“Kalau kau naik ke sini, aku akan memelintir ujung kumismu,” si Manusia Terbang membalas sambil mencibir. Orang-orang ketawa terbahak-bahak. Pak Walikota segera menyodok Sersan Dahr dengan ujung payung. “Sersan Dahr, jangan diam saja!” ia marah-marah. “Tangkap orang itu!” “Maaf, Pak Walikota,” ujar Sersan Dahr. “Mata saya selalu berkunang-kunang kalau saya berada di tempat yang tinggi.” “Ya, ampun!” Pak Walikota mendesah. Sementara itu kepala dinas pemadam kebakaran berbicara dengan Chief Putney, yang kemudian menghampiri Pak Walikota. Chief Putney mengatakan sesuatu yang tidak terdengar oleh kami, dan Pak Walikota menganggukkan kepala. Sesaat kemudian empat kelompok petugas pemadam kebakaran telah merentangkan empat buah jala pada keempat sisi monumen. Beberapa penonton ikut membantu secara sukarela. Sementara dua petugas mulai menaiki tangga, Chief Putney dan Sersan Dahr sibuk mengatur kerumunan orang. “Cepat, Mortimer!” Henry mendesak. “Keadaan sudah mulai gawat.” Mortimer segera menyalakan alat pemancar. “Jangan dekati aku!” ia berseru. “Aku akan melompat kalau kalian tetap mendekat.” Kedua petugas pemadam kebakaran pun berhenti. Pak Walikota mengumpat dengan suara tertahan. “Ayo, tangkap orang itu!” si kepala dinas pemadam kebakaran memberi perintah pada anak buahnya. “Jangan takut! Kalau dia nekat melompat, maka kita akan menangkapnya dengan salah satu jala.” “Tapi siapa yang akan menangkap mereka?” si Manusia Terbang bertanya. Para petugas pemadam kebakaran kembali berhenti. Akhirnya, setelah didesak-desak oleh atasan mereka, kedua petugas itu naik perlahan-lahan. Sambil memanjat ke atas, mereka berusaha membujuk boneka kami agar menyerahkan diri tanpa mengadakan perlawanan. Ketika kedua petugas itu hampir mencapai puncak monumen, Mortimer kembali berteriak dengan histeris. Henry segera menekan tombol pada alat pemancar, yang berhubungan dengan alat penerima kedua di dalam badan boneka. Seketika terdengar suara ledakan mirip ledakan mercon, dan sebuah bungkusan terdorong dari punggung boneka. Bungkusan itu jatuh dan sempat menggantung-gantung di ujung sejumlah tali. Kemudian bungkusannya mulai mengembang dan perlahan-lahan berubah bentuk menjadi sebuah balon. Kedua petugas pemadam kebakaran di atas tangga menyaksikan kejadian itu dengan mata terbelalak. Para penonton di bawah pun nampak terpukau. Kemudian semuanya bersorak-sorai ketika balon tadi semakin membesar dan terbawa oleh tiupan angin. Serta-merta si Manusia Terbang terangkat dari puncak monumen. “Aku seekor rajawali! Aku seekor rajawali!” terdengar seruan dari mulut boneka itu. Ketinggiannya bertambah dengan cepat, dan dalam sekejap ia telah melewati atap Balai Kota, lalu mengambang ke arah Danau Strawberry. Henry, Mortimer, dan aku melompat-lompat kegirangan sambil ketawa sampai perut terasa kaku. Berkat kejeniusan Henry, rencana kami berhasil dengan sempurna. Balon cuaca yang kami pasang pada punggung boneka dipompa dengan tabung berisi helium bertekanan tinggi. Henry telah memindahkan mekanisme pemicu dari sebuah pistol CO2, yang biasa digunakan sebagai pemberi tanda start pada pertandingan atletik. Mekanisme itu berfungsi untuk melubangi tabung helium pada saat balon
terlempar dari bungkusnya. Suasana di lapangan di depan Balai Kota menjadi kacau-balau. Begitu si Manusia Terbang lepas landas, kerumunan orang segera bubar. Semuanya berhamburan menyusuri jalan menuju danau, agar jangan sampai kehilangan jejak. “Mortimer, coba hubungi Jeff!” Henry memerintah. “Kita harus terus berhubungan dengan dia agar tidak kehilangan setengah dari peralatan radio kita.” Mortimer segera menyalakan alat pemancar. Henry memonitor frekuensi polisi dan frekuensi darurat untuk menyadap setiap informasi yang mungkin berguna bagi kami. Sementara itu aku mengawasi si Manusia Terbang melalui teropong. Ia kini telah berada di atas Danau Strawberry. Arahnya persis seperti yang kami perkirakan. Homer Snodgrass melaporkan bahwa Pak Walikota nampak kalang-kabut. Ia telah memerintahkan keadaan siaga penuh, lalu menyuruh Chief Putney untuk melaporkan kejadian ini ke Pangkalan Udara Westport Field. Berkat persiapan yang matang, Henry berhasil menyadap pembicaraan Chief Putney dengan pangkalan udara. Chief Putney ternyata minta bantuan dua buah helikopter untuk mengikuti si Manusia Terbang sampai mendarat. Ia ingin memastikan bahwa orang itu ditangkap, dan dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Operator radio di Westport Field mula-mula menanggapi permintaan itu sebagai lelucon. Tetapi ketika Chief Putney tetap mendesak, petugas itu lalu mengatakan bahwa ia akan meneruskan permintaan bantuan dari Chief Putney kepada Kolonel March, Komandan Pangkalan Udara Westport Field. Dua menit kemudian kami menangkap siaran radio pada frekuensi darurat. Kolonel March sedang menghubungi semua pos pengamatan di wilayahnya. “Manusia Terbang tak dikenal terlihat di atas Mammoth Falls dan kini mengarah ke barat. Laporan diterima dari Dinas Kepolisian Mammoth Falls, dan diperkuat oleh seorang pilot pesawat penumpang yang sedang melintas. Arah dan ketinggian terbang tidak diketahui dengan pasti. Tujuan tidak diketahui. Tidak ada permintaan izin terbang ke Westport Field maupun ke lapangan terbang setempat. Harap stand by. Over and out.” Perkembangan tak terduga ini membuat kami kalang-kabut. Henry pun mulai berkeringat dingin. “Kita harus bergerak cepat,” katanya. “Mudah-mudahan Kolonel March tidak menemukan bahwa kita biang keladi semuanya. Dia pasti marah besar.” Tapi semenit kemudian cucuran keringat Henry malah bertambah deras. Westport Field memberitahu semua pos pengamatan bahwa mereka menugaskan dua buah pesawat pengintai serta sebuah helikopter buru-sergap untuk mencari si Manusia Terbang. “Apakah bonekanya masih kelihatan, Charlie?” Henry bertanya padaku, “Apakah kau bisa menentukan posisinya?” Untung saja si Manusia Terbang sedang berada di depan gumpalan awan, sehingga sosoknya terlihat dengan jelas. Langsung saja aku mengamati kompas di tanganku. “Kurang lebih dua ratus enam puluh lima derajat,” aku melaporkan pada Henry. “Mestinya dia sudah berada di atas danau sekarang.” “Bagus,” ujar Henry. “Berarti kita masih punya waktu.” Cepat-cepat ia menggambarkan sebuah garis pada peta yang dibawanya. Kemudian ia meraih radio CB kami. “Sultan I kepada Sultan II!” “Silakan masuk Sultan I. Ini Sultan II.”
