KAJIAN PENGERING ROTARI TIPE CO-CURRENT UNTUK PENGERINGAN SAWUT UBIJALAR
HENDRI SYAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Kajian Pengering Rotari Tipe CoCurrent untuk Pengeringan Sawut Ubijalar” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka pada bagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2008
Hendri Syah NIM F151050041
ABSTRACT HENDRI SYAH. Study on Co-Current Rotary Dryer for Sweet Potato Grates. Under supervision of I WAYAN BUDIASTRA, SUROSO, and LEOPOLD OSCAR NELWAN. Rotary drying is a very complicated process that implies not only thermal drying but also movement of wet material within the dryer. The objective of this research were to evaluate performance of rotary dryer, to identify amount of energy consumption which are used during the drying process, to develop model of rotary drying and to identify drying cost per kg of sweet potato grates. Drying characterisctics of product need to be established because of important information for the design, prediction, and modelling. The model of rotary drying was constructed based on energy and mass balance. The differential equations were solved by simultaneous-numerically. This model applied to predict temperature dryer chamber, temperature product, moisture content and RH. The result showed that the performance of rotary dryer depends on feed rate sweet potato grates into drying chamber. High feed rate could decrease temperature in drying chamber. The residence time of all experiments were 18 minutes. Hold-up of all experiments in this study were relatively low that ranges 9-36 kg. The specific energy consumption in all of the experiments was between 5.51-14.26 MJ/kg H2O. The high feed rate (3 kg/1 min) had the lowest specific energy consumption. Conversely, the lowest feed rate (3 kg/4 min) had the highest specific energy consumption for all experiments. The high total efficiency could be found from high feed rate, the feed rate (3 kg/1 min) is highest total efficiency for all experiments. The model can be used to obtain temperature profiles of air and the product in dryer chamber. Using the model, change of air temperature and product during drying were successfully predicted. Coefficient of determination (COD) between measured and calculated ranges 0.819-0.992, respectively. However, the model could not predict moisture content and RH accurately. The drying cost of grates is Rp 1 494 per kg wet grates. It is relatively expensive for drying. Key words : co-current rotary dyer, specific energy consumption, feed rate, efficiecy
RINGKASAN HENDRI SYAH. Kajian Pengering Rotari Tipe Co-current untuk Pengeringan Sawut Ubijalar. Dibawah bimbingan I WAYAN BUDIASTRA, SUROSO, dan LEOPOLD OSCAR NELWAN. Pengeringan sawut merupakan salah satu rantai pengolahan tepung ubijalar yang kritis karena proses ini sangat mempengaruhi mutu dan daya guna untuk pengolahan selanjutnya serta penyimpanan. Pengering tipe kontinyu merupakan pengering buatan yang sesuai digunakan untuk kebutuhan industri pengolahan tepung yang menekankan kepada kualitas, kuantitas, dan kontinuitas produksi. Dalam kajian ini digunakan pengering rotari tipe co-current sebagai alternatif pengering tipe kotinyu untuk pengeringan sawut ubijalar. Pengering dengan kapasitas yang besar akan banyak menghadapi berbagai masalah seperti kinerja, konsumsi energi, serta biaya yang dikeluarkan untuk pengeringan. Pengunaan model matematik diperlukan untuk menduga distribusi suhu udara, suhu bahan, kadar air dan RH di dalam ruang pengering yang sulit diukur secara langsung. Secara garis besar penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kinerja dan menentukan konsumsi energi pengering rotari untuk pengeringan sawut ubijalar, mengembangkan model matematika pengering rotari dan melakukan simulasi serta menentukan biaya pokok pengeringan sawut ubijalar. Penelitian ini didahului dengan pengukuran sifat termofisik dari sawut ubijalar sebagai parameter pengeringan. Penentuan kadar air keseimbangan (Me) dan konstanta pengeringan (k) menggunakan pengeringan lapisan tipis sedangkan perhitungannya dipecahkan menggunakan metode non linear least square. Uji kinerja pengering rotari didahului dengan menguji suhu inlet dan ruang pengering tanpa menggunakan kontrol suhu dan tanpa beban. Pengujian selanjutnya adalah mengunakan kontrol suhu yang terbagi dua pengujian yaitu pengujian tanpa beban dan menggunakan beban (pengeringan sawut ubijalar). Pengujian tersebut diiringi dengan pengukuran laju konsumsi bahan bakar, listrik, dan parameter pengeringan lain untuk menghitung konsumsi energi. Pengujian dengan menggunakan kontrol suhu dan beban dibagi menjadi 4 percobaan berdasarkan laju pengumpanan sawut yaitu 3 kg/1 menit, 3 kg/2 menit, 3 kg/3 menit, dan 3 kg/4 menit. Model matematik pengering rotari dibagun dengan acuan keseimbangan massa dan
energi, persamaan diferensial diselesaikan secara numerik dengan metode beda hingga Euler secara simultan. Biaya pokok pengeringan setiap percobaan didasarkan kepada biaya tetap dan biaya tidak tetap. Pada penelitian ini waktu tinggal (waktu pengeringan) semua percobaan adalah sama sebesar 18 menit, dengan hold-up berkisar antara 9-36 kg sawut. Laju pengumpanan sawut ke ruang pengering menyebabkan penurunan suhu di ruang pengering. Semakin besar laju pengumpanan maka semakin besar juga penurunan suhunya dan sebaliknya. Kadar air sawut kering rata-rata yang diperoleh pada percobaan I, II, III, dan IV masing-masing 64.98, 36.23, 19.29, dan 9.01%bk. Semakin kecil laju pengumpanan maka semakin rendah kadar air sawut kering yang dihasilkan. Konsumsi minyak tanah pada semua percobaan berkisar antara 0.183-0.207 lt/menit, lebih rendah daripada konsumsi minyak tanah tanpa kontrol suhu yaitu sebesar 0.256 lt/menit. Konsumsi energi spesifik merupakan total jumlah energi per jumlah air yang diuapkan selama proses pengeringan, Konsumsi energi terendah dihasilkan dari laju pengumpanan yang tinggi (3 kg/1 menit) sebesar 5.09 MJ/kg H2O. Efisiensi total tertinggi juga dihasilkan dari percobaan dengan laju pengumpanan yang tinggi yaitu 43.91%. Kebalikannya, percobaan dengan laju pengumpanan yang rendah (3 kg/4 menit) memiliki mutu fisik sawut kering yang paling baik dengan kadar air rata-rata 8.26%bb dan nilai L sebesar 82.76. Model matematik dapat digunakan untuk memprediksi suhu ruang pengering, hal ini terlihat dari nilai Coefficient of Determination (COD) berkisar antara 0.819-0.992. Demikian pula dengan suhu sawut juga dapat diduga profil suhunya, dimana error yang dihasilkan cukup rendah berkisar antara 0.6-1.3 oC. Tetapi, model tidak dapat menduga distribusi kadar air dan RH secara akurat. Biaya pokok pengeringan yang diperoleh sebesar Rp 1 494/kg sawut basah atau Rp 4 747/kg sawut kering. Ini merupakan biaya pokok pengeringan yang ideal karena sawut yang dihasilkan sudah kering atau kadar airnya rendah. Kata kunci: pengering rotari tipe co-current, sawut, laju pengumpanan, kinerja, konsumsi energi spesifik, Coefficient of Determination.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KAJIAN PENGERING ROTARI TIPE CO-CURRENT UNTUK PENGERINGAN SAWUT UBIJALAR
HENDRI SYAH
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Ilmu Keteknikan Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si
Judul Tesis Nama NIM
: Kajian Pengering Rotari Tipe Co-Current untuk Pengeringan Sawut Ubijalar : Hendri Syah : F151050041
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr Ketua
Dr. Ir. Suroso, M.Agr Anggota
Dr. Ir. Leopold Oscar Nelwan, M.Si Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian
Prof.Dr.Ir.Armansyah H Tambunan
Tanggal Ujian :
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul dari tesis ini ialah “Kajian Pengering Rotari Tipe Co-Current untuk Pengeringan Sawut Ubijalar ”. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Suroso, M.Agr dan Dr. Ir. Leopold Oscar Nelwan, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan saran dan kontribusi yang sangat berharga terhadap tesis ini. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Program kemitraan Agro-Machinery Industrial Interface
Unit (AMIn unit) Departemen TEP dan Program RUSNAS Diversifikasi Pangan Departemen ITP IPB yang telah membantu penelitian ini, Bapak Pen Supendi dan Bapak Edi di KUD Jasa Mukti Cibungbulang Bogor, Bapak Harto, Mas Firman, dan Mas Darma di Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian Departemen TEP IPB atas bantuan dan dukungan tempat dan peralatan penelitian, serta kepada teman-teman seangkatan S2 TEP 2005 dan S2 TPP 2006 atas kebersamaan dan persahabatan. Ungkapan rasa terima kasih yang mendalam disampaikan kepada ayahanda (Abdullah Y), ibunda tercinta (Sitti Hasanah), serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2008 Hendri Syah
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tapaktuan (Aceh Selatan), 5 April 1977. Penulis merupakan putra kedua dari pasangan Abdullah Y dan Sitti Hasanah. Pada tahun 1995, penulis diterima sebagai mahasiswa di Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB melalui jalur USMI dan lulus tahun 1999. Pada tahun 2005, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian dengan beasiswa dari Departemen Pendidikan Nasional, Dirjen Pendidikan Tinggi melalui BPPS. Penulis bekerja sebagai dosen tetap sejak tahun 2002 di Universitas Syiah Kuala, Fakultas Pertanian, Jurusan Teknik Pertanian.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ......................... ............................................................................. i DAFTAR TABEL ................. ............................................................................. ii DAFTAR GAMBAR ............ ............................................................................. iii DAFTAR LAMPIRAN ......... ............................................................................. v DAFTAR SIMBOL............... ............................................................................. vi PENDAHULUAN.............................................................................................. Latar Belakang .............................................................................................. Tujuan ...........................................................................................................
1 1 3
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 4 Ubijalar.......................................................................................................... 4 Mekanisme Pengeringan ............................................................................... 6 Termofisik Udara Pengering ......................................................................... 8 Kadar Air Keseimbangan (Me) dan Konstanta Pengeringan (k) .................. 9 Pengering Rotari (Rotary Dryer) .................................................................. 11 PENDEKATAN TEORI ................................................................................... Sistem Pengering Rotari................................................................................ Kebutuhan Energi dan Efisiensi Pengering Rotari ....................................... Model Fisik Pengering Rotari .......................................................................
15 15 18 20
METODOLOGI PENELITIAN ...................................................................... Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................................... Bahan dan Alat .............................................................................................. Deskripsi dan Spesifikasi Pengering Rotari .................................................. Metode Penelitian ......................................................................................... Simulasi Model dan Validasi ........................................................................
23 23 23 23 27 33
HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... Sifat Termofisik ............................................................................................ Suhu dan RH Lingkungan ............................................................................. Performansi Pengering Rotari ....................................................................... Kebutuhan Energi Pengering Rotari ............................................................. Mutu Pengeringan ......................................................................................... Validasi Model .............................................................................................. Biaya Pokok Pengeringan .............................................................................
35 35 41 43 59 64 65 73
SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................... 76 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 77 LAMPIRAN ....................................................................................................... 81
DAFTAR TABEL Halaman 1. Sifat fisik ubijalar berdasarkan varietas (Hilman 2005) ............................... 5 2. Mutu Ubijalar (SNI 01- 4493-1998) ............................................................. 5 3. Perbandingan antara pengering rotari dengan pengering pesaingnya (Mujumdar dan Devastin 2001) .................................................................... 13 4. Spesifikasi silinder dan flight ........................................................................ 24 5. Bagian dan spesifikasi dari penukar panas.................................................... 26 6. Perlakuan pengumpanan bahan ..................................................................... 31 7. Neraca massa ubijalar pra pengeringan......................................................... 37 8. Nilai Me, k, dan faktor bentuk (A) hasil perhitungan ................................... 39 9. Laju aliran massa udara pada burner ............................................................ 44 10. Efisiensi tungku............................................................................................. 44 11. Analisis dan kinerja penukar panas ............................................................... 46 12. Perhitungan penurunan tekanan pada penukar panas.................................... 47 13. Waktu operasi pengeringan dan waktu tinggal ............................................ 57 14. Laju aliran massa rata-rata uap air dan padatan ............................................ 59 15. Konsumsi minyak tanah ................................................................................ 60 16. Pemanfatan energi untuk pengeringan sawut ubijalar .................................. 61 17. Konsumsi energi dan efisiensi pengering rotari ............................................ 63 18. Mutu fisik sawut kering ................................................................................ 64 19. Berat sawut kering dan susut ........................................................................ 64 20. Faktor koreksi yang digunakan pada model ................................................. 71 21. Komponen biaya tidak tetap (Rp/kg sawut basah)........................................ 73
DAFTAR GAMBAR Halaman Ubijalar (Ipomoea batatas L.) ....................................................................... 4 Diagram alir pengolahan ubijalar (Widowati et al. 2000) ............................ 6 Kurva karakteristik pengeringan ................................................................... 7 Proses pengeringan dalam grafik psikrometrik ............................................. 8 Aliran bahan dan udara pada pengering rotari tipe co-current (Barr-Rosin 1996) ............................................................................................................ 12 6. Perubahan suhu udara dan bahan pada pengering rotari tipe co-current (Barr-Rossin 1996) ....................................................................................... 12 7. Sistem pengering rotari ................................................................................ 15 8. Susunan pipa penukar panas (Staggered arrangement) ................................ 18 9. Grafik faktor f dan x (Zukauskas 1985 dalam Cengel 2003) ........................ 18 10. Model fisik pengering rotari.......................................................................... 20 11. Volume Kendali ............................................................................................ 20 12. Silinder (a) dan Flight (b) ............................................................................. 24 13. Motor penggerak (a) dan burner pada tungku (b)......................................... 25 14. Penukar panas (a) dan kipas (b) .................................................................... 27 15. Diagram alir pengeringan lapisan tipis sawut ubijalar .................................. 28 16. Algoritma perhitungan A, k, dan Me (Abdullah et al. 2007) ...................... 29 17. Proses penyawutan (a) dan penirisan (b) ...................................................... 30 18. Diagram alir proses pengeringan sawut ubijalar ........................................... 31 19. Pengukuran suhu: (a) sawut, (b) ruang pengering, dan (c) pembakaran ....... 33 20. Densitas curah sawut ubijalar........................................................................ 36 21. Penurunan kadar air sawut ubijalar pada pengeringan lapisan tipis ............. 39 22. Hubungan antara suhu absolut dengan konstanta pengeringan..................... 40 23. Suhu dan RH lingkungan setiap percobaan: (a) percobaan I, (b) percobaan II, (c) percobaan III dan (d) percobaan IV ............................ 42 24. Suhu, RH dan H rata-rata lingkungan selama proses pengeringan ............... 43 25. Suhu pembakaran dalam tungku ................................................................... 45 26. Suhu inlet tanpa kontrol suhu........................................................................ 49 27. Suhu ruang pengering tanpa kontrol suhu..................................................... 50 28. Suhu rata-rata sepanjang silinder (tanpa kontrol) ......................................... 51 29. Suhu inlet dan ruang pengering dengan kontrol suhu dan tanpa beban ....... 52 30. Suhu rata-rata sepanjang silinder (kontrol suhu dan tanpa beban) ............... 53 31. Profil suhu ruang pengering pada pengumpanan 3 kg/2 menit ..................... 54 32. Profil suhu ruang pengering pada pengumpanan 3 kg/4 menit ..................... 55 33. Kadar air awal dan akhir sawut ..................................................................... 58 34. Konsumsi energi spesifik .............................................................................. 62 35. Suhu ruang pengering (model dan pengukuran) pada pengumpanan 3 kg/1 menit .................................................................................................. 66 36. Suhu ruang pengering (model dan pengukuran) pada pengumpanan 3 kg/2 menit .................................................................................................. 66 37. Suhu ruang pengering (model dan pengukuran) pada pengumpanan 3 kg/3 menit .................................................................................................. 67 1. 2. 3. 4. 5.
38. Suhu ruang pengering (model dan pengukuran) pada pengumpanan 3 kg/4 menit .................................................................................................. 39. Pengukuan suhu sawut pada bagian outlet a) laju pengumpanan 3 kg/3 menit dan b) laju pengumpanan 3 kg/4 menit ............................................... 40. Suhu sawut hasil simulasi ............................................................................. 41. Hasil simulasi penurunan kadar air setiap pengumpanan (faktor koreksi) ... 42. Biaya pokok pengeringan sawut ubijalar ......................................................
67 69 69 72 75
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Gambar pengering rotari tipe co-current ...................................................... 81 2. Penukar panas (Heat Exchanger) .................................................................. 82 3. Mesin penyawut mekanis .............................................................................. 83 4. Data warna umbi ubijalar .............................................................................. 84 5. Data hasil pengukuran penurunan kadar air pada pengeringan lapisan tipis sawut ubijalar ........................................................................................ 85 6. Sifat termofisik udara lingkungan tiap percobaan ........................................ 86 7. Suhu pembakaran di dalam tungku ............................................................... 87 8. Perhitungan penurunan tekanan .................................................................... 89 9. Suhu inlet dan ruang pengering dengan kontrol suhu dan tanpa beban (pengujian I) .................................................................................................. 91 10. Grafik suhu ruang pengering pada pengumpanan 3 kg/1 menit (a) dan Pengumpanan 3 kg/3 menit (b) ..................................................................... 93 11. Fluktuasi RH pada outlet............................................................................... 94 12. Grafik kecepatan udara dalam ruang pengering............................................ 95 13. Hasil pengukuran kadar air umbi dan sawut ubijalar .................................... 96 14. Data warna sawut kering ............................................................................... 97 15. Tampilan hasil simulasi ................................................................................ 98 16. Asumsi-asumsi perhitungan biaya pokok pengeringan ................................ 99
DAFTAR SIMBOL Simbol A AL Cpu Cpp Cpl Cpw c1 dan c2 D f Gu hf hfg hcv H k L Lu Lp LMTD muap Me M m NL N n P Pv Ps Qu Qp Qd Qt Qm Q Re ST S1,2,..n Tu Tp Ts Ta tr
Luas permukaan panas (m2) Luas penampang saluran (m2) Panas spesifik udara (kJkg-1 oC-1) Panas spesifik sawut (kJkg-1 oC-1) Panas spesifik uap air (kJkg-1 oC-1) Panas spesifik air (kJkg-1 oC-1) Konstanta pada persamaan Arhenius. Diameter saluran (m) Faktor gesekan Debit udara (m3/s) Nilai kalor bahan bakar (kJ/kg) Panas laten penguapan air (kJ/kg) Koefisien perpidahan panas volumetrik (W/oCm3) Kelembaban mutlak (kg H20)/kg udara kering) Konstanta pengeringan (s-1) Panjang silinder (m) Panas laten uap air (kJ/kg) Panas laten produk (kJ/kg) Logarithmic Mean temperature Difference Massa uap air (kg H2O) Kadar air keseimbangan (%bk) Kadar air bahan (%bk) Kadar air bahan (%bb) Jumlah tube dalam shell secara tranversal (unit) Jumlah tube pada penukar panas Parameter pengeringan pada persamaan Page Tekanan udara (Pa) Tekanan uap air (Pa) Tekanan uap air jenuh (Pa) Panas untuk menguapkan air pada produk (J) Panas untuk memanaskan produk (J) Panas untuk pengeringan (J) Panas total (J) Energi mekanik (J) Laju aliran udara (m3/s m2) Bilangan reynold Jarak antar tube pada penukar panas (m) Volume kendali pada model fisik pengering rotari Suhu udara pengering (oC) Suhu sawut (oC) Suhu pembakaran (oC) Suhu lingkungan (oC) Waktu tinggal (s)
U ΔP ρu ε υ •
mu •
m uk •
mp •
m pd •
mf
Koefisien perpindahan panas konveksi menyeluruh (W/oCm2) Penurunan tekanan (Pa) Kerapatan udara (kg/m3) Faktor kekasaran pipa (mm) Kecepatan udara (m/s) Laju aliran massa udara (kg/s) Laju aliran massa udara kering (kg/s) Laju aliran massa produk (kg/s) Laju aliran massa padatan (kg/s) Laju aliran massa bahan bakar (kg/s)
PENDAHULUAN
Latar Belakang Ketergantungan terigu sebagai sumber karbohidrat non beras dan bahan baku produk pangan olahan oleh masyarakat dan industri pangan cukup tinggi. Hal ini sangat rawan karena jumlah penduduk Indonesia terus meningkat, sedangkan gandum sebagai bahan baku terigu merupakan komoditas impor yang hampir tidak diproduksi di dalam negeri. Harga jual tepung terigu mengikuti harga jual gandum di pasar internasional yang sangat berfluktuatif. Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (APTINDO) mencatat pertengahan Mei 2006, harga gandum dunia mencapai angka tertinggi dalam 4 tahun terakhir sebesar US$ 201 per ton. Naiknya harga dan ketergantungan terhadap impor merupakan ancaman bagi ketahanan pangan nasional. Diversifikasi pangan yang berbasis pada potensi lokal dapat dilakukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap terigu. Ubijalar merupakan salah satu produk pangan lokal yang potensial dan prospektif untuk dikembangkan sebagai produk diversifikasi pangan. Kelebihan ubijalar adalah memiliki kandungan karbohidrat dan kalsium cukup tinggi, umur panen relatif pendek 3-4 bulan serta produktifitas 10-30 ton/hektar. Di Indonesia ubijalar termasuk palawija terpenting ke-3 setelah jagung dan singkong (Widowati
et al. 2002). Ubijalar juga dapat diolah menjadi beranekaragam produk dan bahan baku industri seperti pati, tepung, saos dan alkohol. Menurut Sarwono (2005), subtitusi terigu dengan tepung ubijalar pada industri makanan olahan akan mengurangi penggunaan terigu 1.4 juta ton per tahun, disamping dapat menghemat penggunaan gula hingga 20%. Permintaan ubijalar dari sektor industri mengalami pertumbuhan positif sebesar 30.4% per tahun. Meningkatnya permintaan tersebut, mengindikasikan bahwa permintaan ubijalar untuk industri pengolahan semakin meningkat, sejalan dengan tumbuh dan berkembangnya industri olahan. (Hafsah 2004). Ironisnya, produksi ubijalar di Indonesia belum mengembirakan, dimana produksinya cenderung menurun dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari BPS (2007), produksi ubijalar pada tahun 2004 tercatat sebesar 1 901 802 ton menurun
menjadi 1 856 969 ton pada tahun 2005. Pada tahun 2006, penurunan produksi ubijalar relatif kecil dengan produksi sebesar 1 854 238 ton. Salah satu rantai pengolahan tepung ubijalar yang kritis adalah pengeringan. Hal ini dikarenakan proses pengeringan sangat mempengaruhi mutu dan daya guna untuk pengolahan selanjutnya serta penyimpanan. Oleh karena itu dibutuhkan metode pengeringan sawut ubijalar yang sesuai dengan kebutuhan industri pengolahan yaitu kualitas, kuantitas, dan kontinuitas produksi. Pengeringan sawut ubijalar dengan penjemuran memiliki banyak kendala walaupun biaya operasionalnya cukup murah. Kendala yang dihadapi adalah cuaca yang berubah setiap waktu sehingga menyebabkan suhu dan kelembaban relatif (RH) udara berfluktuatif. Kendala yang lain adalah dibutuhkan lahan yang luas, proses pengadukan, serta bahan terkontaminasi dengan debu. Pengeringan sawut dengan pengering buatan tipe batch seperti tray dryer, ERK (efek rumah kaca) dan sebagainya dirasa tidak sesuai lagi untuk bahan baku industri tepung karena kapasitas pengering yang terbatas walaupun mutu sawut kering dapat dijaga. Alternatif pengering buatan yang cocok untuk proses pengeringan sawut ubijalar adalah pengering tipe kontinyu. Pengering rotari (Rotary dryer) merupakan salah satu pengering tipe kontinyu. Menurut Mujumdar (2001), pengering rotari adalah pengering kontak langsung yang beroperasi secara kontinyu dan terdiri dari cangkang silinder yang berputar perlahan serta biasanya dimiringkan beberapa derajat dari bidang horizontal untuk membantu perpindahan umpan basah yang dimasukan pada ujung atas silinder. Dalam perkembangannya, penggunaan pengering rotari tidak hanya digunakan untuk mengeringkan bahan mineral dan limbah tapi juga digunakan untuk mengeringkan bahan pertanian. Alvarez dan Shene (1994) melakukan penelitian tentang kajian eksperimental residence time pada sebuah pengering rotari, dimana bahan yang digunakan untuk pengeringan adalah tepung ikan, tepung kedelai, serbuk gergaji dan pasir. Variabel yang diukur adalah kecepatan rotasi dan laju pengumpanan bahan. Pengering rotari merupakan pengering berkapasitas besar. Masalah yang akan timbul pada pengering dengan kapasitas besar adalah kinerja pengering serta konsumsi energi yang besar, serta biaya pengeringan yang dikeluarkan juga lebih
besar. Untuk itu diperlukan pengujian dan perhitungan biaya pokok pengeringan agar masalah yang akan dihadapi dapat ditangani. Penyusunan model dan simulasi merupakan bagian penting dalam mendesain proses. Pemodelan yang dimaksudkan untuk meniru suatu sistem sebenarnya dalam bentuk hubungan matematis (Stoecker 1971). Pengembangan model matematis untuk menerangkan proses pengeringan merupakan topik yang telah banyak diteliti selama beberapa dekade. Sekarang ini, lebih banyak model pengeringan tersedia yang terdiri dari kira-kira tiga aspek utama dari sebuah model yaitu sifat termofisik, kinetika pengeringan, dan keseimbangan massa dan energi. Model pengeringan keseluruhan terdiri dari keseimbangan massa dan energi di dalam pengering yang dikombinasikan dengan model kinetika pengering dan termofisik yang cocok (Kouris et al. 1996). Distribusi suhu udara, bahan, kadar air dan RH di dalam pengering rotari sulit diukur secara langsung, maka diperlukan model matematis untuk menduganya.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengevaluasi kinerja dan menentukan konsumsi energi pengering rotari untuk pengeringan sawut ubijalar. 2. Mengembangkan model matematika pengering rotari dan melakukan simulasi pengeringan sawut ubijalar. 3. Menentukan biaya pokok pengeringan sawut ubijalar.
