KAJIAN PENGEMBANGAN WILAYAH PULAU-PULAU KECIL DI KABUPATEN HALMAHERA UTARA (TINJAUAN TERHADAP PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN CAKALANG)
MUHAMMAD RIZAL ISMAIL
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
ABSTRAK MUHAMMAD RIZAL ISMAIL, Kajian Pengembangan Wilayah Pulau-Pulau Kecil di Kabupaten Halmahera Utara, Tinjauan terhadap Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Cakalang. (Ernan Rustiadi sebagai Ketua dan Akhmad Fauzi sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Pelaksanaan pembangunan yang berorientasi pada wilayah daratan mengakibatkan wilayah pulau-pulau kecil mengalami ketertinggalan sehingga pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia di wilayah tersebut belum optimal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sub sektor mana yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, menentukan pusat pelayanan fasilitas perikanan cakalang, menganalisis pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang dan pola kelembagaannya. Metode analisis yang digunakan adalah location quotient (LQ), shift- share (SSA), skalogram, bioekonomi dan deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif tinggi adalah sub sektor kehutanan, sedangkan sub sektor perikanan mempunyai keunggulan komparatif tetapi mempunyai daya saing yang kecil. Pusat pelayanan fasilitas perikanan cakalang yang terbesar terdapat di Desa Daruba Kecamatan Morotai Selatan. Pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang belum optimal. Pola kelembagaan perikanan cakalang belum berkembang dengan baik, antar unsur lembaga belum berinteraksi secara sinergis. Kata kunci: pulau-pulau kecil, cakalang dan kelembagaan.
ii
ABSTRACT Muhammad Rizal Ismail, the study of border small islands development in North Halmahera (A view to the use of Skipjack tuna fishery resources and the institutional). Supervised by Ernan Rustiadi and Akhmad Fauzi. Process and realization of the development that lands oriented affect the small islands and border areas. These areas become more left behind than other areas especially in some aspects/sectors. The use of natural resources in the small islands and border areas are not optimal because of this condition. The aims of this research are to analyze the sub sectors which have comparative and competitive advantageous, to decide the location of skipjack tuna fishery facilities and center, and to break down the using of skipjack tuna fishery resources and its institutional by using the Location Quotient (LQ) and Shift Share Analysis (SSA), Skalogram Analysis, Bioeconomic Analysis and Descriptive qualitative. From research, it is shows that forestry sub sector has high comparative and competitive adventegeous, therefore fishery sub sector has high comparative advantageous but low in competitive side. The highest skipjack tuna fishery facility service center is in Daruba village, South Morotai with index of 9.2297. Thus, the using of these skipjack tuna resources is not optimal yet. This is because of the actual production for this time has effort as much as 1.600 trips/ 6 months, 455.000 kg/ 6 months of fish product amount and 932.295 Rp/ 6 months of the economic rented compare to the optimum conditions (MEY) which have effort as much as 9.813,74 trips/6 months, 2.348.476, 16 kg/6 months of fish product amount and 2.629.247.152 Rp/ 6 months of the economic rented. And than the develop of skipjack tuna fishery is still not running well which is cause by the unsynergy of the institutional pattern. Key words : Border Small Islands, skipjack tuna, and The Institutional.
ii
@ Hak cipta milik Muhammad Rizal Ismail, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, microfilm dan sebagainya.
iv
KAJIAN PENGEMBANGAN WILAYAH PULAU-PULAU KECIL DI KABUPATEN HALMAHERA UTARA (TINJAUAN TERHADAP PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN CAKALANG)
MUHAMMAD RIZAL ISMAIL
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
v
Judul Penelitian
: Kajian Pengembangan Wilayah Pulau-Pulau Kecil Di Kabupaten Halmahera Utara (Tinjauan terhadap Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Cakalang)
Nama Mahasiswa
: Muhammad Rizal Ismail
Nomor Pokok
: A155040041
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Ketua
Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D.
Tanggal Ujian : 19 April 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputra, M.S.
Tanggal Lulus :
vi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Susupu Kecamatan Sahu Kabupaten Halmahera Barat pada tanggal 25 April 1975, sebagai anak ke 15 dari 15 bersaudara dari pasangan Ismail Saban (Alm) dan Hj. Sawia Abbas. Jenjang pendidikan sejak TK, SD, dan SMP dihabiskan di Desa Susupu sampai tahun 1990, kemudian ke SMA Negeri 1 Ternate dan tamat pada tahun 1993. Pendidikan Sarjana di lanjutkan di Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon dan tamat pada tahun 1998. Pada tahun 2001, penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil di Pemda Provinsi Maluku Utara dan di tempatkan di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Maluku Utara. Pada tahun 2003 penulis berkesempatan mengikuti program kerjasama Internasional Asean Jepang pada kegiatan Kunjungan Pemuda ke Jepang dalam bidang Local Development. Kemudian pada tahun 2004 Penulis mendapat Beasiswa Tugas Belajar dari Pemda Provinsi Maluku Utara untuk menlanjutkan pendidikan Pascasarjana pada Program Magister Sains Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan di Institut Pertanian Bogor.
viii
PRAKATA Penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis tentang Kajian Pengembangan Wilayah Pulau-Pulau Kecil di Kabupaten Halmahera Utara (Tinjauan terhadap Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Cakalang). Pengelolaan wilayah pulau-pulau kecil terluar selama ini selalu menekankan pada aspek keamanan dari pada aspek kesejahteraan, akibatnya kondisi pulau-pulau kecil terluar menjadi tertinggal karena sumberdaya alam yang ada di wilayah tersebut belum dimanfaatkan secara optimal. Untuk itu maka kajian ini dilakukan pada aspek pengelolaan sumberdaya alam yang menjadi usaha utama masyarakat di pulau-pulau kecil Halmahera Utara. Pada kesempatan ini penulis wajib menyampaikan banyak terima kasih kepada Komisi Pembimbing, Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr., dan Bapak Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc., atas bimbingannya kepada penulis sejak persiapan penulisan proposal penelitian sampai dengan penulisan tesis ini. Rasa terima kasih juga tak lupa penulis ucapkan kepada Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D., selaku Ketua Program Studi PWD dan kepada seluruh Staf Pengajar program studi PWD atas pengajaran dan bimbingannya selama penulis melaksanakan studi di PWD. Ucapan terima kasih yang tak terhingga juga penulis sampaikan kepada temanteman PWD angkatan 2004, ayah Dus, Bang Ican, Pa Eni, Aan, Basri, Tonny, Hatta, Irwan, Azis, Pipit, Rita, Dhona, Iied, dan Nita yang sejak masuk di Sekolah Pascasarjana IPB hingga saat ini senantiasa berada dalam ikatan sosial kapital yang kuat, harapan penulis khususnya buat PWD angkatan 2004 mudah-mudahan kekompakan dan rasa kekeluargaan tersebut tetap terpelihara selamanya. Kepada Pemerintah Provinsi Maluku Utara terutama Bapak Drs. H. Muhajir Albaar, M.Si., selaku Sekretaris Daerah Provinsi Maluku Utara, Bapak Ir. Hartoyo Kaliman, selaku Asisten Sekretaris Daerah Bidang Pembangunan dan Bapak Dr. Ir. Muhajir K. Marsaoly, M.Si., selaku Kepala Bappeda Provinsi Maluku Utara, serta Bapak Ir. Abjan Sofyan, MT., selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Halmahera
vi
Barat yang banyak membantu penulis baik moril maupun materiil, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya. Untuk berbagai pihak yang telah memberikan bantuan sehingga proses penelitian ini dapat terlaksana dengan baik, penulis juga haturkan banyak terima kasih kepada mereka yakni, Asisten Sekretaris Daerah Bidang Pemerintahan dan Pembangunan Halmahera Utara, Camat Morotai Selatan, Kepala Desa Daeo, Sangowo, Daruba, Kolorai, Galo-Galo, Ngele-Ngele, Tiley, dan Usbar serta kelompok nelayan yang berada di kepulauan Morotai. Kemudian juga kepada Keluarga besar Drs. Syamsudin Banyo, M.Si., (Aba dan Mama), Sahi Banyo (Kode), Boss, dan Marjal yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian di lapangan. Untuk kawankawanku Adam, Jati, Eva dan Ciba yang selalu membantu penulis, keluarga besar FMPS-MU yakni, Irham, Fahmi, Sahlan, Ilham, Lafdi, dan Iwan yang juga selalu membantu penulis dalam aktivitas akademik maupun keseharian di kosan, untuk itu sepantasnya penulis mengucapkan syukur dofu-dofu kepada mereka. Khusus kepada keluarga penulis yang selalu memberikan dukungan moril dan materiil, Mama tercinta Hj. Sawia Abbas, Ko Nis, Ci Nani, Ka Edy, Ma, Taty, Un, Ka Nya, Ta, Nan, Ci Uya, Nui, serta Istriku tercinta Nani, kemudian si kecil yang nakal “Yuda” yang setiap pagi di balik telpon selalu melepaskan rasa kangennya dan sering menanyakan kapan Ko pulang ke Ternate, motivasi dari mereka semua memberikan kekuatan tersendiri bagi penulis dalam menyelesaikan pendidikan di IPB. Penulis menyadari penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan masukan dari berbagai pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan tesis ini. Akhirnya harapan penulis mudah-mudahan tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis secara pribadi dan pembangunan Maluku Utara pada umumnya.
Bogor, April 2007 Penulis,
Muhammad Rizal Ismail
vii
DAFTAR ISI Halaman Halaman Pernyataan ....................................................................................... i Abstrak ........................................................................................................... ii Halaman Hak Cipta ......................................................................................... iii Halaman judul ................................................................................................. iv Lembar Pengesahan ....................................................................................... v Prakata ............................................................................................................. vi Riwayat Hidup ................................................................................................ viii Daftar Isi ................………………………………………………………… ix Daftar Tabel ………………………………………………………………… xii Daftar Gambar ................................................................................................ xiv Daftar Lampiran .............................................................................................. xv BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………… 1.1. Latar Belakang ………………………………………………… 1.2. Perumusan Masalah ……………………………………………… 1.3. Tujuan Penelitian ………………………………………………..
1 1 10 12
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………….. 2.1. PembangunanWilayah ............…………………………………… 2.1.1. Konsep Wilayah ........................................................................... 2.1.2. Teori Lokasional dan Sektor Basis ............................................... 2.1.3. Sistem Struktur/Hirarki Pusat-Pusat Pelayanan ........................... 2.2. Pulau-Pulau Kecil ............................................................................ 2.2.1. Pengertian dan Klasifikasi Pulau-Pulau Kecil ……………...... ... 2.2.2. Potensi Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil ………………………… 2.2.3. Pengembangan dan Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil .................. 2.2.4. Penelitian Terdahulu tentang Pulau-pulau kecil ..........………… 2.2.5. Networking Pulau-Pulau Kecil (Interaksi Spasial) ....................... 2.3. Sumber Daya Perikanan dan Konsep Bioekonomi ......................… 2.4. Ikan Cakalang ................................................................................. 2.4.1. Klasifikasi dan Biologi Ikan Cakalang ........................................ 2.4.2. Tingkah Laku Ikan Cakalang ....................................................... 2.5. Kelembagaan Ekonomi Perikanan .................................………… 2.5.1. Kelembagaan Bagi Hasil .............................................................. 2.5.2. Kelembagaan Hubungan Kerja .................................................... 2.5.3. Kelembagaan Pemasaran dan Perkreditan ...................................
13 13 13 17 19 22 22 26 28 31 34 36 38 38 40 41 46 48 48
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ………………………………. 3.1. Kerangka Pemikiran ..……………………………………………. 3.2. Pendekatan Umum Studi ………………………………................. 3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian . .………………………………….. 3.4. Metode Pengumpulan Data .……………………………………… 3.5. Analisis Data ..... ………………………………………………….. 3.5.1. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif ......................... 3.5.2. Analisis Hirarki/Pusat Perkembangan Wilayah ...........................
50 50 53 56 57 58 58 61
ix
3.5.3. Analisis Bioekonomi ................................................................... 3.5.4. Analisis Kelembagaan Perikanan Cakalang .....………………… 3.5.5. Analisis Networking Pulau-Pulau Kecil Kep. Morotai …………. 3.6. Batasan Operasional ..……………………………………………..
63 67 68 69
BAB IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ………………… 4.1. Geografi dan Administrasi Pemerintahan ……………………….. 4.2. Kondisi Oseanografi ..…………………………………………….. 4.2.1. Pasang Surut ................................................................................. 4.2.2. Gelombang ................................................................................... 4.2.3. Arus .............................................................................................. 4.2.4. Suhu Perairan ............................................................................... 4.2.5. Salinitas ........................................................................................ 4.2.6. pH Air ........................................................................................... 4.2.7. Kecerahan .................................................................................... 4.2.8. Komponen Kimiawi ..................................................................... 4.2.9. Karang dan Ikan Karang .............................................................. 4.3. Penduduk dan Ketenagakerjaan …………………………………. 4.4. Gambaran Ekonomi dan Struktur Sosial …………………………. 4.5. Prasarana dan Sarana Transportasi .………………………………. 4.5.1. Transportasi Darat ........................................................................ 4.5.2. Transportasi Laut ......................................................................... 4.5.3. Transportasi Udara ....................................................................... 4.6. Interaksi Kepulauan Morotai dengan Kota Tobelo .........................
72 72 73 73 74 74 74 74 75 75 75 76 76 77 79 79 80 81 81
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN .. …………………………………. 5.1. Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Wilayah .......................... 5.1.1. Sub Sektor Unggulan di Halmahera Utara .................................. 5.1.2. Sub Sektor Unggulan Kepulauan Morotai ................................... 5.2. Hirarki/Pusat Perkembangan Wilayah ............................................. 5.2.1. Hirarki/Kapasitas Pelayanan Perikanan Tangkap ......................... 5.2.1. Desa-Desa Pusat Pelayanan .......................................................... 5.2.3. Arahan Pusat Pelayanan Perikanan di Halmahera Utara .............. 5.3. Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Cakalang ………………. 5.3.1. Aspek Biologi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Cakalang .... 5.3.2. Fungsi Produksi Lestari Komoditas Cakalang ............................. 5.3.3. Aspek Ekonomi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Cakalang .. 5.3.4. Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Cakalang ............ 5.3.5. Sensitivitas Sumberdaya Perikanan Cakalang .............................. 5.4. Kelembagaan Perikanan ................................................................... 5.4.1. Kondisi Kelembagaan Perikanan Pemerintah Daerah .................. 5.4.2. Kondisi Kelembagaan Pengusaha Perikanan Cakalang ................ 5.4.3. Kondisi Kelembagaan Nelayan Perikanan Cakalang ................... 5.4.4. Analisis Interaksi antar Unsur Lembaga Perikanan Cakalang ..... 5.4.5. Analisis Kelembagaan dalam Pemanfaatan Perikanan Cakalang .. 5.5. Networking Pulau-Pulau Kecil Perbatasan Halmahera Utara .........
84 84 84 93 97 97 98 101 102 103 104 105 106 109 112 113 114 115 117 120 129
x
BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 146 6.1. Simpulan ......................................................................................... 146 6.2. Saran .............................................................................................. 148 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………... 149 Lampiran ........................................................................................................ 153
xi
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Perbandingan relatif kinerja perekonomian wilayah .............................
9
2.
Perbandingan karakteristik pulau kecil, pulau besar dan benua ............
26
3.
Komposisi jumlah nelayan, sampel nelayan, dan prosentase menurut kecamatan .………………….................................................................
4.
58
Proses Penelitian Kajian Pengembangan Wilayah Pulau-Pulau Kecil Halmahera Utara ....................................................................................
71
5.
Luas wilayah dan jumlah desa di Kepulauan Morotai tahun 2006 .........
73
6.
Parameter oceanografi di Kepulauan Morotai .......................................
73
7.
Jumlah penduduk Kepulauan Morotai tahun 2005 .................................
76
8.
PDRB Kabupaten Halmahera Utara atas dasar harga konstan 2000 ......
78
9.
Panjang jalan di Pulau Morotai menurut status jalan tahun 2004 ...........
79
10.
Panjang jalan di Pulau Morotai menurut jenis perkerasan tahun 2003 ...
80
11.
Panjang jalan di Pulau Morotai menurut kondisi tahun 2004 .................
80
12.
Rekapitulasi arus orang dan barang antara Kota Tobelo dengan Kepulauan Morotai tahun 2002 – 2005 ..................................................
82
13.
Hasil analisis LQ di Provinsi Maluku Utara tahun 2000 ........................
88
14.
Hasil analisis LQ di Provinsi Maluku Utara tahun 2004 .......................
88
15.
Hasil analisis LQ dan Shift Share tentang Sub Sektor Unggulan
16.
Komparatif dan Kompetitif di Halmahera Utara ....................................
90
Hasil perhitungan analisis Shift-Share di Provinsi Maluku Utara ........
92
17. Jumlah keluarga menurut mata pencaharian di Kepulauan Morotai Tahun 2003 ...........................................................................................
94
18.
Komoditas Unggulan Tiga Sub Sektor di Kepulauan Morotai ..............
95
19.
Hirarki/ kapasitas pelayanan perikanan tangkap di Halmahera Utara ....
98
20.
Pusat pelayanan desa di Halmahera Utara khususnya ranking tinggi .... 100
21.
Fluktuasi Catch, Effort, dan CPUE cakalang selama periode 1999 (a) – 2004 (b) di Kepulauan Morotai ............................................................... 104
22.
Optimasi Bioekonomi pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai selama periode 1999 (a) – 2004 (b) ........................ 107
xii
23.
Skenario pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara ....................................................................... 110
24.
Fungsi dan peranan unsur lembaga perikanan cakalang di Kepulauan Morotai Kab. Halmahera Utara ............................................................. 117
25.
Interaksi antar unsur lembaga dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai Kab. Halmahera Utara …... 119
26. Networking Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Morotai Kab. Halmahera Utara …………………………………………………………..……… 130 27.
Fluktuasi Catch, Effort dan CPUE Cakalang selama periode 19992004 di Kepulauan Morotai …………………………………………… 161
xiii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Sistematika konsep-konsep wilayah .....……………………………….
15
2.
Ikan Cakalang .. ......................................................................................
39
3.
Diagram struktur tradisional dalam wilayah pesisir ...............................
47
4.
Pendekatan kajian pengembangan wilayah pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara ....................................................
5.
54
Grafik arus orang dan barang antara Kota Tobelo dengan Kepulauan Morotai tahun 2002 -2005 ....................................................
82
6.
Kurva penerimaan total dan biaya total ................................................. 106
7.
Peta Networking Pulau-pulau Kecil Berbasis Sumber Daya Alam Komoditas Ikan Cakalang ..…….…………………………………….. 132
8.
Peta Networking Pulau-pulau Kecil Berbasis Sumber Daya Alam Komoditas Ikan Kerapu Hidup ..…….................................................... 133
9.
Peta Networking Pulau-pulau Kecil Berbasis Sumber Daya Alam Komoditas Rumpu Laut ..……..……………………………………… 134
10. Peta Networking Pulau-pulau Kecil Berbasis Sumber Daya Alam Komoditas Kopra ……..……………………………………………… 135 11. Peta Networking Pulau-pulau Kecil Berbasis Sumber Daya Alam Komoditas Kayu Gelondongan .……………………………………… 136 12.
Peta Networking Pulau-pulau Kecil Berbasis Prasarana Sosial Ekonomi Kebutuhan Air Bersih ………………………………………. 139
13.
Peta Networking Pulau-pulau Kecil Berbasis Prasarana Sosial Ekonomi Kebutuhan Pendidikan …….………………………………. 140
14. Peta Networking Pulau-pulau Kecil Berbasis Prasarana Sosial Ekonomi Kebutuhan Kesehatan 15.
…….……………………………….. 141
Peta Networking Pulau-pulau Kecil Berbasis Prasarana Sosial Ekonomi Kebutuhan Sembako ……………………………………….. 142
16.
Peta Networking Suku / Etnis Pulau-pulau Kecil di Kepulauan Morotai Kabupaten Halmahera Utara ………………………………………….. 144
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Peta Lokasi Penelitian
………………………………………………. 153
2.
Peta Pusat Pelayanan Fasilitas Perikanan Cakalang di Halmahera Utara 154
3.
Peta Tingkat Perkembangan Desa di Halmahera Utara ........................... 155
4.
Peta Arahan Pengembangan Pusat Pelayanan Fasilitas Perikanan Cakalang di Halmahera Utara
............................................................. 156
5.
Hirarki Perkembangan Desa Berdasarkan IPD di Halmahera Utara ...... 157
6.
Perhitungan Standarisasi Mencari Nilai a dan b Analisis Bioekonomi.... 161
7.
Kondisi Awal Optimasi Sumberdaya Perikanan Cakalang di PulauPulau Kecil Kepulauan Morotai Kab. Halmahera Utara
…………… 162
xv
JADWAL PENELITIAN DAN PENULISAN TESIS No
BULAN
KEGIATAN PEB
1
Persiapan Penelitian
2
Pelaksanaan Penelitian
MAR
APR
MEI
JUN
JUL
AGS
SEP
1. Pengumpulan Data 2. Pengolahan dan Analisis 3. Penulisan Draft Tesis 4.Konsultasi & Bimbingan 3
Seminar Hasil Penelitian
4
Perbaikan
5
Ujian/Sidang Komisi
6
Perbaikan & penggand. Tesis
.
xvi
BIAYA PENELITIAN TESIS NO 1
URAIAN KEGIATAN
VOLUME
HARGA SATUAN (RP)
JUMLAH (RP)
Pra Penelitian 1. Penyusunan Proposal - Kertas HVS A4 - Cartridge HP Laserjet 3535 (black) - Cartridge HP Laserjet 3535 (colour) - Penggandaan Proposal 2. Kolokium - Sewa Infocus (LCD projector) - Penggandaan makalah kolokium
2 Rim 1 buah 1 buah 15 rangkap
30.000,125.000,175.000,20.000,-
60.000,125.000,175.000,300.000,-
1 Unit 20 rkp
70.000,1.000,-
70.000,20.000,750. 000,-
2
Pelaksanaan Penelitian 1. Alat dan Bahan - Sewa Camera digital - Batu batrei alkalin - Sewa tape recorder - Cuci cetak Foto 2. Transportasi dan Akomodasi - Bogor – Jakarta pp - Jakarta – Ternate pp - Ternate – Tobelo pp - Tobelo - Morotai pp - Transportasi lokal - Penginapan 3. Pengambilan Data Lapangan - Sewa perahu motor - Pendamping Lokal
1 Unit 5 pak 1 unit 50 lbr
200.000,15.000,100.000,2000
200.000,75.000,100.000,100.000,-
1 OH 1 OH 1 OH 1 OH LS 30 hari
80.000,3.000.000,500.000,200.000,500.000,150.000,-
80.000,3.000.000,500.000,200.000,500.000,4.500.000,-
6 hari 2 orang
200.000,750.000,-
1.200.000,1.500.000,11. 955.000,-
3
Analisis Data, Penyusunan Sidang Komisi dan Ujian 1. Komputerisasi data primer 2. Komputerisasi data sekunder 3. Penyusunan tesis 4. Seminar 5. Ujian / Sidang Komisi 6. Perbaikan dan Penggandaan tesis
Tesis, 1 paket 1 paket 1 paket 1 paket 1 paket 1 paket
250.000,250.000,1.000.000,500.000,1.000.000,500.000,-
250.000,250.000,1.000.000,500.000,1.000.000,500.000,3.500.000,-
4
Biaya tak terduga
LS
2.000.000,-
2.000.000,-
xvii
JUMLAH TOTAL
18.205.000,-
xviii
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang mempunyai 17.504 pulau, tetapi selama ini proses pembangunan tidak berorientasi pada kondisi geografis kepulauan. Konsep pembangunan yang dipakai diadopsi dari negara-negara yang mempunyai karakteristik wilayah kontinental (mainland) sehingga konsep yang dipakai seringkali tidak berorientasi pada pengembangan pulau-pulau kecil. Selain itu selama 32 tahun dengan penerapan Konsep Growth Pole yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi makro dengan sistem sentralisasi yang dianut pada masa Orde Baru menyebabkan terjadinya polarisasi pembangunan baik secara spasial, sektoral, dan personal (pelaku pembangunan), sehingga konsep tersebut tidak memberikan proses penetesan ke bawah (Trickle down effect) seperti yang diharapkan, dan sebaliknya yang terjadi justru proses pengurasan sumber daya pada wilayah belakang (hinterland) secara besar-besaran (masive backwash effect), dan akhirnya secara spasial, sektoral dan personal terjadi kesenjangan yang besar. Provinsi Maluku Utara adalah wilayah kepulauan yang terdiri dari 395 pulau besar dan kecil, sebanyak 64 pulau dihuni dan 331 tidak dihuni, dengan luas daratan 31.814,36 Km2 atau sebesar 22% dan perairan laut seluas 108.441 Km2 atau 78%, sehingga luas wilayah seluruhnya adalah 140.256,36 Km2. Pulau yang tergolong besar yaitu Pulau Halmahera dengan luas 18.000 Km2, kemudian pulaupulau kecil yaitu Pulau Obi 3.900 Km2, Pulau Taliabu 3.195 Km2, Pulau Bacan 2.878 Km2, Pulau Morotai 1.983,54 Km2 dan pulau-pulau lebih kecil lainnya yaitu Pulau Ternate 110,70 km2, Tidore 116,02 km2, Makian, Kayoa, Gebe, dan sebagainya. Pulau-pulau kecil tersebut di atas merupakan aset sumber daya alam yang jika dikelola secara baik dan berkelanjutan akan memberikan manfaat ekonomi yang tinggi, baik bagi penduduk pulau-pulau kecil maupun kesejahteraan bangsa secara keseluruhan. Selain memiliki budaya yang unik, pulau-pulau kecil juga kaya akan keanekaragaman hayati kelautan maupun terestial. Keanekaragaman
tersebut selain memberikan arus barang dan jasa yang bernilai tinggi, juga memberikan manfaat non-konsumtif yang tak ternilai harganya (Fauzi, 2003). Akibat dari sistem perencanaan pembangunan yang sentralistik, pembangunan di Provinsi Maluku Utara terpusat pada Kota Ternate yang menjadi pusat pemerintahan yang berada di Pulau Ternate (110,70 km2), sehingga terjadi ketimpangan yang besar antara wilayah Kota Ternate dengan wilayah-wilayah lain di Maluku Utara. Salah satu wilayah hinterland yang penting dan strategis untuk mendapat perhatian di Provinsi Maluku Utara adalah Kabupaten Halmahera Utara, karena sebagian besar wilayahnya merupakan wilayah pulau-pulau kecil yang berada di wilayah perbatasan antar negara (wilayah terluar). Dikatakan penting karena wilayah ini disamping memiliki sumber daya alam potensial, ironisnya mempunyai tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah karena memiliki indeks pembangunan manusia (IPM) pada urutan ke tujuh dari delapan kabupaten/kota di Provinsi Maluku Utara, dan dikatakan strategis karena wilayah ini berada pada wilayah perbatasan antar negara tepat di kawasan Lautan Pasifik antara Indonesia dengan Republik Kepulauan Palau. Wilayah pulau-pulau kecil Halmahera Utara yang tergabung dalam gugusan Kepulauan Morotai mempunyai jumlah pulau sebanyak 31 pulau. Secara administrasi terdiri dari 5 kecamatan yaitu Kecamatan Morotai Utara, Kecamatan Morotai Selatan, Kecamatan Morotai Selatan Barat, Kecamatan Morotai Jaya, dan Kecamatan Timur, serta terdiri dari 64 desa. Kepulauan ini merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Halmahera Utara yang merupakan kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Maluku Utara pada tahun 2003. Pulau-pulau di Kepulauan Morotai tidak semuanya berpenghuni, hanya sebanyak 6 pulau yang dihuni diantaranya Pulau Morotai mempunyai jumlah penduduk sebesar 44.865 jiwa, Pulau Rao jumlah penduduk 1.623 jiwa, Pulau Ngele-Ngele besar jumlah penduduk 447 jiwa, Pulau Saminyamau jumlah penduduk 484 jiwa, Pulau Kolorai jumlah penduduk 312 jiwa, dan Pulau Galo-Galo besar jumlah penduduk sebesar 532 jiwa sehingga total jumlah penduduk di Kepulauan Morotai sebesar 49.933 jiwa pada tahun 2004. Jumlah penduduk di Kepulauan Morotai mengalami pertambahan sebesar 7% dari jumlah sebelumnya 46. 664 jiwa pada tahun 2003, dengan pola pemukiman terpencar dan tidak merata, terkonsentrasi pada wilayah pesisir.
2
Penduduk yang mendiami Kepulauan Morotai sangat majemuk, terdiri dari Suku Galela, Tobelo, Ternate, Sangier, Buton dan Bugis, namun yang menjadi budaya dominan dan dijadikan tradisi kehidupan masyarakat di wilayah Kepulauan Morotai adalah budaya Suku Tobelo Galela dan Ternate. Dominasi budaya Suku Tobelo Galela di Kepulauan Morotai karena mayoritas penduduk yang ada di Kepulauan Morotai dihuni oleh suku Tobelo Galela, sedangkan berperannya budaya Ternate di Kepulauan Morotai karena wilayah tersebut secara historis merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Ternate. Seperti gugusan pulau kecil lainnya, Kepulauan Morotai memiliki sumber daya alam seperti pertanian tanaman pangan, yaitu ubi kayu, padi sawah dan padi ladang. Tanaman perkebunan seperti kelapa, cengkeh, pala, coklat (cacao) serta kopi. Perikanan laut yaitu jenis ikan pelagis besar, pelagis kecil, jenis ikan demersal, ikan karang, udang, lobster serta cumi-cumi. Selain itu juga mempunyai potensi kehutanan yang besar, kemudian kepulauan ini juga mempunyai keindahan alam pulau-pulau kecil dan taman bawah laut sebagai potensi pariwisata bahari serta beberapa situs peninggalan perang dunia II sebagai potensi pariwisata sejarah. Potensi tanaman pangan di Kepulauan Morotai di dominasi oleh ubi kayu, dengan jumlah produksi sebesar 33, 87% (1.305 Ton/Th) dari total produksi tanaman pangan di Kepulauan Morotai (khusus di Kecamatan Morotai Selatan dan Morotai Selatan Barat), sedangkan produksi padi sawah dan padi ladang hanya sebesar 12,05% (464,2 Ton/Th) dan 17,1% (659 Ton/Th). Hal ini mencirikan bahwa Kepulauan Morotai tidak terlalu bertumpu pada sektor tanaman pangan padi sawah dan ladang. Untuk tanaman perkebunan dari komoditas kelapa, cengkeh, cacao, pala serta kopi, yang menjadi dominan sebagai tanaman yang diusahakan di Kepulauan Morotai adalah tanaman kelapa. Berdasarkan hasil penelitian Direktorat Jenderal Perikanan dan Balai Penelitian Perikanan Laut dalam Bappeda Provinsi Maluku Utara 2006, perairan Halmahera Utara diperkirakan mempunyai potensi sumberdaya ikan laut (standing stock) sebesar 148.473,8 ton/tahun, yang berarti memiliki potensi lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY) sebesar 86.660,6 ton/tahun, terdiri dari kelompok ikan pelagis sebanyak 48.946,4 ton/tahun dan kelompok ikan demersal sebanyak 32.664,2 ton/tahun.
3
Dengan pendekatan ratio luas perairan laut antara Morotai dengan Kabupaten Halmahera Utara dan asumsi ikan menyebar merata, diestimasi potensi lestari sumberdaya ikan di perairan Morotai adalah 27.350,09 ton/tahun. Sementara menurut Dinas Perikanan Provinsi Maluku Utara (2005), potensi sumberdaya ikan di Kabupaten Halmahera Utara sebesar 119.771 ton/tahun. Dengan pendekatan yang sama, diperkirakan potensi lestari sumberdaya ikan di perairan Morotai sebesar 37.779,73 ton/tahun. Dengan posisi Kepulauan Morotai yang berada di wilayah pasifik, menjadikan wilayah ini mempunyai potensi perikanan tangkap cakalang yang besar karena secara alamiah migrasi ikan cakalang dari laut Jepang ke lautan pasifik dan seterusnya ke Laut Maluku, Laut Halmahera, dan Laut Banda melintasi wilayah perairan Kepulauan Morotai. Menurut Arifin (2006), Kepulauan Morotai merupakan daerah penangkapan ikan cakalang yang potensial di perairan Laut Maluku. Kondisi tersebut memberikan dorongan yang kuat kepada masyarakat di Kabupaten Halmahera Utara untuk melakukan usaha perikanan tangkap khususnya komoditas cakalang di perairan Kepulauan Morotai sejak dulukala. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Perikanan Kabupaten Halmahera Utara komoditas cakalang merupakan primadona nelayan di Halmahera Utara dari jenis-jenis ikan yang ada, sehingga komoditas ini mempunyai jumlah produksi yang besar, penyerapan tenaga kerja yang tinggi dan produknya yang berorientasi ekspor dengan daerah tujuan Banyuwangi dan Jakarta. Menurut Uktolseja et al. dalam Arifin (2006), ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) termasuk dalam golongan tuna kecil. Tuna kecil mempunyai ukuran antara 20 – 80 cm. Tuna yang termasuk tuna besar diantaranya adalah madidihang (Thunus albacares), albacare (Thunnus alalunga) dan tuna mata besar (Thunnus obesus). Tuna besar ini mempunyai ukuran antara 40-180 cm.
Sedangkan berdasarkan survey
pendahuluan dalam penelitian ini, nelayan di Kepulauan Morotai umumnya hanya melakukan penangkapan ikan cakalang dan sangat sedikit melakukan penangkapan ikan tuna, walaupun di Kepulauan Morotai memiliki potensi ikan tuna cukup besar. Hal ini disebabkan karena peralatan armada nelayan di Kepulauan Morotai mempunyai kapasitas mesin dan angkutan yang kecil sehingga jarak wilayah penangkapannya masih dalam kategori dekat yaitu pada wilayah 4-12 mil laut, dan dengan kondisi peralatan
4
yang tradisional sehingga hanya dapat menangkap ikan cakalang yang berukuran kecil. Dengan itu maka, dalam penelitian ini hanya difokuskan pada pemanfaatan komoditas ikan cakalang oleh nelayan di Kepulauan Morotai Halmahera Utara. Sektor pariwisata Kepulauan Morotai mempunyai potensi yang sangat menjanjikan, wisata bahari dengan potensi alam pantai yang mempunyai panorama pasir putih dan kondisi air laut yang tenang dan jernih. Kepulauan Morotai yang dikenal dengan nama Morty pada perang dunia II dijadikan sebagai pangkalan tentara sekutu dalam penyerangan terhadap Jepang di Nusantara dan Asia timur, sehingga Pulau Morotai memiliki potensi pariwisata sejarah yang terkait dengan perang dunia II. Peninggalan perang dunia II seperti tempat persembunyian Jenderal Mac Arthur Panglima perang tentara Sekutu di Pasific, Tempat persembunyian Panglima Tentara Jepang dan peninggalan lainnya. Bukti sejarah yang paling monumental lainnya adalah bandar udara yang mempunyai 7 landasan pacu (run way) dengan ukuran landasannya 60 x 2.7 km. Landasan tersebut dibuat dari batu alam sehingga masih dalam kondisi baik. Sementara ini bandara tersebut digunakan sebagai pangkalan TNI-AU yang hanya mengfungsikan 1 landasan pacu (run way). Salah satu problem utama dalam pembangunan kelautan sejak Orde Baru sampai saat ini adalah bagaimana menciptakan suatu kelembagaan yang menunjang pengelolaan sumber daya kelautan (Kusumastanto, 2003). Selanjutnya menurut Fauzi (2005), ada beberapa faktor yang menjadi kendala untuk mengembangkan ekonomi sektor kelautan dan perikanan, selain kendala biofisik yang ditandai dengan semakin menurunnya kemampuan kapasitas sumber daya untuk menyuplai kebutuhan permintaan akibat terdegradasinya sumber daya perikanan, di sisi lain kendala ekonomi dan kelembagaan tidaklah kalah penting dengan kendala biofisik tersebut. Dalam perspektif sejarah, karakteristik sosial ekonomi masyarakat di Kepulauan Morotai merupakan bagian dari karakteristik budaya Moloku Kie Raha (Maluku Utara). Secara umum masyarakat Kepulauan Morotai memegang erat adat istiadat dibawah pengaruh Kesultanan Ternate, sebagian besar masyarakatnya memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan petani yang mengusahakan pertanian tanaman keras atau perkebunan. Tanaman perkebunan yang paling banyak diusahakan adalah tanaman kelapa, sedangkan perikanan adalah perikanan tangkap ikan cakalang.
5
Dolabololo adalah kumpulan syair yang merupakan pegangan bagi masyarakat Moloku Kie Raha yang berisi petunjuk atau arahan tentang hubungan antar manusia dengan sesamanya maupun dengan alam sekitarnya. Dalam memanfaatkan sumberdaya laut, para nelayan yang menangkap ikan, memegang teguh falsafah yang terkandung di dalam
Dolabololo.
Di
dalam
Dolabololo
terdapat
syair
yang
berbunyi
HAU FOMA TAI PASI MORO-MORO FO MAKU GISE yang artinya kurang lebih adalah semua nelayan adalah hamba Allah yang mencari nafkah dari harta Allah, sehingga tidak boleh ada yang disembunyikan di antara para nelayan tersebut. Ditinjau dari sosial kapital, kelembagaan di atas memberikan kekuatan tersendiri yang mendudukan para nelayan pada posisi yang sama dalam mencari nafkah. Dengan cara seperti ini telah tercipta suatu pemerataan (equity), sehingga tidak ada yang tumbuh cepat dan tidak ada pula yang “ketinggalan kereta”. Kelembagaan seperti ini sangat efektif dalam membina dan memperkokoh sosial kapital diantara mereka, dan ternyata sosial kapital ini telah terbangun selama berabad-abad, dan telah terbukti sangat ampuh dalam menghadapi berbagai gejolak perekonomian, pengaruh politik maupun pengaruh paham eksternal lainnya seperti yang dialami pada zaman penjajah (Mansyur, 1999). Selain Dolabololo, kelembagaan Dibo-dibo dikenal sebagai pedagang yang berperan dalam mengumpulkan hasil tangkapan ikan yang kemudian dijual ke pasar. Dibo-dibo memberikan keperluan nelayan sebelum mereka melaut, dapat berupa bahan makanan, umpan, maupun kebutuhan lainnya yang dibutuhkan oleh nelayan dalam mencari ikan. Hasil tangkapan mereka akan dijual kepada Dibo-dibo yang telah menunggu kedatangan para nelayan ditempat berlabuh. Selain kelembagaan lokal yang dijelaskan di atas, dalam pengelolaan sektor perikanan di Kepulauan Morotai juga terdapat kelompok-kelompok nelayan, pihak swasta dan pemerintah daerah yang mengelola sumber daya pada sektor perikanan. Namun kelompok nelayan dan swasta yang berusaha masih dalam skala kecil atau masih berada pada sektor primer dan belum berkembang pada skala yang lebih besar pada pengembangan sektor sekunder dan tersier. Sedangkan keberadaan kelembagaan pemerintah daerah dirasakan masih terbatas, baik dalam bentuk aturan-aturan (peraturan daerah) maupun organisasi/ perangkat daerah yang mengelolah sumberdaya tersebut.
6
Keragaman kelembagaan perikanan yang ada di Kepulauan Morotai mestinya menjadi suatu kekuatan yang dapat mengelola potensi sumberdaya perikanan yang dimiliki untuk kesejahteraan masyarakatnya. Nilai-nilai budaya dari kelembagaan perikanan lokal yang digambarkan sebelumnya sudah harus ditransformasi kedalam kelembagaan perikanan yang formal seiring dengan hilangnya peranan kelembagaan lokal tersebut, sehingga pola kelembagaan perikanan di Kepulauan Morotai baik unsur kelembagaan pemerintah daerah, kelembagaan pengusaha (swasta), dan kelembagaan nelayan yang dikelolah dengan menggunakan manajemen moderen tidak luput dari nilai-nilai budaya lokal tersebut. Hal ini penting karena dengan nilai-nilai kelembagaan yang sudah melembaga di masyarakat akan menjadi lebih mudah diaplikasi dengan menggunakan manajemen organisasi yang moderen. Diketahui bahwa saat ini kelembagaan lokal yang digambarkan di atas tidak lagi berperan dalam mengelola sumberdaya perikanan di Kepulauan Morotai, untuk itu maka dalam penelitian ini fokus kajian kelembagaan dilakukan untuk melihat pola kelembagaan pemerintah daerah, pengusaha dan nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang. Dengan karakteristik wilayah pulau-pulau kecil, selama ini pemanfaatan sumber daya alam di Kepulauan Morotai tidak didukung oleh prasarana dan sarana yang memadai. Prasarana dan sarana transportasi darat misalnya, saat ini belum dapat menghubungkan antara ke tiga kecamatan di Pulau Morotai, di antaranya Kecamatan Morotai Utara dengan Morotai Selatan, serta antara Morotai Utara dengan Morotai Selatan Barat, sehingga proses perdagangan antar wilayah di Kepulauan Morotai tidak berjalan sebagaimana mestinya karena mempunyai biaya transpor yang mahal. Begitu juga kondisi prasarana dan sarana transportasi laut, saat ini memiliki aksesibiltas antar pulau yang rendah karena didominasi oleh perahu nelayan dan perahu-perahu ukuran kecil. Prasarana dan sarana sub sektor perikanan juga mengalami kondisi serupa, selain peralatan dan armada penangkapan nelayan yang masih tradisional, sub sektor ini juga tidak ditunjang dengan prasarana penunjang seperti pelabuhan pendaratan ikan (PPI), stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), pabrik es dan industri pengolahan (penanganan pasca panen), sehingga produktivitas usaha nelayan belum optimal. Di sisi lain, kegiatan pengawasan yang lemah menyebabkan sering terjadi pencurian ikan
7
(illegal fishing) di perairan Kepulauan Morotai yang dilakukan oleh nelayan asing dari Negara Fhillipina dan Taiwan. Ketimpangan prasarana dan sarana sosial ekonomi di Kepulauan Morotai merupakan salahsatu problem mendasar yang dialami oleh masyarakat di Kepulauan Morotai. Dengan karakteristik wilayah kepulauan yang terpencar, keberadaan prasarana dan sarana sosial ekonomi terasa begitu penting untuk menunjang aktivitas perekonomian masyarakat. Selama ini, interkoneksitas antar pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai memiliki hubungan yang buruk, aksesibilitas terjadi dalam satu arah ke pusat pelayanan. Desa Daruba merupakan pusat pelayanan dalam berbagai aktivitas sosial ekonomi di Kepulauan Morotai, dengan hubungan antar wilayah yang terpusat menyebabkan kegiatan sosial ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat di Kepulauan Morotai mengalami inefisiensi (high cost). Berdasarkan pada kondisi sumberdaya alam, sosial ekonomi masyarakat Kepulauan Morotai seperti dikemukakan di atas, memberikan indikasi bahwa wilayah Kepulauan Morotai memiliki potensi sumberdaya alam yang besar, namun pengelolaan yang belum optimal mengakibatkan wilayah tersebut menjadi wilayah yang tertinggal. Pada Tabel 1 digambarkan kondisi sosial ekonomi wilayah di Provinsi Maluku Utara, ditampilkan sebagai gambaran terjadinya ketimpangan pembangunan antara wilayah. Pengembangan wilayah pulau-pulau kecil di Halmahera Utara bukan persoalan yang sederhana, dengan potensi sumber daya alam yang belum optimal dikelola dan karakteristik wilayah pulau-pulau kecil yang rentan (vulnerabilty), ketergantungan, terpencar dan isolatif, menjadi tantangan tersendiri dalam upaya pengembangan wilayah tersebut. Untuk itu maka analisis keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah, analisis pusat atau hirarki kapasitas pelayanan sub sektor perikanan, analisis networking pulau-pulau kecil, serta kajian pemanfaatan sumber daya perikanan komoditas cakalang dan kelembagaannya diharapkan dapat menjadi salah satu solusi dalam pengembangan wilayah pulau-pulau kecil.
8
Tabel 1. Perbandingan Relatif Kinerja Perekonomian Wilayah di Provinsi Maluku Utara Maluku Utara
Kota Ternate
Halmahera Utara
Halmahera Barat
Halmahera Tengah
Halmahera Selatan
Halmahera Timur
Kepulauan Sula
Kota Tidore
Kont sekt prim thdp PDRB (%) (2000)
40.89
14.78
41.68
39.09
72.30
40.01
62.99
36.47
53.26
Kont sekt prim thdp PDRB (%) (2002)
41.17
14.67
42.12
38.99
73.64
42.59
65.21
38.24
55.57
Kont sekt prim thdp PDRB (%) (2004)
40.58
14.37
41.43
39.88
76.93
44.94
69.24
39.72
58.21
Kont sekt tersier thdp PDRB (%) (2000)
41.44
73.51
33.90
36.85
22.69
35.43
29.30
37.37
38.11
Kont sekt tersier thdp PDRB (%) (2002)
40.88
73.59
33.02
38.20
22.84
35.88
29.28
37.60
37.93
Kont sekt tersier thdp PDRB (%) (2004)
41.84
74.26
34.10
39.91
25.52
39.12
31.94
41.08
41.21
Tingkat Pertumbuhan (%) (2002)
2,44
2,80
3,41
1.39
1.67
3.25
2.39
3.49
2.40
Tingkat Pertumbuhan (%) (2004)
4,70
5,54
3,35
2.60
5.27
5.68
5.52
5.41
5.71
PDRB per-kapita (Rp) (2002)
2.479.694
1.475.531
2.243.887
PDRB per-kapita (Rp) (2004)
2.472.538
1.597.590
2.121.146
2.085.094
5.250.299
2.501.404
3.418.064
2.147.840
2.737.499
Jumlah penduduk (jiwa) (2004)
869.235
151.152
171.738
94.645
37.706
180.752
56.819
125.987
82.053
IPM (2002)
65.8
-
-
-
-
-
-
-
-
IPM (2004)
66.4
73.4
64.9
64.6
66.1
64.9
65.0
65.0
65.2
26
1
7
8
2
6
4
5
3
Peringkat IPM (2004)
Sumber : Diolah dari data BPS Propinsi Maluku Utara 2005a dan 2005b.
