KAJIAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT GUGUSAN PULAU-PULAU PADAIDO, DISTRIK PADAIDO, KABUPATEN BIAK NUMFOR, PAPUA
ALEXANDER SOSELISA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
1
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kajian Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Gugusan Pulau-Pulau Padaido, Distrik Padaido, Kabupaten BiakNumfor, Propinsi Papua adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Mei 2006
Alexander Soselisa NIM P.31600024
2
ABSTRAK ALEXANDER SOSELISA. Kajian Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Gugusan Pulau-Pulau Padaido, Distrik Padaido, Kabupaten Biak Numfor, Propinsi Papua. Dibimbing oleh DANIEL R. MONINTJA, SUGENG BUDIHARSONO, A.S.W. RETRAUBUN, dan FREDINAN YULIANDA. Penelitian ini bertujuan untuk mendisain zonasi pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, menyusun kesesuaian pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, mengkaji daya dukung sumberdaya pesisir dan laut, mengkaji kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat, menilai partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, dan mengembangkan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Data dan informasi dikumpulkan secara partisipatif dengan kuesioner dan survei lapangan. Metode analisis data terdiri dari analisis spasial dengan metode sistem informasi geografis, analisis kesesuaian, analisis daya dukung, analisis sosial ekonomi dan budaya, analisis partisipasi, dan analisis kebijakan dengan pendekatan A’WOT yaitu integrasi analytic hierarchy process (AHP) and strengths weaknesses opportunities threats (SWOT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah pesisir dan lautan GPP Padaido, dengan menggunakan kriteria ekologi, sosial, ekonomi dan kelembagaan, dapat dibagi atas tiga zona pengelolaan, yaitu zona pemanfaatan khusus (ZPK), zona pemanfaatan terbatas (ZPT), dan zona konservasi (ZK). Aktivitas pembangunan yang sesuai untuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut adalah perikanan budidaya rumput laut dan teripang, perikanan tangkap pelagis dan demersal, dan pariwisata pesisir. Kawasan memiliki daya dukung yang optimal untuk mendukung aktivitas pembangunan tersebut. Masyarakat Padaido bermata pencaharian sebagai nelayan, tergolong miskin dan berpendidikan formal rendah namun memiliki kearifan tradisional dalam mengelola sumberdaya alam. Dalam pengelolaan kawasan sebagai taman wisata alam laut, pariwisata, perikanan, dan konservasi yang dikelola oleh pemerintah dan LSM, keterlibatan masyarakat sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh tingkat pendidikan yang rendah. Berdasarkan kajian internal dan eksternal sumberdaya pesisir dan laut kawasan GPP Padaido dan priorit asnya maka alternatif kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dengan urutan prioritas tertinggi sampai terrendah adalah Pengelolaan berbasis masyarakat, Pengelolaan pariwisata pesisir dan laut, Konservasi sumberdaya alam pesisir dan laut, Pengelo laan perikanan pesisir dan laut, Peningkatan kapasitas kelembagaan, Peningkatan sarana dan prasarana pendukung, Pengelolaan perkebunan kelapa, dan Mitigasi bencana alam gempa dan tsunami.
3
ABSTRACT ALEXANDER SOSELISA. Study on the Management of Coastal and Marine Resources of Padaido Islands, Kabupaten Biak Numfor, Papua Province. Under the direction of DANIEL R. MONINTJA, SUGENG BUDIHARSONO, A.S.W. RETRAUBUN , and FREDINAN YULIANDA. The objectives of this research are to design zoning of coastal and marine resources uses, establish suitability of coastal and marine resources uses, assess carrying capacity of marine and coastal resources, assess cultural and social economics of community, assess community participation in marine and coastal resources management, and develop marine and coastal resources policy. Data and information were collected participatively using a questioner and field survey. Methods of data analysis consist of a numbers of analysis, these are spasial analysis using a geographical information system, suitability analysis, carrying capacity analysis, cultural and socia l economics analysis, participation analysis, and policy analysis with using A’WOT, that is the integrated analytic hierarchy process (AHP) and strengths weaknesses opportunities threats (SWOT). The result of the research showed that marine and coastal zone of GPP Padaido, by using ecology, social, economy and institution criteria, was divided by 3 zoning of management, these are special use, limited use zone, and conservation zone. Development activities that suitable for marine and coastal uses are marine culture for seaweed and sea cucumber, demersal and pelagic fisheries, and coastal tourism. The area has carrying capacity to support the activities optimally. Majority of Padaido community works as fisherman that has low of formal education and living in poverty condition, but they have traditionally wisdom to manage natural resources. Relating to manage the area for marine natural tourism park, tourism, fisheries, and conservation that is managed by government and non-government organization, participation of the community is very low. This caused by low of formal education of the community. Based on A’WOT approach and its scale of priorities, the alternatives policies of thr marine and coastal resources management are communities based management, coastal and marine tourism management, coastal and marine natural resources conservation, coastal and marine fisheries management, capacity institution improvement, supporting infrastruc ture improvement, coconut plantation management, and mitigation of natural disaster of earth-quake and tsunami.
4
© Hak cipta milik Alexander Soselisa, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
5
KAJIAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT GUGUSAN PULAU-PULAU PADAIDO, DISTRIK PADAIDO, KABUPATEN BIAK NUMFOR, PAPUA
ALEXANDER SOSELISA
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
6
Judul Disertasi
: Kajian Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Gugusan Pulau-Pulau Padaido, Distrik Padaido, Kabupaten Biak Numfor, Papua
Nama
: Alexander Soselisa
NIM
: P.31600024
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Daniel R. Monintja Ketua
Dr. Ir. A.S.W. Retraubun, M.Sc Anggota
Dr. Ir. Sugeng Budiharsono Anggota
Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS.
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto,M.Sc
Tanggal Ujian: 16 Mei 2006
Tanggal Lulus:
7
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah “Kajian Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Gugusan Pulau-Pulau Padaido, Distrik Padaido, Kabupaten Biak Numfor, Propinsi Papua” telah dilaksanakan sejak Januari sampai dengan Agustus 2003. Terima kasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr.Daniel R. Monintja selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr.Ir. Sugeng Budiharsono, Bapak Dr. Ir. A.S.W. Retraubun M.Sc, dan Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda M.Sc masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing, atas segala bimbingan dan arahan serta Bapak Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA atas segala arahan dan saran selama penulis melakukan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Di samping itu, terima kasih penulis sampaikan kepada Pimpinan Universitas Pattimura dan Pimpinan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan atas kesempatan tugas belajar jenjang S3 di Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pimpinan BPPS DIKTI dan Yayasan SUPERS EMAR atas bantuan beasiswa dan biaya penelitian, Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Biak Numfor dan Pemerintah Distrik Padaido serta masyarakatnya atas kesempatan kepada penulis melakukan penelitian. Kepada teman-teman di Yayasan RUMSRAM, KEHATI, COREMAP I, SEKPRO LLMA Biak dan rekan-rekan seprogram studi SPL serta semua pihak yang tidak disebutkan satu persatu, penulis sampaikan terima kasih atas bantuannya. Ungkapan terima kasih dan penghargaan yang dalam, penulis sampaikan kepada Ayah, Istri dan ana k tercinta Chris Daniel serta seluruh keluarga atas dukungan moril, pengertian, kesabaran, doa dan kasih sayang. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan kita.
Bogor, Mei 2006 Alexander Soselisa
8
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 13 Agustus 1963 sebagai anak kedua dari pasangan Anton Soselisa dan Christina Biri. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan, Universitas Pattimura Ambon, lulus pada tahun 1988. Pada Tahun 1992, penulis diterima di Faculty of Science, Vrije Universiteit Brussel untuk pendidikan S2 dan menamatkannya pada tahun 1994 dengan gelar Master of Science. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut diperoleh pada tahun 2001. Beasiswa pendidikan Sekolah Pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jend eral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Penulis diangkat sebagai Dosen di Fakultas Perikanan, Universitas Pattimura Ambon pada tahun 1989. Saat ini penulis masih menjadi Dosen Tetap di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Pattimura Ambon dengan jabatan fungsional/golongan sebagai Lektor / IIID. Selama mengikuti program S3, penulis juga telah mengikuti berbagai kegiatan seminar dan pelatihan yang berhubungan dengan pengelolaan pesisir, laut dan pulaupulau kecil baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Selain itu, penulis juga mengajar di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Satya Negara Indonesia, Jakarta Selatan, sebagai Dosen Tidak Tetap.
9
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
xi
DAFTAR GAMBAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . xiii DAFTAR LAMPIRAN
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . xiv
PENDAHULUAN . . . . . . . Latar Belakang . . . . . . Perumusan Masalah . . . . . Tujuan dan Kegunaan Penelitian Hipotesis Penelitian .. . . . . Kerangka Pemikiran. . . . .
. . . . . .
. . . . . .
. . . . . .
. . . . . .
. . . . . .
. . . . . .
. . . . . .
. . . . . .
. . . . . .
. . . . . .
. . . . . .
. . . . . .
. . . . . .
. . . . . .
.1 .1 .4 .8 .8 .9
TINJAUAN PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Pengertian dan Karakteristik Pulau-Pulau Kecil / Gugus Pulau . . . . Klasifikasi Pulau-Pulau Kecil di Indonesia . . . . . . . . . . . Ekosistem,Sumberdaya Alam dan Jasa-Jasa Lingkungan Pulau-Pulau Kecil Model Pembangunan Gugus Pulau . . . . . . . . . . . . . . Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat . Pentingnya Konservasi Pulau-Pulau Kecil . . . . . . . . . . . Peran dan Fungsi Ekosistem dan Sumberdaya Pulau-Pulau kecil . . . Penataan Ruang Pulau-Pulau Kecil . . . . . . . . . . . . . . Proses Penataan Ruang (Zonasi). . . . . . . . . . . . . . . Kesesuaian dan Daya Dukung Lingkungan . . . . . . . . . . . Konsep Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat . . . . . Pemberdayaan Penduduk Lokal . . . . . . . . . . . . . . . Partisipasi Masyarakat . . . . . . . . . . . . . . . . . . Sistem Informasi Geografis (SIG) . . . . . . . . . . . . . .
17 17 19 22 26 27 28 32 32 33 35 39 41 43 45
METODE PENELITIAN . . . . . . . . . . Lokasi dan Waktu Penelitian . . . . . . . Ruang Lingkup Penelitian . . . . . . . . Jenis dan Metode Pengumpulan Data . . . . Analisis Data . . . . . . . . . . . . Analisis zonasi pulau-pulau . . . . . Analisis kesesuaian lahan GPP Padaido . Analisis daya dukung sumberdaya. . . . Analisis sosial ekonomi budaya . . . . Analisis partisipasi masyarakat . . . . Analisis kebijakan pengelolaan s umberdaya
48 48 48 49 53 53 64 70 73 77 77
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . GPP Padaido
. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
10
HASIL DAN PEMBAHASAN . . . . . . Gambaran Umum Daerah Penelitian . . Kesesuaian Lahan GPP Padaido . . . . Daya Dukung Sumberdaya GPP Padaido . Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya . . Partisipasi Masyarakat. . . . . . . . Zonasi GPP Padaido. . . . . . . . Kebijakan Pengelolaan GPP Padaido. . .
. . . . . . . .
. . . . . . . .
. . . . . . . .
. . . . . . . .
. . . . . . . .
. . . . . . . .
. . . . . . . .
. . . . . . . .
. . . . . . . .
. . . . . . . .
. . . . . . . .
84 84 114 127 158 179 186 198
SIMPULAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 233 DAFTAR PUSTAKA. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 236 LAMPIRAN. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 249
11
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Beberapa p enerapan SIG di wilayah pesisir . . . . . . . . . . . Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian. . . . . . . . . . . Metode pengumpulan data penelitian. . . . . . . . . . . . . . Parameter kualitas air yang diukur dalam penelitian . . . . . . . . Parameter,bobot dan skor sistem penilaian lahan untuk pariwisata pesisir . Parameter,bobot dan skor sistem penilaian lahan untuk budidaya rumput laut. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Parameter,bobot dan skor sistem penilaian lahan untuk budidaya teripang Parameter,bobot dan skor sistim penilaian lahan untuk ikan dengan KJA . Parameter,bobot dan skor sistem penilaian lahan untuk daerah tangkapan ikan karang. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Parameter,bobot dan skor sistem penilaian lahan untuk daerah tangkapan ikan pelagis. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Baku mutu air laut untuk berbagai kegiatan. . . . . . . . . . . Standart kebutuhan ruang fasilitas pariwisata pantai. . . . . . . . . Kerangka analisis yang dipakai dalam analisis SWOT. . . . . . . . Skala angka Saaty. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Nilai acak konsistensi. . . . . . . . . . . . . . . . . . . Keadaan cuaca di Kepulauan Padaido tahun 2002. . . . . . . . . Kondisi penduduk GPP Padaido, Distrik Padaido, Biak Numfor. . . . Tingkat pendidikan penduduk GPP Padaido. . . . . . . . . . . Keadaan keluarga pertanian GPP Padaido. . . . . . . . . . . . Sarana perikanan tangkap di Kepualauan Padaido. . . . . . . . . Kunjungan wisatawan mancanegara di GPP Padaido. . . . . . . . Kelas kesesuaian dan luas lahan budidaya rumput laut. . . . . . . . Kelas kesesuaian dan luas budidaya teripang. . . . . . . . . . . Kelas kesesuaian dan luas lahan budidaya ikan dengan keramba jaring . apung . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Kelas kesesuaian dan luas lahan wisata pesisir. . . . . . . . . . Kelas kesesuaian daerah penangkapan ikan karang. . . . . . . . . Kelas kesesuaian daerah penangkapan ikan pelagis. . . . . . . . . Kualitas perairan Kepulauan Padaido, Distrik Padaido. . . . . . . . Baku mutu air laut untuk berbagai kegiatan. . . . . . . . . . . Daya dukung lahan perairan pesisir untuk budidaya rumput laut . . . . Daya dukung lahan untuk budidaya ikan dalam keramba jaring apung. . Optimal use kelompok ikan karang di Pulau-Pulau Padaido. . . . . . Densitas, kelimpahan, potensi dan optimal use kelompok ikan target. . . Daya dukung sumberdaya GPP Padaido untuk fasilitas kegiatan pariwisata pesisir. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Daya dukung sumberdaya Pulau-Pulau Padaido untuk pengunjung pariwisata pesisir. . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . .
47 50 52 52 66
. 67 . 67 . 68 . 69 . . . . . . . . . . . . . .
69 70 71 79 80 83 88 102 103 104 105 113 117 119
. . . . . . . . . .
121 123 125 126 128 130 134 137 141 142
. 146 . 147
12
36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
Penghitungan neraca air rata-rata bulanan (mm) di GPP Padaido. . . . Perkiraan potensi air tanah di Gugus Pulau Padaido Bawah. . . . . . Perkiraan potensi air tanah di Gugus Pulau Padaido Atas. . . . . . . Kondisi dan kualitas air tanah di beberapa Pulau Padaido. . . . . . . Jumlah penduduk GPP Padaido, Distrik Padaido. . . . . . . . . . Komposisi dan ketergantungan penduduk GPP Padaido. . . . . . . Kepadatan penduduk GPP Padaido. . . . . . . . . . . . . . Tingkat pendidikan penduduk GPP Padaido. . . . . . . . . . . Mata pencaharian keluarga di GPP Padaido. . . . . . . . . . . Pendapatan per kapita rata-rata penduduk GPP Padaido. . . . . . . Pengeluaran per kapita rata-rata penduduk Pulau-Pulau Padaido . . . . Musim penangkapan ikan masyarakat Padaido. . . . . . . . . . Tingkat partisipasi masyarakat. . . . . . . . . . . . . . . . Hasil analisis diskriminasi tingkat partisipasi masyarakat. . . . . . . Deskripsi variabel tingkat partisipasi masyarakat. . . . . . . . . . Hasil analisis diskriminan faktor-faktor tingkat partisipasi masyarakat. . Lama pendidikan dan tingkat partisipasi. . . . . . . . . . . . Penilaian kriteria pengelolaan GPP Padaido Bawah. . . . . . . . . Rencana zonasi peruntukkan Pulau-Pulau Padaido Bawah. . . . . . Penilaian kriteria pengelolaan Pulau-Pulau Gugus Padaido Atas. . . . Kriteria, persen total skor dan rencana zonasi Pulau-Pulau Padaido Atas. Komponen dan faktor- faktor SWOT pengelolaan Gugus Pulau Padaido. . Prioritas komponen SWOT pengelolaan sumberdayaa alam GPP Padaido. Prioritas faktor- faktor komponen SWOT. . . . . . . . . . . . Prioritas alternatif kebijakan pengelolaan. . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
152 154 155 157 159 160 161 162 164 167 167 175 180 181 182 183 184 187 191 192 194 200 201 203 204
13
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut Gugusan Pulau-Pulau Padaido. . . . . . . . . . . . . . . . . . 2 Pemanfaatan sumberdaya alam berkelanjutan. . . . . . . . . . 3 Kerangka analisis pengelolaan kawasan GPP Padaido. . . . . . . 4 Proses penyusunan zonasi dan kesesuaian lahan GPP Padaido. . . . 5 Rataan curah hujan bulanan (mm).. . . . . . . . . . . . . 6 Evapotranspirasi rata-rata bulanan (mm). . . . . . . . . . . 7 Air larian permukaan rata-rata bulanan (mm). . . . . . . . . . 8 Potensi air tanah bulanan (mm). . . . . . . . . . . . . . 9 Neraca air tanah rata-rata bulanan di GPP Padaido. . . . . . . . 10 Pondok wisata di Pulau Dauwi. . . . . . . . . . . . . . . 11 Rumah panggung masyarakat adat Biak. . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
16 40 55 57 149 150 150 151 152 210 231
14
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Realitas bio - fisik GPP Padaido, Distrik Padaido. . . . . . . . . . 2 Potensi sumberdaya alam Kepulauan Padaido, Distrik Padaido. . . . . 3 Realitas persen penutupan karang perairan GPP Padaido dari berbagai sumber. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4 Evaluasi kesesuaian lahan perairan pesisir GPP Padaido untuk budidaya rumput laut. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5 Evaluasi kesesuaian lahan perairan pesisir GPP Padaido untuk budidaya teripang. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6 Evaluasi kesesuaian lahan perairan pesisir GPP Padaido untuk budidaya ikan dengan keramba jaring apung. . . . . . . . . . . . . . 7 Evaluasi kesesuaian lahan perairan pesisir GPP Padaido untuk pariwisata pesisir. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8 Evaluasi kesesuaian lahan perairan laut GPP Padaido untuk penangkapan ikan pelagis. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9 Evaluasi kesesuaian lahan perairan laut GPP Padaido untuk penangkapan ikan karang (kel. target). . . . . . . . . . . . . . . . . . 10 Skema analisis A’WOT untuk penentuan prioritas kebijakan pengelolaan GPP Padaido. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 11 Peta lokasi penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12 Peta gugusan Pulau-Pulau Padaido, Distrik Padaido-Biak Numfor. . . . 13 Peta batimetri gugusan Pulau-Pulau Padaido . . . . . . . . . . 14 Peta kondisi karang di GPP Padaido. . . . . . . . . . . . . . 15 Peta kondisi ikan karang di GPP Padaido. . . . . . . . . . . . 16 Peta zonasi peruntukkan Pulau-Pulau Padaido Bawah. . . . . . . . 17 Peta zonasi peruntukkan Pulau-Pulau Padaido Atas. . . . . . . . . 18 Peta kesesuaian lahan pesisir GPP Padaido untuk budidaya rumput laut. . 19 Peta kesesuaian lahan pesisir GPP Padaido untuk budidaya teripang. . . 20 Peta kesesuaian lahan pesisir GPP Padaido untuk budidaya KJA. . . . 21 Peta kesesuaian lahan pesisir GPP Padaido untuk pariwisata pesisir. . . 22 Peta kesesuaian daerah penangkapan ikan demersal dan pelagis. . . . . 23 Peta asal mula penduduk Pulau-Pulau Padaido. . . . . . . . . . 24 Peta daerah penangkapan ikan masyarakat pesisir Biak Timur dan Padaido 25 Peta wilayah rawan gempa bumi di Indonesia. . . . . . . . . . . 26 Peta penyebaran lempeng tektonik. . . . . . . . . . . . . .
. 249 . 252 . 253 . 259 . 261 . 263 . 264 . 266 . 267 . . . . . . . . . . . . . . . . .
268 271 272 273 274 275 276 277 278 279 280 281 282 283 284 285 286
15
PENDAHULUAN Latar Belakang Bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan (archipelago state), keberadaan pulau-pulau kecil sangat penting dalam pembangunan berkelanjutan, bukan saja karena jumlahnya yang banyak, melainkan juga karena memiliki kawasan pesisir dan laut yang mengandung sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya (Clark, 1996). Kekayaan sumberdaya alam tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkannya dan berbagai instansi untuk meregulasi pemanfaatannya (Ginting, 1998). Sumberdaya alam di kawasan pesisir pulau-pulau kecil terdiri dari sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources ), sumberdaya alam yang tidak dapat pulih (non-renewable resouces) dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) (Dahuri, 2000). Kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alam serta jasa-jasa lingkungan tersebut merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru yang dapat menunjang pembangunan ekonomi dan sosial secara berkelanjutan di pulau-pulau kecil bila pengelolaannya dilakukan secara bijaksana dan optimal dengan memperhatikan kapasitas daya dukung lingkungan (carrying capacity). Dalam perspektif pengelolaan, pulau-pulau kecil memiliki karakteristik yang unik dibandingkan dengan pulau besar, baik ditinjau dari aspek ekologis, fisik, sosial ekonomi dan budaya masyarakatnya. Oleh karena itu, dala m pengelolaannya diperlukan pendekatan pengelolaan yang disesuaikan dengan karakteristik pulaupulau kecil tersebut. Secara ekologis, pulau-pulau kecil memiliki risiko tekanan lingkungan yang tinggi, keterbatasan daya dukung (lahan dan air tawar) dan umumnya memiliki spesies endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi; secara fisik, pulau-pulau kecil umumnya terpisah dari pulau besar, sangat rentan terhadap perubahan alam dan bisa dalam bentuk gugusan atau sendiri; dan secara sosial ekonomi budaya, penduduk pulau-pulau kecil memiliki budaya dan sosial ekonomi yang khas, keterbatasan kualitas SDM, dan aksesibilitas yang rendah (Retraubun et al., 2002).
16
Salah satu gugusan pulau-pulau kecil di Indonesia adalah Padaido. Padaido merupakan salah satu distrik (kecamatan) kepulauan di Kabupaten Biak Numfor, Propinsi Papua. Distrik ini terdiri atas pulau-pulau kecil sebanyak kurang lebih 29 pulau dan 5 (lima) gosong karang yang dikelilingi oleh laut dalam serta berpenduduk sebanyak 3975 jiwa (BPS Biak Numfor, 2003). Secara tradisional, pulau-pulau kecil tersebut dikelompokkan atas dua gugusan pulau, yaitu gugus pulau-pulau Padaido Bawah (GPP Padaido Bawah) dan gugus pulau-pulau Padaido Atas (GPP Padaido Atas). Secara fisik, GPP Padaido Bawah merupakan pulau-pulau atol, sedangkan GPP Padaido Atas merupakan gugus pulau-pulau karang yang tidak berikat. Pulau yang dihuni secara permanen oleh masyarakat sebanyak 8 (delapan) pulau, sedangkan pulau-pulau lain dimanfaatkan sebagai tempat usaha penduduk dalam bidang perikanan tangkap, perkebunan kelapa dan jasa pariwisata serta sebagai tempat singgah bila cuaca buruk. Gugusan pulau-pulau Padaido (GPP Padaido) memiliki kawasan pesisir dan laut yang mengandung sumberdaya alam yang kaya dan beranekaragam. Sumberdaya pesisir dan laut terdiri dari terumbu karang, berbagai jenis ikan (ikan ekonomis penting dan ikan hias), mamalia laut (lumba-lumba), moluska (tiram mutiara, kima raksasa, kerang anadara), krustasea (udang karang, kepiting, dan lain- lain), ekinodermata (teripang, bulu babi), tumbuhan laut (rumput laut jenis Eucheuma spp, dan lain- lain) (Hutomo, et al., (1996), Yayasan Hualopu (1997), Razak dan Marlina (1999), Wouthuyzen (1995), Yayasan Terangi dan LIPI-Biak (2000), COREMAP Reports (2001) dan COREMAP Reports (2003)). Terumbu karang merupakan sumberdaya pesisir yang dominan dan memiliki keanekaragaman biota yang berasosiasi dengannya. Sumberdaya ini terdiri atas 4 (empat) tipe; terumbu karang cincin (Atoll), terumbu karang tepi (Fringging reef ), terumbu karang penghalang (Barrier reef) dan terumbu karang goba (Flatform reef), dan terdiri atas lebih dari 90 jenis karang yang tergolong dalam 41 genera dan 13 famili serta beberapa jenis karang lunak yang tergolong dalam 4 genera. Ikan karang terdiri atas lebih dari 150 jenis yang termasuk dalam 35 genera. Rumput laut terdiri dari 40 jenis, sejumlah jenis moluska yang berasal dari 13 genera serta beberapa jenis
17
udang karang (lobster). Selain keragaman dan kekayaan jenis karang dan asosiasi biota lain, terdapat beberapa jenis hewan yang merupakan spesies dilindungi seperti ikan Napoleon, kima raksasa (Tridacna), lola (Trochus), Nautilus dan ketam kenari. Karena letak geografisnya yang berhadapan dan berhubungan langsung dengan Samudera Pasifik, kawasan ini memiliki jenis karang yang berciri khas Samudera Pasifik Timur. Keunikan ini tidak dijumpai di kawasan lain di Indonesia sehingga perlu dijaga kelestariannya. (Suharsono dan Leatemia, 1995; Sapulette dan Peristiwady, 1994; Wouthuyzen et al., 1995; Novaczek, 1997; COREMAP Reports, 2001; COREMAP Reports, 2003). Kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya pesisir dan laut yang unik tersebut menimbulkan daya tarik dari berbagai pihak untuk memanfaatkannya dan berbagai lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah untuk meregulasi pemanfaatannya. Secara tradisional, kawasan ini merupakan wilayah hak ulayat masyarakat Padaido yang pengelolaannya dilakukan secara adat sebelum Indonesia merdeka. Pemerintah pusat melalui Departemen Kehutanan menetapkan kawasan GPP Padaido sebagai Taman Wisata Alam Laut pada 19 Pebruari 1997 dengan luas 183.000 ha. Pemerintah daerah menetapkan kawasan Padaido sebagai kawasan pengembangan Pariwisata dan Perikanan. Kawasan juga merupakan lokasi Coral Rehabilitation and Managemen Project
(COREMAP)
sejak
1998
dan
proyek
konservasi
dari
Yayasan
Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) sejak 1997 yang bekerjasama dengan LSM luar negeri. Selain itu, kawasan ini juga merupakan daerah penangkapan ikan (mencari) nelayan dari pesisir timur Pulau Biak. Semua kebijakan pengelolaan tersebut pada dasarnya diarahkan untuk pencapaian dua tujuan pokok pembangunan wilayah pesisir di Indonesia. Pertama, pendayagunaan potensi sumberdaya pesisir dan laut untuk meningkatkan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi dan kesejahteraan pelaku pembangunan pesisir dan lautan
khususnya masyarakat pulau-pulau kecil. Kedua, untuk tetap menjaga
kelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati pesisir dan laut. Seiring dengan perjalanan waktu, pengelolaan wilayah pesisir dan laut GPP Padaido belum dilakukan secara efektif. Pada hampir semua kawasan muncul
18
fenomena pemanfaatan yang bersifat sektoral, eksploitatif dan melampaui daya dukung lingkungannya. Beberapa fenomena penting yang memerlukan tindakan segera untuk mengatasinya antara al in: deforestasi hutan bakau; rusaknya terumbu karang; merosotnya kualitas obyek wisata laut; tangkap ikan lebih (overfishing); terancamnya berbagai spesies biota laut yang dilindungi, meluasnya abrasi pantai, intrusi air laut, kemiskinan penduduk serta mulai pudarnya kearifan tradisional masyarakat. Pengelolaan wilayah pesisir yang tidak efektif tersebut didorong oleh berbagai faktor. Ketidakmampuan kapasitas kelembagaan dalam mengatasi isu dasar pengelolaan sumberdaya pesisir. Berbagai kepentingan sektor, dunia usaha dan masyarakat setempat semakin kuat mendominasi isu-isu pengelolaan. Masing- masing pihak yang berkepentingan memegang dasar hukum dan kebijakan dari instansi yang berwenang. Setiap kebijakan yang dikeluarkan memuat tujuan dan sasaran yang sering berbeda sehingga muncul gap atau tumpang tindih. Untuk mencapai tujuannya, setiap instansi menyusun perencanaan sendiri, sesuai dengan tugas dan fungsi sektornya, tetapi kurang mengakomodasi kepentingan sektor lain, daerah, masyarakat setempat, dan lingkungannya. Perbedaan tujuan, sasaran, dan rencana memicu kompetisi (rivalitas) diantara pengguna dan tumpang tindih perencanaan. Tumpang tindih perencanaan dan kompetisi ini memicu konflik pemanfaatan dan kewenangan (Ginting, 1998). Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji aspek-aspek pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di GPP Padaido dan memberikan alternatif kebijakan pengelolaan yang sesuai sehingga
pengelolaan sumberdaya dapat
berlangsung secara optimal, berkelanjutan dan berbasis masyarakat. Perumusan Masalah Kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut GPP Padaido yang dilakukan selama ini belum memberikan hasil yang nyata terhadap kesejahteraan masyarakat serta kelestarian lingkungan dan sumberdaya pesisir dan laut. Hal ini disebabkan penyusunan dan penetapan kebijakan pengelolaan tidak melibatkan
19
masyarakat dan stakeholders lain. Penetapan kawasan GPP Padaido sebagai kawasan Taman Wisata Alam Laut (TWAL), kawasan pengembangan perikanan dan pariwisata, lokasi proyek pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang (COREMAP), wilayah kerja dari beberapa LSM konservasi, serta proyek pengembangan kabupaten oleh pemerintah ternyata tidak menunjukkan keserasian tetapi menimbulkan berbagai benturan kepentingan antara kegiata n pariwisata alam, konservasi sumberdaya terumbu karang, upaya-upaya pemberdayaan masyarakat, kegiatan perikanan serta kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat adat. Hal ini ditunjukkan oleh ketidakberhasilan pengelola TWAL Padaido, pemerintah setempat dan masyarakat lokal dalam menangani berbagai permasalahan pengelolaan kawasan baik dalam penetapan zonasi maupun pemanfaatannya untuk berbagai kegiatan. Selain itu, kegiatan proyek COREMAP dan konservasi yang digalang oleh pemerintah dan LSM tidak berhasil menangani permasalahan kerusakan terumbu karang dan peningkatan kapasitas masyarakat. Berdasarkan survei line transect yang dilakukan oleh P3O LIPI, penutupan karang hidup hanya tinggal sekitar 16,48% sedangkan sisanya adalah karang mati (COREMAP Reports, 2003). Nilai ini mengalami penurunan sekitar 62,95% dari kondisi karang hidup pada tahun 2001, yaitu 26,21% (COREMAP Reports, 2001). Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa terumbu karang di perairan GPP Padaido Bawah memiliki penutupan karang hidup yang lebih rendah (12,11%) dibandingkan dengan terumbu karang di perairan GPP Padaido Atas (24,13%). Penurunan kualitas karang hidup tersebut secara langsung ataupun tidak langsung dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas ikan dan biota lain yang hidup berasosiasi dengan terumbu karang. Kegiatan pengembangan kabupaten melalui pengembangan sektor perikanan dan pariwisata tidak berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan dan pelestarian sumberdaya pesisir dan laut serta lingkungannya. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat, sumberdaya ikan dan beberapa hewan bentik tertentu telah mengalami tangkap lebih (overfishing) sehingga sulit ditemukan lagi.
Untuk menangkap ikan, nelayan harus pergi ke daerah
penangkapan yang lebih jauh, sedangkan kima, lola, bia (Anadara) dan nautilus
20
sudah sulit dijumpai di sekitar perairan pantai. Banyaknya kerang yang diambil oleh masyarakat dapat dilihat pada tumpukan-tumpukan kulit kerang (kima dan bia) di sepanjang pantai dan jalan kampung. Pengambilan secara berlebihan tersebut dapat menimbulkan kerusakan lingkungan dan sumberdaya dan bila tidak diantisipasi lebih lanjut dapat berdampak pada kelestarian sumberdaya. Secara adat, kawasan pesisir dan laut GPP Padaido merupakan hak ulayat masyarakat adat Padaido yang telah dikelola secara turun-temurun. Masyarakat menganggap bahwa pulau, kawasan pesisir dan laut beserta sumberdaya alam yang dikandungnya merupakan milik mereka yang telah diwariskan secara turun temurun. Di lain pihak, pemerintah beranggapan bahwa sumberdaya alam adalah milik negara yang kewenangan pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah melalui instansi pemerintah. Perbedaan persepsi tentang kewenangan pengelolaan
tersebut dapat
menimbulkan konflik pemanfaatan dan dalam banyak kasus ditemukan program pemerintah tidak berhasil dilaksanakan karena tidak didukung oleh masyarakat lokal. Masyarakat GPP Padaido sebagian besar bermatapencaharian sebagai nelayan dengan kegiatan utama menangkap ikan dan mengumpulkan biota laut lain. Mereka merupakan nelayan tradisional yang masih menggunakan peralatan sederhana untuk menangkap ikan di sekitar daerah terumbu karang yang merupakan daerah penangkapannya. Keberlanjutan usaha mereka sebagai nelayan sangat ditentukan oleh musim dan ketersediaan ikan serta biota lain di laut. Pada musim tidak melaut (karena gelombang besar dan cuaca buruk) mereka kekurangan bahan makanan karena tidak ada pendapatan tambahan yang dapat digunakan untuk membeli bahan makanan. Kondisi ini menyebabkan kualitas hidup (kesejahteraan dan kesehatan) masyarakat menurun. Oleh karena itu, kondisi ekonomi masyarakat perlu diperhatikan dan diberdayakan dalam kaitan dengan pengelolaan sumberdaya terumbu karang melalui pencaharian usaha alternatif. Dalam memanfaatkan sumberdaya hayati perairan pesisir dan laut, seperti ikan, moluska dan krustasea, masih dijumpai nelayan menggunakan cara-cara penangkapan yang merusak lingkungan dan sumberdaya, seperti bom dan bahan bius kimia potasium sianida (KCN), serta peletakan jaring yang tidak sesuai di sekitar terumbu
21
karang. Berdasarkan hasil survei tim MCS-COREMAP tahun 2003, penyebab utama kerusakan terumbu karang adalah penggunaan jaring di sekitar terumbu karang, penggunaan bom dan sianida, pengambilan karang serta terkena jangkar dan “bello” perahu. Aktivitas-aktivitas tersebut terjadi karena masih rendahnya tingkat pengetahuan, teknologi dan kesejahteraan masyarakat,
serta meningkatnya
kebutuhan masyarakat pada sumberdaya ikan. Wilayah GPP Padaido terdiri atas kura ng lebih 29 pulau yang secara tradisional dikelompokkan atas GPP Padaido Atas dan GPP Padaido Bawah. Pulau-pulau tersebut tersebar dalam wilayah seluas 183.000 ha yang dikelilingi oleh laut dalam. Perairan laut sangat dinamis dengan cuaca yang tidak dapa t diprediksi dengan pasti. Pada musim tertentu, perairan bergelombang besar dan berarus deras sehingga tidak dapat dilalui oleh perahu-perahu nelayan yang berukuran kecil. Hal ini menyebabkan penduduk pulau-pulau terisolasi dan tidak dapat berhubungan dengan pulau lain dan pulau Biak sebagai pusat pelayanan (pemerintahan dan perekonomian). Dalam kaitan dengan pengelolaan kawasan, penyediaan sarana dan prasarana (infrastruktur) transportasi laut menjadi penting diperhatikan. Kawasan Padaido, Biak dan pulau-pulau lain di sekitarnya merupakan kawasan rawan bencana alam gempa dan tsunami karena terletak dekat patahan aktif (sesar) di Samudera Pasifik. Gempa bumi dalam berbagai skala sering terjadi. Gempa dan tsunami pernah terjadi pada tahun 1996 dan menimbulk an korban jiwa dan kerugian material yang tidak kecil. Dalam kaitan dengan pengelolaan pulau-pulau kecil, terutama upaya minimalisasi dampak bahaya gempa dan tsunami, mitigasi bencana alam gempa dan tsunami merupakan salah satu permasalahan bagi masyarakat di GPP Padaido yang perlu diperhatikan. Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas maka permasalahan utama pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di GPP Padaido adalah : 1)
Kesesuaian pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut
2) Kapasitas daya dukung sumberdaya pesisir dan laut 3)
Kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang tidak dipertimbangkan dalam proses pengelolaan
22
4)
Partisipasi masyarakat yang tidak dipertimbangkan dalam proses pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut
5)
Zonasi pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang ada perlu ditinjau kembali karena sudah tidak sesuai dengan kondisi biogeofisik, sosial ekonomi dan budaya masyarakat.
6)
Kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang tidak mempertimbangkan kondisi biogeofisik dan sos ial ekonomi serta kearifan budaya masyarakat lokal. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:
(1)
Menata kesesuaian pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut
(2)
Mengkaji daya dukung sumberdaya pesisir dan laut
(3)
Menilai kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat
(4)
Mengkaji partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
(5)
Meredisain zonasi pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, dan
(6)
Mengembangkan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pemerintah dan masyarakat
sebagai bahan dasar dalam penyusunan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut gugusan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan, dan bagi program studi sebagai bahan dan informasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam penanganan permasalahan pengelolaan dan pembangunan sumberdaya pesisir dan laut di pulau-pulau kecil. Hipotesis Penelitian Berdasarkan permasalahan dan tujuan di atas dirumuskan hipotesis penelitian ini sebagai berikut: Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di GPP Padaido masih lemah. Hal ini disebabkan oleh (1) belum optimalnya kesesuaian dan daya dukung pemanfaatan sumberdaya. (2) tidak menyertakan partisipasi masyarakat.
23
Kerangka Pemikiran Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut Gugusan Pulau-Pulau Padaido, maka dibangun kerangka pemikiran pemecahan masalah sebagai berikut. (1)
Keterkaitan zonasi dengan pengelolaan sumberda ya pesisir dan laut Sumberdaya pesisir dan laut GPP Padaido tersebar pada pulau-pulau kecil
sebanyak 29 pulau dalam wilayah seluas 183.000 ha. Sumberdaya tersebut memiliki fungsi ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Fungsi- fungsi tersebut akan berlangsung dengan baik dan berkelanjutan bila dilakukan pengelolaan yang baik pula. Salah satu teknik pengelolaan sumberdaya alam berbasis spasial yang membagi suatu wilayah yang luas kedalam subwilayah-subwilayah sehingga mudah dikelola pemanfaatannya adalah zonasi. Zonasi merupakan salah satu sarana yang paling sederhana, umum namun kuat dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Zonasi, yang didasarkan pada konsep pemisahan dan pengontrolan pemanfaatan-pemanfaatan yang tidak sesuai secara spasial, merupakan suatu sarana yang dapat diterapkan dalam berbagai situasi dan dapat dimodifikasi untuk disesuaikan dengan berbagai lingkungan ekologi, sosial, ekonomi dan politik (Kay dan Alder, 1999). Informasi lingkungan, sosial, dan ekonomi yang dikombinasikan dengan masukan masyarakat mengenai pemanfaatan dari daerah yang bersangkutan pada saat ini akan membentuk landasan informasi untuk pembuatan rencana zonasi. Selain itu, Penulis lain mendefinisikan zonasi sebagai pembagian kawasan (lindung dan budidaya) berdasarkan potensi dan karakteristik sumberdaya alam untuk kepentingan perlindungan dan pelestarian serta pemanfaatan guna memenuhi kebutuhan manusia secara berkelanjutan (Mac Kinnon, 1986; Departemen Kehutanan, 1993; Dahuri, 1996; Alikodra, 1998 yang diacu dalam Murni, 2000), sedangkan Bengen (2002) menyatakan bahwa penetapan zonasi kawasan adalah pengelompokkan areal suatu kawasan ke dalam zona-zona sesuai dengan kondisi fisik dan fungsinya.
24
Zonasi ditetapkan dengan maksud untuk mempermudah pengendalian, pemanfaatan dan pemeliharaan keberlanjutan sumberdaya pesisir dan laut dalam jangka panjang serta mengeliminir berbagai faktor tekanan terhadap ekosistem pesisir a
akibat kegiatan yang tidak sesuai (incompatible) (DKP, 2002 ). Bengen (2002) menyatakan bahwa zonasi bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi ekologi dan ekonomi ekosistem suatu kawasan sehingga dapat dilakukan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan secara berkelanjutan. Untuk kawasan pulau-pulau kecil, zonasi umumnya dibagi menjadi tiga (Bengen, 2002). Pertama, zona inti atau perlindungan. Habitat di zona ini memiliki nilai konservasi yang tinggi, sangat rentan terhadap gangguan atau perubahan, dan hanya mentolerir sangat sedikit aktivitas manusia. Zona ini dikelola dengan tingkat perlindunga n yang tinggi, serta tidak diijinkan adanya aktivitas eksploitasi. Kedua, zona penyangga (pemanfaatan terbatas). Zona ini bersifat lebih terbuka tetapi tetap dikontrol dan beberapa bentuk pemanfaatan masih diijinkan. Ketiga, zona pemanfaatan. Habitat di zona ini masih memiliki nilai konservasi tertentu tetapi mentolerir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia dan layak bagi beragam kegiatan eksploitasi yang diijinkan dalam suatu kawasan lindung. Untuk mengkaji kesesuaian suatu lokasi untuk peruntukannya (zona) secara objektif dibutuhkan penerapan kriteria. Kriteria yang digunakan dikelompokkan atas kelompok kriteria ekologi, sosial dan ekonomi (Salm, et al., 2000) dan kelembagaan. Kelompok kriteria ekologi terdiri dari keanekaragaman hayati (ekosistem dan jenis), kealamian, keunikan, kerentanan dan keterkaitan. Kelompok kriteria ekonomi terdiri dari spesies penting, kepentingan perikanan, bentuk ancaman, dan pariwisata. Kelompok kriteria sosial yaitu penerimaan sosial, rekreasi, budaya, estetika, konflik kepentingan, keamanan, aksesibilitas, kepedulian masyarakat, dan penelitian dan pendidikan. Kelompok kelembagaan terdiri dari keberadaan lembaga sosial, dukungan infrastruktur sosial, dan dukungan pemerintah. (2)
Keterkaitan kesesuaian kawasan dengan pengelolaan sumberdaya
25
Sumberdaya alam pesisir dan laut menempati suatu lahan kawasan yang dapat dibedakan atas tiga tipe. Pertama adalah lahan daratan (pulau). Lahan ini dimanfaatkan sebagai tempat pemukiman penduduk, kebun dan ladang, lokasi beberapa prasarana dan sarana sosial, semak-belukar, pepohonan kelapa dan hutan (primer dan sekunder). Kedua adalah lahan dataran pantai pasang surut, yaitu lahan pesisir yang mengalami proses pasang-surut (pasut) air laut. Lahan ini meliputi rataan terumbu atol wundi, rataan terumbu pulau-pulau, laguna dan lagoon wundi yang tersusun dari berbagai jenis substrat dasar, seperti; pasir, lumpur, patahan karang dan campuran substrat-substrat tersebut. Di atas lahan ini tumbuh dan berkembang berbagai jenis komunitas, yaitu; karang, lamun, dan mangrove dengan berbagai jenis fauna dan flora pantai dan laut yang berasosiasi. Karang menempati bagian tepi (margin) lahan yang berbatasan dengan laut dalam, sedangkan mangrove menempati tepi pantai yang berbatasan dengan daratan pulau. Lamun terletak diantara keduanya. Ketiga adalah lahan perairan laut. Kawasan ini mengandung sumberdaya ikan pelagis (kecil dan besar) dan demersal. Dalam kaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, pemanfaatan sumberdaya alam untuk berbaga i peruntukkan harus disesuaikan dengan karakteristik sumberdaya alam yang terkandung di lahan kawasan tersebut agar pemanfaatan sumberdaya tersebut secara spasial berlangsung secara optimal dan berkelanjutan. Kesesuaian (keharmonisan) spasial merupakan salah satu persyaratan ekologis dalam pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil secara optimal dan lestari. Kesesuaian spasial berhubungan dengan bagaimana menata suatu kawasan pulau-pulau kecil bagi pemanfaatan
sumberdaya
berdasarkan
kesesuaian
(suitability)
lahan
dan
keharmonisan antar pemanfaatan (Bengen, 2002). Kesesuaian pemanfaatan lahan pesisir dan laut untuk berbagai pemanfaatan didasarkan pada kriteria kesesuaian untuk setiap aktivitas pemanfaatan. (3)
Keterkaitan daya dukung kawasan dengan pengelolaan sumberdaya GPP Padaido merupakan gugusan pulau-pulau karang berukuran kecil yang
mengandung sumberdaya alam yang terbatas, mudah rapuh (fragile) dan sangat rentan terhadap gangguan yang datang dari luar namun memiliki kapasitas
26
maksimum yang dapat dimanfaatkan dan dikelola untuk mendukung kegiatankegiatan pembangunan di pulau. Bagi pulau-pulau kecil, kapasitas maksimum (daya dukung) dari sumberdaya alam yang dimiliki perlu diketahui sehingga didalam pemanfaatannya tidak melebihi kapasitas
dukungnya.
Kerusakan
sumberdaya
alam
terjadi
karena
tingkat
pemanfaatannya telah melebihi daya dukung dan kemampuan sumberdaya alam memperbaharui dirinya. Oleh karenanya diperlukan pengetahuan tentang
daya
dukung dari masing- masing sumberdaya yang mendukung suatu ekosistem gugusan pulau-pulau kecil. Daya dukung adalah tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara
berkesinambungan
tanpa
menimbulkan
kerusakan
sumberdaya
dan
lingkungan. Daya dukung dibedakan atas daya dukung ekologis, daya dukung fisik, daya dukung sosial, dan daya dukung ekonomi (Bengen, 2002). Penulis lain mengartikan daya dukung wilayah sebagai kemampuan wilayah mendukung berbagai pemanfaatan sumberdaya (Clark, 1995; Sullivan, et al., 1995 yang diacu dalam Dahuri, 2001). Daya dukung suatu wilayah tidak bersifat statis tetapi bervariasi sesuai dengan kondisi biogeofisik (ekologis) wilayah dimaksud dan juga kebutuhan (demand) manusia akan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (goods and services) dari wilayah tersebut. Daya dukung suatu wilayah dapat menurun akibat kegiatan manusia maupun gaya- gaya alamiah (natural forces), seperti bencana alam. Atau dapat dipertahankan dan bahkan ditingkatkan melalui pengelolaan wilayah secara tepat, masukan teknologi dan impor (perdagangan). Ketika sumberdaya alam dan jasa lingkungan suatu wilayah dimanfaatkan melebihi daya dukungnya, maka keuntungan pembangunan dari wilayah tersebut secara keseluruhan mulai menurun, yang selanjutnya akan mengakibatkan menurunnya perekonomian wilayah, serta penurunan kesempatan kerja, pendapatan dan devisa. Daya dukung suatu wilayah ditentukan oleh (1) kondisi biogeofisik wilayah, dan (2) permintaan manusia akan sumberdaya alam dan jasa lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, daya dukung wilayah pesisir dapat ditentukan/diperkirakan dengan cara menganalisis : (1) kondisi biogeofisik yang
27
menyusun
kemampuan
wilayah
pesisir
dalam
memproduksi/menyediakan
sumberdaya alam dan jasa lingkungan, dan (2) kondisi sosekbud yang menentukan kebutuhan manusia yang tinggal di wilayah pesisir tersebut atau yang tinggal di luar wilayah pesisir, tetapi berpengaruh terhadap wilayah pesisir, akan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir. Dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, pengetahuan tentang daya dukung kawasan pesisir dan laut sangat penting. Dengan mengetahui daya
dukung,
pemantauan
aspek-aspek pengelolaaan; seperti perencanaan, pelaksanaan,
dan
evaluasi
pemanfaatan
sumberdaya,
dapat
disusun
dan
diimplementasikan sehingga pemanfaatan sumberdaya berlangsung secara optimal dan berkelanjutan. (4)
Keterkaitan kondisi sosial ekonomi dan budaya dengan pengelolaan sumberdaya alam Kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat GPP Padaido sangat penting
diketahui karena berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam. Masyarakat yang mendiami pulau-pulau kecil umumnya memiliki kualitas yang rendah dalam hal pendidikan, penguasaan teknologi serta ekonomi (tingkat pendapatan yang rendah). Hal ini disebabkan oleh terbatasnya sarana dan prasarana sosial, seperti pendidikan dan perekonomian, jauh dari pusat pemasaran dan pelayanan serta akses ke pulaupulau kecil yang sangat rendah. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu, karena keterisolasiannya, masyarakat pulau-pulau kecil secara budaya memiliki kearifan tradisional dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Kearifan tersebut biasanya diturunkan dari generasi ke generasi sehingga tidak hilang. Hal ini dapat ditemukan pada beberapa daerah di wilayah Indonesia. Dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut, budaya masyarakat tersebut perlu dipertahankan dan dilestarikan terutama yang berkaitan langsung dengan pengelolaan karena memiliki nilai yang sangat strategis. Pengelolaan
yang
berbasis
masyarakat
umumnya
pemanfaatan sumberdaya alam (PKSPL-IPB, 1998).
menjamin
keberlanjutan
28
(5)
Keterkaitan partisipasi masyarakat dengan pengelolaan sumberdaya alam Partisipasi diartikan sebagai upaya peran serta masyarakat dalam suatu
kegiatan. Dalam kaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut maka partisipasi merupakan upaya peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, partisipasi masyarakat sangatlah mutlak demi berhasilnya upaya pengelolaan. Tanpa partisipasi masyarakat maka setiap kegiatan pengelolaan akan kurang berhasil (Slamet, 1985). Pengelolaan yang melibatkan partisipasi masyarakat merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya. Selain mereka memiliki akar budaya yang kuat, biasanya tergabung dalam kepercayaannya. Nilai-nilai dalam masyarakat biasanya ditransfer secara kuat dari generasi ke generasi yang tercakup dalam sistem tradisional (Nikijuluw, 1994). Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya daya alam dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tingkat pendidikan, umur, dan kesesuaian kegiatan dengan kebutuhan (Madrie, 1986). Partisipasi juga ditentukan oleh tingkat pengetahuan. Seseorang yang memiliki pengetahuan dan kesadaran yang tinggi terhadap kepentingan kelompok, cenderung semakin tinggi partisipasinya (Long, 1973). Soeryani, et al., (1987) menjelaskan bahwa tingkat pendidikan dan kemiskinan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam mengelola lingkungan hidup. Tingkat pendidikan masyarakat akan mempengaruhi tingkat pengetahuan mereka mengenai lingkungan hidup. (6)
Keterkaitan kebijakan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut Kebijakan merupakan salah satu teknik atau alat penting yang bersifat
adminitratif dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir yang utama (Kay dan Alder, 1999). Kebijakan didefinisikan sebagai sejumlah kegiatan berguna yang harus diikuti oleh pelaku dalam menangani suatu masalah (Anderson, et al., 1984 diacu oleh Kay dan Alder, 1999). Heglo, et al., 1990 diacu oleh Abidin 2002 mendefinisikan kebijakan sebagai suatu tindakan yang bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu. Kebijakan merupakan panduan keputusan mengenai keputusan-
29
keputusan yang berkenan dengan pilihan atas arah tindakan alternatif (Colebath, 1993 diacu oleh Kay dan Alder, 1999). Dalam kaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut pulau-pulau kecil, kebijakan yang ditetapkan haruslah berbasis kondisi dan karakteristik bio -geofisik serta sosial ekonomi dan budaya masyarakatnya. Hal ini mengingat peran dan fungsi kawasan tersebut sangat penting baik bagi kehidupan ekosistem sekitar maupun kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakatnya. Jika kawasan pesisir dan laut pulau-pulau kecil dapat dikembangkan dan dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan, bukan saja akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga mempertahankan kelestarian sumberdaya alam dan budaya masyarakat yang ada di pulau-pulau kecil. Hubungan keterkaitan antara komponen-komponen sebagaimana disebut di atas dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut GPP Padaido disajikan pada Gambar 1.
KONDISI SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT
PERMASALAHAN PENGELOLAAN GUGUSAN PULAU-PULAU PADAIDO SAAT INI
KEBIJAKAN PENGELOLAAN
KONDISI * SOSIAL * EKONOMI * BUDAYA
ZONASI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PESISIR & LAUT GPP PADAIDO
KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG PEMANFAATAN * PERIKANAN * PARIWISATA * BUDIDAYA * PEMUKIMAN
PENGELOLAAN * KEBIJAKAN * KLEMBAGAAN
KRITERIA ZONASI * EKOLOGIS * EKONOMI * SOSIAL * KELEMBAGAAN
PARTISIPASI MASYARAKAT
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Gugusan Pulau-Pulau Padaido.
PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR & LAUT GPP PADAIDO SECARA OPTIMAL DAN BERKELANJUTAN
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Karakteristik Pulau-Pulau Kecil / Gugus Pulau Pulau adalah massa daratan yang seluruhnya dikelilingi air. Ukuran luas pulau sangat bervariasi, mulai dari pulau-pulau karang hingga yang luasnya mencapai jutaan kilometer persegi. Walaupun tidak dibatasi secara pasti, para ahli kebumian telah sepakat bahwa yang disebut pulau adalah daratan yang lebih kecil dari benua terkecil yaitu benua Australia yang membentang seluas 7.682.300. km persegi (Husni, 1998). Pulau-Pulau kecil atau gugus pulau-pulau kecil didefinisikan sebagai sekumpulan pulau-pulau yang secara geografis yang saling berdekatan, dimana ada keterkaitan erat dan memiliki ketergantungan atau interaksi antar ekosistem, kondisi ekonomi, sosial dan budaya, baik secara individual maupun secara berkelompok (DKP, 2002). Beberapa pulau kecil yang mengelompok bersama disebut dengan kepulauan, misaln ya Kepulauan Seribu, Kepulauan Riau, Kepulauan Maluku, Kepulauan Galapagos, dan Kepulauan Aegean. Secara fisik, gugus pulau memiliki ciri-ciri antara lain: 1)
Secara geografis merupakan sekumpulan pulau yang saling berdekatan, dengan batas fisik yang jelas antar pulau.
2)
Dalam satu gugus pulau, pulau kecil dapat terpisah jauh sehingga bersifat insuler.
3)
Lebih banyak dipengaruhi oleh faktor hidro-klimat laut.
4)
Pengertian satu gugus pulau tidak terbatas pada luas pulau, jumlah dan kepadatan penduduk.
5)
Biasanya pada pulau kecil dalam gugus pulau terdapat sejumlah biota endemik dengan keanekaragaman biota yang tipikal dan bernilai ekonomis tinggi.
6)
Pada wilayah tertentu, gugus pulau dapat merupakan sekumpulan pulau besar dan
kecil
atau
sekumpulan
pulau
kecil
dengan
daratan
terdekat
(propinsi/kabupaten/kecamatan) dimana terdapat saling ketergantungan pada bidang ekonomi, sosial, dan budaya.
1
7)
Gugus pulau dapat terdiri dari sekumpulan pulau, atol atau gosong (gosong adalah dataran terumbu karang yang hanya muncul di permukaan air pada saat air surut) dan daratan wilayah terdekat (dapat terdiri dari propinsi/ kabupaten/kecamatan).
8)
Kondisi pulau-pulau kecil sangat rentan terhadap perubahan yang bersifat alamiah (bencana angin, badai, gelombang tsunami, letusan gunung berapi) atau karena
pengaruh
manusia
(fenomena
kenaikan
permukaan
air
laut,
pencemaran/polusi, sedimentasi, erosi dan penambangan). Secara ekologis, gugus pulau memiliki ciri- ciri sebagai berikut: 1)
Habitat/ekosistem gugus pulau cenderung memiliki spesies endemik.
2)
Semakin besar jumlah pulau yang terdapat dalam satu gugus pulau maka akan lebih besar kecenderungan jumlah biota endemik.
3)
Memiliki jenis ekosistem yang sama pada setiap pulau.
4)
Melimpahnya biodiversitas/keanekaragaman jenis biota laut. Secara sosial ekonomi budaya, ciri-ciri gugus pulau sebagai berikut:
1)
Penduduk asli mempunyai adat budaya dan kebiasaan yang hampir sama, dan kondisi sosial ekonomi yang khas.
2)
Ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan ekonomi luar pulau besar/induk atau kontinen.
3)
Aksesibilitas (ketersediaan sarana/prasarana) rendah dengan transportasi ke arah pulau induk maksimal 1 kali sehari, disamping faktor jarak dan waktu yang terbatas (DKP, 2002). Batasan pulau kecil yang digunakan dalam tulisan ini adalah pulau yang
memiliki luas kurang atau sama dengan 10.000 km2 , dengan jumlah penduduknya kurang atau sama dengan 200.000 jiwa. Secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas, dan terpencil dari habitat pulau induk sehingga bersifat insular. Pulau kecil mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi. Daerah tangkapan (Catchment area) air hujan relatif kecil sehingga sebagian besar aliran permukaan dan sediment
2
masuk ke laut. Dari segi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pulau-pulau kecil bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya (DKP, 2001). Pulau-pulau kecil dapat dibagi dua, yaitu Pulau Oseanik dan Pulau Kontinental. Selanjutnya pulau-pulau oseanik dibagi menjadi dua jenis, yaitu pulau vulkanik dan pulau karang.
Pulau kontinental umumnya terdapat didekat daratan benua -benua
besar yang perairannya dangkal (Salm, et al., 2000). Klasifikasi Pulau-Pulau Kecil Di Indonesia Hehanusa (1994) dan Falkland (1995) yang diacu dalam Tresnadi (1998) membuat klasifikasi pulau-pulau kecil di Indonesia berdasarkan morfologi dan genesa pulau serta penyebaran dan potensi air tanah sebagai berikut: Pulau Berbukit Pulau ini terdiri atas pulau yang memperlihatkan morfologi dengan lereng pada umumnya lebih besar dari pada 100 dan elevasi lebih besar dari pada 100 meter di atas permukaan laut. Pulau ini terbagi ke dalam beberapa jenis, yaitu: (1)
Pulau Vulkanik Pulau ini terbentuk oleh bahan piroklasik, lava, maupun ignimbrit hasil kegiatan gunung api, misalnya Pulau Krakatau, P. Banda, P. Gunung Api, dan P. Adonara. Potensi air tanah dapat ditemukan pada breksi dengan matriks kasar, pada aliran lava atau pada daerah rekahan. Penyebaran air tanah ini bisa luas dengan potensi yang relatif sedang hingga besar.
(2)
Pulau Tektonik Pulau yang pembentukannya berkaitan dengan proses tektonik, terutama pada zona tumbukan antar lempeng, misalnya Pulau Nias, Siberut dan Enggano. Penyebaran air tanah di pulau ini bersifat setempat-setempat, yaitu pada daerah rekahan, atau pada endapan klastik dan bersifat musiman.
(3)
Pulau Teras Terangkat Pulau yang pembentukannya sama dengan pulau tektonik, namun pada saat pengangkatan disertai pembentukan teras (koral), maka dihasilkan pulau yang terdiri atas undakan atau teras. Pulau ini banyak terdapat di Indonesia Bagian
3
Timur, misalnya Pulau Ambon. Potensi air tanah cukup besar karena hampir sebagian besar air hujan meresap kedalam tanah. Penyebaran air berada dalam gamping, namun untuk mencari lokasi yang potensial cukup sulit karena adanya pengaruh tektonik dan solution channel yang mengontrol penyerapan air tanah. (4)
Pulau Petabah (monadnock) Pulau ini terbentuk di daerah yang stabil secara tektonik, antara lain dijumpai di paparan Sunda. Litologi pembentukan pulau ini sering terdiri atas batuan ubahan (metamorf ), intrusi dan sedimen yang terlipat dan berumur tua, misalnya Pulau Batam, Bintan dan Belitung. Potensi air tanah relatif sedikit, karena pulau ini terbentuk dari batuan malihan, intrusi atau sedimen yang terlipat dan berumur tua. Air tanah terdapat pada batuan sedimen muda, lapisan lapuk atau rekahan dengan penyebaran terbatas dan bersifat musiman.
(5)
Pulau Gabungan Pulau yang terbentuk dari gabungan dua atau lebih jenis pulau di atas, misalnya gabungan antara Pulau Haruku, Nusa Laut, dan Saparua. Penyebaran dan potensi air tanah yang terdapat di pulau ini tergantung pada jenis-jenis pulau yang bergabung membentuk pulau gabungan. Secara kuantitatif setiap pulau yang bergabung memiliki sistemnya sendiri-sendiri. Pulau Datar Pulau yang secara topografi tidak memperlihatkan tonjolan morfologi yang
berarti. Pulau jenis ini pada umumnya memiliki batuan yang secara geologis berumur muda, yang terdiri atas endapan klastik jenis flufiatil dengan dasar yang terdiri at as pelapisan endapan masif dangkal atau pecahan koral. (1)
Pulau Aluvium Pulau ini biasanya terbentuk di depan muara- muara sungai besar, dimana laju pengendapan lebih tinggi dibandingkan intensitas erosi oleh arus dan gelombang laut, misalnya pulau-pulau di Pantai Timur Sumatera dan delta Mahakam di Kalimantan. Penyebaran dan potensi air tanah disini ditemukan pada akifer yang berbeda, pada akifer pasir di alur sungai purba atau di pasir
4
pematang pantai. Potensinya bervariasi dari kecil hingga sedang. Pasang surut muka air laut cukup berpengaruh terhadap kualitas air tanah. (2)
Pulau Koral Pulau yang terbentuk oleh sedimen klastik berumur kuarter. Di Indonesia banyak pulau-pulau yang memiliki ekosistem terumbu karang ini, misalnya pulau-pulau di Kepulaua n Seribu, Jakarta. Karakteristik penyebaran air tanah di pulau ini adalah : -
Air tanah berbentuk lensa yang mengapung di atas air payau atau air laut.
-
Bila kondisi geologi dan laut di sekitar pulau sama, bentuk lensa air tanah simetri dan mengikuti bentuk pulau, dimana bagian paling tebal berada di tengah pulau.
-
Bila kondisi geologi dan laut di sekitar pulau tidak sama, bentuk lensa akan menebal ke arah dimana koefisien permeabilitas dan konduktifitas hidraulik batuan atau tekanan arus lebih kecil.
(3)
Pulau Atol Pulau ini memiliki luas daratan lebih kecil dari pada 50 km2, misalnya pulaupulau di kepulauan Takabonerate. Banyak yang lebarnya kurang dari pada 150 m dengan panjang antara 1000 hingga 2000 m. Kondisi air tanah di pulau-pulau ini pada umumnya berada 1/3 jarak ke ujung pulau, baik di salah satu ujung atau di kedua ujungnya dengan potensi sangat terbatas. Air tanah di pulau kecil bergerak keluar dan masuk garis pantai sebagai reaksi terhadap fluktuasi pasang-surut dan infiltrasi pasang surut dan infiltrasi langsung air hujan. Takasaki (1978) yang diacu dalam Ongkosono (1998) mengemukakan tiga
macam pulau berdasar kemampuannya menerima air hujan, yaitu pulau dengan satu sisinya memungkinkan memperoleh curah hujan cukup (bagian arah angin) dan satu sisinya kekurangan air (bagian teduh angin) karena memiliki bukit atau gunung relatif tinggi, pulau dengan seluruh sisinya memperoleh air hujan karena bukit atau gunung yang dimilikinya setara dengan tinggi awan pembawa hujan, dan pulau yang sulit menimbulkan hujan karena berelevasi rendah. Perbedaan ini berkaitan dengan proses
5
pengembunan uap air pada awan dalam hubungannya dengan ketinggian atau elevasi perbukitan atau pegunungan yang ada di pulau tersebut. Pulau terumbu secara umum tidak subur dan miskin air tawar. Pulau yang terletak pada bagian Tenggara Indonesia umumnya kurang air (curah hujan di bawah 800 mm per tahun) dan oleh karena itu terletak pada iklim sabana. Beberapa ciri alami yang nampak untuk indikasi kekurangan air ini antara lain mencakup kegundulan bagian atas pulau seperti di pulau Papagaran dan pulau Komodo. Sebaliknya pulau-pulau pada wilayah beriklim tropika basah seperti Singapore dan Ambon banyak yang memperoleh cukup air dari hujan (lebih dari 1200 mm per tahun). Kondisi tanah dan kemiringan lereng sangat menentukan adanya cadangan air sepanjang tahun di pulau (Ongkosongo, 1998). Falkland (1995) yang diacu dalam Ongkosongo (1998) mengemukakan bahwa masalah potensi air tawar di pulau tergantung pada curah hujan, evapotranspirasi potensial, lebar pulau, hidrogeologi, tanah dan tumbuhan, tunggang pasut, dan aneka dampak kegiatan manusia seperti pengambilan air dan pencemaran. Pendapatnya yang menarik adalah bahwa vegetasi seperti kelapa banyak mengisap cadangan air tawar meskipun vegetasi tersebut dapat hidup pada tepi pantai dan pada air payau. Ekosistem, Sumberdaya Alam dan Jasa-Jasa Lingkungan Pulau-Pulau Kecil Dalam suatu wilayah pesisir khususnya di wilayah pulau-pulau kecil terdapat satu atau lebih sistem ekologi (ekosistem) pesisir dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir tersebut dapat bersifat alamiah ataupun buatan (man-made). Ekosistem alamiah yang terdapat di pesisir pulau-pulau kecil antara lain adalah: terumbu karang (coral reefs), hutan mangroves, padang lamun (seagrass beds), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna, dan delta. Ekosistem buatan antara lain berupa: kawasan pariwisata, kawasan budidaya (mariculture) dan kawasan pemukiman (Dahuri, 2000). Sumberdaya ikan di kawasan pulau-pulau kecil terkenal sangat tinggi, hal ini karena didukung oleh ekosistem yang kompleks, sangat beragam dan produktif.
6
Perairan karang merupakan ekosistem yang subur yang banyak dihuni oleh beranekaragam sumberdaya hayati. Selain itu, ekosistem terumbu karang dengan keunikan dan keindahannya juga dimanfaatkan sebagai tempat pariwisata bahari, yaitu: wisata selam, layar maupun snorkling. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem utama pulau-pulau kecil yang sangat berperan sekali baik sebagai sumberdaya ikan di kawasan tersebut dan sekitarnya maupun bagi kelangsungan hidup ekosistem lainnya dan juga sangat bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Ekosistem mangrove bagi sumberdaya ikan berfungsi sebagai tempat mencari makan bagi ikan, tempat memijah, tempat berkembang biak dan sebagai tempat memelihara anak. Ekosistem mangrove juga dapat berfungsi sebagai penahan abrasi yang disebabkan oleh ombak dan gelombang, selain itu ekosistem mangrove secara ekonomi dapat dimanfaatkan kayunya sebagai kayu bakar, alat tangkap ikan dan bahan membuat rumah. Ekosistem rumput laut banyak dijumpai di pulau-pulau kecil, hal ini karena kebanyakan wilayah pesisir di kawasan ini mempunyai perairan yang subur dan dangkal serta mempunyai ombak yang kecil. Rumput laut merupakan sumberdaya alam yang mempunyai nilai komersil yang tinggi disamping sumberdaya perikanan. Sumberdaya ini banyak dibudidayakan oleh penduduk sekitar sebagai mata pencaharian mereka. Ekosistem padang lamun seperti halnya dengan ekosistem lainnya yang ada di kawasan pulau-pulau kecil, memiliki fungsi ekologis yang cukup besar dan penting. Ekosistem padang lamun dihuni oleh berbagai jenis ikan dan udang, baik yang menetap, maupun yang bermigrasi ke padang lamun tersebut untuk mencari makan atau berlindung. Oleh karena itu, keberadaan padang lamun ini dapat menjadi salah satu indikator potensi sumberdaya ikan di kawasan tersebut. Sumberdaya tak dapat pulih (non-renewable resources) dan energi kelautan, juga masih belum optimal dimanfaatkan dan masih terbatas pada sumberdaya migas, timah, bauksit dan bijih besi. Jenis bahan tambang dan mineral lain termasuk pasir kwarsa, fosfat, mangan, nikel, chromium dan lainnya praktis belum tersentuh. Demikian juga halnya dengan potensi energi kelautan, yang sesungguhnya bersifat
7
non-exhaustive (tak pernah habis), seperti energi angin, gelombang, pasang surut dan OTEC (Ocean thermal Energy Conversion). Potensi jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pulau-pulau kecil, seperti pariwisata bahari dan perhubungan laut, merupakan potensi yang mempunyai nilai tinggi bagi peningkatan pendapatan masyarakat sekitar maupun pendapatan nasional. Dengan keanekaragam dan keindahan yang dimiliki,
pulau-pulau kecil
tersebut merupakan daya tarik tersendiri dalam pengembangan jasa pariwisata. Selain segenap potensi pembangunan tersebut di atas, ekosistem pulau-pulau kecil juga memiliki peran dan fungsi yang sangat menentukan bukan saja bagi kesinambungan pembangunan ekonomi, tetapi juga bagi kelangsungan hidup umat manusia. Yang paling utama adalah fungsi dan peran ekosistem pesisir dan lautan di pulau-pulau kecil sebagai pengatur iklim global (termasuk dinamika La-Nina), siklus hidrologi dan biogeokimia, sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan. Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya di kawasan tersebut mestinya secara seimbang dibarengi dengan upaya konservasi, sehingga dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan. Dengan kondisi biogeofisik pulau-pulau kecil, maka keberadaan penduduk maupun ekosistem alam pada kepulauan kecil menghadapi berbagai tantangan, yaitu : (1)
Kepulauan kecil secara ekologis amat rentan, terutama akibat pemanasan global, angin topan dan gelombang tsunami. Erosi pesisir disebabkan oleh kombinasi faktor- faktor tersebut yang secara potensial terbukti sangat progesif mengurangi garis kepulauan kecil. Akibatnya terjadi penurunan jumlah mahluk hidup, hewan- hewan maupun penduduk yang mendiami kepulauan tersebut.
(2)
Kepulauan kecil mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi, yang apabila terjadi perusakan lingkungan di daerah tersebut akan sangat berpengaruh terhadap keberadaan keanekaragaman tersebut.
(3)
Beberapa pulau kecil yang berada jauh dari jangkauan pusat pertumbuhan, pembangunannya tersendat akibat sulitnya transportasi serta terbatasnya ketrampilan masyarakat. Walaupun sektor pariwisata sesungguhnya dapat
8
menyediakan sumber pendapatan bagi masyarakatnya tetapi membutuhkan ketrampilan yang mema dai dan lokasi tersebut mudah dicapai. Biaya prasarana yang cukup besar, menyebabkan penanaman modal kepariwisataan hanya memilih pulau-pulau tertentu saja. (4)
Pulau-pulau kecil mempunyai daerah tangkapan air yang terbatas, dan minimnya kesempatan agar air tawar tak terbuang percuma. Disamping itu kegiatan ekonomi yang membutuhkan jumlah konsumsi yang cukup besar. Dengan
keadaan
demikian
maka
kesempatan
pada
pengembangan
kepariwisataan, industri maupun penyediaan listrik tenaga air serta pertanian menjadi sangat terbatas. (5)
Hingga kini belum terdapat klasifikasi terhadap biofisik, sosial ekonomi terhadap kepulauan kecil, yang dapat digunakan untuk pengelolaan atas alokasi sumberdaya alam agar lebih efektif.
(6)
Pengelolaan pulau-pulau kecil belum terintegrasi dengan pengelolaan daerah pesisir. Hal lain yang sering menjadi masalah berupa keterbatasan pemerintah daerah dan kurangnya dana untuk menarik keberadaan pulau-pulau di sekitarnya. Lemahnya kelembagaan di daerah dalam hal mengkoordinasikan kegiatan pembangunan tanpa bantuan dari pihak luar juga merupakan kendala tersendiri.
(7)
Ukuran yang kecil dan terisolasi (keterasingan) menyebabkan penyediaan prasarana dan sarana menjadi sangat mahal, dan sumberdaya manusia yang handal menjadi langka. Luas pulau yang kecil itu sendiri bukanlah suatu kelemahan, jika barang dan jasa yang diproduksi dan dikonsumsi oleh penghuni hanya terdapat di dalam pulau tersebut. Akan tetapi, begitu jumlah penduduk meningkat secara drastis, maka diperlukan barang dan jasa serta pasar yang berada jauh dari pulau tersebut.
(8)
Kesukaran atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi, dan transportasi turut menghambat pembangunan hampir semua pulau-pulau kecil di dunia.
9
(9)
Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir dan satwa liar, pada akhirnya akan menentukan daya dukung suatu sistem pulau kecil dalam menopang kehidupan manusia penghuni dan segenap kegiatan pembangunannya.