TINJAUAN PUSTAKA Ubijalar (Ipomoea batatas L.) Ubijalar merupakan salah satu komoditas utama yang mempunyai daya adaptasi yang luas, sehingga dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di seluruh nusantara. Komoditas ini merupakan tanaman umbi-umbian penting ke-2 setelah ubikayu yang mempunyai manfaat beragam (Hafsah 2004). Menurut Sarwono (2005), ubijalar dapat dibudidayakan di berbagai tempat, baik di dataran rendah (0 m dpl) maupun di dataran tinggi (1700 m dpl). Daerah yang paling ideal untuk mengembangkan ubijalar yaitu daerah yang bersuhu 21-27 oC, kelembaban udara 50-60%, mendapatkan sinar matahari 11-12 jam per hari, dan curah hujan 750-1500 mm per tahun. Klasifikasi lengkap taksonomi tanaman ubijalar adalah sebagai berikut. Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Tubiflorae
Famili
: Convolvulaceae
Genus
: Ipomoea
Species
: Ipomoea batatas L.
Gambar 1. Ubijalar (Ipomoea batatas L.) Ubijalar dapat dipanen jika umbi sudah tua dan besar, secara fisik ubijalar siap dipanen apabila daun dan batang mulai menguning. Di dataran rendah, ubijalar umumnya dipanen pada umur 3.5-5 bulan. Sedangkan di dataran tinggi
ubijalar dipanen pada umur 5-8 bulan (Hilman 2005). Ubijalar yang siap dipanen dan ubijalar setelah dibersihkan dapat dilihat pada Gambar 1. Sifat fisik ubijalar seperti bentuk, warna kulit dan daging, kandungan bahan kering serta kandungan pati bervariasi setiap varietas. Sifat fisik ubijalar berdasarkan varietas dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Sifat fisik ubijalar berdasarkan varietas (Hilman 2005) Warna Varietas Sari Sukuh Boko Jago Kidal
Bentuk umbi bulat telur elip membulat elip memanjang bulat bulat
Kulit
Daging
merah kuning merah putih merah
kuning putih krem kuning muda kuning tua
Kandungan (%) Padatan Pati kering 28 32 35 31 32 32 33 31 31 32.85
Menurut Badan Standardisasi Nasional (1998), Mutu ubijalar dapat dilihat dari keseragaman bentuk dan berat umbi. Keseragaman bentuk umbi adalah keseragaman ratio panjang (P)/lebar (L) dari ubijalar, seperti bulat (P/L berkisar 1-1.5), elip (P/L berkisar 1.6-2.0), panjang (P/L > 2.0) sesuai dengan varietasnya. Keseragaman berat umbi adalah keseragaman sesuai dengan tiga macam penggolongan berat yaitu: golongan A (berat > 200 gram per umbi), golongan B (berat 100-200 gram per umbi), dan golongan C (berat < 100 gram per umbi), toleransi di atas dan di bawah ukuran berat masing-masing 5% (biji) maksimum. Mutu ubijalar dapat digolongkan menjadi 3 golongan mutu berdasarkan komponen mutu. Penggolongan mutu ubijalar dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Mutu Ubijalar (SNI 01-4493-1998) No 1 2 3 4 5
Komponen Mutu Berat umbi (gram/umbi) Umbi cacat (per 50 biji) maks Kadar air (% bb min) Kadar serat (% bb maks) Kadar pati (%bb min)
I > 200 tidak ada 65 2 30
Mutu II 100-200 3 biji 60 2.5 25
III 75-100 5 biji 60 > 3.0 25
Pengolahan ubijalar segar menjadi produk setengah jadi sangat penting guna pengamanan ubijalar segar yang tidak tahan disimpan. Widowati et al. (2002) menyebutkan proses pembuatan ubijalar menjadi tepung didahului oleh proses
pengupasan dan pencucian, kemudian ubijalar disawut atau dirajang tipis. Sawut basah direndam dalam sodium bisulfit 0.3% selama ± 1 jam lalu dipress, diremahkan, dan kemudian dikeringkan sampai kadar air 12-14%. Sawut ubijalar kering dapat langsung ditepungkan atau disimpan pada kemasan yang kedap udara. Agar lebih efisien, penepungan dilakukan dua tahap yaitu penghancuran sawut untuk menghasilkan butiran kecil (lolos 20 mesh), dan penggilingan/penepungan dengan saringan lebih halus (80 mesh). Diagram alir pengolahan ubijalar menjadi tepung dan pati dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Diagram alir pengolahan ubijalar (Harnowo et al. 1994)
Mekanisme Pengeringan Menurut Mujumdar dan Devastin (2001), pengeringan adalah operasi yang rumit yang meliputi perpindahan panas dan massa secara transien serta beberapa laju proses, seperti transformasi fisik atau mekanisme perpindahan panas dan massa. Pergerakan air di dalam padatan dapat terjadi melalui salah satu atau lebih dari mekanisme pindah massa berikut; 1) Difusi cairan, jika padatan basah berada pada suhu di bawah titik didih cairan tersebut, 2) Difusi uap, jika cairan tersebut
menguap dalam bahan, 3) Difusi Knudsen, jika pengeringan berlangsung pada suhu dan tekanan sangat rendah, misal pada pengeringan beku, 4) Difusi permukaan (mungkin terjadi, meskipun belum terbukti), 5) Beda tekanan hidrostatik, jika laju penguapan internal melampaui laju pergerakan uap melalui padatan ke lingkungan sekitar, 6) Kombinasi dari mekanisme di atas. Pengeringan lapisan tipis merupakan pengeringan yang seluruh bahan terkena udara pengering. Proses pengeringan lapisan tipis dibagi menjadi dua periode yaitu periode laju pengeringan tetap dan periode laju pengeringan menurun (Henderson et al. 1997). Grafik laju pengeringan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Grafik laju pengeringan Periode laju pengeringan tetap ditandai oleh kecepatan pengeringan yang tidak tergantung pada bahan. Selama periode ini, permukaan bahan begitu basah sehingga seluruh permukaan ditutupi oleh film air yang kontinyu (Sagara 1990). Pengurangan kadar air yang signifikan akan terjadi pada laju pengeringan konstan dan pada temperatur yang tetap. Dalam kebanyakan situasi, laju pengeringan konstan akan berhenti pada kadar air kritis (Heldman & Singh 1993). Laju pengeringan menurun meliputi dua proses yaitu pergerakan air di dalam bahan ke permukaan dan pengeluaran air dari permukaan (Henderson et al. 1997). Menurut Sharma et al. (2000), produk pangan higroskopis memiliki dua periode laju pengeringan menurun. Periode laju pengeringan menurun pertama terjadi pada kondisi dimana seluruh permukaan film sudah diuapkan semua dan laju
pengeringan dikendalikan oleh laju pergerakan air melewati padatan. Periode laju pengeringan menurun kedua menjelaskan kondisi dimana laju pengeringan sebagian besar dikendalikan oleh pergerakan air di dalam padatan dan bebas dari kondisi luar dari padatan. Pergerakan air dapat terjadi oleh kombinasi dari faktorfaktor seperti difusi cairan, pergerakan kapiler, dan difusi uap.
Psikrometri Udara Pengering Udara pada atmosfir normal merupakan campuran udara kering dan uap air. Sifat-sifat fisik dan panas udara atmosfir disajikan dengan sebuah grafik yaitu psikrometrik (Henderson & Perry 1976). Proses pengeringan di dalam grafik psikrometrik dapat dilihat pada Gambar 4. Parameter yang digunakan pada proses pengeringan adalah suhu bola kering, suhu bola basah, kelembaban relatif, kelembaban absolut, volume spesifik, dan entalpi.
Gambar 4. Proses pengeringan dalam grafik psikrometrik Proses pemanasan udara menyebabkan peningkatan suhu udara, selama proses pemanasan berlangsung tidak ada perubahan pada kelembaban mutlak (H). Menurut Heldman dan Singh (1993), selama proses adiabatik, suhu bola kering menurun dan entalpi tetap konstan. Udara pengering memperoleh uap air dari produk sehingga kelembaban mutlak meningkat.
Kelembaban mutlak didefinisikan sebagai massa uap air per massa udara kering. Persamaannya (Singh & Heldman 1993) :
H = 0.622
Pv ....................................................................................1) P − Pv
Dimana Pv didefinisikan secara empiris (ASAE 1994) Pv A + BT + CT 2 + DT 3 + ET 4 ln = .....................................................2) R FT − GT 2 Dimana ; R = 22105649.25, A = -27405.526, B = 97.5413, C = -0.146244, D = 0.12558 x 10-3, E = -0.48502 x 10-7, F = 4.34903, G = 0.39381 x 10-2
Kadar air keseimbangan (Me) dan Konstanta Pengeringan (k) Menurut Somantri (2003), kadar air keseimbangan didefinisikan sebagai kandungan air pada bahan yang seimbang dengan kandungan uap air udara sekitarnya. Hal tersebut merupakan satu faktor yang menentukan sampai seberapa jauh suatu bahan dapat dikeringkan pada kondisi lingkungan tertentu (aktivitas air tertentu). Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kadar air keseimbangan adalah kecepatan udara pengering, suhu udara, kelembaban relatif udara, dan kematangan bahan. Kadar air keseimbangan dibedakan menjadi dua yaitu kadar air keseimbangan dinamis dan kadar keseimbangan statis. Kadar air keseimbangan statis didapat dari sistem dengan bahan dan udara pengering dalam keadaan diam. Sedangkan, kadar air keseimbangan dinamis diperoleh dari sistem dengan bahan dan/atau udara pengering dalam keadaan bergerak (Hall 1957). Persamaan Lewis (Lewis 1921 dalam Tan et al. 2001) digunakan untuk menerangkan laju pengeringan pada bahan solid :
MR = exp (−kt ) ........................................................................................3) MR =
(M − M e ) ....................................................................................4) (M 0 − M e )
Modifikasi persamaan Page (Page 1949; Overhults et al. 1973) dalam Tan et
al. (2001) diperoleh persamaan berikut :
MR = exp (−kt ) n ......................................................................................5) Henderson dan Perry (1976), menyatakan bahwa nilai k hanya dipengraruhi oleh suhu udara pengering. Penentuan nilai k dilakukan dengan asumsi bahwa perubahan suhu bahan terhadap waktu dan suhu udara pengering adalah eksponensial. Untuk menduga nilai k, model yang digunakan mengikuti persamaan Arhenius : ⎛−c k = c1 exp⎜ 2 ⎝ T
⎞ ⎟ ………………...........................................…....……..6) ⎠
Tan et al. (2001) melakukan penelitian pengeringan lapisan tipis (thin-layer
drying) untuk chips dan sawut ubijalar, dimana hanya dua parameter yang digunakan sebagai parameter percobaan yaitu temperatur dan laju aliran udara. Persamaan yang digunakan adalah modifikasi persamaan Page. Hasil dari analisis regresi diperoleh: Chips ubijalar:
k = −0.001404 + 0.000088T + 0.0000156QT 2 .........................................7) n = 1.178382 − 0.004342T − 6.036700Q 2 + 0.0000554T 2 ......................8) Sawut ubijalar:
k = 0.000331 + 0.017321Q 2T + 0.000541Q 2T 2 .......................................9) n = 1.210810 + 4.580319Q 2 − 0.487037Q 2T + 0.0040356Q 2T 2 ...........10) Persamaan 6) sampai 9) diaplikasikan pada temperatur 33-70 oC dan laju aliran udara antara 0.08-0.145 m3/(s.m2). Nilai k dan n untuk chips ubijalar dan nilai k untuk sawut ubijalar dipengaruhi oleh temperatur dan laju aliran udara.
Pengering Rotari (Rotary Dryer) Definisi dan Prinsip Kerja
Pengering rotari merupakan tipe pengering industrial yang umum digunakan. Pengering rotari biasanya terdiri dari sebuah silinder baja (tromel) yang agak dimiringkan, dan memiliki diameter 0.3-5 m dan panjang 5-90 m. Bahan diumpankan dari bagian silinder yang paling tinggi dan bahan bergerak sepanjang silinder ke ujung lainnya. Pengering rotari ada dua fungsi yaitu pengangkutan bahan dan pengeringan (Jover & Alastruey 2006) Pengering rotari secara umum menggunakan flight sepanjang silinder untuk mengangkat dan membuat bahan tercurah pada bagian pengering. Desain flight yang baik penting untuk meningkatkan kontak gas dan bahan, hal ini dibutuhkan untuk pengeringan yang cepat dan seragam (Revol et al. 2001). Menurut Mujumdar dan Devahastin (2001), bahwa bagian-bagian internal khusus sering dibutuhkan bagi bahan yang cenderung membentuk gumpalan besar dan harus dipecahkan untuk menghindari masalah pada tahap akhir pengeringan. Bahan diangkat ke bagian atas drum oleh pengangkat dan mencurahkannya seperti air terjun. Proses pindah panas dan massa terutama berlangsung selama pengangkutan partikel dari atas ke bawah secara gravitasi di dalam drum. Menurut Kelly (1995), proses-proses yang terjadi di dalam pengering rotari meliputi gerakan atau perpindahan partikel, perpindahan panas dari udara panas ke partikel dan perpindahan massa uap air dari dalam partikel ke permukaan yang kemudian ke udara panas di dalam silinder. Pengering Rotari Tipe Co-Current
Berdasarkan aliran bahan dan udara pengering, pengering rotari dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu rotary dryer co-current (aliran bahan searah dengan udara pengering) dan Rotary dryer counter-current (aliran bahan berlawanan arah dengan udara pengering). Pengering rotari tipe co-current banyak digunakan secara luas dan khusus untuk mengeringkan bahan yang mengandung kadar air yang tinggi serta sensitif terhadap panas dan memiliki kecendrungan lengket. Ilustrasi aliran bahan dan udara pengering dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Aliran bahan dan udara pada pengering rotari tipe co-current (Barr-Rosin 1996)
Suhu
Suhu udara Suhu produk
Waktu
Gambar 6. Perubahan suhu udara dan bahan pada pengering rotari tipe co-current (Barr-Rosin 1996) Bahan basah kontak dengan udara yang suhunya tertinggi, kemudian menguapkan dengan cepat kadar air bebas pada bahan. Laju perpindahan panas awal yang tinggi (cepat) menyebabkan penurunan suhu udara pengering dengan segera. Penurunan suhu udara pengering dapat mencegah pemanasan yang berlebihan pada bahan dan silinder pengering, hal ini dapat dilihat pada Gambar 6. Produk akhir kontak dengan udara yang suhunya sangat rendah, hal ini memungkinkan kadar air dikontrol dengan mudah. Pengering rotari tipe cocurrent cocok digunakan untuk mengeringkan pupuk, pulp bit gula, batu bara/arang, posphat, pakan ternak dan lumpur (Barr-Rosin 1996). Kinerja Pengering Rotari
Perbandingan kinerja pegering rotari dengan pengering lainnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Perbandingan antara pengering rotari dengan pengering pesaingnya (Mujumdar & Devastin 2001) Kriteria
Rotary Dryer
Flash
Konveyor
Fluidisasi
Ukuran partikel
Kisaran besar
Partikel halus
50 µm-10 mm
100-2000 µm
Distribusi ukuran partikel
Fleksibel
Distribusi ukuran terbatas
Fleksibel
Distribusi ukuran terbatas
Waktu pengeringan
Mencapai 60 menit
10-30 detik
Mencapai 120 menit
Mencapai 60 menit
Luas lantai
Besar
Panjang besar
Besar
Kecil
Kebutuhan daya
Tinggi
Rendah
Rendah
Sedang
Pemeliharaan
Tinggi
Sedang
Sedang
Sedang
Efsiensi energi
Sedang
Sedang
Tinggi
Tinggi
Kemudahan pengendalian
Rendah
Sedang
Tinggi
Tinggi
Kapasitas
Tinggi
Sedang
Sedang
Sedang
Efisiensi termal pengering rotari berkisar antara 30-60%. Untuk efisiensi yang baik, penampung bahan (10-15% volume) harus sedemikian rupa sehingga menutupi pengambang dan pengangkat secara penuh. Pengangkat harus dirancang dengan baik untuk mendapatkan aksi cascade yang baik dan mencegah gumpalan bahan yang besar jatuh dari pengambang. Perbandingan panjang terhadap diameter antara 4 sampai 10 umum digunakan di industri (Mujumdar & Devahastin 2001). Residence Time (Waktu Tinggal) dan Hold-Up
Menurut Jover dan Alastruey (2006), waktu tinggal merupakan sebuah akibat dari pengangkutan bahan sepanjang pengering dan waktu tinggal tergantung dari beberapa mekanisme yaitu tingginya bahan pada pengering (melintang), pergerakan bahan karena aliran udara, bahan meluncur pada dinding pengering atau bahan yang terkumpul pada bagian bawah pengering dan terakhir, pergerakan bahan karena tabrakan antar bahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi waktu tinggal (Liu & Specht 2006) yaitu: (1) dimensi dari silinder: diameter dan panjang, (2) operasional pengering rotari: laju pengumpanan, kecepatan putar, dan kemiringan dari silinder (3) sifat bahan: angle of repose dan (4) geometri dari penghalang yang diinstalasi pada akhir
pengering atau laju bahan keluar dari silinder. Kecepatan putar silinder memiliki pengaruh yang nyata terhadap waktu tinggal daripada laju pengumpanan, peningkatan rpm silinder dari 1 rpm menjadi 2.5 rpm menyebabkan waktu tinggal menurun dengan cepat sebesar 64% dari 50 menit menjadi 18 menit. Sebaliknya, waktu tinggal menunjukan hanya sedikit peningkatan dengan laju aliran massa. Sebagai contoh, pada kecepatan putar silinder 2.5 rpm perbedaan waktu tinggal kurang dari 7% pada setiap laju aliran masa (60-150 kg/jam). Hold-up atau jumlah bahan di dalam ruang pengering mempunyai pengaruh yang besar pada operasi pengeringan. Hold-up yang rendah akan mengurangi laju produksi tetapi hold-up yang terlalu banyak akan menyebabkan bahan berlalu di bagian bawah silinder sehingga kadar air yang diinginkan tidak akan tercapai (Yliniemi 1999). Menurut Jover dan Alastruey (2006), kuantitas bahan yang optimum di dalam ruang pengering sebesar 3-7% dari total volume silinder pengering. Dalam menganalisa operasi dari pengering rotari komersial, jumlah bahan dalam silinder selama keadaan steady state yang dikenal hold-up merupakan parameter penting, persamaan hold-up (Kelly 1995) : Hold − up = (Waktu tinggal ) x ( Laju pengumpanan) .............................11) Peningkatan laju pengumpanan menyebabkan peningkatan hold-up ketika kecepatan rotasi dijaga konstan, jika kecepatan rotasi ditingkatkan dan laju pengumpanan dijaga konstan maka bahan dapat diangkut lebih cepat keluar dari silinder dan hold-up mejadi lebih rendah. Liu dan Specht (2006) melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara laju pengumpanan dan kecepatan rotasi terhadap hold-up. Sebuah variabel baru didefinisikan sebagai massa pengumpanan per jumlah rotasi silinder. Persamaan linear hubungan antara diperoleh yaitu : ⎛ Massa pengumpanan ⎞ ⎟⎟ − 6.2 ........................................12) Hold − up = 56⎜⎜ ⎝ Kecepa tan rotasi ⎠
PENDEKATAN TEORITIS
Sistem Pengering Rotari
Sistem pengering rotari dapat dibagi menjadi 4 subsistem yaitu tungku, penukar panas, kipas, dan ruang pengering. Energi panas yang dihasilkan pada pengering berasal dari pembakaran minyak tanah di dalam tungku. Udara panas yang dihasilkan, kemudian masuk ke tube-tube penukar panas. Udara lingkungan ditarik oleh kipas dan ditiup masuk ke penukar panas, pada bagian ini terjadi perpindahan panas karena udara lingkungan melewati tube-tube yang telah dipanaskan oleh udara panas dari tungku. Udara panas yang dihasilkan dari penukar panas bergerak menuju silinder (ruang pengering). Udara panas ini digunakan untuk menguapkan sebagian kadar air pada bahan basah yang diumpankan secara kontinyu ke dalam silinder, selain proses pengeringan juga terjadi proses pengangkutan bahan dari feeder ke outlet bahan. Selama proses pegangkutan, bahan mengalami proses cascading akibat dari perputaran silinder, proses ini bertujuan untuk memperbesar kontak bahan dengan udara pengering. Akhirnya, bahan kering dikeluarkan dari silinder bersamaan dengan udara lembab. Diagram sistem pengering rotari dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Sistem pengering rotari
Energi panas yang digunakan untuk proses pengeringan dihasilkan dari pembakaran minyak tanah di dalam tungku. Jumlah panas yang dihasilkan dari udara lingkungan yang masuk ke dalam tungku dihitung dengan persamaan 13). •
Qs = m u Cp u (Ts − Ta ) ...............................................................................13
) Energi yang dihasilkan dari proses pembakaran minyak tanah adalah •
Q f = m f h f ..............................................................................................14
) Laju aliran massa udara yang masuk ke dalam tungku diperoleh dari kecepatan rata-rata aliran udara yang dihasilkan blower pada burner, dan luas penampang bukaan udara. Laju aliran massa udara dihitung dengan rumus ; •
m u = ρ u x Gu ............................................................................................15
) Transfer energi sebanyak mungkin dari penukar panas dapat dilakukan dengan memperbanyak laluan dari salah satu atau kedua fluida. Konfigurasi yang sangat populer digunakan pada penukar panas adalah susunan selubung dan pipa (shell and tube). Penambahan penghalang (baffle) pada penukar panas dapat juga memperbesar perpindahan panas antar fluida. Perpindahan panas untuk berbagai tipe penukar panas dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut (Holdman, 1986) : QHE = U × AL × LMTD ............................................................................16)
Pada kondisi steady state, dengan mengabaikan kehilangan panas disepanjang aliran yang dilaluinya, maka panas yang dipindahkan dari udara hasil pembakaran (Qs) sama dengan udara panas yang diterima oleh udara pengering (Qd). Jumlah akumulasi panas sama dengan nol pada kondisi tunak, maka jumlah panas masuk sama dengan jumlah panas keluar •
Qs = Qd = m u × Cpu × (Tu − Ta ) ................................................................17)
Logarithmic Mean temperature Difference (LMTD) merupakan pendekatan
untuk menentukan nilai perbedaan suhu antara dua fluida dalam alat penukar panas keseluruhan. LMTD dapat dihitung dengan persamaan 18.
