Keteknikan Pertanian
J.Rekayasa Pangan dan Pert., Vol.2 No. 1 Th. 2014
KAJIAN SALURAN IRIGASI TERSIER DI DESA DURIAN LINGGA DAERAH IRIGASI NAMU SIRA SIRA KECAMATAN SEI BINGAI KABUPATEN LANGKAT (Review of Tertiary Irrigation Canals in the Durian Lingga Village in the Irrigation Areas of Namu Sira Sira Sei Bingai District of Langkat Guided) Zulficar zk1*), Sumono1), Saipul Bahri Daulay1) 1)Program
Studi Keteknikan Pertanian, Fakultas Pertanian USU Jl. Prof. Dr. A. Sofyan No. 3 Kampus USU Medan 20155 *) Email :
[email protected] Diterima 15 Oktober 2013/ Disetujui 15 November 2013
ABSTRACT The need of water on the field of durian lingga village was channeled through tertiary canal that made from soil. This can affect the lossing of water. This study was aimed to examine the tertiary irrigation channel in that area. The parameters measured were the physical of soil properties, the discharge channel, the efficiency of the distribution, water loss, flow velocity, slope and size of the channel. The results of the research showed the efficiency of the distribution on line 1 at a distance of 120 m was 63.12% and channel 2 at a distance of 90 m was 66.46%. The efficiency of channeling at a same distance (90 m) with the assumption of losing the water on every meters was the same, was 78.87% on channel 1 and 66.46% on channel 2. The average flow velocity was smaller than the critical speed so that precipitation happened, there for redesign of the channel dimensions was needed. The result of the best design of tertiary channel dimensions for the channel 1 was width of the channel (B) of 0.704 m and depth (D) of 0.352 m with a slope of 0.032%, while for channel 2 the width of the channel (B) was 0.844 m and the depth (D) was 0.422 m with a slope 0.02%. Key Words: tertiary a channel, conveyance efficiency, design of canals.
Sistem irigasi merupakan satu kesatuan yang tersusun dari berbagai komponen, menyangkut upaya penyediaan, pembagian, pengelolaan, dan pengaturan air dalam rangka meningkatkan produksi pertanian. Jaringan irigasi adalah satu kesatuan saluran dan bangunan yang diperlukan untuk pengaturan air irigasi, mulai dari penyediaan, pengambilan, pembagian, pemberian dan penggunaannya. Secara hirarki jaringan irigasi dibagi menjadi jaringan utama dan jaringan tersier. Jaringan utama meliputi bangunan, saluran primer dan saluran sekunder. Sedangkan jaringan tersier terdiri dari bangunan dan saluran yang berada dalam petak tersier. Suatu kesatuan wilayah yang mendapatkan air dari suatu jarigan irigasi disebut dengan Daerah Irigasi (Direktorat Jenderal Pengairan, 1986). Berdasarkan cara pengaturan, pengukuran, serta kelengkapan fasilitas, jaringan irigasi dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu (1) jaringan irigasi sederhana, (2) jaringan irigasi semi teknis dan (3) jaringan irigasi teknis. Jaringan irigasi sederhana biasanya diusahakan secara mandiri oleh suatu kelompok petani pemakai air, sehingga kelengkapan maupun kemampuan dalam mengukur dan mengatur masih sangat terbatas. Jaringan irigasi
PENDAHULUAN Air adalah demikian penting bagi kehidupan manusia, bagi pertanian, perikanan, peternakan, transportasi industri dan bagi kepentingankepentingan lainnya. Air disini diartikan sebagai pengairan, yang sering bahkan mungkin selalu menimbulkan berbagai masalah kehidupan di dunia terutama manusia, kalau manusia tidak berhati-hati dalam penggunaannya, tidak pandai melindunginya dan mengawetkannya. Irigasi atau penyiraman pada dasarnya adalah penambahan air untuk memenuhi keperluan air bagi pertumbuhan tanaman, yang dinyatakan dengan besarnya evapotranspirasi tanaman. Berdasarkan pengertian ini maka selama evapotranspirasi tanaman dapat terpenuhi serta apabila tidak ada gangguan faktor lainnya, tanaman akan tumbuh optimum. Namun demikian, dari pengertian dasar ini, irigasi sering diberi beban/fungsi tambahan misalnya : untuk menambah zat hara, menekan populasi gulma, mencegah serangan hama, memberikan iklim mikro yang lebih baik dan sebagainya, sehingga jumlah air yang diberikan melebihi nilai evapotranpirasi (Susanto, 2006).
