SKRIPSI
UJI KINERJA PENGERING SURYA EFEK RUMAH KACA TIPE RESIRKULASI PADA PENGERINGAN JAGUNG PIPILAN
Oleh : Mohamad Irfan F14102070
2008 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
UJI KINERJA PENGERING SURYA EFEK RUMAH KACA TIPE RESIRKULASI PADA PENGERINGAN JAGUNG PIPILAN
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh : Mohamad Irfan F14102070
2008 DEPATEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
UJI KINERJA PENGERING SURYA EFEK RUMAH KACA TIPE RESIRKULASI PADA PENGERINGAN JAGUNG PIPILAN
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh : Mohamad Irfan F14102070 Dilahirkan pada tanggal 2 Desember 1984 di Jakarta Tanggal lulus : 22 Agustus 2008
Menyetujui, Bogor, September 2008
Prof. Dr. Kamaruddin Abdullah Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Dr. Ir. Wawan Hermawan, MS Ketua Departemen Teknik Pertanian
RIWAYAT HIDUP Mohamad Irfan lahir di Jakarta tanggal 7 juli 1983 yang merupakan anak ke empat dari empat bersaudara dari ayah bernama Alm. H. M. Nur Ali dan ibu bernama Rumyanih. Pendidikan penulis dimulai dari tahun 1990 di SD Negeri 09 Pagi Jagakarsa. Tahun 1996 penulis melanjutkan pendidikan tingkat menengah pertama di SLTP Negeri 166 Jakarta kemudian tahun 1999 memasuki pendidikan tingkat menengah atas di SMU Negeri 38 Jakarta. Melalui jalur USMI penulis diterima sebagai mahasiswa Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002. Selama menjadi mahasiswa penulis menjadi Sekretaris Umum DPM Fateta IPB periode 2004-2005. Pada tahun 2005 penulis melaksanakan praktek lapangan di PTPN VIII Perkebunan Gedeh Cianjur
dengan mengambil judul
“Mempelajari Aspek Energi Pada Proses Pengolahan Tim Tam Wafer di PT Arnott’s Indonesia, Bekasi”. Penelitian penulis berjudul “ Uji Kinerja Pengering Surya Efek Rumah Kaca Tipe Resirkulasi pada Pengeringan Jagung Pipilan” yang dilakukan di Universitas Dharma Persada, Jakarta pada tahun 2007 dibawah bimbingan Prof. Dr. Kamaruddin Abdullah. Dengan rahmat Allah, penulis dinyatakan lulus sebagai Sarjana Teknologi Pertanian pada tanggal 22 Agustus 2008.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. wb. Segala puji kita panjatkan ke hadlirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat-Nya kepada kita semua sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Semoga shalawat serta salam tercurahkan kepada Rasulullah SAW, manusia terbaik sepanjang zaman. Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Almarhumah Ayah dan Ibu atas dukungan dan semangatnya, 2. Adik dan Kakak-kakakku atas doa, kasih sayang dan semangatnya, 3. Prof. Dr. Kamaruddin Abdullah, MSA sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan ilmu, bimbingan, tauladan dan pengarahan, penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya, 4. Pak Harto dan Firman atas bantuannya dalam memperlancar penelitian ini, 5. Arifah, SE atas dukurangan moral dan material yang sangat besar, 6. Dias A. dan Gilang A. atas kerjasamanya dan nasehatnya, 7. Hakim dan Budi yang selalu mengingatkan dan meluruskan niat saya dalam menyelesaikan skipsi ini. 8. Keluarga atas doa dan bantuannya selama ini. Penulis sadar akan banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, sehingga kritik dan saran membangun sangat diharapkan demi perbaikan tulisan ini ke depan.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Bogor, Agustus 2008
Penulis
Uji Kinerja Pengering Surya Efek Rumah Kaca Tipe Resirkulasi pada Pengeringan Jagung Pipilan. 2008 Nama Mahasiswa NIM Tanggal Lulus Pembimbing
: Mohamad Irfan : F14102070 : 22 Agustus 2008 : Prof. Dr. Kamaruddin Abdullah Ringkasan
Peningkatan produksi jagung pada musim panen mengakibatkan rendahnya harga jual jagung di tingkat produsen. Pengeringan jagung merupakan solusi untuk meningkatkan harga jual produk ini. Pengeringan yang memanfaatkan energi surya merupakan pilihan alternatif. Faktor yang mendorong berkembangnya pengeringan dengan energi surya di Indonesia dikarenakan ketersediaan surya yang melimpah, dan merupakan energi terbarukan, gratis dan ramah lingkungan. Pengeringan merupakan proses pengurangan kadar air bahan sampai mencapai kadar air tertentu sehingga dapat menghambat laju kerusakan bahan akibat aktivitas biologis dan kimia. Parameter-parameter yang mempengaruhi pengeringan antara lain waktu pengeringan, suhu, kelembaban udara, laju aliran udara, kadar air awal bahan dan kadar air bahan kering. Salah satu upaya dalam menyeragamkan kadar air akhir dan waktu pengeringan pada setiap produk adalah meresirkulasi produk tersebut sehingga terjadi penerimaan panas pada produk lebih merata. Selain itu kontak langsung yang terjadi antara plat absorber dengan produk dapat mempercepat efektifitas dan efisiensi pengeringan. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan uji kinerja alat pengering surya efek rumah kaca (ERK) tipe resirkulasi. Sedangkan tujuan khususnya yaitu melakukan uji kinerja sub sistem rumah kaca sebagai pengering meliputi penyebaran suhu dalam ruang pengering, laju pengeringan, kebutuhan energi surya dan listrik. Bahan yang digunakan dalam pergujian adalah jagung pipilan varietas hibrida. Dalam penelitian ini parameter yang diukur meliputi iradiasi surya, kecepatan angin, suhu dan RH udara lingkungan dan di dalam bangunan pengering, kecepatan angin, perubahan kadar air produk, dan laju resirkulasi produk. Suhu rata-rata ruang pengering yang dicapai pada percobaan 1 dan 2 sebesar 54.7 dan 50.3 oC dengan radiasi surya rata-rata sebesar 615.20 dan 583.06 W/m2. Pada percobaan 3, suhu rata-rata ruang pengering yang dicapai sebesar 45.0oC dengan membakar biomassa sebesar 9.8 kg. Mesin pengering tipe resirkulasi ini mampu mengeringkan jagung sebanyak 35 kg pada tiga percobaan yang berbeda dengan kadar air awal masing-masing 30.2%, 29.8% dan 30.2% bb dalam waktu 5, 5 dan 7 jam. Nilai rendemen pada percobaan 1, 2 dan 3 sebesar 77.14, 78.0 dan 77.14 % dengan kadar akhir masing-masing sebesar 12.8%, 12.9% dan 12.8% bb dan laju pengeringan rata-rata sebesar 5.9, 5.4 dan 4.1 %bk/jam. Komposisi pemanfaatan energi listrik pada percobaan 1, 2 dan 3 untuk menggerakkan blower masing-masing sebesar 8.12%, 8.53 % dan 1.26%.
Penggunaan sumber energi terbarukan berupa irradiasi surya pada percobaan 1 dan 2 memiliki persentase sebesar 91.88% dan 91.47%. Penggunaan sumber energi biomassa pada percobaan 3 sebesar 98.74%. Efisiensi termal yang dicapai alat pengering pada percobaan 1, 2 dan 3 berturut-turut masing-masing sebesar 59.42%, 54.16% dan 13.28%. Efisiensi sistem alat pengering ini sebesar 32.53%, 33.90% dan 6.38%. Konsumsi energi spesifik pada percobaan 1, 2 dan 3 sebesar 0.56, 0.58 dan 0.79 MJ energi listrik/kg uap air.
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .......................................................................................
i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii DAFTAR TABEL ............................................................................................. v DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... vii DAFTAR SIMBOL ........................................................................................... viii I. PENDAHULUAN........................................................................................ 1 A. LATAR BELAKANG ............................................................................ 1 B. TUJUAN ................................................................................................. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 4 A. TANAMAN JAGUNG ........................................................................... 4 1. Botani Tanaman Jagung .................................................................... 4 2. Kegunaan Tanaman Jagung .............................................................. 5 3. Nilai Ekonomi Jagung Hasil Pengeringan ....................................... 6 4. Pengelolaan Jagung Hasil Pengeringan ............................................ 6 B. PENGERINGAN .................................................................................... 7 1. Teknis Pengeringan ........................................................................... 7 2. Pengering Surya Tipe Resirkulasi ..................................................... 9 C. PERKEMBANGAN PENELITIAN PENGERINGAN BERENERGI SURYA ............................................................................ 10 D. HASIL-HASIL PENELITIAN PENGERINGAN JAGUNG ................. 13 E. PENGERING EFEK RUMAH KACA ................................................... 15 F. BIOMASSA DAN TUNGKU BIOMASSA ........................................... 16 G. PINDAH PANAS DALAM PENGERING ERK ................................... 18 III. PERCOBAAN A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ............................................... 19 B. BAHAN DAN ALAT ............................................................................. 19 C. GAMBAR DAN CARA KERJA PENGERING .................................... 19 D. PROSEDUR PERCOBAAN................................................................... 21 E. PARAMETER YANG DIUKUR ........................................................... 21 F. PERHITUNGAN KINERJA TEKNIS PENGERING ............................ 24
vi
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 26 A. KINERJA MESIN PENGERING RESIRKULASI PADA PROSES PENGERINGAN JAGUNG.................................................... 26 1. Perubahan Irradiasi Surya terhadap Waktu Pengeringan .................. 26 2. Perubahan Suhu terhadap Waktu Pengeringan ................................. 27 3. Perubahan Kelembaban Udara terhadap Waktu Pengeringan .......... 32 4. Perubahan Kadar Air terhadap Waktu Pengeringan ......................... 35 5. Laju Pengeringan .............................................................................. 39 6. Lama Pengeringan ............................................................................. 44 7. Konsumsi dan Efisiensi Energi Selama Proses Pengeringan ............ 45 B. PERBANDINGAN KINERJA MESIN PENGERING .......................... 48 V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 50 A. KESIMPULAN ....................................................................................... 50 B. SARAN ................................................................................................... 51 VI. DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 52
vii
DAFTAR TABEL Tabel 1. Komposisi kimia dan zat gizi jagung kuning pipilan (setiap 100 gram) .. 7 Tabel 2. Transmisi cahaya & panas beberapa bahan transparan ........................... 15 Tabel 3. Nilai kalor beberapa bahan bakar............................................................ 16 Tabel 4. Nilai kalor bahan bakar biomassa ........................................................... 17 Tabel 5. Potensi limbah industri ........................................................................... 17 Tabel 6. Perbandingan efisiensi beberapa jenis tungku berdasarkan bahannya.... 17 Tabel 7. Panas latent penguapan air pada suhu 10-60oC (tabel steam)..................25 Tabel 8. Perbandingan penurunan kadar air percobaan 1 ..................................... 37 Tabel 9. Perbandingan penurunan kadar air percobaan 2 ..................................... 38 Tabel 10. Perbandingan penurunan kadar air percobaan 3 ................................... 39 Tabel 11. Laju pengeringan percobaan 1 .............................................................. 41 Tabel 12. Laju pengeringan percobaan 2 .............................................................. 42 Tabel 13. Laju pengeringan percobaan 3 .............................................................. 44 Tabel 14. Komposisi konsumsi energi untuk pengeringan jagung ....................... 45 Tabel 15. Pemanfaatan energi untuk pengeringan jagung .................................... 45 Tabel 16. Perbandingan efisiensi berbagai tipe pengering.................................... 47
viii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Proses pengeringan secara umum pada kurva psychrometric ............... 8 Gambar 2. Diagram pindah panas dan massa pada pengering ERK ..................... 14 Gambar 3. Pengering surya tipe resirkulasi .......................................................... 16 Gambar 4. Profil irradiasi surya pada percobaan 1 ............................................... 28 Gambar 5. Profil irradiasi surya pada percobaan 2 ............................................... 28 Gambar 6. Perubahan suhu udara terhadap waktu pengeringan percobaan 1 ....... 29 Gambar 7. Perubahan suhu udara terhadap waktu pengeringan percobaan 2 ....... 30 Gambar 8. Perubahan suhu udara terhadap waktu pengeringan percobaan 3 ....... 32 Gambar 9. Perubahan kelembaban udara terhadap waktu pengeringan percobaan 1 ......................................................................................... 33 Gambar 10. Perubahan kelembaban udara terhadap waktu pengeringan percobaan 2 ........................................................................................ 34 Gambar 11. Perubahan kelembaban udara terhadap waktu pengeringan percobaan 3 ........................................................................................ 35 Gambar 12. Penurunan kadar air (%bb) bahan terhadap waktu pengeringan percobaan 1, 2 dan 3 .......................................................................... 36 Gambar 13. Grafik perbandingan perubahan kadar air (%bk) pada percobaan 1 . 37 Gambar 14. Grafik perbandingan perubahan kadar air (%bk) pada percobaan 2 . 38 Gambar 15. Grafik perbandingan perubahan kadar air (%bk) pada percobaan 3 . 39 Gambar 16. Grafik laju pengeringan terhadap waktu pada percobaan 1 .............. 41 Gambar 17. Grafik laju pengeringan terhadap waktu pada percobaan 2 .............. 42 Gambar 18. Grafik laju pengeringan terhadap waktu pada percobaan 3 .............. 43 Gambar 19. Konsumsi energi spesifik dari beberapa penelitian pengeringan jagung ................................................................................................ 49
ix
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Karakteristik Udara Pengering Percobaan 1 ..................................... 54 Lampiran 2. Karakteristik Udara Pengering Percobaan 2 ..................................... 58 Lampiran 3. Karakteristik Udara Pengering Percobaan 3 ..................................... 62 Lampiran 4. Penentuan nilai UA termos ............................................................... 66 Lampiran 5. Pengukuran dan perhitungan iradiasi surya dengan termos iradiasi. 67 Lampiran 6. Pengukuran suhu plat absorber ......................................................... 69 Lampiran 7. Perhitungan panas yang dihasilkan pembakaran biomassa .............. 70 Lampiran 8. Pengukuran laju resirkulasi produk .................................................. 71 Lampiran 9. Pengukuran laju udara pengering ..................................................... 72 Lampiran 10. Perbandingan kadar air dan laju pengeringan antara pengukuran dan perhitungan............................................................................... 73 Lampiran 11.Gambar pengering resirkulasi pada pengeringan jagung ................ 74 Lampiran 12.Titik pengukuran dan pola aliran udara pengering .......................... 76 Lampiran 13. Perhitungan kebutuhan energi ........................................................ 77 Lampiran 14. Perhitungan efisiensi....................................................................... 78
x
DAFTAR SIMBOL AP
= Luas permukaan pengering (m2)
Ater
= Luas tutup termos (m2)
Cpb
= Panas jenis produk (kJ/kgoC)
Cpter
= panas jenis air dalam termos (kJ/kg oC)
Cpu
= Kalor jenis udara (kJ/kgoC)
dTater dt
= Perubahan suhu air dalam termos terhadap waktu (oC/detik)
dM dt
= Laju pengeringan (%b.k./jam)
If
= Irradiasi akhir (W/m2)
Igl
= Irradiasi selang pengukuran ganjil (W/m2)
Igp
= Irradiasi selang pengukuran genap (W/m2)
Ih
= Total iradiasi surya harian (Wh/m2)
Ii
= Irradiasi awal (W/m2)
IR
= Irradiasi surya (W/m2)
Iter
= Irradiasi surya pengukuran(W/m2)
KES
= Konsumsi energi spesifik
mb
= Massa biomassa (kg)
mo
= Massa awal produk (kg)
mu
= Massa air yang diuapkan (kg)
mter
= Massa air dalam termos (kg)
Mf
= Kadar air akhir (%b.k.)
