XRD sampel suhu kalsinasi 1000℃ β-TCP
Sampel 2 2θ
Int
%2θ
10,85 1949 142,99 10,85
12
21,78
886
65,00
21,87
22,89
739
54,22
Fasa
%2θ
2θ
Int
%2θ
99,94 10,82
12
99,69
9,75
40
88,69
𝛽-TCP
16
99,59 21,82
10
99,83 20,80
70
95,29
HA
22,21
4
96,93 22,90
10
99,94 22,74
80
99,36
HA
25,90 6186 453,85 25,80
25
99,63 25,88
40
99,93 25,98 100
27,96
55
99,30
Int-f
784
57,52
28,15 1147
84,15
27,77
28,95 1710 125,46 28,68
2
2θ
OCP
Int
Int
2θ
HAP
99,69
HA
27,70
80
99,06
𝛽-TCP
28,13
12
99,92 28,15
80
100,00
OCP
99,07 28,97
18
99,93 29,28
90
98,86
HA
26 Lampiran 4 Karakteristik fasa dan derajat kristalinitas dengan analisis XRD sampel suhu kalsinasi 1000℃ (Lanjutan) β-TCP
Sampel 2 2θ
HAP
2θ
Int
Int-f
Int
%2θ
31,20
990
72,63 31,03 100
99,45
31,79 10156 745,12
2θ
Int
OCP %2θ
Int
%2θ
31,39
80
99,39 𝛽-TCP
31,77 100 99,94 31,62 100 99,44
32,20
5550
407,19 32,45
20
32,94
6832
501,25
34,08
2604
191,05 34,37
65
99,16 34,05 25
34,57
769
56,42 34,99
6
98,80
35,47
623
45,71 35,60
12
99,66 35,48
39,22
637
46,74
39,20
39,81
2313
169,70 39,80
42,00
714
43,87 45,32
Fasa
2θ
HA
99,24 32,20 60
99,99 32,32
90
99,63
HA
32,90 60
99,89 32,56
90
98,84
HA
99,90
HA 34,50
90
99,77
OCP
6
99,98 35,19
80
99,20
HA
8
99,96 39,34
80
99,68
OCP
10
99,97 39,82 20
99,99 39,89
70
99,81
HA
52,38 41,68
12
99,23 42,03 10
99,94 42,02
90
99,95
OCP
645
47,32 43,89
6
99,94 43,80
8
99,86 43,51
80
99,18 𝛽-TCP
554
40,65 45,31
8
99,97 45,31
6
99,97 45,11
80
99,53 𝛽-TCP
46,71
2832
207,78 46,64
4
99,84 46,71 30 100,00 46,57
80
99,71
HA
48,10
1363
100,00 48,40
14
99,38 48,10 16 100,00 48,97
90
98,23
HA
49,49
3450
253,12 49,79
12
99,42 49,47 40
99,95 49,54
90
99,91
HA
50,50
1638
120,18 50,31
6
99,64 50,49 20
99,99
HA
51,30
1310
96,11 51,25
6
99,92 51,28 12
99,98
HA
52,09
1277
93,69 52,62
4
99,01 52,10 16
99,99
HA
53,20
2176
159,65 52,94
25
99,52 53,14 20
99,90
HA
55,88
572
41,97 55,11
4
98,61 55,88 10 100,00
HA
57,15
433
31,77 57,44
6
99,49 57,13
8
99,96
HA
59,95
514
37,71 59,51
12
99,26 59,94
6
99,98
HA
Lampiran 5 Karakteristik fasa dan derajat kristalinitas dengan analisis XRD sampel suhu kalsinasi 1100℃ β-TCP
Sampel 3
HAP
Fasa
2θ
Int
Int-f
2θ
Int
%2θ
10,89
1955
378,88
10,85
12
99,56 10,82
13,76
383
74,22
13,63
16
99,07
16,89
704
136,43
17,00
20
99,34 16,84
6
99,70 16,06
90
94,80
HA
18,88
430
83,33
18,47
2
97,79 18,79
4
99,51 17,46
80
91,87
HA
21,82
941
182,36
21,87
16
99,77 21,82
10
99,98 20,80
70
95,09
HA
22,91
844
163,57
22,21
4
96,84 22,90
10
99,97 22,74
80
99,27
HA
25,92
6898
1336,82 25,80
25
99,56 25,88
40
99,85 25,98 100 99,77
HA
28,17
1337
259,11
27,77
55
98,56 28,13
12
99,85 28,15
80
99,93
OCP
28,99
1995
386,63
28,68
2
98,93 28,97
18
99,93 29,28
90
99,00
OCP
31,24
864
167,44
31,03 100 99,32
