KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN
Kajian
Penyusunan Protokol Bagi Dewan Kehutanan Nasional Penulis: R. Yando Zakaria Paramita Iswari
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN
PUSAT PENELITI AN DAN PENGE MBANG AN PE RUBA H A N I K LIM DA N K E B IJA KA N
Kajian
Penyusunan Protokol Bagi Dewan Kehutanan Nasional Penulis: R. Yando Zakaria Paramita Iswari
Dewan Kehutanan Nasional September 2014
Kajian Penyusunan Protokol Konsultasi Publik bagi Dewan Kehutanan Nasional Penulis: 1. R. Yando Zakaria 2. Paramita Iswari ISBN: 978-602-7672-56-7 © 2014 Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotocopy, cetak, mikrofilm, elektronik maupun bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau nonkomersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya sebagai berikut:
Zakaria, R.Y., dan Iswari, P. 2013. Kajian Penyusunan Protokol Konsultasi Publik bagi Dewan Kehutanan Nasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor, Indonesia. Diterbitkan oleh: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16118, Indonesia Telp/Fax: +62-251 8633944/+62-251 8634924 Email:
[email protected]; website: http://puspijak.litbang.dephut.go.id atau www.puspijak.org
Kata Pengantar Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya, sehingga Dewan Kehutanan Nasional (DKN) dapat menyelesaikan Kajian Penyusunan Protokol Konsultasi Publik bagi Dewan Kehutanan Nasional ini. Kajian Pedoman Konsultasi Publik ini merupakan kajian tentang pelaksanaan konsultasi publik yang menyesuaikan dengan kondisi DKN sebagai organisasi yang merepresentasikan berbagai pemangku kepentingan pada tingkat nasional, sebagaimana yang tercantum dalam misi, tujuan dan fungsinya. DKN secara eksplisit menyiratkan persyaratan perlunya partisipasi para pihak ataupun partisipasi masyarakat sipil pada umumnya dalam berbagai kegiatannya. Maka, untuk meningkatkan kualitas keputusan, masukan maupun evaluasi atas melaksanakan kebijakan pembangunan kehutanan yang dilakukan DKN itu, DKN dituntut untuk menggunakan serangkaian kegiatan yang disebut Konsultasi Publik (KP). KP merupakan suatu langkah penting bagi pelibatan masyarakat sipil secara efektif dalam berbagai persoalan-persoalan publik. Saat ini umumnya metodologi penyelenggaraan KP masih bersifat cair, sehingga tidak memiliki batasan yang tegas untuk membedakannya dengan proses diseminasi informasi yang bersifat searah, yang secara umum disebut sosialisasi. Demikian pula, KP perlu dibedakan secara tegas dengan Persetujuan (consent), sebagaimana yang dimaksudkan dalam proses free, prior, informed consent (FPIC). Dengan selesainya Kajian Penyusunan Protokol Konsultasi Publik ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak, untuk itu DKN mengucapakan banyak terimakasih kepada: 1. Tim Penulis, Yando Zakaria dan Paramita Iswari 2. Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) DKN berharap melalui buku protokol KP ini dapat disebarluaskan dan digunakan oleh konstituen DKN serta pihak-pihak lain yang ingin menggunakan protokol ini. DKN menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam kajian ini, baik dari materi maupun teknik penyajiannya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapakan. Jakarta, Desember 2014
Diah Raharjo Ketua Harian DKN
Kajian PENYUSUNAN PROTOKOL KONSULTASI PUBLIK Bagi Dewan Kehutanan Nasional
• iii
Daftar Isi Kata Pengantar............................................iii Daftar Isi.......................................................v BAB 1 Pendahuluan.....................................1 1.1 Latar Belakang............................................ 3 1.2 Partisipasi Masyarakat dan Pembangunan............................................. 4 1.3 Hak Atas Informasi, Partisipasi dalam Pengambilan Keputusan, dan Akses kepada Keadilan......................................... 7 1.4 Tujuan Kajian Penyelenggaraan Konsultasi Publik untuk DKN............. 12 1.5 Kandungan Isi Kajian ini....................... 13 BAB 2 Kerangka Kerja Konsultasi Publik..............................................15 2.1 Pengertian Konsultasi Publik................ 17 2.2 Mengapa Konsultasi Publik itu Penting?..................................................... 19 2.3 Prasyarat Penyelenggaraan Konsultasi Publik......................................................... 20 2.4 Prinsip Konsultasi Publik....................... 21 2.5 Metode dan Teknik Konsultasi Publik......................................................... 22 2.6 Waktu dan Tempat Penyelenggaraan Konsultasi Publik..................................... 25 2.7 Proses Umum Penyelenggaraan Konsultasi Publik..................................... 25 BAB 3 Konsultasi Publik untuk Mendukung Tugas dan Fungsi Dewan Kehutanan Nasional...........29 3.1 Ranah penggunaan.................................. 31 3.2 Keluaran..................................................... 32 3.3 Peserta ........................................................ 33 3.4 Proses Pengambilan Keputusan Perlu/Tidaknya KP dan Proses Penyelenggaraannya................................. 33
3.5 Panitia Penyelenggara KP dan Proses Penyelenggaraan KP................................ 34 3.6 Proses Penyusunan & Pengumuman Resolusi...................................................... 35 3.7 Mekanisme Keberatan............................ 35 3.8 Penyelenggaraan Konsultasi Publik oleh DKN.................................................. 36 BAB 4 Kerangka Kelembagaan dan Pengembangan Kapasitas..............37 4.1 Masalah Kelembagaan............................ 39 4.2 Program Penguatan Kelembagaan yang dibutuhkan...................................... 40 Lampiran.....................................................43 1. B eberapa Peraturan Perundangundangan yang berkaitan dengan Peran Serta Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan................... 45 2. B eberapa Isi Peraturan-perundangan yang berkaitan dengan Partisipasi Masyarakat (dalam arti yang luas)........ 46 3. C ara Mengidentifikasi Pemangku Kepentingan dalam Konsultasi Publik........................................................ 52 4. R ingkasan Masukan yang Diperoleh dari Kuesioner Dalam Rangka Penyusunan Mekanisme Konsultasi Publik Dewan Kehutanan Nasional.... 54 5. K omentar Akan Draft Panduan Konsultasi Publik Dewan Kehutanan Nasional.................................................... 58 6. K eputusan Dewan Kehutanan Nasional tentang Protokol Konsultasi Publik Nomor : SKN.02/DKNKP/2012................................................... 62
Kajian PENYUSUNAN PROTOKOL KONSULTASI PUBLIK Bagi Dewan Kehutanan Nasional
• v
BAB 1
Filosofi, Gagasan Konseptual dan Operasionalisasi REDD, REDD+, SIS-REDD+ dan Prisasi
1.1 Filosofi dan Operasionalisasi REDD dan REDD+ Secara filosofis, dari perspektif system dunia Immanuel Wallerstein (world-system theory/perspective) mekanisme REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and forest Degradation (plus)) merupakan pertukaran (trade-off) sumberdaya (resources) antara negara maju/negara dunia pertama (core countries) dengan negara berkembang 1/negara dunia ketiga (periphery countries). Secara operasional, negara maju yang telah mendominasi ekonomi dunia dengan kemajuan industri yang telah mereka capai hasil dari intensifikasi modal dan ketrampilan tinggi (high skill) dalam berproduksi, menyepakati perjanjian global bahwa negara-negara tersebut akan memberikan kompensasi atas emisi yang mereka hasilkan dari aktivitas industri mereka kepada negara berkembang yang secara kebetulan mempunyai mesin penyerap emisi berupa hutan. Konteks emisi yang dimaksud adalah hasil kesepakatan global yang membicarakan kewajiban negara pengemisi menurunkan tingkat emisinya sesuai Kerangka Kerja Konvensi PBB atas Perubahan Iklim (United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCC)) yang telah dimulai diisukan sejak tahun 1992. REDD sendiri sebenarnya menjadi isu utama sejak Protokol Kyoto tahun 1997 dimana ketika itu LULUCF (Land Use and Land Use Change and Forestry) yang menjadi titik masuk. Namun isu REDD pernah mengalami surut dimana pada COP (Conference of Parties) ke-7 tahun 2003 dilepaskan dari isu LULUCF. Pada tahun 2005 isu REDD dimunculkan kembali setelah sebelumnya terdapat pembicaraan di Komisi Eropa tentang penawaran skema insentif untuk negara berkembang untuk mengurangi deforestasi. Mekanisme REDD+ secara eksplisit tercetus pada COP 14 2008 di Poznan. Holloway
1
Negara yang fokus pada intensifikasi tenaga kerja dan ekstraksi bahan baku sebagai modus produksi. Negara yang secara ekonomi didominasi oleh negara maju, namun secara kebetulan mempunyai sumberdaya yang tidak negara maju punya yaitu hutan yang luas.
(2009) meringkas dialog tersebut berdasarkan tata waktu yaitu: 1. Januari 1997, The Noel Kempff Mercado Climate Action Project. Proyek sejenis REDD untuk pertama kali di inisiasi. 2. Desember 1997, The Kyoto Protocol. REDD dimunculkan dengan LULUCF sebagai titik masuk. 3. September 2003, COP 7, The Marrakesh Accords. REDD dilepaskan dari isu LULUCF. 4. Mei 2005, dibentuk The Coalition for Rainforest Nations. 5. November 2005 The European Commission menawarkan skema insentif untuk Negara berkembang dan mengatasi deforestasi. 6. Desember 2005, COP 11 (Montreal). REDD kembali di agendakan. 7. Mei 2006, Bonn - Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) mulai membahas REDD. 8. Desember 2007, COP 13. Rencana Aksi Bali (The Bali Action Plan). 9. Desember 2008, SBSTA 29 (Poznan) – Konsep REDD+ diperkenalkan. 10. Juni 2009, Pertemuan Bonn kedua, dipresentasikan naskah negosiasi. 11. September 2009, Pertemuan ketujuh Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action (AWG-LCA) (Bangkok). 12. Novemeber 2009, AWG -LCA Non Paper 39 (Barcelona). 13. Desember 2009 COP 15. (Copenhagen). 14. November 2010 COP 16 (Cancun, Mexico). 15. April 2011 AWG-KP 16 & AWG-LCA 14 dan workshops berdasarkan perjanjian Cancun (Bangkok, Thailand). Dialog dan kesepakatan diatas selain menguatkan konstruksi data ilmiah yang menunjukkan bahwa tingkat emisi dunia telah mengkhawatirkan yang berakibat pada perubahan iklim dunia, juga membahas solusi yang akan diambil untuk untuk mengurangi emisi tersebut. Pada prosesnya, kesepakatan dan dialog yang pada awalnya hanya melihat deforestasi sebagai sumber emisi dan usaha-usaha penganggulangannya, berkembang dengan menambahkan panorama degradasi hutan dan lahan, usaha-usaha konservasi sampai
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 3
pengayaan cadangan karbon melalui pengelolaan hutan lestari. Pada konteks dialog tersebut, dikenal komunikasi mitigasi dan adaptasi dimana mitigasi merupakan upaya mengatasi sebab dan adaptasi adalah usaha-usaha antisipasi sebab perubahan iklim. Sedangkan penyebab perubahan iklim karena konsentrasi gas rumah kaca (GRK), terutama gas CO2 yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil dan alih guna lahan khususnya deforestasi hutan tropis. Menurut data Intergovenrmental Panel on Climate Change ( IPCC) tahun 2007 (Stranas, 2010), antara tahun 2000-2005, penggunaan lahan dan alih guna lahan dan hutan (LULUCF) mengkontribusi sekitar 17% total emisi dunia sedang untuk konteks Indonesia, tahun 2005, LULUCF mempunyai porsi hingga 60% dari total emisi. Indonesia, yang memiliki hutan tropis yang luas, melalui pemerintah ikut dalam dalam komitmen global menurunkan emisi 26% hingga 41% dari tingkat emisi saat ini pada tahun 2020 yang dicetuskan oleh Presiden RI pada G20 di Pittsburg September 2009. Salah satu komponen yang dapat memungkinkan tercapainya komitmen tersebut adalah skema REDD+. Istilah REDD sebenarnya merujuk pada pengurangan emisi dari kegiatan deforestasi di negara berkembang yang merupakan bagian kecil dari dokumen REDD sedangkan REDD+ merujuk pada pengurangan emisi dari kegiatan deforestasi dan dari akibat degradasi hutan, peningkatan peran konservasi, pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan pengayaan stok karbon di negara berkembang. Lebih spesifik, REDD+ dinyatakan sebagai mekanisme dibawah perjanjian perubahan iklim yang multi lateral yang secara esensi merupakan kendaraan untuk memberikan penghargaan/kompensasi negara-negara berkembang untuk usahausahanya yang terverifikasi (verified efforts) untuk mengurangi emisi dan pengurangan gas rumah kaca melalui pilihan-pilihan pengelolaan hutan. Sebagaimana mekanisme lain di bawah UNFCCC, hanya ada sedikit preskripsi yang secara spesifik mengamanatkan bagaimana mengimplementasikan mekanisme ini pada tataran nasional; yaitu mencakup 4 •
prinsip-prinsip tentang kedaulatan nasional dan subsidaritas yang menyiratkan bahwa UNFCCC hanya menentukan hasil apa yang dapat diberi kompensasi dan pelaporan yang dibutuhkan dalam format yang telah ditentukan yang disampaikan dan ditinjau oleh konvensi. Ada aspek-aspek tertentu yang melampaui filosofi dasar ini, namun pada dasarnya REDD+ tidak lebih dari seperangkat pedoman tentang bagaimana untuk melaporkan sumber daya hutan dan strategi pengelolaan hutan dan hasil yang mereka telah capai dalam hal mengurangi emisi dan meningkatkan penyerapan gas rumah kaca. Namun, satu set persyaratan telah diuraikan untuk memastikan bahwa laporan dari anggota konsisten dan dapat dibandingkan serta terbuka untuk ditinjau oleh konvensi. Secara luas, REDD+ sebuah mekanisme yang mempunyai kesamaan dengan prosedur, peraturan dan perundang-undangan sektor kehutanan di sebagian besar negara, dimana REDD+ lebih fokus pada kebijakan dan tindakan, namun, negara-negara yang komit pada UNFCCC harus mengembangkan strategi nasional atau rencana aksi yang spesifik. Yang menarik, secara khusus untuk REDD + adalah deforestasi dan degradasi hutan. Keputusan UNFCCC meminta negara anggota untuk membuat penilaian terhadap factor yang mengendalikannya dan untuk menyusun kebijakan dan langkah-langkah penting dari hasil penilaian ini, sehingga dapat ditentukan kebijakan dan tindakan yang diarahkan kepada yang terkena dampak paling besar. Beberapa faktor pengendali tersebut secara umum akan banyak kesamaan di beberapa negara seperti meningkatnya tekanan penduduk terhadap hutan namun di lain sisi, banyak yang lebih spesifik lagi dan berbeda untuk negara atau wilayah dalam negara. Dengan demikian, negara-negara didorong untuk mengidentifikasi “keadaan nasional” yang memberi dampak pada factor pengendali tersebut, kondisi tertentu di dalam negeri yang berdampak pada sumber daya hutan. Petunjuk keadaan nasional yang khas dapat ditemukan di mukadimah berbagai keputusan COP, seperti “Menegaskan kembali bahwa pembangunan ekonomi dan sosial
Filosofi, Gagasan Konseptual dan Operasionalisasi REDD, REDD+, SIS-REDD+ dan Prisasi
dan pemberantasan kemiskinan merupakan prioritas global” dalam Rencana Aksi Bali, yang memungkinkan negara-negara berkembang untuk memprioritaskan kebijakan seperti pemberantasan kemiskinan melalui ekspansi pertanian atau pengembangan pembangkit listrik tenaga air atas perlindungan hutan.
1.2 Safeguard REDD+ COP 16 dan SISREDD+ Dalam rangka menanggapi kekhawatiran atas potensi penyalahg unaan REDD+, UNFCCC menetapkan daftar “safeguard” (perlindungan) yang negara perlukan untuk mempromosikan dan memberi dukungan dalam rangka penjaminan hasil benar dan berkesinambungan dari mekanisme REDD+. Menurut dalam kerangka UNFCCC negaranegara anggota konvensi tidak harus melaporkan safeguard seperti misalnya berapa banyak masyarakat lokal secara efektif berpartisipasi, tetapi cukup menunjukkan bagaimana safeguard itu dihormati. Hal tersebut dapat dimanifestasikan dalam berbagai bentuk seperti misalnya, menjelaskan hukum dan peraturan yang berkaitan dengan pengakuan, inklusi dan keterlibatan masyarakat lokal. Safeguard yang dihasilkan dari keputusan COP ke-16 UNFCCC di Cancun 2010 berisi kriteria implementasi REDD+ sehingga dapat menghindari atau meminimasi pengaruh negatif terhadap aspek sosial dan lingkungan. Kriteria dalam safeguard itu mencakup isu-isu transparansi pada struktur tata kelola hutan nasional, pemastian partisipasi stakeholder secara efektif, penghormatan terhadap pengetahuan dan hak dari masyarakat asli dan komunitas local, konservasi pada biodiversitas dan hutan alam dan penghindaran terhadap pengalihan emisi dan pembalikan dari pengurangan emisi. Sehingga pada implementasi REDD+, safeguard harus mendukung: 1. Kegiatan-kegiatan yang konsisten dengan tujuan program kehutanan dan konvensi internasional yang relevan; 2. Struktur tata kelola hutan nasional yang transparan dan efektif, dengan mempertimbangkan legislasi dan kedaulatan nasional;
3. Penghormatan terhadap pengetahuan dan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal, dengan mempertimbangkan kewajiban internasional yang relevan, keadaan nasional dan hukum, dan mencatat bahwa Majelis Umum PBB telah mengadopsi Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat; 4. Partisipasi penuh dan efektif dari stakeholder yang relevan, khususnya masyarakat adat dan masyarakat lokal, dalam tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat 70 dan 72 dari keputusan ini; 5. Kegiatan yang konsisten dengan konservasi hutan alam dan keanekaragaman hayati, memastikan bahwa tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat 70 keputusan tidak digunakan untuk konversi alam hutan, tapi digunakan untuk insentif bagi perlindungan dan konservasi hutan alam dan jasa ekosistem mereka, dan untuk meningkatkan manfaat sosial dan lingkungan lainnya; 6. Tindakan untuk meng atasi risiko pembalikan; 7. Tindakan untuk mengurangi perpindahan emisi. Keputusan pada COP ke-16 itu juga menekankan elemen REDD+ yang penting yaitu sebuah sistem untuk menyediakan informasi tentang bagaimana safeguard tersebut telah dilaksanakan dan dihormati oleh suatu negara. Sistem yang diharapkan efektif dalam menyebarkan informasi tentang REDD+ safeguard tersebut dimaksudkan untuk mendorong transparansi, mewaspadai terhadap konsekuensi sosial dan lingkungan yang tidak diinginkan dan memberikan informasi yang mungkin digunakan untuk menilai dampak dari tindakan REDD+ itu sendiri. Pada UNFCCC ke-17 di Durban 2011 diputuskan bahwa sistem informasi safeguard itu harus dibangun oleh sistem yang sudah ada di suatu Negara. Sehingga melalui keputusan UNFCCC COP 16 dan 17 telah ditetapkan dua hal penting yaitu implementasi safeguard REDD+ dan pembangunan sistem informasi yang dapat menginformasikan bagaimana safeguard dijadikan perhatian dan dihormati. Melalui protokol tersebut, Pemerintah Indonesia melalui Pusat Standarisasi dan Lingkungan
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 5
(Pustanling pada tahun 2011 dan 2012 menyusun Sistem Informasi Safeguard REDD+ (SIS REDD+) melalui proses multi-stakeholder. Hal penting yang dilakukan Pustanling dari proses tersebut adalah membangun sistem informasi yang merupakan kelengkapan implementasi safeguard yang mengandung Prinsip, Kriteria dan Indikator yang sesuai untuk menilai/mengasses implementasi safeguard dan element lain yang dibutuhkan.
1.3 Prinsip, Kriteria dan Indikator untuk Safeguard REDD+ (PRISAI) yang disusun Satgas REDD+ Prisai dikembangkan sejak akhir 2010 oleh Satuan Tugas Kepresidenan untuk Pengembangan Kelembagaan REDD+ (Satgas REDD+), dan mulai dimasukkan sebagai bagian dari instrumen pendanaan sejak awal 2011. Sejak 2011, konsultasi dilakukan di tingkat nasional dan daerah untuk menyempurnakannya, dan menjamin bahwa semua perhatian dari pemangku kepentingan, termasuk dari masyarakat adat. Hasilnya, Prisai mendapat dukungan cukup kuat, misalnya, Prisai telah diadopsi oleh Dewan Kehutanan Nasional sebagai protokol safeguards utama untuk semua kegiatan kehutanan yang membutuhkannya. Selain itu, sebagai salah satu catatan yang diberikan oleh organisasi madani dalam konsultasi persetujuannya di Istanbul, Turki, Forest Investment Program (FIP) diminta untuk mengharmonisasikan sistem safeguardsnya dengan Prisai. Prisai mempunyai 10 prinsip yang dianggap konsisten dengan tujuh prinsip yang menjadi keputusan UNFCCC COP 16 yaitu: 1. Kejelasan status tenurial dan hak atas lahan; 2. Jaminan bahwa tindakan-tindakan yang ada melengkapi, atau paling tidak konsisten dengan, tujuan-tujuan penurunan emisi dan perjanjian serta konvensi internasional yang relevant; 3. Penyempurnaan tatakelola kehutanan; 4. Respek pada pengetahuan dan hak masyarakat adat dan lokal; 5. Partisipasi penuh dan efektif dari pemangkun kepentingan yang relevan, dengan perhatian khusus pada kesetaraan gender; 6 •
6. Penyempurnaan da lam konser va si keanekaragaman hayati serta layanan ekosistem lainnya di hutan alam; 7. Tindakan untuk mengaddress resiko balik; 8. Tindakan untuk mengurangi perpindahan emisi; 9. Sebaran manfaat yang adil kepada semua pemangku kepentingan dan pemangku hak yang relevan; dan 10. Jaminan untuk sebuah sistem informasi yang transparan, akuntabel, dan terlembagakan. Seperti halnya SIS-REDD+, Prisai dibangun dan dikembangkan melalui proses yang inklusif yang melibatkan multi-stakeholders. Dukungan terhadap Prisai juga terlihat pada UNFCCC COP 18 di Doha dimana Prisai dianggap sebagai praktik pengembangan safeguard terbaik di dunia dengan melihat bagaimana Prisai melindungi keanekaragaman hayati dan layanan ekosistem lainnya. Safeguard yang baik bukan hanya melindungi tanpa syarat, tetapi juga yang bias dilaksanakan tanpa menambah beban yang tidak perlu sehingga Prisai terus diuji coba di lapangan sebagai upaya mendapatkan pengakuan timbal balik (mutual recognition) antara Prisai dan sistem safeguards lainnya. PRISAI telah disusun dengan mengacu pada STRANAS, pengalaman berbagai safeguards yang telah ada, kerangka hukum nasional dan internasional serta melalui proses partisipatif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan (Pemerintah, Bisnis, LSM, Masyarakat, Lembaga Pendanaan, Pengembang).
1.4 Panduan Pelibatan Masyarakat ke Dalam Implentasi REDD+ Walaupun di Indonesia telah terbangun setidaknya 2 basis prinsip implementasi safeguard REDD+ yang mengacu pada safeguard hasil COP ke-16, dan kedua entitas itu mengandung prinsip-prinsip yang menekankan penghormatan terhadap pengetahuan dan hak masyarakat lokal serta pemastian keterlibatan penuh para pemangku kepentingan yang relevan, namun panduan yang dapat memberi tuntunan terhadap proses pelibatan masyarakat terhadap kegiatan REDD+ di tataran praksis di Indonesia
Filosofi, Gagasan Konseptual dan Operasionalisasi REDD, REDD+, SIS-REDD+ dan Prisasi
belum dibangun. Pada hakikatnya, integrasi masyarakat dengan pengelolaan sumberdaya hutan sebagai sumber penghidupannya telah terjadi sejak manusia ada, namun dalam konteks REDD+ perlu dibangun panduan khusus yang dapat memberikan tuntunan tentang proses apa saja yang harus dilalui sehingga masyarakat sebagai bagian dari sub struktur negara dapat dengan efektif terlibat dalam kegiatan implementasi REDD+ yang khas. Perlu ada panduan sebagai sarana formalisasi dan institusionalisasi keterlibatan masyarakat secara efektif ke dalam implementasi REDD+ sesuai dengan amanat prinsip Safeguard COP ke16 yaitu penghormatan terhadap pengetahuan dan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal, dengan mempertimbangkan kewajiban internasional yang relevan, keadaan nasional dan hukum, dan mencatat bahwa Majelis Umum PBB telah mengadopsi Deklarasi PBB tentang Hakhak Masyarakat Adat dan partisipasi penuh dan efektif dari stakeholder yang relevan, khususnya masyarakat adat dan masyarakat lokal, dalam tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat 70 dan 72 dari keputusan tersebut. Sesuai semangat safeguard itu sendiri, proses penyusunan Panduan Pelibatan Masyarakat ke dalam Implementasi REDD+ ini dilaksanakan melalui proses yang inklusif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
1.5 Tujuan Penyusunan Panduan Maksud dari penyusunan panduan ini adalah memberikan acuan untuk mengintegrasikan mekanisme REDD+ secara luas ke dalam entitas kehidupan masyarakat yang hidup di wilayah Indonesia Timur dengan kekhasannya.
1.5.1 Metode Penyusunan 1.5.1.1 Wilayah Kajian
Wilayah Indonesia timur dalam buku ini adalah wilayah yang masuk di dalam provinsiporvinsi yang ada di Indonesia wilayah timur yaitu Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat serta Nusa Tenggara Timur. Dasar logis
dari penentuan ruang lingkup ini adalah asumsi bahwa masyarakat di ketiga region ini memiliki kekhasan dari aspek budaya lokal/adat isitiadat, geografis (tinggal terpencar di kepulauan) dan pola hubungan manusia dengan hutan yang berbeda secara relatif dengan masyarakat yang tinggal di Indonesia wilayah barat. 1.5.1.2 Rationale
Hasil yang diharapkan dari penyusunan buku ini adalah adanya suatu panduan yang memiliki basis ilmiah (dihasilkan dari suatu proses kajian) dan diterima secara luas (melalui proses sharing dengan stakeholders yang relevan) terkait pelibatan masyarakat lokal dalam kegiatan REDD+ di Indonesia wilayah timur. 1.5.1.3 Tahapan dan Strategi Kegiatan
Penyusunan “Panduan Penyusunan Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal Secara Efektif Dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Timur”, dilakukan dalam dua tahap, yaitu melalui 1) Kajian Lapang dan 2) Konsultasi Publik. Kajian lapang melibatkan focused group discussion (FGD) sebagai sala satu strategi koleksi data. 1. Kajian Penyusunan panduan pelibatan ini didukung kajian lapang untuk mengkonstruksi basis ilmiah panduan ini. Kajian di lakukan di tiga provinsi yaitu Maluku, Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur. a. Rationale Kajian Kepulauan Indonesia merupakan suatu guguasan yang terpanjang dan terbesar di dunia sehingga kebudayaan di Indonesia pada zaman histori (sejarah) ditentukan oleh kondisi geografis, penyebaran suku bangsa, pengaruh agama dan pengaruh negara serta pengaruh dari negara lainnya (asing) (Koentjaraningrat, 1999). Sehingga walaupun negara mempunyai legitimasi yang kuat atas intervensi kebudayaan, misalnya budaya pengelolaan sumber daya alam “modern”, namun pada tataran praksis, masyarakat mempunyai legitimasinya sendiri. Legitimasi mereka tentunya didasarkan pada referensi cara bertahan hidup yang
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 7
telah tersusun secara turun temurun. Konflik kadang terjadi ketika referensi yang dimiliki masyarakat diintersep oleh introduksi budaya yang dilakukan negara yang kerap tidak sesuai dengan referensi mereka. Implementasi REDD+ melalui sefaguard ingin memastikan bahwa pelaksanaan REDD+ dimaksudkan mencapai tujuan REDD+ itu sendiri dengan menghormati pengetahuan masyrakat lokal yang akan menjadi pelaku utama. Juga dengan tidak menambah beban bagi masyarakat lokal, misalnya beban kegagalan program dan kerugian atas waktu karena ketidaksesuaian budaya. Sehingga dibutuhkan panduan cara melibatkan masyarakat lokal sebagai pelaku utama yang dibangun atas basis atribut social budaya dan pengetahuan mereka. Tujuan kajian ini adalah: 1. Menemukan karakteristik/atribut dalam dimensi sosial, budaya dan politik masyarakat di daerah sasaran dalam konteks kegiatankegiatan integrasi masyarakat dengan hutan.
2. Menganalisis secara tematik temuan lapangan pada dimensi tersebut pada point satu sebagai dasar penyusunan panduan (grounded process). b. Metodologi Kajian Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif sesuai dengan data dan logika yang diperlukan. Peneliti membangun realitas secara partisipatif dengan para informan. Data yang diperlukan, alat analisis, strategi koleksi data dan responden/informan dapat dilihat pada table 1.
Tabel 1. Data yang diperlukan, sumberdata, strategi koleksi data dan alat analisis yang digunakan pada kajian
Data yang diperlukan
Sumber data/ Informan
1.
Gap proses pelibatan yang selama ini ada dengan proses pelibatan yang ideal
Pemerintah dan Civil Society (masyarakat lokal, LSM dan akademisi)
In-depth interview
Gap analysis
2.
Atribut sosial budaya kemasyarakatan
Pemerintah dan Civil Society (masyarakat lokal, LSM dan akademisi)
In-depth interview, direct observation dan FGD
Etnografi
3.
Konsep-konsep kemasyarakatan Indonesia wilayah timur
Literatur
Pencarian literature terkait
Discourse dalam tradisi linguistik.
4.
Psikologi sosial kemasyarakatan dan perubahan sosial di dalam konteks pembangunan
Pemerintah dan Civic Society (masyarakat lokal, LSM dan akademisi)
In-depth interview, direct observation dan FGD
Framing analysis
No.
8 •
Filosofi, Gagasan Konseptual dan Operasionalisasi REDD, REDD+, SIS-REDD+ dan Prisasi
Strategi koleksi data
Alat analisis
c. Ruang Lingkup Panduan
Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur, namun demikian fokus penyusunan terbagi habis ke dalam lokus indonesia wilayah timur secara keseluruhan. Namun demikian, menjadi keterbatasan panduan ini ketika interpretasi atas entitas masyarakat di luar provinsi yang dikunjungi, terlewatkan.
Panduan pelibatan masyarakat berisi proses integrasi skema REDD+ ke dalam entitas masyarakat pada level praksis. Panduan dibangunan atas dasar intepretasi budaya, relasi dan perubahan sosial serta sikap mental (mindset) masyarakat di dalam ruang pembangunan dan modernitas sebagai konteks. d. Keterbatasan Panduan Sebagai salah satu ciri khas manusia sebagai makhluk kreatif yang hidup di dalam ruang sosial budaya yang terus berubah, panduan ini akan dituntut kedinamisannya. Panduan ini dibangun berdasarkan intepretasi historis dan kekinian dan tidak memasukkan intepretasi atas ruang sosial budaya di masa depan sehingga panduan ini seharusnya menjadi panduan yang selalu terbuka kepada perubahan. Kajian yang dilakukan dalam proses penyusunan panduan ini dilakukan di tiga provinsi yaitu Maluku,
Panduan
R
I
A
N
G
Tipe Masyarakat A
I
N
T
L
A
S
Tipe Masyarakat B
Framing 2
Framing 1
U
R
P
Tipe Masyarakat n
Framing 4
Framing 3
E
I
R
E
T
Framing n
A
S
GROUNDED PROCESS
T
I
Logika Implementasi Prinsip Safeguard COP 16 No. 3 & 4 Pada Penyusunan Panduan: 3. Penghormatan terhadap pengetahuan dan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal 4. Partisipasi penuh dan efektif dari stakeholder yang relevan
Gambar 1. Alur Pikir Kajian Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 9
e. Konsultasi Publik Konsultasi publik dilaksanakan di akhir proses penyusunan sebagai upaya untuk mendiseminasikan hasil kajian sekaligus sebagai upaya untuk mendapatkan masukan (input) dari berbagai pihak terkait untuk revisi akhir (final) panduan.
1.5.2 Isi Panduan Panduan ini terbagi dalam tiga bagian besar. Bagian pertama berisi penjelasan historis dan filosofis serta operasionalisasi REDD dan REDD+ serta kelembagaan safeguard terutamanya di Indonesia, bagian kedua memuat bagian penting dari buku ini yaitu panduan proses konsultasi dan komunikasi partisipatif dalam rangka mengintegrasikan mekanisme REDD+ ke dalam entitas masyarakat di tataran praksis. Bagian ketiga buku ini adalah kompilasi etnografi yang memuat etnografi masyarakat
10 •
di tiga kepulauan besar tersebut. Etnografi yang ditampilkan lebih banyak membahas tentang hubungan masyarakat dengan hutan dan lingkungan mereka selain hal-hal yang juga penting sebagai referensi dalam usaha pengintegrasian kegiatan REDD+ ke dalam entitas masyarakat seperti sejarah dan penyebaran masyarakat pada awal pembentukan ruang kultur masyarakat yang sangat menentukan keragaman manusia. Keragaman masyarakat ini mencakup pandangan hidup, sistem sosial kemasyarakatan, mata pencaharian hingga dimensi politik yang terkait pusat kekuasaan dan massa di tataran masyarakat. Dalam etnografi juga di tampilkan dinamika perubahan sosial sebagai refleksi entitas masyarakat dalam kekinian. Dalam bagian akhir etnografi di berikan beberapa rekomendasi bagaimana introduksi pembangunan dapat menemui pintu yang tepat untuk bisa masuk ke dalam sebuah entitas masyrakat.
Filosofi, Gagasan Konseptual dan Operasionalisasi REDD, REDD+, SIS-REDD+ dan Prisasi
BAB 2
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
2.1 Latar Belakang Panduan ini dibangun dari perspektif penulis dalam melihat skema-skema partisipatif dan hubungannya dengan siakp mental masyarakat di tiga kepulauan besar di Indonesia wilayah timur yaitu Papua, Maluku dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Di berbagai negara, permasalahan pelibatan masyarakat di dalam perencanaan dan implementasi REDD+ di semua level baik nasional dan sub nasional merupakan masalah hak manusia dan keberlanjutan (FCMC, 2013) dan hal ini merupakan bahan debat yang masih relevan pada kegiatan-kegiatan pembangunan partisipatif di Indonesia. Semenjak safeguard REDD+ Cancun yang secara eksplisit membawa pelibatan masyarakat ketengah-tengah perdebatan menuju pendekatan implementasi REDD+ yang eksklusif, makin menguatkan bahwa perjalanan skema partisipasi dalam pembangunan di Indonesia (terutamanya pembangunan di bidang kehutanan dan lingkungan) banyak menemui kendala struktural dan kultural. Logika secara luas, partisipasi harus merupakan hilir dari sebuah pengakuan. Pengakuan terhadap masyarakat setempat di Indonesia merupakan isu yang sudah hampir karam, namun akhir-akhir ini sudah mulai banyak pihak yang mengangkatnya kembali kepermukaan menjadi isu yang kembali hangat sehingga pendekatan terintegrasinya pembangunan ke dalam entitas masyarakat di level praksis semakin menguat. Secara struktural, sejarah pemberlakuan regulasi di Indonesia dengan baik merekam bagaimana masyarakat setempat (lokal) baik secara budaya dan sosial bukan saja tidak diakui, namun dinegasikan. Masyarakat tercerabut dari realitas budaya dan sosial sebenarnya, melahirkan masyarakat yang anonim dimana identitas dan asetnya tidak dikenali negara. Tabel 2 memperlihatkan secara historis regulasi yang dikeluarkan ditiap rezim kekuasaan dan keberpihakannya kepada sistem adat di tataran satuan masyarakat yang paling kecil. Pada masa orde baru berbagai perundangan hanya mengakui sistem “desa” sebagai sistem kemasyarakatan artifisial yang dianggap representatif sebagai jalur distribusi
pembang unan. Pembang unan menjadi generalis, perbedaan perspektif (memandang dan dipandang) antara negara dan masyarakat kerap terjadi antara pemerintah dan warganya menjadi sebab kemanfaatan pembangunan tidak efektif dirasakan dan termanfaatkan oleh masyarakat. Seiring dengan waktu dan meluruhnya tirani negara terhadap advokasi pengakuan sistem-sistem kemasyarakatan yang asli, terbit perundangan yang berbasis semangat pengakuan kembali sistem kemasyarakatan yang semenjak dulu dipercaya oleh masyarakat sebagai sistem kemasyarakatan yang sesuai untuk mereka.
2.2 Perspektif Masyarakat Sebagai Referensi Pembangunan Terkuburnya sistem kemasyarkatan asli di dalam kehidupan bernegara menumbuhkan masyarakat yang secara psikologis teralineasi dan terintimidasi. Sebenarnya, dari klaim pengakuan sistem kemasyarakat asli tersebut yang paling penting adalah dipandangnya suatu entitas masyarakat secara utuh sehingga perspektif mereka digunakan sebagai referensi pembangunan.
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 13
Tabel 2. Regulasi negara dalam ranah pengakuan masyarakat sebagai sebuah entitas sosial budaya Regulasi
Legal spirit
Kepentingan
Inlandsche Gemeenten Ordonantie Buitengewesten (IGOB), Staadblad Tahun 1938 No.681.
memperkuat sistem pemerintahan adat
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 Tentang Desa Praja
“desa” sebagai suatu wilayah setempat yang merupakan satu kesatuan masyarakat hukum dengan kesatuan penguasa, yang berhak mengatur dan mengurusi rumah tangga sendiri.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979.
“desa” diartikan sebagai kesatuan masyarakat, termasuk di dalamnya organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Pengamanan regionalistik Mempermudah mobilisasi masyarakat
UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
“desa” diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di Daerah Kabupaten
Usaha untuk akomodasi nilai adat sebagai realitas sosial yang sebenarnya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
menjadikan eksistensi masyarakat hukum adat mendapat legitimasi secara yuridis
Akomodasi aspirasi ke khasan daerah sebagai referensi pembangunan
MALUKU Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 14 Tahun 2005 tentang Penetapan Kembali Negeri Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Wilayah Provinsi Maluku
Identifikasi dan rekognisi nilai-nilai adat residual kedalam hukum positif
Akomodasi aspirasi ke khasan daerah sebagai referensi pembangunan
PAPUA Undang-Undang 21 Tahun 2001 tentang otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
Identifikasi dan rekognisi nilai-nilai adat residual kedalam hukum positif Kecamatan diubah menjadi Distrk dan desa menjadi kampung, atau dengan nama lain
Akomodasi aspirasi ke khasan daerah sebagai referensi pembangunan
UU 6 2014 tentang pemerintah desa
Pemberdayaan, rokognisi dan pemberdayaan desa/ atau nama lain adat
Memberi keleluasaan desa/nama lain untuk mengelola desa
14 •
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
masyarakat adat di berbagai wilayah Hindia Belanda dapat mewakili kepentingan kaum kolonial.
Di lain sisi, tidak dapat disangkal bahwa pembangunan merupakan ruang kontestasi dan konsolidasi kepentingan. Tidak diakuinya sistem kemasyarakatan yang “asli” pada masa orde baru membawa dampak yang saat ini masih dapat dirasakan. Bukan saja perbedaan persepektif (memandang dan dipandang ) antara negara dan warganya, namun berakibat juga pada lumpuhnya lembagalembaga sosial budaya masyarakat yang berujung rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan karena masyarakat berpindah peduli terhadap hal-hal yang pragmatik. Menyambut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, tahun 2005 Pemda Maluku mengeluarkan Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 14 Tahun 2005 tentang Penetapan Kembali Negeri Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Wilayah Provinsi Maluku. Sebelum itu, tahun 2001, masyarakat Papua telah mendapatkan pengakuan sebagai daerah otonomi khusus yang mengakomodir kerinduan masyarakat atas jatidiri mereka sebenarnya. Pertanyaan krusial selanjutnya adalah implikasi yuridis maupun sosiologis terhadap identifikasi hukum adat oleh aturan formal paska orde baru yang demikian apakah memang pengakuan hukum adat ke dalam ranah yuridis dan mendapat legitimasi yang tinggi atau hanya untuk memenuhi legal spirit Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahaan Daerah?