Mo
= Kadar air awal produk (%bk)
Me
= Kadar air keseimbangan (%bk)
Nkb
= Nilai kalor bahan (kJ/kg)
Pk
= Daya kipas (W)
qu
= Debit udara (m3/s)
Q1
= Energi surya yang diterima alat pengering (kJ)
Q2
= Energi biomassa (kJ)
Q3
= Energi listrik (kJ)
Q4
= Panas menaikkan suhu produk (kJ)
xi
Q5
= Panas penguapan air produk (kJ)
Q6
= Panas yang diterima udara pengering (kJ)
Qd
= Panas yang dibutuhkan menaikkan suhu produk dan menguapkan air produk
Qs
= Energi yang tersedia untuk pengeringan (kJ)
t
= Lamanya proses pengeringan (jam)
tbb
= Suhu bola basah (oC)
tbk
= Suhu bola kering (oC)
T
= Suhu mutlak (oK)
Tater
= Suhu air dalam termos (oC)
TL
= Suhu lingkungan (oC)
TR
= Suhu ruang pengering (oC)
TB
= Suhu produk (oC)
Tr
= Suhu udara ruang pengering (oC)
Tl
= Suhu udara lingkiungan (oC)
Uter
= Kehilangan energi dari termos (Watt)
vu
= Volume jenis udara (m3/kg)
τ
= Transmisifitas bahan alat pengering
α
= Absorbsifitas bahan
ηtermal
= Efisiensi termal
ηpengeringan = Efisiensi pengeringan ηtotal
= Efisiensi total sistem
ΔHfg
= Panas laten penguapan air produk pada suhu Tb (kJ/kg)
ΔHfgw
= Panas laten penguapan air pada udara pengering pada suhu pengeringan (kJ/kg)
Δt
= Selang waktu pengukuran (jam)
xii
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hasil produksi industri yang meningkat dan naiknya tingkat kemakmuran dalam beberapa dekade ini memicu kenaikan kebutuhan akan energi. Hal ini membuat ketidakseimbangan antara kebutuhan dengan ketersediaan sumber energi fosil, yang mengakibatkan semakin menipisnya cadangan energi fosil di dunia. Oleh karena itu pemenuhan kebutuhan akan energi harus sejalan dengan pengembangan pemanfaatan energi alternatif selain bahan bakar fosil. Pemanfaatan energi terbarukan belum banyak diketahui dan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, khususnya di tempattempat terpencil yang sumber-sumber energi komersial masih langka. Di sisi lain, Indonesia memiliki potensi sumber energi terbarukan yang cukup besar. Di masa mendatang, potensi pengembangan sumber energi terbarukan mempunyai peluang besar dan bersifat strategis mengingat sumber energi terbarukan merupakan sumber energi yang bersih, ramah lingkungan dan berkelanjutan. Perlunya pengering energi surya berupa sistem permesinan dan bukan dalam bentuk penjemuran juga merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kualitas hasil pengeringan karena dapat menghasilkan keseragaman dalam kadar air produk, disamping keuntungan untuk memperpanjang masa simpan. Mengingat kondisi sebagian besar produsen hasil pertanian dan kelautan yang memerlukan proses pengeringan produk oleh petani-petani dan nelayan miskin, maka selain pengadaan mesin-mesin pengering yang dapat berfungsi untuk menghasilkan kualitas prima perlu pula diupayakan harga dari alat pengering dapat terjangkau oleh petani miskin tersebut. Produksi jagung yang melimpah pada musim panen mengakibatkan harga jual jagung turun dari harga standar pada tingkat produsen. Pengeringan jagung merupakan salah satu solusi untuk dapat meningkatkan harga jual produk jagung. Metode pengeringan yang dapat digunakan terbagi menjadi dua macam yaitu pengeringan alami dan pengeringan buatan. Pengeringan alami yaitu pengeringan dengan memanfaatkan sinar matahari secara langsung. Cara ini banyak digunakan karena murah dana mudah, namun
1
kendala metode pengeringan ini adalah memerlukan tempat yang luas, sangat bergantung pada cuaca, serta mudah terkontaminasi benda-benda asing. Pengeringan buatan adalah metode pengeringan yang dalam operasi pengeringannya menggunakan bantuan alat pengering. Metode ini bertujuan untuk mengatasi kekurangan pada metode pengeringan alami. Pengeringan yang memanfaatkan energi surya merupakan pilihan alternatif. Faktor yang mendorong berkembangnya pengeringan dengan energi surya di Indonesia dikarenakan ketersediaan surya yang melimpah, dan merupakan energi terbarukan, gratis dan ramah lingkungan. Abdullah (1995) dalam Darmawan 2003 telah membuat desain pengering efek rumah kaca (ERK) berenergi surya dari bahan fiberglass. Suatu pengering surya tipe resirkulasi merupakan tipe mesin pengering yang dapat memanfaatkan tenaga surya sebagai sumber panasnya. Pada kondisi cuaca yang kurang mendukung atau pada saat malam hari, proses pengeringan dapat terus berlangsung dengan mengoperasikan tungku biomassa sebagai pemanas tambahan. Pemanfaatan tenaga matahari sebagai sumber panas merupakan suatu bentuk solusi penyediaan energi alternatif, pada saat krisis energi seperti yang dihadapi oleh masyarakat kita saat ini terutama bagi produsen yang berada jauh terpencil dari jangkauan jaringan transportasi. Walaupun demikian dengan adanya potensi ekspor seperti yang sedang dilakukan oleh Pemda Gorontalo, pengering tipe resirkulasi dengan sumber energi terbarukan diharapkan dapat membantu dalam penekanan biaya pengeringan, percepatan proses pengeringan untuk dapat memenuhi target permintaan volume ekspor, sekaligus mempertahankan kualitas produk berupa keseragaman dalam kadar air akhir. Dalam penelitian ini akan diuji kinerja dari suatu sistem pengering yang telah ada dan dari uji tersebut akan diperoleh suatu nilai efisiensi dari masing-masing bagian alat pengering sebagai suatu nilai kelayakan kinerja sistem pengering. Diharapkan dari nilai tersebut dapat ditindak lanjuti dengan pemeliharaan dan perbaikan atau modifikasi dibagian yang efisiensinya rendah.
2
B. TUJUAN Tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk melakukan uji kinerja alat pengering surya efek rumah kaca (ERK) tipe resirkulasi. Sedangkan tujuan khususnya yaitu melakukan uji kinerja sub sistem rumah kaca sebagai pengering meliputi penyebaran suhu dalam ruang pengering, laju pengeringan, kebutuhan energi surya dan listrik.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA A. TANAMAN JAGUNG 1. Botani Tanaman Jagung Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan bijibijian dari keluarga rumput-rumputan. Wikipedia Indonesia (2007) menyatakan bahwa asal dari tanaman jagung adalah Amerika Tengah (Meksiko bagian selatan). Budidaya jagung telah dilakukan di daerah ini 10.000 tahun yang lalu, lalu teknologi ini dibawa ke Amerika Selatan (Ekuador) sekitar 7000 tahun yang lalu, dan mencapai daerah pegunungan di selatan Peru pada 4000 tahun yang lalu. Kemudian tersebar ke Asia dan Afrika melalui kegiatan bisnis orang-orang Eropa ke Amerika. Sekitar abad ke-16 orang Portugal menyebarluaskannya ke Asia termasuk Indonesia.. Kajian filogenetik menunjukkan bahwa jagung (Zea mays ssp. mays) merupakan keturunan langsung dari teosinte (Zea mays ssp. parviglumis). Dalam proses domestikasinya, yang berlangsung paling tidak 7000 tahun oleh penduduk asli setempat, masuk gen-gen dari subspesies lain, terutama Zea mays ssp. mexicana. Istilah teosinte sebenarnya digunakan untuk menggambarkan semua spesies dalam genus Zea, kecuali Zea mays ssp. mays. Proses domestikasi menjadikan jagung merupakan satu-satunya spesies tumbuhan yang tidak dapat hidup secara liar di alam. Hingga kini dikenal 50.000 varietas jagung, baik ras lokal maupun kultivar (Wikipedia Indonesia, 2007). Sistematika tanaman kedelai adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisio
: Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Sub Divisio
: Angiospermae (berbiji tertutup)
Classis
: Monocotyledone (berkeping satu)
Ordo
: Graminae (rumput-rumputan)
Familia
: Graminaceae
Genus
: Zea
Species
: Zea mays L. Di Indonesia, daerah-daerah penghasil utama tanaman jagung
adalah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Madura, D.I. Yogyakarta,
4
Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Maluku. Khusus di Daerah Jawa Timur dan Madura, budidaya tanaman jagung dilakukan secara intensif karena kondisi tanah dan iklimnya sangat mendukung untuk pertumbuhannya (Warintek, 2007). Menurut situs Warintek (2007) menyatakan bahwa tanaman jagung berasal dari daerah tropis yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan di luar daerah tersebut. Iklim yang dikehendaki oleh sebagian besar tanaman jagung adalah daerah-daerah beriklim sedang hingga daerah beriklim sub-tropis/tropis yang basah. Jagung dapat tumbuh di daerah yang terletak antara 0-50 derajat LU hingga 0-40 derajat LS. Pertumbuhan tanaman ini memerlukan curah hujan ideal sekitar 85-200 mm/bulan dan harus merata. Pertumbuhan tanaman jagung sangat membutuhkan sinar matahari. Suhu yang dikehendaki tanaman jagung antara 21-34 oC Jagung tidak memerlukan persyaratan tanah yang khusus. Keasaman tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman jagung adalah pH antara 5,6-7,5. Tanaman jagung membutuhkan tanah dengan aerasi dan ketersediaan air dalam kondisi baik. Tanah dengan kemiringan kurang dari 8% dapat ditanami jagung. Jagung dapat ditanam di Indonesia mulai dari dataran rendah sampai di daerah pegunungan yang memiliki ketinggian antara 1000-1800 m dpl. Daerah dengan ketinggian optimum antara 0-600 m dpl merupakan ketinggian yang baik bagi pertumbuhan tanaman jagung (Warintek, 2007). 2. Kegunaan Tanaman Jagung Tanaman jagung sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan hewan. Di Indonesia, jagung merupakan komoditi tanaman pangan kedua terpenting setelah padi. Berdasarkan urutan bahan makanan pokok di dunia, jagung menduduki urutan ke 3 setelah gandum dan padi. Di daerah Madura sebagai sentra penanaman jagung, jagung banyak dimanfaatkan sebagai makanan pokok. Tanaman jagung banyak sekali gunanya, sebab hampir seluruh bagian tanaman dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan (Warintek, 2007).
5
Berdasarkan situs Warintek (2007) menyatakan bahwa selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga ditanam sebagai pakan ternak (hijauan maupun tongkolnya), diambil minyaknya (dari biji), dibuat tepung (dari biji, dikenal dengan istilah tepung jagung atau maizena), dan bahan baku industri (dari tepung biji dan tepung tongkolnya). Tongkol jagung kaya akan pentosa, yang dipakai sebagai bahan baku pembuatan furfural. Jagung yang telah direkayasa genetika juga sekarang ditanam sebagai penghasil bahan farmasi. Selain buah, batang tanaman jagung juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, pupuk kompos, dan bahan baker alternatif. Jagung juga memiliki khasiat antara lain pembangun otot dan tulang, baik untuk otak dan sistem syaraf, mencegah konstipasi, menurunkan risiko kanker dan jantung, mencegah gigi berlubang, serta minyaknya dapat menurunkan kolesterol darah. 3. Nilai Ekonomi Jagung Hasil Pengeringan Tanaman jagung memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Melihat peluang dimana produksi jagung nasional belum bisa mencukupi kebutuhan industri nasional, maka potensi pasar jagung sangat besar. Tanaman jagung ini mudah perawatan dan cepat panen. Dalam waktu 3-4 bulan, tanaman jagung sudah dapat dipanen. Tidak dibutuhkan perlakuan khusus dalam merawat tanaman ini. Tanaman jagung juga dapat bertahan terhadap segala macam cuaca, panas-dingin, hujan-kering maupun angin. Untuk kebutuhan industri pangan maupun pakan, jagung harus dikeringkan terlebih dahulu. Oleh karena itu, jagung yang telah dikeringkan memiliki nilai ekonomi yang besar. 4. Pengelolaan Jagung Hasil Pengeringan Pengolahan jagung belum dilakukan oleh masyarakat secara luas. Pada umumnya masyarakat hanya memanfaatkan jagung dalam bentuk segar dalam pengolahan menjadi makanan. Namun dalam industri pangan maupun pakan, jagung yang digunakan dalam bentuk yang telah dikeringkan. Jagung hasil pengeringan merupakan salah satu produk pasca panen yang memiliki nilai jual yang tinggi.
6
Sebelum dikeringkan, jagung harus dipipil dahulu. Aktivitas ini meliputi kegiatan memipil yaitu melepaskan biji dari batang tongkol dengan tangan atau dengan alat sederhana ataupun dengan mesin pemipil, membersihkan jagung pipil, mewadahi dan mengangkut ke tempat proses kegiatan lebih lanjut. Pemipilan dilakukan untuk menyeragamkan kadar air akhir jagung yang telah dikeringkan. Kegiatan selanjutnya meliputi transportasi jagung pipil ke tempat dan proses pengeringan. Proses pengeringan dalam dilakukan secara alami maupun buatan. Setelah itu jagung yang telah kering diangkut dan diwadahi ke tempat proses kegiatan lebih lanjut. Jagung hasil pengeringan memiliki kadar air akhir 12-14% (Kamaruddin, 2007). Kandungan utama jagung adalah karbohidrat (60%). Dibandingkan dengan beras, kandungan proteinnya lebih tinggi (8%). Di antara biji-bijian kandungan vitamin A jagung paling tinggi (440 SI). Tabel 1. Komposisi kimia dan zat gizi jagung kuning pipilan (setiap 100 gram) KOMPONEN Energi Protein Lemak Karbohidrat Ca Fe Vitamin A Vitamin B1 Air Bagian yang dapat dimakan
JUMLAH 307,00 K 7,90 K 3,40 K 63,60 K 148,00 mg 2,10 mg 440,00 SI 0,33 mg 24,00 % 90,00 %
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, 2005
Biji jagung terdiri dari kulit ari, lembaga, tip cap dan endosperma. Sebagian besar pati (85%) terdapat pada endosperma. Pati terdiri dari raksi amilopektin (73%) dan amilosa (27 %). Serat kasar terutama terdapat pada kulit ari. Komponen utama serat kasar adalah hemiselulosa (41,16 %). Gula terdapat pada lembaga (57%) dan endosperma (15%). Protein sebagian besar terdapat pada endosperma (Departemen Menegristek, 2001).
7
5. Perkembangan Produksi Jagung Nasional Berdasarkan situs BPS (2008) menyatakan bahwa ARAM II (angka ramalan) produksi jagung tahun 2008 sebesar 14.584 juta ton atau naik 11.57% dari ATAP (angka tetap) tahun 2007 sebesar 13.287 juta ton pipilan kering. Artinya ada tambahan 1.57 juta ton atau naik 11,79% dari capaian produksi 2007. Peningkatan produksi diperkirakan terjadi karena tambahan luas panen jagung 178.670 ton (4,92%) dan kenaikan produktivitas sebesar 2,40 kuintal/ha (6,56%). Produksi jagung di Indonesia mulai meningkat tajam setelah tahun 2002 dengan laju 9,14% per tahun. Pada tahun 2005, produksi jagung mencapai 12,5 juta ton. Walaupun sebagian besar penggunaan jagung untuk konsumsi langsung, tetapi sudah mulai tampak penggunaan untuk industri pangan dan bahkan pangsanya sudah di atas penggunaan untuk industri pakan (Tabel 3). Dalam periode 1990-2002 telah terjadi pergesaran penggunaan jagung walaupun masih didominasi untuk konsumsi langsung. Setelah tahun 2002, penggunaan jagung lebih banyak untuk kebutuhan industri pakan selain industri pangan. Selama tahun 2000-2005, penggunaan jagung untuk konsumsi menurun sekitar 2,0%/th. Sebaliknya, penggunaan jagung untuk industri pakan dan industri pangan meningkat masing-masing 5,86% dan 3,01%/th. 2
8
PENGERINGAN 1. Teknis Pengeringan Pengeringan merupakan proses pengurangan kadar air bahan sampai mencapai kadar air tertentu sehingga dapat menghambat laju kerusakan bahan akibat aktivitas biologis dan kimia. Parameter-parameter yang mempengaruhi pengeringan antara lain waktu pengeringan, suhu, kelembaban udara, laju aliran udara, kadar air awal bahan dan kadar air bahan kering (Hall, 1957). Dasar proses pengeringan adalah terjadinya penguapan air bahan ke udara karena perbedaan kandungan uap air antara udara dengan bahan yang dikeringkan. Agar suatu bahan dapat menjadi kering, maka udara harus memiliki kandungan uap air atau kelembaban nisbi yang lebih rendah dari bahan yang akan dikeringkan. Selama proses pengeringan terjadi dua proses yaitu proses pindah panas dan pindah massa air yang terjadi secara simultan. Panas dibutuhkan untuk menguapkan air bahan yang akan dikeringkan. Penguapan terjadi karena suhu bahan lebih rendah dari pada suhu udara di sekelilingnya. Proses pindah massa diperlukan untuk memindahkan massa uap air dari permukaan ke udara. Pindah massa terjadi karena tekan uap air di dalam bahan lebih tinggi dari pada di udara. Mekanisme pengeringan diterangkan melalui teori tekanan uap. Air yang diuapkan terdiri dari air bebas dan air terikat. Air bebas berada di permukaan bahan dan pertama kali mengalami penguapan. Bila air permukaan telah habis, maka terjadi migrasi air karena perbedaan konsentrasi atau tekanan uap pada bagian dalam dan bagian luar bahan (Henderson dan Perry, 1976)
Gambar 1. Proses pengeringan secara umum pada kurva psychrometric.
9
Pada proses pengeringan terdapat dua laju pengeringan yaitu laju pengeringan konstan dan laju pengeringan menurun. Laju pengeringan konstan terjadi karena gaya perpindahan air internal lebih kecil dari perpindahan air pada permukaan bahan. Laju pengeringan konstan terjadi pada awal proses pengeringan yang kemudian diikuti oleh laju pengeringan menurun. Kedua periode ini dibatasi oleh kadar air kritis (Henderson dan Perry, 1976). Kadar air kritis adalah kadar air terendah dimana laju air bebas dari dalam bahan ke permukaan bahan tidak terjadi lagi. Kadar air keseimbangan adalah kadar air minimum yang dapat dicapai dibawah kondisi pengeringan yang tetap atau pada suhu dan kelembaban nisbi yang tetap. Suatu bahan dikatakan kering bila laju kehilangan air bahan sama dengan laju air masuk pada bahan dari udara lingkungan (Hall, 1957). Buckle, et al. (1987) dalam Rachman (2003) menyatakan bahwa kecepatan pengeringan suatu bahan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : sifat fisik dan kimia bahan (bentuk, ukuran, komposisi dan kadar air), pengatur geometris produk sehubungan dengan permukaan alat atau media perantara pemindah panas, sifat-sifat dari lingkungan alat pengering (suhu, kelembaban, dan kecepatan udara), dan karakteristik alat pengering (efisiensi pemindah panas) 2. Pengering Berenergi Surya Tipe Resirkulasi Energi surya dapat dikonversi menjadi bentuk lain sehingga dapat menunjang kegiatan industri yaitu dengan memanfaatkan energi panas, konversi energi listrik, dan pemanfaatan molekul proses fotosintesis atau proses biologis (Dyah, 2004). Tujuan utama suatu sistem berenergi surya adalah mengumpulkan energi radiasi surya menjadi panas. Ada tiga cara pengumpulan energi surya dalam aplikasi pengeringan yaitu : 1. Penjemuran. Penjemuran merupakan proses pengumpulan energi surya untuk mengeringkan produk pertanian dengan menghamparkannya pada suatu lahan. Cara ini menyebabkan jumlah panas yang hilang ke lingkungan banyak dan juga produk tersebut dapat mengalami penyerapan uap air dari udara lingkungan.
10
2. Penempatan bahan pertanian dibawah bahan tembus cahaya. Penempatan bahan pertanian dibawah bahan tembus cahaya seperti kaca merupakan usaha pengumpulan energi surya untuk pengeringan. Bahan kaca ini dapat ditembus oleh gelombang pendek dari sinar matahari tetapi tidak dapat tembus oleh gelombang panjang hasil pantulan, sehingga terperangkap dan menimbulkan efek rumah kaca. Hal tersebut dapat menyebabkan panas terakumulasi dalam ruangan pengering, sehingga suhunnya meningkat. Meskipun panas yang diserap oleh komoditi akan banyak hilang ke tanah, tetapi efek total lebih baik daripada cara yang pertama (Kamaruddin, 1997). 3. Resirkulasi produk pertanian Salah satu upaya dalam menyeragamkan kadar air akhir dan waktu pengeringan pada setiap produk adalah meresirkulasi produk tersebut sehingga terjadi penerimaan panas pada produk lebih merata. Selain itu kontak langsung yang terjadi antara plat absorber dengan produk dapat mempercepat efektifitas dan efisiensi pengeringan. B. PERKEMBANGAN
PENELITIAN
PENGERINGAN
BERENERGI
SURYA Pengeringan yang memanfaatkan energi surya telah diteliti oleh berbagai peneliti di dunia sejak beberapa dasawarsa yang lalu. Thoruwa, Smith dan Johnstone, 1996 melakukan penelitian energi surya bangunan transparan dengan kolektor datar dan PV sebagai penggerak kipas untuk mengatur aliran udara pada siang dan malam hari, serta menggunakan dessicant (penyerap) dari bahan bentonite clay dan calsium chloride yang dipasang pada bagian atas langsung diatas bagian pengering. Kedua bahan tersebut kemudian dikemas dalam suatu wadah (baki) yang berlubang dan bagian atasnya ditutup dengan insulasi transparan. Pengering tersebut didisain dalam dua modus operasi, yaitu: 1) Pada siang hari menggunakan udara yang dipanaskan surya dari kolektor datar dan tidak tergantung pada pemanasan yang ditimbulkan oleh dessicant. 2) Pada malam hari menggunakan udara paksa yang disirkulasikan melewati biji-bijian dan melewati dessicant bed. Pengering yang dibuat memiliki rata-rata
11
penurunan kadar air yang dapat dicapai dessicant adalah 5% bk. Untuk mengeringkan 90 kg jagung dari kadar air 16.5% hingga 11.5% pada radiasi surya rata-rata 567.7 W/m2 dibutuhkan bentoite – Ca Cl2 sebanyak 32.5 kg. Berdasarkan penelitian ini rasio penggunaan energi surya terhadap dessicant adalah 3 : 1. Perkembangan penelitian mengenai pengering berenergi surya telah dilakukan dengan berbagai bentuk disain untuk komoditas yang bermacam-macam. Kamaruddin et al. (1994) mengenalkan pengering berenergi surya dengan nama pengering Efek Rumah Kaca atau lebih dikenal dengan nama pengering ERK. Pengering ini memiliki ciri-ciri yaitu berdinding transparan, dilengkapi dengan plat absorber dan rak atau bak sebagai wadah produk yang dikeringkan. Dengan menyatukan absorber di dalam ruang pengering memberikan keuntungan lebih dibanding dengan pengering benergi surya lainnya, dengan kolektor terpisah yang umumnya memerlukan luasan besar. Hal tersebut dapat menghemat biaya pembuatan alat pengering. Kemudian penelitian uji coba pengering ERK dilakukan untuk berbagai komoditi, mulai dari produk tanaman pangan, perkebunan, holtikultura. Dyah (1997), pada percobaan pengeringan kopi berkapasitas 1.1 ton, dalam bangunan transparan berdinding transparan UV stabilized plastics tipe bak, menghasilkan efesiensi pengeringan 57.7% dan efisiensi energi 6 MJ/kg uap air. Dengan suhu ruang pengering 37oC, untuk menurunkan kadar air kopi dari 68% bb sampai 13% bb diperlukan waktu 72 jam dan efektif pada siang hari. Efisiensi energi cukup kecil, karena pengeringan hanya menggunakan energi surya tanpa pemans tambahan. Nelwan (1991) menggunakan pengering ERK tipe rak untuk pengeringan kakao. Plat hitam sebagai absorber, dan dilengkapi dengan kisi-kisi pengatur aliran udara setiap rak. Efisiensi pengeringan yang dihasilkan mencapai 18.4% dan efisiensi energi 12.9 MJ/kg uap air. Dengan 228 kg kakao yang telah difermentasi, lama pengeringan untuk menurunkan kadar air dari 80% bb hingga 7% bb adalah 40 jam. Energi tambahan selain energi surya berasal dari kerosene.
12
Condori dan Saravia (1998) melakukan studi analitik tentang laju evaporasi dua tipe pengering rumah kaca denga konveksi paksa, yaitu sistem ruang tunggal dan ruang ganda. Parameter performansi digunakan sebagai indikator untuk membandingkan kedua bentuk pengering dan ketergantungannya terhadap peubah operasi. Berdasarkan penelitian tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa pengering rumah kaca dengan ruang ganda memberikan performansi untuk parameter suhu yang lebih baik dibandingkan pengering ruang tunggal. Namun ditinjau dari segi biaya dan kepraktisan dalam sistem pengoperasian, pengering rumah kaca dengan ruang tunggal lebih murah dan sederhana dibandingkan dengan pengering ruang ganda. Garg dan Kumar (1998) memprediksi radiasi surya yang menimpa plat absorber dan penutup kolektor pada pengering surya tipe lorong setengah silindris. Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa bangunan dengan orientasi Timur-Barat yang mengikuti arah terbit dan terbenamnya matahari memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan arah Utara-Selatan. Setyoningrum (2001) melakukan penelitian mengenai sifat panas dalam ruangan menggunakan 3 macam isolasi transparan untuk mengurangi kehilangan panas dan memperoleh perolehan panas, yaitu plastik mika, polyethylene UV dan polikarbonat. Bahan isolasi transparan dicirikan dengan tingginya transmisivitas terhadap sinar surya dan rendahnya kehilangan infra merah. Berdasarkan hasil percobaannya dinyatakan bahwa plastik polyethilen UV mempunyai daya kehilangan infra merah terkecil lebih baik dibandingkan plastik mika dan polikarbonat. Plastik mika mempunyai nilai ekonomis lebih baik dibandingkan kedua plastik lainnya. Sedangkan daya transmisivitas polikarbonat paling unggul dibandingkan dua tipe lainnya.
13
C. HASIL-HASIL PENELITIAN TENTANG PENGERINGAN JAGUNG Pengeringan merupakan suatu teknik untuk menurunkan kadar air sampai batas aman sehingga tidak ada lagi aktifitas mikroorganisme yang merugikan. Pengeringan sudah banyak dilakukan terlebih mengenai metode. Metode pengeringan sangat diperhatikan karena akan berpengaruh terhadap jenis bahan yang dikeringkan dan kualitas hasil pengeringan. Metode yang sesuai dapat meningkatkan efisiensi pengeringan. Metode yang banyak dikembangkan saat ini adalah pengeringan buatan (artificial drying) yang memanfaatkan sumber panas bukan dari matahari atau udara sekitar. Elfian (1985) menggunakan alat pengering lapisan tipis untuk penegeringan jagung (Zea Mays L.) dan kedelai (Glycine max L. Merril). Pengeringan dilakukan secara terus menerus dengan kecepatan aliran 0.1 m/detik pada suhu dan RH udara pengering konstan samapai tercapai kondisi kadar air keseimbangan. Pada pengeringan jagung dengan suhu 40oC;RH 65% dan 45oC;RH 50%, terlihat adanya tendensi laju pengeringan konstan yang singkat pada awal pengeringan, sedangkan pengeringan dengan suhu 50oC;RH 34% dan 55oC;RH 26% seluruhnya berlangsung pada laju pengeringan menurun. Perubahan kadar air yang melonjak terjadi selama 3-4 jam pertama pertama. Pengeringan berlangsung sampai perubahan kadar air per satuan waktu mendekati nol atau kondisi bahan telah mencapai kadar air keseimbangan. Kadar air keseimbangan tercapai selama 32 jam. Surbekti (1986) mengembangkan alat pengering jagung model sumur untuk tingkat pedesaan. Pada percobaan tanpa beban dengan bahan bakar arang sekam, tempurung kelapa dan kayu bakar diperoleh bahwa pembakaran dengan tempurung kelapa menghasilkan penyebaran suhu yang lebih seragam dan tingkat suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan bakar yang diujicoba lainnya. Dari hasil pengujian efisiensi pengeringan untuk RH 84% dan RH 90% adalah berturut-turut sebesar 13.89% dan 10.2%, sedangkan efisiensi pemanasan adalah sebesar 16.96% pada RH 84% dan 14.72 % pada RH 90%. Lama pengeringan adalah 11 jam
14
dan 18 jam pada RH 90%. Kurva laju penurunan kadar air lebih mendekati bentuk eksponen negtif daripada bentuk linear. Kuncoro (1993) melakukan pengeringan benih kacang tanah, jagung dan kedelai menggunakan alat pengering tipe konveksi bebas. Jagung yang digunakan pada penelitian ini adalah jagung tongkol dan jagung pipilan. Suhu untuk pengeringan dipertahankan pada kisaran 3944oC (rak terbawah) dengan bahan bakar tempurung kelapa. Jagung tongkol yang bobotnya 152 kg (input) dan kadar air 34.70% bb (basis basah) membutuhkan waktu 54 jam untuk mencapai kadar air 19.50% dan menghabiskan 66.67 kg tempurung kelapa. Jagung pipilan yang bobotnya 92.41 kg (input) dan berkadar air awal 19.51% bb membutuhkan waktu pengeringan 34 jam untuk menurunkan kadar air menjadi 11.30% bb dan mengkonsumsi bahan bakar sebanyak 40.17 kg. Pengeringan ini memepersingkat waktu 4-5 hari jam kerja dibandingkan proses penjemuran (saat hujan). Laju pengeringan jagung tongkol 0.74% bk/jam dan jagung pipil 0.58% bk/jam. Efisiensi pemanasan dan efisiensi pengeringan total untuk jagung tongkol dan pipil masing-masing adalah 41.42%;10.59% dan 35.58%;2.31%. Jubaedah (2000) menggunakan alat pengering tipe bak untuk proses pengeringan jagung dengan terlebih dahulu dilakukan proses tempering untuk menyeragamkan kadar air akhir bahan. Bahan yang digunakan dalah jagung pipilan varietas hibrida dengan perlakuan suhu plenum dipertahankan konstan 70oC, kecepatan aliran udara 35 cfm/ft2 (0.178 m/detik) dan dua level ketebalan tumpukan yaitu 60 cm dan 75 cm. Percobaan tempering dilakukan selama 12 jam. Pengeringan jagung dengan ketebalan 60 cm dari kadar air 26.8% bb hingga 14.1% bb memerlukan waktu 6 jam dengan penyusutan bahan akibat pengeringan sebesar 8.85 kg, untuk pengeringan dengan ketebalan 75 cm dari kadar air awal 27.3% bb hingga kadar air akhir 14.6% bb memerlukan waktu 7 jam dengan penyusutan bahan akibat pengeringan sebesar 11.25 kg.
15
D. PENGERING EFEK RUMAH KACA Pengering efek rumah kaca (ERK) adalah alat pengering berenergi surya yang memanfaatkan efek rumah kaca yang terjadi karena adanya penutup transparan pada dinding bangunan serta plat absorber sebagai pengumpul panas untuk menaikkan suhu udara ruang pengering (Kamaruddin, et al., 1994). Bahan dinding yang digunakan adalah polikarbonat, plastik UV stabilizer, kaca serat dan lain-lain. Lapisan transparan ini memungkinkan radiasi gelombang pendek dari matahari masuk ke dalam dan mengenai elemen-elemen bangunan. Hal ini menyebabkan radiasi gelombang pendek yang terpantul berubah menjadi gelombang panjang dan terperangkap dalam bangunan karena tidak dapat menembus penutup transparan sehingga menyebabkan suhu menjadi tinggi. Proses inilah yang dinamakan efek rumah kaca. Jika matahari mengenai bahan tembus cahaya, maka sebagian sinar itu diteruskan selain diserap dan dipantulkan kembali (Huang, 1986). Oleh karena itu penutup transparan memerlukan bahan yang memiliki nilai transmisivitas yang tinggi dengan absorbsivitas dan reflektivitas yang rendah agar dapat menangkap gelombang pendek sebanyak mungkin (Kamaruddin, et al., 1996). Tabel 3. Transmisi cahaya dan panas beberapa bahan transparan Jenis Bahan Udara Kaca (double strength) FRP (fiberglass reinforced plastic) Polyetylene : a. 1 lapisan b. 2 lapisan Fiberglass : a. bening (clear) b. warna jade c. kuning d. putih salju e. hijau f. merah kekuningan g. jernih (canary)
Transmisi Cahaya (%) 100 90
Transmisi Panas (% ) 100 88
85-95
-
88 81
-
92-95 81 64 63 62 61 25
63-68 61-68 37-43 30-34 60-68 57-66 20-23
Sumber : Nelson, 1987 dalam Darmawan 2003.
16
E. BIOMASSA DAN TUNGKU BIOMASSA 1. Biomassa Sebagai Bahan Bakar Biomassa adalah bahan organik yang dihasilkan dari proses fotosintesis baik berupa produk, buangan atau hasil ekskresi. Bahan bakar ini telah banyak digunakan secara luas oleh masyarakat khususnya di pedesaan sebagai bahan bakar langsung dalam bentuk kayu. Sebagai energi, limbah biomassa tersedia cukup melipah dan berkelanjutan terutama pada industri pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Potensi teknis dari berbagai limbah terdapat di Tabel 5. Pembakaran adalah cara yang dikenal paling sederhana dalam proses pemecahan termal, dan ini merupakan sumber panas secar langsung. Energi panas yang dilepaskan dalam proses pembakaran diukur sebagai nilai kalor. Pada Tabel 3 dan Tabel 4 disajikan beberapa nilai kalor bahan bakar. 2. Tungku Biomassa Tungku biomassa merupakan unit pemanas tambahan yang diperlukan apabila suhu ruang pengering minimum tidak tercapai dan atau untuk digunakan pada malam hari (Mursalin, 1995). Penggunaan pemanas tambahan dengan bahan biomassa memiliki banyak keuntungan selain dari segi ekonomi yang cukup efisien, murah, mudah didapat dan emisi yang ditimbulkannya pun bisa ditekan. Salah satu jenis tungku biomassa yang mudah dalam konstruksi dan murah biayanya adalah tungku yohanes. Tungku yohanes terbuat dari drum bekas cat yang diberi lubang perapian di bagian samping dan bawah. Pada Tabel 6 disajikan perbandingan efisiensi dari beberapa jenis tungku. Tabel 3. Nilai kalor beberapa bahan bakar Bahan bakar Nilai Kalor (MJ/kg) Kayu kering 18.8 Arang kayu 29.5 BBM 42.8 Gas alam 40.7 Batu bara 29.3 Sumber : Wegner, 1988 dalam Nuryadin, 1990.
17
Tabel 4. Nilai kalor bahan bakar biomassa Bahan Bunga pinus Arang bunga pinus Alang-alang Arang sekam Arang batok kelapa Serbuk kayu
Nilai kalor kJ/gr 3.976 8.06 11.221 13.29 18.428 18.709
Laju pembakaran gr/menit 0.575 0.25 0.929 0.736
Sumber : Yulistina, 2001.
Tabel 5. Potensi limbah industri Sumber/ jenis limbah Peremajaan kebun karet Sisa loging Limbah industri kayu Tandan kosong sawit Sabut kelapa sawit Cangkang kelapa sawit Bagas tebu Sekam padi Tempurung kelapa Sabut kelapa
Produksi (juta ton/th) 31 1.15 1.1 3.5 3.7 1.3 6.5 14.3 1.1 2
Potensi kalor (juta GJ/th) 496 11 10.6 15.4 35.3 17.2 78 179 18.7 24
Sumber : Budiono, 2003.
Tabel 6. Perbandingan efisiensi beberapa jenis tungku berdasarkan bahannya Jenis bahan tungku
Efisiensi
Semen
45%
Tanah Liat
41%
Seng
25% Sumber : Gandasasmita, 1987.
18
F. PINDAH PANAS DAN PINDAH MASSA DALAM PENGERING ERK Pindah panas dalam pengering ERK berlansung baik secara konveksi, konduksi dan radiasi dengan sumber energi panas berupa radiasi matahari, sedangkan pindah panas meliputi masuk dan keluarnya udara pengering serta perpindahan uap air dari bahan ke udara pengering (Nelwan, 1997). Proses pindah panas dan pindah massa dalam pengering ERK ini diringkas dalam diagram alir yang terdapat pada Gambar 1.
Gambar 2. Diagram Pindah Panas dan Massa dalam Pengering ERK (Nelwan,1997)
19
III. PERCOBAAN A. WAKTU DAN TEMPAT PERCOBAAN Tempat penelitian dilakukan di Universitas Dharma Persada (Unsada) Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Waktu Penelitian berlangsung dari bulan Juli 2007 sampai dengan bulan September 2007. B. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan yang digunakan dalam percobaan adalah jagung varietas hibrida yang dibeli dari petani jagung di Bogor, Jawa Barat. 2. Alat Peralatan utama yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pengering Surya Efek Rumah Kaca tipe Resirkulasi 2. Termometer Alkohol 3. Moisture Meter 4. Termos Pengukur Irradiasi Surya 5. Timbangan Analog 6. Timbangan Pegas 7. Kanomaks Hot Wire Anemometer 8. Alat ukur waktu 9. Alat ukur panjang C. CARA KERJA DAN GAMBAR PENGERING Alat pengering dengan tipe resirkulasi ini merupakan ide dan rancangan Prof. Dr. Ir. Kamaruddin Abdullah (2007). Kapasitas pengering sebesar 30-50 kg produk. Blower digunakan untuk meresirkulasikan produk. Energi listrik digunakan untuk menghidupkan blower tersebut. Sedangkan untuk proses pengeringan, energi panas yang digunakan berasal dari energi surya dan energi hasil pembakaran biomassa. Energi pembakaran biomassa diperlukan apabila energi panas yang berasal energi surya tidak cukup atau pengeringan dilakukan pada malam hari. Blower yang digunakan memiliki
20
daya sebesar 200 watt. Gambar pengering tipe resirkulasi dapat ditunjukkan pada Gambar 3. Alat pengering ini mempunyai prinsip kerja yaitu dengan meresirkulasikan produk pertanian dalam bentuk serealia dan pipilan. Cara kerja sistem pengering surya resirkulasi yang terlihat pada Gambar 4, dapat diterangkan sbb. Proses pengeringan dapat dilakukan pada siang hari dengan memasukkan produk ke dalam kotak penampung, sesuai dengan beban optimum yang tertera pada alat. Bila sudah cukup, blower dihidupkan dan produk yang akan dikeringkan akan mengalir ke kotak penampungan bagian atas untuk kemudian diteruskan ke dalam ruang pengering yang juga berfungsi sebagai kolektor surya (Kamaruddin, 2007). Produk yang jatuh melalui kolektor ini akan mengalami proses pengeringan dikarenakan suhu ruang pengering yang meningkat akibat penyerapan irradiasi surya oleh sistem kolektor. Penutup transparan pada kolektor berfungsi untuk menahan gelombang panjang yang dipancarkan oleh plat metal hitam sehingga suhu ruang semakin tinggi sejalan dengan laju irradiasi surya yang ditangkap. Uap yang terjadi akan terdesak ke jendela/ bukaan pada bagian atas kolektor. Bahan yang kemudian terkumpul pada kotak bagian bawah akan terus dialirkan ke kotak penampung bagian atas sampai kadar air untuk tempering tahap pertama berlangsung, dimana blower akan berhenti beroperasi dan produk akan terkumpul pada penampung bagian bawah. Bila proses tempering tahap pertama selesai seperti yang dianjurkan pada spesifikasi alat, mesin pengering dioperasikan seperti awal proses sampai ke tahap tempering berikutnya sampai kadar air yang dibutuhkan penyimpanan produk tercapai. Dalam hal ini, kadar air jagung akhir adalah 12-14 % (Kamaruddin, 2007). Perlu diperhatikan bahwa produk yang dikeringkan sudah berbentuk butiran dan khusus untuk kakao sudah mengalami pengeringan pendahuluan terlebih dahulu sehingga tidak lengket lagi. Sedangkan untuk jagung harus sudah dipipil, baru dapat dimasukkan ke dalam pengering resirkulasi ini.
21
2
1
5
4
3 Keterangan : 1. Penyerap panas ruang pengering 2. Distributor 3. Unit konveyor pneumatic (Blower) 4. Hopper 5. Ruang (tungku) pemanas
Gambar 3. Pengering surya tipe resirkulasi
1
2
Keterangan :
1
= Input awal produk = Aliran produk
1
= Blower
Gambar 4. Sketsa gambar sirkulasi aliran produk
22
D. PROSEDUR PERCOBAAN Urutan pelaksanaan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi : 1. Mempersiapkan bahan yang akan digunakan dalam percobaan yaitu jagung yang sudah dipipil 2. Mempersiapkan pengering surya dan peralatan yang akan digunakan dalam percobaan (termos, termometer, timbangan, pewaktu, dan anemometer). 3. Pengujian sistem pengering meliputi : a. Penimbangan massa bahan awal dan akhir pengeringan, dan pengukuran kadar air bahan pada setiap selang waktu 30 menit. b. Pengukuran iradiasi surya, suhu udara, RH udara, kecepatan udara, dan kebutuhan bakar bakar. c. Perhitungan laju pengeringan, konsumsi energi spesifik, efisiensi termal, efisiensi pengeringan dan efisiensi total sistem pengering. E. PARAMETER YANG DIUKUR Dalam penelitian ini parameter yang diukur meliputi iradiasi surya, kecepatan angin, suhu dan RH udara lingkungan dan di dalam bangunan pengering, kecepatan angin, perubahan kadar air produk, dan laju resirkulasi produk. 1. Irradiasi Surya Data iradiasi surya diukur dengan termos pengukur iradiasi surya yang diletakkan di dekat alat pengering. Pengukuran dilakukan saat alat mulai dioperasikan sampai proses pengeringan selesai. Pengukuran iradiasi dengan menggunakan termos (Abdullah, 1995 dalam Sihabudin, 2001). Termos diisi air sampai penuh, kemudian termometer dimasukkan dalam termos melalui tutup termos kira-kira sampai pusat termos. Untuk mengetahui nilai iradiasi sesaat terrlebih dahulu menetukan heat loss (UA) termos tersebut (cara penentuannya dapat dilihat pada Lampiran 1). Nilai UA dapat didekati dengan persamaan berikut :
UAter [Ta ter − TL ] = mter Cpter
dTa ter ............................................. (1) dt
23
Dari persamaan tersebut dicari nilai Uter yang akan digunakan sebagai tetapan. Untuk mengetahui nilai iradiasi sesaatnya digunakan persamaan sebagai berikut:
mter Cp ter
dTa ter + UAter [Ta ter − TL ] = I ter Ater ......................... (2) dt
Total iradiasi surya harian (Ih) dihitung secara metematis dengan menggunakan metode Simpson.
Ih =
[
Δt I i + 4∑ It gl + 2∑ It gp + I f 3
]
......................................... (3)
2. Suhu Pengukuran suhu meliputi
suhu lingkungan, suhu bangunan
pengering, suhu plat absorber dan suhu outlet pada suhu bola basah dan bola kering. Jenis termometer yang digunakan pada pengukuran suhu ini yaitu termometer alkohol. Suhu diukur setiap 30 menit sekali, dari awal pengeringan sampai akhir pengeringan, dimana kadar air bahan mencapai batas yang ditentukan yaitu 12-13 % bb. 3. Kelembaban udara (RH) Pengukuran kelembaban dapat diklasifikasikan sebagai psychometer. Psychometer adalah penggunaan dua pengukuran suhu dan sebuah grafik untuk memperoleh nilai kelembaban yang diinginkan. Dalam penentuan nilai suatu kelembaban udara, dibutuhkan pengukuran suhu dengan termometer bola basah dan bola kering. Termometer bola kering penggunaan dan pemasangannya seperti termometer biasa sedangkan termometer bola basah dibuat dengan cara menutup bola termometer dengan sumbu yang telah jenuh dengan air (Fribance, 1962). Penggunaan sumbu yang telah jenuh dapat dilakukan dengan melekatkan kasa putih yang basah ke ujung termometer. Kelembaban udara yang diukur meliputi RH lingkungan, RH bangunan pengering, dan RH outlet. Pengukuran RH udara dilakukan dengan suhu udara bola basah dan suhu udara bola kering, kemudian RH udara dapat ditentukan dengan pembacaan psychometric chart.
24
4. Kecepatan Udara Pengukuran kecepatan udara dilakukan dengan Kanomaks Hot Wire Anemometer. Pengukuran dilakukan di 4 titik yang berbeda yaitu lingkungan luar (inlet), ruang pengering bagian atas dan bawah, outlet, serta pneumatic unit. Pengukuran kecepatan udara dilakukan pada selang waktu tertentu. 5. Pengukuran Kadar Air Bahan Kadar air bahan yang diukur meliputi kadar air awal, kadar air akhir, dan penurunannya selama proses pengeringan berlangsung pda selang waktu tertentu. Kadar air akhir produk menentukan berakhirnya proses pengeringan. Pengukuran kadar air produk menggunakan Moisture meter digital. 6. Laju Resirkulasi Produk Laju resirkulasi produk diukur dengan cara menampung produk sebelum mencapai hopper dengan menggunakan kain. Apabila telah mencapai batas waktu yang ditentukan maka produk yang ditampung dalam kain sudah selesai. Kemudian dilakukan penimbangan massa terhadap poduk yang telah ditampung. 7. Pengukuran Massa Produk Massa
produk
ditimbang
sebelum
dan
sesudah
pengering
berlangsung. Pengeringan berakhir pada saat kadar air produk sudah mencapai kadar yang ditentukan. Penimbangan akan dilakukan dengan menggunakan timbangan pegas. 8. Lama Pengeringan Lama pengeringan ditentukan dari waktu yang diperlukan pengering untuk melakukan proses pengeringan dari kadar air awal sampai kadar akhir yang telah ditentukan. 9. Kebutuhan Energi Listrik Energi listrik yang digunakan sebagai daya penggerak blower untuk meniupkan produk pertanian ke bak penampung atas. Kebutuhannya diukur berdasarkan lamanya motor listrik bekerja.
25
F. PERHITUNGAN KINERJA TEKNIS PENGERING
Kinerja alat pengering yang dihitung meliputi : iradiasi surya harian, laju pengeringan, kadar air, energi surya yang diterim pengering, dan energi biomassa, panas yang digunakan untuk menguapkan air produk, panas yang digunakan untuk menaikkan suhu produk, panas yang diterima udara pengering, besarnya energi untuk memanaskan dan menaikkan suhu produk dan energi penguapan produk, energi listrik yang digunakan dan kebutuhan energi pengeringan. 1. Kadar Air Penurunan kadar air produk selama proses pengeringan berlangsung dihitung berdasarkan komponen massa berikut : Berdasarkan data pengukuran : Kadar Air (%Basis Basah) = Kadar Air (%Basis Kering) =
mair
mair x100% ................. (4) + m pada tan
mair x100% ........................... (5) m pada tan
Berdasarkan hasil perhitungan (Henderson and Perry, 1970) :
M cal - Me = Exp (-kt) .................................................................. (6) Mo - Me dimana menurut Thahir (1986) : nilai k (untuk jagung) = exp(1.928-2803.4/T) ............................ (7) nilai Me (untuk jagung)= 12.46 exp (-0.0035*(tbk-tbb)) ................ (8) dengan pendekatan sphere model dan T = 30-50 oC 2. Laju Pengeringan Perhitungan laju pengeringan membutuhkan data hasil pengukuran kadar air awal, kadar air akhir dan selang waktu: Berdasarkan data pengukuran : dM M o − M f = ......................................................................... (9) dt Δt
Berdasarkan hasil perhitungan : dM M o − M cal = ........................................................................ (10) dt Δt
26
3. Energi Yang Tersedia Untuk Pengeringan a. Energi Panas dari iradiasi surya Q1 = 3.6 IR AP (τα)P t .................................................................... (11) b. Energi Biomassa (bila diperlukan) Q2 = mb . Nkb ................................................................................ (12) Keterangan : c. Energi Listrik yang Digunakan Kipas Q3 = 3.6 Pk t ................................................................................ (13) Keterangan : Total energi yang tersedia untuk pengeringan (Qs), kJ Qs = Q1 + Q2 + Q3 4. Kebutuhan Energi Untuk Pengeringan a. Panas yang Digunakan Untuk Menaikkan Suhu Produk Panas jenis bahan (Cpb) dihitung dengan menggunakan persamaan Siebel (1892) dalam Heldman dan Singh (1987) Cpb = 0.837 + 0.034 (Mo) ............................................................. (14) Q4 = mo Cpb (TR – TB ) ................................................................ (15) b. Panas yang Digunakan Untuk Menguapkan Air Produk Q5 = mu . ΔHfg .......................................................................... (16) Nilai panas laten jagung (ΔHfg ) dihitung dengan model matematika berdasarkan Thahir (1986) ΔH fg ΔH fgw
= 1.298 pada Me = 8.8% bb, dan 30 ≤ TB ≤ 50
Tabel 7. Panas laten penguapan air pada suhu 10-60oC Temperature (oC) 10 20 30 40 50 60
Latent heat of evaporation ÄHfgw (kJ/kg) 2477.7 2454.1 2430.5 2406.7 2382.7 2358.5
Sumber : Joseph H. Keenan, Frederick G. Keyes, Philip G. Hill, dan Joan G. Moore, Steam Tables (New York : John Willey and Sons, Inc., 1969)
27
Energi total untuk menaikkan suhu dan menguapkan air bahan adalah: Qd = Q4 + Q5 5. Panas yang Diterima Udara Pengering Q6 =
qu C pu (Tr − Tl )3600t .......................................................... (17) vu
6. Konsumsi Energi Spesifik (KES), kJ/kg uap air KES =
Q6 ................................................................................ (18) mua
7. Efisiensi Termal Merupakan perbandingan antara energi yang dipakai untuk memanaskan udara pengering dengan energi yang dihasilkan oleh pembakaran biomassa dan energi dari matahari. ηtermal =
Q6 x100% ............................................................... (19) Q1 + Q2
8. Efisiensi Pengeringan Dihitung berdasarkan perbandingan antara energi yang digunakan untuk memanaskan produk dan menguapkan air produk dengan energi untuk memanaskan udara pengering ηpengeringan =
Qd x100% ................................................................. (20) Qs
28
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KINERJA MESIN PENGERING RESIRKULASI PADA PROSES PENGERINGAN JAGUNG 1. Perubahan Irradiasi Surya terhadap Waktu Pengeringan Pengukuran irradiasi surya menggunakan termos iradiasi yang telah dikalibrasi dengan pyranometer. Keluaran dari termos iradiasi ini berupa perubahan suhu air dalam termos (oC) kemudian dikonversi kedalam W/m2 (Lampiran 4). Pengeringan pada jagung umumnya dapat mulai dilakukan pada pukul 9:00 sampai pukul 17:00. Pengeringan jagung dengan memanfaatkan energi surya dilakukan pada percobaan 1 dan percobaan 2, karena kondisi cuaca pada kedua percobaan cukup cerah. Berdasarkan hasil pengukuran, iradiasi surya yang tercatat pada saat percobaan bersifat fluktuatif dengan kondisi cuaca cerah. Fluktuasi nilai irradisai surya dapat dilihat pada tabel lampiran 2. Irradiasi surya maksimum percobaan 1 dan 2 dicapai pada sekitar tengah hari yaitu pada pukul 12:30 dan 11:30. Irradiasi surya maksimum yang dicapai pada percobaan 1 dan 2 berturut turut sebesar 844.81 dan 897.04 W/m2. Hal ini menunjukkan bahwa energi surya maksimum yang dideskripsikan dari nilai irradiasi surya maksimum terjadi pada tengah hari percobaan yaitu pada pukul 11:00-13:00, sedangkan iradiasi minimum pada percobaan 1 dan 2 sebesar dicapai pada pukul 15:00 dan 14:00. Rata-rata iradiasi surya yang diterima alat pengering pada saat percobaan sebesar 615.17 dan 583.06 W/m2. Pada percobaan ketiga, pengeringan dilakukan dengan menggunakan energi biomassa, hal ini dikarenakan hari itu terjadi hujan yang tidak memungkinkan penggunaan irradiasi matahari sebagai energi pemanas. Sedangkan, angka iradiasi surya rata-rata Indonesia sebesar 562.5 W/m2 (Kamarruddin, 1995 dalam Manalu, 1998). Hal ini menunjukkan rata-rata irradiasi tempat pengujian kinerja alat pengering lebih besar daripada rata-rata irradiasi surya Indonesia. Radiasi surya global yang diterima selama pengeringan pada percobaan 1 dan 2 sebesar 3383.41 dan 3206.82 Wh/m2.
29
2
Irradiasi Surya (W/m )
800.0 700.0 600.0 500.0 400.0 300.0 200.0 100.0 0.0
o
65.0 60.0 55.0 50.0 45.0 40.0 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0
Suhu ( C)
900.0
10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00 Waktu (WIB) Irradiasi Surya
Suhu Ruang Pengering Rata-Rata
65.0 60.0 55.0 50.0 45.0 40.0 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0
2
Irradiasi Surya (W/m )
800.00 700.00 600.00 500.00 400.00 300.00 200.00 100.00 0.00 9:00
o
900.00
Suhu ( C)
Gambar 5. Profil irradiasi surya pada percobaan 1.
9:30 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 Waktu (WIB) Irradiasi Surya
Suhu Ruang Pengering Rata-Rata
Gambar 6. Profil irradiasi surya pada percobaan 2. 2. Perubahan Suhu terhadap Waktu Pengeringan Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan termometer alkohol pada beberapa titik meliputi suhu lingkungan, suhu ruang pengering, suhu plat absorber dan suhu udara outlet (Lampiran 1, 2 dan 3). Suhu udara ruang pengering diukur pada dua bagian yaitu bagian bawah dan bagian atas. Profil suhu udara pengering pada percobaan 1,2, dan 3 dapat dilihat pada Gambar 7, 8 dan 9. Selama pengukuran, suhu absorber, suhu ruang pengering, dan suhu lingkungan terlihat berfluktuasi. Suhu ruang pengering berfluktuasi dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan suhu absorber sebagai penyerap panas radiasi surya terlihat pada Gambar
30
7 dan 8, sedangkan panas hasil dari pembakaran biomassa berupa arang
900,0
60,0
800,0 700,0
o
Suhu ( C)
50,0
600,0
40,0
500,0
30,0
400,0 300,0
20,0
200,0
10,0
2
70,0
Irradiasi Surya (W/m )
kayu pada tungku terlihat pada Gambar 9.
