KAJIAN POLA HUBUNGAN SUBKONTRAK DAN ASPEK TRADISI DI SENTRA INDUSTRI KECIL MEBEL SERENAN
TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat Uotuk memperoleh gelar Magister dari Iostitut Teknologi Baoduog
Oleh
BUDISUSANTO NIM : 24004014 Program Studi Pembangunan
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2005
•
KAnANPOLAHUBUNGANSUBKONTRAK DAN ASPEK TRADISI DI SENTRA INDUSTRI KECIL MEBEL SERENAN
Oleh
Budi Susanto NIM : 24004014
Program Studi Studi Pembangunan Institut Teknologi Bandung
Menyetujui Pembimbing
Tanggal :
.:?.::0....~{061Y.]: ..2-rob
Pembimbing
Dr. lr. lndra Budiman Syamwil
ABSTRAK K.AJIAN POLA HUBUNGAN SUBKONTRAK DAN ASPEK TRADISI DI SENTRA INDUSTRI KECIL MEDEL SERENAN
Oleh Budi Susanto NIM : 24004014 Jumlah usaha kecil dan menengah di Indonesia saat ini bisa dikatakan mendominasi perekonomian, karena menguasai lebih dari sembilan puluh persen dari seluruh usaha yang ada. Fakta tersebut menunjukkan bahwa industri kecil dan menengah di Indonesia berpotensi untuk dapat dikembangkan menjadi kekuatan dan tulang punggung perekonomian nasional. Pengembangan usaha kecil menengah melalui berbagai program yang diterapkan pemerintah dan berbagai pihak sebagian besar ditujukan untuk memperbaiki kelemahan internal usaha kecil seperti aspek manajemen, aspek permodalan dan lain sebagainya. Sedangkan kelemahan external seperti posisi usaha kecil menengah terkait dengan pelaku usaha yang lain belum sepenuhnya mendapatkan perhatian. Sentra Industri Kecil Mebel Desa Serenan adalah salah satu sentra industri kecil yang sudah berumur cukup tua. Sentra industri kecil ini tumbuh hampir bersamaan dengan berdirinya Kraton Surakarta sekitar tahun 1750. Sangat menarik meneliti sentra industri ini karena di dalamnya terdapat pola hubungan subkontrak yang terbentuk sekitar akhir tahun 1970 dan di dalam sentra industri kecil ini juga terdapat upaya untuk mempertahankan model mebel bergaya kraton sebagai tradisi turun temurun. Tujuan penelitian ini adalah menemukenali dan mengkaji hubungan subkontrak dan aspek tradisi yang ada pada Sentra Industri Kecil Mebel di Desa Serenan Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten. Hubungan subkontrak pada sentra kerajinan mebel ini melibatkan dua aktor utama yaitu pengrajin mebel sebagai subkontraktor dan pengrajin pengusaha sebagai prinsipil. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan penelitian kasus. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan mengandalkan eksplorasi data primer dan data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan subkontrak yang teijalin antara pengrajin dan pengrajin pengusaha dalam jangka pendek memberikan manfaat bagi pengrajin yaitu teijaminnya pemasaran dan kontinuitas pesanan produk mebel, tetapi di sisi lain juga menimbulkan potensi eksploitasi terhadap pengrajin seperti pengalihan berbagai bentuk resiko usaha. Dalam jangka panjang hubungan subkontrak juga mengakibatkan terhambatnya perkembangan inovasi produk karena setiap model pesanan mebel secara spesiflk ditentukan oleh pengrajin pengusaha Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor tradisi merupakan faktor lain yang memberikan kontribusi terhadap terhambatnya perkembangan inovasi produk mebel Sentra Industri Kecil Serenan. Produk mebel yang bergaya kraton yang diwariskan secara turun-temurun memberikan kebanggaan tersendiri
bagi pengrajin. Kebanggaan memproduksi mebel kraton tersebut menciptakan keengganan pengrajin untuk memproduksi mebel model lain yang lebih diminati pasar meskipun beberapa tahun belakangan permintaan terhadap produk mebel bergaya kraton terus menurun. Kata kunci : Hubungan subkontrak, tradisi dan kelangsungan usaha industri kecil mebel Desa Serenan
ll
ABSTRACT THE STUDY OF SUB-CONTRACT RELATIONSHIP'S PATTERN AND TRADITIONAL ASPECTS IN THE SMALL MEUBELAIR INDUSTRIES CENTRE SERENAN
By Budi Susanto NIM : 24004014 The number of small and medium enterprises in Indonesia at the moment can be regarded as dominating its economy, since ninety percent of all enterprises existed in Indonesia are small and medium enterprises. The fact shows that small and medium industries in Indonesia have potency to be developed into national' economy strong point. The development of small and medium enterprises through various programs implemented by the government and concerned agencies mostly directed to minimize internal weaknesses of small enterprises such as management aspect, capital aspect et cetera, while external weaknesses such as small and medium enterprises' position related to other actors in the industry did not have any attention. Small meubelair industries centre Serenan is one of the eldest small industries centre. This centre grew almost in the same time with the born of Surakarta Palace in the seventeen fifties. It is very interesting to study this industry centre since it has sub-contract relationship pattern formed in the end of nineteen seventies and also has an effort to keep meubelair with palace's style as a tradition. The purpose of this research is to observe, recognize and study the sub-contract relationship and tradition aspect existed in the Small Meubelair Industries Centre in Serenan, Juwiring, K.laten. The sub-contract relationship in the meubelair craft involves two main actors, they are "pengrajin meubelair" as sub-contractor and "pengrajin pengusaha" as principal. This research is a qualitative research which use case research approach, while the method is qualitative research method by primary and secondary data exploration. The result of this research shows that sub-contract relationship between "pengrajin" and "pengrajin pengusaha" in the short time gives benefit to "pengrajin", such as marketing assurance and the continuity of meubelair product's reservation. However, in the other side it has potency to exploit "pengrajin" such as the shift of some risks. In the long term, sub-contract relationship also lead to decelerate the development of product's innovation since each style of meubelair reservation are specifically determined by "pengrajin pengusaha". The research also shows that tradition factor also gives contribution to decelerate the innovation of meubelair product in the Small Industry Centre Serenan. Meubelair product with palace style gives pride to "pengrajin". This pride makes "pengrajin" do not wish to create other styles which probably have
iii
more appeals to the market, even though demand for meubelair with palace style is keep decreasing. Key words: Sub-contract relationship, tradition and the continuity of small meubelair industry Serenan.
iv
KATAPENGANTAR
Alhamdulillahirabbiralamiin, berkat rahmat dan hidayah Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Magister Studi Pembangunan di Institut Teknologi Bandung. Dalam menyelesaikan tesis ini penulis tidak lepas dari bantuan dan dukungan serta doa dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: I. Bapak Dr. Ir. lndra Budiman Syamwil, selaku pembimbing I yang telah membimbing dengan penuh kesabaran dan dedikasi yang tinggi; 2. Bapak Dr. Ir. Sonny Yuliar, selaku pembimbing akademik sekaligus Ketua Program Studi beserta seluruh tenaga pengajar dan pengelola Program Studi Pembangunan ITB; 3. Pihak Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Klaten serta Pengrajin dan Pengrajin pengusaha pada Sentra Industri Kecil Mebel di Desa Serenan yang telah menerima dengan baik dan bersedia menjadi responden; 4. Direktur Jenderal
Anggaran
dan
Perimbangan
Keuangan
beserta
jajarannya yang telah memberikan kesempatan penulis menempuh studi; 5. Kepala Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana serta Proyek PKSDM, BAPPENAS atas beasiswa penulis mengikuti studi; 6. Kedua Orangtuaku atas doa dan restunya selama penulis mengikuti studi. 7. lstriku tercinta atas doa dan dorongan atas penyelesaian tesis ini. 8. Ternan-ternan mahasiswa Program Studi Pembangunan ITB, khususnya angkatan tahun 2004 atas kerjasama selama mengikuti perkuliahan; Penulis sepenuhnya menyadari bahwa dalam penelitian ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan kemampuan penulis. Namun hal tersebut tidaklah mengurangi minat penulis untuk ikut menyumbangkan suatu pemikiran yang mungkin berguna bagi masyarakat.
v
Akhimya penulis sangat mengharapkan saran, kritik dan pandangan pembaca laporan ini, yan~ bersifat membangun dan bennanfaat.
Bandung, Februari 2006 Penulis
Vl
PEDOMAN PENGGUNAAN TESIS Tesis S2 yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpustakaan Institut Teknologi Bandung, dan terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa hak cipta ada pada pengarang dengan mengikuti aturan HaKI yang berlaku di Institut Teknologi Bandung. Referensi kepustakaan diperkenankan dicatat, tetapi pengutipan atau peringkasan hanya dapat dilakukan seizin pengarang dan harus disertai dengan kebiasaan ilmiah untuk menyebutkan sumbemya. Memperbanyak atau menerbitkan sebagaian atau seluruh tesis haruslah seizin Direktur Program PascasaJjana, Institut Teknologi Bandung.
VII
DAFfARISI
ABSTRAK iii
ABSTRACT KATA PENGANTAR ..................................................................................................
v
PETUNJUK PENGGUNAAN TESIS
vii
DAFfARISI
viii xi
DAFTAR GAMBAR DAFfAR TABEL
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
Bab I Pendahuluan
1
1.1.
Latar Belakang
2
1.2.
Permasalahan
4
1.3.
Maksud dan Tujuan
4
1.4.
Manfaat Penelitian
1.5.
Ruang Lingkup Penel it ian
1.6.
Kerangka Berpikir
1.7.
Sistematika Pembahasan
Bab II Landasan Teori 11.1.
......................................................................................... .
4
···························································--··················
4
............................................................................................ .
7 8
...................................................................................
Tinjauan Tentang Kemitraan Usaha
10
...................................................
10
11.1.1.
Pengertian Kemitraan
.............................................................. ........
10
11.1.2.
Jenis dan Pola-Pola Kemitraan ............................................................
11
11.2.
Hubungan Subkontrak ......................................................................................
15
11.3.
Tinjauan Undang-Undang Tentang Kemitraan Usaha
17
11.3.1.
UU No.9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
.................................
18
11.3.2.
PP No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan ..........................................
18
11.3.3.
Keppres No. 99 Tahun 1998
19
viii
11.4.
Hubungan eksploitasi pada usaha Kecil
19
11.5.
lnovasi dan Industri Kecil
21
11.6.
Hambatan Usaha Kecil Untuk Berkembang ......................................................
25
31
Bab III Kondisi Lokasi Penelitian ..........................
31
...............................................................................
36
.............
36
111.2.2. Data Penduduk Menurut Mata Pencaharian .............................................
38
111.2.3. Data Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
39
111.1.
Kontribusi lndustri pengolahan Terhadap PDRB Kab. Klaten
111.2.
Deskripsi Desa Serenan
111.2.1. Sejarah Singkat Sentra lndustri Kecil Mebel Desa Serenan
Bab IV Basil Survey Lapangan ................................................................................... .
41
IV.l.
Diskripsi Survey Lapangan
41
IV.2.
Kajian Data
41
IV .2.1. Bahan Baku
42
IV.2.2.
Kontrol Kualitas
44
IV.2.3.
Penentuan Model
45
IV.2.4.
Inovasi
46
IV.2.5.
Margin Keuntungan
48
IV.2.6. Omzet Penjualan
48
IV.2.7. Pemasaran
48
IV.3.
ldentifikasi Pelaku Usaha pada rantai Produksi dan Rantai Pemasaran
49
IV.4.
Pelaku Usaha di Jalur Produksi ..............................................................................
50
Pengrajin
50
Pelaku di Jalur Bahan Baku
52
IV.4.1. IV.5.
IV.6.
IV.5 .1
Perum Perhutani
52
IV.5.2.
Pedagang Kayu
54
Pelaku Usaha di Jalur Pemasaran
54
IV.6.1
Pengrajin Pengusaha
54
IV.6.2.
Pedagang Lokal
55
ix
Bab V
IV.6.3.
Eksportir
55
IV.6.4.
Buyer
56
IV.6.5.
Konsumen Akhir
56
Kajian Hubungan Subkontrak Antara Pengrajin dan Pengrajin Pengusaha Pada Sentra industri Kecil Mebel Di Desa Serenan
57
V.I.
Hubungan Subkontrak Antara Pengrajin dan Pengrajin Pengusha
V.2.
Kemanfaatan Pola Hubungan Subkontrak bagi Pengrajin dan Pengrajin Pengusaha
58
V.2.1.
Kemanfaatan bagi Pengrajin
59
V.2.2.
Kemanfaatan bagi Pengrajin Pengusaha
60
Hubungan Subkontrak dan Perkembangan Inovasi
62
V.3.1.
Tahapan Perubahan Menurut Wilkens
63
V.3.2.
Hubungan Subkontrak dan Aspek Tradisi
V.3.
...................
...............................................................
Sebagai Hambatan Inovasi Produk
57
67
BAB VI KESIMPULAN DAN USULAN
71
Vl.l. Kesimpulan
71
Vl.2. Usulan
74
Daftar Pustaka
76
Lamp iran
X
Daftar Gambar
Gambar 1.1.
Kerangka Pikir .............................................................
Gambar 111.1.
Kontribusi Masing-masing Sektor Terhadap PDRB
8
Kabupaten Klaten Atas Dasar Harga Berlaku Tahun
2003 ············································································· Gam bar 111.2.
32
Kontribusi Masing-masing Sektor Terhadap PDRB Kabupaten Klaten Atas Dasar Harga Konstan Tahun
2003 .............................................................................
34
Gambar 111.3.
Jalan Kabupaten yang membelah Desa Serenan
37
Gambar 111.4.
Komposisi Penduduk Serenan Menurut Mata Pencaharian ............................................................................ 38
Gambar 111.5.
Komposisi Penduduk Serenan Menurut Tingkat Pendidikan .................................................................... 36
Gambar IV.1.
Bahan Baku Kayu ......................................................... 42
Gam bar IV .2.
Hasil Produksi Pengraj in ......................... ...................... 4 5
Gam bar IV .3.
Satu Set Meja dan Kursi ............................................... 46
Gam bar IV .4.
Tungku Pengering Kayu ............................................... 47
Gambar IV.5.
Blower Pengering Kayu ............................................... 47
Gambar IV.6.
Bengkel Pengrajin ....................................................... 51
Gambar IV.7.
Peralatan Sederhana Bengkel ................. ...................... 51
Gam bar IV .8.
Gudang Mebel Pengrajin Pengusaha ............................ 55
xi
Daftar Tabel
Tabel 111.1.
PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Kabupaten Klaten Tahun 2002 - 2003 ...................................................
Tabel 111.2.
PDRB Atas Dasar Harga Konstan Kabupaten Klaten Tahun 2002 - 2003 ....................................................
Tabel III.3.
Tabel V.I.
35
Data Penduduk Desa Serenan Menurut Mata Pencaharian .........................................................................
Tabellll.5.
33
Perusahaan dan Tenaga Kerja Menurut Kelompok Usaha Kabupaten Klaten Tahun 2004 ......................
Tabel 111.4.
31
38
Data Penduduk Desa Serenan Menurut Tingkat Pendidikan ......... ...................... ................ .............. ....
39
Tipe Perubahan Wilkens ...........................................
64
X
Daftar Lampiran
Lampi ran
Rekapitulasi jawaban kuestioner pengrajin
xi
Babl
Pendahuluan 1.1. Latar Belakang
Sektor industri kecil menengah merupakan sektor industri yang menjadi tulang punggung perekonomian di banyak negara maju seperti Jepang, ltali, China, Amerika Serikat dan lain-lain. Sektor industri kecil menengah mempunyai posisi strategis dalam pembangunan perekonomian negara-negara tersebut, sebagai contoh pola hubungan yang harmonis antara pelaku usaha kecil dengan pelaku usaha besar telah menjadikan negara Jepang sebagai negara terkemuka dalam ekonomi dan industri. Kemajuan industri di negara Jepang merupakan perwujudan sinergi dan keharmonisan hubungan antara usaha kecil menengah dengan usaha besar. Melihat keadaan di Indonesia jumlah usaha kecil dan menengah bisa dikatakan raksasa dalam jumlah karena menguasai lebih dari sembilan puluh persen dari
seluruh usaha yang ada di Indonesia Besarnya jumlah industri kecil dan menengah di Indonesia merupakan suatu potensi yang dapat dikembangkan menjadi kekuatan dan tulang punggung perekonomian Indonesia. Perhatian kepada usaha kecil bukanlah hal baru dalam kebijakan pemerintah Indonesia, tetapi sampai saat ini desain-desain program yang dilaksanakan belum dirasakan efektif. Desain pembangunan usaha kecil menengah yang ada selama ini didominasi oleh anggapan bahwa usaha kecil tidak dapat berkembang karena manajemen yang lemah yang timbul karena kapasitas wirausaha dari pelaku usaha kecil. Anggapan lain yaitu usaha kecil tidak dapat berkembang karena tidak mempunyai akses kepada sumber-sumber produktif yang dibutuhkan untuk mengembangkan usahanya, misalnya akses terhadap permodalan, pasar dan akses terhadap bahan baku. Hambatan tersebut di atas memang menjadi kendala yang signifikan bagi pengembangan usaha kecil, tetapi persoalan-persoalan lain yang berkaitan erat dengan keberadaan usaha kecil belum banyak disinggung. Persoalan lain tersebut
1
2
misalnya relasi usaha kecil dengan pelaku-pelaku usaha lainnya ataupun usaha kecil kaitannya dengan tradisi yang harus mereka pertahankan. Dengan memahami dengan sesungguhnya permasalahan yang dihadapi usaha kecil memberikan sudut pandang yang lebih
bai~
apa kiranya kebijakan yang paling
tepat untuk mengembangkan sektor usaha kecil di Indonesia. Relasi yang terbangun antara usaha kecil dan pelaku usaha lainnya terkadang bersifat
kurang
menguntungkan
pengembangan
usaha
kecil.
Dengan
memanfaatkan kelemahan umum yang ada pada usaha kecil seperti pemasaran, permodalan dan informasi menjadikan timbulnya potensi
perlakuan yang tidak
adil terhadap usaha kecil. Beberapa usaha kecil yang memproduksi barang kerajinan yang berbasis tradisi seringkali tidak berkembang dan tidak berhasil mempertahankan diri. Hal ini lebih banyak disebabkan ketidakmampuan usaha kecil berbasis tradisi untuk cepat menyesuaikan diri terhadap perubahan pasar, teknologi dan lain sebagainya.
l.l. Permasalahaa
Untuk mendorong usaha kecil agar dapat menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia diperlukan strategi dan upaya yang komperhensif dengan mengenali setiap hambatan yang menghadapi pengembangan usaha kecil di Indonesia. Terdapat berbagai sudut pandang tentang persoalan yang dihadapi oleh pengusaha kecil. Pandangan pertama berpandangan bahwa kelemahan kapasitas individu merupakan penyebab utama dari tidak berkembangnya usaha kecil di Indonesia, terutama kapasitas manajemen usaha. Pelaku usaha kecil tidak dapat berkembang karena tingkat pendidikan yang rendah, ketidakmampuan menjalankan usaha dengan manajemen yang
bai~
serta tidak cukup keras berusaha untuk
mendapatkan keuntungan. Pandangan kedua berpendapat bahwa persoalan tidak adanya infrastruktur yang menghubungkan kelompok usaha kecil dengan sumber pennodalan, input, atau pasar. Pandangan ketiga berpendapat bahwa persoalan hubungan di dalam rantai produksi dan perdagangan usaha kecil. Berbagai pola hubungan yang tidak menguntungkan usaha kecil seringkali menjadi hambatan
3
usaha kecil untuk berkembang. Hubungan-hubungan yang terjalin kemudian bersifat kurang menguntungkan bagi perkembangan masa depan usaha kecil. Bentuk pola hubungan kemitraan yang ada saat ini antara lain pola inti plasma, pola dagang umum, pola subkontrak, pola keagenan dan pola kemitraan lain.