31,39
80
99,53
OCP
31,77 100 99,81 31,62 100 99,31
HA
31,83 10336 2003,10
2θ
OCP
Int
%2θ
2θ
Int
%2θ
12
99,31
9,75
40
88,27 𝛽-TCP 𝛽-TCP
27 Lampiran 5 Karakteristik fasa dan derajat kristalinitas dengan analisis XRD sampel suhu kalsinasi 1100℃ (Lanjutan) β-TCP
Sampel 3 2θ
OCP
%2θ
2θ
Int
%2θ
32,24 5828 1129,46 32,45 20
99,36
32,20
60
99,86
32,32 90 99,76
HA
32,96 7549 1462,98 33,03 10
99,79
32,90
60
99,83
32,56 90 98,78
HA
34,10 2931
568,02
34,37 65
99,22
34,05
25
99,84
33,96 90 99,57
HA
34,55 504
97,67
34,99
6
98,74
34,50 90 99,83
OCP
35,52 683
132,36
35,60 12
99,77
35,48
6
99,90
35,19 80 99,08
HA
39,24 777
150,58
37,85
6
96,33
39,20
8
99,91
39,34 80 99,74
HA
39,85 2654
514,34
39,80 10
99,86
39,82
20
99,91
39,89 70 99,91
OCP
42,04 777
150,58
41,68 12
99,13
42,03
10
99,96
42,02 90 99,95
HA
43,89 708
137,21
43,89
6
99,98
43,80
8
99,81
43,51 80 99,13 𝛽-TCP
45,34 516
100,00
45,31
8
99,92
45,31
6
99,92
45,11 80 99,48 𝛽-TCP
46,75 2906
563,18
46,64
4
99,75
46,71
30
99,91
46,57 80 99,62
48,12 1385
268,41
48,40 14
99,42
48,62
6
98,97
48,97 90 98,27 𝛽-TCP
49,51 3873
750,58
49,79 12
99,46
49,47
40
99,91
49,54 90 99,95
50,54 1770
343,02
50,73
6
99,62
50,49
20
99,91
HA
51,34 1274
246,90
51,47
8
99,74
51,28
12
99,90
HA
52,13 1399
271,12
52,62
4
99,08
52,10
16
99,93
HA
53,22 2375
460,27
53,51
8
99,45
53,14
20
99,86
HA
55,92 628
121,71
55,11
4
98,54
55,88
10
99,93
HA
57,17 492
95,35
57,44
6
99,53
57,13
8
99,93
HA
59,99 554
107,36
59,51 12
99,19
59,94
6
99,91
HA
61,69 577
111,82
61,57
4
99,80
61,66
10
99,95
HA
63,04 884
171,32
63,44
6
99,37
63,01
12
99,95
HA
64,00 949
183,91
64,08
13
99,89
HA
64,19 963
186,63
64,68
4
99,25
65,03
9
98,71
B-TCP
65,07 838
162,40
65,24
4
99,74
66,39
4
98,02
B-TCP
75,59 554
107,36
75,58
9
99,99
HA
78,25 521
100,97
78,23
9
99,97
HA
Int-f
2θ
Int %2θ
Fasa
Int
Int
2θ
HAP
HA OCP
28 Lampiran 6 JCPDS fasa 𝛽-TCP
Lampiran 7 JCPDS fasa HA
29
Lampiran 8 Fasa OCP
Lampiran 9 Aransemen dan interpretasi spektra inframerah kalsinasi sisik ikan kakap putih. Bilangan gelombang (cm-1)* 610-560 1100-1000 1200-1100 3600-3300
Bilangan gelombang (cm-1) 570,89568,96 1051,131033,77 1101,27 3573,843571,91
Kalsinasi sisik ikan suhu 900℃ %T 9,0 1,0 6,0 68
Struktur
Intensitas
Gugus
P-O bending asimetri
-
phosphat
P-O stretching asimetri
strong
phosphat
P=O stretching asimetri
strong
phosphat
O-H stretching
Medium
Hidroksil
610-560 1100-1000 1200-1100 3600-3300
599,75 1029,8 1101,15 3573,45
78,86 72,88 89,65 97,93
P-O bending asimetri P-O stretching asimetri P=O stretching asimetri O-H stretching
strong strong Medium
phosphat phosphat phosphat Hidroksil
610-560 1100-1000 1200-1100 3600-3300
599,75 1024,02 1101,15 3573,45
83,12 79,95 92,82 98,47
