KAJIAN PENGARUH KONSENTRASI METANOL DAN LAMA REAKSI PADA PROSES PEMURNIAN METIL ESTER SULFONAT TERHADAP KARAKTERISTIK DETERGEN BUBUK
RESA SETIA ADIANDRI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
KAJIAN PENGARUH KONSENTRASI METANOL DAN LAMA REAKSI PADA PROSES PEMURNIAN METIL ESTER SULFONAT TERHADAP KARAKTERISTIK DETERGEN BUBUK
RESA SETIA ADIANDRI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pe rtanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
ABSTRACT
RESA SETIA ADIANDRI. Study on the Effect of Methanol Concentration and Reaction Time in the Purification Process Of Methyl Ester Sulfonates on the Characteristics of Detergent Powders. Under the direction of KHASWAR SYAMSU, ANI SURYANI, and ERLIZA HAMBALI. Soap and detergent have widely been used as cleaning product at various activities, such as laundry, warewashing, janitorial, domestic, transportation, commercial activity, and metal industry. One of important compiler substances in soap and detergent formulation is surfactant. According to Matheson (1996), there are four general types of surfactant namely anionic, nonionic, cationic, and amphoteric. Methyl ester sulfonates (MES) is one of anionic surfactant types, which have been being developed in recent years. Test in the laboratory indicates that biodegradation of MES (methyl ester sulfonates) is similar to AS (alcohol sulfate) and soap, but faster than that of LAS (linear alkylbenzene sulfonate). However, the problem is the sulfonation process still produces undesired sulfonated soap by-product, often called di-salt. Therefore, it is important to purify MES (methyl ester sulfonates) to reduce the content of di-salt in order to improve the performance of MES (methyl ester sulfonates) as surfactant. The aims of this research are knowing the differences of characteristics of unpurified MES and purified MES, obtaining the best condition purification process of MES, kno wing the effect of the purification process of MES on the characteristics of detergent powders and obtaining the best concentration of MES in the formulation of detergent powders. In this research, the purification process was done by addition of methanol at the certain concentration and reaction time. The effects of methanol concentration (factor K) and reaction time (factor t) were assessed in Completely Factorial Randomized Design with two factors. Each factor consisted of four levels (10, 20, 30 and 40 % for factor K and 30, 60, 90, and 120 minutes for factor t). The parameters measured on this step were pH, surface and interfacial tension, emulsion stability, foam stability, and detergency. Meanwhile, the effects of purification process on the characteristics of detergent powders were assessed in completely factorial randomized design with two factors that are the kind of MES (unpurified MES and purified MES) and MES concentrations. MES concentrations used in this design were 15, 20 and 25 %. The parameters measured on this step were pH, moisture content, bulk density, detergency, emulsion stability, water insoluble substance and whiteness. Based on the results, it showed that unpurified MES had the following characteristics: pH value of 4,98, surface tension 30,6 mN/m (46,36 %), interfacial tension 31,1 mN/m (87,99 %) to 34,70 mN/m (98,02 %), emulsion stability 15,96 %, foam stability 0,38 hours, and detergency 25,84 %. Meanwhile, the characteristics of purified MES were pH value of 3,95 to 4,93 (MES before neutralized) and 6,92 to 7,67 (MES after neutralized), surface tension 31,45 mN/m (47,72 %) to 42,25 mN/m (64,11 %), interfacial tension 31,85 mN/m (89,97 %) to 34,70 mN/m (98,02 %), emulsion stability 16,67 % to 84,52 %, foam stability 0,41 hours to 3,84 hours, and detergency 26,28 % to 87,22 %.
Based on the results, it showed that methanol concentration 40 % and reaction time 90 minutes performed the best condition of purification process. The characteristics of MES obtained from this best condition were: pH value before neutralized 3,95 and after neutralized 6,92, surface tension 42,25 mN/m (64,11 %), interfacial tension 34,7 mN/m (98,02 %), emulsion stability 84,52 %, foam stability 3,84 hours, and detergency 87,22 %. The results of physical and chemical analysis of detergent powders showed that detergent powders with unpurified MES had different characteristics from detergent powders with purified MES. Detergent powders with unpurified MES had the following characteristics: pH value 10,86 to 10,97, moisture content 6,04 % to 7,57 %, bulk density 0,415 g/ml to 0,448 g/ml, detergency 34,1 % to 47,12 %, emulsion stability 39,19 % to 47,44 %, water insoluble substance 2,81 % to 5,11 % and whiteness 79,5 to 82,5. Meanwhile, detergent powders with purified MES had the following characteristics; pH value 10,62 to 10,77, moisture content 5,11 % to 6,07 %, bulk density 0,329 g/ml to 0,396 g/ml, detergency 73,77 % to 88,26 %, emulsion stability 75, 32 % to 89,02 %, water insoluble substances 1,79 % to 3,68 % and whiteness 84,5 to 87,5. Based on the results of detergency and emulsion stability, it can be concluded that the best concentration in formulation of detergent powders was 25 % of purified MES. The characteristics obtained were pH value 10,62, moisture content (wet basis) 6,07 %, water insoluble substances 3,68 %, emulsion stability 89,02 %, detergency 88,26 %, whiteness 84, 5, and bulk density 0,396 g/ml.
Keywords : methyl ester sulfonates, purification process, detergent powders
ABSTRAK
RESA SETIA ADIANDRI. Kajian Pengaruh Konsentrasi Metanol dan Lama Reaksi pada Proses Pemurnian Metil Ester Sulfonat terhadap Karakteristik Detergen Bubuk. Dibimbing oleh KHASWAR SYAMSU, ANI SURYANI, dan ERLIZA HAMBALI. Sabun dan detergen telah banyak digunakan sebagai bahan pembersih pada berbagai aktivitas seperti laundry, warewashing, janitorial, rumah tangga, transportasi, aktivitas komersial dan industri metal. Salah satu bahan penyusun penting dalam formulasi sabun dan detergen adalah surfaktan. Menurut Matheson (1996), secara umum sufaktan dibagi menjadi empat kelompok, yaitu anionik nonionik, kationik dan amfoterik. Metil ester sulfonat (MES) adalah salah satu jenis surfaktan anionik yang akhir-akhir ini sedang dikembangkan. Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa laju biodegradasi metil ester sulfonat (MES) adalah serupa dengan alkohol sulfat (AS) dan sabun, tetapi lebih cepat dibandingkan dengan linear alkylbenzene sulfonate (LAS). Tetapi yang menjadi masalah adalah proses sufonasi masih menghasilkan produk samping yang sering disebut di-salt. Oleh karena itu perlu kiranya untuk memurnikan metil ester sulfonat (MES) untuk mereduksi kandungan di-salt dalam metil ester sulfonat (MES) sehingga dapat memperbaiki kinerja me til ester sulfonat (MES) sebagai surfaktan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan karakteristik MES tanpa pemurnian dan MES hasil pemurnian, untuk mendapatkan kondisi pemurnian terbaik bagi surfaktan MES, untuk mengetahui pengaruh proses pemurnian MES terhadap karakteristik detergen bubuk dan untuk mengetahui konsentrasi surfaktan MES terbaik dalam formulasi detergen bubuk. Dalam penelitian ini, proses pemurnian dilakukan dengan menambahkan metanol pada konsentrasi dan lama reaksi tertentu. Pengaruh konsentrasi metanol (K) dan lama reaksi (t) dikaji dalam suatu Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RAK faktorial) dengan dua faktor. Setiap faktor terdiri dari dari 4 taraf (10, 20, 30, dan 40% untuk taraf K dan 30, 60, 90, 120 menit untuk taraf t). Parameter-parameter yang diukur pada tahap ini terdiri dari pH, tegangan permukaan, tegangan antarmuka, stabilitas emulsi, stabilitas busa, dan daya deterjensi. Sementara itu, pengaruh proses pemurnian terhadap karakteristik detergen bubuk di kaji dalam Rancangan Acak Lengkap (RAK) dengan dua faktor yaitu jenis MES (MES kasar dan MES murni) dan konsentrasi MES. Konsentrasi MES baik MES kasar maupun MES murni yang digunakan dalam rancangan ini masing- masing adalah 15, 20, dan 25%. Parameter-parameter yang diukur pada penelitian ini adalah pH, kadar air, berat jenis, deterjensi, stabilitas emulsi, bahan tidak dapat larut dalam air dan derajat putih. Dari hasil analisis diketahui beberapa karakteristik MES kasar (unpurified MES) yaitu sebagai berikut: nilai pH 4,98; penurunan tegangan permukaan 30,6 mN/m (46,36 %); penurunan tegangan antarmuka 31,1 mN/m (87,99 %); peningkatan stabilitas emulsi 15,96 %; daya deterjensi 25,84 % dan stabilitas busa 0,38 jam (23 menit). Karakteristik MES murni (purified MES) yaitu sebagai berikut: nilai pH sebelum netralisasi 3,95 sampai 4,93; pH setelah netralisasi 6,92
sampai 7,67; tegangan permukaan air 31,45 mN/m (47,72%) sampai 42,25 mN/m (64,11%); tegangan antarmuka 31, 85 mN/m (89,97%) sampai 34,70 (98,02%); stabilitas emulsi 16,67 sampai 84,52%, stabilitas busa 0,41 sampai 3,84 jam dan daya deterjensi 26,28 sampai 87,22%. Berdasarkan hasil analisis terhadap karakteristik MES murni (purified MES) dan uji statistik, maka kondisi proses pemurnian terbaik diperoleh pada kombinasi perlakuan konsentrasi metanol 40% dan lama reaksi 90 menit. Karakteristik MES pada kondisi ini adalah sebagai berikut: nilai pH sebelum netralisasi 3,95 dan setelah netralisasi adalah 6,92; tegangan permukaan 42,25 mN/m (64,11%); tegangan antarmuka 34,7 mN/m (98,02%); stabilitas emulsi 84,52%; stabilitas busa 3,84 jam; dan daya deterjensi 87,22%. Hasil analisis fisiko kimia terhadap detergen bubuk menunjukkan bahwa detergen bubuk berbahan baku MES kasar (unpurified MES) memiliki karakteristik yang berbeda dengan detergen bubuk berbahan baku MES Murni (purified MES). Karakteristik detergen bubuk berbahan baku MES kasar (unpurified MES) adalah sebagai berikut: nilai pH berkisar antara 10,86 sampai 10,97; kadar air 6,04% sampai 7,57%; berat jenis 0,415 g/ml sampai 0,448 g/ml; deterjensi 34,1% sampai 47,12%; stabilitas emulsi 39,19% sampai 47,44%, bahan tidak larut dalam air 2,81% sampai 5,11%; dan derajat putih 79,5 sampai 82,5. Sementara itu, detergen bubuk berbahan baku MES Murni (purified MES) memiliki karakteristik sebagai berikut: nilai pH berkisar antara 10,62 sampai 10,77; kadar air 5,11% sampai 6,07%; berat jenis 0,329 g/ml sampai 0,396 g/ml; deterjensi 73,77% sampai 88,26%; stabilitas emulsi 75,32% sampai 89,02%, bahan tidak larut dala m air 1,79% sampai 3,68%; dan derajat putih 84,5 sampai 87,5. Dalam penelitian ini karakteristik yang paling menentukan adalah daya deterjensi dan stabilitas emulsi. Berdasarkan nilai daya deterjensi dan stabilitas emulsinya disimpulkan bahwa detergen bubuk dengan konsentrasi MES murni (purified MES) 25% memiliki karaktersitik paling baik. Adapun karakteristiknya adalah sebagai berikut: nilai pH 10,62; kadar air (basis basah) 6,07 %; bahan tidak larut dalam air 3,68%; stabilitas emulsi 89,02%; daya deterjensi 88,26%, derajat putih 84,5 dan berat jenis 0,396 g/ml .
Kata kunci: metil ester sulfonat, proses pemurnian, detergen bubuk.
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Kajia n Pengaruh Konsentrasi Metanol dan Lama Reaksi pada Proses Pemurnian Metil Ester Sulfonat terhadap Karakteristik Detergen Bubuk adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2006
Resa Setia Adiandri NIM F325010101
Judul Tesis
:
Nama NIM
: :
Kajian Pengaruh Konsentrasi Metanol dan Lama Reaksi pada Proses Pemurnian Metil Ester Sulfonat terhadap Karakteristik Deterjen Bubuk Resa Setia Adiandri F325010101
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Ani Suryani, DEA. Anggota
Dr. Ir. Erliza Hambali, M.Si Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dr. Ir. Irawadi Jamaran
Tanggal Ujian : 10 Februari 2006
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 17 Mei 1977 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari ayah H. Rusmana Kelana dan Ibu Hj. Enok Saryanah. Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama diselesaikan di Jasinga, Bogor. Lulus dari SMAN 1 Bogor pada tahun 1996, penulis melanjutkan studi pada Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui program Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti perkuliahan S1, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Teknologi Pangan) sebagai staf kewirausahaan dan menjadi asisten praktikum mata kuliah Teknologi Fermentasi, Mikrobiologi Pangan I dan II. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 pada tahun 2001. Pada bulan Agustus 2001 penulis melanjutkan pendidikan program Magister pada program Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tahun 2002 penulis menikah dengan Saktiwansyah Efendi, S.P. M.Si. dan dikaruniai seorang putra yang bernama Regen Prawara Putra Sakti. Mulai bulan Maret 2004 sampai sekarang penulis bekerja di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan, Departemen Pertanian.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul Kajian Pengaruh Konsentrasi Metanol dan Lama Reaksi pada Proses Pemurnian Metil Ester Sulfonat terhadap Karakteristik Detergen Bubuk dapat diselesaikan dengan baik. Selama penelitian dan penyelesaian tesis ini penulis mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc., Dr. Ir. Ani Suryani, DEA., dan Dr. Ir. Erliza Hambali, M.Si., berturut-turut selaku ketua komisi pembimbing dan anggota komisi pembimbing atas bantuan, bimbingan, saran, dan kritik yang diberikan demi kesempurnaan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ir. Prayoga Suryadarma, M.T. selaku dosen penguji luar komisi atas kritik dan saran yang diberikan demi kesempurnaan tesis ini. Terima kasih yang teramat dalam untuk seluruh keluarga tercinta terutama suami tercinta “Mas Iwan”, ananda Regen Prawara, ayahanda H. Rusmana, Ibunda Hj. E. Saryanah, adinda Yuga beserta istri serta Neng Nory atas doa, dorongan, kesabaran dan kasih sayang yang telah diberikan selama ini. Terima kasih kepada Dr. Subowo G., M.S, Drs. Zulkarnain Idrus, Ir. Triyandar, M.Si. dan Ir. Yustisia, M.Si. berturut-turut selaku Kepala BPTP Sumatera Selatan, Kepala Tata Usaha BPTP Sumatera Selatan, Kepala Pelayanan Teknis BPTP Sumatera Selatan dan Koordinator Program BPTP Sumatera Selatan atas dorongan, kebijaksanaan dan pengertian yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Kepada rekan-rekan di BPTP Sumatera Selatan penulis mengucapkan terima kasih atas doa, bantuan dan dorongan yang telah diberikan selama ini. Dan ucapan terima kasih yang khusus penulis sampaikan kepada rekan-rekan satu angkatan TIP 2001, rekan –rakan satu tim penelitian dan para laboran di Laboratorium Departemen TIN FATETA IPB yang telah membantu serta selalu setia menemani penulis pada masa- masa sulit penelitian. Terima kasih kepada Yayasan RVG van Deventer Maas di Jakarta atas beasiswa yang telah diberikan kepada penulis selama tiga semester. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam studi dan penelitian penulis. Kritik dan saran akan diterima dengan baik oleh penulis demi perbaikan dan kesempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi perkembangan industri surfaktan berbahan baku minyak sawit.
Bogor, April 2006
Resa Setia Adiandri
Hak cipta milik Resa Setia Adiandri, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL.........................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xv
PENDAHULUAN ......................................................................................... Latar Belakang ........................................................................................ Tujuan Penelitian..................................................................................... Hipotesis .................................................................................................. Ruang Lingkup ........................................................................................ Kegunaan Penelitian................................................................................
1 1 4 4 5 6
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................ Minyak Sawit .......................................................................................... Metil Ester............................................................................................... Metil Ester Sulfona t (MES)..................................................................... Proses Sulfonasi ...................................................................................... Pemurnian Metil Ester Sulfonat (MES) .................................................. Detergen..................................................................................................
7 7 10 12 14 16 19
BAHAN DAN METODE PENELITIAN ..................................................... Waktu Dan Tempat Penelitian ................................................................ Bahan Dan Alat Penelitian...................................................................... Bahan Penelitian................................................................................ Alat Penelitian................................................................................... Metode Penelitian.................................................................................... Proses Sulfonasi ................................................................................ Proses Pemurnia n Metil Ester Sulfonat (MES)................................. Aplikasi Metil Ester Sulfonat (MES) pada Deterjen Bubuk ............. Rancangan Percobaan ............................................................................. Proses Pemurnia n Metil Ester Sulfonat (MES)................................. Aplikasi Metil Ester Sulfonat (MES) pada Detergen Bubuk ............
25 25 25 25 26 26 26 27 28 28 28 29
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... Proses Sulfonasi Metil Ester Sulfonat (MES)......................................... Proses Pemurnian Metil Ester Sulfonat (MES )....................................... Perubahan nilai pH MES Murni (Purified MES) .............................. Penurunan Tegangan Permukaan MES Murni (Purified MES) ........ Penurunan Tegangan Antarmuka MES Murni (Purified MES) ........ Peningkatan Stabilitas Emulsi MES Murni (Purified MES) ............. Peningkatan Stabilitas Busa MES Murni (Purified MES) ................ Daya Deterjensi MES Murni (Purified MES) ..................................
30 30 34 35 40 43 48 50 52
xi
Penentuan Perlakuan Terbaik Proses Pemurnian Metil Ester Sulfonat (MES Murni) ........................................................................................... Pengujian Gugus Sulfonat Dengan Menggunakan FTIR (Fourier Transform Infrared Spectroscopy) ........................................... Formulasi Detergen Bubuk ..................................................................... Karakterisasi Detergen Bubuk ................................................................ Derajat Keasaman pH........................................................................ Penetapan Kadar Air (Basis Basah) .................................................. Bobot Jenis ........................................................................................ Daya Deterjensi................................................................................. Peningkatan Stabilitas Emulsi Xylen-Air ......................................... Bahan Tidak Larut Dalam Air........................................................... Derajat Putih...................................................................................... Penentuan Konsentrasi Metil Ester Sulfonat Terbaik Dalam Formulasi Detergen Bubuk ..........................................................
55 56 59 61 61 64 66 68 72 74 76 78
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... Kesimpulan.............................................................................................. Saran........................................................................................................
80 80 81
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
82
LAMPIRAN ..................................................................................................
87
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
1.
Perkembangan luas lahan kelapa sawit dan produksi CPO dan PKO di Indonesia ..................................................................................
2
Komposisi asam lemak minyak inti sawit (PKO) dan minyak sawit kasar (CPO)............................................................................................
8
3.
Formulasi deterjen bubuk di Eropa (Adami dan Moretti, 1996)............
21
4.
Jumlah pemakaian aditif pada formula produk deterjen di USA...........
22
5.
Karakteristik metil ester minyak inti sawit yang akan digunakan dalam penelitian................................................................................................
25
2.
6. Rekapitulasi data karakteristik MES kasar (unpurified MES) ............... 7.
33
Regangan getaran simetrik dan asimetrik gugus S=O senyawa sulfonat sulfat, dan asam sulfonat ........................................................................
57
Karakteristik MES kasar (unpurified MES) dan MES murni (purified MES) ........................................................................................
60
9. Hidrolisis MES selama proses spray drying ..........................................
61
10. Rekapitulasi data karakteristik detergen bubuk berbahan baku MES TP MES HP dan detergen komersial ...........................................................
79
8.
xiii
DAFTAR GAMBAR Halaman
1.
Penampang melintang buah kelapa sawit (Tim Penebar Swadaya, 1999)
7
2.
Aplikasi minyak sawit dan minyak inti sawit dalam sektor non pangan (MPOPC,2003)......................................................................................
9
Reaksi transesterifikasi antara lemak atau minyak dengan metanol (Hui, 1996) .............................................................................................
10
4.
Struktur kimia metil ester sulfonat (Watkins, 2001)..............................
12
5.
Kemungkinan terikatnya pereaksi kimia yang digunakan dalam proses sulfonasi (Jungermann, 1979).....................................................
14
6.
Reaksi kimia antara metil ester dan natrium bisulfit (Pore, 1993).........
16
7.
Reaksi kimia pembentukan MES falling film reactor (Mac Arthur, et la., 1998) ......................................................................
18
8.
Bentuk molekul sodium lauryl sulfate (www.chemistry.co.nz ) .......
19
9.
Ilustrasi pengikatan kotoran oleh detergen (www.chemistry.co.nz).......................................................
24
10. Diagram alir proses sulfonasi.................................................................
27
11. Grafik hasil pengujian metil ester PKO dengan menggunakan GC .......
30
12. Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap perubahan nilai pH MES murni (purified MES)...................... sebelum netralisasi .................................................................................
36
13. Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap perubahan nilai pH MES murni (purified MES)...................... setelah evaporasi ....................................................................................
38
14. Reaksi hidrolisis MES membentuk di-salt dan metanol (MacArthur et al., 1998) ........................................................................
39
15. Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap tegangan permukaan setelah penambahan MES murni (purified MES) ........................................................................................
42
16. Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap penurunan tegangan permukaan setelah penambahan MES murni (purified MES) .............................................................................
42
3.
xiv
17. Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap tegangan antarmuka air- xylen setelah penambahan MES murni (purified MES) ....................................................................
45
18. Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap penurunan tegangan antarmuka xylen-air setelah penambahan MES murni (purified MES) ....................................................................
46
19. Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap peningkatan stabilitas emulsi MES murni (purified MES)......
49
20. Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap peningkatan stabilitas busa MES murni (purified MES) .........
51
21. Grafik hub ungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap peningkatan daya deterjensi MES murni (purified MES)........
54
22. Grafik hasil pengujian gugus sulfonat pada MES hasil pemurnian terbaik dengan menggunakan FTIR .....................................................
58
23. Histogram hubungan antara perubahan nilai pH terhadap jenis detergen bubuk ...............................................................................
63
24. Histogram hubungan antara nilai kadar air terhadap jenis detergen bubuk ...............................................................................
65
25. Histogram hubungan antara berat jenis terhadap jenis detergen bubuk ...............................................................................
67
26. Histogram hubungan antara daya deterjensi terhadap jenis detergen bubuk ...............................................................................
70
27. Ilustrasi penurunan tegangan permukaan air oleh sabun dan detergen.. (www.cleaning101.com)...................................................................
71
28. Histogram hub ungan antara stabilitas emulsi terhadap jenis detergen bubuk ...............................................................................
73
29. Histogram hubungan antara bahan tidak larut dalam air terhadap jenis detergen bubuk ...............................................................................
75
30. Histogram hubungan antara nilai derajat putih terhadap jenis detergen bubuk ...............................................................................
77
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
Perhitungan mol reaktan metil ester, NaHSO3 dan katalis Al2 O3 .........
87
2.
Prosedur uji surfaktan anionik ...............................................................
88
3.
Prosedur karakterisasi metil ester sulfonat (MES) ................................
88
4.
Diagr am alir proses pemurnian MES ....................................................
92
5.
Formula deterjen bubuk berdasarkan formula deterjen Matheson (1996) yang dimodifikasi ......................................................................
93
Formula deterjen bubuk yang digunakan dalam penelitian (basis basah:500 gram) ..........................................................................
93
7.
Diagram alir proses pembuatan deterjen bubuk ....................................
94
8.
Prosedur analisis produk deterjen ........................................................
95
9.
Neraca massa proses produksi MES kasar (unpurified MES)...............
98
10. Karakterisasi methanol (www.yotor.org) ............................................
99
11. Neraca massa proses produksi MES murni (purified MES) (contoh pada proses pemurnian menggunakan methanol 40% dan lama reaksi 90 menit; basis 140 ml) .........................................................................
100
12. Hasil analisa perubahan nilai pH MES murni sebelum netralisasi .......
101
13. Hasil analisa perubahan nilai pH MES murni setelah netralisasi..........
103
14. Hasil analisa penurunan tegangan permukaan MES murni ..................
105
15. Hasil analisa penurunan tegangan antarmuka MES murni ..................
107
16. Hasil analisa peningkatan stabilitas emulsi MES murni .......................
109
17. Hasil analisa stabilitas busa MES murni ...............................................
111
18. Hasil analisa daya detejensi MES murni...............................................
113
19. Rekapitulasi data karakteristik Metil Ester Sulfonat (MES) hasil pemurnian.....................................................................................
115
20. Neraca massa proses pembuatan detergen bubuk .................................
121
21. Hasil analisa perubahan nilai pH detergen bubuk .................................
123
22. Hasil analisa nilai kadar air detergen bubuk .........................................
124
23. Hasil analisa nilai berat jenis detergen bubuk .......................................
125
6.
xvi
24. Hasil analisa nilai daya deterjensi detergen bubuk ...............................
126
25. Hasil analisa stabilitas emulsi detergen bubuk ......................................
127
26. Hasil analisa bahan tidak larut dalam air detergen bubuk .....................
128
27. Hasil analisa nilai derajat putih detergen bubuk ...................................
129
28.
130
Rekapitulasi data hasil analisa fisiko kimia detergen bubuk ................
PENDAHULUAN Latar Belakang
Sabun dan detergen banyak dimanfaatkan sebagai bahan-bahan pembersih pada berbagai kegiatan, seperti pada kegiatan pembersihan laundry, warewashing, janitorial, rumah tangga, transportasi, kegiatan komersial, dan industri metal (Krawczyk, 1998). Menurut Watkins (1999) detergen sebagai salah satu produk kebersihan digunakan dalam berbagai bentuk. Beberapa bentuk detergen yang banyak beredar di pasaran yaitu cair (standard dan concentrated liquid), bubuk (standard powder), bubuk konsentrat (concentrated powder) dan tablet. Salah satu bahan penyusun penting dalam formula sabun dan detergen adalah surfaktan. Menurut Sitting (1979) persentase penggunaan surfaktan bagi industri sabun adalah lima persen dari jumlah bobot komponen penyusunnya. Menurut INFORM (1998), bagi industri detergen di USA komponen surfaktan menduduki posisi kedua dalam proses produksi detergen setelah bahan penyusunnya (builder). Cox (2002) menyatakan bahwa pada abad ke-21 ini industri global surfaktan menghadapi tantangan yang cukup berat karena biaya produksi meningkat sementara harga produk menurun. Hal ini terjadi karena adanya kompetisi yang cukup agresif dan keengganan konsumen untuk membayar lebih mahal terhadap produk akhir (surfaktan) yang dihasilkan.
Salah satu kunci untuk mengatasi
masalah ini adalah dengan cara mengembangkan sumber-sumber bahan baku surfaktan yang lebih ekonomis tetapi memiliki keunggulan yang berdaya saing tinggi. Minyak nabati merupakan sumber bahan baku surfaktan yang potens ial untuk menjawab permasalahan ini.
Hal ini juga didasari atas beberapa
pertimbangan antara lain adalah : karena adanya keterbatasan suplai bahan baku yang berasal dari minyak bumi, adanya permintaan akan detergen yang ringan (mild detergent) dan produk-produk alami, serta adanya permasalahan lingkungan dari limbah surfaktan berbahan baku minyak bumi yang sulit untuk didegradasi. Minyak nabati yang sudah banyak digunakan sebagai bahan baku surfaktan diantaranya adalah minyak kelapa, minyak biji bunga matahari, minyak kedelai,
2
minyak tallow, dan akhir-akhir ini mulai dikembangkan surfaktan berbahan dasar minyak sawit dan minyak inti sawit.
Menurut Foster (1996), kelebihan
pemanfaatan minyak sawit sebagai bahan baku pembuatan surfaktan adalah bersifat terbarukan (renewable resources), bersifat lebih bersih (cleaner) dan lebih murni dibandingkan menggunakan bahan baku berbasis petrokimia. Selain itu menurut Yuliasari et al., (1997) minyak sawit dipilih sebagai bahan baku karena komponen asam lemak penyusun trigliseridanya, yaitu asam lemak C16 –C18 mampu berperan terhadap kekerasan dan sifat detergensi, sedangkan asam lemak C12 – C14 berperan dalam efek pembusaan. Dalam penelitian ini akan digunakan minyak inti sawit (PKO) sebagai sumber bahan baku dalam pembuatan surfaktan karena komposisi asam lemaknya hampir sama dengan komposisi asam lemak minyak kelapa yang banyak mengandung asam laurat, miristat, palmitat dan oleat sehingga memiliki peluang besar untuk digunakan sebagai bahan baku oleokimia. Indonesia sangat potensial untuk menjadi produsen surfaktan yang disintesis dari minyak sawit kasar (CPO) dan minyak inti sawit (PKO) mengingat produksinya terus meningkat dengan pesat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan (2002), pada tahun 1998 total produksi CPO mencapai 5.005.903 ton dan total produksi PKO mencapai 1.175.286 ton. Jumlah ini terus meningkat sehingga pada tahun 2002 total produksi CPO mencapai 10.000.000 ton dan total produksi PKO mencapai 1.930.538 ton (Tabel 1).
Tabel 1. Perkembangan luas lahan kelapa sawit dan produksi CPO dan PKO di Indonesia Tahun Luas lahan kelapa sawit Produksi CPO Produksi PKO (Ha) (ton) (ton) 1998 2.779.882 5.005.903 1.175.286 1999 3.013.962 5.000.000 1.506.325 2000 3.257.018 7.465.000 1.652.648 2001 3.500.074 8.732.500 1.787.334 2002 3.718.541 10.000.000 1.930.538 Sumber : Direktor Jenderal Pekebunan (2002)
3
Menurut Matheson (1996), secara umum surfaktan dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu kelompok anionik, nonionik, kationik, dan amfoterik. Surfaktan anionik merupakan jenis surfaktan terbesar dalam jumlah yang dapat diaplikasikan pada semua jenis detergen dengan sedikit pengecualian dimana busa tidak terlalu diinginkan.
Beberapa contoh surfaktan anionik adalah linear
alkylbenzene sulfonate (LAS), alcohol sulfate (AS), alcohol ether sulfate (AES), alpha olefin sulfonate (AOS), paraffin sulfonate (secondary alkane sulfonate, SAS). Metil ester sulfonat (MES) adalah salah satu jenis surfaktan anionik yang akhir-akhir ini sedang dikembangkan. Menurut MacArthur et al., (1998) akhirakhir ini aktivitas dunia dalam pengembangan α-sulfonated fatty methyl ester (metil ester sulfonat) untuk diaplikasikan dalam produk-produk personal care dan laundry meningkat denga n cepat. Berdasarkan hasil pengujian di laboratorium diketahui bahwa laju biodegradasi metil ester sulfonat (MES) serupa dengan AS (alcohol sulfate) dan sabun, tetapi lebih cepat dibandingkan LAS (linear alkylbenzene sulfonate). Hal ini menyebabkan metil ester sulfonat (MES) pada masa mendatang diindikasikan akan menjadi surfaktan anionik yang paling penting (Watkins, 2001). Tetapi, metil ester sufonat (MES) yang dihasilkan selama proses sulfonasi masih mengandung di-salt dan produk –produk samping lainnya yang mungkin akan mengganggu kinerja metil ester sulfonat (MES) sebagai surfaktan. Menurut MacArthur et al., (1998), di-salt (disodium karboksi sulfonat) memiliki beberapa karakteristik yang tidak diinginkan diantaranya yaitu sensitivitas terhadap kesadahan air lebih tinggi daripada metil ester sulfonat (MES) sedangkan solubilitasnya dalam air dingin dan air agak sadah cukup rendah. Selain itu, disalt juga memiliki daya detergensi lebih rendah 50% daripada metil ester sulfonat (MES) sehingga fungsionalitas dan fleksibilitasnya kurang baik. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka perlu kiranya dilakukan pemurnian untuk mereduksi kandungan di-salt yang ada dalam surfaktan metil ester sulfonat (MES) yang dihasilkan selama proses sulfonasi. Dalam penelitian ini pemurnian metil ester sulfonat (MES) dilakukan dengan menggunakan metanol pada konsentrasi dan lama reaksi tertentu. Dengan penambahan metanol diharapkan
4
dapat
membatasi
produksi di-salt
dan
sebaliknya
dapat
meningkatkan
terbentuknya surfaktan metil ester sulfonat (MES) dengan karakteristik yang baik. Dalam penelitian ini, metil ester sulfonat (MES) yang dihasilkan baik tanpa pemurnian maupun hasil pemurnian kemudian diaplikasikan dalam formulasi detergen bubuk. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh proses pemurnian terhadap karakteristik detergen bubuk yang dihasilkan.
Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah: 1.
Mengetahui perbedaan karakteristik metil ester sulfonat (MES) tanpa pemurnian dan metil ester sulfonat (MES) hasil pemurnian.
2.
Mendapatkan kondisi proses pemurnian khususnya konsentrasi metanol dan lama reaksi untuk memproduksi metil ester sulfonat (MES) dengan karakteristik paling baik.
3.
Mengetahui pengaruh proses pemurnian metil ester sulfonat (MES) terhadap karakteristik detergen bubuk yang dihasilkan.
4.
Mengetahui konsentrasi metil ester sulfonat (MES) yang digunakan dalam formulasi detergen bubuk yang dapat menghasilkan karakteristik detergen bubuk paling baik.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1.
Proses pemurnian metil ester sulfonat (MES) diduga dapat memperbaiki karakteristik metil ester sulfonat (MES) yang dihasilkan, karena dengan dilakukannya pemurnian diduga dapat mereduksi kandungan di-salt
di
dalam metil ester sulfonat (MES). 2.
Penggunaan metil ester sulfonat (MES) hasil pemurnian diduga akan menghasilkan detergen bubuk dengan karakteristik yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan metil ester sulfonat (MES) tanpa
5
pemurnian, karena diduga MES hasil pemurnian memiliki kandungan di-salt lebih sedikit sehingga kinerjanya sebagai surfaktan menjadi lebih baik. 3.
Peningkatan konsentrasi metil ester sulfonat (MES) yang digunakan dalam formulasi detergen bubuk diduga dapat menghasilkan detergen bubuk dengan karakteristik yang semakin baik, karena dengan semakin meningkatnya konsentrasi MES maka semakin banyak gugus aktif yang terlibat dalam formulasi yang akan memperbaiki karakteristik detergen bubuk yang dihasilkan.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Proses sulfonasi metil ester dari minyak inti sawit dengan menggunakan natrium bisulfit (NaHSO3 ). Kondisi proses mengadopsi hasil terbaik penelitian terdahulu yaitu rasio mol 1 : 1,5; lama reaksi 4,5 jam (Mahardhika, 2003); konsentrasi katalis Al2 O3 1,5% (Safitri, 2003); suhu 100°C dan kecepatan pengadukan 500 rpm (Hapsari, 2003). Metil ester sulfonat (MES) yang dihasilkan dianalisis.