Pola hubungan usaha kecil dengan pelaku usaha lain merupakan bahasan dalam penelitian ini. Sebagai obyek penelitian adalah Sentra lndustri Kecil Mebel Desa Serenan. Sentra Industri Kecil Mebel Desa Serenan merupakan sentra industri kecil yang memproduksi mebel yang berada di Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten, sentra industri ini memproduksi mebel dengan sebagian besar pemasaran produknya untuk tujuan ekspor. Di dalam sentra ini terdapat dua kelompok pelaku usaha utama yaitu pengrajin dan pengrajin pengusaha. Pola hubungan kemitraan yang tetjalin antara kedua pelaku usaha utama tersebut adalah pola hubungan subkontrak.
Pengrajin sebagai bertindak sebagai subkontraktor dan pengrajin
pengusaha sebagai prinsipil. Penelitian ini akan memfokuskan pada pengrajin mebel dan pola hubungan subkontrak yang terbentuk antara pengrajin dengan pengrajin pengusaha di dalam sentra tersebut di atas.
Bahasan lain yang menjadi perhatian da1am penelitian ini adalah sejauhmana tradisi mempengaruhi kemampuan pengrajin pada sentra industri kecil mebel Desa Serenan untuk menyikapi perubahan pasar. Kajian dalam tesis ini dilakukan dengan maksud untuk mempelajari pola kemitraan subkontrak yang terbangun antara dua kelompok pelaku usaha yakni pengrajin dan pengrajin pengusaha yang berada pada Sentra lndustri Kecil Mebel di Desa Serenan Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten. Memperhatikan hal tersebut di atas, maka kajian yang dilakukan secara spesifik bertujuan untuk menjawab pokok pertanyaan penelitian berikut : "Bagaimanakah pola hubungan subkontrak dan aspek tradisi pada Sentra Industri Kecil Mebel Desa Serenan Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten mempengaruhi kelangsungan usaha pengrajin ?"
4
Untuk memecahkan pokok pennasalahan di atas, dilakukan langkah-langkah pendekatan untuk memperoleh jawaban terhadap rangkaian pertanyaan berikut : I. Bagaimanakah pola hubungan subkontrak yang terbangun antara pengrajin dengan pengrajin pengusaha pada Sentra lndustri Kecil Mebel di Desa Serenan? 2. Bagaimanakah kemanfaatan yang diperoleh oleh pengraJm dan pengrajin pengusaha dengan adanya pola hubungan subkontrak? 3. Bagaimanakah pola hubungan subkontrak dan aspek tradisi kaitannya dengan perkembangan inovasi produk mebel pada Sentra industri Kecil Mebel di Desa Serenan?
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan pennasalahan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah menemukenali dan mengkaji hubungan subkontrak dan aspek tradisi yang ada pada Sentra Industri Kecil Mebel di Desa Serenan Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten.
1.4. Manfaat Penelitian Setelah terjawabnya pennasalahan yang ada maka dari penelitian diharapk.an dapat menjadi masukan kepada stakeholder yang ada, baik pemerintah daerah, LSM dan Masyarakat didalam membuat kebijakan dalam pengembangan industri kecil sehingga proses pengembangan industri kecil dalam rangka mendukung pembangunan nasional secara keseluruhan dapat dilaksanakan dengan lebih baik dan terarah.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ini akan dilakukan dengan mengambil studi kasus di Sentra Industri Kecil Mebel di Desa Serenan Kecamatan Juwiring Kabupaten K.laten. Penelitian ini membatasi kajian relasi yang terbentuk antara Pengrajin dengan Pengrajin Pengusaha yang ada pada sentra industri kecil di atas. Metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan mengandalkan ekplorasi data primer dengan dan data sekunder. Data primer
5
diperoleh dengan kuisioner dan wawancara. Penelitian diskriptif ditujukan untuk upaya pengembangan dan kemungkinan pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang. Jenis data yang dibutuhkan dalam pelaksanaan penelitian terdapat dua jenis yaitu data sekunder dan data primer. Kedua jenis data tersebut diperoleh dari sumber : 1. Data sekunder •
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Klaten
•
BPS Kabupaten Klaten
•
Buku-buku referensi dari pustaka-pustaka mengenai IKM.
•
Sumber data lainnya yang relevan dengan pelaksanaan pekerjaan tm (koran, internet, jumal, dll).
2. Data primer Data primer diperoleh dari: •
Pendapat para pengrajin dan pengrajin pengusaha di Desa Serenan
•
Pendapat pejabat berwenang atau yang berkompeten di bidang Industri Kecil Menengah (IKM)
•
Pendapat para ahli mengenai Industri Kecil Menengah (IKM).
Populasi merupakan
keseluruhan dari unit analisis kegiatan. Populasi dalam
penelitian ini meliputi pengrajin yang berdomisili di Sentra lndustri Mebel Desa Sere nan Kecamatan J uwiring Kabupaten Klaten. Metode Pengambilan sampel menggunakan metode sampling non peluang (non-
probability sampling). Metode sampling non peluang digunakan ketika situasi tidak memungkinkan digunakannya metode sampling peluang (probability
sampling). Tipe dari metode non-probability yang dipilih dalam perencanaan ini adalah sampling kebetulan (accidental sampling). Yang dimaksud dengan sampling kebetulan adalah sebuah metode yang proses pengambilan sampelnya cukup dengan mengambil siapa saja yang kebetulan ditemui oleh observer di lapangan sesuai dengan kebutuhan studinya (Prijana, 2005). Dasar pertimbangan yang digunakan dalam memilih metode sampling kebetulan adalah aksioma umum statistik jika populasi homogen maka sampel yang digunakan dengan
6
alasan tertentu bisa dalam jumlah yang lebih sedikit. Kemudian alasan lain penggunaan metode sampling kebetulan adalah karena keberadaan populasi berkerumun satu sama lain (dalam satu wilayah tertentu). Sampel yang diambil adalah 28 orang responden. Proses pengumpulan data pada penelitian
tnt
dilakukan melalui tahap-tahap
sebagai berikut : 1. Survei Survei dilakukan untuk memperoleh informasi dan mengungkap deskripsi tentang relasi yang terbangun antara pengrajin dengan pengrajin pengusaha dan relasi antara pengrajin dengan pedagang kayu. Pengumpulan informasi ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang disebarkan kepada pengrajin. Kuisioner ini juga dapat digunakan sebagai alat bantu untuk melakukan wawancara dengan para responden. 2. Wawancara Wawancara dilakukan kepada pengrajin dan pengrajin pengusaha, dilakukan juga interview atau wawancara dengan pihak-pihak lain yang kompeten selain pelaku IKM. Wawancara dengan dinas terkait (Dinas Koperasi dan Dinas Perindustrian) untuk memperoleh informasi, program-program apa saja yang sudah dijalankan oleh dinas tersebut, dan bagaimana hasil dan kelanjutan dari program-program
tersebut,
apakah
terdapat
kendala-kendala
dalam
melaksanakan program tersebut. 3. Pengamatan Langsung Pengamatan dilakukan untuk mengungkap dan memperoleh gambaran yang utuh dan sistematis tentang
keadaan pengrajin di Sentra Industri Mebel
Serenan. 4. Dokumentasi. Dokumentasi dilakukan dalam penelitian ini untuk memperoleh data-data sekunder yang didapat dengan cara mengumpulkan data berupa foto-foto dan sejenisnya tentang kondisi pengrajin dan pengrajin pengusaha di Sentra Industri Mebel Serenan.
7
Data yang diperoleh, baik primer atau sekunder akan dianalisis baik melalui pendekatan kualitatit: namun juga akan digunakan pendekatan kuantitatif sederhana.
Pendekatan
kualitatif dengan
tujuan
untuk
mendeskripsikan
kesimpulan yang didapat setelah melakukan cross check antara data primer yang didapat di lapangan dengan data sekunder.
1.6. Kerangka Berpikir Kerangka pikir yang dipakai dalam proses analisis untuk menyusun indikator faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan usaha kecil dan bagaimana relasi yang terbentuk antara pengrajin, pengrajin pengusaha, penyedia bahan baku dan eksportir adalah sebagai berikut :
8
Posisi strategis UKM dalam perekonomian Indonesia
LATAR BELAKANG
--------------~-----------------------------Permasalahan yang dihadapi pelaku UKM
RUMUSAN
--------------~-----------------------------Bagaimanakah pola hubungan subkontrak yang terbentuk dan aspek tradisi berpengaruh terhadap kelangsungan usaha pengrajin mebel
MASALAH
PERTANYAAN
j--------------~-----------------------------------------------------r~~~~rr~ ! i
!i
Data dan pendapat ahli UKM
ldentifikasi Reponden & Sampling
*
Wawancara kepada pengrajin usahaUKMdi Desa Serenan
I
...I Kajian pola subkontrak dan aspek tradisi di Desa Serenan
--------------------------------------------*---------------------------~~!~--IS Pengaruh pola hubungan subkontrak dan aspek tradisi terhadap kelangsungan usaha pengrajin
--------------------------------------------*---------------------------~!!:~ALISIS
I
Kesimpulan & Usulan
Gambar Lt. Kerangka Pikir
1.7. Sistematika Pembahasan Penulisan penelitian ini dituangkan dalam 6 bah dan masing-masing bah dirinci lagi kedalam beberapa sub bah, dengan sistematika sebagai berikut :
9
Dab II
Landasan Teoritis
Mengemukakan tinjauan umum mengenai UKM menurut UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, PP No. 44 tahun 1997 tentang Kemitraan, pengertian kemitraan, jenis-jenis pola kemitraan, hubungan subkontrak, hubungan eksploitasi pada usaha kecil, inovasi pada industri kecil, hambatan usaha kecil.
Dab III Kondisi Lokasi Penelitian Produk Domestik Bruto Kabupaten Klaten, diskripsi obyek penelitian yang berisi sejarah singkat industri kecil mebel Desa Serenan, Penduduk Desa Serenan menurut monografi
Dab IV Hasil Survey Lapangan Berisi tentang diskripsi survey lapangan, kajian data, rantai produksi dan rantai pemasaran mebel Desa Serenan, identifikasi pelaku usaha dalam produksi mebel
Dab V
Kajian Hubungan Subkontrak dan Aspek Tradisi pada Sentra
lndustri Kecil Mebel Desa Serenan Pembahasan mengenai hubungan subkontrak yang terbentuk antara pengrajin dan pengrajin pengusaha, kemanfaatan yang diperoleh pengrajin dan pengrajin pengusaha dengan adanya hubungan subkontrak,
hubungan subkontrak dan
pengembangan inovasi. Selanjutnya mendeskripsikan hasil penelitian.
Dab VI Kesimpulan dan Usulan Berisi kesimpulan hasil penelitian yang sudah dilakukan, disertai dengan usu1an rekomendasi baik sebagai masukan bagi pengambil kebijakan maupun berupa rekomendasi studi lanjutan. Pada bab ini dijelaskan juga mengenai kelemahan yang ada dalam penelitian ini.
Babll Landasan Teori TI.l. Tinjauan Tentang Kemitraan TI.l.l. Pengertian Kemitraan Untuk menambah dan memperkaya pemahaman kita mengenai kemitraan, maka akan dipaparkan beberapa pengertian kemitraan menurut para ahli diantaranya adalah: I. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata mitra adalah ternan, kawan kerja, pasangan kerja, rekan. Kemitraan artinya : perihal hubungan atau jalinan kerjasama sebagai mitra. 2. Dr. Muhammad Jafar Hafsah, kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Karena merupakan strategi bisnis maka keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan diantara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis. 3. Ian Linton. kemitraan adalah sebuah cara melakukan bisnis di mana pemasok dan pelanggan bemiaga satu sama lain untuk mencapai tujuan bisnis bersama.
Kesemua defmisi tersebut di atas, temyata belum ada satu definisi yang memberikan definisi secara lengkap tentang kemitraan. Hal tersebut disebabkan karena para ahli mempunyai titik fokus yang berbeda dalam memberikan definisi tentang kemitraan. Menurut Keint L. Fletcher dan Kamus Besar Bahasa Indonesia memandang kemitraan sebagai suatu jalinan kerjasama usaha untuk tujuan memperoleh keuntungan. Berbeda dengan Muhammad Jafar Hafsah dan Ian Linton yang memandang kemitraan sebagai suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak. atau lebih, dengan prinsip sating membutuhkan dan sating membesarkan. Tetapi dengan adanya perbedaan pendapat diantara para ahli ini maka akan sating melengkapi diantara pendapat ahli yang satu dengan yang lainnya, dan apabila dipadukan maka akan menghasilkan definisi yang lebih sempurna, bahwa kemitraan merupakan jalinan kerjasama usaha yang merupakan
10
II
strategi bisnis yang dilakukan antara dua pihak atau lebih dengan prinsip saling membutuhkan, saiing memperbesar dan sating menguntungkan. Dalam kerjasama tersebut tersirat adanya satu pembinaan dan pengembangan, hal ini dapat terlihat karena pada dasamya masing-masing pihak pasti mempunyai kelemahan dan kelebihan, justru dengan kelemahan dan kelebihan masing-masing pihak akan saling melengkapi dalam arti pihak yang satu akan mengisi dengan cara melakukan pembinaan terhadap kelemahan yang lain dan sebaliknya.
Telah dipaparkan di atas, berbagai defmisi dari para ahli mengenai kemitraan, selanjutnya akan dilihat definisi menurut peraturan perundang-undangan yang telah dibakukan sebagai berikut : 1. Menurut Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Pasal I angka 8. "Kemitraan adalah kerja sama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan Pengembangan
oleh
Usaha
Menengah
atau
Usaha
Besar
dengan
memperlihatkan prinsip sating memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan". 2. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor. 44 Tahun 1997 tentang kemitraan, Pasat I angka I. "Kemitraan adalah kerja sama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan atau Usaha Besar dengan memperlihatkan prinsip sating memertukan, sating memperkuat dan sating menguntungkan".
11.1.2. Jenis Pola-Pola Kemitraan Dalam rangka merealisasikan kemitraan sebagai wujud dari keterkaitan usaha, maka diselenggarakan melalui pola-pola yang sesuai dengan sifat dan tujuan usaha yang dimitrakan adalah sebagai berikut :
1. Pola Inti Plasma Dalam pola inti plasma, Usaha Besar dan Usaha Menengah bertindak sebagai inti membina dan mengembangkan Usaha Kecil sebagai plasma. Selanjutnya menurut penjelasan Pasal 27 huruf (a) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995, yang dimaksud dengan pola inti plasma adalah "hubungan kemitraan antara
12
usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar sebagai inti membina dan
mengembangkan
usaha
kecil
yang
menjadi
plasmanya
dalam
menyediakan laban, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi, perolehan, penguasaan dan peningktan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha". Kerjasma inti plasma akan diatur melalui suatu perjanjian kerjasama antara inti dan plasma. Dalam program inti plasma ini diperlukan keseriusan dan kesiapan, baik pada pihak usaha kecil selaku pihak plasma yang mendapat bantuan dalam upaya mengembangkan usahanya, maupun pada pihak usaha besar atau usaha menengah yang mempunyai tanggungjawab sosial untuk membina dan mengembangkan usaha kecil sebagai mitra usaha untuk jangka panjang. Selain itu juga sebagai suatu upaya untuk mewujudkan kemitraan usaha pola inti plasma yang mampu memberdayakan ekonomi rakyat sangat dibutuhkan adanya kejelasan peran masing-masing pihak yang terlibat. Adapun pihak-pihak terdebut antara lain : (1)
Pengusaha Besar (Pemrakarsa),
(2)
Pengusaha Kecil (Mitra Usaha) dan
(3)
Pemerintah.
Peran pengusaha besar selaku (inti) sebagaimana terse but di atas tentunya juga harus diimbangi dengan peran usaha kecil (plasma) yaitu meningkatkan kemampuan manajemen dan kinerja usahanya yang berkelanjutan serta memanfaatkan dengan sebaik-baiknya berbagai bentuk pembinaan dan bantuan yang diberikan oleh usaha besar dan atau usaah menengah. Selanjutnya untuk peran pemerintah akan dibahas lebih lanjut pada sub bab yang tersendiri.
2. Pola Subkontrak Menurut pe~elasan Pasa127 huruf(b) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995 bahwa "pola subkontrak adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar sebagai bagian dari produksinya.
13
Selanjutnya menurut Soewito, pola subkontraktor adalah suatu sistem yang menggambarkan hubungan antara usaha besar dengan usaha kecil atau menengah, dimana usaha besar sebagai perusahaan induk (parent firma) meminta kepada usaha kecil atau menengah selaku subkontraktor untuk mengerjakan seluruh atau sebagian pekerjaan (komponen) dengan tanggung penuh pada perusahaan induk. Dapat pula dikatakan bahwa dalam pola subkontrak, usaha kecil memproduksi barang dan atau jasa yang merupakan komponen atau bagian produksi usaha menengah atau usaha besar. Oleh karena itu. maka melalui kemitraan ini usaha menengah dan atau usaha besar memberikan kesempatan yang seluas-Iuasnya kepada usaha kecil untuk membeli bahan baku yang diperlukan secara berkesinambungan dengan harga yang wajar.
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dalam kemitraan dengan pola subkontrak, bagi perusahaan kecil antara lain adalah dapat menstabilkan dan menambah penjualan, kesempatan untuk mengerjakan sebagian produksi dan atau komponen, bimbingan dan kemampuan teknis produksi atau manajemen, perolehan, pengusaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan. Sedangkan bagi perusahaan besar adalah dapat memfokuskan perhatian pada bagian lain, memenuhi kekurangan kapasitas, memperoleh sumber pasokan barang dengan harga yang lebih murah daripada impor, selain itu juga dapat meningkatkan produktivitas dan kesempatan kerja baik pada perusahaan kecil maupun perusahaan besar.
3. Pola Dagang Umum Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (c) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995, Pola Dagang Umum adalah "hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Menengah atau Usaha Besar memasarkan basil produksi Usaha Kecil atau
14
Usaha Kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar mitranya". Dengan demikian maka dalam pola dagang umum, usaha menengah atau usaha besar memasarkan produk atau menerima pasokan dari usaha kecil mitra usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar mitranya.
4. Pola Keagenan Berdasarkan penjelasan Pasal 27 huruf (e) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995, pola keagenan adalah "hubungan kemitraan, yang di dalamnya Usaha Kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa Usaha Menengah atau Usaha Besar mitranya".
Dalam pola keagenan, usaha menengah dan atau usaha besar dalam memasarkan barang dan jasa produknya memberi hak keagenan hanya kepada usaha kecil. Dalam hal ini usaha menengah atau usaha besar memberikan keagenan barang dan jasa lainnya kepada usaha kecil yang mampu melak.sanakannya.
Selanjutnya menurut Munir Fuady, pola keagenan merupakan hubungan kemitraan, dimana pihak prinsipal memproduksi atau memiliki sesuatu. sedangkan pihak lain (agen) bertindak sebagai pihak yang menjalankan bisnis tersebut dan menghubungkan produk yang bersangkutan langsung dengan pihak ketiga Seorang agen bertindak untuk dan atas nama prinsipal, sehingga pihak prinsipal bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan oleh seorang agen terhadap pihak ketiga, serta mempunyai hubungan tetap dengan pengusaha.
5. Pola Waralaba Menurut Penjelasan Pasal 27 Huruf (d) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995, Pola Waralaba adalah" hubungan kemitraan, yang di dalamnya pemberi waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran
15
distribusi perusahaannya kepada penerima waralaba dengan disertai bantuan bimbingan manajemen".
Berdasarkan pada ketentuan seperti tersebut di atas, dalam pola waralaba pemberi waralaba memberikan hak untuk menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri usaha kepada penerima waralaba. Dengan demikian, maka dengan pola waralaba ini usaha menengah dan atau usaha besar yang bertindak sebagai pemberi waralaba menyediakan penjaminan dan atau menjadi penjamin kredit yang diajukan oleh usaha kecil sebagai penerima waralaba kepada pihak ketiga
6. Bentuk-Bentuk Lain Selain daripada pola-pola seperti yang telah disebutkan di atas, seiring dengan semakin berkembangnya lalu lintas usaha (bisnis) dimungkinkan pula dalam perjalanannya nanti adanya timbul bentuk pola-pola lain yang mungkin saat ini atau pada saat yang mendatang akan atau sudah berkembang tetapi belum dibakukan.
