KAJIAN POTENSI MANGROVE DALAM PENGEMBANGAN SILVOFISHERY DI KABUPATEN TULANG BAWANG, PROPINSI LAMPUNG
YUDHA MIASTO
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Potenasi Mangrove dalam Pengembangan Silvofishery di Kabupaten Tulang, Propinsi Lampung adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.
Bogor,
September 2010
Yudha Miasto NRP C252080284
ABSTRACT
YUDHA MIASTO, Study On Mangrove Potentials Of Silvofishery Development In Tulang Bawang District, Lampung Province. Under supervision of BAMBANG WIDIGDO and GATOT YULIANTO. A silvofishery approach to manage mangrove ecosystems in Tulang Bawang District, Lampung Province, is an integrated activity between brackish water cultivation with mangrove plantation at the same location. Silvofishery concept was developed as one of the coastal area management approach between conservation and utilization of mangrove ecosystems as a green belt which ecologically have a relative high productivity and the economic benefits of aquaculture activities. The method used in measuring productivity is by using the litter traps placed between the mangrove canopy. Decomposition rate was measured using litter bags were incubated in water at intervals of seven days of observation during 42 days. Total litter productivity of Rhizophora apiculata was produced at 18.73 gr/m2/day, which consists of components of the leaf (18.27 gr/m2/day), branch (0.43 gr/m2/day), and flowers (0,03 gr/m2/day). Decomposition rate was ranging from 0.02-0.002 gr/day. Potential contribution of nutrients C, N, and P from leaf were 8.2 gr C, 0.20 gr N, and 0.05 gr P respectively. Economic valuation gained from this study was IDR 3 009 825. Keywords: silvofishery, mangrove, litter productivity, decomposition, nutrient, economy valuation
RINGKASAN
YUDHA MIASTO, Kajian Potensi Mangrove Dalam Pengembangan Silvofishery di Kabupaten Tulang Bwang, Propinsi Lampung. Dibimbing oleh BAMBANG WIDIGDO dan GATOT YULIANTO.
Silvofishery atau sering disebut sebagai wanamina adalah bentuk kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara budidaya air payau dengan pengembangan mangrove pada lokasi yang sama Konsep silvofishery ini dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan tradisional yang berkelanjutan dengan input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan kawasan mangrove ini memungkinkan untuk mempertahankan keberadaan mangrove yang secara ekologi memiliki produktifitas relatif tinggi dengan keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan. Wilayah pesisir timur Propinsi Lampung, khususnya di Kabupaten Tulang Bawang merupakan salah satu aset pembangunan kawasan pesisir yang sangat diandalkan bagi pendapatan asli daerah. Kawasan ini telah sejak lama dimanfaatkan untuk sektor perikanan budidaya khususnya untuk tambak udang. Kegiatan tersebut secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan perubahan sistem ekologi kawasan setempat. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, untuk tetap mengoptimalkan pemanfaatan kawasan pesisir sebagai areal budidaya udang tanpa mengesampingkan penurunan kualitas lingkungan perairan pesisir, maka diperlukan suatu upaya agar prokduktifitas lingkungan perairan tetap terjaga. Salah satu diantaranya yaitu dengan mengkombinasikan areal budidaya dengan penanaman mangrove. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa potensi ekosistem mangrove dengan pendekatan silvofishery di Kabupaten Tulang Bawang, Propinsi Lampung melalui tinjauan karakteristik fisika kimia perairan, produktifitas serasah mangrove, dekomposisi serasah, kandungan unsur hara serasah, pakan alami dan valuasi ekonomi. Data kualitas air dilakukan secara in-situ (suhu, salinitas, pH dan DO) dan di laboratorium (nitrat, orthophospat, TSS, BOD 5, dan COD). Pengamatan terhadap produktifitas serasah dilakukan dengan memasang jaring penangkap serasah (trap) di 5 titik (1 trap dimasing-masing ujung petakan tambak dan 1 ditengah tambak) dengan ukuran 1 m x 1 m, mesh size 1 inchi, jumlah pengamatan dilakukan sebanyak 6 kali dengan interval 7 hari. Trap diletakkan diantara tajuk dengan dengan poisisi ±50 cm dari permukaan air tambak. Pengamatan terhadap dekomposisi serasah dilakukan dengan menggunakan kantong serasah (litter bag) ukuran 15 cm x 10 cm yang diisi daun mangrove dengan berat kering konstan kemudian diinkubasi di dalam air tambak sebanyak 6 kali pengamatan dengan interval 7 hari. Pengulangan per pengamatan dilakukan sebanyak 5 kali. Parameter yang diamati selama proses dekompisisi adalah penuruhan unsur C,N dan P dalam daun. Pengamatan terhadap pakan alami dilakukan dengan indentifikasi plankton, perifiton dan benthos. Pengamatan plankton diambil melalui
penyaringan air tambak dengan menggunakan plankton net. Pengamatan perifiton dilakukan dengan mengerik endapan yang terdapat pada akar mangrove yang terbenam di perairan. Pengambilan sempel benthos dilakukan dengan menggunakan pipa paralon diameter 2 inchi sedalam ± 20 cm. Data ekonomi diperoleh melalui wawancara dengan pemilik tambak tradisional. Data manfaat nilai ekonomi langsung diperoleh dari data penangkapan dan penjualan biota (ikan, udang dan kepiting) di lokasi penelitian. Data manfaat ekonomi tidak langsung didapat dengan mengkonversi nilai sumberdaya mangrove dengan nilai rupiah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Sungai Burung, Kabupaten Tulang Bawang, pesisir timur Propinsi Lampung, maka dapat disimpulkan bahwa pengelolaan ekosistem mangrove di Kabupaten Tulang Bawang dengan kombinasi pemanfaatan lahan pesisir dengan upaya penyelamatan lingkungan melalui silvofishery, memiliki manfaat yang cukup besar baik ditinjau dari segi biofisik (total produktifitas serasah 18.73 gr/m2/hari dengan laju dekomposisi berkisar antara 0.02-0.002 gr/hari, kandungan unsur hara dari serasah daun 8.2 gr C, 0.20 gr N, and 0.05 gr P dan pakan alami ditemukan 14 jenis plankton, 11 jenis perifiton dan 1 jenis benthos) maupun dari segi manfaat ekonomi sebesar Rp. 3 009 825. Kata Kunci: silvofishery, mangrove, produktifitas serasah, dekomposisi, unsur
hara serasah, vauluasi ekonomi.
Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penilitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KAJIAN POTENSI MANGROVE DALAM PENGEMBANGAN SILVOFISHERY DI KABUPATEN TULANG BAWANG, PROPINSI LAMPUNG
YUDHA MIASTO
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M. Sc
Judul Penelitian
:
Kajian Potensi Mangrove Dalam Pengembangan Silvofishery Di Kabupaten Tulang Bawang, Propinsi Lampung
Nama Mahasiswa
:
Yudha Miasto
NRP
:
C252080284
Program Studi
:
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL)
Disetujui Komisi Pembimbing:
Dr. Ir. Bambang Widigdo Ketua
Ir. Gatot Yulianto, M.Si Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Prof. Dr. Ir. Khairil A Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 6 September 2010
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya laporan penelitian dengan judul "Kajian Potensi Mangrove Dalam Pengembangan Silvofishery di Kabupaten Tulang Bawang, Propinsi Lampung" dapat diselesaikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi mangrove dalam pengembangan silvofishery berdasarkan tinjauan karakteristik fisika kimia perairan, produktifitas serasah, dekomposisi serasah, kandungan unsur hara serasah, pakan alami dan valuasi ekonomi. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Pembudidaya Perikanan, dan masyarakat penggarap areal sabuk hijau. Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis banyak mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang setinggi-tingginya kepada: 1. Dr. Ir. Bambang Widigdo dan Ir. Gatot Yulianto, M.Si selaku Komisi Pembimbing yang dengan kesabaran dan ketulusan hati telah membimbing dalam penyusunan laporan penelitian ini. 2. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA, selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB beserta staf. 3. Kementrian Kelautan dan Perikanan RI melalui Program COREMAP II yang telah memberikan sponsor beasiswa. 4. Staf dan Karyawan PT. Central Pertiwi Bahari (CPB) Lampung, yang telah membantu proses penelitian lapangan. 5. Teman-teman sandwhich Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. 6. Dan pihak-pihak lain yang terkait yang telah membantu penulis, sehingga dapat terselesaikannya laporan penelitian Tesis ini.
Bogor, September 2010 Yudha Miasto C252080284
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 23 Pebruari 1980 dari Bapak Mijono dan Ibu Soetarti (alm). Penulis merupakan putra kedua dari dua bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknik Kelautan, Fakultas Teknologi Kelautan ITS Surabaya dan lulus tahun 2003. Semenjak Tahun 2003 Penulis bekerja sebagai staf Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementrian Kelautan dan Perikanan. Pada tahun 2008 penulis diberi kesempatan mengikuti Program Sandwich Magister Sains di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan (SPL) kerjsama antara Institut
Pertanian Bogor (IPB) dan Bremen University, Germany dengan bantuan dana dari COREMAP-World Bank.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………………...
xxi
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………...
xxiii
1. PENDAHULUAN…………………………………………………….. 1.1. Latar Belakang……………………………………………………. 1.2. Perumusan Masalah………………………………………………. 1.3. Tujuan Penelitian………………………………………………….. 1.4. Manfaat Penelitian ………………………………………………... 1.5. Kerangka Pikir……………………………………………………..
1 1 3 5 5 5
2. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………... 2.1. Pengertian Ekosistem Mangrove………………………………….. 2.2. Ekologi Mangrove………………………………………………… 2.2.1. Flora dan Fauna………………………………………………. 2.2.2. Habitat ……………………………………………………….. 2.2.3. Rhizophora apiculata ………………………………………… 2.3. Permasalahan Pengelolaan Ekosistem Mangrove ………………... 2.4. Silvofishery ……………………………………………………….. 2.4.1. Pola Empang Parit …………………………………………… 2.4.2. Pola Empang Parit yang Disempurnakan ……………………. 2.4.3. Model Komplang (selang-seling) ……………………………. 2.5. Serasah Mangrove ……………………………………………….. 2.6. Dekomposisi Serasah Hutan mangrove ………………………….. 2.7. Kualitas Perairan Pesisir ………………………………………… 2.7.1. Suhu Perairan ………………………………………………… 2.7.2. Salinitas ………………………………………………………. 2.7.3. Kecerahan, Kekeruhan dan Padatan Tersuspensi (TSS) ……... 2.7.4. Oksigen Terlarut ……………………………………………... 2.7.5. Derajat Keasaman (pH) ……………………………………… 2.7.6. Kebutuhan Oksigen Biokimiawi (BOD) ..…………………… 2.7.7. Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) ……………………….. 2.7.8. Nitrogen (Amonia, Nitrit, Nitrat) dan Fosfat ………………… 2.8. Indikator Biologi ………………………………………………….. 2.9. Valuasi Ekonomi untuk Menilai sumberdaya Mangrove Melalui Pendekatan Silvofishery …………………………………………..
9 9 10 10 12 12 13 14 14 16 17 17 18 19 20 20 21 22 22 23 23 24 25
3. METODOLOGI PENELITIAN ………………………………………. 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………………………... 3.2. Penentuan Titik Pengamatan ……………………………………... 3.3. Pengukuran Produktifitas Serasah ………………………………... 3.4. Pengukuran Laju Dekomposisi Serasah …………………………..
29 29 29 30 32
xix
27
xx
3.5. Analisis Unsur Hara ………………………………………………. 3.5.1. Penentuan Kadar Carbon Total ……………………………….. 3.5.2. Penentuan Kadar Nitrogen Total ……………………………... 3.5.3. Penentuan Kadar Ortofosfat ………………………………….. 3.6. Parameter Biologi ………………………………………………… 3.6.1. Plankton …………………………………………………….. 3.6.2. Perifiton …………………………………………………….. 3.6.3. Benthos ……………………………………………………... 3.7. Parameter Fisika Perairan .……………………………………….. 3.7.1. Temperatur …………………………………………………. 3.7.2. Salinitas …………………………………………………….. 3.8. Parameter Kimia Perairan ……………………………..………….. 3.8.1. Oksigen Terlarut …………………………………………… 3.8.2. Kebutuhan Oksigen Biokimiawi (BOD) …………………… 3.8.3. Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) ……………………… 3.8.4. Nitrogen ……………………………………………………. 3.8.5. Orthofosfat …………………………………………………. 3.8.6. Padatan Tersuspensi Total (TSS) …………………………... 3.9. Parameter Ekonomi ……………………………………………….
34 34 34 35 35 36 37 37 38 38 38 38 38 39 39 39 39 40 40
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………….. 4.1. Gambaran Umum Lokasi ………………………………………... 4.2. Karakteristik Fisiska Kimia Perairan …………………………….. 4.3. Produktifitas Serasah Mangrove …………………………………. 4.4. Dekomposisi Serasah …………………………………………….. 4.5. Kandungan Unsur Hara (C, N dan P) ……………………………. 4.6. Pakan Alami ……………………………………………………… 4.6.1. Benthos …………………………………………………… 4.6.2. Plankton …………………………………………………... 4.6.3. Periphyton ………………………………………………… 4.7. Deskripsi Pengelolaan Silvofishery ……………………………… 4.8. Analisis Manfaat Ekonomi ………………………………………. 4.9. Pengembangan Silvofishery Di Masa Yang Akan Datang ……….
41 41 42 42 45 48 51 51 52 54 54 56 58
5. SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………
61
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………..
63
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Karakteristik Fisika Kimia Perairan …………………………………
42
Tabel 2 Produksi Serasah Mangrove Rhizophora apiculata Di Lokasi Studi (Rata-Rata Dari 5 Plot Pengamatan) ………………………………
43
Tabel 3 Produktivitas Serasah Mangrove Di Beberapa Lokasi Penelitian …...
45
Tabel 4 Perubahan Bobot Kering Serasah Daun Rhizophora apiculata (gr) ..
45
Tabel 5 Laju Dekomposisi Berat Kering Serasah (gr/Hari) ………………….
47
Tabel 6 Kandungan Unsur Hara Serasah (C, N, Dan P) Pada Serasah Rhizophora apiculata Segar ………………………………………...
48
Tabel 7 Perubahan Unsur Hara Pada Daun Selama Proses Dekomposisi ……
49
Tabel 8 Persamaan Regresi Laju Dekomposisi C, N Dan P Pada Serasah Daun Mangrove …………………………………………………….
51
Tabel 9 Plankton Di Lokasi Pengamanatan ………………………………….
52
Tabel 10 Perifiton Pada Akar Mangrove Di Lokasi Penelitian ………………
54
Tabel 11 Nilai Manfaat Langsung Hutan Mangrove Berdasarkan Volum Produksi Dan Harga Pasar ………………………………………….
58
xxi
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Kerangka Pikir ……………………………………………..........
7
Gambar 2 Pola Empang Parit ………………………………………………
14
Gambar 3 Pola Empang Parit Yang Disempurnakan ………………………
15
Gambar 4 Model Komplang (Selang-Seling) ………………………………
16
Gambar 5 Lokasi Penelitian ………………………………………………..
27
Gambar 6 Pembagian Plot Pengamatan Dan Penempatan Trap Pada Petak Tambak …………………………………………………………..
28
Gambar 7 Prosedur Pengukuran Produktivitas Serasah …………………….
28
Gambar 8 Penempatan Penangkap Serasah Dalam Ekosistem Mangrove …
29
Gambar 9 Prosedur Pengukuran Laju Dekomposisi Serasah……………….
30
Gambar 10 Penempatan Kantong Serasah ………………………………….
31
Gambar 11 Desain Tambak Penelitian ………….………………………….
39
Gambar 12 Rata Rata Perubahan Berat Kering Serasah Daun Akibat Dekomposisi ……………………………………………………..
44
Gambar 13 Laju Dekomposisi Selama Pengamatan ………………………..
45
Gambar 14 Perubahan Unsur Hara C Akibat Dekomposisi ………………..
48
Gambar 15 Perubahan Unsur Hara N Akibat Dekomposisi ………………..
48
Gambar 16 Perubahan Unsur Hara P Akibat Dekomposisi ………………...