“Jeff! Kalian harus kembali ke bukit yang pertama. Kalian punya waktu sekitar enam menit. Arah boneka kita adalah duaratus enampuluh lima derajat, berarti sekitar delapanpuluh lima derajat dari tempat kalian nanti. Beritahu aku kalau dia sudah kelihatan. Dan beritahu aku kalau dia berada di atas kalian, supaya aku bisa menekan tombol, tepat pada waktunya.” “Oke, kami akan berusaha kembali ke tempat tadi. Over and out.” Dari arah lapangan terdengar suara sirene meraung-raung. Sepertinya setiap mobil ambulans di Mammoth Falls sedang menuju ke Danau Strawberry. Mobil-mobil lain menyusul. Beberapa kendaraan mengambil jalan yang menyusuri tepi utara danau, untuk berjaga-jaga kalau si Manusia Terbang terbawa angin ke sana, Pak Walikota masih berdiri di dekat monumen dan tetap sibuk memberi petunjuk sambil menudingkan payungnya. “Kita harus angkat topi untuk Pak Walikota,” ujar Mortimer. “Bayangkan, dalam waktu sesingkat ini dia telah berhasil menggerakkan seluruh kota!” “Hal itu semakin menyulitkan kita,” kata Henry. “Aku tidak menyangka bahwa Pak Walikota akan bergerak secepat ini.” Suara Jeff terdengar dari pengeras suara. “Sultan II kepada Sultan I! Sultan II kepada Sultan I!” “Di sini Sultan I. Bagaimana perkembangannya?” “Kami sudah berada di bukit pertama.” “Bonekanya sudah kelihatan?” “Sudah, dia sedang mendekati tepi danau di seberang Mammoth Falls. Dia sedang menuju ke arah kami, tapi kami harus menuruni bukit ke arah kanan sedikit. Jangan tekan tombol sebelum aku memberi isyarat.” “Oke, aku akan menunggu.” “Wah, kita benar-benar kepepet waktu,” Henry berkomentar. “Sebentar lagi pesawat-pesawat dari Westport Field sudah tiba di Danau Strawberry. Kalau helikopternya sempat melihat apa yang kita lakukan, maka seluruh rencana kita bisa bubar.” “Mudah-mudahan Kolonel March tidak marah,” Mortimer mengharap. “Dia kan sudah sering membantu kita.” “Justru itu yang aku takutkan.” Henry menanggapinya sambil menyeka keringat dari kening. Lapangan di depan Balai Kota kini benar-benar sepi. Pak Walikota pun telah bergabung dengan iring-iringan mobil yang menuju ke danau. Regu-regu pencari berharap agar mereka dapat melacak si Manusia Terbang sampai ke tempat ia mendarat di daerah perbukitan di sebelah barat danau. Aku terus mengarahkan teropong pada boneka itu, dan memberitahu arah terbang serta posisinya pada Henry. Kedua pesawat yang dikirim oleh Kolonel March kini sudah berputar-putar tinggi di atas Danau Strawberry. Di sebelah utara aku melihat dua buah helikopter sedang mendekat. Dalam tiga atau empat menit mereka pasti sudah mencapai tepi danau. “Jangan buang-buang waktu lagi,” aku berkata pada Henry. “Helikopter-helikopter itu kelihatannya terbang dengan cepat.” Pada detik berikutnya suara Jeff kembali terdengar. “Bonekanya sudah hampir
berada di atas kepala kami. Kau bisa menekan tombol sekarang.” “Oke,” jawab Henry. “Tapi kalian harus bekerja dengan cepat. Dan usahakan agar kalian tetap berada di bawah naungan pepohonan. Sudah ada dua pesawat di atas kalian, dan sebentar lagi dua buah helikopter akan menyusul!” Henry menekan tombol pada alat pemancar utama, kemudian lari ke arah jendela. Kami melihat balon kami terguncang dengan hebat, lalu mengempis. Bahan peledak, yang oleh Henry dihubungkan pada alat penerima gelombang radio kedua, telah melubangi selubung balon. Dengan cepat si Manusia Terbang turun mendekati permukaan tanah, dan dalam sekejap ia telah menghilang dari pandangan kami. Kejadian selanjutnya dilaporkan oleh Jeff melalui radio. Si Manusia Terbang ternyata turun lebih cepat dari yang kami duga sebelumnya. Jeff, Freddy, dan Dinky memperhatikannya dengan cemas. Dalam hati mereka berharap agar boneka kami mendarat di tempat yang empuk. Ketiga rekan kami itu berlari menuruni bukit, dan masih sempat melihat si Manusia Terbang menembus puncak pepohonan. Kemudian balonnya tersangkut pada dahan-dahan, sehingga boneka kami tergantung sekitar enam meter di atas tanah. “Cepat naik ke sana dan potong tali pengikat balon!” Jeff berseru sambil mengangkat Dinky ke atas pohon. Dinky memanjat secepat mungkin. Gerakannya lincah, persis seekor kucing hutan. Dalam beberapa detik ia telah memotong semua tali pengikat balon. Jeff dan Freddy menangkap boneka yang jatuh ke tanah. Kemudian Dinky turun lagi, dan ketiganya menuju ke gua tempat mereka menyembunyikan sepeda. Gua itu sebenarnya mulut sebuah terowongan yang sudah tak terpakai sejak kegiatan penambangan timah dihentikan. Mulut terowongan itu tersembunyi di balik semak-semak, sehingga tidak langsung kelihatan. Ketika muncul lagi dari gua, si Manusia Terbang telah mengenakan pakaian pramuka, sama seperti anak-anak yang lain. Ia didudukkan di boncengan sepeda Jeff. Kedua tangannya diikat melingkar pada pinggang Jeff. Ditambah ransel dan pancing sebagai pelengkap, rombongan itu kelihatan seperti baru pulang berkemah. Mereka menuruni jalan sambil bersepeda. Jeff berada di depan. Ketika Jeff, Dinky, dan Freddy membelok ke Turkey Hill Road yang menyusuri tepi utara Danau Strawberry, mereka mulai berpapasan dengan iring-iringan kendaraan yang sedang mencari si Manusia Terbang. Mobil terbuka yang membawa Pak Walikota pun baru saja membelok. “Hei, anak-anak! Segera kembali ke kota!” Pak Walikota berseru. “Baik, Pak,” balas Dinky. “Kami memang dalam perjalanan pulang.” Langsung saja ia kembali menggenjot sepeda. Seperempat kilometer kemudian sebuah sedan berwarna biru berpapasan dengan mereka, lalu mengerem secara mendadak. Pengemudinya memasukkan gigi mundur, dan mundur dengan kencang. Kepala Kolonel March muncul di jendela belakang. “Halo, anak-anak!” ia menyapa Jeff, Dinky, dan Freddy sambil tersenyum. Jeff melambaikan tangan sambil nyengir tak keruan, tapi terus saja menggenjot sepedanya. Dinky Poore hampir terjatuh karena berusaha memberi hormat secara militer sambil melewati mobil Kolonel March. Namun rupanya komandan pangkalan udara itu sudah mencium bahwa ada yang tidak beres. Langsung saja ia mengulurkan tangan dan menghentikan Freddy Muldoon. “Sebentar, Freddy! Siapa yang dibonceng oleh Jeff?” ia bertanya. “Oh, dia? Ehm... dia kawan kami,” jawab Freddy. “Kalau tidak salah, dia menginap
di rumah Henry Mulligan.” “Apakah dia berasal dari luar kota?” tanya Pak Kolonel. “Rasanya saya belum pernah melihatnya.” “Henry penduduk asli Mammoth Falls, kok.” “Saya tahu itu,” ujar Kolonel March. “Kawan kalian tadi yang saya maksud.” “Oh, dia? Ehm... soal itu... ehm... soal itu saya kurang tahu,” balas Freddy dengan gugup. “Mungkin dia tinggal di Kanada... mungkin juga di Inggris. Tapi saya rasa Pak Kolonel pasti tidak punya waktu untuk berkenalan dengan dia.” “Kelihatannya dia lebih tua dari kalian. Tapi kenapa dia malah dibonceng oleh Jeff?” “Soalnya, soalnya dia lagi sakit,” ujar Freddy cepat-cepat. “Ehm, maksud saya, ehm. Begini, Pak Kolonel, orang-orang di negara-negara tertentu tidak punya uang banyak.” “Oh, ya! Saya kira itu memang benar,” Kolonel March berkomentar. “Tapi sayang ya, pemuda itu kelihatannya cukup ramah. Kapan-kapan saya ingin berkenalan dengannya.” “Oh, dia memang ramah sekali,” kata Freddy, “dan sama sekali tidak sok tahu!” “Saya rasa saya mengerti apa yang kaumaksud, Freddy,” Pak Kolonel membalas. “Baiklah, sampai jumpa, Freddy! Salam untuk anak-anak yang lain.” “Sampai ketemu, Pak Kolonel!” Freddy langsung melesat seperti panah terlepas dari busur, dan dalam sekejap telah menyusul Jeff dan Dinky. Sementara itu, kami yang berada di loteng di atas toko Mr. Snodgrass juga tidak tinggal diam. Kini benar-benar tidak ada siapa-siapa di lapangan di depan Balai Kota, kecuali Sersan Billy Dahr yang tengah tidur pulas. Begitu yakin bahwa keadaannya aman, Homer Snodgrass memanjat salah satu tiang telepon dan memasang kawat pada pijakan kaki paling atas. Ujung kawat yang satu lagi telah kami pakukan pada dinding loteng. Ketika Jeff, Dinky, dan Freddy kembali sambil membawa si Manusia Terbang, kami segera mengeluarkan semua peralatan radio dari tubuh boneka itu, lalu mengganti pakaian pramukanya dengan overall berwarna biru. Setelah itu kami menggunakan cara yang sama dengan tadi pagi untuk menempatkannya di puncak monumen. Kami baru saja menutup jendela loteng, ketika Sersan Billy Dahr menguap lebar dan membuka mata. Secara mendadak ia melompat ke tengah jalan. Sambil terbengong-bengong ia memandang monumen di hadapannya. Petugas polisi itu menggosok-gosok mata dengan kedua tangan, kemudian kembali melotot. Ia menoleh ke segala arah untuk memastikan bahwa tidak ada orang lain, kemudian kabur ke arah pos polisi di ujung jalan. Setengah jam setelah itu, lapangan di depan Balai Kota sudah penuh orang lagi. Mobil yang ditumpangi Pak Walikota berhenti di depan monumen, dan tidak lama kemudian mobil pemadam kebakaran pun tiba. Para petugas pemadam kebakaran segera menaikkan tangga, dan dua orang dari mereka menaikinya. Kali ini laki-laki di puncak monumen tidak mengatakan apa-apa. Sepertinya ia telah kehilangan suara. Petugas pertama mencapai puncak monumen, lalu memegang si Manusia Terbang dengan dua tangan. Tetapi kemudian ia mundur selangkah dan menatapnya sambil mengerutkan kening. Tiba-tiba ia maju lagi, dan menggenggam pundak boneka kami. Para penonton yang berkerumun di bawah memekik kaget ketika petugas itu melemparkannya dari puncak monumen. Sedetik kemudian si Manusia Terbang telah
jatuh ke jala yang direntangkan oleh petugas-petugas yang lain. Orang-orang segera mendesak maju agar dapat melihat laki-laki yang baru saja jatuh dari ketinggian. Begitu juga Pak Walikota, ia menyodok boneka kami dengan ujung payung, lalu mendengus dengan kesal. Setelah itu ia bergegas menuju Balai Kota. Perlahanlahan kerumunan orang mulai bubar. Dan ketika matahari mulai tenggelam, Mike Corcoran terlihat berjalan menuju tempat biliar di Blake Street sambil menenteng boneka kami. Keesokan harinya upacara berjalan lancar tanpa gangguan. Leher Pak Walikota sempat terasa kaku, karena ia berulang kali menoleh ke puncak monumen untuk melihat apakah si Manusia Terbang muncul lagi. Tapi kecuali itu, semuanya berjalan sesuai rencana. Kolonel March juga hadir. Ia memanfaatkan undangan Pak Walikota untuk berpidato mengenai kesiapan dalam menghadapi hal-hal yang tak terduga. Ia mengatakan pada semua orang bahwa kini bukan saatnya lagi untuk mengandalkan tipu-muslihat, seperti yang dilakukan Hannah Kimball ketika menghalau orang-orang Indian. Ia juga menambahkan bahwa kita harus selalu waspada terhadap kejadian-kejadian di luar dugaan kita. Jika hal seperti itu terjadi, maka kita harus tetap tenang dan tidak boleh panik. Peristiwa yang terjadi kemarin merupakan pelajaran berharga bagi kita semua, katanya. Seusai upacara, Kolonel March menghampiri kami dan langsung menatap Henry Mulligan. “Ke mana teman kalian yang dari Kanada itu?” ia bertanya. “Saya ingin sekali berkenalan dengannya.” “Teman kami yang mana?” Henry balik bertanya. “Teman kalian yang dibonceng oleh Jeff kemarin,” ujar Pak Kolonel. “Oh, dia!” Henry berseru sambil melirik ke arah kami. “Ehm, terus terang saja, Pak Kolonel.” “Dia meninggal semalam!” Freddy cepat-cepat memotong. “Wah, syukurlah!” Pak Kolonel menanggapinya. Tapi ucapan itu segera diralatnya. “Maksud saya, kasihan sekali. Saya turut berdukacita” “Ya! Kami semua masih dilanda kesedihan,” kata Freddy. “Tampangnya memang sudah kurang sehat waktu saya melihatnya kemarin,” ujar Pak Kolonel. “Ya, dia memang benar-benar sakit keras,” Freddy menjelaskan. “Baiklah, tolong sampaikan pada keluarganya bahwa saya turut merasa sedih,” kata Kolonel March sambil mengedipkan sebelah mata. “Kami akan menyampaikannya.” Dengan demikian kasus si Manusia Terbang telah selesai bagi Kolonel March. Namun kebanyakan penduduk Mammoth Falls merasa bahwa misteri itu tetap belum terbongkar secara tuntas. Sampai sekarang pun orang-orang masih berdebat mengenai kejadian itu. Ada yang percaya bahwa memang ada laki-laki di puncak monumen, dan bahwa seseorang kemudian menempatkan sebuah boneka dengan pakaian yang persis sama. Ada juga yang menduga bahwa hanya ada dua boneka, dan bahwa ada orang yang membuat boneka pertama bisa berbicara. Namun tak seorang pun bisa menjelaskan apa yang terjadi dengan boneka yang pertama maupun balon yang
digunakan, sebab kedua barang itu tidak pernah ditemukan. Orang-orang yang berbeda pendapat itu biasanya lalu pergi ke tempat biliar milik Mike Corcoran, di mana boneka si Manusia Terbang ditempatkan sebagai penjaga pintu. Mike telah menaruh sebuah papan pengumuman di kaki boneka itu. Pengumuman itu berbunyi: Jangan Mau Ditipu oleh Boneka Pengusir Burung!