11.2. Hubungan Subkontrak Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (b) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995 bahwa "pola subkontrak adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar sebagai bagian dari produksinya
Selanjutnya menurut Soewito, po1a subkontraktor adalah suatu sistem yang menggambarkan hubungan antara usaha besar dengan usaha kecil atau menengah, dimana usaha besar sebagai perusahaan induk (parent firma) meminta kepada usaha kecil atau menengah selaku subkontraktor untuk mengerjakan seluruh atau sebagian pekerjaan (komponen) dengan tanggung penuh pada perusahaan induk.
16
Dapat pula dikatakan bahwa dalam pola subkontrak, usaha kecil memproduksi barang dan atau jasa yang merupakan komponen atau bagian produksi usaha menengah atau usaha besar. Oleh karena itu, maka melalui kemitraan ini usaha menengah dan atau usaha besar memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada usaha kecil untuk membeli bahan baku yang diperlukan secara berkesinambungan dengan harga yang wajar.
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dalam kemitraan dengan pola subkontrak, bagi perusahaan kecil antara lain adalah dapat menstabilkan dan menambah penjualan, kesempatan untuk mengerjakan sebagian produksi dan atau komponen, bimbingan dan kemampuan teknis produksi atau manajemen, perolehan, pengusaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan. Sedangkan bagi perusahaan besar adalah dapat memfokuskan perhatian pada bagian lain, memenuhi kekurangan kapasitas, memperoleh sumber pasokan barang dengan harga yang lebih murah daripada impor, selain itu juga dapat meningkatkan produktivitas dan kesempatan kerja baik pada perusahaan kecil maupun perusahaan besar.
Relasi yang terbentuk antara pengrajin dan pengrajin pengusaha di sentra industri mebel Serenan adalah bentuk hubungan subkontrak, dari basil pengamai:an di lapangan bahwa produk pengrajin merupakan pesanan dari pengrajin pengusaha. Pengrajin sebagai penerima order (subkontraktor) dan pengrajin pengusaha sebagai pemberi order (prinsipal). Penentuan harga, model dan kualitas ditentukan antara pengrajin pengusaha dengan pemesan. Pemesan yang melakukan permintaan barang mebel ini adalah eksportir dan buyer.
Meningkatnya kecenderungan terjadinya pergeseran hubungan kerja ke arab subkontrak selain memberikan manfaat juga dapat membawa persoalan bagi subkontraktor (Dicken, 1987). Dicken mengungkapkan bahwa persoalan muncul bila hubungan subkontrak yang terjadi antara unit usaha kecil dan perusahaan besar tidak seimbang, khususnya dalam relasi kekuasaan antara keduanya. Dalam
17
situasi tersebut usaha kecil subkontrak dapat ditambah atau dihilangkan sesuai dengan kebutuhan prinsipal.
Kebebasan subkontraktor untuk beralih ke produk atau pasar lain kemudian menjadi lebih terbatas. Persoalan lain dalam hubungan subkontrak adalah ketika prinsipal memberikan order dengan detail yang spesifik dan subkontraktor bergantung pada prinsipal dalam hal pengembangan proses produknya, sehingga subkontraktor sulit untuk mengembangkan produk-produknya.
Hubungan subkontrak juga meningkatkan derajat fleksibilitas prinsipal untuk mengurangi produksi yang dilakukan di dalam pabrik. Hal yang juga penting adalah dengan hubungan ini prinsipal sampai pada titik tertentu dapat mengekstemalkan risiko dan biaya produksi yang kemudian ditanggung oleh subkontraktor.
ll.3. Tinjauan Undang-Undang Tentang Kemitraan Usaha. 11.3.1. Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Undang - Undang ini lahir untuk memberikan landasan hukum (yuridis) bagi pemberdayaan usaha kecil, sebab dalam pembangunan nasional usaha kecil sebagai bagian integral dunia usaha yang merupakan kegiatan ekonomi rakyat mempunyai kedudukan, potensi dan peran yang strategis untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional yang makin seimbang berdasarkan demokrasi ekonomi.
Dalam arti umum, demokrasi adalah pemerintahan atau pengaturan tata kehidupan masyarakatlbangsa oleh rakyat, artinya seluruh warga negara, besar maupun kecil, terlibat dalam pengambilan setiap keputusan yang menyangkut kehidupan mereka. Menurut penjelasan resmi Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa, dalam bunyi ayat I Pasal 33 ini tercantum (pengertian) dasar demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi diartikan sebagai produksi dikerjakan oleh semua, (dan) untuk semua, dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat.
18
Di dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil tersebut diatur mengenai kriteria usaha kecil, tujuan pemberdayaan usaha kecil, iklim usaha bagi pengembangan usaha kecil dan pola-pola kemitraan.
11.3.2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan. Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Salah satu cara /upaya dalam rangka pemberdayaan usaha kecil adalahdengan kemitraan. Dalam Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah Nomor. 44 Tahun 1997 terutama dalam Pasal 1 menyatakan bahwa : "Kemitraan adalah kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan".
Oleh sebab itu untuk mempercepat terwujudnya kemitraan keluarlah peraturan tersebut di atas yang mengatur mengenai tata cara penyelenggaraan, pembinaan dan pengembangannya. Sebenamya pemerintah telah melakukan pembinaan dan pengembangan bagi kemitraan antara usaha besar dan kecil telah dimulai Tahun 1984 yaitu dengan Undang-Undang Nomor. 5 tahun 1984 yaitu Undang-Undang Pokok Perindustrian. Namun gerakan kemitraan ini lebih berdasarkan himbauan dan kesadaran karena belum ada peraturan pelaksanaan yang mengatur kewaj iban perusahaan secara khusus dan disertai dengan sanksinya. Kemudian dalam Kepmenkeu RI No. 3161KMK.016/1994 sebagaimana telah dirubah dengan Kepmenkeu RI No. 60/KMK.Ol6/1996 tentang "Pedoman Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi Melalui Pemanfaatan Dana dari Bagian Laba BUMN", mewajibkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyisihkan dana pembinaan sebesar 1 % - 3 % dari keuntungan bersih, sistem keterkaitan Bapak Angkat Mitra Usaha, penjualan saham perusahaan besar yang sehat kepada koperasi dan lain sebagainya.
19
Berikutnya pada tahun 1996 dicanangkan Gerakan Program Kemitraan Usaha Nasional (KUN) oleh Presiden Rl. Dalam Program Kemitraan Usaha Nasional (KUN) yang telah tersusun atas prakarsa Badan Pengurus Deklarasi Jimbaran-Bali dengan Departemen Koperasi atau Pembinaan Pengusaha Kecil, Pemerintah menekankan bahwa kemitraan usaha merupakan upaya yang tepat untuk memadukan kekuatan-kekuatan ekonomi nasional.
11.3.3.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor. 99 Tabuo 1998
tentang Bidang/Jenis Usaba Yang Dicadangkan Untuk Usaba Kecil dan Bidang/Jenis Usaba yang Terbuka Dengan Syarat Kemitraan. Keputusan Presiden ini dikeluarkan dengan tujuan untuk memberdayakan dan memberikan peluang berusaha kepada usaha kecil agar mampu mewujudkan peran sertanya dalam pembangunan nasional. Keppres tertanggal 14 Juli 1998 ini memuat delapan pasal yang menjabarkan bidang-bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha kecil antara lain bidang pertanian, perk.ebunan, petemakan, periklanan, industri makanan atau
minuma~
industri tek.stil dan industri
percetakan. Semua bidang usaha tersebut di atas wajib bermitra dengan usaha kecil dalam pelbagai bentuk kemitraan melalui penyertaan saham, inti plasma, subkontrak, waralaba. perdagangan wnwn. keagc:nan dan bentuk lainnya melalui suatu perjanjian tertulis.
11.4.
Hubungan Eksploitasi pada Usaba Kecil
Kata eksploitasi merupakan kata yang tidak netral. Di dalam kata tersebut terdapat penilaian secara moral terhadap pihak-pihak yang melakukan tindakan tersebut. Menilai bahwa hubungan antar pelaku bersifat ek.sploitatif berarti menilai bahwa hubungan tersebut tidak adil (u,Yust) dan berbahaya atau merugikan (harmful) bagi pihak yang dieksploitasi (Wright, 1977). Konsep ini dipakai untuk menganalisis sebuah hubungan antar ke1as atau kelompok dalam masyarakat. Wright menyebutkan bahwa ciri dari hubungan yang bersifat eksploitasi adalah sebagai berikut : 1. Kesejahteraan sebuah kelompok masyarakat secara perampasan material dari sebuah kelompok lain.
m~terial
tergantung pada
20
2. Hubungan tersebut di atas melibatkan pula pengucilan/penutupan (exclusion) akses terhadap sumberdaya produktif tertentu secara asimetris terhadap kelompok yang tereksploitasi. Pada umumnya hak milik (property rights) sering digunakan untuk menutup akses kelompok lain terhadap sumbersumber daya tertentu tetapi tidak selalu. 3. Mekanisme yang menghasilkan pengucilan atau penutupan akses terhadap sumber daya produktif tersebut melibatkan pengambilalihan nilai tambah kelompok yang tereksploitasi oleh kelompok yang mengusasi sumber daya produksi tersebut.
Pada uraian yang dikemukakan di atas terlihat bahwa ada sementara kelompok yang melakukan eksploitasi akses dan kontrol terhadap sumber daya produktif tertentu dan bahkan dapat menutup akses dan kontrol yang sama pada kelompok lain. kepemilikan akses dan kontrol tersebutlah yang kemudian menyebabkan pihak yang tereksploitasi terpaksa mengandalkan pihak yang mengeksploitasi untuk dapat pula memanfaatkan sumber daya produktif tersebut. Akan tetapi perbedaan akses dan kontrol terhadap sumber daya produktif an sich belum tentu menyebabkan timbulnya hubungan eksploitasi. Hubungan terscbut baru akan muncul apabila kelompok yang menguasai akses dan kontrol terbadap sumber daya tersebut kemudian memanfaatkannya untuk menentukan aturan mai~ hak dan kewajiban dari kelompok lain demi keuntungan atau manfaat dirinya sendiri. Kekuatan-kekuatan yang dimiliki seorang pelaku yang membuatnya dapat menentukan bentuk hubungan yang terbangun bersumber dari posisinya di dalam masyarakat. Di dalam hubungan-hubungan yang bersifat ekonomi, kekuatan tersebut menyebabkan pelaku yang bersangkutan dapat menciptakan distorsi pasar melalui berbagai bentuk monopoli dan hambatan masuk ke pasar (ba"ier to
entry), pendiktean harga, serta berbagai bentuk pengalihan resiko kepada pihak yang lemah.
Untuk dapat menentukan kondisi hubungan dan aturan main tersebut pelaku harus memiliki kekuatan atau power yang lebih dibandingkan dengan pelaku lain.
21
Secara garis besar kekuatan tersebut dapat berupa kekuatan politik, sosial atau ekonomi. Sumber-sumber kekuatan pelaku eksploitasi secara garis besar adalah sebagai berikut (Widyaningrum dkk, 2004) :
I. Kekuatan dari kebijakan negara. Terdapat kebijakan-kebijakan yang memberi previlege pada sekelompok aktor untuk melakukan monopoli dalam perdagangan jenis komoditi tertentu. 2. Kekuatan informasi dan modal. Penguasaan dan penutupan akses terhadap informasi dan modal menjadi salah satu sumber kekuatan pelaku-pelaku eksploitasi. 3. Kekuatan sumber daya sosial dan ekonomi. Kemiskinan pelaku-pelaku industri kecil, terutama yang berada di pedesaan, menjadi kondisi yang mengundang perilaku eksloitatif dari pedagang pengumpul dari daerah yang sama.
11.5.
Inovasi dan lndustri Kecil
Inovasi sering diasosiasikan dengan ilmu dan teknologi canggih yang merupakan milik orang yang berkemampuan tinggi, mungkin karena inovasi terkait langsung dengan tingkat pengetahuan dan kecerdasan yang tercermin dalam kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) oleh sekelompok orang berpendidikan di Iembaga pemerintah dan perguruan tinggi. Sebenarnya, kegiatan inovatif tidak sama dengan litbang yang cenderung lebih sistematik dan terprogram, tetapi lebih kepada suatu proses kreatif yang muncul
pada waktu seseorang menjalankan
kegiatannya sehari-hari. Sebetulnya kegiatan inovatifpun dapat dilakukan oleh masyarakat luas dalam bentuk yang bervariasi.
Inovasi adalah transformasi ide atau sumber-sumber daya ke bidang-bidang yang bermanfaat yang menyebabkan terbentukya produk-produk, service atau proses baru (Winardi, 2000). Kebaruan ini bersifat relatif sehingga dalam konteks global, suatu inovasi di negara berkembang mungkin merupakan hal yang usang di negara maju. Ini memunculkan pembedaan yang secara umum mengelompokkan negara maju berdasarkan tingkat kemampuan teknologinya menjadi 'technologically
22
innovating countries ' dan negara berkembang sebagai 'technologically learning countries'. Sifat kebaruan inovasi yang relatif ini juga berlaku di tingkat lokal misalnya,
kemampuan mengoperasikan komputer untuk pembukuan dan
pangkalan data yang merupakan hal biasa di kantor modem di Jakarta akan merupakan suatu inovasi proses di sebuah industri kerajinan rumah tangga di Wonogiri.
Berbicara tentang industri kecil dan menengah (IKM) termasuk industri rumah tangga atau UKM berbasis teknologi yang berjumlah sekitar 2, 7 juta atau 98% (Derry Pantjadaharma, 2000) dari pengusaha industri di Indonesia, maka faktorfaktor yang mempengaruhi daya saingnya antara lain; akses pasar dan permodalan, akses teknologi. Sedangkan yang paling utama adalah kemampuan sumber daya manusianya untuk memanfaatkan ilmu dan teknologi yang tersedia. Sering IKM terpaku pada kegiatan rutinnya dan tidak memiliki waktu dan daya untuk melakukan peningkatan teknik ataupun kegiatan-kegiatan inovatif yang dapat memperbaiki kinerja usaha dan daya saingnya. Akhimya, walaupun memiliki modal ketangguhan yang kuat mereka sering terkungkung dalam usahausaha
·SJin·ivaf
usahanya. Sekarang, bagaimana komunitas IKM ini dapat
mdakukan terobosan dari lingkaran setan keterbatasan kemampuannya. Sumber
inovas~
baik itu produk atau proses adalah proses belajar (learning).
Dalam konteks makro, learning yang mengarah pada suatu perbaikan teknik
('technical change') disertai dengan pertumbuhan 'stock of knowledge' merupakan dasar dari dinamika ekonomi modem. Learning itu sendiri telah diakui sebagai salah satu komoditas ekonomi yang penting sementara prosesnya dapat terjadi melalui berbagai mekanisme baik secara perorangan, kelompok maupun kelembagaan dalam berbagai wahana baik industri ataupun lembaga penelitian dan pengembangan [A"ow 1962, Lundvall 1985, Dosi 1994]. Inovasi juga merupakan faktor penting dalam peningkatan daya saing di tingkat 'firm' maupun di tingkat lokal dan nasional sehingga kaj ian atas sistem inovasi nasional
(national innovation system) selalu merupakan bagian terpadu dalam upaya perkembangan ilmu dan teknologi. Agar masyarakat mampu melakukan kegiatan
23
inovatif maka harus ada upaya meningkatkan kemampuan ilmu dan teknologinya yaitu dengan memperkuat kapasitas learning nya. Jadi, aliran informasi dan
knowledge dari sumber-sumber ilmu dan teknologi ke masyarakat perlu terus menerus difasilitasi.
Tipe-tipe perubahan menurut (Wilken, 1979) adalah sebagai berikut :
I. Ekspansi Awal Produksi permulaan barang-barang 2. Ekspansi Setelahnya Perubahan sesudahnya dalam jumlah barang-barang yang diproduksi 3. Inovasi Fa.ktor Produksi Meningkatnya suplai atau prduktivitas fa.ktor-faktor produksi yang ada. •
Bahan-bahan, pembelian bahan-bahan lama dari sumber baru atau penggunaan bahan baru
•
Tenaga kerja, pencapaian tenaga kerja dari sumber baru, atau yang bertipe baru; perbaikan tenaga kerja yang ada
4. Inovasi-inovasi dalam bidang produksi Perubahan-perubahan da1am proses produksi : •
T eknologikal penggunaan teknik produksi yang baru
•
Keorganisasian. perubahan bentuk atau struktur hubungan antara orangorang
5. Inovasi-inovasi pasar Perubahan-perubahan pasar atau komposisi pasar : •
Produk, produksi barang-barang baru, atau perubahan dalam kualitas atau biaya produksi barang yang ada
•
Pasar, penemuan pasar atau daerah penjualan baru.
Wirausahawan merupakan teijemahan dari kata enterpreuneur. Kata tersebut berasal dari bahasa Prancis entreprendre yang berarti bertanggungjawab dalam menyusun, mengelola dan mengukur resiko suatu usaha bisnis. Pada masa sekarang wirausahawan melakukan berbagai hal sehingga definisinya menjadi lebih luas. Wirausahawan adalah inovator yang mampu memanfaatkan dan
24
mengubah kesempatan menjadi ide yang dapat dijual atau dipasarkan, memberikan nilai tambah dengan memanfaatkan upaya, waktu biaya atau kecakapan dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan. Mereka adalah pemikir mandiri yang memiliki keberanian untuk berbeda latar latar belakang dalam berbagai hal yang bersifat umum. Mereka biasanya pembawa perubahan dalam dunia bisnis yang tidak menyerah dalam berbagai kesulitan untuk mengejar keberhasilan usaha yang dirintis secara terencana.
Wirausahawan perlu
mempunyai desain produk, strategi pemasaran, dan solusi dalam mengatasi problem manajerial yang kreatif untuk bersaing dengan perusahaan yang lebih besar.
Enterpreunership sebagai sebuah proses dan para enterpreuner sebagai inovator yang memanfaatkan proses tersebut untuk menghancurkan kondisi status quo melalui
kombinasi-kombinasi
baru
sumber-sumber
daya
metode-metode
pemiagaan baru. Enterpreuner merupakan pengusaha yang ingin mencari dan menerapkan kombinasi-kombinasi baru faktor produksi (Schumpeter, 1934). Kombinasi-kombinasi baru tersebut dapat membuahkan produk baru yang belumpemah diketemukan, metode kerja baru yang lebih efisien dan efektif. lapangan kerja baru, teknologi baru dan daerah penjualan baru.
Sejumlah kendala dan masalah dihadapi oleh seorang enterpreuner, menurut Karl Vesper alasan yang paling bersifat umum adalah : •
Tidak memiliki konsep untuk bertahan atau langgeng.
•
Kekurangan pengetahuan tentang pasar, karena mereka biasanya sudah bekerja di tempat
dimana mereka terikat dengan borgol emas (golden
handscuffs). •
Merasa diri mereka sudah mapan dan mereka tidak memerlukan pekerjaan lainnya.
•
Kekurangan
ketrampilan
yang
enterpreunership secara berhasil. •
Kekurangan modal yang diperlukan.
menjadi
kendala
bagi
pelaksanaan
25
11.6.
Hambatan Usaha Kecil Untuk Berkembang
Untuk dapat mendorong usaha kecil agar bisa menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia, dibutuhkan strategi dan upaya yang komprehensif. Meskipun telah lama didengungkan, perhatian kepada usaha keel di Indonesia belum pemah secara efektif benar-benar terlaksana. Pemihakan terhadap usaha kecil yang selama ini didengungkan oleh banyak pihak pada kenyataanya hanya merupakan jargon politik semata. Meskipun banyak program telah diluncurkan untuk membantu usaha kecil terutama dalam berbagai bentuk kredit, tetapi program-program tersebut tidak secara nyata meningkatkan pertumbuhan usaha kecil. Kebijakan yang tidak tepat sasaran mekanisme, ditambah dengan meluasnya praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme mengakibatkan program-program bantuan kepada usaha kecil beljalan tidak efektif dan pada gilirannya tidak banyak membantu perkembangan usaha kecil.