LMTD =
(Ts − Tu ) − (Tc − Ta ) ⎛ T − Tu ⎞ ⎟⎟ ln⎜⎜ s ⎝ Tc − Ta ⎠
..................................................................18)
Untuk menentukan laju perpindahan panas yang tidak menyangkut suhu keluar yang manapun digunakan nilai efektifitas penukar panas. Keefektifan penukar panas adalah perbandingan laju perpindahan panas yang sebenarnya dalam penukar panas terhadap laju pertukaran panas yang mungkin terjadi (Kreith, 1973). Efektivnes s = ε =
laju pindah panas sebenarnya ..............19) laju pindah panas yang mungkin terjadi
Laju pindah panas sebenarnya = Cmin (Tu – Ta).......................................20) Laju pindah panas yang mungkin terjadi = Cmin (Ts – Ta).......................21) Nilai efektifitas penukar panas untuk aliran berlawanan dapat dihitung dengan persamaan (Holman, 1986):
⎧⎪ ε = 2⎨1 + C + 1 + C 2 ⎪⎩
(
NTU =
C=
)
12
(1 + exp(− NTU (1 + C ) ))⎫⎪⎬ × (1 − exp(− NTU (1 + C ) ))⎪⎭ 2 12
2 12
−1
………..……..22)
U×A ……………………………………………………..…...23) C min
C min C max
⎛• ⎞ ⎜ m u × C pu ⎟ ⎝ ⎠ min …………………………………………..…24) = • ⎛ ⎞ ⎜ m u × C pu ⎟ ⎝ ⎠ max
NTU (number of heat transfer units) adalah jumlah satuan perpindahan panas yang merupakan tolak ukur perpindahan panas suatu penukar panas. Harga NTU semakin besar maka penukar panas mendekati batas termodinamikanya (Kreith, 1973). Penurunan tekanan pada penukar panas merupakan perbedaan antara tekanan pada inlet dan outlet dari kumpulan pipa (tube bank). Persamaan penurunan tekanan pada penukar panas sebagai berikut :
ΔP = N L f x
ν mak =
2 ρν mak
2
.................................................................................25)
ST ν ......................................................................................26) ST − D
Gambar 8. Susunan pipa penukar panas (staggered arrangement) Penentuan nilai faktor gesekan f dan faktor x untuk kumpulan pipa dengan penyusunan bersilangan (staggered arrangement) dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Grafik faktor f dan x (Zukauskas, 1985 dalam Cengel, 2003)
Kebutuhan Energi dan Efisiensi Pengering Rotari
Energi panas yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar di tungku digunakan untuk memanaskan udara yang selanjutnya digunakan untuk memanaskan produk dan menguapkan air pada produk. Jumlah panas untuk menaikkan suhu produk adalah sebagai berikut
•
Q p = m p × Cp p × (Tu − T p ) ………………………………….……….27)
Dimana panas jenis produk (Cpp) dihitung dengan menggunakan persamaan Siebel (1892) dalam Heldman dan Singh (1980).
Cp p = 0.837 + 0.034(m) ……………………………………...….….....28) Jumlah panas yang dibutuhkan untuk menguapkan air pada produk dapat menggunakan persamaan 29). •
Qu = m u × h fg ………………………………………..…………….…29) Energi yang digunakan untuk pengeringan produk adalah : Qd = Q p + Qu ……………………………………………………….….30) Energi total (Qt) merupakan keseluruhan energi yang digunakan pada proses pengeringan, energi yang masuk ke dalam sistem adalah energi pembakaran bahan bakar dan energi listrik. Konsumsi energi total yang digunakan untuk menguapkan air disebut dengan konsumsi energi spesifik (KES) KES =
Qt ………………………………………….………...……31) muap
Konsumsi energi panas yang digunakan untuk menguapkan air pada bahan disebut dengan konsumsi energi panas spesifik (KEPS) KEPS =
Qp muap
………………………………………………………...32)
Konsumsi Energi Mekanik Spesifik (KEMS) adalah total energi mekanik yang dipakai untuk menguapkan air pada bahan. KEMS =
Qm ………………………………………………..………33) muap
Efisiensi total pengering rotari adalah perbandingan energi total yang dipakai untuk memanaskan bahan dan menguapkan air pada bahan.
η termal =
Q p + Qu Qt
× 100% …………………………….……..……...….34)
Model Fisik Pengering Rotari
Dalam mengembangkan model, pengering dibagi secara transversal menjadi beberapa volume kendali, dimana produk dan udara bergerak pada setiap volume kendali. Gambar 10 menunjukkan model fisik pengering rotari, sedangkan parameter-parameter pada volume kendali dapat dilihat pada Gambar 11. Udara Tu H •
mu Produk Tp M •
mp
S1
S2
S3
Sn-2
Sn-1
Sn
Gambar 10. Model fisik pengering rotari
H(x+dx)
H(x)
•
•
Udara
Bahan
mu Tu (x)
mu Tu (x+dx)
M(x)
M(x+dx)
•
•
mp Tp (x)
mp Tp (x+dx) dx
Gambar 11. Volume kendali Keseimbangan Massa Persamaan keseimbangan massa produk dan udara di dalam volume kendali sebagai berikut: •
m uk •
m uk
dH • dM + m pd = 0 ………………………………………………..35) dx dx • dM dH = − m pd ……………………………………………….....36) dx dx
•
dH m pd dM =− • ………………………………………….……….…..37) dx m dx uk
dM dM dt ………………………………………………………….38) = dx dt dx Keseimbangan Energi Perubahan entalpi udara sama dengan panas yang ditransferkan secara konveksi ke bahan dan yang di suplai ke udara dalam bentuk uap air. Panas yang masuk ke volume kendali adalah :
[
]
m u (C pu + C pw H ( x ) )Tu ( x ) + Lu H ( x ) ………………………………...…..39) •
Panas yang keluar dari volume kendali adalah
[
]
m u (C pu + C pw H ( x + dx ) )Tu ( x + dx ) + Lu H ( x + dx ) ……………………...……..40) •
Keseimbangan energi yang terjadi adalah :
[
]
[
m u (C pu + C pw H ( x + dx ) )Tu ( x + dx ) + Lu H ( x + dx ) − m u (C pu + C pw H ( x ) )Tu ( x ) + Lu H ( x ) •
•
= − hcv A(Tu − T p ) ………………………………………………...…….41) m u (C pu + C pw H ) •
dTu • dH (C pwTu + Lu ) = −hcv A(Tu − T p ) ...……..42) + mu dx dx
• ⎛ dH ⎞ − hcv A(Tu − T p ) − m u ⎜ ⎟(C pwTu + Lu ) dTu dx ⎠ ⎝ ………………………43) = • dx m u (C pu + C pw H )
Panas yang mengalir ke dalam volume kendali karena pergerakan bahan adalah m p (C pp + C pl M ( x ) )T p ( x ) ……………………………………………….44) •
Panas yang keluar dari volume kendali adalah m p (C pp + C pl M ( x + dx ) )T p ( x + dx ) …………………………………………..45) •
Perubahan entalpi ini adalah hasil dari panas yang di konveksikan dari udara hcv A(Tu − T p ) dan panas desorpsi yang disuplai ke bahan : m u •
Konservasi panas adalah m p (C pp + C pl M ( x + dx ) )T p ( x + dx ) − m p (C pp + C pl M ( x ) )T p ( x ) •
•
dH (C pwT p + L p ) dx
]
= − hcv A(Tu − T p )m u •
m p (C pp + C pl M ) •
dTp
m p (C pp + C pl M ) •
dx dT p dx
•
+ mp •
− mu
dH (C pwT p + L p ) …………….………...…….…...46) dx
• dM dH (C pwTp + L p ) .......47) C plT p = −hcv A(Tu − T p ) + mu dx dx • dH dH (C pwT p + L p )....48) C pl T p = −hcv A(Tu − T p ) + m u dx dx
• ⎛ dH ⎞ hcv A(Tu − T p ) + m u ⎜ ⎟(L p + (C pw − C pl )T p ) dT p dx ⎠ ⎝ = ..…...………....…49) • dx m p (C pp + C pl M )
Dalam mengembangkan model pengeringan maka dibutuhkan persamaan laju pengeringan sebagai berikut
dM = −k (M − M e ) ………………………...……………………….….50) dt
METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian, Departemen Teknik Pertanian, FATETA IPB dan Gudang Pengolahan KUD Jasa Mukti Cibungbulang Bogor. Waktu penelitian dimulai pada bulan Desember 2006 sampai Agustus 2007.
Bahan dan Alat Bahan yang dipakai pada penelitian ini adalah ubijalar yang diperoleh dari pedagang pengumpul di Bogor. Bahan lain yang dipakai adalah natrium bisulfit serta minyak tanah sebagai bahan bakar. Peralatan yang digunakan adalah oil bath, oven pegering type SS-204D, timbangan digital Adam type AQT-200, anemomaster Kanomax, chromameter, temokopel (tipe CC dan CA), chino recorder Yokogawa, multimeter YF-3503,
clampmeter, termometer air raksa, mesin penyawut mekanis, mesin peniris mekanis, gelas ukur, timbangan (10 kg), timbangan (50 kg), stop watch, mistar, jangka sorong, pisau stainless, ember, sikat, drum perendaman, pengering bijibijian udara terkendali (PBUT), dan pengering rotari.
Deskripsi dan Spesifikasi Pengering Rotari Jenis pengering rotari yang digunakan pada penelitian ini adalah cascade
rotary dryer dengan aliran bahan dan udara pengering searah atau co-current. Gambar pengering dapat dilihat pada Lampiran 1. Bagian-bagian pengering rotari berserta fungsi dan spesifkasinya sebagai berikut:
Silinder Silinder pada pengering rotari merupakan ruang pengeringan bahan. Silinder ini terbuat dari bahan stainless steel yang dilapisi glass wool dan plat aluminium. Silinder diatur dengan kemiringan tertentu dimana slope yang terbentuk terhadap bidang horizontal yaitu 0.419o. Pada bagian pangkal silinder terdapat wadah pengumpanan bahan (feeder) dan inlet udara pengering. Wadah feeder dimiringkan dengan tujuan umpan lebih
mudah masuk ke dalam ruang pengering. Kemiringan wadah feeder adalah 20.05o. Lubang inlet berfungsi sebagai tempat masuknya udara pengering dari penukar panas ke ruang pengering. Pada bagian ujung slinder terdapat outlet udara dari silinder dan outlet bahan kering. Lubang outlet udara berfungsi sebagai tempat keluarnya udara lembab dari ruang pengering, sedangkan bahan kering dikeluarkan melalui outlet bahan. Bagian dalam dari silinder terdapat flight yang berfungsi sebagai pengangkat dan pengambang bahan sehingga bahan tercurah di bagian tengah ruang pengering. Terdapat dua ukuran flight yaitu flight besar dan kecil. Spesifikasi silinder dan
fight dapat dilihat pada Tabel 4, sedangkan gambar silinder dan flight dapat dilihat pada Gambar 12. Tabel 4. Spesifikasi Silinder dan flight Komponen Silinder : panjang diameter luar diameter dalam wadah umpan diameter inlet udara pengering diameter outlet udara outlet bahan Flight : panjang flight besar ukuran (stem x tip) flight besar sudut flight besar panjang flight kecil ukuran (stem x tip) flight kecil sudut flight kecil
(a)
Dimensi
Satuan
1230 106 98 37 x 34 x 13 30 25 7x7
cm cm cm cm cm cm cm
50 10 x 10 90o 40 4 x 3.5 130o
cm cm
82
cm cm
82
(b)
Gambar 12. Silinder (a) dan flight (b)
Jumlah 1
1 1 1 12
Motor Penggerak Silinder diputar dengan menggunakan motor listrik dengan spesifikasi: 3 phase, 11000 Watt, 415 volt, frekuensi 50 Hz, dan 1460 rpm. Motor listrik ini akan menggerakkan gear pada gearbox, yang kemudian menggerakkan silinder. Arah perputaran silinder adalah berlawanan arah jarum jam. Motor penggerak silinder dapat dilihat pada Gambar 13 (a).
Burner dan Tungku Kompor bertekanan atau burner berfungsi sebagai pensuplai bahan bakar (minyak tanah) secara teratur untuk proses pembakaran. Pada burner terdiri dari beberapa bagian yaitu nosel, blower, dan pencatat tekanan. Fungsi dari nosel adalah untuk mengabutkan bahan bakar sehingga lebih mudah terbakar pada saat pengapian secara listrik. Blower pada burner berfungsi untuk mensuplai udara untuk pembakaran sehingga diperoleh pembakaran yang sempurna. Spesifikasi dari burner sebagai berikut: Merk Olympia Oil Burner, Model LT 20, 1 phase, 220 V, 0.25 kW, konsumsi bahan bakar 8-20 kg/jam, diameter api 140-160 mm dan panjang api 350-400 mm. Tungku merupakan tempat terjadinya pembakaran sehingga diperoleh udara panas yang kemudian masuk ke penukar panas. Tungku dilapisi oleh bata api di bagian dalam dan plat besi di bagian luar. Dimensi dari tungku adalah 79 x 83 x 55 cm. Tungku juga dilengkapi dengan kerangka penyangga tungku yang memiliki dimensi 94 x 90 x 80 cm. Posisi burner pada tungku dapat dilihat pada Gambar 13 (b).
(a)
(b)
Gambar 13. Motor penggerak (a) dan Burner pada tungku (b)
Penukar Panas (Heat Exchanger) Penukar panas merupakan tempat terjadinya pemanasan udara lingkungan yang akan digunakan sebagai udara pengering pada proses pengeringan. Penukar panas terdiri dari pipa-pipa (tube) dan selubung (shell). Penukar panas berbentuk kotak yang bagian dalamnya terdapat pipa-pipa penukar panas, baffle, lubang inlet, outlet dan cerobong. Pipa-pipa yang berada di dalam selubung berfungsi sebagai tempat mengalirnya udara panas hasil pembakaran. Fungsi dari baffle adalah sebagai penghalang dan pembelokan udara sehingga perpindahan panas ke udara semakin besar. Pada penukar panas terdapat 2 lubang yaitu inlet dan outlet Lubang inlet berfungsi sebagai lubang pemasukan udara lingkungan ke penukar panas sedangkan lubang outlet berfungsi sebagai lubang pengeluaran udara panas dari penukar panas ke ruang pengering. Hasil pembakaran di tungku dikeluarkan melalui cerobong. Penukar panas dapat dilihat pada Gambar 14 (a), sedangkan gambar tekniknya dapat dilihat pada Lampiran 2. Bagian dan dimensi penukar panas dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Bagian dan spesifikasi dari penukar panas Bagian tube shell lubang outlet lubang inlet lubang cerobong baffle
Jumlah 175 1 1 1 1 2
Dimensi 1” x 1010 mm 766 x 726 x 1000 mm Ǿ 300 x 100 mm Ǿ 300 x 100 mm Ǿ 195 x 100 mm 754 x 365 mm
Bahan carbon steel mild steel mild steel mild steel mild steel mild steel
Kipas (fan) Kipas berfungsi menarik udara dari lingkungan ke penukar panas dan kemudian menghembuskannya melewati pipa-pipa panas menuju ke ruang pengeringan. Jenis kipas yang digunakan pada pengering rotari adalah kipas aliran sumbu atau aksial. Spesifikasi kipas sebagai berikut: Type AFD-500, kapasitas 10.000 CMH, 2800 rpm, 3 HP, 3 phase, static pressure 78 mmH2O dan jumlah daun kipas 10 buah. Rumah kipas memiliki diameter 57 cm dan panjang 42 cm. Gambar kipas pada pengering rotari dapat dilihat pada Gambar 14 (b).
(a)
(b)
Gambar 14. Penukar panas (a) dan Kipas (b)
Metode Penelitian
Pengukuran sifat termofisik (Me dan k) Pengambilan data untuk sifat termofisik ubijalar (Me dan k) dilakukan dengan menggunakan PBUT dengan 10 tingkat suhu dan RH yang terbentuk dijaga konstan. Tahap pertama adalah mempersiapkan sampel (sawut ubijalar), kemudian ditimbang massa awalnya (± 100 gram) dan kadar air awalnya. Selanjutnya sampel dimasukkan ke dalam ruang pengering yang suhu dan RH pengeringnya konstan. Produk ditimbang setiap interval waktu tertentu, dimana interval ini semakin diperbesar setelah waktu tertentu, karena perubahannya semakin berkurang. Setelah perubahan massanya menjadi sangat kecil, maka pengeringan dihentikan (Nelwan 1997). Diagram alir proses pengeringan lapisan tipis ubijalar dapat dilihat pada Gambar 15. Perhitungan nilai Me dan k menggunakan metode non
linear least square. Algoritma perhitungan A, K, Me dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 15. Diagram alir proses pengeringan lapisan tipis sawut ubijalar
Pengujian awal Pengujian awal pengering rotari bertujuan untuk melihat kinerja dari pengering rotari dengan penukar panas baru yang menggantikan penukar panas sebelumnya. Parameter yang diukur adalah temperatur inlet dan ruang pengering. Pengujian awal ini tanpa menggunakan termostat dan beban.
Gambar 16. Algoritma perhitungan A, k, dan Me (Abdullah et al. 2007)
Pengujian performansi pengering rotari Pengujian ini terdiri dari pengujian dengan beban dan tanpa beban. Pengujian tanpa beban hanya mengukur suhu inlet dan ruang pengering dalam keadaan kosong. Pengujian dengan beban menggunakan sawut ubijalar untuk proses pengeringannya. Tahapan proses pengeringan terdiri dari tahap persiapan sawut basah (pra pengeringan), pengumpanan, dan pengeringan. Pengujian tahap ini menggunakan termostat sebagai pengontrol suhu.
Pra pengeringan Proses persiapan sawut basah didahului dengan penimbangan ubijalar segar, dimana setiap perlakuan menggunakan 200 kg ubijalar. Selanjutnya, ubijalar
dicuci secara manual, pada proses ini juga dilakukan pemotongan pangkal dan ujung umbi serta daging yang terkena boleng atau lanas. Kemudian, ubijalar bersih disawut untuk menghasilkan ukuran yang lebih kecil dan tipis. Proses penyawutan dilakukan secara mekanis dengan mesin penyawut. Mesin penyawut mekanis dapat dilihat pada Lampiran 3. Hasil penyawutan direndam ke dalam air yang telah dilarutkan natrium bisulfit 0.3% (± 30 menit), proses perendaman bertujuan untuk menghilangkan getah yang masih menempel pada sawut. Pada proses ini juga meliputi pembuangan kotoran dan kulit ubijalar yang mengapung. Proses perendaman menyebabkan sawut menjadi lebih basah, sehingga untuk meghilangkan air dan larutan tersebut dilakukan proses penirisan. Proses penirisan menggunakan peniris mekanis, dimana sawut dimasukkan ke dalam wadah berpori yang berputar pada porosnya. Proses pelepasan air dari sawut karena sentrifugasi, proses ini dilakukan selama ± 3 menit. Penirisan yang terlalu lama dikuatirkan pati dari sawut akan ikut terlepas bersama air. Sawut basah siap diumpankan ke pengering. Massa bahan dari setiap proses dilakukan penimbangan untuk mengetahui rendemennya. Proses penyawutan dan penirisan sawut basah dapat dilihat pada Gambar 17.
(a) (b) Gambar 17. Proses penyawutan (a) dan penirisan (b)
Pengumpanan (feeding) Parameter yang diukur pada proses pengumpanan adalah laju pengumpanan. Sebelum sawut basah diumpankan ke ruang pengering, sawut dimasukkan ke dalam timba kemudian ditimbang beratnya. Lamanya pengumpanan diukur menggunakan stop watch. Laju pengumpanan dihitung bedasarkan perbandingan berat sawut dengan lama pengumpanan. Ada empat perlakuan pengumpanan yang digunakan pada penelitian ini. Perlakuan pengumpanan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Perlakuan pengumpanan sawut Percobaan 1 2 3 4
Laju pengumpanan 3 kg/1 menit 3 kg/2 menit 3 kg/3 menit 3 kg/4 menit
Pengeringan Pengeringan dilakukan sebanyak 4 kali percobaan berdasarkan laju pengumpanan. Tahapan pengeringan sawut ubijalar dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18. Diagram alir proses pengeringan sawut ubijalar
Parameter Pengukuran •
Pengukuran kadar air bahan meliputi kadar air ubijalar segar, sawut basah, dan sawut kering. Pengukuran kadar air ubijalar berdasarkan SNI 01-44931998. Kadar air ditentukan dengan metode oven.
•
Massa bahan yang ditimbang meliputi massa ubijalar segar, ubijalar bersih, sawut basah, dan sawut kering. Susut selama proses pengumpanan dan pengeringan juga ditimbang massanya. Pengukuran massa dilakukan untuk mencari rendemen.
•
Pengukuran densitas curah atau bulk density dilakukan hanya untuk sawut basah dan kering, dimana sawut dimasukkan ke wadah yang telah diketahui volumenya, kemudian sawut tersebut ditimbang massanya. Hasil bagi antara berat dan volume sawut merupakan densitas curah sawut. Dimensi wadah yang digunakan untuk pengukuran densitas curah yaitu 25 x 23 x 25 cm.
•
Pengukuran warna menggunakan chromameter, dimana hasil pengukuran dikonversi ke sistem Hunter yang dicirikan dengan notasi L, a, dan b. Warna yang diukur meliputi warna daging umbi dan sawut kering.