5. Pertandingan Balon Gas
ZEKE BONIFACE memiliki junk yard (tempat pengumpulan barang bekas) yang paling lengkap di seluruh dunia. Asal tekun dan mau meluangkan waktu untuk mencari agak lama, orang bisa mendapat hampir apa saja. Setiap kali seorang calon pembeli menanyakan suatu barang, Zeke akan menggigit-gigit cerutu yang jarang terlepas dari bibir, lalu mengusap kumisnya dengan satu jari. Setelah itu ia akan mengerutkan kening sambil menggaruk-garuk kepala, seakan-akan belum pernah mendengar nama barang yang ditanyakan. Tapi cepat atau lambat, Zeke akan teringat bahwa ia pernah melihat barang yang diminta, lalu menuju salah satu tumpukan barang bekas yang memenuhi pekarangannya. Zeke tidak pernah menyentuh barang-barang itu. Ia hanya menunjukkan tempat barang yang diminta, kemudian membiarkan si calon pembeli mencari dan mengambilnya sendiri. Dengan cara inilah kami menemukan perahu karet sisa Perang Dunia II, yang kemudian kami pakai sebagai gondola (tempat penumpang) untuk balon rancangan Henry Mulligan. Henry merancang balon itu dalam rangka menghadapi pertandingan balon gas di Mammoth Falls. Setiap tahun kota kami menjadi tuan rumah County Fair, dan sepanjang ingatan orang, selalu ada acara pertandingan pada hari pembukaan. Mula-mula pertandingan itu berupa balapan kereta kuda. Kemudian kereta kuda diganti dengan traktor. Tetapi selama beberapa tahun terakhir, pihak panitia selalu mengadakan pertandingan balon gas. Orang-orang berdatangan dari segala penjuru negara bagian untuk menyaksikan acara itu. Jika angin bertiup seperti biasa, maka pertandingan dimulai di White Fork dan berakhir di Mammoth Falls. Jarak yang harus ditempuh sekitar 75 kilometer. Pada umumnya sebagian besar peserta tidak mencapai finish karena kehabisan beban, atau balon gas mereka bocor sebelum sampai di Mammoth Falls. Sering kali pihak polisi menghabiskan satu hari penuh untuk mencari peserta-peserta yang terpaksa mendarat darurat di tengah hutan. Kadang-kadang ada peserta yang benarbenar tersesat, sehingga semalam suntuk mencari jalan ke kota. Henry berpendapat bahwa kami berpeluang untuk memenangkan pertandingan tahun ini. Ia telah menyiapkan rancangan balon yang tidak memerlukan beban dan dapat mengambang untuk waktu yang tak terbatas. “Balon macam apa itu?” tanya Freddy Muldoon sambil menggosok-gosok hidungnya yang nampak merah. Ia memang lagi pilek berat. “Lihat saja nanti kalau sudah selesai,” jawab Henry. “Aku tidak mau rencanaku diketahui oleh seluruh kota, soalnya Harmon Muldoon juga ikut bertanding. Jangan sampai dia mencuri ide-ide kita.”
“Siapa saja yang akan bertugas sebagai awak balon?” tanya Dinky Poore, sambil berharap-harap untuk terpilih. Jeff Crocker segera mengetokkan palunya. “Selaku ketua perkumpulan kita,” katanya, “dengan ini aku memberi wewenang pada Henry Mulligan untuk menentukan awak balon. Keputusannya tidak bisa diganggu-gugat, dan harus ditaati oleh kita semua!” Selama tiga minggu berikutnya kami disibukkan oleh berbagai pekerjaan persiapan. Kami tahu bahwa kami akan menghadapi persaingan ketat, karena di antara peserta pertandingan yang telah mendaftarkan diri ada beberapa orang yang sudah sangat berpengalaman. Harmon Muldoon juga ikut. Ia disponsori oleh Mike Corcoran, pemilik tempat biliar di Blake Street. Mike ingin memenangkan pertandingan untuk mendapatkan publisitas. Karena itu ia bersedia mengeluarkan uang banyak untuk memastikan bahwa Harmon memperoleh balon yang paling baik. Dengan demikian pertandingan tahun ini sesungguhnya merupakan adu kemampuan antara Henry Mulligan, yang mengandalkan kecerdasan, dan Harmon Muldoon, yang didukung oleh sponsornya. Tapi kalau menyangkut ilmu pengetahuan, otak yang cerdas sering kali lebih bermanfaat dibandingkan uang, dan kami semua percaya penuh pada kemampuan Henry. Balon kami dipersiapkan di loteng di atas toko kepunyaan Mr. Snodgrass, ayah Homer. Kami sengaja tidak bekerja di markas, soalnya selalu ada anggota gang Harmon yang berusaha mengintip kegiatan kami di sana. Sementara itu, loteng di atas toko ayah Homer berada di lantai tiga, sehingga sulit untuk diintip pihak lawan. Ada satu hal yang harus diperhatikan kalau merancang balon, yaitu gerakan balon yang sering kali menyerupai gerakan yoyo. Sebuah balon bisa mengangkasa dengan cepat, tetapi kemudian turun lagi dengan kecepatan yang sama. Menurut Henry, hal itu berhubungan dengan keseimbangan antara suatu benda dengan medium di mana benda tersebut mengambang. Selama sebuah balon sedikit lebih ringan dibandingkan udara yang tergeser, maka semuanya aman-aman saja. Balon itu akan terus mengambang pada ketinggian tertentu, dan tidak menimbulkan kesulitan sama sekali. Tapi jika suhu udara meningkat, atau balon itu terjebak dalam arus udara naik, maka awak balon bisa dibawa sampai ketinggian enam ribu meter. Kalau kemudian arus udara berhenti, atau suhu udara turun lagi, maka balon tadi akan jatuh seperti batu. Gawatnya, balon tersebut tidak kembali ke posisi semula. Balon itu akan meluncur begitu cepat, sehingga bisa terempas ke tanah. Untuk mencegah hal itu, awaknya harus cepat-cepat melepaskan kantong-kantong beban berisi pasir. Kebanyakan awak balon akan mengurangi gas dari dalam balon kalau mereka naik terlalu cepat, atau melemparkan kantong pasir jika mereka turun terlalu cepat. Kesulitannya adalah bahwa mereka lambat-laun akan kekurangan gas atau kantong pasir, sehingga ketinggian balon tidak bisa diatur lagi. Kalau sudah begitu, mereka terpaksa mendarat. Dalam pertandingan yang menempuh jarak 75 kilometer, dapat dipastikan bahwa sekitar 90% dari semua peserta tidak berhasil mencapai tempat finish. Henry telah mendapat ide untuk mengatasi kesulitan itu, dan inilah rahasia yang harus kami jaga dengan ketat. Henry memang berotak cerdas. Mrs. Mulligan sampai mengeluh, karena anaknya itu lebih suka berpikir daripada makan. Kadang-kadang Henry tiba-tiba merenung di tengah-tengah acara santap malam. Kalau sudah begitu, ia akan menggeser piringnya ke samping lalu berkonsentrasi penuh. Makanannya takkan disentuh sebelum ia berhasil memecahkan masalah yang menghantui pikirannya. Jika ditegur, maka Henry secara sembunyi-sembunyi akan memberikan makanannya kepada anjing mereka. Anjing keluarga Mulligan adalah anjing paling gemuk dalam radius beberapa kilometer.