(10) Produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (seperti pengendalian erosi) yang terdapat di setiap unit ruang (lokasi) di dalam pulau dan yang terdapat di sekitar pulau saling terkait satu sama lain secara erat (Mc Elroy et al., 1990 yang diacu dalam Dahuri, 2000). Misalnya di Pulau Palawan, Philipina dan beberapa pulau di Karibia Timur, penebangan hutan di lahan darat secara tidak terkendali telah meningkatkan laju erosi tanah dan sedimentasi di perairan pesisir, kemudian merusak/mematikan ekosistem terumbu karang, yang akhirnya menghancurkan industri perikanan pantai dan pariwisata bahari. Oleh karena itu, keberhasilan usaha pertanian, perkebunan atau kehutanan di lahan darat suatu pulau, jika tidak dikelola menurut prinsip-prinsip ekologis, dapat merusak/mematikan industri perikanan pantai dan pariwisata bahari di sekitar pulau tersebut. (11) Budaya
lokal
kepulauan
kadangkala
bertentangan
dengan
kegiatan
pembangunan. Contohnya, pariwisata yang akhir-akhir ini dianggap sebagai dewa penolong (panacea) bagi pembangunan pulau-pulau kecil, tetapi di beberapa pulau kecil budaya yang dibawa oleh wisatawan (asing) dianggap tidak sesuai dengan kondisi dan agama setempat (Francilion, 1990 yang diacu dalam Dahuri, 1998; Sudariyono, 2000). Segenap kendala tersebut bukan berarti pulau-pulau kecil tidak dapat dibangun atau dikembangkan, melainkan pola pembangunannya harus mengikuti kaidah-kaidah ekologis, khususnya adalah bahwa tingkat pembangunan secara keseluruhan tidak boleh melebihi daya dukung suatu pulau, dampak negatif pembangunan hendaknya ditekan
seminimal
mungkin
sesuai
dengan
kemampuan
ekosistem
pulau
menenggangnya. Selain itu, setiap kegiatan pembangunan (usaha produksi) yang akan dikembangkan di suatu pulau seyogyanya memenuhi skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan serta sesuai dengan budaya lokal (Dahuri, 1998).
10
Model Pembangunan Gugus Pulau Dalam pembangunan wilayah pulau-pulau kecil atau gugus pulau, secara garis besar terdapat tiga pilihan model pembangunan yang dapat diterapkan untuk ekosistem pulau kecil. Pertama, menjadikan pulau sebagai kawasan konservasi sehingga dampak negatif penting akibat kegiatan manusia tidak ada atau sangat kecil. Kedua, pembangunan pulau secara optimal dan berkelanjutan, seperti untuk pertanian dan perikanan yang semi- intensif. Ketiga, pola pembangunan dengan intensitas tinggi yang mengakibatkan perubahan radikal pada ekosistem pulau, seperti pertambangan skala besar, tempat uji coba nuklir, dan industri pariwisata skala besar. Diantara kedua pola ekstrim, yaitu pola pembangunan tipe pertama dan ketiga, terdapat pola pembangunan yang berkelanjutan, yang terdiri dari berbagai kegiatan pembangunan seperti pertanian terkendali, penangkapan ikan baik di perairan pantai maupun laut lepas, budidaya tambak dan budidaya laut, pariwisata, industri rumah tangga dan sektor jasa (Hein, 1990 yang diacu dalam Dahuri, 1998). Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat Pengelolaan pulau-pulau kecil dengan luas kurang atau sama dengan 2.000 km2 hanya dapat digunakan untuk kepentingan sebagai berikut : •
Konservasi
•
Budidaya laut (mariculture)
•
Kepariwisataan
•
Usaha penangkapan dan industri perikanan secara lestari
•
Pertanian organik dan peternakan skala rumah tangga
•
Industri teknologi tinggi nonekstraktif
•
Pendidikan dan penelitian
•
Industri manufaktur dan pengolahan sepanjang tidak merusak ekosistem dan daya dukung lingkungan (DKP, 2001).
Kegiatan pengelolaan pulau kecil untuk usaha industri manufaktur dan industri pengolahan hanya dapat dilakukan di pulau kecil dengan luas lebih besar dari 2.000 km2 ; dengan persyaratan pengelolaan lingkungan yang sangat ketat, dengan
11
memperhatikan kemampuan sistem tata air setempat, menggunakan teknologi ramah lingkungan, serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Untuk pulau-pulau kecil dan wilayah perairannya yang dikuasai/dimiliki/di usahakan oleh masyarakat hukum adat, maka kegiatan pengelolaannya sepenuh nya berada di tangan masyarakat hukum adat itu sendiri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap kerja sama pengelolaan pulau-pulau kecil antara masyarakat hukum adat dengan pihak ketiga harus didasarkan pada kesepakatan yang saling menguntungkan dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan kelestarian sumberdaya. Pentingnya Konservasi Pulau-Pulau Kecil Ekosistem pulau-pulau kecil merupakan suatu himpunan integral komponen hayati dan nir-hayati, mutlak dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan untuk meningkatkan mutu kehidupan. Komponen hayati dan nirhayati secara fungsional berhubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu sistem (ekosistem). Apabila terjadi perubahan pada salah satu dari kedua komponen tersebut, maka akan dapat mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada baik dalam kesatuan struktur fungsional maupun dalam keseimbangannya. Kelangsungan suatu fungsi ekosistem sangat menentukan kelestarian dari sumberdaya hayati sebagai komponen yang terlibat dalam sistem tersebut. (Bengen, 2000a). Karena itu untuk menjamin kelestarian sumberdaya hayati, perlu diperhatikan hubungan-hubungan ekologis yang berlangsung diantara komponen-komponen sumberdaya alam yang menyusun suatu sistem. Semakin meningkatnya pembangunan ekonomi di kawasan pulau-pulau kecil, semakin meningkatkan pula ancaman terhadap degradasi ekosistem dan sumberdaya pulau-pulau
kecil,
seperti
eksploitasi
lebih,
degradasi
habitat,
penurunan
keanekaragaman hayati; padahal ekosistem dan sumberdaya pulau-pulau kecil menjadi tumpuan pembangunan nasional sebagai sumber pertumbuhan baru. Karena itu, untuk dapat mempertahankan dan melindungi keberadaan dan kualitas ekosistem
12
dan sumberdaya pulau-pulau kecil yang bernilai ekologis dan ekonomis penting, diperlukan perencanaan dan pengelolaan yang berkelanjutan. Wujud nyata dari upaya perlindungan dimaksud dapat dilakukan dengan penetapan suatu kawasan konservasi pada pulau-pulau kecil. Konservasi adalah kegiatan yang berupaya untuk menyisakan kantung-kantung alami dalam rangka penyelamatan sumberdaya alam laut dari gangguan yang dapat merusakkan dengan menerapkan tiga aspek konservasi, yaitu: (1)
Perlindungan terhadap proses ekologis yang menunjang sistem pendukung kehidupan,
(2)
Pengawetan keankaragaman sumber plasma nutfah dan ekosistemnya, dan
(3)
Pelestarian pemanfaatan sumber plasma nutfah dan ekosistemnya. Pengembangan kawasan konservasi di pulau-pulau kecil dapat dilakukan
dengan penerapan kriteria. Salm et al., (2000) mengusulkan 3 (tiga) kriteria, yaitu kriteria ekologi, ekonomi dan sosial. Penjelasan ketiga kriteria tersebut adalah : (1)
Kriteria Ekologi Parameter yang perlu dinilai sesuai kriteria ekologi adalah : (a)
Keanekaragaman hayati Didasarkan pada keragaman atau kekayaan ekosistem, habitat, komunitas dan jenis biota. Lokasi yang sangat beragam harus memperoleh nilai yang tinggi.
(b) Kealamian Didasarkan pada tingkat degradasi. Lokasi yang terdegradasi mempunyai nilai yang rendah, misalnya perikanan atau pariwisata, dan sedikit berkontribusi dalam proses-proses biologis. (c)
Ketergantungan Didasarkan pada tingkat ketergantungan spesies pada lokasi, atau tingkat dimana
ekosistem
berlangsung di lokasi. (d)
Keterwakilan
tergantung
pada
proses-proses
ekologis
yang
13
Didasarkan pada tingkat dimana lokasi mewakili suatu tipe habitat, proses ekologis, komunitas biologi, ciri geologis atau karakteristik alam lainnya. (e)
Keunikan Didasarkan pada keberadaan suatu spesies endemik (langka) atau yang hampir punah.
(f)
Keutuhan (integritas) Didasarkan pada tingkat dimana lokasi merupakan suatu unit fungsional dari entitas ekologis.
(g)
Produktivitas Didasarkan pada tingkat dimana proses-proses produktif di lokasi memberi manfaat atau keuntungan bagi biota dan manusia.
(h)
Kerentanan Didasarkan pada kepekaan lokasi terhadap degradasi baik oleh pengaruh alam atau akibat aktivitas manusia.
(2)
Kriteria Sosial Parameter yang perlu dinilai dalam kriteria sosial adalah : (a)
Penerimaan sosial Didasarkan pada tingkat penerimaan masyarakat.
(b)
Kesehatan masyarakat Didasarkan pada tingkat dimana penetapan kawasan konservasi dapat membantu mengurangi pencemaran atau penyakit yang berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat.
(c)
Rekreasi Didasarkan pada tingkat dimana lokasi dapat digunakan untuk rekreasi bagi penduduk sekitarnya.
(d)
Budaya Didasarkan pada nilai sejarah, agama, seni atau nilai budaya lain dari lokasi.
(e)
Estetika Didasarkan pada nilai keindahan dari lokasi.
14
(f)
Konflik kepentingan Didasarkan pada tingkat dimana kawasan konservasi dapat berpengaruh terhadap aktivitas masyarakat lokal.
(g)
Keamanan Didasarkan pada tingkat bahaya dari lokasi bagi manusia karena adanya arus kuat, ombak besar dan hambatan lainnya.
(h)
Aksessibilitas Didasarkan pada kemudahan mencapai lokasi baik dari darat maupun laut.
(i)
Kepedulian masyarakat Didasarkan pada tingkat dimana monitoring, penelitian pendidikan atau pelatihan di dalam lokasi berkontribusi pada pengetahuan apresiasi nilainilai lingkungan dan tujuan konservasi.
(j)
Konflik dan kompatibilitas Didasarkan pada tingkat dimana lokasi dapat membantu menyelesaikan konflik antara kepentingan sumber daya alam dan aktivitas manusia, atau tingkat dimana kompatibilitas antara sumber daya alam dan manusia dapat dicapai.
(3)
Kriteria Ekonomi Manfaat ekonomi dapat dinilai dari parameter-parameter sebagai berikut : (a)
Spesies penting Didasarkan pada tingkat dimana spesies penting komersial tergantung pada lokasi.
(b)
Kepentingan perikanan Didasarkan pada jumlah nelayan yang tergantung pada lokasi dan ukuran hasil perikanan.
(c)
Bentuk ancaman Didasarkan pada luasnya perubahan pola pemanfaatan yang mengancam keseluruhan nilai lokasi bagi manusia.
(d)
Manfaat ekonomi
15
Didasarkan pada tingkat dimana perlindungan lokasi akan berpengaruh terhadap ekonomi lokal dalam jangka panjang. (e)
Pariwisata Didasarkan
pada
nilai
keberadaan
atau
potensi
lokasi
untuk
pengembangan pariwisata. Kawasan konservasi laut yang sedang dikembangkan di Indonesia saat ini berupa Suaka Alam Laut (SAL) dan Kawasan Pelestarian Alam Laut (PAL). Kawasan SAL adalah kawasan laut dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem pendukung (penyangga) kehidupan. Berdasarkan fungsinya, SAL terdiri dari Cagar Alam Laut (CAL) dan Suaka Margasatwa Laut (SML). Kawasan PAL adalah kawasan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lesatari sumber daya alam hayati dan fungsi ekosistemnya. Berdasarkan fungsinya, PAL terdiri dari Taman Nasional Laut (TNL) dan Taman Wisata Alam Laut (TWAL). Peran dan Fungsi Ekosistem dan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil Menurut Dahuri (1998), ekosistem pulau-pulau kecil memiliki peran dan fungsi sebagai berikut: (1) pengatur iklim global; (2) sik lus hidrologi dan biogeokimia; (3) penyerap limbah; (4) sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan. Selain fungsi ekologis, pulau-pulau kecil mempunyai manfaat ekonomi bagi manusia, antara lain menyediakan jasa-jasa lingkungan (alam) berupa pemanfaatan lingkungan alam yang indah dan nyaman dalam bentuk kegiatan pariwisata laut, kegiatan budidaya (ikan, udang, rumput laut) yang dapat bermanfaat bagi peningkatan pendapatan atau mata pencaharian penduduk setempat, serta potensi sumberdaya hayati
yang memiliki keanekaragaman yang tinggi dan bernilai
ekonomis, seperti berbagai jenis ikan, udang, kerang yang kesemuanya dapat dimanfaatkan bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat.
16
Penataan Ruang Pulau-Pulau Kecil Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melaksanakan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya (Undang-Undang No. 24 Tahun 1992. Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak. Selanjutnya penataan ruang adalah proses perencanaan ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian ruang. Perencanaan tata ruang pulau-pulau kecil agar berbasis masyarakat, dengan pertimbangan utama atas status kepemilikan pulau, adat- istiadat atau norma-norma yang berlaku di masyarakat, dan diselenggarakan secara terpadu dan terkoordinasi antar pemangku kepentingan, baik dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat (DKP, 2002). Perencanaan tata ruang untuk pulau-pulau kecil dengan ukuran kurang atau sama dengan 2.000 km2 dibatasi pemanfaatannya untuk kegiatan: konservasi, budidaya laut, kepariwisataan, usaha penangkapan ikan dan industri perikanan, pertanian organik, dan peternakan skala rumah tangga, industri teknologi non ekstraktif, penelitian dan pendidikan, industri manufaktur dan pengolahannya, dan perlu dilakukan secara lestari. Perencanaan tata ruang pulau-pulau kecil di atas 2.000 km2 dan lebih kecil atau sama dengan 10.000 km2 dapat direncanakan untuk kegiatan perkapalan, industri perikanan, pergudangan, pusat logistik, dan pariwisata (DKP, 2002). Perencanaan tata ruang pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir yang berbasis pada masyarakat hendaknya melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, tokoh adat serta memperhatikan adat, norma serta sosial dan budaya masyarakat setempat. Selanjutnya bahwa kawasan pesisir dan pulau-pulau
kecil
tertentu
yang
diidentifikasikan memiliki fungsi yang spesifik fungsinya bagi satwa tertentu seyogyanya ditetapkan sebagai areal konservasi, contohnya: pulau tempat persinggahan burung atau jenis biota lain, pulau tempat bertelurnya penyu, habitat mahluk langka seperti komodo, dsb (DKP, 2002).
17
Penataan ruang (zonasi) merupakan suatu proses pengaturan yang membagi suatu wilayah secara geografis kedalam subwilayah - subwilayah, dimana pada setiap subwilayah dirancang untuk suatu penggunaan khusus (Sain dan Knecht, 1998). Atau zonasi adalah suatu sistem pembentukan wilayah-wilayah daratan atau perairan untuk dialokasikan kepada penggunaan-penggunaan yang khusus (spesifik): pembagian suatu wilayah khusus kedalam beberapa kawasan-kawasan (zona-zona) dimana tiap zona direncanakan untuk suatu penggunaan atau kumpulan penggunaan-penggunaan khusus (Clark, 1996). Proses Pentaan Ruang (Zonasi) Proses penataan ruang wilayah pesisir dan laut dapat dibagi dalam 6 (enam) tahapan (Dahuri, 2000). Tahapan – tahapan tersebut adalah : 1).
Pada suatu kawasan pesisir–laut, berdasarkan batas-batas secara adminitratif atau ekologis dan sesuai peruntukkannya, dibagi atas 3 (tiga) zona, yaitu zona preservasi (inti), zona konservasi (penyangga) dan zona pemanfaatan intensif.
2).
Menentukan sektor unggulan (leading sectors) yang terdapat di zona konservasi dan zona pemanfaatan inti. Ciri – ciri sektor unggulan adalah dapat menghasilkan devisa, menyerap tenaga kerja yang banyak, memiliki ‘forward and
backward
linkages’,
ditentukan
berdasarkan
konsensus
antar
‘stakeholders’. 3).
Struktur wilayah (susunan penggunaan ruang fisik wilayah) pesis ir – laut untuk kegiatan pembangunan lainnya harus bersifat kondusif terhadap sektor unggulan yang telah ditetapkan, khususnya dalam hal : §
Penggunaan faktor- faktor produksi (tenaga kerja, kapital, teknologi, dll).
§
Eksternalitas negatif: bahan pencemar, sedimen, perubahan bentang alam, dll.
4).
Penataan ruang (tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang) di wilayah hulu, terutama untuk kawasan yang dipengaruhi DAS, harus mengikuti persyaratan lingkungan yang dikehendaki oleh sektor unggulan dan zona preservasi di kawasan pesisir.
18
5).
Penyusunan tata ruang harus menggunakan pendekatan partisipatif berbasis masyarakat. Penataan ruang harus melibatkan segenap stakeholders seperti instansi pemerintah, swasta, masyarakat, LSM, kalangan universitas, dll. Penataan ruang menggunakan musyawarah, ‘public hearing’ dan media partisipatif lainnya. Disamping itu, hak adat atau kearifan tradisonal yang hidup dalam masyarakat pesisir dapat diadopsi dalam tata ruang.
6).
Jarak antara zona preservasi dengan kegiatan pembangunan yang menghasilkan eksternalitas negatif (pencemaran, sedimen, dll) ditentukan berdasarkan pada daya sebar eksternalitas negatif tersebut dari sumbernya. St = Vt x t Dimana : St adalah jarak tempuh pencemar dari sumbernya Vt adalah kecepatan sebar pencemar t adalah waktu tempuh, yang bergantung pada tipe pasang surut.
Zona
Zona
Preservas i
penghasil
Kesesuaian dan Daya Dukung Lingkungan Pembangunan
berkelanjutan
(sustainable
development)
suatu
wilayah
kepulauan memerlukan empat persyaratan. Pertama, Setiap kegiatan pembangunan (seperti tambak, pertanian, pariwisata) harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik sesuai. Persyaratan ini dapat dipenuhi dengan cara membuat peta kesesuaian lahan, termasuk perairan. Kedua, jika memanfaatkan sumber daya dapat pulih, seperti penangkapan ikan di laut, maka tingkat penangkapannya tidak boleh melebihi potensi lestari stok ikan tersebut. Demikian juga, jika menggunakan air tawar (biasanya merupakan faktor pembatas terpenting dalam suatu ekosistem pulau kecil), maka laju penggunaannya tidak boleh melebihi kemampuan pulau termaksud untuk menghasilkan air tawar dalam kurung waktu teretentu. Ketiga, jika membuang limbah ke lingkungan pulau, maka jumlah limbah (bukan limbah B3, tetapi jenis limbah yang
19
biodegradable ) tidak melebihi kapasitas asimilasi lingkungan pulau tersebut. Keempat, jika memodifikasi bentang alam (landscape) suatu pulau (seperti penambangan pasir dan reklamasi) atau melakukan kegiatan konstruksi di lingkungan pulau, khususnya di tepi pantai, seperti membangunan dermaga dan hotel maka harus sesuai dengan pola hidrodinamika setempat dan proses-proses alami lainnya (Dahuri, 1998). Daya dukung lingkungan perlu sekali dipelajari dalam kaitannya dengan berbagai kegiatan pembangunan, sebab semua daerah dipermukaan bumi tidak memiliki daya dukung yang tidak ada batasnya. Terlebih lagi pembangunan yang harus mengubah atau setidak-tidaknya merambah suatu daerah yang akan dihadiri sejumlah manusia dengan segala perilaku buda yanya. Gangguan daya dukung di suatu daerah atau kawasan tidak sekedar gangguan tata alamnya. Ada kalanya, terganggu pula keaslian tata masyarakatnya. Kalau tata masyarakat terganggu, masyarakat akan terangsang dan terpacu untuk ikut merambah dan mengganggu tataan alam sekitarnya (Darsoprajitno, 2002). Daya dukung lingkungan adalah kapasitas atau kemampuan ekosistem untuk mendukung
kehidupan
organisme
secara
sehat
sekaligus
mempertahankan
produktivitas, kemampuan adaptasi, dan kemampuan memperbaharui diri. Daya dukung lingkungan diartikan sebagai kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia. Setiap daerah mempunyai karakteristik, geografi yang berbedabeda serta ditambah dengan kegiatan manusia dengan berbagai kepentingannya, sehingga daya dukung lingkungannya sangat bervariasi (Sunu, 2001). Perkembangan teknologi dan kemajuan industri akan berdampak pada kualitas daya dukung lingkungan yang pada akhirnya akan merusak lingkungan itu sendiri. Eksploitasi alam yang berlebihan dengan tidak memperhatikan kelestariannya yang dilakukan oleh sekelompok manusia untuk kepentingan sesaat harus dihentikan, karena akan berakibat kerusakan lingkungan. Menurut Dasman (1964) yang diacu dalam Taurusman (1999) ada tiga macam pergertian daya dukung (Carrying capacity) yaitu :
20
(1)
Pengertian daya dukung yang berhubungan dengan kurva tumbuh logistik, dimana daya dukung adalah asimptot atas dari kurva tersebut. Dalam hal ini batasan daya dukung ialah batasan teratas dari pertumbuhan populasi, di atas mana pertumbuhan populasi tak dapat didukung lagi oleh sumberdaya lingkungan yang ada;
(2)
Pengertian daya dukung yang dikenal dalam ilmu pengelolaan margasatwa. Dalam hal ini, daya dukung ialah jumlah individu yang dapat didukung oleh suatu habitat;
(3)
Pengertian daya dukung yang dikenal dalam ilmu pengelolaan padang pengembalaan. Dalam hal ini daya dukung ialah jumlah individu yang dapat didukung oleh habitat dalam keadaan sehat dan kuat. Scones (1993) yang diacu dalam Taurusman (1999) membagi daya dukung
lingkungan menjadi dua yakni, daya dukung ekologis (ecological carrying capacity) dan daya dukung ekonomis (economic carrying capacity). Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum hewan-hewan pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan, serta terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen. Hal ini ditentukan oleh faktor- faktor lingkungan. Daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Dalam hal ini digunakan parameter-parameter kelayakan usaha secara ekonomi. Daya dukung suatu lahan perairan untuk budidaya udang / ikan adalah biomassa udang/ikan yang dapat hidup didalamnya secara berkesinambungan untuk ukuran dan situasi tertentu, da n bila lahannya berubah, daya dukungnya juga berubah. Faktor penentu daya dukung lingkungan perairan adalah : volume perairan, kualitas perairan, dinamika perairan dan beban pencemar yang ada/limbah dari hulu. Daya dukung adalah suatu batasan terhadap jumlah kehidupan (dalam jumlah atau massa) yang dapat didukung oleh berbagai habitat. Dalam perspektif ekologi, daya dukung adalah pembatas utama yang ditentukan kepada biota karena keterbatasan lingkungan yang ada, seperti ketersediaan makanan, ruang dan tempat kawin/memijah, penyakit atau predator, temperatur, sinar matahari atau salinitas.
21
Daya dukung dari suatu sistem dapat berkurang karena gangguan aktivitas manusia yang mengurangi ketersediaan suplai energi atau pemanfaatan energi (Clark, 1974). Di wilaya h pesisir, telah banyak perhatian yang dicurahkan terhadap daya dukung manusia dan habitat alami untuk mendukung pembangunan paeriwisata dan resort. Dalam hubungan ini, daya dukung didefinisikan sebagai lingkungan fisik, biologi, sosial dan psychological untuk mendukung aktivitas wisatawan tanpa mengurangi kualitas lingkungan atau kepuasan pengunjung (Clark, 1995). Menurut Miller (1988) yang diacu dalam Clark (1995) pengertian daya dukung dapat dijelaskan dalam dua penjelasan. Pertama, daya dukung menunjuk kepada kepadatan optimum wisatawan untuk manfaat kesenangannya, sebagai contoh; kepadatan orang pada suatu pantai atau kunjungan ke suatu tempat bersejarah. Kedua, daya dukung menunjuk kepada suatu ambang batas tertentu dari kegiatan wisatawan dimana akan terjadi kerusakan terhadap lingkungan, yang mencakup habitat alam, seperti terumbu karang. Dampak lingkungan yang terakumulasi dari pembangunan pariwisata mencakup pengurangan keanekaraga man hayati, masalah-masalah kesehatan manusia, penurunan sumberdaya alam, kehilangan pekerjaan, pendapatan dan pendapatan harian. Clark (1995) menambahkan komponen ketiga yaitu daya dukung sosial ekonomi. Bila ambang batas sosial terlewatkan, masalah ekstrim muncul. Misalnnya di Caribia, karena penyebab utama dari ketidaktentraman sosial, maka ketidaknyaman wisatawan telah sangat cepat ekspansi. Kapasitas sosial ekonomi harus dibatasi pada maksimum pengunjung yang dapat diterima oleh penduduk yang tinggal disekeliling daerah tujuan wisata. Daya dukung suatu wilayah ditentukan oleh (1) kondisi biogeofisik wilayah, dan (2) permintaan manusia akan sumberdaya alam dan jasa lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, daya dukung wilayah pesisir dapat ditentukan/diperkirakan dengan cara menganalisis : (1) kondisi biogeofisik yang menyusun
kemampuan
wilayah
pesisir
dalam
memproduksi/menyediakan
sumberdaya alam dan jasa lingkungan, dan (2) kondisi sosekbud yang menentukan kebutuhan manusia yang tinggal di wilayah pesisir tersebut atau yang tinggal di luar wilayah pesisir, tetapi berpengaruh terhadap wilayah pesisir, akan sumberdaya alam
22
dan jasa lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir. Dengan demikian, tahapan untuk menentukan daya dukung wilayah pesisir yang ditujukan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan adalah sebagai berikut : (1)
Menetapkan batas-batas, vertikal dan horizontal terhadap garis pantai, wilayah pesisir sebagai suatu unit pengelolaan.
(2)
Menghitung luasan wilayah pesisir yang akan dikelola.
(3)
Mengalokasikan (melakukan zonasi) wilayah pesisir tersebut menjadi 3 zona utama: (a) preservasi, (b) konservasi, dan (c) pemanfaatan.
(4)
Menyusun tata ruang pembangunan pada zona konservasi dan zona pemanfaatan
(5)
Melakukan penghitungan tentang potensi dan distribusi sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang tersedia, misalnya stock assessment sumberdaya perikanan,
stock
assessment
hutan
mangrove,
melakukan
pengkajian
sumberdaya air tawar, melakukan pengkajian kapasitas asimilai, dan melakukan pengkajian permintaan internal dan permintaan eksternal terhadap sumberdaya alam dan jasa lingkungan (Dahuri, 2001). Daya dukung lingkungan pulau-pulau kecil ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu (1) potensi lestari pulau dalam menyediakan sumber daya alam khususnya sumber daya perikanan laut, misalnya dalam bentuk MSY (Maximum Sustainable Yield) dari setiap komoditas ikan yang ada, (2) ketersediaan ruang untuk kegiatan pembangunan dan kesesuaian lahan serta perairan pantai untuk kegiatan pertambakan, budidaya laut, pertanian, perkebunan, dan pariwisata, (3) kemampuan ekosistem pulau untuk menyerab limbah, sebagai hasil samping kegiatan pembangunan, secara aman. Dalam batas-batas tertentu, daya dukung lingkungan dapat ditingkatkan melalui intervensi teknologi, seperti pemupukan tanah dan desalinisasi air laut (Dahuri, 1998). Konsep Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat Pengelolaan sumber daya alam di wilayah pesisir dan laut telah ada sejak jaman nenek moyang dengan memanfaatkan sumber daya alam tersebut untuk menunjang
23
kehidupan mereka. Pengelolaan ini bersifat lokal dimana struktur masyarakat dan aktivitasnya masih sederhana. Pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat didefinisikan sebagai salah satu pendekatan sumber daya alam, misalnya perikanan yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya. Selain itu mereka juga memiliki akar budaya yang kuat dan biasanya tergabung dalam kepercayaan (Nikijuluw, 1994). Sementara Carter (1996) memberikan definisi pengelolaan berbasis masyarakat sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan di daerah terletak/berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam sistim pengelolaan ini, masyarakat diberikan kesempatan dan tanggung jawab dalam melakukan pengelolaan terhadap sumberdaya yang dimilikinya, dimana masyarakat sendiri yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan dan aspirasinya serta masyarakat itu pula yang membuat keputusan demi kesejahteraannya. Beberapa ciri dari pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat antara lain adalah: §
Pengelolaan sumber daya alam cenderung berkelanjutan
§
Struktur pihak yang terlibat masih sederhana
§
Bentuk pemanfaatannya terbatas dan termasuk skala kecil
§
Tipe masyarakat dan kegiatannya relatif homogen
§
Komponen pengelolaannya (manajemen) berasal dan berakar pada masyarakat
§
Rasa kepemilikan dan ketergantungan terhadap sumber daya alam tinggi
§
Rasa untuk melindungi dan menjaga juga tinggi Aturan-aturan yang digunakan umumnya timbul dan berakar dari permasalahan-
permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Aturan-aturan dan kebijakan ini kemudian ditetapkan, dikukuhkan dan disepakati bersama oleh masyarakat sebagai suatu undang-undang atau hukum yang lebih dikenal sebagai hukum adat. Dalam penerapannya, aturan-aturan tersebut juga langsung diaplikasikan oleh masyarakat dan masyarakat juga yang akan melakukan pengawasan dan evaluasinya.
24
Sistem pengelolaan di atas dapat berjalan dengan baik di dalam struktur masyarakat yang masih sederhana dan belum banyak dimasuki oleh pihak luar. Hal ini dikarenakan baik budaya, tatanan hidup dan kegiatan masyarakat relatif homogen dan masing-masing individu merasa mempunyai kepentingan yang sama dan tanggung jawab dalam melaksanakan dan mengawasi hukum yang sudah disepakati bersama. Hal yang sangat menunjang efektifitas pelaksanaan dan pengawasan dari hukum- hukum tersebut, dikarenakan adanya rasa memiliki dan ketergantungan dari masyarakat akan keberadaan sumber daya alam yang ada dalam menunjang kehidupan mereka. Keadaan ini dapat menjamin pemanfaatan sumber daya alam secara lestari (Gambar 2). SDA (1)
Manajemen Tradisional (4)
Eksploitasi SDA (2)
Jenis Terbatas (skala kecil) (3)
Gambar 2 Pemanfaatan Sumber Daya Alam Berkelanjutan (PKSPL-IPB, 1998). Dari gambar di atas terlihat bahwa masyarakat yang strukturnya masih sederhana memiliki sistem pengelolaan yang berakar pada masyarakat, dimana setiap proses-proses pengelolaan mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan sampai kepada penerapan sanksi hukum, dilakukan secara bersama oleh masyarakat. Konsekuensinya, segala aturan yang telah dibuat dan disepakati bersama cenderung dapat dilakukan dan ditaati dengan sepenuh hati. Di samping itu, setiap anggota masyarakat juga merasa memiliki tanggung jawab dalam pengawasan dari aturan-aturan tersebut. Pola pengelolaan sumber daya alam seperti di atas dapat dijumpai di beberapa wilayah di Indonesia seperti Sasi di Maluku Tengah; Seke di
25
desa Para, Kabupaten Sangihe Talaud, Sulawesi Utara; Rompong di kawasan pesisir Bugis, Sulawesi Selatan; Panglima Laut di Aceh; Awig-Awig di Nusa Penida, Bali; dan lain-lain (Basuki dan Nikijuluw, 1996). Pemberdayaan Penduduk Lokal Pemberdayaan penduduk lokal memusatkan perhatian pada kenyataan bahwa penduduk lokal mengalami kendala dan hambatan dalam proses dan gerak aktualisasi eksistensinya. Konsep ini berusaha menciptakan kondisi yang memungkinkan penduduk lokal agar dapat melakukan tugas aktualisasi eksistensi seluas-luasnya dan setinggi-tingginya dalam menciptakan kondisi sosial, ekonomi, budaya, keamanan, pendidikan, hukum dan keluarga. Peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam menciptakan dan mempercepat tercapainya kondisi tersebut. Dapat diumpamakan pemerintah merupakan faktor pendorong yang mempercepat keberhasilan proses pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat. Pendekatan pemberdayaan dalam pembangunan penduduk lokal pada dasarnya adalah upaya langsung pada akar permasalahan, yaitu meningkatkan potensi kemampuan penduduk lokal itu sendiri. Kenyatan menunjukkan ketidakberdayaan sebagai sumber malapetaka dan dehumanisasi dapat saja terjadi karena lingkungan di luar politik, bahkan dapat pula terjadi sebagai akibat dari disposisi batin dan mental subjektif dari individu yang bersangkutan. Absurditas untuk membuang segala kekuasaan menjadi terasa karena gagasan tentang pemberdayaan apapun asumsinya adalah menerima adanya kekuasaan sebagai faktor dan membuat yang tidak berkuasa menjadi memiliki kekuasaan, yaitu yang powerless diberi power melalui empowerment (Pranata, 1996 yang diacu dalam Purnomowati, 2001). Daya (power) dalam pemberdayaan (empowerment) diartikan sebagai kekuatan dari dalam yang diperkuat
dengan
unsur-unsur
penguat
yang
diserap
dari
luar.
Dengan
demikianpemberdayaan bertujuan dua arah, yaitu pertama untuk melepaskan diri dari belenggu kemiskinan dan keterbelakangan serta kedua memperbuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan (Kartasasmita, 1996).
26
Gagasan tentang keterlibatan masyarakat di dalam perencanaa n pembangunan sebetulnya bukan merupakan hal yang baru. Malcolm (1975) menyatakan dalam dunia pendidikan ada dua sistem yaitu pedagogy dan androgogy. Pedagogy didefinisikan sebagai seni atau ilmu mengajar yang berorientasi pada arahan guru (Teacher Directed), sedangkan androgogy berorientasi pada inisiatif sendiri dalam mendiagnosis kebutuhan, tujuan sumber, strategi dan penilaian hasil belajar (Self Directed Learning). Androgogy merupakan salah satu metode yang kini banyak digunakan dan dikembangkan dalam masyarakat. Asumsi yang mendasarinya pertama adalah manusia tumbuh dalam kapasitas menjadi, mengarahkan diri sendiri sebagai komponen pokok dalam proses pendewasaan. Kedua, pengalaman merupakan sumber belajar yang selalu tumbuh dan digali bersama para ahli. Ketiga, kesiapan belajar sebagai suatu syarat untuk menjalankan tugas dan mengatasi kehidupan hidup. Keempat, orang belajar berpusat pada tugas atau problem karenanya pengalaman belajar harus diorganisasi sebagai pelaksanaan tugas atau pemecahan masalah. Kelima, orang belajar termotivasi dari rangsangan internal sebagai kebutuhan harga diri, rasa ingin tahu dan sebagainya. Konsep pemberdayaan penduduk lokal dapat dikembangkan melalui kegiatan ekonomi produktif berbasis desa yang berkembang secara dinamis. Sistem kepemilikan sumberdaya alam perlu ditata sedemikian rupa sehingga dapat dialokasikan secara optimal kedalam berbagai kegiatan sosial- ekonomi masyarakat. Disisi lain penyediaan sarana produksi dan peningkatan ketrampilan perlu diimbangi dengan tersediannya pasar, diutamakan untuk penduduk lokal agar dapat melakukan kegiatan sosial ekonomi sesuai dengan kondisi setempat (Hakim, et al, 1995). Konsep pemberdayaan penduduk lokal dan pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu dapat dibangun melalui peningkatan kemampuan penduduk lokal berpendapatan rendah untuk akses terhadap kegiatan ekonomi. Peningkatan kemampuan (daya) penduduk lokal tersebut diarahkan pada sumber yang dapat menghasilkan daya yaitu kekayaan, status sosial, pendidikan, penguasaan informasi dan ketrampilan. Untuk itu paling tidak harus ada perbaikan akses terhadap empat hal, yaitu : (1) Akses terhadap sumberdaya, (2) Akses terhadap teknologi yaitu
27
kegiatan dengan cara dan alat yang lebih baik dan lebih efisien, (3) Akses terhadap pasar dan (4) Akses terhadap pendanaan (Hakim, 1998). Model pemberdayaan penduduk lokal dalam konteks pembangunan berkelanjutan berpendirian tidak menjadikan penduduk lokal sebagai objek berbagai proyek pembangunan. Penduduk lokal adalah subjek dari pembangunan itu sendiri. Berbagai kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat tidak berarti menghambat upaya mempertahankan atau meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Diyakini bahwa kebijaksanaan tersebut akan berlangsung secara berkelanjutan dalam jangka panjang jika sumber utamanya berasal dari penguatan ekonomi rakyat. Model pemberdayaan penduduk lokal sipandang sebagai penguat, bukan sebagai penopang berdirinya suatu usaha. Dengan demikian konsepsi pemberdayaan penduduk lokal dalam studi ini merupakan proses
dinamis
yang
dikembangkan
untuk
mengatasi
permasalahan
baru,
mengeksplorasi peluang-peluang baru dan lebih memperkuat kemampuan atau ketrampilan pengelolaan, kerjasama antar lembaga, integrasi antar kepentingan pembangunan dan perlindungan. Partisipasi Masyarakat Beberapa pengertian tentang partisipasi oleh banyak ahli biasanya diartikan sebagai upaya peran serta masyarakat dalam suatu kegiatan, yang bila dikaitkan dengan pembangunan maka akan merupakan upaya peran serta dalam pembangunan. Seperti yang dikemukakan oleh Slamet (1985), partisipasi masyarakat sangatlah mutlak demi berhasilnya pembangunan. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa tanpa partisipasi masyarakat maka setiap kegiatan pembangunan akan kurang berhasil. Wardoyo (1992) menga takan bahwa partisipasi adalah keikutsertaan masayarakat baik dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan. Keikutsertaan tersebut terbentuk sebagai akibat terjadinya interaksi sosial antara individu atau kelompok masyarakat yang lain dalam pembangunan. Nikijuluw (1994) menyatakan bahwa pengelolaan yang melibatkan atau partisipasi masyarakat merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumber daya alam, misalnya perikanan, yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran masayarakat
28
lokal sebagai sebagai dasar pengelo laannya. Selain mereka memiliki akar budaya yang kuat, biasanya tergabung dalam kepercayaannya. Nilai- nilai dalam masyarakat biasanya ditransfer secara kuat dari generasi ke generasi yang tercakup dalam suatu sistem tradisional. Partisipasi masyarakat yang ikut di dalam pengelolaan kawasan pesisir dan laut pulau-pulau kecil adalah masyarakat yang tinggal atau menetap di desa atau beberapa desa dalam kawasan taman wisata alam laut. Desa yang dimaksud berada di pulau yang berbatasan langsung dengan pantai. Stakeholders dalam pengelolaan kawasan pesisir dan laut adalah masyarakat desa yang sering mengadakan aktifitas di sekitar perairan pulau-pulau kecil dalam kawasan Padaido. Aktifitas yang dimaksud misalnya menangkap ikan, berenang, menyelam untuk mengambil terumbu karang, melakukan budidaya perikanan serta nelayan yang sering melepas jangkar di kawasan terumbu karang. Dalam kaitan dengan pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh LSM dengan melibatkan partisipasi masyarakat di Kepulauan Padaido telah dihasilkan model pemanfaatan kawasan, yaitu daerah perlindungan khusus, daerah pemanfaatan terbatas dan daerah pemanfaatan terbuka (intensif) (Marlessy dan Retraubun, 2002). Partisipasi masyarakat dalam suatu kegiatan / pembangunan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tingkat pendidikan, umur, dan kesesuaian kegiatan dengan kebutuhan (Madrie, 1986). Partisipasi juga ditentukan oleh tingkat pengetahuan. Seseorang yang memiliki pengetahuan dan kesadaran yang tinggi terhadap kepentingan kelompok, cenderung semakin tinggi partisipasinya dalam kegiatan pembangunan (Long, 1973). Ditambahkan oleh Soeryani (1987) bahwa tingkat pendidikan dan kemiskinan adalah merupakan faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam mengelola lingkungan hidup. Tingkat pendidikan masyarakat akan mempengaruhi tingkat pengetahuan mereka mengenai lingkungan hidup.
29
Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu bentuk sistem informasi yang lebih menekankan pada data yang berkaitan dengan keruangan dan koordinat geografis (Aronoff, 1984). Definisi lain yang juga berkembang, diantaranya SIG sebagai perangkat alat untuk mengumpulkan, menyimpan, dan mengolah data spasial dari dunia nyata (Burrough, 1986). Pardes (1988) menambahkan bahwa disamping data spasial SIG juga sebagai teknologi informasi yang mampu menyimpan, menganalisa dan mengkaji baik data spasial maupun non spasial. Seiring dengan perkembangan teknologi komputer maka SIG dapat diartikan sebagai suatu sistem yang berbasiskan komputer, yang dapat digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan obyek dan fenomena yang posisi geografisnya merupakan karakteristik yang penting untuk data, manajemen data, manipulasi dan analisis serta output data, hal ini termasuk juga komponen SIG. SIG merupakan alat yang handal untuk menangani data spasial. Dalam SIG data disimpan dalam bentuk digital. Data ini lebih padat dibandingkan dalam bentuk peta cetak, tabel atau bentuk konvensional lainnya. Dengan digunakannya sistem komputer maka bila diperlukan, data dalam jumlah besar dapat dipanggil dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dan biaya per satuan yang lebih rendah dibanding cara manual. Demikian pula dalam hal kemampuan untuk memanipulasi data spasial dan mengkaitkannya dengan informasi atribut serta mengintegrasikannya dengan berbagai tipe data dalam suatu analisis (Barus dan Wiradisastra, 1996) SIG mempunyai kemampuan untuk melaksanakan analisis spasial yang kompleks secara cepat mempunyai keuntungan kualitatif dan kuantitatif, dimana skenario-skenario perencanaan, model- model keputusan, deteksi perubahan dan analisis serta tipe-tipe analisis lain dapat dikembangkan dengan membuat perbaikanperbaikan secara terus- menerus secara mudah. Operasi yang interaktif menjadi praktis karena setiap komputer dioperasikan cepat, dilakukan cepat, dan biaya yang relatif murah (Barus dan Wiradisastra, 1997). Kegunaan SIG sangat banyak, salah satunya adalah untuk pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Menurut Star dan Ester (1990), bahwa
30
pengembangan SIG atau GIS dilandasi oleh dua faktor penting, yaitu: (a) Keinginan untuk pengelolaan lingkungan perkotaan terutama dalam kaitannnya dengan perencanaan
peremajaan
(b)
Keinginan
untuk
mengembangkan
kompetisi
penggunaan sumberdaya lingkungan. Oleh karena itu, SIG sangat membantu di dalam meningkatkan kemampuan dalam pengambilan keputusan, termasuk keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya terumbu karang pada suatu wilayah. Penerapan SIG sudah banyak digunakan untuk pengelolaan penggunaan lahan di bidang pertanian, kehutanan serta pembangunan pemukiman penduduk dan fasilitasnya (transportasi). Hanya dalam beberapa tahun penggunaan SIG telah tersebar luas pada bidang ilmu lingkungan, perairan, dan sosial ekonomi. SIG juga telah digunakan di bidang militer, pemodelan perubahan iklim global dan geologi, terutama dengan menggunakan SIG tiga dimensi. Penerapan SIG di wilayah pesisir disajikan dalam Tabel 1. dibawah ini (Dahuri, 1997). Keuntungan menggunakan SIG dalam pengelolaan sumber daya pesisir (SDP) telah dikembangkan di beberapa negara untuk berbagai tipe SDP, seperti areal konservasi dan pengelolaan hutan. Secara umum keuntungan penggunaan SIG dalam pengelolaan SDP sebagai berikut: (1)
Mampu mengintegrasikan data dari berbagai format data (grafik, teks, digital dan analog) dari berbagai sumber.
(2)
Memiliki kemampuan yang baik dalam pertukaran data di antara berbagai macam disiplin ilmu dan lembaga terkait.
(3)
Mampu memproses dan menganalisis data lebih efisien dan efektif dari pada pekerjaan manual.
(4)
Mampu melakukan pemodelan, pengujian dan pembandingan beberapa alternatif kegiatan sebelum dilakukan aplikasi di lapangan.
(5)
Memiliki kemampuan pembaharuan data yang efisien, terutama grafik.
(6)
Mampu menampung data dalam volume yang besar.
Dengan sistem yang terintegrasi, SIG mampu melakukan pemodelan dengan multikriteria yang sangat bermanfaat bagi pengelolaan SDA di wilayah pesisir, terutama pada pendekatan holistik/integral (Dahuri, 1997).
31
Tabel 1 Beberapa penerapan SIG di wilayah pesisir APLIKASI 1. Pengelolaan Lahan
KETERANGAN Pembuatan beberapa profil DAS di areal kehutanan, lahan budidaya, daerah pemuki man, perubahan garis pantai, tanah payau, tanah pasir dengan kemiringan 3-6% dan parameter lain untuk memperkirakan sumber air.
2. Pengelolaan
Studi kasus dalam analisis dampak pencemaran. Membangun
habitat air
basis data untuk habi- tat yang potensial, data atribut dari kondisi
tawar
habitat dan aliran arus, DAS, lokasi pem buangan bahan pencemar. Menggambarkan dampak di bagian hilir sungai terhadap prosentase kehilangan produksi ikan.
3. Pengelolaan habitat laut
Membangun basis data untuk beberapa atribut data, kedalaman, tipe sediment. Mem bangun kriteria untuk model kesesuaian habitat dengan menggambarkan hubungan antara variabel spasial. Overlay peta untuk memproduksi data yang dihasilkan.
4. Potensi pen-
Dalam penentuan lokasi yang sesuai untuk budidaya udang
gembangan
diperlukan beberapa data, antara lain: salinitas, jenis tanah, pola
budidaya
curah hujan, penggunaan lahan (mangro ve dan non mangrove). Data yang digunakan merupakan parameter-parametr lingkungan dan infrastruktur yang tersedia, penggunaan lahan, jenis tanah, hidrologi, geomorfologi pantai, dan karakteristik meterorologi. Sedangkan lokasi yang sesuai untuk pembenihan udang dan ikan memerlukan sebagai berikut: kualitas air, pola penggunaan lahan, jarak dari sumber air, geomorfologi dan jarak dari tambak.
5. Studi sumber
Identifikasi variabel sosial ekonomi yang terpengaruh akib at
daya wilayah
pembangunan di wila yah pesisir. Data yang digunakan adalah
pesisir
populasi,
ketenagakerjaan,
tingkat
penda
pendidikan, infrastruktur dan fasilitas umum.
patan,
tingkat
32
6. Studi Indek
Klasifikasi P. Sumatra bagian timur dan Jawa Barat bagian utara,
kepekaan
kedalam 5 klas tingkat kepekaan lingkungan terhadap pencemaran
lingkungan
minyak.
terhadap pencemaran minyak 7. Perencanaan
Didasarkan pada karakteristik biofisik/ekologi dari wilayah pesisir
di wilayah
dibandingkan dengan kriteria kebutuhan biofisik untuk berbagai
pesisir
kegiatan pembangunan. Wilayah pesisir Kalimantan Timur dapat dibagi menjadi beberapa tipe kegiatan pembangun an seperti pemukiman,
sawah,
penggembalaan.
tambak,
pertambangan
dan
padang
33
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah Gugusan Pulau-Pulau Padaido, Distrik Padaido, Kabupaten Biak Numfor, Propinsi Papua. Gugus Pulau-Pulau Padaido terletak antara 00 00’ - 10 30’ Lintang Selatan dan 1350 00’ - 136045’ Bujur Timur. Kawasan terdiri atas kurang lebih 32 pulau-pulau karang dimana 8 (delapan) pulau dihuni oleh masyarakat secara permanen. Secara tradisional, Gugusan Pulau-Pulau Padaido terbagi atas Padaido Bawah dan Padaido Atas (Lampiran 11). Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan bahwa: (1) lokasi merupakan gugusan pulau-pulau kecil, (2) tingkat ketergantungan masyarakat pada sumber daya pesisir dan lautan sangat tinggi, (3) berada pada wilayah adat/ulayat masyarakat, (4) adanya cara penangkapan ikan yang merusak, (5) adanya konflik pemanfaatan ruang, (6) adanya kearifan tradisional masyarakat dan (7) merupakan Taman Wisata Alam Laut. Penelitian ini berlangsung sejak Januari 2003 sampai dengan Juli 2003 yang dilakukan dalam tiga tahap : (1) Studi pustaka, bertujuan untuk memperoleh data dan informasi sekunder. Kegiatan ini berlangsung selama 3 bulan, (2) Survei lapangan, bertujuan untuk memperoleh data primer, berlangsung selama 3 bulan. Kegiatan ini mencakup pengumpulan data kualitas air, data kondisi sosial ekonomi dan budaya serta kelembagaan, dan (3) Analisis data dan penulisan laporan. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah kawasan Gugusan Pulau-Pulau Padaido, kondisi biogeofisik pulau-pulau, kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat, kelembagaan, dan kebijakan pengelolaan. Penelitian menggunakan pendekatan Participatory Coastal Resource Assessment (PCRA) untuk mempelajari profil sumberdaya alam pesisir dan lautan dan sosial ekonomi serta budaya masyarakat di kawasan. Permasalahan yang menonjol adalah degradasi habitat dan sumberdaya pesisir dan laut, eksploitasi lebih sumberdaya perikanan, konflik pemanfaatan ruang/wilayah serta lemahnya penegakan hukum oleh aparat hukum. Degradasi sumberdaya pesisir (terumbu karang, lamun dan mangrove) disebabkan oleh aktivitas
34
masyarakat yang destruktif dalam pemanfaatan. Praktek ini sangat berdampak terhadap persediaan stok ikan dan kegiatan menghindari kerusakan lebih parah
pariwisata (ekowisata). Untuk
dan menjaga kelangsungan fungsi ekologis,
ekonomi dan sosial maka kawasan Gugusan Pulau-Pulau Padaido dikelola sebagai kawasan lindung, konservasi dan kawasan pemanfaatan dengan metode zonasi. Tujuan dari pengelolaan kawasan
adalah untuk menempatkan aktivitas-aktivitas
masyarakat sesuai peruntukkannya (kesesuaian) dan daya dukung lingkungan. Kegiatan pengelolaan kawasan dilakukan berdasarkan kajian sumberdaya alam pesisir dan laut serta kondisi sosial ekonomi dan budaya yang berasal dari data primer, sekunder maupun dari hasil wawancara dengan anggota dan kelompok masyarakat. Zona-zona yang terbentuk selanjutnya ditetapkan kegiatan-kegiatan yang boleh dan tidak boleh dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Agar pemanfaatan kawasan ini berlangsung secara optimal, berkelanjutan dan berbasis masyarakat dilakukan juga analisis kebijakan pengelolaan. Jenis dan Metode Pengumpulan Data Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data ya ng diperoleh secara langsung dari survei lapangan dan wawancara (berkuesioner) dengan responden (masyarakat). Data sekunder adalah data yang belum atau telah diolah oleh suatu instansi dan hasil pengolahannya didokumentasikan dalam bentuk laporan. Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam Tabel 2. Tabel 2 Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian No
Jenis data
I
Data Primer
1
Komponen BioGoeFisik : (Luas pulau, topografi, kemi ringan pantai, tipe pantai, lebar pantai, panjang pantai, material pantai, penutup lahan, keter
Metode
Survei lapangan
Sumber data
Pulau-pulau berpenduduk dan tidak berpenduduk.
35
2
II
sediaan air tawar, pasang surut, kedalaman perairan, kecepatan dan arah arus, kecerahan, kualitas air, jenis tutupan, lamun dan mangrove). Komponen Sosekbud : - Aspek Kependudukan Wawancara : (Jumlah, kepadatan, struktur umur, - Individu pendidikan, agama, rasio kelamin). - Kelompok - Aspek Ekonomi (Mata pencaharian, tingkat pendapatan dan pengeluaran, sarana dan prasarana). - Aspek Budaya (Asal mula pendu duk, sistem matapencaharian, sistem kemasyarakatan, sistem penge tahuan, sistem teknologi, sistem religi dan kesenian). Data Sekunde r (Batas wilayah, monografi desa, batas kelola desa adat, hasil- hasil penelitian di lokasi (terumbu karang, data kunjungan wisatawan, aktivitas masyarakat, kegiatan pemerintah dan non-pemerintah yang pernah dan sedang dilakukan di lokasi penelitian).
Penelusuran dokumen hasil penelitian dan dokumentasi pada perpustakaan kantor daerah dan instansi lain terkait.
Institusi terkait dan survei insitu pada pulau-pulau berpenduduk
Desa dan kantor Distrik Padaido, Pesisir Biak Timur, Biak Kota, Coremap serta Instansi terkait lain di luar Kab. Biak Numfor.
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data profil sumberdaya pesisir dan laut, sosial ekonomi dan budaya dengan melibatkan partisipasi masyarakat dilakukan dengan metode pengkajian sumberdaya pesisir dan laut secara partisipasi (Participatory Coastal Resources Assessment, PCRA ) (Walters, et al., 1998). Pengumpulan data dilakukan pada kawasan pesisir dan laut pulau-pulau dengan pendekatan gugus pulau, yaitu Gugus Pulau-Pulau Padaido Bawah dan Gugus PulauPulau Padaido Atas. Data primer (biofisik dan sosekbud) diperoleh melalui menerapkan metode
transek, pencatatan langsung, dan wawancara, sedangkan
36
pengumpulan data sekunder diperoleh melalui menerapkan metode penelusuran informasi yang terdokumentasi di berbagai lembaga, pemerintah dan masyarakat. Jenis data, metode pengumpulan dan sumber pengambilan data, baik data primer dan sekunder disajikan pada Tabel 3. Pengambilan data kualitas air dilakukan pada stasion penelitian yang ditetapkan, sedangkan data kondisi terumbu karang diperoleh dari hasil survei Coremap 2003. Penentuan stasion penelitian dilakukan secara “purpossive” mewakili seluruh lokasi penelitian. Pengukuran parameter kualitas air dilakukan secara langsung dan tidak langsung di lapangan. Parameter kualitas air yang diukur dalam penelitian disajikan pada Tabel 4. Lokasi pengukuran parameter kualitas air disajikan pada Lampiran 11. Tabel 3 Metode pengumpulan data penelitian No
Jenis Data
I
Data Primer
1
Profil SDA pesisir dan lautan : - Terumbu karang
2
- Rumput laut - Ikan Karang - Lamun - Mangrove Profil pantai dan perairan
3
Sosekbud
II
Data Sekunder
Metode
Sumber data
Pengamatan / Pengukuran langsung di lapangan
- Transek intersep linear (LIT) - Transek kuadrat linear - Sensus - Transek kuadrat linear - Transek linear (English, et al., 1994) - Analisis citra + SIG Wawancara : - Individu - Kelompok - Penelusuran dokumen dan laporan hasil kajian instansi terkait.
- Coremap,2003
- Coremap,2003 - Coremap,2003 - In situ - In situ - Lab. SIG - Field check - Distrik Padaido
- Distrik Padaido - Biak kota - Wilayah lain.
37
Tabel 4 Parameter kualitas air yang diukur dalam penelitian Parameter
Metode
Fisika: Posisi Arus (m/det) Kecerahan (m) Suhu Kimia: pH Salinitas (ppm) Oksigen terlarut (mg/l) BOD (mg/l) COD (mg/l) Amonia (mg/l) Nitrit (mg/l) Nitrat (mg/l) Orthophospat (mg/l)
Sumber data
GPS Current meter Secchi disk Termometer
In situ In situ In situ In situ
pH-meter, Horiba Refraktometer, Horiba Titrasi Botol sampel, titrasi Botol sampel, titrasi Botol sampel, spectrofotometer Botol sampel, spectrofotometer Botol sampel, spectrofotometer Botol sampel, spectrofotometer
In situ In situ In situ Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium
Metode Pengambilan Responden Responden yang dipilih dalam penelitian ini adalah rumah tangga nelayan yang berasal dari 12 desa pada 8 pulau yang dihuni. Jumlah rumah tangga nelayan di Distrik Padaido tahun 2000 sebanyak 728 (Kabupaten Biak Numfor, 2000). Responden dipilih secara acak. Penentuan jumlah responden (sampel) dari populasi rumah tangga nelayan ditentukan dengan persamaan yang dikemukakan Slovin, 1960 yang diacu dalam Sevilla, et al., 1993 dengan kesalahan penelitian deskriptif 10% (Gay, 1976 yang diacu dalam Sevilla, et al., 1993, sebagai berikut : n = N / (1 + N e 2 ) dimana, n : ukuran sampel N : ukuran populasi rumah tangga nelayan e : persentase ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan contoh. Berdasarkan persamaan di atas, jumlah responden yang diambil secara acak (bila populasi rumah tangga nelayan 728 (Kabupaten Biak Numfor, 2000) dan persentase ketidaktelitian 10%) sebanyak 88 rumah tangga nelayan. Dalam penelitian ini ukuran contoh yang terpilih sebanyak 100 responden.
38
Analisis Data Data yang terkumpul selanjutnya ditabulasi dan dikelompokkan berdasarkan lokasi dan kepentingan analisis untuk menjawab permasalahan dan tujuan penelitian. Kerangka analisis data pengelolaan kawasan Gugusan Pulau-Pulau Padaido disajikan pada Gambar 3. Analisis Zonasi Pulau-Pulau Analisis zonasi bertujuan untuk melakukan konservasi sumberdaya pesisir dan laut Gugusan Pulau-Pulau Padaido dalam mendukung kegiatan pariwisata dan rekreasi serta pengembangan perikanan rakyat yang diwujudkan dalam bentuk zona konservasi, zona pemanfaatan terbatas dan zona pemanfaatan khusus. Zona konservasi adalah zona yang karena kondisi biogeofisik, sosial ekonomi dan budaya serta kelembagaan ditetapkan sebagai zona konservasi. Pada zona ini kawasan pulau, pesisir dan laut dimanfaatkan untuk beberapa peruntukkan. Zona pemanfaatan terbatas adalah zona yang karena kondisi biogeofisik dan sosial ekonomi dan budaya serta kelembagaan ditetapkan sebagai zona pemanfaatan terbatas. Pada zona ini pengelolaan kawasan ha nya untuk satu atau dua peruntukkan. Zona pemanfaatan khusus adalah zona yang karena kondisi kawasan ditetapkan sebagai zona pemanfaatan khusus. Pada zona ini pengelolaan kawasan hanya dilakukan untuk satu peruntukkan. Pengkajian kesesuaian suatu lokasi (zona) untuk peruntukannya dibutuhkan penerapan kriteria. Kriteria yang digunakan terdiri atas kelompok kriteria ekologi, sosial dan ekonomi (Salm, et al., 2000) dan kelembagaan. Kelompok kriteria ekologi yaitu keanekaragaman hayati, kealamian, keunikan,
kerentanan dan keterkaitan
pulau. Kelompok kriteria ekonomi yaitu spesies penting, kepentingan perikanan, bentuk ancaman dan pariwisata. Kelompok kriteria sosial yaitu tingkat dukungan masyarakat sekitar, rekreasi, budaya, estetika, konflik kepentingan, keamanan, aksesibilitas, kepedulian dan kepentingan penelitian dan pendidikan. Kelompok kriteria kelembagaan yaitu keberadaan lembaga sosial, dukungan infrastruktur sosial dan dukungan pemerintah.
39
KAWASAN GUGUSAN PULAU - PULAU PADAIDO INTERPRETASI CITRA SATELIT
PENGUMPULAN DATA SEKUNDER
KRITERIA EKOLOGIS EKONOMIS
PENGUMPULAN DATA PRIMER
ANALISIS ZONASI PENGELOLAAN GPP PADAIDO
PENYUSUNAN BASIS DATA SPASIAL & TUBULAR ANALISIS SIG
KRITERIA SOSIAL KELEMBAGAAN
ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN
ANALISIS DAYA DUKUNG SUMBERDAYA LAHAN
ANALISIS SOSIAL EKONOMI BUDAYA
ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT
ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN GPP PADAIDO
PENGELOLAAN SUMBERDAYA GUGUSAN PULAU-PULAU PADAIDO
Gambar 3 Kerangka analisis pengelolaan sumberdaya GPP Padaido.
40
Zonasi peruntukkan pulau-pulau Padaido dilakukan dengan menggunakan persentase total nilai skoring kriteria pengelolaan pulau-pulau. Persentase total nilai skoring diperoleh dengan membandingkan total nilai skoring kriteria pada masingmasing pulau dengan total nilai skoring keseluruhan kriteria dikalikan 100 persen (Salm dan Usher, 1984). Dengan menggunakan teknik interval kelas (skor), zonasi peruntukan pulau dibagi atas tiga zona. Pertama adalah zona pemanfaatan khusus (ZPK). Zona ini memiliki interval nilai persentase skor sebesar < 62%. Kedua adalah zona pemanfaatan terbatas (ZPT). Zona ini memiliki interval nilai persentase skor sebesar 62% - 71%. Ketiga adalah zona konservasi (ZK). Zona ini memiliki interval nilai persentase skor sebesar > 71%. Dalam menyajikan tampilan peta penentuan posisi dan luasan ruang (batas zona) kawasan Gugusan Pulau-Pulau Padaido diperlukan beberapa batasan dari kriteria ekologi, sosial dan ekonomi serta partisipasi masyarakat. Suatu lokasi yang telah memenuhi syarat nilai kisaran dari batasan ke tiga kriteria yang ditentukan akan ditetapkan, dan bila tidak akan ditetapkan untuk zona lain. konservasi atau pemanfaatan. Analisis keruangan dalam penelitian ini menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan metode ArcView, yaitu sistem informasi spasial menggunakan komputer yang melibatkan perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), pemakaian data-data yang mempunyai fungsi pokok untuk menyimpan, memperbaharui, menganalisa dan menyajikan kembali semua bentuk informasi spasial. Proses penyusunan zonasi Gugusan Pulau-Pulau Padaido dengan menggunakan SIG disajikan pada Gambar 4.
41
KAWASAN GPP PADAIDO
DATA PRIMER DATA COLECTION
SURVEY LAPANGAN
DATA SEKUNDER
BASIS DATA
PETA DASAR
ANALISIS KRITERIA ZONASI (EKOLOGI, SOSIAL, EKONOMI, KELEMBAGAAN)
PETA TEMATIK 1
SYNTHESYS
PETA TEMATIK 2
KRITERIA KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG
PETA TEMATIK KE - N
OVERLAY PETA
PETA KOMPOSIT
ANALISIS SPASIAL DAN TUBULAR
PETA ZONASI DAN KESESUAIAN LAHAN KAWASAN GPP PADAIDO
Gambar 4 Proses penyusunan zonasi dan kesesuaian lahan GPP Padaido.
42
Penjabaran kriteria ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan serta skoring dijelaskan di bawah ini : Kriteria Ekologi 1).
Keanekaragaman Hayati (1) Ekosistem 1) Terumbu karang 2) Lamun 3) Mangrove 4) Laguna atau Lagoon Ket: Tinggi (3) : bila terdapat 4 ekosistem Sedang (2) : bila terdapat 2-3 ekosistem Rendah (1) : bila terdapat 1 ekosistem (2) Jenis (1) Karang (life form) Tinggi (3) : bila terdapat > 10 life form Sedang (2) : bila terdapat 6 – 9 life form Rendah (1) : bila terdapat < 5 life form (2) Ikan karang Tinggi (3) : bila terdapat > 120 jenis Sedang (2) : bila terdapat 61 - 120 jenis Rendah (1) : bila terdapat < 61 (3) Rumput laut Tinggi (3) : bila terdapat > 19 jenis Sedang (2) : bila terdapat 10 – 19 jenis Rendah (3) : bila terdapat < 10 jenis (4) Bentos (taxa) Tinggi (3) : bila terdapat > 7 taxa Sedang (2) : bila terdapat 5 – 7 taxa Rendah (1) : bila terdapat < 5 taxa
43
(5) Lamun Tinggi (3) : bila terdapat > 5 jenis Sedang (2) : bila terdapat 4 – 5 jenis Rendah (1) : bila terdapat 1 - 3 jenis (6) Mangrove Tinggi (3) : bila terdapat > 5 jenis Sedang (2) : bila terdapat 4 - 5 jenis Rendah (1) : bila terdapat 1 - 3 jenis (3).
Kealamian (1) Kondisi terumbu karang Tinggi (3) : tutupan karang 75 – 100% Sedang (2) : tutupan karang 51 – 74% Rendah (1) : tutupan karang < 50% (2) Kondisi pantai Tinggi (3) : Tidak terdapat abrasi pantai Sedang (2) : Abrasi pantai 25 – 50% Rendah (1) : Abrasi pantai > 50%
3).
Keunikan / kelangkaan jenis (1) Sebagai habitat satwa (burung atau penyu) (2) Memiliki bentuk tubir terumbu karang dengan kemiringan 90 derajat (3) Memiliki rugousity, seperti goa-goa, alur-alur, dll. (4) Memiliki spesies langkah atau dilindungi Ket: Tinggi (3) : bila terdapat semua komponen keunikan Sedang (2) : bila terdapat 2 - 3 komponen Rendah (1) : bila terdapat satu komponen.
4).
Kerentanan Pulau (1) Status pulau Tinggi (3) : tidak berpenduduk Sedang (2) : berpenduduk sementara
44
Rendah (1) : berpenduduk (2) Keterbukaan terhadap Samudera Pasifik Tinggi (3) : terbuka dari semua sisi Sedang (2) : 50% terbuka Rendah (3) : 25% terbuka 5).
Keterkaitan Pulau Tinggi (3) : terdapat lebih dari 3 pulau dalam gugusan Sedang (2) : terdapat 2 – 3 pulau dalam gugusan Rendah (1) : pulau bukan bagian dari gugus pulau Kriteria Ekonomi
1).
Spesies Penting (1) Terdapat ikan pelagis ekonomis penting (2) Terdapat ikan karang (kelompok target dan hias) (3) Terdapat moluska ekonomis penting (kerang, siput, gurita) (4) Terdapat ekhinodermata (teripang) (5) Terdapat krustase ekonomis penting (lobster & kepiting) (6) Terdapat rumput laut ekonomis penting Ket: Tinggi (3) : bila memenuhi semua komponen Sedang (2) : bila memenuhi 3 – 4 komponen Rendah (3) : bila memenuhi 1 – 2 komponen
2).
Kepentingan Perikanan (1) Sebagai daerah penangkapan ikan pelagis (2) Sebagai daerah penangkapan ikan karang (3) Sebagai daerah penangkapan siput dan gurita (4) Sebagai daerah penangkapan lobster (5) Sebagai daerah penangkapan teripang (6) Sebagai daerah perikanan budidaya Ket: Tinggi (3) : bila memenuhi semua kriteria Sedang (2) : bila memenuhi 4 – 5 kriteria
45
Rendah (1) : bila memenuhi 1 – 3 kriteria 3).
Bentuk Ancaman (1)
Penggunaan bom atau sianida
(2)
Penggunaan jangkar perahu
(3)
Penggunaan belo (tongkat pendorong perahu
(4)
Penggunaan tuba
Ket: Tinggi (3) : bila memenuhi semua kriteria Sedang (2) : bila memenuhi 2 – 3 kriteria Rendah (3) : bila memenuhi hanya 1 kriteria 4).
Pariwisata (1) Terdapat wisata bahari (2) Terdapat wisata pantai (3) Terdapat wisata sejarah Ket : Tinggi (3) : bila terdapat semua komponen Sedang (2) : bila terdapat 2 komponen Rendah (1) : bila terdapat satu komponen Kriteria Sosial
1).
Tingkat Dukungan Masyarakat (1) Pemerintah desa (2) Tokoh adat (3) Tokoh agama (4) LSM (5) Masyarakat Ket: Tinggi (3) : bila terdapat dukungan semua komponen Sedang (2) : bila terdapat tiga hingga empat dukungan Rendah (1) : bila terdapat satu hingga dua dukungan
2).
Tempat Rekreasi
46
(1) Terdapat daratan pantai luas (2) Terdapat perairan pantai tenang (3) Tempat lautan yang tenang Ket: Tinggi (3) : bila terdapat ketiga komponen Sedang (2) : bila terdapat dua komponen Rendah (1) : bila terdapat satu komponen 3).
Budaya (1) Memiliki sejarah (2) Memiliki nilai budaya dan seni (3) Memiliki agama Ket : Tinggi (3) : bila terdapat semua komponen Sedang (2) : bila terdapat dua komponen Rendah (1) : bila terdapat satu komponen
4).
Estetika (1) Bentuk pulau (2) Keanekaragaman ekosistem tinggi (3) Keanekaragaman habitat tinggi (4) Keanekaragaman jenis biota (5) Habitat satwa burung Ket: Tinggi (3) : bila terdapat semua komponen Sedang (2) : bila terdapat 3 - 4 komponen Rendah (1) : bila terdapat 1 – 2 komponen
5).
Konflik Kepentingan (1) Perorangan (2) Marga (keret) (3) Masyarakat adat Ket : Tinggi (3) : bila lokasi memenuhi semua komponen Sedang (2) : bila lokasi memenuhi dua komponen Rendah (1) : bila lokasi memenuhi satu komponen
6).
Keamanan
47
(1) Aman sepanjang musim (2) Aman pada musim barat atau timur Ket : Tinggi (3) : Sepanjang musim Sedang (2) : Salah satu musim Rendah (1) : Tidak aman sepanjang musim 7).
Aksesibilitas Keterkaitan dengan ketersediaan alat transport laut Ket: Tinggi (3) : Tersedia alat transport umum regular Sedang (2) : Tersedia alat transport masyarakat Rendah (1) : Menyewa alat transport masyarakat
8).
Kepedulian masyarakat (1) Kegiatan penelitian (2) Kegiatan pengawasan (monitoring) (3) Kegiatan pendidikan atau pelatihan Ket: Tinggi (3) : Bila memenuhi semua kriteria Sedang (2) : Bila memenuhi 2 kriteria Rendah (1): Bila memenuhi hanya 1 kriteria
9).
Penelitian dan Pendidikan (1) Penelitian dan pendidikan oleh pemerintah (2) Penelitian dan pendidikan skala projek (3) Penelitian dan pendidikan oleh perguruan tinggi (4) Penelitian dan pendidikan oleh LSM Ket: Tinggi (3) : Bila memenuhi semua kriteria Sedang (2) : Bila memenuhi 2 – 3 kriteria Rendah (1) : Bila memenuhi hanya 1 kriteria
Kriteria Kelembagaan 1)
Keberadaan lembaga sosial Tinggi (3) : Terdapat lebih dari 2 lembaga sosial
48
Sedang (2) : Terdapat 1 lembaga sosial Rendah (1) : Tidak ada lembaga sosial 2)
Dukungan infrastruktur sosial Tinggi (3) : Terdapat lebih 1 infrastruktur sosial Sedang (2) : Terdapat 1 infrastruktur sosial Rendah (1) : Tidak ada dukungan infrastruktur sosial
3)
Dukungan Pemerintah Tinggi (3) : Dukungan pemerintah pusat dan daerah Sedang (2) : Dukungan pemerintah pusat atau daerah Rendah (1) : Tidak ada dukungan pemerintah Analisis Kesesuaian Lahan GPP Padaido Analisis kesesuaian lahan pesisir dan laut GPP Padaido untuk berbagai
peruntukkan; pariwisata pesisir, budidaya rumput laut, budidaya teripang, budidaya ikan dalam keramba jaring apung, daerah penangkapan ikan karang, dan ikan pelagis dilakukan dengan teknik yang dikemukakan oleh Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001). Pertama, penetapan persyaratan (parameter dan kriteria), pembobotan da n skoring. Parameter diamati dan diukur di lapangan. Untuk masing- masing peruntukkan, penetapan persyaratan tidak sama. Parameter yang menentukan diberikan bobot terbesar sedangkan kriteria (batas-batas) yang sesuai diberikan skor tertinggi. Kedua, penghitungan nilai peruntukkan lahan. Nilai suatu lahan ditentukan berdasarkan total hasil perkalian bobot (B) dan skor (S) dibagi dengan total nilai bobot-skor dikalikan 100. Ketiga, pembagian kelas lahan dan nilainya. Dalam penelitian ini kelas lahan
dibagi da lam empat kelas yang didefinisikan sebagai
berikut : Kelas S1
: Sangat Sesuai (Highly Suitable) Pada kelas ini lahan tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap kegiatan atau produksi hasil.
Kelas S2
:
Sesuai (Moderately Suitable)
49
Pada kelas ini lahan mempunyai pembatas-pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi aktivitas atau produksi dan keuntungan dan meningkatkan masukkan yang diperlukan. Kelas S3
:
Sesuai Bersyarat (Marginally Suitable) Pada kelas ini lahan mempunyai pembatas yang lebih besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi aktivitas atay produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukkan yang diperlukan.
Kelas N
: Tidak Sesuai (Not Suitable) Pada kelas ini lahan mempunyai pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.
Sesuai dengan faktor pembatas dan tingkat keberhasilan yang dimiliki oleh masingmasing lahan, lahan kelas S1 dinilai sebesar 80 -100%; S2 dinilai sebesar 70 – 79%; S3 dinilai sebesar 60 – 69% dan N dinilai sebesar < 60%. Semakin kecil faktor pembatas dan peluang keberhasilan atau produksi suatu lahan, semakin besar pula nilainya. Keempat, memadankan (membandingkan) nilai lahan dengan nilai masingmasing kelas lahan.
Dengan cara ini, kelas kesesuaian lahan untuk penggunaan
tertentu diperoleh. Kelima, pemetaan kelas kesesuaian lahan. Pemetaan kelas lahan dilakukan dengan program pemetaan spasial ArcView 3.3. Pariwisata Pesisir Kesesuaian lahan untuk pariwisata pesisir dianalisis dengan menggunakan parameter dan kriteria lahan dari Suharsono dan Leatemia (1995). Parameter, pembobotan dan skoring kriteria kesesuaian lahan untuk pariwisata pesisir disajikan pada Tabel 5.