Terlepas dari adanya penyimpangan dalam upaya-upaya pengembangan usaha kecil di atas, adanya sudut pandang yang berbeda terhadap persoalan yang dihadapi usaha kecil juga membawa perbedaan dalam bentuk dan strategi pengembangan usaha kecil. Persoalan yang dihadapi usaha kecil adalah (Nurul Widyaningrum, 2003) :
1. Kelemahan kapasitas individu pelaku usaha kecil merupakan penyebab tidak berkembangnya usaha kecil di Indonesia, terutama kapasitas manajemen usaha. Pelaku usaha kecil dan mikro tidak dapat berkembang karena tingkat pendidikan yang rendah, ketidakmampuan menjalankan usaha dengan manajemen yang baik, serta tidak berusaha dengan keras untuk dapat mendapatkan keuntungan. Berbagai bentuk pelatihan manajemen dan pemasaran kemudian banyak diadakan demi kemajuan usaha kecil ini, akan tetapi manfaat dari pelatihan ini masih banyak dipertanyakan. Selain itu gambaran persoalan tersebut tidak terlalu sesuai dengan para pelaku usaha kecil ini pada umumnya tahu pasar-pasar potensial produk mereka, tahu cara meningkatkan kualitas produk mereka, tetapi tetap tidak dapat meningkatkan produksi mereka
26
2. Pennasalahan tidak adanya infrastruktur yang menghubungkan kelompok usaha mikro kecil dengan sumber pennodalan, input atau pasar. Dengan asumsi tersebut, upaya yang harus dilakukan untuk mengembangkan usaha kecil adalah dengan membangun infrastruktur yang dibutuhkan seperti ruang pamer, sarana perkreditan dan lain-lain, serta adanya deregulasi agar peraturan yang menghambat akses usaha kecil pada sarana yang ada bisa dihilangkan. Tindakan tersebut temyata baru mampu menjawab sebagian masalah, karena keberadaan infrastruktur, dereguklasi, kredit serta pelatihan-pelatihan bagi usaha kecil temyata belum mampu secara nyata memberi ruang bagi usaha kecil yang potensial untuk berkembang dengan baik. 3. Persoalan hubungan di dalam rantai produksi dan perdagangan usaha kecil. Dalam rantai ini, seringkali pelaku yang lebih kuat memanfaatkan posisinya sedemikian rupa sehingga akumulasi modal yang diperolehnya
terpaksa
dibiayai oleh ketidak mampuan usaha kecil untuk berkembang. Hubunganhubungan yang terjalin terkadang bersifat eksploitatif dan bukan merpakan hubungan yang mutualistik. Pola hubungan yang tidak adil tersebut dapat diciptakan oleh aktor-aktor tertentu karena kekuatan politik, sosial atau ekonomi yang dimilikinya. Kekuatan tersebut yang kemudian menekan usahausaha kecil sehingga usaha kecil terpaksa harus menjalankan usaha dengan biaya serta resiko yang lebih tinggi atau kemudian menjual produknya dengan harga yang lebih rendah. Usaha kecil berbasis tradisi juga seringkali mengalami hambatan untuk berkembang. Tradisi yang turun-temurun, baik itu tradisi dalam hal produk maupun dalam proses produksi oleh pengrajin berbasis tradisi dengan alasan tertentu diusahakan untuk dipertahankan. Sedangkan di sisi lain kondisi pasar dan teknologi selalu berkembang yang menuntut adanya penyesuaian. Hal tersebut menyebabkan usaha kecil berbasis tradisi terjebak dalam inersia kultural atau kelambanan untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan. Akibat adanya upaya untuk mempertahankan tradisi tersebut terjadi keengganan pengrajin untuk
27
berubah kecuali ada jaminan bahwa perubahan tersebut memberikan keuntungan yang besar (Nurcholis Madjid, 2000).
Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Lussier dan Corman (Lussier, 1995), diindikasikan penyebab utama kegagalan dari usaha kecil adalah kekurangan modal, resesi, dan permasalahan kredit. Permasalahan finansial (kekurangan modal, manajement cash flow, kemampuan mengontrol biaya) diindikasikan sebagai penyebab pertama dari kegagalan usaha kecil (Festervand, Forrest, 1991). Penyebab kedua yang mengakibatkan kegagalan pada usaha kecil adalam masalah manajemen pada usaha kecil. Secara khusus tidak adanya perencanaan ditengarai sebagai kelemahan yang signifikan dari usaha kecil, dan untuk mengantisipasi masa depan dibutuhkan suatu perencanaan jangka panjang (O'Neil, Duker, 1986).
Kelemahan lain dari manajerial usaha kecil adalah pada sumber daya manusia, dimana sumber daya manusia pada usaha kecil seringkali tidak memiliki kualifikasi dengan yang dibutuhkan. Keterbatasan sumber daya manusia merupakan salah satu kendala serius yang dibadapi IKM di Indonesia, terutama dalam aspek-aspek kcwir3usahaan. manajemen, teknik produksi, pengembangan produk, design engineering, quality con1ro/, organisasi bisnis, akuntansi, pemrosesan data, teknik pemasaran, dan penelitian pasar.
Bradley (1997) memperlihatkan bahwa kompleksitas dari dunia bisnis akhir-akhir ini, diindikasikan oleh pelaku usaha kecil sebagai faktor penting penyebab kegagalan. Dimana faktanya, kemampuan untuk melakukan penyesuaian terhadap perubahan lingkungan yang cepat (seperti : kompetitor, aturan pemerintah, teknologi) dan menjaga motivasi dan kemampuan karyawan di identiftkasi sebagai masalah utama, lebih berat dibanding dengan masalah finansial.
Akan tetapi, dari pembahasan beberapa literatur yang telah disebutkan diatas, tidak ada yang memasukkan beberapa faktor penting lain yang dapat menyebabkan kegagalan usaha kecil, yaitu hal yang menyangkut struktur sistem
28
usaha. Bianchi dan Bivona (1999) menyebutkan struktur sistem usaha ditunjukkan oleh persaingan dan sistem sosial pada satu sisi (misalnya : pemasok bahan baku, klien, pesaing, pesaing potensial, produk substitusi, external stakeholders) dan lingkungan internal pada sisi lain (misal : kepemilikan saham keluarga, pekelja, dll).
Lebih lanjut Bianchi dan Bivona menjelaskan faktor utama yang mempengaruhi kinelja usaha kecil dan menengah, yang terlihat pada Tiga faktor utama yang sating berhubungan ini, sering menjadi penyebab kegagalan dari usaha kecil yaitu
a. faktor internal, b. faktor eksternal dan, c. faktor keluarga
Faktor Internal adalah yang berhubungan dengan variabel-varibel yang terdapat dalam
perusahaan.
Antara
lain, yang paling berpengaruh adalah yang
berhubungan dengan: sikap managerial pelaku usaha. debts/equity ratio. perencanaan dan pengendalian (planning & control). peralatan, sumber daya manusia, manajemen inovasi.
Faktor Eksternal adalah sebagian besar berhubungan dengan para pesaing
(competitor), pelanggan (customer), lembaga keuangan dan para aktor lain yang saling berhubungan dengan perusahaan dari luar. Persepsi tentang faktor eksternal adalah suatu kunci yang menghubungkan mekanisme antara faktor yang internal dan eksternal. Tidak dimilikinya "aturan permainan (rules of the game)'' pemahaman industri dan kesulitan untuk menyediakan dana keuangan atau sumber daya manusia untuk mendukung pertumbuhan adalah faktor eksternal utama dari kegagalan usaha kecil.
Faktor keluarga mengacu pada tumpang-tindihnya antara perusahaan dan hak kekayaan milik keluarga Keadaan tumpang-tindih tersebut sering mengarah ke arah dua permasalahan:
29
1. Adanya penyimpangan dalam laba (profit) dan arus kas, yang mengarah ke arah penarikan likwiditas yang tak terkendali dari rekening perusahaan untuk mencukupi kebutuhan keluarga; 2. Ketidakpastian peran anggota keluarga terhadap perusahaan.
Beberapa literatur mengulas mengenai kendala dan hambatan yang dialami oleh industri kecil, baik dari awal berdiri dan juga dalam pertumbuhannya. Seperti yang diulas oleh Yoon (2003), hambatan dan kendala tersebut, antara lain:
1. Sulit untuk mengakses kredit Kebanyakan usaha
keci~
terutama pada awal tahun berdiri untuk mendapat
kredit dari lembaga perbankan tidaklah mudah. Hal tersebut dikarenakan bank terikat oleh hukum dan peraturan terhadap standar kebijakan pemberian pinjaman yang memerlukan manajemen penilaian akan resiko terhadap setiap pemberian pinjaman yang diberikan. 2. Akses modal yang sulit Akses terhadap modal pada berbagai langkah-langkah dalam siklus kehidupan dari pelaku industri kecil adalah masalah utama. Karena banyak industri kecil, dan kebanyakan yang barn memulai usahanya, sumber modal utama adalah dari dana pribadi pelaku usaha dan dari keluarga atau relasi bisnis. Mendapatkan uang untuk modal kerja, pada tahap awal tumbuhnya suatu usaha selalu merupakan hal yang sulit. 3. Kebutuhan akan pendidikan dan pelatihan yang efektif Untuk usaha kecil, khususnya industri kecil menengah untuk dapat berhasil pada dekade akan datang dan selanjutnya, diperlukan atau dibutuhkan pendidikan dan pelatihan kepada tenaga kerja Sistem sekolah umum tidak memenuhi akan kebutuhan dari komunitas usaha kecil dalam kaitannya menyiapkan angkatan kerja barn seperti keahlian dasar, keahlian matematika dan
keahlian
pemecahan
masalah.
Sering
dikatakan
bahwa
untuk
menanggulangi masalah sumber daya manusia ini, dengan cara memberikan pelatihan langsung kepada tenaga kerja merupakan cara yang paling efektif.
30
Namun banyak IKM, tidak sanggup dalam menanggung sendiri biaya pelatihan tersebut. 4. Regulasi atau peraturan yang menghambat Tingkat, kompleksitas, dan ketidakpastian peraturan dikenali sebagai salah satu penghalang utama pertumbuhan pada dekade yang akan datang. Regulasi yang tidak proposional yang kebanyakan lebih memberatkan usaha kecil harus dihilangkan.
Bablll
Kondisi Lokasi Penelitian 111.1.
Kontribusi lndustri Pengolaban Terbadap Produk Domestik
Regional Bruto Kabupaten Klaten Keadaan perekonomian Kabupaten Klaten dapat dilihat dari perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Perkembangan PDRB merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan perekonomian suatu wilayah. Distribusi PDRB Klaten sangat ditentukan oleh besamya sumbangan yang diberikan masing-masing sektor yang terbagi lagi dalam beberapa sub-sektor. Perubahan-perubahan ekonomi Klaten yang terjadi, pertumbuhan ekonomi, maupun stabilitas harga, dapat
dijelaskan dan diukur dengan menggunakan
PDRB atas dasar harga berlaku dan harga konstan tahun 1993.
Data mengenai kontribusi dari sembilan sektor ekonomi pokok Kabupaten Klaten menurut PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2002 dan 2003 dapat dilihat pada tabel IV .I. dibawah ini : TabeiiiLI. PDRB Atas Dasar Barga Berlaku (Jutaan Rupiah) Kab upatea Kla tea T a b UD 2002-2003 2002 1
Pertanian
2
Penggalian
3
Peranan per Sektor
T..._.
Lapangan UuM
No
(%) 2003
2002
2003
Pertumbuhan (%)
902.515,54
976.489,86
23,18
22,75
8,20
20.094,23
25.064,22
0,52
0,58
24,73
lndustri Pengolahan
903.979,60
973.051,84
23,22
22,67
7,64
4
Listrik dan Air Minum
34.291,11
48.317,20
0,88
1,13
40,90
5
Bangunan/Konstruksi
317.666,80
371.051,81
8,16
8,65
16,81
6
Perdagangan, Hotel dan Restoran
1.009.835,04
1.100.308,52
25,93
25,64
8,96
7
Angkutan dan Komunikasi
112.812,15
132.959,49
2,90
3,10
17,86
8
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perush
171.334,08
194.928,64
4,40
4,54
13,77
9
Jasa-jasa
419.270,10
467.835,40
10,77
10,90
11,58
Produk Domestlk Regional Bruto
3.893.800,65
4.292.009,98
99,95
99,95
10,23
Penduduk Pertengahan Tahun (Jiwa)
1.268.403,00
1.268.403,00
3,07
3,38
PDRB Perkapita (Rupiah)
31
32
PDRB Persektor 2003
3%
• Pengpllen
D lnduatrl Pqotahan
1o/o
a
UstritcdM'IAir Mi,.,..
• 8.......-n' Konatr '*:-.1 •P•~n.HGteldanR•toran
• ,..,.t.hn4.n KOflarikasl
.........
D «~Pefs.-..nd.nJ-..P•.tt
9% 1%
Sumber : BPS Kabupaten Klaten Tahun 2003
Gam bar ill. I. Konstribusi Masing-Masi ng Sektor Terhadap PDRB Kabupaten Klaten Atas Dasar Harga Berlaku Tahun
2003 Distribusi PDRB Atas Dasar harga Berlaku Tahun 2003 Kabupaten Klaten didominasi oleh sektor industri perdagangan, hotel dan restoran sebesar 25 ~.. sektor industri pengolahan sebesar 23 % dan sektor pertanian sebesar 2~/e da1am memberikan kontribusi terhadap pembentukan PDRB. Sektor jasa-jasa sebesar 11%, sektor bangunan dan konstruksi sebesar 9% dan sektor keuangan, persewaan danjasa perusahaan sebesar 5%. Pada tabel bahwa terlihat kontribusi Industri Pengolahan cukup signifikan terhadap
PDRB
Kabupaten
Klaten
tahun
2003,
yaitu
sebesar
Rp.
973.051.840.000,- atau 22 % terhadap keseluruhan PDRB tahun 2003. Besar kontribusi industri pengolahan menempati urutan ke tiga setelah lapangan usaha Perdagangan, Hotel dan Restauran menempati urutan pertama dan lapangan usaha pertanian yang menempati urutan ke tiga Tabel IV.2 memperlihatkan PDRB Tahun 2003 Kabupaten Klaten atas dasar harga konstan 1993. Tabel tersebut menjelaskan data distribusi PDRB Klaten
33
yang dikelompokkan dalam 9 (sembilan) sektor yang terdiri dari pertanian, pertambangan dan galian, industri pengolahan, listrik dan air minum, bangunan dan konstruksi, perdagangan, angkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta jasa-jasa. Distribusi PDRB tersebut memperlihatkan peranan tiap sektor dan struktur ekonomi Klaten.
Tabel 01.2. Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Darga Koostao 1993 Tahuo 2002-2003 (Jutaao Rupiah) Lapangan Usaha
No
1
Pertanian
2
Penggalian
3
lndustri Pengolahan
Tahun
2002
Peranan per Sektor (%)
2003
2002
2003
Pertumbuhan (%)
22-4.195,36
234.55.c,.CO
17,34
17,.C.C
-4,62
7.375,13
8.355,88
0,57
0,62
13,30
307.821,56
31-4.029,51
23,81
23,35
2,02
..
Listrik dan Air Minum
1.C.78.c,59
15.995,89
1,1-4
1,19
8,19
5
Bangunan/Konstruksi
116.772,37
126.715,-47
9,03
9,42
8,51
6
Perdagangan, Hotel dan Restoran
350.798,00
363.-418,36
27,13
27,02
3,60
7
Angkutan dan Komunikasi
50.005,38
52.736,59
3,87
3,92
5,.CS
8
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perush
65.757,63
70.05.c,23
5,09
5.21
6,53
9
Jasa-jasa
153.456,94
157.196,91
11,87
11,69
2 ..C.C
Produk Domestik Regional Bruto
1.292.968,96
1.345.060,24
99,85
99,85
-4,03
Penduduk Pertengahan Tahun (Jiwa)
1.268.-403,00
1.268.-403,00
1,02
1,06
PDRB Perkaplta (Rupiah)
Sumber : BPS Kabupaten Klaten Tahun 2003
34
PDRB Persektor 2003
12%
., ~ ----···· , .
4%
' a l....trl.......,.._
~..
...
'
.
G U.Uitul~~~~tAhMI-
.p.. . . .,._, . . . . . 23%
~--
· - - - · -....
.
' '
Sumber : BPS Kabupaten Klaten Tahun 2003
Gam bar ill.2. Konstribusi Masing-Masing Sektor Terbadap PDRB Taboo 2003 Kabupaten Klaten Atas Dasar Harga Konstan 1993
Distribusi PDRB Tahun 2003 Atas Dasar harga konstan Kabupaten Klaten didominasi oleh sektor industri perdagangan, hotel dan restoran sebesar 28 o/o, scktor industri pengolahan sebesar 23 % dan sektor pertanian sebesar 17% dalam membenlcan kontribusi terhadap pembentukan PDRB. Sektor jasa-jasa sebesar 11 o/o, sektor bangunan dan konstruksi sebesar 9%
dan sektor keuangan,
persewaan dan jasa perusahaan sebesar 5%.
PDRB menurut harga konstan terlihat bahwa sumbangan lapangan usaha Industri Pengolahan menempati urutan ke dua setelah lapangan usaha Industri, Perdagangan dan Restoran. Melihat data tersebut dapat disimpulkan bahwa lapangan usaha Industri Pengolahan mempunyai posisi yang strategis dan berpotensi besar dalam pembangunan ekonomi kabupaten Klaten.
35
Tabel ID.3. Perusahaao lodustri dan Teoaga Kerja Meourut Kelompok Usaha Kabupateo Klateo Tahuo 2004 Jumlah Usaha
Jumlah Tenaga
Unit
orang
Kelompok lndustri
I
Kerja %
(000 Rp)
%
%
lndustri BesariMenengah lndustri logam Mesin Kimia dan Aneka
84
4.323
404.476.599
lndustri Hasil Pertanian dan Kehutanan
42
6.802
106.007.000
SubTotal
II
Nilai Produksi
126
0.347
11.125
7,114
510.483.599
15,183
lndustrl Kecil lndustri logam Mesin Kimia dan Aneka
19.846
n.873
1.630.953.046
lndustri Hasil Pertanian dan Kehutanan
16.305
67.390
1.220.740.317
Sub Total
36.151
99,653
145.263
92,886
2.851.693.363
84,817
Jumlah Total
36..277
100
156.388
100
3.362.176.962
100
Sumber : Deppenndagkop dan PM Kabupaten Klaten
Pada tabel 111.3 terlihat bahwa jumlah usaha untuk industri kecil mendominasi jumlah keseluruhan industri yang ada di Kabupaten Klaten dengan jumlah unit usaha sebanyak 36.277 unit atau sebesar 99.653 persen. Sisanya sebesar 126 unit usaha merupak.an industri besar/menengah atau hanya 0,34 7 persen.
Jumlah tenaga kerja yang terserap untuk industri kecil sebanyak 145.263 orang atau sebesar 92.886 persen dari keseluruhan tenaga kerja yang bekerja di sektor industri. Sisanya sebesar 11.125 orang atau 7,114 persen bekerja di industri besar/menengah.
Nilai
produksi
yang
dihasilkan
oleh
industri
kecil
sebesar
Rp.
3.362.176.962.000,- atau sebesar 84,817 persen dari keseluruhan nilai produksi yang dihasilkan dari sektor industri. Sebesar Rp. 510.483.599.000,- atau sebesar 15,183 persen merupakan nilai produksi dari industri besar/menengah.
Dilihat dari tabel dan gambar tersebut di atas sektor industri merupakan sektor yang sangat strategis dan mempunyai potensi yang dapat dikembangkan untuk mendukung
kemajuan
perekonomian
Kabupaten
Klaten.
Industri
kecil
36
mempunyai posisi lebih baik untuk dapat dikembangkan dari pada industri besar menengah. Dilihat dari jumlah unit usaha, serapan terhadap tenaga ketja dan nilai produksi yang dihasilkan maka sektor industri kecil sangat berpotensi untuk dikembangkan.
111.2.