•
Dimensi sawut dari proses penyawutan sangat beragam ukurannya tergantung dari ukuran umbi ubijalar. Untuk mengetahui dimensi dari sawut, maka sampel umbi ubijalar diukur panjang dan diameternya terlebih dahulu dengan jangka sorong, kemudian umbi disawut dengan mesin penyawut. Kemudian, sawut ubijalar diambil masing-masing cuplikannya untuk diukur panjang, lebar dan tebal dari sawut.
•
Pengukuran suhu pada percobaan ini meliputi pengukuran suhu udara lingkungan, suhu sawut basah, pembakaran di tungku, cerobong, inlet, outlet, dan ruang pengering. Letak titik pengukuran di sepanjang silinder adalah 1.36 m, 8.22 m, 9.58 m, dan 10.94 m. Pengukuran RH meliputi RH lingkungan (suhu bola basah) dan outlet. Pengukuran suhu sawut, ruang pengering dan pembakaran di tungku dapat dilihat pada Gambar 19.
(a)
(b)
(c)
Gambar 19. Pengukuran suhu : (a) sawut, (b) ruang pengering dan (c) pembakaran
•
Bahan bakar yang terpakai diperoleh dari pengurangan jumlah bahan bakar awal dengan sisa bahan bakar pada drum setelah proses selesai. Laju aliran bahan bakar merupakan nisbah antara jumlah bahan bakar yang terpakai terhadap lama pemakaian.
•
Pencatatan waktu meliputi lama pengoperasian alat, lama pengeringan, dan waktu tinggal.
•
Kecepatan udara diukur sepanjang ruang pengering dengan interval 1.23 m, inlet, outlet dan feeder.
•
Kondisi dari pengering rotari yang diperhatikan selama proses pengeringan yaitu rpm silinder dan kemiringan silinder.
Simulasi Model dan Validasi Simulasi model pengeringan rotari digunakan untuk menduga suhu ruang pengering, suhu sawut, kadar air, dan RH. Simulasi model pindah panas dan massa dilakukan untuk menyelesaikan persamaan 37), 43), 49) secara simultan dengan menggunakan metode beda hingga Euler. Model diselesaikan dengan bahasa pemograman Visual Basic 6. Model masing-masing parameter dari udara dan produk diselesaikan secara numerik dengan metode Euler.
Kelembaban Mutlak
H
j +1
⎡• ⎤ m pd dM dt ⎥ ⎢ …………………..………………….….51) = H + Δx • ⎢ dt dx ⎥ m uk ⎣ ⎦ j
Suhu Udara Tu
j +1
= Tu +
Δx
j
•
(
j m u C pu + C pw H
j
)
⎡ j • ⎛ dH ⎞ ⎢ j j j j j ⎢− hcv A Tu − T p − m u ⎜⎝ dx ⎟⎠ C pwTu + Lu ⎢⎣
(
)
(
⎤ ⎥ ⎥ .…52) ⎥⎦
)
Suhu Produk T
j +1 p
=T + j p
Δx •
(
m u C ppj + C pl M
j
)
⎡ ⎤ j • ⎛ dH ⎞ j ⎢ j j j j ⎥ ..53) ⎢hcv A Tu − T p + m u ⎜⎝ dx ⎟⎠ L p + C pw − C pl T p ⎥ ⎢⎣ ⎥⎦
(
)
(
(
) )
Kadar Air Model untuk kadar air bahan menggunakan persamaan 38), yang dijabarkan menjadi
M
⎡ dM dt ⎤ = M j + Δx ⎢ ⎥ ……………………………………………………..54) ⎣ dt dx ⎦
j +1
Kelembaban Relatif (RH) (ASAE 1994) RH =
HP ……………………………………………………...…...55) ( H + 0.622) Ps
Dimana tekanan statis (Ps) menggunakan persamaan (56) (Bala 1997)
[
]
Ps = exp 52.576 − 6796 − 5.0281 ln(T ) …………………………...……...…..56) T Validasi model dilakukan untuk membandingkan hasil pengukuran dengan hasil simulasi yang diperoleh pada titik-titik pengukuran. Acuan yang digunakan menganalisis hasil vaidasi adalah kurva fitting dan COD (Coefficient of Determination.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Termofisik Sifat fisik umbi dan sawut ubijalar Umbi ubijalar yang akan diproses untuk menghasilkan sawut, terlebih dahulu ditentukan sifat fisiknya yaitu berat, kadar air umbi dan warna daging umbi. Umbi ubijalar yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kadar air berkisar 60.76-61.64% bb dengan rata-rata 61.1% bb. Ubijalar yang digunakan merupakan ubijalar mutu II (SNI 01-4493-1998) berdasarkan kadar air umbinya. Salah satu kriteria mutu II menurut SNI adalah kadar air umbi minimum 60% bb. Penyebab rendahnya mutu ubijalar yang digunakan dalam penelitian ini adalah karena ubijalar diperoleh dari pedagang pengumpul, dimana rantai pascapanennya lebih panjang. Semakin panjang rantai pascapanen ubijalar maka semakin besar penurunan mutu dari ubijalar. Penurunan kadar air ubijalar selama penyimpanan menguntungkan untuk proses pengeringan tetapi ada komponen lain dari ubijalar yang turut berkurang selama penyimpanan seperti pati. Menurut Winarno (2001) penurunan pati pada umbi-umbian setelah panen meskipun terjadi tapi sangat lambat. Pada suhu 40 oF, proses hidrolisa pati akan terstimulasikan dan penurunan pati berlangsung lebih cepat. Sifat fisik lain yang diukur pada umbi ubijalar adalah wana daging umbi. Pengukuran warna umbi menggunakan chromameter. Nilai L (lightness) rata-rata umbi adalah 87.47. Nilai L menyatakan parameter kecerahan dari 0 (hitam) sampai 100 (putih). Dilihat dari nilai L menunjukan warna daging umbi ubijalar mendekati putih. Data warna daging umbi ubijalar dapat dilihat pada Lampiran 4. Ubijalar segar dikecilkan ukurannya menjadi sawut, hal ini bertujuan untuk meningkatkan rasio ukuran luas permukaan terhadap volume bahan sehingga dapat meningkatkan kontak bahan dengan udara pengering. Sawut basah ubijalar yang diukur sifat fisiknya adalah sawut setelah perendaman bukan sawut setelah penyawutan, hal ini dilakukan karena ubijalar sangat mudah terjadi browning jika tidak langsung ditangani. Menurut Hoover dan Miller (1973) seperti yang dikutip oleh Jenie et al. (1978), kerusakan warna pada produk ubi jalar disebabkan oleh adanya aktivitas enzim catechol oksidase jika terdapat tanin atau zat semacam
tanin. Telah lama diketahui bahwa reaksi browning ini dipengaruhi oleh oksigen, air dan suhu. Sifat fisik sawut basah yang diukur adalah kadar air, bulk density, dan berat. Kadar air sawut basah berkisar antara 66.6-68.8% bb dengan rata-rata 67.9% bb. Peningkatan kadar air sawut basah karena proses pembasahan (wetting) pada saat perendaman. Proses perendaman yang lama menyebabkan kadar air sawut akan bertambah. Menurut Widowati et al. (2002) untuk mengurangi air yang berlebih pada sawut pasca perendaman dilakukan proses pengepresan. Bentuk dan dimensi sawut sangat beragam tergantung dari hasil sawutan dan ukuran umbi ubijalar yang disawut. Berdasarkan pengujian dimensi sawut diperoleh bahwa umbi jalar yang memiliki diameter rata-rata 7.81 ± 1.40 cm dan panjang rata-rata 8.84 ± 1.70 cm diperoleh dimensi awut dengan lebar 0.57 ± 0.10 cm, panjang 5.95 ± 2.01 cm, dan tebal 0.4-2.8 mm. Berdasarkan standar deviasi terlihat bahwa panjang sawut sangat beragam jika dibandingkan dengan lebar sawut. Diameter lubang-lubang piring penyawut mempengaruhi ukuran lebar sawut. Diameter lubang-lubang piring penyawut adalah 0.7 cm. Gambar 20, memperlihatkan bulk density dari sawut sebelum dan sesudah pengeringan. Bulk density sawut basah ubijalar berkisar antara 351.3-388.2 kg/m3, sedangkan bulk density sawut kering lebih dipengaruhi oleh kadar air sawut kering. Pada percobaan IV nilai bulk density sawut keringnya paling rendah dibandingkan percobaan lain, hal ini dikarenakan kadar air sawut kering pada percobaan IV paling rendah dibandingkan percobaan lain. Bulk density (kg/m3)
450 400 350
388.17
375.65
379.13 351.30
330.43
300
253.91
243.48
250
236.52
200 150 100 50 0
I
II
III
Percobaan Sebelum pengeringan
Sesudah pengeringan
Gambar 20. Bulk density sawut ubijalar
IV
Semakin rendah kadar air sawut maka semakin rendah nilai bulk densitynya, hal ini berarti sawut kering memiliki nilai bulk density yang rendah. Informasi bulk density sawut kering perlu diketahui untuk pengemasan dan penyimpanan setelah pengeringan, sedangkan pada sawut basah untuk mengetahui volume sawut di dalam silinder (ruang pengering). Neraca massa bahan sebelum pengeringan sawut perlu diketahui untuk mencari rendemen masing-masing penanganan pra pengeringan. Neraca massa pra pengeringan dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 7. Neraca massa ubijalar pra pengeringan Percobaan
ubijalar
ubijalar bersih
1 2 3 4
200 200 200 200
198.85 198.55 198.45 191.45
rendemen (%) 99.4 99.3 99.2 95.7
sawut basah 187.45 185.85 188.25 185.6
rendemen (%) 94.3 93.6 94.9 96,9
Sebelum proses penyawutan, ubijalar melewati proses pembersihan yang meliputi (1) pencucian kulit umbi yang bertujuan menghilangkan pasir, debu dan sebagainya yang menempel pada kulit, (2) pembuangan ujung dan pangkal umbi, dan (3) pembuangan bagian umbi yang telah terserang penyakit (boleng atau lanas). Rendemen proses pencucian masing-masing percobaan masih tinggi yaitu lebih dari 99%, kecuali percobaan IV dengan rendemen sebesar 95.7%. Total susut pada proses pembersihan setiap percobaan berturut-turut adalah I (1.15 kg), II (1.45 kg), III (1.55 kg), dan IV (8.55 kg). Rendahnya rendemen atau tingginya susut pada percobaan IV disebabkan lamanya waktu tunggu ubijalar untuk diproses yaitu 5 hari sehingga diduga bagian umbi banyak terbuang karena penyebaran lanas atau boleng pada saat penyimpanan. Proses selanjutnya adalah penyawutan, perendaman, dan penirisan. Ketiga proses tersebut merupakan kesatuan proses untuk menghasilkan sawut basah. Rendemen pada proses ini berkisar antara 93.6-96.9%. Rendemen pada proses ini tergantung dari cara penanganannya, berbeda dengan proses sebelumnya yang banyak tergantung pada bahan dan cara penanganannya. Rata-rata susut berat pada proses ini adalah 10.04 kg. Tingginya susut berat dikarenakan terbuangnya bagian umbi yang tidak tersawut pada saat penyawutan, pembuangan kulit ubijalar yang mengapung pada saat proses perendaman, serta sawut yang tercecer pada
saat pemindahan sawut antar penanganan. Rendemen pra pengeringan sangat perlu diperhatikan sebagai gambaran seberapa besar ubijalar dapat dimanfaatkan dengan baik dan untuk mengetahui nilai ekonomis dari ubijalar dalam pengolahan. Semakin tinggi rendemen suatu bahan maka semakin tinggi nilai ekonomisnya.
Suhu dan Panas Jenis Sawut Suhu sawut basah merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses pindah panas udara pengering ke bahan. Pengukuran suhu sawut basah dengan menancapkan sensor termokopel pada sebagian sampel. Suhu sawut basah yang terukur pada masing-masing percobaan adalah I (30.4 oC), II (29.4 oC), III (28.5 oC), dan IV (28.5 oC). Panas jenis sawut merupakan sifat termal yang digunakan untuk menduga jumlah energi yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu sawut. Panas jenis dipengaruhi oleh kandungan airnya. Nilai panas jenis dari sawut basah (Cpp) dihitung dengan mengunakan persamaan Siebel. Nilai panas jenis hasil perhitungan pada masing-masing percobaan sebagai berikut I (3.129 kJ/kg oC), II (3.069 kJ/kg oC), III (3.107 kJ/kg oC), dan IV (3.142 kJ/kg oC).
Kadar air keseimbangan (Me) dan Konstanta Pengeringan (k) Pengeringan lapisan tipis sawut ubijalar pada suhu dan RH yang dijaga konstan dapat dilihat pada Gambar 21. Perubahan kadar air yang paling besar terjadi pada awal pengeringan. Pola kurva pengeringan yang terbentuk adalah kurva eksponensial, hal ini sesuai dengan kurva yang umum terjadi pada proses penurunan kadar air hasil pertanian. Pengeringan dengan suhu tinggi mempunyai laju penurunan kadar air yang lebih besar. Tetapi, pengeringan dengan RH yang tinggi mempunyai laju penurunan kadar air yang rendah. Kadar air keseimbangan dari sawut ubijalar diperoleh dari pengujian pengeringan lapisan tipis dengan berbagai tingkat suhu dan RH yang terbentuk. Data pengukuran penurunan kadar air pada pengeringan lapisan tipis dapat dilihat pada Lampiran 5. Nilai Me hasil pengukuran digunakan sebagai input pada program komputer. Keluaran dari program tersebut adalah Me, konstanta pengeringan, dan faktor bentuk yang dihitung secara simultan. Nilai Me, k, dan faktor bentuk hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 8.
360 330 300 270
K a d a r a ir (% b k )
240 210 180 150 120 90 60 30 0 0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
Waktu (menit) T 50C, RH 23.7%
T 50C, RH 42.5%
T 56C, RH 15.4%
T 56C, RH 26.9%
T 61C, RH 13.7%
T 65C, RH 10.4%
T 68C, RH 13.5%
T 74C RH 7.3%
T 78C, RH 10.2%
T 84C, RH 10.6%
Gambar 21. Penurunan kadar air sawut ubijalar pada pengeringan lapisan tipis Tabel 8. Nilai Me, k, dan faktor bentuk (A) hasil perhitungan T 50 50 56 56 61 65 68 74 78 84
RH 27.3 42.5 15.4 26.9 13.7 10.4 13.5 7.3 10.2 10.6
Me 4.52 4.78 4.46 3.55 3.70 2.44 2.39 2.80 2.03 2.02
k 0.0295 0.0299 0.0416 0.0318 0.0471 0.0500 0.0510 0.0690 0.0655 0.0750
A 1.03 1.04 1.02 1.05 1.02 1.02 1.03 1.02 1.02 1.02
Nilai Me perhitungan digunakan untuk menentukan persamaan kadar air keseimbangan sawut ubijalar dengan suhu dan RH udara. Persamaan Me sawut ubijalar untuk 50 oC≤ T ≤ 84 oC, 7.3%≤ RH ≤ 42.5% sebagai berikut : Me = 24.9 − 5.24 ln T − 0.33 ln (1 − RH ) ……………………………….57) Persamaan konstanta pengeringan (k) terhadap suhu absolut untuk 323 K≤ T ≤ 357 K menggunakan model sebagai berikut :
k = −2.632 + 0.4607 ln T …………….………………..…...…..58) Pada umumnya untuk suhu semakin tinggi, nilai k akan semakin besar. Hal ini dapat dimengerti karena nilai k menunjukan kecepatan pengeringan, apabila kondisi pengeringannya dalam keadaan sama (Nelwan 1997). Grafik hubungan suhu absolut dan konstanta pengerigan dapat dilihat pada Gambar 22.
0.080 0.070
k (1/m en it)
0.060 0.050 0.040 0.030 0.020 0.010 0.000 320
325
330
335
340
345
350
355
360
Suhu absolut (K)
Gambar 22. Hubungan antara suhu absolut dengan konstanta pengeringan
Suhu dan RH Udara Lingkungan Udara lingkungan merupakan bahan baku udara yang ditarik secara mekanis dan kontinu oleh kipas untuk kebutuhan pengeringan. Udara berperan sebagai media penghantar panas secara konveksi dan sebagai tempat penampungan uap air yang terlepas dari proses pengeringan. Ada dua sifat termofisik udara lingkungan yang perlu diperhatikan yaitu suhu dan RH. Suhu dan RH lingkungan selama percobaan tidak terlalu fluktuatif, hal ini dapat dilihat pada Gambar 23. Kondisi ini terjadi karena pengukuran suhu dan RH lingkungan dilakukan di dalam ruangan (gudang pengolahan). Profil suhu dan RH pada masing-masing percobaan menunjukan pola yang sama yaitu peningkatan suhu dan penurunan RH menjelang siang hari. Suhu lingkungan tertinggi pada percobaan I, II, III dan IV masing-masing adalah selama 38 oC, 38 oC, 39 oC dan 37 oC. Suhu lingkungan tertinggi pada masing-masing percobaan terjadi pada saat pengering dioperasikan (proses pengeringan) dan cuaca cerah (pukul 12:00-14:00), tingginya suhu lingkungan diduga karena lingkungan mendapat panas buangan pengering dan panas dari radiasi surya yang menyinari bangunan yang konstruksi dinding dan atapnya terbuat dari seng. Kelembaban relatif lingkungan terendah pada percobaan I, II, III, dan IV masing-masing adalah 40.9%, 45.1%, 39.8%, dan 46.4%. Sama halnya dengan suhu lingkungan, RH terendah juga terjadi pada siang hari (pukul 12:00-14:00). Nilai RH terendah pada percobaan II, III, dan IV terjadi pada saat proses pengeringan berlangsung, sedangkan pada percobaan I terjadi setelah proses pengeringan. Nilai Suhu, RH dan kelembaban mutlak (H) rata-rata udara lingkungan pada saat proses pengeringan berlangsung dapat dilihat pada Gambar 24. Suhu rata-rata tertinggi dan RH terendah terdapat pada percobaan III masing-masing 36.9 oC dan 47.04%, hal ini dikarenakan pada percobaan III pengeringan dimulai pada pukul 12:43. Sedangkan suhu rata-rata terendah dan RH rata-rata tertinggi terdapat pada percobaan IV, yang proses pengeringan dimulai lebih pagi yaitu pukul 08:17. Sifat termofisik udara lingkungan seperti kelembaban mutlak (H), enthalpi dan RH dapat dilihat pada Lampiran 6.
20 15 10 5 0
30 25 20 15 10 5 0 07:00 08:00 09:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00
07:00 08:00 09:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00
Waktu
Waktu
Suhu (Tbk)
RH (%)
40
90
35
80
30
70 60
25
50
20
40
15
30
Suhu (C)
(b)
RH (%)
Suhu (C)
(a)
RH (%)
40
90
35
80
30
70 60
25
50
20
40
15
30
10
20
10
20
5
10
5
10
0
0
0
0
07:00 08:00 09:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00
07:00 08:00 09:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00
Waktu
Waktu
Suhu (Tbk)
(c)
RH (%)
RH (%)
Suhu (Tbk)
RH (%)
30 25
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
40 35
Suhu (C)
Suhu (C)
35
RH (%)
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
40
Suhu (Tbk)
RH (%)
(d)
Gambar 23. Suhu dan RH lingkungan setiap percobaan : (a) percobaan I, (b) percobaan II, (c) percobaan III dan (d) percobaan IV
Kelembaban mutlak udara lingkungan diperlukan untuk mengetahui mutu udara kering yang akan dimanfaatkan sebagai tempat uap air dari proses penguapan bahan. Kelembaban mutlak rata-rata udara lingkungan tertinggi terdapat pada percobaan I sebesar 19.004 g/kg udara kering, sedangkan percobaan II, III, dan IV menunjukan nilai yang hampir sama. Suhu udara lingkungan yang tinggi dan RH lingkungan yang rendah dapat membantu proses pengeringan secara tidak langsung. Semakin rendah nilai RH maka kemampuan udara dalam menyerap uap air akan semakin besar. 18.091 54.77
IV 33.86 Percobaan
18.449 47.04
III 36.9 18.849
II
49.4
36.4 19.004
50.48
I
36.13 0
10
20
Suhu rata-rata (C)
30 RH rata-rata (%)
40
50
60
H rata-rata (g/kg)
Gambar 24. Suhu, RH dan H rata-rata lingkungan selama proses pengeringan
Performansi Pengering Rotari Kinerja Burner dan Tungku Udara sangat dibutuhkan pada proses pembakaran minyak tanah di dalam tungku. Udara lingkungan disuplai ke dalam tungku dengan menggunakan blower yang terdapat pada burner. Pada penelitian ini bukaan blower yang dipakai adalah bukaan ½ dengan laju aliran massa udara yang menuju ke tungku sebesar 0.0896 kg/m3 lebih rendah dengan bukaan penuh yaitu sebesar 0.1251 kg/m3. Laju aliran massa udara dari blower menyebabkan perpindahan panas dari tungku ke tubetube penukar panas terjadi secara konveksi paksa. Kinerja blower pada burner dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 10 menunjukan energi yang dihasilkan dari proses pembakaran, energi output dari tungku dan efisiensi tungku pada setiap percobaan. Energi panas yang dihasilkan dari proses pembakaran dipengaruhi oleh laju aliran massa minyak
tanah dan nilai kalor minyak tanah. Percobaan I memiliki nilai energi pembakaran tertinggi dibandingkan dengan percobaan yang lain yaitu sebesar 121.98 kW, sedangkan percobaan II, III, dan IV memiliki nilai yang hampir sama yaitu berkisar 107.71-108.29 kW. Efisiensi tungku setiap percobaan menunjukan nilai yang hampir sama kecuali percobaan I yang memiliki nilai efisiensi yang lebih rendah yaitu sebesar 58%, hal ini dikarenakan konsumsi minyak tanah yang terlalu boros pada proses pembakaran yang tidak sepadan dengan jumlah energi yang dihasilkan. Tabel 9. Laju aliran massa udara pada burner Bukaan Blower 1/2 (skala 5) penuh (skala 10)
Kecepatan rata-rata (m/s) 19.81 9.88
Luas penampang (m2) 0.00388 0.01085
Debit (m3/s)
ρ (kg/m3)
0.077 0.107
1.167174 1.167174
Laju aliran massa (kg/m3) 0.0896 0.1251
Tabel 10. Efisiensi tungku Percobaan I II III IV
Q out (kW) 70.96 71.57 71.97 71.45
Q in (kW) 121.98 108.00 108.29 107.71
Efisiensi (%) 58.2 66.3 66.5 66.3
Suhu pembakaran percobaan I dapat dilihat pada Gambar 25 dan data pengukurannya semua percobaan dapat dilihat pada Lampiran 7. Suhu pembakaran rata-rata di tungku pada percobaan I, II, III, dan IV masing-masing adalah 767.7 oC, 775.2 oC, 796.0 oC, dan 774.2 oC. Suhu rata-rata pembakaran pada percobaan III lebih tinggi dibandingkan dengan percobaan I, II, dan IV. Profil suhu pembakaran semua percobaan menunjukkan pola yang sama yaitu peningkatan suhu pada awal proses pembakaran dan kemudian berfluktuasi. Suhu pembakaran yang sangat berfluktuatif dikarenakan penggunaan jenis kontrol ONOFF pada pengering rotari untuk mengontrol suhu inlet. Apabila suhu inlet telah tercapai atau sama dengan suhu yang telah di set up pada panel kontrol maka burner akan mati sehingga proses pembakaran akan berhenti, demikian sebaliknya. Keadaan ini menyebabkan suhu pembakaran yang tercatat sangat berfluktuasi.