2.3 Partisipasi Sebagai Keniscayaan Ba g a imana p ersp ektif ma s yara kat digunakan sebagai referensi pembangunan? Skema partisipatif dapat menjadi salah satu jawaban. Esensi partisipasi sebenarnya adalah terinstitusionalisasinya perspektif pihak-pihak yang masuk kedalam sebuah skema partispasi. Di alam demokrasi, sedianya, partisipasi merupakan sebuah keharusan, karena disana berbagai perspektif akan terstruktur memenuhi ruang kontestasi kepentingan. Di Indonesia, membangun skema partisipasi warga negara dalam pembangunan merupakan hal yang sangat mahal karena dapat dianalogikan, adopsi sistem partisipatif menemui jalan berliku seperti hambatan kultural pemerintahan yang partikular (partisipasi semu) hingga koptasi kepentingan masyarakat oleh para elit lokal masyarakat itu sendiri. Partisipasi dipercaya harus ada di setiap proses pembangunan demi terjaganya konsistensi dominansi perspektif yang berimbang yang menentukan arah pembangunan itu sendiri. Beberapa skema partisipasi mulai perencanaan hingga penilaian hasil pembangunan dipercaya oleh beberapa informan dalam kajian ini masih berkutat di ruang retoris. Sebagai contoh proyek Pembangunan Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan dan pendanaan stimulan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat
Tabel 3. Skema pembanguan partisipatif yang ada di level desa Determinan
PNPM
Musrenbang
Hirarki proses
Dusun hingga ke Kabupaten
Dusun hingga ke Kabupaten
Kerentanan proyek terhadap manuver politik
Rendah
Tinggi
Dukungan pembiayaan
Terbatas
Sangat Terbatas
Lokus
Pembangunan fisik (infrasutruktur)
Pembangunan fisik (infrasutruktur)
Fasilitasi
Relatif terbatas (SDM)
Sangat terbatas (SDM)
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 15
dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan. Harmonisasi dan pengembangan sistem yang dibangun menjadikan kecamatan sebagai lokus utama dengan penyerapan aspirasi masyarkat yang ada hingga ke dusun. Namun menurut sebagian besar informan dalam kajian mengindikasikan bahwa pemberdayaan melalui PNPM masih bersifat mobilisasi belum pada tahap memberdayakan. Hal ini terjadi karena dinilai masih ada celah dan rantai yang terputus yang menjadi penghubung aspirasi di dusun hingga ke kecamatan. Skema partisipatif dalam penangkapan aspirasi masyarakat masih dianggap belum optimal karena dua hal yaitu 1) stereotip sikap masyarakat terhadap pembangunan dan 2) agen pembangunan di tataran masyarakat terkadang beralih kedalam hal-hal yang pragmatis dalam menjalankan misinya di lapangan. Yang tidak kalah pentingnya adalah program Musrenbang yang merupakan forum perencanaan (program) yang dilaksanakan oleh lembaga publik yaitu pemerintah desa, bekerja sama dengan warga dan para pemangku kepentingan lainnya. Musrenbang yang bermakna akan mampu membangun kesepahaman tentang kepentingan dan kemajuan desa, dengan cara memotret potensi dan sumbersumber pembangunan yang tidak tersedia baik dari dalam maupun luar desa. Musrenbang Desa merupakan forum musyawarah tahunan para pemangku kepentingan (stakeholder) desa untuk menyepakati Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP) tahun anggaran yang direncanakan. Musrenbang Desa dilaksanakan setiap bulan Januari dengan mengacu pada RPJM desa. Setiap desa diamanatkan untuk menyusun dokumen rencana 5 tahunan yaitu RPJM Desa dan dokumen rencana tahunan yaitu RKP Desa. Sebagian besar informan dalam kajian merasakan bahwa musrenbang yang dibangun justru makin menguatkan kemunculan stereotipe dan sikap prejudice (prasangka) dalam masyarakat karena musrenbang sangat rentan terhadap manuvermanuver politik elit. 16 •
2.4 Sikap Mental, Gejala Perubahan Sosial dan Perspektif Masyarakat Terhadap Pembangunan: Jati Diri, Realitas Sosial dan Konstruksi Areal Kultur Masyarakat Baru Pendekatan pembangunan yang khas selama ini menyisakan sikap mental tertentu di masyarakat dalam memandang pembangunan. Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat pun tidak terlepas dari konteks pendekatan pembangunan yang terjadi. Panduan ini disusun juga melalui pendekatan dengan melihat bagaimana cara pandang atas sikap mental masyarakat atas pembangunan yang dilaksanakan selama ini. Begitu juga referensi utama penyusunan panduan banyak didasarkan atas perubahan sosial yang terjadi di masyarakat sebagai refleksi pembangunan selama ini. Dari kajian, realitas sosial budaya, sikap mental, gejala perubahan sosial dan perspektif masyarakat NTT terhadap pembangunan dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Masyarakat yang plural dan kosmopolit sehingga perubahan sosial sangat bervariasi dan sering sulit dipahami. 2. Efektifnya perangkap modernisme dalam menjerat masyarakat sehingga gejala pemujaan produk-produk modernitas dan memandang rendah serta penilaian butir budaya, warisan kultur sebagai sesuatu yang “out of date” (ketinggalan jaman) terjadi di sebagian besar masyarakt NTT. Namun paradigma dan perwajahan modernismus masih dicampuri pelbagai unsur tradisi leluhur yang tidak mudah dilepaskan oleh masyarakat NTT. 3. Perhatian masyarakat berpindah peduli dengan hal-hal yang pragmatik. 4. Pada kenyataannya, ada gejala sosial yang bergerak diatas dasar pandangan hidup bahwa kekuatan modernitas tidak mampu membantu manusia untuk menghadapi persoalan-persoalan hidup. Hal ini merupakan kompensasi yang bisa dipandang positif karena pada hakikatnya masyarakat modern akhirnya akan berlari menuju pemujaan terhadap warisan leluhur untuk
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
mencari ketenangan hidup, dan menemukan pihak luar karena konsep pengetahuan yang jalan keluar dari kesulitan dan persoalan. “borderless” (tanpa batas) dan diskursus 5. Intervensi pembangunan yang ekonomi “manfaat alam” merupakan “milik bersama”. deterministik mentransformasi masyarakat Bagi manusia Maluku, adat dipercayai sebagai sedang berkembang dari kondisi “apa adanya” warisan leluhur yang telah ditetapkan sejak menjadi lebih khususnya bagi masyarakat dahulu dan mesti dialihkan melalui proses perkotaan. regenerasi. Ini dimaksudkan agar adat yang 6. Dalam aspek politik, terjadi polarisasi diterima dan diakui oleh generasi berikutnya dan koptasi kepentingan masyarakat oleh senantiasa dapat dijalankan sebagai satu-satunya elit mereka sendiri, yang menjadi sebab pegangan hidup. Perubahan sistem hukum adat strategi berbudaya selalu berkembang bagi di Maluku telah berlangsung sejak lama, dimana penyelesaian masalah melalui negosiasi – dengan masuknya kebudayaan Melayu, seperti baik politis, sosiologis dan asepk lainnyaArab, Malayu dan Tiangkok, demikian juga yang melibatkan banyak pihak, tergantikan kebudayaan Eropa, seperti Portugis dan Belanda, dengan penyelesasian pragmatik dan hukum adat di Maluku telah banyak mengalami transaksional. perubahan, dalam arti disesuaikan dengan 7. Pengurangan otoritas atau kekuatan raja sistem sosial masyarakat pendatang, termasuk yang terjadi dari jaman Belanda hingga kini, kepentingan hukum dan bisnis kaum kolonial mencabut masyarakat dari entitas budaya saat itu. Realitas ini membuat masyarakat yang utuh. Maluku hidup dalam realitas budaya yang khas Masyarakat Papua dalam kekinian secara umum yang masih dipegang kuat. dapat digambarkan: 1. Mempunyai keragaman etnik yang tinggi 2.5 REDD+ Sebagai Sebuah Kesempatan 2. Keunikan transformasi masyarakat postMemandang permasalahan pembangunan tradisional (keniscayaan atas simbol-simbol lingkungan dan hutan di Indonesia melalui modernitas, hidup berdampingan dengan perspektif REDD+ menggiring pemikiran untuk residu nilai-nilai tradisional yang masih kuat sampai dalam kesimpulan bahwa akuntabilitas dalam masyarakat). menjadi sesuatu yang sangat penting. Pencarian 3. Pendekatan pembangunan rezim orde baru bentuk REDD+ yang sesuai dengan kekhasan yang intimidatif menyisakan “transformasi” di suatu negara sebenarnya pencarian atas cara pandang masyarakat Papua terhadap bagaimana akuntabilitas sebuah kegiatan pemerintah dan pembangunan. dalam rangkaian REDD+ dapat dirancang dan 4. Perb e daan p ersp ektif ( p erb e daan dicapai. Penyusunan komponen-komponen memandang dan dipandang ) antara dalam arsitektur REDD+ yang dianggap pemerintah dan masyarakat Pa p u a m e ny e b a b k a n Additional tools stimu“pembangunan” tidak bisa lan dan katalisator efektif termanfaatkan oleh rekognisi nilai adat masyarakat 5. Diskursus pemekaran Instrumen Alat tercapainya wilayah papua yang makin penguatan hak Program REDD+ m eng uat m emp unya i adat di level Tapak kecenderungan masyarakat Panduan untuk menjadi eksklusif. yang 6. A d a ny a ke p e r c a y a a n “Transformasyarakat akan matif” interkoneksi lokalitas papua yang makin luas terhadap Gambar 2. REDD+ Sebagai Sebuah Kesempatan Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 17
sebagian besar orang rumit dan memakan waktu lama sebenarnya mencermikan pentingnya pembangunan terintegrasi ke dalam sistem akuntabiltias yang tinggi. Sehingga REDD+ saat ini berdiri sebagai cermin negara dalam mengkoreksi sistem pembangunan lingkungan dan hutan yang selama ini dilaksanakan. Demikian panduan ini dibuat dalam rangka memberikan acuan bagi proses pelibatan masyarakat sehingga proses pelibatan dapat mencapai akuntabilitas tertentu. Bagaimana REDD+ dapat digunakan sebagai kesempatan? REDD+ mengandung nilai-nilai yang mutakhir dalam hal partisipasi masyarakat karena adanya advokasi global tentang hal tersebut dalam perjalanan pembentukan konsep REDD+ itu sendiri yang sangat tinggi intensitasnya dan pada kenyataannya diadopsi oleh REDD+. Sehingga REDD+ dalam konteks pembangunan partisipatif di Indonesia mempunyai peran potensial yang penting (lihat gambar 4)
2.6 Tantangan Penyusunan Panduan Panduan ini didasarkan atas sistem pemikiran yang dinamis dan bersifat siklus. Penyusun terus memperbaiki dan mengganti perspektif untuk mengakomodir keadaan kekinian masyarakat yang melingkupi cara pandang informan terhadap pembangunan partisipatif. Dari refleksi etnografi, masyarakat Indonesia wilayah timur semakin plural dan kosmopolit sehingga perubahan sosial yang terjadi semakin bervariasi dan makin sulit dipahami dimana hal tersebut berakar pada keragaman etnik yang tinggi. Selalu menjadi perdebatan dalam setiap diskusi kelompok terarah (focussed group discussion (FGD)) yang dilakasanakan di tiap wilayah kajian apakah panduan yang dihasilkan dapat mengakomodir keragaman etnik yang tinggi yang menjadi kekhasan Indonesia wilayah timur. Namun dicapai kesepakatan bahwa penyusunan panduan dapat didekati malalui pandangan atas realitas sosial, dengan kata lain, tumpuan penyusunan bersandar pada perspektif sosiologis dengan basis antropologis sebagai konteks. 18 •
2.7 Key Finding Dalam kajian, ditemukan lima kata kunci sebagai temuan kunci hal yang harus diperhatikan dalam melibatkan masyarakat ke dalam implementasi REDD+, yaitu:
2.7.1 Trust (Kepercayaan) Skema -skema p emb ang unan yang mengedepankan partisipasi warga telah banyak dilakukan dan kepercayaan menjadi salah satu faktor utama keberhasilannya. Informan dalam kajian sebagian besar melihat ketika kepercayaan hilang dari masyarakat, kemudian skema partisipasi hanya menjadi retorika. Di level nasional, tahun 1998 merupakan kejatuhan rezim orde baru dan Indonesia memasuki episode baru perjalanan bernegara yang kemudian dikenal dengan era reformasi, demokrasi sebenarnya dan kebebasan. Pada kenyataannya era ini merekam jejak yang dramatik yang banyak menimbulkan skeptic bahkan oleh mereka yang memperjuangkan reformasi. Era reformasi yang sedianya membawa prinsip-prinsip demokrasi yang baru yang seharusnya dibawakan dengan pendekatan yang lebih rasional dan penuh empati, egaliter dengan kesantunan ternyata jauh panggang dari api. Demokrasi dan kebebasan telah diinterpretasikan dan dipakai sebagai legitimator untuk pemaksaan kepentingan individu maupun kelompok. Proses dekonstruksi kekuatan negara atau yang dipresentasikan oleh otoritas pemerintahan beserta aparatnya berlangsung makin kuat dan meluas yang melumpuhkan sendi-sendi pokok kehidupan kenegaraan (nation state paralyzing process) secara sistematik. Trust atau rasa saling percaya (mempercayai) adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Putnam, 1993). Sedangkan dalam pandangan Fukuyama (1995), trust merupakan sikap saling mempercayai di masyarakat yang memungkinkan masyarakat tersebut saling
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
bersatu dengan yang lain dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial. Secara sosiologis, trust merupakan salah satu unsur strategis dari konsep modal sosial yang berimplikasikan pada keunggulan budaya suatu kelompok masyarakat. Trust merupakan salah satu elemen pokok yang akan menentukan apakah suatu masyarakat memiliki kekuatan modal sosial atau tidak. Unsur ini memiliki kekuatan penggerak energi kolektif yang sangat tinggi. Berbagai tindakan kolektif yang didasari atas rasa saling mempercayai yang tinggi akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai ragam bentuk dan dimensi terutama dalam konteks membangun kemajuan bersama. Kehancuran rasa saling percaya dalam masyarakat akan mengundang hadirya berbagai problematik sosial yang serius. Masyarakat yang kurang memiliki perasaan saling mempercayai akan sulit menghindari berbagai situasi kerawanan sosial dan ekonomi yang mengancam. Semangat kolektifitas tenggelam dan partisipasi masyarakat untuk membangun bagi kepentingan kehidupan yang lebih baik akan hilang. Lambat laun akan mendatangkan biaya tinggi bagi pembangunan karena masyarakat cenderung bersikap apatis dan hanya akan menunggu apa yang akan di berikan oleh pemerintah. Jika rasa saling mempercayai telah luntur maka yang akan terjadi adalah sikapsikap yang menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku. Francois (2003) memandang trust sebagai komponen ekonomi yang relevan melekat pada kultur yang ada pada masyarakat yang akan membentuk kekayaan modal sosial. Sedangkan Fukuyama (1995) meyakini bahwa dimensi trust merupakan warna dan suatu sistem kesejahteraan bangsa. Kemampuan berkompetisi akan tercipta dan dikondisikan oleh suatu karakteristik yang tumbuh di masyarakat yaitu trust. Fu (2004) yang merujuk pada beberapa Iiteratur membagi tingkatan trust kepada tiga tingkatan, yaitu: 1. Pada tingkatan individual, pada tingkatan ini trust merupakan kekayaan individu, merupakan variabel personal dan sekaligus sebagai karakteristik individu. 2. Pada tingkatan hubungan sosial, trust merupakan atribut kolektif untuk mencapai
tujuan-tujuan kelompok, Suatu mekanisme sosial yang menyatu dalam relasi sosial. 3. Pada tingkatan sistem sosial, trust merupakan nilai publik yang perkembangannya difasilitasi oleh sistem sosial yang ada. Dari mana sumber trust tersebut? banyak peneliti merujuk ke jaringan sebagai sumber penting tumbuh dan hilangnya trust dimaksud. Nahapit dan Ghosal (1998) menyatakan bahwa pada tingkat individual, sumber trust berasal dati adanya nilai-nilai yang bersumber dari kepercayaan agama yang dianut, kompetensi seseorang dan keterbukaan yang telah meniadi norma di masyarakat, Pada tingkatan komunitas, sumber-sumber trust berasal dad norma sosial yang memang telah melekat pada struktur sosial setempat. Wolfe (1989) merujuk ke norma, sebagai sumber trust, terutama kaitannya dengan kepatuhan anggota kelompok pada berbagai kewajiban bersama yang telah menjadi kesepakatan tidak tertulis pads kelompok tersebut, Putnam (1993) mengaitkan trust pada perilaku atau tidaknya norma reciprocity dalam masyarakat. Pada tingkatan komunitas, sumber-sumber trust berasal dad norma sosial yang memang telah melekat pada struktur sosial setempat. Pada tingkatan institusi sosial, trust akan bersumber dari karakteristik sistem tersebut yang memberi nilai tinggi pada tanggung jawab sosial setiap anggota kelompok. Trust akan kebilangan daya optimalnya ketika mengabaikan salah satu spektrum penting yang ada eli dalamnya, yaitu rentang rasa mempercayai (the radius of trust). Pada kelompok, asosiasi atau bentuk-bentuk group lainnya yang berorientasi inward looking cenderung memiliki the radius of trust sempit. Kelompok ini kemungkinan akan memiliki kesempatan yang lebih keeil untuk mengembangkan modal sosial yang kuat dan menguntungkan. 2.7.1.1 Memahami Trust dan Modal Sosial Dalam Masyarakat
Perhatian pada kajian trust mulai menguat sejak konsep modal sosial mulai bergulir sebagai wacana akademik pemerhati sosiologi. Perkembangan selanjutnya banyak thesis yang
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 19
meneguhkan trust atau kepercayaan, sebagai bagian tak terpisahkan dari modal sosial dalam pembangunan. Benarkah trust merupakan isu baru dalam pembangunan? jawabannya, ‘’tidak’’ karena akar pemikiran trust mulai muncul saat Simmel menggagas ide yang cukup dalam tulisannya “die Philosophie des Geldes” (the philosophy of money). Mollering (2001) yang berusaha mengelaborasi pemikiran Simmel tentang trust, mengkoseptualisasikan gagasan trust itu sebagai berikut: “a state of favorable expectation regarding other people’s actions and intentions. As such it is seen as the basis for individual risk-taking behavior, cooperation, reduced sosial complexity, order, and sosial capital”. Dari rumusan Mollering itu trust membawa konotasi aspek negosiasi harapan dan kenyataan yang dibawakan oleh tindakan sosial individuindividu atau kelompok dalam kehidupan kemasyarakatan. Ketetapan antara harapan dan realisasi tindakan yang ditunjukan oleh individu atau kelompok dalam menyelesaikan arnanah yang diembannya, dipahami sebagai tingkat kepercayaan. Tingkat kepercayaan akan tinggi, bila penyimpangan antara harapan dan realisasi tindakan, sangat keeil. Sebaliknya, tingkat kepercayaan menjadi sangat rendah
apabila harapan yang di inginkan tak dapat di penuhi oleh realisasi tindakan sosial. Rumusan dari MOLLERING tersebut menjelaskan, paling tidak, enam fungsi penting kepercayaan (trust) dalam hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan. Keenam fungsi tersebut adalah: 1. Kepercayaan dalam arti confidence, yang bekerja pada ranah psikologis individual. Sikap ini akan mendorong orang berkeyakinan dalam mengambil satu keputusa setelah memperhitungkan resikoresiko yang ada. Dalam waktu yang sarna, orang lain juga akan berkeyakinan sama atas tindakan sosial tersebut, sehingga tindakan itu mendapatkan legitimasi kolektif. 2. Kerjasama, yang berarti pula sebagai ptoses sosial asosiatif dimana trust menjadi dasar terjalinnya hubungan-hubungan antar individu tanpa dilatarbelakangi rasa saling curiga. Selanjutnya, semangat kerjasama akan mendorong integrasi sosial yang tinggi. 3. Penyederhanaan pekerjaan, dimana trust membantu meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja kelembagaan-kelembagaan sosial, Pekerjaan yang menjadi sederhana itu dapat mengurangi biaya-biaya transaksi yang bias jadi akan sangar mahal sekiranya
Kotak 1. “Baku Tipu” Program Pemberdayaan, Papua Seorang antropolog Universitas Papua (Unipa) mengangkat tema “baku tipu” pemberdayaan dan siasat orang papua yang dilihat melalui perspektif fragmenfragmen etnografi dalam Jurnal Antropolgi “Tifa”. Tema ini mengangkat bagaimana orang papua saling baku tipu untuk memanfaatkan peluang dalam mendapatkan keuntungan di tengah menjamurnya program-program pembangunan bertajuk pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan yang sedianya bertujuan memberikan peluang bagi orang Papua untuk “memberdayakan” diri mereka, menemui jalan berliku. Perspektif “pemberdayaan” yang dibawa rezim pembangunanisme ini menemui tantangan yang kompleks. Kompleksitas itu diawali oleh tebalnya lapis-lapis kuasa jejaring elit tradisional, silang sengkarut kepemilikan lahan, genalogi marga dan pengaruhnya pada ikatanikatan kekerabatan dan adat. Sebagai studi kasus,
20 •
penulis melihat bagaimana cita-cta pemberdayaan dari rezim pembangunanisme secara sadar diambil alih dan dimanfaatkan oleh Orang Kaimana untuk menyuburkan dan juga sekaligus memperuncing relasi lapisan-lapisan sosial politik dan budaya mereka diantaranya yang terpenting adalah ikatan etnik dan jejaring tradisional keluarga dan marga. Lapisan ini tidak tunggal dan sarat dengan berbagai kepentingan dari aktr elit tradisional dengan berbagai kepentingan. Dari situasi yang demikian, “pemberdayaan” seolah hanya menjadi jargon karena pemerintah tidak Memperhatikan dunia dan dinamika jejaring kuasa orang Papua dari berbagai kasus. Orang Papua seolah-olah mematuhi sistem “modern” pemberdayaan, tapi dibalik semua itu mereka mensiasatinya untuk kepentingan ikatan etnik dan jejaring adat.
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
pola hubungan sosial dibentuk atas dasar moralitas ketidakpereayaan. 4. Ketertiban, trust berfungsi sebagai inducing behavior setiap individu, yang ikut menciptakan suasana kedamaian kemungkinan timbulnya kekaeauan sosial. Dengan demikian, trust membantu menciptakan tatanan sosial yang teratur, tertib dan beradab. 5. Pemeliharaan Kohesivitas Sosial, trust membantu merekatkan setiap komponen sosial yang hidup dalam sebuah komunitas menjadi kesaman yang tidak tercerai- berai. 6. Modal Sosial, trust adalah asset penting dalam kehidupan kemasyarakatan yang menjamin struktur-struktur sosial berdiri secara utuh dan berfungsi secara operasional serta efisien. Dalam konteks kepercayaan dan merujuk pada pendapat Fukuyama (2000), masyarakat Indonesia saat ini dapat dikatakan sebagai “a society which seriously faces a shortage in sosial capital (trust). Defisiensi modal ini menyebabkan gagasan masyarakat sipil (civil society) yang berciri democratic-civility sulit dipenuhi dalam waktu segera. Karena menurut Fukuyama, juga menurut penggagas dan penyokong modal sosial seperti Putnam (1995), trust adalah bagian penting dari modal masyarakat untuk berdemokrasi secara sehat. Manakala kehidupan demokrasi kemasyaratan Indonesia berkembang dalam suasana saling kecurigaan, saling tak percaya dan ‘’mau menang sendiri” maka disana segera ditengarai situasi ketidakcukupan modal sosial tersebut. Senada dengan rumusan dari Putnam, Fukuyama (2001) tak berlebihan bila mengatakan bahwa trust adalah salah satu “ruh” dari modal sosial. Semangat tersebut kelak akan menentukan dan memberikan corak budaya dari suatu system sosial kemasyarakatan. Stok modal sosial yang mencukupi akan mendorong terbangunnya kerjasama dan berbagai bentuk associational life dalam hubungan individuindividu suatu masyarakat. Modal sosial juga mereduksi biaya transaksi yang seharusnya dikeluarkan dalam sebuah interaksi sosial. Coleman sebagai orang yang dipandang oleh ilmuan Perancis Bourdieu didekade 1980-an
secara luas mengemukakan pilar lainnya: sosial networking dan norma-norma sosial (shared norms) serta unsur modal sosial lainnya akan menentukan corak karakter suatu masyarakat. 2.7.1.2 Spektrum Kehancuran Trust di Indonesia
Semangat kemanusiaan yaitu daya dan keinginan untuk saling menghormati, mencintai dan memperhatikan antar sesama manusia juga merupakan penggerak energi kolektif yang sangat menentukan kualitas hidup masyarakat. Semangat resiprositas yaitu keimbalbalikan akan memberikan energi pada suatu entitas sosial yang menyandangnya. Para tokoh yang dewasa ini berada di balik konsep modal sosial semuanya menyepakati akan peran penting trust sebagai energi pembangunan masyarakat. Trust erat kaitannya dan menjadi salah satu unsur dan sumber kekuatan modal sosial. James Colemen (1998) menyatakan, system yang terbentuk dari rasa saling percaya merupakan komponen modal sosial sebagai basis dari kewajiban kewajiban dan harapan masa depan. Putnam (1993) lebih jauh mengemukakan bahwa trust atau rasa saling mempercayai, merupakan sumber kekuatan sumber modal sosial yang dapat mempertahankan keberlangsungan perekonomian yang dinamis dan kinerja pemerintahan yang efektif. Indonesia mengalami kemiskinan trust. Ini tidak selalu berarti kebudayaan suku-suku di Indonesia memiliki rasa saling percaya yang tipis dengan sesame anggota masyarakat dalam keluarga, kelompok dan atau asosiasi yang ada di dalam sukunya. Kepercayaan itu, dalam beberapa hal ada tetapi bobot orientasinya yang miskin. Tingkat rasa saling percaya para individu terhadap para pemimpin adat juga, dalam beberapa hal, tumbuh. Gotong royong untuk acara perkawinan, kematian, dan kendurian masih bertahan yang sekaligus merefleksikan masih relatif kuatnya kekuatan jaringan dan rasa saling percaya di dalamnya. Masyarakat percaya bahwa dengan membantu haiatan tetangga, suatu saat jika yang bersangkutan menggelar kenduri atau hajatan, sang tetangga juga akan membantu.
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 21
Rasa saling percaya itu ada, walau kurang memiliki kandungan Modal Sosial yang positif. Dalam perjalanan waktu selama puluhan tahun di Indonesia, trust yang yang miskin itu mengalami situasi yang bertambah parah. Kehancurannya tidak dapat dielakkan terutama dengan beroperasinya dua mesin penghancur sekaligus yaitu faktor internal kebudayaan (dari dalam entitas sosial itu sendiri) dan oleh faktorfaktor yang berasal dari luar (kebijakan dan perilaku negatif para tokoh masyarakat). Nilai dan norma yang membentuk pola budaya masyarakat suku-suku di Indonesia hamper tidak mengalami revitalisasi dan berusaha menyesuaikan dengan tuntutan perkembangan zaman. Apa yang dari dulu dilakukan secara turun-temurun hingga kini tetap berlaku, sedikit sekali penyesuaian-penyesuaian yang sejalan dengan tuntutan baru kehidupan. Ketidakperdulian untuk melakukan revitalisasi budaya ini telah menyebabkan individu-individu yang ada dalam kelompok kebudayaan tersebut semakin kehilangan identitas. Ketika mereka dihadapkan dengan perubahan dari luar seperti
berubahnya pola konsumsi, pendidikan yang semakin baik, tuntutan kebutuhan ekonomi rumah tangga yang semakin berat, maka kohesifitas sosial yang pernah terjalin juga mengalami kehancuran. Kekerasan struktural juga merupakan faktor ekstemal yang membelenggu kreatifitas masyarakat. Kekerasan yang berdimensi structural umumnya ditandai dengan dominasi yang berlebihan oleh suatu kelompok terhadap kelompok lainnya. Pada masa itu, kelompok dimaksud hanya ada dua pembagian besar yaitu kelompok yang dibentuk pemerintah yang menjalankan tindakan-tindakan oligopoly dan monopoli, dan sisanya yaitu rakyat biasa. Kesempatan-kesempatan ekonomi hanya mungkin tercipta pada kelompok yang kehadirannya direstui dan atau yang memang kehadirannya karena diciptakan untuk hadir. Di sisi lain, gerak langkah dari kelompok tersebut hanya merugikan bagian terbesar masyarakat yang tidak termasuk kedalam struktur tersebut. Di sinilah kepercayaan dan rasa saling percaya yang semula ada dalam kelompok sosial
Kotak 2. Kisah Sukses Pendampingan Yayasan Pengembangan Alam Raya dan Masyarakat Niaga (ARMAN), Maluku Yayasan Pengembangan Alam Raya dan Masyarakat Niaga (ARMAN) saat ini bergerak di masyarakat melalui kegiatan kolaboratif bertema “Reboisasi, Konservasi dan Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Lewat Aplikasi Pola Manajemen Kolaborasi Berbasis Warisan Kearifan Lokal pada Ekosistem Kecil di Maluku” dengan Bapak Ateng sebagai nakhkoda. Kegiatan ini sudah memasuki tahap kedua (perpanjangan) dimana pada tahap pertama tahun 2009 hingga 2011 yang diperpanjang mulai tahun 2012 hingga 2014. Proyek ini mengelola dana kurang lebih dua milyar rupiah yang berasal dari Pemerintah Finlandia. Perpanjangan proyek ini hingga 2014 tak lepas dari penilaian LFC yang melihat peran aktif masyarakat dalam kegiatan ini terus terjaga yang cenderung makin antusias. Menurut Bapak Ateng, keberhasilan kegiatan kolaboratif ini ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya:
1. Yayasan ini sudah berkerja di masyarakat binaan sejak tahun 1994 sehingga masyarakat sudah
22 •
sangat mengenal sosok Bapak Ateng dan yayasannya. 2. Transparansi yang selalu dikedepankan oleh Bapak Ateng dalam mengelola kegiatan ini hingga transparansi pada aspek pengelolaan pembiayaan sehingga masyarakat mengetahui dengan pasti apa hak dan kewajiban mereka. Masyarakat ditempatkan sebagai pemeran utama kegiatan. Kegiatan proyek terintegrasi dengan budaya dan sistem adat. Saat ini banyak investor yang mendekati yayasan untuk melakukan investasi dibidang konservasi terutama dibidang ekowisata karena keberhasilan yang dicapai. Selain transparansi, hal yang harus dikedepankan ke masyarakat adalah akuntabilitas dimana kewajiban proporsional terhadap hak dan penegakan atas keduanya harus diutamakan. Dengan kombinasi antara transparansi dan akuntabilitas pencapaian Bapak Ateng dalam hal penyelamatan lingkungan dihadiahi Kalpataru oleh pemerintah pada tahun 2010.
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
masyarakat mengalami kehancuran yang luar biasa. Masyarakat tidak mempercayai pemimpinnya dan tidak mempercayai para pengurus asosiasi, apapun bentuknya. Dalam persepsi yang berkembang diyakini, bahwa para elit desa, elit kecamatan, elit kabupaten, elit propinsi dan elit nasional, justru merupakan entitas yang memakan masyarakatnya sendiri yang memang telah berada dalam situasi yang lemah “lupus est homo homono”. Tidak hanya trust yang semakin hancur tetapi juga keinginan untuk berkumpul “le desire d’etre ensemble” secara swadaya membentuk kelompok, sulit muncul dan bahkan tidak diminati. Asosiasi dan kelompok sosial yang bersifat menjembatani (bridging) yang mampu membentuk kekuatan Modal Sosial sampai saat ini tidak mengalami perkembang. Organisasi-organisasi yang bergerak di bidang perekonomian dan sosial di desa masih seragam menurut motif pembentukannya, yaitu dibentuk dari “atas” pada masa otoritarian, seperti KUD, dengan pengurusnya yang umumnya kurang mampu berbuat efisien, Kelompok Tani yang sifat dan mekanisme kerjanya hanya menguntungkan petani berlahan luas. Walaupun asosiasi, kelompok, organisasi yang berorientasi pada penguatan kesejahteraan dan ide tidak muncul dalam setiap setting sosial, tetapi kohesifitas sosial yang bersifat emosional identitas kedaerahan/kesukuan (bonding) tetap bertahan, bahkan setelah memasuki era kebebasan sejak tahun 1998, tingkat kerekatannya semakin kuat yang dipengaruhi oleh sentiment para elit lokal. Jatuhnya kepercayaan masyarakat terhadap skema partisipasi banyak disebabkan oleh tidak amanahnya agen pembangunan dalam menunaikan hak masyarakat yang sebenarnya. Sikap mental elit yang berada di pusat pusaran kekuasaan lokal yang stereotip cenderung membentuk masyarakat yang stereotip. Kepercayaan harus dibangun sebagai pondasi skema partisipatif.
2.7.2 Reward Sebagian besar informan dalam kajian berpendapat, masyarakat akan “bergerak” jika
ada reward (uang). Ketika sudah tidak ada uang, masyarakat cenderung tidak merespon inisiasi pembangunan yang ada. Penilian ini merupakan resultan dari keadaan yang cukup kompleks. Isu ini makin menguatkan bahwa pembangunan partisipatif memang masih berada di dalam ruang retoris yang hanya memobilisasi warga (partisipasi masih pada level mobilisasi). Hal ini sulit dihindari mengingat sebagian besar kegiatan pembangunan yang bersifat “keproyekan” yang harus selesai dalam kurun waktu tertentu yang cenderung relatif pendek sehingga para pelaku pembangunan terjebak dalam hal-hal yang pragmatis. Partisipasi pada level memberdayakan dipandang sesuatu yang utopis dan sulit. Menurut sebagian besar informan kajian, masyarakat mulai meninggalkan kegiatan pembangunan yang dibawa pemerintah bukan hanya karena sudah tidak ada “uang”nya, namun mereka ternyata lebih tertarik untuk mencari uang dan meneruskan kebiasaan mereka di kehidupan keseharian mereka seperti berlayar ke laut mencari ikan dan memetik panen di kebun mereka. Pada kenyataannya mereka lebih tertarik pada sistem penghidupan mereka sendiri, karena sistem penghidupan buat mereka tidak seluruhnya bisa dikuantifikasi menjadi kepuasaan materil, namun lebih jauh lagi adalah kebahagian mereka terhadap apa yang mereka kerjakan sebagai bagian dari budaya dan sistem adat mereka. Fenomena ini sangat menarik dan dapat dibahas dengan beberapa teori untuk mendapatkan penjelasan ilmiah. Dalam perspektif materialisme, di mana material mendahului gagasan dan material sebagai aktor yang menjalankan sejarah manusia, tidak ada manusia yang bergerak tanpa “reward”. Dalam pembangunan kedepan, sistem reward harus terintegrasi dengan sistem keberlanjutan dan sistem mata pencaharian masyarakat. Fenomena diatas juga bisa dilihat dari teori pertukaran Homans dan Blau. Teori Pertukaran Sosial adalah teori yang memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Jadi, orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Perumusan tersebut
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 23
mengasumsikan bahwa interaksi manusia melibatkan pertukaran barang dan jasa, dan bahwa biaya atau suatu elemen dalam hubungan yang bersifat negatif (cost), pengambilan keputusan antara akan melanjutkan hubungan atau mengakhirinya (outcome), dan imbalan, atau elemen dalam hubungan yang bersifat positif (reward), dipahami dalam situasi yang akan disajikan untuk mendapatkan respon dari individu-individu selama interaksi sosial. Jika imbalan dirasakan tidak cukup atau lebih banyak dari biaya, maka interaksi kelompok akan diakhiri atau individu-individu yang terlibat akan mengubah perilaku mereka untuk melindungi imbalan apa pun yang mereka cari.
Pendekatan pertukaran sosial ini penting karena berusaha menjelaskan fenomena kelompok dalam lingkup konsep-konsep ekonomi dan perilaku mengenai biaya dan imbalan. Makin tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi seseorang, makin besar pula kemungkinan perbuatan itu diulanginya kembali. Asumsi Teori Pertukaran Sosial mengenai keadaan manusia (human nature): 1. Manusia mencari keuntung an dan menghindari hukuman. 2. Manusia sebagai mahluk rasional. 3. Standar-standar manusia menggunakan evaluasi biaya dan keuntungan dari waktu ke waktu dan dari orang per orang.
Kotak 3. Pembelajaran dari jalan panjang kegiatan SCBFWM, NTT Proyek Penguatan Hutan Berbasis Masyarakat dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai/ Strengthening Community-Based Forest and Watershed Mangement/ SCBFWM dirancang untuk meningkatkan program Pemerintah Indonesia terhadap pengelolaan hutan dan DAS berbasis masyarakat, mengatasi distribusi tidak merata manfaat dari sumber daya hutan dan kurangnya koordinasi antar pemangku kepentingan dan sektor, sebagaimana yang mendasari penyebab utama degradasi lahan dan hutan. Tujuan kegiatan ini adalah memberikan kontribusi terhadap pengurangan degradasi lahan dan hutan di Indonesia dalam rangka merehabilitasi fungsi DAS dan jasa lingkungan serta pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Kegiatan utamanya adalah meningkatan kapasitas dan perbaikan koordinasi para pihak untuk menghasilkan kebijakan yang mendukung CBFWM serta membangun plot demonstrasi pengelolaan hutan dan DAS berbasis masyarakat di 6 (enam) lokasi DAS/Sub-DAS terpilih salah satu diantaranya Sub-DAS Besiam di Nusa Tenggara TimurMenurut Bapak Nandang, Koordinator CBFWM NTT, pendekatan pembangunan partisipatif mempunyai tiga penghalang utama:
1. Masyarakat masih kental dengan budaya subsisten dalam bermatapencaharian. 2. Pola subsiten dalam penghidupan mempengaruhi pandangan hidup yang apa adanya, yang cukup untuk hari ini saja 3. Masyarakat masih belum memandang pendidikan sebagai suatu kebutuhan. Pola pikir masyarakat
24 •
bahwa anak-anak mereka tidak sekolah bukan merupakan masalah karena tidak sekolah pun mereka masih bisa hidup. Bapak Nandang melihat bahwa pola partisipasif sulit karena masyarakat di lokasi lebih individual sehingga tantangannya adalah bagaimana adat istiadat yang masih ada sebagai residu dapat dikenali lagi oleh mereka (jauh sebelum proyek ini masuk menurut cerita masyarakat, budaya gotong royong sangat hidup di masyarakat baik sebagai atribut dan fungsional. Sehingga kemudian strategi proyek difokuskan bagaimana proyek dapat berlanjut maka pembinaannya harus dalam jangka panjang untuk membentuk community-based organization (CBO). Ketika proyek harus berpindah lokasi dua tahun sekali, Bapak Nandang berdebat dengan koordinator yang mempertahankan untuk bisa bertahan di lokasi yang sama minimal lima tahun untuk membentuk CBO yang kuat. Selain waktu pendampingan yang dirasa perlu diperpanjang, pola pendekatan pun harus disesuaikan dengan kondisi/karakter setempat terutama kearifan lokal daerah harus diperhatikan. Bapak Nandang berargumen jangan mendekati mereka dengan pendekatan proyek namun mealui pendekatan sosial yang jauh lebih penting sehingga dapat membentuk karakter mereka seperti gotong royong kembali ke dalam kehidupan mereka. Saat ini masyarakat dilihat oleh Bapak Nandang cukup solid, mampu memanfaatkan dana minim untuk keperluan besar.
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
2.7.3 Integrasi skema REDD+ kedalam budaya setempat Kegiatan dalam skema REDD+ harus terintegrasi ke dalam budaya setempat. Hal ini dapat dicapai melalui perencanaan di level komunitas.
2.7.4 Distribusi revenue pemanfaatan tanah ulayat ke dalam sistem yang sesuai dengan sistem adat masyarakat Distribusi manfaat dari penggunaan aset adat berupa tanah ulayat dan lain-lain apakah akan disalurkan hingga ke level keluarga atau komunitas sebaiknya dikembalikan kepada otoritas adat masyarakat. Distribusi reward/revenue dari pemanfaatan aset adat untuk REDD+ sebaiknya diatur mulai dari perencanaan.
2.7.5 Monitoring dan fasilitasi pelaksanaan kegiatan yang dapat memenuhi standar kompentensi dan waktu yang tidak relatif pendek (sesuai dengan kebutuhan proyek dan kondisi sosial, budaya dan tingkat adaptasi masyarakat Informan dalam kajian, sebagian besar berpendapat bahwa manfaat atau hasil dari kegiatan-kegiatan pembangunan yang melibatkan masyarakat, banyak menemui kegagalan atau kurang termanfaatkan secara efektif oleh warga karena sistem monitoring dan fasilitasi kegiatan yang amat terbatas.
2.8 Panduan Panduan dapat digambarkan ke dalam skema yang dapat dilihat pada gambar 3.
2.8.1 Pembentukan Forum REDD+ Pembentukan “Forum REDD+ Provinsi” (FRP) (nama ini diintroduksi oleh panduan, pemberian nama lain untuk forum terbuka lebar bagi penghormatan budaya setempat) dilakukan pada tahal awal kegiatan yaitu setelah inisiator proyek menentukan lokus kegiatan REDD+
pertama kali di satu provinsi. FRP dibentuk dapat diinisiasi oleh pemda maupun aliansi inisiator yang juga merupakan komponen dari civil society suatu provinsi. FRP beranggotakan stakeholder terkait sesuai kesepakatan yang tetap menghormati Prinsip Safeguard COP 16 No. 3 & 4 yaitu penghormatan terhadap pengetahuan dan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal dan partisipasi penuh dan efektif dari stakeholder yang relevan. FRP idealnya memasukkan semua elemen civil society mencakup akademisi, lembaga swadaya masyarakat NGO(s), yang relevan, dewan masyarakat adat yang tinggal di lokus calon kegiatan REDD+ di laksanakan. Keterwakilan anggota masyarakat di dalam lokus, selain elit, harus menjadi perhatian khusus untuk menghindari kopatsi kepentingan masyarakat oleh elit lokal yang ada dalam forum. Akademisi mencakup akademisi yang berkompeten di bidang hutan dan lingkungan serta bidan kajian-kajian sosial dan budaya (sosiologi dan antropologi) FRP membentuk kamar-kamar untuk kepentingan fasilitasi, monitoring dan penilaian hasil. FRP harus diberi payung hukum sehingga mempunyai posisi strategis dalam mendorong kebijakan-kebijakan pendukung REDD+ dan pembangunan infrastruktur pendukung. FRP ada disetiap proses konsultasi dan komunikasi termasuk proses konsultasi dan komunikasi terkait FPIC. FRP sebaiknya menetapkan keperluan proses konsultasi dan komunikasi yang diperlukan baik yang dilakukan secara berkala maupun insidentil sesuai kebutuhan untuk terjaganya semangat dan eksistensi anggotanya. Pelajaran berharga diambil dari banyak Pokja REDD yang dibentuk di level Provinsi dan Kabupaten stagnan dan vakum.
2.8.2 FPIC Masyarakat didalam lokus mempunyai hak untuk menetukan apakah menerima atau menolak inisiasi proyek REDD+ melalui proses konsultasi dan komunikasi dalam kerangka Free Prior and Inform Consent (FPIC).
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 25
Gambar 3. Skema Pelibatan Masyarakat Dalam Implementasi REDD+
26 •
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
2.8.3 Perencanaan Kegiatan Konfirmasi masyarakat pada lokus kegiatan diikuti dengan perencanaan penuh di level sistem kemasyarakatan yang ada. Penyusunan rencana menggunakan metode perencanaan yang sederhana yang telah dikenal seperti PRA dan lain-lain. Informan pada kajian ini banyak memberi masukan kehati-hatian pada dominansi kelompok tertentu seperti elit lokal dan orangorang yang berada disekitar pusat kekuasaan. Harus digunakan metode tertentu untuk mengakomodir kepentingan dan suara anggota masyarakat secara proporsional. Perencanaan meliputi: 2.8.3.1 Agenda setting
Tahapan penyusunan agenda setting meliputi penyusunan poin-poin keseluruhan rangkaian kegiatan dalam perencanaan maupun dalam pelaksanaan dan pelaporan melalui kesepakatan anggota masyarakat. Penentuan agenda setting tidak menutup kemungkinan banyak diintervensi oleh FRP sebagai bentuk fasilitsi dan introduksi pengetahuan tentang REDD+ itu sendiri dan lain-lain. Butir-butir di dalam panduan ini hanya tawaran dimana pada pengadopsiannya dapat ditambahi atau dikurangi sesuai kesepakatan dan penyesuaian terhadap karakteristik sosial budaya masyarakat. 2.8.3.2 Eksplorasi gagasan
Eksplorasi gagasan adalah inti dari tahapan perencanaan. Pada tahapan ini merupakan titik integrasi kegiatan-kegiatan yang masuk dalam skema REDD+ ke dalam entitas sistem kemasyarakatan setempat. Tahapan ini diawali dengan inventarisasi kegiatan-kegiatan di masyarakat yang berhubungan dengan hutan dan lingkungan baik dalam bentuk pemanfaatan maupun ritual lain sebagai suatu bentuk kelangsungan budaya. Tahapan eksplorasi gagasan berfungsi menghubungkan antara kegiatan-kegiatan yang masuk dalam skema REDD+ di level tapak dengan kegiatan yang ada di masyarakat tersebut. Peran tim fasilitator yang terdiri dari orang yang kompeten dengan REDD+ dan pengetahuan tentang sistem
kebudayaan setempat sangat dibutuhkan dalam membantu masyarakat menyelami kebudayaan mereka. Tahapan eksplorasi gagasan merupakan titik interkoneksi antara lokalitas dengan pengetahuan global. 2.8.3.3 Formulasi kegiatan
Gagasan yang muncul pada tahapan sebelumnya, didetailkan pada tahapan ini. Tahapan ini memerlukan fasilitator yang berkompeten dengan etnografi. Seperti halnya etnografi, pada tahapan merupakan mediasi budaya ke dalam teks sehingga dapat memberikan pendalaman pemahaman orangorang yang bekerja di lapangan REDD+ tentang budaya masyarakat setempat. 2.8.3.4 Pembagian peran dan tanggung jawab
Pembagian peran tanggung jawab sangat terkait dengan sistem kemasyarkatan yang diatur oleh adat. Sebagian besar sistem adat di Indonesia Wilayah timur (dapat dilihat pada BAB III tentang etnografi) telah mengatur peran-peran anggota masyarakat dalam sistem kemasyarakatan yang terikat oleh adat (sistem adat). 2.8.3.5 Identifikasi aset
Kepastian kewilayahan menjadi syarat penting sistem pengeloaan hutan dan lahan tidak terkecuali REDD+. REDD+ akan mengambil wilayah sebagai basis dari seluruh rangkaian kegiatan REDD+. Pada sistem adat di Indonesia wilayah timur ada beberapa variasi derajat kepastian kepemilikan dan perwilayahan akan lahan adat antar entitas terkecil kemasyarakatan seperti Negeri di Maluku, Marga di Papua dan Dusun di NTT. Menjadi sangat penting untuk membawa sistem perwilayahan antar entitas masyarakat terkecil ke level kepastian yang paling tinggi yaitu sistem perwilayahan sesuai kesepakatan. Untuk kasus di tanah Papua, hal ini tidak diperlukan mengingat kepastian perwilayahan antar marga sudah sangat ketat (restrict) bahkan ada semacam idiom “tidak ada sejengkal tanah di papua yang tidak berpenghuni (bertuan)”.
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 27
Identifikasi aset adat meliputi: 1. Pemastian tenure Pemastian tenure terdiri dari: a. Penentuan related stakeholder b. Pemetaan partisipatif wilayah adat/hak ulayat c. Harmonisasi peta dengan related stakeholder 2. Pengembangan kapasitas lembaga adat dan SDM Interkoneksi lokalitas dan sistem pengetahuan global membutuhkan masyarakat lokal yang mengerti akan interkoneksi tersebut. Bila REDD+ dianalogikan sebagai sebuah produk maka dibutuhkan sumber daya masyarakat yang mempunyai “product knowledge” REDD+. Pengembangan kapasitas lembaga adat dan SDM meliputi pengembangan: a. Perangkat sistem kemasyarakatan yang ada b. Pengelolaan aset adat c. Networking d. Kemampuan negosiasi 3. Sistem distibusi manfaat (benefit sharing) Menurut sebagian besar informan, sistem benefit sharing menjadi hal yang paling krusial untuk disusun secara baik pada perencanaan. Sistem benefit sering yang dibangun akan sangat baik jika menggunakan sistem yang telah ada pada sistem kemasyarakatan pada lokus kegiatan. 4. Mekanisme resolusi konflik Mekanisme resolusi konflik harus mereferensi sistem penyelesaian sengketa yang berlaku pada sistem kemasyarakatan yang ada (bisa dilihat pada BAB III tentang etnografi). 5. Pembangunan kriteria dan indikator (KI) keberhasilan kegiatan Pembangunan kriteria dan indikator keberhasilan sangat penting dilakukan sebagai alat ukur dan penilaian keberhasilan kegiatan. Penyusunan KI dimoderasi oleh FRP dan melibatkan inisiator proyek. Penyusunan dan penerapan KI menjadi ruang negosiasi antara masyarakat dan inisiator proyek. Penerapan KI dalam 28 •
penilaian kegiatan dapat menjadi acuan dalam usaha untuk memenangkan para pihak yang terlibat.
2.8.4 Pelaksanaan Kegiatan Kegiatan dapat dimulai ketika seluruh rangkaian kegiatan dalam perencanaan telah selesai dan mendapat payung hukum dari pemda.
2.8.5 Fasilitasi, Monitoring dan Penilaian Hasil Kegiatan Fasilitasi dilakukan oleh fasilitator yang berkompeten, dikenal masyarakat pada lokus kegiatan dan banyak mengetahui kondisi sosial dan budaya masyarakat. Waktu fasilitasi dilakukan sejak dimulainya inisiasi hingga selesainya proyek kemudian dilanjutkan 1 – 10 tahun setelahnya sesuai kebutuhan yang telah disepakati dalam perencanaan. Monitoring dan penilaian di lakukan oleh setiap tahun atau sesuai kesepakatan sesuai kriteria indikator keberhasilan yang dibangun.
2.8.6 Pelaporan Kegiatan Penyusunan kegiatan dikerjakan oleh masyarakat melalui fasilitasi FRP. Database pelaporan dibangun oleh FRP.
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
BAB 3
Keragaman Manusia Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
3.1 Keragaman Manusia Maluku 3.1.1 Pendahuluan Sejak masa lampau Tanah Maluku sudah memperoleh julukan sebagai kepulauan rempahrempah. Maluku sangat terkenal dengan sumber daya berupa cengkih dan pala, serta hasil hutan lainnya seperti damar, rotan, maupun hasil laut. Orang luar (bangsa Arab) yang datang ke Tanah Maluku pertama menyebut bahwa Maluku adalah negeri Raja-Raja. Perjalanan sejarah mengenai penamaan Maluku sendiri sesuai asalusulnya oleh Van Fraasen (dalam Amal, 2010) sembari mengutip Pigeaud bahwa nama Maluku telah dicatat dalam Negara Kartagama pada tahun 1365 sebagai “Maloko”. Diduga penulis Negara Kartagama telah mengadopsi nama itu dari kebanyakan pedagang Arab yang melakukan kegiatan perniagaan di Nusantara. Selain itu juga nama Maluku dalam hikayat Dinasti Tang (618-906) telah digunakan untuk menentukan arah daerah Holing (Kaling) yang diperkirakan sebagai sebutan untuk Maluku. Penulis-penulis Cina dari zaman Dinasti Tang yang menyebut Maluku sebagai ”Mi-li-ku” karena tidak dapat memastikan lokasi sesungguhnya kawasan yang ditunjuk dengan nama tersebut. Perkembangan yang terjadi kemudian barulah diketahui bahwa yang dimaksud dengan “Mi-li-ku” itu adalah gugusan Pulau-Pulau Ternate, Tidore, Makian, Bacan, dan Moti. Informasi mengenai nama Maluku seperti dikemukakan di atas, berarti Maluku telah tersohor diberbagai belahan dunia pada masa lampau karena merupakan daerah penghasil rempah-rempah (cengkih dan pala). Dalam perkembangan sejarah politik dan ekonomi global pada masa lampau, cengkih dan pala dari Kepulauan Maluku telah menarik perhatian bangsa-bangsa di seluruh dunia untuk mencari dan menemukan Tanah Maluku. Sebagai kawasan penghasil rempah- rempah (cengkih dan pala), maka Tanah Maluku pernah menjadi rebutan berbagai bangsa di dunia untuk menguasainya. Bangsa-bangsa Eropa seperti Spanyol, Inggris, Portugis dan Belanda berusaha untuk menemukan Tanah Maluku pada masa lampau
karena cengkih dan pala merupakan komoditi yang sangat dibutuhkan oleh manusia pada zaman itu. Cengkih dan pala memiliki nilai strategi dalam percaturan ekonomi global. Tercatat dalam sejarah perdagangan internasional bahwa cengkih dan pala yang menembus pasar global di Eropa, Amerika, Asia, dan lainnya memiliki kualitas terbaik. Untuk itu setiap bangsa dan negara yang tidak memiliki komoditi strategis (cengkih dan pala) tersebut ditakdirkan bahwa rakyat tidak bisa bertahan hidup (survive), sehingga bisa runtuh dan akhirnya punah. Sumber daya alam (cengkih dan pala) yang terdapat di Tanah Maluku saat itu ternyata tidak mendatangkan kesejahteraan pada masyarakat, bahkan yang terjadi kemudian setelah kedatangan bangsa-bangsa Eropa yaitu petaka yang hebat. Kedatangan berbagai bangsa di dunia untuk mencari dan menemukan Tanah Maluku sebagai penghasil rempah-rempah (cengkih dan pala) ternyata menimbulkan pergolakan politik yang sangat hebat diberbagai kawasan. Akibat ekspansi yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa (Portugis dan Belanda) pada masa lampau di Tanah Maluku sehingga menimbulkan berbagai pertentangan (konflik), pertikaian, bahkan terjadi peperangan dengan rakyat Maluku di berbagai tempat. Heroisme rakyat di Tanah Maluku untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisme barat yang berusaha menguasai rempah-rempah, masyarakat, dan wilayah telah menimbulkan penderitaan yang sangat panjang untuk rakyat di Tanah Maluku, maupun tempat-tempat lainnya di Nusantara.