50
Tabel 5 Parameter, bobot dan skor sistem penilaian lahan untuk pariwisata pesisir No
Parameter
I
Kondisi Alam :
1
Jenis pantai Tutupan lahan pantai
2 3
Kejernihan air
Sat
m O
C
Bobot (B)
Skor (S) 1
3
5
3
pasir lumpur
pantai karang
pasir putih & karang
1
hutan, semak
semak, kelapa
kelapa, semak, hutan
2
<5
5 - 10
> 10
1
< 24
24 - 28
> 28
4
Temperatur air
5
Bentuk tubir
2
landai
< 45oC
> 45oC
6
"Rugousity"
1
rata
lorong-lorong
gua-gua
7
Tutupan karang
3
Rendah
Sedang
Tinggi
8
Jenis live form
jenis
3
<6
6- 9
> 10
9
Jenis ikan karang
jenis
3
< 60
61 - 119
> 120
10
Jenis lamun
jenis
3
<3
4- 5
>6
11
Jenis mangrove
jenis
3
<3
4- 5
>6
12
Estetika
3
rendah
sedang
tinggi
13
Kemudahan
2
rendah
sedang
tinggi
14
Keselamatan
2
rendah
sedang
tinggi
15
Cuaca tenang
2
1- 2
3- 5
>5
II
Fasilitas :
1
Transportasi
1
kurang
cukup
baik
2
Air tawar
3
kurang
cukup
baik
3
Pondok wisata
2
kurang
cukup
baik
4
Listrik
1
kurang
cukup
baik
5
Telekomunikasi
1
kurang
cukup
baik
bln
Sumber: Modifikasi Suharsono dan Leatemia,1995. Budidaya Rumput Laut Kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut dianalisis menggunakan persyaratan (parameter dan kriteria) yang dikemukakan dalam DKP, 2002. Matriks parameter, skor dan bobot sistem penilaian kesesuaian lahan disajikan pada Tabel 6.
51
Tabel 6 Parameter, bobot dan skor sistem penilaian lahan untuk budidaya rumput Laut No
Parameter
Skor (S) 1
3
5
Bobot (B)
1 2 3
Keterlindungan Gelombang (cm) Arus (cm/det)
Kurang > 30 < 10 & > 40
Sedang 10 – 30 10-20 & 30-40
Baik < 10 20 – 30
2 1 2
4
Kedalaman air (m)
< 0,5 & > 5
1 – 2,5
2
5
Dasar perairan
Pasir/lumpur
Pasir
6 7 8 9 10 11 12 13 14
Salinitas (ppm) Suhu (0c) pH Kecerahan (cm) Kesuburan perairan Ketersediaan benih Sarana penunjang Pencemaran Keamanan
< 30 & > 34 < 20 & > 30 < 7,3 & 8,2 < 30 Kurang Kurang Kurang Tercemar Kurang
30 - 32 20 - 24 7,3 – 7,8 30 - 60 Cukup Sedang Cukup Sedang Cukup
2,5 - 5 karang mt, makro alga, pasir 32 - 34 24 - 30 7,8 – 8,2 60 - 110 Baik Banyak Baik Tidak ada Aman
1 2 2 2 1 3 1 1 2 1
Sumber: DKP,2002. Budidaya Teripang Kesesuaian lahan untuk budidaya teripang dianalisis menggunakan persyaratan yang dikemukakan oleh Sutaman, 2003. Parameter, bobot, skor sistem penilaian lahan untuk budidaya teripang disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Parameter, bobot dan skor sistem penilaian lahan untuk budidaya teripang No 1
Bobot (B)
1
3
5
Kurang
Cukup
Baik
3
Ada
Sedikit
Tdk ada
1
c). Keamanan
Kurang
Sedang
Baik
1
d). Sarana penunjang
Kurang
Cukup
Baik
1
Pasir/lumpur
Pasir & lumpur
Pasir & patahan karang
2
>1
< 0,5
0,5 – 1
2
Faktor penunjang a). Keterlindungan b). Pencemaran
2
Skor (S)
Parameter Yang Diukur
Faktor utama a). Dasar perairan b). Kedalaman air (m) saat surut
52
c). Ketersediaan tanaman air
Tidak ada
Jarang
Padat
2
Dekat
Jauh
Sgt jauh
2
e). Kecerahan air (cm)
< 50
50 – 100
100 – 150
1
f). Salinitas (ppm)
< 26
27 – 30
31 – 34
1
22 – 25
26 – 29
30 – 32
1
<4
4– 6
6– 9
1
< 7,5
7,5 – 8,0
8,1 – 8,6
1
d). Ketersediaan sumber benih
O
g). Suhu air laut ( C) h). Oksigen terlarut (mg/l) I). pH
Sumber: Sutaman, 2003. Budidaya Ikan Dalam Keramba Jaring Apung Kesesuaian lahan untuk budidaya ikan dalam keramba jaring apung dianalisis menggunakan persyaratan yang dikemukakan oleh Tiensongrusmee et al., 1986. Parameter, bobot, skor sistem penilaian lahan untuk budidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA) disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Parameter, bobot dan skor sistem penilaian lahan untuk budidaya ikan dengan KJA No
Parameter
1 2
Keamanan Faktor Ekologi a. Tinggi air pasang b. Arus (m/dt) c. Dalam Air dari Dasar Jaring (m) d. Oksigen terlarut (ppm) e. Kadar garam (ppt) f. Perubahan cuaca Faktor Pendukung a. Sumber listrik b. Sumber pakan c. Tenaga kerja d. Ketersediaan Benih Pencemaran
3
4
1 Kurang
Skor (S) 3 Cukup
Bobot (B)
5 Baik
< 0.5 < 0.05 <4 < 3 < 20 Sering
0.5 - 1.0 0.05 - 0.2 4 - 10 3-5 20 - 30 Sedang
> 1.0 0.2 - 0.4 > 10 >5 > 30 Jarang
2 2 2 2 2 2
Kurang Kurang Kurang Kurang Ada
Cukup Cukup Cukup Cukup Sedikit
Baik Baik Baik Baik Tidak ada
1 1 1 1 2
2
Sumber: Tiensongrusmee et al., 1986. Daerah Tangkapan Ikan Karang Kesesuaian lahan untuk daerah tangkapan ikan karang dianalisis menggunakan persyaratan, pembobotan dan skoring yang disajikan pada Tabel 9. Parameter kedalaman perairan, topografi dasar, perubahan cuaca, kondisi terumbu karang dan
53
kelimpahan ikan target diboboti terbesar karena menentukan lokasi atau lahan sebagai daerah tangkapan ikan karang. Tabel 9 Parameter, bobot dan skor sistem penilaian lahan untuk daerah tangkapan ikan karang No
Parameter
1
Kedalaman perairan (m) Topografi dasar perairan Kecerahan perairan (m) Perubahan cuaca Kondisi terumbu karang Pencemaran Kelimpahan ikan target (ind/350 m2 )
2 3 4 5 6 7
5
Bobot (B)
<3
3-5
>5
2
Landai <5
Landai-curam 5 - 10
Curam > 10
2 1
Sering Buruk Ada
Sedang Sedang Sedikit
Jarang Baik Tidak ada
2 2 1
< 100
100 - 200
> 200
2
1
Skor (S) 3
Daerah Tangkapan Ikan Pelagis Kesesuaian lahan untuk daerah tangkapan ikan pelagis dianalisis menggunakan persyaratan, pembobotan dan skoring yang disajikan pada Tabel 10. Parameter dipilih berdasarkan tingkah laku distribusi dan kondisi oseanografi dari jenis-jenis ikan pelagis. Suhu dan perubahan cuaca memiliki bobot terbesar karena menentukan lahan atau lokasi sebagai daerah tangkapan ikan pelagis. Tabel 10 Parameter, bobot dan skor sistem penilaian lahan untuk daerah tangkapan ikan pelagis No 1 2 3 4 5 6 7
Parameter O
Suhu ( C)
Salinitas (ppt) Kedalaman (m) Oksigen terlarut (mg/l) Kecerahan perairan (m) Perubahan cuaca Pencemaran
1
Skor (S) 3
5
Bobot (B)
< 20 < 25 < 50 <3 < 20
20 - 29 25 - 29 50 - 100 3-5 20 - 30
> 29 > 30 > 100 >5 > 30
2 1
Sering Ada
Sedang Sedikit
Jarang Tidak ada
2 1
1 1 1
54
Analisis Daya Dukung Sumberdaya Kualitas Perairan Kualitas perairan Gugusan Pulau-Pulau Padaido untuk kegiatan budidaya, pariwisata dan konservasi dianalisis dengan berpedoman pada Baku Mutu air laut yang dikeluarkan oleh Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Analisis dilakukan dengan cara membandingkan (matching) data parameter fisik dan kimia perairan wilayah penelitian dengan parameter baku mutu air laut yang ditetapkan. Parameter baku mutu air laut untuk kegiatan budidaya, pariwisata dan konservasi disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Baku mutu air laut untuk berbagai kegiatan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Parameter
Sat
Temperatur o C Salinitas ppm pH Kecerahan m Kec.arus m/det Arah arus DO mg/l BOD5 mg/l COD mg/l Phosphat mg/l Nitrit mg/l Nitrat mg/l Amonia mg/l
Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut Budidaya Pariwisata Konservasi alami alami alami alami alami alami 6,5-8,5 6,5-8,5 6,5-8,5 >5 >10 >10 >6 >5 >6 <15 <10 <40 <45 <40 <40 nihil nihil <0,3
nihil nihil nihil
nihil nihil <0,1
Sumber: Kep. Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No.2, 1988.
Pariwisata Pesisir Analisis daya dukung kawasan GPP Padaido untuk kegiatan pariwisata merupakan suatu metode untuk mengetahui kemampuan kawasan menerima sejumlah wisatawan yang melakukan pariwisata. Parameter daya dukung yang diamati adalah panjang pantai pasir putih, luas lahan untuk akomodasi, dan ketersediaan air bersih. Sebagai acuan digunakan kriteria kebutuhan ruang yang disusun berdasarkan pengalaman budaya Amerika dan Eropa (World Tourism Organization, WTO, 1981
55
yang diacu dalam Arifin, 2001) dengan melakukan modifikasi pada parameter tertentu berdasarkan kondisi wilayah penelitian. Standart kebutuhan ruang fasilitas pariwisata pantai sesuai WTO (1981) disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Standar Kebutuhan Ruang Fasilitas Pariwisata Pantai No 1
2
Parameter Kapasitas Pantai - Kelas rendah - Kelas menengah - Kelas mewah - Kelas istimewa Air Bersih
3
Akomodasi (hotel) Atau
Kebutuhan Ruang M /orang Orang/20-50 m pantai 10 2,0 – 5,0 15 1,5 – 3,5 20 1,0 – 3,0 30 0,7 – 1,5 Penginapan daerah pesisir 200 – 300 ltr/hr/org Penginapan daerah pantai tropik 500 – 1000 ltr/hr/org Ekonomi : ruang yang disyaratkan 10 m2 /bed Menengah : ruang yang disyaratkan 19 m2 /bed Istimewa : ruang yang disyaratkan 30 m2 /bed 600 – 1000 tempat tidur/ha 2
-
Sumber : WTO, 1981 yang diacu dalam Arifin 2001. Untuk mengetahui daya dukung kawasan terumbu karang untuk wisatawan bersnokling dan menyelam pada sepanjang tebing karang digunakan kriteria yang diacu dalam Siregar (1994), yaitu orang/100m. Budidaya Rumput Laut Daya dukung kawasan GPP untuk budidaya rumput laut dianalisis dengan persamaan di bawah ini: Daya dukung =
LKLBRL LUMBRL
dimana :LLSBRL adalah Luas kesesuaian lahan untuk budidara rumput laut LUMBRL adalah luas unit metode budidaya rumput laut. Dalam penelitian ini, luasan satu unit budidaya rumput laut dengan metoda dekat dasar, rakit dan long line masing- masing adalah 100 m2 (0,01 ha), 12,5 m2 (0,00125 ha) dan 150 m2 atau 0,015 ha (Indriani dan Sumiarsih, 2001).
56
Budidaya Ikan Dalam KJA Daya dukung kawasan GPP untuk budidaya ikan dengan keramba jaring apung (KJA) dianalisis dengan persamaan di bawah ini: Daya dukung =
LKLBIKJA LUKJA
dimana :LKLBIKJA adalah Luas kesesuaian lahan untuk budidaya ikan KJA LUKJA adalah luas unit KJA. Dalam penelitian ini, LUKJA adalah (3 x 3 x 3)m3 , yaitu ukuran optimal yang digunakan secara umum di perairan Indonesia (Sunyoto, 2000). Potensi Sumber Daya Ikan Karang Analisis (estimasi) potensi sumberdaya perikanan karang dilakukan melalui beberapa tahapan. Pertama, penghitungan jumlah ikan karang pada tali transek sepanjang (2 x 50) m dengan lebar ke kiri-kanan 2,5 meter (English, et al., 1994) Kedua, penghitungan kepadatan ikan dengan metode Misra (1978) yaitu: d=
c x 10.000 (ekor/ha) A
dimana; d = kepadatan, c = jumlah ikan yang terhitung dalam pengamatan, A = luas daerah pengamatan, 10.000 = konversi hektar ke meter.
Ketiga, penghitungan
kelimpahan stok digunakan persamaan : Bo = d x L, dimana: Bo = kelimpahan stok (ekor), d = kepadatan, L = luas daerah penelitian. Keempat, penghitungan potential yield digunakan rumus Gulland (1975) adalah: Py = Bo x M x c, dimana Py = potential yield (ekor/tahun), M = koefisien kematian alami, c = konstanta. Kelima, penghitungan MSY optimal = (0,5 x Py) x 0,8, dimana 0,8 adalah konstanta precautionary approach dari MSY. Potensi Air Tanah Analisis potensi air tanah di kawasan GPP Padaido dianalisis dengan pendekatan Neraca Air Bulanan (Siklus Hidrologi). Sebagai input adalah curah hujan dan sebagai output adalah evapotranspirasi dan run off. Formula yang digunakan dengan pendekatan ini adalah :
57
C = P - E - L dimana : C : Cadangan air yang diperkirakan P : Presipitasi atau curah hujan E : Evapotranspirasi L : Larian air permukaan (run off) Evapotranpirasi (E) didekati dengan data suhu udara. Formula yang digunakan (Dunne and Leopold, 1978 yang diacu dalam Pramono 2000), sebagai berikut : 12
a
E = 1,6 (10 T / I) ;
I =
∑ in
;
1,514
i = (T / 5)
;
n =1
a = 0,000000675 I - 0,000077 I + 0,01792 I + 0,49239 dimana ; T : Suhu udara bulanan I : Indeks panas tahunan i : Indeks panas bulanan a : konstanta. Larian air permukaan (L) adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju ke laut. Besaran larian air permukaan diasumsikan sebesar 0,15 yaitu koefisien air larian pada hutan bervegetasi atau tanah berpasir (Asdak, 2002). Analisis Sosial Ekonomi Budaya Kependudukan Data kependudukan yang dianalisis dalam studi ini mencakup jumlah penduduk, kepadatan penduduk, komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin, rasio jenis kelamin, komposisi penduduk berdasarkan kelompok umur, rasio (beban) ketergantungan. (1)
Jumlah penduduk. Jumlah penduduk merupakan banyaknya penduduk yang tinggal di suatu wilayah pada waktu tertentu. Dalam hal ini jumlah penduduk dinyatakan
58
dengan banyaknya orang (jiwa) yang tinggal di tiap-tiap wilayah (desa atau pulau) pada saat survei. (2)
Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Komposisi
penduduk
menggambarkan
susunan
penduduk
berdasarkan
pengelompokkan penduduk berdasarkan jenis kelamin yang dinyatakan dalam jumlah orang dan proporsi (%). (3)
Rasio Jenis Kelamin (Sex Ratio = SR) Rasio jenis kelamin (SR) merupakan perbandingan banyaknya penduduk lakilaki dinyatakan dalam banyaknya penduduk laki- laki per 100 penduduk perenpuan, atau dirumuskan sebagai berikut : SR = (Jumlah Penduduk Laki- Laki / Jumlah Penduduk Perempuan) x 100
(4)
Komposisi penduduk berdasarkan umur Distribusi umur dalam studi penduduk hanya digolongkan ke dalam kelompok umur produktif (berumur 15-64 tahun) dan tidak produktif (penduduk yang berumur < 15 tahun dan > 65 tahun), sehingga komposisi penduduk berdasarkan umur menjadi < 15 tahun, 15-64 tahun dan > 65 tahun.
(5)
Rasio ketergantungan (Dependency Ratio = DR) Rasio ketergantungan (DR) merupakan angka yang menyatakan perbandingan antara banyaknya penduduk yang tidak produktif dengan penduduk yang produktif, dinyatakan dengan banyaknya penduduk tidak produktif yang harus ditanggung oleh 100 penduduk produktif dan dirumuskan sebagai berikut : DR = (P 0-14 + P65+) / P 15-64
(6)
Kepadatan Penduduk Kepadatan penduduk menunjukkan rata-rata banyaknya penduduk per satuan luas. Dalam hal ini, kepadatan penduduk dihitung dari jumlah penduduk keseluruhan per kilometer persegi. Menurut kriteria dari Biro Pusat Statistik (1999) yang diacu dalam Suryanto (2000) penduduk suatu daerah dapat dikategorikan sebagai penduduk dengan tingkat kepadatan : (1) Tinggi, jika kepadatan penduduk > 400 jiwa/km2 (2) Sedang, jika kepadatan penduduk antara 200-400 jiwa/km2
59
(3) Rendah, jika kepadatan penduduk < 200 jiwa/km2 Sosial Ekonomi Analisis data sosial ekonomi yang ditampilkan dalam studi ini dalam kaitannya dengan pengelolaan kawasan Gugusan Pulau-Pulau Padaido mencakup mata pencaharian, pendapatan, dan pengeluaran penduduk. (1)
Mata Pencaharian Data yang ditampilkan berupa jumlah (orang) dan proporsi (%) penduduk yang mempunyai mata pencaharian antara lain seperti : petani (petani dan buruh tani), nelayan (perikanan), peternak, perkebunan, pedagang, pengrajin, dan lainlain.
(2)
Pendapatan Per Kapita Pendapatan merupakan perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual dan kemudian dikurangi biaya yang dikeluarkan untuk proses produksi. Pendapatan penduduk per kapita dihitung dari pendapatan keluarga dibagi dengan banyaknya anggota keluarga. Kriteria tinggi rendahnya tingkat pendapatan per kapita didekati dari pola konsumsi makanan dan non-makanan yang akan menghasilkan batas garis kemiskinan. Batas garis kemiskinan yang dipergunakan menggunakan metode perhitungan tingkat nasio nal berdasarkan kriteria dari Biro Pusat Statistik (1999) yang diacu dalam Suryanto (2000). Berdasarkan kriteria tersebut, dalam studi ini karena umumnya wilayah studi merupakan daerah pedesaan, penduduk di wilayah studi dapat dikategorikan sebagai penduduk yang mempunyai : 1)
Tingkat pendapatan tinggi, jika pendapatan/perkapita/tahun > Rp. 437.856
2)
Tingkat pendapatan sedang, jika pendapatan/kapita/tahun antara Rp. 273.660 – Rp. 437.865
3) (3)
Tingkat pendapatan rendah, jika pendapatan/kapita/tahun < Rp. 240.000
Pengeluaran Per Kapita Tingkat kesejahteraan penduduk disamping dapat dilihat dari tingkat pendapatan juga dapat didekati dari tingkat pengeluaran. Pengeluaran
60
masyarakat di kepulauan Padaido adalah berupa pengeluaran untuk membeli kebutuhan pokok sepe rti makanan dan bahan-bahan untuk kegiatan operasi penangkapan. Klasifikasi tingkat kesejahteraan (kemiskinan) dilakukan menurut Sayogyo (1974) yang diacu dalam Suryanto (2000). Berdasarkan kriteria Sayogyo tersebut, penduduk dapat dikategorikan sebagai penduduk yang mempunyai tingkat pengeluaran per kapita: 1)
Tinggi, jika pengeluaran per kapita per tahun > Rp. 320.000
2)
Sedang, jika pengeluaran per kapita per tahun antara Rp. 240.000 sampai dengan Rp. 320.00
3) (4)
Rendah, jika pengeluaran per kapita per tahun < Rp. 240.000
Sarana Prasarana Perekonomian Salah satu indikator perekonomian yang perlu diperhatikan adalah ketersediaan sarana prasarana perekonomian pada suatu wilayah. Sarana dan prasarana yang digunakan antara lain dapat dilihat dari ada/tidak adanya pasar (umum), tempat pendaratan ikan (TPI), toko/kios, bank, penginapan (hotel/losmen), dan rimah makan/restoran. Sosial Budaya Aspek sosial budaya yang dianalisis dan ditelah dalam penelitian ini yaitu asal
mula
penduduk, sistem
mata
pencaharian,
sistem
kemasyarakatan,
sistem
pengetahuan, sistem teknologi, sistem religi dan kesenian (Koentjaraningrat, 2000). Analisis Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam Gugusan PulauPulau Padaido dianalisis dari : (1)
Tingkat pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan untuk kegiatan ekonomi,
(2)
Keterlibatan masyarakat dalam menjaga dan melestarikan lingkungan dan sumberdayanya,
(3)
Keterlibatan masyarakat dalam proses pengelolaan sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.
61
Kategori partisipasi masyarakat dibagi dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu Tinggi, bila partisipasi masyarakat mencakup ketiga aspek diatas dan selanjutnya diberi nilai 3. Sedang, bila tingkat partisipasi masyarakat mencakup dua aspek di atas, dan selanjutnya di beri nilai 2. Rendah, bila tingkat partisipasi masyarakat hanya satu aspek di atas dan selanjutnya diberi nilai 1. Pengaruh faktor-faktor keadaan sosial masyarakat (umur, lama pendidikan, tanggungan keluarga, lama tinggal dan pendapatan) terhadap partisipasi masyarakat dianalisis dengan Analisis Faktorial Diskriminan (Bengen, 2000). Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya GPP Padaido Analisis kebijakan pengelolaan GPP Padaido dilakukan dengan pendekatan analisis A’WOT, yaitu analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats) yang diitegrasikan ke dalam analisis AHP (Budiharsono, 2001; Pesonen, et al., 1996). Tujuan dari pada integrasi ini adalah untuk meningkatkan basis informasi kuantitatif dari proses-proses perencanan strategis. Integrasi AHP kedalam SWOT menghasilkan proiritas-prioritas yang ditentukan secara analitik berdasarakan faktorfaktor yang tercakup dalam SWOT dan membuat mereka sepadan. SWOT memberikan kerangka dasar untuk pembentukan suatu analisis keputusan sementara AHP membantu dalam membuat SWOT lebih analitik dan melakukan analisis sehingga strategi-strategi alternatif keputusan dapat diprioritaskan. Tahapan metode A’Wot adalah: (1) Mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman pengelolaan kawasan GPP Padaido dengan metode SWOT; dan (2) Melakukan Analytic Hierarchy Process (AHP). Berikut diuraikan tahapan metode A’Wot. Analisis SWOT adalah analisis yang mengidentifikasi berbagai faktor internal dan eksternal secara sistematis untuk merumuskan strategis suatu kegiatan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Stengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersama dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats) (Rangk uti, 2001). Analisis ini membandingkan
62
faktor eksternal yakni peluang dan ancaman dengan faktor internal yakni kekuatan dan kelemahan. Dalam analisis SWOT ditemukan 4 (empat) jenis strategi pendekatan pengelolaan: 1)
Strategi SO : Strategis ini didasarkan pada pemanfaatan seluruh kekuatan dari kawasan
untuk
memanfaatkan
peluang
sebesar-besarnya.
Strategis
ini
diterapkan apabila unsur kekuatan dan peluang mendominasi kawasan. 2)
Strategi ST
:
Strategis ini didasarkan pada pemanfaatan kekuatan untuk
menga-tasi ancaman. Strategi ini diterapkan apabila unsur kekuatan dan ancaman mendominasi kawasan. 3)
Strategi WO : Strategi ini didasarkan pada pemanfaatan peluang untuk mengurangi kelemahan. Strategi ini diterapkan apabila unsur kelemahan dan peluang me ndominasi kawasan.
4)
Strategi WT : Strategi ini bertujuan untuk meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman. Strategi ini diterapkan apabila unsur kelemahan dan ancaman mendominasi kawasan. Secara rinci langkah- langkah analisis SWOT disajikan dalam Tabel 13. Setelah
itu kemudian dilakukan Analytic Hierarchy Process (AHP). Tabel 13 Kerangka analisis yang dipakai dalam analisis SWOT Tahap
Kegiatan
1
Memahami situasi dan informasi yang ada
2
Memahami permasalahan yang terjadi, baik masalah yang bersifat umum maupun spesifik
3
Menciptakan berbagai alternatif dan memberikan berbagai alternatif pemecahan.
4
Evaluasi pilihan alternatif dan pilih alternatif yang terbaik
Setalah dilakukan analisis SWOT, selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan Analytic Hierarchy Process dengan tahapan sebagai berikut:
63
1)
Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi masalah.
2)
Membuat struktur hierarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub-sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah. Pada Lampiran 10 disajikan hierarki penentuan prioritas pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan.
3)
Pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing- masing tujuan yang setingkat diatasnya, perbandingan berdasarkan judgement dari para pengambil keputusan, dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya. Untuk mengkualifikasikan data kualitatif pada materi wawancara digunakan nilai skala komparasi 1 sampai 9. Dalam penyusunan skala kepentingan ini berdasarkan Saaty (1993) seperti disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 Skala angka Saaty Intensitas/ Pentingnya 1 3
5
Definisi Sama penting Perbedaan penting yang lemah antara yang satu terhadap yang lain Sifat lebih pentingnya kuat
7
Menunjukkan sifat sangat penting
9
Ekstrim penting
2, 4, 6, 8
Nilai tengah diantara dua penilaian
Keterangan Dua aktivitas memberikan kontribusi yang sama kepada tujuan Pengalaman dan selera sedikit menyebabkan yang satu lebih disukai daripada yang lain Pengalaman dan selera sangat menyebabkan penilaian yang satu lebih dari yang lain, yang satu lebih disukai dari yang lain. Aktivitas yang satu sangat disukai dibandingkan dengan yang lain, dominasinya tampak dalam kenyataan Bukti bahwa antara yang satu lebih disukai daripada yang lain menunjukkan kepastian tingkat tertinggi yang dapat dicapai. Diperlukan kesepakatan (kompromi)
64
Resiprokal
Rasional
4)
Jika aktivitas i, Asumsi yang masuk akal dibandingkan dengan j, mendapat nilai bukan nol, maka j jika dibandingkan dengan i, mempunyai nilai kebalikannya Rasio yang timbul dari Jika konsistensi perlu dipaksakan skala dengan mendapatkan sebanyak n nilai angka untuk melengkapi matriks
Melakukan perbandingan berpasangan. Bila vektor pembobotan elemen-elemen operasi A1, A2, A3 dinyatakan sebagai vektor W, dengan W = (w1, w2, w3), maka nilai intensitas kepentingan elemen operasi A1 dibandingkan dengan A2 dapat dinyatakan sebagai perbandingan bobot elemen A1 terhadap A2, yakni w1/w2 = a12,. Nilai wi/wj dengan i,j = 1,2,3 … n didapat dari partisipan, yaitu para stake holders yang berkompeten dalam permasalahan perikanan. Bila matriks ini dikalikan dengan vektor kolom W (w1,w2,w3 .. wn) maka diperoleh hubungan; AW = nW Bila matriks A diketahui dan ingin diperoleh nilai W, maka dapat diselesaikan melalui persamaan berikut; [A– nI]W = 0 dimana I = matriks identitas
5)
Menghitung akar ciri, vektor ciri dan menguji konsistensinya, jika tidak konsisten maka pengambilan data diulangi atau dikoreksi. (1)
Menghitung akar ciri. Untuk mendapatkan akar ciri (n) maka harus ada kondisi; [A – n I ] = 0 Contohnya; dengan menggunakan matriks A, maka: 1 a12 a13 1 0 0 a21 1 a 23 − n 0 1 0 = 0 a31 a32 1 0 0 1
65
1 a12 a13 n 0 0 a21 1 a 23 − 0 n 0 = 0 a31 a32
1
0 0 n
hasil perhitungan akan didapatkan akar ciri; n1, n2, n3. (2)
Menghitung vektor ciri Nilai vektor ciri marupakan bobot setiap elemen. Langkah ini untuk mensitesis judgement dalam penetuan perioritas. Untuk menghitung vektor ciri (W), maka akar ciri (n) maksimum hasil penghitungan di atas disubsitusikan dengan persamaan: [ A – n I ] = 0; dengan menggunakan normalisasi W1 + W2 + W3 = 1, sehingga bila didapatkan maksimum = 2. maka perkaliannya menjadi sebagai berikut: [
A -n I ]W =0 1 a12 a13 1 0 0 w1 a21 1 a 23 − 2 0 1 0 w2 = 0
a31 a32 1 0 0 1 w3 sehingga; 1 − 2 a12 a13 w1 0 a21 1 − 2 a23 − w2 = 0
(3)
a31 a32 1 − 2 w3 0 dimana pada akhir perhitungan akan diperoleh vektor ciri w1, w2, w3. Vektor tersebut memberikan informasi, pilihan skenario yang paling optimal. Perhitungan Indeks Konsistensi (CI) yang menyatakan penyimpangan konsistensi dan menyatakan ukuran tentang konsisten tidaknya suatu penilaian atau pembobotan perbandingan berpasangan, dihitung dengan menggunakan rumus; CI =
λ max − n n −1
Keterangan: λ maxs = akar ciri maksimum n = ukuran matriks
Nilai rasio konsistensi (CR) adalah sebagai berikut:
66
CI CR = Nilai Acak Konsistensi untuk ukuran matriks n Nilai acak konsistensi disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Nilai acak konsistensi Ukuran Matriks
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Nilai Acak
0,0
0,0
0,5
0,9
1,1
1,2
1,3
1,4
1,4
1,4
Konsistensi
0
0
8
0
2
4
2
1
5
9
Dari hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa nilai CR < 0,10, hal itu menunjukkan bahwa penilaian pada pengisian kuesioner termasuk konsisten, sehingga nilai bobotnya dapat digunakan. Nilai pengukuran konsistensi diperlukan untuk mengetahui kekonsistensian jawaban dari responden yang akan berpengaruh terhadap keabsahan hasil. Dari hasil analisis ini akan diperoleh prioritas kebijakan pengelolaan GPP Padaido.
67
HASIL DAN PEMBAHASAN GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak Geografis dan Batasan Wilayah Kepulauan Padaido merupakan kumpulan pulau-pulau kecil sebanyak 32 pulau yang terletak di bagian timur-tenggara Pulau Biak, Kabupaten Biak Numfor, Propinsi Papua. Secara administratif pemerintahan, kepulauan ini masuk dalam dua wilayah distrik (kecamatan) yaitu
Distrik Biak Timur dan Distrik Padaido. Distrik Biak
Timur meliputi wilayah Pulau Biak Bagian Timur dan 3 pulau, yaitu Pulau Owi, Pulau Rurbasbeba dan Pulau Rurbasbedar, sedangkan 29 pulau lain masuk dalam wilayah Distrik Padaido yang merupakan wilayah kajian dari penelitian ini. Dalam uraian selanjutnya, pulau-pulau ini disebut sebagai Gugusan Pulau-Pulau Padaido (GPP Padaido). Secara geografis, Distrik Padaido terletak di bagian timur-tenggara Pulau Biak dengan posisi astronomi 1o7’ – 1o 22’ LS dan 136o10’ – 136o 46’BT. Luas wilayah GPPP sekitar 183.125 ha (BAPEDA DATI II Biak Numfor, 1996). Distrik Padaido berbatasan dengan Samudera Pasifik dan Distrik Biak Timur di sebelah utara, dengan Distrik Biak Timur di sebelah barat, dengan Samudera Pasifik di sebelah Timur dan dengan Selat Yapen di sebelah selatan. Secara tradisional,
GPP Padaido
dikelompokkan atas dua wilayah, yaitu wilayah Gugus Pulau-Pulau Padaido Bawah (GPP Padaido Bawah) dan Gugus Pulau-Pulau Padaido Atas (GPP Padaido Atas). GPP Padaido Bawah terletak berdekatan dengan Pulau Biak dan terdiri dari Pulau Auki, Pulau Wundi, Pulau Pai, Pulau Nusi, Pulau Warek, Pulau Yumni dan pulaupulau kecil lainnya. Pulau-pulau tersebut merupakan pulau atol, kecuali Pulau Warek. GPP Padaido Atas terdiri dari Pulau Padaidori, Pulau Mbromsi, Pulau Pasi, Pulau Mangguandi, Pulau Kebori, Pulau Rasi, Pulau Workbondi, Pulau Nukori, Pulau Dauwi, Pulau Wamsoi, Pulau Runi, Pulau Samakur dan pulau-pulau kecil lainnya. Diantara GPP Padaido Atas dan GPP Padaido Bawah terdapat Pulau Pakreki yang dianggap sebagai pembatas, namun secara budaya (adat) Pulau Pakreki dimasukkan kedalam GPP Padaido Atas (Lampiran 12).
68
Lingkungan BioGeoFisik Terestrial Topografi dan Relief Pantai GPP Padaido memiliki konfigurasi permukaan tanah relatif datar dan bergelombang dengan kemiringan antara 0 – 5%. Topografi datar dijumpai pada daerah pesisir pantai, sedangkan konfigurasi sedikit bergelombang dijumpai pada bagian tengah- utara pulau, kira 200 – 300 m dari pantai. Pulau-pulau yang memiliki konfigurasi tanah datar antara lain Wundi, Nusi, Urev, Mansurbabo, Rarsbar, Warek, Kebori, Rasi, Workbondi, Nukori, Dauwi, Wamsoi, Runi dan Samakur. Pulau-pulau yang memiliki konfigurasi tanah datar dan sedikit bergelombang adalah Auki, Pai, Pakreki, Padaidori, Mbromsi, Pasi dan Mangguandi. Pantai merupakan kawasan daratan yang berbatasan dengan laut. Pantai selalu mengalami perubahan terutama disebabkan oleh proses pengendapan padatan-padatan tersuspensi, proses pengikisan (abrasi) dan proses transportasi sedimen dari suatu tempat ke tempat lain. Perilaku pantai tersebut sangat erat hubungannya dengan parameter lingkungan yang bekerja di wilayah itu, seperti gelombang, arus, pasang surut dan angin. Tipe pantai yang ditemui di GPP Padaido adala h pantai berpasir, pantai berkarang, pantai berbatu dan pantai berlumpur. Pada suatu pulau dapat dijumpai campuran dari berbagai tipe pantai. Tipe pantai berpasir dan berkarang terdapat di pulau-pulau Padaido. Pantai berlumpur ditemui pada daerah terlindung dan merupakan habitat vegetasi mangrove, seperti dijumpai di Pulau Padaidori dan Pulau Auki. Pulau-pulau seperti Auki Bagian Utara, Pakreki Bagian Barat dan Selatan serta Pulau Samakur memiliki pantai bertebing / berdinding batu karang dan berbatasan langsung dengan laut dalam. GPP Padaido memiliki topografi pantai ke arah laut yang datar dan langsung curam. Ukuran luas dataran pantai bervariasi dari satu pulau ke pulau yang lain. Pulau-pulau atol memiliki dataran pantai pasang surut yang luas, seperti pulau-pulau Auki, Wundi, Pai, Nusi, Urev dan Mansurbabo. Pada saat surut terendah dataran ini dapat mencapai 1 km lebarnya, sehingga pulau yang satu terhubung dengan pulau
69
yang lain. Pulau-pulau Pakreki, Mbromsi, Pasi, Workbondi memiliki dataran pantai pasang surut yang sempit dan langsung curam, sedangkan Pulau Samakur memiliki topografi pantai curam. Iklim Iklim adalah keadaan cuaca yang berlangsung di suatu tempat pada periode waktu yang panjang. Berdasarkan pengamatan terhadap unsur-unsur cuaca di Kabupaten Biak Numfor yang tercatat pada Stasion Meteorologi Klas I Frans Kaisepo Biak, iklim di Kepulauan Padaido termasuk iklim tropis basah dengan jumlah curah hujan antara 2000 mm/thn sampai 3000 mm/thn, jumlah curah hujan rata-rata diatas 150 mm/bulan dan jumlah hari hujan sebanyak lebih dari 200 hari setiap tahunnya. Jumlah jam penyinaran matahari rata-rata tiap bulan adalah 64 jam, suhu udara ratarata tiap bulan 27.20 C, kelembaban udara rata-rata tiap bulan adalah 83.8% dan angin bertiup rata-rata dari arah barat daya dengan kecepatan 4 knot per bulan. Pola angin yang berperan di Indonesia adalah angin musim (monsoon). Angin musim bertiup secara normal ke arah tertentu pada satu periode sedangkan pada periode lainnya angin bertiup secara normal dengan arah yang berlainan. Berdasarkan arah angin musim yang bertiup di Kepulauan Padaido dibedakan dua macam musim, yaitu : 1)
Musim Barat Musim ini berlangsung pada bulan-bulan Januari sampai Mei dan Agustus sampai Desember. Angin datang dari arah barat hingga barat daya dan barat laut dengan kecepatan rata-rata 4 knot (Stasiun Meteorologi Klas I Frans Kaisiepo Biak, 2002). Karena letaknya terbuka terhadap arah datangnya angin dan lamanya angin bertiup, perairan di sekitar Kepulauan Padaido dan Pulau Biak bergelombang dan arus kuat. Keadaan ini sangat mempengaruhi
aktivitas
penangkapan ikan dan transportasi laut ke dan dari Pulau Biak. 2)
Musim Timur Musim ini berlangsung sekitar bulan-bulan Juni dan Juli. Angin datang dari arah timur dengan kecepatan rata-rata 5 knot (Stasiun Meteorologi Klas I Frans
70
Kaisiepo Biak, 2002). Karena letaknya relatif terlindung dari arah datangnya angin karena Pulau Irian dan Pulau Yapen dan lamanya angin bertiup tidak lama, perairan di sekitar Kepulauan Padaido relatif tenang. Keadaan ini biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat/nelayan untuk menangkap dan mengumpulkan ikan sebanyak-banyaknya untuk dipasarkan ke Pulau Biak. Angin musim selain berpengaruh terhadap kondisi perairan juga berpengaruh terhadap curah hujan. Pada musim Barat, curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Mei sebesar 250.8 mm dengan hari hujan sebanyak 16 hari dan curah hujan terendah terjadi pada bulan Oktober sebesar 126.7 mm dengan hari hujan sebanyak 8 hari. Pada musim Timur, curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Juni sebesar 295.6 mm dengan hari hujan sebanyak 22 hari (Stasiun Meteorologi Klas I Frans Kaisiepo Biak, 2002). Secara umum, hari hujan rata-rata pada musim Barat dan Timur relatif tidak jauh berbeda, namun memiliki perbedaan curah hujan rata-rata. Keadaan cuaca di Kepulauan Padaido dan Sekitar Pulau Biak tidak dapat diprediksi secara tepat dari tahun ke tahun karena selalu berubah-ubah. Hal ini terlihat pada data cuaca selama 7 (tujuh) tahun terakhir (1995 – 2001). Namun demikian, arah angin menunjukkan pola agak teratur pada bulan-bulan Nopember – Maret dimana angin bertiup dari arah Barat, Barat Laut dan Utara. Fenomena ini dikenal sebagai Musim Barat. Pola yang teratur juga diperlihatkan pada bulan-bulan Juni – Agustus dimana angin bertiup dari arah timur dan timur laut. Kejadian ini umumnya dikenal sebagai Musim Timur. Pada September, Oktober, April dan Mei, arah angin berubahubah. Keadaan ini tersebut Musim Pancaroba (Tabel 16). Geologi Tipe dan Asal Pembentukan Pulau GPP Padaido terdiri atas dua tipe pulau. Tipe pertama adalah pulau-pulau karang timbul (raised coral island ) yaitu pulau-pulau yang terbentuk oleh terumbu karang yang terangkat ke atas permukaan laut (kira-kira 70 meter diatas permukaan laut dengan tebing karang setinggi 5-10 m) karena adanya gerakan ke atas (uplift) dan gerakan ke bawah (subsidence) dari dasar laut karena proses geologi. Pulau-pulau
71
tipe ini terdapat di kawasan GPP Padaido Atas. Tipe kedua adalah pulau-pulau atol yaitu pulau-pulau karang yang berbentuk cincin dimana pada bagian tengahnya terdapat lagoon. Pulau-pulau tipe ini terdapat di kawasan GPP Padaido Bawah. GPP Padaido terbentuk dari batuan induk kapur (karst) dan batu gamping koral (formasi mokmer). Dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya, pulau-pulau ini mengalami perubahan bentuk, bertambah tinggi pada salah satu bagian pulau atau seluruhnya, sebagai akibat dari aktivitas tektonik yang mengangkat batuan penyusun pulau-pulau tersebut. Hal ini terjadi pada pulau-pulau, seperti Samakur, Pakreki, Yumni, Warek, mbromsi, Padaidori, Auki dan pulau-pulau karang kecil lainnya. Tabel 16 Keadaan cuaca di Kepulauan Padaido tahun 2002
Bulan
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Rata-Rata Jumlah 2001 2000 1999 1998
Curah Hujan (mm) 219.0 126.0 164.7 172.9 250.8 295.6 111.5 200.0 155.4 126.7 198.2 194.9 192.96 2315.7 3350.2 3167.5 3416.0 4381,0
Hari Hujan
27 19 26 21 16 22 10 7 14 8 16 21 17.3 207 285 256 270 256
Suhu Udara Rata-Rata (Celcius)
Penyinaran Matahari Rata-Rata (%)
Kelembaban Udara Rata-Rata (%)
26.8 27.0 27.2 27.2 27.4 27.2 27.4 27.3 27.1 27.5 27.2 26.8 27.2 326.1 26.9 26.8 26.6 27.1
60 62 61 45 77 38 78 63 76 74 99 40 64.4 773 58 33 50 49
87 85 83 85 84 84 83 81 83 82 85 84 83.8 1006 88 85 85 88
Arah dan Kecepatan Angin Rata-Rata (%) 270/03 270/03 270/04 270/04 270/04 090/06 090/04 225/06 270/04 315/04 270/04 270/04 240/04 090/04 270/05 270/04 045/05
Sumber : Stasiun Meteorologi Klas I Frans Kaisiepo Biak, 2002. GPP Padaido, Pulau Biak dan pulau-pulau lain di sekitarnya terletak pada jalur patahan (sesar) antara Lempeng Pasifik dan Lempeng Australia. Pergerakan salah satu atau kedua lempeng tersebut menimbulkan aktivitas tektonik, seperti pengangkatan batuan dan gempa. Hal ini menyebabkan kawasan ini dikategorikan sebagai kawasan rawan gempa.
72
Aktivitas tektonik berupa gempa terjadi dan tercatat di sekitar kawasan Kepulauan Padaido dan Pulau Biak telah berlangsung dalam 3 periode waktu, yaitu periode 1965–1970, 1970-1980 dan 1980-1996. Pada periode 1965-1970 tercatat satu gempa dengan kekuatan 6 skala Reichter yang berpusat di dekat Pulau Padaidori pada kedalaman < 120 km. Pada periode 1970-1980 terjadi beberapa kali gempa pada pusat yang sama dengan kekuatan antara 5-6 skala Reichter. Gempa dengan kekuatan sekitar 8 skala Reichter terjadi dua kali dengan pusat di Pulau Yapen pada kedalaman < 120 km. Satu kali gempa berpusat antara Pulau Yapen dan Pulau Biak dengan kekuatan 5-6 skala Reichter. Pada periode 1980-1995 tidak banyak terjadi gempa yang berpusat di sekitar Pulau Biak tetapi di Pulau Irian (Soehaimi, et al., 1999). Pada tahun 1996, terjadi gempa di sekitar Pulau Biak dan kawasan sekitarnya. Gempa ini menimbulkan tsunami (gelombang pasang) yang sangat dashyat terutama pada bagian timur sampai utara Biak dan Kepulauan Padaido (Koswara, 1998). Di kawasan GPP Padaido, karena posisinya yang relatif berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik dan berada antara Pulau Biak dan Pulau Yapen dimana arus yang melaluinya relatif besar jangkauan gelombang ke daratan mencapai 100 – 300 meter dengan ketinggian mencapai 1-2 meter. Dataran rendah dari pulau-pulau tersebut tertutup air selama beberapa waktu. Gempa tersebut telah menimbulkan kerusakan sumber daya alam, kerugian material dan korban manusia. Tanah Tanah di Pulau-Pulau Padaido merupakan hasil lapukan dari batuan kapur dan gamping koral serta lapukan tumbuh-tumbuhan. Jenis tanah yang berkembang di Kepulauan Padaido terdiri atas 4 (empat) jenis (Kantor Pertanahan Kabupaten Biak Numfor, 1995), yaitu : 1)
Jenis tanah Regosol. Jenis tanah berwarna coklat kelabu, bertekstur pasir, struktur remah, mengandung fragmen batuan kapur dan sangat permeabel. pH tanah dari netral sampai sedikit basa. Konsistensi padat dan peka terhadap erosi dan kehilangan air. Jenis tanah ini memiliki tingkat kesuburan rendah sampai
73
sedang dengan kandungan N rendah. Jenis tanah ini tersebar di pulau-pulau Wundi, Nusi, Pai, Auki, Padaidori, Pasi, Mbromsi, Mangguandi, Kebori, Rasi, Nukori, Dauwi, Wamsoi, Runi dan Wo rkbondi. 2)
Jenis tanah Mediteran Merah Kuning Jenis tanah ini berwarna merah sampai merah kecoklatan, bertekstur geluh lempung dan berstruktur gumpal. Konsistesinya gembur teguh dan kadar bahan organik rendah. PH tanah netral dan cenderung ke basa. Jenis tanah ini memiliki tingkat kesuburan rendah sampai sedang dan tergantung pada bahan organik. Jenis tanah ini terdapat di pulau-pulau Mbromsi dan Padaidori.
3)
Jenis tanah Rendzina Jenis tanah ini berwarna coklat sampai merah coklat dan bercampur batuan. Horison paling bawah lebih gembur, berbatu kapur napal dan lebih gembur. Lapisan humus tanah ini tipis. Tingkat kesuburannya rendah sampai sedang tergantung pada jenis vegetasi penutupnya. Jenis tanah ini dapat ditemukan pada pulau-pulau Auki, Mbromsi, Padaidori, Pasi dan Mangguandi.
4)
Jenis tanah Sulfat Masam (Sulfaquent) Jenis tanah ini berwarna kelabu yang berasal dari bahan induk Aluvium dengan relief datar, bertekstur lempung berpasir, berstruktur berbutir tunggal, berkonsistensi gembur, teguh dan sedikit lekat. PH tanah berkisar asam sampai sangat masam dan mempunyai kandungan Sulfida yang cukup tinggi terutama pada kedalaman 40-80 cm atau lebih dangkal. Lapisan ini harus teremdam air untuk mencegah teroksidasinya Sulfida menjadi Sulfat yang dapat mematikan tana man. Tingkat kesuburan tanah ini rendah sampai sedang. Jenis tanah ini dapat dijumpai pada pulau Auki dan Mangguandi. Air Tanah Air tanah merupakan sumberdaya air utama dan sangat penting di GPP Padaido
dalam menunjang kehidupan penduduk untuk memenuhi berbagai kebutuhan, seperti rumah tangga, industri rumah tangga dan perkebunan. Di pulau-pulau berpenduduk,
74
penduduk memanfaatkan air tanah melalui sumur gali baik yang digali sendiri oleh masyarakat maupun melalui bantuan projek pemerintah. Sumur gali di GPP Padaido berdasarkan penggunaannya, dibedakan atas 2 (dua) tipe yaitu : 1) Sumur Air Minum Sumur ini diperuntukkan sebagai sumber air minum oleh penduduk desa/pulau. Letaknya agak jauh dari pantai ke arah hutan. Kedalaman sumur berkisar antara 1 – 2 meter, rata-rata 1.5 meter, dan berdimeter 1 meter. Kualitas airnya masih baik dan layak diminum. Tinggi permukaan air relatif tetap dan tidak terpengaruh oleh gerakan pasang-surut air laut. 2) Sumur MCK Sumur ini diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga (mandi, cuci dan kakus), industri (minyak kelapa) dan pertanian (tanaman pekarangan). Sumur ini dibangun melalui proyek pemerintah dan terletak dalam area pemukiman penduduk serta relatif tidak jauh dari pantai. Kedalaman sumur 1 – 2 meter dan berdiamter 1,5 meter. Air sumur ini telah tercampur air laut. Tinggi permukaan air sumur sangat tergantung pada kondisi pasang-surut air laut. Bila air laut sedang pasang permukaan air sumur relatif tinggi. Demikian sebaliknya bila air laut sedang surut permukaan air sumur akan menurun pula. Vegetasi Vegetasi darat di GPP Padaido terdiri atas hutan pesisir, hutan primer/sekunder, semak belukar dan kebun rakyat. Hutan pesisir dijumpai di pesisir pantai dan didominasi oleh pohon kelapa (Cocos nucifera). Di Pulau Samakur, Pulau Yeri dan Pulau Rasbar, pohon kelapa tidak ditemukan, sedangkan pada Pulau Urev dan Pulau Mansurbabo, pohon kelapa hanya beberapa pohon. Karena letaknya di daerah pesisir, pohon kelapa banyak yang tumbang karena proses abrasi pantai Vegetasi besar, tanaman perdu, rerumputan pantai dan semak belukar dari hutan pesisir adalah Butong (Barringtonia asiatica), matoa (Pometia coreacea), bintanggur (Calophyllum inophyllum ), pinang (Areca catechu), waru laut (Hibiscus tiliaceus ), mengkudu (Morinda citrifolia), pandan (Pandanus odoratissima dan P. tectorius),
75
kranji (Pongamia pinnata), Jarag (Ricinus communis), Ketapang (Terminalia catappa), sukun (Artocarpus sommunis), cemara laut (Casuarina equisetifolia ), beringin (Ficus spp ), kayu besi (Intsia bijuga), nas (Hablolobus floribundus), bram (Urandra brassii), kayu hitam (Diosspyros spp), kayu lawang (Cinnamomum spp), biduri (Calotropis gigantea), lamtoro (Leucaena glauca), mangga brabu (Cerbera manghas), tuba laut (Derris trifoliata), basang siap (Finlaysonia maritima), katangkatang (Ipomoea pes-caprae), ceplukan (Passiflora foetida), bakung-bakung (Scaevola taccada), gelang laut (Sesuvium portulacastrum) dan sernai (Wedelia biflora). Hutan ini sudah jarang ditemukan di pulau-pulau, seperti Wundi, Nusi dan Yeri. Hutan tropis dataran rendah yang didominasi pohon dengan tinggi > 30 meter dan tumbuhan bawah masih dijumpai di beberapa pulau seperti Pulau Pakreki dan Pulau Samakur. Hutan ini merupakan hutan primer, sedangkan hutan sekunder dan semak belukar masih dijumpai di Pulau Auki, Pulau Padaidori, Pulau Mbromsi, Pulau Pasi, Pulau Pai dan Pulau Mangguandi. Kayu besi, bintanggor dan beringin tumbuh dengan baik di hutan sekunder maupun primer. Selain tanaman kelapa, tanaman budidaya yang ditemuk an di GPP Padaido adalah pisang (Musa paradisiacea), ubi jalar (Ipomoea batatas), jambu air (Colocasia esculenta), pepaya (Carica papaya), singkong
(Manihot uttilissima), keladi
(Colacasia esculenta), kangkung (Ipomoea aquatica), sirih (Piper betel), dan katuk (Sauropus androgynus). Tanaman budidaya diusahakan untuk konsumsi keluarga. Fauna Jenis-jenis fauna yang ditemukan di GPP Padaido dibedakan atas fauna yang hidup bebas dan yang dilindungi oleh negara serta hewan yang diternakan. Jenis-jenis burung yang hidup bebas adalah kakatua putih jambul kuning (Cacatua galerita), nuri kepala hitam (Chalcopsitta atre), nuri merah (Charmosyna placentis), jalak ekor panjang (Aplanis magna brevicauda), dara laut (Heliaeetue leucogaster), camar laut (Sterna hirundo), elang laut (Pandion haliaetus), bangau (Engretta sacra), bebek laut (Esacus magnirostris), sirip gunting (Sterna albifrons), betet raja ambon (Alisterus
76
amboinensis), merpati hutan (columba domestica), kumkum hitam (Dudula pinon ) dan burung malam (Caprimulgus spp). Menurut penduduk, ular, babi hutan, kuskus dan ketam kenari masih dijumpai di Pulau Pakreki. Di Pulau Samakur, vegetasi hutan dihuni oleh burung camar, sirip gunting dan kelelawar. Satwa burung-burung ini menempati vegetasi hutan secara bergantian. Saat menjelang malam, kelelawar keluar dari hutan pulau dan tempatnya ditempati oleh burung-burung camar dan sirip gunting. Demikian pula saat menjelang pagi, ketika burung-burung keluar dari sarangnya, tempatnya kemudian ditempati oleh kelelawar. Pemandangan ini sangat menarik sehingga pulau ini dilindungi dan dijadikan salah satu tujuan wisata alam oleh masyarakat. Karena daya dukung lahanndaratan terbatas, jenis-jenis hewan yang diternak tidak beragam. Umumnya hewan yang diternak oleh penduduk adalah ayam kampung, itik manila dan babi. Selain dimanfaatkan oleh keluarga, hewan ternak dijual pada waktu-waktu tertentu untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Lingkungan Biofisik Perairan Batimetri GPP Padaido merupakan gugusan pulau-pulau kecil yang terletak di sebelah timur-tenggara pulau Biak. Gugusan pulau ini dikelilingi oleh laut yang relatif dalam, berkisar antara 100 sampai diatas 1200 meter. Kedalaman di atas 500 meter berada di bagian utara, selatan dan timur. Namun demikian, 90% kedalaman perairan berada dibawah 500 meter (Lampiran 13). Jarak ke arah laut dalam sangat pendek dari batas luar rataan terumbu dan pada beberapa pulau tertentu topografi pantainya langsung curam mencapai kedalaman > 200 meter. Perairan dangkal, umumnya, terdapat di sekitar rataan terumbu, pesisir pulau dan perairan lagoon dengan kedalaman perairan berkisar antara 1 sampai 25 meter. Suhu, Salinitas dan Kecerahan Perairan Suhu air merupakan faktor yang banyak mendapat perhatian dalam kajiankajian kelautan. Data suhu air dimanfaatkan bukan saja untuk mempelajari gejala-
77
gejala fisika di dalam laut tetapi juga berkaitan dengan kehidupan hewan dan tumbuhan. Suhu air di permukaan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi. Faktorfaktor meteorologi yang berperan adalah cur ah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari (Nontji, 2002). Suhu permukaan di perairan GPP Padaido berkisar antara 29 – 30oC. Pada kedalaman 50 meter suhu berkisar antara 26 - 28 o C dan < 22 oC pada kedalaman 100 m (Hutahaean, et al., 1995). Selama penelitian suhu permukaan berkisar pada nilai 29 – 300 C. Salinitas adalah jumlah berat semua garam (dalam gram) yang terlarut dalam satu liter air. Faktor- faktor yang mempengaruhi salinitas adalah pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai.
Salinitas permukaan perairan GPP
Padaido berkisar pada nilai 27 - 34.5 ppm. Pada kedalaman 25 m salinitas berkisar antara 34 – 35 ppm tetapi mencapai nilai > 35 ppm pada kedalaman 50 – 100 meter (Hutahaean, et al., 1995). Selama penelitian, salinitas permukaan perairan berkisar pada nilai 34 ppm, sedangkan kecerahan perairan berkisar pada nilai > 15 meter. Gelombang dan Arus Gelombang yang terjadi di laut umumnya disebabkan oleh hembusan angin. Besar kec ilnya gelombang disebabkan oleh 3 (tiga) faktor, yaitu: kuatnya hembusan angin, lamanya hembusan dan jarak tempuh angin (Nontji, 2002). Tinggi gelombang laut di perairan GPP Padaido berkisar antara 1.12 – 1.21 meter. Gelombang tinggi biasanya terjadi pada bulan Mei dan Juli, sedangkan gelombang rendah terjadi pada bulan September dan Maret (Direktorat Jenderal PHPA, 1998). Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan dalam densitas air laut atau pasang surut (Nontji, 2002). Pada bulan Februari sampai Juli arus permukaan bergerak ke timur dengan kecepatan antara 18 – 38 cm/det. Pada bulan Agustus sampai Januari kecepatan arus berkisar antara 24 – 75 cm/det dengan arah ke barat. Kecepatan arus pada bulan-bulan tersebut tergolong kuat (Direktorat Jenderal PHPA, 1998). Pasang Surut
78
Pasang surut (pasut) adalah proses naik turunnya muka laut secara berirama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari (Nontji, 2002). Dilihat dari pola gerakan muka lautnya, pasang surut di Indonesia dibagi menjadi empat jenis,yaitu pasang surut harian tunggal (diurnal tide), harian ganda (semidiurnal tide), campuran yang condong ke harian tunggal dan campuran yang condong ke harian ganda. Jenis pasang surut yang terjadi di perairan GPP Padaido adalah campuran harian ganda, yang berarti setiap hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut yang berbeda dalam tinggi dan waktunya (Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL, 2003). Surut terendah terjadi pada bulan-bulan Juni, Nopember dan Desember, sedangkan pasang tertinggi terjadi pada bulan Mei. Rata-rata perbedaan pasang tertinggi dan surut terendah adalah 1.5 2 meter. Kimia Perairan Kimia perairan merupakan salah satu unsur lingkungan perairan yang menunjang proses kehidupan di laut. Kondisi umum parameter kimia lingkungan perairan GPP Padaido adalah sebagai berikut: Pada lapisan permukaan sampai kedalaman 100 m kandungan oksigen terlarut berkisar pada nilai 6.76 mg/l sampai 3.39 mg/l. Konsentrasi fosfat berkisar pada nilai 0.210 sampai 0.936 µgat/l. Konsentrasi nitrat berkisar pada nilai 0.460 µgat/l sampai 3.450 µgat/l. Nilai konsentrasi fosfat dan oksigen terlarut cenderung menurun dengan bertambahnya kedalaman sedangkan nilai konsentrasi nitrat justru meningkat pada kedalaman 50 meter (Hutahaean, et al., 1995). Selama penelitian, kandungan oksigen terlarut berkisar pada nilai 6,8-9,1 mg/l, konsentrasi BOD5 berkisar pada nilai 6,8-9,8 mg/l, konsentrasi COD berkisar pada nilai 12,82-23,02 mg/l, Phosphat berkisar pada nilai 0,001-0,013 mg/l, Nitrit berkisar pada nilai 0,003-0,009 mg/l, Nitrat berkisar pada nilai 0,044- 0,111 mg/l, dan konsentrasi Amonia berkisar pada nilai 0,027-0,087 mg/l. Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef ) merupakan ekosistem yang khas di daerah tropis. Selain mempunyai produktivitas organik yang tinggi, ekosistem ini memiliki
79
keanekaragaman biota yang berasosiasi dengannya. Komponen biota terpenting di suatu terumbu karang ialah hewan karang batu (stony coral) yaitu hewan yang tergolong scleractinia ya ng kerangkanya terbuat dari bahan kapur. Selain memiliki nilai keindahan (estetika) dan fungsi sebagai pelindung pantai, terumbu karang menghasilkan berbagai produk yang mempunyai nilai ekonomi penting, seperti berbagai jenis ikan karang, udang karang, rumput laut, teripang dan jenis-jenis moluska terutama kerang mutiara. Formasi terumbu karang pada umumnya dibagi atas 4 golongan yakni: terumbu karang pantai (fringing reef), terumbu karang penghalang (barrier reef), terumbu karang yang bentuknya melingkar seperti cincin (Atol) dan terumbu karang gosong (terumbu karang yang tumbuh dan berkembang dari dasar laut yang belum mencapai permukaan). Penelitian terumbu karang di GPP Padaido telah dilakukan oleh berbagai pihak baik pemerintah, perguruan tinggi maup un masyarakat (lembaga swadaya masyarakat) selama 6 tahun terakhir dengan skala dan kepentingan yang berbedabeda (Suharsono dan Leatemia, 1995; Sapulette dan Peristiwady, 1994; Wouthuyzen et al., 1995; Novaczek, 1997; Souhoka dan Lorwens, 2001; COREMAP 2001; COREMAP, 2003; dan Yayasan Terangi dan Lipi Biak, 2000). Dari penelitianpenelitian tersebut diketahui bahwa GPP Padaido memiliki 4 bentuk terumbu karang yaitu terumbu karang pantai, terumbu karang penghalang, terumbu karang atol dan terumbu karang go song. Atol hanya terdapat di GPP Padaido Bawah yaitu Atol Wundi. Terumbu karang penghalang hanya terdapat di GPP Padaido Atas yaitu dekat pulau Runi. Terumbu karang tepi terdapat di perairan pesisir pulau-pulau, sedangkan terumbu gosong terdapat baik GPP Padaido Bawah maupun GPP Padaido Atas. Karang batu memiliki keragaman jenis yang cukup tinggi, yaitu terdiri dari kurang lebih 90 jenis yang tergolong dalam 41 genera dan 13 famili serta beberapa jenis karang lunak yaitu
Sinularia polydactil, Sarcophyton trocheliophorum ,
Labophytum strictum dan L. Crassum. Jenis-jenis karang batu yang dominan adalah Faviidae, Fungidae, Pociloporidae dan Acroporidae (Suharsono dan Leatemia, 1995; Sapulette dan Peristiwady, 1994; Wouthuyzen et al., 1995; Novaczek, 1997). Bila dilihat dari bentuk pertumbuhan, prosentase tutupan karang hidup di GPP Padaido
80
Bawah berkisar antara 0 – 67.0 % pada kedalaman 3 m dan 0 – 25.9 % pada kedalaman 10 m. Di GPP Padaido Atas berkisar pada nilai 13.7 – 70.7 % pada kedalaman 3 m dan 9.6 – 66.7 % pada kedalaman 10 m. (Souhoka dan Lorwens, 2001; COREMAP 2001; COREMAP, 2003; serta Yayasan Terangi dan Lipi Biak, 2000). Lampiran 14 menunjukkan kondisi karang di GPP Padaido tahun 2003. Ikan Karang Ikan karang merupakan salah satu sumberdaya hayati yang menghuni terumbu karang. Ikan karang umumnya dikelompokkan atas tiga kelompok besar, yaitu ikan terget (konsumsi), ikan indikator dan ikan mayor (lainnya). Ikan target adalah jenisjenis ikan karang yang dikelompokkan sebagai ikan konsumsi/pangan karena memiliki nilai ekonomis. Jenis-jenis ikan ini berasosiasi dengan perairan terumbu karang. Termasuk dalam kelompok ini adalah jenis-jenis ikan Acanthuridae, Caesionidae, Lutjanidae,
Carangidae, Mullidae,
Ephipidae,
Nemipteridae,
Haemullidae, Scaridae,
Kyphosidae,
Serranidae,
Lethrinidae,
Siganidae
dan
Sphyraenidae. Di GPP Padaido ditemukan kurang lebih 101 jenis di GPP Padaido Bawah dan 127 jenis di GPP Padaido Atas (Hukom, et al., 2001 dan COREMAP, 2001 dan COREMAP, 2003). Ikan indikator adalah jenis-jenis ikan karang yang berasosiasi sangat erat dengan terumbu karang. Keberadaan jenis-jenis ikan ini digunakan sebagai indikator untuk mempelajari kondisi terumbu karang. Termasuk dalam jenis ini adalah jenis ikan-ikan Chaetodontidae. Di perairan terumbu karang GPP Padaido ditemukan kurang lebih 34 jenis di GPP Padaido Bawah dan 29 jenis di GPP Padaido Atas (Hukom, et al., 2001; COREMAP, 2001 dan COREMAP, 2003). Ikan mayor adalah jenis-jenis ikan yang tidak termasuk dalam kedua kelompok di atas dan belum diketahui peranan utamanya dalam rantai makanan di alam. Ikanikan ini berukuran kecil dan sebagian besar tergolong ikan hias. Termasuk dalam kelompok ini adalah jenis-jenis ikan Apogonidae, Aulostomidae, Balistidae, Blennidae,
Cirrhitidae,
Monacanthidae,
Diodontidae,
Ostraciidae,
Gobiidae,
Pinguipedidae,
Holocentridae,
Pomacanthidae,
Labridae,
Pomacentridae,
81
Pseudochromidae, Terodontidae dan Zanclidae. Di Perairan GPP Padaido terdapat kurang lebih 151 jenis di GPP Padaido Bawah dan 185 jenis di GPP Padaido Atas (Hukom, et al., 2001; COREMAP 2001 dan COREMAP 2003). Lampiran 15 menunjukkan kondisi ikan karang di GPP Padaido tahun 2003. Hasil tangkapan utama masyarakat GPP Padaido adalah ikan karang yang dipasarkan ke pasar Bosnik dan Biak. Ikan karang terdiri atas ikan hias dan ikan target (konsumsi). Penangkapan ikan karang masih menggunakan cara dan alat yang sederhana. Pancing, jaring insang, tombak dan panah merupakan alat penangkapan utama. Penangkapan ikan dengan cara pemboman dan pembiusan masih dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat. Tempat-tempat bekas pemboman ikan dapat dikenali dengan mudah di sekitar terumbu karang. Rumput Laut Rumput laut merupakan alga berukuran besar (makroalga) yang hidup menancap atau melekat pada dasar laut ya ng keras, seperti karang mati atau fragmen karang yang bercampur dengan pasir. Rumput laut dikelompokkan dalam tiga kelas yakni Chlorophyceae (alga hijau), Phaeophyceae (alga coklat) dan Rhodophyceae (alga merah). Rumput laut telah dimanfaatkan dan dikembangkan secara luas dalam berbagai industri, seperti industri makanan, obat-obatan, farmasi, kosmetik, bioteknologi dan mikrobiologi (Chapman, 1949; Okazaki, 1973; Atmadja, et al, 1990). Di GPP Padaido, rumput laut tumbuh dan berkembang dengan luas karena tersedia substrat keras, seperti karang mati dan framen- fragmen karang. Kurang lebih 58 jenis rumput laut ditemukan di GPP Padaido dimana 11 jenis bernilai ekonomis penting, seperti jenis Euchema, Gracilaria, Hypnea, Laurencia, Gelidiella, Halimenia, Caulerpa, Codium , Chaetomorpha, Sargassum dan Turbinaria (Papalia, 2001). Di Pulau Wundi dan Pulau Nusi rumput laut telah dibudidayakan oleh masyarakat yaitu jenis Euchema spinosum dan E. Cotinii. Usaha ini kurang berkembang karena kendala pemasaran dan kepastian harga.
82
Moluska, Echinodermata dan Krustasea Moluska adalah hewan bertubuh lunak yang terdiri atas lima kelas besar yakni Amphineura, Gastropoda, Pelecypoda, Cephalopoda dan Scaphopoda. Dari kelima kelas tersebut hanya tiga yang memiliki nilai ekonomis penting, yaitu Gastropoda (jenis-jenis keong), Pelecypoda (jenis-jenis kerang) dan Chepalopoda (cumi-cumi, sotong dan gurita). Ketiga jenis ini ditemukan di GPP Padaido dan merupakan jenis yang selalu ditangkap oleh masyarakat. Daging moluska diambil dan dipasarkan ke pasar Bosnik baik dalam bentuk segar maupun asapan. Cangkang moluska belum dimanfaatkan dan dibuang di pesisir pantai sehingga membentuk kelompok tumpukan-tumbukan besar. Bila tidak dikelola dengan baik, stok moluska di perairan GPP Padaido akan berkurang dan mungkin dapat punah. Hal ini telah terjadi pada jenis-jenis kerang tertentu, seperti kerang Anadara spp yang saat ini sulit ditemukan. Echinodermata adalah hewan-hewan laut berkulit duri. Hewan-hewan ini terbagi dalam lima golonga n utama yakni teripang (Holothuroidea), bintang laut (Asteroidea), bintang ular (Ophiuroidea, bulu babi (Echinoidea ) dan lili laut (Crinoidea). Hewan-hewan ini dijumpai di perairan pantai sekitar terumbu karang GPP Padaido. Teripang merupakan jenis echinodermata bernilai ekonomis penting. Teripang pasir (Holothuria scabra) dan teripang nanas (Stichopus ananas ) merupakan contoh teripang yang dipasarkan oleh masyarakat. Di Pulau Mangguandi, konservasi teripang dilakukan masyarakat dengan cara sasisen, yaitu melarang pengambilan teripang untuk jangka waktu tertentu ( enam bulan sampai satu tahun). Krustase merupakan hewan-hewan berkulit keras. Udang karang (Panulirus spp), rajungan (Portunus spp) dan kepiting bakau (scylla serrata) merupakan jenisjenis krus tase yang umum ditemukan di GPP Padaido. Hewan-hewan ini ditangkap pada malam hari dengan alat yang sederhana. Selain di makan, udang karang dan kepiting dijual di pasar Bosnik atau restoran di kota Biak. Kepiting bakau mendiami habitat hutan mangrove, seperti di Pulau Padaidori dan Auki. Udang karang umumnya mendiami habitat terumbu karang. Jenis-jenis udang karang yang umum tertangkap adalah udang barong (Panulirus versicolor), Udang pantung (Panulirus homarus), udang bunga (Panulirus longipes) dan udang jaka (Panulirus penicillatus).
83
Di pulau Mangguandi konservasi udang karang dilakukan dengan cara sasisen di seluruh pulau. Ikan Pelagis Ikan pelagis adalah kelompok ikan yang mendiami suatu lapisan pelagis, yaitu lapisan air yang masih dapat dicapai oleh sinar matahari. Pada kondisi cuaca baik, kedalaman lapisan ini mencapai kedalaman 200 meter. Berdasarkan ukuran, ikan pelagis dibedakan atas ikan pelagis kecil dan besar. Ikan pelagis besar adalah ikan pelagis yang berukuran besar, seperti ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol (Euthynnus affinis), Tenggiri (Scomberomorus spp), layar ( Istiophorus spp) dan jenisjenis ikan tuna. Ikan pelagis kecil adalah ikan pelagis yang berukuran kecil, seperti ikan kembung (Rastrelliger spp), kawalinya (Selar spp), momar (Decapterus spp), make (Sardinella spp) dan teri (Stolephoruss spp). Di GPP Padaido, ikan pelagis berpotensi untuk dikembangkan dimasa- masa mendatang sebagai salah satu sumber pendapatan masyarakat selain ikan karang. Di pasar Bosnik ikan pelagis yang banyak dipasarkan adalah ikan cakalang. Perairan yang menjadi daerah penangkapan ikan pelagis adalah perairan sekitar pulau Pakreki, pulau-pulau Dauwi dan perairan perbatasan (barat, timur, utara dan selatan). Lamun Lamun merupakan tumbuhan berbunga yang beradaptasi hidup terbenam dalam laut. Tumbuhan ini terdiri atas akar, daun dan tangkai-tangkai merayap (rhizome). Lamun hidup pada perairan dangkal yang agak berpasir dan sering dijumpai di terumbu karang pula. Pada tempat yang terlindung lamun berkembang dengan baik dan menutupi suatu kawasan yang luas sehingga membentuk padang lamun. Di perairan pantai GPP Padaido lamun ditemukan pada hampir semua pulau kecuali pulau Pakreki, Yumni, Warek, Workbondi dan Samakur. Pada tempat-tempat yang agak terlindung, lamun tumbuh dengan lebat dan membentuk suatu padang lamun yang luas. Keadaan ini ditemukan pada pulau Auki bagian selatan, pulau Pai bagian barat, bagian barat pulau Wundi, bagian barat pulau Nusi, bagian barat dan timur pulau Padaidori dan bagian barat dan timur pulau Mangguandi dan pulau-pulau
84
lain. Lamun yang ditemukan di GPP Padaido berjumlah sembilan jenis, yaitu Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Cymodocea serrulata, C. rotundata, Halodule universis, H. Pinifolia, Halophila ovalis, H. Spinulosa, dan Syringodium isoetifolium, Kondisi lamun di Pulau-Pulau Padaido relatif masih baik. Namun di beberapa pulau, seperti Auki dan Padaidori (depan desa) lamun dicabut dari substratnya untuk memberi arah masuk bagi perahu-perahu bermotor yang menuju pantai desa. Mangrove Mangrove merupakan tipe tumbuhan/hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove sering pula disebut sebagai hutan pantai, hutan pasang surut, hutan paya u atau hutan bakau. Di GPP Padaido, mangrove terdapat di Pulau Padaidori (bagian barat dan timur) dan Pulau Auki (bagian selatan). Dalam kumpulan kecil, mangrove terdapat di pulau Wundi, Yeri, Pasi (bagaian barat laut) dan pulau Mangguandi (bagian barat). Mangrove yang ditemukan di GPP Padaido berjumlah tujuh jenis, yaitu Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora apiculata, R. Stylosa, Sonneratia alba, Ceriops tagal, Lumnitzera littorea, dan Avicenia alba. Hutan mangrove di pulau Padaidori mengalami kerusakan berat ketika terjadi tsunami di kawasan ini pada tahun 1996. Hingga kini kerusakan tersebut belum direboisasi. Jenis mangrove yang mengalamani kerusakan/kematian adalah Bruguiera gymnorrhiza yang telah berumur puluhan tahun. Kematian mangrove jenis tersebut diduga disebabkan oleh ketidakmampuan jenis beradaptasi dengan keberadaan air laut yang mencapai habitatnya dan terjebak untuk jangka waktu yang lama ketika terjadi tsunami. Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Budaya Kependudukan Berdasarkan sensus pertanian tahun 2003, jumlah penduduk GPP Padaido sebanyak 3.975 jiwa dengan jumlah keluarga sebesar 975 keluarga yang tersebar di
85
19 desa dalam 8 pulau. Penduduk laki- laki sebanyak 2.097 jiwa dan perempuan sebesar 1.978 jiwa. Distribusi penduduk berdasarkan desa dan pulau disajikan pada Tabel 17. Berdasarkan tingkat pendidikan, penduduk GPP Padaido yang tamat sekolah menengah umum (SMU) sebesar 9.71%, yang tamat sekolah menengah pertama sebesar 20.13% dan yang tidak tamat sekolah dasar (SD) sebesar 30.79%. Penduduk yang tidak sekolah sebesar 39.20% (Kabupaten Biak Numfor, 2001). Sarana Sosial Sarana sosial yang terdapat di GPP Padaido, Distrik Padaido, meliputi sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana peribadatan dan sarana perekonomian. Sarana pendidikan terdiri dari SD Impres sebanyak 2 bangunan terdapat di Pulau Nusi, SD Negeri sebanyak 1 bangunan terletak di Pulau Auki dan SD Swasta sebanyak 9 bangunan terletak di Pulau Wundi, Pulau Nusi, Pulau Pai, Pulau Mangguandi, Pulau Pasi, Pulau Mbromsi dan Pulau Padaidori. Ini menunjukkan bahwa di pulau-pulau berpenduduk terdapat satu sekolah dasar. Sekolah Menegah Pertama (SMP) negeri hanya terdapat di Pulau Mbromsi, sedangkan Sekolah Menegah Umum (SMU) tidak dijumpai di Distrik Padaido. Tabel 17 Kondisi pendud uk GPP Padaido, Distrik Padaido, Biak Numfor Penduduk (jiwa) No
Pulau
1
Auki
2
Wundi
3
Nusi
4
Pai
5
Padaidori
6
Mbromsi
Desa Auki Sandidori Wundi Sorina Nusi Nusi Babaruk Pai Imbeyomi Sasari Mnupisen Yeri Nyansoren Saribra
Laki-Laki
Perempuan
130 58 154 83 167 140 157 97 147 51 59 119 124
108 50 129 80 156 89 122 78 170 56 57 130 106
Jumlah
Keluarga
238 108 283 163 323 229 279 175 317 107 116 249 230
59 38 70 36 71 55 69 43 79 29 34 61 49
86
7
Pasi
8
Mangguandi
Mbromsi Karabai Pasi Samber Pasi Mangguandi Suprima
Jumlah
131 18 207 85 72 98 2097
121 14 178 77 75 82 1878
252 32 385 162 147 180 3975
63 16 87 35 36 45 975
Sumber : Hasil sensus pertanian Maret 2003, BPS Biak-Numfor. Sarana kesehatan terdiri dari Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Puskesmas Pembantu dan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Puskesmas sebanyak 2 bangunan terdapat di Pulau Wundi dan Pulau Pasi. Puskesmas pembantu sebanyak 2 bangunan, masing- masing terdapat di Pulau Mangguandi dan Pulau Padaidori, sedangkan Posyandu terdapat di seluruh kampung. Sarana peribadatan seperti gereja dijumpai di setiap pulau yang berpenduduk, sedangkan sarana peribadatan lain tidak ada. Jumlah gereja yang terdapat di Distrik Padaido sebanyak 12 bangunan. Sarana perekonomian yang ada di GPP Padaido berupa kios-kios penduduk. Kios-kios ini melayani kebutuhan utama penduduk, seperti supermie, rokok, gula, kopi, beras dan lain-lain. Paling sedikit terdapat satu kios di tiap desa/pulau yang berpenduduk. Tabel 18 Tingkat pendidikan penduduk GPP Padaido, Distrik Padaido. Pulau
Kampung
Auki Sandodori Wundi Wundi Sorina Nusi Nusi Nusi Babaruk Pai Pai Imbeyomi Meomangguandi Mangguandi Supraima Samber Pasi Pasi Pasi Mbromsi Nyansoren Mbromsi Karabai Auki
Tidak Sekolah
Tidak Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMU
112
92
60
37
138
106
86
46
110 94
82 71
59 48
27 25
145
127
73
36
113
89
58
26
59 129 85
45 108 63
22 63 47
2 31 21
101
82
51
15
87
Saribra 78 Mnupisen 79 Yeri Padaidori Sasari 114 Jumlah 1357 Prosentase 39.20% Sumber : Kabupaten Biak Numfor, 2001.