Deskripsi Desa Serenan
111.2.1. Sejarab Singkat Sentra lndustri Kecil Mebel Desa Serenan Pada awalnya sebagian besar mata pencaharian penduduk Desa Serenan adalah bercocok tanam karena sebagian besar dari tanah Desa Serenan adalah areal persawahan yang di aliri oleh pengairan dari Sungai Bengawan Solo yang mengalir di sebelah timur Desa Serenan. Letak Desa Serenan yang berada di pinggir Sungai Bengawan Solo tiap tahun pada musim hujan di Ianda banjir. Banjir tahunan tersebut berpengaruh terhadap hasil
panen padi karena
sawahtergenang banjir. Akibat keadaan tersebut beberapa penduduk mencoba peruntungan barn dengan mencari peketjaan lain selain dari pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Pada sekitar tahun 1750 tetjadi peristiwa pindahnya Kraton Surakarta dari lokasi lama di Kartasura pindah ke Desa Sala di pinggir Sungai Bengawan Solo. dimana perpindahan
lokasi
kraton
tersebut
sekaligus
disertai
dengan
kegiatan
pembangunan kraton baru yang berlokasi sekitar 7 Km dari Desa Serenan. Beberapa dari penduduk Desa Serenan mencoba peruntungan dengan ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan kraton tersebut Dari partisipasi tersebut beberapa orang dari Desa Serenan mendapat kesempatan belajar membuat mebel ukir dari ahli ukir dari Kraton Surakarta. Setelah pembangunan kraton selesai, beberapa orang yang mendapat keahlian membuat mebel ukir dari Kraton Surakarta kemudian kembali ke Desa Serenan dan menularkan keahlian mereka ke penduduk Desa Serenan. Kemampuan membuat mebel tersebut kemudian dikuasai hampir sebagian penduduk Desa Serenan. Keahlian tersebut dikuasai penduduk Desa Serenan secara turun-temurun hingga saat ini. Gaya mebel ukir Desa Serenan sebagian besar bergaya Kraton Surakarta yang dipengaruhi oleh gaya Eropa yang dibawa orang-orang Belanda pada masa penjajahan.
37
Gambar ID.3. : Jalan kabupaten yang membelah Desa Serenan
Produk Mebel Desa Serenan pada mulanya dipercaya untuk memasok kebutuhan mebel untuk Kraton Surakarta. Kemudian dalam perkembangannya produk mebel tersebut juga memenuhi permintaah untuk masyarakat Solo dan sekitarnya. Kunjungan
turis asing
ke Kota Solo pada akhir tahun 1980-an
sangat
berpengaruh terhadap perkembangan industri kecil mebel Desa Serenan pada masa selanjutnya. Lewat pemandu wisata dan informasi kepariwisataan yang ada di Kota Solo, turis yang berasal dari Eropa, Australia dan Amerika tertarik berkunjung ke Desa Serenan untuk menyaksikan proses pembuatan mebel. Kemudian beberapa dari turis asing ini menjadi pionir terciptanya jaringan pemasaran mebel Desa Serenan hingga ke manca negara. Kemudian permintaan mebel untuk ekspor lebih mendominasi pangsa pasar produk mebel Serenan hingga sekarang.
Meningkatnya permintaan mebel untuk pasaran ekspor kemudian melahirkan pemain-pemain baru dalam pemasaran mebel produksi Desa Serenan. Pelaku usaha tersebut adalah pengrajin pengusaha, pedagang mebel, eksportir dan buyer. Tumbuhnya pemain barn dalam pemasaran melahirkan hubungan subkontrak antara pengrajin dan pengrajin pengusaha hingga saat ini
38
III.2.2. Data Penduduk Menurut Mata Pencaharian Data penduduk Desa Serenan menurut jenis mata pencaharian dengan sumber data monografi tahun 2004 adalah sebagai berikut :
Tabel ID.4. Data Peoduduk Menurut Mata Pencaharian No
Mata Pencaharian
Prosentase
Jumlah j_oranJI}_
1 PNS 2 TNI/Polri 3 Swasta 4 Pedagang 5 Tani 6 Pertukangan 7 Buruh tani 8 Pensiunan Jumlah
J.%1 17 2 127 68 283 927 80 5
1,13 0,13 8,42 4,51 18,75 61,43 5,30 0,33
1509
100
Sumber: Data Monografi Desa Serenan 2004
Juniah ~nduduk ~nurut M!ita
~ncaharian
•PNS • Thi'Polri cswasta 19%
c~agang
•Tani •
~rtukangan
• Buruh tani c~nsiunan
Sumber : Data Monografi Desa Serenan 2004
Gam bar ID.4. Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian Dari data tersebut di atas terlihat bahwa penduduk yang berkecimpung dalam jenis pekeijaan pertukangan mendominasi dengan prosentase sebesar 62% dari keseluruhan jenis pekerjaan yang digeluti oleh penduduk Desa Serenan.
39
Pertukangan yang dimaksud adalah pertukangan kayu, terutama untuk pembuatan mebel ukir.
111.2.3. Data Penduduk Menurut Tiogkat Pendidikan Jumlah penduduk Desa Serenan menurut tingkat pendidikan dengan sumber data monografi tahun 2004 adalah sebagai berikut :
TabeliD.S. Data Penduduk Menurut Tingkat Pendidikao No
Lulusan Pendidikan Umum
Jumlah (orang)
Prosentase
(%)
87 1512 823 521
1 Taman Kanak-kanak 2 Sekolah Oasar 3 SMP/SLTP 4 SMAISLTA 5 Akademi (01-03) 6 Sarjana Jumlah
2,90 50,35 27,41 17,35 1,47 0,53 100
44
16 3003
Sumbef: Data Monografi Desa Serenan 2004
• Taman Kanak-kanak • Sekolah Dasar oSMP/SLlP
51 %
oSMA/SLTA • Akademi (01-03) •Sa~ana
Sumber : Data Monogra.fi Desa Serenan 2004
Gam bar ID.S. Komposisi Pendudnk Menu rut Tingkat Pendidikan
40
Dari data tersebut di atas terlihat bahwa penduduk lulusan Sekolah Dasar (SD) mendominasi dengan prosentase 51%.
Semakin tinggi tingkat pendidikan
semakin kecil prosentasenya. Rendahnya tingkat pendidikan tersebut disebabkan karena penduduk Desa Serenan yang sebagian besar adalah pengrajin lebih menekankan pemberian pengajaran yang sifatnya informal. Kemampuan membuat mebel ukir lebih dianggap penting dari pada pendidikan formal.
BabiV
Hasil Survey lapangan IV. I. Diskripsi Survey Lapangan Seperti disampaikan di bah sebelumnya bahwa tujuan penelitian ini
untuk
menemukenali relasi yang terbentuk antara pengrajin dengan pengrajin pengusaha pada Sentra Industri Kecil Mebel di Desa Serenan Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten.
Kajian relasi yang terbentuk antara pengrajin dan pengrajin pengusaha di Sentra Industri Kecil Mebel Serenan ini melibatkan pengrajin dan pengrajin pengusaha mebel di Desa Serenan Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten Propinsi Jawa Tengah sebagai obyek penelitian. Hasil survey yang diperoleh dari sebagian pengrajin sebagai sampel yang berjumlah 28 orang pengrajin dari keseluruhan pengrajin yang berjumlah 911 orang.
Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode sampling non peluang (non probability sampling) dengan tipe pengambilan sampel kebetulan (accidental sampling) dimana proses pengambilan sampelnya cukup dengan mengambil siapa saja yang kebetulan ditemui observer di lapangan sesuai dengan kebutuhan studi ( Prijana, 2005). Dengan pertimbangan aksioma dalam statistik bahwa j ika populasi berada dalam wilayah yang sama dan dengan ciri anggota populasi memiliki karakteristik yang sama (homogen) maka sampel bisa dengan jumlah yang lebih sedikit.
IV.2. Kajian Data Melalui survey lapangan diperoleh data mentah yang kemudian diolah dengan proses tahapan menurut beberapa aspek yaitu aspek bahan baku, aspek produksi dan aspek pemasaran. Kemudian dari hasil pemilahan berdasarkan kategori tersebut dikaji dengan menjumlahkan temuanjawaban yang sejenis (satu kategori) dan kemudian dihitung masing-masing prosentase untuk pilihan-pilihan tersebut Data yang sudah diperoleh tersebut kemudian disajikan dalam tabel-tabel.
41
42
Tampilan angka-angka prosentase yang berada dalam tabel-tabel tersebut memberi makna dan penjelasan tentang relasi yang terbentuk antara pengrajin dan pengrajin pengusaha pada industri kecil di Sentra Industri Kecil Mebel Serenan.
IV.2.1.Bahan Baku Bahan baku utama industri kecil mebel Desa Serenan adalah kayu jati, kayu mahoni, kayu sono keling dan lain-lain. Dari berbagai jenis kayu yang digunakan paling dominan adalah kayu jati dan kayu mahoni. Bahan baku berasal dari pasar lokal yang di suplai oleh pedagang kayu di sekitar Desa Serenan.
Gambar IV.l. Bahan baku kayu jati (coklat terang) dan kayu mahoni (coklat gelap) Sebanyak 93% responden yang disurvey mengaku cukup mudah memperoleh bahan baku. Hal ini berarti masih cukup banyak bahan baku kayu yang tersedia untuk memenuhi permintaan bahan baku kayu untuk pembuatan mebel. Bahan baku kayu disuplai oleh pedagang kayu yang berada disekitar Desa Serenan. Sedangkan sisanya sebesar 7% menjawab kadang-kadang mengalami kesulitan memperoleh bahan baku. Kendala yang dihadapi oleh pengrajin adalah pada musim hujan dimana penebangan kayu biasanya sangat sedikit. Untuk memperoleh kayu dengan kualitas bagus maka penebangan kayu harus dilakukan
43
pada musim kemarau, dengan pertimbangan bahwa kayu hasil tebangan pada musim kemarau dalam keadaan kering atau sedikit mengandung air.
Berkenaan dengan kualitas kayu sebagai bahan baku, hasil survey menyatakan bahwa 86% responden mendapatkan kayu dengan kualitas cukup baik. sedangkan responden 14% mendapatkan kayu dengan kualitas kurang baik. Pada saat survey dilakukan sedang berlangsung musim kemarau sehingga kayu-kayu yang tersedia kualitasnya dianggap cukup bagus karena tingkat kekeringannya cukup baik untuk dibuat mebel dan juga persediaan kayu cukup melimpah. Resiko yang sering dihadapi oleh pengrajin ketika melakukan pembelian bahan baku kayu adalah kerusakan kayu di tengah batang, dimana kayu berlobang di tengah. Kerusakan kayu tersebut sulit dideteksi karena
sisi bagian luar batang kayu
terlihat utuh.
Walaupun untuk mendapatkan bahan kayu relatif mudah tetapi beberapa kendala lain yang berkaitan dengan pengadaan bahan baku tersebut seperti masalah harga bahan baku. ketersediaan bahan baku di pasar ketika musim sulit kayu dan permainan supplier masih sering dihadapi oleh pengrajin. Dari basil survey diperoleh fakta mereka hadapi
bah\1\o'Cl
scbcsar 64% responden menyatakan kendala lain yang
dalam pengadaan bahan baku adalah harga bahan baku yang
mahal, sedangkan sebesar 36% responden sisanya menyatakan bahwa harga bahan baku
berfluktuasi, ketersediaan bahan baku di pasar, kualitas bahan baku,
kuantitas bahan baku, lokasi sumber dan permainan supplier adalah kendala lain yang sering mereka hadapi.
Mahalnya harga bahan baku kayu, terutama kayu jati disebabkan karena permintaan kayu jati yang terus meningkat melebihi penawarannya, sedangkan di sisi penawarannya tidak bisa mengikuti peningkatan permintaannya. Perlu waktu cukup lama memperoleh kayu jati dengan kualitas yang baik yaitu sekitar sepuluh tahun dari waktu tanam hingga pohon jati siap ditebang.
44
Bantuan pemerintah kepada pengraj in dalam mengurangi beban kendala harga dalam pengadaan bahan baku dirasakan masih sangat kurang, dari hasil survey diperoleh angka sebesar 79% responden yang menyatakan tidak pemah mendapatkan bantuan dari pemerintah, sedangkan 11% responden pemah mendapatkan bantuan dari pemerintah dan sebesar 10% responden tidak menjawab.
Pengadaan bahan baku kayu oleh pengrajin dilakukan dengan membeli dari pedagang kayu di sekitar desa, sedangkan program warung kayu yang pemah dicanangkan pemerintah tidak berjalan lagi.
Program warung kayu ini
dimaksudkan pemerintah untuk melayani pembelian dengan volume kecil (pembelian dengan volume dibawah 200 M3), khususnya ditujukan untuk keperluan bahan baku bagi pengrajin pada industri kecil. Tetapi dalam perkembangannya program ini tidak berjalan, sehingga altematif satu-satunya bagi pengrajin adalah dengan melakukan pembelian bahan baku kayu melalui pedagang kayu. Pedagang kayu inilah aktor yang menghubungkan produsen kayu (Perum Perhutani dan produsen kayu rakyat) dengan pengrajin.
IV.2.2. Kontrol Kualitas (Quality Control) lndustri kecil mebel di Desa Serenan sangat mengutamakan kontrol kualitas karena produk yang dihasilkan sebagian besar adalah pasar dengan tujuan ekspor. Para pemesan terutama pengrajin pengusaha, eksportir atau pembeli yang langsung dari luar negeri (biasa disebut buyer) menerapkan standar produksi yang tinggi. Jika pengrajin tidak menerapkan kontrol kualitas yang ketat maka beresiko mengalami kerugian, karena setiap barang produksi mebel yang tidak lotos standar produksi dari pemesan maka barang mebel tersebut akan ditolak (direject) dan kerugian yang timbul akibat ditolak oleh pemesan menjadi resiko pengrajin.
Sebesar 79% responden menyatakan bahwa mereka telah melakukan kontrol kualitas untuk hasil produksi mebelnya. Sedangkan sebesar 21% responden belum melakukan proses kontrol kualitas yang ketat, pengrajin yang tidak menerapkan kontrol kualitas yang ketat biasanya pengrajin yang melayani konsumen domestik
45
atau lokal. Konsumen lokal biasanya melakukan transaksi melalui pembelian langsung. Konsumen lokal biasanya membeli produksi mebel berharga murah, mebel berharga murah ini biasanya mempunyai kualitas yang kurang bagus.
IV.2.3. Peoeotuao Model Penentuan model produk mebel sebagian besar ditentukan oleh pihak pemesan. Pihak pemesan dimaksud adalah pengrajin pengusaha, eksportir, buyer, pedagang atau konsumen lokal. Dari survey yang telah dilakukan diperoleh angka sebesar 93% responden yang menyatakan bahwa model produk mebel yang mereka produksi merupakan model pesanan. Model pesanan ini biasanya bergaya Kraton Surakarta yang merupakan ciri khas dari mebel produksi Sentra Industri Kecil Mebel Desa Serenan, model ini merupakan modelyang turun-temurun dari orangtua mereka.
Sedangkan responden yang menyatakan telah memproduksi
mebel dengan model dari inovasi sendiri sebesar 4% dan 3% responden sisanya tidak menjawab.
Gambar IV.2. Hasil produksi pengrajin bergaya Kraton Surakarta
46
Gambar IV.3. Satu set meja dan kursi bergaya Kraton Surakarta . IV.2.4. Inovasi Dari hasil survey yang telah dilakukan, responden yang menyatakan
sudah
melakukan inovasi sebesar 29%, sedangkan sebesar 71% responden menyatakan belum melakukan inovasi. Inovasi yang sudah dilakukan oleh pengrajin antara lain inovasi dalam proses produksi. Inovasi dalam proses produksi tersebut adalah cara pengenngan kayu dengan menggunakan tungku pemanas. Sebelum digunakan proses pengeringan dengan tungku pemanas, pengeringan kayu dilakukan dengan menjemur dibawah panas matahari. Keuntungan proses pengeringan dengan tungku pemanas yaitu akan menghasilkan kayu yang lebih kering dengan waktu yang lebih singkat.
47
Gambar IV.4. Tungku Pengering Kayu
Gambar IV.5. Tungku pengering kayu yang dilengkapi dengan kipas (blower)
Dari responden yang telah melakukan inovasi, hanya sebesar 14% responden yang sudah melakukan inovasi produk. Inovasi produk yang dilakukan adalah dengan membuat desain-desain baru yang belum pemah diproduksi sebelumnya.
48
IV.2.5. Margin Keuntungan Dalam hal margin keuntungan yang diterima, dari penghitungan kuesioner diperoleh data bahwa keuntungan yang diperoleh responden sebagian besar berkisar antara 5% sampai dengan 15%. Jumlah responden yang menyatakan bahwa margin keuntungan yang diterima sebesar 5% sampai dengan 15% adalah sebesar 64%. Sedangkan responden yang menyatakan bahwa margin keuntungan yang mereka terima di atas 15% adalah sebesar 18% dan responden yang menyatakan bahwa margin keuntungan yang mereka terima dibawah 5% adalah sebesar 11%. Kemudian sebesar 7% responden tidak menjawab.
IV.2.6. Omzet Penjualan Dilihat dari segi omzet penjualan, dari hasil penghitungan kuesioner diperoleh data bahwa sebesar 44% responden menyatakan bahwa omzet penjualan mereka menurun. Sebesar 39% responden menyatakan bahwa omzet penjualan mereka stabil. Sedangak sisanya sebesar 17% responden menyatakan bahwa omzet penjualan mereka meningkat.
Penurunan omzet tersebut penyebab paling utama adalah adanya pennintaan produk yang semakin menurun. Dari hasil penghitungan kuesioner dipero1eh data bahwa sebesar 54% responden menyat.ak.an bahwa penyebab penunman omzet mereka adalah adalah permintaan produk yang terns menurun. Kemudian sebesar 36% responden menyatakan bahwa penyebab penurunan tersebut adalah adanya persaingan harga. Sedangkan 4% responden menyatakan bahwa penyebab utama adalah promosi yang mereka lakukan tidak efektif dan sisanya sebesar 6% tidak menjawab.
IV.2.7.Pemasaran Dari hasil peghitungan kuesioner menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak memiliki strategi pemasaran. Sebesar 75% responden menyatakan tidak memiliki strategi pemasaran. Sedangkan sisanya sebesar 25% responden memiliki strategi untuk memasarkan produknya. Strategi pemasaran yang dilakukan biasanya melalui pameran, leaflet, iklan di koran dan lain sebagainya.
49
Dalam hal merk, sebagian besar responden tidak memiliki merk untuk mebel hasil produksinya. Dari hasil penghitungan diperoleh data bawa sebesar 86% responden menyatakan tidak mempunyai merk, sedangkan sisanya sebesar 14% telah mempunyai merek sendiri. Peran pemerintah dalam hal pemasaran sebagian besar belum dirasakan oleh responden. Sebesar 82% responden menyatakan bahwa mereka tidak pemah merasakan bantuan pemasaran oleh pemerintah. Sedangkan 7% responden merasa terbantu oleh pemerintah dan sisanya sebesar 11% tidak menjawab.
IV.3. ldentifikasi Pelaku Usaha pada Rantai Produksi dan Rantai Pemasaran Hasil Produksi Mebel Dari hasil survey dan wawancara di lapangan di peroleh skema alur rantai produksi dan rantai pemasaran mebel hasil produksi Sentra lndustri Kecil Mebel Desa Serenan seperti pada gam bar IV .I. di bawah ini :
50
Konsumen LN
Eksportir
+
I
Pengrajin Pengusaha
I
Pengrajin
J
I
"l
l I
I
I
I
Konsumen Lokal
I Pedagang Mebel Lokal
I
Pedagang Kayu
_ _t
Perum Perhutani
t,_----i
Kayu Rakyat
Sumber : Survey Lapanpn 2005 --+~ --+~
--+.,
Alar ...... t.kll kaya Alar Mcbd Jadi/Sdenagall Jadi Alar Pnaesaaaa
Gambar IV.l. Alur Bahan Baku dan Alur Pemasaran Mebel
IV.4. Kelompok Pelaku di Sektor Produksi IV.4.1. Pengrajin Para pengrajin mebel adalah kelompok usaha kecil yang menjadi fokus penelitian ini. Dalam struktur usaha mebel, kelompok pengrajin berfungsi sebagai produsen, yaitu pelaku usaha yang melakukan proses produksi dari bahan mentah (kayu) sampai menghasilkan barang jadi atau setengah jadi (mebel). Pengrajin memiliki bengkel-bengkel mebel yang rata-rata menjadi satu dengan rumah tinggal.