3.1.2 Gambaran Umum Wilayah Maluku 3.1.2.1 Geografis
Wilayah Kepulauan Maluku secara fisik geografis terdiri dari gugusan pulau-pulau kecil yang memiliki tingkat keragaman sangat tinggi. Maluku juga sering dijuluki sebagai daerah 1000 pulau. Pada saat ini Tanah Maluku termasuk salah satu dari Provinsi Kepulauan yang terdapat di kawasan timur Indonesia. Secara fisik geografis, Kepulauan Maluku memiliki keanekaragaman wilayah sangat tinggi. Dalam
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 31
realitasnya, kebanyakan pulau-pulau kecil di Maluku telah dihuni oleh penduduk, tetapi masih terdapat pulau yang kosong karena belum dihuni oleh manusia. Kondisi pulau-pulau kecil di Maluku masih mengalami isolasi karena pengaruh kondisi lingkungan laut yang seringkali tidak ramah, kondisi perubahan iklim, dan kedudukan geografis pulau-pulau kecil yang belum terjangkau secara baik karena hambatan transportasi antar pulau melalui laut. Faktor riil yang menyebabkan isolasi geografis pada pulau-pulau di Maluku yaitu keterbatasan sarana trandpostasi antar pulau, dan minimnya infrastuktur perhubungan laut maupun darat, serta komunikasi. Fenomena yang saat ini sangat berpengaruh terhadap aktivitas masyarakat di Kepulauan Maluku yaitu terjadinya perubahan iklim yang radikal sehingga kondisi ini bisa secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi aktivitas keseharian dari masyarakat. Fenomena perubahan iklim di Kepulauan Maluku dapat dilihat dari perubahan arah angin laut yang terjadi sewaktu-waktu, dan tidak menentu sehingga menyebabkan kondisi laut di sekitar Kepulauan Maluku mengalami ombak besar. Persoalan ini seringkali menghambat akses masyarakat untuk melakukan interaksi antar pulau. Selain itu juga masih terdapat pulau-pulau tertentu di Kepulauan Maluku yang kosong karena belum dihuni oleh penduduk. Kondisi fisik Kepulauan Maluku dapat dilihat pada Peta Wilayah sebagai berikut: 3.1.2.2 Wilayah Administrasi Pemerintahan
Untuk memahami tentang wilayah administrasi pemerintahan perlu dikemukakan bahwa, persoalan pemerintahan tidak terlepas dari pengaruh kondisi politik pemerintahan dan budaya politik yang berkembang dalam kehidupan bermasyarakat di Kepulauan Maluku. Studi yang dilakukan oleh Fraasen (1979) tentang Types of Socio-Political Structure In North-Halmahera History mengemukakan bahwa Maluku terdiri dari tiga wilayah budaya politik yaitu wilayah budaya politik Maluku
Utara yang sangat kuat dipengaruhi oleh Kesultanan, wilayah budaya Maluku Tengah yang berciri republik pedesaan, dan wilayah politik Maluku Tenggara yang sangat kuat dipengaruhi oleh sistem stratifikasi sosial. Pengaruh kondisi wilayah politik yang terdapat di Maluku sejak masa lampau, masih terus dirasakan sampai saat ini. Kondisi wilYh budaya politik Maluku seperti dikemukakan telah berlangsung sebelum kedatangan orang luar atau kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke daerah ini. Dewasa ini Provinsi Maluku sebagai salah satu provinsi yang terdapat di kawasan timur Negera Kesatuan Republik Indonesia terus mengalami dinamika dalam pelaksanaan politik pemerintahan. Perspektif tentang dinamika politik pemerintahan ini terus menguat setelah Provinsi Maluku mengalami proses pemekaran wilayah dengan Provinsi Maluku Utara. Secara administrasi pemerintahan, maka wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku dengan Ibukota provinsi berkedudukan di Ambon terus dihadapkan pada berbagai dinamika. Dewasa ini dalam wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku terdapat Pemerintahan Kota Ambon, Pemerintahan Kabupaten Maluku Tengah, Pemerintahan Kota Tual, Pemerintahan Kabupaten Maluku Tenggara, Pemerintahan Kabupaten Buru, Pemerintahan Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Pemerintahan Kabupaten Seram Bagian Barat, Pemerintahan Kabupaten Seram Bagian Timur, Pemerintahan Kabupaten Maluku Barat Daya , dan Pemerintahan Kabupaten Buru Selatan. Kondisi pemerintahan di Maluku sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa (Portugis dan Belanda) di bumi Nusantara, dan khususnya di Tanah Maluku pada masa lampau, negerinegeri di Tanah Maluku pada umumnya merupakan negeri-negeri yang berdiri sendirisendiri, berdampingan satu sama lain dan tidak merupakan kesatuan. Masing-masing dengan kedaulatan dan tidak ada diantaranya yang saling membawahi. Setiap negeri seperti sebuah republik kecil dengan seorang pemimpin yang mereka pilih (Effendi, 1987). Dinamika pemerintahan yang berlangsung di Tanah Maluku sesuai adat-istiadat. Pemerintahan
adat memegang peranan yang sangat penting dalam dinamika kehidupan bermasyarakat. Perkembanga mengenai dinamika administrasi pemerintahan di Tanah Maluku pada zaman itu dapat dipahami menurut Effendi (1987) bahwa susunan wilayah pemerintahan seperti di wilayah Maluku Tengah, berkaitan dengan Petuanan (beschikkingsgebied) dari suatu negeri sebagai wilayah kesatuan administratif yang lebih kecil, dan merupakan bagian dari suatu wilayah petuanan atau negeri. Pada umumnya setiap negeri mempunyai sedikitnya tiga soa, dan soa-soa ini terbentuk oleh beberapa rumatau, dan rumatau terbentuk oleh beberapa keluarga sebagai sub unit-sub unit dari rumatau. Rumatau adalah persekutuan genealogis, sedangkan soasoa adalah persekutuan teritorial genealogis, yaitu kesatuan wilayah yang didiami oleh beberapa kelompok orang yang masing-masing kelompoknya merupakan kesatuan genealogis. Kondisi pemerintahan adat (tradisional) terus mengalami dinamika, setelah kedatangan bangsa-bangsa Eropa (Portugis dan Belanda). Era pemerintahan modern mulai diperkenalkan oleh Portugis, kemudian Belanda mengusai wilayah ini. Pada era kolonial Belanda, pemerintahan negeri (adat) terus berlangsung, dan terjadi penyesuaian untuk mewujudkan kepentingan kolonial Belanda. Kondisi pemerintahan negeri (adat) terus berlangsung sampai memasuki era kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1945. Pada saat Indonesia berada di era pemerintahan orde lama, kehidupan politik pemerintahan (adat) terus berlangsung dengan berbagai penyesuaian sesuai dengan sistem pemerintahan di Indonesia. Dinamika pemerintahan negeri (adat) mulai mengalami perubahan yang mendasar ketika Indonesia memasuki era pemerintahan orde baru. Pada tahun 1975 Pemerintah Negera Kesatuan Republik Indonesia mengeluarkan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974, kemudian disusul dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Sistem Pemerintahan Desa, maka pada era orde baru tersebut di Tanah Maluku mulai berlaku undang-undang dimaksud. Pada saat pemberlakuan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Sistem
Pemerintahan Desa. Kondisi yang berlangsung di Tanah Maluku pada masa pemerintahan orde baru yaitu tampak jelas bahwa eksistensi negeri adat dengan petuanan, dan pemerintahan negeri (adat) dengan lembaga Saniri Negeri, Soa, Kewang, dan Marinyo kehilangan roh kepemimpinan sama sekali dalam penyelenggaraan pemerintahan. Mata-rantai dalam pemerintahan adat menjadi terputus karena jiwa dari undang-undang dimaksud tidak bisa mengakomodir kepentingan masyarakat secara baik. Dinamika pemerintahan yang berlangsung sampai saat ini Indonesia memasuki era reformasi terjadi pula perubahan dalam kehidupan pemerintahan di Tanah Maluku ketika Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia memberlakukan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Kondisi pemerintahan yang berlangsung di Provinsi Maluku dilakukan kembali pembenahan dalam administrasi pemerintahan. Sebagai tindak lanjut untuk penyelenggaraan pemerintahan di daerah, kemudian Pemerintah Provinsi Maluku mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2006 tentang Negeri, kemudian disusul dengan berbagai peraturan daerah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota dan Pemerintah Kabupaten di Maluku. Dewasa ini dengan dikeluarkannya Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 mengenai Pemerintahan Daerah, berarti dalam pelaksanaan pemerintahan di Maluku perlu menyesuaikan dengan eksistensi Negeri Adat beserta hak-hak serta kewajibannya. Hal ini kemudian diperkuat dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2013 tentang Pemerintahan Desa. Harapan yaitu jiwa dan eksistensi Negeri Adat dalam susunan pemerintahan pada saat ini bisa menjadi ujung tombak untuk membangun negeri secara baik. Selain itu juga terdapat negeri atau desa administratif yang telah mengalami pemekaran dari negeri adat sebagai induk, dan di wilayah perkotaan terdapat keluarahan. Proses penyesuaian dengan dinamika pemerintahan terus dilakukan, sehingga diharapkan dalam menghadapi kondisi tersebut tidak terjadi
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 33
benturan maupun konflik karena kondisi negerinegeri adat di Maluku yaitu masing-masing telah memiliki daerah kekuasaan atau petuanan yang secara umum dapat dijumpai pada berbagai daerah dengan sebutan berbeda-beda. Kekuasaan yang dimiliki oleh suatu Negeri Adat di Maluku dalam wilayah petuanan, regenshaf, raskaf, dan sebagainya meliputi manusia, tanah, hutan, laut, dan sebagainya. Realitas yang dialami seperti ini perlu diperhatikan dalam penerapan suatu kebijakan yang berkaitan dengan wilayah hutan, sehingga pelibatan masyarakat maupun lembaga-lembaga adat dan pemerintahan pada tingkat negeri sangat penting untuk menghindari benturan kepentingan dalam masyarakat. Dalam wilayah adat di Maluku, peran dari lembaga Raja, Saniri Negeri, Soa, Kewang, dan Marinyo, serta lainnya sangat penting. Usaha pelibatan kelembagaan dimaksud untuk kepentingan implementasi program pembangunan agar pelaksanaannya bisa berlangsung secara baik dan lancar.
3.1.3 Sejarah Asal-Usul Kelompok Etnik dan Penyebarannya Asal-usul penduduk pada umumnya yang mendiami Kepulauan Maluku yaitu mereka terdiri dari berbagai suku bangsa maupun sub suku bangsa atau daerah. Dapat dikatakan bahwa penduduk Maluku terdiri dari berbagai kelompok etnik (ethnic group) yang dapat dikategorikan sebagai penduduk asli dan pendatang. Dikemukakan oleh Effendi (1987) yaitu sebagian besar dari mereka berasal dari Pulau Seram. Pulau Seram adalah pulau induk dan karena itu dinamakan “Nusa Ina” atau Pulau Ibu. Penduduk yang menamakan diri mereka sebagai orang asli yang berasal dari Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) mengakui bahwa keturunan mereka memiliki kaitan langsung dengan keturunan Aliuru atau Alifuru Seram (Alif= Awal, dan Uru= Manusia). Aliuru atau Alifuru adalah manusia awal di Pulau Seram (Pelupessy, 2013). Dalam kehidupan Alifuru Seram dijumpau dua suku besar yaitu Suku Alune dan Suku Wemale. Sistem 34 •
Keragaman Manusia Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
pengelompokan berbasis asal-usul dan sosialbudaya yang terdapat dalam kehidupan Alifuru Seram yaitu Patasiwa dan Patalima yang terdapat dalam wilayah Maluku Tengah (Ambon-LeaseSeram). Pengelompokan sosial Patasiwa terdiri dari Patasiwa Hitam (Patasiwa Mete) menempati wilayah Seram sebelah barat sungai Mala, dan Patasiwa Putih menempati daerah sempit sepanjang pantai selatan di sebelah timur sungai Mala, sepanjang Teluk Teluti (Cooley, 1961). Masing-masing kelompok Pata mendiami teritorial, menganut tradisi, adat-istiadat, menganut bahasa, kebudayaan, teritorial, dan lainnya yang berbeda. Dalam kehidupan Alifuru Seram, kedua kelompok Pata tersebut selalu hidup bermusuhan karena pada masa lampau di Seram tradisi mengayau sangat kuat. Permusuhan maupun pertikaian yang seringkali terjadi antara kelompok Patasiwa dan Patalima mengakibatkan mereka ada yang tersebar ke luar meninggalkan Pulau Seram dan mendiami pulau-pulau lain disekitarnya. Untuk itu sistem pengelompokan syang berbasis Patasiwa dan Patalima, Urisiwa dan Urilima di Maluku Utara, Ursiu dan Lorlim di Maluku Tenggara, dan Ursiwa dan Urlima di Kepulauan Aru dapat dikatakan merupakan struktur sosial dasar bagi Orang Maluku (Pelupessy, 2013). Pengelompokan sosial berdasarkan SiwaLima sebagai struktur sosial dasar dari masyarakat Maluku, dapat dijumpai pada masyarakat asli yang mendiami negeri-negeri (adat) di Pulau Seram, Ambon, Lease (Saparua, Haruku, dan Nusalaut) maupun wilayah Maluku Tengah secara umum. Kelompok Patasiwa dan Patalima di daearah ini hidup dengan tardisi, adat-istiadat, budaya, sosial, dan teritorial masing-masing. Basis teritorial adat yang terdapat pada negerinegeri adat di Maluku Tengah (Ambon-LeaseSeram) dengan Petuanan (daerah kekuasaan), di Pulau Buru dinamakan Regenschaf, di Maluku Tenggara dinamakan Ratschap yang dikuasai oleh Raja dan Schap yang dipimpin oleh Orang Kaya yang memiliki wilayah otonom masingmasing, di Seram dinamakan Petuanan dan Regenschaf memiliki wilayah otonom. Eksistensi masyarakat adat yang mendiami setiap Negeri Adat di Tanah Maluku dapat
teridentifikasi melalui simbol rumah adat berupa Baileu atau Baileo sebagai bangunan sakral yang berkedudukan di tengah-tengah negeri. Mengenai eksistensi Baileu pada Negeri Adat dikemukakan oleh Cooley (1961) bahwa, baileu itu disebut atau dilihat sebagai rumah adat. Baileu adalah manifestasi fisik dari desa sebagai persekutuan adat. Baileu merupakan rumah tua desa, rumah pusaka dari klen sebagai tempat untuk menyimpan semua pusaka dan alat-alat yang mereka percaya memiliki arti dan kekuatan khusus (gaib) karena pusaka dan alatalat tersebut ada kaitannya dengan para leluhur, dan tempat orang membicarakan, memutuskan dan melaksanakan hal-hal yang ada kaitannya dengan kesejahteraan klan atau pribadi di dalam kelompok. Melalui salah satu simbol adat yang dimiliki oleh negeri adat di Tanah Maluku, dapat dikatakan bahwa baileu (rumah adat), maupun petuanan (wilayah kekuasaan adat), dan negeri memiliki kaitan langsung dengan eksistensi dan identitas yang sifatnya mengikat setiap penduduk asli yang menamakan sebagai “Anak Negeri”. Artinya, makna Anak Negeri, negeri, dan petuanan merupakan jati diri atau identitas penduduk yang mendiami wilayah adat dan memiliki kekuatan mengikat, dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun juga. Untuk itu dalam wilayah petunan konsep tanah, hutan, gunung, dan laut yang berada di dalamnya menjadi kesatuan yang bersifat totalitas dan tidak terpisahkan dari kehidupan setiap suku bangsa atau sub suku bangsa yang mendiami wilayah adat dimaksud. Setiap negeri adat memiliki relasi sosial antar warga yang tercipta melalui ikan gandong, bongso, maupun pela sebagai lembaga sosial yang berperan dalam mewujudkan nilai kehidupan sebagai orang basudara. Makna gandong adalah rahim dan pangku, suatu pusat dan awal dari pada segala sesuatu yang hidup (Pattiruhu, et al, 1997). Selain itu juga dijumpai sapaan bongso yang bermakna sebagai orang basudara yang memiliki satu asal-usul, atau berasal dari rahim ibu yang sama (Pelupessy, 2005). Makna gandong dan bongso bersifat genealogis. Selain itu juga terdapat sapaan pela (pela darah,
pela batu karang, atau pela keras, pela tampa sirih), adik-kaka yang bermakna teritorial. Dikemukakan oleh Cooley (1987) bahwa pela adalah ikatan persahabatan atau persaudaraan yang dilembagakan antara seluruh penduduk pribumi dari dua desa atau lebih. Ikatan tersebut telah ditetapkan oleh leluhur dalam keadaan yang khusus dan menyertakan hak-hak serta kewajiban-kewajiban tertentu bagi pihak-pihak yang ada di dalamnya. Lebih lanjut dikemukakan Cooley (1987) bahwa terdapat dua jenis pela yang saling berbeda dalam hal eratnya ikatan dan ketatnya kewajiban serta ancaman hukuman. Jenis pertama disebut dengan berbagai nama seperti pela keras, pela tulen, pela batu karang atau pela darah. Kedua sebutan terakhir mungkin didapatkan dari situasi ketika ikatan itu dibentuk, tetapi dalam seluruh ikatan itu hubungan antar desa telah ditetapkan dengan ketat dan dihayati secara harfiah. Jenis pela ini (pela darah) ditetapkan melalui sumpah para pemimpin leluhur kedua pihak dengan cara meminum darah yang diambil dari jari-jari mereka yang dicampur dengan minuman keras lokal, dari satu gelas, setelah ujung-ujung senjata mereka dicelupkan ke dalam gelas itu. Hal ini memeteraikan sumpah persaudaraan untuk selama-lamanya. Untuk itu, perkawinan antar pela dilarang. Anggota-anggota pela wajib saling membantu dalam masa peperangan atau pada setiap krisis yang lain, memenuhi permintaan salah satu pihak. Pela jenis lain adalah pela tempat sirih, adalah pela lunak karena tidak ditetapkan dengan sumpah dan tidak ditetapkan dengan sumpah dan tidak dikaitkan dengan kewajiban yang ditetapkan secara ketat. Ikatan pela yang terdapat pada dua atau lebih dari masyarakat negeri adat dapat terjadi karena mereka pernah terlibat konflik pada masa lampau kemudian bertekat menyelesaikan konflik maupun pertikaian dengan cara membangun hubungan sosial yang makin erat sebagai orang basudara, tetapi pela dapat terjadi antara dua atau lebih masyarakat negeri adat karena mereka saling tolong-menolong pada masa lampau akibat salah satu kelompok pernah mengalami kesusahan. Relasi sosial seperti ini kemudian dipelihara dan dibina dengan berbagai
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 35
peristiwa adat seperti panas gandong, panas bongso, panas pela, pelantikan Raja, pembuatan atau perbaikan rumah adat (baileu), pembuatan atau perbaikan rumah ibadah, dan sebagainya. Dalam kehidupan masyarakat negeri adat terdapat nilai tolong-menolong antar warga yang dinamakan masohi dalam berbagai aktivitas hidup keseharian sebagai Selain penduduk asli yang mendiami negeri-negeri adat, di wilayah Maluku sejak masa lampau telah didatangi oleh para pendatang yang berasal dari Suku Buton, Bugis, Makasar, Minangkabau, Arab, Tionghoa, Portugis, Belanda, Jawa, dan suku-suku lainnya yang berasal dari Halmahera, Ternate, Jailolo, Bacan, dan wilayah lainnya di Maluku Utara. Kondisi penduduk di wilayah Maluku pada saat ini dapat dikategorikan sebagai wilayah dengan keragaman suku bangsa yang sangat tinggi, dan hal ini tampak melalui bahasa maupun dialek lokal yang digunakan oleh setiap suku bangsa dalam berkomunikasi. Keragaman bahasa atau dialek yang terdapat pada masyarakat Maluku berdasarkan hasil penelitian Summer Institute of Linguistik (SIL) di Maluku terdapat kurang lebih 177 bahasa atau dialek yang tersebar di 100 suku dan sub suku bangsa yang mendiami pulau-pulau kecil di Maluku. Bahasa yang dipergunakan masyarakat Maluku di dalam komunitas besar, yaitu Bahasa Kei, Bahasa Ternate, Halmahera, dan Bahasa Seram. Bahasa Ternate, Halmahera merupakan bahasa pengantar (lingua franca) di wilayah Ternate dan Halmahera, bahkan hampir diseluruh kawasan Maluku Utara. Bahasa Seram digunakan oleh suku bangsa Alune dan Wemale sebagai sukubangsa terbesar di Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu), karena sebagian besar orang asli yang mendiami Kepulauan Maluku mengakui bahwa leluhur mereka yang dinamakan Alifuru berasal dari sana. Dalam realitasnya, wilayah Maluku telah menjadi suatu wilayah dengan masyarakat yang berciri multi etnik sehingga kondisi masyarakat Maluku pada saat ini berciri masyarakat majemuk (plural society). Dalam interaksi sosial, untuk membedakan diri pada mereka sebagai penduduk asli (Anak Negeri), dijumpai penamaan terhadap penduduk pendatang dengan sebutan “Orang 36 •
Keragaman Manusia Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
Dagang” bagi penduduk yang bukan berasal dari negeri adat yang bersangkutan.
3.1.4 Keragaman Manusia, Suku Bangsa Dan Penyebarannya Keragaman manusia, suku bangsa dan penyebaran di Kepulauan Maluku menjadi penting untuk dipahami karena hal ini berkaitan dengan karakteristik masyarakat yang identik, karena pola perpindahan kelompok-kelompok lain dari Pulau Seram pada saat itu juga mengikuti pola yang sama ketika mendiami Pulau Ambon, Saparua, Haruku, Nusalaut, Buru, dan pulaupulau lainnya di Maluku Tengah. Kemungkinan perpindahan Orang Alifuru Seram dari Teluk Tanunu di Seram barat ke Jazirah Leihitu, Leitimor, Lease yang berlangsung saat itu melalui suatu kurun waktu yang lama dalam bentuk kelompok yang terbentuk atas dasar geneologis. Ditempat baru itu mereka hidup alam kelompok-kelompok keluarga yang kemudian terkenal dengan sebutan Rumatau atau Lumatau (keluarga atau famili) secara terpisah meskipun tidak berjauhan. Realitas yang berkaitan dengan keragaman kelompok suku bangsa dan sub suku, udaya yang cukup kaya, yang hidup dengan tradis sejak kecil (the little tradition). Walaupun memiliki tingkat keragaman yang cukup besar seperti itu, tapi pada dasarnya secara kultural akar kebudayaan Orang Maluku itu hampir identik, karena didasarkan pada pandangan kosmologinya yang monodualistik, yaitu Siwa-Lima. Pandangan monodualistik ini adalah nilai inti yang membentuk kepribadian masyarakat Maluku pada umumnya. Akar budaya Maluku ditemukan dalam kebudayaan Orang Austronesia yang telah mengalami pembauran dengan Orang Melanesia dan Polinesia. Mereka adalah suku bangsa yang mendiami gugusan kepulauan di sebelah Barat Samudera Pasifik. Kenyataan sejarah (realismhistoris) menunjukan bahwa suku Austronesia, dan juga Melanesia, serta polinesia adala ras asli masyarakat awal yang tersebar dan mendiami kepulauan tertentu di Maluku. Orang-orang Maluku sendiri menamakan diri mereka sendiri dengan sebutan Alifuru. Dalam tradisi lisan
(oral tradition) orang-orang Maluku, sebelum leluhurnya tersebar ke pelbagai pulau kecil di Maluku, Orang Austronesia, dan juga Orang Melanesia telah mendiami pulau-pulau besar seperti Pulau Seram, Halmahera, dan Buru. Beberapa ciri Orang Melanesia seperti yang digambarkan oleh Worsley juga ditemukan pada Orang-Orang Alifuru yang sampai sekarang masih mendiami pedalaman Pulau Seram. Ciriciri itu berupa sistem sosial yang berdasarkan aktivitas berkebun kecil-kecilan, aktifitas meramu sagu, kompleks upacar yang bertalian dengan kekeramatan dan rahasia, upacara inisiasi dengan perlambangan totemisme, upacara pesta babi yang luas serta gerakan-gerakan raja adil yang terkenal dengan nama cargo-cult. Sebagian besar penduduk di Kepulauan Maluku, terutama penduduk yang tersebar di sekitar Ambon-Lease (Saparua, Haruku, Nusalaut) pada umumnya mengakui bahwa leluhur mereka berasal dari Pulau Seram. Umumnya mereka datang dari daerah Seram Selatan bagian tengah dan Barat yaitu dari tiga aliran SungaiTala, Eti, dan Sapalewa. Sungaisungai mana berhulu atau bersumber pada sebuah pohon beringin besar pada tempat yang bernama Nunusaku (Effendi, 1987). Masyarakat yang mendiami Ambon-Lease menyebutnya dengan nama Tiga Batang Air (Tala, Eti, dan Sapalewa), atau Tala Batai, Eti Batai, dan Sapalewa Batai (Pelupessy, 2005). Proses penyebaran penduduk dari Pulau Seram ini terjadi karena; 1). Peperangan antar kelompok pendukung Patasiwa dan Patalima, atau yang lazim dikenal dengan perang PatasiwaPatalima; 2). Heroismen rakyat Maluku untuk melakukan perlawanan sehingga pecah Perang Huamual berupa perlawan pisik yang dilakukan oleh penduduk Pulau Seram atau Alifuru Seram yang terdiri dari kelompok Patasiwa dan Patalima melawan ekspansi kolonialisme barat (Portugis maupun Belanda). Perlu dikemukakan bahwa, melalui proses penyebaran penduduk Maluku pada masa lampau untuk menempati suatu wilayah tertentu di mana terdapat tanah, hutan, gunung, dan laut yang ditempati oleh pendahulu mereka, sehingga merupakan bagian
wilayah adat yang dikuasai oleh anak cucu (keturunan) sampai saat ini. Untuk itu dalam wilayah Maluku, tidak terdapat tanah atau hutan yang tidak bertuan atau tidak ada pemilik. Semua tanah, hutan, dan gunung memiliki pemilik. Untuk itu kepemilikan terhadap tanah di wilayah Maluku atau yang berkaitan dengan hukum tanah menurut Effendi (1987) meliputi kekuasaan hak petuanan, hubungan antara hak petuanan dengan hak-hak yang bersifat perorangan, batasbatas wilayah petuanan, menyusutnya wilayah petuanan, tanah, ewang, dan dusun, aong, dusun negeri, dati raja, dusun pusaka, pohonpohonan, hak orang asing (bukan anak negeri). Dikemukakan lebih lanjut oleh Effendi (1987) mengenai berbagai hak atas tanah yaitu hak milik, hak pakai, hak menikmati, hak diutamakan, hak didahulukan, dan hak-hak lainnya atas tanah. Berbagai kategori yang dikemukakan tentang hukum tanah seperti di atas, kemudian yang berkaitan dengan hukum dati yang dikemukakan oleh Effendi (1987) yaitu arti dati, asal-usul dati, asal mula hukum dati, pokok-pokok hukum dati, daerah berlakunya hukum dati, dati sebagai kelompok kesatuan wajib kerja, tugas-tugas dati, jumlah dati, personalia dati, dati lenyap, dati sebagai badan hukum, dusun dati, tanaman dati, dusun pusaka dati, hak menikmati dusun dati, hak dati anak perempuan, hak anak perempuan atas dusun pusaka dati, hak anak perempuan atas dusun atitin, hak anak perempuan atas dusun perusahan sendiri, hak dati anak luar nikah, hak dati orang perempuan kawan hidup bersama, dan hapusnya hak makan dati. Pada umumnya batas-batas tanah adat yang dikuasai oleh negeri ditentukan oleh batas alam seperti sungai, batu, pohon, dan lainnya. Tetapi ada juga kepemilikan tanah yang memiliki dokumen tertulis, baik pada masa penjajahan Belanda, maupun Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3.1.4.1 Kosmologi
Perbincangan mengenai kosmologi terdapat dua istilah yaitu makrokosmos dan mikrokosmos. Dikemukakan oleh Christian Wolf (1728) dalam karyanya Praeliminares de Philosphia in Genere
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 37
memposisikan kosmologi sebagai salah satu cabang metafisika. Pandangannya mengenai alam semesta diselidiki menurut inti dan hakikatnya yang mutlak, yaitu menurut keluasan dan maknanya. Titik tolak kosmologi adalah kesatuan manusia dan alam semesta dengan dunia yang dialami manusia (Siswanto, 2005). Bertolak dari pandangan tentang kosmologi seperti dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa kosmologi Orang Maluku mengenai alam semesta berakar pada konsep tentang relasi antara manusia dengan Mahakuasa Pencipta Alam Semesta dan Manusia, berada pada tataran makrokosmos karena berdiamnya roh para leluhur. Pemahaman Orang Maluku terhadap gunung-tanah, tanah kelahiran, tampa putus pusa, baileu, dan batu pamali yang berada dalam wilayah petuanan dari suatu negeri adat berada pada tataran mikrokosmos. Relasi antara makrokosmos dan mikrokosmos merupakan totalitas hidup yang tidak terpisahkan, dan unsur manusia berperan sebagai mezokosmos. Dalam ingatan bersama (memori kolektif ) Manusia Maluku, sesunguhnya masyarakat asli yang mendiami gugusan kepulauan di Maluku Tengah yang mengakui leluhurnya berasal dari Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu). Melalui tradisi lisan yang sering disampaikan dalam bentuk kapata (kisah dalam bentuk nyayian) yang sering dilakukan melalui ritual adat maku-maku atau maro-maro mengisahkan tentang kejadian Pulau Seram dan perjalanan leluhur dari Pulau Seram ke berbagai tempat. Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) sebagai pulau di mana semua orang berasal dari sana, dan dimaknai sebagai Manusia Perempuan yang tidur terlentang sesuai mitologi Seram Gunung Manusia (Pelupessy, 2013). Sesungguhnya makna Seram atau Ceram yaitu tidak ada lagi kekuatan yang bisa menghancurkan bumi pulau itu, kecuali kekuatan dari Maha Kuasa Pencipta Alam Semesta dan Manusia (Pelupessy, 2013). Berkaitan dengan Seram sebagai Gunung Manusia, berarti Seram perlu diperlakukan layaknya manusia yang hidup, sehingga tidak boleh disakiti, apalagi dirusak. Pemaknaan terhadap tempat asal-usul dari leluhur Orang 38 •
Keragaman Manusia Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
Maluku yaitu Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) ini mengisyaratkan bahwa konsep gunung-tanah merupakan kesatuan yang saling menghidupi sehingga perlu dijaga dan dilindungi (mabangat nai tua malindong) seperti dipaham oleh Orang Bati di Pulau Seram-Maluku (Pelupessy, 2012). Pandangan mengenai kosmologi pulau ini juga dapat ditemui dalam berbagai kapata (bahasa tanah) dari Orang Morela di Jazirah Leihitu Pulau Ambon seperti dikemukakan oleh Latukau (1997) tentang zang over de verschijning van de eerste mensen op het eiland Ambon, atau kapata kenyataan manusia pertama di Pulau Ambon. Dalam sejarah Ulapoko sebagai tempat kediaman pertama nenek moyang, dan kini turunannya telah tersebar pada negerinegeri atau desa-desa di Pulau Ambon. Oleh karena itu disanjung pada empat Upu Tanah yaitu Latu (Raja) dengan hulubalangnya Meten, Tuhe, dan Hiti. Keyakinan pada kekuatan yang terdapat pada pulau melambangkan rahasia yang tersembunyi dan tidak mudah diketahui oleh manusia biasa. Kekuatan pulau tersebut sewaktuwaktu muncul apabila terdapat pemberlakuan yang salah terhadap manusia, pulau, gunung, tanah, dan hutan. Kosmologi masyarakat adat yang mendiami Negeri Morela di Pulau Ambon, memiliki makna yang identik dengan kosmologi Alifuru Seram yang memiliki kearifan hidup dalam memaknai dan memahami Pulau Seram sebagai Gunung Manusia berdasarkan mitologi penciptaan alam semesta dan manusia awal atau Alifuru (Pelupessy, 2013). Pandangan kosmologi yang dimiliki oleh masyarakat Maluku telah menempatkan makna bagi pulau, gunung, tanah, dan hutan yang berada di sekeliling masyarakat Maluku sebagai mata-rantai kehidupan yang sangat penting dalam menjalani hidup di dunia ini dengan Maha Kuasa Pencipta Alam Semesta dan Manusia yang mereka yakini dalam sebutan Kapua Upu Ila Kahuresi, Upu Lanite, Upu Kua Hatana, Aupu Lahatala, Upu Lastala, Jou Lahatala (Pelupessy, 2013). Keyakinan Manusia Maluku seperti ini senantiasa dijumpai dalam berbagai ritual adat, dan terus berkembang dalam kehidupan dari
penganut Agama Islam, Protestan, Katolik, dan lainnya di Maluku. 3.1.4.2 Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan dan peralatan hidup dapat dikategorikan sebagai sarana penopang hidup yang sangat penting. Realitas menunjukkan bahwa sistem pengetahuan dan peralatan hidup terus mengalami perkembangan dan perubahan seiring dengan zaman, namun pada hakikatnya menjadi bagian yang penting dalam budaya masyarakat Maluku. Secara psikhis, pengetahuan yang dimiliki oleh sebagian besar masyarakat adat di Kepulauan Maluku, walaupun terus mengalami dinamika tetapi hakikat dasar tetap melekat dengan kehidupan keseharian, sehingga terus diasah melalui proses belajar melalui cara penuturan (oral story) kepada generasi penerus. Hasil belajar melalui cara penuturan, dan didukung oleh proses interaksi dengan sesama warga, maupun orang luar telah menghasikan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan karena berkaitan dengan perilaku pada aspek manusia dan masyarakat. Ada beberapa bentuk sebagai berikut: 1. Peralatan produksi. 2. Peralatan distribusi dan transportasi. 3. Peralatan komunikasi. 4. Peralatan konsumsi. 5. Senjata. 6. Pakaian dan perhiasan. 7. Makanan dan minuman. 8. Tempat berlindung atau istirahat, dalam bentuk perumahan atau papan. 3.1.4.3 Sistem Mata Pencaharian Hidup
Mata pencaharian penduduk erat kaitanya dengan kondisi lingkungan dan musim. Mayoritas masyarakat Maluku adalah petani. Walaupun ada diantara Manusia Maluku yang mencari nafkah hidup di laut, tetapi profil sebagai petani sama sekali belum dapat ditinggalkan. Pandangan ini kiranya cukup beralasan karena dari asal-usul dari Orang Maluku atau Manusia Maluku adalah Manusia Gunung. Sebagai contoh di Maluku Tengah, terdapat 3 musim
yaitu musim kemarau (musim barat), musim penghujan (musim timor), dan musim peralihan (pancaroba). Kondisi musim yang berlangsung di Kepulauan Kei dan lain tempat juga mengenal musim, yaitu musim kemarau (musim barat) dan musim musim penghujan (muim timor), dan musim peralihan (pancaroba). Pada musim barat, curah hujan yang cukup tinggi merupakan saat yang sangat baik bagi penduduk untuk berladang. Mereka menanami kebunnya dengan berbagai jenis tanaman kebutuhan sehari-hari, seperti embel (ketela pohon) yang merupakan tanaman pokok suku bangsa Kei, pisang, kacang-kacangan, sayursayuran. Pada musim timur, kegiatan diladang sementara dihentikan dan mereka beralih pada kegiatan laut sebagai nelayan. Jadi mata pencaharian pokok penduduk adalah bertani dan menangkap ikan. Kehidupan masyarakat Maluku yang berkaitan dengan mata pencaharian hidup, dapat dikemukakan bahwa secara ekologis terbagi dalam empat zona yang masing-masing menunjukan diversiifikasi terhadap sistem mata pencaharian mereka berdasarkan kebudayaan dan sebaran suku bangsa, yaitu: 1. Zona ekologi Rawa-rawa (Swampy Areas), Daerah pantai dan muara sungai (Coastal & Laowland Reverin). 2. Zona Ekologi daerah pantai dan muara sungai (Coastal Laowland Areas). 3. Zona ekoloi kaki gunung dan daerah lembahlembah kecil (Foothils and Small Valley). 4. Z ona ekolog i peg unung an ting g i (Highlands). Pola mata pencaharian hidup dari Orang Maluku yang berlangsung pada zona di atas pada saat ini telah mengalami dinamika sehingga cara-cara memenuhi nafkah hidup dari masyarakat tampak lebih bervariasi dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi, namun perilaku hidup sebagai manusia gunung yang mengandalkan pertanian, ladang berpindah, pemburu, dan peramu sama sekali belum dapat ditinggalkan karena hal ini terkait dengan orientasi nilai. Untuk itu dalam mencari nafkah untuk kelangsungan hidup secara individu maupun keluarga dan kelompok pola yang dianut masih bersifat subsisten (keadaan
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 39
apa adanya) untuk memenuhi nafkah hidup. Perubahan ini perlu didukung oleh perubahan orientasi nilai tentantang hakikat hidup. Dalam realitasnya, sebagai masyarakat penghuni pulau-pulau kecil di Kepulauan Maluku ternyata mereka memiliki mata pencaharian hidup di bidang pertanian tanaman keras seperti cengkih, pala yang pernah menjadi komoditi andalan dan mendunia, namun pada saat ini makin ditinggalkan. Pola usaha pertanian yang dilakukan pada zona pegunungan dan lereng bukit sebenarnya memiliki nilai karena didukung oleh kearifan lokal dari masyarakat adat dalam melakukan sasi (larangan adat) baik untuk koditi pertanian tertentu di darat, maupun komoditi yang terdapat di laut. Namun kondisi ini sering dihadapkan pada berbagai kebijakan pemerintah yang kurang memperhatikan kondisi lokal menyebabkan tanah, hutan, dan lainnya sering terbengkalai. Persoalan ini apabila tidak ditemukan solusi yang tepat, maka dikhawatirkan akibat ekploitasi terhadap tanah dan hutan yang terdapat pada pulau-pulau kecil di Kepuluan Maluku makin mengkhawatirkan. Artinya pulau kecil, makin menjadi kecil akibat eksploitasi sumber yang dilakukan oleh manusia untuk berbagai kepentingan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Zona ekologis pulau-pulau kecil bisa menjadi rawan apabila tidak dikelola secara baik dan bisa menimbulkan bahaya bagi kelangsungan hidup orang pulau sendiri, baik saat ini maupun masa depan. 3.1.4.4 Organisasi Sosial Kemasyarakatan
Dalam kehidupan sosial masyarakat adat di Maluku terdapat istilah “Siwa-Lima” karena secara socio-cultural masyarakat yang mendiami wilayah budaya Maluku Utara terdapat persekutuan hidup atau pengelompokan sosial dari orang-orang Uri Siwa dan Uri Lima. Uri Siwa dipimpin oleh Ternate, dan Uri Lima dipimpin oleh Tidore. Masyarakat yang mendiami wilayah budaya di Maluku Tengah terdapat pengelompokan sosial Patasiwa dan Patalima. Masyarakat yang mendiami wilayah budaya Maluku Tenggara terdapat 40 •
Keragaman Manusia Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
pengelompkan sosial yang dinamakan Ur Siw dan Lor Lim. Masyarakat yang mendiami Kepulauan Aru terdapat pengelompokan sosial yang dinamakan Ursiwa dan Urlima. Hakikat nilai yang mendasar terdapat pada konsep SiwaLima yang merupakan pandangan dasar dalam masyarakat Maluku, dan mengandung nilai persatuan dan kesatuan yang kuat. Untuk itu Siwa-Lima merupakan struktur sosial dasar bagi masyarakat Maluku karena memiliki nilai dasar yang menjadi basis tumbuh dan berkembangnya perasaan persatuan dan kesatuan dalam sistem sosial dari Orang Maluku. Melalui struktur Siwa-Lima telah memunculkan istilah khas dalam membina relasi sosial antar “Orang Basudara”. Nilai-nilai dasar yang terdapat dalam konsep Orang Basudara memiliki makna genealogis, dan telah berperan dalam interaksi sosial diantara sesama Orang Maluku. Nilai dasar yang terdapat dalam konsep Orang Basudara telah menjadi mata-rantai yang sangat penting ketika Orang Maluku berinteraksi dengan orang yang berasal dari luar Maluku, sehingga turut menguatkan relasi sosial sebagai “Orang Bersaudara” dikalangan masyarakat Maluku dalam menghadapi dan merespons dinamika perubahan yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat Maluku. Makna socio-cultural yang terdapat dalam konsep Orang Basudara sebagai dasar penguatan untuk memahami dinamika sosio-kultural berdasarkan perspektif multikulturalisme untuk tidak membeda-bedakan asal-usul seseorang, sehingga nilai dan makna yang sangat tinggi dalam kehidupan bermasyarakat di Maluku. Oleh karena itu masyarakat Maluku sangat menjunjung tinggi rasa persaudaraan yang ada di dalam kehidupan sosial mereka sehingga memunculkan frasa sarat makna seperti “ale rasa beta rasa”, “potong di kuku rasa di daging”. Maknanya hidup sebagai Orang Basudara itu berarti tidak boleh saling menyakiti satu terhadap yang lain, sebab seseorang merasakan sakit maka yang lainpun akan urut merasakan sakit. Nilai dasar seperti dikemukakan di atas melekat secara langsung dengan sistem kekerabatan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Maluku terbentuk melalui pola
yang dikenal dengan mata rumah (Rumatau atau Lumatau sebagai keluarga inti, Soa (keluarga besar atau rumpun warga), Hena (negeri atau kampung), dan Uli (negeri atau desa). Sistem nilai itu selanjutnya menjadi panduan moral yang dipegang teguh oleh para pemimpin dan dijunjung tinggi oleh masyarakat di masa lalu, sampai masa kini dalam menghadapi dinamika perubahan zaman. Secara filosofis nilai-nilai tersebut masih bisa terus digali dan ditemukan pemaknaan dalam kehidupan bermasyarakat dikalangan Orang Maluku. Meskipun terjadi perubahan secara simbolik dan pada tataran instrumental, namun kaidah dan nilai adat masih terus menjadi sumber kearifan hidup masyarakat Maluku. Sistem nilai budaya seperti inilah menjadi keseluruhan dalam mata-rantai hubungan sosial kemasyarakatan yang tercipta dan terbagun dalam kehidupan bermasyarakat dikalangan Orang Maluku, kemudian menjadi pedoman dalam menata sistem perkawinan, sistem perekonomian pada tingkat negeri, hubungan pengelompokan pemuda dan pemudi tingkat negeri (jujaro dan ngungare), serta pranata-pranata sosial lainnya. Organisasi jojaro-ngungare adalah kelompok wanita muda yang belum menikah (jojaro) dan kelompok pemuda yang belum menikah (ngungare). Dapat dikatakan bahwa tradisi, adat-istiadat, dan budaya meskipun mengalami dinamika dengan perkembangan zaman, namun kaidah-kaidah adat dan norma-norma sosial yang berperan mengatur pergaulan hidup masih tetap dipertahankan sampai saat ini dan dirasakan sampai sekarang. Semuanya ini memiliki urat, dan berakar pada nilai dasar tentang hidup Orang Basudara sebagai pandangan hidup yang dimiliki oleh Orang Maluku dan menjadi pengikat dalam berbagai sistem kehidupan sosial budaya. Dalam kehidupan bermasyarakat dikalangan Orang Maluku terdapat sistem kekerabatan yang terbentuk melalui pola mata rumah atau Rumatau, Lumatau (keluarga inti), Soa (keluarga besar atau rumpun warga), Hena atau Aman (negeri atau kampung ), dan Uli (negeri atau desa). Struktur masyarakat yang membingkai kehidupan Orang-Orang Maluku
juga merupakan cerminan dari perasaan hidup sebagai Orang Basudara. Struktur masyarakat ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Rumatau atau Lumatau Rumatau atau Lumatau merupakan kesatuan kelompok genealogis yang lebih besar sesudah keluarga atau biasa juga disebut Lumatau. Kata dasarnya adalah “Ruma” atau “Rumah”. Dikemukakan oleh Effendi (1987) bahwa Rumahtau atau Lumatau adalah kesatuan kelompok genealogis yang lebih besar sesudah keluarga. Kata pokoknya adalah “Ruma atau Rumah”. Sebutan untuk kata Ruma ini berbeda di beberapa tempat, sesuai dengan dialek setempat, seperti Saparua disebut Lumal, Nusalaut disebut Rumah, Haruku disebut Ruma, Hila dan Asilulu disebut Luma. Makna dari Rumahtau berarti rumah yang didiami bersama-sama oleh orang-orang yang seketurunan dan keanggotaannya tersusun menurut garis keturunan laki-laki (bapak). Ruma yang berarti rumah dan “tau” yang berarti isi, jadi Rumatau berarti rumah yang didiami secara bersama-bersama oleh orang-orang yang mempunyai garis genealogis yang sama dan keanggotaannya tersusun menurut keturunan garis bapak (patrilinial). Sebuah Rumatau biasanya terdiri atas beberapa keluarga dengan kepala keluarganya masing-masing. Untuk mengatur urusan suatu Rumatau, baik dalam hubungan ke dalam atau kepada pihak luar seperti Rumatau lainnya, maka diangkatlah salah seorang dari anggota Rumatau yang bersangkutan untuk menjadi pemimpin dengan gelar “Upu”. Umumnya upu dipilih dari anggota yang tertua atau yang dituakan diantara anggota Rumatau. Senioritas generasi seseorang memegang peranan penting untuk dapat diangkat menjadi Upu. Hal ini dimaksudkan agar diperoleh seorang pemimpin yang berwibawa. 2. Uku Pada dasarnya Uku merupakan wilayah yang lebih luas karena pengembangan dari Rumatau di mana pertambahan anggota karena kelahiran sehingga jumlah mereka menjadi banyak.