Selain itu, waktu burner dalam kondisi OFF sampai ON lagi cukup lama yaitu sekitar 20 detik, sehingga suhu di dalam tungku akan turun lebih cepat. 1000 900 800
Suhu (C)
700 600 500 400 300 200 100 0 0
20
40
60
80
100
Waktu (menit)
Gambar 25. Suhu pembakaran dalam tungku percobaan I
Kinerja penukar panas Penukar panas pada pengering rotari menggunakan fluida udara. Udara panas dari hasil pembakaran di tungku sebagai fluida panas dan udara lingkungan sebagai fluida dingin. Penukar panas yang terpasang pada pengering rotari adalah penukar panas tipe shell and tube dimana udara panas hasil pembakaran memasuki tube dan keluar melalui cerobong sedangkan udara bersih (lingkungan) melewati tube-tube panas menuju ruang pengering. Analisis dan kinerja penukar panas dapat dilihat pada Tabel 11. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh energi pada penukar panas yang hampir sama nilainya pada setiap percobaan berkisar antara 70.96-71.97 kW. Energi panas yang dihasilkan pada percobaan III lebih tinggi dibandingkan dengan percobaan lain yaitu sebesar 71.97 kW, hal ini diduga karena energi panas yang dihasilkan dipengaruhi oleh suhu pembakaran, dimana suhu pembakaran percobaan III lebih tinggi dibandingkan dengan percobaan lainnya sehingga suplai energi ke penukar panas lebih besar pula. Begitu juga halnya dengan energi panas maksimum yang dapat dihasilkan oleh penukar panas. Hasil perhitungan energi panas maksimum pada keempat percobaan adalah I (75.32 kW), II (76.15 kW), III (78.51 kW), dan IV (76.30 kW).
Laju aliran massa udara yang masuk ke dalam selubung (sheel) ditentukan berdasarkan keseimbangan energi antara energi panas yang masuk dengan energi panas yang keluar dari penukar panas. Rata-rata laju aliran massa udara berdasakan hasil perhitungan sebesar 0.737 kg/s. Koefisien perpindahan panas menyeluruh diperoleh berdasarkan hasil perhitungan dimana energi (Qin) dibagi dengan perkalian antara luas permukaan sentuh (A) dengan log beda temperatur (LMTD). Nilai koefisien panas menyeluruh yang dihasilkan cukup kecil yaitu berkisar antara 15.19-17.39 W/oCm2, hal dikarenakan fluida yang digunakan pada penukar panas adalah udara yang memiliki koefisien pindah panas lebih kecil dibandingkan dengan fluida lain seperti air. Keefektifan penukar panas yang hampir sama setiap percobaan dan cenderung lebih tinggi, hal ini dikarenakan analisis keseimbangan energi pada penukar panas menggunakan asumsi kehilangan panas diabaikan sehingga energi yang masuk ke penukar panas sama dengan energi yang keluar dari penukar panas. Tabel 11. Analisis dan Kinerja penukar panas Parameter Suhu pembakaran (oC) Suhu cerobong (oC) Suhu lingkungan (oC) Suhu inlet (oC) Panas jenis udara lingkungan (kJ/kgoC) Panas jenis udara pembakaran (kJ/kgoC) Q HE (kW) Laju aliran udara (kg/s) Ch (kW/oC) Cc (kW/oC) Cmin = Ch (kW/oC) Qmak = Cmin (Tsi –Ta) (kW) C = Cmin/Cmak LMTD (oC) Luas permukaan Koefisien perpindahan panas overal (W/oC-m2) NTU Keefektifan (ε)
I 767.7 78.5 36.1 131.4
Percobaan II III 775.2 796.0 80.9 100.1 36.4 36.9 130.3 135.1
IV 774.2 80.9 33.9 132
1.006
1.006
1.006
1.006
1.149
1.151
1.154
1.150
70.96 0.740 0.103 0.745 0.103 75.32 0.138 219.21 18.61
71.57 0.757 0.103 0.762 0.103 76.15 0.135 224.53 18.61
71.97 0.728 0.103 0.733 0.103 78.51 0.141 254.65 18.61
71.45 0.724 0.103 0.728 0.103 76.30 0.141 227.67 18.61
17.39
17.1
15.19
16.86
3.14 0.94
3.09 0.94
2.73 0.92
3.05 0.94
Rasio UA/Cmin dinyatakan sebagai jumlah unit transfer (number of transfer units),disingkat NTU. Berdasarkan hasil perhitungan nilai NTU pada setiap percobaan berkisar antara 2.73-3.14.
Kebutuhan tenaga kipas Perhitungan tahanan arus udara atau penurunan tekanan diperlukan untuk instalasi kipas pada pengering. Perhitungan penurunan tekanan pada pengering rotari dilakukan pada bagian penukar panas, pipa penghubung, dan ruang pengering. Penurunan tekanan dapat disebabkan oleh udara mengalir pada pipa, penukar panas, penyimpitan mendadak dan pembesaran mendadak dari saluran. Tabel 12 menunjukan penurunan tekanan yang terjadi pada penukar panas. Tabel 12. Perhitungan penurunan tekanan pada penukar panas Parameter ρ μ ( x 10-5)
Nilai Satuan 1.15336 kg/m3 1.8769 kg/ms
•
0.7373 kg/s 0.2718 m2 2.352 m/s 6.025 m/s 12414.17 Pipa HE : D nominal 1 inchi Do 0.03353 m L 1.01 m Susunan pipa : ST 55 mm SD 55.31 mm SL 48 mm NL 14 buah NT 13 buah Grafik f dan x : PT 1.6403 PL 1.4316 PT/PL 1.1458 f 0.4 x 1 Penurunan tekanan ΔP 117.2 Pa ΔP total 351.7 Pa mu
Luas saluran v v maks Re
Besar penurunan tekanan pada penukar panas sebesar 117.2 Pa, nilai tersebut merupakan penurunan tekanan sekali laluan udara melewati kumpulan
pipa, sedangkan alat penukar panas pada pengering rotari ini terdiri dari 2 baffle sehingga jumlah laluan udara yang melewati kumpulan pipa menjadi tiga kali jadi total penurunan tekanan pada penukar panas sebesar 351.7 Pa. Penurunan tekanan pada pipa penghubung penukar panas dan ruang pengering sebesar 3.6 Pa. Penurunan tekanan pada ruang pengering dengan mengasumsikan permukaan bagian dalam ruang pengering halus (tanpa flight) diperoleh ΔP sebesar 0.13 Pa. Penyempitan saluran terjadi pada penukar panas ke pipa penghubung, besar penurunan tekanannya adalah 15.1 Pa. Sedangkan pembesaran mendadak terdapat pada pipa penghubung ke ruang pengering, penurunan tekanannya sebesar 38.8 Pa. Perhitungan penurunan tekanan masing-masing bagian dapat dilihat pada Lampiran 8. Total penurunan tekanan yang terjadi pada pengering rotari sebesar 409.3 Pa. Nilai ini lebih kecil dari tekanan statis kipas yang telah terpasang yaitu sebesar 78 mmH2O atau 764.4 Pa, sehingga kipas ini dapat digunakan pada pengering rotari sebagai pemindah fluida udara.
Kinerja Silinder (ruang pengering) Kondisi Operasi Kemiringan silinder pengering rotari sangat mempengaruhi waktu tinggal bahan di dalam silinder dan juga mempengaruhi kecepatan pergerakan partikel melewati ruang pengering. Semakin besar kemiringan atau perbedaan tinggi antara inlet dan oulet maka semakin besar kecepatan pergerakan bahan melintasi silinder sehingga akan mempersingkat waktu tinggal, hal ini akan menyebabkan proses pengeringan bahan akan lebih cepat. Oleh karena itu, untuk memperlama waktu tinggal bahan di dalam silinder maka elevasi diperkecil dengan menaikkan ketinggian outlet. Kemiringan silinder pengering rotari pada penelitian ini sebesar 0.419o. Kecepatan putar silinder merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi waktu tinggal. Pergerakan bahan di dalam ruang pengering dipengaruhi kecepatan putar silinder. Semakin cepat silinder berputar, maka semakin cepat bahan keluar dari silinder sehingga mempersingkat waktu tinggal. Kecepatan putar yang digunakan pada penelitian ini adalah 5 rpm. Berdasarkan hasil penelitian dari Santri (2007), kemiringan drum 2.06o dan kecepatan putar 10 rpm ini menghasilkan waktu tinggal sebesar 15 menit sedangkan pengurangan sudut
elevasi menjadi 0.257o dan kecepatan putar menjadi 2 rpm menghasilkan waktu tinggal sebesar 39 menit. Selain kedua faktor tersebut, kontruksi silinder juga mempengaruhi waktu tinggal. Untuk memperlama waktu tinggal maka silinder harus diperpanjang. Tetapi, hal ini sulit dilakukan karena keterbatasan space (ruang). Cara lain yang dapat dilakukan adalah memperbesar diameter silinder sehingga kecepatan udara dapat diperlambat dan cascade action bahan di bagian tengah silinder menjadi lebih lama.
Pengujian tanpa kontrol suhu Pengujian pengering rotari dimulai dari pengujian pengering tanpa kontrol suhu dan tanpa beban. Pegujian awal ini untuk melihat keragaan suhu di bagian inlet sebagai indikator suhu udara pengering. Pengujian awal pengering rotari dilakukan sebanyak 3 kali pengujian. Masing-masing pengujian dilakukan selama 3 jam. Profil suhu inlet tiap-tiap pengujian pada pengering rotari dapat dilihat pada Gambar 26. Pada awal pengujian, suhu inlet cenderung meningkat dan selanjutnya konstan (170-188 oC) pada waktu tertentu. Suhu inlet pada pengujian I cenderung akan konstan pada menit ke-45 dengan suhu rata-rata 182.3 oC, sedangkan pengujian II dan III cenderung konstan pada menit ke-66 dan ke-54 dengan suhu rata-rata masing-masing 175.7 oC dan 180 oC. 200 180 160
S uhu (C)
140 120 100 80 60 40 20 0 0
20
40
60
80
100
120
140
Waktu (menit) Uji I
Uji II
Uji III
Gambar 26. Suhu inlet tanpa kontrol suhu
160
180
Pengujian selanjutnya dilakukan untuk melihat distribusi suhu di dalam silinder atau ruang pengering. Profil dan distribusi suhu ruang pengering masingmasing titik pengukuran dapat dilihat pada Gambar 27. 200 180 160
Suhu (C)
140 120 100 80 60 40 20 0 0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
Waktu (menit) T inlet T 9.3 m
T2 m T 10.3 m
T3m T 11.3 m
T 8.3 m T outlet
Gambar 27. Suhu ruang pengering tanpa kontrol suhu Suhu dalam ruang pengering memiliki pola yang sama dengan suhu inlet, dimana terjadi peningkatan suhu pada awal pemanasan dan kemudian cenderung steady. Suhu rata-rata ruang pengering tertinggi berada di jarak 2 m dari inlet sebesar 156.8 oC dengan suhu rata-rata inlet sebesar 182.3 oC, sedangkan suhu rata-rata ruang pengering yang rendah berada di outlet yaitu sebesar 140.5 oC. Suhu ruang pengering sepanjang silinder pada kondisi steady state dapat dilihat pada Gambar 28. Suhu rata-rata pada bagian tengah silinder sangat sulit untuk diukur, tetapi dapat diduga dengan melihat suhu rata-rata pada titik sebelum dan sesudahnya yaitu titik 3 m dan 8.3 m. Suhu rata-rata pada kedua titik tersebut adalah 154.9 oC dan 154.1 oC, dengan perbedaan suhu kedua titik tersebut yaitu sebesar 0.8 oC. Perbedaan kedua titik pengukuran tersebut yang relatif kecil atau cenderung konstan, maka suhu rata-rata di bagian tengah silinder dapat diduga. Dalam proses pengeringan diperlukan suhu pengeringan yang konstan disetiap jarak ruang pengering karena suhu konstan akan menghasilkan produk kering dengan mutu yang seragam.
190 180 170
Suhu (C)
160 150 140 130 120 110 100 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Jarak (m)
Gambar 28. Suhu rata-rata sepanjang silinder (tanpa kontrol)
Pengujian dengan kontrol suhu Pengujian kinerja pengering rotari dengan kontrol suhu dibagi menjadi dua bagian yaitu tanpa beban dan dengan beban (sawut ubijalar). Pengujian dengan kontrol suhu dengan cara mengontrol suhu pada inlet. Alat yang berfungsi mengontrol suhu inlet adalah panel kontrol, dimana pada bagian ini terdiri dari dua terminal yaitu termokopel dihubungkan ke inlet dan arus listrik yang terhubung pada burner. Tipe kontrol pada alat ini adalah ON-OFF, apabila suhu inlet telah melampaui suhu yang di set pada panel kontrol maka akan OFF dan sebaliknya. Pada penelitian ini suhu diset pada 135 oC. Pengujian pengering rotari tanpa beban dilakukan dengan 2 pengujian masing-masing selama 3 jam. Profil suhu inlet dan ruang pengering pada pengujian II dapat dilihat pada Gambar 28 sedangkan data pengujian I dapat dilihat pada Lampiran 9. Suhu inlet meningkat pada awal proses pemanasan dan kemudian konstan. Suhu rata-rata inlet pada pengujian 1 dan 2 masing-masing adalah 132.7 oC dan 130.9 oC, dimana pada kedua percobaan suhu inlet cenderung konstan pada menit ke-18. Suhu ruang pengering pada setiap jarak pengukuran mempunyai pola yang sama dengan suhu inlet yaitu mengalami kondisi konstan pada waktu tertentu. Pada Gambar 29 juga terlihat bahwa semakin lama grafik suhu ruang pengering pada setiap jarak akan menempel, hal ini dapat diduga bahwa titik-titik pengukuran pada ruang pengering mempunyai suhu yang hampir sama.
140 120
Suhu (C)
100 80 60 40 20 0 0
20
40
60
80
100
120
Waktu (menit) T inlet
T 1.36 m
T 8.22 m
T 9.58 m
T 10.94 m
T outlet
Gambar 29. Suhu inlet dan ruang pengering dengan kontrol suhu dan tanpa beban Suhu rata-rata udara pengering sepanjang silinder dapat dilihat pada Gambar 30. Pada keadaan steady, suhu rata-rata ruang pengering tertinggi berada pada jarak 1.36 m dari inlet, dimana pada pengujian I dan II masing-masing sebesar 110.2oC dan 111.7oC. Tingginya suhu ini dikarenakan titik pengukuranya lebih dekat ke inlet. Suhu rata-rata ruang pengeringan terhadap jarak pada silinder dari kedua percobaan tersebut berbeda, hal ini karena suhu inlet kedua pengujian tersebut berbeda juga. 140
Suhu (C)
130 120 110 100 90 80 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Jarak (m) Uji I
Uji II
Gambar 30. Suhu rata-rata sepanjang silinder (kontrol suhu dan tanpa beban)
Suhu rata-rata ruang pada bagian ujung (8.22 m, 9.58 m, dan 10.94 m) pengering lebih rendah dibandingan dengan suhu outlet, hal ini dikarenakan pada bagian outlet, panas terakumulasi sehingga suhu di bagian ini lebih tinggi. Suhu rata-rata pada bagian tengah silinder sulit untuk diukur. Pendugaan dapat dilakukan dengan melihat suhu rata-rata pada titik pengukuran sebelum dan sesudahnya yaitu titik 1.36 m dan 8.22 m. Selisih suhu rata-rata pada kedua titik tersebut untuk pengujian I dan II masing-masing adalah 1.7 oC dan 2.9 oC maka dapat diduga suhu rata-rata udara di bagian tengah silinder yaitu mendekati atau antara suhu kedua titik tersebut. Pengujian pengering rotari dengan beban (sawut ubijalar) dibagi menjadi 4 percobaan berdasarkan laju pengumpanan. Empat tingkat laju pengumpanan sawut basah ke pengering rotari yaitu 3 kg/1 menit, 3 kg/2 menit, 3 kg/3 menit, dan 3 kg/4 menit. Suhu rata-rata inlet yang tecatat pada percobaan I, II, III, dan IV masing-masing adalah 131.4 oC, 130.3 oC, 135.1 oC, dan 132 oC. Suhu inlet tersebut adalah suhu inlet rata-rata dalam kondisi ruang pengering penuh dengan sawut (hold-up). Suhu inlet pada masing-masing percobaan cenderung konstan pada waktu tertentu, dimana suhu inlet tidak berpengaruh terhadap insersi sawut basah ke ruang pengering. Suhu inlet rata-rata setiap percobaan berbeda-beda walaupun sudah dikontrol dengan menggunakan pengontrol suhu (termostat) pada suhu yang sama yaitu 135 oC, hal ini dipengaruhi oleh suhu pembakaran minyak tanah di dalam tungku yang sangat berfluktuatif. Suhu inlet pada percobaan III lebih tinggi dibandingkan dengan percobaan lainnya, hal ini merupakan gambaan dari suhu pembakaran di tungku dan suhu cerobong yang dihasilkan, dimana percobaan III memiliki suhu yang tertinggi di kedua titik pengukuran tersebut. Suhu cerobong yang terukur pada masing-masing percobaan adalah percobaan I (78.5 oC), II (80.9 oC), III (100.1 oC), dan IV (80.9 oC). Sawut basah yang diumpankan ke ruang pengering menyebabkan suhu ruang pengering menurun, hal ini dikarenakan udara pengering memberikan panas ke sawut untuk menguapkan air, semakin banyak sawut yang masukkan semakin besar panas yang harus diberikan udara panas ke sawut dan semakin besar penurunan suhu udara pengering. Grafik suhu udara pengering terhadap waktu
dapat dilihat pada Gambar 31 (percobaan II) dan Gambar 32 (percobaan IV), sedangkan percobaan I dan III dapat dilihat pada Lampiran 10. Hampir semua percobaan mengalami fenomena penurunan suhu udara di ruang pengering. Penurunan suhu udara pengering dihitung berdasarkan selisih antara suhu udara pengering sebelum dan sesudah kondisi hold up. Penurunan suhu udara pengering pada jarak 9.58 m dan 10.94 m tertinggi terjadi pada percobaan I masing-masing sebesar 34.3 oC dan 33.7 oC, sedangkan penurunan suhu terendah pada jarak tersebut terjadi pada percobaan IV masing-masing sebesar 3.7 oC dan 5.5 oC. Sama dengan kedua titik pengukuran tersebut, penurunan suhu udara di outlet (12.3 m) tertinggi juga terjadi pada percobaan I dan terendah pada percobaan IV masing-masing sebesar 31.6 oC dan 7.7 oC. Laju pengumpanan berpengaruh terhadap penurunan suhu udara pengering jarak 9.58 m, 10.94 m, dan suhu outlet. Semakin banyak bahan yang masuk ke dalam ruang pengering semakin besar penurunan suhunya. Penurunan suhu udara pengering pada jarak 1.36 m tidak berpengaruh terhadap laju pengumpanan, hal ini dapat diduga karena sensor suhu pada jarak 1.36 m tertutup oleh sawut basah sehingga suhu yang terukur bukan sepenuhnya suhu udara. Letak titik pengukuran 1.36 m lebih dekat dengan lubang feeder sehingga kemungkinan sawut menutup sensor suhu cukup besar. 160 140
S uhu (C)
120 100 80 60 40 20 0 0
30
60
90
120
150
180
210
240
Waktu (menit) T inlet
T 1.36 m
T 9.58 m
T 10.94 m
T outlet
Gambar 31. Profil suhu ruang pengering pada pengumpanan 3 kg/2 menit
160 140
Suhu (C)
120 100 80 60 40 20 0 0
40
80
120
160
200
240
280
Waktu (menit) T inlet
T 1.36 m
T 9.58 m
T 10.94 m
T outlet
Gambar 32. Profil suhu ruang pengering pada pengumpanan 3 kg/4 menit
Kelembaban Relatif di Outlet Jumlah uap air di dalam ruang pengering dapat diduga dari nilai RH di outlet. Uap air yang dikeluarkan oleh sawut pada saat pengeringan akan ditampung oleh udara pengering, apabila uap air yang dikeluarkan oleh bahan lebih banyak maka RH udara pengering akan meningkat sehingga tekanan uap air udara juga meningkat sehingga kemampuan perpindahan uap air dari bahan ke udara akan menurun karena beda tekanan lebih rendah, hal ini kurang menguntungkan untuk proses pengeringan. Fluktuasi RH yang terukur di outlet dapat dilihat pada Lampiran 11. Kelembaban relatif di outlet pada percobaan I lebih tinggi dari percobaan lainnya, dengan rata-rata pada saat kondisi hold-up sebesar 81.7%, hal ini mengindikasikan bahwa pada percobaan I lebih banyak uap air yang dilepaskan ke udara pengering. Nilai RH pada kondisi hold-up pada percobaan III dan IV berturut-turut adalah 56.8% dan 19.3%. Pada percobaan II nilai RHnya tidak terekam dengan baik, tetapi dapat diduga kecenderungannya berdasarkan nilai RH pada percobaan I, III, dan IV. Semakin banyak bahan yang diumpankan ke dalam pengering maka semakin besar nilai RH udara yang dikeluarkan melalui outlet.
Kecepatan Udara Kecepatan udara merupakan faktor yang mempengaruhi proses pengeringan. Profil kecepatan udara dalam silinder dapat dilihat pada Lampiran 12. Kecepatan udara ini diukur pada saat silinder dalam keadaan kosong (tanpa beban) dan diukur tepat di tengah silinder dengan arah aksial. Kecepatan udara di dalam silinder akan mulai konstan pada jarak 3.69 m dari inlet, menurunnya kecepatan udara di dalam silinder karena adanya pelebaran diameter yang mana semakin jauh jarak tempuhnya maka akan semakin kecil dan cenderung tetap kecepatannya, sedangkan jarak yang dekat dengan inlet, kecepatan udaranya lebih besar. Kecepatan udara rata-rata pada jarak 3.69-11.07 m berkisar antara 0.88-1.48 m/s. Kecepatan udara rata-rata pada inlet sebesar 15.72 m/s, tinggi kecepatan di inlet karena adanya vena contracta sedangkan kecepatan udara rata-rata pada outlet adalah 5.707 m/s.