95
Keteknikan Pertanian
J.Rekayasa Pangan dan Pert., Vol.2 No. 1 Th. 2014
semi teknis memiliki bangunan sadap yang permanen ataupun semi permanen, namun sistem pembagiannya belum sepenuhnya mampu mengatur dan mengukur. Jaringan irigasi teknis mempunyai bangunan sadap yang permanen dan sudah mampu mengatur dan mengukur. Disamping itu terdapat pemisahan antara saluran pemberi dan pembuang (Direktorat Jenderal Pengairan, 1986). Kebutuhan air di petak tersier disalurkan melalui saluran tersier. Untuk membangun saluran tersier yang dapat menyalurkan air dan cukup tanpa terjadi pengendapan maupun penggerusan pada saluran perlu rancangan saluran yang tepat baik ukurannya maupun kecepatan air mengalir. Irigasi Namu Sira Sira merupakan salah satu irigasi teknis yang ada di Sumatera Utara, yang mencakup empat wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Sei Bingai, Kecamatan Kuala, Kecamatan Selesai, dan Kecamatan Binjai Selatan. Kecamatan yang paling luas mendapat pelayanan dari irigasi Namu Sira Sira adalah Kecamatan Sei Bingai. Irigasi ini termasuk irigasi teknis, dimana pengelolaan saluran primer dan sekunder dilakukan oleh pemerintah, sedangkan saluran tersier dibuat dan dikelola oleh Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji saluran irigasi tersier di Desa Durian Lingga Daerah Irigasi Namu Sira Sira Kecamatan Sei Bingai Kabupaten Langkat.
Pengukuran debit dilakukan dengan menggunakan sekat ukur Thompson pada bagian hulu dan hilir saluran. Sekat ukur dipasang melintang terhadap saluran, sehingga air terbendung dan hanya keluar melalui sekat ukur (meluncur bebas). Tinggi air yang melalui sekat ukur tersebut merupakan ketinggian pengukuran (h). Nilai efisiensi penyaluran dihitung dengan membandingkan besarnya debit pada bagian hulu saluran dengan debit pada bagian hilir saluran. Selisih antara debit bagian hulu dan hilir saluran merupakan besarnya total kehilangan air, yaitu melalui evapotranspirasi, perkolasi dan rembesan. Besarnya nilai evapotranspirasi ditentukan dengan cara dihitung suhu rata-rata bulanan, ditentukan koefisien tanaman, dihitung persentase jam siang bulanan dalam setahun dan dihitung nilai evapotranspirasinya. Untuk besarnya perkolasi dapat dihitung dengan cara dibenamkan silinder ke dasar saluran sedalam 30-40 cm, dicatat penurunan air selama 24 jam, dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali dan dihitung laju perkolasi. Dalam menentukan besarnya nilai rembesan, dapat dilakukan dengan mengurangkan total kehilangan air terhadap perkolasi dan evapotranspirasi. Pengukuran kemiringan dilakukan dengan menggunakan waterpass (metode breaking taping). Kecepatan rata-rata pada saluran dapat ditentukan dengan cara membandingkan besarnya debit rata-rata pada saluran dengan luas penampang saluran pengukuran. Untuk kecepatan kritis dapat dihitung dengan rumus. Dengan membandingkan kecepatan rata-rata dengan kecepatan kritis, maka diperoleh nilai rasio kecepatan kritisnya. Besarnya nilai rasio kecepatan kritis (m) akan menentukan terjadi atau tidaknya pengendapan atau penggerusan pada saluran. Dengan data-data yang diperoleh dilakukan perancangan kembali saluran dengan menggunakan rumus Manning. Besarnya kecepatan rata-rata sama dengan kecepatan kritis. Dengan mengkombinasikan beberapa komponen (lebar saluran (B), kedalaman air (D) dan kemiringan), maka diperoleh dimensi saluran yang terbaik. Sifat fisik tanah diukur di laboratorium dengan membawa sampel tanah dengan ring sampel. Sifat fisik tanah yang diukur yaitu tekstur tanah, kerapatan massa, kerapatan pertikel, porositas dan kandungan bahan organik tanah. Parameter Penelitian 1. Tekstur tanah Tekstur tanah dianalisis di laboratorium.
METODOLOGI Bahan-bahan yang digunakan adalah deskripsi jaringan irigasi diperoleh dari dinas PU (Pekerjaan Umum), peta jaringan irigasi yang diperoleh dari dinas PU, rata-rata suhu bulanan dan data persentase jam siang hari bulanan yang diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika, yang merupakan data sekunder. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah stopwatch, erlenmeyer, waterpass, tape, sekat ukur tipe Thompson, ring sample, silinder besi, dan gelas ukur. Penelitian ini merupakan penelitian lapang dengan mengukur parameter yang diteliti, yang merupakan data primer. Selanjutnya dilakukan analisis rancangan saluran tersier di desa Durian Lingga daerah irigasi Namu Sira Sira. Jaringan irigasi dideskripsikan berdasarkan letak dan luas daerah irigasi, keadaan iklim dan kondisi bangunan irigasi. Ditetapkan lokasi pengukuran saluran irigasi. Diukur lebar dan panjang saluran, kemudian dihitung luas penampang saluran.