1.2 Perumusan Masalah Orientasi pembangunan pada masa lalu sering bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi makro serta program pembangunan yang selalu terfokus pada wilayah-wilayah daratan (mainland) dan pusat pemerintahan (pusat pertumbuhan) mengakibatkan terjadi kesenjangan antara pulau besar, pusat pemerintahan, dan wilayah perkotaan dengan pulau kecil, wilayah pulau terluar, dan wilayah perdesaan. Selain itu perhatian pada pulau-pulau kecil terluar dan kawasan perbatasan selama ini selalu menekankan pada pendekatan keamanan (security approach) dibandingkan dengan pendekatan kesejateraan (prosperity approach). Kondisi seperti di atas menjadikan wilayah pulau-pulau kecil di Kabupaten Halmahera Utara yakni pada gugusan Kepulauan Morotai menjadi wilayah yang kurang disentuh oleh dinamika pembangunan, sehingga mengakibatkan sumber daya yang dimiliki oleh wilayah pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai belum dapat dikelola secara optimal, hal tersebut dapat kita lihat pada pemanfaatan sumber daya perikanan cakalang yang menjadi komoditas andalan masyarakat di Kepulauan Morotai yang masih bertumpu pada sektor primer. Pengembangan ekonomi suatu wilayah dipengaruhi oleh beberapa faktor, salahsatu faktor penting adalah keunggulan komoditas pada sektor/ sub sektor pembangunan, di Halmahera Utara umumnya dan Kepulauan Morotai khususnya terdapat tiga komoditas utama yang diusahakan oleh masyarakat, yaitu perikanan cakalang, perkebunan kelapa, dan hasil hutan (kayu gelondongan). Namun komoditas/ sub sektor ini masih mempunyai share yang kecil terhadap PDRB Kabupaten Halmahera Utara. Untuk itu komoditas/ sub sektor ini perlu dianalisis untuk melihat sektor yang menjadi basis wilayah serta mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif, sehingga pengembangan komoditas atau sektor/ sub sektor unggulan dapat berpengaruh positif terhadap perkembangan wilayah. Sebagai wilayah pulau-pulau kecil yang mempunyai potensi perikanan yang besar, orientasi ekonomi masyarakatnya jelas bertumpu pada sub sektor perikanan, untuk itu pengembangan sub sektor perikanan di wilayah pulau-pulau kecil tersebut harus berdasarkan pada tingkat perkembangan wilayah yang memiliki prasarana dan sarana perikanan yang memadai. Untuk itu maka kajian tentang pusat perkembangan
10
wilayah dan hirarki/ kapasitas pelayanan perikanan tangkap menjadi hal yang penting sehingga perencanaan pengembangan sub sektor perikanan dapat mempunyai orientasi wilayah yang jelas sekaligus dapat berfungsi sebagai pusat untuk mengembangkan wilayah dengan berbasis sumber daya perikanan. Komoditas cakalang merupakan salahsatu usaha utama masyarakat di Kepulauan Morotai, sehingga usaha perikanan ini sangat menentukan tingkat kehidupan masyarakat dan pengembangan wilayah tersebut. Namun selama ini usaha pemanfaatan sumber daya perikanan cakalang belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan apalagi mengembangkan wilayah Kepulauan Morotai, padahal wilayah ini mempunyai potensi sumber daya perikanan cakalang yang besar, untuk itu maka kajian pemanfaatan sumber daya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai sangat dibutuhkan untuk mengetahui tingkat pemanfaatan saat ini, potensi lestari, dan prospek pemanfaatan di masa yang akan datang. Pada aspek kelembagaan, selama ini pengaturan pemanfaatan sumber daya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai menunjukan kurangnya dukungan kelembagaan formal (aturan dan organisasi), baik pada pengaturan produksi, konservasi, keuangan, pemasaran, dan keamanan. Di sisi lain kelembagaan lokal juga telah mengalami degradasi nilai sekaligus kehilangan peranannya di masyarakat, sehingga pemanfaatan sumber daya perikanan cakalang belum optimal dan masih berada pada sektor primer dengan karakteristik usaha yang masih tradisional. Di samping itu di perairan Kepulauan Morotai sering terjadi illegal fishing yang dilakukan oleh nelayan asing, hal ini memberikan indikasi bahwa ada kelemahan dalam penerapan aturan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya perikanan di kawasan perbatasan antar negara. Pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara selain memiliki sumber daya alam yang potensial juga memiliki sifat-sifat yang unik seperti, rentan (vulnerabilty), terpencar dan isolatif. Karakteristik kepulauan ini memiliki kerumitan tersendiri jika tidak ditunjang dengan prasarana dan sarana sosial ekonomi yang memadai. Gambaran prasarana dan sarana sosial ekonomi yang timpang di Kepulauan Morotai memberikan indikasi bahwa interkoneksitas antara pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai tidak memiliki networking yang baik, dan sebaliknya mengalami hubungan yang dendritik. Hubungan antar pulau-pulau kecil (kawasan) yang berbentuk dendritik akan mengakibatkan inefisiensi dalam aktivitas perekonomian wilayah.
11
Dengan itu maka, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan cakalang serta mengembangkan wilayah Kepulauan Morotai Kabupaten Halmahera Utara diperlukan kajian pada aspek-aspek penting seperti kajian sektor/sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah, analisis pusat atau hirarki kapasitas pelayanan sub sektor perikanan, networking antar pulau, serta kajian pemanfaatan sumber daya perikanan komoditas cakalang dan kelembagaannya. Dari uraian-uraian di atas maka dirumuskan permasalahan pokok yang perlu diteliti adalah : 1. Sektor/sub sektor apa yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif untuk pengembangan wilayah di Kepulauan Morotai Halmahera Utara ? 2. Bagaimana pusat (hirarki kapasitas) pelayanan perikanan tangkap dan pusat pelayanan desa di Kepulauan Morotai Halmahera Utara ? 3. Bagaimana pemanfaatan sumber daya perikanan cakalang oleh nelayan di Kepulauan Morotai Halmahera Utara ? 4. Bagaimana pola kelembagaan pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara ? 5. Bagaimana networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara ? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan identifikasi masalah di atas, tujuan penelitian adalah untuk : 1. Menganalisis sektor/sub sektor yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif di Kepulauan Morotai Halmahera Utara. 2. Menganalisis pusat (hirarki kapasitas) pelayanan perikanan tangkap dan pusat pelayanan desa di Kepulauan Morotai Halmahera Utara. 3. Menganalisis pemanfaatan sumber daya perikanan cakalang oleh nelayan di Kepulauan Morotai Halmahera Utara. 4. Mengkaji pola kelembagaan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara. 5. Menganalisis networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halamahera Utara.
12
Sumber Daya Alam Flow/dapat diperbaharui
Stok/Tidak dapat diperbaharui
Habis Terkonsumsi
Dapat didaur ulang
Minyak Gas Batubara Dll.
Sumberdaya Metalik
Peran kelembagaan Dlm pengelolaan SDP tangkap
Memiliki zona kritis
Tdk memiliki zona kritis
Perikanan Kehutanan Tanah Air dari mata air
Energi surya pasang-surut
Angina Gelombang Dll.
SD ini akan menjadi stok jika telah melewati kapasitas regenerasinya (Fauzi, 2000a)
13
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Wilayah 2.1.1. Konsep Wilayah Di Indonesia berbagai konsep nomenklatur kewilayahan seperti ”wilayah”, ”kawasan”, ”daerah”, ”regional”, ”area”, dan istilah-istilah sejenis, banyak dipergunakan dan saling dipertukarkan pengertiannya walaupun masing-masing memiliki bobot penekanan pemahaman yang berbeda-beda. Inkonsistensi istilah tersebut kadang menyebabkan kerancuan pemahaman dan sering membingungkan. Secara teoritik tidak ada perbedaan nomenklatur antara istilah wilayah, kawasan dan daerah. Semuanya secara umum dapat diistilahkan dengan wilayah (region). Penggunaan istilah kawasan di Indonesia digunakan karena adanya penekanan fungsional suatu unit wilayah. Karena itu defenisi konsep kawasan adalah adanya karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional. Dengan demikian, setiap kawasan atau sub kawasan memiliki fungsifungsi khusus yang tentunya memerlukan pendekatan program tertentu sesuai dengan fungsi yang dikembangkan tersebut (Rustiadi et al. 2005). Secara yuridis dalam Undang-Undang No. 24/92 dalam Rustiadi et al. (2005), tentang Penataan Ruang, pengertian ”wilayah” adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasi dan atau aspek fungsional. Sedangkan pengertian ”kawasan” adalah wilayah dengan fungsi utama lindung dan budidaya. Sementara itu, pengertian ”daerah” walaupun tidak disebutkan secara eksplisit namun umumnya dipahami sebagai unit wilayah berdasarkan aspek administrasi. Isard dalam Rustiadi et al. (2005), menganggap pengertian suatu wilayah pada dasarnya bukan sekedar area yang memiliki arti (meaningfull) karena adanya masalah-masalah yang ada di dalamnya, ahli regional memiliki interest di dalam
menangani
permasalahan
tersebut,
khususnya
karena
menyangkut
permasalahan sosial ekonomi. Selanjutnya Johnston dalam Rustiadi et al. (2005), memandang wilayah sebagai bentuk istilah teknis klasifikasi spasial dan merekomendasikan dua tipe
wilayah: (1) wilayah formal, merupakan tempat-tempat yang memiliki kesamaankesamaan karakteristik, dan (2) wilayah fungsional atau nodal, merupakan konsep wilayah dengan menekankan kesamaan keterkaitan antar komponen atau lokasi/ tempat. Dengan cara yang lain Murty dalam Rustiadi et al. (2005), mendefinisikan wilayah sebagai sebagai suatu area geografis, teritorial atau tempat, yang dapat berwujud sebagai suatu negara, negara bagian, provinsi, distrik (kabupaten), dan perdesaan. Tapi suatu wilayah pada umumnya tidak sekedar merujuk suatu tempat atau area, melainkan merupakan suatu kesatuan ekonomi, politik, sosial, administrasi, iklim hingga geografis, sesuai dengan tujuan pembangunan atau kajian. Keragaman dalam mendefenisikan konsep wilayah terjadi karena perbedaan dalam permasalahan ataupun tujuan pengembangan wilayah yang dihadapi. Kenyataannya tidak ada konsep wilayah yang benar-benar diterima secara luas. Para ahli cenderung melepaskan perbedaan-perbedaan konsep wilayah terjadi sesuai dengan fokus masalah dan tujuan-tujuan pengembangan wilayah. Menurut Rustiadi et al. (2005), kerangka klasifikasi konsep wilayah yang lebih mampu menjelaskan berbagai konsep wilayah yang dikenal selama ini adalah: (1) wilayah homogen (uniform), (2) wilayah sistem/fungsional, dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Gambar 1 mendeskripsikan sistematika pembagian dan keterkaitan berbagai konsep-konsep wilayah. Sebagai alat deskripsi, konsep pewilayahan sebagaimana dijelaskan di dalam Rustiadi et al. (2005), Gambar 1, konsep pewilayahan adalah bagian dari konsepkonsep alamiah, yakni sebagai alat mendeskripsikan hal-hal yang terjadi secara alamiah di dalam kehidupan. Di sisi lain, konsep pewilayahan juga merupakan alat untuk perencanaan/pengelolaan (konsep non alamiah). Pewilayahan digunakan sebagai alat untuk mengelola dan mencapai tujuan-tujuan pembangunan, melalui pengelolaan sumberdaya dengan pendekatan yang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan karakteristik secara spasial. Secara konseptual wilayah dapat dibedakan menjadi : a. Wilayah Homogen adalah wilayah yang di batasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa saja beragam (heterogen). Dengan demikian wilayah homogen tidak lain adalah wilayah-wilayah yang
14
diidentifikasikan berdasarkan faktor pencirinya yang menonjol di wilayah tersebut. Konsep land cover salah satu cara termudah atau tercepat di dalam pewilayahan homogen. Konsep wilayah homogen lebih menekankan aspek homogenitas (kesamaan) dalam kelompok dan memaksimumkan perbedaan (kompleksitas, varians, ragam) antar kelompok tanpa memperhatikan bentuk hubungan fungsional (interaksi) antar wilayah-wilayahnya atau antar komponenkomponen di dalamnya.
Klasifikasi Konsep Wilayah
Konsep Alamiah
Homogen
Nodal (pusat – hinterland)
Sistem Sederhana
Desa - kota
Budidaya - lindung
Wilayah
Sistem / Fungsional
Sistem ekonomi : agropolitan, kawasan produksi, kawasan industri
Sistem Komplek
Sistem ekologi : DAS, hutan, pesisir
Sistem sosial – politik : Cagar budaya, wilayah etnik
Konsep Non Alamiah Perencanaan / Pengelolaan
Umumnya disusun / dikembangkan berdasarakan : Konsep homogen / fungsional : KSP, KATING dan sebagainya Administrasi – politik : propinsi, Kabupaten, Kota
Gambar 1. Sistematika konsep-konsep wilayah (Rustiadi et al. 2005).
b. Wilayah fungsional/sistem adalah konsep wilayah yang menekankan perbedaan dua komponen-komponen wilayah yang terpisah berdasarkan fungsinya. Konsep wilayah sebagai suatu sistem dilandasi atas pemikiran bahwa suatu wilayah adalah suatu entitas yang terdiri atas komponen-komponen atau bagian-bagian yang memiliki keterkaitan, ketergantungan dan saling interaksi satu sama lain dan tidak terpisahkan dalam kesatuan. Setiap sistem selalu terbagi atas dua atau lebih subsistem, dan selanjutnya setiap subsistem terbagi atas bagian-bagian yang lebih kecil lagi.
15
Berdasarkan struktur komponen-komponen yang membentuknya, konsep sistem wilayah dapat dipilah atas wilayah sistem sederhana (dikotomis) dan sistem kompleks (non dikotomis). Sistem sederhana adalah sistem yang bertumpu atas konsep ketergantungan atau keterkaitan antara dua bagian atau komponen wilayah. Konsep-konsep wilayah nodal, kawasan perkotaan-perdesaan, kawasan budidaya-non budidaya, adalah contoh dari konsep wilayah sistem sederhana (model dikotomis). Sedangkan konsep wilayah sebagai suatu sistem kompleks
mendiskripsikan
wilayah sebagai suatu sistem yang bagian-bagiannya (komponen-komponen) di dalamnya
bersifat
kompleks.
Wilayah
sistem
kompleks
memiliki
jumlah/kelompok unsur penyusun serta struktur yang lebih rumit. Setidaknya termasuk di dalam konsep-konsep wilayah sistem kompleks adalah wilayah sebagai (1) sistem ekologis (ekosistem), (2) sistem sosial, dan (3) sistem ekonomi. c. Wilayah Administratif-Politik, yaitu konsep wilayah yang didasarkan pada suatu kenyataan bahwa wilayah berada pada suatu kesatuan politis yang umumnya dipimpin oleh suatu sistem birokrasi atau sistem kelembagaan dengan otonomi tertentu.
Wilayah
administrasi
berada
dalam
batas-batas
pengelolaan
administrasi/tatanan politis tertentu seperti negara, provinsi, kabupaten, kecamatan, dan kelurahan/desa. d. Wilayah Perencanaan/Pengelolaan Khusus, adalah wilayah yang di batasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah baik sifat alamiah maupun non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan. Wilayah ini dapat mencakup lebih dari satu wilayah administrasi, sebagai contoh Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah yang terbentuk dengan matriks dasar kesatuan siklus hidrologis, sehingga DAS sebagai suatu wilayah berdasarkan konsep ekosistem perlu dikelola dan direncanakan secara seksama. Kawasan otorita DAS sering dibentuk sebagai suatu wilayah perencanaan yang dibentuk berdasarkan asumsi konsep wilayah sistem ekologis.
16
2.1.2. Teori Lokasional dan Sektor Basis Pemahaman tentang bagaimana keputusan mengenai lokasi mutlak diperlukan bila membahas kegiatan pada ruang dan menganalisa bagaimana suatu wilayah tumbuh dan berkembang. Keputusan mengenai lokasi yang diambil oleh unit-unit pengambilan keputusan akan menentukan struktur tata ruang wilayah yang terbentuk. Unit-unit pengambilan keputusan dalam penentuan lokasi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) rumah tangga; (2) perusahan; dan (3) pemerintah. Setiap unit pengambil keputusan mempunyai kepentingan sendiri berdasarkan aktivitas ekonomi yang dilakukan. Aktivitas ekonomi rumah tangga adalah (a) penjualan jasa tenaga kerja dan (b) konsumsi; aktivitas perusahaan meliputi (a) pengumpulan input, (b) proses produksi dan (c) proses pemasaran, dengan tujuan memaksimalkan keuntungan yang diperoleh. Sementara itu pemerintah disamping mempunyai peran melindung kepentingan masyarakat juga bertindak sebagai locator dari berbagai aktivitas yang ditanganinya seperti penentuan lokasi sebagai sarana dan fasilitas pelayanan umum. Untuk mengetahui kecenderungan potensi keunggulan suatu komoditas disuatu lokasi tertentu, analisis yang sering digunakan adalah analisis basis ekonomi yaitu Location Quotient Analysis (LQ). Metode LQ secara umum merupakan metode analisis yang digunakan untuk menunjukkan lokasi pemusatan atau basis suatu aktivitas. Di samping itu, LQ juga digunakan untuk mengetahui kapasitas ekspor perekonomian suatu wilayah serta tingkat kecukupan barang/jasa dari produksi lokal suatu wilayah. LQ merupakan suatu indeks untuk membandingkan pangsa sub wilayah dalam aktivitas tertentu dengan pangsa total aktivitas tersebut dalam total aktivitas wilayah. Asumsi yang digunakan dalam LQ adalah sedikit kondisi geografis yang relatif seragam. Pola-pola aktivitas bersifat seragam serta setiap aktivitas menghasilkan produk yang sama. Berbagai dasar ukuran dalam pemakaian LQ harus disesuaikan dengan kepentingan penelitian dan sumberdata yang tersedia. Jika penelitian dimaksudkan untuk mencari sektor yang kegiatan ekonominya dapat memberikan kesempatan kerja sebanyak-banyaknya maka yang dipakai sebagai dasar ukuran adalah jumlah tenaga kerja sedangkan bila keperluannya untuk menaikkan pendapatan daerah, maka pendapatan merupakan dasar ukuran yang tepat, sedangkan jika hasil produksi maka
17
jumlah hasil produksi yang dipilih. LQ juga menunjukkan efisiensi relatif wilayah, serta terfokus pada substitusi impor yang potensial atau produk dengan potensi ekspansi ekspor (Shukla, 2000). Sejalan dengan hal diatas menurut Blakely (1994), analisis LQ ini merupakan suatu teknik analisis yang digunakan untuk melengkapi analisis lain yaitu Shift Share Analysis (SSA). Shift share analysis merupakan salah satu analisis yang berfungsi untuk memahami pergeseran struktur suatu aktivitas di atau sektor di suatu lokasi tertentu dibandingkan dengan suatu referensi wilayah yang lebih luas dalam dua titik tahun. Pemahaman struktur aktivitas dari hasil analisis shift-share juga menjelaskan kemampuan berkompetisi aktivitas tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktivitas dalam cakupan wilayah lebih luas. Hasil analisis shift-share mampu menjelaskan performance suatu aktivitas atau sektor di suatu wilayah dan membandingkannya dengan kinerjanya di dalam wilayah total serta memberikan gambaran sebab-sebab terjadinya pertumbuhan suatu aktivitas di suatu wilayah. Sebab-sebab yang dimaksud dibagi menjadi tiga bagian yaitu; (a) sebab yang berasal dari dinamika lokal (sub wilayah), (b) sebab dari dinamika aktivitas/sektor dari total wilayah dan (c) sebab dari dinamika wilayah secara umum. Secara umum gambaran kinerja seperti yang disebutkan di atas, dapat dijelaskan dari 3 komponen hasil analisis yaitu: (1) Komponen Laju Pertumbuhan Total atau Komponen Share, yang menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah. (2) Komponen Pergeseran Proporsional, yang menjelaskan pertumbuhan total aktivitas atau sektor tertentu secara relatif, dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor atau aktivitas total wilayah dan (3) Komponen Pergeseran Diferensial, yang menggambarkan tingkat competitiveness suatu wilayah tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor atau aktivitas tersebut dalam wilayah. Menurut Tarigan (2004), dalam pengertian ekonomi regional, ekspor adalah menjual produk/jasa ke luar wilayah baik ke wilayah lain dalam negeri itu maupun ke luar negeri. Tenaga kerja yang berdomisili di wilayah kita, tetapi bekerja dan memperoleh uang dari wilayah lain termasuk dalam pengertian ekspor. Pada dasarnya
18
kegiatan ekspor adalah semua kegiatan baik produk maupun penyedia jasa yang mendatangkan uang dari luar wilayah karena kegiatan basis. Lapangan kerja dan pendapatan di sektor basis adalah fungsi dari permintaan yang bersifat exogenous (tidak tergantung pada kekuatan intern/permintaan lokal). Lebih lanjut menurut Tarigan (2004), mengatakan bahwa semua kegiatan lain yang bukan kegiatan basis termasuk ke dalam kegiatan/ sektor service atau pelayanan, tetapi untuk tidak menciptakan pengertian yang keliru tentang arti service disebut saja sektor nonbasis. Sektor nonbasis (service) adalah untuk memenuhi kebutuhan lokal. Karena sifatnya yang memenuhi kebutuhan lokal, permintaan sektor ini sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat setempat. Oleh karena itu, kenaikannya sejalan dengan kenaikan pendapatan masyarakat setempat. Dengan demikian, sektor ini terkait terhadap kondisi ekonomi setempat dan tidak bisa berkembang melebihi pertumbuhan ekonomi wilayah. Atas dasar anggapan di atas, satu-satunya sektor yang bisa meningkatkan perekonomian wilayah melebihi pertumbuhan alamiah adalah adalah sektor basis. 2.1.3. Sistim Struktur/Hirarki Pusat-Pusat Pelayanan Wilayah didefinisikan sebagai area geografis yang mempunyai ciri tertentu dan merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi. Dari definisi tersebut, dapat diturunkan tipologi-tipologi wilayah berdasarkan sifat hubungannya, fungsi masing-masing komponennya atau berdasarkan pertimbangan sosial, ekonomi maupun politis lainnya. Diantara tipologi-tipologi yang ada terdapat salah satu tipologi yang disebut dengan tipologi wilayah nodal, yang merupakan pengembangan dari konsep sel hidup. Dalam penjabaran wilayah nodal ini, wilayah diasumsikan sebagai suatu sel hidup yang terdiri dari inti dan plasma, yang masing-masing mempunyai fungsi yang saling mendukung. Inti dalam hal ini diasumsikan sebagai pusat kegiatan industri dan pusat pasar serta pusat inovasi. Sedangkan plasma atau hinterland merupakan pusat pemasok dari bahan mentah, tenaga kerja, dan pusat pemasaran barang-barang hasil industri yang diproduksi di pusat/inti. Berdasarkan konsep wilayah nodal tersebut, pusat atau hinterland suatu wilayah dapat ditentukan dari kelengkapan fungsi pelayanan suatu wilayah. Secara teknik hal tersebut dapat dilakukan dengan
19
mengidentifikasi jumlah dan jenis fasilitas tertentu dan sebagainya. Unit wilayah yang mempunyai jumlah dan jenis fasilitas dengan kuantitas dan kualitas yang secara relatif paling lengkap dibandingkan dengan unit wilayah yang lain akan menjadi pusat atau mempunyai hirarki lebih tinggi (Panuju et al. 2005). Menurut Richardson (2001), suatu ciri umum dari daerah-daerah nodal adalah bahwa penduduk kota tidaklah bersebar secara merata di pusat-pusat yang sama besarnya, tetapi bersebar di antara pusat-pusat yang besarnya berbeda-beda dan secara keseluruhan membentuk suatu hirarki perkotaan (urban hierarchy). Penyebab pokok dari perkembangan seperti ini adalah lebih efisiennya menyuplai barang dan jasa tertentu dari pusat-pusat yang lebih kecil sedangkan barang dan jasa lainnya lebih efisien kalau disuplai di pusat-pusat yang lebih besar. Akan tetapi, jika hirarki itu sudah terbentuk maka kita akan menyaksikan dominannya pusat-pusat yang lebih besar dan mengutubnya arus fenomena ekonomi yang menyifatkan daerah-daerah nodal. Menurut Djoyodipuro (1992), teori tempat sentral diperkenalkan pada tahun 1933 oleh Walter Christaller, yang dikenal dengan Central Place Theory. Teori ini menerangkan hirarki aktifitas jasa dari tingkat yang paling bawah yang terdapat di kota kecil hingga kota besar. Kota besar memiliki banyak ragam jenis kegiatan jasa dengan skala besar dan makin kecil sebuah kota maka akan makin sedikit pula ragam kegiatan jasa dan makin kecil skala pelayanannya. Sejalan dengan hirarki jasa yang dimiliki, maka akan diperoleh suatu susunan hirarki berbagai kota pusat kegiatan di suatu daerah. Setiap kegiatan pelayanan dari tempat sentral mempunyai batas ambang penduduk dan jangkauan pasar. Batas ambang penduduk atau treshold population adalah jumlah penduduk minimum yang dibutuhkan untuk dapat mendukung suatu penawaran jasa pelayanan. Jika jumlah penduduk di bawah batas ambang tersebut, maka kegiatan pelayanan dari sektor yang dimaksud tidak akan dapat disediakan. Jangkauan pasar atau market range suatu aktifitas jasa adalah jarak yang rela ditempuh seseorang untuk mendapatkan jasa yang dibutuhkannya. Apabila jarak tempuh semakin jauh, maka konsumen akan memilih alternatif lain yang lebih terjangkau untuk memperoleh jasa yang sama. Untuk menerangkan distribusi aktifitas di suatu daerah, teori tempat sentral menyederhanakan keadaan melalui asumsi:
20
1. Daerah yang bersangkutan merupakan daerah yang sama datar dengan penyebaran sumberdaya alam dan penduduk yang terdistribusi merata. 2. Penduduk tersebut memiliki mata pencaharian yang sama, seperti bertani. Konsep dasar dari teori tempat sentral yang dikembangkan oleh Christaller tersebut adalah sebagai berikut: 1. Wilayah yang dilayani oleh tempat sentral adalah wilayah komplementer bagi tempat sentral. 2. Tempat sentral mempunyai kegiatan sentral, yaitu yang melayani wilayah terluas yang disebut tempat sentral orde tertinggi, sedangkan tempat sentral yang melayani wilayah lebih kecil disebut tempat sentral orde rendah. 3. Batas pelayanan dari setiap kegiatan sentral digambarkan sebagai batas jangkauan dari komoditi tersebut. 4. Permintaan terhadap komoditi dari tempat sentral tersebut, tergantung secara timbal balik pada distribusi dan variasi kondisi sosial-ekonomi penduduk serta konsentrasi penduduk di setiap tempat sentral. 5. Permintaan terhadap kegiatan di tempat sentral tergantung pada jarak dan usaha konsumen untuk memperoleh komoditi tersebut. Diasumsikan bahwa permintaan terhadap komoditi tersebut akan semakin berkurang hingga mencapai titik nol untuk setiap pertambahan jarak dari tempat sentral. August Losch yang dikutip oleh Peter E. LIoyd et al. (1977),
membuat
pengaturan hirarki pusat-pusat lebih fleksibel dibandingkan Christaller. Losch berpendapat bahwa market area tidak hanya terjadi pengaturan 3, 4, atau 7 (dalam skema Christaller) tetapi masih memungkinkan terjadi lebih banyak market area dalam suatu jaringan, sehingga menurut Losch tidak ada alasan mengapa market area dikaitkan dengan pusat-pusat produksi, bersifat kaku seperti yang diungkapkan oleh Christaller. Lebih lanjut menurut Losch pusat-pusat market area dibagi menjadi sektor kota kaya (city rich) dan kota miskin (city poor). Sektor kaya mempunyai karakteristik: memiliki jaringan market area lebih luas, aktivitasnya banyak sehingga ordenya lebih tinggi sedangkan kota miskin sebaliknya. Model pengaturan spasial pusat-pusat kota menurut Losch adalah konsisten terhadap apa yang disebut sebagai unsur dasar dari organisasi manusia, yaitu prinsip
21
usaha minimal. Usaha tersebut dilakukan dengan cara memaksimumkan jumlah perusahaan yang beroperasi di dalam pasar dan meminimumkan biaya transportasi secara keseluruhan. Dengan menggunakan asumsi yang sama tetapi pendekatan yang berbeda, Christaller dan Losch menurunkan hirarki urban yang berbeda. Dalam skema hirarki Christaller terdiri dari serangkaian tingkatan diskrit dimana satu pusat menghasilkan campuran barang-barang yang sama dengan pusat lain pada tingkat hirarki yang sama. Sebaliknya pada skema Losch, kombinasi fungsi dan pusat hirarki tidaklah sama. Skema Losch memberikan terjadinya spesialisasi produksi di central place sedangkan Christaller tidak, kecuali jika setiap level hirarki dibedakan oleh marginal barang berhirarki spesifik. Disamping itu model Losch juga lebih fleksibel dan lebih komprehensif dibandingkan Christaller. Ada dua konsekuensi penting dari model landscape Losch, yaitu yang berhubungan dengan implikasi pengaturan sektoral pada pergerakan dan yang berimplikasi terhadap distribusi populasi. Richardson (2001), menyimpulkan bahwa menurut Teori Tempat Sentral (central palce theory) fungsi pokok suatu pusat kota adalah sebagai pusat pelayanan bagi daerah belakangnya (daerah komplementer), menyuplainya dengan barang-barang dan jasa sentral seperti jasa eceran, perdagangan, perbankan dan profesional, fasilitas pendidikan, hiburan, kebudayaan, dan jasa-jasa pemerintah kota. Rustiadi et al. (2005), mengemukakan dalam memenuhi kebutuhan barang dan jasa, konsumen bergerak menuju pusat terdekat. Begitu juga halnya dengan pergerakan barang. Barang berorder lebih rendah yang dihasilkan oleh sejumlah pusat yang juga berorder rendah cenderung bergerak dengan jarak tempuh pendek, sedangkan pergerakan barang berorder tinggi dicirikan dengan jarak yang lebih panjang. Dengan kata lain jarak yang ditempuh untuk memperoleh barang-barang dilokasi pusat berhubungan langsung dengan order barang. 2.2. Pulau-Pulau Kecil 2.2.1. Pengertian dan Klasifikasi Pulau-Pulau Kecil Pulau-pulau kecil memiliki definisi yang sangat beragam dan telah mengalami perdebatan yang panjang. Landasan para peneliti di Limnologi dan geoteknologi LIPI adalah defenisi yang telah mengalami pembahasan mendalam di International
22
Hydrological Programme IHP-III UNESCO, tentang definisi pulau-pulau kecil pada awalnya beberapa Negara Pasifik dalam pertemuan CSC tahun 1984 menetapkan pembatasannya adalah 5.000 km2 (Lumbangaol, 2002). Definisi pulau-pulau kecil yang dianut secara nasional sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41/2000 jo Kep. Menteri Kelautan dan Perikanan No. 67/2002 adalah pulau yang berukuran kurang atau sama dengan 10.000 Km2 dengan jumlah penduduk kurang atau sama dengan 200.000 jiwa. Lebih lanjut dikatakan bahwa; a) Secara ekologis terpisah dari pulau induk (Mainland Island), memiliki batas fisik yang jelas, dan terpencil dari habitat pulau induk sehingga bersifat insular. b) Mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi. c) Tidak mampu mempengaruhi hidroklimat. d) Daerah tangkapan air (Catchment Area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen akan masuk ke laut dan e) Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pulau-pulau kecil bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya. Sedangkan menurut Brookfield dalam Abubakar (2004), pulau-pulau kecil adalah pulau yang luasnya sekitar 1.000 km2 dan berpenduduk lebih kecil dari 100.000 orang. Batasan ini digunakan di Jepang (Nakajima dan Machida dalam Abubakar (2004). Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2005 tentang pengelolaan pulau-pulau kecil terluar pasal 1 ayat 1 huruf b adalah Pulau-pulau kecil terluar adalah pulau dengan luas area kurang atau sama dengan 2000 km2 yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional. Ada tiga kriteria yang dapat digunakan dalam membuat batasan pulau kecil, yaitu: (1) Batasan fisik (luas pulau), (2) Batasan ekologis (proporsi spesies endemik dan terisolasi), dan (3) Keunikan budaya. Selain kriteria tersebut, terdapat indikasi besarkecil pulau terlihat dari kemandirian penduduknya dalam memenuhi kebutuhan pokok (Dahuri, 1998). Bengen (2002a), menggolongkan pulau atau kepulauan berdasarkan pada proses geologinya, yaitu:
23
1. Pulau Benua (Continental Island), tipe batuan kaya akan silica. Biota yang terdapat pada tipe ini, sama dengan yang terdapat di dataran utama. 2. Pulau Vulkanik (Volcanic Island), terbentuk dari kegiatan gunung berapi, yang timbul perlahan-lahan dari dasar laut ke permukaan. Tipe batuan dari pulau ini adalah basalt, silica (kadar rendah). 3. Pulau Karang Timbul (Roised Coral Island), terbentuk dari terumbu karang yang terangkat ke atas permukaan laut karena proses geologi. Jika proses berlangsung terus, maka karang yang timbul ke permukaan laut berbentuk terasteras seperti sawah di pegunungan. 4. Pulau Daratan Rendah (Low Island), adalah pulau dimana ketinggian daratannya dari muka laut rendah. Pulau-pulau dari tipe ini, paling rawan terdapat bencana alam, seperti angin topan dan gelombang tsunami. 5. Pulau Atol (Atolls), adalah pulau karang tebentuk cincin. Pada umumnya adalah pulau vulkanik yang ditumbuhi oleh terumbu karang yang berbentuk fringing reef, kemudian berubah menjadi barrier reef, dan akhirnya menjadi pulau atol. Hehanussa (1993) dalam Maanema (2003), membuat klasifikasi pulau-pulau kecil di Indonesia berdasarkan morfologi dan genesis pulau sebagai berikut : (1) Pulau berbukit, dan (2) Pulau darat. Pulau berbukit terdiri dari: Pulau Vulkanik, Pulau Tektonik, Pulau Teras Terangkat, Pulau Petabah (monadnock), dan Pulau Gabungan. Sedangkan Pulau darat terdiri dari : Pulau Aluvium, Pulau Koral, dan Pulau Atol yang memiliki luas daratan lebih kecil dari 50 km2, misalnya pulau-pulau di kepulauan Takabonarate, yang lebarnya kurang dari 150 m dengan panjang antara 1000 hingga 2000 m. Selanjutnya Ongkosongo (1998), lebih menekankan pada proses terbentuknya pulau tersebut, antara lain : 1. Penurunan muka laut, contohnya: P. Akat, P. Sekikir, P. Abang Besar di Kepulauan Riau. 2. Kenaikan muka laut, contohnya: Kepulauan Lingga, P. Batam, P. Karimun Kecil, juga di Kepulauan Riau. 3. Tektonik, zona penunjaman (subduction), contohnya: P. Christmas, P. Nias. 4. Tektonik, zona pemekaran (spreading), contohnya: Kepulauan Hawai.
24
5. Amblesan daratan, contohnya: P. Digul. 6. Erosi, contohnya: P. Popole di Jawa Barat. 7. Sedimentasi, contohnya: pulau-pulau di Segara Anakan, P. Bengkalis. 8. Volkanisme, contohnya: P. Krakatau, P. Ternate, P. Manado Tua. 9. Biologi, biota terumbu karang dan biota asosiasinya, contohnya: pulau-pulau di Kepulauan Seribu. 10. Biologi, biota lain (mangrove, lamun, dan lain-lain) contohnya: P. Karang Anyar, P. Klaces, dan P. Mutean di Segara Anakan. 11. Pengangkatan daratan, contohnya: P. Manui di Sulawesi. 12. Buatan Manusia, contohnya: lapangan udara Kansai Osaka Jepang. 13. Kombinasi berbagai proses, contohnya: P. Raput. Menurut Brookfield dalam Bengen (2002c), karakter lain dari pulau-pulau kecil, adalah pulau-pulau tersebut sangat rawan terhadap pengaruh-pengaruh perubahan iklim jangka panjang sebagai konsekuensi bertambahnya gas CO2 dan gas-gas lain ke udara. Terutama pulau–pulau karang, sangat mudah rusak dan rentan terdapat kenaikan permukaan air laut. Menurut Bengen (2000) disebutkan bahwa lingkungan pulau-pulau kecil bersifat rapuh sebab setiap gangguan pada satu bagian ekosistem pulau akan meningkatkan gema pengaruh pada bagian hulu (down-stream) ekosistem tersebut. Sebagai contoh, pembukaan hutan penutup akan menyebabkan kemerosotan tanah dan fauna, meningkatkan erosi tanah, sedimentasi dan konsukuensinya akan memberi dampak negatif terhadap sumberdaya alam di perairan laut sekitarnya. Secara umum pulau-pulau kecil memiliki karateristik yang unik, antara lain : berukuran kecil (smallness), terisolasi (isolation), ketergantungan (dependence), rentan (vulnerability) (Briguglio, Fauzi, dalam Maanema, 2003). Sifat rentan dimaksudkan karena memiliki kerapuhan ekologis (ecological fragility). Untuk lebih menjelaskan karakteristik pulau-pulau yang di bandingkan dengan pulau besar dan benua, berdasarkan karakteristik geografis, geologi, biologi, dan ekonomi, dan dilihat pada Tabel 2.
25
Tabel 2. Perbandingan Karakteristik Pulau Kecil, Pulau Besar, dan Benua. Pulau Kecil • Jauh dari benua • Dikelilingi oleh laut luas • Area kecil • Suhu udara stabil • Iklim sering berbeda dengan pulau besar terdekat. • • •
Umumnya karang atau vulkanik Sedikit mineral penting Tanahnya porous/permeabel
• Keanekaragaman hayati rendah • Penggantian spesies tinggi • Tinggi pemijahan massal hewan laut bertulang belakang • Sedikit sumberdaya daratan • Sumberdaya laut lebih penting • Jauh dari pasar Sumber : Bengen (2002b).
Pulau Besar Karateristik Geografis • Dekat dari benua • Dikelilingi sebagain oleh laut • Area besar • Suhu udara agak bervariasi • Iklim mirip benua terdekat Karateristik Geologi • Sedimen atau metamorfosis • Beberapa mineral penting • Beragam tanah Karateristik Biologi • Keanekaragaman hayati sedang • Pergantian spesies agak rendah • Sering pemijahan massal hewan laut bertulang belakang Karateristik Ekonomi • Sumberdaya daratan agak luas • Sumberdaya laut lebih penting • Lebih dekat pasar
Benua • Area sangat besar • Suhu udara bervariasi • Iklim musiman
• Sedimen atau metamorfosis • Beberapa mineral penting • Beragam tanahnya • Keanekaragaman hayati tinggi • Pergantian spesies biasanya rendah • Sedikit pemijahan massal hewan laut bertulang belakang • Sumberdaya daratan luas • Sumberdaya laut sering tidak penting • Pasar relatif mudah
2.2.2. Potensi Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil Pulau-pulau kecil merupakan aset sumberdaya alam Indonesia yang jika dikelola secara baik dan berkelanjutan akan memberikan manfaat ekonomi yang tinggi baik bagi penduduk pulau-pulau kecil maupun kesejahteraan bangsa secara keseluruhan. Selain memiliki budaya yang unik, pulau-pulau kecil juga kaya akan keanekaragaman hayati baik keanekaragaman kelautan maupun terestial. Keanekaragaman hayati tersebut
26
selain, memberikan arus barang dan jasa yang bernilai tinggi, juga memberikan manfaat non-konsumtif yang tak ternilai harganya (Fauzi, 2003). Potensi sumberdaya di pulau kecil akan tergantung pada proses terbentuknya pulau serta posisi atau letak pulau tersebut, sehingga secara geografis pulau-pulau tersebut memiliki informasi struktur yang berbeda, dan dalam proses selanjutnya pulaupulau tersebut juga akan memiliki kondisi spesifik dan spesifik endemik serta keanekaragaman yang tipikal (Bengen, 2000a). Ekosistem pulau-pulau kecil menyimpan banyak potensi yang mempunyai nilainilai ekonomis tinggi, seperti tangkapan ikan, terumbu karang, mangrove, plasma nutfah dari biota-biota laut serta objek wisata yang selama ini terabaikan. Kekhawatiran ini semakin besar, akibat perkembangan akhir-akhir ini yaitu semakin meningkatnya pengrusakan
lingkungan,
rawannya
keamanan
dan
semakin
meningkatnya
penyeludupan serta punahnya biota-biota laut (Witoelar, 2000). Secara umum, sumberdaya alam di kawasan pulau-pulau kecil terdiri dari sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources), sumberdaya yang tidak dapat pulih (non-renewable resources) dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan lautan (environmental services). Sumberdaya yang dapat pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, plankton, benthos, moluska, krustaseae, mamalia laut, rumput laut (seaweeds), lamun (seagrass), mangrove, dan terumbu karang. Sedangkan sumberdaya yang tidak dapat pulih, meliputi minyak bumi dan gas, mineral, bahan tambang/galian seperti biji besi, pasir, timah bauksit serta bahan tambang lainnya. Sedangkan yang termasuk jasa-jasa lingkungan adalah pariwisata bahari dan perhubungan laut yang merupakan potensi yang mempunyai nilai ekonomis tinggi bagi peningkatan pendapatan masyarakat sekitar maupun pendapatan daerah dan nasional. Kemudian pada wilayah pulau-pulau kecil juga mempunyai potensi energi kelautan yang bersifat non exhaustive (tak pernah habis) seperti energi angin, gelombang, pasang surut dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion). Sumberdaya ikan di kawasan pulau-pulau kecil terkenal sangat tinggi, hal ini karena didukung oleh ekosistem yang kompleks dan sangat beragam seperti ekosistem terumbu karang, mangrove, dan padang lamun. Selain sumberdaya yang disampaikan di
27
atas, pulau-pulau kecil juga memiliki ekosistem darat yang dapat dikembangkan pada berbagai bidang, seperti : pertanian, perkebunan dan peternakan. Selain segenap potensi pembangunan tersebut di atas, ekosistem pulau-pulau kecil juga memiliki peran dan fungsi yang sangat menentukan bukan saja bagi kesinambungan ekonomi, tetapi juga bagi kelangsungan hidup manusia. Hal paling utama adalah fungsi dan peranan ekosistem pesisir dan lautan di pulau-pulau kecil sebagai pengatur iklim global, siklus hidrologi dan bio-geokimia, menyerap limbah, sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di darat. Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya di kawasan tersebut harus diiringi dengan upaya konservasi, sehingga dapat berlangsung optimal dan berkelanjutan (Dahuri, 1998). 2.2.3. Pengembangan dan Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Menurut Witoelar (2000) dalam Ningkeula (2005), pengembangan pulau-pulau kecil dihadapkan pada kesenjangan-kesenjangan antar kawasan seperti kesenjangan antar masyarakat pantai dengan wilayah darat, kurangnya sumberdaya manusia, rendahnya akses informasi, kurangnya akses pasar, kurangnya dukungan sarana dan prasarana serta aksesibilitas. Dengan melihat permasalahan-permasalahan tersebut, maka pengembangan kawasan pulau–pulau
kecil tidak dapat dilakukan dengan
pendekatan sektoral, tetapi dilakukan secara integral dan menyeluruh melalui pengembangan wilayah. Pengembangan wilayah adalah upaya pembangunan pada suatu wilayah atau daerah, guna tercapainya kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya (alam, manusia, kelembagaan, teknologi dan prasarana) secara optimal dan berkelanjutan dengan cara menggerakan kegiatan ekonomi (trade, industri dan pertanian), pelestarian lingkungan, penyediaan fasilitas pelayanan dan penyediaan prasarana seperti; transportasi dan telekomunikasi. Pendekatan pengembangan wilayah dalam lingkup ruang wilayah adalah ; dilakukan melalui penataan ruang sebagaimana ditetapkan dalam PP. No. 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), yang bertujuan untuk mengembangkan pola dan struktur ruang nasional dengan memperhatikan kawasan-kawasan budidaya dan kawasan lindung. Pendekatan semacam ini adalah pendekatan kawasan dimana masing-masing kawasan diidentifikasi sektor-sektor unggulan yang akan dikembangkan. Di sisi lain lingkup pengembangan
28
wilayah, dihadapkan pada persoalan-persoalan yang menjadi perhatian nasional seperti; penanganan kawasan tertinggal, terisolir, kawasan-kawasan perbatasan, rawan kerusuhan, dan rawan bencana alam, termasuk di dalamnya kawasan pantai dan gugus pulau-pulau kecil (Bengen, 2002c). Menurut Fauzi (2003), pemanfaatan sumberdaya yang ada di pulau-pulau kecil selama ini belum dirasakan optimal karena banyaknya kendala yang harus dihadapi. Kendala tersebut menyangkut jarak, transportasi yang mahal, terbatasnya diversifikasi usaha yang berbasis sumberdaya alam, kurangnya skill sumberdaya manusia yang ada, vuinerable terhadap bencana alam, serta ketergantungan pada daratan maupun teritori lainnya untuk mendukung aktivitas ekonomi mereka. Selain menghadapi kendala struktural dan alamiah, pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil juga harus menghadapi tekanan yang berat akibat multiple demand dari pertumbuhan penduduk, wisata, industri dan sebagainya. Pertumbuhan multiple demand dari waktu ke waktu menyebabkan kompetisi terhadap sumberdaya yang langka seperti lahan dan air semakin meningkat. Praktek ekstraksi sumber daya alam yang tidak tepat, eksploitasi sumberdaya yang tidak terkendali dan berlebihan akan mempengaruhi kemampuan produktivitas dari sumberdaya pulau-pulau kecil dan lingkungannya secara keseluruhan. Sedangkan menurut Dahuri (1998), bahwa dalam pengembangan kawasan pulau-pulau kecil, terdapat beberapa kendala yang harus diperhatikan antara lain: 1) Ukuran yang kecil dan terisolasi, sehingga penyediaan sarana dan prasarana manjadi sangat mahal, serta sumberdaya manusia yang handal menjadi sangat langka, 2) Kesulitan atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi (economies of scale) yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi dan transportasi laut turut menghambat pembangunan, 3) ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar, vegetasi, tanah, dan ekosistem pesisir (coastal ecosystem) dan satwa liar pada akhirnya akan menentukan daya dukung suatu sistem pulau kecil dalam menopang kehidupan manusia penghuni dan segenap kegiatan pembangunannya, 4) Produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (seperti pengendalian erosi) yang terdapat di suatu unit ruang (lokasi) di dalam pulau dan terdapat di sekitar pulau seperti ekosistem terumbu karang dan perairan pesisir adalah
29
saling terkait satu sama lain dan, 5) Budaya lokal kepulauan kadangkala bertentangan dengan kegiatan pembangunan. Dalam upaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil untuk kesejahteraan masyarakat dan mempertahankan fungsi-fungsi pulau sebagai penyangga lingkungan dan keamanan, maka pengelolaan pantai dan pulau-pulau kecil perlu dilakukan secara terpadu sebagai bagian dari pengembangan wilayah sekitarnya. Berdasarkan pertimbangan kebijakan pengelolaan pantai atau pulau-pulau kecil maka terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan: a) perlu disiapkan pedoman dan petunjuk penyelenggaraan pembangunan kawasan pantai pulau-pulau kecil dalam meningkatkan kemampuan daerah sehubungan dengan sebagian besar gugus pulaupulau kecil terletak di wilayah administrasi kabupaten atau propinsi, b) Pengendalian dan pembatasan pemanfaatan sumberdaya alam guna mengurangi kerusakan lingkungan dan perlindungan kawasan pantai dan pulau-pulau kecil sebagai ekosistem kelautan, c) Pengembangan pantai pulau-pulau kecil tidak dapat dilakukan secara parsial, namun perlu dilakukan secara terintegrasi dalam suatu sistem perwilayahan, d) Perlu diidentifikasi fungsi masing-masing pulau sesuai dengan potensi yang dimiliki, kondisi lingkungan, rawan bencana dan kedudukan strategis sebagai bagian dalam sistem perwilayahan, e) Pengembangan peluang-peluang produktiv usaha sesuai dengan potensi yang dapat dikembangkan di masing-masing pulau serta penyediaan pusat-pusat pelayanan sesuai dengan sistem pengembangan wilayah dengan tujuan untuk: 1) Membuka aksesibilitas dan keterisolasian pulau-pulau kecil, 2) Meningkatkan usaha kegiatan ekonomi masyarakat pemberdayaan masyarakat khusus dalam pengelolaan sumberdaya hayati laut pada kawasan yang memiliki potensi keragaman dan bernilai ekonomi yang tinggi didasarkan pada potensi masyarakat (grass root), 3) Mendorong minat swasta dan masyarakat untuk dapat menanamkan modal dalamnya rangka pengembangan pantai dan pulau-pulau kecil, dan 4) mengfungsikan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam pengelolaan pantai dan pulau-pulau kecil (Dahuri, 1998). Sehubungan dengan pengembangan wilayah, strategi pengembangan yang sesuai dengan karakteristik dan permasalahan pengembangan kawasan pantai dan pulau-pulau kecil ada tiga jenjang, yaitu:
30
-
Strategi pengembangan pada level Mikro (desa), yaitu pengembangan pada level “grass root” masyarakat berdasarkan tingkat kemampuan masyarakat (potensi sumberdaya manusia dan teknologi) dan sumberdaya kelautan.