62
40
18
60
33
14
79 1066 30.79%
57 697 20.13%
28 336 9.71%
Selain sarana sosial tersebut di atas, terdapat sarana pariwisata dan sarana angkutan nelayan. Sarana pariwisata berupa pondok wisata sebanyak 3 bangunan terletak di pulau Wundi (1 bangunan) dan pulau Dauwi (2 bangunan). Sarana ini dikelola oleh masyarakat. Sarana angkutan umum, seperti kapal atau perahu motor yang melayani GPP Padaido dengan pulau Biak pergi-pulang belum tersedia. Penduduk GPP Padaido yang akan ke Biak menumpang perahu motor nelayan pada setiap hari pasar (selasa, kamis dan sabtu) dengan membayar sejumlah uang, rata-rata Rp 20.000 untuk pergipulang untuk GPP Padaido Bawah dan rata-rata Rp 40.000 untuk GPP Padaido Atas. Untuk keperluan mendesak ke GPP Padaido, orang menyewa perahu motor nelayan dengan ongkos sewa yang bervariasi, tergantung jarak yang dituju. Untuk pulaupulau GPP Padaido Bawah biaya sewa rata-rata Rp.300.000-Rp.400.000 dan Rp.600.000-Rp.800.000 untuk GPP Padaido Atas. Perekonomian dan Industri Berdasarkan sensus pertanian 2003, perekonomian penduduk GPP Padaido berasal dari bidang pertanian, yaitu tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan tangkap dan budidaya rumput laut (Tabel 19). Tabel 19 Keadaan keluarga pertanian GPP Padaido, Biak Numfor No
Pulau
1
Auki
2
Wundi
3
Nusi
Desa Auki Sandidori Wundi Sorina Nusi Nusi Babaruk
Tanaman Pangan
Perkebu nan
Peterna kan
Penangkap ikan
Budidaya laut
-
23 18 42 23 60 41
8 8 7 6 14 10
30 32 50 32 70 50
14 15 17
88
4
Pai
5
Padaidori
6
Mbromsi
7
Pasi
8
Mangguandi Jumlah
Pai Imbeyomi Sasari Mnupisen Yeri Nyansoren Saribra Mbromsi Karabai Pasi Samber Pasi Mangguandi Suprima
26 25 26 12 14 21 27 151 15.49%
51 32 50 18 12 45 30 41 10 62 16 30 43 647 66.36%
10 11 13 11 10 12 12 7 4 20 7 8 5 183 18.77%
56 43 65 20 32 55 41 76 13 80 33 32 34 844 86.56%
46 4.72%
Sumber : Hasil sensus pertanian Maret 2003, BPS Biak-Numfor. Perekonomian sebagian besar penduduk bertumpu pada perikanan tangkap dan perkebunan (kelapa), sedangkan sebagian kecil berasal dari peternakan (babi, ayam kampung dan itik), pertanian tanaman pangan (ketela pohon dan umbi- umbian) dan budidaya laut (rump ut laut). Hanya penduduk di Pulau Padaidori, Pulau Mbromsi dan Pulau Pasi yang berusaha di pertanian tanaman pangan, sementara penduduk di Pulau Wundi dan Pulau Nusi berusaha di perikanan budidaya laut (BPS Biak, 2003). Sarana perikanan tangkap di GPP Padaido terdiri dari perahu tak bermotor dan perahu motor tempel. Perahu tak bermotor memiliki jumlah sebanyak 728 unit, sedangkan perahu motor temperl hanya 78 unit. Ini menunjukkan bahwa 90.3% rumah tangga nelayan masih tradisional. Alat penangkapan ikan ya ng umum digunakan adalah jaring insang (gill net), pancing (hook and line) dan alat tangkap lain (panah dan tombak) (Kabupaten Biak Numfor, 2002). Industri keluarga yang berkembang di GPP Padaido adalah minyak kelapa, ikan asin dan ikan asar/asap. Rata-rata setiap pulau memiliki 2 unit usaha dengan menyerap tenaga kerja rata-rata sebanyak 43 orang. Pada tahun 2000 nilai produksi industri keluarga sebesar Rp 289.945.000 (dua ratus delapan puluh sembilan juta sembilan ratus empat puluh lima ribu rupiah) (Kabupaten Biak Numfor, 2002).
89
Tabel 20 Sarana perikanan tangkap di Kepulauan Padaido No
Pulau
Perahu Tak Perahu Motor Bermotor Tempel 1 Auki 67 8 2 Wundi 83 7 3 Nusi 114 9 4 Pai 85 9 5 Padaidori 82 11 6 Mbromsi 122 18 7 Pasi 106 10 8 Mangguandi 69 6 Jumlah 728 78 Sumber : Kabupaten Biak Numfor, 2002.
Jumlah 75 90 123 94 93 140 116 75 806
Sosial Budaya Penduduk yang mendiami GPP Padaido berasal dari Pulau Biak, beretnis Biak yang termasuk ras Irian dan Melanesia Negroid. Orang Biak bertubuh tipe Pyeknis, yaitu tegap, berotot, serasi dan tinggi. Karena terjadi perang suku, mereka yang berasal dari suku Anobo, yaitu dari Biak Utara-Saba-Mnurwa, pindah dan menetap di Pulau Mbromsi dengan kampung bernama Saribra. Setelah aman di Saribra, mereka menyebar ke pulau-pulau lain untuk berkebun dan menetap. Penduduk pertama ini merasa sebagai pemilik pulau-pulau yang berada di GPP Padaido Atas. Pada tahap selanjutnya, ketika Belanda berkuasa, mereka mendatangkan penduduk dari desa-desa di Pesisir Timur Biak ke GPP Padaido untuk membuka perkebunan kelapa dengan sistem kerja paksa. Sistem ini dikenal dengan nama landscap. Penduduk pendatang diharuskan menanam kelapa di Pulau Wundi, Pulau Pai, Pulau Auki dan pulau-pulau lain di sekitarnya. Setelah kekuasaan Belanda berakhir, beberapa dari mereka yang berasal dari Pesisir Timur Biak tidak kembali lagi dan memilih menetap di pulau, yaitu Pulau Pasi, Pulau Mbromsi, Pulau Mangguandi, Pulau Auki, Pulau Wundi, Pulau Nusi dan Pulau Pai. Sebagai pendatang mereka hanya menempati pulau dan mengambil hasilnya tetapi pulau yang ditempati merupakan milik orang-orang Padaidori (Yayasan Rumsram, 2000 dan Laksono, dkk., 2001).
90
Dalam komunikasi sehari-hari masyarakat GPP Padaido menggunakan bahasa Biak dan bahasa Indonesia. Bahasa Biak (wos Biak) termasuk kedalam phylum Melanesia dengan 11 logat/dialek yang relatif tidak berbeda dan digunakan antar sesama orang Biak.
Dalam kondisi tertentu seperti ibadah gereja, pertemuan-
pertemuan, proses belajar-mengajar di sekolah dan pertemuan dengan orang bukan Biak digunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia telah berkembang dengan baik di GPP Padaido. Penduduk GPP Padaido memiliki sistem kekerabatan yang dikenal dengan nama “keret” (mata rumah). Sifat-sifat yang menonjol dari sistem ini yaitu perkawinan harus dengan marga lain (eksogam), mengambil garis keturunan ayah/laki- laki (patrilineal) dan tempat tinggal sesudah menikah di lingkungan lakilaki (patrilokal). Keret sebenarnya berarti suatu tempat yang tinggi yang terletak di tengah-tengah perahu besar. Keluarga inti terletak di keret dan memiliki sistem sosial ekonomi dan politik yang berdiri sendiri. Dalam kehidupan sehari- hari, seorang paman (saudara laki- laki ibu atau bapak) memainkan peranan penting dalam kehidupan orang-orang biak. Seorang paman menjadi pemimpin dan pelaku upacara insiasi yang merupakan tahapan penting dalam kehidupan masyarakat. Upacara insiasi tersebut antara lain upacara perkawinan adat (yakyaku), upacara mengenakan baju pada anak kecil (farmawas), upacara memberi gelar (sab-sider) sistem kekerabatan dan kepemimpinan tradisional, sistem kepemimpinan yang diwariskan (manseren mau) serta lembaga peradilan adat (kankin karkara). Seorang laki- laki yang telah menikah akan mendapatkan bagian tanah sebagai lahan untuk berkebun untuk menghidupi keluarganya. Lahan yang diberikan kepada laki- laki adalah tanah yang dimiliki oleh keret. Rumsram adalah tempat tinggal bujangan yang berfungsi sebagai tempat atau pusat pendidikan dan pemujaan roh-roh nenek moyang. Di tempat tersebut anak-anak belajar melakukan pekerjaan-pekerjaan yang kelak akan dilakukan bila sudah dewasa dan menjadi anggota manyarakat. Mereka dilatih berburu, menangkap ikan, membuat
91
ladang, berperang dan melakukan pekerjaan dengan keahlian khusus, seperti membuat perahu. Di dalam Rumsram juga diadakan pendidikan keagamaan. Sebelum mengenal agama, orang-orang Biak mempercayai apa yang mereka sebut Manseren Nanggi (Tuhan Langit), yaitu bahwa segala kehidupan di bumi ini berada dibawa h wewenang Nanggi. Nanggilah yang dianggap sebagai pusat alam semesta. Selain itu, mereka juga percaya roh nenek moyang (korwar). Korwar dianggap mempunyai kekuatan tertentu yang bisa memberi banyak hasil buruan dan juga ketika berperang. Agama kristen masuk ke Biak bersamaan dengan kedatangan orang Belanda. Agama kristen masuk di Biak pada 26 April 1908. Masuknya agama kristen di Biak telah memberikan perubahan yang besar dalam sistem kehidupan masyarakat. Agama Kristen Protestan merupakan agama yang terbesar dan untuk penduduk GPP Padaido umumnya beragama kristen protestan (99,62 %). Penduduk yang beragama islam dan budha masing- masing 0,29% dan 0,09% (Kabupaten Biak Numfor, 2002). Dampak perubahan yang dibawa oleh Belanda dan organisasi penyiaran terhadap masyarakat Biak pada umumnya adalah: (1) Perubahan bentuk pranata sosial dari bentuk pemerintahan lokal dan khusus menjadi pemerintahan yang diatur oleh pusat (2) Pranata ekonomi dari sistem barter menjadi sistem ekonomi uang (3) Sistem keyakinan yang semula kepada Manseren Naggi dan roh nenek moyang berubah menjadi kenyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa (4) Dalam acara-acara adat, seperti orang harus melaksanakan Sababu (upacara turun tanah) menjadi upacara gerejawi, upacara Kapanakniki (pengguntingan rambut) menjadi permandian gerejawi dan acara Kbor menjadi sidi. Dengan demikian peranan rumsram telah diambil oleh peranan gereja. (5) Peranan Me dalam bidang pendidikan diganti oleh guru atau pendeta.
92
Pandangan, Penguasaan dan Kepemilikan Laut Pada umumnya, penduduk yang mendiami GPP Padaido
menganggap laut
mempunyai nilai religio - magis, sosio-kultural dan ekonomis. Dalam memanfaatkan potensi laut harus sesuai dengan norma, perilaku atau aturan-aturan yang telah dianut sejak jaman nenek moyang agar tidak mendatangkan bencana. Jika laut dimanfaatkan tidak sebagaimana mestinya maka akan diganggu atau diculik oleh dewa laut (faknik ). Laut di satu sisi dianggap mengerikan sehingga dipandang sebagai lawan. Hal ini terjadi pada saat musim angin barat dimana terjadi gelombang besar sehingga aktivitas masyarakat terhenti. Setiap laki- laki yang dapat mengalahkannya, ia digolongkan sebagai panglima perang (mambri). Laut juga dipandang bersahabat, atau ibu yang dapat menyediakan makanan bagi masyarakat. Ini terjadi pada musim teduh, yang dikenal dengan “Wampasi”. Masyarakat Biak pada umumnya mengenal pola penguasaan dan pemilikan laut yaitu pembagian wilayah secara geografi mulai dari daratan sampai ke laut yang diakui sebagai hak milik. Wilayah geografi yang dimaksud adalah Siser (daerah pasang-surut) yaitu batas antara vegetasi darat, pantai kering dan titik terendah pada waktu air surut. Bosen yaitu daerah terumbu karang, batas antara titik terendah air surut dan laut dalam. Arwan (rataan terumbu) yaitu daerah terumbu karang yang bentuknya landai dan terbentang meliputi suatu wilayah yang cukup luas. Manspar yaitu daerah tebing karang atau sering disebut Kafafer. Soren yaitu istilah yang umum digunakan untuk menyebut laut atau batas antara daerah terumbu karang dan laut lepas. Irbor yaitu gugusan terumbu-terumbu karang yang terletak di laut lepas/dalam, dan terpisah antara satu gugusan dengan lainnya. Daerah inilah yang diklaim oleh warga satu kampung sebagai tempat menangkap ikan laut lepas. Pada umumnya pola penguasaan dan pemilikan wilayah laut yaitu secara komunal (keret) dengan sistem patrilineal. Pemilikan atas wilayah laut meliputi wilayah pinggiran pantai (Siser) dan gugusan terumbu karang yang terdapat di laut dalam (Irbor). Pola pemilikan wilayah laut bersifat mutlak dan tak mutlak. Wilayah kepemilikan mutlak yaitu meliputi wilayah yang tercakup dalam batas kampung, mulai dari pantai ke laut dalam. Wilayah ini hanya dimanfaatkan oleh warga
93
sekampung, sedangkan wilayah kepemilikan tidak mutlak adalah wilayah yang dimiliki sekelompok masyarakat dan dapat dikelola oleh semua pihak luar yang mempunyai hubungan darah atau famili dengan pemilik. Wilayah ini meliputi wilayah Irbor. Bentuk perlindungan Wilayah Laut Bentuk perlindungan wilayah laut di GPP Padaido dikenal de ngan nama Sasisen. Sasisen adalah larangan yang diberlakukan sementara waktu dalam wilayah tertentu untuk tidak boleh menangkap ikan ataupun mengumpulkan hasil laut di sekitar lokasi tersebut. Sasisen berasal dari bahasa Biak, yaitu sisen yang artinya tutup atau kunci dan diberikan awalan Sa sehingga menjadi Sasisen, yang artinya penutupan atau larangan. Sasisen yang dikenal oleh orang Biak terbagi dalam dua jenis, yaitu : 1) Sasisen terhadap wilayah tertentu meliputi segala jenis biota yang terdapat di dalamnya. Sasisen seperti ini berlaku paling lama 6 (enam) bulan. 2) Sasisen yang diberlakukan terhadap satu jenis biota tertentu, umumnya yang bernilai ekonomis penting. Sasisen jenis ini diberlakukan untuk jangka waktu minimum 1 (satu) tahun. Penggunaan Lahan Saat ini Lahan yang digunakan di GPP Padaido adalah lahan daratan dan perairan. Penggunaan lahan daratan relatif hampir sama antara suatu pulau dengan pulau lain. Umumnya di pesisir pantai terdapat perkampungan penduduk, sedangkan agak ke dalam/tengah
pulau
terdapat
fasilitas
sosial,
seperti
gereja,
sekolah,
puskesmas/posyandu dan sarana lain. Lahan lain berupa perkebunan kelapa yang tersebar di sekeliling pulau serta kebun campuran, semak belukar dan hutan lindung. Penggunaan lahan perairan umumnya sama dari satu pulau ke pulau lain. Lahan perairan dangkal digunakan untuk menangkap ikan karang, kerang-kerangan, siput, gurita, teripang, udang karang dan budidaya rumput laut. Lahan perairan dalam (laut) digunakan untuk menangkap ikan pelagis dan transportasi perahu motor.
94
Lahan daratan di pulau-pulau yang tidak berpenghuni dimanfaatkan sebagai hutan primer, hutan sekunder, perkebunan kelapa serta pondok-pondok kecil. Lahan pantai dibangun pondok-pondok kecil untuk mengolah dan menampung hasil tangkapan ikan dan biota laut lain sebelum dipasarkan serta kelapa. Lahan pesisir perairan dangkal dimanfaatkan untuk penangkapan dan pengumpulan biota laut, seperti ikan, jenis-jenis kerang dan teripang. Institusi Lokal Di GPP Padaido institusi lokal yang terdapat setiap desa terdiri dari empat elemen penting, yaitu adat, gereja, pemerintahan dan yayasan/LSM. Dalam sistem kepemimpinan lokal setiap kampung/desa dipimpin oleh satu orang sebagai tua-tua adat yang disebut mananwir. Mananwir dipilih berdasarkan keturunan dan berasal dari keret besar. Tugas mananwir adalah menentukan batas wilayah untuk kebutuhan penduduk dan menyelesaikan persoalan yang terjadi dalam kampung. Sistem kepemimpinan lokal ini kemudian berubah setelah kedatangan Belanda. Pada masa pemerintahan Belanda, kedudukan mananwir digantikan oleh seorang kepala kampung yang memimpin suatu kampung yang terdiri dari beberapa keret. Orang yang terpilih sebagai kepala kampung umumnya adalah keturunan mananwir atau orang dari salah satu keret yang memiliki pengaruh besar dalam masyarakat. Di atas kepala kampung ada kepala seksi yang bertugas seperti camat, sedangkan untuk keamanan kampung ditugaskan kepada seorang warnamen (opas). Seiring dengan masuknya agama kristen, kehidupan keseharian masyarakat dipengaruhi oleh institusi gereja. Di tingkat pulau dan kampung dikenal pemimpinpemimpin keagamaan seperti ketua jemaat, sekretaris jemaat dan guru jemaat. Institusi gereja bertugas untuk mengatur kehidupan beragama. Institusi gereja juga membentuk usaha-usaha ekonomis yang dikelola oleh anggota jemaat untuk menjalankan kegiatan-kegiatan gereja, seperti mengadakan bazaar dan kios jemaat. Pada masa pemerintahan Indonesia, intitusi pemerintahan desa mengalami perubahan. Pada tahun 1999, pemerintah mengeluarkan UU No. 22 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan UU No.5 Tahun 1979. Berdasarkan UU No.22,
95
pemerintahan desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa (sekertaris, ketua RW dan RT). Kepala desa dipilih langsung oleh penduduk desa, ditetapkan oleh Badan Perwakilan Desa dan disahkan oleh Bupati. Walaupun telah diatur dengan peraturan, dalam pemilihan kepala desa pengaruh dari keret-keret terbesar masih nampak. Umumnya calon kepala desa dari keret besar terpilih sebagai kepala desa. Lembaga Swadaya Masyarakat dan lembaga-lembaga pemerintah turut mewarnai kehidupan kelembagaan lokal di GPP Padaido. Yayasan Rumsram merupakan salah satu yayasan yang menjadi pendamping desa-desa di GPP Padaido. Yayasan ini membentuk kios-kios jemaat, membentuk badan pengelola ekowisata, membentuk kelompok nelayan dan kelompok konservasi di tingkat kampung/pulau untuk memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang ada di GPP Padaido. Lembaga lembaga pemerintah melalui program-programnya melakukan kegiatan-kegiatan ditingkat kampung, seperti Dinas Perikanan, Kesehatan, Perindustrian, Kehutanan dan Perkebunan. Pada pertengahan 1999, Lembaga Masyarakat Adat (LMA) dihidupkan kembali oleh intitusi adat dengan tujuan untuk penguatan terhadap kepemilikan wilayah adat. Lembaga ini terdiri dari LMA Padaido Bawah dan LMA Padaido Atas. Salah satu program yang telah dilakukan oleh LMA Padaido Atas adalah penetapan kepemilikan Pulau Padaidori oleh masyarakat Padaido Atas. Penguatan terhadap kepemilikan masyarakat terus meningkat. Pada pertengahan tahun 2002 telah dilaksanakan dua kegiatan penting oleh institusi adat masyarakat Biak Timur dan Kepulauan Padaido, yaitu pembentukan statuta Dewan Persekutuan Masyarakat Adat (DPMA) Biak Timur dan Kepulauan Padaido, dan Penyusunan Pra Rancangan Peraturan Daerah Tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Darat, Pesisir dan Laut Di Biak Timur dan Kepulauan Padaido. Hingga saat ini, Pra Rancangan tersebut belum disetujui oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Biak Numfor. Kondisi Pengelolaan GPP Padaido Saat Ini Sejak diketahui memiliki pemandangan alam pulau-pulau, panorama alam bawah laut yang indah serta potensi sumberdaya perikanan dan perkebunan kelapa,
96
perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap pengembangan GPP Padaido sangat besar. Selain Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Biak Numfor dan instansiinstansi teknisnya, seperti pariwisata, kelautan dan perikanan, kehutanan dan perkebunan, GPP Padaido juga dikelola oleh Departemen Kehutanan ( sebagai Taman Wisata Alam), Departemen Kelautan dan Perikanan (COREMAP), Pihak swasta (pariwisata), dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal serta masyarakat adat Pulau Biak dan pulau-pulau Padaido. Masing- masing pihak (stakhoders) tersebut melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan berdasarkan tujuan dan programnya dalam pengelolaan GPP Padaido. Program-program pembangunan yang dilakukan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan konservasi sumber daya alam. Pendekatan program yang dilakukan masih bersifat sektoral, berskala proyek dan tidak melibatkan masyarakat dalam perencanaan pengelolaan. Sebagai akibatnya, kerusakan habitat dan penurunan kualitas sumber daya alam tidak terhindarkan lagi. Terumbu karang dan habitat hidup biota laut lain menjadi rusak. Hasil tangkapan ikan cenderung menurun, berukuran kecil dan jenisjenis tertentu sulit ditemukan serta daerah penangkapan ikan yang semakin jauh dari pantai/pulau. Aktivitas penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan pembiusan ikan dengan bahan kimia masih berlangsung hingga saat ini dengan intensitas tinggi pada waktu-waktu tertentu. Kondisi ini menunjukkan bahwa pendekatan pengelolaan kawasan pesisir dan laut GPP Padaido yang dilakukan saat ini belum berhasil memajukan kawasan dan meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat sehingga diperlukan alternatif pendekataan pengelolaan kawasan yang sesuai dengan kondisi lokal. Kondisi Kepariwisataan Pada 13 Pebruari 1997, wilayah Distrik Padaido ditetapkan sebagai Kawasan Taman Wisata Alam Kepulauan Padaido oleh Pemerintah dengan luas 183.000 ha. Wilayah ini mencakup pulau-pulau dan perairannya (SK Menhut No.91/KptsVI/1997). Berdasarkan ketetapan ini, wilayah GPP Padaido diperuntukkan sebagai
97
kawasan pariwisata dan rekreasi. Asal dan jumlah wisatawa n yang mengunjungi GPP Padaido disajikan pada Tabel 21. Wisatawan mancanegara yang mengunjungi GPP Padaido sebanyak 115 orang yang berasal dari kurang lebih 14 negara dengan total lama tinggal 82 hari selama periode 2002. Pada periode Januari- Juni 2003, wisatawan yang mengunjungi GPP Padaido sebanyak 54 orang yang berasal dari 11 negara dengan total lama tinggal 26 hari. Tabel 21 Kunjungan Wisatawan Mancanegara Di GPP Padaido, Distrik Padaido, Periode 2002–Juni 2003 T No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
N e g a r a
Australia Belgia British Cekoslowakia Dutch France Germany Indonesia Italy Poland Slovenia Spain Sweden USA New Zaeland Japan Taiwan Jumlah Sumber : Biak Dive, 2003.
a
2002 Jumlah Tinggal (hr) 9 3 8 6 14 5 10 5 23 10 5 6 7 12 16 11 2 2 2 2 2 4 3 5 1 3 13 8 115 82
h
u
n
Jan - Jun 2003 Jumlah Tinggal (Hr) 5 2,5 1 1 16 2 3 4,5 1 3 15 2,5 1 2 4 1,5 5 3 2 2 1 2 54 26
98
KESESUAIAN LAHAN GPP PADAIDO Di GPP Padaido lahan dibedakan atas tiga tipe. Pertama adalah lahan daratan (pulau). Pada pulau-pulau berpenduduk, lahan dimanfaatkan sebagai tempat pemukiman penduduk, kebun dan ladang, lokasi beberapa prasarana dan sarana sosial serta hutan sekunder. Pada pulau-pulau tidak berpenduduk, lahan daratan merupakan semak-belukar, pepohonan kelapa dan hutan (primer dan sekunder). Luas total daratan pulau-pulau meliputi areal seluas 5.520,682 ha atau 3,017% dari luas wilayah. Kedua adalah dataran pantai pasang surut, yaitu lahan pesisir yang mengalami proses pasang-surut (pasut) air laut yang berlangsung dua kali dalam sehari (semidiurnal). Lahan ini meliputi rataan terumbu atol wundi, rataan terumbu pulaupulau, laguna dan lagoon wundi. Lahan tersusun dari berbagai jenis substrat dasar, seperti; pasir, lumpur, patahan karang dan campuran substrat-substrat tersebut. Di atas lahan ini tumbuh dan berkembang berbagai jenis komunitas, seperti; karang, lamun, dan mangrove dengan berbagai jenis fauna dan flora pantai dan laut yang berasosiasi. Karang menempati bagian tepi (margin) yang berbatasan dengan laut dalam, sedangkan mangrove menempati tepi pantai yang berbatasan dengan daratan pulau. Lamun terletak diantara kedua komunitas tersebut. Lahan dimanfaatka n oleh penduduk sebagai tempat pencaharian ikan dan hasil laut lain, lokasi budidaya rumput laut, jalur pelayaran dan tempat tambatan perahu nelayan serta tempat rekreasi dan pariwisata pantai. Lahan mencakup areal seluas 13228,003 ha atau 7,228% dari luas wilayah. Ketiga adalah lahan perairan laut. Lahan merupakan perairan dalam dengan luas 169771,997 ha atau 92,772% dari luas wilayah. Kawasan ini dimanfaatkan sebagai tempat penangkapan ikan pelagis (kecil dan besar) dan demersal serta sebagai jalur pelayaran perahu nelayan. Dari ketiga lahan tersebut, lahan pesisir (pasut) dan laut memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan dibandingkan dengan lahan daratan pulau yang terbatas luasnya. Namun demikian, sebelum kedua lahan tersebut dimanfaatkan untuk berbagai peruntukkan perlu dilakukan analisis kesesuaian agar pemanfaatannya berlangsung secara optimal dan berkelanjutan.
99
Analisis kesesuaian lahan kawasan pesisir dan laut GPP Padaido ditujukan untuk menetapkan jenis-jenis penggunaan lahan. Jenis penggunaan lahan yang direncanakan adalah lindung, konservasi, dan pemanfaatan (pariwisata dan rekreasi, perikanan budidaya (rumput laut, teripang, dan ikan dalam keramba) dan perikanan tangkap (karang dan pelagis). Penetapan jenis penggunaan lahan didasarkan dan disesuaikan dengan beberapa pertimbangan, yaitu pola umum pembangunan Kabupaten Biak-Numfor, penetapan kawasan sebagai Taman Wisata Alam Laut oleh pemerintah pusat, keinginan masyarakat Padaido, potensi sumberdaya alam pesisir dan
laut
serta
permasala han-permasalahan sosial ekonomi dan konservasi
sumberdaya alam yang berkembang saat ini. Analisis kesesuaian lahan dilakukan di GPP Padaido yang berada dalam wilayah administratif Distrik Padaido yang meliputi delapan pulau berpenduduk dan kurang lebih 21 pulau tidak berpenduduk. Berdasarkan letak geografis dan kondisi biofisiknya, pulau-pulau dikelompokkan atas dua gugusan pulau, yaitu GPP Padaido Bawah dan GPP Padaido Atas. Analisis menggunakan pendekatan metode tumpang susun (overlay) dari Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk menampilkan kelas-kelas kesesuaian lahan dalam bentuk peta kesesuaian lahan dan besaran luasannya. Kelas-kelas kesesuaian lahan diberikan warna yang berbeda untuk menunjukkan kekontrasannya sehingga mudah dibedakan. Berikut adalah hasil analisis kesesuaian lahan untuk jenis-jenis penggunaan lahan yang direncanakan. Analisis Kesesuaian Lahan Untuk Perikanan Budidaya Analisis kesesuaian lahan untuk perikanan budidaya bertujuan untuk menetapkan kesesuaian lahan pesisir untuk penggunaan usaha budidaya rumput laut, budidaya teripang dan budidaya ikan dengan keramba jaring apung. Analisis dilakukan dengan memadukan persyaratan dari masing- masing penggunaan lahan dengan karakteristik atau kualitas satuan lahan pesisir (perairan pantai) di GPP Padaido. Persyaratan dan kriteria dari masing-masing penggunaan lahan dijelaskan
100
pada Bab III. Berikut adalah hasil analisis kesesuaian lahan untuk penggunaan perikanan budidaya. Budidaya Rumput Laut Sebanyak 20 satuan lahan yang terdiri atas tiga kelompok di Distrik Padaido dianalisis kesesuaian lahannya. Kelompok pertama adalah lahan pesisir GPP Padaido Bawah. Lahan terdiri dari lima satuan lahan, yaitu; dataran terumbu pulau-pulau Atol Wundi, perairan lagoon Atol Wundi, perairan Laguna Auki, rataan terumbu Wurki dan gosong karang. Kelompok kedua adalah lahan pesisir GPP Padaido Atas. Lahan terdiri atas sebelas rataan terumbu pulau, satu perairan rawa Padaidori dan tiga perairan laguna. Kelompok ketiga adalah perairan laut dalam. Lahan merupakan laut dalam dengan kedalaman di atas 100 meter. Dari ketiga kelompok lahan tersebut, kelompok pertama dan kedua dianalisis kesesuaian lahannya, sedangkan kelompok ketiga tidak dianalisis karena secara fisik tidak sesuai untuk penggunaan budidaya rumput laut. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan yang disajikan pada Tabel 22 dan Lampiran 18 diperoleh tiga kelas kesesuaian lahan untuk penggunaan budidaya rumput laut. Pertama adalah kelas sangat sesuai (S1). Kelas memiliki nilai kesesuaian lahan yang berkisar antara 80,87% sampai 94,8%. Lahan kelas ini tersebar di 18 satuan lahan. Empat lahan di GPP Padaido Bawah dan 14 lahan lain tersebar di GPP Padaido Atas. Luas total lahan sebesar 12704,136 ha atau 6,942% dari luas kawasan. Luas kelas lahan sangat sesuai di GPP Padaido Bawah tiga kali lebih besar dari lahan di GPP Padaido Atas. Lahan dataran terumbu pulau-pulau Atol Wundi dan lagoon Atol Wundi memberikan kontribusi terbesar. Pada lahan ini metode budidaya yang sesuai adalah metode lepas dasar dengan sistem tali tunggal, metode apung dengan sistem tali panjang (long line ) dan rakit terapung. Metode lepas dasar dengan sistem tali tunggal dengan pemagaran diterapkan pada lahan dataran terumbu pulau-pulau Atol Wundi dan rataan terumbu pulau-pulau, sedangkan metode apung dengan sistem tali panjang dan rakit terapung diterapkan pada perairan lagoon Atol Wundi dan laguna.
101
Kedua adalah kelas sesuai bersyarat (S3). Lahan ini memiliki nilai kesesuaian sebesar 68,696% dan hanya terdapat di ‘r awa’ padaidori, dengan luas 79,596 ha. Lahan ini memiliki faktor pembatas yang serius untuk pengembangannya yaitu faktor fisik perairan, seperti: arus, kedalaman air, dasar perairan, dan kecerahan. Keempat faktor tersebut memiliki nilai yang rendah dibandingkan dengan 14 parameter lain yang disyaratkan. Namun demikian,
lahan ini masih dapat dimanfaatkan untuk
budidaya rumput laut dengan syarat pilihan metode budidaya yang digunakan harus sesuai dengan kondisi setempat. Metode apung dengan sistem tali panjang dan rakit terapung untuk membudidaya rumput laut sesuai diterapkan di lokasi ini. Tabel 22 Kelas kesesuaian dan luas lahan (ha) budidaya rumput laut
No
Gugus Pulau
I 1 2 3 4 5
Padaido bawah Dataran P.P Atol Wundi Lagoon Atol Wundi Laguna Auki Wurki Gosong karang Jumlah Padaido atas Pakreki Padaidori Laguna Padaidori Mbromsi Pasi Mangguandi Laguna Mangguandi Kebori Rasi Workbondi Dauwi-Nukori Laguna Dauwi-Nukori Wamsoi
II 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Sgt sesuai (S1)
Kelas Kesesuaian Lahan Sesuai Bersyarat Tdk sesuai (S2) (S3) (N)
6504,949 3404,132 67,315 71,255 -10047,651
-------
-------
115,232 ---38,970 154,202
30,599 1272,205 20,475 132,928 84,150 564,954 17,103 54,378 50,629 67,527 423,325 108,277 116,503
-------
-79,596 -----
-------
-----
-----
-----
--
--
--
102
14 Runi Jumlah III Perairan dalam Jumlah Total Sumber : Hasil analisis SIG
278,705 3221,758 --
----
-79,596 --
--169771,997
13269.409
--
79,596
169926,199
Ketiga adalah kelas lahan tidak sesuai (N). Kelas ini terdapat di dataran pulaupulau Atol Wundi, gosong karang dan perairan dalam di sekitar GPP Padaido. Lahan ini tidak mendukung pengembangan budidaya rumput laut karena memiliki faktorfaktor pembatas yang permanen, seperti; laut yang dalam, angin dan arus yang kencang, dan gelombang besar. Faktor-faktor ini merupakan faktor alam yang sulit dikontrol. Budidaya Teripang Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan untuk penggunaan budidaya teripang yang disajikan pada Tabel 23 dan Lampiran 19 diperoleh empat kelas kesesuaian lahan. Pertama adalah kelas sangat sesuai (S1). Kelas ini hanya terdapat di dua satuan lahan, ya itu: dataran terumbu pulau-pulau Atol Wundi dan rataan terumbu Pulau Mangguandi, dengan luas total 7069,903 ha. Kedua lahan masingmasing memiliki nilai persentase analisis sebesar 83,158% untuk rataan pulau-pulau atol Wundi, dan 82,11% untuk Pulau Mangguandi. Faktor-faktor yang menentukan lahan sangat sesuai adalah faktor keterlindungan lokasi, tidak ada pencemaran, keamanan, ketersediaan benih dan faktor kondisi bio- fisik lahan untuk kehidupan teripang, seperti: kecerahan perairan, salinitas, suhu, oksige n terlarut dan pH. Kedua adalah kelas sesuai (S2). Lahan tersebar di delapan lokasi, tiga di GPP Padaido Bawah dan lima di GPP Padaido Atas. Luas total lahan adalah 5480,025 ha. Nilai prosentase kesesuaian lahan berkisar antara 70,526% sampai 77,89%. Faktorfaktor yang mendukung lahan sesuai untuk budidaya teripang adalah keterlindungan, tidak ada pencemaran, ketersediaan benih dan kondisi biofisik lahan untuk kehidupan teripang. Faktor-faktor yang kurang mendukung adalah ketersediaan sarana penunjang, keamanan serta kedalaman air saat surut.
103
Ketiga adalah kelas sesuai bersyarat (S3). Lahan ini hanya terdapat di GPP Padaido Atas yang tersebar di sembilan lokasi. Tujuh lahan berupa lahan pasang surut pulau (rataan terumbu), satu lahan berupa “rawa” dan satu lahan berupa laguna. Luas total lahan adalah 798,987 ha. Nilai prosentase kesesuaian lahan berkisar antara 60% sampai 69,47%. Pada lahan ini, faktor yang kurang mendukung adalah kurangnya keamanan, kurangnya sarana penunjang, kurangnya tanaman air (lamun), dan tingginya ketinggian air saat pasang. Faktor- faktor yang mendukung adalah keterlindungan relatif cukup, ketersediaan bibit dan kondisi bio -fisik lahan sesuai untuk kehidupan teripang. Keempat adalah kelas tidak sesuai (N). Lahan ini meliputi terumbu karang dalam dan gosong karang di GPP Padaido Bawah dan perairan dalam sekitar GPP Padaido. Lahan ini memiliki faktor pembatas permanen, seperti kedalaman perairan dan keterlindungan. Tabel 23 Kelas kesesuaian dan luas lahan (ha) budidaya teripang
No I 1 2 3 4 5 II 1 2 3 4 5 6 7 8
Gugus Pulau Padaido Bawah Dataran P.P Atol Wundi Lagoon Atol Wundi Laguna Auki Wurki Gosong karang Jumlah Gugus Padaido Atas Pakreki Padaidori Laguna Padaidori Mbromsi Pasi Mangguandi Laguna mangguandi Kebori
Kelas kesesuaian lahan pesisir Sgt sesuai Sesuai Bersyarat Tdk sesuai (S1) (S2) (S3) (N) 6504,949 --3404,132 -67,315 -71,255 --6504,949 3542,702 ---1272,205 ------564,954 --17,013 ---
------30,599 79,596 20,475 132,928 84,150 --54,378
115,232 ---38,970 154,202 ---------
104
9 10 11 12 13 14
Rasi Workbondi Dauwi-Nukori Laguna dauwi-nukori Wamsoi Runi Jumlah III Perairan dalam
-----423,325 -108,277 -116,503 --564,954 1937,323 ---
50,629 -67,527 -------278,705 -798,987 --169771,997
Jumlah Total Sumber : Hasil analisis SIG
7069,903 5480,025
798,987 169926,199
Budidaya Ikan Dalam Keramba Jaring Apung Lahan perairan yang dianalisis untuk kesesuaian penggunaan budidaya ikan dengan kerambah jaring apung terdiri atas lahan laguna, lagoon, rawa dan perairan dalam. Berdasarkan hasil analisis yang disajikan pada Tabel 24 dan Lampiran 20 diperolah dua kelas kesesuaian lahan. Pertama adalah kelas sangat sesuai (S1). Lahan kelas ini terdiri atas laguna, lagoon dan rawa, dengan nilai kesesuaian antara 88,57% sampai 91,43%. Luas total areal lahan sebesar 3692,808 ha. Berdasarkan pengamatan lapangan, pada lahan “rawa” Pulau Padaidori telah dimanfaatkan untuk budidaya ikan dengan keramba jaring apung oleh Dinas Perikanan dan Kelautan, Kabupaten Biak Numfor. Kedua adalah kelas tidak sesuai (N). Lahan kelas ini merupakan perairan dalam dan rataan terumbu pulau. Secara fisik, laha n memiliki faktor pembatas yang bersifat permanen untuk penggunaan budidaya ikan dengan keramba jaring apung. Pada perairan dalam, kedalaman perairan dan keamanan merupakan faktor pembatas, sedangkan pada rataan terumbu pulau, kedalaman perairan merupakan faktor pembatas permanen. Faktor-faktor yang mendukung lahan sangat sesuai adalah keamanan, kualitas air, ketersediaan bibit ikan, tenaga kerja, dan tidak ada pencemaran. Lahan relatif aman dari gelombang besar dan arus kuat karena terletak pada daerah terlindung. Lahan merupakan laguna dan lagoon yang dikelilingi oleh daratan pulau dan dataran
105
terumbu karang yang berfungsi sebagai pelindung. Lahan memiliki kualitas air yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan ikan. Lahan juga bebas dari pencemaran industri maupun rumah tangga. Bibit ikan untuk pembesaran mudah diperoleh karena tersedia secara alami di sekitar perairan terumbu karang dan padang lamun. Ikan kerapu, kakap, baronang dan jenis-jenis ikan hias serta udang karang (lobster) merupakan komoditi laut bernilai ekonomis penting yang tersedia dalam jumlah banyak dan merupakan hasil tangkapan utama nelayan sehari- hari. Ketersediaan tenaga kerja merupakan salah faktor pendukung budidaya ikan dengan keramba jaring apung. Tenaga kerja untuk mengelola sarana budidaya tersedia di pulau-pulau sekitar. Mata pencaharian penduduk GPP Padaido adalah nelayan penangkap ikan. Pada musim angin kuat, mereka tidak bisa melaut karena gelombang besar dan arus kuat. Tenaga nelayan ini dialihkan ke usaha pemeliharaan ikan dengan keramba jaring apung. Tabel 24 Kelas kesesuaian dan luas lahan (ha) budidaya keramba jaring apung Kelas Kesesuaian Lahan Sgt sesuai Sesuai Bersyarat Tdk sesuai (S1) (S2) (S3) N 1 Laguna Auki 63,315 ---2 Lagoon atol Wundi 3404,132 ---3 Laguna Padaidori 20,475 ---4 “Rawa Padaidori” 79,596 ---5 Laguna Manggunadi 17,013 ---6 Laguna Nukori-Dauwi 108,277 ---Jumlah 3692,808 ---Sumber : Hasil analisis SIG No
Lokasi
Analisis Kesesuaian Lahan Untuk Pariwisata Pesisir Pariwisata pesisir merupakan jenis pariwisata yang memanfaatkan pantai dan tepian laut sebagai objek dan daya tarik wisata dan rekreasi. Menikmati keindahan alam pantai, berolah raga pantai, berjemur (sun bathing), menikmati burung-burung (birds watching), menikmati keindahan tebing karang, berrekreasi/piknik, berkemah, berenang, “snorkling”, menyelam, memancing dan berlayar merupakan kegiatan-
106
kegiatan wisata pesisir yang berlangsung di daerah pantai, lahan pasang-surut, terumbu karang, gosong karang dan perairan laut. Sebanyak 11 lahan pesisir dan laut yang dikelompokkan atas gugus pulau, pulau dan lagoon dianalisis untuk penggunaan pariwisata pesisir dan laut. Pengelompokkan pulau dilakukan berdasarkan jarak, akses dan ketersediaan sarana dan prasarana pariwisata pesisir. Gugus Pulau Auki terdiri atas Pulau Auki, Pulau Yumni, Pulau Rarsbar, Pulau Wurki, beberapa pulau beting karang, dan laguna. Gugus Pulau Wundi terdiri atas Pulau Wundi, Pulau Urev, Pulau Mansurbabo dan gosong karang. Gugus Pulau Padaidori terdiri atas Pulau Padaidori, Pulau Yeri, Pulau Yeri Kecil, laguna, dan rawa. Gugus Pulau Mangguandi terdiri atas Pulau Mangguandi, Pulau Kebori, Pulau Rasi, dan laguna. Gugus Pulau Dauwi terdiri atas Pulau Workbondi, Pulau Samakur, Pulau Nukori, Pulau Dauwi, Pulau Wamsoi, Pulau Runi, dan laguna. Lahan terdiri atas
pantai kering, lahan pasang surut (rataan
terumbu pulau), gosong karang, laguna, lagoon, “rawa”, dan terumbu karang yang memiliki objek dan daya tarik untuk pengembangan pariwisata dan rekreasi pantai dan laut. Analisis dilakukan dengan membandingkan (memadukan) karakteristik lahan dengan persyaratan penggunaan pariwisata pesisir. Persyaratan lahan untuk penggunaan pariwisata pesisir dikelompokkan atas dua parameter, yaitu: kondisi bentang alam dan fasilitas pariwisata, yang dijelaskan dalam Bab III. Penilaian menggunakan cara pembobotan dan skoring untuk menghasilkan kelas kesesuaian lahan. Hasil analisis kesesuaian lahan untuk penggunaan pariwisata pesisir disajikan pada Tabel 25 dan Lampiran 21. Berdasarkan hasil analisis, lahan pesisir dan laut GPP Padaido untuk penggunaan pariwisata pesisir dikelompokkan dalam empat kelas. Pertama adalah kelas lahan sangat sesuai (S1) yang memiliki nilai kesesuaian berkisar antara 80 sampai 86,667%. Lahan tersebar di lima lokasi, yaitu: gugus Pulau Auki, gugus Pulau Wundi, Pulau Pai, lagoon Atol Wundi dan gugus Pulau Dauwi. Luas total lahan diperkirakan sebesar 7778,453 ha. Objek dan daya tarik lahan untuk pariwisata dan rekreasi pesisir adalah pantai pasir putih dan tebing karang, perkebunan kelapa
107
sepanjang garis pantai, hutan pantai, perairan jernih dan tenang, burung-burung pantai, hamparan terumbu karang dan padang lamun, serta topografi dasar laut. Kegiatan pariwisata pesisir yang berlangsung di lahan adalah menikmati keindahan alam pantai pulau, olah raga pantai, berjemur, rekreasi atau piknik pantai, berkemah, menikmati burung-burung pantai di Pulau Samakur, berenang, berlayar, menikmati pemandangan bawah laut melalui selam dan “snorkling”, serta jalan-jalan di zona pasang-surut ketika air surut. Fasilitas pendukung, seperti sarana transportasi dan pondok wisata serta air tawar tersedia, sedangkan sarana kelistrikan dan telekomunikasi belum terpasang. Kedua adalah lahan kelas sesuai (S2) yang memiliki nilai kesesuaian antara 73,33% sampai 76,191%. Lahan tersebar di Gugus Pulau Padaidori dan Gugus Pulau Mangguandi, dengan luas total sebesar 2270,784 ha. Lahan memiliki objek dan daya tarik wisata pesisir, yaitu pantai berpasir putih, rataan terumbu pulau (zona pasang surut), perairan jernih, terumbu karang, hamparan padang lamun, hutan mangrove, laguna dan rawa serta beberapa pulau kecil yang tidak berpenduduk. Kegiatan wisata pesisir yang dapat dilakukan, antara lain; menikmati keindahan alam pulau, berenang, snorkling, olah raga pantai, piknik/rekreasi, berkemah, berlayar, berjemur, dan jalanjalan di zona pasang-surut ketika air surut. Fasilitas pendukung, seperti: pondok wisata, kelistrikan dan telekomunikasi belum tersedia kecuali sarana transportasi dan air tawar. Tabel 25 Kelas kesesuaian dan luas lahan (ha) wisata pesisir
No I 1 2 3 4 5
Gugus Pulau
Padaido bawah Gugus pulau Auki Gugus pulau Wundi Nusi Pai Lagoon atol Wundi Jumlah II Padaido atas
Kelas Kesesuaian Lahan Sgt sesuai Sesuai Bersyarat Tdk sesuai (S1) (S2) (S3) (N) 982,674 2259,119 -138,191 3404,132 6784,116
-------
--1092,046 --1092,046
-------
108
1 2 3 4 5 6
Pakreki Gugus pulau Padaidori Mbromsi Pasi Gugus pulau Mangguandi Gugus pulau Dauwi Jumlah Jumlah Total Sumber : Hasil analisis SIG
---1372,276 -----898.508 994,337 -994,337 2270,784 7778,453 2270,784
19,976 -132,928 84,150 --237,054 1329,100
---------
Ketiga adalah kelas lahan sesuai bersyarat (S3) yang memiliki nilai kesesuaian berkisar antara 60 – 67,6%. Lahan tersebar di empat lokasi lokasi, yaitu: Pulau Nusi, Pulau Pakreki, Pulau Mbromsi dan Pulau Pasi, dengan luas total lahan sebesar 1329,100 ha. Kawasan memiliki
pantai pasir putih, pantai tebing karang, zona
pasang surut yang pendek, topografi dasar laut yang beralur-alur (rugousity), ekosistem terumbu karang, dan ikan pelagis sebagai objek dan daya tarik wisata. Berenang, menyelam, snorkling, memancing, menikmati pemandangan alam pantai merupakan kegiatan wisata pesisir yang dapat berlangsung di kawasan. Namun demikian, kawasan memiliki faktor pembatas seperti kurangnya sarana transportasi dan tidak adanya sarana akomodasi, kelistrikan dan telekomunikasi serta kondisi perairan yang selalu dinamis pada musim- musim tertentu. Keempat adalah kelas lahan tidak sesuai (N). Lahan merupakan laut dalam dan secara fisik tidak sesuai untuk pengembangan kegiatan pariwisata pesisir. Cuaca dan kondisi perairan yang dinamis merupakan faktor pembatas lahan yang permanen pada musim- musim tertentu untuk aktivitas pariwisata pesisir. Analisis Kesesuaian Daerah Penangkapan Ikan Karang dan Pelagis Terumbu karang dan lingkungan pelagis merupakan lahan pesisir da n laut yang produktif karena memiliki sumberdaya alam hayati yang bernilai ekonomis penting, terutama ikan karang (hias dan target) dan ikan pelagis (kecil dan besar). Pemanfaatan sumberdaya ikan karang dan pelagis di GPP Padaido telah berlangsung lama. Aktivitas ini telah memberikan dampak terhadap kerusakan habitat di beberapa
109
pulau karena menggunakan metoda penangkapan yang merusak. Untuk menjamin kelestarian sumberdaya ikan dan kelangsungan pemanfaatannya secara lestari dilakukan analisis kesesuaian daerah penangkapan ikan karang dan pelagis. Analisis kesesuaian daerah penangkapan ikan karang dan pelagis bertujuan untuk menentukan kawasan di perairan terumbu karang dan laut yang sesuai untuk penangkapan ikan karang dan ikan pelagis yang bernilai ekonomis penting. Analisis dilakukan dengan memadukan karakteristik daerah penangkapan dengan persyaratan dari masing-masing daerah penangkapan yang telah dijelaskan dalam Bab III. Penilaian kesesuaian dilakukan dengan cara pemberian skoring dan pembobotan. Berikut adalah hasil analisis kesesuaian lahan untuk daerah penangkapan ikan karang dan ikan pelagis. Daerah Penangkapan Ikan Karang Sebanyak kurang lebih 30 satuan lahan terumbu karang dianalisis untuk daerah penangkapan ikan karang. Satuan lahan merupakan terumbu karang dangkal, dalam dan karang.gosong yang dikelompokkan kedalam 10 satuan gugus pulau dan pulau. Hasil analisis kesesuaian lahan disajikan pada Tabel 26 dan Lampiran 22. Tabel 26 Kelas kesesuaian daerah penangkapan ikan karang (kel. targe t)
No I 1 2 3 4 5 6 II 1 2 3 4
Gugus Pulau Padaido bawah Gugus pulau Auki Gugus pulau Wundi Nusi Pai Karang Insarorki Karang Wundumimas Padaido atas Pakreki Gugus pulau Padaidori Mbromsi Pasi
Kelas Kesesuaian Lahan Sgt sesuai Sesuai Bersyarat Tdk sesuai (S1) (S2) (S3) (N) √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
110
5 Gugus pulau Mangguandi 6 Gugus pulau Dauwi 7 Karang Mansawayomni 8 Karang Urbinai 9 Karang Kasinampia Sumber : Hasil analisis SIG
√ √ √ √ √
Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan dengan memadukan persyaratan daerah penangkapan ikan karang dan karakteristik terumbu karang, daerah penangkapan ikan karang dikelompokkan atas tiga kelas, yaitu kelas sangat sesuai (S1), kelas sesuai (S2) dan kelas sesuai bersyarat (S3). Kelas sangat sesuai (S1) memiliki nilai kesesuaian lahan sebesar 80% dan dijumpai pada Gugus Pulau Wundi dan Gugus Pulau Dauwi. Gugus pulau wundi terdiri dari terumbu karang Pulau Wundi, Pulau Urev, Pulau Mansurbabo dan karang gosong. Gugus Pulau Dauwi terdiri dari terumbu karang Pulau Nukori, Pulau Dauwi, Pulau Wamsoi, Pulau Runi, Pulau Workbondi, Karang Urbinai dan Karang Kasinampia. Parameter pendukung lahan kelas ini adalah kedalaman perairan, kecerahan, kondisi terumbu karang dan kelimpahan ikan karang, sedangkan faktor yang kurang mendukung adalah perubahan cuaca. Kelas sesuai (S2) memiliki nilai kesesuaian sebesar 72 – 76%. Kelas tersebar di terumbu karang Gugus Pulau Auki, Pulau Nusi, Pulau Pakreki, Pulau Mbromsi dan Pulau Pasi. Gugus Pulau Auki terdiri dari Pulau Auki, Pulau Rarsbar dan Pulau Yumni. Dibandingkan dengan kelas sangat sesuai, faktor yang kurang mendukung adalah kelimpahan ikan karang dan perubahan cuaca, sedangkan faktor lain cenderung sama. Kelas sesuai bersyarat (S3) memiliki nilai kesesuaian sebesar 64% dan tersebar di terumbu karang Pulau Pai, Karang Insarorki, Karang Wundumimas, Gugus Pulau Padaidori dan Gugus Pulau Mangguandi. Terumbu karang Gugus Pulau Padaidori terdiri dari Pulau Padaidori, Pulau Yeri dan Pulau Yeri kecil. Faktor yang kurang mendukung selain kelimpahan ikan karang juga topografi dasar perairan dan perubahan cuaca.
111
Daerah Penangkapan Ikan Pelagis Hasil analisis kesesuaian daerah penangkapan ikan pelagis disajikan pada Tabel 27 dan Lampiran 22. Perairan laut di Kepulauan Padaido, baik yang mengelilingi GPP Padaido Bawah dan GPP Padaido Atas maupun perairan laut lagoon Atol Wundi sesuai untuk daerah penangkapan ikan pelagis dengan nilai kesesuaian sebesar 82,222% sampai 86,667%. Perairan lagoon Atol Wundi sesuai untuk daerah penangkapan ikan pelagis kecil, sedangkan perairan laut dalam yang mengelilingi GPP Padaido sesuai untuk daerah penangkapan ikan pelagis kecil dan besar. Faktor yang mendukung perairan sesuai untuk daerah penangkapan ikan pelagis adalah parameter oseanografi perairan seperti suhu, salinitas, oksigen terlarut, kecerahan perairan dan tidak adanya pencemaran. Faktor yang kurang mendukung adalah perubahan cuaca. Tabel 27 Kelas kesesuaian daerah penangkapan ikan pelagis No
Lokasi
1 Perairan pulau-pulau atol Wundi 2 Perairan pulau Pakreki 3 Perairan gugus pulau Mbromsi 4 Perairan gugus pulau Dauwi 5 Perairan lagoon atol Wundi Sumber : Hasil analisis SIG
Kelas Kesesuaian Lahan Sesuai Tdk sesuai (S) (N) √ √ √ √ √
112
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA GPP PADAIDO GPP Padaido merupakan gugusan pulau-pulau terumbu karang yang berukuran kecil, terdiri dari 29 pulau yang secara tradisional dikelompokkan atas dua gugus pulau, yaitu; GPP Padaido Atas dan GPP Padaido Bawah. Pulau-pulau dihubungkan oleh laut dalam yang merupakan kawasan terluas. Sebagai pulau-pulau kecil, lahan daratan dan air tanah terbatas namun memiliki dataran terumbu pulau, terumbu atol serta perairan lagoon dan pulau-pulau yang luas yang mengandung sumberdaya perikanan dan pariwisata yang memiliki kapasitas maksimum.. Kondisi sumberdaya perikanan dan pariwisata masih baik dan sangat berpeluang
untuk
dikembangankan.
Namun
demikian,
pemanfaatan
dan
pengembangannya harus dikelola dengan baik agar kualitasnya tetap terjaga. Selain itu, lingkungan pulau-pulau kecil disusun oleh sumberdaya alam yang mudah rapuh (fragile) dan sangat rentan terhadap gangguan yang datang dari luar. Oleh karenanya perlu dilakukan analisis daya dukung lingkungan pulau-pulau yang mampu mentolerir segenap kegiatan pembangunan sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Daya dukung diartikan sebagai intensitas pemanfaatan maksimum sumberdaya alam secara terus menerus tanpa mengalami kerusakan (Bengen, 2002). Analisis daya dukung lingkungan pulau-pulau Padaido untuk pembangunan pariwisata pesisir, perikanan budidaya dan perikanan tangkap dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan sumberdaya pulau-pulau mendukung aktifitas pembangunan secara optimal dan berkelanjutan tanpa mengalami kerusakan. Kualitas Perairan GPP Padaido Air laut merupakan komponen penting bagi mahluk hidup, terutama kelompok organisme akuatik. Selain berfungsi sebagai habitat, air yang mengandung sifat-sifat fisik-kimia mempunyai fungsi faal, seperti pendorong proses reproduksi dan metabolisme. Pengukuran dan analisis parameter fisik-kimia di 10 stasion dalam kawasan GPP Padaido dimaksudkan untuk melihat kelayakan habitat perairan dalam mendukung
kehidupan
organisme
akuatik
dan
kesesuaian
kawasan
bagi
113
pengembangan kegiatan pembangunan. Hasil pengukuran dan analisis kualitas perairan laut daerah penelitian disajikan pada Tabel 28. Tabel 28 Kualitas perairan Kepulauan Padaido, Distrik Padaido No Parameter Sat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Temperatur Salinitas pH Kecerahan Kec.arus Arah arus DO BOD5 COD Phosphat Nitrit Nitrat Amonia
o
1
Padaido Bawah 2 3 4
C 29,1 29 ppm 34 34 8,3 8,3 m 13 15 m/det 0,5 0,5 timur timur mg/l 8,4 8,2 mg/l 6,8 7,2 mg/l 12,82 18,98 mg/l 0,006 0,004 mg/l 0,003 0,007 mg/l 0,107 0,078 mg/l 0,067 0,049
29,8 34 8,3 15 0,05 timur 9 8,7 15,34 0,013 0,007 0,097 0,049
29,4 34 8,3 15 0,72 timur 7,8 7,9 19,53 0,005 0,004 0,111 0,087
5 29,7 34 8,5 19 0,67 timur 6,8 6,2 19,59 0,001 0,003 0,097 0,078
6
Padaido Atas 7 8 9
29,7 30 29,7 34 34 34 8,2 8,3 8,3 20 18 21 0,56 0,56 0,53 timur timur timur 8,3 9,1 7,2 8,8 9,8 9,1 20,9 23,02 21,3 0,003 0,005 0,001 0,003 0,006 0,003 0,11 0,084 0,044 0,04 0,027 0,034
29,8 34 8,2 13 0,05 timur 9,1 9,1 19,38 0,001 0,005 0,082 0,065
10 29,8 34 8,3 19 0,66 timur 8,7 8,6 16,86 0,005 0,009 0,065 0,046
Rataan 29,6 34 8,3 16,8 0,48 timur 8,26 8,22 18,77 0,004 0,005 0,088 0,054
Sumber : Hasil analisis Ket : 1.Pulau Urev 2.Pulau Nusi bgn barat 3.Pulau Pai 4.Nusi bgn timur 5.Pulau Yumni 6.Pulau Pakreki 7.Pulau Padaidori 8.Pulau Pasi 9.Pulau Mangguandi 10. Pulau Dauwi
Suhu permukaan di daerah penelitian berkisar antara 29-300 C, dengan rata-rata 29,6 0 C. Suhu permukaan tersebut akan cenderung naik bila perairan sedang surut. Bagi binatang karang, suhu permukaan daerah penelitian masih relatif tinggi dibandingkan kisaran suhu untuk perkembangan optimum binatang karang yaitu 23250C. Suhu tinggi akan mempengaruhi proses reproduksi, metabolisme dan proses kalsifikasi dari binatang karang (Nybakken, 1992), namun suhu di luar kisaran tersebut (20 - 360C) masih dapat ditolerir oleh spesies tertentu dari jenis karang hermatifik (Dahuri, 2003). Bagi lamun kisaran suhu permukaan masih berada dalam kisaran suhu perkembangan optimal yaitu 28-300 C (Dahuri, 2003). Selain bermanfaat bagi terumbu karang dan padang lamun, suhu permukaan daerah penelitian juga sesuai sebagai habitat dan daerah penangkapan dari berbagai jenis ikan pelagis, terutama jenis-jenis ikan tuna, seperti Cakalang (Katsuwonus pelamis) dan
Madidihang (Thunnus albacares) yang bernilai ekonomi tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian Waas (2004) di utara Pulau Biak (Samudera Pasifik)
114
ditemukan bahwa kedua spesies tuna tersebut terkonsentrasi pada julat isoterm 28,50310C dan daerah penangkapan dibatasi pada isoterm 29-29,500 C. Salinitas dan pH air laut relatif stabil berada pada kisaran 34% o dan 8,3. Bagi hewan karang dan tumbuhan lamun, salinitas perairan masih berada dalam kisaran pertumbuhan dan perkembangannya, yaitu 32-35%o (Nybakken, 1992 dan Dahuri, 2003). Bagi ik an pelagis seperti ikan Cakalang, Madidihang, Tenggiri dan Layaran, salinitas perairan daerah penelitian merupakan habitat bagi ikan-ikan tersebut yang hidup pada salinitas sekitar 32-35%o (Clever dan Shimada, 1950 yang diacuh oleh Gunarso, 1985). Perairan di sekitar GPP Padaido relatif cukup jernih dengan tingkat kecerahan yang relatif tinggi (13-20m). Kecerahan perairan yang tinggi menunjukkan ketersediaan
intensitas
cahaya
matahari
yang
cukup
untuk
mendukung
berlangsungnya proses fotosintesis bagi alga yang bersimbiosis di dalam jaringan karang batu, alga dan tumbuhan lamun yang hidup pada dan sekitar terumbu karang. Kecepatan arus permukaan di daerah penelitian cukup dinamis berkisar antara 0,05-0,67 m/det dengan rata-rata 0,48 m/det. Hal ini disebabkan karena daerah penelitian letaknya berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik sehingga pergerakan arus dan aksi gelombang dari laut lepas langsung mempengaruhi daerah ini. Arus diperlukan hewan karang dan organisme akuatik lain untuk mendatangkan makanan, membersihkan diri dari endapan-endapan dan untuk mengsuplai oksigen dari laut lepas. Di daerah rataan terumbu GPP Padaido dasarnya sebagian besar terdiri dari pasir dan pecahan-pecahan karang yang ditumbuhi lamun dan makro alga (Halimeda spp). Pada waktu air surut di daerah rataan terumbu (bagian tepi) banyak bagianbagian dari terumbu karang terlihat muncul ke permukaan perairan. Berdasarkan pengamatan lapangan banyak koloni karang yang mengalami kematian pada kawasan tersebut dibandingkan terumbu karang yang tetap berada dalam air pada saat air surut. Hal ini disebabkan oleh keterbukaan koloni karang di udara terbuka dengan suhu yang tinggi yang menyebabkan kematian zooxanthellae. Tipe pertumbuhan hewan
115
karang yang dominan di kawasan tersebut adalah tipe padat (massive) dan tipe jamur (mushroom). Hasil pengukuran parameter kimia perairan seperti yang disajikan pada Tabel 28, menunjukkan bahwa kandungan oksigen terlarut berada pada kisaran yang baik untuk mendukung kehidupan organisme akuatik. Demikian juga ketersediaan bahan organik dalam bentuk nutrien (fosfat dan nitrat) yang secara langsung dapat diserap oleh tumbuhan secara alami (<0,1mg/ltr). Berkurangnya bahan organik di lingkungan perairan laut dimungkinkan oleh adanya masukkan oksigen sebagai bahan penguraiannya melalui proses dinamika air laut yang terjadi secara kontinyu baik dari pergerakan proses pasang surut maupun aksi gelombang setempat. Secara keseluruhan hasil analisis ini menunjukkan bahwa kualitas perairan di GPP Padaido masih ber ada di bawah baku mutu (Tabel 29) untuk kegiatan budidaya perairan, pariwisata dan rekreasi serta konservasi. Kualitas perairan laut mendukung pengelolaan kawasan GPP Padaido untuk kegiatan budidaya perairan, pariwisata, rekreasi dan konservasi. Kualitas perairan tidak menjadi faktor penghambat dalam mendukung pengelolaan kawasan dan sumberdaya pesisir dan laut GPP Padaido. Tabel 29 Baku mutu air laut untuk berbagai kegiatan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Parameter
Sat
Temperatur o C Salinitas ppm pH Kecerahan m Kec.arus m/det Arah arus DO mg/l BOD5 mg/l COD mg/l Phosphat mg/l Nitrit mg/l Nitrat mg/l Amonia mg/l
Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut Budidaya Pariwisata Konservasi alami alami alami alami alami alami 6,5-8,5 6,5-8,5 6,5-8,5 >5 >10 >10 >6 >5 >6 <15 <10 <40 <45 <40 <40 nihil nihil <0,3
nihil nihil nihil
nihil nihil <0,1
Sumber: Kep. Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No.2, 1988.
116
Daya Dukung GPP Padaido Untuk Budidaya Rumput Laut Analisis daya dukung lahan perairan untuk pengembangan budidaya rumput laut di GPP Padaido dilakukan dengan pendekatan luasan areal budidaya berdasarkan metoda budidaya yang diterapkan. Parameter yang menjadi acuan untuk menduga daya dukung adalah : (1)
Luasan lahan perairan pesisir yang sesuai Luasan lahan perairan pesisir yang sesuai adalah luasan lahan perairan pesisir yang sesuai untuk budidaya rumput laut berdasarkan analisis kesesuaian dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Distribusi luasan lahan perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut di pulau-pulau Padaido disajikan pada Tabel 30. Rataan terumbu pulau-pulau Atol Wundi memiliki luas lahan terbesar (6504,949 ha), diikuti oleh lagoon Atol Wundi (3404,132 ha), dan Pulau Padaidori (1272,205 ha). GPP Padaido Bawah mempunyai luasan lahan perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut terbesar (10047,651 ha1) dari pada gugus pulau Padaido Atas (3301,354 ha).
(2)
Kapasitas lahan perairan pesisir Kapasitas lahan diartikan sebagai luasan lahan perairan yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya rumput laut secara terus menerus tanpa mengalami kerusakan dan menggangu ekosistem pesisir pulau secara keseluruhan. Besarnya kapasitas lahan dalam penelitian ini ditetapkan sebesar 5% dari luas lahan perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut. Penetapan didasarkan atas beberapa pertimbangan, sebagai berikut: 1) Perairan dangkal sekitar pulau-pulau kecil merupakan lahan tempat masyarakat mencari hasil laut untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka setiap hari. Pemanfaatan lahan budidaya yang terlalu luas dapat mengurangi lahan matapencaharian masyarakat yang berakibat pada timbulnya konflik. 2) Perairan dangkal merupakan lahan yang terdiri atas beragam habitat dan komunitas yang secara ekologis penting dipertahankan keberadaannya. Pemanfaatan lahan yang luas dapat mengganggu kestabilan ekosistem pulau-pulau kecil secara keseluruhan.
117
3) Perairan dangkal yang dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut tidak dikonsentrasi pada satu pulau tetapi tersebar di pulau-pulau lain baik yang berpenduduk maupun tidak berpenduduk. 4) Perairan dangkal merupakan kawasan multiguna. Selain kegiatan perikanan tradisional, terdapat pula kegiatan pariwisata,
rekreasi pesisir dan
transportasi laut. Pemanfaatan lahan perairan untuk budidaya rumput laut yang bersinergi dengan kegiatan lain dapat mengurangi konflik dan kerusakan ekosistem dan sumberdaya alam pulau-pulau kecil. 5) Perairan terdiri atas beberapa kelas lahan. Pemanfaatan laha n yang memiliki kelas yang rendah akan menghasilkan hasil (produksi) yang tidak optimal. Distribusi kapasitas lahan perairan budidaya rumput laut di GPP Padaido disajikan pada Tabel 30. Rataan terumbu pulau-pulau Atol Wundi memiliki kapasitas lahan terbesar (325,247 ha), diikuti oleh lagoon Atol Wundi (170,207 ha), dan Pulau Padaidori (63,610 ha). Kapasitas lahan budidaya rumput laut di GPP Padaido Bawah adalah yang terbesar (502,383 ha) dibandingkan dengan kapasitas lahan di GPP Padaido Atas (3301,354 ha). (3)
Luasan unit budidaya berdasarkan metoda budidaya Luasan unit budidaya adalah besaran yang menujukkan luasan dari satu unit budidaya rumput laut. Luasan satu unit budidaya berbeda-beda tergantung pada metoda budidaya yang digunakan. Dalam kajian ini luasan satu unit budidaya mengacu pada Indriani dan Sumiarsih (2001), dimana luasan satu unit budidaya rumput laut dengan metoda dekat dasar, rakit dan long line masing- masing adalah 100 m2 (0,01 ha), 12,5 m2 (0,00125 ha) dan 150 m2 atau 0,015 ha.