96
Keteknikan Pertanian
J.Rekayasa Pangan dan Pert., Vol.2 No. 1 Th. 2014
2. Kerapatan massa Dilakukan analisis kerapatan massa, rumus yang digunakan sebagai berikut:
(Kartasapoetra dan Sutedjo, 1994). 8. Perkolasi Dihitung dengan menggunakan rumus: mm/hari dimana: P = laju perkolasi (mm/hari) h1-h2 = beda tinggi air dalam sulinder waktu t 1 dan t2 (mm)
dimana: b = kerapatan massa (bulk density) (g/cm3) Ms = Massa padatan tanah (g) Vt = Volume total tanah (cm3) (Foth, 1994). 3. Kerapatan Partikel Dilakukan analisis kerapatan pertikel, rumus yang digunakan sebagai berikut
t1-t2 = selisih waktu pengamatan tinggi air (hari) (Harianto, 1987). 9. Rembesan Nilai rembesan dihitung dengan rumus: Rembesan = Kehilangan air di saluran – (Evapotranspirasi + Perkolasi) 10. Efisiensi saluran Besarnya nilai efisiensi penyaluran dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
dimana: = Kerapatan partikel tanah (g/cm3) Mp = Massa padatan tanah (g) Vp = Volume padatan tanah (cm3) (Hilel, 1981). 4. Porositas Dilakukan analisis porositas tanah, rumus yang digunakan sebagai berikut:
dimana: Ee = efisiensi saluran pembawa air (%) Wf = air yang dialurkan ke sawah (l/det) Wr= air yang diambil dari sungai/waduk (l/det) (Hansen,dkk., 1992). 11. Kecepatan aliran rata-rata Kecepatan aliran rata-rata dihutung dengan menggunakan rumus:
dimana: F = porositas (%) b = kerapatan massa (bulk density) (g/cm3) s = Kerapatan partikel tanah (g/cm3) (Suryatmojo, 2006). 5. Kandunagan bahan organik Analisia kandungan bahan organik tanah dilakukan di laboratorium. 6. Debit Debit air diukur dengan menggunakan sekat ukur Thompson, dimana rumus yang digunakan yaitu:
dimana: V = Kecepatan rata-rata (m/det) Q = debit (m3/det) A = luas penampang aliran (m2) 12. Kecepatan aliran kritis Kecepatan aliran kritis dihutung dengan menggunakan rumus: dimana D adalah kedalaman air (m). (Basak, 1999). 13. Kemiringan Diukur dengan menggunakan waterpas. Digunakan rumus:
dimana: Q = debit air (liter/detik) h = tinggi permukaan air (cm) (Hansen,dkk., 1994). 7. Evapotranspirasi Dihitung dengan menggunakan rumus:
14. Perhitungan kecepatan aliran pada saluran Rumus yang digunakan yaitu:
K = Kt × Kc Kt = 0,0311 t + 0,240
dimana: N = koefisien kekasaran V = Kecepatan aliran (m/det) R = kedalaman rata-rata hidrolik (m) S = kemiringan saluran (%) (Basak, 1999).
dimana: U = evapotranspirasi bulanan (mm) t = suhu rata-rata bulanan ( ) Kc = koefisien tanaman P = persentase jam siang bulanan dalam setahun
97
Keteknikan Pertanian
J.Rekayasa Pangan dan Pert., Vol.2 No. 1 Th. 2014
tanah dengan tekstur liat mempunyai luas permukaan yang lebih besar sehingga kemampuan menahan air dan menyediakan unsur hara tinggi, sebaliknya tanah yang bertekstur pasir mempunyai luas permukaan yang kecil sehingga sulit menyerap (menahan) air dan unsur hara (Hadjowigeno 2007). Kalau dilihat dari kandungan liatnya tepi saluran 1 lebih sulit untuk meloloskan air dibandingkan dengan tepi saluran 2 dan dasar saluran 1 lebih mudah dibandingkan dengan dasar saluran 2. Namun kemungkinan tanah untuk meloloskan air juga akan dipengaruhi oleh faktor lain, seperti kandungan bahan organik, porositas tanah, dan ukuran pori-pori tanah.