-
Strategi pengembangan pada level Messo atau keterkaitan antar pulau-pulau, yaitu upaya-upaya untuk lebih meningkatkan nilai produksi, dikaitkan dengan pengembangan pasar, pengolahan produksi dan kemudahan transportasi.
-
Strategi pengembangan pada level Makro, yaitu mengaitkan kawasan pantai dan pulau-pulau kecil ke dalam sistem yang lebih luas baik sistem nasional maupun internasional (Witoelar, 2000).
2.2.4. Penelitian Terdahulu Tentang Pulau-Pulau Kecil Ningkeula
(2005),
melakukan
penelitian
tentang
pemanfaatan
dan
pengembangan sumber daya pulau kecil di Kabupaten Halmahera Selatan Maluku Utara, yang bertujuan mengkaji potensi dan kondisi pemanfaatan Sumber daya pulau kecil melalui penentuan kesesuaian, peruntukan pemanfaatan sumber daya pulau kecil untuk pengembangan wilayah. Hasil analisis kesesuaian lahan menunjukan bahwa desadesa dalam Kabupaten Halmahera Selatan memungkinkan untuk peruntukan budi daya keramba jaring apung (KJA), budi daya mutiara, budi daya rumput laut, pariwisata pantai dan pemukiman nelayan, sedangkan dari analisis lokasi menunjukan sektor yang lebih unggul adalah sektor pertanian sementara sektor perikanan masih dalam skala kecil, walaupun tiponomi desa-desa pesisir di Halmahera Selatan adalah perikanan. Mutmainnah (2004), melakukan penelitian tentang pemanfaatan sumber daya pulau kecil di Pulau Tanakeke Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan, dengan penekanan pada analisis tingkat pemanfaatan sumber daya berdasarkan pada aspek bioteknis, lingkungan, ekonomi, sosial, budaya dan kelembagaan guna mengkaji pemanfaatan sumber daya secara lestari. Pemanfaatan sumber daya telah mencapai titik optimal, untuk budi daya tambak dan konversi lahan mangrove ke pemukiman tidak layak untuk dilanjutkan, karena dari hasil analisis usaha budi daya tambak tidak menguntungkan, selain itu aktivitas penangkapan ikan telah mengalami overfishing sejak tahun 1999 walaupun usaha tersebut masih menguntungkan. Akhirnya ia merekomendasikan bahwa prioritas pengembangan pemanfaatan sumber daya di Pulau Tanakeke berdasarkan
31
aspek bioteknis, lingkungan, ekonomi, sosbud dan kelembagaan adalah budi daya rumput laut. Lamatenggo (2002), mengkaji potensi dan pengelolaan sumber daya pulau-pulau kecil secara berkelanjutan di Pulau Gag Kabupaten Sorong Papua. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat potensi SDA, permasalahan yang dihadapi dalam pemanfaatan SDA dan bagaimana upaya pengelolaan secara berkelanjutan. Pulau-pulau ini mempunyai potensi yang besar, namun permasalahan yang dihadapi adalah penangkapan ikan oleh nelayan setempat dengan menggunakan bahan peledak dan potasium, rendahnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup, skala usaha perkebunan dan perikanan yang tradisional, rendahnya SDM, status hutan lindung Pulau Gag dan minimnya sarana transportasi untuk memasarkan hasil perkebunan dan hasil laut ke daerah lain. Untuk pengembangan pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan perlu dilakukan penataan ruang untuk menghindari konflik, pengelolaan sumber daya secara terpadu, peningkatan SDM dan pemberdayaan ekonomi penduduk lokal, melibatkan penduduk lokal dalam pengelolaan sumber daya berdasarkan aturan yang ditetapkan, intensifikasi perkebunan dan perikanan serta penyediaan sarana dan penambahan frekuensi transportasi ke Pulau Gag. Lumbangaol (2002), melakukan penelitian tentang Pengelolaan sumber daya pulau-pulau kecil di Kepulauan Tobea Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara, tujuan penelitian ini untuk mempelajari karakteristik umum dan struktur masyarakat, peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pulau-pulau kecil. Ternyata di Kepulauan Tobea memiliki keragaan sumber daya alam yang cukup kompleks yang belum dimanfaatkan secara optimal, perikanan tangkap merupakan usaha andalan masyarakat tetapi yang lebih prospektif adalah budi daya rumput laut, namun demikian menurutnya untuk strategi pengembangan Kepulauan Tobea adalah perikanan tangkap. Selain itu pemerintah memegang peran penting dalam pengelolaan pulau-pulau kecil sedangkan partisipasi masyarakat sangat rendah, hal ini disebabkan karena pada kepulauan ini tidak terdapat hukum-hukum adat yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya, sehingga peran pemerintah daerah sangat dominan dalam mengatur pengelolaan sumber daya berdasarkan kebijakan dan program yang merupakan produk pemerintah pusat.
32
Sedangkan menurut Manafi (2003), sesuai hasil penelitiannya tentang Pendekatan penataan ruang dalam pengelolaan pulau kecil di Pulau Kaledupa Taman Nasional Laut Kepulauan Wakatobi Sulawesi Tenggara, dengan tujuan penelitian adalah menganalisis pemanfaatan ruang ditinjau dari kesesuaian lahan. Hasilnya mengingat lokasi budidaya laut juga terletak di wilayah kegiatan wisata, maka pengaturan teknis sebaiknya mengadopsi kearifan lokal yang telah ada dan pernah berlaku (Kambo/Limbo). Sedangkan untuk wilayah yang belum diatur oleh Kambo/Limbo mengacu pada kesesuaian fisik geografis dan sosial ekonomi masyarakat. Abubakar (2004), dalam penelitiannya tentang analisis kebijakan pemanfaatan pulau-pulau kecil perbatasan studi di Pulau Sebatik Kabupaten Nunukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menyusun suatu alternatif kebijakan pemanfaatan pulaupulau kecil perbatasan yang komprehensif dengan mempertimbangkan aspek biofisik, sumberdaya alam, ekonomi, sosial, budaya, hukum dan kelembagaan, serta pertahanan dan keamanan. Hasil analisis kombinasi metode SWOT dan AHP (A’WOT) menunjukan bahwa urutan prioritas kebijakan pemanfaatan pulau-pulau kecil perbatasan adalah : (1) pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal dan lestari, (2) penataan hukum dan kelembagaan, (3) peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat dan pemerintah, (4) peningkatan aksesibilitas terhadap pulau-pulau kecil perbatasan, (5) pengembangan sistem pertahanan dan keamanan di pulau-pulau kecil perbatasan, (6) pengembangan perekonomian di pulau-pulau kecil perbatasan, (7) pengembangan aspek sosial budaya masyarakat pulau-pulau kecil perbatasan, dan (8) pengisian dan pendistribusian penduduk pada pulau-pulau kecil perbatasan. Arifin (2006), melakukan penelitian tentang penentuan daerah penangkapan ikan cakalang dengan menggunakan data satelit multisensor di daerah perairan Laut Maluku. Tujuan penelitian ini adalah mendeteksi profil suhu permukaan laut, sebaran klorofil-a, dan thermal front serta upwelling di perairan Laut Maluku untuk memetakan daerah penangkapan ikan (DPI) cakalang yang potensial di perairan Laut Maluku. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa 4 DPI potensial di Laut Maluku dengan jarak 4 – 12 mil, yaitu zona A daerah Kepulauan Morotai, zona B daerah Kepulauan Batang Dua (P. Tifure dan Mayau), zona C daerah Kepulauan Bacan dan Obi, dan zona D daerah Kepulauan Sula.
33
2.2.5. Networking Pulau-Pulau Kecil (Interaksi Spasial) Mengingat keterbatasan teori-teori tentang networking (interaksi) antar pulaupulau kecil maka dalam pustaka networking pulau-pulau kecil ini didasarkan pada teoriteori interaksi spasial, karena pada dasarnya prinsip-prinsip dan pola interaksi antara wilayah menggunakan kaidah-kaidah yang sama. Interaksi spasial adalah suatu istilah umum mengenai pergerakan spasial dan aktivitas-aktivitas manusia (Hayness dan Fotheingham dalam Rustiadi et al. (2005). Model grafitasi adalah model interaksi spasial yang paling umum digunakan. Jika hubungan komplementer mewakili kekuatan yang mendorong terjadinya interaksi, dimana transferability dan interviewing opportunity mewakili aspek yang berbeda dari pengaruh friction of distance, maka kita dapat menggagalkan teori Ullman dari tiga prinsip menjadi dua, yaitu: (1) Mesin penggerak dari pergerakan dan interaksi adalah kekuatan dorong-tarik dari supply-demand dan (2) penghambat pergerakan dan interaksi adalah pengaruh friction of distance. Kedua prinsip tersebut mengikuti hukum grafitasi Newton yang dikembangkan dan diaplikasikan dalam interaksi sosial ekonomi. Caret dan Ravenstein dalam Rustiadi et al. (2005), menemukan adanya hubungan pararel antara migrasi masyarakat menurut hukum grafitasi Newton. Interaksi antara dua tempat (dua kala) dipengaruhi oleh produksi yang dihasilkan oleh masyarakat di dua tempat tersebut, jarak antara dua tempat tersebut dan besarnya pengaruh jarak antara dua tempat tersebut. Setiap bagian wilayah mempengaruhi faktor endowment yang khas dalam bentuk sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, penduduk dalam wilayah tersebut sering harus memenuhi dari wilayah lain, oleh karena itu penduduk harus melakukan perjalanan ke wilayah lain sehingga membentuk hubungan antar wilayah. Hubungan atau kontak ini secara ekonomi dapat digambarkan sebagai proses permintaan dan penawaran. Hubungan antar wilayah dapat disebut sebagai keterkaitan (linkages) antara wilayah dimana terjadi kebergantungan antar wilayah. Kontak atau hubungan antar wilayah tersebut dapat juga diartikan sebagai interaksi. Secara harfiah interaksi dapat diartikan sebagai hal yang saling ’mempengaruhi’. Keterkaitan antar wilayah tidak dapat terjalin bila tidak didukung
34
prasarana dan sarana penghubung antar kedua wilayah yang saling berinteraksi, dukungan tersebut dapat merupakan prasarana dan sarana transportasi, meskipun dapat pula dalam bentuk lain. Oleh karena itu keterkaitan (linkages) antar wilayah adalah bentukan dari proses interaksi antar wilayah yang diakibatkan adanya hubungan supplydemand, yang didukung oleh kemudahan perhubungan antara keduanya, serta dapat menguntungkan, merugikan maupun saling mendukung salah satu maupun kedua wilayah yang berinteraksi tersebut (Kasikun, 2004). Pola keterkaitan pertama adalah pola asimetris. Dalam pola keterkaitan asimetris terjadi suatu bentuk eksploitasi kota-kota sebagai bagian di atas dari hirarki terhadap desa-desa sebagai bagian hirarki di bawahnya. Terjadi eksplorasi dan penyapuan sumberdaya alam (backwash effect) besar-besaran di wilayah hinterlannya tanpa adanya timbal balik yang memberikan keuntungan di wilayah-wilayah perdesaan di bawahnya. Pola asimetris adalah suatu proses eksploitasi yang lebih bersifat simbiosis parasitisma yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain. Suatu keadaan yang menciptakan pembangunan yang tidak berimbang, saling melemahkan dan tidak berkelanjutan. Pola keterkaitan kedua adalah pola simetris yang memberikan proses kompetitif antara kota-kota dalam hirarki teratas dengan desa-desa dalam hirarki di bawahnya. Terdapat suatu proses yang bersifat simbiosis mutualisma yang memberikan keuntungan di kedua belah pihak. Pola simetris ini akan menciptakan pembangunan yang berimbang, saling memperkuat dan berkelanjutan. Menurut Rondinelli dalam Kasikun (2004), dalam pembangunan spasial, jenisjenis keterkaitan yang utama dapat dikelompokan dalam tujuh tipe, yaitu: (1) Keterkaitan fisik; jaringan jalan, jaringan transportasi sungai dan air, jaringan kereta api, dan ketergantungan ekologis. (2) Keterkaitan ekonomi; pola-pola pasar, arus bahan baku dan bahan antara, arus modal, keterkaitan produksi, pola konsumsi dan belanja, arus pendapatan, dan arus komoditi sektoral. (3) Keterkaitan pergerakan penduduk; migrasi-temporer dan permanen, dan perjalanan kerja. (4) Keterkaitan teknologi; kebergantungan teknologi, sistem irigasi, dan sistem telekomunikasi. (5) Keterkaitan interaksi sosial; pola visiting, pola kinship, kegiatan rites, rituals dan keagamaan, dan interaksi kelompok sosial. (6) Interaksi deliveri pelayaran; arus dan jaringan energi,
35
jaringan kredit dan finansial, keterkaitan pendidikan, training dan pengembangan, sistem deliveri pelayanan kesehatan, pola pelayanan profesional, komersial dan teknik, dan sistem pelayanan transportasi. (7) Keterkaitan politik, administrasi dan organisasi; hubungan struktural, arus budget pemerintah, kebergantungan organisasi, pola otoritasapproval-supervisi, pola transaksi inter-yuridiksi, dan rantai keputusan politik informal. 2.3. Sumber Daya Perikanan dan Konsep Bioekonomi Menurut Fauzi (2004a), Perikanan seperti halnya sektor ekonomi lainnya, merupakan salah satu aktivitas yang memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa. Sebagai salah satu sumber daya alam yang bersifat dapat diperbaharui (renewable), pengelolaan sumber daya ini memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati. Sumber daya perikanan pada suatu wilayah perairan pada periode waktu tertentu cenderung mengalami perubahan. Perubahan ini selain disebabkan oleh faktor alami juga oleh faktor non alami. Faktor alami meliputi perubahan fisik lingkungan suatu perairan, keterbatasan makanan dan sumber hara lainnya serta predator, sedangkan faktor non alami ditimbulkan oleh kegiatan manusia dalam memanfaatkan sumber daya perikanan yang tidak terkendali. Sumber daya perikanan laut mempunyai sifat yang spesifik yang dikenal dengan akses terbuka (open accses) yang memberikan anggapan bahwa setiap orang atau individu merasa memiliki sumber daya tersebut secara bersama (common property), oleh karena sifatnya yang demikian maka semua individu baik nelayan maupun pengusaha perikanan laut akan merasa mempunyai hak untuk mengeksploitasi sumber daya laut sesuai dengan kemampuan masing-masing hingga nilai rent dari sumber daya terbagi habis, sebaliknya tidak satupun pihak merasa berkewajiban untuk menjaga kelestariannya. Di satu pihak masing-masing akan berusaha untuk memaksimumkan hasil tangkapan, di lain pihak masing-masing tidak mempunyai insentif untuk mempertahankan ataupun meningkatkan kelestarian sumber daya. Pada akhirnya tetap merugikan nelayan yang lemah kapitalnya dan mayoritas merupakan penduduk setempat dan justru tidak mendapatkan manfaat dari kekayaan sumber daya wilayahnya sendiri.
36
Menurut Dahuri et al. (2001), dalam pemanfaatan sumber daya perikanan yang bersifat milik bersama (common property), keseimbangan jangka panjang dalam usaha perikanan tidak dapat dipertahankan karena adanya peluang untuk meningkatkan keuntungan (exess profit) bagi usaha penangkapan ikan sehingga terjadi ekstensifikasi usaha secara besar-besaran dibarengi masuknya pengusaha baru yang tergiur dengan nilai rent yang cukup besar tersebut. Pemanfaatan sumber daya perikanan harus memperhatikan aspek sustainability agar dapat memberikan manfaat yang sama di masa yang akan datang yang tidak hanya terfokus pada masalah ekonomi tetapi juga masalah lain seperti teknis, sosial dan budaya. Tingkat pemanfaatan sumber daya optimal melalui pendekatan MSY dan MEY. Pendekatan MSY (maximum sustainable yield) akan memberikan hasil lestari secara fisik, namun demikian dalam praktek pengelolaan sumber daya perikanan, tingkat tangkapan MEY (maximum economic yield) akan lebih baik karena selain memberikan keuntungan secara ekonomi juga memberikan keuntungan secara ekologi yang dapat mempertahankan diversitas yang besar. Menurut Fauzi (2004b), istilah bioekonomi diperkenalkan oleh Scott Gordon yang pertama kali menggunakan pendekatan ekonomi untuk menganalisis pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal. Gordon menggunakan basis biologi yang sebelumnya diperkenalkan oleh Schaefer. Pendekatan Gordon ini kemudian dikenal sebagai pendekatan bioekonomi. Pendekatan bioekonomi sangat diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya ikan, ketika Schaefer (1954) mengenalkan konsep MSY (maximum sustainable yield), konsep ini menjadi buzzword (”jimat”) dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Namun konsep MSY hanya didasarkan pada pendekatan biologi semata. Dalam perspektif MSY, jika sumberdaya ikan dipanen pada tingkat MSY (tidak lebih tidak kurang), maka sumberdaya ikan akan lestari. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana halnya dengan biaya pemanenan ikan, pertimbangan sosial ekonomi akibat pengelolaan ikan, nilai ekonomi terhadap ikan yang tidak dipanen. Dalam pendekatan MSY pertanyaan-pertanyaan tersebut sengaja di abaikan karena tujuan pendekatan biologi adalah memperoleh produksi setinggi-tingginya. Melihat kekurangan-kekurangan pendekatan biologi itulah kemudian konsep pendekatan bioekonomi lahir atau dikenal dengan MEY (maximum economic yield). Dalam
37
pendekatan bioekonomi, tujuan utama adalah aspek ekonomi dengan kendala aspek biologi sumberdaya ikan. Model bioekonomi Gordon-Schaefer (GS) di bangun dari model produksi surplus yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Graham pada tahun 1935. Pada model ini, pertumbuhan populasi ikan diasumsikan mengukuti fungsi pertumbuhan logistik. Kajian pemanfaatan sumber daya perikanan bioekonomi Gordon-Schaefer adalah sebuah model statik. Menurut Gordon, model perikanan statik adalah model ekonomi perikanan yang didasarkan pada faktor input yaitu upaya. Asumsi-asumsi dari model Gordon-Schaefer, yaitu : 1. Populasi ikan menyebar merata 2. Tidak ada kejenuhan penggunaan unit alat tangkap ikan 3. Semua unit alat tangkap aktif melakukan kegiatan penangkapan ikan 4. Setiap unit alat tangkap mempunyai kemampuan yang sama 5. Biaya total penangkapan ikan adalah konstan 6. Harga ikan per satuan tangkapan adalah konstan. 2.4. Ikan Cakalang 2.4.1 Klasifikasi dan Biologi Ikan Cakalang Menurut Uktolseja et al. dalam Arifin (2006), ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) termasuk dalam golongan tuna kecil. Tuna kecil mempunyai ukuran antara 20 – 80 cm. Tuna yang termasuk tuna besar diantaranya adalah madidihang (Thunus albacares), albacare (Thunnus alalunga) dan tuna mata besar (Thunnus obesus). Tuna besar ini mempunyai ukuran antara 40-180 cm. Lebih lanjut Unar dalam Arifin (2006), menyatakan bahwa ikan cakalang mempunyai nama umum Skipjack atau Striped tuna dan nama lokal wadan (Jawa), cakalang atau tongkol krai (Jawa Barat dan Jakarta) buambu clorengan atau japak (Madura), kausa (Sulawesi Selatan), cakalang (Sulawesi Utara). Menurut Saanin dalam Arifin (2006), klasifikasi ikan cakalang adalah (Gambar 2) sebagai berikut : Phylum : Chordata Kelas : Pisces/Actinopterigi Ordo : Perciformas Subordo : Scombroidea
38
Famili : Scombridae Genus : Kasuwonus Spesies : Katsuwonus pelamis (linnaeus, 1758) Distribusi cakalang tersebar di daerah tropis dengan suhu air hangat, tidak ditemukan di daerah Laut Mediterania bagian timur dan Laut Hitam. Ikan cakalang bermigrasi jauh. Morofologi ikan cakalang adalah sebagai berikut: 1. Sirip punggung keras 14 – 16 2. Sirip punggung lunak 14 -15 3. Sirip anal 0 4. Sirip anal yang lunak 14 – 15 5. Fiterbrey 41. 6. Tubuh tidak bersisik, tapi hanya terdapat lateralis(titik-titik). 7. Tidak punya swiming plader (kantong renang). 8. Berwarna biru gelap dan perak 9. Terdapat 4 – 6 garis hitam longitudinal.
Gambar 2. Ikan Cakalang (katsuwonus pelamis) Temperatur untuk larva ikan cakalang adalah 15 – 30oC. Scholing terdapat di permukaan air dan terdapat burung, hiu, paus dan mempunyai karakteristik (tingkah laku) berlompat-lompat, tingkah laku makan, dan membuat gelembung udara. Makanan ikan tersebut krustasea, cephalopoda dan mulusca. Bersifat memakan sesama mereka. Ikan ini dimangsa oleh ikan pelagis yang lebih besar, Masa pemijahan di daerah tropis,
39
telur dilepas dibeberapa tempat. Ikan cakalang dewasa dapat hidup di air dingin bersuhu 15 – 300C. Cakalang berada di permukaan pada malam hari. Puncak aktivitas makan diawal pagi hari dan sore hari. Ikan cakalang memerlukan oksigen sebesar 2,5 milli/liter air laut untuk mempertahankan swiming speed. Panjang juvenil cakalang 15 cm berada di area yang sama dengan larva, tetapi biasanya bergerak ke perairan yang lebih dingin untuk proses pendewasaan. 2.4.2 Tingkah Laku Ikan Cakalang Uktolseja dalam Arifin (2006), menyatakan bahwa persediaan cakalang di wilayah Perairan Indonesia Timur tersedia sepanjang tahun, terutama Laut Maluku, Laut Banda, Laut Seram dan Laut Sulawesi. Perairan tersebut termasuk daerah migrasi kelompok ikan di Samudera Pasifik bagian Selatan,
khusus jenis ikan cakalang.
Populasi cakalang yang dijumpai di Perairan Indonesia Bagian Timur sebagian besar berasal dari Samudera Pasifik yang memasuki perairan ini mengikuti arus. Fluktuasi keadaan lingkungan mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap periode migrasi musiman serta terdapatnya ikan di suatu perairan. Laevastu dan Hayes dalam Arifin (2006), menyatakan bahwa daerah fishing ground yang terbaik terkadang ditentukan pada daerah perbatasan dua arus (konvergen dan divergen) dan fenomena oseanografi lainnya seperti pusaran eddies, bukan saja merupakan batas penyebaran bagi ikan namun fish base juga menyebabkan terjadinya pengumpulan ikan. Dari hasil pengamatan-pengamatan yang telah dilakukan bahwa ikan cenderung bergerombol pada isoterm tertentu dan pertemuan dua arus dan daerah yang memiliki perbedaan suhu horizontal yang jelas menjadi pembatas menyebarnya spesies - spesies tertentu.
bagi
Selain itu, beberapa hasil penelitian
menyatakan bahwa kepadatan populasi ikan cakalang tertinggi di sebelah selatan garis katulistiwa, pada kisaran waktu bulan Oktober sampai Maret, sedangkan pada perairan sebelah utara (5o LS) pada bulan April sampai September. Ikan cakalang termasuk dalam ikan perenang cepat dan mempunyai sifat makan yang rakus. Ikan ini sering bergerombol dan bersamaan dalam melakukan ruaya. Lebih lanjut Alimoedin dalam Arifin (2006), menyatakan bahwa ikan cakalang membentuk gerombol pada saat aktif mencari makan. Gerombolan tersebut bergerak dengan cepat
40
sambil meloncat-loncat di permukaan. Kebiasaan makan secara aktif berlangsung pada pagi hari dan kurang aktif pada siang hari. Sore hari mulai aktif lagi dan pada malam hari hampir tidak ada kebiasaan makan sama sekali. Kegiatan pemancingan yang dilakukan pada pagi hari dan sore hari akan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan pada siang hari. Dalam menentukan lokasi penangkapan ikan cakalang sangat ditentukan oleh musim, tentu hal ini akan berbeda untuk setiap perairan. Penangkapan ikan cakalang dapat dilakukan sepanjang tahun. Hasil yang diperoleh berbeda menurut periode musim bervariasi pula menurut lokasi penangkapan. Saat-saat dengan hasil lebih banyak dari biasanya disebut musim puncak dan bila hasil penangkapan lebih sedikit dari biasanya disebut musim paceklik. 2.5. Kelembagaan Ekonomi Perikanan Definisi tentang kelembagaan sangatlah beragam, akan tetapi secara umum kelembagaan dapat diartikan sebagai aturan yang dianut oleh masyarakat atau organisasi yang dijadikan pegangan oleh seluruh anggota masyarakat atau anggota organisasi dalam mengadakan transaksi satu sama lainnya yang meliputi pasar, hak kepemilikan, pelestarian sumberdaya dan sistem pertukaran yang ditentukan berdasarkan normanorma sosial atau kontrak (Hoff et al. 1993). Sedangkan menurut Kherallah dan Kirsten, dalam Fauzi (2005), kelembagaan adalah suatu gugusan aturan (rule of conduct) formal (hukum, kontrak, sistim politik, organisasi, pasar, dan lain sebagainya) serta informal (norma, tradisi, sistim nilai, agama, tren sosial, dan lain sebagainya) yang memfasilitasi koordinasi dan hubungan antara individu ataupun kelompok. Secara lebih spesifik Douglass North, ahli ekonomi kelembagaan, menyatakan bahwa institusi lebih pasti terjadi pada hubungan antara manusia serta mempengaruhi perilaku dan outcomes seperti keragaan ekonomi, efisiensi, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Kelembagaan itu sendiri sebagian besar muncul akibat dari kehidupan bersama dan tidak direncanakan. Para warga masyarakat pada awalnya mencari cara-cara yang dapat digunakan sebagai wadah memenuhi kebutuhan hidup, kemudian mereka menemukan beberapa pola yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
41
dan dalam proses selanjutnya diperkuat melalui pengaturan bersama yang dibakukan. Kelembagaan memberikan ketentuan terhadap anggota masyarakatnya mengenai hakhak, kewajiban dan tanggung jawabnya. Di samping itu, tiap anggota mendapat suatu jaminan hak dan perlindungan dari masyarakat. Kelembagaan memberikan suatu kondisi bahwa tiap-tiap anggota menerima sesuatu yang menjadi ketentuan dan tiap anggota merasa aman, merasa sewajarnya. Arti ekonomi utama dari kelembagaan adalah memberikan kepastian tentang siapa memperoleh apa dan berapa banyaknya. Dengan kata lain kelembagaan menurunkan derajat ketidakpastian dari aliran manfaat atau ongkos yang akan diterima oleh partisipan dalam suatu sistem ekonomi. Kelembagaan dapat diartikan sebagai organisasi atau aturan main. Kelembagaan sebagai organisasi biasanya menunjuk pada lembaga-lembaga formal seperti Departemen Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Daerah, Koperasi Unit Desa, Kelompok Nelayan dan Petani Ikan, Bank dan sejenisnya. Dari perspektif ekonomi, lembaga dalam artian organisasi biasanya menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh mekanisme pasar tetapi melalui mekanisme administrasi atau komando. Pasar dapat menjadi batas eksternal dari suatu organisasi, akan tetapi secara internal aktivitas ekonomi dikoordinasikan secara administrasi (Pakpahan dalam Kusrini, 2003). Kelembagaan menyangkut berbagai aturan atau prosedur tentang bagaimana corak tingkah laku manusia dalam melaksanakan sesuatu, aturan-aturan atau organisasi yang mendapatkan suatu status atau legitimasi tertentu. Selanjutnya dinyatakan bahwa kita tidak dapat melihat, merasakan, mengatakan atau bahkan mengukur institusi tersebut, hal ini dikarenakan institusi tersebut hanya terbentuk di dalam alam pikiran manusia. Selanjutnya Pakpahan dalam Kusrini (2003), menjelaskan bahwa kelembagaan dicirikan oleh tiga hal, yaitu: batas yurisdiksi, hak-hak kepemilikan (property right) yang berupa hak atas benda materi maupun non materi, aturan representatif (rule of the representative). Perubahan kelembagaan dicirikan oleh satu atau lebih unsur-unsur kelembagaan tersebut. a. Batas Yurisdiksi Menentukan apa dan siapa yang tercakup dalam suatu institusi dalam suatu masyarakat ditentukan oleh batas yurisdiksi yang berperan dalam mengatur alokasi
42
sumber daya. Konsep batas yurisdiksi dapat berarti batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu institusi, atau mengandung makna kedua-duanya. Dalam istilah pemerintah daerah misalnya terkandung makna bagaimana batas yurisdiksi berperan dalam mengatur alokasi sumber daya. Faktor-faktor yang mempengaruhi performa apabila terjadi perubahan batas yurisdiksi antara lain : -
Perasaan sebagai suatu masyarakat. Menentukan siapa yang termasuk kita dan siapa yang termasuk mereka. Hal ini erat kaitannya dengan konsep jarak sosial akan menentukan kadar komitmen yang dimiliki oleh suatu masyarakat terhadap suatu kebijaksanaan.
-
Eksternalitas. Satuan analisis dalam mempelajari institusi adalah transaksi yang mencakup transaksi melalui mekanisme pasar, administrasi atau hibah. Dalam transaksi selalu menjadi transfer sesuatu yang dapat berupa manfaat, ongkos, informasi, hak-hak istimewa, kawajiban dan lain-lain, baik sesuatu yang ditransaksikan apakah bersifat internal atau eksternal ditentukan oleh batas yuridiksi. Perubahan batas yuridiksi akan mengubah struktur eksternalitas yang akhirnya mengubah siapa yang menanggung apa.
-
Homogenitas. Homogenitas preferensi dan kepekaan politik ekonomi terdapat perbedaan preferensi merupakan hal yang terpenting dalam menentukan batas yuridiksi, terutama dalam hal merefleksikan permintaan terhadap barang dan jasa. Apabila barang dan jasa harus dikonsumsi secara kolektif, maka isu batas yuridiksi menjadi penting dalam merefleksi preferensi konsumen dalam aturan pengambilan keputusan. Homogenitas preferensi dan distribusi individu masyarakat memiliki preferensi yang berbeda akan mempengaruhi jawaban atas pertanyaan siapa yang memutuskan.
-
Skala Ekonomi. Konsep ini memegang peranan penting dalam menelaah permasalahan batas yuridiksi. Dalam pengertian ekonomi, skala ekonomi menunjukkan suatu situasi di mana ongkos per satuan terus menurun apabila output ditingkatkan. Batas yuridiksi yang sesuai akan menghasilkan ongkos per satuan yang lebih rendah dibanding dengan alternatif batas yuridiksi yang lainnya.
b. Hak Kepemilikan (Property Right)
43
Property Right mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban yang didefinisikan dan diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya, situasi atau kondisi. Dalam bentuk formal, property right merupakan produk dari sistem hukum formal. Dalam bentuk lainnya merupakan produk dari tradisi atau adat kebiasaan dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu tidak seorang pun yang dapat menyatakan hak milik tanpa pengesahan dari masyarakat dimana dia berada. Implikasi dari hal ini adalah: (1) hak seseorang adalah kewajiban orang lain, (2) hak seperti dicerminkan oleh kepemilikan adalah sumber kekuatan yang akses dan kontrol terhadap hak miliknya. Hak tersebut dapat di peroleh melalui berbagai cara seperti melalui pembelian apabila barang dan jasa dimaksud boleh dijualbelikan, melalui pemberian atau hadiah dan melalui pengaturan administrasi. Memiliki property right berarti memiliki kekuasaan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan penggunaan sumberdaya untuk menciptakan ongkos bagi orang lain apabila ia menginginkan sumberdaya yang dimiliki tersebut. c.
Aturan Representasi Aturan representasi mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi
dalam proses pengambilan keputusan yang berhubungan dengan sumber daya yang dibicarakan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap performance akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Aturan representasi menentukan jenis keputusan yang dibuat, oleh karena itu berperanan penting dalam menentukan alokasi dan distribusi sumber daya yang langka. Sehingga aturan representasi merupakan subjek analisis ekonomi. Menurut Anwar (2002), bahwa penentuan kelembagaan (institusional) yang tepat akan dapat mengatur penggunaan dan alokasi sumberdaya atau input kearah efisiensi yang tinggi, keadilan (fairness) kearah pembagian yang lebih merata, dan aktifitas ekonomi dapat langgeng (sustainable). Langkah awal guna mencapai efisiensi dalam alokasi sumberdaya secara optimal adalah perlunya pembagian pekerjaan (division of labor), sehingga setiap pekerjaan dapat dilaksanakan secara profesional dengan produktivitas yang tinggi. Peningkatan pembagian pekerjaan selanjutnya akan
44
mengarah kepada spesialisasi ekonomi, sedangkan kelanjutan dari spesialisasi adalah peningkatan efisiensi dan produktivitas yang semakin tinggi.
Sebagai akibat dari
kondisi di atas maka setiap individu tidak mampu lagi berdiri sendiri. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan individu diperoleh dari individu atau pihak lain, melalui suatu pertukaran (exchange/trade), yang dalam ekonomi disebut transaksi ekonomi. Agar transaksi ekonomi tersebut berlangsung dengan baik maka perlu adanya koordinasi antar berbagai pihak dalam sistem ekonomi dan aturan representasi dari pihak-pihak yang berkoordinasi tersebut (Anwar dan Siregar, 1993). Selanjutnya menurut Anwar (2002), meskipun terdapat banyak ragam dan sistem koordinasi yang terjadi dalam dunia nyata, akan tetapi pada dasarnya ada dua bentuk koordinasi yang utama yaitu koordinasi untuk keperluan; 1) transaksi melalui pasar, dimana harga-harga menjadi panduan dalam mengkoordinasikan alokasi sumberdaya, 2) transaksi melalui sistem organisasi yang berhirarki di luar sistem pasar (extra market institution) dimana otoritas dan kewenangan berperan sebagai koordinator dalam mengatur alokasi sumberdaya. Mekanisme transaksi ekonomi melalui koordinasi yang terjadi apakah dalam bentuk pasar atau sistem organisasi tergantung dari persyaratan informasi yang terjadi disetiap kondisi disamping besarnya biaya transaksi. Apabila informasi bersifat sempurna (perfect information) dan biaya transaksi relatif rendah, maka transaksi ekonomi akan terjadi melalui pasar, sebaliknya apabila informasi tidak sempurna (imperfect information) dan biaya transaksi relatif mahal, maka transaksi ekonomi atau koordinasi akan terjadi melalui sistem organisasi atau kelembagaan (Anwar dan Siregar, 1993). Berbagai bentuk aturan permainan baik yang bersifat formal maupun informal yang mengatur hubungan antara masyarakat nelayan dapat dijumpai di desa pantai di seluruh Indonesia. Dari bentuk tersebut ada 4 sistem organisasi/kelembagaan ekonomi yang sering ditemui yaitu : kelembagaan sistem bagi hasil, kelembagaan hubungan kerja, kelembagaan pemasaran dan kelembagaan perkreditan. Fakta menunjukan bahwa keempat bentuk kelembagaan ini tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Pada umumnya masyarakat nelayan sering terlibat dalam hubungan ganda. Scott dalam
45
Anwar (2002), menyatakan bahwa masyarakat petani termasuk nelayan mempunyai hubungan paternalistik yang telah berlangsung sejak zaman dulu. Seseorang atau kelompok menjadi pengikut (client) dari lapisan atasnya dan sekaligus menjadi pimpinan (patron) lapisan bawahnya. Sebagai patron adalah orang yang berada dalam posisi pembantu clientnya. Menurut Anwar (2002), masyarakat nelayan yang bermukim di wilayah pesisir mempunyai institusi tradisional yang telah lama dianut dan di pegang secara turun temurun hingga sekarang dalam hal pengelolaan sumberdaya perairan secara berkelanjutan, sebagaimana kelembagaan adat pada kehutanan maupun perladangan. Institusi ini bertanggung jawab terhadap manajemen lingkungan menurut keahlian orang-orang/ anggota yang terlibat dalam kegiatan produksi tradisional tersebut. Praktek institusi yang berdasarkan tradisi lokal sangat dihormati oleh masyarakatnya. Tetapi kemudian institusi lokal tingkat desa ini terhegemoni oleh pemerintah melalui peran kepala desanya yang melaksanakan campuran kekuasaan. Kekuasaan ini merupakan perwakilan sebagai kepala desa yang mana tugas-tugas yang diemban sering tidak konsisten dan bahkan selalu berseberangan dengan peranan institusi lokal yang bertanggung jawab dalam pengelolaan dalam sumberdaya guna meningkatkan kesejahteraan
anggota
masyarakatnya
sebagai
upaya
menuju
pembangunan
berkelanjutan. Untuk lebih jelasnya, bagan alur struktur kelembagaan tradisional dalam wilayah pesisir dapat dilihat pada Gambar 3. 2.5.1. Kelembagaan Bagi Hasil Sistem bagi hasil merupakan suatu kelembangan perikanan yang terdapat di desa pantai yang sering kali masih bersifat asli dan merupakan adat kebiasaan masyarakat nelayan secara turun temurun. Pada umumnya sistem bagi hasil yang berlaku adalah : 1) pembagian hasil antara pemilik modal dan operator, 2) pembagian antara operator (juragan laut dan anak buah kapal). Besarnya bagian untuk masing-masing golongan nelayan dapat berbeda, tergantung pada teknologi yang diterapkan dan komponen biaya yang di tanggung masing-masing pihak.
46
Kepala Kampung/Desa
Kepala Desa
Kepala Sungai/perikana
Sungai
Keluarga elit kekerabatan, Dewan desa, Dewan kekarabatan yang diperluas
Orang yang bertanggung jawab dalam perladangan /gembala
Orang yang bertanggung jawab dalam perikanan
Tebat ikan
Orang yang bertanggung jawab dalam pertanian
Gembala / Ladang
Pertanian
Gambar 3. Diagram struktur tradisoinal dalam wilayah pesisir (Anwar, 2002). Dalam upaya meningkatkan kesejatraan nelayan dan pemerataan hasil sumberdaya perikanan sesuai dengan kontribusi masing-masing pihak pengelola sumberdaya tersebut,pemerintah telah mencoba mengatur sistem bagi hasil perikanan melalui UU No. 16 Tahun 1964 (tentang bagi hasil perikanan), tapi sampai saat ini penerapan UU tersebut banyak mengalami hambatan, dikarenakan sistem bagi hasil perikanan lebih merupakan ikatan antara nelayan pemilik dan nelayan buruh yang bersifat lokal dan sangat berbeda antar daerah maupun peralatan yang digunakan (Taryoto et al. dalam Kusrini, 2003). Kelembagaan bagi hasil perikanan sebetulnya sudah melembaga jauh
47
sebelum diundangkannya UU No.16 tahun 1964 yaitu yang dibuat oleh masyarakat komunal setempat. Banyak kelembagaan yang mengandung aspek-aspek pengaturan komunal dan pengelolaan wilayah pantai seperti Sasi di Maluku yang dapat berfungsi sebagai kontrol dalam pengelolaan sumberdaya alam yang sustainable. Namun demikian pemerintah kurang menghargai arti dari kelembagaan ini, maka secara de facto sumberdaya perairan menjadi akses terbuka di sebagain besar perairan Indonesia (Anwar, 1994). 2.5.2. Kelembagaan Hubungan Kerja. Sistem hubungan kerja yang mutualistik ini merupakan suatu hubungan kerja antara pihak yang memiliki kelebihan dan juga sekaligus kekurangan dalam mengakses sumberdaya tertentu. Pemilik modal yang punya kelebihan akses modal, tetapi kekurangan akses tenaga kerja. Sebaliknya terjadi pada pihak pekerja. Pada kondisi ini masing-masing pihak menyadari kelebihan dan kekurangannya, sehingga dapat menempatkan diri pada posisi yang wajar sesuai dengan apa yang ada pada diri kita masing-masing pihak tersebut. Di beberapa wilayah pesisir Indonesia, sistem kelembagaan ini memiliki karakteristik tersendiri seperti di Sulawesi Selatan dikenal hubungan antara Punggawa – Sawi, di Pantai Utara Jawa dikenal hubungan antara Juragan – Pendega, sedangkan di Sumatera Utara terdapat hubungan antara tauke – nelayan (Mintoro, 1993). 2.5.3. Kelembagaan Pemasaran dan Perkreditan Lembaga pemasaran yang dimaksud adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi pemasaran dimana barang-barang bergerak dari pihak produsen sampai ke konsumen. Termasuk dalam kelembagaan ini adalah produsen, pedagang perantara dan lembaga pemberi jasa lainnya. Pemilihan saluran pemasaran yang panjang tentunya akan melibatkan berbagai stakeholder dalam saluran tersebut. Semakin panjang suatu rantai pemasaran, semakin tinggi harga akhir ditanggung konsumen dibandingkan harga jual pertama dari tangan produsen. Kelebihan ini mencerminkan insentife yang dikehendaki oleh pelaku rantai pemasaran sebagai pengganti dari fungsi pengangkutan, pergudangan, grading dan lain-lain yang mereka keluarkan (Karsyono dan Syafaat dalam Kusrini, 2003).
48
Menurut Kusnadi (2001), pada negara berkembang pekerjaan sebagai nelayan tidak selalu menyenangkan karena rasionalisasi dari hubungan kredit dan pemasaran (proses ekonomi). Keadaan ini disebabkan oleh lima hal, yaitu : 1) kondisi pasar yang bersifat bersaing sempurna, sehingga usaha ini mengarah pada monopoli, 2) hubungan nelayan kecil dengan para trader dalam bentuk kontrak cenderung menguntungkan trader, 3) berkaitan dengan permintaan dan penawaran ikan melalui penjualan ikan oleh nelayan kecil yang diikat dengan bunga yang tinggi sebagai imbalan kredit yang diterimanya dari trader, sehingga trader bebas melakukan proteksi melalui struktur pasar monopsonistik. Adanya kredit tersebut, mengharuskan nelayan untuk menjual hasil tangkapannya kepada trader dengan harga yang relatif rendah, sebagai angsuran pembayaran hutang, 4) tidak adanya organisasi nelayan yang solid, sehingga lebih menguntungkan pedagang dan pabrik pengolahan ikan, 5) adanya hubungan kumulatif antara pemberi kredit dengan penerima kredit dalam pemasaran hasil-hasil perikanan mengikuti mekanisme yang dikembangkan sepanjang waktu. Dengan sikap nelayan yang serba tergantung, maka sumber kredit yang paling penting bagi nelayan adalah pedagang pengumpul. Pedagang tidak hanya memberi kredit dalam bentuk uang tetapi juga dalam bentuk alat produksi dan kebutuhan lainnya dengan jaminan adalah nelayan harus menjual hasil tangkapannya dengan harga yang telah disepakati sebelumnya, yang tentunya relatif rendah dari harga pasar, hal ini mencerminkan semakin lemahnya bargaining position nelayan (Sidik et al. dalam Kusrini, 2003).
49
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Paradigma pembangunan pada masa Orde Baru yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi makro dan stabilitas keamanan yang dilakukan melalui sistem sentralisasi dan pendekatan sektoral serta fokus pembangunan yang berorientasi pada wilayah-wilayah daratan (mainland) sudah seharusnya dikikis habis seiring dengan era otonomisasi. Untuk itu maka, orientasi pembangunan secara nasional harus mengarah pada konsep pembangunan regional yang berimbang. Mengingat karakteristik wilayah negara kita sangat beragam dan berbentuk kepulauan, maka
pembangunan
direncanakan harus juga berdasarkan pada karakteristik wilayah pulau sehingga dapat mengurangi kesenjangan antar pulau-pulau besar dengan pulau kecil, kota dengan desa, pusat pemerintahan dengan wilayah hinterland/pulau-pulau terluar, serta memperkuat keterkaitan antar spasial, sektoral dan pelaku pembangunan. Di Kabupaten Halmahera Utara terdapat gugusan pulau-pulau kecil (Kepulauan Morotai) yang merupakan wilayah pulau-pulau kecil perbatasan maritim antara Indonesia dengan Republik Palau. Sebagai pulau-pulau kecil terluar, kepulauan ini mempunyai kondisi wilayah yang tertinggal, baik sumber daya manusia, tingkat kesejahteraan ekonomi, dan infrastruktur wilayah. Hal ini dapat terjadi karena wilayahwilayah terluar selama ini dibangun berdasarkan pada pendekatan keamanan (security aproach) di bandingkan dengan pendekatan kesejahteraan (prosperity aproach) kondisi tersebut masih dijumpai di kepulauan Morotai dengan keberadaan pangkalan pasukan TNI Angkatan Udara hingga saat ini. Kondisi ini sangat ironis karena kepulauan ini mempunyai letak yang strategis dan potensi sumber daya perikanan yang melimpah di samping sumber daya pertanian/perkebunan, kehutanan dan pariwisata. Kekayaan sumber daya alam ini jika dikelola dengan baik akan memberikan manfaat yang besar, baik untuk masyarakat di Kepulauan Morotai Halmahera Utara, wilayah Maluku Utara maupun kesejahteraan bangsa secara keseluruhan. Kajian komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah menjadi sangat penting dalam upaya pengembangan wilayah di Kepulauan Morotai Kabupaten Halmahera Utara. Kajian ini diharapkan dapat melihat peranan sub sektor perikanan apakah mempunyai keunggulan komparatif dan daya saing di kawasan
lokal dan regional. Sedangkan untuk merencanakan pengembangan wilayah pulau-pulau kecil yang berbasis pada sub sektor perikanan di Halmahera Utara, maka pengembangannya harus berdasarkan pada wilayah-wilayah yang menjadi pusat pelayanan desa maupun wilayah pusat pelayanan pada bidang perikanan. Untuk dapat menentukan pusat-pusat pengembangan/kapasitas pelayanan tersebut maka dilakukan analisis skalogram untuk menentukan hirarki perkembangan desa dan kapasitas pelayanan di bidang perikanan tangkap/cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara. Dalam konteks penulisan tesis ini tentu pertanyaan menarik yang harus dijawab adalah mengapa cakalang, dan bukan budidaya rumput laut atau keramba jaring apung ikan kerapu hidup. Pilihan komoditas cakalang didasarkan pada kajian beberapa aspek, pertama, aspek sosial budaya ; komoditas cakalang merupakan usaha yang telah lama diusahakan oleh masyarakat di Kepulauan Morotai, tentu hal ini sudah menjadi way of life disamping perkebunan kelapa. Dengan usaha yang telah lama tersebut, usaha ini menjadi usaha yang banyak menyerap tenaga kerja. Sedangkan usaha budidaya rumput laut dan kerambah jaring apung ikan kerapu hidup hanya di usahakan oleh masyarakat di tiga desa atau tiga pulau yaitu Desa Kolorai, Desa Galo-Galo Besar, dan Desa NgeleNgele Besar, yang dimulai pada tahun 1994. Perkembangan usaha ini mengalami fluktuatif, kadang usahanya produktif dan kadang merugi, karena memiliki ketergantungan pada pengusaha besar sebagai mitra usaha, terutama dalam penentuan harga. Dengan kondisi tersebut usaha budidaya rumput laut dan ikan kerapu mempunyai serapan tenaga kerja yang kecil dengan stabilitas usaha yang tidak kondusif., kedua, aspek ekonomi ; secara ekonomi usaha perikanan cakalang dapat diusahakan dalam skala kecil atau armada kecil dengan modal yang kecil pula, kemudian potensi pasarpun sangat besar baik pasar lokal, regional, maupun pasar internasional. Sedangkan usaha budidaya rumput laut dan ikan kerapu memerlukan modal yang besar, dan potensi pasarnya sangat tergantung pada pengusaha sebagai mitra usaha nelayan., ketiga, aspek teknis dan ketrampilan ; Untuk komoditas cakalang karena telah lama diusahakan oleh nelayan di Kepulauan Morotai maka secara teknis produksi dan ketrampilan penangkapan sudah menjadi ketrampilan khusus bagi nelayan setempat. Sedangkan budidaya rumpu laut dan kerapu hidup, dalam usahanya sering mengalami kegagalan karena teknis budidaya yang rumit dan ketergantungan terhadap kondisi lingkungan perairan yang sehat menjadi kunci sukses keberhasilan usaha tersebut.