Waktu tinggal dan lama operasi pengeringan Waktu tinggal (residence time) sawut ubijalar di ruang pengering rotari didapatkan dengan menghitung lamanya sawut berada di ruang pengering mulai dari sawut basah pertama yang diumpankan sampai sawut kering yang pertama kali keluar dari pengering rotari. Waktu tinggal juga merupakan lamanya proses pengeringan sawut setiap pengumpanan (sekali melintas dalam ruang pengering). Menurut Kelly (2005), semakin lama waktu tinggal maka semakin lama waktu pengeringan berlangsung dalam satu kali lewat dan semakin banyak terjadi proses pindah panas dan pindah massa. Hal ini akan berpengaruh terhadap kadar air akhir sawut kering. Pada penelitian ini diperoleh waktu tinggal yang sama pada semua percobaan yaitu 18 menit, hal ini dikarenakan faktor kemiringan dan rpm silinder pada semua percobaan adalah sama dan konstan. Sawut bergerak sepanjang silinder dengan kecepatan rata-rata 0.011 m/s. Kecepatan sawut di sepanjang ruang pengering kenyataannya tidak sama karena pada bagian yang lebih dekat inlet kecepatan sawut agak lambat karena sawut lebih berat atau masih tinggi kadar airnya jika dibandingkan dengan kecepatan sawut yang dekat dengan outlet. Menurut Yliniemi (1999) pergerakan bahan di dalam pengering dipengaruhi oleh
mekanisme berikut yaitu lifting (mengangkat), cascade action (mencurah), slinding (meluncur) dan bouncing (melambung). Hold-up merupakan banyak sawut yang mengisi penuh ruang pengering. Berdasarkan rumus persamaan 11) maka diperoleh hold-up dari semua percobaan. Hold-up pada percobaan I, II, III, dan IV masing-masing sebesar 36, 18, 12, dan 9 kg sawut. Semakin besar laju pengumpanan sawut ke pengering rotari maka semakin besar hold-upnya Perhitungan waktu pada masing-masing percobaan meliputi lama pre heating, lama total pengeringan, dan lama operasi pengering rotari. Tabel 13 menjelaskan waktu-waktu dalam operasi pengering pada pengering rotari. Pengoperasian pengering rotari dimulai dari pemanasan awal (pre-heating) yang bertujuan untuk memanaskan cangkang silinder bagian dalam sampai diperoleh suhu inlet yang konstan. Indikator dari waktu pre-heating telah selesai adalah kontrol suhu telah berjalan dengan baik dimana burner mati dan hidup. Setelah waktu pre-heating berlangsung, selanjutnya dilakukan proses pengumpanan sawut ke dalam ruang pengering. Tabel 13. Waktu operasi pengeringan dan waktu tinggal Percobaan I II III IV
Pre-heating 19 16 23 18
Waktu (menit) Lama Lama alat pengeringan beroperasi 111 130 154 170 201 224 255 273
Waktu tinggal 18 18 18 18
Lama total pengeringan merupakan waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan seluruh sawut basah. Percobaan I membutuhkan lama total pengeringan yang singkat dibandingkan percobaan yang lain, sedangkan percobaan IV membutuhkan waktu yang paling lama. Lama total pengeringan berbanding lurus dengan laju pengumpanan, semakin rendah laju pengumpanan maka semakin besar lama total pengeringan, dan sebaliknya. Lama total pengeringan masing-masing percobaan dapat dilihat pada Tabel 7. Lama operasi pengering rotari dimulai dari burner dan kipas dihidupkan sampai proses pengeringan semua sawut basah selesai.
Kadar air sawut Pengukuran kadar air sawut di dalam ruang pengering untuk melihat penurunan kadar air selama waktu tinggal sangat sulit dilakukan karena sawut bergerak di sepanjang ruang pengering secara kontinu. Kadar air sawut yang hanya dapat diukur adalah kadar air akhir sawut kering yang keluar dari lubang outlet bahan Data pengukuran kadar air umbi, sawut basah,dan kering dapat dilihat pada Lampiran 13. Grafik kadar air awal dan akhir dari sawut dapat dilihat pada Gambar 33. Kadar air sawut kering rata-rata yang diperoleh pada percobaan I, II, III, dan IV masing-masing 64.98, 36.23, 19.29, dan 9.01%bk.
Kadar air (%bk)
250
216.76
199.58
210.17
220.62
200 150 100
64.98 36.23
50
19.29
9.01
0
I
II
III
IV
Percobaan Kadar air aw al (%bk)
Kadar air akhir (%bk)
Gambar 33. Kadar air awal dan akhir sawut Laju pengumpanan sawut berpengaruh terhadap kadar air sawut kering. Laju pengumpanan yang rendah akan menyebabkan sawut lebih sedikit berada di dalam ruang pengering, hal ini menyebabkan penurunan suhu di ruang pengering relatif rendah sehingga suhu udara masih tinggi selain itu RH yang terbentuk juga lebih rendah. Kedua faktor tersebut menyebakan proses penguapan air dari sawut berjalan dengan cepat, begitu juga sebaliknya dengan laju pengumpanan tingg.i Kadar air sawut kering dengan pengumpanan yang lambat lebih rendah dibandingkan dengan pegumpanan cepat. Kelemahan dari pengumpanan lambat adalah kapasitas produksinya lebih kecil dibandingkan dengan pengumpaan cepat. Proses pindah panas antara udara dan bahan serta perpindahan massa air dari bahan ke udara terjadi secara simultan. Laju perpidahan uap air dipengaruhi oleh laju pengumpanan sawut ke ruang pengering serta kadar air awal dan akhir dari
sawut. Tabel 14 menjelaskan bahwa laju penguapan air rata-rata dan laju padatan dari sawut. Laju penguapan air rata-rata yang dapat dihitung. Pada kenyataannya laju penguapan air pada awal proses pengeringan berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan akhir dari proses pengeringan. Sedangkan, laju padatan sawut adalah konstan sepanjang proses pengeringan dan selama pergerakan bahan di dalam ruang pengering. Percobaan I dengan laju pengumpanan yang tinggi memiliki laju penguapan air rata-rata dan laju padatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan percobaan lain, jadi semakin tinggi laju pengumpanan sawut maka semakin tinggi laju penguapan air rata-rata dan laju padatan dari sawut dan begitu juga sebaliknya. Tabel 14. Laju aliran massa rata-rata uap air dan padatan Percobaan I II III IV
Laju aliran massa Uap air rata-rata padatan (gH2O/detik) (g/detik) 23.96 15.79 13.63 8.35 10.26 5.37 8.25 3.90
Jumlah air yang diuapkan selama pengeringan (waktu tinggal) masingmasing percobaan I, II, III, dan IV adalah 25.9, 14.7, 11.1, dan 8.9 kg H2O. Jumlah air yang diuapkan pada percobaan I lebih tinggi dibandingkan dengan percobaan lain, hal ini dikarenakan laju pengumpanan sawut yang tinggi sehingga laju penguapan airnya juga tinggi. Faktor lain yang juga perpengaruh terhadap jumlah air yang diuapkan adalah waktu tinggal. Tetapi, dalam penelitian ini semua percobaan memiliki waktu tinggal yang sama sehingga tidak terlihat pengaruhnya terhadapjumlah air yang diuapkan.
Kebutuhan Energi Pengering Rotari
Konsumsi bahan bakar Bahan bakar yang digunakan sebagai sumber energi adalah minyak tanah. Penggunaan minyak tanah mempunyai banyak kelebihan diantaranya memiliki nilai kalor yang cukup tinggi (43 028 kJ/kg) dan panas yang dihasilkan lebih stabil
dibandingkan dengan biomassa dan batu bara. Kelemahan dari penggunaan minyak tanah adalah harganya yang mahal. Panas dari pembakaran minyak tanah menggunakan kompor bertekanan (burner). Menurut Manalu (2002), penggunaan burner cukup baik karena panas yang dihasilkan cukup tinggi dan jelaga yang dihasilkan hampir tidak ada, sedangkan kelemahannya adalah nosel atau spuyernya mudah tertutup kotoran dari minyak tanah. Konsumsi minyak tanah pada masing-masing percobaan dapat dilihat dari Tabel 15. Tabel 15. Konsumsi minyak tanah Percobaan
Konsumsi minyak tanah (liter/menit)
(kg/menit)
Tanpa beban I
0.185 0.207
0.151 0.170
II III
0.184 0.184
0.151 0.151
IV
0.183
0.150
Tanpa kontrol suhu
0.256
0.210
Kontrol suhu
Konsumsi minyak tanah tertinggi terdapat pada percobaan tanpa kontrol suhu (termostat) yaitu sebesar 0.256 liter/menit, sedangkan percobaan dengan kontrol suhu menunjukkan nilai yang hampir sama kecuali percobaan I. Tingginya konsumsi minyak tanah pada percobaan tanpa kontrol suhu karena burner terus menyemprotkan minyak tanah ke tungku pembakaran tanpa berhenti.
Konsumsi Energi Sumber energi yang digunakan pada pengering rotari terdiri dari energi minyak tanah dan energi listrik. Total input energi adalah total energi dari minyak tanah dan listrik yang dipakai pada proses pengeringan. Total input energi masing-masing percobaan adalah percobaan I (142.7 MJ), II (127.6 MJ), III (127.9 MJ) dan IV (127.3 MJ). Percobaan I memiliki total input energi terbesar, hal ini dikarenakan konsumsi penggunaan minyak tanah pada percobaan I lebih besar dibandingkan dengan percobaan lainnya walaupun waktu tinggal sama. Sedangkan percobaan II, III dan IV memiliki total input energi yang sama besarnya. Energi yang bersumber dari minyak tanah merupakan energi terbesar yang digunakan pada pengering rotari. Persentase energi minyak tanah dari total
input energi yang digunakan pada masing-masing percobaan berkisar antara 91.492.3%, hal ini terlihat bahwa percobaan yang konsumsi minyak tanahnya paling besar berarti input energinya juga paling besar. Energi hasil pembakaran minyak tanah digunakan untuk memanaskan udara yang selanjutnya menguapkan air dari bahan dan menaikan suhu bahan. Energi dari minyak tanah dihitung berdasarkan laju konsumsi minyak tanah, lama penggunaan dan nilai kalor dari minyak tanah. Energi listrik yang dikonsumsi pada pengering rotari sangat kecil pemakaiannya sekitar 7.7-8.6% dari total input energi, pemakaian energi listrik digunakan untuk menggerakkan silinder, mengoperasikan kipas, dan burner. Energi listrik dihitung dari lamanya penggunaan peralatan listrik selama proses pengeringan dikalikan dengan daya yang dipakai oleh peralatan tersebut. Penggunaan energi motor penggerak dan kipas pada masing-masing percobaan adalah sama, hal ini dikarenakan durasi peralatan tersebut beroperasi adalah sama yaitu berdasarkan waktu tinggal. Total energi listrik yang digunakan tiap-tiap percobaan adalah 10.96 MJ. Penggunaan energi listrik untuk mengerakan silinder lebih besar dibandingkan dengan mengoperasikan kipas dan burner. Persentase besarnya energi listrik tiap-tiap peralatan terhadap total energi listrik adalah motor penggerak (66.8%), kipas (30.7%) dan burner (2.5%). Penggunaan energi listrik untuk motor penggerak dan kipas digunakan secara terus-menerus atau tidak intermiten dari mulai pengoperasian alat hingga proses pengeringan selesai, sedangkan pengunaan energi burner tergantung dari sistem kontrol. Energi panas dari pembakaran minyak tanah dimanfaatkan langsung untuk pemanasan udara, pemanasan bahan, dan penguapan air. Besar pemanfaatan energi dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Pemanfaatan energi untuk pengeringan sawut ubijalar Parameter Energi pemanasan udara (MJ) Energi pemanasan produk (MJ) Energi penguapan (MJ)
I 76.64 4.14 58.40
Percobaan II III 77.29 77.73 3.16 3.02 33.22 25.01
IV 77.17 2.59 20.11
Pada tiap-tiap percobaan menunjukan bahwa energi untuk menguapkan air dari bahan lebih besar dibandingkan dengan energi untuk memanaskan bahan. Energi penguapan terbesar ditemukan pada percobaan I sebesar 58.4 MJ, hal ini
dikarenakan laju penguapan air pada percobaan I lebih besar dibandingkan dengan percobaan lainnya. Laju penguapan air yang besar membutuhkan energi penguapan yang besar pula, hal ini juga terlihat pada percobaan IV yang memiliki energi penguapan dan laju penguapan air yang paling kecil dibandingkan dengan percobaan lain. Beberapa faktor yang mempengaruhi energi penguapan adalah laju penguapan air, massa air yang diuapkan, dan panas laten penguapan. Energi pemanasan bahan pada masing-masing percobaan menunjukan nilai yang berbeda. Energi yang dibutuhkan untuk memanaskan sawut dari yang tertinggi sampai terendah berturut-turut adalah percobaan I (4.14 MJ), II (3.16 MJ), III (3.02 MJ), dan IV (2.59 MJ). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi energi pemanasan sawut adalah laju pengumpanan, suhu udara pengering, suhu produk, dan panas jenis dari sawut. Konsumsi energi spesifik merupakan total jumlah energi per jumlah air yang diuapkan selama proses pengeringan. Konsumsi energi spesifik dapat dilihat pada Gambar 34 dan Tabel 10. Konsumsi energi spesifik terbesar terdapat pada percobaan IV yaitu sebesar 14.26 MJ/kgH2O dan terkecil terdapat pada percobaan I yaitu sebesar 5.51 MJ/kgH2O. Tingginya konsumsi energi spesifik disebabkan pengeringan dilakukan dengan kapasitas kecil. Proses pengeringan dikatakan baik apabila nilai konsumsi energi spesifiknya kecil. 14286.55
Konsumsi energi spesifik (kJ/kg H20)
16000 14000
11543.64
12000 8668.45 10000 8000
5514.82
6000 4000 2000 0
I
II
III
Percobaan
Gambar 34. Konsumsi energi spesifik
IV
Konsumsi energi panas spesifik merupakan total jumlah energi panas per total jumlah air yang diuapkan selama pengeringan. Nilai konsumsi energi panas spesifik hampir sama dengan konsumsi energi spesifik, hal ini dikarenakan energi panas merupakan kontribusi yang paling besar dari total energi yang digunakan pada pengering rotari. Konsumsi energi mekanik spesifik adalah total jumlah energi mekanik per total jumlah air yang diuapkan selama waktu tinggal. Konsumsi energi panas spesifik jauh lebih besar jika dibandingkan dengan konsumsi energi mekanik spesifik. Pada Tabel 17 dapat dilihat bahwa konsumsi energi mekanik spesifik terkecil terdapat percobaan I yaitu sebesar 283.2 kJ/kg H2O. Faktor yang mempengaruhi konsumsi energi mekanik spesifik pada setiap percobaan adalah jumlah uap air yang dihasilkan dari pengeringan, sedangkan durasi pengoperasian motor penggerak bukan merupakan faktor penentu karena durasi pengoperasian berdasarkan waktu tinggal yang nilainya sama setiap percobaan. Tabel 17. Konsumsi energi dan efisiensi pengering rotari Parameter Energi total pengeringan (MJ) Energi bahan bakar (MJ) Energi kipas (MJ) Energi motor penggerak (MJ) Energi total sistem (MJ) Konsumsi energi spesifik (MJ/kg H2O) Konsumsi energi panas spesifik ( MJ/kg H2O) Konsumsi energi mekanik spesifik (MJ/kg H2O) Efisiensi pengeringan (%) Efisiensi total (%)
Percobaan I
II 62.55 131.74 3.36 7.33 142.43
36.39 116.64 3.36 7.33 127.33
III 28.02 116.95 3.36 7.33 127.64
IV 22.70 116.33 3.36 7.33 127.02
5.51
8.65
11.52
14.26
5.09
7.92
10.55
13.06
0.28
0.49
0.66
0.82
81.61 43.91
47.08 28.58
36.06 21.96
29.42 17.87
Efisiensi pengeringan tertinggi diperoleh dari percobaan I yaitu 81.61%, sedangkan yang terendah terdapat pada percobaan IV sebesar 29.42%. Tingginya efisiensi dikarenakan banyaknya energi udara panas yang termanfaatkan untuk proses penguapan air dan pemanasan bahan. Efisiensi total pengering rotari dari keempat percobaan berturut-turut adalah I (47.41%), II (31.15%), III (23.93%), dan IV (19.49%). Efisiensi total sistem pengering yang tertinggi terdapat pada
percobaan I dengan pengumpanan bahan 3 kg/menit. Rendahnya efisiensi pengering rotari dikarenakan banyaknya energi yang dibutuhkan dalam proses pengoperasiannya.
Mutu Pengeringan Sifat fisik sawut kering yang dilihat sebagai parameter mutu pada penelitian ini adalah kadar air akhir dan warna. Mutu sawut kering dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Mutu fisik sawut kering Parameter Kadar air akhir (%bb) rata-rata Nilai L rata-rata
I 39.39 73.93
Percobaan II III 26.60 16.17 79.76 79
IV 8.26 82.76
Perlakuan sebelum proses pengeringan adalah proses perendaman dengan natrium bisulfit 0.3%, hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya reaksi browning sehingga diperoleh warna sawut kering yang cerah. Data warna sawut kering dapat dilihat pada Lampiran 14. Nilai L pada sistem warna hunter menunjukan parameter kecerahan (lightness). Nilai L rata-rata yang tertinggi pada sawut kering diperoleh dari percobaan IV yaitu 82.76, hal ini menunjukan sawut kering dari percobaan tersebut memiliki warna yang lebih cerah. Sawut kering yang mutunya baik adalah sawut kering dengan kadar air yang rendah. Berdasarkan keempat percobaan terlihat bahwa percobaan IV memperoleh kadar air akhir yang rendah yaitu 8.26%bb, hal ini diperlukan agar mudah untuk proses penepungan maupun penyimpanan sawut. Percobaan IV memiliki dua parameter mutu yang terbaik dibandingkan dengan percobaan yang lain. Mutu sawut kering secara kuantitas dapat dilihat dari beratnya. Sawut kering dan susut yang berhasil ditimbang pada masing-masing percobaan dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 19. Berat sawut kering dan susut. Percobaan Sawut kering (kg) I 93.95 II 75.9 III 66.45 IV 58.4
Susut (kg) 0.9 3.05 1 1.4
Berat sawut kering dihasilkan dari proses pengeringan dipengaruhi oleh kadar air akhir sawut, dimana semakin tinggi kadar air akhir maka semakin berat sawut kering yang dihasilkan dari jumlah input yang sama. Faktor lain yang mempengaruhi kuantitas sawut kering adalah susut. Jumlah susut banyak terdapat pada bagian feeder, hal ini karena pengumpanan masih dilakukan secara manual. Selain itu ada sawut yang terhembus ke luar karena dorongan udara dari ruang pengering melalui feeder.
Validasi Model Model matematik digunakan untuk menduga distribusi suhu udara pengering di dalam silinder, suhu produk, kadar air, dan RH. Keluaran dari model divalidasi dengan data-data hasil pengukuran pada kondisi steady state. Input data yang digunakan pada model adalah laju pengumpanan sawut, laju aliran massa udara, kadar air awal sawut (%bk), suhu inlet, suhu sawut basah, panas jenis udara, panas jenis sawut, kelembaban mutlak udara lingkungan, panjang silinder, waktu tinggal, dan panas spesifik air, tekanan udara, koefisien perpindahan konveksi volumetrik, dan luas permukaan bahan yang terkena udara pengering. Tampilan simulasi menggunakan program komputer dapat dilihat pada Lampiran 15. Pada tampilan tersebut terlihat bahwa suhu udara pengering dan suhu produk akan berubah sesuai dengan input yang dimasukkan. Input yang banyak pengaruhnya terhadap keluaran model adalah laju pengumpanan. Semakin besar laju pengumpanan maka selisih antara suhu udara pengering dengan suhu produk akan semakin kecil, begitu juga sebaliknya. Kesesuaian data pengukuran dengan hasil model dapat dilihat dari kurva fitting. Gambar 35, 36, 37, dan 38 menunjukan perbandingan antara suhu ruang pengering hasil pengukuran dengan keluaran model pada masing-masing laju pengumpanan yaitu 3 kg/1 menit, 3 kg/2 menit, 3 kg/3 menit, dan 3 kg/4 menit.
140.0 130.0 120.0 110.0 100.0
Suhu (C)
90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
12
13
Jarak (m) Model
Ukur
Suhu (C)
Gambar 35. Suhu ruang pengering (model dan pengukuran) pada pengumpanan 3 kg/1 menit
140 130 120 110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Jarak (m) Model
Ukur
Gambar 36. Suhu ruang pengering (model dan pengukuran) pengumpanan 3kg/2 menit
Suhu (C)
140 130 120 110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
12
13
Jarak (m) Model
Ukur
Suhu (C)
Gambar 37. Suhu ruang pengering (model dan pengukuran) pengumpanan 3 kg/3 menit 140 130 120 110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Jarak (m) Model
Ukur
Gambar 38. Suhu ruang pengering (model dan pengukuran) pengumpanan 3 kg/4 menit Model dapat digunakan untuk menjelaskan profil suhu ruang pengering dan produk dalam arah aksial. Profil suhu pada percobaan I (laju pengumpanan yang tinggi) kecenderungan menurun dengan tajam dibandingkan dengan percobaan II, III, dan IV (laju pengumpanan yang rendah) terlihat agak datar. Hal ini dikarenakan banyaknya panas yang ditransfer ke bahan untuk proses penguapan sehingga terjadinya penurunan suhu udara pengering. Semakin tinggi laju
pengumpanan maka semakin banyak panas yang ditransferkan dan semakin besar penurunan suhu. Menurut Iguaz et al. (2003) pada awal pengeringan laju perpindahan panas maksimum karena adanya perbedaan yang besar antara suhu udara dengan suhu produk, panas dibutuhkan untuk menguapkan air dari produk sehingga jumlah uap air lebih tinggi pada awal pengeringan. Simulasi model untuk suhu ruang pengering telah mengikuti kecenderungan data dengan cukup baik, dimana nilai COD untuk masing-masing percobaan I, II, III, dan IV adalah 0.992, 0.955, 0.928, dan 0.819. Nilai COD yang berbeda setiap percobaan dikarenakan kesalahan (error) nilai pengukuran dan perhitungan (model) pada titik pengukuran 1.36 m sangat besar. Error masing-masing percobaan pada titik pengukuran 1.36 m adalah 4.7 oC, 15.8 oC, 15.8 oC, dan 20 o
C. Penyebab dari error yang besar pada titik tersebut adalah asumsi dari model
yaitu kehilangan panas pada feeder (bagian pengering rotari yang lebih dekat dengan titik pengukuran 1.36 m) diabaikan. Pada Gambar 35-38 terlihat suhu di titik pengukuran 1.36 m hasil model lebih tinggi dibandingkan dengan pengukuran, hal ini dikarenakan panas yang terbuang melewati lubang feeder tidak diperhitungkan didalam model. Selain itu, kemungkinan sensor suhu pada saat pengukuran tertutup oleh sawut yang diumpankan sehingga suhu udara yang terukur kurang akurat. Berdasarkan hasil simulasi bahwa semakin tinggi laju pengumpanan maka semakin rendah suhu ruang pengering begitu pula sebaliknya. Keakuratan profil suhu sawut sulit untuk dibuktikan karena suhu sawut di dalam silinder sulit untuk diukur, Tetapi dalam kajian ini, suhu sawut di bagian outlet yang dapat diukur suhunya. Acuan yang digunakan untuk melakukan validasi model adalah error antara data pengukuran dengan model. Pengukuran suhu sawut dapat pada Gambar 39. Data pengukuran suhu sawut dengan menggunakan model masing-masing percobaan adalah 42.7 oC, 47.7 oC, 48.4 oC, dan 51.5 oC. Model suhu sawut memiliki kecenderungan cukup baik, hal ini dapat dilihat dari error yang dihasilkan cukup rendah. Error masing-masing pengukuran suhu sawut masing-masing percobaan adalah 1.3 oC, 0.9 oC, 1.2 oC, dan 0.6 oC.
(a) (b) Gambar 39. Pengukuran suhu sawut pada bagian outlet a) laju pengumpanan 3 kg/3 menit dan b) laju pengumpanan 3 kg/4 menit. Peningkatan suhu sawut selama proses pengeringan berdasarkan hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar 40. Semakin tinggi laju pengumpanan maka akan semakin rendah suhu sawut yang dikeluarkan dari ruang pengering begitu pula sebaliknya, hal ini sama dengan suhu ruang pengering.