(4)
Daya dukung lahan perairan pesisir Daya dukung lahan menujukkan kemampuan maksimum lahan mendukung aktivitas budidaya secara terus menerus tanpa penurunan kualitas. Berdasarkan pergertian ini dilakukan analisis daya dukung lahan perairan untuk pengembangan budidaya rumput laut. Tabel 30 menunjukkan distribusi daya dukung lahan perairan di GPP Padaido. Rataan terumbu pulau-pulau Atol
118
Wundi memiliki daya dukung terbesar (32.525 unit) dengan metoda dekat dasar, diikuti oleh Pulau Padaidori (6.361 unit) dan Pulau Mangguandi (2.825 unit). Lagoon Atol Wundi memiliki daya dukung terbesar dengan metoda rakit (136.165 unit) dan metoda long line (11.347 unit), diikuti oleh laguna DauwiNukori (4.331 unit rakit dan 2.166 unit lone line) dan “rawa padaidori” (2.693 unit rakit dan 1.346 unit long line). Daya dukung lahan untuk budidaya rumput laut di GPP Padaido Bawah lebih besar dari pada daya dukung lahan di GPP Padaido Atas. GPP Padaido Bawah merupakan kumpulan pulau-pulau kecil yang terbentuk diatas formasi Atol Wundi yang memiliki rataan terumbu dan lagoon yang luas. Tabel 30 menunjukkan bahwa jumlah total unit budidaya rumput laut yang dapat didukung oleh perairan GPP Padaido pada waktu bersamaan sekitar 48.261 unit dengan metode dekat dasar, 147.876 unit denga n metoda rakit, dan 12.324 unit dengan metoda long line (rawai). Jumlah tersebut belum mempertimbangkan banyaknya bibit rumput laut dan bahan-bahan sarana budidaya. Bila penyediaan bibit rumput laut dipertimbangkan sebagai faktor pembatas (kendala), maka jumlah optimal unit budidaya rumput laut dapat lebih rendah. Dengan demikian, bahanbahan sarana budidaya pada gilirannya akan lebih rendah atau sedikit juga. Sebagai gambaran ditunjukkan bahwa kebutuhan bibit rumput laut untuk satu unit budidaya dengan metoda dekat dasar sekitar 240 kg basah, dengan rakit sekitar 30 kg basah (Indriani dan Sumiarsih, 2001) dan dengan long line sekitar 70 kg basah (Pratiwi dan Ismail, 2004) maka kebutuhan rumput laut laut pada metoda dekat dasar, rakit dan long line masing- masing adalah 11.582.640 kg (11.582,640 ton), 4.436.280 kg (4.436,280 ton), dan 862.610 kg (862,610 ton). Bila ditotalkan kebutuhan rumput laut sekitar 16.881.530 kg (16.881,530 ton). Jumlah tersebut sangat besar dan tidak mungkin disediakan dalam satu kali musim tanam. Yang dapat dilakukan adalah pemenuhan kebutuhan rumput laut secara bertahap melalui hasil panen dan atau suplai dari daerah lain di luar GPP Padaido. Dalam rangka mengoptimalkan pengelolaan kawasan perairan pesisir GPP Padaido dan memperhitungkan jumlah rumput laut optimal berdasarkan daya dukung
119
ketersediaan rumput laut di alam maupun lokasi budidaya, maka diperlukan penelitian lebih lanjut tentang ketersediaan rumput laut di Kepulauan Padaido. Tabel 30 Daya dukung lahan perairan pesisir untuk budidaya rumput laut
No
Gugus Pulau
Luas lahan Kapasitas perairan pesisir lahan perairan
Daya Dukung Perairan Pesisir Jumlah Unit
Jumlah Unit
Jumlah Unit
yang sesuai (ha) pesisir (ha) Mtd. Dekat Dasar Mtd. Rakit Mtd. Long line I
Padaido Bawah
1 Rataan terumbu p.p. atol Wundi
6504,949
325,247
2 Lagoon atol Wundi
3404,132
170,207
-
136165,280
11347,107
3 Laguna Auki
67,315
3,366
-
2692,600
224,383
4 P. Wurki
71,255
3,563
10047,651
502,383
30,599
1,530
1272,205
63,610
Jumlah
32524,745
356,275
-
-
32881,020 138857,880
-
11571,490
II Padaido Atas 1 P. Pakreki 2 P. Padaidori
152,995
-
-
6361,025
-
-
3 Laguna Padaidori
20,475
1,024
-
4 “Rawa” Padaidori
79,596
3,980
-
132,928
6,646
664,640
-
-
84,150
4,208
420,750
-
-
564,954
28,248
2824,770
-
-
8 Laguna Manggunadi
17,103
0,855
9 P. Kebori
54,378
2,719
271,890
-
-
10 P. Rasi
50,629
2,531
253,145
-
-
11 P. Workbondi
67,527
3,376
337,635
-
-
12 P. Dauwi-Nukori
423,325
21,166
2116,625
-
-
13 Laguna Dauwi-Nukori
108,277
5,414
14 P. Wamsoi
116,503
5,825
582,515
-
-
15 P. Runi
278,705
13,935
1393,525
-
-
3301,354
165,068
15379,515
5 P. Mbromsi 6 P. Pasi 7 P. Mangguandi
-
819,000
68,250
3183,840
265,320
684,120
-
4331,080
57,010
360,923
9018,040
751,503
Jumlah total 13349,005 667,450 48260,535 147875,920 Sumber: Hasil perhitungan Keterangan Tabel: 1. Kapasitas lahan perairan pesisir adalah 5 persen dari luas lahan yang sesuai 2. Luas 1 unit budidaya rumput laut dengan metode lepas dasar = 100 m2 = 0,01 ha 3. Luas 1 unit budidaya rumput laut dengan metode rakit = 12,5 m2 = 0,00125 ha 4. Luas 1 unit budidaya rumput laut dengan metode long line = 150 m2 = 0,015 ha.
12322,993
Jumlah
120
Daya Dukung GPP Padaido Untuk Budidaya Keramba Apung Analisis daya dukung lahan pe rairan GPP Padaido untuk pengembangan budidaya ikan dengan keramba jaring apung menggunakan pendekatan kapasitas lahan perairan yang sesuai. Parameter yang menjadi acuan untuk menganalisis daya dukung adalah: (1)
Luasan lahan perairan yang sesuai Luas lahan perairan yang sesuai untuk budidaya ikan dengan keramba jaring apung diperoleh dari hasil analisis kesesuaian lahan dengan SIG. Tabel 31 memperlihatkan penyebaran luasan lahan perairan yang sesuai untuk budidaya ikan dengan keramba jaring apung di GPP Padaido. Lagoon Atol Wundi memiliki luasan perairan terbesar (5.198,893 ha), diikuti oleh laguna Dauwi-Nukori (108,277 ha) dan rawa Padaidori (79,596 ha). GPP Padaido Bawah memiliki luasan perairan untuk budidaya ikan dengan keramba jaring apung terbesar (5.266,208 ha) dari pada GPP Padaido Atas (225,361 ha).
(2)
Kapasitas lahan perairan Kapasitas lahan perairan diartikan sebagai besaran kemampuan lahan perairan yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya ikan dengan keramba jaring apung secara terus menerus tanpa mengalami penurunan kualitas dan mengganggu ekosistem dan sumberdaya pesisir pulau secara keseluruhan. Kapasitas lahan ditetapkan sebesar 10% dari luas lahan perairan yang sesuai untuk budidaya ikan dengan keramba jaring apung. Penetapan didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut: 1)
Perairan merupakan tempat masyarakat mencari ikan dan hasil laut lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan luasan perairan yang besar akan mengganggu kegiatan masyarakat.
2)
Perairan merupakan jalur transportasi perahu motor masyarakat. Pemanfaatan lahan yang besar akan mengganggu jalur transportasi dan juga lokasi budidaya.
3)
Perairan merupakan lokasi budidaya rumput laut.
121
4)
Untuk tujuan konservasi lahan perairan. Tabel 31 memperlihatkan
kapasitas
lahan
perairan
pulau-pulau
mendukung budidaya ikan dengan keramba. Lagoon Atol Wundi memiliki kapasitas lahan perairan terbesar (519,889 ha), diikuti oleh laguna DauwiNukori (10,828 ha) dan rawa Padaidori (7,960 ha). Perairan GPP Padaido Bawah memiliki kapasitas lahan terbesar (526,621 ha) dari pada perairan GPP Padaido Atas. (3)
Luasan optimal unit rakit keramba jaring apung Luasan optimal unit rakit keramba jaring apung adalah besaran luasan satu unit rakit dengan empat keramba berukuran (3x3x3) m3 . Luasan merupakan ukuran optimal yang digunakan secara umum di perairan Indonesia (Sunyoto, 2000).
(4)
Daya dukung lahan perairan Daya dukung lahan perairan adalah kemampuan maksimum lahan mendukung unit budidaya ikan dengan keramba jaring apung secara terus menerus
tanpa
mengalami
penurunan
kualitas
lingkungan.
Tabel
31
menunjukkan hasil analisis daya dukung lahan perairan untuk pengembangan budidaya rumput laut di GPP Padaido. Lagoon Atol Wundi memiliki daya dukung terbesar (36.103 unit), diikuti oleh laguna Dauwi- Nukori (752 unit) dan rawa padaidori (553 unit). Perairan GPP Padaido Bawah memiliki daya dukung terbesar (36.571 unit) dibandingkan dengan perairan GPP Padaido Atas. Pada Tabel 31 terlihat bahwa jumlah total unit keramba jaring apung yang ditampung oleh lahan perairan pada waktu bersamaan sekitar 38.136 unit. Jumlah ini belum mempertimbangkan ketersediaan bibit ikan yang akan dibudidayakan (dibesarkan). Bila ketersediaan bibit ikan merupakan faktor pembatas di lokasi maka jumlah unit keramba jaring apung lebih rendah dari yang diperkirakan. Sebagai gambaran, bila yang akan dibudidaya adalah benih ikan kerapu berukuran 2-3 cm dengan padat penebaran sebanyak 200-250 ekor/m3 atau yang berukuran 100-200 g dengan padat penebaran 25-35 ekor/m3 (Sunyoto, 2000), maka kebutuhan bibit ikan kerapu paling sedikit sekitar 762.720.000 ekor berukuran 2-3 cm dan 95.340.000 ekor
122
berukuran 100-200 g. Jumlah tersebut terlalu banyak untuk dipenuhi pada waktu bersamaan. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan pengelolaan kawasan perairan GPP Padaido sebagai salah satu kawasan produksi ikan melalui budidaya ikan dengan keramba apung dan memperhitungkan jumlah optimal bibit ikan berdasarkan daya dukung ketersediaan bibit ikan diperlukan penelitian lebih lanjut tentang potensi ikan yang akan dibudidayakan dan potensi suplai bibit dari luar kawasan GPP Padaido. Tabel 31 Daya dukung lahan untuk budidaya keramba jaring apung
No
Gugus Pulau
I
Padaido bawah
1 Lagoon atol Wundi 2 Laguna Auki Jumlah II Padaido atas 1 Laguna Dauwi-Nukori 2 Laguna Mangguandi 3 Laguna Padaidori 4 "Rawa" Padaidori Jumlah Jumlah total Sumber : Hasil perhitungan
Luas perairan Kapasitas lahan Jumlah Rakit sesuai (ha ) (ha) Keramba (unit)
5198,893 67,315 5266,208
519,889 6,732 526,621
36103,424 467,465 36570,889
108,277 17,013 20,475 79,596 225,361 5491,569
10,828 1,701 2,048 7,960 22,536 549,157
751,924 118,146 142,188 552,750 1565,007 38135,896
Potensi Sumberdaya Ikan Karang GPP Padaido Potensi Sumberdaya Kelompok Ikan Karang Analisis potensi sumberdaya ikan karang di GPP Padaido dilakukan dengan pendekatan visual sensus (English, et al., 1994). Sumber daya ikan karang dikelompokkan atas ikan major, target, dan indikator. Parameter yang digunakan sebagai acuan adalah: (1)
Densitas Kelompok Ikan Karang Hasil visual sensus sumberdaya ikan karang yang dikelompokkan atas kelompok ikan target, ikan indikator dan ikan major (umum) disajikan pada
123
Tabel 32. Pada GPP Padaido Bawah, jumlah ikan karang yang disensus berjumlah 6.439 individu dalam areal seluas 350 m2 . Pulau Urev memiliki densitas (ind/350m2 ) ikan karang tertinggi (761 individu atau 11,82%), diikuti oleh Pulau Rarsbar (730 individu atau 11,34%), Pulau Pai Bagian Barat (631 individu atau 9,80%) dan Pulau Wurki (630 individu atau 9,78%). Berdasarkan kelompok ikan, ikan major memiliki densitas individu tertinggi (4.138 individu), diikuti oleh ikan target (1922 individu) dan ikan indikator (379 individu). Pada GPP Padaido Atas, jumlah total individu ikan karang yang tercatat selama sensus visual sebanyak 3.565 individu. Pulau Padaidori memiliki densitas tertinggi (864 individu atau 24,24%), diikuti oleh Pulau Pakreki Bagian Selatan (704 individu atau 19,75%) dan Pulau Mbromsi (438 individu atau 12,29%). Berdasarkan kelompok ikan, ikan major memiliki densitas tertinggi (2893 individu), diikuti oleh ikan target (524 individu) dan ikan indikator (148 individu). Berdasarkan jumlah maupun rata-rata, densitas ikan karang di GPP Padaido Bawah lebih tinggi (6.439 dan 460 individu per 350m2 ) dari GPP Padaido Atas (3.565 dan 446 individu per 350m2 ). Namun, rata-rata densitas ikan major dan densitas ikan karang di Bagian Selatan Pulau Padaidori di GPP Padaido Atas lebih tinggi (361 individu per 350m2 dan 864 individu per 350m2 ) dari GPP Padaido Bawah. (2)
Kelimpahan Kelompok Ikan Karang (β) Luas terumbu karang di GPP Padaido Bawah dan GPP Padaido Atas masing- masing adalah 3.400 ha dan 1977 ha (Wouthuyzen, et al., 2001). Dengan memasukkan besaran luasan terumbu karang diperoleh kelimpahan kelompok ikan karang di GPP Padaido yang hasilnya disajikan pada Tabel 32. Pada Tabel 32, jumlah total kelimpahan ikan karang di GPP Padaido Bawah sebesar 625.502.857 individu, dengan perincian 401.977.143 individu ikan major, 186.708.571 individu ikan target dan 36.817.143 individu ikan indikator. Pada GPP Padaido Atas jumlah total kelompok ikan karang sebesar
124
346.314.286 individu dengan perincian 281.034.286 individu ikan major, 50.902.857 individu ikan target dan 14.377.143 individu ikan indikator. (3)
Potensi Kelompok Ikan Karang (Ρy) Hasil analisis potensi kelompok ikan karang yang dianalisis dengan persamaan Gulland (1975) disajikan pada Tabel 32. Potensi ikan karang di GPP Padaido Bawah sebesar 312.751.429 ind/thn, terdiri atas 200.988.571 ind/thn ikan major, 93.354.286 ind/thn ikan target, dan 18.408.571 ind/thn ikan indikator. Potensi ikan karang di GPP Padaido Atas sebesar 173.157.143 ind/thn, terdiri atas 140.517.143 ind/thn ikan major, 25.451.429 ind/thn ikan target dan 7.188.571 ind/thn ikan indikator.
(4)
Pemanfaatan Optimal Kelompok Ikan Karang Pemanfaatan optimal diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya ikan karang yang berlangsung secara terus menerus tanpa mengalami penurunan stok. Besaran yang ditetapkan sebesar 80% dari potensi lestari. Hasil analisis pemanfaatan sumber daya ikan karang berdasarkan kelompok ikan disajikan pada Tabel 32. Sumber daya ikan karang yang dapat dimanfaatkan secara optimal di GPP Padaido Bawah sebesar 156.375.714 ind/thn; terdiri atas ikan major 160.790.857 ind/thn, ikan target 74.683.429 ind/thn, dan ikan indikator 14.726.857 ind/thn. Sumber daya ikan karang yang dapat dimanfaatkan secara optimal di GPP Padaido Atas sebesar 86.578.571 ind/thn; terdiri atas ikan major 112.413.714 ind/thn, ikan target 20.361.143 ind/thn, dan ikan indikator 5.750.857 ind/thn.
125
Potensi dan Pemanfaatan Optimal Sumberdaya Ikan Target Ikan target merupakan kelompok jenis-jenis ikan karang yang memiliki nilai ekonomis tinggi dibandingkan dengan kelompok ikan karang lain. Kelompok ikan ini menjadi target penangkapan nelayan GPP Padaido untuk di pasarkan di pulau Biak. Informasi mengenai potensi sumber daya ikan target menjadi penting dalam pengelolaan sumberdaya ikan karang sehingga analisis potensinya dilakukan secara terpisah dari kelompok ikan lain. Tabel 33 menyajikan hasil analisis potensi dan pemanfaatan optimal ikan target di GPP Padaido. Jumlah total potensi sumber daya ikan target di GPP Padaido Bawah sebesar 37.341,71 ton/thn, dengan pemanfaatan optimal sebesar 29.873,37 ton/thn. Di GPP Padaido Atas jumlah total potensi sumber daya ikan target sebesar 10.180,57 ton/thn, dengan tingkat pemanfaatan optimal sebesar 8.144,46 ton/thn. Dengan demikian, potensi sumbe r daya ikan target di GPP Padaido Bawah lebih besar (empat kali) dari GPP Padaido Atas. Pada GPP Padaido Bawah, Pulau Urev memiliki potensi sumberdaya ikan target terbesar (10.219,43 ton/thn), diikuti oleh Pulau Rarsbar (5.440 ton/thn) dan Pulau Wurki (3.400 ton/thn). Pada GPP Padaido Atas, Pulau Pakreki Bagian Selatan memiliki potensi terbesar (2.817,14 ton/thn), diikuti oleh Pulau Mbromsi Bagian Utara (1.748,57 ton/thn) dan Pulau Pasi Bagian Timur (1.321,14 ton/thn). Tingkat pemanfaatan optimal sumberdaya ikan target pada tiap-tiap pulau di GPP Padaido dapat dilihat pada Tabel 33.
126
Tabel 32 Optimal use kelompok ikan karang di Pulau-Pulau Padaido No
Gugus Pulau
Optimal Use (ind/thn) Major Target Indikator
Jumlah
I
Padaido bawah
1 2 3 4
Auki barat Auki utara Rarsbar Yumni
13988571,43 9092571,43 14610285,71 3536000,00
4352000,00 5323428,57 10880000,00 1942857,14
466285,71 1904000,00 2875428,57 893714,29
11754285,71 10200000,00 17728571,43 3982857,14
5 6 7
Warek / wurki Wundi barat Wundi selatan
16475428,57 18029714,29 11540571,43
6800000,00 3030857,14 5595428,57
1204571,43 1282285,71 1748571,43
15300000,00 13964285,71 11802857,14
8 9 10 11
Urev Mansurbabo Nusi selatan Nusi tengah
8470857,14 13949714,29 10763428,57 5712000,00
20438857,14 2642285,71 816000,00 1398857,14
660571,43 621714,29 738285,71 854857,14
18481428,57 10758571,43 7698571,43 4978571,43
12 13 14
Pai barat daya 19972571,43 3885714,29 Pai utara 4857142,86 4779428,57 Pai selatan 9792000,00 2797714,29 Total 160790857,14 74683428,57 Rata-rata 11485061,22 5334530,61 II Padaido atas 1 Pakreki selatan 20555428,57 5634285,71 2 Padaidori barat daya 9520000,00 2059428,57 3 Padaidori barat 10802285,71 2020571,43 4 Padaidori selatan 31707428,57 1204571,43 5 Mbromsi utara 13017142,86 3497142,86 6 Mbromsi selatan 6178285,71 932571,43 7 Pasi timur 9947428,57 2642285,71 8 Mangguandi 10685714,29 2370285,71 Total 112413714,29 20361142,86 Rata-rata 14051714,29 2545142,86 Jumlah Total 273204571,43 95044571,43 Rata-rata total 12418389,61 4320207,79 Sumber : Coremap 2003 dan Hasil Perhitungan.
660571,43 15324285,71 699428,57 6460000,00 116571,43 7941428,57 14726857,14 156375714,29 1051918,37 11169693,88 1165714,29 17097142,86 310857,14 7431428,57 738285,71 8475714,29 660571,43 20982857,14 505142,86 10637142,86 699428,57 4881428,57 1204571,43 8621428,57 466285,71 8451428,57 5750857,14 86578571,43 718857,14 10822321,43 20477714,29 242954285,71 930805,19 199665000,00
127
Tabel 33 Densitas, kelimpahan, potensi dan optimal Use kelompok ikan target No I 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
II 1 2 3 4 5 6 7 8
Gugus Pulau Padaido Bawah Auki barat Auki utara Rarsbar Yumni Warek / wurki Wundi barat Wundi selatan Urev Mansurbabo Nusi selatan Nusi tengah Pai barat daya Pai utara Pai selatan Total Rata-rata Padaido Atas Pakreki selatan Padaidori brt daya Padaidori barat Padaidori selatan Mbromsi utara Mbromsi selatan Pasi timur Mangguandi Total Rata-rata Jumlah Total Rata-rata total
Densitas Densitas (ind/350m2) (ind/m2)
Kelimpahan (ind)
Kelimpahan (ton)
Potensi (Py) Optimal Use (ton/thn) (ton/thn)
112 137 280 50 175 78 144 526 68 21 36 100 123 72 1922 137,29
0,32 10880000,00 0,39 13308571,43 0,80 27200000,00 0,14 4857142,86 0,50 17000000,00 0,22 7577142,86 0,41 13988571,43 1,50 51097142,86 0,19 6605714,29 0,06 2040000,00 0,10 3497142,86 0,29 9714285,71 0,35 11948571,43 0,21 6994285,71 5,49 186708571,43 0,39 13336326,53
4352,00 5323,43 10880,00 1942,86 6800,00 3030,86 5595,43 20438,86 2642,29 816,00 1398,86 3885,71 4779,43 2797,71 74683,43 5334,53
2176,00 2661,71 5440,00 971,43 3400,00 1515,43 2797,71 10219,43 1321,14 408,00 699,43 1942,86 2389,71 1398,86 37341,71 2667,27
1740,80 2129,37 4352,00 777,14 2720,00 1212,34 2238,17 8175,54 1056,91 326,40 559,54 1554,29 1911,77 1119,09 29873,37 2133,81
145 53 52 31 90 24 68 61 524 65,50 2446 111,18
0,41 14085714,29 0,15 5148571,43 0,15 5051428,57 0,09 3011428,57 0,26 8742857,14 0,07 2331428,57 0,19 6605714,29 0,17 5925714,29 1,50 50902857,14 0,19 6362857,14 6,99 237611428,57 0,32 10800519,48
5634,29 2059,43 2020,57 1204,57 3497,14 932,57 2642,29 2370,29 20361,14 2545,14 95044,57 4320,21
2817,14 1029,71 1010,29 602,29 1748,57 466,29 1321,14 1185,14 10180,57 1272,57 47522,29 2160,10
2253,71 823,77 808,23 481,83 1398,86 373,03 1056,91 948,11 8144,46 1018,06 38017,83 1728,08
Sumber : Hasil Perhitungan. Ket : Berat rata-rata ikan target 400 gram.
128
Daya Dukung GPP Padaido Untuk Pengembangan Pariwisata Pesisir Dalam perspektif pariwisata pesisir, terdapat dua komponen sumberdaya alam yang menentukan besarnya daya dukung lingkungan pulau untuk dikembangkan sebagai objek wisata, yaitu: lahan (luas areal daratan pulau dan perairan pesisir) dan air tanah. Luas lahan daratan menentukann banyaknya (jumlah dan luas) bangunan yang dapat didirikan serta banyaknya jumlah wisatawan yang dapat ditampung pada saat yang sama. Lahan terumbu karang menentukan banyaknya wisatawan yang dapat ditampung untuk menikmati keindahan bawah air. Air tanah dibutuhkan untuk melayani kebutuhan wisatawan selama berada di pulau. Berikut adalah hasil analisis daya dukung lingkungan pulau-pulau untuk pembangunan fasilitas wisata, jumlah pengunjung dan air tanah yang dibutuhkan untuk kegiatan wisata yang memanfaatkan sumberdaya alam daratan pulau, perairan pesisir dan air tanah. Daya Dukung Lahan Daratan dan Pesisir Sebanyak 10 lokasi wisata dianalisis daya dukung lahan daratannya untuk kegiatan pariwisata. Empat lokasi terletak di GPP Padaido Bawah dan enam lokasi di GPP Padaido Atas. Untuk GPP Padaido Bawah; Pulau Auki, Pulau Wundi, Pulau Nusi dan Pulau Pai difungsikan sebagai pusat pelayanan dan sekaligus objek wisata. Pada GPP Padaido Atas; Pulau Padaidori, Pulau Mbromsi, Pulau Pasi, Pulau Mangguandi dan Pulau Dauwi diperuntukkan sebagai pusat pelayanan dan objek wisata. Hasil analisis daya dukung dari masing- masing lokasi wisata untuk fasilitas kegiatan dan pengunjung pariwisata disajikan pada Tabel 34 dan Tabel 35. Berdasarkan Table 34, daya dukung lahan untuk fasilitas kegiatan pariwisata terdiri atas empat komponen. Pertama adalah densitas penginapan (resort density). Densitas penginapan mengandung pengertian jumlah tempat tidur yang dapat disediakan di kawasan wisata. Dalam analisis dipilih tipe Club Mediterranee Village sebagai densitas penginapan dengan standart jumlah tempat tidur sebanyak 20 unit/ha. Pemilihan didasarkan atas pertimbangan bahwa lokasi wisata adalah pulaupulau pemukiman sangat kecil, tersusun dari ekosisten yang mudah rapuh dan rentan terhadap gangguan dari luar. Dengan pertimbangan bahwa wisatawan tidak semuanya
129
menginap di lokasi wisata tetapi menginap juga di rumah penduduk, densitas penginapan diasumsikan sebesar 1% dari luas pulau. Berdasarkan asumsi tersebut daya duk ung kepadatan penginapan (jumlah tempat tidur) di lokasi wisata sebesar 278 tempat tidur untuk kawasan wisata di GPP Padaido Bawah dan 726 tempat tidur untuk daerah wisata di GPP Padaido Atas. Penyebaran jumlah tempat tidur di masingmasing lokasi wisata disajikan pada Tabel 34. Kedua adalah fasilitas pantai. Fasilitas pantai adalah fasilitas kebersihan dengan menyediakan water closet (wc), bak mandi dan pancuran air. Standart yang digunakan adalah lima water closet, dua bak mandi dan empat pancuran air untuk setiap 500 pengunjung. Berdasarkan jumlah wisatawan yang mengunjungi GPP Padaido, maka jumlah wc, bak mandi dan pancuran air adalah 54 wc, 22 bak mandi dan 43 pancuran air untuk GPP Padaido Bawah dan 72 wc, 29 bak mandi dan 57 pancuran air untuk GPP Padaido Atas. Ketiga adalah fasilitas pelabuhan (marina). Fasilitas marina adalah fasilitas pelabuhan yang diukur berdasarkan jumlah perahu yang ditambatkan di tiap dermaga kawasan wisata dengan rata-rata 75 perahu per ha. Lahan untuk fasilitas pelabuhan diasumsikan seluas 1% dari luas pulau. Hal ini dengan pertimbangan bahwa perahu yang melintasi kawasan gugus pulau adalah perahu wisata dan perahu masyarakat setempat yang digunakan untuk transportasi dan untuk kegiatan penangkapan ikan. Dengan demikian, jumlah perahu yang ditambatkan di lokasi wisata GPP Padaido Bawah dan GPP Padaido Atas pada waktu yang bersamaan masing- masing sebesar 1.042 perahu dan 2.720 perahu. Keempat adalah kapasitas air bersih. Kapasitas air bersih adalah kapasitas air yang diukur berdasarkan jumlah pengunjung yang memanfaatkan air bersih per hari (ltr/hr) dengan standart 60 liter per hari per pengunjung. Hal ini dianggap optimal bagi seorang pengunjung selama berada di pulau sangat kecil. Berdasarkan standart tersebut daya dukung air bersih berdasarkan jumlah pengunjung di GPP Padaido Bawah dan GPP Padaido Atas masing- masing adalah 322.484 ltr/hr dan 430.852 ltr/hr.
130
Berdasarkan Table 35, daya dukung lahan untuk pengunjung pariwisata (pantai dan tebing karang) terdiri atas dua komponen Pertama adalah Kapasitas pantai. Kelas pengunjung yang ditetapkan di lokasi wisata adalah “kelas menengah” dengan standart 15 m2 untuk seorang pengunjung. Hal ini dimaksudkan agar pemanfaatan sumberdaya pantai dilakukan secara optimal. Dengan asumsi bahwa kapasitas pantai untuk pengunjung sekitar 5% dari luas pulau maka daya dukung lingkungan kawasan wisata GPP Padaido Bawah dan GPP Padaido Atas berdasarkan jumlah pengunjung masing-masing adalah 5.375 orang dan 7.181 orang. Kedua adalah Kapasitas tebing terumbu karang. Kapasitas tebing terumbu karang adalah kapasitas yang diukur berdasarkan jumlah pengunjung untuk “snorkling” dan selam dengan standart 100 m per orang. Hal ini dimasudkan agar pengunjung dapat menikmati pemandangan bawah laut secara optimal. Dengan asumsi bahwa kapasitas tebing terumbu karang untuk pengunjung sekitar 10% dari keliling (perimeter) tebing terumbu karang maka daya dukung lingkungan GPP Padaido Bawah dan GPP Padaido Atas berdasarkan jumlah pengunjung masingmasing adalah 344 orang dan 469 orang.
131
Tabel 34 Daya dukung sumberdaya GPP Padaido untuk fasilitas kegiatan pariwisata pesisir
No
Gugus Pulau
Luas
Fasilitas
(Ha)
(Ha)
(orang)
WC
Jumlah Bak Mandi
Jumlah
Jumlah
Pancuran Tempat Perahu yang Air
Tidur
Ditambatkan
Jumlah Air Bersih (Ltr/Hr)
Padaido bawah
1
Ggs P. Auki
753,716
7,537
7,537
2
Ggs P. Wundi
69,939
0,699
0,699
3
P. Nusi
95,826
0,958
4
P. Pai
470,118
Jumlah II
Fasilitas Pantai
Pengunjung
Penginapan Pelabuhan Pantai pasir Jumlah (ha)
I
Densitas
1944,133 19,441
7,777
15,553 150,743
8,359
3,344
6,687 13,988
52,454
50156,000
0,958
1081,800 10,818
4,327
8,654 19,165
71,870
64908,000
4,701
4,701
1512,867 15,129
6,051
12,103 94,024
352,589
90772,000
1389,599
13,896
13,896
5374,733 53,747
21,499
42,998 277,920
835,933
565,287 116648,000
1042,199 322484,000
Padaido atas
1
P. Pakreki
514,037
5,140
5,140
825,933
8,259
3,304
6,607 102,807
385,528
49556,000
2
Ggs P. Padaidori
747,697
7,477
7,477
679,133
6,791
2,71 7
5,433 149,539
560,773
40748,000
3
P. Mbromsi
1211,328
12,113
12,113
559,600
5,596
2,238
4,477 242,266
908,496
33576,000
4
P. Pasi
572,281
5,723
5,723
354,667
3,547
1,419
2,837 114,456
429,211
21280,000
5
Ggs P. Manggunadi
551,589
5,516
5,516
2306,067 23,061
9,224
18,449 110,318
6
Ggs P. Dauwi
31,008
0,310
0,310
2455,467 24,555
9,822
19,644
Jumlah 3627,940 Sumber : Hasil perhitungan.
36,279
36,279
7180,867 71,809
28,723
413,692 138364,000
6,202
23,256 147328,000
57,447 725,588
2720,955 430852,000
132
Tabel 35 Daya dukung sumberdaya Pulau-Pulau Padaido untuk pengunjung pariwisata pesisir No
Gugus Pulau
Luas
Luas
Perimeter
Kapasitas
Pantai pasir Tebing terumbu Pantai pasir (ha) I
(ha)
(m)
(ha)
Jumlah Pengunjung
Tebing karang
Pantai pasir
Tebing karang
(m)
(orang)
(orang)
Padaido bawah
1
Ggs P. Auki
753,716
29,162
41424,248
2,916
4142,425
1944,133
82,848
2
Ggs P. Wundi
69,939
12,539
43900,160
1,254
4390,016
835,933
87,800
3
P. Nusi
95,826
16,227
38139,120
1,623
3813,912
1081,800
76,278
4
P. Pai
470,118
22,693
40819,646
2,269
4081,965
1512,867
81,639
5
P. Wurki Jumlah
II
56,468
-
7615,983
-
761,598
-
15,232
1446,067
80,621
171899,157
8,062
17189,916
5374,733
343,798
Padaido atas
1
P. Pakreki
514,037
12,389
20408,833
1,239
2040,883
825,933
40,818
2
Ggs P. Padaidori
747,697
10,187
65579,093
1,019
6557,909
679,133
131,158
3
P. Mbromsi
1211,328
8,394
21255,892
0,839
2125,589
559,600
42,512
4
P. Pasi
572,281
5,320
18300,494
0,532
1830,049
354,667
36,601
5
Ggs P. Mangguandi
551,589
34,591
45714,172
3,459
4571,417
2306,067
91,428
6
Ggs P. Dauwi
31,008
36,832
63183,792
3,683
6318,379
2455,467
126,368
Jumlah 3627,940 Sumber : Hasil perhitungan.
107,713
234442,276
10,771
23444,228
7180,867
468,885
133
Potensi Air Tawar Di GPP Padaido Air tawar merupakan salah satu komponen yang sangat penting di pulau-pulau sangat kecil karena ketersediaannya yang sangat terbatas. Keterbatasan air tawar disebabkan oleh sempitnya daerah resapan air (catchment area) yang tersedia. Untuk mendukung kelangsungan hidup penduduk dan sumberdaya hayati serta menunjang pengembangan kepariwisataan di pulau-pulau kecil pengelolaan air tawar penting dilakukan. Salah satu aspek yang penting diketahui adalah informasi tentang potens i sumber air tawar di pulau-pulau kecil. Potensi dan kondisi air tawar di GPP Padaido dianalisis dengan menggunakan pendekatan neraca air bulanan (siklus hidrologi) dan pengamatan sumur-sumur galian masyarakat. Pada pendekatan neraca air bulanan, potensi air tanah dikaji dengan mengamati hubungan antara komponen-komponen siklus air. Sebagai input adalah presipitasi (curah hujan) dan sebagai output adalah evapotranspirasi dan air larian (run off). Selisih antara input dan output merupakan cadangan (potens i) air yang dapat dimanfaatkan. Kondisi air tanah diamati melalui sumur-sumur galian yang terdapat di pulau-pulau berpenduduk. Pengamatan mencakup aspek kualitas, kedalaman dan ketinggian air serta jarak dari pantai. Neraca Air Bulanan Curah Hujan Bulana n (P) Curah hujan merupakan salah satu sumber air tawar di pulau-pulau kecil. Gambar 5 menunjukkan curah hujan rata-rata bulanan di GPP Padaido dan pulau Biak. Curah hujan berkisar antara 200 mm sampai 350 mm. Pebruari memiliki ratarata curah hujan tertinggi (317 mm), diikuti oleh Desember (290,43 mm), Juli (289,89 mm) dan Maret (288,95 mm). Dalam setahun diperkirakan terjadi tiga puncak curah hujan. Puncak pertama terjadi pada Pebruari, kemudian diikuti oleh puncak kedua pada Juli, dan puncak ketiga terjadi pada Desember.
134
350,00 300,00 250,00 200,00 150,00 100,00 50,00 0,00
Jan
Peb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep
Okt
Nop
Des
Gambar 5 Rataan curah hujan bulanan (mm). Evapotranspirasi Potensial (ETP) Evapotranspirasi
merupakan
salah
satu
komponen
siklus
air
yang
menggambarkan tentang ukuran total kehilangan air karena proses evaporasi dan transpirasi. Gambar 6 menunjukkan evapotranspirasi potensial rata-rata bulanan di GPP Padaido dan Pulau Biak. Evapotranspirasi potensial tertinggi berlangsung pada Mei (150,88 mm), diikuti oleh Desember (148,04 mm) dan Maret (146,74 mm). Evapotranspirasi terendah terjadi pada Pebruari (138,97 mm). Larian Air Permukaan (Ro) Larian air permukaan adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju ke laut. Besaran larian air permukaan diasumsikan sebesar 0,15 yaitu koefisien air larian pada hutan bervegetasi atau tanah berpasir (Asdak, 2002). Gambar 7 memperlihatkan air larian rata-rata bulanan di GPP Padaido dan Pulau Biak. Air larian terbesar terjadi pada Pebruari (47,55 mm), diikuti Desember (43,56 mm) dan Juli (43,48 mm), sedangkan air larian terendah terjadi pada Januari (31,16 mm).
135
152,00 150,00 148,00 146,00 144,00 142,00 140,00 138,00 136,00 134,00 132,00 Jan
Peb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep
Okt
Nop Des
Gambar 6 Evapotranspirasi rata-rata bulanan (mm).
50,00 45,00 40,00 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 Jan
Peb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep
Gambar 7 Air larian permukaan rata-rata bulanan (mm).
Okt
Nop Des
136
Potensi Cadangan Air Tanah (C) Pengkajian potensi cadangan air tanah di GPP Padaido dilakukan dengan pendekatan neraca air bulanan, yaitu hubungan antara curah hujan (P), evapotranspirasi (ET) dan larian air permukaan (Ro). Sebagai input adalah curah hujan sedangkan evapotranspirasi dan larian air permukaan merupakan output. Selisih antara input dan output merupakan cadangan air yang bisa digunakan (C). Penghitungan neraca air rata-rata bulanan di GPP Padaido disajikan pada Tabel 36. Gambar 8 menunjukkan potensi cadangan air tanah rata-rata bulanan di GPP Padaido. Potensi cadangan air tanah tertinggi terjadi pada Pebruari (130,48 mm), diikuti Juli (102,93 mm), Maret (98,87 mm) dan Desember (98,82 mm). Cadangan air terendah terjadi pada Mei (28,71 mm). Hubungan antara curah hujan, evapotranspirasi, air larian dan potensi cadangan air tanah di GPP Padaido diperlihatkan pada Gambar 9.
140 130,5
120 102,9
98,9
100
77,9
80
98,8
93,4
74,6
68,9
66,4
69,6
Okt
Nop
60 40
32,0
28,7
20 0 Jan
Peb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep
Gambar 8 Potensi air tanah bulanan (mm).
Des
137
350,00
140
300,00
120
250,00
100
200,00
80
150,00
60
100,00
40
50,00
20
0,00
0
Jan
Peb Mar Apr Mei P
Jun
Jul Agu Sep
PET
Okt Nop Des
RO
C
Gambar 9 Neraca air tanah rata-rata bulanan di GPP Padaido. Tabel 36. Penghitungan neraca air rata-rata bulanan (mm) di GPP Padaido No
Parameter
Jan
Peb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep
Okt
Nop
Des
1 Temp ( c ) 2 I 3 P
26,86 27,23 26,96 27,05 27,15 26,83 26,80 26,88 26,96 26,85 27,00 27,03 12,75 13,01 12,82 12,88 12,96 12,72 12,70 12,76 12,82 12,74 12,85 12,87 207,73 317,00 288,95 261,44 211,29 274,39 289,89 258,54 248,80 247,99 251,34 290,43
4 ET 5 PET
139,45 146,91 141,48 143,27 145,34 138,70 138,20 139,71 141,48 139,20 142,25 142,76 144,57 138,97 146,74 144,34 150,88 139,85 143,48 145,16 142,61 144,44 144,03 148,04
6 7 8 9 10 11 12
63,15 0,00 110,00 0,00 144,57 0,00 63,15
P - PET APWL SM dSM AET D S
13 RO 14 C
178,03 0,00 110,00 0,00 138,97 0,00 178,03
142,21 0,00 110,00 0,00 146,74 0,00 142,21
31,16 47,55 31,99 130,48
43,34 98,87
117,10 60,41 134,54 146,41 0,00 0,00 0,00 0,00 110,00 110,00 110,00 110,00 0,00 0,00 0,00 0,00 144,34 150,88 139,85 143,48 0,00 0,00 0,00 0,00 117,10 60,41 134,54 146,41 39,22 77,89
31,69 28,71
41,16 43,48 93,38 102,93
Sumber : Hasil perhitungan T : I : P : ET : PET : APWL: SM : AET :
Keterangan Temperatur (o C) Indekas panas Curah hujan Evapotranspirasi Potensial evapotranspirasi (setelah dikoreksi) Akumulasi potensi air hilang Kelembaban tanah (kapasitas air tersedia) Aktual evapotranspirasi
:
113,38 0,00 110,00 0,00 145,16 0,00 113,38
106,19 0,00 110,00 0,00 142,61 0,00 106,19
103,55 0,00 110,00 0,00 144,44 0,00 103,55
107,31 0,00 110,00 0,00 144,03 0,00 107,31
142,38 0,00 110,00 0,00 148,04 0,00 142,38
38,78 74,60
37,32 68,87
37,20 66,35
37,70 69,61
43,56 98,82
138
D S RO C
: : : :
Kekurangan air Kelebihan air Air larian Cadangan air yang dapat digunakan
Curah Hujan merupakan sumber utama air tanah bagi wilayah GPP Padaido. Dengan menggunakan pendekatan neraca air dan luas pulau, potensi air tanah yang berasal dari curah hujan dapat diperkirakan. Perkiraan potensi air tanah per bulan dan rata-rata per tahun di GPP Padaido Bawah dan GPP Padaido Atas disajikan pada Tabel 37 dan Tabel 38. Untuk wilayah GPP Padaido Bawah, potensi air tanah tertinggi dijumpai pada Pulau Auki (22.957.435,64 m3 ) dengan potensi air tanah bulanan tertinggi dijumpai pada Pebruari (2.322.877,34 m3 ) dan terendah dijumpai pada Januari (1.502.608,22 m3 ). Potensi air tanah terendah dijumpai pada Pulau Urev (108.830,01 m3). Untuk wilayah GPP Padaido Atas, potensi air tanah tertinggi dijumpai pada pada Pulau Mbromsi (36.895.839,55 m3 ) dengan potensi air tanah bulanan tertinggi dijumpai pada Pebruari (3.733.191,76 m3 ) dan terendah dijumpai pada Januari (2.414.903,50 m3 ). Potensi air tanah terendah dijumpai pada Pulau Runi (427.126,56 m3 ).
139
Tabel 37. Perkiraan potensi air tanah di Gugus Pulau Padaido Bawah Air hujan rataan (mm) (m) 199,36 0,20
Auki (m2) 7537160 1502608,22
Yumni (m2) 49910 9950,06
Rarsbar (m2) 77160 15382,62
Wurki (m2) 564680 112574,60
Urev M ansurbabo Wundi (m2) (m2) (m2) 35730 41020 699390 7123,13 8177,75 139430,39
Nusi (m2) 958260 191038,71
Pai (m2) 4701180 937227,24
Pebruari Maret
308,19 0,31 280,48 0,28
2322877,34 2114022,64
15381,76 13998,76
23779,94 21641,84
174028,73 158381,45
11011,63 10021,55
12641,95 215545,00 11505,29 196164,91
295326,15 268772,76
1448856,66 1318586,97
April Mei Juni Juli Agustus September Oktober
252,86 202,61 266,06 281,59 250,15 240,32 239,63
0,25 0,20 0,27 0,28 0,25 0,24 0,24
1905846,28 1527103,99 2005336,79 2122388,88 1885420,57 1811330,29 1806129,65
12620,24 10112,27 13279,05 14054,16 12484,99 11994,37 11959,93
19510,68 15633,39 20529,19 21727,48 19301,57 18543,09 18489,85
142784,98 114409,81 150238,76 159008,24 141254,70 135703,90 135314,27
9034,69 7239,26 9506,32 10061,21 8937,86 8586,63 8561,98
10372,32 8311,06 10913,78 11550,82 10261,15 9857,93 9829,62
176847,76 141703,41 186079,70 196941,23 174952,41 168077,40 167594,83
242305,62 194153,06 254954,66 269836,43 239708,74 230289,04 229627,84
1188740,37 952506,08 1250795,95 1323805,28 1176000,18 1129787,58 1126543,76
Nopember Desember
242,78 0,24 281,88 0,28
1829871,70 2124574,66
12117,15 14068,63
18732,90 21749,86
137093,01 159172,00
8674,53 10071,57
9958,84 169797,90 11562,72 197144,05
232646,36 270114,33
1141352,48 1325168,62
3045,90 3,05 22957435,64 152020,87 235021,64 1719958,81 108830,01 253,83 0,25 1913157,32 12668,66 19585,52 143332,72 9069,35
124942,82 2130272,00 10412,11 177526,16
Bulan Januari
Total Rataan
Sumber : Hasil Perhitungan.
2918764,13 14319324,16 243235,14 1193300,52
140
Tabel 38. Perkiraan potensi air tanah di Gugus Pulau Padaido Atas
Bulan
Air Hujan
Pakreki
Padaidori
Mbromsi
Pasi
Mangguandi
Kebori
Rasi
Workbondi
Nukori
Wamsoi
Runi
rataan
(m2)
(m2)
(m2)
(m2)
(m2)
(m2)
(m2)
(m2)
(m2)
(m2)
(m2)
(m2)
(mm) (m)
5140370
7476970
12113280
5722810
5515890
151850
345560
1634460
1127060
528730
140230
310080
Dauwi
Januari
199,36 0,20 1024784,16 1490608,74 2414903,50 1140899,40
1099647,83 30272,82
68890,84
325845,95
224690,68 105407,61 27956,25 61817,55
Pebruari
308,19 0,31 1584210,63 2304327,38 3733191,76 1763712,81
1699942,14 46798,65 106498,14
503724,23
347348,62 162949,30 43217,48 95563,56
Maret
280,48 0,28 1441770,98 2097140,55 3397532,77 1605133,75
1547096,83 42590,89
96922,67
458433,34
316117,79 148298,19 39331,71 86971,24
April
252,86 0,25 1299793,96 1890626,63 3062963,98 1447069,74
1394747,95 38396,79
87378,30
413289,56
284988,39 133694,67 35458,56 78406,83
Mei
202,61 0,20 1041490,37 1514908,89 2454271,66 1159498,53
1117574,47 30766,33
70013,91
331157,94
228353,63 107125,99 28412,00 62825,31
Juni
266,06 0,27 1367646,84 1989322,64 3222859,28 1522610,83
1467557,69 40401,21
91939,69
434864,43
299865,58 140673,90 37309,59 82499,88
Juli
281,59 0,28 1447476,79 2105439,98 3410978,52 1611486,07
1553219,47 42759,44
97306,24
460247,59
317368,83 148885,08 39487,37 87315,43
Agustus
250,15 0,25 1285863,56 1870364,05 3030136,99 1431560,92
1379799,88 37985,28
86441,83
408860,17
281934,06 132261,81 35078,53 77566,51
September 240,32 0,24 1235333,72 1796865,43 2911063,45 1375305,70 Oktober 239,63 0,24 1231786,86 1791706,32 2902705,29 1371356,96 Nopember 242,78 0,24 1247979,03 1815258,78 2940862,12 1389383,81 Desember 281,88 0,28 1448967,50 2107608,30 3414491,37 1613145,68
1325578,68 36492,59
83044,98
392793,43
270855,06 127064,39 33700,07 74518,43
1321772,72 36387,82
82806,54
391665,65
270077,39 126699,57 33603,31 74304,47
1339147,77 36866,14
83895,06
396814,20
273627,63 128365,07 34045,04 75281,22
1554819,07 42803,48
97406,45
460721,58
317695,67 149038,41 39528,03 87405,35
Total Rataan
3045,90 3,05 15657052,98 22774102,92 36895839,55 17431106,98 16800849,35 462519,92 1052541,20 4978401,71 3432912,051610458,71427126,56 944472,67 253,83 0,25 1304780,12 1897879,30 3074713,86 1452620,86
Sumber : Hasil Perhitungan
1400098,36 38544,09
87713,49
414874,98
286081,64 134207,54 35594,58 78707,61
Kondisi Air Tanah Air tanah (ground water) merupakan sumber air tawar potensial utama bagi masyarakat dan mahluk hidup lain di wilayah GPP Padaido. Pengamatan kondisi air tanah dilakukan pada 11 pulau. Kondisi air sumur yang diamati meliputi kedalaman sumur, kedalaman air, jarak sumur dari pantai dan kualitas air sumur. Hasil pengamatan kondisi sumur dan kualitas air tanah disajikan pada Tabel 39. Sumur air tanah yang dibangun oleh masyarakat Padaido dibedakan atas sumur air minum dan sumur air mandi dan cuci. Sumur air minum terletak agak ketengah pulau atau agak jauh dari pantai, berdiameter 1 meter, berdinding aluminium (bekas drum) dan berfungsi sebagai tempat pengambilan air minum. Jumlah sumur jenis ini sekitar 1-2 buah perkampung. Sumur air mandi dan cuci terletak relatif dekat pantai, terbuat dari campuran semen, berdiameter > 1 meter serta berfungsi sebagai tempat pengambilan air untuk mandi dan cuci pakaian serta perabot rumah tangga. Selain itu, pada setiap kampung terdapat sumur MCK, yaitu sumur yang dilengkapai dengan sarana mandi, cuci dan kakus. Sumur jenis ini merupakan bantuan pemerintah. Kedalaman sumur air tanah di pulau-pulau Padaido berkisar 1 – 7 meter. Sumur yang terletak dekat pantai berpasir memiliki kedalaman 1 – 4 meter, sedangkan yang terletak pada atau dekat pantai berkarang memiliki kedalaman > 7 meter. Kedalalam atau ketinggian air sumur berkisar 0,1 – 1 meter dari dasar sumur. Ketinggian air sumur berfluktuasi menurut kondisi pasang-surut air laut. Pada saat air laut pasang, air sumur meninggi dan menurun bila air laut surut. Keadaan ini terjadi pada sumursumur dekat pantai yang digunakan oleh masyarakat untuk mandi dan cuci. Kualitas air tanah di pulau-pulau Padaido dikelompokkan atas air tawar, payau dan asin. Air tawar secara umum dijumpai pada p ulau-pulau yang relatif besar dengan topografi berombak dan pantai berpasir. Kecuali desa Yeri di Pulau Padaidori yang memiliki air tawar sampai payau karena kondisi tanahnya bercampur batu karang. Pulau-pulau yang relatif kecil dan datar, seperti Pulau Urev dan Pulau Mansurbabo, memiliki air payau sampai asin.
1
Tabel 39 Kondisi dan kualitas air tanah di beberapa pulau Padaido Kedalaman Sumur (m) 1– 2 1 Auki 1– 2 2 Wundi 1– 3 3 Nusi 1– 3 4 Pai 1– 7 5 Padaidori 1– 4 6 Mbromsi 1– 4 7 Pasi 1– 2 8 Mangguandi 1 9 Urev 1 10 Mansurbabo 1– 3 11 Dauwi Sumber: Hasil Pengamatan No
Pulau
Kedalaman Jarak Sumur Kualitas Air (m) Dari Pantai (m) Air Tanah 0,5 – 1 > 10 tawar 0,5 – 1 > 10 tawar 0,5 – 1 > 10 tawar 0,5 – 1 > 10 tawar 0,5 – 1 > 10 tawar - payau 0,5 – 1 > 10 tawar 0,5 – 1 > 10 tawar 0,5 – 1 >7 tawar 0,5 >5 payau-asin 0,5 >3 payau-asin 0,5 – 1 > 10 tawar
2
KONDISI SOSIAL EKONOMI DAN BUDAYA Analisis Kependudukan Dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut GPP Padaido tidak hanya memperhatikan potensi sumberdaya alam tetapi aspek kependudukan juga diperhatikan. Hal ini sangat berguna sebagai masukan dalam upaya pemberdayaan dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya. Analisis kependudukan di GPP Padaido mencakup aspek jumlah penduduk, komposisi penduduk, rasio jenis kelamin, kelompok umur, rasio ketergantungan, kepadatan penduduk dan tingkat pendidikan. Hasil analisis aspek-aspek tersebut dijelaskan di bawah ini. Jumlah Penduduk Berdasarkan hasil sensus pertanian 2003, jumlah penduduk GPP Padaido berjumlah 3.975 jiwa. Jumlah ini lebih besar dari jumlah penduduk 2001 (3956 jiwa). Penduduk tersebar di 8 pulau, 19 kampung dan 975 rumah tangga.. Di GPP Padaido Bawah, penduduk terbanyak terdapat di Pulau Nusi (552 jiwa), diikuti oleh Pulau Pai (454 jiwa), Pulau Wundi (446 jiwa) dan terakhir Pulau Auki (346 jiwa). Di GPP Padaido Atas, penduduk terbanyak dijumpai di Pulau Mbromsi (763 jiwa), diikuti oleh Pulau Pasi (547 jiwa), Pulau Padaidori dan terakhir Pulau Mangguandi (327 jiwa). Distribusi penduduk di kampung dan pulau di GPP Padaido yang dihuni disajikan pada Tabel 40. Komposisi Penduduk Gambaran komposisi dan rasio ketergantungan penduduk GPP Padaido disajikan pada Tabel 41. Secara umum, penduduk GPP Padaido yang berjumlah 3.975 jiwa terdiri dari laki- laki sebanyak 2.097 jiwa (52,8%) dan perempuan sebanyak 1.878 jiwa (47,2%) dengan sex rasio 112%. Ini berarti bahwa pada setiap populasi perempuan sebesar 100 jiwa senantiasa bersama -sama 112 jiwa laki- laki. Suatu rasio seks yang tidak terlalu timpang ditinjau dari aspek kegiatan sosial budaya, tetapi cukup penting ditinjau dari aspek proses regenerasi penduduk. Pengecualian
3
dijumpai pada Desa Sasari dan Desa Mnupisen (Pulau Padaidori), Desa Nyansoren (Pulau Mbromsi) dan Desa Mangguandi (Pulau Mangguandi) dimana sex rasio lebih rendah dimana masing-masing adalah 87%, 91%, 92% dan 96%. Tabel 40 Jumlah penduduk GPP Padaido, Distrik Padaido Jumlah Rumah Jumlah Rumah Thn 2003 Tangga Thn 2001 Tangga 1 Auki Auki 238 59 238 59 Sandidori 108 38 106 26 2 Wundi Wundi 283 70 283 70 Sorina 163 36 141 36 3 Nusi Nusi 323 71 318 58 Nusi Babaruk 229 55 272 49 4 Pai Pai 279 69 279 69 Imbeyomi 175 43 162 40 5 Padaidori Sasari 317 79 317 73 Mnupisen 107 29 97 32 Yeri 116 34 116 38 6 Mbromsi Nyansoren 249 61 247 54 Saribra 230 49 226 46 Mbromsi 252 63 252 63 Karabai 32 16 32 16 7 Pasi Pasi 385 87 379 82 Samber Pasi 162 35 158 30 8 Mangguandi Mangguandi 147 36 147 36 Suprima 180 45 180 45 Jumlah 3975 975 3956 922 Sumber : 1) Hasil Sensus Pertanian Maret 2003, BPS Biak-Numfor. 2) Biak Numfor Dalam Angka 2001. No
Pulau
Desa
Berdasarkan kelompok umur, penduduk berumur 15-64 tahun lebih banyak (53,6%) dari penduduk berumur 0-14 tahun (44%) dan >64 tahun (2,4%). Hasil ini menunjukkan bahwa penduduk berusia produktif (15-64 tahun) lebih banyak dari penduduk berusia non-produktif (0-14 tahun dan >64 tahun) di GPP Padaido. Penduduk berusia produktif terbesar dijumpai pada Desa Pasi (206 jiwa), sedangkan yang berusia produktif terkecil dijumpai pada Desa Karabai (17 jiwa). Kontribusi
4
terbesar pada penduduk non-produktif ternyata adalah usia anak-anak dari pada usia orang tua. Penduduk non-produktif terbanyak dijumpai pada Desa Pasi (169 jiwa). Tabel 41 Komposisi dan ketergantungan penduduk GPP Padaido Penduduk No
Pulau
Kelompok Umur 0-14 15-64 > 65 thn Thn thn 104 128 6
Rasio Ketergantungan
L
P
Sex Rasio
Auki
130
108
120
Sandidori
58
50
116
48
58
2
86.2%
Wundi
154
129
119
125
151
7
87.4%
Sorina
83
80
104
72
87
4
87.4%
3 Nusi
Nusi
167
156
107
143
173
7
86.7%
140
89
157
101
123
5
86.2%
4 Pai
Nusi Babaruk Pai
157
122
129
123
149
7
87.3%
Imbeyomi
97
78
124
77
94
4
86.2%
Sasari
147
170
87
140
170
7
86.5%
Mnupisen
51
56
91
47
57
3
87.7%
Yeri
59
57
104
50
63
3
84.1%
Nyansoren
119
130
92
109
134
6
85.8%
Saribra
124
106
117
102
123
5
87,0%
Mbromsi
131
121
108
111
135
6
86.7%
Karabai
18
14
129
14
17
1
88.2%
Pasi
207
178
116
169
206
10
86.9%
Samber Pasi
85
77
110
71
87
4
86.2%
8 Mangguandi Mangguandi 72
75
96
65
78
4
88.5%
82
120
79
96
5
87.5%
112
1750
2129
96
86.7%
44
53,6
2,4
1 Auki 2 Wundi
5 Padaidori
6 Mbromsi
7 Pasi
Desa
Suprima Jumlah Persentase (%)
98
2097 1878 52,8
47,2
85.9%
Sumber : Hasil Sensus Pertanian Maret 2003, BPS Biak-Numfor dan Hasil perhitungan Berdasarkan rasio ketergantungan, penduduk GPP Padaido sangat tergantung pada penduduk usia produktif (15-64 tahun) dengan rasio ketergantungan sebesar 86,7%. Ini berarti bahwa 100 penduduk usia produktif harus menanggung 86 orang usia non-produktif. Hasil ini menunjukkan bahwa beban tanggungan keluarga di daerah ini cukup tinggi. Besarnya beban tanggungan keluarga disebabkan oleh banyaknya penduduk non-produktif yang ternyata adalah usia anak-anak (0-14 tahun).
5
Secara umum, kepadatan penduduk GPP Padaido relatif rendah. Kepadatan tinggi dijumpai pada Pulau Wundi dan Pulau Nusi. Kepadatan penduduk disajikan pada Tabel 42. Tabel 42 Kepadatan penduduk GPP Padaido
No
Pulau
Desa
Penduduk
Jumlah
Luas Pulau Kepadatan (km2) (jiwa/km2)
Ket
L P Auki 130 108 238 7.54 45,88 Rendah Sandidori 58 50 108 2 Wundi Wundi 154 129 283 0.7 637,15 Tinggi Sorina 83 80 163 3 Nusi Nusi 167 156 323 0.96 575 Tinggi Nusi Babaruk 140 89 229 4 Pai Pai 157 122 279 4.7 96,59 Rendah Imbeyomi 97 78 175 5 Padaidori Sasari 147 170 317 7.48 72,2 Rendah Mnupisen 51 56 107 Yeri 59 57 116 6 Mbromsi Nyansoren 119 130 249 12.11 63 Rendah Saribra 124 106 230 Mbromsi 131 121 252 Karabai 18 14 32 7 Pasi Pasi 207 178 385 5.72 95,63 Rendah Samber Pasi 85 77 162 8 Mangguandi Mangguandi 72 75 147 5.51 59,35 Rendah Suprima 98 82 180 Jumlah 2097 1878 3975 44.72 88.89 Rendah Sumber : Hasil Sensus Pertanian Maret 2003, BPS Biak-Numfor dan Hasil Perhitungan. 1 Auki
Tingkat Pendidikan Secara umum penduduk di GPP Padaido memiliki tingkat pendidikan yang tergolong rendah. Penduduk yang tidak sekolah atau tidak tamat SD memiliki prosentase terbesar (39,3%), kemudian diikuti oleh penduduk yang tamat SD (31,5%). Penduduk yang tamat SMP dan SMU relatif rendah, masing- masing 19,5% dan 9,7%.
6
Pada tingkat pulau, Pulau Padaido memiliki penduduk dengan tingkat pendidikan tergolong rendah terbesar (472 jiwa), diikuti Pulau Nusi (357 jiwa) dan Pulau Pasi (341 jiwa). Rincian tingkat pendidikan penduduk di GPP Padaido disajikan pada Tabel 43. Tabel 43 Tingkat pendidikan penduduk GPP Padaido
No 1
Distrik Padaido
Pulau
Auki Wundi Nusi Pai Mangguandi Pasi Mbromsi Padaidori Total Presentase (%)
Tidak Sekolah/ Tdk Tamat SD 112 138 204 145 113 188 186 271 1545 39,3
Tamat SD 92 106 153 127 89 153 145 201 1242 31,5
Tamat SMP 60 86 107 73 58 85 96 130 768 19,5
Tamat SMU 37 46 52 36 26 44 36 60 383 9,7
Jumlah Penduduk 301 376 516 386 286 470 465 662 3938 100
Sumber : Kecamatan Padaido Dalam Angka 2000 Rendahnya tingkat pendidikan di GPP Padaido merupakan ciri umum dari masyarakat di pulau-pulau kecil yang letaknya jauh dari pusat pemerintahan kabupaten (Biak). Kurangnya sarana pendidikan, sedikitnya guru yang terdidik serta kemiskinan penduduk merupakan faktor- faktor penyebab rendahnya tingkat pendidikan penduduk di kawasan ini. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan masyarakat di daerah penelitian sangat diharapkan melalui pembangunan sarana pendidikan dengan jumlah yang proposional dengan tingkatan pendidikan di setiap desa dan gugus pulau, penambahan jumlah guru-guru berkualitas, pengembangan program wajib belajar serta pembebasan biaya pendidikan bagi keluarga murid tidak mampu. Dalam kaitannya dengan pengelolaan kawasan dan sumber daya pesisir di gugusan pulau-pulau Padaido, rendahnya tingkat pendidikan penduduk akan berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam program pengelolaan. Penduduk dengan tingkat pendidikan rendah akan cenderung memiliki tingkat
7
partisipasi yang rendah pula. Mereka tidak akan mampu berpartisipasi pada semua tingkatan pengelolaan karena keterbatasan pendidikan. Oleh karena itu perlu ada upaya pemberdayaan masyarakat yang dapat meningkatkan kemampuan mereka sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam program pengelolaan. Analisis Sosial Ekonomi Dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut pulau-pulau Padaido, pengetahuan tentang kondisi sosial ekonomi daerah penelitian sangat penting karena berguna sebagai masukan dalam pemberdaayan dan pengembangan sosial ekonomi daerah yang berbasis pada sumberdaya pesisir dan laut. Analisis sosial ekonomi penduduk GPP Padaido meliputi mata pencaharian, pendapatan per kapita, pengeluaran per kapita dan ketersediaan sarana dan prasarana perekonomian. Hasil analisis sosial ekonomi dijelaskan di bawah ini. Mata Pencaharian Berdasarkan sensus pertanian 2003 di GPP Padaido, mata pencaharian penduduk berbasis pada 5 subsektor pertanian, yaitu tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Subsektor perikanan tangkap dan perkebunan merupakan tumpuan mata pencaharian sebagaian besar penduduk dengan kontribusi masing-masing sebesar 86,56% untuk perikanan tangkap dan 66,36% untuk perkebunan. Rincian mata pencaharian keluarga penduduk di GPP Padaido disajikan pada Tabel 44. Penduduk yang berusaha di subsektor perkebunan, peternakan, dan perikanan tangkap dijumpai di semua kampung GPP Padaido, sedangkan yang berusaha di subsektor tanaman pangan dan perikanan budidaya hanya dijumpai pada kampungkampung tertentu. Adanya spesifikasi mata pencarian ini
disebabkan oleh
karakteristik pulau dimana penduduk tinggal. Pulau Padaidori, Pulau Mbromsi dan Pulau Pasi selain berukuran besar memiliki topografi dan kualitas tanah yang sesuai untuk pengembangan tanaman pangan dibandingkan dengan pulau-pulau lain. Pulau Wundi dan Pulau Nusi sesuai untuk perikanan budidaya terutama rumput laut karena
8
memiliki lahan yang luas dan
ketersediaan bibit rumput laut yang melimpah.
Keadaan ini tidak dijumpai pada pulau-pulau lain. Tabel 44 Mata pencaharian keluarga di GPP Padaido No
Pulau
1
Auki
2
Wundi
3
Nusi
4
Pai
5
Padaidori
6
Mbromsi
7
Pasi
8
Mangguandi Jumlah Persentase (%)
Desa
Tanaman Pangan
Perke bunan
Peter nakan
Perikanan tangkap
Perikanan budidaya
Auki Sandidori Wundi Sorina Nusi Nusi Babaruk Pai Imbeyomi Sasari Mnupisen Yeri Nyansoren Saribra Mbromsi Karabai Pasi Samber Pasi Mangguandi Suprima
0 0 0 0 0 0 0 0 26 25 26 12 14 21 0 27 0 0 0 151 15,49
23 18 42 23 60 41 51 32 50 18 12 45 30 41 10 62 16 30 43 647 66,36
8 8 7 6 14 10 10 11 13 11 10 12 12 7 4 20 7 8 5 183 18,77
30 32 50 32 70 50 56 43 65 20 32 55 41 76 13 80 33 32 34 844 86,56
0 0 14 0 15 17 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 46 4,72
Sumber : Hasil Sens us Pertanian Maret 2003, BPS Biak-Numfor dan Hasil Analisis Penduduk yang mata pencahariannya di subsektor perikanan tangkap memanfaatkan perairan pesisir terutama terumbu karang dan laut sebagai tempat berusaha. Ikan dan berbagai jenis biota laut diambil dan ditangkap dengan peralatan tangkap yang sederhana, seperti panah, tombak, pancing dan jaring. Selain itu, ada juga penduduk yang menangkap ikan dengan bom dan bahan kimia. Cara penangkapan seperti dapat merusak lingkungan habitat ikan. Ikan hasil tangkapan dijual dalam bentuk segar dan olahan ke pasar kota Biak dan Bosnik pada setiap hari pasar. Hasil penjualan digunakan untuk membeli kebutuhan pokok keluarga, seperti beras, gula, kopi atau teh dan sisanya ditabung.
9
Dalam usaha perikanan tangkap terdapat pembangian tugas antara kaum lakilaki, perempuan da n anak-anak. Untuk perairan dalam, usaha perikanan tangkap dilakukan oleh kaum lelaki, sedangkan untuk perairan dangkal dilakukan oleh kaum perempuan dan anak-anak. Penduduk yang bermata penca harian di subsektor perkebunan umumnya berusaha di perkebunan kelapa. Lahan pesisir pulau-pulau baik yang berpenduduk maupun tidak berpenduduk ditanami pohon kepada. Buah kelapa yang telah matang atau tua diambil kemudian diolah menjadi kopra dan minyak ke lapa. Pemasaran minyak kelapa dilakukan di pasar kota Biak dan Bosnik. Hasil penjualan minyak kelapa digunakan untuk membeli kebutuhan pokok keluaraga dan sisanya untuk tabungan. Umumnya usaha pengolahan minyak kelapa dilakukan oleh kaum wanita dan anak-anak. Peternakan merupakan mata pencaharian sebagian kecil keluarga di GPP Padaido. Usaha ini tidak utama tetapi hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga pada saat-saat tertentu. Hewan yang diternak umumnya babi dan ayam. Ternak ini tidak dipelihara dalam kandang tetapi dibiarkan hidup bebas di pekarangan rumah. Bagi kebanyakan orang usaha ini kurang mendatangkan pendapatan secara cepat ,seperti ikan dan minyak kelapa karena membutuhkan waktu lama untuk memperoleh hasil. Selain peternakan, tanaman pangan dan perikanan budidaya merupakan subsektor yang diminati oleh sebagian kecil keluarga di GPP Padaido sebagai mata pencaharian. Di subsektor tanaman pangan, penduduk menanam jagung, ubi kayu, ubi jalar dan keladi di kebun. Hasil kebun selain dikonsumsi, dijual atau dibarter dengan barang lain seperti ikan. Dalam pengusahaan kebun ada pembagian tugas antara kaum lelaki dan perempuan. Kaum lelaki bertugas membuka kebun, sedangkan kaum perempuan yang menanami. Pada saat panen, kegiatan pemanenan diakukan bersama-sama, baik kaum perempuan maupun laki- laki. Dalam subsektor perikanan budidaya penduduk memanfaatkan lahan perairan pesisir untuk budidaya rumput laut. Rumput laut yang dibudidaya adalah jenis Euchema cottonii dan Euchema spinosum. Kedua jenis ini memiliki nilai pasaran
10
yang baik. Rumput laut dibudidaya dengan sistem dasar. Setelah mencapai waktu tanam (5 - 6 minggu), rumput laut dipanen, dibersihkan dan dijemur. Rumput laut kering selanjutnya dijual kepada perusahaan pengumpul di kota Biak. Saat penelitian berlangsung, kegiatan usaha budidaya rumput laut terhenti karena tidak ada perusahaan pembeli. Akhirnya rumput laut yang sudah kering disimpan di rumahrumah penduduk sambil menunggu adanya pembeli. Pendapatan Per Kapita Banyaknya sampel (penduduk) yang dipilih untuk analisis pendapatan keluarga sebanyak 221 orang atau 5,56% dari jumlah penduduk GPP Padaido. Sumber pendapatan utama penduduk berasal dari subsektor perikanan tangkap dan perkebunan kelapa (minyak kelapa). Hasil analisis pendapatan per kapita rata-rata penduduk GPP Padaido disajikan pada Tabel 45. Berdasarkan Tabel 45, pendapatan per kapita rata-rata penduduk berdasarkan pendapatan keluarga berada pada tingkatan rendah dan sedang. Penduduk berpendapatan rendah terdapat di Pulau Auki, Pulau Nusi, Pulau Pai, Pulau Padaidori, Pulau Pasi, dan Pulau Mangguandi, sedangkan penduduk berpendapatan sedang ditemukan di Pulau Wundi dan Pulau Mbromsi. Penduduk berpendapatan tinggi tidak dijumpai di GPP Padaido. Pengeluaran Per Kapita Banyaknya sampel (penduduk) yang dipilih untuk analisis pengeluaran keluarga adalah 221 orang atau 5,56% dari total jumlah penduduk. Pengeluaran utama penduduk bersumber pada pembelian kebutuhan pokok keluarga, seperti beras, gula, kopi, teh dan lain- lain. Hasil analisis pengeluaran per kapita rata-rata penduduk disajikan pada Tabel 46. Berdasarkan Tabel 46, pengeluaran rata-rata penduduk GPP Padaido tergolong rendah. Rendahnya pengeluaran per kapita rata-rata penduduk disebabkan oleh pendapatan per kapita yang tergolong rendah juga.
11
Tabel 45 Pendapatan per kapita rata-rata penduduk GPP Padaido
No
Pulau
Jumlah Jumlah Pendapatan Penduduk (Jiwa) Responden (Jiwa) Per Kapita
1 2 3 4 5 6 7 8
Auki Wundi Nusi Pai Padaidori Mbromsi Pasi Mangguandi Jumlah Sumber : Hasil analisis.
346 446 552 454 540 763 547 327 3975
19 41 20 35 20 38 27 21 221
Keterangan Pendapatan
188073 286432 108725 194934 156288 298138 178729 149057 1560376
Rendah Sedang Rendah Rendah Rendah Sedang Rendah Rendah
Tabel 46 Pengeluaran per kapita rata-rata penduduk Pulau-Pulau Padaido
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Pulau
Jumlah Jumlah Responden Pengeluaran Keterangan Penduduk (Jiwa) (Jiwa) Per Kapita Pengeluaran
Auki Wundi Nusi Pai Padaidori Mbromsi Pasi Mangguandi Jumlah Sumber : Hasil analisis
346 446 552 454 540 763 547 327 3975
19 41 20 35 20 38 27 21 221
84248 107143 152992 92577 97233 133979 107817 101667 877656
Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
Sarana dan Prasarana (Infrastruktur) Perekonomian Sarana dan prasarana perekonomian di GPP Padaido sangat minim. Sarana dan prasarana yang tersedia hanya kios dan penginapan (pondok wisata), sedangkan sarana lain seperti pelabuhan pendaratan ikan (TPI), toko, bank, restoran atau rumah makan serta pasar tidak tersedia.
12
Kios merupakan salah satu usaha ekonomi kecil masyarakat yang menyediakan barang-barang kebutuhan pokok penduduk, seperti gula, tepung, mie instan, rokok, kopi, teh, makanan- makanan kecil, makanan- makanan kaleng, dan lain-lain. Di GPP Padaido terdapat rata-rata 1 - 4 kios dalam satu pulau. Kios-kios tersebut dimiliki baik secara pribadi maupun jemaat. Kios jemaat dibiayai oleh gereja melalui dana jemaat yang diperoleh setiap hari ibadah. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat, banyak kios yang tidak berfungsi lagi (bangkrut) karena pengelolaannya tidak baik. Pada kios jemaat, hasil penjualan tidak masuk ke kas jemaat, sedangkan pada kios pribadi, banyak utang yang tidak dibayarkan. Pondok wisata merupakan salah satu sarana usaha ekonomi masyarakat di bidang pariwisata. Pondok wisata menyediakan jasa akomodasi dan penginapan kepada wisatawan yang mengunjungi pulau-pulau Padaido. Di GPP Padaido, pondok wisata dibangun di Pulau Wundi dan Pulau Dauwi. Pondok wisata dikelola oleh masyarakat pulau dan dibina oleh LSM. Berdasarkan wawancara dan pengamatan lapangan, pondok wisata jarang ditempati oleh wisatawan yang menikmati pemandangan bawah laut di GPP Padaido. Mereka memilih kembali ke Biak setelah tujuannya wisatanya tercapai. Bagi wisatawan dengan tujuan pendidikan dan penelitian, pondok wisata selalu ditempati sampai tugas mereka selesai. Dalam pengelolaan pariwisata yang memanfaatkan objek-objek wisata di GPP Padaido, masyarakat harus dilibatkan supaya mereka juga mendapatkan manfaatnya. Manfaat yang mereka peroleh berupa pendapatan dari hasil pondok wisata, akomodasi dan pelayanan jasa lainnya selama wisatawan berada di pulau-pulau. Kondisi Sosial Budaya Seperti suku bangsa-suku bangsa
lain, penduduk GPP Padaido memiliki
kebudayaan dan falsafah hidup (kearifan tradisional) dalam pemanfaatan sumberdaya alam untuk kelangsungan hidup mereka. Kebudayaan dan falsafah hidup tersebut dianalisis nilai potensinya bagi pengembangan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut.