Analisis yang dilakukan
meliputi: pH, stabilitas emulsi, tegangan permukaan, tegangan antar muka, stabilitas busa dan daya detergensi. 2.
Proses pemurnian dengan menggunakan metanol 10, 20, 30, dan 40 persen (Sherry et al., 1995; Sheats dan MacArthur, 2002) dengan lama proses 30, 60, 90, dan 120 menit,
dan netralisasi dengan menggunakan NaOH 20
persen. 3.
Proses evaporasi metil ester sulfonat (MES) yang dihasilkan dengan oven vakum pada suhu ± 80° C. MES yang dihasilkan kemudian dikarakterisasi seperti pada tahap 1.
6
4.
Aplikasi metil ester sulfonat (MES) baik yang tanpa pemurnian maupun hasil pemurnian ke dalam formula detergen bubuk dan kemudian dilakukan karakterisasi produk detergen bubuk yang dihasilkan.
Analisis yang
dilakukan meliputi: pH, stabilitas emulsi, daya detergensi, kadar air, derajat putih, berat jenis, dan bahan tidak larut dalam air.
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai: 1.
Karakteristik metil ester sulfonat (MES) tanpa pemurnian dan metil ester sulfonat (MES) hasil pemurnian.
2.
Kondisi proses pemurnian khususnya konsentrasi metanol dan lama reaksi untuk memproduksi metil ester sulfonat (MES) dengan karakteristik paling baik.
3.
Pengaruh
proses
pemurnian
metil
ester
sulfonat
(MES)
terhadap
karakteristik detergen bubuk yang dihasilkan. 4.
Konsentrasi metil ester sulfonat (MES) yang digunakan dalam formulasi detergen bubuk yang dapat menghasilkan karakteristik detergen bubuk paling baik.
7
TINJAUAN PUSTAKA Minyak Sawit Salah satu dari beberapa tanaman golongan palm yang dapat menghasilkan minyak adalah kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ).
Kelapa sawit (Elaeis
guinensis JACQ) dikenal terdiri dari empat macam tipe atau varietas, yaitu tipe Macrocarya, Dura, Tenera dan Pisifera.
Masing- masing tipe dibedakan
berdasarkan tebal tempurung (Ketaren, 1986). Secara anatomi, bagian-bagian buah kelapa sawit terdiri dari perikarpium dan biji. Perikarpium dibagi menjadi dua bagian yaitu kulit buah yang keras dan licin (epikarpium) dan daging buah yang bersabut dan mengandung minyak dengan rendemen paling banyak (mesokarpium), sedangkan biji terdiri dari endokarpium (cangkang/tempurung) dan endosperm (kernel/daging biji) yang menghasilkan minyak inti sawit dan lembaga/embrio. Ilustrasi penampang buah kelapa sawit ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Penampang melintang buah kelapa sawit (Tim Penebar Swadaya, 1999)
Dari buah kelapa sawit dapat diekstrak dua jenis minyak atau lemak yaitu minyak sawit kasar (crude palm oil, CPO) dan minyak inti sawit (palm kernel oil , PKO). Menurut Berger (1983) minyak sawit kasar (CPO) diperoleh dari bagian mesokarpium baik dengan cara sentrifugasi maupun dengan cara tekanan hidrolik,
8
sedangkan minyak inti sawit (PKO) diperoleh dari bagian endosperm dengan cara expelling yang biasanya dilanjutkan dengan ekstraksi menggunakan pelarut (Kinderlerer dan Hatton, 1991). Asam lemak dominan yang terkandung dalam minyak sawit kasar adalah asam palmitat (32 – 59 persen) dan asam oleat (27 – 52 persen), sedangkan dalam minyak inti sawit asam lemak yang dominan adalah asam laurat (40 – 52 persen) dan asam miristat (14- 18 persen). Menurut Timms (1986) PKO digunakan terutama didalam pembuatan sabun karena asam laurat memberikan sifat solubilitas dan pembusaan yang sangat baik. Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi asam lemak minyak inti sawit (PKO) dan minyak sawit kasar (CPO) Asam lemak PKO (persen) a CPO (persen) b Asam lemak jenuh : Kaproat (C6) Kaprilat (C8) Kaprat (C10) Laurat (C12) Miristat (C14) Palmitat (C16) Stearat (C18) Arakhidat (C20), dll Asam lemak tidak jenuh: Oleat (C18:1) Palmitoleat (C16:1) Linoleat (C18:2) Linolenat (C18:3) Sumber :
a
0,1 - 1,5 3–5 3–7 40 – 52 14 – 18 7–9 1–3 0,1 – 1 11 – 19 0,1 – 1 0,5 - 2
< 1,2 0,5 – 5,9 32 – 59 1,5 – 8 < 1,0 27 – 52 < 0,6 5,0 – 14 < 1,5
Swern (1979). b Godin dan Spensley (1971) dalam Salunkhe et al. (1992)
Dewasa ini minyak sawit yang dihasilkan sebagian besar dimanfaatkan untuk bahan pangan seperti minyak goreng, margarin, shortening, minyak salad dan sebagainya, dan baru sekitar 10 persen digunakan untuk produksi non pangan seperti kosmetika, oleokimia, sabun, personal care dan sebagainya. Namun akhir – akhir ini aplikasi pada sektor non pangan terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan karena produk-produk turunannya memiliki nilai tambah yang tinggi. Secara lebih ringkas aplikasi minyak sawit dan minyak inti sawit serta produk-produknya dalam sektor non pangan dibagi kedalam dua katagori,
9
kategori pertama adalah yang dibuat secara langsung dari minyak (Direct Route) dan yang kedua yang diperoleh melalui jalur oleokimia (Oleochemical Route). Aplikasi minyak sawit dan minyak inti sawit dalam sektor non pangan disajikan pada Gambar 2.
Minyak sawit dan minyak inti sawit
Direct Route
Oleochemical Route
Diesel
Fatty acid
Drilling mud
MCT Rubber Candles Cosmetics Soaps
Soap
Epoxidized palm oil
Metallic soaps polyols polyurethanes polyacrylates
Fatty esters
Soaps SME Diesel FAE
Fatty alcohols
FAS FAES Fatty nitrogen compound
imidazolines
Glycerol
MG & DG
Keterangan : MCT = Medium chain triglycerides SME = α-Sulphonated methyl esters MG = Monoglycerides DG = Diglycerides FAS = Fatty alcohol sulfates FAE = Fatty alcohol ethoxylates FAES = Fatty alcohol ether sulfates
Gambar 2. Aplikasi minyak sawit dan minyak inti sawit dalam sektor non pangan (MPOPC, 2003)
10
Metil Ester
Metil ester merupakan salah satu bahan oleokimia dasar, turunan dari minyak atau lemak selain asam lemak.
Metil ester diproduksi melalui proses
transesterifikasi menggunakan metanol atau biasa disebut metanolisis. Menurut Sonntag (1982), proses metanolisis (hidrolisis menggunakan metanol) terhadap minyak atau lemak akan menghasilkan metil ester dan gliserol melalui pemecahan molekul trigliserida. Persamaan transesterifikasi antara minyak dengan metanol secara umum disajikan pada Gambar 3.
RCOOCH2
CH2 OH Katalis
RCOOCH
+
3CH3 OH
3RCOOCH3
RCOOCH2 Minyak atau Lemak
+
CHOH
CH2 OH Metanol
Metil ester
Gliserol
Gambar 3. Reaksi transesterifikasi antara lemak atau minyak dengan metanol (Hui, 1996). Variabel-variabel yang mempengaruhi proses transesterifikasi adalah rasio alkohol terhadap jumlah asam lemak, jenis dan konsentrasi katalis, temperatur dan kecepatan pengadukan.
Menurut Noureddini dan Zhu (1997), reaksi
transesterifikasi menggunakan katalis asam fosfat mengakibatkan reaksi bersifat reversible (dua arah) dimana proses pembentukan turunan minyak (metil ester dan asam lemak bebas) serta pembentukan trigliserida berlangsung secara bersamaan sampai pada titik kesetimbangan. Selain asam fosfat, menurut Hui (1996), katalis yang dapat digunakan dalam proses transesterifikasi adalah NaOCH3 , KOH dan NaOH. Menurut Boocock et al., (1998), basa mengkatalis metanolisis vegetable oils lebih lambat dari pada butanolisis karena dua fase cair ada pada awal reaksi pembentukan. Oleh karena itu digunakan cosolvent seperti tetrahydrofuran atau methyl tertiary butyl ether untuk mempercepat metanolisis.
11
Menurut Bernardini (1983), pada proses transesterifikasi konsentrasi metanol yang digunakan tidak boleh lebih rendah dari 98%, karena semakin rendah konsentrasi metanol yang digunakan maka semakin rendah rendemen metil ester yang dihasilkan sedangkan waktu reaksi menjadi lama. Darnoko dan Cheryan (2000) telah melakukan proses transesterifkasi secara kontinyu menggunakan continuous strired tank reactor (CSTR) dan pompa untuk pengiriman minyak dan katalis secara kontinyu dan untuk pemindahan produk secara kontinyu. Dalam proses ini katalis yang digunakan adalah KOH dengan perbandingan molar metanol - minyak 6:1 dan suhu reaksi 60°C.
Metil ester
yang dihasilkan menunjukkan peningkatan dari 58,8% pada saat residence time 40 menit menjadi 97,3% pada residence time-nya 60 menit. Namun dengan residence time yang lebih tinggi akan menurunkan laju produksi metil ester. Metil ester telah menggantikan asam lemak sebagai starting material untuk memproduksi beberapa oleokimia. Metil ester digunakan sebagai bahan kimia intermediet untuk sejumlah oleokimia seperti fatty alcohol, alkanolamides, αsulfonated methyl ester dan masih banyak lagi. Lion of Japan telah menggunakan metil ester untuk memproduksi sabun mandi berkualitas (Hui, 1996). Metil ester lebih banyak digunakan daripada asam lemak sebagai starting material untuk beberapa oleokimia karena memiliki beberapa keuntungan (Hui, 1996), yaitu: §
Konsumsi energinya lebih rendah.
§
Peralatan untuk memproduksinya tidak terlalu mahal karena metil ester bersifat tidak korosif dan diproduksi pada tekanan operasional dan kondisi suhu yang rendah.
§
Gliserin sebagai produk samping lebih bersifat konsentrat.
§
Lebih mudah untuk disuling dan difraksinasi.
§
Lebih unggul daripada asam lemak sebagai bahan kimia intermediet dalam sejumlah aplikasi.
§
Lebih mudah dalam transportasi karena metil ester memiliki stabilitas kimia dan tidak bersifat korosif.
12
Hui (1996) menambahkan bahwa yang menjadi pertimbangan utama dalam memproduksi metil ester adalah perlunya melakukan recovery dan daur ulang metanol. Karena metanol merupakan baha n yang bersifat toksik dan eksplosif, sehingga harus menggunakan peralatan yang tahan ledakan dan tindakan pencegahan yang ekstra hati- hati.
Metil Ester Sulfonat (MES)
Metil ester sulfonat (MES) termasuk golongan surfaktan anionik, yaitu surfaktan yang bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan (surface-active). Struktur kimia metil ester sulfonat (MES) disajikan pada Gambar 4 (Watkins, 2001).
Gambar 4. Struktur kimia metil ester sulfonat (MES) (Watkins, 2001)
Surfaktan anionik dapat disintesis dari minyak bumi dan minyak alami (natural oils) tetapi akhir-akhir ini minyak bumi sudah jarang digunakan. Porter (1997) menyatakan bahwa pada prinsipnya ada tiga kelompok minyak alami yang dapat digunakan sebagai bahan baku surfaktan anionik, yaitu: §
Minyak nabati dengan kandungan asam laurat (C 12 ) dan asam miristat (C 14 ) yang tinggi seperti minyak kelapa.
§
Minyak dan lemak hewani dengan kandungan asam palmitat (C 16 ) dan asam oleat (C 18 ) yang tinggi.
§
Minyak nabati dengan kandungan mono-, di-, dan triunsaturated acid tinggi. Menurut Watkins (2001) jenis minyak yang dapat digunakan sebagai bahan
baku pembuatan α-sulfo metil ester atau metil ester sulfonat (MES) adalah minyak kelapa, minyak sawit, minyak inti sawit, stearin sawit, minyak kedelai, atau tallow. Metil ester sulfonat (MES) dari minyak nabati yang mengandung atom karbon C10 , C12 , dan C14 biasa digunakan untuk light duty dishwashing
13
detergent, sedangkan metil ester sulfonat (MES) dari minyak nabati dengan atom karbon C16 -18 dan tallow biasa digunakan untuk detergen bubuk dan detergen cair. Metil ester sulfonat (MES) berbahan minyak nabati memiliki sejumlah tampilan kinerja yang sangat menarik, diantaranya yaitu memperlihatkan efek pembersihan yang lebih baik dibandingkan LAS (linear alkylbenzene sulfonate) apabila air cucian yang digunakan memiliki tingkat kesadahan tinggi, lebih mampu mempertahankan aktivitas enzim, toleransi terhadap ion Ca lebih baik, untuk pencucian yang tingkat kesadahannya rendah C16 dan C18 metil ester sulfonat (MES) memiliki sifat detergensi yang lebih baik dibandingkan LAS dan C12 AS (alkohol sulfat), dan memiliki laju biodegradasi yang serupa dengan AS dan sabun tetapi lebih cepat bila dibandingkan dengan LAS (Watkins, 2001; MPOPC, 2002). Menurut Hui (1996), pada dasarnya metil ester sulfonat (MES) digunakan sebagai surfaktan anionik pengganti LAS dan FAES (Fatty alcohol ether sulfate). Metil ester sulfonat (MES) diklaim memiliki beberapa manfaat diantaranya sifat deterjensinya baik pada konsentrasi rendah, beban terhadap lingkungan lebih rendah, merupakan pasokan yang baik untuk bahan yang berkualitas tinggi. Bentuk dari produk metil ester sulfonat (MES) menurut MacArthur et al., (1998) sangatlah penting, karena adanya kesulitan khusus dalam memformulasi metil ester sulfonat (MES) ke dalam sistem alkalin yang mengandung air. Metil ester sulfonat (MES) memperlihatkan stabilitas hidrolitik yang kurang baik pada pH yang tinggi dibandingkan dengan surfaktan anionik yang umum seperti linear alkilbenzen (LAB) sodium sulfonat. Sebagai contoh, ketika formulasi heavy duty laundry tertentu mengandung metil ester sulfonat (MES) di spray dried, maka fraksi metil ester sulfonat (MES) yang besar akan didegradasi ke bentuk di-salt selama proses pengeringan, sehingga hasil produknya memiliki stabilitas umur simpan yang buruk. MacArthur et al., (1998) menambahkan bahwa untuk memproduksi produkproduk yang formulanya mengandung metil ester sulfonat (MES) dibutuhkan teknologi yang cukup dan diusahakan metil ester sulfonat (MES) ada dalam bentuk fisik yang sesuai.
Sebagai contoh, ketika menggunakan metil ester
sulfonat (MES) dalam laundry detergent granules, teknologi yang menarik adalah
14
aglomerasi, yang secara substansial berada dalam kondisi kering (kelembaban kurang dari 2%), untuk selanjutnya metil ester sulfonat (MES) bubuk dicampur dengan builder yang diinginkan dan ingridient lain dalam formulasi.
Proses Sulfonasi
Menurut Sadi (1994) pada umumnya surfaktan dapat disintesis dari minyak nabati melalui senyawa antara metil ester dan fatty alcohol. Beberapa proses yang dapat diterapkan untuk menghasilkan surfaktan diantaranya yaitu proses esterifikasi untuk menghasilkan metil ester, dan proses sulfonasi untuk menghasilkan metil ester sulfonat (MES). Proses sulfonasi menghasilkan produk turunan yang terbentuk melalui reaksi kelompok sulfat dengan minyak, asam lemak dan alkohol lemak. Diistilahkan sebagai sulfonasi karena proses ini melibatkan penambahan grup sulfat pada senyawa organik.
Jenis minyak yang biasa disulfonasi adalah minyak yang
mengandung ikatan rangkap ataupun grup hidroksil pada molekulnya. Di industri, bahan baku minyak yang digunakan adalah minyak berwujud cair yang kaya akan ikatan rangkap (Bernardini, 1983). Reaksi sulfonasi molekul asam lemak dapat terjadi pada tiga sisi, yaitu (1) gugus karboksil; (2) bagian α-atom karbon; (3) rantai tidak jenuh (ikatan rangkap). Pada Gambar 5 disajikan kemungkinan terikatnya pereaksi kimia yang digunakan dalam proses sulfonasi.
H
H
H
C
C
H
H m
H CH
= CH
C
O CH2
C
H n 3
OH 2
1
Gambar 5. Kemungkinan terikatnya pereaksi kimia yang digunakan dalam proses sulfonasi (Jungermann, 1979).
15
Pemilihan proses sulfonasi tergantung pada banyak faktor, diantaranya yaitu karakteristik dan kualitas produk akhir yang diinginkan, kapasitas produksi yang disyaratkan, biaya bahan kimia, biaya peralatan proses, sistem pengamanan yang diperlukan, dan biaya pembuangan limbah hasil proses.
Untuk menghasilkan
kualitas produk terbaik, beberapa perlakuan penting yang harus dipertimbangkan adalah rasio mol reaktan, suhu reaksi, lama reaksi, jenis dan konsentrasi katalis, laju alir dan kecepatan pengadukan (Foster, 1996). Rasio mol reaktan merupakan salah satu parameter yang harus dikendalikan dalam proses sulfonasi untuk menghasilkan surfaktan metil ester sulfonat. Pengaturan rasio mol dari SO3 terhadap komponen organik dalam reaksi sulfonasi sangatlah penting, karena kelebihan SO3 dapat menyebabkan reaksi samping yang akan menghasilkan produk samping (Foster, 1996). Penelitian tentang pengaruh rasio mol reaktan dalam proses sulfonasi untuk menghasilkan surfaktan metil ester sulfonat (MES) telah dilakukan Sheats et al. (2002) dengan mereaksikan gas SO3 dan metil ester dalam tubular falling film reactor, dengan perbandingan reaktan antara SO3 dan metil ester, yaitu 1,2 : 1 hingga 1,3 : 1. Menurut Steinfeld (1989), peningkatan suhu dapat mempercepat laju reaksi dengan meningkatkan jumlah fraksi molekul yang mencapai energi aktivasi. Hal ini didukung dengan pengadukan yang dapat mempercepat laju reaksi karena pengadukan dapat menambah luas permukaan bidang sentuh antara pereaksi yang berbeda fase (reaksi heterogen). Baker (1995) telah memperoleh paten (US Patent No. 5.475.134) tentang proses pembuatan sulfonasi asam lemak alkil ester dengan tingkat kemurnian yang tinggi. Dalam penelitiannya, Baker menggunakan bahan baku yang berasal dari asam lemak minyak nabati komersial. Proses sulfonasi yang dilakukan adalah dengan mereaksikan alkil ester dan gas SO3 dalam falling film reactor dengan perbandingan reaktan antara SO3 dan alkil ester yaitu 1,1 : 1 hingga 1,4 : 1, pada suhu 75 – 95 o C selama 20-90 menit. Selain menggunakan SO3, dalam proses sulfonasi untuk menghasilkan metil ester sulfonat (MES) dapat pula digunakan natrium bisulfit sebagai pereaksinya. Reaksi kimia yang terjadi antara metil ester dan natrium bisulfit disajikan pada Gambar 6.
16
O NaHSO3 + CH3 ...CH=CH – C – OCH3 Metil ester
O CH3 ...CH – CH – C – OCH3 SO3 Na
MES
Gambar 6. Reaksi kimia antara metil ester dan natrium bisulfit (Pore, 1993).
Reaksi antara metil ester dan natrium bisulfit berjalan lambat antara 3 hingga 6 jam dan terkadang lebih lama. Akan tetapi dapat dipercepat dengan penambahan katalis yang efektif dalam menurunkan energi aktivasi untuk berlangsungnya reaksi kimia (Pore, 1993). Katalis yang dapat digunakan dalam proses sulfonasi diantaranya adalah platinum, vanadium pentaoksida dan aluminium trioksida (Baker, 1995).
Penggunaan platinum sebagai katalis
menyebabkan produk akhir yang dihasilkan berwarna hitam sedangkan vanadium pentaoksida meskipun tidak memberikan efek warna hitam tetapi katalis ini cukup mahal harganya, sehingga dalam penelitian ini digunakan katalis alumunium trioksida (Al2 O3 ) karena selain murah juga tidak memberikan efek warna hitam pada produk.
Pemurnian Metil Ester Sulfonat (MES)
Proses sulfonasi yang dilakukan dengan mereaksikan natrium bisulfit atau gas SO3 dengan ester asam lemak akan menghasilkan me til ester sulfonat (MES) (Bernardini, 1983; Watkins 2001). Metil ester sulfonat (MES) yang dihasilkan masih mengandung di-salt dan produk-produk samping lainnya yang mungkin akan mengganggu kinerja metil ester sulfonat sebagai surfaktan. Oleh karena itu perlu dilakukan pemurnian. Dalam penelitian ini pemurnian dilakukan tanpa melalui pemucatan karena warna MES kasar yang terbentuk tidak berwarna gelap sehingga pemurnian dilakukan dengan menggunakan metanol kemudian dinetralisasi dengan NaOH.
17
Sherry et al (1995) telah melakukan penelitian mengenai pemurnian palm C16 -18 potassium metil ester sulfonat (KMES) tanpa tahap pemucatan.
Pemurnian
dilakukan dengan menggunakan 10 sampai 15% metanol di dalam digester, dan dilanjutkan dengan proses netralisasi berupa penambahan 50 persen KOH. Sementara itu, Sheats dan MacArthur (2002) telah melakukan pemurnian metil ester sulfonat (MES) dengan cara pemucatan dan netralisasi. Pada tahap pemucatan digunakan H2 O2 sekitar 1 sampai 4 persen kemudian ditambahkan metanol sekitar 31 sampai 40 persen.
Ekses metanol secara efektif akan
membatasi produksi di-salt, dan akan mengurangi viskositas campuran secara signifikan sehingga memperbaiki pencampuran dan transfer panas selama proses pemucatan. Waktu yang dibutuhkan dalam proses ini adalah sekitar 1 sampai 1,5 jam. Menurut MacArthur et al., (1998) ada dua kemungkinan terbentuknya disalt selama proses sulfonasi yaitu, karena adanya intermediet III yang terbentuk selama tahap sulfonasi yang secara langsung akan membentuk disalt ketika dilakukan netralisasi serta adanya proses hidrolisis produk MES. Tetapi menurut MacArthur et al., (1998) hal tersebut dapat diminimalisasi dengan dua cara yaitu dilakukan pencampuran asam sulfonat pada suhu tinggi dan dalam waktu yang lama tetapi kelemahannya produk yang dihasilkan akan berwarna hitam; serta dengan cara penambahan suatu alkohol (metanol) untuk direaksikan dengan intermediet III supaya membentuk MESA (methyl ester sulfonic acid) karena MESA ini ketika dinetralisasi tidak akan membentuk disalt tetapi akan membentuk surfaktan MES yang diharapkan. Sintesis atau reaksi pembentukan metil ester sulfonat (MES) dalam falling film reactor secara lebih lengkap disajikan pada Gambar 7.
18
O
O
R – CH2 – C – OCH3 (I) + SO3
R – CH2 – (C – OCH3 ): SO3 (II) .....................(1)
Metil ester
Intermediet II O
O
R – CH2 – (C – OCH3 ) :SO3 (II) + SO3
R–CH–(C – OCH3 ) : SO3 (III)
...................(2)
SO3H
Intermediet II
Intermediet III
O
O
R – CH – (C – OCH3 ):SO3 (III) + CH3 OH SO3H
R – CH – C – OCH3 + CH3 OSO3 H .......(3) SO3H
Intermediet III
metanol
O
MESA O
R – CH – C – OCH3 + NaOH
R – CH – C – OCH3 + H2 O ..........................(4) SO3Na
SO3H
MES
MESA O
O
R– CH – (C – OCH3 ):SO3 (III) + 3 NaOH
SO3Na
SO3H
Intermediet III
R – CH – C – ONa + 2H2 O + CH3 OSO3 Na ...(5)
basa
di-salt
Gambar 7. Reaksi kimia pembentukan MES dalam falling film reactor (MacArthur et al., 1998).
19
Detergen Detergen adalah kelompok kimia yang mengandung gugus hidrofobik pada bagian ekor dan gugus hidrofilik pada bagian kepala.
Kelompok umum dari
molekul ini adalah surfaktan. Surfaktan dapat berinteraksi dengan air dengan berbagai cara yang masing- masing dimodifikasi dengan jaringan ikatan hidrogen dari air. Ketika terjadi reduksi gaya kohesif pada air, maka terjadi pula reduksi tegangan permukaan. Pada Gambar 8 ditunjukkan Sodium lauryl sulfate sebagai salah satu contoh molekul detergen (www.chemistry.co.nz).
Gambar 8. Bentuk molekul sodium lauryl sulfate (www.chemistry.co.nz) Detergen yang dikenal sekarang adalah detergen sintetik. Rumus kimia detergen sintetik menyerupai rumus kimia sabun. Detergen sintetik merupakan garam dari sulfonat atau sulfat berantai panjang (RSO3 - Na+ dan ROSO3 - Na+) dengan R=alkil, C12 - C18 . Sedangkan sabun adalah garam logam alkali (biasanya garam natrium) dari asam-asam lemak rantai panjang (RCOO- Na+) dengan R=alkil, C12 - C18 (Fessenden dan Fessenden, 1995).
20
Detergen pada umumnya tidak terhidrolisis semudah sabun, tapi masih mungkin mempunyai alkali yang cuk up untuk menetralkan keasaman tanah dan builder yang cenderung mengurangi tegangan permukaan dan tegangan antar muka larutan detergen.
Keunggulan detergen dibanding sabun adalah tidak
mengendap bersama ion logam dalam air sadah (Fessenden dan Fessenden, 1995). Detergen diformulasikan untuk membersihkan perangkat tertentu yang mengandung substrat kotoran pada kondisi pencucian yang sesuai. Ingredien dari formulasi laundering detergen untuk kain dapat dibagi ke dalam beberapa grup berikut, yaitu: surfaktan termasuk sabun dan jenis-jenis lainnya; garam inorganik, asam, basa, builder dan senyawa lain yang tidak berkontribusi terhadap detergensi tetapi memberikan fungsi lain, seperti sebagai pengatur densitas dan menjamin crispness dari formulasi powder; bahan tambahan organik yang meningkatkan detergensi, kekuatan pembusaan, kekuatan emulsifikasi; dan bahan tambahan dengan tujuan tertentu, seperti bleaching agent, flouresenct whitening agent, antimicrobial agent, buleing agent, atau pati, yang memberikan fungsi tampilan yang diinginkan tetapi tidak berpengaruh langsung terhadap penghilangan kotoran (Hui, 1996). Berdasarkan sifat dasar gugus hidrofilik, detergen dikelompokkan sebagai detergen anionik, kationik dan nonionik. Detergen anionik merupakan detergen dengan bahan baku surfaktan anionik dalam formulasinya.
Menurut Porter
(1997), detergen anionik merupakan detergen yang paling banyak digunakan untuk produk-produk rumah tangga. Hal ini karena detergen anionik memiliki daya bersih yang bagus serta busanya banyak. Menurut Adami dan Moretti (1996), pada saat memformulasi detergen ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan antara lain adalah sifat yang diinginkan (ditentukan oleh specific duty), jenis dan kisaran komponen, serta kesetimbangan komponen. Tetapi pada dasarnya semua jenis detergen bubuk diformulasikan
dengan
mengandung
komponen-komponen pokok seperti
surfaktan, builder, bleaches, filler dan, specific additives.
Contoh formulasi
detergen bubuk yang banyak digunakan di Eropa di sajikan pada Tabel 3.
21
Tabel 3. Formulasi detergen bubuk di Eropa* Component (%)
Laundry powder Hand Dishwashing washing powder 15 – 25 0–2
Anionic surfactant
Automatic washing 8 – 12
Souring cleanser 1–5
Nonionic surfactant
5 – 11
0–5
2–5
0–2
Builders plus cobuilders
30 – 45
25 – 40
55 – 65
10 – 15
Bleaches plus activators
15 – 25
0–5
-
0–5
Fillers
5 – 10
15 – 30
10 – 30
70 – 85
Additives
3- 8
0–3
0–5
2 – 10
*Sumber : Adami dan Moretti (1996)
Surfaktan (surface active agent) merupakan senyawa yang dapat menurunkan tegangan permukaan. Surfaktan adalah komponen yang berpengaruh penting terhadap sifat-sifat larutan aqueous dalam hubungannya dengan wetting, pembusaan, pendispersi padatan, emulsifying oil, dan penghilang kotoran dari kain. Heavy duty laundry detergent yang modern untuk mesin cuci dengan drum horizontal harus memiliki minimal dua surfaktan, satu macam builder, bleaching system, enzim, antiredeposition agent, penstabil busa dan kontrol aditif, flourescent whitening agent atau optical brigtener, penghambat korosi, parfum, dyestuff dan filler (Porter, 1997). Menurut INFORM (1998), surfaktan dan builder memberikan sifat bulki dalam formulasi detergen rumah tangga, dan aditif seperti enzim, polimer, dan bleaching system memiliki peranan penting dalam cleaning performance. Builder dan surfaktan berturut-turut menempati posisi pertama dan kedua dalam ingredient detergen di USA.
Jumlah pemakaian aditif pada formula produk
detergen di USA secara detail disajikan pada Tabel 4.
22
Tabel 4. Jumlah pemakaian aditif pada formula produk detergen di USA* No Jenis aditif Pemakaian (ribu pound) 1996 2001 1. Builder 3.794.000 4.020.000 2.
Surfaktan
2.062.000
2.410.000
3.
Bahan pemutih additives)
121.000
155.000
4.
Pewangi (fragrance)
68.000
80.000
5.
Pelembut (fabric softener)
50.000
60.000
6.
Optical brightener
28.000
35.000
7.
Enzim
23.000
35.000
8.
Aditif lainnya
252.000
315.000
Total aditif
6.398.000
7.110.000
(bleached
*Sumber : Fredonia Group (1997) dalam INFORM (1998).
Menurut Gupta dan Wiese (1992) kombinasi antara builder dan surfaktan akan memberikan efek sinergisme untuk mendorong efesiensi deterjensi dan pembersihan secara total dibandingkan jika digunakan sendiri-sendiri. Beberapa sifat dan karakteristik penting yang harus dimiliki oleh senyawa-senyawa sebagai builder adalah: §
Memiliki kemampuan mengontrol tingkat kesadahan air dan ion- ion logam lainnya.
§
Berkontribusi terhadap alkalinitas produk akhir.
§
Memiliki kapasitas buffer pada kisaran pH yang cukup.
§
Memiliki kemampuan untuk deflokulasi.
§
Berkesesuaian dengan formulasi ingredient dan aditif detergen lainnya.
§
Aman terhadap konsumen.
§
Aseptabilitas lingkungan cukup baik.
§
Dapat diproses.
§
Biaya /performance cukup baik. Beberapa jenis builder yang sudah banyak digunakan dalam formulasi
detergen baik tunggal maupun dikombinasikan dengan builder lain untuk
23
memberikan sifat unik pada produk akhir menurut Gupta dan Wiese (1992) antara lain adalah: tetrasodium pyrophosphate (Na4P2 O7-TSPP), silikat (baik sodium maupun potasium silikat), karbonat (Na2 CO3 ), zeolit, dan sodium nitrilotriacetate (N(CH2 COONa)3.H2 O – NTA). Menurut Gupta dan Wiese (1992) selain builder dan surfaktan, dalam formulasi detergen juga ditambahkan sejumlah aditif yang memberikan fungsi khusus lainnya. Beberapa aditif yang sudah digunakan secara luas antara lain adalah:
sodium
sulfate
(Na2 SO4 ),
sodium
chloride
(NaCl),
sodium
carboxymethylcellulose (NaCMC), optical brightener, hydrotrope, enzim dan anticaking agent. Menurut Hui (1996) ada beberapa faktor yang mempengaruhi deterjensi antara lain adalah konsentrasi dan struktur surfaktan, tingkat kesadahan dan adanya builder, serta kotoran alami dan substrat. Faktor penting lainnya adalah temperatur mencuci; jangka waktu proses mencuci; reaksi mekanik; jumlah relatif kotoran, substrat; serta kondisi bilasan. Hubungan antara penghilangan kotoran dengan konsentrasi surfaktan secara umum akan membentuk sigmoid. Dimana mula- mula penghilangan kotoran pada air akan berjalan lambat tanpa adanya penambahan surfaktan kemudian meningkat secara bertahap ketika detergensi sedikit dipengaruhi
dengan peningkatan
konsentrasi surfaktan (Hui, 1996) Struktur kimia surfaktan merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap keefektifan detersif. Diantara asam lemak sabun dan alkil sulfat rantai lurus, detergensi optimum (pada kondisi pencucian biasa) terjadi pada panjang rantai sekitar 16 atom karbon. Tetapi secara umum, detergensi optimum terjadi pada atom karbon 12-16 pada rantai hidropobik, dengan nilai HLB (hydrophile-lipophile balance) sekitar 12 (Hui, 1996) Adanya ion logam berat, terutama kalsium dan magnesium, mempunyai pengaruh terhadap pencucian karena dapat menurunkan detergensi. Detergensi dapat diperbaiki dengan penambahan surfaktan dalam jumlah tertentu. Dalam formulasi tradisional yang didalamnya terkandung surfaktan anionik atau sabun, kain dapat dibersihkan dengan baik melalui pencucian hanya jika konsentrasi kalsium diturunkan sampai <0,01 mM (Hui, 1996)
24
Hubungan antara kekuatan pembusaan dengan detergensi selalu menjadi hal yang menarik, dimana kekuatan pembusaan menurut kebanyakan pikiran konsumen berhubungan dengan tingginya tingkat detergensi. Padahal, busa tidak berhubungan langsung dengan detergensi dalam sistem pencucian biasa, dan tidak memperbaiki pembersihan dalam mesin cuci laundry maupun rumah tangga. Tingkat pembusaan yang berlebihan dapat menyebabkan surface active cleaning agent tertentu membentuk konsentrat dalam busa, sehingga mengurangi kontak dengan kain yang akan dibersihkan (Hui, 1996).
