perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KAJIAN SEMIOTIK KUMPULAN CERPEN SAMIN KARYA KUSPRIHYANTO NAMMA
SKRIPSI
oleh: YUNITA NURUL KHOMSAH K1207042
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012
i
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KAJIAN SEMIOTIK KUMPULAN CERPEN SAMIN KARYA KUSPRIHYANTO NAMMA
oleh: YUNITA NURUL KHOMSAH K1207042
Skripsi Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012
i
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJUAN Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Persetujuan Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. Slamet Mulyono, M . Pd. NIP 19620728 199003 1 002
Drs. Yant Mujiyanto, M. Pd. NIP 19540520 198503 1 002
ii
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Skripsi ini telah direvisi sesuai dengan arahan dari Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
iii
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
iv
Hari
: Kamis
Tanggal
: 5 Januari 2012
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Yunita Nurul Khomsah. K1207042. KAJIAN SEMIOTIK KUMPULAN CERPEN SAMIN KARYA KUSPRIHYANTO NAMMA. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas M aret, November 2011. Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) mengidentifikasi dan menganalisis indeks, ikon, dan simbol untuk menemukan makna semiotik pada kumpulan cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma; (2) mendeskripsikan latar belakang penulis (Kusprihyanto Namma) menggunakan unsur semiotik (indeks, ikon, dan simbol) dalam menyampaikan ide cerita; (3) mendeskripsikan kebermaknaan penggunaan unsur semiotik tersebut dalam mendukung keestetikan kumpulan cerpen Samin. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu mengkaji fenomena yang terjadi pada subjek penelitian dalam bentuk kata-kata denga n memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Sumber data dalam penelitian ini berupa dokumen, yaitu kumpulan cerpen Samin dan informan, yang terdiri dari penulis dan beberapa pembaca kumpulan cerpen Samin. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara analisis dokumen dan wawancara. Validitas data menggunakan triangulasi metode dan triangulasi sumber. Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa kumpulan cerpen Samin merupakan bentuk kritik penulis terhadap pemerinta han Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Beberapa judul cerpen seperti Biru, Kembang Tebu, Jawa, Samin, Bedil, dan Dom mengisahkan tentang keburukan atau penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Beberapa judul cerpen yang lain seperti Mun, Pundhen, Patrem, dan Tuyul memang tidak mengkhususkan pada masa Orde Baru, namun memiliki kesatuan ide dengan cerpen lainnya, yaitu kritik terhadap sistem pemerintahan atau politik. Penulis, yaitu Kusprihyanto Namma menggunakan sistem semiotik (simbol, indeks, dan ikon) dalam menuangkan ide ceritanya karena ia tidak berani menyampaikan kritiknya secara terang-terangan. M eskipun demikian, penggunaan sistem semiotik (simbol, indeks, dan ikon) dalam kumpulan cerpen Samin dapat menambah keestetikan karya.
v
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Apa yang ada di belakang kita dan apa yang ada di depan kita merupakan hal kecil dibandingkan dengan apa yang ada di dalam kita. Oliver Wendell Holmes
Orang yang bercita-cita tinggi adalah orang yang menganggap teguran keras baginya lebih lembut daripada sanjungan merdu seorang penjilat yang berlebih-lebihan. Thales
Manusia tidak dirancang untuk gagal, tetapi manusialah yang gagal untuk merancang. William J. Siegel Sesuatu mungkin mendatangi mereka yang mau menunggu, namun hanya didapatkan oleh mereka yang bersemangat mengejarnya. Abraham Lincoln Kita tidak pernah belajar menjadi berani dan sabar kalau di dunia ini hanya ada kebahagiaan. Hellen Keller
Lebih baik bertempur dan kalah daripada tidak pernah bertempur sama sekali. Arthur Hugh Clough
vi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Penelitian ini penulis persembahkan kepada : 1. Allah Swt. atas nafas dan kekuatan yang selalu dilimpahkan-Nya. 2. Orangtuaku tercinta yang senantiasa memberi
dukungan
moral
maupun
material. 3. Kakak-kakakku
sayang
yang
selalu
menguatkan aku. 4. Almarhumah Budhe Is untuk kasihmu yang tak dapat lagi tersentuh. 5. Keluarga
Peronku
yang
telah
mengajarkanku banyak ha l. 6. Keluarga
Fahima,
teman
sekaligus
saudara perempuanku. 7. Teman-teman Bastind 2007 8. Semua
pihak
yang
disebutkan satu persatu,
vii
commit to user
tak
mampu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah Swt., karena atas limpahan nikmat-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Semiotik Kumpulan Cerpen Samin Karya Kusprihyanto Namma”. Skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendaha n hati peneliti menyampaikan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatulloh, M .Pd. selaku dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang telah memberikan izin penelitian. 2. Dr. Muhammad Rohmadi, M .Hum selaku ketua jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni yang telah menyetujui permohonan penyusunan skripsi. 3. Dr. Andayani, M .Pd. selaku ketua program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan izin untuk penulisan skripsi ini. 4. Drs. Slamet Mulyono, M. Pd. selaku pembimbing I yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, dan bantuan dalam setiap bagian skripsi sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. 5. Drs. Yant Mujiyanto, M.Pd. selaku pembimbing II yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, dan bantuan dalam setiap bagian skripsi sehingga peneliti dapat menye lesaikan skripsi ini.; 6. Dan semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhir kata penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Surakarta, November 2011
Peneliti
viii
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAM AN JUDUL……………………………………………………
i
HALAM AN PERSETUJUAN………………………………………….
ii
HALAM AN PENGESAHAN………………………………………….
iv
HALAM AN ABSTRAK………………………………………………..
v
HALAM AN MOTTO…………………………………………………...
vi
HALAM AN PERSEMBAHAN…………………………………………
vii
KATA PENGANTAR…………………………………………………..
viii
DAFTAR ISI…………………………………………………………….
ix
DAFTAR GAM BAR……………………………………………………
xii
DAFTAR TABEL……………………………………………………….
xiii
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………
xiv
BAB I: PENDAHULUAN……………………………………………...
1
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………
1
B. Rumusan M asalah……………………………………………….
5
C. Tujuan Penelitian…………………………………………………
5
D. Manfaat Penelitian………………………………………… …….
6
BAB II: LANDASAN TEORI…………………………………………..
7
A. Tinjauan Pustaka…………………………………………………
7
1. Hakikat Kajian Semiotik…………………………………...
7
a. Sejarah Semiotik………………………………………
7
b. Pengertian Semiotik…………………………………...
8
c. Teori Semiotik………………………………………...
10
1) Teori semiotik Peirce…………………………….
10
2) Teori Semiotik Saussure…………………………
12
3) Teori Semiotik Charles Morris…………………..
14
4) Teori Semiotik Roland Barthes…………………..
14
5) Teori Semiotik Umberto Eco…………………….
16
6) Teori Semiotik Odgen & Richard………………... 16 ix
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7) Teori Semiotik Bloomfield………………………. 17 d. M acam-M acam Semiotik……………………………..
18
e. Bahasa sebagai Sistem Semiotik……………………..
19
2. Hakikat Cerita Pendek (Cerpen)…………………………..
21
a. Pengertian Cerita Pendek……………………………..
21
b. Ciri-Ciri Cerpen……………………………………….
22
c. Unsur-Unsur Cerita Pendek……………………...……
23
1) Tema……………………………………………..
23
2) Alur atau Plot……………………………………
24
3) Penokohan………………………………………
26
4) Latar atau Setting………………………………..
28
5) Sudut Pandang atau Point of View……………..
29
6) Gaya……………………………………………..
30
7) Amanat…………………………………..............
31
B. Kerangka Berpikir…………………………………………….....
32
BAB III: METODOLOGI PENELITIAN……………………………….
34
A. Bentuk dan Strategi Penelitian……………………………………. 34 B. Tempat dan Waktu Penelitian……………………………………. 34 C. Sumber Data……………………………………………………… 35 D. Teknik Sampling…………………………………………………. 35 E. Teknik Pengumpulan Data……………………………………….
36
F. Validitas Data……………………………………………………
36
G. Teknik Analisis Data…………………………………………….
37
H. Prosedur Penelitian……………………………………………….
39
BAB IV: HASIL PENELITIAN…………………………………………
40
A. Deskripsi Data Penelitian………………………………………..
40
B. Analisis Data dan Pembahasan………………………………….
50
1. Identifikasi dan Analisis Ikon, Indeks, dan Simbol untuk Menemukan M akna Semiotik pada Kumpulan cerpen Samin………………………………………………………..
x
commit to user
50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Makna Semiotik Kumpulan Cerpen Samin Berdasarkan Identifikasi dan Analisis Ikon, Indeks, dan Simbol…………
94
a. M akna Semiotik Cerpen Biru………………………...
94
b. M akna Semiotik Cerpen Mun………………………...
96
c. M akna Semiotik Cerpen Kembang Tebu………...…...
98
d. M akna Semiotik Cerpen Pundhen…………………….
100
e. M akna Semiotik Cerpen Samin……………………….
102
f. M akna Semiotik Cerpen Jawa………………………..
105
g. M akna Semiotik Cerpen Bedil………………………..
107
h. M akna Semiotik Cerpen Patrem..................................
108
i.
M akna Semiotik Cerpen Dom………………………
109
j.
M akna Semiotik Cerpen Tuyul………………………
110
3. Latar Belaka ng Penulis M enggunakan Sistem Semiotik (Ikon, Indeks, dan Simbol) dalam Penyajian Cerita………… 112 4. Kebermaknaan Penggunaan Unsur Semiotik (Ikon, Indeks, dan Simbol) untuk M endukung Keestetikan Karya …………. 114 BAB V: SIMPULAN, IM PLIKASI, DAN SARAN…………………….
122
A. Simpulan…………………………………………………………
122
B. Implikasi…………………………………………………………
123
C. Saran…………………………………………………………….
124
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………..
125
xi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar no.
Halaman
Gambar 1.
Segitiga Relasi Triad Odgen dan Richards…………...
17
Gambar 2.
Skema Kerangka Berpikir…………………………….
33
xii
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel no.
Halaman
Tabel 1.
Jadwal Kegiatan…………………………………………
34
Tabel 2.
Deskripsi Data……………………………………………
41
xiii
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran no.
Halaman
Lampiran 1.
Gambaran tentang Kumpulan Cerpen Samin…………
130
Lampiran 2.
Pedoman Wawancara dengan Pengarang……………… 132
Lampiran 3.
Pedoman Wawancara dengan Pembaca………………
133
Lampiran 4.
Pedoman Wawancara dengan Ahli Sastra…………….
134
Lampiran 5.
Laporan Hasil Wawancara dengan Pengarang…………
135
Lampiran 6.
Laporan Hasil Wawancara dengan Pembaca…………..
140
Lampiran 7.
Laporan Hasil Wawancara dengan Ahli Sastra………..
145
Lampiran 8.
Keputusan Dekan Fa kultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan ……………………………………………..
147
Lampiran 9.
Permohonan Izin Menyusun Skripsi…………………...
148
Lampiran 10.
Permohonan Izin Research…………………………….. 149
Lampiran 9.
Kumpulan Cerpen Samin……………………………....
xiv
commit to user
150
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semakin hari dunia sastra semakin digemari dan digeluti oleh sebagian masyarakat Indonesia. Banyak bermunculan karya sastra dari berbagai pengarang dengan karakter dan gaya penceritaan masing-masing pengarang. Dunia sastra menjadi suatu pilihan yang menarik, karena selain dapat mengungkapkan perasaan dan imajinasi, pengarang juga dapat memperoleh keuntungan yang lumayan jika karya sastranya dapat terjual di pasaran. Namun pada kenyataannya, seperti yang diungkapkan oleh Andre Hardjana (1991: 2), sekarang ini tidak banyak penikmat sastra yang melakukan suatu bentuk apresiasi mendalam terhadap karya sastra yang dibacanya. Kebanyakan dari mereka hanya sekadar membaca untuk mencari hiburan saja. Hal ini dibuktikan dengan tidak banyak kritikus-kritikus sastra di Indonesia. Padahal kritik sastra berguna untuk membangun kemajuan sastra ke depannya, baik untuk pengarang sendiri maupun untuk pihak-pihak terkait. Dunia sastra mengenal prosa sebagai salah satu genre sastra. Istilah prosa sebenarnya dapat menyaran pada pengertian yang lebih luas. Ia dapat mencakup berbagai karya tulis yang ditulis dalam bentuk puisi atau drama. Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi, teks naratif atau wacana naratif dalam pendekatan struktural dan semiotik. Istilah fiksi berarti cerita rekaan. Hal itu disebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada kebenaran sejarah (Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 2). Istilah fiksi sering dipergunakan dalam pertentangannya dengan realitas, sesuatu yang benar ada dan terjadi di dunia
nyata sehingga kebenarannya pun dapat dibuktikan
dengan data empiris. Salah satu karya fiksi yang marak dijumpai adalah cerpen. Sebagai
sebuah
karya
imajiner,
cerpen
menawarkan
berbagai
permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian
diungkapkannya
kembali melalui sarana
1
commit to user
fiksi se suai denga n
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pandangannya. Oleh karena itu, menurut Alterbern (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995 : 2) cerpen dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajiner, namun biasanya masuk akal dan menga ndung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antarmanusia. Pengarang mengemukakan hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Hal tersebut dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya, sekaligus memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia. Penyeleksian pengalaman kehidupan yang akan diceritakan tentu saja bersifat subjektif. Cerpen sebagai sebuah kisah fiksi
menceritakan berbagai masalah
kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama. Cerpen merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Walau berupa kha yalan, tak benar jika cerpen dianggap sebagai hasil kerja lamunan belaka, melainkan penghayatan dan perenungan secara intens, perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan, perenunga n yang dilakuka n dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Oleh karena itu, cerpen merupakan sebuah cerita yang di dalamnya terkandung unsur hiburan selain memiliki tujuan estetik. Betapa pun saratnya pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan, sebuah cerpen haruslah tetap merupakan cerita yang menarik, tetap merupakan bangunan struktur yang koheren, dan tetap mempunyai tujuan estetik. Dunia fiksi dalam cerpen jauh lebih banyak mengandung berbagai kemungkinan daripada yang ada di dunia nyata.
Pengarang dapat mengkreasi, memanipulasi, dan menyia sati
berbagai masala h kehidupan yang dialami dan menjadi berbagai kemungkinan kebenaran yang bersifat hakiki dan universal dalam cerpennya. Keterkaitan antara cerpen sebagai karya sastra dan kehidupan manusia yang demikian erat memberikan petunjuk bahwa karya sastra diciptakan bukan tanpa tujuan. Artinya karya sastra bukan merupakan sesuatu yang kosong tanpa makna (Ratna Dewi Kumalasari, 2002: 3). Pada dasarnya, setiap kisah dalam cerita pendek pasti memiliki suatu pesan tersendiri yang ingin disampaikan kepada pembaca, baik pesan moral maupun pendidikan yang diharapkan dapat 2
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
direfleksikan pembaca dalam kehidupan. Namun pada kenyataannya,
tidak
banyak pembaca yang benar-benar mampu menangkap pesan atau maksud yang ingin disampaikan pengarang melalui tulisannya. Hal ini disebabkan karena tidak semua pengarang menuliskan dalam bentuk gamblang. Banyak dari mereka yang menyampaikan melalui simbol-simbol lain yang tersembunyi dalam suatu tanda bahasa. Pada pembelajaran bahasa, sering ditemui siswa yang merasa kesulitan menginterpretasi karya sastra kaitannya dengan tema dan amanat. Menurut W ellek dan Warren (1990: 15), bahasa sastra bersifat banya k tafsir, berarti ganda dan sangat konotatif. Karya sastra pada dasarnya meliputi dua wila yah makna (denotatif dan konotatif) tentu saja usaha merebut makna tidak hanya akan berhenti pada apa yang tersurat, melainkan juga mencari apa yang tersirat di dalamnya. Untuk mengidentifikasi atau menginterpretasi apa yang tersurat pada karya sastra, pembaca akan dihadapkan pada sejumlah kemungkinan pengenalan makna yang cukup mewakili untuk menaklukkan simbol atau lambang dan seperangkat tanda-tanda lain yang tersirat di dalam karya sastra. Sugihastuti (2002: 3) menyatakan bahwa arti sebuah karya sastra ditentukan oleh maksud si pengarang. Kualifikasi karya sastra biasanya bertambah apabila arti sebuah karya sastra tergantung pada maksud pengarang, sebatas di dalam teks tersebut terdapat aturan-aturan bahasa yang dapat diuraikan agar mempunyai arti. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Riffatere (dalam A. Teeuw, 1984: 99) bahwa susunan bahasa menentukan segala sistem semiotik. Oleh karena itu, sastra sebagai salah satu sistem semiotik yang di dalamnya dapat ditemukan simbol dari bentuk-bentuk abstrak bahasa itu. Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti bermaksud melakukan kajian terhadap cerpen sebagai suatu karya fiksi, yang dikhususkan pada pengkajian kumpulan cerpen. Peneliti melakukan kajian terhadap kumpulan cerpen karena cerpen memiliki lebih banyak kemungkinan dalam mengemukakan peristiwa secara implisit dari sekadar apa yang diceritakan. Pada penelitian ini, peneliti melakukan kajian semiotik dari sebuah kumpulan cerpen, yaitu kumpulan cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma. Peneliti memilih kumpulan cerpen tersebut untuk dijadikan bahan kajia n karena 3
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kumpulan cerpen ini memiliki keunikan dengan kisahnya yang bersifat tradisional dan fenomenal. Kumpulan cerpen Samin mengangkat peristiwa-peristiwa yang sederhana namun menarik, karena sarat dengan keluguan-keluguan masyarakat desa.
Seperti diungkapkan oleh Yant Mujiyanto (Pawon edisi 12, 2007: 12)
bahwa Antologi Samin yang berisi 10 cerpen adalah buku yang sungguh-sungguh menerjemahkan karakteristik wong ndesa, dengan idiom-idiom dan bahasa ndesa, persoalan dan cara pikir khas ndesa. M embaca cerpen-cerpen dalam buku ini serasa kita diajak ke pedalaman desa-desa di Jawa, bukan hanya dalam latar tempat dan suasananya, melainkan juga ruhnya, spirit, aspirasi, obsesi, perasaan, kebahagiaan, dan kebersahajaannya. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Ibnu Megananda (Pawon edisi satu tahun, 2008: 28) yang menyataka n bahwa kumpulan cerpen Samin dicetak sederhana, tapi isinya tidak sederhana. Walaupun ada sepuluh cerpen dengan cerita biasa, tapi cukup sumringah. Sumringah maksudnya cerita tidak disajikan hanya dengan kalimat kegetiran, namun dengan logika yang kadang me ngajak pembaca tersenyum. Berdasarkan pengamatan terbatas dari peneliti,
cerpen-cerpen dalam
kumpulan cerpen Samin memiliki ikatan satu sama lain. Beberapa judul cerpen dalam kumpulan cerpen ini memiliki kesatuan ide yang mengacu pada keadaan politik suatu masa. Pada setiap kisahnya mengandung makna yang tersirat yang sejujurnya ingin pengarang, yaitu Kusprihyanto Namma sampaikan kepada pembaca. Hal demikian senada dengan yang diungkapkan Yant Mujiyanto (Pawon edisi 12 2007: 13) bahwa di sela-sela kesederhanaan pengucapan dan materi cerita, cerpen-cerpen dalam buku ini menyimpan misteri yang dibiarka n pengarangnya tetap sebagai misteri. Berdasarkan data lapangan hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa pembaca kumpulan cerpen Samin, peneliti menyimpulkan bahwa beberapa pembaca mengalami sedikit kesulitan dalam memahami
makna atau maksud
sebenarnya ya ng ingin disampaikan oleh pengarang dalam kisahnya. Pembaca mengalami kesulitan menelaah pernyataan-pernyataan yang digunakan pengarang dalam menuangkan ide ceritanya dengan bentuk-bentuk simbol yang bersifat abstrak. Hasil identifikasi peneliti pada kumpulan cerpen Samin, pengarang yaitu 4
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kusprihyanto Namma menggunakan sistem simbol dalam penceritaannya, sehingga
maksud
sebenarnya
yang
ingin
disampaikan
pengarang tidak
sesederhana seperti yang tersurat. Ada pesan tersendiri yang ingin disampaikan pengarang melalui cerpen-cerpennya yang tidak diungkapkan secara gamblang, melainkan menggunakan simbol-simbol tertentu. Untuk itulah, peneliti melakukan penelitian kajia n sem iotik kumpulan cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma. Penelitian ini menekankan pada pemaknaan karya itu dengan mengidentifikasi ikon, indeks, dan simbol dalam kumpulan cerpen itu. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat ditentukan rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu : 1. Bagaimanakah identifikasi dan analisis ikon, indeks, dan simbol untuk menemukan makna semiotik pada kumpulan cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma? 2. Apakah latar belakang pengara ng (Kusprihyanto Namma) menggunakan unsur semiotik (ikon, indeks, dan simbol) tersebut dalam menyampaikan ide ceritanya? 3. Bagaimanakah kebermaknaan penggunaan unsur semiotik tersebut dalam mendukung keestetikan kumpulan cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang ingin dicapai peneliti adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi dan menganalisis ikon, indeks, dan simbol untuk menemukan makna semiotik pada kumpulan cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma. 2. Mendeskripsikan latar belakang pengarang (Kusprihyanto Namma) menggunakan unsur
semiotik (ikon, indeks, dan simbol) dalam
menyampaikan ide cerita.
5
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Mendeskripsikan kebermaknaan penggunaan unsur semiotik tersebut dalam
mendukung
keestetikan
kumpulan
cerpen
Samin
karya
Kusprihyanto Namma.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah pengetahuan kesastraan khususnya mengenai kajian sem iotik dalam kumpulan cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma. 2. Manfaat Praktis a. Bagi guru, penelitian ini dapat digunakan untuk referensi mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia kaitannya dengan analisis cerpen. b. Bagi peserta didik, penelitian dapat menjadi acuan dalam menganalisis sastra khususnya kaitannya dengan makna, sehingga membantu menambah pengetahuan peserta didik dalam mengapresiasi sastra. c. Bagi pembaca, penelitian ini dapat memberikan wawasan dan pengetahuan mengenai makna dalam kumpulan cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma, sehingga dapat diambil nilai positif untuk diaplikasikan dalam kehidupan. d. Bagi peneliti, penelitian ini dapat memberikan pengalaman lebih dan dapat menggali kemampuan peneliti dalam bahasa dan sastra Indonesia.
6
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Hakikat Kajian Semiotik a. Sejarah Semiotik Ni
Wa yan
Sartini
(www.journal.unair.ac.id,
menerangkan bahwa ilmu semiotik bermula
17
Maret
2011)
dari ilmu linguistik dengan
tokohnya Ferdinand de Saussure (1857 - 1913).
Saussure
tidak
hanya
dikenal sebagai Bapak Linguistik tetapi juga banyak dirujuk sebagai tokoh semiotik dalam bukunya Course in General Linguistics (1916). Selain itu ada tokoh yang penting dalam semiotik yaitu Charles Sanders Peirce (1839 1914) seorang filsuf Amerika dan Charles Williams Morris (1901 - 1979) yang
mengembangkan behaviouris semiotics. Tokoh semiotik yang
mengembangkan teori-teori semiotik modern adalah Roland Barthes (1915 1980), Algirdas Greimas
(1917 - 1992), Yuri
Lotman
(1922 - 1993),
Christian Metz (193 - 1993), Umberco Eco (1932), dan Julia Kristeva (1941). Linguis selain Saussure yang bekerja dengan semiotics framework adalah Louis Hjlem slev (1899 - 1966) dan Roman Jakobson (1896 - 1982). Strukturalisme adalah sebuah metode yang
telah diacu oleh
banyak ahli semiotik yang didasarkan pada model linguistik Saussure. Strukturalis mencoba mendeskripsikan sistem
struktural
tanda sebagai
bahasa-bahasa, Strauss denga n mith, kinship dan totemisme, Lacan dengan unconcious, Barthes dan Greim as dengan grammar of narrative. M ereka bekerja mencari struktur dalam (deep structure) dari bentuk struktur luar (surface structure) sebuah fenome na. Semiotik sosial bergerak di luar perhatian struktural hubungan internal bagian-bagian
kontemporer
telah
yaitu menganalisis hubungan -
dengan a self contained
system, dan
mencoba mengembangkan penggunaa n tanda dalam situasi sosial yang spesifik. Tidak dapat disangkal lagi bahwa lahirnya semiotik khususnya di Eropa tidak dapat
dilepaskan
dari 7
bayangan
commit to user
strukturalisme
yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mendahuluinya
dalam
perkembangan
ilmu pengetahuan
budaya.
Perkembangan dari strukturalis ke semiotik dapat dibagi dua yaitu yang melanjutkan sifat strukturalisme dan yang meninggalkan sifat strukturalisme. b. Pengertian Semiotik Tujuan analisis karya sastra adalah mengungkapkan makna. Karya sastra hanyalah karya yang bersifat artefak jika tidak diketahui makna yang terkandung di dalamnya. Suatu karya sastra, dalam hal ini cerpen, merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Rachmat Djoko Pradopo (2002: 47) mengemukakan bahwa karya sastra adalah karya seni yang mediumnya sudah bersifat tanda yang memiliki arti, yaitu bahasa. Ia juga menerangkan bahwa studi sastra bersifat semiotik merupakan usaha untuk menganalisis karya sastra sebagai suatu sistem tanda dan menentukan konve nsi-konve nsi yang memungkinkan karya sastra memiliki makna. Sejala n dengan pendapat di atas, Nyoman Kutha Ratna (2004: 97) menyatakan bahwa: Semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Kehidupan manusia dipenuhi oleh tanda, dengan perantaraan tanda-tanda proses kehidupan menjadi lebih efisien, dengan perantaraan tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya, sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia. Preminger dalam Rachmat Djoko Pradopo (2005: 119) menyatakan bahwa semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda.
Semiotik
mempelajari
sistem-sistem,
aturan-aturan,
dan
konve nsi-konve nsi yang meyakinkan bahwa tanda-tanda itu mempunyai arti. Pada kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung
pada konvensi-konve nsi
tambahan dan meneliti ciri atau sifat yang menyebabkan bermacam-macam cara agar wacana memiliki makna. Hal ini berarti penekanan pendekatan semiotik adalah pemahaman makna karya sastra melalui tanda-tanda dalam karya sastra. 8
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Suwardi Endraswara (2003: 64)
menyatakan bahwa penelitian
semiotik adalah studi tentang tanda. Karya sastra akan dibahas sebagai tandatanda. Tanda-tanda tersebut telah ditata oleh pengarang sehingga tercipta sistem, konvensi, dan aturan-aturan tertentu yang perlu dimengerti oleh peneliti. Tanpa memperhatikan hal-hal yang terkait dengan tanda, maka pemaknaan karya sastra tidaklah lengkap. Makna karya sastra tidak akan tercapai secara optimal jika tidak dikaitkan dengan wacana tanda. Pandangan semiotik yang berasal dari teori Saussure menyebutkan bahwa bahasa merupakan sistem tanda. Sebagai suatu tanda, bahasa bersifat mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna. Bahasa sebagai suatu sistem tanda dalam teks kesastraan, tidak hanya menyaran pada sistem (tataran) makna tingkat pertama, melainkan terlebih pada sistem makna tingkat kedua (Culler dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 39). Alex Sobur (2006: 15) menyatakan bahwa semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang digunakan untuk mencari jalan di dunia, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotik pada dasarnya bertujuan mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai berbagai hal (things). Kegiatan memaknai (to sinify) tidak dapat dicampuradukkan dengan mengomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Hoed (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 40), menyatakan bahwa: “Semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan sebagainya”. Jadi yang dapat menjadi tanda sebenarnya bukan hanya bahasa saja, melainkan berbagai hal yang berada di lingkungan sekitar. Tanda-tanda itu dapat berupa gerakan anggota badan, mimik, karya seni, sastra, dan sebagainya. Morris dalam Yasraf
Amir Piliang (2003: 256) menjelaskan bahwa analisis sem iotik
memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi sintaktik, semantik, dan pragmatik yang 9
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ketiga nya saling berkaitan satu sama lain. Sintaktik berkaitan dengan studi mengenai tanda secara individual maupun kombinasinya, khususnya analisis yang bersifat deskriptif tentang tanda dan kombinasinya. Semantik adalah studi mengenai relasi antara tanda dan signifikasi atau maknanya. Pragmatik adalah studi mengenai relasi antara tanda dan penggunanya, khususnya yang berkaitan dengan penggunaan tanda secara konkrit dalam berbagai peristiwa serta dampaknya tehadap pengguna. Pragmatik berkaitan dengan nilai, maksud, dan tujuan dari sebuah tanda. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dan penggunaannya dalam suatu usaha untuk menemukan makna. Tanda dapat mewakili berbagai hal seprti fenomena kehidupan, pikiran, perasaan, perila ku manusia, bahasa, dan sebagainya. c. Teori Semiotik Perkembangan teori semiotik saat ini dapat dibedakan ke dalam dua je nis semiotika, yaitu semiotik komunikasi dan semiotik signifikansi. Semiotik komunikasi menekankan diri pada teori produksi tanda, sedangkan semiotik signifikasi mene kankan pemahaman, dan atau pemberian makna suatu tanda. Produksi tanda dalam semiotik komunikasi, mensyaratka n adanya pengiriman informasi,
penerima
informasi,
sumber,
tanda-tanda,
saluran,
proses
pembacaan, dan kode. Semiotik signifikasi tidak mempersoalkan produksi dan tujuan komunikasi, melainkan menekankan bidang kajiannya pada segi pemahaman tanda-tanda serta bagaimana proses kognisi atau interpretasinya. 1) Teori Semiotik Peirce Peirce (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1994: 41) menyatakan bahwa: “Sesuatu itu dapat disebut sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain. Sebuah tanda yang disebutnya sebagai representation haruslah mengacu pada sesuatu yang disebutnya sebagai objek acuan”. Proses perwakila n itu disebut dengan semiosis. Semiosis adalah suatu proses di mana suatu tanda berfungsi sebagai tanda, yaitu mewakili sesuatu yang ditandainya. 10
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Panuti
Sudjiman
(1991:
1)
menerangkan
bahwa
Peirce
mengusulkan kata semiotika sebagai sinonim kata logika. Menurut Peirce, logika harus mempelajari bagaimana orang bernalar. Penalaran itu dilakukan melalui tanda-tanda yang memungkinkan berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Peirce dalam Suwardi Endraswara (2003: 65) menawarkan sistem tanda yang harus diungkap. M enurut Peirce, ada tiga faktor yang menentukan adanya tanda, yaitu tanda itu sendiri, hal yang ditandai, dan sebuah tanda baru yang terjadi dalam batin penerima tanda. Ada kaitan representasi (menghadirkan) antara tanda dan yang ditandai. Kedua tanda itu akan melahirkan interpretasi dalam bena k penerima. Hasil interpretasi tersebut merupakan tanda baru yang diciptakan oleh penerima pesan. Peirce membedakan hubungan a ntara tanda dengan acuannya ke dalam tiga jenis hubungan, yaitu a) Ikon, jika berupa hubungan kemiripan b) Indeks, jika berupa hubungan kedekatan eksiste nsi c) Simbol, jika berupa hubungan yang sudah terbentuk secara konvensi. Tanda yang berupa ikon misalnya foto, peta geografis, penyebutan atau penempatan di bagian awal atau depan (sebagai tanda sesuatu yang dipentingkan). Tanda yang berupa indeks misalnya, asap hitam tebal membumbung menandakan kebakaran, wajah yang terlihat muram menandakan hati yang sedih, dan sebagainya. Tanda yang berupa simbol mencakup berbagai hal yang telah mengonvensi di masyarakat. Antara tanda dengan objek tak memiliki hubungan kemiripan, melainkan terbentuk karena kesepakatan. Misalnya berbagai gerakan anggota badan menandakan maksud-maksud tertentu, warna tertentu melambangkan sesuatu yang tertentu pula. Pada suatu teks kesastraan, ketiga jenis tenda tersebut sering hadir bersama dan sulit dipisahkan. Jika sebuah tanda itu dikatakan sebagai ikon, ia harus mengandung penonjolan ikon, dibanding ciri yang lain. Ketiganya sulit dikatakan mana yang lebih penting. Simbol jelas 11
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
merupakan tanda yang paling canggih karena berfungsi untuk penalaran, pemikiran dan perasaan. Namun indeks dapat dipakai untuk memahami watak tokoh teks fiksi yang mempunyai jangkauan eksistensial yang dapat melebihi simbol. Peirce (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1994: 43) membedakan ikon menjadi tiga macam, yaitu ikon topologis, diagramatik, dan metaforis. Termasuk dalam ikon topologis jika terdapat istilah-istilah yang tergolong wilayah makna spasialitas. Termasuk ikon diagramatik jika terdapat wilayah makna relasional. Termasuk ikon metafora jika dalam pembuatan deskripsi mengharuskan dipakainya metafora sebagai istilah. Panuti Sudjiman (1991: 18) menjelaskan ciri karakteristik ikon metafora adalah tidak adanya kemiripan antara tanda dan acuannya, tetapi antara kedua acuan diacu dengan tanda yang sama. Panuti Sudjiman (1991: 11) menyatakan bahwa teks memiliki ikon jika ada persamaan suatu tanda tekstual dengan acuannya. Acuan dapat bersifat kongkret ataupun abstrak, nyata atau imajiner. Acuan itu mungkin ada, pernah ada, atau mungkin aka nada di masa yang akan datang. Semua yang dapat dibayangkan oleh pikiran manusia dapat merupakan acuan suatu tanda. Martinet (2010: 49) mengungkapkan bahwa indeks itu ada, bisa dipersepsi, terlihat jelas, bagi disposisi manusia. Manusia itulah yang harus mengidentifikasikan apa yang diindikasikannya dan memberi indeks tersebut interpretasi yang diinginkannya. Morris (dalam M artinet, 2010: 58) menyebut simbol dengan istilah tanda dari tanda, yaitu tanda yang diproduksi sebaga i pengganti satu tanda lain. Tanda lain itu adalah sinonim dari tanda tersebut. 2) Teori Semiotik Saussure Teori Saussure sebenarnya berkaitan dengan pengembangan teori linguistik secara umum, maka istilah-istilah yang dipakai untuk bidang kajian semiotik meminjam dari istilah dan model-model linguistik. Bahasa sebagai suatu sistem tanda, menurut Saussure (dalam Burhan 12
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nurgiyantoro, 1994: 43) memiliki dua unsur yang tak terpisahkan: signifier dan signified, signifiant dan signifie, penanda dan petanda. Wujud signifiant dapat berupa bunyi-bunyi ujaran atau tulisan, sedangkan signifie adalah unsur konseptual, gagasan, atau makna yang terkandung dalam penanda tersebut. Grayson dan Shulman (2000: 28) menyatakan bahwa : “Building from this emphasis on relationships between signs rather than the signs themselves, Saussure argued that there is no semiotic basis for preferring one signal to another so long as either can hold the same place in a particular semiotic system”. Banyak tanda yang dapat digunakan untuk mengungkapkan atau mewakili acuannya, walaupun tanda tersebut tidak dapat mendeskripsikan objek secara mutlak. Alex Sobur (2006: 46) menerangkan bahwa ada lima pandangan Saussure yang selanjutnya menjadi peletak dasar dari strukturalisme Le viStrauss, yaitu pandangan tentang signifier (penanda) dan signified (petanda), form (bentuk) dan content (isi), langue (bahasa) dan parole (ujaran), synchronic (sinkronik) dan diachronic (diakronik), serta syntagmatic (sintagmatik) dan associative (paradigmatik). Salah satu teori Saussure yang dipergunakan secara luas di bidang kajian kesastraan adalah konsep sintagmatik dan paradigmatik. Hubungan yang bersifat linier disebut hubungan sintagmatik, sedangkan hubungan yang asosisatif disebut dengan hubungan paradigmatik. Karya fiksi memiliki hubungan antara penanda dan petanda yang jumlahnya sangat banyak. Pertama akan dapat dilihat aspek formal karya itu yang dapat berupa deretan kata, kalimat, alinea, dan seterusnya sampai akhirnya membuat teks yang utuh. Tiap aspek formal berhubungan dengan makna, sebab tak mungkin kehadiran aspek formal itu tanpa dihadiri konsep makna. Hal ini merupakan hubungan asosiatif atau paradigmatik. Hubungan sintagmatik dipergunakan untuk menelaah struktur karya dengan menekankan urutan satuan-satuan makna karya yang dianalisis. Pada karya fiksi biasanya berupa hubungan kata, peristiwa, dan tokoh. 13
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3) Teori Semiotik Charles Morris Morris (dalam Teeuw, 1984: 54-56) membedakan semiotik menjadi tiga dimensi dalam proses semiotik yang dilambangkan dengan segitiga. Ketiga dimensi tersebut adalah: a)
Dimensi sintaktik, yaitu hubungan antara tanda satu dengan tanda la in dalam proses komunikasi. Morris menyamakan dimensi ini dengan poetic fungtion yang dikemukakan oleh Jacobson dan pendekatan objektif milik Abrams. Bila dibandingkan dengan pendekatan objektif milik Abrams, dimensi sintaktik menekankan bahwa struktur intrinsik karya sastra merupakan sistem tanda.
b) Dimensi pragmatik yang meliputi pengirim dan penerima pesan. Contohnya dalam kehidupan sehari-hari peran pengirim dan penerima pesan dapat saling bergantian secara terus-menerus,. Penerima pesan dapat menjadi pengirim pesan, begitupun sebaliknya pada situasi komunikasi biasa. Tetapi dalam ranah sastra, pergantian tersebut tidak dapat terjadi. Hal ini disebabkan karena antara penulis dan pembaca, antara seniman dan penikmat memiliki kedudukan yang tidak sejajar bahkan bertentanga n. Pada ilmu sastra aspek ekspresif
dan
pragmatik
perlu
ada
penjelasan
agar
jelas
perbedaannya. c) Dimensi semantik yang memiliki kesamaan dengan fungsi mimetik atau referensial. Klaus membedakan dimensi ketiga ini dengan istilah sigmantik dan semantik.
Semantik
diartikan
sebagai makna
konseptual yang dicetuskan oleh Sausure bahwa tanda sebagai dwi tungga l signifiant dan signifie, yang artinya dimiliki oleh pemakai bahasa, terlepas dari situasi komunikasi yang konkrit. Kemudian sigmatik menurut Klaus diartikan sebagai aspek referensial, acuan tanda dalam penerapannya pada sesuatu dalam kenyataan. 4) Teori Semiotik Roland Barthes Teori ini dikemukakan ole h Roland Barthes (1915 - 1980). Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat 14
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
denotasi dan konotasi (Kurniawan, 2001: 23). Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan ya ng menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti. Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan ka limat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan order of signification, mencakup denotasi atau makna sebenarnya dan konotasi, yaitu makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal. Di sinila h titik perbedaan Saussure dan Barthes, meskipun Barthes tetap mempergunaka n istilah signifier-signified yang diusung Saussure. Alex Sobur (2006: 68) menerangkan bahwa salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca. Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes mengulas sistem pemaknaan tataran ke-dua yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran ke-dua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang didalam Mythologies-nya ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama.
15
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5) Teori Semiotik Umberto Eco Littlejohn dalam Ale x Sobur (2006: 72) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotik yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotik secara lebih mendalam. Panuti Sudjiman (1991: 26) memaparkan bahwa Umberto Eco mencoba menggali kemungkina n teoretis dan fungsi sosial sebuah pendekatan yang utuh terhadap tiap gejala signifikasi atau komunikasi dalam bukunya A Theory of Semiotics. Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimpulkan bahwa satu tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen yang berasal dari sistem dan tingkat yang berbeda. Eco menggunakan “kode-s” untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode-s bisa bersifat denotatif bila suatu pernyataan bisa dipaham i secara harfiah, atau konotatif
bila tampak kode lain dalam pernyataan yang
sama. Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya Saussure. Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s yang bersifat lebih dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure. 6) Teori Semiotik Ogden & Richard Odgen dan Richards (dalam Leech, 2003: 8) pada tahun 1923 telah merasa yakin akan kemajuan ilmu pengetahuan dan me nyatakan bahwa: “Selama beberapa tahun terakhir ini, kemajuan di dalam bidang biologi dan penelitian psikologis terhadap memori dan keturunan, telah menempatkan ‘makna’ tanda atau simbol pada umumnya tanpa keraguan,
16
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan di sinilah tampak bahwa gagasan dan bahasa haruslah diperlakukan dengan cara yang sama”. Odgen dan Richards menyingkirkan tesis-tesis Saussuran yang mereka a nggap tidak ilm iah dalam buku mereka The Meaning of Meaning. Apa yang mereka pikirkan adalah triad: pemikiran, kata, dan hal. Mereka sangat memperhitungkan simbolisme atau studi tentang peran yang berkaitan dengan kemanusiaan oleh bahasa dan simbol jenis apapun, terutama pengaruh bahasa dan simbol terhadap pemikiran. Odgen dan Richards mempresentasikan relasi antara ketiga faktor triad itu dengan menggunakan sebuah segitiga. PEMIKIRAN ATAU REFERENSI
SIMBOL
m enggantikan
REFEREN
(relasi imputasi)
Gambar 1. Segitiga relasi triad Odgen dan Richards
7) Teori Semiotik Bloomfield Bloomfield, yang dipengaruhi oleh psikologi behaviorisme, mengembangkan teori bahwa makna bahasa muncul karena terjadinya proses stimulus dan respon. Orang berbahasa karena adanya stimulus dari lingkungannya, yang harus mereka respon melalui bahasa. Dengan demikian, Bloomfield melihat bahwa bahasa bukan merupakan fenomena semiotis melainkan fenomena psikologis behavioristik atau perilaku. Pandangan seperti ini menegaskan kenyataan bahwa bahasa merupakan sistem simbol yang digunakan untuk berinteraksi di dalam mas yarakat.
17
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Leech (2003: 9) menerangkan bahwa Bloomfield menulis suatu konsep tentang ‘unified science’ (ilmu pengetahuan tunggal), yaitu adanya gagasan bahwa semua disiplin ilmu, dari fisika sampai psikologi, dapat digabungkan menjadi suatu bentuk ilmu pengetahuan yang monolitik. d. Macam-Macam Semiotik Pateda (dalam Alex Sobur, 2006: 15)
menyatakan bahwa terdapat
sembilan macam semiotik antara lain: 1) Semiotik analitik Semiotik analitik merupakan semiotik yang menganalisis sistem tanda.
Peirce
mengatakan bahwa semiotik berobjekka n tanda dan
menganalisisnya menjadi ide, objek dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu pada objek tertentu. 2) Semiotik deskriptif Semiotik deskriptif adalah semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat dialami sekarang meskipun ada tanda yang se jak dahulu tetap. 3) Semiotik faunal (zoosemiotic) Semiotik faunal (zoosemiotic) merupakan
semiotik
yang
khusus
memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. 4) Semiotik kultural Semiotik kultural merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang ada dalam kebudayaan masyarakat. 5) Semiotik naratif Semiotik naratif adalah semiotik yang membahas sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore). 6) Semiotik natural Semiotik natural adalah sem iotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. 7) Semiotik normatif
18
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Semiotik
normatif merupakan
semiotik
yang
khusus
membahas
sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma. 8) Semiotik sosial Semiotik sosial merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang
dihasilkan
oleh
manusia
yang
berwujud
lambang,
baik
lambang kata maupun lambang rangkaian kata berupa kalimat. 9) Semiotik struktural Semiotik struktural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa. Menurut Zoest (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2004: 105) dikaitkan dengan bidang-bidang yang dikaji, pada umumnya semiotika dapat dibedakan menjadi tiga a liran, yaitu: 1) Aliran semiotika komunikasi, yaitu semiotik dengan intensitas kualitas tanda dalam kaitannya dengan pengirim dan penerima, tanda yang disertai dengan maksud, yang digunakan secara sadar, sebagai signal. 2) Aliran semiotika konotatif, yaitu semiotik yang berdasarkan ciri-ciri denotasi kemudian diperoleh makna konotasinya, arti pada bahasa sebagai sistem model kedua, tanda-tanda tanpa maksud langsung, sebagai symptom. Aliran semiotika konotatif selain diterapkan dalam sastra juga diterapkan dalam berbagai bidang kemasyarakatan. Aliran ini dipelopori oleh Roland Barthes. 3) Aliran semiotika ekspansif, diperluas dengan bidang psikologi yang dipelopori oleh Freud, sosiologi dipelopori oleh Marxis, dan filsafat yang dipelopori oleh Julia Kristeva. e. Bahasa sebagai Sistem Semiotik Faktor pertama dalam model semiotik sastra yang harus diberi tempat yang selayaknya adalah bahasa itu sendiri, sebagai sistem tanda yang kompleks dan beragam (Teeuw, 1984: 60). Rachmat Djoko Pradopo (1997: 122) menyatakan bahwa bahasa merupakan sistem tanda yang kemudian dalam karya sastra menjadi mediumnya. Bahasa merupakan
sistem tanda
tingkat pertama. M enurut ilmu tanda-tanda atau semiotik, arti bahasa sebagai 19
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sistem tanda tingkat pertama itu disebut meaning (arti). Karya sastra itu juga merupakan sistem tanda yang berdasarkan konvensi masyarakat. Karya sastra merupakan sistem tanda yang lebih tinggi kedudukannya dari bahasa, maka disebut sistem semiotik tingkat kedua. Bahasa tertentu itu mempunya i konve nsi tertentu pula, dalam sastra konvensi bahasa itu disesuaikan dengan konve nsi sastra.
Pada sebuah karya sastra, arti kata-kata ditentukan oleh
konve nsi sastra. Dengan demikian, timbullah arti baru yaitu arti sastra. Jadi, arti sastra itu merupakan arti dari arti (meaning of meaning ). Untuk membedakannya arti bahasa itu disebut makna (significance). Weissbrod (1998: 2) menerangkan bahwa: “Even dan Zohar suggested viewing literature a polysystem, a system of systems, wich can described by a series of oppositions”. Karya sastra bukan hanya sekedar tulisan yang tidak bermakna dan dibuat sesuka hati, namun karya sastra dibuat dengan memperhatikan aturan atau sistem. Sistem-sistem tersebut meliputi unsurunsur struktural, keindahan, nilai-nilai, dan sebagainya. Studi sastra bersifat semiotik merupakan usaha untuk menganalisis suatu karya sastra. Kajian semiotik sebagai suatu sistem tanda-tanda dan menentukan konvensi-konve nsi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna. Dengan melihat variasi-variasi di dalam struktur sastra atau hubungan dalam antarunsur-unsurnya akan dihasilkan bermacam-macam makna ( Rachmat Djoko Pradopo, 2002: 123). Ada banyak cara yang ditawarkan dalam rangka menganalisis karya sastra secara sem iotik. Nyoman Kutha Ratna (2004: 104) menyebutka n cara yang paling umum adalah dengan menaganalisis karya melalui dua tahapan sebagaimana ditawarkan oleh Wellek dan Warren, yaitu analisis intrinsik (mikrostruktur) dan analisis ekstrinsik (makrostruktur). Cara yang lain sebagaimana dikemukakan oleh Abrams dilakukan dengan menggabungkan empat aspek, yaitu pengarang (ekspresif), semestaan (mimetik), pembaca (pragmatik), dan objektif (karya sastra itu sendiri).
20
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Hakikat Cerita Pendek (Cerpen) a. Pengertian Cerita Pendek Poe (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 10) menyatakan bahwa: “Cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kirakira berkisar antara setengah sampai dua jam”. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Jakob Sumardjo dan Saini K.M . (1988: 30) menyatakan bahwa cerita pendek adalah cerita berbentuk prosa yang relatif pendek. Ukuran pendek di sini diartikan dapat dibaca sekali duduk dalam waktu kurang dari satu jam. Dikatakan pendek juga karena genre ini hanya mempunyai efek tunggal, karakter, plot dan setting yang terbatas, tidak beragam, dan tidak kompleks. Menurut Ellery Sedgwick dalam Henry Guntur Tarigan (1984: 176), cerita pendek adalah penyajian suatu keadaan tersendiri atau suatu kelompok keadaan yang memberikan kesan tunggal pada jiwa pembaca. Cerita pendek tidak boleh dipenuhi oleh hal-hal yang tidak perlu. Berkaitan dengan hal tersebut, Satyagraha Hoerip dalam Atar Semi (1993: 34) menerangkan bahwa cerpen adalah karakter yang dijabarkan lewat rentetan kejadian daripada kejadian-kejadian itu sendiri satu persatu. Peristiwa yang terjadi di dalamnya merupakan suatu pengalaman atau penjelajahan. Tentang panjangnya, Reid menyebutkan antara 1600 kata sampai dengan 20.000 kata. Sementara
Tasrif menyatakan bahwa panjang cerita pendek
antara 500 sampai dengan 32.000 kata atau 17 halaman kertas kuarto spasi rangkap (dalam Herman J. Waluyo dan Nugraheni, 2008: 6). Sebaliknya Atar Semi (1993: 34) mengemukakan bahwa panjang pendek ukuran fisik cerpen tidak menjadi ukuran yang mutlak. tidak ditentukan cerpen harus sekia n halaman atau sekian kata, walaupun cerpen cenderung berukuran pendek dan pekat.
Keterbatasan yang dimiliki jelas tidak memberi kesempatan bagi
cerpen untuk menjelaskan dan mencantumkan segalanya. Cerpen dituntut menyampaikan sesuatu yang tidak kecil, walaupun dengan jumla h kata yang sedikit. Oleh karena itu, cerpen menyuguhka n kebenaran yang diciptakan, dipadatkan,
digayakan,
dan
diperkokoh
pengarangnya. 21
commit to user
oleh
kemampuan
imajinasi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa cerpen adalah cerita fiksi berbentuk prosa yang bersifat pendek dan terbatas. Pendek dan terbatas mencakup segi tokoh, alur, peristiwa, setting, dan sebagainya. b. Ciri-Ciri Cerpen Menurut Poe (dalam Habbiburahman, http://lulukeche.multiply.com/ journal/item/, 27 M ei 2010) , cerpen harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu: 1) Cerita pendek harus pendek. Di samping itu juga harus memberi kesan secara terus-menerus hingga kalimat terakhir, berarti cerita pendek harus ketat dan tidak mengobral detail. Dialog dalam cerita pendek hanya diperlukan untuk menampakkan watak, menjalankan cerita, atau menampilkan masalah. 2) Cerita pendek mengalir dalam arus untuk menciptakan efek tunggal dan unik. Ketunggalan pikiran dan aksi dapat dikem bangkan melalui satu garis dari awal sampai akhir. Cerita pendek tak dimungkinkan terjadi aneka peristiwa digresi. 3) Cerita pendek harus ketat dan padat. Setiap detail harus mengarah pada satu efek saja yang berakhir pada kesan tunggal. Oleh sebab itu ekonomisasi kata dan kalimat sebagai salah satu ketrampilan yang dituntut bagi seorang cerpenis. 4) Cerita pendek harus mampu meyakinkan pembacanya bahwa ceritanya benar-benar terjadi, bukan suatu buatan, rekaan. Itulah sebabnya dibutuhkan suatu keterampilan khusus, adanya konsistensi dari sikap dan gerak tokoh, bahwa mereka benar-benar hidup, sebagaimana manusia yang hidup. 5) Cerita pendek harus menimbulkan kesan yang selesai, tidak lagi mengusik dan menggoda, karena ceritanya seperti masih berlanjut. Kesan selesai itu benar-benar meyakinkan pembaca, bahwa cerita itu telah tamat, sampai titik akhirnya, tidak ada jalan lain lagi, cerita benarbenar selesai.
22
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Henry Guntur Tarigan (1984: 177) mengungkapkan ciri-ciri cerpen, antara lain: 1) Singkat, padu dan ringkas (brevity, unity, dan intensity); 2) Memiliki unsur utama berupa adegan, tokoh, dan gerakan (scene, character, and action); 3) Bahasanya tajam, sugestif, dan menarik perhatian (incisive, suggestive, and alert); 4) Mengandung impresi pengarang tentang konsepsi kehidupan;
5) M emberikan efek tunggal dalam pikiran pembaca;
Mengandung detail dan insiden yang betul-betul terpilih;
6)
7) Ada pelaku
utama yang benar-benar menonjol dalam cerita; 8) Menyajikan kebulatan efek dan kesatuan emosi. c. Unsur-Unsur Cerita Pendek Cerpen sebagai suatu karya fiksi, merupakan satu kesatuan yang terdiri dari beberapa unsur. Unsur-unsur itu saling berkaitan, tidak terpisahkan satu sama lain, dan bersama-sama membentuk cerita (Rusyana dalam Muhammad Pujiono, 2006: 9). Unsur-unsur yang membentuk cerpen terdiri unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi tidak secara langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur ya ng membangun kar ya sastra itu sendiri (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 23). Unsur intrinsik terdiri dari tema, alur, penokohan, setting, sudut pandang, dan sebagainya. 1) Tema Herman J. Waluyo dan Nugraheni (2008: 10) menyebutkan tema sebagai gaga san pokok dalam cerita fiksi. Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1988: 56) menyatakan bahwa tema adalah ide sebuah cerita. Tema dalam sebuah cerpen bisa disamakan dengan pondasi sebuah bangunan. Tidaklah mungkin mendirikan sebuah bangunan tanpa pondasi. Dengan kata lain tema adalah sebuah ide pokok, pikiran utama sebuah cerpen, pesan atau amanat, dasar tolak untuk membentuk rangkaian cerita, atau dasar tolak untuk bercerita. Hal senada juga disampaikan oleh Burhan Nurgiyantoro (1995: 70), yang menyatakan bahwa: “Tema merupakan dasar cerita, gagasan 23
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dasar umum sebuah kar ya sastra. Gagasan dasar umum inilah yang telah ditentukan
sebelumnya
oleh
pengarang
yang
digunakan
untuk
mengembangkan cerita”. Panuti Sudjiman (1988: 50) juga menyebut tema sebagai gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasari suatu karya sastra. Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide pokok suatu cerita yang digunakan sebagai acuan untuk mengembangkan kisah atau peristiwa dalam karya sastra tersebut. Setiap cerita pasti mempunyai ide pokok, yaitu sesuatu yang hendak disampaikan pengarang kepada para pembacanya. Sesuatu itu biasanya adalah masalah kehidupan, komentar pengarang mengenai kehidupan, atau pandangan hidup si pengarang dalam menempuh kehidupan. Pengarang tidak dituntut menjelaskan temanya secara gamblang dan menyeluruh, tetapi ia bisa saja hanya menyampaikan sebuah masalah kehidupan kemudian terserah pembaca bagaimana menyikapi dan menyelesaikannya. Stanton (dalam Herman J. W aluyo dan Nugraheni, 2008: 13) mengungkapkan bahwa ada beberapa cara untuk menafsirkan tema, yaitu a) harus memperhatikan detail yang menonjol dalam cerita rekaan; b) tidak terpengaruh oleh detail cerita yang kontradiktif; c) tidak sepenuhnya tergantung oleh bukti-bukti implisit, tetapi harus yang eksplisit; d) tema itu diujarkan secara jelas oleh cerita bersangkutan. Faktor pengarang dengan pandangan-pandangannya turut menentukan tema karyanya. 2) Alur atau Plot Panuti Sudjiman (1988: 29) menyatakan bahwa dalam sebuah cerita rekaan berbagai cerita disajikan dalam urutan tertentu. Peristiwa yang diurutkan itu membangun tulang punggung cerita, yaitu alur. Alur yaitu rangkaian peristiwa yang menggerakkan cerita untuk mencapai efek tertentu (Habbiburahman, http://lulukeche.multiply.com/ journal/item/, 27 Mei 2010). Sehubungan dengan hal tersebut, Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1988: 49) mengungkapkan bahwa: “Alur adalah hal yang menggerakkan kejadian cerita, yaitu segi rohaniah dari kejadian”. Atar 24
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Semi (1993: 44) menyatakan bahwa alur merupakan kerangka dasar yang amat penting. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus saling berkaitan, bagaimana satu peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lainnya, dan bagaimana agar tokoh terikat dalam satu kesatuan waktu. Plot menurut Burhan Nurgiyantoro (1995: 94) berbeda dengan cerita. Plot bersifat lebih kompleks daripada cerita. Plot lebih menekankan permasalahannya
pada
hubungan
kasualitas,
kelogisan
hubungan
antarperistiwa yang dikisahkan dalam karya naratif yang bersangkutan. Herman J. Waluyo dan Nugraheni (2008: 14) menyebut alur sebagai kerangka cerita, yaitu jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu yang menunjukkan hubungan sebab dan akibat dan memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan datang. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa alur atau plot adalah rangkaian peristiwa yang saling berkesinambungan, menunjukkan adanya hubungan sebab akibat, dan membentuk jalinan cerita yang utuh. Atar semi (1993: 44) menyatakan baik tidaknya sebuah alur ditentukan oleh 3 hal, yaitu: a) Apakah tiap peristiwa susul menyusul secara logis dan alamiah. b) Apakah tiap peristiwa sudah cukup tergambar atau dimatangkan dalam peristiwa sebelumnya. c) Apakah peristiwa itu terjadi secara kebetulan dengan alasan yang masuk akal dan dapat dipahami. Menurut Habbiburahman (http://lulukeche.multiply.com journal/ item/, 27 M ei 2010) jenis plot bisa disederhanakan menjadi tiga jenis, yaitu: a) Plot keras, jika akhir cerita meledak keras di luar dugaan pembaca. b) Plot lembut, jika akhir cerita berupa bisikan, tidak mengejutkan pembaca, namun tetap disampaikan dengan mengesan sehingga seperti terus tergiang di telinga pembaca. 25
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c) Plot lembut-meledak, atau plot meledak-lembut adalah campuran plot keras dan lembut. Dari segi sifat, alur cerpen dibedakan menjadi: a) Terbuka.
Jika
akhir
cerita
merangsang
pembaca
untuk
mengembangkan jalan cerita, di samping masa lah dasar persoalan. b) Tertutup. Akhir cerita tidak merangsang pembaca untuk meneruskan ja lan cerita. c) Campuran keduanya. Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1988:49) bagian-bagian dalam plot, yaitu pengenalan, timbulnya konflik, konflik memuncak, klimaks, dan pemecahan soal. Friedman (dalam Herman J. Waluyo dan Nugraheni, 2008: 22) menyebutkan tiga jenis plot, yaitu : a) plot peruntungan; b) plot penokohan; dan c) plot pemikiran. Termasuk alur peruntungan jika memaparkan kesedihan, sifat sinis, penghukuman, sifat sentimental, atau kekaguman.
Termasuk
alur
penokohan
jika
alur
menunjukkan
perkembangan watak tokoh-tokohnya, perbaikan nasib hidup, atau perkembangan ke ara h kedewasaan tokoh-tokoh. Termasuk alur pemikiran jika menunjukkan peristiwa yang mampu membuka rahasia atau perkembangan pemikiran tokoh-tokohnya. 3) Penokohan Penokohan (Habbiburahman,
yaitu
penciptaan
citra
tokoh
dalam
http://lulukeche.multiply.com/journal/item/,
27
cerita Mei
2010). Tokoh harus tampak hidup dan nyata hingga pembaca merasakan kehadirannya. Pada cerpen modern, berhasil tidaknya sebuah cerpen ditentukan oleh berhasil tidaknya menciptakan citra, watak dan karakter tokoh tersebut. Penokohan, yang di dalamnya ada perwatakan sangat penting bagi sebuah cerita, bisa dikatakan ia sebagai mata air kekuatan sebuah cerita pendek. Burhan Nurgiyantoro (1995: 166) memaparkan bahwa istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan perwatakan sebab 26
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ia sekaligus menca kup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah penggambaran tokoh dalam suatu cerita yang meliputi siapa dan bagaimana tokoh tersebut berperan dalam cerita. Atar Semi (1993: 39) menjelaskan bahwa ada dua macam cara memperkenalkan tokoh dan perwatakan tokoh, yaitu: a)
Secara analitik, yaitu pengarang langsung memaparkan tentang watak atau karakter tokoh.
b) Secara dramatis, yaitu menggambarkan perwatakan yang tidak disampaikan secara langsung. Hal tersebut dapat disampaikan melalui pilihan nama tokoh, penggambaran fisik, cara berpakaian, tingkah laku, dan melalui dialog. Menurut Habbiburahman (http://lulukeche.multiply.com/journal/ item/, 27 Mei 2010) pada dasarnya sifat tokoh ada dua macam; sifat lahir (rupa, bentuk) dan sifat batin (watak, karakter). Sifat tokoh tersebut bisa diungkapkan dengan berbagai cara, di antaranya melalui: a) Tindakan, ucapan dan pikirannya b) Tempat tokoh tersebut berada c) Benda-benda di sekitar tokoh d) Kesan tokoh lain terhadap dirinya e) Deskripsi langsung secara naratif pengarang Hal serupa juga diungkapkan oleh Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1988: 65) yang menyatakan ada beberapa cara menentukan karakter tokoh, antara lain: a) Melalui apa yang diperbuatnya atau tindakan-tindaka nnya. b) Melalui ucapan-ucapannya. c) Melalui penggambaran fisik tokoh. d) Melalui pikiran-pikirannya. e) Melalui penerangan langsung oleh penulis. 27
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4) Latar atau Setting Menurut Habbiburahman (http://lulukeche.multiply.com/journal/ item/, 27 M ei 2010) latar yaitu segala keterangan mengenai waktu, ruang
dan suasana dalam suatu cerita. Sama halnya dengan yang
diungkapkan oleh Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1988: 76) bahwa setting tidak hanya menunjukkan tempat dan waktu tertentu, tetapi juga hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada kondisi lingkungan, pemikiran rakyatnya, kegilaan mereka, gaya hidup mereka, kecurigaan mereka, dan sebagainya. Setting bisa berarti tempat tertentu, daerah tertentu, orang-orang tertentu dengan watak-watak tertentu akibat situasi lingkungan atau zamannya, cara hidup tertentu, cara berpikir tertentu. Sejalan dengan hal tersebut, Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 216) menyebutkan bahwa: “Setting disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran
pada pengertian tempat, hubungan waktu
dan
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan”. Herman J. W aluyo dan Nugraheni (2008: 34) menyebutkan setting sebagai tempat kejadian cerita yang dapat berkaitan dengan aspek fisik, aspek sosiologis, dan aspek psikis. Panuti Sudjiman (1988: 46) menyebutkan beberapa fungsi latar, antara lain a) memberikan informasi situasi (ruang dan tempat) sebagaimana adanya; b) sebagai proyeksi keadaan batin para tokoh, artinya latar dapat menjadi metafor dari keadaan emosional dan spiritual tokoh. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa latar atau setting adalah segala sesuatu yang melingkupi karya sastra meliputi waktu, ruang, keadaan sosial, adat istiadat, dan suasana. Pada dasarnya, latar mutlak dibutuhkan untuk menggarap tema dan plot cerita, karena latar harus bersatu dengan tema dan plot untuk menghasilkan cerita pendek yang gempal, padat, dan berkualitas. Herman J. Waluyo dan Nugraheni (2008: 35) mengungkapkan fungsi setting, yaitu untuk: a) mempertegas watak pelaku; b) memberikan 28
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tekanan pada tema cerita; c) memperjelas tema yang disampaikan; d) metafora bagi situasi psikis pelaku; e) sebagai pemberi atmosfir (kesan); f) memperkuat posisi plot. 5) Sudut Pandang atau Point of View Sudut pandang tokoh merupakan visi pengarang yang dijelmakan ke dalam pandangan tokoh-tokoh cerita. Jadi sudut pandang sangat erat dengan teknik bercerita pengarang (Habbiburahman, http://lulukeche. multiply.com/journal/item/, 27 Mei 2010). Sejalan dengan hal tersebut, Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1988: 82) menerangkan bahwa point of view pada dasarnya adalah visi pengarang, artinya sudut pandangan yang diambil pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita. Herman J. Waluyo dan Nugraheni (2008: 37) menyatakan bahwa: “Sudut pandang yaitu teknik yang digunakan oleh pengarang untuk berperan dalam cerita itu”. Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995 : 248) menjelaskan bahwa sudut pandang menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat disimpulka n bahwa sudut pandang atau point of view adalah cara atau pandangan pengarang untuk menyajikan tokoh, latar, dan berbagai peristiwa ya ng membentuk cerita. Morris dalam Henry Guntur Tarigan (1984: 140) membagi sudut pandang menjadi 5 jenis, yaitu: a) The omniscient point of view, sang pengarang mengetahui segala sesuatunya, bahkan pikiran dan perasaan dari para pelakunya. Pengarang juga dapat melihat tingkah laku mereka dari segala sudut. b) The first person point of view, sang pengarang berbicara sebagai salah seorang pelaku. c) The third person point of view, seseorang di luar cerita bertindak sebagai pencerita atau narator. 29
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d) The central intelligence, cerita disajikan seperti yang terlihat melalui mata salah seorang pelaku. e) The scenic, narator disingkirkan dan cerita disajikan hampir seluruhnya dalam percakapan atau dialog, seperti dalam drama. Berkaitan dengan ha l tersebut, Atar Semi (1993: 58) membagi sudut pandang menjadi beberapa jenis, yaitu: a) Pengarang sebagai tokoh cerita. Tokoh utama sebagai pemapar cerita mempunyai kesempatan yang luas untuk menjelaskan tentang dirinya, perasaan, dan pikirannya. Tetapi ia tidak dapat menceritakan peristiwa di tempat lain. b) Pengarang sebagai tokoh sampingan. Orang yang bercerita adalah seorang tokoh sampingan yang menceritakan peristiwa yang bertalian, terutama dengan tokoh utama. Sesekali peristiwa itu juga menyangkut dirinya sebagai pencerita. c) Pengarang sebagai orang ketiga (pengamat). Pengarang sebagai orang ketiga bertindak sebagai pengamat sekaligus sebagai narator yang menjelaskan peristiwa , suasana, perasaan, dan pikiran para tokoh. d) Pengarang sebagai pemain dan narator. Pengarang yang bertindak sebagai pelaku utama cerita
dan narator biasanya keluar-masuk
cerita. Kadang ia terlibat dalam cerita, namun kadang bertindak sebagai pengarang ya ng berada di luar cerita. 6) Gaya Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1988: 92) menyatakan bahwa: “Gaya adalah cara khas pengungkapan seseorang”. Cara bagaimana seorang pengarang memilih tema, persoalan, meninjau persoalan, dan menceritakannya dalam
sebuah cerpen.