Beberapa orang menganggap Henry agak gila. Tapi dia sendiri tidak peduli. Kita harus makan agar tetap sehat dan kuat, ia selalu berpetuah, tapi jangan sampai kita lupa hal-hal yang lebih penting. Semuanya tergantung pada niat kita, apakah kita mau menjadi ilmuwan setelah dewasa, atau orang gembrot yang dipertontonkan di sirkus. Freddy Muldoon punya prinsip yang lain. Dia juga selalu berpikir, tetapi pikirannya hanya berkisar di sekitar makanan. Ketika Freddy bertanya pada Henry apakah ia boleh jadi awak balon, Henry menjawab bahwa kami tidak memerlukan beban seberat dia. Ide Henry sebenarnya sederhana saja. Sebagian besar ide gemilang memang seperti itu. Ia yakin bahwa sebuah balon bisa dikontrol jika jumlah gas di dalamnya dapat diatur secara teliti, sehingga awak balon tidak memerlukan kantong pasir sebagai pemberat. Dengan bantuan kompresor serta sejumlah tangki gas di dalam gondola, maka gasnya dapat dipompa ke dalam tangki untuk mengurangi ketinggian terbang. Untuk menambah ketinggian, awak balon tinggal menambahkan gas ke dalam balon. Kami menggunakan parasut-parasut bekas untuk membuat balon, yang kemudian kami bawa ke gudang Jeff Crocker. Tahap berikut adalah pengisian gas helium ke dalam balon sampai mengembang penuh, agar balonnya dapat dicat. Jika kalian belum pernah mengecat sebuah balon, maka lebih baik jangan dicoba, deh! Pekerjaan itu jauh lebih berat ketimbang mengecat rumah, soalnya sebuah balon tidak bisa dipanjat. Sebagian besar tugas ini dikerjakan oleh Dinky Poore sambil berdiri di sebuah tong yang tergantung pada balok atap di gudang Jeff. Setelah selesai dicat, kami siap melakukan rangkaian uji coba. Untuk itu kami pergi ke sebuah lapangan terbuka di daerah perbukitan di seberang Danau Strawberry. Perhitungan Henry ternyata hampir tepat. Balon kami punya daya angkat sebesar 250 kilogram. Itu cukup untuk membawa tiga awak, dua tangki gas bertekanan tinggi, sebuah kompresor, dan sejumlah perlengkapan lainnya. Kami mengambang di ketinggian 30 meter, balon kami ditahan oleh tali-tali panjang, sehingga Henry dapat bereksperimen dengan kompresor untuk mengetahui seberapa cepat balon kami menambah atau mengurangi ketinggian. Henry juga mengikatkan balon kami pada timbangan berpegas untuk mengukur daya angkat dengan beban maksimum. Seusai mengadakan serangkaian uji coba, Henry tersenyum puas. “Aku sudah mempelajari medan antara White Fork dan Mammoth Falls,” katanya. “Kita harus terbang di atas ketinggian 350 meter agar dapat melewati bukit-bukit yang paling tinggi. Tapi kalau semua berjalan sesuai rencana, dan cuaca mendukung, maka daya angkat balon kita cukup untuk mengambang pada ketinggian 600 meter.” “Ah, 600 meter sih belum apa-apa,” ujar Freddy Muldoon. “Kecuali kalau kau terpaksa melompat dari ketinggian segitu,” Mortimer Dalrymple menanggapinya. “Kenapa harus 600 meter?” aku bertanya. “Soalnya pada ketinggian itu terdapat lapisan udara berangin kencang. Tapi arus udaranya hanya muncul kalau cuaca sedang cerah. Kecepatannya sekitar 40 sampai 50 kilometer per jam, dan arahnya tepat ke tempat finish. Aku sudah berkonsultasi dengan ahli cuaca di Pangkalan Udara Westport Field mengenai hal ini.” “Sebaiknya Harmon Muldoon jangan sampai tahu,” Dinky berkomentar. “Wah, keberadaan lapisan udara itu pasti bukan rahasia lagi,” kata Homer Snodgrass. “Jangan lupa, di antara peserta-peserta yang lain ada beberapa orang
yang sudah sangat berpengalaman. Mereka pasti tahu segala sesuatu mengenai cuaca dan kondisi angin di daerah ini.” “Memang,” ujar Henry, “tapi pertanyaannya, apakah mereka sanggup naik sampai 600 meter lalu bertahan pada ketinggian itu? Aku yakin kita sanggup kalau awak balon kita terdiri dari tiga orang, dan salah satunya adalah Dinky.” “Ah, payah!” kata Freddy Muldoon. Kami semua tahu bahwa Henry harus ikut terbang, yang berarti hanya tinggal satu tempat lagi. Untuk menentukan siapa yang beruntung, kami segera melakukan undian. Ternyata akulah pemenangnya. “Ah, payah!” Freddy mendesah tertahan. Pada malam sebelum pertandingan, Zeke Boniface membawa truknya, dan mengangkut semua peralatan kami ke White Fork. Kami berkemah di tepi lapangan yang akan digunakan sebagai tempat start. Dengan demikian kami langsung bisa mulai bekerja setelah bangun. Soalnya ada banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum sebuah balon bisa mengudara. Malam itu kami hanya tidur sebentar. Pagi-pagi sekali kami sudah terbangun. Selain kami masih ada banyak kelompok yang sedang melakukan persiapan menjelang start. Homer Snodgrass berjalan-jalan untuk mencari informasi dan gosip yang beredar di antara mereka. Homer memang sangat berkepentingan, karena Daphne Muldoon, pacar Homer, akan terpilih sebagai Ratu County Fair seandainya kami memenangkan pertandingan. Ada duapuluh kelompok yang mendaftarkan diri nampak berwarna-warni. Beberapa di antaranya balon menyerupai seekor ikan besar, dan satu Balon Harmon Muldoon diberi nama Green Onion memang cocok dengan namanya.
sebagai peserta. Balon-balon mereka mirip hiasan pohon Natal. Satu lagi nampak seperti ulat raksasa. (Bawang Hijau), dan penampilannya
“Mudah-mudahan balon Harmon nanti bertunas,” Dinky berkomentar ketika pertama kali melihatnya. Balon kami sendiri menampilkan wajah yang mirip wajah Alonzo Scragg, Walikota Mammoth Falls. Kami menjulukinya “Si Kepala”. Hidung pada wajah itu sekaligus berfungsi sebagai katup darurat. Katup ini diperlukan untuk mengempiskan balon kalau kami terperangkap dalam angin kencang di dekat permukaan tanah. Kalau hal itu tidak dilakukan, maka balonnya akan terseret angin dan bisa menabrak pohon atau batu karang. Menurut jadwal pertandingan, start akan dilakukan pukul delapan pagi. Empat jam sebelumnya sudah ada beberapa kelompok yang mulai mengisi balon-balon mereka dengan gas. Setelah mengembang penuh, balon-balon itu diikatkan pada sejumlah pasak agar tidak lepas-landas. Tapi Henry berpendapat bahwa sebaiknya kami menunggu sampai matahari terbit, sebab pada waktu itu suhu udara akan naik sekitar sepuluh derajat. Kenaikan suhu udara ini diiringi oleh tiupan angin yang cukup kencang, sehingga para peserta yang telah mengisi balon-balon mereka dengan gas akan kerepotan sendiri. Perkiraan Henry ternyata benar. Menjelang matahari terbit, Harmon Muldoon beserta anak buahnya mendatangi kami. Seperti biasa, mereka hanya bisa mengejek dan mencari perkara. “Jangan tanggapi mereka,” ujar Jeff ketika melihat Harmon dan gerombolannya mendekat. “Biar Henry dan aku saja yang bicara. Kita tidak punya waktu untuk bertengkar dengan mereka.” “Wah, inilah balon yang paling!” ujar Stony Martin, yang di kelompoknya sendiri pun dijuluki si Mulut Besar. “Yang paling apa?” teman-temannya menyahut dengan kompak.
“Balon paling kempis yang pernah kulihat!” Stony berseru sambil menendang pinggiran balon kami, yang terbentang di atas tanah dan dibebani dengan batu dan papan kayu. Tindakan ini disambut dengan gelak tawa. “Kalau kalian sudah selesai ketawa, tolong jelaskan bagaimana kami bisa membantu kalian,” ujar Jeff sambil bersandar pada sleeping bag-nya. “Mungkin kalian datang untuk minta petunjuk?!” Harmon Muldoon mendengus kesal. Sambil bertolak pinggang ia berdiri di hadapan Jeff. “Kami hanya ingin memastikan bahwa kalian tidak membawa senapan angin atau ketapel,” katanya. “Asal tahu saja, panitia melarang para peserta membawa barang-barang seperti itu.” “Oh, ya?” balas Mortimer Dalrymple. Dengan geram ia mengepalkan tangannya. “Ya, ampun!” Freddy Muldoon menimpali. “Aku baru ingat bahwa aku lupa membawa busur dan anak panah!” “Hei, aku kan sudah memperingatkan kalian!” dengan tegas Jeff menegur Mortimer dan Freddy. Lalu ia berdiri dan menatap Harmon Muldoon, “Kalau kami memenangkan pertandingan ini, Harmon, maka kami akan memenangkannya secara jujur. Kami tidak biasa berbuat curang.” “Kami tidak khawatir mengenai itu,” jawab Stony Martin. “Kami hanya mau memastikan bahwa kalian takkan menghalangi kami nanti, itu pun kalau kalian berhasil mengudarakan karung beras yang menyedihkan ini.” “Tulis surat saja kalau kami menghalangi kalian,” ujar Mortimer sambil menguap. “Mortimer! Diam!” Jeff memerintah. “Di mana awak kalian akan duduk nanti?” tanya Harmon. “Aku tidak melihat gondola di sekitar sini.” “Inilah gondola kami,” kata Henry sambil menepuk-nepuk bungkusan di belakangnya. “Apa itu?” “Sebuah perahu karet,” jawab Henry. “Memangnya kalian tidak tahu bahwa kalian harus menyeberangi Danau Strawberry untuk sampai ke tempat finish?” “Kami bukannya tidak tahu,” balas Stony sambil nyengir. “Cuma kami tidak merencanakan untuk mendarat sebelum sampai ke sana.” Henry menghadapi ledakan tawa yang menyusul sambil tersenyum. “Berdasarkan pembicaraan kalian, aku menebak bahwa kalian akan menggunakan udara panas untuk mengisi balon kalian,” ia berkata dingin. “Barangkali kalian punya mantra khusus untuk menyeberangi danau!” Dinky Poore berkomentar. “Cukup!” Jeff berseru sambil menegakkan badan. “Sepertinya tamu-tamu kita sudah mau pulang. Terima kasih atas kunjungan kalian!” Ketika hendak pergi, Stony Martin mencoba menyikut tengkuk Dinky. Tapi entah bagaimana, tiba-tiba ia kehilangan keseimbangan dan jatuh berdebam. “Oh, sorry!” ujar Mortimer sambil menarik kakinya yang terselonjor ke depan. Dengan sopan ia mengembalikan topi Stony yang tergeletak di tanah. “Belum apaapa kok sudah mabuk udara?” Begitu matahari menampakkan diri, angin kencang mulai bertiup dari arah timur, persis seperti yang diramalkan oleh Henry. Beberapa peserta nampak kalang-kabut