HASIL DAN PEMBAHASAN Desa Durian Lingga merupakan salah satu desa yang diairi oleh sistem irigasi Namu Sira Sira. Curah hujan bulanan di Desa Durian Lingga antara 201-300 mm dengan jumlah bulan hujan selama 5 bulan. Luas lahan sawah di desa ini adalah seluas 134,41 Ha dengan rincian 109,41 ha sawah irigasi teknis, 20 ha sawah irigasi semi teknis dan 5 ha sawah tadah hujan. Desa Durian Lingga ini berjarak 5 Km dari ibu kota kecamatan dan 20 Km dari ibu kota kabupaten dengan jumlah penduduk sebanyak 2.069 jiwa. Desa Durian Lingga berada di dalam Kecamatan Sei Bingai sebelah utara berbatasan dengan Desa Namu Ukur Utara, sebelah timur berbatasan dengan Desa Pasar VIII Namu Trasi, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Pekan Sawah dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Belinteng (BPMDK, 2010).
Bahan Organik Kandungan bahan organik pada 2 saluran tersier di Desa Pekan Sawah Daerah Irigasi Namu Sira Sira Kecamatan Sei Bingai Kabupaten Langkat dapat dilihat pada Tabel 2. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa bahan organik pada tepi saluran lebih besar dari pada dasar saluran. Hal ini disebabkan karena pada tepi saluran banyak terdapat tumbuh-tumbuhan dibandingkan pada dasar saluran, sehingga bahan organiknya lebih tinggi.
Tekstur Tanah Analisis tekstur tanah dilakukan pada dua saluran irigasi tersier, dimana tanah yang dianalisis adalah tanah pada bagian dasar saluran dan tanah pada tepi saluran untuk masing-masing saluran. Hasil analisis tekstur tanah disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa tanah pada saluran tersier 1 memiliki tekstur yang sama antara tepi dan dasar saluran yaitu lempung berpasir dan saluran tersier 2 memiliki tekstur yang berbeda yaitu lempung berpasir pada tepi saluran dan lempung liat berpasir pada dasar saluran yang dapat ditentukan dengan menggunakan segitiga USDA.
Tabel 2. Hasil Analisa Kandungan Bahan Organik % CBahan Lokasi Organik Organik Dasar saluran 0,62 1,07 tersier 1 Tepi Saluran 1,16 1,99 Tersier 1 Dasar saluran 0,67 0,98 tersier 2 Tepi Saluran 1,16 1,99 Tersier 2
Tabel 1. Hasil Analisa Tekstur Tanah Fraksi Lokasi Dasar saluran tersier 1 Tepi saluran tersier 1 Dasar saluran tersier 2 Tepi Saluran tersier 2
Tekstur Tanah
Pasir
Debu
Liat
(%)
(%)
(%)
73,84
14,56
11,60
Lempung Berpasir
65,12
8
26,88
Lempung Berpasir
75,84
0
24,18
Lempung Liat Berpasir
59,12
24
16,88
Lempung Berpasir
Kerapatan Massa, Kerapatan Partikel dan Porositas Hasil analisa kerapatan massa, kerapatan partikel dan porositas dapat dilihat pada Tabel 3. Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa nilai kerapatan massa pada kedua saluran berada diantara 0,56 g/cm3 sampai 0,98 g/cm3. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hardjowigeno (2003) Bulk density di lapangan tersusun atas tanahtanah mineral yang umumnya berkisar 1,0 – 1,6 g/cm3. Tanah organik memiliki nilai bulk density yang lebih rendah, misalnya dapat mencapai 0,1 – 0,9 g/cm3. Kerapatan massa tanah pada kedua saluran dipengaruhi oleh kandungan bahan organik tanah dan tekstur tanah. Menurut Islami dan Utomo (1995) besarnya bulk density dipengaruhi oleh tekstur tanah, kandungan bahan
Hubungan tekstur tanah dengan daya menahan air dan ketersediaan hara tanah yaitu
98
Keteknikan Pertanian
J.Rekayasa Pangan dan Pert., Vol.2 No. 1 Th. 2014
organik tanah, dan struktur tanah atau lebih khusus bagian rongga pori tanah. Semakin besar kandungan bahan organik pada tanah maka kerapatan massa tanahnya semakin kecil. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa kandungan bahan organik tepi saluran lebih besar dibandingkan dasar saluran, sehingga kerapatan massa tepi saluran lebih kecil dari dasar saluran. Sedangkan untuk tekstur tanah dilihat dari fraksi pasirnya, tepi saluran 1 dan tepi saluran 2 lebih kecil dari dasar saluran 1 dan dasar saluran 2 (dapat dilihat pada Tabel 1). Semakin besar kandungan pasir pada tanah akan menyebabkan tanah tersebut semakin padat sehingga nilai kerapatan massanya tinggi.