Atar Semi (1993: 47)
mengungkapkan bahwa gaya penceritaan adalah tingkah laku pengarang dalam menggunakan bahasa. Herman J. Waluyo dan Nugraheni (2008: 41) mengungkapkan bahwa gaya pengarang satu dengan yang lain berbeda. Oleh karena itu, 30
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bahasa kar ya sastra bersifat ideocyncractic artinya sangat individual. Perbedaan ga ya dikatakan karena perbedaan pemikiran dan kepribadian. Gaya bercerita juga berfungsi untuk membentuk kesatuan (unity) dari karya sastra. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya adalah cara atau teknik pengarang mengungkapkan cerita dalam karyanya sesuai dengan kepribadian dan pandangan pengarang tersebut terhadap lingkungan sekitarnya yang ia sajikan ke dalam sebuah cerita. Gaya menurut Kenney (dalam Herman J. W aluyo dan Nugraheni, 2008: 42) ada 3, yaitu diction, imagery, dan syntax (diksi, citraan, dan efek yang ditimbulkan suatu pernyataan). Diksi artinya pilihan kata, kalimat, dan wacana yang menjadi ciri khas penulis. Citraan artinya penggunaan ga ya yang menggambarkan suasana yang diceritakan. Sementara itu, sintaks berarti efek yang ditimbulkan oleh penggambaran cerita oleh pengarang. Atar semi (1993: 47) juga mengungkapkan bahwa setiap pengarang melakukan berbagai upaya dan tindakan yang dilakukan agar pembaca tertarik dan terpengaruh oleh gagasan yang disampaikannya. Tindakan tersebut berupa pemilihan materi bahasa, pemakaian ulasan, dan pemanfaatan ga ya bertutur.
Hal tersebut tergantung kepada masing-
masing pengarang, biasanya ditentukan oleh: (a) pribadi pengarang, pengalaman, dan pengetahuannya; (b) tujuan yang hendak dicapai; (c) topik yang ditampilkannya,; (d) bentuk tutur yang dipilihnya; (e) kondisi penangkap tutur (pembaca) yang dihadapi. 7) Amanat Dari sisi tertentu karya sastra, fiksi dapat dipandang sebagai bentuk manifestasi keingina n pengarang untuk mendialog, menawar, dan menyampaikan sesuatu. Sesuatu itu mungkin berupa pandangan tentang suatu hal, gagasan, moral, atau amanat.
Rusyana (dalam Muhammad
Pujiono, 2006: 13) mengemukakan amanat sebagai renungan yang disajikan kembali kepada pembaca. Hal yang serupa juga diungkapkan 31
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
oleh Panuti Sudjiman (1988: 57) bahwa amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Burhan
Nurgiyantoro
(1995:
336)
menyebutkan
bentuk
penyampaian amanat dalam karya fiksi dengan dua cara yaitu secara langsung dan tak langsung. Bentuk penyampaian langsung identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian atau penjelasan. Sebaliknya bentuk penyampaian tidak langsung dengan cara tersirat dalam cerita, berpadu secara koherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa amanat adalah pesan
berisi ajaran moral atau nila i-nilai yang ingin
disampaikan penulis melalui karyanya. Setelah membaca karya tersebut pembaca diharapkan mengambil nilai-nilai positif yang terdapat dalam sebuah karya sastra dan mengaplikasikannya dalam kehidupan.
B. Kerangka Berpikir Ada beberapa tinjauan yang ditawarkan dalam mengapresiasi sebuah kar ya sastra,, yaitu tinjauan sem iotik, tinjauan sosiologi sastra, tinjauan sosiopragmatik, dan sebagainya. Pada penelitian ini, peneliti akan melakukan kajian semiotik pada kumpulan cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma. Kajian semiotik ini bertujuan untuk menemukan tanda bahasa dalam kumpulan cerpen Samin yang mengacu pada makna karya tersebut. Ada beberapa cara yang bisa ditempuh dalam menganalisis karya sastra secara semiotik berdasarkan beberapa teori yang telah dipaparkan sejumlah tokoh sem iotik, yaitu Ferdinand de Saussure, Charles Sanders Peirce, Roland Barthes, dan sebagainya. Pada penelitian ini, peneliti lebih mengarah pada teori Peirce dalam menganalisis unsur semiotik kumpulan cerpen Samin, yaitu
mengidentifikasi ikon, indeks, dan simbol yang terdapat dalam
kumpulan cerpen tersebut kemudian menganalisisnya untuk menemukan makna semiotik. Setelah unsur semiotik tersebut dianalisis, peneliti memaparkan tujuan pengarang menggunakan ikon, indeks, dan sim bol dalam menyampaikan ide cerita. Selain itu, peneliti juga mendeskripsikan kebermaknaan penggunaan unsur semiotik tersebut dalam mendukung keestetikan kar ya. Berikut ini disajikan 32
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diagram kerangka berpikir untuk memperjelas gambaran mengenai alur berpikir dalam penelitian ini.
Kumpulan Cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma
Tinjauan sosiologi sastra
Teori Semiotik Saussure
1. Penanda (signifiant) 2. Petanda (signifie)
Kajian semiotik
Teori Semiotik Barthes
……………………..
……………….
Teori semiotik Peirce
1. Tingkat Denotasi 2. Tingkat Konotasi
Identifikasi dan analisis: 1. Indeks 2. Ikon 3. simbol
Makna semiotik
Latar belakang penulis menggunakan indeks, ikon, dan simbol dalam menyampaikan ide cerita
Kebermaknaan unsur semotik (indeks, ikon, dan simbol) terhadap keestetikan karya
Kesimpulan
Gambar 2. Skema Kerangka Berpikir
33
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Bentuk dan Strategi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialam i oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik, dan deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode ilm iah (Lexy J. Moleong, 2004: 6). Data yang dikumpulkan berupa katakata dan kalimat atau gambar yang mempunyai arti lebih dari sekedar angka atau jumlah. B. Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 7 bulan yaitu dari bulan Mei
sampai
dengan bulan November 2011. Objek penelitian ini adalah kumpulan cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma yang terdiri atas 10 judul cerpen dan diterbitkan oleh Gerilya Peradaban pada tahun 2007. Adapun rincian waktu dan jenis kegiatan penelitian dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Jadwal Kegiatan Kegiatan
Bulan (2011) Mei
Juni
Juli
Agust
Sept
xxxx
xx
Okt
Nov
xxxx
xxxx
1. Persiapan a. Pengajuan Judul b. Penyusunan Proposal
xx xx
xx
c. Izin Penelitian
xx
2. Pelaksanaan Penelitian a. Pengumpulan Data
xxxx
b. Analisis Data c. Penarikan Kesimpulan
xx
3. Penyusunan Laporan
34
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Sumber Data Data adalah sumber informasi yang akan diseleksi sebagai bahan analisis. Data dalam penelitian sastra berupa kata, frasa, atau kalimat (Siswantoro, 2010: 70). H.B. Sutopo (2002: 49) menyatakan bahwa data tidak akan bisa diperoleh tanpa sumber data. Betapapun menariknya suatu permasalahan atau topik penelitian, tidak akan berarti jika tidak memiliki sumber data. Sumber data dalam penelitian ini meliputi: 1. Dokumen Dokumen yang menjadi sumber data dalam penelitian ini, yaitu kumpulan cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma yang terdiri atas 10 judul cerpen dan diterbitkan oleh Gerilya Peradaban pada tahun 2007. 2. Informan Informan yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah pengarang (Kusprihyanto Namma) dan beberapa pembaca kumpulan cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma. Informan yang berupa pembaca terdiri dari pembaca awam, pembaca akademis, dan pembaca praktis. Informan yang berupa pembaca awam, yaitu Iska yati Hasanah, Retno Juanita, dan Tiara Angginadi Perwita. Informan yang berupa pembaca akademis, yaitu Dewi Setyorini, Tyas Sri Utami, Niken Sarasvati Devi, Wahyu Agustina, dan Desinta Prihatini. Informan yang berupa pembaca praktis, yaitu Chafit Ulya, M.Pd. Data hasil wawancara terlampir.
D. Teknik Sampling Teknik sampling yang digunakan dalam peneltitian ini adalah Purpossive Sampling, ya itu sampel yang pemilikannya didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai keterkaitan
yang erat dengan tujuan
penelitian. Purpossive Sampling adalah pengambilan data yang dilakukan dengan cara memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap (H.B. Sutopo, 2002 : 56).
35
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Peneliti menggunakan teknik ini dengan tujuan dapat memperoleh data yang tepat dan akurat, sehingga memperoleh hasil yang diharapkan. Sampel dalam penelitian ini adalah kumpulan cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma, pengarang, dan pembaca. Peneliti menganalisis semua cerpen dalam kumpulan cerpen Samin yang berjumlah 10 judul cerpen, yaitu Biru, Mun, Kembang Tebu, Pundhen, Samin, Jawa, Bedil, Patrem, Dom, dan Tuyul. Sampel ya ng berupa pembaca terdiri dari pembaca awam, pembaca akademis, dan pembaca praktis. E. Teknik Pengumpulan Data Siswantoro (2010: 74) menyatakan bahwa cara operasional mengumpulka n data disebut data reduction atau data selection. Tindakan mereduksi data yaitu menyeleksi data dengan cara memfokuskan diri pada data yang dibutuhkan sesuai dengan kriteria atau parameter yang telah ditentukan. Hal ini dilakukan agar proses pengambilan data berjalan sistematis. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara menganalisis dokumen dan juga melakukan wawancara. Untuk memperoleh data objektif, digunakan teknik pengambilan data dengan membaca secara mendalam kumpulan cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma. Data genetik diperoleh dengan cara wawancara mendalam dengan pengarang mengenai latar belakang penulisan dan makna yang terkandung dalam kumpulan cerpen Samin. Data afektif diperoleh dari hasil wawancara kepada beberapa pembaca kumpulan cerpen Samin mengenai pemahaman dan pendapat narasumber tentang kumpulan cerpen tersebut. Data hasil wawancara terlampir. F. Validitas Data Data yang berhasil dikumpulkan, diuji kemantapan dan kebenarannya. Maksudnya, setiap penelitian harus menentukan cara untuk meningkatkan validitas data yang diperoleh dari kemantapan kesimpulan dan tafsiran makna penelitiannya. Menurut H.B. Sutopo (2002: 78), validitas data merupakan jaminan bagi kemantapan simpulan dan tafsiran makna sebagai hasil penelitian. Terdapat beberapa cara yang biasanya dipilih untuk menge mbangkan validitas (kesahihan) data penelitian. Penelitian ini menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi adalah 36
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan hal lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap hal tersebut (Lexy J. Moleong, 2004: 330). Penelitian ini menggunakan triangulasi metode dan triangulasi sumber menurut H.B. Sutopo (2002: 80) triangulasi metode dilakukan peneliti denga n mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik atau metode pengumpulan data yang berbeda. Pada penelitian ini peneliti membandingkan data hasil analisis dokumen, yaitu kumpulan cerpen Samin dengan data hasil wawancara terhadap pembaca dan pengarang. Triangulasi sumber mengarahkan peneliti agar di dalam mengumpulkan data menggunakan beragam sumber data yang tersedia. Maksudnya, data yang sejenis akan lebih mantap kebenara nnya bila digali dari beberapa sumber data yang berbeda (H.B. Sutopo, 2002: 79). Pada penelitian ini peneliti melakukan wawancara terhadap beberapa informan, yaitu pengarang dan pembaca. Informan yang berupa pembaca terdiri dari 3 jenis yaitu pembaca akademis, pembaca awam, dan pembaca praktis. Peneliti kemudian membandingkan hasil-hasil wawancara tersebut untuk menemukan data yang akurat. G. Teknik Analisis Data Lexy J. Moleong (2004: 103) mengungkapkan bahwa: “Analisis ke dalam
data
adalah proses
mengorganisasikan dan mengurutkan data
pola,
kategori, dan
satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data”. Penelitian ini menggunakan
metode pembacaan
semiotik
yang
terdiri atas pembacaan
heuristik dan hermeneutik. Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasanya. Pembacaan heuristik secara semiotik berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat
pertama
Pembacaan
(Riffatere
dalam
ini mengacu pada
Rachmat Djoko Pradopo, 2005: 135).
konvensi
kebahasaan.
Pembaca melakukan
penafsira n struktur kebahasaan (tanda linguistik) secara referensial. Bahasa yang digunakan
merupakan penanda
yang dihubungkan dengan referennya,
37
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yaitu hal-hal nyata. Dengan demikian pembacaan heuristik menghasilkan arti (meaning). Hermeneutik me ngarah pada penafsiran ekspresi yang penuh makna dan dilakukan dengan sengaja oleh manusia. Artinya, peneliti melakukan interpretasi atas interpretasi yang telah dilakukan oleh pribadi atau kelompok manusia terhadap situasi mereka sendiri ( Smith dalam H.B. Sutopo, 2002: 26). Menurut Ricoeur dalam Suwardi Endraswara (2003: 45) ada tiga langkah pemahaman terhadap simbol. Pertama, penghayatan
simbol-simbol tentang
“berpikir dari” simbol-simbol tersebut, maksudnya melukiskan apa simbol tersebut. Kedua, pemberian makna simbol dan penggalian makna yang tepat. Ketiga, berpikir filosofis, yaitu menggunakan simbol sebagai titik tolaknya. Ketiga langkah tersebut tidak akan lepas dari pemahaman semantik, refleksi, dan eksistensial. Pemahaman semantik adalah pemahaman tingkat bahasa murni. Pemahaman refleksi yaitu pemahama n yang mendekati tingkat ontologism. Pemahaman eksistensial adalah pemahaman tingkat being (keberadaan) makna tersebut. Suwardi Endraswara (2003: 45) menyatakan bahwa upaya pemahaman hermeneutik
mengenal
sistem
bolak-balik.
Peneliti
harus
melakukan
dekontekstualisasi (pembebasan teks) dan rekontekstualisasi. Dekontekstualisasi adalah langkah menjaga otonomi teks saat peneliti melakukan pemaknaan. Rekontekstualisasi adalah langkah kembali ke konteks untuk melihat latar belakang terjadi teks dan sebagainya. Peneliti menggunakan metode pembacaan semiotik secara heuristik dan hermeneutik untuk mempermudah mengidentifikasi unsur semiotik yang berupa ikon, indeks, dan simbol. Melalui pembacaan heuristik dan hermeneutik, peneliti dapat lebih mudah menemukan makna semiotik dalam kumpulan cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma.
38
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
H. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian merupakan penjelasan secara rinci mengenai langkah penelitian dari awal hingga akhir, guna membantu lancarnya pelaksanaan penelitian. Langkah-la ngkah yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Membaca kumpulan cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma. 2. Mewawancarai beberapa pembaca untuk memperoleh data. 3. Mewawancarai pengarang untuk mendapatkan data genetik. 4. Mengidentifikasi dan menganalisis ikon, indeks, dan simbol dalam kumpulan cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma untuk menemuka n makna semiotik. 5. Mendeskripsikan latar belakang pengara ng menggunakan unsur semiotik (ikon, indeks, dan simbol) tersebut dalam penyam paian ide ceritanya. 6. Mendeskripsikan kebermaknaan penggunaan unsur semiotik (ikon, indeks, dan simbol) tersebut dalam mendukung keestetikan karya. 7. Menarik kesimpulan.
39
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Data Penelitian Penelitian ini mengkaji tentang kumpulan cerpen Samin dari segi semiotik. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitia n, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik, dan deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode ilm iah (Lexy J. Moleong, 2004: 6). Penelitian ini difokuskan pada kajian semiotik dalam kumpulan cerpen Samin berdasarkan teori semiotik Charles Sanders Peirce. Teori tersebut membedakan hubungan antara tanda dengan acuannya ke dalam tiga jenis hubungan, yaitu 1. Ikon, jika berupa hubungan kemiripan 2. Indeks, jika berupa hubungan kedekatan eksistensi 3. Simbol, jika berupa hubungan yang sudah terbentuk secara konvensi. Permasalahan yang diangkat oleh peneliti dalam penelitian ini adalah identifikasi ikon, indeks, dan simbol untuk menemukan makna semiotik pada kumpulan cerpen Samin, hal yang melatarbelakangi pengarang (Kusprihyanto Namma) menggunakan ikon, indeks, dan simbol dalam menyampaikan ide ceritanya, dan kebermaknaan penggunaan indeks, ikon, dan simbol dalam mendukung keestetikan kumpulan cerpen Samin. Untuk mengkaji permasalahan-permasalahan tersebut, peneliti melakukan pengambilan data dari berbagai sumber. Data dalam penelitian ini adalah dokumen dan hasil wawancara. Data berupa dokumen berupa kumpulan cerpen Samin dan berbagai sumber pustaka dari buku, jurnal, maupun internet. Data berupa hasil wawancara peneliti dapatkan dengan cara mewawancarai pengarang, yaitu Kusprihyanto Namma, dan beberapa pembaca kumpulan cerpen Samin. Data yang diperoleh berupa identifikasi ikon, indeks, dan simbol yang terdapat dalam kumpulan cerpen Samin yang terdiri dari 10 judul cerpen. Data-data tersebut, yaitu:
40
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Analisis Data dan Pembahasan 1. Identifikasi dan Analisis Ikon, Indeks, Simbol untuk Menemukan Makna Semiotik pada Kumpulan Cerpen Samin a. Ikon Ikon adalah tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya. Ikon dapat disebut sebagai tanda yang memiliki ciri-ciri sama dengan apa yang dimaksudkan. Kumpulan cerpen Samin memiliki 64 jenis ikon, yaitu: 1) kecut a) Untuk instruksi penyeragaman itu Pak Lurah benar-benar kecut. (cerpen Biru, hal.6) b) Sementara itu Pak Lurah yang mendapat pengaduan Mbah Joyo, seperti tak peduli. Bahkan sempat menggertak M bah Joyo agar tutup mulut. Karena kalau orang-orang yang ia gebuki itu tidak terima ia bisa kena hukuman atas dasar penganiayaan. Tentu Mbah Joyo kecut. Meski begitu ia tetap menjaga Pundhen peliharaannya. (cerpen Pundhen, hal. 25) Kata ”kecut” biasa digunakan untuk menunjukkan rasa yang bisa dideteksi oleh indera pengecap atau lidah. Pada kutipan tersebut, kata “kecut” digunaka n untuk menggambarkan perasaan. Kecut adalah rasa yang kurang nikmat dan menimbulkan getir pada lidah, jadi dalam hal ini perasaan yang kecut menandakan perasaan yang kurang menyenangkan. Kata “kecut” juga dapat diartikan sebagai takut, merasa ngeri, atau gentar (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2005: 231). Kata “kecut” pada cerpen Biru dan cerpen Pundhen menggambarkan keadaan tokoh yang berarti tokoh merasa gentar atau takut. terhadap
perintah
Pak
Pada cerpen Biru, pak Lurah gentar
Camat
untuk
menyampaikan
instruksi
penyeragaman terhadap warga. Pada cerpen Pundhen, Mbah Joyo merasa sedikit
takut
atau
gentar
ketika
orang-orang
mengadukannya.
50
commit to user
yang
ia
gebuki
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2) Sementara Pak Camat mulai meluncurkan kalimat-kalimat yang kurang sedap didengar. (cerpen Biru, hal. 6) “Sedap” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2005: 462) berarti enak, nyam an, dan senang untuk menggambarkan perasaan pada umumnya. Rasa sedap biasanya bisa dirasakan oleh indera pengecap, yaitu lidah. Pada kutipan tersebut, kata “sedap” digunakan untuk menggambarkan suara atau pembicaraan yang diterima oleh telinga. Sedap merupakan rasa yang nikmat, sebaliknya kurang sedap merupakan rasa yang tidak menyenangkan bahkan buruk. Ungkapan “ kurang sedap didengar” menandakan bahwa ucapan Pak Camat kurang menyenangkan atau menyakitkan hati pendengarnya. 3) Pak Camat merasa tertampar. M atanya mencorong tajam. (cerpen Biru, hal. 6) Kata “tampar” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2005: 522) diartikan dengan memukul menggunakan telapak tangan. Tampar merupakan kontak fisik, yaitu pemukulan tangan terhadap wajah yang menimbulkan rasa sakit. Awalan ter- pada kata “tertampar” berarti ketidaksengajaan.
Pada
kutipan tersebut,
kata
“tertampar” di sini hanyalah perumpaan. Tidak ada kontak fisik yang terjadi. Tokoh Pak Camat merasa tertampar karena ucapan Pak Lurah. Kata “tertampar” dalam hal ini menandakan bahwa tokoh Pak Camat merasa tersakiti atau tertohok setelah mendengar ucapan Pak Lurah yang bertolak-belakang dengan pendapatnya dan terkesan menyindir. 4) Lalu yang putih jadi hitam, yang hitam jadi putih. Kacau semuanya. (cerpen Biru, hal. 6) Hitam merupakan warna yang gelap dan pekat. Warna hitam biasa digunakan untuk melambangkan sesuatu yang buruk. Sebaliknya, warna putih merupakan warna
yang bersih tanpa noda. Warna putih biasa
digunakan untuk menandakan suatu kebaikan. Pada kalimat tersebut, 51
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
warna
digilib.uns.ac.id
putih
melambangkan
kebenaran,
sedangkan
warna
hitam
melambangkan kepalsuan. Kalimat “Lalu yang putih jadi hitam, yang hitam jadi putih” berarti ada pemutar balikan fakta yang benar menjadi salah, dan yang salah menjadi benar. 5) “Saya tak tahu apa namanya, yang jelas kita berada dalam sebuah sistem. Kalau tak ingin terlempar, kita mesti berputar seirama sistem tersebut!” jawab Pak Lurah diplomatis. (cerpen Biru, hal. 8) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2005: 495), “sistem” adalah sekelompok bagian-bagian alat dan sebagainya, yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud tertentu atau sekelompok dari pendapat, peristiwa, kepercaya an, dan sebagainya yang disusun dan diatur baik-baik. “Sistem” yang dimaksud dalam kutipan tersebut berarti sebuah tatanan atau peraturan yang sudah menjadi kesepekatan bersama. “Berputar seirama sistem” berarti harus mampu menepati peraturan yang berlaku dan tidak menolak atau membangkang, karena akan berakibat buruk. Orang yang melanggar aturan akan mendapat hukuman dan juga akan dijauhi oleh warga yang tidak setuju. 6) Ia biarkan saja suasana yang beku itu. (cerpen Biru, hal. 8) Kata “beku” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 81) diartikan menjadi kental atau keras. Beku biasanya digunakan untuk menunjukkan zat cair yang mengeras karena didinginkan. Kata “beku” dalam kutipan tersebut menunjukkan kondisi yang kaku dan bisu, di mana tidak ada seorang pun yang berbicara atau bercanda. 7) Ternyata mereka antara yang patuh dan tidak terjadi konflik yang serius. Mereka yang tidak patuh menuduh yang patuh sebagai penjilat. (cerpen Biru, hal. 8) “Jilat” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 205) diartika n sebagai beberapa hal, yaitu mengulurkan lidah untuk merasai, mencolet, mencari muka, dan sebagainya. Kata “jilat” dalam kutipan di atas berarti berbuat sesuatu untuk mendapat pujian dari atasan atau mencari muka. 52
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kata “penjilat” dalam kutipan tersebut menandakan sosok yang rela melakukan apapun untuk menarik perhatian seseorang atau mendapatkan pujian dari orang yang kedudukannya lebih tinggi darinya. 8) Apalagi Pak Camat sudah memperingatkan kembali, kelurahannya paling jelek pelaksanaan instruksi. Maka, tidak bisa tidak, Pak Lurah mulai memainkan kuku pancanaka. (cerpen Biru, hal. 9) Kuku pancanaka adalah kuku dari tokoh wayang Werkudara yang merupakan senjata yang tajam dan mematikan (Puji Waskito, 1999:148). Pada kutipan tersebut, “kuku pancanaka” merupakan perumpamaan yang melambangkan senjata, kekuatan, dan kekuasaan. Ungkapan “memainkan kuku pancanaka” berarti menunjukkan kekuatan dan kekuasaan. Kekuatan dan kekuasaan yang dimaksud dalam cerpen Biru yaitu senjata yang berupa kekuasaan sebagai lurah untuk membuat para warganya patuh pada instruksinya. 9) Tumbuh a) Karena ketakutannya ia lantas menumbuhkan ketakutan la in yang lebih besar kepada orang lain. (cerpen Biru, hal. 10) b) Perseteruan itu sebenarnya tumbuh sejak aku masih kecil.(cerpen Samin, hal. 28) Kata “tumbuh” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2005: 594) diartikan timbul, sedang berkembang menjadi besar, sempurna, dan
sebagainya.
Menumbuhkan berarti
menjadikan atau menyebabkan tumbuh, dapat juga berarti menimbulkan. Tumbuh biasanya digunakan untuk makhluk hidup seperti manusia, tumbuhan, dan binatang. Tumbuh berarti bertambah tinggi, berat, dan besar. Pertumbuhan menunjukkan perubahan fisik dari makhluk hidup. Pada cerpen Biru, kata “menumbuhkan” dipadukan dengan kata “takut” menjadi “menumbuhkan ketakutan” yang berarti menimbulkan rasa takut pada orang lain atau membuat rasa takut pada orang lain menjadi lebih besar. Pada cerpen Samin, kata “tumbuh” menunjukkan bahwa perseteruan yang terjadi di dalam cerita sudah timbul sejak tokoh masih kecil sampai 53
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sekarang. Perseteruan itu semakin membesar seiring dengan bertambahnya waktu. 10) “Daripada dibisukan, Pak Samin mem ilih bisu. Katanya, itu lebih terhormat!” jelas aktivis hukum. (cerpen Biru, hal. 10) Pernyataa n tersebut senada
dengan yang
diungkapkan dalam
kutipan berikut: “Begitu dibirukan pagar rumahnya, Pak Samin memilih mati. Katanya, itu lebih terhormat daripada dimatikan!” kata aktivis hukum yang menyambut kedatangan Pak Lurah. (cerpen Biru, hal. 11) Bisu biasa digunakan untuk menunjukkan cacat fisik, yaitu orang yang tida k mampu berbicara. “Dibisukan” berarti dibuat menjadi bisu. Pada cerpen Biru kata “dibisukan” berarti dibungkam agar tidak memberontak. Hal ini serupa dengan kata “dimatikan”. “Dimatikan” berarti dibuat mati, atau dibatasi geraknya atau bahkan tidak boleh bergerak
karena
khawatir
akan
memberontak
dan
dianggap
membahayakan. Hal ini sering terjadi pada masa Orde Baru di mana orang yang menyuarakan sesuatu yang tidak sejalan dengan pemerintahan pada masa itu akan dijatuhi hukuman atau bahkan diasingkan. 11) “Begini Pak, saya tidak setuju, dengan instruksi birunisasi itu. Sungguh, instruksi itu sangat memberatkan warga!” ucap Pak Lurah berapi-api. (cerpen Biru, hal. 10) Api merupakan sebuah benda alam yang menyala dan memiliki panas yang membara. “Api” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2005: 49) berarti panas dan cahaya berasal dari sesuatu yang terbakar. Kata “berapi-api” dalam kutipan tersebut menunjukkan sebuah semangat yang membara atau menunjukka n energi yang lebih. 12) Jawaban itu benar-benar mengagetkan. Bagaimana tidak, Pak Samin yang segar-bugar, dan wajahnya yang bercaha ya, mati semendadak itu. (cerpen Biru, hal. 11)
54
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Cahaya merupakan sebuah energi yang dapat membuat sekitarnya terang atau cerah. Cahaya biasanya dikaitkan dengan benda-benda yang mampu memancarkan sinar atau memberi penerangan, seperti lampu, matahari, bulan, dan sebagainya. “Bercahaya” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Suharso
dan
Ana
Retnoningsih,
2005:
100)
berarti
memancarkan cahaya, bersinar, atau berkilau. Pada kutipan tersebut kata “bercahaya” digunakan untuk menggambarkan kondisi wajah seseorang. “Wajah yang bercahaya” menunjukkan kejernihan yang terpancar dari air muka. “Wajah yang bercahaya” dapat diartikan sebagai wajah yang cerah, bersih, ceria, dan mampu memberikan perasaan senang bagi orang di sekelilingnya. 13) Meski begitu, cukup banyak perempuan yang bersedia jadi istrinya, baik janda maupun perawan. Namun, Mun terlanjur dimakan sumpahnya sendiri: mau kawin kalau sudah punya sepeda. (cerpen Mun, hal. 12) Pernyataa n ”dimakan sumpahnya sendiri” berarti tokoh ”M un” sangat memegang teguh sumpah yang telah ia ucapkan, sehingga ia akan menaati sumpahnya itu dan tidak mungkin mengingkarinya apapun yang terjadi. 14) ”Priiiiiiit!” peluit petugas jaga melengking tajam. (cerpen Mun, hal. 15) Melengking adalah suara yang tinggi. Biasanya digunakan untuk menunjukkan suara yang dikeluarkan oleh orang atau binatang. Kata ”melengking” pada kutipan tersebut digunaka n untuk menggambarkan suara yang dihasilkan oleh peluit yang ditiup oleh petugas jaga. ”Peluit yang melengking tajam” berarti suara peluit yang ditiup oleh petugas jaga mengeluarka n suara yang tinggi dan kecil. 15) Yang ditanya bungkam. Matanya bulat tajam. (cerpen Mun, hal. 16) Mata adalah bagian tubuh yang mampu menampakkan ekspresi. Mata yang bulat tajam berarti mata tidak berkedip atau nyaris melotot. Ungkapan ”matanya bulat tajam” menunjukkan bahwa tokoh tidak gentar atau tetap teguh dengan pendapatnya.