51
Namun dalam pemanfaatan sumber daya perikanan khususnya cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara belum berkembang dengan baik, selain belum didukung dengan prasarana dan sarana yang memadai, secara struktural juga selalu dirugikan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Selain itu, komoditas perikanan cakalang yang diperdagangkan masih dalam bentuk ikan segar (bahan baku), sehingga usaha tersebut secara regional mempunyai nilai tambah dan multiplier effect yang kecil. Dengan itu maka pengembangan wilayah pulau-pulau kecil Halmahera Utara yang mengandalkan sumber daya perikanan cakalang sebagai leading sector harus didahului dengan analisis pemanfaatan sumber daya perikanan cakalang tersebut. Kelembagaan yang memanfaatakan sumber daya perikanan cakalang di wilayah pulau-pulau kecil perbatasan antar negara harus dapat mengakomodir tiga kepentingan besar, yaitu kepentingan ekonomi, ekologi, dan keamanan. Untuk kepentingan ekonomi kelembagaan perikanan cakalang harus dapat mengembangkan usaha perikanan ke arah pengembangan sektor sekunder dan tersier, dengan upaya pemberdayaan ekonomi lokal, sehingga dapat meningkatkan nilai tambah serta dapat membuka akses pasar domestik, pasar antar pulau dan pasar ekspor. Kemudian juga dapat memberikan dukungan keuangan (modal) yang kuat terutama bagi nelayan lokal di kepulauan Morotai, sehingga surplus ekonomi dapat dinikmati oleh pengusaha lokal di Kepulauan Morotai dan sekaligus dapat menekan tingkat kebocoran ekonomi wilayah. Mengingat karakteristik pulau-pulau kecil yang rentan terhadap kerusakan sumberdaya alam, maka kelembagaan perikanannya harus bisa menjaga keseimbangan antara pemenuhan kegiatan produksi dan kelestarian sumberdaya alam. Sedangkan untuk kepentingan keamanan, kelembagaan perikanan cakalang harus dapat mengawasi sekaligus mengurangi kegiatan pencurian ikan (illegal fishing) baik oleh nelayan asing maupun domestik yang tidak memiliki izin. Untuk itu maka bentuk kerjasama regional dan internasional tentang pengembangan dan pemanfaatan sumber daya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai mestinya digalakan. Interkoneksitas antar pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai menunjukan hubungan yang asimetris dengan struktur transportasi darat dan laut yang berbentuk denritik. Kondisi ini menjadikan segala kebutuhan sosial ekonomi terpusat di Desa Daruba Kecamatan Morotai Selatan. Hubungan antara pulau-pulau kecil yang asimetris harus ditangani dengan baik melalui penyediaan prasarana dan sarana sosial ekonomi
52
serta kelembagaan yang dapat mendukung aktivitas sosial ekonomi masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam unggulannya, kalau tidak usaha yang dijalankan oleh masyarakat di Kepulauan Morotai akan mengalami inefisiensi (high cost), Kajian keterkaitan aspek keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah, pengembangan wilayah yang mempunyai hirarki/kapasitas pelayanan di bidang perikanan, pemafaatan sumber daya perikanan tangkap khususnya komoditas cakalang dan kelembagaannya, serta networking antara pulau-pulau kecil diharapkan dapat mengembangkan wilayah pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara, sehingga dapat mengurangi kesenjangan antar wilayah, memperkuat keterkaitan spasial, sektoral, dan pelaku usaha, serta mengembangkan wilayah Kepulauan Morotai menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru. Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut di atas maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: 1. Keunggulan komparatif dan kompetitif di Kepulauan Morotai Halmahera Utara belum berbasis pada sub sektor perikanan. 2. Pengembangan wilayah khususnya untuk bidang perikanan di Halmahera Utara belum berdasarkan pada wilayah yang mempunyai tingkat pusat pelayanan fasilitas perikanan yang tinggi. 3. Pemanfaatan sumber daya perikanan cakalang oleh nelayan di Kepulauan Morotai Halmahera Utara belum optimal. 4. Kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara belum sinergi dan terkoordinasi dengan baik. 5. Desa Daruba merupakan tempat transit aktivitas sosial ekonomi masyarakat dan sebagai pusat pelayanan di Kepulauan Morotai Halmahera Utara. 3.2. Pendekatan Umum Studi Untuk melakukan kajian pengembangan wilayah pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara, dilakukan kajian melalui tiga pendekatan/aspek utama, pada Gambar 4, yaitu aspek kewilayahan, aspek potensi sumberdaya alam, dan aspek kelembagaan. Kajian ketiga aspek ini dilakukan untuk melihat potensi dan peranan sub sektor unggulan, desa-desa sebagai pusat pelayanan dan pusat pelayanan fasilitas perikanan, networking antara pulau-pulau kecil, tingkat pemanfaatan perikanan cakalang dan pola kelembagaannya.
53
Pengembangan Wilayah Pulau-pulau Kecil: • Mengurangi kesenjangan antar Wilayah • Memperkuat keterkaitan spasial, sektoral dan pelaku usaha. • Mengembangkan wilayah potensial menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru
Potensi & Pemanfaatan SD Ikan Cakalang
ASPEK WILAYAH
KEUNGGULAN KOMODITAS
Perkembangan Wilayah
Networking Pulau-pulau Kecil
ANALISIS LQ, SSA
KELEMBAGAAN
LEMBAGA PEMDA
Model Bioekonomi GORDONSCHAEFER
DESKRIPTIF KUALITTF
NELAYAN & PENGUSAHA
DESKRIPTIF KUALITTF
ANALISIS Skalogram
Deskriptif Kualitatif dan Spasial Lestari
Ekonomi
ANALISIS OPTIMASI
SHARE SEKTOR
Gambar 4. Pendekatan Kajian Pengembangan Wilayah Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara.
54
Pada aspek wilayah, analisis yang pertama dilakukan untuk melihat sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif, analisis ini menggunakan metode Locational Quotient (LQ) dan metode analisis Shift Share (SSA), untuk itu dalam analisis ini menggunakan data PDRB kabupaten/kota di Provinsi Maluku Utara tahun 2000 dan 2004. Kajian ini dilakukan pada dua tahap, pada tahap yang pertama dengan metode analisis LQ dan SSA dimaksud untuk melihat sub sektor-sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif di Kabupaten Halmahera Utara, kemudian tahap yang kedua dari hasil analisis LQ dan SSA tersebut dikaji secara deskriptif untuk menganalisis sub sektor yang mempunyai potensi unggulan di wilayah Kepulauan Morotai. Kemudian pada aspek wilayah yang kedua dilakukan analisis skalogram untuk melihat desa-desa di Kabupaten Halmahera Utara yang berperan sebagai pusat pelayanan, analisis ini menggunakan data potensi desa (Podes) tahun 2005. Dan analisis skalogram yang kedua dilakukan untuk melihat pusat pelayanan fasilitas perikanan tangkap di Kabupaten Halmahera Utara dengan basis wilayah studi adalah wilayah kecamatan, analisis ini menggunakan data statistik perikanan Halmahera Utara. Sedangkan pada aspek wilayah yang ketiga yaitu analisis networking antar pulau-pulau kecil. Analisis ini dilakukan untuk melihat bagaimana networking pulaupulau kecil di Kepulauan Morotai. Dengan menggunakan metode deskriptif, kajian ini dimaksud untuk melihat networking pulau-pulau kecil yang berbasis pada pengelolaan sumberdaya alam, kebutuhan prasarana dan sarana sosial ekonomi, serta networking pulau-pulau kecil berbasis pada suku/etnis. Pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang dianalisis dengan menggunakan metode bioekonomi yang menggunakan model Gordon-Schaefer. Analisis ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai yang dapat menghasilkan manfaat ekonomi yang tinggi bagi nelayan, namun kelestarian sumberdaya perikanan tetap terjaga. Data yang digunakan adalah data produksi perikanan cakalang dan jumlah trip dari armada perahu yang menggunakan alat tangkap pole and line dan hand line.
55
Sedangkan pada aspek kelembagaaan analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif untuk melihat pola kelembagaan pemerintah daerah, kelembagaan pengusaha, dan kelembagaan nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai. Untuk melihat pola kelembagaan perikanan cakalang di Kepulauan Morotai dilakukan analisis mengenai peran dan fungsi serta interaksi dari masing-masing lembaga tersebut dalam pengelolaan sumberdaya perikanan cakalang, selanjutnya pola kelembagaan ini dikaji dalam tiga aspek yaitu aspek yurisdiksi, aspek hak-hak kepemilikan (property right), dan aspek aturan representasi (rule of representative). Ketiga aspek utama yang menjadi pendekatan studi tersebut di atas dilakukan untuk melihat bagaimana pengaruh aspek kewilayahan dan kelembagaan terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan cakalang yang merupakan komoditas unggulan di wilayah Kepulauan Morotai. Kajian ini diharapkan dapat menemukenali permasalahanpermasalahan wilayah dan kelembagaan yang menjadi faktor pendukung untuk pengembangan komoditas cakalang sebagai komoditas unggulan pada sub sektor perikanan di Kepulauan Morotai, sehingga diharapkan kajian ini dapat menjadi solusi bagaimana meningkatkan peranan sub sektor perikanan di Kepulauan Morotai sebagai sektor pemimpin (leading sector) untuk mengembangkan wilayah pulau-pulau kecil tersebut. Perkembangan sub sektor perikanan di harapkanpula dapat mengembangkan wilayah Kepulauan Morotai sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru sekaligus dapat mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah, memperkuat keterkaitan spasial, sektoral, dan pelaku usaha. 3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian berlokasi di Kepulauan Morotai Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara. Penentuan lokasi dilakukan secara purposive sampling dengan mempertimbangkan desa pantai (pulau) yang mempunyai kultur masyarakat nelayan serta tingginya aktivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan di desa tersebut. Pengambilan sampel untuk penelitian ini dilakukan pada 8 desa, dan atau 4 pulau di 3 kecamatan, yaitu Desa Galo-galo (Pulau Galo-galo), Desa Kolorai (Pulau Kolorai), Desa Ngele-Ngele Besar (Pulau Ngele-ngele besar), Desa Daeo, Desa Sangowo, Desa Daruba, Desa Tilei dan Desa Usbar (Pulau Morotai).
56
Waktu yang dibutuhkan dalam penelitian ini selama 12 bulan sejak tahap persiapan hingga penulisan draft tesis, seminar hasil penelitian dan ujian, yang dimulai pada bulan April 2006 sampai dengan April 2007. 3.4. Metode Pegumpulan Data Responden yang dimaksud dalam penelitian ini adalah rumah tangga nelayan yang bermukim di wilayah Kepulauan Morotai. Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Purposive sampling (secara sengaja), di mana sampel ditarik secara sengaja dari berbagai kelas rumah tangga nelayan, ketua kelompok perikanan, pengusaha dan unsur pemerintah di daerah dengan pertimbangan bahwa responden mampu berkomunikasi dengan baik dalam pengisian kuisioner (Fauzi, 1999). Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 90 responden, dengan rincian sebanyak 75 responden untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang dan 15 responden untuk aspek kelembagaan. Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari : a. Data primer (cross section) yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan responden dengan menggunakan daftar pertanyaan/kuisioner yang terstruktur sesuai dengan tujuan penelitian. Wanwancara pada kelompok pertama yaitu terkait dengan aspek pemanfaatan sumberdaya perikanan yang dilakukan pada nelayan di Kepulauan Morotai sebanyak 75 nelayan/responden seperti pada Tabel 3. Sedangkan wawancara pada kelompok yang kedua yaitu terkait dengan aspek kelembagaan yang dilakukan pada unsur kelembagaan pengusaha 1 responden, unsur kelembagaan pemerintah daerah (instansi terkait) sebanyak 4 responden yaitu Dinas Perikanan Provinsi Maluku Utara, Dinas Perikanan Halmahera Utara, Pangkalan Angkatan Laut Ternate, dan Pangkalan Angkatan Udara Morotai, dan unsur kelembagaan nelayan sebanyak 10 responden yaitu di Desa Sangowo 3 kelompok, Desa Daeo 1 kelompok, Desa Daruba 1 kelompok, Desa Kolorai 1 kelompok, Desa Galo-Galo Besar 1 kelompok, Desa Ngele-Ngele Besar 1 kelompok, Desa Tiley 1 kelompok, dan Desa Usbar 1 kelompok, sehingga total untuk responden aspek kelembagaan sebanyak 15 responden.
57
Tabel 3. No.
Komposisi Jumlah Nelayan, Sampel Nelayan dan Prosentase Menurut Kecamatan Tahun 2003, pada Dua Kecamatan di Kepulauan Morotai. Kecamatan
Jumlah Nelayan
Sampel Nelayan
Prosentase
1.
Morotai Selatan
1.358
56
4.12
2.
Morotai Selatan Barat
1.212
19
1.57
Jumlah
2.570
75
2.92
Sumber : BPS Kabupaten Halmahera Utara 2004. b. Data sekunder (time series) yang diperoleh dari publikasi resmi seperti kantor Desa, kantor Kecamatan, Bappeda, Biro Pusat Statistik, dan Dinas Perikanan, Dinas perhubungan serta hasil penelitian lain yang ada kaitannya dengan penelitian ini. Data sekunder yang diperlukan berkaitan erat dengan keragaan perikanan, ekonomi wilayah, interaksi wilayah, dan deskripsi wilayah penelitian yang meliputi aspek fisik, sosial, ekonomi, budaya dan kelembagaan (formal/informal) yang mampu menjelaskan dinamika kelembagaan masyarakat dan pemerintah daerah terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang dan pengembangan perekonomian wilayah di Kepulauan Morotai. 3.5. Analisis Data 3.5.1. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Wilayah A. Analisis Sub Sektor Unggulan di Kabupaten Halmahera Utara. Untuk mengkaji keunggulan komparatif dan kompetitif sektor/ sub sektor di Kabupaten Halmahera Utara dilakukan dengan menggunakan analisis Location Quotient (LQ) dan Shift- Share Analysis (SSA) (Shukla, 2000). (1) Analisis Location Quotient Analisis dengan model Location Quotient (LQ) ini digunakan untuk melihat sektor basis atau non basis dari suatu wilayah perencanaan dan dapat mengidentifikasi sektor unggulan atau keunggulan komparatif suatu wilayah. Pendekatan dengan menggunakan metode LQ ini adalah dengan menganalisis nilai PDRB sub sektor I di seluruh wilayah Provinsi Maluku Utara. Hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
58
LQij =
X ij / X i. X . j / X ..
Di mana: X ij = jumlah PDRB masing-masing sub sektor di wilayah ke-i
X i. = jumlah PDRB Total di wilayah ke-i X . j = jumlah PDRB Total suatu sub sektor di semua wilayah ke-i
X .. = jumlah PDRB Total di seluruh wilayah Provinsi Maluku Utara Kriteria penilaian dalam penentuan ukuran derajat basis dan non basis adalah jika nilai indeks LQ lebih besar dari satu (LQij > l) maka sektor tersebut merupakan sektor basis sedangkan bila nilai sama atau lebih kecil dari satu (LQij < 1) berarti sektor tersebut termasuk dalam sektor non basis pada kegiatan ekonomi wilayah kabupaten tersebut. (2) Analisis Shift Share (SSA) Shift share analysis digunakan untuk mengidentifikasi keunggulan kompetitif suatu wilayah atau suatu sektor dan menghitung seberapa besar share sektor-sektor terhadap pertumbuhan sektor-sektor yang bersesuaian di tingkat kabupaten Halmehera Utara. Dengan melihat nilai share dapat diketahui sektor ataupun wilayah yang dapat memberikan kontribusi terbesar (keunggulan kompetitif) terhadap pertumbuhan di wilayah yang lebih luas yakni Provinsi Maluku Utara. Pada analisis shift share ini menggunakan indikator PDRB dari setiap sub sektor pada dua titik waktu. Analisis dibagi menjadi tiga komponen, yaitu komponen pertumbuhan regional (Provinsi), komponen pertumbuhan proporsional dan komponen pertumbuhan pangsa lokal (kabupaten/kota), sehingga besar perubahan PDRB sama dengan penjumlahan dari ketiga komponen tersebut. Adapun tahapan-tahapan perhitungannya adalah sebagai berikut : 1. Menghitung besarnya pergeseran/perubahan secara agregat di tingkat regional (regional agregat shift share), yaitu pertumbuhan ekonomi tingkat Provinsi (RASS). Hasil perhitungan ini dapat menunjukan maju atau lambatnya perubahan perekonomian di tingkat Provinsi Maluku Utara.
59
2. Menghitung besarnya pergeseran secara sektoral tanpa memperhatikan lokasi (proportional shift share), yaitu rasio PDRB per sub sektor tahun akhir dan tahun awal minus rasio PDRB Provinsi tahun akhir dan tahun awal (PSS). Hasil perhitungan ini akan diketahui sektor-sektor yang relatif maju atau lamban di setiap Provinsi Maluku Utara. 3. Menghitung komponen pertumbuhan pangsa lokal (differential shift share), yaitu rasio PDRB setiap sub sektor dari seluruh sektor di setiap Kabupaten/Kota tahun akhir dan tahun awal (DSS). Dari hasil perhitungan ini akan diketahui sub sektorsub sektor yang relatif maju atau lambat di setiap kabupaten/kota dalam setiap sektor. Secara matematis ketiga komponen tersebut dapat ditulis sebagai berikut : RASS =
X ..' −1 X ..
PSS J =
X .' j X.j
−
X ..' X ..
DSS ij =
X ij' X ij
−
X .' j X.j
Di mana: j
= indeks sektor, j = 1, 2, 3, ……n
n
= banyaknya kabupaten/kota
s
= banyaknya sub sektor
X ij' = jumlah PDRB ke-i dan kabupaten/kota ke-j tahun akhir analisis X ij = jumlah PDRB ke-i dan kabupaten/kota ke-j tahun awal analisis
X .' j = jumlah PDRB ke-i tahun akhir analisis X . j = jumlah PDRB ke-i tahun awal analisis X ..'
= jumlah PDRB Provinsi tahun akhir analisis
X .. = jumlah PDRB Provinsi tahun awal analisis B. Analisis Sub Sektor Unggulan di Kepulauan Morotai Halmahera Utara Dalam menganalisis sub sektor unggulan di Kepulauan Morotai Halmahera Utara dilakukan dengan menggunakan metode analisis deskriptif. Perbedaan metode analisis sub sektor unggulan di Kepulaun Morotai dengan analisis sub sektor unggulan di tingkat Kabupaten Halmahera Utara disebabkan karena adanya keterbatasan data pada basis wilayah kecamatan di Kepulauan Morotai, sehingga
60
analisis deskriptif ini didasarkan pada hasil analisis LQ dan SSA di tingkat Kabupaten Halmahera Utara serta pada komoditas yang memiliki potensi supply dan demand yang besar, komoditas yang memiliki orientasi pasar ekspor dan komoditas yang memiliki penyerapan tenaga kerja sangat besar di Kepulauan Morotai. 3.5.2. Analisis Hirarki/Pusat Perkembangan Wilayah Wilayah didefinisikan sebagai area geografis yang mempunyai ciri tertentu dan merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi. Dari definisi tersebut, dapat diturunkan tipologi-tipologi wilayah berdasarkan sifat hubungannya, fungsi masing-masing komponennya atau berdasarkan pertimbangan sosial, ekonomi maupun politis lainnya. Diantara tipologi-tipologi yang ada terdapat salah satu tipologi yang disebut dengan tipologi wilayah nodal. Berdasarkan konsep wilayan nodal tersebut, pusat atau hinterland suatu wilayah dapat ditentukan dari kelengkapan fungsi pelayanan suatu wilayah. Secara teknik hal tersebut dapat dilakukan dengan mengidentifikasi jumlah dan jenis fasilitas tertentu dan sebagainya. Unit wilayah yang mempunyai jumlah dan jenis fasilitas dengan kuantitas dan kualitas yang secara relatif paling lengkap dibandingkan dengan unit wilayah yang lain akan menjadi pusat atau mempunyai hirarki lebih tinggi (Panuju et al. 2005). Metode yang digunakan untuk menentukan hirarki wilayah adalah metode skalogram. Dalam penelitian ini dilakukan dua analisis skalogram, yang pertama analisis pusat/hirarki kapasiatas pelayanan perikanan di wilayah Kabupaten Halmahera Utara dan analisis pusat pelayanan desa di Kabupaten Halmahera Utara. A. Analisis Pusat Pelayanan Fasilitas Perikanan Dalam analisis pusat pelayan fasilitas perikanan ditentukan berdasarkan analisis skalogram, dengan tujuan untuk mendapatkan pusat pelayanan fasilitas perikanan pada wilayah kecamatan di Kabupaten Halmahera Utara. Data yang digunakan adalah data jumlah Perahu Tanpa Motor (PTM), perahu motor tempel (PMT), kapal motor (KM) perikanan, jumlah unit penangkapan dan jumlah perusahaan ikan. Dalam analisis skalogram, pusat pelayanan
fasilitas perikanan ditentukan
berdasarkan Indeks pusat pelayanan fasilitas perikanan. Hirarki tinggi adalah wilayah yang memiliki indeks paling besar. Wilayah kecamatan dengan indeks pusat pelayanan
61
fasilitas perikanan paling besar memiliki fasilitas dengan tingkat kepentingan atau bobot fasilitas paling tinggi dibandingkan wilayah kecamatan lainnya. Indeks pusat pelayanan fasilitas perikanan diformulasikan sebagai berikut: n
IPPFPi. = ∑ I ij j =1
Keterangan :
bj =
I ij = xij .b j
n nj
IPPFPi. =
indeks pusat pelayanan fasilitas perikanan ke-i;
Iij
=
nilai IPPFP ke-i fasilitas ke-j;
xij
=
jumlah unit fasilitas ke-j kecamatan ke-i;
b.j
=
bobot fasilitas ke-j;
n
=
jumlah total kecamatan;
n.j
=
jumlah kecamatan yang memiliki fasilitas ke-j.
B. Analisis Pusat Pelayanan Desa Dalam penelitian ini, hirarki wilayah ditentukan berdasarkan analisis skalogram, dengan tujuan untuk mendapatkan hirarki Desa di Halmahera Utara. Data yang digunakan adalah data jumlah unit berbagai jenis pendidikan, kesehatan dan ekonomi yang terdapat di setiap desa (lampiran 5). Dalam analisis skalogram, hirarki Desa ditentukan berdasarkan Indeks Perkembangan Desa (IPD). Hirarki tinggi adalah Desa yang memiliki IPD paling besar. Wilayah Desa dengan IPD paling besar memiliki fasilitas dengan tingkat kepentingan atau bobot fasilitas paling tinggi dibandingkan wilayah Desa lainnya. IPD diformulasikan sebagai berikut: n
IPD i. = ∑ I ij I ij = xij .b j j =1
Keterangan :
bj =
n nj
IPDi.
=
indeks perkembangan desa ke-i;
Iij
=
nilai indeks perkembangan desa ke-i fasilitas ke-j;
xij
=
jumlah unit fasilitas ke-j desa ke-i;
b.j
=
bobot fasilitas ke-j;
n
=
jumlah total desa;
n.j
=
jumlah desa yang memiliki fasilitas ke-j.
62
C. Arahan Pengembangan Pusat Pelayanan Fasilitas Perikanan Cakalang Arahan pengembangan pusat pelayanan fasilitas perikanan cakalang ditentukan berdasarkan pada wilayah yang mempunyai indeks pusat pelayanan fasilitas perikanan (IPPFP) tertinggi. Setelah mendapatkan kecamatan yang memiliki IPPFP tertinggi dengan metode sistem informasi geografis (GIS) dioverleykan dengan indeks perkembangan desa (IPD) yang tertinggi di kecamatan tersebut untuk mendapatkan arahan pengembangan pusat pelayanan fasilitas perikanan cakalang di Kabupaten Halmahera Utara. 3.5.3. Analisis Bioekonomi Sub Sektor yang mempunyai kontribusi terbesar pada peningkatan ekonomi masyarakat di Kepulauan Morotai adalah sub sektor perikanan tangkap cakalang. Oleh karena itu dalam penelitian ini usaha perikanan yang dikaji adalah usaha perikanan tangkap komoditas cakalang, karena merupakan usaha masyarakat di Kepulauan Morotai yang tekuni sejak dahulukala dan hingga kini telah berorientasi pada pasar ekspor. Untuk mengkaji pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai dalam penelitian ini digunakan analisis bioekonomi model Gordon-Schaefer. Analisis ini dimaksud untuk melihat bagaimana pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang tersebut dapat menghasilkan manfaat ekonomi yang tinggi bagi nelayan, namun kelestarian sumberdaya perikanan tetap terjaga (Fauzi, 2004b). Dalam analisis ini data yang digunakan adalah data time series, yakni produksi perikanan cakalang, jumlah trip, dan armada perahu yang menggunakan peralatan tangkap pole and line dan hand line. Sumber data tersebut diperoleh pada perusahaan perikanan PT. Primarefa Indo Morotai. Kemudian data lainnya adalah data harga-harga input (produksi) dan harga output (harga ikan). Pendekatan analisis adalah analisis statik, dimana perhitungan keluaran model bioekonomi ini menggunakan software Maple versi 8. A. Fungsi Produksi Lestari Perikanan Tangkap Fungsi produksi didasarkan dari konsep dasar biologi perikanan dimana laju pertumbuhan populasi ikan terjadi secara eksponensial namun karena keterbatasan daya
63
dukung lingkungan ada titik maksimum dimana laju pertumbuhan tersebut akan menurun bahkan berhenti (Clark, 1990). Dalam model ini diasumsikan bahwa laju pertumbuhan populasi ikan adalah proporsi perbedaan antara daya dukung (K) dan populasi (x), secara matematis dapat ditulis sebagai berikut : dx = rx ( K − x) dt x = rx(1 − )..............................................................................................(1) K
Dimana r dalam istilah biologi perikanan dikenal dengan intrinsic growth rate, yakni pertumbuhan alamiah. Kurva biologis diatas adalah kondisi dimana perikanan tidak mengalami eksploitasi dan model tersebut dapat dikembangkan dengan memasukkan faktor produksi (effort), sehingga produksi bisa diasumsikan sebagai fungsi dari effort dan stok ikan, yang secara eksplisit dapat ditulis sebagai berikut : h = qxE.................................................................................................. (2) Dimana q merupakan koefisien kemampuan tangkap atau catchability coefficient yang dapat diartikan sebagai proporsi stok ikan yang dapat ditangkap oleh satu unit effort. Dengan adanya aktivitas penangkapan (harvesting model) tersebut, maka persamaan (1) diatas akan menjadi : dx = F ( x) − h dt x = rx(1 − ) − qxE..................................................................................(3) K
Dalam kondisi keseimbangan jangka panjang (long run) laju pertumbuhan (dx/dt = 0) sehingga persamaan diatas dapat ditulis sebagai berikut : qxE = rx(1 −
x ) ....................................................................................(4) K
Sehingga kalau dipecahkan persamaan tersebut untuk x, akan diperoleh : x = K (1 −
qE ) ....................................................................................... (5) r
Berdasarkan persamaan diatas jika disubstitusikan ke dalam persamaan (2), maka akan diperoleh fungsi tangkapan lestari (sustainable yield) yang merupakan hubungan antara tingkat upaya penangkapan dengan produksi lestari (Schaefer, dalam Fauzi, 2004a) sebagai berikut :
64
h = qEK (1 −
qE ) r
................................................................................ (6)
disederhanakan menjadi hMSY = αE - βE2 .................................................................................... (7) dimana: h = hasil tangkapan (ton/thn) E = tingkat upaya penangkapan (trip/tahun) α dan β merupakan parameter fungsi produksi lestari dari regresi linier sederhana (simple linier regresion) antara hasil tangkapan per unit tingkat upaya penangkapan (CPUE) pada berbagai tingkat upaya penangkapan (effort) dengan model sebagai berikut: h = α − βE ........................................................................................... (8) E
Tingkat upaya penangkapan pada saat produksi maksimum lestari (Emsy) : ∂h = α − 2 βE = 0 ∂E
Emsy =
α ............................................................................................. (9) 2β
B. Analisis Keuntungan Ekonomi Model bioekonomi dalam perikanan tangkap dipengaruhi oleh biaya penangkapan (c) dan harga hasil tangkapan (p). Parameter biaya penangkapan (c) dihitung dari rata-rata biaya penangkapan nelayan responden. Analisis bioekonomi model Gordon-Schaefer bertumpu pada asumsi bahwa hanya biaya faktor penangkapan yang diperhitungkan yang dalam hal ini adalah biaya variabel. Dalam penelitian ini, seluruh komponen biaya yang dikeluarkan untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap cakalang dalam jangka panjang (5>) digolongkan sebagai biaya tidak tetap (variable cost). Biaya penangkapan rata-rata dihitung dengan menggunakan rumus rata-rata aritmetrik sebagai berikut:
65
c=
∑ ci ..............................................................................................(10) n
Dimana: c = biaya penangkapan rata-rata (Rp/tahun) ci = biaya penangkapan responden ke-i (Rp/thn) n = jumlah responden (org) Tingkat keuntungan ekonomi (π) dari pengusahaan sumberdaya perikanan cakalang dianalisis melalui pendekatan Gordon-Schaefer (Clark, 1990). Secara matematis dapat dituliskan sebagai:
π = TR – TC = p.h – c. E.......................................................................................(12) dimana : TR = Total Revenue (total penerimaan) TC = Total Cost (total biaya upaya penangkapan) C. Analisis Optimasi Nilai tangkap optimal (hmey) dan upaya tangkap optimal (Emey) menurut GordonSchaefer dalam Fauzi (2000a) secara matematis adalah: max π = p (αE − βE 2 ) − cE ................................................................ (15) ∂π = p (α − 2 β ) − c = 0 ∂E
Sehingga diperoleh tingkat upaya optimal (Emey) dan produksi optimal (hmey) adalah sebagai berikut : E MEY =
αp − c ........................................................................................(16) 2 βp 2
hmey
⎛ αp − c ⎞ ⎛ αp − c ⎞ ⎟⎟ ............................................................ (17) ⎟⎟ − β ⎜⎜ = α ⎜⎜ ⎝ 2 βp ⎠ ⎝ 2 βp ⎠
Sedangkan nilai tangkap (hOA) dan nilai uapaya penangkapan (EOA) pada kondisi open access terjadi jika keuntungan yang diperoleh sama dengan nol (π=0), secara matematis adalah sebagai berikut :
66
p (αE − βE 2 ) = cE .................................................................................(18) Sehingga : E OA =
αp − c ..........................................................................................(19) βp 2
hOA
⎛ αp − c ⎞ ⎛ αp − c ⎞ ⎟⎟ ............................................................. (20) ⎟⎟ − β ⎜⎜ = α ⎜⎜ ⎝ βp ⎠ ⎝ βp ⎠
D. Analisis Sensitivitas Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui seberapa besar perubahan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap dalam hal ini peningkatan upaya penangkapan (effort) dan hasil tangkapan (catch) pada kondisi open access jika terjadi perubahan harga pada beberapa kondisi yang berbeda baik pada harga input (biaya operasional per trip) maupun harga output (harga ikan). Dalam analisis ini perubahan harga tersebut dibuat dalam skenario dan dibandingkan dengan kondisi awal. Asumsi-asumsi Penelitian Asumsi-asumsi yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada asumsi model Gordon-Schaefer, yaitu : 1. Populasi ikan menyebar merata 2. Tidak ada kejenuhan penggunaan unit alat tangkap ikan 3. Semua unit alat tangkap aktif melakukan kegiatan penangkapan ikan 4. Setiap unit alat tangkap mempunyai kemampuan yang sama 5. Biaya total penangkapan ikan adalah konstan 6. Harga ikan per satuan tangkapan adalah konstan. 3.5.4. Analisis Kelembagaan Perikanan Cakalang Analisis kelembagaan perikanan cakalang dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif-kualitatif untuk mengetahui sejauh mana pola kelembagaan komoditas cakalang yang terdapat di pulau-pulau kecil perbatasan Halmahera Utara dalam pemanfataan sumberdaya perikanan cakalang. Unsur kelembagaan yang dianalisis adalah kelembagaan pemerintah daerah, pengusaha, dan kelompok nelayan cakalang.
67
Data diperoleh melalui wawacara langsung di lapangan dengan cara mengisi kuisioner. Materi yang diwawancara adalah fungsi dan peranan, serta interaksi antara lembaga termasuk keterlibatan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam program pembangunan daerah. Kemudian data tentang program dan kegiatan yang dilakukan masing-masing lembaga, serta masalah-masalah yang dihadapi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang. Pengukuran fungsi dan peranan dari unsur lembaga dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang dilakukan secara kualitatif. Data tersebut kemudian diklasifikasi dalam tiga kategori yaitu kategori kurang, cukup, dan baik. Selanjutnya analisis kelembagaan dalam penelitian ini akan dikaji pada tiga aspek yaitu batas yurisdiksi, hak kepemilikan dan aturan reperesentasi. Menurut Pakpahan dalam Kusrini (2003), kelembagaan dicirikan oleh tiga hal, yaitu : batas yurisdiksi, hak-hak kepemilikan (property right) yang berupa hak atas benda materi maupun non materi, aturan representatif (rule of the representative). Perubahan kelembagaan dicirikan oleh satu atau lebih unsur-unsur kelembagaan tersebut. Hasil ini didasarkan dari hasil wawancara ataupun pengisian kuisioner dengan nelayan, instansi terkait, pengusaha dan data-data ataupun literatur penunjang. 3.5.5. Analisis Networking Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Morotai Analisis networking pulau-pulau kecil dilakukan pada tiga basis, pertama; berbasis pada orientasi pengelolaan sumberdaya alam yang terdiri atas komoditas ikan cakalang, ikan kerapu, rumput laut, kopra, dan kayu gelondongan, kedua; berbasis pada prasarana dan sarana sosial ekonomi yang terdiri atas kebutuhan air bersih, kesehatan, pendidikan, dan sembilan bahan pokok (Sembako), serta ketiga; berbasis suku/etnis. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan data primer dan sekunder tentang gambaran orientasi perdagangan komoditas atau pengelolaan sumberdaya alam, kebutuhan prasarana dan sarana sosial ekonomi, serta distribusi suku/etnis di Kepulauan Morotai. Dari data tersebut dipetakan kemudian dibahas secara deskriptif kualitatif. Analisis networking pulau-pulau kecil bertujuan untuk melihat fungsi pulau-pulau tersebut, sebagai supply, sebagai demand, dan pulau yang berfungsi sebagai transit dalam pengelolaan sumberdaya alam, kebutuhan prasarana dan sarana sosial ekonomi,
68
serta distribusi suku/etnis. Untuk itu, analisis ini dilakukan tidak hanya dalam wilayah Kepulauan Morotai tetapi, sampai pada interaksi dengan wilayah lain dalam pengelolaan sumberdaya alam, kebutuhan prasarana dan sarana sosial ekonomi, serta distribusi suku/etnis. Selain itu, dalam analisis ini juga dilakukan identifikasi harga (deferensiasi harga) seperti B/C dan P/C terhadap perdagangan sumberdaya alam dari Kepulauan Morotai ke wilayah lain. 3.6. Batasan Operasional Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : 1. Kelembagaan Perikanan adalah kelembagaan formal yang tertulis yang mengatur hubungan antara nelayan, pemerintah dan pengusaha yang berkaitan dengan hak dan kewajibannya dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang. 2. Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan. 3. Juragan/pimpinan operasi adalah nelayan yang memiliki kapal sekaligus memimpin pelaksanaan kegiatan penangkapan. 4. Anak buah kapal (ABK) adalah nelayan yang kedudukannya sebagai anggota dalam suatu unit penangkapan dan secara aktif melakukan kegiatan penangkapan ikan serta menerima upah atas balas jasanya. 5. Nelayan tradisional adalah nelayan yang dalam melakukan usaha penangkapan menggunakan perahu tanpa motor atau motor tempel. 6. Pemanfaatan sumberdaya perikanan adalah setiap kegiatan penangkapan ikan pada suatu wilayah perairan pesisir/laut. 7. Analisis Bioekonomi model Gordon-Schaefer adalah analisis yang digunakan untuk melihat pemanfaatan perikanan tangkap dengan memadukan aspek biologi dan ekonomi, dengan berdasarkan pada faktor inpit. 8. Alat penangkapan adalah kesatuan teknis dalam suatu organisasi penangkapan ikan, yang biasanya terdiri dari perahu/kapal penangkapan, alat tangkap, peti es, serta peralatan pendukung lainnya. 9. Kegiatan penangkapan adalah operasi penangkapan yang dihitung sejak perahu/kapal meninggalkan pelabuhan/tempat pendaratan menuju daerah operasi
69
dalam mencari lokasi penangkapan, melakukan penangkapan ikan, kemudian kembali lagi ke pelabuhan atau tempat pendaratan lainnya untuk mendaratkan ikan hasil tangkapannya (satuan hari). 10. Produksi perikanan adalah jumlah semua ikan atau hasil laut lainnya yang telah ditangkap dari perairan laut. 11. Produksi lestari adalah jumlah maksimal yang boleh ditangkap dalam suatu perairan pesisir/laut dengan tetap memperhatikan kelestarian stok sumberdaya perikanan (ton/tahun). 12. Harga ikan adalah harga riil yang berlaku di pasaran (rupiah/ton). 13. Lokasi pemasaran adalah tempat penjualan hasil tangkapan ikan yang berada di wilayah Kabupaten Halmahera Utara. 14. Pendapatan bersih/nilai bersih benefit adalah selisih antara peneriman yang diperoleh dari penjualan hasil tangkapan ikan per kegiatan penangkapan dengan biaya yang dikeluarkan tiap operasi penangkapan.
70
Tabel 4. Proses Penelitian Kajian Pengembangan Wilayah Pulau-Pulau Kecil di Halmahera Utara (Tinjauan terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan cakalang) No.
Tujuan
1
Menganalisis sektor/ sub sektor yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif di Kepulauan Morotai Halmahera Utara
2
3
4
5
Metode Analisis
LQ, SSA, dan Deskriptif
Variabel/Parameter
Menganalisis networking pulaupulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara
Mengetahui sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif di Kepulauan Morotai. Mengetahui hirarki/pusat pelayanan perikanan dan wilayah di Kepulauan Morotai
Primer dan Sekunder (Perusahaan Perikanan PT. Primarefa Indo) Sekunder dan Primer (lembaga Pemda, pengusaha dan kelompok nelayan)
Mengetahui tingkat pemanfaatan dan Kondisi SD perikanan cakalang di Kepulauan Morotai. Mengetahui Pola kelembagaan dalam pemanfaatan perikanan cakalang di Kepulauan Morotai.
Peranan, fungsi serta interaksi antar lembaga Deskriptif Kualitatif
Deskriptif Kualitatif dan Spasial
Output yg diharapkan
PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara, Data produksi, tenaga kerja dan pasar komoditas pertanian. Prsarana perikanan Sekunder tangkap, dan prasarana (Dinas Perikanan, dan sarana pendidikan, BPS) kesehatan dan ekonomi.
Menganalisis pusat/ hirarki kapasitas pelayanan fasilitas perikanan Skalogram cakalang dan pusat pelayanan desa di Kepulauan Morotai Halmahera Utara Hasil Produksi, jumlah Menganalisis pemanfaatan sumber trip, dan CPUE. Bioekonomik (Model daya perikanan cakalang oleh Gordon Schaefer) analisis nelayan di Kepulauan Morotai statik Halmahera Utara Mengkaji pola kelembagaan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara
Data dan (Sumber Data) Sekunder (BPS)
Orientasi perdagangan komoditas unggulan, kebutuhan prasarana dan sarana sosial ekonomi, serta distribusi suku/etnis.
Sekunder dan Primer (Bappeda dan BPS).
Mengetahui networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai.
BAB IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Geografi dan Administrasi Pemerintahan Kepulauan Morotai memiliki luas wilayah 1.983,54 Km2, mencakup 30 pulau besar dan kecil, pulau yang dihuni hanya 6 pulau yaitu Pulau Morotai, Pulau Rao, Pulau Kolorai, Pulau Galo-Galo, Pulau Ngele-Ngele Besar dan Pulau Saminyamau. Secara geografis Kepulauan Morotai berada diantara 1280 15’ sampai dengan 1280 48’ Bujur Timur dan 20 00’ sampai dengan 20 40’ Lintang Utara. Kepulauan ini terletak diujung utara Kabupaten Halmahera Utara dengan batas wilayah sebagai berikut: •
Sebelah Utara berbatasan dengan Samudera Pasifik
•
Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Halmahera
•
Sebelah Timur berbatasan dengan Samudera Pasifik
•
Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Morotai Dengan letak geaografis seperti tersebut diatas menjadikan wilayah ini
ditetapkan sebagai wilayah perbatasan antar negara yaitu dengan negara Fhilipina dan Republik Palau. Secara administrasi wilayah Kepulauan Morotai berada pada Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara, berdasarkan keputusan DPRD Kabupaten Halmahera Utara Nomor 01/KPTS/DPRD-HALUT/2006 tentang pemekaran kecamatan dan desa, Wilayah Kepulauan Morotai terbagi menjadi 5 kecamatan dan 64 desa dari sebelumnya 3 kecamatan dan 47 desa. Tambahan 2 kecamatan baru yaitu Kecamatan Morotai Jaya yang beribukota di Sopi merupakan pemekaran dari Kecamatan Morotai Utara, kemudian Kecamatan Morotai Timur yang beribukota di Sangowo merupakan pemekaran dari sebagian wilayah Kecamatan Morotai Utara dan sebagian wilayah Kecamatan Morotai Selatan, kemudian kecamatan lama yaitu Kecamatan Morotai Selatan dengan Ibu Kota Daruba, Kecamatan Morotai Utara dengan Ibu Kota Bere-Bere dan Kecamatan Morotai Selatan Barat dengan Ibu Kota Wayabula. Luas wilayah dan jumlah desa di Kepulauan Morotai sebagai berikut:
Tabel 5. Luas Wilayah dan Jumlah Desa di Kepulauan Morotai Tahun 2006 Kecamatan Morotai Selatan Morotai Selatan Barat Morotai Utara Mortai Jaya Mortai Timur Total :
Luas Wilayah (Km2) 567,50 1.302,92 113,12 1.983,54
Jumlah Desa 20 17 10 9 8 64
Keterangan Kec. lama Kec. lama Kec. lama Kec. baru Kec. baru
Sumber: Buletin Bulanan Pemda Halut edisi Januari 2006.
Dengan karakteristik wilayah kepulauan, dari 64 desa yang berada di Kepulauan Morotai jumlah desa pantai sebanyak 27 desa, sedangkan desa nelayan sebanyak 18 desa, dengan jumlah nelayan sebanyak 5.784 orang. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa sebagian besar desa-desa di Kepulauan Morotai mempunyai orientasi pada aktivitas ekonomi di wilayah daratan. 4.2. Kondisi Oseanografi Parameter Oseanografi di perairan Kepulauan Morotai dikutip dari dokumen Perencanaan Tata Ruang Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil Kepulauan Morotai Kabupaten Halmahera Utara, yang diterbitkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara tahun 2005. Parameter suhu, salinitas, pH, dan kecerahan, di perairan Kepulauan Morotai seperti yang tertera pada tabel di bawah ini. Tabel 6. Parameter Oceanografi di Kepulauan Morotai tahun 2006 Parameter Oseanografi No. Suhu Salinitas pH Air Kecerahan (0C) (0/00) (Unit) (m) 1 Wayabula 30 32 8 6 2 Tiley 30 32 7 7 3 Daruba 29 32 8 2 4 Galo-Galo 29 32 7 5 5 Ngele-Ngele Besar 30 32 8 8 Sumber: Dinas Perikanan Provinsi Maluku Utara 2005. Lokasi Penelitian
Kec. Arus (Knot) 0,052 0,044 0,053 0,062 0,055
4.2.1. Pasang Surut Pasang surut (Pasut) pada perairan Morotai Selatan Barat umumnya termasuk ‘Pasut berganda‘ yaitu terjadi dua kali surut dan dua kali pasang dalam 24 jam (sehari semalam). Kisaran tinggi air laut selama siklus satu bulan Pasut adalah 2,01 M. Dengan
73
demikian, kedalaman pada perairan Morotai selatan barat masih lebih dari 7 meter pada surut terendah tahunan. 4.2.2. Gelombang Berdasarkan dokumen Perencanaan Tata Ruang Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil Kepulauan Morotai Kabupaten Halmahera Utara tahun 2005, kondisi gelombang laut pada perairan Morotai selatan barat relatif kecil, dengan tinggi gelombang rata-rata 30 cm. Pada dasarnya, gelombang tersebut merupakan gelombang turbulensi (pecahan gelombang utama)
yang telah terhalang oleh formasi pulau kecil dan terumbu.