Dengan susah payah mereka menjaga balon-balon mereka agar tidak terbawa angin. Tapi dua kelompok bernasib buruk. Balon mereka terseret menyeberangi lapangan, kemudian kandas di antara pohon-pohon. “Nah, saingan kita sudah mulai berkurang,” Henry menanggapi kejadian itu. “Mereka takkan sanggup memperbaiki kerusakan sebelum pertandingan dimulai.” Setengah jam kemudian giliran kami mengunjungi Harmon Muldoon dan gang-nya, untuk melihat bagaimana persiapan mereka. Ternyata mereka sedang mengalami kesulitan. Harmon terpaksa melepaskan sejumlah gas untuk mencegah balonnya terbawa angin. Tetapi beberapa pasak penahan sudah tercabut dari tanah. Ketika kami sampai di sana, Harmon dan anak buahnya sedang berjuang melawan angin kencang. Semuanya sibuk menarik tali pengikat untuk mendekatkan balon mereka ke permukaan tanah. Si Bawang Hijau nampak terombang-ambing seperti sebuah perahu yang dihantam badai di laut lepas. “Kalau begini caranya, kalian takkan berhasil!” Henry berseru. “Kalian harus menarik tali-tali itu satu per satu!” Pada saat bersamaan, tiupan angin kencang mengangkat balon mereka. Dua rekan Harmon terseret-seret, sehingga akhirnya harus melepaskan tali yang sedang mereka genggam. Satu lagi pasak penahan tercabut dari tanah. Stony Martin, dengan tali membelit lengan kirinya, terangkat dari tanah dan melayang-layang di udara. Tinggal satu pasak yang masih menahan balon, namun pasak itu pun sudah hampir tercabut. Stony menggantung sekitar dua meter di atas tanah. Kedua kakinya menendang-nendang dengan liar. Jeff Crocker segera bertindak. Ia melompat dengan sekuat tenaga dan berhasil menangkap kaki Stony. Kedua anak itu jatuh ke rumput. Tapi sebelum mereka sempat berdiri, si Bawang Hijau kembali terangkat oleh tiupan angin. “Panggil Zeke! Suruh dia bawa truknya ke sini!” teriak Mortimer sambil mendorong pundak Dinky. Ia dan Henry kemudian bergegas menuju pasak yang masih tertinggal. Bersama-sama mereka lalu menindih pasak itu. Homer Snodgrass dan aku menangkap seutas tali yang tergantung dari gondola, dan memperkokoh pijakan kaki. Anak buah Harmon nampak terbengong-bengong. Tapi kemudian mereka segera membantu kami. Semuanya berhasil meraih seutas tali, tapi sebuah balon udara yang terjebak dalam angin kencang sama saja dengan seekor kuda liar. Hanya dengan susah-payah kami mempertahankan posisi. Untung Dinky segera datang bersama Zeke Boniface. Zeke menghentikan truknya tepat di bawah balon, melompat turun, lalu menangkap seutas tali dengan tangannya yang mirip godam. Dengan sebelah kaki tersangkut pada kemudi, ia mulai menarik balon berikut kami semua ke arahnya. Kemudian ia mengikatkan ujung tali pada tiang kemudi, dan melompat ke bak truk di mana ia mengikatkan tali kedua. Si Bawang Hijau tetap meronta-ronta, tetapi gerakannya tertahan oleh mobil Zeke. “Wah, terima kasih!” kata Harmon setelah balonnya berhasil diamankan dan tiupan angin mulai melemah. “Tidak apa-apa,” jawab Jeff. “Balon gas memang aneh. Suatu waktu dia hampir tidak bisa dicegah untuk lepas-landas, tetapi sesaat kemudian dia tidak mau mengudara sama sekali.” “Kami takkan mengalami kesulitan untuk menerbangkan balon kami!” teriak Stony Martin dengan kesal. “Hah, lihat saja bagaimana nanti!” balas Freddy Muldoon sambil ngeloyor pergi. Lima belas menit setelah matahari menampakkan diri di cakrawala, kami pun mulai mengisikan gas ke dalam balon. Angin bertiup lembut, dan langit nampak cerah. Kami masih punya waktu satu jam sampai aba-aba start dibunyikan. Seperti biasa, Henry mengharuskan kami menjalankan pemeriksaan terakhir untuk setiap tahap persiapan. Ia menyebutkan angka-angka yang merupakan kode bagi pekerjaan
tertentu, dan kami menyahut “Oke!” jika pekerjaan tersebut sudah ditangani. Kedengarannya persis seperti countdown sebelum peluncuran roket. “Inilah satu-satunya cara untuk memastikan bahwa tidak ada yang terlewat,” Henry menjelaskan. “Kalau ada banyak hal yang harus diingat, maka mudah sekali untuk melupakan salah satu di antaranya. Tapi kalau setiap pekerjaan diberi nomor urut, maka takkan ada kesulitan. Rasanya tidak mungkin kita lupa bahwa di antara tiga dan lima ada angka empat.” Balon-balon udara panas juga mulai diisi, dan tidak lama kemudian lapangan tempat start sudah menyerupai dunia impian yang penuh kain sutera berwarnawarni. Balon-balon dan tenda-tenda terlihat di mana-mana. Orang-orang berdatangan dari segala penjuru untuk menyaksikan saat pemberangkatan. Dinky Poore duduk di atas ranselnya dengan mata terbelalak. “Hebat!” ia terkagum-kagum. Tiba-tiba pengeras suara berkeresek dan seorang anggota panitia mulai memberi petunjuk pada para peserta. Para penonton pun mulai gelisah, dan menuju ke tengah-tengah lapangan. Sepertinya hampir setiap orang membawa kamera atau teropong atau kedua-duanya. Beberapa orang bahkan memanjat ke atas tenda untuk memasang kamera video. Tetapi mereka segera diusir oleh petugas keamanan. Saat yang dinanti-nanti akhirnya tiba, setelah berangan-angan dan mempersiapkan diri selama berminggu-minggu. Hanya beberapa menit memisahkan balon kami dari penerbangan perdananya. Perutku mulai terasa tidak enak, dan aku melihat Henry melepaskan kacamata lalu menggosok-gosoknya tanpa alasan sama sekali. Walikota White Fork berdiri di atas panggung dan memperkenalkan Alonzo Scragg; rekannya dari Mammoth Falls. Kemudian ia memanggil gadis-gadis yang merupakan calon Ratu County Fair. Mereka masing-masing memberikan pidato singkat, kemudian melemparkan bunga mawar pada pemimpin kelompok yang mensponsorinya. Jika mawarnya jatuh ke tanah, maka itu diartikan sebagai pertanda buruk. Melissa Plunkett, pacar Stony Martin, memberikan kata sambutan dengan lancar. Tetapi lemparannya meleset, sehingga Harmon Muldoon terpaksa menjatuhkan diri agar dapat menangkap bunga yang dilemparkan. “Satu hal harus diakui, dalam hal memilih pacar, Stony memang hebat,” Mortimer Dalrymple mendesah. “Melissa benar-benar cantik sekali!” “Ah, giginya tonggos, kok,” Dinky Poore berkomentar. Ketika nama Daphne Muldoon dipanggil, kami segera bersuit-suit dan bersoraksorai. Daphne memberi ciuman jarak jauh pada Homer sebelum melemparkan bunganya, dan Homer masih berdiri dengan wajah merah ketika kami mulai mempersiapkan penerbangan balon kami. Dinky, Henry, dan aku memanjat ke dalam gondola. Yang lain mulai memeriksa talitali pengikat. Peraturan pertandingan mengharuskan empat buah tali tetap terikat sampai aba-aba start dibunyikan. Dengan gelisah Henry meraba-raba mekanisme pelepas dan mengamati alat pengukur tekanan gas. Jeff Crocker memandang ke arah tenda panitia sambil mengangkat tangan kanan. Kami melihat bendera kotak-kotak dikibaskan. Gumpalan asap muncul dari tenda panitia, diikuti oleh suara tembakan pistol. Tapi bunyinya tidak seberapa keras. Kami belum percaya bahwa pertandingan dimulai, sampai kami mendengar sorak-sorai para penonton dan melihat sebuah balon mulai mengangkasa. “Lepaskan tali pengikat!” teriak Jeff sambil melompat mundur dari gondola. Kami segera mengikuti perintahnya. Balon kami naik beberapa puluh sentimeter, lalu oleng dan mulai berputar berlawanan arah jarum jam. Ternyata kami masih tertahan oleh seutas tali, dan Dinky Poore sedang berusaha keras untuk melepaskannya. Aku mengulurkan tangan dan mencoba membantu, tetapi alat
pelepasnya bengkok dan tidak bergerak sama sekali. Dari sudut mata aku melihat Zeke Boniface melompat maju. Pisau belati di tangannya nampak berkilau-kilau. Dengan sekali sayat ia berhasil memotong tali pengikat terakhir. Balon kami langsung menanjak dan mulai terbawa angin. Perjalanan telah dimulai. Henry duduk di lantai gondola. Pandangannya beralih-alih dari jam tangan yang ia pakai ke alat pengukur ketinggian. Kemudian ia menatap alat pengukur tekanan gas, lalu mendongak menatap balon kami. Dinky dan aku bersandar pada tepi gondola. Sambil tersenyum lebar kami melambaikan tangan pada teman-teman di bawah, yang semakin lama semakin kelihatan kecil. Tiba-tiba gondola mulai terguncang-guncang dengan hebat. Sebuah balon besar berwarna jingga muncul dari bawah, dan sekali lagi menabrak kami. Setelah itu balonnya naik secara tegak lurus. “Uh, hampir saja!” Henry mendesah sambil mengamati balon yang kini telah berada di atas kami. “Hmm, mereka naik terlalu cepat. Sebentar lagi mereka harus melepaskan gas dari selubung kalau tidak mau kehilangan kontrol” Sejauh ini kami tidak punya waktu untuk memperhatikan balon Harmon, si Bawang Hijau. Langit di sekitar kami penuh dengan balon-balon. Ada yang naik secara perlahan-lahan, ada yang mengangkasa secepat roket, tapi ada juga yang masih tertahan di tanah. Gondola kami kembali terayun-ayun dengan hebat, ketika tiupan angin kencang mulai mendorong balon kami. Dua balon yang belum sempat mengudara ikut terperangkap