13
Unsur-unsur kebudayaan dan kearifan tradisional penduduk pulau-pulau Padaido yang dikaji meliputi asal mula penduduk, sistem mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem teknologi, sistem religi dan kesenian. Asal Mula Penduduk Pulau-Pulau Padaido Penduduk yang mendiami GPP Padaido adalah suku Biak. Mereka menggunakan satu bahasa sebagai alat komunikasi yaitu bahasa Biak. Orang Biak dan Padaido mempunyai ciri-ciri tubuh yang mirip dengan orang Melanesia dan Irian. Mereka el bih pendek dari orang Melanesia, namun lebih tegap dari orang Irian. Rambut mereka adalah keriting, seperti sarang tawon, tetapi ada juga yang berombak. Berdasarkan perbandingan golongan darah, terdapat persamaan antara orang Biak dengan orang Halmahera, orang Seram, orang Ambon, orang Sangir, orang Kepulauan Kei dan orang Alor (Neuhaus,1935 yang diacuh oleh Budjang,1963). Penduduk GPP Padaido pada awalnya berasal dari daerah-daerah di pesisir timur Pulau Biak. Kepindahan mereka ke GPP Padaido disebabka n oleh 2 faktor, yaitu peperangan suku/keret dan program landscap pada masa pemerintahan Belanda untuk penanaman pohon kelapa. Dari catatan sejarah diketahui bahwa pada abad ke10 sampai abad ke-14, nenek moyang penduduk GPP Padaido Atas menyeberang dari Pulau Biak ke GPP Padaido. Pulau pertama yang mereka singgahi adalah Pulau Mbromsi. Di pulau ini mereka mendirikan kampung yang diberi nama Saribra. Dari kampung ini, mereka selanjutnya menyebar ke pulau-pulau lain, seperti Pulau Padaidori, Pulau Yeri dan pulau-pulau lain di bagian selatan. Kedatangan penduduk ke GPP Padaido selain karena perang suku atau keret juga karena adanya program landscap pada masa pemerintahan Belanda. Penduduk diharuskan menanam pohon kelapa di Pulau Wundi, Pulau Auki, Pulau Nusi, Pulau Pai, Pulau Pasi dan pulau-pulau lain di sekitarnya. Setelah program selesai, beberapa dari mereka memutuska n untuk menetap sebagai penduduk pulau dan sebagian lagi kembali ke Pulau Biak. Pola migrasi penduduk pesisir Biak Timur Pulau Biak ke GPP Padaido disajikan pada Lampiran 23.
14
Sistem Mata Pencaharian Keluarga penduduk di GPP Padaido bermatapencaharian ganda. Selain menangkap ikan (perikanan), mereka juga bercocok tanam (tanaman pangan), berternak (peternakan) serta berkebun kelapa. Dalam melakukan aktivitas tersebut terdapat pembagian tugas yang jelas antara kaum lelaki (suami) dan perempuan (istri) serta anak-anak. Perikanan merupakan mata pencaharian utama sebagian besar penduduk Padaido. Kampung-kampung mereka terletak di pesisir pantai. Ikan, kerang dan gurita merupakan makanan utama mereka. Kaum perempuan dan anak-anak mencari dan menangkap ikan dan biota laut lain di perairan dangkal terutama pada rataan terumbu karang (bosen) pada saat air laut surut, sedangkan kaum lelaki mencari dan menangkap ikan di laut dalam. Alat penangkapan ikan yang digunakan relatif sederhana, terdiri dari panah, tombak, pancing dan jaring insang serta perahu dengan satu cadik (semang). Perahu yang digunakan juga ada yang dilengkapi dengan motor tempel untuk mencapai daerah penangkapan yang jauh. Hasil tangkapan ikan sebagian besar di jual ke Biak, baik dalam bentuk segar maupun olahan (ikan asin dan asar). Bercocok tanam merupakan mata pencaharian utama sebagian keluarga penduduk GPP Padaido terutama yang tinggal di pulau-pulau besar, seperti Pulau Padaidori, Pulau Mbromsi dan Pulau Pasi. Di pulau-pulau tersebut, kondisi tanah lahan relatif sesuai dan subur. Tanaman pangan yang ditanam terdiri dari ubi kayu, jagung, ubi jalar dan keladi. Dalam bercocok tanam, kaum lelaki bertugas membuka kebun dan membersihkan semak belukar didalamnya, sedangkan kaum perempuan bertugas menanam bibit tanaman dan memelihara tanaman tersebut sampai panen. Pada waktu panen, kaum lelaki dan perempuan bekerja bersama-sama untuk memanen hasil. Hasil panen selain dikonsumsi, ada juga yang dijual atau dibarter dengan ikan. Selain menangkap ikan di laut dan bercocok tanama di darat, keluarga penduduk GPP Padaido juga mengusahakan kebun kelapa dan bertenak. Kebun kelapa dibudidayakan baik di pulau-pulau yang berpenduduk maupun tidak. Selain
15
dimakan dan diminum airnya, buah kelapa terutama dimanfaatkan untuk kopra dan pembuatan minyak kelapa. Pekerjaan mengambil dan mengupas buah kelapa dilakukan oleh kaum lelaki, sedangkan kaum perempua n bertugas memarut, menapis dan memasak santan kelapa sampai menjadi minyak kelapa. Untuk menghasilkan minyak kelapa sebanyak 1 liter dibutuhkan kelapa sebanyak 10 buah. Minyak kelapa yang dihasilkan, selanjutnya dijual di Pulau Biak. Beternak merupakan pekerjaan sebagian kecil keluarga penduduk GPP Padaido. Pekerjaan ini kurang diminati oleh kebanyakan keluarga karena selain harus memberi makan dan membutuhkan kesabaran, usaha ini memerlukan waktu lama untuk memperoleh hasilnya. Selain itu, hewan ternak juga dapat membuat masalah dengan memakan hasil kebun keluarga lain. Hewan yang diternak terdiri dari babi, ayam kampung dan itik manila. Selain dikonsumsi keluarga pada hari-hari tertentu, hewan ternak dijual untuk menambah pendapatan keluarga. Sistem Kemasyarakatan Dalam kebudayaan orang Biak dan Padaido dikenal kesatuan kekerabatan, yaitu keret (mata rumah). Keret terdiri dari keluarga batih dan kerabat-kerabatnya. Orang Biak dan Padaido menganut sistem patrilineal, yaitu prinsip menghitung hubungan keturunan hanya melalui para kerabat pria. Hubungan kekerabatan ini sangat erat sehingga orang Biak maupun Padaido merasa dirinya lebih sebagai anggota keret dari pada sebagai perseorangan (Koentjaraningrat dan Bachtiar,1963 yang diacuh oleh Budjang,1963). Hubungan keluarga ditentukan oleh nama keret seseorang. Orang yang mempunyai nama sama dianggap sebagai famili (keluarga). Saudara laki- laki ibu (paman) juga memainkan peranan penting dalam kehidupan anak-anak orang Biak, karena paman menjadi pemimpin dan pelaku upacara inisiasi, yaitu suatu upacara penting dalam kehidupan orang Biak. Menurut adat, perkawinan antar anggota-anggota satu keret dilarang tetapi keturunan angkatan keempat dari satu moyang laki- laki diperbolehkan kawin tanpa
16
halanga n. Kelompok yang sungguh-sungguh exogam yaitu yang tinggal dalam satu rumah atau dalam beberapa rumah diatas satu pekarangan (Budjang, 1963). Sebelum terjadi tsunami 1996, orang Padaido tinggal di rumah panggung (mereka menyebut sebagai rumah berlabuh) yang dibangun sepanjang pantai. Sebuah rumah dihuni oleh suatu keluarga luas (keret) patrilokal yang terdiri dari keluarga batik senior beserta anak laki- lakinya yang telah kawin. Dalam tiap-tiap kamar tinggal satu keluarga batih. Anggota keret (keluarga batih) yang paling tua menempati kamar yang berada paling dekat ke arah laut, sedangkan yang lebih muda menempati kamar yang dekat dengan daratan. Ukuran rumah (lebar dan panjangnya) tergantung dari jumlah keluarga batih yang menempatinya. Setelah terjadi tsunami 1996, Sebagian besar orang Padaido tidak lagi membangun rumah panggung di tepi pantai tetapi mereka membangun rumah baru di daratan. Rumah diatur saling berhadapan dan dipisahkan oleh jalan umum. Rumah dibangun tidak seperti rumah panggung yang merupakan kesatuan tempat tinggal berdasarkan keret. Setiap keluarga batih menempati satu rumah dan terpisah dengan keluarga batih lain yang semula tinggal dalam satu rumah panggung.
Namun
demikian, ada kecenderungan dimana rumah anggota satu keret saling berdekatan atau terjadi penggelompokkan lokasi berdasarkan keret. Dalam satu desa, keret dapat dibedakan atas keret besar dan keret kecil. Keret besar dicirikan oleh banyaknya jumlah anggota, memiliki tanah adat yang luas, dan merupakan keret pertama ya ng datang dan menempati kampung atau pulau. Keret kecil adalah keret yang datang sesudah keret besar atau dibawa keret besar karena hubungan pertemanan. Selain itu, kedatangan keret kecil karena terjadi perselisihan antar keret di tempat asalnya. Organisasi sosial yang sangat berpengaruh di tingkat desa adalah pemerintah, gereja dan adat. Ketiga institusi ini biasanya disebut “tiga tungku”. Hal ini disebabkan karena dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya kepada masyarakat saling melengkapi. Keputusan terhadap pengelolaan tanah dan laut didasarkan pada ketiga institusi tersebut. Gereja juga turut berperan dalam penetapan sasisen atau dalam upacara perkawinan atau pelanggaran terhadap aturan desa.
17
Selain ketiga organisasi di atas, di tingkat desa masih terdapat organisasi yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam, seperti kelompok produksi (perikanan dan minyak kelapa) dan kelompok konservasi. Sistem Pengetahuan Bagi masyarakat GPP Padaido dan Biak pada umumnya, laut dianggap mempunyai nilai religio -magis, sosio-kultural dan ekonomis. Dalam memanfaatkan potensi sumberdaya laut harus disesuaikan dengan norma, perilaku atau aturan-aturan yang telah dianut sejak jaman nenek moyang agar tidak mendatangkan laknat bagi manusia. Masyarakat percaya bahwa jika laut dimanfaatkan tidak sebagaimana mastinya maka akan diganggu atau diculik oleh dewa laut (faknik). Dalam melakukan aktivitas pencaharian ikan masyarakat mengenal adanya tata cara yang dilakukan secara turun temurun. Ketika mengambil bia (kerang) yang terdapat di bawah batu karang, mereka harus mengembalikan posisi batu karang ke posisi semula. Bila jaring tersangkut karang maka sesudah karangnya diangkat, karang harus dikembalikan lagi ke tempat semula. Seseorang yang istrinya sedang hamil saat mencari ikan bersama-sama harus berjalan paling belakang dan tidak boleh berbicara selama mencari ikan. Beberapa keret mengenal adanya pantangan makan jenis ikan tertentu karena ada kepercayaan bahwa dahulu pernah ada anggota keret nya yang berubah menjadi ikan. Misanya, keret Rumaropen tidak boleh makan ikan lumbah-lumbah, keret Rumkabas tidak boleh makan ikan Karipag, keret Rumkorem tidak boleh makan ikan Paparu, dan Keret Morin tidak boleh makan ikan insafsaf. Bila jenis-jenis ikan tersebut tertangkap jaring akan dikembalikan ke laut atau diberikan ke keret lain. Penduduk pulau-pulau Padaido mengenal wilayah pembagian pencaharian ikan. Pembagian wilayah pencaharian ikan tidak kaku tetapi ditentukan berdasarkan kebiasaan atau konvensi yang dilakukan selama ini. Orang dari satu pulau dapat menangkap ikan di lokasi penangkapan orang dari pulau lain. Daerah tangkapan ikan masyarakat Biak Timur dan GPP Padaido disajikan pada Lampiran 24.
18
Penduduk GPP Padaido mengenal musim- musim mencari ikan. Musim timur ditandai dari bertiupnya angin dari arah timur-tenggara dengan kecepatan rendah selama April sampai September. Pada musim ini perairan laut umumnya tenang (mereka menyebut Wampasi ). Aktivitas mencari ikan umumnya berlangsung pada musim ini. Musim barat berlangsung dari Oktober sampai Maret. Pada musim ini angin bertiup dari arah barat-utara dengan kencang sehingga menimbulkan gelombang besar dan arus kuat. Aktivitas mencari ikan tetap berlangsung pada tempat-tempat terlindung, namun dengan intensitas yang menurun dibandingkan dengan musim timur. Jenis-jenis ikan yang tertangkap berdasarkan musim disajikan pada Tabel 47. Dalam masyarakat GPP Padaido dikenal pembagian wilayah laut, pola penguasaan dan pemilikan laut. Pembagian wilayah laut secara geografi meliputi Siser, yaitu batas antara vegetasi darat, pantai kering dan titik terendah waktu air surut. Bosen, yaitu daerah terumbu karang, batas antara titik terendah air surut dan laut dalam. Arwan, yaitu daerah terumbu karang yang bentuknya landai dan terbentang meliputi suatu wilayah yang cukup luas. Manspar, yaitu daerah tebing karang, atau sering disebut Kafafer. Soren, yaitu istilah yang umum digunakan untuk menyebut laut atau batas antara daerah terumbu karang dan laut lepas. Irbor, yaitu gugusan terumbu-terumbu karang yang terletak di laut dalam dan terpisah antara satu gugusan dengan lainnya. Pola penguasaan dan pemilikan wilayah pesisir dan laut yang dianut oleh masyarakat adalah pemilikan secara komunal. Pemilikan atas wilayah pesisir dan laut meliputi wilayah pinggiran pantai (siser) sampai terumbu-terumbu karang laut dalam. Wilayah tersebut diklaim sebagai milik keret karena merekalah yang pertama kali dan sering menangkap ikan disitu. Pola penguasaan bersifat mutlak dan tidak mutlak. Pada pola penguasaan laut secara mutlak, wilayah laut hanya dimanfaatkan oleh warga kampung sendiri. Wilayah ini jarang dimanfaatkan oleh warga lain untuk menangkap ikan di dalamnya , sedangkan pada pola penguasaan tidak mutlak, wilayah laut yang dimiliki oleh sekelompok wargat dapat dimanfaatkan oleh warga lain yang memiliki hubungan keluarga (famili). Wilayah ini umumnya adalah terumbu-terumbu
19
karang laut dalam yang letaknya jauh dari kampung. Penangkapan ikan dilakukan bersama-sama oleh warga sekampung atau warga kampung lain yang berdekatan. Tabel 47 Musim penangkapan ikan masyarakat Padaido No
Musim
1 2 3 4 5 6 7 7,1 7,2 7,3 7,4 7,5 7,6 7,7 7,8 7,9 7.1O
Angin timur (syor wampasi) Angin barat (wambarek) Surut terendah (meti besar) Banyak Ikan Munculnya bintang robinsendi Munculnya bintang kalajengking Musim ikan; jenis Ikan inggarfor (Caranx spp.) Ikan indwar (Kyphosus spp.) Ikan indos (Siganus spp.) Ikan impekem (Lutjanus spp.) Ikan inggar (Naso spp.) Ikan imbrui Ikan kaibam (Scarus spp.) Ikan inasaman (Mugil spp.) Ikan inanagoer (Gerres spp.) Ikan inasman
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des
Sumber : Laksono, et al., 2001. Selain memiliki pola penguasaan wilayah laut, masyarakat GPP Padaido juga mengenal bentuk perlindungan wilayah laut, yaitu sasisen. Larangan ini diberlakukan sementara waktu dalam wilayah tertentu untuk tidak boleh menangkap ikan ataupun mengumpulkan hasil laut lain di sekitar lokasi tersebut. Sasisen terbagi dalam dua jenis, yaitu: (1) Sasisen terhadap wilayah tertentu meliputi segala jenis sumberdaya yang terdapat di dalamnya. Jenis sasisen seperti ini berlaku paling lama enam bulan; (2) Sasisen yang diberlakukan terhadap satu jenis sumberdaya. Jenis sasisen seperti ini biasanya diberlakukan untuk sumberdaya yang bernilai ekonomis tinggi untuk jangka waktu minimum satu tahun, seperti teripang, lola dan udang karang. Sistem Teknologi Masyarakat yang mendiami GPP Padaido telah mengenal beberapa teknologi, diantaranya adalah teknologi penangkapan ikan, teknologi pembuatan perahu,
20
teknologi pengawetan ikan, teknologi pembuatan minyak kelapa, dan teknologi pengawetan minyak kelapa serta teknologi budidaya rumput laut. Dalam
mencari
ikan
penduduk
menggunakan
metode
dan
peralatan
penangkapan yang masih sederhana. Metode dan peralatan penangkapan yang umum dikenal masya rakat adalah penangkapan tanpa alat, penangkapan dengan peralatan untuk melukai (tombak, panah), penangkapan dengan jalan memabukkan (akar tuba), penangkapan dengan pancing (pancing tangan), dan penangkapan dengan jaring insang serta penangkapan dengan bahan peledak (bom) dan bahan pembiusan (sianida).. Perahu yang digunakan adalah perahu dayung (satu cadik) dan perahu motor (dua cadik). Kedua jenis perahu tersebut terbuat dari kayu. Jenis-jenis kayu yang digunakan adalah moref, marem, abyai, sner, kabui, ainus, sanggune, ketapang hutan, kinen, manggarmop dan bintanggor. Dalam mengawetkan ikan dan biota laut lain hasil tangkapan masyarakat umumnya menggunakan dua perlakuan, yaitu perlakuan segar dan olahan. Dalam perlakuan segar, ikan disimpan dalam kotak es (cool box ) segera setelah ditangkap untuk mempertahankan kesegarannya. Umumnya ikan segar langsung dijual ke pasar, sedangkan untuk perlakuan olahan, ikan hasil tangkapan diproses menjadi beberapa bentuk olahan, seperti ikan asap (asar), ikan asin (ikan garam), ikan goreng dan ikan kering. Ikan olahan tidak langsung dijual tetapi disimpan untuk jangka waktu tertentu baru dijual. Untuk pembuatan minyak kelapa, masyarakat menggunakan cara yang masih sederhana. Untuk menghasilkan minyak tahapan-tahapan yang harus dilalui adalah tahapan pengupasan buah kelapa, pemarutan, peremasan, dan pemasakan. Dalam tahap pengupasan, masyarakat masih menggunakan kapak, sementara dalam tahapan pemarutan masyarakat telah menggunakan alat parutan tangan dan mesin parut. Dalam proses peremasan, masyarakat menggunakan kaki dengan menginjak- injak hasil parutan dalam sebuah drum yang telah dilubangi bagian dasarnya. Melalui lubang-lubang tersebut santan kelapa mengalir ke wadah penampung yang berupa
21
sebuah drum. Santan selanjutnya dibiarkan beberapa saat atau semalam sebelum dimasak untuk menghasilkan minyak. Untuk menjaga kualitas minyak kelapa agar tetap awet, masyarakat menggunakan daun pepaya atau daun jeruk dan cairan cuka. Daun pepaya atau daun jeruk dimasukkan dalam wadah dimana santan dimasak sampai menjadi minyak. Dengan teknologi tersebut minyak kelapa tidak berubah bau selama satu sampai enam bulan. Sistem Kepercayaan (religi) Sebelum mengenal agama Kristen (Nasrani), kepercayaan orang Padaido dan Biak adalah kepercayaan tradisional (animisme), yaitu kepercayaan terhadap roh-roh orang mati atau roh-roh halus, yang dianggap menempati pohon besar, gunung, laut dan tanjung serta batu karang. Banyak tempat dan pulau di GPP Padaido dijadikan sebagai tempat keramat, seperti Pulau Pakreki, Pulau Rarsbar, Pulau Warek dan beberapa tanjung di Pulau Padaidori, Pulau Mbromsi, Pulau Pasi, dan pulau-pulau lain. Selain kepercayaan animisme, orang Padaido dan Biak juga percaya kepada satu kekuatan atau kekuasaan yang me ndiami langit, dinamakan Manseren Nanggi. Manseren Nanggi diyakini dapat menjawab dan memecahkan segala kesulitan hidup masyarakat serta melindungi manusia dari setiap ancaman musuh atau bencana alam. Orang Biak dan Padaido juga mengenal ada dua macam kekuasaan, yaitu kekuasaan baik dan kekuasaan buruk. Kekuasaan baik berkedudukan di timur dan utara, sedangkan kekuasaan buruk berkedudukan di barat dan selatan. Kekuasaankekuasaan ini ada di dunia awan (mandep), sedangkan Manseren Nanggi atau tuhan langit berada di lapisan tertinggi (nanek). Lapisan ketiga adalah bumi yang didiami oleh hantu- hantu karang dan batu, sedangkan lapisan keempat adalah dunia bawah laut dalam bumi (Koentjaningrat dan Bachtiar, 1963). Salah satu bentuk pemujaan yang dikenal adalah upacara Fannanggi, yaitu upacara mohon berkah dari Manseren Nanggi (tuhan langit) yang dilakukan oleh sorang pemuka keagamaan yang disebut mon. Mon bertindak sebagai perantara
22
Manseren Nanggi. Mon meramalkan apa yang akan terjadi, menentukan nasib orang yang hadir dan menyampaikan pesan-pesan baik dan buruk. Barang-barang yang dikorbankan diletakkan di bawah panggung dimana mon berdiri. Setelah masuknya agama kristen, penduduk GPP Padaido dan Biak menganut agama Kristen. Agama Kristen masuk Biak pada tanggal 26 April 1908. Masyarakat Biak memandang masuknya agama kristen sebagai pertanda perubahan kehidupan dari masa kegelapan ke masa terang. Upacara keagamaan berlangsung di gereja yang dipimpin oleh seorang pendeta atau guru agama dan dibantu oleh majelis jemaat. Pada hari-hari tertentu diadakan ibadah atau kebaktian di rumah-rumah keluarga penduduk sesuai jadwal. Karena letaknya, sebagian besar upacara keagamaan di beberapa pulau dipimpin oleh seorang guru agama. Kesenian Bagi masyarakat Biak dan Padaido, simbol-simbol atau perlambangan yang berhubungan dengan kehidupan laut diapreasiasikan dalam bentuk seni rupa. Ukiranukiran biasanya dipahat pada pintu rumah, tiang rumah, haluan perahu (sara rawen), buritan perahu (sara uren), tiang layar (padaren) dan dayung (kabores). Ukir- ukiran yang berhubungan dengan kehidupan laut biasanya diukir pada perahu dagang, dinamakan Wai Mansusu. Ukiran tersebut disebut Karirin yang terdiri dari empat motif. Dua motif dari lambang tersebut melambangkan keindahan, keagungan dan kekuatan di laut, yang motifnya diambil dari salah satu spesies ikan samandar (Siganus spp) dan lekukan bia atau kerang. Bia (kerang) dijadikan lambang kekuatan karena bia biasanya melekat pada dinding dan lubang batu di laut dengan kokoh. Ikan samandar dijadikan lambang karena merupakan salah satu komoditi yang diambil dan diasar untuk ditukar dengan sagu dan keladi ke Pulau Yapen. Selain memiliki ukiran-ukiran diatas, mereka juga memiliki ukiran-ukiran yang lebih menggambarkan hubungan mereka dengan kosmos, antara lain patung ukiran tentang perjalanan bintang ro-mangguandi menurut musim, yaitu musim laut teduh (wampasi) hingga musim ombak (wambarek ).
23
PARTISIPASI MASYARAKAT Tingkat Partisipasi Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut GPP Padaido dinilai dari keterlibatan masyarakat dalam hal : (1) memanfaatkan sumber daya pesisir dan laut untuk kegiatan ekonomi, (2) menjaga dan melestarikan lingkungan dan sumberdaya alamnya, dan (3)
proses pengelolaan sejak taha p
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Hasil analisis tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut disajikan pada Tabel 48. Partisipasi masyarakat GPP Padaido dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut berada pada tingkat rendah dan sedang, sedangkan tingkat partisipasi tinggi tidak dijumpai. Sebagian besar masyarakat (65,56%) berada pada tingkat partisipasi rendah. Pada tingkatan ini, partisipasi masyarakat baru mencakup satu aspek dari tiga aspek penge lolaan, yaitu memanfaatan sumberdaya pesisir dan laut untuk kegiatan ekonomi. Cakupan aspek lain, seperti; keterlibatan masyarakat dalam menjaga dan melestarikan lingkungan dan sumberdaya alamnya, dan keterlibatan masyarakat dalam proses pengelolaan sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi belum banyak yang dilakukan. Kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat yang menonjol adalah kegiatan perikanan tangkap dan budidaya, jasa transportasi laut serta pariwisata pesisir. Kegiatan-kegiatan ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Pada tingkat partisipasi sedang, sebanyak 34,44% masyarakat diketahui terlibat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Pada tingkatan ini, masyarakat tidak hanya memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut untuk kepentingan perekonomian tetapi mereka juga melakukan kegiatan konservasi sumberdaya alam, yaitu menjaga dan melestarikan lingkungan dan sumberdaya alamnya. Bagi masyarakat GPP Padaido, kegiatan konservasi telah dikenal dan menjadi bagian dari kebudayaan mereka. Sistem sasisen sumberdaya alam dan kawasan “pamali” telah dikenal masyarakat secara turun-temurun. Sistem ini dapat dijumpai di
24
GPP Padaido Bawah maupun GPP Padaido Atas. Pada kawasan sasisen, sumberdaya alam tertentu dilarang untuk diambil atau dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu. Orang yang kedapatan mengambil sumberdaya tersebut akan dikenakan sanksi sesuai peraturan adat yang berlaku. Umumnya sumberdaya alam yang disasisen memiliki nilai ekonomis, sedangkan pada kawasan “pamali”, masyarakat dilarang untuk memasukinya karena dianggap memiliki nilai “magis”. Umumnya kondisi sumberdaya di kawasan tersebut masih baik dan alami. Selain sistem konservasi tersebut di atas, peningkatan pengetahuan masyarakat mengenai konservasi diperoleh
dari
kegiatan-kegiatan
“proyek”
konservasi
sumberdaya alam yang dilakukan oleh lembaga- lembaga non pemerintah dan pemerintah. Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rumsram, sekitar 25 tahun, membina masyarakat dalam kegiatan konservasi. Demiukian juga proyek COREMAP dari pemerintah yang berada di kawasan Kepulauan Padaido sejak 1999 sampai sekarang. Adanya kegiatankegiatan tersebut sangat membantu meningkatkan tingkat partisipasi masyarakat dalam penge lolaan sumberdaya pesisir dan laut. Tabel 48 Tingkat partisipasi masyarakat No Tingkat Partisipasi Jumlah Persentase (%) 1 Rendah (1) 2 Sedang (2) 3 Tinggi (3) Jumlah Sumber : Hasil Analisis
59 31 0 90
65,556 34,444 0 100,000
Hasil analisis perbedaan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut disajikan pada Tabel 49. Hasil menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata antar tingkat partisipasi ma syarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut pada tingkat kepercayaan 95%. Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesa yang menyatakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di GPP Padaido dipengaruhi oleh partisipasi masyarakat diterima. Mereka yang termasuk tingkat partisipasi rendah memiliki perbedaan yang sangat nyata dengan
25
mereka yang memiliki tingkat partisipasi sedang dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Dari hasil terlihat bahwa 65,56% responden atau penduduk GPP Padaido berada pada tingkat partisipasi rendah, sedangkan 34,44% berada pada tingkat partisipasi sedang. Perbedaan tingkat partisipasi responden atau penduduk disebabkan oleh perbedaan karakteristik (faktor) yang dimiliki oleh mereka, seperti: umur, lama pendidikan, lama tinggal, tanggungan keluarga dan pendapatan. Pangesti (1995) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi seseorang mencakup dua hal, yaitu: (1) Faktor internal yang mencakup ciri-ciri atau karakteristik individu, dan (2) Faktor eksternal yang merupakan faktor di luar karakteristik individu. Faktor internal antara lain meliputi umur, pendidikan formal, pendidikan non- formal, luas lahan garapan, pendapatan, pengalaman berusaha dan kosmopolitan. Faktor eksternal meliputi hubungan antara pengelola dengan petani penggarap, pelayanan pengelola dan kegiatan penyuluhan. Selain itu, kesediaan seseorang untuk berpartisipasi dipengaruhi antara lain oleh umur, pekerjaan, pendidikan dan lama tinggal (Murray dan Lappin diacu oleh Bakri, 1992). Tabel 49 Hasil analisis diskriminan tingkat partisipasi masyarakat Test of Function(s) 1
Wilks' Lambda Chi-square df ,779
21,396
Sig.
5 ,001**
Sumber : Hasil Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Partisipasi Masyarakat Tabel 50 menyajikan deskripsi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Sebanyak 90 responden dipilih dalam analisis. Umur dan jumlah tanggungan anggota keluarga relatif tidak berbeda antar tingkat partisipasi masyarakat. Namun tampaknya faktor lama pendidikan, lama tinggal dan pendapatan menunjukkan perbedaan walaupun tidak terlalu besar. Masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi rendah cenderung memiliki lama waktu pendidikan yang pendek, lama waktu tinggal yang panjang serta pendapatan yang tinggi, sedangkan masyarakat dengan partisipasi sedang sebaliknya.
26
Tabel 50 Deskripsi variabel tingkat partisipasi masyarakat Valid N (listwise)
Tngkt Partsp
Faktor Umur Lama Pendidikan
1,00 Lama Tinggal Tanggungan Keluarga Pendapatan Umur Lama Pendidikan 2,00 Lama Tinggal Tanggungan Keluarga Pendapatan Umur Lama Pendidikan Total Lama Tinggal Tanggungan Keluarga Pendapatan Sumber : Hasil Analisis
Rataan
Std. Deviasi
Unweighted Weighted
39,97
10,94
59
59,00
7,37
1,95
59
59,00
35,98
13,13
59
59,00
6,36
2,18
59
59,00
265254,24
92033,65
59
59,00
39,06
8,01
31
31,00
8,90
2,26
31
31,00
38,23
8,48
31
31,00
6,90
2,30
31
31,00
241935,48
53380,36
31
31,00
39,66
9,99
90
90,00
7,90
2,18
90
90,00
36,76
11,74
90
90,00
6,54
2,22
90
90,00
257222,22
81268,42
90
90,00
Hasil analisis diskriminan faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut disajikan pada Tabel 51. Hasil menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat sangat dipengaruhi oleh faktor lama pendidikan, sedangkan faktor-faktor yang lain tidak nyata pengaruhnya. Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesa yang menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi tidak semuanya benar. Hanya lama pendidikan yang dapat diterima. Lama pendidikan yang diikuti oleh masyarakat (6, 9, dan 12 tahun) ternyata memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Sejalan dengan hasil ini, Purnomowati (2001) menemukan bahwa tingkat (lama) pendidikan mempunyai hubungan yang positip dengan tingkat partisipasi dalam pengelolaan sumberdaya
27
pesisir berbasis masyarakat di desa Pamongkong, Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur, NTT. Semakin tinggi atau lama pendidikan maka semakin tinggi tingkat partisipasinya. Hal serupa juga dijumpai oleh Banjar (1998) pada studi mengenai sasi di Maluku, bahwa ada hubungan yang nyata dan positip antara tingkat pendidika n dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir. Tabel 51 Hasil analisis diskriminan faktor-faktor tingkat partisipasi masyarakat Variabel Umur Lama Pendidikan Lama Tinggal Tanggungan Keluarga Pendapatan per bulan
Wilks' Lambda ,998 ,887 ,992 ,986 ,981
F
df1
df2
Sig.
,164 11,183
1 1
88 88
,687 ,001**
,740 1,234 1,686
1 1 1
88 88 88
,392 ,270 ,198
Sumber : Hasil Analisis Hubungan antara lama pendidikan dan tingkat partisipasi masyarakat disajikan pada Tabel 52. Prosentase jumlah penduduk yang berpendidikan menurun menurut lamanya pendidikan. Penduduk dengan lama pendidikan 6 tahun (SD) memiliki prosentase terbesar (51 %), diikuti oleh 9 tahun (SLTP) yaitu 34% dan terakhir adalah 12 tahun (SLTA) dengan nilai 15%.
Komposisi tingkat pendidikan seperti ini
merupakan hal umum yang dijumpai di daerah perdesaan. Penduduk dengan tingkat ekonomi yang cukup akan menngirim anggota keluarganya ke daerah lain untuk menuntut pendidikan (ilmu) yang lebih tinggi. Akibatnya sebagian besar penduduk yang tinggal berpendidikan SD. Dengan tingkat pendidikan yang umumnya rendah, penduduk akan berpartisipasi pada tingkat yang rendah pula. Berdasarkan tingkat partisipasi, sebagian besar penduduk (66 %) berada pada tingkat re ndah dibandingkan dengan tingkat sedang (34 %). Pada tingkat rendah, prosentase jumlah penduduk yang berpartisipasi cenderung menurun menurut lamanya pendidikan. Pada tingkat partisipasi sedang, prosentase jumlah penduduk berfluktuasi menurut lamanya pendidikan. Pada lama pendidikan 6 dan 9 tahun, prosentase penduduk cenderung menurun menurut tingkat partisipasi, namun pada lama pendidikan 12 tahun, prosentase penduduk cenderung meningkat menurut
28
tingkat partisipasi. Hasil ini menujukkan bahwa tingkat (lama nya) pendidikan sangat menentukan tingkat partisipasi masyarakat. Semakin lama pendidikan yang dijalani oleh penduduk akan semakin banyak pengetahuan dan wawasan yang diperoleh. Dengan demikian, mereka akan dengan mudah berpartisipasi dan cenderung menempa ti tingkat partisipasi yang lebih tinggi. Pendapat tersebut didukung oleh pernyataan Soeryani et al., (1992) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam mengelola lingkungan hidup. Tingkat pendid ikan masyarakat akan mempengaruhi tingkat pengetahuan mereka terhadap lingkungan. Schoorl (1984) menyatakan bahwa masyarakat akan berpartisipasi apabila mempunyai pengetahuan dan kemampuan tentang kegiatan tersebut. Individu yang semakin tinggi pendidikan cenderung lebih aktif berpartisipasi dalam suatu kegiatan yang ada di lingkungannya (Murray dan Lappin, 1967 yang diacu oleh Bakri, 1992). Tabel 52 Lama pendidikan dan tingkat partisipasi Lama Tingkat Partisipasi Pendidikan Rendah (1) Sedang (2) 6 thn (SD) 37 (41 %) 9 (10 %) 9 thn (SLTP ) 17 (19 %) 14 (15 %) 12 thn (SLTA ) 5 (6 %) 8 (9 %) Jumlah 59 (66 %) 31 (34 %) Sumber : Hasil Analisis
Jumlah 46 (51 %) 31 (34 %) 13 (15 %) 90 (100 %)
Dalam kaitan dengan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di kawasan GPP Padaido perlu adanya upaya pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat pulau-pulau kecil mencakup dua hal, yaitu: pertama , Peningkatan pengetahua n, kemampuan dan ketrampilan masyarakat dalam pengelolaan dan pelestarian fungsi sumberdaya pesisir dan laut sebagai penyangga kehidupan di wilayah tersebut. Peningkatan kemampuan ini sangat penting karena sebagian besar masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil berpendidikan rendah (SD). Kedua, Peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap kegiatan ekonomi yang dapat mendorong kemampuan mereka untuk memanfaatkan
29
sumberdaya pesisir dan laut secara optimal dan berkelanjutan. Peningkatan aksesibilitas ini sangat penting karena sebagian besar penduduk yang tinggal di daerah pulau-pulau kecil hidup dalam kondisi kemiskinan. Pemberdayaan masyarakat pulau-pulau kecil ditujukan untuk menyiapkan kemampuan sumberdaya manusia mengelola potensi sumberdaya alam pesisir dan laut dan sumberdaya buatan serta sarana dan prasarana yang tersedia untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. Upaya pemberdayaan masyarakat merupakan proses mengubah atau membawa kondisi masyarakat pulau-pulau kecil yang ada saat ini kedalam suatu kondisi masyarakat yang diharapkan (Poerwowidagdo, 1998 yang diacu oleh Purnomowati, 2001).
30
ZONASI GPP PADAIDO Wilayah GPP Padaido memiliki potensi sumberdaya pesisir, laut dan pulaupulau kecil yang beragam. Potensi ini bila dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan akan meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Analisis zonasi pengelolaan GPP Padaido bertujuan untuk menilai dan mengelompokkan pulau-pulau berdasarkan potensi sumberdaya pesisir dan laut yang dimiliki melalui penerapan kriteria. Kriteria yang digunakan adalah kriteria ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan (Salm, et al. 2000). Pulau-pulau yang memiliki kesamaan sumberdaya akan membentuk kelompok. Analisis menghasilkan pengelompokkan pulau-pulau dan kemungkinan bentuk zonasi pengelolaan baik secara sendiri- sendiri maupun gugusan pulau. Pulau yang memiliki nilai tertinggi akan memiliki tingkat pengelolaan yang tinggi pula (beragam). GPP Padaido Bawah Penilaian Kriteria Zonasi Pengelolaan Pulau-Pulau Hasil analisis kriteria zonasi pengelolaan pulau-pulau dalam GPP Padaido Bawah disajikan pada Tabel 53. Berdasarkan kriteria ekologi, Pulau Auki dan Pulau Wundi memiliki nilai tertinggi (29), sedangkan Pulau Rarsbar memperoleh nilai terendah (16). Berdasarkan kriteria ekonomi, Pulau Wundi, Pulau Urev, Pulau Mansurbabo dan Pulau Nusi memiliki nilai tertinggi (11), sedangkan Pulau Rarsbar memperoleh nilai terendah (6). Berdasarkan kriteria sosial, Pulau Wundi memperoleh nilai tertinggi (22), sedangkan Pulau Yumni memperoleh nilai terendah (16). Berdasarkan kriteria kelembagaan, Pulau Auki, Pulau Wundi, Pulau Nusi dan Pulau Pai memiliki nilai tertinggi (9), sedangkan pulau-pulau lain memiliki nilai terendah (5). Secara keseluruhan, Pulau Wundi memiliki nilai total tertinggi (71 atau 82%), selanjutnya diikuti oleh Pulau Auki (69 atau 79%), Pulau Nusi (65 atau 75%) dan Pulau Pai (65 atau 75%), namun Pulau Rarsbar memiliki nilai total terendah (45 atau 52%).
31
Tabel 53 Penilaian kriteria pengelolaan GPP Padaido Bawah KRITERIA
Pulau-Pulau Padaido Bawah Au Yu Wu Ur Ma Nu Pa Wk Ra
I. EKOLOGI I.1. Keragaman hayati pulau I.1.1. Ekosistem I.1.2. Life Form Karang I.1.3. Spesies Ikan Karang I.1.4. Spesies Rumput Laut I.1.5. Spesies Lamun I.1.6. Spesies Mangrove I.1.7. Taxa Bentos
3 2 2 2 3 2 2
1 2 2 3 0 0 1
3 2 2 2 3 2 2
2 3 2 3 1 0 2
2 2 2 3 1 0 1
2 2 2 2 2 0 2
2 2 1 2 3 0 2
1 2 2 2 0 0 3
2 1 1 1 1 0 0
1 2 2
1 2 2
1 2 3
1 1 2
1 1 2
1 2 2
1 2 2
1 1 2
1 2 2
3 2 3 29
1 3 2 2 3 2 1 1 1 1 3 3 3 3 3 20 29 23 21 24
3 1 1 2 1 1 3 3 3 25 19 16
3 3 2 2 10
3 3 2 1 9
3 3 2 2 10
3 3 2 1 9
1 1 2 2 6
3 3 2 2 1 2 2 3
3 2 1 2 1 2 1 2
3 3 2 2 1 2 2 3
3 2 1 2 2 2 1 2
3 2 1 2 2 3 2 1
I.2. Kealamian pulau I.2.1. Persen Penutupan Karang I.2.2. Abrasi pantai I.3. Keunikan pulau I.4. Kerentanan pulau I.4.1. Status (berpenduduk atau tidak) I.4.2. Tingkat keterbukaan thdp laut I.5. Keterkaitan Pulau Total Nilai I II. EKONOMI II.1. Spesies Penting II.2. Kepentingan Perikanan II.3. Bentuk Ancaman II.4. Pariwisata Total Nilai II
3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 2 2 2 11 11 11 11
III. SOSIAL III.1. Tingkat Dukungan Masyarakat III.2. Rekreasi III.3. Budaya III.4. Estetika III.5. Konflik Kepentingan III.6. Keamanan III.7. Aksessibilitas III.8. Kepedulian III.9. Penelitian dan pendidikan Total Nilai III
3 3 3 2 1 2 2 3
3 3 1 2 2 2 1 2
3 3 1 2 2 2 1 2
3 3 2 2 1 2 2 3
3 2 3 2 2 3 3 2 2 21 16 22 18 18 21 21 17 18
32
IV. Kelembagaan IV.1. Keberadaan lembaga sosial IV.2. Dukungan infrastruktur sosial IV.3. Dukungan pemerintah Total Nilai IV Total Nilai I + II + III + IV Persentase thda ttl nilai skor=87
3 3 3 9 69 79
1 3 1 1 3 3 1 1 1 3 1 1 3 3 1 1 3 3 3 3 3 3 3 3 5 9 5 5 9 9 5 5 50 71 57 55 65 65 50 45 57 82 66 63 75 75 57 52
Sumber : Hasil Analisis. Keterangan : Au : Auki, Yu : Yumni, Wu : Wundi, Ur : Urev, Ma : Mansurbabo, Nu : Nusi, Pa : Pai, Wk : Warek, Ra : Rarsbar. Zonasi Pengelolaan Pulau-Pulau Gugus Padaido Bawah Zonasi peruntukkan GPP Padaido Bawah dilakukan dengan menggunakan persentase total nilai skoring kriteria pengelolaan pulau-pulau. Persentase total nilai skoring diperoleh dengan membandingkan total nilai skoring kriteria dari masingmasing pulau dengan total nilai skoring keseluruhan kriteria dikalikan 100 persen. Dengan menggunakan teknik interval kelas (skor), zonasi peruntukan pulau dibagi atas tiga zona. Pertama adalah zona pemanfaatan khusus (ZPK). Zona ini memiliki interval nilai persentase skor sebesar
< 61%. Kedua adalah zona pemanfaatan
terbatas (ZPT). Zona ini memiliki interval nilai persentase skor sebesar 62% - 71%. Ketiga adalah zona konservas i (ZK). Zona ini memiliki interval nilai persentase skor sebesar > 72%. Distribusi nilai skoring kriteria pemanfaatan dan rencana zonasi peruntukkan GPP Padaido Bawah disajikan pada Tabel 54. Berdasarkan Tabel 54, GPP Padaido Bawah dikelompokkan atas tiga zona peruntukkan, yaitu zona pemanfaatan khusus (ZPK), zona pemanfaatan terbatas (ZPT) dan zona konservasi (ZK). Hasil ini relatif berbeda dengan hasil zonasi Taman Wisata Alam Laut yang menghasilkan 2 zona (zona lindung dan zona pemanfaatan) dan zonasi yang dibangun oleh masyarakat (zona lindung, zona pemanfaatan terbatas dan zona pemanfaatan intensif). Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan kriteria dan tujuan pemanfaatan kawasan yang digunakan. Deskripsi ketiga zona tersebut dijelaskan di bawah ini. Lampiran 16 menunjukkan peta zonasi peruntukkan pulaupulau Padaido Bawah.
33
ZPK Padaido Bawah merupakan kawasan pulau dan perairan pesisir yang karena kondisi ekologi, ekonomi dan sosial seta kelembagaan dimanfaatkan secara khusus baik secara individu maupun statusnya dalam gugus pulau. Ekosistem di zona ini memiliki nilai konservasi yang tinggi, sangat rentan terhadap gangguan atau perubahan, dan hanya dapat mentolerir sangat sedikit aktivitas manusia. Zona ini dikelola dengan tingkat perlindungan yang tinggi, serta tidak dapat diijinkan adanya aktivitas eksploitasi. Dalam pengembangannya, aspek ekologi pulau mendapat perhatian lebih besar dibandingkan aspek ekonomi dan sosial. Di gugusan pulau Padadido Bawah, ZPK meliputi kawasan Pulau Yumni, Pulau Warek dan Pulau Rarsbar dengan luas total 182,63 ha. Ketiga pulau ini berukuran sangat kecil dan tidak dihuni manusia. Vegetasi pulau terdiri dari hutan dan semak yang masih asli dan merupakan habitat berbagai jenis burung dan mamalia (kelelawar). Pantai pulau berkarang batu dan pada bagian yang terlindung berpantai pasir. Kawasan pesisir perairan (zona pasang-surut) merupakan rataan terumbu dimana bagian tepi dan tebingnya ditumbuhi karang dengan kondisi masih baik. Pulau Yumni dan Pulau Rarsbar merupakan bagian dari rangkaian pulau-pulau karang yang berkembang di atas atol Wundi, sedangkan Pulau Warek relatif terpisah. Dalam konteks gugus pulau, letak ketiga pulau tersebut secara fisik sangat berarti bagi pulau-pulau lain. Ketiga pulau dapat berfungsi sebaga i penyangga dan tempat berlindung bagi nelayan terhadap bahaya badai (gelombang, arus dan angin) dari arah laut. Sebagai kawasan pemanfaatan khusus, aktivitas yang dapat diijinkan adalah penelitian, pendidikan dan wisata terbatas (ekowisata). Aktivitas manusia yang dilarang di kawasan ini adalah penebangan hutan, pembangunan rumah, penggunaan bom dan sianida untuk penangkapan ikan karang serta penebaran jaring di atas karang di sekitar kawasan terumbu karang. ZPT Padaido Bawah merupakan kawasan pulau dan pesisir perairan yang karena kondisi ekologi, ekonomi dan sosial difungsikan sebagai kawasan pemanfaatan terbatas. Kawasan ini lebih terbuka tetapi tetap dikontrol. Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara tradisional. dan beberapa bentuk pemanfaatan masih
34
dapat diijinkan. Dalam pengembangannya, aspek ekologi, ekonomi dan sosial pulau mendapat perhatian yang berimbang, sesuai daya dukung lingkungan pulau. Di GPP Padaido Bawah, ZPT meliputi pulau dan perairan pesisir Pulau Urev dan Pulau Mansurbabo dengan luas total 7,675 ha. Kedua pulau merupakan pulau-pulau sangat kecil yang berkembang di atas atol Wundi. Lahan daratan berupa tanah berpasir yang ditumbuhi vegetasi pantai dan beberapa pohon kelapa serta dihuni oleh penduduk untuk sementara waktu. Pantai pulau berpasir putih dengan hamparan rataan terumbu berpasir yang luas dan ditumbuhi sekelompok kecil padang lamun. Karang dijumpai pada bagian tepi dan tebing terumbu atol dengan kondisi sedang. Kawasan ini merupakan daerah penangkapan ikan dan siput laut bagi penduduk pulau-pulau sekitar. Dalam konteks GPP Padaido Bawah, keberadaan Pulau Urev dan Pulau Mansurbabo relatif aman dari gelombang dan arus secara langsung karena adanya atol Wundi dan pulau-pulau lain yang berfungsi sebagai penyangga atau peredam. Namun demikian, kedua pulau tersebut tidak luput dari pengaruh abrasi pantai. Sebagai kawasan pemanfaatan terbatas, pemanfaatan Pulau Urev dan Pulau Mansurbabo harus memperhatikan daya dukung lingkungannya. Aktivitas yang dapat dilakukan adalah penelitian, pendidikan, rekreasi dan wisata pantai, budidaya rumput laut dan teripang, penangkapan ikan dan siput laut secara tradisional dan sasisen laut. Aktivitas yang tidak boleh dilakukan adalah penggunaan bom dan sianida untuk penangkapan ikan dan pene baran jaring serta penggunaan “bello” perahu motor tempel ketika memasuki perairan dangkal sekitar terumbu karang. ZK Padaido Bawah merupakan kawasan pulau, pesisir perairan dan perairan laut yang karena kondisi ekologi, ekonomi dan sosial difungsik an sebagai kawasan konservasi. Kawasan ini dapat mentolerir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia. Dalam pengelolaannya, kawasan dapat dibagi atas beberapa subzona sesuai peruntukkannya. Dalam pengembangannya, aspek ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan mendapat perhatian yang proposional, namun tetap memperhatikan daya dukung lingkungan pulau. Di gugusan pulau Padaido Bawah, ZK meliputi pulau dan perairan pesisir Pulau Auki, Pulau Wundi, Pulau Nusi, Pulau Pai serta perairan
35
Atol Wundi dengan luas total 9.742,325 ha dan perairan laut gugusan pulau Padaido Bawah. Keempat pulau berukuran relatif besar, berbasis pada atol Wundi dan dihuni oleh penduduk. Lahan daratan berupa lapisan tanah hitam tipis bercampur pasir yang ditumbuhi berbagai jenis vegetasi. Vegetasi daratan berupa hutan dijumpai di Pulau Auki dan Pulau Pai. Sepanjang pantai dijumpai hutan pantai yang didominasi oleh kebun kelapa dan semak belukar, sedangkan hutan mangrove hanya dijumpai di Pulau Auki dan Pulau Wundi. Sebagian besar pantai berpasir putih dengan hamparan rataan terumbu bersubstrat pasir yang sangat luas. Pada beberapa tempat dijumpai padang lamun. Karang dijumpai pada bagian tepi dan tebing terumbu atol. Dalam konteks gugus pulau, keberadaan Pulau Auki, Pulau Pai, Pulau Wundi dan Pulau Nusi sangat berarti. Keempat pulau tersebut berfungsi sebagai pelindung bagi pulau-pulau lain dari bahaya badai (gelombang, arus dan angin) dari laut. Karena letaknya berdekatan, terjalin hubungan sosial, ekonomi, budaya dan kelembagaan diantara masyarakat pulau-pulau. Sebagai kawasan konservasi, aktivitas yang diijinkan adalah penelitian, pendidikan, rekreasi pantai, wisata (sejarah, budaya, pesisir dan laut), perkebunan kelapa, perikanan (budidaya dan tangkap), rehabilitas terumbu karang, sasisen, dan pembangunan infrastruktur (transportasi, pendidikan, pemerintahan, pariwisata, kesehatan, mitigasi bencana, dan peribadahan) serta kawasan lindung. Aktivitas yang tidak boleh dilakukan adalah penebangan hutan pantai dan mangrove, penggunaan bom dan sianida untuk penangkapan ikan, penebaran jaring pada karang dan penggunaan “bello” perahu motor tempel di kawasan terumbu karang. Tabel 54 Rencana zonasi peruntukkan Pulau-Pulau Padaido Bawah Kriteria Jumlah Persentase Rencana Pulau-Pulau Padaido Bawah Ekologi Ekonomi Sosial Kelembagaan Total Thdp ttl skor Zonasi Auki 29 10 21 9 69 79,31 ZK Yumni 20 9 16 5 50 57,47 ZPK Wundi 29 11 22 9 71 81,61 ZK Urev 23 11 18 5 57 65,52 ZPT Mansurbabo 21 11 18 5 55 63,22 ZPT
36
Nusi Pai Warek Rarsbar
24 25 19 16
11 10 9 6
21 21 17 18
9 9 5 5
65 65 50 45
74,71 74,71 57,47 51,72
ZK ZK ZPK ZPK
Sumber : Hasil Analisis. Keterangan : ZPK : Zona pemanfaatan khusus ; ZK: Zona Konservasi ZPT : Zona pemanfaatan terbatas GPP Padaido Atas Penilaian Kriteria Pengelolaan Pulau-Pulau Hasil analisis penilaian kriteria pengelolaan GPP Padaido Atas disajikan pada Tabel 55. Berdasarkan kriteria ekologi Pulau Padaidori memiliki nilai tertinggi (28) sedangkan Pulau Pakreki, Pulau Yeri dan Pulau Samakur memiliki nilai terendah (20). Berdasarkan kriteria ekonomi, Pulau Padaidori memiliki nilai tertinggi (12) sedangkan Pulau Yeri memiliki nilai terendah (9). Berdasarkan kriteria sosial, Pulau Padaidori, Pulau Mbromsi, Pulau Pasi dan Pulau Mangguandi memiliki nilai tertinggi (21) sedangkan Pulau Yeri memiliki nilai terendah (14). Berdasarkan kriteria kelembagaan Pulau Padaidori, Pulau Mbromsi, Pulau Pasi dan Pulau Mangguandi memiliki nilai tertinggi (9) sedangkan pulau-pulau lain memiliki nilai terend ah (5) kecuali Pulau Dauwi. Secara keseluruhan, Pulau Padaidori memiliki nilai total tertinggi (70 atau 80,46%) selanjutnya diikuti oleh Pulau Pasi (67 atau 77%), Pulau Mbromsi dan Pulau Mangguandi (66 atau 76%). Pulau Yeri memiliki nilai terendah (46 a tau 53%). Tabel 55 Penilaian kriteria pengelolaan Pulau-Pulau Gugus Padaido Atas KRITERIA
Pulau-Pulau Padaido Atas Pk Pd Yr
Mb Ps
Mg
Kb Rs
Wk Nk Dw Ws Rn S m
I. EKOLOGI I.1. Keragaman hayati pulau I.1.1. Ekosistem I.1.2. Life Form Karang I.1.3. Spesies Ikan Karang I.1.4. Spesies Rumput Laut I.1.5. Spesies Lamun
1 2 2 2 0
3 2 1 2 3
2 2 1 1 2
2 2 2 2 2
2 2 2 2 2
2 2 2 2 3
2 2 2 2 1
2 2 2 2 1
2 2 2 2 1
2 2 2 2 1
2 2 2 2 2
2 2 3 2 2
2 2 3 2 2
1 2 2 2 0
37
I.1.6. Spesies Mangrove I.1.7. Taxa Bentos
0 1
3 1
1 1
1 1
1 1
1 1
0 1
0 1
0 1
0 1
0 1
0 1
0 1
0 1
1 2 2
1 2 2
1 2 2
1 2 2
2 2 2
1 2 2
1 2 2
1 2 2
1 2 2
1 2 2
1 2 2
1 2 2
1 2 2
1 2 2
1 3
3 2
1 1
3 2
3 2
3 1
1 2
1 2
1 3
1 2
2 1
1 1
1 1
1 3
I.2. Kealamian pulau I.2.1. Persen Penutupan Karang I.2.2. Abrasi pantai I.3. Keunikan pulau I.4. Kerentanan pulau I.4.1. Status (berpenddk atau tdk) I.4.2. Tgkt keterbukaan thdp lautan I.5. Keterkaitan Pulau Total Nilai I
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 20 28 20 25 26 25 21 21 22 21 22 22 22 20
II. EKONOMI II.1. Spesies Penting II.2. Kepentingan Perikanan II.3. Bentuk Ancaman II.4. Pariwisata Total Nilai II
3 3 3 2 11
3 3 3 3 12
1 1 2 3 7
3 3 2 2 1 2 2 3
3 2 1 2 1 2 1 1
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 3 3 11 11 11 11
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 2 2 2 3 1 2 2 2 2 11 10 11 10 10 10
3 3 1 2 9
3 3 1 2 2 2 1 2
3 2 1 2 1 2 1 2
III. SOSIAL III.1. Tingkat Dukungan Masyarakat 3 III.2. Rekreasi III.3. Budaya III.4. Estetika III.5. Konflik Kepentingan III.6. Keamanan III.7. Aksessibilitas III.8. Kepedulian III.9. Penelitian dan pendidikan Total Nilai III
3 2 2 2 2 1 2
3 3 2 2 1 2 2 3
3 3 2 2 1 2 2 3
3 3 2 2 1 2 2 3
3 3 1 2 2 2 1 2
3 3 1 2 2 2 1 2
3 3 1 2 2 2 1 2
3 3 1 2 1 2 1 3
3 3 1 2 2 2 1 2
3 3 1 2 2 2 1 2
2 3 1 3 3 3 2 2 2 2 3 2 2 2 19 21 14 21 21 21 18 18 18 18 19 18 18 16
IV. Kelembagaan
1 IV.2. Dukungan infrastruktur sosial 1 3 IV.3. Dukungan pemerintah 5 Total Nilai IV 55 Total Nilai I + II + III + IV Persentase thdp total nilai skor=87 63 IV.1. Keberadaan lembaga sosial
3 3 3 9 70 80
1 3 3 3 1 1 3 3 3 1 3 3 3 3 3 5 9 9 9 5 46 66 67 66 55 53 76 77 76 63
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 3 3 3 3 3 3 3 5 5 5 6 5 5 5 55 55 55 57 55 55 50 63 63 63 66 63 63 57
Sumber : Hasil analisis Keterangan : Pk : Pakreki, Pd : Padaidori, Yr : Yeri, Mb : Mbromsi, Ps : Pasi, Mg : Mangguandi, Kb : Kebori, Rs : Rasi, Wk : Workbondi, Nk : Nukori, Dw : Dauwi, Ws : Wamsoi, Rn : Runi, Sm : Samakur.
38
Zonasi Peruntukkan Pulau-Pulau Gugus Padaido Atas Dengan menggunakan metoda yang sama dalam penentuan zonasi peruntukkan GPP Padaido Bawah dilakukan analisis zonasi peruntukkan GPP Padaido Atas. Hasil analisis disajikan pada Tabel 56. GPP Padaido Atas dikelompokkan dalam tiga zona, yaitu
zona lindung (ZL), zona konservasi (ZK) dan zona pemanfaatan (ZP).
Lampiran 17 menunjukkan peta zonasi peruntukkan pulau-pulau Padaido Atas. ZPK Padaido Atas meliputi pulau dan wilayah perairan pesisir Pulau Yeri dan Pulau Samakur dengan luas total wilayah 31,237 ha. Pulau Yeri dan Pulau Samakur merupakan pulau sangat kecil dan tidak dihuni oleh manusia. Vegetasi hutan di Pulau Samakur masih asli da n menjadi habitat bagi burung dan kelelawar, sedangkan vegetasi di Pulau Yeri ditumbuhi mangrove dalam status baru berkembang. Sebelum tsunami 1996, Pulau Yeri dihuni oleh penduduk namun setelah tsunami mereka pindah dan menetap di Pulau Padaidori. Pulau Yeri memiliki rataan terumbu yang ditumbuhi lamun dan karang dijumpai pada tepi dan tubir (slope) dalam kondisi rusak. Dalam konteks gugus pulau, Pulau Samakur dapat berfungsi sebagai penyangga terhadap gelombang dan arus sehingga melindungi pulau-pulau dibelakangnya. Demikian juga dengan Pulau Yeri yang dapat melindungi bagian timur Pulau Padaidori. Pulau Samakur memiliki hutan yang masih asli dengan satwa burung dan kelelawar. Kedua satwa tersebut harus dilindungi karena dapat memberikan pengaruh terhadap kesuburan tanah melalui kotoran (feces) yang dilepaskan. Tabel 56 Kriteria, persen total skor dan rencana zonasi Pulau-Pulau Padaido Atas Pulau-Pulau Padaido Atas
Pakreki Padaidori Yeri Mbromsi Pasi Mangguandi Kebori
Kriteria
Jumlah Persentase Rencana
Ekologi Ekonomi Sosial Kelembagaan Total thdp ttl skor
Zonasi
20 28
11 12
19 21
5 9
55 70
63,22 80,46
ZPT ZK
20 25 26 25
7 11 11 11
14 21 21 21
5 9 9 9
46 66 67 66
52,87 75,86 77,01 75,86
ZPK ZK ZK ZK
21
11
18
5
55
63,22
ZPT
39
Rasi 21 11 18 Workbondi 22 10 18 Nukori 21 11 18 Dauwi 22 10 19 Wamsoi 22 10 18 Runi 22 10 18 Samakur 20 9 16 Sumber : Hasil analisis Ket : ZPT : Zona pemanfaatan terbatas, ZPK : Zona pemanfaatan khusus.
5
55
63,22
ZPT
5 5
55 55
63,22 63,22
ZPT ZPT
6
57
65,52
ZPT
5
55
63,22
ZPT
5
55
63,22
ZPT
5
50
57,47
ZPK
ZK : Zona Konservasi,
Sebagai kawasan pemanfaatan khusus, aktivitas yang dilakukan di Pulau Yeri dan Pulau Samakur adalah penelitian, pendidikan, rehabilitasi hutan mangrove dan wisata alam (ekowisata). Kegiatan yang tidak boleh dilakukan adalah perusakan hutan, penangkapan burung, perusakan pohon mangrove serta penggunaan bom dan sianida di sekitar Pulau Yeri. ZPT GPP Padaido Atas meliputi pulau dan wilayah perairan pesisir Pulau Pakreki, Pulau Kebori, Pulau Rasi, Pulau Workbondi, Pulau Nukori, Pulau Dauwi, Pulau Wamsoi dan Pulau Runi dengan luas total wilayah 2.001,751 ha. Pulau Pakreki merupakan pulau yang relatif besar, tidak dihuni penduduk dan terletak diantara GPP Padaido Bawah dan GPP Padaido Atas. Pulau-pulau lain berukuran relatif kecil dan berdekatan kecuali Pulau Workbondi. Vegetasi pulau masih baik dan alami serta bagian pantainya ditumbuhi pohon kelapa. Pulau-pulau memiliki pantai pasir putih dengan rataan terumbu cukup luas. Karang dijumpai pada tepi dan tubir dalam kondisi baik terutama pada Pulau Kebori, Pulau Rasi, Pulau Dauwi, Pulau Wamsoi dan Pulau Runi. Kecuali Pulau Pakreki, pulau-pulau lain dimanfaatkan oleh penduduk Padaido Atas sebagai tempat tinggal sementara untuk menangkap ikan, mengolah hasil laut serta mengolah kopra. Di Pulau Dauwi terdapat pondok wisata yang dikelola oleh masyarakat untuk melayani kegiatan wisata dan rekreasi di sekitar pulau-pulau Dauwi. Dalam konteks GPP Padaido Atas, pulau-pulau yang termasuk ZPT memiliki fungsi secara fisik, biologi dan sosial. Secara fisik, Pulau Pakreki, Pulau Workbondi, Pulau Rasi, Pulau Nukori dan Pulau Runi, karena letaknya, berfungsi sebagai
40
pelindung dengan bertindak sebagai penyangga terhadap gelombang dan arus deras dari arah laut. Secara bersamaan, pulau-pulau tersebut juga sangat rentan secara alamiah. Secara biologi, pulau-pulau memiliki sumberdaya alam bervariasi yang dikelola untuk memenuhi kebutuhan penduduk dan pengembangan gugus pulau. Secara sosial, pulau-pulau berfungsi sebagai tempat berteduh nelayan dari badai, sebagai tempat tinggal sementara untuk mengelola hasil laut serta pengembangan perkebunan kelapa dan pariwisata. Sebagai kawasan pemanfaatan terbatas, aktivitas yang dapat dilakukan di pulaupulau dan perairan pesisir adalah penelitian, pendidikan, wisata dan rekreasi pantai, wisata selam, wisata alam pulau-pulau (ekowisata), perikanan budidaya, perikanan tangkap, dan rekreasi memancing di laut serta pengembangan perkebunan kelapa. Aktivitas yang tidak boleh dilakukan adalah penebangan hutan secara tidak proposional, penggunaan bom dan sianida dalam penangkapan ikan, penebaran jaring di sekitar karang serta pengambilan karang batu. ZK GPP Padaido Atas meliputi pulau dan wilayah perairan pesisir Pulau Padaidori, Pulau Mbromsi, Pulau Pasi dan Pulau Mangguandi dengan luas total wilayah 4.736,316 ha serta wilayah perairan laut gugusan pulau Padaido Atas. Pulau Padaidori, Pulau Mbromsi, Pulau Pasi dan Pulau Mangguandi merupakan pulau-pulau berukuran besar dan dihuni oleh penduduk. Topografi pulau bergelombang kecuali Pulau Mangguandi yang agak datar. Pulau Padaidori, Pulau Mbromsi dan Pulau Pasi memiliki jenis tanah beragam dibandingkan Pulau Mangguandi. Kondisi air tanah masih baik dan merupakan sumber air minum dan keperluan lain penduduk. Vegetasi hutan relatif masih baik sementara vegetasi pesisir pantai didominasi oleh pohon kelapa. Hutan mangrove hanya dijumpai di Pulau Padaidori. Infrastruktur sosial seperti sekolah, perkantoran desa, kesehatan dan gereja serta pemukiman penduduk dijumpai di setiap pulau. Pulau-pulau memiliki pantai berpasir putih dengan rataan terumbu cukup luas di Pulau Padaidori dan Pulau Mangguandi. Lamun tumbuh di tempat-tempat terlindung, sedangkan komunitas karang dijumpai pada bagian tepi dan tubir dengan kondisi rusak sampai sedang.
41
Dalam konteks gugus pulau, keberadaan Pulau Padaidori, Pulau Mbromsi, Pulau Pasi dan Pulau Mangguandi sangat penting. Karena berukuran besar, Pulau Padaidori dan Pulau Mangguandi berfungsi seb agai pelindung. Bagian barat- utara Pulau Padaidori rentan terhadap gelombang dan arus laut. Demikian juga bagian selatan Pulau Mangguandi. Pulau Mbromsi dan Pulau Pasi relatif terlindung. Secara biologi, potensi sumberdaya alam daratan dan perairan pesisir pulau-pulau tersebut dimanfaatkan untuk pengembangan wilayah. Secara sosial, pulau-pulau dimanfaatkan dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Sebagai kawasan konservasi, aktivitas yang diijinkan adalah pembangunan infrastruktur sosial, perkebunan kelapa, perumahan penduduk, perikanan budidaya pesisir, perikanan tangkap, rekreasi dan wisata pantai, wisata budaya, wisata selam, rekreasi memancing, wisata alam dan sasisen teripang dan lobster serta kawasan lindung. Aktivitas yag tidak diijnkan adalah penebangan hutan, pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa yang tdk proposional, penggunaan bom dan sianida dalam penangkapan ikan, penebaran jaring di sekitar terumbu karang dan penggunaan tongkat pendorong perahu (bello) di sekitar rataan terumbu karang.
42
KEBIJAKAN PENGELOLAAN GPP PADAIDO Penentuan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut GPP Padaido dilakukan melalui
pendekatan
analisis A’WOT, yaitu suatu analisis yang
mengintegrasikan Strength, Weaknesses, Opportunities dan Threats (SWOT) ke dalam kerangka Analytical Hierarchy Process (AHP). Analisis dilakukan dalam dua tahapan. Pertama, identifikasi faktor- faktor komponen SWOT dan merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut Gugus Pulau Padaido. Kedua, melakukan AHP terhadap faktor- faktor komponen SWOT dan alternatif kebijakan untuk menentukan prioritas kebijakan. Proses AHP dilakukan dengan program komputer. Identifikasi Faktor-Faktor Komponen SWOT Identifikasi faktor-faktor komponen SWOT sumberdaya pesisir dan laut GPP Padaido didasarkan pada hasil survei lapangan, wawancara dengan masyarakat, pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta kajian hasil penelitian ini dan hasil penelitian dari pemerintah, LSM maupun peneliti lain. Hasil identifikasi faktor-faktor komponen SWOT dijelaskan di bawah ini. Komponen Kekuatan (strength, S) Komponen Strength (S) merupakan
faktor-faktor kekuatan atau potensi
sumberdaya alam, sosial budaya dan politik yang dapat didayagunakan untuk kepentingan pengelolaan. Faktor-faktor meliputi adanya dukungan pemerintah dan masyarakat adat, potensi sumberdaya perikanan, potensi pariwisata pesisir dan laut, potensi perkebunan kelapa serta masih terpeliharanya kearifan tradisional dalam pengelolaan sumberdaya alam. Komponen Kelemahan (weaknesses,W) Secara internal, GPP Padaido memiliki faktor-faktor kelemahan dalam hubungannya dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia, rendahnya penegakan hukum, degradasi sumberdaya alam dan lingkungan pesisir, kurangnya sarana dan prasarana sosial serta kurang terpadunya
43
program pembangunan merupakan unsur- unsur yang dapat melemahkan proses pengelolaan. Oleh karena itu perlu ada upaya atau tindakan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas unsur-unsur tersebut. Komponen Peluang (opportunities, O) Selain unsur kekuatan dan kelemahan, GPP Padaido memiliki komponen peluang yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Peluang pengelolaan sumberdaya mencakup pengembangan ekonomi kawasan yang dilakukan melalui pengembangan sektor perikanan, pariwisata dan perkebunan. Pengembangan sektor-sektor dilakukan melalui Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Biak. Peluang pengembangan juga didukung oleh adanya undang-undang Otonomi Khusus dan pemerintahan daerah yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk memanfaatkan potensi sumberdaya alamnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain pengembangan ekonomi, GPP Padaido memiliki pelua ng pengelolaan sumberdaya dalam aspek konservasi melalui Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) dan program-program konservasi dari Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI). Dalam kaitan
dengan
pengelolaan
sumberdaya,
program-program
tersebut
dapat
meningkatkan kualitas sumberdaya masyarakat GPP Padaido (pengetahuan dan ketrampilan) dalam mengelola sumberdaya pesisir dan laut dalam aspek ekonomi, sosial dan ekologis (konservasi). Komponen Ancaman (threats, T) Seiring dengan munc ulnya aspek peluang pengelolaan sumberdaya, GPP Padaido memiliki ancaman, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut oleh masyarakat, baik yang berasal dari dalam maupun luar kawasan Padaido, masih menggunakan bom dan bahan kimia sianida untuk menangkap dan membius jenis-jenis ikan tertentu yang bernilai ekonomis. Kegiatan tersebut berlangsung di sekitar terumbu karang. Hal ini secara langsung maupun tidak akan mengancam kelestarian ekosistem dan sumberdaya terumbu karang. Demikian pula pemanfaatan sumber daya ikan yang berlebihan
44
(overfishing) yang dapat mengancam kelestarian sumberdaya ikan. Konflik pemanfaatan ruang pesisir dan laut dapat mengancam proses pengelolaan sumberdaya. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk maka tekanan terhadap sumberdaya ikan akan semakin meningkat pula. Oleh karena itu perlu ada pengelolaan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang dapat diterima oleh semua komponen masyarakat melalui pengelolaan yang berbasis masyarakat. Anca man lain bagi pengelolaan sumberdaya GPP Padaido adalah bencana alam gempa dan tsunami karena kawasan terletak dalam wilayah rawan bencana alam. Hasil identifikasi komponen dan faktor- faktor SWOT secara keseluruhan disajikan pada Tabel 57. Tabel 57 Komponen dan faktor-faktor SWOT pengelolaan Gugus Pulau Padaido Kekuatan (strength) 1. Adanya dukungan pemerintah dan masyarakat adat. 2. Memiliki potensi sumber daya perikanan (tangkap dan budidaya). 3. Memiliki potensi pariwisata 4. Memiliki potensi perkebunan kelapa. 5. Memiliki kearifan tradisional dalam pengelolaan sumber daya alam.
Kelemahan (weaknesses) 1. Rendahnya kualitas sumber daya ma nusia. 2. Degradasi Sumber daya alam dan lingkungan pesisir. 3. Rendahnya penegakan hukum. 4. Kurangnya dukungan sarana dan pra sarana sosial dan transportasi umum 5. Kurangnya keterpaduan program pem bangunan.
Peluang (opportunities)
Ancaman (threats)
1. Termasuk wilayah pengembangan ekonomi terpadu (Kapet) Biak. 2. Adanya otonomi khusus (UU No. 21 Tahun 2000), pemerintahan daerah (UU No. 22 Tahun 1999). 3. Merupakan kawasan Taman Wisata Alam Kepulauan Padaido. 4. Merupakan wilayah kajian Coremap dan Yayasan Kehati. 5. Merupakan kawasan pengembangan perikanan dan pariwisata daerah.
1. Penggunaan bom dan bahan pembius kimia (sianida) dalam penangkapan sumber daya ikan. 2. Pemanfaatan sumber daya ikan yang berlebihan (overfishing). 3. Konflik pemanfaatan ruang pesisir dan laut. 4. Termasuk wilayah rawan bencana alam gempa dan tsunami.
Sumber: Hasil Kajian
45
Prioritas Komponen dan Faktor-Faktor SWOT Berdasarkan hasil analisis A’WOT, prioritas komponen SWOT dalam hubungan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut GPP Padaido berturutturut adalah : (1) Kekuatan dengan bobot 0,4167; (2) Peluang dengan bobot 0,4167; (3) Kelemahan dengan bobot 0,0833; dan (4) Ancaman dengan bobot 0,0833. Hasil menunjukkan bahwa pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut GPP Padaido bertumpu pada unsur Kekuatan dan Peluang bila dibandingkan dengan Kelemahan dan Ancaman. Potensi sumberdaya alam dan sosial budaya GPP Padaido menjadi basis pengelolaan sumberdaya dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hasil analisis A’WOT untuk komponen-komponen SWOT dalam hubungan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut GPP Padaido disajikan pada Tabel 58. Tabel 58 Prioritas komponen SWOT pengelolaan sumberdaya alam GPP Padaido Komponen S W O T Kekuatan (S) Kelemahan (W) Peluang (O) Ancaman (T)
Bobot Prioritas Relatif 0,4167 P1 0,0833 P3 0,4167 P2 0,0833 P4
Sumber: Hasil Analisis A’WOT. Faktor-faktor komponen Kekuatan (strength) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut GPP Padaido adalah adanya dukungan pemerintah dan masyarakat, potensi sumberdaya perikanan, potensi pariwisata, potensi perkebunan kelapa, dan adanya kearifan tradisional. Berdasarkan hasil analisis ternyata bahwa
kearifan
tradisional masyarakat merupakan faktor kekuatan yang utama dengan bobot 0,1683, diikuti oleh dukungan pemerintah dan masyarakat dengan bobot 0,1249, potensi sumberdaya perikanan dengan bobot 0,0485, potensi pariwisata dengan bobot 0,0485, dan terakhir potensi perkebunan kelapa dengan bobot 0,0266. Faktor utama dari komponen peluang (opportunities) adalah penetapan kawasan sebagai Taman Wisata Alam Laut dengan bobot 0,1694. Selanjutnya berturut-turut diikuti oleh penetapan kawasan sebagai wilayah kajian COREMAP dan KEHATI dengan bobot 0,0868, penetapan kawasan untuk Pengembangan Perikanan dan
46
Pariwisata Daerah dengan bobot 0,0868, berada dalam wilayah KAPET Biak dengan bobot 0,0369 dan terakhir kawasan merupakan Wilayah Otonomi Khusus dan Pemerintah Daerah dengan bobot 0,0369. Walaupun mempunyai kekuatan dan peluang yang kuat dalam mendukung pengelolaan sumberdaya , kawasan pesisir dan laut GPP Padaido memiliki faktorfaktor kelemahan dan ancaman yang perlu diantisipasi dalam hubungannya dengan pengelolaan sumberdaya . Faktor utama dari komponen kelemahan yang menonjol adalah Rendahnya Kualitas Sumberdaya Manusia (SDM) dengan bobot 0,0336, kemudian berturut-turut diikuti oleh Degradasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan dengan bobot 0,0182, Kurangnya Dukungan Sarana dan Prasarana dengan bobot 0,0123, Kurangnya Keterpaduan Program Pembangunan dengan bobot 0,0112 dan Rendahnya Penegakan Hukum dengan bobot 0,0079. Hasil ini memperlihatkan bahwa faktor Rendahnya K ualitas Sumberdaya Manusia merupakan faktor kelemahan utama dalam pengelolaan dan pengembangan kawasan pesisir dan laut GPP Padaido. Faktor utama dari komponen ancaman yang menonjol di kawasan pesisir dan laut GPP Padaido adalah Penggunaan Bom dan Sianida dalam penangkapan ikan dengan bobot 0,0304, selanjutnya diikuti oleh Konflik Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut dengan bobot 0,0304, Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Secara Berlebihan (overfishing) dengan bobot 0,0143 dan terakhir adalah termasuk Wilayah Rawan Bencana Alam Gempa dan Tsunami dengan bobot 0,0082. Hasil analisis menunjukkan bahwa ancaman terbesar dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut Gugus Pulau Padaido adalah aktivitas pemanfaatan sumberdaya ikan dengan bom dan sianida. Tabel 59 menyajikan hasil analisis A’WOT prioritas faktor-faktor kompo nen SWOT.