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 41
Dikemukakan oleh Effendi (1987) bahwa Uku atau Huku itu merupakan suatu persekutuan genealogis. Uku atau Huku sebagai persekutuan hidup yang lebih besar karena anggota keluarga di dalam Rumatau yang memilih untuk memisahkan diri dan membuat rumah sendiri di luar Rumatau dengan persetujuan Upunya. Pada mulanya segala urusan masih diatur oleh Upu dari Rumatau tua. Tetapi secara perlahan dengan bertambahnya anak-anak rumatau baru yang memencar dan semakin banyak rumah tangga baru, serta semakin banyaknya masalah sosial ekonomi yang muncul, sehingga bebannya sudah tidak bisa lagi ditangani oleh Upu di Rumatau tua. Oleh sebab itu, Rumatau baru itu sendiri yang mengurus semua keperluan Rumataunya. Pada perkembangan selanjutnya rumah-rumah tersebut menjadi Rumatau-Rumatau baru. Lazimnya pembentukan Rumatau baru ini dilakukan dengan seizin rumatau tua. Proses pembentukan rumatau baru seperti ini terus berjalan secara berkelanjutan. Meskipun terjadi pemisahan-pemisahan tersebut, Rumatau tua tetap diakui sebagai rumah induk yang dapat disejajarkan dengan “paruik” dalam masyarakat Minangkabau. Perbedaannya di Minangkabau dihitung berdasarkan garis keturunan (genealogis) ibu, sedangkan di Maluku berdasarkan garis keturunan bapak. Seiring berjalannya waktu, perkembangan rumataurumatau yang semakin banyak ini kemudian membentuk sebuah kampung yang disebut “Uku” atau “Huku” dengan seorang pemimpin bergelar Tamataela. Pada perkembangan selanjutnya Uku atau Huku sebagai bentuk persekutuan genealogis lenyap, kemudian diganti dengan persekutuan teritorial atau teritorial genealogis. Meskipun demikian nama-nama seperti Huku Anakota (Seram Barat), Hukurila (Ambon), Ukuhener, dan Hukuhari adalah suatu fakta historis dari proses pembentukan persekutuan-persekutuan masyarakat Maluku.
(1987) mengemukakan bahwa soa adalah suatu persekutuan teritorial genealogis. Soa merupakan suatu wilayah yang menjadi bagian dari suatu petuanan atau negeri. Di bawah Soa terdapat beberapa rumatau dengan struktur garis keturunan yang berbeda-beda. Jadi berbeda dengan Rumatau dan Uku yang diikat dengan garis genealogis (keturunan), faktor yang mengikat persekutuan dalam Soa lebih didominasi oleh teritorial. Karena Soa bukanlah suatu kesatuan genealogis, maka dia tidak mempunyai seorang pemimpin utama (primus inter pares). Masyarakat di Pulau Ambon yang memiliki lebih dari sepuluh Soa kemudian diberikan statusnya oleh Pemerintah Belanda sebagai sebuah wijk atau lingkungan, dan Kepala Soanya menurut reglement S.1824 No. 19a diangkat Asisten Residen, tetapi kemudian dalam praktek dan pemerintahan hanya diangkat oleh Controleur atau kepala pemerintah setempat dan sekarang hanya oleh camat, karena mereka diangkat dengan sebuah akte, Kepala Soa itu disebut juga “Kepala Soa akteng (akte).” Diantara Rumatau-Rumatau yang tergabung di dalam satu Soa ada yang dianggap Rumatau asal atau asli dan yang pendatang. Kepala Soa biasanya diangkat dari orang-orang keturunan Rumatau asal atau mata rumah asli. Dalam suatu Soa terdapat satu Rumatau asli, tetapi dijumpai juga bahwa dalam satu Soa terdapat beberapa Rumahtau, maupun margamarga lain sebagai orang asli, dan juga orang pendatang yang telah menetap dalam suatu negeri. Pemimpin yang terdapat dalam satu Soa berasal dari Rumatau asli yang dinamkan Kepala Soa, yang memiliki fungsi dan peran untuk mengkoordiner seluruh anggota yang terdapat dalam Soa tersebut. Nama untuk masing-masing Soa yang terdapat pada setiap negeri adat di Maluku berbeda-beda, dan jumlah Soa pada setiap negeri juga tidak sama.
3. Soa
Hena dan Aman merupakan persekutuan hidup yang lebih besar dari Soa. Artinya gabungan dari beberapa Soa kemudian terbentuknya Hena
Soa adalah suatu persekutuan teritorial genealogis yang lebih luas, dan Effendi 42 •
Keragaman Manusia Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
4. Hena dan Aman
dan Aman (Pelupessy, 2013). Dikemukakan oleh G A Wilken (dalam Effendi, 1987) Hena dengan Henna yang bentuknya sama dengan yang di Pulau Buru “Fenna” berarti “daerah” atau “”wilayah” (landstreek) atau daerah suatu suku (stamgebied). Dalam arti terbatas bisa berarti “kampung” (dorp). Jadi Hena adalah kesatuan masyarakat yang berunsurkan teritorial. Menurut dialek Saparua disebut “Amanno”, dialek Nusalaut yaitu Amanyo, dialek Hila yaitu Amano dan Amane, dan dialek Asilulu yaitu “Hena”. Di Ambon Lease, Hena aslinya adalah sebuah persekutuan yang lebih besar dari Uku. Sebuah Hena bisa terdiri atas beberapa Uku. Pada mulanya bisa saja suatu Hena terbentuk oleh Uku-Uku dan Uku-Uku ini adalah kesatuankesatuan genealogis. Namun sudah harus memperhitungkan unsur teritorialnya oleh uku-uku yang bersangkutan karena sudah menempati daerah yang luas. Oleh karena itu, sukarlah untuk mengatakan bahwa hena hanyalah persatuan genealogis. Kiranya lebih tepat Hena itu dinyatakan sebagai persekutuan “genealogis teritorial” yang lebih menitikberatkan kepada unsur genealogisya atau unsur genealogisnya yang dominan atas Rumatau-Rumatau yang berunsurkan genealogis itu dan bersama-sama membentuk sebuah persekutuan genealogis teritorial. Mengenai Aman atau Amani, Wilken dan van Ossenbbruggen mengartikannya juga sebagai kesatuan dari pembagian-pembagian yang bersifat teritrorial (teritorial indeling), sama kedudukannya dengan Hena. 5. Negeri Penamaan mengenai negeri di Maluku menurut (Effendi, 1987) bahwa istilah negeri bukan berasal dari bahasa asli daerah ini atau bahasa tanah. Suatu negeri adalah persekutuan teritorial yang terdiri atas beberapa Soa yang pada umumnya berjumlah paling sedikit tiga buah. Pimpinan pada tingkat negeri dinamakan Kepala Negeri yang disebut Pamerentah dan sehari-hari dipanggil “Raja”. Dalam Ordanansi S 1824-19a disebut regent. Sekarang ini susunan wilayah pemerintahan negeri adalah
wilayah yang membentuk negeri. Di bawanya terdapat wilayah-wilayah Soa yang terbentuk dari beberapa Rumatau sebagai persekutuan genealogis. Dewasa ini penamaan negeri dikalangan masyarakat adat di Maluku telah mengalami proses adaptasi cukup panjang , sehingga diterima oleh Orang Maluku sebagai penamaan yang saat ini umumnya digunakan oleh Orang Maluku untuk mengidentifikasi tempat asalusul, tanah kelahiran, atau tampa putus pusa, dan lainnya yang identik dengan pada diri seseorang (Pelupessy, 2013). Makna negeri berkaitan dengan konsep gunung-tanah dalam pandangan kosmologi Orang Maluku. Untuk itu dalam interaksi sosial dikalangan Orang Maluku dalam memaknai hakikat eksistensi tentang negeri terdapat penamaan terhadap “Anak Negeri” sebagai penduduk asli yang mendiami suatu wilayah adat yang dinamakan “Petuanan” atau wilayah kekuasaan pada suatu negeri adat, dan penamaan “Orang Dagang” yaitu penduduk yang berasal dari luar dan mendiami suatu negeri adat. Suatu negeri adat di Maluku dikepalai oleh seorang Raja yang bergelar Latu, Patty atau Kamar. Dalam tingkatannya, Latu menempati posisi teratas, karena merupakan gelar adat asli masyarakat Maluku. Patty adalah gelar pemberian Belanda yang diambil dari gelar di Jawa, sedangkan gelar Kamar (orang kaya) diambil dari Sumatera. Pada struktur Pemerintahan Negeri Adat, maka seorang Raja dalam menjalankan tugasnya ia dibantu oleh Kepala Soa dan Saniri Negeri. Pada lingkungan negeri adat terdapat badan Saniri Negeri Lengkap (Raja beserta stafnya), dan Saniri Besar (terdiri dari Raja dengan Stafnya, dan seluruh rakyat). Dalam menjalankan tugas sehari-hari, Raja dibantu oleh Kepala Soa, sedangkan Saniri Negeri merupakan badan perwakilan rakyat negeri yang diwakilkan oleh Soa. Dalam kehidupan masyarakat adat di Maluku, maka konsep mengenai petuanan (wilayah kekuasaan) sangat penting karena berkaitan dengan unsur manusia, tanah, dan hutan sebagai kesatuan. Hak ulayat masyarakat Maluku berdasarkan petuanan sehingga negeri merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 43
konsep tersebut secara socio-cultural. Petuanan dan negeri adalah identitas, sehingga menjadi dua konsep yang selalu menyatu karena dalam konsep tersebut terdapat jiwa Anak Negeri atau penduduk asli. Makna tentang identitas seperti dikemukakan oleh Deng (2008) mengidentifikasi status dan peran seseorang baik secara fisik maupun sosial budaya. Walaupun disadari bahwa istilah negeri bukanlah berasal dari bahasa asli Maluku, tetapi berasal dari Sumatra Barat, yaitu nagari. Negeri adalah persekutuan territorial yang terdiri atas beberapa soa (keluarga besar atau rumpun marga) telah mengalami proses adaptasi kultural dengan lingkungan masyarakat Maluku sehingga diterima oleh berbagai kalangan, baik pada masa lampau maupun saat ini. 6. Uli dan Pata Penamaan Uli dan Pata dapat dijumpai pada orang-orang yang mendiami Ambon, Lease (Saparua, Haruku, Nusalaut), dan Seram. Mengenai pengertian Uli itu sendiri menurut Effenfi (1987) adalah suatu persekutuan yang terbentuk atau tersusun atas beberapa Hena atau Aman. Uli adalah lembaga masyarakat yang khusus terdapat di Ambon-Lease. Walaupun di daerah sekitarnya terdapat lembaga yang sama dengan Uli ini, tetapi tidaklah serupa, misalnya di Pulau Seram. Menurut Effendi (1987) mengenai arti Uli itu sendiri terdapat perbedaan pendapat diantara para penulis. Valintijn mengartikannya dengan persekutuan (gespanschap). Holleman mengartikan Uli adalah perikatan atau gabungan suku-suku (stammenbond) yang terdiri dari lima atau sembilan Aman, Hena, atau Soa. Dalam uraian selanjutnya, Holleman menyebutkan Uli adalah “Volk”. Melihat pada proses terbentuknya Uli ini, makaa volk di sini bukan berarti bangsa atau nation, tetapi sebagai kelompok rakyat yang terikat satu sama lainnya karena mempunyai bahasa, adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan wilayah pemukiman yang sama. Jansen sebagai Residen terakhir dari Pemerintahan Penjajahan Belanda di Maluku sampai datangnya kekuasaan Jepang, tidak memberikan pengertian mengenai Uli, dan beliau kurang setuju kalau Uli diartikan 44 •
Keragaman Manusia Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
dengan perikatan (gespanschap) atau bangsa (volk). Dalam realitasnya, cara pengelompokan sosial di Ambon-Lease banyak berpengaruh dari konsep Uli karena sistem ini membagi masyarakat ke dalam kelompok Ulisiwa dan Ulilima. Artinya, dalam kehidupan Orang Ambon-Lease mesti berada dalam satu Uli tertentu. Kalau tidak Ulisiwa, tentu Ulilima. Di Pulau Seram untuk istilah Uli dikenal istilah Pata. Patasiwa untuk Ulisiwa, Patalima untuk Ulilima. Menurut Effendi (1987) walaupun antara Uli dan Pata terdapat kesamaan, namun ada perbedaannya yaitu Uli lebih cenderung bersifat genealogis, sedangkan Pata lebih cenderung kepada pengerian teritorial. Uli sebagai persekutuan yang murni atau secara menyeluruh genealogis, bukan berarti bahwa seluruh anggota atau rakyat yang tergabung di dalam Uli itu berasal dari satu moyang atau satu leluhur, karena Uli dibentuk oleh beberapa kelompok orang di mana masing-masing kelompok merupakan kesatuan yang berdiri sendiri dan berasal dari leluhur yang berbeda. Uli adalah tempat mereka bergabung di bawah satu pimpinan. Unsur teritorial juga terdapat di dalamnya, karena wilayah pemukiman mereka bertetangga. Contoh yang kuat tentang ini adalah Uli Halawan sendiri terdiri dari kelompok-kelompok di mana anggotanya bukan saja tidak seketurunan, tetapi juga berasal dari daerah yang berbeda-beda. Uli adalah suatu persekutuan yang terbentuk atau tersusun atas beberapa hena atau aman. Uli secara khusus terdapat di daerah Ambon dan Lease. Walaupun di daerah sekiarnya terdapat lembaga yang sama dengan uli tetapi tidaklah serupa, misalnya di Seram disebut dengan Pata. Di Ambon dan Lease, Uli terdiri dari Ulilima dan Ulisiwa, sedangkan di Seram dikenal istilah Pata. Jadi Patasiwa dan Patalima merupakan struktur sosial dasar yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Maluku. Walaupun antara Uli dan Pata ada kesamaan, tetapi ada juga perbedaan yaitu Uli lebih bersifat geneologis, sedangkan Pata lebih cenderung bersifat teritorial. Uli cenderung disebut bersifat geneologis bukan berarti seluruh anggota atau yang bergabung di dalam satu uli
it berasal dari nenek moyang yang sama, tetapi Uli dibentuk oleh beberapa kelompok. Masingmasing kelompok merupakan kesatuan yang berdiri sendiri dan berasal dari leluhur berbeda. 7. Sistem Religi Orang Maluku pada saat ini telah menganut agama samawi yang berkembang yaitu Agama Katolik, Protestan, dan Islam. Dalam kehidupan beragama penduduk mempunyai toleransi antar umat beragama yang terlihat pada waktu membangun dan memperbaiki rumah ibadah karena nilai-nilai dasar yang terdapat dapat ikatan gandong, bongso, dan pela menjadi bagian dalam sistem kehidupan sehingga relasi sosial berdasarkan sistem tolong-menolong atau masohi masih menjadi basis penguatan solidaritas sosial dikalangan Orang Maluku. Walaupun demikian perlu dikemukakan bahwa dalam realitas masih terdapat kelompok suku bangsa atau sub sukubangsa tertentu yang mendiami Pulau Seram, Pulau Buru masih memiliki sistem kepercayaan kepada leluhur. Suku Nuaulu di Pulau Seram adalah contoh bahwa sistem relegi mereka pada agama suku atau agama adat masih kuat. Ritual-ritual adat yang dilakukan oleh para maweng (ahli spiritual) yang berkaitan dengan sistem religi atau kepercayaan pada roh para leluhur masih terus dilakukan sampai saat ini. Realitas ini perlu dipahami dan dimaknai sebagai kearifan yang berkembang pada masyarakat lokal. Hakikatnya yaitu, selama ritual adat ini bertujuan untuk memanjatkan syukur kepada Maha Kuasa Pencipta Alam Semesta dan Manusia atas segala berkat yang diberikan, maka selama itu juga memiliki nilai positif. Artinya, kondisi yang sementara berlangsung seperti ini menunjukkan bahwa persoalan keyakinan yang ada pada setiap manusia maupun kelompok manusia tidak dapat dipaksakan d terhadap orang lain.
3.1.5 Dinamika Perubahan Sosial Budaya Dinamika perubahan sosial budaya yang terus berlangsung dalam kehidupan masyarakat adat di Maluku pada saat ini tidak bisa
menghindari realitas bahwa Maluku merupakan suatu lingkungan masyarakat yang berciri majemuk. Kemajemukan suku bangsa yang mendiami Kepulauan Maluku bukan merupakan hal baru, tetapi kondisi ini telah terjadi secara alamiah, maupun proses interaksi dengan orang luar yang telah berlangsung cukup lama. Menghadapi dinamika perubahan sosial budaya pada saat ini yang diperlukan adalah usaha membangun ketahanan mental pada setiap warga masyarakat bahwa nilai-nilai dasar yang telah berperan dalam kehidupan sosial budaya seperti gandong, bongso, pela, adi-kaka, masohi, sasi, dan sebagainya sedang dihadapkan pada berbagai perubahan yang terjadi pada saat ini maupun akan datang. Selanjutnya apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat lokal di Maluku dalam menghadapi dinamika perubahan sosial budaya dimaksud? Untuk menjawab pertanyaan seperti ini tidak mudah. Namun berdasarkan nilai-nilai sosial budaya yang dimiliki oleh Orang Maluku dapat dilakukan melalui strategi yaitu: 1). Dalam menghadapi, antisipasi, dan mengatasi dampak negatif dari pengaruh dinamika perubahan sosial budaya, maka setiap individu perlu menciptakan dan membangun ketahanan diri (self defence) dan sebagai kelompok dapat meningkatkan ketahanan pada aspek kelembagaan kelompok; 2). Setiap lembaga atau institusi adat, sosial, pemerintahan, dan ekonomi yang terdapat pada level lokal perlu membentengi eksistensi masingmasing, dan terus meningkatkan ketahanan kelompok (group defence). Strategi ini dapat dilakukan melalui cara sosialisai dan penguatan kapasitas masing-masing. Strategi perlu dilakukan dalam menghadapi dan mengatasi dinamaika perubahan sosial, karena harus dipahami bahwa hidup manusia dan masyarakat ini tidak ada yang permanen, kecuali perubahan (Pelupessy, 2013). Setiap perubahan yang berlangsung dalam kehidup manusia dan masyarakat perlu disikapi secara arif dengan sehingga tidak menimbulkan goncangan-gongan psikologis baik pada ranah individu maupun kelompok. Individu dan masyarakat serta lingkungan perlu dipahami sebagai unsur-unsur penting yang berbeda tetapi
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 45
tidak dapat dipisahkan karena itu ketahanan untuk menciptakan keseimbangan dalam berbagai sistem adalah kunci untuk mewujudkan kesuksesan.
3.1.6 Studi Kasus Etnografi Maluku 3.1.6.1 Suku Bangsa Kei Di Maluku Tenggara
1. Nama dan Bahasa Suku bangsa Kei merupakan suku bangsa yang mendiami Kepulau Kei. Bahasa yang dipergunakan penduduk untuk berkomunikasi sehari-hari dan dalam berbagai upacara adat adalah bahasa Kei, misalnya pada upacara pelantikan Raja, perkawinan, khitanan dan sebagainya. Bahasa Kei secara dialek terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu dialek Kei kecil dan dialek Kei besar. Dialek Kei Kecil dan dialek Kei Besar masing-masing terbagi pula dalam dialek Kei Kecil bagian timur dan utara, dan dialek Kei Besar bagian selatan. 2. Lokasi Daerah tempat kediaman suku bangsa Kei adalah kepulauan Kei. Kepulaun Kei merupakan bagian dari daerah Kabupaten Maluku Tenggara. Secara astronomis Kepulauan Kei terletak antara 1320 BT-133060 BT dan antara 50LS6015 LS. Dilihat dari geologi, kepulauan Kei ditutupi oleh tudung karang yang masih muda dan hamper datar, hanya sedikit yang terserang pelaturan. Kepulauan Kei merupak suatu benjol keluar lengkung tidak vulkanis dari organisa Banda. Lengkung kepulauan ini merupakan suatu geantiklinal mulai dari timur lewat Pulau Tanimbar ke Pulau Seram dan Buru. 3. Pengetahuan Tentang Flora dan Fauna a. Flora Pengetahuan Suku Kei tentang alam tumbuhan terbagi dalam beberapa bagian berdasarkan pola pemanfaatannya, yakni peng etahuan tentang tumbuhan obat, pengetahuan tentang bahan pangan dan pengetahuan tentang jenis kayu dan tumbuhan 46 •
Keragaman Manusia Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
yang bermanfaat untuk mendirikan rumah atau tempat tinggal. Pengetahuan tentang alam flora lainnya adalah pengetahuan tentang jenis pohon dan tumbuhan yang digunakan untuk membuat rumah. Berbagai jenis kayu yang terdapat di kepulauan Kei, antara lain kayu besi (intsia bijugu), kayu lengua (pterocarpus indica), kayu kenari (cunarium sylo estre), kayu lawing (pmotia penota), kayu samama (anthocop halus maerop kyla). Selain itu, berbagai jenis anggrek, antara lain anggrek putih (lele), angkrek ungu (muku), anggrek macan tutul, anggrek macan kumbang, serta anggrek tongke, serta hasil hutan damar. b. Fauna Pengetahuan Suku Kei tentang fauna sangat membantu mereka dalam melakukan berbagai aktifitas sehari-hari, seperti berkebun dan berburu. Suku Kei mengenal fauna daran dan fauna laut. Adapun fauna darat antara alain babi hutan (vav), rusa (rus), sapi (sap), kus-kus (medur), kelinci (lete), kangguru (saban), nuri (kasturi), kakaktua (kenaar), maleo (kilvaur), burung dara (taruut atau pompo). Fauna laut antar lain tuna atau cakalang (katsowonuspelamis), nomar (decap torus macrosoma), kawalinnya (carang crumenoptalmus), tatihu (thunus albacore), tangiri (cubiumSp), tuing-tuing (cypselurus Sp), bobara (sconber Sp), sikuda (ketkrinus Sp), lalosi (calsoi chrisolamia), gogopa (epinephelus fuscugagatus), salmanete (parap enues berbusinus) dan penyu (chelonian mydus dan chelonia imbrikita). 4. Sistem Mata Pencaharian Hidup Suku bangsa Kei mempunyai sistem mata pencaharian utama adalah bertani dengan pola perladangandan menangkap ikan. Pada musim barat, curah hujan yang cukup tinggi merupaka saat yang sangat baik bagi penduduk untuk berladang, sedangkan pada musim timur kegitan di lading sementara dihentikan dan mereka beralih pada kegiatan laut sebagai nelayan.
5. Organisasi Sosial dan Sistem Kekerabatan Ratschap merupakan warusan sistem pemerintahan Hindia Belanda yang dibentuk berdasarkan sistem pemerintahan tradisional, yang dipimpin oleh seorang Rat (Raja). Wilayah pemerintahan seorang rat biasanya meliputi sejumlah desa (ohoi) dan setiap Ohoi diperintahkan oleh seorang wakil Rat yang disebut Orang Kaya. Ketika Belanda berkuasa di Indonesia, bentuk pemerintahan itu tidak diubah tetapi dipertahankan dan namanya disebut ratschap. Sampai saat ini ratschap masih tetap dipertahankan dan secara administrasi berada dibawah kecamatan. Didalam kepulau Kei terdapat 22 buah ratschap, 6 buah di kecamatan Kei besar dan 16 di kecamatan Kei Kecil. Secara historis ratschap-ratschap itu tiadak mempunyai hubungan kekuasaan. Masing-masing ratschap meng urus kepentingannya sendiri dan bertanggung jawab kepada camat. Desa Letfuan yang merupakan salah satu desa dalam wilayah ratschap Tettoat tidak mempunyai hubungan dengan ratschap lainnya, kecualai dengan ratschap tenttoat sebagai ratschap induk. Dalam adat istiadat ada hubungan karena terikat dalam satu hukum adat, yaitu Larvul Ngabal yang berisi norma-norma dan nilai nilai yang mengatur kehidupan sosial budaya pada suku bangsa Kei. Desa letfuan secara struktural merupakan desa bawahan dari Ratschap Tettoat. Sebagi desa bawahan alam hal-hal tertentu misalnya pengangkatan pimpinan desa, masalah desa yang tidak dapat diselesaikan oleh pimpinan desa yang bersangkutan adalah menjadi tanggung jawab rat(raja) dari Ratschap Tettoat sebagai ratschap induk. Sebaliknya, dalam hal-hal lain misalnyaekonomi, politik, administrasi, tidak ada hubungan antara satu desa dengan desa lainnya, dalam ratschap tersebut, masingmasing desa berdiri sendiri dan berhak untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Sebelum bentuk pemerintahan yang bersifat vray atau rat terbentuk suku bangsa Kei mengenal sistem pemerintahan yang dipimpin oleh seorang tokoh disebut halaai. Halaai adalah orang yang dianggap memiliki kekuatan sakti, an dapat
memberi pertolongan dan perlindungan pada orang lain, karena saat itu belum ada hukum tertulis yang mengatuir kehidupan masyarakat. Kelompok kekerabatan yang terkecil disebut riin rahan atau ub, yaitu keluarga batih. Gabungan dari beberapa riin rahan disebut rahanyan dan gabungan rahanyan disebut Ohoi Ratut. Ohoi ratut berasal dari kata ohoi yaitu desa dan ratut berarti seratus, yang berarti warga desa. Suku bangsa Kei mengenal sistem garis keturunan patrilineal dimana hak dan kewajiban si anak diperhitungkan melalui garis keturunan ayah. Pergaulan anak-anak dari dari suatu riin rahan lebih banyak dengan kaum kerabat ayah dari pada kaum kerabat ibu. Dalam suatu riin rahan tanggung jawab keluarga berada dalam tangan ayah dan ibu. 6. Sistem Religi Agama yang hidup dan berkembang di Desa Letfuan yaitu Agama Kristen Katolik dan Islam. Dalam kehidupan beragama penduduk mempunyai toleransi antar umat beragama yang terlihat pada waktu membangun dan memperbaiki rumah ibadah. Mereka saling tolong menolong yang dituangkan dalam ungkapan it bisa vuat ainmehe ni ngifu ne ain mehe nitilur, yang berarti pada kakekatnya kita semua berasal dari satu telur. Disamping taat beragama, penduduk Desa Letfuan masih percaya pada roh-roh dan kekuatan sakti. Rohroh (mitu) dianggap dapat mendatangkan bahagia dan kesusahan yang sering terdengar dari penduduk mengatakan bahwa Tuhan nomor satu dan nomor dua adalah tete nene moyang. 3.1.6.2 Suku Bangsa Ternate Di Maluku Utara
1. Nama dan Bahasa Suku bangsa Ternate merupakan suku bangsa yang mendiami Kepulauan Ternate. Bahasa yang digunakan suku bangsa Ternate adalah bahasa Ternate Halmahera. Bahasa Ternate Halmahera merupakan Bahasa pengantar (lingua franca) di wilayah Ternate dan Halmahera, bahkan hampir diseluruh kawasan Maluku Utara.
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 47
2. Lokasi Secara astronomis suku bangsa Ternate terletak pada 1270 17’ BT-1270 23’ BT dan 00 44’-00 51’ LU. Sesuai dengan sudut pandang geologi yang terletak sebelah barat Pulau Halmahera merupakan salah satu dari deretan pulau vulkanis yang masih aktif dan merupakan gunung api strato. 3. Flora dan Fauna Pengetahuan orang suku Ternate tentang alam tumbuhan terbagi dalam beberapa bagian berdasarkan pola pemanfaatannya, yakni pengetahuan tentang tumbuhan obat, pengetahuan tentang bahan pangan dan pengetahuan tentang jenis kayu dan tumbuhan yang bermanfaat untuk mendirikan rumah atau tempat tinggal. Pengetahuan tentang alam flora lainnya adalah pengetahuan tentang jenis pohon dan tumbuhan yang digunakan untuk membuat rumah. Berbagai jenis kayu yang terdapat di kepulauan Ternate, antara lain kayu besi, gopasa, gosale, linggua, titi, motoa, meranti, dan kayu besi irian serta hasil hutan seperti damar dan rotan. Selain flora masyarakat pulau Ternate jgua mengeal berbagai jenis satwa, yaitu berjenisjenis burung kakaktua putih, merah, dan hijau, burung nuri, parkici dan gagak, babi, rusa, dan lainnya. 4. Sistem Mata Pencaharian Hidup Pada umumnya suku bangsa Ternate mempunyai mata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Cara-cara bercocok tanam masih sederhana dan berpindah pindah. Apabila tanah ladang tidak subur lagi masyarakat meninggalkannya dan membuka daerah pertanian baru. Jenis tanaman yang ditanam adalah sayur-sayuran, padi, kacang-kacangan, ubi kayu, dan ubi jalar, disamping itu ditanam juga tanaman keras, seperti cengkeh, kelapa, dan pala. Hasil pertanian hanya bisa digunakan untuk kebutuhan sehari hari. Selain sebagai petani, penduduk Desa Sango mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan. Perairan ternate sangat potensial untuk perikanan laut. Jenis-jenis ikan yang terdapat di perairan Ternate adalah 48 •
Keragaman Manusia Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
ikan pelagis (seperti ikan puri, ikan make, ikan momar, ikan lema, ikan layar, ikan kawalinnya, iakan cakalang, ikan terbang dan julung-julung) dan jenis ikan domersal (seperti ikan sahuda, ikan pisang-pisang, ikan kakap, ikan samandar, ikan garopa, dan ikan salmaneti). 5. Organisasi Sosial dan Sistem Kekerabatan Sebelum masuknya Agama Islam di Ternate, penduduk telah mengenal sistem pemerintahan yang teratur. Penduduk terdiri dari 4 kelompok (sub suku bangsa), yaitu Tubo, tobono, Tobenga, dan Tobella. Orang Tubo (puncak gunung ) menempati wilayahpuncak Gunung Gamalama, Tobano (dataran tinggi) menempati daearh dataran tinggi Faramadiyani, Tobonga (hutan) menempati daerah huatan, dan Tabelo (dataran rendah) menempati wilayah sekitar tepi pantai. Bersamaan dengan perkembangan penyebaran islam di Maluku Utara maka berkembang pula sistem Pemerintahan Kolano, seperti di Tidore, Ternate, Bacan, dan Jailolo) membentuk sistem pemerintahan yang baru yang disebut Moluku Kie Raha. Dalam system pemerintahan ini, kepemimpinannya lebih disempurnakan. Selain kulano, bubato, dan falaraha diangkat juga suatu badan yang mengurus adat istiadat yang disebut bubato nyangimoi setufkange. Anggota dari badan ini terdiri dari 18 orang, yaitu 9 orang dari golongan bangsawan di pusat pemerintahan diberi gelar soa-sio. Sedangkan 9 orang lainnya berasal dari golongan bangsawan di daerahdaearh kekuasaan kulana yang diberi gelar sangaji dan diangakat pula seorang sekertaris yang disebut tullamo. Di Desa Sango terdapat lembaga-lembaga social yang masih tradisional, seperti momoro, jojobo, dan rio atau rorio. Lembag lembag social ini merupakan lembaga adat ayang masih dipertahankan. Sedangkan lembaga lembaga sosial resmi, seperti BUD, KUD, LSD belum berkembang di desa sango, kecuali Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) baru berkembang. Adapun yang disebut momoro adal sistem gotong royong, terutama dalam membuka kebun baru. Dalam sistem momoro ini tidak
ada imbalan yang diberikan oleh pemilik kebun kepada yang membantu. Para anggota momoro saling bantu membantu secar bergilir. Jojobo adalah system gotong royong yang dilakukan khusus dalam membangun rumah. Sedangkan rio atau rorio adalah sistem gotong royong yang dilakukan paa waktu kemalangan, seperti kematian atau pada waktu upacara perkawinan. Biasanya bantua yang diberikan berupa uang, bahan makanan, atau benda-benda lainnya. Dalam kenyataannya telah terjadi perubahan baik struktur maupun tugas dan tanggung jawab para pemimpin sesuai dengan perkembangan masyarakat itu sendiri, seperti kepemimpinan tradisional yang semula dibawah pimpinan seorang mamole, kemudian berubah menjadi pemerintahan yang disebut kolamo, dan selanjutnya berkembang lagi menjai bentuk pemerintahan kesultanan yang dipimpin oleh seorang sultan. Pada masa kini pelapisan masyarakat pada suku bangsa Ternate umumnya atau di Desa Sango khususnya tidak dipertaahankan lagi. Walaupun dikatakan bahwa penghormatan kepada keturunan Sultan dan Kepala Soa masih terlihat, namun tidak berarti ada perbedaan hak dan kewajiban yang menyolok sebagai warga desa. Setiap warga desa mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam pemerintahan desa. Dengan kata lain, walaupun Pulau Ternate merupakan bekas kekuasaan sultan, namun sisa pelapisan social pada zaman itu tidak terlihat lagi. Dalam kenyataan saat ini bahwa di Desa Sango terdapat pimpinan masyarakat yang dikelompokkan dalam tiga katagori, yaitu: kelompok masyarakat yang bertugas dalam bidang pemerintahan, bidang adat istiadat, dan bidang keagamaan. Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya ketiga kelompok tersebut bekerja sama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik material maupun spiritual. Suku bangsa Sango mengenal system kekerabatan patrilineal, yaitu garis keturunan yang memperhitungkan garis keturunan pihak laki-laki (ayah). Dalam pergaulan kerabat, orang lebih banyak bergaul dengan kelompok kerabat ayah daripada kelompok kerabat ibu.
6. Sistem Religi Penduduk di Desa Sango hamper 100% beragama Islam. Agama Islam berkembang di Ternate termasuk di Desa Sango berasal dari faham syiah yang dibawa oleh 4 orang syeh yang berasal dari Irak dan Basira. 3.1.6.3 Suku Bangsa Alune Di Lumoli Pulau Seram Maluku Tengah
1. Nama Suku dan Bahasa Nama Suku Alune dan Suku Wemale adalah dua suku besar yang terdapat di Pulau Seram. Sub suku bangsa Lumoli atau Orang Lumoli berasal dari Suku Alune. Bahasa yang digunakan oleh suku bangsa Seram disebut Bahasa Seram yang terdiri dari bahasa Alune dan bahasa Wemale. 2. Lokasi Pulau seram terletak di bagian ujung utara lengkung Banda. Komunitas kecil di Negeri Lumoli sebagai desa sampel terletak di wilayah Kecamatan Seram Barat I atau dikenal dengan Kecamatan Piru. Secara astronomis kecamatan Piru terletak pada 20 45 LS- 3030’ LS dan 1270 28’ BT- 1280 10’ BT. Batas–batas Kecamatan Piru di sebelah Utara dengan Laut Seram, disebelah selatan dengan Pulau Ambon, di sebelah timur dengan Kecamatan Kairatu, dan di sebelah barat dengan Pulau Buru. 3. Flora dan Fauna Jenis jenis fauna yang terdapat di Kecamatan Piru adalah babi hutan, rusa, kasuari, kusu, berjenis-jenis burung seperti : burung taong-taong, kakatua, Pombo biru, Pombo putih, tekukur, dan guhaba. Alam floranya menghasilkan berbagai jenis kayu-kayuan, seperti kayu gupasa, samama, siki, kayu besi, lingua, makil, serta hasil huatan lainnya seperti damar dan rotan. 4. Sistem Mata Pencaharian Hidup Mata pencaharian suku bangsa Lumoli di Seram umumnya bertani, menangkap ikan, dan berburu. Penduduk yang mendiami daerah sepanjang tepi pantai melakukan pekerjaan
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 49
menagkap ikan sedangkan masyarakat yang mendiami daerah pedalaman kegiatannya terpusat pada pertanian dan berburu. Saat ini telah dikembangkan mata pencaharian tambahan, yaitu memelihara ikan tambak. Jenis jenis ikan yang dipelihara adalah mujair dan ikan mas. Sebelum Kristen masuk ke Negeri Lumoli segala bentuk kegiatan yang berkaitan engan mata pencaharian erat hubungannya dengan upacaraupacara adat yang disebut upacara kabasa. Kabasa adalah seorang tokoh yang dianggap oleh penduduk dapat memberi hasil atau kegagalan dalam uasah pertanian penduduk. Oleh karena itu masyarakat melakukan upacara kabasa, yaitu upacara memuja kabasa agar pertanian mereka berhasil. System pengolahan tanah pertanian di Desa Lumoli masih secar tradisional, yaitu dimulai dengan mencangkul tanahkemudian membuat kuming (tanah yang telah dicangkul diberi bentuk gunung), dan di dalamnya ditanam benih-benih petatas (umbi rambat), kembili, dan kasbi (ubi kayu). Menanam padi dilakukan dengan sistem tulibuai, yaitu melubangi tanah yang akan ditanami. Kaum pria yang melubangi tanah sedangkan kaum wanita yang memasukkan bibit ke dalam tanah. Hal ini masyarakat biasa menyebutnya masohi. Selain tanaman ubi dan padi, penduduk juga menanam pisang, kacang-kacangan, sayursayuran, serta tanamn keras seperti cengkeh, pala dan kelapa. Disamping bertani, mata pencaharian penduduk Negeri Lumoli adalah berburu. Cara-cara berburupun dilakuakn secara tradisional, yaitu mengunakan anjing pemburu dan alat-alat berburu yang sederhana. Alat-alat perburuan itu antara lain: bole (perangkap), bulu tui (bamboo runcing), oy (tombak), dan busule (panah). Ada dua jenis busule, yaitu busule maralane untuk berburu rusa dan busule lopola untuk berburu babi. Jenis-jenis binatang yang diburu selain rusa dan babi, juga burung kasuari, burung taong-taong dan kusu atau kus-kus. 5. Sejarah Menurut cerita rakyat di Pulau Seram bahwa penduduk Kepulaun Maluku, khususnya penduduk kabupaten Maluku Tengah berasal 50 •
Keragaman Manusia Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
dari pulau Seram, yaitu daerah Nunusaku. Seram adalah daerah Nunusaku, karena asalnya dari daerah Nunusaku maka mereka dinamakan manusia Nunusaku. Nunusaku adalah suatu tempat diatas puncak sebuah gunung di Pulau Seram. Di tempat tersebut terdapat sebuah danau yang dianggap sumber dari tiga sungai terkenal di Pulau Seram, yaitu Sungai Tala, Eti, dan Sapalewa. Disekitar wilayah danau itu tumbuh pohon beringin yang bernama nunue. Pohon itu mempunyai tiga akar tunggang yang menjorok ke dalam tiga aliran sungai di Pulau Seram (Tala, Eti, dan Sapalewa). Dari Nunusaku penduduk menyebar ke seluruh Pulau Seram, kemudian ke seluruh daerah Kabupaten Maluku Tengah. Oleh sebab itu, Pulau Seram disebut juga Nusa Ina yang artinya Pulau Ibu sebagi tempat asal manusia Maluku. 6. Organisasi Sosial dan Sistem kekerabatan Sistem pemerintahan tertinggi di Negeri Lumoli terletak dalam badan saniri negeri dan raja yang sebagai pimpinan tertinggi. Dalam hal ini, Negeri Lumoli bersifat otonom, yang secar structural tidak mempunyai hubungan dengan negeri-negeri atau desa-desa lainnya. Warga dari negeri atau desa berhak untuk mengurus kepentingan negerinya sendiri. Namun dalam hal yang berkaitan dengan adat, Negeri Lumoli mempunyai persamaan dan hubungan dengan negeri-negeri lain, seperti Negeri Eti dan Morekau. Sistem pemerintahan desa di Maluku mengalami perkembangan sesuai denagn zamannya. Dahulu, istilah desa disebut negeri. Negeri Lumoli terdiri dari beberapa rumahtau, yaitu gabungan dari beberapa keluarga batih yang mempunyai hubungan geneologis. Tiaptiap rumahtau dipimpin oleh seorang pimpinan yang disebut orang tua. Selanjutnya, beberapa rumahtau bergabung menjadi satu yang disebut soa yang dipimpin oleh seorang pimpinan yaitu Kepala Soa. Beberapa soa membentuk suatu kesatuan dalam satu wilayah tertentu yang disebut aman dan hena, ataupun negeri. Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, seorang Raja merupakan pucuk pimpinan tertinggi dalam negeri. Raja dibantu
oleh suatu lembaga pemerintahan, yaitu badan saniri negeri. Keanggotaan dari badan saniri itu terdiri dari kepala soa, sekretaris, tua-tua adat dan marinyo. Adapun tugas dari Kepala Soa adalah memimpin soanya, membantu Raja dalam negeri, dan merencanakan sesuatu untuk kepentingan negeri, sekertaris mengurus administrasi negeri, tua-tua adat bertugas untuk menentukan dan memimpin upacara yang berkaitan dengan adat, marinyo bertugas mengumumkan segala keputusan dan rencana kerja Raja bersama badan saniri kepada seluruh warga negeri. Lembaga sosial yang berkembang adalah lembaga sosial tradisional yang disebut masohi (sistem tolongmenolong). Sistem masohi ini dilakukan dalam berbagai kegiatan, seperti membangun balai desa, tempat beribadat, upacara perkawinan, kematian, dan upacara adat lainnya. Suku bangsa Alune di Seram atau di Negeri Lumoli tidak mengenal adanya sistem pelapisan sosial resmi, seperti paa suku bangsa Ternate. Pada saat itu susunan masyarakat umumnya dan khususnya di Negeri Lumoli masih sederhana, serta hubungan kekeluargaan antar warga dalam suatu negeri sangat erat. Pada umumnya satu negeri didiami oleh warga yang masih memiliki hubungan geneologis. Olah karena itu mereka tidak merasakan adanya lapisan-lapisan sosial. Walaupun demikian, denganadanya golongan aparat pemerintahan dan warga negeri atau desa maka masyarakat dapat digolongkan dalam 2 golongan, yaitu penguasa (Raja beserta badan saniri negeri) dan warga negeri yang merupakan lapisan sosial pertama di Negeri Lumoli. Pada saat ini tidak terdapat pelapisan sosial resmi pada suku bangsa Alune di Negeri Lumoli. Sama halnya dengan masa lalu, hanya ada dua golongan masyarakat yaitu golongan penguasa dan rakyat biasa. Pimpinan saat ini di Negeri Lumoli tidak banyak berbeda dengan pimpinan masa lalu. Struktur kepemimpinan masa kini merupakan warisan struktur kepemimpinan masa lalu. Kondisi Negeri Lumoli saat ini secara administratif termasuk salah satu dalam wilayah Kecamatan Piru. Pimpinan negeri disebut Raja, sama seperti pemimpin negeri pada sistem kepemimpinan masa lalu. Pembantu raja tidak
lagi terdiri dari 3 badan saniri negeri (badan saniri, raja patih, dan badan saniri besar) tetapi telah sederhanakan menjadi badan saniri saja. Suku bangsa Alune di Negeri LumoliSeram-Maluku mempunyai sistem kekerabatan patrilineal, yaitu garis keturunan melalui pihak ayah (bapak) di mana hak dan kewajiban dalam berbagai aspek kehidupan seperti ekonomi, sosial, dan pendidikan anak-anak dilahirkan, hak dan kewajiban kerabat dilakukan menurut garis ayah (bapak). Sistem pergaulan kerabat lebih banyak dengan kelompok kerabat ayah daripada kelompok kerabat ibu. 7. Sistem Religi Seluruh penduduk Negeri Lumoli memeluk Agama Kristen Prostetan, dan tidak terdapat aliran-aliran lain. Sebelum Agam Kristen masuk di Negeri Lumoli, penduduk masih percaya kepada animisme dan dinamisme yang dapat mendatangkan mala petaka. Penduduk percaya kepada kekuatan sakti yang disebut kabasa. Kabasa ini dapat mendatangkan mala petaka terutama dalam hal yang berkaitan dengan perladangan dan perburuan. Oleh sebab itu, sebelum memulai sesuatu kegiatan penduduk mengadakan upacara yang disebut upacara pata mitu yaitu upacara minta izin membuka ladang baru kepada para leluhur.
3.1.7 Introduksi Program Pembangunan Program pembang unan yang pada lingkungan masyarakat Maluku perlu dilakukan secara bertahap. Tahapan-tahapan dari pembangunan dimaksud meliputi; 3.1.7.1 Sosialisai dan Perencanaan
Sosialisasi program pembangunan perlu dilakukan secara terkoordinasi antar institusi terkait, mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan, dan negeri atau desa, maupun masyarakat lokal yang dijadikan sebagai sasaran pembangunan. Pelibatan masyarakat berserta institusi terkait dimaksudkan agar tidak terjadi benturan kepentingan. Selain itu juga pelibatan tenaga akademisi yang memiliki kompetensi dalam bidang ilmu
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 51
(sosiologi dan antropologi) sehingga pelaksanaan program pembangunan yang direncanakan dapat dirasakan manfaatnya sesuai kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Berkaitan dengan aspek perencanaan dalam melaksanakan program pembangunan sebaiknya dipersiapkan mulai dari bawah sehingga aspirasi dari masyarakat lokal dapat terserap secara baik. Program pembang unan yang pada lingkungan masyarakat Maluku perlu dilakukan secara bertahap. Tahapan-tahapan dari pembangunan dimaksud meliputi; 1. Sosialisasi Langkah-langkah yang diperlukan dalam melakukan sosialisasi yang bernuansa adat antara lain: 1. Sosilaisasi program REDD+ dapat dilakukan pada balai negeri atau desa, atau baileu (rumah adat). 2. Peserta yang perlu dihadirkan dalam melakukan sosialisasi REDD+ yaitu Raja, Kepala-Kepala Soa, Tuan Tanah, Kepala Kewang, Tokoh Pemuda (Kepala Pemuda), Tokoh Perempuan, dan Tokoh Agama untuk memberikan informasi yang benar sehingga terdapat pemahaman yang baik terhadap program, kemudian peran mereka dapat dijadikan sebagai agen. 3. Metode atau cara yang perlu digunakan dalam melakukan sosialisasi yaitu ceramah dan diskusi mengenai rencana program, dengan melibatkan perencana yang didampingi oleh akademisi (sosiolog dan antropolog). 2. Perencanaan: 1. Tahapan perencanaan awal sebelum dilakukan implementasi REDD+ di Maluku adalah pendekatan informal maupun formal pada elite yang berada di tingkat negeri atau desa (Raja, Kepala Soa, Tuan Tanah, dan Kewang). 2. Memastikan bahwa program REDD+ memimiliki perbedaan dengan program pembangunan yang lainnya. 3. Kepastian kah untuk masing wilayah (maluku, papua dan ntt) mekanisme 52 •
Keragaman Manusia Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
perencanaan ttg kehidupan yang lebih baik di level komunal (misal perencanaan pembukaan wilayah, perencanaan kegiatan ekonomi dll). 4. Kedua, pertemuan informal antara pembawa program (antropolog dan sosiolog ), dengan masyarakat kelas bawah (yang tak diundang dalam pertemuan elite). Pertemuan di lakukan tanpa undangan tetapi menggunakan ruang-ruang 3.1.7.2 Pemastian Tenure
S e b e l um m e l a k s a na k a n p r o g r a m pembang unan diperlukan studi untuk mengetahui keberadaan lahan. Selain itu juga perlu dilakukan pendekatan dengan negeri adat yang memiliki hak penguasaan maupun kepemilikan terhadap tanah dan kawasan hutan yang berada dalam wilayah kekuasaan (petuanan) dan telah direncanakan untuk menjadi target dan sasaran program. Unsur kelembagaan yang berada pada negeri adat antara lain Pemerintah Negeri, Soa, Tuan Tanah, kewang, dan marga pemilik lahan baik itu berupa tanah atau dusun dati, dusun pusaka, tanah ewang, aong, dan sebagainya. Strategi ini perlu dilakukan karena menghindari benturan kepentingan dan hambatan serta kegagalan program pembangunan. Masyarakat perlu dilibatkan untuk membicara kemanfaatan dari program dimaksud, sehingga pendekatan yang berkaitan dengan menanam rasa memiliki adalah penting, dengan konsep dari semua untuk semua. Da lam konteks Ma luku, sebelum melaksanakan program REDD+ diperlukan studi untuk mengetahui secara benar mengenai eksistensi lahan, sehingga yang perlu dilakukan yaitu: 1. Pendekatan dengan negeri adat yang memiliki hak peng uasaan maupun kepemilikan tanah dan hutan yang berada dalam wilayah kekuasaan (petuanan) dan telah direncanakan untuk menjadi target dan sasaran program REDD+. 2. Melibatkan unsur kelembagaan adat yang berada pada negeri adat antara lain
Pemerintah Negeri, Soa, Tuan Tanah, Kewang, dan marga pemilik lahan baik itu pemilik tanah dalam dusun dati, dusun pusaka, tanah ewang, aong, dan sebagainya. 3. Masyarakat perlu dilibatkan untuk membicara kemanfaatan dari program REDD+ dimaksud, sehingga pendekatan yang berka itan deng an menanam rasa memiliki adalah penting , dengan pemahaman bahwa dari beta untuk ale, dan dari ale untuk beta. 3.1.7.3 Pengembangan Kapasitas Lembaga Adat dan SDM
Lembaga-lembaga lokal perlu dilakukan penguatan kelembagaan, dan pengembangan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam melaksanakan program pembangunan. Sumber daya manusia, sumber daya sosial yang terdapat pada lingkungan negeri adat perlu dilibatkan mulai dari perencanaan, penyiapan program, penetapan sasaran dan tujuan program, dan pelaksanaan program. Pelaksanaan program REDD+ ditujukan pada anggota masyarakat secara keseluruhan, namun perlu dilakukan secara bertahap agar warga masyarakat dapat ditingkatkan kapasitasnya melalui kegiatan REDD+ yang meliputi: 1. Anggota masyarakat yaitu marga-marga yang tergabung dalam Soa (Kepala Soa dan Anak Soa) yang memiliki kaitan langsung dengan hak milik yang digunakan dalam program REDD+. 2. Masyarakat yang harus mengetahui tentang interkoneksi pada level lokal dan global, serta memiliki pengetahutan tentang jaringan kerja yaitu Raja, Kepala Soa, Tokoh Pemuda. 3. Unsur masyarakat yang mengetahui tentang pengelolaan aset adat yaitu Raja, Saniri Negeri, Kepala Soa, Kepala Kewang, dan Tuan Tanah. 3.1.7.4 Resolusi Konflik
Dalam melaksanakan program pembangunan perlu memahami secara benar tentang potensi konflik potensial (konflik laten)
yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan konflik terbuka. Upaya meminimalisasi potensi konflik laten dan konflik manivets membutuhkan mekanisme pengelolaan konflik secara benar. Untuk itu diperlukan pengetahuan yang benar mengenai eksistensi agen pembangunan yang berada pada level paling bawah dan berada pada lingkungan masyarakat adat (lokal) beserta institusi non formal pada tingkat kelembagaan soa. Apabila terjadi konflik, maka solusi penyelesaian dilakukan melalui mekanisme adat. Untuk itu dalam melaksanakan program pembangunan, hindarilah membuat janji-janji yang tidak dapat dilakukan secara baik kepada masyarakat. Agar program REDD+ dapat dilaksanakan secara baik dan lancar maka sebelum program dilaksanakan perlu dilakukan: 1. Identifikasi potensi konflik yang berhubungan dengan konflik kepentingan antar warga. 2. Penggunaan lokasi (tanah dan lahan) yang berada pada batas-batas wilayah adat (petuanan) yang ditentukan secara alamiah (sungai, batu, pohon). 3. Potensi konflik potensial lainnya adalah batas tanah milik marga dalam petuanan yang sama, maupun antara marga yang berbeda petuanan. 4. Apabila terjadi konflik dalam pelaksanaan program REDD+, maka langkah yang perlu ditangani dan diselesaikan secara adat dengan melibatkan tokoh Pemerintah Negeri atau Desa yaitu Raja, lembaga Saniri Negeri, Kepala Soa, Tuan Tanah, Kewang, dan tokoh agama. 5. Apabila pendekatan adat ternyata belum dapat menyelesaikan konflik dalam masyarakat, maka langkah yang perlukan dilakukan adalah menghadirkan penegak hukum (Polisi) agar dapat membantu proses penyelesaiannya. 6. Melalui mekanisme seperti ini masyarakat sebagai sasaran program REDD+ dapat memperoleh manfaat untuk meningkatkan taraf kehidupan dan kesejahteraannya.