55
50
Suhu (C)
45
40
35
30
25 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Jarak (m) Percobaan I
Percobaan II
Percobaan IV
Gambar 40. Suhu sawut hasil simulasi Pendugaan kadar air sawut dan RH dengan menggunakan model hampir sama dengan pendugaan suhu bahan, karena sulit untuk melakukan pengukuran di dalam ruang pengering yang berputar dan sawut yang bergerak. Dalam melakukan validasi terhadap model, data pengukuran yang digunakan hanya kadar air dan RH
outlet saja. Berdasakan hasil validasi diperoleh error yang sangat besar, baik untuk kadar air sawut maupun RH. Error untuk kadar air pada percobaan I, II, III, dan IV masing-masing adalah 10.5% bk, 4.66% bk, 11.56% bk, dan 20.53% bk. Hasil validasi untuk RH outlet juga memiliki kecederungan yang sama dengan kadar air yaitu error yang besar. Model pendugaan untuk kadar air bahan dan RH belum bisa digunakan untuk memprediksi kedua parameter tersebut. Ada beberapa asumsi yang menyebabkan perbedaan yang cukup jauh antara data pengukuran dengan model adalah : 1. Model dari Me dan konstanta pengeringan (k) yang dihasilkan dari pengeringan lapisan tipis menggunakan selang suhu dan RH yang sempit, sedangkan kenyataannya selang suhu dan RH proses pengeringan rotari sangat lebar. Selain itu, suhu dan RH pada pengeringan rotari lebih tinggi dibandingkan
dengan
pengeringan
lapisan
tipis
sehingga
dalam
perhitungan Me dan k pada kondisi suhu dan RH tersebut terjadi ekstrapolasi. 2. Bentuk geometri dari sawut yang sangat beragam, hal ini ditambah lagi dengan bentuk sawut yang tidak utuh (patah) pada saat pengeringan karena cascade action, bentuk geometri sawut pada saat pengeringan lapisan tipis tidak mengalami kondisi tersebut. Perbedaan ini sangat berpengaruh terhadap konstanta pengeringan, bentuk sawut yang lebih kecil memiliki nilai k yang tinggi dibandingkan dengan sawut yang masih utuh. 3. Nilai panas laten sawut yang digunakan sebagai input adalah panas laten air pada kondisi jenuh, hal ini sangat berpengaruh terhadap jumlah uap air yang diuapkan. Panas laten produk pertanian lebih tinggi dibandingkan dengan panas laten air. Brooeker et al. (1974) dalam Manalu dan Abdullah (2001) menyatakan penyebab perbedaan antara simulasi dan percobaan adalah kurang akuratnya model pengeringan lapisan tipis, kurang tepatnya persamaan kadar air isotermis bahan pada RH tinggi dan tidak tepatnya nilai parameter masukkan (input) model. Ketidaktepatan nilai kadar air antara model dengan pengukuran diduga karena nilai konstanta pengeringan (k) hasil pengeringan lapisan tipis (model) tidak representatif terhadap pengeringan rotari karena bentuk geometri sawut
ubijalar yang digunakan pada kedua pengujian berbeda. Untuk itu diperlukan faktor koreksi nilai k pada model yang digunakan. Setiap percobaan memiliki nilai faktor koreksi yang berbeda-beda. Pada Tabel 20 menunjukan nilai faktor koreksi dengan kisaran 1.25 - 2. Faktor koreksi ditentukan pada model secara trial and error, dengan melihat error antara kadar air hasil pengukuran dengan model serta nilai COD untuk suhu udara pengering. Nilai faktor koreksi yang ditetapkan berdasarkan error kadar air yang rendah dan nilai COD suhu udara pengering yang tinggi. Pada tabel juga terlihat nilai error kadar air tanpa faktor koreksi lebih besar dibandingkan setelah menggunakan faktor koreksi, begitu pula dengan COD tanpa faktor koreksi lebih kecil dibandingkan setelah menggunakan faktor koreksi pada model. Perbandingan tersebut menggunakan data input yang konstan pada model baik sebelum maupun sesudah menggunakan faktor koreksi. Perbedaan faktor koreksi setiap percobaan dikarenakan sawut yang lebih cepat kering akan lebih mudah patah yang kemudian menghasilkan ukuran sawut yang lebih kecil, sehingga konstanta pengeringannya juga tinggi. Faktor koreksi pada percobaan IV lebih besar dibandingkan dengan percobaan lain karena pada percobaan ini sawut lebih cepat kering (kadar airnya lebih rendah) dan mudah patah sehingga konstanta pengeringannya lebih tinggi, untuk itu diperlukan faktor koreksi yang lebih besar pada model. Perkalian faktor koreksi dengan konstanta pengeringan tidak berpengaruh terhadap keakuratan antara hasil pengukuran dan model untuk RH. Model yang menggunakan faktor koreksi dapat digunakan untuk menduga kadar air secara akurat karena error antara pengukuran dan model cukup rendah berkisar 0.98-2.04%bk. Tabel 20. Faktor koreksi yang digunakan pada model Parameter
tanpa faktor koreksi II III IV 36.23 19.29 9.01 45.46 38.35 40.45 9.23 19.06 31.44
I 1.25 64.98 65.96 0.98
faktor koreksi II III 1.25 1.45 36.23 19.29 34.19 20.59 2.04 1.3
IV 2 9.01 10.48 1.47
faktor koreksi KA ukur KA model error
I 64.98 75.48 10.5
RH ukur RH model error
81.62 67.2 14.42
17.4 -
56.8 9.7 47.1
19.3 8.5 10.8
81.62 81.7 0.08
19.54 -
56.8 10.88 45.92
19.3 9.5 9.8
COD
0.992
0.954
0.928
0.819
0.996
0.964
0.947
0.869
250 225
Kadar Air (%bk)
200 175 150 125 100 75 50 25 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Jarak (m) 3 kg/1 menit
Gambar 41.
3 kg/2 menit
3 kg/3 menit
3 kg/4 menit
Hasil simulasi perubahan kadar air setiap pengumpanan (faktor koreksi)
Sama halnya dengan peningkatan suhu sawut, penurunan kadar air sawut di ruang pengering juga sulit diukur secara langsung. Oleh karena itu, model simulasi dari kadar air dapat membantu melihat perilaku penurunan kadar air di ruang pengering. Penurunan kadar air pada pengumpanan 3 kg/1 menit lebih lambat dibandingkan dengan pengumpanan yang lebih rendah. Sulitnya air keluar dari sawut karena suhu udara pengering yang rendah dan RH yang tinggi merupakan penyebab lambatnya penurunan kadar air pada pengumpanan 3 kg/1 menit. Berdasarkan penelitian Iguaz et al. (2003), kehilangan kadar air bahan sangat cepat pada awal pengeringan, kira-kira 52% dari kadar air awal hilang pada segmen awal pengering, dan pada segmen berikutnya kadar air berkurang lebih lambat. Penurunan kadar air setiap pengumpanan hasil simulasi dengan faktor koreksi dapat dilihat pada Gambar 41. Kadar air akhir sawut ubijalar yang diharapkan pada penelitian ini adalah 5% bb atau 5.26% bk, berdasarkan hasil percobaan terlihat bahwa kadar akhir sawut ubijalar untuk laju pengumpanan yang tinggi (3 kg/1 menit) masih jauh dari yang diharapkan, hal ini dikarenakan kadar air awal sawut yang masih tinggi. Untuk itu diperlukan proses pra pengeringan sebelum sawut masuk ke ruang pengering sehingga kadar air akhir yang diharapkan bisa tercapai. Berdasarkan
hasil simulasi, untuk mendapatkan kadar air 5% bb maka kadar air awal sawut harus sebesar 25.04% bb atau 33.4% bk. Selisih kadar air antara 68.43% bb dan 25.04% bb lebih besar dibandingkan dengan selisih antara 25.04% bb dan 5%bb, Walaupun selisih kadar air 68.43% bb menjadi 25.04% bb lebih besar, tetapi kadar air bebas pada sawut lebih mudah diuapkan dibandingkan kadar air terikat (dari 25.05% bb menjadi 5% bb). Pra pengeringan dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan kadar air sawut dari 68.43% bb menjadi 25.04% bb, sehingga kadar air yang diharapkan 5% bb dapat tercapai.
Biaya Pokok Pengeringan Tujuan dari analisis biaya dari pengering adalah untuk mengetahui berapa biaya yang diperlukan untuk memproduksi per satuan output produk dari suatu pengering. Biaya dalam suatu proses produksi dibagi menjadi dua komponen yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variabel cost). Asumsi dasar yang digunakan untuk menghitung biaya tetap dan biaya tidak tetap dapat dilihat pada Lampiran 16. Biaya tetap merupakan biaya yang jumlahnya tetap dikeluarkan setiap tahunnya, komponennya adalah biaya penyusutan, biaya bunga modal, dan pajak. Biaya ini tidak tergantung pada jumlah produk yang dihasilkan (jumlah jam kerja alat). Total biaya tetap yang dikeluarkan dalam mengoperasikan pengering rotari adalah Rp 32 934 450/tahun. Nilai komponen biaya ini dipengaruhi oleh harga dan umur ekonomis dari pengering Biaya tidak tetap merupakan biaya yang dikeluarkan berdasarkan jumlah dan lamanya pemakaian pengering, dimana jumlah biayanya berubah setiap saat atau tidak tetap. Komponen biaya tidak meliputi biaya bahan bakar, biaya listrik, perawatan, dan biaya tenaga kerja. Satuan biaya tidak tetap adalah Rp/jam. Komponen biaya tidak tetap dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Komponen biaya tidak tetap (Rp/kg sawut basah) Komponen Biaya bahan bakar Biaya listrik Biaya tenaga kerja Biaya pemeliharaan Total biaya tidak tetap
I 430 68 118 3 619
Percobaan II III 533 688 95 122 166 214 4 5 797 1029
IV 881 157 275 7 1319
Biaya tidak tetap dari pengering dipengaruhi oleh banyak faktor seperti konsumsi bahan bakar, pemakaian listrik serta jumlah jam kerja per hari. Komponen biaya tidak tetap yang tertinggi adalah biaya bahan bakar dengan kisaran Rp 430 - 881 per kg sawut basah. Hal ini dipengaruhi oleh harga bahan bakar yang tinggi serta laju konsumsi bahan bakar per jamnya yang juga tinggi. Menurut Nelwan (1997), komponen biaya tidak tetap tergantung pada waktu pengeringan yang dibutuhkan untuk proses pengeringan, oleh karena itu perbaikan dari segi teknis dalam mempercepat waktu pengeringan merupakan hal yang harus mendapat perhatian. Biaya operasional pengering merupakan penggabungan biaya tetap dan biaya tidak tetap, karena biaya tetap dihitung per tahun maka perlu diketahui jumlah jam kerja per tahun untuk mencari biaya operasional suatu pengering. Biaya pokok pengeringan diperoleh dari rasio antara biaya operasional dengan kapasitas dari pengering. Percobaan I dengan laju pengumpanan (3 kg/1 menit) memiliki biaya pokok pengeringan sebesar Rp 694/kg sawut basah atau Rp 1 384/ kg sawut kering. Biaya pokok pengeringan pada percobaan I lebih rendah dibandingkan dengan percobaan lain, dimana percobaan IV memiliki biaya pokok pengeringan yang tertinggi sebesar Rp 1 494/kg sawut basah atau Rp 4 747/kg sawut kering. Meskipun biaya pokok pengeringan percobaan I lebih rendah tetapi sawut akhir yang dihasilkan masih basah atau kadar airnya masih tinggi, hal ini tidak dapat dijadikan sebagai acuan biaya pokok untuk pengeringan sawut ubijalar. Dengan menggunakan model dapat dilihat apakah percobaan I dapat dilakukan pengulangan dengan laju pengumpanan yang sama. Hasil simulasi menunjukkan pengulangan dengan laju pengumpanan sama (3 kg/menit) masih menghasilkan kadar air sebesar 12.41%bb dan RH yang dihasilkan pada outlet sebesar 25.1%. Tambahan biaya yang dikeluarkan untuk pengulangan sebesar Rp 615/kg sawut basah. Total biaya pokok pengeringan pada percobaan I setelah dilakukan pengulangan pengumpanan sebesar Rp 1 309/kg sawut basah. Biaya ini lebih besar dari pada percobaan III (laju pengumpanan 3 kg/3 menit) tetapi kadar air yang dihasilkan dari pengulangan ini lebih rendah daripada percobaan III. Pada Gambar 42 terlihat bahwa biaya pokok pengeringan semakin menurun sejalan dengan penambahan laju pengumpanan. Perbedaan antara biaya
pokok pengeringan per kg sawut basah dengan biaya pokok pengeringan per kg sawut kering pada laju pengumpanan yang rendah lebih besar dibandingkan dengan laju pengumpanan yang tinggi.
Biaya pokok pengeringan (Rp/kg)
5000 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 0.5
0.75
1
1.25
1.5
1.75
2
2.25
2.5
2.75
3
Laju pengumpanan (kg/menit) Saw ut Basah
Saw ut Kering
Gambar 42. Biaya pokok pengeringan sawut ubijalar Laju pengumpanan yang lebih tinggi akan meningkatkan kapasitas pengering, semakin tinggi kapasitas pengering maka semakin rendah biaya pokok pengeringan. Untuk menurunkan biaya pokok pengeringan maka perlu dilakukan pengumpanan bahan ke pengering dalam jumlah besar sehingga kapasitas pengering akan bertambah besar sehingga waktu pengeringan per kg bahan akan dapat dipersingkat. Hal ini akan mengurangi jumlah bahan bakar dan listrik yang terpakai per kg bahan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 1. Kadar air akhir sawut yang diperoleh dari semua percobaan berkisar antara 9.01–64.98% bk dengan waktu tinggal yang sama setiap percobaan yaitu 18 menit. Laju pengumpanan yang tinggi menyebabkan penurunan suhu ruang pengering yang tinggi pula. 2. Konsumsi energi spesifik setiap percobaan berkisar antara 5.51-14.26 MJ/kg uap air, semakin besar laju pengumpanan maka semakin kecil konsumsi energi spesifiknya, sebaliknya semakin tinggi efisiensi pengeringan dan totalnya Konsumsi energi spesifik terkecil diperoleh dari percobaan I (laju pengumpanan 3 kg/1 menit) yaitu 5.51 MJ/kg, efisiensi total tertinggi juga diperoleh dari percobaan I sebesar 43.91%. 3. Mutu sawut kering yang baik dihasilkan dari percobaan IV (laju pengumpanan 3 kg/4 menit) yaitu KA akhir 8.26% bb dan nilai L 82.76. 4. Model pengering yang digunakan telah dapat mengikuti kecenderungan suhu ruang pengering dengan COD berkisar antara 0.819-0.992, begitu juga dengan suhu produk dengan error sebesar 0.6 – 1.3 oC. Model tidak dapat digunakan untuk memprediksi kadar air dan RH outlet dengan akurat. 5. Biaya pokok pengeringan sawut ubijalar yang dikeluarkan untuk memperoleh sawut kering (kadar air akhir 8.26% bb) sebesar Rp 1 494/kg sawut basah atau Rp 4 747/kg sawut kering.
Saran 1. Pengering rotari dapat digunakan secara efisien dan efektif apabila sawut yang diumpankan memiliki kadar air yang rendah, untuk laju pengumpanan 3 kg/1 menit sebaiknya kadar air sawut yang diumpankan sebesar 25.04% bb. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menvariasikan rpm dan kemiringan silinder untuk mendapat kondisi proses pengeringan yang optimum. 3. Untuk mendapatkan model pengering rotari yang akurat maka pengukuran parameter pengeringan pada pengeringan lapisan tipis harus disesuaikan dengan kondisi pengeringan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah K, Nelwan LO, Fasirun. 2007. Parameter pengeringan ikan kembung (Rastrelliger sp). Di dalam : Abdullah K, editor. Teknologi Berbasis Sumber Energi Terbarukan untuk Pertanian. Bogor: IPB Press. Alvarez PI, Shene C. 1994. Experimental determination of volumetric heat transfer coefficient in a rotary dryer. Drying Technologi 12(7), 1003-1027. Anonim. 1994. ASAE Standad. USA. [APTINDO] Asosiasi Produsen Terigu Indonesia. 2006. Harga gandum mencapai angka tertinggi dalam 4 tahun. http://www.bogasari.com [ 16 April 2007] Bala RK. 1997. Drying and Storage of Cereal Grains. New Delhi: Oxford & IBH Publishing Co. Pvt. Ltd. Barr-Ronin. 1996. Rotary dryer, coolers and calciners. http://www.Geaniro.com.mx/bibliotea/pdf/rotary.pdf [18 Oktober 2006] [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1998. Ubijalar SNI 01-4493-1998. Jakarta: BSN. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Production of Secondary Food Crops in Indonesian. http://www.bps.go.id/sector/agri/pangan/table2.shtml. [10 Juli 2007]. Damardjati, Said D, Widowati S. 1994. Pemanfaatan ubijalar dalam program diversifikasi guna mensukseskan swasembada pangan. Malang: balitan No.3 : 1-25. ubi I-2. Hafsah MJ. 2004. Prospek Bisnis Ubijalar. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Harnowo D, Antarlina SS, Mahagyosuko H. 1994. Pengolahan ubijalar guna mendukung diversifikasi pangan dan agroindustri. Malang: Balitan No.3 :145-160. Ubi I-11. Hall CW. 1957. Drying Farm Crops. Michigan: Edwards Brothers Inc. Ann Arbor Hall CW. 1980. Drying and Storage of Agricultural Crops. Connecticut: The AVI Publishing Company, Inc.
Heldman DR, Singh RP. 1993. Introduction to Food Engineering. Second Edition. New York: Academic Press, Inc Heldman DR, Singh RP. 1980. Food Process Engineering. Second Edition. Connecticut: The AVI Publishing Company, Inc. Henderson SM, Perry RL. 1976. Agricultural Process Engineering. 3rd Edition. Connecticut: The AVI Publishing Company, Inc. Henderson SM, Perry RL, Young JH. 1997. Principles of Process Engineering. California: ASAE. Hilman Y. 2005. Teknologi Produksi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang : Badan Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Holman, J.P. 1986. Heat Transfer. Edition 6. Diterjemahkan Jasifi, E. 1993. Jakarta: Erlangga. Iguaz A, Esnoz A, Martinez G, Lopez A, Virseda P. 2003. Mathematical modelling and simulation for the drying process of vegetable wholesale byproducts in a rotary dryer. Food Engineering 59: 151-160. Jover C, Alastruey CF. 2006. Multivariable control for an industrial rotary dryer. Food Control. 17: 653-659. Jenie BSL. 1988. Sanitasi dalam Industri Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi, IPB. Kelly JJ. 1995. Rotary drying. Didalam : Mujumdar AS. Editor. Handbook of industrial drying. Ed ke-2. New York: Marcel Dekker Inc. Kumalaningsih S. 1994. Peluang pengembangan agroindustri dari bahan baku ubijalar. Edisi khusus Balittan Malang No.3. Balittan, Malang, pp. 26-35. Kouris DM, Maroulis ZB, Kiranoudis CT. 1996. Computer simulation of industrial dryers. Drying Technologi 14(5), 971-1010. Kreith, F. 1973. Principle of Heat Transfer. Terjemahan. Prijono A. 1986. Prinsip-prinsip Perpindahan Panas. Edisi ke-3. Jakarta: Erlangga. Liu XY, Specht E. 2006. Mean residence time and hold-up of solids in rotary kilns. Chemical Engineering Science 61: 5176-5181.
Manalu LP. 1998. Studi kebutuhan energi untuk pengering kakao dengan alat pengering tenaga surya. Buletin Teknik Pertanian 12(3) : 174. Manalu LP, Abdullah K. 2001. Model simulasi proses pengeringan kakao memakai pengering surya efek rumah kaca. Buletin Teknik Pertanian 15(3) : 154. Mujumdar AS. 2001. Pengeringan untuk bahan berbentuk padatan partikulat, bubur dan lembaran. Penerjemah: Armansyah et al, editor. Bogor: IPB Press. Terjemahan dari : Mujumdar’s practical guide to industrial drying. Mujumdar AS, Devastin S. 2001. Prinsip dasar pengeringan. Penerjemah : Armansyah et al., editor. Bogor: IPB Press. Terjemahan dari: Mujumdar’s practical guide to industrial drying. Nelwan LO. 1997. Pengeringan kakao dengan energi surya menggunakan rak pengering dengan kolektor tipe efek rumah kaca [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB. Nelwan LO. 2005. Study on solar-assisted dryer with rotating rack for cocoa beans [dissertation]. Bogor: The Graduate School Bogor Agricultural University. Revol D, Briens CL, Chabagno JM. 2001. The design of flight in rotary dryer. Powder Technology. 121 : 230-238. Sagara Y. 1990. Drying of Process Materials and Agricultural Products. Bogor : JICA-DGHE/IPB Project/ADAET. Sarwono B. 2005. Ubijalar. Jakarta: Penebar Swadaya. Santri, N. 2006. Uji kinerja dan modifikasi alat pengering (rotary dryer) pada pengeringan sawut ubi jalar (Ipomea batatas L.) di unit pengolahan Badan Usaha Milik Petani (BUMP) Cibungbulang [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Sharma SK, Mulvaney SJ, Rizvi SSH. 2000. Food Process Engineering. New York: Jhon Wiley & Sons, Inc. Somantri AS. 2003. Persamaan korelasi kadar air keseimbangan untuk lada. Buletin Keteknikan Pertanian. 17:22-28. Stoecker WF. 1971. Design of Thermal Systems. Int. Student Edition. Tokyo: Mc Graw Hill.
Tan DLS, Miyamoto K, Ishibashi K, Matsuda K, Satow T. 2001. Thin-layer drying of sweet potato chips and pressed grates. Trans of the ASAE, 44(3) : 669-674. Yliniemi L. 1999. Advanced control of rotary dryer. http://www.herkules oulu//isbn 9514252810 [17 september 2006]. Cengel YA. 2003. Heat Transfer, A Practical Approach. Second Edition. New York: Mc Graw Hill. Widowati S, Sulismono, Suarni, Sutrisno, Komalasari O. 2002. Petunjuk Teknis Proses Pembuatan Aneka Tepung dari Bahan Pangan Sumber Karbohidrat Lokal. Jakarta: Balai Penelitian Pascapanen Pertanian. Winarno FG. 2002. Fisiologi Lepas Panen Produk Hortikultra. Bogor: M-Brio Press.