47
Tabel 59 Prioritas faktor- faktor komponen SWOT Faktor-Faktor Komponen S W O T Kekuatan (S) Dukungan Pemerintah dan Masyarakat Potensi Sumberdaya Perikanan Potensi Pariwisata Potensi Perkebunan Kelapa Adanya Kearifan Tradisional Kelemahan (W) Rendahnya Kualitas SDM Degradasi sumber daya alam dan lingkungan Rendahnya Penegakan Hukum Kurang Dukungan Sarana & Prasarana Kurangnya Keterpaduan Program Pembangunan Peluang (O) Termasuk Wilayah Kapet Biak Adanya Otonomi Khusus dan Pemerintahan Daerah Merupakan Taman Wisata Alam Kep.Padaido Termasuk wilayah Kajian Coremap & Yayasan Kehati Merupakan Kawasan Pengembangan Perikanan & Pariwisata Ancaman (T) Penggunaan Bom dan Sianida Pemanfaatan berlebihan (overfishing) Konflik Pemanfaatan Ruang Termasuk wilayah rawan bencana alam gempa dan tsunami
Bobot 0,1249 0,0485 0,0485 0,0266 0,1683 Bobot 0,0336 0,0182 0,0079 0,0123 0,0112 Bobot 0,0369 0,0369 0,1694 0,0868 0,0868 Bobot 0,0304 0,0143 0,0304 0,0082
Prioritas Relatif P2 P3 P4 P5 P1 Prioritas Relatif P1 P2 P5 P3 P4 Prioritas Relatif P4 P5 P1 P2 P3 Prioritas Relatif P1 P3 P2 P4
Sumber: Hasil analisis A’WOT. Perumusan Alternatif Kebijakan Pengelolaan Berdasarkan
hasil
identifikasi
faktor-faktor
komponen
SWOT
maka
dirumuskan alternatif kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut GPP Padaido. Perumusan alternatif kebijakan pengelolaan sumberdaya menggunakan pendekatan strategi strength-opportunities (SO), strength-threats (ST), weaknessesopportunities (WO) dan weaknesses-threats (WT). Pendekatan didasarkan pada logika yang memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). (Rangkuti, 2003). Berdasarkan pendekatan tersebut diperoleh alternatif kebijakan pengelolaan sebagai berikut:
48
(1) Pengelolaan berbasis masyarakat (2) Pengelolaan perikanan pesisir dan laut (3) Pengelolaan pariwisata pesisir dan laut (4) Pengelolaan perkebunan kelapa (5) Konservasi sumber daya alam pesisir dan laut (6) Peningkatan kapasitas kelembagaan (7) Mitigasi bencana alam gempa dan tsunami (8) Peningkatan sa rana dan prasarana pendukung. Prioritas Alternatif Kebijakan Pengelolaan Berdasarkan hasil analisis A’WOT diperoleh prioritas alternatif kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut GPP Padaido. Prioritas kebijakan pengelolaan kawasan yang tertinggi (utama) adalah Pengelolaan Berbasis Masyarakat dengan bobot 0,2173, diikuti berturut-turut oleh Pengelolaan Pariwisata dengan bobot 0,1542, Konservasi Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut dengan bobot 0,1316, Pengelolaan Perikanan Pesisir dan Laut dengan bobot 0,1274, Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dengan bobot 0,1169, Peningkatan Sarana dan Prasarana Pendukung dengan bobot 0,1106, Pengelolaan Perkebunan Kelapa dengan bobot 0,0857, dan terakhir Mitigasi Bencana Alam Gempa dan Tsunami dengan bobot 0,0416. Secara rinci prioritas alternatif kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut GPP Padaido disajikan pada Tabel 60. Tabel 60 Prioritas alternatif k ebijakan pengelolaan Alternatif Kebijakan Pengelolaan Pengelolaan Berbasis Masyarakat Pengelolaan Perikanan Pesisir dan Laut Pengelolaan Pariwisata Pesisir dan Laut Pengelolaan Perkebunan Kelapa Konservasi Sumber Daya Alam Pesisir dan Laut Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Mitigasi Bencana Alam Gempa dan Tsunami Peningkatan Sarana & Prasarana Pendukung Sumber: Hasil analisis A’WOT
Bobot Prioritas Relatif 0,2173 P1 0,1274 P4 0,1542 P2 0,0857 P7 0,1316 P3 0,1169 P5 0,0416 P8 0,1106 P6
49
Kebijakan Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM) Kebijakan PBM merupakan kebijakan yang memiliki prioritas utama dalam pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut di GPP Padaido. Kebijakan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa selama ini pengelolaan sumberdaya gugusan pulau-pulau kecil yang memiliki kekayaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat potens ial untuk pembangunan ekonomi kurang mendapat sentuhan dan perhatian dari pemerintah. Akibatnya kondisi masyarakat di pulau-pulau menjadi “tertinggal” dan bahkan miskin baik secara kultural maupun struktural. Dilain pihak, pendekatan kebijakan PBM sebagai salah satu alternatif dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut pulau-pulau kecil telah terbukti berhasil melindungi dan melestarikan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan, meningkatkan pertumbuhan desa, dan menjamin pendistribusian hasil secara adil dan bijaksana di antara sesama anggota masyarakat desa di beberapa negara (Panayatou, 1992 yang diacuh oleh Pomeroy dan Williams, 1994). Bagi masyarakat GPP Padaido, kebijakan PBM memiliki arti yang sangat penting. Selama ini, orientasi pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan oleh pemerintah tidak menempatkan masyarakat sebagai subjek tetapi objek pengelolaan. Masyarakat dianggap tidak memiliki pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Dengan adanya kebijakan PBM, praktekpraktek kearifan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam dan hak ulayat masyarakat pada kawasan pesisir dan laut yang selama ini tidak berfungsi dan terakomodasi menjadi diakui dan dihidupkan kembali dalam kehidupan masyarakat. Kebijakan PBM di GPP Padaido bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan partisipasi masyarakat melalui pemanfaatkan potensi sumberdaya pesisir dan laut secara bertanggungjawab, memelihara praktek-praktek kearifan masyarakat lokal dalam pengelolaan kawasan dan sumberdaya alam pesisir dan laut yang telah ada di dalam masyarakat, menjaga hak ulayat laut (marine tenure) masyarakat di kawasan pesisir dan laut, merevitalisasi hukum adat dan budaya yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan dan sumberdaya alam serta memberdayakan masyarakat.
50
Untuk mencapai tujuan tersebut maka kebijakan PBM yang ditempuh dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut diarahkan pada tiga hal pokok. Pertama, pembentukan institusi PBM di tingkat pulau, gugusan pulau dan kawasan. Kedua, revitalisasi kearifan tradisional dan hukum adat serta praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut di GPP Padaido. Ketiga, pemberdayaan masyarakat GPP Padaido. Pada dasarnya agar kegiatan PBM dapat berjalan dengan efektif, diperluka n pembentukan institusi PBM di tingkat pulau, gugusan pulau dan kawasan. Pembentukan ini dimaksudkan agar pelaksanaan PBM dapat berjalan secara efektif dan terpadu serta sesuai dengan kondisi masyarakat di pulau, gugusan pulau dan kawasan. Di tingkat kawasan dibentuk institusi PBM yang meliputi seluruh gugusan pulau-pulau Padaido. Institusi ini berkedudukan di ibukota Distrik Padaido, yaitu Pai, Pulau Pai. Di tingkat gugus pulau dibentuk 2 institusi PBM, yaitu institusi PBM Padaido Bawah dan institusi PBM Padaido Atas. Untuk institusi PBM Padaido Bawah berkedudukan di Wundi, Pulau Wundi, karena letaknya di tengah GPP Padaido Bawah, sedangkan institusi PBM Padaido Atas berkedudukan di Pasi, Pulau Pasi. Di tingkat pulau dibentuk institusi PBM sebanyak jumlah pulau yang dihuni penduduk, yaitu Pulau Auki, Pulau Wundi, Pulau Nusi, Pulau Pai, Pulau Padaidori, Pulau Mbromsi, Pulau Pasi dan Pulau Mangguandi. Masing-masing institusi PBM memiliki unsur-unsur seperti kepemimpinan, program, sumberdaya dan struktur internal. Dalam pelaksanaannya, institusi PBM tidak bertentangan tetapi bersinegri dengan institusi lokal, seperti pemerintah distrik dan desa, gereja dan adat. Revitalisasi kearifan lokal, hukum adat dan hak ulayat laut merupakan upaya mengfungsikan kembali praktek-praktek dan aturan-aturan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang masih dipertahankan dan dilakukan oleh masyarakat hingga kini serta diakui oleh adat. Dalam kaitan dengan pelaksanaan PBM, praktek dan aturan adat yang dapat direvitalisasi adalah sasisen, tawek, orwarek, apyeper, dan faknik. Praktek dan aturan adat tersebut dilakukan di tingkat desa dan pulau dalam GPP Padaido. Selain itu, di tingkat gugus pulau terdapat peraturan adat tentang pengelolaan sumberdaya alam darat, pesisir dan laut ya ng dapat disetujui oleh
51
pemerintah kabupaten sehingga dapat diimplementasikan di tingkat gugus dan kawasan.. Dalam kenyataan, revitalisasi praktek dan peraturan adat tersebut tidak mudah dalam pelaksanaannya, diperlukan kerjasama dengan institusi lokal, seperti pemerintah (distrik dan kabupaten), gereja dan adat. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan PBM, pemberdayaan masyarakat GPP Padaido bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat lokal dalam mengelola dan memanfaatkan potensi sumberdaya alam pesisir dan laut yang tersedia secara optimal dan berkelanjutan. Upaya peningkatan kemampuan masyarakat dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat dapat dilaksanakan melalui beberapa tingkatan sebagai berikut : 1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dengan
memberikan
alternatif
usaha
yang
secara
ekonomis
menguntungkan dan tidak merusak lingkungan; 2) memberi masyarakat akses terhadap
informasi
sumberdaya alam, pasar dan perlindungan hukum; 3)
menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran akan arti pelestarian ekosistem pesisir dan laut serta pulau-pulau kecil; 4) menumbuhkan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menjaga dan melestarikan ekosistem pesisir dan laut pulau-pulau kecil; dan 5) meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengelola da n melestarikan ekosistem pesisir dan laut pulau-pulau kecil. Tingkatan-tingkatan tersebut di atas dapat dicapai melalui pemberian bantuan modal usaha dari perbankan dan pemerintah, pendidikan dan pelatihan dari instansi pemerintah terkait dan LSM, serta kemitraan dengan pengusaha lokal dan pemerintah. Kebijakan Pengembangan Pariwisata Pesisir dan Laut GPP Padaido memiliki potensi pariwisata pesisir dan laut yang dapat diandalkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain hamparan pulaupulau kec il yang hijau dan lautnya yang biru bening dengan panorama bawah laut yang indah, GPP Padaido juga memiliki pantai pasir putih dan tebing pulau karang yang indah serta kekayaan budaya masyarakat dan sejarah peninggalan perang dunia ke-2. Karena semua aset-aset yang berharga tersebut, pemerintah pusat menetapkan kawasan GPP Padaido sebagai Taman Wisata Alam Laut Kepulauan Padaido pada
52
Pebruari 1997. Berdasarkan penetapan tersebut kawasan GPP Padaido dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata dan rekreasi. Penetapan ini sangat strategis karena bermanfaat bagi pemerintah dan masyarakat Padaido terutama dalam perolehan devisa dan pendapatan tambahan. Hasil penelitian Yayasan Diakonia Gloria (2002) menunjukkan bahwa pengelolaan pariwisata bahari (pesisir dan laut) yang dilakukan di GPP Padaido telah memberikan dampak positip terhadap kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan pariwisata. Dampak positip yang diperoleh masyarakat ditunjukkan dari peningkatan wawasan dan perilak u ekonomi masyarakat yang semakin bertambah, jenis imbalan yang diterima dari jasa wisatawan bervariasi, penggunaan pendapatan untuk sektor lain, penyewaan sarana akomodasi yang berkualitas, peningkatan penyediaan makanan dan minuman lokal, serta peningkatan pendapatan masyarakat dari sektor wisata bahari. Walaupun demikian, pengembangan pariwisata pesisir dan laut di GPP Padaido belum sepenuhnya berhasil karena meninggalkan sejumlah permasalahan sosial dan lingkungan, seperti rendahnya akses masyarakat dalam
pengelolaan pariwisata,
terbatas dan tidak amannya infrastruktur transportasi, tidak tersedianya fasilitas telekomunikasi, kerusakan objek wisata bawah air yang berupa terumbu karang, lemahnya koordinasi diantara stakeholders (pemerintah, swasta dan masyarakat), tidak memadainya sarana akomodasi, serta penutupan jalur penerbagan Bali- BiakHonolulu (Hawai). Semua permasalahan diatas terjadi karena pengelolaan pariwisata di kawasan Taman Wisata Alam Laut Padaido belum optimal dan tidak terpadu karena semua kepentingan stakeholder yang berhubungan dengan kegiatan pariwisata belum terakomodasi. Oleh karena itu, pengelolaan pariwisata pesisir dan laut di kawasan Taman Wisata Alam GPP Padaido ke depan perlu mengakomodasi kepentingan semua pihak yang terlibat sehingga manfaatnya dapat dinikmati baik oleh masyarakat, pemerintah maupun pengusaha. Sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan di kawasan Taman Wisata Alam Laut Kepulauan Padaido dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya GPP Padaido secara optimal dan berkelanjutan, kebijakan pengembangan pariwisata
53
pesisir dan laut di GPP Padaido bertujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan, pemeliharaan, dan perlindungan lingkungan kawasan wisata secara optimal, terpadu dan berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut, fokus utama dalam kebijakan pengembangan pariwisata pesisir dan laut di GPP Padaido diarahkan pada pengembangan objek wisata, peningkatan fasilitas wisata dan rekreasi, peningkatan pengawasan di lokasi wisata, peningkatan partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, peningkatan kegiatan promosi pariwisata dan revitalisasi jalur penerbangan Bali-Biak-Honolulu. Wilayah GPP Padaido memiliki potensi objek-objek wisata yang dapat dikembangkan untuk kegiatan pariwisata pesisir dan laut. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian terhadap potensi sumberdaya alam dan buatan yang dimiliki, objek-objek wisata yang dapat dikembangkan adalah wisata pantai, wisata bawah air, wisata sejarah, wisata budaya, wisata alam dan wisata olah raga. Wisata pantai, alam dan bawah air merupakan objek-objek wisata yang banyak diminati dan dikunjungi oleh wisatawan. Wisata pantai, wisata bawah air dan alam dapat dikembangkan di Pulau Auki dan sekitarnya, Pulau Wundi dan sekitarnya, Pulau Nusi dan Pulau Pai untuk kawasan GPP Padaido Bawah. Untuk kawasan GPP Padaido Atas pengembangan wisata dapat dilakukan di Pulau Pakreki, Pulau Padaidori, Pulau Mbromsi, Pulau Pasi, Pulau Mangguandi dan sekitarnya, serta Pulau Dauwi dan sekitarnya. Untuk wisata sejarah dapat dikembangkan di Pulau Wundi dan wisata budaya dapat dikembangkan di semua pulau-pulau yang berpenduduk. Fasilitas pariwisata dan rekreasi yang tersedia di kawasan Taman Wisata Alam Laut Kepulauan Padaido sangat terbatas. Keterbatasan ini dapat mempengaruhi jumlah kunjungan wisatawan TWAL Padaido. Fasilitas pariwisata dan rekreasi yang perlu ditingkatkan adalah sarana transportasi laut, sarana rekreasi, sarana penginapan, toko penyewaan peralatan renang dan selam, sarana telekomunikasi, rumah makan dan toko cinderamata. Pengembangan fasilitas pariwisata pesisir dapat dilakukan di pulau-pulau yang menyediakan objek wisata, sedangkan banyaknya fasilitas pariwisata yang akan dikembangkan disesuaikan dengan daya dukung lingkungan pulau dimana lokasi wisata tersebut berada.
54
Pengawasan terhadap kegiatan pariwisata dan rekreasi serta aktivitas masyarakat di sekitar kawasan wisata sangat rendah. Rendahnya pengawasan mengakibatkan kerusakan objek wisata terutama terumbu karang. Dampak yang ditimbulkan berupa penurunan kualitas objek wisata. Peningkatan pengawasan yang dapat dilakukan di sekitar lokasi wisata adalah peningkatan jumlah personil pengawas (watcher), pemasangan papan peringatan dan peningkatan sarana penga wasan seperti perahu atau kapal patroli.
Gambar 10 Pondok wisata di Pulau Dauwi. Partisipasi masyarakat GPP Padaido dalam pengelolaan kegiatan pariwisata dan rekreasi di kawasan Taman Wisata Alam Laut sangat rendah. Kerusakan objek wisata bawah laut, tidak terawatnya objek wisata sejarah, kurangnya sarana transportasi laut dan akomodasi wisata merupakan dampak dari kurangnya partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dapat ditingkatkan melalui keterlibatan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan,
dan
pengawasan
kegiatan
pariwisata.
Partisipasi
masyarakat dilakukan dalam bentuk perencanaan penetapan objek wisata, penyiapan sarana penunjang pariwisata dan rekreasi serta keterlibatan dalam pengawasan.
55
Pemberdayaan
masyarakat
merupakan
upaya
penge mbangan
kualitas
masyarakat sehingga masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengelolaan pariwisata pesisir dan laut. Pengembangan kualitas masyarakat mencakup pengetahuan tentang pariwisata, lingkungan objek wisata, bahasa dan budaya, pelayanan kepada wisatawan serta pengetahuan kewirausahaan. Pengetahuan dan ketrampilan tersebut dapat dicapai melalui pendidikan dan pelatihan. Selain aspek pendidikan dan pengetahuan, kondisi sosial ekonomi masyarakat perlu juga diberdayakan untuk meningkatkan partisipasi. Hal ini dilakukan dengan memberikan modal usaha, bantuan peralatan, kemudahan akses modal ke bank, dan kemitraan dengan pengusaha jasa pariwisata dan pemerintah Peningkatan
kegiatan
promosi
pariwisata
merupakan
upaya
untuk
memperkenalkan objek-objek wisata kepada masyarakat atau wisatawan baik yang berada di dalam maupun di luar Indonesia. Kegiatan ini dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, agen perjalanan wisata dan pengusaha perhotelan serta perwakilanperwakilan pemerintah di luar negeri terutama negara-negara yang memiliki keterkaitan sejarah, seperti Amerika, Jepang dan Belanda. Revitalisasi jalur penerbangan Bali- Biak-Honolulu merupakan upaya untuk menghidupkan kembali jalur penerbangan antara Biak dengan Bali dan Honolulu di Hawaii yang ditutup oleh pihak Garuda beberapa tahun lalu. Revitalisasi ini akan berdampak terhadap perkembangan pariwisata di Biak, terutama peningkatan jumlah wisatawan yang mengunjungi Biak. Sebagai daerah tujuan wisata, pembukaan ini memberikan kesempatan kepada wisatawan mancanegara mengunjungi Biak sebelum menuju Bali atau akan kembali ke Amerika. Sebagai bangsa yang pernah terlibat dalam perang dunia ke-2, wisatawan mancanegara terutama Amerika, Jepang dan Belanda dapat mengunjungi situs-situs bersejarah yang terdapat di Biak dan Kepulauan Padaido. Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Kawasan pesisir dan laut gugusan pulau-pulau kecil memiliki produktivitas hayati yang tinggi. Pada kawasan ini dijumpai berbagai ekosistem yang produktif,
56
seperti mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Ekosistem-ekosistem tersebut tidak hanya berfungsi sebagai tempat pemijahan (spawning grounds), tempat asuhan (nursery ground), dan tempat mencari makan (feeding ground) bagi kebanyakan biota laut tropis, seperti ikan, udang, kepiting, dan moluska tetapi juga berfungsi sebagai penyangga atau pelindung pantai dari ancaman badai (angin dan ombak) yang datang dari laut. Selain itu, ekosistem-ekosistem tersebut memiliki nilai estetika
dan
mengandung sumberdaya perikanan yang bernilai ekonomis. Dengan demikian, untuk mendukung kelestarian (sustainability) pemanfaatan dan produktivitas usaha perikanan maka upaya yang dilakukan adalah memelihara dan melindungi daya dukung dan kualitas lingkungan sumberdaya pesisir dan laut gugusan pulau-pulau kecil. Untuk itu dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut GPP Padaido konservasi sumberdaya alam pesisir dan laut penting dilakukan. Kebijakan konservasi sumberdaya alam pesisir dan laut dalam kaitan dengan pengelolaan GPP Padaido diarahkan pada 2 (dua) hal pokok. Pertama, perlindungan dan pelestarian pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut. Kedua, rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut. Perlindungan dan pelestarian pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut bertujuan untuk melindungi dan melestarikan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan. Perlindungan dan pelestarian pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut dilakukan melalui penataan kawasan pesisir dan laut, pengelolaan berbasis sasisen dan pelarangan penggunaan bom dan sianida. Dalam penataan kawasan, kawasan pesisir dan laut serta pulau-pulau kecil dalam kawasan GPP Padaido; Padaido Bawah dan Padaido Atas, dikelompokkan dalam dua kawasan, yaitu kawasan lindung dan kawasan pemanfaatan. Kawasan lindung adalah kawasan pesisir dan laut atau pulau yang karena kondisi sumberdaya alamnya harus dilindungi, sedangkan kawasan pemanfaatan adalah kawasan pesisir dan laut atau pulau yang karena kondisi alamnya diperuntukkan untuk kepentingan sosial, ekonomi dan budaya. Kawasan lindung di GPP Padaido Bawah adalah Pulau Warek, Pulau Yumni, pantai utara Pulau Auki, hutan mangrove Pulau Auki, hutan mangrove Pulau Wundi dan hutan pantai pulau-pulau Padaido Bawah. Kawasan
57
pemanfaatan adalah pulau-pulau dan perairan pantai dan laut lainnya. Pada GPP Padaido Atas, kawasan dan pulau-pulau yang berfungsi lindung adalah Pulau Samakur, Pulau Yeri, Pulau Pakreki, pantai timur Pulau Padaidori, pantai barat dan timur Pulau Mbromsi, pantai timur Pulau Pasi, pantai barat Pulau Mangguandi, hutan mangrove Pulau Padaidori, hutan mangrove Pulau Pasi, dan hutan pantai pulau-pulau Padaido Atas. Kawasan pemanfaatan adalah pulau-pulau dan kawasan pantai dan laut lainnya. Selain penataan kawasan, perlindungan dan pelestarian pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut dilakukan dengan sistem sasisen. Sistem ini merupakan bentuk kearifan tradisional masyarakat GPP Padaido yang masih dipertahankan hingga saat ini. Pada sistem sasisen, sumberdaya alam tertentu, umumnya bernilai ekonomis, dilarang pengambilannya dalam jangka waktu dan pada kawasan tertentu. Sistem ini telah dilaksanakan pada beberapa perairan pantai dan pulau. Berdasarkan pengamatan lapangan, sasisen di kawasan GPP Padaido dilakukan pada sumberdaya daratan seperti pohon kela pa dan pinang. Untuk sumberdaya pesisir dan laut, pelaksanaan sasisen terbatas pada beberapa pulau, yaitu Pulau Mangguandi dan Pulau Auki. Pada Pulau Mangguandi, sasisen dilakukan pada sumberdaya teripang, lola dan lobster, sedangkan di Pulau Auki, sasisen dilakukan pada sumber daya bia Anadara. Dalam prakteknya, sistem sasisen perlu disempurnakan terutama pada aspek lamanya sasisen berlangsung dan pembatasan ukuran saat sasisen dibuka. Lamanya sasisen harus ditentukan berdasarkan aspek biologi sumberdaya yang disasisen, permintaan pasar dan kebutuhan masyarakat. Belum ada kajian khusus mengenai lamanya sasisen yang efektif, namun dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan kebutuhan masyarakat, disarankan lamanya sasisen sekitar enam bulan. Dalam praktek sasisen, pembatasan ukuran saat sasisen dibuka harus di perhatikan. Hal ini berkaitan dengan aspek harga dan konservasi. Ukuran yang belum sesuai dengan permintaan pasar sebaiknya tidak dipanen karena dihargai rendah. Ukuran-ukuran tersebut sebaiknya dib iarkan tumbuh dan berkembang sampai masa
58
sasisen berikutnya, sedangkan berkaitan dengan aspek konservasi, biota-biota yang dipanen sebaiknya telah mengalami spawning dalam siklus hidupnya. Perlindungan dan pelestarian pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, terutama jenis-jenis ikan, dilakukan dengan pelarangan pemakaian teknologi penangkapan yang tidak ramah lingkungan, seperti pemakaian bom dan sianida, dalam penangkapan jenis-jenis ikan di perairan sekitar terumbu karang. Berdasarkan laporan COREMAP (2001), sebagian besar kerusakan terumbu karang di Kepulauan Padaido disebabkan oleh aktivitas pemboman. Pengaruh ledakan bom seberat 0,5 kg pada radius 3 m dapat menghancurkan terumbu karang, sedangkan pada radius yang lebih besar menyebabkan patahnya cabang-cabang karang jenis Acropora (Ikawati et al., 2001 diacuh dari Dahuri, 2003). Rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut GPP Padaido merupakan upaya pemulihan kondisi ekosistem pesisir yang mengalami kerusakan. Rehabilitasi dilakukan terhadap hutan ma ngrove, hutan pantai dan terumbu karang. Kerusakan hutan mangrove di Pulau Padaidori disebabkan oleh gelombang tsunami tahun 1996. Pohon mangrove baik yang berukuran anakan dan pohon banyak yang mengalami kematian, terutama dari jenis Bruguiera. Tingkat kerusakan hutan mangrove diperkirakan sebesar 15 ha. Pemulihkan kondisi hutan mangrove dilakukan melalui penanaman kembali (reboisasi). Kerusakan terumbu karang di pulau-pulau Padaido cukup tinggi. Persentase rata-rata tutupan karang hidup sekitar 16,5% (COREMAP, 2003). Nilai ini mengalami penurunan sekitar 62,95% dari kondisi terumbu karang hidup pada tahun 2001, yaitu 26,21% (COREMAP, 2001). Kerusakan terumbu karang tersebar merata di kawasan GPP Padaido. Bila luas total terumbu karang di GPP Padaido sebesar 5.377 ha (Sapulette dan Wouthuyzen, 2001) maka kerusakan terumbu karang meliputi kawasan seluas 4.489,795 ha, dimana 2.839 ha tersebar di kawasan GPP Padaido Bawah dan 1.650,795 ha tersebar di kawasan GPP Padaido Atas. Penyebab kerusakan karang sebagaian besar disebabkan oleh aktivitas penangkapan ikan dengan bom. Oleh karena itu, pemulihan kondisi ekosistem terumbu karang
59
dilakukan melalui transplantasi karang dan pelarangan penangkapan ikan karang di sekitar kawasan yang mengalami kerusakan dengan bom. Transplantasi karang merupakan salah satu upaya penanggulangan kerusakan terumbu karang melalui upaya pencangkokan atau pemotongan karang hidup untuk ditanam di tempat lain yang mengalami kerusakan (Sadarun, 1999 yang diacuh dari Cahyadi, 2003). Percobaan transplantasi karang telah berhasil dilakukan di Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Laju pertumbuhan karang yang ditransplantasi lebih cepat pada lokasi yang berarus dan berkecerahan tinggi dibandingkan dengan lokasi yang relatif tidak berarus dan kecerahan perairan rendah (Cahyadi, 2003). Untuk kawasan GPP Padaido, hampir semua bagian rataan terumbu pulau sesuai untuk kegiatan transplantasi karang kecuali bagian lagoon atol wundi dan laguna. Kawasan ini memiliki kecepatan arus yang relatif lambat. Transplantasi karang merupakan hal yang baru bagi masyarakat GPP Padaido. Metode ini akan berhasil diterapkan apabila masyarakat memahaminya. Pemahaman masyarakat tidak sekedar bagaimana transplantasi karang dilakukan tetapi bagaimana supaya metode ini dapat menjadi bagian dari budaya sehingga mereka dapat melakukannya sendiri bila menemukan terumbu karang yang rusak. Untuk mencapai tingkatan tersebut, masyarakat diberdayakan melalui pendekatan pendidikan sejak dini dan adat. Kebijakan Pengembangan Perikanan Pesisir dan Laut Kawasan pesisir dan laut GPP Padaido memiliki potensi sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan perikanan pesisir dan laut. Pengembangan perikanan pesisir dan laut yang dapat dilakukan meliputi pengembangan perikana n budidaya dan pengembangan perikanan tangkap. Kebijakan pengembangan perikanan pesisir dan laut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pulau-pulau kecil melalui pemanfaatan sumberdaya perikanan pesisir dan laut dan menjaga kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungannya. Untuk mencapai tujuan tersebut, kebijakan pengembangan perikanan pesisir dan laut diarahkan pada pengembangan unit usaha
60
budidaya dan penangkapan, peningkatan kapasitas masyarakat, perbaikan sistem harga, peningkatan mutu ikan olahan dan peningkatan pengawasan perikanan tangkap. Pengembangan Unit Usaha Budidaya dan Penangkapan Pemanfaatan potensi kawasan dan sumberdaya perikanan untuk pengembangan perikanan budidaya dan tangkap belum optimal. Aktivitas perikanan budidaya belum berkembang, padahal potensi lahan dan sumberdaya perikanan yang tersedia dan sesuai untuk budidaya pesisir tersedia cukup besar. Untuk perikanan tangkap kegiatan penangkapan terkonsentrasi di kawasan pasang-surut sekitar terumbu karang dan padang lamun. Peralatan dan metoda penangkapan yang digunakan sederhana dan masih dijumpai praktek-praktek penangkapan ikan yang merusak lingkungan. Untuk memanfaatkan potensi kawasan dan sumberdaya perikanan budidaya dan tangkap secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat maka diperlukan pengembangan unit usaha perikanan budidaya dan perikanan tangkap. Potensi lahan yang sesuai untuk pengembangan kawasan budidaya pesisir di GPP Padaido cukup besar. Potensi lahan tersebar di GPP Padaido Atas dan GPP Padaido Bawah, baik yang dihuni maupun tidak. Komoditi budidaya yang dapat dikembangkan meliputi rumput laut, teripang, dan ikan dalam keramba. Pada perikanan budidaya, unit usaha yang dikembangkan meliputi unit budidaya rumput laut, unit budidaya teripang dan unit budidaya ikan dalam keramba apung. Besarnya unit usaha budidaya rumput laut, teripang dan ikan berdasarkan teknologi yang digunakan disesuaikan dengan daya dukung lingkungan perairan yang tersedia pada perairan pulau-pulau Padaido. Untuk budidaya rumput laut, jumlah unit yang dapat dikembangkan sekitar 208.460 unit, terdiri dari 48.261 unit dengan metoda dasar, 147.876 unit dengan metoda rakit dan 12.323 unit dengan metode rawai (long line). Untuk budidaya ikan dengan sistem keramba, jumlah unit yang dapat diusahakan sekitar 38.136 unit. Selain potensi pengembangan perikanan budidaya di kawasan pesisir, kawasan GPP Padaido memiliki potensi kawasan laut untuk pengembangan perikanan tangkap.
61
Komoditi perikanan tangkap yang berpotensi adalah jenis-jenis ikan pelagis dan ikan demersal. Alat penangkapan yang dapat dikembangkan adalah dari jenis-jenis rawai (long line), pukat (purse seine), perangkap (traps) dan jaring. Selain itu, alat bantu penangkapan ikan, seperti rumpon dan terumbu buatan, juga dapat dikembangkan Pada perikanan tangkap, unit penangkapan yang dikembangkan dikelompokkan dalam perikanan demersal dan perikanan pelagis. Pada perikanan demersal, unit penangkapan yang dikembangkan meliputi alat dan kapal. Alat penangkapan yang dikembangkan adalah jaring insang (jaring insang tetap dan trammel net), pancing (rawai dasar), dan perangkap (bubu dan krendet). Kapal yang dikembangkan adalah perahu papan sedang (7 – 10 m) dan perahu motor tempel. Banyaknya unit penangkapan yang dikembangkan disesuaikan dengan potensi atau daya dukung perikanan karang. Pada perikanan pelagis, unit penangkapan yang dikembangkan meliputi alat dan kapal. Alat penangkapan yang dikembangkan adalah pukat cincin, jaring angkat (bagan perahu/rakit), pancing (pancing tonda, rawai tuna, huhate), dan alat pengumpul ikan (rumpon). Kapal yang dikembangkan adalah perahu motor tempel ( >10 m) dan kapal motor 10 – 20 GT. Banyaknya unit penangkapan yang dikembangkan belum dapat diperkirakan, hal ini terkait dengan masalah daya dukung perikanan pelagis yang belum dapat dikaji saat ini. Peningkatan Kapasitas Masyarakat Nelayan Masyarakat nelayan di GPP Padaido umumnya berpendidikan rendah dan pengetahuan tentang perikanan sangat terbatas. Pengetahuan dan ketrampilan penangkapan ikan diperoleh secara turun-temurun dari orang tua.
Hal ini
mengakibatkan kemampuan masyarakat untuk memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan budidaya dan tangkap tidak berkembang dan hasil tangkapan tidak optimal. Oleh karena itu, upaya peningkatan kapasitas masyarakat perlu dilakukan. Peningkatan kapasitas masyarakat diarahkan pada tiga tingkatan pendekatan, yaitu (1)
individual, (2) lembaga dan (3) sistem. Pada tingkatan individual,
peningkatan kapasitas masyarakat dilakukan melalui peningkatan pengetahuan dan
62
ketrampilan baik perikanan budidaya maupun perikanan tangkap. Pada perikanan budidaya, pengetahuan dan ketrampilan masyarakat yang perlu ditingkatkan adalah pengetahuan tentang jenis-jenis sumberdaya perikanan yang dapat dibudidayakan dan ketrampilan mendisain dan merakit unit budidaya, pengetahuan pasar,dan hal-hal lain yang berhubungan dengan perawatan unit budidaya. Pada perikanan tangkap, pengetahuan
dan
ketrampilan
masyarakat
yang
perlu
ditingkatkan
adalah
pengetahuan tentang jenis-jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis, tingkah laku ikan, pengetahuan dan ketrampilan tentang jenis alat tangkap dan metoda penangkapannya, pengetahuan pasar dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pengolahan (pasca panen). Pada tingkatan lembaga, peningkatan kapasitas masyarakat nelayan dilakukan melalui pembentukan lembaga masyarakat yang berorientasi pada produksi, seperti kelompok nelayan dan kelompok pembudidaya. Lembaga ini dibentuk ditingkat desa, pulau dan gugus pulau dengan memiliki unsur-unsur seperti kepemimpinan, program, sumberdaya, dan peraturan. Lembaga ini berfungsi meningkatkan kapasitas anggotanya melalui kemitraan dengan pemerintah, pengusaha, lembaga pendidikan dan lembaga penelitian. Pada tingkatan sistem, kapasitas masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan ditingkatklan melalui pemahaman tentang peraturan perundang-undangan yang berlaku, adat istiadat, dan peraturan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut GPP Padaido. Upaya ini dapat dilakukan melalui kerjasama atau kemitraan denga n pemerintah, lembaga adat dan lembaga pendidikan. Perbaikan Sistem Harga Ikan hasil tangkapan masyarakat nelayan GPP Padaido di pasarkan di pasar ikan kota Biak dan Bosnik pada setiap hari pasar, yaitu Selasa, Kamis dan Sabtu. Harga ikan yang berlaku belum baku dan berubah-ubah sesuai keinginan penjual. Hal ini tidak saja merugikan pembeli tetapi juga penjual (nelayan). Oleh karena itu, sistem penetapan harga ikan perlu diperbaiki.
63
Sistem penetapan harga sebaiknya dilakukan berdasarkan pelelangan yang dilakukan oleh juru lelang di tempat pelelangan ikan (TPI). Juru lelang berasal dari pegawai pemerintah yang berpengalaman. Bila juru lelang belum ada, pemerintah daerah perlu mengangkat pegawai tersebut. Banyaknya juru lelang disesuaikan dengan jumlah pasar ikan yang terdapat di Kabupaten Biak Numfor. Peningkatan Mutu dan Pengembangan Ikan Olahan Ikan hasil tangkapan nelayan tidak langsung dipasarkan ke pasar Bosnik dan kota Biak tetapi disimpan atau diolah menjadi berbagai jenis ikan olahan dan dipasarkan pada saat hari pasar. Selama masa penantian, ikan hasil tangkapan disimpan dalam kotak es (cool box ) dengan menggunakan es plastik yang dibeli pada saat hari pasar. Penggunaan es-es tersebut kurang efektif karena cepat mencair dan mempengaruhi kualitas atau mutu ikan. Untuk mempertahankan mutu ikan simpanan sebaiknya digunakan es balok yang memiliki daya tahan lama dibandingkan dengan es plastik. Dengan menggunakan es balok nelayan dapat meningkatkan kualitas ikan dan memperluas daerah dan waktu penangkapan nelayan terutama yang tinggal di pulau-pulau Padaido. Selain penyimpanan ikan segar, ikan hasil tangkapan nelayan diolah menjadi berbagai jenis ikan olahan, seperti ikan asin, ikan goreng, ikan asar, gurita asar dan kerang asar. Ikan-ikan olahan tersebut umumnya dijual di pasar biak dan daerah lain dalam jumlah banyak. Pengembangan potensi ikan olahan bagi masyarakat di GPP Padaido cukup besar. Selain ikan olahan yang telah umum diketahui, ikan hasil tangkapan masih dapat diolah menjadi berbagai jenis produk olahan yang memiliki nilai pasar. Produk ikan olahan yang dapat dikembangkan adalah bakso ikan, kerupuk ikan, abon ikan, dan lain- lain. Pengetahuan dan ketrampilan tersebut dapat diperoleh masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh instansi pemerintah terkait dan swasta dalam bentuk kemitraan.
64
Sejalan dengan upaya peningkatan dan pengembangan mutu hasil perikanan dilakukan peningkatan kapasitas dan kapabilitas sarana laboratorium pembinaan dan pengujian mutu hasil perikanan (LPPMHP) di kota Biak. Upaya lain yang dilakukan dalam rangka peningkatan mutu hasil perikanan antara lain kampanye bulan mutu untuk meningkatkan sense of quality, penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI), pengembangan sistem rantai dingin, dis eminasi teknologi, dan sosialisasi peraturan perundangan di bidang pembinaan dan pengawasan mutu. Peningkatan Pengawasan Perikanan Tangkap Peningkatan pengawasan perikanan tangkap merupakan salah satu program kebijakan pengembangan perikanan pesisir dan laut yang bertujuan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya perikanan di GPP Padaido. Dengan wilayah yang cukup luas dan jumlah pulau yang cukup banyak, peningkatan pengawasan perikanan tangkap di GPP Padaido menjadi penting. Peningkatan pengawasan perikanan tangkap dilakukan melalui dua sistem pendekatan. Pertama, sistem monitoring, controlling dan surveillance (MCS) dan kedua adalah
sistem pengawasan
masyarakat (SISWASMAS). Sistem MCS merupakan suatu proses hubungan timbal balik yang responsive antara komponen-komponen monitoring, control dan surveillance. Arti hubungan timbal-balik yang responsive disini adalah bahwa output dari salah satu komponen akan merupakan input bagi komponen-komponen lainnya. Bobot output dan input serta bentuk respon dari masing- masing komponen-komponen terhadap input yang datang sangat ditentukan oleh kemampuan lembaga pengawas dalam mengelola kegiatan MCS dalam arena hubungan antara nelayan dan sumberdaya perikanan dengan mempergunakan MCS (Purwaka, 1993). Manfaat yang diperoleh dari pelaksanaan sistem MCS dalam pengawasan perikanan tangkap di GPP Padaido adalah pemanfaatan yang berlebihan dapat dicegah, stabilitas daya dukung sumberdaya perikanan dapat dijaga, pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan cara destruktif dapat dikurangi dan hukum dapat ditegakan.
pelanggaran
65
Sebagai suatu sistem pengawasan, MCS telah dikembangkan di wilayah GPP Padaido melalui program manajemen dan rehabilitasi terumbu karang (COREMAP). Penerapan sistem ini berdampak positip terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang. Pemanfaatan sumber daya perikanan yang merusak di sekitar terumbu karang menjadi berkurang dari waktu ke waktu. Pelaku pelanggaran hukum telah diproses di pengadilan dan menjalani hukumannya. SISWASMAS merupakan sistem pengawasan perikanan tangkap yang berbasis pada masyarakat. Dalam sistem ini, masyarakat terlibat secara aktif dalam pengawasan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Sistem ini melibatkan peran aktif masyarakat sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam keikutsertaan dan tanggung jawab dalam pemanfaatan dan menjaga kelestarian sumber daya perikanan dan lingkungannya. Kebijakan Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Kebijakan peningkatan kapasitas kelembagaan bertujuan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan pemerintah (distrik dan desa), masyarakat (masyarakat adat, gereja, dan lembaga swadaya masyarakat), dan pengusaha di wilayah GPP Padaido dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut sehingga pemanfaatannya berlangsung secara optimal dan berkelanjutan. Peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah dan masyarakat di wilayah GPP dilakukan melalui pendekatan sistem, lembaga dan individual. Pada pendekatan sistem,
peningkatan
kapasitas
kelembagaan
diarahkan
pada
keterpaduan
kelembagaan pengelolaan sumberdaya pes isir dan laut. Pada pendekatan lembaga, peningkatan kapasitas kelembagaan diarahkan pada revitalisasi hukum adat dan kearifan tradisional masyarakat adat Padaido. Pada pendekatan individual, peningkatan kapasitas kelembagaan diarahkan pada pengembangan sumber daya manusia aparatur pemerintahan (distrik dan kampung) dan masyarakat. Kelembagaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang ada di wilayah GPP Padaido belum terpadu. Kelembagaan terdiri dari pemerintah daerah yang diwakili oleh sektor-sektor dan masyarakat adat Padaido. Keduanya memiliki
66
kepentingan atau strategi yang berbeda dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Bila kepentingan tersebut tidak disiasati dengan cermat akan berakibat terhadap pengelolaan sumberdaya dan lingkungan pesisir dan laut serta masyarakat. Dengan demikian, perlu adanya keterpadauan kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Keterpaduan kelembagaan bukan berarti perpaduan kewenangan akan tetapi merupakan penyatuan persepsi, kesadaran, tugas dan tanggung jawab dalam mengemban kewenangan yang ada. Kelembagaan hanyalah suatu wadah agar arah atau jalur operasionalnya jelas dan sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya. Yang terpenting dalam keterpaduan kelembagaan ini adalah adanya satu sasaran yang sama yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pelestarian sumberdaya pesisir dan laut di GPP Padaido. Keterpaduan kelembagaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut tidak hanya berlangsung di wilayah GPP Padaido tetapi dikembangkan juga pada wilaya h – wilayah yang berbatasan. Selain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal pada wilayah tersebut, pengembangan keterpaduan kelembagaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut juga bertujuan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut, menghindari terjadinya tumpang tindih kewenangan, benturan kepentingan, sengketa dan pelanggaran. Revitalisasi hukum adat dan kearifan tradisional masyarakat adat Padaido merupakan upaya untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan daerah terutama masyarakat adat. Pada masa Orde Baru dimana berlaku pola pembangunan yang sentralistis kelembagaan hukum adat dan kearifan tradisional termarjinalkan dan bahkan lembaga masyarakat adat diabaikan keberadaannya dalam dinamika pembangunan masyarakat. Pada era desentralisasi dan otonomi daerah/khusus dewasa ini, kelembagaan hukum adat, lembaga masyarakat adat dan kearifan tradisional direvitalisasi dalam kelembagaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut gugusan pulau-pulau Padaido. Revitalisasi hukum adat dan kearifan tradisional masyarakat adat bertujuan untuk mengakui, melindungi dan menyelamatkan aturan-aturan adat dan kearifan tradisional masyarakat adat yang merupakan warisan dan kekayaan
67
budaya masyarakat Papua yang harus dilestarikan. Hukum adat dan kearifan tradisonal masyarakat adat Padaido yang direvitalisasi dalam upaya peningkatan kapasitas kelembagaan daerah dan masyarakat adat adalah sasisen, tawek, orwarek, apyeper, faknik dan hak ulayat laut (marine tenure). Untuk melindungi keberadaan masyarakat adat beserta seluruh kekayaan tradisi budaya dan kearifan tradisionalnya, Keraf (2002) mengajukan beberapa hak masyarakat adat yang perlu diakui, dijamin dan dilindungi. Hak-hak tersebut adalah hak untuk menentukan diri sendiri, hak atas teritori dan tanah, hak asasi kolektif, hak budaya, hak untuk menganut sistem kepercayaan serta nilai- nilai religius dan moral mereka sendiri, hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif, hak untuk ikut berpartisipasi secara penuh dalam proses politik yang menyangkut kepentingan bersama semua kelompok masyarakat, dan hak untuk memperoleh ganti rugi atas setiap kegiatan yang menimbulkan dampak merugikan bagi lingkungan hidup dan nilai- nilai sosial, budaya, spiritual dan moral masyarakat adat. Pada umumnya, SDM daerah (aparatur pemerintah, LSM, lembaga adat, lembaga sosial ekonomi masyarakat) GPP Padaido memiliki keterbatasan dalam pengembangan kapasitas kelembagaan. Keterbatasan ini tidak hanya menyebabkan tidak berkembangnya kelembagaan daerah dalam pengelolaa n sumberdaya alam tetapi juga menyebabkan konflik pemanfaatan sumberdaya alam, tumpang tindih kewenangan, benturan kepentingan dan sengketa. Hal-hal tersebut terjadi karena dipicu oleh rendahnya pendidikan, kurangnya pemahaman tentang masalah pesisir dan laut, kurangnya pengalaman dalam bidang kelembagaan serta sedikitnya SDM berkualitas yang dimiliki daerah. Oleh karena itu, pengembangan SDM daerah dalam upaya peningkatan kapasitas kelembagaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut perlu dikembangkan. Pengembangan SDM daerah dalam rangka peningkatan kapasitas kelembagaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut gugusan pulau-pulau diarahkan pada peningkatan pengetahuan lingkungan pesisir dan laut, peningkatan kemampuan untuk memecahkan permasalahan yang terjadi di daerah, peningkatan kemampuan untuk melakukan pengawasan dan pengendalian, serta peningkatan kemampuan dalam
68
menyusun peraturan dan kebijakan daerah yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Peningkatan kemampuan SDM daerah dicapai melalui pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan studi banding ke daerah atau negara lain. Kebijakan Pengembangan Sarana dan Prasarana Pendukung Wilayah GPP Padaido cukup luas, terdiri atas kurang lebih 29 pulau yang tersebar di GPP Padaido Atas dan GPP Padaido Bawah, dan dikelilingi laut dalam yang dinamikanya sulit diprediksi dengan pasti. Dari jumlah pulau tersebut hanya 8 pulau yang berpenduduk, sedangkan pulau-pulau lain dikelola masyarakat sebagai tempat mencari hasil laut, pariwisata, ko nservasi dan berkebun kelapa. Untuk mendukung
pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di gugusan pulau-pulau
dibutuhkan sarana dan prasarana pendukung, sementara sarana dan prasarana yang tersedia belum memadai. Sarana dan prasarana pendukung yang dikemba ngkan adalah sarana dan prasarana perikanan, pariwisata pesisir-laut, dan transportasi laut. Sarana dan prasarana perikanan yang perlu dikembangkan di wilayah GPP Padaido meliputi dermaga pendaratan ikan (TPI), tempat pembuatan es balok, kios penjualan alat-alat penangkapan ikan dan penunjang budidaya, depot bahan bakar, dan tempat pembuatan kapal. Sarana dan prasarana tersebut dapat dikembangkan pada masing-masing wilayah GPP Padaido Bawah dan GPP Padaido Atas. Untuk menunjang kegiatan pariwisata pesisir- laut, sarana dan prasarana pendukung yang perlu dikembangkan meliputi sarana dan prasarana penginapan (pondok wisata) dan dermaga, tempat penyewaan peralatan selam, kios cinderamata, rumah makan, tempat pagelaran budaya dan sarana telekomunikasi. Banyaknya pondok wisata, dermaga dan kawasan rekreasi yang dibangun, disesuaikan dengan daya dukung lingkungan dimana kegiatan pariwisata dan rekreasi berlangsung. Sarana da n prasaran ini dikembangkan di Pulau Pai, Pulau Auki, Pulau Wundi dan Pulau Mbromsi, Pulau Padaidori, Pulau Mangguandi, dan Pulau Dauwi yang merupakan pusat pengembangan pariwisata di GPP Padaido Bawah dan GPP Padaido Atas.
69
Transportasi laut merupakan prasarana transportasi utama di wilayah GPP Padaido karena 93% wilayahnya adalah laut. Sarana transporasi umum
bagi
masyarakat di kawasan ini belum tersedia. Masyarakat yang memasarkan ikan dan minyak kelapa ke kota Biak dan Bosnik menumpang perahu motor nelayan yang kapasitasnya terbatas. Demikian halnya bagi orang yang akan ke Biak. Ini mengakibatkan hasil tangkapan nelayan dan minyak kelapa masyarakat yang tidak terangkut pada setiap hari pasar. Ketiadaan trasnportasi umum di pulau-pulau Padaido menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan perekonomi masyarakat tersendat. Dengan demikian, keberadaan sarana dan prasaran transportasi umum menjadi sangat penting bagi masyarakat Padaido. Berdasarkan kondisi geografis wilayah, sarana transportasi umum yang dibangun harus memenuhi persyaratan keselamatan dan mampu melayani kebutuhan masyarakat di GPP Padaido Atas dan GPP Padaido Bawah. Dalam kaitan ini, masing-masing wilayah gugus pulau membutuhkan kapal berukuran < 30 GT dengan prasarana dermaganya. Prasarana dermaga dapat dibangun di Pulau Pai dan Pulau Mbromsi, masing-masing untuk wilayah Padaido Bawah dan Padaido Atas. Kebijakan Pengelolaan Perkebunan Kelapa Selain perikanan dan pariwisata, GPP Padaido memiliki potensi perkebunan kelapa yang dikelola
masyarakat sebagai salah satu sumber penghasilan.
Perkebunan kelapa dijumpai di sebagian besar pulau-pulau baik di GPP Padaido Bawah maupun GPP Padaido Atas. Perkebunan kelapa di pulau-pulau Padaido bermula dari pendudukan Belanda di Irian Barat. Setelah Irian Barat bergabung dengan Indonesia pada 1962, pengelolaan dan pengembangan perkebunan kelapa dilakukan oleh masyarakat hingga saat ini. Selama ini pemanfaatan pohon kelapa di pulau-pulau Padaido untuk menunjang perekonomian masyarakat belum optimal. Dari perkebunan kelapa yang ada, baru buah kelapa ya ng diolah menjadi minyak kelapa, sedangkan bagian-bagian lain dari pohon kelapa belum dimanfaatkan. Padahal, dari pohon kelapa dapat dihasilkan
70
beragam produk, seperti bahan bangunan, furniture, perabot rumah tangga, sarana kebersihan, makanan, minuman dan lain- lain. Selain itu, proses pengolahan buah kelapa menjadi minyak kelapa belum modern.
Metode
pengolahan
masih
tradisional.
Tenaga
pengolah
masih
mengandalkan tenaga manusia yang serba terbatas, sedangkan aspek kualitas kontrol dan kebersihan belum diperhatikan. Kondisi ini menyebabkan minyak kelapa yang dihasilkan kurang berkualitas karena minyak ya ng dihasilkan tidak tahan lama dan kurang bening sehingga bernilai jual rendah. Untuk memberdayakan masyarakat pulau-pulau Padaido melalui pemanfaatan perkebunan kelapa sehingga menghasilkan nilai tambah yang tinggi dan memberikan pendapatan yang lumayan bagi masyarakat maka kebijakan pengelolaan perkebunan kelapa yang dilakukan diarahkan pada pengembangan lahan, peningkatan kualitas minyak kelapa, diversifikasi usaha pemanfaatan pohon kelapa dan pengembangan pemasaran produk olahan. Perkebunan kelapa masyarakat di pulau-pulau Padaido memiliki peluang pengembangan lahan. Pengembangan lahan baru masih dapat dilakukan di GPP Padaido Bawah maupun GPP Padaido Atas. Besarnya lahan yang akan dibuka disesuaikan dengan daya dukung lahan di pulau-pulau. Pada GPP Padaido Bawah, pengembangan lahan perkebunan kelapa dapat dilakukan di Pulau Auki dan Pulau Pai. Di GPP Padaido Atas, pengembangan lahan dilakukan di Pulau Padaidori, Pulau Mbromsi, Pulau Pasi, Pulau Mangguandi, Pulau Workbondi, Pulau Nukori, Pulau Dauwi, Pulau Wamsoi, Pulau Runi, Pulau Kebori dan Pulau Rasi. Dalam pengembangan tersebut kemitraan antara masyarakat dengan instansi pemerintah terkait, seperti Dinas Perkebunan Kabupaten Biak Numfor atau Dinas Perkebunan Propinsi Papua sangat diperlukan. Peningkatan kualitas minyak kelapa bertujuan untuk mengembangkan kualitas minyak kelapa biasa menjadi minyak kelapa murni (virgin coconut oil, VCO). Minyak kelapa murni memiliki beberapa kelebihan dibandingkan minyak kelapa biasa. Selain bernilai jual tinggi dimana harganya dapat mencapai tiga sampai empat kali minyak kelapa biasa, minyak kelapa murni memiliki nilai tambah besar karena
71
dapat digunakan sebagai bahan baku pada berbagai produk, seperti kosmetik, sabun, makanan dan obat-obatan serta dapat disimpan pada suhu kamar selama bertahuntahun (Kompas, 2004c). Melihat potensi perkebunan kelapa di GPP Padaido maka peluang pengembangan minyak kelapa biasa menjadi minyak kelapa murni cukup besar. Diversifikasi
usaha
pemanfaatan
pohon
kelapa
memiliki
peluang
pengembangan di GPP Padaido untuk meningkatkan penghasilan masyarakat. Selain usaha minyak kelapa, diversifikasi usaha dapat dikembangkan dengan memanfaatkan bagian-bagian lain dari buah dan pohon kelapa. Usaha sabut kelapa dapat diolah menjadi tali, keset, bahan bakar pemasakan atau tungku, sapu, jok kursi, dan busa tempat tidur. Usaha serbuk dan serat dapat diolah menjadi dinding peredam suara, kayu partikel, media tanam, matras, jok mobil dan pelapis tempat tidur pegas. Usaha tempurung kelapa selain diolah sebagai bahan bakar untuk memasak juga diolah menjadi arang tempurung dan karbon aktif (Kompas, 2004c). Upaya diversifikasi usaha ini tidak bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat namun membutuhkan bantuan penanganan yang komprehensif dengan instansi pemerintah terkait dan lembaga swadaya masyarakat. Selama ini produk olahan minyak kelapa dari GPP Padaido dipasarkan di Pulau Biak dan belum ada pengembangan pasar ke wilayah lain. Penge mbangan pasar produk olahan bertujuan untuk memperluas pemasaran dan memperkenalkan produk ke daerah lain sehingga produk olahan yang dihasilkan tidak hanya dikenal di Pulau Biak tetapi juga dikenal oleh daerah lain. Pengembangan pasar dilakukan dengan cara bermitra dengan lembaga swadaya masyarakat, koperasi dan pihak swasta. Wilayah yang berpotensi menjadi tujuan pengembangan pasar produk olahan meliputi wilayah Pulau Yapen, Kota Jayapura, Kota Wamena, Kota Bintuni, Kota Manokwari dan Kota Sorong. Wilaya h-wilayah tersebut berada dalam satu kawasan dan mudah dijangkau baik dengan menggunakan transportasi udara maupun laut.
72
Kebijakan Mitigasi Bencana Alam Gempa Bumi dan Tsunami Wilayah GPP Padaido dan Kabupaten Biak Numfor merupakan salah satu wila yah di Indonesia yang rawan terhadap bencana alam gempa bumi dan tsunami (Lampiran 25). Wilayah ini terletak dekat lajur patahan aktif antara lempeng Pasifik, lempeng Indo-Australia dan lempeng Filipina (Lampiran 26). Lempeng- lempeng tersebut selalu bergerak dengan kecepatan 3 – 4 cm per tahun. Karena pergerakan tersebut terjadi gesekan antara satu lempeng dengan lempeng lainnya. Apabila tingkat elastisitas satu lempeng tidak kuat menahan gesekan akan terjadi patahan lempeng yang mengakibatkan gempa bumi. Berdasarkan laporan Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi yang diacu oleh Kompas (2004), wilayah ini telah mengalami gempa bumi beberapa kali dan menimbulkan tsunami. Gempa besar dengan kekuatan 8,2 skala Richter terjadi di sekitar perairan kepulauan Padaido pada Pebruari 1996. Gempa tersebut menimbulkan tsunami. Baik gempa bumi maupun tsunami menyebabkan kerusakan infrastruktur dan korban manusia yang tidak sedikit. Bencana alam ini menyebabkan 100 orang lebih meninggal dunia dan 10.000 orang mengungsi di Pulau Biak dan Kepulauan Padaido. Untuk mengantisipasi dan meminimalisasi dampak kerusakan dan korban manusia akibat gempa bumi dan tsunami di waktu mendatang diperlukan kebijakan mitigasi bencana alam gempa bumi dan tsunami di gugusan pulau-pulau Padaido. Dalam pengelolaan bencana (disaster management), mitigasi menempati urutan ke-5 setelah tanggap darurat, rehabilitasi, rekonstruksi, pencegahan dan sebelum kesiapan (Budiharsono, 2005). Kebijakan mitigasi gempa bumi dan tsunami di GPP Padaido diarahkan pada tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mengurangi dan mengantisipasi dampakdampak negatif terhadap infrastruktur publik dan kehidupan masyarakat sebelum bencana alam gempa bumi dan tsunami terjadi. Tindakan-tindakan yang dilakukan antara lain membangun kerjasama sistem peringatan dini (early warning system ) dengan ne gara-negara di Kawasan Pasifik, membangun bangunan yang tahan gempa dan tsunami, membangun pemukiman tidak dekat pantai, merehabilitasi ekosistem
73
terumbu karang, penghijauan hutan mangrove dan hutan pantai, dan pendidikan gempa bumi dan tsunami kepada masyarakat. Negara- negara di kawasan pasifik memiliki sistim peringatan dini bencana tsunami (The Pasific Tsunami Warning Center) yang berpusat di Honolulu, Hawaii. Ketika terjadi gempa dan tsunami, pusat peringatan tsunami memberikan informasi dan peringatan dini kepada negara-negara di kawasan tersebut. Informasi dan peringatan dini tersebut merupakan petunjuk bagi penduduk di negara-negara kawasan pasifik untuk mengambil langkah- langkah penyelamatan diri sebelum tsunami tiba. Bagi Indonesia, terutama Kabupaten Biak Numfor yang terletaknya berbatasan langsung dengan lautan dan lempeng pasifik, membangun kerjasama dengan pusat peringatan tsunami pasifik merupakan hal penting. Selain memperoleh informasi peringatan dini sehingga penduduk telah siap menghadapi bencana yang terjadi, kerjasama ini juga akan memberikan kontribusi bagi pemerintah bagaimana membangun suatu sistem peringatan dini di kawasan-kawasan yang rawan bencana tsunami. Pada umumnya, infrastruktur publik di pulau-pulau Padaido terdiri dari perumahan penduduk, bangunan gereja, sekolah dan kantor Distrik Padaido. Perumahan penduduk terletak dekat pantai sementara bangunan publik terletak agak jauh dari pantai. Ketika terjadi gempa yang disusul dengan tsunami pada Pebruari 1996, sebagian besar bangunan publik ambruk dan perumahan penduduk disapu gelombang tsunami. Hanya bangunan gereja dan beberapa rumah penduduk yang selamat pada kejadian tersebut. Kerusakan bangunan publik disebabkan oleh konstruksi bangunan yang tidak tahan terhadap gempa dan letaknya tegak lurus dengan arah datangnya tsunami. Tersapunya perumahan penduduk oleh tsunami disebabkan oleh letaknya yang dekat dengan pantai. Untuk mengantisipasi terjadinya gempa dan tsunami, program mitigasi yang dilakukan adalah membangun bangunan publik dengan konstruksi yang tahan gempa, bagian depan bangunan menghadap ke laut dan letaknya agak jauh dari pantai. Perumahan penduduk dibangun jauh dari pantai, berkonstruksi kayu, dan bermodel panggung dengan menghadap ke laut (Gambar 13).
bagian depan
74
Rehabilitasi terumbu karang, reboisasi hutan mangrove dan hutan pantai merupakan bentuk mitigasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat di pulau-pulau Padaido yang rawan terhadap bencana tsunami. Mitigasi tersebut memanfaatkan keberadaan terumbu karang, hutan mangrove dan hutan pantai untuk meredam tekanan energi gelombang tsunami secara bertahap (gradually) sebelum mencapai kawasan pemukiman penduduk. Terumbu karang berfungsi sebagi pelindung pantai dari gempuran arus dan gelombang laut karena strukturnya yang kuat. Demikian juga dengan hutan mangrove. Sistem perakaran mangrove dapat meredam arus, gelombang dan sedimen. Penduduk di Pulau Padaidori, pulau yang dekat dengan episentrum gempa bumi dan tsunami pada Pebruari 1996, selamat karena adanya terumbu karang, hutan mangrove dan hutan pantai. Keberadaan terumbu karang, hutan mangrove dan hutan pantai di pulau-pulau Padaido sangat mengkuatirka n saat ini. Kerusakan terumbu karang karena aktifitas penangkapan ikan dengan bahan peledak perlu direhabilitasi. Kawasan terumbu karang di pulau-pulau berpenduduk perlu direhabilitasi. Kawasan pesisir pantai perlu dihijaukan dengan mangrove atau hutan pantai dengan cemara (Casuarina spp) atau waru laut (Hibiscus tiliaceus). Hal tersebut disesuaikan dengan kesesuaian kawasan pesisirnya. Kematian mangrove jenis Bruguiera di Desa Sasari, Pulau Padaidori karena terendam air laut perlu direboisasi dengan jenis mangrove yang sesuai dengan lahan tersebut. Selain itu, kawasan pesisir dari Pulau Auki, Pulau Wundi, Pulau Nusi, Pulau Pai, Pulau Mbromsi, Pulau Pasi dan Pulau Mangguandi perlu ditanami dengan mangrove. Perluasan perkebunan kelapa melalui penebangan hutan pantai di beberapa pulau berpenduduk perlu dilakukan secara proposional. Penanaman pohon kelapa untuk meredam gelombang tsunami kurang efektif karena akarnya serabut sehingga mudah roboh. Robohnya pohon kelapa banyak ditemui pascatsunami Biak 1996 (Diposaptono, 2005). Selain pemanfaatan sumber daya alam pesisir untuk mitigasi bencana tsunami, pembangunan escape place perlu dilakukan di pulau-pulau Padaido yang topografinya landai dan merupakan tempat akomodasi pariwisata, seperti Pulau Wundi, Pulau Nusi, Pulau Pai, Pulau Mangguandi dan Pulau Dauwi. Escape place
75
dibangun dekat pemukiman penduduk dan pondok wisata karena berfungsi sebagai tempat penyelamatan diri. Escape place berbentuk bangunan panggung dengan tinggi tiang sekitar 5 m dengan konstruksi tahan gempa. Bangunan menghadap ke laut dengan lantai bangunan terbuat dari kayu. Luas lantai bangunan disesuaikan dengan jumlah penduduk yang terdapat di desa. Pemanfaatan Escape place untuk mitigasi gelombang telah dikembangkan di Belanda, Bangladesh, dan beberapa kota lain (Siswanto, 2005).
Gambar 11 Rumah panggung masyarakat adat Biak (Rumsram). Pengetahuan tentang bencana alam gempa bumi dan tsunami serta mitigasinya perlu
diberikan
kepada
masyarakat
yang
menghuni
pulau-pulau
Padaido.
Pengetahua n diberikan melalui jalur pendidikan formal maupun nonformal. Pemerintah dan masyarakat dapat menjadikan komponen ini bagian dari kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Pemerintah daerah intesif melakukan penyuluhan dan simulasi upaya-upaya evakuasi dan penyelamatan terhadap bencana. Hal utama dari semua upaya proses pendidikan adalah menanamkan pengetahuan penting tersebut pada alam bawah sadar masyarakat sehingga ketika terjadi bencana yang sesungguhnya mereka sudah siap dan bagaimana cara efektif menghadapnya. Khusus untuk bencana gempa dan tsunami, dalam benak mereka
76
sudah terpola langkah- langkah penyelamatan, seperti segera keluar rumah dan menjauhi pantai menuju daratan yang tinggi atau escape place, begitu merasakan adanya getaran gempa atau melihat permukaan laut surut secara mendadak. Demikian juga waspada terhadap bunyi dentuman seperti gempa dari arah laut dan tanda-tanda lainnya yang dapat mereka peroleh dari buku, leaflet , ataupun penjelasan dari mass media.
77
SIMPULAN Simpulan Pemanfaatan sumberdaya pesisir yang sesuai di GPP Padaido adalah budidaya rumput, budidaya teripang, budidaya ikan dalam keramba jaring apung dan pariwisata pesisir, sedangkan penangkapan ikan karang dan ikan pelagis sesuai untuk peraira n laut. Sumberdaya pesisir dan laut di GPP Padaido memiliki potensi yang optimal untuk mendukung aktivitas perikanan budidaya, perikanan tangkap,
pariwisata
pesisir dan konservasi. Penduduk GPP Padaido bermatapencaharian sebagai nelayan dan penghasil minyak kelapa dengan tingkat pendidikan dan pendapatan per kapita per bulan tergolong rendah. Sarana dan prasarana perekonomian sangat minim. Penduduk memiliki kearifan tradisional (sasisen) dan hak ulayat laut yang dapat mendukung pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Sebagian besar penduduk GPP Padaido memiliki tingkat partisipasi rendah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, sedangkan lama pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat. Zonasi pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut terdiri atas zona pemanfaatan khusus (ZPK), zona pemanfaatan terbatas (ZPT) dan zona konservasi (ZK). ZK merupakan kawasan yang terluas, yaitu 85,83% dari total luas total wilayah. Alternatif pengembangan kebijakan pengelolaan sumb erdaya pesisir dan laut di GPP Padaido adalah Pengelolaan Berbasis Masyarakat, Pengelolaan Pariwisata Pesisir, Konservasi Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut, Pengelolaan Perikanan Pesisir dan Laut, Peningkatan Kapasitas Kelembagaan, Peningkatan Sarana dan Prasarana Pendukung, Pengelolaan Perkebunan Kelapa, dan Mitigasi Bencana Alam Gempa dan Tsunami.
78
Saran (1)
Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan, lahan pesisir perairan pada PulauPulau Padaido ternyata sesuai untuk beberapa peruntukkan, seperti perikanan budidaya, pariwisata pesisir, perikanan tangkap (ikan karang & pelagis kecil) dan jalur transportasi perahu nelayan. Apabila lahan tersebut dimanfaatkan akan menimbulkan konflik antar pengguna karena kawasan merupakan milik masyarakat (common property) yang belum ada batas-batas kepemilikannya dengan jelas. Ini merupakan salah satu hambatan dalam penataan kesesuaian lahan untuk perikanan budidaya. Untuk menghindari terjadinya konflik pemanfaatan lahan diperlukan pendekatan dengan masyarakat adat dan penyusunan
matriks
keserasian
(compatibility
matrix)
antar
kegiatan
pembangunan di wilayah pesisir dan laut sehingga diperoleh peruntukkan lahan pesisir yang sesuai. (2)
Alokasi kegiatan pembangunan pada lahan atau kawasan yang sesuai harus memperhatikan dan mempertimbangkan daya dukung (daya tampung) kawasan atau lahan. Selain itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kapasitas asimilasi lingkungan perairan yang sesuai untuk budidaya ikan dengan keramba terhadap beban limbah yang masuk untuk menghindari kerusakan atau degradasi lingkungan.
(3)
Pendugaan potensi air tanah di Pulau-Pulau Padaido dilakukan dengan pendekatan neraca air dengan mengandalkan data curah hujan dan suhu udara beberapa tahun yang diperoleh dari stasion bandara Frans Kaisepo, Biak. Untuk mengetahui potensi air tanah yang mendekati kebenaran diperlukan penelitian lanjutan dengan menggunakan peralatan-peralatan yang lebih modern.
(4)
Untuk mendukung terlaksananya kebijakan pengelolaan GPP Padaido yang berkelanjutan, terpadu dan berbasis masyarakat diperlukan adanya suatu lembaga yang berfungsi sebagai koordinator kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Lembaga ini beranggotakan unsur -unsur yang berasal dari instansi pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakar dan
79
lembaga masyarakat adat. Lembaga ini sebaiknya berkedudukan di ibukota distrik Padaido dan memiliki biro perwakilan di ibukota kabupaten.
80
DAFTAR PUSTAKA Abidin S.Z. 2002. Kebijakan Publik. Afrianto E. dan Liviawati E. 1993. Budidaya Rumput Laut dan Cara Pengolahannya. Penerbit Bhratara – Jakarta. Arief B. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Arifin T. 2001. Evaluasi Kesesuaian Kawasan Pesisir dan Arahan Pengembangan nya Bagi Pariwisata Bahari Di Teluk Palu Propinsi Sulawesi Tengah. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Aronoff S. 1989. Geographic Information System: A Management Perspective. WDL Publications, Ottawa, Canada. Arsyad A. 1999. Zonasi Dalam Rencana Pengelolaan Pariwisata Pesisir Yang Berkelanjutan Di Kawasan Batam, Rempang Dan Galang Propinsi Riau. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Asdak C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada University Press. Atmadja W.S., Sulistijo dan H. Mubarak. 1970. Potensi, Pemanfaatan dan Prospek Pengembangan Budidaya Rumput Laut di Indonesia. Badan Pengembangan Ekspor Nasional. Dep. Perdagangan dan Koperasi; Jakarta. 13 hal. Badan Pusat Statistik Kabup aten Biak Numfor. 2002. Biak Numfor Dalam Angka 2001. Kerjasama dengan BP3D Kabupaten Biak Numfor. Bakri A.R. 1992. Pengelolaan Sampah Pemukiman dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaannya di Kota Administratif Depok. Tesis. Program Pascasarjana IPB, Bogor (tidak dipublikasikan). Banjar H. 1998. Suatu Studi Tentang Peran Sasi Laut dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya hayati Laut Terhadap Masyarakat Pesisir di Maluku. Barus B. dan Wiradisastra US. 1996. Sistem Informasi Geografi. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
81
_________________________. 1997. Sistem Informasi Geografi : Sarana Manajemen Sumberdaya. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Beller W., P. d’Ayala And P. Hein. 1990. Sustainable Development And Environmental Management of Small Islands. The Parthenon Publishing Group. Bengen D.G. 2000a. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. ___________. 2000b. Penentuan dan Pengelolaan Kawasan Lindung Di Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil. Direktorat Jenderal Urusan Pesisir, Pantai dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta, Oktober 2000. ___________. 2000c. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. ___________. 2001. Pedoman Teknis Pengenala n dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Besweni. 2002. Kajian Ekologi Ekonomi Pengembangan Budidaya Rumput Laut Di Kepulauan Seribu (Studi Kasus Di Gugusan Pulau Pari). Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. [BPS] Biro Pusat Statistik Biak. 2003. Sensus Pertanian 2003. Budiharsono S. 2001. Analisis Prioritas, Alokasi Anggaran, Monitoring dan Evaluasi Proyek Pembangunan. ____________. 2005. Aspek Sosial Budaya Dalam Disaster Management. Makalah dipresentasikan pada Seminar ISPA, Jakarta, 28 April 2005. Budjang A. 1963. Orang Biak-Numfor. Dalam Koentjaraningrat dan Harsja W Bachtiar, 1963. Penduduk Irian Barat. PT Penerbitan Universitas, Jakarta. Burrough P.A. 1986. Principle of Geographical Information System for Land Resources Assessment. Monograph on Soil and Resources Surveys, No. 12, Oxford Science Publication. Cahyadi B. 2002. Laju Pertumbuhan dan Tingkat Kelangsungan Hidup Transplantasi Karang Porites nigrescens dan Montipora digitata di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI. Jakarta. Dalam Prosiding Konperensi Nasional III 2002 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia.