partikel dasar saluran lebih besar dari tepi saluran. Dari Tabel 3 diperoleh bahwa porositas tanah di tepi saluran lebih besar daripada di dasar saluran. Besarnya nilai porositas tanah berbanding terbalik dengan kerapatan massa (bulk density). Menurut Nurmi, dkk (2009) nilai bulk density berbanding terbalik dengan ruang pori total tanah. Pada pengukuran kerapatan massa nilai pada dasar saluran lebih besar dibandingkan pada tepi saluran, sehingga untuk porositas tanahnya nilai pada tepi saluran lebih besar dibandingkan dengan dasar saluran. Persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai porositas yaitu . Dari persamaan tersebut
Tabel 3. Hasil Analisa Kerapatan Massa (Bulk Density), Kerapatan Partikel (particel density) dan porositas Kerapatan Kerapatan Porositas Lokasi Massa Partikel (%) (g/cm3) (g/cm3) Dasar saluran 0,81 2,72 70 tersier 1 Tepi Saluran 0,74 2,59 71 tersier 1 Dasar saluran 0,98 2,69 64 tersier 2 Tepi Saluran 0,56 2,40 77 tersier 2
maka nilai porositas berbanding terbalik dengan kerapatan massa dengan nilai kerapatan partikel tetap. Dilihat dari nilai porositasnya, tepi saluran 2 memiliki nilai paling besar sehingga lebih mudah untuk meloloskan air. Demikian pula sebaliknya, dasar saluran 2 memiliki nilai porositas paling kecil sehingga lebih sulit untuk meloloskan air. Kandungan bahan organik tanah mempengaruhi nilai kerapatan massa, kerapatan partikel, dan porositas. Semakin tinggi kandungan bahan organik maka kepadatan tanah semakin rendah, sehingga mengakibatkan nilai kerapatan massa dan kerapatan partikel tanah semakin kecil, sedangkan untuk nilai porositas tanah semakin besar. Debit Air Debit saluran menunjukkan jumlah air yang akan dialirkan ke tanaman (sawah). Hasil pengukuran debit pada saluran dapat dilihat pada Tabel 4. Pada saat pengukuran debit, jarak antara pengukuran di hulu dan hilir pada saluran 1 yaitu 120 meter, sedangkan pada saluran 2 jarak pengukurannya yaitu 90 meter. Panjangnya jarak pengukuran debit saluran antara hulu dan hilir menentukan besarnya debit pada bagian hilir. Semakin jauh jarak pengukuran maka debit pada bagian hilir semakin kecil. Terlihat pada saluran 1 dengan jarak 120 m debit hilirnya adalah 4,81 l/det, sementara pada saluran 2 dengan jarak lebih dekat yaitu 90 m diperoleh debit hilirnya 7,47 l/det. Namun dengan jarak saluran yang sama (90 m) dengan mengasumsikan bahwa kehilangan air pada setiap meter adalah sama maka debit hilir pada saluran 1 yaitu 6,01 l/det. Dari Tabel 4 diketahui bahwa debit air pada bagian hulu saluran lebih besar dibandingkan dengan bagian hilir. Hal ini disebabkan karena terjadi kehilangan air pada saat penyaluran dari tempat pengukuran debit hulu sampai
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa nilai kerapatan partikel pada kedua saluran berbeda. Kerapatan partikel pada dasar saluran lebih besar dibandingkan tepi saluran. Nilai kerapatan partikel berbanding lurus dengan kerapatan massa. Menurut Hanafiah (2005) bulk density sangat berhubungan dengan particle density, jika particle density tanah besar maka bulk densitynya juga besar. Nilai kerapatan partikel berada diantara 2,40 g/cm3 sampai 2,72 g/cm3. Menurut Sarief (1986) kerapatan partikel tanah pada umumnya berkisar antara 2,6-2,7 g/cm3. Besarnya nilai kerapatan partikel dipengaruhi oleh kandungan bahan organik pada tanah. Semakin besar nilai kandungan bahan organik maka semakin rendah nilai kerapatan partikel. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sarief (1986) bahwa dengan adanya kandungan bahan organik pada tanah maka nilai kerapatan partikel tanah menjadi lebih rendah. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa kandungan bahan organik dasar saluran lebih kecil dibandingkan tepi saluran, sehingga kerapatan
99
Keteknikan Pertanian
J.Rekayasa Pangan dan Pert., Vol.2 No. 1 Th. 2014
pengukuran debit hilir seperti terjadinya proses evpotranspirasi, perkolasi dan rembesan sehingga mengakibatkan berkurangnya air di bagian hilir saluran.