55
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16) ”Pukul saja!” sela yang lain. ”Ayo kita permak ramai-ramai!” ajak salah seorang. (cerpen Mun, hal. 16) ”Permak” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2005: 375) berarti mengubah dan memperbaiki baju, celana, dan sebagainya. Kata ”permak” dalam pernyataan tersebut lebih condong pada mengubah bentuk. Objek yang dipermak dalam cerpen Mun adalah tokoh ”Mun”. ”Permak” yang dimaksud oleh tokoh ”seseorang” dalam hal ini adalah menghajar tokoh ”Mun”. 17) Di samping suka bermain di areal tebu dan mengisap air manisnya, Agung juga suka memandang kembang-kembang tebu yang menyembul laksana mata tombak. Kembang-kembang yang keperak-perakan itu, di mata Agung tampak sangat indah. Apalagi bila angin berhembus sepoi, kembang-kembang itu seperti menari, tak henti-henti. Agung selalu berdecak kagum. (cerpen Kembang Tebu, hal. 18) Pada pernyataan di atas, pengarang menggambarkan kembang tebu seperti layaknya sosok manusia yang mampu menari. M enari adalah gerak halus yang indah. Kembang-kembang tebu yang dikatakan menari, maksudnya bergerak luwes sesuai hembusan angin dan memberikan efek indah bagi tokoh Agung. 18) Jalan kampung yang biasanya lengang, tiba-tiba dipecahkan oleh raungan truk. (cerpen Kembang Tebu, hal. 18) Truk adalah kendaraan yang besar dan mengeluarkan suara yang keras. “Raungan truk” yang dimaksudkan dalam kutipan tersebut adalah truk mengeluarkan suara yang keras dan berisik, sehingga kampung yang biasanya sepi menjadi ramai. 19) Wanita harus kembali ke dapur, mengabdi sepenuhnya pada anak dan suami. (cerpen Kembang Tebu, hal. 19) Dapur adalah tempat untuk memasak. Dapur selalu dekat kaitannya dengan seorang perempuan, karena hampir sebagian besar waktu seorang wanita dihabiskan di dapur. Dapur menjadi simbol pekerjaan rumah tangga. “Kembali ke dapur” merupakan ungkapan yang berarti bahwa 56
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
seorang wanita kodratnya adalah mengurus rumah, memasak, mencuci, mengurus anak dan suami. 20) Kegiatan mahasiswa macam apapun tak ada yang diikutinya. Buatnya, kegiatan semacam itu hanya buang-buang tenaga dan waktu. (cerpen Kembang Tebu, hal. 19) Buang berarti melemparkan barang ke suatu tempat (sampah) karena sudah tidak membutuhkannya lagi atau dianggap sudah tidak berguna. “Buang-buang waktu dan tenaga” berarti menggunakan waktu dan tenaga untuk melakukan sesuatu yang tidak berguna atau tidak menghasilkan sesuatu yang berguna. 21) “Itulah sebabnya Bapak memanggilmu pulang. Kamu mesti tahu persoalan ini dan tidak menyalahkan Bapak, kalu kamu terpaksa putus kuliah!” (cerpen Kembang Tebu, hal. 21) Putus biasanya
digunakan untuk menunjukkan
berakhirnya
hubungan atau terpisahnya sesuatu yang pada awalnya bersatu. “Putus kuliah” berarti berhenti kuliah atau tidak melanjutkan kuliah. Dalam cerpen ini, tokoh “Agung” terpaksa harus menghentikan studinya (kuliah) karena ayahnya tidak mampu membiaya i kuliahnya lagi. 22) Riak a) Agung mahasiswa yang melulu belajar. Ia tak pernah mengetahui riakriak yang muncul di sekitarnya. (cerpen Kembang Tebu, hal. 21) b) Kampungku adalah kampung yang tenang. Seperti telaga yang berada di sunyi pegunungan. Ketenangannya bahkan tak pernah menghasilkan riak atau ombak. Sesekali, memang, dipecahkan cipak ikan. Atau selembar daun yang jatuh karena tak sanggup menahan berat embun. Namun sesudah itu kembali sunyi. Kembali dihuni suara burung, cengkrik, lenguh kerbau, kokok ayam, penggeret, serta teriakanteriakan petani bekerja.(cerpen Samin, hal. 28) “Riak” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2005: 428) berarti gerakan mengombak di permukaan air atau ombak dalam air. Riak menunjukkan gerakan yang memecahkan 57
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sesuatu yang tenang. Kata “riak” digunakan untuk menggambarkan keadaan atau suasana berarti bahwa ada sesuatu hal yang terjadi dan mengakibatkan suasana yang awalnya tenang menjadi tidak beraturan. “Riak” dalam kutipan tersebut mengarah pada hal yang negatif atau sesuatu yang buruk. Pernyataan “riak-riak yang muncul di sekitarnya” maksudnya kegemparan di sekitarnya. Tokoh “Agung” dalam cerpen Kembang Tebu karena terlalu memusatkan diri pada studinya, ia tidak mempedulikan berbagai masalah yang terjadi di sekitarnya. Pernyataan “ketenangannya bahkan tak pernah menghasilkan riak atau ombak” maksudnya suasana desa sebagai setting tempat cerpen Samin sangat tenang dan tidak pernah terjadi kerusuhan atau keributan. “Cipak ikan” merupakan gerakan ikan yang mengakibatkan gelombang pada air. Gelombang yang diakibatkan oleh cipak ikan kecil dan hanya sebentar. “Cipak ikan” dalam kutipan tersebut menunjukka n keributan atau peristiwa yang mengakibatkan keributan kecil, namun cepat reda. “Selembar daun” adalah benda yang sangat ringan. Embun juga ringan. Pernyataan “Selembar daun yang jatuh karena tak sanggup menahan berat embun” maksudnya hampir sama dengan perumpamaan pengarang melalui “cipak ikan”, yaitu kecelakaan kecil atau bencana kecil yang sanggup diatasi dan tidak membawa pengaruh besar. 23) Dulu ia malah mencibir orang-orang yang turun ke jalan menuntut ha khaknya. Orang-orang itu dinilainya hanya cari perhatian. Agung mulai menyadari bahwa mahasiswa tak seharusnya hanya melahap buku. (cerpen Kembang Tebu, hal. 21) Ungkapan “turun ke jalan” berarti melakukan aksi demonstrasi. Demonstrasi biasa disebut dengan istilah “turun ke jalan” karena aksi demonstrasi biasa dilakukan di jalan-jalan raya. Ungkapan “melahap buku” bukan berarti tokoh benar-benar memakan buku, namun berarti bahwa tokoh terus menerus belajar. Orang diibaratkan “melahap buku” karena sangat asyik dan menikmati membaca buku.
58
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
24) Hati Agung tiba-tiba mengeras. Bagai batu. Tangannya meremas kemarahannya sendiri. tiba-tiba pula darahnya memompa aroma kebencian yang sangat dahsyat. (cerpen Kembang Tebu, hal. 21) Pernyataa n di atas menggambarkan kemarahan tokoh “Agung”. Ungkapan “hati yang mengeras” menunjukkan bahwa tokoh benar-benar gondok dan menahan kekesalan di dadanya. 25) Pak Kromo mendadak sadar, bahwa ia sedang membangunkan harimau lapar. (cerpen Kembang Tebu, hal. 21-22) Harimau yang lapar biasanya menjadi sangat beringas dan tidak tenang. Ungkapan “membangunkan harimau lapar” yang ditujukan pada tokoh Agung berarti memancing kemarahan Agung dan membuatnya emosi. 26) Pak Kromo mesti mengerem kemarahan anaknya yang mulai merambati ubun-ubun. (cerpen Kembang Tebu, hal. 22) Ubun-ubun adalah bagian tubuh manusia yang terletak di ujung kepala. Pernyataa n “kem arahan yang merambati ubun-ubun” berarti kemarahan yang sudah tidak mampu dikontrol atau sudah sampai batas. 27) Sebelum mencapai Pundhen, jantung M bah joyo berdegup kencang. Sebab ia melihat sepeda motor terparkir sembarangan di mulut kuburan. (cerpen Pundhen, hal. 23) “M ulut” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2005: 329) diartikan sebagai rongga atau lubang tempat gigi dan lidah pada manusia, atau dapat juga diartikan sebagai lubang. Mulut merupakan bagian luar atau pintu sebelum makanan masuk ke dalam tubuh. “Mulut kuburan” dapat diartika n sebagai pintu atau gerbang kuburan. 28) Mbah Joyo berjingkat-jingkat menyelidiki. M atanya yang masih tajam mencari-cari sesuatu yang mencurigakan. (cerpen Pundhen, hal. 24) Kata “tajam” biasa digunakan untuk menggambarkan benda atau senjata yang berujung lancip, seperti pisau, gunting, dan sebagainya. Tajam berarti mudah mengiris atau berkemampuan. Kata “tajam” dalam 59
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kutipan tersebut digunakan untuk menggambarkan kondisi mata atau penglihatan seseorang. Hal ini berarti bahwa mata atau penglihatan tokoh (Mbah Joyo) memiliki kemampuan yang baik atau masih jelas. 29) Dengan geram, M bah Joyo membakar pakaian yang tertinggal. Dari dalam api yang berkobar Mbah joyo melihat bayang-bayang Ki Tunggul tersenyum masam. (cerpen Pundhen, hal. 24) Masam merupakan rasa yang dapat dideteksi oleh indera pengecap. Masam merupakan rasa yang kurang menyenangkan dan membuat tubuh sedikit bergidik. Pada kutipan tersebut kata “masam” digunakan untuk menggambarkan senyum tokoh. “Senyum masam” berarti senyum yang berasal dari suasana hati yang kurang menyenangkan dari tokoh. Ada unsur keterpaksaan ketika tokoh tersenyum dan pihak lain yang melihatnya akan kurang merasa senang juga. 30) Sungguh! Pada hakekatnya tak ada yang berubah. Kecuali orang-orang kampung kam i yang tak lagi bertani atau berkebun. Tapi ada yang jadi maling, gali, makelar, sopir, kuli bangunan, pedagang bakso, pelacur, dan aneka ragam pekerjaan untuk mengisi perutnya. (cerpen Pundhen, hal. 27) “M engisi perut” merupakan idiom yang berarti makan. M akan merupakan kebutuhan yang bersifat primer dalam kehidupan makhluk hidup. “M encari pekerjaan untuk mengisi perut” maksudnya melakukan pekerjaan agar dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 31) Mereka tak pernah menempatkan alam-lingkungan sebagai musuh yang harus ditaklukkan. Namun menganggap bumi yang mereka injak sebagai sahabat yang mesti diolah untuk menemani langkah menyusuri kehidupan yang menunggu di depan. (cerpen Samin, hal. 28) Musuh adalah lawan atau saingan bertarung. Musuh adalah sosok yang tidak disukai, dan orang biasanya berlaku jahat dan buruk terhadap musuhnya. Ia bahkan akan merusak atau menghancurkan musuh mereka. Sebaliknya, sahabat adalah sosok teman yang sangat dekat. Pada umumnya, seseorang akan bersikap hangat dan menya yangi sahabatnya. Pernyataa n ”mereka tak pernah menempatkan alam-lingkungan sebagai 60
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
musuh yang harus ditaklukkan. Namun menganggap bumi yang mereka injak sebagai sahabat yang mesti diolah untuk menemani langkah menyusuri kehidupan yang menunggu di depan” berarti bahwa masyarakat desa itu tidak pernah merusak atau mengeksploitasi alam sekitar. Bahkan mereka menjaga alam dan melestarikan dengan baik. 32) Katanya, ”Suara warga janganlah dibeli. Tapi suarakanla h apa yang ingin dikatakan warga!” (cerpen Samin, hal. 29) ”Suara” dalam kutipan tersebut adalah pendapat dan keinginan rakyat. ”Suara rakyat janga n dibeli” maksudnya rakyat jangan diim imngimingi dengan harta sehingga patuh dan mengikuti keinginan pemerintah, walaupun berlawanan dengan hati nuraninya. Kalimat ”suarakanlah apa yang ingin dikatakan warga” maksudnya pemerintah seharusnya mau mendengarkan pendapat warga dan menyampaikannya pada pihak lain, kemudian mengambil tindakan untuk kepentingan bersama. 33) ”Sekarang, kalau saatnya pemilihan, berbaik hati dengan warga. Bermanis muka. Tapi setelah berkuasa warga ditelantarkan begitu saja...” (cerpen Samin, hal. 30) ”M anis” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2005: 309) berarti rasa seperti rasa gula, elok, mungil, sangat menarik hati (untuk menggambarkan muka, senyum, perkataan, dan sebagainya). Kata ”manis” biasanya digunakan untuk menggambarkan rasa yang bisa dirasakan oleh indera pengecap atau lidah. Manis adalah rasa yang enak dan banyak disukai. Ungkapan ”bermanis muka” maksudnya berbaik hati dan bersikap lunak untuk menarik hati orang lain. 34) Tentu sikap Pak Rekso yang melawan arus itu mendapat cemoohan warga yang hanya berpikir sesaat. (cerpen Samin, hal. 30) ”Arus” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2005: 54) berarti gerakan air yang mengalir atau aliran udara (listrik) yang melalui suatu benda. Arus biasanya berjalan satu arah dan sejalur. ”Melawan arus” maksudnya berjalan ke arah yang lain. Tokoh ”Pak Rekso” dikatakan melawan arus berarti ia memiliki pemikiran sendiri 61
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan mempunyai cara sendiri dan tidak mau mematuhi hal yang telah ditetapkan atau dijalani oleh sebagian masyarakat yang lain. 35) Mbah Lurah, yang panas kupingnya mendengar kata-kata Pak Rekso yang dia nilai sok suci itu, menyebut Pak Rekso sebagai Samin. (cerpen Samin, hal. 30) Kuping atau telinga adalah organ tubuh manusia yang digunakan untuk mendengar atau menangkap suara dari luar. Kata “panas kuping “ menunjukkan ketidaksukaan tokoh mendengar ucapan lawan bicaranya. Ucapan tokoh lain tersebut membuatnya risih dan membuatnya tidak nyaman, sakit hati, atau marah. 36) Dan lolosnya calon-calon bermodal kantong. (cerpen Samin, hal. 31) Kantong merupakan bagian dari pakaian atau tas yang digunaka n orang untuk menyimpan uang atau harta berharga lainnya. Ungkapan ”bermodal kantong” dalam kutipan tersebut berarti bahwa dalam mencapai sesuatu
yang diinginkannya
tidak
dengan
usaha
namun
dengan
menggunakan uang atau harta. Mereka menggunakan uang untuk mendapatkan jabatan. Uang tersebut dapat digunakan untuk menyogok warga agar memilih dirinya, dan sebagainya. 37) Ia sama sekali tak punya potongan pemberontak. (cerpen Samin, hal. 31) Potongan sama artinya dengan bagian. Kata ”potongan” dalam kutipan tersebut menunjukkan bahwa tidak ada bagian dari diri tokoh yang menunjukkan bahwa tokoh adalah seorang pemberontak. 38) Supaya
perkampungan
kelihatan
dari kejauhan.
Supaya
kesucian
senantiasa memayungi si empunya rumah. (cerpen Samin, hal. 32) Payung adalah alat yang digunakan untuk melindungi diri dari panas atau hujan. Ungkapan ”Kesucian yang memayungi” maksudnya kesucian itu mampu memberikan perlindungan kepada pemilik rumah dari hal-hal yang buruk. 39) Kubuka telinga. Kubuka semua indera. Agar nadi-nadiku menyaksikan keheningan yang dibangun Guru. Kesaksianku kesaksian hamba. Dengus napasnya pun menjadi sangat bermakna. (cerpen Jawa, hal. 33) 62
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Telinga adalah organ tubuh manusia yang berguna untuk mendengar. ”Membuka telinga” berarti mendengarkan dengan baik. Manusia memiliki lima indera. Indera penglihatan (mata), indera pendengar (telinga), indera pengecap (lidah), indera penciuman (hidung), dan indera peraba (kulit). ”M embuka semua indera” berarti menggunaka n kelima indera untuk menerima dan meresapi hal-hal di sekitarnya. Mengacu pada hal tersebut membuka semua indera berarti tokoh berusaha menghayati ajaran gurunya. Hamba adalah sebutan untuk seseorang yang mengabdi. Tokoh ”Aku” dalam cerpen Jawa menyebut dirinya sebagai ”hamba” menunjukkan bahwa ia mengabdi pada gurunya dan akan setia pada gurunya tersebut. 40) Mungkin memang benar jiwaku tidur bertahun-tahun. Karena setiap hal telah menjadi hambar. Ketika ada kejahatan, bukannya ingin menegakkan kebenaran atau keadilan. Namun malah menghindar. (cerpen Jawa, hal. 34) Hambar biasanya dapat dirasakan oleh indera pengecap atau lidah. ”Hambar” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2005: 163) berarti tak ada rasanya atau tawar. Kata ”hambar” dalam pernyataan di atas maksudnya hidupnya tidak memiliki sesuatu yang berarti atau tidak menemui sesuatu yang menarik yang membuat hidupnya lebih berwarna. 41) Atau ketika melihat penindasan, kesewenang-wenangan, pemerkosaan, bukannya berpikir bagaimana cara mengatasinya. Namun malah menutup mata. (cerpen Jawa, hal. 34) Ungkapan ”menutup mata” yang dimaksud dalam pernyataan di atas bukan
benar-benar
kegiatan
menutup
mata,
namun
sebuah
perumpamaan. Orang yang menutup mata tidak akan me lihat hal-hal di sekitarnya. Sesuatu yang terlihat hanyalah kegelapan. ”Menutup mata” yang dimaksud dalam pernyataan tersebut adalah tidak mau tahu urusan yang terjadi di sekitarnya. Tokoh tidak peduli dengan penindasan, kesewenang-wenangan, dan pemerkosaan yang terjadi di sekitarnya. 63
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
42) Guru mulai membuka mata. M emandangku tajam. Tak tahan aku menatapnya. (cerpen Jawa, hal. 35) Kata “tajam” biasa diguna kan untuk menggambarkan benda atau senjata yang berujung lancip, seperti pisau, gunting, dan sebagainya. Tajam berarti mudah mengiris atau berkemampuan. Benda yang tajam juga dapat menusuk. Kata “tajam” dalam pernyataan tersebut digunakan untuk menggambarkan cara pandang seseorang. “M emandang tajam ” berarti pandangannya lurus dan kuat seakan menusuk ya ng dipandang. 43) Seandainya kau terlahir sebagai orang Palestina, belum tentu engkau mengagumi tanah Jawa seperti kekagumanmu saat ini. Jawa adalah area misterius. Untuk menguak misteri itu kau mesti mengarifi sejarah!” (cerpen Jawa, hal. 35) ”Arif” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2005: 52) berarti bijaksana, cerdik atau pandai, berilmu, paham, mengerti. Ungkapan ”Mengarifi sejarah” dalam kutipan tersebut maksudnya mampu memaham i dan menjadikan sejarah sebagai salah satu pedoman dalam menjalani hidup. 44) ”Setelah Singosari yang banjir darah itu, muncullah M ajapahit yang juga menelan banyak nyawa. Lalu untuk memasuki peradaban Demak, berapa nyawa lagi harus dikorbankan. Tak terhitung. Tak terhitung!” (cerpen Jawa, hal. 35) ”Banjir” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2005: 75) berarti air yang banyak dan menga lir deras. ”Banjir darah” berarti banyak darah yang mengalir. Maksudnya terjadi peristiwa yang membuat banyak orang terluka ata u meninggal. Ungkapan ”menelan banyak nyawa” maksudnya membuat banyak nyawa menghilang atau banyak orang yang meninggal. Pernyataan di atas menunjukka n bahwa dalam perubahan kekuasaan atau masa kepemimpinan kerajaan di tanah Jawa pada masa dulu terjadi peperangan atau perseteruan yang membuat banyak orang meninggal.
64
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
45) ”Jangan sampai tanah ini tertetesi darah anak-anaknya sendiri. Jangan sampai. Lebih baik damai daripada perang. Dan apa untungnya perang dengan saudara sendiri!” (cerpen Jawa, hal. 36) ”Anak-anak” yang dimaksud dalam pernyataan tersebut adalah generasi bangsa atau pemuda dari tanah Jawa (Indonesia). ”Tertetesi darah anak-anaknya sendiri” maksudnya mengorbankan generasi bangsa atau pemuda tanah Jawa (Indonesia) dalam perebutan kekuasaan. 46) Bapak Kuncung yang semula bertahan pada prinsipnya untuk tidak memberikan barang mainan yang berbau kekerasan, akhirnya mengalah. Dibuatkanlah sepucuk bedil untuk kuncung. (cerpen Bedil, hal. 39) Bau adalah sesuatu yang dapat tercium oleh indera penciuman (hidung). Berbau berarti memilki bau. ”Berbau kekerasan” berarti memiliki bau kekerasan, maksudnya termasuk ke dalam barang yang dapat mengakibatkan perkelahian atau kerusuhan. 47) Di teve, perang bukan lagi sebagai permainan ya ng penuh keriangan, tetapi menjadi perang, sungguh-sungguh. Darah tercecer di mana-mana. Nyawa melayang seperti daun yang luruh dalam badai. (cerpen Bedil, hal. 40) Badai merupakan angin ribut yang bisa menghancurkan dan menerbangkan
benda-benda berat sekalipun.
Daun
adalah bagian
tumbuhan yang ringan dan mudah gugur karena tertiup angin, apalagi terkena badai. Badai tentunya mampu membuat banyak sekali daun berguguran dan menerbangkannya. Pernyataan ”nyawa melayang seperti daun yang luruh dalam badai” berarti banyak sekali nyawa yang melayang atau banyak sekali orang yang mati dalam perang tersebut. 48) ”Berkali-kali kami teriak minta tolong, tapi tak seorang pun datang menolong. Bahkan rotan-rotan itu makin keras memukuli kami. Bapak, kami bukan napi. Kami hanya ingin menyuarakan hati. Tapi kami mesti berhadapan dengan rotan, tameng, sepatu, peluru karet, gas air mata. Tak ada yang bisa kami perbuat selain lari!” (cerpen Bedil, hal. 41)
65
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
”Suara hati” maksudnya suara atau pendapat yang berasal dari hati nurani. ”Ingin menyuarakan hati” maksudnya ingin mengungkapkan pendapat yang berasal dari hati nurani atau keinginan yang terpendam. 49) Aku mencoba tabah. Semuanya mesti dihadapi dengan dada yang lapang. Malahan dari peristiwa ini, aku banyak memetik pelajaran. (cerpen Bedil, hal. 42) Lapang berarti luas. Ungkapan ”dada yang lapang” pada kutipan tersebut maksudnya sabar. Memetik berarti mengambil sesuatu dengan mematahkan tangkainya. Memetik biasa digunakan untuk bunga atau buah. Pada kutipan
tersebut,
”memetik”
dipadukan dengan kata
”pelajaran” menjadi ”memetik pelajaran” yang dapat diartikan mengambil pelajaran dari suatu peristiwa. 50) Lagi-la gi Patrem mengangguk. Ia memang tak ingin berlama-lama dengan Denmas Bei yang doyan ngomong. (cerpen Patrem, hal. 44) Doyan merupakan sinonim dari kata suka. Biasanya digunakan untuk mengungkapkan kesukaan pada makanan. ”Doyan ngomong” berarti tokoh sangat suka berbicara atau cerewet. 51) Namun malam harinya, tatkala pikirannya berputar-putar mengenai lowongan kerja, ia jadi kepingin untuk mencoba peruntungan surat saktinya Denmas Bei. (cerpen Patrem, hal. 44) Pikiran merupakan akal yang ada di dalam otak yang berupa alat vital manusia untuk menentukan arah hidup. Pikiran juga sering disamaartikan
dengan
otak
yang
berfungsi
untuk
berpikir
atau
memecahkan masalah. ”Pikiran berputar-putar” berarti tokoh sedang berpikir dan mengingat-ingat beberapa hal yang ada di dalam otaknya (pikirannya). 52) Harapan akan kerja lagi membayang di pelupuknya. (cerpen Patrem, hal. 45) Pelupuk
atau kelopak mata merupakan bagian luar dari mata.
”M embayang di pelupuk” berarti sudah sangat dekat dan dapat diraih dengan mudah. 66
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
53) Sebagai korban PHK, sebagai pengangguran yang mesti menghidupi anakistri, biaya tersebut bukanlah biaya yang murah. Mencekik bahkan. (cerpen Patrem, hal. 46) Menurut Suharso dan Ana Retnoningsih dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 105), ”mencekik” berarti memegang dan mencekam leher, meraih hingga tak dapat bernapas, mematikan, menindas. Kata ”mencekik” dalam pernyataan tersebut berarti menyiksa (secara batin) dan membuat tokoh merasa keberatan dengan biaya yang diminta untuk pembuatan SKKB. 54) Nanti, bila hal yang membuatnya uringan-uringan itu telah terselesaika n, Emak akan kembali seperti sediakala. Menjadi ibu yang baik bagi anakanaknya. M engelus kami dengan kelembutan. Memberi nasihat-nasihat yang meneduhkan. Dan terutama melindungi kami dari semua ancaman. (cerpen Dom, hal. 49) Teduh berarti terlindung dari sinar matahari, terhindar dari terik matahari. Teduh memberikan ketenangan. Pernyataa n ”nasihat-nasihat yang teduh” pada kutipan tersebut berarti nasihat yang mampu memberikan ketenanga n dan rasa aman. 55) ”Kau yang paling muda, otakmu masih encer. Pikirkanla h bagaimana mengatasi Emak. Kalau aku rasa baik, tentu aku dukung!” (cerpen Dom, hal. 49) ”Encer” sama dengan cair. Benda yang bersifat cair memiliki sifat fleksibel, dapat menyesuaikan wadah
yang
ditempati, dan dapat
menerobos melalui celah-celah kecil. Kata ”encer” dipadukan dengan kata ”otak”, yaitu organ tubuh manusia yang digunakan untuk berpikir. ”Otak encer” maksudnya pandai. Orang yang pandai akan mampu memecahkan berbagai masalah yang sulit sekalipun, seperti benda cair yang bersifat fleksibel dan mampu menerobos melalui celah sekecil apapun. 56) ”Yang katanya kita menganggapnya gila. Yang katanya, kita mau menelantarkannya. Sementara Emak telah memeras keringat selama berpuluh-puluh tahun untuk membesarkan kita. (cerpen Dom, hal. 49) 67
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
”Peras” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2005: 372) berarti memijit atau menekan sesuatu supaya keluar airnya. Keringat juga merupakan zat cair, namun peras di sini bukan berarti tokoh benar-benar memeras keringat. Ungkapan ”memeras keringat” yang dimaksud dalam kutipan di atas adalah mengeluarkan banyak keringat atau bekerja keras. 57) Aku yang merasa disindir. Tanggap. Tapi aku harus menjawab apa. Emak tidak lagi sekedar uring-uringan. Ia lebih dari itu. Emak seakan-akan punya tenaga lain yang siap meledak. Itu dapat dilihat dari kobaran api di matanya. (cerpen Dom, hal. 50) ”M eledak” berarti meluap atau meletus karena sudah tidak mampu menampung atau memiliki muatan yang terlalu banyak. Kata ”meledak” dalam kutipan tersebut dipadukan dengan tenaga, maksudnya tokoh ”Emak” memiliki tenaga lain yang sangat banyak atau menggebu-gebu. Kobaran api biasa digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang membara. Sesuatu yang digambarkan membara pada pernyataan tersebut adalah semangat atau kekuatan tokoh ”Emak”. 58) Emak menggeram. Suaranya memenuhi perkampungan. (cerpen Dom, hal. 50) ”Penuh” artinya terisi semua, tidak menyisakan ruang kosong lagi. Kata ”memenuhi” yang dimaksud dalam kutipan di atas adalah mengisi kampung dengan suara tokoh ”Emak”. M aksudnya, suara Emak sangat keras
dan
membuat
hampir
semua
penghuni
kampung
mampu
mendengarnya. 59) Emak sudah bangun. Kemarahannya yang sementara ditimbun tidur; memuncak. (cerpen Dom, hal. 52) ”Ditimbun” artinya tertutupi oleh sesuatu yang bentuknya berupa tumpukan. Sesuatu yang ditimbun biasanya tidak nampak atau tidak mampu bergerak. Pernyataan ”kemarahannya yang sementara ditimbun tidur” pada kutipan tersebut maksudnya kemarahan Emak dapat redam sejenak oleh tidurnya. 68
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
60) Dan Emak dengan senyumnya yang dingin, melakukan kebuasannya tanpa mengucap sepatah kata pun. (cerpen Dom, hal. 52) ”Dingin” adalah kata untuk menggambarkan kondisi suhu yang rendah. Kata ”dingin” jika dikaitkan dengan sifat seorang bisa berarti seseorang itu tidak berperasaan. Pernyataan ”Senyum yang dingin” artinya senyum yang tidak berperasaan atau senyum yang bukan disebabkan perasaan tokoh sedang senang. Buas sama artinya dengan liar atau galak. Kebuasan yang dilakukan Emak maksudnya sikap kasar Emak yang tidak terkontrol baik perbuatan maupun perkataannya. 61) Selanjutnya, kami dan orang kampung hanya duduk sebagai penonton. Menyaksikan rumah dan harga diri kami dirobek-robek. (cerpen Dom, hal. 52) Merobek adalah perbuatan yang merusak. Kata ”Robek” biasanya digunakan untuk kertas atau benda lain yang tipis. Pernyataan ”Harga diri dirobek-robek” maksudnya tingkah Emak merusak harga diri tokoh ”kami” (anak-anaknya). Bisa juga diartikan tingkah Emak membuat anakanaknya malu dihadapan warga kampung yang lain. 62) Ketika
Mbah
Karyo
meminta
seseorang
di
antara
kami
yang
memperbolehkan tubuhnya dihuni tuyul, meletuslah kegaduhan. (cerpen Tuyul, hal. 55) Meletus
artinya
pecah
atau
meledak.