P-O bending asimetri P-O stretching asimetri P=O stretching asimetri O-H stretching
strong strong Medium
phosphat phosphat phosphat Hidroksil
30 Lampiran 10 Aransemen dan interpretasi pergeseran spektra inframerah kalsinasi sisik ikan pada suhu 900℃, 1000℃, dan 1100℃ Struktur P-O bending asimetri P-O stretching asimetri P=O stretching asimetri O-H stretching
Gugus
phosphat phosphat
Bilangan gelombang (cm-1)
Transmitansi (%)
900℃
900℃
1000℃
1100℃
9,0
78,86
83,12
1,0
72,88
79,95
6,0
89,65
92,82
68
97,93
98,47
570,89568,96 1051,131033,77
1000℃
1100℃
599,75
599,75
1029,8
1024,02
phosphat
1101,27
1101,15
1101,15
Hidroksil
3573,843571,91
3573,45
3573,45
Lampiran 11 Luas permukaan katalis dengan perbedaan suhu kalsinasi Lampiran 11a Luas permukaan pori katalis sisik ikan suhu 900℃
31 Lampiran 11b luas permukaan pori katalis sisik ikan suhu 1000℃
Lampiran 11c Luas permukaan pori katalis sisik ikan suhu 1100℃
32 Lampiran 12 Volume pori katalis dengan perbedaan suhu kalsinasi Lampiran 12a Volume pori katalis sisik ikan suhu 900℃
Lampiran 12b Volume pori katalis sisik ikan suhu 1000℃
33 Lampiran 12c Volume pori hasil kalsinasi sisik ikan suhu 1100℃
Lampiran 13 Ukuran pori katalis dengan perbedaan suhu kalsinasi Lampiran 13a Ukuran pori katalis sisik ikan suhu 900℃
34 Lampiran 13b Ukuran pori katalis sisik ikan suhu 1000℃
Lampiran 13c Ukuran pori katalis sisik ikan suhu 1100℃
35
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Rembang pada tanggal 29 Juni 1993 dari pasangan Bapak Sardji dan Ibu Tarmi sebagai anak kedua dari dua bersaudara. Pendidikan formal pernah dijalani penulis berawal dari TK Mojowati (1998-1999), SDN Mojorembun (1999-2005), SMPN 1 Kaliori (2005-2008), SMAN 2 Rembang (2008-2011). Pada tahun 2011 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNPTN Undangan. Kemudian diterima di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selain mengikuti perkuliahan, Penulis berkesempatan menjadi asisten mata kuliah Diversifikasi dan Pengembangan Produk Perairan (2013/2014). Anggota divisi produksi Fishery Procesing Club (2012-2013). Anggota divisi entrepreneur Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (2013-2014). Penulis juga pernah melaksanakan Program Kreativitas Mahasiswa ( PKM) yang didanai oleh DIKTI, meliputi PKM bidang kewirausahaan (2014) dengan judul “Bisnis Baru “SI BULE” Selai Buah Lembaran (Single Slice Selai) yang Praktis, Kaya Vitamin, Serat, dan Kalsium” dan penelitian (2015) dengan judul “Inovasi Produk Baru Katalis Basa Heterogen untuk Percepatan Transesterifikasi Marine Biodiesel dari Hidroksiapatit Kalsinasi Sisik Ikan”. Penulis juga aktif mengikuti seminar di lingkungan kampus IPB.