48
xiii
1. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Pengelolaan kawasan pesisir, saat ini banyak menjadi perhatian utama di
berbagai kalangan. Hal ini tidak terlepas adanya saling keterkaitan keberadaan pesisir dengan sistem yang sangat kompleks didalamnya. Kawasan pesisir merupakan kawasan yang penuh dengan tekanan yang sangat tinggi baik yang disebabkan oleh akitifitas manusia (human activity) maupun tekanan yang diberikan oleh alam (nature pressure). Kondisi ini menjadikan kawasan pesisir sebagai kawasan yang rentan akan berbagai kerusakan yang pada akhirnya menjadikan kawasan ini mudah terdegradasi. Kerusakan yang umum terjadi di kawasan pesisir dapat dijumpai dalam bentuk erosi, abrasi maupun akresi di sepanjang pantai (Soeroyo 1988). Umumnya kerusakan yang sering menimpa kawasan pesisir utamanya di sekitar sempadan pantai lebih disebabkan adanya perilaku manusia yang tidak mengedepankan konsep pengelolaan lestari dalam pemanfaatan pesisir sebagai ruang gerak pemenuhan kebutuhan hidup. Salah satu diantaranya adalah semakin menipisnya ketebalan mangrove di sepanjang pantai sebagai salah satu bentuk konversi lahan. Hal tersebut pada akhirnya dapat mengakibatkan kerusakan fisik dan putusnya beberapa rantai kehidupan di kawasan pesisir, seperti berkurangnya plasma nutfah, semakin sempitnya daerah asuhan (nursery ground) serta berkurangnya tempat bertelur dan memijah (spawning ground). Berdasarkan kondisi umum yang sering terjadi seperti tersebut di atas, maka keberadaan ekosistem mangrove menjadi bagian yang sangat penting untuk menunjang kawasan pesisir yang lestari. Ekosistem mangrove merupakan suatu ekosistem yang sangat khas bagi kawasan pesisir karena tidak hanya memiliki fungsi ekologi termasuk fungsi perlindungan, tetapi juga fungsi ekonomi. Banyak manfaat yang diberikan oleh keberadaan hutan mangrove baik secara langsung mapun tidak langsung. Secara ekonomi mangrove dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan material bangunan, secara ekologi mangrove juga dijadikan sebagai tempat untuk mencari makan dan berkembang biak oleh biota laut seperti udang
2 dan ikan. Selain itu mangrove juga berperan untuk menahan laju abrasi pantai yang disebabkan oleh benturan gelombang. Mengingat besarnya manfaat yang diberikan oleh ekosistem mangrove, maka semakin besar pula ancaman yang akan diterimanya, maka perlu adanya suatu pendekatan silvofishery dalam pengelolaannya. Silvofishery
sendiri
merupakan suatu bentuk budidaya perikanan air payau yang dikombinasikan dengan penanaman mangrove pada lahan yang sama (Murdiyanto 2003). Teknik yang diujicobakan dalam silvofishery dipandang lebih menguntungkan dan rendah akan limbah yang dihasilkan (Nofianto 2008). Desakan pemenuhan kebutuhan hidup merupakan salah satu indikator yang mengancam keberadaan mangrove dengan mengkonversi ekosistem mangrove yang ada. Contoh nyata yang dapat kita jumpai hampir disepanjang kawasan sempadan pantai diantaranya adalah konversi lahan mangrove untuk lahan pemukiman, pariwisata, perindustrian dengan cara mereklamasi pantai, serta untuk lahan budidaya perikanan dengan cara mengkonversi lahan mangrove menjadi tambak. Kawasan pesisir timur Propinsi Lampung merupakan salah satu kawasan pesisir di Indonesia dengan lahan mangrove telah mengalami degradasi akibat konversi lahan untuk budidaya tambak, sehingga kualitas lingkungannya menjadi menurun seperti yang terjadi di Kabupaten Tulang Bawang. Kondisi seperti ini apabila dibiarkan akan menimbulkan suatu dampak serius bagi keseimbangan ekosistem di suatu daerah secara keseluruhan. Kondisi ekstrim yang paling memungkinkan terjadi akibat rusaknya ekositem mangrove adalah terjadinya peningkatan laju abrasi di sepanjang pesisir pantai. Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Lampung, luas hutan mangrove di pesisir Pantai Timur Lampung semula 20 000 ha dan telah menurun menjadi hanya 2 000 ha. Pantai Timur Tulang Bawang dari 12 000 ha, 85% nya telah rusak berat. Luas hutan mangrove yang rusak di Kabupaten Tulang Bawang seluas 587 ha lebih, di Kabupaten Lampung Timur kerusakannya mencapai sekitar 55 ha lebih, sedangkan di Kabupaten Lampung Selatan kerusaknnya mencapai sekitar 80 ha. Menurut Indryanto dikutip dari Lampung Pos 9 Desember 2004 kerusakan terparah terjadi di sepanjang pantai antara Ketapang dan Kualapenat serta antara
3 muara Way Seputih sampai Muara Tulang Bawang. Luas hutan mangrove dengan kondisi cukup baik terdapat di Taman Nasional Way Kambas, Kabupaten Lampung Timur dengan luas mencapai 1 100 640 ha. Areal silvofishery berbatasan langsung dengan areal rehabilitasi hutan mangrove setelah ketebalan 300 meter. Pada areal ini telah dilakukan rehabilitasi mangrove yakni penanaman mangrove dengan kombinasi usaha perikanan oleh Divisi Lingkungan dan Sosial, PT. Central Pertiwi Bahari (CPB). Teknik yang dikembangkan yaitu model empang parit. Pendekatan silvofishery diperlukan adanya pembinaan mengenai teknik silvikultur dan pembinaan teknik budidaya serta pemasaran atau penampungan hasil produksi. Pengelolaan green belt di daerah Pantai Timur Lampung harus didekati secara komprehensif, karena permasalahan yang ada saat ini sangat kompleks. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah harus mengembalikannya fungsi dari green belt dengan tetap memperhatikan nasib masyarakat yang sudah terlanjur membuka tambak secara ilegal di kawasan tersebut. Oleh karena itu selain aspek pemulihan hutan mangrove, juga tidak boleh mengesampingkan aspek ekonomi yang mungkin dilakukan pada jalur green belt. Salah satu pendekatan yang dapat ditempuh adalah menghutankan kawasan yang berbatasan langsung dengan laut pada ketebalan tertentu sesuai dengan ketentuan yang ada (± 200-300 meter), kemudian kawasan sisanya dapat diusahakan dengan usaha tambak berwawasan lingkungan yaitu teknik silvofishery.
1.2 Perumusan Masalah Wilayah pesisir timur Propinsi Lampung, khususnya di Kabupaten Tulang Bawang merupakan salah satu aset pembangunan kawasan pesisir yang sangat diandalkan bagi penerimaan pendapatan asli daerah. Kawasan ini telah sejak lama dimanfaatkan untuk sektor perikanan budidaya khususnya untuk tambak udang. Kegiatan tersebut secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan perubahan sistem ekologi kawasan setempat. Pada kawasan tersebut
terdapat
areal pertambakan
intensif yang
dikembangkan oleh industri perikanan dan areal pertambakan rakyat yang bersifat ekstensif dan tradisional serta menempati areal yang semula dicadangkan untuk
4 areal sabuk hijau (green belt). Kondisi tersebut di atas menimbulkan berbagai permasalahan antara lain bahwa kondisi jalur hijau rusak, disamping menyebabkan erosi pantai meningkat dan mengakibatkan berkurangnya plasma nutfah, spawning ground dan nursery ground, juga dikhawatirkan akan timbulnya penolakan terhadap produksi udang. Kegiatan budidaya udang yang dikembangkan oleh inti (industri perikanan) maupun plasma (rakyat) di sepanjang pesisir timur Kabupaten Tulang Bawang tersebut, diduga berpotensi menyebabkan turunnya perubahan ekologi pesisir melalui limbah hasil budidaya udang. Limbah yang dihasilkan seperti limbah pakan dikhawatirkan akan mempertinggi bahan organik, sehingga berpengaruh terhadap kondisi fisika-kimia perairan. Hal ini disebabkan tidak semua pakan yang ditebar di areal budidaya dikonsumsi habis oleh udang, kemudian larut ke dalam badan air dan mengalami proses pelarutan. Sisa pakan yang tidak termakan merupakan potensi sumber Nitrat dan Phospat. Kondisi seperti ini akan dapat mempengaruhi tingkat kesuburan (eutrofikasi) dan kelayakan kualitas air bagi kehidupan budidaya udang maupun organisme lain yang berada di sekitarnya. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, untuk tetap mengoptimalkan pemanfaatan
kawasan
pesisir
sebagai
areal
budidaya
udang
tanpa
mengesampingkan penurunan kualitas lingkungan perairan pesisir, maka diperlukan suatu upaya agar produktifitas lingkungan perairan tetap terjaga. Salah satu diantaranya yaitu dengan mengkombinasikan areal budidaya dengan penanaman mangrove. Kegiatan ini telah dilakukan oleh Divisi Lingkungan dan Sosial, PT Central Pertiwi Bahari (CPB) dan Kementrian Kelautan dan Perikanan melalui Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Lampung. Keberadaan ekosistem mangrove khususnya di kawasan pesisir harus tetap dipertahankan dalam proporsi tertentu untuk menciptakan lingkungan yang baik bagi pertumbuhan komoditas yang dibudidayakan terutama berkaitan dengan kemampuan ekosistem mangrove sebagai biofilter alami bagi sejumlah polutan yang dihasilkan dari tambak. Hal ini akan sangat mempengaruhi kondisi kualitas lingkungan perairan disekitar kawasan pesisir utamanya yang dijadikan sebagai areal budidaya.
5 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian tentang kajian potensi mangrove dalam pengembangan silvofishery di Kabupaten Tulang Bawang, Propinsi Lampung bertujuan untuk menganalisa potensi dan manfaat ekosistem mangrove dengan pendekatan silvofishery melalui tinjauan karakteristik fisika kimia perairan, produktifitas serasah mangrove, dekomposisi serasah, kandungan unsur hara serasah, pakan alami dan valuasi ekonomi. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan masukan kepada Pemerintah Pusat (Departemen Kelautan dan Perikanan, c.q Ditjen KP3K), Pemerintah Daerah (kabupaten Tulang Bawang), Pengusaha pembudidaya perikanan, serta masyarakat penggarap areal sabuk hijau dalam hal pengelolaan ekosistem mangrove. Informasi yang juga diharapkan dapat diberikan melalui penelitian ini adalah mengenai pendekatan silvolfishery dalam pengelolaan ekosistem mangrove disepanjang areal sabuk hijau (green belt), sehingga nantinya tidak terdapat kesalahan yang fatal dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove sehingga keberadaanya tetap lestari. 1.5 Kerangka Pikir Pengelolaan ekosistem mangrove dengan pendekatan silvofishery yang terdapat di Kabupaten Tulang Bawang, Propinsi Lampung merupakan usaha penyelamatan lingkungan dengan memadukan kegiatan budidaya di areal mangrove. Kegiatan ini pada mulanya, merupakan kolaborasi antara pemerintah (Kementrian Kelautan dan Perikanan) dan swasta (PT. Central Pertiwi Bahari) dalam hal reboisasi kawasan pesisir timur Lampung yang telah dilaksanakan sejak tahun 1994 hingga sekarang. Hasil dari kegiatan tersebut yaitu telah ditanamnya kurang lebih sebanyak ±4 370 000 batang dengan luas penanaman seluas ±3 215.2 Ha. Area penanamannya meliputi pesisir Sungai Nibung, Sungai Burung, Sungai Kuala Seputih, Tanjung Krosok, dan areal internal di kawasan perusahaan tambak udang (PT. Central Pertiwi Bahari/CPB). Namun demikian, silvofishery baru diinisiasi dan dikembangkan sejak tahun 2004 oleh Divisi Lingkungan Hidup dan Sosial dari PT. CPB di tambak milik perusahaan dan milik masyarakat lokal.
6 Kondisi tambak silvofishery milik PT. CPB saat ini sudah tidak berfungsi lagi disebabkan karena gangguan alam (gempuran ombak). Tambak dengan pola silvofishery yang masih dapat digunakan yaitu tambak milik masyarakat lokal, dengan jumlah dan luasan yang masih sangat terbatas. Kegiatan silvofishery ini dilakukan, karena diduga mampu memberikan dampak positif dalam hal mengurangi tekanan sumberdaya pesisir akibat adanya konversi lahan yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Dengan silvofishery diharapakan mampu memulihkan kembali kondisi green belt dan dapat memberikan tambahan nilai ekonomi pada masyarakat setempat melalui kegiatan budidaya yang dilaksanakan bersamaan dengan reboisasi pantai. Berdasarkan pada kondisi tersebut, maka diperlukan sebuah penelitian tentang pengelolaan ekosistem mangrove dengan pendekatan silvofishery yang nantinya diharapakan mampu menjawab permasalahan yang sudah ada sebelumnya. Penelitian ini dilakukan dengan meneliti produktifitas serasah mangrove yang diduga memiliki kandungan nutrient untuk dikonsumsi oleh plankton, perifiton dan benthos. Dekomposisi serasah mangrove ini akan menjadikan serasah terurai menjadi partikel-partikel halus dengan bantuan mikroba decomposer dan hewan-hewan pemangsa detritus (plankton, perifiton dan benthos) yang dapat dijadikan sebagai pakan alami. Kondisi tersebut diduga akan menarik organisme budidaya (ikan dan kepiting) untuk dapat hidup dan berkembang biak di dalamnya. Penelitian ini juga dilakukan dari sisi ekonomi di mana diasumsikan bahwa pengelolaan ekosistem mangrove dengan pendekatan silvofishery ini dapat memberikan nilai ekonomi baik yang diperoleh secara langsung (misalnya, penjualan udang dan kepiting). Dengan metode yang memadukan sisi ekologi dan ekonomi, diharapkan dapat menjaga pemanfaatan lahan di kawasan pesisir secara lestari dan berkelanjutan. Namun informasi tersebut masih terbatas sehingga diperlukan suatu kajian untuk mengungkapnya. Keluaran yang diharapkan yaitu munculnya sebuah pendekatan dalam hal pengelolaan eksosistem mangrove sebagai upaya pemulihan pemanfaatan kawasan pesisir dengan cara memadukan kegiatan reboisasi green belt dan kegiatan budidaya yang memberikan nilai ekonomi yang tinggi dengan input
7 pakan yang rendah. Secara ringkas kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Konversi "green belt" di Kaawasan Pesisir Lampung untuk Tambak
Upaya Pemulihan
Masyarakat lokal
Pemerintah
Program Reboisasi melalui ABRI Manunggal Reboisasi
Swasta
Pemulihan Kawasan green belt dengan silvosfishery
Penanaman Mangrove
Budidaya Perikanan
Ekosistem Mangrove dalam Petakan Tambak
Uji Parameter
Produktivitas Serasah
Kimia-Fisika
Dekomposisi Serasah
Organisme Budidaya
Biologi
Nilai Langsung
Pengelolaan Ekosistem Mangrove yang Lestari dn Berkelanjutan Ket:----- : Fokus penelitian
Gambar 1 Kerangka Pikir
Ekonomi (NET)
Nilai Tidak Langsung
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Ekosistem Mangrove Menurut Murdiyanto (2003) mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Mangrove merupakan vegetasi khas daerah pantai, yang dipengaruhi oleh fenomena pasang susrut. Floranya berhabitus semak yang tumbuh di tepi laut hingga habitus pohon besar mencapai tinggi antara 50-60 meter. Menurut Steenis (1958) mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh di daerah pasang surut. Nybakken (1998) bahwa hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Soerianegara dan Indrawan (1998) bahwa hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di daerah teluk dan di muara suangai. Istilah bakau itu sendiri dalam bahasa Indonesia merupakan nama dari salah satu spesies penyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora sp. Mangrove mempunyai kecenderungan membentuk kerapatan dan keragaman struktur tegakan yang berperan penting sebagai perangkap endapan dan perlindungan terhadap erosi pantai. Selain itu, tumbuhan tingkat tinggi menghasilkan habitat untuk perlindungan bagi hewan-hewan muda dan permukaannya bermanfaat sebagai substrat perlekatan dan pertumbuhan dari banyak organisme epifit (Nybakken 1998). Menurut Nofianto (2008) hutan mangrove merupakan kawasan hutan yang terdapat di wilayah pantai, yang memiliki komunitas tumbuhan yang bertoleransi terhadap garam. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai tempat memijah dan habitat bagi beberapa biota laut, mangrove juga berfungsi sebagai peredam erosi dan abrasi pantai. Mangrove mempunyai sistem pengakaran yang kuat yang mampu meredam energi gelombang dan arus laut, serta menahan sedimen. Seperti hutan-hutan yang ada pada umumnya, hutan mangrove juga berfungsi sebagai penyimpan air tanah atau sebagai penahan intrusi air laut. Hutan mangrove juga memberikan masukan unsur hara terhadap ekosistem air, menyediakan tempat
10 berlindung dan tempat tumbuh dan berkembang bagi anak-anak ikan, tempat kawin/pemijahan, dan lain-lain. Berbicara tentang ekosistem mangrove adalah berbicara tentang suatu ekosistem hutan hujan tropis yang khas. Kekhasannya dikarenakan pertama, lokasi di mana ekosistem ini tumbuh dan berkembang. Ekosistem mangrove berada di wilayah pesisir di mana terjadi peralihan habitat darat dan laut (Wibisono 2005). Bentuk adaptasi mereka terhadap lingkungan yang sering terendam oleh air asin dan air tawar. Dengan adaptasi seperti ini ekosistem mangrove dapat tumbuh pada kondisi lingkungan yang sulit, tidak semua tumbuhan dapat melakukannya seperti pada tanah yang miskin oksigen, berlumpur, berpasir, bahkan pada terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan vegetasi pembentuk ekosistem mangrove sebagai salah satu plasma nutfah berharga yang penting untuk terus dilestarikan. Manfaat penting lainnya dari ekosistem ini adalah sebagai penyeimbang ekosistem darat, laut dan udara. Eksositem mangrove dapat membantu pembentukan daratan baru dari hasil sedimemtasi lumpur yang dibawa oleh aliran sungai. Dengan kemampuannya mengikat zat pencemar maka mangrove dapat berfungsi sebagai biofilter alami (Gunarto 2004) yang dapat menetralkan dan menjernihkan kawasan pesisir. Dari ekosistem ini dapat dihasilkan biomassa 62.9 – 39.8 ton/ha, guguran serasah 5.8 – 25.8 ton/ha dan riap volume 20 tcal/ha/th atau 9 m3/ha/th pada hutan tanaman bakau umur 20 tahun. Namun dari produksi yang besar ini tidak lebih dari 10% yang dikonsumsi langsung oleh hewan-hewan darat pemakannya, sedangkan sisanya tinggal di dalam wilayah perairan pantai (Odum dan Heald 1975). Kondisi ini menyebabkan kandungan bahan organik hutan mangrove sangat tinggi sehingga dapat dimanfaatkan untuk budidaya perikanan. 2.2 Ekologi Mangrove 2.2.1 Flora dan Fauna Hutan mangrove merupakan himpunan khas dari berbagai jenis tumbuhan dan beberapa suku yang berbeda, tetapi mempunyai kesamaan adaptasi dengan lingkungannya. Di antara bentuk adaptasi yang terpenting adalah sistem
11 perakarannya. Bengen (2001) dalam komunitas mangrove di Indonesia tercatat 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas. Namun demikian hanya terdapat kurang dari 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati penting/dominan yang termasuk ke dalam empat family Rhizoporaceae (Rhizophora, Bruguiera dan Ceirops), Sonneratiaceae
(Sonneratia),
Avicenniaceae
(Avicenia)
dan
Meliceae
(Xylocarpus). Menurut Soeroyo (1988) habitat yang ditumbuhi tumbuhan mangrove dapat bersifat padat dan keras, misalnya endapan lumpur di estuari (muara sungai). Dan agar dapat tumbuhan tegak, maka tumbuhan ini memiliki sistem perakaran yang lebar dan luas. Habitat hutan mangrove bersifat khusus tetapi setiap jenis biota di dalamnya mempunyai kisaran ekologi tersendiri dan masing-masing mempunyai relung khusus. Hal ini menyebabkan terbentuknya berbagai macam komunitas dan bahkan mintakat, sehingga komposisi jenis berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain. Menurut Sukardjo (1986), mintakat ini mencerminkan tahap-tahap suksesi dari vegetasi darat dan merupakan respon terhadap perubahan lainnya waktu penggenangan, salinitas tanah, tersedianya sinar matahari, aliran pasang surut dari aliran air tawar. Seperti halnya tumbuhan mangrove, penyebaran fauna mangrove juga memperlihatkan mintakat jenis-jenis dominan. Menurut Soerianegara (1998) hutan mangrove adalah suatu ekosistem tiga dimensi dengan dua cara penyebaran yang mengakibatkan terbentuknya penyeberan hewan, yaitu: penyebaran mendatar dari laut ke darat pada hewan infauna dan epifauna, penyebaran menegak dari lantai hutan ke pucuk-pucuk pohon, terutama yang hidup di bagian tepi luar hutan. Pada umumnya, penyebaran fauna secara mendatar tergantung pada jarak dari laut serta adaptasi jenis-jenis tersebut terhadap perubahan kondisi lingkungannya. Sedangkan penyebaran secara menegak tergantung pada kisaran tinggi air pasang surut. Tumbuhan mangrove dengan sistem perakarannya menjadikan hutan mangrove mempunyai 6 macam habitat bagi faunanya, yaitu; tajuk pohon yang tersusun dari batang, cabang dan dedaunan yang tidak dicapai oleh air laut, lubang-lubang dan celah yang berisi air pada batang dan cabang merupakan habitat yang dihuni oleh serangga.