Disamping gelombang turbulensi, gelombang lain yang ditemukan adalah gelombang pasut yang umumnya terjadi didaerah perairan pantai. 4.2.3. Arus Kecepatan arus sangat kecil, hanya sekitar 0,5 m per menit, atau sekitar 0,05 Knots. Arah arus perairan secara umum bergerak dari arah selatan ke utara. 4.2.4. Suhu Perairan Suhu merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam pengaturan proses kehidupan dan distribusi organisme laut. Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (Latitude), waktu dalam sehari, sirkulasi udara penutupan awan dan aliran serta kedalaman dari badan air tersebut. Peningkatan suhu meningkatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia dan evaporasi. Selain itu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti gas-gas O2, CO2, N2, CH4. Suhu pada lima daerah yaitu Daruba, Tilei, Ngele-Ngele Besar, dan Wayabula. Hal ini menunjukan bahwa, kisaran suhu pada wilayah perairan Morotai relatif sama yaitu 30 C. 4.2.5. Salinitas Perairan di Kepulauan Morotai memiliki nilai salinitas yaitu 32 %. Salinitas adalah konsentrasi dari total ion yang terdapat di perairan, menggambarkan padatan total di dalam air setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua Bromida dan Iodida, telah digantikan oleh klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi. Sidjabat dalam Dinas Perikanan Provinsi Maluku Utara (2005), menjelaskan bahwa salinitas menunjukan jumlah garam yang terlarut dalam air dan memiliki peranan penting bagi organisme misalnya distribusi
74
4.2.6. pH Air Nilai pH berkisar antara 70 – 80. Nilai pH dapat mempengaruhi aktivitas biokimia, perubahan dalam sifat kimia alami perairan dan pencemaran pada perairan alami perubahan dari pH dari tinggi ke pH yang rendah dapat disanggar oleh unsur kalsium yang terdapat dalam air. Sifat tanah dasar dan kandungan karbondioksida dalam air merupakan penyebab perubahan pH dalam suatu perairan. Toleransi organisme terhadap perubahan pH bervariasi tergantung pada faktor suhu. Oksigen terlarut, Alkalinitas, adanya berbagai anion dan kation serta jenis dan stadia organisme (Perscod, dalam Dinas Perikanan, Provinsi Maluku Utara 2005). Kisaran nilai pH pada wilayah perairan Kepulauan Morotai antara (7.0-8.0) tergolong optimum. Efendi dalam Dinas Perikanan Provinsi Maluku Utara (2005), menyatakan bahwa kisaran niai pH 7.0-8.5 merupakan kisaran optimum dan dapat ditolerir oleh organisme perairan. 4.2.7. Kecerahan Kecerahan merupakan parameter penting yang sangat menentukan tingkat produktifitas fitoplankton disuatu perairan. Pada perairan alami laju foto sintesis dipengaruhi oleh tinggi rendahnya kecerahan perairan tersebut. Kecenderungan rata-rata di lima stasiun pengamatan yaitu 5, 6 M. Kecerahan tertinggi berada di Desa NgeleNgele Besar, hal ini disebabkan karena di daerah ini memiliki sub strat berpasir. Sedangkan kecerahan terendah terjadi di Desa Daruba karena Sub Strat perairannya berlumpur dan daerah ini merupakan Ibu Kota Kecamatan sehingga banyak dipengaruhi oleh aktivitas kapal-kapal dan buangan limbah domestik. Menurut Birowo dan Uktol Seja, dalam Dinas Perikanan Provinsi Maluku Utara (2005), menjelaskan bahwa faktor utama yang mempengaruhi kecarahan air dalam kandungan lumpur, kandungan Planton, dan zat-zat terlarut lainnya. Kecerahan juga sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan tersuspensi (Efendi, dalam Dinas Perikanan Provinsi Maluku Utara (2005). 4.2.8. Komponen Kimiawi Parameter Kimiawi berupa COD, NH3- N, NO3- N, NO2-N, P-PO4, Si, CN, SO4 Surfaktan, Hg, Cu, Pb, Zn, As, TSS, TOM pada air laut seluruh perairan Morotai berada dalam kedaaan yang masih layak bagi kehidupan organisme perairan berdasarkan Kepmen – LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut. Sedangkan
75
untuk air sumur berdsarkan PP No. 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kulitas air dan pengendalian pencemaran air dikategorikan kedalam kelas 1 (dapat digunakan untuk air baku air minum), kelas II (untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan dan mengairi pertanaman), kelas III (Pembudidayaan ikan air tawar, peternakan dan mengairi pertanaman ) dan kelas IV (mengairi pertanaman). 4.2.9. Karang dan Ikan Karang Secara umum Pulau Morotai memiliki wilayah potensi terumbu karang, dimana seluruh pulau (29 pulau) dalam wilayah ini dikelilingi ekosistem terumbu karang pantai (fringing reef) dan terumbu karang penghalang (barrier reef) yang cukup luas. Namun demikian, dari 8 lokasi penyelaman hampir semua lokasi terumbu karangnya dalam kondisi buruk, terutama pada daerah rataan terumbu (reef flat) hanya terdapat 2 lokasi (Pulau Rao dan Selat Sidanga) yang memiliki kondisi terumbu karang yang cukup baik selain itu juga memiliki tipologi terumbu curam yang sangat cocok untuk kegiatan wisata bahari. Potensi ikan karang di Kecamatan Morotai Selatan dan Kecamatan Morotai Selatan Barat saat ini dalam keadaan terancam karena berdasarkan hasil kajian, jumlah spesies, maupun jumlah individu, terutama spesies target relatif tidak ada lagi. Menunjukan hubungan signifikan dengan areal terumbu karang yang khas. Ada satu kecenderungan dimana pada daerah yang masih memiliki kondisi terumbu karang yang baik, jumlah spesies maupun jumlah individu ikan karang relatif banyak. 4.3. Penduduk dan Ketenagakerjaan Berdasarkan pendataan penduduk yang dilaksanakan oleh Dinas Catatan Sipil Kependudukan dan Keluarga Berencana Kabupaten Halmahera Utara pada tahun 2005 jumlah penduduk Kepulauan Morotai sebesar 55.656 jiwa, dengan sebaran menurut kecamatan sebelum pemekaran sebagai berikut. Tabel 7. Jumlah Penduduk Kepulauan Morotai Tahun 2005 Jumlah Penduduk Kecamatan Laki-Laki Perempuan Morotai Selatan 10.135 10.615 Morotai Selatan Barat 6.906 6.446 Morotai Utara 10.919 10.635 Total : 2 7.96 0 27. 696
Total 20.750 13.352 21.554 55.656
Sumber: Dinas Catatan Sipil, Kependudukan dan KB Kab. Halut Tahun 2006.
76
Jumlah penduduk di Kepulauan Morotai cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003 jumlah penduduk Kepulauan Morotai sebesar 46.594 jiwa, meningkat menjadi 55.656 jiwa pada tahun 2005. Kepulauan Morotai tidak mempunyai penduduk asli, sebagian besar penduduk berasal dari Suku Galela dan Tobelo, kemudian ada sebagian kecil dari Suku Sangier, Ternate, Jawa, Bugis dan Buton. Orientasi kegiatan usaha penduduk Pulau Morotai hampir sama dengan penduduk Kabupaten Halmahera Utara pada umumnya. Dari kondisi penggunaan lahan dan struktur penduduk menurut mata pencaharian, kegiatan usaha penduduk dominan pada kegiatan sub sektor pertanian, perkebunan, nelayan dan PNS. Di sub sektor perkebunan, sebagian besar penduduk bekerja mengusahakan tanaman kelapa, coklat, kopi, cengkeh dan pala. Sedangkan di sub sektor pertanian penduduk mengusahakan tanaman padi ladang, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, buah-buahan dan sayursayuran. Di sub sektor perikanan penduduk bekerja pada usaha perikanan tangkap laut, dan budidaya rumput laut. Usaha di sektor jasa perdagangan umumnya belum berkembang. Usaha-usaha tersebut masih dalam skala pemenuhan kebutuhan masyarakat setempat. 4.4. Gambaran Ekonomi dan Struktur Sosial Indikator utama dalam mengukur pertumbuhan ekonomi suatu wilayah adalah dengan melihat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), namun karena wilayah Kepulauan Morotai masih berstatus kecamatan maka secara administrasi dokumen tentang PDRB tidak tersedia pada wilayah ini. Tetapi sebagai bagian dari wilayah Halmahera Utara untuk PDRB Kabupaten Halmahera Utara berdasarkan harga konstan (tahun dasar 2000) mempunyai tren yang meningkat yaitu pada tahun 2000 sebesar 322.916,69 juta rupiah, pada tahun 2001 naik menjadi 328.149,27 juta rupiah atau pertumbuhan sebesar 1,62% kemudian naik menjadi 339.333,83 juta rupiah pada tahun 2002 dengan pertumbuhan sebesar 3,41%. Pada tahun 2003 PDRB meningkat sebesar 349.269,80 juta rupiah atau pertumbuhan sebesar 2,93%, hal ini terus mengalami peningkatan pada tahun 2004 sebesar 360.914,14 atau pertumbuhan sebesar 3,33%. Dari pertumbuhan PDRB dari tahun ke tahun pada 9 sektor/lapangan usaha, peranan sektor pertanian masih sangat dominan yakni pada tahun 2000 sektor pertanian
77
menyumbang sekitar 41,54%, pada tahun 2001 sebesar 41,74%, kemudian tahun 2002 naik menjadi 41,99%, namun pada tahun 2003 turun menjadi 41,96 begitu juga pada tahun 2004 mengalami penurunan menjadi 41,29%. Dalam peranan sektor pertanian tersebut yang paling dominan adalah sub sektor perkebunan, kemudian tanaman bahan makan dan diikuti oleh sub sektor perikanan. Selain sektor pertanian, sektor industri pengolahan, juga mempunyai peran besar dalam PDRB Kabupaten Halmahera Utara, yakni pada tahun 2000 sebesar 23,44%, kemudian pada tahun 2001 sebesar 23,30%, pada tahun 2002 sebesar 23,70%, pada tahun 2003 sebesar 23,18% dan pada tahun 2004 sebesar 23,33%. Tabel 8. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Halmahera Utara Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000 - 2004 (Juta Rupiah) No 1
2 3 4 5 6 7 8 9
Tahun
Lapangan Usaha
Pertanian a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasil-hasilnya d. Kehutanan e. Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keu. Persewaan, & Jasa Perusahaan Jasa-Jasa PDRB DENGAN MIGAS
2000
2001
2002
2003
2004
134.165,33 42.343 60.397 5.826 8.755 16.844 421,00 75.686,49 684,10 2.490,00 72.107,03 17.109,12 7.442,60 12.810,61
136.973,29 42.348 62.497 5.909 9.138 17.081 431,64 76.475,37 690,21 2.617 72.731,17 17.578,92 7.733,84 12.917,84
142.474,69 43.833 65.161 6.370 9.459 17.652 463,11 80.412,03 1.187,45 2.746 72.806,45 17.806,80 8.368,40 13.068,40
146.561,58 43.850 68.648 6.390 9.912 17.761 465,00 80.976,63 1.269,00 2.750 73.458,36 20.230,73 9.042,22 14.516,29
149.029,99 43.900,00 70.053,00 6.410,00 10.573,73 18.093,26 527,85 84.210,00 1.291,61 2.760,00 77.040,87 21.724,96 9.096,24 15.232,63
322.916,69
328.149,27
339.33,83
349.269,80
360.914,14
1,62
3,41
2,93
3,33
PERTUMBUHAN EKONOMI
Sumber: BPS Kabupaten Halmahera Utara 2005. Kondisi sosial Kepulauan Morotai dapat kita cermati dari tingkat pendidikan, kesehatan, penerapan keluarga berencana dan kondisi sosial lainnya. Untuk pendidikan jumlah sekolah dasar yang terdapat di wilayah Kepulauan Morotai cukup merata di semua desa dengan jumlah SD baik swasta maupun negeri sebanyak 67 unit, sekolah menengah pertama sebanyak 9 unit, sekolah menengah umum sebanyak sebanyak 6 unit. Sementara rasio murid guru untuk jenjang pendidikan dasar adalah 41 murid per
78
seorang guru di SD negeri dan 40 murid per seorang guru di SD sawsta. Untuk SLTP negeri tercatat 11 murid per seorang guru dan 13 murid per seorang guru di SLTP swasta, sedangkan untuk pendidikan menengah atas tercatat rasio 7 murid per seorang guru untuk SMU negeri dan 8 murid per seorang guru untuk SMU swasta. Di bidang kesehatan jumlah puskesmas di Kepulauan Morotai pada tahun 2003 sebanyak 3 unit, puskesmas pembantu sebanyak 14 unit, sementara jumlah dokter di Kepulauan Morotai sebanyak 2 orang dan tenaga perawat sebanyak 23 orang. Kemudian jumlah pos yandu sebanyak 61 unit. 4.5. Prasarana dan Sarana Transportasi Sektor transportasi bagi Wilayah Kepulauan Morotai sama halnya dengan wilayah lain di Provinsi Maluku Utara, merupakan salah satu faktor kunci keberhasilan pembangunan baik ekonomi, sosial maupun politik. Dari segi ekonomi, tersedianya prasarana/sarana transportasi secara memadai akan lebih mendekatkan sentra-sentra produksi terutama di daerah-daerah pedalaman dengan sentra-sentra akumulasi jasa dan modal sekaligus pemasaran hasil produksi. Dengan demikian, satuan-satuan kegiatan ekonomi yang ada akan terdorong untuk meningkatkan dan menganeka-ragamkan hasil produksinya, yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat. 4.5.1. Transportasi Darat Transportasi Jalan di Kepulauan Morotai dikembangkan untuk melayani daerahdaerah yang merupakan pusat kegiatan lokal maupun pusat kegiatan wilayah/antar kecamatan. Total panjang jalan tahun 2004 sesuai klasifikasinya terdiri dari 93,59 Km atau 34,33% merupakan jalan Nasional, 141,00 km atau 51,73% adalah jalan Provinsi dan jalan Kabupaten sepanjang 38 Km atau 13,94%. Tabel 9. Panjang Jalan di Pulau Morotai Menurut Status Jalan Tahun 2004 Jalan Jalan Kecamatan Nas. Prov. (Km) (Km) Morotai Selatan 25,59 52,00 Morotai Selatan Barat 89,00 Morotai Utara 68,00 Total 93,59 141,00 Sumber: BAPPEDA Provinsi Maluku Utara, 2005.
Jalan Kab. (Km) 20,00 8,00 10,00 38,00
Jumlah (Km) 97,59 97,00 78,00 272,59
79
Dari panjang jalan tersebut di atas, bila ditinjau dari segi jenis perkerasan jalan, ternyata sekitar 110,59 Km atau 40,57% masih merupakan jalan sirtu, diikuti jalan tanah sepanjang 107,00Km atau 39,25%, sedang yang beraspal hanya sekitar 55,10 Km atau 20,21%. Gambaran yang lebih jelas mengenai keadaan prasarana/sarana transportasi darat, demikian pula penyebarannya dalam berbagai kecamatan, dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 10. Panjang Jalan di Pulau Morotai Menurut Jenis Perkerasan Tahun 2003 Jalan Jalan Kecamatan Aspal Sirtu (Km) (Km) Morotai Selatan 41,59 45,00 Morotai Selatan Barat 1,00 Morotai Utara 12,41 65,59 Total 55,10 110,59 Sumber: BAPPEDA Provinsi Maluku Utara, 2005.
Jalan Tanah (Km) 11,00 96,00 107,00
Jumlah (Km) 97,59 97,00 78,00 272,59
Dilihat dari segi kondisi jalan dimana sekitar 200,18 Km atau 73,44% berada dalam keadaan rusak Berat, rusak ringan sepanjang 43,00 Km atau 15,77%, rusak sedang sepanjang 28,51 Km atau 10,46%, sedangkan yang berada dalam keadaan baik hanya mencapai 1,00 Km atau 0,73%%. Sebagaimana terlihat pada tabel berikut. Tabel 11. Panjang Jalan di Pulau Morotai Menurut Kondisi Tahun 2004 Jalan Jalan Kecamatan Baik Rusak Sedang (Km) (Km) Morotai Selatan 16,10 Morotai Selatan Barat 1,00 Morotai Utara 12,41 Total : 1,00 28,51 Sumber: BAPPEDA Provinsi Maluku Utara, 2005.
Jalan Rusak Ringan (Km) 43,00 43,00
Jumlah Rusak Berat (Km) 38,59 96,00 65,59 200,18
4.5.2. Transportasi Laut. Sebagai daerah kepulauan, sektor transportasi laut memiliki peran penting di Pulau Morotai. Peranan transportasi laut selain dalam memperlancar penyaluran hasilhasil produksi dari sentra-sentra produksi dan akumulasi ke sentra-sentra pemasaran (konsumsi), juga berperan dalam memperlancar penyaluran berbagai sarana produksi dan barang pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat.
80
Di pulau tersebut terdapat 1 buah Dermaga laut dengan konstruksi berton, yang melayani pelayaran ke dan dari Pulau Morotai menggunakan Kapal Motor dan Speed boat. Sedangkan antar desa dalam wilayah Pulau Morotai sendiri dengan penggunaan motor nelayan, dan penggunaan speed boat hanya bergantung jalur yang dimintai penumpang. Transportasi ke Pulau Morotai melayani pergerakan dari wilayah sekitarnya yaitu : Morotai – Ternate, Morotai – Tobelo, Morotai - Galela, dan Morotai – Subaim. Transportasi antar Pulau Morotai-Tobelo sebagai ibukota kabupaten, juga ditempuh dengan menggunakan kapal ferry, menggunakan 1 unit ferry dengan frekuensi 3 kali seminggu yang disubsidi oleh pemerintah. Untuk penyeberangan tersebut, terdapat 1 buah dermaga penyeberangan yang dikelola ASDP dengan konstruksi beton, yang dioperasikan sejak tahun 2004. 4.5.3. Transportasi Udara Bandara Pitu Morotai dengan 7 Runway peninggalan Sekutu pada masa Perang Dunia II, sekarang digunakan sebagai Bandara Militer TNI AU pada satu jalur landasan. Oleh TNI AU, landasan tersebut telah direnovasi dengan lapisan Hotmix berdimensi 2.400 x 45 meter. Bandara tersebut lebih banyak melayani kepentingan TNI Angkatan Udara menggunakan pesawat militer untuk penerbangan ke wilayah Timur. Sekarang pelayanan jalur sipil telah dimanfaatkan dengan jalur Morotai – Galela - Bandara Babullah Ternate PP menggunakan pesawat Casa 212 dengan frekuensi 2 kali dalam seminggu. 4.6. Interaksi Kepulauan Morotai dengan Kota Tobelo Dalam konteks pengembangan wilayah, perkembangan suatu wilayah sangat ditentukan oleh wilayah sekitarnya, artinya bahwa setiap wilayah mempunyai hubungan interaksi timbal balik, namun dalam interaksi tersebut ada yang bersifat positif (generatif/sinergi) dan ada yang bersifat negatif (eksploitatif), sehingga apabila antara kedua wilayah mempunyai hubungan yang positif maka kedua wilayah tersebut akan dapat berkembang secara proporsional sesuai dengan kapasitas sumberdayanya masingmasing, akan tetapi apabila ke dua wilayah tersebut mempunyai hubungan yang negatif, maka wilayah yang satunya akan berkembang lebih cepat dan maju dibandingkan dengan wilayah lainnya.
81
Dalam konteks wilayah Kepulauan Morotai, hubungan interaksi antar wilayah yang intensif yaitu dengan Kota Tobelo sebagai Ibu Kota Kabupaten Halmahera Utara. Karena jaraknya yang dekat, interaksi kedua wilayah ini secara fisik mempunyai beberapa moda transportasi seperti jalur transportasi laut; diantaranya pelayaran rakyat, kapal penyebrangan ferry, dan jalur transportasi udara dengan penerbangan perintis, namun intensitas yang paling besar adalah transportasi laut khususnya pelayaran rakyat. Untuk itu maka dalam penelitian ini fokus kajian interaksi wilayah terfokus pada moda transportasi laut khususnya pelayaran rakyat untuk melihat arus orang dan arus barang antara kedua wilayah. Tabel 12. Rekapitulasi Arus Orang Dan Barang antara Kota Tobelo dan Kep. Morotai Tahun 2002 - 2005 Ke Tobelo Penumpang Barang 2,994 2,012 8,967 1,512 13,193 3,023 15,330 2,569 40,484 9,116
Tahun 2002 2003 2004 2005 Jumlah
Ke Morotai Penumpang Barang 2,678 680 6,918 590 12,357 1,056 15,379 1,491 37,332 3,817
Sumber: Kantor Pelabuhan Tobelo dan Daruba, 2006
18,000 16,000 14,000 12,000
Ke Tobelo Pnp Ke Tobelo Brg Ke Morotai Pnp Ke Morotai Brg
10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 2002
2003
2004
2005
Gambar 5. Grafik Arus Orang dan Barang antara Kota Tobelo dan Kep. Morotai tahun 2002- 2005.
82
Interaksi antara kedua wilayah melalui transportasi pelayaran rakyat sangat intensif, dari wilayah Kepulauan Morotai yang terdiri dari tiga kecamatan masingmasing mempunyai pola aliran orang dan barang yang berbeda-beda. Untuk Kecamatan Morotai Utara misalnya titik interaksi cukup banyak sekitar 8 desa yang menjadi sentral interaksi yang mengalirkan orang dan barang ke dan dari Kota Tobelo. Sedangkan untuk Kecamatan Morotai Selatan Barat sekitar 6 desa yang melakukan hubungan interaksi yang intensif dengan Kota Tobelo. Banyaknya titik interaksi pada kecamatan Morotai Utara dan Kecamatan Morotai Selatan Barat disebabkan oleh akses jalan darat antar desa yang buruk serta bentuk wilayahnya berbentuk pulau-pulau kecil. Berbeda dengan kedua kecamatan sebelumnya, Kecamatan Morotai Selatan hanya mempunyai satu titik interaksi yakni dari Desa Daruba ke Kota Tobelo karena semua desa dalam kecamatan ini mempunyai akses tranportasi jalan darat yang sangat baik. Berdasarkan pada Tabel 12 dan Gambar 5 menunjukan bahwa interaksi antara Kepulauan Morotai dengan Kota Tobelo memperlihatkan hubungan yang eksploitatif, aliran barang dari Kepulauan Morotai terjadi dalam kapasitas yang besar, sementara aliran barang dari Kota Tobelo ke Kepulauan Morotai terjadi dalam jumlah yang kecil, hal ini terjadi karena aliran barang dari Kepulauan Morotai terjadi dalam bentuk bahan baku kopra dan sebaliknya dari Kota Tobelo aliran barang dalam bentuk barang campuran (9 bahan pokok). Selain aliran barang, aliran orang juga memperlihatkan kecendrungan migrasi ke arah Kota Tobelo lebih besar dibandingkan dengan arus dari Kota Tobelo ke Kepulauan Morotai, hal ini membuktikan bahwa daya tarik wilayah kota lebih besar dibandingkan dengan wilayah perdesaan. Dengan sistem pembangunan yang sentralistis selama ini mengakibatkan kota berkembang lebih pesat di banding wilayah hinterlandnya, sehingga di wilayah perkotaan ketersediaan lapangan pekerjaan dan pelayan jasa lebih besar di bandingkan pada wilayah perdesaan. Hal ini yang memicu terjadinya proses migrasi besar-besaran dari desa ke kota.
83
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Wilayah 5.1.1. Sub Sektor Unggulan di Halmahera Utara Setiap daerah atau wilayah mempunyai beberapa sektor atau komoditas yang dapat mengembangkan daerah atau wilayah tersebut, namun kemampuan setiap sektor tersebut tentu berbeda-beda, biasanya sektor yang mempunyai potensi supply dan demand yang besar dan berorientasi pada pasar ekspor baik keluar daerah, antar pulau, maupun ke pasar luar negeri dengan intensitas perdagangan yang stabil, selalu mempunyai keunggulan komparatif dan kempetitif yang tinggi. Untuk menganalisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif di Halmahera Utara dalam penulisan ini digunakan analisis Location Quotient (LQ) dan analisis Shift Share (SSA). Kedua analisis ini menggunakan data PDRB kabupaten/kota di Provinsi Maluku Utara pada dua titik waktu yaitu pada tahun 2000 dan tahun 2004. A. Keunggulan Komparatif Kabupaten Halmahera Utara mempunyai tiga sub sektor yang memiliki peranan besar dalam kontribusi terhadap PDRB. Indikator ini dapat kita lihat pada PDRB Kabupaten Halmahera Utara berdasarkan pada harga konstan dengan tahun dasar tahun 2000. Perkembangan PDRB mempunyai tren yang meningkat, yaitu pada tahun 2000 sebesar 322.916,69 juta rupiah, pada tahun 2001 naik menjadi 328.149,27 juta rupiah atau pertumbuhan sebesar 1,62% kemudian naik menjadi 339.333,83 juta rupiah pada tahun 2002 dengan pertumbuhan sebesar 3,41%. Pada tahun 2003 PDRB meningkat sebesar 349.269,80 juta rupiah atau pertumbuhan sebesar 2,93%, hal ini terus mengalami peningkatan pada tahun 2004 sebesar 360.914,14 atau pertumbuhan sebesar 3,33%. Dari pertumbuhan PDRB dari tahun ke tahun pada 9 sektor/lapangan usaha, peranan sektor pertanian masih sangat dominan yakni pada tahun 2000 sektor pertanian menyumbang sekitar 41,54%, pada tahun 2001 sebesar 41,74%, kemudian tahun 2002 naik menjadi 41,99%, namun pada tahun 2003 turun menjadi 41,96 begitu juga pada tahun 2004 mengalami penurunan menjadi 41,29%. Dalam peranan sektor pertanian
tersebut yang paling dominan adalah sub sektor perkebunan, kemudian tanaman bahan makan dan diikuti oleh sub sektor perikanan serta sub sektor kehutanan. Selain sektor pertanian, sektor industri pengolahan, juga mempunyai peran besar dalam PDRB Kabupaten Halmahera Utara, yakni pada tahun 2000 sebesar 23,44%, kemudian pada tahun 2001 sebesar 23,30%, pada tahun 2002 sebesar 23,70%, pada tahun 2003 sebesar 23,18% dan pada tahun 2004 sebesar 23,33%. Indikator kontribusi sektor/sub sektor dalam PDRB di atas belum menjadi cerminan sektor/sub sektor tersebut unggulan dalam perekonomian daerah Kabupaten Halmahera Utara, untuk itu maka data kontribusi PDRB di atas kemudian dianalisis dengan menggunakan metode Location Quotient (LQ) untuk mengetahui sektor/ sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif di Kabupaten Halmahera Utara. Dalam analisis LQ ini dilakukan dalam bentuk time series/trend, artinya untuk melihat beberapa kurun waktu yang berbeda apakah terjadi kenaikan atau penurunan. Berdasarkan hasil analisis LQ, sub sektor yang ada di PDRB Kabupaten Halmahera Utara pada tahun 2000 (Tabel 13), hanya terdapat tujuh sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif, hal ini karena ketujuh sub sektor tersebut memiliki nilai indeks LQ lebih besar dari satu. Sub sektor tersebut yaitu sub sektor tanaman bahan makanan, sub sektor perkebunan, sub sektor peternakan, sub sektor kehutanan, sub sektor perikanan, sub sektor industri tanpa migas dan sub sektor restoran. Sedangkan sub sektor yang lainnya memiliki nilai indeks LQ lebih kecil dari satu, sehingga tidak termasuk sebagai sub sektor yang memiliki keunggulan komparatif. Sedangkan analisis LQ pada tahun 2004 (Tabel 14), ternyata tidak berbeda dengan tahun 2000. Tujuh sub sektor yang memiliki keunggulan komparatif di tahun 2000 masih mempunyai peranan sebagai sub sektor yang memiliki keunggulan komparatif di tahun 2004. Hal ini menunjukan bahwa pertumbuhan ke tujuh sub sektor tersebut dalam kurun waktu tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 masih di atas ratarata sub sektor lainnya, sehingga ketujuh sub sektor dimaksud tetap memiliki keunggulan komparatif dalam perekonomian wilayah di Halmahera Utrara. Mencermati analisis LQ tahun 2000 dan 2004, terlihat bahwa dalam sub sektor yang memiliki keunggulan komparatif, hanya tiga sub sektor yang mengalami kenaikan nilai indeks LQ yaitu sub sektor kehutanan, industri tanpa migas, dan perkebunan.
85
Kondisi tersebut menggambarkan bahwa dalam kurun tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 ketiga sub sektor tersebut mengalami pertumbuhan di atas rata-rata dari sub sektor lainnya yang memiliki keunggulan komparatif, sehingga bisa dikatakan sub sektor dimaksud mempunyai tingkat stabilitas keunggulan komparatif yang tinggi. Dengan demikian maka pengembangan sub sektor kehutanan, industri tanpa migas dan perkebunan di Halmahera Utara merupakan suatu langkah yang strategis untuk mengembangkan ekonomi wilayah. Namun dalam pengembangan ketiga sub sektor tidak hanya berorientasi pada aspek ekonomi semata, tetapi juga pada aspek sosial, budaya, dan ekologi. Untuk sub sektor kehutanan misalnya dalam pengelolaanya harus memperhatikan dua hal, yang pertama ; pengelolaan sub sektor kehutanan yang ramah terhadap lingkungan sehingga pengelolaannya tidak berdampak pada ekosistem hutan dan sumberdaya lainnya, yang kedua ; pengelolaan sub sektor kehutanan yang berbasis pada masyarakat, sehingga manfaat dari hasil hutan dapat mempunyai dampak sosial dan ekonomi pada masyarakat di sekitar hutan. Untuk sub sektor perkebunan yang harus dikembangkan adalah komoditas lokal yang mempunyai potensi supply dan potensi demand yang besar, dalam hal ini adalah komoditas kelapa (kelapa dalam) harus dapat dipertahankan dengan pengembangan pola diversifikasi usaha, penguatan kelembagaan petani, penguatan modal, dan pengembangan
pasar terutama pasar ekspor. Dalam konteks wilayah
Kabupaten Halmahera Utara hal ini penting dilakukan karena pada era otonomi daerah saat ini, salasatu orientasi pemerintah daerah adalah untuk peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) namun untuk hal tersebut dalam implementasi sering salah kapra dalam melakukan strategi investasi. Dalam investasi di bidang pertanian pemerintah daerah sering mengikuti usaha yang telah ada dan maju di daerah lain, misalnya rencana membuka perkebunan kelapa sawit, upaya ini kalau direalisasikan dikhawatirkan akan mengancam perkebunan kelapa rakyat yang telah lama menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat di Halmahera Utara. Kemudian sub sektor industri harus dapat menjadi sub sektor yang menghela sub sektor kehutanan dan perkebunan sekaligus menjadi pendorong sub sektor lainnya untuk pengembangan perekonomian wilayah di Halmahera Utara.
86
Kemudian jika dilihat dari besarnya nilai LQ, maka dalam analisis pada dua titik waktu tersebut, yang mempunyai nilai LQ tertinggi adalah sub sektor restoran. Hal ini terjadi karena Kota Tobelo merupakan kota terbesar kedua di Maluku Utara, selain berfungsi sebagai pusat perkembangan wilayah di Pulau Halmahera juga berfungsi sebagai kota transit yang berperan menghubungkan beberapa kota di kawasan timur Indonesia, yaitu Kota Surabaya, Manado, Ternate dan Buli. Selain itu juga Kota Tobelo dalam kurun waktu tersebut mengalami pertumbuhan restoran yang tinggi seiring dengan naiknya status kota tersebut dari ibu kota kecamatan menjadi ibu kota Kabupaten Halmahera Utara. Dari ketujuh sub sektor yang memiliki keunggulan komparatif di Halmahera Utara jika dicermati dengan baik yang berdasarkan pada potensi sumberdaya alam yang dimiliki, maka ada dua sub sektor yang memiliki prospek yang bagus untuk berkembang yaitu sub sektor perkebunan dan sub sektor perikanan. Secara umum masyarakat Maluku Utara dan khususnya di Halmahera Utara adalah masyarakat perkebunan kelapa, usaha ini telah lama ditekuni oleh masyarakat di Halmahera Utara, namun di sisi yang lain potensi laut/ perikanan juga sangat besar. Kenapa saat ini di wilayah yang berbentuk kepulauan seperti Maluku Utara dan Halmahera Utara basis perekonomian masyarakatnya berada pada sub sektor perkebunan, tentu hal ini disebabkan karena orientasi masyarakat di Halmahera Utara yang masih berorientasi pada wilayah daratan. Untuk menjadikan orientasi ekonomi masyarakat yang tidak hanya berorientasi pada wilayah daratan tetapi juga pada wilayah lautan maka peranan pemerintah daerah dan stakeholders di Halmahera Utara sangat penting. Dalam hal ini artinya pemerintah daerah bersama stakeholders perlu bekerja keras untuk merubah pola pikir, penyiapan ketrampilan, penyiapan prasarana dan sarana perikanan dan investasi swasta di sub sektor perikanan, sehingga sub sektor perikanan menjadi orientasi kegiatan ekonomi yang baru bagi masyarakat di Halmahera Utara.
87
Tabel 13. Hasil Analisis LQ di Provinsi Maluku Utara Tahun 2000
6
7
Kab.Halut
1.32
1.10
1.47
1.16
1.05
-
2
Kota Ternate
0.44
0.30
0.56
0.63
0.41
3
Kab.Haltim
1.33
1.24
0.81
1.41
4
Kab.Halbar
0.56
1.50
0.31
5
Kab.Halsel
1.24
1.12
6
Kab.Halteng
0.67
7
Kab.Sula Kep.
8
Kota Tidore Kep.
Pemerintahan Umum 24
25
0.36
1.48
0.33
0.72
0.49
0.95
0.20
1.53
0.92
0.39
0.50
0.51
0.80
0.74
0.47
0.58
-
2.91
0.45
3.62
2.76
1.91
1.37
4.14
0.80
1.65
3.87
3.40
3.35
2.12
2.13
2.41
2.28
1.58
3.31
0.61
0.31
0.13
0.25
1.71
0.77
0.00
0.49
0.63
0.09
0.01
0.16
0.52
0.12
0.81
0.99
0.56
0.77
-
0.34
1.50
1.67
1.03
0.35
1.07
1.71
0.57
0.96
0.82
1.14
0.96
0.87
1.49
0.56
0.31
0.97
0.91
1.22
-
0.29
1.43
0.36
0.55
0.49
0.98
0.22
1.48
0.98
0.35
0.59
0.57
0.88
0.88
0.46
0.76
0.66
2.13
1.11
0.86
9.02
1.29
0.20
0.08
0.15
1.10
0.48
0.00
0.30
0.40
0.06
0.01
0.07
0.32
0.16
1.24
0.62
0.87
1.11
1.08
1.06
1.00
-
0.32
1.58
0.35
1.06
0.54
1.03
0.15
1.49
0.99
0.58
0.66
0.64
0.91
1.22
0.55
0.60
1.63
1.45
0.74
1.54
1.46
-
1.47
0.37
0.14
0.28
1.73
0.96
0.02
0.23
0.79
0.11
0.02
0.18
0.64
0.23
1.27
1.23
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Swasta
Jasa Perusahaan 23
LKTB
22
Bank
21
Komunikasi
20
P’angkutan
19
Restoran
18
Hotel
17
Perdagangan bsr & Ec
16
Bangunan
15
10
Air Bersih
14
9
Listrik
13
8
Penggalian
12
Perikanan
1
11
Kehutanan
2
Sewa Bangunan
5
1
Industri T. Migas
Peternakan dan Hasil2
4
Kab/Kota
Industri Migas
Tanaman Perkebunan
3
No
Pertambangan Tanpa Migas
Tanaman B. Makan
Sektor/Sub Sektor
Tabel 14. Hasil Analisis LQ di Provinsi Maluku Utara Tahun 2004 1
2
3
4
5
6
7
1
8
9
10
Kab.Halut
1.27
1.11
1.17
1.23
1.04
-
0.37
1.50
0.41
0.96
0.48
0.91
0.49
1.52
1.00
0.48
0.59
0.80
0.80
0.66
0.49
0.66
2
Kota Ternate
0.45
0.29
0.43
0.58
0.41
-
2.46
0.42
3.37
1.87
2.02
1.40
3.44
0.70
1.63
3.39
3.27
2.34
2.00
2.44
2.49
2.31
3
Kab.Haltim
1.54
1.21
0.69
1.36
1.56
3.27
0.96
0.35
0.16
0.51
1.64
0.75
0.01
0.44
0.72
0.11
0.02
0.34
0.56
0.15
0.72
0.95
4
Kab.Halbar
0.55
1.37
2.56
0.52
0.76
-
0.32
1.46
1.45
0.70
0.32
1.08
1.41
0.50
0.92
0.71
1.05
0.68
0.87
1.26
0.55
0.30
5
Kab.Halsel
1.17
1.19
0.76
0.91
1.20
-
0.28
1.41
0.47
0.72
0.47
0.97
0.48
1.75
0.91
0.67
0.58
0.95
0.86
0.82
0.50
0.72
6
Kab.Halteng
0.69
0.68
1.84
1.09
0.94
9.06
1.79
0.30
0.11
0.37
1.06
0.51
0.00
0.29
0.44
0.06
0.01
0.12
0.35
0.17
1.18
0.61
7
Kab.Sula Kep.
0.86
1.12
0.85
1.14
0.97
-
0.33
1.56
0.50
1.57
0.54
1.02
0.59
1.30
0.97
0.68
0.79
1.08
1.03
1.08
0.52
0.59
8
Kota Tidore Kep.
1.63
1.44
0.59
1.50
1.53
-
1.59
0.41
0.20
0.48
1.66
0.97
0.02
0.20
0.79
0.14
0.02
0.33
0.70
0.25
1.15
1.18
B. Keunggulan Kompetitif Analisis dengan pendekatan metode LQ tersebut di atas dapat didukung dengan menggunakan analisis shift share (SSA) yang dapat menggambarkan pergeseran struktur aktivitas suatu sub sektor pada wilayah Kabupaten Halmahera Utara dibandingkan dengan sub sektor yang sama di wilayah referensinya. Tujuan dari analisis ini adalah untuk menentukan kinerja atau produktivitas kerja perekonomian daerah dengan membandingkan dengan wilayah yang setara (dalam hal ini delapan kabupaten/kota yang ada di Provinsi Maluku Utara). Analisis ini menggunakan data PDRB pada dua titik tahun yaitu tahun 2000 dan tahun 2004. Dalam analisis shift share ini terdiri dari nilai komponen growth economic, nilai komponen proporsional (proportional shift), dan nilai komponen diferensial (differential share). Hasil analisis shift share dapat dilihat pada Tabel 16. Hasil perhitungan dengan mengunakan analisis SSA menunjukan bahwa laju pertumbuhan ekonomi wilayah Maluku Utara dari tahun 2000 sampai dengan 2004 secara agregat tumbuh sebesar 0.14. Artinya secara agregat tingkat pertumbuhan ekonomi Maluku Utara mengalami pertumbuhan yang positif atau dapat dikatakan produktivitas kinerja ekonomi Provinsi Maluku Utara pada dua periode waktu tersebut mengalami kenaikan. Hal ini karena komponen share dari sektor-sektor penting atau penentu mengalami kenaikan. Berkaitan dengan hal tersebut, secara regional Maluku Utara dapat dilihat nilai komponen proporsional shift pada sub sektor tanaman bahan makanan, pertambangan tanpa migas, industri tanpa migas, perdagangan besar dan eceran, sewa bangunan, pemerintahan umum serta sub sektor perikanan mempunyai laju pertumbuhan ekonomi lebih rendah di bandingkan dengan laju pertumbuhan total di Provinsi Maluku Utara. Sedangkan untuk sub sektor-sub sektor seperti peternakan dan hasil-hasilnya, air bersih, hotel, restoran, komunikasi dan lembaga keuangan tanpa bank mempunyai laju pertumbuhan lebih besar dibandingkan dengan laju pertumbuhan total di Provinsi Maluku Utara. Laju pertumbuhan ekonomi sub sektor tanaman bahan makanan, peternakan, perikanan, sub sektor bangunan, perdagangan, restoran, sewa bangunan dan jasa perusahaan di Kabupaten Halmahera Utara mempunyai tingkat competitiveness lebih
rendah dibandingkan dengan sub sektor lain. Kondisi ini menunjukan bahwa pertumbuhan rata-rata sub sektor dimaksud lebih rendah dibandingkan dengan sub sektor lainnya di Kabupaten Halmahera Utara. Sebaliknya sub sektor hotel, lembaga keuangan tanpa bank, air bersih, listrik, komunikasi, dan bank mempunyai keunggulan kompetitif yang relatif besar, artinya sub sektor ini mempunyai laju pertumbuhan rata-rata lebih besar dibandingkan sub sektor lainnya di Halmahera Utara selama kurun waktu tahun 2000 sampai dengan tahun 2004. Kondisi ini memberikan indikasi bahwa investasi pada sub sektor dimaksud akan meningkatkan daya saing yang besar dalam peningkatan perekonomian wilayah Halmahera Utara. Tabel 15. Hasil Analisis LQ dan Shift Share tentang Sub Sektor Unggulan Komparatif dan Kompetitif di Halmahera Utara. No.
Sub Sketor No. Sub Sektor (Keunggulan Komparatif) (Keunggulan Kompetitif) 1. Restoran 1. Hotel 2. Industri non migas 2. Lembaga Keuangan tanpa Bank 3. Peternakan 3. Air Bersih 4. Tanaman Bahan Makanan 4. Listrik 5. Kehutanan 5. Komunikasi 6. Perkebunan 6. Bank 7. Perikanan Sumber: Diolah dari Analisis LQ dan Shift Share 2006. Mencermati hasil analisis di atas menunjukan bahwa sektor yang mempunyai tingkat kompetitif besar masih berada pada sektor-sektor sekunder dan tersier yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal (service sectors). Kecuali sub sektor hotel, sub sektor yang hanya berperan sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal adalah sub sektor lembaga keuangan tanpa bank, air bersih, listrik, komunikasi, dan bank. Fenomena ini menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi sebagian besar didorong oleh tingkat konsumsi yang tinggi, dan sebaliknya pengaruh investasi dan peranan sektor basis (basis sectors) masih sangat rendah. Hal ini dapat terjadi karena sektor-sektor primer belum dikelola dengan baik. Pengelolaan sektor primer tersebut sangat tergantung pada investasi, baik yang dilakukan oleh masyarakat lokal maupun oleh swasta/ perusahaan besar.
90
Dalam strategi pembangunan ekonomi wilayah, pengembangan sub sektor yang mempunyai peranan sebagai sektor basis sangat penting, karena sektor basis adalah sektor yang berorientasi pada pemenuhan pasar atau permintaan luar daerah (export oriented). Dengan demikian maka, potansi pasar dari sektor basis lebih besar dari sektor yang hanya melayani pemenuhan kebutuhan masyarakt lokal (service sectors). Untuk itu maka, dalam konteks pengembangan ekonomi wilayah Halmahera Utara sub sektorsub sektor basis, yang mempunyai potensi supply yang besar dan potensi pasar ekspor yang besar harus di kembangkan sehingga dapat menjadi sub sektor yang memiliki tingkat keunggulan kompetitf (daya saing) yang tinggi. Sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif tetapi tidak mempunyai daya saing tinggi (competitivnes) disebabkan oleh adanya distorsi pasar (Gonarsyah, 2001). Distorsi dapat terjadi karena adanya kebijakan pemerintah (government policy), baik yang bersifat langsung (seperti tarif) maupun tak langsung (seperti regulasi), dan atau karena adanya ketaksempurnaan pasar (market imperfection), misalnya adanya monopoli/ monopsoni domestik. Dalam konteks ini, jika dilihat pada hasil analisis LQ dan shift share sebelumnya, menunjukan inkonsistensi karena sub sektor yang memiliki keunggulan komparatif tidak satupun menjadi keunggulan kompetitif (Tabel 15), Hal ini disebabkan karena adanya distorsi pasar. Faktor distorsi pasar diduga menjadi penyebab sub sektor-sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif di Halmahera Utara seperti restoran, industri non migas, peternakan, tanaman bahan makanan, kehutanan, perkebunan, dan perikanan, menjadi tidak memiliki keunggulan kompetitif. Kebijakan pemerintah yang bersifat langsung seperti penentuan tarif harga input produksi maupun harga output hasil produksi serta yang bersifat tak langsung seperti regulasi menjadi kendala bagi ke tujuh sub sektor tersebut untuk berkembang. Gambaran mengenai harga input yang mahal dan harga output yang murah pada sub sektor yang memiliki keunggulan komparatif di Halmahera Utara menjadi cerminan bahwa adanya distorsi pasar yang di alami oleh beberapa sub sektor tersebut. Terkait dengan masalah ini perlu di teliti lebih spesifik tentang pengaruh distorsi pasar terhadap tingkat kompetitif dari sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif di Halmahera Utara.