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 53
3.1.7.5 Sistem Benefit Sharing
Menanam kan p ema haman kepada masyarakat adat (lokal) mengenai manfaat dari program adalah penting. Untuk itu mekanisme yang perlu dilakukan yaitu, mengemukakan cara-cara lokal yang biasanya dilakukan oleh masyarakat dengan catatan tidak boleh mengabaikan kepentingan orang lain atau mengorbankan kepentingan orang lain untuk tujuan program. Ma n f a a t d a r i p r o g r a m k i r a ny a dapat dinikmat secara bersama, sehingga pendelegasikan tanggungjawab kepada warga sesuai fungsi dan peran masing-masing adalah penting, dan menghindari janji-janji palsu yang bisa mendatangankan kecurigaan dari warga masyarakat sebagai sasaran program pembangunan melalui usaha membangun relasi saling percaya, dan membentuk jaringan kerja dengan warga secara baik.
3.2 Keragaman Manusia Papua 3.2.1 Pendahuluan Menyebut nama Papua, seakan kita diajak menoleh ke Propinsi yang letaknya paling timur di negeri ini. Tanah Papua memang dikenal memiliki sejumlah kekayaan alam yang melimpah. Emas, nikel, tembaga, gas, demikian contoh kekayaan alam Papua. Kekayaan alam yang melimpah menjadi daya tarik beragam kelompok etnik di planet bumi untuk datang ke tanah Papua. Dibalik kekayaan alam yang melimpah, ada pemiliknya. Pemilik yang sah atas tanah Papua adalah kelompok etnik yang terdiri dari kurang lebih 250 yang menyebut diri mereka sebagai orang asli Papua. Orang Papua adalah, kelompok penduduk primitive, yang terdiri dari orangorang berkulit hitam dan berambut keriting lebat, (Drooglever 2010:19). Gagasan atas ciri tersebut, dibayangkan oleh seorang penemu Spanyol bernama Inigo Ortiz de Retes yang mengunjugi tanah Papua tahun 1545. Ia terkesan karena tanah dan penduduknya mengingatkan dia akan apa yang sudah dilihatnya di Guinea 54 •
Keragaman Manusia Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
Afrika Selatan, (Drooglever 2010:20). Ciri-ciri tersebut kian hari menjadi identitas orang Papua tradisional. Versi UU.No.21 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Rakyat Papua yang telah diubah dengan UU.No.35 tahun 2008 pasal 1 huruf t menyebut sangat jelas definisi orang asli Papua, yaitu, orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua. Versi Majelis Rakyat Papua (MRP) orang asli Papua adalah orang yang lahir dari bapak/ayah dan mama/ibu asli Papua rumpun ras Melanesia, yang mengikuti garis keturunan bapak/ayah (system patrilineal) yang memiliki basis culture dalam adat masyarakat asli Papua2. Kekayaan alam Papua menjadi jaminan hidup masa lalu, masa kini,namun menjadi pertanyaan bagaimana dengan masa depan ? apakah kekayaan alam masih menjadi jaminan hidup bagi kelompok etnik di tanah Papua, diatas tanah leluhurnya ? pertanyaan ini perlu diajukan oleh penulis, mengingat semakin berdatangan beragam agenda pembangunan dari negara. Pembangunan yang baik tetap memperhatikan dan memberikan jaminan hidup bagi hari depan. Menjadi catatan buruk apabila, agenda pembangunan justru menjamin masa kini saja.
3.2.2 Gambaran Umum Wilayah 3.2.2.1 Geografis
Papua Barat, demikian nama resmi yang digunakan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk menyebut salah satu Propinsi di tanah Papua. Posisi Propinsi Papua Barat berada paling timur Indonesia. Secara geografis Provinsi Papua Barat terletak pada 124°-132° BT dan 0°- 4° LS, tepat berada di bawah garis khatulistiwa dengan ketinggian 0-100 meter dari permukaan laut. Batas wilayah Provinsi Papua Barat adalah sebagai berikut: sebelah Utara berbatasan dengan Samudera Pasifik, sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Banda (Provinsi Maluku), sebelah 2
Baca SK MRP No.14 tahun 2009
Barat berbatasan dengan Laut Seram (Provinsi Maluku), dan sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Papua. 3.2.2.2 Wilayah Administrasi Pemerintahan
Semula provinsi Papua Barat bernama Provinsi Irian Jaya Barat, yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat. Secara administrasi pemerintahan, Provinsi Papua Barat terdiri dari 12 kabupaten dan 1 kota, yaitu: Kabupaten Manokwari, Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Tambrauw, Kabupaten Pegunungan Arfak, Kabupaten Manokwari Selatan, Kabupaten Fak-Fak, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Sorong, Kota Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Maybrat, Kabupaten Raja Ampat.
3.2.3 Sejarah Asal-Usul Kelompok Etnik dan Penyebarannya Berapa jumlah kelompok etnik di tanah Papua dan sejarah asal-usul, merupakan suatu perdebatan yang hingga kini masih didiskusikan dan boleh saja dikatakan belum pasti. Kuat dugaan terdapat variasi data. Dalam catatan Summer Institute for Linguistic (SIL) pada tahun 1990, dikatakan bahwa jumlah bahasa lokal di tanah Papua adalah 250 (Mansoben, 1997). Bahasa menunjukkan etnik, sehingga dapat dikatakan bahwa jumlah kelompok etnik di tanah Papua versi SIL adalah 250 kelompok etnik. Sejarah asal-usul 250 kelompok etnik yang ada di tanah Papua, bisa ditelusuri melalui cerita mitos yang di kontruksi oleh masing-masing kelompok etnik. Artinya, masing-masing kelompok etnik memiliki cerita mitos tentang asal-usul sejarahnya masing-masing. Terdapat beragam mitos tentang asal-usul yang berbeda-beda. Namun, ada satu titik temu antara cerita mitos tentang asal-usul kelompok etnik di tanah Papua yaitu masingmasing kelompok etnik melalui kontruksi mitos, memberikan legalitas bahwa mereka adalah kelompok asli di tanah Papua. Mitos dari Kelompok Etnik Boray salah satu kelompok etnik yang menghuni dan mengklaem
sebagai pemilik Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat, misalnya. Mengkontruksi cerita mitos bahwa Istilah Boray berasal dari bahasa Boray yang memiliki arti asli atau tanah. Jadi, kelompok etnik Boray adalah suku asli atau kelompok etnik yang memiliki tanah dan dipercaya tanah Kabupaten Manokwari. Sementara, mitos yang lain adalah kelompok etnik Arfak yang juga menghuni Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. Melalui kontruksi cerita mitos dikisahkan bahwa meskipun istilah Arfak dimaknai sebagai gunung besar, namun mereka mengklem sebagai kelompok etnik asli yang memiliki lokalitas dari pegunungan Arfak sampai pesisir pantai. Atau dengan pengataan lain, merekalah yang memiliki kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. Kelompok etnik Amungme di Kabupaten Timika Provinsi Papua, memiliki cerita sejarah asal-usul. Dikisahkan bahwa kata amungme terdiri dari dua kata amung yang berarti pertama dan me yang berarti manusia. Secara etimologi dapat dikatakan bahwa Amungme berarti “manusia yang pertama” atau “manusia sejati” Kelompok Etnik Anim-Ha di Kabupaten Merauke Provinsi Papua, memiliki cerita sejarah asal-usul. Di kisahkan bahwa semenjak alam (tanah) diciptakan, mereka kelompok etnik pertama yang diciptakan. Oleh sebab itu, mereka menyebut diri kelompok etnik manusia AnimHa yang memiliki arti manusia sejati. Dari beberapa kisah diatas, memberikan pedoman kepada kita bahwa isu asli, siapa manusia pertama yang ada di tanah Papua menjadi catatan penting bagi pembawa agenda pembangunan ke tanah Papua, karena isu tersebut bisa menjadi potensi konflik horizontal yakni antara kelompok etnik. Sementara Pola Persebaran manusia Papua Berdasar kan Wilayah Budaya. Pada bagian ini akan dijelaskan tentang pola persebaran orang Papua berdasarkan wilayah budaya. Ada lima wilayah budaya, antara lain: ((1)dafonsoro (Tabi). (2)Teluk cenderawasih (Saireri), (3) Kepala burung, di bagi menjadi dua, yaitu Bomberai dan Doberai, (4)Pegunungan Mee Paqo, dibagi 2, yaitu Mee Paqo dan Lani Paqo,(5) Ha Anim.
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 55
Tabel 4. Pola Persebaran Orang Papua Berdasarkan Wilayah Budaya No Wilayah Budaya Kabupaten/Kota 1
2
3
4
5
Dafonsoro (Tabi) a. Kaureh b. Sentani c. Genyem d. Tanah Merah e. Tobati f. Enggros g. Nafry h. Skuw i. Keerom Teluk Cenderawsih (Saireri) a. Biak Numfor b. Napan c. Moor d. Wamesa e. Yapen f. Waropen g. Raja Ampat h. Pantai Selatan Kepala Burung, dibagi dua: (Bomberai) a. Fak-fak b. Kaimana c. Bintuni (Doberai) a. Manokwari b. Sorong Pegunungan Mee Paqo, dibagi dua: a. Paniai b. Puncak Jaya c. Amungme Lani Paqo a. Jayawijaya b. Pegunungan Bintang c. Tolikara Ha Anim a. Merauke b. Asmat
Kab. Jayapura Kab.Jayapura Kab.Jayapura Kab.Jayapura Kab.Jayapura Kab.Jayapura Kab.Jayapura Kab.Jayapura Kab. Keerom
Kab. Biak Numfor Kab. Nabire Kab. Nabire Kab. Nabire Kab.Yapen Kab.Waropen Kab.Raja Ampat
Propinsi
Papua Papua Papua Papua Papua Papua Papua Papua Papua
Papua Papua Papua Papua Papua Papua Papua Barat
Papua Barat Kab. Fak-fak Papua Barat Kab. Kaimana Kab. Teluk Bintuni Papua Barat Kab. Manokwari Kab. Sorong
Papua Barat Papua Barat
Papua Kab. Paniai Kab. Puncak Jaya Papua Papua Kab. Timika Kab. Jayawijaya Kab.Pegunungan Bintang Kab. Tolikara
Papua Papua Papua
Kab. Merauke Kab. Asmat
Papua Papua
3.2.4 Keragaman Manusia, Suku Bangsa Dan Penyebarannya 3.2.4.1 Kosmologi (Pandangan Tentang Dunia Kelompok Etnik/Sub Etnik: Relasi Manusia Dengan Alam, Dan Dunia Gaib)
Rasa ketergantungan hidup Orang Papua terhadap alam sangat tinggi, karena linggkungan alam dipandang sebagai sumber kehidupan. Oleh sebab itu, Orang Papua harus hidup lebih bijaksana guna menjaga keseimbangan lingkungan alam dengan tindakan menjaga, mengelola dan memanfaatkan sesuai kebutuhan dan kepentingan Orang Papua. Berbekal pengalaman berinteraksi dengan lingkungan alam khususnya tanah dan hutan yang telah berlangsung turun-temurun, maka direproduksi kearifan lokal berupa hubungan antara manusia dengan lingkungan alam, yang dalam bahasa Cliford Geertz disebut dengan istilah pengetahuan lokal, (Geertz, 2003:253). Bag aimana Orang Papua menjag a lingkungan alam guna kelangsungan hidup Orang Papua, atau dalam bahasa Julian Steward yang memakai istilah Culture ecology, namun Ia lebih menekankan hubungan kebudayaan dengan alam lingkungan, (Poerwanto 2008:71). Namun demikian, menurut Steward hubungan antara manusia dan lingkungan tidaklah secara langsung melainkan ada perantaranya yaitu nilai-nilai, pengetahuan, kepercayaan yang membentuk suatu pola budaya. Salah satu hubungan antara Orang Papua dengan lingkungan alam yaitu konsep tentang tanah. Bagaimana Orang Papua memperlakukan lingkungan alam (tanah dan hutan), sangat tergantung dari bagaimana konsep Orang Papua terhadap lingkungan alam (tanah dan hutan). Kelompok etnik Anim-Ha di kabupaten Merauke Provinsi Papua, memiliki konsep tentang tanah. Tanah adalah pemberian dari dewa tertinggi bernama Dema3. Namun, dalam kelompok etnik terdiri dari beberapa marga, maka tanah dibagi berdasarkan marga-marga
3
Sumber: Diolah Dari berbagai sumber bacaan
56 •
Keragaman Manusia Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
Menurut Boelaars (1986) Dema merupakan mitologi asal-usul manusia Marind, mencipta dan mengatur.
dalam satu kampung. Karena pemberian dewa, maka tanah harus dijaga. Dalam bahasa lokal, “namik, nahisa, nahai anim,es anim,nahim, makan dimatab aleb. Mabateme, warangga es hanid nanggo”, (artinya: Saudara-saudara, mamamama, kakak-kakak, adik-adik, bapak-bapak, jangan jual tanah untuk perusahaan. Kasihan, itu milik kalian dan anak cucu dimasa mendatang). Dalam adat Anim-Ha hubungan manusia dengan alam dan manusia dengan manusia lain bertemu dalam sistem perlindungan dan pemanfaatan sumber daya alam yang terkandung dalam wilayah teritorial adat, yang terbagi dalam beberapa marga dan sub marga. Tanah terbagi merupakan milik masing-masing marga dan berdiri diatas dua sistem hak, yaitu hak kepemilikan dan hak pakai. Kedua hak ini secara umum memiliki ketentuan bahwa tidak ada hak kepemilikan yang berada ditangan individu atau perorangan, melainkan berada ditangan semua anggota marga secara komunal sebagai wujud dari kedaulatan kaum, yang dalam hal penangung jawaban pembangian dan penggunaan diserahkan kepada kepala marga. Sementara yang berlaku bagi setiap masyarakat dalam satuan rumah tangga adalah hak pemanfaatan yang terbatas diantara sesama anggota marga. Kelompok etnik Arfak di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat, memiliki konsep tradisional tentang tanah yang dalam bahasa lokal disebut:“Igya Ser Hanjop”, (Secara umum artinya: mari kita sama-sama menjaga hutan untuk kepentingan bersama). Kehidupan Orang Arfak sepenunhya sangat bergantung kepada alam. Tanah, pohon, binatang adalah bagian dari kehidupan mereka. Orang Arfak mengenal konsep tanah Adat. Tanah adat adalah tanah milik bersama satu kampung, yang dapat di manfaatkan untuk memenuhi sumber pangan. Meskipun, tanah milik bersama namun setiap marga tak semena-mena mengambil sebebasbebasnya. Setiap marga sudah dibagi tanah adat sehingga boleh mengambil pada batasbatas yang telah diatur. Batas tanah adat antara marga biasanya dibatasi oleh sungai, gunung atau pohon yang diberi nama sebagai simbol pembatas. Jika, seseorang hendak mengambil
hasil hutan pada batas adat milik marga lain, haruslah meminta izin pada pemilik. Karena, Hutan merupakan salah satu bagian dari tanah yang menjadi milik kampung (tanah ulayat) dan hanya warga kampung itu saja yang boleh masuk dan mengambil hasilnya. Orang Arfak juga mengenal konsep pembangian wilayah hutan. Wilayah pertama disebut babamti, yaitu wilayah hutan primer yang lokasinya berada lebih tinggi dari perkampungan penduduk. Secara adat wilayah Babamti idak boleh dipakai untuk mendirikan kebun ataupun membuat rumah. Dikawasan ini penduduk hanya diperbolehkan untuk mengambil kayu untuk membuat rumah. Wilayah kedua, nimahamti yaitu hutan yang sangat lembab dan banyak lumut yang tumbuh di tanah dan menempel dipohon. Wilayah bahamti dan nimahamti tidak dapat dijadikan kebun karena secara geografis memang sulit dijangkau kampung dan suhunya dingin sehingga tidak semua tanaman dapat tumbuh subur, terutama untuk tanaman pangan. Wilayah ketiga adalah susti, yaitu hutan sekunder, yaitu hutan yang sebelumnya sudah pernah dibuka untuk membuat kebun namun sudah di tinggalkan dan sudah tumbuh pohonya menjadi hutan kembali. Kelompok etnik Sumuri di Distrik Sumuri Kabupaten Teluk Bintuni Provinsi Papua Barat memilik Konsep Tentang Tanah. Tanah dalam Bahasa Sumuri disebut Kenete. Pesan nenek moyang Tanah hanya sebatas di pakai dan ditanami. Untuk dijual, saat ini belum diperbolehkan, karena kelompok etnik Sumuri marga Agofa, masih memegang pesan nenek moyang. Apalagi pesan ini di wariskan secara turun-temurun. Apa yang dikatakan nenek moyang, merupakan pesan “sakral” yang harus di laksanakan. Pesan ini, bukan hanya sebatas milik individu atau keluarga, tetapi milik kelompok etnik Sumuri dengan marga Agofa. Marga Agofa memiliki tanggungjawab menjaga pesan tersebut. Itu sebabnya, setiap pihak luar entah koorporasi berskala nasional maupun internasional yang hendak memasuki wilayah hak ulayat milik marga Agofa, maka ada anggapan bahwa pihak luar adalah ancaman atau peluang. Langkah bijak harus diambil untuk mengantisipasi antara ancaman atau peluang
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 57
dengan mewajibkan kepada pihak luar untuk meminta izin kepada nenek moyang dan kepada marga Agofa. Permintaaan izin kepada nenek moyang, haruslah dilakukan secara tradisional yang disebut dengan upacara atau ritual khusus untuk alam yang dalam bahasa Sumuri disebut Tamu Manere. Ritual Tamu Manere dipimpin oleh tetua adat atau orang dituakan dalam marga Agofa sebagai pemilik ulayat tanah. Upacara ini dilakukan untuk menandai alam dan upaya meminta ijin kepada para leluhur untuk digunakan. Ritual ini biasa di lakukan di bawah pohon beringin, mata air, atau lahan yang akan dibuka dengan melakukan persembahan berupa sirih, pinang, kapur, air panas, rokok, yang di letakkan diatas para-para4. Juga disertai dengan penyembelihan hewan, seperti: sapi, kambing, atau ayam tergantung dari besar-kecilnya upacara yang akan di lakukan. Berikut tahapan yang harus dilakukan jika ada agenda pembangunan yang akan memasuki wilayah tanah ulayat. Sementara bagi warga Kampung Onar Baru yang bukan pemilik ulayat,boleh membuka lahan bertani atau berkebun di hutan sekitar tanpa membayar karena hanya memiliki hak pakai bukan pemilik tanah. Sementara Dalam konsep tradisional tentang pembagian tanah (ulayat), Kelompok etnik Sumuri mengenal 2 konsep, yaitu: tanah milik kelompok etnik, dan tanah milik marga. Tanah milik Kelompok etnik Sumuri adalah kampung-kampung yang secara administratif terletak dalam wilayah distrik Sumuri,yang meliputi kampung Tanah Merah Lama,Tanah Merah Baru, Saengga, Tofoi atau Kelapa Dua, Onar Lama, Onar Baru, dan Tomage. Sementara itu, pembangian tanah (Hak ulayat) berdasarkan marga, sangat jelas. Marga Sowai memiliki hak ulayat marga di kampung Tanah Merah Lama. Marga Wayuri memiliki hak ulayat di kampung tanah Merah Baru. Marga Agofa memiliki hak ulayat di kampung Onar Lama dan Onar Baru. Terkait batas hak ulayat antar marga, biasa digunakan batas alam yaitu kali. Marga Agofa misalnya, memiliki batas hak ulayat marga 4
Semacam pondok yang dibuat dikebun, maupun dihalaman sekitar rumah warga, sebagai tempat duduk bercerita antar warga.
58 •
Keragaman Manusia Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
dimulai dari kali Yenadu di Kabupaten Teluk Bintuni hingga kali Wagos di Kabupaten FakFak. Kelompok etnik Amungme di Kabupaten Timika Propinsi Papua mengenal konsep tanah, yaitu:“tanah adalah mama atau ibu, jika manusia merusak alam, dengan sendiri nya ia merusak dirinya sendiri, dalam bahasa lokal disebut, te aro neweak lak-o, yang berarti alam adalah aku”. Meskipun, terdapat kurang lebih 250 konsep tentang tanah yang bervariasi, akan tetapi ada 2 unsur utama di antara sejumlah konsep tentang tanah bagi orang Papua, yaitu pertama, tanah adalah ibu atau mama. Kedua, tidak ada tanah yang tak bertuan. Artinya, setiap tanah entah masih hutan belantara dipercaya ada pemiliknya, baik makhluk yang kelihatan maupun tak kelihatan. Sementara Tanggapan orang Papua terhadap sesama manusia. Ada yang berpandangan bahwa hubungan vertikal antara manusia dengan sesamanya adalah amat penting. Berpedoman pada tokoh-tokoh pemimpin dan orangorang senior. Terdapat pula pandangan bahwa hubungan horizontal antara manusia dengan sesamanya sebagai yang terbaik. Kebudayaan seperti itu akan amat merasa tergantung kepada sesamanya dan berusaha untuk memelihara hubungan baik dengan tetangganya dan sesama kaum kerabat dianggap sangat penting dalam hidupnya. Sebaliknya adapula kebudayaan yang berorientasi bahwa menggantungkan diri pada orang lain bukan hal yang baik. 3.2.4.2 Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan disetiap kelompok etnik di tanah Papua sungguhlah beragam. Salah satunya adalah sistem pengetahuan tentang alam flora. Orang Arfak memiliki pengetahuan tradisional tentang berbagai jenis tumbuhan yang dapat dimanfaatkan untuk membuat rumah seperti kayu besi, dan kayu matoa. Pengetahuan tentang tumbuhan yang ditanam dan bisa di konsumsi seperti ubi, pisang, jeruk, jambu, pepaya, kelapa, dan beberapa jenis sayuran.
Pengetahuan tradisional yang dimiliki kelompok etnik Sumuri sebenarnya memiliki nilai yang bermakna. Ia memiliki nilai, karena pengetahuan tradisional menuntun manusia untuk lebih bijaksana menggunakan berbagai kekayaan alam agar tetap bertahan hidup. Pengetahuan akan tumbuhan sayur misalnya, dapat memberi informasi kepada kelompok etnik Sumuri untuk bisa mengklasifikasikan, tumbuhan mana yang bisa dikonsumsi, dan tumbuhan mana yang tidak bisa di konsumsi karena mengandung kadar racun. Pengetahun tradisional sebagai warisan nenek moyang kelompok etnik Sumuri, kini menuju degradasi pengetahuan tradisional dan nyaris punah. Pengetahuan tradisional yang masih diketahui dikampung Onar adalah pengetahuan tentang tumbuhan obat yaitu sarang semut. Sarang semut digunakan untuk penyembuhan penyakit kanker bagi suku Sumuri. 3.2.4.3 Mata Pencaharian Hidup
Secara ekologis terbagi empat zona yang masing-masing menunjukan diversifikasi terhadap sistem mata pencaharian mereka berdasarkan kebudayaan dan sebaran suku bangsa, yaitu: 1. Zona ekologi Rawa-rawa ( Swampy Areas), Daerah pantai dan muara sungai (Coastal & Laowland Reverin), 2. Zona Ekologi daerah pantai dan muara sungai (Coastal Laowland Areas) 3. Zona ekologi kaki gunung dan daerah lembah-lembah kecil (Foothils and Small Valley) 4. Zona ekologi peg unungan tinggi ( Highlands) Persebaran Orang Papua berdasarkan Zona ekologi yang berbeda, membuat mata pencaharian orang Papua berbeda-beda. Orang Papua mengenai mata pencaharian utama dan mata pencaharian sampingan. Orang Arfak yang secara ekologi berada di wilayah pegunungan memiliki mata pencaharian sebagai petani dengan pola perlandangan berpindah-pindah dan menetap, serta memiliki
mata pencaharian sampingan seperti berburu dan mencari ikan disungai. Kelompok etnik Sumuri di Kabupaten Teluk Bintuni Propinsi Papua Barat yang secara ekologi berada di wilayah pesisir pantai memiliki mata pencaharian pokok sebagai nelayan ikan dan nelayan udang. Sementara mata pencaharian sampingan sebagai petani ladang berpindahpindah dan petani ladang menetap. 3.2.4.4 Organisasi Sosial
Institusi penting yang berada di Tanah Papua terdiri dari tiga elemen penting, yaitu adat, gereja, Pemerintah. Namun, dalam konteks tulisan ini, fokus pembahasan pada institusi adat. Dalam sistem kepemimpinan tradisional satu kelompok etnik dipimpin oleh seorang pemimpin kelompok etnik yang disebut kepala suku. Sementara setiap Kelompok etnik yang terdiri dari marga-marga dipimpin oleh seorang pemimpin yang disebut kepala marga. Kepala suku dan kepala marga memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing, sesuai dengan nilai adat masing-masing kelompok etnik di tanah Papua. Suku Sumuri dipimpin oleh seorang kepala suku. Tugasnya hanya memastikan bahwa hakhak ulayat (tanah) berada pada posisi aman. Artinya tidak ada terjadi konflik antar marga maupun antar pihak luar (pemerintah dan koorporasi). Kepala suku tidak memiliki hak untuk mencampuri hak ulayat milik marga. Sementara, antar marga terdapat seorang pemimpin yang disebut kepala marga. Tugas kepala marga adalah mengatur hak ulayat milik marga, memberi izin beroperasi sebuah koorporasi diatas tanah hak ulayat milik marga, memberi izin kelompok etnik “pendatang” untuk tinggal dalam batas-batas hak ulayat milik marga, menyelesaikan konflik sesama marga maupun antar kelompok etnik dalam kampung. Menjadi kepala Suku Marga Agofa, haruslah memiliki syarat, punya wawasan luas, berpendidikan tinggi, dan orang yang berdasarkan hasil diskusi tua-tua adat bisa melihat kepentingan sesama marga.
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 59
Kelompok etnik Arfa k meng ena l pemimpin kampung. Artinya dalam setiap kampung terdapat pemimpin kampung yang disebut Kenamnyak yaitu orang pertama yang menempati suatu daerah sebagai tempat tinggal dan membuat kebun. Kenmnyak yang menetukan wilayah antara marga, memberikn nama-nama tempat, jenis binatang dan pohon yang sebelumnya belum dikenal. Bila ada pihak lain yang hendak tinggal diwilayah kenamnyak maka orang tersebut harus meminta izin kepada kenamnyak. Orang yang ikut tinggal tidak boleh menjual tanah karena statusnya hanya menumpang pada kenamnyak. Jika kenamnyak meninggaal, maka digantikan oleh Andigpoy (tuan tanah). Andigpoy merupakan pemilik tanah yang kemudian diangkat sebagai kepal suku untuk memipin suatu kampung. Namun, Pemerintah Daerah saat ini mengangkat kepala suku besar Arfak menjadi kepala suku dari seluruh kepala kampung. Saat ini, di Manokwari terdapat 3 kepala suku besar Arfak. Melalui 3 kepala suku besar Arfak, surat pelepasan tanah adat bisa diberikan kepada pihak lain yang hendak membeli tanah adat. Kelompok etnik Anim-Ha di Kabupaten Merauke Provinsi Papua, mengenal seorang pemimpin yang disebut kepala marga atau dalam istilah lokal disebut pakas-anim memiliki tanggung jawab untuk mengola hak atas tanah di antara sesama anggota marga dan hubungan pemilikan/ penguasaan marga dengan pihak luar.
istilah lokal (bahasa Sumuri) untuk menyebut dia pemilik tempat adalah “Kiwawiri tibi kenete fa yona”. Sementara dalam istilah lokal pula moyang pemilik tempat disebut Artra. Warisan budaya berwujud kepercayaan tradisional tersebut, menjadi kompas bagi marga Agofa dalam menjaga dan mengelola alam semesta. Oleh sebab itu, bagi siapa saja entah pihak pemerintah, koorporasi dan bahkan kelompok etnik lain, yang hendak memasuki wilayah Kampung Onar Baru harus meminta izin kepada dua pihak yaitu, artra (pemilik tempat) dan marga Agofa (ahli waris artra). Ritual adat diatas memiliki nilai fungsi, bahwa supaya perusahaan akan beroperasi dengan baik, perusahaan akan berjalan terus, dan kecelakaan sebagai akibat dari kemarahan artra tidak terjadi. Fungsi lain, sebagai etika sopan santun tradisional bagi pihak mana saja yang hendak menduduki hak ulayat milik Suku Sumuri. Sementara, tata cara izin kepada pemilik hak ulayat (marga Agofa), harus dipatuhi agar tidak terjadi perlawanan pemilik hak ulayat kepada pihak mana saja. Masyarakat pemilik hak ulayat dikumpul, koorporasi menyampaikan tujuan kedatangan, apa saja manfaat yang di rasakan pemilik hak ulayat. Semua hasil pembicaraan harus di dokumentasikan dalam wujud Perjanjian Kontrak. Yang penting lagi, kontrak tersebut harus di implementasikan sesuai bunyi perjanjian dan harus menghindari kata penipuan.
3.2.4.5 Sistem Religi/Kepercayaan
3.2.5 Dinamika Perubahan Sosial
Sebelum kedatangan agama modern (Kristen Protestan, Kristen Khatolik, Islam, Budha, Hindu) di Papua, kelompok Orang Papua memiliki kepercayaan tradisional. Mereka percaya kepada mahluk manusia yang tak kelihatan, namun di percaya ada selalu bersama dengan manusia. Makhluk tersebut di percaya sebagai “pemilik” tempat tinggal setiap kelompok etnik ditanah Papua. Kampung Onar Baru yang kini dihuni Kelompok etnik Sumuri marga Agofa dipercaya milik makhluk yang tak kelihatan. Dalam
Tanah Papua yang dihuni oleh beragam kelompok etnik, saat ini mendapat perhatian dari negara melalui intervensi pembangunan berwujud kebijakan, program dan korporasi. Baik Program Otonomi Khusus, Korporasi berskala nasional dan internasional, maupun beragam kebijakan nasional terus di upayakan untuk mempercepat pembangunan di tanah Papua. Semakin seriusnya negara menghadirkan pembangunan di tanah Papua, terkesan perhatian negara yang besar kepada tanah dan manusia Papua.
60 •
Keragaman Manusia Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
Pembangunan menjadi kata “sakral” yang ada dalam alam pikiran pengelola negeri ini bahwa tanah dan manusia Papua hanya bisa mengalami perubahan dengan intervensi pembangunan. Memang demikian, karena makna utama dibalik kata pembangunan dalam pandangan Arensberg dan Niehoff (1964) 5 adalah perubahan Sosiokultural yang di rencanakan. Kearah mana negara hendak merancang perubahan pada tanah dan manusia Papua sangat tergantung dari siapa pengelola negeri ini. Namun, Negara tetap berkeyakinan bahwa tujuan pembangunan adalah menghadirkan kesejahteraan bagi kelompok etnik di tanah Papua. Kelompok etnik di tanah Papua, memang sepakat dengan gagasan negara bahwa pembangunan akan merubah masyarakat dari titik keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, menuju titik kemajuan dan kesejahteraan. Oleh sebab itu, kelompok etnik sejak awal hidup di negeri ini, telah menaruh kepercayaan pada negara sehingga mendukung berbagai egenda pembangunan. Akan tetapi, berdasarkan evaluasi kelompok etnik di tanah Papua tentang implementasi berbagai agenda pembangunan di tanah Papua, tak merubah kondisi kelompok etnik ditanah Papua, maka masyarakat bertanya mengapa negara tak bisa merubah nasib kita dari kemiskinan menjadi sejahtera ? Pada titik ini, kelompok etnik ditanah Papua memulai melakukan perubahan berpikir terhadap negara dengan terus bertanya mana janji negara kepada kelompok Papua ? Memaknai dinamika perubahan cara pandang kelompok etnik ditanah Papua terhadap negara, seharusnya menjadi catatan evaluasi bagi negara tentang bagaimana strategi jitu menghadirkan kesejahteraan bagi tanah dan rakyat Papua. Program REDD+ menjadi “alat” negara untuk menjawab pertanyaan kelompok etnik ditanah Papua kapan kita bisa mengalami perubahan?
5
Pendapat ini penulis kutip dari buku Prof.Dr. Amri Marzali dengan judul:”Antropologi Dan Pembangunan Indonesia”, Jakarta:Prenada Media. Tahun 2005. Halaman,62.
3.2.6 Studi Kasus Etnografi Papua 3.2.6.1 Suku Bangsa Arfak
1. Nama dan bahasa Orang Arfak terdiri dari 4 sub suku yaitu suku Meyakh, Halam, Moile, dan Sough. Bahasa Halam dan Moile termasuk fila kepala burung bagian barat sedangkan bahasa Meyakh dan Sough termasuk fila kepala burung bagian timur. 2. Lokasi Orang Arfak mendiami daerah sekitar Kabupaten Manokwari lembah-lembah serta lereng-lereng Pegunungan Arfak. 3. Sistem Pengetahuan a. Pengetahuan Tentang Alam Sekitar Kehidupan masyarakat Arfak tidak dapat dipisahkan dengan hutan dan sepenuhnya hanya bergantung kepada alam, pohon, sungai, dan binatang yang memiliki makna sebagai sumber kehidupan. Berdasarkan kearifan lokal orang Arfak membagi kawasan hutan menjadi beberapa wilayah wilayah pertama disebut babamti, yaitu wilayah hutan primer yang lokasinya berada lebih tinggi dari perkampungan penduduk. Secara adat wilayah babamti tidak boleh digunakan untuk melakukan aktifitas berladang dan mendirikan rumah. Dikawasan ini penduduk hanya diperbolehkan bahan untuk pembuatan rumah seperti kayu, kulit kayu dan tali pengikat tiang rumah. Wilayah kedua disebut nimahamti yaitu hutan yang sangat lebat dan banyak lumut yang tumbuh ditanah dan menempel dipohon. Wilyah babamti dan nimahamti tidak dapat dijadikan areal perladangan karena secra geografis memang sulit dan memiliki suhu dingin sehingga tidak dapat digunakan untuk berladang. Wilayah ketiga disebut susti. Wilayah ini disebut hutan sekunder, yaitu hutan yang sebelumnya sudah pernah dibuka untuk membuat kebun namun sudah ditinggalkan dan telah mennjadi hutan kembali.
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 61
Selain pembedaan hutan berdasarkan ciriciri pohon, penduduk juga membedakan daerah berdasarkan ketinggiannya. Daerah yang paling tinggi disebut ampiyabey atau daerah dingin, daerah bubima atau daerah sedang, daerah resim atau daerah panas, dan daerah mutiyak atau pesisir. Daerah yang dianggap cocok untuk berkebun adalah daerah bubima (daerah sedang) dan dareah resim ( daerah panas) b. Pengetahuan tentang alam flora Pengetahuan Orang Arfak tentang alam tumbuhan terbagi dalam beberapa bagiaan berdasarkan pola pemanfaatannya, yakni pengetahuan tentang tumbuhan obat, pengetahuan tentang bahan pangan dan pengetahuan tentang jenis kayu dan tumbuhan yang bermanfaat untuk mendirikan rumah atau tempat tinggal. Pengetahuan tentang alam flora lainnya adalah pengetahuan tentang jenis pohon dan tumbuhan yang digunakan untuk membuat rumah. c. Pengetahuan tentang alam fauna Pengetahuan orang Arfak tentang fauna sangat membantu mereka dalam melakukan berbagai aktifitas sehari-hari, seperti berkebun dan berburu. Pengetahuan ini terutama sangat membantu mereka dalam membaca fenomenafenomena yang akan terjadi dialam sekitar tempat tinggal. Pengetahuan ini juga membantu mereka dalam memprediksi berbagai hal yang akan terjadi, seperti becana alam, kedatangan tamu, kedatangan musuh, pergantian musim, dan menentukan waktu. d. Sistem mata pencaharian hidup Orang Arfak mempunyai sistem mata pencaharian utama adalah bertani dengan pola perladangan berpindah-pindah. Berburu hanya merupakan mata pencaharian sampingan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan protein hewani. 62 •
Keragaman Manusia Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
e. Organisasi Sosial Kemasyarakatan 1) Kekerabatan Orang Arfak mengenal pola adat menetap virilokal sebagai pola adat menetap setelah menikah, seorang pria yang telah menikah akan membawa istrinya menetap dilingkungan kaum kerabatnya. Perkawinan diantara Orang Arfak pada umumnya masih banyak diatur oleh orangtuanya sejak anak masih kecil melaui proses perjodohan. Proses ini dilakukan tanpa sepengetahuan anak-anak mereka. Perempuan Arfak pada umumnya dikawinkan pada usia yang relatif muda. Perkawinan pada usia dini ini berkaitan erat dengan pentingnya nilai keperawanan seorang perempuan dalam sistem perkawinan Arfak. 2) Sistem Religi Sebelum masuk Misi Zending Prostestan. Sebelum masuknya misi zending prostestan kepegunungan Arfak pada tahun 1962, masyarakat Arfak menganut animisme. Hal ini enyebabkan mereka percaya bahwa bendabenda daat membantu mereka memberikan jalan keluar terhadap apa saja yang mereka inginkan. Orang Arfak juga percaya bahwa ruh-ruh orang yang sudah meninggal, yang menurut mereka masih melayang-layang atau tinggal di dua buah gunung keramat. Selain itu juga mereka juga percaya bahwa sekitar alam tempat tinggal mereka dihuni berbagai macam ruh-ruh jahat dan ruh-ruh baik. Untuk menjaga hubungan baik antara manusia dengan ruh-ruh tersebut diadakan sesajian dalam ritual-ritual tersebut. Selain bentuk kepercayaan animisme, dalam sistem religi orang Arfak juga mengenal dua bentuk ilmu gaib yaitu ilmu gaib putih dan hitam. Ilmu gaib putih oleh Orang Arfak akui yaitu ilmu gaib penolak yang banyak digunakan dalam ilmu gaib dukun untuk menyembuhkan orang sakit dan dalam upacara-upacara penolak bahaya. Selain itu ilmu gaib putih lainnya yakni bereytow adalah ilmu gaib produktif yang banyak digunakan dalam upacara-upacara kesuburan dan upacara pertanian.
Moumweb adalah ilmu gaib destruktif yang banyak dipakai dalam ilmu sihir untuk menghancurkan saingan dan musuh. Ilmu gaib ini juga digunakan untuk membalas dendam. Penduduk Arfak termasuk tipe masyarakat pendendam. Salah satu ilmu gaib hitam yakni suangi penduduk Arfak menyebutnya mberei. Suangi adalah sebutan bagi orang yang dibayar untuk membunuh orang lain. Pembunuhan ini dilakukan apabila seseorang mempunyai dendam yang disebabkan oleh suatu pertikaian dengan orang yang menjadi sasaran. Sesudah masuk ajaran agama Sistem religi tradisional orang Arfak mulai berangsur-angsur hilang setelah masuknya ajaran agama kristen oleh pendeta dari zending protestan. Proses penyebaran agama kristen protestan didaerah Orang Arfak membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat. Perubahan-perubahan tersebut antara lain: 1) berkurangnya adat menggunakan ilmu gaib destruktif untuk membunuh atau merugikan orang lain, 2) hilangnya pengayuan (kanibalisme), dan 3) berkurangnya permusuhan antar konfederasi dan antar suku bangsa. Walaupun orang Arfak telah menjadi pemeluk agama kristen teta dalam realitanya kepercayaan Orang Arfak terhadap roh-roh hingga kini masih tetap dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari.
kedalam sub kelompok Keenok dan kaimok (Koenjtaraningrat, 1993). Selain itu OrangOrang Asmat juga menggunakan bahasa lisan lainnya yang diperwujudkan simbol dan lambang yang digunakan sebagai suatu alat komunikasai yang hanya dimengerti oleh mereka sendiri. 2. Sistem Religi
3.2.6.2 Suku Bangsa Asmat
Orang Asmat percaya bahwa mereka keturunan dewa turun dari seberang lautan, tempat matahari terbenam. Orang Asmat juga percaya bahwa jika nenek moyang mengkehendaki keturunan, dikirimlah roh tertentu kebumi lewat seberkas sinar matahari. Roh tersebut akan mendarat diatas atap rumah tempat tinggal wanita yang telah ditakdirkan menjadi ibu dan akan hamil. Orang Asmat yakin bahwa dilingkungan tempat tingga juga menetap berbagai macam ruh yang terbagi dalam tiga golongan, yaitu: 1) Yi-ow, atau ruh nenek moyang yang pada dasarnya bersifat baik, terutama bagi keturunannya, 2) Obopan, atau ruh jahat yang membawa enyakit dan bencana, 3) Dambin – ow, atau ruh jahat orang mati yang konyol. Upacara-upacara religi dalam kebudayaan Asmat umumnya bertujuan untuk melakukan pemujaan kepada ruh-ruh nenek moyang. Upacara-upacara religi yang terdapat dalam kebudayaan Asmat adalah: 1) mbismu, atau membuat tiang mbis, atau patung nenek moyang , 2) yentpokmbu, pembuatan dan pengukuhan rumah yew, 3) tsimbu, pembuatan dan pengukuhan perahu lesung, 4) yamasy pokumbu, atau upacara perisai, 5) mbipokumbu, yaitu upacara topeng.
1. Bahasa
3. Organisasi Sosial Kemasyarakatan
Kelompok orang Asmat dibedakan kedalam dua kelompok yaitu Orang Asmat pantai (hilir sungai) dan dan orang Asmat hulu sungai. Bahasa-bahasa Asmat hilir dibagi dalam sub kelomokpantai barat dan pantai Flamingo seperti bahasa Kainik, Bisman, Simay, dan Bacembub serta kelompok pantai Barat Daya atau Kasuariana, seperti bahasa Batia dan Sapan. Adapun bahasa Hulu Sungai dibagi
Sistem kekerabatan terkecil dalam kebudayaan Asmat adalah keluarga luas (Extnded Familly). Dalam sebuah rumah biasanya menetap dua sampai tiga keluarga yang terdiri dari keluarga iinti senior ditambah dengan dua keluarga inti yunior serta beberapa anggota kekerabatan yang masih bertalian darah. Walaupun mereka hidup dalam satu rumah namun tiap keluarga memiliki tungku perapian sendiri-sendiri. Rumah tempat
3) Sistem Kesenian Orang Arfak mengenal seni menyanyi dan menari. Tari ular adalah salah satu jenis tari tradisional yang di orang Arfak.