12 Menurut Bengen (2001) peranan dan potensi hutan mangrove sangat besar, baik berupa manfaat langsung maupun tidak langsung yang sangat penting artinya bagi ekosistem kehidupan mahluk di lautan dan eksosistem lain, antara lain: sebagai peredam gelombong dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen yang diangkat oleh aliran air permukaan, sebagai penghasil sejumlah besar detritus, terutama berasal dari daun dan dahan pohon mangrove yang rontok. Sebagian dari detritus ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi para pemakan detritus dan sebagian lagi diuraikan secara bakterial menjadi mineral-mineral hara yang berperan dalam penyuburan perairan, sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makanan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bagi bermacammacam biota perairan (ikan, udang, dan kerang-kerangan) baik yang hidup di perairan pantai maupun lepas pantai. 2.2.2 Habitat Menurut Soemodihardjo (1977) habitat yang ditumbuhi tumbuhan mangrove dapat bersifat padat dan keras, misalnya batu-batuan atau formasi karang, tetapi dapat pula bersifat sangat lembek, misalnya endapan lumpur di estuaria (muara sungai). Sistem perakaran yang lebar dan luas menjadikan tumbuhan ini dapat tumbuh tegak. Habitat hutan mangrove bersifat khusus tetapi setiap jenis biota di dalamnya mempunyai kisaran ekologi tersendiri dan masingmasing mempunyai relung khusus. Hal ini menyebabkan terbentuknya berbagai macam komunitas dan bahkan mintakat, sehingga komposisi jenis berbeda dari suatu tempat ke tempat yang lain. Menurut Soemodihardjo (1977) dan Sukardjo (1986), mintakat ini mencerminkan tahap-tahap suksesi dari variasi vegetasi darat dan merupakan respon terhadap perubahan lainnya waktu penggenangan, salinitas tanah, tersedianya sinar matahari, aliran pasang surut dari aliran air tawar.
2.2.3 Rhizophora apiculata Rhizophora apiculata merupakan salah satu jenis mangrove yang berasal dari kelas Mangnoliopsida. Karakteristik tumbuhan ini berupa pohon/semak dengan ketinggian mencapai 30 m, berdiameter batang mencapai 50 cm. akarnya memiliki perakaran yang khas hingga mencapai ketinggian 5 m dan kadang-
13 kadang memiliki akar udara yang keluar dari cabang. Batangnya didukung oleh banyak akar tunggang yang bercabang-cabang dan lateral, kulit kayu berwarna abu-abu tua. Rantingnya membesar pada ruas-ruas, keras dan mengempulur. Daun tunggal berhadapan diujung ranting, berkulit, warna hijau tua dengan hijau muda pada bagian tengah dan kemerahan di bagian bawah. Gagang daun panjangnya 17-35 mm dan warnanya kemerahan. Bunga Rhizophora apiculata
berjenis
biseksual dengan kepala bungan kekuningan yang terletak pada gagang berukuran <14 mm, letaknya diketiak daun. Formasi bunganya kelompok (2 bunga per kelompok). Daun mahkota berjumlah 4 buah, memiliki cirri-ciri: berwarna kuning keputihan, tidak ada rambut, panjangnya 9-11 mm, bentuknya melengkung, benang sari berjumlah 11-12 dan tidak bertangkai. 2.3 Permasalahan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Terjadinya kerusakan dan penurunan luas ekosistem mangrove di Negara ini mengindikasikan bahwa pengelolaan yang dilakukan selama ini belum berpihak pada azas kelestarian. Padahal jika merujuk pendapat yang dikemukakan oleh Macintosh dan Ashton (2003) yang menyatakan bahwa tujuan pengelolaan ekosistem mangrove adalah untuk mendukung upaya konservasi, rehabilitasi, dan penggunaan berkelanjutan eksosistem mangrove agar dapat memberikan keuntungan pada seluruh manusia di muka bumi ini, maka orientasi pengelolaan mangrove seharusnya adalah kelestarian dan bukannya kepentingan ekonomi jangka pendek yang pada akhirnya mengancam kelestarian mangrove. Oleh karena itu pengelolaan mangrove selanjutnya harus dikembalikan pada tujuan awalnya. Namun untuk merealisasikan hal tersebut ada beberapa permasalahan dalam pengelolaan daerah pesisir, di mana ekosistem mangrove berada di dalamnya. Hal ini berhubungan dengan potensi konflik kepentingan, kewenangan, tumpang tindih pengelolaan antar sektor, keterkaitan yang erat dengan ekosistem darat dan laut, lemahnya kerangka hukum, degradasi lingkungan serta keterlibatan masyarakat. Selain itu terbatasnya informasi dan teknologi serta kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir juga merupakan masalah yang dihadapi dalam pengelolaan mangrove berkelanjutan.
14 2.4 Silvofishery Kawasan hutan mangrove yang memilki nilai ekologi dan ekonomi yang tinggi terus menerus mengalami degradasi akibat dikonversi dan berubah fungsi untuk kegiatan lainnya, seperti pemukiman, pariwisata, perhubungan, reklamasi pantai, budidaya perikanan dan sebagainya. Diduga bahwa konservasi lahan mangrove untuk pemukiman dan tambak udang merupakan salah satu faktor penyebab kerusakan yang cukup besar. Namun demikian, upaya tersebut pada umunya mengalami kegagalan yang disebabkan oleh adanya konflik kepentingan para penggunanya (user). Sebagai contoh, kawasan yang diperuntukkan sebagai green belt lebih banyak digunakan untuk kegiatan budidaya air payau (brackishwater aquaculture), seperti tambak udang, dan saat akan direforestasi justru mengalami hambatan yang cukup berarti. Untuk mengatasi persoalan konflik antara pengguna tersebut, maka perlu dicarikan solusi yang dapat mengakomodir berbagai kepentingan para pengguna. Di satu sisi konservasi kawasan mangrove terus berjalan dan di sisi lain kegiatan budidaya perikanan tidak terhambat. Salah satu konsep pengembangan yang dapat mengkombinasikan antara pemanfaatan dan sekaligus konservasi di kawasan mangrove adalah silvofishery. Silvofishery atau sering disebut sebagai wanamina adalah bentuk kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara budidaya air payau dengan pengembangan mangrove pada lokasi yang sama (Fitzgerald 1997). Konsep silvofishery ini dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan berkelanjutan dengan input yang rendah (Nofianto 2008). Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan kawasan mangrove ini memungkinkan untuk mempertahankan keberadaan mangrove yang secara ekologi memiliki produktifitas relatif tinggi dengan keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan. Silvofishery yang dikembangkan di Indonesia memiliki 3 model/tipe, yaitu empang parit atau lebih dikenal dengan tambak tumpang sari dan komplangan. 2.4.1 Pola Empang Parit Pola
empang
parit
merupakan
model
silvofishery
yang
umum
dikembangkan dengan membuat saluran air tempat membudidayakan/memelihara ikan ataupun udang. Saluran air ini mengelilingi lahan yang digunakan untuk
15 silvofishery, sedangkan tumbuhan mangrove dapat ditanam di bagian tengah, sehingga terdapat perpaduan antara tumbuhan mangrove (wana/silvo) dan budidaya ikan (mina/fishery) seperti dalam Gambar 2. Kondisi ini dapat diterapkan pada areal bekas tambak yang akan direhabilitasi dengan memanfaatkan pelataran tambak (bagian tengah) untuk ditanami mangrove, sedangkan bagian caren atau parit tetap dibiarkan seperti semula. Dengan menggunakan sistem empang parit ini, maka lahan yang akan direforestasi dapat mencapai sekitar 80% dari luasan tambak. Penanaman mangrove dapat dilakukan dengan jarak tanam 1 x 1 meter antar individu mangrove (Bengen 2000). Namun demikian, menurut Fitzgerald (1997), kepadatan mangrove yang ditanam dapat bervariasi antara 0.17-2.5 pohon/m2. . Kepadatan vegetasi yang rendah cocok diterapkan untuk tambak ikan bandeng, sedangkan kepadatan vegetasi yang lebih tinggi sesuai untuk diterapkan pada budidaya udang dan kepiting bakau. Jenis mangrove yang ditanam umumnya adalah bakau (Rhizophora sp) atau dapat juga menggunakan jenis api-api (Avicennia spp).
Gambar 2 Pola empang parit (http://mangrove.unila.ac.id 2008)
16 Kanal untuk memelihara ikan/udang berukuran lebar 3-5 m dan kedalaman sekitar 40-80 cm dari muka pelataran. Dengan berbagai modifikasi disain dasar tersebut, maka luasan perairan terbuka yang dapat digunakan untuk memelihara ikan/udang dapat disesuaikan hingga mencapai 40-60%. Berbagai jenis ikan, seperti bandeng, kerapu lumpur, kakap putih, dan baronang, serta udang dan kepiting bakau, dapat dipelihara secara intensif di kanal tersebut. 2.4.2 Pola Empang Parit yang Disempurnakan Pada dasarnya sistem empang parit yang disempurnakan (Gambar 3) tidak berbeda jauh dengan sistem empang parit. Perbedaannya hanya terletak pada disain lahan untuk menanam mangrove dan empang diatur oleh saluran air yang terpisah. Model ini memerlukan biaya yang lebih mahal dibandingkan dengan empang parit, karena adanya tanggul yang mengelilingi lahan pelataran yang akan digunakan untuk menanam mangrove.
Gambar 3 Empang parit yang disempurnakan (http://mangrove.unila.ac.id 2008)
17 2.4.3 Model Komplang (selang-seling) Model Komplang merupakan suatu sistem silvofishery dengan desain tambak berselang-seling atau bersebelahan dengan lahan yang akan ditanami mangrove (Gambar 4). Lahan untuk mangrove dan empang terpisah dalam dua hamparan yang diatur oleh saluran air dengan dua pintu air yang terpisah. Luas areal yang akan digunakan untuk silvofishery dengan model ini disarankan antara 2-4 ha, sehingga nantinya akan dikembangkan ukuran tambak yang standar untuk memelihara ikan/udang minimal adalah 1 ha. Model ini merupakan suatu metode budidaya air payau dengan input yang rendah dan menghasilkan dampak negatif yang minimal terhadap lingkungan (ekosistem). Sistem komplangan yang diterapkan tegak lurus dengan garis pantai memungkinkan sejumlah aliran air tawar menuju ke mangrove di dalam areal greenbelt. Model ini juga dapat
menjaga kelimpahan keanekaragaman
sumberdaya alam hayati.
Gambar 4 Model Komplangan (http://mangrove.unila.ac.id 2008) Dari beberapa penjelasan tersebut, diketahui bahwa silvofishery sistem empang parit dan komplangan dapat diterapkan untuk menjaga kelestarian dan fungsi kawasan mangrove dengan kegiatan budidaya perikanan tetap dapat berlangsung di areal tersebut. 2.5 Serasah Mangrove Serasah merupakan jatuhan dari organ tumbuh-tumbuhan yang membentuk suatu lapisan pada permukaan tanah (Spurr dan Burton 1980). Sedangkan menurut
18 Jensen (1974) serasah adalah lapisan dari organ tumbuh-tumbuhan yang banyak mengandung unsur-unsur mineral yang sangat memegang peranan penting di dalam suatu ekosistem hutan. Komponen-komponen yang dapat membentuk lapisan serasah pada permukaan tanah di lantai hutan berasal dari daun (leaf litter) dan komponen-komponen bukan daun (non leaf litter) yaitu berupa ranting, bunga, buah, biji, kulit batang dan bagian-bagian yang tak dapat diidentifikasikan. Hutan mangrove mempunyai produktivitas bahan organ yang sangat tinggi, tetapi hanya kurang lebih 10% dari produksinya langsung dimakan oleh herbivora. Sebagian besar dari produksi tersebut dimanfaatkan sebagai detritus atau bahan organik mati seperti daun-daun mangrove yang gugur sepanjang tahun dan dengan melalui aktivitas makan oleh mikroba dekomposer dan hewan-hewan pemangsa detritus diproses menjadi partikel-partikel halus (Odum dan Held 1975). Detritus meruapakan suatu fraksi penting dari rantai makanan yang terdapat di hutan mangrove dan estuaria. Partikel-partikel organik tersebut menjadi tempat hidup bagi bakteri, jamur dan mikroorganisme lainnya yang merupakan sumber makanan utama bagi organisme omnivore seperti udang, kepiting, dan sejumlah ikan. Odum (1971) mengemukakan bahwa studi yang telah dilakukan di Florida Selatan menunjukkan bahwa pohon bakau (Rhizopora spp.) yang sebelumnya dianggap bernilai rendah, sebenarnya memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap rantai makanan, sehingga dapat menunjang bidang perikanan. Hara yang dihasilkan oleh serasah antara lain mengandung N dan P yang terlarut dalam air akan menunjang proses pertumbuhan fitoplankton. Sehingga terdapat hubungan antar total N dan P serasah, total N dan P air, produktivitas perairan dan jumlah individu fitoplankton, zooplankton dan makrozoobenthos. 2.6 Dekomposisi Serasah Hutan Mangrove Dekomposisi merupakan suatu proses perombakan zat-zat organik yang secara fisik dipecah dan diubah menjadi zat kimia yang lebih sederhana terbentknya CO 2 , air dan pembebasan energi (Mason 1976). Pengukuran laju dekomposisi serasah bertujuan untuk mengetahui besarnya penghacuran serasah selama penelitian dan juga untuk menduga banyaknya serasah yang dapat terurai selama selang waktu tertentu. Karena informasi mengenai kecepatan dekomposisi merupakan hal yang penting untuk mengetahui besarnya pengurangan jumlah
19 bahan organik yang dikandung dalam serasah serta kecepatan pengembalian hara mineral ke dalam tanah. 2.7 Kualitas Fisika Kimia Perairan Pesisir Kualitas lingkungan perairan utamanya di kawasan pesisir merupakan faktor biofisika-kimia yang dapat mempengaruhi kehidupan organisme perairan dalam ekosistemnya. Perairan ideal adalah perairan yang dapat mendukung kehidupan organisme dalam menyelesaikan daur hidupnya (Wardoyo 1987). Menurut Boyd (1982) kualitas lingkungan perairan adalah suatu kelayakan lingkungan perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme air yang nilainya dinyatakan dalam suatu kisaran tertentu. Berdasarkan sumbernya, bahan pencemar dapat dikategorikan menjadi dua golongan yaitu dari alam dan dari kegiatan manusia. Pencemaran yang berasal dari alam, seperti sedimentasi merupakan akibat dari terjadinya abrasi pantai. Sedangkan pencemaran yang disebabkan oleh kegiatan manusia diantaranya adalah
penggalian
dan pengelolaan
sumberdaya
melalui pertambangan,
perindustrian dan pertanian termasuk perikanan (Sutamihardja 1992). Menurut Soutwich (1976) sumber pencemaran dapat diidentifikasi menjadi 2 golongan yaitu: 1) pencemaran bahan organik yang berupa pengkayaan hara yang relative tinggi, sehingga terbentuk komunitas biotik yang berlebih (blooming), 2) zat-zat kimia toksik yang dapat menurunkan kelimpahan biota perairan dan mematikan kehidupannya. Masuknya bahan pencemaran ke dalam perairan dapat mempengaruhi kualitas perairan, apabila bahan yang masuk ke perairan melebihi kapasitas asimilasinya, maka daya dukung lingkungan akan menurun. Apabila daya dukung lingkungan menurun maka nilai guna dan fungsi dari suatu perairan bagi peruntukan lainnya akan turun pula (Dahuri dan Arumsyah 1994). Nilai kisaran parameter yang terukur dari lingkungan perairan pantai secara langsung dipengaruhi oleh proses hidrodinamika suatu perairan, misalnya pasang surut, gerakan ombak, pengenceran oleh air tawar dan sebagainya. Besar kecilnya nilai kisaran dari parameter terukur tergantung dari beberapa faktor antara lain volume air pengencer, toksisitas/intensitas bahan pencemar, iklim, kedalaman, arus, dan topografi, sehingga terjadi proses perubahan sifat
20 fisik, kimia, dan biologi yang saling berinteraksi. Apabila salah satu faktor terganggu atau mengalami perubahan akan berdampak pada sistem ekologi perairan (Pariwono et al. 1989 in Sulardiono 1997). 2.7.1 Suhu Perairan Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude) ketinggian dan permukaan laut (altitude) waktu dalam suatu hari, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman dari bahan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi perairan. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatisasi. Selaian itu peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kalarutan gas dalam air seperti gas-gas O 2 , CO 2 , N 2 , CH 4 dan sebagainya (Haslam 1995 in Effendi 2000). Menurut Nybakken (1998) suhu perairan di daerah pesisir mempunyai perbedaan nyata di bagian permukaan dan dasar, dimana suhu dibagian permukaan lebih tinggi dari pada di dasar perairan. Dengan berpengaruhnya suhu terhadap kehidupan organisme, maka Kinne (1972) menyatakan bahwa suhu air yang berkisar antara 35-40oC, merupakan suhu kritis bagi kehidupan organisme air, yang dapat menyebabkan kematian. 2.7.2 Salinitas Salinitas menggambarkan kandungan garam dalam air suatu perairan. Garam yang dimaksud di sini adalah berbagai ion yang terlarut dalam air termasuk garam dapur (NaCl). Pada umumnya ssalinitas disebabkan oleh tujuh ion utama yaitu natrium (Na), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg), klorit (Cl), sulfat (SO 4 ) dan bikarbonat (HCO 3 ). Salinitas dinyatakan dalam satuan garam/kg atau promil (o/oo) (Effendi 2000). Salinitas perairan sangat berpengaruh terhadap daya tahan tubuh dan sistem osmoregulasi organisme perairan. Menurut Nybakken (1992) salinitas di berbagai tempat pada laut terbuka yang jauh dari pantai memiliki variasi yang sempit yaitu 34-37 ppt dengan rata-rata 35 ppt, perbedaan salinitas terjadi karena perbedaan evaporasi dan presipitasi.