”Meletus”
biasanya
digunakan untuk benda-benda seperti balon, bom, ban, dan sebagainya. Benda yang meletus biasanya menimbulkan suara yang keras. Pernyataan ”meletuslah kegaduhan” maksudnya terjadi kegaduhan atau keributan yang sangat berisik dan menggemparkan. 63) Begitu warga kampung kami mewakilkan Pak Sofyan, Mbah Karyo langsung bekerja. M erapal mantra. Lalu mengelilingi tubuh Pak Sofyan yang mandi keringat. (cerpen Tuyul, hal. 55) Mandi adalah membasuh tubuh dengan air. Mandi biasanya membutuhkan air yang cukup banyak sehingga mampu membasahi seluruh tubuh. ”Mandi keringat” berarti tokoh Pak Sofyan mengeluarka n 69
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
banyak keringat sehingga membasahi seluruh tubuhnya. Orang banyak berkeringat biasanya disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena seseorang merasa takut, merasa gugup, atau habis melakukan aktivitas yang berat. ”Mandi keringat” dalam kutipan di atas disebabkan karena tokoh Pak Sofyan merasa gugup. Hal ini disebabkan tubuhnya akan dimasuki tuyul. 64) Terus terang, menyaksikan kemanusiaanmu aku menjadi sakit. Pura-pura suci, tapi semakin tipis rasa malumu! (cerpen Tuyul, hal. 56) Tipis berarti memiliki ketebalan yang minim. Kata ”tipis” biasa digunakan untuk benda seperti buku, kertas, dan sebagainya yang berbentuk tiga dimensi. Benda yang tipis biasanya memiliki ukuran atau volume yang lebih sedikit dibandingkan dengan benda-benda yang tebal. Kata ”tipis” dipadukan dengan kata ”malu”, berarti rasa malu yang dimilki tokoh semakin sedikit atau semakin kecil. b. Indeks Indeks merupakan tanda yang memiliki hubungan sebab-akibat dengan apa yang diwakilinya. Indeks disebut juga tanda sebagai bukti. Indeks yang terdapat pada
kumpulan
cerpen Samin
berupa
mimik
wajah
yang
menunjukkan perasaan tokoh dan deskripsi alam untuk menunjukkan keadaan alam sekitar sebagai setting tempat cerita. Pada kumpulan cerpen Samin, terdapat beberapa indeks yang berupa sikap tubuh atau ekspresi tokoh yang menunjukkan kemarahan tokoh, yaitu: 1) Pak Camat merasa tertampar. Matanya mencorong tajam. (cerpen Biru, hal. 6) 2) Petugas jaga mukanya merah padam. Ia begitu geram. Kemarahan si petugas jaga itu diam-diam telah menulari teman-temannya. (cerpen Mun, hal. 15) 3) ”Kalau ada kepentingan dengan Bapak sebaiknya me nemui di kantor saja!” pintu itu pun dibanting dengan keras. (cerpen Pundhen, hal. 25)
70
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4) ”Pergi kalia n. Tak ada tontonan di sini!” bentak Emak yang mendadak muncul dengan kemara han. Matanya mencorong tajam. Mukanya merah padam. (cerpen Dom, hal. 50) 5) Emak sudah bangun. Kemarahannya yang sem entara ditimbun tidur; memuncak. Emak jadi betul-betul garang. M atanya melotot. Tangannya mengepal. Wajahnya semerah api. Kami bergidik dan mundur ke belakang. (cerpen Dom, hal. 52) Beberapa indeks di atas berupa keadaan mimik wajah tokoh yang berfungsi menunjukkan perasaan tokoh. Mata merupakan bagian tubuh manusia yang menunjukkan perasaan, seperti perasaan sedih, senang, marah, dan sebagainya. Kata “mencorong” pada kutipan tersebut dapat diartikan sebagai terbuka lebar atau membelalak. Orang yang marah biasanya matanya melotot atau membelalak. Pernyataa n “matanya mencorong tajam” menandakan bahwa tokoh sedang marah. Muka merah padam bisa disebabkan beberapa hal, yaitu menunjukkan rasa malu atau menunjukkan rasa marah. Muka merah padam yang dialami oleh tokoh dalam beberapa judul cerpen tersebut disebabkan karena tokoh sedang marah. Hal ini diperkuat dengan pernyataan sebelumnya maupun sesudahnya. Pada cerpen Pundhen, pengarang tidak menggunaka n mimik wajah tokoh untuk menunjukkan kemarahan, tetapi melalui sikap atau perilaku tokoh. Perilaku ”membanting pintu” dengan keras dapat menunjukkan beberapa hal, yaitu seseorang sedang terburu-buru atau seseorang sedang dalam keadaan marah. Berdasarkan pernyataan di atas, tokoh Bu Lurah membanting pintu dengan keras karena ia merasa kesal dan tidak suka dengan kedatangan Mbah Joyo. Hal ini dapat dilihat melalui pernyataan sebelumnya, yaitu: ”Ada keperluan apa? Bapak sedang tidak ada di rumah!” suara itu sungguh sengit. (cerpen Pundhen, hal. 25) Kata ”sengit” di sini menunjukkan bahwa tokoh ”Bu Lurah” berbicara dengan judes atau kasar. Ini menunjukkan bahwa tokoh ”Bu 71
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lurah” sedang dalam suasana kurang baik, atau ia memang tidak menyukai kedatangan Mbah Joyo. Indeks yang berupa deskripsi tentang setting tempat dalam kumpulan cerpen Samin, yaitu: 1) Agung tak menjawab. Tangannya menuding kembang-kembang tebu yang melenggak-le nggok di atas kehijauan yang menghampar. Indah sekali. Di atas langit biru membentang. Di bawah, batang-batang coklat tebu dengan daunnya yang hijau. Kembang-kembang tebu menari di antara bentangan warna yang sama memikatnya. (cerpen Kembang Tebu, hal. 18) Kutipan tersebut menggambarkan keindahan dari kebun tebu di desa Agung. pengarang berusaha menunjukkan keindahan dan keelokan kebun tebu dengan permainan kata-katanya. Kalimat “kembang-kembang tebu yang melengagak-le nggok di atas kehijauan yang menghampar” menunjukkan keadaan kembang-kembang tebu yang bergerak tertiup angin. Kalimat “di atas langit biru membentang” pada kutipan tersebut menunjukkan
bahwa
hari cerah.
Paragraf tersebut mencerita kan
keindahan kebun tebu di siang hari. Di saat langit cerah, dan angin berhembus sepoi-sepoi membuat kembang tebu bergerak-gerak seirama tiupan angin. 2) Kebun tebu telah habis ditebang. Kembang-kembang tebu tak lagi bisa dipandang. Kini yang membentang, cuma tonggak-tonggak tebu, menantang langit. Kelancipannya menunjukkan kegersangan. (cerpen Kembang Tebu, hal. 19) Kutipan tersebut menggambarkan kondisi kebun tebu setelah penebangan. pengarang menunjukkan bahwa yang tersisa hanya tonggaktonggak tebu yang tak lagi memiliki daun. 3) Untuk membersihkan tanah bekas kebun tebu itu, dilakukanlah pembakaran. Langit seakan mandi darah. Kampung berselimut kabut. Asap mengepung dan membumbung. (cerpen Kembang Tebu , hal. 19)
72
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kutipan tersebut menunjukkan peristiwa pembakaran di kebun tebu. Pernyataa n “langit yang bermandi darah” maksudnya langit seakan berwarna merah karena biasan api yang membakar kebun tebu. Pernyataan
“kampung
berselimut
kabut”
menunjukkan
bahwa
pembakaran tersebut menghasilkan asap yang te bal hingga menyerupai kabut. 4) Kampungku adalah kampung yang tenang. Seperti telaga ya ng berada di sunyi pegunungan. Ketenangannya bahkan tak pernah menghasilkan riak atau ombak. Sesekali, memang, dipecahkan cipak ika n. Atau selembar daun yang jatuh karena tak sanggup menahan berat embun. Namun sesudah itu kembali sunyi. Kembali dihuni suara burung, cengkrik, lenguh kerbau, kokok ayam, penggeret, serta teriakan-teriakan petani bekerja. (cerpen Samin, hal. 28) Pengarang mencerita kan keadaan setting atau latar cerita di awal. Ia menggambarkan
suasana
desa
yang
tenang
dan
damai denga n
menggunakan bahasa yang indah dan banyak melibatkan perumpaan. Pernyataan di atas menunjukkan suasana desa yang tenang. W alaupun terkadang ada sedikit keributan, akan segera reda, kembali tenang dan damai. 5) ”Tanah ini sangat subur Guru. Sawah membentang, gunung menjulang di mana-mana. Kebun-kebun luas menghijau, hutan menghampar. Pohonpohon rindang di pedesaan. Mata air yang tak ada habis-habisnya. Guru, aku tak bisa menguraikan lebih jauh mengenai kesuburan tanah ini. Seandainya ada yang menanam batu, batu itu akan tumbuh. Guru bisa melihat sendiri. Betapa damainya tanah ini. Gunung yang biru di kejauhan. Kehijauan yang membentang. Sungai mengalir. Kicau burung. Gemersik hutan. Suara satwa!” (cerpen Jawa, hal. 35) Pengarang menunjukkan keindahan dan kesuburan tanah Jawa lewat penuturan tokoh di atas. Pernyataan ”Kebun-kebun luas menghijau, hutan menghampar. Pohon-pohon rindang di pedesaan. M ata air yang tak ada habis-habisnya” menunjukkan keindahan tanah Jawa. Kalimat ”seandainya 73
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ada yang menanam batu, batu itu akan tumbuh” pengara ng tampilkan untuk menunjukkan betapa suburnya tanah Jawa. Selain indeks yang telah disebutkan sebelumnya, dalam kumpulan cerpen Samin juga terdapat indeks yang berupa gerak bagian tubuh, yaitu mengerutkan dahi. Hal ini terdapat pada kutipan berikut ini: 1) Melihat perubahan bapaknya yang seperti itu, Agung mengernyitkan dahi. (cerpen Kembang Tebu, hal. 20) 2) Pak Carik mengerutkan dahi. Seperti sedang berpikir, namun tidak memberi komentar apa-apa. (cerpen Pundhen, hal. 24) “M engernyitkan dahi” merupakan gerak mengerutkan dahi. Orang mengerutkan dahi bisa disebabkan banyak hal. Mengerutkan dahi karena terserang gatal, karena faktor kebiasaaan, menunjukkan seseorang dalam kondisi bingung atau sedang berpikir keras. Kegiatan “mengernyitkan dahi” yang dilakukan tokoh “Agung” dalam cerpen Kembang Tebu berarti tokoh sedang berpikir karena merasa bingung dengan perubahan sikap bapaknya. Kegiatan “mengerutkan dahi” yang dilakukan tokoh “Pak Carik”
dalam cerpen Pundhen menunjukkan bahwa tokoh sedang
berpikir. Hal tersebut diterangkan dalam kalimat berikutnya. c. Simbol Simbol merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan, atau perjanjian yang telah disepakati oleh masyarakat. Kumpulan cerpen Samin memiliki 46 je nis simbol, yaitu: 1) Biru sebagai judul cerpen Berdasarkan hasil wawancara dengan pengarang, “biru” yang dimaksud dalam cerpen tersebut adalah sebuah perumpamaan dari warna yang melambangkan sebuah partai, yaitu warna kuning. Warna kuning ini menjadi warna partai Golkar pada masa Orde Baru. Pada masa itu, kekuatan Golkar sangat berpengaruh dalam pemerintahan. Semua pegawai negeri diwajibkan untuk memilih partai Golkar dalam pemilu, sehingga Golkar selalu menang dalam pemilihan umum. Selama 32 tahun, Indonesia dipimpin oleh Soeharto sebagai Presiden. Hal ini sesuai dengan 74
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang
diungkapkan
oleh
(http://labpolunsil.blogspot.com/
Rino
Sundawa
Putra
2011/03/konsolidasi-birokrasi-pasca-
pemilukada.html, diunduh pada tanggal 12 oktober 2011) bahwa Orde Baru adalah orde yang paling banyak menggunakan kekuatan birokrasi sebagai pondasi untuk melanggengkan sistem kekuasaan. Pada waktu itu, selain militer Orde Baru juga melakuka n kuningisasi pada institusi pelayanan masyarakat. Pandangan yang terbentuk pada waktu itu adalah bila dia seorang PNS, bisa dipastikan dia adalah pendukung fanatik Golkar. 2) Mengangguk Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 41), mengangguk adalah menggerakkan kepala ke bawah untuk memberi hormat atau mengiakan. Ada beberapa gerakan mengangguk yang dilakukan oleh tokoh dalam beberapa judul cerpen, yaitu: a)
“Tak usah ke Kabupaten, Pak!” kata Pak Lurah jerih. “Kenapa?” Pak Camat dengan suara sengit. “Tak apa-apa!” jawab Pak Lurah lunglai. “Kalau begitu sampaikan instruksi itu ke wargamu!” perintah Pak Camat. Pak Lurah mengangguk. (cerpen Biru, hal.7)
b) ”Lihat, Mbah! Burung-burung itu terbang menjauh, begitu senapan ini ditembakkan. M engapa begitu? Karena mereka ingin selamat!” Mbah Joyo menelan ludah. Pahit sekali. ”Manusia pun juga begitu,” lanjutnya. ”Paham maksud kami, Mbah?” Dengan berat Mbah Joyo menganggukkan kepala. (cerpen Pundhen, hal. 26) c) ”Jangan sampai tanah ini tertetesi darah anak-anaknya sendiri. Jangan sampai. Lebih baik damai daripada perang. Dan apa untungnya perang dengan saudara sendiri!” Aku mengangguk. Entah anggukan yang ke berapa. (cerpen Jawa, hal. 37) 75
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d) ”Jawabannya tak ada lowongan, kan?” Patrem mengangguk tanpa daya. (cerpen Patrem, hal. 44) e) ”Benarkah kamu Tuyul yang berkeliaran di kampung sini?” tanya Mbah Karyo berwibawa. Yang ditanya menga ngguk. (cerpen Tuyul, hal. 55) f) Ketika kami utarakan maksud mengundang kedatangannya, M bah Karyo mengangguk-angguk. (cerpen Tuyul, hal. 54) ”M engangguk” yang dilakukan tokoh dalam beberapa cerpen yang telah disebutkan di atas bukan sekedar gerakan tanpa arti, namun sebagai bahasa nonverbal sebagai respon pernyataan yang diutarakan tokoh lain. Setting kumpulan cerpen Samin adalah kehidupan masyarakat Jawa. Menganggukkan kepala dalam masyarakat Jawa sebagai bahasa nonverbal berarti persetujuan atau mengiyakan sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya. “M engangguk” yang dilakukan oleh Pak Lurah dalam cerpen Biru menunjukka n persetujuan atau kesa nggupan. Tokoh “Pak Cam at” meminta Pak Lurah untuk menyampaikan instruksi ke warga. Pak Lurah menjawab dengan anggukan kepala yang berarti ia akan melaksanakan perintah Pak Camat. Begitu pula dalam judul cerpen yang lain, mengangguk yang dilakukan oleh tokoh merupakan ungkapan persetujuan atau mengiyakan pernyataan sebelumnya. 3) “Apakah instruksi itu dipraktekkan sebegitu kaku? Kita bisa menjadi robot karenanya!” debat Ketua RW III. (cerpen Biru, hal. 8) “Robot” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2005: 432) diartikan sebagai alat berupa orang-orangan yang dapat bergerak atau berbuat seperti manusia dan dikendalikan oleh mesin. Robot diprogram sehingga berlaku sesuai instruksi. Ia patuh terhadap tuannya karena tidak punya pemikiran sendiri. Robot bergerak sangat kaku karena tidak memiliki organ-organ seperti manusia. Ia bergerak sesuai perintah tuannya. Kata “robot” dalam kutipan tersebut melambangkan perilaku manusia yang patuh terhadap instruksi atasan dan
76
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tidak punya pemikiran sendiri. Kata “robot” dalam cerpen Biru menggambarkan masyarakat yang tidak berani melawan pemerintah. 4) Menggeleng Menggeleng adalah menggerakkan kepala ke kiri dan ke kanan. Secara bahasa nonverbal menggeleng digunakan untuk mengungkapkan penolakan atau tidak. Ada beberapa gerakan menggeleng yang dilakukan oleh tokoh dalam beberapa judul cerpen, yaitu: a) “Rumahnya sudah dicat biru apa belum?” pancing Pak Lurah. Si tamu menggeleng kepala. ( cerpen Biru, hal. 9) b) ”Ibu! Ibu! Kampung kita kedatangan pahlawan!” teriaknya sambil berlari di lorong-lorong kampung. Tentu sikapnya itu diikuti kawankawan sebayanya, sementara orang-orang tua hanya geleng-geleng kepala. (cerpen Bedil, hal. 40) c) ”Sudah bawa surat pengantar RT?” Patrem menggeleng. (cerpen Patrem, hal. 45) Menggelengkan kepala bisa disebabkan banyak hal, antara lain sebagai gerak dalam olahraga, karena kebiasaan, dan sebagai bahasa nonverbal. ”M enggeleng” yang dilakukan oleh tokoh dari beberapa judul cerpen di atas jika dilihat dari konteksnya berfungsi sebagai respon atau jawaban dari pernyataan dari tokoh sebelumnya. Setting kumpulan cerpen Samin
adalah
kehidupan
masyarakat
Jawa. ”Menggeleng”
dalam
masyarakat Jawa dapat berfungsi sebagai bahasa nonverbal yang berarti penolakan atau tidak. ”Menggeleng” yang dilakukan tokoh dalam cerpen Biru dan cerpen Patrem berarti tidak atau belum. Pada cerpen Bedil, tokoh geleng-geleng kepala yang berarti melakukan gerakan menggelengkan kepala lebih dari satu kali. ”Geleng-geleng kepala” yang dilakukan tokoh dalam cerpen Bedil tidak dilakukan untuk merespon pernyataan, namun dilakukan untuk mengekspresikan keheranan. dengan tingkah Kuncung dan kawan-kawannya.
77
commit to user
Tokoh merasa heran
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5) Julukan Samin sebagai nama tokoh Masyarakat Samin adalah
keturunan
para pengikut Samin
Soerosentiko yang mengajarkan sedulur sikep, di mana dia mengobarkan semangat perlawanan terhadap Belanda dalam bentuk lain di luar kekerasan. Bentuk yang dilakukan adalah menolak membayar pajak, menolak
segala
peraturan
yang
dibuat
pemerintah
kolonial
(http://rinangxu. wordpress.com/2006/12/07/samin-anarchy-rebel-budaya/, 13 Juli 2011). M asyarakat Samin adalah masyarakat yang memiliki ciriciri khusus yang menjadi identitas mereka dalam penampilan sehari-hari yang berbeda dengan masyarakat lain di sekitarnya. Orang pada umumnya mengidentifikasikan orang Samin sebagai orang yang bodoh dan
menolak pembaruan. Namun sebenarnya
masyarakat Samin timbul dari usaha penolakan pemerintahan kolonial Belanda yang dianggap semena-mena. Ajaran ini diawali oleh tokoh yang bernama Samin Surosentiko yang menentang pemerintah Belanda denga n tidak mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh Belanda.
Akibatnya,
terbentuklah masyarakat Samin yang memiliki peraturan sendiri yang hingga se karang masih me njadi panutan mereka. Masyarakat Samin terkenal dengan keluguan dan kejujuran mereka dalam menjalani hidup. Masyarakat Samin memang terkesan tertinggal jika dibandingkan dengan masyarakat Indonesia lain karena adat-istiadat yang mereka junjung. Pada cerpen Biru tokoh “Pak Samin” merupakan tokoh yang menjunjung warisan budaya leluhur dan berani menolak instruksi pemerintah karena ia merasa instruksi yang diberikan tidak sesuai dengan hati nuraninya. Pada cerpen Samin Pak Rekso disebut sebagai “Samin” karena tokoh “Mbah Lurah” menganggap Pak Rekso bodoh dan berani menentang pemilihan Lurah. pengarang menampilkan tokoh “Samin” sebagai simbol dari tokoh yang berani menentang kebijakan politik pada masa itu. Bukan karena tokoh “Samin” (Pak Rekso) bodoh, justru pengarang berusaha menyampaikan bahwa Samin bukan lambang kebodohan. Samin justru sangat cerdas, ia melakukan tindakan pura-pura 78
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bodoh dan seakan tidak peduli untuk mengecoh lawan. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut: Kalau ia menunjukkan sikap menentang, sebenarnya itu bukan bentuk penentangan, namun wujud wewaler. Elinga sajroning eling aja mung eling sajroning lali ( cerpen Samin, hal. 31). 6) Sepeda Sepeda adalah kendaraan roda dua yang bergerak dengan cara dikayuh. Sepeda dalam cerpen Mun merupakan titik pokok permasalahan dalam cerpen tersebut. Sepeda menjadi sumber permasalahan dan inti cerita.
Pengarang
menampilkan
sepeda dalam
cerpen
ini untuk
menyimbolkan kesenjangan sosial yang terjadi saat ini. Seiring kemajuan teknologi yang menghadirkan kendaraan yang canggih seperti sepeda motor, mobil, pesawat, sepeda menjadi alat trasnsportasi yang dianggap kuno dan kurang berkelas. Hanya rakyat kelas mene nga h ke bawah yang masih menggunakan sepeda sebagai alat transportasi. 7) Dan yang paling penting ia sudah tidak grogi kalau ada yang minta bonceng. Si Parti sudah sering ngandol di boncengan Mun. Tentu orang yang me lihat suit-suit me nggoda. Tapi Mun pasang tampang ”landak” sementara si Parti terus menunduk karena hatinya geronjalan tak karuan. (cerpen Mun, hal. 14) Landak adalah binatang yang kulitnya berduri. Ia mempertahankan diri dari musuh dengan menegakkan duri-durinya yang tajam dan menusuk. Kata ”landak” dalam pernyataan di atas dijadikan perumpamaan untuk menunjukkan tampang (wajah) seseorang. Pernyataan ”pasang tampang landak” maksudnya tokoh ”M un” tetap tenang dan tidak memedulikan ejekan orang lain. ”M enunduk” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2005: 598) berarti kepala atau muka condong ke depan dan ke bawah. M enunduk secara bahasa tubuh (bahasa nonverbal) dapat diartikan sebagai ungkapan rasa malu atau takut. ”M enunduk” yang
79
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dilakukan oleh tokoh ”Parti” dalam pernyataan di atas menunjukkan bahwa Parti merasa malu oleh ejekan orang tentang ia dan Mun. 8) Pertama, ia tak mau masuk jalan sepeda yang sempit dan jelek mutu aspalnya, dan seperti sepeda-sepeda lain ia melenggang santai di jalur utama yang hotmik. Kedua, ia tak lagi mematuhi traffic-light, meski menyala merah M un tetap nyelonong masuk, dan tak ada polisi yang menegur. (cerpen Mun, hal. 15) Traffic light atau lampu lalu lintas merupakan rambu-rambu lalulintas yang terdiri dari tiga warna, yaitu merah, kuning, dan hijau. M erah menunjukkan bahwa kendaraan harus berhenti, kuning menunjukkan persiapan jalan atau berhenti, dan hijau menunjukkan kendaraan boleh berjalan. Pada cerpen Mun, tokoh ”Mun” tetap melaju dengan sepedanya meskipun lampu lalu-lintas menyala merah. Hal tersebut berarti tokoh ”M un” telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan lalu-lintas. 9) Di kampung kam i, sosok M bah Joyo, begitu dikenal. Sesepuh itu sebelum lewat tengah malam belum mau memejam kan mata. Selalu begitu. Sejak muda ia sudah terbiasa tirakat. Melekan sampai jauh malam. Mencari wangsit, katanya. (cerpen Pundhen, hal. 23) Memejamkan mata merupakan kegiatan menutup mata, namun juga bisa berarti menunjukkan orang tidur. Pada pernyataan di atas, ”memejamkan mata” merupakan kata la in untuk mengungkapkan tidur. 10) Tradisi itu sudah turun temurun kami warisi, tanpa mengerti lebih jauh sejarah permulaannya. Yang jelas ritual seperti itu diyakini untuk mbuang sengkala. (cerpen Pundhen, hal. 23) Sengkala berarti musibah atau sesuatu yang buruk. Ungkapan ”mbuang sengkala” berarti menghindari musibah atau menghindari sesuatu yang buruk yang terjadi. 11) Meski usianya sudah kepala tujuh, namun Mbah Joyo masih tangkas dan kuat. Berjalan dengan ringan, walaupun malam sangat gelap. (cerpen Pundhen, hal. 23)
80
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kepala merupakan bagian teratas dari tubuh manusia. Kepala juga bisa berarti pemimpin atau yang mem impin. Ungkapan ”kepala tujuh” berarti diawali atau dipimpin oleh angka tujuh. Pernyataan ”usianya sudah kepala tujuh” dalam kutipan tersebut berarti bahwa tokoh telah berusia 70-an. 12) Pasti ada orang yang berbuat jahat. Batin Mbah joyo. Lalu ia mengingatingat siapa yang mati Selasa Kliwon. Biasanya anggota tubuh dan kafan orang yang mati di hari itu dijadikan incaran penjahat untuk dijadikan ajimat sesat. (cerpen Pundhen, hal. 23) Selasa Kliwon merupakan hari yang dikeramatkan oleh masyara kat Jawa. Hari tersebut dipercaya oleh orang Jawa mengandung mistik. Orang sering melakukan ritual-ritual yang berkaitan dengan klenik saat hari Selasa Kliwon. 13) ”Begini lho Nak carik, sa ya ini mau melaporkan kejadian tadi malam pada Pak Lurah. Semalam Pundhen kita itu dibuat kurang ajar orang. M asak Pundhen yang kita sucikan kok dibuat mesum. Apa tidak mencoreng wibawa kampung kita. Kalau mau begituan kan bisa di rumah. Atau kalau itu barang colongan, ’kan bisa nyewa penginapan.”(cerpen Pundhen, hal 23) Kata ”kurang ajar” dan ”begituan” pada kutipan di atas berarti sama, yaitu untuk mengungkapkan perilaku mesum. Kata-kata tersebut digunakan tokoh untuk mengungkapkan perilaku mesum dengan lebih sopan dan tidak terkesan vulgar. ”Barang colongan” berarti mengambil barang
yang bukan
miliknya, atau mengambil sesuatu secara sembarangan. Barang yang dimaksud pada kutipan tersebut adalah wanita. Ungkapan ”barang colongan” dalam pernyataan di atas berarti wanita yang bukan m iliknya (istrinya) atau bisa berarti juga wanita tuna susila. 14) Menginjak halaman Pak Lurah, hati Mbah Joyo berdesir. Ada firasat aneh yang ia tangkap. Namun, kepalang basah, Mbah Joyo nekat mengetuk pintu. (cerpen Pundhen, hal. 25) 81
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
”M engetuk pintu” merupakan kegiatan yang biasa dilakukan orang untuk menandakan kedatangan atau meminta permisi untuk masuk ke suatu ruang atau rumah. M engetuk pintu juga dapat menjadi tanda bahwa seseorang mencari atau memiliki urusan dengan orang yang ada di dalam ruangan atau rumah. Pernyataan di atas menunjukkan bahwa tokoh ”M bah Joyo” mengetuk pintu rumah Pak Lurah bermaksud untuk bertamu dan bertemu dengan Pak Lurah. 15) Mendengar pengakuan seperti itu M bah Joyo kehilangan konsentrasinya. Ia kembali hidup di alam wadag. (cerpen Pundhen, hal. 27) Wadag yaitu sesuatu yang nyata atau bersifat ragawi. Alam wadag berarti alam nyata atau realita. Pernyataan ”Ia kembali hidup di alam wadag” berarti tokoh ”Mbah Joyo” kembali dihadapkan pada kenyataan atau pada sesuatu yang terjadi di sekitarnya. 16) Adapun Mbah Joyo dikabarkan memilih mati moksa seperti Prabu Jayabaya. Mati beserta raganya. (cerpen Pundhen, hal. 27) Moksa saat
sering
juga
disebut
nirwana,
berarti
pembebasan,
atman lepas dari ikatan punarbawa atau samsara. Karena itu
seseorang yang bisa mencapai moksa tak akan lagi menitis ke bumi, atmannya sudah menyatu dengan Hyang Tunggal. Bagi orang-orang Bali ada tiga moksa, yaitu pembebasan yang masih meninggalkan badan kasar (jasmani) ketika mati, moksa yang tidak lagi meninggalkan jasad, namun cuma menyisakan abu, dan moksa yang tidak menyisakan apa pun, hilang sirna
tak
berbekas
(Gde
Aryantha
Soethama,
http://rare-
angon.blogspot.com/2010/08/ moksa.html). M ati moksa yang dilakukan Mbah Joyo adalah je nis moksa yang kedua, yaitu mati tanpa meninggalkan jasad. Ini nampak dalam kalimat berikutnya. Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui bahwa tokoh “Mbah Joyo” beragama Hindu atau masih terpengaruh agama Hindu. 17) Sesumbar Mbah Lurah memang menggidikkan. Membuat takut siapa pun. Hingga tak seorang pun yang berani dadi jago. (cerpen Samin, hal. 28)
82
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Dadi jago” maksudnya menjadi yang dijagokan. Kata “dadi jago” pada cerpen Samin berarti menjadi calon untuk pemilihan Lurah berikutnya. 18) Warga kembali dihadapkan pada keharusan memberikan suara. Sebab, kata M bah Lurah, pemilihan Lurah merupakan pesta demokrasi. (cerpen Samin, hal. 29) “Suara” adalah sesuatu yang dikeluarkan manusia melalui mulut sehingga dapat didengar oleh orang lain. Jika dikaitkan dengan suatu pemilihan umum, suara berarti pendapat. “M emberikan suara” maksudnya mengikuti pemilihan dan memilih calon untuk dijadikan lurah. “Pesta” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana Retnoningsih,
2005: 377) berarti perayaan, perjamuan makan minum,
bersuka ria, dan sebagainya. Pesta biasa dilakukan jika memperingati hari tertentu dan bersifat masal (melibatkan banyak orang). Demokrasi adalah pemerintahan yang berasaskan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Artinya suara rakyat sangat dipentingkan untuk menentukan kebijakan pemerintahan. Pesta demokrasi berarti peristiwa di mana semua rakyat berhak mengeluarkan aspirasi dan pendapatnya untuk perkembangan pemerintahan berikutnya. Ungkapan “pesta demokrasi” yang dimaksud dalam cerpen Samin berarti ikut serta dalam pemilihan Lurah. 19) Mbah Lurah yang diam-diam kuatir tidak bisa menang telak, melancarkan gerakan siluman. (cerpen Samin, hal. 29) Siluman merupakan makhluk yang tidak terlihat dan berhati jahat. “Siluman” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2005: 491) berarti makhluk halus seperti manusia yang tidak kelihata n atau bersifat gaib. Ungkapan “gerakan siluman” dalam pernyataan tersebut berarti bahwa tokoh menggunakan cara yang licik dan tidak diketahui oleh pihak lain. 20) Dengan menugasi kaki tangannya bergerilya dari rumah ke rumah membagikan amplop rezeki. (cerpen Samin, hal. 29) Terdapat juga dalam kutipan berikut ini: 83
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Sekarang, kalau saatnya pemilihan, berbaik hati dengan warga. Bermanis muka. Tapi setelah berkuasa, warga ditelantarkan begitu saja. Malah kalau ngurus surat-surat dipersulit. Baru lancar kalau ada amplop. Pemilihan lurah jangan disamakan dengan sekarang membuang amplop, besok menarik amplop!” (hal. 30) “Amplop” merupakan simbol yang biasanya digunakan orang untuk sejumlah uang
yang diberikan kepada orang lain. Biasanya
“amplop” berkonotasi negatif, yaitu sejumlah uang yang diberikan secara diam-diam untuk alasan tertentu atau sogokan untuk mengikuti apa yang diinginkan pemberi. 21) Orang-orang mulai memandangnya nyinyir. Ada yang bilang, Pak Rekso sok keminter. Sok ngerti politik. Padahal makannya cuma gaplek. Tiwul. Nasi jagung. Jangan ba yem. Lauk kerupuk.(cerpen Samin, hal. 30) Gaplek, tiwul, nasi jagung, jangan bayem merupakan makanan yang biasanya dikonsumsi oleh orang desa. Kerupuk merupakan lauk yang sangat sederhana. Berlauk kerupuk bisa diartikan sebagai kebiasaan orang yang kurang mampu, karena tidak mampu membeli lauk yang layak. Pernyataa n “Padahal makannya cuma gaplek. Tiwul. Nasi jagung. Jangan bayem. Lauk kerupuk”
menunjukkan bahwa tokoh “Pak Rekso”
merupakan orang desa yang bukan dari golongan berada, sehingga masyarakat merasa Pak Rekso tidak pantas jika berani menentang pemilihan Lurah. 22) Mbah Lurah, kini memang jatuh miskin. Dia tidak lagi bisa mencari pulihan. Orang-orang di kampungku menyebutnya kalah main. (cerpen Samin, hal. 30) Pulih adalah keadaan kembali membaik dari sesuatu yang buruk atau sembuh dari sakit. Kata ”pulihan” dalam cerita ini berarti sesuatu yang dapat digunakan untuk memperbaiki keadaaannya dan membuatnya menjadi lebih baik. ”Pulih” yang dimaksud dalam cerpen Samin adalah pulih dari kemiskinan atau kebangkrutan. Main hampir sama artinya dengan berjudi, yaitu bermain dengan menggunakan taruhan atau mempertaruhkan sesuatu. Orang yang kalah 84
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tidak mendapat apa-apa, bahkan kehilangan benda yang dijadikan teruhan. Ungkapan
”kalah main” pada cerpen
Samin
digunakan untuk
menggambarkan kondisi tokoh ”Mbah Lurah”. Buka n berarti Mbah Lurah benar-benar berjudi, namun ia terlanjur menggunakan hartanya untuk mengkampanyekan dan menyogok warga agar anaknya dapat menjadi Lurah berikutnya. Namun ternyata anak Mbah Lurah tidak terpilih menjadi Lurah. 23) Selama tata-cara pemilihan, tak berubah, berarti tak pernah ada perubahan. Yang berubah Cuma wayang-wayangnya. Begitu prinsip Pak Samin. (cerpen Samin, hal. 31) “Wa yang” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2005: 638) berarti gambar atau tiruan orang yang dibuat dari kulit, kayu, dan sebagainya untuk mempertunjukkan suatu lakon.
Wayang tidak bisa berdiri sendiri.
Pertunjukkan
wayang
memerlukan dalang sebagai penggerak dan pengatur cerita. “Wayang” dalam pernyataan tersebut maksudnya tokoh-tokoh yang dicalonkan dalam pemilihan umum. Pengarang mengibaratkan mereka sebagai wayang karena menganggap tokoh-tokoh politik itu sebagai pelakon yang digerakkan oleh dalang dan aturan tertentu. Dalang yang dimaksud dalam cerpen tersebut adalah sistem negara. 24) Guru Guru
adalah
orang
yang
mengajarkan
ilmu.
Berdasarkan
wawancara dengan pengarang, ”guru” yang dimaksud dalam cerpen Jawa adalah guru spritual dari tokoh ”Aku” atau lebih mengarah ke dukun. Guru di sini mengajarkan tentang ilmu-ilmu yang bersifat spiritual atau kebatinan. ”Guru” dalam cerpen Jawa bersifat misterius dan gaib. Ia berhati bersih dan telah meninggalkan nafsu duniawi. Hal ini nampak pada kutipan: Usia Guru tak bisa kutebak. Mungkin tigaratus tahun. Mungkin seribu tahun. Beliau tak pernah mempersoalkan usia. Di wilayah mana Guru hidup, banyak orang yang umurnya ribuan tahun. Tak mengenal apapun selain menjaga keseimbangan hidup. Keikhlasa n 85
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang betul-betul sempurna. Tak tergoda ingin kaya. Tak tertipu ingin berkuasa. Keinginan tinggal satu. M enjadi saksi. (cerpen Jawa, hal. 33) 25) Saben-saben ganti raja Tanah Jawa banjir nyawa (hal. 33) Pernyataa n di atas merupakan peribahasa bahasa Jawa yang artinya setiap ganti raja, tanah Jawa banjir nyawa. Banjir nyawa di sini maksudnya adalah menjatuhkan banyak korban, atau banyak yang mati. Banyaknya korban itu disebabkan oleh peperangan, perebutan kekuasaa n, perang saudara, dan sebagainya. Sejak zaman dahulu, tanah Jawa memang memiliki banyak sejarah kerajaan yang menguasai tanah Jawa. Kerajaan Jawa diawali oleh berdirinya kerajaan Mataram kuna kemudian beralih ke kekuasaa n kerajaan Kediri, Singosari, Majapahit, Demak, hingga kerajaan Mataram. Setiap pergantian Raja atau penguasa kerajaan, terjadi perang yang menimbulkan banyaknya korban jiwa. Filosofi inilah yang kemudian membuat pengarang merenung dan kemudian mengaitkannya ke masa orde baru. Waktu itu tanah Jawa secara sempit
dan Indonesia secara luas dipimpin oleh Presiden Soeharto.
Pengarang menganggap Soeharto sudah menyerupai Raja bagi tanah Jawa (Indonesia), karena ia berkuasa sangat lama sekitar 32 tahun. Selain itu ia juga memiliki wibawa yang sangat kuat dan ditakuti oleh rakyat maupun oleh negara lain. Jika dikaitkan dengan era Orde Baru, dapat dilihat pada masa jatuhnya pemerintahan Soeharto. Upaya penjatuhan Presiden Soeharto, diwarnai dengan reformasi yang penuh dengan perseteruan dan mengakibatkan banyak orang meninggal. 26) Guru tersenyum. Keteduhan mengalir dari wajahnya yang memancarkan caha ya. Selalu, aku tak kuasa menatap matanya yang terpejam sempurna. Entahlah.
Kekuatan
semacam
apa
yang
tersembunyi
di
balik
pandangannya. Seperti matahari. Seperti aura raja rimba. (cerpen Jawa, hal. 33) Tersenyum adalah gerak bibir yang menunjukkan bahwa tokoh ingin menunjukkan simpati kepada orang lain atau senang. Matahari 86
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
adalah benda alam yang sangat panas, dapat memberikan cahaya dan kehangatan pada bumi dan planet lainnya. Ungkapan ”seperti matahari” berarti mampu memberikan kehangatan dan memberi penerangan untuk orang lain. ”Raja rimba” adalah sebutan lain untuk harimau yang memiliki kekuatan lebih daripada binatang lain, sehingga selalu disebut sebagai raja rimba. Harimau adalah simbol kekuatan dan keperkasaan. Ungkapan ”seperti aura raja rimba” yang terdapat pada kutipan tersebut berarti terlihat kuat dan tegas. 27) ”Sudah terlampau lama engkau tidur, sekarang bangunlah!” ”Aku tidur hanya dua sampai empat jam sehari Guru!” ”Itu tidur badan. Jiwamu tertidur bertahun-tahun, sekarang bangunlah! Jangan biarkan dirimu terpasung!” (cerpen Jawa, hal. 34) ”Pasung” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2005: 362) adalah alat untuk menghukum orang, berupa kayu apit atau berlubang dipasang di kaki, tangan atau leher. Terpasung adalah keadaan terhimpit dan tidak mampu bergerak. Kata ”terpasung” dalam pernyataan di atas menunjukkan keadaan yang terkurung, sehingga tidak mampu melakukan apa-apa atau mengeluarkan ide dan pendapatnya. Tokoh di sini tidak benar-benar terpasung. Tokoh ”Guru” menyamakan keadaan tokoh dengan kondisi terpasung karena ia tidak melakukan hal-hal yang berguna selama ini. 28) ”Di mana tanah dipijak, di situ langit dijunjung. Sayang pengetahuanmu tentang tanah pijakanmu sangat terbatas, sehingga tak mampu menangkap sasmita langitmu. Sesungguhnya, semua tanah itu ditakdirkan indah. Gurun pasir atau kutub utara-selatan pun mempunyai keindahan tersendiri. Artinya; engkau jangan tertipu oleh mata!” (cerpen Jawa, hal. 35) Mata adalah bagian tubuh manusia maupun binatang yang berfungsi untuk melihat. ”Mata” yang dimaksud dalam pernyataan di atas adalah penglihatan atau sesuatu yang terlihat. Ungkapan ”tertipu oleh mata” pada kutipan tersebut maksudnya tertipu oleh sesuatu yang nampak. 87
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bisa juga diartikan melihat sesuatu hanya sekedar permukaannya saja, tidak mengkaji secara lebih dalam. 29) ”Beri pengertian pada yang lain. Bahwa kedamaian lebih menentramkan. Kalau suara tak ada yang mendengar, jangan memakai jalan kekerasan. Ingat; wong Jawa matine yen dipangku. Ambillah rasanya ka lau ternyata hatinya sudah seperti batu, lebih baik diam. Karena diam itu emas. Siapa tahu dari kesiaman itu akan melahirkan Musa!” (cerpen Jawa, hal. 37) ”Wong Jawa matine yen dipangku” merupakan ungkapan bahasa Jawa yang berarti orang Jawa matinya ketika dipangku. Ini maksudnya, orang Jawa lemah terhadap kebaikan orang lain. Mereka akan luluh orang sikap baik orang lain. Orang Jawa sangat suka dipuji dan dijunjung, sehingga untuk dapat menaklukkan hati orang Jawa lebih baik dengan berbuat baik kepadanya. Batu merupakan benda yang keras. Ungkapan ”hati yang seperti batu” pada kutipan tersebut berarti memiliki hati yang keras dan tidak mudah luluh. 30) Mengingat
Guru,
mengingat
keikhlasannya,
ketenangan
dan
kebersahajaa nnya, tidak bisa tidak; aku mesti menyampaika n pesanpesannya. Maka sebisa-bisaku, aku belajar pada sungai-sungai hulu, tentang bagaimana mencapai muara. (cerpen Jawa, hal. 37) ”Hulu” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2005: 171) berarti kepala, bagian atas, ujung, atau permulaan. ”Hulu” yang dimaksud dalam pernyataan di atas adala h sebuah permulaan atau awal. ”Muara” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2005: 327) berarti tempat sungai jatuh ke sungai atau ke laut. Muara adalah pertemuan antara sungai dan laut. Muara juga bisa diartikan sebagai akhir dari aliran sungai. Air sungai yang mengalir dari hulu hingga sampai ke muara tentunya memiliki banyak rintangan, seperti adanya batu, pasir, kayu, dan sebagainya. Pernyataa n ”belajar pada sunga i-sungai hulu, tentang bagaimana mencapai muara” dapat diartikan belajar dari hal kecil atau dari awal
88
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
untuk sampai ke akhir (hasil yang diinginkan) dengan tanpa putus asa meskipun menemui banyak halangan. 31) Kuncung juga ingin gaya koboi. Mencabut pistol, memutarkan di kelingking. Lalu teriak ”Dor! Dor! Dor!” sambil berlari di kerapatan kebun jagung. (cerpen Bedil, hal. 38) Koboi adalah figur yang berasal dari Amerika. Koboi memiliki pakaian yang khas dengan topi dan cela na jeans. Koboi juga identik dengan kuda sebagai kendaraan, dan pistol sebagai senjata. Koboi terkenal sangat lihai memainkan pistol mereka. 32) Kelompok lawan yang tak menduga diserang sedemikian cepat, banyak yang tewas. Beberapa di antara mereka terpaksa menyerah, dengan mengangkat tangan. (cerpen Bedil, hal. 39) Mengangkat tangan adalah gerakan meluruskan tangan ke atas. Mengangkat tangan bisa disebabkan berbagai hal. Sebagai bahasa nonverbal mengangkat tanga n digunakan untuk menunjukkan sikap menyerah dari peperangan atau perseteruan. ”Mengangkat tangan” yang dilakukan tokoh dalam pernyataan tersebut menunjukkan bahwa tokoh menyerah dalam permainan perang-perangan. Ini juga dijelaskan dalam kalimat sebelumnya. 33) Kuncung terhenyak. Ternyata anak-anak muda yang ia tolong itu pecundang yang ta k sanggup berhadapan dengan sistem negara. M aka tak aneh, kalau kemudian keikhlasan dan kemanusiaan Kuncung jadi bumerang. Ia dituduh melindungi orang-orang yang hendak melakukan makar. Mau tak mau, Kuncung mesti berhadapan dengan pihak yang berwajib. (cerpen Bedil, hal. 41) Bum erang adalah senjata dari suku Aborigin yang digunakan dengan cara dilempar ke musuh atau sasaran dan dapat kembali ke pelemparnya. Kata ”bumerang” pada pernyataan di atas menunjukkan serangan balik ke pemiliknya. M aksudnya keikhlasan dan kemanusiaan Kuncung
malah
menjadi malapetaka
untuk
dirinya sendiri atau
menimbulkan hal yang buruk pada dirinya. ”Pihak yang berwajib” adalah 89
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sebutan untuk pihak kepolisian yang merupakan aparat negara yang bertugas untuk mengatasi hal-hal yang menyimpang. 34) Satu persatu barang yang dipunyai dilego dengan harga bantingan.(cerpen Bedil, hal 43) Membanting berarti menjatuhkan benda ke bawah dengan sangat keras. ”Harga bantingan” merupakan idiom yang bia sa digunakan masyarakat untuk menunjukkan harga yang turun atau diturunkan dari harga sebelumnya dengan sangat murah. 35) Banyak PHK di mana-mana. W ong cilik juga yang paling merasakan. (cerpen Patrem, hal. 44) ”Wong
cilik”
sama
artinya
dengan
rakyat
kecil.
Kecil
menunjukkan ukuran yang minim dan ringan. Kecil juga bisa diartikan sebagai sesuatu yang kurang penting atau tidak berkemampuan. Pada cerpen Patrem, ”wong cilik” berarti orang yang tidak mampu atau rakyat biasa. 36) ”Rasanya mau nggantung saja!” (cerpen Patrem, hal. 44) ”Nggantung” merupakan kata yang terpengaruh oleh bahasa Jawa yang maksudnya melakukan gantung diri. ”Nggantung” merupakan kata yang biasa orang gunakan untuk mengungkapkan bunuh diri denga n cara menggantung diri. Ini biasa dilakukan oleh orang-orang yang sedang putus asa karena didera beban berat. Pada cerpen tersebut, tokoh ”Patrem ” merasa putus asa karena baru di PHK, sehingga ia merasa ingin bunuh diri saja. 37) Untuk sementara Patrem bisa menarik napas longgar. (cerpen Patrem, hal. 44) Menarik napas merupakan kegiatan yang biasa dilakukan orang untuk
menenangkan
diri atau
berusaha membuang hal-hal yang
mengganggu di hati agar tokoh merasa lega. ”Menarik napas longgar ” pada kutipan tersebut berarti tokoh merasa lega karena beban yang mengganggu sudah terselesaikan.
90
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
38) Dom Dom atau jarum adalah benda kecil ya ng digunakan untuk sarana menjahit. ”Dom” yang sebenarnya ingin disampaikan pengarang tidaklah sesederhana itu atau bukan sekadar benda kecil yang digunakan untuk menjahit. Hal yang sebenarnya ingin disampaikan pengarang melalui ”dom” adalah sindiran terhadap Daerah Operasi Militer (DOM ). DOM dibentuk sejak tahun 1989 yang pada bertujuan untuk mengamankan situasi dari tindakan suatu gerakan, yang disebut pemerintah sebagai GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Sejak operasi tersebut diberlakukan, ternyata telah terjadi berbagai bentuk penyimpangan, seperti tindak kekerasan atau penyiksaan dan pembantaian peradaban religius yang sudah berabad-abad dibangun
oleh
masyarakat
Aceh.
(http://jaringankomunikasi.
blogspot.com/2008/10/ dom-aceh-1989-1998.html, 13 Agustus 2011) 39) Sebenarnya kam i sudah dapat berdiri dengan kaki sendiri. M encari sesuap nasi sendiri. (cerpen Dom, hal. 49) Kaki adalah bagian tubuh manusia yang merupakan tonggak dasar tubuh manusia. Dengan kaki manusia dapat berdiri, berjalan, dan berlari. Pernyataa n ”dapat berdiri dengan kaki sendiri” pada kutipan tersebut berarti tidak membutuhkan topangan dari orang lain atau bersifat mandiri. ”Nasi” merupakan simbol kebutuhan pokok manusia, yaitu pangan. Ungkapan ”dapat mencari sesuap nasi sendiri” berarti dapat mencari makan dengan usaha sendiri atau sudah memiliki pendapatan sendiri. 40) Namun, Emak selalu menyangsikan kemampuan kami. Dia menganggap kami anak-anak ingusan yang menghapus ingus saja mesti lewat tangan Emak. (cerpen Dom, hal. 49) ”Anak-anak ingusan”
adalah simbol untuk menunjukkan a nak-
anak yang masih kecil atau di bawah umur. Anak-anak kecil pada umumnya masih keluar ingus. Jadi ”anak-anak ingusan” menjadi sebutan untuk anak-anak di bawah umur yang masih membutuhkan bimbingan orang tua. Tokoh ”Emak” selalu beranggapan bahwa anak-anaknya masih butuh bimbingannya, padahal sebenarnya mereka telah dewasa. 91
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
41) ”Bagaimana cara kita mengatasi Emak?” keluhku. Kang Prawiro mengangkat pundak. Sedang Yu Sumi, seperti biasanya mengambil napas dalam-dalam dan menghembusnya perlahan.(cerpen Dom, hal. 49) Mengangkat pundak bisa disebabkan beberapa hal, antara la in, untuk olahraga, karena pegal, atau untuk mengungkapkan bahasa nonverbal. Sebagai bahasa nonverbal ”mengangkat pundak” digunaka n untuk mengekspresikan ketidaktahuan. Ketidaktahuan ini bisa disebabkan karena orang benar-benar tidak tahu atau karena ia malas menjawab. Pada pernyataan tersebut tokoh ”Kang Prawiro” mengangkat pundak karena ia tidak tahu atau tidak punya ide cara mengatasi Emak. 42) ”Emak tidak lagi sekadar menjadi ibu, ia lebih dari itu. Emak juga menjadi Bapak. Emak mempunyai fungsi, sebagai ibu sekaligus menjadi ayah!” (cerpen Dom, hal. 51) Ibu adalah sebutan untuk orangtua perempuan. Ibu adalah sosok wanita yang pada umumnya melahirkan anak, merawat keluarga, dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Ayah adalah sebutan untuk orangtua laki-la ki. Seorang ayah pada umumnya bertugas menjadi kepala rumah tangga yang mencari nafkah untuk keluarga. Pada kutipan tersebut, tokoh ”Emak” harus berperan ganda menjadi ibu yang merawat anak-anaknya dan menjadi ayah yang menafka hi keluarga. Akibatnya berdampak buruk terhadap psikologis Emak dan lunturnya sisi kewanitaan Emak. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut: M engapa baru kami sadari tentang peran ganda Emak itu. Mengapa sejak dulu-dulu tidak kami sadari bahwa peran ganda akan membawa dampak buruk. Karena secara psikologis, Emak yang harus menafkahi dan menghidupi kami, sudah sewajarnyalah berposisi sebagai laki-la ki; yang tegar dan garang dalam mengarungi gelombang kehidupan. Dengan demikian sosok kewanitaan - sadar atau tidak – kadang dilenyapkan. (hal. 51) Sebenarnya istilah ”peran ganda Emak” adalah simbol yang digunakan pengarang untuk mengungkapkan kondisi pemerintahan masa Orde Baru, berkaitan dengan DOM (Daerah Operasi M iliter). Pada masa 92
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
itu terjadi peran ganda yaitu dengan penetapan dwifungsi ABRI, yang memasukkan militer ke dalam pemerintahan. Ternyata kebijakan tersebut memberikan efek kurang baik terhadap sistem pemerinta han. Terjadi penindakan yang keras terhadap pihak-pihak yang berani menentang pemerintahan, sehingga rakyat pada masa itu seakan dibungkam, tidak berani bersuara. Begitu pula dengan masyarakat Aceh yang dianggap memberontak, mendapat ancaman dan serangan melalui DOM yang pengarang nilai kurang berperikemanusiaan. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan
oleh
Atang
Setiawan
(http://www.javanewsonline.com/index, diunduh pada tanggal 12 Oktober 2011) bahwa militer mempunya i peluang untuk menerima tanggung jawab baru dalam rangka konsep dwifungsi ABRI, yaitu menjadi kepala daerah maupun anggota DPR/MPR yang dijabat bukan melalui prosedur pemilihan umum. 43) Emak adalah sentral atau (bahkan) nyawa bagi keluarga kami. (cerpen Dom, hal. 51) Sentral merupakan pusat, sesuatu yang penting. Begitupun nyawa. Nyawa adalah sesuatu yang paling penting dari bagian makhluk hidup, karena tanpa adanya nyawa makhluk hidup tidak akan hidup. ”Emak sebagai sentral” dalam pernyataan di atas maksudnya Emak merupakan sosok yang utama dalam keluarga. Keberadaannya sangat dibutuhkan dalam keluarga. Ungkapan ”Emak sebagai nyawa” berarti Emaklah yang bekerja untuk menghidupi keluarga. 44) Sebenarnya kampung kami berada di tengah ibukota kabupaten. Tidak di pucuk gunung atau di pinggir hujan jati. Meski begitu, pola berpikir penduduk kampung kami jauh dari moderen. (cerpen Tuyul, hal. 53) Daerah di pucuk gunung atau di pinggir hujan jati merupakan daerah yang terpencil atau jauh dari peradaban kehidupan modern. ”Pucuk gunung dan pinggir hujan jati” dijadikan pengarang sebagai pengganti kata terpencil. Pernyataan ”tidak di pucuk gunung atau di penggir hujan jati” pada kutipan tersebut berarti daerah yang menjadi setting cerpen 93
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tuyul bukanlah daerah yang terpencil, namun pemikiran masyarakatnya masih kurang moderen. Mereka masih percaya dengan takhayul atau halhal yang bersifat mistik. 45) ”Sesungguhnya kau manusia, lebih tuyul daripada kami yang Tuyul!” (cerpen Tuyul, hal. 56) Tuyul adalah makhluk halus yang bisa dipekerjakan oleh manusia untuk mencuri. Kata ”tuyul” yang pertama dalam kutipan di atas maksudnya sindiran kepada manusia yang sebenarnya berperilaku lebih buruk daripada tuyul, yaitu mencuri uang atau harta tanpa kira-kira. Apalagi para pejabat yang telah mengorupsi uang negara dengan semenamena. 46) Kejadian seperti itu sama sekali di luar dugaan. Karenanya kami hanya diam. Terkesima. Tak habis pikir kenapa buntutnya jadi begitu. Kenapa kami diberondong hakikat-hakikat penyadaran. (cerpen Tuyul, hal. 56) Buntut adalah bagian tubuh yang terletak di belakang. Buntut biasa digunakan orang untuk menunjukkan hal yang mengikuti sesuatu atau akhir dari suatu peristiwa. ”Buntut” yang dimaksud dalam kutipan tersebut adalah akhir dari peristiwa yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu akhir dari peristiwa interogasi terhadap tuyul.
2. Makna Semiotik Kumpulan Cerpen Samin Berdasarkan Identifikasi dan Analisis Ikon, Indeks, dan Simbol a. Makna Semiotik Cerpen Biru Warna biru sebagai judul cerpen merupakan pelambangan dari warna kuning yang merupakan warna sebuah partai pada masa Orde Baru, yaitu partai
Golkar.
Gerakan
birunisasi
merupakan
pengkonotasian
dari
penyeragaman yang dilakukan pemerintah pada masa Orde Baru. Kuningisasi sempat diberlakukan selama masa pemerintahan Orde Baru. (http://bataviase.co.id/node/259265,
diakses
pada
12
John Sutar
Oktober
2011)
menyatakan bahwa pada masa itu, Lurah, Camat, Gubernur, bahkan tingkat kementerian pun tunduk pada penguasa. Mereka merasa takut bila tak mampu 94
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
melaksanakan program kuningisasi di wila yah masing-masing. Apabila tidak terlaksana dengan baik, akan mengakibatkan mereka kehilangan jabatan. Pada masa itu pegawai negeri dan militer juga diharuskan memilih dan mendukung partai Golkar dalam pemilu. Sehingga pemimpin dari partai Golkar, yaitu Soeharto menjabat sebagai Presiden selama 32 tahun. Pengarang melakukan kritik sosial terhadap adanya kuningisasi melalui cerpen Biru. Ia menuangkannya dalam lingkup regional yang lebih sempit, yaitu hanya berkisar dalam tingkat Kelurahan dan Kecamatan. Pak Lurah, Pak Camat, dan Pak Bupati merupakan penggambaran dari sosok pemerintah masa Orde Baru. M ereka patuh terhadap atasan dan membuat peraturan yang memaksakan kehendak pada masyarakat, yang mau tak mau harus dipatuhi. Pak Camat menggambarkan sosok pemerintah yang diktator yang mengharuskan instruksinya untuk dilaksanakan secara paksa. Pak Lurah merupakan tokoh yang kurang tegas. Walaupun merasa instruksi dari atasan tidak benar, Pak Lurah tetap saja memaksakan peraturan kepada masyarakat karena takut kehilangan jabatan. Mereka menggunakan kekuasaan yang mereka
miliki untuk menekan mas yarakat agar mau menuruti dan
menja lankan peraturan pemerintah. Hal tersebut juga merupakan sebuah penggambaran dari keadaan sosial pada masa Orde Baru. Pengarang bermaksud menunjukkan bahwa pada masa itu terjadi bentuk pemerintahan yang sangat represif, di mana terjadi pembungkaman terhadap suara masyarakat. Orang yang berani mengkritik secara terang-terangan akan dibungkam atau dipenjara. Hal ini menyebabkan masyarakat banyak yang tidak berani membantah. M ereka seakan-aka n menjadi robot pemerintah yang selalu patuh terhadap instruksi pemerintah tanpa memberikan perlawanan. Pengarang menampilkan tokoh “Pak Samin” di dalam cerpen Biru sebagai sosok yang berani melawan kekuasaan pemerintah. Nama Samin pengarang ambil dari suku Samin yang merupakan sekumpulan masyarakat yang berani melawan kolonialisme Belanda dengan tidak mau mematuhi peraturan yang dibuat Belanda dan tidak mau membayar pajak. Masyarakat ini 95
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bertingkah pura-pura bodoh untuk mengecoh Belanda dan membuatnya kesal. Mereka membuat idealisme sendiri dan menjunjungnya dalam kehidupan mereka. Begitu pula tokoh Pak Samin yang pengarang tampilkan dalam cerpen Biru. Ia merupakan tokoh yang berani melawan instruksi birunisasi yang dicetuskan oleh pemerintah karena ia ingin mempertahankan warna wuwungan yang menurutnya harus tetap putih karena itu adalah warna warisan leluhur. Ia juga menganggap warna biru adalah warna palsu. Tokoh Pak Samin merupakan tokoh yang teguh. Ia tetap mempertahankan idealism enya hingga mati. “Daripada dibisukan, Pak Samin memilih bisu. Katanya, itu lebih terhormat!” jelas aktivis hukum. (hal. 10) “Begitu dibirukan pagar rumahnya, Pak Samin memilih mati. Katanya, itu lebih terhormat daripada dimatikan!” kata aktivis hukum yang menyambut kedatangan Pa k Lurah. (hal. 11) Kutipan tersebut menunjukkan bahwa pada masa itu masyarakat yang berani bersuara benar-benar akan dibungkam. Pemberontakan sa ngat ditentang pada masa orde baru. Tokoh “Pak Samin” memilih untuk tidak bersuara daripada ia dibungkam dan memilih mati daripada dibunuh karena pembangkangannya. M elalui penggambaran tokoh yang seperti inilah pengarang berusaha menunjukkan keadaan sosial politik pada masa Orde Baru. b. Makna Semiotik Cerpen Mun Melalui cerpen Mun, pengarang mengungkapkan kesenjangan sosial yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Pengarang mengungkapkannya melalui sepeda, yang m erupakan simbol kendaraan yang lemah dan biasa digunaka n oleh orang yang kurang mampu. Pada zaman modern ini, keberadaan sepeda mulai tersingkirkan. Sepeda dianggap kuno dan tidak praktis. Apalagi dengan kemajuan teknologi yang menghadirkan kendaraan la in yang lebih canggih seperti kendaraan bermotor, mobil, kereta api, dan sebagainya, kendaraan seperti sepeda sangat jarang ditemukan. Pengarang menghadirkan tokoh ”Mun” yang memiliki pemikiran lugu dan tradisionalnya dalam cerpen Mun ini sebagai korban kemajuan teknologi. 96
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tokoh Mun memiliki impian memiliki sepeda sejak ia masih muda, namun baru terkabulkan saat ia sudah separuh baya. Walaupun zaman sudah semakin maju, ia tidak tergiur untuk memiliki barang yang lebih modern. Ia masih saja teguh dengan impian masa mudanya, yaitu memiliki sepeda. Melalui tokoh ”Mun” inilah pengarang bermaksud menyampaikan sosok yang tidak tergiur dengan modernisasi. Ia tetap mempertahankan pandangan dan idealismenya walaupun dianggap kuno dan dicemooh oleh orang lain. Kepergia n Mun ke kota dengan sepedanya merupakan inti dari cerita dalam Cerpen Mun. Adanya pembedaan jalan untuk pengendara sepeda dan rambu-rambu lalu-lintas yang kurang adil terhadap pengendara sepeda merupakan bentuk kritik pengarang terhadap kesenjangan sosial. Sepeda dalam cerpen Mun merupakan simbol kaum pinggiran atau rakyat kecil. Seperti layaknya sepeda yang mendapat jalan sendiri yang kecil dan jelek, dalam kehidupan
sekarang ini orang-orang miskin juga mendapat
ketidakadilan. Dalam kehidupan sehari-hari sering ditemui tindak pilih kasih yang dilakukan oleh masyarakat. Orang yang memiliki banyak harta akan dijunjung dan didahulukan daripada orang miskin. Hal ini nampak dalam kutipan berikut: ”Ngomong-ngomong tempat apa ini, kok mesti ada aturan naik sepeda harap turun segala. Padahal, yang naik mobil dan sepeda motor tidak diharuskan turun dari kendaraannya. Kenapa yang naik sepeda harus turun? Apa bedanya? Apa karena harga sepeda murah?” cerocos Mun tanpa rasa bersalah sedikitpun. (hal. 16) Sepeda juga merupakan simbol untuk kaum yang lemah. Kaum yang lemah selalu menjadi kambing hitam dan kalah oleh orang-orang yang kuat atau kaya. Kaitannya dalam dunia politik dan hukum, orang yang ka ya dapat dengan mudah lolos dari hukuman, sedangkan orang yang kurang mampu, meskipun melakukan kejahatan sekecil apapun akan mendapat hukuman. Hal inini nampak ketika Mun dihajar oleh massa karena ia melanggar peraturan la lu-lintas tanpa ada seorang pun yang membelanya. Berdasarkan hasil wawancara dengan ahli sastra, ”kota” yang dimaksud dalam cerpen Mun merupakan simbol untuk kebudayaan Barat. 97
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Seperti layaknya penggambaran kota yang diceritakan dalam cerpen Mun, budaya Barat meskipun mewah, namun penuh dengan aturan dan tidak lagi mengenal toleransi. Tokoh ”Mun”
yang mewakili sosok orang desa tidak
cocok dengan gaya hidup orang kota. Hal tersebut yang sebenarnya ingin disampaikan oleh pengarang melalui cerpen Mun. Masyarakat Indonesia yang menjunjung budaya ketimuran tidak sepatutnya mengagungkan budaya Barat. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh pengarang (Kusprihyanto Namma) dalam pengantar kumpulan cerpen Samin (2007: 4) bahwa: ”Sa ya tak pernah memandang Barat sebagai suatu yang perkasa. Bagi saya Barat adalah penghancur tatanan moral ketimuran. Jadi, tak perlu dikagumi. Apalagi dianut konsep estetikanya. Sebagai bagian keberagaman Indonesia, harus kita pegang budaya ketimuran yang adiluhung.” c. Makna Semiotik Cerpen Kembang Tebu Kembang
tebu
bercerita
tentang
kebijakan
pemerintah
yang
mengharuskan rakyat untuk menanam i ladang mereka dengan tebu. Padahal tebu memiliki jangka waktu yang lama untuk dapat dipanen. Ini membuat tokoh “Pak Kromo” yang terpaksa harus menanami ladangnya dengan tebu terpaksa menyuruh Agung, anaknya untuk berhenti kuliah karena ia tidak lagi mampu membiayai kuliah anaknya dengan bertanam tebu. Melalui cerpen Kembang Tebu, pengarang bermaksud menyampaikan kesewenang-wenangan pemerintahan pada masa itu, yaitu masa pemerintahan Orde Baru. Pada masa pemerintahan Orde Baru terdapat kebijakan yang mengharuskan rakyat untuk menanami ladangnya dengan tebu. Hal ini sesuai dengan
yang
disampaika n
oleh
Tjahjono
Edi
(http://apchr.murdoch.
edu.au/minihub/siarlist/maillist. html, diakses pada 12 Oktober 2011) bahwa di bawah tekanan aparat rezim Orde Baru, tak ada pilihan bagi para petani selain menanam tebu untuk memenuhi program Tebu Intensifikasi Rakyat (TRI). M ereka yang berani menolak menanam tebu akan selalu berhadapan dengan aparat keamanan dan intimidasi perangkat pemerintahan desa. Bukan hanya itu, mereka yang menolak program TRI akan dituduh membangkang atau dinterograsi di kantor Koramil. 98
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Masyarakat tidak ada yang berani melawan karena jika ada yang melawan pemerinta h pada masa itu akan dianggap sebagai PKI dan keberlangsungan hidupnya terancam. M asyarakat akan mengucilkannya dan ia tidak akan mendapat pekerjaan di manapun. Akhirnya mas yarakat mau tak mau menjalankan peraturan yang ditetapkan pemerintah. Hal ini nampak dalam kutipan berikut: “Mengapa Bapak tidak berontak?” “Setiap orang yang dipecundangi hidupnya, dalam hati pasti menyimpan bara pemberontakan, Le. Tapi mana mungkin bisa melakukannya, baru hendak menyampaikan keberatan saja, kita sudah dituduh terlibat organisasi terlarang. Kamu tahu kan, orang-orang yang di cap terlibat organisasi terlarang itu hidupnya selalu terancam. Bukan cuma atas dirinya sendiri, tapi juga atas anak-anak dan saudarasaudaranya yang tak tahu apa-apa. Bapak tak sanggup dicap seperti itu, Le. Jadi ya pasrah saja. Gusti Allah tidak sare, Le!” (hal. 21) Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ridwan Subagja (http://ridwansubagja.blogspot.com/, diakses pada tanggal 12 Oktober 2011) bahwa di masa rezim Orde Baru, TRI dinyatakan sebagai "program nasional". Sebutan tersebut menjadi sesuatu yang "dikeramatkan", TRI wajib diamalkan dan dilaksanakan. Apabila terdapat petani yang memiliki pola pemikiran yang berseberangan, maka mereka disebut sebagai penghambat pembangunan, atau biasa disebut subversif. Pengarang
juga
berusaha
menyampaikan
pentingnya
hidup
berorganisasi. Kegiatan kemahasiswaan dapat memberikan pengalaman dan membuat seseorang dapat menentukan sikap dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Hal ini nampak dalam kutipan berikut: Kini Agung berhadapan dengan sebuah situasi yang dulu tak pernah ia pedulikan itu. Dulu ia malah mencibir orang-orang yang turun ke jalan menuntut hak-haknya. Orang-orang itu dinilainya hanya cari perhatian. Agung mulai menyadari, bahwa mahasiswa tak seharusnya hanya melahap buku. Belajar tidak pada buku saja, tapi juga pada sejarah dan peristiwa-peristiwa yang ada di sekelilingnya. (hal. 21) Tokoh “Agung” dalam cerpen Kembang Tebu merupakan mahasiswa yang hanya mementingkan studinya saja. Ia hanya terpusat pada belajar dan bagaimana agar cepat lulus. Ia tidak mengikuti kegiatan mahasiswa apapun, 99
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sehingga ia bingung menyikapi keadaan yang menimpa dirinya. Walaupun ia merasa bahwa kebijakan yang ditetapkan pemerintah tidak adil, namun ia tidak mampu berbuat apa-apa. Selain ketegangan dan konflik yang timbul dari cerpen Kembang Tebu, pengarang juga menggambarkan keindahan kebu tebu yang ia lukiskan lewat kata-kata. Ia seakan mengaja k pembaca untuk merasakan dan melihat betapa indahnya hamparan kebun tebu dalam setting cerita yang dialami tokoh. Pengarang bermaksud menunjukkan di dalam kepahitan penanaman tebu, terdapat keindahan kebun tebu yang menghampar. Begitupun sebaliknya, di dalam keindahan hamparan kebun tebu, terdapat kepahitan. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut: Di samping suka bermain di areal tebu dan mengisap air-manisnya, Agung juga suka memandang kembang-kembang tebu yang menyembul laksana mata tombak. Kembang-kembang yang keperakperakkan itu, di mata Agung tampak sangat indah. Apalagi bila angin berhembus sepoi, kembang-kembang itu seperti menari, tak hentihenti. Agung selalu berdecak kagum. (hal. 22) d. Makna Semiotik Cerpen Pundhen Melalui
cerpen
Pundhen,
pengarang
bermaksud
menampilkan
keluguan mas yarakat Jawa dengan keperca yaannya terhadap hal-hal yang bersifat gaib. Pundhen merupakan benda yang dikeramatkan oleh masyarakat, terutama di kawasan pedesaan yang masih besifat tradisional. Keberadaan Pundhen menjadi sesuatu yang diagungkan dan dianggap suci oleh masyarakat. Tidak ada yang berani berbuat macam-macam di Pundhen atau sekitarnya, karena takut dikutuk oleh penunggunya. Namun seiring kemajuan zaman, kepedulian masyarakat terhadap kekeramatan Pundhen semakin meluntur. Bahkan sering ditemui perbuatan tercela yang dilakukan di Pundhen, seperti mabuk-mabukkan atau berbuat mesum. Mereka menganggap tempat itu sepi sehingga dapat dengan nyaman melakukannya. Tokoh “Mbah Joyo” merupakan tokoh sentral dalam cerpen Pundhen ini. Ia adalah penunggu Pundhen yang sangat menjunjung dan menjaga Pundhen dengan sepenuh hati bahkan hingga mati. Keteguhannya dalam
100
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menja lankan tugasnya dan menegakkan sesuatu yang ia anggap benar merupakan kunci dari kisah ini. Sayangnya keluguannya harus tergeser oleh kemajuan zaman. Hal lain yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam cerpen Pundhen ini adalah perselingkuhan yang terjadi antara Pak Carik dan Bu Lurah. Mereka sebenarnya adalah pasangan laki-la ki dan perempuan yang kepergok oleh Mbah Joyo sedang melakukan perbuatan mesum di Pundhen. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut ini: Belum sempat mereka membenahi pakaiannya yang awut-awutan, Mbah Joyo sudah datang melancarkan serangan tongkat. Bertubi-tubi ia memukul ngawur. Mengenai dada, punggung, kepala, paha, tangan, dan anggota tubuh lainnya. (hal. 24) Keesokan harinya Mbah Joyo bergegas ke kantor kelurahan. Ia hendak mengadukan kejadian mesum semalam. Namun, Pak Lurah sedang tidak ada di tempat. Di kelurahan ia Cuma ketemu Kamituwo Penthuk dan Pak Carik. Ketika berhadapan dengan Pak Carik, sebagai wakil lurah, Mbah Joyo sempat terperanjat. Sebab tangan Pak Carik diperban, dan kepalanya ditambal tensoplast. (hal. 24) Mbah Joyo terpana. Dipandanginya tubuh Bu Lurah yang memarmemar bekas gebukan. Bahkan kepalanya mesti diobat-merah segala. Mungkinkah Pak Lurah tega mengania ya istrinya sampai sebegitu parah. Bukankah ia panutan orang sekampung. Tak mungkin hal itu ia la kukan, Mbah Joyo membatin. Dan lagi, luka itu masih terlihat baru bukankah Pa k Lurah sedang berada di Kabupaten? (hal. 25) Hal la in yang nampak dalam cerpen ini adalah pemanfaatan kekuasaan untuk hal pribadi. Hal ini dilakukan oleh Pak Lurah. Ia seakan mengetahui perbuatan selingkuh istrinya, namun bukan mem berikan hukuman, ia justru menyuruh M bah Joyo untuk bungkam. Hal tersebut tentu saja ia lakukan untuk menjaga martabatnya sebagai seorang Lurah. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini: Sementara itu Pak Lurah yang mendapat pengaduan Mbah Joyo, seperti tak peduli. Bahkan sempat menggertak Mbah Joyo agar tutup mulut. (hal. 25) Klimaks dari cerpen Pundhen adalah ketika peristiwa penebangan pohon yang dijadikan Pundhen dan dikeramatkan tersebut. Melalui peristiwa 101
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ini pengarang menunjukkan sesuatu yang logis dibalik takhayul yang telah ia ceritakan sebelumnya. Ternyata penebangan pohon itu berakhir dengan sukses, tidak ada hal-hal yang seperti telah dikhawatirkan warga sebelumnya. Hal terakhir yang ingin disampaikan pengarang melalui cerpen Pundhen adalah perubahan zaman dan kemajuan teknologi justru membuat moral masyarakat semakin menurun. Kejujuran dan keluguan masyarakat desa terhapus oleh keglamoran saat ini. Hal ini pengarang tunjukkan dalam kutipan berikut: Pada hakekatnya tak ada yang berubah. Kecuali orang-orang kampung kami yang tak lagi bertani atau berkebun. Tapi ada yang jadi maling, gali, makelar, sopir, kuli bangunan, pedagang bakso, pelacur, dan aneka ragam pekerjaan untuk mengisi perutnya. (hal. 27) e. Makna Semiotik Cerpen Samin Cerpen Samin juga merupakan salah satu bentuk kritik pengarang terhadap sistem pemerintahan Orde Baru. Melalui cerpen Samin, pengarang menyoroti sistem pemilihan pada masa itu. Pemilihan umum pada masa pemerintahan Orde Baru pengarang anggap kurang demokratis. Banyak tindak kecurangan
yang
terjadi selama
masa
pemilihan
umum. Pengarang
menuangkan kritik terhadap sistem pemilihan Presiden ke dalam regional yang lebih sempit, yaitu pemilihan Lurah. Pada masa Orde Baru, terjadi pengharusan pegawai negeri untuk memilih partai Golkar. Partai lawan yang ditawarkan pada masa itu juga tidak banyak, karena kekuasaan Golkar pada masa itu dinilai sangat kuat. Hal ini menyebabkan tidak banyak yang berani menjadi lawan partai tersebut. Sehingga pada masa itu, partai Golkar beberapa kali mengalami kemenangan telak. Selama 32 tahun Indonesia dipimpin oleh Presiden Soeharto. Karena waktu itu tidak ada pembatasan masa kepemimpinan seorang Presiden. Hal tersebut tampak dalam kutipan di bawah ini Waktu itu jabatan Lurah belum dibatasi. Hingga mungkin seseorang, bisa menjadi Lurah seumur hidup. (hal. 28). Hal
tersebut
sesuai
dengan
yang
disampaikan
oleh
Raditya
(http://radityaonlaw.blogspot.com/2010/04/perbedaan-pemilu-1955-pemilu102
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1971, diakses pada 12 Oktober 2011) pada Pemilu 1971, para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Pemerintah mengeluarkan Permen (Peraturan M enteri) No. 12/1969 yang melarang pegawai negeri masuk partai politik, tapi boleh ikut Golkar. Ketentuan monoloyalitas itu berlaku bagi pegawai negeri pada semua tingkat. Jadi sesungguhnya pemerintah merekayasa ketentuan – ketentuan yang menguntungkan Golkar, salah satunya menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu. Hal
yang
sama
juga
diungkapkan
oleh
Chinty
(http://www.syarikat.org/article/pemilu-indonesia-masa-orde-baru,
diakses
pada 12 Oktober 2011) bahwa satu hal yang nyata perbedaannya dengan pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai denga n membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar.
Kedua partai selain
partai Golkar
adalah
Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga tadi. Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara langsung dan tidak la ngsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer. Selain pemilihan yang dinila i kurang demokratis, pengarang juga berusaha membuka keburukan calon-calon yang dipilih pada masa itu dengan sistem penyogokan yang mereka lakukan. Calon-calon tersebut memberikan uang dan hasutan kepada rakyat untuk memilih mereka. Rakyat justru menjadikan itu sebagai sumber rejeki. Pengarang
menampilkan
tokoh
”Pak
Rekso”
yang
kemudian
mendapatkan julukan ”Pak Samin” sebagai tokoh yang berani melawan ketidakjujuran dalam sistem pemilihan umum. Julukan itu diberikan oleh 103
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
orang-orang karena Pak Rekso dianggap bodoh dan tidak sadar diri. Pengarang menampilkan tokoh ”Pak Rekso” yang menyandang gelar Samin untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya orang Samin bukanlah simbol kebodohan. Orang hanyalah orang yang memiliki idealisme yang ia pegang teguh. Ia berani melawan sesuatu yang dianggap tidak benar dan sewenangwenang. Dan begitulah sosok Pak Rekso dalam cerpen Samin ini. Ia berani melawan pemilihan Lurah yang ia anggap tidak demokratis. Melalui tokoh ”Pak Rekso (Pak Samin)”, pengarang juga mengungkapkan bahwa siapapun yang berani melawan pemerintah pada masa itu akan dikucilkan bahkan dianggap bodoh. Waktu terjadi pemilihan Lurah dengan peraturan baru, sebenarnya Mbah Lurah menjagokan anak mbarepnya. Namun warga sudah jenuh. Anak Mbah Lurah kalah dalam pemilihan. (hal. 30). Melalui kutipan tersebut pembaca diajak untuk menilik realita yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Pada akhir masa kepemimpinan Soeharto, ia menjadikan anak mbarepnya (anak sulung), yaitu Siti Hardiyanti Indra Rukmana untuk menjabat sebagai menteri. Inilah yang membuat rakyat mulai meragukan kepemimpinan Soeharto dan terjadi perseteruan yang mengakibatkan ia harus turun dari jabatannya. (Yusril Ihza Mahendra, http://id.buck1.com/politik-hukum/kebijakan-orde-baru-terhadap-masyum idan-islam -politik-537) Pada tahun 1998, era reformasi, Presiden Soeharto turun dari jabatannya. Waktu itu ia benar-benar mengalami banyak hal buruk. Jatuh dari jabatan, tuduhan KKN, dan reputasi yang hancur membuat rakyat tak lagi bersimpati pada Presiden yang te lah menjabat selama 32 tahun ini. Hal tersebut berusaha pengarang sampaikan melalui kutipan berikut: Mbah Lurah, kini memang jatuh miskin. Dia tidak lagi bisa mencari pulihan. Orang-orang di kampungku menyebutnya; kalah main. (hal. 30) Selain menyampaikan keburukan pemilihan umum pada masa Orde Baru, pengarang juga melakukan kritik terhadap sistem Pemilu di masa-masa
104
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berikutnya yang ia anggap sama bobroknya. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut ini: Saat ini, sejak Mbah Lurah lengser, kampungku telah ganti lurah tiga kali. Sepanja ng pergantian itu Pak Samin tetap pada pendiriannya. Menolak memilih. Selama tata-cara pemilihan, tak berubah, berarti tak pernah ada perubahan. Yang berubah Cuma wayang-wayangnya. (hal. 31) Berdasarkan kutipan di atas, pengarang bermaksud menunjukkan bahwa sampai saat ini pun sistem pemiliha n pemimpin yang dianut Indonesia masih tidak demokratis dan terjadi berbagai kecurangan. Upaya penyogokan masih juga dilakukan, pemilihan calon yang kurang tepat, dan sebagainya. f. Makna Semiotik Cerpen Jawa Melalui cerpen Jawa, pengarang menyuguhkan suatu pandangan baru kepada pembaca. Untuk mengawali kisah dalam cerpen Jawa, pengarang menampilkan ungkapan Saben-saben ganti raja, tanah Jawa banjir nyawa. Melalui ungkapan tersebut, pembaca diajak untuk menilik sejarah kerajaankerajaan Jawa. Sejak zaman dahulu, tanah Jawa memang memiliki banyak sejarah kerajaan yang menguasainya. Kerajaan Jawa diawali oleh berdirinya kerajaan Mataram kuna kemudian beralih ke kekuasaan kerajaan Kediri, Singosari, Majapahit, Demak, hingga kerajaan Mataram. Setiap pergantia n raja atau penguasa kerajaan, terjadi perang yang menimbulkan banyaknya korban jiwa. Jika dikaitkan dengan masa pemerintahan Orde Baru, dapat dilihat pada masa jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto. Pengarang menganggap Soeharto sudah menyerupai Raja bagi tanah Jawa (Indonesia), karena ia berkuasa sangat lama sekitar 32 tahun. Selain itu ia juga memiliki wibawa yang sangat kuat dan ditakuti oleh rakyat maupun oleh negara lain. Seperti pergantian kekuasaan raja di tanah Jawa, masa berakhirnya kepemimpinan Soeharto pun diwarnai dengan pertumpahan darah, yaitu peristiwa Reformasi pada tahun 1998. Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin
besarnya
ketidakpuasan 105
masyarakat Indonesia
commit to user
terhadap
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia. Demonstrasi tersebut mengakibatkan kerusuhan dan bentrokan yang menyebabkan banyak orang meninggal, terutama kalangan mahasiswa. http://abba78.multiply.com/photos/album/7/masamasareformasi_ 1998, 13 Agustus 2011) Melalui tokoh “Guru”, pengarang berusaha memberikan pandanganpandangan baru kepada pembaca. Pembaca diajak untuk lebih peka dan responsif terhadap keadaan sekitar. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut: “Sudah terlampau lama engkau tidur, sekarang bangunlah!” “Aku tidur hanya dua sampai empat jam sehari, Guru!” “Itu tidur badan. Jiwamu tertidur bertahun-tahun, sekarang bangunlah. Jangan biarkan dirimu terpasung!” Aku tersentak. Mungkin memang benar jiwaku tidur bertahun-tahun. Karena setiap hal telah menjadi hambar. Ketika ada kejahatan, bukannya ingin menegakkan kebenaran, atau keadilan. Namun malah menghindar. Atau ketika melihat penindasan, kesewenang-wenangan, pemerkosaan, bukannya berpikir bagaimana cara mengatasinya. Namun malah menutup mata. Aku hanya ingin mencari selamat sendiri. sementara orang lain; mau mati, mau sengsara, menindas; itu urusan mereka sendiri. aku telah menjadi sosok yang kehilangan kemanusiaan. (ha l. 34) Selain itu, melalui tokoh “Guru” pula, pengara ng membuka pandangan pembaca
dengan menjadikan
sejarah sebagai suatu
pelajaran untuk
menentukan langkah ke depannya. Pembaca diajak untuk me ngubah sejarah yaitu setiap pergantian raja terjadi pertumpahan darah. Pengarang bermaksud mengajak pembaca untuk bersikap hati-hati dan arif dalam menyikapi hidup, apalagi yang berkaitan dengan dunia politik. Usaha pergantian kepemimpinan hendaknya tidak dengan jalan kekerasan, namun dengan usaha lain yang lebih bermakna. Hal ini dapat ditangkap dari kutipan berikut ini: “Benar. Generasi yang sedang tumbuh ini jangan sampai terjebak pada sejarah yang itu-itu saja. Sejarah lain harus dibuat. Sebagai bukti bahwa Jawa bukan tanah kutukan!” kata Guru yang ternyata tahu isi hatiku. (hal. 36) 106
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
g. Makna Semiotik Cerpen Bedil Melalui
cerpen
Bedil,
pengarang
bermaksud
menyampaikan
penyalahgunaan kekuasaan pemerintah dan aparatnya. Bedil atau pistol adalah senjata yang digunakan ole h aparat pemerintah seperti polisi dan ABRI untuk menja ga keamanan negara. Pada dasarnya bedil digunakan untuk menyerang orang
yang
melanggar
hukum.
Pada
cerpen
Bedil
ini,
pengarang
menyampaikan penyimpanga n penggunaan pistol yang justru digunakan untuk membungkam masyarakat agar tidak berani menyuarakan hati nuraninya. Seperti pada beberapa judul cerpen yang lain dalam kumpulan cerpen Samin, pengarang memfokuskan pada masa pemerintahan Orde Baru. Pada masa itu, orang-orang yang berani menentang pemerintahan dianggap sebagai PKI dan dijatuhi hukuman. Pengarang
menampilkan
tokoh
”Kuncung
kecil”
yang
sangat
mendambakan memiliki bedil maina n untuk bermain perang-perangan dengan temannya, untuk menunjukkan bahwa sebenarnya bedil atau pistol itu merupakan senjata yang digunakan untuk membela kebenaran. Sosok Kuncung dewasa yang merasa miris karena bedil justru digunakan untuk membungkam suara rakyat merupakan hal pokok yang ingin disampaikan pengarang. Tokoh ”anak-anak” yang datang ke rumah Kuncung dalam keadaan berlumuran darah merupakan penyampaian tidak langsung pengarang untuk menunjukkan suatu peristiwa pada pemerintahan Orde Baru, yaitu reformasi. Pada saat itu, terjadi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan mahasiswa karena ketidaksetujuan mereka terhadap sistem pemerintahan Orde Baru. Peristiwa
reformasi
menimbulkan
kerusuhan
besar-besaran
dan
mengakibatkan banyak orang tewas, terutama di kalangan mahasiswa. Surat Kuncung kepada bapaknya merupakan sindiran secara langsung yang dilakukan pengarang untuk pemerintahan Orde Baru. Pengarang bermaksud
menyampaikan
keprihatinannya
terhadap
penyimpangan
pemerintah dan aparatnya yang menggunakan kekuasaan mereka untuk
107
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
membunuh atau membungkam suara rakyat. Orang yang menuntut keadilan justru diacungi bedil dan dianggap sebagai pelaku kejahatan. Hal tersebut nampak dalam kutipan berikut: ”Bapak, apakah di desa anak-anak kecilnya masih suka main perangperangan? Mungkin anak-anak kecil sekarang sudah tidak tertarik lagi ya, karena te levisi nyaris setiap hari mena yangkan orang baku tembak. Baik dalam perang sungguhan maupun hanya film khayalan. Di sini terlihat sekali, bedil memang diperuntukkan menghadapi peperangan. Alangkah naif, apabila bedil dirahkan kepada mereka yang sedang mencari keadilan. Orang-orang kalah itu bergerak atau diam saja kenapa selalu dihadapkan dengan bedil? Apakah karena tidak ada perang, lalu mengobarkan perang dengan rakyatnya sendiri?” (hal. 42) h. Makna Semiotik Cerpen Patrem Cerpen Patrem merupakan bentuk kritik pengarang terhadap sistem pelayanan masyrakat. Penulis mengambil salah satu contoh melalui fungsi dan pembuatan Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB) yang menjadi syarat melamar pekerjaan. Cerpen ini tidak mengkhususkan pada masa pemerintahan tertentu seperti beberapa cerpen lainnya. Tokoh ”Patrem” merupakan salah satu gambaran korban PHK dengan berbagai kesulitan kehidupan yang harus dihadapi. Ia harus memenuhi kebutuhan keluarga, sedangkan ia tidak memiliki penghasilan. Saat
ia
melamar pekerjaan, ia harus mencantumkan SKKB. Melalui tokoh ”Patrem” inilah penulis bermaksud menunjukkan ketidakefektifan fungsi SKKB dan sistem pembuatan SKKB yang tidak benar. Pembuatan SKKB dibuat dengan mengikuti beberapa prosedur yang rumit dari RT hingga kantor kepolisian. Di tiap pos harus mengeluarkan biaya yang tidak jelas kemana masuknya atau digunaka n untuk apa. Hal tersebut penulis tunjukkan dalam kutipan berikut: Seperti di Kelurahan ataupun kecamatan, tanpa dikorek, tanpa ditanya ini itu, kebutuhan Patrem akan SKKB segera dibuatkan. Tak ada satu jam, surat yang amat vital bagi para pencari kerja tersebut jadi. Biayanya dua kali lipat biaya kelurahan. Patrem tercekat. Bagaimana tidak? Semua pembiayaan itu tanpa kuitansi. (hal. 46) Selain prosedur pembuatan SKKB yang rumit dan mahal, pengarang juga menunjukkan ketidakefektifan fungsi SKKB.
108
commit to user
SKKB memang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diharuskan dicantumkan dalam syarat melamar pekerjaan, namun fungsinya sendiri tidak jelas. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut: ”Tidak, Mas. SKKB tidak punya pengaruh apapun. Bahkan ia hanya mempersulit pencari kerja. Bagaimana tidak, nyaris semua perusahaan selalu mencantumkan SKKB itu sebagai syarat melamar. Mau tak mau, semua pencari kerja mesti susah-susah berusaha memilikinya. Padahal kalau sudah memiliki, belum tentu diterima kerja. Lalu apa gunanya SKKB? Jangan-jangan hanya merupakan alat penindasan!” (hal. 47) i. Makna Semiotik Cerpen Dom DOM yang menjadi judul dan inti cerita dalam cerpen Dom ini sebenarnya bukan sesederhana dom jarum yang digunakan untuk menjahit, namun merupakan bentuk sindiran pengarang terhadap Daerah Operasi Militer (DOM ). Daerah Operasi M iliter (DOM ) dibentuk sejak tahun 1989 yang pada bertujuan untuk mengamankan situasi dari tindakan suatu gerakan, yang disebut pemerintah sebagai GAM (Gerakan Aceh M erdeka). Namun seja k operasi tersebut diberlakukan, ternyata telah terjadi bukan hanya pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang begitu nyata, seperti tindak kekerasan atau penyiksaan yang langsung maupun tidak langsung dirasakan sendiri oleh masyarakat, namun juga suatu pembantaian peradaban religius yang sudah berabad-abad dibangun oleh masyarakat Aceh. (http://jaringankomunikasi. blogspot.com/2008/10/dom-aceh-1989-1998.html, 13 Agustus 2011) Kekacauan yang telah dilakukan tokoh Emak dengan mengobrak-abrik rumah dan sekitarnya merupakan penggambaran dari aksi DOM yang diberlakukan pemerintah. Keberadaan DOM pada saat itu justru menimbulkan kerusuhan dimana-mana, terutama di Aceh dan menghancurkan tatanan yang telah dibuat sebelumnya. Kengerian yang dirasakan oleh anak-anak Emak menunjukkan kengerian dan ketakutan yang dialami rakyat pada masa itu. Jika ada yang memberontak akan ditembak, diculik, diperkosa, dan sebagainya. Sebenarnya istilah ”peran ganda Emak sebagai Ibu dan sebagai Ayah” adalah simbol yang digunakan pengarang untuk mengungkapka n kondisi pemerintahan masa Orde Baru, berkaitan dengan DOM (Daerah Operasi Militer). Pada masa itu terjadi peran ganda yaitu dengan penetapan dwifungsi 109
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABRI, yang memasukkan militer ke dalam pemerintahan. Ternyata kebijakan tersebut memberikan efek kurang baik terhadap sistem pemerintahan. Terjadi penindakan yang keras terhadap pihak-pihak yang berani menentang pemerintahan. Hal ini mengakibatkan rakyat pada masa itu seakan dibungkam, tidak berani bersuara. Begitu pula dengan masyarakat Aceh yang dianggap memberontak, mendapat ancaman dan serangan me lalui DOM
yang
pengarang nilai kurang berperikemanusiaa n. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Atang Setiawan (http://www.javanewsonline.com/index, diunduh pada tanggal 12 Oktober 2011) bahwa militer mempunyai peluang untuk menerima tanggung jawab baru dalam rangka konsep dwifungsi ABRI, yaitu menjadi kepala daerah maupun anggota DPR/M PR yang dijabat bukan melalui prosedur pemilihan umum. Sosok Ibu yang seharusnya bersikap lembut dan merawat anakanaknya, dan sosok ayah yang perkasa dan melindungi keluarga merupakan penggambaran sosok pemerintah dan ABRI. Pemerintah seharusnya mampu menga yomi rakyat dan memberikan yang terbaik untuk kemajuan negara, sedangkan ABRI seharusnya mampu melindungi masyarakat dan menjaga ketertiban. Dengan adanya penggabungan antara politik dan militer, terjadi kurang optimalnya fungsi masing-masing pihak, dan justru menimbulkan ketidaknyamanan pada rakyat. Hal ini disebabkan karena tekanan yang diperoleh dari keduanya secara bersamaan. Akhir cerita yang berupa kesenangan Emak dan kembali tenangnya setelah DOM seakan tidak terjadi apa-apa sebelumnya menunjukkan bahwa bagi pemerintah peristiwa DOM dianggap ringan dan tidak berarti. Padahal bagi rakyat yang mengalami dan melihat kerusuhan itu menimbulkan kerugian dan trauma. Namun tidak ada tindakan yang cukup berarti dari pemerintah untuk mengatasi peristiwa DOM ini sebelum, selama, dan sesudahnya. j. Makna Semiotik Cerpen Tuyul Cerpen Tuyul merupakan bentuk kritik pengarang terhadap sikap masyarakat dan hukum terhadap tindak korupsi yang dilakukan oleh aparat politik dan yang lain. Pengarang mengungkapkannya melalui keluguan 110
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masyarakat desa yang masih mempercayai hal-hal yang bersifat gaib. Ketika ada pencurian terjadi di kampung mereka, mereka langsung gempar dan menuduh tuyullah pelakunya. Ketika ada yang kaya mendadak, mereka menuduh ia memelihara tuyul. Tokoh ”Tuyul” yang ditampilkan pengara ng merupakan upaya pengarang untuk
mengungkapkan
penyimpangan
yang terjadi
dalam
pemikiran masyarakat Indonesia. Masyarakat mudah gempar jika ada peristiwa kehilangan di kampung mereka. Mereka langsung mencari tahu siapa pelakunya. Begitupun dengan piha k hukum, kasus pencurian yang kecil akan mereka usut denga n segera dan memberi hukuman bagi pelakunya. Sebaliknya, kasus pencurian yang besar, seperti korupsi yang menyebabkan kerugian
negara
secara
besar-besaran
justru
masyarakat
kurang
menanggapinya. Hukumpun tidak cepat tanggap untuk mengusutnya dan terkesan berbelit-belit. Ironisnya lagi, pihak yang melakukannya hanya mendapat hukuman yang ringan dan tidak sewajarnya. Bahkan banyak koruptor yang lolos dan tidak terdeteksi. Hal inilah yang sebenarnya ingin disampaikan pengarang melalui cerpen Tuyul. Hal ini tampak dalam dialog tokoh ”Tuyul” berikut: ”Kalau aku bekerja kurang baik, kau akan mencaciku habis-habisan. Padahal, jadi Tuyul sekarang sangatlah susah. Orang se karang pintarpintar. Cenderung m nyimpan uangnya di bank. Tuyul pantangan masuk bank. Pantangan masuk laci-laci kantor. Kalau bank kebobolan, itu bukan pekerjaan Tuyul. Kalau laci-laci kantor kosong melompong, itu pasti pekerjaan pegawai-pegawai kantor itu sendiri!” ”Karenanya jangan hanya menyalakan Tuyul. M aling ada di manamana. Semua orang berpeluang menjadi maling. Menyalahkan itu pekerjaan paling gampang. Yang sulit, bisakah kau membetulkan banyak hal yang terlanjur salah. Atau kau nikmati setiap kesalahan dan memakluminya sebagai kebenaran. Terus terang, menyaksikan kemanusiaanmu aku menjadi sakit. Pura-pura suci, tapi semakin tipis rasa malumu!” ”Sesungguhnya kau manusia, lebih Tuyul daripada kami yang Tuyul!” (hal. 56) Kalimat terakhir dalam cerpen Tuyul yang disajikan pengarang yaitu ”Jangankan uang, hak-hak kami dicuri atau dirampas sekalipun, kami akan
111
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diam” menunjukkan bahwa setelah peristiwa dialog tuyul, masyarakat justru semakin bungkam dan tidak berani bersuara. Kalimat ini menggambarkan sikap masyarakat Indonesia yang pengecut, yang lebih baik diam dan purapura tidak tahu, daripada bersuara tapi malah mendapat hukuman. Mereka tidak berusaha melakukan sesuatu untuk perubahan yang lebih baik, tapi lebih memilih berada di garis aman, walaupun hak-hak mereka dirampas.