dalam tiupan angin. Mereka terseret-seret melintasi ladang, dan akhirnya kandas di tepi hutan. Salah satunya langsung mengempis, dan kami menyaksikannya terkoyak-koyak. Dinky dan aku memandang ke segala arah. Sebenarnya kami bermaksud mencari si Bawang Hijau, tetapi terlalu banyak yang terjadi secara bersamaan di sekitar kami. Balon jingga tadi telah berada jauh di atas kami, dan kini sedang melayang ke arah Mammoth Falls dengan kecepatan yang relatif tinggi. Balon itu sudah satu kilometer di depan kami. Henry segera menudingnya. “Mereka sudah memasuki lapisan udara yang kita tuju,” ia berkata. “Tapi mereka masih naik terlalu cepat. Tunggu saja, sebentar lagi mereka akan menembus batas atas dari lapisan udara itu.” Aku mengarahkan teropong pada balon itu dan melihat awaknya saling menepuk punggung. Mereka menyangka bahwa mereka telah berhasil. Namun ramalan Henry kembali terbukti tepat. Balon jingga itu terus naik sampai hanya terlihat sebagai bintik hitam di langit Dan balonnya nampak berhenti di tempat. Kami melintas tepat di bawahnya, ketika balon kami memasuki lapisan udara berangin kencang dan mulai meluncur ke Mammoth Falls. Tiba-tiba balon jingga tadi mulai turun dengan cepat. “Mereka terlalu banyak melepaskan gas!” kata Henry. “Dan terlalu cepat! Seharusnya awak itu tetap tenang dan jangan panik karena balon mereka naik terlalu cepat. Katup untuk melepaskan gas harus diputar secara perlahan-lahan. Kalau begitu caranya, mereka mungkin akan membentur permukaan tanah.” Memang, balon jingga itu semakin cepat mendekati tanah. Gondolanya terguncangguncang dengan hebat ketika melewati lapisan udara berangin kencang. Kami sempat melihat awak balon itu melemparkan kantong-kantong pasir ke bawah. “Balon itu takkan sampai di Mammoth Falls,” Henry berkomentar. “Mereka terlalu banyak membuang beban untuk mengurangi kecepatan, padahal mereka masih membutuhkannya nanti.” Balon jingga itu akhirnya berhenti jauh di bawah kami. Kemudian ia naik lagi, tapi hanya sekitar tiga puluh meter. Perlahan-lahan balonnya mulai bergerak ke arah barat. Pada waktu itu kami sudah dua atau tiga kilometer di depannya, dan
kami bergerak maju dengan sangat cepat. “Tamatlah riwayat mereka,” kata Henry. “Kecuali kalau mereka masih punya banyak kantong pemberat yang bisa dilempar ke luar, mereka takkan sanggup mencapai ketinggian yang cukup untuk melewati bukit-bukit di sekitar Danau Strawberry.” Kini tinggal sepuluh balon yang masih bertahan. Yang lainnya mungkin sudah terpaksa mendarat, atau tertinggal begitu jauh sehingga tidak lagi perlu dianggap sebagai saingan. Aku akhirnya menemukan si Bawang Hijau jauh di sebelah selatan, pada ketinggian yang kurang lebih sama dengan balon kami. Rupanya Harmon dan anak buahnya juga berhasil masuk ke dalam lapisan udara berangin kencang. Ada satu hal yang membuat perjalanan naik balon begitu unik. Jika kalian tidak melihat ke bawah, kalian takkan tahu bahwa kalian sedang bergerak. Sebuah balon akan terbang ke mana pun angin meniupnya. Dan karena kalian bergerak searah angin, maka tak ada angin yang menerpa wajah kalian. Semuanya begitu tenang, sehingga kalian kadang-kadang merasa seperti mengambang di langit tanpa bergerak maju. Tentu saja urusannya sedikit berbeda kalau kalian terperangkap dalam arus angin naik atau turun, atau jika balon kalian dipermainkan oleh angin badai. Tapi, dalam cuaca cerah kalian bisa terbang di atas sekawanan sapi yang sedang merumput, dan mereka sama sekali tidak mengetahui kehadiran kalian. Dinky sedang mengagumi pemandangan di sekitar kami sambil menyandarkan dagu pada tepi gondola. Suasana di dalam sebuah balon udara memang tidak mencerminkan suasana hiruk-pikuk yang biasa terjadi pada setiap pertandingan. Aku memberitahu posisi si Bawang Hijau pada Henry. Ia melirik jam tangannya, kemudian memeriksa peta yang ia pasang pada sepotong papan. “Kalau semuanya berjalan sesuai rencana, maka kita bisa mencapai tempat finish dalam waktu kurang dari dua jam,” katanya. “Ujian paling berat adalah di sekitar Danau Strawberry, di mana kita harus melewati bukit-bukit yang mengelilingi danau. Kalau balon Harmon masih ada di udara nanti, maka perlombaannya akan berakhir secara menarik.” Sesaat kemudian kami dihubungi oleh Jeff. Ia bertanya apakah kami dapat melihat si Bawang Hijau, dan kami memberitahunya bahwa balon itu berada di sebelah selatan kami. Di sebelah utara, pada jalan utama antara White Fork dan Mammoth Falls, kami melihat iring-iringan mobil yang sedang menuju ke tempat finish. Dengan bantuan teropong, aku menemukan truk milik Zeke Boniface. Konvoi kendaraan dipimpin oleh sejumlah sepeda motor, dan semua calon Ratu County Fair duduk dalam mobil terbuka. Tapi aku tidak bisa memastikan yang mana Daphne Muldoon. Radio kami kembali berkeresek, dan ternyata suara Jeff lagi yang terdengar. Ia mengatakan bahwa ia sudah bisa melihat kami. Ia juga mengingatkan bahwa jika tidak ada balon yang bisa mendarat tepat di tempat finish, maka yang akan dipilih sebagai pemenang adalah awak balon yang pertama-tama sampai dengan berlari. Tiba-tiba terdengar suara lain, suara Harmon Muldoon. “Kalau kalian mau lari, maka sebaiknya kalian mulai dari sekarang saja. Soalnya kami akan mendarat tepat di depan meja juri!” Kami menoleh ke arah si Bawang Hijau, dan melihat bahwa balon itu kini sudah berada di dekat balon kami. Sosok Harmon, Stony Martin, dan Buzzy McCauliffe kelihatan jelas. Dinky Poore mulai melompat-lompat sambil membalas ejekan lawan kami. Henry terpaksa menyuruhnya diam, agar gondola kami tidak terlalu bergoyang-goyang. Tetapi beberapa saat setelah itu Dinky nyaris kehilangan seluruh semangatnya. Kami terbang di bawah segumpal awan hitam yang besar sekali. Balon kami diombang-ambingkan oleh hujan badai. Guncangan-guncangan hebat membuat wajah Dinky jadi pucat-pasi. Kali ini ia sungguh-sungguh harus bergelantungan pada
tepi gondola, sementara aku memegangi kakinya. Kami semua basah-kuyup. Dinky duduk di tengah genangan air di lantai gondola, sambil bergumam mengenai segala hal yang akan ia kerjakan seandainya kami bisa mendarat dengan selamat. Ketika akhirnya berhasil keluar dari bayangan awan hitam tadi, ternyata kami hanya kehilangan sedikit ketinggian. Selebihnya tidak ada kerusakan. Henry memeriksa alat pengukur ketinggian dan alat pengukur tekanan gas, lalu memutuskan untuk melepaskan sedikit gas ke dalam balon. “Pelan-pelan!” Dinky berkata dengan cemas. “Aku tidak mau mengalami nasib yang sama dengan awak balon jingga tadi!” Setelah kembali berada pada lapisan udara berangin kencang, Henry menyuruh Dinky mengawasi alat pengukur ketinggian. “Kita bakal naik lagi setelah balon mengering,” ia berkata. “Berarti kita harus bersiap-siap untuk memompa kelebihan gas yang ada dalam balon kembali ke dalam tangki.” Henry mulai mengamati saingan-saingan yang masih tersisa. Hanya tiga balon yang kelihatan. Salah satunya adalah si Bawang Hijau. Balon Harmon Muldoon itu berada jauh di depan kami dan sedang menuju ke perbukitan di sebelah timur Danau Strawberry. Rupanya Harmon berhasil menghindari badai hujan tadi. Kedua balon lainnya berada lebih dekat ke balon kami, tapi juga lebih rendah. Keduanya bergerak lebih lamban dibandingkan kami. Yang satu berwarna merah-putih-biru, sedangkan yang satu lagi mirip seekor ulat hijau. Kalau masih ada peserta lain, maka balon mereka sudah tertinggal terlalu jauh untuk ikut memperebutkan tempat pertama. “Balon yang mirip ulat itu akan beruntung sekali kalau berhasil melewati bukitbukit di depan,” kata Henry. “Dia terus kehilangan ketinggian sejak start, dan aku yakin awaknya sudah membuang seluruh beban yang mereka bawa. Aku sempat melihat mereka membuang kantong-kantong pasir sebelum kita terperangkap dalam badai hujan.” “Bagaimana dengan si Bawang Hijau?” aku bertanya. “Kelihatannya dia berada sekitar dua kilometer di depan kita.” “Aku punya ide!” jawab Henry sambil mencoret-coret bagian belakang papan peta. “Ya, rasanya bisa berhasil. Kalau arus udara bergerak seperti yang kuperkirakan, maka kita bisa menyusul si Bawang Hijau di atas Danau Strawberry.” “Mudah-mudahan saja perkiraanmu tidak meleset,” aku menanggapinya. “Soalnya, dengan posisi seperti sekarang, kita tidak punya harapan untuk menang.” “Pokoknya kita akan berjuang sampai detik terakhir!” Dinky berseru. Sinar matahari dan udara segar telah membuat semangatnya pulih kembali. “Hidupkan kompresor!” kata Henry. “Sebagian gas di dalam balon harus dipompa kembali ke dalam tangki.” Aku segera menyalakan kompresor, kemudian memutar katup pada tangki. “Perhatikan si Bawang Hijau kalau dia sudah mencapai bukit-bukit di sebelah sini danau,” ujar Henry. “Punggung bukit itu menimbulkan arus udara yang bergerak naik. Dan kalau arus itu bertemu dengan udara hangat yang naik dari danau, maka hasilnya adalah apa yang dinamakan efek corong. Jika si Bawang Hijau mencoba melewati bukit pada ketinggiannya sekarang, maka dia bisa dibawa naik sampai tiga ribu meter. Kita bisa memanfaatkan hal ini untuk menyelinap di bawahnya dan memenangkan perlombaan.” “Aku tidak tahu apa rencanamu, tapi aku harap perkiraanmu tidak meleset!” aku berkata cemas.