Ilustrasi detergen dalam
membersihkan kotoran disajikan pada Gambar 9.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 9. Ilustrasi pengikatan kotoran oleh detergen (www.chemistry.co.nz) Gambar 9 diatas mengilustrasikan bagaimana pengikatan kotoran pada permukaan suatu benda oleh surfaktan sebagai komponen utama dalam formulasi detergen. (a) Kondisi pada saat kotoran menempel pada permukaan suatu benda, (b) Kotoran diikat oleh mo lekul- molekul surfaktan, (c) Permukaan suatu benda telah bersih dari kotoran, (d) Molekul- molekul surfaktan menjaga agar kotoran yang telah diikat tidak menempel kembali pada permukaan suatu benda.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Waktu Dan Tempat Penelitian
Penelitian berlangsung selama delapan bulan. Tempat penelitian dilakukan di laboratorium yang terdapat di lingkungan Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, dan PP Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.
Bahan Dan Peralatan Bahan Penelitian Bahan utama yang digunakan untuk memproduksi metil ester sulfonat (MES) adalah metil ester minyak inti sawit dengan asam lemak dominan C18, yang diperoleh dari PT. Ecogreen Oleochemicals, Batam. Karakteristik metil ester yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5. Bahan kimia lainnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah natrium bisulfit (NaHSO3 ) dan katalis Al2 O3 . Bahan-bahan kimia untuk analisa yaitu xylene, etanol, larutan HCl, thymol blue dan akuades. Tabel 5. Karakteristik metil ester minyak inti sawit yang akan digunakan dalam penelitian Spesifikasi Satuan Nilai Bilangan asam mg KOH/g 0,19 Bilangan penyabunan mg KOH/g 188 Bilangan iod g/100 g 83,2 Kadar air, % b/b 0,03 Warna (lovibond) , 5 ¼” merah 0,2 Kuning 1,7 Warna, APHA 65 Komposisi asam lemak, % b/b 0,2 ≤ C 16 10,6 C 18/0 75,4 C 18/1 13,3 C 18/2 0,5 ≥ C 20 Sumber : PT. Ecogreen Oleochemicals (2003).
26
Alat Penelitian Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah reaktor, fluidized bed drying, gelas piala 100, 500, 1000ml, hot plate, erlenmeyer 250, 500ml, termometer, timbangan analitik, sentrifuge, gelas ukur, sudip, pipet. Peralatan untuk analisa yaitu pH- meter, tensiometer du Nuoy, vortex mixer, tabung ulir.
Metode Penelitian Proses Sulfonasi Pada tahap awal penelitian dilakukan proses sulfonasi untuk menghasilkan surfaktan dari metil ester minyak inti sawit. Sulfonasi metil ester minyak inti sawit dilakukan dengan menambahkan NaHSO3 dan katalis Al2 O3 sedikit demi sedikit ke dalam 100 ml metil ester. Berdasarkan hasil penelitian Mahardhika (2003) diketahui bahwa rasio mol reaktan 1: 1,5 dengan lama reaksi 4,5 jam merupakan kondisi terbaik untuk proses sulfonasi. Safitri (2003) menambahkan bahwa proses sulfonasi terbaik didapatkan pada penggunaan katalis Al2 O3 dengan konsentrasi 1,5%. Suhu dan kecepatan pengadukan yang digunakan dalam proses sulfonasi ini adalah suhu 100o C dengan kecepatan pengadukan 500 rpm (Hapsari, 2003). Perhitungan mol reaktan metil ester (ME), NaHSO3 , dan katalis Al2 O3 yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Lampiran 1. Hasil sulfonasi selanjutnya disentrifuse pada kecepatan 1400 rpm selama 15 menit untuk memisahkan metil ester sulfonat (MES) yang dihasilkan dengan NaHSO3 dan katalis. Dari hasil sentrifugasi diperoleh metil ester sulfonat (MES) kasar (tanpa pemurnian) berbentuk cair, NaHSO3 dan katalis berupa padatan yang mengendap, selanjutnya metil ester sulfonat (MES) dapat langsung dipisahkan. Sebelum dilakukan analisa terhadap metil ester sulfonat (MES), dilakukan uji timol biru untuk mengetahui terbentuknya surfaktan anionik. Prosedur pengujian dapat dilihat pada Lampiran 2. Setelah pengujian ini, analisa metil ester sulfonat (MES) lebih lanjut dapat dilakukan (Lampiran 3). Diagram alir proses sulfonasi disajikan pada Gambar 10.
27
Palm Metil Ester
NaHSO3 Katalis Al2 O3 1,5%
Rasio mol metil ester : NaHSO3 (1 : 1,5) lama reaksi 4,5 jam; suhu 100°C dan kecepatan pengadukan 500 rpm
Sentrifusi 1400 rpm selama 15 menit
NaHSO3 + Katalis
Metil ester sulfonat (MES)
Gambar 10. Diagram alir proses sulfonasi
Proses Pemurnian Metil Ester Sulfonat (MES) Proses pemurnian metil ester sulfonat (MES) dilakukan dengan menggunakan metanol. Konsentrasi metanol yang digunakan adalah 10, 20, 30 dan 40 persen. Kisaran konsentrasi ini diambil berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Sherry et al. (1995) dan Sheats dan MacArthur (2002). Sheats dan MacArthur (2002) telah melakukan proses pemunian MES selama 1 – 1,5 jam (60 – 90 menit). Pada penelitian ini proses pemurnian akan diuji pada selang waktu setengah jam (30 menit) lebih rendah dan lebih tinggi dari yang telah dilakukan oleh Sheats dan MacArthur (2002), yaitu: 30, 60, 90, dan 120 menit.
Hal ini dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh waktu dalam
proses pemurnian. Netralisasi dilakukan dengan menggunakan larutan NaOH 20 % hingga MES mencapai pH 5,5 - 7,5. Produk akhir kemudian dievaporasi pada
28 suhu ± 80°C untuk selanjutnya dikarakterisasi. Diagram alir proses pemurnian ditunjukkan pada Lampiran 4.
Aplikasi Metil Ester Sulfonat (MES) pada Detergen Bubuk Tahapan ini bertujuan untuk menguji kinerja metil ester sulfonat (MES) baik tanpa pemurnian maupun MES hasil pemurnian pada produk detergen bubuk. Formula detergen yang digunakan diadopsi dari formula Matheson (1996) dimana konsentrasi MES yang digunakan sekitar 15 sampai 25 persen. Sehingga pada penelitian ini kisaran konsentrasi MES yang digunakan adalah 15, 20, dan 25 persen. Formula deterjen bubuk (Matheson 1996) yang dimodifikasi disajikan pada Lampiran 5. Sedangkan formula detergen bubuk yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Lampiran 6. Suhu pencampuran yang digunakan pada proses pembuatan deterjen adalah 60-70° C (Adami dan Moretti, 1996). Diagram alir proses produksi deterjen disajikan pada Lampiran 7. deterjen bubuk yang dihasilkan kemudian dikarakterisasi.
Produk
Analisis yang
dilakukan meliputi: pH, stabilitas emulsi, daya deterjensi, kadar air, berat jenis (densitas), derajat putih, dan bahan tidak larut dalam air (Lampiran 8)
Rancangan Percobaan Proses Pemurnian Metil Ester Sulfonat (MES) Pada proses pemurnian MES rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor, yaitu konsentrasi metanol dan lama reaksi. Faktor konsentrasi metanol terdiri dari taraf konsentrasi 10, 20, 30, dan 40 persen, faktor lama reaksi terdiri dari taraf 30, 60, 90, dan 120 menit. Model yang digunakan untuk rancangan ini adalah sebagai berikut (Montgomery, 1991). Yijk = µ + Ai +Bj + (AB)ij + ε k(ij) dengan
:
i = 1,2,3, 4 ; j = 1,2,3,4 ; k = 1,2
29
Keterangan : Yijk
=
µ
=
hasil pengamatan pada ulangan ke-k konsentrasi metanol ke-i dan lama reaksi ke-j rata-rata yang sebenarnya
Ai
=
pengaruh konsentrasi metanol ke- i (i = 1,2,3,4)
Bj
=
pengaruh lama reaksi ke-j (j = 1,2,3,4)
(AB)ij
=
εk(ij)
=
pengaruh interaksi konsentrasi metanol ke- i dan lama reaksi ke-j galat eksperimen
Aplikasi Metil Ester Sulfonat (MES) pada Deterjen Bubuk Rancangan percobaan yang digunakan dalam tahap ini adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor yaitu jenis MES dan konsentrasi MES. Jenis MES yang digunakan adalah MES kasar dan MES Murni,
sedangkan
konsentrasi MES yang digunakan adalah 15, 20 dan 25 persen. Pada percobaan ini pengulangan dilakukan sebanyak dua kali dan analisa dilakukan duplo. Model yang digunakan untuk rancangan ini adalah sebagai berikut
(Montgomery,
1991). Yijk = µ + Ai +Bj + (AB)ij + ε k(ij) dengan
:
i = 1,2, ; j = 1,2,3 ; k = 1,2
Keterangan : Yijk
=
µ
=
hasil pengamatan pada ulangan ke-k jenis MES ke-i dan konsentrasi MES ke-j rata-rata yang sebenarnya
Ai
=
pengaruh jenis MES ke- i (i = 1,2)
Bj
=
pengaruh konsentrasi MES ke-j (j = 1,2,3)
(AB)ij
=
εk(ij)
=
pengaruh interaksi jenis MES ke- i dan konsentrasi MES ke-j galat eksperimen
30
E. Jadwal Kegiatan Penelitian No
Kegiatan
Bulan ke1
1. 2. 3. 4.
5.
6 7. 8. 9.
Studi pustaka dan literatur Persiapan bahan dan peralatan Proses sulfonasi Proses pemurnian metil ester sulfonat (MES) Karakterisasi metil ester sulfonat (MES) yang dihasilkan Formulasi detergen Karakterisasi detergen yang dihasilkan Analisa data Penyusunan draft
2
3
4
5
6
31
40 35 30
penurunan 25 tegangan 20 permukaan (dyne/cm) 15 10 120 90 60 lama reaksi 30
5 0 10
20
30
(menit)
40
konsentrasi metanol (%v/v)
Lampiran 1. Prosedur uji surfaktan anionic
Uji Timol Biru (Rosen dan Goldsmith, 1981) Pengujian ini dilakukan untuk menguji apakah suatu bahan atau larutan merupakan surfaktan anionik atau bukan. Cara pengujian sederhana, yaitu dengan menambahkan reagan yang terdiri dari 5 ml HCl 0,005 N ya ng ditambahkan 3 tetes timol biru 0,1%, ke dalam 5 ml (0,01 – 0,1 %) larutan yang akan diuji (surfaktan). Terbentuknya warna ungu-kemerahan mengindikasikan keberadaan surfaktan anionik dalam larutan
Lampiran 2. Prosedur karakteristik metil ester sulfonat (MES)
32
1. Pengukuran pH (BSI, 1996) Metode ini digunakan untuk menganalisa derajat keasaman (pH) surfaktan anionik, kationik, nonionik dan amfoterik. Nilai pH dari larutan contoh ditentukan dengan pengukuran potensiometrik menggunakan elektroda gelas dan pH- meter komersial.
Alat pH- meter disiapkan dan dikalibrasi
terlebih dahulu. Kalibrasi dilakukan dengan menggunakan larutan buffer pH 4,0 dan 9,0. Elektroda kemudian dibilas dengan air bebas CO2 yang memiliki pH antara 6,5 sampai 7,0. Selanjutnya elektroda dicelupkan ke dalam larutan yang akan diukur. Nilai pH dibaca pada pH-meter, pembacaan dilakukan setelah angka stabil. Elektroda kemudian dibilas kembali dengan air bebas CO2 . Pengukuran dilakukan dua kali. Apabila dari dua kali pengukuran nilai yang terbaca mempunyai selisih lebih dari 0,2 maka harus dilakukan pengulangan pengukuran termasuk kalibrasi.
2. Tegangan Permukaan Metode du Nouy (ASTM D 1331, 2000) Metode pengujian ini dilakukan untuk menentukan tegangan permukaan larutan surfaktan dengan menggunakan alat Tensiometer du Nouy. Peralatan dan wadah contoh yang akan digunakan harus dibersihkan terlebih dahulu. Wadah yang digunakan biasanya terbuat dari bahan gelas dengan diameter lebih besar dari 6 cm. Wadah gelas dicuci dengan larutan chromicsulfuric acid, kemudian dibilas dengan air destilata.
Cincin platinum
merupakan bagian dari alat Tensiometer, memiliki diameter 4 atau 6 cm. Sebelum digunakan, cincin dicuci terlebih dahulu dengan pelarut yang sesuai dan dibilas dengan air destilata, lalu dikeringkan. Posisi alat diatur supaya horizontal dengan water pas dan diletakkan pada tempat yang bebas dari gangguan, seperti getaran, angin, sinar matahari dan panas. Larutan contoh dimasukkan ke dalam gelas dan diletakkan diatas dudukan (platform) pada Tensiometer. Suhu cairan sampel diukur dan dicatat. Selanjutnya cincin platinum dicelupkan ke dalam sampel tersebut (lingkaran logam tercelup 3 - 5 mm di bawah permukaan cairan), dengan cara menaikkan dudukan (platform). Skala vernier Te nsiometer di set pada posisi nol dan jarum penunjuk harus berada pada posis berimpit dengan garis pada kaca.
33
Selanjutnya platform diturunkan perlahan, dan pada saat yang bersamaan skrup kanan diputar sedemikian rupa sehingga jarum penunjuk tetap berimpit dengan garis pada kaca. Proses ini diteruskan sampai film cairan tepat putus. Pada saat cairan putus skala dibaca dan dicatat sebagai nilai tegangan permukaan.
Pengukuran dilakukan paling sedikit dua kali. Kemampuan
surfaktan dalam menurunkan tegangan permukaan dapat dilakukan dengan menambahkan konsentrasi surfaktan sebanyak 10 persen (dalam air). Nilai tegangan permukaan setelah ditambahkan surfaktan diukur kembali. Kemudian dibandingkan nilai tegangan permukaan air sebelum dan sesudah ditambahkan surfaktan.
3. Tegangan Antar Muka (ASTM D 1331, 2000) Metode penentuan tegangan antarmuka sama dengan pengukuran tegangan permukaan. Untuk pengukuran cairan yang mengandung dua fase yang berbeda, yaitu fase larut dalam air (aqueous) dan fase tidak larut dalam air (nonaqueous), dilakukan beberapa tahapan.
Fase aqueous (air)
dimasukkan terlebih dahulu ke dalam wadah gelas, kemudian dicelupkan cincin platinum kedalamnya (lingkaran logam tercelup 3 - 5 mm di bawah permukaan cairan), setelah itu secara hati- hati fase nonaqueous (xilen) ditambahkan diatas fase aqueous sehingga sistem terdiri dari dua lapisan. Kontak antara cincin dan fase nonaqueous sebelum pengukuran harus dihindari. Setelah tegangan antarmuka mencapai ekuilibrium, yaitu benarbenar terbentuk dua lapisan terpisah yang sangat jelas, pengukuran dapat dilakukan dengan cara yang sama dengan pengukuran tegangan permukaan. Kemampuan surfaktan dalam menurunkan tegangan antar muka dilakukan pada campuran air dengan xylene (1:1), konsentrasi surfaktan yang ditambahkan adalah 10 persen (dalam campuran xylene-air). Nilai tegangan antar muka antara air dengan xylene setelah ditambahkan surfaktan diukur kembali. Kemudian dibandingkan nilai tegangan antar muka antara sebelum dan sesudah ditambahkan surfaktan.
4. Kestabilan Emulsi (ASTM D 1436, 2000)
34
Kestabilan emulsi diukur antara air dan xylene.
Xylene dan air
dicampur dengan perbandingan 6 : 4. Campuran tersebut dikocok selama 5 menit menggunakan vortex mixer. Pemisahan emulsi antar xylene dan air diukur berdasarkan lamanya pemisahan antar fasa.
Konsentrasi surfaktan
yang ditambahkan adalah 10 persen (dalam campuran xylene-air). Lamanya pemisahan antar fasa sebelum ditambahkan surfaktan dibandingkan dengan sesudah ditambahkan surfaktan.
5. Daya Busa dan Stabilitas Busa (MPOB, 2001) Larutan sabun (200 ml 0,1 % deterjen) dimasukkan ke dalam labu takar 500 ml. Kemudian dikocok-kocok dengan kuat sebanyak 30 kali. Volume busa dicatat setelah 30 detik dan 5,5 menit. Stabilitas busa diekspresikan sebagai rasio volume busa pada 5,5 menit terhadap volume busa pada 30 detik.
6. Uji Deterjensi Deterjensi
dilakukan
untuk
mengetahui
kemampuan
pembersihan kotoran berlemak dari suatu kain.
deterjen
dalam
Kain yang digunakan
berwarna putih yang dipotong seragam kemudian dicelupkan ke dalam kotoran berlemak.
Setelah itu kain yang kotor tersebut direndam dalam
larutan deterjen 0,2 persen selama 30 menit.
Kekeruhan air yang terjadi
merupakan hasil kelarutan kotoran berlemak dalam air yang nilai kekeruhannya dibaca menggunakan DR/2000. Nilai yang terbaca merupakan nilai kekeruhan dengan satuan FTU Turbidity.
7. Warna, metode Hunter (Hutchings, 1999) Pengukuran warna dilakukan menggunakan alat kromameter CR-310. Pengukuran dilakukan untuk memperoleh nilai L, a dan b.
Notasi L
menyatakan parameter kecerahan (light) yang mempunyai nilai 0 (hitam) sampai 100 (putih). Nilai a menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna kromatik campuran merah- hijau dengan nilai +a (positif) dari 0 sampai 100 untuk warna merah dan nilai –a (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan
35
nilai +b (positif) dari 0 sampai 70 untuk warna biru dan nilai –b (negatif) dari 0 sampai -70 untuk warna kuning. Selanjutnya dihitung o Hue dari nilai L, a dan b untuk penentuan warna.
Kisaran warna berdasarkan o Hue adalah
sebagai berikut.
Keterangan : MU :
Merah keunguan
H
M
Merah
BH : Biru kehijauan
KM :
Kuning kemerahan
B
K
Kuning
BU :
Biru keunguan
Kuning kehijauan
U
Ungu
:
:
KH :
:
Hijau
: Biru
:
Lampiran 3. Diagram Alir Proses Pemurnian MES MES cair
Metanol 10, 20, 30, dan 40 %
Proses pemurnian suhu = 50 - 55°C, waktu 0,5; 1 dan 1,5 jam
Proses separasi waktu = 1 jam
NaOH
Proses netralisasi suhu = 50 - 55°C, waktu = 30 menit, stirer
36
Proses pengeringan (oven vakum) suhu 80 -100°C
MES pasta
Karakterisasi warna, pH, tegangan permukaan, tegangan antar muka, stabilitas emulsi, daya pembusaan, daya deterjensi
Lampiran 4.
Formula deterjen bubuk berdasarkan Formula Matheson (1996) yang dimodifikasi Komponen
Persentase
Surfaktan (MES)
15 - 25%
Sodium tripolifosfat*
10 – 20%
Sodium karbonat
15 – 25%
Sodium silikat
2 – 10%
Sodium sulfat
20 – 30%
Bleach additive
0 – 5%
Air
5 – 10%
Antiredeposition agent
1 – 3%
Perfume
1 – 3%
37
Ket : * Sodium tripolifosfat (STPP) menggantikan zeolit karena zeolit relatif lambat dalam menangkap ion- ion pada air sadah dan dapat melepaskan ion Na karena pengaruh pertukaran ion (INFORM, 1998).
Lampiran 5. Diagram alir proses produksi deterjen
MES 15, 20, 25% Air q.s Sodium tripoliposfat 10-20% Sodium karbonat 15-25% Sodium silikat 2-10% Sodium sulfat 20-30% Air 5 -10%
Pencampuran 60 -70 °C 30 menit
Sediaan I
Homogenizer
38
Sodium CMC 1-3% Parfum 1-3%
Pengeringan Spray Dryer Tinlet =163-169 °C Toutlet = 70-80 °C
Deterjen
Lampiran 6. Prosedur analisis produk deterjen
1. Derajat Keasaman (pH) (SNI : 06-4085-1996) Kalibrasi pH- meter dengan larutan buffer pH setiap kali akan melakukan pengukuran. Elektroda yang telah dibersihkan dicelupkan dengan air suling ke dalam contoh yang akan diperiksa (direndam dalam air es) pada suhu 25 °C. Nilai pH pada skala pH- meter dibaca dan dicatat.
2. Stabilitas Emulsi Kestabilan emulsi diukur antara air dan xylene.
Xylene dan air
dicampur dengan perbandingan 6 : 4. Campuran tersebut dikocok selama 5 menit menggunakan vortex mixer. Pemisahan emulsi antar xylene dan air diukur berdasarkan lamanya pemisahan antar fasa. Konsentrasi deterjen yang
39
ditambahkan adalah 10 persen (dalam campuran xylene-air).
Lamanya
pemisahan antar fasa sebelum ditambahkan deterjen dibandingkan dengan sesudah ditambahkan deterjen.
3. Daya Busa dan Stabilitas Busa (MPOB, 2001) Larutan sabun (200 ml 0,1 % deterjen) dimasukkan ke dalam labu takar 500 ml. Kemudian dikocok-kocok dengan kuat sebanyak 30 kali. Volume busa dicatat setelah 30 detik dan 5,5 menit. Stabilitas busa diekspresikan sebagai rasio volume busa pada 5,5 menit terhadap volume busa pada 30 detik.
4. Uji Deterjensi Deterjensi
dilakukan
untuk
mengetahui
kemampuan
pembersihan kotoran berlemak dari suatu kain.
deterjen
dalam
Kain yang digunakan
berwarna putih yang dipotong seragam kemudian dicelupkan ke dalam kotoran berlemak.
Setelah itu kain yang kotor tersebut direndam dalam
larutan deterjen 0,2 persen selama 30 menit.
Kekeruhan air yang terjadi
merupakan hasil kelarutan kotoran berlemak dalam air yang nilai kekeruhannya dibaca menggunakan DR/2000. Nilai yang terbaca merupakan nilai kekeruhan dengan satuan FTU Turbidity. 5. Bahan tidak larut dalam air (SNI 06-4594-1998) Deterjen ditimbang sebanyak 1 gram dan dilarutkan dalam 250 ml air pada suhu kamar. Saring dengan penyaring, dan endapannya dicuci dengan air. Keringkan sampai bobot tetap dalam oven pada suhu 105°C. Hitung jumlah persen bahan tidak larut dalam air yang terdapat dalam contoh uji.
40
26
Darnoko, D dan M. Cheryan. 2000. Continuous Production of Palm Methyl Ester. J. Am. Oil Chem. Soc. 77 (12) : 1269 – 1272. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2002. Statistik Perkebunan Indonesia 19982002; Kelapa Sawit. Ditjen Perkebunan, Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta. Gupta, S. Dan Wiese, D. 1992. Soap, Fatty Acid, and Synthetic Detergent. Di dalam Riegel’s Handbook of Industrial Chemistrty. Ninth ed. James A (ed), Van Nostrand Reinhold, New York. Hui, Y.H. 1996. Bailey’s Industrial Oil and Fat Product. Vol. 3. A WileyInterscience Publication. John Wiley & Sons, Inc. United State. INFORM. 1998. Additives to Improves Performance. INFORM 9 (10): 925 – 935 Jungermann, E. 1979. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Vol I 4th edition. John Willey and Son, New York Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Krawczyk, T. 1998. Industrial and Institutional Cleaning. Inform 9 (4): 274-291 Mac Arthur, B.W., B. Brooks, W. B. Sheats and N.C. Foster. 1998. Meeting Challenge of Methylester Sulfonation. Chemithon Corp. USA. Matheson, K.L. 1996. Formulation of Household and Industrial Detergents. In : Soap and Detergents : A Theoretical and Practical Review. Spitz, L. (Ed). AOCS Press, Champaign, Illinois. MPOPC. 2002. Uses of Palm Based Oleochemicals. http://www.mpopc.org.my. [30 Maret 2002]. MPOPC. 2003. Fatty Acids. http://www.mpopc.org.my. [ 5 September 2003] Noureddini, H.dan D. Zhu. 1997. Kinetics of Transesterification of Soybean Oil. Journal of American Oil Chemistry Society. Vol. 74 (11): 1457-1463. Noureddini, H., D. Harkey and V. Medikonduru. 1998. A Continuous Process for the Conversion of Vegetable Oils into Methyl Esters of Fatty acids. J. of Am. Oil Chem. Soc. 75 (12) : 1775 – 1783. Pore, J. 1993. Oils and Fat Manual. Intercept Ltd, Andover, Uk, Paris, New York.
27
Porter, M.R. 1997. Anionic Detergent. Didalam Lipid Technologies and Applications. Frank D.G and Ferd B.P (Ed.) Marcel Dekker, Inc., New York. Sheats,W B. and B.W. Mac Arthur. 2002. Methyl Ester Sulfonate Products. The Chemithon Corporation. http://www.chemithon.com. Sherry, A.E, B.E. Chapman, M.T. Creedon, J.M. Jordan and R.L. Moese. 1995. Non Bleach Process for the Purufication of Palm C16 – C18 Methyl Ester Sulfonates. J. of Am. Oil Chem. Soc. 72 (7) : 834 - 841. Sitting, M. 1979. Detergent Manufacture Including Zeolit Builders and New Materials. Neyes Data Corporation Park Ridge. New Jersey. USA. SNI. 1998. Metil Ester. Badan Standarisasi Nasional, Standar Nasional Indonesia. 06-4594-1998. Sontag, N.O.V. 1982. Fat Splitting, Esterrification and Interesterification. Didalam Daniel Swern. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. 4th ed. Vol 2. john Willey and Sons, New York. Swern, D. 1979. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Vol. I 4th. Ed. John Willey and Sons, New York. P. 192-196 Yuliasari, R., P. Guritno dan T. Herawan. 1997. Asam Lemak Sawit Distilat Sebagai Bahan Baku Pembuatan Sabun Transparan. Indonesia J. Of Oil Palm Research. 5(3) : 205-213 Watkins, C. 2001. All Eyes are on Texas. INFORM 12 : 1152-1159.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses Sulfonasi Metil Ester Sulfonat (MES)
Dewasa ini upaya untuk pengaplikasian metil ester sulfonat (MES) dalam produk-produk personal care dan laundry semakin meningkat.
MES sebagai
salah satu surfaktan anionik dihasilkan melalui proses sulfonasi. Proses sulfonasi untuk menghasilkan MES dapat dilakukan dengan mereaksikan natrium bisulfit atau gas SO3 dengan ester asam lemak (Bernardini, 1983; Watkins, 2001). Ester asam lemak yang digunakan dalam penelitian ini adalah metil ester (C-18 metil ester) dari PKO (palm kernel oil).
Berdasarkan hasil pengujian dengan
menggunakan GC (Gas Chromatography) diketahui beberapa asam lemak yang terkandung dalam metil ester PKO yaitu diantaranya adalah: asam oktanoat (0,1%), asam stearat (4,0%), asam elaidat (20,6%), asam oleat (63,69%) dan asam linoleat (9,56%). Grafik hasil pengujian metil ester PKO dengan menggunakan GC (Gas Chromatography) disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11. Grafik hasil pengujian metil ester PKO dengan menggunakan GC (Gas Chromatography)
31
Pada penelitian ini sulfonasi dilakukan dengan cara mereaksikan metil ester dengan natrium bisulfit (NaHSO3 ) dengan perbandingan mol reaktan 1: 1,5. Natrium bisulfit (NaHSO3 ) dibuat berlebih dengan tujuan untuk menjamin berlangsungnya proses sulfonasi dengan baik. Sherry et al., (1995) telah melakukan proses sulfonasi untuk menghasilkan C16-18 potassium methyl ester sulfonates (KMES) dengan melebihkan mol SO3 . Ekses mol SO3 diperlukan untuk menjamin terjadinya proses sulfonasi sesuai yang diharapkan karena sulfonasi ini berlangsung melalui satu atau lebih tahap intermediate yang membutuhkan dua mol SO3 untuk setiap mol metil ester. Oleh Karena itu di dalam industri SO3 dibuat berlebih sekitar 15-30% yang dilakukan pada kondisi suhu 90°C (195°F) untuk menjamin terjadinya laju reaksi dan hasil (yields) yang baik. Sheats dan MacArthur (2002) juga telah melakukan proses sulfonasi untuk menghasilkan MES dari beberapa sumber bahan baku dan mol reaktan SO3 dibuat berlebih dengan perbandingan mol reaktan metil ester dan SO3 adalah 1: 1,25 hingga 1: 1,3. Selain reaktan metil ester dan natrium bisulfit (NaHSO3 ), pada proses sulfonasi juga ditambahkan katalis Al2 O3 sebesar 1,5 %. Menurut Keenan et al., (1984), sebuah katalis adalah suatu zat yang dapat meningkatkan kecepatan suatu reaksi kimia tetapi katalis itu sendiri tidak mengalami perubahan kimia yang permanen. Suatu katalis diduga mempengaruhi kecepatan reaksi dengan salah satu jalan : (1) dengan pembentukan senyawa antara (katalis homogen) atau (2) dengan adsorpsi (katalis heterogen). Katalis alumunium oksida (Al2 O3 ) merupakan katalis heterogen dengan cara kerjanya sebagai katalis adalah sebagai berikut:
molekul reaktan bergerak
melewati struktur pori katalis untuk menjangkau semua permukaan internal katalis.
Permukaan internal katalis Al2 O3 yaitu 10 – 40 m2 /gram.
Setelah
terbentuk molekul produk kemudian molekul tersebut dilepaskan kembali dari permukaan internal katalis.
Molekul produk menyebar kembali melalui pori
struktur katalis untuk kembali berputar dalam reaksi (Smith, 1981). Pada penelitian ini proses sulfonasi dilakukan pada sebuah reaktor yang dihubungkan dengan kondensor untuk menjaga agar suhu reaksi tetap stabil selama proses sulfonasi.
Reaksi sulfonasi antara me til ester dengan natrium
32 bisulfit (NaHSO3 ) menurut Swern (1979) akan terjadi pada bagian α-atom karbon atau pada bagian rantai tidak jenuh (ikatan rangkap).
Sedangkan menurut
Gervasio (1996), selama proses sulfonasi antara metil ester dengan SO3, gugus sulfonat dapat terikat di dua tempat pada molekul metil ester, yaitu pada posisi alfa dan gugus ester. Bila-SO3 terikat pada kedua tempat tersebut maka akan terbentuk disulfonat.
Selama berjalannya reaksi, disulfonat bertindak sebagai
sulfonator bagi metil ester yang belum bereaksi. Hal ini dilakuan dengan cara melepaskan –SO3 dari gugus ester untuk ditangkap oleh metil ester pada posisi alfa membentuk molekul metil ester sulfonat (MES). Setelah proses sulfonasi berakhir, metil ester sulfonat (MES) yang dihasilkan didiamkan selama 4 jam untuk mengendapkan sisa asam dan katalis. Selanjutnya, MES yang sudah terpisah disentrifuse dengan kecepatan 1400 rpm. MES yang dihasilkan pada tahap ini adalah MES kasar (unpurified MES) yang diduga masih banyak mengandung di-salt (disodium karboksi sulfonat) hasil reaksi samping selama proses sulfonasi. Neraca massa proses produksi MES kasar (unpurified MES) disajikan pada Lampiran 9. Keberadaan di-salt diduga dapat menurunkan kinerja MES sebagai surfaktan. Untuk mengetahui kinerja MES kasar (unpurified MES) maka dalam penelitian ini dilakukan karakterisasi terhadap beberapa parameter surfaktan yaitu: pH, tegangan permukaan, tegangan antarmuka, stabilitas emulsi, stabilitas busa dan daya deterjensi. Karakterisasi MES kasar (unpurified MES) secara lebih lengkap disajikan pada Tabel 6. Dari Tabel 6 terlihat bahwa MES kasar (unpurified MES) mampu menurunkan tegangan permukaan dan antarmuka berturut-turut sebesar 30,6 mN/m atau 46,36 % dan 31,1 mN/m atau 87,99 %. Tetapi, daya deterjensi dan stabilitas emulsi yang dihasilkan oleh surfaktan MES kasar (unpurified MES) sangat rendah yaitu berturut-turut 25,84 dan 15,96 %.
Dari Tabel 6 juga
diketahui bahwa MES kasar (unpurified MES) memiliki nilai pH yang rendah atau bersifat asam. Sebenarnya MES dalam kondisi asam bersifat kurang stabil, tetapi MES kasar (unpurified MES) ini tidak dinetralisasi karena diduga dengan dilakukannya netralisasi tanpa melalui proses pemurnian dengan penambahan
33
metanol akan menyebabkan terbentuknya di-salt bukan surfaktan metil ester sulfonat (MES) seperti yang diharapkan.
Tabel 6. Rekapitulasi data karakteristik MES kasar (Unpurified MES) No. Parameter Nilai 1.
Tegangan permukaan air
Sebelum ditambah surfaktan (MES) = 65,9 (mN/m) Setelah ditambah surfaktan (MES)
2.
Tegangan antarmuka air-xylen
Penurunan tegangan Permukaan = 30,6 (mN/m) = 46,36 % Sebelum ditambah surfaktan (MES) = 35,4 (mN/m) Setelah ditambah surfaktan (MES)
3. 4. 5. 6. 7.
pH Daya deterjensi Stabilitas emulsi Stabilitas busa Densitas
= 35,3 (mN/m)
= 4,3 (mN/m)
Penurunan tegangan Permukaan = 31,1(mN/m) = 87,99 % 4,98 25,84 % 15,96 % 23 menit (0,38 jam) 0,87 g/ml
Dari data pada Tabel 6 tersebut terlihat bahwa secara umum kinerja MES kasar (unpurified MES) sebagai surfaktan masih rendah dan perlu diperbaiki dengan dilakukannya proses pemurnian, karena diduga MES kasar (unpurified MES) yang dihasilkan tanpa melalui proses pemurnian masih banyak mengandung di-salt sebagai hasil reaksi samping proses sulfonasi. Di-salt sebenarnya masih merupakan surfaktan tetapi memiliki beberapa karakteristik yang tidak diinginkan, diantaranya adalah sensitif terhadap air sadah, menurunkan kelarutan dalam air dingin, daya deterjensinya 50% lebih rendah daripada surfaktan metil ester sulfonat (MES) dan umur simpan dari produk sabun dan detergen yang mengandung di-salt menjadi lebih singkat (MacArthur et al., 1998).
34
Proses Pemurnian Metil Ester Sulfonat (MES)
MES kasar (unpurified MES) yang dihasilkan dari proses sulfonasi metil ester dengan natrium bisulfit (NaHSO3 ) diduga masih mengandung bahan pengotor (impurities).