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 63
tinggal mereka disebut tsyem. Pola adat menetap setelah menikah uxorial local, sesudah menikah, pasangan pengantin berteempat tinggal disekitar tempat tinggal disekitar tempat-tempat kediaman kerabat istri. a. Sistem Mata Pencaharian Hidup Mata pencaharian utama orang Asmat adalah peramu. Kegiatan meramu berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang dapat dikonsumsi seperti sagu, paku-pakuan, jamur dan berbagai jenis sayur-sayuran. Disamping itu mereka pun melakukan pekerjaan sampingan lainnya seperti berburu binatang dan mencari ikan disungai, dan dipinggiran pantai. Orang Asmat Hulu yang tinggal didaerah yang tidak terdapat pohon agu, bermata pencaharian sebagai petani dengan pola pertanian berpindah-pindah. b. Struktur Tanah Paroh Masyarakat Asmat mengenal strukur paroh masyarakat (aipem) agar dapat saling mengawasi dan bersaing untuk meningkatkan kualitas masyarakat. seorang emimpin aipem bertugas mengatur semua kegiatan masyarakat terutama kegiatan berburu, meramu atau merencanakan berbagai kegiatan lainnya yang melibatkan tenaga kerja. Untuk menjadi seorang pemimpin aipem, maka seseorang harus dapat memenuhi beberapa kriteria antara lain mempunyai keberanian dan kepandaian dalam berperang. c. Pemimpin Masyarakat Orang Asmat mengenal dua bentuk kepemimpinan formal dan informal atau tradisioanal. Pemimpin formal adalah pemimpin yang diangkat berdasarkan perundang-undangan yang berlaku seperti kepala kampung, sedangkan pemimpin informal atau tradisional pemimpin yang diangkat berdasarkan tradisi masyarakat. Orang Asmat mengangkat seorang pemimpin berdasarkan kemampuannya dalam bidang tertentu. d. Sistem kesenian Sistem kesenian orang Asmat berkaitan erat dengan sistem kepercayaan. Salah satu benda 64 •
Keragaman Manusia Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
keenian Asmat yang sangat menarik dan terkenal adalah Patung Mbis dan perisai-perisai. 3.2.6.3 Suku Bangsa Ekagi
1. Lokasi Orang Ekagi yang diperkirakan berjumlah sekitar 100.000 orang menghuni bagian barat pegunungan pusat. Ciri khas kediaman mereka adalah tiga danau besar. Sehbungan dengan danau itu maka penduduk dibagi-bagi sebagai penduduk Danau Paniai, Penduduk Danau Tage, dan Penduduk Danau Tigi, yang meliputi juga penduduk dataran Kamu dan daerah Mapia. 2. Kehidupan sehari-hari Kebutuhan orang ekagi akan makanan dipenuhi secara kuantitatif dengan penghasilan kebun, tetapi secara kualitatif dengan daging yang diperoleh melalui perburuan binatangbinatang liar yang kecil dan berternak babi. Tanah perkebunan diperoleh wanita biasanya dari suaminya, terkadang dari saudaranya. Kaum pria harus membuat pagar sekeliling an mengali parit. Kaum wanita membuat pematang, mengurus pupuk, menanam, menyiangi, rumut dan menggali ubi-ubian. Urusan berternak babi ditangani kaun wanita tetapi urusan menjualnya adalah pekerjaan kaum pria. Menjelang malam hari suami mengumpulkan kayu bakar, baik untuk rumah kediaman keluarganya maupun untuk tempat tinggal, tempat kaum pria berkumpul. Pada waktu yang sama isteri kembali dari kebun membawa ubi-ubian dan sayuran. Semuanya ini harus disiapkan untuk makan malam anggota keluarganya, dan sebagian untuk makan pagi dan siang keesokan harinya. 3. Pandangan Hidup Mata pencaharian yang pertama dari Orang Ekagi adalah pedagang. Kehidupan dagang yang serba keras, usah adat ini disebut realitas, yang tulen, yang baka, yang menentukan kehidupan. Syarat-syarat yang selalu ditetapkan dan kewajiban yang selalu harus dipatuhi merupakan undang-undang uang abadi. Orang Ekagi berpendapa bahwa ada suatu makhluk
asal yang memanifestasikan dirinya didalam gejala besar dunia yang kelihatan. Dalam hal ini orang Ekagi berpikir tentang matahari dan memandang matahari sebagai wanita, sebagai ibu asal. Tetapi ibu asal itu tidak efektif secara langsung. Dia baru menjadi efektif melaui sinar yang dipancarkannya dan yang memberi kesuburan bagi mausia, hewan, dan tumbuhan. Sinar itu sebagai anak prianya (sebagai pria yang bertindak). Selanjutnya dia membayangi bumi ini sebagai ibu yang memangku anaknya. Bumi sebagai ibu yang memangku segala sesuatu yang bertumpu padanya. Tetapi sekali lagi ibu itu berdiri dilatar belakang, anak laki-laki itulah suami yang harus memberi bentuk kehidupan ibu dibumi ini. Ibu bumi disamakan atau dibandingkan dengan lantai sebuah rumah, yang diatasnya berdiri tegak tiang utama yang menyangga atap. Maka mereka selalu mengatakan bahwa ibu rumah tangga berdiri guna memberi status dan kesejahteraan kepada keluarga. 3.2.6.4 Suku Bangsa Sebyar
1. Lokasi Suku Sebyar adalah salah satu dari 250 suku bangsa di Papua yang mendiami wilayah operasi LNG Tangguh di teluk Bintuni, tepatnya di kecamatan Arandai- Kabupaten Manokwari. Desa Tomu merupakan salah satu desa dari 9 desa dalam wilayah administrasi kecamatan Arandai. Desa ini letaknya di bagian utara dari areal wilayah kecamatan Arandai. Desa ini dilalui sungai/anak sungai Gonggo yang membelah lokasi pemukiman desa Tomu. Pola pemukimannya berjejer mengikuti bagian kiri dan kanan anak Sungao Gonggo. Desa Tomu mrupakan bagian dari wilayah kecamatan Arandai yang mempunyai batas-batas wilayah administrasi sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Mardey; sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Taroy dan desa Sebyar Rejosari; ebelah Barat berbatasan dengan desa Manunggal Karya, Kecap dan desa Aranday.
2. Sejarah Asal-usul Suku Sebyar yang mendiami distrik Arandai menurut informasi/ data yang diberikan oleh setiap klen yang ada seperti klen Kosepa, kaitam, Nawarisa, Inai dan lainnya mengekemukakan hal yang sama, yaitu suku Sebyar berasal dari Gunung Nabi. Gunung Nabi adalah salah satu gunung yang letaknya diantara Kecamatan Bintuni dan Babo yang hampir semua Etnis yang mendiami sekitar teluk Bintuni menganngapnya gunung sakral. 3. Kepercayaan Kepercayaan tradisional Orang Sebyar yang mendiami Desa Tomu hingga saat ini masih ada dan mempengaruhi pola kehdupan masyarakatnya . Kepercayaan tardisional ini memungkan Orang Tomu untuk mempertahankan norma budaya dan adat-istiadat mereka sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupannya. Norma budaya yang hingga saat ini masih ada mengatur hubungan antar sesama manusia dan mengatur manusia dengan lingkungannya. Suku Sebyar di Desa Tomu masih percaya adanya roh halus, roh nenek moyang, kekuatan gaib, dan benda sakral seperti patung. 4. Organisasi Sosial Kemasyarakatan Dalam pola kehidupan rumah tangga Orang Sebyar di desa Tomu terlihat ada kebersamaan (kehidupan sosial) dan rasa edui terhadap saudara-saudaranya atas dasar hubungan darah dan hubungan erkawinan masih kuat sehingga apabila ada anggota keluarganya yang kawin tetapi belum memiliki rumah, maka keluarga baru ini tinggal bersama orangtuanya. Di dalam mengurus dapur rumah tangga, mereka menggunakan satu tungku sehingga dapat dikategorikan sebagai keluarga luas. Di dalam rumah tangga seperti ini terjadi pembagian tugas pada setiap anggota rumah tangga, yaitu; ayah dan anak laki-laki selalu melakuukan pekerjaan seperti mencari ikan dan udang , berburu, membangu atau mempebaiki rumah, membuat perahu, dan menebang phon. Ibu dan anak-anak perempuan selau melakukan kegiatan seperti
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 65
menokok sagu (pekerjaan ini selalu dibantu oleh laki-laki atau ayah untuk menebang pohon sagu), mencari ikan dan udang, memeasak, menjaga dan merawat anak. Dua kegiatan yang selalu dikerjakan bersama-sama antara ayah, ibu dan anak laki-laki dan perempuan adalah kegiatan menokok sagu dan mencari ikan/udang. Suku Sebyar di Tomu menganut sistem keturunanpatrilinieal, sehingga hak waris selalu jatuh kepada anak laki dan anak permpuan hanya memiliki hak pakai. Namun demikian ada pemberian hak khusus dari orang tua sebagai rasa kasih sayang kepada anak perempuan berupa sebidang tanah untuk membangun rumah dan lain-lain. Selain itu anak atau saudara perempuan sellu dilibatkan dalam semua kegiatan yang berhubungan dengan adat, terutama upacaraupacara adat. Sebyar adalah satu kelompok manusia yang disebut Suku Sebyar yang artinya suku yang menyebar. Suku ini memiliki 6 klen ( Rumansara,2003:55). Dari 26 klen yang ada dibagi menjadi dua bagian yaitu; sub suku Dambad dan sub Suku kembran. 5. Sistem Perkawinan Suku Sebyar yang mendiami Desa Tomu menganut sistem Exogami klen (kawin keluar klen). Dalam memperoleh isteri Orang Sebyar mengenal 3 bentuk sistem perkawinan salah satunya adalah Minang, yaitu apabia seorang pemuda ingin kawin dengan seorang gadis, maka orang tua dari pemuda pergi kerumah orangtua perempuan yang diinginkannya untuk meminta secara baik. Apabila disetujui maka mereka menanyakan besar mas kawin yang diminta oleh orang tua gadis tersebut. Dengan mengetahui besar maskawin yang diminta maka orangtua pemuda menghubungi kerabatnya terutama klennya lalu mereka mengumpulkan harta maskawin yang dibebankan oleh orangtua gadis. Kemudian upacara perkawinan (Arane) untuk mengukuhkan perkawianan tersebut dilaksanakan (Rumansara,2003). 66 •
Keragaman Manusia Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
3.2.6.5 Suku Bangsa Asmat-Dani
1. Sejarah Perkampungan yang pertama kali diketahui di Lembah Baliem diperkirakan sekitar ratusan tahun yang lalu. Banyak eksplorasi didataran tinggi pedalaman Papua yang dilakukan. salah satu diantara pertama adalah Expedisi Lorent pada tahun 1909-1910 (Netherland), tetapi mereka tidak beroperasi di Lembbah Baliem. Kemudian penyidik aal Amerika Richard Archold anggota timnya adalah pertama yang mengadakan kontak dengan penduduk asli yang belum mengadakan kontak dengan negara lain sebelumnya. Ini terjadi pada tahun 1835, kemudian telah diketahui bahwa penduduk suku Dani adalah para petani yang terampil dengan menggunakan kapak batu, alat pengkikis, pisau yang terbuat dari tulang binatang, bambu, atau tombak kayu dan tongkat galian. Pengaruh Eropa di bawa oleh para Misionaris yang membangun pusat misi Protestan di Hetegina sekitar tahun 1955. Bangsa Belanda mendirikan kota Wamena maka agama Katolik mulai berdatangan. Sebutan Dani untuk kelompok masyarakat yang menghuni Lembah Baliem sebenarnya diberikan oleh Orang Amerika dan Belanda untuk Orang Moni yang bermukim didataran tinggi Pinai (Moni: orang asing). Kata asing ini kemudian berubah menjadi Ndani untuk mereka yang tinggal di Baliem. 2. Letak Geografis Secara gografis Kabupaten Jayawijaya terletak antara 3,200 -5,200 LS serta 137,190-1410 BT. Batas-batas daerah Kabupatn Jayawijaya adalah sebagai berikut: 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Yapen Waropen, 2. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Paniai, 3. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Marauke dan, 4. Sebelah Timur berbatasan dengan Papua New Guinea
Topografi Kabupaten Jayawijaya terdiri dari gunung-gunung yang tinggi dan lembah-lmbah yang luas. 3. Iklim Jayawijaya beriklim tropik basah, hal ini dipengaruhi oleh letak ketinggian dipemukiman laut dengan temperatur udara bervariasi antara 80-200 C dengan suhu rata-rata 17,50 dengan hari hujan 152,42 pertahun, tingkat kelembaban diatass 80%, angin berhembus epanjang tahun dengan kecepatan rata-rata tertinggi 14 knot dan terendah 2,5 knot. 4. Flora dan fauna Hutan tropis memberi kesempatan bagi tumbuh-tumbuhan dan hutan cemara, semak Rhodedenronds dan species tanaman pakis dari anggrek yanggg sangat menguntungkan. Hutan juga beranekaragam jenis kayu yang sangat penting bagi perdagangan seperti Intsia, Pometis, Callohylyum, Drokontomiko, Ptrerokau dan jajaran pohon berlumut yang dieksploitasi dan diproses dapat menghasilkan harga yang sangat tinggi jika diperdagangkan. Hutan dan ppadang rumput jayawijaya merupakan tempat hidup kangguru, kuskus, kasuari, dan banyak spesies dari burung endemik sepperti burung Cendrawasih, Mambruk, Nuri yng bermacammacam Insect dan Kupu-kupu yang beraneka ragam dan coraknya. 5. Penduduk Penduduk asli yang mendiami Kabupaten Jayawijaya ini adalah Suku Dani, Kimyal dan Suku Yale. 6. Budaya Babi memegang peranan penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Babi merupakan prestise dan melmbangkan status sosial seseorang. Tetapi babipun bisa menyebabkan pecahnya perang suku, dan binatang ini juga berperan sebagai maskawin (uang mahar). Hutan lebat dipegunungan Jayawijaya adalah rumah suku Dani. Mereka hisup dari berburu/ meramu hasil hutan dan sungai dari sekitar
kampung mereka. Hutan rimba dan alam baliem yang heterogen membetuk laki-laki dani menjadi prajurit-prajurit tangguh yang gagah berani dalam mempertahankan rumahnya dari gangguan pihak asing. Pelanggaran zona dan aturan adat oleh pihak asing akan dihadapi prajurit-prajurit Dani, hingga memungkinkan terjadinya peperangan. Namun demikian, mereka juga mengenal perdamaian sebagai penyelesaian peselisihan. Suku Dani tinggal dalam kelompok yang masih memiliki hubungan kekerabatan dalam sebuah usilimo/sili. Usilimo/sili merupakan zona inti pemukiman Dani, yang dihuni oleh sebuah keluarga. Usilimo terbentuk dari hutan yang sudah dibuka, diolah dan ditata menurut jalinan potensi alam dan sosial budaya lokal. Halaman tengah silii merupakan ruamg berkumpul. Pesta dan upacara adat seperti kematian dan kremasi jenazah, upacara kelahiran, perayaan kemenangan dilaukan disini. Perubahan ladang menjadi budidaya padi dan kopi menggeser aktivitas suku Dani dari hutan ke ladang, dari sistem ekonomi sub sistem ke sistem ekonomi modern. Kini suku Dani cenderung menetap disuatu tempat dengan lingkungan keamanan yang lebih kondusif. Pergeseran ruang aktivitas ini jarang dibarengi perubahan perilaku. Yang muncul selanjutnya adalah ketidakseimbangan peran laki-laki dan wanita sehingga wanitalah yang tampak sibuk diladang (Kebudayaan Papua, 2008). Perubahan aktivitas masyarakat Dani, kini membuka pula sekat-sekat ruang tradisional yang memberi peluan kepada perubahan sosiokultural. Kini hanya suku Dani Lembah yang masih bertahan pada tradisi mereka, karena kepercayaan bahwa merekalah yang menjadi cikal bakal suku Dani dan diberi amanah nenek moyang untuk bertahan dalam tradisi. Sementara generasi muda Dani dikelompok lain sudah tidak banyak lagi yang memahami nilai luhur budayanya, Batas wilayah suku Dani rwebagi atas tiga wilayah. Daerah terluar adalah hutan bawah “ kewenagan pengelolaan “ suku Dni. Dalam masyarakat Dani, kaum laki-lakilah yang banyak berhubungan dengan keliaran rimba Baliem.
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 67
Norma-norma adat yang mengatur pengelolaan hutan diwilayah ini misalnya, aturan mengenai binatang yang boleh diburu, kayu yang boleh ditebang untuk membuat rumah, larangna membuang sampah dan kotoran apapun disungai, dan bagian hutan yang boleh dibuka untuk pemukiman dan perladangan baru, biasanya dituangkan dalam bentuk mtos yang dikaitkan dengan hal mistik. Pelanggaran oleh piha asing akan dihadapi oleh laki-laki Dani sehingga mengakibatkan perang suku. Batas pengelolaan kedua adalah ladang. Pembukaan hutan menjadi ladang (perubahan hutan liar menjadi lingkungan yang diolah poteensinya) adalah tugas kaum pria. Apabila ladang udah siap ditanami, maka kaum wanita Danilah yang menanam bibit tanaman. Selanjutnya wanita Dani pula yang memelihara tanaman diladang hingga dapat dipetik hasilnya. kegiatan jual beli hasil ladang merupakan kegiatan baru bagi masyarakat Dani. Biasanya hasil ladang ditukar dengan babi. Didaerah ini masih banyak orang yang menggunakan koteka (penutup penis) yang terbuat dari kunden kuning dan para wanita menggunakan pakaian wah, yang beraal dari rumput/serat dan tinggal di honai-honai (gubuk yang beratapkan jerami/lalang ). Walaupun orang Asmat-Dani telah menerima agama kristen, banyak diantara upacara-upacara mereka masih bercorak budaya lama yang diturunkan nenek moyang mereka. 7. Transportasi Kabupaten Jayawijaya merupakan salah satu derah yang berada dipedalaman Papua, maka sarana perhubungan yang ke ibukota Wamena dan kecamatan-kecamatan lainnya didaerah pedalaman Jayawijaya adalah dengan transportasi udara. Beberapa kecamatan dikota ini dihubungkan dengan jalan darat dan terdapat kendaraan seperti taksi umum yang beroperasi bahkan beberapa mini bus yang diperuntukan bagi kepentingan para wisatawan (kebudayaan Papua, 2008). 68 •
Keragaman Manusia Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
3.2.6.6 Suku Bangsa Byak
1. Nama dan Latar Belakang Pada waktu Pemerintahan Belanda berkuasa di daerah Papua hingga awal tahun 1960-an nama yang dipakai untuk menamakan kepulauan BiakNumfor adalah Schouten Eilanden, menurut nama Orang Eropa pertama berkebangsaan Belanda yang mengunjungi daerah ini pada awal abad ke 17. Nama lain yang sering dijumpai dalam laporan-laporan tua untuk penduduk dan daerah kepulauan ini adalah Numfor atau Wiak. Fonem w pada kata wiak sebenarnya berasal dari fonem v yang kemudian berubah menjadi b sehingga munculah kata biak yang digunakan sekarang. Dua nama itulah terakhir itulah kenudian digabungkan menjadi satu nama yaitu Biak-Numfor. Tentang asal usul nama serta arti kata tersebut ada beberapa pendapat: 1. Bahwa nama Biak yang berasal dari kata v’iak yang pada mulanya merupakan suatu kata yang dipakai untuk menamakan penduduk yang bertempat tinggal di daerah pedalaman pulau-pulau tersebut. Kata tersebut mengandung pengertian orang-orang yang tinggal di dalam hutan, orang yang tidak pandai kellautan, misalnya tidak pandai menangkap ikan, tidak pandai berlayar dan menyeberangi lautan yang luas dan lain-lain. 2. Pendapat lain mengatakan bahwa berasal dari keterangan cerita lisan rakyat berupa mite, yang menceritakan bahwa nama itu berasal dari warga klen Burdam yang meninggalkan pulau Biak akibat pertengkaran mereka dengan klen Mandowen. Warga klen Burdam memutuskan untuk meninggalkan pulau Warmambo (mama asli pulau Biak) untuk menetap disuatu tempat yang etaknya jauh sehingga pulau Warmambo hilang dari pandangan mata. Demikian mereka berangkat, tetapi setiap kali mereka menoleh ke belakang mereka melihat pulau Warwambo namak diatas permukaan laut. Keadaan ini menyebabkan mereka berkata v’ak wer, atau v’iak artinya ia muncul lagi. Kata inilah yang kemudian dipakai oleh
mereka yang pergi untuk menamakan pulau Warwambo dan hingga sekarang nama itulah yang tetap dipakai (Kamma,1978:29-33). 2. Bahasa Menggunakan satu bahasa yaitu bahasa Biak. Walaupun menggunakan satu bahasa tetapi ada perbedaan dialek antara penduduk pada satu daerah dengan saerah yang lain dan secara prinsip dialek yang berbeda itu tidak menghalangi mereka untuk saling mengerti satu sama lain. 3. Mata Pencaharian Orang Biak terutama yang tinggal di pedesaan hidup terutama dari berladang dan menangkap ikan. Teknik berladang yang dilakukan ialah berpindah-pindah. Dimasa lampau mata pencaharian Orang Biak-Numfor adalah perdagangan. Barang-barang yang diperdagangkan adalah hasil laut, prirng, budak dan alat-alat kerja yang dibuat dari besi seperti parang dan tombak. Sistem perdagangannya adalah barter. 4. Struktur Sosial Pada waktu lampau maupun masa kini kesatuan sosial yang paling penting dalam kehidupan bermasyarakat orang Biak adalah keret atau klen kecil. Dalam masyarakat Biak tidak terdapat pembagian menurut lapisan sosial yang jelas, namun ada perbedaan antara golongan masyarakat bebas dengan golongan masyarakat budak. Golongan pertama, masyarakat bebas disebut manseren artinya dipertuan, pemilik yang membuat putusan dan berkuasa. Golongan ini terdiri atas golongan masyarakat yang berasal dari keret pendiri kampung yang disebut menseren mnu, artinya golongan pendiri dan pemilik kampung. Golongan kedua, yang disebut budak atau women berasal dari tawanan-tawanan perang. Tugas utama golongan ini adalah membantu melakukan pekerjaan-pekerjaan bagi siapa mereka dipertuan seperti berkebun, mencari ikan, membangun rumah dan lain-lain.
5. Perkawinan dan Pola Menetap Sesudah Menikah Prinsip perkawinan yang dianut oleh Orang Biak-Numfor adalah eksogami yang artinya antara anggota-anggota warga satu karet tidak boleh terjadi perkawinan. Pada masa lampau perkawinan ideal orang Biak-Numfor adalahh perkawinan yzng disebut idadwer yaitu pertukaran perempuan antara keluarga yang berasal dari dua keret yang berbeda. Orang BiakNumfor juga mengenal perkawinan melaluii peminangan atau fakfuken. Unsur penting dalam proses pemingan adalah ppenentuan jumlah maskawin dan penentuan waktu pelaksanaan perkawinan. Pola menetap sesudah kawin yang dianut adalah patrilokal yaitu pasangan baru yang menikah menetap dirumah atau lokasi tempat asal suami. 6. Sistem Kepemimpinan Masing-masing keret dikepalai oleh seorang pemimpin yang disebut mananwir keret. Gas seorang mananwir adalah: Sebagai keala keluarga dan hakim yan menangani berbagai urusan yang menyangkut kpentingan warga golongannya sendiri seperti sebagai kepala untuk mengatur izin penggunaan tanah hak milik keret diantara warga keret dan sebagai hakim untuk menyelesaika berbagai sengketa yang timbul antara warga keret sendiri Seorang manawir adalah sebagai wakil olongannya sendiri untuk menangani masalah yang menyangkut kepentingan golongannya dengan olongan yang lain dalam kampung dan bersama-sama dengan mananwir dari keret lain menjaga dan mengawasi kepentingan warga kampungnya terhadap pihak luar. Kedudukan menjadi mmananwir atau kepala keret tidak didasarkan atas umur, tetapi ditentukan oleh: 1) kemampuan memperjuangkan kepentingn golongan, 2) kerelaan mengorbankan diri demi kepentingan anggota keret, 3) memilliki pengetahuan luas tentang aturan-aturan yang berlaku dalam keret, 4) mempunyai pengalaman yang lebih banyak dibandingkan dengan anggota lain dari keretnya seperti sering mengikuti ekspedisi pelayaran
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 69
dan perang ke tempat-tempat yang jauh dan pandai berbicara dimuka umum. Pengutamaan jenis kemampuan yang diharapkan dari seorang pemimpin cenderung berubah-ubah sesuai dengan kepentingan kelompok, misalnya pada waktu perang, kedudukan seorang pemimpin kampung didasarkan atas keberanian memimpin perang. 7. Konsep Religi a. Kepercayaan Roh orang mati (Karwar) Mereka menciptakan suatu bentuk patung yang disebut Amfianir Karwar untuk memperingati anggota keluarga yang meninggal. Mereka berpendapat bahwa manusia mempunya satu tubuh dan dua roh, yaitu jasmani, roh dan bayangan. Seorang yang masih hidup berati jasmaniah, saat orang mati roh akan pergi bersemayam didunia roh dilangit nan jauh disana, sedangkan bayangan roh dan bayangan akan berdiam di alam karwar bersama orang hidup. Dengan demikian maka dibuat patung menyerupai orang hidup sebagai tempat berdiam bayangan, sehingga bayangan tidak berkeliaran dalam dunia. Roh dan bayangan mempunyaai hubungan keterkaitan dengan orang hidup antara anggota keluarga mereka, dan untuk menjaga hubungan ini maka upacara adat merupakan faktor penting. Mereka percaya bahwa arwah-arwah ini memberi kekuatan dan menjaga keluarga, memelihara kebun, mendatangkan hujan menjauhkan penyakit dan juga menyusahkan, menyakiti dan menakuti orang yang masih hidup. b. Roh-roh penghuni alam semesta Pada masa lampau sangat kuat menganut kepercayaan lain dialam semesta ini, yaitu rohroh penghuni goa, pohon besar, gunung, didalam tanah, dan dilaut, oh-roh jahat dialam ini disebut Suanggi. c. Penyembahan Matahari Pertentangan antara siang dan malam adalah inti daripada religi nenek moyamg Orang BiakNumfor untuk menyembuhkan Konor matahari 70 •
Keragaman Manusia Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
dengan mengadakan pesta memberi makan kepada matahari yang disebut Fan Ori. Mereka membawakan makanan dan dipersembahkan kepada matahari, agar matahari mendatangkan kemakmuran, kekuatan dan kesuburan. d. Kepercayaan Mitos Koreri Koeri adalah suasana atau keadaan yang penuh dengan kegembiraan, kebahagiaan, dan kesejahteraan. Untuk mencapa tujuan impian tersebut hanya melalui upacara adat keagamaan yaitu koreri. e. Kepercayaan Mansern Nanggi Orang Biak-Numfor percaya bahwa ada Tuhan di langit (Mansern Nanggi) yang mempunyai segala kekuatn dan memberi kehidupan, kesejahteraan, kemakmuran dan nikmat. 3.2.6.7 Suku Bangsa Ayfat
1. Lokasi Suku Ayfat tinggal di bagian tengah, dikiri, dan kanan sungai Kamundan dan sekeliling danau ayamaru. 2. Kehidupan sehari-hari Tingkat hidup mereka minim terdiri dari usaha berladang, meramu hasil-hasil hutan, sedikit berburu dan menangkap ikan. Pola asal ini lambat laun mengalami perubahanperubahan besar karena pengaruh orang-orang Belanda dahulu dan kemudian pemerintah Indonesia dan berkat usaha zending dan misi. Akan tetapi sebelum pengaruh modern ini mulai mengubah pola hidup yang asli terdapat pula pengaruh yang lain, yang membuat pola hidup asli itu berkembang kesuatu arah tertentu yaitu adalah pengaruh perdagangan dan kontak dengan bangsa lain didaerah pantai. 3. Pandangan hidup Orang Ayfat percaya bahwa seorang wanita yang sedang hamil harus lebih giat bekerja agar
anaknya ketika lahir menjadi kuat. Orang Ayfat percaya dengan adanya kekuatan gaib.
3.2.7 Introduksi Program Pembangunan 3.2.7.1 Perencanaan dan Sosialisasi
Salah satu tahapan dalam implementasi program REDD+ di tanah Papua adalah sosialiasi. Tujuan yang di harapkan adalah para pembawa program memberikan informasi yang tepat, benar dan bisa memastikan bahwa programn REDD+ berbeda dengan agenda pembangunan lainnya kepada kelompok etnik yang menjadi lokasi sasaran program tersebut, agar dipahami oleh kelompok etnik. Pemahaman yang baik dan benar akan menuai dukungan kepada program tersebut dan berujung pada kesuksesan program. Untuk konteks Papua, sosialisasi dilakukan dengan dua langkah. Pertama pertemuan formal antara pembawa program dengan kelompok elite kampung yang terdiri dari: Kepala suku besar, Ketua marga, Tua-Tua Adat, Tokoh Agama, Tokoh perempuan, tokoh pemuda, Aparat Pemerintah kampung dan Akademisi (Antropolog dan Sosiolog ). Pertemuan dilakukan di ruang sosilasisasi kampung bernama balai kampung dengan agenda sosialisasi program. Hasil yang diharapkan adalah, eliteelite kampung memiliki pengetahuan tentang program dan menjadi sumber informasi guna mendistribusikan informasi program kepada keluarga dan sesama kelompok etnik. Kedua, pertemuan informal antara pembawa program (antropolog dan sosiolog ), dengan masyarakat kelas bawah (yang tak diundang dalam pertemuan elite). Pertemuan dilakukan tanpa undangan tetapi menggunakan ruangruang sosial yang seringkali digunakan oleh masyarakat untuk berkumpul yaitu para-para. Agendanya adalah informasi program REDD+ disampaikan dengan menggunakan mitosmitos yang telah ada dalam masyarakat. Sebagai contoh: Kelompok etnik Sumuri di Kampung Onar Distrik Sumuri Kabupaten Teluk Bintuni Provinsi Papua, berdasarkan mitos mereka,
bahwa tanah dan hutan adalah pemberian dari dewa tertinggi bernama Artra. Pesannya, hutan tak boleh dijual dan hanya dipakai untuk kepentingan kelompok etnik. Pesan ini harus dipegang karena terkait dengan kehidupan dibumi. Pembawa program menggunakan mitos tersebut dengan mengatakan, mari kita jaga tanah dan hutan, jangan sampai nenek moyang (artra) marah dan mendatangkan maut bagi kita. Selain itu, setiap penjaga tanah dan hutan akan diberi penghargaan. Hal ini tentu penting, karena menjaga tanah dan hutan berarti menjaga pesan, dan para penjaga pesan nenek moyang akan diberi lebel sosial masyarakat bahwa orang tersebut tau adat, sementara siapa yang tidak menjaga tanah dan hutan diberi lebel sosial tidak tau adat. 3.2.7.2 Pemastian Tenurial
Kelompok etnik di tanah Papua, mengenal sistem tenurial yang tentunya berbeda-beda antara satu kelompok etnik dengan kelompok etnik yang lain. Akan tetapi, melalui catatan etnografi beberapa kelompok etnik di atas, terdapat beberapa hal yang bisa digunakan menjadi semacam “pintu masuk” untuk memastikan sistem tenurial masing-masing kelompok etnik di tanah Papua. Meskipun tanah merupakan pemberian dari dewa tertinggi kepada satu kelompok etnik, namun dibeberapa kelompok etnik ditanah Papua hak pemilikan, penguasaan bahkan pelepasan tanah kepada pihak lain ada pada kekuasaan marga dengan struktur kepala marga, tua-tua adat dan anggota marga. Oleh sebab itu, untuk memastikan sistem tenurial dalam suatu lokalitas yang hendak diinter vensi pembangunan, maka harus memastikan tanah dan hutan ini milik kelompok etnik siapa, dan marga siapa. Jika sudah jelas, maka langsung bertemu ketua marga dan tuatua marga-marga. Sebagai gambaran kongkrit, ketika intervensi pembangunan berwujud koorporasi berskala nasional hendak masuk ke kampung Onar Baru Distrik Sumuri Kabupaten Teluk Bintuni, kita memastikan lokasi tersebut milik siapa. Penulis menemukan bahwa tanah
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 71
dan hutan di kampung tersebut milik kelompok Etnik Sumuri dengan marga Agofa. Selanjutnya manajemen koorporasi langsung bertemu kepala marga dan tua-tua marga Agofa. Ketika tanah dan hutan milik marga Agofa hendak dijual, sewa, atau kontrak kekuasaan ada pada struktur marga (Kepala marga, tua-tua marga dan anggota marga). Marga yang lain tidak bisa intervensi, karena marga pemilik hak ulayat akan mengatakan ini “rumah” marga Agofa, jangan mengatur kami, karena kamu juga memiliki “rumah” milik marga yang tidak bisa diintervensi oleh “rumah” marga yang lain. 3.2.7.3 Pengembangan Kapasitas Lembaga Adat dan Sumber Daya Manusia
Tanah Papua memiliki sejumlah lembaga adat yang mengklaim sebagai lembaga yang melindungi manusia dan budaya Papua. Lembaga–lembaga budaya yang ada hanya dapat dibedakan berdasarkan sumber pembiayaan. Lembaga budaya yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah Majelis Rakyat Papua (MRP), daan Lembaga Masyarakat Adat (LMA). Sementara lembaga adat yang tetap eksis tanpa memperoleh APBD adalah Dewan Adat Papua dan lembaga marga. Dalam konteks introduksi program pembangunan, lembaga adat yang sudah ada patut diberdayakan. Dewan Adat Papua (DAP) wajib dimintai petunjuk yang biasanya di sampaikan secara lisan bahwa program yang akan di introduksi masuk wilayah budaya mana. Sementara, Lembaga adat berbasis lembaga marga yang terdiri dari kepala marga, tua-tua marga, dan anggota marga di tumpangi agenda program pembangunan yang didasarkan pada nilai-nilai adat tentang lingkungan hidup (tanah dan hutan). 3.2.7.4 Resolusi Konflik
Konteks tanah Papua saat ini, sumber konflik yang terus terjadi adalah konflik hak ulayat antara kelompok etnik dengan kelompok etnik, antara marga dengan marga dan antara kelompok etnik dengan Pemerintah. Isu Yang Melatarbelakangi Konflik adalah tuntutan ganti 72 •
Keragaman Manusia Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
rugi hak ulayat. Konflik ini semakin nampak, ketika ada rencana intervensi pembangunan berwujud koorporasi. Saat koorporasi memasuki wilayah hak ulayat, akan terjadi pelepasan tanah dengan bukti pembayaran hak ulayat (tanah dan tumbuhan). Fenomena ini menjadi kompetisi atau semacam perebutan hak untuk mendapatkan uang pembayaran ganti rugi hak ulayat. Kasus saling klaim tanah terus disuarakan dan disinilah potensi konflik terjadi. Fenomena di atas perlu diantisipasi oleh pembawa program dengan jalan memastikan bahwa tanah dan hutan dalam suatu lokalitas yang akan dintervensi oleh agenda program pembangunan milik siapa. Namun, jika terlanjur terjadi konflik dalam suatu lokalitas saat intervensi agenda pembagunan terjadi, maka pembawa program harus membuat pemetaaan konflik, yaitu: apa sumber konflik, isu yang dikonflikkan, unit-unit yang berkonflik, sikap dari pihak-pihak yang berkonflik, tindakan dari pihak-pihak yang berkonflik, dan resolusi konflik. Menurut penulis untuk konteks Papua yang didasarkan pada resolusi konflik tradisional, caranya pihak-pihak yang berkonflik diundang oleh Kepala Marga dan kepala suku dalam suatu forum dialog. Agendanya, kepala suku dan kepala marga sebagai pihak pendengar yang setia, untuk mendengar seluruh cerita dari pihak-pihak yang berkonflik. Berdasarkan cerita yang disampaikan oleh pihak-pihak yang berkonflik maka kepala suku dan kepala marga akan mengambil keputusan untuk memastikan bahwa konflik tersebut saat ini selesai. Ini semacam kearifan resolusi konflik tradisional. Jika masyarakat yang masih kuat mempraktekan nilai-nilai adat, maka resolusi konflik tradisional lebih memiliki kekuatan yang mengikat untuk mengakhiri konflik. Namun, dalam konteks modern ada pihak-pihak yang ingin diintervensi oleh pihak negara (kepolisisan) untuk penyelesaian konflik. 3.2.7.5 Sistem Benefit Sering
Ingatan kolektif masa lalu rakyat Papua, tentang pembagian hasil dari koorporasi yang pernah beroperasi di tanah Papua, menunjukan
bahwa sebagian kelompok etnik di tanah Papua memaknai masih jauh dari kesan keadilan. Hasil alam yang diambil tanpa konpensasi yang seimbang seolah-olah tak ada penghargaan kepada kelompok etnik pemilik hak ulayat. Fenomena ini akan menjadi nilai tawar yang kuat, ketika sebuah agenda pembangunan yang bergerak dalam bidang apapun akan memasuki wilayah hak ulayat satu kelompok etnik. Hitunghitungan tradisional akan dilakukan kelompok etnik. Apa yang program REDD+ akan berikan kepada kelompok etnik agar terjadi perubahan hidup menuju titik kesejahteraan. Kriteria keadilan dan transparasi harus menjadi pijakan. Nilai keadilan bahwa apa yang harus diberikan oleh kelompok etnik pemilik hak ulayat kepada program REDD +, dan apa yang harus diberikan oleh program REDD+ kepada kelompok etnik pemilik hak ulayat. Ini wajib di lakukan secara transparan. Kelompok etnik memiliki tanggung menanam ataupun menjaga hutan, dan hasil karbon yang dihasilkan akan dihargai. Mereka yang menjaga hutan akan diberi semacam penghargaan berwujud dana menjaga dan memelihara hutan. Namun, terkadang pembawa program menghadapai pertanyaan kepada siapa kita memberikan hasil ? Untuk konteks tanah Papua, pemberian penghargaan berwujud dana menjaga dan memelihara hutan diberikan kepada pemilik hak ulayat yaitu lembaga marga yang terdiri dari kepala marga, tua-tua marga, dan anggota marga. Catatan yang patut dipertimbangkan oleh pembawa program adalah penghargaan yang akan diberikan kepada lembaga marga ditetapkan berdasarkan kriteria pembawa program ataukah kriteria lembaga marga ?
3.3 Keragaman Manusia Nusa Tenggara Timur 3.3.1 Gambaran Umum Wilayah Nusa Tenggara Timur 3.3.1.1 Kondisi Geografis
Nusa Tenggara Timur secara geografis terletak diantara 08°30’ hingga 11°10’ Lintang
Selatan (LS) dan 118°33’ hingga 125°11’ Bujur Timur (BT). Luas wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur 248.718,10 Km2 terdiri dari daratan seluas 48.718,10 Km2 dan laut seluas ± 200.000 Km 2. NTT merupakan provinsi kepulauan dengan jumlah pulau sebanyak 566 buah. Berdasarkan jumlah tersebut, hanya 42 pulau yang dihuni dan 524 belum dihuni. Sebanyak 246 pulau sudah bernama sedangkan 320 pulau belum bernama. Beberapa pulau di NTT yang tergolong besar adalah Flores (14.231km²), Sumba (11.040 km²), Timor (14.394,90 Km²) dan Alor (2.073,40 Km²), sedangkan selebihnya merupakan pulaupulau kecil. Gugusan kepulauan di Provinsi Nusa Tenggara Timur diapit oleh batas sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores dan sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia dan Australia; Sebelah timur berbatasan dengan Negara Republic Democratic Timor Leste, dan Sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sebagian besar wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur berada pada rentang ketinggian 100 hingga 500 meter di atas permukaan laut dengan luas ± 2.309.747 Ha. Sedangkan sebagian kecil atau 3,65% wilayah berada pada ketinggian ± 1.000 m di atas permukaan laut. Lahan dengan kemiringan 15 s/d 40° mencapai luasan 38,07%, dan lahan dengan kemiringan lebih dari 40° mencapai 35,46%. Iklim di sebagian besar wilayah NTT tergolong kering hingga sangat kering (semi arid). Musim hujan hanya berlangsung selama kurang lebih 4 bulan dan musim kemarau berlangsung selama 8 bulan. Rata-rata curah hujan maupun jumlah hari hujan di sebagian besar wilayah NTT tergolong rendah. Keadaan Topografis Nusa Tenggara Timur berbukit-bukit dengan dataran rendah tersebar secara sporadis pada gugusan yang sempit. Pada semua pulau, dominan permukaannya berbukit dan bergunung-gunung. Dataran-dataran yang sempit memanjang sepanjang pantai atau diapit oleh dataran tinggi atau perbukitan. Kondisi geomorfologis yang demikian menyebabkan aktivitas pertanian pada daerah dataran sangat
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 73
terbatas, baik pertanian lahan basah maupun lahan kering. Pertanian lahan kering banyak dilakukan pada daerah-daerah dengan kemiringan yang curam sehingga produktivitas menjadi rendah. Berbeda dengan banyak daerah lainnya di Indonesia, luas areal hutan di wilayah NTT tergolong sangat sedikit, dengan tingkat kepadatan jenis dan jumlah tanaman hutan yang juga terbatas. 3.3.1.2 Administrasi Pemerintahan
Provinsi Nusa Tenggara Timur dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Selain itu, ditetapkan pula Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, sehingga di Provinsi Nusa Tenggara Timur pada awalnya dibentuk 12 Daerah Tingkat II (kabupaten), yaitu Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Alor, Flores Timur, Sikka, Ende, Ngada, Manggarai, Sumba Barat dan Sumba Timur. Setelah melewati kurun waktu selama 56 tahun, sampai dengan tahun 2014 ini di Provinsi Nusa Tenggara Timur terdapat 1 pemerintahan Kota, 21 Kabupaten, 290 Kecamatan, dan 2.966 buah desa/kelurahan.
3.3.2 Sejarah Asal-Usul Kelompok Etnik dan Penyebarannya Secara fisik, penduduk NTT memperlihatkan ciri-ciri ras yang bervariasi. Sebagian penduduk di bagian timur Pulau Flores dan bagian tengah dan timur Pulau Timor, memperlihatkan tanda-tanda NegritoMelanesia, yang ciri jasmaniahnya sama dengan orang Papua. Sementara di wilayah-wilayah pantai dan daerah NTT bagian barat, banyak penduduk memperlihatkan tipe Melayu. Menurut Prof. Dr. Yosef Glinka, SVD, ahli antropologi ragawi yang lama melakukan studi tentang bentuk tubuh penduduk NTT, secara umum manusia NTT terdiri dari tiga tipe ragawi 74 •
Keragaman Manusia Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
yaitu ras Mongoloid, ras Negroid dan Austroafrikan, serta ras Eropoid (mediteran). Secara historis, penduduk NTT sejak dahulu kala telah merupakan campuran dari unsur-unsur Melayu yang berasal dari bagian barat kepulauan Indonesia dan sisa-sisa dari unsur Negro-Oceania (termasuk Papua). Hasil dari persebaran yang demikian telah menyebabkan penduduk NTT saat ini tergolong amat bervariasi, baik secara fisik (ciri rasnya) maupun kondisi keragaman sosio-kulturalnya.
3.3.3 Keragaman Manusia, Suku Bangsa dan Penyebarannya Dari segi latar belakang sosio-kulturalnya, masyarakat NTT dapat dikatakan merupakan “miniatur Indonesia”. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa masyarakat NTT tergolong sebagai masyarakat majemuk (plural society). Kemajemukan masyarakat NTT tampak dari banyaknya suku bangsa dengan kekhasan budaya, adat istiadat serta bahasanya masingmasing. Di seluruh NTT terdapat tidak kurang dari 45 suku bangsa (kelompok etnis) dan sub suku bangsa (sub-etnis). Dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia (kecuali Papua), masyarakat NTT dikenal sangat pluralistik dari segi kesukubangsaan atau etnisnya. Sejarah kependudukan di daerah ini menunjukkan bahwa masyarakat NTT terdiri dari kelompok-kelompok etnis yang hidup dalam komunitas-komunitas yang tergolong eksklusif (tertutup/unik) sifatnya, dengan masing-masing memiliki latar belakang dan corak kebudayaan (adat istiadat) maupun bahasa lokal yang berbeda-beda. Setiap suku-bangsa/kelompok etnis di provinsi ini menempati wilayah tertentu, lengkap dengan pranata-pranata sosial budaya dan ideologi tradisional yang mengikat setiap anggota atau warga masyarakat itu secara utuh (Mubyarto, dkk, 1991: 5). Suku-suku bangsa yang saat ini mendiami wilayah NTT beserta bahasa yang digunakan dalam pergaulan hidup sehari-hari adalah sebagai berikut: 1. Di Pulau Flores bagian Timur dan pulaupulau kecil sekitarnya (Solor, Adonara dan
2.
3.
4.
5. 6. 7.
sebagian Lembata), berdiam suku bangsa Lamaholot yang menggunakan bahasa Lamaholot. Sedangkan di bagian paling timur Pulau Lembata berdiam suku bangsa Kedang yang menggunakan bahasa Kedang. Di bagian barat Pulau Flores hingga ke bagian tengah dan timur terdapat beberapa suku bangsa yaitu Manggarai, Nge-Reo, Riung, Bajawa, Nagekeo, Ende, Lio, Sikka, Tana Ai, dan Kanga’e. Setiap etnis ini juga memiliki bahasa daerahnya masing-masing. Di pulau Sumba terdapat suku bangsa Sumba (Barat) dan Sumba (Timur). Meskipun menurut hikayat leluhurnya (Li’i Marapu) kedua etnis ini berasal dari tempat asal yang sama (Malaka), namun adat istiadat maupun bahasa yang sekarang digunakan oleh kedua suku bangsa ini berbeda. Penduduk Sumba Timur menggunakan bahasa Kambera, sedangkan penduduk Sumba Barat menggunakan bahasa Sumba Barat dengan sejumlah dialek, yakni dialek Anakalang, Lauli (Loli), Waijewa (wewewa), Laura dan Kodi. Di pulau Timor bagian barat terdapat suku bangsa Meto (Atoni/Dawan) yang menggunakan bahasa Meto/Dawan, suku bangsa Tetum/Belu yang menggunakan bahasa Tetum, dan suku bangsa Bunaq/ Lamaknen yang menggunakan bahasa Bunaq. Sedangkan di wilayah perbatasan dengan Negara Timor Leste terdapat suku bangsa Kemak. Di pulau Sabu dan Raijua terdapat suku bangsa Sawu atau Sabu Di pulau Rote terdapat suku bangsa Rote Di pulau Alor dan Pantar terdapat suku bangsa Alor – Pantar dengan sejumlah besar sub-etnisnya yang masing-masing memiliki bahasa yang berbeda-beda.