100,0
0,0
0,0 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00 Waktu (WIB)
Suhu Ruang Pengering Atas
Suhu ruang Pengering Bawah
Suhu plat absorber
Irradiasi Surya
Gambar 7. Perubahan suhu di beberapa titik pengukuran selama pengeringan berlangsung pada percobaan 1. Berdasarkan Gambar 7 dapat terlihat suhu ruang pengering mengikuti pola dari suhu plat absorber. Secara garis besar kenaikan suhu plat absorber berbanding lurus dengan kenaikan suhu udara di ruang pengering. Pada percobaan 1, suhu ruang pengering terletak pada kisaran 49.3-59.0 oC dengan nilai rata-rata 54.7 oC, sedangkan suhu lingkungan dan suhu absorber berturut-turut berkisar antara 29.7-38.0 oC dengan nilai rata-rata 33.3 oC dan 51.2-60 oC dengan nilai rata-rata 56.6 oC. Laju udara rata-rata di ruang pengering adalah 0.70 m/det. Suhu ruang pengering mencapai nilai maksimal pada pukul 14:00, dimana suhu plat absorber mencapai nilai 60 oC pada saat irradiasi surya mencapai nilai 543.0 W/m2. Pencapaian titik puncak irradiasi surya tidak berhubungan secara langsung dengan nilai maksimal suhu udara pengering, dikarenakan kenaikan nilai irradiasi surya tidak berpengaruh secara langsung menaikkan suhu pada absorber. Peningkatan suhu absorber berdasarkan akumulasi penyerapan dan perubahan energi irradiasi surya oleh absorber, bukan dikarenakan tingkat irradiasi surya yang bersifat sesaat. Pada percobaan 1, selisih antara suhu udara lingkungan dengan suhu udara pengering secara keseluruhan berkisar antara 13.4-25.7 oC. Sebaran
31
suhu pada ruang pengering dapat terlihat dari pengukuran suhu pengering bagian atas dan bagian bawah. Secara umum suhu pengering bagian atas dengan bagian bawah relatif sama. Suhu pengering bagian atas berkisar antara 51.0-59.0
o
C dengan nilai rata-rata 54.9oC, sedangkan suhu
pengering bagian atas berkisar antara 50.0-59.0 oC dengan nilai rata-rata 54.6 oC. Suhu ruang pengering secara keseluruhan nilainya berfluktuasi. Fluktuasi suhu ruang pengering terjadi akibat perubahan suhu plat absorber sebagai penerima energi secara akumulasi dari radiasi surya. Berdasarkan Gambar 7, terlihat bahwa suhu udara outlet hasil pengukuran lebih besar daripada suhu lingkungan. Hal ini dapat ditunjukkan dari profil suhu udara outlet yang memiliki kecenderungan diatas suhu lingkungan. Nilai suhu udara outlet hasil pengukuran terdapat pada kisaran 41.0-57.5 oC. Sedangkan hubungan antara suhu udara outlet, suhu ruang pengering dan suhu lingkungan, terlihat bahwa profil suhu udara outlet berada diantara suhu ruang pengering dan suhu lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa suhu udara outlet yang berasal dari ruang pengering bercampur dengan udara lingkungan mengakibatkan proses
1000,00 900,00 800,00 700,00 600,00 500,00 400,00 300,00 200,00 100,00 0,00
60,0
o
Suhu ( C)
50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0
2
70,0
Irradiasi Surya (W/m )
keseimbangan suhu antara lingkungan dengan udara outlet dapat terjadi.
9:00 9:30 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 Waktu (WIB) Suhu Ruang Pengering Atas
Suhu ruang Pengering Bawah
Suhu plat absorber
Irradiasi Surya
Gambar 8. Perubahan suhu di beberapa titik pengukuran selama pengeringan berlangsung pada percobaan 2. Dari gambar 8 terlihat bahwa suhu yang dihasilkan akibat perubahan energi dari radiasi menjadi panas di ruang pengering mencapai maksimal pada saat irradiasi mencapai titik puncak. Suhu ruang pengering pada
32
percobaan 2 berkisar antara 45.6-58.0 oC dengan nilai rata-rata 50.3 oC, sedangkan suhu lingkungan 34.5-39.0 oC dengan nilai rata-rata 36.8 oC. Berdasarkan percobaan 2, terlihat bahwa suhu ruang pengering mencapai nilai maksimal yaitu 58.0 oC pada saat suhu lingkungannya 39.0 o
C, suhu plat absorber-nya 64.3 oC, dan intensitas radiasi suryanya 643.03
W/m2. Dari data-data tersebut dapat dinyatakan bahwa suhu ruang pengering mencapai maksimal ketika suhu lingkungan mencapai maksimal. Hal ini mengakibatkan perpindahan panas antara ruang pengering dengan lingkungan semakin kecil dibandingkan kondisi lainnya. Sama dengan percobaan 1, perubahan energi irradiasi surya menjadi energi panas oleh plat absorber tidak dipengaruhi oleh besarnya irradiasi surya sesaat melainkan ditentukan oleh besarnya akumulasi dan penyerapan energi irradiasi surya. Pada Gambar 8, diperlihatkan sebaran suhu udara pada pengering bagian atas dan bawah. Secara umum, suhu udara di dalam pengering baik bagian atas maupun bagian bawah mempunyai sebaran yang merata. Namun demikian terdapat perbedaan suhu pada kisaran 1-3 oC antara bagian atas dan bawah pada awal pengeringan. Hal ini diakibatkan adanya sedikit embun yang terdapat di distributor pengering yang tersisa setelah hujan pada malam hari. Pada percobaan kedua ini, alat pengering dapat meningkatkan suhu udara lingkungan sebesar 10-17.8 oC. Suhu udara outlet pada percobaan 2 memiliki kecenderungan karakteristik yang sama dengan percobaan 1. Kesamaan karakteristik itu dapat dilihat dari suhu outlet yang lebih tinggi daripada suhu lingkungan. Namun demikian pada awal pengeringan suhu udara outlet masih relatif sama dengan suhu lingkungan. Kondisi ini disebabkan proses pemanasan udara pengering baru berlangsung, sehingga suhu udara yang dikeluarkan dari outlet masih sama dengan suhu lingkungan. Selain itu berdasarkan profil suhu pada Gambar 8, suhu udara outlet memiliki nilai diantara suhu lingkungan dan suhu rata-rata udara pengering. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya keseimbangan suhu antara outlet dengan lingkungannya.
33
Berdasarkan Lampiran 2, kisaran suhu udara outlet berada diantara 36.550 oC dengan nilai rata-rata adalah 41.8 oC. 50.0 45.0 40.0 30.0
o
Suhu ( C)
35.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00 15:30 16:00 16:30 17:00 Suhu Pengering Atas Suhu Plat Absorber
Waktu (WIB) Suhu Pengering Bawah Suhu Lingkungan
Suhu Outlet
Gambar 9. Perubahan suhu di beberapa titik pengukuran selama pengeringan berlangsung pada percobaan 3. Percobaan 3 menggunakan tungku pemanas dengan bahan bakar arang kayu yang bertujuan untuk meningkatkan suhu ruang pengering serta memanaskan udara di ruang pengering. Dalam percobaan ini tidak digunakan energi yang berasal irradiasi surya karena kondisi cuaca mendung dan hujan. Pada cuaca seperti itu, intensitas radiasi dianggap tidak ada. Berdasarkan gambar 9, perubahan suhu udara pengering dibandingkan dengan menggunakan energi surya tidak terlalu besar. Hal ini dibuktikan oleh lamanya proses pengeringan berlangsung. Dengan menggunakan tungku pemanas, suhu udara pengering yang dapat dicapai berkisar antara 35.0-45.0 oC dengan nilai rata-rata 39.0 oC. Berdasarkan percobaan 3, dapat terlihat bahwa suhu ruang pengering mencapai nilai maksimal yaitu 45.0 oC pada saat suhu lingkungannya 25.8 o
C dan suhu plat absorber-nya 42.2 oC. Perbedaan suhu antara di ruang
pengering dengan lingkungan pada saat suhu ruang pengering mencapai nilai maksimal adalah 14.2 oC. Secara keseluruhan pengering dapat meningkatkan suhu udara lingkungan sebesar 9.7-16.6 oC. Pada gambar 9, diperlihatkan sebaran suhu udara pengering antara bagian atas dan bawah cukup besar dengan nilai selisih rata-rata mencapai 3.6 oC. Hal ini diakibatkan adanya air hujan yang masuk ke dalam ruang
34
pengering melalui lubang outlet, sehingga terjadi penurunan suhu pada ruang pengering bagian atas. 3. Perubahan Kelembaban Udara terhadap Waktu Pengeringan Kelembaban udara diukur secara psychrometer yaitu dengan pengukuran suhu bola kering, bola basah dan sebuah psychrometric chart. Kelembaban udara dalam ruang pengering dipengaruhi oleh laju aliran udara di dalam ruang pengering. Aliran udara yang terjadi diakibatkan perbedaan tekanan antara di ruang pengering dengan lingkungan. Selain itu, kelembaban udara ruang pengering juga dipengaruhi kelembaban udara yang masuk yang berasal dari lingkungan. Udara mengalir melalui lubang outlet pengering yang terletak di bagian atas pengering. Dari ketiga percobaan, laju aliran udara pada ruang pengering berkisar antara 0.66-
80,0
70
70,0
60
60,0
50
50,0
40
40,0
30
30,0
20
20,0
10
10,0
o
80
Suhu ( C)
RH (%)
0.90 m/det.
0
0,0 10:00
10:30
11:00
11:30
12:00
12:30
13:00
13:30
14:00
14:30
15:00
Waktu (WIB) RH pengering bawah Suhu pengering bawah
RH pengering atas Suhu pengering atas
RH lingkungan Suhu lingkungan
RH outlet Suhu outlet
Gambar 10. Perubahan kelembaban udara selama pengeringan berlangsung pada percobaan 1. Berdasarkan hasil pengukuran kelembaban pada percobaan 1, didapat RH udara ruang pengering berkisar antara 33-55 % dengan nilai rata-rata 41 %, sedangkan RH udara lingkungan dan RH udara outlet berturut-turut terletak pada kisaran 45-70 % dengan nilai rata-rata 54 % dan 40-67 % dengan nilai rata-rata 49 %. Dalam kondisi awal pengering RH udara di ruang pengering telah mencapai 55 %. Sedangkan RH udara outlet tertinggi sebesar 67 % dicapai pada awal pengeringan karena laju penguapannya masih sangat tinggi. Sedangkan RH udara pengering
35
terendah sebesar 33 % dan dicapai pada pukul 13:00 karena pada jam tersebut laju pengeringannya menurun. Suhu yang tinggi dan RH yang rendah diharapkan mampu mengeringkan bahan dalam waktu relatif singkat. RH yang rendah menunjukkan terjadinya penguapan yang tinggi. RH terendah dicapai pada pukul 13.00 yaitu 33 %, dengan suhu udara pengering 58.2 oC. RH udara pengering terendah tercapai pada saat suhu dan RH lingkungan adalah 38
80,0
70
70,0
60
60,0
50
50,0
40
40,0
30
30,0
20
20,0
10
10,0
o
80
Suhu ( C)
C dan 53 oC, sedangkan suhu dan RH outlet adalah 55.0 oC dan 52 %.
RH (%)
o
0
0,0 9:00
9:30
10:00
10:30
11:00
11:30
12:00
12:30
13:00
13:30
14:00
Waktu (WIB) RH pengering bawah Suhu pengering bawah
RH pengering atas Suhu pengering atas
RH lingkungan Suhu lingkungan
RH outlet Suhu outlet
Gambar 11. Perubahan kelembaban udara selama pengeringan berlangsung pada percobaan 2. Gambar 11 menyajikan grafik perubahan kelembaban udara selama proses pengeringan percobaan 2. RH udara ruang pengering pada percobaan 2 berkisar antara 30-52 % dengan nilai rata-rata 43 %. Pada percobaan 2, RH udara lingkungan sebagai udara masuk dan RH udara outlet yang dapat terjadi berturut-turut terletak pada kisaran 45-55 % dengan nilai rata-rata 50 % dan 41-52 % dengan nilai rata-rata 50 %. Pada kondisi awal, RH udara di ruang pengering telah mencapai 52 %. Sedangkan RH udara outlet tertinggi sebesar 50 % dicapai pada awal pengeringan karena laju penguapannya masih sangat tinggi. Sedangkan RH udara pengering terendah sebesar 30 % dan dicapai pada pukul 12:00 karena pada jam tersebut laju pengeringannya menurun. Pada percobaan 2, RH terendah dicapai pada pukul 12.00 yaitu 30 %, dengan suhu udara pengering 58.2 oC, sedangkan RH udara pengering
36
terendah tercapai pada saat suhu dan RH lingkungan adalah 39 oC dan 48 %, sedangkan suhu dan RH outlet adalah 45 oC dan 48 %. RH udara outlet dipengaruhi oleh laju pengeringan dan kondisi udara lingkungan sebagai udara masuk. Hal ini diakibatkan oleh laju penguapan air yang dikandung
90,0
80
80,0
70
70,0
60
60,0
50
50,0
40
40,0
30
30,0
20
20,0
10
10,0
0
o
90
Suhu ( C)
RH (%)
produk akan meningkatkan uap air yang dikeluarkan melalui outlet.
0,0 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00 15:30 16:00 16:30 17:00
Waktu (WIB) RH pengering bawah
RH pengering atas
RH lingkungan
RH outlet
Suhu pengering bawah
Suhu pengering atas
Suhu lingkungan
Suhu outlet
G ambar 11. Perubahan kelembaban udara selama pengeringan berlangsung pada percobaan 3. Pada percobaan 3 didapat RH ruang pengering berkisar antara 50-72 % dengan nilai rata-rata 56 %, sedangkan RH lingkungan dan RH outlet berkisar antara 73-80 % dengan nilai rata-rata 76 % dan 66-78 % dengan nilai rata-rata 72 %. RH udara pengering tertinggi dicapai pada pukul 10:00 sebesar 50 % dan outlet tertinggi dicapai pada pukul 15:00 sebesar 78 %, sedangkan RH udara pengering terendah dicapai pada pukul 15:00 sebesar 50 % dan outlet terendah dicapai pada pukul 14:00 sebesar 66 % Kelembaban udara mempengaruhi proses pemindahan cairan atau uap air dari dalam ke permukaan bahan, serta menentukan besar kecilnya kemampuan udara pengering dalam menampung uap air di sekitar permukaan bahan. Semakin rendah RH udara pengering maka semakin tinggi kemampuannya dalam penyerap uap air dari permukaan bahan, sehingga laju pengeringannya akan semakin cepat.
37
4. Perubahan Kadar Air terhadap Waktu Pengeringan Perubahan kadar air pada percobaan 1, 2 dan 3, masing-masing disajikan pada Gambar 12, 13, 14 dan 15. Data perubahan kadar air pada percobaan 1, 2 dan 3 masing-masing disajikan secara detail pada tabel Lampiran 9. Perbedaan suhu ruang pengering dan kadar air awal bahan antara percobaan 1, 2 dan 3 menyebabkan perbedaan pola penurunan kadar air. 35
Kadar Air (%bb)
30 25 20 15 10 5 0 0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
4,5
5
5,5
6
6,5
7
7,5
Jam keM perc 1 (% bb)
M perc 2 (% bb)
M perc 2 (% bb)
Gambar 13. Penurunan kadar air (%bb) bahan terhadap waktu pengeringan percobaan 1, 2 dan 3. Pada Gambar 13 menyajikan penurunan kadar air pada percobaan 1, 2 dan 3. Pada percobaan 1 dibutuhkan waktu selama 5 jam untuk mengeringkan jagung dari kadar air awal 31.0 %bb sampai kadar air 12.8 %bb. Waktu yang dibutuhkan percobaan 2 pada proses pengeringan dari kadar air awal 30.2 %bb sampai kadar air 12.9 %bb adalah 5 jam. Pada percobaan 3 dengan asumsi tidak menggunakan energi yang berasal dari radiasi surya, membutuhkan waktu 7 jam untuk mengeringkan jagung dari kadar air awal 30.2 %bb sampai kadar air akhir 12.87 %bb. Perbedaan pola perubahan kadar air sangat dipengaruhi oleh suhu udara pengering, suhu udara lingkungan dan kadar air awal bahan. Hal ini dapat terlihat dari percobaan 1, 2 dan 3. Pada percobaan 3, waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan produk relatif lebih lama dibandingkan percobaan 1 dan 2. Hal ini disebabkan oleh kondisi udara lingkungan yang basah sehingga terjadi proses pindah panas dari ruang pengering ke lingkungan. Perbandingan dilakukan dengan melakukan kalkulasi perubahan kadar air berdasarkan persamaan perpindahan massa (Henderson dan
38
Perry, 1970). Masukkan data pada persamaan itu berdasarkan rata-rata suhu udara lingkungan dan ruang pengering. Sedangkan nilai konstanta pengeringan dan kadar air keseimbangan dilakukan dengan pendekatan model matematika dari penelitian Thahir (1986). Namun perhitungan secara teori tidak bisa dikatakan akurat, karena suhu yang dimaksud secara teori harus konstan, sedangkan dalam percobaan terjadi perubahan suhu
Kadar Air (%bk)
setiap waktu. 50,0 45,0 40,0 35,0 30,0 25,0 20,0 15,0 10,0 5,0 0,0 9:30 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00 Waktu (WIB) Mdata (% bk)
Mc al (% bk)
Gambar 14. Grafik perbandingan perubahan kadar air (%bk) pada percobaan 1. Gambar 14 menyajikan grafik perubahan kadar air (%bk) hasil pengukuran dan hasil perhitungan pada percobaan 1. Pada percobaan 1, pengeringan berlangsung dari pukul 10:00-15:00 WIB. Pada grafik dapat dilihat bahwa perbedaan antara penurunan kadar air secara teori dengan percobaan tidak terlalu besar. Hal ini terlihat dari selisih antara penurunan kadar air setiap jam yang cukup kecil. Selisih antara penurunan kadar air teoritis dengan perhitungan dapat disajikan pada Lampiran 10. Perbedaan hasil pengukuran dengan teori berkisar antara 0-4.6 %bk. Selisih terbesar terjadi pada akhir pengeringan yaitu pukul 15:00 dengan nilai 4.6 %bk. Sedangkan selisih terkecil terjadi pada pukul 11:00 dengan nilai 0.1 %bk. Secara keseluruhan rata-rata selisih antara penurunan kadar air teoritis dengan percobaan adalah 1.8 %bk. Pada gambar 15 memperlihatkan grafik penurunan kadar air (%bk) terhadap waktu. Pada grafik tersebut juga menunjukkan perbandingan antara penurunan kadar air hasil perhitungan dengan pengukuran pada
39
percobaan 2. Secara visual, pola yang ditunjukkan pada hasil pengukuran tidak berbeda jauh. Hal ini mempelihatkan secara teori, pengering dapat bekerja dengan baik. Pada Lampiran 10, dapat dilihat selisih terbesar antara penurunan kadar air secara teori dengan pengukuran terjadi pada pukul 14:00 yaitu 3.7 %bk. Sedangkan selisih terendah terjadi pada pukul 09:30 dan 12:00 dengan nilai 0.2 %bk. Pada percobaan 2, rata-rata nilai
Kadar Air (%bk)
selisih antara hasil perhitungan dengan pengukuran adalah 1.6 %bk. 50,0 45,0 40,0 35,0 30,0 25,0 20,0 15,0 10,0 5,0 0,0 8:30
9:00
9:30 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 Waktu (WIB) Mdata (% bk)
Mc al (% bk)
Gambar 15. Grafik perbandingan perubahan kadar air (%bk) pada percobaan 2. Berdasarkan percobaan 3, pola penurunan kadar air bahan berbeda dengan pola penurunan kadar air bahan hasil perhitungan. Pengeringan pada percobaan 3 berlangsung dari pukul 10:00-17:00. Namun pada Gambar 16 terlihat kecenderungan penurunan kadar air hasil percobaan pada awal pengeringan mendekati penurunan kadar air berdasarkan pendekatan teoritis. Hal ini diakibatkan pada awal pengeringan, suhu bahan masih konstan sehingga pengeringan dalam dilakukan sama seperti kondisi ideal. Selisih terbesar antara penurunan kadar air secara teoritis dengan percobaan terjadi pada pukul 15:00 yaitu 7.7 %bk. Selain itu, selisih terendah antara penurunan kadar air terjadi pada pukul 10:00 dengan nilai selisih sebesar 0.3 %bk. . Pada percobaan 3, rata-rata nilai selisih antara hasil perhitungan dengan pengukuran adalah 5.3 %bk
40
Kadar Air (%bk)
50,0 45,0 40,0 35,0 30,0 25,0 20,0 15,0 10,0 5,0 0,0 9:30 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00 15:30 16:00 16:30 17:00 Waktu (WIB) Mdata (% bk)
Mc al (% bk)
Gambar 16. Grafik perbandingan perubahan kadar air (%bk) pada percobaan 3. 5. Laju Pengeringan Gambar 17, 18 dan 19 memperlihatkan bentuk kurva laju pengeringan terhadap waktu. Pada gambar tersebut, kurva laju pengeringan terlihat berfluktuasi namun pada awal pengeringan tingkat laju pengeringan cukup tinggi kemudian menjelang akhir pengeringan laju pengeringan kembali menurun. Fluktuasi yang terjadi pada laju pengeringan diakibatkan oleh suhu dan RH udara yang berfluktuasi. Pada kondisi ideal, dimana suhu ruang pengering konstan terjadi laju pengeringan yang tinggi pada tahap awal disebabkan masih tingginya kadar air dalam produk sehingga jumlah air yang diuapkan pun besar. Setelah kadar airnya berkurang, laju pengeringan yang semakin menurun. Pada periode ini terjadi migrasi uap air dari bagian dalam ke permukaan secara difusi, karena adanya perbedaan konsentrasi atau tekanan uap bagian dalam keluar. Beda tekanan uap bahan dengan tekanan uap udara yang kecil akan menyebabkan laju pengeringan menjadi lambat sehingga difusi air dari bahan ke udara akan menurun. Laju pengeringan dalam kondisi ideal dinyatakan dalam turunan dari persamaan Henderson dan Perry (1970).
41
Laju Pengeringan (%bk.jam
12,0 10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 0,0 10:00
10:30
11:00
11:30
12:00
12:30
13:00
13:30
14:00
14:30
15:00
Waktu (WIB) dMdata/dt (%bk/jam)
dMcal/dt (%bk/jam)
Gambar 17. Grafik laju pengeringan terhadap waktu pada percobaan 1. Pada Gambar 17 terlihat bahwa hasil pengukuran laju pengeringan terhadap waktu pada percobaan 1 bersifat fluktuaktif terhadap kurva laju pengeringan berdasarkan perhitungan. Namun pola laju pengeringan antara data pengukuran dengan perhitungan yang hampir sama. Laju pengeringan rata-rata alat pengering pada percobaan 1 sebesar 5.9 %bk/jam. Sedangkan menurut perhitungan, laju pengeringan rata-rata yang dapat dicapai pada tingkat suhu yang konstan adalah 6.3 %bk/jam. Pada percobaan 1, laju pengeringan berkisar antara 2.2-10.1 %bk/jam. Berdasarkan perhitungan dengan suhu konstan menurut rata-rata suhu udara pengering percobaan 1 yaitu 54.7 oC, didapatkan hasil perhitungan laju pengeringan berkisar antara 2.9-9.1 %bk/jam. Laju pengeringan tertinggi pada percobaan terjadi pada pukul 12:30 dengan nilai 10.1 %bk/jam pada suhu udara pengering 57.2 oC dan RH 34 %. Laju pengeringan terendah terjadi pada pukul 14:30 dengan nilai 2.2 %bk/jam. Selisih antara perhitungan dengan pengukuran terbesar terjadi pada pukul 14:30 dengan nilai selisih 2.9 %bk/jam, sedangkan nilai selisih terkecil adalah 0.3 %bk/jam. Secara keseluruhan, selisih antara perhitungan dengan percobaan berkisar antara 0.3-2.9 %bk/jam. Data laju pengeringan serta selisih antara percobaan dan perhitungan pada percobaan 1 disajikan secara detail pada Lampiran 10. Berdasarkan standarisasi deptan, laju pengeringan rata-rata untuk jagung sebesar 3-5 %bk/jam.
42
Pada percobaan 2, laju pengeringan disajikan dalam bentuk grafik pada gambar 18. Berbeda dengan percobaan 2, hasil pengukuran laju pengukuran tidak memiliki pola yang sama dengan hasil perhitungan. Hasil pengukuran yang didapat bersifat fluktuatif tergantung suhu dan RH ruang pengering.
Laju Pengeringan (%bk.jam
14,0 12,0 10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 0,0 9:00
9:30
10:00
10:30
11:00
11:30
12:00
12:30
13:00
13:30
14:00
Waktu (WIB) dMdata/dt (%bk/jam)
dMcal/dt (%bk/jam)
Gambar 18. Grafik laju pengeringan terhadap waktu pada percobaan 2. Pada Lampiran 10 dapat terlihat laju pengeringan rata-rata yang terjadi pada percobaan 2 sebesar 5.4 %bk/jam. Sedangkan menurut perhitungan, laju pengeringan rata-rata yang dapat dicapai pada tingkat suhu yang konstan adalah 5.8 %bk/jam. Pada percobaan 2, laju pengeringan berkisar antara 2.6-11.7 %bk/jam. Berdasarkan perhitungan dengan suhu konstan menurut rata-rata suhu udara pengering percobaan 2 yaitu 50.3 oC, didapatkan hasil perhitungan laju pengeringan berkisar antara 2.5-8.1 %bk/jam. Laju pengeringan tertinggi pada percobaan terjadi pada pukul 11:00 dengan nilai 11.7 %bk/jam dengan suhu udara pengering 46.8 oC dan RH 45 %. Laju pengeringan terendah terjadi pada pukul 14:00 dengan nilai 2.6 %bk/jam. Selisih antara perhitungan dengan pengukuran terbesar terjadi pada pukul 11:00 dengan nilai selisih 3.6 %bk/jam, sedangkan nilai selisih terkecil adalah 0.7 %bk dan terjadi pada pukul 14:00. Secara keseluruhan, selisih antara perhitungan dengan percobaan berkisar antara 0.7-3.6 %bk/jam. Data laju pengeringan serta selisih antara percobaan dan perhitungan pada percobaan 2 disajikan secara detail pada Lampiran 10.
43
Sama dengan 2 percobaan sebelumnya, pada Gambar 19 terlihat bahwa hasil pengukuran laju pengeringan terhadap waktu pada percobaan 3 bersifat fluktuaktif terhadap kurva laju pengeringan berdasarkan perhitungan. Hal ini diakibatkan cuaca pada saat itu yang hujan dan memmpengaruhi suhu ruang pengering. Selain itu, adanya penggunaan panas hasil pembakaran biomassa juga terlihat tidak terlalu efektif untuk mempertahankan suhu udara. Hujan juga mengakibatkan RH yang masuk ke dalam ruang pengering terlalu tinggi, sehingga panas yang dihasilkan biomassa tidak mampu memanskan udara di dalam ruang pengering secara optimal. Berdasarkan Lampiran 10 dapat dilihat laju pengeringan rata-rata yang terjadi pada percobaan 3 sebesar 4.1 %bk/jam. Sedangkan menurut perhitungan, laju pengeringan rata-rata yang dapat dicapai pada tingkat suhu yang konstan adalah 5.8 %bk/jam. Pada percobaan 2, laju pengeringan berkisar antara 2.6-11.7 %bk/jam. Berdasarkan perhitungan dengan suhu konstan menurut rata-rata suhu udara pengering percobaan 2 yaitu 50.3 oC, didapatkan hasil perhitungan laju pengeringan berkisar antara 2.5-8.1 %bk/jam.
Laju Pengeringan (%bk.jam
8,0 7,0 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00 15:30 16:00 16:30 17:00 Waktu (WIB) dMdata/dt (%bk/jam)
dMcal/dt (%bk/jam)
Gambar 19. Grafik laju pengeringan terhadap waktu pada percobaan 3. Pada percobaan 3, laju pengeringan tertinggi terjadi pada pukul 12:30 dan 13:00 dengan nilai 5.7 %bk/jam. Pada laju pengeringan tertinggi suhu udara pengering berturut-turut adalah 40.3 dan 37.7 oC, sedangkan RH udara pengering berturut-turut adalah 57 dan 54 %. Laju pengeringan
44
terendah dicapai pada pukul 14:00 dengan nilai 2.7 %bk/jam. Selisih antara perhitungan dengan pengukuran terbesar terjadi pada pukul 10:00 dengan nilai selisih 3.1 %bk/jam. Pada pukul 14:30 laju pengeringan antara hasil perhitungan dan pengukuran menunjukkan nilai yang sama. Dengan demikian, nilai selisih terendah terjadi pada pukul 14:30. Secara keseluruhan, selisih antara perhitungan dengan percobaan berkisar antara 0.0-3.1 %bk/jam. Data laju pengeringan dan selisih antara percobaan dan perhitungan pada percobaan 3 disajikan secara detail pada Lampiran 10. Dari ketiga percobaan terlihat bahwa percobaan 1 mempunyai laju pengeringan rata-rata tertinggi yaitu 5.9 %bk/jam. Selain itu, percobaan 1 juga memiliki pola laju penurunan kadar air yang hampir sama dengan pola laju penurunan kadar air hasil perhitungan. Hal ini disebabkan pada percobaan kondisi lingkungan dan ruang pengering paling optimal dibandingkan kedua percobaan setelahnya. 6. Lama Pengeringan Lama pengeringan adalah jumlah waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan produk dari kadar awal sampai kadar akhir yang diinginkan. Lama pengeringan ini diukur dalam satu sayuan waktu per massa jagung sebagai produk yang akan dikeringkan. Pada percobaan I, pengeringan berlangsung selama 5 jam dari pukul 10:00-15:00 dengan bahan yang dikeringkan berjumlah 35 kilogram. Produk dikeringkan dari kadar awal 30.2 %bb sampai 12.8 %bb. Lama pengeringan jagung yang dilakukan pada percobaan 2 dengan berat produk 35 kg yaitu 5 jam. Pengeringan berlangsung dari pukul 9:00-14:00. Pengeringan dilakukan sampai kadar akhir mencapai 12.9 %dengan kadar awalnya 29.8 %bb. Percobaan 3 memerlukan waktu selama 7 jam untuk mengeringkan jagung dari kadar air awal 29.8 %bb sampai kadar air 12.8 %bb. Percobaan 3 berlangsung dari pukul 10:00-17:00 dan berat produk yang dikeringkan sebesar 30 kg. B. Konsumsi dan Efisiensi Energi Selama Proses Pengeringan Perhitungan konsumsi energi didasarkan atas penggunaan energi dalam proses pengeringan. Sumber energi yang digunakan pada alat
45
pengering ini berasal dari iradiasi surya, pembakaran biomassa dan energi listrik. Pada percobaan 1 dan 2 energi yang dimanfaatkan dalam proses pengeringan hanya berasal dari energi listrik. Sedangkan pada percobaan 3, energi yang dimanfaatkan hanya berupa energi yang berasal dari pembakaran
biomassa.
Hal
ini
dikarenakan
cuaca
yang
tidak
memungkinkan dilakukan pengeringan dengan memanfaatkan energi dari irradiasi surya. Energi lisrik dipakai untuk menggerakkan blower sebagai pneumatic conveyor produk jagung. Daya yang digunakan untuk mengaktifkan blower sebesar 250 W. Blower ini terus dinyalakan selama proses pengeringan berlangsung dengan tujuan untuk meresirkulasi produk dan mengeluarkan
uap air sisa pengeringan yang berada di pipa
distributor. Besarnya konsumsi energi yang digunakan tertera pada Tabel 14. Sumber energi ini dimanfaatkan untuk memanaskan udara, memanaskan bahan dan menguapkan air. Tabel 15 menyajikan secara detail besarnya energi yang termanfaatkan tersebut. Tabel 8. Komposisi konsumsi energi untuk pengeringan jagung
Irradiasi surya Arang kayu Listrik (kipas)
Percobaan 1 (kJ) (%) 50935.67 91.88 0 0 4500 8.118
Percobaan 2 (kJ) (%) 48277.15 91.47 0 0 4500 8.526
Percobaan 3 (kJ) (%) 0 0 354000 98.74 4500 1.255
Total
55435.67
52777.15
358500
Sumber energi
100
100
100
Tabel 9. Pemanfaatan energi untuk pengeringan jagung Pemanfaatan energi Pemanasan udara Pemanasan bahan Penguapan
Percobaan 1 (kJ) 30266.03 633.06 21545.87
Percobaan 2 (kJ) 26149.03 343.21 21642.62
Percobaan 3 (kJ) 47005.61 326.17 21758.24
Kinerja alat pengering dinyatakan dalam nilai efisiensi baik efisiensi pengeringan,
efisiensi
termal
maupun
efisiensi
sistem.
Efisiensi
merupakan perbandingan antara besarnya energi yang digunakan untuk mengeringkan bahan dengan besarnya energi yang diberikan oleh semua sistem yang menghasilkan energi (surya, biomassa, dan listrik). Perhitungan
pemakaian
energi
berguna
untuk
menduga
bentuk
pengeringan dan pemilihan pengkondisian alat pengering yang disesuaikan dengan potens yang ada .
46
Pada
lampiran
13
disajikan
perhitungan
kebutuhan
energi.
Sedangkan pada lampiran 14 menyajikan nilai perhitungan efisiensi mesin pengering. Efisiensi termal alat pengering ini untuk percobaan 1, 2 dan 3 berturut-turut 59.42 %, 54.16 % dan 13.28 %. Efisiensi pengeringan pada percobaan 1, 2 dan 3 sebesar 32.53 %, 33.90 % dan 6.38 %. Konsumsi Energi Spesifik (KES) yaitu total energi komersial listrik yang masuk ke sistem perkilogram massa air yang diuapkan. Pada percobaan 1, 2 dan 3 nilai KES yang didapat sebesar 562.5 kJ/kg uap air, 584.42 kJ/ kg uap air dan 787.50 kJ/kg uap air. Perbedaan efisiensi dan konsumsi energi spesifik antara percobaan 1, 2 dan 3 disebabkan adanya perbedaan penggunaan energi. Pada percobaan 1 dan 2 hanya menggunakan irradiasi matahari sebagai sumber energi. Sedangkan pada percobaan 3, sumber energi yang digunakan hanya berasal dari energi hasil pembakaran biomassa. Namun penggunaan energi yang digunakan harus berdasarkan kondisi lingkungan yang terjadi. Penggunaan energi irradiasi surya secara keseluruhan dapat meningkatkan efisiensi. Pemanfaatan energi yang melalui pembakaran biomassa dapat mengurangi efisiensi mesin pengering. Namun efisiensi yang kecil tidak menyatakan kelayakan suatu alat pengering tersebut. Efektifitas pengering lebih diutamakan pada kondisi lingkungan yang tidak memungkinkan dilakukan pengeringan secara konvensional. Pada percobaan 3 dilakukan pengeringan dengan menggunakan energi dari pembakaran biomassa karena kondisi yang tidak ideal untuk dilakukan secara konvensional. Namun dapat terlihat pengeringan dapat tetap berlangsung sampai bahan yang dikeringkan mencapai kadar air yang ditentukan.
C. PERBANDINGAN KINERJA MESIN PENGERING Perbandingan kinerja alat pengering merupakan dasar untuk melihat bagaimana kinerja alat pengering tipe resirkulasi dibandingkan alat pengering yang dibuat sebelumnya. Aspek-aspek yang harus dilihat untuk mengetahui
47
perbandingan alat pengering yang satu dengan yang lainnya antara lain konsumsi energi spesifik dan efisiensi alat pengering. Kriteria perbandingan didasarkan pada dua hal yaitu tipe alat pengering dan bahan yang dikeringkan. Pada penelitian Sulikah (2007), mesin pengering tipe silinder berputar untuk pengeringan jagung efisiensi termal rata-rata sebesar 71.49 %. Energi terbesar yang digunakan untuk proses pengeringan berasal dari heater dengan persentase 90 %. Efisiensi termal pada penelitian tersebut lebih besar dibandingkan efisiensi termal pada penelitian ini. Hal ini disebabkan pada penelitian tidak digunakan heater untuk menghasilkan suhu yang lebih tinggi dan konstan pada proses pengeringan. Namun penggunaan heater kurang sesuai dengan konsep pengembangan sumber energi yang terbarukan pada daerah terpencil karena hanya menggunakan energi lsitrik sebagai sumber energi utama. Sedangkan pada penelitian ini (pada pembahasan sebelumnya), energi terbesar yang digunakan pada percobaan 1 dan 2 berasal dari energi irradiasi surya serta penggunaan biomassa sebagai energi utama pada percobaan 3. Ketiga percobaan tersebut, pemanfaatan potensi sumber energi yang terbarukan memiliki persentase terbesar dalam proses pengeringan jagung. Perbandingan efisiensi pada uji kinerja pengering sebelumnya untuk proses pengeringan jagung secara detail disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Perbandingan efisiensi berbagai tipe pengering Efisiensi Termal (%)
Tipe Pengering Alat pengering tipe sumur (Subekti, 1986) Alat pengering tipe konveksi bebas (Kuncoro, 1993) Mesin pengering tipe silinder berputar (Sulikah, 2007)
Jenis Efisiensi Efisiensi Efisiensi Total Pengeringan Sistem Pengeringan (%) (%)
13.89
10.2
-
10.9
-
2.31
71.49
96.75
59.22
Konsumsi energi spesifik memperlihatkan tingkat pemanfaatan sumber energi dalam mengeringkan produk. Pemanfaatan konsumsi energi spesifik pada penelitian sebelumnya disajikan pada dalam bentuk bagan pada Gambar 19.
nsumsi Energi Spesifik (MJ/kg uap air)
50
45.07
45 40 35 30 25
20.67
48
20 15 7.35
8.47
Keterangan : 1. Pengering model sumur (Subekti, 1986) 2. Pengering tipe bak dengan ketebalan 65 cm (Jubaedah, 2000) 3. Pengering tipe bak dengan ketebalan 70 cm (Jubaedah, 2000) 4. Pengering tipe silinder berputar (Sulikah, 2007) 5. Rata-rata dalam penelitian ini dengan sumber energi irradiasi matahari 6. Rata-rata dalam penelitian ini dengan sumber energi biomassa Gambar 19. Konsumsi energi spesifik dari beberapa penelitian pengeringan jagung Rata-rata perbandingan konsumsi energi spesifik pada penelitian mempunyai nilai yang lebih rendah dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Subekti (1986). Namun masih lebih rendah dibandingkan pengering tipe bak dan sillinder berputar. Hal ini disebabkan pada kedua percobaan itu menggunakan heater sebagai pemanas udara di ruang pengering, sehingga suhu udara di ruang pengering lebih besar dan lebih konstan dibandingkan dua penelitian lainnya. Dengan nilai konsumsi yang lebih rendah dan efisiensi yang lebih tinggi daripada pengering yang memanfaatkan sumber energi terbarukan lainnya, maka pengering resirkulasi cukup layak untuk digunakan.