Bahan pengotor yang menjadi perhatian utama adalah
produk samping dari proses sulfonasi yang disebut di-salt. Kandungan di-salt ini bisa direduksi dengan jalan dilakukannya proses pemurnian. Pemurnian dapat dilakukan baik melalui proses pemucatan maupun tanpa pemucatan tergantung dari warna produk yang dihasilkan selama proses sulfonasi. Menurut MacArthur et al., (1998), produksi di-salt dapat diminimisasi dengan dua cara yaitu: (1) dengan pengadukan asam sulfonat pada suhu tinggi dan waktu yang lama tetapi kelemahannya produk yang dihasilkan berwarna hitam, dan (2) dengan menambahkan sejumlah alkohol (metanol) untuk bereaksi dengan senyawa intermediet III supaya membentuk MESA (methyl ester sulfonic acid). Dalam penelitian ini pemurnian dilakukan tanpa melalui proses pemucatan karena produk yang dihasilkan selama proses sulfonasi tidak berwarna hitam (dark color).
Oleh karena itu pemurnian dilakukan hanya dengan cara
penambahan metanol dengan konsentrasi berkisar antara 10 – 40 % dan lama reaksi antara 30 – 120 menit pada suhu 50 - 55°C. Proses pemurnian dilakukan pada suhu dibawah suhu titik didih metanol sebagai reaktan yang digunakan dalam pemurnian untuk menghindari terjadinya ledakan karena metanol bersifat toksik dan eksplosif (Hui, 1996).
Metanol yang dikenal sebagai metil alkohol
atau wood alcohol adalah jenis alkohol sederhana dengan titik didih sekitar 64,8°C. Metanol bersifat volatile (mudah menguap), mudah terbakar, dan toksik. Metanol dapat digunakan sebagai antifreeze, pelarut, bahan bakar, dan denaturan untuk etil alkohol (http://www.yotor.org). lengkap disajikan pada Lampiran 10. disajikan pada Lampiran 11.
Karakteristik metanol secara lebih
Neraca massa proses pemurnian MES
Untuk mengetahui keberadaan atau kandungan
disalt dalam MES yang telah dimurnikan (MES murni, purified MES), maka dalam penelitian ini dilakukan karakterisasi terhadap beberapa parameter seperti halnya yang dilakukan terhadap MES kasar (unpurified MES) yaitu: pH, tegangan
35
permukaan, tegangan antarmuka, stabilitas emulsi, stabilitas busa dan daya deterjensi.
Perubahan Nilai pH MES Murni (Purified MES) Menurut Fessenden dan Fessenden (1995), pH merupakan logaritma negatif dari konsentrasi ion hidrogen. Menurut Bodner dan Pardue (1989), umumnya nilai pH berkisar antara 0-14. Kisaran nilai pH 0-6 menunjukkan bahwa suatu larutan adalah asam. Kisaran nilai pH 8-14 menunjukkan bahwa suatu larutan adalah basa. Sedangkan pada nilai pH 7 maka larutan tersebut dikatakan netral. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran nilai pH untuk mengetahui derajat keasaman produk yang dihasilkan. Pengukuran pH dilakukan sebelum netralisasi, pada saat netralisasi dan setelah proses evaporasi (penguapan) dengan oven vakum.
Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai pH sebelum netralisasi
diketahui bahwa pH MES murni (purified MES) sebelum netralisasi berkisar antara 3,95 sampai 4,93. Nilai pH MES murni (purified MES) sebelum netralisasi terendah ditunjukkan oleh perlakuan konsentrasi metanol 40% dan lama reaksi 90 menit yaitu 3,95, sedangkan nilai pH MES murni (purified MES) sebelum netralisasi tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan konsentrasi metanol 10% dan lama reaksi 30 menit yaitu 4,93. Hasil analisa keragaman (Lampiran 12a) dengan tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa faktor konsentrasi metanol (K) dan lama reaksi (t) serta interaksi antara konsentrasi metanol dan lama reaksi memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai pH MES murni (purified MES) sebelum netralisasi. Hasil uji Duncan untuk pH MES murni (purified MES) sebelum netralisasi (Lampiran 12c) menunjukkan bahwa setiap taraf pada faktor konsentrasi metanol (10% (K1), 20% (K2), 30 % (K3) dan 40%(K4)) memberikan hasil yang berbeda nyata satu sama lain.
Hasil uji Duncan untuk faktor lama reaksi juga
menunjukkan bahwa faktor lama reaksi 30 menit (t1), 60 menit (t2), 90 menit (t3), dan 120 menit (t4) memberikan hasil yang berbeda nyata satu sama lain. Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap nilai pH MES murni (purified MES) sebelum netralisasi disajikan pada Gambar 12.
Nilai pH sebelum netralisasi
36
5.50
5.50
5.00
5.00
4.50
4.50
4.00
4.00
3.50
3.50
3.00
3.00 30
60
90
120
Lama reaksi (menit) Konsentrasi metanol 10% Konsentrasi metanol 30%
Konsentrasi metanol 20% Konsentrasi metanol 40%
Gambar 12. Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap nilai pH MES murni (purified MES) sebelum netralisasi Dari Gambar 12 terlihat bahwa seluruh perlakuan cenderung bersifat asam karena memiliki pH dibawah enam dengan derajat keasaman (nilai pH) yang berbeda-beda untuk setiap perlakuan. Perbedaan derajat keasaman ini diduga terjadi karena adanya perbedaan kemampuan reaktan metil ester dan natrium bisulfit (NaHSO3 ) yang bersifat asam untuk membentuk MESA (methyl ester sulfonic acid) ketika direaksikan dengan sejumlah metanol.
Semakin tinggi
konsentrasi metanol yang ditambahkan pada campuran reaktan metil ester dan natrium bisulfit (NaHSO3 ) diduga akan semakin banyak gugus MESA yang terbentuk sehingga menyebabkan derajat keasaman (pH) yang dihasilkan menjadi semakin tinggi pula yang ditunjukkan dengan semakin rendahnya nilai pH MES murni (purified MES) sebelum netralisasi. Menurut MacArthur et al., (1998), sebelum netralisasi absorpsi gugus SO3 oleh metil ester akan menghasilkan intermediet (II) dan kemudian bereaksi lanjut untuk membentuk intermediet (III). Intermediet (III) ini ketika direaksikan dengan metanol akan membentuk (MESA, methyl ester sulfonic acid) yang bersifat asam.
37
MES murni (purified MES) sebelum netralisasi (yang diduga masih dalam bentuk MESA) kemudian dinetralisasi dengan menambahkan sejumlah NaOH 20% hingga pH MES murni (purified MES) sebelum netralisasi (MESA) mencapai nilai pH netral.
Menurut Keena n et al., (1984), reaksi penetralan
(netralisasi) didefinisikan sebagai reaksi antara asam dan basa yang masingmasing dalam kuantitas yang ekuivalen secara kimiawi. Suatu larutan akan benarbenar netral jika asam dan basa sama kuat. Bila tidak, maka yang akan diperoleh adalah asam lemah atau basa lemah. Suatu larutan dikatakan bersifat netral bila konsentrasi H+ sama dengan konsentrasi OH-. Pada penelitian ini proses netralisasi terhadap MESA (methyl ester sulfonate acid) dilakukan dengan tujuan untuk mendorong terbentuknya MES murni (Purified MES), meskipun dengan penetralan ini juga dihasilkan sejumlah air. Menurut Keenan et al., (1984), pada umumnya dengan penetralan semua proton yang tersedia dari asamnya dan semua ion hidroksida dari basanya akan bereaksi membentuk sejumlah air. Keberadaan air dalam MES murni (purified MES) bila dalam jumlah yang tinggi diduga akan mengganggu kinerja MES murni sebagai surfaktan, oleh karena itu pada akhir proses pemurnian dilakukan penguapan (evaporasi) dengan oven vakum pada kondisi suhu 80°C untuk menguapkan sejumlah air yang terbentuk selama proses netralisasi. Pada proses evaporasi ini juga akan menguapkan sejumlah metanol sisa yang tidak bereaksi dengan senyawa intermediet III pada saat pembentukan gugus MESA. Pengukuran pH MES murni (purified MES) kembali dilakukan setelah MES murni (purified MES) dievaporasi dengan oven vakum. MES murni (purified MES) hasil evaporasi inilah yang kemudian akan dianalisa dan diaplikasikan lebih lanjut pada detergen bubuk. Dari hasil analisa diketahui bahwa MES murni (purified MES) memiliki nilai pH dengan kisaran antara 6,92 hingga 7,67. Hasil analisa keragaman (Lampiran 13a) dengan tingkat kepercayaan 95% diketahui bahwa faktor konsentrasi metanol (K) dan lama reaksi (t) serta interaksi antara konsentrasi metanol dan lama reaksi memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai pH MES murni (purified MES) setelah evaporasi (Lampiran 13a).
38
Hasil uji Duncan untuk MES murni (purified MES) setelah evaporasi menunjukkan bahwa faktor konsentrasi metanol 10% (K1) memberikan hasil yang berbeda nyata dengan konsentrasi metanol 20% (K2), 30 % (K3) dan 40% (K4). Faktor konsentrasi metanol 20% (K2) juga memberikan hasil yang berbeda nyata dengan faktor konsentrasi metanol 30% (K3) dan 40% (K4). Hal ini juga terjadi pada taraf konsentrasi metanol 30% (K3) dan 40% (K4) yang menunjukkan hasil yang berbeda nyata satu sama lain. Hasil uji Duncan untuk faktor lama reaksi menunjukkan bahwa setiap taraf pada faktor lama reaksi (30 menit (t1), 60 menit (t2), 90 menit (t3) dan 120 menit (t4)) juga memberikan hasil yang berbeda nyata satu dengan yang lainnya. Dari hasil analisa keragaman secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa setiap taraf baik pada faktor konsentrasi metanol maupun faktor lama reaksi memberikan hasil yang berbeda nyata antara satu dengan yang lainnya terhadap nilai pH MES murni (purified MES) setelah evaporasi.
Grafik hubungan antara konsentrasi
metanol dan lama reaksi terhadap nilai pH MES murni (purified MES) setelah
Nilai pH setelah evaporasi
evaporasi disajikan pada Gambar 13.
7.80
7.80
7.60
7.60
7.40
7.40
7.20
7.20
7.00
7.00
6.80
6.80 30
Gambar 13.
60 90 Lama reaksi (menit)
120
Konsentrasi metanol 10%
Konsentrasi metanol 20%
Konsentrasi metanol 30%
Konsentrasi metanol 40%
Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap nilai pH MES murni (purified MES) setelah evaporasi
39
Dari Gambar 13 terlihat bahwa pH MES murni (purified MES) setelah evaporasi memiliki nilai pH yang beragam tetapi secara umum semua perlakuan masih ada dalam batas pH netral.
Kondisi pH MES murni (purified MES)
sebaiknya tetap berada pada kisaran pH netral karena sangat penting untuk menjaga kestabilan MES murni (purified MES) yang telah terbentuk.
Apabila
nilai pH terlalu rendah (bersifat asam) maka diduga produk akan mudah terdekomposisi dan jika pH terlalu tinggi (bersifat basa) maka akan banyak terdapat NaOH pada produk yang akan menyebabkan efek negatif untuk proses selanjutnya. Selain itu, menurut Watkins (2001), metil ester sulfonat (MES) memiliki stabilitas hidrolitik yang kurang baik pada pH yang tinggi (basa) dibandingkan
dengan
surfaktan
anionik
lainnya,
sehingga
sulit
untuk
memformulasi metil ester sulfonat ke dalam sistem alkalin yang mengandung air. Kondisi pH netralisasi MES murni (purified MES) juga harus terkontrol dengan baik untuk menghindari terjadinya hidrolisis produk MES yang telah terbentuk sebelumnya membentuk produk samping yang disebut di-salt (disodium karboksi sulfonat) dan metanol. Reaksi pembentukan di-salt dan metanol akibat terjadinya hidrolisis produk MES disajikan pada Gambar 14.
O
O
R CH C OCH3 + NaOH SO3Na
Metil ester sulfonat (MES)
R CH C
ONa + CH3 OH
SO3Na
Basa
Di-salt
Metanol
Gambar 14. Reaksi hidrolisis MES membentuk di-salt dan metanol (MacArthur et al., 1998)
40
Penurunan Tegangan Permukaan MES Murni (Purified MES)
Menurut Shaw (1980), tegangan permukaan didefinisikan sebagai usaha yang dibutuhkan untuk memperluas cairan per satuan luas. Umumnya tegangan permukaan dinyatakan dalam dyne per cm atau mili Newton per meter. Tegangan permukaan suatu cairan merupakan fenomena dari adanya ketidakseimbangan antara gaya-gaya yang dialami oleh molekul- molekul yang berada di permukaan.
Akibat dari ketidakseimbangan gaya tersebut maka
molekul pada permukaan cenderung meninggalkan permukaan (masuk ke dalam cairan) sehingga permukaan cenderung menyusut. Apabila molekul dalam cairan akan pindah ke permukaan untuk memperluas permukaan, maka dibutuhkan usaha untuk mengatasi gaya tarik menarik antar molekul tersebut (Bird et al., 1983). Pada penelitian ini nilai tegangan permukaan yang diukur adalah nilai tegangan permukaan air sebelum dan sesudah penambahan MES murni (purified MES). Dari hasil penelitian diketahui bahwa tegangan permukaan air sebelum penambahan MES murni (purified MES) adalah sebesar 65,9 mN/m, sedangkan setelah penambahan MES murni (purified MES) berkisar antara 23,65 hingga 34,45 mN/m. Ini berarti bahwa penambahan MES murni (purified MES) mampu menurunkan tegangan permukaan air antara 31,45 hingga 42,25 mN/m. Bila dipersentasekan maka nilai penurunan tegangan permukaan air setelah penambahan MES murni (purified MES) berkisar antara 47,72 hingga 64,11%. Menurut Pore (1976) di dalam Karlenskind (1993), surfaktan anionik MES dari metil ester palmitat komersial dapat menurunkan tegangan permukaan air sampai 40 mN/m, sedangkan surfaktan alkohol sulfat dapat menurunkan tegangan permukaan air sampai 35 mN/m (Swern, 1979). MES merupakan salah satu jenis surfaktan anionik.
Menurut Matheson
(1996), surfaktan anionik yaitu sur faktan yang bermuatan negatif pada bagian hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan. Karakter hidrofilik berasal dari adanya kepala ionik dalam jumlah besar. Pada surfaktan MES, gugus sulfonat merupakan kepala ionik yang bersifat hidrofilik. Gugus hidrofilik dari MES ini akan menurunkan gaya kohesi dari molekul air sehingga akan menurunkan tegangan permukaan air.
41
Untuk mengetahui pengaruh berbagai perlakuan terhadap penurunan tegangan permukaan digunakan analisa secara statistik menggunakan rancangan percobaan acak lengkap faktorial. Dari hasil analisa keragaman (Lampiran 14a) pada tingkat kepercayaan 95% diperoleh bahwa faktor konsentrasi metanol (K) dan lama reaksi (t) memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap penurunan tegangan permukaan air. Interaksi antara kedua faktor tersebut juga memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap penurunan tegangan permukaan air. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa faktor konsentrasi metanol untuk semua taraf (10% (K1), 20% (K2), 30% (K3) dan 40% (K4)) menghasilkan pengaruh yang berbeda terhadap nilai penurunan tegangan permukaan air pada tingkat kepercayaan 95%. Uji lanjut Duncan untuk faktor lama reaksi proses pemurnian untuk semua taraf juga menghasilkan pengaruh yang berbeda terhadap nilai penurunan tegangan permukaan air pada tingkat kepercayaan 95%. Perlakukan konsentrasi metanol 40% dan lama reaksi 90 menit memberikan ratarata nilai penurunan tegangan permukaan air tertinggi yaitu sebesar 42,25 mN/m atau sebesar 64,11 %. Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap tegangan permukaan air setelah penambahan MES murni (purified MES) dtunjukkan pada Gambar 15.
Sedangkan Grafik hubungan antara
konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap penurunan tegangan permukaan air setelah penambahan MES murni (purified MES) disajikan pada Gambar 16. Gambar 15 menunjukkan nilai tegangan permukaan air setelah penambahan surfaktan MES murni (purified MES). Dari Gambar tersebut terlihat bahwa setiap perlakuan memiliki nilai tegangan permukaan yang berbeda.
Perbedaan ini
diduga merupakan indikasi jumlah surfaktan yang terbentuk. Semakin rendah nilai tegangan permukaan yang dihasilkan berarti semakin banyak surfaktan MES yang terbentuk.
Cara kerja surfaktan MES sebagai bahan pengemulsi dalam
menurunkan tegangan permukaan adalah dengan mengumpul pada daerah permukaan dan membentuk lapisan film teradsorpsi.
Tegangan permukaan (mN/m)
42
40.00
40.00
36.00
36.00
32.00
32.00
28.00
28.00
24.00
24.00
20.00
20.00 30
60
90
120
Lama reaksi (menit) Konsentrasi metanol 10% Konsentrasi metanol 30%
Penurunan tegangan permukaan (mN/m)
Gambar 15.
Konsentrasi metanol 20% Konsentrasi metanol 40%
Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap tegangan permukaan air setelah penambahan MES murni (purified MES)
48.00
48.00
44.00
44.00
40.00
40.00
36.00
36.00
32.00
32.00
28.00
28.00 30
60
90
120
Lama reaksi (menit)
Gambar 16.
Konsentrasi metanol 10%
Konsentrasi metanol 20%
Konsentrasi metanol 30%
Konsentrasi metanol 40%
Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap penurunan tegangan permukaan setelah penambahan MES murni (purified MES)
43
Gambar 16 menunjukkan nilai penurunan tegangan permukaan air setelah penambahan MES murni (purified MES). Dari Gambar tersebut terlihat bahwa dengan meningkatnya konsentrasi metanol yang digunakan dalam proses pemurnian cenderung menurunkan tegangan permukaan MES murni (purified MES). Hal ini diduga dengan semakin banyaknya metanol yang ditambahkan selama proses pemurnian maka semakin banyak gugus MESA yang terbentuk sehingga juga akan menyebabkan semakin banyaknya jumlah bahan aktif yang terbentuk (MES).
Menurut Fessenden dan Fessenden (1982), surfaktan
menurunkan tegangan permukaan air dengan mematahkan ikatan- ikatan hidrogen pada permukaan. Surfaktan melakukan hal ini dengan menaruh kepala-kepala hidrofiliknya pada permukaan air dengan ekor-ekor hidrofobiknya terentang menjauhi permukaan air. Dari Gambar 16 juga terlihat bahwa penambahan lama reaksi pemurnian hingga 90 menit sangat berpengaruh terhadap penurunan nilai tegangan permukaan MES murni (purified MES). Tetapi ketika lama reaksi dinaikkan 30 menit lagi sehingga lama reaksi pemurnian menjadi 120 menit, penurunan nilai tegangan permukaan MES murni (purified MES) menjadi kurang signifikan. Fenomena ini terjadi baik pada perlakuan penambahan konsentrasi metanol 10, 20, 30 maupun 40%. Dari hasil ini diduga bahwa surfaktan MES murni (purified MES) efektif terbentuk pada rentang waktu pemurnian 90 menit (1,5 jam).
Penurunan Tegangan Antarmuka MES Murni (Purified MES)
Menurut Lapedes (1978), tegangan antarmuka merupakan suatu gaya yang timbul sepanjang garis permukaan suatu cairan. Gaya ini timbul karena adanya kontak antar dua cairan yang berbeda fasa.
Untuk menurunkan tegangan
antarmuka diantara dua cairan yang berbeda fasa tersebut perlu ditambahkan suatu surfaktan.
Menurut Georgia et al., (1992), surfaktan tersusun atas gugus
hidrofilik dan hidrofobik pada molekulnya dan memiliki kecenderungan untuk berada pada bagian antar muka antara dua fasa yang berbeda polaritasnya, atau dengan kata lain surfaktan dapat membentuk film pada bagian antar muka dua
44
cairan yang berbeda fasa. Pembentukan film tersebut mengakibatkan turunnya tegangan permukaan kedua cairan yang berbeda fasa tersebut, sehingga mengakibatkan turunnya tegangan antarmuka. Pada penelitian ini, pengukuran terhadap tegangan antarmuka dilakukan pada dua cairan yang berbeda derajat polaritasnya. Tegangan antarmuka antara dua cairan yang berbeda derajat polaritasnya menunjukkan seberapa besar kekuatan tarik antar molekul yang berbeda dari dua fasa cairan tersebut. Surfaktan yang memiliki gugus polar dan non polar akan bekerja diantara kedua cairan tersebut. Surfaktan dalam hal ini akan membentuk suatu lapisan antara kedua cairan (xylen dan air) sehingga dapat menurunkan tegangan antarmuka pada kedua cairan tersebut dan memberikan kestabilan pada sistem emulsi tersebut. Hasil pengukuran tegangan antarmuka air-xylen memberikan nilai sebesar 35,4 mN/m. Hasil pengukuran tegangan antarmuka air-xylen setelah penambahan MES murni (purified MES) berada pada kisaran antara 0,70 hingga 3,55 mN/m. Hal ini berarti penambahan MES murni (purified MES) mampu menurunkan tegangan antarmuka air-xylen antara 31,85 hingga 34,70 mN/m.
Bila
dipersentasekan maka nilai penurunan tegangan antar muka air- xylen setelah penambahan MES murni (purified MES) berkisar antara 89,97 hingga 98,02 %. Hasil analisa keragaman (Lampiran 15a) menunjukkan bahwa konsentrasi metanol (K), lama reaksi (t) dan interaksi antara konsentrasi metanol dan lama reaksi berpengaruh sangat nyata terhadap nilai tegangan antarmuka air-xylen setelah penambahan MES murni (purified MES). Pengujian lebih lanjut dengan uji Duncan menunjukkan bahwa konsentrasi metanol 10, 20, 30 dan 40% memberikan hasil yang berbeda nyata satu sama lain (Lampiran 15 c). Demikan pula halnya dengan lama reaksi 30, 60, 90 dan 120 menit memberikan hasil yang berbeda nyata antara satu dengan yang lainnya (Lampiran 15d.). Berdasarkan kemampuan menurunkan nilai tegangan antarmuka tertinggi, hasil terbaik ditunjukkan oleh perlakuan konsentrasi metanol 40% dan lama reaksi 90 menit yaitu 34,70 mN/m atau sebesar 98,02%. Secara umum MES murni (purified MES) yang merupakan MES hasil pemurnian memiliki kemampuan yang lebih baik untuk menurunkan tegangan
45
antarmuka antara air sebagai fasa polar dan xylen sebagai fasa non polar jika dibandingkan dengan MES kasar (unpurified MES) yang dihasilkan tanpa pemurnian. Hal ini dapat dilihat dari semakin besarnya nilai penurunan tegangan antarmuka air- xylene setelah penambahan MES murni (purified MES). Menurut Suryani et al., (2000), penurunan tegangan antarmuka akan menurunkan gaya kohesi dan sebaliknya meningkatkan gaya adhesi. Gaya kohesi adalah gaya antarmolekul yang bekerja diantara molekul- molekul yang sejenis, sedangkan gaya adhesi adalah gaya antarmolekul yang bekerja diantara molekulmolekul yang tidak sejenis. Gaya tolak-menolak bersifat menstabilkan emulsi karena gaya ini mempertahankan butiran droplet agar tetap terpisah. Pada Gambar 17 disajikan Grafik hubungan antara konsetrasi metanol dan lama reaksi terhadap tegangan antarmuka xylen-air. Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap penurunan tegangan antarmuka xylen – air disajikan pada
Tegangan antarmuka (mN/m)
Gambar 18.
5.00
5.00
4.00
4.00
3.00
3.00
2.00
2.00
1.00
1.00
0.00
0.00 30
60
90
120
Lama reaksi (menit)
Gambar 17.
Konsentrasi metanol 10%
Konsentrasi metanol 20%
Konsentrasi metanol 30%
Konsentrasi metanol 40%
Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap tegangan antarmuka air–xylene setelah penambahan MES murni (purified MES)
Penurunan tegangan antarmuka (mN/m)
46
36.00
36.00
35.00
35.00
34.00
34.00
33.00
33.00
32.00
32.00
31.00
31.00 30
60 90 Lama reaksi (menit)
Konsentrasi metanol 10% Konsentrasi metanol 30%
Gambar 18.
120 Konsentrasi metanol 20% Konsentrasi metanol 40%
Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap penurunanan tegangan antarmuka air –xylene setelah penambahan MES murni (purified MES)
Dari Gambar 17 terlihat bahwa nilai tegangan antarmuka air-xylen terendah terjadi pada perlakuan konsentrasi metanol 40% dengan lama reaksi pemurnian 90 menit yaitu sebesar 0,77 mN/m sedangkan nilai tegangan antarmuka air-xylen tertinggi terjadi pada perlakuan konsentrasi metanol 10% dengan lama reaksi pemurnian 30 menit yaitu sebesar 3,55 mN/m.
Gambar 18 disajikan untuk
menjelaskan seberapa besar nilai penurunan tegangan antarmuka air-xylen untuk setiap perlakuan setelah penambahan surfaktan MES murni (purified MES). Dari Gambar 18 diketahui bahwa penurunan tegangan antarmuka tertinggi terjadi pada perlakuan konsentrasi metanol 40% dan lama reaksi 90 menit yaitu sebesar 34,70 mN/m, dan penurunan tegangan antarmuka terendah terjadi pada perlakuan konsentrasi metanol 10% dan lama reaksi 30 menit yaitu sebesar 3,85 mN/m. Perlakuan terbaik adalah perlakuan yang menghasilkan nilai tegangan antarmuka terendah atau nilai penurunan tegangan antarmuka tertinggi. Dari Gambar 17 dan 18 diketahui bahwa semakin tinggi konsentrasi metanol yang ditambahkan selama proses pemurnian maka semakin rendah nilai tegangan antarmuka air-xylen (Gambar 17) atau semakin tinggi nilai penurunan tegangan antarmuka air- xylen (Gambar 18).
Dengan semakin rendah nilai tegangan
antarmuka air- xylen atau semakin tinggi nilai penurunan tegangan antarmuka air-
47
xylen berarti semakin banyak gugus aktif surfaktan yang terbentuk. Gugus aktif permukaan pada surfaktan MES murni (purified MES) yang telah terbentuk akan membuat lapisan film pada daerah interfase antara air-xylen sehingga tegangan antarmuka sepanjang garis permukaan kedua larutan tersebut menjadi semakin rendah. Hal ini diperkirakan dengan semakin tinggi konsentrasi metanol yang ditambahkan selama proses pemurnian maka semakin banyak MESA (methyl ester sulfonic acid) yang terbentuk sehingga pada saat netralisasi kemungkinan akan semakin banyak MES yang terbentuk.
Dengan semakin banyaknya MES
yang terbentuk maka kemampuan MES dalam menurunkan tegangan antarmuka air-xylene menjadi lebih kuat. Keberadaan molekul MES pada air mengakibatkan terbentuknya ikatan polar antara air dan gugus hidrofilik MES sehingga daya adhesi air meningkat. Sementara gugus hidrofobik MES akan berikatan dengan minyak (xylen) secara non polar. Kondisi ini mengakibatkan minyak (xylen) terdispersi dalam air. Peningkatan lama reaksi pemurnian hingga 90 menit juga menyebabkan penurunan nilai tegangan antarmuka semakin besar, namun ketika lama reaksi pemurnian dinaikkan menjadi 120 menit kemampuan MES murni (purified MES) dalam
menurunkan
nilai
tegangan
antarmuka
menjadi
tidak
berarti.
Kecenderungan ini serupa dengan pola penurunan tegangan permukaan. Hal ini kemungkinan dengan penambahan lama reaksi hingga 120 menit menyebabkan sebagian gugus aktif pada MES murni (purified MES) yang telah terbentuk sebelumnya terhidrolisis kembali membentuk di-salt. Hidrolisis terjadi karena adanya interaksi sejumlah air (pada larutan basa NaOH) dengan surfaktan MES murni (purified MES) sebelum MES murni (purified MES) dievaporasi. Menurut Sadi (1993), keberadaan garam ini (di-salt) dapat menyebabkan sisi aktif permukaan menjadi lebih rendah sehingga kemampuan menurunkan tegangan antarmuka juga menjadi rendah.
48
Peningkatan Stabilitas Emulsi MES Murni (Purified MES)
Menurut Claesson et al., (2001), emulsi adalah dispersi suatu larutan dalam larutan lainnya, pada umumnya adalah water-in-oil (w/o) atau oil-in water (o/w). Total daerah interfase (antarmuka) dalam suatu emulsi sangat besar, dan karena daerah interfase bergabung dengan energi positif bebas (tegangan antarmuka), maka sistem emulsi menjadi tidak stabil secara termodinamika.
Tetapi ada
kemungkinan untuk membentuk emulsi dengan stabilitas yang lama.
Hal ini
dapat dilakukan dengan penggunaan suatu emulsifier yang akan berakumulasi pada permukaan minyak/air dan membentuk lapisan energi. Emulsifier dapat berupa surfaktan anionik, zwitterionik, atau nonionik, protein, dan polimer. Kestabilan emulsi pada penelitian ini diukur dengan menggunakan metode pencampuran air –xylen dengan perbandingan 3:2. Penambahan surfaktan MES sebesar 10% ke dalam sistem emulsi air- xylen tersebut diharapkan dapat mempertahankan kestabilan emulsi.
Menurut Bird et al (1983), dengan
penambahan bahan pengemulsi yang cukup maka akan terbentuk lapisan utuh antara kedua cairan tersebut yang dapat menurunkan tegangan permukaan, sehingga dapat menstabilkan emulsi. Menurut Suryani et al., (2000), prinsip dasar tentang kestabilan emulsi adalah kesetimbangan antara gaya tarik- menarik dan gaya tolak- menolak yang terjadi antar partikel dalam sistem emulsi. Apabila kedua gaya ini dapat dipertahankan tetap seimbang atau terkontrol, maka globulaglobula fasa terdispersi dalam sistem emulsi dapat dipertahankan agar tidak tergabung. Adapun faktor –faktor yang menentukan kestabilan suatu emulsi adalah ukuran partikel dan distribusi, jenis emulsifier yang digunakan, rasio antara fasa terdispersi dan fasa pendispersi dan perbedaan tegangan antara dua fasa. Hasil analisa keragaman menunjukkan bahwa konsetrasi metanol (K) dan lama reaksi (t) proses pemurnian memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap peningkatan stabilitas emulsi. Interaksi antara konsentrasi metanol dan lama reaksi juga memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap peningkatan stabilitas emulsi (Lampiran 16a.) Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa semua taraf pada faktor konsentrasi metanol (10, 20, 30 dan 40%) berbeda nyata satu dengan yang lainnya (Lampiran
49
16 c). Sedangkan hasil uji Duncan terhadap faktor lama reaksi menunjukkan bahwa taraf faktor lama reaksi 30 menit berbeda nyata dengan taraf faktor lama reaksi 60, 90 dan 120 menit, taraf faktor lama reaksi 60 menit berbeda nyata dengan taraf faktor lama reaksi 90 menit, dan taraf faktor lama 90 menit berbeda nyata dengan taraf faktor lama reaksi 120 menit (Lampiran 16d). Persentase stabilitas emulsi dari hasil analisa berkisar antara 16,67 hingga 84,52%. Persentase stabilitas emulsi tertinggi terjadi pada perlakuan konsentrasi metanol 40% dan lama reaksi 90 menit yaitu sebesar 84,52%, sedangkan persentase stabilitas emulsi terendah terjadi pada perlakuan konsentrasi metanol 10% dan lama reaksi 30 menit yaitu sebesar 16,67%. Kemampuan surfaktan MES murni (purified MES) dalam mempertahankan kestabilan emulsi ditunjukkan pada
Stabilitas emulsi (%)
Gambar 19.
100.00
100.00
80.00
80.00
60.00
60.00
40.00
40.00
20.00
20.00
0.00
0.00
30
60
90
120
Lama reaksi (menit) Konsentrasi metanol 10% Konsentrasi metanol 30%
Gambar 19.
Konsentrasi metanol 20% Konsentrasi metanol 40%
Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap peningkatan stabilitas emulsi MES murni (purified MES)
Dari Gambar 19 dapat dilihat bahwa stabilitas emulsi dari masing- masing perlakuan memiliki tingkat kestabilan yang beragam. Pada sistem emulsi minyak dalam air, molekul MES akan menyelimuti partikel minyak dengan mengikatnya pada gugus hidrofobik sehingga terbentuk globula. Globula-globula tersebut akan
50
terdispersi dalam air membentuk sistem emulsi.
MES membuat globula
terdispersi merata dengan ikatan hidrogen antara gugus polar pada MES dengan air. Kondisi ini membuat sistem emulsi menjadi stabil. Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa kenaikan konsentrasi metanol cenderung meningkatkan stabilitas emulsi yang terbentuk. Kecenderungan ini serupa dengan pola pada nilai penurunan tegangan permukaan dan tegangan antarmuka. Hal ini diduga dengan semakin banyak metanol yang ditambahkan pada saat proses pemurnian MES maka semakin banyak gugus MESA yang terbentuk, sehingga ketika dilakukan netralisasi MESA tersebut akan membentuk MES bukan disalt. Menurut McArthur (1998), ekses metanol secara efektif dapat membatasi produksi disalt, dan mengurangi viskositas campuran secara signifikan sehingga memperbaiki pencampuran.
Peningkatan Stabilitas Busa MES Murni (Purified MES)
Stabilitas busa merupakan aspek penting pada produk-produk detergen dan surfaktan memegang peranan paling penting dalam pembentukan busa tersebut. Dua sifat penting yang dimiliki busa adalah kecepatan pembentukan busa dan stabilitas busa. Faktor- faktor yang mempengaruhi kedua sifat tersebut adalah kotoran yang ada dalam air dan konsentrasi ion-ion sadah (Piyali et al., 1999). Pada penelitian ini kemampuan surfaktan dala m membentuk busa diukur melalui lamanya campuran surfaktan dengan air berada pada bentuk busa setelah diberikan perlakukan mekanik yaitu pengocokan yang dapat membantu dalam pembentukan busa. Berdasarkan hasil pengukuran stabilitas busa diketahui hasil tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan konsentrasi metanol 40% dan lama reaksi 90 menit karena dapat mempertahankan busa selama 3,84 jam dan hasil terendah ditunjukkan oleh perlakuan konsentrasi metanol 10% dan lama reaksi 30 menit yang hanya mampu mempertahankan busa selama 0,41 jam dimana nilai ini hampir sama dengan yang diperoleh MES kasar (unpurified MES).
Hal ini
menunjukkan bahwa pada konsentrasi rendah, metanol belum begitu berpengaruh dalam memperbaiki karakteristik surfaktan MES murni (purified MES) dan baru berpengaruh setelah konsentrasi metanol ditingkatkan hingga 40%.
51
Dari hasil analisa keragaman (Lampiran 17c) diketahui bahwa konsentrasi metanol (K) lama reaksi (t) proses pemurnian dan interaksi keduanya memberikan pengaruh yang sangat nyata. Dari hasil uji lanjut Duncan diketahui bahwa semua taraf pada konsentrasi metanol (10,20, 30 dan 40 %) berbeda nyata satu dengan yang lainnya.
Dari hasil uji lanjut Duncan untuk lama reaksi juga diketahui
bahwa semua taraf pada lama reaksi (30 60, 90 dan 120 menit) berbeda satu dengan yang lainnya. Pada Gambar 20 dapat dilihat Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap peningkatan stabilitas busa MES murni (purified MES).
Stabilitas busa (%)
5.00
4.50 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 30
60
90
120
Lama reaksi (menit) Konsentrasi metanol 10%
Konsentrasi metanol 20%
Konsentrasi metanol 30%
Konsentrasi metanol 40%
Gambar 20. Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap peningkatan stabilitas busa MES murni (purified MES)
Dari Gambar 20 di atas dapat dilihat bahwa surfaktan MES murni (purified MES) yang ditambahkan ke dalam air mampu mempertahankan kestabilan busa hingga 3,84 jam.
Kenaikan stabilitas busa dapat disebabkan oleh kenaikan
kerapatan muatan negatif diantara molekul- molekul surfaktan, akibat kinerja MES di dalam larutan deterjen. Kenaikan kerapatan ini membantu terbentuknya gaya tolak- menolak diantara lapisan busa sehingga penyatuan antar busa semakin diperkecil. Nilai kerapatan muatan yang tinggi pada lapisan antarmuka busa dapat meningkatkan nilai stabilitas busa (Stubenrauch et al., 2003).
52
Dari Gambar di atas dapat disimpulkan bahwa nilai stabilitas busa meningkat dengan meningkatnya konsentrasi metanol yang ditambahkan selama proses pemurnian. Peningkatan lama reaksi hingga 90 menit juga memberikan pengaruh yang sama yaitu dapat meningkatkan nilai stabilitas busa, tetapi kemudian nilai stabilitas busa menurun kembali dengan penambahan lama reaksi hingga 120 menit. Pola seperti ini juga terjadi pada parameter nilai stabilitas emulsi. Menurut Hui (1996), mekanisme penggabungan dan pemisahan udara yang terjadi pada busa sama dengan yang terjadi pada emulsi. Demikian pula dengan faktor penentu stabilitas busa sama dengan faktor yang menentukan stabilitas emulsi. Menurut Swern (1979), pembentukan busa pada sebuah cairan disertai dengan perluasan permukaan cairan –udara yang besar. Dalam hal ini pembusaan didukung oleh adanya bahan lain pada cairan yang memiliki tegangan antarmuka yang lebih rendah dan memiliki kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan. Kemampuan cairan dalam pembentukan busa erat kaitannya dengan stabilitas busa. Efektivitas dari surfaktan dalam mempertahankan stabilitas busa karena kecenderungan berkumpul pada lapisan antarmuka kedua bahan.
Daya Deterjensi MES Murni (purified MES)
Deterjensi
didefinisikan
sebagai
kemampuan
untuk
menghilangkan
senyawa-senyawa yang tidak diinginkan dari suatu permukaan padat yang terbawa ketika kontak dengan suatu cairan (adanya proses pembilasan). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses penghilangan kotoran dari kain yaitu detergen, aksi mekanik selama pencucian dan substrat. Deterjensi akan menurun dengan meningkatnya kesadahan air.
Fenomena ini berlaku untuk semua surfaktan
(Salmiah et al.,, 2001). MacArthur et al., (1998), telah melakukan penelitian mengenai daya deterjensi pada tingkat kesadahan hingga 350 ppm pada beberapa surfaktan anionik seperti
C16-18 MES, AOS (Alpha Olefin Sulfonate), AS (Alcohol
Sulfate) dan LAS (Linear Alkylbenzene sulfonate).
Hasilnya menunjukkan
bahwa C16-18 MES memiliki daya deterjensi tertinggi sedangkan LAS sebagai
53
surfaktan anionik yang telah luas penggunaannya, memiliki daya deterjensi terendah. Pada penelitian ini, pengujian kemampuan deterjensi Metil Ester Sulfonat (MES) dilakukan dengan melihat kemampuan Metil Ester Sulfonat (MES) dalam mencuci kotoran berlemak pada kain.
Kecerahan (lightness) kain yang telah
dicuci merupakan indikasi keberhasilan Metil Ester Sulfonat (MES) dalam mencuci kain kotor. Semakin cerah kain yang telah dicuci maka semakin banyak kotoran yang dapat dihilangkan/dilepaskan oleh surfakan. Hasil pengukuran daya deterjensi surfaktan MES murni (purified MES) menunjukkan kisaran antara 26,28 hingga 87,22%.
Daya deterjensi tertinggi
terjadi pada kombinasi perlakuan konsentrasi metanol 40% dan lama reaksi 90 menit yaitu sebesar 87,22%, sedangkan daya deterjensi terendah terjadi pada perlakuan konsentrasi metanol 10% dan lama reaksi 30 menit yaitu sebesar 26,28%. Bila dibandingkan dengan daya deterjensi MES kasar (unpurified MES) yang memiliki daya deterjensi 25,84% maka hampir seluruh perlakuan mengalami peningkatan daya deterjensi. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa konsentrasi methanol (K) dan lama reaksi (t) berpengaruh sangat nyata terhadap nilai daya deterjensi MES murni (purified MES). Interaksi antara konsentrasi metanol dan lama reaksi juga diketahui berpengaruh sangat nyata terhadap nilai daya deterjensi MES murni (purified MES) (Lampiran 18). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa faktor konsentrasi metanol untuk semua taraf (10, 20, 30 dan 40%) menghasilkan pengaruh yang berbeda terhadap nilai daya deterjensi pada tingkat kepercayaan 95% (Lampiran 18c). Hasil Uji lanjut Duncan untuk faktor lama reaksi proses pemurnian untuk semua taraf juga menghasilkan pengaruh yang berbeda terhadap nilai daya deterjensi pada tingkat kepercayaan 95% (Lampiran 18d). Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap daya deterjensi MES murni (purified MES) disajikan pada Gambar 21.
Daya deterjensi (%)
54
100.00
100.00
80.00
80.00
60.00
60.00
40.00
40.00
20.00
20.00
0.00
0.00 30
60 90 Lama reaksi (menit)
Konsentrasi metanol 10% Konsentrasi metanol 30%
Gambar 21.
120
Konsentrasi metanol 20% Konsentrasi metanol 40%
Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap daya deterjensi MES murni (purified MES)
Dari Gambar 21 di atas diketahui bahwa peningkatan konsentrasi metanol cenderung meningkatkan daya deterjensi MES murni (purified MES). Hal ini diduga karena semakin tinggi konsentrasi metanol maka semakin banyak disalt yang mampu diesterifikasi sehingga dapat meningkatkan kinerja MES murni (purified MES)
sebagai surfaktan yang salah satunya ditunjukkan dengan
meningkatnya daya deterjensi.
Lion Corporation (Tokyo, Jepang) telah
menggunakan metanol dalam proses pemurnian MES dengan tujuan untuk mengesterifikasi disalt. Hasilnya diperoleh MES dengan kandungan disalt yang rendah (Satsuki, 1992).
Sementara Sherry et al (1995) telah melakukan
pemurnian dengan menggunakan metanol pada konsentrasi 10-15% yang dilakukan pada proses dingin (21°C) dan pada proses panas (54°C) dan hasilnya diketahui bahwa kandungan disalt dapat berkurang sampai dengan 50%. Nilai daya deterjensi MES murni (purified MES) yang dihasilkan menunjukkan kecenderungan yang sama dengan penurunan tegangan permukaan, tegangan antarmuka serta stabilitas emulsi. Semakin tinggi penurunan tegangan permukaan dan antarmuka, maka stabilitas emulsi dan daya deterjensi cenderung akan semakin tinggi, sebaliknya semakin rendah penurunan tegangan permukaan
55
dan antarmuka maka stabilitas emulsi dan daya deterjensi akan semakin rendah pula. Menurut Bird et al., (1983) kerja dari bahan pengemulsi adalah membentuk suatu kulit pada batas antara kedua cairan sehingga akan mengurangi tegangan antarmuka dan oleh karenanya memberikan kestabilan terhadap sistem emulsi tersebut. Sementara itu proses deterjensi terjadi melalui pembentukan misel- misel oleh surfaktan yang mampu membentuk globula zat pengotor. Proses pelepasan terjadi melalui penurunan tegangan antarmuka dan dibantu dengan adanya interaksi elektrostatik antar muatan.
Penentuan Perlakuan Terbaik Proses Pemurnian Metil Ester Sulfonat (MES Murni) Pada penelitian ini perlakuan terbaik proses pemurnian metil ester sulfonat (MES murni, purified MES) ditentukan berdasarkan beberapa karakteristik yang telah diukur diantaranya yaitu; penurunan tegangan permukaan, penurunan tegangan antarmuka, peningkatan stabilitas emulsi, peningkatan stabilitas busa, dan daya deterjensi. Perlakuan terbaik proses pemurnian metil ester sulfonat (MES) adalah perlakuan yang menghasilkan metil ester sulfonat (MES) dengan karakteristik sebagai berikut; tingginya penurunan tegangan permukaan, tingginya penurunan tegangan antarmuka, tingginya peningkatan stabilitas emulsi, tingginya peningkatan stabilitas emulsi dan tingginya nilai daya deterjensi. Nilai pH dalam hal ini tidak dijadikan ukuran dalam penentuan perlakuan terbaik karena pengukuran nilai pH dilakukan hanya untuk menentukan apakah metil ester sulfonat (MES murni ,purified MES) sudah bersifat netral atau belum. Kondisi netral bagi metil ester sulfonat (MES) hasil pemurnian sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya hidrolisis produk metil ester sulfonat (MES) membentuk disalt dan metanol. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa perlakuan proses pemurnian metil ester sulfonat (MES) yang menghasilkan karakteristik sebagaimana yang disyaratkan di atas adalah perlakukan dengan taraf konsentrasi 40% dan lama reaksi 90 menit. Karakteristik metil ester sulfonat (MES murni, purified MES)
56
yang dihasilkan melalui proses pemurnian tersebut adalah sebagai berikut: penurunan tegangan permukaan bernilai 42,25 mN/m (64,11%), penurunan tegangan antarmuka bernilai 34,7 mN/m (98,02%), peningkatan stabilitas emulsi bernilai 84,52 %, peningkatan stabilitas busa 3,84 jam (230 menit), dan daya deterjensi bernilai 87,22%.
Rekapitulasi data karakteristik metil ester sulfonat
(MES murni, purified MES) hasil proses pemurnian disajikan pada Lampiran 19. Metil ester sulfonat (MES murni, purified MES) hasil perlakuan terbaik proses pemurnian ini akan diaplikasikan dalam formulasi detergen bubuk. Detergen bubuk dengan bahan baku surfaktan MES ini diharapkan mampu membentuk detergen bubuk dengan karakteristik yang baik.
Pengujian Gugus Sulfonat Dengan Menggunakan FTIR (Fourier Transform Infrared Spectroscopy)
Pada penelitian ini keberadaan gugus sulfonat pada MES yang dihasilkan dideteksi
dengan
menggunakan
FTIR
(Fourier
Transform
Infrared
Spectroscopy). Menurut Silverstein dan Webster (1988), pengujian dengan metode FTIR telah dikembangkan secara ekstensif sejak beberapa dekade yang lalu karena memiliki beberapa keuntungan. Radiasi pada FTIR mencakup semua panjang gelombang IR (Infrared) yaitu 5000 – 400 cm-1 yang terbagi menjadi dua sinar (beams). Satu sinar adalah panjang tetap (fixed length) sedangkan sinar yang lainnya adalah panjang variabel (variable length). Beberapa keuntungan metode FTIR antar lain adalah: 1) kisaran radiasi yang masuk mampu melalui sampel yang diuji secara simultan sehingga dapat menghemat waktu karena pada FTIR tidak digunakan sistem monokromator; 2) instrumen FTIR memiliki resolusi yang sangat tinggi; 3) FTIR dapat digunakan dalam hubungan dengan HPLC atau GC. Menurut Mukherji et al., (1985), pendeteksian gugus sulfonat dengan menggunakan spektrum infrared dikarakterisasi oleh regangan getaran molekul OH dan S=O. Penampakan regangan pada daerah dengan bilangan gelombang 3460-3100 cm-1 ditetapkan sebagai O-H sedangkan regangan vibrasi S=O yang simetris ditampakkan pada bilangan gelombang 1342-1250 cm-1 .
57
Pecsok et al., 1976 menyatakan bahwa gugus sulfonat ionik dideteksi pada bilangan gelombang 1250-1150(s) cm-1 dan 1075-1000(m) cm-1 , sedangkan menurut ASTM (D 2357-74, 2001) gugus sulfonat dihasilkan pada bilangan gelombang 1235 sampai 1176 cm-1 . Menurut Silverstein dan Webster (1988), regangan getaran gugus sulfonat dideteksi pada bilangan gelombang 1372 – 1335 cm-1 dan 1195 – 1168 cm-1 . Secara lebih rinci regangan getaran simetrik dan asimetrik (getaran tinggi, panjang gelombang pendek) gugus S=O senyawa sulfonat, sulfat, dan asam sulfonat disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Regangan getaran simetrik dan asimetrik gugus S=O senyawa sulfonat, sulfat, dan asam sulfonat*) No. Kelas Regangan getaran (cm-1 ) 1.
Sulfonat (kovalen)
1372 – 1335; 1195 – 1168.
2.
Sulfat (organik)
1415 – 1380; 1200 – 1185.
3.
Asam sulfonat
1350 – 1342; 1165 – 1150.
4.
Garam sulfonat
∼ 1175 ∼ 1055
*)
Sumber : Silverstein dan Webster (1988) Pengujian FTIR pada penelitian ini dilakukan pada MES hasil pemurnian
(MES murni, purified MES) terbaik yaitu konsentrasi metanol 40% dan lama reaksi 90 menit.
Grafik hasil pengujian FTIR sampel surfaktan MES murni
(purified MES) terbaik disajikan pada Gambar 22.
Pada grafik tersebut, gugus
sulfonat diperlihatkan pada bilangan gelombang 1243,4 sampai 1172,2 cm-1 , gugus S=O pada bilangan gelombang 1029,1 cm-1 dan golongan alkohol pada bilangan gelombang 3600-3200 cm-1 .
58
Gambar 22. Grafik hasil pengujian gugus sulfonat pada MES hasil pemurnian (MES murni, purified MES) terbaik menggunakan FTIR
59
Formulasi Deterjen Bubuk Menurut Manik dan Edward (1987) dalam kehidupan sehari- hari yang dimaksud dengan detergen adalah detergen sintetik yang dibuat dari bahan-bahan kimia selain sabun. Detergen yang banyak digunakan adalah detergen anionik yang memiliki rantai lurus karena rantai lurus relatif mudah diuraikan oleh mikroorganisme dibandingkan detergen dengan rantai bercabang. Sejak pertama diperkenalkannya detergen sintetik, jenis detergen bubuk merupakan salah satu jenis detergen yang diadaptasi paling baik karena bentuk fisiknya sangat menguntungkan untuk menyatukan antara kebutuhan industri dan pengguna produk akhir.
Detergen terdiri dari berbagai macam komponen
penyusun dengan fungsinya masing- masing seperti surfaktan, sumber alkali, bahan pengisi, bahan pencermelang, builder, bahan anti redeposisi, parfum dan lain sebagainya. Pada penelitian ini formulasi yang digunakan dalam pembuatan detergen adalah merupakan formulasi yang diadopsi dari formula Matheson (1996) dengan konsentrasi surfaktan MES yang digunakan adalah 15, 20 dan 25%. Perbedaan penggunaan konsentrasi surfaktan dalam formulasi dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat konsentrasi surfaktan MES yang mampu menghasilkan karakteristik detergen bubuk paling baik. Surfaktan MES ya ng digunakan dalam formulasi adalah MES kasar (unpurified MES) dan MES murni (purified MES), hal ini dilakukan untuk membandingkan karakteristik detergen yang dihasilkan.
MES murni (purified
MES) yang digunakan dalam formulasi adalah MES murni (purified MES) dengan karakteristik terbaik yaitu MES yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan konsentrasi metanol 40% dan lama reaksi 90 menit, karena memiliki kemampuan menurunkan tegangan permukaan dan antarmukanya tertinggi, serta kemampuan meningkatkan stabilitas emulsi dan daya deterjensi tertinggi sehingga diharapkan dapat menghasilkan detergen dengan karakteristik yang baik. Karakteristik MES kasar (unpurified MES) dan MES murni (purified MES) yang digunakan dalam formulasi detergen disajikan pada Tabel 8.
60
Tabel 8. Karakteristik MES kasar (unupurified MES) dan MES murni (purified MES)* No. Parameter MES kasar MES murni (unpurified MES) (purified MES) 1. Penurunan tegangan 30,6 mN/m 42,25 mN/m permukaan (46,36%) (64,11%) 2. Penurunan tegangan 31,1 mN/m 34,7 mN/m antarmuka (87,99%) (98,02%) 3. pH sebelum 4,98 3,95 netralisasi 4. pH netralisasi -----6,92 (setelah proses evaporasi) 5. Daya deterjensi (%) 25,84% 87,22% 6. 7. 8.
Peningkatan stabilitas emulsi (%) Peningkatan stabilitas busa (jam) Densitas (g/ml)
15,96%
84,52%
0,38 jam (23 menit) 0,87 g/ml
3,98 jam (239 menit) 0,89 g/ml
Keterangan : *MES murni (purified MES) pemurnian
hasil perlakuan terbaik proses
Pada penelitian ini, detergen bubuk diproduksi dengan menggunakan sistem pengering fluidized-bed drying. Menurut Adami dan Moretti (1996), prinsip dari sistem pengering ini adalah berdasarkan pada aplikasi teknik fluidisasi terhadap komponen-komponen detergen. Fluidisasi dilakukan pada suatu tempat (plate) khusus untuk partikel padat dan udara kering akan mengalir ke arah atas mengenai komponen-komponen yang akan dikeringkan. Di dalam sistem pengering ini akan terjadi proses pencampuran, pengeringan dan aglomerasi dalam suatu wadah (plate). Dasar pertimbangan digunakannya sistem fluidized-bed drying adalah: 1. Karena komponen yang digunakan pada formulasi detergen sebagian besar adalah
berupa
partikel
padat
sehingga
tidak
memungkinkan
untuk
menggunakan sistem pengering spray drying. 2. Menurut MacArhur et al., (1998), MES memiliki stabilitas hidrolitik yang kurang baik pada pH tinggi (basa) sehingga tidak mungkin diformulasikan pada kondisi aqueous karena hal ini akan menyebabkan MES terhidrolisis membentuk di-salt. Oleh karena itu tidak memungkinkan digunakan sistem
61
pengeringa n yang pada saat pencampuran bahan harus berada dalam kondisi aquaeus seperti halnya sistem spray drying dimana sebelumnya bahan dicampur sampai membentuk slurry (campuran bahan yang mengandung banyak air). Hidrolisis MES selama proses spray drying dapat di lihat pada Tabel 9. Tabel 9. Hidrolisis MES selama proses spray drying*. Waktu
Initial setelah spray drying
Di-salt 4,4% 33% *Sumber : MacArthur et al., (1998)
setelah 1 bulan setelah 2 bulan 89%
98%
3. Rendemen yang dihasilkan dengan menggunakan sistem pengering fluidized bed drying lebih banyak karena desain alatnya tidak terlalu rumit sehingga produk akhir tidak banyak yang tertinggal pada alat. Neraca massa proses produksi detergen dapat dilihat pada Lampiran 20.
Karakterisasi Detergen Bubuk Untuk mengetahui sifat fisik dan kimia detergen yang dihasilkan maka pada penelitian ini dilakukan analisa terhadap beberapa parameter antara lain; pH (derajat keasaman), kadar air (basis basah), bobot jenis, daya deterjensi, stabilitas emulsi air-xylen, bahan tidak larut dalam air dan derajat putih.
Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman atau pH merupakan parameter kimiawi untuk mengetahui detergen bubuk yang dihasilkan bersifat asam atau basa. Detergen bekerja efektif pada suasana basa (alkali) karena untuk penetralan kotoran, penyabunan kotoran lemak, dan pH tinggi juga membantu kotoran tetap tersuspensi dalam larutan. Berdasarkan SNI 06-4594-1998 nilai pH larutan 1 persen detergen bubuk dalam air harus berkisar antara 9.5 dan 11.0.
62
Hasil penelitian menunjukkan bahwa detergen bubuk yang dihasilkan pada umumnya bersifat basa dengan nilai pH berkisar antara 10,62 sampai 10,97. Detergen bubuk dengan konsentrasi MES kasar (unpurified MES) 15, 20 dan 25 % memiliki pH berturut-turut 10,97; 10,95; dan 10,86. Detergen bubuk dengan konsentrasi MES murni (purified MES) 15, 20 dan 25 % memiliki nilai pH berturut-turut 10,77; 10,72; dan 10,62. Sedangkan nilai pH detergen komersial yaitu 10,58. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa faktor konsentrasi surfaktan MES kasar (unpurified MES) maupun MES murni (purified MES) yang digunakan dalam formulasi detergen bubuk berpengaruh terhadap perubahan nilai pH detergen bubuk. Perhitungan analisis varian disajikan pada Lampiran 21. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa faktor konsentrasi MES kasar (unpurified MES) 15% memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan konsentrasi MES kasar (unpurified MES) 20%, tetapi berbeda nyata dengan faktor konsentrasi MES kasar (unpurified MES) 25%. Hasil uji Duncan untuk MES murni (purified MES), menunjukkan bahwa taraf faktor konsentrasi MES murni (purified MES) 15% memberikan hasil yang berbeda nyata dengan taraf faktor konsentrasi MES murni (purified MES) 20 dan 25%. Taraf faktor konsentrasi MES murni (purified MES) 20% berbeda nyata dengan faktor konsentrasi MES murni (purified MES) 25%. Bila dibandingkan dengan detergen bubuk komersial, kedua jenis detergen bubuk hasil penelitian memiliki nilai pH yang berbeda nyata dengan nilai pH detergen bubuk komersial. Histogram hubungan antara perubahan nilai pH dengan jenis detergen bubuk ditunjukkan pada Gambar 23.
63
Perubahan Nilai pH
11.00 10.90 10.80 10.70 10.60 10.50 10.40 10.30 Detergen A
Detergen B
Detergen C
Jenis Detergen Konsentrasi surfaktan 15%
Konsentrasi surfaktan 20%
Konsentrasi surfaktan 25%
Detergen komersial
Keterangan: Detergen A Detergen B Detergen C
Gambar 23.
: : :
Detergen bubuk berbahan baku MES kasar (unpurified MES ) Detergen bubuk berbahan baku MES murni (purified MES) Detergen bubuk komersial
Histogram hubungan antara perubahan nilai pH dengan jenis detergen bubuk.
Dari Gambar 23 di atas diketahui bahwa peningkatan konsentrasi MES kasar (unpurified MES) maupun MES murni (purified MES) yang digunakan dalam formulasi detergen bubuk cenderung menurunkan nilai pH detergen bubuk yang dihasilkan. Tetapi secara keseluruhan nilai pH detergen tetap berada pada kisaran lebih dari 9. Hal ini diduga disebabkan oleh jumlah bahan aktif permukaan yaitu surfaktan serta komposisi bahan baku yang digunakan dalam formula penyusun detergen bubuk, terutama natrium karbonat (Na2 CO3 ) yang berfungsi sebagai sumber alkali dan bahan pengisi di dalam detergen, sebagai agent penetralan serta sebagai buffer kimia.
Selain itu, natrium karbonat juga digunakan untuk
menghilangkan kekerasan (kesadahan) permanen dari air yang disebabkan oleh kehadiran garam Ca dan Mg di dalam air atau untuk melunakkan air oleh adanya endapan Ca dan Mg karbonat sehingga pH larutan lebih dari 9 (Rosin , 1967).
64
Penetapan Kadar air ( Basis Basah) Menurut Apriyantono et al., (1988), prinsip dari penetapan kadar air adalah mengeringkan sampel dalam ove n 100°C-102°C sampai diperoleh berat tetap. Perhitungannya sendiri bisa dilakukan berdasarkan basis basah dan basis kering. Perhitungan basis basah dilakukan dengan cara membagi jumlah bobot yang hilang dengan bobot sampel awal, sedangkan perhitungan basis kering dilakukan dengan cara membagi jumlah bobot yang hilang dengan bobot sampel setelah dikeringkan. Pengukuran kadar air merupakan salah satu tahap yang dilakukan untuk mengontrol kualitas produk detergen bubuk yang dihasilkan.
Kadar air yang
terkandung dalam detergen bubuk dapat mempengaruhi tekstur detergen bubuk itu sendiri. Menurut Permono (2002), kadar air ideal untuk detergen berkisar antara 5 sampai 6 %. Dengan kadar air demikian diharapkan dapat memenuhi salah satu standar yang telah ditetapkan SNI 06-4594 (1998), yaitu detergen harus berbentuk granula atau serbuk, homogen, mudah mengalir, bebas dari bahan asing dan tidak boleh menimbulkan bau berlebih. Berdasarkan hasil analisa kadar air terhadap detergen bubuk yang dihasikan, kadar air masing- masing detergen dengan konsentrasi MES kasar (unpurified MES) 15, 20, dan 25 % menunjukkan nilai yang berbeda-beda. Secara berturutturut nilai kadar airnya adalah 6,04, 6,62, dan 7,57%. Kadar air detergen bubuk yang menggunakan MES murni (purified MES) juga menunjukkan nilai yang berbeda-beda, untuk konsentrasi MES murni (purified MES) 15 % kadar airnya adalah 5,11%., konsentrasi MES murni (purified MES) 20 % kadar airnya adalah 5,53%, sedangkan untuk konsentrasi MES murni (purified MES) 25 % kadar airnya adalah 6,07%. Dari data tersebut di atas terlihat bahwa detergen bubuk dengan menggunakan MES kasar (unpurified MES) memiliki kadar air diluar kisaran yang disyaratkan oleh Permono (2002) sedangkan detergen bubuk dengan menggunakan MES murni (purified MES) berada pada kisaran yang disyaratkan oleh Permono (2002). Hasil analisis keragaman terhadap nilai kadar air detergen bubuk yang dihasilkan (Lampiran 22) menunjukkan bahwa konsentrasi MES kasar (unpurified
65
MES) dan MES murni (purified MES) berpengaruh secara signifikan pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, nilai kadar air detergen bubuk dengan taraf konsentrasi MES kasar (unpurified MES) 15% berbeda nyata dengan detergen bubuk dengan taraf konsentrasi MES kasar (unpurified MES) 20 dan 25%. Sementara itu, berdasarkan hasil uji lanjut Duncan pada detergen bubuk yang berbahan baku MES murni (purified MES) diketahui bahwa taraf konsentrasi MES murni (purified MES) 15% tidak berbeda nyata dengan taraf konsentrasi MES murni (purified MES) 20%, tetapi berbeda nyata dengan taraf konsentrasi MES murni (purified MES) 25%. Histogram hubungan
Nilai Kadar Air (%)
antara nilai kadar air dengan jenis detergen bubuk disajikan pada Gambar 24.
8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 Detergen A
Detergen B
Detergen C
Jenis Detergen Konsentrasi surfaktan 15%
Konsentrasi surfaktan 20%
Konsentrasi surfaktan 25%
Detergen komersial
Keterangan: Detergen A Detergen B Detergen C
: : :
Detergen bubuk berbahan baku MES kasar (unpurified MES ) Detergen bubuk berbahan baku MES murni (purified MES) Detergen bubuk komersial
Gambar 24. Histogram hubungan antara nilai kadar air dengan jenis detergen bubuk.
66
Dari Gambar 24 di atas terlihat bahwa peningkatan konsentrasi MES kasar (unpurified MES) dan MES murni (purified MES) yang digunakan dalam formulasi detergen bubuk cenderung meningkatkan kadar air detergen bubuk yang dihasilkan. Hal ini diduga berhubungan dengan kemampuan sistem pengeringan (fluidized bed drying) dalam menguapkan cairan yang terkandung dalam campuran bahan detergen.
Dengan asumsi bahwa waktu dan suhu reaksi yang
digunakan selama pengeringan adalah sama untuk setiap perlakuan, maka campuran bahan detergen dengan konsentrasi MES yang ditambahkan lebih tinggi tentu akan bersifat lebih basah dibandingkan dengan campuran bahan detergen dengan konsentrasi MES yang lebih rendah. Hal ini mungkin terjadi karena MES yang digunakan dalam formulasi detergen berupa suatu cairan.
Bobot Jenis Bobot jenis atau densitas didefinisikan sebagai bobot suatu cairan per satuan volume (ASTM, 2002). Menurut Adami dan Moretti (1996), bobot jenis produk detergen merupakan sifat fisik yang paling penting bagi konsumen, dimana sifat ini ditentukan oleh daya serap partikel, daya serap lapisan partikel, bentuk partikel dan distribusi ukuran partikel. Sifat-sifat tersebut tergantung pada bagaimana komponen-komponen penyusun detergen dapat disatukan pada saat proses produksi. Hasil pengukuran bobot jenis detergen bubuk dengan menggunakan surfaktan MES kasar (unpurified MES) menunjukkan kisaran antara 0,415 hingga 0,448 g/ml, sedangkan bobot jenis detergen bubuk dengan menggunakan MES murni (purified MES) menunjukkan kisaran 0,329 hingga 0,397 g/ml. Dengan kisaran demikian, maka detergen bubuk yang dihasilkan dalam penelitian ini baik yang berbahan baku MES kasar (unpurified MES) maupun MES murni (purified MES) dapat dikategorikan sebagai detergen tipe reguler. Menurut Adami dan Moretti (1996), bobot jenis detergen tipe reguler berkisar antara 0.35 sampai 0.55 g/ml. Detergen tipe reguler ini diklasifikasikan berdasarkan aplikasi produknya sebagai detergen heavy duty laundry powders untuk membersihkan pakaian, dishes dan permukaan.
67
Hasil analisa keragaman menunjukkan bahwa konsentrasi surfaktan MES kasar (unpurified MES) dan MES murni (purified MES) berpengaruh nyata terhadap bobot jenis deterjen bubuk yang dihasilkan (Lampiran 23). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa semua taraf pada konsentrasi surfaktan MES kasar (unpurified MES) yaitu taraf konsentrasi 15, 20, dan 25% memberikan hasil yang berbeda nyata satu sama lain. Hal ini juga terjadi pada detergen bubuk berbahan baku MES murni (purified MES) dimana taraf konsentrasi 15 % berbeda nyata dengan konsentrasi 20 dan 25 %, dan konsentrasi 20% berbeda nyata dengan taraf konsentrasi 25%. Bila dibandingkan dengan detergen bubuk komersial, kedua jenis detergen bubuk hasil penelitian juga berbeda nyata satu sama lain. Histogram hubungan antara bobot jenis dengan jenis detergen bubuk disajikan
Bobot Jenis (g/ml)
pada Gambar 25.
0.45 0.40 0.35 0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00 Detergen A
Detergen B
Detergen C
Jenis Detergen Konsentrasi surfaktan 15%
Konsentrasi surfaktan 20%
Konsentrasi surfaktan 25%
Detergen komersial
Keterangan: Detergen A Detergen B Detergen C
: : :
Detergen bubuk berbahan baku MES kasar (unpurified MES ) Detergen bubuk berbahan baku MES murni (purified MES) Detergen bubuk komersial
Gambar 25. Histogram hubungan antara bobot jenis dengan jenis detergen bubuk.
68
Dari Gambar 25 tersebut terlihat bahwa detergen bubuk yang dihasilkan baik dengan menggunakan surfaktan MES kasar (unpurified MES) maupun menggunakan MES murni (purified MES) memiliki bobot jenis yang cenderung meningkat dengan meningkatnya konsentrasi surfaktan MES yang ditambahkan dalam formulasi detergen bubuk.
Menurut Permono (2002), bobot jenis
berhubungan dengan kerataan. Semakin rata bahan campuran maka pengukuran bobot jenis secara berulang akan diperoleh bobot jenis yang sama atau hampir sama. Bila dibandingkan dengan detergen bubuk komersial yang memiliki bobot jenis 0,380 g/ml maka detergen bubuk dengan menggunakan surfaktan MES murni (purified MES) maupun MES kasar (unpurified MES) memiliki kerataan atau distribusi partikel yang berbeda dengan detergen komersial.
Daya Deterjensi Menurut Kirk dan Othmer (1969), faktor- faktor yang mempengaruhi daya deterjensi adalah (1) komposisi pengotor secara kimia dan fisik, (2) temperatur pada saat proses pencucian, (3) durasi setiap tahapan proses pencucian, (4) jenis dan proses mekanisasi yang digunakan, (5) jumlah pengotor yang terdapat di dalam sistem, dan (6) jenis dan jumlah surfaktan yang digunakan. Pada penelitian ini daya deterjensi diukur terhadap kain putih yang ditetesi bahan pengotor. Kain putih yang ditetesi pengotor digunakan sebagai kontrol untuk dibandingkan dengan kain yang telah dicuci menggunakan detergen bubuk yang mengandung surfaktan MES kasar (unpurified MES), MES murni (purified MES), dan detergen komersial.
Tingkat kemampuan surfaktan MES kasar
(unpurified MES), MES murni (purified MES) dan detergen komersial dalam membersihkan kotoran ditetapkan berdasarkan persentase kotoran yang hilang pada kain. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa daya deterjensi detergen bubuk berbahan baku MES kasar (unpurified MES) memiliki kisaran nilai antara 34.1 sampai 47,12%. Sedangkan daya deterjensi detergen bubuk berbahan baku MES murni (purified MES) berkisar antara 73.77 dan 88,26%. Daya detejensi tertinggi diperoleh detergen bubuk dengan konsentrasi MES murni (purified MES)
69
25 % yaitu 88,26% dan daya deterjensi terendah diperoleh detergen bubuk dengan konsentrasi MES kasar (unpurified MES) 15 % yaitu 34,10%. Sementara itu nilai daya deterjensi untuk detergen komersial adalah 90,45%. Hasil analisis keragaman terhadap daya deterjensi detergen bubuk (Lampiran 24) menunjukkan bahwa konsentrasi MES kasar (unpurified MES) dan MES murni (purified MES) berpengaruh secara nyata terhadap daya deterjensi pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa daya deterjensi detergen bubuk dengan konsentrasi MES kasar (unpurified MES) 15% tidak berbeda secara signifikan dengan daya deterjensi detergen bubuk dengan konsentrasi 20%, tetapi berbeda secara signifikan dengan konsentrasi MES kasar (unpurified MES) 25%. Sedangkan hasil uji lanjut Duncan pada detergen bubuk berbahan baku MES murni (purified MES), diketahui bahwa daya deterjensi detergen bubuk dengan konsentrasi MES murni (purified MES) 15% berbeda secara signifikan dengan daya deterjensi deterjen bubuk dengan konsentrasi 20 dan 25%, dan konsentrasi 20% berbeda secara siginifikan dengan konsentrasi 25%.
Bila dibandingkan dengan detergen berbahan baku surfaktan
komersial, detergen bubuk berbahan baku MES murni (purified MES) pada konsentrasi 25% memiliki daya deterjensi yang tidak berbeda nyata. Histogram hubungan antara daya deterjensi dengan jenis detergen bubuk disajikan pada Gambar 26.
70
Daya Deterjensi (%)
100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00 Detergen A
Detergen B
Detergen C
Jenis Detergen Bubuk Konsentrasi surfaktan 15%
Konsentrasi surfaktan 20%
Konsentrasi surfaktan 25%
Detergen komersial
Keterangan: Detergen A Detergen B Detergen C
: : :
Detergen bubuk berbahan baku MES kasar (unpurified MES ) Detergen bubuk berbahan baku MES murni (purified MES) Detergen bubuk komersial
Gambar 26.
Histogram hubungan antara daya deterjensi dengan jenis detergen bubuk.
Dari Gambar 26 di atas terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi surfaktan MES yang digunakan maka semakin besar nilai daya deterjensi detergen bubuk yang dihasilkan.
Kecenderungan ini terjadi baik pada detergen yang
menggunakan surfaktan MES kasar (unpurified MES) maupun MES murni (purified MES). Tetapi dibandingkan dengan daya deterjensi detergen bubuk yang menggunakan MES kasar (unpurified MES), daya deterjensi detergen bubuk yang menggunakan MES murni (purified MES) pada tingkat konsentrasi yang sama memiliki kisaran nilai daya deterjensi yang jauh lebih besar. Hal ini diduga karena MES murni (purified MES) sudah mengalami proses pemurnian yang diduga dapat mencegah terbentuknya di-salt. Keberadaan di-salt dalam jumlah tertentu dapat mempengaruhi kinerja MES sebagai surfaktan sehingga mengurangi daya deterjensi detergen bubuk. Menurut Watkins (2000), di-salt memiliki daya deterjensi 50 % lebih rendah dibanding surfaktan MES.
71
Kemampuan detergen dalam membersihkan kotoran terjadi melalui penurunan tegangan permukaan yang dibantu dengan adanya interaksi elektrostatik antar muatan karena adanya surfaktan dalam formulasi detergen. Ilustrasi penurunan tegangan permukaan air oleh sabun dan detergen ditunjukkan pada Gambar 27.
(a)
(b)
Gambar 27. Ilustrasi penurunan tegangan permukaan air oleh sabun dan detergen (www.cleaning101.com) Gambar 27 diatas memperlihatkan bagaimana surfaktan dalam sabun dan detergen menurunkan tegangan permukaan air. (a) Ilustrasi skematik pada saat detergen atau sabun berada dalam air. Dari gambar tersebut terlihat bahwa bagian polar dari surfaktan bermuatan negatif, sedangkan larutan bermuatan positif. Bagian nonpolar dari surfaktan sangat tidak dapat bergabung dengan bagian polar dari molekul air maka molekul surfaktan membentuk lapisan pada permukaan air, (b) Ketika permukaan air berubah, ada ruang untuk molekul surfaktan untuk mencapai permukaan dan keluar dari bagian dalam air. Dalam kondisi seperti ini, molekul surfaktan memiliki energi lingkungan yang lebih rendah sementara itu struktur bagian dalam dari air memiliki lebih banyak ikatan hidrogen. Hal ini berarti bahwa permukaan air lebih mudah untuk diubah dan tegangan permukaan dapat direduksi (diturunkan).
72
Peningkatan Stabilitas Emulsi Air-Xylen
Suatu sistem emulsi, pada dasarnya adalah suatu sistem yang tidak stabil, karena masing- masing partikel mempunyai kecenderungan untuk bergabung dengan partikel lainnya.
Kekuatan dan kekompakkan lapisan antar muka
(interfacial film) adalah sifat yang penting yang dapat membentuk stabilitas emulsi (Suryani, et al., 2000). Menurut Bennet (1947), kestabilan suatu emulsi dipengaruhi oleh tegangan permukaan antar kedua fasa, sifat zat yang teradsoprsi pada lapisan interfasial, besar muatan listrik partikel, ukuran partikel, volume fasa terdispersi, viskositas medium pendispersi, perbedaan densitas kedua fasa serta kondisi penyimpanan. Pada penelitian ini, pengujian stabilitas emulsi dilakukan untuk menguji kemampuan surfaktan sebagai salah satu bahan penyusun detergen bubuk dalam mempetahankan emulsi air-xylen. Fungsi surfaktan dalam hal ini adalah untuk menurunkan tegangan permukaan antara kedua fasa sehingga keduanya mudah membentuk emulsi dan meningkatkan kestabilan emulsi.
Pada pembentukan
sistem emulsi, cairan fasa terdispersi diusahakan tersebar sempurna dalam medium pendispersi. Semakin baik distribusi ukuran dan semakin kecil diameter droplet, maka akan semakin stabil emulsi. Hasil pengukuran stabilitas emulsi air- xylen pada detergen bubuk dengan konsentrasi surfaktan MES kasar (unpurified MES) 15, 20 dan 25 % mampu mempertahankan emulsi yang terbentuk selama 24 jam berturut-turut sebesar 39,19, 42,86 dan 47,44%, sedangkan detergen bubuk dengan konsentrasi surfaktan MES murni (purified MES) 15, 20 dan 25 % mampu mempertahankan stabilitas emulsi selama 24 jam sebesar 75,32, 79.27 dan 89.02%.
Bila
dibandingkan dengan detergen bubuk komersial yang memiliki stabilitas emulsi sebesar 91,42%, maka deterjen bubuk dengan menggunakan surfaktan MES murni (purified MES) pada konsentrasi 25% memiliki stabilitas emulsi yang relatif sama. Hasil analisis keragaman (Lampiran 25) terhadap stabilitas emulsi detergen bubuk menunjukkan bahwa konsentrasi MES berpengaruh secara nyata terhadap stabilitas emulsi detergen bubuk baik yang berbahan baku MES kasar (unpurified
73
MES) maupun yang berbahan baku MES murni (purified MES). Hasil uji lanjut Duncan terhadap stabilitas emulsi deterjen bubuk berbahan baku MES kasar (unpurified MES) menunjukkan bahwa semua taraf pada konsentrasi MES kasar (unpurified MES) yaitu 15, 20, dan 25% berbeda secara signifikan satu sama lain. Hal ini juga terjadi pada stabilitas emulsi detergen bubuk berbahan baku MES murni (purified MES).
Dimana semua taraf pada konsentrasi MES murni
(purified MES) yaitu 15, 20, dan 25% berbeda secara signifikan satu sama lain. Bila dibandingkan dengan detergen bubuk komersial, kedua jenis detergen bubuk hasil penelitian memiliki stabilitas emulsi yang berbeda secara signifikan dengan detergen bubuk komersial. Histogram hubungan antara stabilitas emulsi dengan jenis detergen bubuk ditunjukkan pada Gambar 28.
Stabilitas Emulsi (%)
100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00 Detergen A
Detergen B
Detergen C
Jenis Detergen Konsentrasi surfaktan 15%
Konsentrasi surfaktan 20%
Konsentrasi surfaktan 25%
Detergen komersial
Keterangan: Detergen A Detergen B Detergen C
: : :
Detergen bubuk berbahan baku MES kasar (unpurified MES ) Detergen bubuk berbahan baku MES murni (purified MES) Detergen bubuk komersial
Ga mbar 28. Histogram hubungan antara stabilitas emulsi terhadap jenis detergen
bubuk
74
Dari Gambar 28 di atas diketahui bahwa stabilitas emulsi cenderung meningkat dengan meningkatnya konsentrasi MES yang digunakan dalam formulasi detergen bubuk. Nilai stabilitas emulsi yang dihasilkan menunjukkan kecenderungan yang sama dengan daya deterjensi detergen bubuk.
Semakin
tinggi konsentrasi surfaktan MES (kasar maupun murni) yang digunakan dalam formulasi maka semakin tinggi stabilitas emulsi dan daya deterjensi detergen bubuk yang dihasilkan. Hal ini diduga dengan semakin banyaknya MES yang digunakan dalam formulasi detergen maka semakin banyak gugus aktif yang mampu menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka air –xylen yang berbeda derajat polaritasnya.
Dengan turunnya tegangan antar muka,
menyebabkan menurunnya gaya tolak- menolak antara molekul- molekul berbeda fasa dan juga menurunnya gaya tarik-menarik antara molekul- molekul berfasa sama. Hal ini mengakibatkan sistem emulsi menjadi stabil.
Bahan Tidak Larut Dalam Air Pengukuran bahan tidak larut dalam air dilakukan untuk mengetahui kemampuan kelarutan detergen bubuk dalam air dan kandungan benda asing yang terdapat dalam detergen bubuk yang dihasilkan.
Menurut SNI-06-4594-1998,
jumlah bahan tidak larut dalam air tidak boleh lebih dari 1%. Hasil pengukuran jumlah bahan tidak larut dalam air pada detergen bubuk dengan konsentrasi MES kasar (unpurified MES) 15, 20 dan 25 % berturut-turut adalah 2,81, 4,08 dan 5,11%.
Dan jumlah bahan tidak larut dalam air pada
detergen bubuk dengan konsentrasi MES murni (purified MES) 15, 20, dan 25 % berturut-turut adalah 1,79, 2,53 dan 3,68%, sedangkan jumlah bahan tidak larut air pada detergen komersial adalah 5,30%. Hasil analisis keragaman (Lampiran 26) terhadap jumlah bahan tidak larut dalam air menunjukkan bahwa konsentrasi MES berpengaruh secara nyata terhadap jumlah bahan tidak larut dalam air dari detergen hasil penelitian. Fenomena ini terjadi baik pada detergen yang berbahan baku MES kasar (unpurified MES) maupun yang berbahan baku MES murni (purified MES). Hasil uji lanjut Duncan terhadap jumlah bahan tidak larut dalam air deterjen bubuk
75
berbahan baku MES kasar (unpurified MES) menunjukkan bahwa semua taraf pada konsentrasi MES kasar (unpurified MES) yaitu 15, 20, dan 25% berbeda secara signifikan satu sama lain. Tetapi hal ini tidak terjadi pada detergen bubuk berbahan baku MES murni (purified MES). Konsentrasi MES murni (purified MES) 15% tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 20% tetapi berbeda nyata dengan konsentrasi 25%. Detergen bubuk berbahan baku MES kasar (unpurified MES) pada konsentrasi 15% memiliki jumlah bahan tidak larut dalam air yang tidak berbedanya dengan detergen bubuk berbahan baku MES murni (purified MES) pada konsentrasi 20%. Tetapi secara umum detergen bubuk hasil penelitian memiliki jumlah bahan tidak larut dalam air yang berbeda nyata dengan detergen komersial. Histogram hubungan antara bahan tidak larut dalam air dengan jenis detergen bubuk ditunjukkan pada Gambar 29.
Bahan Tidak Larut Dalam Air (%)
6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
Detergen A
Detergen B
Detergen C
Jenis Detergen Konsentrasi surfaktan 15%
Konsentrasi surfaktan 20%
Konsentrasi surfaktan 25%
Detergen komersial
Keterangan: Detergen A Detergen B Detergen C
: : :
Detergen bubuk berbahan baku MES kasar (unpurified MES ) Detergen bubuk berbahan baku MES murni (purified MES) Detergen bubuk komersial
Gambar 29. Histogram hubungan antara bahan tidak larut dalam air dengan jenis detergen bubuk.
76
Berdasarkan Gambar 29 di atas diketahui bahwa jumlah bahan tidak larut dalam air pada detergen bubuk yang dihasilkan baik yang berbahan baku MES kasar (unpurified MES), MES murni (purified MES) maupun surfaktan komersial berada pada kisaran lebih dari 1%. Hal ini berarti jumlah bahan tidak larut dalam air baik pada detergen bubuk yang dihasilkan dalam penelitian maupun detergen komersial berada di luar kisaran yang telah ditetapkan. .Faktor penyebabnya diduga karena terjadinya reaksi diantara bahan penyusun formulasi detergen bubuk yang tidak terkontrol sehingga membentuk senyawa lain yang sifatnya menggumpal.
Keberadaan bahan tidak larut dalam air juga dapat disebabkan
karena terjadinya pengkristalan selama pencampuran dan pengeringan bahan penyusun detergen di dalam alat pengering fluidized bed drying.
Menurut
Permono (2002) salah satu penyebab terjadinya pengkristalan adalah karena kondisi pencampuran yang tidak sesuai standar.
Derajat Putih Menurut laporan BPPIS (1989), derajat putih (tingkat keputihan) adalah merupakan daya memantulkan cahaya yang mengenai permukaan bahan tersebut. Pengukuran derajat putih bertujuan untuk mengetahui tingkat warna putih detergen yang dihasilkan berdasarkan standar warna putih yang terdapat pada alat whiteness meter. Standar warna putih pada alat ditetapkan pada nilai 85. Berdasarkan hasil pengukuran diketahui bahwa derajat putih detergen bubuk dengan konsentrasi MES kasar (unpurified MES) 15% adalah 82,5, konsent rasi MES kasar (unpurified MES) 20 % adalah 81 dan konsentrasi MES kasar (unpurified MES) 25% adalah 79,5. Sedangkan derajat putih detergen bubuk berbahan baku MES murni (purified MES) dengan konsentrasi 15, 20 dan 25% berturut-turut adalah 87,5, 86 dan 84,5. Dari hasil analisa keragaman (Lampiran 27) diketahui bahwa taraf konsentrasi MES yang digunakan dalam formulasi berpengaruh nyata terhadap derajat putih detergen bubuk yang dihasilkan. Fenomena ini terjadi baik pada detergen bubuk dengan bahan baku MES kasar (unpurified MES) maupun MES murni (purified MES). Hasil uji lanjut Duncan diketahui bahwa konsentrasi MES
77
kasar (unpurified MES) 15, 20, dan 25% berbeda secara signifikan satu sama lain. Hal serupa juga terjadi pada MES murni (purified MES), dimana konsentrasi 15% berbeda nyata dengan konsentrasi 20 dan 25%, dan konsentrasi 20% berbeda dengan konsentrasi 25%, tetapi konsentrasi 25% ini tidak berbeda nyata dengan nilai derajat putih pada detergen komersial. Histogram hubungan antara nilai derajat putih dengan jenis detergen bubuk ditunjukkan pada Gambar 30.
88.00
Nilai Derajat Putih
86.00 84.00 82.00 80.00 78.00 76.00 74.00 Detergen A
Detergen B
Detergen C
Jenis Detergen Konsentrasi surfaktan 15%
Konsentrasi surfaktan 20%
Konsentrasi surfaktan 25%
Detergen komersial
Keterangan: Detergen A Detergen B Detergen C
: : :
Detergen bubuk berbahan baku MES kasar (unpurified MES ) Detergen bubuk berbahan baku MES murni (purified MES) Detergen bubuk komersial
Gambar 30. Histogram hubungan antara nilai derajat putih dengan jenis detergen bubuk.
Dari Gambar 30 di atas diketahui bahwa peningkatan konsentrasi MES yang digunakan dalam formulasi cenderung menurunkan nilai derajat putih detergen bubuk yang dihasilkan. Hal ini karena MES yang dihasilkan tidak berwarna putih bening tetapi berwarna kuning gading sehingga dengan semakin tinggi konsentrasi MES kasar (unpurified MES) maupun MES murni (purified MES)
78
yang ditambahkan ke dalam formula maka derajat putihnya semakin berkurang karena semakin tinggi intensitas warna kuning gading pada campuran formulasi detergen bubuk.
Penentuan Konsentrasi Metil Ester Sulfonat (MES) Terbaik Dalam Formulasi Detergen Bubuk
Penentuan konsentrasi metil ester sulfonat (MES) terbaik dalam formulasi detergen bubuk dilakukan berdasarkan kemampuan surfaktan MES pada konsentrasi tertentu menghasilkan detergen bubuk dengan karakteristik paling baik.
Dalam penelitian ini karakteristik yang paling menentukan adalah daya
deterjensi dan stabilitas emulsi.
Konsentrasi MES yang dapat menghasilkan
detergen bubuk dengan daya deterjensi dan stabilitas emulsi tertinggi dinyatakan sebagai konsentrasi MES terbaik dalam formulasi detergen bubuk. Menurut Lynn (1996) proses deterjensi terjadi melalui pembentukan misel- misel oleh surfaktan yang mampu membentuk globula zat pengotor.
Proses pelepasan globula zat
pengotor terjadi melalui penurunan tegangan antar muka dan dibantu dengan adanya interaksi elektrostatik antara muatan. Penurunan tegangan antarmuka sejalan dengan peningkatan stabilitas emulsi. Berdasarkan hasil analisis fisiko-kimia terhadap detergen bubuk diketahui bahwa konsentrasi MES terbaik adalah konsentrasi 25 % hal ini berlaku baik pada deterge n berbahan baku MES kasar (unpurified MES)
maupun MES murni
(purified MES). Tetapi diantara kedua jenis MES tersebut, MES murni (purified MES) menghasilkan karakteristik detergen bubuk yang paling baik. Meskipun karakteristiknya masih sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan detergen komersial. Karakteristik detergen bubuk dengan konsentrasi terbaik (MES murni (purified MES) 25%) adalah sebagai berikut: nilai pH 10,62; nilai kadar air (basis basah) 6,068 %; nilai bahan tidak larut dalam air 3,678 %; nilai stabilitas emulsi 89,02%; nilai daya deterjensi 88,26 %; nilai derajat putih 84,5; dan densitas 0,396 g/ml. Secara lebih lengkap rekapitulasi data hasil analsis fisiko kimia detergen bubuk disajikan pada Lampiran 28. Data karakteristik detergen bubuk berbahan
79
baku MES kasar (unpurified MES), MES murni (purified MES) dan detergen komersial disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Rekapitulasi data karakteristik detergen bubuk berbahan baku MES kasar (unpurified MES), MES murni (purified MES), dan detergen komersial Karakteristik Konsentrasi MES Konsentrasi MES Detergen kasar (%) murni Komersial (%) 15 20 25 15 20 25 PH
10,97
10,95
10,86
0,77
10,72
10,62
10,58
Kadar air (basis basah, %) Bahan tidak larut air (%) Stabilitas emulsi (%) Daya deterjensi (%) Derajat putih
6,028
6,618
7,570
5,363
5,535
6,068
6,285
2,805
4,125
6,105
1,788
2,533
3,678
5,538
39,19
42,87
47,44
75,32
79,27
89,02
90,81
34,10
35,60
47,12
73,77
81,02
88,26
90,46
82,5
81,0
79,5
87,5
86,0
84,5
85,0
Berat jenis (g/ml)
0,415
0,433
0,448
0,329
0,361
0,396
0,380
80
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Pada penelitian ini dilakukan proses pemurnian dengan menggunakan metanol pada taraf konsentrasi 10 % sampai 40 % dan lama reaksi 30 menit sampai 120 menit.
Untuk membandingkan kinerja MES yang dihasilkan, dalam
penelitian ini dilakukan karakterisasi baik terhadap MES kasar (unpurified MES) maupun MES murni (purified MES). Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa karakteristik MES kasar (unpurified MES) sangat berbeda dengan karakteristik MES murni (purified MES). MES kasar (unpurified MES) memiliki karakteristik sebagai berikut: nilai pH 4,98; penurunan tegangan permukaan 30,6 mN/m (46,36 %); penurunan tegangan antarmuka 31,1 mN/m (87,99 %); peningkatan stabilitas emulsi 15,96 %; daya deterjensi 25,84 % dan stabilitas busa 0,38 jam (23 menit). Karakteristik MES murni (purified MES) memiliki karakteristik sebagai berikut: pH sebelum netralisasi berkisar antara 3,95 sampai 4,93; pH setelah netralisasi berkisar antara 6,92 sampai 7,67; penurunan tegangan permukaan berkisar antara 31,45 mN/m (47,72 %) sampai 42,25 mN/m (64,11 %); penurunan tegangan antarmuka berkisar antara 31,85 mN/m (89,97 %) sampai 34,70 mN/m (98,02 %); peningkatan stabilitas emulsi berkisra antara 16,67 % sampai 84,52 %; daya detejensi berkisar antara 26,28 % sampai 87,22 %; dan stabilitas busa berkisar antara 0,41 jam sampai 3,84 jam. Kondisi proses pemurnian terbaik untuk menghasilkan surfaktan MES berdasarkan hasil penelitian adalah konsentrasi metanol 40% dan lama reaksi 90 menit. Adapun karakteristik MES yang dihasilkan dengan kondisi proses seperti ini adalah sebagai berikut: pH sebelum netralisasi 3,95; pH setelah netralisasi 6,92; penurunan tegangan permukaan 42,25 mN/m (64,11%), penurunan tegangan antarmuka 34,7 mN/m (98,02%); daya deterjensi 87,22%; stabilitas emulsi 84,52%; stabilitas busa 3,98 jam dan densitas 0,89 g/ml. Pada penelitian ini surfaktan yang digunakan dalam formulasi detergen bubuk adalah MES kasar (unpurified MES) dan MES murni (purified MES). Hal ini dilakukan untuk membandingkan karakteristik detergen bubuk yang
81
dihasilkan.
Berdasarkan hasil analisis fisiko kimia terhadap detergen bubuk
diketahui bahwa konsentrasi surfaktan metil ester sulfonat (MES) yang terbaik dalam formulasi detergen bubuk adalah pada penggunaan konsentrasi MES 25%. Hal ini terlihat dari nilai daya deterjensi dan stabilitas emulsi. Fenomena ini terjadi baik pada detergen bubuk dengan bahan baku MES kasar (unpurified MES) maupun MES murni (purified MES). Tetapi detergen bubuk dengan bahan baku MES kasar (unpurified MES) memiliki karakteristik yang jauh lebih baik bila dibandingkan dengan deterjen dengan bahan baku MES kasar (unpurified MES) Karakteristik detergen bubuk dengan bahan baku MES kasar (unpurified MES) pada konsentrasi 25% adalah sebagai berikut: pH 10,86; kadar air (basis basah) 7,570 %; bahan tidak larut dalam air 6,105 %; stabilitas emulsi 47,44 %; daya deterjensi 47,12%;
derajat putih 79,5 dan berat jenis 0,448 g/ml.
Karakteristik deterjen bubuk dengan bahan baku MES murni (purified MES) pada konsentrasi 25% adalah sebagai berikut: pH 10,62; kadar air (basis basah) 6,068 %; bahan tidak larut dalam air 3,678 %; stabilitas emulsi 89,02 %; daya deterjensi 88,26%; derajat putih 84,5 dan berat jenis 0,0,396 g/ml.
Saran 1. Perlu dilakukan kajian terhadap kemungkinan proses pemurnian dengan menggunakan sistem destilasi agar metanol sisa bisa digunakan kembali (recovery). 2. Perlu dilakukan analisis terhadap kandungan di-salt yang dapat direduksi selama proses pemurnian.
DAFTAR PUSTAKA Adami, I dan F. Moretti. 1996. Drying and agglomeration processes for traditional and concentrated detergent ponders. In: Soap and Detergent: A Theotritical an Practical Review. Spitz, L. (Ed.). AOAC Press, Champaign, Illinois. Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari., Sedarnawati, S. Budiyanto. 1988. Analisis Pangan. IPB Press, Bogor. ASTM D1331. 2000. Standard Test Methods for Surface and Interfacial Tension of Solutions of Surface-Active Agents. Annual Book of ASTM Standards, Vol 15.04. Easton, MD, USA. Baker. 1995. Process for Making Sulfonated Fatty Acid Alkyl Ester Surfactant. US Patent No. 5.475.134. http://www.uspto.gov. Bennet, H. 1947. Practical Emulsion. Second Completely Revised Edition. Chemical Publshing Co. Inc, Brooklyn, New York, USA. Berger, K.G. 1983. J.Am.Oil.Chem.Soc., (60): 206 Bernardini, E. 1983. Vegetable Oils and Fats Processing. Volume II. Interstampa, Rome. Bird, T., M.A. Nur dan M. Syahri. 1983. Kimia Fisik. Bagian Kimia. Institut Pertanian Bogor, Bogor. BPPIS.
1989. Pembuatan Prototipe Alat Uji Derajat Putih Tepung Tapioka. Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, Surabaya.
Boocock, D.G.B., S.K. Konar, V. Mao, C. Lee, and S. Buligan. 1998. Fast Formation of High-Purity Methyl Esters from Vegetable Oils. J. Am. Oil Chem. Soc. 75 (9) : 1167-1172. BSI. 1996. British Standanrd. BS EN, 1262, Surface Active Agents. British Standard Institute, Britain. Claesson, P.M., E.Blomberg, dan E.E. Poptoshev. 2001. Surface Force and Emulsion Stability. In: Encyclopedia Handbook of Emulsion Technology. Marcel Dekker, Mew York. Cox, M.2002. Surfactan Industry Faces Challenges. Inform 13.473-513. Darnoko, D dan M. Cheryan. 2000. Continuous Production of Palm Methyl Ester. J. Am. Oil Chem. Soc. 77 (12) : 1269 – 1272.
83
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2002. Statistik Perkebunan Indonesia 19982002; Kelapa Sawit. Ditjen Perkebunan, Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta. Fessenden, R.J. dan J.S. Fessenden. 1995. Kimia Organik. Jilid 2. Ed. Ke3.Terjemahan:A.H.Pudjaatmaka. Erlangga, Jakarta. Foster, N.C. 1996. Sulfonation and Sulfatation Process. In: Soap and Detergent: A Theotritical an Practical Review. Spitz, L. (Ed.). AOAC Press, Champaign, Illinois. Georgieu, G., S. Lin dan M.M. Sharma. 1992. Surface Active Compounds From Microorganism. J. Biotechnol. 10: 60-65. Gupta, S. dan D. Wiese. 1992. Soap, Fatty Acid, and Synthetic Detergent. In Kent, J.A. (ed.). Riegel’s Handbook of Industrial Chemistrty. 9th ed. Van Nostrand Reinhold, New York. Hapsari, M. 2003. Kajian Pengaruh Suhu dan KecepatanPengadukan Pada Proses Produksi Surfaktan Dari Metil Ester Minyak Inti Sawit Dengan Metode Sulfonasi. Skripsi, Fateta, IPB, Bogor. Herman de Groot, W. 1991. Sulphonation Technology in the Detergent Industry. Kluwer Academic Publisher, London. Hui, Y.H. 1996. Bailey’s Industrial Oil and Fat Product. Vol. 3. A WileyInterscience Publication. John Wiley & Sons, Inc. United State. INFORM. 1998. Additives to Improves Performance. INFORM 9 (10): 925 – 935 Jungermann, E. 1979. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Vol I 4th edition. John Willey and Son, New York Keenan, CW., D.C. Kleinfelter.,dan J.H. Wood. 1984. Ilmu Kimia Untuk Universitas. Jilid I. Ed. Ke-6. Terjemahan: Pudjaatmaka A.H. Erllangga, Jakarta. Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Kinderlerer, J.L. and Hatton. 2992. J. Appl. Bacterio l. (70): 502. Kirk, R.E. dan D.F. Othmer. 1969. Encyclopedia of Chemical Technology. Second Completely Revised Edition. Vo. 19. Krawczyk, T. 1998. Industrial and Institutional Cleaning. Inform 9 (4): 274-291
84 Lapedes, D.N. 1978. Dictionary of Scientific and Technical Terms. 2nd Edition. McGraw Hill, New York. MacArthur, B.W., B. Brooks, W. B. Sheats and N.C. Foster. 1998. Meeting Challenge of Methylester Sulfonation. Chemithon Corp. USA. Manik. dan Edward. 1987. Sifat-sifat Detergen dan Dampaknya Terhadap Perairan. Oceana, Jakarta. Mahardika, A.D. 2003. Kajian Pengaruh Rasio Mol Reaktan dan Lama Reaksi Pada Proses Produksi Surfaktan Metil Ester Sulfonat. Skripsi. Fateta, IPB, Bogor. Matheson, K.L. 1996. Formulation of Household and Industrial Detergents. In : Soap and Detergents : A Theoretical and Practical Review. Spitz, L. (Ed). AOCS Press, Champaign, Illinois. MPOPC. 2002. Uses of Palm Based Oleochemicals. http://www.mpopc.org.my. [4 April 2002]. Montgomery, D.C. 1991. Design and Analysisof Experimental. 3rd Edition. John Wiley & Sons, New York. MPOPC. 2003. Fatty Acids. http://www.mpopc.org.my. [ 2 November 2003] Mukherji, S.M., S.P. Singh dan R.P. Kapoor. 1985. Organic Chemistry. Vol. 2. New Age International (P) Limited Publ., New Delhi. Noureddini, H.dan D. Zhu. 1997. Kinetics of Transesterification of Soybean Oil. J. Am. Oil Chem. Soc.Vol. 74 (11): 1457-1463. Pecsok, R.L., L. D. Shields, T. Cairns, dan I.G. McWilliam. 1976. Modern Methodes of Chemical Analysis. 2nd Edition. John Wiley & Sons, Inc., New York. Permono, A. 2002. Membuat Deterjen Bubuk Skala Kecil dan Menengah. Penebar Swadaya. Jakarta. Piyali, G., R.G. Bhirud dan V.V. Kumar. 1999. Detergency and Foam Studies on Linear Alkylbenzene Sulfonate and Secondary Alkyl Sulfonate. J. Of. Surfactant and Detergent. Vol 2(4): 489-493. Pore, J. 1993. Oils and Fat Manual. Intercept Ltd, Andover, Uk, Paris, New York. Porter, M.R. 1997. Anionic Detergent. Didalam Lipid Technologies and Applications. Frank D.G and Ferd B.P (Ed.) Marcel Dekker, Inc., New York.
85
Rosen, M.J. dan H.A. Goldsmith. 1981. Systematic Analysis of Surface Active Agents. 2nd Ed. In: Chemical Anaysis. Elving, P.J. dan I.M. Kolthoff (Ed.). John Wiley & Sons, New York. Rosen, M.J. dan H.A. Goldsmith. 1982. Systematic Analysis of Surface Active Agents. A Wiley Interscience Publication. John Wiley and Sons. New York . Rosin, J. 1967. Reagent Ghemical and Standards. Ed. Ke-5. D. Van Nostrand, London. Sadi, S. 1983. Penggunaan Minyak Sawit dan Inti Sawit Sebagai Bahan Baku Surfaktan. Berita PPKS, 1(1), P: 57-63. Safitri, M. 2003. Kajian Pengaruh Penambahan Al2 O3 Sebagai Katalis Pada Proses Pembuatan Metil Ester Sulfonat (MES). Skripsi. Fateta, IPB, Bogor. Salmiah, A.,R. Awang dan R. Ghazali. 2001. Properties of Sodium Soap Derived From Palm –Based Dihydroxystearic Acid. J.Palm Research. Vol 13 (2):33-38. Malaysian Palm Oil Board, Kuala Lumpur. Salunkhe, D.K., J.K. Chava., R.N. Adsule dan S.S. Kadam. Oilseeds: Chemistry. Butterworths Oxford, England.
1992.
World
Shaw, D.J. 1980. Introduction to Golloid and Surface Chemistry. Butterworths. Oxford, England. Sheats,W B. and B.W. Mac Arthur. 2002. Methyl Ester Sulfonate Products. The Chemithon Corporation. http://www.chemithon.com. Sherry, A.E, B.E. Chapman, M.T. Creedon, J.M. Jordan and R.L. Moese. 1995. Non Bleach Process for the Purufication of Palm C16 – C18 Methyl Ester Sulfonates. J. of Am. Oil Chem. Soc. 72 (7) : 834 - 841. Silverstein, R.M., dan F.X. Webster. 1988. Spectrometric Identification of Organic Compounds. 6th Edition. John Wile & Sons Inc., New York. Sitting, M. 1979. Detergent Manufacture Including Zeolit Builders and New Materials. Neyes Data Corporation Park Ridge. New Jersey. USA. Smith, J.M. 1981. Chemical Engineering Kinetics. 3 rd Edition. McGraw-hill International Book Company, Kosaido Printing co., LTD> Tokyo, Japan. SNI. 1998. Metil Ester. Badan Standarisasi Nasional, Standar Nasional Indonesia. 06-4594-1998.
86
SNI. 1998. Serbuk Deterjen dan Pencuci Sintetik untuk Rumah Tangga. Badan Sandarisasi Nasional, Standar Nasional Indonesia. 06-4594-1998. Sontag, N.O.V. 1982. Fat Splitting, Esterrification and Interesterification. Didalam Daniel Swern. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. 4th ed. Vol 2. John Willey and Sons, New York. Steinfeld, J.I., J.S. Francisco dan W.L. Hase. 1989. Chemical Kinetics and Dynamics. Prentice Hall, Inc., New Jersey. Stubenrauch, C., Takiezsi, A.V. Kuristov., K. Exerowd, dan D.Tailer. 2003. Tenside Surfactants Detergents: A New Experimental Technique to Measure the Drainage and Life Time of Foam. Hanser, DeutschlandMuchen. Suryani, A., I. Sailah dan E. Hambali. 2000. Teknologi Industri Pertanian. IPB, Bogor.
Teknologi Emulsi.
Jurusan
Swern, D. 1979. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Vol. I 4th. Ed. John Willey and Sons, New York. P. 192-196 Tim Penebar Swadaya. 1999. Kelapa Sawit (Usaha Budidaya, pemanfaatan hasil dan aspek pemasaran). Penebar swadaya, Jakarta. Yuliasari, R., P. Guritno dan T. Herawan. 1997. Asam Lemak Sawit Distilat Sebagai Bahan Baku Pembuatan Sabun Transparan. Indonesia J. Of Oil Palm Research. 5(3) : 205-213 Watkins, C. 1999. Laundry Detergent Tablets. Inform 10 (11):1008-1013 Watkins, C. 2001. All Eyes are on Texas. INFORM 12 : 1152-1159.
87
Lampiran 1. Perhitungan mol reaktan metil ester (ME) , NaHSO3 , dan katalis Al2 O3
• Massa Atom Relatif (Ar) unsur – unsur yang terlibat dalam proses sulfonasi : C = 12 H = 11
Na = 23 O= 16
S = 32
Berat jenis metil ester (ρ ) = 0.87 g/ml
• Struktur molekul C – 18 ME adalah sebagai berikut: O CH3 – (CH2)14 – CH – CH – C – OCH3 Massa molekul relatif (Mr) dari metil ester (ME) adalah sebagai berikut : = (Jumlah atom C x Ar C) + (Jumlah atom H x Ar H) + (Jumlah atom O x Ar O) = (19 x 12) + (36 x 1) + (2 x 16) = 228 + 36 + 32 = 296
• Massa molekul relatif (Mr) NaHSO3 = (Jml. atom Na x Ar Na) + (Jml. atom H x Ar H) + (Jml atom S x Ar S) + (Jml atom O x Ar O) = (1 X 23) + (1 X 1) + (1 X 32) + (3 X 16) = 23 + 1 + 32 + 48 = 104
•
Mol C18 – ME =
ρx V Mr ME
= 0.87 g/ml x 100 ml
= 0.294
296
• Perbandingan mol reaktan yang digunakan dalam penelitian adalah 1 : 1,5 (1 mol ME : 1,5 mol NaHSO3 ) 0.294 mol ME : 0441 mol NaHSO3 Maka massa NaHSO3 yang harus ditambahkan dalam proses sulfonasi adalah : Massa NaHSO3 = mol x Mr = 0.441 x 104 = 45.864 gram
• Massa katalis Al2O3. yang harus ditambahkan adalah : = 1.5% x ( massa NaHSO3 + massa metil ester) = 1.5% x (45.864 + 87) = 1.992 gram
88
Lampiran 2. Prosedur uji surfaktan anionik
Uji Timol Biru (Rosen dan Goldsmith, 1982)
Pengujian ini dilakukan untuk menguji apakah suatu bahan atau larutan merupakan surfaktan anionik atau bukan. Cara pengujian sederhana, yaitu dengan menambahkan reagan yang terdiri dari 5 ml HCl 0,005 N yang ditambahkan 3 tetes timol biru 0,1%, ke dalam 5 ml (0,01 – 0,1 %) larutan yang akan diuji (surfaktan). Terbentuknya warna ungu-kemerahan mengindikasikan keberadaan surfaktan anionik dalam larutan.
Lampiran 3. Prosedur karakterisasi metil ester sulfonat (MES)
1. Pengukuran pH (BSI, 1996)
Metode ini digunakan untuk menganalisa derajat keasaman (pH) surfaktan anionik, kationik, nonionik dan amfoterik. Nilai pH dari larutan contoh ditentukan dengan pengukuran potensiometrik menggunakan elektroda gelas dan pH- meter komersial.
Alat pH- meter disiapkan dan dikalibrasi
terlebih dahulu. Kalibrasi dilakukan dengan menggunakan larutan buffer pH 4,0 dan 9,0. Elektroda kemudian dibilas dengan air bebas CO2 yang memiliki pH antara 6,5 sampai 7,0. Selanjutnya elektroda dicelupkan ke dalam larutan yang akan diukur. Nilai pH dibaca pada pH-meter, pembacaan dilakukan setelah angka stabil. Elektroda kemudian dibilas kembali dengan air bebas CO2 . Pengukuran dilakukan dua kali. Apabila dari dua kali pengukuran nilai yang terbaca mempunyai selisih lebih dari 0,2 maka harus dilakukan pengulangan pengukuran termasuk kalibrasi.
89
2. Tegangan Permukaan Metode du Nouy (ASTM D 1331, 2000)
Metode pengujian ini dilakukan untuk menentukan tegangan permukaan larutan surfaktan dengan menggunakan alat Tensiometer du Nouy. Peralatan dan wadah contoh yang akan digunakan harus dibersihkan terlebih dahulu. Wadah yang digunakan biasanya terbuat dari bahan gelas dengan diameter lebih besar dari 6 cm. Wadah gelas dicuci dengan larutan chromicsulfuric acid, kemudian dibilas dengan air destilata.
Cincin platinum
merupakan bagian dari alat Tensiometer, memiliki diameter 4 atau 6 cm. Sebelum digunakan, cincin dicuci terlebih dahulu dengan pelarut yang sesuai dan dibilas dengan air destilata, lalu dikeringkan. Posisi alat diatur supaya horizontal dengan water pas dan diletakkan pada tempat yang bebas dari gangguan, seperti getaran, angin, sinar matahari dan panas. Larutan contoh dimasukkan ke dalam gelas dan diletakkan diatas dudukan (platform) pada Tensiometer. Suhu cairan sampel diukur dan dicatat. Selanjutnya cincin platinum dicelupkan ke dalam sampel tersebut (lingkaran logam tercelup 3 - 5 mm di bawah permukaan cairan), dengan cara menaikkan dudukan (platform). Skala vernier Tensiometer di set pada posisi nol dan jarum penunjuk harus berada pada posis berimpit dengan garis pada kaca. Selanjutnya platform diturunkan perlahan, dan pada saat yang bersamaan skrup kanan diputar sedemikian rupa sehingga jarum penunjuk tetap berimpit dengan garis pada kaca. Proses ini diteruskan sampai film cairan tepat putus. Pada saat cairan putus skala dibaca dan dicatat sebagai nilai tegangan permukaan.
Pengukuran dilakukan paling sedikit dua kali.
Kemampuan
surfaktan dalam menurunkan tegangan permukaan dapat dilakukan dengan menambahkan konsentrasi surfaktan sebanyak 10 persen (dalam air). Nilai tegangan permukaan setelah ditambahkan surfaktan diukur kembali. Kemudian dibandingkan nilai tegangan permukaan air sebelum dan sesudah ditambahkan surfaktan.
90
3. Tegangan Antarmuka (ASTM D 1331, 2000)
Metode penentuan tegangan antarmuka sama dengan pengukuran tegangan permukaan. Untuk pengukuran cairan yang mengandung dua fase yang berbeda, yaitu fase larut dalam air (aqueous) dan fase tidak larut dalam air (nonaqueous), dilakukan beberapa tahapan.
Fase aqueous (air)
dimasukkan terlebih dahulu ke dalam wadah gelas, kemudian dicelupkan cincin platinum kedalamnya (lingkaran logam tercelup 3 - 5 mm di bawah permukaan cairan), setelah itu secara hati- hati fase nonaqueous (xylene) ditambahkan diatas fase aqueous sehingga sistem terdiri dari dua lapisan. Kontak antara cincin dan fase nonaqueous sebelum pengukuran harus dihindari. Setelah tegangan antarmuka mencapai ekuilibrium, yaitu benarbenar terbentuk dua lapisan terpisah yang sangat jelas, pengukuran dapat dilakukan dengan cara yang sama dengan pengukuran tegangan permukaan. Kemampuan surfaktan dalam menurunkan tegangan antar muka dilakukan pada campuran air dengan xylene (1:1), konsentrasi surfaktan yang ditambahkan adalah 10 persen (dalam campuran xylene-air). Nilai tegangan antar muka antara air dengan xylene setelah ditambahkan surfaktan diukur kembali. Kemudian dibandingkan nilai tegangan antarmuka antara sebelum dan sesudah ditambahkan surfaktan.
4. Stabilitas Emulsi (ASTM D 1436, 2000)
Kestabilan emulsi diukur antara air dan xylene.
Xylene dan air
dicampur dengan perbandingan 6 : 4. Campuran tersebut dikocok selama 5 menit menggunakan vortex mixer. Pemisahan emulsi antar xylene dan air diukur berdasarkan lamanya pemisahan antar fasa.
Konsentrasi surfaktan
yang ditambahkan adalah 10 persen (dalam campuran xylene-air). Lamanya pemisahan antar fasa sebelum ditambahkan surfaktan dibandingkan dengan sesudah ditambahkan surfaktan. Rumus yang digunakan untuk menentukan stabilitas emulsi adalah sebagai berikut:
91
Stabilitas emulsi (%) = A1 x 100% A2 Keterangan : A1 = Volume emulsi setelah 24 jam A2 = Volume emulsi setelah dikocok selama 5 menit menggunakan vortex.
5. Stabilitas Busa (Hui, 1996)
Penentuan kemampuan surfaktan membentuk busa diukur melalui lamanya campuran surfaktan dengan air berada pada bentuk busa setelah pengocokan. Campuran surfaktan dalam air pada konsentrasi 10% dikocok dengan vortex selama satu menit. Setelah terbentuk busa campuran dibiarkan sampai busa dipermukaan campuran tersebut habis. Lamanya waktu yang dibutuhkan sampai busa hilang dicatat sebagai kemampuan membentuk busa.
6. Uji Deterjensi (Modifikasi Salmiah et al., 20001)
Deterjensi dilakukan untuk mengetahui kemampuan deterjen dalam pembersihan kotoran berlemak dari suatu kain.
Pengukuran deterjensi
dilakukan dengan menggunakan alat Color Tec PCM terhadap warna putih kain (whiteness). Prosedur pengukurannya adalah sebagai berikut: kain putih yang telah ditetesi pengotor sebanyak satu tetes dilarutkan ke dalam larutan MES 2 % kemudian diaduk selama 15 menit pada suhu 130°F atau 54,4°C. deterjensi dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Daya deterjensi (%) = W2 - W3 x 100% W1 - W3 Keterangan : W1 = Whiteness kain awal (sebelum ditetesi bahan pengotor) W2 = Whiteness kain yang telah dicuci W3 = Whiteness kain yang telah ditetesi bahan pengotor
92
Lampiran 4. Diagram alir proses pemurnian MES
MES kasar
Metanol 10, 20, 30, dan 40 %
NaOH 20%
Proses pemurnian suhu = 50 - 55°C, waktu 30, 60, 90 dan 120 menit
Proses netralisasi suhu = 50 - 55°C, waktu = 30 menit, stirer
Proses pengeringan (oven vakum) suhu 80 -100°C
MES Murni
Karakterisasi pH, tegangan permukaan, tegangan antarmuka, stabilitas emulsi, stabilitas busa, daya deterjensi
Metanol + Air
93
Lampiran 5. Formula deterjen bubuk berdasarkan formula Matheson (1996) yang dimodifikasi Komponen Persentase Surfaktan (MES)
15 - 25%
Sodium tripolifosfat*
10 – 20%
Sodium karbonat
15 – 25%
Sodium silikat
2 – 10%
Sodium sulfat
20 – 30%
Bleach additive
0 – 5%
Air
5 – 10%
Antiredeposition agent
1 – 3%
Perfume
1 – 3%
Keterangan : * Sodium tripolifosfat (STPP) menggantikan zeolit karena zeolit relatif lambat dalam menangkap ion- ion pada air sadah dan dapat melepaskan ion Na karena pengaruh pertukaran ion (INFORM, 1998).
Lampiran 6. Formula detergen bubuk yang digunakan dalam penelitian (Basis basah : 500 gram) Bahan baku Formula I Formula II Formula III (%) Gram (%) Gram (%) Gram Surfaktan MES 15 75 20 100 25 125 Sodium tripolifosfat 15 75 15 75 15 75 (STTP) Natrium karbonat 15 75 15 75 15 75 Natrium sulfat 15 75 15 75 15 75 Natrium silikat 7 35 7 35 7 35 Sodium lauril sulfat 6 30 6 30 6 30 (SLS) Carboxymethyl cellulose 3 15 3 15 3 15 (CMC) Bleach additive 3 15 3 15 3 15 Parfum 1 5 1 5 1 5 Air 20 100 15 75 10 50 TOTAL 100 500 100 500 100 500
94
Lampiran 7. Diagram alir proses pembuatan detergen bubuk
MES 15 – 25%
Sodium lauril sulfat Sodium karbonat
STTP
Proses pencampuran Suhu 60 - 70°C Waktu 30 menit
Sodium silikat Sodium sulfat
Sediaan I
Air
Bleach additive
Homogenisasi Parfum
CMC
Sediaan II
Proses pengeringan dengan fluidized bed dryer T = 80 °C ; t = 1 jam
Loss weight
Detergen bubuk kasar
Sortasi
Detergen bubuk
Loss weight
95
Lampiran 8. Prosedur analisis produk detergen
1. Derajat Keasaman (pH) (SNI : 06-4085-1996) Setiap kali akan melakukan pengukuran pH- meter dikalibrasi dengan larutan buffer pH. Elektroda yang telah dibersihkan dicelupkan dengan air suling ke dalam contoh yang akan diperiksa pada suhu 25 °C. Nilai pH pada skala pH- meter dibaca dan dicatat. 2. Stabilitas Emulsi (Modifikasi ASTM, D-133, 2060) Kestabilan emulsi diukur antara air dan xylene.
Xylene dan air
dicampur dengan perbandingan 3 : 2. Campuran tersebut dikocok selama 5 menit menggunakan vortex mixer. Pemisahan emulsi antar xylene dan air diukur berdasarkan lamanya pemisahan antar fasa yang diamati setelah 24 jam.
Konsentrasi detergen yang ditambahkan adalah 10 persen (dalam
campuran xylene-air). Lamanya pemisahan antar fasa sebelum ditambahkan detergen dibandingkan dengan sesudah ditambahkan detergen. Stabilitas emulsi detergen dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Stabilitas emulsi (%) = A1 x 100% A2 Keterangan : A1 = Volume emulsi setelah 24 jam A2 = Volume emulsi setelah dikocok selama 5 menit menggunakan vortex
3. Berat Jenis (Pe rmono, 2000) Pengukuran berat jenis dilakukan dengan menimbang produk detergen yang diletakkan dalam wadah kecil yang telah diukur volumenya.
Cara
mengukur volume wadah adalah dengan menuangkan air ke dalam wadah hingga penuh. Setelah itu, tuangkan air dari wadah ke gelas ukur. Volume air dalam gelas ukur dicatat da volume air tersebut merupakan volume wadah. Berat jenis dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
96
Berat Jenis (g/ml) = Berat bahan (netto, gram) Volume bahan (ml)
4. Bahan tidak larut dalam air (SNI 06-4594-1998) Detergen ditimbang sebanyak 1 gram dan dilarutkan dalam 250 ml air pada suhu kamar. Saring dengan penyaring, dan endapannya dicuci dengan air. Keringkan sampai bobot tetap dalam oven pada suhu 105°C. Hitung jumlah persen bahan tidak larut dalam air yang terdapat dalam contoh uji. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut : Daya deterjensi (%) = K1 - K2 x 100% Ws Keterangan : K1 = bobot kertas saring yang telah dikeringkan K2 = bobot kertas saring awal Ws = bobot sampel awal
5. Penetapan kadar air (Permono, 2000) Cawan kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 10 – 15 menit, kemudian ditimbang. Sampel yang akan dianalisa dimasukkan ke dalam cawan tadi dan ditimbang sekitar 3 – 5 gram. Masukkan cawan yang sudah berisi sampel tadi ke dalam oven selama 6 jam. Pindahkan cawa ke dalam desikator untuk didinginkan dan kemudian ditimbang. Keringkan kembali ke dalam oven bila beratnya belum tetap.
Rumus yang digunakan untuk mengukur kadar air adalah
sebagai berikut: % kadar air (basis basah) = W2 x 100% W1 Keterangan : W1 = berat sampel (gram) W2 = kehilangan berat (gram)
97
6. Uji Deterjensi (Modifikasi Salmiah et al., 20001) Deterjensi dilakukan untuk mengetahui kemampuan deterjen dalam pembersihan kotoran berlemak dari suatu kain.
Pengukuran deterjensi
dilakukan dengan menggunakan alat Color Tec PCM terhadap warna putih kain (whiteness). Prosedur pengukurannya adalah sebagai berikut: kain putih yang telah ditetesi pengotor sebanyak satu tetes dilarutkan ke dalam larutan MES 2 % kemudian diaduk selama 15 menit pada suhu 130°F atau 54,4°C. deterjensi dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Daya deterjensi (%) = W2 - W3 x 100% W1 - W3 Keterangan : W1 = Whiteness kain awal (sebelum ditetesi bahan pengotor) W2 = Whiteness kain yang telah dicuci W3 = Whiteness kain yang telah ditetesi bahan pengotor
7. Derajat Put ih Derajat putih diukur dengan menggunakan alat whiteness meter. Cara penggunaan alat ini adalah dengan menghidupkan alat tersebut kemudian standar warna putih yang terdapat pada alat disesuaikan yaitu 85. setelah standar warna putih disesuaikan, sejumlah detergen ditempatkan pada wadah kemudian diukur seperti pada saat pengukuran standar. Hasil pengukuran ditunjukkan oleh jarum pada layar.
98
Lampiran 9. Neraca massa proses produksi MES kasar (Unpurified MES)
F Metil Ester (V = 100 ml; ρ = 0,87 g/ml; m = 87 gram)
F NaHSO3 (45,864 g) FAl2O3 1.5% (1,992 g)
Proses sulfonasi dengan perbandingan mol reaktan 1 : 1,5; lama reaksi 4,5 jam; suhu 100°C; kecepatan pengadukan 500 rpm
Sediaan I P1 = 134,856 gram
Proses Pemisahan
MES kasar V = 84 ml ; m = 73,92 g; ρ = 0.88 g/ml
Keterangan : F = Feed (Umpan) P = Product (Hasil) Loss weight = bobot yang hilang
(katalis + NaHSO3 ) Loss Weight (60,937 gram)
99
Lampiran 10. Karakteristik metanol (http://www.yotor.org) UMUM Nama
Metanol
Formula kimia
CH3 OH
Berat formula
32,04
Sinonim
Metil alcohol, wood alcohol, karbinol SIFAT FASA (PHASE BEHAVIOUR)
Titik leleh
176°K atau - 97°C
Titik didih
337,8 °K atau 64,8°C
Triple point
175,5°K atau –97,5 °C
Titik kritis
513°K; 78,5 bar
∆vap H
37,4 kj/mol SIFAT CAIRAN (LIQUID BEHAVIOUR)
∆fH°liquid
-238,4 kj/mol
S°liquid
127,2 j/mol-K
Cp
79,5 j/mol-K
Densitas
0,7918 x 103 kg/m3 SIFAT GAS (GAS BEHAVIOUR)
∆fH° gas
-201 kj/mol
S°gas
----
Cp
44,06 j/mol-K KEAMANAN (SAFETY)
Pengaruh akut
Titik api
Keracunan karena dihirup dapat menyebabkan gagal pernafasan, gagal ginjal. Juga dapat menyebabkan kebutaan Sama halnya dengan akut. Kontak dengan kulit dapat menyebabkan dermatitis 11°C
Autoignition temperature
455°C
Batas eksplosif
7-36%
Pengaruh kronis
100
Lampiran 11. Neraca massa proses produksi MES murni ( contoh: pada proses pemurnian menggunakan metanol 40% lama reaksi 90 menit; basis 140 ml))
F Metil Ester 84 ml
F Metanol 40% (56 ml)
Proses pemurnian dengan kondisi proses t = 90 menit; dan T = 55°C
Sediaan I P1 = 140 ml
F NaOH 20 (0,04 ml)
Q Proses Netralisasi
Neutral MES (140,04 ml)
Proses evaporasi dgn oven vakum proses t = 1 jam, T = 80 °
MES Murni (v = 116,23 ml; m = 103,44 g; ρ = 0, 89 g/ml
Loss metanol + air (23, 81 gram)
101
Lampiran 12. Hasil analisa perubahan nilai pH MES Murni sebelum netralisasi Lampiran 12a. Rekapitulasi data perubahan nilai pH MES Murni sebelum netralisasi Perlakuan Perubahan nilai pH
K1t1 K1t2 K1t3 K1t4 K2t1 K2t2 K2t3 K2t4 K3t1 K3t2 K3t3 K3t4 K4t1 K4t2 K4t3 K4t4
Ulangan 1
Ulangan 2
4,92 4,89 4,81 4,69 4,63 4,54 4,39 4,49 4,45 4,36 4,25 4,36 4,21 4,15 3,94 4,11
4,93 4,84 4,78 4,71 4,57 4,61 4,41 4,52 4,43 4,31 4,21 4,32 4,24 4,19 3,95 4,15
Rataan ± Simpangan Baku 4,92 ± 4,86 ± 4,80 ± 4,70 ± 4,60 ± 4,58 ± 4,40 ± 4,51 ± 4,44 ± 4,34 ± 4,23 ± 4,34 ± 4,23 ± 4,17 ± 3,95 ± 4,10 ±
0,007 0,035 0,021 0,091 0,042 0,049 0,014 0,021 0,014 0,035 0,028 0,028 0,021 0,028 0,007 0,064
Lampiran 12b. Analisis keragaman variabel respon nilai pH MES murni sebelum netralisasi Sumber variasi Derajat Jumlah Kuadrat F Sig. bebas kuadrat tengah Konsentrasi metanol (%) 3 2,163 0,721 756,489 0,000 Lama reaksi (menit) 3 0,190 0,0063 66,451 0,000 Interaksi (Kt ij ) 9 0,00465 0,000516 5,421 0,002 Galat 16 0,00152 Jumlah 31 635,294 Lampiran 12c. Hasil uji Duncan taraf dalam faktor konsentrasi metanol terhadap nilai pH MES murni sebelum netralisasi Konsentrasi metanol (%) N Rataan Kelompok Duncan 10 8 4,82 A 20 8 4,52 B 30 8 4,34 C 40 8 4,11 D Keterangan: Kelompok Duncan dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar taraf perlakuan, sedangkan kelompok Duncan dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar taraf perlakuan.
102
Lampiran 12d. Hasil uji Duncan taraf dalam faktor lama reaksi terhadap nilai pH MES murni sebelum netralisasi Lama reaksi (menit) N Rataan Kelompok Duncan 30 8 4,55 A 60 8 4,49 B 90 8 4,34 C 120 8 4,41 D Keterangan: Kelompok Duncan dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar taraf perlakuan, sedangkan kelompok Duncan dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar taraf perlakuan.
Lampiran 12e. Hasil uji Duncan taraf dalam interaksi faktor konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap nilai pH MES murni sebelum netralisasi Perlakuan N Rataan Kelompok Duncan K1t1 K1t2 K1t3 K1t4 K2t1 K2t2 K2t3 K2t4 K3t1 K3t2 K3t3 K3t4 K4t1 K4t2 K4t3 K4t4
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
4,92 4,87 4,80 4,70 4,60 4,58 4,51 4,44 4,40 4,34 4,23 4,34 4,22 4,17 3,95 4,11
A A B C D D F E E G H G H IH J I
103
Lampiran 13.
Hasil analisa perubahan nilai pH MES murni setelah evaporasi
Lampiran 13a.
Rekapitulasi data perubahan nilai pH MES murni setelah evaporasi Perubahan Nilai pH
Perlakuan
K1t1 K1t2 K1t3 K1t4 K2t1 K2t2 K2t3 K2t4 K3t1 K3t2 K3t3 K3t4 K4t1 K4t2 K4t3 K4t4
Ulangan 1
Ulangan 2
7,66 7,62 7,54 7,48 7,51 7,47 7,35 7,44 7,32 7,23 7,18 7,21 7,14 7,13 6,89 7,11
7,68 7,60 7,56 7,47 7,53 7,45 7,38 7,41 7,35 7,27 7,17 7,20 7,15 7,13 6,95 7,12
Rataan ± Simpangan Baku 7,67 ± 7,61 ± 7,55 ± 7,47 ± 7,52 ± 7,46 ± 7,37 ± 7,42 ± 7,34 ± 7,25 ± 7,18 ± 7,20 ± 7,15 ± 7,13 ± 6,92 ± 7,12 ±
0,014 0,014 0,014 0,007 0,014 0,014 0,021 0,018 0,021 0,028 0,007 0,007 0,007 0,000 0,042 0,007
Lampiran 13b. Analisis keragaman variabel respon nilai pH MES murni setelah evaporasi Sumber variasi Derajat Jumlah Kuadrat F Sig. bebas kuadrat tengah Konsentrasi metanol (%) 3 1,158 0,386 1219,670 0,000 Lama reaksi (menit) 3 0,122 0,00408 128,984 0,000 9 0,00409 0,00045 14,372 0,000 Interaksi (Kt ij) Galat 16 0,00053 0,00003 Jumlah 31 1722,631 Lampiran 13c. Hasil uji Duncan taraf dalam faktor konsentrasi metanol terhadap nilai pH MES murni setelah evaporasi Konsentrasi metanol (%) N Rataan Kelompok Duncan 10 8 7,58 A 20 8 7,44 B 30 8 7,24 C 40 8 7,08 D Keterangan: Kelompok Duncan dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar taraf perlakuan, sedangkan kelompok Duncan dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar taraf perlakuan.
104
Lampiran 13d. Hasil uji Duncan taraf dalam faktor lama reaksi terhadap nilai pH MES murni setelah evaporasi Lama reaksi (menit) N Rataan Kelompok Duncan 30 8 7,42 A 60 8 7,36 B 90 8 7,25 D 120 8 7,30 C Keterangan: Kelompok Duncan dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar taraf perlakuan, sedangkan kelompok Duncan dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar taraf perlakuan.
Lampiran 13e. Hasil uji Duncan taraf dalam interaksi faktor konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap nilai pH MES murni setelah evaporasi Perlakuan N Rataan Kelompok Duncan K1t1 K1t2 K1t3 K1t4 K2t1 K2t2 K2t3 K2t4 K3t1 K3t2 K3t3 K3t4 K4t1 K4t2 K4t3 K4t4
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
7,67 7,61 7,55 7,47 7,52 7,46 7,37 7,42 7,34 7,25 7,18 7,20 7,15 7,13 6,92 7,11
A B C D C DE F E F G IJ HI I I J I
105
Lampiran 14. Hasil analisa penurunan tegangan permukaan MES Murni
Lampiran 14a. Rekapitulasi data penurunan tegangan permukaan MES murni Perlakuan Penurunan Tegangan Permukaan
K1t1 K1t2 K1t3 K1t4 K2t1 K2t2 K2t3 K2t4 K3t1 K3t2 K3t3 K3t4 K4t1 K4t2 K4t3 K4t4
Ulangan 1
Ulangan 2
31,40 31,50 32,05 31,80 32,70 33,05 34,40 33,80 36,30 37,00 39,00 37,70 39,70 40,05 42,30 40,80
31,50 31,70 32,10 31,70 32,85 33,20 34,30 33,60 36,20 37,20 38,80 37,60 39,60 40,20 42,20 41,05
Lampiran 14b. Analisis keragaman variabel permukaan MES murni Sumber variasi Derajat Jumlah bebas kuadrat Konsentrasi metanol (%) 3 393,415 Lama reaksi (menit) 3 15,324 9 3,127 Interaksi (Kt ij) Galat 16 0,181 Jumlah 32 41549,9 23
Rataan ± Simpangan Baku 31,45 31,60 32,07 31,75 32,78 33,13 34,35 33,70 36,25 37,10 38,90 37,65 39,65 40,13 42,25 40,95
± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±
0,071 0,141 0,035 0,071 0,106 0,106 0,071 0,141 0,071 0,141 0,141 0,071 0,071 0,106 0,071 0,177
respon penurunan tegangan Kuadrat tengah 131,138 5,108 0,347
F
Sig.
11576,33 450,913 30,670
0,000 0,000 0,000
0,00133
Lampiran 14c. Hasil uji Duncan taraf dalam faktor konsentrasi metanol terhadap penurunan tegangan permukaan MES murni Konsentrasi metanol (%) N Rataan Kelompok Duncan 10 8 31,72 A 20 8 33,49 B 30 8 37,48 C 40 8 40,74 D Keterangan: Kelompok Duncan dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar taraf perlakuan, sedangkan kelompok Duncan dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar taraf perlakuan.
106
Lampiran 14d. Hasil uji Duncan taraf dalam faktor lama reaksi terhadap penurunan tegangan permukaan MES murni Lama reaksi (menit) N Rataan Kelompok Duncan 30 8 35.03 A 60 8 35.49 B 90 8 36.89 C 120 8 36.01 D Keterangan: Kelompok Duncan dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar taraf perlakuan, sedangkan kelompok Duncan dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar taraf perlakuan.
Lampiran 14e. Hasil uji Duncan taraf dalam interaksi faktor konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap penurunan tegangan permukaan MES murni Perlakuan N Rataan Kelompok Duncan K1t1 K1t2 K1t3 K1t4 K2t1 K2t2 K2t3 K2t4 K3t1 K3t2 K3t3 K3t4 K4t1 K4t2 K4t3 K4t4
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
31,45 31,60 32,08 31,75 32,78 33,13 34,35 33,70 36,25 37,10 38,90 37,65 39,65 40,12 42,25 40,92
A AB C B D E G F H I K J L M O N
107
Lampiran 15. Hasil analisa penurunan tegangan antarmuka MES Murni Lampiran 15a. Rekapitulasi data penurunan tegangan antarmuka MES murni Perlakuan Penurunan Tegangan Antarmuka
K1t1 K1t2 K1t3 K1t4 K2t1 K2t2 K2t3 K2t4 K3t1 K3t2 K3t3 K3t4 K4t1 K4t2 K4t3 K4t4
Ulangan 1
Ulangan 2
31,80 31,90 32,20 32,20 32,50 32,60 33,10 32,90 33,20 33,50 33,90 33,80 34,00 34,20 34,70 34,30
31,90 31,90 32,30 32,20 32,30 32,70 33,10 32,80 33,30 33,50 33,90 33,70 34,10 34,10 34,70 34,20
Lampiran 15b. Analisis keragaman variabel antarmuka MES murni Sumber variasi Derajat Jumlah bebas kuadrat Konsentrasi metanol (%) 3 22,916 Lama reaksi (menit) 3 1,628 9 0,135 Interaksi (Kt ij) Galat 16 0,0065 Jumlah 31 35236,690
Rataan ± Simpangan Baku 31,85 31,90 32,25 32,20 32,40 32,65 33,10 32,85 33,25 33,50 33,90 33,75 34,05 34,15 34,70 34,25
± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±
0,071 0,000 0,071 0,000 0,141 0,071 0,000 0,071 0,071 0,000 0,000 0,071 0,071 0,071 0,000 0,071
respon penurunan tegangan Kuadrat F tengah 7,639 1880,282 0,543 133,615 0,001503 3,701
Sig. 0,000 0,000 0,011
0,000406
Lampiran 15c. Hasil uji Duncan taraf dalam faktor konsentrasi metanol terhadap penurunan tegangan antarmuka MES murni Konsentrasi metanol (%) N Rataan Kelompok Duncan 10 8 31,90 A 20 8 32,80 B 30 8 33,45 C 40 8 34,64 D Keterangan: Kelompok Duncan dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar taraf perlakuan, sedangkan kelompok Duncan dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar taraf perlakuan.
108
Lampiran 15d. Hasil uji Duncan taraf dalam faktor lama reaksi terhadap penurunan tegangan antarmuka MES murni Lama reaksi (menit) N Rataan Kelompok Duncan 30 8 31,62 A 60 8 32,65 B 90 8 33,69 C 120 8 34,52 D Keterangan: Kelompok Duncan dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar taraf perlakuan, sedangkan kelompok Duncan dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar taraf perlakuan.
Lampiran 15e. Hasil uji Duncan taraf dalam interaksi faktor konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap tegangan antarmuka MES murni Perlakuan N Rataan Kelompok Duncan K1t1 K1t2 K1t3 K1t4 K2t1 K2t2 K2t3 K2t4 K3t1 K3t2 K3t3 K3t4 K4t1 K4t2 K4t3 K4t4
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
31,85 31,90 32,25 32,20 32,40 32,65 33,10 32,85 33,25 33,50 33,90 33,75 34,05 34,15 34,70 34,25
A A B B C D F E G H J I K KL L M
109
Lampiran 16. Hasil analisa peningkatan stabilitas emulsi MES Murni Lampiran 16a. Rekapitulasi data peningkatan stabilitas emulsi MES murni Perlakuan Peningkatan Stabilitas Emulsi
K1t1 K1t2 K1t3 K1t4 K2t1 K2t2 K2t3 K2t4 K3t1 K3t2 K3t3 K3t4 K4t1 K4t2 K4t3 K4t4
Ulangan 1
Ulangan 2
17,95 23,08 30,77 28,21 41,03 43,59 48,72 48,72 53,85 61,54 64,10 61,54 70,73 75,61 85,71 78,57
15,38 23,08 28,21 23,08 41,03 46,15 53,85 46,15 51,28 64,10 66,67 64,10 68,29 75,61 83,33 76,19
Rataan ± Simpangan Baku 16,67 23,08 29,49 25,65 41,03 44,87 51,28 47,43 52,57 62,82 65,39 62,82 69,51 75,61 84,52 77,38
± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±
1,810 0,000 1,813 3,627 0,000 0,049 0,014 0,021 0,014 0,035 0,028 0,028 0,021 0,028 0,007 0,064
Lampiran 16b. Analisis keragaman variabel respon stabilitas emulsi MES murni Sumber variasi Derajat Jumlah Kuadrat F Sig. bebas kuadrat tengah Konsentrasi metanol 3 12207,912 4069,304 1062,5 0,000 (%) 83 Lama reaksi (menit) 3 670,491 223,497 58,360 0,000 Interaksi (Kt ij ) 9 38,510 4,279 1,117 0,405 Galat 16 61,274 3,830 Jumlah 31 99110,402
Lampiran 16c. Hasil uji Duncan taraf dalam faktor konsentrasi metanol terhadap stabilitas emulsi MES murni Konsentrasi metanol (%) N Rataan Kelompok Duncan 10 8 28,56 A 20 8 45,52 B 30 8 57,25 C 40 8 78,42 D Keterangan: Kelompok Duncan dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar taraf perlakuan, sedangkan kelompok Duncan dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar taraf perlakuan.
110
Lampiran 16d. Hasil uji Duncan taraf dalam faktor lama reaksi terhadap stabilitas emulsi MES murni Lama reaksi (menit) N Rataan Kelompok Duncan 30 8 25,47 A 60 8 47,56 B 90 8 58,15 C 120 8 75,24 D Keterangan: Kelompok Duncan dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar taraf perlakuan, sedangkan kelompok Duncan dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar taraf perlakuan.
Lampiran 16e. Hasil uji Duncan taraf dalam interaksi faktor konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap stabilitas emulsi MES murni Perlakuan N Rataan Kelompok Duncan K1t1 K1t2 K1t3 K1t4 K2t1 K2t2 K2t3 K2t4 K3t1 K3t2 K3t3 K3t4 K4t1 K4t2 K4t3 K4t4
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
16,67 23,08 29,49 25,65 41,03 44,87 51,28 47,43 52,57 62,82 65,39 62,82 69,51 75,61 84,52 77,38
A B C B D DE EF FG G G H G H I J K
111
Lampiran 17. Hasil analisa stabilitas busa MES Murni
Lampiran 17a. Rekapitulasi data stabilitas busa MES murni Perlakuan Stabilitas Busa
K1t1 K1t2 K1t3 K1t4 K2t1 K2t2 K2t3 K2t4 K3t1 K3t2 K3t3 K3t4 K4t1 K4t2 K4t3 K4t4
Ulangan 1
Ulangan 2
Rataan ± Simpangan Baku
0,42 0,43 0,58 0,52 0,92 1,02 1,11 1,05 1,50 1,67 2,00 1,58 2,57 2,69 3,85 3,50
0,40 0,43 0,63 0,55 0,95 1,05 1,18 1,21 1,52 1,84 2,02 1,68 2,57 2,75 3,83 3,58
0,41 ± 0,010 0,43 ± 0,004 0,61 ± 0,035 0,53 ± 0,025 0,93 ± 0,025 1,03 ± 0,025 1,14 ± 0,049 1,13 ± 0,113 1,51 ± 0,011 1,76 ± 0,127 2,01 ± 0,010 1,63 ± 0,078 2,57 ± 0,000 2,72 ± 0,042 3,84 ± 0,014 3,54 ± 0,060
Lampiran 17b. Analisis keragaman variabel respon stabilitas busa MES murni Sumber variasi Derajat Jumlah Kuadrat F Sig. bebas kuadrat tengah Konsentrasi metanol 3 12 4069,304 1062,58 0,000 (%) Lama reaksi (menit) 3 670,491 223,497 58,360 0,000 9 38,510 4,279 1,117 0,003 Interaksi (Kt ij) Galat 16 61,274 3,830 Jumlah 31 99110,402
Lampiran 17c. Hasil uji Duncan taraf dalam faktor konsentrasi metanol terhadap stabilitas busa MES murni Konsentrasi metanol (%) N Rataan Kelompok Duncan 10 8 0,50 A 20 8 1,06 B 30 8 1,73 C 40 8 3,17 D Keterangan: Kelompok Duncan denga n huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar taraf perlakuan, sedangkan kelompok Duncan dengan hurufs yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar taraf perlakuan.