51
Kebanyakan pengrajin memperoleh ketrampilan yang diwariskan secara turuntemurun dari keluarga. Unit usaha yang dimiliki pengrajin masih berupa industri rumahan yang belum memisahkan secara jelas antara pengelolaan usaha dan rumah tangga.
Gambar IV.6. Suasana bengkel kerja pengrajin
Gambar IV.7. Bengkel kerja yang dilengkapi dengan peralatan sederhana
52
Berdasarkan jenis produknya, pengrajin memproduksi jenis mebel indoor, mebel jenis ini ditujukan untuk kebutuhan mebel di dalam ruangan. Jenis mebel indoor ini mendominasi produk mebel Serenan. Peminat mebel ini adalah konsumen di. dalam maupun di luar negeri. Mebel indoor ini biasanya bergaya Ukiran Kraton Surakarta dipengaruhi oleh gaya Eropa yang dibawa oleh Bangsa Belanda pada jaman penjajahan. Pengaruh gaya Eropa ini dibawa oleh belanda pada masa penjajahan. Pengrajin umumnya bekerja dengan sistem subkontrak. Pengrajin menerima order dari pengrajin pengusaha yang bertindak sebagai pengesub (pengepul). Pengrajin memiliki kebanggaan tersendiri jika mereka memproduksi barang mebel kraton, hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan mereka enggan untuk memproduksi mebel dengan model lain. Mereka merasa bertanggungjawab terhadap kelestarian
tradisi
yang telah diturunkan oleh
orangtua mereka.
IV.S.
Pelaku Usaha di Jalur Bahan Baku
Input utama dari produk mebel Serenan adalah kayu jati. Pelaku utama dari rantai perdagangan kayu jati adalah Perum Perhutanidan pedagang kayu. Kayu jati pada mulanya merupakan bahan kayu utama. 1d.api brena kayu jati semakin langka dan mahal maka beberapa tahun belakangan dipergunakan juga bahan baku lain seperti kayu mahoni, kayu sono keling dan lain-lain.
IV.S.l. Perum Perhutani Perum Perhutani merupakan satu-satunya pemegang hak dalam pengelolaan hutan jati. Kekuatan yang dimiliki Perhutani untuk melakukan monopoli penjualan kayu bersumber dari regulasi pemerintah. Dalam penelitian PUPUK diuraikan bahwa penunjukkan Perum Perhutani sebagai BUMN yang memiliki kewenangan dalam mengelola hutan di wilayah Jawa pertama kali diatur· melalui PP No. 15 Tahun 1972. Peraturan tersebut sempat beberapa kali diperbaharui hingga Perum Perhutani diubah menjadi PT Perum Perhutani melalui PP No. 14 tahun 2001 dan akhimya pada tahun 2002 status PT Perhutani dirubah kembali menjadi Perum Perhutani. Dalam penjualan kayu jati ada empat mekanisme penjualan yang digunakan yaitu :
53
1. Penjualan dengan perjanjian
Jumlah kayu jati yang dijual dengan sistem ini adalah dengan Volume lebih dari 2.000 M3. Sistem ini dikenal juga dengan sistem SI (Surat ljin) atau DBT (Di Bawah Tangan). Untuk dapat mengikuti sistem ini, calon pembeli hams memiliki
surat ijin. Untuk wilayah Jawa Tengah, lisensi pembelian ini
diberikan kepada sedikit perusahaan yang antara lain berkedudukan di Semarang dan Surabaya, serta pedagang kayu besar. Kayu-kayu yang dijual melalui sistem ini adalah kayu-kayu kualitas utama. Harga kayu ditentukan oleh perhutani, biasanya harga lebih tinggi dar pada kayu dengan kualitas yang sama yang dijual melalui lelang. 2. Penjualan Langsung Sistem penjualan langsung ditujukan bagi mereka yang memiliki industri. Surat yang dibutuhkan pembeli untuk melakukan pembelian langsung adalah Surat Penetapan Alokasi Penjualan (SPAP) yang dikeluarkan direksi Perhutani untuk pemohon sampai dengan 2.000 M3, atau Surat Perintah Penjualan (SPP) yang dikeluarkan kepala unit (PUPUK, 2001 ). 3. Lelang Lelang terdiri atas lelang besar dan lelang kecil. lelang besar dan lelang kecil dibedakan atas Volume kayu. Persaingan lelang di Jawa Tengah lebih ketal dibanding dengan daerah lainnya karena kualitas kayu lebih baik. Lelang besar di Jawa Tengah dilakukan di Semarang, Solo dan Yogyakarta. Sedangkan lelang kayu kecil dilakukan di Cepu dan Klaten. 4. Penjualan skala kecil di warung kayu. Warung kayu dibentuk untuk menjawab kebutuhan pengrajin kecil. Warung kayu adalah suatu tempat penjualan kayu yang dikelola secara khusus untuk melayani pembeli khusus yaitu pengrajin kecil, masyarakat desa hutan, koperasi pondok pesantren dan koperasi lainnya. Warung kayu menjual dalam kayu dalam skala kecil (kurang dari 200M3).
54
IV.5.2. Pedagang kayu Pedagang kayu merupakan pelaku yang menghubungkan PT Perhutani dengan pengrajin. Untuk menjadi pedagang kayu diperlukan modal tunai dalam skala besar. Perdagangan kayu merupakan usaha yang dapat memberikan keuntungan dalam jumlah besar dalam waktu singkat. Perdagangan kayu jati ini hampir tidak ada resikonya, artinya kayu jati yang dibeli pasti akan habis teljual. Resikonya adalah kualitas kayu dan fluktuasi harga, tetapi fluktuasi harga ini tidak ditanggung oleh pedagang kayu tetapi oleh pembeli dalam hal ini pengrajin. Pedagang kayu ini memanfaatkan ruang kosong antara Perum Perhutani, kayu rakyat dan pengrajin.
IV.6.
Pelaku Usaba di Jalur Pemasaran
Untuk pasaran ekspor pengraj in mebel tidak pemah berhubungan langsung dengan konsumen akhir tetapi harus melewati rantai pemasaran yang cukup panjang yang melibatkan pengrajin pengusaha, eksportir dan buyer. Tetapi untuk pasaran lokal terkadang pengrajin bisa langsung berhubungan dengan konsumen akhir yang datang langsung ke Serenan.
IV.6.1. Pengrajin Pengusaba Pengrajin pengusaha ini biasa juga disebut sebagai pengepul atau pengesub. Pengrajin pengusaha dalam usahanya memposisikan dirinya sebagai penghubung antara pengrajin dengan eksportir atau dengan buyer. Untuk memenuhi pesanan dari eksportir atau buyer berusaha untuk melakukan subkontrak kepada pengrajin. Pengrajin pengusaha mempunyai posisi yang lebih kuat dibanding dengan pengrajin karena pengrajin pengusaha ini mempunyai modal yang besar dan jaringan pemasaran yang lebih luas. Dalam memperluas jaringan pasamya mereka melakukan promosi, mengikuti pameran-pameran dan membuka layanan iklan lewat jaringan internet. Pemesanan mebel kepada pengrajin pengusaha ini biasanya dalam partai besar. Pesanan berasal dari eksportir, buyer di LN, atau konsumen perorangan. Pesanan dalam partai besar diselesaikan dengan cara disubkontrakkan kepada pengrajin-pengrajin dengan desain, bahan baku dan harga sesuai kontrak yang dilakukan dengan pemesan.
55
Gambar IV.8. Gudang milik pengrajin pengusaha yang menampung barang mebel setengahjadi IV.6.2. Pedagang lokal Pedangan lokal
bertindak sebagai perantara antara konsumen akhir di pasar
domestik dengan pengrajin atau pengrajin pengusaha. Walaupun terkadang konsumen domestik melakukan pemesanan langsung kepada pengrajin ataupun pengrajin pengusaha Pedagang lokal ini biasanya memiliki showroom di bebcrapa kota besar di Yogyakarta, Semarang, Jakarta, Surabaya , Denpasar dan
lain-lain. Pedagang lobi ini menjual produk mebel yang menggunakan ukiran
yang menjadi ciri khas mebel Serenan atau desain sesuai dengan permintaan konsumen secara pribadi.
IV.6.3. Eksportir Ekportir bertindak sebagai perantara antara pengraj in pengusaha dengan dengan buyer di luar negeri. Eksportir ini mempunyai skala usaha yang bermacammacam. Kebanyakan eksportir memiliki keluarga yang sudah menggeluti usaha mebel sejak lama namun awalnya hanya terbatas pada pasar domestik. Ketika terbuka penjualan untuk pasar ekspor, peluang tersebut langsung diambil sehingga tetjadi pengalihan orientasi pasar. Di samping itu juga terdapat eksportir yang pada awalnya sama sekali tidak memiliki usaha dalam bidang
mebe~
tetapi
kemudian melihat peluang pasar dan akhimya menjadi pedagang lokal yang melayani pesanan tamu-tamu hotel dan kemudian berkembang menjadi eksportir.
56
IV.6.4. Buyer Buyer atau pedagang luar negeri bertindak sebagai pelaku usaha yang menghubungkan eksportir dan pengrajin pengusaha dengan konsumen akhir di luar negeri. Pesanan dari buyer kepada eksportir biasanya menginginkan mebel dalam bentuk setengah jadi. Proses finishing dilakukan di luar Indonesia dengan alasan pengiriman barang jarak jauh cenderung merusak kualitas kayu sehingga mebel yang diekspor ke luar Indonesia lebih disukai dalam bentuk setengah jadi.
IV.6.5. Konsumen Akhir Untuk produk mebel yang ditujukan untuk konsumen akhir di dalam negeri pengrajin seringkali berhubungan langsung dengan konsumen akhir dalam memasarkan produknya. Tetapi konsumen akhir dalam negeri memperoleh mebel juga melalui pedagang lokal yang menjual melalui showroom-showroom yang ada di Yogyakarta, Semarang dan kota-kota besar lainnya. Konsumen domestik umumnya berasal dari keluarga menengah ke atas karena mahalnya produk mebel jati, terutama yang menggunakan ukir. Namun banyak pula konsumen yang menginginkan mebel dengan kualitas bahan baku yang lebih rendah.
Konsumen akhir luar negeri merupakan mata rantai terakhir dalam jalur perdagangan ekspor. Pengrajin mebel hampir tidak pemah berhubungan langsung dengan konsumen akhir dari luar negeri. Di antara pengrajin mebel
dan
konsumen akhir di luar negeri terdapat peran-peran pengrajin pengusaha, eksportir dan pedagang luar negeri (buyers) yang bertindak sebagai perantara. Konsumen akhir untuk pasar ekspor sangat jarang berhubungan langsung dengan pengrajin karena biaya pengangkutan yang lebih mahal dari pada harga mebel itu sendiri.
BabV Kajian Hubungan Subkontrak Antara Pengrajin dan Pengrajin Pengusaha Pada Sentra Industri Kecil Mebel Di Desa Serenan V.l.
Hubungan Subkontrak antara Pengrajin dan Pengrajin Pengusaha
Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (b) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995 bahwa "pola subkontrak adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar sebagai bagian dari produksinya. Sedangkan definisi subkontrak menurut Suwito (1992), pola subkontrak adalah suatu sistem yang menggambarkan hubungan antara usaha besar dengan usaha kecil atau menengah, dimana usaha besar sebagai perusahaan induk (parent firma) meminta kepada usaha kecil atau menengah selaku subkontraktor untuk mengerjakan seluruh atau sebagian pekerjaan (komponen) dengan tanggung penuh pada perusahaan induk.
Dalam kajian kemitraan pada Sentra Industri Kecil Mebel Serenan ini terdapat dua kelompok pelaku usaha yang membentuk pola subkontrak. Kelompok pelaku usaha pertama adalah Kelompok Pengrajin sebagai subkontraktor dan kelompok pelaku usaha yang kedua adalah Kelompok Pengrajin Pengusaha sebagai prinsipil. Selaku subkontraktor, pengrajin mengerjakan pesanan mebel dari pengrajin pengusaha dengan tanggung jawab menyelesaikan pesanan
sesuai dengan
perjanjian dengan pengrajin pengusaha Hubungan subkontrak tersebut biasanya di dasari dengan perjanjian tertulis yang disetujui antara kedua belah pihak. Tetapi terkadang juga hanya dengan perjanjian secara lisan. Perjanjian tertulis antara pengrajin dan pengrajin pengusaha dalam hubungan subkontrak tersebut memuat model atau desain mebel, jenis bahan baku, waktu penyelesaian dan harga
Jumlah pengrajin pengusaha di Sentra lndustri Kecil Mebel Serenan adalah 16 orang dan pengrajin adalah 911 orang. Pengrajin pengusaha yang berjumlah 16 orang tersebut Sentra lndustri Kecil Mebel Serenan mt(rupakan motor untuk menjaring pasar dalam negeri dan luar negeri. Pengrajin pengusaha di Sentra
57
58
Mebel Serenan merupakan pelaku usaha yang mempunyai posisi yang sangat strategis, dimana pengrajin pengusaha merupakan aktor yang menghubungkan antara pengrajin dengan eksportir atau buyer di jalur pemasaran Kekuatan utama pengrajin pengusaha adalah jaringan pemasaran yang mereka miliki. Kekuatan jaringan pemasaran mereka bangun melalui kegiatan pameran dan membuka situs internet. Teknologi internet sudah dimanfaatkan sebagai sarana berpromosi yang dianggap lebih efektif. Dari hasil wawancara yang telah dilakukan kepada pengrajin
pengusaha,
teknologi
internet
dianggap
lebih
efektif untuk
memperkenalkan dan memasarkan produk mebel yang dihasilkan, karena internet dapat aktif 24 jam non stop dan dapat terjangkau oleh masyarakat peminat mebel di seluruh dunia. Dengan pola promosi seperti tersebut di atas, pengrajin pengusaha menguasai jalur pemasaran mebel untuk tujuan ekspor maupun domestik. Pesanan terutama datang dari eksportir ataupun buyer yang berdomisili di luar negeri. Di lain pihak pengraj in lebih lemah dalam hal pemasaran produknya, saat ini sebagian besar pemasaran produk mebel yang diproduksi pengrajin tergantung dengan pengrajin pengusaha. Hal ini terjadi karena pengrajin tidak mempunyai kesempatan untuk memperkenalkan produk mebel mereka sendiri ke pasaran. Pengrajin tidak mempunyai kemampuan untuk mengikuti pameran karena alasan dana. Biaya pameran berkisar antara 10 sampai dengan 15 juta rupiah, suatu biaya yang sangat mahal mengingat keterbatasan modal yang mereka miliki yang berkisar antara 1 hingga 20 juta rupiah. Kelemahan pemasaran tersebut menjadikan pengrajin tergantung kepada pengrajin pengusaha dalam bidang pemasaran produknya.
V.2.
Kemanfaatan Pola Hubungan Subkontrak bagi Pengrajin dan Pengrajin Pengusaha
Keuntungan yang diperoleh antara kedua belah pihak yang melakukan kemitraan usaha adalah karena adanya kelebihan dan kekurangan masing-masing pelaku usaha yang bermitra dan keduanya sating bersinergi untuk sating menguntungkan. Kedua kelompok pelaku usaha yang sating bermitra dalam kajian ini adalah
59
pengrajin dan pengrajin pengusaha. Kelebihan kelompok pengrajin pengusaha adalah pada jaringan pemasaran, sedangkan kelompok pengrajin mempunyai kekuatan pada faktor produksi.
Menurut John L. Mariotti kemitraan merupakan suatu rangkaian proses yang dimulai dengan mengenal calon mitranya, mengetahui posisi keunggulan dan kelemahan usahanya. Pemahaman akan keunggulan yang ada akan menghasilkan sinergi yang bedampak pada efisiensi, turunnya biaya produksi dan sebagainya. Penerapannya dalam kemitraan, perusahaan besar dapat menghemat tenaga dalam mencapai target tertentu dengan menggunakan tenaga kerja yang dimiliki oleh perusahaan yang kecil. Sebaliknya perusahaan yang lebih kecil, yang umumnya relatif lemah dalam hal kemampuan teknologi, permodalan dan sarana produksi melalui teknologi dan sarana produksi yang dimiliki oleh perusahaan besar. Dengan demikian sebenarnya ada saling memerlukan atau ketergantungan diantara kedua belah pihak yang bermitra.
Kemitraan dengan pola subkontrak yang terbangun antara pengrajin dan pengrajin pengusaha didasarkan adanya sating ketergantungan antara pengrajin dan pcngnjin pengusaha.. Pcngrajin memiliki kelebihan dalam hal faktor produksi
sedangkan pengrajin pengusaha mempunyai kekuatan dalam pemasaran.
V.2.1.
Kemanfaatan bagi pengrajin
Keuntungan yang diperoleh pengrajin adalah berupa kepastian pemasaran produk mebel yang dihasilkannya. Melihat kelemahan yang ada pada pengrajin yaitu kurangnya akses pemasaran, maka pola subkontrak dipandang sebagai sesuatu sangat membantu bagi pengrajin. Pengrajin hanya berkonsentrasi kepada proses produksi, sedangkan pemasaran produk dilakukan oleh pengrajin pengusaha.
Hasil perhitungan kuesioner menunjukkan bahwa 75% responden menyatakan bahwa mereka tidak mempunyai strategi untuk meningkatkan pemasaran karena barang produksi mereka merupakan pesanan dari pengrajin pengusaha melalui
60
pola hubungan subkontrak. Sedangkan 25% responden mempunyat strategi pemasaran melalui iklan koran, pameran dan door to door.
V.2.3.
Kemanfaatan bagi Pengrajin Pengusaba
Keuntungan yang diperoleh oleh pengrajin pengusaha dari adanya hubungan subkontrak ini adalah dapat lebih fleksibel menaikkan dan menurunkan kapasitas produksinya sesuai dengan pesanan mebel yang datang.
Berfluktuasinya jumlah
pesanan mebel dari eksportir atau buyer merupakan salah satu pertimbangan pengrajin pengusaha untuk melakukan pola hubungan subkontra.k. Hubungan subkontrak dapat memungkinkan pengrajin pengusaha dapat fleksibel untuk menaikkan atau menurunkan skala produksi sesuai dengan pesanan yang masuk. Ketika pesanan mebel meningkat mereka tidak perlu berinvestasi untuk pengadaan mesin atau tenaga keJja Dengan pola hubungan subkontrak dapat mengurangi kebutuhan dana investasi untuk pengadaan mesin dan tenaga kerja. Sehingga pengrajin pengusaha bisa meminimalkan resiko investasi seperti penyusutan mesin dan lebih fleksibel dalam penggunaan tenaga kerja.
Proses produksi mebel berpotensi mcngandung berbagai resiko. resiko tersebut misalnya resiko cacat produksi. resiko pcmbelian bahan baku dan resiko investasi. Potensi resiko tersebut dengan pola hubungan subkontra.k dapal dialihkan kepada pihak subkontraktor (pengrajin).
Pola hubungan subkontra.k memungkinkan
terjadinya pengalihan resiko dari pihak prinsipal (pengrajin pengusaha) kepada pihak subkontraktor (pengrajin). Bentuk resiko yang dapat dialihkan tersebut adalah: 1.
Resiko cacat produk Dalam setiap proses produksi mebel selalu ada hasil produk yang tidak memenuhi standar kualitas tertentu. Produk seperti ini biasa disebut sebagai barang cacat produksi. Barang cacat produksi pada umumnya teljadi ketidaksempurnaan dalam hal perakitan, kualitas kayu dan model tidak sesuai dengan peljanjian. Barang cacat produksi ini beresiko dikirim kembali oleh pemesan. Untuk menghindari barang dikembalikan oleh pemesan ('direject') karena kualitas barang tidak sesuai dengan yang disepakati maka pengrajin
61
pengusaha menerapkan kualitas kontrol yang ketat. Jika barang sudah dikirim kepada pemesan dn kemudian dikembalikan maka kerugian akibat resiko cacat produksi tersebut menjadi tanggungjawab pengrajin pengusaha.