“Serahkan saja semuanya pada Henry!” Dinky berseru. “Semuanya tergantung pada seberapa cepat kita bisa memompa gas keluar-masuk dari balon untuk mengubah daya angkat balon kita,” Henry menjelaskan. “Kita harus keluar dari lapisan udara berangin kencang sebelum mencapai bukit-bukit itu. Kalau kita beruntung, maka arus udara ke atas akan mengangkat kita melewati punggung bukit. Setelah itu kita harus segera mengisi gas ke dalam balon, supaya kita jangan sampai turun terus dan tercebur ke danau.” “Mudah-mudahan kau tahu apa yang akan kaulakukan,” kataku, sebab aku sama sekali tidak memahami rencana Henry. “Oh, Yang Mahabesar, pimpinlah kami menuju kemenangan!” Dinky berdoa dengan sungguh-sungguh. Si Bawang Hijau kini mendekati bukit-bukit. Balon Harmon itu berada sekitar satu kilometer di depan kami. Ia nampak gagah sekali. Tapi sekali lagi ramalan Henry terbukti tepat. Ketika sudah hampir melewati punggung bukit, si Bawang Hijau tiba-tiba terangkat dan mulai naik dengan cepat. “Nah, si Bawang Hijau mulai merasakan pengaruh efek corong!” Henry berseru. “Hidupkan kompresor, Charlie. Kita harus turun sekitar 250 meter lagi.” Kompresor kembali bekerja, dan tidak lama kemudian kami telah keluar dari lapisan udara berangin kencang. Diam-diam aku mulai meragukan rencana Henry. Balon kami memang masih bergerak maju. Tapi kalau tetap turun dengan kecepatan seperti ini, maka kami pasti akan menabrak bukit. “Jangan mabuk dulu, Dinky!” Henry memperingatkannya. “Kita masih membutuhkan seluruh beban yang ada.” Di sebelah kiri bawah kami melihat balon yang mirip ulat. Balon itu telah menabrak lereng bukit. Gondolanya terseret ke dalam selokan dan berhenti. Awaknya nampak sibuk membuang beban agar balon mereka mengudara lagi. Nasib balon berwarna merah-putih-biru tidak jauh berbeda. Balon itu memang berhasil mencapai arus udara naik, tetapi semuanya sudah terlambat. Gondolanya membentur lereng bukit, dan balonnya tersangkut pada pohon-pohon. “Perlombaan sudah berakhir bagi mereka!” Henry berkomentar. “Matikan kompresor, Charlie, dan berdoalah.” Aku melaksanakan perintah Henry, lalu bersiap-siap untuk membuka katup tangki agar gasnya dapat kembali ke dalam balon. Dalam beberapa detik kami berhenti kehilangan ketinggian. Tapi kini balon kami menuju tepat ke lereng bukit. Untuk sesaat aku merasa pasti bahwa kami akan kandas. Dinky Poore duduk dengan mata terbelalak. Wajahnya nampak pucat pasi. Barangkali wajahku juga begitu, hanya saja aku tidak dapat melihatnya. Henry berdiri sambil bersandar pada tepi gondola. Dengan kening berkerut ia menatap lereng bukit yang semakin mendekat. Aku mendapat kesan bahwa ia sedang menghitung tanpa bersuara. Sikapnya seperti ilmuwan sejati. Satu-satunya hal yang ia pikirkan adalah hasil dari eksperimen yang sedang kami jalankan. Tiba-tiba kami merasakan arus udara hangat menerpa wajah kami. Kami begitu dekat ke lereng bukit, sehingga kami bisa melompat ke luar seandainya perlu. Gondola kami terguncang dengan hebat ketika balon berubah arah dan mulai naik lagi. Kami telah berada di arus angin yang dibicarakan Henry tadi. “Tambah gas sedikit, Charlie!” Henry berseru, dan aku membuka katup selama beberapa detik, “Cukup! Sekarang tutup lagi!” Kami naik dengan cepat, dan terbang tepat di atas puncak pepohonan. Kedua mata Dinky kembali dalam keadaan normal, dan kami semua mendesah lega. “Kita harus berhati-hati kalau sudah sampai di puncak,” ujar Henry. “Lerengnya
jauh lebih terjal di sana, dan kita tidak boleh terperangkap dalam arus udara ini. Kita harus berusaha untuk melewati puncak serendah mungkin.” Sementara itu si Bawang Hijau masih terus menanjak. Harmon dan anak buahnya terjebak dalam arus udara yang naik dari sisi timur danau. Tapi kami tidak punya waktu untuk memperhatikan mereka. Kami terlalu sibuk menyelamatkan diri sendiri. Kira-kira tigapuluh meter menjelang puncak bukit, kami tiba-tiba turun secara tak terduga. Rasanya seperti berada dalam lift berkecepatan tinggi yang mendadak berhenti. “Gawat!” Henry berteriak, “Kita akan...” Suara benturan yang timbul karena gondola kami menabrak lereng memotong seruan Henry. Balon kami terpantul, terombang-ambing sejenak, lalu tiba-tiba turun lagi dan kembali menabrak lereng bukit. Henry segera mencengkeram bahu Dinky. “Kau harus melompat ke luar!” ia berseru. Tanpa berpikir panjang Dinky melompat, lalu berusaha agar tidak merosot menuruni lereng. Balon kami naik beberapa meter dan terkatung-katung di udara selama beberapa detik. Henry mengambil gulungan tangga tali, lalu melemparkannya ke arah Dinky. “Tangkap dan lari ke atas bukit!” ia berseru. Dinky meraih salah satu pijakan kaki pada tangga tali, menjepitnya di bawah lengan, kemudian berlari ke arah puncak bukit sambil menghindari batu-batu dan semak-semak. Balon kami mengambang di atas kepalanya-persis seperti payung raksasa. Henry melepaskan kacamata dan mulai menggosok-gosoknya secara sistematik. “Kelihatannya kita berhasil!” katanya sambil kembali mengenakan kacamata. Kemudian ia menarik tangga tali sampai kencang, dan berseru pada Dinky, “Pasang tangga tali melingkar pada pinggangmu, lalu bersiap-siap untuk memanjat ke atas setelah kuberi aba-aba!” Dinky segera melaksanakan perintah Henry. “Tambah gas lagi, Charlie, tapi jangan terlalu banyak,” Henry berkata padaku. Aku membuka katup dan membiarkan sejumlah gas masuk ke dalam balon. Seketika balon kami mulai terangkat. Kami telah melewati punggung bukit, dan dapat melihat Danau Strawberry di seberang bukit berikutnya. Dinky memanjat naik seperti seekor tupai, dan kami membantunya masuk ke dalam gondola. Dalam waktu singkat kami telah berada dalam lapisan udara berangin kencang. Kami berhasil melewati punggung bukit tanpa terjebak dalam arus udara naik, dan kini tinggal menuju ke tempat finish. Baru sekarang kami punya waktu untuk melihat bagaimana nasib si Bawang Hijau. Balon itu hanya terlihat sebagai bintik hitam di langit. Sepertinya ia belum bertambah dekat ke Mammoth Falls. Sementara kami sibuk melewati punggung bukit, si Bawang Hijau ternyata terus naik secara tegak lurus. Jika angin tidak berubah arah, maka kami pasti lebih dulu sampai di tempat finish. Tiba-tiba bintik kecil di langit itu mulai membesar. Rupanya si Bawang Hijau telah keluar dari arus udara naik, dan kini mendekati permukaan bumi seperti seekor merpati yang terluka. Henry merebut teropong dari tanganku, lalu mengarahkannya pada balon yang sedang turun itu. “Mereka sedang mengalami kesulitan,” ia berkata setelah memantau keadaan untuk beberapa saat. “Selubung balon mereka kelihatan keriput. Itu berarti Harmon terlalu banyak melepaskan gas. Wah, itu kesalahan fatal! Kalau kita terjebak dalam arus udara naik, maka satu-satunya hal yang dapat dilakukan adalah menunggu. Kalau kita melepaskan gas, maka balonnya akan kehilangan daya angkat. Itu sangat berbahaya kalau arus udara naik yang mendorong balon kita tiba-tiba terhenti.”