21 2.7.3 Kecerahan, Kekeruhan dan Padatan Tersuspensi (TSS) Kecerahan merupakan jarak yang dapat ditembus cahaya matahari ke dalam kolam air. Semakin jauh jarak tembus cahaya matahari, semakin luas daerah yang memungkinkan terjadinya fotosintesa. Kecerahan ini berbanding terbalik dengan kekeruhan. Perairan yang kekeruhannya tinggi akan mempengaruhi penetrasi cahaya matahari dalam kolam air, sehingga membatasi proses fotosintesa. Kekeruhan yang tinggi akan menyebabkan perairan mempunyai kecerahan yang rendah (Nybakken 1998). Menurut Jeffries dan Milis (1996) in Effendi (2000) kecerahan adalah ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk atau lebih dikenal dengan sebutan kecerahan secchi disk. Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhannya disebabkan oleh organik dan anorganik baik tersuspensi maupun terlarut seperti lumpur, pasir halus, bahan anorganik dan bahan organik seperti plankton dan mikroorganisme lainnya (Davis dan Cornwell 1991 in Effendi 2000) Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid/TSS) adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1µm) yang tertahan pada saringan milipore dengan diameter pori 0.45 µm. TSS yang utama adalah kikisan tanah dan erosi tanah yang terbawa ke badan air. Bahan-bahan tersuspensi dan terlarut pada perairan alami tidak bersifat toksik, tetapi jika jumlahnya berlebih dapat meningkatkan nilai kekeruhan yang selanjutnya menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air dan akhirnya berpengaruh pada proses fotosintesis di perairan. Sastrawijaya (1991) menyatakan perairan dapat mengandung larutan yang berupa zat organik dan anorganik. Padatan tersuspensi dan kekeruhan memiliki korelasi posistif yaitu semakin tinggi nilai padatan tersuspensi maka semakin tinggi nilai kekeruhan. Akan tetapi tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan. Air laut memilki nilai padatan terlarut tinggi, tetapi tidak berarti kekeruhannya tinggi juga (Effendi 2000).
22 2.7.4 Oksigen Terlarut Oksigen terlarut atau dikenal denga istilah DO (dissolved oxygen) adalah salah satu gas yang ditemukan terlarut dalam perairan. Kadar oksigen terlarut di perairan alami bervariasi bergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, ketinggian/altitude dan berkurangnya tekanan atmosfer (Jeffries dan Mills 1996 in Effendi 2000). Peningkatan suhu 1oC meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10%. Sedangkan semakin tinggi suatu tempat dari permukaan air, semakin rendah tekanan atmosfer, sehingga kelarutan oksigen semakin berkurang. Welch (1952) in Sulardiono (1977) menyatakan bahwa oksigen terlarut dalam air umunya berasal dari fotosintesis, disfungsi oksigen, dan arus atau aliran air melalui air hujan. Sedangkan oksigen terlarut dapat berkurang disebabkan karena naiknya suhu air, meningkatnya salinitas, proses respirasi organisme perairan dan proses dekomposisi bahan organik oleh mikroba. Perubahan konsentrasi oksigen terlarut dapat menimbulkan efek langsung yang berakibat pada kematian organisme perairan, sedangkan pengaruh yang tidak langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan pencemar yang pada akhirnya dapat membahayakan organisme itu sendiri. Hal ini disebabkan karena oksigen terlarut dipergunakan untuk proses metabolisme dalam tubuh dan berkembang biak (Rahayu 1991). Pada perairan yang menerima limbah organik, proses dekomposisi bahan buangan yang dilakukan oleh bakteri memerlukan oksigen yang cukup. Bila jumlah bahan organik melimpah, aktivitas perombakan bakteri memerlukan oksigen yang sangat banyak, sehingga konsentrasi oksigen diperairan menjadi berkurang, bahkan dalam kondisi tertentu perairan dapat dalam keadaan tanpa oksigen (unaerob), konsentrasi oksigen kurang dari 1 ppm dapat mematikan organisme perairan hanya dalam selang beberapa (Swingle 1965 in Sulardiono 1997). 2.7.5 Derajat Keasaman (pH) Derajat keasamaan atau pH merupakan gambaran jumlah atau lebih tepatnya aktivitas ion hidrogen dalam perairan. Secara umum nilai pH menggambarkan seberapa asam atau basa suatu perairan. Di perairan pesisir atau laut pH relaif
23 lebih stabil dan berada dalam kisaran yang sempit, biasanya berkisar antar 7.7-8.4 (Nybakken 1992). Perubahan nilai pH perairan pesisir yang kecil saja dari nilai alaminya menunjukkan sistem penyangga perairan tersebut terganggu, sebab air laut sebenarnya mempunyai kemampuan untuk mencegah perubahan pH. Di dalam air, pH dipengaruhi oleh kapasitas penyangga (buffer), yaitu adanya garamgaram karbonat dan bikarbonat yang dikandungnya (Boyd 1982). 2.7.6 Kebutuhan Oksigen Biokimiawi (BOD) BOD (Biological Oxygen Demand) yang merupakan gambaran secara tak langsung kadar bahan organik adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbodioksida dan air (Davis dan Cornwell 1991 in Effendi 2000). Menurut Boyd (1982) nilai OD menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi mikroba aerob yang terdapat pada botol BOD yang diinkubasi pada suhu sekitar 20oC selama 5 hari dalam keadaan tanpa cahaya. BOD juga memberikan gambaran seberapa besar oksigen yang diperlukan dalam proses dekomposisi secara biologis (biodegradable) di perairan. dengan demikian semakin tinggi nilai BOD memberikan gambaran semakin besarnya bahan organik yang terdekomposisi dengan menggunakan sejumlah oksigen di perairan. Tingginya aktivitas dekomposisi akibat banyaknya jumlah bahan organik juga dapat berakibat lebih lanjut pada timbulnya bahan-bahan beracun dan berbau sebagai hasil samping proses dekomposisi, seperti ammonia dan hidrogen sulfida.
2.7.7 Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) Nilai COD (Chemical Oxygen Demand) menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi secara kimia bahan organik, baik yang bisa didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi biologi (non-biodegradable), menjadi CO 2 dan H 2 S. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang diperlukan dalam mengkonsumsi air sampel (Boyd 1982). Nilai COD juga dapat memberikan indikasi kemungkinan adanya pencemaran limbah industri di dalam perairan, Bila nilai COD jauh lebih besar dari nilai BOD (Alaerst dan Santika 1987).
24 2.7.8 Nitrogen (Ammonia, Nitrit, Nitrat) dan Fosfat Nitrogen dalam perairan dapat berbentuk senyawa ammonia, nitrit, nitrat dan senyawa bentuk lain. Senyawa tersebut berasal dari limbah pertanian, pemukiman dan industri (Alaerst dan Santika 1987). Sedangkan alami senyawa ammonia di perairan berasal dari hasil metabolise hewan dan hasil proses dekomposisi bahan organik oleh bakteri. Jika kadar ammonia di perairan terdapat dalam jumlah yang terlalau tinggi, lebih besar dari 1.1 ppm pada suhu 25oC dan pH 7.5 dapat diduga adanya pencemaran. Ammonia (NH 3 ) dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air. Sumber ammonia di perairan adalah hasil pencemaran nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan bita akuatik yang telah mati) yang dilakukan oleh mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah amonifikasi (Effendi 2000). Ammonia yang terukur di perairan berupa ammonia total (NH 3 dan NH 4 +). Nilai ammonia bebas meningkat dengan meningkatnya nilai pH dan suhu perairan. Toksisitas ammonia terhadap organisme akuatik meningkat dengan penurunan kadar oksigen terlarut, pH dan suhu. Kadar ammonia pada perairan alami biasanya kurang dari 0.1 mg/l dan kadar ammonia bebas yang tidak terionisasi (NH 3 ) pada perairan tawar sebaiknya tidak melebihi 0.02 mg/l. Kadar ammonia bebas melebihi 0.2 mg/l bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan (Sawyer dan Mc Carty 1978 in Effendi 2000). Kadar ammonia yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri dan limpasan (run-off) pupuk pada pertanian. Nitrit (NO 2 ) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan alami, kadarnya lebih kecil dari pada nitrat bersifat tidak stabil jika terdapat oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan (intermediate) antara ammonia dan nitrat (nitrifikasi) dan antara nitrat dan gas oksigen (denitrifikasi) (Effendi 2000). Kadar nitrit di perairan alami sekitar 0.001 mg/l dan sebaiknya tidak melebihi 0,06 mg/l. kadar nitrit melebihi 0.05 mg/l dapat bersifat toksik bagi organisme yang sensitif (Moore 1991 in Effendi 2000)
25 Nitrat (NO 3 ) adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami. Nitrat merupakan salah satu nutrient senyawa yang penting dalam sintesa protein hewan dan tumbuhan. Konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan dapat menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan organisme (fitoplankton, tumbuhan air), Apabila didukung oleh nutrient (nitrat nitrogen) terlarut (Alaerst dan Santika 1987). Fosfat merupakan komponen yang penting bagi kesuburan perairan. Fosfat dalam air dapat berupa bahan padat atau bahan terlarut. Fosfat padat dapat terbentuk sebagai suspensi garam-garam yang tidak larut (Sastrawijaya 1991). Fosfat yang diserap oleh organisme nabati dalam bentuk ortophosphat yang merepresentasikan nutrient fosfor (P) terlarut dan merupakan bioavailable phosphorus. Ketersediaan ortophosphat dan bioavailable phosphorus merupakan gambaran singkat perairan, dan merupakan faktor paling penting bila perairan hendak dimanfaatkan untuk keperluan perikanan. Konsentrasi fosfat dalam perairan alami pada umunya tidak melebihi 0.1 ppm. Menurut Wardoyo (1987) kandungan fosfat yang melebihi kebutuhan normal akan meningkatkan kesuburan perairan dan merangsang pertumbuhan fitoplankton. 2.8 Indikator Biologi Indikator biologi merupakan gambaran dari ketersediaan pakan alami yang ada di suatu perairan. Pakan alami yang ada di perairan terdiri dari plankton, perifiton dan benthos. Perifiton adalah komunitas organisme yang hidup di atas atau di sekitar substrat yang tenggelam. Substrat tersebut dapat berupa batubatuan, kayu, tumbuhan air yang tenggelam dan kadangkala hewan air (Odum 1971). Sedangkan menurut Wetzel (1979), perifiton tediri dari mikroflora yang tumbuh pada substrat yang tenggelam. Pada umumnya komunitas perifiton terdiri dari dari algae mikroskopis yang bersifat sessil, satu sel maupun filament terutama jenis diatome, cojugales, cyanophyceae, xanthophyceae dan chrysophyceae. Struktur komunitas perifiton dari setiap perairan dapat beragam. Produktifitas perifiton di perairan tenang hanya terbatas pada daerah litoral yang dangkal dimana matahari masih mampu menembus ke dasar. Sedangkan pada kondisi adanya pengaruh arus, maka perifiton menjadi lebih berperan daripada plankton. Menurut Welch (1980), menyebutkan komposisi perifiton
26 diperairan mengalir dapat berupa satu atau beberapa jenis diatom, algae biru berfilamen, algae hijau berfilamen, bakteri atau jamur berfilamen, protozoa dan rotifer (tidak banyak pada perairan tak tercemar) dan beberapa jenis serangga. Faktor yang mempengaruhi perkembangan perifiton adalah tipe air, intensitas cahaya matahari, kecerahan, kekeruhan, tipe substrat, kondisi lokasi, kedalaman, arus, pH, alkalinitas dan nutrient (Wetzel 1979). Pada daerah yang terlindung dari cahaya dan kolonisasi perifiton menurun. Proses kolonisasi merupakan pembentukan koloni perifiton pada substrat yang berlangsung segera seketika setelah pengkoloni menempel pada substrat. Perkembangan
perifiton
menuju
kemantapan
komunitasnya
sangat
ditentukan oleh kemantapan keberadaan substrat. Substrat benda hidup sering bersifat sementara karena adanya proses pertumbuhan dan kematian. Setelah tumbuh cepat kemudian menetap selanjutnya mengalami kematian dan pembusukan. Selain itu substrat hidup akan mengalami perubahan sebagai akibat dari respirasi dan asimilasi, sehingga memepengaruhi komunitas perifiton. Pada substrat benda mati akan lebih menetap (permanen), meskipun pembentukan komunitas lambat namun lebih mantap, tidak mengalami perubahan, rusak atau mati (Ruttner 1974). Berdasarkan cara tumbuhnya, perifiton dibedakan menjadi epi-, bila perifiton menempel pada permukaan substrat dan endo- bila perifiton tersebut tumbuh menembus substrat. Berdasarkan substart penempelannya, perifiton dapat dibedakan atas (Wetzel 1982): a. Epifelik, mikroorganisme yang menempel pada permukaan sedimen b. Epilitik, yang menempel pada permukaan batuan c. Epizoik, yang menempel pada permukaan hewan d. Epifitik, yang menempel pada permukaan tumbuhan e. Episamik, yang hidup dan bergerak diantara butiran-butiran pasir Kemampuan perifiton menempel pada substrat menentukan eksistensinya terhadap pencucian oleh arus atau gelombang yang dapat memusnakannya (Ruttner 1974). Beberapa jenis alat untuk menempel pada subtrat dapat dibedakan yaitu:
27 1. Rhizoid, seperti pada Oedogonium dan ulothrix 2. Tangkai bergelatin panjang atau pendek seperti Cymbella, Gomphomena, dan Achnanthes. 3. Bentuk piringan sel basal terutama pada alga filamen, dan 4. Bantalan gelatin berbentuk setengah bulatan (sphaerical) yang diperkuat
dengan kapur atau tidak, seperti Rivularia, Chaetophora dan Ophirydium (Hynes 1972; Rutter 1974). 2.9 Valuasi Ekonomi untuk Menilai Sumberdaya Mangrove melalui Pendekatan Silvofishery Valuasi ekonomi sumberdaya alam dalam penelitian ini merupakan suatu alat ekonomi sebagai teknik penelitian sumberdaya alam untuk mengestimasi nilai uang dari barang dan jasa yang diberikan oleh ekosistem mangrove melalui pendekatan silvofishery. Penerapan teknik valuasi ekonomi ini salah satunya dapat dilakukan dengan menghitung nilai ekonomi total dari pengelolaan ekosistem mangrove dengan pendekatan silvofishery. Nilai Ekonomi Total (NET) merupakan jumlah dari nilai pemanfaatan (use value) dan nilai non pemanfaatan (non-use value) adalah jumlah dari total penggunaan langsung dan tidak langsung saat ini serta imbalan resikonya. Valuasi ekonomi ini juga diyakini sebagai alat yang mampu memberikan informasi bagi pengambilan keputusan dalam pengelolaan ekosistem mangrove melalui pendekatan silvofishery. NET merupakan jumlah dari nilai pemanfaatan (Use Value = UV) dan nilai non pemanfaatan (non use value = NUV). Nilai pemanfaatan adalah jumlah dari nilai pemanfaatan langsung (Direct Use Value = DUV), nilai pemanfaatan tidak langsung (Indirect Use Value = IUV) dan nilai pilihan (Option Value = OV). Nilai non pemanfaatan adalah jumlah dari nilai eksistensi (Existence Value = XV) dan nilai waris (Bequest Value = BV). Dengan demikian NET menurut Cserge 1994 in Sanim 1997 dapat dirumuskan dalam formulasi sebagai berikut: TEV = UV + NUV = (DUV + IUN + OV) + (XV +BV)
3. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Dusun Sungai Burung, Kampung Adi Warna, Kabupaten Tulang Bawang, Propinsi Lampung (Gambar 5). Penelitian berlangsung selama 2 bulan, dimulai dari bulan Mei sampai Juni 2010.
Gambar 5 Lokasi penelitian
3.2 Penentuan Titik Pengamatan Pengamatan dilakukan dalam petakan tambak yang di dalamnya terdapat ekosistem mangrove. Pengamatan dilakukan di petakan tambak dengan membagi menjadi 5 titik pengamatan seperti yang terlihat pada Gambar 6. Titik-titik pengamatan tersebut terletak di masing-masing ujung petakan tambak sejumlah 4 titik dan dibagian tengah tambak 1 titik.
30
Gambar 6 Pembagian plot pengamatan dan penempatan trap pada petak tambak.
3.3 Pengukuran Produktifitas Serasah Metode yang paling umum digunakan untuk mengukur produktivitas serasah yaitu dengan menggunakan metode litter trap (jaring penampung serasah) (Juman 2005). Prosedur pengukuran produktifitas serasah disajikan pada Gambar 7 dibawah ini. Buat litter traps (jaring penampung serasah) dengan ukuran 1m x 1m dan ukuran mata jaring (mesh size) 1 mm
Litter trap diikatkan pada batang pohon mangrove (lihat gambar 9)
Ambil serasah yang tertampung pada litter trap dengan interval pengambilan 7 hari. (7, 14, 21, 28, 36, dan 42 hari)
Keringkan serasah yang telah diambil dengan menggunakan oven pada suhu 105oC hingga beratnya konstan.
Keluarkan serasah dari oven, lalu pisahkan per masing-masing bagian (daun, ranting, bunga/buah)
Timbang berat kering per masing-masing bagian serasah
Produktifitas serasah (gr/m2/hr)
Gambar 7 Prosedur pengukuran produktifitas serasah
31
Pengukuran produktifitas serasah dapat dilakukan dengan cara menampung guguran serasah yang dihasilkan oleh mangrove dengan memasang jaring penampung serasah (litter trap). Jaring penampung tersebut diletakkan dibawah setiap pohon mangrove yang diikatkan dibatangnya dengan ketinggian ± 50 cm diatas garis pasang tertinggi. Jaring penampung serasah tersebut terbuat dari nylon dengan ukuran 1x1 meter dan ukuran mata jaring (mesh zise) 1 mm seperti pada Gambar 8.
Gambar 8 Penempatan penangkap serasah dalam ekosistem mangrove Pengukuran terhadap produktifitas serasah dilakukan dengan mengambil guguran serasah yang terdapat di jaring serasah dengan selang waktu pengambilan 7 hari, 14 hari, 21 hari, 28 hari, 35 hari dan 42 hari. Serasah yang telah diambil tersebut kemudian dicuci bersih dengan air tawar dan dikering anginkan. Serasah yang sudah dikering anginkan tersebut kemudian dibawa ke laboratorium untuk diukur berat keringnya dengan menggunakan oven pada suhu 105oC hingga beratnya konstan. Yang dimaksud dengan berat konstan di sini adalah berat menurut Newbould (1967) in Soeroyo (1988) dan Soekarjo (1996) yaitu berat kering serasah yang didapat dengan cara pengeringan di dalam oven selama 24 jam dengan satuan gram ( gr). Serasah kemudian dikeluarkan dari oven dan dipisahkan per masing-masing bagian (daun, ranting, dan bunga/buah) lalu ditimbang beratnya. Catat berat per masing-masing bagian serasah tersebut selama pengamatan (7hari, 14 hari, 2i hari,
32
28 hari, 35 hari dan 42 hari) dalam sebuah tabel kemudian jumlahkan untuk mendapatkan total produktivitas serasah dengan satuan (gr/m2/hari).
3.4 Pengukuran Laju Dekomposisi Serasah Laju dekomposisi serasah merupakan jumlah bahan organik mati yang mengurai dalam selang waktu tertentu (Simangunsong 1994). Prosedur pengukuran laju dekomposisi serasah dapat dilihat pada Gambar 9.
Ambil daun mangrove yang masih segar Keringkan daun mangrove dengan menggunakan oven pada temperature 70oC hingga beratnya konstan Ambil satu daun lalu timbang berat keringnya
Berat kering awal /IW dengan satuan gram Masukkan daun yang telah kering tersebut ke dalam kantong serasah (litter bag) dengan ukuran 10 cm x 15 cm. lalu ikatkan pada batang pohon mangrove (lihat gambar 11) Ambil kantong serasah (litter bag) dengan interval 7 hari (7, 14, 21, 28, 35, dan 42 hari) Bersihkan kantung serasah tersebut dengan air tawar Keluarkan daun dari kantung dan cuci dengan menggunakan ayakan agar terbebas dari kotoran yang menempel
Daun kemudian di keringkan kembali dengan menggunakan oven pada temperature 105oC hingga beratnya konstan Keluarkan serasah dari oven lalu timbang berat keringnya Berat kering akhir/FW dengan satuan gram (gr) Laju dekomposisi serasah ( R )= (IW - FW) / D
Gambar 9 Prosedur pengukuran laju dekomposisi serasah
33
Pengukuran laju dekomposisi bertujuan untuk mengetahui besarnya penghancuran serasah selama penelitian dan juga untuk menduga banyaknya serasah yang dapat terurai selama selang waktu tertentu (Juman 2005). Informasi mengenai kecepatan dekomposisi merupakan hal yang sangat penting untuk mengetahui besarnya pengurangan jumlah bahan organik yang dikandung dalam serasah. Pengukuran laju dekomposisi ini dapat dilakukan dengan mengambil daun mangrove yang masih segar dari pohonnya.
Daun mangrove yang telah diambil
tersebut kemudian dicuci dengan air tawar sehingga bersih dari kotoran yang menempel dan kemudian dikering anginkan. Daun yang sudah dikering anginkan tersebut kemudian dibawa ke laboratorium untuk diukur berat keringnya dengan cara dikeringkan di dalam oven pada temperatur 105oC hingga beratnya konstan. Daun mangrove kemudian di keluarkan dari oven lalu timbang beratnya. Berat yang di dapat merupakan berat kering awal (IW) dengan satuan gram (gr). Masukkan daun mangrove ke dalam kantong serasah (litter bag) yang terbuat dari benang synthetic dengan mesh size 1 mm, yang berukuran 10 cm x 15 cm. Kemudian kantong serasah (litter bag) yang sudah diisi dengan daun mangrove yang sudah dikeringkan diikatkan pada akar atau batang pohon mangrove agar tidak terbawa air pada saat pasang seperti yang terlihat pada Gambar 10. Teknis penempatan kantong serasah untuk masing-masing hari pengamatan yaitu 7 hari, 14 hari, 21 hari, 28 hari, 35 hari dan 42 hari dilakukan secara bersamaan.
Gambar 10 Penempatan kantong serasah
34
Kantong diambil sesuai jadwal pengambilan yaitu setelah 7 hari, 14 hari, 21 hari, 28 hari, 35 hari dan 42 hari dan dicuci dengan air tawar hingga terbebas dari kotoran yang melekat. Keluarkan daun mangrove dari kantong dan di cuci dengan air tawar dengan menggunakan ayakan/saringan hingga bersih dari kotoran lalu ditiriskan dan dikering anginkan. Laju dekomposisi serasah dihitung menggunakan persamaan :
atau Ln Wt =Ln Wo – kt
dengan k=laju dekomposisi (gr/hari), Wo=berat kering konstan awal serasah daun (gr), Wt=berat kering akhir konstan serasah daun (gr), dan t=lamanya waktu pendekomposisian (hari) (Olson 1963 in Riberio et al. 2002; Carnevale NJ & Lewis JP 2000; Palma et al. 1998; Oladoye AO 2001).
3.5 Analisis Unsur Hara Analisis unsur hara untuk kandungan carbon total, nitrogen total dan orthofosfat
serasah
mangrove
dilakukan
di
laboratorium
Kimia,
PT.
Centralpertiwi Bahari (CPB) Lampung. Contoh serasah daun diambil 10 gram berat kering konstan daun untuk tiap plot, dan dilakukan sebanyak 7 kali dalam proses pendekomposisian yaitu di awal pendekomposisian, setelah 7 hari, 14, hari, 21 hari, 28 hari, 35 hari dan 42 hari.
3.5.1 Penentuan Kadar Carbon Total Prosedur yang digunakan untuk mendapatkan kadar carbon total yaitu dengan mengambil contoh sampel daun yang sudah ditumbuk menjadi tepung daun sebanyak 5 mg dan masukkan dalam tabung Erlenmeyer 250 ml, kemudian dianalisa kadar Carbon totalnya menggunakan metode yang dideskripsikan oleh Kjeldahl (1883).
3.5.2 Penentuan Kadar Nitrogen Total Prosedur yang digunakan untuk mendapatkan kadar nitrogen total yaitu dengan mengambil sebanyak 100 mg tepung daun lalu dimasukkan ke dalam
35
botol sampel, kemudian dianalisa kadar nitrogen totalnya dengan menggunakan methode yang dideskripsikan oleh Kjeldahl (1883) in Ulqodry (2008).
3.5.3 Penentuan Kadar Ortofosfat Penentuan kadar orthofosfat yaitu dengan mengambil sampel tepung daun sebanyak 100 mgr dan kemudian dimasukkan dalam botol sampel. Kemudian dianalisa kadar orthofosfat totalnya menggunakan metode yang dideskripsikan oleh Kjeldahl (1883) in Ulqodry (2008).
3.6 Parameter Biologi Data-data yang berhubungan dengan parameter biologi yang diamati adalah: plankton, perifiton dan benthos. Organisme-organisme tersebut merupakan sumber pakan alami yang banyak dimanfaatkan oleh ikan atau udang di perairan. Analisis kuantitatif indeks biologi untuk pakan alami meliputi perhitungan keragaman, keseragaman dan dominansi dari Shannon-Wiener (Krebs 1972). Indeks keragaman jenis (H'):
Pi = N/ni, dimana H' merupakan indeks keragaman jenis, ni merupakan jumlah individu taksa ke-i, N merupakan jumlah total individu dan Pi merupakan proporsi spesies ke-i. Indeks keseragaman (E):
di mana E merupakan Indeks keseragaman jenis, H’ merupakan Indeks keragaman jenis, H max merupakan Indeks keragaman maksimum.
Indeks dominansi (D):
36
dimana D merupakan indeks dominansi Simpson,
merupakan jumlah individu
tiap setiap genus, dan N merupakan total individu seluruh spesies. 3.6.1 Plankton Pengambilan contoh plankton dilakukan dengan menggunakan plankton net dengan ukuran mesh size 50 µm. Cara pengambilan sampel air menggunakan ember yang telah diketahui volumenya, dan air sampel diambil sebanyak 10 liter. Air yang tertampung pada bagian penampungan plankton net selanjutnya dipindahkan ke dalam botol roll film/botol sampel yang dicampur dengan beberapa tetes larutan lugol yang bertujuan sebagai pengawet dan pemberi warna pada plankton sehingga dapat dibedakan antara plankton dengan benda lainnya. Perhitungan kelimpahan plankton setelah proses penyaringan di atas yaitu dengan metode pencacahan secara acak dengan mengambil setetes (± 1 ml ) air sampel yang diletakkan di atas gelas obyek lalu ditutup dengan gelas penutup (cover glass) dengan ukuran 50 x 20 mm. Selanjutnya diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran total 100 kali untuk pengamatan phytoplankton dan pembesaran total 40 kali untuk pengamatan zooplankton. Pembuatan preparat dan pengamatan dilakukan sebanyak 5 kali setiap sample. Komposisi individu plankton yang didapat kemudian disusun dalam tabel berdasarkan taxa dan stasiun pengamatan. Jumlah individu yang diperoleh dari masing-masing stasiun pengamatan kemudian dijumlahkan. Komposisi plankton pada setiap stasiun pengamatan secara relatif dijabarkan dalam presentase sebagai proporsi kelompok yang ditentukan dengan menggunakan formula sebagai berikut:
Dimana N adalah jumlah total plankton (individu/liter); n adalah jumlah rata-rata total individu plankton pada setiap lapang pandang; A adalah luas gelas penutup (50 x 20 mm); B adalah luas satu lapang pandang (Π x r2 mm2, r adalah jari-jari lapang pandang lensa objektif yang telah ditera dengan micrometer okuler); C adalah volume air tersaring (50 ml); D adalah volume air tetes (ml) di bawah gelas penutup (1 ml) dan E adalah volume air yang disaring (10 liter).
37
3.6.2 Perifiton Pengambilan contoh perifiton dilakukan dengan cara mengerik batang atau akar mangrove. Hasil kerikan yang telah dilakukan pada batang atau akar mangrove kemudian dimasukkan dalam botol sampel, kemudian diberi bahan pengawet lugol dan diberi label. Pengamatan terhadap perifiton dilakukan dibawah mikroskop binokuler dengan pembesaran 400 kali (10 x 40) sebanyak 5 kali ulangan dan diidentifikasi dengan mengikuti panduan buku identifikasi perifiton (Bold dan Wynne 1985) Komposisi individu perifiton disusun ke dalam tabel berdasarkan stasiun pengamatan. Jumlah individu yang diperoleh dari masing-masing stasiun pengamatan kemudian dijumlahkan. Komposisi perifiton pada setiap stasiun pengamatan secara relatif dijabarkan dalam presentase sebagai proporsi kelompok yang ditentukan dengan menggunakan formula sebagai berikut:
Kelimpahan perifiton dihitung seperti menghitung kelimpahan
planktin
(modifikasi Eaton et.al. 1995)
Di mana N adalah jumlah perifiton (individu/cm2); T adalah luas permukaan gelas penutup (324 mm2); L adalah luas satu lapang pandang (1 036mm2); P adalah Jumlah perifiton yang ditemukan; p adalah jumlah lapang pandang; V adalah volume konsentrat dalam botol contoh (50 ml); v adalah volume konsentrat pada gelas objek (0.05 ml); D adalah luas permukaan batang atau akar yang dikerik (cm2).
3.6.3 Benthos Pengambilan contoh benthos dilakukan dengan menggunakan pipa paralon dengan diamter 2 (dua) inchi sepanjang 1 (satu) meter. Pipa Paralon ini dimasukkan ke dalam substrat sampai kedalaman 20 (dua puluh) cm, kemudian
38
bagian atas pipa ditutup hingga kedap dan selanjutnya pipa diangkat. Substrat yang diperoleh dimasukkan ke dalam kantong plastik, selanjutnya substrat diayak menggunakan ayakan dengan mesh size 1 mm. Organisme benthos yang tertinggal diayakan dimasukkan dimasukkan dalam botol sampel dan diberi larutan alkohol 70% sebagai pengawet. Selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi menggunakan panduan identifikasi benthos (Edmonson 1956) 3.7 Parameter Fisika Perairan Data parameter fisika yang akan diamati terdiri atas temperatur dan salinitas.
3.7.1 Temperatur Pengukuran
temperatur
perairan
dilakukan
dengan
menggunakan
termometer air raksa (Hg) dengan satuan oC. Termometer ini dicelupkan ke dalam air (tidak semua bagiannya tercelup dan diusahakan agar tidak terjadi kontak langsung dengan tangan yang suhunya bisa mempengaruhi hasil pengukuran). Pengukuran dilakukan sebanyak 5 kali ulangan.
3.7.2 Salinitas Pengukuran salinitas atau kadar garam di perairan dapat diukur dengan menggunakan refraktometer atau salinometer.
3.8 Parameter Kimia Perairan Untuk mendapatkan data-data parameter kimia maka perlu dilakukan pengamatan terhadap oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen biokimiawi (BOD), kebutuhan oksigen kimiawi (COD), kadar Nitrogen, dan Orthophosfat. 3.8.1 Oksigen Terlarut (DO) Pengukuran terhadap kadar oksigen terlarut di perairan dapat digunakan dengan menggunakan bantuan alat ukur elektrik yang disebut dengan DO meter. Alat ini berfungsi untuk mengetahui jumlah mg/l gas oksigen yang terlarut dalam air. Pengukuran dapat dilakukan dengan memasukkan DO meter ke dalam perairan yang dijadikan lokasi pengamatan.
39
3.8.2 Kebutuhan Oksigen Biokimiawi (BOD) Pengukuran terhadap BOD dapat dilakukan dengan cara menghitung kadar oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan organik yang terlarut di perairan dalam waktu 5 hari. Jadi pengukuran BOD merupakan selisih antara kadar oksigen pada hari pertama dan hari kelima. Langkah yang dapat dilakukan yaitu dengan mengambil air sampel sebanyak 35 ml lalu masukkan dalam tabung 1000 ml. Tambahkan air sampai volume 700 ml dan lakukan proses aerasi dengan menggunakan selang oksigen selama ± 10 menit. Air sampel yang sudah diaerasi tersebut kemudian dimasukkan ke dalam botol winkler yang berwarna bening dan berwarna gelap. Saat memasukkan air sampel ke dalam botol winkler usahakan jangan sampai timbul gelembung udara di dalam botol. Botol yang berwarna bening langsung diamati kandungan oksigennya sedangkan yang berwarna gelap disimpan terlebih dahulu selama 5 hari ditempat yang tidak terkena sinar matahari. 3.8.3 Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) Pengukuran terhadap COD dengan menggunakan metode spektrofotometri yaitu dengan cara mengambil sampel air sebanyak 10 ml ke dalam Erlenmeyer 50 ml. Sampel air kemudian dianalisa dengan mengguna metode refluks tertutup dan pengukuran kadar absorbansi dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm. 3.8.4 Nitrogen Pengukuran kadar Nitrogen dalam air meliputi nitrit dan nitrat yang terkandung di dalam air sampel. Untuk mendapatkan kadar nitrogen (nitrat nitrit) yang harus dilakukan yaitu dengan mengambil air sampel sebanyak 10 ml. Kadar nitrogen (nitrat dan nitrit) diukur dengan menggunakan metode spektrofotometer pada panjang gelombang 543 nm.