3.3.3.1 Kosmologi
Meskipun setiap suku bangsa di NTT secara sendiri-sendiri, tampak memiliki nilai-nilai budaya yang berbeda antara satu dengan lainnya, namun dibalik perbedaan tersebut sebenarnya dapat ditemukan serangkuman persamaan nilai-
nilai budaya yang khas, yang dapat merefleksikan identitas manusia NTT seluruhnya sebagai suatu kesatuan. Salah satu di antara nilai yang dapat terangkum adalah mengenai kosmologi atau pandangan dunia manusia NTT. Sebagai masyarakat yang masih bercorak tradisional, sebagian besar warga suku-suku bangsa di NTT hingga saat ini masih memegang teguh pandangan dan nilai-nilai budaya yang khas mengenai relasi manusia dengan alam sekitar, dengan sesama manusia, maupun dengan dunia gaib (supranatural). Sebagaimana dikemukakan oleh Fernandez (1990: 98), kehidupan manusia NTT tradisional pada dasarnya senantiasa diarahkan kepada kerukunan, keselarasan dan keseimbangan dengan sesama, alam dunia, roh leluhur dan Yang Maha Tinggi. Cara pandang harmonis masyarakat tradisional di NTT dapat dibedakan ke dalam empat dimensi, yakni antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam dunia, manusia dengan roh mahluk yang dimitoskan, dan manusia dengan Yang Maha Tinggi. Bagaimana wujud konkrit dari cara pandang budaya tersebut akan diuraikan secara ringkas berikut. 1. Berpikir Harmonis dalam Hubungan dengan Sesama Manusia Manusia NTT dari berbagai suku bangsa, secara tradisional masih tergolong taat kepada adat-istiadatnya. Terdapat berbagai macam istilah dalam bahasa-bahasa daerah setempat yang menggambarkan keberadaan dan masih kuatnya peran adat dalam mengatur hidup keseharian masyarakat NTT. Adat lah yang mengatur keharmonisan dan kerukunan dalam masyarakat. Adat merupakan hukum, perintah, tata tertib yang terwariskan oleh nenek moyang dan wajib dipatuhi, serta kelangsungannya harus dijamin. Adat merupakan wujud pengertian manusia tentang kehidupannya, dan sering dinyatakan dalam berbagai syair, ungkapan adat, upacara ritual, berbagai bentuk kerjasama (gotongroyong) maupun pesta-pesta. Pada masyarakat Lamaholot di Flores Timur misalnya, terdapat ungkapan semangat yang sering diucapkan orang
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 75
pada berbagai pertemuan atau kesempatan, yakni “koda to’u kiri kne’e, kaka pulo arin lema”, yang artinya sehati, sesuara serta sepenanggungan. Demikian juga pada Orang Dawan/Meto di Timor, terdapat pemikiran harmonisnya dalam ungkapan ”neka mese ma ansao mese”, yang berarti seia-sekata, sehati-sepikiran. 2. Berpikir Harmonis Kosmis Selain terpusatkan pada relasi yang harmonis dengan sesama manusia, masyarakat suku-suku bangsa di NTT secara budaya juga amat mementingkan relasi yang harmonis dengan alam atau seluruh kosmos. Dalam pandangan budaya suku-suku bangsa setempat, kosmos bukanlah sebuah obyek melainkan berkedudukan sama sebagai subyek dengan manusia. Hubungan yang baik dengan alam dunia merupakan nilai tertinggi dan menjadi norma absolut adat (Fernandez, 1990: 105). Oleh karena itu, bila manusia dapat menjamin keselarasan hubungan dengan alam dunia, maka akan terwujud kebaikan, kemakmuran, kesentosaan, dan kedamaian antara manusia dengan kosmos. Sebagai ilustrasi misalnya, pada masyarakat etnis Sikka di Flores terdapat anggapan bahwa seluruh alam semesta mempunyai pengaruh atas kehidupan manusia. Apabila terjadi bencana alam seperti banjir, gempa bumi, kelaparan, penyakit yang merajalela atau hujan maupun kekeringan yang berkepanjangan, orang lalu mulai mencari sebab musababnya. Secara budaya terdapat anggapan bahwa semua itu terjadi karena hidup manusia tidak lagi sesuai dengan tuntutan alam dunia. Tata tertib alam telah dilanggar sehingga nenek moyang serta roh-roh alam dan Yang Maha Tinggi mendatangkan bencana, maka perlu ada upacara pemulihan. Sebagai contoh: apabila terjadi perkawinan sumbang “incest”, selalu menimbulkan keresahan dalam masyarakat dan dianggap benarbenar menentang alam. Masyarakat setempat menyebut dengan istilah “bahut ganu ahu, dohang ganu manu” atau kawin seperti (hewan) anjing atau ayam. Apabila hal ini terjadi, segera harus dilakukan ritual pemulihan agar hubungan 76 •
Keragaman Manusia Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
manusia dengan kosmos dan masyarakat setempat dapat terhindar dari bencana. Upacara ini disebut “demu lero wulang” yang artinya mengasapi matahari dan bulan. Matahari dan bulan merupakan nama simbolis untuk Tuhan, dan dengan melakukan ritual tersebut, murka Yang Maha Tinggi dapat dipadamkan. Contoh lain terkait dengan relasi manusia dengan alam sekitar terlihat dari banyaknya cerita mitologis tentang ibu padi (ine pare)pada sejumlah etnis di NTT maupun adanya kepercayaan dan ritual adat terkait dengan gunung, batu, mata air, pohon maupun hutan yang dianggap keramat (geraran, lulik, leu) oleh berbagai suku bangsa di NTT. 3.3.3.2 Sistem Pengetahuan
Secara tradisional, masyarakat sukusuku bangsa di NTT hingga saat ini masih memiliki dan mempertahankan berbagai macam pengetahuan lokal (local knowledge), baik yang diwariskan dari para leluhurnya maupun yang diperoleh sendiri dari pengalaman hidup keseharian mereka. Masyarakat sukusuku bangsa di NTT mempunyai wawasan pengetahuan terhadap alam sekitarnya. Pengetahuan itu terdiri atas beberapa sub bagian yaitu sistem pengetahuan tentang tanda-tanda alam (kosmos), sistem pengetahuan tentang flora (seperti tumbuhan alam, tumbuhan pangan dan obat, dan beberapa jenis tumbuhan yang mempunyai kegunaan sangat penting), sistem pengetahuan tentang fauna (seperti pengetahuan tentang umur, jenis fauna, ciri-ciri tubuh fauna, dan pengetahuan tentang tanda bunyi binatang), juga sistem pengetahuan tentang zat-zat, bahanbahan mentah, serta sistem pengetahuan tentang ruang, waktu (kalender adat) dan bilangan. 3.3.3.3 Sistem Mata Pencaharian Hidup
Sejak dahulu hingga sekarang, sebagian besar penduduk NTT, terutama yang tinggal di wilayah perdesaan, hidup dari bercocok tanam dengan berkebun, berladang, atau bersawah. Karena kondisi topografis yang sebagian besar bergunung-gunung dengan ketersediaan air yang terbatas, maka hanya sebagian kecil saja lahan
pertanian di NTT yang dapat dijadikan sawah, baik berupa sawah tadah hujan maupun dengan pengairan/irigasi teknis. Teknik pengolahan lahan dan bercocok tanam yang digunakan, untuk sebagian masih bersifat tradisional dengan peralatan yang tergolong sederhana. Selain menghasilkan bahan makanan (padi, jagung dan kacang-kacangan) untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (subsisten), tanaman jangka panjang seperti kelapa, kemiri, kopi, asam, pohon tuak/lontar, dan akhir-akhir ini cengkeh, vanili, cokelat dan jambu mete, merupakan sumber penghasil uang yang utama bagi para petani. Masyarakat NTT secara tradisional memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap alam. Masih ada sebagian warga masyarakat di NTT yang memiliki sistem mata pencaharian hidup dengan cara berburu, meramu, menangkap ikan, pertanian, peternakan, dan kerajinan. Perburuan dilakukan di hutan-hutan, daerah dekat sumber air, padang rumput, dan semaksemak. Pekerjaan meramu biasanya dilakukan di hutan, padang dan gunung. Penangkapan ikan biasanya dilakukan di sungai-sungai, danau, kolam-kolam alam, di tepi-tepi pantai teluk dan selat. Pertanian di ladang merupakan mata pencaharian pokok di NTT. Pertanian perladangan adalah perladangan berpindahpindah dengan cara penebangan hutan dan pembakaran (slash and burn/shifting cultivation). Peternakan merupakan salah satu sumber mata penghidupan penting di NTT. Ternak yang dipelihara terutama adalah kerbau, kambing, babi, ayam, itik dan kemudian juga kuda dan sapi. 3.3.3.4 Organisasi Sosial dan Sistem Kekerabatan
Struktur sosial tradisional masyarakat di NTT pada dasarnya berpusat pada eksistensi, peran dan fung si kelompok-kelompok seketurunan (klen/marga) yang disebut dengan berbagai nama atau istilah, seperti kabihu/kabisu di Sumba, kanaf, nono atau fam di Timor, wa’u di Manggarai, udu di Sabu, suku/wungu di Flores Timur, fukun di Belu, dan sebagainya. Klen atau marga (suku) merupakan kelompok terpenting dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat
lokal di NTT. Secara sosio-antropologis, eksistensi, peran dan fungsi klen ini mempunyai kaitan yang erat dengan konsep genealogis, teritorial dan ritual, yang oleh para ahli juga dipandang sebagai konsep-konsep dasar tentang eksistensi masyarakat yang telah didirikan dan dipertahankan. Dalam hubungannya dengan konsep genealogis, klen atau marga ini pada hakekatnya merupakan kesatuan sosial yang terdiri dari warga seketurunan (genealogical group/lineage). Para anggotanya saling terikat oleh ikatan hubungan darah (blood relationship). Oleh karena itu, untuk menyatakan identitas kelompoknya, sekaligus mengabadikan nama tokoh leluhur cikal bakal sebuah klen, maka ada klen yang menamai kelompoknya dengan nama leluhurnya. Dalam hubungannya dengan konsep territorial, eksistensi klen sebagai kesatuan sosial terpenting dalam struktur sosial tradisional masyarakat di NTT, pada hakekatnya juga merupakan unsur utama pembentuk komunitas atau kampung-kampung adat, yang di seluruh NTT disebut dengan berbagai nama seperti lewo di Flores Timur, paraingu di Sumba Timur, kuan di Timor, golo atau beo di Manggarai, rai di Sabu, wanno di Sumba Barat dan sebagainya. Kampung-kampung adat merupakan kesatuan wilayah pemukiman, persekutuan hukum adat, sekaligus bentuk pemerintahan asli. Di dalam Kampung adat sebagai kesatuan territorial dan persekutuan hukum terpenting dalam sistem pewilayahan sosial dan pemerintahan asli itulah, berbagai segi kehidupan bersama (bidang sosial, ekonomi, politik, kekuasaan, pemerintahan, dan keagamaan asli) ditata dan dilaksanakan. Melalui musyawarah adat, dihasilkanlah para pemimpin masyarakat beserta perangkat hakhak dan kewajiban-kewajibannya. Selain itu, di dalam kampung adat, alokasi dan distribusi peran dan tanggung jawab sosial, politik dan keagamaan dari semua klen/suku warga kampung tersebut dilakukan. Adanya mekanisme pembagian peranan tersebut pada gilirannya telah melahirkan kedudukan-kedudukan atau status-status secara hirarkis, yang pada akhirnya
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 77
menghasilkan stratifikasi atau pelapisan sosial dalam masyarakat setempat. Dalam hubungannnya dengan konsep ritual, eksistensi dan peran/fungsi klen/marga juga sangat sentral. Para leluhur cikal bakal pendiri kampung yang merupakan salah satu obyek pemujaan atau pusat orientasi religius terpenting dalam sistem kepercayaan asli, telah melahirkan berbagai ajaran dan aturan adat maupun upacara/ritus yang bernuansa religius. Secara sosiologis, keterikatan warga suku/klen terhadap leluhurnya masing-masing yang terwujud melalui berbagai upacara ritual, telah ikut membangun dan mendukung suasana kebersamaan dan persatuan di dalam kehidupan masyarakat setempat. Organisasi sosial tradisional masyarakat suku-suku bangsa di Nusa Tenggara Timur pada azasnya bersifat genealogis, teritorial dan berbasis adat istiadat. Dalam kesatuan-kesatuam wilayah itu terdapat lembaga-lembaga adat yang mengatur segala aspek kehidupan, baik jasmaniah maupun rohaniah dari warga setempat. Di NTT bentuk kesatuan hidup ini berupa komunitas atau kampung adat yang pada setiap daerah disebut dengan nama yang berbeda-beda. Pimpinan komunitas adat ialah ketua adat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Jabatan ketua adat merupakan warisan atau berdasarkan keturunan. Pimpinan komunitas tersebut umumnya adalah laki-laki yang dianggap “tertua” dari garis keturunan bapak (patrilineal). Dalam menjalankan tugas-tugasnya dibantu oleh dewan adat. Sebutan bagi pimpinan komunitas atau kampung adat ini juga berbeda-beda menurut daerah asal masing-masing suku bangsa. Pada masyarakat adat Meto atau Dawan di Timor misalnya, yang menduduki jabatan kepala kampung adat disebut nakaf, kua tuaf atau temukung, di Manggarai disebut tua golo, di Lio disebut mosalaki, di Sumba disebut rato maramba dan sebagainya. Masyarakat suku-suku bangsa di NTT memiliki beberapa bentuk kelompok kekerabatan, antara lain keluarga batih, keluarga luas, klen kecil, dan Klen Besar. Keluarga batih/ inti merupakan kelompok kekerabatan yang terkecil yang susunannya terdiri dari bapak, 78 •
Keragaman Manusia Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
ibu dan anak-anak. Pemimpin kelompok ini umumnya adalah bapak keluarga karena mengikuti garis keturunan patrilineal. Sebutan untuk keluarga inti sesuai dengan bahasa daerah masing-masing, misalnya di Timor disebut ume, di Sabu disebut hedara ammu, di Manggarai disebut kilo, di Rote disebut leo, di Sumba disebut uma dan sebagainya. Kelompok keluarga meluas meliputi keanggotaan yang lebih besar, yaitu terdiri dari beberapa keluarga batih, tetapi belum merupakan satu klen. Pemimpin kelompok ini ialah anggota laki-laki yang tertua. Tugasnya antara lain memelihara dan mengatur pelaksanaan adat istiadat dan upacara siklus hidup, memelihara sistem kepercayaan asli, membangun kerjasama kelompok dan menyelesaikan perselisihan yang terjadi di dalam kelompoknya. Kelompok Klen kecil ialah gabungan dari beberapa keluarga luas (extended family) yang masih merupakan keturunan dari satu nenek moyang laki-laki yang sama. Pemimpin klen kecil atau yang di NTT lazim dikenal dengan sebutan “kepala suku”, ialah seorang dari anggota klen yang tertua dan berwibawa. Tugas dari pemimpin klen kecil ialah mengatur pelaksanaan upacara-upacara dalam kampung, menyelesaikan segala masalah yang terjadi di dalam kampung, termasuk mengatur pembagian tanah ulayat. Kelompok ini di wilayah NTT mempunyai bermacam-macam sebutan misalnya di Sabu disebut kerogo, pemimpinnya disebut kattu kerogo. Di Manggarai disebut panga, di Ngada disebut sipopali, di Timor disebut nonomnasi dan sebagainya. Klen besar merupakan kumpulan beberapa klen kecil yang merupakan keturunan dari satu nenek moyang. Kadang-kadang anggota-anggota kelompok ini menggunakan nama tambahan dari nama pendiri klen induk (klen besarnya). Seluruh anggota klen besar ini bersikap tabu (pantang ) terhadap totemnya. Cerita-cerita mitos bagi mereka merupakan alat penerangan tentang totem-totem klen besar mereka. Sistem kekerabatan dalam kelompok ini yaitu sistem patrilineal. Sebagai pemimpin klen besar ialah laki-laki tertua dari klen tersebut. Ia bertugas memimpin, baik dalam pemerintahan maupun
kepercayaan tradisionalnya. Ia bertindak sebagai media antara orang yang masih hidup dengan arwah para nenek moyangnya. Dalam menjalankan kekuasaannya ia dibantu oleh dewan adat yang memegang peranan penting dalam lembaga-lembaga adat yang mengatur kehidupan bermasyarakat. Hubungan sosial tradisional dalam masyarakat perdesaan di NTT masih kental dengan semangat kekeluargaan atau gotong royong. Hal ini terlihat misalnya dalam pelaksanaan adat istiadat dan upacara siklus hidup (terutama perkawinan dan kematian), maupun dalam penyelenggaraan hidup seharihari, misalnya waktu membangun rumah adat dan perkampungan/permukiman, mengerjakan ladang , berburu, ataupun ketika terjadi musibah/bencana. Dengan demikian hubungan sosial berupa gotong royong merupakan siklus yang tidak dapat dihindari oleh setiap anggota masyarakat. Stratifikasi sosial tradisional yang hingga kini masih berlaku dalam masyarakat NTT adalah berdasarkan sistem kemurnian darah dari kelompok keturunan pendiri kampung atau pendiri kerajaan (kaum bangsawan) di daerah itu. Tingkatan sosial didasarkan pada jauh dekatnya hubungan darah dengan cikal bakal orang yang membuka tanah disitu. Pihak yang terdekat hubungannya dengan cikal bakal merupakan lapisan tertinggi, sedangkan pihak yang semakin jauh hubungannya dengan cikal bakal merupakan lapisan yang lebih rendah tingkatan sosialnya. Hampir di setiap daerah di NTT mempunyai mitos tentang tokoh manusia pertama yang dianggap sebagai cikal bakal mereka. Masyarakat tradisional di NTT pada umumnya mengenal adanya tiga lapisan atau strata sosial yang dinyatakan dengan berbagai sebutan atau istilah bahasa daerah masingmasing. Lapisan-lapisan masyarakat itu ialah lapisan bangsawan, rakyat biasa, dan lapisan budak. Lapisan bangsawan merupakan orangorang keturunan langsung atau terdekat dari orang yang dianggap cikal bakal atau pembuka daerah itu. Lapisan ini dalam pemerintah adat merupakan lapisan yang memegang kekuasaan.
Lapisan rakyat biasa merupakan kelompok orang-orang yang masih ada hubungan darah atau ikatan perkawinan dengan cikal bakal pendiri kampong, tetapi hubungan itu telah jauh. Mereka tidak memegang kekuasaan dalam pemerintahan. Lapisan budak merupakan keturunan orang-orang bekas tawanan perang atau yang “dianggap budak” karena dahulu nenek moyangnya tidak mampumembayar kembali hutangnya. 3.3.3.5 Sistem Religi
Masyarakat di Nusa Tenggara Timur saat ini secara formal telah menjadi penganut salah satu agama resmi, terutama agama Katolik, Protestan dan Islam. Sedangkan penganut agama lainnya seperti Hindu, Budha dan Konghucu umumnya adalah warga pendatang atau keturunan Tionghoa. Secara budaya, semua kelompok etnis di NTT juga masih memiliki dan mempertahankan kepercayaan asli warisan leluhurnya. Bahkan, sebagaimana kepercayaan asli masyarakat Sumba yang disebut Marapu, oleh para penganutnya dianggap sebagai “agama” yang resmi, dan mereka secara tegas menolak untuk menjadi penganut agama-agama resmi. Secara umum, sistem kepercayaan asli suku-suku bangsa di NTT bercorak campuran antara animisme, dinamisme maupun politeisme. Walaupun demikian, berbagai hasil studi etnografi di NTT membuktikan bahwa inti kepercayaan-kepercayaan asli tersebut sebenarnya juga mengakui adanya satu kekuatan gaib “Yang Maha Tinggi”, yang disebut dengan berbagai nama seperti Uis Neno di Timor (Dawan), Maromak Oan di Belu, Mori Kraeng di Manggarai, Niang Tana Lero Wulan di Sikka, Lera Wulan Tanah Ekan di Flores Timur (Lamaholot), Dua Ngga’e di Lio, Dewa di Ngada dan berbagai sebutan lainnya. Selain kepada “Dewa Tertinggi”, kepercayaan asli masyarakat NTT juga berpusat kepada penyembahan kepada arwah leluhur (Marapu di Sumba, Kewokot di Flotim/Lamaholot dan sebagainya). Karena bercorak animism, dinamisme maupun politeisme maka sistem kepercayaan asli ini mengenal adanya berbagai roh atau
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 79
dewa yang menjaga/mengatur alam fisik (bumi/ tanah, hutan, batu, air, angin, lautan), tumbuhtumbuhan, hewan, termasuk kehidupan manusia. Selain percaya kepada dewa-dewa, masyarakat asli di NTT juga percaya adanya mahluk/roh halus (nitu), kekuatan gaib (magi) atau kekuatan sakti. Kepercayaan dan keyakinan adanya kekuatan gaib, yang melebihi kekuatan manusia biasa atau pengakuan akan wujud tertinggi oleh masyarakat tradisional di NTT, nampak terwujud dalam berbagai upacara dan ritual keagamaan asli, mulai dari yang paling sederhana hingga yang amat rumit dan megah. Kepercayaan asli ini pada hakekatnya mengedepankan unsurunsur kesucian, kebersihan jiwa, perdamaian, kerukunan, cinta kasih, keselarasan hubungan, keserasian dan keseimbangan dunia dan alam gaib.
3.3.4 Dinamika Perubahan Sosial Budaya Bersamaan dengan berjalannya waktu, kehidupan masyarakat suku-suku bangsa di NTT saat ini juga telah dan akan terus memperlihatkan geliat dinamikanya dalam wujud pergeseran dan perubahan pada berbagai segi kehidupan, termasuk aspek sosial budayanya. Bergesernya sistem politik pemerintahan dari pola pemerintahan asli yang bercorak feodal menjadi sistem pemerintahan negara (birokrasi) dengan berbagai ideologinya; berubahnya sistem ekonomi dari subsisten menjadi ekonomi pasar yang kapitalistik; masuk dan berkembangnya agama-agama modern serta kuatnya pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi, secara perlahan tetapi pasti, telah ikut merubah corak kehidupan masyarakat, termasuk pola-pola budaya tradisional masyarakat NTT. Walaupun begitu, fakta menunjukkan bahwa secara budaya, masyarakat NTT hingga kini masih memiliki keterikatan yang cukup kuat kepada pola-pola budaya warisan leluhur yang merupakan jati diri dan kepribadiannya. Oleh karena itu, setiap upaya pembangunan yang akan dilaksanakan di NTT diharapkan tetap mempertimbangkan aspek tradisi budaya masyarakat setempat sebagai salah satu jaminan bagi keberhasilannya. 80 •
Keragaman Manusia Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
3.3.5 Introduksi Program Pembangunan 3.3.5.1 Perencanaan dan Sosialisasi
Salah satu tahapan penting dalam implementasi program REDD+ di Provinsi NTT adalah sosialisasi. Tujuan yang di harapkan adalah pihak pembawa program dapat memberikan informasi yang lengkap dan benar serta mampu meyakinkan warga masyarakat atau kelompok-kelompok etnik di lokasi-lokasi yang menjadi sasaran program ini bahwa program REDD+ berbeda dengan agenda pembangunan lainnya dan sangat penting untuk dilaksanakan, agar dipahami oleh warga masyarakat atau kelompok-kelompok etnik. Pemahaman yang baik dan benar akan menuai dukungan kepada program tersebut dan berujung pada kesuksesan program. Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, kegiatan sosialisasi REDD+ dapat dilakukan melalui beberapa langkah. Pertama, melalui pertemuan formal antara pembawa program dengan kelompok elite desa atau kampung yang terdiri dari Kepala Desa dan Aparat Pemerintah Desa, para Kepala Suku (klen), Tua-Tua Adat, Tokoh Agama, Tokoh Perempuan, Tokoh Pemuda, dan Akademisi (khususnya Antropolog dan Sosiolog ). Pertemuan sosialisasi dapat dilakukan di Balai Desa atau Balai pertemuan desa/kampung dengan agenda sosialisasi program. Hasil yang diharapkan adalah para elite desa atau kampung memperoleh pengetahuan tentang program ini dan menjadi sumber informasi guna mendistribusikan informasi program kepada keluarga dan sesama warga desa, kampung atau kelompok etniknya. Kedua, melalui forum pertemuan informal antara pembawa program dengan warga masyarakat biasa yang sebelumnya memang jarang atau tidak diundang dalam pertemuan formal dengan elite desa atau kampung. Pertemuan informal ini, dalam konteks NTT yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, dapat dilakukan dengan memanfaatkan ruang-ruang sosial keagamaan yang seringkali digunakan oleh warga masyarakat desa atau kampung untuk secara rutin berkumpul
(biasanya 1 x seminggu). Salah satu forum sosial keagamaan yang bisa digunakan adalah “mimbar gereja” dan atau “persekutuan-persekutuan doa”. Agendanya adalah informasi program REDD+ (dengan fasilitasi pemimpin gereja atau ketua persekutuan doa setempat), dapat disampaikan setelah kegiatan ibadah rutin di gereja atau setelah selesainya acara persekutuan doa.
konflik akibat klaim penguasaan atas tanahtanah, yang sebelumnya memang dibiarkan terlantar atau tidak digarap karena sangat kering dan berbatu-batu. Namun, melalui pendekatan berupa “penegasan kembali batas-batas hak ulayat” oleh para tokoh adat setempat, sebagian besar potensi konflik tersebut akhirnya dapat di atasi.
3.3.5.2 Pemastian Tenurial
3.3.5.3 Pengembangan Kapasitas Lembaga Adat dan Sumber Daya Manusia di NTT
Dalam konteks masyarakat NTT, hampir semua kelompok etnik lokal memiliki sistem pemilikan atau pola penguasaan atas tanah ulayat yang relatif sama, yaitu bahwa tanah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari setiap komunitas atau kampung adat. Pada lingkup yang lebih kecil, setiap rumah adat suku atau klen yang ada di dalam komunitas adat, pasti menguasai satu atau beberapa bidang tanah milik komunal suku/klen tersebut. Oleh karena itu, tokoh-tokoh adat di dalam komunitas adat maupun suku/klen, pasti memiliki pengetahuan mengenai status dan batas-batas tanah ulayatnya, yang secara adat “seharusnya” dikuasai oleh komunitas adatnya, meskipun “defacto”, ada bagian dari tanah-tanah tersebut yang telah beralih penguasaannya kepada pemerintah atau pihak lain karena dijadikan kawasan hutan atau dimanfaatkan bagi peruntukkan lain. Akibatnya, sering timbul masalah krusial terkait kepastian tenurial di NTT, berupa potensi konflik laten karena klaim-klaim penguasaan atau kepemilikan hak atas tanah, khususnya tanah ulayat. Oleh sebab itu, untuk memastikan sistem tenurial dalam suatu komunitas yang hendak diintervensi dengan program pembangunan, maka pihak pelaksana program harus terlebih dahulu memastikan siapa sebenarnya pemilik yang sah atas tanah (dan hutan) tersebut. Jika sudah jelas, maka pihak perencana program dapat langsung bertemu dengan pimpinan komunitas adat setempat, ketua suku (klen) dan tua-tua adat terkait lainnya. Sebagai contoh kongkrit, ketika terjadi “booming” penambangan mineral logam Mangaan di berbagai wilayah di pulau Timor pada tahun 2009 hingga 2012, muncul banyak
Sebagaimana diuraikan dalam etnografi singkat di atas, untuk konteks NTT, eksistensi dan peran lembaga-lembaga adat berupa komunitas atau kampung adat, hingga saat ini masih cukup penting dan menonjol dalam menata berbagai aspek kehidupan warganya. Lembaga adat lokal yang di dalamnya tercakup kepala kampung, para fungsionaris adat, kepala suku/klen, rumah adat, harta pusaka adat, tanah ulayat maupun nilai-nilai, norma dan aturan adat, sejauh ini belum sepenuhnya dapat digantikan perannya oleh lembaga lain, termasuk pemerintah desa. Oleh karena itu terkait introduksi program pembangunan, (termasuk implementasi REDD+ ini), lembaga-lembaga adat yang sudah ada patut diberdayakan. Secara konkrit, bentuk pemberdayaan yang dapat dilakukan di NTT antara lain dengan cara: Memberikan pelatihan/bimbingan teknis berkala kepada para fungsionaris lembaga adat di lokasi-lokasi sasaran implementasi REDD+ (termasuk generasi mudanya), untuk membuka seluas-luasnya wawasan mereka mengenai berbagai hal terkait dengan implementasi program ini. Membangun pos-pos di lokasi-lokasi kegiatan yang dapat berfungsi sebagai sekretariat REDD+, sekaligus tempat pelaksanaan forum “diskusi kampung implementasi REDD+”. Menawarkan peran atau tugas-tugas tertentu kepada semua fungsionaris adat setempat (dengan imbalan jasa) untuk secara langsung terlibat dalam kegiatan implementasi REDD+ di lokasi kegiatan, termasuk ikut membuat rencanarencana kegiatan, melaksanakan, mengawasi sampai melakukan evaluasi.
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 81
3.3.5.4 Resolusi Konflik
Seperti di berbagai wilayah lain di Indonesia, potensi konflik antar kelompok etnik, antar suku/klen maupun antara komunitas adat dengan pemerintah/negara terkait tanah di NTT juga masih sering terjadi. Isu utamanya adalah pencaplokkan wilayah, pelanggaran batas, maupun tuntutan ganti rugi hak ulayat. Konflik ini sering nampak, ketika ada rencana intervensi pembangunan, baik oleh pemerintah, BUMN maupun pihak swasta. Saat pemerintah atau perusahaan memasuki wilayah hak ulayat, akan terjadi pelepasan tanah dengan pembayaran/ kompensasi hak ulayat (tanah dan tumbuhan). Fenomena ini kerap menjadi ajang kompetisi atau perebutan hak untuk mendapatkan uang pembayaran ganti rugi hak ulayat. Kasus saling klaim tanah terus disuarakan dan disinilah konflik terjadi. Fenomena diatas perlu diantisipasi oleh
82 •
Keragaman Manusia Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
pembawa program dengan jalan memastikan status penguasaan atau kepemilikan atas tanah atau hutan dalam suatu lokalitas yang akan dintervensi oleh agen program pembangunan. Untuk konteks NTT, upaya pemastian hak melalui mekanisme “sumpah adat” oleh para pihak terkait, dapat ditempuh. Namun, jika terlanjur terjadi konflik dalam suatu lokalitas saat intervensi agenda pembangunan terjadi, maka pembawa program harus membuat pemetaaan konflik, yaitu: apa sumber konflik, isu yang dikonflikkan, unitunit yang berkonflik, sikap dari pihak-pihak yang berkonflik, tindakan dari pihak-pihak yang berkonflik. Berdasarkan hasil pemetaan tersebut dapatlah ditetapkan langkah-langkah nyata bagi resolusi konflik, termasuk mekanisme resolusi konflik tradisional berbasis nilai-nilai budaya masyarakat setempat.
Daftar Pustaka Amal, Adnan, M, 2010. Kepulauan RempahRempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950, Cetakan Pertama, Gramedia, Jakarta. Boelaars, Jan, 1986: ”Manusia Irian: Dahulu, Sekarang , Masa Depan”, Jakarta : Gramedia Bourdiue, Pierre. The Forms of Capital, dalam John G. Richardson, 1986, Hand Book of Theory and Research for The Sociology of Education. New York: Greenwood Press. Coleman, le. 1994.Fundations of sosial Theory. New York: Havard University Press. Cooley, L, Frank, 1961. Mimbar dan Takhta (Hubungan Lembaga-Lembaga Keagamaan dan Pemerintahan di Maluku Tengah) Cetakan Pertama, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Daeng, Hans J., Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan. Tinjauan Antropologis. Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Daeng, J, Hans, 2008. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, Tinjauan Antropologis, Cetakan III, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Diamond, Nancy K., Ph.D. 2013. Readiness to Engage Stakeholder Engagement Experience for REDD+. Laporan Forest Carbon Markets and Communities Program yang dipersiapkan untuk direview oleh USAID. Vermont. USA. Diamond, Nancy, K, 2013. Readiness to Engage Stakeholder Engagement Experience for REDD+. Laporan Forest Carbon Markets and Communities Program yang dipersiapkan untuk direview oleh USAID.Vermont. USA Effendi, Ziwar, 1987. Hukum Adat Ambon-Lease, Cetakan Pertama, Pradnya Paramita, Jakarta. Fernandez, Ozias Stefanus, 1990, Kebijakan Manusia Nusa Tenggara Timur, Dulu dan Kini. Penerbit Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Flores, NTT.
Foni, Wilhelmus, 2004, Budaya Bertani Atoni Pah Meto. Siklus Ritus Bertani Lahan Kering Atoni Pah Meto Tunbaba di Timor Nusa Tenggara Timur. Penerbit Program Pascasarjana Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Fox, James J. 1986, Panen Lontar, Perubahan Ekologi dalam Kehidupan Masyarakat Pulau Rote dan Sawu. Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Fraasen, Van, F, C, 1979. Types of SocioPolitical Structur In North-Halmahera History, dalam Masinambow E K M (ed) Indonesian Jurnal of Cultural Studies, Halmahera dan Raja Ampat, 87-149, Bhatara, Jakarta. Fukuyama, F. 1995. Trust: The Social Value and The Greation of Prosperity. Free Press. New York. Geertz Clifford, 2003:”Pengetahuan Lokal”, Yogyakarta:Rumah Penerbitan Merap. Holloway, Vivienne dan Giandomenico, Esteban. 2009. The History of REDD Policy. Carbon Planet Limited. Adelaide. Kana, Nico L., 1983, Dunia Orang Sawu. Penerbit Sinar Harapan, Jakarta. Koentjaraningrat. 1999. Manusia Dan Kebudayaan di Indonesia, Penerbit Jambatan, Jakarta. Koentjaraningrat. 1999. Manusia Dan Kebudayaan di Indonesia. Penerbit Jambatan. Jakarta. La ksono,dkk .2001:” Ig ya S er Hanjop, Masyara kat Arfa k Dan Konsep Konservasi”, Yogyakarta:PSAP UGM. Laporan Hasil Penelitian, Adolof Ronsumbre dkk, 2014: “Pemetaan Sumber Dan Jenis Konflik Di Propinsi Papua Barat (Studi Kasus Kabupaten Manokwari)” Laporan Hasil Survei,Tim Penelitian Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Unipa, 2014:“Riset desa in p eny usunan sosial Budaya Ekonomi Masyarakat
Panduan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Implementasi REDD+ di Indonesia Wilayah Timur
• 83
Transformasi Ramah Industri Masyarakat Kampung Onar Baru Distrik Sumuri Kabupaten Teluk Bintuni Propinsi Papua Barat” Latukau, Suleman, 1997. Lani Nusa, Lani Lisa, Kapata Dari Morela, Moluks Historisch Museum Landelijk Steunpunt Educate Molukker, Utrecht. Mansoben J Robert, 1994:”Sistem Politik Tradisional Di Irian Jaya Indonesia:Studi Perbandingan”,Dissertation, University of Leiden. Mentansan George, 2014: ”Buku Ajar Etnografi Papua”, Yogyakarta: Kepel Press Mollering, G. 2001. The Nature of Trust: From Georg Simmel to a Theory of Expectation, Interpretation, and Susp ension, Sociology, vol, 35/2, pp. 403-420. Narayan, D.1999. Bonds and Bridges: Sosial Capital and Poverty. Washington D.C.:World Bank. Pattiruhu, M, C, et al, 1997. Seri Budaya PelaGandong Dari Pulau Ambon, Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, Ambon. Pelupessy, Jacob, Pieter, 2012. Etnografi Bati: Metode Penelitian Masyarakat Terpencil, Cetakan Pertama, Pascasarjana Program Studi Doktor Studi Pembangunan, UKSW, Salatiga. Pelupessy, Jacob, Pieter, 2013. Esuriun Orang Bati, Cetakan Pertama, Kekal Press, Bogor. Poer wanto, Hari, 2008:”Kebudayaan Dan Lingkungan, Dalam Perspektif Antropolog i”,Yog yakarta : Pusataka Pelajar. Pusat Standarisasi dan Lingkungan, 2013. Principles, Criteria and Indicators for a System for Providing Information on REDD+ Safeguards Implementation (SISREDD+) in Indonesia. Pusat Standarisasi dan Lingkungan dan Forests and Climate Change Programme,Deutsche G esel lscha f t f ür Internati ona le Zusammenarbeit. Jakarta. Pusat Standarisasi dan Lingkungan. 2013. Principles, Criteria and Indicators for a System for Providing Information on 84 •
Daftar Pustaka
REDD+ Safeguards Implementation (SIS-REDD+) in Indonesia. Pusat Standarisasi dan Lingkungan dan Forests and Climate Change Programme, Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit. Jakarta. Putnam, Robert. D. 1993. The Prospereous Community: Social Capital and Public Life. American Prospect. Spring. Rahmawaty, 2011. Larvul Ngabal: Anasir Puncak Ketahanan Budaya Kei, Cetakan Pertama, The Sentinel Research and Publication. Sajogyo, (Penyunting), 1994, Kemiskinan dan Pembangunan di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Sarong, Frans, 2013, Serpihan Budaya NTT, Penerbit Ledalero, Maumere, Flores, NTT. Savitri,Laksmi,2013:”Korporasi Dan Politik Perampasan Tanah”,Yog yakarta:Insist Press. Sinaga,Simon,2014:“Papua Barat, Samudera Pasifik Dan Laut Seram Di Kepala Burung Papua”, Jakarta:Kompas. Siswanto, Joko, 2005. Orientasi Kosmologi, Cetakan Pertama , Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Suryawan,Ngurah,2011:”Tanah Papua Di Garis Batas, Perspektif Refleksi Dan Tantangan”, Malang: Setara Press. Udak , Urikame Blasius, dkk ., 2003, Kharakteristik Pemerintahan Lokal di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Diterbitkan atas kerjasama Yayasan Peduli Sesama dan The Ford Foundation, Kupang NTT. Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Cetakan Rona Publishing , Yogyakarta.
Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor; Telp.: 0251 8633944; Fax: 0251 8634924; Email:
[email protected]; Website: http://puspijak.litbang.dephut.go.id atau www.puspijak.org
Pa n d u a n P e l i b a t a n M a s y a r a k a t L o k a l d a l a m I m p l e m e n t a s i R E D D + d i I n d o n e s i a W i l a y a h Ti m u r
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan
Lampiran
Lampiran 1. Beberapa Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan Peran Serta Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan 1. Undang-undang Dasar 1945. 2. Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup jo Undang-Undang No. 23 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 3. UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 4. Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang jo Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. 5. Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 tentang Kependudukan dan Keluarga Sejahtera 6. UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan UNCBD. 7. Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. 8. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 9. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 10. Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. 11. Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Penyusunan Peraturan Perundang-undangan jo Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penyusunan Peraturan Perundang undangan.
13. Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional. 14. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 15. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. 16. Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 17. Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. 18. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peranserta Masyarakat dalam Penataan Ruang. 19. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peranserta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara. 20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. 21. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. 22. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 9/1982 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan di Daerah (P4D). 23. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.7/Menhut-II/2011 tentang Pelayanan Informasi Publik di L ing kung an Kementerian Kehutanan.
12. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Kajian PENYUSUNAN PROTOKOL KONSULTASI PUBLIK Bagi Dewan Kehutanan Nasional
• 89
Lampiran 2. Beberapa Isi Peraturan-perundangan yang berkaitan dengan Partisipasi Masyarakat (dalam arti yang luas) 1. UUD 1945 dan Perubahannya:
Pasal 1, ayat (2): Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pasal 27, ayat (1): Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 28: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan undang-undang. Pasal 30, ayat (1) Tiap-tiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan Negara. Pasal 27: Setiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan Negara Bab XA: Hak Azazi Manusia Pasal 28C, ayat (2): Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Pasal 28F: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
90
•
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan segala jenis saluran yang tersedia. 2. UU No. 10/2004 tentang Tata Cara Penyusunan Peraturan Perundangundangan Pasal 7 (terdiri dari 5 ayat) (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundangundangan adalah sebagai berikut: • Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; • Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; • Peraturan Pemerintah; • Peraturan Presiden; • Peraturan Daerah (2) Pe r a t ur a n D a e r a h s e b a g a i m a n a dimaksudkan ayat (1) di atas meliputi: • Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur; • Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama dengan bupati/walikota; • Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya . Bab X : Partisipasi Masyarakat, Pasal 53 (bab ini memang hanya terdiri dari 1 pasal saja): Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau
Beberapa Isi Peraturan-perundangan yang berkaitan dengan Partisipasi Masyarakat (dalam arti yang luas)
pembahasan Rancangan Undang-undang dan Rancangan Peraturan Daerah.
3. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional:
Penjelasan Pasal 22:
Bab 1: Ketentuan Umum
• Maksud ‘penyebarluasan’ dalam ketentuan ini adalah agar khalayak ramai mengetahui adangan rancangan undang-undang yang sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat guna memberikan masukan atas materi yang sedang dibahas. • Penyebarluasan dilakukan baik melalui media elektronik seperti televisi, radio, internet, maupun media cetak seperti surat kabar, majalah, dan edaran.
Pasal 1, butir 21:
Penjelasan Pasal 30: • S eba g a imana rancang an undang undang, rancangan peraturan daerah juga disebarluaskan, misalnya melalui Televisi Republik Indonesia, Radio Republik Indonesia, Internet, media cetak seperti surat kabar, majalah, dan edaran di daerah yang bersangkutan, sehingga khalayak ramai mengetahui adanya rancangan peraturan daerah yang sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat daerah yang bersangkutan. Dengan demikian masyarakat dapat memberikan masukan atas materi rancangan peraturan daerah yang sedang dibahas tersebut. Pasal 45 dan Penjelasannya: • Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Peundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam A. Lembaran Negara Republik Indonesia; B. Berita Negara Republik Indonesia; C. Lembaran Daerah; atau D. Berita Daerah • D eng a n d i un da ng k a n Peratura n Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini maka setiap orang dianggap telah mengetahuinya.
Musyawarah Perencanaan Pembangunan yang selanjutnya disingkat Musrenbang adalah forum antarpelaku dalam rangka menyusun rencana pembangunan Nasional dan rencana pembangunan Daerah. Pasal 2, ayat 1: Pembangunan Nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan Nasional. Pasal 2, ayat (4), butir d: Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Dalam penjelasan untuk Pasal 2, ayat (4), butir d: Yang dimaksud dengan “masyarakat” adalah orang perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat atau badan hukum yang berkepentingan dengan kegiatan dan hasil pembangunan baik sebagai penanggung biaya, pelaku, penerima manfaat maupun penanggung risiko. Yang dimaksud dengan “partisipasi masyarakat” adalah keikutsertaan masyarakat untuk mengakomodasikan kepentingan mereka dalam proses penyusunan rencana pembangunan.
Kajian PENYUSUNAN PROTOKOL KONSULTASI PUBLIK Bagi Dewan Kehutanan Nasional
• 91
Penjelasan UU 25/2004:
Pasal 22
Umum:
Ayat (2)
Butir 2: Ruang Lingkup
Penyeleng g araan Musrenbang da lam rangka penyusunan RKP dan RKPD selain diikuti oleh unsur-unsur pemerintahan juga mengikutsertakan dan/atau menyerap aspirasi masyarakat terkait, antara lain asosiasi profesi, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, pemuka adat dan pemuka agama, serta kalangan dunia usaha.
Undang-Undang ini mencakup landasan hukum di bidang perencanaan pembangunan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Dalam Undang-Undang ini ditetapkan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan di pusat dan Daerah dengan melibatkan masyarakat. Butir 3: Proses Perencanaan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dalam Undang -Undang ini mencakup lima pendekatan dalam seluruh rangkaian perencanaan, yaitu: (1) politik; (2) teknokratik; (3) partisipatif; (4) atas-bawah (top-down); dan (5) bawah-atas (bottom-up). Perencanaan dengan pendekatan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan. Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki. Sedangkan pendekatan atas-bawah dan bawah-atas dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan. Rencana hasil proses atas-bawah dan bawah-atas diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan baik di tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Desa.
92
•
4. UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang: • Pasal 2, tentang asas penataan ruang: • Huruf e : keterbukaan; Penjelasan Pasal 2, huruf e: • Yang dimaksud dengan keterbukaan adalah bahwa penataan ruang diselengarakan dengan memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penataan ruang • Huruf f : kebersamaan & kemitraan; Penjelasan Pasal 2, huruf F: • Yang dimaksud dengan kebersamaan dan kemitraan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. • Huruf g : kepentingan umum; Penjelasan Pasal 2, huruf g: • yang dimaksud dengan ‘perlindungan kepentingan umum’ adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan kepentingan masyarakat. • Huruf i : akuntabilitas; penjelasan pasal 22, huruf i: • Yang dimaksud dengan akuntabilitas adalah bahwa penyelenggaraan penataan ruang dapatdipertanggungjawabkan, baik prosesnya, pembiayaannya, maupun hasilnya.
Beberapa Isi Peraturan-perundangan yang berkaitan dengan Partisipasi Masyarakat (dalam arti yang luas)
Pasal 7
Pasal 55, ayat (5):
(1) Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
Peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan dengan menyampaikan laporan dan/atau pengaduan kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagai mana dimaksud pada ayat (1), negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah. (3) Penyeleng g araan p enataan r uang sebagaimana dimaksudkan pada ayat (2) dilakukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 13 (1) Pemerintah melakukan pembinaan penataan ruang kepada pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan masyarakat. (2) Pembinaan penataan ruang dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui: (a) koordinasi penyelenggaraan penataan ruang ; (b) sosialisasi peraturan perundang-undangan dan sosialisasi pedoman bidang penataan ruang; (c) pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan penataan ruang; (d) pendidikan dan pelatihan; (e) penelitian dan pengembangan; (f ) pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang; (g) penyebaran informasi penataan ruang kepada masyarakat; dan (h) pengembangan kesadaran dan tanggungjawab masyarakat. Pasal 55, ayat (4): Pengawasan Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan melibatkan masyarakat.