Sebelum
barang hasil
produksi dikirim
kepada pemesan dilakukan
pemeriksaan kualitas barang secara seksama dan jika ada barang yang dianggap tidak memenuhi kualitas yang ditetapkan oleh pengrajin pengusaha maka barang dikembalikan kepada pengrajin. Kerugian pengembalian barang cacat produksi terse but menjadi tanggung jawab pengraj in.
Jika barang pesanan tersebut diproduksi sendiri oleh pengrajin pengusaha maka resiko cacat produksi tersebut ditanggung sendiri oleh pengrajin pengusaha. Dengan pola hubungan subkontrak pengrajin pengusaha dapat mengalihkan resiko cacat produksi kepada pengrajin.
2. Resiko pembelian bahan baku Bahan baku utama mebel produksi Desa Serenan adalah kayu jati. kayu mahoni dan kayu sono keling. Pengadaan bahan baku kayu diperoleh melalui pedagang-pedagang kayu yang berlokasi di sekitar Desa Serenan. Pembdian kayu jati oleh pengrajin biasanya dalam bentuk gelondongan dengan ukuran tertentu. Resiko dari pembelian kayu dalam bentuk gelondongan ini adalah tingkat kekeringan kayu dan kayu rusak ditengah. Untuk menjadikan kayu gelondongan menjadi bahan baku yang siap diolah, maka setelah dilakukan pembayaran kemudian kayu dibelah menjadi beberapa bagian yang lebih kecil sesuai dengan ukuran mebel yang akan dibuat.
Ketika kayu dibelah ada
kemungkinan resiko kayu rusak ditengah atau lobang ditengah, maka resiko kayu rusak tersebut merupakan kerugian yang harus ditanggung oleh pengrajin.
3. Resiko penurunan hargajual akibat persaingan usaha Dalam usaha untuk memperoleh pembeli, pengrajin pengusaha terkadang dihadapkan pada persaingan antar pengrajin pengusaha. Pengrajin pengusaha
62
pesamg biasanya berasal dari Desa Serenan ataupun Sentra lndustri lain seperti dari Jepara, Bantul dan lain-lain. Dalam persaingan memperebutkan pembeli tersebut terkadang ada fenomena persaingan yang kurang sehat seperti penurunan harga jual. Dengan adanya penurunan harga jual maka margin keuntungan penjualan akan berkurang.
Dengan adanya pola
subkontrak maka ada peluang untuk mengalihkan resiko penurunan penerimaan keuntungan kepada pengrajin dengan jalan menurunkan margin keuntungan yang diperoleh oleh pengrajin.
V.3.
Hubungan Subkontrak Tradisi dalam Perkembangan lnovasi
Sebagian besar responden menyatakan bahwa belum tertarik untuk melakukan inovasi produk. dengan alasan bahwa setiap model yang mereka produksi merupakan produk pesanan dari pengrajin pengusaha dalam pola subkontrak. Setiap pesanan sudah ditentukan
mode~
ukuran dan bahan bakunya. Pengrajin
mebel di Desa Serenan sebagian besar memproduksi barang pesanan (product to
order).
Dari hasil survey yang telah dilakukan, responden yang menyatakan
belum
melakukan inovasi sebanyak 71%, sedangkan sebesar 29% responden menyatakan sudah melakukan inovasi. lnovasi yang dilakukan sebagian besar merupakan inovasi dalam proses produksi. lnovasi dalam proses produksi seperti misalnya cara pengeringan kayu dengan menggunakan tungku pemanas. Inovasi dalam desain atau model produk masih jarang dilakukan.
Inovasi adalah transformasi ide atau sumber-sumber daya ke bidang-bidang yang bermanfaat yang menyebabkan terbentukya produk-produk, service atau proses barn (Winardi, 2000). Inovasi yang sudah dilakukan oleh pengrajin di Sentra Industri kecil mebel Serenan adalah pada tahap proses produksi seperti metode pengeringan baru, pada waktu sebelumnya pengeringan hanya dengan dijemur dibawah matahari, kemudian saat ini sudah menggunakan tungku dengan pemanasan. Dengan menggunakan tungku pemanasan proses pengeringan
63
membutuhkan waktu yang lebih singkat dan pengeringan kayu menjadi lebih sempuma
Diversifikasi juga dilakukan dalam hal penggunaan bahan baku, pada waktu sebelumnya bahan baku utama adalah kayu jati, tetapi saat ini bahan baku kayu jati sudah mulai langka dan harganya terus meningkat. Dengan kondisi tersebut, saat ini bahan baku kayu jati sebagian sudah mulai diganti dengan bahan baku kayu yang harganya lebih murah dan masih banyak tersedia seperti mahoni, sono keling, mangga dan lain-lain.
V.3.1.
Tahapan Perubahan Menurut Wilkens
Menurut Wilkens, tipe perubahan inovasi melalui berbagai tahap perubahan yaitu ekspansi awal, ekspansi setelahnya, inovasi faktor produksi, inovasi dalam bidang produksi dan inovasi-inovasi pasar. Selengkapnya tipe perubahan menurut Wilkens dan tahap-tahap yang sudah dilalui pengrajin di Sentra Industri Kecil Mebel Serenan dapat dilihat pada tabel V.I. di bawah ini:
64
Tabel V.l.· Tipe Tahapan Perubahan Wilkens No
Tabap
Ciri-c:iri
Produksi pennulaan barang-barang
I.
Ekspansi awal
2.
Ekspansi setelahnya
Perubahan sesudahnya dalarn jumlah barang produksi
3.
lnovasi faktor produksi
Meningkalnya suplai atau produktivitas faktor-faktor produksi yang ada • Finansial : pencapaian modal dari sumber baru, alau dalam bentuk. baru • Tenaga kaja-pencapaian teoaga kaja dari sumber baru; perbaikan (upgrading) tenaga kaja yang ada • Bahan-bahan pembelian bahanbahan lama dari sumber baru, atau penggunaan bahan baru
lnovasi dalam bidang produksi
Perubahan dalam proses produksi • Tehnologikal : penggunaan teknik produksi t.u. • KeorganisasWII · pcrublbao bentuk aaau Slnlktur huhmpn amara orangorang
4.
5.
lnovasi pasar
Pc:rubahan-pcrub besar atau komposisi pasar • Produk produksi barang-barang baru, alau perubahan kualitas atau biaya produksi barang yang ada • Pasar : penemuan pasar atau daerah penjualan baru
Peagrajio di Seotra lodustri Kecil Mebel Sereoao Produksi mebel Surakarta
kebutuhan
Kraton
Produksi meningkat untuk. memenuhi kebutuhan mebel lokal masyarakat Solo dan sekitarnya, kemudian saat ini sudah memenuhi pennintaan untuk. ekspor
• Sumber pennodalan selain masih dari modal sendiri, saat ini sebagian sudah memperolch fasilitas kredit perbankan • Tenaga kaja selain dari keluarga sendiri juga menggunakan tenaga kaja dari luar. • Penggunaan bahan baru, dari sebelumnya penggunaan kayu jati saat ini sudah menggunakan bahan baku lain seperti kayu mahoni, sono keling, dll
.....
• Peraur-
ppji
mesin
dan
tdaail. peri@U inpn kayu dengan
• ~-- bubungan subkootrak ...-. peagrajin dan pengrajin ...... belumada
Pada pennulaan sekitar tahun 1750-an produksi mebel Desa Serenan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan mebel Kraton Surakarta. Pada saat itu bertepatan dengan pindahnya lokasi kraton dari Kartasura ke Desa Solo yang berada di tepian Sungai Bengawan Solo. Produksi mebel untuk memenuhi kebutuhan mebel Kraton Solo tersebut merupakan ekspansi awal dari pengrajin mebel Desa Serenan.
65
Ekspansi selanjutnya adalah dengan meningkatnya jumlah produksi karena meningkatnya jumlah permintaan mebel Desa Serenan. Peningkatan produksi mebel Desa Serenan diakibatkan oleh perubahan orientasi pasar dari kraton menuju pemenuhan kebutuhan mebel masyarakat di luar kraton. Image sebagai mebel kraton turut membantu peningkatan permintaan terhadap mebel produksi Desa Serenan.
Kedatangan turis ke Kota Solo pada akhir tahun 1980-an sangat berpengaruh terhadap perkembangan mebel Serenan pada masa selanjutnya. Lewat pemandu wisata dan informasi kepariwisataan yang ada di Kota Solo saat itu. turis yang berasal dari Eropa, Australia dan Arnerika berkunjung ke Desa Serenan untuk menyaksikan proses pembuatan mebel. Kemudian beberapa dari turis asing ini menjadi pionir terciptanya jaringan pemasaran mebel Desa Serenan hingga ke manca negara. Meningkatnya permintaan mebel untuk pasaran ekspor kemudian melahirkan pemain-pemain baru dalam pemasaran mebel produksi Desa Serenan. Pelaku usaha tersebut adalah pengrajin pengusaha, pedagang mebel, eksportir dan buyer. Kedatangan turis ke Kota Solo juga merupakan awal tercerabutnya pasar domestik mebel Desa Serenan, karena saat ini produk mebel yang diproduksi hampir 80% merupakan pasaran untuk ekspor.
Inovasi faktor produksi yang sudah dicapai oleh pengrajin adalah
dengan
meningkatnya suplai atau produktivitas faktor produksi yang ada, yang ditandai dengan: 1. Finansial : pencapaian modal dari sumber baru atau dalam bentuk baru. Dari basil penghitungan kuesioner diperoleh angka sebesar 40% responden pengrajin mendapatkan somber permodalan dari perbankan dan sisanya sebesar 60% somber permodalan dari modal sendiri. 2. Tenaga kerja : pencapaian tenaga kerja baru atau yang bertipe baru; perbaikan (upgrading) tenaga kerja yang ada. Tenaga kerja yang pada mulanya hanya berasal dari keluarga sendiri. saat ini sudah merekrut dari luar. Perbaikan tenaga kerja yang ada dilakukan melalui
66
pelatihan-pelatihan dalam bidang teknik produksi yang diadakan oleh Pemda Kabupaten Klaten. 3. Bahan-bahan : pembelian bahan-bahan lama dari sumber baru, atau penggunaan bahan baru. Penggunaan bahan baku baru yang telah dilakukan oleh pengraj in di Desa Serenan adalah penggunaan kayu mahoni, kayu sono keling dan kayu mangga. Bahan baku utama adalah kayu jati, tetapi saat ini kayu jati cenderung langka dan harga mahal.
lnovasi dalam bidang produksi yang sudah dilakukan adalah : 1. Tehnologikal : penggunaan teknik produksi baru Penggunaan teknik produksi yang baru ditandai dengan adanya penggunaan alat pengering berupa tungku pengering dengan menggunakan kipas (blower). Penggunaan mesin-mesin pemotong kayu bertenaga listrik juga sudah dilakukan. 2. Keorganisasian : perubahan bentuk atau struktur hubungan antara orang-orang Perubahan struktur hubungan dengan orang-orang yaitu terbentuknya hubungan subkonuak dengan pengrajin pengusaha Hubungan subkontrak melahirkan semacam spesialisasi, dimana pengrajin berkonsentrasi kepada produksi, sedangkan pengrajin pengusaha berkonsentrasi kepada pemasaran. Sebelum terbentuk hubungan subkontrak, para pengrajin secara sendiri-sendiri atau individual memasarkan produknya dengan sistem titip di toko mebel, menawarkan produk dari pintu ke pintu atau melayani pembelian langsung pembeli yang datang ke Desa Serenan.
Menurut tahapan tipe perubahan Wilkens, pengrajin mebel di Sentra lndustri Kecil Mebel Desa Serenan baru mencapai tahap ke empat. Tahap dimana inovasi baru dilakukan pada bidang produksi. Sedangkan pada tahap ke lima dimana sudah dilakukan inovasi pasar berupa produksi barang-barang baru dan penemuan pasar baru belum dilakukan.
67
V.3.2.
Hubungan Subkontrak dan Aspek Tradisi Sebagai Ham batao Inovasi Produk
Inovasi produk sangat diperlukan ketika pasar mulai jenuh . Indikasi bahwa pasar mulai jenuh adalah adanya penurunan pennintaan terhadap mebel jenis indoor. Dengan masuknya mebel bergaya Eropa dari China ke pasaran, produk mebel Indonesia menghadapi ancaman serius. Sejak tiga tahun terakhir, industri mebel Indonesia mendapat tantangan yang serius. Ketika sebagian pengusaha mebel gulung tikar karena kesulitan mendapat bahan baku kayu, produk mebel Cina masuk dengan harga yang jauh lebih murah. Sementara itu, dalam jangka waktu tujuh talmn (1994-2001), perkembangan ekspor mebel Cina mengalami perkembangan sebesar 335 persen dengan nilai 9,7 miliar euro atau setara dengan Rp 9, 7 triliun (Media Indonesia, 2004).
Menurut tahapan perubahan dalam inovasi menurut Wilkens, pengrajin Sentra Industri Kecil Mebel Serenan baru mencapai tahap ke empat Jika dibandingkan dengan sentra sejenis yang ada di Jawa Tengah, Sentra Industri Kecil Mebel Serenan bisa dikatak.an terlambat. Sebagai pembanding adalah sentra-sentra industri mebel di K.abupaten Jepara. Sentra mebel yang ada di Jepara bisa dikatalc.an lcbih maju dibandingkan dengan sentra industri mebel Serenan, dimana sentra-sentra di kpara pada waktu sebelumnya hanya memproduksi mebel dalam ruangan (indoor), saat ini telah dilakukan inovasi produk berupa produk mebel untuk luar ruangan (outdoor). Mebel outdoor juga disebut dengan mebel garden, karena digunakan di taman dan kebun-kebun. Pada saat sekarang produk mebel garden lebih digemari di pasar ekspor karena itu pennintaannya lebih tinggi dari mebel indoor (Nurul Widyaningrum, 2003). Jika digunakan tabel tipe perubahan Wilkens, sentra industri mebel Jepara telah mencapai tahap ke lima, yaitu inovasiinovasi pasar. Sebagai ciri utama tahap ke lirria yaitu adanya produk barang barn dan penemuan pasar barn. Produk baru berupa mebel garden telah menemukan pasar barn, dimana sebelumnya mebel produksi Jepara ditujukan kepada konsumen pribadi, sekarang mebel Jepara telah menemukan pasar baru yaitu para perancang taman di Eropa dan Amerika.
68
Kemudian sebagai pembanding lain adalah sentra industri mebel di Kabupaten Bantul, pengraj in mebel di Bantul aktif melakukan inovasi produk tiap 1,5 tahun sekali. Menurut pengalaman, mereka sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa umur suatu produk mebel hanya bertahan kurang lebih 1,5 tahun. Jika mereka memaksakan untuk memproduksi mebel dengan model yang sama maka penjualan akan terns menurun. Untuk 1,5 tahun terakhir, pengrajin mebel di Bantul memproduksi mebel dengan sentuhan gaya patung etnis Asmat Papua (Metro TV, 7 Oktober 2005).
Selain memberikan manfaat pola subkontrak juga dapat membawa persoalan bagi subkontraktor, karena kebebasan subkontraktor untuk beralih produk atau ke pasar lain menjadi lebih terbatas. Ketika prinsipal memberikan order dengan detail yang spesifik dan subkontraktor bergantung pada prinsipal dalam hal pengembangan proses produknya, sehingga subkontraktor sulit untuk mengembangkan produkproduknya (Dicken, 1987). Terhambatnya perkembangan inovasi produk mebel di Sentra Industri Kecil Mebel Serenan sangat dipengaruhi oleh pola hubungan subkontrak yang berjalan sejak akhir tahun 1980-an. Dalam praktek di lapangan, pengrajin memproduksi mebel dengan model, bahan baku dan harga sudah ditentukan oleh pengrajin pengusaha scbagai p insipilnya merupakan hambatan tersendiri bagi pengrajin untuk melakukan inovasi. Sedangkan model yang ditetapkan tidak ada perubahan yang berarti dari waktu ke waktu. Model atau gaya mebel produksi pengrajin dari Desa Serenan pada umumnya adalah mebel ukir untuk penggunaan di dalam ruangan (in door).
Selain faktor subkontrak tersebut di atas, ada hal lain yang menghambat tumbuhnya inovasi yaitu tidak adanya keberanian dari pengrajin untuk memproduksi mebel dengan model bam. Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa jika pengrajin memproduksi mebel dengan model yang bam, biasanya mebel dengan model bam tersebut dapat terjual dengan membutuhkan waktu yang lebih lama. Mebel dengan model baru biasanya dipasarkan tidak melalui pola hubungan subkontrak tetapi pengrajin hams menjual sendiri ke pasaran. Dengan membutuhkan waktu jual yang lebih lama maka modal akan
69
lebih lama mengendap, sudah pasti hal ini memberatkan karena modal mereka yang terbatas. Dengan kondisi tersebut pengrajin merasa lebih aman jika memproduksi barang dengan pola subkontrak karena adanya jaminan pemasaran walaupun dengan konsekuensi tidak bisa bebas untuk berinovasi.
Menurut Derry Pantjadharma (2000) yang mempengaruhi daya saing industri kecil adalah akses pasar, permodalan dan akses teknologi. Sedangkan yang paling utama dari ketiganya adalah kemampuan industri kesil untuk memanfaatkan ilmu dan teknologi yang tersedia. Hubungan subkontrak yang terjalin mengakibatkan pengrajin terpku pada kegiatan rutinnya dan tidak memiliki waktu dan daya untuk melakukan peningkatan teknik atau kegiatan-kegiatan inovatif yang dapat memperbaiki kinerja usaha dan daya saingnya. Pengrajin terkungkung dalam usaha 'survival' usahanya.
Rasa aman pada suatu kondisi tertentu oleh Karl Vesper (1983) dapat dipandang sebagai kendala untuk berkembang. Dengan adanya hubungan subkontrak para pengrajin merasa diri mereka sudah mapan dan nyaman berada pada suatu kondisi, sehingga mereka secara tidak sadar telah terikat dalam 'borgol emas'
(golden handcuffs). lbaratnya, tangan pengrajin diborgol tetapi peng:rajin tctap merasa nyaman karena borgol tersebut terbuat dari emas. Dalam jangka panjang borgol emas tersebut dapat berakibat negatif. Kenyamanan yang dirasakan pengrajin
menyebabkan pengrajin kehilangan kemampuan untuk bertahan.
Kenyamanan tersebut mengkondisikan pengrajin menjadi malas atau segan untuk melakukan perubahan.
Upaya untuk mempertahankan tradisi yang diwariskan turun-temurun juga menjadi penyebab tidak berkembangnya inovasi produk. Memproduksi mebel dengan model bergaya kraton dirasakan oleh sebagian pengrajin merupakan suatu kebanggaan yang harus dipertahankan. Dari basil wawancara dengan pengrajin, mereka menganggap mebel yang mereka hasilkan menggunakan motif ukir asli kraton sedangkan ukiran dari daerah lain bermotif ukiran (seperti ukir). Kebanggaan memproduksi mebel kraton ini yang menyebabkan sebagian besar
70
pengrajin merasa enggan untuk memproduksi mebel dengan desain lain, walaupun saat ini terjadi penurunan permintaan terhadap mebel dengan model kraton untuk pasaran luar negeri. Untuk menyiasati turunnya permintaan produk mebel seharusnya pengrajin melakukan inovasi, tetapi hal ini tidak dilakukan karena untuk mempertahankan kebanggan tradisi yang sudah diwariskan nenek moyang mereka.
