Kajian Wisata Budaya Terpadu Dalam Rangka Mengoptimalkan Potensi Lokal dalam Meningkatkan Daya Saing Bangsa (Optimalisasi Wisata Kawasan Muara Takus, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau) Syafri Harto Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau
ABSTRAK Persaingan global adalah tuntutan yang harus dijawab. Mau tidak man Indonesia harus mampu meningkatkan daya saingnya. Karena hampir di segala bidang Indonesia masih banyak tertinggal dari negara lain. Padahal, potensi yang dimiliki sangatlah berlimpah, mulai dari jumlah sumber daya manusia dan kekayaan alam budayanya. Potensi besar yang dimiliki Indonesia ternyata belum dapat dioptimalkan yang berdampak terhadap terbengkalainya identitas budaya lokal dan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Pariwisata merupakan salah satu cara yang efektif dalam menjawab beberapa permasalahan ekonomi dan budaya. Yang nantinya berujung kepada peningkatan daya saing bangsa. Jika melihat potensi yang dimiliki Indonesia maka mengoptimalkan potensi kekayaan lokal adalah harga yang harus dibayar. Padahal budayalah modal terpenting dalam membangun suatu bangsa, seperti yang diungkapkan Pierre Bourdieu, bahwa modal budaya merupakan modal terpenting dibanding modal ekonomi dan sosial, karena modal budaya ini bersifat permanen atau mendarah daging dan sulit berubahubah karena telah terbentuk selama bertahun-tahun. Untuk itu model pariwisata yang seharusnya dibangun adalah model pariwisata yang berbasis kepada kebudayaan. Pengembangan kebudayaan melalui pariwisata ini perlu lebih dimunculkan kembali untuk meningkatkan kemandirian, daya tarik dan daya saing bangsa. Melihat permasalahan budaya dan besarnya potensi pariwisata sebagai solusi dari permasalahan budaya ini, maka kami merekomendasi suatu model yang dapat memberikan solusi pemanfaatan kampung wisata, terutama tentang masalah perkampungan budaya di Indonesia, khususnya di Perkampungan Budaya Candi Muara Takus, tempat kami melakukan observasi. Dalam penelusuran kami kawasan Muara Takus ini ternyata masih belum optimal dalam menampilkan citra kawasan sebagai kampung wisata. Dalam hal ini, penulis merekomendasikan konsep pariwisata dengan Model Kampung Wisata Budaya Terpadu (Mokatabu). Secara garis besar konsep Model Kampung Wisata Budaya Terpadu (Mokatabu) merupakan representasi objek wisata budaya yang mengintegrasikan kekhasan etnik budaya suku tertentu dalam satu kesatuan (lokasi) untuk menjaga identitas nasional yang berakar pada penguatan identitas lokal. Kampung wisata
budaya ini menampilkan nuansa kelokalan baik secara esensi, artifisial maupun lingkungan alam, dengan melibatkan totalitas kekayaan budaya, adat istiadat, pola kehidupan. Keyword : Pengembangan pariwisata, Wisata Budaya, Muara Takus
PENDAHULUAN Persaingan adalah tuntutan dan tantangan zaman. Memiliki produk lokal yang unggul, pelayanan maupun sumber daya manusia yang berkualitas adalah tanggung jawab moral yang mesti dijawab bangsa ini. Berdasarkan hasil Human Development Indeks (HDI) UNDP 2007, posisi Indonesia dalam peringkat daya saing bangsa di dunia intemasional berada di peringkat 107 dari 177 negara, lebih rendah dari Vietnam di posisi ke-105. Bahkan menurut majalah AS, Forbes Policy, Indonesia termasuk kedalam kategori negara yang gagal di tahun 2007, Indonesia berada di urutan 55 dengan skor 84,4 dari 60 negara yang masuk dalam perhitungan. Fakta angka ini menunjukkan bahwa Indonesia masih cukup jauh tertinggal dan kesulitan untuk bisa bersaing dengan negara-negara lainnya. Indikator lemahnya daya saing bangsa dapat dilihat dari aspek ekonomi dan budaya. Dalam aspek ekonomi, kondisi negara masih belum stabil dalam menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Kebijakan ekonomi yang cenderung mengejar pertumbuhan ketimbang pemerataan mengakibatkan melebarnya jurang ketimpangan ekonomi. Ketimpangan ini diawali dari konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi dan t ersent ralisasi di satu daerah, sehingga mengakibatkan ketimpangan pembangunan ekonomi di daerah lainnya, seperti terbatasnya ketersediaan lapangan pekerjaan yang berujung pada peningkatan kemiskinan. Pada aspek budaya, menurunnya nilai identitas budaya lokal sedikit banyak dipengaruhi oleh lunturnya social order (aturan masyarakat) yang berakibat pada pudarnya karakter lokal bangsa. Manusia Indonesia kini lebih bangga bergaya hidup budaya barat yang serba modern ketimbang budaya lokalnya sendiri yang berlandaskan kearifan tradisi. Permasalahan ekonomi dan budaya inilah yang kini mendera di seluruh pelosok nusantara, tidak terkecuali di Provinsi Riau dan termasuk salah satu kabupaten yang merupakan kabupaten percontohan pelaksanaan otonomi daerah yaitu Kabupaten Kampar. Pertumbuhan dan perkembangan Provinsi Riau yang semakin pesat, telah mempengaruhi nilai-nilai seni budaya masyarakat etnik aslinya suku Melayu serta tata lingkungannya. Kondisi ini dapat diketahui dengan semakin menipisnya berbagai tradisi atau kesenian budaya Melayu di Provinsi Riau. Bahkan kampung-kampung Melayu pun sudah hampir tidak dapat dijumpai di dalam kota, karena pesatnya pembangunan fisik kota yang memaksa masyarakat etnik suku Melayu merelakan lahan rumahnya untuk kegiatan perkotaan lainnya. Jikapun ada etnis Melayu yang tinggal di Provinsi Riau, budaya dan keseniannya tidak menonjol lagi sebagai etnis yang eksis dan diakui.
Menurut data Dina s Pariwisata Provinsi Riau, di Riau Khususnya di Kabupaten Kampar banyak meninggalkan tapak sejarah berupa situs bangunan kuno, monumen, serta kawasan bernilai sejarah yaitu salah satunya candi Muara Takus, yang ditinggalkan oleh Kerajaan Sriwijaya yang terletak di lingkungan Desa Muara takus. Namun berdasarkan hasil seminar yang bertemakan "Potensi Ekonomi Pelestarian Kawasan Wisata di Pakanbaru 2000 disebutkan bahwa keberadaan hampir seluruh kawasan dan bangunan yang ada tersebut masih kurang tersentuh perhatian dan perawatan selayaknya. dan dapat dikatakan bahwa candi Muara Takus kini terancam kehilangan nilai historisnya. Desa Muara Takus sebagai Perkampungan Budaya mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam melestarikan sejarah bangsa. Perkampungan Muara takus sebagai instrumen dalam menjaga kelestarian budaya dan obyek wisata melayu cukup menjanjikan. Namun potensi pariwisata Muara takus yang demikian besar ini, masih memiliki banyak kelemahan yang cenderung kurang terperhatikan oleh Pemda Kabupaten kampar. Pembangunan kawasan perkampungan budaya ini merupakan tanggung jawab bersama. Banyak hal yang perlu difikirkan dan dikerjakan oleh pemerintah daerah ini untuk melestarikan budaya bangsa ini. Hambatan terbesar dalam pengelolaan perkampungan budaya wisata ini adalah belum adanya badan otorita yang menangani pengelolaan perkampungan budaya itu. Saat ini, pemeliharaan sehari-hari perkampungan budaya Muara takus ditangani oleh tim pengelola. Tetapi, tim itu hanya bertugas melakukan pemeliharaan harian, dan tidak berwenang menetapkan program. Lemahnya koordinasi antara Pemda Provinsi Riau dan Pemkab Kampar juga menjadi salah satu kendalanya. Sebagai contoh dampak buruk dari lemahnya koordinasi itu, adalah hilangnya anggaran rutin perkampungan budaya Melayu Muara takus dalam APBD Riau. Anggaran tersebut seharusnya digunakan untuk membiayai pemeliharaan situs budaya setiap tahunnya. Selain itu pengelolaan perkampungan budaya ini juga terbentur dengan tidak jelasnya arch pengembangan objek pariwisata Muara takus di masa mendatang. Master plan perkampungan Muara Takus yang telah disusun beberapa tahun Terakhir hingga kini belum berjalan optimal. Pembangunan atas dasar Master plan cenderung lebih kepada pembangunan secara fisik, yaitu dengan membagi wi la yah M uara takus ke dal am beberapa bagian . Sementara pembangunan secara esensi kebudayaan kurang begitu terasa. Keadaan ini mengakibatkan pergeseran tujuan awal perkampungan budaya Muara Takus ini menjadi suatu objek wisata hiburan. Terbukti dari motivasi wisatawan yang datang berkunjung ke perkampungan budaya Muara Takus hanya bertujuan sebagai hiburan dan sedikit sekali ingin tahu tentang budaya Melayu pada masa lalu. Ada juga dari kalangan pengunjung yang datang untuk ritual agama buda. Berangkat dari hal itulah peneliti merekomendasikan konsep wisata budaya yaitu Model Kampung Wisata Budaya Terpadu (Mokatabu). Model kampung wisata budaya inilah diharapkan dapat menjembatani kebuntuan budaya dan dapat menangkal krisis penanaman identitas kelokalan. Secara garis
besar konsep Model Kampung Wisata Budaya Terpadu (Mokatabu) ini adalah suatu model komunitas wisata dan budaya yang memadukan aspek artificial, esensial, dan lingkungan alam kekhasan etnik budaya suku tertentu serta wisata religi dalam satu kesatuan (lokasi). Dalam strategi pengembangan konsep Model Kampung Wisata Budaya Terpadu (Mokatabu), kami menganalisa model ini melalui beberapa aspek pengembangan, yaitu pengembangan kawasan secara fisik dan nonfisik. Konsep dasar pengembangan kawasan ini adalah bagaimana meningkatkan harkat dan martabat masyarakat setempat serta eksistensi kawasan budaya melalui pemanfaatan dan penataan ruang yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan nilai-nilai tradisi serta sosial budaya yang berkembang. Peranan perkampungan wisata budaya Muara takus sebagai instrumen dalam menjaga kelestarian budaya dan obyek wisata Melayu cukup menjanjikan. Namun potensi pariwisata yang demikian besar ini, masih memiliki banyak kelemahan yang cenderung kurang terperhatikan oleh Pemda Kabupaten kampar. Kegiatan pariwisata di Muara Takus masih belum optimal dalam melestarikan budaya lokal dan membuka kesempatan lapangan kerja bagi masyarakat setempat. Padahal melalui kegiatan pariwisata yang berbasis budaya inilah sarana efektif dalam membangun daya saing bangsa yang berbudaya, berkepribadian nasional dan mandiri dalam ekonomi.
TINJAUAN PUSTAKA
1.
Hakikat Model Kampung Wisata Budaya Terpadu (Mokatabu)
Model adalah suatu pola, contoh, acuan, dari suatu yang akan dibuat atau yang akan dihasilkan. Dapat pula disebutkan bahwa model adalah sebuah skala kecil dari sebuah kenyataan yang sesungguhnya di lapangan. Model adalah suatu abstraksi dari sebuah realitas, yang mampu menemukan berbagai variabel yang penting dan tepat dari realitas itu. Dengan demikian model dapat dikatakan adalah suatu bentuk yang terpola dengan tujuan untuk mencapai suatu hasil yang maksimal didukung oleh kerjasa beberapa pihak dalam bentuk kegiatan. Kampung adalah kesatuan admisnistrasi terkecil dibawah kecamatan. Kampung adalah sebuah pemukiman yang bercorak desa tetapi berlokasi di kota yang memiliki prasarana dan fasilitas yang minim. Seperti yang dijelaskan oleh Johan Silas sebagai berikut: -"....A kampung is settlement which has been transformed from rural village into urban village with minimum but directly available infrastructure and provision. (Johan Silas : 1983 ) Kampung merupakan bentuk pemukiman kota yang berlokasi di bagian penting (fungsional) kota, termasuk di area yang mempunyai harga jual
tinggi. Kampung tidak termasuk dalam kelompok pemukiman kumuh maupun permukiman liar akan tetapi merupakan bentuk permukiman yang unik. Sebuah kampung pada dasarnya adalah cerminan dari identitas dan kearifan lokal. Kampung juga merupakan lingkungan tradisional khas Indonesia, ditandai ciri kehidupan yang terjalin dalam ikatan kekeluargaan yang erat. Tamasya mengungkapkan bahwa selain potensi sosial budaya dan potensi alam suatu lokasi yang akan dijadikan sebagai perkampungan budaya, dalam hal ini adalah budaya Melayu, harus memiliki kepadatan bangunan yang rendah dengan demikian dapat memudahkan perencanaannya ( Setyaningrum : 2005). Di dalam terminan antropologi budaya Koentjaraningratpun menegaskan bahwa ikatan kekeluargaan komunitas masyarakat tertentu akan lebih kuat dan kokoh. Karena unsur wilayah merupakan syarat mutlak bagi masyarakat. Kesatuan perasaan komunitas itu amat kuat karena mengandung unsur-unsur rasa kepribadian kelompok, artinya bahwa kelompok sendiri itu mempunyai ciriciri (biasanya ciri-ciri kebudayaan cars-cars hidup) (Koentjaraningrat : 1992).
2.
Hakikat Identitas Lokal dan Pemberdayaan Masyarakat.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia identitas ialah ciri-ciri atau keadaan khusus jati diri seseorang. Identitas seseorang terdiri atas identitas diri dan identitas sosial. Identitas diri ialah konsep verbal yang kita miliki tentang diri sendiri dan identifikasi emosional terhadap deskripsi tersebut. Sedangkan identitas sosial adalah harapan dan opini yang dimiliki orang lain terhadap diri kita. Dengan demikian identitas bersifat pribadi dan sosial. Di satu sisi, identitas menandai kita sama orang lain. Di sisi lain identitas menjadi pembeda kita dengan diri orang lain. Identitas adalah suatu esensi yang dapat dikenali melalui selera, kepercayaan, prilaku, adat istiadat, budaya, dan gaga hidup. Jadi, idnetitas menyangkut kehidupan pribadi dan kehidupan sosial, persamaan dan perbedaan, dan semua itu dimengerti lewat bentuk-bentuk representasi. Menurut Hartley representasi adalah kata-kata, gambar-gambar, suarasuara, siklus-siklus, cerita-cerita, dan lain-lain yang berdiri atas ide-ide, emosi-emosi, kenyataan-kenyataan, dan lain-lain. Dengan kata lain, representasi adalah bentuk konkrit dari konsep-konsep abstrak, atau bentuk konkrit yang berwujud perilaku dari identitas. Representasi tergantung pada tanda (sign) dan citra-citra budaya yang nyata dan mudah dimengerti. Secara budaya, melalui representasi inilah kita mengerti dan belajar tentang realitas. Beberapa bentuk dari representasi ini adalah jantung dari kajian politik dan budaya. Berdasarkan pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa identitas etnis adalah harapan dan opini yang dimilki orang lain terhadap diri kita yang dapat mencirikan atau menandakan diri kita sebagai salah satu bagian dari suatu kelompok etnis tertentu. Identitas etnis dapat dimengerti lewat representasi budaya seperti unrur-unsur dan nilai-nilai budaya yang ditunjukkan. Misalnya, bahasa yang digunakan, pakaian, keterbukaan. egaliter, demokrasi dan
sebagainya. Identitas etnis diperoleh melaui suatu proses interaksi antara individu dengan lingkungan dan dengan kekuatan -kekuatan yang ada di sekitarnya. Identitas etnis bukanlah kualitas yang menetap dalam diri seseorang melainkan suatu hal yang muncul dari interaksi dengan orang lain dan foskusnya adalah pada proses pengkonstruksian identitas. Sementara itu secara konseptual, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Menurut Sumodiningrat (2007), bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan. Mubyarto (1998) menekankan bahwa terkait erat dengan pemberdayaan ekonomi rakyat. Dalam proses pemberdayaan masyarakat diarahkan pada pengembangan sumberdaya manusia (di pedesaan), penciptaan peluang berusaha yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Teori manajemen publiknya Osborne & Gaebler (1993), tentang adanya pemikiran pemberdayaan rakyat kebanyakan masyarakat. Didalam teori tersebut menekankan pentingnya proyek-proyek pembangunan yang dibangun diatas tiga prinsip: "Community oriented', yaitu prinsip pembangunan yang berorientasi pemenuhan kebutuhan nyata masyarakat, kemudian. "community based" , yaitu prinsip pembangunan yang didasarkan pada keadaan sumber daya masyarakat, serta "community managed', yaitu prinsip pengelolaan pembangunan oleh masyarakat.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahapan strategis, yaitu (1) pengumpulan data, (2) analisis data ; (3) penyajian hasil analisis data (pelaporan). Pengumpulan data dilakukan melalui metode survei dengan teknik wawancara dan teknik kuesioner, serta kajian dokumen. Tenaga lapangan langsung turun ke lokasi penelitian untuk melakukan wawancara mendalam ( indeep interview ) dan pengisi kuesioner. Analisis data merupakan proses penataan data secara sistematis berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner untuk ditelaah berdasarkan tujuan penelitian sehingga diketahui kecenderungan makna yang terkandung. Data hasil wawancara dan kuesioner dilakukan perampatan secara induktif-abstrak yang melintas dari tingkat konkrit ke tingkat abstrak melalui konseptualisasi. Konseptualisasi data ini yang dilakukan melalui tiga siklus, yaitu (1) reduksi data, (2) organisasi data, dan (30 interpretasi data. Tahap reduksi data meliputi tahap manipulasi, pengintegrasian, mentranformasikan dan pencatatan data ketika dipresentasekan. Reduksi data dimaksudkannuntuk membantu dalam
pengklasifikasian aspek-aspek penting dari isu yang dikaji. Tahap organisasi data merupakan tahap pengumpulan data yang terikat pada tema-tema, butirbutir pemikiran tertentu, dan membuat kategori-kategori yang lebih spesifik. Adapun interpretasi data adalah tahap membuat rampatan-rampatan yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Penelitian adalah di desa Muara Takus Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Penentuan lokasi penelitian ini dengan pertimbangan bahwa Desa Muara Takus ini dimana terdapat sebuah situs sejarah ( Candi Muara Takus) yang sampai saat ini belum termanfaatkan secara maksimal, baik secara ekonomi maupun budaya ( baca ; pariwisata ). Seharusnya sebuah situs sejarah itu dapat dijadikan sebuah produk pariwisata bagi Kabupaten Kampar yang pada gilirannya dapat menjadi income (baca ; PAD), yang tentu juga akan berkorelasi dengan pendapatan penduduk tempatan.
PEMBAHASAN Pembentukkan dan pengelolaan kawasan binaan desa wisata budaya di daerah wisata Muara Takus, adalah merupakan contoh model konsep yang baik dalam pengelolaan lingkungan yang dilakukan secara komprehensif dan terintegratif, serta dalam membangun hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungannya. Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan dalam hal penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Muara Takus, adalah merupakan kawasan daerah tujuan wisata utama di Kabupaten Kampar, terutama jenis wisata budaya. Dalam pengembangan daerah wisata Muara Takus, pemerintah membentuk lingkungan binaan, yaitu desa Muara Takus yang dikelola sebagai desa wisata budaya. Lingkungan desa wisata tersebut dikelola secara baik dan terencana sehingga memiliki karakteristik yang unik sebagai suatu lingkungan binaan, yang memberikan nilai manfaat bagi masyarakat setempat. Pengelolaan lingkungan binaan desa wisata adat dan wisata budaya pada Kawasan Daerah Wisata budaya Muara Takus, Kampar, adalah merupakan suatu model konsep pengelolaan lingkungan yang baik, yang dapat memberikan dampak positif timbal-balik bagi masyarakat dan lingkungan setempat. Pertanyaan dasar yang muncul adalah bagaimana konsep dan proses pengelolaan lingkungan binaan tersebut dilakukan? Bagaimana manfaat positifnya baik bagi masyarakat maupun lingkungan?, dan sebagainya. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji tentang mengapa dan bagaimana model dan konsep pengelolaan lingkungan binaan desa wisata budaya pada Kawasan Daerah Wisata budaya Muara Takus, Kampar. Dari hasil penelitian ini akan diperoleh informasi dasar tentang konsep pengelolaan lingkungan yang baik, yang dapat dikembangkan di kawasan daerah lainnya.
Sikap masyarakat tentang pengembangan dan pengelolaan kawasan lingkungan desa wisata budaya: Hasil penelitian melalui penyebaran dengan menggunakan angket, diperoleh keterangan bahwa secara umum masyarakat desa Muara Takus mempunyai sikap yang positif (setuju) terhadap program pemerintah yang menjadikan desa Muara Takus sebagai kawasan desa wisata budaya di Muara Takus. Tabel 1: Sikap Responden Terhadap Program Desa Wisata budaya
No.
Sikap Responden
1.
Setuju/Mendukung
2. 3.
Persentase (%)
Jumlah 13
86,67
Tidak Setuju/Tidak Mendukung
0
0
Tidak Tahu/Tidak Ada Pendapat
2
13,33
15
100
Jumlah Sumber: Analisis Data Primer, tahun 2010
Data hasil wawancara mendalam (indepth interview) dengan bapak Herman Datuk Padukorajo, menyatakan bahwa masyarakat sebenarnya setuju dengan kebijakan pemerintah Kabupaten Kampar yang menjadikan desa Muara Takus sebagai desa wisata budaya, namun ada sebagian masyarakat yang masih khawatir kawasan desa wisata budaya ini nantinya akan dikelola oleh pemilik modal sedangkan masyarakat terabaikan. Rumusan model konsep pengelolaan lingkungan binaan desa wisata budaya pada Kawasan Daerah Wisata budaya Muara Takus: Pada prinsipnya, model konsep pengelolaan lingkungan binaan desa wisata budaya pada kawasan daerah Wisata budaya Muara Takus, khususnya di desa Muara Takus, menerapkan prinsip partisipasi-kemitraan antara pemerintah dan masyarakat. Dimana pemerintah menetapkan suatu kebijakan pengembangan lingkungan, sementara masyarakat terlibat secara aktif-partisipatif dalam proses pengelolaan lingkungan. Dari hasil analisa terhadap data penelitian, maka secara diagramatis model konsep pengelolaan lingkungan binaan desa wisata budaya pada kawasan daerah Wisata budaya Muara Takus, khususnya di desa Muara Takus, digambarkan sebagai berikut:
Bagan 1: Model Konsep Pengelolaan Lingkungan desa Wisata budaya Analisa Potensi & Daya Dukung Lingkungan Alam, Sosial & Budaya Kawasan Desa Muara Takus
Kebijakan (Policy) Pemerintah Tentang Pengembangan & Pengelolaan Kawasan Lingkungan melalui Penetapan Lingkungan Desa Muara Takus sebagai Kawasan Desa Wisata budaya
Program Tentang Pengembangan & Pengelolaan Kawasan Lingkungan Desa Muara Takus sebagai Kawasan Desa Wisata budaya
Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan & Pemanfaatan Lingkungan Desa Muara Takus sebagai Kawasan Desa Wisata budaya
Proses & Aktivitas Pengelolaan & Pemanfaatan Lingkungan Desa Muara Takus sebagai Kawasan Desa Wisata budaya
Manfaat Timbal Balik Antara Manusia dan Lingkungan Perencanaan Pengembangan Kawasan Wisata Budaya Sehubungan dengan upaya-upaya pelestarian situs budaya, Pemerintah Republik Indonesia telah melakukan berbagai upaya guna melindungi kekayaan
peninggalan sejarah yang luar biasa ini melalui berbagai kebijakan dan kerja sama dengan berbagai kelompok masyarakat, baik nasional maupun internasional. Upaya-upaya Pemerintah dalam pelestarian cagar budaya ini tentu harus didukung oleh seluruh lapisan masyarakat. Pemerintah Daerah yang di era otonomi daerah memiliki peranan yang lebih besar dalam upaya-upaya pelestarian situs sejarah ini harus lebih banyak lagi melibatkan partisipasi masyarakat daerahnya. Hal ini karena perencanaan pembangunan daerah perlu dilakukan secara terintegrasi pada semua sektor, sehingga diperoleh manfaat yang lebih besar dari berbagai potensi ekonomi daerah. Selain itu, perencanaan yang terintegrasi juga akan mengurangi dampak-dampak yang tidak diharapkan baik pada saat ini maupun yang akan datang. Sementara itu, pariwisata merupakan salah satu sektor ekonomi penting dan strategis di masa depan. Identifikasi dan perencanaan pengembangan industri pariwisata perlu dilakukan secara lebih rinci dan matang. Pengembangan industri pariwisata ini diharapkan juga mampu menunjang upaya-upaya pelestarian alam, kekayaan hayati dan kekayaan budaya bangsa, peninggalan benda-benda bersejarah dan lain sebagainya. Pengembangan wisata budaya merupakan salah satu alternatif yang diharapkan mampu mendorong baik potensi ekonomi daerah maupun upaya-upaya pelestarian tersebut. Pemanfaatan potensi sumber daya alam ( termasuk peninggalan sejarah/ situs sejarah ) sering kali tidak dilakukan secara optimal dan cenderung eksploitatif. Kecenderungan ini perlu segera dibenahi salah satunya melalui pengembangan industri pariwisata dengan menata kembali berbagai potensi dan kekayaan alam dan budaya berbasis pada pengembangan kawasan secara terpadu. Potensi wisata budaya, wisata alam, baik alami maupun buatan, belum dikembangkan secara baik dan menjadi andalan. Banyak potensi budaya dan situs sejarah seta kemolekan alam yang belum tergarap secara optimal. Pengembangan kawasan wisata alam dan budaya mampu memberikan kontribusi pada pendapatan asli daerah (PAD), membuka peluang usaha dan kesempatan kerja serta sekaligus berfungsi menjaga dan melestarikan kekayaaan alam dan hayati, serta cagar budaya. Apalagi kebutuhan pasar wisata budaya dan alam cukup besar dan menunjukkan peningkatan di seluruh dunia. Sekitar 52% aset wisata Indonesia sebenarnya berupa sumber daya alam dan sumber daya sejarah. Australia memiliki 55% aset wisata yang juga merupakan jenis wisata alam. Tercatat lebih dari 29 juta penduduk Amerika melakukan sejumlah 310 juta perjalanan yang dimotivasi oleh wisata alam. Sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan sumber daya alam berlimpah, pengembangan industri wisata budaya seharusnya memegang peranan penting di masa depan. Pengembangan industri ini akan berdampak sangat luas dan signifikan dalam pengembangan ekonomi dan upaya-upaya pelestarian sumber daya alam dan lingkungan. Melalui perencanaan dan pengembangan yang tepat, wisata budaya dapat menjadi salah satu sektor penting dalam ekonomi daerah. Pengembangan industri pariwisata khususnya wisata budaya memerlukan kreativitas dan inovasi, kerjasama dan koordinasi serta promosi dan pemasaran