Pasal 65 (1) Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat (2) Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan, antara lain, melalui: a. partisipasi masyarakat dalam penyusunan tata ruang; b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan bentuk peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. Penjelasan, I. Umum, angka 9., huruf f: Hak, kewajiban dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk menjamin keterlibatan masyarakat, termasuk masyarakat adat dalam setiap proses penyelenggaraan tata ruang. 5. UU 32/2004 tentang Otonomi Daerah Pasal 20, ayat (1) (tanpa penjelasan) • Huruf c: azas kepentingan umum • Huruf d: azas keterbukaan • Huruf g: azas akuntabilitas Pasal 22, Huruf c: Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban …mengembangkan kehidupan demokrasi (tanpa penjelasan)
Kajian PENYUSUNAN PROTOKOL KONSULTASI PUBLIK Bagi Dewan Kehutanan Nasional
• 93
Pasal 27, ayat (1), huruf d: Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 dan pasal 26, kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban … melaksanakan demokrasi. Penjelasan Pasal 27, huruf d: Yang dimaksud dengan ‘kehidupan demokrasi’ dalam ketentuan ini antara lain penyerapan aspirasi, peningkatan partisipasi, serta menindaklanjuti pengaduan masyarakat. Pasal 139, ayat (1): Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangkap penyiapan atau pembahasan rancangan perda Penjelasan Pasal 139, ayat (1): Hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPRD Pasal 151, ayat (2): (tanpa penjelasan) • Restra-SKPD sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dirumuskan dalam bentuk rencana kerja satuan kerja daerah yang memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat Pasal 199, ayat (6): (tanpa penjelasan) • Da lam perencanaan, pela ksanaan p em b a n g una n , d a n p en g e l o l a a n kawasan perkotaan, pemerintah daerh mengikutsertakan masyarakat sebagai upaya pemberdayaan masyarakat. Pasal 200, ayat (2): (tanpa penjelasan)
94
•
• Pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan Desa dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat. • Penjelasan Umum, 1. Dasar Pemikiran, Huruf a., Alenia Pertama: • … Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. … Huruf b., alenia 3: • … S e i r i n g d en g a n p r i n s i p i t u penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. … 6. PP No. 69/1996 Tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang • Hak masyarakat dalam penataan ruang dalam peraturan ini adalah: • Berperan serta dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. • Mengetahui secara terbuka rencana tata ruang wilayah, rencana tata ruang kawasan, rencana rinci tata ruang kawasan. • Menikmati manfaat ruang dan atau pertambahan nilai ruang sebagai akibat dari penataan ruang. • Memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang. • Dalam dalam peraturan pemerintah ini juga diatur tata cara peran serta masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang dan dalam penyusunan rencana tata ruang kawasan dilaksanakan dengan pemberian saran pertimbangan, pendapat, tanggapan,
Beberapa Isi Peraturan-perundangan yang berkaitan dengan Partisipasi Masyarakat (dalam arti yang luas)
keberatan, masukan terhadap informasi tentang arah pengembangan, potensi dan masalah serta rancangan Rencana Tata Ruang. Adapun dalam penyampaian saran, pertimbangan, pendapat, tannggapan, keberatan atau masukan dilakukan secara lisan atau tertulis kepada kepala daerah. • Dilihat dari peraturan dan perundangan tersebut di atas, dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan kebijakan dan strategi yang sifatnya luas, masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan secara langsung. Masyarakat hanya berhak: • memberikan saran pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan, masukan terhadap informasi tentang arah pengembangan, potensi dan masalah bukan mengambil keputusan • mengetahui/memperoleh informasi tentang tata ruang yang telah ditetapkan, bukan ikut dalam proses pengambilan keputusan • menikmati hasil pembangunan ruang tanpa mengikuti proses pengambilan keputusannya, • memperoleh pergantian yang layak (apabila dirugikan) tetapi tidak ikut memutuskan perencanaannya. • Jika ditilik dari tingkat partisipasi, maka tingkat partisipasi berdasarkan peraturan dan perundangan tersebut pada tingkat tidak langsung atau konsultatif, yaitu pengambil keputusan terakhir adalah pihak diluar masyarakat. • Partisipasi masyarakat secara langnsung dilakukan malaui keterwakilan atau pendelegasian kewenangan melalui badan legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat
(Daerah). Diharapkan DPR(D) merupakan wakil rakyat yang mampu memegang amanah atau menerima pendelegasian kewenangan dari masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Yang menjadi permasalahan adalah sejauh mana DPR(D) menjadi wakil masyarakat. Hal tersebut dapat dirunut dari peraturan dan perundangan tetantang Pemilu, yaitu Undang-undang no 12 tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum. Dalam hal ini pihak yang paling menentukan keanggotaan DPR(D) tersebut menjadi permasalahan yang utama. Pada peraturan tersebut keanggotaan DPR(D) adalah sebagai berikut: • Diusulkan oleh partai peserta pemilu • Urutan daftar calon anggota ditetapkan oleh partai peserta pemilu • Suara sah bila mencoblos partainya dan tidak sah apabila hanya mencoblos nama calon • Calon yang memenuhi jumlah kuota kursi dapat langsung menjadi anggota DPR(D), dan ini tidak terjadi, karena banyaknya partai peserta pemilu. • Calon yang tidak memenuhi jumlah kuota kursi, suara disumbangkan pada urutan pertama, kedua dan seterusnya, bukan suara yang terbanyak. • Dari aturan tersebut dapat dikatakan bahwa anggota badan legislatif atau DPR(D) lebih ditentukan oleh partai, bukan oleh masyarakat pemilih, sehingga dapat dikatakan kualitas keterwakilan anggota DPR(D) sangatlah rendah. Selain itu, aturan tata cara pertanggung jawaban anggota DPR(D) tidak diatur dengan jelas dalam peraturan yang ada.
Kajian PENYUSUNAN PROTOKOL KONSULTASI PUBLIK Bagi Dewan Kehutanan Nasional
• 95
Lampiran 3. Cara Mengidentifikasi Pemangku Kepentingan dalam Konsultasi Publik Sumber : Memfasilitasi Kebijakan Publik, Refleksi Pengalaman Penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah (RPP- T2CP2EPRPD) yang diterbitkan oleh FPPM, BIGS, USAID-DRSP dan Dirjen Bina Bangda Depdagri, 2009. Penyelenggara konsultasi publik harus memastikan bahwa para pemangku kepentingan (stakeholders) yang akan terlibat dalam konsultasi publik merupakan orang-orang atau lembaga-lembaga kunci, yakni mereka yang berkaitan dan atau terkena dampak, langsung atau tidak langsung dari sebuah kebijakan publik. Penyelenggara konsultasi publik harus menerapkan mekanisme seleksi dan identifikasi peserta yang paling obyektif. Kategori Pemangku Kepentingan Dalam konteks penyusunan kebijakan atau peraturan-peraturan di daerah, penentuan pihak atau pemangku kepentingan yang akan terlibat dalam konsultasi publik bisa dilakukan dengan memetakan berdasarkan kategori tertentu. Regulasi mengenai mekanisme dan tatacara penyusunan kebijakan di daerah bisa menjadi salah satu rujukan dalam memetakan dan mengkategorikan aktor.
96
•
Cara Mengidentifikasi Pemangku Kepentingan dalam Konsultasi Publik
Gambar Skema Pemetaan Peserta/Pemangku Kepentingan KP
Keterangan gambar: • Lembaga Pemerintah: Adalah pemangku kepentingan yang merupakan lembaga/individu pengambil kebijakan atau pembuat keputusan yaitu SKPD dan DPRD. • Pihak yang Terkena Dampak: Adalah pemangku kepentingan yang merupakan pihak yang akan terkena dampak kebijakan, program atau kegiatan pembangunan secara langsung (misalnya: warga masyarakat, kelompok atau lembaga). • Kelompok Penekan (pressure group): Adalah pemangku kepentingan yang merupakan kelompok atau organisasi yang memiliki kemampuan untuk memaksa pengambil keputusan (misalnya: organisasi kritis, ormas, media massa, perusahaan/kalangan bisnis, dan sebagainya). • Kelompok Kepentingan (interest group): Adalah kelompok yang sedang menggarap atau bekerja untuk materi kebijakan yang dikembangkan (misalnya: organisasi sosial yang bekerja untuk isu tertentu seperti pendidikan, kesehatan, layanan publik; ormas; kelompok cendekiawan/ aktivis; LSM/CSO; dan sebagainya). • Partai Politik/Kelompok Politik yang Berkepentingan: Partai Politik/Kelompok Politik yang Berkepentingan
Analisis Posisi dan Kepentingan Pemangku Kepentingan Analisis pemangku kepentingan bisa dilakukan dengan tujuan atau kebutuhan tertentu. Misalnya, untuk memahami legitimasi,
sumberdaya, karakteristik dan kepentingannya. Tabel berikut ini dapat digunakan untuk menilai setiap pemangku kepentingan. Aspek yang dinilai (dianalisis) tidaklah baku melainkan harus diidentifikasi sesuai tujuan dan kebutuhan.
Tabel Tabel Analisis Pemangku Kepentingan KP Kategori Pelaku
Siapa (Contoh)
Aspek yang Dianalisis Kepentingan
Lembaga pemerintah (pengambil keputusan)
SKPD Kesehatan
Kelompok penekan/kritis
Perusahaan susu formula, Lembaga Perlindungan Konsumen
Pihak yang berkepentingan terhadap isu tertentu
LSM yang isunya kesehatan ibu dan balita
Pihak yang terkena dampak
Orang tua yang memiliki bayi/ balita
Partai politik/kelompok politik
Partai X yang merupakan promotor penyusunan Perda Kesehatan
Keterangan tabel:
Karakteristik
Kepentingan (interest): • Kebutuhan praktis. • Tujuan jangka panjang. • Prinsip, nilai, ideologi.
• • • • •
Legitimasi
Kebijakan
• Hubungan pemangku kepentingan. • Status organisasi. • Mandat politik.
Legitimasi
Sumberdaya
Karakteristik
Kebijakan
Karakteristik keanggotaan. Level/teritorial. Hambatan partisipasi. Demografis. Psikologis/sosial.
• Proses pengambilan keputusan. • Agregasi kepentingan.
Sumberdaya • Kepemilikan informasi. • Kepemilikan dana/finansial. • Kompetensi.
Kajian PENYUSUNAN PROTOKOL KONSULTASI PUBLIK Bagi Dewan Kehutanan Nasional
• 97
Lampiran 4. Ringkasan Masukan yang Diperoleh dari Kuesioner Dalam Rangka Penyusunan Mekanisme Konsultasi Publik Dewan Kehutanan Nasional 1. Tentang Ranah Penggunaan Konsultasi Publik DKN Untuk kegunaan apa konsultasi publik perlu dilakukan oleh Dewan Kehutanan Nasional? Berdasarkan masukan yang diperoleh melalui instrumen kuesioner yang berisi pertanyaan terbuka, konsultasi publik perlu dilakukan DKN utamanya dalam rangka untuk : • Mengevaluasi (analisis) suatu kebijakan publik di sektor kehutanan • Melakukan upaya-upaya mengurai dan/ atau menyelesaikan sengketa-sengketa yang berkaitan dengan kegiatan sektor kehutanan. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa konsultasi publik dilakukan diluar kedua hal tersebut di atas, asalkan masih sesuai dengan mandat DKN (seperti terkait dengan rencana kegiatan/program di sektor kehutanan yang akan berdampak pada publik) 2. Tentang Bentuk Keluaran Konsultasi Publik a. Bagaimana wujud keluaran konsultasi publik yang dilakukan oleh Dewan Kehutanan Nasional? Keluaran yang berupa risalah/naskah berisi pandangan, rekomendasi, dan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan ataupun permasalahan tertentu yang merupakan hasil konsultasi publik, tidak direkayasa oleh kepentingan sepihak. Dalam hal ini, DKN selaku lembaga pemberi input
98
•
kebijakan kepada pemerintah/Dephut harus berhati – hati jangan sampai menjadi lembaga pemberi legitimasi untuk kepentingan sepihak terutama yang merugikan masyarakat. b. Bagaimana hasil keputusan konsultasi publik DKN diformulasikan dan bagaimana teknis publikasinya? Keputusan/Rekomendasi/Pandangan hasil konsultasi publik diformulasi oleh komisi atau kamar yang paling terkait melalui rapat kamar atau komisi sesuai dengan AD dan ART DKN Publikasi hasil ini terbuka bagi publik dan disampaikan ke masyarakat lebih luas melalui beragam media yang bisa digunakan seperti : website DKN, sms centre DKN, jejaring sosial DKN (facebook, twitter, BBM, whatsapp, dll) leaflet, poster, seminar-seminar, media cetak lokal/nasional dan media elektronik lokal/nasional. 3. Tentang Peserta Konsultasi Publik a. Siapa para pihak yang harus diundang d al am konsulta si publik yang diselenggarakan oleh DKN? Peserta konsultasi publik bersifat situasional (by cases) tergantung bidang yang akan di-konsultasipublik-kan dan mengacu pada konstituen dari 5 kamar. Utamanya adalah pihak yang terlibat dan terkena dampak langsung terhadap keputusan suatu kebijakan yang akan dibuat, namun tidak menutup kemungkinan juga mengundang peserta berdasarkan kompetensi bidangnya
Ringkasan Masukan yang Diperoleh dari Kuesioner Dalam Rangka Penyusunan Mekanisme Konsultasi Publik Dewan Kehutanan Nasional
(hukum, sosial, dll) sesuai dengan tujuan konsultasi publik.
Ketua dan/atau Wakil Ketua Presidium dan Ketua Harian DKN
b. Bagaimana ketentuan jumlah peserta yang harus diundang dalam konsultasi publik?
d. Apa kriteria yang digunakan untuk memutuskan sebuah usulan untuk penyelengaraan konsultasi publik dapat diterima atau ditolak?
Soal jumlah sangat relatif, sangat bergantung dengan kondisi yang kompleks, seperti ; luas lokasi proyek/program, sosekbud, geografi, ketersediaan anggaran dll. Yang paling penting adalah komposisi antara jumlah dan representasi harus seimbang, karena hal tersebut merupakan kunci dari konsultasi publik 4. Tentang Proses pengambilan keputusan perlu/tidaknya Konsultasi Publik diselenggarakan dan Penyelenggaraannya a. Siapa yang berhak mengusulkan konsultasi publik? Konsultasi publik dapat diusulkan oleh komisi atau kamar di dalam organisasi DKN yang diputuskan melalui Rapat Komisi atau Rapat Kamar sesuai AD dan ART DKN. Selain itu konsultasi publik dapat diusulkan pihak lain b. Apa kriteria yang digunakan untuk memutuskan perlu-tidaknya sebuah usulan untuk melakukan konsultasi publik? Kriteria utama adalah harus bersentuhan dengan Tupoksi DKN untuk kemudian disetujui oleh komisi atau kamar yang paling terkait dari materi tersebut c. Siapa yang harus menyetujui usulan itu? Usulan didiskusikan dan disetujui di level kamar atau komisi melalui rapat kamar atau komisi sesuai AD dan ART untuk kemudian didiskusikan dengan
KP diterima apabila sesuai dengan konsen, mandat kerja atau tupoksi DKN yang telah dijabarkan dalam AD dan ART beserta Garis Besar Haluan Kehutanan (GBHK) e. B a g a i m a n a s e ba i kny a b e n t u k lembaga yang diberi mandat untuk menyelenggarakan konsultasi publik? Dapat terdiri dari presidium DKN, atau lembaga/perorangan independen, maupun gabungannya. Kelembagaan ini akan bersifat adhoc f. Apa kriteria yang digunakan dalam memilih Ketua dan Anggota Tim dimaksud? Harus memahami prinsip-prinsip Konsultasi Publik g. Bagaimana ‘struktur organisasi’ penyelenggaraan konsultasi publik itu? Sangat tergantung pada kasus (tujuan konsultasi publik, metode, dll). Namun setidaknya ada seseorang yang b er tang g ung jawab untuk penyelenggaraan konsultasi publik 5. Tentang Proses Penyelenggaraan Konsultasi Publik a. Bagaimana prosedur yang harus dilakukan oleh ‘Tim Penyelenggaraan’ dalam menyusun rencana kerja? Tim harus mempelajari apa yang akan dikonsultasikan, membuat perencanaan termasuk di dalamnya tahapan kegiatan
Kajian PENYUSUNAN PROTOKOL KONSULTASI PUBLIK Bagi Dewan Kehutanan Nasional
• 99
/ alur konsultasi publik, memetakan aktor terkait [untuk memastikan siapa yang akan di undang] b. Bagaimana menentukan metode konsultasi publik yang relevan untuk masalah yang akan dikonsultasipublikkan? Sangat tergantung pada apa yang akan dikonsultasipublikkan, ada baiknya untuk menemukan metode ini didiskusikan dalam presidium c. Apa saja instrumen-instrumen konsultasi publik yang dapat digunakan? Sesuai dengan waktu, biaya dan cakupan peserta: dapat dilakukan melalui FGD, Website, media, analisa sosial, dll d. Apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan oleh ‘Tim Penyelenggara’ dalam menyelenggarakan konsultasi publik? Tidak boleh melanggar prinsip konsultasi publik, seperti berpihak pada kekuasaan/ penguasa, mengundang hanya orang/ kelompok yang mendukung pandangan tersebut, memaksakan kehendak atau menggiring ke arah yang dikehendaki oleh fasilitator, secara subyektif menentukan atau melakukan sesuatu sehingga informasi yang mempengaruhi keputusan konsultasi publik tidak berimbang bagi peserta yang berbedabeda kepentingannya e. Apa kriteria yang digunakan dalam memilih dan menentukan peserta konsultasi publik untuk kasus yang bersangkutan? Orang atau lembaga yang terkait langsung dengan isu/masalah/kebijakan yg dikonsultasi publikkan, baik pembuat maupun yang terkena dampaknya.
100
•
f. Apa saja dokumen yang perlu dipersiapkan sebelum konsultasi publik dilaksanakan? Dokumen yang berkaitan dengan hal yang akan dikonsultasikan seperti hasil penilaian/ telaah tim, kebijakan terkait, bahan-bahan publik lain terkait dengan topik tersebut. g. Apa isi dokumen yang harus disiapkan oleh ‘Tim Penyelenggara’ itu? Jika terkait perusahaan : dokumen AMDAL, Ijin2, surat pendukung ( persetujuan masyarakat) profil perusahaan. Jika terkait kebijakan isi dokumen berupa Naskah akademik & rancangan kebijakan h. Bagaimana format pengemasan dokumen tersebut agar lebih ‘akrab pengguna’? Menyesuaikan dengan kondisi setempat, bisa mengggunakan leaflet, booklet, media audio visual, power point, Libre impress atau media lokal. i. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk me ng ed a rk a n d a n / ata u menyampaikan dokumen dimaksud sebelum konsultasi publik dilakukan, agar peserta konsultasi publik memiliki waktu dan kesempatan yang memadai untuk memahami substansi masalah yang akan dikonsultasipublikan? Minimal 1 minggu sebelum konsultasi publik diadakan 6. Tentang Hasil Konsultasi Publik a. B a ga i m a n a h a s il ke r j a ‘ Ti m Penyelenggara’ diformulasikan? Formulasi ini sangat baik kalau dapat berupa laporan ringkas: tema/judul, hasil (input atau tingkat penerimaan terhadap materi yang dikonsultasikan,
Ringkasan Masukan yang Diperoleh dari Kuesioner Dalam Rangka Penyusunan Mekanisme Konsultasi Publik Dewan Kehutanan Nasional
pelaksana konsultasi publik, peserta, implikasi)
atau tidak mengeluarkan ‘resolusi DKN’ atas masalah yang dikonsultasipublikkan?
b. Kepada siapa hasil konsultasi publik ini diserahkan dan diadministrasikan?
Hasil Konsultasi Publik didiskusikan dalam komisi atau kamar terkait dalam bentuk rapat komisi atau kamar sesuai AD dan ART untuk mengeluarkan resolusi. Apakah nanti hasilnya akan dikeluarkan atau tidak ke publik, akan didiskusikan dalam rapat ini.
Hasilnya diserahkan kepada komisi atau kamar yang terkait dan diadministrasikan oleh sekretariat DKN 7. Tentang Pengambilan Keputusan Konsultasi Publik a. Berapa lama pihak yang diberi kewenangan untuk memproses hasil konsultasi publik menjadi Keputusan DKN sudah harus menerima hasil penyelenggaraan Konsultasi Publik? Hasil Konsultasi Publik diterima paling lambat 1 minggu b. Bagaimana prosedur kerja pihak yang diberi kewenangan untuk mengeluarkan
c. Dalam hal pihak yang diberi kewenangan memutuskan untuk tidak mengeluarkan Resolusi hasil Konsultasi Publik, meski telah melakukan Konsultasi Publik, apa yang harus dilakukan DKN agar prinsip transparanasi dan akuntabel tetap dapat ditegakkan? DKN tetap harus menyampaikan kepada “klien” khsusnya terkait penjelasan mengenai tidak dapat dikeluarkannya resolusi hasil konsultasi publik.
Kajian PENYUSUNAN PROTOKOL KONSULTASI PUBLIK Bagi Dewan Kehutanan Nasional
• 101
Lampiran 5. Komentar Akan Draft Panduan Konsultasi Publik Dewan Kehutanan Nasional
JAKARTA, 12 September 2012 Oleh : Arimbi Heroepoetri Komisioner Komisi Nasional Perempuan PENGANTAR Suatu proses yang melibatkan masyarakat, umum dikenal sebagai peran serta masyarakat. Canter (1977) mendefinisikan peran serta masyarakat sebagai komunikasi dua arah yang terus-menerus untuk meningkatkan pengertian masyarakat/ publik atas suatu proses di mana masalah-masalah dan kebutuhan lingkungan sedang dianalisa oleh lembaga yang bertanggung jawab. Goulet (1989) mengartikan peran serta masyarakat sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok; yang selama ini tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan (non-elite) dan kelompok yang selama ini melakukan pengambilan keputusan (elite). Sementara Arnstein (1969) memformulasikan peran serta masyarakat sebagai bentuk dari kekuatan rakyat. Di mana terjadi pembagian kekuatan (power) yang memungkinkan masyarakat yang tidak berpunya (the have-not citizens) untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Tentu saja berbagai bentuk peran serta masyarakat memiliki gradasi dan tingkatannya sendiri-sendiri. Lewat tipologinya yang dikenal sebagai “Delapan Tangga Partisipasi Masyarakat” (Eight Rungs on the Ladder of Citizen Participation), Arnstein menjabarkan peran serta masyarakat yang didasarkan kepada kekuatan masyarakat untuk menentukan suatu produk akhir. Bahwa terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara bentuk peran serta yang bersifat upacara semu (empty
102
•
Komentar Akan Draft Panduan Konsultasi Publik Dewan Kehutanan Nasional
ritual), dengan bentuk peran serta yang memiliki kekuatan nyata (real power) yang diperlukan untuk mempengaruhi hasil akhir dari suatu proses pengambilan keputusan. Tangga 1 (Manipulasi) dan 2 (Terapi) dikategorikan Arnstein sebagai NonPartisipasi. Suatu bentuk peran serta yang sekedar mendidik dan mengobati masyarakat. Tangga 3 (Menyampaikan Informasi), 4 (Konsultasi), 5 (Peredaman), masuk dalam kategori Tokenism, yaitu tingkat di mana masyarakat didengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka dipertimbangkan oleh pengambilan keputusan. Tangga 6 (Kemitraan), 7 (Pendelegasian Kekuasaan), dan 8 (Pengawasan Masyarakat) adalah kategori Tingkat Kekuasaan Masyarakat (citizen power). Masyarakat dalam kategori ini memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan, bahkan dimungkinkan untuk memiliki kewenangan penuh mengelola suatu obyek kebijaksanaan tertentu. Pada akhirnya Dewan Kehutanan Nasional (DKN) harus memilih pada tingkat mana DKN akan menafsirkan peran serta masyarakat. Jika menilik judul yang dipilih dalam draft ini, yaitu Konsultasi Publik, maka sementara ini masuk dalam kategori TOKENISM.1 1
Menurut RYZ dan PI, pandangan ini bisa benar adanya, namun juga bisa tidak. Alasannya adalah bahwa dalam DKN proses pengambilan keputusan telah terbagi ke dalam kamar-kamar, antara lain adalah Kamar Masyarakat. Keberadaan Kamar Masyarakat ini jelas mengekspresikan kemauan politik yang memberikan hak penuh pada masyarakat untuk turut dalam proses pengambilan keputusan. Apakah keputusan dari kamar masyarakat didukung atau tidak oleh kamar-kamar yang lain,
KOMENTAR 1. Tentang susunan BAB I dan BAB II FPIC yang diuraikan dalam halaman 19 draft ini, menurut hemat saya substansi FPIC adalah ada dalam kategori “Kekuasaan Masyarakat”. Sehingga masyarakat memiliki kekuatan untuk menerima bahkan menolak sebuah usulan/ kebijakan. Karena itu, mengkhususkan FPIC semata-mata hanya di ranah masyarakat adat adalah salah kaprah. Ada kerancuan (redundant) dalam Bab I dan Bab II, terutama penjelasan yang berulang mengenai makna dan substansi Konsultasi Publik. Sebaiknya Bab 1.2. dan 1.3 dimasukkan dalam bab II dan di Bab II perlu dimasukkan pentingnya peran serta masyarakat/ KP serta kelemahannya.2 Di dalam bagian kelemahan inilah maka pertanyaan mengenai representasi (di halaman 20) dapat diuraikan, sebagai berikut: Persoalan yang paling pelik dalam hal ini adalah menyangkut unit sosial apa yang digunakan untuk merepresentasikan ‘masyarakat’ ataupun ’masyarakat adat’ (Kleden, 2012). Penggunaan kedua istilah ini secara longgar tanpa adanya kejelasan unit sosial di maksud telah menyebabkan timbulnya sejumlah persoalan di tingkat lapangan. “Dengan tidak adanya kejelasan kriteria mengenai ‘batas ambang’ jumlah warga individual yang melakukan kesepakatan sebagai sebuah standar yang diakui umum sebagai representasi ‘masyarakat lokal’ ataupun unit sosial yang dapat merepresentasikan ‘masyarakat adat’, maka perusahaan pun dengan mudah mengatakan bahwa pihak mereka telah menjalankan prinsip FPIC” (Halaman 20 draft dokumen konsultasi Publik Dewan Kehutanan Nasional). hemat kami, tidak serta merta menunjukkan bahwa sistem yang dikembangan oleh DKN ini tidak menganut partisipasi masyarakat yang penuh atau hanya bersifat tokenisme saja. 2
Terkait komentar ini RYZ dan PI tidak sependapat karena alur yang dibangun adalah bahwa Bab 1 lebih merupakan bahasan yang bersifat umum, termasuk bahasan tentang konsep Partisipasi Masyarakat. Sedangkan Bab 2 lebih merupakan uraian teoritik atau konseptual atas konsep Konsultasi Publik itu sendiri. Meski begitu, RYZ dan PI setuju bahwa harus ada tambahan uraian tentang masalah kekuatan dan kelemahan Partisipasi Masyarakat.
Representasi dalam buku-buku teks tentang peran serta masyarakat selalu masuk dalam salah satu kelemahan partisipasi. Selain itu rasa skeptis dari masyarakat karena proses KP yang dirasa terlalu lama, juga ketika KP tidak melibatkan komitmen politik, sehingga kekuasaan pengambilan keputusan menjadi sekedar masalah administratif semata. Bagian kelemahan KP penting diuraikan, sehingga seseorang tidak berharap terlalu besar terhadap proses KP untuk dapat menyelesaikan semua masalah.3 2. Pilihan sebagai HAK atau semata Proses Administrasi Substansi sebuah “PEDOMAN” adalah lebih memberikan kerangka dan kisi-kisi kerja sehingga mudah diimplementasikan. Sehingga gaya bahasa suatu Pedoman selalu mengarah kepada bahasa yang dapat diaplikasikan. Namun demikian sebuah PEDOMAN tidak dapat menegasikan hal-hak yang tidak dapat dinegosiasikan (non negotiable) seperti HAK dan PRINSIP.4 Prinsip KP seperti yang diuraikan di halaman 30 – 32, sebenarnya harus mencerminkan HAK, dan harus tercermin dalam implementasi – termasuk pilihan METODE dan TEKNIK KP. Rekomendasi saya, agar kedua hal di atas (cerminan hak, dan pilihan metode serta teknik) 3
RYZ dan PI setuju dengan komentar ini. Untuk itu telah ditambahkan bahasan tentang keterbatasan metode konsultasi publik ini. Oleh sebab itu, seperti yang telah diuraikan, tentang ‘siapa’ yang bisa dan harus mengikuti konsultasi publik ini sesuatu yang perlu dirumuskan secara jelas.
4
RYZ dan PI setuju dengan kritik ini. Jalan keluar yang ditawarkan oleh RYZ dan PI adalah memilah dokumen ini menjadi 3 (tiga) dokumen yang terpisah, yang memiliki tujuannya masing-masing. Dokumen pertama adalah dokumen Laporan Kajian untuk Penyusunan Pedoman Konsultasi Publik untuk DKN, sebagaimana halnya dokumen ini; kedua, dokumen tentang Pedoman Penyelenggaraan Konsultasi Publik Dewan Kehutanan Nasional, yang sejatinya pengolahan lebih lanjut dari Bab 2 dan Bab 3 laporan ini; dan ketiga, Protokol Penyelenggaraan Konsultasi Publik Dewan Kehutanan Nasional, yakni perumusan kebijakan DKN sebagaimana dijelaskan pada Bab 3 laporan ini.
Kajian PENYUSUNAN PROTOKOL KONSULTASI PUBLIK Bagi Dewan Kehutanan Nasional
• 103
perlu diselaraskan kembali. Pada saat yang sama DKN perlu menegaskan pandangannya soal KP, apakah KP adalah HAK atau mekanisme administratif saja. Pilihan di atas sangat menentukan metode dan teknik KP. Karena jika KP ditempatkan sebagai HAK, maka diperlukan tindakan afirmasi agar tejadinya kesetaraan diantara para peserta KP. Salah satunya adalah dengan memastikan penerimaan informasi yang tepat, lengkap, menyeluruh dan mudah dipahami. Kemudian waktu yang cukup untuk ‘mencerna’ informasi tersebut, serta adanya jaminan agar masukan warga dapat diakomodasi dalam keputusan akhir. Salah satu caranya adalah terbukanya peluang mengajukan keberatan (mekanisme banding) atas keputusan yang diambil. 3. Pendefinisian ‘Publik’ Perlu dijelaskan bahwa pendefinisian publik adalah termasuk juga individu atau perseorangan. Sehingga tidak menegasikan individu yang berpotensi terkena dampak, maupun yang berkepentingan dengan obyek konsultasi publik. Praktik ini sudah relatif mapan dijalankan dalam peradilan Mahkamah Konstitusi, di mana warga Negara baik secara perseorangan maupun bersama-sama dapat mengajukan kasus ke Mahkamah Konstitusi. Sebenarnya dalam halaman 26 paragraf ke dua, telah dijabarkan siapa publik tersebut. Namun tidak secara tegas menyebutkan bahwa individu termasuk publik. Namun ketika mengkutip – dalam catatan kaki nomor 34—individu termasuk dalam kriteria publik. 4. Kapan KP dilakukan oleh DKN BAB III. Halaman 43 paragraf pertama. Konsultasi Publik, selanjutnya disingkat KP, harus diselenggarakan DKN jika ada kebijakan dan/atau sengketa yang muncul dalam pengelolaan hutan yang diperkirakan akan memiliki dampak negatif yang luas di tengah masyarakat (garis tebal oleh penulis).
104
•
Komentar Akan Draft Panduan Konsultasi Publik Dewan Kehutanan Nasional
Menurut saya pernyataan ini mengecilkan tujuan didirikannya DKN, sebagaimana telah juga dikutip dalam halaman 5 draft KP ini yang didasarkan kepada Mukadimah Anggaran Dasar DKN yang disahkan dalam Kongres Kehutanan V yang diselenggarakan pada 22‐24 November 2011, yaitu: Dewan Kehutanan Nasional (selanjutnya disingkat DKN) adalah sebuah lembaga berbasis konstituen yang dilahirkan pada 15 September 2006 melalui Kongres Kehutanan Indonesia IV. Lembaga ini dimaksudkan untuk mewujudkan peran serta masyarakat dalam pembangunan di bidang kehutanan sesuai dengan Pasal 70 dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Penjelasannya; Pasal 2 dan 5 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokokpokok Pengaturan Agraria; serta Pasal 18 dan pasal 33 dari UUD 1945 (garis tebal oleh penulis).
Dewan Kehutanan Nasional seharusnya mengembangkan segala cara, bentuk, metode dan teknik peran serta masyarakat di bidang kehutanan, dan tidak terbatas jika terjadi konflik saja atau jika diperkirakan akan memiliki dampak negatif yang luas saja. Sehingga seharusnya KP diselenggarakan oleh DKN terhadap setiap proses kebijakan kehutanan. Akan menjadi rancu jika KP digunakan untuk menyelesaikan sengketa. Karena ranah penyelesaian sengketa adalah mediasi. Sejatinya KP dilakukan sebelum suatu aktivitas/keputusan diambil, bukan ketika suatu kejadian telah terjadi atau bahkan menimbulkan konflik. Sehingga dengan demikian, Bab 3.1.1 dan 3.1.2 dapat diringkas menjadi satu bagian saja.5 Keluaran KP dari DKN harus bersifat terbuka dan mudah diakses oleh publik sebagai bagian akuntabilitas DKN. Dokumen hasil dari KP menjadi dokumen publik.
5
Terkait dengan komentar ini RYZ dan PI menyerahkannya pada keperluan DKN. Namun, secara pribadi RYZ dan PI juga berpendapat bahwa alat ini relevan juga digunakan, sebagai salah satu alat dalam penyelesaian konflik.
5. Komentar Lain • Catatan Kaki nomor 33 tentang “Interaksi Pemangku Kepentingan” sebaiknya masuk ke dalam teks utama (body text), jika perlu ada sub judul khusus yang menerangkan soal di atas.6 • BAB III. Catatan kaki yang masih berbahasa Inggris sebaiknya diterjemahkan (seperti catatn kaki nomor 43, 44, dan 53). Dan jika terlalu panjang apakah tidak sebaiknya masuk dalam salah satu Lampiran, sehingga tidak akan mengurangi keseluruhan arti.7
6
RYZ dan PI setuju dengan komentar ini dan telah menampungnya dalam perubahan.
7
RYZ dan PI setuju dengan kritik ini dan telah menampungnya dalam perubahan.
Kajian PENYUSUNAN PROTOKOL KONSULTASI PUBLIK Bagi Dewan Kehutanan Nasional
• 105
Lampiran 6. Keputusan Dewan Kehutanan Nasional tentang Protokol Konsultasi Publik Nomor : SKN.02/DKN-KP/2012 Pasal 1
Mengingat a. Konsultasi Publik, selanjutnya disingkat KP, merupakan suatu langkah penting bagi pelibatan masyarakat sipil secara efektif dalam berbagai persoalan-persoalan publik; b. Konsultasi publik sebagai salah satu instrumen kunci dalam proses pengaturan (regulatory process) untuk meningkatkan transparansi, efisiensi dan efektifitas dari peraturan dan meningkatkan akuntabilitas; c. Mandat kerja DKN yang mensyaratkan terakomodasinya aspirasi cq. partisipasi anggota maupun konstituen pada umumnya, sebagaimana telah diatur pada Pasal 6, 7, dan 8 Anggaran Dasar DKN terwujudnya keselarasan pembangunan kehutanan, sehingga terjalin hubungan yang harmonis antara semua pemangku kepentingan dan terjamin kepastian hukum; Menimbang a. Pasal 18, Psal 28, dan Pasal 33 UUD 1945; b. Pasal 70 dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Penjelasannya; c. Pasal 2 dan Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Pengaturan Agraria; d. Berbagai peraturan-perundangan lain yang terkait, sebagaimana terdapat pada Lampiran yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Keputusan ini;
Konsultasi Publik, selanjutnya disingkat KP, harus diselenggarakan DKN jika ada kebijakan dan/atau sengketa yang bermuara pada konflik sosial dalam pengelolaan hutan yang diperkirakan akan memiliki dampak negatif yang luas di tengah masyarakat atau apa yang dalam konteks dunia kebijakan disebut ‘publik’; atau atas kepentingan bersama dari mitra strategis Pasal 2 Kebijakan yang dimaksud tidak terbatas dari apa yang disebut sebagai peraturan-perundangan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. Termasuk juga perijinan-perijinan yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan dan Pejabat yang ada di bawahnya, seperti perijinan untuk pengusahaan satu kawasan hutan, dan sejenisnya itu, berikut sengketa para pihak yang ditimbulkannya, konvensi internasional maupun kesepakatan-kesepakatan para pihak. Konflik yang dimaksud disini sesuai dengan apa diatur dalam Pasal 5 ayat a, d dan e dalam UU No 7 Tahun 2012 yaitu konflik dapat bersumber dari permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi dan sosial budaya, sengketa sumberdaya alam antar masyarakat dan/atau antar masyarakat dengan pelaku usaha; atau distribusi sumberdaya alam yang tidak seimbang dalam masyarakat
Memutuskan Keputusan Dewan Kehutanan Nasional tentang Penyelenggaraan Konsultasi Publik Nomor : SKN.02/DKN-KP/2012
106
•
Pasal 3 Ranah Penggunaan Konsultasi publik dapat digunakan oleh DKN sekurang-kurangnya, namun tidak terbatas pada, dua kebutuhan utama. Masing-
Keputusan Dewan Kehutanan Nasional tentang Protokol Konsultasi Publik Nomor : SKN.02/DKN-KP/2012
masing adalah untuk mengevaluasi dan/atau menganalisis suatu kebijakan publik di sektor kehutanan dan untuk tujuan melakukan upayaupaya mengurai dan/atau menyelesaikan sengketa-sengketa yang berkaitan dengan kegiatan dengan sektor kehutanan; Pasal 4
namun tidak terbatas pada, keputusan untuk menolak atau pernyataan tidak setuju pada suatu kebijakan dan/atau keputusan tertentu yang diambil dalam penyelesaian masalah tertentu. Pasal 5 Peserta
Keluaran 1. Keluaran (output) akhir dari kegiatan KP yang diselenggarakan DKN sekurangkurangnya, namun tidak terbatas pada, 3 (tiga) bentuk keluaran. Masing-masing adalah keluaran yang berupa pandangan, rekomendasi dan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan ataupun permasalahan tertentu yang mendapat perhatian DKN. 2. Pandangan DKN adalah hasil KP yang dilaksanakan DKN yang berupa tinjauan dan/atau bahasan DKN terhadap suatu kebijakan dan/atau permasalahan tertentu yang menjadi perhatian DKN. Pandangan DKN ini berisikan evaluasi yang berimbang, ilmiah, dan dapat dipertanggungjawabkan, mengenai baik-buruk, salah-benar, ataupun kekuatan dan kelemahan suatu kebijakan dan/atau permasalahan tertentu yang menarik perhatian DKN. 3. Rekomendasi DKN berisikan saransaran yang diusulkan DKN untuk suatu kebijakan dan/atau dalam menyelesaikan suatu sengketa tertentu. Sebelum sampai pada Rekomendasi DKN, hasil KP yang diselenggarakan DKN terlebih dahulu melakukan evaluasi terhadap kebijakan dan/atau permasalahan dimaksud, dan menyusun Pandangan DKN sebagaimana telah diatur dalam Ayat 2 di atas. 4. Keputusan DKN adalah keluaran KP yang diselenggarakan DKN yang berisikan ketetapan DKN tentang suatu kebijakan dan/atau permasalahan tertentu, seperti,
1. Peserta KP yang diselenggarakan oleh DKN sekurang-kurangnya, namun tidak terbatas pada, Anggota DKN, Konstituen dan para pihak yang terkait dengan masalah yang akan dikonsultasipublikkan. Adapun jumlah peserta sebuah KP akan disesuaikan dengan metode yang akan digunakan, sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku dalam dunia akademik maupun kebiasan yang ada. 2. Anggota DKN adalah sebagaimana telah diatur dalam AD dan ART DKN; 3. Konstituen DKN adalah sebagaimana telah diatur dalam AD dan ART DKN;
4. Para pihak terkait yang dimaksudkan di sini adalah, namun tidak terbatas pada, para pejabat dari berbagai instansi pemerintahan, tokoh-tokoh masyarakat, pihak perusahaan, warga masyarakat pada umumnya, utamanya yang terkait langsung dengan kebijakan dan/atau permasalahan yang menjadi objek KP. Pasal 6 Proses Pengambilan Keputusan perlu/tidaknya KP dan Proses Penyelenggaraannya 1. Usulan untuk menyelenggaraan KP diajukan oleh ANGGOTA DKN melalui KOMISI atau KAMAR berdasarkan ‘Keputusan Rapat Komisi’ atau ‘Keputusan Rapat Kamar’, sebagaimana yang diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga DKN;
Kajian PENYUSUNAN PROTOKOL KONSULTASI PUBLIK Bagi Dewan Kehutanan Nasional
• 107
2. Usulan untuk menyelenggarakan KP dapat pula diajukan oleh para pihak lain yang BUKAN ANGGOTA DKN, atau yang disebut Aarhus Convention on Access to Information, Public Participation in Decision and Access to Justice in Environemntal Matters artikel 2, poin 5 sebagai ‘the public concerned’, melalui proses pengajuan oleh KAMAR atau KOMISI, sebagaimana telah dijelaskan dalam pasal 6 ayat 1; 3. Setiap usulan harus disertai penjelasan dan alasan-alasan, termasuk dokumen-dokumen yang mendukung (seperti Keputusan Rapat Kamar atau Keputusan Rapat Komisi beserta notulensi rapatnya, hasil studi/penelitian) yang mendasari perlunya penyelenggaraan KP yang dituangkan ke dalam Berita Acara Pengusulan KP;
8. PIHAK K ET IGA yang menerima pekerjaan KP dari DKN harus mengikuti seluruh ketentuan yang diatur oleh Protokol Penyelenggaraan Konsultasi Publik oleh DKN ini. Pasal 7 Panitia Penyelenggara KP dan Proses Penyelenggaraan KP 1. Panitia Penyelenggara KP sekurangkurangnya, namun tidak terbatas pada, 1 (satu) orang Ketua dan 2 (dua) orang anggota; 2. Dalam hal dianggap perlu, Panitia Penyelenggara K P dapat meminta dukungan pengadaan Tenaga Ahli ataupun petugas lainnya untuk mengurus hal-hal yang berisifat teknis-administratif;
4. Usulan penyelenggaraan KP diajukan kepada Presidium DKN melalui Ketua Presidium DKN ditembuskan kepada Ketua Harian DKN;
3. Panitia Penyelenggara KP menyusun rencana kerja dan anggaran, dan dikonsulta sikan untuk mendapat persetujuan dari Ketua Harian DKN;
5. Rencana penyelenggaraan KP dibahas dan diputuskan untuk DITERIMA 8 atau DITOLAK oleh Presidium DKN, sebagaimana diatur oleh Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga DKN
4. Rencana Kerja KP sekurang-kurangnya berisikan, namun tidak terbatas pada, halhal sebagai berikut:
6. Dalam hal usulan diterima, penyelenggaraan KP akan diserahkan kepada Komisi terkait. Untuk selanjutnya Komisi membentuk Panitia Ad Hoc sebagai Panitia Penyelenggara KP; 7. Dalam keadaan tertentu, Presidium DKN bersama Komisi terkait dapat melakukan kerjasama menyelenggarakan kegiatan KP ini dengan PIHAK KETIGA, baik PERORANGAN maupun LEMBAGA, yang ditetapkan sesuai mekanisme yang berlaku dalam DKN; 8
Termasuk pilihan jenis keluaran dari KP yang diselenggarakan (lihat pasal 4)
108
•
a. Uraian Kronologi dan/atau Peta Masalah; b. Tujuan; c. Hasil yang diharapkan; d. Metodologi yang hendak digunakan dalam KP yang bersangkutan; e. Sasaran peserta (atau sampel) KP; f. Pedoman dan/atau Panduan Proses yang akan dilaksanakan; g. Rancangan Material Pendukung yang akan digunakan dalam KP; h. Tempat dan Waktu Pelaksanaan; i. Anggaran untuk Pelaksanaan 5. Metode Pengumpulan Data yang akan digunakan dalam KP dapat berupa salah satu atau gabungan dari, namun tidak terbatas pada, metode-metode berikut:
Keputusan Dewan Kehutanan Nasional tentang Protokol Konsultasi Publik Nomor : SKN.02/DKN-KP/2012
• Dengar Pendapat Publik (Public Hearing) • Survai (survey, baik yang berbasis internet, telepon, ataupun lapangan) • Jejak Pendapat (polling, baik yang berbasis internet, telepon, ataupun lapangan) • Diskusi Kelompok Terarah (Focus Group Discussion) • Wawancara Mendalam (Depth Interview) 6. Dalam hal KP dilaksanakan secara tatapmuka, seperti dalam metode Dengar Pendapat Publik dan Diskusi Kelompok Terarah, Panitia Penyelenggara KP har us menye d ia kan D O KUM EN KONSULTASI PUBLIK (disingkat DOKUMEN KP) dalam bahasa yang mudah dimengerti; 7. Agar para peserta KP memiliki waktu da n ke s emp ata n ya ng m ema da i untuk mendapatkan dan memahami penjelasan tentang masalah yang hendak dikonsultasikan, DOKUMEN K P selambat-lambatnya sudah dapat diterima oleh peserta tujuh hari sebelum hari pelaksanaan KP; 8. Kegiatan KP harus didukung oleh kegiatan pendokumentasian dalam bentuk tertulis, suara, atau gambar (diam ataupun bergerak) yang bersumber dari peristiwa KP dimaksud; 9. Hasil kerja Panitia Penyelenggara KP dituangkan ke dalam Laporan yang dilengkapi dengan Berita Acara yang ditandatangani oleh Ketua Tim Penyelenggara KP, dan dalam kasus KP tatap muka, oleh seluruh atau perwakilan peserta yang telah ditentukan bersama pada saat KP akan dimulai; 10. Laporan KP dari panitia penyelenggara telah memuat rancangan Pandangan, Rekomendasi, Putusan DKN atas masalah
yang dikonsultasipublikkan; 11. Laporan Hasil KP yang dilengkapi dengan Berita Acara diserahkan ke Presidium melalui Komisi selambat-lambatnya 14 hari terhitung dari hari terakhir penyelenggaraan KP. Pasal 8 Proses Penyusunan & Pengumuman Resolusi 1. Presidium DKN menetapkan ‘Pandangan’, ‘Rekomendasi’, atau ‘Keputusan‘ DKN atas permasalahan yang dikonsultasipublikkan; 2. DKN merumuskan keluaran KP dalam sebuah Resolusi dan mengumumkannya selambat-lambatnya 14 hari setelah Laporan diterima sesuai dengan metode yang dipilih. Dalam kondisi tertentu keputusan mengenai diumumkan atau tidaknya resolusi tersebut ditetapkan melalui kesepakatan atau melalui pengambilan keputusan sebagaimana diatur dalam ART DKN; 3. Dalam hal DKN tidak menetapkan ‘Keputusan’ yang harus dikeluarkan, DKN HARUS memberikan PENJELASAN KEPADA PUBLIK tentang alasan keputusan tersebut; 4. PRESIDIUM menyusun AGENDA KERJA untuk menindaklajuti hasil KP, termasuk, namun tidak terbatas pada, membentuk TIM untuk Monitoring dan Evaluasi atas Resolusi yang dikeluarkan DKN itu. Pasal 9 Mekanisme Keberatan 1. Para pihak dapat mengajukan keberatan terhadap berbagai hal terkait dengan KP yang diselenggarakan DKN; 2. Objek keberatan :
Kajian PENYUSUNAN PROTOKOL KONSULTASI PUBLIK Bagi Dewan Kehutanan Nasional
• 109
a. Keputusan menyelenggarakan KP; b. Proses penyelenggaraan KP; c. Keluaran KP. 3. Keberatan disampaikan kepada Presidium DKN; 4. Presidium DKN akan menyelesaikan keberatan ini melalui mekanisme sebagai mana yang diatur dalam“Protokol Penyelesaian Keberatan DKN” Ditetapkan di Jakarta, Tanggal 13, Bulan September Tahun 2012. TTD Presidium Dewan Kehutanan Nasional, 2011 – 2016 1. Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo (Ketua)
110
•
2. Sungging Septivianto (Kamar Masyarakat) 3. Oding Affandi (Kamar Akademisi) 4. Martua Sirait (Kamar LSM) 5. Ahmad Zazali (Kamar LSM) 6. Matheus Pilin (Kamar LSM) 7. Haryadi Himawan (Kamar Pemerintah) 8. Eny Faridah (Kamar Akademisi) 9. Paramita Iswari (Kamar LSM) 10. Agustinus Kastanya (Kamar Akademisi) 11. Bambang Soekartiko (Kamar Bisnis) 12. Leonard Imbiri (Kamar Masyarakat) 13. Jomi Suhendri (Kamar Masyarakat) 14. Kamardi (Kamar Masyarakat) 15. Marthen Kayoi (Kamar Pemerintah) 16. Edi Batara Mulya Siregar (Anggota Berbasis Kompetensi) 17. Teg uh Yuwono (Anggota Berbasis Kompetensi)
Keputusan Dewan Kehutanan Nasional tentang Protokol Konsultasi Publik Nomor : SKN.02/DKN-KP/2012
Kajian PENYUSUNAN PROTOKOL KONSULTASI PUBLIK Bagi Dewan Kehutanan Nasional
• 111
Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor; Telp.: 0251 8633944; Fax: 0251 8634924; Email:
[email protected]; Website: http://puspijak.litbang.dephut.go.id atau www.puspijak.org
112
•