Lampiran 1. Gambar pengering rotari tipe co-current
Lampiran 2. Penukar panas (Heat Exchanger)
Lampiran 3. Mesin penyawut mekanis
a) tampak depan
b) tampak samping
c) tampak atas
Lampiran 4. Data warna umbi ubijalar
Sampel
ulangan
Y
x
y
L
a
b
U1
pangkal
71.02
0.3599
0.3837
87.5
-6.6
-21.5
tengah
71.6
0.3563
0.3803
87.8
-6.8
-22.5
ujung
68.97
0.3513
0.3738
86.5
-6.2
-23.9
rata-rata
70.53
0.3558
0.3793
87.27
-6.53
-22.63
pangkal
70.34
0.3633
0.3868
87.2
-6.4
-20.5
tengah
69.28
0.3608
0.3831
86.7
-5.9
-21.3
ujung
70.06
0.3645
0.3869
87.1
-5.9
-20.4
rata-rata
69.89
0.3629
0.3856
87
-6.1
-20.7
pangkal
72.2
0.3635
0.3873
88.1
-6.5
-20.6
tengah
69.18
0.3541
0.3753
86.6
-5.7
-23.4
ujung
69.62
0.3706
0.394
86.8
-6.1
-18.5
rata-rata
70.33
0.3627
0.3855
87.2
-6.1
-20.8
pangkal
73.95
0.3583
0.3821
88.9
-6.7
-22.2
tengah
72.85
0.3558
0.3788
88.4
-6.4
-23
ujung
72.08
0.3576
0.3796
88
-6
-22.6
rata-rata
72.96
0.3572
0.3802
88.4
-6.4
-22.6
U2
U3
U4
Lampiran 5. Data hasil pengukuran penurunan kadar air pada pengeringan lapisan tipis sawut ubijalar
Kadar air %bk (M) Waktu
50 oC 23.7%
50 oC 42.5%
56oC 15.4%
56 oC 26.9%
61 oC 13.7%
65 oC 10.4%
68 oC 13.5%
74 oC 7.3%
78 oC 10.2%
84 oC 10.6%
0
253.17
303.73
261.39
307.93
211.27
222.99
320.96
228.54
324.27
250.17
5
222.00
270.38
217.42
272.48
170.72
177.00
256.92
169.98
244.66
180.59
10
199.74
240.45
180.99
242.41
139.23
143.23
204.30
123.90
181.02
128.52
15
174.70
210.77
152.00
210.67
112.56
113.24
161.56
86.68
134.62
86.79
20
154.20
184.04
124.55
183.58
89.79
87.47
124.08
59.56
91.51
55.62
25
134.19
160.32
100.57
157.05
71.48
65.83
92.60
39.88
61.11
34.41
30
116.83
137.62
80.69
133.18
53.26
48.93
67.60
25.69
39.39
20.22
40
84.46
99.02
49.39
90.07
29.97
25.58
34.52
11.21
15.13
7.32
50
59.63
69.58
29.91
60.65
16.94
13.88
17.50
6.64
6.66
4.28
60
41.56
48.25
18.48
39.55
10.81
8.59
9.94
5.26
4.67
3.83
70
28.56
33.17
12.20
25.49
8.17
6.65
6.79
4.87
4.33
3.58
80
20.04
23.28
9.28
16.53
6.96
6.01
5.65
4.74
4.03
3.55
90
14.61
16.63
7.84
11.80
6.49
5.97
5.31
4.74
3.99
3.51
120
9.12
9.57
6.97
7.36
6.06
5.75
4.94
4.64
3.99
3.51
150
8.13
8.44
6.76
6.91
5.90
5.68
4.77
180
7.85
8.40
6.76
6.87
5.81
210
7.64
8.32
6.72
6.87
5.78
270
7.25
8.24
6.68
330
7.18
8.20
390
7.11
8.12
450
7.11
8.12
4.77
Lampiran 6. Sifat termofisik udara lingkungan tiap percobaan Percobaan I Jam
Suhu, C
Percobaan II Suhu, C
Percobaan III Suhu,C
Percobaan IV Suhu, C
bk
bb
RH (%)
bk
bb
RH (%)
bk
bb
RH (%)
bk
bb
RH (%)
07:00
26
23
77.7
25
22.5
80.9
24
21
76.8
24.5
22
80.7
08:00
29
25
72.6
28.5
25
75.5
28
22
59.6
28
24
72
09:00
32
26
62.5
31.5
26
65
31.5
25
59.3
31
25
61.8
10:00
33.5
26.5
58.1
33.5
27
60.7
33.5
26
55.5
33.5
26
55.5
11:00
36
27
50.1
35
26
49.3
35
26.5
51.7
35
26.5
51.7
12:00
37
27.5
48.6
37.5
27.5
46.8
36.5
26.5
46
36
26.5
47.8
13:00
38
27.5
45.1
38
27.5
45.1
37
27
46.4
37
27
46.4
14:00
38
26.5
40.9
38
27.5
45.1
39
27
39.8
36.5
27
48.2
15:00
36.5
27
48.2
36.5
27.5
50.5
37
27
46.4
35
27
54.1
16:00
35
27
54.1
35
27
54.1
35
27.5
56.6
33.5
27
60.7
Percobaan I
Percobaan II
Percobaan III
Percobaan IV
Jam
Entalpi (kJ/kg)
H (g/kg)
Entalpi (kJ/kg)
H (g/kg)
Entalpi (kJ/kg)
H (g/kg)
Entalpi (kJ/kg)
H (g/kg)
07:00
68.09
16.458
66.21
16.127
60.73
14.379
64.35
15.6
08:00
76.06
18.539
76.08
18.571
64.21
14.127
71.97
17.164
09:00
80.23
18.77
80.26
18.983
75.94
17.299
75.97
17.51
10:00
82.39
19.002
84.66
19.89
80.16
18.134
80.16
18.134
11:00
84.54
18.827
80.09
17.499
82.31
18.365
82.31
18.365
12:00
86.81
19.306
86.79
19.094
82.24
17.73
82.27
17.942
13:00
86.76
18.882
86.76
18.882
84.49
18.402
84.49
18.402
14:00
82.17
17.096
86.76
18.882
84.39
17.556
84.51
18.614
15:00
84.51
18.614
86.84
19.519
84.49
18.402
84.59
19.251
16:00
84.59
19.251
84.59
19.251
86.91
20.157
84.66
19.89
Lampiran 7. Suhu pembakaran di dalam tungku Tabel percobaan I dan II Waktu (menit) 0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48 51 54 57 60 63 66 69 72 75 78 81 84 87 90
mV 0 33.8 35.1 35.8 36.1 36.7 33.0 35.8 34.1 30.6 28.1 30.1 31.7 33.2 28.5 30.2 34.1 30.6 28.0 28.3 31.7 30.1 27.3 33.7 27.1 32.5 30.6 33.0 32.8 32.1 33.1
Percobaan I suhu, F suhu, C 89.6 32.0 1494.2 812.3 1552.0 844.4 1583.1 861.7 1596.4 869.1 1623.1 884.0 1459.9 793.3 1583.1 861.7 1507.6 819.8 1356.3 735.7 1248.3 675.7 1334.7 723.7 1403.7 762.1 1468.5 798.0 1265.6 685.3 1339.0 726.1 1507.6 819.8 1356.3 735.7 1244.0 673.3 1257.0 680.5 1403.7 762.1 1334.7 723.7 1213.8 656.6 1490.1 810.0 1205.2 651.8 1438.3 781.3 1356.3 735.7 1459.9 793.3 1451.2 788.5 1421.0 771.7 1464.2 795.7
mV 0 34.4 35.5 36.1 36.8 31.5 35.1 35.8 35.0 30.7 30.2 33.3 35.7 30.2 34.6 28.4 32.9 33.0 27.0 32.9 29.0 27.6 31.7 32.9 29.2 29.6 32.4 33.4 29.4 29.2 33.5
Percobaan II suhu, F suhu, C 89.6 32.0 1520.9 827.2 1569.8 854.3 1596.4 869.1 1627.6 886.4 1395.1 757.3 1552.0 844.4 1583.1 861.7 1547.6 842.0 1360.6 738.1 1339.0 726.1 1472.8 800.4 1578.7 859.3 1339.0 726.1 1529.8 832.1 1261.3 682.9 1455.5 790.9 1459.9 793.3 1200.9 649.4 1455.5 790.9 1287.2 697.3 1226.8 663.8 1403.7 762.1 1455.5 790.9 1295.9 702.2 1313.1 711.7 1434.0 778.9 1477.1 802.8 1304.5 706.9 1295.8 702.1 1481.4 805.2
Lampiran 7. Lanjutan Tabel percobaan III dan IV Waktu (menit) 0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48 51 54 57 60 63 66 69 72 75 78 81 84 87 90
mV 0 34.4 35.4 36.0 36.5 36.9 37.3 35.4 37.0 32.6 33.0 30.0 34.7 31.6 31.8 33.9 33.6 32.7 35.2 29.0 31.4 30.1 31.5 33.2 34.2 30.0 30.2 28.2 33.1 34.0 30.0
Percobaan III suhu, F suhu, C 89.6 32.0 1520.9 827.2 1565.3 851.9 1592.0 866.7 1614.2 879.0 1632.0 888.9 1649.8 898.8 1565.3 851.9 1636.4 891.4 1442.6 783.7 1459.9 793.3 1330.4 721.3 1534.2 834.6 1399.4 759.7 1408.1 764.5 1498.7 814.8 1485.8 807.6 1446.9 786.1 1556.4 846.9 1287.2 697.3 1390.8 754.9 1334.7 723.7 1395.1 757.3 1468.5 798.0 1512.0 822.2 1330.4 721.3 1339.0 726.1 1252.7 678.1 1464.2 795.7 1503.1 817.3 1330.4 721.3
mV 0 34.1 35.1 35.8 36.3 36.7 36.1 33.4 31.1 35.1 32.7 35.6 29.7 32.2 33.7 31.0 31.3 33.9 27.5 28.5 33.9 28.1 33.2 30.4 32.1 31.2 32.7 26.9 27.4 33.6 27.2
Percobaan IV suhu, F suhu, C 89.6 32.0 1507.6 819.8 1552.0 844.4 1583.1 861.7 1605.3 874.1 1623.1 884.0 1596.4 869.1 1476.4 802.5 1377.8 747.7 1552.0 844.4 1446.9 786.1 1574.2 856.8 1317.4 714.1 1425.3 774.1 1490.1 810.0 1373.5 745.3 1382.5 750.3 1498.7 814.8 1222.4 661.4 1265.6 685.3 1498.7 814.8 1248.3 675.7 1468.5 798.0 1347.6 730.9 1421.0 771.7 1421.0 771.7 1382.2 750.1 1196.3 646.9 1218.1 659.0 1485.8 807.6 1209.5 654.2
Lampiran 8. Perhitungan penurunan tekanan
1. Penurunan tekanan pada pipa penghubung Data pendukung : 1.8769 x 10-5 1.15336 0.0707 0.7373 1.2 9.0483 0.3 0.15
μu ρu A mu L v D ε
Re =
kg/ms kg/m3 m2 kg/s m m/s m mm
ρu ν D μ
Re =
166806.20
Diasumsikan pipa terbuat dari besi galvanisasi (ε = 0.15 mm) ε/D =
0.0005
Faktor gesekan dengan menggunakan persamaan Colebrook (1939) dalam Cengel (2003) ⎛ε 1 2.51 ⎞⎟ = −2.0 log⎜⎜ D + ⎜ 3.7 Re f ⎟⎟ f ⎝ ⎠
Nilai f ditentukan dengan trial and error F=
0.01915
ΔP = f
L ρ uν 2 D 2
ΔP =
3.6 Pa
2. Penurunan tekanan pada ruang pengering Asumsi : permukaan dalam ruang pengering halus.
Data pendukung : μu ρu A mu L v D ε
1.8769 x 10-5 1.15336 0.754 0.7373 1.2 0.89 0.98 0.002
kg/ms kg/m3 m2 kg/s m m/s m mm
Re =
ρu ν D μ
Re =
53596.92
Diasumsikan ruang pegering terbuat dari stainless steel (ε = 0.002 mm) ε/D =
2.0408E-06
Faktor gesekan dengan menggunakan persamaan Colebrook (1939) dalam Cengel (2003) ⎛ε 1 2.51 ⎞⎟ = −2.0 log⎜⎜ D + ⎜ 3.7 Re f ⎟⎟ f ⎝ ⎠ Nilai f ditentukan dengan trial and error F=
ΔP = f ΔP =
0.0223
L ρ uν 2 D 2 0.13 Pa
3. Penurunan tekanan akibat penyempitan mendadak Data pendukung: v A1 A2 ρu
9.05 0.2718 0.0707 1.15336
m/s m2 m2 kg/m3
Faktor koreksi akibat penyempitan saluran A2/A1 Cc
0.260 0.639 2
⎛1 ⎞ ν 2 ρu ⎜ ΔP = ⎜ − 1⎟⎟ 2 ⎝ cc ⎠ ΔP =
15.1 Pa
4. Penurunan tekanan akibat pembesaran mendadak Data pendukung: v A1 A2 ρu
9.05 0.2718 0.0707 1.15336
A1/A2
0.093713 2
⎛ A1 ⎞ ν 2 ρ u ⎟ ⎜ P 1 Δ =⎜ − A2 ⎟⎠ 2 ⎝ ΔP =
38.8 Pa
m/s m2 m2 kg/m3
Lampiran 9. Suhu inlet dan ruang pengering dengan kontrol suhu dan tanpa beban (pengujian I) Waktu 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 42 44 46 48 50 52 54 56 58 60 62 64 66 68 70 72 74 76
T inlet 33.18 58.98 77.61 92.90 110.10 116.79 123.48 130.65 127.78 129.21 129.69 129.69 132.56 131.13 131.13 133.52 130.65 132.56 133.04 133.04 131.60 133.99 133.04 132.08 133.52 133.04 132.08 132.08 133.52 133.04 133.04 133.04 131.60 133.04 133.99 133.04 132.08 134.47 133.52
T(1.36 m) 34.70 49.84 64.97 77.75 88.63 96.67 102.82 108.97 110.87 111.81 111.81 112.28 112.28 113.23 114.65 114.18 115.12 113.23 114.65 113.70 114.65 115.12 114.65 114.18 114.18 112.28 113.23 114.65 114.18 112.76 114.18 113.70 114.18 114.18 115.12 113.70 113.70 113.70 114.18
Temperatur, C T(8.22 m) T(9.58 m) 33.49 32.15 45.86 43.63 54.42 53.20 64.89 62.76 71.55 70.42 81.07 78.07 86.78 84.77 93.44 91.47 96.29 94.82 99.15 96.25 102.48 99.12 102.95 100.56 104.38 101.04 104.86 103.43 104.38 105.34 107.71 108.21 108.66 107.73 109.61 108.21 109.14 108.21 109.61 109.65 109.61 109.17 109.61 109.65 109.61 111.08 109.61 110.60 109.14 110.60 109.61 110.60 110.09 110.60 109.61 111.08 110.09 112.04 110.57 111.08 110.57 112.04 110.57 112.04 111.04 112.04 111.52 112.52 111.52 113.47 111.99 113.47 112.47 112.04 111.99 112.04 111.99 112.04
T(10.94 m) 33.11 43.58 54.06 62.63 69.77 77.39 84.53 89.77 93.11 95.49 98.34 100.25 100.25 103.11 105.01 105.49 106.92 108.34 107.39 108.82 108.82 109.30 110.73 109.77 110.73 110.25 110.25 110.25 111.20 110.73 111.68 111.68 111.68 112.15 112.63 112.63 111.68 111.68 112.15
T outlet 33.85 46.32 56.87 65.98 75.58 83.73 89.97 93.80 98.60 101.00 103.88 105.79 106.27 106.27 108.67 108.19 108.67 110.59 110.59 110.59 110.59 111.55 112.51 112.51 113.47 112.51 112.51 112.03 112.99 113.47 113.95 112.99 112.99 112.99 114.91 114.91 112.99 112.99 113.47
Lampiran 9. (Lanjutan) Waktu 78 80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 100 102 104 106 108 110 112 114 116 118 120
T inlet 134.95 133.99 134.47 133.52 133.52 133.99 132.56 133.04 133.52 133.99 133.52 133.52 132.08 132.56 132.56 132.08 131.60 132.08 132.08 132.08 132.56 133.04
T(1.36 m) 114.18 114.18 114.18 113.23 113.23 114.18 113.23 113.70 113.70 112.76 113.70 113.70 112.76 112.28 113.70 112.28 112.28 112.76 112.28 113.23 112.76 18.14
Temperatur, C T(8.22 m) T(9.58 m) 112.47 113.00 112.47 112.52 111.99 112.52 112.47 113.47 113.42 113.47 112.94 112.52 112.94 112.52 112.47 112.52 112.47 112.52 112.47 112.52 112.47 113.47 112.94 113.00 112.47 113.00 112.94 112.52 112.47 112.52 112.94 113.00 112.94 113.00 112.94 113.00 112.94 113.00 112.94 113.47 113.42 113.47 112.94 113.00
T(10.94 m) 112.63 112.63 112.15 113.11 113.11 112.15 111.68 112.15 112.15 112.15 113.11 112.63 112.15 112.15 112.63 112.63 112.63 112.63 113.11 113.11 113.11 112.63
T outlet 113.95 113.47 112.99 114.43 113.95 113.47 112.99 112.99 112.99 112.99 113.95 114.43 113.95 113.47 113.95 113.95 113.95 113.95 113.95 114.43 114.43 113.95
Lampiran 10. Grafik suhu ruang pengering pada pengumpanan 3 kg/1 menit (a) dan pengumpanan 3 kg/3 menit (b) 160 140
Suhu (C)
120 100 80 60 40 20 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
120
130
140
Waktu (menit) T inlet
T 1.36 m
T 9.58 m
T 10.94 m
T outlet
(a) pengumpanan 3 kg/1 menit
160 140
S uhu (C)
120 100 80 60 40 20 0 0
30
60
90
120
150
180
210
Waktu (menit) T inlet
T 1.36 m
T 9.58 m
T 10.94 m
(b) pengumpanan 3 kg/3 menit
T outlet
240
Lampiran 11. Fluktuasi RH pada outlet
100 90 80
R H (% )
70 60 50 40 30 20 10 0 0
50
100
150
200
Waktu (menit) Percobaan IV
Percobaan III
Percobaan I
250
300
Lampiran 12. Grafik kecepatan udara dalam ruang pengering
12
Kecepatan (m/s)
10 8 6 4 2 0 0
1.23
2.46
3.69
4.92
6.15
Jarak (m)
7.38
8.61
9.84
11.07
12.3
Lampiran 13. Hasil pengukuran kadar air umbi dan sawut ubijalar
Percobaan
sampel
I
K1 K2 K3 rata-rata K1 K2 K3 rata-rata K1 K2 K3 Rata-rata K1 K2 K3 rata-rata K1 K2 K3 K4 rata-rata
II
III
IV
Umbi
Kadar air (%bb) awal akhir 68.10 68.31 68.90 68.44 63.41 71.66 64.81 66.63 68.10 68.31 68.90 68.44 68.78 69.39 68.27 68.81 61.05 61.64 60.76 60.96 61.10
37.86 42.53 37.77 39.39 25.65 27.01 27.13 26.6 15.88 16.16 16.48 16.17 7.88 8.26 8.29 8.26 -
Lampiran 14. Data warna sawut kering Percobaan Sampel I
FR11
FR21
II
FR22 FR23
FR31
III
FR32 FR33
FR41
IV
FR42 FR43
ulangan I II III rata-rata I II III I II III I II III rata-rata I II III I II III I II III rata-rata I II III I II III I II III rata-rata
Y 46.38 46.7 46.72 46.6 56.11 55.44 56.62 56.46 55.15 55.87 57.6 54.23 58.97 56.27 55.49 54.46 56.73 53.71 54.27 55.35 55.24 53.35 55.93 54.95 61.6 61.89 61.62 60.4 61.36 60.64 60.91 64.22 62.88 61.72
x 0.3376 0.3379 0.3381 0.3379 0.3409 0.3399 0.3411 0.3412 0.3406 0.341 0.3408 0.3414 0.3401 0.3408 0.3391 0.3397 0.3387 0.3387 0.3381 0.3375 0.3386 0.3392 0.3391 0.3387 0.3486 0.3493 0.3501 0.3481 0.3477 0.3499 0.3493 0.3474 0.3489 0.3488
y 0.3539 0.3543 0.3545 0.3542 0.3475 0.3468 0.3476 0.3483 0.3474 0.3478 0.3477 0.3482 0.3471 0.3476 0.3455 0.3456 0.3449 0.345 0.3434 0.3435 0.3448 0.3449 0.345 0.3447 0.3554 0.3563 0.3565 0.3557 0.3551 0.3571 0.3565 0.3549 0.3558 0.3559
L 73.8 74 74 73.93 79.67 79.29 79.96 79.87 79.12 79.53 80.51 78.59 81.27 79.76 79.32 78.72 80.02 78.28 78.61 79.23 79.17 78.08 79.57 79.00 82.69 82.85 82.7 82.05 82.57 82.18 82.32 84.08 83.37 82.76
a -3.6 -3.6 -3.6 -3.6 4.42 4.26 4.46 4.21 4.25 4.31 4.31 4.27 4.31 4.31 4.43 4.63 4.54 4.43 4.84 4.57 4.51 4.66 4.65 4.58 4.48 4.44 4.69 4.15 4.26 4.3 4.34 4.29 4.5 4.38
b -25.4 -25.3 -25.3 -25.33 10.34 9.92 10.43 10.66 10.21 10.42 10.46 10.52 10.25 10.36 9.4 9.44 9.19 9.08 8.48 8.49 9.08 9.11 9.27 9.06 14.55 14.97 15.16 14.47 14.29 15.24 14.99 14.37 14.81 14.76
Lampiran 15. Tampilan hasil simulasi
a. Percobaan I
b. Percobaan III
Lampiran 16. Asumsi-asumsi perhitungan biaya pokok pengeringan
No
Uraian
1
2 3 4 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Harga pengering rotari Konstruksi pengering dan motor Kipas Burner Corong penampungan Penukar panas + tungku Total Jumlah hari kerja per tahun (hari) Jam kerja per orang (jam) Kapasitas alat (kg/jam) Umur ekonomi (tahun) Bunga modal (%/tahun) Nilai akhir alat (%) Konsumsi minyak tanah (lt/jam) Konsumsi listrik (kWh/kg) Harga ubijalar (Rp/kg) Harga minyak tanah (Rp/liter) Harga listrik (Rp/kWH) Upah tenaga kerja (Rp/jam) Jumlah tenaga kerja (orang) Jam tenaga kerja/thn (jam/thn)
17 18
Pemeliharaan (Rp/jam) Pajak (%/tahun)
Komponen Biaya Biaya tetap Biaya penyusutan (Rp/tahun) Biaya bunga modal (Rp/tahun) Pajak (Rp/tahun) Total biaya tetap (Rp/tahun) Total biaya tetap (Rp/jam) Biaya tidak tetap Biaya bahan bakar (Rp/jam) Biaya listrik (Rp/jam) Biaya tenaga kerja (Rp/jam) Biaya pemeliharaan (Rp/jam) Total biaya tidak tetap (Rp/jam) Biaya pokok pengeringan (Rp/kg sawut basah) Biaya pokok pengeringan (Rp/kg sawut kering)
Percobaan I
II
III
IV
90 000 000 7 000 000 1 600 000 4 750 000 20 000 000 123 350 000 360 12 101.32 5 12 10 12.44 0.1 1500 3500 675 3000 4 4320
90 000 000 7 000 000 1 600 000 4 750 000 20 000 000 123 350 000 360 12 72.41 5 12 10 11.02 0.14 1500 3500 675 3000 4 4320
90 000 000 7 000 000 1 600 000 4 750 000 20 000 000 123 350 000 360 12 56.19 5 12 10 11.05 0.18 1500 3500 675 3000 4 4320
90 000 000 7 000 000 1 600 000 4 750 000 20 000 000 123 350 000 360 12 43.67 5 12 10 10.99 0.23 1500 3500 675 3000 4 4320
286 1.5
286 1.5
286 1.5
286 1.5
Percobaan I
II
III
IV
22 203 000 8 881 200 1 850 250 32 934 450 7 624
22 203 000 8 881 200 1 850 250 32 934 450 7 624
22 203 000 8 881 200 1 850 250 32 934 450 7 624
22 203 000 8 881 200 1 850 250 32 934 450 7 624
43 540 6 851 12 000 286 62 677
38 570 6 851 12 000 286 57 707
38 675 6 851 12 000 286 57 812
38 465 6 851 12 000 286 57 602
694
902
1 165
1 494
1 384
2 209
3 299
4 747