49
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil percobaan pengeringan jagung dengan mesin pengering resirkulasi tipe efek rumah kaca maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Suhu rata-rata ruang pengering yang dicapai pada percobaan 1 dan 2 sebesar 54.7 dan 50.3 oC dengan radiasi surya rata-rata sebesar 615.20 dan 583.06 W/m2. Pada percobaan 3, suhu rata-rata ruang pengering yang dicapai sebesar 45.0 oC dengan membakar biomassa sebesar 9.8 kg. 2. Mesin pengering tipe resirkulasi ini mampu mengeringkan jagung sebanyak 35 kg pada tiga percobaan yang berbeda dengan kadar air awal masing-masing 30.2%, 29.8% dan 30.2% bb dalam waktu 5, 5 dan 7 jam. Nilai rendemen pada percobaan 1, 2 dan 3 sebesar 77.14, 78.0 dan 77.14 % dengan kadar akhir masing-masing sebesar 12.8%, 12.9% dan 12.8% bb dan laju pengeringan rata-rata sebesar 5.9, 5.4 dan 4.1 %bk/jam. 3. Komposisi pemanfaatan energi listrik pada percobaan 1, 2 dan 3 untuk menggerakkan blower masing-masing sebesar 8.12%, 8.53 % dan 1.26%. Penggunaan sumber energi terbarukan berupa irradiasi surya pada percobaan 1 dan 2 memiliki persentase sebesar 91.88% dan 91.47%. Penggunaan sumber energi biomassa pada percobaan 3 sebesar 98.74%. 4. Efisiensi termal yang dicapai alat pengering pada percobaan 1, 2 dan 3 berturut-turut masing-masing sebesar 59.42%, 54.16% dan 13.28%. Efisiensi pengeringannya sebesar 32.53%, 33.90% dan 6.38% 5. Konsumsi energi spesifik pada percobaan 1, 2 dan 3 sebesar 0.56, 0.58 dan 0.79 MJ energi listrik/kg uap air. B. SARAN Dari hasil percobaan yang telah dilakukan, yang dapat disarankan adalah sebagai berikut : 1. Diperlukan bila suhu potimal tidak tercapai, dua sumber energi sekaligus yaitu radiasi matahari dan biomassa atau hybrid sistem sehingga dapat
48
diketahui seberapa besar efisiensi yang terjadi dengan menggunakan dua sumber energi tersebut. 2. Diperlukan modifikasi corong dari blower agar memperlancar laju resirkulasi produk serta menambah daya blower yang digunakan untuk pengeringan pada produk pertanian dengan kerapatan rendah. 3. Diperlukan kajian ulang terhadap pengering surya resirkulasi dengan ruang pengering miring untuk pengeringan jenis serealia untuk mendapatkan ketepatan dan memperluas penggunaan mesin terhadap jenis bahan yang akan dikeringkan lainnya. 4. Adanya penutup atau naungan apabila kondisi di luar hujan, sehingga panas yang hilang tidak terlalu besar.
49
DAFTAR PUSTAKA Alam, S. 1999. Uji Peformansi Alat Pengering Energi Surya Efek Rumah Kaca (ERK) Dengan Menggunakan Pemanas Tambahan Untuk Pengeringan Biji Kakao. Skripsi. Jurusan Teknik Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Budiono, C. 2003. Tantangan dan Peluang Usaha Pengembangan Sistem Energi Terbarukan di Indonesia. Konvensi Kelistrikan Indonesia. Jakarta Condori, M. dan L. Saravia, 1998. The performance of forced convection greenhouse driers. Renewable Energy, vol.13, no. 4, pp 453-469. Britain. Darmawan, D. 2003. Uji Kinerja Alat Pengering Tipe Efek Rumah Kaca dan Tungku Biomassa Sebagai Sistem Pemanas Tambahan Untuk Proses Pengeringan. Skripsi. Jurusan Teknik Pertanian. IPB. Departemen Menegristek. 2001. Tanaman Penghasil Pati. Publik Indonesia. Departemen Menegristek Jakarta. Departemen Pertanian. 2008. Jagung. http://www. deptan.go.id.//info. [28 Agustus 2008] Dyah, W. 1997. Analisis Pengeringan pada Alat Pengering Kopi (coffea sp.) Efek Rumah Kaca Berenergi Surya. Tesis. Program Studi Keteknikan Pertanian. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Elfian. 1985. Menentukan koefisien pengeringan dan kadar air keseimbangan dinamis kedelai (Glycine max L. Merril) dana jagung (Zea mays L.). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Fribance, A. E. 1962. Industrial Instrumentation Fundamentals. McGraw-Hill Book Company, INC. Newyork, USA. Gandasasmita, I. 1987. Analisa Pindah Panas Untuk Mendapatkan Nilai Efisiensi Beberapa Jenis Tungku Arang. Skripsi. Jurusan Mekanisasi Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Garg, H.P. dan R. Kumar. 1998. studies on semi-cylindrical solar tunnel dryers: estimation of solar irradiance. Renewable Energy. Elsevier Sc. Ltd. Hall, C. W. 1957. Drying Farm Corps. Agricultural Consulting Associates, Inc. East lansing, Michigan. Henderson, D. R. And R. L. Perry. 1976. Agricultural Process Engineering.3rd Edition. The AVI Publishing Co. Inc., Westport, Connecticut, USA.
Huang, B.K. 1986. Use of Solar Energy for Drying ang Curing. Edited by Goswani, D. Yogi. CRC Press, Inc., Boca Raton. Florida. Kamaruddin, A., et al. 1996. . Energi dan Elektrifikasi Pertanian. JICA-DGHE. IPB Project ADAET: JTA-9a(132). IPB, Bogor. Kamaruddin, A. Tamrin, Wenur, F. dan Dyah W. 1994. Optimasi dalam Perencanaan Alat Pengering Hasil Pertanian dengan Energi Surya. Laporan akhir Penelitian Hibah Bersaing. Dirjen DIKTI, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. IPB. Bogor. Kuncoro, S. 1993. Pengeringan Benih Kacang Tanah, Jagung, dan Kedelai dengan Alat Pengering Tipe Konveksi Bebas. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Mursalim. 1995. Uji Penampilan Sisitem Pengering Kombinasi Energi Surya dan Tungku Batu Bara dengan Bangunan tembus Cahaya sebagai Pembangkit Panas untuk Pengeringan Vanili. (Vanilla Planifora). Skripsi. Jurusan Teknik Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Nelwan, L. O. 1997. Pengeringan Kakao dengan Energi Surya Menggunakan Rak Pengering dengan Kolektor Tipe Efek Rumah Kaca. Tesis. Program Studi Keteknikan Pertanian, Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Nuryadin, B. 1990. Mempelajari Laju Pembakaran Bahan Bakar Kayu Dengan Pemberian Dimensi dan Bentuk, Analisis Pindah Panas dan Efisiensi Tungku Masak. Skripsi. Jurusan Mekanisasi Pernatian. IPB. Bogor. Rachman, E. A. 2003. Kinerja Sistem Pengering Kombinasi Tipe Efek Rumah Kaca Berenergi Surya, Angin, dan Biomassa Pad Pengeringan Ikan Teri (Stolephorus Sp). Skripsi. Jurusan Tenik Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor Setyoningrum, H. 2001 Uji Performansi Alat Pemerangkapan Radiasi Surya dengan Beberapa Jenis Plastik Pada Bangunan Tembus Cahaya. Skripsi. Jurusan Teknik Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Sihabudin. 2001. Kinerja Lapang Alat Pengering Tipe Efek Rumah Kaca Berenergi Surya dan Biomassa Untuk Proses Pengeringan Keripik Kentang. Skripsi. Jurusan Teknik Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Subekti, D. 1986. Pengembangan Alat Pengering Jagung Model Sumur Untuk Tingkat Pedesaan. Skripsi . Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Thoruwa, T.F.N., J.E. Smith, A.D. Grant dan C.M. Johnstone. 1996. Development in solar drying using forced ventilation and solar regenerated dessicant materials. World Renewable Energy Conference. Yulistina, N. D. 2001. Analisis Energi dan Biomassa dalam Proses Pembuatan Briket Arang. Skripsi. Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Wikipedia Indonesia. 2007. September 2007]
Jagung.
http://id.wikipedia/wiki/Jagung.
[10
Warintek. 2007. Jagung (Zea mays L.). http://warintek.progressio.or.id. [10 September 2007
Lampiran 1. Karakteristik Udara Pengering Percobaan 1
Tabel lampiran 1. Karakteristik udara pengering bagian bawah percobaan 1 Waktu
Suhu Bola Kering o
10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00
( C) 51.0 52.5 53.4 54.5 55.1 57.2 58.2 58.8 58.5 53.5 50.7
Suhu Bola basah o
( C) 39.9 39.9 39.8 38.3 38.7 39.1 39.7 42.0 44.1 36.3 38.1
RH
Kelembapan Mutlak
Enthalpy
Volume Spesifik
(%) 51 47 44 37 37 34 33 38 44 34 46
(kg uap air/kg udara kering) 0.0436 0.0430 0.0422 0.0371 0.0381 0.0384 0.0398 0.0472 0.0552 0.0319 0.0382
(kJ/kg) 164.4 164.3 163.4 151.4 154.5 157.5 162.3 182.3 202.7 136.8 150.1
(m3/kg) 0.98 0.99 0.99 0.98 0.99 0.99 1.00 1.01 1.02 0.97 0.97
52
Lampiran 1. (lanjutan)
Tabel lampiran 2. Karakteristik udara pengering bagian atas percobaan 1 Waktu 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00
Suhu Bola Kering (oC) 49.3 52.1 53.0 54.4 55.2 56.1 57.2 58.0 59.0 54.8 51.0
Suhu Bola basah (oC) 39.5 39.9 39.1 38.5 38.8 39.2 42.2 42.1 44.2 38.6 38.1
RH (%) 55 48 43 38 37 36 42 40 43 37 45
Kelembapan Mutlak (kg uap air/kg udara kering) 0.0431 0.0431 0.0402 0.0378 0.0383 0.0392 0.0487 0.0479 0.0554 0.0379 0.0381
Enthalpy (kJ/kg) 161.3 164.4 157.8 152.9 155.2 158.4 184.3 183.3 203.7 153.7 150.1
Volume Spesifik (m3/kg) 0.98 0.99 0.98 0.98 0.99 0.99 1.01 1.01 1.02 0.99 0.97
53
Lampiran 1. (lanjutan)
Tabel lampiran 3. Karakteristik udara lingkungan percobaan 1
Waktu 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00
Suhu Bola Kering (oC) 31.0 30.0 32.2 29.7 34.0 31.0 38.0 33.5 36.0 33.6 37.5
Suhu Bola basah (oC) 26.4 24.1 24.2 21.7 25.7 22.8 29.3 25.1 25.9 25.6 29.3
RH (%) 70 62 52 50 52 50 53 51 45 53 55
Kelembapan Mutlak (kg uap air/kg udara kering) 0.0199 0.0165 0.0157 0.0130 0.0175 0.0141 0.0224 0.0167 0.0170 0.0175 0.0226
Enthalpy (kJ/kg) 82.1 72.4 72.7 63.1 78.9 67.2 95.7 76.4 79.7 78.5 95.7
Volume Spesifik (m3/kg) 0.89 0.88 0.89 0.88 0.89 0.88 0.91 0.89 0.90 0.89 0.91
54
Lampiran 1. (lanjutan)
Tabel lampiran 4. Karakteristik udara outlet percobaan 1
Waktu 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00
Suhu Bola Kering o ( C) 41.0 45.5 50.0 53.5 55.0 54.2 55.5 57.3 57.5 54.8 51.0
Suhu Bola Basah o ( C) 35.0 37.5 39.0 38.5 41.5 39.0 44.0 42.8 43.5 42.0 40.0
RH (%) 67 60 51 40 45 40 52 44 45 47 52
Kelembapan Mutlak (kg uap air/kg udara kering) 0.0339 0.0388 0.0412 0.0382 0.0472 0.0393 0.0562 0.0508 0.0533 0.0490 0.0440
Enthalpy (kJ/kg) 128.7 145.9 157.2 153.0 178.0 156.8 201.9 189.9 196.7 182.6 165.3
Volume Spesifik 3 (m /kg) 0.94 0.96 0.98 0.98 1.00 0.99 1.02 1.01 1.02 1.00 0.98
55
Lampiran 2. Karakteristik Udara Pengering Percobaan 2
Tabel lampiran 1. Karakteristik udara pengering bagian bawah percobaan 2
Waktu 9:00 9:30 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00
Suhu Bola Kering (oC) 50.2 47.0 48.3 48.5 49.0 55.5 58.0 55.2 53.2 50.7 50.5
Suhu Bola Basah (oC) 38.9 36.0 36.5 35.9 36.3 36.7 38.0 38.3 38.2 37.9 37.5
RH (%) 50 49 47 45 45 31 30 36 40 45 44
Kelembapan Mutlak (kg uap air/kg udara kering) 0.0408 0.0339 0.0347 0.0330 0.0339 0.0322 0.0347 0.0368 0.0374 0.0376 0.0366
Enthalpy (kJ/kg) 156.4 135.1 138.5 134.3 137.0 139.5 148.9 151.3 150.7 148.6 145.6
Volume Spesifik (m3/kg) 0.98 0.96 0.96 0.96 0.96 0.98 0.99 0.99 0.98 0.97 0.97
56
Lampiran 2. (lanjutan)
Tabel lampiran 2. Karakteristik udara pengering bagian atas percobaan 2
Waktu 9:00 9:30 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00
Suhu Bola Kering (oC) 46.3 45.6 46.0 45.7 46.8 55.2 55.5 53.4 50.8 48.2 47.3
Suhu Bola Basah (oC) 36.1 35.2 35.4 35.1 34.3 38.4 38.9 37.6 36.3 34.6 33.8
RH (%) 52 51 50 50 44 36 37 38 40 41 41
Kelembapan Mutlak (kg uap air/kg udara kering) 0.0345 0.0325 0.0328 0.0322 0.0297 0.0371 0.0385 0.0356 0.0331 0.0298 0.0282
Enthalpy (kJ/kg) 135.8 129.7 131.0 129.0 123.8 152.1 156.0 146.2 136.9 125.6 120.6
Volume Spesifik (m3/kg) 0.96 0.95 0.95 0.95 0.95 0.99 0.99 0.98 0.97 0.95 0.95
57
Lampiran 2. (lanjutan)
Tabel lampiran 3. Karakteristik udara lingkungan percobaan 2
Waktu 9:00 9:30 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00
Suhu Bola Kering (oC) 35.5 34.5 35.5 35.0 37.8 38.0 39.0 37.0 39.0 36.8 37.2
Suhu Bola Basah (oC) 27.0 26.5 27.0 26.5 28.3 27.5 29.0 28.5 28.3 28.8 27.5
RH (%) 52 54 52 52 49 45 48 53 45 55 48
Kelembapan Mutlak (kg uap air/kg udara kering) 0.0191 0.0186 0.0191 0.0184 0.0205 0.0189 0.0213 0.0212 0.0200 0.0219 0.0193
Enthalpy (kJ/kg) 84.7 82.4 84.7 82.4 90.7 86.9 94.1 91.7 90.7 93.2 86.9
Volume Spesifik (m3/kg) 0.90 0.90 0.90 0.90 0.91 0.91 0.91 0.91 0.91 0.91 0.91
58
Lampiran 2. (lanjutan)
Tabel lampiran 4. Karakteristik udara outlet pengering percobaan 2
Waktu 9:00 9:30 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00
Suhu Bola Kering (oC) 36.5 39.8 40.8 36.8 39.7 42.7 45.2 50.0 42.7 43.5 42.6
Suhu Bola Basah (oC) 27.7 30.5 31.3 27.7 28.6 30.3 34.0 38.2 30.4 31.0 30.3
RH (%) 52 52 52 51 44 41 48 48 42 42 42
Kelembapan Mutlak (kg uap air/kg udara kering) 0.0200 0.0242 0.0254 0.0198 0.0203 0.0224 0.0298 0.0388 0.0227 0.0235 0.0224
Enthalpy (kJ/kg) 88.0 102.2 106.4 87.9 92.2 100.7 122.5 150.9 101.5 104.3 100.6
Volume Spesifik (m3/kg) 0.91 0.92 0.93 0.91 0.92 0.93 0.95 0.97 0.93 0.93 0.93