112
Lampiran 17d. Hasil uji Duncan taraf dalam faktor lama reaksi terhadap stabilitas busa MES murni Lama reaksi (menit) N Rataan Kelompok Duncan 30 8 1,35 A 60 8 1,49 B 90 8 1,90 D 120 8 1,71 C Keterangan: Kelompok Duncan dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar taraf perlakuan, sedangkan kelompok Duncan dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar taraf perlakuan,
Lampiran 17e. Hasil uji Duncan taraf dalam interaksi faktor konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap stabilitas busa MES murni Perlakuan N Rataan Kelompok Duncan K1t1 K1t2 K1t3 K1t4 K2t1 K2t2 K2t3 K2t4 K3t1 K3t2 K3t3 K3t4 K4t1 K4t2 K4t3 K4t4
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
0,41 0,43 0,61 0,53 0,93 1,03 1,14 1,13 1,51 1,76 2,01 1,63 2,56 2,72 3,84 3,54
A AB C BC D DE E E F G H I J K M L
113
Lampiran 18. Hasil analisa daya deterjensi MES Murni
Lampiran 18a. Rekapitulasi data daya deterjensi MES murni Perlakuan Daya deterjensi
K1t1 K1t2 K1t3 K1t4 K2t1 K2t2 K2t3 K2t4 K3t1 K3t2 K3t3 K3t4 K4t1 K4t2 K4t3 K4t4
Ulangan 1
Ulangan 2
Rataan ± Simpangan Baku
27,03 29,85 34,83 32,64 40,70 42,89 54,75 48,37 56,33 58,35 64,07 61,28 67,65 72,15 87,21 81,89
25,54 29,64 35,21 33,17 39,83 43,51 54,29 48,08 55,74 57,65 64,38 61,88 68,22 66,15 87,23 77,66
26,28 ± 1,050 29,75 ± 0,152 35,02 ± 0,272 32,91 ± 0,371 40,27 ± 0,611 43,20 ± 0,445 54,51 ± 0,343 48,23 ± 0,209 56,03 ± 0,417 58,00 ± 0,499 64,23 ± 0,222 61,58 ± 0,424 67,93 ± 0,399 69,15 ± 4,243 87,22 ± 0,014 79,77 ± 2,991
Lampiran 18b. Analisis keragaman variabel respon daya deterjensi MES murni Sumber variasi Derajat Jumlah Kuadrat F Sig. bebas kuadrat tengah Konsentrasi metanol 3 12207,912 4069,304 1062,5 0,000 (%) 83 Lama reaksi (menit) 3 670,491 223,497 58,360 0,000 9 38,510 4,279 1,117 0,000 Interaksi (Kt ij) Galat 16 61,274 3,830 Jumlah 31 99110,402
Lampiran 18c. Hasil uji Duncan taraf dalam faktor konsentrasi metanol terhadap daya deterjensi MES murni Konsentrasi metanol (%) N Rataan Kelompok Duncan 10 8 30,99 A 20 8 46,55 B 30 8 59,96 C 40 8 76,01 D Keterangan: Kelompok Duncan dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar taraf perlakuan, sedangkan kelompok Duncan dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar taraf perlakuan.
114
Lampiran 18d. Hasil uji Duncan taraf dalam faktor lama reaksi terhadap daya deterjensi MES murni Lama reaksi (menit) N Rataan Kelompok Duncan 30 8 47,62 A 60 8 50,02 B 90 8 60,24 D 120 8 55,62 C Keterangan: Kelompok Duncan dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar taraf perlakuan, sedangkan kelompok Duncan dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar taraf perlakuan.
Lampiran 18e. Hasil uji Duncan taraf dalam interaksi faktor konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap daya deterjensi MES murni Perlakuan N Rataan Kelompok Duncan K1t1 K1t2 K1t3 K1t4 K2t1 K2t2 K2t3 K2t4 K3t1 K3t2 K3t3 K3t4 K4t1 K4t2 K4t3 K4t4
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
26,28 29,75 35,02 32,91 40,27 43,20 54,51 48,23 56,03 58,00 64,23 61,58 67,93 69,15 87,22 79,77
A A B C D D F E E G H G H IJ J K
Lampiran 19. Rekapitulasi data karakteristik metil ester sulfonat hasil pemurnian (MES Murni)
Lampiran 19 a. Perlakuan
Rekapitulasi data tegangan permukaan, penurunan tegangan permukaan dan persentase penurunan tegangan pemukaan MES murni Teganga n permukaan air Tegangan permukaan air Penurunan tegangan Persentase penurunan sebelum penambahan setelah penambahan MES permukaan (mN/m) tegangan permukaan (%) MES (mN/m) (mN/m) Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 65,90 34,50 34,40 31,40 31,50 47,65 47,80 65,90 34,40 34,20 31,50 31,70 47,80 48,10 65,90 33,85 33,80 32,05 32,10 48,63 48,71 65,90 34,10 34,20 31,80 31,70 48,25 48,10 65,90 33,20 33,05 32,70 32,85 49,62 49,85 65,90 32,85 32,70 33,05 33,20 50,15 50,38 65,90 31,50 31,60 34,40 34,30 52,20 52,05 65,90 32,10 32,30 33,80 33,60 51,29 50,99 65,90 29,60 29,70 36,30 36,20 55,08 54,93 65,90 28,90 28,70 37,00 37,20 56,15 56,45 65,90 26,90 27,10 39,00 38,80 59,18 58,88 65,90 28,20 28,30 37,70 37,60 57,21 57,06 65,90 26,20 26,30 39,70 39,60 60,24 60,09 65,90 25,85 25,70 40,05 40,20 60,77 61,00 65,90 23,60 23,70 42,30 42,20 64,19 64,04 65,90 25,10 24,85 40,80 41,05 61,91 62,29
K1t1 K1t2 K1t3 K1t4 K2t1 K2t2 K2t3 K2t4 K3t1 K3t2 K3t3 K3t4 K4t1 K4t2 K4t3 K4t4 Keterangan : K1 = konsentrasi metanol 10 %; K2 = konsentrasi metanol 20 %; K3 = konsentrasi metanol 30 %; K4 = konsentrasi metanol 40 %;
t1 t2 t3 t4
= = = =
lama reaksi 30 menit lama reaksi 60 menit lama reaksi 90 menit lama reaksi 120 menit
Lampiran 19 b.
Perlakuan
Rekapitulasi data tegangan antarmuka, penurunan tegangan antarmuka dan persentase penurunan tegangan antarmuka MES murni Tegangan antarmuka xylenair sebelum penambahan MES (mN/m)
K1t1 35,40 K1t2 35,40 K1t3 35,40 K1t4 35,40 K2t1 35,40 K2t2 35,40 K2t3 35,40 K2t4 35,40 K3t1 35,40 K3t2 35,40 K3t3 35,40 K3t4 35,40 K4t1 35,40 K4t2 35,40 K4t3 35,40 K4t4 35,40 Keterangan : K1 = konsentrasi metanol 10 %; K2 = konsentrasi metanol 20 %; K3 = konsentrasi metanol 30 %; K4 = konsentrasi metanol 40 %;
Tegangan antarmuka xylenair setelah penambahan MES (mN/m) Ulangan 1 Ulangan 2 3,6 3,5 3,5 3,5 3,2 3,1 3,2 3,2 2,9 3,1 2,8 2,7 2,3 2,3 2,5 2,6 2,2 2,1 1,9 1,9 1,5 1,5 1,6 1,7 1,4 1,3 1,2 1,3 0,7 0,7 1,1 1,2 t1 t2 t3 t4
= = = =
Penurunan tegangan antarmuka (mN/m) Ulangan 1 31,8 31,9 32,2 32,2 32,5 32,6 33,1 32,9 33,2 33,5 33,9 33,8 34 34,2 34,7 34,3
Ulangan 2 31,9 31,9 32,3 32,2 32,3 32,7 33,1 32,8 33,3 33,5 33,9 33,7 34,1 34,1 34,7 34,2
lama reaksi 30 menit lama reaksi 60 menit lama reaksi 90 menit lama reaksi 120 menit
Persentase penurunan tegangan permukaan (%) Ulangan 1 89,83 90,11 90,96 90,96 91,81 92,09 93,50 92,94 93,79 94,63 95,76 95,48 96,05 96,61 98,02 96,89
Ulangan 2 90,11 90,11 91,24 90,96 91,24 92,37 93,50 92,66 94,07 94,63 95,76 95,20 96,33 96,33 98,02 96,61
Lampiran 19 c. Rekapitulasi data hasil analisis daya deterjensi MES murni W1 W2 Perlakuan Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 K1t1 70,47 70,445 55,62 55,34 K1t2 70,55 70,58 56,31 56,29 K1t3 71,04 70,98 57,81 57,75 K1t4 70,51 70,56 56,85 56,98 K2t1 70,61 70,57 58,56 58,38 K2t2 71,04 71,05 59,96 59,78 K2t3 70,56 70,53 61,37 61,25 K2t4 70,69 70,64 60,21 60,11 K3t1 70,54 70,53 61,67 61,54 K3t2 71,06 71,02 62,96 62,74 K3t3 70,71 70,7 63,46 63,52 K3t4 71,11 71,07 63,59 63,47 K4t1 70,67 70,64 64,11 64,21 K4t2 70,64 70,62 64,99 63,74 K4t3 70,58 70,53 67,98 67,94 K4t4 70,13 71,09 66,8 66,76 Keterangan: W1 = Whiteness kain awal W2 = Whiteness kain yang telah dicuci W3 = Whiteness kain yang ditetesi pengotor K1 K2 K3 K4
= = = =
konsentrasi metanol 10 %; konsentrasi metanol 20 %; konsentrasi metanol 30 %; konsentrasi metanol 40 %;
t1 t2 t3 t4
= = = =
W3 Ulangan 1 50,12 50,25 50,74 50,23 50,29 51,64 50,25 50,39 50,23 51,61 50,53 51,69 50,39 50,35 50,29 51,75
Ulangan 2 50,16 50,27 50,56 50,24 50,31 51,08 50,23 50,36 50,22 51,47 50,54 51,12 50,41 50,31 50,25 51,71
lama reaksi 30 menit lama reaksi 60 menit lama reaksi 90 menit lama reaksi 120 menit
Daya deterjensi (%) Ulangan 1 Ulangan 2 27,03 25,54 29,85 29,64 34,83 35,21 32,64 33,17 40,7 39,83 42,89 43,51 54,75 54,29 48,37 48,08 56,33 55,74 58,35 57,65 64,07 64,38 61,28 61,88 67,65 68,22 72,15 66,15 87,21 87,23 81,89 77,66
Lampiran 19d. Rekapitulasi data hasil analisis peningkatan stabilitas emulsi MES murni
Perlakuan K1t1 K1t2 K1t3 K1t4 K2t1 K2t2 K2t3 K2t4 K3t1 K3t2 K3t3 K3t4 K4t1 K4t2 K4t3 K4t4 Keterangan: K1 K2 K3 K4
= = = =
Volume emulsi pada t=0 jam Ulangan 1 Ulangan 2 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 4,1 4,1 4,1 4,1 4,2 4,2 4,2 4,2
konsentrasi metanol 10 %; konsentrasi metanol 20 %; konsentrasi metanol 30 %; konsentrasi metanol 40 %;
Volume emulsi setelah 24 jam Ulangan 1 Ulangan 2 0,7 0,6 0,9 0,9 1,2 1,1 1,1 0,9 1,6 1,6 1,7 1,8 1,9 2,1 1,9 1,8 2,1 2,0 2,4 2,5 2,5 2,6 2,4 2,5 2,9 2,8 3,1 3,1 3,6 3,5 3,3 3,2
t1 t2 t3 t4
= = = =
lama reaksi 30 menit lama reaksi 60 menit lama reaksi 90 me nit lama reaksi 120 menit
Peningkatan stabilitas emulsi (%) Ulangan 1 Ulangan 2 17,95 15,38 23,08 23,08 30,77 28,21 28,21 23,08 41,03 41,03 43,59 46,15 48,72 53,85 48,72 46,15 53,85 51,28 61,54 64,10 64,10 66,67 61,54 64,10 70,73 68,29 75,61 75,61 85,71 83,33 78,57 76,19
Lampiran 19 e. Rekapitulasi data hasil analisis stabilitas busa MES murni
Perlakuan K1t1 K1t2 K1t3 K1t4 K2t1 K2t2 K2t3 K2t4 K3t1 K3t2 K3t3 K3t4 K4t1 K4t2 K4t3 K4t4 Keterangan : K1 K2 K3 K4
= = = =
konsentrasi metanol 10 %; konsentrasi metanol 20 %; konsentrasi metanol 30 %; konsentrasi metanol 40 %;
Stabilitas busa (menit) Ulangan 1 Ulangan 2 25,0 24,0 26,0 26,0 35,0 38,0 31,0 33,0 55,0 57,0 61,0 63,0 66,5 70,5 63,0 72,5 90,0 91,0 100,0 110,5 120,0 121,0 94,5 101,0 154,0 154,0 161,5 165,0 231,0 230,0 210,0 215,0
t1 t2 t3 t4
= = = =
Stabiitas busa (Jam) Ulangan 1 Ulangan 2 0,42 0,40 0,43 0,43 0,58 0,63 0,52 0,55 0,92 0,95 1,02 1,05 1,11 1,18 1,05 1,21 1,50 1,52 1,67 1,84 2,00 2,02 1,58 1,68 2,57 2,57 2,69 2,75 3,85 3,83 3,50 3,58
lama reaksi 30 menit lama reaksi 60 menit lama reaksi 90 menit lama reaksi 120 menit
Lampiran 19 f. Rekapitulasi data hasil pengukuran terhadap nilai pH MES murni sebelum netralisasi dan sesudah evaporasi
Perlakuan K1t1 K1t2 K1t3 K1t4 K2t1 K2t2 K2t3 K2t4 K3t1 K3t2 K3t3 K3t4 K4t1 K4t2 K4t3 K4t4
pH sebelum netralisasi Ulangan 1 Ulangan 2 4,92 4,93 4,89 4,84 4,81 4,78 4,69 4,71 4,63 4,57 4,54 4,61 4,39 4,41 4,49 4,52 4,45 4,43 4,36 4,31 4,25 4,21 4,36 4,32 4,21 4,24 4,15 4,19 3,94 3,95 4,11 4,15
pH setelah evaporasi Ulangan 1 Ulangan 2 7,66 7,68 7,62 7,60 7,54 7,56 7,48 7,47 7,51 7,53 7,47 7,45 7,35 7,38 7,43 7,41 7,32 7,35 7,23 7,27 7,18 7,17 7,21 7,20 7,14 7,15 7,13 7,13 6,89 6,95 7,11 7,12
Keterangan : K1 K2 K3 K4
= = = =
konsentrasi metanol 10 %; konsentrasi metanol 20 %; konsentrasi metanol 30 %; konsentrasi metanol 40 %;
t1 t2 t3 t4
= = = =
lama reaksi 30 menit lama reaksi 60 menit lama reaksi 90 menit lama reaksi 120 menit
Lampiran 28. Rekapitulasi data hasil analisis fisiko- kimia deterjen bubuk
Lampiran 28a. Rekapitulasi data hasil analisis pengukuran nilai pH deterjen bubuk Perubahan nilai pH Ulangan 1 Ulangan 2 Perlakuan 1 2 1 2 MES kasar 15 % 10,95 10,99 10,95 10,97 MES kasar 20 % 10,94 10,96 10,93 10,95 MES kasar 25 % 10,85 10,89 10,84 10,86 MES murni15 % 10,74 10,82 10,72 10,80 MES murni 20 % 10,75 10,69 10,74 10,68 MES murni 25 % 10,58 10,66 10,57 10,65 Komersial 10,56 10,62 10,58 10,56
Lampiran 28b. Rekapitulasi data hasil analisis perubahan nilai derajat putih deterjen bubuk Perubahan nilai derajat putih Ulangan 1 Ulangan 2 Perlakuan 1 2 1 2 MES kasar 15 % 82,00 84,00 83,00 81,00 MES kasar 20 % 82,00 80,00 82,00 80,00 MES kasar 25 % 78,00 80,00 79,00 81,00 MES murni15 % 85,00 89,00 87,00 89,00 MES murni 20 % 85,00 87,00 86,00 86,00 MES murni 25 % 83,00 85,00 84,00 86,00 Komersial 85,00 85,00 85,00 85,00
Rata-rata Ulangan 1 10,97 10,95 10,87 10,78 10,72 10,62 10,59
Ulangan 2 10,96 10,94 10,85 10,76 10,71 10,61 10,57
Rata-rata 10,97 10,95 10,86 10,77 10,72 10,62 10,58
Rata-rata Ulangan 1 83,00 81,00 79,00 87,00 86,00 84,00 85,00
Ulangan 2 82,00 81,00 80,00 88,00 86,00 85,00 85,00
Rata-rata 82,50 81,00 79,50 87,50 86,00 84,50 85,00
Lampiran 28 c. Rekapitulasi data hasil analisis berat jenis deterjen bubuk Berat wadah kosong Berat wadah +sampel (gram) (gram) Ulangan Perlakuan Volume Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 2 1 MES kasar 15 % 30,00 3,8934 3,8937 16,3584 16,3576 MES kasar 20 % 30,00 3,8934 3,8937 16,9202 16,8450 MES kasar 25 % 30,00 3,8934 3,8937 17,3441 17,3388 MES murni15 % 30,00 3,8934 3,8937 13,7775 13,7705 MES murni 20 % 30,00 3,8934 3,8937 14,6840 14,7410 MES murni 25 % 30,00 3,8934 3,8937 15,7395 15,8062 Komersial 30,00 3,8934 3,8937 15,3079 15,2790
Lampiran 28 d. Rekapitulasi data hasil analisis daya deterjensi deterjen bubuk W1 W2 Perlakuan Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 MES kasar 15 % 70,52 70,47 58,23 57,98 MES kasar 20 % 70,63 70,85 59,21 58,195 MES kasar 25 % 70,59 70,56 60,35 60,52 MES murni15 % 70,61 70,59 65,98 65,81 MES murni 20 % 70,63 70,68 67,25 67,31 MES murni 25 % 70,71 70,74 68,59 68,65 Komersial 70,65 70,72 68,97 68,985
Berat tetap (gram) Ulangan 1 12,4650 13,0268 13,4507 9,8841 10,7906 11,8461 11,4145
Berat jenis (g/ml)
Ulangan 2 12,4639 12,9513 13,4451 9,8768 10,8473 11,9125 11,3853
W3 Ulangan 1 Ulangan 2 51,65 51,74 52,43 51,22 51,46 51,34 52,54 52,78 52,79 52,95 52,84 52,74 52,76 52,84
Ulangan 1 0,4155 0,4342 0,4484 0,3295 0,3597 0,3949 0,3805
Ulangan 2 0,4155 0,4317 0,4482 0,3292 0,3616 0,3971 0,3795
Daya deterjensi Ulangan 1 Ulangan 2 34,87 33,33 37,25 35,53 46,47 47,76 74,38 73,16 81,05 80,99 88,14 88,39 90,61 90,30
Lampiran 28 e. Rekapitulasi data hasil analisis stabilitas emulsi deterjen bubuk
Perlakuan MES kasar 15 % MES kasar 20 % MES kasar 25 % MES murni15 % MES murni 20 % MES murni 25 % Komersial
Volume emulsi pada t = 0jam Ulangan 1 Ulangan 2 3,70 3,70 3,80 3,90 3,90 3,90 4,00 4,10 4,10 4,10 4,10 4,10 4,10 4,10
Volume emulsi setelah t = 24 jam Ulangan 1 ulangan 2 1,45 1,45 1,65 1,65 1,85 1,85 3,05 3,05 3,25 3,25 3,65 3,65 3,7 3,75
Stabilitas emulsi (%) Ulangan 1 Ulangan 2 39,19 39,19 43,42 42,31 47,44 47,44 76,25 74,39 79,27 79,27 89,02 89,02 90,24 92,59
Lampiran 28 f. Rekapitulasi data hasil analisis kadar air deterjen bubuk Berat cawan kosong Berat sampel awal Bobot tetap Kehilangan berat Kadar air (%) Perlakuan ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 MES kasar 15 % 3.21 2.62 4.29 3.19 7.25 5.62 0.26 0.19 6.06 6.05 MES kasar 20 % 3.32 3.17 2.90 3.49 6.03 6.43 0.19 0.23 6.65 6.60 MES kasar 25 % 3.19 5.00 3.28 4.79 6.22 9.43 0.25 0.36 7.55 7.61 MES murni15 % 3.67 2.59 4.25 3.79 7.70 6.19 0.22 0.19 5.16 5.12 MES murni 20 % 4.96 3.61 3.67 3.05 8.43 6.50 0.20 0.17 5.56 5.54 MES murni 25 % 3.83 3.31 4.54 3.43 8.10 6.52 0.27 0.21 6.05 6.11 Komersial 2.82 3.79 3.91 3.05 6.48 6.65 0.25 0.19 6.30 6.24
Lampirn 28 g. Rekapitulasi data hasil analisis bahan tidak larut dalam air deterjen bubuk Berat kertas saring awal Berat kertas saring setelah (gram) Berat sampel awal (gram) dikeringkan (gram) Perlakuan Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 MES kasar 15 % 0,81 0,84 1,00 1,00 0,84 0,87 MES kasar 20 % 0,82 0,82 1,00 1,00 0,86 0,87 MES kasar 25 % 0,85 0,85 1,01 1,00 0,90 0,90 MES murni15 % 0,81 0,84 1,01 1,01 0,83 0,86 MES murni 20 % 0,84 0,82 1,00 1,00 0,87 0,85 MES murni 25 % 0,83 0,83 1,01 1,00 0,86 0,87 Komersial 0,82 0,83 1,00 1,00 0,88 0,89
Bahan tidak larut dalam air (%) Ulangan 1 Ulangan 2 2,79 2,82 4,09 4,07 5,08 5,13 1,74 1,84 2,47 2,59 3,61 3,74 5,39 5,29
117
118
119
120
121
Lampiran 20. Neraca massa proses pembuatan deterjen bubuk (Formula I) Basis = 500 gram
MES 15% (75 g)
STTP 15% (75 g)
SLS 6 % (30 g)
S. karbonat 15% (75 g)
S. silikat 7% (35 g) Proses Pencampuran Bahan
S. Sulfat 15% (75 g)
Sediaan I P1 = 365 gram
Air 20 % (100 gram)
Bleach additive 3% (15 g)
Homogenisasi Parfum 1 % (5 g)
CMC 3% (15 g)
Sediaan II P2 = 500 gram
Proses pengeringan dengan fluid bed dryer T = 80 °C ; t = 1 jam
Loss weight 72,46 g
122
Deterjen Bubuk Kasar P3 = 427,54 g
Sortasi ( 18 Mesh)
Deterjen Bubuk P4 = 364,129 g
Loss weight 63, 42 g
123
Lampiran 21. Hasil analisa perubahan nilai pH detergen bubuk
Lampiran 21a. Rekapitulasi data perubahan nilai pH detergen bubuk Perlakuan Perubahan Nilai pH Ulangan 1 Ulangan 2 Rataan ± Simpangan Baku MES Kasar 15% 10,97 10,96 10,965 ± 0,007 MES Kasar 20% 10,95 10,94 10,945 ± 0,007 MES Kasar 25% 10,87 10,85 10,860 ± 0,014 MES Murni 15% 10,78 10,76 10,770 ± 0,014 MES Murni 20% 10,72 10,71 10,715 ± 0,007 MES Murni 25% 10,62 10,61 10,615 ± 0,007 Surfaktan Komersial 10,59 10,57 10,580 ± 0,014
Lampiran 21b. Analisa keragaman perubahan nilai pH detergen bubuk Sumber variasi Derajat Jumlah Kuadrat F bebas kuadrat tengah Perlakuan 6 0,960 0,480 11,234 Galat 7 12,546 1,394 Total 13 13,506
Sig. 0,003
Lampiran 21c. Hasil uji Duncan perubahan nilai pH detergen bubuk Perlakuan N Rataan Kelompok Duncan MES Kasar 15% 2 10,965 A MES Kasar 20% 2 10,945 A MES Kasar 25% 2 10,860 B MES Murni 15% 2 10,770 C MES Murni 20% 2 10,715 D MES Murni 25% 2 10,615 E Surfaktan Komersial 2 10,580 F Keterangan: Kelompok Duncan dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar taraf perlakuan, sedangkan kelompok Duncan dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar taraf perlakuan.
124
Lampiran 22. Hasil analisa nilai kadar air de tergen bubuk
Lampiran 22a. Rekapitulasi data nilai kadar air detergen bubuk Perlakuan Nilai kadar air Ulangan 1 Ulangan 2 Rataan ± Simpangan Baku MES Kasar 15% 6,045 6,010 6,028 ± 0,025 MES Kasar 20% 6,655 6,580 6,618 ± 0,053 MES Kasar 25% 7,545 7,595 7,570 ± 0,035 MES Murni 15% 5,655 5,070 5,363 ± 0,414 MES Murni 20% 5,565 5,505 5,535 ± 0,042 MES Murni 25% 6,055 6,080 6,067 ± 0,018 Surfaktan Komersial 6,300 6,270 6,285 ± 0,021
Lampiran 22b. Analisa keragaman nilai kadar air detergen bubuk Sumber variasi Derajat Jumlah Kuadrat F bebas kuadrat tengah Perlakuan 6 6,498 1,083 45,503 Galat 7 0,178 0,025 Total 13 6,676
Sig. 0,000
Lampiran 22c. Hasil uji Duncan nilai kadar air detergen bubuk Perlakuan N Rataan Kelompok Duncan MES Kasar 15% 2 6,028 C MES Kasar 20% 2 6,618 B MES Kasar 25% 2 7,570 A MES Murni 15% 2 5,363 D MES Murni 20% 2 5,353 D MES Murni 25% 2 6,067 C Surfaktan Komersial 2 6,285 BC Keterangan: Kelompok Duncan dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar taraf perlakuan, sedangkan kelompok Duncan dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar taraf perlakuan.
125
Lampiran 23. Hasil analisa nilai berat jenis detergen bubuk
Lampiran 23a. Rekapitulasi data nilai berat jenis detergen bubuk Perlakuan Nilai berat jenis Ulangan 1 Ulangan 2 Rataan ± Simpangan Baku MES Kasar 15% 0,416 0,416 0,416 ± 0,000 MES Kasar 20% 0,432 0,434 0,433 ± 0,001 MES Kasar 25% 0,449 0,448 0,449 ± 0,000 MES Murni 15% 0,329 0,330 0,330 ± 0,414 MES Murni 20% 0,360 0,362 0,361 ± 0,001 MES Murni 25% 0,395 0,397 0,396 ± 0,001 Surfaktan Komersial 0,381 0,380 0,381 ± 0,000
Lampiran 23b. Analisa keragaman nilai berat jenis detergen bubuk Sumber variasi Derajat Jumlah Kuadrat F bebas kuadrat tengah Perlakuan 6 0,021 0,003 3237,022 Galat 7 0,000 0,000 Total 13 0,21
Sig. 0,000
Lampiran 23c. Hasil uji Duncan nilai berat jenis detergen bubuk Perlakuan N Rataan Kelompok Duncan MES Kasar 15% 2 0,416 C MES Kasar 20% 2 0,433 B MES Kasar 25% 2 0,449 A MES Murni 15% 2 0,330 G MES Murni 20% 2 0,361 F MES Murni 25% 2 0,396 D Surfaktan Komersial 2 0,381 E Keterangan: Kelompok Duncan dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar taraf perlakuan, sedangkan kelompok Duncan dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar taraf perlakuan.
126
Lampiran 24. Hasil analisa nilai daya deterjensi detergen bubuk
Lampiran 24a. Rekapitulasi data nilai daya deterjensi detergen bubuk Perlakuan Nilai daya deterjensi Ulangan 1 Ulangan 2 Rataan ± Simpangan Baku MES Kasar 15% 34,870 33,330 34,100 ± 1,089 MES Kasar 20% 37,250 35,530 36,390 ± 1,350 MES Kasar 25% 46,475 47,760 47,117 ± 0,909 MES Murni 15% 74,375 73,160 73,768 ± 0,859 MES Murni 20% 81,055 80,990 81,023 ± 0,046 MES Murni 25% 88,135 88,390 88,263 ± 0,180 Surfaktan Komersial 90,610 90,300 90,455 ± 0,219
Lampiran 24b. Analisa keragaman nilai daya deterjensi detergen bubuk Sumber variasi Derajat Jumlah Kuadrat F bebas kuadrat tengah Perlakuan 6 7317,619 1219,603 197,839 Galat 7 43,152 6,165 Total 13 7360,771
Sig. 0,000
Lampiran 24c. Hasil uji Duncan nilai daya deterjensi detergen bubuk Perlakuan N Rataan Kelompok Duncan MES Kasar 15% 2 34,100 E MES Kasar 20% 2 36,390 E MES Kasar 25% 2 47,118 D MES Murni 15% 2 73,768 C MES Murni 20% 2 81,023 B MES Murni 25% 2 88,263 A Surfaktan Komersial 2 90,455 A Keterangan: Kelompok Duncan dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar taraf perlakuan, sedangkan kelompok Duncan dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar taraf perlakuan.
127
Lampiran 25. Hasil analisa stabilitas emulsi detergen bubuk
Lampiran 25a. Rekapitulasi data stabilitas emulsi detergen bubuk Perlakuan Stabilitas emulsi Ulangan 1 Ulangan 2 Rataan ± Simpangan Baku MES Kasar 15% 39,190 39,190 39,190 ± 0,000 MES Kasar 20% 43,425 42,310 42,868 ± 0,788 MES Kasar 25% 47,435 47,435 47,435 ± 0,000 MES Murni 15% 76,250 74,385 75,318 ± 1,318 MES Murni 20% 79,270 79,270 79,270 ± 0,000 MES Murni 25% 89,020 89,020 89,020 ± 0,000 Surfaktan Komersial 90,240 92,590 91,420 ± 0,799
Lampiran 25b. Analisa keragama n stabilitas emulsi detergen bubuk Sumber variasi Derajat Jumlah Kuadrat F bebas kuadrat tengah Perlakuan 6 6012,293 1002,049 2338,757 Galat 7 2,999 0,428 Total 13 6015,292
Sig. 0,000
Lampiran 25c. Hasil uji Duncan stabilitas emulsi detergen bubuk Perlakuan N Rataan Kelompok Duncan MES Kasar 15% 2 39,190 A MES Kasar 20% 2 42,868 B MES Kasar 25% 2 47,435 C MES Murni 15% 2 75,318 D MES Murni 20% 2 79,270 E MES Murni 25% 2 89,020 F Surfaktan Komersial 2 91,420 G Keterangan: Kelompok Duncan dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar taraf perlakuan, sedangkan kelompok Duncan dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar taraf perlakuan.
128
Lampiran 26. Hasil analisa bahan tidak larut dalam air detergen bubuk
Lampiran 26a. Rekapitulasi data bahan tidak larut dalam air detergen bubuk Perlakuan Bahan tidak larut dalam air Ulangan 1 Ulangan 2 Rataan ± Simpangan Baku MES Kasar 15% 2,795 2,815 2,805 ± 0,014 MES Kasar 20% 4,090 4,160 4,125 ± 0,049 MES Kasar 25% 7,085 5,125 6,105 ± 1,386 MES Murni 15% 1,735 1,840 1,788 ± 0,074 MES Murni 20% 2,475 2,590 2,533 ± 0,081 MES Murni 25% 3,610 3,745 3,678 ± 0,095 Surfaktan Komersial 5,390 5,285 5,337 ± 0,074
Lampiran 26b. Analisa keragaman bahan tidak larut dalam air detergen bubuk Sumber variasi Derajat Jumlah Kuadrat F Sig. bebas kuadrat tengah Perlakuan 6 28,873 4,812 17,273 0,001 Galat 7 1,950 0,279 Total 13 30,824
Lampiran 26c. Hasil uji Duncan bahan tidak larut dalam air detergen bubuk Perlakuan N Rataan Kelompok Duncan MES Kasar 15% 2 2,805 AB MES Kasar 20% 2 4,125 CD MES Kasar 25% 2 6,105 E MES Murni 15% 2 1,788 A MES Murni 20% 2 2,533 AB MES Murni 25% 2 3,678 BC Surfaktan Komersial 2 5,337 DE Keterangan: Kelompok Duncan dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar taraf perlakuan, sedangkan kelompok Duncan dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar taraf perlakuan.
129
Lampiran 27. Hasil analisa derajat putih detergen bubuk
Lampiran 27a. Rekapitulasi data derajat putih detergen bubuk Perlakuan Derajat putih Ulangan 1 Ulangan 2 Rataan ± Simpangan Baku MES Kasar 15% 83 82 82,5 ± 0,707 MES Kasar 20% 81 81 81,0 ± 0,000 MES Kasar 25% 79 80 79,5 ± 0,707 MES Murni 15% 87 88 87,5 ± 0,707 MES Murni 20% 86 86 86,0 ± 0,000 MES Murni 25% 84 85 84,5 ± 0,707 Surfaktan Komersial 85 85 85,0 ± 0,000
Lampiran 27b. Analisa keragaman derajat putih detergen bubuk Sumber variasi Derajat Jumlah Kuadrat F bebas kuadrat tengah Perlakuan 6 96,857 16,143 56,500 Galat 7 2,000 0,286 Total 13 98,857
Sig. 0,000
Lampiran 27c. Hasil uji Duncan derajat putih detergen bubuk Perlakuan N Rataan Kelompok Duncan MES Kasar 15% 2 82,5 C MES Kasar 20% 2 81,0 B MES Kasar 25% 2 79,5 A MES Murni 15% 2 87,5 F MES Murni 20% 2 86,0 E MES Murni 25% 2 84,5 D Surfaktan Komersial 2 85,0 DE Keterangan: Kelompok Duncan dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar taraf perlakuan, sedangkan kelompok Duncan dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar taraf perlakuan.