“Apa yang akan terjadi sekarang?” tanya Dinky. “Mula-mula mereka akan jatuh bebas. Tapi setelah beberapa saat kecepatan mereka akan berkurang. Soalnya semakin jauh mereka jatuh, udara pun akan semakin padat. Tapi melihat kecepatan mereka sekarang, mereka pasti akan tercebur ke danau!” Henry segera memanggil Jeff Crocker lewat radio, lalu menyuruhnya menghubungi polisi perairan. “Katakan bahwa mereka mungkin harus melancarkan operasi penyelamatan,” Henry berpesan pada Jeff. “Hidupkan kompresor lagi,” ia lalu berkata padaku. “Kita akan turun sampai mendekati permukaan air. Kalau kita beruntung, kita mungkin bisa menolong mereka.” “Ah, biarkan saja!” Dinky berseru. “Kita harus memenangkan perlombaan ini.” “Barangkali tahun ini tidak perlu ada pemenang,” kata Henry. “Tolong ambilkan bungkusan berisi jaket pelampung. Harmon dan yang lain pasti akan membutuhkannya.” Pandangan kami tetap tertuju pada si Bawang Hijau ketika kami mengambang di atas permukaan air. Harmon dan anak buahnya nampak sibuk membuang segala macam barang untuk mengurangi beban. Baju, sepatu dan kaus kaki, dan bahkan celana dilempar ke luar, lalu jatuh ke danau. Tapi semuanya sia-sia saja. Si Bawang Hijau tetap tercebur seperti bebek mati. Kekuatan benturan membalikkan gondola mereka, dan Stony Martin serta Buzzy McCauliffe terlempar ke luar. Harmon Muldoon masih berpegangan erat-erat dan ikut terseret oleh angin, sampai beban gondola yang telah tenggelam akhirnya menghentikan laju balonnya. Kami menuju tepat ke arahnya ketika aku mematikan kompresor, dan balon kami mengambang kira-kira 15 meter di atas permukaan danau. “Lemparkan jaket pelampung!” Henry berseru. Dua jaket pelampung jatuh sekitar 50 meter dari tempat Stony Martin dan Buzzy McCauliffe terkatung-katung di air. Mereka langsung mulai berenang ke arah itu. Kemudian Henry melemparkan tangga tali ke bawah. “Bersiap-siaplah untuk melepaskan gas ke dalam balon,” ia berkata padaku. “Segera buka katup kalau aku memberi aba-aba. Kita akan mencoba menyelamatkan Harmon, dan sampai dia terangkat dari air, beban tambahannya cukup besar.” Henry lalu berseru pada Harmon untuk berenang mendekati tangga tali. Jarak antara kami dengan dia sekitar 150 meter. Harmon masih berpegangan pada balonnya yang kini hampir kempis sama sekali. Ia hanya punya satu kesempatan untuk meraih tangga tali yang terulur ke dalam air. Jika gagal, kami tak mungkin berbalik untuk mencobanya sekali lagi. Selama menit berikut kami bertiga berdoa dalam hati, sementara Harmon berenang mendekati ujung tangga tali. Ia terpaksa mengerahkan seluruh tenaganya, tapi akhirnya berhasil meraih pijakan kaki paling bawah. Balon kami langsung tertarik ke bawah, dan aku membuka katup gas tanpa menunggu aba-aba dari Henry. Pada saat itu gondola kami hanya tiga meter di atas permukaan air. Balon kami terguncang hebat, lalu mulai menanjak. Serta-merta Harmon tertarik keluar dari air. “Bagus, Charlie!” Henry memuji. “Tahan, Harmon! Kami akan menurunkanmu di tepi danau!” Kami melihat salah satu perahu motor berangkat dari dermaga untuk menjemput Stony dan Buzzy. Sementara Harmon terus berpegangan erat-erat, ketika balon kami terbang mendekati daratan. Waktu mencapai tepi danau sebelah barat, Henry segera memotong tangga tali dan Harmon melompat ke pasir. Setangkap roti jatuh tepat di sebelahnya. “Lumayan, daripada tidak makan siang sama sekali!” teriak Dinky sambil nyengir
lebar. Balon kami naik dengan cepat. Dalam sekejap kami telah berada di atas pepohonan. Lapangan tempat finish terlihat jelas di hadapan kami. Henry dan aku menoleh ke belakang untuk melihat apakah ada peserta yang masih bertahan. Kami menemukan tiga balon, tetapi semuanya masih berada di balik punggung bukit. Kecuali kalau langit mendadak runtuh, tak ada yang dapat merebut kemenangan dari tangan kami. Begitu melewati punggung bukit terakhir, kami mulai memompa gas dari balon ke dalam tangki. Perlahan-lahan kami bergerak turun sampai ketinggian tiga meter di atas tanah. Langsung saja kami melemparkan tali pengikat, dan sekitar seratus orang berebutan untuk menarik kami sampai ke depan tenda panitia. Marching band sudah mulai bermain sejak kami masih berada di atas danau. Permainan mereka diiringi sorak-sorai para penonton dan bunyi petasan. Kebisingannya benar-benar memekakkan telinga. Balon kami ditarik ke segala arah secara bersamaan, sehingga gondolanya terombang-ambing dengan hebat. Aku melirik ke arah Dinky dan melihat bahwa ia mulai mabuk udara lagi. Tidak lama kemudian ia telah menyelinap ke luar, lalu menghilang di antara orang-orang yang mengelilingi kami. Akhirnya Chief Putney dan Sersan Billy Dahr berhasil membelah kerumunan massa. Mereka lalu mengawal kami menuju tenda panitia. Alonzo Scragg sedang melambai-lambaikan topi sambil tersenyum riang. Daphne Muldoon berdiri di sampingnya. Ia nampak tersipu-sipu dan berusaha untuk tidak ketawa cekikikan ketika Pak Walikota memasang mahkota di atas kepalanya. Setelah rangkaian pidato berakhir, kami mulai mencari Dinky Poore. Akhirnya kami menemukannya sedang duduk di bak truk Zeke Boniface. Ia sedang diwawancarai oleh beberapa wartawan dari harian Gazette. Salah satu dari mereka bertanya apakah Dinky ingin jadi astronot setelah dewasa, tapi Dinky segera menggelengkan kepala. “Tidak!” katanya. “Aku lebih tertarik jadi insinyur kereta api, atau bintang film.” “Sepertinya ada yang tidak beres dengan dia,” Freddy Muldoon berkomentar sambil melirik ke arah Dinky. “Aku terpaksa menghabiskan makan siangnya. Dia bahkan tidak mau menyentuh milk shake yang sudah kusediakan!”
6. Hantu-hantu Penghuni Istana Harkness
DINKY POORE mengerutkan alis dan menyipitkan mata agar dapat melihat lebih jelas. Ia menunjuk ke arah jalan yang menuju puncak Blueberry Hill. “Hei, itu kan si Harmon? Sepertinya dia sedang melempar batu ke rumah Pak Harkness? Tuh, lihat! Dia dikelilingi beberapa anak perempuan!” Freddy Muldoon menggunakan sebelah tangan untuk melindungi matanya dari sinar matahari, lalu memandang ke arah yang ditunjuk Dinky. Atap serta cerobong asap rumah kosong di hadapan mereka nampak jelas. Freddy melihat sepupunya, Harmon, serta sejumlah gadis berdiri di depan rumah tua, yang di kalangan penduduk Mammoth Falls lebih dikenal sebagai Istana Harkness. Dan pengamatan Dinky ternyata benar. Harmon memang sedang melempar batu ke teras, serta mengacungkan tinju pada dinding-dinding yang membisu. “Yeah, itu memang sepupuku,” ujar Freddy. “Entah apa lagi yang dilakukan anak
sinting itu. Coba kita mendekat lewat hutan, supaya kita bisa mengintai mereka.” Langsung saja Freddy dan Dinky memanjat lewat tembok pembatas di tepi jalan. Mereka menyusup ke hutan, dan mengambil jalan melingkar untuk mencapai bagian belakang rumah tua yang dibiarkan kosong sejak Simon Harkness meninggal sepuluh tahun yang lalu. Menurut cerita orang-orang, Pak Harkness tua pada masa hidupnya merupakan seorang pria yang tidak menyenangkan. Dia hanya merasa gembira kalau bisa menimbulkan kesulitan bagi orang lain. Tidak mengherankan jika ia tidak disukai oleh tetangga-tetangganya. Tapi karena uangnya banyak, maka orang-orang tidak pernah menunjukkan ketidaksenangan mereka. Bahkan setelah meninggal pun Pak Harkness masih bisa menimbulkan masalah. Tak ada yang dapat mengartikan surat wasiatnya, dan hal ini mengakibatkan saudarasaudaranya terus bertengkar mengenai warisan yang seharusnya mereka terima. Karena itulah rumahnya di Blueberry Hill tetap kosong, dan semakin lama semakin tak terurus. Di musim panas, penduduk-penduduk Mammoth Falls sering berpiknik di pekarangan Istana Harkness. Dan jika para orangtua sedang asyik mengobrol, maka anak-anak akan menyelinap ke dalam rumah yang kosong itu, dan bermain-main di kamarkamarnya yang besar dan penuh debu. Di musim dingin, Istana Harkness hampir tidak pernah didatangi orang. Seharusnya, Sersan Billy Dahr seminggu sekali pergi ke sana untuk memeriksa keadaan. Tapi ia tidak mungkin mengawasi rumah itu secara terus-menerus, sehingga lama-kelamaan segala macam barang hilang dicuri orang. Ketika Dinky dan Freddy sampai di bagian belakang rumah, mereka menembus semaksemak sambil merangkak untuk mengintip melalui celah-celah pagar yang mengelilingi pekarangan. Mereka melihat Harmon, saudara perempuannya, Daphne, serta tiga gadis lain berdiri di tengah rumput setinggi lutut. Waktu Pak Harkness masih hidup, pekarangan rumahnya merupakan pekarangan yang paling terpelihara di seluruh Mammoth Falls. Harmon sedang melemparkan sebongkah batu ke arah jendela di lantai dua. Tapi lemparannya kurang jauh, sehingga batu itu jatuh ke atap teras. Harmon lalu mengacungkan tinjunya, dan berseru, “Ayo, keluar kalau berani, dasar hantu tua tak tahu diri!” Kemudian ia membalik dan nyengir lebar, sementara anak-anak gadis memekik sambil berlagak ketakutan. “Tukang pamer!” Dinky menggerutu dengan kesal. “Memang!” Freddy menanggapinya. Harmon kembali melempar batu. Yang ini membentur dinding kayu dan terpental ke rumput. Kemudian Harmon berlari ke teras, melompat-lompat beberapa kali sambil mengayun-ayunkan tangannya dengan liar, lalu sekali lagi berteriak di hadapan jendela yang ditutupi papan-papan kayu. “Dasar sinting!” Freddy berkomentar. “Memang,” Dinky menanggapinya. “Sudah, Harmon! Jangan macam-macam, deh!” salah seorang gadis berseru. “Bagaimana kalau ada apa-apa nanti?” “Ah, masa begini saja kalian sudah ketakutan?” balas Harmon. Kemudian, sekadar untuk memamerkan keberaniannya, Harmon berlari ke pintu masuk dan menendangnya dengan keras. Kelihatan jelas bahwa tendangan itu membuat jempol kakinya terasa sakit. Sebuah genteng terlepas dari atap utama, jatuh
menerpa atap teras, dan pecah berantakan. Harmon segera membalik dan berusaha kabur. Tapi karena terlalu terburu-buru, ia tidak memperhatikan langkahnya. Ia menginjak papan lantai yang telah keropos dimakan rayap, lalu jatuh terjerembab. Lutut kanannya lecet. Tapi Harmon bersikap seakan-akan tidak terjadi apa-apa dan sekali lagi mengacungkan tinju. Namun kali ini ia tidak berani membelakangi rumah tua itu. Para gadis menjerit dan ketawa cekikikan, dan salah seorang dari mereka mengajak yang lainnya pergi. “Oke!” ujar Harmon. “Kalau kalian memang benar-benar ketakutan, kita akan kembali ke kota saja. Tapi nanti malam aku mau ke sini lagi.” “Bagaimana pendapatmu, Dinky?” tanya Freddy Muldoon sambil berbisik. “Dasar pembual!” jawab Dinky Poore. “Sejak dulu aku memang sudah ingin main hantu-hantuan di sebuah rumah kosong!” kata Henry Mulligan setelah Freddy dan Dinky menceritakan kejadian di Istana Harkness. Kami sedang berkumpul di markas kami di gudang jerami Jeff Crocker. Henry menyandarkan kursinya pada dinding, lalu menatap tumpukan kayu di pojok ruangan. Itu tandanya ia sedang berpikir. Kami semua tidak membuka mulut sampai Henry kembali duduk tegak. “Nah, bagaimana?” tanya Jeff, yang menghabiskan waktu dengan membuat peluit dari sepotong ranting dedalu, sementara Henry sedang berpikir. “Homer Snodgrass yang paling kurus di a