Jika dibandingkan dengan era tahun 1990-an, pendapatan pengrajin menurun sangat tajam. Pada masa booming mebel tahun 1990-an pendapatan pengrajin bisa mencapai 1 juta rupiah lebih per satu set penyelesaian mebel, tetapi saat ini pendapatan pengrajin hanya berkisar 400 sampai dengan 500 ribu rupiah. Hal ini disebabkan karena semakin ketatnya persaingan di pasaran mebel dunia. Tumbuhnya pesaing bam dalam pasaran mebel dunia seperti China, Thailand dan Vietnam merupakan ancaman serius bagi sentra ini. Penyebab yang lain adalah semakin mahalnya bahan baku kayu. Mahalnya bahan baku menyebabkan margin keuntungan yang diterima pengrajin semakin berkurang. Dalam situasi tersebut sangat diperlukan inovasi untuk menemukan pasar yang bam untuk meningkatkan penjualan. Tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak ada upaya berinovasi untuk meningkatkan penjualan dan hanya berharap kondisi pasar akan kembali membaik. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengrajin tidak punya konsep untuk bertahan, sementara pendapatan terns menurun.
BabVI Kesimpulan dan Usulan VI.l.
Kesimpulan Kabupaten Klaten memiliki 292 sentra industri kecil yang tersebar di seluruh kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Klaten. Industri kecil memberi sumbangan yang sangat signifikan bagi PDRB Kabupaten Klaten. Sektor industri kecil merupakan motor penggerak utama pembangunan perekonomian Kabupaten Klaten, dimana industri ini menguasai lebih dari 99 persen dari keseluruhan jumlah unit usaha yang bergerak dalam bidang industri. Sektor industri kecil juga menyerap lebih dari 92 persen tenaga kerja yang berkecimpung dalam sektor industri
dan sisanya 8 persen
diserap
oleh
industri
besar/menengah. Dari data-data tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa industri kecil mempunyai posisi yang strategis dan berpotensi untuk
lebih
dikembangkan
untuk
mendukung
perkembangan
perekonomian Kabupaten Klaten di masa yang akan datang. Scntra industri kecil mebel Desa Serenan adalah salah satu sentra yang
berlokasi di Kabupaten Klaten. Produk mebel dari sentra industri kecil ni sebagian besar dipasarkan ke luar negeri. Dalam proses produksinya para pengrajin berrnitra dengan pengrajin pengusaha dengan bentuk
kemitraan subkontrak.
Dari hasil pengkajian yang telah dilakukan,
diketahui bahwa dasar terbentuknya hubungan subkontrak antara pengrajin dan pengrajin pengusaha adalah memadukan keunggulan masing-masing pelaku usaha untuk memperoleh keuntungan bersama. Keunggulan dari pengrajin adalah kepemilikan faktor produksi, sedangkan keunggulan pengraj in pengusaha adalah kekuatan jaringan
pemasaran. Kemanfaa.tan dan keuntungan
yang diperoleh oleh
pengrajin dengan adanya hubungan subkontrak lebih bersifat jangka pendek yaitu kepastian dalam hal pemasaran. Tetapi jika dikaji lebih dalam
hubungan subkontrak
71
dalam jangka panjang berpotensi
72
menimbulkan kerugian bagi pengrajin. Jika diukur dengan tabel tipe perubahan Wilken, sentra industri mebel Desa Serenan baru mencapai tahap ke empat yaitu perubahan dalam bidang teknologikal (teknologi produksi) dan bidang keorganisasian yaitu perubahan pola hubungan dengan pelaku usaha yang lain. Perubahan dalam produk-produk baru dan penemuan pasar baru sebagai bentuk inovasi belum teljadi. Pola subkontrak
salah
merupakan
satu
faktor
penyebab
tidak
berkembangnya jiwa inovasi pengrajin. Inovasi hanya berlangsung pada proses produksi, sedangkan inovasi untuk menciptakan pasarpasar baru hampir tidak dilakukan. lnformasi tentang pasar yang sangat terbatas karena pengrajin tidak berusaha untuk mengembangkan pasar bagi produknya sendiri. Dengan teljaminnya pemasaran produk mebel oleh hubungan subkontrak, menjadikan pengraj in segan untuk melakukan
terobosan
inovasi
untuk
meningkatkan
pemasaran
produknya. Pengrajin hanya berkonsentrasi pada proses produksi. Hubungan subkontrak. menciptakan ketergantungan pengrajin kepada pengrajin pengusaha dalam hal pemasaran. Dinamika pengrajin masih terbatas sebagai aktor yang pasit: dimana peranan pengrajin sangat terbatas dibandingbn dcnpn pengrajin pcngusaha.
Kerugian lain
sebagai akibat adanya pola kemitraan subkontrak
selengkapnya adalah sebagai berikut : 1. Hubungan subkontrak. dapat menimbulkan potensi eksploitasi. Potensi eksploitasi oleh pengrajin pengusaha kepada pengrajin adalah berupa pengalihan
resiko usaha. Resiko usaha tersebut
adalah resiko cacat produksi, resiko pengadaan bahan baku dan resiko persaingan usaha. 2. Jumlah pengrajin sebanyak 911 orang dan jumlah pengrajin pengusaha sebanyak 16 orang menciptakan semacam pasar oligopoli, dimana penawaran prinsip oleh pengrajin pengusaha dengan jumlah sedikit dan jumlah permintaan prinsip oleh pengrajin dengan jumlah yang banyak. Dengan situasi tersebut
73
pengrajin mempunyai posisi lebih lemah dibandingkan dengan pengrajin pengusaha. Pengrajin pengusaha tidak peluang atau kesempatan untuk mengajukan tawar menawar dalam harga atau model mebel yang akan diproduksi.
Dalam jangka pendek hubungan subkontrak mempunyai dampak yang positif, karena terjadi spesialisasi pemasaran dan produksi. Tetapi jika mengkaji berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh pola hubungan subkontrak yang ada pada Sentra Industri Kecil Mebel di Desa
Serenan
Kecamatan
Juwiring
Klaten
Kabupaten
dapat
disimpulkan bahwa dalam jangka panjang hubungan subkontrak tersebut dapat memberikan dampak yang kurang menguntungkan bagi kelangsungan usaha pengrajin karena berpotensi melahirkan sentra industri kecil yang rapuh, karena menumbuhkan ketergantungan pengrajin kepada pengrajin pengusaha. Dengan adanya ketergantungan tersebut pengrajin cenderung kehilangan konsep untuk bertahan, dimana konsep bertahan adalah ciri utama pada industri kecil.
Penyebab
lain
tidak
berkembangnya
inovasi
adalah
adanya
kecenderungan untuk mempertahankan tradisi yang sudah diwariskan oleh
orangtua
mereka
secara
turun-temurun.
Kebanggaan
memproduksi mebel dengan gaya kraton membuat pengrajin enggan untuk memproduksi mebel dengan desain lain. Sedangkan di sisi lain kondisi pasar dan teknologi selalu berkembang yang menuntut adanya penyesuaian. Hal tersebut menyebabkan usaha kecil berbasis tradisi terjebak dalam inersia kultural atau kelambanan untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan. Akibat adanya upaya untuk mempertahankan tradisi tersebut terjadi keengganan pengrajin untuk berubah kecuali ada jaminan bahwa perubahan tersebut memberikan keuntungan yang besar (Nurcholis Madjid, 2000).
74
Dengan kondisi saat ini dimana pemasaran produk mebel Desa Serenan mengalami penurunan, pengembangan inovasi produk sangat diperlukan untuk meningkatkan kembali jumlah penjualan mebel. Tetapi jiwa untuk berinovasi produk tidak tumbuh dan berkembang di Sentra ini, salah satu hambatan dari tumbuhnya jiwa inovasi ini adalah pola subkontrak yang dalam prakteknya cenderung untuk membatasi pengrajin untuk melakukan inovasi produk.
VI.2.
Usulan Berpijak dari kesimpulan di atas, beberapa hal yang dapat diajukan sebagai saran dari pengkajian ini, adalah: I. Kemitraan dengan pola hubungan subkontrak dapat tetap dibina dan dipertahankan karena memberikan manfaat kepada pengrajin dalam hal pemasaran, tetapi dengan meminimalkan kemungkinan kerugian yang ditimbulkan dengan pola subkontrak tersebut. Upaya yang dapat dilaksanakan adalah dengan mendorong pengrajin untuk dapat mengenal pasar produk mebel mereka sendiri. Dengan harapan jika hubungan subkontrak tersebut berakhir, maka pengrajin masih bisa mencari peluang yang lain tanpa harus bergantung kepada pihak lain. 2. Memberikan ajang kompetisi antara pengrajin dan pengrajin dengan mengembangkan sehingga
terhindar
pasar-pasar barn oleh
terjadinya
monopolistik
pemerintah,
oleh
pengrajin
pengusaha. 3. Memberikan pelatihan dan informasi pasar yang lebih luas kepada pengrajin
sehingga
pengrajin
mempunyai
kemauan
dan
kemampuan untuk memproduksi mebel yang lebih diminati oleh pasar. 4. Pengkajian ini bersifat studi awal bagi studi evaluasi hubungan kemitraan
yang terbangun
antara
pengrajin
dan
pengrajin
pengusaha melalui pola hubungan subkontrak. Disarankan bagi pengkajian selanjutnya untuk melakukan studi evaluasi Sentra
75
Industri Kecil Mebel Desa Serenan dengan mengkomparasikan dengan Sentra industri Kecil Mebel Jepara atau Sentra lndustri Kecil Mebel di Bantul yang sudah lebih maju dalam hal inovasi. Sehingga dari komparasi tersebut dapat diambil pembelajaran bagi pengembangan Sentra Industri Kecil di Indonesia.
Daftar Pustaka
Akatiga.
Usaha kecil dan Masa Depan Perekonomian Indonesia. Yayasan
Akatiga. Bandung. 2004 Akatiga. Pasar yang Adil bagi Usaha Kecil. Yayasan Akatiga. Bandung. 2003. Bianchi, Carmine. Fostering Small Business Growth and Entrepreneurial
Learning Through Accounting and System Dinamics Models, download tanggal 01-02-2005 Dedi Haryadi, Erna Ennawati, Maspiyati. Tahap Perkembangan Usaha Kecil. Akatiga. Bandung. 1998. Jhingan, M.L. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan,. PT. Raja Grafindo Persada.Jakarta. 2002 Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosda Karya. Bandung. 2002 Muhadjir, H. Neong. .t«IOdologi Pendilian Kualitatif. Rake SARASIN, Y ogyakarta. 2000 Muhandri, ljahja. Strategi Penciptaan Wirausaha (Pengusaha) Kecil Menengah
yang Tangguh. Makalah Falsafah Sains, Program Pasca Sa.Jjana/S3, Institut Pertanian Bogor. 2002 Olivera H., Martin C. Accounting Problems Encountered in Small Business
Failures. Electronic Proceedings of the Southwest Small Business Institute Association, Annual Conference, New Orleans, March. 1993 Sugiyono. Memahami Pene/itian Kualitatif- Alfabeta. Bandung. 2005 Tambunan, Tutus T.H. Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia: Beberapa /su
Penting. Salemba Empat. 2002 Winardi, J. Enterpreuner & Enterpreunership. Pemada Media. Jakarta. 2003
76
77
Walter Nicholson. Teori Milcro Ekonomi Prinsip Dasar dan Perluasan. B inarupa Aksara. jakarta. 1999. Yin, Robert K., Studi Kasus (Desain dan Metode), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.2003 Yoon, Heon Deok. The Role ofSma/1 Business in 2r' Century, Department of Entrepreneurship and Small Business, Soongsil University, South Korea. Yunita, Totok, Ezra. Karya Tulis 1/miah Sosial. Yayasan Obor. Jakarta. 2004 Undang-undang No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 1997 tentang Kemitraan. Keputusan Presiden no. 99 tahun 1998 tentang Jenis Usaha yang terbuka dengan Syarat Kemitraan
Lampiran 1 Rekapitulasi jawaban pengrajin Rekapitulasi Skor Jawaban Kuesioner Penc: raiin Jawaban No Pertanyaan Aspek Produksi a. Lokal 1. Asal Bahan baku b.lmpor a. Mudah mendapatkan bahan baku 2. Kemudahan mendapatkan bahan baku b. Susah mendapatkan bahan baku a. Kurang baik 3. Kualitas Bahan baku b. Baik a. Kadang-kadang 4. Kesulitan bahan baku b.Serina a. Harga berfluktuasi 5. Kesulitan dalam pengadaan bahan b. Harga mahal baku c. Ketersediaan di pasar d. Kualitas bahan baku e. Kuantitas bahan baku f. Lokasi sumber i. Permainan Supplier a. Mendapatkan bantuan 6. Bantuan pemerintah mengenai pengadaan bahan baku b. Tldak mendapatkan bantuan pemerintah c. Tldak meniawab a.Menggunakan mesin saja 7. Penggunaan teknologi b. Menggunakan mesin sederhana dan manusia c. Menaaunakan tenaaa manusia 8. Bantuan pemerintah dim hal a. Oibantu pemerintah produksi b. Tidak dibantu pemerintah c. Tidak meniawab 9. Bagaimana penentuan model produk a. Berdasarkan pesanan mebel b. lnovasi sendiri c. Tidak menjawab 10. lnovasi a. Sudah melakukan inovasi b. Belum melakukan inovasi Quality control 11. a. Sudah menerapkan quality control b. Belum menerapkan quality control
1.
AspekSDM Kebutuhan tenaga ahli
2.
Kendala tenaga kerja
3.
Tingkat produktifitas
a. Menggunakan tenaga ahli b. Tidak menaaunakan tena!la ahli a. Tidak mengalami kendala b. Mengalami kendala a. baik b. tidak baik
Prosentase
100% 0% 93% 7% 14% 86% 89% 11% 4% 64% 11% 4% 4% 6% 7% 11% 79% 10% 4% 86% 10% 11% 86% 3% 93% 4% 3% 29% 71% 79% 21%
82% 18% 68% 32% 100% 0%
1.
Keuangan Pengelolaan administrasi keuangan
2.
Pemisahan keuangan
3.
margin keuntungan
4.
modal
5.
Kendala pinjaman
6.
Peran pemerintah dalam bantuan permodalan
7.
investasi
1
Pemasaran omzet penjualan beberapa minggu terakhir
2
' Penyebab pervunan
3
strategi pemasaran
4
merek
5
peran pemerintah
a. Tidakada b. Menggunakan laporan keuangan sederhana c. Menggunakan standar akuntansi a. Melakukan Pemisahan b. Tidak melakukan pemisahan a. diatas 15% b. 10%-15% c. 5%-10% d. dibawah 5% e. Tidak menjawab a. modal sendiri b. bantuan bank a. kesulitan dalam memperoleh pinjaman b. tidak kesulitan dalam pinjaman c. tidak pemah mengajukan pinjaman a. tidak pemah merasakan peran pemerintah b. pemah merasakan c. Tidak menjawab a. pada pengembangan usaha lama b. perluasan usaha c. Tidak menjawab
39% 61% 0% 17% 83% 18% 32% 32% 11% 7% 60% 40% 43% 40% 17% 83% 4% 13% 57% 32% 11%
a. penurunan penjualan b. stabil c. naik a. Promosi tidak efektif b. Persaingan harga c. Permintaan terhadap produk rendah d. Tidak menjawab a. memiliki strategi pemasaran b. tidak memiliki strategi pemasaran a. punya merek sendiri b. belum punya merek a. Belum merasakan bantuan pemerintah b. sudah merasakan bantuan c. Tidak menjawab
44% 39% 17% 4% 36% 54% 6% 25% 75% 14% 86% 82% 7% 11%
~DDIW~AI
IAllwPAHif ILAID
IWII•t•G IDDA•
IICJ.~rAW .-J.{
•t4•
I·KA~
IE~EIAIGJ..
•••••:4?4/1!,/15
Taac ••P•&•••· -.•c•• • Ieca•a••• Jtwlrl•c•
tt•aw~k Ia~•••••
..• • • ..
l•l
••ly~fl · ~•••la
Ita••• •••c•• 1•1
••••
ler•••••
••••rawckaw
•~•••=
hll •••••,.
, ••, ••• ,.1 at»:·
u s Iara.•c J.wyu, l!d5-1,70 : J1U2.alawa Il'J
P•k•:t•jaa•
katuc·
1 a. • a ' · . s 11·. Pel••ln• Ill ••••• ate7/l?, iaat•••· •••••• •••c•taka• P•••lt•t•• Ilalak tl •••• ••r•..• -*lal •••ccal 5 ••,, ••••• a/1. taaccal 5 lk····· !115. lt• k•J&la J&aya»ata• Jeaa. aer•••• .. ,.k •~,.~ •••••••• . J.
•••tt I•••ta
lattut\ htl ......., . c..a kelucuaa P"elltla• IlalD•7•• Jealkla• aw.raw kete. .•c&a· tel ·'kUl aut le•caw aeae•ua:ra ta•
•••wk •••••
•k&• ••••••1•7&•
~i••~c..
PEMERINT AH KABUP ATEN KLA TEN BADAN PERENCANAAN DARRAH (BAPEDA) Jalan Mayor K.usmanto No. 23 TcJp. (0272) 321040 . KLATEN
SURAT IJIN PENEUTIAN ILMIAH
Nomor : 072/35. / :=IJ111 esar : 1. Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 13 Tahun 2001 Tentang Pembentukan,
Susunan Organisasi dan Tala Kerja Badan Perencanaan Daerah Kab. Klaten 2. Keputusan Bupati Klaten tanggal 31 Maret 2001 Nomor 065136612001 perihal Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsl Bada~ Perencanaan ~h .Kab. -~" 3. Surat Permohonan dart Oirektur/Kepala/Ketua X~'Q .;:;~·;.;,. ;J;;·~~9.c:-. fi~.J;J.<1W~. ~ -r. ~:.~;.. ...... ..._- c..-cl~ - ~- J ..... Fc - , ~:r ·:-; ·,, ,- ;~. .. : 1J 3 ' i \.l .L..:·'~ . ':l1 ·... ...... . l : L) .._)-;~ -- ·O• : ,... ~ 3° j i'r-ol l "}.. · • 1 2 • 2:;,;;:i· ~~ J - )
·'- ;r---.. . -
=..
••• ••••• • -.-;:...,;-:-.-;-••-••••-; • ••• ; ; -:, .. ~ ••• •;;;>• •••• ~ ; ;'t';-1: .. .... . . . ......... .. . ,, ••••• • ••••• • ••• •••• • , •• • ••••• • •••• • •••••
adan Perencanaan Daerah Kabup8ten Klaten bertindak etas nama Bupati Klaten, memberikan in untuk mengadakan penelitlan llmlah dl Oaerah Kabupaten Klaten Kepac:ta : 3!...::_"_:_
lama lomor lnduk
~.+·: -:.'4014
.
:las/Semester .
>lswa Sekolah okasl amanya
~\,;.S~::1 ~
•············•·•••• ·••· •••··•·•·· •· •· ·······•· ··•····• ·······•········••··••·• ·••••·•·•••••••·········· ·· · ··· · ······ · ·· ·· · · ···# · ···· · · · · ·· ········ ···· ················ ··· ··· ·· ········ · · · ·~ · ······· · · · ····· ··· \
·· · · ··· · ····· ·· · · ·· ~ · ·· ········ · ··········· ··· ·· · ·········· · ·· · ······ ···· ·· ·· ········ · - ·· ······ · · · ·· · ·
: ...;.; . 1[;~. ;~~~=~~- --· · · · ·· ·· · · · · · · · ·· ·· · · · ··· ····· · · · · ····· ········ ··· ·· ······· · · · · ····· ···· ·· · ··· · • •
Ke..b.!~
.·;;... ~1
: ~ ~- .. ~ :.. ... :. ·
•••• • • • •r•••••••• • ••••••••• ••••• •• •••• •••• • • •• • • ••••• • • • •• •• • • •••••••••• • •• • ••• •• • • ••••·~· · ••••• • •• •• •
.. :. . ; ....~~... ;-::~: ;-:. ::.:;~. ~:. ;~: .::~~:-:.:-:.~ .. -~~:....................................................... ;
lengan ketentuan sebagai berikut : . Mentaati ketentuan-ketentuan yang bertaku dafam daerah Kabupaten Klaten Sebelum melaksanakan Penelittan dimulai ·harus menghubungi pejabat setempat '· Seluruh biaya yang berhubungan dengan adanya penelitian ini ditanggung sendiri oleh pemohon
Demiklan untuk rnenjadikan maklum dan guna seperfu':'ya