59
Lampiran 3. Karakteristik Udara Pengering Percobaan 3
Tabel lampiran 1. Karakteristik udara pengering bagian bawah percobaan 3
Waktu 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00 15:30 16:00 16:30 17:00
Suhu Bola Kering (oC) 35.6 42.8 36.3 40.3 37.8 39.2 37.1 38.5 41.0 43.8 42.2 44.1 44.7 45.0 43.2
Suhu Bola Basah (oC) 30.6 32.7 28.9 31.5 29.5 30.7 29.4 30.1 31.8 34.1 32.1 35.8 36.2 34.5 33.6
RH (%) 70 50 58 54 55 54 57 55 53 53 50 58 58 50 52
Kelembapan Mutlak (kg uap air/kg udara kering) 0.0260 0.0276 0.0223 0.0260 0.0228 0.0246 0.0230 0.0238 0.0263 0.0304 0.0264 0.0346 0.0355 0.0310 0.0294
Enthalpy (kJ/kg) 102.6 114.3 93.8 107.4 96.6 102.8 96.3 100.0 109.1 122.6 110.4 133.8 136.7 125.4 119.4
Volume Spesifik (m3/kg) 0.91 0.93 0.91 0.93 0.91 0.92 0.91 0.92 0.93 0.94 0.93 0.95 0.95 0.95 0.94
60
Lampiran 3. (lanjutan)
Tabel lampiran 2. Karakteristik udara pengering bagian atas percobaan 3 Waktu 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00 15:30 16:00 16:30 17:00
Suhu Bola Kering (oC) 35.0 36.5 36.1 37.3 39.5 37.0 37.7 35.8 38.5 36.1 36.0 36.7 38.2 39.6 37.9
Suhu Bola Basah (oC) 30.5 27.9 28.1 28.9 30.7 28.5 28.9 27.7 30.8 28.5 28.9 29.7 30.7 31.6 29.5
RH (%) 72 52 55 54 54 53 53 54 58 57 60 60 59 57 54
Kelembapan Mutlak (kg uap air/kg udara kering) 0.0260 0.0202 0.0208 0.0218 0.0247 0.0213 0.0218 0.0202 0.0251 0.0217 0.0225 0.0237 0.0252 0.0265 0.0228
Enthalpy (kJ/kg) 101.8 88.7 89.7 93.5 103.2 91.9 93.8 87.9 103.4 92.0 93.9 97.7 103.3 107.9 96.6
Volume Spesifik (m3/kg) 0.91 0.91 0.91 0.91 0.92 0.91 0.91 0.90 0.92 0.91 0.91 0.91 0.92 0.92 0.91
61
Lampiran 3. (lanjutan)
Tabel lampiran 3. Karakteristik udara lingkungan percobaan 3
Waktu 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00 15:30 16:00 16:30 17:00
Suhu Bola Kering (oC) 25.6 25.9 26.9 26.3 26.2 25.9 25.1 25.6 25.5 26.3 25.7 26.7 26.4 25.8 26.0
Suhu Bola Basah (oC) 22.9 23.0 23.2 23.1 22.4 22.4 22.0 22.3 21.9 22.9 22.3 23.8 23.3 22.7 22.5
RH (%) 80 78 73 76 73 74 77 76 74 75 75 79 77 77 74
Kelembapan Mutlak (kg uap air/kg udara kering) 0.0166 0.0164 0.0163 0.0165 0.0156 0.0156 0.0154 0.0156 0.0151 0.0162 0.0155 0.0174 0.0167 0.0162 0.0157
Enthalpy (kJ/kg) 68.0 67.8 68.7 68.5 66.0 65.9 64.5 65.6 64.1 67.7 65.4 71.1 69.2 67.2 66.3
Volume Spesifik (m3/kg) 0.87 0.87 0.87 0.87 0.87 0.87 0.87 0.87 0.87 0.87 0.87 0.87 0.87 0.87 0.87
62
Lampiran 3. (lanjutan)
Tabel lampiran 4. Karakteristik udara outlet pengering percobaan 3
Waktu 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00 15:30 16:00 16:30 17:00
Suhu Bola Kering (oC) 32.4 26.4 33.7 31.4 37.2 28.1 35.8 28.4 30.1 28.5 30.5 35.4 33.4 37.3 29.0
Suhu Bola Basah (oC) 27.8 23.0 29.2 26.9 33.1 23.7 31.1 24.1 24.9 24.8 27.2 30.1 29.1 32.6 25.7
RH (%) 71 75 72 71 76 69 72 70 66 74 78 68 73 72 77
Kelembapan Mutlak (kg uap air/kg udara kering) 0.0219 0.0164 0.0240 0.0206 0.0310 0.0166 0.0270 0.0171 0.0178 0.0183 0.0215 0.0251 0.0239 0.0296 0.0195
Enthalpy (kJ/kg) 88.5 68.2 95.3 84.3 117.1 70.7 105.4 72.3 75.7 75.5 85.7 100.0 94.9 113.6 79.1
Volume Spesifik (m3/kg) 0.90 0.87 0.90 0.89 0.92 0.88 0.91 0.88 0.88 0.88 0.89 0.91 0.90 0.92 0.88
63
Lampiran 4. Penentuan nilai UA termos. Persamaan yang dipakai dalam penentuan nilai UA termos dTa ter UAter [Ta ter − TL ] = mter Cp ter dt
Tabel lampiran 4. Pengukuran heat loss termos Waktu (menit) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 220 230 240
Suhu Termos Suhu Lingkungan o ( C) (oC) 84.0 28 83.4 28 82.8 27 82.1 26.5 81.7 26.5 81.5 26.5 81.2 26.5 80.7 26.5 80.1 26.5 79.9 26.5 79.0 26.5 78.5 26.5 78.0 26.5 77.2 26.5 76.9 26.5 76.2 26.5 75.9 26.5 75.3 26.5 75.0 26.5 74.1 26.5 73.8 26.5 73.2 26.5 73.0 26 72.4 26 72.0 26 Rataan
UA (W/oC) 0.202 0.204 0.236 0.135 0.068 0.103 0.172 0.208 0.070 0.317 0.179 0.181 0.292 0.111 0.261 0.114 0.228 0.116 0.349 0.119 0.239 0.081 0.240 0.162 0.183
64
Lampiran 5. Pengukuran dan perhitungan iradiasi surya dengan termos iradiasi. Persamaan yang digunakan : dTa ter mter Cp ter + UAter [Ta ter − TL ] = I ter Ater dt Keterangan : = 0.183 W/oC Uter = 0.011 m
Radiasi pyranometer (W/m 2)
Ater
2
mter
= 2.7 kg
Cpter
= 4180 J/kg oC
1200 1100 1000 900 800
y = 0.6366x + 313.16 R2 = 0.8366
700 600 500 500
700
900
1100
1300
2
Radiasi termos (W/m )
Gambar lampiran 5. Persamaan hasil kalibrasi termos iradiasi dengan pyranometer. Tabel lampiran 5. Pengukuran iradiasi surya dengan termos iradiasi pada percobaan 1 Waktu 9:30 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00
T air termos (oC) 28.5 29.6 30.2 30.6 31.0 32.1 34.8 35.9 36.5 37.1 36.5 36.0
T.Lingkungan (oC) 30.8 31.0 30.0 32.2 29.7 34.0 31.0 38.0 33.5 36.0 33.6 37.5 Rataan
Radiasi termos W/m2
Radiasi W/m2
602.82 345.45 200.36 250.45 594.18 1604.64 590.73 393.82 361.00 164.09 110.89
696.91 533.08 440.71 472.60 691.42 1334.67 689.22 563.86 542.97 417.62 383.75 615.17
65
Lampiran 5. (lanjutan) Tabel lampiran 5. Pengukuran iradiasi surya dengan termos iradiasi pada percobaan 2 Waktu 8:30 9:00 9:30 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00
T air termos (oC) 30.2 31.0 31.5 32.0 32.4 33.0 35.0 36.0 39.0 39.7 40.2 39.5
T.Lingkungan (oC) 30.2 35.5 34.5 35.5 35.0 37.8 38.0 39.0 37.0 39.0 36.8 37.2 Rataan
Radiasi termos W/m2 378.27 233.18 224.55 183.09 259.09 1088.18 518.18 889.55 411.09 343.73 134.73
Radiasi W/m2 553.97 461.60 456.11 429.72 478.10 1005.90 643.03 879.44 574.86 531.98 398.93 583.06
66
Lampiran 6. Pengukuran suhu plat absorber Tabel lampiran 6. Pengukuran suhu plat absorber pada percobaan 1, 2, dan 3 Waktu 9:00 9:30 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00 15:30 16:00 16:30 17:00 Rataan
Suhu Plat Absober (oC) Percobaan I Percobaan II Percobaan III 51.2 48.0 51.2 52.0 43.3 52.4 51.0 42.1 54.5 53.8 44.4 55.5 65.0 42.0 56.9 64.3 41.5 57.3 60.1 41.6 58.0 58.2 42.6 59.2 56.7 42.7 60.0 55.3 44.5 59.1 44.6 58.0 44.3 42.1 44.9 42.2 43.6 56.6 56.0 43.1
67
Lampiran 7. Perhitungan panas yang dihasilkan pembakaran biomassa Diketahui : Massa arang yang dibakar (Mawal) = 15.0 kg Massa arang yang tersisa (Makhir) = 3.2 kg Lama pembakaran (t)
= 7.5 jam
Nilai kalor bahan bakar (Cbb)
= 29.5 MJ/kg
Ditanya : Energi panas yang dihasilkan dari pembakran biomassa ? Massa Arang yang terbakar = Mawal-Makhir = 15 – 3 = 12 kg Energi panas yang dihasilkan = 29 500 kJ/kg x 12 kg = 354 000 kJ = 354 MJ
68
Lampiran 8. Pengukuran laju resirkulasi produk Tabel lampiran 8. Hasil pengukuran laju resirkulasi produk pada percobaan 1, 2, dan 3 Waktu 9:00 9:30 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00 15:30 16:00 16:30 17:00 Rataan
Laju Resirkulasi (kg/menit) Percobaan I Percobaan II Percobaan III 5.5 5.4 5.3 6.0 5.9 5.1 5.3 5.5 5.4 5.1 5.3 5.5 5.2 5.9 5.2 5.0 5.7 5.9 4.9 5.7 6.0 4.8 5.3 5.0 4.7 5.0 5.8 4.3 5.6 6.3 5.0 5.7 5.7 5.5 5.5 5.3 5.1 5.6 5.1 5.5
69
Lampiran 9. Pengukuran laju udara pengering Tabel lampiran 9. Hasil pengukuran laju udara pengering pada percobaan 1, 2, dan 3 Waktu 9:00 9:30 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00 15:30 16:00 16:30 17:00 Rataan
Laju Udara Pengering (m/s) Percobaan I Percobaan II Percobaan III 0.74 0.62 0.75 0.65 0.66 0.62 0.73 0.81 0.65 0.84 0.76 0.80 0.64 0.76 0.90 0.65 0.72 0.65 0.62 0.67 0.71 0.82 0.82 0.70 0.72 0.67 0.60 0.95 0.65 0.63 0.73 0.66 0.70 0.83 0.80 0.66 0.69 0.70 0.73 0.73
70
Lampiran 10. Perbandingan kadar air dan laju pengeringan antara pengukuran dan perhitungan
Tabel lampiran 10. Perbandingan kadar air dan laju pengeringan antara pengukuran dan perhitungan pada percobaan 1 Waktu 9:30 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00
Kadar Air (% bb) 31 30.2 29.8 27.0 25.4 22.8 19.3 17.4 15.0 14.5 13.4 12.8
Kadar Air (data) (% bk) 44.9 43.3 42.5 37.0 34.0 29.5 23.9 21.1 17.6 17.0 15.5 14.7 Rataan
Kadar Air (teori) (% bk) 44.9 43.5 40.7 36.9 32.6 28.0 23.6 19.7 16.3 13.6 11.6 10.1
Laju Pengeringan (data) (%bk/jam)
Laju Pengeringan (teori) (%bk/jam)
2.5 6.3 6.3 8.4 7.5 10.1 8.5 6.3 4.1 2.2 2.3 5.8
2.9 5.5 7.5 8.7 9.1 8.8 7.9 6.7 5.4 4.1 3.0 6.3
71 71
Lampiran 10. (lanjutan) Tabel lampiran 10. Perbandingan kadar air dan laju pengeringan antara pengukuran dan perhitungan pada percobaan 2 Waktu 8:30 9:00 9:30 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00
Kadar Air (% bb) 30.2 29.8 28.5 28.0 25.3 21.4 19.0 17.4 16.0 14.8 13.5 12.9
Kadar Air (data) (% bk) 43.3 42.5 39.9 38.9 33.9 27.2 23.5 21.1 19.0 17.4 15.6 14.8 Rataan
Kadar Air (teori) (% bk) 43.3 42.0 39.7 36.4 32.6 28.6 24.6 20.9 17.6 14.9 12.8 11.1
Laju Pengeringan (data) (%bk/jam)
Laju Pengeringan (teori) (%bk/jam)
3.4 3.6 3.6 6.0 11.7 10.4 6.2 4.4 3.7 3.4 2.6 5.4
2.5 4.7 6.5 7.6 8.1 8.0 7.4 6.5 5.4 4.3 3.3 5.8
72 72
Lampiran 10. (lanjutan) Tabel lampiran 10. Perbandingan kadar air dan laju pengeringan antara pengukuran dan perhitungan pada percobaan 3 Waktu 9:30 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00 15:30 16:00 16:30 17:00
Kadar Air (% bb) 30.2 29.8 28.2 27.7 26.3 24.9 23.0 21.6 20.7 19.9 17.8 17.6 15.8 15.0 13.3 12.8
Kadar Air (data) (% bk) 43.3 42.5 39.2 38.4 35.6 33.2 29.9 27.6 26.2 24.8 21.6 21.4 18.7 17.7 15.3 14.7 Rataan
Kadar Air (teori) (% bk) 43.3 42.2 40.3 37.5 34.2 30.7 27.0 23.6 20.4 17.7 15.4 13.6 12.3 11.2 10.5 10.0
Laju Pengeringan (data) (%bk/jam)
Laju Pengeringan (teori) (%bk/jam)
5.2 4.1 4.1 3.6 5.1 5.7 5.7 3.8 2.7 4.5 3.5 2.9 3.7 3.4 3.0 4.1
2.1 3.9 5.5 6.6 7.1 7.2 6.9 6.3 5.5 4.5 3.6 2.8 2.0 1.5 1.0 4.4
73 73
Lampiran 11. Gambar pengering resirlulasi pada pengeringan jagung
74
Lampiran 11. (lanjutan)
75
Lampiran 12. Titik pengukuran dan pola aliran udara pengering 4
3 2 1
5
A
6
Keterangan lokasi/pengambilan sampel: 1 = Suhu bb, bk dan kecepatan udara ruang pengering bawah. 2 = Suhu plat absorber. 3 = Suhu bb, bk dan kecepatan udara ruang pengering atas. 4 = Suhu bb, bk dan kecepatan udara outlet. 5 = Kecepatan udara pipa penghantar produk. 6 = Kecepatan udara masuk A = Pola aliran udara pengering
76
Lampiran 13. Perhitungan kebutuhan energi. Percobaaan 1
Percobaan 2
Percobaan 3
Massa produk awal (Mo) (kg)
35.0
35.0
35,0
Massa produk akhir (Ma) (kg)
27.0
27.3
27,0
Kadar air awal (xi) (%bb)
30.2
29.8
30,2
12.8
12.9
12,8
54.7
50.3
45,0
Parameter Pengukuran dan Perhitungan
Kadar air akhir (xf) (%bb) o
Suhu rata-rata ruang pengering (Tr) ( C) o
Suhu lingkungan rata-rata (Tl) ( C)
33.3
34.0
26,0
o
1.86
1.85
1,86
Panas laten produk (ΔHfg) (kJ/kg)
3078.0
3091.8
3108,3
Kecepatan udara masuk (m/s)
0.70
0.73
1,20
Luas inlet (m2)
0.11
0.11
0,11
0.08
0.08
0,13
1.01
1.01
1,01
0.99
0.91
0,97
5
5
7
30266.03
26149.03
65807,85
Energi untuk menaikkan suhu bahan (Q4) (kJ)
633.06
343.21
326,17
Energi untuk menguapkan air bahan (Q3) (kJ)
21545.87
21642.62
21758,24
Energi total pengeringan (Qtp)
52444.95
48134.86
87892,26
Kebutuhan energi total (Qd) (kJ)
22178.92
21985.83
22084,41
Panas jenis produk (Cpb) (kJ/kg C)
3
Debit udara masuk (qu) (m /s) o
Panas jenis udara pengering (Cpu) (kJ/kg C) 3
Volum jenis udara pengering (vu) (m /kg) Lama pengeringan (t) (jam) Energi untuk memanaskan udara (Q5) (kJ)
Persamaan yang digunakan: Cpb = 0.837 + 0.034 (Mo) Q4 = mo Cpb (TR – TB ) Q5 = mu . ΔHfg q Q6 = u C pu (Tr − Tl )3600t vu
Qtp = Q4 + Q5 + Q6 Qd = Q4 + Q5
77
Lampiran 14. Perhitungan efisiensi. Parameter Pengukuran dan Perhitungan
Percobaaan 1
Percobaan 2
Percobaan 3
Intensitas radiasi surya rata-rata harian (Ir) (W/m2)
615.17
583.06
-
4.60
4.60
4.60
Massa bahan bakar (Mbb) (kg) Nilai kalor arang kayu (kJ/kg) Lama pengeringan (t) (jam)
5
5
12 29500 7
Energi radiasi surya (Q1) (kJ)
50935.7
48277.1
-
Energi bahan bakar (Q2) (kJ)
-
-
354000
30266.03 59.42
26149.03 54.16
47005.61 13.28
2
Luas plat absorber (A) (m )
Energi untuk memanaskan udara (Q6) (kJ) Efisiensi termal (%)
Percobaaan 1
Percobaan 2
Percobaan 3
Daya blower (Pk) (W) Lama Pemakaian kipas (t) (jam)
250 5
250 5
250 7
Kebutuhan energi total (Qu) (kJ)
22178.92
21985.83
22997.6712
Energi radiasi surya (Q1) (kJ)
63669.59
60346.44
-
Energi bahan bakar (Q2) (kJ)
-
-
354000
4500 32.53
4500 33.90
6300 6.38
562.50
584.42
787.50
Parameter Pengukuran dan Perhitungan
Energi kipas (Q6) (kJ) Efisiensi Pengeringan (%) Konsumsi energi spesifik (KES) (kJ Listrik/kg air yang teruapkan)
Persamaan yang digunakan: Q6 = 3.6 Pk t ηTermal =
Q6 x100% Q1 + Q2
ηPengeringan =
Qd x100% Qs
78