3.8.5 Orthofosfat Pengukuran kadar orthofosfat dalam air pada penelitian ini menggunakan metode Molibdat-Vandat (Apriyantono 1989). Sampel diperlakukan dengan asam
40
nitrat untuk mengubah semua metafosfat dan pirofosfat menjadi ortofosfat, kemudian sampel diperlakukan dengan asam molibdat dan asam vanadat sehingga ortofosfat yang ada di dalam sampel akan bereaksi dengan pereaksi-pereaksi tersebut dan membentuk kompleks asam vanadimolibdifosfat yang berwarna kuning orange. Intensitas warna dari senyawa kompleks tersebut dapat diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 400 nm.
3.8.6 Padatan Tersuspensi Total (TSS) Pengukuran padatan tersuspensi total bertujuan untuk mengetahui jumlah padatan yang tersuspensi dalam air. Metode yang digunakan dalam pengukuran TSS yaitu dengan menggunakan metode gravimetri, yaitu dengan cara menguapkan sampel air yang dalam bahan dengan cara dipanaskan.
3.9 Parameter Ekonomi Metode penilaian yang biasanya digunakan disesuaikan dengan jenis fungsi atau manfaat yang berhasil diidentifikasi dari ekosistem mangrove yang dikelola dengan pendekatan silvofishery. Penilaian dan identifikasi sumberdaya pada penelitian ini dibatasi pada sumberdaya ikan, udang dan kepiting. Adapun cara valuasi ekonomi terhadap ekosistem mangrove yang dikelola dengan pendekatan silvofishery ini yaitu dengan indentifikasi manfaat dan fungsi dari ekosistem mangrove, kuantifikasi seluruh manfaat dan fungsi ke dalam nilai uang, dan melakukan penilaian alternatif pemanfaatan ekosistem mangrove. Analisa manfaat ekonomi didasarkan atas perhitungan nilai ekonomi yang dapat dihasilkan dari penangkapan dan penjualan udang dan kepiting. Untuk mendapatkan data tersebut digunakan bantuan alat tangkap (impes) yang dilakukan bersamaan dengan hari pengamatan laju dekomposisi serasah. Hasil udang dan kepiting yang didapat tersebut kemudian dikonversikan ke dalam nilai rupiah dengan cara mengalikan jumlah tangkapan untuk masing-masing hasil tangkapan (udang dan kepiting) dengan harga jual yang berlaku di pasaran.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Kabupaten Tulang Bawang secara administratif
di sebelah selatan
berbatasan dengan Kabupaten Lampung Tengah, di sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa, di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Gedung Aji, dan di sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Menggala. Kawasan pesisir Kabupaten Tulang Bawang sebagian besar digunakan untuk kegiatan budidaya (tambak) perikanan. Luasan penggunaan lahan untuk tambak mencapai 12 272.62 ha atau sekitar 63.26% dari total luas wilayah. Penggunaan wilayah untuk kegiatan pertambakan sebagian besar berada di Kampung Adiwarna dan Kampung Mandiri, akan tetapi fokus penelitian dibatasi di Desa Sungai Burung yang terletak di Kampung Adiwarna. Petakan tambak yang masih menggunakan pola silvofishery yang dapat dijumpai di Desa Sungai Burung, Kampung Adiwarna merupakan tambak tradisional milik masyarakat lokal dengan luasan ±1 ha (400m x 25m) dengan desain tambak dalam Gambar 11.
Gambar 11 Desain tambak penelitian
Tambak silvofishery yang ada sebelumnya, dimana merupakan tambak milik Perusahaan Perikanan (PT. Central Pertiwi Bahari/CPB) telah rusak dan
42
tidak dapat difungsikan, disebabkan karena gangguang alam (gempuran ombak). Jenis mangrove yang ditanam dalam petakan tambak adalah homogen dengan jenis Rhizophora apiculata. Umur tanam rata-rata ± 3 tahun, memiliki tinggi ratarata ± 1.5 m dan diameter batang rata-rata 4.5 cm.
4.2. Karakteristik Fisika Kimia Perairan Berdasarkan hasil pengukuran parameter fisika kimia perairan di pesisir timur Propinsi Lampung selama 42 hari pengamatan disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Kualitas air di lokasi penelitian Parameter
Min
o
Suhu ( C) 28 Salinitas (o/oo) 7 DO (mg/l) 5.1 pH 8.04 TSS (mg/l) 108 TOM (mg/l) 11.38 NO 3 -N (mg/l) <0.01 PO 4 -P (mg/l) 0.097 BOD 5 (ppm) 56.83 COD (ppm) 141.28 *) PP Nomor 20 Tahun 1990, Air Golongan C
Max
rerata±STD
Baku Mutu*)
30 12.5 6.9 8.4 144 16.43 <0.01 0.655 94.4 307
29.3±0.7 9.1±2.2 5.9±0.7 8.2±0.3 145.3±25 13.1±1.8 <0.01±0.00 0.4±0.2 78.2±12.6 200.4±56
30 >3 6-9 -
Menurut PP Nomor 20 Tahun 1990, berdasarkan baku mutu air golongan C (air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan) dan menurut Boyd (1990) in Pirsan (2008), secara umum kondisi kualitas air di lokasi penelitian baik dari segi kimia maupun fisika layak untuk kehidupan ikan/udang dan bakteri pengurai.
4.3. Produktifitas Serasah Mangrove Produktivitas serasah mangrove digunakan sebagai indikator minimum tingkat produktivitas primer dan juga merupakan informasi penting mengenai energi dan siklus hara yang dihasilkan (Conner 1992). Nilai rata-rata produktifitas serasah mangrove di 5 plot pengamatan untuk masing-masing komponen serasah disajikan pada Tabel 2.
43
Tabel 2 Produksi serasah mangrove Rhizophora apiculata di lokasi studi (rata rata dari 5 plot pengamatan) Pengamatan keDaun 7 hari ke-1 7 hari ke-2 7 hari ke-3 7 hari ke-4 7 hari ke-5 7 hari ke-6 Total rerata
5.04±1.85 3.96±1.28 2.08±0.35 1.16±0.34 1.74±1.05 4.28±2.20 18.27±1.58 3.04±1.18
Σ Akum ulasi 5.04 9.00 11.09 12.24 13.98 18.27
Jumlah rata-rata serasah (gr/m2/hari) Σ Ranting Bunga Akum ulasi 0.01 0.01±0.01 0.012±0.02 0.03 0.02±0.03 0.004±0.01 0.05 0.02±0.04 0.003±0.00 0.03+0.06 0.08 0.003±0.01 0.13 0.05±0.03 0.007±0.01 0.43 0.30±0.10 0.000±0.00 0.43±0.11 0.030±0.00 0.07±0.01 0.005±0.003
Σ Akum ulasi 0.012 0.017 0.020 0.022 0.030 0.030
Total 5.06±2.90 3.99±2.28 2.10±1.20 1.19±0.66 1.80±0.99 4.58±.2.39 18.73±1.62 3.12±1.19
Data produktifitas rata-rata serasah mangrove jenis Rhizopora apiculata yang didapat selama pengamatan yaitu 42 hari secara keseluruhan menunjukkan bahwa daun merupakan komponen terbesar serasah. Tingginya kontribusi serasah daun dibandingan dengan komponen lainnya karena secara biologis pembentukan daun lebih cepat dibandingkan dengan komponen reproduksi (bunga/buah) dan cabang. Ditinjau dari segi umur mangrove pada lokasi penelitian yang rata-rata masih berumur 3 tahun dengan tinggi rata-rata ±1.5 meter dan diameter batang rata-rata ± 4.5 cm, pohon tersebut masih tergolong muda dengan kecepatan pertumbuhan yang tinggi, sehingga pembentukan daun berjalan lebih cepat dibandingkan bagian yang lainnya, dan oleh karenanya jumlah serasah yang jatuh lebih banyak dari bagian pohon lainnya. Daun mangrove yang jatuh ke dalam trap adalah daun yang berwarna kuning. Daun mangrove yang berwarna kuning ini sebelum jatuh, diduga sudah tidak mampu menjalankan fungsi utamanya berfotosintesa, karena jaringan sel daunnya sudah mati. Perbedaan jumlah daun (dari waktu pengamatan yang satu ke pengamatan berikutnya) yang masuk ke dalam trap selama penelitihan diduga disebabkan oleh faktor curah hujan yang mempercepat proses pengguguran daun yang sudah berwarna kuning. Ranting yang jatuh ke dalam trap merupakan ranting yang secara fisik sudah mengering dan diduga tidak ada jaringan sel yang hidup. Bunga yang jatuh ke dalam trap merupakan bunga yang sudah tua. Ciri bunga yang sudah tua biasanya ditandai dengan adanya perubahan warna dari hijau menjadi coklat tua.
44
Pembentukan daun juga lebih bersifat terus menerus (regenerasi yang relative cepat) dibandingkan dengan komponen lainnya. Secara fisik struktur daun pada pohon mangrove lebih mudah digugurkan oleh hembusan angin dan hujan. Daun mangrove merupakan komponen yang sangat penting, sehingga memiliki kemampuan beradaptasi pada lingkungan dengan salinitas tertentu. Sel-sel khusus yang terdapat di dalam daun berfungsi untuk menyimpan garam. Tingginya kontribusi daun terhadap produktifitas serasah yang dihasilkan terkait dengan salah satu bentuk adaptasi tumbuhan mangrove untuk mengurangi kehilangan air agar dapat bertahan hidup pada kondisi kadar garam tinggi (Zamroni 2008). Menurut Murdiyanto (2003), terdapat 3 cara mangrove untuk bertahan terhadap air garam: (i) mangrove menghindari penyerapan garam berlebihan dengan cara menyaring melalui bagian akarnya, (ii) secepatnya mengeluarkan garam yang masuk ke dalam sistem pepohonan melalui daun, (iii) menumpuk kelebihan garam pada kulit pohon dan daun tua lalu segera digugurkan. Persentase guguran serasah daun berkorelasi positif dengan salinitas perairan ekosistem mangrove, semakin tinggi salinitas perairan maka semakin tinggi pula produksi serasah mangrove. Serasah mangrove yang dihasilkan berupa daun merupakan serasah yang paling penting peranannya dibandingkan dengan komponen lain. Menurut Bunyavejchewin dan Nuyim (2001) dalam aliran energi hutan mangrove, daun memegang peranan penting karena merupakan sumber nutrisi bagi organisme. Serasah yang jatuh akan mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme menjadi detritus. Semakin banyak serasah yang dihasilkan dalam suatu kawasan mangrove maka semakin banyak pula detritus yang dihasilkan. Detritus inilah yang menjadi sumber makanan bernutrisi tinggi untuk berbagai jenis organisme perairan (khususnya micro organisme pemakan detritus atau detritivor) yang selanjutnya dapat dimanfaatkan oleh organisme tingkat tinggi dalam jaring-jaring makanan. Gambaran produktifitas serasah mangrove di beberapa daerah yang berbeda disajikan pada Tabel 3.
45
Tabel 3 Produktivitas sersah mangrove di beberapa lokasi penelitian No
Sumber
Lokasi Penelitian
Jenis Mangrove
1
Suyanti, 1995
Rhizophora apiculata
2
Juman, 2005
Rhizophora mangle
3.55
3
Zuriati, 2007
Avicennia marina
7.74
4
Ulqodry, 2008
Avicennia marina
2.99
5
Zamroni, 2008
Pantai Bama, TN Baluran, Jatim Bon Accord Lagoon, Tobago Hutan Lindung Angke, Jakarta Tanjung Api-Api, Sumatera Selatan Teluk Sepi, Lombok Barat
Produksi serasah (gr/m2/hari) 3.62
1.48 0.49
6
Penelitian ini
Rhizophora mucronata Rhizophora apiculata Rhizophora apiculata
Tulang Bawang, Lampung
3.12
Tabel 3 menunjukkan bahwa hasil penelitian yang dilakukan beberapa peneliti lain di beberapa daerah Indonesia, produksi serasah mangrove berkisar antara 0.49 g/m2/hari samapi dengan 7.74 g/m2/hari, sementara hasil penelitian ini adalah 3.12 g/m2/hari. Variasi tersebut nampaknya terkait dengan jenis pohon mangrove yang diamati. Menurut Kuriandewa (1998), dan Juman (2005) faktor iklim dan intensitas matahari dapat berpengaruh pada jumlah serasah daun yang jatuh.
4.4. Dekomposisi Serasah Pengamatan dekomposisi dilakukan selama 42 hari dengan interval pengamatan setiap 7 hari. Parameter yang diamati adalah penurunan berat daun selama dalam masa dekomposisi. Serasah daun dipilih sebagai bahan dekomposisi karena komponen daun merupakan bagian yang paling banyak dihasilkan oleh tanaman mangrove. Perubahan berat kering daun mangrove selama proses dekomposisi disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4 Perubahan bobot kering serasah daun Rhizophora apiculata (gr) Plot Pengamatan 1 2 3 4 5 Rerata
Hari ke0 10 10 10 10 10 10±0.00
Perubahan berat daun (gr) setelah mengalami degradasi/dekomposisi Hari ke-7 Hari keHari keHari keHari keHari ke14 21 28 35 42 8.55 7.15 6.89 6.62 6.27 5.94 8.53 7.44 6.57 5.92 5.18 4.83 8.62 7.22 6.61 5.87 5.02 4.67 8.81 7.87 7.53 7.15 6.77 5.80 8.99 7.40 7.40 6.29 5.65 5.06 8.70±0.20 7.42±0.28 6.70±0.27 6.37±0.53 5.78±0.73 5.26±0.58
46
Berdasarkan data yang di dapat pada Tabel 4 maka dapat dibuat grafik rata-rata perubahan berat kering serasah daun Rhizopora apiculata akibat dekomposisi pada gambar 12.
12
berat kering (gr)
10 8 Berat kering (gr)
6
Perubahan Berat kering (gr)
4 2 0 H0
H7 H14 H21 H28 H35 H42 hari pengamtan (hari)
Gambar 12 Rata-rata perubahan berat kering serasah daun akibat dekomposisi (gr)
Penurunan berat kering terbesar terjadi pada 7 hari pertama yaitu sebanyak 1.3 gram dari berat awal 10 gram. Hal ini diduga disebabkan karena hilangnya bahan-bahan organik serasah akibat penguraian oleh dekomposer yang biasanya terjadi di waktu awal setelah serasah gugur. Beberapa alasan dikemukakan untuk menjelaskan kehilangan berat pada beberapa minggu pertama yaitu disebabkan oleh (i) proses fisika dan biologi yang dapat menyebabkan banyaknya berat hilang dan mudah larut oleh air dibanding fraksi lignocelluloses (Andren & Paustian 1987), (ii) bahan yang mudah larut pada serasah kebanyakan mempunyai susunan organik yang sederhana termasuk didalamnya glukosa, phenolic dan asam amino (Suberkropp et al. 1976), dan ini akan terurai pada awal proses dekomposisi. Data rata-rata perubahan berat kering serasah Rhizopora apiculata yang telah didapat, akan digunakan untuk menentukan laju dekomposisi. Laju dekomposisi memberikan informasi mengenai banyaknya zat organik yang terurai di perairan dalam suatu waktu tertentu. Laju dekomposisi yang terjadi selama 42 hari dengan interval pengamatan 7 hari dapat diasumsikan penurunanya terjadi secara eksponensial. Menurut Olson (1963) in Riberio et al. (2002); Carnevale NJ
47
& Lewis JP (2000); Palma et al. (1998); Oladoye AO et al. (2001) bahwa penurunan nilai laju dekomposisi terjadi secara eksponensial. Hal ini dapat didekati dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
atau Ln Wt =Ln Wo – kt
Dimana Wt adalah berat kering (gr) pada waktu t, Wo adalah berat kering serasah awal (gr), e adalah bilangan logaritma natural (2.72), k adalah laju dekompsisi dan t adalah waktu pengamatan (hari). Dengan menggunakan rumus tersebut maka dapat ditentukan laju dekomposisi serasah daun jenis Rhizophora apiculata untuk masing-masing interval hari pengamatan seperti pada Tabel 5. Tabel 5 Laju dekomposisi berat kering serasah (gr/hari) Plot pengamatan 1 2 3 4 5 Rerata
Hari ke-0 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Hari ke-7
Hari ke-14
Hari ke-21
Hari ke-28
Hari ke-35
Hari ke-42
0.022 0.023 0.021 0.018 0.015 0.020±0.003
0.013 0.010 0.013 0.008 0.014 0.011±0.002
0.002 0.006 0.004 0.002 0.004 0.004±0.002
0.001 0.004 0.004 0.002 0.003 0.003±0.001
0.002 0.004 0.004 0.002 0.003 0.003±0.001
0.001 0.002 0.002 0.004 0.003 0.002±0.001
Berdasarkan Tabel 5, maka dapat dicari persamaan regeresi yang dapat digunakan untuk menyatakan kondisi laju dekomposisi sesuai dengan kondisi penelitian ini,
Ln Wt (berat akhir serasah (gr))
seperti pada Gambar 13.