91
Tabel 16. Hasil Perhitungan Analisis Shift-Share di Provinsi Maluku Utara Pertumbuhan Maluku Utara
ekonomi
Lapangan Usaha Tanaman bahan makanan Tanaman Perkebunan Peternakan dan hasil-hasilnya Kehutanan Perikanan Pertambangan tanpa migas Penggalian Industri migas Industri tanpa migas Listrik Air bersih Bangunan Perdagangan besar dan eceran Hotel Restoran Pengangkutan Komunikasi Bank LKTB Sewa bangunan Jasa Perusahaan Pemerintahan Umum Swasta
Provinsi
0.14 Pergeseran Proporsional Provinsi Maluku Utara -0.05 0.03 0.26 0.02 -0.04 -0.09 0.09 -0.02 0.10 0.60 0.02 -0.01 0.28 0.16 0.02 0.16 0.08 0.45 -0.01 0.12 -0.02 0.02
Halut -0.05 -0.00 -0.03 0.05 -0.03 0.02 -0.00 0.27 0.53 -0.04 -0.07 2.03 -0.03 0.08 0.26 0.19 0.85 -0.02 -0.17 0.02 0.14
Ternate 0.05 0.04 -0.32 -0.08 -0.00 -0.18 -0.07 -0.08 -0.55 0.08 0.04 -0.23 -0.15 -0.01 -0.15 -0.04 -0.47 -0.05 0.19 0.05 0.02
Haltim 0.18 -0.01 -0.19 -0.03 0.00 -0.00 0.73 0.13 0.31 1.89 -0.04 -0.01 1.58 -0.11 0.19 0.46 0.58 1.71 0.10 0.30 -0.11 -0.04
Pergeseran Diferensial Halbar Halsel Halteng -0.03 -0.05 0.03 -0.12 0.08 0.03 10.08 -0.29 -0.19 -0.09 0.01 -0.03 -0.03 -0.02 0.10 0.00 -0.11 -0.03 0.47 -0.05 -0.01 0.53 -0.18 0.37 0.43 -0.57 0.54 2.60 -0.13 -0.04 -0.04 -0.00 -0.00 0.07 0.27 1.65 0.14 -0.17 0.25 -0.03 -0.07 -0.08 0.12 -0.19 1.22 -0.08 -0.12 -0.00 0.64 -0.49 1.11 0.91 -0.02 -0.01 0.10 -0.21 -0.07 0.05 -0.05 0.09 -0.06 -0.08 -0.06 -0.04
Kep.Sula 0.00 0.01 -0.29 0.10 -0.02 -0.05 -0.01 0.55 0.84 0.02 -0.00 4.11 -0.16 -0.02 0.23 0.24 1.10 0.15 -0.14 -0.05 -0.02
Tidore 0.00 -0.00 -0.29 -0.03 0.05 0.10 0.11 0.56 1.28 -0.04 0.01 0.33 -0.14 0.01 0.37 0.22 1.35 0.10 0.10 -0.11 -0.05
92
5.1.2. Sub Sektor Unggulan Kepulauan Morotai Setelah menganalisis sub sektor unggulan di Kabupaten Halmahera Utara, selanjutnya dilakukan analisis sub sektor unggulan di Kepulauan Morotai, hal ini dilakukan karena wilayah kajian dari penelitian ini dilakukan pada wilayah Kepulauan Morotai. Di sisi lain hasil analisis dalam skala kabupaten mempunyai tingkat relevansi yang kecil terhadap kondisi Kepulauan Morotai. Ketidakrelevannya keunggulan di tingkat kabupaten dengan wilayah Kepulauan Morotai karena secara umum karakteristik wilayah dan sumberdaya yang dimiliki Kepulauan Morotai sangat berbeda dengan kondisi Kabupaten Halmahera Utara. Dalam analisis keunggulan komparatif pada tingkat Kabupaten Halmahera Utara terdapat tujuh sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif yaitu sub sektor tanaman bahan makanan, sub sektor perkebunan, sub sektor peternakan, sub sektor kehutanan, sub sektor perikanan, sub sektor industri tanpa migas dan sub sektor restoran. Sedangkan dalam analisis keunggulan kompetitif yang dilakukan pada tingkat Kabupaten Halmahera Utara terdapat lima sub sektor yang mempunyai keunggulan kompetitif yaitu sub sektor hotel, sub sektor listrik, sub sektor air bersih, sub sektor komunikasi dan sub sektor lembaga keuangan tanpa bank. Jika dipilah pada ketuju sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif pada tingkat kabupaten dan dicocokan dengan potensi sumber daya alam Kepulauan Morotai, maka yang mempunyai relevansi hanya tiga sub sektor yaitu sub sektor perkebunan, sub sektor perikanan, dan sub sektor kehutanan. Sedangkan keunggulan kompetitif pada tingkat kabupaten semuanya sangat bias bila jadikan patokan sebagai keunggulan kompetitif di wilayah Kepulauan Morotai. Untuk itu maka, dalam analisis ini karena keterbatasan data, maka analisis hanya difokuskan pada keunggulan komparatif di Kepulauan Morotai. Namun analisis sub sektor unggulan di Kepulauan Morotai berbeda dengan analisis di tingkat Kabupaten Halmahera Utara. Perbedaan ini terletak pada metode analisis dan sumber data, hal ini karena adanya keterbatasan data tentang potensi sumberdaya alam di Kepulauan Morotai. Untuk itu maka, data yang digunakan dalam analisis sub sektor unggulan di Kepulauan Morotai, menggunakan data produksi,
93
penyerapan tenaga kerja, dan orientasi pasar dari komoditas/ sub sektor yang ada di Kepulauan Morotai, yang kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskripsi kualitatif. Berdasarkan data kecamatan dalam angka pada ke tiga kecamatan di Kepulauan Morotai pada tahun 2003, sektor yang mempunyai aktivitas ekonomi wilayah besar di Kepulauan Morotai adalah sektor pertanian dalam arti luas, sektor ini sangat kelihatan peranannya dalam penyerapan tenaga kerja bagi masyarakat yang mendiami Kepulauan Morotai seperti terlihat pada Tabel 17. Kondisi tersebut menunjukan bahwa sektorsektor lain belum berkembang dengan baik, indikasi penyerapan tenaga kerja yang rendah pada sektor lain selain sektor pertanian menjadi sala satu fakta tersebut. Dalam sektor pertanian, sub sektor yang mempunyai penyerapan tenaga kerja besar adalah sub sektor perkebunan dan sub sektor perikanan. Komoditas yang banyak diusahakan pada Sub sektor perkebunan di Kepulauan Morotai adalah kelapa (kelapa dalam), komoditas ini diusahakan dengan pola perkebunan rakyat. Sedangkan komoditas pada sub sektor perikanan yang banyak diusahakan oleh nelayan di Kepulauan Morotai adalah ikan cakalang, rumput laut dan keramba apung kerapu hidup. Namun nelayan di Kepulauan Morotai umumnya memiliki peralatan masih tradisional dengan armada penangkapan yang berukuran kecil sampai dengan sedang. Selain itu kendala modal usaha juga menjadi masalah klasik yang masih dihadapi oleh nelayan di Kepulauan Morotai. Tabel 17. Jumlah Keluarga Menurut Mata Pencahrian di Kepulaun Morotai Tahun 2003. No. 1. 2. 3.
Kecamatan Morotai Selatan Morotai Utara Morotai Selatan Barat Jumlah
Pertanian
Bidang Usaha/Mata Pencahrian Pertambangan/ Industri Perdagangan Penggalian Pengolahan
Jasa
lainnya
2.479
-
98
306
501
3.772
4
157
142
281
60
2.162
-
-
100
165
-
8.413
4
255
548
947
60
Sumber: BPS Kabupaten Maluku Utara 2004a, 2004b, dan 2004c. Berdasarkan data produksi dan orientasi ekspor untuk beberapa komoditas di Kepulauan Morotai (Tabel 18), terlihat bahwa sub sektor perikanan, sub sektor
94
perkebunan, dan sub sektor kehutanan mempunyai peranan yang besar dalam perekonomian di Kepulauan Morotai. Komoditas pada ketiga sub sektor tersebut mempunyai orientasi ekspor, baik yang berorientasi pada pasar regional, nasional, dan pasar internasional. Dari perkembangan produksi dan orientasi pasar tersebut dapat disimpulkan bahwa sub sektor perikanan, sub sektor perkebunan dan sub sektor kehutanan merupakan sub sektor atau sektor yang mempunyai keunggulan komparatif di Kepulauan Morotai. Dengan potensi yang besar produk dari ketiga sub sektor dimaksud selama ini dapat memenuhi kebutuhan/ permintaan daerah lain, dalam konteks ini tentu terdapat aliran nilai tambah yang besar mengalir dari luar Kepulauan Morotai ke dalam wilayah Kepulauan Morotai. Tabel 18. Komoditas Unggulan Tiga Sub Sektor di Kepulauan Morotai Kabupaten Halmahera Utara. Tahun Daerah Jenis Komoditi Tujuan 2002 2003 2004 2005 Cakalang (Ton) 550 670 810 Jakarta, Banyuwangi Kerapu (Ton)
8,3
8,5
9,2
9,6
Hongkong
R. Laut (Ton)
350
335
320
300
Manado, Surabaya
Kopra (Ton)
5.321
4.213
6.139
6.865
Tobelo, Manado
Kayu G. (Ton)
2.637
2.765
2.936
3.281
Kalimantan
Sumber: Diolah dari data primer dan sekunder, 2006. Menurut Gonarsyah (2001), keunggulan komparatif dicirikan oleh rendahnya biaya relatif di tingkat produsen, hal ini dapat terjadi karena adanya keunggulan statik (static advantage) akibat relatif kaya akan sumberdaya alam tertentu, sumberdaya manusia dan lokasi yang strategis; atau karena adanya keunggulan pembelajaran (learning advantage) yang bersifat dinamik, yang diperolah dari proses pendidikan, pelatihan, pengalaman dan penelitian; atau kombinasi dari keunggulan statik dan keunggulan pembelajaran (termasuk kearifan tradisional). Jika didasarkan pada pemikiran Gonarsyah (2001) dengan asumsi bahwa sektor unggulan adalah sektor atau sub sektor yang mempunyai tinggkat supply dan demand komoditas tertentu yang tinggi, berorientasi pada pasar ekspor, serta mempunyai penyerapan tenaga kerja yang besar, maka dapat disimpulkan sub sektor perikanan dan
95
perkebunan adalah sub sektor unggulan di Kepulauan Morotai, karena kedua sub sektor ini memiliki tingkat supply demand yang besar, berorientasi ekspor serta mempunyai tingkat penyerapan tenaga kerja yang besar. Sedangkan sub sektor kehutanan memang mempunyai komoditas kayu gelondongan dengan potensi supply demand yang besar tetapi sumber daya ini mempunyai keterbatasan produksi dan resiko terhadap kerusakan lingkungan cukup tinggi, di sisi lain sub sektor ini mempunyai penyerapan tenaga kerja sangat kecil karena diusahakan dengan menggunakan sistem HPHH yang produksinya menggunakan teknologi tinggi atau peralatan mesin dan alat berat. Apabila dilihat dalam perspektif jangka panjang, prospek kedua sub sektor antara sub sektor perikanan dan sub sektor perkebunan di Kepulauan Morotai maka keduanya mempunyai prospek yang sama-sama menjanjikan, karena sama-sama memiliki basis sumberdaya yang besar. Tetapi dalam konteks peranan komoditas pada setiap sub sektor, maka hanya ada komoditas tertentu yang memiliki peranan dominan dalam kedua sub sektor tersebut. Untuk sub sektor perkebunan komoditas kelapa merupakan komoditas yang sangat potensial dan prospektif, sementara untuk sub sektor perikanan komoditas cakalang mempunyai potensi dan prospek yang lebih baik. Walaupun kedua sub sektor tersebut mempunyai peranan yang besar sebagai sektor basis di Kepulauan Morotai, namun barang yang diekspor masih dalam bentuk bahan baku. Pada sub sektor perikanan masih dalam bentuk ikan cakalang segar, dan sub sektor perkebunan masih dalam bentuk kopra (Tabel 18). Dari kondisi tersebut terlihat bahwa sub sektor-sub sektor tersebut walaupun berperanan besar namun belum optimal karena aktivitas ekonominya masih berada pada sektor primer. Untuk itu yang harus dilakukan adalah bagaimana sektor industri (manufacturing) dikembangkan untuk mendukung kedua sub sektor tersebut, sehingga dapat menimbulkan multi player effect yang lebih besar di Kepulauan Morotai sehingga dapat menekan tingkat kebocoran wilayah atau setidaknya dapat menekan aliran nilai tambah ekonomi yang mengalir ke luar dari Kepulauan Morotai, sekaligus dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru dan mengurangi kesenjangan antar wilayah.
96
5.2. Hirarki Perkembangan Wilayah Analisis hirarki perkembangan wilayah di Halmahera Utara dalam penelitian ini dilakukan dalam dua aspek, yang pertama dilakukan analisis terhadap kapasitas pelayanan perikanan tangkap dengan berbasis pada wilayah kecamatan, dan yang kedua analisis pusat pelayanan desa dengan berbasis pada wilayah desa. 5.2.1. Hirarki/kapasitas Pelayanan Perikanan Tangkap Analisis hirarki/kapasitas pelayanan perikanan tangkap di Halmahera Utara di lakukan dengan tujuan untuk menganalisis hirarki dan kapasitas pelayanan perikanan tangkap yang terdapat di Halmahera Utara dengan berbasis pada wilayah kecamatan, sehingga dapat mengetahui di mana pusat-pusat pelayanan perikanan tangkap tersebut. Dalam analisis ini variabel yang dipakai adalah perahu tanpa motor (PTM), perahu motor tempel (PMT), kapal motor (KM), jumlah unit penangkapan, dan keberadaan perusahaan perikanan tangkap. Setelah dilakukan analisis hanya terdapat dua kategori hirarki perkembangan wilayah dalam aspek kapasitas pelayanan perikanan tangkap, yaitu tinggi dan rendah. Kondisi ini menunjukan bahwa ada ketimpangan yang besar antara kecamatan di Halmahera Utara dalam hal ketersediaan fasilitas perikanan tangkap, hal ini dapat dilihat pada range antara hirarki yang sangat besar yaitu empat koma empat (4.4), sementara total nilai indeks yang diperoleh pada kecamatan-kecamatan mempunyai perbedaan yang sangat besar antara 0.2190 sampai dengan 9.2279. Ketimpangan indeks fasilitas perikanan tangkap yang berbasis pada wilayah kecamatan di Halmahera Utara, disebabkan oleh distribusi fasilitas perikanan tangkap yang tidak merata antar wilayah kecamatan. Padahal dengan karakteristik wilayah Halmahera Utara yang berbentuk pulau-pulau kecil dan pesisir, serta potensi sumberdaya perikanan yang besar semestinya pengelolaan sumberdaya ini harus didukung oleh fasilitas perikanan tangkap yang merata. Mengapa ketimpangan fasilitas bisa terjadi, karena orientasi kegiatan ekonomi sebagian masyarakat di Halmahera Utara masih mempunyai orientasi pada wilayah daratan dengan aktivitas ekonomi pada sub sektor perkebunan, dan hanya pada wilayah-wilayah tertentu saja yang mempunyai
97
orientasi ekonomi masyarakatnya pada pengelolaan sumberdaya perikanan. Salah satu bukti yaitu dengan tingginya ketersediaan fasilitas perikanan tangkap. Berdasarkan hasil analisis hirarki yang tertinggi terdapat di Kecamatan Morotai Selatan dengan total nilai sebesar sembilan koma dua (9.2), kondisi ini terjadi karena pada wilayah tersebut mempunyai jumlah jenis prasarana dan fasilitas perikanan tangkap yang lebih banyak dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Salah satu fasilitas yang menonjol adalah perusahaan perikanan, perusahaan ini berfungsi sebagai pembeli hasil perikanan tangkap khususnya komoditas cakalang (cold storage). Perusahaan tersebut adalah PT. Primarefa Indo yang mengekspor komoditas cakalang ke Banyuwangi dan Jakarta. Sedangkan pada wilayah kecamatan yang lain di Halmahera Utara tidak terdapat perusahaan yang menampung hasil perikanan tangkap komoditas cakalang tersebut. Selain variabel perusahaan perikanan, untuk variabel PTM, PMT, KM dan jumlah unit penangkapan, terdapat perbedaan nilai yang relatif kecil artinya fasilitas-fasilitas tersebut mempunyai tingkat penyebaran yang relatif sama di semua kecamatan. Tabel 19. Hirarki/Kapasitas Pelayanan Fasilitas Perikanan Tangkap di Halmahera Utara
PTM
PMT
KM
JUMLAH UNIT PENANGKAPAN
GALELA
0.2599
0.0628
0.0000
0.3379
0.0000
0.6606
Rendah
KAO
0.2975
0.0830
0.0000
0.0941
0.0000
0.4745
Rendah
LOLODA UTARA
0.2077
0.0434
0.0000
0.2161
0.0000
0.4672
Rendah
MALIFUT
0.2300
0.0267
0.0000
0.4800
0.0000
0.7367
Rendah
MOROTAI SELATAN
0.0000
0.0600
0.0084
0.1595
9.0000
9.2279
Tinggi
TYPE PERAHU / KAPAL (unit)
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama Kecamatan
Perusahaan Perikanan Tangkap
Total
Hirarki
MOROTAI UTARA
0.1117
0.0261
0.0000
0.1160
0.0000
0.2539
Rendah
MORSELBAR
0.1092
0.0174
0.0000
0.0924
0.0000
0.2190
Rendah
TOBELO
0.1013
0.0660
0.0000
0.7360
0.0000
0.9033
Rendah
TOBELO SELATAN
0.1730
0.0430
0.0121
0.1124
0.0000
0.3405
Rendah
Sumber: Diolah dari data Dinas Perikanan Kabupaten Halmahera Utara 2006. 5.2.2. Desa-Desa Pusat Pelayanan Analisis ini dilakukan untuk mengetahui pusat-pusat pelayanan di Halmahera Utara pada tingkat desa, sehingga dapat diketahui tingkat/ hirarki perkembangan wilayah. Dalam analisis ini data yang digunakan adalah data Potensi Desa (Podes) Tahun 2005, dengan variabel-variabel prasarana sosial dan prasarana ekonomi.
98
Hasil analisis skalogram menunjukan ada tiga hirarki pusat pelayanan di Halmahera Utara, yaitu hirarki tinggi, sedang dan rendah. Artinya bahwa dalam perkembangan wilayah di Halmahera Utara ada wilayah yang berfungsi sebagai pusat, ada yang berfungsi sebagai daerah antara (kota menengah) dan ada yang berfungsi sebagai daerah hinterland. Dari 181 desa yang ada di Kabupaten Halmahera Utara terdapat 14 (7.74%) desa yang berhirarki tinggi, 54 (29.83%) desa yang berhirarki sedang, dan 113 (62.43%) desa yang berhirarki rendah. Dari 14 desa berhirarki tinggi terdistribusi di beberapa kecamatan yaitu Kecamatan Tobelo sebanyak 4 desa, Kecamatan Galela terdapat 2 desa, Kecamatan Kao sebanyak 2 desa, Kecamatan Morotai Selatan sebanyak 2 desa dan Kecamatan Morotai Selatan Barat terdapat 4 desa. Empat desa berhirarki tinggi di Kecamatan Tobelo adalah desa-desa yang berada di pusat Kota Tobelo sebagai Ibu Kota Kabupaten Halmahera Utara. Karena berada di pusat kota, desa-desa tersebut mempunyai prasarana dan sarana pendidikan, kesehatan dan ekonomi yang memadai. Selain itu juga pada Kecamatan Galela dan Kao desa yang mempunyai indeks perkembangan desa tinggi merupakan desa-desa yang berada di pusat ibu kota kecamatan. Untuk wilayah Kepulauan Morotai desa-desa yang berhirarki tinggi terletak di 2 kecamatan yaitu Kecamatan Morotai Selatan terdapat 2 desa yaitu Desa Daruba dan Desa Gotalamo, sedangkan di Kecamatan Morotai Selatan Barat terdapat 4 desa yaitu Desa Posi-Posi Rao, Desa Leo-Leo, Desa Tiley, dan Desa Lou Mandoro, sehingga secara keseluruhan jumlah desa yang memiliki hirarki tinggi di Kepulauan Morotai berjumlah 6 desa. Berdasarkan pada hasil analisis desa-desa pusat pelayanan (Tabel 20), menunjukan bahwa ke enam desa di Kepulauan Morotai yang memiliki indeks perkembangan desa (IPD) paling tinggi adalah Desa Posi-Posi Rao dengan IPD sebesar 10.954, desa ini terletak di Kecamatan Morotai Selatan Barat dan bukan sebagai pusat pelayanan yang sesungguhnya di Kepulauan Morotai, sementara Desa Daruba yang terletak di Kecamatan Morotai Selatan yang merupakan pusat pelayanan wilayah sesungguhnya di Kepulauan Morotai memiliki nilai IPD sebesar 9.096, atau urutan ke 3 dari 6 desa yang memiliki hirarki tinggi di Kepulauan Morotai. Dengan itu maka pertanyaannya mengapa Desa Posi-Posi Rao memiliki hirarki yang tinggi di bandingkan
99
dengan Desa Daruba, hal ini karena hasil tersebut didasarkan pada teknik pembobotan fasilitas dalam metode skalogram. Namun, jika menggunakan pendekatan jumlah jenis fasilitas dan jumlah unit fasilitas maka sesungguhnya nomor 1 di Kepulauan Morotai adalah Desa Daruba, karena Desa Daruba memiliki Jumlah jenis Fasilitas sebanyak 28 dan Jumlah unit fasilitas sebanyak 116, sedangkan Desa Posi-Posi hanya memiliki jumlah jenis fasilitas sebanyak 13 dan jumlah unit fasilitas sebanyak 95. Dalam konteks ini jumlah jenis fasilitas lebih mempunyai arti penting dalam peranan sebagai pusat pelayanan dari pada jumlah unit fasilitas. Sebagai pusat pelayanan di Kepulauan Morotai, jika ditinjau dari aspek sistem produksi suatu barang dan jasa, Desa Daruba memiliki fasilitas dalam memproduksi barang dan jasa yang memiliki range of good dan treshold yang cukup tinggi. Ketersediaan fasilitas dalam memproduksi barang dan jasa di Desa Daruba memiliki range dengan daerah pelayanan yang luas yang mencakup seluruh wilayah Kepulauan Morotai. Kemudian juga Desa Daruba memiliki fasilitas dalam memproduksi barang dan jasa yang memiliki treshold volume penawaran yang besar untuk melayani permintaan akan barang dan jasa di Kepulauan Morotai. Tabel 20. Struktur Pusat-Pusat Pelayanan di Halmahera Utara di Ambil untuk Ranking Tertinggi Hirarki
No
Nama Kecamatan
Nama Desa
IPD
1
2
3
4
5
PERSIAPAN RAWAJA GAMSUNGI PERSIAPAN GOSOMA POSI POSI RAO LEO LEO SOA SIO DARUBA GURA TILEY SASUR GOTALAMO DORO LOU MADORO JERE
27983 27867 14708 10954 10588 10187 9096 8927 8136 7745 7006 6983 6641 6376
Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
Berdasarkan IPD
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
TOBELO TOBELO TOBELO MOROTAI SELATAN BARAT MOROTAI SELATAN BARAT GALELA MOROTAI SELATAN TOBELO MOROTAI SELATAN BARAT KAO MOROTAI SELATAN KAO MOROTAI SELATAN BARAT GALELA
Sumber: BPS (diolah) Data Podes Tahun 2005.
100
5.2.3. Arahan Pusat Pelayanan Perikanan di Halmahera Utara Berdasarkan analisis hirarki/ pusat pelayanan perikanan tangkap dan desa-desa pusat pelayanan di Kabupaten Halmahera Utara, yang selanjutnya dilakukan overlay antara kedua analisis wilayah tersebut secara spasial dengan maksud untuk mendapatkan arahan pengembangan pusat pelayanan perikanan tangkap di Halmahera Utara. Dari analisis pusat pelayanan perikanan tangkap hanya terdapat satu wilayah kecamatan yang mempunyai hirarki tinggi yaitu Kecamatan Morotai Selatan. Sedangkan untuk menentukan pusat pelayanan di Kecamatan Morotai Selatan, ditentukan berdasarkan analisis desa pusat pelayanan. Menurut hasil analisis desa-desa pusat pelayanan di Kecamatan Morotai Selatan, desa yang mempunyai hiararki tinggi adalah Desa Daruba dan Desa Gotalamo. Kedua desa ini berada dalam satu kawasan sebagai pusat kota di Kecamatan Morotai Selatan. Hasil analisis ini sangat realistis karena kedua desa tersebut selain sebagai pusat kota di Kepulauan Morotai juga sebagai pusat pelayanan dalam berbagai aktivitas masyarakat. Desa Daruba dan Desa Gotalamo memiliki infrastruktur sosial ekonomi yang cukup lengkap. Selain itu, kawasan ini juga memiliki aksesibilitas kawasan yang sangat tinggi baik ke Ibu Kota Provinsi yaitu Kota Ternate, Ibu Kabupaten yaitu Kota Tobelo dan juga ke Ibu Kota Kecamatan dalam lingkup wilayah Kepulauan Morotai, dengan beberapa moda transportasi diantaranya kapal penyebrangan ferry, pelaran rakyat, dan penerbangan perintis yang menghubungkan Kota Daruba dengan Kota Tobelo (melalui bandara Galela), serta Kota Daruba dengan Kota Ternate. Selain itu juga di Desa Daruba terdapat perusahaan perikanan PT. Primarefa Indo, sebagai satusatunya perusahaan perikanan cakalang yang ada di Kabupaten Halmahera Utara, yang kegiatan utamanya adalah sebagai penampung hasil-hasil perikanan tangkap cakalang dari nelayan di Kepulauan Morotai dan sekitarnya, kemudian komoditas cakalang tersebut diekspor ke Banyuwangi dan Jakarta. Dengan hasil analisis tersebut di atas maka arahan pengembangan pusat perikanan di Halmahera Utara layak di arahkan di Desa Daruba dan Desa Gotalamo Kecamatan Morotai Selatan. Namun mengingat kedua desa ini juga merupakan pusat kota, maka penentuan lokasi harus dipertimbangan dari aspek teknis seperti daya
101
dukung lahan, dampak lingkungan, aspek sosial budaya, aksesibilitas, dan lain sebagainya. 5.3. Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Cakalang di Kepulauan Morotai Kepulauan Morotai adalah gugusan pulau-pulau kecil di Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara yang terletak pada wilayah perbatasan antar negara yaitu antara Indonesia dengan Republik Palau di kawasan pasifik. Letaknya tersebut sangat potensial dalam konteks sumberdaya perikanan tangkap, karena wilayah ini dilalui oleh pola arus dari samudra pasifik dan migrasi ikan cakalang dari laut pasifik ke laut Halmahera dan laut Maluku yang melalui perairan Kepulauan Morotai. Menurut hasil penelitian Arifin (2006), menyimpulkan bahwa kepulauan Morotai merupakan daerah penangkapan ikan (DPI) cakalang yang potensial di Laut Maluku. Sehingga walaupun pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di Kepulauan Morotai sangat beragam yang terdiri dari beberapa komoditas, namun yang paling dominan adalah usaha perikanan tangkap komoditas cakalang. Usaha ini dikatakan dominan karena disetiap desa nelayan di Kepulauan Morotai usaha perikanannya adalah usaha perikanan tangkap cakalang dan usahanya sudah berorientasi ke pasar regional/ antar pulau. Kegiatan penangkapan cakalang di perairan Kepulauan Morotai merupakan salah satu usaha andalan masyarakat nelayan di Kepulauan Morotai, selain karena di perairan tersebut mempunyai potensi komoditas cakalang yang besar, usaha ini juga sudah menjadi tradisi masyarakat di Kepulauan Morotai, namun sampai saat ini pemanfaatannya belum optimal karena ada kelemahan kelembagaan yang mengelolah sumberdaya tersebut. Kondisi ini berdampak pada beberapa keterbatasan seperti modal usaha yang kecil, peralatan penangkapan yang masih tradisional, armada penangkapan yang kecil, jumlah hari trip yang kecil dan lemahnya manajemen usaha. Penangkapan ikan cakalang di Kepulaun Morotai dilakukan pada wilayah tanpa alat rumpon dan wilayah yang mempunyai alat rumpon, namun lebih banyak nelayan melakukan penangkapan di wilayah yang mempunyai alat rumpon, dengan jarak penangkapan antara 3 sampai dengan 12 mil laut. Umumnya nelayan perikanan tangkap cakalang di Kepulauan Morotai menggunakan alat tangkap huhate (pole and line), dan pancing ulur (hand line) dengan armada perahu kayu dengan ukuran/kapasitas kecil
102
sampai dengan perahu yang berkapasitas 5 ton, armada-armada tersebut ada yang menggunakan mesin ketinting dan diesel TS yang dimodifikasi untuk armada perikanan dengan jumlah ABK antara 2-3 orang, serta armada besar yang menggunakan Motor Tempel Yamaha enduro 40 PK dan mesin dalam dengan jumlah ABK antara 8 sampai dengan 12 orang. Dengan pemanfaatan perikanan tangkap yang disampaikan di atas hasil yang diperoleh masih belum optimal karena rata-rata jumlah ikan yang ditangkap untuk nelayan yang menggunakan armada kecil sebesar 69,78 kg per trip dan untuk armada besar rata-rata dalam satu kali trip sebesar 411,67 kg. Ada beberapa kendala yang menyebabkan nelayan di Kepulauan Morotai mempunyai hasil tangkapan yang kecil antara lain, Pertama; tingginya harga BBM merupakan salah satu kendala yang sangat dirasakan oleh nelayan di Kepulauan Morotai. Dengan tipologi wilayah kepulauan dan aksesibilitas antar desa yang rendah menyebabkan harga BBM antara desa satu dengan desa yang lainnya sangat berbeda, kisaran harga BBM di Kepulauan Morotai antara Rp. 5500/lt sampai dengan Rp. 7000/lt. Kedua; rendahnya harga ikan. Ketiga; banyaknya nelayan asing yang melakukan penangkapan di wilayah perairan Kepulauan Morotai. Ada nelayan asing yang mempunyai izin operasi di daerah lain seperti di Sulawesi Utara, ada yang memang tanpa izin sama sekali yang berasal dari negara Fhilipina dan Taiwan. 5.3.1. Aspek Biologi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Cakalang Data pemanfaatan sumber daya perikanan cakalang dalam analisis ini dibuat dalam 6 titik waktu mulai dari tahun 1999 – 2004. Selama periode 1999 sampai dengan 2004, hasil tangkapan atau produksi (catch) dan hasil per unit penangkapan (CPUE) perikanan Cakalang di Kepulauan Morotai untuk alat tangkap Pole and Line dan Hand Line berfluktuasi seperti terlihat pada Tabel 21. Dari Tabel 21, menunjukan bahwa hasil tangkapan tertinggi terdapat pada tahun 2004 yaitu sebesar 810 ton dengan intensitas penangkapan 2.642 trip, sedangkan terendah terjadi pada tahun 2000 dengan produksi sebesar 350 ton dan upaya penangkapan sebesar 958 trip. Sementara itu fluktuasi pertumbuhan produksi (catch) tertinggi terdapat pada tahun 2001 yaitu sebesar 105.71% dan fluktuasi terendah terjadi pada tahun 2000 yaitu -46.15%.
103
Tabel 21. Fluktuasi Catch, Effort dan CPUE Cakalang selama periode 1999 – 2004 di Kepulauan Morotai. Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Total Hasil Tangkapan Kg 650000 350000 720000 550000 670000 810000
Upaya Penangkapan Baku (Trip) Pole and Line
Hand Line
1698 912 2210 1553 1843 2408
82.16 46.56 130.00 121.80 164.82 234.01
Total Effort Trip (X) 1780.16 958.56 2340.00 1674.80 2007.82 2642.01
CPUE Kg/Trip (Y) 365.14 365.13 307.69 328.40 333.70 306.59
Sumber: Diolah dari Data Produksi PT. Primarefa Indo Morotai 2006 Upaya penangkapan (effort) juga mengalami fluktuasi selama kurun waktu 1999 – 2004. Selama 6 titik waktu tersebut, pada tahun 2001 terjadi kenaikan upaya penangkapan (effort) yang tertinggi, yaitu sebesar 144.12%. Sedangkan penurunan effort yang terbesar terjadi pada tahun 2000 yaitu mencapai -46.15%. Penurunan upaya penangkapan (effort) pada tahun 2000 disebabkan oleh dampak konflik yang terjadi pada bulan Desember tahun 1999. Nilai Catch Per Unit Effort (CPUE) merupakan jumlah tangkapan per satuan upaya penangkapan. Nilai CPUE mempunyai hubungan yang negatif terhadap nilai effort, artinya semakin tinggi nilai effort maka nilai CPUE semakin berkurang atau produktivitas alat tangkap yang digunakan akan berkurang jika dilakukan penambahan effort. Berdasarkan hasil olahan data yang diperoleh dari PT. Primareva Indo Morotai nilai CPUE tertinggi dalam kurung waktu 1999 – 2004 terjadi pada tahun 2002 yaitu sebesar 6.73%. Nilai CPUE terendah terjadi pada tahun 2001 yaitu sebesar -15.73%, hal ini terjadi karena pada tahun tersebut terjadi peningkatan effort seiring dengan kondisi keamanan pasca konflik yang mulai kondusif. 5.3.2. Fungsi Produksi Lestari Komoditas Cakalang Fungsi produksi lestari (maximum sustainable yield) merupakan hubungan antara hasil tangkapan dengan upaya penangkapan dalam bentuk kuadratik, dimana tingkat effort maupun hasil tangkapan yang diperoleh tidak akan mengancam kelestarian sumberdaya perikanan. Pendekatan dengan menggunakan fungsi produksi ini menggambarkan bahwa jika effort dinaikkan maka produksi juga akan naik dengan kecepatan yang menurun. Menurut Schaefer dalam Fauzi (2001), dengan menggunakan
104
metode analisis regresi linier antara upaya penangkapan (E) sebagai variabel independent (X) dan CPUE sebagai variabel dipendent (Y) akan diperoleh koefisien regresi α dan β yang merupakan penduga fungsi produksi lestari perikanan khususnya komoditas Cakalang dengan persamaan h = αE – βE2 di mana h adalah hasil tangkapan (kg) sedangkan E adalah tingkat upaya penangkapan (trip). Hasil pengolahan data dengan menggunakan metode regresi linier (ols), menunjukan nilai koefisien regresi α = 405.39 dan β = -0.0373, sehingga persamaan fungsi produksi lestari perikanan komoditas Cakalang di Kepulauan Morotai adalah h = 405.39E – 0.03731E2. Berdasarkan persamaan tersebut maka tingkat upaya penangkapan untuk mencapai produksi maksimum lestari (Emsy) sebanyak 5.434,18 trip dan menghasilkan tingkat produksi maksimum (hmsy) sebesar 1.101.481,58 kg/trip/tahun. Dengan demikian kondisi pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap khususnya komoditas cakalang di Kepulauan Morotai belum melampaui batas maksimum lestari karena secara aktual effort baru mencapai 2.642,01 trip dengan produksi sebesar 810.000 kg/trip/tahun. 5.3.3. Aspek Ekonomi Pemanfaatan Sumberdaya perikanan Cakalang Aspek utama dalam penelitian ini adalah terkait dengan struktur biaya dari usaha perikanan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap khususnya komoditas cakalang. Struktur biaya ini diperoleh dari data primer melalui wawancara langsung dengan responden. Struktur biaya dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap khususnya komoditas cakalang di Kepulauan Morotai dikategorikan dalam bentuk:
(1)
biaya tetap (fixed cost) yang meliputi biaya penyusutan beserta material penunjangnya, biaya perawatan, perizinan, dan lain-lainnya yang bersifat tetap setiap tahun; dan (2) biaya tidak tetap (variable cost) yang besarnya selalu berfluktuasi dan habis dipakai pada setiap operasi penangkapan, seperti biaya bahan bakar minyak (BBM dan pelumas), serta biaya konsumsi. Pembahasan mengenai struktur biaya penangkapan adalah dengan merujuk pada model bioekonomi Gordon-Schaefer yang mengasumsikan bahwa hanya biaya penangkapan (operasional) yang akan diperhitungkan. Biaya penangkapan tersebut dapat diartikan sebagai biaya tidak tetap (variable cost) yang dikeluarkan setiap trip penangkapan ikan. Dari struktur biaya ini diperoleh biaya per unit upaya yang
105
diperlukan bagi analisis rente ekonomi dari sumber daya di wilayah penelitian, dimana diketahui bahwa biaya rata-rata setiap trip penangkapan ikan dengan alat tangkap pole and line dan hand line adalah sebesar Rp. 450.000. Sesuai dengan asumsi yang dianut dalam model Gordon-Schaefer, harga persatuan output (produksi) adalah konstan. Harga produksi dihitung berdasarkan ratarata harga jual tangkapan responden pada waktu penelitian dilaksanakan. Harga jual ikan cakalang menurut responden berkisar antara Rp. 2500 sampai dengan Rp. 3.500 dengan harga rata-rata (p) sebesar Rp. 3000 per kg.
TC
MSY msy MEY mey
aktual
oa
TR
Gambar 6. Kurva Penerimaan Total dan Biaya Total 5.3.4. Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Komoditas Cakalang Kajian optimasi pemanfaatan sumber daya perikanan laut secara lestari baik dari aspek biologi maupun ekonomi dalam penelitian ini bioekonomi model GordonSchaefer yang bertitik tolak pada pendekatan faktor input. Pemanfaatan atau eksploitasi sumberdaya perikanan melalui pendekatan bioekonomik dilakukan melalui pendekatan analitik. Hasil olahan optimasi bioekonomi pada berbagai kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai selama periode 1999 – 2004 dapat dilihat pada Tabel 22 berikut ini.
106
Tabel 22. Optimasi Bioekonomi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Cakalang di Kepulauan Morotai selama periode 1999 – 2004 Variabel Upaya Penangkapan (Effort) Hasil Tangkapan (Kg) Rente Ekonomi (Rp)
Kondisi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Aktual Lestari (MSY) Open Access Optimasi (MEY) 2.642,01 5.434,18 6.846,92 3.423,46 810.000 1.101.481,58 1.027.037,53 950.667,29 1.241.095.500 859.062.712 0 1.311.475.579
Sumber: Analisis Bioekonomi 2006 Kondisi Aktual dan Lestari Upaya penangkapan atau effort pada kondisi aktual yang digunakan nelayan adalah sebesar 2.642 trip/tahun dengan catch sebesar 810.000 kg, sedangkan pada kondisi lestari effortnya sebesar 5.434,18 trip/tahun dengan volume hasil tangkapan sebesar 1.101.481,58 kg , hal ini membuktikan bahwa pada kondisi lestari jumlah effort yang digunakan melebihi dari kondisi aktual sehingga hasil tangkapannya juga lebih tinggi dari kondisi aktual tersebut. Demandan effort yang besar tersebut berimplikasi pada besar biaya operasional yang harus dikeluarkan, sehingga rente ekonomi yang diperoleh para nelayan pada kondisi lestari setiap tahun sebesar Rp. 859.062.712,sementara pada kondisi aktual sebesar Rp. 1.241.095.500,Dengan keuntungan yang diperoleh tersebut nelayan perikanan cakalang akan cenderung melakukan eksploitasi sumberdaya perikanan. Apabila eksploitasi dilakukan terus menerus tanpa memikirkan aspek konservasi maupun kelestarian stok sumberdaya berserta lingkungan perairannya, akan berakibat punahnya semberdaya tersebut sehingga dengan cepat merangsang terjadinya kepunahan. Implikasi proses pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan tersebut adalah adanya kelangkaan sumberdaya (resources scarcity). Kondisi tersebut tergambar dari meningkatnya harga komoditas, serta biaya ekstraksi (cost) yang diperlukan. Kondisi tersebut perlu dicegah, karena berdampak pada proses penurunan sumberdaya (resources depletion), sementara dari sisi konsumen juga mengalami kerugian karena tingginya harga produk. Jika dibandingkan dengan kondisi aktual, jumlah upaya penangkapan (effort) dan hasilnya (catch), maka pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkapan komoditas cakalang secara aktual di Kepulauan Morotai masih berada jauh pada titik hasil tangkapan lestari. Hal ini disebabkan karena peralatan penangkapan yang digunakan di Kepulauan Morotai masih dalam skala kecil baik kapasitas maupun tingkat teknologinya.
107
Kondisi Akses Terbuka Teori ekonomi menyangkut perikanan open access atau common property telah dikembangkan oleh Gordon sejak tahun 1954. Open access didefinisikan dengan seseorang atau pelaku perikanan yang mengeksploitasi sumberdaya secara tidak terkontrol atau dengan kata lain setiap orang dapat memanen sumberdaya tersebut (Clark, 1990). Pemanfaatan sumberdaya perikanan yang terjadi selama ini pada umumnya bersifat akses terbuka, tidak terkecuali hal ini juga terjadi di wilayah perairan Kepulauan Morotai. Kondisi open access ini memungkinkan semua pihak dengan bebas melakukan upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan (every one’s property is no one’s property), namun sedikit dari mereka yang memperhatikan pemulihan atau konservasi dari sumberdaya tersebut. Hal ini dikarenakan tidak adanya kepemilikan yang jelas dari sumberdaya perikanan tangkap. Di samping itu, tidak terdapat regulasi yang jelas seperti adanya pembatasan kuota dalam mengeksploitasi sumberdaya tersebut, sehingga para pelaku cenderung memaksimalkan hasil tangkapannya dengan meningkatkan upaya penangkapan guna memperoleh keuntungan yang lebih besar, karena menurut hukum permintaan dan penawaran, jika terjadi over supply maka akan terjadi penurunan harga, hal ini akan diikuti dengan peningkatan permintaan konsumen terhadap komoditas tersebut. Kondisi ini akan berpengaruh pada penurunan jumlah stok sumberdaya perikanan dan pada gilirannya dapat mengancam keberlanjutan komoditas dan pelaku usaha tersebut. Jika diasumsikan tingkat teknologi dan efisiensi usaha para nelayan pemanfaatan perikanan adalah sama, jika telah melampaui tingkat keseimbangan open access, keuntungan yang diperoleh nelayan mencapai titik maksimum (π = 0), sebaliknya jika teknologi dan efisiensi usaha heterogen, maka terjadi persaingan usaha penangkapan sehingga hanya nelayan dengan teknologi dan efisiensi usaha yang tinggi yang akan “survive” dan memperoleh keuntungan maksimum dari pemanfaatan sumberdaya tersebut. Sedangkan nelayan kecil pasti tersisih dari usaha perikana tersebut. Berdasarkan data pada Tabel 22 di atas, hasil optimasi data dapat diketahui bahwa pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap khususnya komoditas cakalang di perairan Kepulauan Morotai pada kondisi open access memperlihatkan bahwa tingkat effort yang digunakan para nelayan sebesar 6.846,92 trip per tahun, dengan hasil tangkapan
108
sebesar 1.027.037,53 kg per tahun di mana keuntungan yang diterima sama dengan nol (TR = TC). Dengan demikian, situasi yang terjadi pada kondisi tersebut akan merujuk pada dua argumen sebagai berikut : (1) Jika upaya penagkapan yang digunakan menghasilkan suatu keadaan dimana total cost lebih tinggi dari total revenue maka nelayan akan kehilangan penerimaannya dalam mengambil sumberdaya perikanan atau akan keluar dari usaha tersebut. (2) Jika upaya penangkapan yang digunakan menghasilkan suatu keadaan dimana total revenue yang diterima lebih besar dari total cost, maka nelayan akan
tertarik
untuk
melakukan
eksploitasi
dengan
meningkatkan
upaya
penangkapannya. Kondisi Optimal (Maximum Economic Yield) Kondisi optimum atau maximum economic yield (MEY) berperan penting dalam penentuan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari baik dari aspek biologi maupun aspek ekonomi. Hasil perhitungan optimasi perikanan menunjukan bahwa baik effort maupun hasil tangkapan pada kondisi optimal lebih rendah dari kondisi lestari maupun open access, yakni effort sebesar 3.423,46 trip/tahun, sedangkan produksi sebesar 950.667,29/tahun. Namun dilihat dari nilai rente ekonomi pada kondisi MEY justru mempunyai nilai keuntungan tertinggi terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap khususnya komoditas cakalang di Kepulauan Morotai yaitu sebesar Rp. 1.311.475.579,5.3.5. Sensitivitas Sumberdaya perikanan Cakalang Analisis sensitivitas pemanfaaatn sumberdaya cakalang dikembangkan untuk melihat perubahan yang akan terjadi pada harga jika terjadi kenaikan maupun penurunan. Dalam analisis sensitivitas ini dilakukan perubahan hanya pada faktor ekonomis yakni perubahan harga dalam hal ini harga input (biaya operasional per trip) dan harga output (harga ikan) terhadap peningkatan upaya penangkapan dan produksi pada kondisi open access. Hal ini dikarenakan harga merupakan faktor yang dinamis yang selalu mengalami pergerakan, selain itu untuk mengatasi keterbatasan data sekunder yang meliputi produksi perikanan tangkap laut, jumlah alat tangkap dan harga hasil tangkapan per tahun maka disusunlah skenario kenaikan dan penurunannya.
109
Kenaikan dan penurunan tersebut akan dibandingkan dengan kondisi awal upaya penangkapan dan hasil sumberdaya perikanan pada kondisi open access. Tabel 23. Skenario Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara. No. Skenario 1 Kondisi awal 2 Harga Ikan Naik 10 % 3 Harga Ikan Naik 20 % 4 Harga Ikan Turun 10 % 5 Harga Ikan Turun 20 % 6 Harga Input Naik 10 % 7 Harga input Turun 10 % 8 Harga input Naik 10 % Ikan naik 10 % 9 Harga Input Naik 10 % Ikan Turun 10 % 10 Harga Input Turun 10 % Ikan Naik 10 % 11 Harga Input Turun 10 % Ikan turun 10 % 12 Harga Input Naik 10 % Ikan Naik 20 % 13 Harga Input Naik 10 % Ikan Turun 20 % 14 Harga Input Turun 10 % Ikan Naik 20 % 15 Harga Input turun 10 % Ikan Turun 20 % Sumber: Hasil Olahan Data, 2006.
Eoa
Hoa
6.846,92 7.212,50 7.517,16 6.400,09 5.841,55 6.444,77 7.249,06 6.846,92 5.953,26 7.578,09 6.846,92 7.182,04 5.338,87 7.852,28 6.344,24
1.027.037,53 983.523,14 939.644,77 1.066.681,56 1.095.291,55 1.063.387,40 978.623,32 1.027.037,53 1.091.431,33 930.038,22 1.027.037,53 987.530,16 1.101.142,76 883.381,37 1.070.589,81
Dari Tebel 23 menunjukkan bahwa secara umum jika terjadi kenaikan maupun penurunan harga ikan maka kondisi pengelolaan sumberdaya perikanan cakalang akan mengalami kenaikan maupun penurunan jumlah upaya penangkapan dan hasil tangkapan pada kondisi open access. Hal tersebut terjadi karena pada kondisi open access nelayan akan berusaha mencari hasil tangkapan sebesar-besarnya dengan meningkatkan upaya penangkapannya. Sebaliknya bila terjadi penurunan harga ikan maka nelayan akan mengurangi aktivitas penangkapan di laut. Pada sisi lain jika terjadi peningkatan harga input maka biaya operasional penangkapan akan meningkat sehingga aktivitas penangkapan akan mengalami penurunan, sedangkan jika harga input turun maka nelayan akan meningkatkan upaya penangkapannya untuk mendapatkan hasil sebanyak-banyaknya. Berdasar hasil penelitian skenario optimasi pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalnag di Kepulauan Morotai Halmahera Utara menunjukkan bahwa peningkatan upaya penangkapan tertinggi terjadi pada kondisi harga input turun 10 % harga ikan naik 20 %. Hasil ini menunjukkan bahwa kombinasi harga diatas dapat meningkatkan
110
upaya penangkapan yang dilakukan oleh nelayan atau pelaku perikanan. Fenomena tersebut menggambarkan para nelayan atau pelaku perikanan akan terus berlombalomba untuk meningkatkan upaya penangkapan dalam memperoleh rente ekonomi. Di sisi lainnya, di perairan Kepulauan Morotai Halmahera Utara sangat rentan terhadap kegiatan illegal fishing karena banyaknya armada perahu nelayan asing dari Fhillipina dan Taiwan yang beroperasi di wilayah tersebut. Dalam konteks inilah tantangan mendasar dalam pengelolaan perikanan cakalang di wilayah Kepulauan Morotai yaitu bagaimana suatu kebijakan penetapan harga, baik harga input maupun harga output, kemudian pengaturan regulasi dan kerjasama antar negara dan daerah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan cakalang sehingga dapat menunjang pembangunan ekonomi wilayah di Kepulauan Morotai dan tercipta kegiatan pembangunan yang sesuai dengan daya dukung lingkungan sehingga pembangunan ekonomi di wilayah Kepulauan Morotai dapat berlangsung secara berkesinambungan. Berkaitan dengan skenario perubahan harga input dan output, para pengambil kebijakan selalu dihadapkan pada pertanyaan bagaimana dampak dari terjadinya kenaikan harga output sebesar 20 % dan penurunan harga input sebesar 10 % terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan yang bersifat open access. Dari hasil analisis skenario di atas, menunjukkan bahwa jika terjadi peningkatan harga output 20 % dan penurunan harga input 10 %, maka sangat dikhawatirkan kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan seperti itu akan mengalami misalokasi sumberdaya perikanan, sementara hasil tangkapan yang diperoleh sangat kecil.
Dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa instrumen kebijakan tersebut tidak layak diterapkan karena dapat menyebabkan semakin meningkatnya upaya penangkapan terutama bagi nelayan yang bermodal besar dengan tingkat teknologi yang lebih canggih, yang berbuntut terhadap rusaknya kualitas lingkungan pesisir dan mengancam keberlanjutan pembangunan wilayah. Sedangkan upaya penangkapan terendah terjadi pada kondisi harga ikan turun 20 % dan harga input naik 10 %. Fenomena tersebut memperlihatkan bahwa kebijakan yang diterapkan pada dua kondisi di atas akan menurunkan upaya penangkapan, akan tetapi dari sisi hasil tangkapan justru mengalami peningkatan. Hal ini terjadi karena dengan penurunan harga ikan 20 % dan kombinasi harga input naik 10 % akan
111
meningkatkan biaya operasional dan juga dengan turunnya harga ikan maka tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan akan semakin berkurang. Disamping itu, penetapan harga tersebut justru memberikan dampak positif dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap karena aktivitas penangkapan semakin berkurang sedangkan rente ekonomi yang diperoleh mengalami peningkatan. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap diatas secara umum lebih sesuai untuk diusahakan dan dikembangkan karena lebih menjamin keberkelanjutan sumberdaya alam dan secara khusus dapat mengurangi tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan yang berlebihan, mencegah timbulnya misalocation sumberdaya serta pengurasan sumberdaya yang tidak efisien. Berkaitan dengan kajian di atas, instrumen kebijakan yang dapat diterapkan dalam pengembangan sektor perikanan cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara yakni dengan memadukan kebijakan harga output dan harga input produksi. Instrumen kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan yang patut dipertimbangkan dalam kaitan dengan permasalahan ini yakni kebijakan yang mengarah pada pengurangan output maupun input yang berlebihan. Salah satu cara konvensional yang umum digunakan untuk mengurangi output produksi yaitu dengan menerapkan sistem quota dan limited entry pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap seperti pembatasan jumlah kapal maupun alat tangkap yang beroperasi dalam suatu perairan maupun jumlah trip penangkapan, sedangkan untuk harga input yaitu dengan penetapan pajak. Strategi lainnya yang dapat dijadikan alternatif untuk mengurangi kelebihan faktor output dan input produksi adalah dengan mengembangkan potensi ekonomi wilayah di Kepulauan Morotai di luar sektor perikanan, sehingga surplus tenaga kerja dapat diserap dengan melalui mobilisasi vertikal dan horizontal tenaga kerja. Selain itu, menurut Fauzi (2000b) strategi konservasi dengan mengembangkan Marine Protected Area (MPA) yang mempertimbangkan faktor-faktor sosial ekonomi dapat dijadikan pilihan karena sumberdaya perikanan akan mengalami apresiasi dalam jangka panjang dan memberikan manfaat bagi kesejahteraan nelayan secara komprehensif. 5.4. Kelembagaan Perikanan Cakalang di Kepulauan Morotai Menurut Rustiadi et al. (2005), penguasaan dan pengelolaan sumberdaya sangat ditentukan oleh sistem kelembagaan yang berlaku dalam masyarakat. Sistem nilai yang
112
berlaku dalam suatu kelompok masyarakat, dapat menentukan pembagian tanah atau lahan bagi anggota masyarakat. Kelembagaan (institution), sebagai kumpulan aturan main (rules of the game) dan organisasi, berperan penting dalam mengatur Demandan/ alokasi sumberdaya secara efisien, merata, dan berkelanjutan (sustainable). Dalam penelitian ini kelembagaan perikanan yang menjadi kajian adalah kelembagaan pemerintah, pengusaha dan nelayan dalam usaha pemanfaatan sumber daya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara. 5.4.1. Kondisi Kelembagaan Perikanan Pemerintah Daerah Sejak tahun 2003 Kabupaten Halmahera Utara dibentuk melalui pemekaran wilayah dari Kabupaten Maluku Utara, sedangkan pembentukan Dinas Perikanan dan Kelautan dibentuk pada tahun 2004 yang berkedudukan di Tobelo sebagai Ibu Kota Kabupaten. Namun kondisi kelembagaan perikanan pemerintah daerah di Kepulauan Morotai sama dengan kondisi sebelum pemekaran yaitu hanya berbentuk petugas perikanan. Dinas perikanan di kabupaten memiliki tugas pokok dan fungsi sebagai dinas teknis daerah yang melaksanakan program-program di bidang perikanan di Halmahera Utara, terutama sebagai fasilitator dan regulator, pembinaan dan penyuluhan serta bantuan prasarana dan sarana serta modal usaha. Sedangkan fungsi Petugas perikanan di tingkat kecamatan yaitu melakukan pendataan potensi perikanan, inventarisasi masalahmasalah perikanan, pendataan produksi nelayan dan pengusaha, pembinaan dan penyuluhan serta penarikan retribusi. Dari tugas dan fungsi Dinas Perikanan di atas, dilakukan melalui program pembangunan dan program pembangunan yang direalisasikan adalah program pengembangan perikanan tangkap dan budi daya, program pengembangan ekonomi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, serta program pengembangan pengawasan berbasis masyarakat. Namun ada program-program yang belum terrealisasi adalah pengembangan prasarana dan sara perikanan. Sedangkan realisasi petugas perikanan di kecamatan yaitu pendataan potensi perikanan, inventarisasi masalah-masalah perikanan, pendataan produksi nelayan dan pengusaha serta penarikan retribusi, sementara yang belum terealisasi adalah kegiatan pembinaan dan penyuluhan.
113
Implikasi dari pelaksanaan program dibidang perikanan yang dilakukan oleh Dinas Perikanan Kabupaten Halmahera Utara adalah tersedianya sarana perikanan tangkap serta modal usaha bagi nelayan, namun sarana dan modal yang diberikan masih sangat terbatas baik jumlah maupun mutunya. Program yang dilakukan jika dilihat dalam jangka panjang tidak mempunyai prospek yang bagus karena pragram selalu dalam bentuk bantuan sarana dan modal usaha (fisik/finansial) perikanan, sementara penyiapan sumberdaya, ketrampilan dan kelembagaan perikanan nelayan tidak dilaksanakan. Apalagi program bantuan sarana dan modal yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan nelayan. Dalam upaya untuk mengelolah sumberdaya perikanan cakalang yang ada di pulau-pulau kecil, pemerintah daerah Halmahera Utara selama ini hanya bersandar pada aturan-aturan secara nasional, baik Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah, hal ini karena selama ini pemerintah daerah baik sebelum pemekaran dan setelah pemekaran belum memiliki peraturan daerah (Perda) yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya perikanan. 5.4.2. Kondisi Kelembagaan Pengusaha dalam bidang Perikanan Cakalang Pengusaha yang melakukan investasi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan komoditas cakalang di Kepulauan Morotai saat ini hanya terdapat satu perusahaan yaitu PT. Primareva Indo. Perusahaan ini mulai beroperasi pada akhir tahun 1997 sebagai perusahaan pengumpul dan pengawetan (cold storage). PT. Primareva Indo tidak memiliki armada sendiri tetapi hanya melakukan kegiatan pembelian hasil tangkapan nelayan (sebagai penampung ikan cakalang segar) kemudian hasilnya diekspor ke Banyuwangi dan Jakarta. Karena hanya terdapat satu perusahaan maka organisasi antar perusahaan jelas tidak ada. Kelembagaan yang ada hanya mengatur secara internal perusahaan dalam pemanfaatan komoditas cakalang. Hubungan Perusahaan dengan nelayan di Kepulauan Morotai melalui dua pola yaitu dengan sistem kemitraan dan bukan kemitraan. Nelayan yang mempunyai kemitraan akan mendapat bantuan prasarana dan sarana penangkapan dari perusahaan namun nelayan tersebut mempunyai kewajiban menjual hasil tangkapannya kepada perusahaan. Sedangkan nelayan yang tidak bermitra tentu tidak
114
mendapat fasilitas dari perusahaan dan tidak mempunyai kewajiban apapun untuk perusahaan. Dengan hanya terdapat satu perusahan perikanan cakalang di Kepulauan Morotai menciptakan kondisi pasar cakalang menjadi pasar monopoli. Karena hanya terdapat satu pembeli maka harga ikan hanya ditentukan oleh perusahaan. Kondisi ini jelas merugikan nelayan yang tidak melakukan kemitraan karena pada satu sisi mereka tidak mendapat bantuan prasarana dan sarana tangkapan, pada sisi yang lain mereka terpaksa harus menjual hasil tangkapan mereka kepada perusahaan PT. Primareva Indo karena pasar komoditas cakalang yang masih terbatas. Selain hanya terdapat satu perusahaan pengumpul atau pembeli hasil tangkapan, pihak sawasta seperti perbankan dan koperasi juga belum terlihat pernannya dalam pengembangan pemanfaatan perikanan cakalang di Kepulauan Morotai. Di kepulauan ini hanya terdapat satu Bank yakni Bank Rakyat Indonesia (BRI) Unit Daruba. Menurut hasil wawancara dengan pihak perbankan BRI unit Daruba, kurang berperannya perbankan dalam pemanfaatan perikanan cakalang di Kepulauan Morotai karena pengorganisasian nelayan baik kelompok nelayan maupun koperasi nelayan di Kepulauan Morotai belum terbentuk sehingga kemitraan dan pembinaan terhadap nelayan dalam penyaluran kredit usaha mengalami kendala. 5.4.3. Kondisi Kelembagaan Nelayan Perikanan Cakalang Nelayan di Kepulauan Morotai Halmahera Utara adalah nelayan perikanan tangkap dan hanya terdapat sebagian kecil nelayan budidaya rumput laut dan kerapu hidup. Komoditas cakalang menjadi jenis ikan yang paling banyak dimanfaatkan oleh nelayan perikanan tangkap di Kepulauan Morotai. Prasarana dan sarana nelayan cakalang masih tradisional. Dengan peralatan tangkap yang terbatas sehingga jumlah hari trip nelayan cakalang di Kepulauan Morotai hanya one day trip. Dari aspek peralatan penangkapan, nelayan cakalang di Kepulauan Morotai mempunyai dua peralatan yaitu hand line dengan armada kecil yang jumlah ABK antara 2 - 4 orang dan pole and line dengan armada besar yang mempunyai ABK antara 7 – 12 orang. Umumnya nelayan cakalang di Kepulauan Morotai belum terorganisir dengan baik, yang ada hanya pengorganisasian secara internal dalam satu armada penangkapan.
115
Secara internal dalam satu armada aturan-aturan yang mengatur hubungan antara pemilik kapal, juragan dan ABK umumnya sangat jelas, apakah tentang pembagian tugas antar ABK saat melaut maupun pembagian hasil penangkapan (kelembagaan bagi hasil). Usaha perikanan cakalang umumnya dimiliki oleh usaha perorangan dan hanya beberapa unit usaha saja yang menjadi milik orang lain/ pengusaha yang diusahakan oleh nelayan. Sistem pembagian hasil umumnya dibagi dua yaitu 50 % dari hasil tangkapan untuk pemilik perahu dan 50% untuk ABK, pembagian ini dilakukan setelah mengurangi biaya BBM dan operasional lainnya. Nelayan cakalang di Kepulauan Morotai sebagian besar tidak mempunyai hubungan kemitraan dengan pengusaha/ perusahaan (kelembagaan hubungan kerja). Kondisi ini tercipta karena sebagian besar nelayan tidak terorganisir dengan baik. Namun nelayan cakalang di Desa Sangowo berbeda dengan desa-desa lainnya, mereka terhimpun dalam tiga kelompok nelayan yaitu kelompok nelayan Bahari Mandiri, Tuna Abadi dan Bubu Guraci. Kelompok- kelompok nelayan ini sudah terorganisir dengan baik, mereka mempunyai badan pengurus dan aturan-aturan organisasi (AD/ART). Dengan kondisi seperti itu hak dan kewajiban anggota secara organisasi telah diatur dengan baik untuk mensejahterakan anggotanya. Walaupun nelayan Desa Sangowo memiliki kelembagaan yang baik namun mereka memiliki armada penangkapan yang umumnya berukuran kecil dengan mesin ketinting yang berkapasitas 5 PK, dengan jumlah ABK hanya 2 orang per armada. Dengan kondisi yang terorganisir tersebut nelayan di Desa Sangowo melakukan kemitraan dengan PT. Primareva Indo, sehingga dengan kemitraan ini nelayan dapat merasakan kepastian pasar walaupun harga yang dibeli kadang-kadang tidak sesuai dengan harga ikan di pasar lokal, namun mereka mempunyai kepastian harga dan pasar yang lebih baik dari yang tidak bermitra. Berdasarkan penelitian ini, kelembagaan nelayan di Kepulauan Morotai Halmahera Utara selain tidak memiliki kelompok nelayan yang memadai, nelayan di Kepulauan Morotai juga tidak memiliki organisasi atau usaha-usaha dagang atau koperasi. Kondisi ini sangat menyulitkan bagi pemerintah daerah maupun pengusaha dalam melakukan pembinaan, penyuluhan dan kemitraan. Di sisi lain, kondisi
116
kelembagaan nelayan ini akan memperlemah nilai tawar nelayan itu sendiri terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah maupun perusahaan atau kondisi pasar. 5.4.4. Analisis Interaksi antar Unsur Lembaga Perikanan Cakalang. Dalam analisis interaksi antar unsur lembaga yang memanfaatkan sumberdaya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara dilakukan dengan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif dengan terlebihdahulu melihat fungsi dan peranan masing-masing lembaga kemudian dilanjutkan dengan analisis pola interaksi antar lembaga tersebut. Berdasarkan Tabel 24 menunjukan bahwa fungsi dan peran dari masing-masing unsur lembaga belum terrealisasi dengan baik. Dari fungsi dan peranan tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif kemudian di ranking dalam tiga kategori yaitu fungsi dan peranan yang baik, cukup dan kurang. Tabel 24. Fungsi dan Peranan Unsur Lembaga Perikanan Cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara. Unsur Lembaga Fungsi dan Peranan Realisasi Permasalahan Pemerintah Daerah
Pengusaha
Nelayan
1. Sebagai Fasilitator dan Regulator. 2. Melakukan Pembinaan dan Penyuluhan.
1. Cukup
3. Memberikan Bantuan Modal kepada nelayan. 1. Melakukan Kemitraan dengan nelayan 2. Melakukan Kemitraan Pemda.
3. Kurang
1. Melakukan pembinaan kepada Angt. Nelayan. 2. Melakukan Kemitraan dengan Pengusaha. 3. Melakukan Kemitraan dengan Pemda.
1. Kurang
2. Kurang
1. Kurang 2. Kurang
2. Kurang
1.Keterbatasan Biaya dan waktu. 2.Keterbatasan Biaya dan Tenaga Pegawai/Penyuluh. 3.Sarana dan modal tidak sesuai kebutuhan 1.Nelayan tdk Terorganisir 2.Pemahaman yang terbatas dari Pemda. 1.Nelayan tdk terorganisir
3. Cukup
Sumber: Diolah dari data primer 2006.
117
Unsur lembaga pemerintah daerah mempunyai fungsi dan peranan sebagai fasilitator dan regulator, pembinaan dan penyuluhan, serta memberikan bantuan berupa sarana dan modal dalam usaha perikanan tangkap. Dari fungsi dan peranan tersebut realisasinya untuk fungsi fasilitator dan regulator berada dalam kategori cukup, sedangkan pembinaan dan penyuluhan serta bantuan modal realisasinya masih terasa kurang. Hal ini karena dalam realisasi fungsi-fungsi tersebut terdapat kendala-kendala yaitu keterbatasan biaya dan waktu, tenaga lapangan/penyuluh, dan ketidaksesuaian bantuan modal yang dibutuhkan oleh nelayan. Sedangkan unsur lembaga pengusaha fungsi dan peranannya adalah melakukan kemitraan dengan nelayan dan pemerintah daerah, dari kedua fungsi tersebut menunjukan hasil yang masih kurang. Hal ini terjadi karena terdapat kendala-kendala seperti tidak terorganisirnya kelompok nelayan serta kurang pemahaman dari pemerintah daerah dalam upaya memberikan dukungan kepada pengusaha dalam membangun kemitraan antara pengusaha dan nelayan. Selanjutnya unsur lembaga nelayan fungsi dan peranannya adalah melakukan pembinaan ketrampilan dan manajemen usaha kepada anggota kelompok (nelayan), dan melakukan kemitraan dengan pengusaha dan pemerintah daerah, dari fungsi tersebut realisasinya sangat kurang karena sebagian besar desa-desa nelayan belum terdapat organisasi nelayan yang telah berfungsi dengan baik. Hubungan antara ketiga unsur kelembagan perikanan yaitu pemerintah daerah, pengusaha dan nelayan (kelompok nelayan) harus mempunyai suatu hubungan yang sinergis dan menguntungkan secara sosial ekonomi. Untuk mencapai kondisi tersebut perlu kesiapan-kesiapan dari ketiga unsur kelembagaan perikanan dalam meciptakan suatu kondisi kelembagaan yang sinergi, sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi, pemerataan dan keberlanjutan usaha perikanan cakalang di Kepulauan Morotai Halamahera Utara. Pada Tabel 25 menunjukan hubungan antara unsur lembaga pemerintah daerah, pengusaha dan nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara. Tabel 25 menunjukan bahwa interaksi antara unsur-unsur lembaga dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang belum mempunyai pola hubungan yang saling mendukung. Hal ini terjadi karena ketiga unsur tersebut belum mempunyai persepsi dan komitmen yang sama dalam pemanfaatan dan
118
pengembangan sumberdaya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai. Berdasarkan hasil wawancara di lapangan ketiga unsur lembaga perikanan tidak mempunyai media komunikasi dan pembinaan yang teratur, sehingga komunikasi, kerjasama, dan pembinaan hanya terjadi secara insidentil. Tabel 25. Interaksi antara Unsur Lemabaga dalam Pemanfataan SD Perikanan Cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara. Interaksi Pemda Perusaha Nelayan Pemda
-
Pengusaha selalu melaksanakan kewajibankewajiban kepada Pemda dalam bentuk pajak, retribusi dan kewajiban lainnya. Tetapi tidak melakukan hubungan kemitraan dengan Pemda dan kelompok nelayan Nelayan selalu Nelayan melaksanakan kewajibankewajiban kepada Pemda dalam bentuk pajak, retribusi dan kewajiban lainnya. Namun rendahnya ketrampilan dan SDM membuat mereka tidak terorganisir dengan baik. Sumber: Diolah dari data primer, 2006. Pengusaha
Pemda belum mempunyai pemahaman yang baik ttg peranan pengusaha dalam membangun kemitraan dengan nelayan. Sehingga dukungan kepada pengusaha untuk investasi sangat kurang. -
Pemda kurang melakukan pembinaan dan penyuluhan. Bantuan dari Pemda tidak sesuai dengan kebutuhan nelayan. Pengusaha selalu berupaya untuk melakukan hubungan kemitraan dengan nelayan. Namun sistemnya masih merugikan nelayan.
Nelayan tidak terorganisir dengan baik, kemudian skala usahanya masih kecil menjadikan produktivitas mereka rendah.
-
Selain itu keterlibatan pengusaha dan kelompok nelayan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan perikanan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Halmahera Utara sangat kurang. Pengusaha dan nelayan hanya dijadikan obyek, bukan sebagai subyek pembangunan. Dengan kondisi itu menyebabkan program yang disusun tidak memenuhi kebutuhan dari nelayan dan pengusaha.
119
5.4.5. Analisis Kelembagaan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Cakalang Kelembagaan dapat diartikan sebagai organisasi dan atau aturan main (the rules of the game). Kelembagaan sebagai organisasi biasanya menunjuk pada lembagalembaga formal seperti Departemen Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Daerah, Koperasi Unit Desa, Kelompok Nelayan dan Petani Ikan, Bank dan sejenisnya. Atau dalam masyarakat yang secara lebih formal dapat dikatakan sebagai alat manusia guna mengatur perilaku individual anggotanya yang membangun pengaturan dalam interaksi antar anggota-anggota dalam masyarakat tersebut melalui norma-norma tertentu. Pada analisis kelembagaan perikanan komoditas cakalang dalam penelitian ini, dikaji pada tiga unsur kelembagaan yang dilakukan dengan
pendekatan deskripsi
kualitatif yang menitik beratkan pada tiga aspek yaitu batas yurisdiksi, hak kepemilikan, dan aturan representasi. Analisis deskriptif kelembagaan perikanan ini ditinjau dari hubungan kelembagaan antara Pemerintah, pengusaha dan nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang. Batas Yurisdiksi Banyak permasalahan dan isu dalam ekonomi yang berkaitan dengan struktur dari batas yurisdiksi. Konsep batas yurisdiksi dapat memberi arti batas kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga dalam mengatur sumberdaya. Dalam kasus pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap komoditas cakalang, batas yurisdiksi memegang peranan penting dalam menentukan penanggung dan keluaran. Sumberdaya perikanan laut termasuk komoditas cakalang yang lokasinya tersebar
sangat
luas
di
wilayah
perairan
nusantara,
dalam
melaksanakan
pengendaliannya mengalami kesulitan karena mahalnya biaya-biaya transaksi (biaya pemantauan, enforcement) dari claim negara ataupun pihak-pihak tertentu atas sumberdaya tersebut, sehingga dalam prakteknya tidak mungkin dapat terwujudkan. Dengan demikian, sumberdaya perikanan tersebut mengalami ‘semacam akses terbuka’ (quasi open access resources) dimana semua pihak mau memaksimumkan keuntungan dari sumberdaya tersebut, sedangkan tidak satupun mau memelihara kelestariannya.
120
Berdasarkan kondisi kelembagaan perikanan dari unsur pemerintah daerah menunjukan bahwa batas kekuasaan atau otoritas kelembagaan dimaksud memiliki kekuasaan yang terbatas dalam pengelolaan sumberdaya perikanan cakalang. Menurut Peraturan Menteri kelautan dan perikanan Nomor: PER.17/MEN/2006 tentang usaha perikanan tangkap, Pasal 19 ayat 2; pemerintah kabupaten atau Bupati diberi kewenangan untuk menerbitkan SIUP dan atau SIKPI bagi kapal perikanan yang berukuran 5 – 10 GT kepada orang atau badan hukum yang berdomisili di wilayah administrasinya dan beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yang menjadi kewenangannya, serta tidak menggunakan modal dan atau tenaga kerja asing. Mencermati aturan di atas dan dikaitkan dengan kondisi aktivitas penangkapan ikan cakalang di wilayah perairan Kepulauan Morotai (bagian utara Laut Maluku) maka terdapat ketimpangan yang besar. Di perairan Kepulauan Morotai misalnya banyak terdapat kapal asing yang berkapasitas antara 30 – 200 GT yang melakukan kegiatan penangkapan ikan cakalang, baik yang mempunyai izin dari pemerintah pusat, atau izin dari pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, maupun izin dari pemerintah Provinsi Maluku Utara. Ironisnya izin tersebut tidak dikoordinasikan kepada pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, sehingga pemerintah daerah Halmahera Utara mengalami kesulitan dalam melakukan pengawasan. Mestinya daerah-daerah yang wilayah perairannya berada di wilayah perbatasan harus diberi kewenangan khusus dalam mengelolah sumberdaya perikanan baik yang mengatur tentang perizinan dan pengawasan karena pada wilayah ini aktivitas penangkapan ikan sangat tinggi dan sangat rawan akan terjadi kegiatan-kegiatan pencurian ikan oleh nelayan daerah/negara tetangga. Sementara itu untuk unsur kelembagaan nelayan di Kepulauan Morotai Halmahera Utara tidak mengatur tentang otoritas atau kekuasaan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan cakalang. Namun nelayan di lokasi penelitian mempunyai kesamaan pola pikir bahwa keberadaan sumberdaya laut yakni “sumberdaya perikanan adalah milik bersama (common property) dan siapa saja mempunyai hak yang sama atas sumberdaya tersebut”. Sesuai hasil pengamatan di lapangan, pada prinsipnya masyarakat nelayan khususnya yang lebih berkepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya laut tidak merasa keberatan terhadap penilaian di atas, namun lokasi pemanfaatannya haruslah diatur sedemikian rupa agar tidak mengganggu aktivitas
121
mereka di dalam usaha penangkapannya, seperti keberadaan kapal dan rumpon yang dari nelayan asing Fhillipina dan Taiwan. Dalam konteks sesama nelayan lokal, dengan adanya rumpon di suatu wilayah penangkapan telah memberi signal bagi nelayan lainnya bahwa daerah penangkapan tersebut merupakan lokasi penangkapan yang sudah ditetapkan nelayan tertentu dan memberi kejelasan kepada nelayan lainnya bahwa daerah tersebut merupakan batas wilayah operasinya, sehingga bila terdapat nelayan lain ataupun masyarakat yang beroperasi di wilayah tersebut akan menimbulkan konflik.
Sedangkan untuk alat
tangkap yang sifatnya bergerak aktif seperti jaring, relatif sukar untuk menentukan batas-batas wilayah penangkapan karena tidak ada rambu/tanda yang menandakan kepemilikan fishing ground oleh nelayan tertentu. Hak Kepemilikan Konsep hak pemilikan selalu mengandung makna sosial, yang mencakup hak (rights) dan kewajiban (obligations) yang diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Implikasinya adalah (1) hak individu merupakan tanggung jawab bagi orang lain, dan (2) kepemilikan adalah sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya perikanan. Dalam kaitannya dengan sifat sumberdaya perikanan laut yang open access, maka hak kepemilikan menjadi suatu polemik diantara para ahli perikanan, dimana jika sumberdaya perikanan menjadi milik setiap orang bukan milik siapapun maka tak seorangpun yang mau bersusah payah untuk memelihara dan mengurus sumberdaya tersebut. Hal ini karena dia tak merasa pasti akan menerima sebagian dari hasil pengelolaannya karena tidak mempunyai hak kepemilikan dari hasilnya. Sebaliknya jika ada lembaga hak milik perseorangan, belum cukup untuk menjamin pengelolaan yang efisien atas sumberdaya tersebut. Oleh karena itu, hak kepemilikan tersebut haruslah diberikan dalam kadar yang cukup di mana bisa menjamin bahwa pengelola dapat mengendalikan milik tersebut sepenuhnya. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di bagi dalam wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Perairan Kepulauan Morotai adalah bagian dari Laut Maluku yang merupakan salah satu WPP di perairan
122
Indonesia. Dalam setiap WPP tersebut diatur jarak dan wilayah penangkapan dari garis pantai yang disesuaikan dengan kapasitas kapal perikanan yang dimiliki. Namun dengan pengawasan yang lemah secara umum operasionalnya sangat merugikan nelayan lokal. Untuk itu maka kegiatan pengawasan mestinya ditingkatkan terutama pada wilayahwilayah perbatasan dan wilayah yang potensial. Sedangkan secara tradisional masyarakat nelayan di wilayah Kepulauan Morotai dalam penentuan hak kepemilikan sumberdaya perikanan laut masih bersifat milik bersama dimana belum adanya hak kepemilikan perorangan ataupun lembaga pemerintah maupun pengusaha/swasta. Namun demikian, lokasi penangkapan bagi nelayan setempat biasanya sudah berjalan secara alami dan sudah merupakan kesepakan yang tidak tertulis antara nelayan maupun kelompok nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut. Namun mengingat wilayah ini berada di daerah perbatasan dengan Provinsi Sulawesi Utara dan Negara Fhillipina serta Republik Palau maka gangguan dan kegiatan illegal fishing sering terjadi dari nelayan Sulawesi Utara dan Nelayan asing tersebut. Kejadian illegal fishing tersebut terjadi karena koordinasi antar pemerintah pusat dan daerah yang tidak jalan sebagaimana mestinya sehingga pengawasan kapal yang beroperasi sesuai dengan wilayah perizinan tidak berjalan dengan baik. Aturan Representasi Aturan representasi (rules of representation) mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap performance akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu, aturan representasi menentukan alokasi dan distribusi sumberdaya yang langka, sehingga analisis kelembagaan mengenai alternatif aturan representasi akan berguna untuk memecahkan masalah efisiensi dalam pengambil keputusan. Dalam hubungan pemerintah daerah, pengusaha dan nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan dalam hal aturan representasi tercermin pada pengambilan keputusan, baik yang terkait dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan program pengembangan perikanan, perizinan usaha perikanan, pajak, retribusi dan lainlain sebagainya.
123
Dalam konteks ini menunjukan dominasi pemerintah daerah sangat besar, pemerintah daerah sebagai penguasa di daerah sering melakukan keputusan yang sepihak tanpa melakukan musyawarah dengan pengusaha dan nelayan. Kondisi ini terjadi karena pertama; kelembagaan nelayan dan pengusaha tidak mempunyai kekuatan untuk bergaining dengan pemerintah dalam proses pengambilan keputusan; yang kedua; belum adanya aturan/kelembagaan di tingkat daerah yang secara spesifik mengatur tentang pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap/ cakalang, sehingga pengelolaan sumberdaya tersebut belum mempunyai orientasi yang spesifik sesuai dengan potensi dan permasalahan di daerah. Setelah mencermati pembahasan tentang kondisi kelembagaan perikanan, interaksi antar lembaga perikanan dan analisis kelembagaan dalam tiga aspek yaitu yurisdiksi, properti right dan aturan representasi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara, menunjukan adanya benang merah mengapa sub sektor perikanan di Kepulauan Morotai khususnya dan Kabupaten Halmahera Utara umumnya belum berkembang dengan baik. Para pakar ekonomi dalam Gonarsyah (2001) mengartikan keunggulan kompetitif sebagai hasil kombinasi dari adanya distorsi pasar dan keunggulan komparatif (comparative advantage). Distorsi dapat terjadi karena adanya kebijakan pemerintah (government policy), baik yang bersifat langsung (seperti tarif) maupun tak langsung (seperti regulasi), dan atau karena adanya ketaksempurnaan pasar (market imperfection), misalnya adanya monopoli/monopsoni domestik. Sementara keunggulan komparatif, yang dicirikan oleh rendahnya biaya relatif di tingkat produsen dapat terjadi karena adanya keunggulan statik (static advantage) akibat relatif kaya akan sumberdaya alam tertentu, sumberdaya manusia dan lokasi yang strategis; atau karena adanya keunggulan pembelajaran (learning advantage) yang bersifat dinamik, yang diperolah dari proses pendidikan, pelatihan, pengalaman dan penelitian; atau kombinasi dari keunggulan statik dan keunggulan pembelajaran (termasuk kearifan tradisional). Berdasarkan analisis Locational Quotient yang dilakukan secara umum pada wilayah Halmahera Utara di sub bab sebelumnya dalam dua titik waktu yaitu tahun 2000 dan 2004, menunjukan bahwa sub sektor perikanan di Halmahera Utara memiliki keunggulan komparatif, namun kemudian dianalisis dengan metode Shift Share ternyata
124
sub sektor perikanan memiliki keunggulan kompetitif (daya saing) yang rendah. Hal ini terjadi karena adanya distorsi pasar yang tidak mendukung sub sektor perikanan di Halmahera Utara. Distorsi tersebut terjadi karena adanya kebijakan pemerintah (government policy) yang terkait dengan tarif maupun aturan-aturan (regulasi). Kebijakan pemerintah (government policy) yang terkait dengan tarif yang paling berpengaruh pada sub sektor perikanan adalah tarif harga ikan dan harga BBM. Perkembangan harga ikan dan tarif BBM di Kepulauan Morotai Halmahera Utara sangat tidak mendukung berkembangnya sub sektor perikanan, pada satu sisi harga ikan sangat rendah sedangkan di sisi yang lain harga BBM sangat tinggi. Kondisi ini sangat menghambat aktivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang karena biaya produksi cukup mahal. Selain itu aturan-aturan (regulasi) yang mengatur tentang pemanfaatan
sumberdaya
perikanan
cakalang
juga
masih
merugikan
bagi
berkembangannya sub sektor perikanan di Kepulauan Morotai Halmahera Utara terutama nelayan kecil. Kondisi wilayah Kepulauan Morotai yang berada di wilayah perbatasan yang potensial akan sumberdaya perikanan cakalang tidak didukung oleh regulasi yang dapat mengatur pemanfaatan potensi tersebut, akibatnya banyak terjadi pencurian ikan (illegal fishing), baik yang dilakukan oleh nelayan daerah lain maupun nelayan asing. Kondisi ini memang terjadi karena pengelolaan sumberdaya perikanan di Kepulauan Morotai yang bersifat open acces. Kelembagaan perikanan di Kepulauan Morotai khususnya kelembagaan perikanan cakalang belum mengatur tentang pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang secara lestari, masalah ini dikhawatirkan dalam jangka panjang sumberdaya perikanan di Kepulauan Morotai akan mengalami overfishing. Untuk mengatasi jangan sampai terjadi overfishing pada sumberdaya perikanan cakalang dalam jangka panjang, menurut Fauzi (2000b), instrumen kebijakan yang dapat diterapkan dalam pengembangan sektor perikanan cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara yakni dengan memadukan kebijakan harga output dan harga input produksi. Instrumen kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan yang patut dipertimbangkan dalam kaitan dengan permasalahan ini yakni kebijakan yang mengarah pada pengurangan output maupun input yang berlebihan. Salah satu cara konvensional yang umum digunakan untuk mengurangi output produksi yaitu dengan menerapkan
125
sistem quota dan limited entry pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap seperti pembatasan jumlah kapal maupun alat tangkap yang beroperasi dalam suatu perairan maupun jumlah trip penangkapan, sedangkan untuk harga input yaitu dengan penetapan pajak. Strategi lainnya yang dapat dijadikan alternatif untuk mengurangi kelebihan faktor output dan input produksi adalah dengan mengembangkan potensi ekonomi wilayah pulau-pulau kecil perbatasan di luar sektor perikanan, sehingga surplus tenaga kerja dapat diserap dengan melalui mobilisasi vertikal dan horizontal tenaga kerja. Selain itu, strategi konservasi dengan mengembangkan Marine Protected Area (MPA) yang mempertimbangkan faktor-faktor sosial ekonomi dapat dijadikan pilihan karena sumberdaya perikanan akan mengalami apresiasi dalam jangka panjang dan memberikan manfaat bagi kesejahteraan nelayan secara komprehensif. Dalam perspektif sosial budaya masyarakat di Kepulauan Morotai secara historis mempunyai kelembagaan lokal yang berfungsi mengelolah sumberdaya perikanan secara lestari. Kelembagaan-kelembagaan tersebut seperti Kelembagaan Siu di Desa Mira, Sangowo, dan sekitarnya (sekarang Kecamatan Morotai Timur), Kelembagaan Hau Gumi dan Giop yang terdapat disemua desa-desa nelayan. Kemudian ada satu kelembagaan perikanan yang cukup berpengaruh dan menjadi falsafah kehidupan nelayan di Kepulauan Morotai adalah kelembagaan Dolabololo. Kelembagaan Dolabololo adalah kumpulan syair yang merupakan pegangan bagi masyarakat Moloku Kie Raha termasuk nelayan di Kepulauan Morotai yang berisi petunjuk atau arahan tentang hubungan antar manusia dengan sesamanya maupun dengan alam sekitarnya. Dalam memanfaatkan sumberdaya laut, para nelayan yang menangkap ikan, memegang teguh falsafah yang terkandung di dalam Dolabololo. Di dalam Dolabololo terdapat syair yang berbunyi HAU FOMA TAI PASI MORO-MORO FO MAKU GISE yang artinya kurang lebih adalah semua nelayan adalah hamba Allah yang mencari nafkah dari harta Allah, sehingga tidak boleh ada yang disembunyikan diantara para nelayan tersebut. Ditinjau dari sosial kapital, kelembagaan di atas memberikan kekuatan tersendiri yang mendudukan para nelayan pada posisi yang sama dalam mencari nafkah. Dengan cara seperti ini telah tercipta suatu pemerataan (equity), sehingga tidak ada yang tumbuh cepat dan tidak ada pula yang “ketinggalan kereta”. Kelembagaan seperti ini sangat efektif dalam membina dan memperkokoh sosial kapital diantara mereka, dan
126
ternyata sosial kapital ini telah terbangun selama berabad-abad, dan telah terbukti sangat ampuh dalam menghadapi berbagai gejolak perekonomian, pengaruh politik maupun pengaruh paham eksternal lainnya seperti yang dialami pada zaman penjajah (Mansyur, 2000). Namun kelembagaan-kelembagaan lokal tersebut telah lenyap dari tradisi nelayan di Kepulauan Morotai. Menurut Anwar (1994), sebenarnya di Indonesia banyak kelembagaan yang mengandung aspek-aspek pengaturan komunal dan pengelolaan wilayah pantai yang dapat berfungsi sebagai kontrol dalam pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Namun demikian pemerintah kurang manghargai arti dari kelembagaan ini, maka secara de facto sumberdaya perairan menjadi akses terbuka di sebagian besar perairan Indonesia. Untuk itu maka, upaya revitalisasi kelembagaan lokal yang dimiliki oleh nelayan di Kepulauan Morotai merupakan satu hal yang penting dalam penataan kelembagaan perikanan di Kepulauan Morotai atau paling tidak nilai-nilai dari kelembagaan perikanan tradisional tersebut ditransformasikan ke dalam lembaga perikanan yang dikelola dengan menggunakan manajemen moderen. Selain itu, penataan kelembagaan perikanan yang sering dijumpai di desa-desa pantai/ nelayan seperti kelembagaan bagi hasil, kelembagaan hubungan kerja, serta kelembagaan pemasaran dan perkreditan menjadi hal lain yang juga sangat penting untuk dibenahi di Kepulauan Morotai. Dalam hal kelembagaan bagi hasil, aktivitas nelayan di Kepulauan Morotai telah ada sejak lama, sistem bagi hasil ini dijumpai dan berlaku antara pemiliki modal dan operator, serta pembagian hasil antara operator dalam hal ini antara juragang dan anak buah kapal dalam satu unit armada penangkapan, namun pembagiannya terasa belum seimbang antara keduanya. Dengan prosentase 50% untuk pemilik modal dan 50% untuk operator menggambarkan pembagian yang menguntungkan pemiliki modal, karena dalam 50% untuk operator kemudian dibagi untuk juragang dan anak buah kapal. Sedangkan dalam kelembagaan hubungan kerja yaitu bersifat mutualistik antara pihak pungusaha (perusahaan) dan nelayan. Dalam kelembagaan ini pengusaha sebagai pemilik modal dan nelayan memiliki tenaga kerja dan ketrampilan dalam usaha perikanan, mereka memiliki perjanjian/kesepakatan dimana pengusaha menyediakan modal dan peralatan dan nelayan berfungsi sebagai pemasok hasil perikanan tersebut kepada pengusaha, namun kondisi ini nelayan berada pada posisi tawar yang lemah
127
terutama dalam penentuan harga ikan. Kondisi yang sama di alami pada kelembagaan pemasaran dan perkreditan, dalam kelembagaan ini fungsi pemasaran dan perkreditan dilakoni secara sepihak oleh pengusaha perikanan, hal ini karena lembaga-lembaga perkreditan seperti perbankan dan koperasi di Kepulauan Morotai belum berperan dengan baik. Nelayan di Kepulauan Morotai umumnya melakukan kredit berupa modal usaha dan peralatan penangkapan kepada pengusaha dan sebaliknya hasil dari penangkapan tersebut wajib di pasarkan atau dijual kepada pengusaha yang memberikan kredit tersebut. Dalam konteks penataan kelembagaan bagi hasil, kelembagaan hubungan kerja, serta kelembagaan pemasaran dan perkreditan di Kepulauan Morotai hal yang perlu dibenahi adalah penataan aturan yang dapat menguatkan posisi tawar yang menguntungkan pihak nelayan. Untuk penguatan posisi tawar nelayan terhadap pengusaha maka harus diawali dengan penataan kelembagaan nelayaan itu sendiri. Untuk mencapai kondisi tersebut perlu kerja keras dari pemerintah daerah dan tokohtokoh masyarakat (stakeholders) yang bergerak di bidang perikanan, karena saat ini kondisi kelembagaan perikanan khususnya perikanan cakalang berada pada kondisi yang tidak terorganisir dengan baik, bahkan ada desa-desa nelayan yang tidak memiliki organisasi nelayan. Selain itu peningkatan peranan perbankan dan koperasi menjadi satu prioritas yang harus cepat ditata. Peranan perbankan harus dapat mengadakan skim kredit yang memudahkan nelayan untuk mengakses modal usaha, hal yang sama juga berlaku pada penataan koperasi, terutama koperasi nelayan yang terasa penting untuk memenuhi modal usaha dan peralatan serta kebutuhan nelayan. Dengan gambaran sub sektor perikanan khususnya komoditas cakalang dan kelembagaan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara di atas, maka diperlukan adanya kelembagaan pemerintah daerah, nelayan dan pengusaha yang terorganisir secara integratif, baik secara organisasi maupun secara aturan mainnya (rules of the game) dalam mengembangakan sub sektor perikanan, sehingga harapan untuk menjadikan sub sektor perikanan sebagai sub sektor yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif kedepan dapat terwujud.
128
5.5. Networking Pulau-Pulau Kecil Kepulauan Morotai Halmahera Utara Berdasarkan konsep wilayah yang di klasifikasikan oleh Rustiadi et al. (2005), maka wilayah pulau-pulau kecil termasuk dalam konsep wilayah sistem/fungsional kompleks. Konsep wilayah sebagai suatu sistem kompleks mendiskripsikan wilayah sebagai suatu sistem yang bagian-bagiannya (komponen-komponen) di dalamnya bersifat kompleks. Wilayah sistem kompleks memiliki jumlah/kelompok unsur penyusun serta struktur yang lebih rumit. Untuk itu pengembangan wilayah pulaupulau kecil sangat berbeda dengan pengembangan wilayah mainland dan pesisir. Ada dua karakteristik yang harus menjadi perhatian dalam pengembangan wilayah pulaupulau kecil, pertama; karakteristik pulau-pulau kecil, yakni berukuran kecil (smallness), terpencar, rentan (vulnerabilty), ketergantungan (dependence), dan terisolasi (isolation) (Fauzi, 2002), serta kedua; karakteristik sosial ekonomi wilayah pulau-pulau kecil yang rendahnya sumberdaya manusia, jauh dari pusat pertumbuhan, serta miskin akan prasarana dan sarana sosial ekonomi. Dengan karakteristik wilayah pulau-pulau kecil di atas, maka pengembangan wilayah pulau-pulau kecil terdapat barbagai kendala. Untuk itu maka analisis networking pulau-pulau kecil yang berbasis pada pengelolaan sumberdaya alam, prasarana dan sarana sosial ekonomi, serta suku, penting dilakukan untuk melihat interaksi spasial antar pulau-pulau tersebut dalam aktivitas-aktivitas manusia baik ekonomi dan sosial (Hayness and Fotheingham dalam Rustiadi et al. 2005), sehingga dapat mengidentifikasi kendala-kendala yang dialami pada setiap pulau dalam melakukan aktivitas ekonomi dan sosial. Analisis networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai pada Tabel 26, difokuskan pada pulau yang memiliki penduduk, dari 31 pulau di Kepulauan Morotai yang berpenghuni hanya 6 pulau, yaitu Pulau Morotai mempunyai jumlah penduduk 44.865 jiwa dan luas wilayah 1.983,54 Km2, Pulau Kolorai mempunyai jumlah penduduk 312 jiwa dan luas wilayah 2 Km3, Pulau Galo-Galo Besar mempunyai jumlah penduduk 532 jiwa dengan luas wilayah 3.5 Km2, Pulau Ngele-Ngele Besar mempunyai jumlah penduduk 447 jiwa dengan luas wilayah 5 Km2 , Pulau Saminyamau mempunyai jumlah penduduk 484 jiwa dengan luas wilayah 910 Ha, dan Pulau Rao mempunyai jumlah penduduk 3.862 jiwa dengan luas wilayah 11.864 Ha.
129
Tabel 26. Networking Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara Pulau No.
Networking
Morotai
Kolorai
Galo-Galo Besar
Ngele-Ngele Besar
Saminyamau
Rao
Daerah Tujuan
P/ Kg (Rp)
B/C (Rp)
P/Q (Rp/Ton/ Thn)
1.
Produksi Cakalang
Supply, Transit
Supply
Supply
Supply
Supply
Supply
Jakarta, Banyuwangi
3.000
1.200.000/ 450.000
3.000/ 810
2.
Produksi Kerapu hidup
-
Supply
Supply
Supply
-
-
Hongkong
99.000
6.870.000/ 1.752.000
99.000/ 9,6
3.
Produksi Rumput Laut
Transit
Supply
Supply
Supply
-
-
Tobelo, Manado, Surabaya
3.500
5.075.000/ 675.688
3.500/ 300
4.
Produksi Kopra
Supply, Transit
Supply
Supply
Supply
Supply
Supply
Manado, Surabaya
Produksi Kayu
Supply, Transit
-
-
-
-
-
Kalimantan
5.
Gelondongan
6.
Pengadaan Air bersih
Supply
Demand
Demand
Demand
Demand
Supply
7.
Pendidikan
Supply
Demand
Demand
Demand
Demand
Demand
8.
Kesehatan
Supply
Demand
Demand
Demand
Demand
Demand
9.
Pengadaan Sembako
Supply
Demand
Demand
Demand
Demand
Demand
10.
Suku/Etnis
Galela, Tobelo, Sangihe
Galela, Tobelo
Galela, Tobelo
Galela, Tobelo
Sangihe
Sangihe
Sumber: Diolah data primer 2006.
Pulau-pulau ini dianalisis dalam fungsi-fungsi pulau yakni sebagai pemasok (supply), sebagai perantara (transit), dan sebagai tempat tujuan akhir (demand) dari aktivitas ekonomi dan sosial yang berlangsung di pulau-pulau kecil tersebut. Walaupun Kepulaun Morotai tidak memiliki interaksi dengan negara tetangga, namun networking ini penting dianalisis karena dengan gambarannya kita dapat mengetahui orientasi dan ketergantungan dari pulau-pulau tersebut terhadap suatu sumberdaya. Networking pulau-pulau kecil ini dianalisis berdasarkan pada, Networking yang berbasis pada pengelolaan sumberdaya alam, terdiri atas komoditas ikan cakalang, ikan kerapu hidup, rumput laut, kopra, dan kayu gelondongan; Networking yang berbasis pada prasarana dan sarana sosial ekonomi, terdiri atas kebutuhan air bersih, pendidikan, kesehatan, dan Sembako; serta Networking yang berbasis pada suku/ etnis. 5.5.1. Networking Berbasis Pengelolaan Sumberdaya Alam (1). Networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara berbasis pada sumberdaya alam komoditas ikan cakalang. Masyarakat nelayan pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara sebagian besar adalah nelayan ikan cakalang. Walaupun secara organisasi nelayannelayan tersebut tidak mempunyai networking (organisasi formal), namun dengan orientasi pasar ke satu daerah atau perusahan menjadikan wilayah Daruba atau perusahaan PT. Primarefa Indo menjadi pusat interaksi nelayan ikan cakalang. Berdasarkan peta networking pada Gambar 7 menunjukan bahwa Desa Daruba di Pulau Morotai berfungsi sebagai daerah transit yang menampung ikan cakalang sebelum di ekspor ke Banyuwangi dan Jakarta. Sedangkan pulau-pulau lainnya berfungsi sebagai pemasok (supply). Aktivitas ekspor komoditas cakalang ke Banyuwangi dan Jakarta dilakukan setiap tiga bulan sekali dengan rata-rata kuota ekspor sebesar 677 ton per tahun, dengan nilai ekspor rata-rata sebesar Rp. 2.031.000.000., per tahun. Mencermati kondisi networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara berbasis komoditas ikan cakalang pada Gambar 7 memberi indikasi bahwa ada potensi yang besar untuk mengorganisir nelayan-nelayan tersebut. Pengorganisasian dimaksud adalah menata kelembagaan komoditas cakalang yang di
131
dalamnya termasuk kelompok nelayan, pengusaha, dan pemerintah daerah sehingga dapat meningkatkan nilai produksi ekspor.