3. Latar Belakang Pengarang Menggunakan Sistem Semiotik (Ikon, Indeks, dan Simbol) dalam Penyajian Cerita Penulis yaitu Kusprihyanto Namma membuat beberapa cerita dalam kumpulan cerpen Samin dalam rentang waktu dari tahun 1993 – 1998. Pada masa itu masih hangat-hangatnya kekuasaan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. M asa pemerintahan Orde Baru terjadi sistem pemerintahan yang represif, banyak melakukan pembungkaman suara. Orang yang berani mengkritik pemerintah secara terang-terangan aka n dipenjara atau diasingkan, sehingga tidak ada yang berani melawan kekuasaan pemerintah pada masa itu. Gerak rakyat dibatasi, suara mereka pun dibatasi. Hal itulah yang menggugah pengara ng untuk menulis kumpulan cerpen Samin. Ia ingin melakukan kritik terhadap sistem pemerintahan Orde Baru melalui karyanya. Ia menyajikan kritik sosial melalui cerita yang sederhana, bahasa yang halus, serta menerapkan sistem simbol karena ia tidak berani mela kukan kritik secara terang-terangan. Pengarang ingin pembaca sendirilah yang menafsirkan apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh pengarang melalui kumpulan cerpen Samin. Pengarang menuangkan ide cerita dengan bahasa sastra yang menarik, indah, namun menyiratkan makna yang dalam, dan tidak sesederhana seperti yang tertulis. Pengarang menerapka n sistem simbol (semiotik) dalam penyampaian ide cerita untuk menyamarkan sindiran atau kritik terhadap sistem pemerintahan Orde Baru. Pengarang menganggap orang-orang politik adalah orang yang bodoh atau buta tentang bahasa sastra. pengarang menggunakan lingkup setting yang lebih sempit, yaitu hanya berkisar tentang kehidupan desa atau kelurahan. Namun 112
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kebijakan dan peraturan yang diberlakukan menggambarkan sistem pemerintahan Orde Baru. Terlepas dari fokus pengarang terhadap kritik politik, pengarang juga membumbui kumpulan cerpen Samin dengan kehidupan desa yang sangat tradisiona l, sarat dengan keluguan-luguan masyarakatnya, dan kepercayaan mereka dengan hal-hal yang berbau klenik. Hal tersebut dimaksudkan pengarang untuk menunjukkan budaya Jawa yang sempat terabaikan karena hampir sebagian masyarakat Indonesia berkiblat pada kehidupan Barat dengan keglamouran dan kehidupan bebas yang mereka anut. Saat ini karya sastra juga terpengaruh denga n kehidupan modern dan kebarat-baratan. Untuk memberikan keseimbangan dalam dunia sastra, pengarang memilih menyajikan cerita yang menyuguhkan kehidupan desa dengan budaya-budaya mereka yang khas dan unik. Hal ini bertujuan agar pemuda-pemuda Indonesia sebagai generasi bangsa mengetahui kebudayaankebuda yaan dari negara mereka sendiri, terutama kebudayaan Jawa. Samin menjadi judul kumpulan cerpen ini karena pengarang sangat tertarik dan mengagumi masyarakat Samin. Pengarang menganggap masyarakat Samin merupakan sekelompok mas yarakat yang unik dan berani. Masyarakat ini terbentuk dari upaya perlawanan terhadap kolonialisme Belanda yang dianggap sewenang-wenang. Pengarang ingin menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat Samin bukanlah masyarakat yang bodoh seperti anggapan masyarakat Indonesia saat ini. Justru masyarakat ini sangat pintar. Mereka pura-pura bodoh untuk membuat lawan (Belanda) merasa kesal. Berdasarkan hasil wawancara dengan ahli sastra, dari ga ya penceritaan dan sudut pandang yang diambil pengarang dalam penyajian kumpulan cerpen Samin dapat ditangkap bahwa pengarang, yaitu Kusprihyanto Namma menempatkan dirinya sebagai orang Samin. Bukan hanya tokoh dalam cerita tersebut yang bersikap Samin, namun pengarang juga mengambil sudut pandang orang Samin dalam menuangkan ide ceritanya. Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan oleh pengarang dalam pengantar buku kumpulan cerpen Samin (2007: 4) bahwa: “Samin memang selalu berhadapan atau di seberang imperialisme dan
113
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kolonialisme. M aka tak mengapa saya me njadi Samin karena saya percaya bahwa keindonesiaan ini sangat kaya.” 4. Kebermaknaan Penggunaan Unsur Semiotik (Ikon, Indeks, dan Simbol) untuk Mendukung Keestetikan Karya Agustien S., Sri Mulyani, dan Sulistiono (dalam Anis Handayani, 2009: 13) menguraikan beberapa fungsi sastra yaitu: a. Fungsi rekreatif, yaitu apabila sastra dapat memberikan hiburan yang menyenangkan bagi pembacanya b.
Fungsi
didaktif,
yaitu
apabila
sastra
mampu
mengarahkan
atau
mendidik pembacanya karena adanya nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang terkandung di dalam nya. c. Fungsi estetis, yaitu apabila sastra mampu memberikan keindahan bagi pembacanya. d. Fungsi moralitas, yaitu apabila sastra mampu memberikan pengetahuan kepada pembacanya sehingga mengetahui moral yang baik dan buruk. e. Fungsi religius, yaitu apabila sastra mengandung ajaran agama yang dapat diteladani para pembaca sastra. Sebuah kar ya sastra, termasuk cerpen dalam penyampaian kisahnya pasti dilengkapi dengan unsur-unsur yang bersatu dan membentuk keestetikan karya. Unsur-unsur tersebut dapat berupa bahasa yang indah, pemilihan kata yang menarik, penggunaan gaya baha sa, topologi kar ya sastra, dan sebagainya. Rachmat Djoko Pradopo (2002: 88) memaparkan bahwa ucapan atau ekspresi karya sastra sebagai karya seni berbeda dengan ucapan kar ya kebahasaan yang lain yang tidak mementingkan nilai seninya. Karya sastra sebagai karya seni mementingkan fungsi estetis bahasa sebagai sarana ekspresinya. Sastrawan berusaha membuat kesan atau mendapatkan efek dari penggunaan bahasa nya. Sastrawan berusah menarik perhatian dengan ucapan bahasanya dalam karya sastra. Hal yang kemudian akan disoroti peneliti adalah penggunaan ikon, indeks, dan simbol yang telah disebutkan sebelumnya dalam mendukung keestetikan kumpulan cerpen Samin.
114
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tujuan utama penggunaan unsur semiotik dalam kumpulan cerpen Samin oleh pengarang adalah untuk menyamarkan maksud asli yang ingin disampaikan penulis. Namun dalam penyajiannya, penggunaan unsur semiotik ini pun dapat memberikan keindahan dalam setiap kisah dalam kumpulan cerpen Samin. Judul yang digunakan penulis merupakan salah satu sistem simbol. Pemilihan judul ya ng dilakukan penulis sangat unik dengan menggunakan satu kata yang terdiri dari satu atau dua suku kata saja. Hal ini justru menambah keindahan kumpulan cerpen Samin. Pemilihan judul yang sederhana dan praktis tidak terkesan menjemukan dan merupakan sesuatu ya ng menarik untuk pembaca. Judul yang disajikan penulis membuat membaca memiliki banyak tafsir sebelum membaca cerpen-cerpen tersebut. Padahal judul yang disajikan penulis tidak sesederhana yang tertulis. Pemilihan simbol yang digunakan penulis untuk menjadi judul juga menambah keindahan karya tersebut. Pemilihan “warna biru” sebagai sindiran terhadap “warna kuning”, merupakan bentuk upaya pemikiran unsur keindahan. Warna biru merupakan warna yang menggambarkan keindahan. W arna laut, warna gunung, dan warna langit yang biru biasanya digunakan untuk menunjukkan keindahan. Namun justru yang ditonjolka n dalam warna biru oleh pengarang bukan pada penggambaran keindahan, tapi pada warna biru yang dianggap semu. Untuk judul lain seperti Dom, pembaca akan mengarah pada jarum, benda kecil untuk menjahit. Padahal “dom” yang sebenarnya ingin disampaikan pengarang adalah Daerah Operasi Militer (DOM). Pemilihan kata “dom” merupakan sesuatu yang lucu namun membuat karya menjadi indah dan terkesan lugu. Pemilihan judul yang lain denga n menggunaka n nama tokoh seperti “M un” dan “Patrem” merupakan hal yang sederhana, namun karena nama yang digunakan bersifat ndeso, justru membuat ini menjadi menarik. Untuk pemiliha n judul Samin yang juga merupakan judul kumpulan cerpen ini, memiliki sesuatu yang menarik. Pemahaman pembaca sebelum membaca cerpen Samin akan terarah pada Samin, masyarakat yang terkenal dengan keluguan mereka dan sering dianggap bodoh. Namun “Samin” di sini merupakan simbol yang 115
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
digunakan pengarang untuk menunjukkan sosok yang me njunjung idealisme dan membela sesuatu yang ia anggap benar. Pemilihan simbol yang digunakan pengarang sebagai judul-judul inilah yang merupakan salah satu hal yang menghadirkan keindahan dalam kumpulan cerpen Samin. Pemilihan kata yang mampu membuat pembaca memiliki banyak tafsir inilah yang menjadikan pemilihan judul ini menjadi indah dan menarik. Shklovsky dalam Rachmat Djoko Pradopo (2002: 88) mengemuakan ciri empiris sastra, yaitu membuat aneh (making strange). Bahasa sastra membuat pembaca kecewa, frustasi terhadap harapannya yang sudah mempunyai konsep normatif terhadap bahasa yang dikenal dan dapat diergunakannya. Pengecewaan terhadap harapan (frustrated expectation) tersebut merupakan salah satu ciri empiris sifat estetik kar ya sastra. Selain itu, penggunaan simbol dalam kumpulan cerpen Samin mampu memberikan efek halus atau sopan untuk menyampaikan hal-hal yang bersifat negatif, yaitu penggunaan kata “kurang ajar” atau “begituan” untuk mengungkapkan perbuatan mesum. Contoh yang lain adalah “amplop”, “gerakan siluman”, dan “pihak ya ng berwajib”. Penggunaan indeks yang digunakan pengara ng untuk menggambarkan keadaan tokoh juga menambah segi keestetikan dalam kumpulan cerpen Samin. Pada beberapa judul cerpen, pengarang menunjukkan kemarahan tokoh dengan menggunakan indeks, seperti: a. Petugas ja ga mukanya merah padam. Ia begitu geram. Kemarahan si petugas ja ga itu diam-diam telah menulari teman-temannya. (hal. 15) b. ”Kalau ada kepentingan dengan Bapak sebaiknya menemui di kantor saja!” pintu itu pun dibanting dengan keras. (hal. 25) c. ”Ada keperluan apa? Bapak sedang tidak ada di rumah!” suara itu sungguh sengit. (hal. 25) d. ”Pergi kalian. Tak ada tontonan di sini!” bentak Emak yang mendadak muncul dengan kemaraha n. Matanya mencorong tajam. Mukanya merah padam. (hal. 50) e. Emak sudah bangun. Kemarahannya yang sementara ditimbun tidur; memuncak. Emak jadi betul-betul garang. Matanya melotot. Tangannya 116
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengepal. W ajahnya semerah api. Kami bergidik dan mundur ke belakang. (hal. 52) Berdasarkan beberapa kutipan di atas dapat ditangkap bahwa tokoh sedang marah. Pemilihan kata oleh pengarang untuk menggambarkan kemarahan tokoh seperti dalam kutipan di atas memberi keindahan dan membuat pembaca seakan-akan dapat melihat atau merasakan sendiri kemarahan tokoh. Selain itu ada beberapa indeks yang digunakan pengarang untuk menggambarkan keindahan desa seperti pada kutipan berikut ini: a. Agung tak menjawab. Tangannya menuding kembang-kembang tebu yang melenggak-le nggok di atas kehijauan yang menghampar. Indah sekali. Di atas la ngit biru membentang. Di bawah, batang-batang coklat tebu dengan daunnya yang hijau. Kembang-kembang tebu menari di antara bentangan warna yang sama memikatnya. (hal. 18) b. Kebun tebu telah habis ditebang. Kembang-kembang tebu tak lagi bisa dipandang. Kini yang membentang, cuma tongga k-tonggak tebu, menantang la ngit. Kelancipannya menunjukkan kegersangan. (hal. 19) c. Kampungku adalah kampung yang tenang. Seperti telaga yang berada di sunyi pegunungan. Ketenangannya bahkan tak pernah menghasilkan riak atau ombak. Sesekali, memeng, dipecahkan cipak ikan. Atau selambar daun yang jatuh karena tak sanggup menahan berat embun. Namun sesudah itu kembali sunyi. Kembali dihuni suara burung, cengkrik, lenguh kerbau, kokok ayam, penggeret, serta teriakan-teriakan petani bekerja. (hal. 28) d. ”Tanah ini sangat subur Guru. Sawah membentang, gunung menjulang di mana-mana. Kebun-kebun luas menghijau, hutan menghampar. Pohon-pohon rindang di pedesaan. Mata air yang tak ada habis-habisnya. Guru, aku tak bisa menguraikan lebih jauh mengenai kesuburan tana h ini. Seandainya ada yang menanam batu, batu itu akan tumbuh. Guru bisa melihat sendiri. Betapa damainya tanah ini. Gunung yang biru di kejauhan. Kehijauan yang membentang. Sungai mengalir. Kicau burung. Gemersik hutan. Suara satwa!” (hal. 35)
117
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pernyataa n-pernyataan di atas pengarang gunakan untuk menunjukkan keindahan desa yang menjadi setting cerita. Melalui bahasa yang indah, dapat ditangkap bahwa penggunaan indeks tersebut merupakan unsur keindahan kumpulan cerpen Samin. Pembaca diajak untuk melihat secara langsung kondisi desa yang menjadi setting cerita, lengkap dengan keindahan dan kondisi masyarakatnya. Unsur semiotik yang paling banyak memberikan keindahan atau keestetikan dari kumpulan cerpen Samin adalah penggunaan ikon dalam menyampaikan ide cerita, terutama dalam menambah keindahan bahasa. Pengarang tidak menuliskan secara langsung objek yang dimaksud, tapi menyisipkan ciri dari objek lain yang memiliki kemiripan. Pengarang memilih kata atau diksi yang me narik dan puitis sehingga menambah keindahan kumpulan cerpen Samin, terutama dari segi kebahasaan, misalnya dalam kalimat “Peluit petugas jaga melengking tajam. (hal. 15)”. Pengarang menggunakan kata “melengking” (suara tinggi) yang biasa digunakan untuk menggambarkan suara manusia atau binatang untuk menggambarkan suara peluit. Ini memberikan kesa n puitis daripada diungkapkan secara langsung, misalnya dengan kalimat “peluit yang ditiup petugas jaga bersuara tinggi dan keras”. Pada cerpen Kembang Tebu, pengarang menyisipkan unsur ikon untuk menunjukkan keindahan kebun tebu. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan: Di samping suka bermain di areal tebu dan mengisap air manisnya, Agung juga suka memandang kembang-kembang tebu yang menyembul laksana mata tombak. Kembang-kembang ya ng keperak-perakkan itu, di mata Agung tampak sangat indah. Apalagi bila angin berhembus sepoi, kembang-kembang itu seperti menari, tak henti-henti. Agung selalu berdecak kagum. (hal. 18) Pada paragraf di atas terdapat unsur ikon yang digunakan pengarang, yaitu pada kalimat “Apalagi bila angin behembus sepoi, kembang-kemba ng itu seperti menari, tak henti-henti”. Pada kalimat tersebut, pengarang mengumpamakan gerakan kembang tebu yang tertiup angin bagaikan gerak menari yang biasa dilakukan oleh manusia. Penggunaan ikon dalam kalimat tersebut justru menambah keindahan bahasa.
118
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
Hal
digilib.uns.ac.id
yang
sama
juga
terdapat dalam
cerpen
Samin.
Pengarang
menggunakan unsur ikon dalam menyampaikan keadaan desa yang menjadi setting cerita. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini: Kampungku adalah kampung yang tenang. Seperti telaga yang berada di sunyi pegunungan. Ketenangannya bahkan tak pernah menghasilkan riak atau ombak. Sesekali, memang, dipecahkan cipak ikan. Atau selembar daun yang jatuh karena tak sanggup menahan berat embun. Namun sesudah itu kembali sunyi. Kembali dihuni suara burung, cengkrik, lenguh kerbau, kokok ayam, penggeret, serta teriakan-teriakan petani bekerja.(hal. 28) Pengarang menggunakan kata “riak atau ombak” untuk menunjukkan keributan atau kerusuhan, dan menunjukkan keributan kecil dengan “cipak ikan atau selembar daun yang jatuh karena tak sanggup menahan berat embun”. Penggunaan diksi yang seperti itu memberikan keindahan bahasa dalam cerpen Samin. Penggunaan ikon dan indeks dalam kumpulan cerpen Samin yang tersusun atas bahasa yang indah dan puitis merupakan salah satu pendukung keindahan karya tersebut. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Jakobson dalam Rachmat Djoko Pradopo (2002: 89) bahwa fungsi estetik itu memproyeksikan prinsip ekuivalensi (persejajaran, persamaan nilai) dari poros pemilihan ke poros kombinasi. Penulis mem ilih kata-kata yang tepat, ekspresif, untuk melukiskan perasaan
dan
pikirannya.
Pemilihan
itu
disesuaikan
dengan
kata-kata
kombinasinya yang seharga atau senilai, baik arti maupun bunyinya. Penciptaan rasa aneh terhadap pembaca dan prinsip ekuivalensi mampu menimbulkan kebaruan ucapan dalam karya sastra sehingga menimbulkan daya pesona dan kekaguman. Kebaruan dan kemampuan membuat pesona juga merupakan salah satu kriteria estetik. (W ellek dan W arren dalam Rachmat Djoko Pradopo, 2002: 90). Atar Semi (1993: 76) menyatakan bahwa pada umumnya karya fiksi harus memiliki tiga kriteria pokok, yaitu norma estetika, sastra, dan moral. Suatu karya sastra dikatakan memiliki norma estetika bila karya sastra itu mencakup hal-hal berikut:
119
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Mampu menghidupkan atau memperbarui pengetahuan pembaca. M aksudnya dengan membaca karya tersebut, pembaca dituntun untuk melihat berbagai kenyataan hidup. Bacaan tersebut dapat memberikan pandangan dan orientasi baru terhadap apa yang telah pembaca miliki dan mengajak pembaca melihat hubungan-hubungan baru di antara butir-butir yang terpisah dalam ingatan. Berdasarkan analisis ikon, indeks, dan simbol yang terdapat dalam kumpulan cerpen Samin, dapat ditemukan makna semiotik yang terkandung dalam kumpulan cerpen tersebut.
Secara garis besar, kumpulan cerpen tersebut
mengisahkan tentang penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintahan masa Orde
Baru.
Melalui
kumpulan
menyampaikan kepada pembaca
cerpen
Samin,
pengarang
berusaha
bahwa kebijakan yang diterapkan oleh
pemerintahan Orde Baru telah merugikan rakyat. Pembaca diajak menilik kembali peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. b. Mampu membuat kehidupan pembaca menjadi lebih baik dan lebih kaya. Hal ini maksudnya karya tersebut memperlihatkan tata kehidupan yang lebih baik dan maju sebagai motivasi bagi pembaca untuk menuju ke arah yang lebih baik. Dengan kata lain, karya sastra tersebut mampu membangkitkan aspirasiaspirasi pembaca untuk berpikir dan berbuat lebih banyak dan lebih baik. Kumpulan
cerpen
Samin
merupaka n upa ya
pengarang menunjukkan
penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru.
Setelah
membaca kumpulan cerpen ini, pembaca diharapkan dapat mengambil poinpoin
penting di dalamnya dan meresapinya
untuk kemudian dapat
direfleksikan dalam kehidupan. Pembaca diajak berpikir lebih kritis dalam menyikapi berbagai permasalahan kehidupan, terutama yang berkaitan dengan sosial dan politik. Kumpulan cerpen Samin dapat memotivasi pembaca untuk tidak hanya pasrah pada hidup, terutama yang berkaitan dengan kebijaka n pemerintah. Masyarakat berhak mengeluarkan pendapat, sehingga tidak mudah tertindas. c. Mampu membawa pembaca lebih akrab dengan kebudayaannya. M aksudnya karya sastra tersebut mengetengahkan keagungan budaya sendiri dan dapat mengajak pembaca untuk lebih dekat dengan kebudayaannya. Peristiwa120
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
peristiwa yang terjadi dalam karya sastra tersebut dapat dilihat sebagai suatu peristiwa kebudayaan, sosial, keagamaan, dan politik masa lalu yang mempunyai rangkaian yang erat dengan peristiwa masa kini dan masa depan. Kumpulan cerpen Samin merupakan bentuk kritik pengarang terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru. Peristiwaperistiwa yang dikisahkan dalam kumpulan cerpen ini merupakan gambaran umum keadaan
masyarakat pada masa Orde Baru. Selain itu, kumpulan
cerpen Samin juga mengetengahkan tentang kehidupan masyarakat Jawa le ngkap dengan keluguan dan adat istiadat mereka. Pengarang memang sengaja mengambil
kehidupan masyarakat Jawa sebagai latar cerita. Hal
tersebut dimaksudkan pengarang untuk menunjukkan budaya Jawa yang sempat terabaikan. Bukan hanya adat-istiadat Jawa yang pengarang tampilkan dalam kumpulan cerpen Samin, ia juga memasukkan beberapa bahasa Jawa ke dalam tulisannya. Seorang ahli sastra yang menjadi narasumber dalam penelitian ini menyatakan bahwa kesederhanaan dalam kumpulan cerpen Samin itulah yang menjadi segi keestetikan utama, baik dari segi bahasa maupun kisah yang diangkat. Penyisipan beberapa bahasa Jawa membuat kumpulan cerpen tersebut indah dan menarik. Jika diganti dengan bahasa Indonesia, justru tidak menjadi indah lagi. Hal ini disebabkan karena memang pada dasarnya ada beberapa bahasa Jawa yang tidak mampu dialihkan ke bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Jawa tersebut membuat kesan Jawanya sangat terasa.
121
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. SIMPULAN Penelitian ini mengkaji
kumpulan cerpen Samin berdasarkan teori
semiotik Peirce, yaitu dengan mengidentifikasi dan menganalisis ikon, indeks, dan simbol yang terdapat dalam kumpulan cerpen tersebut. Berdasarkan analisis data dan pembahasan, dapat disimpulka n bahwa: 1. Ikon yang terdapat dalam kumpulan cerpen Samin berupa tanda yang memiliki ciri yang hampir sama atau mirip dengan acuannya dari segi sifat maupun perilaku. Indeks yang terdapat dalam kumpulan cerpen Samin berupa mimik wajah yang menunjukkan perasaan tokoh dan deskripsi alam sekitar sebagai setting tempat. Simbol yang terdapat dalam kumpulan cerpen Samin mengacu pada hal-hal yang sudah dipahami oleh masyarakat pada umumnya. Simbol yang terdapat dalam kumpulan cerpen ini berupa gerak anggota tubuh yang menunjukkan bahasa nonverbal dan tanda yang memiliki ciri tertentu untuk melambangkan hal lain. Berdasarkan hasil analisis ikon, indeks, dan simbol tersebut, dapat diketahui makna sem iotik kumpulan cerpen Samin. Kumpulan cerpen Samin merupakan bentuk kritik pengarang terhadap pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Beberapa judul cerpen seperti Biru, Kembang Tebu, Jawa, Samin, Bedil, dan Dom mengisahkan tentang keburukan atau penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Beberapa judul cerpen yang lain seperti Mun, Pundhen, Patrem, dan Tuyul memang tidak mengkhususka n pada masa Orde Baru, namun memiliki kesatuan ide dengan cerpen lainnya, yaitu kritik terhadap sistem pemerintahan atau politik. 2. Pengarang, yaitu Kusprihyanto Namma menggunakan sistem semiotik (ikon, indeks, dan simbol) dalam menuangkan ide ceritanya karena ia tidak berani menyampaikan kritiknya secara terang-terangan. Penggunaan ikon, indeks, dan simbol dalam kumpulan cerpen Samin bertujuan untuk mengaburkan kritik pengarang terhadap fenomena sosial atau politik. 122
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Penggunaan sistem semiotik (ikon, indeks, dan simbol) dalam kumpulan cerpen Samin dapat menambah keestetikan karya. Penggunaan simbol menunjukkan kekhasan pengarang yang unik dan mampu membuat pembaca memiliki banyak tafsir. Penggunaan indeks yang disertai bahasa yang indah membuat pembaca mampu mengimajinasikan tokoh dan setting dalam kumpulan cerpen Samin. Penggunaan ikon mampu menambah keindahan bahasa. Penggunaan ikon dan indeks dalam kumpulan cerpen Samin yang tersusun atas bahasa yang indah dan puitis merupakan suatu bentuk prinsip ekuivalensi. Penggunaan ikon, indeks, dan simbol dalam kumpulan cerpen Samin mampu menimbulkan kebaruan ucapan dalam karya sastra sehingga menimbulkan daya pesona dan kekaguman kepada pembaca.
B. IMPLIKASI Hasil penelitian ini selain berimplikasi pada sastra, juga berimplikasi pada pengajaran bahasa dan sastra Indonesia. Terhadap dunia sastra, penelitian ini berimplikasi memberikan pengetahuan untuk memahami dan menemukan makna semiotik yang terdapat dalam karya sastra, khususnya cerpen. M elalui penelitian ini, pembaca dapat memahami makna sem iotik ya ng terkandung dalam kumpulan cerpen Samin, sehingga dapat meresapi nilai-nilai yang terkandung di dalam kumpulan cerpen tersebut. Terhadap pengajaran bahasa dan sastra Indonesia, penelitian memberikan
implikasi menambah wawasan
guru
maupun siswa
ini
dalam
mengapresiasi karya sastra cerpen khususnya yang berkaitan dengan tema, makna, dan amanat. Berdasarkan hasil penelitian ini, kumpulan cerpen Samin kurang tepat digunakan sebagai bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia untuk siswa SD, SMP, maupun SMA.
Kumpulan cerpen ini membutuhkan upaya untuk
mengkritisi secara lebih dalam. Bahasa yang digunakan memang sederhana, namun penceritaanya bersifat simbolis, sehingga siswa akan mengalam i kesulitan dalam memahami kumpulan cerpen tersebut. Secara tekstual, beberapa judul cerpen seperti Biru, Patrem, dan Tuyul lebih sederhana dibandingkan cerpencerpen yang lain dan cukup sesuai dengan tingkat pemahaman siswa SMA. 123
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Mereka tidak akan terlalu mengalami kesulitan dalam menganalisis unsur intrinsik cerpen-cerpen tersebut. Meskipun demikian, siswa belum mampu
memaknai
secara lebih mendalam cerpen-cerpen tersebut.
C. SARAN 1. Bagi pembaca: Pembaca sebaiknya tidak ha nya memaknai kumpulan cerpen Samin hanya dari permukaan saja, tapi juga memaknai secara lebih mendalam agar dapat menangkap hal yang sebenarnya ingin disampaikan pengarang. Untuk itu, sebaiknya pembaca perlu mempelajari dan memahami ilmu semotik. 2. Bagi guru bahasa dan sastra Indonesia: a. Seorang guru sebaiknya mem iliki pengetahuan mengenai semiotik, sehingga dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia dapat membimbing para siswa memahami makna sebuah karya sastra. b. Jika ingin menggunakan kumpulan cerpen Samin sebagai sumber pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, sebaiknya guru harus hati-hati dalam memilih cerpen yang sesuai dengan tingkat pemahaman siswa. 3. Bagi pengarang: a. Kemasan kumpulan cerpen Samin sebaiknya dibuat lebih menarik dan pendistribusiannya lebih diperhatikan, agar kumpulan cerpen Samin dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia secara luas. b. Pengarang sebaiknya memberikan keterangan terhadap kata-kata sulit atau kata-kata berbahasa Jawa dalam kumpulan cerpen Samin, agar kumpulan cerpen tersebut dapat dipahami oleh masyarakat Indonesia dari berbagai daerah.
124
commit to user