2,5000
y = 2,212e-0,00x R² = 0,814
2,0000 1,5000
Ln (Wt) (gr) 1,0000 Expon. (Ln (Wt) (gr))
0,5000 0,0000 0
7
14
21
28
35
42
Hari pengamatan (hari)
Gambar 13 Laju dekomposisi selama pengamatan
48
Laju dekomposisi serasah daun berjalan secara eksponensial berdasarkan data 7 hari ke-1 sampai dengan 7 hari ke-6 didapatkan persamaan regresi y=2.2121e-0.007x, di mana y merupakan Ln berat kering akhir serasah (Wt) (gr), dan x merupakan hari pengamatan (hari). Laju dekomposisi serasah selama proses penelitian berkisar antara 0.02-0.002 gr/hari. Proses fisik pada dekomposisi di perairan berupa penggenangan oleh air payau yang lebih lama. Waktu penggenangan akan mempengaruhi hilangnya bahan-bahan yang terdapat pada serasah seperti unsur hara. Penguraian serasah juga dapat disebabkan oleh pergantian pasokan air di tambak dari air laut dan juga dari dari air hujan. Pergantian air ini akan berpengaruh pada besar kecilnya kandungan bahan-bahan organik yang dapat menyebabkan terjadinya proses penguraian. Lingkungan yang selalu lembab dan basah akan menyebabkan proses dekomposisi serasah berlangsung cepat karena di dalam lingkungan yang lembab dan basah, mikroba pengurai dapat tumbuh lebih banyak.
4.5. Kandungan unsur hara (C, N dan P) Unsur hara atau nutrien sangat diperlukan oleh organism terutama produsen primer, terutama unsur hara makro C, N dan P. Kandungan C,N dan P pada daun segar kering disajikan pada Tabel 6 sebagai berikut.
Tabel 6 Kandungan unsure hara (C,N, dan P) pada serasah Rhizophora apiculata segar Komponen Serasah Daun Ranting Bunga
Produksi unsur hara serasah (gr berat kering) C N P 8.2040 (82.04%) 0.2005 (2%) 0.0534 (0.5%) 4.5579 (45.58%) 0.0146(0.14%) 0.0022 (0.02%) 2.8959 (28.96%) 0.0118(0.118%) 0.0013 (0.013%)
Hal ini berarti apabila serasah yang dihasilkan oleh mangrove langsung jatuh ke perairan maka dapat diduga bahwa, perairan akan mendapatkan unsur hara dari serasah seperti nilai yang tercantum pada Tabel 6. Unsur hara C yang terdapat pada daun lebih besar dibandingkan dengan yang terdapat pada ranting dan bunga, hal ini disebabkan karena di daun merupakan tempat terjadinya proses
49
fotosintesis. Begitu juga dengan unsur N dan P pada daun lebih besar dibandingkan dengan yang terdapat pada ranting dan bunga. Besar kecilnya nilai produktifitas serasah akan sangat mempengaruhi banyaknya unsur hara yang dilepaskan ke perairan. Unsur hara C, N, dan P yang dapat dilepaskan ke perairan dapat terjadi melalui mekanisme pasang surut air laut dan intensitas curah hujan yang terjadi pada suatu wilayah. Unsur-unsur hara yang ada di dalam kolom air dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan mangrove melalui penetrasi air laut. Berkaitan dengan adanya proses dekomposisi serasah daun seperti yang dijelaskan pada bahasan sebelumnya, maka akan dapat diketahui perubahan nilai unsur hara yang dilepaskan ke perairan seiring dengan pertambahan waktu pendekomposisian yaitu selama 42 hari dengan interval pengamatan 7 hari pada tabel 7. Tabel 7 Perubahan unsur hara pada daun selama proses dekomposisi Hari pengamatan
Perubahan berat daun (gr) setelah mengalami dekomposisi
7 hari ke-0
10
7 hari ke-1
8.70
7 hari ke-14
7.42
7 hari ke-21
6.70
7 hari ke-28
6.37
7 hari ke-35
5.78
7 hari ke-42
5.26
Perubahan C, N, P selama proses dekomposisi (gr berat kering daun) C N P 8.204 0.204 0.053 (82.04%) (2.03%) (0.53%) 5.924 0.117 0.039 (68.09%) (1.34%) (0.45%) 3.708 0.081 0.021 (49.99%) (1.09%) (0.28%) 2.670 0.068 0.013 (38.73%) (0.98%) (0.18%) 2.043 0.053 0.012 (32.08%) (0.83%) (0.18%) 1.599 0.044 0.008 (27.69%) (0.76%) (0.13%) 1.032 0.020 0.005 (19.63%) (0.37%) (0.09%)
Berdasarkan Tabel 7 maka dapat dicari persamaan regresi, sehingga didapatkan nilai (k) untuk masing-masing unsur hara C (Gambar 14), N (Gambar 15) dan P (Gambar 16) selama proses dekomposisi.
9,000
10
8,000
9
7,000
8 7
6,000
6
5,000
5
y = 11,06e-0,33x R² = 0,992
4,000 3,000
4 3
2,000
2
1,000
1
0,000
0 H0
H7
H14
H21
H28
H35
berat serasah daun (gr)
berat C (gr)
50
C Perubahan berat serasah
H42
hari pengamatan (hari)
Gambar 14 Perubahan unsur hara C akibat dekomposisi
0,250
10 8
berat N (gr)
7 6
0,150
5 0,100
y = 0,256e-0,33x R² = 0,948
4 3 2
0,050
berat serasah daun (gr)
9 0,200
N Perubahan berat serasah
1 0
0,000 H0
H7
H14
H21
H28
H35
H42
hari pengamatan (hari)
Gambar 15 Perubahan unsur hara N akibat dekomposisi
0,060
10
berat P (gr)
0,050
8 7
0,040
6 0,030
5 y = 0,074e-0,38x R² = 0,976
0,020
4 3
berat serasah daun (gr)
9
P Perubahan berat serasah
2
0,010
1 0
0,000 H0
H7
H14
H21
H28
H35
H42
hari pengamatan (hari)
Gambar 16 Perubahan unsur hara P akibat dekomposisi
51
Unsur hara C, N dan P pada daun mengalami penurunan selama proses dekomposisi dalam perairan dengan laju dekomposisi (k) yang berbeda-beda. Persamaan regresi dan laju penurunan C, N dan P pada daun mangrove selama penelitian disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Persamaan regresi laju dekomposisi C, N dan P pada serasah daun mangrove Unsur Hara
Persamaan regresi
C
y=11.063e-0.337x
N
y=0.2561e-0.336x
P
y=0.0749e-0.338x
Unsur C, N, dan P yang diuraikan oleh mikroba melalui proses dekomposisi, merupakan unsur yang dibutuhkan oleh mikroba dalam melakukan metabolisme sel (Wulan et al. 2004). Unsur C yang terdapat pada sersah merupakan unsur utama yang berperan dalam penyusunan sel-sel bakteri. Unsur N memiliki peranan yang sangat penting dalam penyusunan asam nukleat, asam amino dan enzim-enzim. Unsur P berperan dalam pembentukan asam nukleat dan fosfolipid.
4.6. Pakan Alami 4.6.1. Benthos Hasil analisis benthos menunjukkan bahwa substrat dasar tambak penelitian hanya didominasi oleh satu jenis Gastropoda dari spesies melanoides, dengan kelimpahan 5 942 ind/m2. Dominasi melanoides di lokasi penelitian diduga disebabkan karena sifat spesies yang suka bergerombol dan mengelompok di habitat yang banyak mengandung makanan (Molles 1999). Melanoides menyukai habitat perairan tergenang dengan dasar berlumpur, hal ini sesuai dengan kondisi tempat penelitian. Keberadaan melanoides yang berada di dalam substrat lumpur, tidak akan mengganggu keberadaan organisme budidaya (ikan/udang) yang hidup di kolom air. Berdasarkan cara mencari makan,
52
melanoides tergolong dalam deposit feeder, yaitu hewan bentos yang mengambil makanan dalam substrat dasar (Odum 1993), sehingga dalam hal mencari makanan tidak saling mengganggu organisme budidaya yang pada umumnya mendapatkan makanan di kolom air atu di permukaan air. Menurut Darojah (2005), keberadaan bentos yang bersifat deposit feeder seperti melanoides, dapat menjadi pakan alami bagi organisme budidaya, seperti kepiting.
4.6.2. Plankton Hasil analisa pakan alami dalam perairan tambak percobaan disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Plankton di lokasi penelitian No A 1 2 B 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Berdasarkan
Klas Zooplankton Maxillopoda Monogononta Phyoplankton Chlorophyceae Euglenoidea Cyanophyceae Dinophyceae Bacillariophyceae
Tabel
9
Genus
Kelimpahan (ind/ml)
Copepoda Brachionus
30 10
Chlorella Chlamydomonas Euglena Oschillatoria Peridinium Nitzchia Skeletonema Chaetoceros Cyclotella Navicula Anapora Gyrosygma Total
didapatkan
indeks
478 333 225 50 842 75 8 110 750 90 050 150 63 50 75 578 813
dominansi
0.7075,
indeks
keanekaragaman 0.2327, indeks keseragaman 0.1119. Kondisi perairan di lokasi tersebut ditinjau dari keanekaragaman menunjukkan bahwa kondisi komunitas biotanya kurang stabil. Menurut Strin (1981) in Pirsan (2008) indeks perairan (H')<1 maka komunitas biota dinyatakan tidak stabil. Boyd (1999) in Pirsan (2008) menyatakan bahwa Ekosistem dengan keragaman rendah adalah tidak stabil dan rentan terhadap pengaruh tekanan dari luar dibandingkan dengan ekosistem yang memiliki keragaman tinggi.
53
Pakan alami merupakan unsur terpenting dalam menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidup organisme yang dibudidaya khususnya pada fase larva atau benih. Pakan alami disini mencakup fitoplankton dan zooplankton yang berperan sebagai sumber karbohidrat, lemak, protein dengan susunan asam amino yang lengkap serta mineral yang berperan dalam pertumbuhan larva atau benih ikan. Keberadaan fitoplankton sangat berperan dalam pertumbuhan larva pada petakan tambak, karena pada umumnya tahap awal pertumbuhan larva baik ikan maupun non ikan menggunakan pakan dari jenis fitoplankton. Sebagai contoh keberadaan chaetoceros dari kelas Bacillariophyceae untuk pakan alami khususnya bagi larva udang, keberadaannya di perairan lokasi penelitian lebih mendominasi dibandingan dengan jenis mikrolaga lainya yang berasal dari kelas yang sama. Hal ini diduga bahwa chaetoceros sangat bergantung pada perairan yang menyediakan unsur Nitrogen untuk proses pembentukan jaringannya. Kecenderungan melimpahnya chaetoceros tampaknya dipengaruhi oleh sinar matahari yang diterima oleh perairan tambak, kecenderungan masuknya suplai air tawar yang berasal dari sungai-sungai terdekat (sungai burung). Klas Chlorophyceae didominasi oleh chlorella sebagai pakan alami di lokasi penelitian. Hal tersebut disebabkan Chlorella mengandung berbagai nutrien seperti protein, karbohidrat, asam lemak tak jenuh, vitamin, klorofil, enzim, serat yang tinggi (Wirosaputro 1998 dan Steenblock 2000). Selain itu, Chlorella merupakan mikroalga kosmopolit yang sebagian besar hidup di lingkungan akuatik baik perairan tawar, laut maupun payau, juga ditemukan di tanah dan di tempat lembab (Vashishta 1999). Menurut Sachlan (1982) sel Chlorella memiliki tingkat reproduksi yang tinggi, setiap sel Chlorella mampu berkembang menjadi 10.000 sel dalam waktu 24 jam. Pakan alami yang berasal dari zooplankton, didominasi oleh klas Maxillopoda genus copepoda. Beberapa hal yang menyebabkan copepoda banyak dikonsumsi oleh larva ikan adalah (i) memiliki kandungan nutrisi yang tinggi sehingga sangat dibutuhkan bagi perkembangan larva ikan, (ii) memiliki tingkat toleransi hidup terhadap kualitas lingkungan perairan yang selalu berubah-ubah, (iii) memiliki ukuran tubuh yang sesuai dengan mulut larva ikan, (iv) bersifat
54
autolysis (mudah diserap oleh pencernaan larva ikan), dan (v) keberadaannya tidak meberikan efek pencemaran terhadap perairan (Sachlan 1982).
4.6.3. Periphyton Peranan mangrove dalam ekosistem perairan juga sebagai penyedia substrat periphyton pada perakaran. Hasil analisa pakan alami yang menempel pada perakaran mangrove (periphyton) disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Perifiton pada akar mangrove di lokasi penelitian No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Klas Cyanophyceae Bacillariophyceae
Dinophyceae: Chlorophyceae
Genus Oschillatoria Navicula Skeletonema Thallasiosira Nitzchia Pleurosigma Coscinodiscus Gyrosygma Cylotella Peridinium Chlorella Total
Kelimpahan (ind/cm2) 856 497 247 17 217 19 959 110 091 8 362 110 077 2 735 9 032 9 435 288 508
Tabel 10 menunjukkan bahwa perifiton didominasi oleh Bacillariophyceae yang didominasi oleh genus pleurosigma dengan indeks dominansi 0.3025, indeks keanekaragaman 0.6469 dan indeks keseragaman 0.311. Perifiton dalam ekosistem mangrove dapat berfungsi sebagai sumber pakan alami (produsen primer) dan penyedia oksigen bagi organisme yang hidup di ekosistem mangrove seperti ikan, udang dan kepiting. Menurut Fajariyanto (2008) manfaat lainnya dari perifiton berkaitan dengan kondisi perairan yaitu sebagai indikator mutu kualitas air (tingkat pencemaran dalam perairan) serta menjaga kualitas air pada indikator mutu tertentu bagi perairan perikanan yang terkendali mencakup parameter fisika, kimia dan biologi.
4.7. Deskripsi Pengelolaan Silvofishery Keberadaan tambak tradisional milik masyarakat yang masih bisa didekati dengan pendekatan silvofishery ini, dikelola oleh perorangan. Dalam hal
55
pengelolaannya, pemilik tambak tersebut mendapatkan penyadaran dan informasi baik dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Perusahaan budidaya perikanan yang ada di lokasi setempat (PT. Central Pertiwi Bahari). Bibit mangrove yang ditanam di petakan tambak merupakan bibit hasil persemaian yang dilakukan sendiri oleh pemilik tambak. Pengambilan biota/organisme budidaya di petakan tambak silvo dilakukan tanpa jadwal pemanenan, akan tetapi dilakukan menurut kebutuhan pemilik tambak. Hasil pemanenan dijual kepada pengepul yang biasanya datang menjemput ke lokasi atau biasanya dijual langsung di pasar terdekat. Pada umumnya masyarakat lebih menyukai untuk melakukan kegiatan budidaya di areal tambak dengan kondisi tanpa penanaman mangrove, sehingga kegiatan reboisasi di kawasan green belt sampai dengan saat ini masih susah diwujudkan. Kegiatan penanaman mangrove yang rutin dilakukan hanya diinisisai oleh PT. CPB dan Pemerintah baik Pusat maupun Daerah. Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan tambak silvofishery, adanya banjir yang biasanya terjadi pada bulan Mei setiap tahunnya. Hal ini disebabkan oleh hujan yang turun terus menerus dan juga disebabkan oleh pasang air laut. Banjir ini dapat menyebabkan organisme budidaya yang ada dalam petakan tambak hilang terbawa oleh banjir. Permasalahan lainnya yaitu kurang terorganisasinya petambak tradisional yang mempunyai keinginan untuk mengembangkan sebagian petakan tambaknya untuk kegiatan silvofishery, sebagai salah satu upaya pemulihan dan penyeimbang terhadap kualitas lingkungan persisir yang mulai menurun. Tidak adanya kelembagaan yang terbentuk di kalangan petambak tradisional berkaitan dengan upaya pengamanan areal tambak silvo, untuk menghindari upaya pencabutan mangrove yang baru atau akan ditanam. Kepemilikan lahan yang secara umum diakui oleh para petambak tradisional adalah dimiliki oleh pemerintah yang dalam hal ini dikelola oleh PT. CPB. Namun persengketaan lahan tidak membuat mereka berhenti bertambak. Petambak kawasan green belt dan lahan cadangan di sekitar PT. CPB, pada umumnya adalah pemilik lama dari kawasan tambak tradisional yang saat ini menjadi bagian dari PT. CPB. Kurang optimalnya keterpaduan pengelolaan lahan oleh PT. CPB dengan masyarakat sekitar menjadikan para petambak membuka
56
tambak secara terus menerus, hingga terjadi kerusakan yang sangat parah di bagian green belt.