Gambar 7. Peta Networking Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Morotai Berbasis Sumber Daya Alam Komoditas Ikan Cakalang. (2). Networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara berbasis pada sumberdaya alam komoditas ikan kerapu hidup. Dari enam pulau yang dihuni di Kepulauan Morotai, hanya nelayan di tiga pulau yang melakukan aktivitas keramba jaring apung ikan kerapu hidup, yaitu nelayan di Pulau Kolorai, Pulau Galo-Galo Besar, dan Pulau Ngele-Ngele Besar (Gambar 8). Secara fungsional ketiga pulau di atas berfungsi sebagai pemasok (supply) langsung ke negara tujuan, karena hasil nelayan tersebut langsung dijual di kapal penampung yang berlabuh di sekitar ketiga pulau tersebut. Frekuensi ekspor ikan kerapu hidup ke Hongkong dilakukan tiga bulan sekali. Rata-rata produski sebesar 8.9 ton per tahun, dengan nilai ekspor sebesar Rp 881.100.000., per tahun. Walaupun dalam konteks lokal networking pulau-pulau kecil yang berbasis pada komoditas ikan kerapu hidup sangat terbatas, tetapi secara internasional mempunyai
132
networking dengan Hongkong, karena ikan kerapu di ketiga pulau tersebut diekspor ke Hongkong.
Gambar 8. Peta Networking Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Morotai Berbasis Sumber Daya Alam Komoditas Ikan Kerapu Hidup. (3). Networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara berbasis pada sumberdaya alam komoditas rumput laut. Berdasarkan Gambar 9, networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai yang berbasis komoditas rumput laut memiliki jumlah pulau yang sama seperti komoditas ikan kerapu sebanyak tiga pulau, namun networking ke luar dari Kepulaun Morotai berbeda dengan komoditas ikan kerapu. Hasil rumput laut dari ketiga pulau yaitu Pulau Kolorai, Pulau Galo-Galo Besar, dan Pulau Ngele-Ngele Besar, di perdagangkan melalui pedagang di Desa Daruba Pulau Morotai kemudian di angkut ke Kota Tobelo dan seterusnya di ekspor ke Manado dan Surabaya. Jumlah produksi rumput laut di Kepulauan Morotai dari tahun 2002-2005 rata-rata sebesar 326 ton per tahun, dengan nilai produksi sebesar Rp. 1.141.000.000., per tahun.
133
Secara fungsional dalam networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai berbasis komoditas rumput laut yang berfungsi sebagai pemasok (supply) adalah Pulau Kolorai, Pulau Galo-Galo Besar, dan Pulau Ngele-Ngele Besar. Sedangkan yang berfungsi sebagai perantara (transit) adalah Pulau Morotai dan Kota Tobelo dan kemudian di ekspor ke Manado dan Surabaya.
Gambar 9. Peta Networking Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Morotai Berbasis Sumber Daya Alam Komoditas Rumpu Laut. (4). Networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara berbasis pada sumberdaya alam komoditas kopra. Sub sektor perkebunan merupakan salah satu sub sektor yang berkembang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara. Tanaman kelapa menjadi komoditas unggulan yang diusahakan oleh sebagian besar masyarakat di Kepulauan Morotai, namun produk yang diekspor keluar dari tanaman kelapa tersebut hanya dalam bentuk kopra. Dalam networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai berbasis komoditas kopra, Pulau Morotai selain berfungsi sebagai daerah perantara (transit) juga berfungsi sebagai daerah pemasok (supply). Sedangkan Pulau Rao, Pulau Saminyamau, dan Pulau Morotai bagian utara berfungsi sebagai pemasok dengan orientasi pasar ke Kota Tobelo.
134
Kemudian kopra tersebut di ekspor ke Manado dan Surabaya sebagai daerah tujuan akhir (Gambar 10).
Gambar 10. Peta Networking Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Morotai Berbasis Sumber Daya Alam Komoditas Kopra. Mencermati Gambar 10 di atas menunjukan bahwa terjadi ekspor komoditas kopra dari Pulau Morotai Desa Daruba dan Kota Tobelo dengan daerah tujuan Manado dan Surabaya, hal menunjukan bahwa potensi supply komoditas kopra di Kepulauan Morotai Halmahera Utara sangat besar. (5). Networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara berbasis pada sumberdaya alam komoditas kayu gelondongan. Pulau Morotai merupakan satu dari tiga puluh satu pulau yang ada di Kepulauan Morotai yang memiliki luas wilayah besar yakni sebesar 1.983,54 Km2. Dengan luas wilayah tersebut Pulau Morotai memiliki sumberdaya hutan yang lebih besar dari pulau lainnya, sehingga Pulau Morotai merupakan satu-satunya pulau yang menjadi supplier komoditas kayu dari Kepulauan Morotai.
135
Berdasarkan Gambar 11 yang berfungsi sebagai supplier adalah Pulau Morotai yang melakukan ekspor komoditas kayu gelondongan ke Kalimantan. Kayu gelondongan tersebut diusahakan oleh pengusaha yang memiliki izin hak pengusahaan hutan (HPH) yang tersebar di desa-desa sekitar Kecamatan Morotai Selatan, Kecamatan Morotai Utara, dan Kecamatan Morotai Utara.
Gambar 11. Peta Networking Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Morotai Berbasis Sumber Daya Alam Komoditas Kayu Gelondongan. Mencermati networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai khususnya yang berbasis pada pengelolaan sumberdaya alam, terutama komoditas ikan cakalang, rumput laut, kopra, dan kayu gelondongan menunjukan Desa Daruba memiliki peranan yang besar sebagai daerah transit sebelum diekspor ke Tobelo atau ke daerah lain di luar Maluku Utara. Terkecuali komoditas ikan kerapu hidup, karena proses perdagangannya dijual dalam bentuk ikan hidup dan dijual langsung di kapal penampung, maka perdagangan komoditas ini berlangsung di sekitar pulau-pulau yang memproduksi komoditas tersebut tanpa melalui Desa Daruba di Pulau Morotai.
136
Dalam perspektif pengelolaan sumberdaya alam, jika di pilah dalam sub sektor pembangunan maka terdapat tiga sub sektor yang berperan besar dalam pengembangan ekonomi wilayah yakni sub sektor perikanan, sub sektor perkebunan, dan sub sektor kehutanan. Ketiga sub sektor ini merupakan sub sektor unggulan di Kepulauan Morotai, karena memiliki potensi yang cukup besar. Namun dari ketiga sub sektor tersebut yang memiliki prospek cerah adalah sub sektor perikanan dan sub sektor perkebunan. Disamping itu, ada potensi pada sub sektor pariwisata yakni periwisata bahari dan sejarah, namun potensi ini belum dikelolah sama sekali. Pada sub sektor perikanan terdapat tiga komoditas utama yang diusahakan di Kepulauan Morotai, yakni cakalang, budidaya rumput laut, dan keramba apung ikan kerapu. Ketiga komoditas ini, jika kita telaah dalam pola pemanfaatan, maka terdapat dua pola usaha yaitu perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Dalam bidang perikanan tangkap khususnya ikan cakalang dalam kajian networking berbasis pengelolaan sumberdaya alam memiliki networking antar pulau yang cukup kuat. Baik secara internal di wilayah Kepulauan Morotai maupun secara eksternal dari luar wilayah Kepulauan Morotai. Kondisi ini menggambarkan bahwa sumberdaya perikanan tangkap cakalang tidak hanya diusahakan oleh nelayan di Kepulauan Morotai, akan tetapi juga dimanfaatkan oleh nelayan dari luar Kepulauan Morotai, baik nelayan dari kecamatankecamatan lain di Halmahera Utara, maupun nelayan dari Sulawesi Utara, Fhilipina, dan Taiwan, kondisi ini tidak terlepas dari sifat sumberdaya perikanan yang open acces. Sedangkan dalam pola pemanfaatan perikanan budidaya, networking pulau-pulau kecilnya sangat terbatas. Terdapat tiga pulau yang memiliki networking dalam pola budidaya yaitu Pulau Kolorai, Pulau Galo-Galo Besar, dan Pulau Ngele-Ngele Besar. Dengan kondisi tersebut, networking pulau-pulau kecil khususnya yang berbasis pada pengelolaan sumberdaya di bidang perikanan, memiliki dua karakteristik networking yang berbeda yaitu networking perikanan tangkap dan networking perikanan budidaya, akan tetapi dalam proses pengembangan wilayah pengembangan kedua networking tersebut tidak boleh berdiri sendiri, keduanya harus saling menunjang satu dengan yang lainnya.
137
Sedangkan pada sub sektor perkebunan dalam analisis ini hanya dilakukan pada komoditas kelapa (kopra). Pengelolaan kelapa memiliki networking yang cukup kuat antara pulau-pulau, karena masyarakat di Kepulauan Morotai secara umum memiliki orientasi ekonomi ganda, selain sebagai nelayan juga sebagai petani kopra. Komoditas kopra memegang peranan penting dalam perekonomian masyarakat di Kepulauan Morotai, namun dukungan prasarana dan sarana ekonomi yang minim serta kelembagaan petani yang lemah menjadikan networking antar desa/ pulau terjadi dalam konteks hubungan pedagang dan petani. Padahal sebagai sub sektor unggulan masyarakat di Kepulauan Morotai, networking berbasis pengelolaan sumberdaya alam kelapa antar pulau, tidak hanya sekedar hubungan antara petani dan pedagang, akan tetapi hubungan antara kelompok tani satu desa/ pulau dengan kelompok tani desa/ pulau yang lain menjadi hal yang penting. Hal ini dimaksud untuk peningkatan posisi tawar antara kelompok tani kelapa dengan pedagang kelapa, sehingga dapat tercipta hubungan antara petani dan pedagang yang saling memperkuat (sinergi) bukan saling memperlemah (eksploitasi). 5.5.2. Networking Berbasis Kebutuhan Prasarana dan Sarana Sosial Ekonomi (1). Networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara berbasis prasarana dan sarana sosial ekonomi untuk kebutuhan air bersih. Dengan karakteristik pulau yang kecil (smallness), Pulau Kolorai, Galo-Galo Besar, Ngele-Ngele Besar, dan Saminyamau memiliki luas lahan yang kecil, kondisi tersebut menjadikan pulau-pulau ini memiliki sumber air dan cadangan air tanah yang terbatas. Selain itu di pulau-pulau tersebut tidak terdapat prasarana dan sarana air bersih yang memadai, penduduk setempat memperoleh air bersih pada sumur galian mereka, namun karena sangat dekat dengan pantai kualitas airnya tidak memenuhi standar air bersih. Kondisi ini menyebabkan pada musim kemarau pulau-pulau ini selalu mempunyai ketergantungan air bersih dengan pulau lainnya yang berdekatan. Berdasarkan Gambar 12, Pulau Kolorai dan Pulau Galo-Galo Besar, dalam memenuhi kebutuhan air bersih diperoleh pada Kota Daruba Pulau Morotai. Sedangkan Pulau Ngele-Ngele Besar kebutuhan air bersih diperoleh di Desa Wayabula dan Tiley yang terletak di Pulau Morotai. Kemudian untuk Pulau Saminyamau orientasi air bersih
138
ke Desa Wayabula Pulau Morotai dan Desa Posi-Posi yang terletak di Pulau Rao. Dari networking tersebut Pulau Morotai dan Pulau Rao berfungsi sebagai pemasok (supply) air bersih, sedangkan Pulau Kolorai, Pulau Galo-Galo Besar, Pulau Ngele-Ngele Besar, dan Pulau Saminyamau berfungsi sebagai pulau yang menjadi membutuhkan air bersih (demand).
Gambar 12. Peta Networking Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Morotai Berbasis Prasarana Sosial Ekonomi Kebutuhan Air Bersih. (2). Networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara berbasis prasarana dan sarana sosial ekonomi untuk kebutuhan pendidikan Jika dianalisis networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara dalam aspek kebutuhan pendidikan pada Gambar 13, maka Pulau Rao, Pulau Saminyamau memiliki networking dengan Pulau Morotai bagian selatan barat di Desa Wayabula, sedangkan Pulau Ngele-Ngele Besar, Pulau Galo-Galo Besar, dan Pulau Kolorai memiliki networking dengan Pulau Morotai bagian selatan tetaptnya di Desa Daruba. Networking pulau-pulau tersebut dengan Pulau Morotai sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan pada tingkatan pendidikan SMP dan SMU hal ini karena di pulaupulau tersebut hanya memiliki sekolah setingkat SD. Kemudian networking antara
139
Pulau Morotai dengan Kota Tobelo terjadi untuk memenuhi kebutuhan pada tingkatan pendidikan SMU dan Akademi. Sedangkan networking Pulau Morotai dengan Kota Ternate, Manado dan Kota di Indonesia Bagian Barat lainnya untuk memenuhi kebutuhan pendidikan pada tingkatan sarjana/Universitas.
Gambar 13. Peta Networking Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Morotai Berbasis Prasarana Sosial Ekonomi Kebutuhan Pendidikan. (3). Networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara berbasis prasarana dan sarana sosial ekonomi untuk kebutuhan kesehatan Gambar 14 menunjukan bahwa networking berbasis kebutuhan kesehatan mempunyai orientasi yang sama dengan kebutuhan pendidikan, yaitu Pulau Rao, Pulau Saminyamau, dan Pulau Ngele-Ngele Besar untuk memenuhi kebutuhan kesehatan setingkat Puskesmas bernetworking dengan Desa Wayabula di Pulau Morotai, tetapi untuk memenuhi kebutuhan kesehatan setingkat Puskesmas rumah sakit pulau-pulau tersebut bernetworking dengan Kota Tobelo melalui Desa Daruba. Sedangkan Pulau Galo-Galo Besar dan Pulau Kolorai untuk memenuhi kebutahan kesehatan setingkat Puskesmas bernetworking dengan Desa Daruba.
140
Mencermati networking kebutuhan kesehatan pulau-pulau kecil, memberikan gambaran bahwa networking dilakukan berjenjang sesuai dengan kebutuhan kesehatan dari pulau-pulau kecil. Semakin besar kebutuhan kesehatan yang dibutuhkan semakin jauh mereka memperoleh prasarana dan sarana kesehatan tersebut. Kondisi ini memberikan indikasi bahwa prasarana dan sarana kesehatan di Kepulauan Morotai Halmahera Utara sangat terbatas.
Gambar 14. Peta Networking Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Morotai Berbasis Prasarana Sosial Ekonomi Kebutuhan Kesehatan. (4). Networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara berbasis prasarana dan sarana sosial ekonomi untuk kebutuhan Sembako Dalam networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai untuk memenuhi kebutuhan Sembako dianalisis berdasarkan tiga tingkatan kebutuhan, yaitu kebutuhan setingkat rumah tangga dan pedagang kecil, kebutuhan setingkat pedagang kecil dan menengah, serta kebutuhan setingkat pedagang menengah dan pedagang besar besar. Berdasarkan Gambar 15, untuk memenuhi kebutuhan Sembako pada kebutuhan rumah tangga dan pedagang kecil Pulau Galo-Galo Besar, Pulau Kolorai, dan Pulau
141
Ngele-Ngele Besar memiliki networking dengan Desa Daruba Pulau Morotai, sedangkan Pulau Saminyamau dan Pulau Rao melakukan networking dengan Desa Wayabula Pulau Morotai. Namun untuk kebutuhan Sembako pada tingkat pedagang menengah Pulau Morotai dan Pulau Rao langsung bernetworking dengan Kota Tobelo. Sedangkan untuk wilayah Halmahera Utara memperoleh pasokan Sembako dari daerah Manado dan Surabaya.
Gambar 15. Peta Networking Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Morotai Berbasis Prasarana Sosial Ekonomi Kebutuhan Sembako. Networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai yang berbasis pada kebutuhan prasarana dan sarana sosial ekonomi menunjukan hubungan interkoneksitas wilayah bersifat dendritik, misalnya dalam memenuhi kebutuhan air bersih, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan Sembako sebagian besar desa-desa di pulau-pulau kecil mempunyai orientasi kebutuhan ke Desa Daruba dan juga ke Desa Wayabula. Corak interkoneksitas wilayah yang berbentuk denritik mengindikasikan bahwa jumlah dan jenis fasilitas atau prasarana dan sarana di pulau-pulau kecil Kepulauan Morotai meyebar tidak merata.
142
Ketimpangan dalam penyediaan prasarana dan sarana di Kepulauan Morotai berakibat pada inefisiensi berbagai transaksi di bidang ekonomi. Kondisi ini berdampak negatif pada produktivitas berbagai usaha yang dilakukan oleh masyarakat di Kepulauan Morotai. Sebagai masyarakat kepulauan yang tulang punggung ekonominya berada pada sub sektor perikanan, nelayan di Kepulauan Morotai sangat merasakan akibat ini. Hal yang paling dirasakan adalah tingginya harga faktor-faktor produksi, seperti bensin, minyak tanah, oli, dan faktor produksi lainnya, perbedaannya hampir mencapai 100% dari harga-harga yang di tetapkan oleh pemerintah. Disamping itu harga-harga bahan pokok sebagai kebutuhan sehari-hari masyarakatpun mengalami hal yang sama. 5.5.3. Networking Berbasis Suku/ Etnis Secara historis Kepulauan Morotai tidak memiliki penduduk asli, penduduk yang mendiami wilayah Kepulauan Morotai adalah suku pendatang dari Tobelo Galela dan Sangihe Talaud. Untuk itu, dalam analisis networking pulau-pulau kecil yang berbasis pada suku/etnis di Kepulaun Morotai, hanya dianalisis distribusi suku yang yang mayoritas yaitu Suku Tobelo Galela dan Suku Sangihe Talaud. Kedua suku ini tersebar di enam pulau yang berpenghuni, yaitu Suku Tobelo Galela tersebar di Pulau Morotai bagian selatan, timur, dan utara, kemudian Pulau Kolorai, Pulau Galo-Galo Besar, dan Pulau Ngele-Ngele Besar. Sedangkan Suku Sangihe Talaud tersebar di Pulau Morotai bagian utara dan barat, kemudian Pulau Rao dan Pulau Saminyamau. Pada Gambar 16, menunjukan distribusi Suku Tobelo Galela dan Suku Sangihe Talaud dan interaksi dengan daerah asal mereka. Gambaran ini menunjukan bahwa interkoneksitas mereka dengan asal cukup intensif, hal ini terjadi karena pada wilayah ini didukung oleh jalur pelayaran rakyat yang menghubungkan antara daerah asal Tobelo Galela dan Sangihe Talaud dengan wilayah Kepulauan Morotai. Suku Tobelo Galela dalam kegiatan ekonominya memiliki orientasi ganda yaitu sebagai nelayan dan juga sebagai petani, di bidang pertanian Suku Tobelo Galela lebih banyak bercocok tanam pada tanaman tahunan, namun tanaman tahunan yang dominan diusahakan adalah tanaman kelapa, sedangkan di bidang perikanan Suku Tobelo Galela banyak berusaha sebagai nelayan perikanan tangkap dengan komoditas andalan adalah ikan
143
cakalang. Sedangkan suku Sangihe Talaud dalam kegiatan ekonominya umumnya berorientasi sebagai nelayan dan tukang pembuat armada perahu.
Gambar 16. Peta Networking Suku / Etnis Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Morotai Kabupaten Halmahera Utara. Mencermati pola penyebaran dua suku besar di Kepulauan Morotai, menunjukan penyebaran kedua suku tersebut mempunyai orientasi secara sendiri-sendiri. Hal ini jika ditinjau dari aspek sosiologis dapat diduga tidak terjadi proses transformasi budaya antara kedua suku tersebut. Di sisi lain, dengan pola distribusi seperti ini mengakibatkan kerentanan sosial yang tinggi, terutama dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Untuk itu, dalam pembentukan kelembagaan ekonomi masyarakat harus diciptakan pola kerjasama antar lembaga-lembaga ekonomi masyarakat yang berbasis pada suku/etnis. Hal semacam ini perlu dilakukan untuk mencegah konflik yang terjadi antara suku/ etnis ditingkat komunal/lokal dalam pemanfaatan sumberdaya alam. 5.5.4. Strategi Penguatan Networking Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Morotai Dalam strategi penguatan networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai, selain didasarkan pada pengelolaan sumberdaya alam, kebutuhan prasarana dan sarana
144
sosial ekonomi, serta distribusi suku/ etnis, dimensi lain yang menjadi perspektif kajian adalah pertimbangan Kepulauan Morotai sebagai gugusan pulau-pulau kecil yang berada di wilayah perbatasan antar negara, pertimbangan ini penting dilakukan karena wilayah ini dalam penataan ruang secara nasional (RTRWN) merupakan suatu wilayah prioritas untuk di kembangkan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan perbatasan antar negara. Untuk penguatan networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai yang berbasis pada pengelolaan sumberdaya alam, kebutuhan prasarana dan sarana sosial ekonomi, serta berbasis pada suku/ etnis, paling tidak dilakukan melalui dua strategi penting, pertama; pembangunan prasarana dan sarana fisik wilayah sebagai penunjang dalam mengelola sumberdaya alam unggulan, dan kedua; pembentukan kelembagaan atau penguatan kelembagaan untuk pengelolaan sumberdaya alam unggulan, sehingga dapat menciptakan pengelolaan sumberdaya alam yang efisien (efficient), merata (equity), dan berkelanjutan (sustainable). Sedangkan penguatan networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai yang berorientasi pada Kepulauan Morotai sebagai gugusan pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan antar negara, maka diperlukan strategi-strategi pengembangan. Menurut Witoelar (2000), untuk pengembangan wilayah dengan karakteristik dan permasalahan pengembangan kawasan pantai dan pulau-pulau kecil ada tiga jenjang, yang menjadi strategi pengembangan wilayah, yaitu : 1. Strategi pengembangan pada level Mikro (desa), yaitu pengembangan pada level “grass root” masyarakat berdasarkan tingkat kemampuan masyarakat (potensi sumberdaya manusia dan teknologi) dan sumberdaya kelautan. 2. Strategi pengembangan pada level Messo atau keterkaitan antar pulau-pulau, yaitu upaya-upaya untuk lebih meningkatkan nilai produksi, dikaitkan dengan pengembangan pasar, pengolahan produksi dan kemudahan transportasi. 3. Strategi pengembangan pada level Makro, yaitu mengaitkan kawasan pantai dan pulau-pulau kecil ke dalam sistem yang lebih luas baik sistem nasional maupun internasional.
145
BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan Adapun simpulan yang dibuat dalam penulisan kajian pengembangan wilayah pulau-pulau kecil di Kabupaten Halmahera Utara adalah sebagai berikut : 1. Dari analisis LQ, sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif di Halmahera Utara adalah sub sektor tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, kehutanan, perikanan, industri non migas, dan restorandan. Sedangkan dari analisis Shift Share sub sektor yang memiliki keunggulan kompetitif adalah sub sektor hotel, listrik, air bersih, komunikasi, dan lembaga keuangan tanpa bank. Namun sub sektor yang mempunyai prospek baik adalah sub sektor perkebunan dan sub sektor perikanan. 2. Sub Sektor perikanan di Kabupaten Halmahera Utara merupakan salah satu sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif tetapi belum mempunyai daya saing yang tinggi, hal ini diduga karena mengalami distorsi pasar, padahal sub sektor perikanan mempunyai potensi dan prospek yang besar. 3. Dalam konteks wilayah Kepulauan Morotai sub sektor yang memiliki keunggulan komparatif adalah sub sektor perikanan dan sub sektor perkebunan, sementara komoditas yang mempunyai prospek baik adalah komoditas kelapa (kopra) dan komoditas cakalang. 4. Perkembangan hirarki pelayanan perikanan tangkap khususnya komoditas cakalang terdapat di Desa Daruba Kecamatan Morotai Selatan, desa ini memiliki nilai indeks penyebaran fasilitas perikanan dan indeks perkembangan desa (IPD) yang tinggi, karena di desa ini terdapat perusahaan perikanan cakalang yang berorientasi ekspor. 5. Pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai belum berkembang secara optimal, karena secara aktual saat ini usaha tersebut mempunyai effort sebesar 2.641 trip/tahun, hasil tangkapan 810.000 kg/tahun dan rente ekonomi yang diperoleh sebesar Rp. 1.241.095.500/tahun dari kondisi optimal (MEY) yang mempunyai effort sebesar 3.423,46 trip/tahun, hasil tangkapan 950.667 Kg/tahun dan rente ekonomi sebesar Rp. 1.311.475.579/tahun.
6. Pola kelembagaan perikanan cakalang, baik pada unsur kelembagaan pemerintah daerah, pengusaha dan nelayan belum berkembang dengan baik, dan antara unsur lembaga belum mempunyai pola kelembagaan yang sinergis. Unsur pemerintah daerah masih terlalu dominan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan sedangkan pengusaha dan nelayan kurang dilibatkan dalam pengambilan kebijakan. 7. Networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai menggambarkan Desa Daruba sebagai pusat atau daerah transit yang menjembatani aktivitas masyarakat pulaupulau kecil di Kepulauan Morotai. Namun kondisi tersebut menggambarkan interkoneksitas antar pulau bersifat asimetris.
147
6.2. Saran Strategi pengembangan wilayah pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Kabupaten Halmahera Utara, harus di rencanakan dengan bertumpu pada sumberdaya sub sektor perikanan tangkap khususnya komoditas cakalang, serta dukungan yang sinergi oleh sub sektor yang mempunyai prospek baik seperti sub sektor perkebunan. Untuk itu maka saran yang dapat di usulkan dalam tesis ini adalah : 1. Untuk meningkatkan daya saing (competitivenes) sub sektor perikanan dan komoditas ikan cakalang, harus adanya dukungan yang kuat dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam kebijakan taraif dan pembuatan regulasi yang berpihak pada sub sektor perikanan dan komoditas cakalang, sehingga distorsi pasar yang dialami oleh sub sektor perikanan di Halmahera Utara dan komoditas cakalang di Kepulauan Mortai dapat diabaikan. 2. Pembangunan sub sektor perikanan tidak cukup dikembangkan pada prasarana dan sarana produksi (fisik) saja, tetapi aspek kelembagaan (aturan dan organisasi), modal usaha, ketrampilan menjadi bagian yang penting. Selain itu karena wilayah ini berada di wilayah perbatasan antar negara maka pengawasan terhadap kapalkapal asing yang beroperasi di wilayah perairan Kepulauan Morotai menjadi suatu hal yang penting untuk mencegah terjadinya illegal fishing. 3. Pembangunan prasarana dan sarana ekonomi wilayah hendaklah dibangun pada wilayah yang mempunyai indeks perkembangan desa yang tinggi, sehingga daerah tersebut dapat berfungsi sebagai pusat perkembangan wilayah yang dapat melayani wilayah sekitarnya. Mengingat karakteristik wilayah Kepulauan Morotai berbentuk pulau-pulau kecil maka orientasi pembangunan infrastruktur juga harus dapat menetwor aktivitas masyarakat di pulau-pulau kecil tersebut. 4. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan peneliti dapat mengenalisis penyebab mengapa sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif di Halmahera Utara tidak menjadi sub sektor yang mempunyai keunggulan kompetitif, apakah karena terjadi distorsi pasar atau karena adanya pasar monopoli.
148
DAFTAR PUSTAKA Abubakar M. 2004. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan (kasus Sebatik, Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Timur). IPB. Bogor. Anwar A. 1994. Masalah Ekonomi dan Kelembagaan Perikanan. Bahan Kuliah Ekonomi Sumber Daya Alam. PPS Ilmu Perencanaan Pembangunan Ekonomi Wilayah dan Pedesaan. IPB. Bogor. Anwar A. 2002. Konsepsi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Dalam Rangka Pembangunan Wilayah dan Otonomi Daerah. Bahan Makalah pada Seminar Peluang Investasi Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Hotel Indonesia 10 Oktober 2002, Jakarta. Anwar A, Siregar H. 1993. Memahami Kelembagaan Asuransi Pertanian Dalam Kegiatan Agribisnis di Wilayah Pedesaan. Disampaikan Pada Simposium Nasional Asuransi Agribisnis Di Aula GMSK Dramaga, Bogor, Tanggal 4 Desember 1993. Arifin I. 2006. Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Cakalang Dengan Data Satelit Multi Sensor di Perairan Laut Maluku. IPB, Bogor. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Maluku Utara. 2005. Data Base Perencanaan Pembangunan Daerah. Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Ternate. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Maluku Utara. 2006. Laporan Akhir Punyusunan Master Plan Kawasan Transmigrasi Mandiri Terpadu Pulau Morotai. Buku I: Kajian Potensi dan Daya Dukung Kawasan Transmigrasi Mandiri Terpadu Pulau Morotai. Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Ternate. Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Utara. 2004a. Kecamatan Morotai Selatan Dalam Angka Tahun 2003. Pemerintah Kabupaten Maluku Utara. Ternate. Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Utara. 2004b. Kecamatan Morotai Selatan Barat Dalam Angka Tahun 2003. Pemerintah Kabupaten Maluku Utara. Ternate. Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Utara. 2004c. Kecamatan Morotai Utara Dalam Angka Tahun 2003. Pemerintah Kabupaten Maluku Utara. Ternate. Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku Utara. 2005a. Provinsi Maluku Utara Dalam Angka Tahun 2004. Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Ternate. Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku Utara. 2005b. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Maluku Utara 2004. Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Ternate. Badan Pusat Statistik Kabupaten Halmahera Utara. 2004. Kabupaten Halmahera Utara Dalam Angka Tahun 2003. Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara. Tobelo. Badan Pusat Statistik Kabupaten Halmahera Utara. 2005. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Halmahera Utara 2004. Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara. Tobelo.
Badan Pusat Statistik. 2006. Data Potensi Desa (Podes) Tahun 2005. BPS Republik Indonesia. Jakarta. Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bengen, D.G. 2002a. Potensi Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil. Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari “Peluang Pengembangan Investasi Pulau-Pulau Kecil di Indonesia”, Hotel Indonesia, Jakarta 10 Oktober 2002. Bengen, D.G. 2002b. Pengembangan Konsep Daya Dukung dalam Pengelolaan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil. Laporan Akhir Kerjasama antara Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor. Bengen, D.G. 2002c. Pengelolaan Wilayah Pesisir Secata Terpadu, Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Masalah yang disampaikan dalam Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu di Makassar tanggal 4 – 9 Maret 2002. Blakely EJ. 1994. Planning Local Economic Development (Theory and Practice) the 2nd edition. Sage Publication, London. Buletin Bulanan Pemda Halut. 2006. Edisi Perdana Januari 2006. Perum Percetakan Negara RI Cabang Manado. Manado. Clark CW. 1990. Mathematical Bioeconomic. The Optimal Management Of Renewable Resources. Second Edition. A Wiley-Interscience Publication, Canada. Dahuri, R, 1998. Pendekatan Ekonomi – Ekologi Pembangunan Pulau-Pulau Kecil Berkelanjutan. Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Kerjasama Departemen Dalam Negeri, Direktorat Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan – TPSA BPPT- Coastal Resources Management Project (CMRP) USAID. Jakarta,Indonesia. Dahuri, R., J. Rias., S. P. Ginting dan M. J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramitha, Jakarta. Dinas Catatan Sipil, Kependudukan dan KB Kabupaten Halmahera Utara. 2006. Data Jumlah Penduduk Kabupaten Halmahera Utara. Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara. Tobelo. Dinas Perikanan Provinsi Maluku Utara. 2005. Perencanaan Tata Ruang Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil Kepulauan Morotai Kabupaten Halmahera Utara. Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Ternate. Dinas Perikanan Kabupaten Halmahera Utara. 2006. Data Statistik Perikanan Kabupaten Halmahera Utara. Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara. Tobelo. Djoyodipuro M. 1992. Teori Lokasi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Fauzi. A, 1999.Teknik Pengambilan Contoh Untuk Penilitian Sosial Ekonomi. IPB. Bogor.
150
Fauzi A. 2000a. Teori Ekonomi Sumberdaya Perikanan. IPB. Bogor. Fauzi A. 2000b. An Overview of Socioeconomic Aspects of Indonesian Marine Protected Area: A Perspective From Kepulauan Seribu Marine Park. Paper Presented at the International Conference on Economics of Marine Protected Area (MPA) Vancouver, Canada, July 2000. Fauzi A. 2003. Penilaian Potensi Ekonomi Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil, Makalah di Sampaikan Pada seminar Potensi Investasi Pulau-Pulau Kecil. Denpasar Bali. Fauzi A. 2004a. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (Teori dan Aplikasi). PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fauzi A. 2004b. Pemodelan Bioekonomi untuk Sumberdaya Ikan, Makalah di Sampaikan pada Seminar ”Apresiasi Monitoring dan Evalusi Sumberdaya Ikan Demersal di Wilayah Pengelolaan Perikanan”. Bogor. Fauzi A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan (isu, strategi dan gagasan). PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Gonarsyah I. 2001. Bahan Kuliah Ekonomi Pembangunan “Tentang Pendefinisian Dayasaing Komoditi Berbasis Sumberdaya Alam. IPB, Bogor. Hoff K et al. 1993. The Economics of Rural Organization. Published for the World Bank, Oxford University Press. Kantor Pelabuhan Daruba. 2006. Laporan Arus Orang dan Barang Tahun 2002-2005. Kantor Pelabuhan Daruba. Daruba. Kantor Pelabuhan Tobelo. 2006. Laporan Arus Orang dan Barang Tahun 2002-2005. Kantor Pelabuhan Tobelo. Tobelo. Kasikun K.M. 2004. Kajian Keterkaitan Perkotaan Perdesaan Menuju Pembangunan Regional Berkelanjutan di Jawa Barat. IPB. Bogor. Kusnadi. 2001. Nelayan : Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Humaniora Utama Press. Jakarta. Kusrini D. E. 2003. Analisis Pengembangan Wilayah Pesisir dan Laut di Kabupaten Sampang Ditinjau dari Potensi Sumberdaya dan Pendapatan Masyarakat. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Kusumastanto H.T. 2003. Ocean Policy Dalam Membangun Negeri Bahari di Era Otonomi Daerah. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Lamatenggo. 2002. Kajian Potensi dan Pengelolaan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil Secara Berkelanjutan Studi Kasus di Pulau Gag Kabupaten Sorong Provinsi Papua. IPB. Bogor. Lumbangaol R. 2002. Kajian Pengelolaan Sumberdaya Pulau-pulau Kecil (Studi Kasus Kepulauan Tobea Kabupaten Muna Provinsi Sulewesi Tenggara). Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Maanema M. 2003. Model Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus di Gugus Pulau Pari Kepulauan Seribu). IPB. Bogor.
151
Manafi. 2003. Pendekatan Penataan Ruang Dalam Pengelolaan Pulau Kecil (Studi Kasus Pulau Kaledupa Taman Nasional Laut Kepulauan Wakatobi Sulawesi Tenggara). IPB. Bogor. Mansyur M.Z. 1999. Dampak Negatif dari Investasi Perkebunan Besar Swasta (PBS) Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Lokal dan Pembangunan Wilayah Maluku Utara. IPB. Bogor. Mintoro. 1993. Keragaan Beberapa Pola Usaha Penangkapan Ikan di Laut oleh Rakyat di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. IPB. Bogor. Moleong, LJ. 2001. Meodologi Penelitian Kualitatif, PT.Remaja Rosdakarya. Bandung. Mutmainnah. 2004. Kajian Pengembangan Pemanfaatan Sumberdaya Pulau Kecil (Studi Kasus Pulau Tanakeke Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan). IPB. Bogor. Ningkeula I. D. 2005. Kajian Pemanfaatan dan Pengembangan Sumberdaya Pulau Kecil di Kabupaten Halmahera Selatan. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Ongkosongo O.S.R. 1998. Permasalahan Dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia Kerjasama Departemen Dalam Negeri, Direktorat Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan – TPSA – BPPT – Coastal Resources Management Project (CRMP) USAID. Jakarta. Indonesia. Panuju D.R., dan Rustiadi E. 2005. Diktat kulaih Dasar-Dasar Perencanaan Pengembangan Wilayah. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Peter E. LIoyd dan Peter Dicken. 1977. Location in Space. Universitas of Liverpool dan University of Manchester. Inggris. Primarefa Indo Morotai (PT). 2006. Data Produksi. Primarefa Indo Morotai. Daruba. Richardson H.W. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Ekonomi Regional. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Rustiadi E., Saefulhakim dan S., Panuju DR. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Shukla. 2000. Regional Planning and Sustainable Development. Kanishka Publisher and Distributor New Delhi. Tarigan R. 2004. Ekonomi Regional Teoti dan Aplikasi. PT. Bumi Aksara. Jakarta. Witoelar E. 2000. Pengelolaan Pantai dan Pulau-Pulau Kecil Melalui Pendekatan Pengembangan Wilayah. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Ekosistem Pantai dan Pulau-Pulau Kecil Dalam Konteks Negara Kepulauan. Kerjasama IGI-AKI-IGEGANLA,-PUSPICS_MAPIN dan Ditjen Urusan Pesisir, Pantai dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yokyakarta.
152
Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian Kajian Pengembangan Wilayah Pulau-pulau Kecil di Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara.
153
Lampiran 2. Peta Pusat Pelayanan Fasilitas Perikanan Cakalang di Kabupaten Halmahera Utara.
154
Lampiran 3. Peta Tingkat Perkembangan Desa di Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara.
155
Lampiran 4. Peta Arahan Pengembangan Pusat Pelayanan Fasilitas Perikanan Cakalang Di Kabupaten Halmahera Utara.
156
Lampiran 5. Hirarki Perkembangan Desa berdasarakan Indeks Perkembangan Desa (IPD) di Kab. Halmahera Utara
No
Nama Kabupaten
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA
Nama Kecamatan
TOBELO TOBELO TOBELO MOROTAI SELATAN BARAT MOROTAI SELATAN BARAT GALELA MOROTAI SELATAN TOBELO MOROTAI SELATAN BARAT KAO MOROTAI SELATAN KAO MOROTAI SELATAN BARAT GALELA MOROTAI SELATAN BARAT TOBELO TOBELO TOBELO TOBELO SELATAN TOBELO SELATAN KAO TOBELO SELATAN GALELA KAO MOROTAI UTARA KAO TOBELO SELATAN MOROTAI SELATAN MOROTAI SELATAN BARAT MOROTAI UTARA KAO GALELA TOBELO GALELA MOROTAI SELATAN TOBELO TOBELO SELATAN TOBELO SELATAN MOROTAI UTARA TOBELO MOROTAI SELATAN BARAT KAO TOBELO SELATAN MOROTAI SELATAN
Nama Desa
PERSIAPAN RAWAJA GAMSUNGI PERSIAPAN GOSOMA POSI POSI RAO LEO LEO SOA SIO DARUBA GURA TILEY SASUR GOTALAMO DORO LOU MADORO JERE CIO GERONG WARI GORUA PITU KUPA KUPA MAWEA PATANG TOMA HALU DOKULAMO KUSU PANGEO MAKARTI PACA SANGOWO WAYABULA SOPI WARINGIN LAMO TUTUMALOLEO RUKO BALE DAEO WOSIA LELEOTO METI BERE BERE POPILO NGELE NGELE KECIL TOLIWANG EFI EFI SABATAI BARU
IPD
Hirarki Berdasarkan IPD
27983 27867 14708 10954 10588 10187 9096 8927 8136 7745 7006 6983 6641 6376 6255 6099 5223 5129 5048 4842 4765 4621 4542 4460 4456 4433 4411 4135 4124 4111 4010 3986 3946 3824 3771 3686 3660 3592 3572 3463 3448 3390 3345 3324
Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
135
45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101
HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA
MOROTAI SELATAN BARAT GALELA MOROTAI SELATAN KAO GALELA TOBELO KAO GALELA KAO MOROTAI SELATAN GALELA MOROTAI SELATAN BARAT KAO GALELA KAO GALELA KAO GALELA KAO KAO MOROTAI SELATAN BARAT TOBELO SELATAN MOROTAI UTARA TOBELO GALELA TOBELO SELATAN GALELA KAO GALELA MOROTAI UTARA KAO MOROTAI SELATAN MOROTAI SELATAN TOBELO KAO GALELA MOROTAI SELATAN KAO MOROTAI UTARA KAO TOBELO SELATAN KAO KAO KAO KAO MOROTAI SELATAN TOBELO MOROTAI SELATAN LOLODA UTARA GALELA TOBELO MOROTAI SELATAN BARAT KAO GALELA TOBELO SELATAN MOROTAI UTARA TOBELO
ARU BURUNG SALIMULI WAWAMA WATETO SOAKONORA KAKARA A SOASANGAJI DIM DIM NGIDIHO PEDIWANG TOTODOKU IGOBULA TUTUHU KAO SALUTA BORI LIMAU WARINGIN LELEWI TOGAWA JATI KUKUMUTUK WARINGIN GAMHOKU BUHO BUHO PERSIAPAN MKCM LALONGA TOBE GOTALAMO DARU TOWEKA MIRA BALISOSANG JUANGA GALO GALO UPA BOBALE MAMUYA MOMOJIU GAGAAPOK SAKITA BIANG KATANA TUNUO GULO WANGEOTAK MOMODA DEHEGILA LUARI SABATAI TUA DAMA BOBI SINGO PERSIAPAN WKO SAMINYAMAU SOSOL PUNE KUSURI WEWEMO TOLONUO
3302 3228 3222 3165 3155 3093 3076 3060 3045 2999 2996 2857 2842 2842 2802 2753 2720 2719 2682 2642 2637 2613 2547 2530 2480 2476 2469 2462 2449 2418 2351 2330 2311 2281 2246 2244 2234 2191 2182 2167 2166 2163 2152 2107 2094 2081 2055 2054 2044 2001 1986 1964 1940 1890 1871 1859 1847
Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
135
102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158
HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA
KAO GALELA GALELA MOROTAI SELATAN MOROTAI UTARA MOROTAI SELATAN MOROTAI UTARA MOROTAI SELATAN GALELA MOROTAI SELATAN KAO MOROTAI SELATAN TOBELO SELATAN KAO MOROTAI UTARA TOBELO MOROTAI SELATAN BARAT MOROTAI UTARA MOROTAI UTARA MOROTAI SELATAN BARAT MOROTAI UTARA MOROTAI UTARA KAO KAO LOLODA UTARA TOBELO MOROTAI UTARA KAO MOROTAI UTARA KAO KAO MOROTAI UTARA TOBELO KAO KAO TOBELO SELATAN KAO LOLODA UTARA LOLODA UTARA LOLODA UTARA KAO KAO GALELA MALIFUT KAO KAO GALELA MALIFUT LOLODA UTARA LOLODA UTARA LOLODA UTARA LOLODA UTARA KAO MALIFUT KAO MALIFUT LOLODA UTARA
PARSEBA MAKETE DUMA PANDANGA LOSUO PILOWO LIBANO DARAME SOATOBARU SAMBIKI TABOBO KOLORAI SUKAMAJU SOAMAETEK GORUA PERSIAPAN KALIPITU ARU IRIAN HAPO KORAGO COCOMARE BIDO BERE BERE KECIL PITAGO POPON DORUME TAGALAYA YAO GAYOK TAWAKALI GAMLAHA NGOALI TITIGOGOLI KUMO BAILENGIT TUGUIS UPT TOGOLIUA KAI NGAJAM SUPU JIKOLAMO TOLABIT SOA HUKUM SEKI NGOFAKIAHA SANGAJI JAYA LELESENG ROKO MATSA DAGASULI POSI POSI DOWONGGILA GISIK TOBOULAMO TAGONO TORAWAT TAHANE ASIMIRO
1836 1836 1821 1800 1769 1721 1707 1675 1634 1629 1625 1569 1552 1543 1517 1502 1478 1458 1449 1430 1353 1320 1292 1283 1279 1222 1213 1168 1148 1131 1085 1025 998 984 964 887 878 871 858 844 841 798 769 746 739 706 665 660 657 614 604 580 561 553 547 537 531
Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
135
159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181
HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA HALMAHERA UTARA
MALIFUT MALIFUT LOLODA UTARA LOLODA UTARA LOLODA UTARA LOLODA UTARA TOBELO SELATAN LOLODA UTARA LOLODA UTARA MALIFUT LOLODA UTARA LOLODA UTARA MALIFUT MALIFUT MALIFUT MALIFUT MALIFUT LOLODA UTARA LOLODA UTARA MALIFUT MALIFUT MALIFUT MALIFUT
NGOFAGITA PELERI KAILUPA SALUBE DEDETA TATE YARO APULEA DOTIA SAMSUMA POCAO FITAKO TAFASOHO TIOWOR MAILOA SOMA BOBAWA KAPA KAPA TOBO TOBO NGOFABOBAWA MALAPA TALAPAO SABALE
530 507 498 493 492 491 484 481 481 465 461 457 444 424 424 424 424 346 322 263 250 250 250
Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
135
Lampiran 6. Perhitungan standarisasi untuk mencari nilai a dan b Tabel 27. Fluktuasi Catch, Effort dan CPUE Cakalang selama periode 1999 - 2004 di Kepulauan Morotai.
Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Total Hasil Tangkapan Kg 650000 350000 720000 550000 670000 810000
Upaya Penangkapan Baku (Trip) Pole and Line
Hand Line
1698 912 2210 1553 1843 2408
82.16 46.56 130.00 121.80 164.82 234.01
Total Effort Trip (X) 1780.16 958.56 2340.00 1674.80 2007.82 2642.01
CPUE Kg/Trip (Y) 365.14 365.13 307.69 328.40 333.70 306.59
400.00 350.00
CPUE
300.00 250.00 200.00 150.00
y = -0.0373x + 405.39 R2 = 0.6971
100.00 50.00 0.00 0.00
500.00
1000.00 1500.00 2000.00
2500.00 3000.00
Trip
161
Lampiran 7. Kondisi Awal Optimasi Sumberdaya Perikanan Cakalang di Kepulauan Morotai Kabupaten Halmahera Utara.
> a:=405.39;
a := 405.39 > b:=-0.0373;
b := -0.0373 > c:=450000;
c := 450000 > p:=3000;
p := 3000 > Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 5434.182305 > h:=a*E+b*E^2; h := 405.39 E − 0.0373 E 2
> TR:=p*h; TR := 0.121617000 10 7 E − 111.9000 E 2
> plot(TR,E=0..10900);
162
> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2; hmsy := 0.1101481583 10 7 > TRmsy:=p*hmsy; TRmsy := 0.3304444749 10 10
> TCmsy:=c*Emsy; TCmsy := 0.2445382037 10 10
> phimsy:=TRmsy-TCmsy; phimsy := 0.859062712 10 9 > h:a*E+b*E^2; 405.39 E − 0.0373 E 2
> plot(h,E=0..10900);
> TR:=p*h; TR := 0.121617000 10 7 E − 111.9000 E 2
> plot(TR,E=0..10900);
163
> TC:=c*E;
TC := 450000 E > plot(TC,E=0..10900);
> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..10900,color=[red,blue]);
164
> fsolve(TR=TC,E);
0., 6846.916890 > phi:=p*h-c*E; φ := 766170.00 E − 111.9000 E 2
> fsolve(phi,E);
0., 6846.916890 > y:=diff(phi,E);
y := 766170.00 − 223.8000 E
> fsolve(y=0,E);
3423.458445 > Emey:=3423.458445;
Emey := 3423.458445 > hmey:=a*Emey+b*Emey^2; hmey := 950677.2930 > TRmey:=p*hmey; TRmey := 0.2852031879 10 10
> TCmey:=c*Emey; TCmey := 0.1540556300 10 10
> phimey:=TRmey-TCmey; phimey := 0.1311475579 10 10 > Eoa:=6846.916890;
Eoa := 6846.916890 > hoa:=a*Eoa+b*Eoa^2;
165
hoa := 0.1027037533 10 7
> TRoa:=p*hoa; TRoa := 0.3081112599 10 10
> TCoa:=c*Eoa; TCoa := 0.3081112600 10 10
> phioa:=TRoa-TCoa; phioa := 0.
166