yang baik. Pengembangan wisata budaya berbasis kawasan berarti juga adanya keterlibatan unsur-unsur wilayah dan masyarakat secara intensif. Arah dan strategi pengembangan Kawasan Wisata budaya harus bertumpu pada kekuatan dan potensi lokal dan berorientasi pasar. Pertumbuhan pasar wisata budaya cukup tinggi di seluruh dunia. Diperlukan kreativitas dan inovasi untuk mengemas dan memasarkan produk-produk unggulan wisata budaya dengan menjual keaslian, kekhasan dan kelokalan yang ada di kawasan wisata budaya. Hal ini dapat dikombinasikan dengan produk-produk yang lebih umum seperti pengembangan wisata petualangan, perkemahan, pengembangan fasilitas hiking/tracking, pemancingan, wisata boga, wisata budaya dan lain-lain sesuai dengan potensi yang dimiliki. Selain itu, harus diberikan kemudahan dan dukungan melalui penyediaan sarana dan prasarana yang menunjang infrastruktur dan fasilitas lain seperti promosi, transportasi dan akomodasi dan pemasaran yang terpadu harus dilakukan oleh pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Arah pengembangan kawasan wisata budaya harus mampu menyentuh komponen-komponen kawasan secara mendasar. Hal ini antara lain meliputi: a. Pemberdayaan masyarakat pelaku wisata budaya b. Pengembangan pusat-pusat kegiatan wisata sebagai titik pertumbuhan. c. Pengembangan sarana dan prasarana yang menunjang. d. Adanya keterpaduan antar kawasan yang mendukung upaya peningkatan dan pelestarian daya dukung lingkungan serta sosial dan budaya setempat. e. Adanya keterpaduan kawasan wisata budaya dengan rencana tata ruang wilayah daerah dan nasional.
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan deskripsi data hasil penelitian, maka selanjutnya dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1.
Sebesar 86,67% masyarakat desa Muara Takus memiliki sikap setuju dan mendukung terhadap pengembangan kawasan desa Muara Takus sebagai kawasan desa wisata budaya terpadu. 2. Bentuk partisipasi masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan kawasan lingkungan desa Muara Takus sebagai kawasan desa wisata budaya, dideskripsikan sebagai berikut: a) Partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan lahan candi, halaman rumah dan areal lainnya sebagai lahan wisata budaya; b) Penataan sepanjang jalan desa Muara Takus sebagai areal wisata budaya;
c) Pembangunan sarana dan prasarana, seperti akses jalan dan sarana lainya; dan d) Pengembangan kawasan/areal wisata budaya, tempat penginapan, dan fasilitas wisata budaya lainnya. 3.
Konsep tentang desa wisata budaya diarahkan bahwa desa Muara Takus diharapkan menjadi sentra produksi seni, pasar cendera mata dan kawasan/lokasi wisata budaya, dimana para wisatawan bisa menikmati dan membeli berbagai macam cendera mata dan menikmati berbagai kesenian dalam festival yang digelar di daerah tersebut.
4.
Model konsep pengelolaan lingkungan binaan desa wisata budaya pada kawasan daerah Candi Muara Takus, khususnya di desa Muara Takus, menerapkan prinsip partisipasi-kemitraan antara pemerintah dan masyarakat. Dimana pemerintah menetapkan suatu kebijakan pengembangan lingkungan, sementara masyarakat terlibat secara aktif-partisipatif dalam proses pengelolaan lingkungan. 6. Konsep hubungan antara manusia dan lingkungan dalam proses pengelolaan lingkungan desa wisata budaya di desa Muara Takus, yakni hubungan antara masyarakat desa Muara Takus dengan lingkungannya, termasuk ke dalam konsep hubungan dimana individu dapat menggunakan lingkungannya; dan konsep hubungan dimana individu dapat berpartisipasi (ikut serta) dengan lingkungannya. model hubungan antara masyarakat desa Muara Takus dengan lingkungannya apabila dilihat dari hubungan simbiosis, maka bentuknya termasuk bentuk hubungan simbiosis mutalisme. Rekomendasi 1. Kebijakan pengembangan kawasan lingkungan Candi Muara Takus sebagai kawasan lingkungan desa wisata budaya, akan memberikan manfaat timbal balik bagi manusi dan lingkungan. Oleh karena itu program ini sangat baik dan perlu dikembangkan, dalam menunjang Penerimaan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Kampar serta kesejahteraan masyarakat tempatan. 2. Pemerintah kabupaten Kampar perlu terus melakukan upaya sosialisasi tentang kebijakan pengembangan kawasan lingkungan desa Muara Takus sebagai kawasan lingkungan desa wisata budaya kepada masyarakat, sehingga partisipasi masyarakat dalam mendukung program ini semakin baik. 3. Bagi peneliti selanjutnya, penting untuk dilakukan penelitian secara teknis dan mendalam, tentang konsep penataan dan pengelolaan lingkungan pada kawasan Candi Muara Takus sebagai Daerah Tujuan Wisata (DTW) utama di Provinsi Riau umumnya dan Kabupaten Kampar khususnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adishakti, Laretna T, ”Pengelolaan Pusaka Perkotaan” dalam Buletin Arkeologi Amogapasha,. Edisi Khusus tahun 2006.
“Pengelolaan Urban Heritage (Warisan Perkotaan)” . Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala. Batusangkar, 2006. Bp3. Masjid-Masjid Kuno di Kabupaten Kampar Provinsi Riau, Riau, dan Kepulauan Riau. Batusangkar: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3), 2005. BWSB. “Laporan Fakta dan Analisis Inventarisasi dan Penyususnan Profil Bangunan Tua Bersejarah Dan Aset-Aset Tambang Kota Sawahlunto” Laporaan Penelitian. Padang: Badan Warisan Kabupaten Kampar Provinsi Riau (BWSB) dan Pemda Sawahlunto, 2002. Casparis, JG De. ”Kerajaan Melayu dan Adityawarman” Makalah Seminar Melayu Kuno. Jambi, 7-8 Desember 1992. Cleere, H.F. Archaeological Heritage Management in the Modern World. London: Unwin Hyman, 1989. Djafar, Hasan. “Prasasti-Prasasti Masa Kerajaan Melayu Kuno Dan Bebera-pa Permasalahannya” Makalah Seminar Melayu Kuno. Jambi, 7-8 Desember 1992. Gottchalk, Louis .Mengerti Sejarah. Terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI Press, 1992. Fraser, Jennifer. ”Talempong Transformations: Cultural Politics and Aesthetics”, dalam Herwandi (ed). Kebijakan Setengah Hati dan Kerisauan tentang Degradasi Kebudayaan Minangkabau. Padang: PSH & Lustrum Fak. Sastra Unand, 2007. Herwandi, “Memahami Batu Kariman: Arca Menhir Bertulisan Arab Melayu”, Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Unand, 1998. ---------------”Pola Hias Masa Megalitik di Lima Puluh Koto: Menggali Akar Budaya Pola Hias Minangkabau”. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Unand, 1998. -----------------” Pariwisata Budaya dan Arkeologi Pariwisata di Sumatera”, Orasi Ilmiah dalam Diesnatalis Fakultas Sastra, pada tanggal 7 maret 2003 di Gedung E UNAND, 2003. ------------------” Fosil Gajah Purba di desa Parik Gadang di Ateh Kabupaten Solok (Sebuah catatan awal)” dalam Jurnal BKNST ( Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional ) Padang, Suluah Media Komunikasi Kesejarahan, Kemasyarakatan dan Kebudayaan volum 3, No. 4 Agustus 2003. ------------------“Upaya Pelestarian Benda Cagar Budaya Nagari Minangkabau dalam Mewujudkan Wisata Budaya”, Makalah dalam “Seminar Sehari Upaya Pelestarian Benda Cagar
Budaya Nagari Minangkabau dalam Rangka Mewujudkan Wisata Budaya di Kabupaten Kampar Provinsi Riau”, yang diselenggarakan oleh Mhs. KKN-Univ. Andalas, IMAPEMI, dan SP3 di Sungayang, Batusangkar, 30 Agustus 2004. --------------------“Usaha Perlindungan dan Pemanfaatan Warisan Kota Sawahlunto Dalam Mewujudkan Visi Kota Menjadi Kota Wisata Tambang. Dalm ” Buletin Arkeologi Amogapasha,. Edisi Khusus tahun 2006. “Pengelolaan Urban Heritage (Warisan Perkotaan)” . Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala. Batusangkar. 2006. -------------------“Kerisauan dan Kebijakan Pembinaan Kebudayaan yang Tak Berkelanjutan (Sebuah Pengantar Editor). Dalam Kebijakan Setengah Hati dan Kerisauan tentang Degradasi Kebudayaan Minangkabau. Padang: PSH & Lustrum Fak. Sastra Unand, 2007. --------------------(ed.) Kebijakan Setengah Hati dan Kerisauan tentang Degradasi Kebudayaan Minangkabau. Padang: PSH & Lustrum Fak. Sastra Unand, 2007.
Nizar, Husnison. "Menhir Berhias dari Situs Megalitik Limapuluh Koto Kabupaten Kampar Provinsi Riau". Skripsi. Jakarta: Universitas Indonesia, 1986. Imran, Nefi. ”Etnokoreografi Kesenian Ulu Ambek:Suatu Perubahan dalam Masyarakat Minangkabau” dalam Herwandi (ed). Kebijakan Setengah Hati dan Kerisauan tentang Degradasi Kebudayaan Minangkabau. Padang: PSH & Lustrum Fak. Sastra Unand, 2007. Istiawan & Utomo. Menguak Tabir Dharmasraya. Batusangkar: Balai Pelestarian peninggalan Purbakala, 2006. Mac Leod, Donald G. ”Paddle or Perish: Archeological Marketing From Concept to Product Delivery”, dalam Michel B. Schiffer and George J. Gumermen (ed.), Concervation Archaeology: A Gaide for Cultural Resouces Management Studies. New York: Academic Press, 1977. Sharer, Robert J. & Wendi Ashmor . Fundamentals of Archaeology. California, Massachussets, London, Amsterdam, Sydney: The Bunjamin Cummings Publishing Comp.Inc., 1979. Subadra, I Nengah. “Bali Tourism Watch: Warisan Budaya Alam dan Pariwisata Era Posmodernisme”. www.subadra.wordpress.com, 2007.
--------------“Sejarah Asia Tenggara”. Laporan Program Sandwich, University of London. Padang: Jurusan Sejarah Unand, 1994. --------------“Peran dan Jenis Kota-Kota Bandar Nusantara”. Mentas, Menggalang Komunikasi Budaya Antarnusa, No. 2-Tahun I. Jakarta: Maret 2000. ISBN : --------------- “Teori dan Metodologi Sejarah”, Diktat Kuliah, Sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas, 2000.
Jurusan
-------------“Sejarah Maritim Sebagai Alternatif Pengembangan Ilmu Sejarah Masa Kini”, Makalah, Disampaikan Pada Ceramah Mahasiswa Baru Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unand 2000/2001. -------------“Sastra dan Penelitian Sejarah”, Makalah, Diskusi Bulanan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Andalas, 24 Mei 2001. -------------“Metodologi Dalam Ilmu Sejarah Dan Tantangan Masa Kini”, Makalah, Untuk Kuliah Umum Fakultas Sastra Universitas Andalas, Menyambut Mahasiswa Baru 2001/2002, September 2001 -------------“Metodologi Dalam Ilmu Sejarah dan Pendekatan Sejarawan”, Historia, Jurnal Pendidikan Sejarah, No. 4, Vol. II (Desember 2001). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2001. ISBN NO. 0215-1073. --------------“Perdagangan dan Pelayaran di Pantai Timur Sumatera: Faktor Integrasi Nusantara Pada Tahun 1870-1942”, Makalah, Konferensi Nasional Sejarah Indonesia VII. Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), 28-31 Oktober 2001. --------------“Pendekatan Metodologi Sejarah Dalam Menjawab Permasalahan Masa Kini”, Makalah, Dialog Interaktif Kesejarahan, MSI Cabang Sumbar-DHD Angkatan 45 – BKNST Padang, 9 Maret 2002. --------------“Dinamika Melayu Di Mata Peneliti Asing”, Makalah, Seminar Internasional Menelusuri Jejajk Melayu –Minangkabau Melalui Bahasa dan Budaya, Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang, 27-28 Maret 2002. ---------------“Fakta dan Kesadaran Sejarah”, Makalah, Diskusi dan Temu Tokoh Sejarah Kabupaten Kampar Provinsi Riau dan Bengkulu. Padang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang, 2021 Mei 2002.
-----------------,. “Agam Dari Prasejarah Hingga Proklamasi”. Makalah, Seminar Pemda Kabupaten Agam, Proyek Pembinaan NilaiNilai Budaya, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan Olah Raga, 2002. -----------------“Sejarah Minangkabau Prasejarah Hingga Pemurnian Islam”, Makalah Seminar Sejarah Minangkabau di Padang 9 Maret 2003 oleh MSI Cabang Sumatra Barat –Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Sumatra Barat, 2003. --------------- “Perkembangan metodologi Sejarah indonesia Dari Sejarah konvensional Sampai Sejarah Analitis”, Sosialisasi Penghayat kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Penyuluhan kesejarahan, dan Lawatan Sejarah Bengkulu, 9-10 Juni 2003. Padang: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya, 2003. Habib, A., & Sukmana, Oman. Model Interaksi Sosial dalam Lingkungan Bauran Etnis Arab-Jawa: Studi di Kampung Embong Arab, Kota Kampar). Kampar: Lemlit UMM, 2002. Irwanto, Focus Group Discussion :Suatu Pengantar Praktis. Jakarta : Pusat kajian pembangunan masyarakat - Unika Atmajaya, 1998 Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998 Purba, Jonny, Pengelolaan Lingkungan Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002 Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001 Sarwono, Sarlito, W.,Psikologi Lingkungan. Jakarta: Gramedia, 1995 Singarimbun, Masri, & Sofian Effendi (ed.). Metode Penelitian Survey. Jakarta : LP3ES, 1995 Sukmana, Oman. 2005. Pengaruh Kepadatan Sosial dan Persepsi tentang Lingkungan Sosial daerah Kumuh Perkotaan terhadap Perilaku Agresif Remaja. Jurnal Psikodinamik, Volume 7, No. 1 Januari 2005, ISSN 1411-3929. Kampar: Fakultas Psikologi UMM. Sukmana, Oman,. Dasar-Dasar Psikologi Lingkungan. Kampar: Bayu Media, 2003 Soerjono Soekamto,. Sosiologi : Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Press, 1986 Soemarwoto, Otto, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997