4.8. Analisis Manfaat Ekonomi Kawasan pesisir timur Propinsi Lampung, khsusnya di Kabupaten Tulang Bawang sekitar 12 272.62 ha atau 63.26% telah digunakan untuk areal pertambakan. Luasan areal sabuk hijau yang ada sampai dengan saat ini 3 215.5 ha atau 16.57%
dengan ketebalan rata-rata antara 20- 50 meter. Ketebalan
mangrove di sepanjang sepadan pantai atau yang berada di areal sabuk hijau masih kurang dari standar yang layak untuk dijadikan daerah perlindungan. Tipisnya kawasan sabuk hijau akibat adanya konversi lahan oleh masyarakat setempat menjadi tambak. Rendahnya pemahaman masyarakat tentang fungsi kawasan sabuk hijau dipandang masih sangat minim. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan masyarakat penggarap kawasan sabuk hijau, menganggap bahwa pengalihfungsian lahan menjadi areal pertambakan lebih memberikan nilai ekonomis yang cukup tinggi dan lebih cepat. Dari tambak-tambak yang dibuka telah banyak digunakan untuk membudidayakan berbagai jenis ikan dan udang dengan nilai jual yang cukup menjanjikan. Rendahnya pemahaman tentang pemanfaatan kawasan sabuk hijau ini ditandai dengan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat lokal. Lebih dari 80.65% hanya lulusan Sekolah Dasar (SD) dan 13.16% lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pada umumnya mereka tidak mengetahui fungsi kawasan sabuk hijau sebagai tempat pemijahan ikan dan udang, serta sebagai penyedia pakan dan berperan secara langsung dalam pencegahan abrasi pantai. Dalam pengelolaan kawasan pesisir khususnya di sepadan pantai, pengelolaannya harus berwawasan lingkungan. Pengelolaan yang berwawasan lingkungan harus memperhatikan asaz keberlanjutan. Dalam pengelolaan kawasan pesisir timur Propinsi Lampung dipandang perlu adanya penilaian terhadap sumberdaya mangrove dimana tidak saja nilai pasar dari barang yang dihasilkan, melainkan juga dari jasa yang ditimbulkan oleh sumberdaya tersebut dalam arti bukan nilai pakai saja, tetapi juga nilai yang bukan nilai pakai dari pengelolaan sumberdaya mangrove. Pengelolaan sumberdaya mangrove sangat tergantung
57
kepada setiap stakeholder dalam hal ini masyarakat lokal dan pemerintah. Masyarakat lokal tidak akan mampu melaksanakan pengelolaan kawasan pesisir dengan baik apabila tidak didukung oleh peran serta Pemerintah dan Swasta, baik dalam hal penyadaran melalui penyuluhan dan bantuan teknis. Berdasarkan hasil wawancara dengan pemilik tambak tradisional (tambak silvo), peran swasta dalam upaya pemulihan lingkungan dipandang lebih besar dibandingkan upaya yang dilakukan oleh Pemerintah. Peran swasta (PT. CPB) lebih bersifat terus menerus untuk tetap mengupayakan pemulihan kawasan green belt yang sudah mulai terlihat rusak. Begitu juga dengan upaya penyuluhan dan penyadaran kepada masyarakat (petambak) dalam partisipasi pemulihan lingkungkan, swasta dan NGO lebih berperan aktif dan terus menerus dibandingkan dengan upaya yang dilakukan oleh Pemerintah baik Pusat maupun Daerah. Ekosistem mangrove mempunyai manfaat nilai ekonomi tinggi, yang terdiri dari pemanfaatan langsung dan tidak langsung. Namun demikian, nilai manfaat ekonomi yang akan dikaji dalam penelitian ini hanya dibatasi pada nilai pemanfaatan langsung dari ekosistem mangrove. Nilai pemnafaatan langsung tersebut hanya dibatasi pada ekosistem mangrove yang dikembangkan di areal budidaya perikanan (silvofishery). Ekosistem mangrove yang akan dianalisa dalam penelitian ini adalah yang berada dalam petakan tambak tradisional milik masyarakat lokal dengan luasan ± 1 ha dengan total tegakan mangrove ± 4 560 pohon. Kegiatan yang dilakukan dengan mengambil nilai manfaat langsung dari ekosistem mangrove tersebut diantaranya yaitu sebagai tempat mengambil ikan, udang, dan kepiting melalui sistem silvofishery. Dalam menghitung nilai langsung ini dilakukan dengan pendekatan berdasarkan harga pasar yang berlaku. Pendekatan ini yaitu dengan menghitung jenis jumlah produk langsung yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dengan harga pasar yang berlaku dari setiap unit produk. Tabel 11 menjelaskan tentang jenis produk yang dapat dimanfaatkan secara langsung dari ekosistem mangrove di pesisir timur Propinsi Lampung, kabupaten Tulang Bawang.
58
Tabel 11 Nilai manfaat langsung hutan mangrove berdasarkan volum produksi dan harga pasar No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis produk
Harga Pasar (Rp/satuan) 7 000/kg 14 000/kg 6 000/kg 23 000/kg 5 000/kg 35 000/kg
Udang RB Udang api-api Nila Kakap Belanak Kepiting
Volume (kg) 54.4 18.6 42.6 68.4 45 9
Total
Nilai Per Ha (Rp) 380 625 260 400 255 600 1 573 200 225 000 315 000 3 009 825
Data yang diperoleh pada Tabel 11 di atas merupakan akumulasi data yang didapat selama penelitian (42 hari) per ha. Data tersebut di atas merupakan gambaran nilai pemanfaatan secara langsung dari penangkapan ikan, udang dan kepiting yang dilakukan di dalam areal tambak dengan kombinasi penanaman mangrove didalamnya. Nilai manfaat langsung yang diamati selama 42 hari memberikan informasi bahwa pengelolaan tambak dengan silvofishery, dimana tanpa diberi pakan (pelet) memberikan nilai manfaat langsung sebesar Rp. 3 009 825 per 42 hari atau Rp. 71 662 per hari. Nilai manfaat tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan upah minimum regional (UMR) Propinsi Lampung Rp.776 500 per bulan atau Rp. 25 883. Pemanfaatan lahan green belt yang dikelola dengan pendekatan silvofishery sebenarnya telah membuktikan bahwa apabila dikelola dengan benar maka akan jauh memberikan nilai pendapatan langsung yang lebih besar bagi masyarakat pesisir. Kegiatan silvofishery ini dapat dilakukan disela-sela kegiatan budidaya udang yang selama ini banyak dilakukan oleh masyarakat lokal, sambil menunggu hasil panen. Masyarakat dapat mengambil organisme budidaya yang ada di lokasi tambak silvo untuk mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Upaya introduksi dan penyadaran harus perlu ditingkat lagi agar masyarakat benar-benar memiliki gambaran dan pemahaman mengenai silvofishery yang sebenarnya.
4.9. Pengembangan Silvofishery di Masa Yang Akan Datang Pengembangan silvofishery masa yang akan datang di lokasi penelitian (dusun Sungai Burung) sebenarnya dapat dikembangkan dengan metode polyculture (kepiting, ikan, dan rumput laut). Penebaran benih dapat dilakukan
59
dibagian pinggiran kolam dengan ditengah-tengahnya ditanami pohon mangrove (komposisi 20% budidaya dan 80% penanaman mangrove). Perencanaan dan pengelolaan silvofishery dengan metode polyculture ini perlu disosialisasikan dengan benar. Hal ini perlu dilakukan untuk memberikan pemahaman dan cara penadang petambak tradisional tentang alternative upaya penyelamatan lingkungan melalui kegiataan yang menggambungkan unsur konservasi dan budidaya pada suatu tempat yang sama. Keberhasilan kegiatan silvofishery dengan metode polyculture ini, akan sangat bergantung pada bimbingan dan penyuluhan yang diberikan secara terus-menerus oleh pemerintah maupun oleh PT. CPB melalui divisi lingkungan hidup.
5. SIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Sungai Burung,
Kabupaten Tulang Bawang, pesisir timur Propinsi Lampung, maka dapat disimpulkan sebagai bahwa pengelolaan ekosistem mangrove di Kabupaten Tulang Bawang dengan kombinasi pemanfaatan lahan pesisir dengan upaya penyelamatan lingkungan melalui silvofishery, memiliki manfaat yang cukup besar baik ditinjau dari segi biofisik (total produktifitas serasah 18.73 gr/m2/hari dengan laju dekomposisi berkisar antara 0.02-0.002 gr/hari, kandungan unsur hara dari serasah daun 8.2 gr C, 0.20 gr N, and 0.05 gr P dan pakan alami ditemukan 14 jenis plankton, 11 jenis perifiton dan 1 jenis benthos) maupun dari segi manfaat ekonomi sebesar Rp. 3 009 825.
5.2.
Saran Berdasarkan hasil penelitian maka ada beberapa hal yang dapat disarankan
sebagai berikut: 1. Perlu diperbanyak plot lahan budidaya yang dikombinasikan dengan kegiatan silvofishery di sepanjang pesisir Kabupaten Tulang Bawang 2. Perlu dilakukan penelitian tentang silvofishery dengan sistem polyculture, dimana dalam pemanfaatannya tidak hanya berfokus pada organisme budidaya
seperti
ikan,
udang
dan
kepiting
namun
bisa
juga
dikombinasikan dengan budidaya rumput laut, sehingga nantinya dapat menghasilkan manfaat nilai ekonomi langsung yang lebih besar lagi.
DAFTAR PUSTAKA Andren O. and Paustian K. 1987. Barley straw decomposition in the field: a comparison of models. Ecology, 68: 1190-1200 Alaerst G, Santika S. 1987. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya. Ashton EC, Hogarth PJ, Ormond R. 1999. Breakdown of Mangrove Leaf Litter in a Managed Mangrove Forest in Peninsular Malaysia. Hydrobiologia 413: 77-88. Bengen DG. 2000. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB, Bogor, 88 hlm. Bengen,DG. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Lautan. PKSPL-IPB. Bogor. Boyd CE, 1982. Water Quality in warm Water Fish Ponds. Auburn University Agricultural Experimental Atation. Auburn, Alabama, 359p. Bunyavejchewm S, Nuyim T. 2001. Litter Production in a Primary Mangrove Rhizophora apiculata forest in Southern Thailand. Silvicultural Research Report.28-38. Carnevale NJ & Lewis JP. 2000. Litterfall and Organic matter Decomposition in a Seasonal Forest of The Eastern Chaco (Argentina). Revista de Biologia Tropical. Rev.biol.trop v.49 n.1 Conner WH, Day JW. 1992. Water Level Variability and Litterfall Productivity of Forested Freshwater Wetland in Louisiana. American Midland Naturalist, Vol. 128, No. 2 (Oct., 1992). Dahuri R. dan Arumsyah S., 1994. Ekosistem Pesisir. Makalah pada Marine and Management Training. PSL-Undana. Kupang. NTT. Darojah Y. 2005. Keanekaragaman Jenis Makrozobenthos di Eksosistem Perairan Rawapening Kabupaten Semarang. Conservation, research. Education. Campaign, and Documentation of Mangrove. Universitas Diponegoro. Djamaludin R. 1995. Fungal Ecology. Chapmann and Hall. London, Glasgow, Weinheim, New York, Tokyo, Melbourne, Madras. Edmonson WT. 1956. Freshwater Biology 2nd edition. John Wiley and Sons Inc. New York.
61
Effendi H. 2000. Telaah Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumeberdaya dan Lingkungan Perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. Hal 259. Fajariyanto Y. 2008. Studi Kepadatan Perifiton pada Akar dan Batang Mangrove di Vegetasi Mangrove Muara Sungai Ijo Bodo. Conservation, research. Education. Campaign, and Documentation of Mangrove. Universitas Diponegoro. Fitzgerald, William J. 1997. Silvofisheries an Environmentally Sensitive Integrated Mangrove Forest and Aquaculture System, Aquaculture Asia, July-September. P.9. Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan Pantai. Jurnal Litbang Pertanian, 23(1). http://mangrove.unila.ac.id. Mangrove Center. Lampung. 30 Maret 2009 Hynes HBN. 1972. The Ecology of Running Waters. Universty Toronto Press. Toronto. Indriyanto. 2004. 4.700 Ha Hutan Bakau di Lampung Rusak, Lampung Post, Lampung. Jensen V. 1974. Decomposition as Angiospermae Tree Leaf Litter. In: Biology of Plant Litter Decomposition (Dickinson, C.H. dan G.J.F. Pugh, Eds). Vol. 2 Academic Press. London. Juman R A. 2005. Biomasslitterfall and decomposition rates for the friged Rizophora mangle forest lining the Bon Accord Lagoon, Tobago. Tropical Biology. Vol. 53 (Suppl. 1): 207-217. Kinne O. 1972. Marine Ecology. John Wiley & Sons Limited. London. Krebs CJ. 1972. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Institute of Animal Resource Ecology. The University of British Columbia. New York. Kuriandewa T.E. 1998. Produksi Serasah Hutan Mangrove di Kawasan Margasatwa Sembilang, Propinsi Sumatera Selatan. Bidang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Jakarta Mason CF. 1976. Decomposition. Departemen of The Environment. Oxford. 243 p. Melillo. 1982. Nitrogen and Lignin Control of hardwood leaf Litter Decomposition Dynamics. Ecology 63:621-626.
62
Molles M. 1999. Ecology Concepts and Application. Mexico: The Mc Graw Hill Companies Inc Murdiyanto B, 2003, Mengenal, Memelihara, dan Melestarikan Ekosistem Bakau, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Nofianto D. 2008. Krisis Hutan Mangrove, Lampung Makin Terancam. Kabar Indonesia. Lampung. Nybakken JW., 1998. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologi. Penerbit CV. Gramedia. Jakarta. Penterjemah Eidman, Koesoebiono, DG. Bengen, M Hutomo dan S. Sukarjo. Hal 458. Odum EO. 1971. Fundamental of Ecology. Toppan Company Ltd. Tokyo. Odum WE. and Heald EJ. 1975. The Detritus Based Food Web of An Estuarine Mangrove Community. Estuarine Research (1): 256 - 286. Odum EP. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan Tjahjono Samingan. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Oladoye AO, Olaadam BA, Adedire MO, & Agboola DA. 2001. Nutrient Dinamic and Litter Decomposition In Leucaena leucocephala (Lam.) De Wit Plantation in The Nigerian Derived Savanna. West African Journal of applied Ecology. Vol.13 Palma RM, Prause J, Fontanive AV, & Jimenez MP. 1998. Litterfall and Litter Decomposition in a Forest of The Parque Chaqueno Argentino. Forest Ecology and Management. Vol.106 Pribadi R. 1998. The Ecology of Mangrove Vegetation in Bintuni Bay, Irian Jaya, Indonesia. Departemen of Biological and Molecular Sciences-University of Stirling. Scotland. Page 53-54. Pirzan AM. 2008. Hubungan Keragaan Fitoplankton dengan Kualitas Air di Pulau Baulaung, Kabupaten Takalar, Propinsi Sulawesi Sealatan. Biodiversitas.Vol.9. No.3.Hal.217-221. Rahayu S. 1991. Penelitian Kadar Oksigen Terlarut (DO) Dalam Air Bagi Kehidupan Ikan. BPPT No. XLV/1991. Jakarta. Ribeiro C, Madiera M, Araujo MC. 2002. Decomposition and Nutrient Release from Leaf Litter of Eucaliptus globules Grown Under Different Water And Nutrient Regimes. Forest Ecologycal Management 171:31-41 Ruttner F. 1974. Fundamental of Limnology. University of Toronto Press. Torronto.
63
Sanim B. 1997. Metoda Valuasi Ekonomi Sumberdaya dan Jasa-jasa Lingkungan Wilayah Pesisir. Makalah Pelatihan ICZPM, 25 November - 9 Januari 1997. PKSPL IPB - Ditjen Bangda, Jakarta. Sastrawijaya TA. 1991. Pencemaran Lingkungan. Bineka Cipta. Jakarta. Sachlan M. 1999. Planktonologi. Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Diponegoro. Semarang. Simangunsong SJD. 1994. Studi Struktur Estuari Komunikasi Plankton dan Klorofil A di Perairan Estuari Muara Jaya pada Bulan Nopember 1993. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. fakultas Perikanan IPB. Tidak dipublikasikan. 72 hal. Soerianegara I. dan A Indrawan. (1998). Ekologi Hutan Indonesia. Bogor.Laboratorium Managemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Soeroyo. 1988. Faktor Iklim Terhadap Produksi Serasah Mangrove. Meningkatkan Perairan dan Pemanfaatan Iklim untuk Mendukung Pengembangan Pertanian tahun 2000. Prosiding. Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia. Jakarta. Southwich CH. 1976. Ecology and The Quality of Our Environment. Second Edition. D. van Nostran Company. New York. Steenis CJJ. 1958. Ecology (the introductory part to the monograph of Rhizophoraceae by Ding Hou), Flora Malesiana 5: 431-441. Steenblock D. 2000. Chlorella: Makanan Sehat Alami (terjemahan). PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Suberkopp, et al. 1976. Change in the Chemical Composition of Leave During Processing in Woodland Stream. Ecology 57:720-727. Sukarjo. 1996.The Relationship of Litterfal to Bassal Area and Climatic Variabels in the Rhizophora Mucronata Lamarck Plantataion at Tritih, Central Java, Indonesia. The Centre for Oceanological Research and Development. Indonesian Institute of Science. Vo. 34. No.2. Sulardiono B. 1997. Evaluasi beban Pencemaran dan Kualitas Perairan Pesisir Kotamadya Semarang. Tesis SPs IPB. Bogor. Sulistyanto, et al. 2005. Laju Dekomposisi dan Pelepasan Hara dari Serasah pada Sub Tipe Hutan Rawa Gambut di Kalimantan Tengah. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. Vol.XI. No.2. 1-4.
64
Sutamihardja RTM. 1992. Pengelolaan Kualitas dan Pencemaran Air. Seminar on Industry Water Pollution Control and Water Quality Management. Ulqodry TZ. 2008. Produktifitas Serasah mangrove dan Potensi Kontribusi Unsur Hara di Perairan Mangrove Tanjung Api-Api Sumatera Selatan. Bogor. Tesis. Wafar A, Untawale AG, Wafar M. 1996. Litter Fall and Energy Flux in a mangrove Ecosystem. Estuarine, Coastal and Shelf Science 44, 111-124. Wardoyo STH. 1987. Kriteria Kualitas Air untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan. Makalah pada Seminar Pengendalian Pencemaran Air. Dirjen Pengairan. Departmen Pekerjaan Umum. Bandung. Wetzel RG. 1979. Periphyton Measurement and Aplications. In Methods and Measurement of Periphyton Communities. American Society for Testing and Animal. Philadelphia. Wetzel RG. 1982. Limnology. Second Edition. Sounders College Publ. Oxford. Philadelphia. Welch EB, and T Lindell. 1980. The Ecological Effect of Waste Water. Cambridge University Press. Cambridge. Wirosaputro S. 1998. Chlorella: Makanan Kesehatan Global Buku I. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Wulan P, Gozan M, Arby B &Achmad B. 2004. Penentuan Rasio Optimum C:N:P Sebagai Nutrisi Pada Proses Biodegradasi Benzene-Toluena dan Scale Up Kolom Bioregenerator. Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia. Zamroni Y, Rohyani IS. 2008. Produksi Serasah Hutan Mangrove di Perairan Pantai Teluk Sepi, Lombok Barat. Biodiversitas. Volume 9, Nomor 4. 284-287.