Kehilangan Air Pengukuran kehilangan air pada 2 saluran tersier di Desa Durian Lingga Daerah Irigasi Namu Sira Sira Kecamatan Sei Bingai Kabupaten Langkat dapat dilihat pada Tabel 5. Pada saluran 1 terdapat berbagai jenis tanaman, yang digolongkan ke dalam tanaman rumput. Menurut Hansen (1992) nilai koefisien tanaman (Kc) untuk tanaman rumput yaitu 0,85. Pada saluran 2 terdapat tanaman rumput dan kelapa sawit dimana koefisien kelapa sawit adalah 1,2. Berdasarkan data ini maka pada saluran 1 nilai evapotranspirasinya sebesar 2,44 mm/hari dan saluran 2 adalah 2,95 mm/hari.
Tabel 4. Debit Saluran Tersier 1 dan 2 Jarak Debit (l/det) Lokasi Pengukuran Hulu Hilir (m) Saluran 1 120 7,62 4,81 Saluran 2 90 11,24 7,47 Saluran 1 90 7,62 6,01
Tabel 5. Hasil pengukuran kehilangan air Eto Lokasi (mm/hari)
Perkolasi (mm/hari)
Rembesan (mm/hari)
Kehilangan Air (mm/hari)
Saluran 1 (120 m)
2,44
28
2907,16
2937,6
Saluran 1 (90 m)
2,44
28
2172,76
2203,2
Saluran 2 (90 m)
2,95
26,33
4290,75
4320
Efisiensi Saluran Irigasi Besar efisiensi pada saluran tersier 1 dan saluran tersier 2 di Desa Durian Lingga Daerah Irigasi Namu Sira Sira Kecamatan Sei Bingai Kabupaten Langkat dapat dilihat pada Tabel 6.
Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa laju perkolasi pada saluran 1 dan saluran 2 berbeda, perkolasi pada saluran 1 lebih besar dari saluran 2. Pada saluran 1 diperoleh nilai perkolasinya adalah 28 mm/hari dan untuk saluran 2 nilai perkolasinya adalah 26,3 mm/hari. Hal ini dipengaruhi oleh porositas dan kerapatan massa tanah, dimana porositas dasar saluran 1 lebih besar dari porositas dasar saluran 2 (dapat dilihat pada Tabel 3). Porositas yang lebih besar menunjukkan bahwa total jumlah ruang pori pada tanah tersebut lebih banyak sehingga lebih mudah untuk dilalui oleh air dan menyebabkan perkolasi pada saluran 1 lebih besar. Sementara itu, kerapatan massa tanah pada saluran 1 lebih kecil dari kerapatan massa saluran 2, sehingga saluran 2 lebih padat dibandingkan saluran 1. Menurut Hardjowigeno (2003) Tanah yang lebih padat mempunyai bulk density yang lebih besar. Dengan demikian saluran 2 lebih sulit untuk meloloskan air. Nilai rembesan pada saluran 1 dan saluran 2 berbeda. Dimana rembesan pada saluran 2 lebih besar dari pada saluran 1. Hal ini disebabkan karena nilai porositas pada bagian tepi saluran 2 lebih besar yaitu 77% dibandingkan dengan nilai porositas pada bagian tepi saluran 1 yaitu 71% (dapat dilihat pada Tabel 3). Semakin besar nilai porositas tanah maka tanah tersebut lebih banyak untuk meloloskan air.
Tabel 6. Efisiensi Saluran Tersier No
Lokasi
1 2
Saluran1 Saluran 2 Saluran 1
Jarak pengukuran (m) 120 90 90
Efisiensi (%) 63,12 66,46 78,87
Kehilangan air pada saluran 2 lebih besar dibanding dengan saluran 1, namun efisiensi pada saluran 2 lebih tinggi dibanding dengan saluran 1. Hal ini disebabkan oleh jarak pengukuran debit pada saluran 2 lebih pendek dibanding jarak pengukuran debit pada saluran 1. Sehingga efisiensi penyaluran air pada saluran 2 lebih tinggi dibanding saluran 1. Jika jarak pengukuran yang digunakan sama (90 m) dengan mengasumsikan bahwa kehilangan air pada setiap meter adalah sama, maka efisiensi pada saluran 1 lebih tinggi dibanding saluran 2. Besarnya nilai efisiensi ini dipengaruhi oleh besarnya kehilangan air pada saluran. Pada jarak yang sama yaitu 90 meter, efisiensi pada saluran 1 lebih tinggi dibandingkan dengan saluran 2. Kehilangan yang terjadi dapat melalui evapotranspirasi, perkolasi dan rembesan. Dimana nilai evapotranspirasi, perkolasi dan rembesan dapat dilihat pada Tabel 5. Kehilangan
100
Keteknikan Pertanian
J.Rekayasa Pangan dan Pert., Vol.2 No. 1 Th. 2014
air terbesar terjadi pada saluran 2, sehingga efisiensinya lebih kecil.
2 diperoleh dengan menggunakan rumus dasar yaitu dengan membagikan besar debit dengan luas penampang basah saluran. Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa kecepatan aliran rata-rata saluran 1 lebih kecil dari saluran 2. Hal ini disebabkan oleh besar debit saluran 1 lebih kecil dari saluran 2 dan luas penampang kedua saluran tidak jauh berbeda.
Rancangan Saluran Kecepatan aliran rata-rata (V) Besar kecepatan aliran rata-rata saluran 1 dan saluran 2 di Desa Durian Lingga Daerah Irigasi Namu SIra Sira Kecamatan Sei Bingai Kabupaten Langkat dapat dilihat pada Tabel 7. Kecepatan aliran rata-rata saluran 1 dan saluran Tabel 7. Hasil Pengukuran Kecepatan Aliran Rata-Rata Lokasi
Debit Rata-Rata (m3/det)
Luas Penampang (m2)
Kecepatan Rata-Rata (m/det)
Saluran 1 Saluran 2
6,21x10-3 9,36x10-3
0,21 0,20
0,03 0,05
Kecepatan Aliran Kritis (V0) Besar kecepatan aliran kritis saluran 1 dan saluran 2 di Desa Suka Maju Daerah Irigasi Sei Krio Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang dapat dilihat pada Tabel 8. Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa kecepatan aliran kritis saluran 1 lebih besar dari pada saluran 2. Kedalaman air saluran mempengaruhi besarnya kecepatan kritis. Kecepatan aliran kritis merupakan kecepatan aliran yang diharapkan pada saluran irigasi karena saat air mengalir dengan kecepatan sebesar kecepatan kritisnya maka tidak akan terjadi pengendapan maupun penggerusan di saluran sehingga efisiensi penyaluran air tidak berkurang.
Kemiringan Saluran Dari pengukuran dilapangan diperoleh kemiringan saluran satu sebesar 1,92 % dan saluran dua sebesar 1,35 %. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, dengan kemiringan yang terdapat di lapangan, maka yang terjadi pada kedua saluran adalah pengendapan sehingga perlu dilakukan perancangan kembali saluran. Kombinasi Dimensi Saluran Dimensi saluran diperoleh dengan mengasumsikan nilai kecepatan aliran rata-rata sama dengan kecepatan kritisnya sehingga m = 1. Saluran Tersier 1
Tabel 8. Hasil Pengukuran Kecepatan Aliran Kritis Kedalaman Kecepatan No Lokasi Air Aliran Kritis (m) (m/det) 1 Saluran 1 0,30 0,25 2 Saluran 2 0,25 0,22
Tabel 9. Hasil Perhitungan Rancangan Dimensi Saluran Tersier. No
Terjadinya penggerusan atau pengendapan di saluran ditentukan melalui hubungan perbandingan kecepatan aliran ratarata dan kecepatan aliran kritis (m). Menurut Bazak (1999) jika m = 1 maka tidak terjadi pengendapan atau penggerusan, jika m > 1 terjadi penggerusan pada saluran dan jika m < 1 terjadi pengendapan pada saluran. Dari hasil pengukuran diperoleh nilai m < 1 pada saluran 1 dan saluran 2. Hal ini menunjukkan bahwa pada saluran 1 dan 2 telah terjadi pengendapan. Untuk tidak terjadi pengendapan perlu dirancang kemiringan dan dimensi saluran yang sesuai.
Kemiringan
Lebar (B) (m) 0,7*
Dalam (D) (m) 0,3*
1
0,00036
2
0,00040
0,7* 0,596**
0,259** 0,296**
3
0,0003
0,7** 0,704*
0,354** 0,352**
* = nilai pengukuran di lapangan ** = nilai perhitungan kombinasi saluran
Menurut Hansen, dkk (1992) lebar dasar saluran dapat kurang dari kedalamannya atau dapat sepuluh kali atau lebih lebih dari kedalamannya. Namun potongan melintang hidrolik terbaik adalah B = 2D tan , dimana θ adalah sudut antara kemiringan tepi dan horizontal. Untuk saluran tersier di Desa Durian Lingga bentuk penampang melintangnya adalah
101
Keteknikan Pertanian
persegi panjang sehingga nilai tan
J.Rekayasa Pangan dan Pert., Vol.2 No. 1 Th. 2014
pada saluran 1 adalah 78,87% dan pada saluran 2 adalah 66,46%. 3. Rancangan dimensi saluran yang terbaik untuk saluran 1 yaitu dengan kombinasi kemiringan 0,032% dengan asumsi lebar saluran adalah dua kali kedalamannya (B = 2D) maka kedalaman air (D) 0,352 m dan lebar saluran (B) 0,704 m. 4. Rancangan dimensi saluran yang terbaik untuk saluran 2 yaitu dengan kombinasi kemiringan 0,02% dengan asumsi lebar saluran adalah dua kali kedalamannya (B = 2D) maka kedalaman air (D) 0,422 m dan lebar saluran (B) 0,844 m.
adalah 1,
sehingga lebar dasar saluran sama dengan 2 kali kedalamannya. Dari kelima kombinasi rancangan saluran di atas, rancangan dimensi saluran tersier terbaik adalah kombinasi rancangan ke-5, kemiringan 0,032% dengan asumsi B = 2D dimana B = 0,704 m dan D = 0,352 m. Pada rancangan saluran ini dengan mengambil kemiringan saluran 0,032% dan kombinasi B = 2D, maka diperoleh kedalaman saluran 0,352 m (dalam saluran awal = 0,3 m) dan lebar saluran 0,704 m (lebar saluran awal = 0,7 m). Saluran Tersier 2
Saran 1. Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan pengukuran langsung rembesan pada saluran agar hasil yang diperoleh lebih akurat. 2. Untuk membnadingkan debit atau efisiensi pada kedua saluran, perlu dilakukan pengukuran pada jarak yang sama.
Seperti halnya pada rancangan dimensi saluran tersier 1, dari kelima kombinasi rancangan saluran di atas, rancangan dimensi saluran tersier terbaik adalah kombinasi rancangan ke-5, kemiringan 0,02% dengan asumsi B = 2D dimana B = 0,844 m dan D = 0,422 m. Pada rancangan saluran ini dengan mengambil kemiringan saluran 0,02% dan kombinasi B = 2D, maka diperoleh kedalaman saluran 0,422 m (dalam saluran awal = 0,25 m) dan lebar saluran 0,844 m (lebar saluran awal = 0,8 m).
DAFTAR PUSTAKA Basak, N.N., 1999. Irrigation Engineering. Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited, New Delhi. Direktorat Jendral Pengairan, 1986. Standar Perencanaan Irigasi Pekerjaan Umum. PT. Galang Persada, Bandung. Foth, H. D., 1994. Dasar-Dasar Ilmu Tanah Edisi Keenam. Erlangga, Jakarta. Hanafiah, A.K., 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hansen, V. E., O.W. Israelsen dan G. E. Stringham, 1992. Dasar-Dasar dan Praktek Irigasi. Penerjemah: Endang. Erlangga, Jakarta. Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo, Jakarta. Hariyanto, 1987. Penerapan Pada Program Linier Pada Alokasi Air Di Daerah Irigasi Logung Kabupaten Kudus. [Skripsi]. FATETA IPB, Bogor. Hillel, D., 1981. Soil and Water. Academis Press, New York. Islami, T. dan W. H. Utomo, 1995. Hubungan Tanah Air dan Tanaman. IKIP Semarang Press, Malang. Kartasapoetra, A.G. dan M.M. Sutedjo, 1994. Teknologi Pengairan Pertanian Irigasi. Bumi Aksara, Jakarta. Nurmi, O. Haridjaja, S. Arsyad dan S. Yahya, 2009. Perubahan Sifat Fisik Tanah Sebagai Respon Perlakuan Konservasi Vegetatif
Tabel 10. Hasil Perhitungan Rancangan Dimensi Saluran Tersier 2 Lebar (B) Dalam (D) No Kemiringan (m) (m) 1 0,00032 0,8* 0,25* 0,8* 0,311** 2 0,00030 0,7** 0,35** 0,8** 0,447** 3 0,00020 0,844* 0,422** * = nilai pengukuran di lapangan ** = nilai perhitungan kombinasi saluran
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Berdasarkan analisis tekstur tanah, tanah pada bagian dasar dan tepi saluran tersier 1 serta bagian tepi saluran tersier 2 di Desa Durian Lingga adalah bertekstur lempung berpasir, dan pada bagian dasar saluran tersier 2 bertekstur lempung liat berpasir. 2. Pada jarak saluran yang berbeda, efisiensi penyaluran pada saluran 1 dengan jarak 120 m adalah 63,12% dan untuk saluran 2 dengan jarak 90 m adalah 66,46%, namun dengan asumsi bahwa kehilangan air setiap meter adalah sama maka efisiensi penyaluran pada jarak yang sama (90 m)
102
Keteknikan Pertanian
J.Rekayasa Pangan dan Pert., Vol.2 No. 1 Th. 2014
Pada Pertanaman Kakao. Forum Pascasarjana Vol. 32, No. 1. Sarief, S., 1986. Ilmu Tanah Pertanian. Penerbit Pustaka Buana, Bandung. Suryatmojo, H., 2006. Konsep Dasar Hidrologi Hutan. Jurusan Konservasi Sumber Daya
Hutan, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta. Susanto, E., 2006. Teknik Irigasi dan Drainase. USU Press, Medan.
103