82
Carter J.A. 1996. Introductory Course on Integrated Coastal Zone Management (Training Manual). Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan Universitas Sumatera Utara, Medan dan Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan Universitas Indonesia, Jakarta; Dalhouse University, Environmental Studies Centres Development in Indonesia Project. Chapman V.J. 1949. Seaweed and their uses. Methuen and Co. Ltd. London: 287 pp. Cicin-Sain and Knecht R.W. 1998. Integrated Coastal and Marine Management. Island Press, Washington DC. Clark J. 1974. Coastal Ecosystems. Ecological Consideration For Management of The Coastal Zone. The Conservation Foundation, Washington, D.C. ______. 1996. Coastal Zone Management Handbook. Lewis Publishers. [COREMAP] Coral Rehabilitation and Management Project Reports. 2001. Reef Health Status of Padaido, Biak. Baseline Survey May 2001. Prepared by CRITIC Biak and AMSAT Ltd. ________________________________________________________. 2003. Reef Health Status of Padaido, Biak. Baseline Survey May 2003. Prepared by CRITIC Biak. Dahuri R. 1998. Pendekatan ekonomi- Ekologis Pembangunan Pulau-Pulau Kecil Berkelanjutan. Dalam Prosiding Seminar Dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Di Indonesia. Jakarta, 7 – 10 Desember 1998. Kerjasama Departemen Dalam Negeri, Direktorat Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan, TP SA, BPPT, dan Coastal Resouces Management Project (CRMP) USAID. ________. 2000. Kebijakan dan Program Nasional Mengembangkan Potensi PulauPulau Kecil Sebagai Pusat Riset dan Industri Yang Berkelanjutan Dengan Basis masyarakat. Disampaikan Pada Seminar Nasional Memperingati Tahun Bahari dan Ulang Tahun Dati I Sulut. Universitas Sam Ratulangi, Manado, 18 Oktober 2000. ________. 2001. Analisis Daya Dukung Lingkungan Kawasan Pesisir. Dalam Bahan Kuliah Perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lauta n. ________. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan Berkelanjut-an Indonesia. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Dahuri R., J. Rais, Sapta Putra Ginting dan M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
83
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2001. Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. ____________________________________. 2002. Pedoman Umum Penataan Ruang Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. a
____________________________________. 2002 . Pedoman Umum Perenca- naan Pengelolaan Pesisir Terpadu. Darsoprajitno H.S., 2002. Ekologi Pariwisata. Tata Laksana Pengelolaan Objek dan Daya Tarik Wisata. Penerbit Angkasa Bandung. Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL. 2003. Daftar Pasang Surut. Diposaptono S. 2005. Rehabilitasi Pascatsunami yang Ramah Lingkungan. Surat Kabar Harian Kompas 20 Januari 2005. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. 1998. Rencana Pengelolaan Taman Wisata Alam Kepulauan Padaido Kabupaten Biak Numfor Propinsi Irian Jaya. Kerjasama dengan Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah. Proyek Penyusunan Neraca Sumberdaya Kelautan dan Pesisir Daerah Tahun Anggaran 1997/1998. Ello N.P. dan Subandi. 1998. Penghitungan Pulau-Pulau Indonesia Suatu Upaya Awal Menuju Pengklasifikasian Pulau-Pulau Indonesia. Dalam Prosiding Seminar Dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Di Indonesia. Jakarta, 7 – 10 Desember 1998. Kerjasama Departemen Dalam Negeri, Direktorat Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan, TPSA, BPPT, dan Coastal Resouces Management Project (CRMP) USAID. English S., C. Wilkinson and V. Baker. 1994. Survey Manual For Tropical Marine Resources. Australian Institute of Marine Science, Townsville. Fakultas Perikanan IPB. 1998. Studi Penetapan Lokasi Pengembangan Budidaya Laut Di Kepulauan Seribu. Laporan Akhir. Kerjasama Dengan Dinas Perikanan daerah Khusus Ibukota Jakarta. Ginting S.P. 1998. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Di Sulawesi Utara Dapat mengancam Kelestariannya. P.30-43 Vol 1. N0.2. Jurnal Pesisir dan Lautan, PKSPL-IPB, Bogor. Gulland J.A. 1975. Manual of Method for Fisheries Resources Survey and Appraisal. Part 5: Reef symp. Manila. Vol. 1: 275 – 282.
84
Gunarso W. 1985. Tingkah Laku Ikan Dalam hubungannya dengan Alat, Metoda, dan Taktik Penangkapan. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Handoko 1995. Klimatologi Dasar, Landasan Pemahaman Fisika Atmosfer dan Unsur-Unsur Iklim. Pustaka Jaya. Hardjowigeno S. dan Widiatmaka. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hehanussa P.E., G.S. Haryani, M.Fakhrudin, dan H.wibowo. 1998. Ketersediaan Air Sebagai dasar Perencanaan Pengembangan Kapet di Pulau Biak, Irian Jaya. Dalam Prosiding Seminar Dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Di Indonesia. Jakarta, 7 – 10 Desember 1998. Kerjasama Departemen Dalam Negeri, Direktorat Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan, TPSA, BPPT, dan Coastal Resouces Management Project (CRMP) USAID. Hukom F.D., La Tanda, Yonas Lorwens dan Sam Wouthuyzen. 2001. Sensus Ikan Karang Di Pulau-Pulau Padaido. Dalam Laporan Akhir Pengkajian Metodologi Pendugaan Stok Ikan Karang Di Pula u Biak dan P.P. Padaido. Balai Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut, P3O-LIPI Ambon. Husni M. 1998. Penataan Ruang Pulau-Pulau Kecil Di Indonesia. Dalam Prosiding Seminar Dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Di Indonesia. Jakarta, 7 – 10 Desember 1998. Kerjasama Departemen Dalam Negeri, Direktorat Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan, TPSA, BPPT, dan Coastal Resouces Management Project (CRMP) USAID. Hutahaean W., S. Wouthuyzen dan T. Wenno. 1995. Kondisi Oseanografi Wilayah Pesisir Pulau Biak dan Sekitarnya. Dalam Status Ekosistem Wilayah Pesisir Pulau Biak dan Sekitarnya. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi – Balai Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut, Ambon. Hutomo M., B.S. Soedibjo dan Milya Rosanty. 1996. Prosiding Seminar Pengembangan Potensi Wilayah Kabupaten Biak Numfor. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Ihsan Y.N. 2002. Kajian Pengembangan Budidaya Laut: Pengaruhnya Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Pesisir (Studi Kasus Budidaya Rumput Laut Di Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Kepulauan Seribu). Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Indriani H dan Sumiarsih E. 2001. Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Rumput Laut. Penebar Swadaya.
85
Izaryadi. 2001. Partisipasi Masyarakat Dalam Pelestarian Ekosistem Terumbu Karang Di Pulau Sebesi Kabupaten Lampung Selatan. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Kabupaten Biak Numfor. 2000. Kecamatan Padaido Dalam Angka. Kantor Pertanahan Kabupaten Biak Numfor. 1995. Peta Tekstur Tanah Kabupaten Dati II Biak Numfor; skala 1:250.000. Kartasasmita G. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. CIDES. Jakarta. Karubaba C.Th. 2000. Kajian Pemenuhan Kebutuhan Pangan Nelayan Pada Musim Timur dan Musim Barat Kaitannya Dengan Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir (Studi kasus di Kepulauan Padaido, Kecamatan Padaido). Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 2000. Kay R. dan J. Alder. 1999. Coastal Planning and Management. E & FN Spon, London and New York. Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antroologi. Edisi Baru. Penerbit Rineka Cipta. _____________ dan H.W. Bachtiar. 1963. Penduduk Irian Barat. PT Penerbitan Universitas, Jakarta. Kompas. 2004a. Gelombang Tsunami Dapat Diprediksi. Terbitan 30 Desember 2004. _______. 2004b. 25 Daerah Rawan Gempa. Terbitan 29 Desember 2004. _______. 2004c. Kelapa Untuk Berdayakan Masyarakat Pesisir. Terbitan 2 Desember 2004. Koswara A. 1998. Hubungan Antara Kelurusan Sesar Inderaan Jauh dan Bencana Alam Geologi di Kepulauan Biak, Irian Jaya. Dalam Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral, No. 84, Vol. VIII, Bandung. Kusumastanto T. 2000. Perencanaan dan Pengembangan Pulau-Pulau Kecil. Dalam Prosid ing Temu Pakar Penyusunan Konsep Tata Ruang Pesisir. Laksono P.M., Tjahjono P., Adi M., Aprilia B.H., Gunawan dan Tranpiosa R. 2001. Kepulauan Padaido Haruskah Habis terkuras. Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gajah Mada bekerjasama dengan Yayasan RUMSRAM dan KEHATI.
86
Lembaga Adat Biak Timur, Padaido Bawah dan Anobo Padaido. 2002. Peraturan Adat Tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam Darat dan Pesisir Di Biak Timur serta Kepulauan Padaido, Kabupaten Biak Numfor. Long H.B. 1973. Aproach to Community Development, National University Extention Association and the American College. Ludwig J.A. and Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology: A Primer On Methods and Computing. John Wiley & Sons, Canada. Madrie. 1986. Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Partisipasi Masyarakat Desa Dalam Pembangunan Pedesaan. Disertasi. Program Pascasarjana IPB (tidak dipublikasikan). Malcolm K. 1975. Self Directed Learning: A Guide for Learner and Teachers. Chichago. Marlessy C dan A. Retraubun. 2002. Pemetaan Partisipatif Untuk “Akyakfin Bebair Arasai Bero Sup Ma Swan Bayk Bar Murem Ma Meos Padaido: dari Alat Pengorganisasian Masyarakat Sampai Perjuangan Untuk Mendapatkan Pengakuan Hak Kelola dari Pemerintah Lokal, Studi Kasus Kepulauan Padaido. Makalah Dipresentasikan Pada KONAS III, Bali, Mei 2002. Martopo S. 1988. Potensi Ketersediaan Air Pada Ekosistem Karst Di Gunung Kidul. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Gadjah Mada. Maryunani. 1999. Model Pemberdayaan Penduduk Lokal Dalam Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Secara Berkelanjutan (Studi Kasus NTB). Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. (Tidak dipublikasikan). Misra R. 1978. Ecological Work Book. Oxford and IBM. Publ. Co. New Delhi. Murni H.N.C. 2000. Perencanaan Pengelolaan Kawasan Konservasi Estuaria Dengan Pendekatan Tata Ruang Dan Zonasi (Studi Kasus Segara Anakan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah). Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Nikijuluw V.P.H. 1994. Sasi Sebagai Suatu Pengelolaan Sumberdaya Berdasarkan Komunitas (PSBK) Di Pulau Saparua, Maluku. Jurnal Penelitian Perikanan Laut, 93: 79-92. _______________. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Penerbit Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional dan PT Pustaka Cidesindo. Nontji A. 2002. Laut Nusantara. Cetakan ketiga. Penerbit Djambatan.
87
Noo Y.R., M. Khazali dan I.N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Ditjen PKA. Wetlands International. Novaczek I. 1997. Laporan Penelitian Biologi : Kondisi Terumbu Karang, Ikan dan Perikanan di Saba, Wundi dan Dawi, Kepulauan Padaido. Tim Monitoring Biologi, Yayasan Hualopu. Nybakken J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. (Terjemahan). Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta. Okazaki A. 1973. Seaweed and their uses in Japan. Tokai University Press. Tokyo: 165 pp. Ongkosongo O.S.R. 1998. Permasalahan Dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil. Dalam Prosiding Seminar Dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Di Indonesia. Jakarta, 7 – 10 Desember 1998. Kerjasama Departemen Dalam Negeri, Direktorat Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan, TPSA, BPPT, dan Coastal Resouces Management Project (CRMP) USAID. Papalia S. 2001. Distribusi dan Komposisi Jenis Rumput Laut Di Perairan PulauPulau Padaido Biak, Irian Jaya. Dalam Laporan Akhir Pengkajian Metodologi Pendugaan Stok Ikan Karang Di Pulau Biak dan P.P. Padaido. Balai Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut, P3O-LIPI Ambon. Pesonen M., J. Kangas, M. Kurttila and M. Kajanus. 1996. Applying A’WOT To Choose a Manageme nt Strategy For The Forest Holding Owned by Private Partnership. Pomeroy A.R. and M.J. Williams. 1994. Fisheries Co-management and Small-scale Fisheries: A Policy Brief. ICLRAM, Manila. 15 p. Pramono I.B. 2000. Potensi Pulau Bintan Sebagai Penghasil Air Bersih Untuk Singapura. Dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Ekosistem Pantai dan Pulau-Pulau Kecil Dalam Konteks Negara Kepulauan. Badan Penerbit Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada 2000. Pratiwi E. dan Ismail, W. 2004. Perkembangan Budidaya Rumput Laut Di Pulau Pari. Warta Penelitian Perikanan Indonesia, Edisi Akuakultur. Volume 10 Nomor 2,2004. Primack R.B., Jatna S., M. Indrawan dan Padmi K. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
88
Purnomowati R. 2001. Kajian Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat (Kasus Desa Pemongkong, Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur – NTB). Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Purwaka T.H. 1993. “Peranan Monitoring, Control, And Surveillance” (MCS) Dalam Pengelolaan Sumber Daya Perikanan. Prosiding Simposium Perikanan Indonesia I. Jakarta, 25 – 27 Agustus 1993. Buku I. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Ikan Sarjana Perikanan Indonesia (ISPIKANI) dan Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia (HIMAPIKANI) Bekerjasama Dengan Japan International Cooperation (JICA). Hal 317 – 330. [PKSPL] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. 1998. Penyusunan Konsep Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Yang Berakar Pada Masyarakat. Kerjasama dengan Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. Putra D.P. 2001. Pendekatan Ekologi- Ekonomi Dalam Penetapan Kawasan Konservasi Ekosistem Terumbu Karang Di Perairan Pulau Sebesi Kabupaten Lampung Selatan. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Rachmansyah. 2004. Analisis Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Awarange Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan Bagi Pengembangan Budidaya Bandeng Dalam Keramba Jaring Apung. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Rangkuti F. 2001. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis Untuk Menghadapi Abad 21. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Razak T.B. dan Marlina N. 1999. Laporan Kegiatan. Studi Kajian Singkat Sumber Daya hayati Laut Kepulauan Padaido. Yayasan Terumbu Karang Indonesia (Terangi). Kerjasama Yayasan Rumsram dan Kehati. Retraubun A.S.W. 2001. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil. Dalam Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, Bogor 29 Oktober – 3 November 2001. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. ________________. D.G. Bengen dan A. Tahir. 2002. Program Perbaikan Ekosistem Pulau-Pulau Kecil Melalui Pelibatan Masyarakat Di Kep ulauan Seribu, DKI Jakarta. Dalam Prosiding Komperensi Nasional III 2002 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia. Romimohtarto K. dan Juwana S. 1999. Biologi Laut Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi- LIPI Jakarta.
89
Saaty T.L. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin (Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi Kompleks). (Terjemahan) PT. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Salm R.V., J.R. Clark and E. Siirila. 2000. Marine and Coastal Protected Areas: A Guide for Planners and Managers. Third Edition. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, Bland, Switzerland. ________ and G.F. Usher. 1984. Zoning Plan For Bunaken Islands Marine Park. Prepared for Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. IUCN/WWF Conservation for Development Programme. Sangadji I.M. 2002. Kajian Pengembangan Kawasan Konservasi Terumbu Karang Di Pulau Waidoba, Kecamatan Kayoa, Propinsi Maluku Utara. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Sapulette dan Peristiwady. 1994. Evaluasi sumberdaya Laut di Biak. Laporan Kemajuan Triwulan I, Tahun Anggaran 1993/1994, LON-LIPI, Ambon. Sarief S. 1986. Ilmu Tanah Pertanian. Pustaka Buana Bandung. Schrool J.W. 1984. Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Berkembang. PT. Gramedia, Jakarta. Sevilla C.G., P.G. Twila., R.P. Bella and U.G. Gabriel. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Penerbit Universitas Indonesia (Terjemahan). Siregar M. O. 1994. Pengelolaan Lingkungan Pulau Wisata (Kasus Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu di Jakarta Utara). Tesis. Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Siswanto A. 2005a. Konsep, Proses, dan Model Rekonstruksi Tata Ruang Aceh. Harian Kompas 3 Maret 2005. Hal 42. __________. 2005b. Rekonstruksi Dengan Partisipatif Dari Bawah. Harian Kompas 3 Maret 2005. Hal 43. Slamet M. 1985. Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Pedesaan, Jakarta. Soehaimi A., Lumbanbatu U.M., Hayat Z., Moechtar H., Padmawidjaja T., dan Firdaus M. 1999. Neotektonik dan Kegempaan P. Biak dan Sekitarnya. Dalam Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral, No. 39, Vol. XI, Bandung.
90
Soerjani M., R. Ahmad dan R. Munir. 1987. Lingkungan: Sumber daya Alam dan kependudukan Dalam Pembangunan. UI-Press, Jakarta. Sosrodarsono S dan Kensaku T. 2003. Hidrologi Untuk Pengairan. Pradnya Paramita, Jakarta. Souhoka J. dan Yonas Lorwens. 2001. Kondisi Terumbu Karang Di Pulau-Pulau Padaido. Dalam Laporan Akhir Pengkajian Metodologi Pendugaan Stok Ikan Karang Di Pulau Biak dan P.P. Padaido. Balai Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut, P3O-LIPI Ambon. Sparre P and S.C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Diterbitkan Berdasarkan Kerjasama dengan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa, Oleh : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta, Indonesia. Star J and J. Estes. 1990. Geographic Information System: An Introduction. Prentice Hall. New Jersey. Stasiun Meteorologi Klas I Frans Kaisiepo Biak. 2002. Unsur-Unsur Cuaca Tahun 2002. Sudariyono. 2000. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Secara Berkelanjutan Dan Berwawasan Lingkungan. Dalam Prosiding Seminar Pengelolaan Ekosistem Pantai Dan Pulau-Pulau Kecil Dalam Konteks Negara Kepulauan. Badan Penerbit Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada. Sugandhy A. 1999. Penataan Ruang Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Suharsono dan F.W. Leatemia. 1995. Kondisi Terumbu Karang Pulau-Pulau Padaido Dan Potensi Padaido Sebagai Daerah Tujuan Wisata. Balitbang Biologi, Puslitbang Oseanologi- LIPI, Jakarta dan Balitbang Sumberdaya Laut, Puslitbang Oseanologi- LIPI, Ambon. Dalam Prosiding Seminar Pengembangan Potensi Wilayah Kabupaten Biak Numfor. Jakarta, 26 – 29 Juli 1995. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi- LIPI, Jakarta. Suhendrata T. 2001. Kajian Ekologi- Ekonomi Pemanfaatan Dan Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. ___________. 2001. Prinsip-Prinsip Penataan Ruang Kawasan Pesisir dan Lautan Indonesia. Disampaikan pada Program Studi Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor.
91
Sukmara A., A.J. Siahainenia dan C. Rotinsulu. 2001. Panduan Pemantauan Terumbu Karang Berbasis-Masyarakat Dengan Metode Manta Tow. Proyek Pesisir – CRMP Indonesia. Sunu P. 2001. Melindungi Lingkungan Dengan Menerapkan ISO 14001. Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Sunyoto P. 2000. Pembesaran Kerapu Dengan Karamba, Jaring Terapung. PT. Penebar Swadaya, Depok. Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Surya W.D., A. Saefuddin dan Soemardjo. 2002. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Keluarga Nelayan. Pustaka Crescent. Suryadi, K. dan A. Ramdhani. 2000. Sistem Pendukung Keputusan. Suatu Wacana Struktural Idealisasi Dan Implementasi Konsep Pengambilan Keputusan. PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Suryanto A. 2000. Sistem Zonasi Pengelolaan Taman Nasional Laut Berdasarkan Indeks Kepekaan Lingkungan (Studi Kasus Di kepulauan Karimunjawa Kabupaten Jepara Propinsi Jawa Tengah). Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sutaman. 2003. Petunjuk Praktis Budidaya Teripang. Penerbit Kanisius. Taurusman A.A. 1999. Model Sedimentasi dan Daya Dukung Lingkungan Segara Anakan Untuk Kegiatan Budidaya Udang. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tiensongrusmee B., S. Pontjoprawiro dan I. Soedjarwo. 1986. Site Selection for the Culture of Marine Finfish in Floating Net-cages. Tresnadi H. 1998. Pengelolaan Air Tawar Berwawasan Lingkungan Di Pulau-Pulau Kecil. Dalam Prosiding Seminar Dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Di Indonesia. Jakarta, 7 – 10 Desember 1998. Kerjasama Departemen Dalam Negeri, Direktorat Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan, TPSA, BPPT, dan Coastal Resouces Management Project (CRMP) USAID. Waas H.J.D. 2004. Analisis Daerah Potensial Penangkapan Cakalang (Katsuwonus pelamis) dan Madidihang (Thunnus albacares) Di Perairan Utara Papua, Pasifik Barat. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
92
Walters J.S., J. Maragos, S. Siar dan A.T. White. 1998. Participatory Coastal Resources Assessment. A Handbook for Community Workers and Coastal Resources Managers. Wardoyo. 1992. Pendekatan Penyuluhan Pertanian Untuk Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Dalam Penyuluhan Pembangunan di Indonesia Menyo ngsong Abad XXI, Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara, Jakarta. White A.T., L.Z. Hale, Y. Renard, dan Lafcadio C. 1994. Collaborative and Community Based Management of Coral Reefs. Lesson from Experience. Kumarian Press. Wong P.P. 1991. Coastal Tourism in Southeast Asia.International Center for Living Aquatic Resources Management, Philippines. Wouthuyzen S. 1995. Status Ekosistem Wilayah Pesisir Pulau Biak dan Sekitarnya. Laporan Akhir Tahun Anggaran 1994/1995. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian dan pengembangan Oseanologi, Balai Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut, Ambon. _____________. O.K. Sumadhiharga, F.W. Leatemia, dan A.J. Sihainenia. 1995. Inventarisasi Sumberdaya Hayati Laut Di Wilayah Pesisir Kabupaten BiakNumfor. Ba litbang Sumberdaya Laut, Puslitbang Oseanologi-LIPI, Ambon dan Konsultan MREP untuk Propinsi Maluku dan Irian Jaya. Dalam Prosiding Seminar Pengembangan Potensi Wilayah Kabupaten Biak Numfor. Jakarta, 26 – 29 Juli 1995. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, Jakarta. _____________. D. Sapulete dan A. Nanlohy., 2001. Analisa Citra Satelit Landsat-5 TM Untuk Memetahkan Perairan Dangkal Pulau-Pulau Padaido. Laporan Akhir Pengkajian Metodologi Pendugaan Stok Ikan Karang Di Pulau Biak dan PulauPulau Padaido. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Balai Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut, Ambon. Yamaguchi M. 1998. Aquaculture in Tropical Areal. Midori Shobo. Yayasan Diakonia Gloria. 2002. Dampak Kegiatan Wisata Bahari Terhadap Pendapatan Masyarakat Kawasan Terumbu Karang Di Kepulauan Padaido dan Biak Timur Daratan. Yayasan Hualopu. 1997. Sustainable Community Based Marine Resource Management and Conservation in Padaido Island Biak. Bekerjasama dengan Yayasan Rumsram, Biak, Irja, Indonesia. Yayasan Rumsram. 2000. Profil Kepulauan Padaido.
93
Yayasan Terangi dan LIPI Biak. 2000. Studi Kondisi dan Potensi Sumberdaya Laut di Pulau-Pulau Kecil Kepulauan Padaido. Kerjasama Yayasan Rumsram dan Yayasan Kehati.
94
Lampiran 1 Realitas bio - fisik GPP Padaido, Distrik Padaido, Biak Numfor, Papua
Luas (Ha)
Pulau
Pjg Grs Pantai (m)
Luas Pantai Pasir (Ha)
Padaido Bawah Auki
753,716
16201,318
Karang Auki Rarsbar
0,106 7,716
124,883 1582,163
Karang Rarsbar 1
0,547
363,853
Karang Rarsbar 2
0,434
283,585
56,468
4064,446
Wurki Karang Wurki
48,604
0,093
120,096
Wundi Urev
69,939 3,573
4460,437 1089,536
8,921 4,358
Mansurbabo Nusi
4,102 95,826
1717,181 10818,018
3,434 21,636
4,991 470,118
841,206 10806,021
30,257
1467,629
52472,743
86,953
Yumni Pai Sub Total Mangrove auki
0,303
Mangrove auki
3,918
Mangrove Wundi Sub Total
0,500 4,721
Padang lamun Auki
96,512
Padang lamun Nusi
3,931
Padang lamun Nusi Padang lamun Pai
160,808 111,147
Padang lamun Wundi I Padang lamun Wundi II
113,116 40,768
Sub Total Rataan terumbu atol wundi Rataan terumbu gosong karang Rataan terumbu wurki
526,282 5278,199 38,970 71,255
Sub Total
5388,424
Dataran pasir atol wundi
333,477
Dataran pasir atol wundi dataran pasir atol wundi
48,387 318,604 Sub Total
Laguna auki
700,468 67,315
Lagoon atol wundi
3404,132 Sub Total
3471,447
95
Rataan terumbu dalam wundi I
25,124
Rataan terumbu dalam wundi II
90,108
Sub Total "Rawa" Auki Karang dalam Insarorki
115,232 6,377 82,496
Karang dalam Wundumimas Sub Total
352,259 434,755
TOTAL 12115,335 Padaido Atas Pakreki
514,037
10324,436
12,389
Padaidori Yeri
747,697 28,469
12734,198 3262,944
20,375
Yeri Kecil
1,087
402,374
1211,328
13989,846
33,576
Pasi
572,281
8866,840
21,28
Mangguandi Kebori
551,589 15,185
14984,652 1515,701
47,951 5,456
Rasi Workbondi
34,556 163,446
2416,391 4685,946
8,699 9,372
Nukori Dauwi
112,706 31,008
4514,517 2626,738
12,641 9,456
Wamsoi
52,873
2914,176
10,491
Runi
14,023
1986,455
7,151
4053,053
85911,671
Mbromsi
Samakur
686,457 Sub Total
Mangrove padaidori barat Mangrove padaidori timur
1,283 2,915
Mangrove Pulau Yeri
1,265
Mangrove Pulau Pasi
0,394 Sub Total
5,857
Padang lamun padaidori Padang lamun padaidori
132,719 42,796
Padang lamun padaidori Padang lamun padaidori
42,870 225,830
Padang lamun padaidori
9,075
Padang lamun padaidori
0,921
Padang lamun mangguandi barat
75,377
Padang lamun mangguandi timur
18,808
Sub Total
548,396
198,837
96
Rataan Terumbu Pulau Dauwi
423,325
Rataan Terumbu Pulau Kebori
54,378
Rataan Terumbu Pulau Rasi Rataan Terumbu Pulau Mangguandi Rataan Terumbu Pulau Mbromsi
50,855
Rataan Terumbu Mbromsi
470,769 129,846 3,082
Rataan Terumbu Pulau Padaidori
817,994
Rataan Terumbu Pulau Pakreki
19,976
Rataan Terumbu Pulau Pakreki Rataan Terumbu Pulau Pakreki
7,510 3,113
Rataan Terumbu Pulau Pasi
84,150
Rataan Terumbu Pulau Runi
46,570
Rataan Terumbu Pulau Runi Rataan Terumbu Pulau Runi
9,019 7,151
Rataan Terumbu Pulau Runi Rataan Terumbu Pulau Runi
3,626 210,307
Rataan Terumbu Pulau Runi Rataan Terumbu Pulau Wamsoi
2,032 116,503
Rataan Terumbu Pulau Workbondi Sub Total Laguna Dauwi-Nukori
67,527 2527,733 108,277
Laguna Mangguandi
17,013
Laguna Padaidori Sub Total
20,475 145,765
Rataan terumbu dalam mangguandi
54,624
Rataan terumbu dalam mangguandi
82,152
Rataan terumbu dalam mangguandi
10,804
Rataan terumbu dalam kebori Rataan terumbu dalam rasi
24,381 19,015
Rataan terumbu dalam rasi Sub Total "Rawa" Padaidori
20,468 211,444 79,596
Karang dalam Kasinampia
574,439
Karang dalam Urbinai
441,365 Sub Total
1015,804
TOTAL
8587,648
TOTAL KESELURUHAN PERAIRAN LAUT GPP PADAIDO
20702,983 177479,32
138384,414
285,79
97
Lampiran 2 Potensi Sumberdaya Alam Kepulauan Padaido, Distrik Padaido
Komponen
Jumlah
Pulau 28 Pulau Berpenghuni 8 Pulau lain 20 Desa 19 Hutan dan Semak 24 Kebun Kelapa 13 Ladang / Kebun Campuran 8 Lahan terbangun 8 Mangrove 5 Lamun 14 Pasir 3 Terumbu Dalam 8 Rataan Terumbu 22 Terumbu Karang Pdo Bawah 1 Terumbu Karang Pdo Atas 5 Laguna (Goba) 4 Lagoon 1 Rawa/Telaga 2 Sumber : - Hasil analisis - Wouthuyzen dan Sapulette, 2001
Luas Pjg Grs Pantai (km) (ha) 5520,682 138384,414 4472,494 1048,188 1,470 6028,059 419,619 1573,021 607,264 8,919 1074,678 700,468 326,676 7872,093 3400,000 1977,000 280,395 3404,132 85,973
Lampiran 3 Realitas Persen Tutupan Karang Perairan GPP Padaido dari Berbagai Sumber No
Parameter
Wu
Ns
Pdi
Yr
Nk
Dw
Rn
Ws
Rs
Kb
Mms
Mmb
Pki
Ps
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
% Karang hidup 32 23 44 39 50 70 37 72 35 29 15 61 68 % bercabang 7 15 20 25 14 30 7 52 15 25 7 14 23 % masif 25 8 22 14 36 40 30 20 20 4 8 47 45 % Karang mati 60 49 26 37 20 20 5 32 35 80 % masif 60 49 10 35 15 20 22 5 80 % pecahan 16 2 5 5 10 30 % Karang lunak 7 5 10 15 4 15 13 25 % Rumput laut 50 5 5 5 80 17 20 6 26 26 % Pasir 15 % Biota lain 1 12 2 25 5 5 22 8 5 5 27 6 Jumlah Marga Karang 8 15 20 30 16 13 25 18 11 11 13 Jumlah Ikan 12 Chaetodon 10 15 20 17 20 25 3 15 20 10 7 5 13 Jumlah Marga Lamun 4 3 4 2 3 4 3 3 3 3 3 Sumber: Suharsono dan Leatemia (1996) Keterangan: Wu: Wundi; Ns: Nusi; Pdi: Padaidori; Yr: Yeri; Nk: Nukori; Dw: Dauwi; Rn: Runi; Ws: Wamsoi; Rs: Rasi; Kb: Kebori; Mms: Manggunadi selatan; Mmb: Mangguandi barat; Pki: Pakreki; Ps: Pasi. No 1 2 3 4 5
Parameter % Karang hidup % Karang mati % Biota lain % Substrat Posisi : Lintang selatan
Urev
Auki
Pai
Mangguandi
Dauwi
Mbromsi
Padaidori
75,310 2,420 7,050 15,230
74,100 11,700 1,080 13,120
64,850 16,740 6,010 12,400
43,200 6,670 3,600 46,530
42,000 5,870 2,130 50,000
55,730 9,070 1,470 33,730
49,200 15,600 17,330 17,870
01o 13' 168" 136o 18' 327"
01o 13' 434" 136o 27' 031"
01o 18' 191" 136o 35' 550"
01o 17' 035"
01o 11' 265" 136o 35' 000"
01o 10' 056" 136o 37' 482"
01o 17' 257" 136o 23' Bujur Timur 081" Sumber: Yayasan terangi 2000.
136o 40' 010"
1
Lanjutan Lampiran 3.
No 1 2 3 4 5 5
Parameter % Karang hidup % Karang mati % Algae % Biota lain % Komponen Abiotik Posisi :
Urev depan 3m -
10 m 15,2 64,3 19,5
-
1,0
Urev lagoon 3 m 10 m 67,0 19,6 -
3m 21,8 71,6 3,6 1,4
10 m 15,1 79,4 2,2
3m 9,5 90,5 -
10 m 25,9 61,2 11,2 0,7
3m 0,0 0,0 -
10 m 0,0 0,0 -
13,4
1,6
3,3
-
1,0
-
-
-
1 2 3 4 5 5
% Karang hidup % Karang mati % Algae % Biota lain % Komponen Abiotik Posisi : Bujur Timur
Mangguandi 2 3m 10 m 70,7 15,8 24,8 35,7 4,5 0,4 -
48,1
136o 35' 826"
Lintang Selatan 01o 19' 536" Sumber: P3O LIPI Ambon, 2001.
Yumni
136o 26' 946" 01o 13' 478"
Wamsoi 1 3 m 10 m 13,7 9,6 13,5 30,6 1,2 3,7
Wamsoi 2 3 m 10 m 16,9 66,7 17,2 33,3 1,6 -
Runi 3 m 10 m 46,0 39,0 5,4 21,8 34,6 19,0 14,0 11,1
71,6
64,3
Lintang Selatan Parameter
Pai 2
136o 27' 015" 01o 13' 478"
Bujur Timur
No
Pai 1
56,0
136o 40' 884" 01o 17' 421"
-
136o 40' 612" 01o 17' 892"
-
9,0
136o 41' 463" 01o 18' 596"
Mangguandi 1 3m 10 m 29,6 24,6 70,2 65,2 1,7 0,2
8,5
136o 21' 107"
136o 35' 845"
01o 13' 050"
01o 19' 536"
2
Lanjutan Lampiran 3. No
Parameter
St 1
St 2
St 3
St 4
St 5
St 6
St 7
St 8
St 9
St 10
St 11
1 2
% Karang hidup % Acropora
10,986 0,000
15,152 6,516
33,305 3,345
17,240 1,556
18,799 0,000
31,059 0,274
32,895 4,691
20,997 0,000
22,072 0,394
2,909 0,000
22,738 0,265
3 4
10,986 0,000
8,636 0,000
29,960 1,642
15,684 0,000
18,799 0,000
30,785 0,000
28,204 0,210
20,997 0,000
21,677 0,000
2,909 0,000
22,473 0,000
5
% Non Acropora % Karang mati % Karang mati dengan algae
24,663
21,940
39,073
35,183
33,527
61,512
35,949
61,269
36,932
75,055
61,316
6 7
% Karang lunak % Rumput laut
0,000 0,000
27,969 0,887
10,102 5,255
6,667 0,000
0,000 0,000
0,771 0,000
0,322 0,377
2,965 0,281
4,690 0,000
0,766 0,383
4,030 4,174
8
% Sponges
0,000
0,355
0,000
2,105
0,110
0,000
1,071
7,740
9,174
0,000
4,366
9
% Bentos lain
32,049
31,295
10,076
36,806
3,104
0,000
1,785
0,154
1,350
1,260
0,000
10 11
% Rubble % Silt
27,196 5,10 6
2,404 0,000
0,000 0,000
1,778 0,000
10,388 0,000
5,941 0,000
1,089 0,000
4,384 0,000
2,421 0,000
7,614 0,000
3,239 0,000
12 13
% Batuan daratan % Pasir
0,000 0,000
0,000 0,000
0,000 0,000
0,000 0,222
0,000 34,072
0,000 0,718
0,000 26,179
0,000 2,167
0,000 23,362
0,000 12,012
0,091 0,046
St 12
St 13
St 14
St 15
St 16
St 17
St 18
St 19
St 20
St 21
18,745 4,730 14,015 0,000
12,784 2,874 9,910 0,000
19,653 6,743 12,910 0,000
4,849 4,849 0,000 0,000
54,896 25,173 29,723 0,000
30,299 11,686 18,614 0,000
60,401 26,104 34,297 0,000
36,468 3,355 33,113 0,000
41,800 10,000 31,800 15,400
42,500 10,000 32,000 9,800
58,554 3,530 9,272 7,725 1,190 0,167
79,762 0,877 0,791 0,248 0,192 0,000
38,522 1,069 12,351 1,008 0,000 25,251
27,164 6,437 19,645 4,395 0,000 33,670
34,304 1,024 3,996 1,378 0,000 4,290
36,748 29,806 0,000 0,000 0,000 1,426
13,558 2,249 0,000 8,186 2,330 1,407
4,618 8,077 10,571 3,075 6,665 24,265
5,000 3,000 0,000 0,000 2,650 0,000
0,000 4,000 26,800 0,000 7,000 0,000
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Parameter % Karang hidup % Acropora % Non Acropora % Karang mati % Karang mati dengan algae % Karang lunak % Rumput laut % Sponges % Bentos lain % Rubble
3
11
% Silt
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
1,720
0,000
0,000
0,000
0,000
12 % Batuan daratan 0,000 13 % Pasir 0,816 Sumber: Coremap 2001 dan hasil analisis.
0,000 1,908
0,000 2,147
0,000 3,841
0,000 0,112
0,000 0,000
0,000 11,869
0,000 6,263
0,000 32,150
0,000 9,000
Lanjutan Lampiran 3.
Keterangan : St 1 : Pulau Rarsbar St 2 : Pulau Auki; bagian utara St 3 : Pulau Yumni St 4 : Pulau Warek (meoswarek) St 5 : Pulau Wundi; bagian barat St 6 : Pulau Wundi; bagian selatan St 7 : Pulau Urev St 8 : Pulau Mansurbabo St 9 : Pulau Nusi; bagian selatan St 10 : Pulau Nusi; bagian tengah St 11 : Pulau Pai; bagian barat daya St 12 : Pulau Pai; bagian utara
St 13 : St 14 : St 15 : St 16 : St 17 : St 18 : St 19 : St 20 : St 21 :
Pulau Padaidori; bagian barat daya Pulau Padaidori; bagian barat Pulau Padaidori; bagian selatan (P. Yeri) Pulau Mbromsi; bagian utara Pulau Mbromsi; bagian selatan Pulau Pasi; bagian timur Pulau Mangguandi; bagian selatan Pulau Wamsoi Pulau Runi
Lanjutan Lampiran 3.
Gugus pulau Padaido bawah Auki barat Auki utara Rarsbar Yumni Warek / wurki Wundi barat Wundi selatan Urev Mansurbabo Nusi selatan Nusi tengah Pai barat daya Pai utara Pai selatan Rata -rata Padaido atas Pakreki selatan Padaidori barat daya Padaidori barat Padaidori selatan Mbromsi utara Mbromsi selatan Pasi timur Mangguandi
KH
KM KMA
16,73 0,70 12,40 7,27 3,57 17,43 27,87 18,37 5,50 20,93 24,63 2,10 4,33 7,73 12,11
0,00 0,00 0,50 0,00 5,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,39
60,23 80,47 63,67 92,17 62,10 33,53 49,90 76,87 59,77 64,70 59,33 85,47 74,57 65,40 66,30
21,30 0,00 48,23 30,13 7,57 12,70 31,87 21,60 17,03 50,83
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
59,93 45,57 11,03 29,43 36,97 61,97 6,80
Sp
KL
0,00 13,20 5,63 9,37 0,67 2,50 0,00 0,57 0,83 1,33 3,50 4,03 0,50 0,00 0,40 0,00 22,03 5,00 1,57 3,67 0,00 0,00 0,40 7,20 0,17 0,13 1,83 0,10 2,68 3,36 0,23
1,00
0,40 0,00 2,03 0,43 17,20 3,87 1,33 2,73 2,77 0,40 1,30 2,20 1,67 26,27
BL 0,00 2,83 0,00 0,00 0,00 0,00 1,50 1,80 0,40 4,00 6,17 4,83 15,80 24,77 4,44
RL
R
Si
BD
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,67 0,00
0,00
0,00 7,67 2,17 0,00 0,00 1,00 0,00 18,43 1,83 0,00 0,00 0,00 0,00 6,33 20,83 3,33 32,00 6,17 0,00 11,90 8,33 0,80 0,00 1,77 0,00 0,00 7,30 0,00 3,80 1,33 0,00 9,67 0,20 0,00 0,00 0,00 0,00 5,00 0,00 0,17 0,00 0,00 0,31 6,77 3,64
1,90 0,00 26,67 3,03 27,30 34,43 34,63 35,43 14,37 9,73
P
0,00 0,00 9,47 0,00 0,00 0,00 1,83
0,00 6,50 0,00 17,10 5,43 5,87 0,00 0,00 0,00 2,83 0,00 3,13 0,87 2,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
1
Lanjutan Lampiran 3.
Rata -rata Total Rata-rata
24,13 0,00 37,49 16,48 0,25 55,82
3,37 4,61 20,10 2,93 3,82 10,13
1,41 4,12 4,76 0,00 0,71 5,81 4,05 0,00
0,00 0,00
Sumber: Coremap 2003 dan hasil analisis.
Ket : KH KM KMA KL BL RL
: % Karang Hidup : % Karang mati : % Karang mati dengan alge : % Karang lunak : % Bentos lain : % Rumput laut
R P Sp
: % Rubble : % Pasir : % Sponges
Si : % Silt and mud BD : % Batuan daratan
Lampiran 4 Evaluasi kesesuaian lahan peraiaran pesisir GPP Padaido untuk budidaya rumput laut Lagoon Atol Wundi
L Auki No 1
Parameter
Bobot
Rataan P.P. Atol Wundi
Rawa Padaidori
L DauwiNukori
L Padaidori
L Mangguandi
Wurki
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
2
5
10
5
10
3
6
5
10
5
10
5
10
5
10
3
6
2
Keterlindungan Kondisi gelombang
1
5
5
5
5
3
3
5
5
5
5
5
5
5
5
3
3
3
Arus
2
3
6
3
6
5
10
1
2
3
6
5
10
5
10
5
10
4
Kedalaman air
2
1
2
1
2
5
10
1
2
1
2
1
2
1
2
5
10
5
Dasar perairan
1
1
1
1
1
5
5
1
1
1
1
3
3
3
3
5
5
6
Salinitas
2
5
10
5
10
5
10
3
6
5
10
5
10
5
10
5
10
7
Suhu
2
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
8
pH
2
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
9
1
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
10
Kecerahan Kesuburan perairan
3
5
15
5
15
5
15
3
9
5
15
5
15
5
15
5
15
11
Sumber benih
1
1
1
5
5
5
5
1
1
3
3
3
3
3
3
3
3
12
Sarana penunjang
1
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
13
Pencemaran
2
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
14
Keamanan
1
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
3
3
Jumlah Persentase
93
97
107
79
95
101
101
103
80,87
84,35
93,04
68,70
82,61
87,83
87,83
89,57
Sumber: Hasil analisis. Keterangan: L: Laguna, S: Skoring, N: Nilai Kriteria evaluasi kesesuaian : 80 – 100% : Sangat sesuai (S1) 70 – 79% : Sesuai (S2) 60 - 69% : Sesuai bersyarat (S3) < 60% : Tidak sesuai (N)
1
Lanjutan Lampiran 4. No
Parameter
Bo bot
Pakreki
Padaidori
Mbromsi
Pasi
Mangguandi
Kebori
Rasi
DauwiNukori
Workbondi
Wamsoi
Runi
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
1
Keterlindungan
2
3
6
3
6
3
6
3
6
5
10
3
6
3
6
3
6
5
10
5
10
3
6
2
Kondisi gelombang
1
3
3
3
3
3
3
3
3
5
5
3
3
3
3
3
3
5
5
5
5
3
3
3
Arus
2
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
4
Kedalaman air
2
3
6
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
Dasar perairan
1
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
6
Salinitas
2
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
7
Suhu
2
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
8
pH
2
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
9
Kecerahan
1
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
10
Kesuburan perairan
3
5
15
5
15
5
15
5
15
5
15
5
15
5
15
5
15
5
15
5
15
5
15
11
Ketersediaan benih
1
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
12
Sarana penunjang
1
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
13
Pencemaran
2
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
14
Keamanan
1
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Jumlah Persentase
Sumber: Hasil analisis.
3
99
103
103
103
109
103
103
103
109
109
103
86,09
89,57
89,6
89,57
94,78
89,57
89,57
89,57
94,78
94,78
89,57
2
Lampiran 5 Evaluasi kesesuaian lahan peraiaran pesisir GPP Padaido untuk budidaya teripang
No
Parameter
Lagoon Atol Wundi
L Auki
Bobot
Rataan P.P. Atol Wundi
Rawa Padaidori
L DauwiNukori
L Padaidori
L Mangguandi
Wurki
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
1
Keterlindungan
3
5
15
5
15
3
9
5
15
5
15
5
15
5
15
3
9
2
Pencemaran
1
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
3
Keamanan
1
3
3
5
5
5
5
3
3
5
5
3
3
3
3
1
1
4
Sarana penunjang
1
5
5
5
5
3
3
1
1
3
3
3
3
3
3
1
1
5
2
3
6
3
6
3
6
1
2
1
2
3
6
3
6
5
10
6
Dasar perairan Kedalaman air saat surut
2
1
2
1
2
3
6
1
2
1
2
1
2
1
2
3
6
7
Tanaman air
2
3
6
3
6
5
10
1
2
1
2
1
2
3
6
3
6
8
Ketersediaan benih
2
3
6
3
6
5
10
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
9
Kecerahan air
1
3
3
3
3
5
5
1
1
1
1
5
5
3
3
3
3
10
Salinitas
1
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
11
Suhu air laut
1
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
12
Oksigen terlarut
1
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
13
pH
1
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Jumlah Persentase
71
73
79
57
61
67
69
67
74,74
76,84
83,16
60,00
64,21
70,53
72,63
70,53
Sumber: Hasil analisis. Keterangan: L: Laguna, S: Skoring, N: Nilai Kriteria evaluasi kesesuaian : 80 – 100% : Sangat sesuai (S1) 70 – 79% : Sesuai (S2) 60 - 69% : Sesuai bersyarat (S3) < 60% : Tidak sesuai (N)
3
Lanjutan Lampiran 5.
No
Parameter
Bbt
Pakreki
Padaidori
Mbromsi
Pasi
Mangguandi
Kebori
Work bondi
Rasi
DauwiNukori
Wamsoi
Runi
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
1
Keterlindungan
2
3
6
5
10
3
6
3
6
5
10
3
6
3
6
3
6
5
10
5
10
3
6
2
Pencemaran
1
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
3
Keamanan Sarana penunjang
1
1
1
3
3
3
3
3
3
3
3
1
1
1
1
1
1
3
3
1
1
1
1
1
1
1
3
3
3
3
3
3
3
3
1
1
1
1
1
1
3
3
1
1
1
1
Dasar perairan Kedalaman air saat surut
2
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
2
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
2
1
2
5
10
1
2
1
2
5
10
1
2
1
2
3
6
3
6
3
6
1
2
8
Tanaman air Ketersediaan benih
2
3
6
3
6
3
6
3
6
5
10
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
9
Kecerahan air
1
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
10
Salinitas
1
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
11
1
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
12
Suhu air laut Oksigen terlarut
1
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
13
pH
1
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
4 5 6 7
Jumlah Persentase
Sumber: Hasil analisis.
58
74
62
62
78
62
62
66
74
70
61,05
77,89
65,26
65,26
82,11
65,26
65,26
69,47
77,89
73,68
62 65,26
4
Lampiran 6 Evaluasi kesesuaian lahan peraiaran pesisir GPP Padaido untuk budidaya ikan dengan keramba jaring apung
No
Parameter
Bobot
Laguna Padaidori
Laguna Auki
Laguna Mangguandi
Laguna DauwiNukori
Lagoon Atol Wundi
Rawa Padaidori
Skor
Nilai
Skor
Nilai
Skor
Nilai
Skor
Nilai
Skor
Nilai
Skor
Nilai
1
Keamanan
2
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
2
Tinggi air pasang
1
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
3
1
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
4
Arus Kedalaman air dr dsr jaring
2
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
5
Oksigen terlarut
1
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
6
Salinitas
1
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
7
Perubahan cuaca
1
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
8
Sumber listrik
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
9
Sumber pakan
1
3
3
3
3
3
3
3
3
5
5
5
5
10
Tenaga kerja
1
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
11
Ketersediaan benih
1
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
12
Pencemaran
1
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Jumlah Persentase Sumber: Hasil analisis. Kriteria evaluasi kesesuaian : 80 – 100% : Sangat sesuai (S1) 70 – 79% : Sesuai (S2) 60 - 69% : Sesuai bersyarat (S3) < 60% : Tidak sesuai (N)
62 88,571
62 88,571
62
62
64
88,571
88,571
91,429
64 91,429
5
Lampiran 7 Evaluasi kesesuaian lahan pantai dan perairan pesisir GPP Padaido untuk pariwisata pesisir
Ggs P. Auki Parameter
No I
II
Ggs P. Wundi
P. Nusi
P. Pai
P. Pakreki
Bobot S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
Kondisi Alam : Jenis pantai
3
5
15
3
9
3
9
5
15
5
15
Tutupan lahan pantai
2
5
10
3
6
3
6
5
10
5
10
Kejernihan air
2
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
Temperatur air
1
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Bentuk tubir
2
3
6
3
6
3
6
3
6
5
10
Rugousity
1
3
3
5
5
3
3
3
3
3
3
Tutupan terumbu karang
3
5
15
5
15
3
9
5
15
3
9
Jenis live form
3
5
15
5
15
3
9
5
15
3
9
Jenis ikan karang
3
5
15
5
15
3
9
5
15
3
9
Jenis lamun
3
5
15
5
15
3
9
5
15
1
3
Jenis mangrove
3
3
9
3
9
1
3
1
3
1
3
Estetika
3
5
15
3
9
5
15
5
15
5
15
Kemudahan
1
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Keselamatan
3
3
9
5
15
3
9
3
9
3
9
Cuaca tenang
1
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Transportasi
1
5
5
5
5
5
5
5
5
1
1
Air tawar
3
5
15
5
15
5
15
5
15
1
3
Pondok wisata
2
5
10
5
10
1
2
1
2
1
2
Fasilitas :
6
Listrik
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Telekomunikasi
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Jumlah Persentase
182
174
134
168
126
86,667
82,857
63,8
80
60
Sumber: Hasil analisis .
Lanjutan Lampiran 7.
No I
Parameter
Bobot
Ggs P. Padaidori
P. Mbromsi
Ggs P. Mangguandi
P. Pasi
Ggs. P. Dauwi
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
Kondisi Alam : Jenis pantai
3
5
15
5
15
5
15
5
15
5
15
Tutupan lahan pantai
2
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
Kejernihan air
2
5
10
5
10
5
10
5
10
5
10
Temperatur air
1
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Bentuk tubir
2
3
6
3
6
3
6
5
10
3
6
Rugousity
1
3
3
3
3
3
3
5
5
3
3
Tutupan terumbu karang
3
3
9
3
9
3
9
3
9
5
15
Jenis live form
3
3
9
3
9
3
9
3
9
5
15
Jenis ikan karang
3
3
9
3
9
3
9
3
9
5
15
Jenis lamun
3
5
15
1
3
3
9
5
15
3
9
Jenis mangrove
3
5
15
1
3
1
3
1
3
1
3
Estetika
3
5
15
5
15
5
15
3
9
5
15
Kemudahan
1
3
3
3
3
3
3
3
3
1
1
Keselamatan
3
3
9
3
9
3
9
5
15
5
15
7
Cuaca tenang II
1
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Transportasi
1
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Air tawar
3
5
15
5
15
5
15
5
15
5
15
Pondok wisata
2
1
2
1
2
1
2
1
2
5
10
Listrik
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Telekomunikasi
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Fasilitas :
Jumlah Persentase
Sumber: Hasil analisis.
160
136
142
154
172
76,190
64,8
67,6
73,333
81,905
8
Lampiran 8 Evaluasi kesesuaian lahan peraiaran laut GPP Padaido untuk penangkapan ikan pelagis
No
Parameter
Perairan P.P. atol Wundi
Bobot
Perairan Pakreki
Perairan P.P. Dauwi
Perairan atol Wundi
Skor
Nilai
Skor
Nilai
Skor
Nilai
Skor
Nilai
1
Suhu
2
5
10
5
10
5
10
5
10
2
Salinitas Kedalaman perairan
1
5
5
5
5
5
5
5
5
1
5
5
5
5
5
5
1
1
1
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Oksigen terlarut Kecerahan perairan
1
5
5
5
5
5
5
3
3
6
Perubahan cuaca
2
1
2
1
2
1
2
5
10
7
Pencemaran
1
5
5
5
5
5
5
5
5
3 4
Jumlah Persentase Sumber: Hasil analisis. Kriteria evaluasi kesesuaian : 80 – 100% : Sangat sesuai (S1) 70 – 79% : Sesuai (S2) 60 - 69% : Sesuai bersyarat (S3) < 60% : Tidak sesuai (N)
37 82,222
37 82,222
37 82,222
39 86,667
9
Lampiran 9 Evaluasi kesesuaian lahan peraiaran pesisir GPP Padaido untuk penangkapan ikan karang (target)
No
Parameter
Bobot
Ggs P. Auki
Ggs P. Wundi
P. Nusi
P. Pai
Pakreki
Ggs P. Padaidori
Mbromsi
Ggs P. Mangguandi
Pasi
Ggs P. Dauwi
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
1
Kedalaman perairan
1
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
2
Topografi dasar
1
3
3
3
3
3
3
3
3
5
5
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Kecerahan perairan
1
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
4
Perubahan cuaca
2
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
5
Kondisi terumbu karang
2
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
6
Pencemaran
1
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
7
Kelimpahan ikan target
2
3
6
5
10
3
6
1
2
3
6
1
2
3
6
3
6
1
2
5
10
Jumlah Persentase Sumber: Hasil analisis. Kriteria evaluasi kesesuaian : 80 – 100% : Sangat sesuai (S1) 70 – 79% : Sesuai (S2) 60 - 69% : Sesuai bersyarat (S3) < 60% : Tidak sesuai (N)
36
40
36
32
38
32
36
36
32
40
72
80
72
64
76
64
72
72
64
80
10
Lampiran 10 Skema analisis A’WOT untuk penentuan prioritas kebijakan pengelolaan GPP Padaido
PENENTUAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN GUGUS PULAU-PULAU PADAIDO
LEVEL 1
Fokus
LEVEL 2
S
W
O
T
Komponen SWOT
LEVEL 3
a
Faktor SWOT
b
c
d
f
e
g
h i
j
k
lj
m
n
o
p
p
r
s
LEVEL 4
Kebijakan Pengelolaan
1
2
3
4
5
6
7
8
11
Keterangan : Kekuatan (S) a. Adanya dukungan pemerintah dan masyarakat adat b Memiliki potensi sumberdaya perikanan (tangkap dan budidaya) c. Memiliki potensi pariwisata d. Memiliki potensi perkebunan kelapa e. Memiliki kearifan tradisional dalam pengelolaan sumberdaya alam Kelemahan (W) f. Rendahnya kualitas sumber daya manusia g. Degradasi sumber daya alam dan lingkungan pesisir h. Rendahnya penegakan hukum i. Kurangnya dukungan sarana dan prasarana sosial dan transportasi umum j. Kurangnya keterpaduan program pembangunan Peluang (O) k. Termasuk wilayah pengembangan ekonomi terpadu (Kapet) Biak l. Adanya otonomi khusus dan Pemerintahan daerah m. Merupakan kawasan Taman Wisata Alam Laut n. Merupakan wilayah kajian Coremap dan Kehati o. Merupakan kawasan pengembangan perikanan dan pariwisata daerah Ancaman (T) p. Penggunaan bom dan bahan pembius kimia (sianida) dalam penangkapan ikan q. Pemanfaatan sumberdaya ikan yang berlebihan (overfishing) r. Konflik pemanfaatan ruang pesisir dan laut s. Termasuk wilayah rawan bencana alam gempa dan tsunami
12
Kebijakan 1. Pengelolaan berbasis masyarakat 2. Pengelolaan perikanan pesisir dan laut 3. Pengelo laan pariwisata pesisir 4. Pengelolaan perkebunan kelapa 5. Konservasi sumberdaya alam pesisir dan laut 6. Peningkatan kapasitas kelembagaan 7. Mitigasi bencana alam dan tsunami 8. Peningkatan sarana dan prasarana pendukung.
13
Lampiran 11 Peta lokasi penelitian
14
Lampiran 12 Peta Gugusan Pulau-Pulau Padaido, Distrik Padaido-Biak Numfor, Papua
15
Lampiran 13 Peta batimetri Gugusan Pulau-Pulau Padaido
1 °5'00 " L S
BATI METRI KE PULAUA N PA DA IDO DISTRIK P ADA IDO U
karang Wund um im as
Padaidor i Yer i
0
Pai
Ke pulaua n Pada ido
Yumni W ork bondi Pak rek i
karang U rbinai
Pas i lW un
di
Samak ur
oo n La g
Urev
95 - 1 89 m
P ula u
189 - 2 8 3 m
Lam u n Rat aan Teru m bu
283 - 3 7 7 m 377 - 4 7 1 m
P asir
471 - 5 6 5 m
Kaw asan Pen el it ian
565 - 6 5 9 m 659 - 7 5 3 m
Dauwi
Nus i
W amsoi Runi
Mangguandi
Bat ime tri
1°1 6'00 " LS
W ar ek
1 - 95 m
Lag u n
Nukor i
a to
Rars bar
Ba ti m et ri
Kar ang Da lam
Mbroms i
Auk i W undi
10
Ke ter ang a n :
1°1 0'30 " L S
karan g K asin am p ia
karan g In sarorki
5 Ki l om e te r
Lua s ( ha)
1 - 95 m
261 61. 498 0
189 - 283 m 283 - 377 m
361 14. 149 0 216 17. 147 0
377 - 471 m 471 - 565 m
200 59. 456 0 991 6.2 120
565 - 659 m 659 - 753 m
883 6.9 210 169 .32 30
95 - 189 m
Mansur babo
314 18. 017 0
PETU NJ U K L ETAK PETA
0 °3 0 '
Kebori
Gosong k arang
0
1 °0 0 ' 0 °0 0 '
k a i
p a
n e ta
B
ta l
e p a Y
n
rts N ia k D
k i u
a d ro fP d m i
13 6 °27' 30" BT
13 6°3 3' 00" BT
13 6°38 '30 " B T
13 6 °0 0 '
13 6 ° 30 '
3 ° 00 '
WI LA YAH Y A NG D IP E TAK A N
300 K ilo met er 13 3 ° 00 '
13 6 °22' 00" BT
id o a
o
R O V IN S I P P AP UA
0
13 6 °16' 30 " B T
mf o u r
Sa l t Y e ape n
6 °0 0 '
1°21 '3 0" LS
B
e S
i ak B N
D tis r ik P a d
13 5 °3 0 '
u b a K
60
iB a k
Ka b uap at e n
u a lP
30 Ki o l me te r
Puu la
Rasi
600
13 6 ° 00 '
1 3 9 °00 '
16
Lampiran 14 Peta kondisi karang di GPP Padaido
1°5'00 " LS
K OND IS I K AR ANG KE PU LAUAN PAD AI DO DI STR IK P AD AIDO
Biak
U ka ran g W un d u mima s
# Pada ido ri Yeri Kec il
kara ng K asi na mp ia
#
1°10'30 " L S
Yer i
#
0
kara n g Ins arork i
Mbr om si
Pa i
Yum ni
Pa kreki Pu
#
l au
# ng ra ka
Pulau Karang
# Rar sba r
#
#
W un di
Da uwi
au
Nusi
g ran ka
#
# Man sur bab o
#
di ng gu an Ma
P ul
1°16'00 " LS
Pula u Kar ang
# U re v
% K a ra ng M a ti (K M)
Sa ma ku r Nu kor i
#W ur ki
% K a ra ng M a ti denga n Alga e (KMA )
kara n g Urbi na i
Pa si
#
% K a ra ng H idup (KH )
W or kbo n di
#
#
A uki
#
#
W am soi
R un i
#
Ke bor i PE TUN JU K L ETAK PETA
#
gos ong W araras ow e
0 °3 0 '
#
#
10
K ET ER A NGA N
# #
5 Ki l o m e te r
0
1 °0 0'
Ds i rt i P ka da d i o
e la tY a p S en
u P
B u a l
a i
k
a K
p a u b
ta
B n e
e S
tY la
e p
n
s ia D
u k N irt
fa P d m ia ro
3 °0 0'
300 K il o mete r 13 3 °0 0 '
136 °33 '00 " B T
136 °38 '30 " B T
13 6 °30 '
W I LAY AH Y AN G DI PE TA KA N PR OV N I
0
13 6°27 '30 " B T
1 3 6 °00 '
o
I PA S P UA
6 °0 0 '
1 °21'30 " LS
0 °0 0'
1 3 5° 30 '
13 6°22 '00 " B T
60
B i a k
Ka bua pa e t nBi a k N u mfo r
ka ra ng M a n sa wa y omn i
13 6 °16' 30" B T
30 Ki lom et er
Pua l u
Rasi
600 1 3 6 °00 '
13 9 °0 0 '
17
Lampiran 15 Peta kondisi ikan karang di GPP Padaido
1°5 '0 0" LS
KOND IS I IKA N KA RA NG KE PU LA UAN PAD AI D O DI S TR IK PAD AID O
Bi ak
U ka ra ng W u n d u mima s
# Pada id or i Ye ri K ec il
ka ran g K asi na mp ia
#
1°1 0'30" LS
Yeri
#
0
#
#
Pai
Yu m ni
Pa kre ki
#
la Pu
r an ka u
Pulau Kar ang
#
Wor kbo n di
#
#
A uki
#
Kelompok Ika n Major
Mbr om si
# Pulau Kara ng
Da uwi
Nu si
g ra n ka
#
# Man sur b abo
#
uan di Man gg
au Pu l
1°1 6'00" LS
g
Nu kor i
# Ur e v
Kelompok Ika n In dik ator
Sa ma ku r
# R ar sba r
#Wur ki
Kelompok Ika n Tar get
ka ran g U rbi n ai
Pa si
#
Wun d i
#
#
Wam soi
R un i
#
Ke b or i
PET UNJ U K L ETAK PETA
#
gos ong W araras ow e
0
0 °3 0 '
ka ran g In s aro rki
10
K E T E R A N G AN
# #
5 Ki l om e t e r
1 °0 0'
s i t ir k P D adad i o
Se la t Y a pen
K P u a lb
a B p
ia t
e k n B
ta le S
a Y
e p
n
ia
k N u
f m o r
D is
trik
P a
d a i
3 °0 0 '
300 K il o met er 1 3 3 °0 0 '
13 6 °33 '00 " B T
13 6 °38 '30 " B T
13 6 °3 0 '
WI LA Y AH Y AN G D IP E TAK A N PR OV N I
0
13 6 °27' 30 " B T
13 6 ° 00 '
o
I PA S PU
A
6° 00 '
1°2 1'30" LS
0 °0 0 '
13 5 ° 30 '
13 6°2 2' 00" B T
60
Ka b uap a t e nBa i k Nu m f or
ka ran g M a n s aw ay o mn i
13 6°16 '3 0" BT
30 Kio l met er
P ua l uBi a k
R asi
600
13 6 ° 00 '
13 9 ° 00 '
18
Lampiran 16 Peta zonasi peruntukkan Pulau-Pulau Padaido Bawah
19
Lampiran 17 Peta zonasi peruntukkan Pulau-Pulau Padaido Atas
20
Lampiran 18 Peta kesesuaian lahan pesisir PP Padaido untuk budidaya rumput laut
1 °5'0 0" LS
K ESESUAIAN LA HA N BUDIDA YA RUMPUT LAUT KEPUL AU AN PA DAIDO DIST R IK PADAIDO
karang Wund umi mas
Padaidori
U Yeri karan g Kasi nampia 1 °10 '30 " L S
Pai
Yu mni
Sanga t Se suai
Workbondi karang Urbinai
Pasi
Ses uai
W un
di
Samakur
Ses uai Bersyarat
La go o
na
t ol
Nukori
Nusi
Dauw i
Urev
Manggua ndi
Tidak Sesu ai
1°1 6'0 0" LS
Warek
10
KE T E RA N GA N
Pakreki
Rarsbar
5 Ki l o m e t e r
Mbro msi
karan g In s aro rki
Auk i Wundi
0
Pulau
Wamsoi Runi
Mansurb abo
0°30'
Keb ori Goso ng k arang
PET UNJU K LETA K PET A
0
1°00'
is t ri k P a D d
1 36 °33 '00 " B T
13 6 °38 '30 " B T
136° 30'
0°00'
136° 00'
lb a u p ia B t
e k n B ia
k N u m f o r
D is tr
ik P a
S e
la Y t
n
e p
d a
id
o
3° 00'
WILA Y AH Y ANG D IP E TA KA N
300 Kilo met e r 133° 00'
136 °27 '30 " B T
id o a
S e tla Y a pen
A
6°00'
1 °21 '3 0 " L S
K P u a
P RO V IN S IP A P U
0
136 °22 '00 " B T
60
Pu la u B i a k abu K apa t e n B ia k N u m f or
135° 30'
136 °16 '30 " B T
30 Ki lomet er
Rasi
6 00 136°00'
139°00'
21
Lampiran 19 Peta kesesuaian lahan pesisir PP Padaido untuk budidaya teripang
1 °5'0 0" LS
K ESESUAIAN LAHAN BUDI DAYA TERIPANG KE PULAU AN PA DAID O DIST RIK PADA ID O
karan g Wund um im as
U
Pa dai do ri
Yeri karang K asin amp ia 1°1 0'3 0" LS
Pai
0
Mbr omsi
karang In sarorki
5
10
Ki l o m e t e r
KE T E RA N GA N
Yum ni Au ki
Work bo ndi Pakre ki
at o lW go o La
Dau wi Nu si Wa msoi Ma nggua nd i
Man su rba bo
Tidak Sesu ai
1 °16 '00 " L S
Ure v
Wa rek
Ses uai Bersyarat
Nukori
n
Rarsba r
Ses uai
Sam akur
un di
Wu ndi
Sanga t Se suai
karan g Ur bi nai
Pa si
Pulau
Runi
0° 30'
Keb ori PET UN JU K LETA K PET A
Gos on g k ar ang
Ra ni
0
30
60
Ki lomet er Pu la u B i a k
1°00'
abu K apa t e n B ia k N u m f or
is t ri k P a D d
136 °27 '30 " B T
1 36 °33 '00 " B T
13 6 °38 '30 " B T
136° 30'
tia
e p
B n e k
ia
u N k
f ro m
is D rt
a P ik
a d
id
o
n
3°00'
WILA Y AH Y AN G D IP E TA KA N
300 Kilo met e r 133° 00'
136 °22 '00 " B T
136° 00'
0°00'
p B a u lb
a Y tl
IN S IP A P U
A
6° 00'
1 °2 1 '3 0" L S
a u K P
e S
P RO V
0
136 °16 '30 " B T
id o a
Se a tl Y a pen
135° 30'
6 00 136°00'
139°00'
22
Lampiran 20 Peta kesesuaian lahan pesisir PP Padaido untuk budidaya KJA
1 °5'0 0" LS
KESESUAI AN L AHAN K ERAMBA JARIN G APUNG K EP ULAUAN PAD AIDO DIS TRIK P ADAIDO
karan g Wund um im as
U
Padaid or i Yer i karang Ka sin am pi a 1°1 0'3 0" LS
Mbrom si
karang In sarorki
0
5
K E T E R AN G AN
Wor kb ondi
Pai
Yumni
San gat Sesua i
Auki Pakreki
karang Urbin ai
Pasi
W at n ag oo L
Dauw i Nusi
Wamsoi Mangg uandi
Tida k S esua i
1 °16 '00 " L S
Ur ev
Se su ai Bersyarat
Nukor i
ol
Rar sbar
Se su ai
Samakur
un di
Wundi
War ek
10
Ki lo m e t e r
Pu la u
Runi
Kebor i Gosong kar ang
PE TU NJ U K LE TA K P ET A
0° 30'
Man sur babo 0
60
1°00'
abu K apa t e n B ia k N u mfo r
is t r ik P a D d
ta iB p
n e k
e p a Y
n
ia B
N k
13 6° 33' 00" B T
13 6°38 '3 0" BT
136° 30'
m fu ro a d P
id
o
3°00'
WILA Y AH Y AN G D IP E TA KA N P RO V
300 Kilo m ete r 133° 00'
13 6 °27' 30 " B T
136° 00'
0°00'
u b la
ta l
IN S IP A P U A
6° 00'
1 °2 1 '3 0" L S
a u K P
e S
rtis D ik
0
13 6 °22 '00 " B T
id o a
Se a tl Y a pen
135°30'
136 °16 '30 " B T
30 Ki lomet e r
Pu la u B i a k
Rasi
600 136° 00'
139°00 '
23
Lampiran 21 Peta kesesuaian lahan pesisir PP Padaido untuk pariwisata pesisir
1°5 '0 0" LS
KE SE SU AIAN LAHAN PAR IWI SATA PE SISI R KE PU LAUA N PAD AI DO D IS T RIK PAD AI DO
karan g Wund um im as
b U
Pad aid ori Ye ri
b
karang K asin amp ia
b
b
i go o
b Urev
b b
Ma nsurb ab o
Sanga t Se suai
W ork bon di karan g U r bi nai
b
Sesu ai
Sam akur
Sesu ai Bersya rat Nuko ri Da uwi
Nusi
b
b
Man ggua nd i
Wam soi
b
Ru ni
Tida k Ses uai
1°1 6'00 " L S
b Ware k
b
Pasi
b
10
Pulau
b
b
Lo kasi S ela m
Keb ori
b
Gos o ng ka ra n g
0 °3 0 '
Rarsba r
La
b
Pa kre ki
b
Wun di
5 Ki l om e t e r
KETER A N G A N
b
b un d
b
0
Mb romsi
karang In sarorki
at ol W
Auk i
b Pa i
Yum ni
n
b
1°1 0'30 " L S
b
PET UN JU K L ETA K PET A
0
30
60
Ki o l met er
Ra si
Pu la u B i a k
1 °0 0 '
abu K apa t e n B ia k N u m f or
is t ri k P a D d
S e tla Y a pen
b la u p B
ia t
e k n B
ia
k N u
f m o r
S e
la tY
p e
n is D
tr
ik P a
d a
id
3 ° 00 '
300 K ilo met e r 13 3 ° 00 '
136 °22 '00 " B T
136 °27 '30 " B T
1 36 °33 '00 " B T
13 6 °38 '30 " B T
13 6 ° 30 '
WI LA Y AH Y AN G D IP E TA KA N P RO V
0
136 °16 '30 " B T
13 6 ° 00 '
o
IN S IP A P U
A
6 °0 0 '
1 °2 1'30 " L S
0 °0 0 '
13 5 ° 30 '
K P a u
id o a
6 00 13 6 °0 0 '
1 3 9 °00 '
24
Lampiran 22 Peta kesesuaian daerah penangkapan ikan demersal dan pelagis
1 °5 '0 0" L S
KESESU AIAN D AER AH PE NA NG KAPAN IKAN PE LAGIS D AN KA RANG KE PU LAUAN PADAIDO DI STRIK P ADAIDO
ÿ
ÿ
Bi ak
ÿ
kar ang W und um imas
U
ÿ Pa da id o ri Y eri
ÿ
ÿ
a to
ÿ ÿ
ÿ
ÿ
Run i
ÿ ÿ
ÿ
ÿ
Ses uai Ses uai bers yarat
Ke bor i
gosong W ararasow e
ÿ
ÿ ÿ
0
0°00'
u a l
a iB
k
p a
n e ta
B
S e
la t
Y a p e
n
N rtk s ia D k i u
a d ro fP d m i
13 6 °27 '30 " B T
13 6 °33 '00 " B T
13 6 °38 '30 " B T
mf o u r
Ds i tr i P ka da d i o
136° 00'
136° 30'
o
3°00'
WILA Y AH Y ANG D IP E TAK A N P RO V
N I SI P AP UA
6°00'
ÿ
1 °2 1'30 " LS
u P u b a K
i aN B k
ea S l Y t ape n
135° 30'
300 Kilo met er 133°00'
13 6 °22' 00 " B T
60
Pa l u Bi a k u Ka bua p a te n
0
13 6 °16' 30 " B T
30 K lo i met er
Rasi
ÿ
karang Mansaway omni
PET UNJU K LETA K PET A
ÿ ÿ
0°30'
ÿ
uan di M ang g
ang ar
ÿ
W amsoi
San gat s esuai
ÿ ÿ ÿ
Pulau Karan g
Da uwi
Ses uai pelagis kecil
1°00'
k au
ÿ
ÿ
Nu kor i
Ses uai pelagis besar dan k ecil
Ik an k ar ang (t arget gr ou p)
Sa ma ku r
1 °16 '0 0 " L S
P ul
M an sur bab o
ÿ
karang U rbi nai
Pa si
ÿ
Nu si
10
Ikan pelagis
Wor kbo n di
ÿ
Ur ev
ÿ
5 Ki l o m e t e r
ÿ
ÿ
n
g
ÿ
Wur ki
0
Keter angan : Mbr omsi
ÿ
Wu nd i
ÿ
an ar
Rar sba r
ÿ
ÿ
Pa kre ki
La go o
uk
ÿ
Pulau Kar ang
karang K asi nampia
ÿ
ÿ
ÿ i
la Pu
ÿ
Yu mni
lW u nd
ÿ
karang Insarork i
Pa i
ÿ
A uki
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
1°1 0'3 0" LS
Ye ri K ecil
ÿ
600 136°00'
139°00'
25
Lampiran 23 Peta asal mula penduduk Pulau-Pulau Padaido
26
Lampiran 24 Peta daerah penangkapan ikan masyarakat Pesisir Biak Timur & Padaido
D A E R A H T A N G K A P A N I K A N M A S Y A R A K A T B I A K T I M U R D A R A T A N & K e p. PADAIDO
U
Wundumimas
Daerah tangkapan ikan masyarakat Biak Timur Daratan Daerah tangkapan ikan masyarakat Padaido Atas dan Bawah Lokasi penjualan hasil tangkapan ikan masyarakat
27
Lampiran 25 Peta wilayah rawan gempa bumi di Indonesia
Sumber : Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
28
Lampiran 26 Peta penyebaran lempeng tektonik
Sumber : Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi