KAJIAN PENGARUH HIDROKOLOID DAN CaCl2 TERHADAP PROFIL GELATINISASI BAHAN BAKU SERTA APLIKASINYA PADA BIHUN SUKUN
SUKMIYATI AGUSTIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Kajian Pengaruh Hidrokoloid dan CaCl2 Terhadap Profil Gelatinisasi Bahan Baku Serta Aplikasinya Pada Bihun Sukun” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2011
Sukmiyati Agustin NRP F251080091
ABSTRACT SUKMIYATI AGUSTIN. Studies on Hydrocolloids and CaCl2 Effect on Gelatinization Profile of Raw Material and Its Application on Breadfruit BihonType Noodle. Supervised by DEDI FARDIAZ and SRI WIDOWATI. The objectives of this research were: (1) to study the effect of rice flour addition on gelatinization characteristics of raw material, (2) to study the effect of hydrocolloids and salt addition on pasting profile of raw material and (3) to investigate the effects of flours, hydrocolloids and salt interactions on the quality of bihon-type noodle making. The pasting properties of breadfruit flour alone and its composite with 15 and 30% rice flour were investigated. The viscosity of the flour mixtures increased with increasing proportion of rice flour, except for peak viscosity. The addition of 15% rice flour resulting in better characteristics of mix flour compared to the addition of 30% rice flour, showed by higher setback and lower breakdown viscosity. The pasting properties of mix flours consists of breadfruit flour alone or composite of 85% breadfruit flour and 15% rice flour, hydrocolloids, including guar gum and konjac flour, in the presence or absence of CaCl2 were investigated using Rapid Visco Analyzer. The addition of 1% CaCl2 lowered the viscosity of mixed flours, while addition of 2% CaCl2 increased the viscosity of mixed flours. The addition of CaCl2 improved the heat stability of breadfruit flour in the presence of both guar gum and konjac flour, showed by the decreased value of breakdown viscosity. Bihon-type noodle made from composite mix flours as described above were prepared. Bihon-type noodle quality of composite mix flour in the presence or absence of CaCl2 was examined by cooking loss, rehydration weight, color, texture analysis and sensory tests. It was found that the substitution of breadfruit flour with 15% rice flour in the presence of guar gum improved the characteristics of bihon-type noodle quality, i.e. lower rehydration weight and higher hardness. In the presence of konjac flour, addition of rice flour resulting in higher cooking loss and lower elasticity. Keywords: breadfruit flour, rice flour, bihon-type noodle, CaCl2, guar gum, konjac flour, pasting properties
RINGKASAN SUKMIYATI AGUSTIN. Kajian Pengaruh Hidrokoloid dan CaCl2 Terhadap Profil Gelatinisasi Bahan Baku Serta Aplikasinya Pada Bihun Sukun. Di bawah bimbingan DEDI FARDIAZ dan SRI WIDOWATI.
Tepung sukun memiliki puncak viskositas sedang dan selama periode holding time viskositasnya cenderung meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa pati sukun lebih mampu menjaga integritas strukturnya pada kondisi perlakuan panas dan pengadukan, sehingga cocok untuk diaplikasikan pada produk pangan yang membutuhkan pemanasan. Berdasarkan karakteristik tersebut, maka produk berbasis tepung sukun yang potensial untuk dikembangkan adalah bihun. Pati sukun memenuhi syarat untuk menjadi bahan baku bihun yang berkualitas berdasarkan sifat amilografinya. Untuk memperbaiki karakteristik bihun sukun yang dihasilkan maka dilakukan penggunaan tepung campuran dan bahan tambahan pangan (BTP). Penggunaan tepung campuran dalam produksi mie/bihun telah banyak dilakukan dan diteliti pengaruhnya terhadap kualitas produk yang dihasilkan. Pemilihan tepung beras didasarkan pada kenyataan bahwa bihun komersial umumnya diproduksi dari bahan baku tepung beras. Selain itu, substitusi parsial pati beras pada mie kentang dapat meningkatkan ketahanan mie terhadap panas. BTP yang digunakan adalah hidrokoloid, yang terdiri atas guar gum dan iles-iles, serta CaCl2. Guar gum banyak digunakan dalam proses produksi mie instan karena bersifat sangat hidrofilik dan memiliki kapasitas pengikatan air yang besar. Selain itu guar gum juga memiliki kemampuan untuk mengatur tekstur pada produk pangan berpati, sementara iles-iles dipilih berdasarkan kemampuannya dalam meningkatkan kapasitas pengikatan air dari pati jagung. Penggunaan CaCl2 diharapkan mampu memperbaiki tekstur bihun yang dihasilkan. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap I meliputi kajian terhadap pengaruh substitusi tepung beras terhadap karakteristik gelatinisasi bahan baku dan kualitas bihun yang dihasilkan. Tahap II adalah kajian pengaruh penambahan hidrokoloid dan CaCl2 terhadap profil gelatinisasi bahan baku. Tahap III merupakan aplikasi dari interaksi jenis tepung, jenis dan konsentrasi hidrokoloid serta konsentrasi CaCl2 pada produk bihun. Pada tahap ini juga dilakukan karakterisasi terhadap sifat fisik bihun untuk mengetahui kualitas bihun sukun yang dihasilkan. Tepung beras memiliki pengaruh yang signifikan dalam mengubah karakteristik gelatinisasi campuran bahan baku bihun. Penambahan tepung beras menyebabkan penurunan nilai swelling volume dan fraksi pati yang tidak membentuk gel akibat peningkatan kandungan amilosa dalam campuran tepung. Profil gelatinisasi bahan baku juga berubah dengan adanya penambahan tepung beras. Nilai viskositas puncak, trough, breakdown, akhir dan setback mengalami peningkatan dibandingkan tepung sukun tanpa substitusi tepung beras. Pencampuran tepung beras pada konsentrasi 15% memiliki nilai viskositas setback yang lebih tinggi dan viskositas breakdown yang lebih rendah dibandingkan pencampuran tepung beras pada level 30%, sehingga tingkat
substitusi tepung beras 15% dipilih untuk dijadikan bahan baku bihun sukun. Karakteristik bihun yang dihasilkan melalui sustitusi tepung sukun dengan tepung beras 15% juga memiliki karakteristik yang lebih baik yang ditunjukkan oleh nilai KPAP (4.68% vs 6.69%) dan persen rehidrasi (300.89% vs 352.07%) yang lebih rendah daripada bihun sukun dengan substitusi tepung beras 30%. Faktor jenis tepung, jenis dan konsentrasi hidrokoloid serta konsentrasi CaCl2 menghasilkan pengaruh yang nyata terhadap seluruh parameter profil gelatinisasi, tetapi interaksi ketiga faktor tersebut tidak menghasilkan pengaruh yang nyata. Secara umum, tepung sukun menghasilkan nilai viskositas yang lebih tinggi dibandingkan tepung sukun yang disubstitusi dengan tepung beras 15%, kecuali untuk VB dan VS. VB menunjukkan stabilitas tepung terhadap panas, dimana tepung dengan VB rendah semakin stabil terhadap pemanasan. Dari hasil yang diperoleh, penambahan tepung beras ternyata menurunkan kestabilan bahan baku terhadap panas. Penggunaan guar gum menghasilkan viskositas yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan iles-iles, kecuali untuk VS. Hal ini menunjukkan bahwa guar gum memiliki kemampuan hidrasi yang lebih besar dibandingkan iles-iles, sehingga sinergi antara tepung dengan guar gum menghasilkan viskositas yang lebih tinggi. Secara umum penambahan CaCl2 1% menyebabkan penurunan VP, VT, VS dan VA dari seluruh perlakuan, sementara penambahan CaCl2 2% meningkatkan kembali nilai keempat parameter tersebut. Peningkatan konsentrasi CaCl2 cenderung menurunkan nilai VB pada tepung sukun 100 %, tetapi pada campuran tepung sukun dan tepung beras peningkatan konsentrasi CaCl2 ternyata diikuti oleh peningkatan VB. Perubahan karakteristik gelatinisasi yang terjadi akibat interaksi jenis tepung, jenis dan konsentrasi hidrokoloid serta konsentrasi CaCl2 mengakibatkan perubahan karakteristik pada produk bihun yang dihasilkan. Interaksi antara ketiga faktor tersebut menghasilkan pengaruh yang nyata terhadap seluruh karakteristik bihun sukun, kecuali untuk waktu rehidrasi. Penggunaan campuran tepung sukun dan tepung beras, hidrokoloid serta CaCl2 menghasilkan bihun dengan KPAP yang tinggi, persen rehidrasi rendah, kekerasan dan kelengketan tinggi serta elastisitas rendah dibandingkan dengan bihun yang diproduksi dari tepung sukun 100%. Bihun dengan karakteristik terbaik dihasilkan dari penggunaan tepung sukun 85% dan tepung beras 15%, guar gum 1% tanpa penambahan CaCl2. Karakteristik bihun yang dihasilkan dari perlakuan ini meliputi KPAP 8.63%, berat rehidrasi 332.05%, waktu rehidrasi 5.75 menit, kekerasan 1695.80 gf, elastisitas 0.60 gs dan kelengketan -156.80 gf. Bihun hasil perlakuan ini memiliki skor kesukaan tertinggi 4.88 (netral hingga agak suka).
Kata kunci: tepung sukun, tepung beras, bihun, CaCl2, guar gum, iles-iles, profil gelatinisasi
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KAJIAN PENGARUH HIDROKOLOID DAN CaCl2 TERHADAP PROFIL GELATINISASI BAHAN BAKU SERTA APLIKASINYA PADA BIHUN SUKUN
SUKMIYATI AGUSTIN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Sugiyono, M.AppSc
Judul Tesis
: Kajian Pengaruh Hidrokoloid dan CaCl2 Terhadap Profil Gelatinisasi Bahan Baku Serta Aplikasinya Pada Bihun Sukun
Nama
: Sukmiyati Agustin
NRP
: F251080091
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Sri Widowati, M.AppSc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 15 April 2011
Tanggal Lulus:
PRAKATA Bismillaahirrahmaanirrahiim. Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Kajian Pengaruh Hidrokoloid dan CaCl2 Terhadap Profil Gelatinisasi Bahan Baku Serta Aplikasinya Pada Bihun Sukun”.
Shalawat serta salam semoga
senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad saw dan keluarga beliau, para shahabat dan shahabiyah, serta generasi Islam kãffah. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc dan Dr. Ir. Sri Widowati, M.AppSc selaku komisi pembimbing atas bimbingan, arahan dan saran yang diberikan sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang terbaik atas segala pengorbanan, curahan waktu dan tenaga, serta ilmu yang diberikan kepada penulis. Kepada Dr. Ir. Sugiyono, M.AppSc, penulis mengucapkan terima kasih atas kesediaannya menjadi dosen penguji luar komisi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada DIKTI melalui tim BPPS IPB 2008 yang telah memberikan beasiswa selama penulis melaksanakan studi dan penelitian di Pascasarjana IPB. Kepada Gubernur Kaltim melalui Pemprov Kaltim, penulis ucapkan terimakasih atas bantuan dana yang diberikan selama studi. Kepada Rektor Universitas Mulawarman, Dekan Fakultas Pertanian dan Ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, penulis sampaikan terima kasih atas izin dan kesempatan untuk menempuh pendidikan program Magister di Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibunda Daryati serta mertua Ibunda Endang Hadiyati yang selalu memberikan dorongan, semangat dan doa yang tulus tanpa henti. Kepada suami tercinta Tri Nugroho, SE dan putri kecilku Nasywa Ghazia Dhiyaa’ul Haq, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas kasih sayang, pengertian dan pengorbanan yang diberikan selama penulis menjalani studi.
Kepada rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Pangan Angkatan 2008, penulis sampaikan terima kasih atas kerjasama dan kebersamaan yang terjalin selama ini. Kepada Bapak dan Ibu teknisi di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Pilot Plant Seafast Centre, penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya. Akhirnya penulis berharap semoga karya kecil ini bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, April 2011
Sukmiyati Agustin
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada 17 Agustus 1979. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara dari pasangan ayah Gima Dihardja dan ibu Daryati. Pada tahun 1998 penulis lulus dari Sekolah Menengah Analis Kimia Bogor dan melanjutkan pendidikan di Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan selesai pada awal tahun 2003. Pada tahun 2008 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi S2 dengan bantuan beasiswa BPPS Dirjen DIKTI, Depdiknas. Pada tahun 2005 hingga sekarang, penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman Samarinda, Kalimantan Timur. Sebelumnya penulis bekerja sebagai asisten dosen pada Departemen TIN FATETA IPB dari tahun 2003 – 2005.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ....................................................................................................... xi DAFTAR TABEL ............................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xvi PENDAHULUAN ..............................................................................................
1
Latar Belakang ...............................................................................................
1
Tujuan .............................................................................................................
5
Manfaat ...........................................................................................................
5
Hipotesis .........................................................................................................
5
TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................................
6
Potensi dan Pemanfaatan Sukun.....................................................................
6
Tepung Sukun................................................................................................. 7 Komposisi Kimia Tepung Sukun ............................................................ 10 Sifat Fungsional Pati Sukun .................................................................... 12 Tepung Beras .................................................................................................. 16 Evaluasi Pati Sebagai Bahan Baku Bihun ...................................................... 19 Hidrokoloid Dalam Bahan Pangan dan Pengaruh Penambahan Garam......... 20 METODE PENELITIAN .................................................................................... 25 Alat dan Bahan ............................................................................................... 25 Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................................ 25 Metode Penelitian ........................................................................................... 25 Tahap I. Pengaruh Substitusi Tepung Beras Terhadap Karakteristik Bahan Baku Bihun Sukun ......................................................... 26 Tahap II. Pengaruh Hidrokoloid dan CaCl2 Terhadap Profil Gelatinisasi Bahan Baku Bihun Sukun ................................... 28 Tahap III. Pengaruh Hidrokoloid dan CaCl2 Terhadap Karakteristik Bihun Sukun .......................................................................... 28 Prosedur Penelitian ......................................................................................... 30 Analisis Karakteristik Tepung/Campuran Tepung .................................. 30 Analisis Karakteristik Bihun ................................................................... 36
xi
Rancangan Percobaan dan Analisis Data ....................................................... 39 Rancangan Percobaan ............................................................................. 39 Analisis Data ........................................................................................... 40 HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................... 41 Tahap I. Pengaruh Substitusi Tepung Beras Terhadap Karakteristik Bahan Baku Bihun Sukun ................................................................ 41 Tahap II. Pengaruh Hidrokoloid dan CaCl2 Terhadap Profil Gelatinisasi Bahan Baku Bihun Sukun .......................................... 48 Tahap III. Pengaruh Hidrokoloid dan CaCl2 Terhadap Karakteristik Bihun Sukun .................................................................................. 63 SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................ 88 Simpulan ......................................................................................................... 88 Saran ............................................................................................................... 89 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 90 LAMPIRAN ........................................................................................................ 96
xii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Perbandingan komposisi buah sukun dengan sumber karbohidrat lain .......
7
2
Komposisi kimia aneka tepung umbi-umbian dan buah-buahan ................. 10
3
Komposisi pati sukun ................................................................................... 10
4
Profil gelatinisasi pati sukun pada konsentrasi 6 gram/100 ml.................... 13
5
Swelling power dan kelarutan tepung sukun pada berbagai suhu ................ 15
6
Komposisi kimia tepung beras ..................................................................... 17
7
Klasifikasi beras berdasarkan kandungan amilosanya ................................. 18
8
Komposisi kimia tepung iles-iles ................................................................. 23
9
Keterangan kode perlakuan .......................................................................... 28
10 Penetapan gula menurut Luff Schrool .......................................................... 34 11 Profil gelatinisasi tepung sukun, tepung beras dan campuran keduanya ..... 42 12 Hasil analisis proksimat tepung dan campuran tepung ................................ 43 13 Swelling volume dan fraksi pati yang tidak membentuk gel dari tepung dan campuran tepung ................................................................................... 44 14 Nilai KPAP dan berat rehidrasi bihun sukun yang disubstitusi dengan tepung beras ................................................................................................. 46 15 Viskositas puncak hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 ............. 51 16 Swelling volume (ml/g) hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 ....... 52 17 Viskositas trough hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 ............... 54 18 Viskositas breakdown hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 ........ 55 19 Viskositas akhir hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2................. 57 20 Viskositas setback hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 ............... 59 21 Waktu puncak hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 .................. 60 22 Suhu gelatinisasi hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 ............... 60 23 Pengaruh hidrokoloid dan CaCl2 terhadap profil gelatinisasi bahan baku... 62 24 Intensitas warna bihun sukun ....................................................................... 64 25 Nilai KPAP bihun sukun hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2..... 67 26 Pengelompokan bihun berdasarkan nilai KPAP .......................................... 68 27 Pengelompokan bahan baku bihun berdasarkan nilai VP, VT dan VB ....... 70
xiii
28 Nilai persen rehidrasi bihun sukun hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 .......................................................................................................... 71 29 Pengelompokan bihun berdasarkan persen rehidrasi ............................ 72 30 Pengelompokan bahan baku berdasarkan nilai VT ...................................... 73 31 Pengelompokan bahan baku berdasarkan nilai swelling volume ................. 73 32 Pengaruh hidrokoloid dan CaCl2 terhadap KPAP dan persen rehidrasi bihun .......................................................................................................... 74 33 Waktu rehidrasi bihun sukun hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 75 34 Pengelompokan bihun berdasarkan waktu rehidrasi ................................... 75 35 Pengelompokan bahan baku berdasarkan suhu gelatinisasi dan waktu puncak .......................................................................................................... 76 36 Nilai kekerasan bihun sukun hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 77 37 Pengelompokan bihun berdasarkan nilai kekerasan .................................... 78 38 Pengelompokan bahan baku bihun berdasarkan viskositas setback ............ 78 39 Nilai elastisitas bihun sukun hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 79 40 Perbandingan tingkat elastisitas bihun dengan viskositas akhir bahan baku 80 41 Nilai kelengketan bihun sukun hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 .......................................................................................................... 81 42 Perbandingan tingkat kelengketan dengan nilai KPAP bihun ..................... 82 43 Perbandingan tingkat kelengketan dengan viskositas puncak ..................... 82 44 Nilai kekerasan bihun sukun hasil uji organoleptik ..................................... 83 45 Nilai elastisitas bihun sukun hasil uji organoleptik ..................................... 83 46 Nilai kelengketan bihun sukun hasil uji organoleptik.................................. 84 47 Nilai kesukaan bihun sukun hasil uji organoleptik ...................................... 85
xiv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Buah sukun dan pohon sukun ....................................................................
6
2
Diagram alir proses pembuatan tepung sukun ...........................................
9
3
Struktur amilosa dan amilopektin .............................................................. 11
4
Profil gelatinisasi pati sukun pada konsentrasi 6 % .................................. 14
5
Profil gelatinisasi tepung beras dengan kadar amilosa tinggi dan sedang . 18
6
Struktur guar gum ...................................................................................... 22
7
Struktur glukomanan ................................................................................. 23
8
Diagram alir penelitian .............................................................................. 26
9
Diagram alir proses produksi bihun........................................................... 27
10
Kurva profil gelatinisasi pati ..................................................................... 31
11
Kurva texture profile analysis (TPA) ........................................................ 37
12
Profil gelatinisasi tepung dan campuran tepung ........................................ 41
13
Perubahan profil gelatinisasi akibat penambahan CaCl2 terhadap tepung sukun yang diinteraksikan dengan guar gum dan tepung beras ................ 49
14
Perubahan profil gelatinisasi akibat penambahan CaCl2 terhadap tepung sukun yang diinteraksikan dengan iles-iles dan tepung beras.................. 50
15
Diagram kromatisitas a*b* dari bihun sukun hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 ........................................................................................ 66
16
Bihun sukun ............................................................................................... 85
xv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Grafik korelasi swelling volume dan fraksi pati yang tidak membentuk gel ........................................................................................................... 96
2
Hasil analisis data pengaruh substitusi tepung beras terhadap swelling volume dan fraksi pati yang tidak membentuk gel dari campuran tepung serta karakteristik bihun yang dihasilkan ................................................ 97
3
Hasil analisis data pengaruh interaksi jenis tepung, jenis dan konsentrasi hidrokoloid serta konsentrasi CaCl2 terhadap swelling volume serta profil gelatinisasi campuran tepung ................................... 98
4
Hasil analisis data pengaruh interaksi jenis tepung, jenis dan konsentrasi hidrokoloid serta konsentrasi CaCl2 terhadap karakteristik bihun sukun ............................................................................................. 104
5
Data pengaruh interaksi jenis tepung, jenis dan konsentrasi hidrokoloid serta konsentrasi CaCl2 terhadap skoring tekstur bihun sukun ................................................................................................ 111
6
Hasil analisis data pengaruh interaksi jenis tepung, jenis dan konsentrasi hidrokoloid serta konsentrasi garam terhadap skoring tekstur bihun sukun ................................................................................. 114
7
Rekapitulasi data karakteristik bihun sukun............................................ 118
8
Data hasil analisis proksimat, daya cerna pati dan serat pangan bahan baku ......................................................................................................... 119
9
Produk bihun sukun ................................................................................. 120
10
Bahan baku yang digunakan dalam produksi bihun sukun ..................... 124
11
Alat yang digunakan dalam proses produksi dan analisis ....................... 125
xvi
PENDAHULUAN Latar Belakang Sukun (Artocarpus altilis) merupakan salah satu tanaman penghijauan yang tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia. Prediksi hasil panen sukun dari bibit sukun yang dibagikan oleh Departemen Kehutanan mulai tahun 2010 hingga 2014 (dengan asumsi pohon sukun berbuah setelah 5 tahun) adalah 22 483 574 ton buah sukun atau setara dengan 5 620 893 ton tepung sukun (dengan asumsi produksi tepung sukun setara dengan 25% dari berat panen) (Ditjen RLPS 2009). Potensi sukun yang sangat besar tersebut dapat digunakan sebagai sarana diversifikasi pangan pokok sumber karbohidrat berbahan baku lokal. Buah sukun mengandung karbohidrat dalam jumlah cukup tinggi (28.2%, Prabawati & Suismono 2009) dan beberapa zat gizi lainnya seperti mineral, vitamin, lemak dan asam amino. Bila dibandingkan dengan beras, sukun memiliki kandungan vitamin dan mineral yang lebih lengkap (Widowati 2003), sehingga sangat potensial dimanfaatkan sebagai pengganti beras. Di Indonesia, buah sukun umumnya dikonsumsi setelah digoreng, direbus atau dibuat keripik. Diversifikasi produk dari sukun masih sangat terbatas karena pola konsumsi pangan pokok masyarakat Indonesia masih mengarah pada beras dan bahan pangan berbasis tepung terigu yang merupakan komoditas impor. Salah satu bentuk diversifikasi sukun adalah tepung sukun. Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Winarno 2000). Sifat tepung sukun cukup bervariasi, diantaranya dipengaruhi oleh varietas, lokasi tempat pembudidayaan tanaman sukun, tingkat kemasakan dan lama penyimpanan pasca panen buah sukun (Syah & Nazarudin 1994). Bagian terbesar dari tepung sukun adalah pati (69%, Graham & de Bravo 1981), yang memiliki karakteristik unik dan banyak berperan penting dalam sistem pangan. Pati sukun memiliki derajat pembengkakan yang tinggi yang disebabkan oleh
2
rendahnya derajat asosiasi intermolekulernya (Tian et al. 1991 di dalam Akanbi et al. 2009). Berdasarkan hasil analisis terhadap sifat amilografinya, pati sukun memiliki puncak viskositas sedang dan selama periode holding time viskositasnya cenderung meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa pati sukun lebih mampu menjaga integritas strukturnya pada kondisi perlakuan panas dan pengadukan, sehingga cocok untuk diaplikasikan pada produk pangan yang membutuhkan pemanasan. Sifat fungsional pati sukun lain adalah kecenderungannya untuk mengalami retrogradasi selama pendinginan (Rincón & Padilla 2004). Berdasarkan karakteristik pati sukun tersebut, maka produk berbasis tepung sukun yang potensial untuk dikembangkan adalah bihun. Bihun termasuk jenis mie yang populer di Asia dan pada umumnya berbahan baku tepung beras. Bihun merupakan bahan pangan alternatif di samping mie berbahan dasar gandum, terutama bagi para penderita gluten intolerance, karena memiliki rasa yang netral dan bebas dari gluten. Untuk menghasilkan bihun dengan kualitas yang baik diperlukan bahan baku dengan karakteristik yang sesuai untuk produk bihun. Pati yang ideal untuk bahan baku bihun adalah pati yang memiliki ukuran granula kecil (Singh et al. 2002), kandungan amilosa tinggi, derajat pembengkakan dan kelarutan terbatas serta kurva Brabender tipe C (tidak memiliki puncak viskositas namun viskositas cenderung tinggi dan tidak mengalami penurunan selama proses pemanasan dan pengadukan) (Lii & Chang 1981). Pati dengan kriteria tersebut lebih tahan terhadap pemanasan maupun pengadukan, sehingga pada saat tergelatinisasi hanya mengalami peningkatan viskositas yang terbatas sebagai konsekwensi dari pembengkakan granula yang terbatas. Terbatasnya pembengkakan granula mengakibatkan granula tidak mudah pecah dan amilosa tidak mudah keluar dari granula. Apabila pati tersebut digunakan sebagai bahan baku bihun maka untaian bihun yang dihasilkan tidak lengket dan pada saat dimasak memiliki berat rehidrasi terbatas serta hanya mengalami sedikit kehilangan padatan. Pati sukun memenuhi syarat untuk menjadi bahan baku bihun yang berkualitas berdasarkan sifat amilografinya. Untuk memenuhi persyaratan lain, maka dilakukan usaha untuk memperbaiki karakteristik pati sukun, diantaranya melalui penggunaan tepung campuran dan bahan tambahan pangan (BTP).
3
Penggunaan tepung campuran dalam produksi mie/bihun telah banyak dilakukan dan diteliti pengaruhnya terhadap kualitas produk yang dihasilkan. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Sandhu et al. (2010), substitusi parsial pati kentang dengan pati beras pada proses produksi mie berbahan baku pati kentang sangat mempengaruhi karakteristik sensori dan kualitas pemasakan mie yang dihasilkan. Sementara Charles et al. (2006) menyatakan bahwa pencampuran tapioka pada produksi mie berbahan baku terigu menghasilkan warna dan tekstur yang lebih baik dibandingkan mie yang diproduksi tanpa adanya penambahan tapioka. Hasil penelitian lain melaporkan bahwa penambahan pati jagung pada proses produksi bihun beras akan menurunkan kekerasan bihun dan meningkatkan kelicinan (slipperiness) serta transparansi bihun (Wang et al. 2000). Oleh karena itu, untuk memodifikasi karakteristik pati sukun agar dapat menghasilkan bihun sukun berkualitas baik, maka dilakukan substitusi sebagian kecil tepung sukun dengan tepung beras. Pemilihan tepung beras didasarkan pada kenyataan bahwa bihun komersial umumnya diproduksi dari bahan baku tepung beras. Selain itu, substitusi parsial pati beras pada mie kentang dapat meningkatkan ketahanan mie terhadap panas (Sandhu et al. 2010). Berdasarkan hal tersebut, substitusi parsial tepung beras pada bihun sukun diharapkan menimbulkan efek yang sama. Penggunaan tepung beras juga diharapkan dapat meningkatkan nilai kekerasan bihun sukun seperti yang dilaporkan oleh Wang et al. (2000) dalam studinya mengenai substitusi parsial pati jagung pada bihun beras. Bahan tambahan pangan yang banyak digunakan dalam produk pangan berbahan dasar pati adalah hidrokoloid. Fu (2007) menyatakan bahwa hidrokoloid seperti guar gum banyak digunakan dalam proses produksi mie instan karena bersifat sangat hidrofilik dan memiliki kapasitas pengikatan air yang besar. Penambahan gum dalam jumlah kecil (0.2 – 0.5%) dapat memperbaiki karakteristik rehidrasi mie/bihun selama pemasakan dan memodifikasi tekstur serta keseluruhan mouth-feel dari produk akhir. Interaksi pati dan hidrokoloid dalam bahan pangan bersifat unik dan menguntungkan karena dapat memodifikasi tekstur dan reologi dari bahan pangan tersebut. Beberapa karakteristik bahan pangan seperti rasa atau tekstur yang tidak
4
diinginkan dapat diatasi dengan melakukan substitusi sebagian kecil pati dengan hidrokoloid seperti xanthan, guar, carboxymethyl cellulose (CMC) dan lain-lain. Hidrokoloid-hidrokoloid
tersebut
diketahui
memiliki
kemampuan
dalam
mempengaruhi karakteristik gelatinisasi pati, menghambat sineresis gel (Sudhakar et al. 1996), mengontrol mobilitas air, dan menjaga kualitas produk selama penyimpanan (Viturawong et al. 2008). Dalam penelitian ini digunakan dua jenis hidrokoloid yang dilihat pengaruhnya terhadap karakteristik pati sukun. Kedua jenis hidrokoloid tersebut adalah guar gum dan iles-iles. Pemilihan guar gum didasarkan pada hasil penelitian Fu (2007) yang menyatakan guar gum banyak digunakan dalam proses produksi mie instan karena bersifat sangat hidrofilik dan memiliki kapasitas pengikatan air yang besar. Selain itu guar gum juga memiliki kemampuan untuk mengatur tekstur pada produk pangan berpati seperti yang dinyatakan oleh Funami et al. (2005b). Sementara iles-iles dipilih berdasarkan kemampuannya dalam meningkatkan kapasitas pengikatan air dari pati jagung (Yoshimura et al. 1998). Dalam suatu sistem pangan, pati dan hidrokoloid pada umumnya berinteraksi dengan ingredient
lain, misalnya garam. Garam memiliki efek
signifikan terhadap karakteristik gelatinisasi dan reologi dari berbagai jenis pati. Oosten (1983) seperti yang dikutip oleh Sudhakar et al. (1996) menyatakan bahwa keberadaan garam pada sistem pati dapat mengontrol pengembangan granula. Kemampuan garam dalam mempengaruhi karakteristik pati sangat tergantung pada jenis garam yang digunakan dan konsentrasinya dalam sistem pangan tersebut (Eliasson & Gudmundsson 2006). Garam juga mempengaruhi karakteristik hidrokoloid, bahkan ion-ion logam pada konsentrasi normal yang sering ditemukan dalam sistem air alami memiliki pengaruh spesifik dan seringkali tidak terduga terhadap stabilitas hidrokoloid dalam larutan (Sudhakar et al. 1996). Kenyataan tersebut menunjukkan perlunya dilakukan penelitian untuk mempelajari interaksi pati sukun, hidrokoloid dan garam, serta pengaruhnya terhadap kualitas bihun sukun. Informasi yang diperoleh diharapkan dapat menjadi dasar untuk melakukan pengembangan produksi bihun sukun.
5
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui pengaruh pencampuran tepung beras terhadap karakteristik gelatinisasi bahan baku bihun sukun. 2. Mempelajari pengaruh penambahan hidrokoloid dan CaCl2 terhadap profil gelatinisasi bahan baku bihun sukun. 3. Mengetahui hubungan antara profil gelatinisasi bahan baku dengan karakteristik produk bihun sukun yang dihasilkan.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Informasi karakteristik gelatinisasi tepung sukun yang disubstitusi parsial dengan tepung beras dapat digunakan sebagai dasar untuk pengembangan produk bihun sukun dan memperkirakan potensi penggunaannya pada berbagai produk pangan. 2. Informasi profil gelatinisasi dan kualitas bihun sukun yang dihasilkan dari interaksi campuran tepung, hidrokoloid dan CaCl2 dapat digunakan sebagai dasar untuk pengembangan bihun sukun.
Hipotesis Penelitian ini dilakukan berdasarkan hipotesis berikut: 1. Pencampuran tepung beras pada konsentrasi berbeda terhadap tepung sukun menghasilkan karakteristik gelatinisasi campuran tepung yang berbeda. 2. Interaksi antara tepung sukun/campuran tepung sukun dan tepung beras, hidrokoloid dan garam CaCl2 memberikan karakteristik gelatinisasi yang berbeda dan menghasilkan bihun sukun dengan karakteristik fisik dan sensori yang berbeda pula.
6
TINJAUAN PUSTAKA Potensi dan Pemanfaatan Sukun Sukun (Artocarpus altilis) termasuk genus Artocarpus, famili Moraceae, ordo Urticales, dan kelas Dicotiledoneae (Citrosoma 1988 di dalam Anonim 2002), merupakan tanaman pekarangan yang telah ratusan tahun dikenal sebagai tanaman penghijau di Indonesia. Tanaman sukun berasal dari New Guinea Pasific dan berkembang sampai ke Indonesia. Tanaman ini merupakan tanaman yang dapat tumbuh subur di daerah tropis, baik pada dataran rendah maupun dataran tinggi (sampai 1000 m di atas permukaan laut). Tanaman sukun memiliki toleransi dan daya adaptasi yang tinggi serta tahan terhadap penyakit (Shadily 1984 yang dikutip dalam Anonim 2002). Hal ini menyebabkan pohon sukun tersebar meluas di Indonesia. Sukun merupakan tanaman tahunan yang berbuah musiman dengan panen raya di bulan Januari-Februari dan panen susulan di bulan Juli-Agustus. Pada usia 4 tahun setelah tanam, sukun sudah menghasilkan buah yang produksinya bertambah sejalan dengan pertambahan umur tanaman. Produksi sukun berkisar antara 200-750 buah/pohon/tahun (Syah & Nazaruddin 1994). Gambar buah dan tanaman sukun disajikan pada Gambar 1.
(a)
(b)
Gambar 1 Buah sukun (a) dan pohon sukun (b) Buah sukun memiliki bagian daging buah yang dapat dimakan sebesar 81.21% dan bagian yang dibuang yaitu kulit buah serta hati buah yang pahit
7
rasanya sebesar 18.79%. Sukun dapat digolongkan sebagai buah yang memiliki potensi sebagai bahan substitusi pangan khususnya karbohidrat karena didukung oleh kandungan zat gizinya yang sangat baik (Tabel 1). Dibandingkan dengan beras, buah sukun memiliki kandungan mineral dan vitamin yang lebih lengkap dengan nilai kalori rendah, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai makanan diet. Buah sukun mengandung asam amino esensial yang tidak diproduksi oleh tubuh manusia seperti histidin, isoleusin, lisin, methionin, triptofan, dan valin (Widowati 2003). Tabel 1 Perbandingan komposisi buah sukun dengan sumber karbohidrat lain Zat Gizi Energi (kal) Air (g) Potein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin B1 (mg) Vitamin B2 (mg) Vitamin C (mg)
Sukun tua 108 69.3 1.3 0.3 28.2 21 59 0.4 0.12 0.06 17
Nilai per 100 gram bagian yang dapat di makan Beras Jagung Ubi Terigu giling kuning kayu 357 349 317 158 12 13.0 24.0 60 8.9 6.8 7.9 0.8 1.3 0.7 3.4 0.3 77.3 78.9 63.6 37.9 16 10 9 33 106 140 148 40 1.2 0.8 2.1 0.7 0 0.12 264 230 0.12 0 0.33 0.06 0 0 9 0
Talas 104 73 1.9 0.2 23.7 38 61 1.0 6 0.13 4
Sumber : USDA ( 2004 )
Tepung Sukun Sukun termasuk golongan buah klimakterik dengan puncak klimakterik yang dicapai dalam waktu singkat karena proses respirasinya berlangsung cepat. Dibandingkan dengan jenis buah klimakterik lain, buah sukun memiliki kecepatan respirasi yang lebih tinggi. Buah sukun segar mempunyai umur simpan sekitar 2-4 hari setelah dipetik. Buah yang jatuh dan memar mempunyai daya simpan yang lebih pendek (Syah & Nazaruddin 1994). Buah sukun dapat diawetkan dengan pengeringan dalam bentuk gaplek
atau
tepung. Berdasarkan kandungan
karbohidrat yang cukup tinggi (28.2%), buah sukun berpeluang untuk diolah menjadi tepung.
8
Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Winarno 2000). Bentuk tepung merupakan produk antara yang fleksibel, mempunyai daya simpan yang lebih baik, serta mudah dalam pendistribusian dan pengangkutan. Pengolahan sukun dalam bentuk tepung memberikan nilai kepraktisan dalam pengolahannya lebih lanjut. Kandungan air yang rendah serta bentuk tepung yang ringan menyebabkan produk antara ini mudah untuk diangkut, dikemas, maupun didistribusikan. Hal ini pula yang memungkinkan produk tepung sukun untuk diproduksi dan dipasarkan secara massal dan meluas. Prosedur pembuatan tepung sangat beragam, dibedakan berdasarkan sifat dan komponen kimia bahan pangan. Secara garis besar bahan pangan yang dapat diolah menjadi tepung dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu bahan pangan yang mudah menjadi coklat apabila dikupas dan bahan pangan yang tidak mudah mengalami pencoklatan (Widowati 2003). Pembuatan tepung sukun dimulai dengan pengupasan buah, perendaman dan
pencucian,
pemotongan,
pemblansiran
selama
10
menit,
perajangan/penyawutan, pengeringan, dan penepungan (Gambar 2). Hal yang perlu mendapat perhatian khusus saat pengolahan adalah buah sukun mengandung polifenol cukup tinggi, sehingga saat dikupas dan dirajang akan cepat berubah warna menjadi kecoklatan (Prabawati & Suismono 2009). Pada umumnya umbiumbian dan buah-buahan mudah mengalami pencoklatan setelah dikupas. Hal ini disebabkan oleh reaksi oksidasi antara bahan pangan dengan udara (oksigen), sehingga terjadi reaksi pencoklatan akibat pengaruh enzim yang terdapat dalam bahan pangan tersebut (browning enzymatic). Pencoklatan karena aktivitas enzim merupakan reaksi antara oksigen dengan suatu senyawa polifenol yang dikatalisis oleh enzim polifenol oksidase. Oleh karena itu, setelah dikupas, buah segera direndam dalam air (Prabawati & Suismono 2009) atau larutan garam 1% (Widowati & Damardjati 2001) kemudian dilakukan pemblansiran untuk menonaktifkan enzim fenolase. Demikian pula saat
9
perajangan atau penyawutan, sawut harus segera direndam dalam air lalu dipres untuk mengeluarkan air dan senyawa fenol.
Buah sukun
Pengupasan
Pembelahan
Pemblansiran dengan uap, 10‐20 menit
Penyawutan/perajangan
Pengeringan
Sawut kering
Penepungan
Pengayakan
Tepung sukun
Gambar 2 Diagram alir proses pembuatan tepung sukun (Widowati 2003) Bobot kotor buah sukun berkisar antara 1200-2500 gram dengan rendemen daging buah 81.21%. Dari total berat daging buah setelah disawut dan dikeringkan akan dihasilkan rendemen sawut kering sebanyak 11 – 20% dan
10
rendemen tepung sebesar 11 – 25%, tergantung tingkat ketuaan dan jenis sukun. Buah sukun yang baik untuk diolah menjadi tepung adalah buah mengkal (setengah matang) yang dipanen 10 hari sebelum tingkat ketuaan optimum. Pengeringan sawut sukun menggunakan alat pengering sederhana berkisar antara 5-6 jam dengan suhu pengeringan 55-60 oC. Bila pengeringan dilakukan di bawah sinar matahari maka lama pengeringan sangat tergantung pada cuaca (1-2 hari bila udara cerah) (Widowati 2003).
Komposisi Kimia Tepung Sukun Tepung sukun mengandung 84.03% karbohidrat, 9.09% air, 2.83% abu, 3.64% protein dan 0.41% lemak. Tabel 2 menunjukkan bahwa kandungan protein tepung sukun lebih tinggi dibandingkan tepung ubi kayu, tepung ubi jalar, dan tepung pisang (Widowati et al. 2001). Tabel 2 Komposisi kimia aneka tepung umbi-umbian dan buah-buahan Kadar (%)
Sukun
Pisang
Air Abu Protein Lemak Karbohidrat
9.09 2.83 3.64 0.41 84.03
10.11 2.66 3.05 0.28 84.01
Komoditas Labu Ubijalar kuning 11.14 7.80 5.89 2.16 5.04 2.16 0.08 0.83 77.65 86.95
Ubikayu 7.80 2.22 1.60 0.51 87.87
Sumber: Widowati et al. (2001)
Karbohidrat merupakan komponen terbesar dalam tepung sukun. Komponen karbohidrat yang terdapat dalam
tepung sukun
berada
dalam
bentuk pati (69%), karbohidrat terlarut (6.9%), total gula (4.07%) dan gula reduksi (2.65%) (Graham & de Bravo 1981). Komposisi kimia dari pati sukun dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi pati sukun Komponen Protein kasar Air Abu
Kadar (%) 0.53 10.83 1.77
Komponen Lemak Amilosa Amilopektin
Sumber: Akanbi et al. (2009)
Kadar (%) 0.39 22.52 77.48
11
Seperti halnya pati dari sumber lain, molekul pati sukun tersusun atas dua kelompok makromolekul, yaitu amilosa dan amilopektin. Kedua polimer tersebut disusun oleh monomer α-D-glukosa yang berikatan satu sama lain melalui ikatan glikosidik (Whistler & Daniel 1985). Perbedaan antara kedua makromolekul tersebut terletak pada pembentukan percabangan pada struktur liniernya, ukuran derajat polimerisasi, ukuran molekul dan pengaturan posisi pada granula pati seperti dapat dilihat pada Gambar 3.
(a)
(b) Gambar 3 Struktur amilosa (a) dan amilopektin (b) (Roder et al. 2005) Amilosa disusun oleh molekul glukosa yang dihubungkan satu sama lain dengan ikatan α-1,4-glikosidik, sehingga membentuk polimer yang linier dengan sedikit cabang yang dibentuk oleh ikatan α-1,6-glikosidik (< 1%) atau satu dari 300-1000 residu glukan (Roder et al. 2005). Berat molekul amilosa berkisar antara 105 – 106 Da dengan derajat polimerisasi mencapai kisaran 500 – 6000. Gugus hidroksil pada molekul amilosa dapat berinteraksi satu sama lain membentuk struktur heliks melalui ikatan hidrogen (Whistler & Daniel 1985). Amilopektin memiliki ukuran molekul yang sangat besar dengan berat molekul mencapai 107 – 109 Da dan derajat polimerisasi antara 3x105 – 3x106. Glukosa penyusun molekul amilopektin dihubungkan satu sama lain dengan ikatan α-1,4-glikosidik pada rantai linier dan ikatan α-1,6-glikosidik pada
12
percabangannya. Jarak yang dibentuk antara cabang yang satu dengan cabang yang lain pada struktur amilopektin sekitar 20 residu (Roder et al. 2005). Proporsi amilosa dan amilopektin dari berbagai sumber pati berbeda-beda, demikian juga berat molekulnya. Umumnya pati memiliki proporsi amilopektin yang lebih besar jika dibandingkan dengan amilosa. Pati sukun memiliki kandungan amilosa beragam, tergantung varietas dan tempat tumbuh. Sebagai contoh kadar amilosa tepung sukun Kulon Progo dan Purworejo adalah sebesar 17 - 20%, sedangkan untuk
tepung
sukun
Cilacap,
Kediri, Bone
dan
Kepulauan Seribu berkisar antara 11 – 17% (Prabawati & Suismono 2009). Kandungan pati serta proporsi amilosa dan amilopektin tepung sukun menjadi penting apabila tepung sukun tersebut akan digunakan sebagai bahan baku ataupun bahan pembantu pada produk pangan seperti bihun. Kandungan amilosa tinggi (>25 g/100 g) berperan penting dalam pembentukan jaringan gel dan struktur bihun yang diproduksi dari beras (Juliano & Sakurai 1985). Pembentukan gel yang baik akan mengurangi tingkat kelengketan produk bihun yang dihasilkan. Pati sukun asal Indonesia memiliki kandungan amilosa yang tergolong rendah (11-20%), tetapi didukung oleh sifat amilografi dan sifat fungsional lainnya berpotensi untuk diolah menjadi bihun.
Sifat Fungsional Pati Sukun a. Karakteristik Gelatinisasi Salah satu karakteristik fisik pati yang penting untuk dievaluasi dalam kaitannya terhadap sifat fungsional pati ketika diaplikasikan pada produk pangan adalah karakteristik gelatinisasi. Jika pati dipanaskan dengan air, maka pati akan mengalami peningkatan kelarutan yang diikuti oleh peningkatan viskositas dan pada akhirnya akan membentuk pasta. Fenomena ini dikenal dengan istilah gelatinisasi pati. Jika pemanasan dilanjutkan selama jangka waktu tertentu kemudian didinginkan, maka perubahan viskositas pati akan membentuk profil yang berbeda-beda, tergantung pada jenis pati. Menurut Schoch dan Maywald (1968) seperti yang dikutip oleh Purwani et al. (2006), penggolongan pasta pati dibagi menjadi 4 yaitu tipe A, tipe B, tipe C
13
dan tipe D. Pati tipe A adalah tipe pasta pati yang mengalami pembengkakan tinggi dengan viskositas puncak yang tinggi kemudian mengalami pengenceran secara cepat selama pemanasan. Tipe B adalah pasta pati yang memiliki karakter pembengkakan sedang dengan memperlihatkan viskositas puncak yang lebih rendah dan lebih tidak encer. Tipe C adalah pasta yang memiliki sifat pembengkakan terbatas, tidak memperlihatkan puncak pada viskositas maksimum namun viskositasnya yang cenderung tinggi tetap dipertahankan atau meningkat selama pemanasan. Tipe D adalah tipe pati yang pastanya sulit membengkak dan sulit mengental pada konsentrasi normal. Profil gelatinisasi pati dapat ditentukan dengan menggunakan instrumen Brabender Amylograph atau Rapid Visco Analyzer. Prinsip kedua instrumen tersebut adalah mengukur perubahan viskositas suspensi pati ketika mengalami pemanasan dan pendinginan dengan pola tertentu. Profil gelatinisasi pati sukun disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 4. Tabel 4 Profil gelatinisasi pati sukun pada konsentrasi 6 g/100 ml Parameter
Nilai
Suhu gelatinisasi
73.3 °C
Viskositas puncak (P)
790 BU
Viskositas pasta panas (H)
786 BU
Viskositas pasta dingin (C)
1091 BU
Viskositas breakdown (P-H)
4 BU
Setback (C-H)
305 BU
Keterangan: BU = Brabender Unit Sumber : Rincón dan Padilla (2004)
Berdasarkan analisis dengan menggunakan Brabender Viscoamylograph, suhu gelatinisasi pasta pati sukun pada konsentrasi 6 g/100 g adalah 73.3 °C. Nilai suhu ini lebih tinggi dibandingkan pati kentang (61.6 °C), tetapi lebih rendah dari pati jagung (83.3 °C). Rincón dan Padilla (2004) menyebutkan bahwa suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh ukuran granula, dimana granula dengan ukuran lebih kecil akan lebih tahan terhadap kerusakan dan gangguan terhadap susunan molekulnya, sehingga suhu gelatinisasinya menjadi lebih tinggi.
14
Setelah gelatinisasi, viskositas pati meningkat dengan tajam, terutama disebabkan oleh berkurangnya air yang tersedia. Puncak viskositas merupakan parameter penting yang membedakan antara pati yang satu dengan yang lain. Pati sukun menunjukkan nilai viskositas puncak 790 BU, jauh lebih tinggi dari viskositas puncak pati jagung (302 BU) (Rincón & Padilla 2004). Viskositas pati jagung dan pati kentang mengalami penurunan selama proses holding isothermal, sementara pati sukun viskositasnya justru meningkat pada periode ini. Rincón dan Padilla (2004) menyatakan bahwa viskositas pasta panas dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya efek pencampuran granula pati yang membengkak, fragmen granula, koloid dari molekul pati terdispersi, tingkat pengembangan amilosa dan persaingan untuk mendapatkan air bebas antara amilosa yang mengembang dengan granula yang tersisa. Pati sukun lebih mampu mempertahankan integritas strukturnya di bawah kondisi panas dan tekanan, hal ini dapat terlihat dari nilai viskositas breakdown yang hanya mencapai 4 BU.
Gambar 4 Profil gelatinisasi pati sukun pada konsentrasi 6% (Rincón & Padilla 2004) Kenaikan viskositas yang terjadi saat pasta panas mengalami pendinginan disebabkan oleh kecenderungan pati untuk mengalami retrogradasi. Karakteristik ini terutama disebabkan oleh afinitas di antara gugus hidroksil. Molekul amilosa yang terdispersi secara acak dapat menyusun molekul-molekulnya untuk membentuk agregat dengan kelarutan rendah, sampai akhirnya terbentuk gel. Viskositas pasta dingin pati sukun (1091 BU) lebih besar dari viskositas
15
puncaknya (790 BU). Hal ini disebabkan selama pendinginan viskositas pasta sukun meningkat karena tingginya kecenderungan fraksi amilosa untuk mengalami retrogradasi (Rincón & Padilla 2004).
b. Swelling Power dan Kelarutan Kemampuan granula pati untuk mengembang dapat ditentukan dari viskositas puncak pasta pada saat mengalami pemanasan ataupun dari pengukuran swelling volume atau swelling power. Swelling volume adalah perbandingan volume pasta pati terhadap berat keringnya (Collado et al. 2001). Sementara swelling power didefinisikan sebagai perbandingan antara berat sedimen pasta pati dengan berat kering pati yang dapat membentuk pasta (Wattanachant et al. 2002b). Pada umumnya pati dengan swelling power atau swelling volume yang tinggi mempunyai kelarutan pasta pati yang tinggi pula. Kim et al. (1996) melaporkan bahwa pati kentang yang memiliki swelling power lebih tinggi dibanding pati kacang-kacangan (navy bean dan pinto bean) memiliki kelarutan yang lebih tinggi pula. Swelling power dari pati sukun semakin meningkat dengan peningkatan suhu (Tabel 5). Fenomena ini terutama terjadi pada peningkatan suhu dari 70 °C ke 80 °C. Swelling power berhubungan dengan ikatan asosiatif di antara granula pati. Karakter dan kekuatan jaringan misel pada granula pati berhubungan dengan kandungan amilosa dalam pati tersebut dimana kadar amilosa yang rendah akan menghasilkan swelling power yang lebih besar (Rincón & Padilla 2004). Tabel 5 Swelling power dan kelarutan tepung sukun pada berbagai suhu Suhu (°C)
Swelling power (g/100 g amilosa)
Kelarutan (g/100 g bk)
60 70 80 90
35.7 ± 0.11 46.9 ± 0.35 144.9 ± 0.12 238.1 ± 2.17
2.31 ± 0.17 2.75 ± 0.26 5.28 ± 0.24 8.93 ± 2.8
Sumber: Rincón dan Padilla (2004)
16
Keterkaitan antara swelling power dan kelarutan berhubungan dengan kemudahan molekul air untuk berinteraksi dengan molekul dalam granula pati dan menggantikan interaksi hidrogen antar molekul, sehingga granula akan lebih mudah menyerap air dan memiliki pengembangan tinggi. Muhamed et al. (2008) menyatakan bahwa pengembangan granula terjadi ketika granula dipanaskan bersama air dan ikatan hidrogen yang menstabilkan struktur heliks ganda dalam kristal terputus dan digantikan oleh ikatan hidrogen dengan air. Adanya pengembangan tersebut akan menekan granula dari dalam, sehingga granula akan pecah dan molekul pati terutama amilosa akan keluar. Sebagai akibat dari peristiwa swelling akan terjadi peningkatan kelarutan, dimana kelarutan tertinggi terjadi pada suhu 90 °C. Peningkatan kelarutan ini disebabkan oleh adanya molekul amilosa terlarut yang bocor dan keluar dari granula pati yang mengalami swelling (Rincón & Padilla 2004). Semakin banyak molekul amilosa yang keluar dari granula pati maka kelarutan akan semakin tinggi. Oleh karena itu, pati dengan kandungan amilosa tinggi pada umumnya akan memiliki kelarutan yang tinggi pula. Namun demikian tidak selamanya kandungan amilosa berbanding lurus dengan kelarutan. Keberadaan kompleks antara amilosa dengan lipid, seperti pada pati kacang-kacangan, dapat mengurangi kelarutan amilosa (Kim et al. 1996).
Tepung Beras Tepung beras diperoleh dari hasil penggilingan beras, baik dengan cara kering maupun cara basah. Tepung beras dapat dihasilkan dari berbagai varietas beras. Tepung beras yang diproduksi dari beras dengan varietas berbeda akan menghasilkan tepung beras yang berbeda pula terutama dalam kandungan protein, lemak, pati dan rasio amilosa dengan amilopektin. Perbedaan komposisi kimia beras turut menentukan keragaman sifat fisiko-kimia tepung beras (Luh & Liu 1980). Komposisi kimia dari tepung beras dapat dilihat pada Tabel 6.
17
Tabel 6 Komposisi kimia tepung beras Komposisi
Jumlah (per 100 gram)
Air (g)
11.90
Abu (g)
0.63
Protein (g)
5.95
Lemak (g)
1.39
Karbohidrat (g)
80.38
Serat pangan (g)
2.40
Sumber: USDA SR-21 (2008)
Dalam teknologi pengolahan pangan modern, tepung beras digunakan antara lain untuk mengontrol viskositas, memisahkan adonan dengan adonan lain, mengatur tingkat pencoklatan, memudahkan pengeluaran produk dari cetakan serta memperbaiki kerenyahan. Di Asia, beras terutama dikonsumsi dalam bentuk bihun selain ditanak menjadi nasi (Juliano & Sakurai 1985). Beras tidak memiliki kandungan gluten yang dibutuhkan untuk membentuk adonan yang viskoelastis, sehingga umumnya dalam pembuatan bihun beras dilakukan pragelatinisasi terhadap tepung beras agar dapat berfungsi sebagai pengikat (binder) bagi adonan. Derajat pragelatinisasi tepung beras berperan penting dalam membentuk tekstur bihun. Komponen yang berperan dalam membentuk matriks gel dan struktur bihun adalah amilosa (Hormdok & Noomhorm 2007). Bihun beras yang baik dapat dihasilkan dari beras berkadar amilosa sedang hingga tinggi (>22%). Beberapa penelitian terhadap tepung atau pati beras sebagai bahan baku ataupun bahan pembantu pada proses produksi mie/bihun telah banyak dilakukan. Sandhu et al. (2010) dalam studinya melaporkan bahwa pencampuran pati kentang dengan pati beras sangat mempengaruhi karakteristik sensori dan kualitas pemasakan bihun. Dinyatakan lebih lanjut bahwa penggunaan pati beras sebagai bahan pensubstitusi parsial terhadap pati kentang dalam proses pembuatan bihun berbahan dasar pati kentang dapat meningkatkan ketahanan bihun terhadap panas. Hasil penelitian lain melaporkan bahwa bihun yang diproduksi dari beras dan disubstitusi parsial oleh pati jagung akan menghasilkan bihun dengan nilai kekerasan yang lebih rendah dan tingkat kelicinan (slipperiness) serta transparansi bihun yang lebih tinggi (Wang et al. 2000).
18
Penggunaan tepung beras lebih dari 10% dalam suatu produk pangan memerlukan perhatian terhadap karakteristik tepung beras tersebut. Bean (1986) di dalam Munarso (1998) menyebutkan bahwa rasio amilosa – amilopektin dan suhu gelatinisasi merupakan faktor utama yang menentukan kesesuaian tepung beras dengan spesifikasi produk yang dikehendaki. Berdasarkan kandungan amilosanya, beras dapat dikelompokkan dalam empat kelas (Juliano & Sakurai 1985). Tabel 7 menyajikan kisaran kadar amilosa dan suhu gelatinisasi dari setiap kelas beras. Suhu gelatinisasi diukur sebagai suhu titik akhir birefringence (birefringence end point temperature = BEPT), yaitu suhu dimana 95 – 98% sifat birefringence telah hilang ketika pati dipanaskan dalam air dan diamati dengan mikroskop polarisasi (Bean 1986 di dalam Munarso 1998). Tabel 7 Klasifikasi beras berdasarkan kandungan amilosanya Kelas Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi
Kadar amilosa (%) 2–9 9 – 20 20 – 25 25 – 33
BEPT (°C) 55 – 69.5 70 – 74 74.5 - 79
Sumber: Juliano dan Sakurai (1985)
Berdasarkan analisis menggunakan instrumen Brabender Amylograph, tepung beras menghasilkan profil gelatinisasi yang sangat dipengaruhi oleh kandungan amilosanya. Kurva amilograf dari tepung beras dapat dilihat pada
Viskositas (RVU)
Gambar 5.
Amilosa tinggi (>23.5%)
Amilosa sedang (19-23.5%)
Waktu (menit)
Gambar 5
Profil gelatinisasi tepung beras dengan kadar amilosa tinggi dan sedang (Wang et al. 2000)
19
Profil gelatinisasi yang dihasilkan oleh beras berkadar amilosa tinggi dan sedang menunjukkan pola yang serupa. Beras dengan kandungan amilosa tinggi memiliki nilai viskositas yang lebih tinggi dibandingkan beras berkadar amilosa sedang. Pada saat suhu dipertahankan pada 95 °C, pati beras mengalami penurunan viskositas yang menunjukkan ketahanan panas dari pati tersebut tidak terlalu baik. Tetapi pada saat dilakukan pendinginan, viskositas pati beras mengalami peningkatan yang menunjukkan kecenderungan yang tinggi dari pati tersebut untuk beretrogradasi. Retrogradasi merupakan karakteristik pati yang sangat penting terutama dalam aplikasinya pada produk bihun, karena berkaitan dengan kemampuan pati tersebut untuk membentuk struktur untaian bihun yang tidak rapuh.
Evaluasi Pati Sebagai Bahan Baku Bihun Sifat fisiko-kimia pati akan sangat mempengaruhi sifat fungsionalnya. Dalam pembuatan bihun berbahan baku pati dibutuhkan pati dengan sifat fungsional tertentu agar bihun yang dihasilkan memiliki karakteristik yang baik. Sifat fungsional pati sebagai bahan baku tersebut terutama berkaitan dengan pembentukan adonan dan tekstur bihun yang dihasilkan. Pati yang ideal digunakan sebagai bahan baku bihun adalah pati dengan kandungan amilosa tinggi, pembengkakan granula dan kelarutan terbatas serta memiliki profil gelatinisasi tipe C (Lii & Chang 1981). Pati dengan kandungan amilosa tinggi cenderung mudah mengalami retrogradasi dan menghasilkan pasta dengan penampakan lebih opaque seperti halnya pati beras dan pati jagung (Wattanachant et al. 2002a). Kecepatan pati untuk mengalami retrogradasi dibutuhkan dalam pembentukan struktur bihun pada saat bihun mengalami pendinginan. Retrogradasi pati akan menentukan tingkat kekerasan dan penampakan bihun atau soun (starch noodle). Menurut Kim et al. (1996), soun yang diproduksi dari bahan baku pati dengan kandungan amilosa tinggi memiliki kekerasan yang lebih tinggi namun transparansinya lebih rendah bila dibandingkan dengan soun yang diproduksi dari pati dengan kandungan amilosa lebih rendah. Pada tingkat tertentu
20
kekerasan bihun atau soun dibutuhkan untuk memperoleh soun dengan tekstur tegar, sehingga dapat memberikan mouthfeel yang disukai ketika dikonsumsi. Selain mempengaruhi tingkat kekerasan dan transparansi, kandungan amilosa pati mempengaruhi kelengketan serta susut masak dan pengembangan bihun atau soun kering pada saat dimasak (direhidrasi). Kim et al. (1996) menyatakan bahwa pati dengan swelling power dan kandungan amilosa yang tinggi tidak selalu menghasilkan soun dengan susut masak yang tinggi pula. Kompleks antara lemak dengan amilosa diduga dapat menurunkan susut masak soun yang dihasilkan. Lebih lanjut Kim et al. (1996) menjelaskan bahwa pati dengan kandungan amilosa tinggi dan ukuran granula kecil akan menghasilkan soun dengan tingkat pengembangan dan susut masak yang lebih rendah bila dibandingkan dengan soun dari pati dengan kandungan amilosa rendah dan granula besar. Kim et al. (1996) memaparkan hubungan antara profil gelatinisasi dengan karakteristik soun yang dihasilkan. Soun yang berasal dari pati kacang-kacangan dengan profil gelatinisasi tipe C memiliki susut masak dan kelengketan yang rendah namun kekerasannya lebih tinggi bila dibandingkan dengan soun yang dihasilkan dari pati dengan profil gelatinisasi tipe A. Pati dengan profil gelatinisasi tipe C cenderung lebih stabil terhadap pemanasan, sehingga keluarnya padatan dari soun yang diproduksi dengan bahan dasar pati tersebut dapat ditekan dan soun memiliki tingkat kelengketan yang rendah. Pati sukun memiliki kandungan amilosa rendah (11-20%, Prabawati & Suismono 2009), swelling power dan kelarutan tinggi (Rincón & Padilla 2004), viskositas yang cenderung meningkat selama pemanasan dan holding time serta kecenderungan untuk mengalami retrogradasi setelah didinginkan (Akanbi et al. 2009). Bila dibandingkan dengan syarat pati ideal untuk bahan baku bihun, maka pati sukun potensial untuk dikembangkan sebagai bahan baku bihun.
Hidrokoloid Dalam Bahan Pangan dan Pengaruh Penambahan Garam Hidrokoloid memiliki peranan penting dalam mengendalikan karakteristik reologi, seperti viskositas ataupun elastisitas, pada produk pangan padat maupun
21
cair. Fungsi hidrokoloid ini sangat erat berhubungan dengan karakteristik organoleptik, tekstur dan pelepasan flavor pada produk. Dalam produk pangan berbahan dasar pati seperti bihun, penambahan hidrokoloid diperlukan untuk mengontrol karakteristik reologi dan memodifikasi tekstur. Telah banyak penelitian yang dilakukan dengan menggunakan sistem pati aqueous sebagai model percobaan untuk menggali fungsi dan manfaat potensial dari hidrokoloid. Glicksman (1982) menyatakan bahwa hidrokoloid dapat mengontrol karakteristik reologi dan tekstural dari bahan pangan, meningkatkan penyerapan air dan menjaga kualitas produk secara keseluruhan selama penyimpanan. Studi lain melaporkan bahwa penambahan hidrokoloid dapat memperbaiki atau memodifikasi karakteristik gelatinisasi dan retrogradasi pati (Funami et al. 2005b, Yoshimura et al. 1996), meningkatkan kapasitas pengikatan air (Yoshimura et al. 1998), dan stabilitas terhadap freeze-thaw dari sistem pati aqueous (Lee et al. 2002). Funami et al. (2005a) menyatakan bahwa galaktomanan (guar gum, tara gum, locus bean gum) memiliki pengaruh besar terhadap karakteristik gelatinisasi dan retrogradasi dari pati gandum. Hidrokoloid tersebut mampu menghambat retrogradasi pati dan meningkatkan kapasitas pengikatan air. Dua jenis hidrokoloid yang akan digunakan dan dilihat pengaruhnya terhadap karakteristik bihun yang dihasilkan adalah guar gum dan tepung iles-iles sebagai preparat glukomanan. a. Guar Gum Guar gum adalah polisakarida non-ionik dengan rantai utama manosa (Man) dengan ikatan β-(1-4) yang disubstitusi oleh satu rantai samping galaktosa (Gal) melalui ikatan α-(1-6) dengan rata-rata rasio molekul Man:Gal = 2:1 (Gambar 6) (Funami et al. 2005b). Guar gum diperoleh dari endosperma biji tanaman legume (Cyamopsis tetragonalobus dan psoraloides) melalui serangkaian proses penghancuran dan pengecilan ukuran untuk memisahkan gum dari biji (Panda 2005).
22
Gambar 6 Struktur guar gum (Panda 2005) Guar gum merupakan polimer yang dapat larut dalam air dingin membentuk larutan kental yang bersifat non-Newtonian pseudoplastis. Guar gum umumnya digunakan pada konsentrasi di bawah 1%. Dalam industri pangan, guar gum digunakan karena kemampuannya untuk mengikat dan mengimobilisasi air dalam
jumlah
besar,
sehingga
mempengaruhi
kekentalan,
menghambat
pembentukan kristal es dalam produk beku, memodifikasi tekstur produk, dan menstabilkan konsistensi produk terhadap perubahan suhu penyimpanan (Panda 2005). Pada produk pangan berpati, interaksi guar gum dengan amilosa akan meningkatkan viskositas dari sistem pati-guar gum selama proses pemanasan, sementara interaksi guar gum dengan amilopektin akan meningkatkan viskositas puncak. Selain itu, kemampuan guar gum untuk mengentalkan dan meningkatkan konsentrasi efektif dari komponen-komponen pati juga menjadi faktor penting yang mengendalikan karakteristik gelatinisasi pati. Fenomena ini menjadi dasar bagi penggunaan guar gum sebagai pengatur tekstur (texture modifier) pada produk pangan berbasis pati (Funami et al., 2005a). b. Tepung Iles-iles Tepung iles-iles (Amorphopallus oncophyllus) diperoleh dari irisan umbi tanaman iles-iles yang dikeringkan dan digiling menjadi tepung. Tepung iles-iles memiliki kandungan glukomanan yang tinggi (64.98%, Tabel 8), sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pangan karena karakterisik gelatinisasi dan kemampuannya sebagai pengemulsi. Tepung iles-iles (konjac flour) telah
23
dimanfaatkan sejak lebih dari seribu tahun lalu di Asia Timur untuk membuat produk gel yang disebut konyaku (Simon 2008). Tabel 8 Komposisi kimia tepung iles-iles Komponen Air Pati Protein Serat Glukomanan
Jumlah (%bb) 6.80 10.24 3.42 5.90 64.98
Sumber: Direktorat Gizi, Depkes RI (2010) di dalam www.indoagri.com
Jacon et al. (1993) menyatakan bahwa glukomanan yang terkandung dalam iles-iles merupakan polimer dari D-glukosa dan D-manosa dengan perbandingan 2:3 dan ikatan β-1,4 yang disbustitusi secara acak oleh gugus asetil, umumnya pada residu gula ke-19 (Gambar 7). Glukomanan memiliki berat molekul sekitar 1000 – 2000 kilo Dalton.
Gambar 7 Struktur glukomanan (Jacon et al. 1993) Menurut Jacon et al. (1993), larutan glukomanan dalam air pada suhu ruang akan memberikan viskositas yang tinggi dan membentuk gel dengan penambahan air kapur.
Dijelaskan lebih lanjut, viskositas glukomanan yang
tinggi tersebut diakibatkan oleh interaksi antara komponen molekul terlarut yang lebih dominan dibandingkan oleh proses hidrasi. Penelitian mengenai interaksi glukomanan dengan pati telah banyak dilakukan. Yoshimura et al. (1998) mempelajari interaksi antara glukomanan dengan pati jagung dan menemukan bahwa penambahan glukomanan dapat meningkatkan kapasitas pengikatan air dari pati jagung. Sementara Khanna dan Tester (2006) menyatakan bahwa glukomanan meningkatkan suhu gelatinisasi
24
pati jagung dan pati kentang serta menghambat retrogradasi kedua jenis pati tersebut. c. Pengaruh Penambahan Garam Penambahan kation divalen seperti Ca2+ atau Mg2+ pada campuran patihidrokoloid diketahui memiliki efek signifikan terhadap beberapa karakteristik gelatinisasi campuran tersebut. Moritaka et al. (2003) menyebutkan bahwa penambahan garam kalsium atau magnesium pada larutan gum gellan akan mempercepat gelatinisasi larutan tersebut dan mengubah karakteristik reologinya menjadi lebih tidak tergantung pada suhu (less temperature dependent). Dinyatakan lebih lanjut bahwa kation divalen akan membentuk ikatan ionik dengan gugus asam karboksilat pada rantai gellan, sehingga menghasilkan agregasi heliks ganda melalui pembentukan jembatan inter-chain. Studi lain yang dilakukan oleh Sudhakar et al. (1996) menunjukkan bahwa viskositas pasta dingin dan suhu gelatinisasi pati sangat dipengaruhi oleh keberadaan garam dalam sistem pangan yang diamati. Gum akan memfasilitasi pembentukan electrical double layer dari kation di sekeliling pati, sehingga menurunkan suhu gelatinisasi. Dengan penambahan garam, maka pati akan menukar kation dari larutan dengan ion hidrogen, sehingga terjadi peningkatan volume dan pada akhirnya akan meningkatkan viskositas pasta dingin dari sistem pati-hidrokoloid. Penambahan garam juga menyebabkan karakteristik aliran sistem pati menjadi lebih pseudoplastis.
25
METODE PENELITIAN Alat dan Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung sukun yang berasal dari Gunung Kidul - Yogyakarta dan tepung beras yang berasal dari beras varietas Rojolele. Bahan pendukung yang digunakan antara lain: akuades, STPP (sodium tripolifosfat), tepung iles-iles, guar gum, CaCl2 serta bahan pendukung lain yang digunakan untuk persiapan sampel maupun analisis. STPP dan guar gum diperoleh dari toko kimia di Bogor dan tepung iles-iles diperoleh dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Bogor. Alat utama yang digunakan terdiri atas pengering kabinet dan multifunctional noodle machine. Peralatan pendukung yang digunakan antara lain: timbangan analitik, chromameter, rapid visco analyzer, texture analyzer, peralatan gelas dan alat memasak. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, yaitu dari bulan Mei – November 2010. Penelitian ini menggunakan fasilitas laboratorium yang terdapat di lingkungan kampus IPB Darmaga, yaitu laboratorium Pilot Plant Seafast Centre, laboratorium biokimia dan rekayasa proses pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap I meliputi kajian terhadap pengaruh susbtitusi tepung beras terhadap karakteristik gelatinisasi bahan baku dan kualitas bihun yang dihasilkan. Tahap II adalah kajian pengaruh hidrokoloid dan CaCl2 terhadap profil gelatinisasi bahan baku. Pada Tahap III dilakukan kajian terhadap pengaruh hidrokoloid dan CaCl2 terhadap karakteristik bihun sukun. Pada tahap ini dilakukan karakterisasi terhadap sifat fisik bihun untuk mengetahui kualitas bihun sukun yang dihasilkan. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.
26 Tepung sukun dan tepung beras
Kajian pengaruh substitusi tepung beras terhadap bahan baku
Karakterisasi sifat fisikokimia dan fungsional
Tingkat substitusi tepung beras terbaik
Kajian pengaruh hidrokoloid dan CaCl2 terhadap profil gelatinisasi bahan baku bihun sukun
Kajian pengaruh hidrokoloid dan CaCl2 terhadap karakteristik bihun sukun
Analisis sifat fisik dan organoleptik bihun
Produk bihun
Gambar 8 Diagram alir penelitian Tahap I. Pengaruh Substitusi Tepung Beras Terhadap Karakteristik Bahan Baku Bihun Sukun Pada tahap ini dilakukan studi pengaruh substitusi tepung beras terhadap karakteristik gelatinisasi bahan baku bihun sukun. Sustitusi tepung sukun dengan tepung beras diharapkan dapat memperbaiki sifat fungsional dari campuran tepung yang dihasilkan, sehingga dapat menghasilkan produk bihun sukun dengan kualitas yang lebih baik. Tepung beras disubstitusikan pada campuran tepung kering pada level 15 dan 30% (b/b). Penentuan tingkat substitusi tepung beras didasarkan pada ketentuan bahwa tepung sukun tetap menjadi komponen utama yang dominan dalam produksi bihun sukun, sehingga ditetapkan jumlah tepung sukun minimum yang digunakan adalah 70% dan maksimum 85%. Selanjutnya
27
dilakukan analisis terhadap karakteristik campuran tepung yang meliputi swelling volume dan fraksi pati yang tidak membentuk gel (Collado & Corke 1999, Singh et al. 2005), profil gelatinisasi pati dengan rapid visco analyzer (Zaidul et al. 2007), kadar air, protein dan lemak (AOAC 1995), kadar pati (SNI 01-28911992) dan kadar amilosa (Riley et al. 2006). Campuran tepung sukun dan tepung beras selanjutnya diaplikasikan pada produk bihun sukun.
Diagram alir proses produksi bihun dapat dilihat pada
Gambar 9. Produksi bihun dilakukan dengan menggunakan metode Collado et al. (2001) yang dimodifikasi.
Tepung sukun 70%
Air 1:1
Pelarutan
Pencampuran
Pemanasan
Pengadonan
Sodium tripolifosfat 0.3%
Tepung sukun 0% dan 15%
Tepung beras 30% dan 15%
Pencampuran
Pembentukan untaian bihun
Pengukusan: 90 °C, 2 menit
Pengeringan: 60 °C, 2 jam
Bihun
Gambar 9
Diagram alir proses produksi bihun (Collado et al. 2001) yang dimodifikasi
28
Tahap II. Pengaruh Hidrokoloid dan CaCl2 Terhadap Profil Gelatinisasi Bahan Baku Bihun Sukun Kajian pengaruh hidrokoloid dan CaCl2 terhadap bahan baku bihun sukun dilakukan dengan melakukan analisis terhadap karakteristik gelatinisasinya. Level tepung beras yang digunakan pada tahap ini adalah jumlah tepung beras yang menghasilkan karakteristik campuran tepung terbaik dan karakteristik bihun terbaik yang dihasilkan dari Tahap 1. Hidrokoloid yang digunakan adalah guar gum dan tepung iles-iles dengan konsentrasi 0.5 dan 1% dari jumlah total bahan baku tepung yang digunakan. CaCl2 ditambahkan adalah pada level konsentrasi 0, 1, dan 2% dari jumlah total bahan baku tepung yang digunakan. Parameter yang diukur dan diamati pada tahap ini meliputi swelling volume (Collado & Corke 1999, Singh et al. 2005) dan profil gelatinisasi pati dengan rapid visco analyzer (Zaidul et al. 2007). Kode perlakuan yang digunakan dalam penelitian dirangkum dalam Tabel 9 berikut. Tabel 9 Keterangan kode perlakuan CaCl2 (%) 0 1 2 Tahap
Tepung sukun 100% Guar gum Iles-iles 1% 0.5% 1% 0.5% G1 G2 I1 I2 G3 G4 I3 I4 G5 G6 I5 I6 III.
Pengaruh
Tepung sukun 85% + tepung beras 15% Guar gum Iles-iles 1% 0.5% 1% 0.5% B1 B2 BI1 BI2 B3 B4 BI3 BI4 B5 B6 BI5 BI6
Hidrokoloid
dan
Garam
CaCl2
Terhadap
Karakteristik Bihun Sukun Proses produksi bihun dilakukan dengan metode Collado et al. (2001) yang dimodifikasi. Bahan baku yang digunakan adalah tepung sukun dan tepung beras dengan tingkat substitusi sesuai hasil yang diperoleh pada tahap I. Bahan tambahan pangan yang digunakan meliputi sodium tripolifosfat (STPP), guar gum/tepung iles-iles dan CaCl2. STPP dilarutkan dengan air yang digunakan untuk membuat binder, sementara bahan tambahan pangan yang lain dicampurkan kering bersama sisa tepung sukun dan tepung beras. Jumlah STPP yang digunakan adalah 0.3%, guar gum/tepung iles-iles sebanyak 0.5 dan 1%, sedangkan CaCl2
29
sejumlah 0, 1, dan 2%. Semua persentase berdasarkan jumlah total bahan baku tepung yang digunakan. Pembuatan bihun sukun diawali dengan membuat binder
(pengikat)
adonan. Sebanyak 70% tepung sukun dicampurkan dengan air dengan perbandingan 1:1. Ke dalam air ditambahkan STPP sebagai pembentuk tekstur. Suspensi dipanaskan sambil diaduk hingga tergelatinisasi yang ditandai dengan meningkatnya kekentalan maupun transparansi adonan. Penentuan jumlah tepung sukun yang dijadikan binder dan jumlah air yang digunakan dalam proses produksi bihun sukun ditetapkan setelah melalui beberapa percobaan. Faktor yang menjadi dasar dalam menentukan jumlah dan komposisi binder adalah bentuk adonan dan untaian yang dihasilkan. Dari hasil percobaan diperoleh kombinasi jumlah binder 70% dan perbandingan jumlah tepung dan air 1:1 yang memberikan adonan dan untaian terbaik (tidak lengket dan mudah dibentuk). Binder yang diperoleh kemudian dicampurkan dengan 30% bagian tepung kering yang sebelumnya telah dicampur dengan hidrokoloid dan/atau tanpa penambahan CaCl2. Campuran diadon sehingga diperoleh adonan yang homogen. Adonan dimasukkan ke dalam multifunctional noodle machine yang bekerja dengan prinsip ekstrusi. Ulir tunggal yang berputar dalam mesin akan menekan dan mendorong adonan keluar melalui die dengan ukuran tertentu. Untaian bihun selanjutnya dibentuk dan diletakkan di atas pelat-pelat berlubang, kemudian dikukus pada suhu 95 °C selama dua menit. Proses dilanjutkan dengan mengeringkan bihun dalam pengering kabinet (cabinet dryer) bersuhu 60 °C selama dua jam untuk mencapai kadar air yang relatif aman untuk penyimpanan. Bihun sukun yang diperoleh dikemas dengan menggunakan plastik PP (polyprophylene) untuk melindunginya selama penyimpanan. Bihun yang dihasilkan kemudian dianalisis sifat fisiknya yang meliputi analisis warna, waktu rehidrasi, KPAP, berat rehidrasi dan tekstur. Dilakukan pula uji organoleptik dengan menggunakan metode skoring terhadap beberapa parameter tekstur bihun yang diperoleh.
30
Prosedur Penelitian Analisis Karakteristik Tepung/Campuran Tepung a. Swelling Volume dan Kelarutan (Collado & Corke 1999, Singh et al. 2005) Sebanyak masing-masing 0.35 g tepung dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse berukuran 12.5 x 16 mm. Ditambahkan sebanyak 12.5 ml akuades ke dalam tabung kemudian disetimbangkan selama 5 menit. Tabung dipanaskan dalam penangas bersuhu 92.5 °C selama 30 menit sambil sesekali dikocok. Sampel didinginkan dengan air es selama 1 menit kemudian didiamkan pada suhu ruang selama 5 menit dan disentrifugasi pada kecepatan 3500 rpm selama 30 menit. Tinggi gel yang terbentuk diukur dan dikonversi menjadi volume gel per g sampel yang kemudian dinyatakan sebagai swelling volume. Supernatan yang berada di bagian atas tabung disaring melalui kertas saring yang telah diketahui beratnya dan filtrat yang diperoleh kemudian ditampung dengan cawan yang telah diketahui beratnya pula. Kertas saring dan cawan dikeringkan pada suhu 110 °C selama satu malam. Sampel yang tertinggal pada kertas saring merupakan berat pati yang tersuspensi di dalam supernatan dan sampel yang tertinggal pada cawan merupakan pati yang terlarut. Persentase pati yang tersuspensi dan terlarut dihitung berdasarkan perbandingan beratnya terhadap berat kering sampel awal. b. Analisis Profil Gelatinisasi Pati dengan Rapid Visco Analyzer (Zaidul et al. 2007) Analisis terhadap profil gelatinisasi pati dilakukan dengan menggunakan instrumen Rapid Visco Analyzer TecMaster Newport Scientific Pty Ltd., Warriewood – Australia. Sampel sebanyak 3 gram (kadar air diketahui) disuspensikan dalam 25 ml air destilata. Suspensi dipanaskan hingga suhu 50 °C dan dipertahankan selama 1 menit, kemudian dipanaskan lebih lanjut hingga mencapai suhu 95 °C dengan kecepatan pemanasan 6 °C/menit dan dipertahankan pada suhu tersebut selama 5 menit. Setelah itu dilakukan pendinginan hingga
31
mencapai suhu 50 °C dengan kecepatan pendinginan 6 °C/menit dan dipertahankan pada suhu tersebut selama 5 menit. Informasi yang dapat diperoleh dari kurva viskograf adalah parameter profil gelatinisasi pati, antara lain: viskositas puncak (VP = viskositas tertinggi selama proses pemanasan), suhu gelatinisasi (SG = suhu awal gelatinisasi), waktu puncak (WP = waktu untuk mencapai viskositas puncak), viskositas trough (VT = viskositas terendah yang teramati setelah VP tercapai), viskositas breakdown (VB = VP dikurangi VT), viskositas akhir (VA = viskositas setelah satu siklus terselesaikan), viskositas
setback (VS = VA dikurangi VT). Seluruh nilai
dilaporkan dalam menit, °C atau centipoises (cP). Penentuan profil gelatinisasi
(cP)
pati dapat dilihat pada Gambar 10.
VA
VS VT SG
WP
Gambar 10 Kurva profil gelatinisasi pati: SG (suhu gelatinisasi), VP (viskositas puncak), WP (waktu puncak), VT (viskositas trough), VB (viskositas breakdown), VS (viskositas setback) dan VA (viskositas akhir) c. Analisis Kadar Air (AOAC 1995) Sebanyak 1 – 2 g sampel ditimbang ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan berisi sampel dimasukkan ke dalam oven bersuhu 130 °C selama 1 jam. Cawan dikeluarkan dari oven dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Cawan dipanaskan kembali hingga diperoleh bobot konstan. Kadar air dihitung berdasarkan rumus berikut:
32
Kadar air (g/100 g bahan basah) =
100
Dimana: W W1 W2
= = =
bobot contoh awal (g) bobot contoh + cawan setelah dikeringkan (g) bobot cawan kosong (g)
d. Analisis Kadar Lemak (AOAC 1995) Kadar lemak ditetapkan berdasarkan metode ekstraksi Soxhlet. Prinsip metode ini adalah pelarutan lemak yang akan diekstrak dengan pelarut dietil eter. Setelah pelarutnya diuapkan, lemak dapat ditimbang dan dihitung persentasenya. Labu lemak dikeringkan di dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel sebanyak 5 g ditimbang langsung dalam kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas wool yang bebas lemak. Kertas saring berisi sampel diletakkan di dalam alat ekstraksi Soxhlet, kemudian kondensor dipasang di atas dan labu lemak di bawah alat tersebut. Pelarut dietil eter atau petroleum eter dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya, sesuai dengan ukuran Soxhlet yang digunakan. Kemudian, sampel direfluks selama minimum 5 jam hingga pelarut yang turun kembali ke labu lemak, berwarna jernih. Pelarut yang ada di dalam labu lemak didistilasi dan ditampung. Selanjutnya, labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105°C. Setelah labu dikeringkan hingga beratnya tetap dan didinginkan dalam desikator, labu berisi lemak tersebut ditimbang. Kadar lemak dapat dihitung berdasarkan rumus berikut: Kadar lemak (g/100 g bahan basah) =
100
Dimana: W W1 W2
= = =
bobot contoh awal (g) bobot contoh + labu lemak setelah dikeringkan (g) bobot labu lemak kosong (g)
e. Analisis Kandungan Protein (AOAC 1995) Analisis terhadap kadar protein dilakukan dengan menggunakan metode semi-mikro Kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 0.2 gram dan dimasukkan ke
33
dalam labu Kjeldahl 100 ml. Kemudian ditambahkan 2 g K2SO4, 40 mg HgO dan 2.5 ml H2SO4 pekat, selanjutnya didestruksi hingga warna larutan berubah menjadi hijau jernih dan didinginkan. Setelah dingin, ditambahkan 35 ml akuades dan 10 ml NaOH pekat untuk selanjutnya didestilasi. Destilat ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi H3BO3 dan indikator, kemudian dititrasi menggunakan HCl 0.02 N hingga berubah warna. Prosedur analisis yang sama diterapkan juga untuk blanko. Kadar protein dihitung berdasarkan rumus berikut: Kadar nitrogen dalam sampel (%N) =
.
100
Kadar protein (g/100 g bahan basah) = 6.25 x %N Dimana: W Vs Vb
= = =
bobot contoh awal (g) volume HCl yang digunakan untuk titrasi sampel (ml) volume HCl yang digunakan untuk titrasi blanko (ml)
f. Analisis Kandungan Pati (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 5 gram sampel dimasukkan dalam erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 200 ml HCl 3%, kemudian dididihkan selama 3 jam menggunakan pendingin tegak. Larutan dinetralkan dengan NaOH 30% dan ditambahkan sedikit CH3COOH 3% agar suasana larutan menjadi sedikit asam. Larutan dipindahkan dalam labu ukur 500 ml dan ditepatkan hingga tanda tera dengan akuades kemudian disaring. Sebanyak 10 ml filtrat dipipet ke dalam erlenmeyer 500 ml dan ditambah dengan 25 ml larutan Luff, batu didih dan 15 ml akuades kemudian dipanaskan dengan nyala api tetap. Setelah mendidih selama 10 menit, erlenmeyer didinginkan di dalam bak berisi es. Setelah campuran dingin, dilakukan penambahan KI 20% sebanyak 15 ml dan H2SO4 25% sebanyak 25 ml. Campuran dititrasi menggunakan larutan Na2S2O3 0.1 N dengan indikator pati 0.5% hingga diperoleh titik akhir. Prosedur analisis yang sama diterapkan terhadap blanko. Perhitungan kadar pati dilakukan berdasarkan kandungan glukosa yang terukur pada titrasi sampel. Kadar glukosa dihitung berdasarkan rumus berikut: Na2S2O3 yang digunakan = (Vb – Vs) x N Na2S2O3 x 10
34
Dimana: Vb Vs N
= = =
volume Na2S2O3 yang digunakan pada titrasi blanko volume Na2S2O3 yang digunakan pada titrasi sampel konsentrasi Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi Jumlah (mg) gula yang terkandung untuk ml Na2S2O3 yang digunakan
ditentukan melalui tabel Luff Schoorl (Tabel 9). Dari tabel tersebut dapat diketahui hubungan antara volume Na2S2O3 0.1 N yang digunakan dengan jumlah glukosa yang ada pada sampel yang dititrasi. Selanjutnya kadar glukosa dan kadar pati dihitung berdasarkan rumus berikut: Kadar glukosa (%G) =
100
Kadar pati (%) = %G x 0.90 Dimana: W
= glukosa yang terkandung untuk ml Na2S2O3 yang digunakan (mg) dari tabel W1 = bobot sampel fp = faktor pengenceran Tabel 10 Penetapan gula menurut Luff Schoorl Na2S2O3 0.1 N (ml) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Glukosa, fruktosa dan gula inversi (mg) 2.4 4.8 7.2 9.7 12.2 14.7 17.2 19.8 22.4 25.0 27.6 30.3
Na2S2O3 0.1 N (ml) 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Glukosa, fruktosa dan gula inversi (mg) 33.0 35.7 38.5 41.3 44.2 47.1 50.0 53.0 56.0 59.1 62.2
g. Analisis Kandungan Amilosa dan Amilopektin (Riley et al. 2006) Penetapan Sampel Sebanyak 100 mg sampel tepung bebas lemak dimasukkan dalam labu takar 100 ml, dan ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9.0 ml NaOH 1 N. Setelah
35
itu sampel dipanaskan dengan penangas air selama 10 menit dan ditambahkan akuades hingga tanda tera. Sebanyak 5 ml sampel dipipet ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan 1 ml CH3COOH 1 N dan 2 ml larutan iod (0.2% iod dalam 2% KI) lalu ditepatkan dengan akuades hingga tanda tera. Setelah dikocok, larutan didiamkan selama 20 menit dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. Pembuatan Kurva Standar Standar amilosa disiapkan dengan cara menimbang 40 mg amilosa murni ke dalam labu takar 100 ml, kemudian ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Larutan standar dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit dan ditambahkan akuades hingga tanda tera. Sebanyak masing-masing 1, 2, 3, 4, dan 5 ml larutan standar dipipet ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan CH3COOH 1 N sebanyak 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1 ml, kemudian masing-masing tabung ditambahkan 2 ml larutan iod dan ditepatkan dengan akuades hingga tanda tera. Setelah didiamkan selama 20 menit, absorbansi dari intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. Kurva standar dibuat sebagai hubungan antara kadar amilosa (sumbu x) dengan absorbansi (sumbu y). Kadar amilosa dalam sampel dihitung berdasarkan rumus berikut: Kadar amilosa =
100
Dimana: C V F W
= = = =
konsentrasi amilosa dari kurva standar (mg/ml) volume akhir sampel (ml) faktor pengenceran berat sampel (mg) Kandungan amilosa dalam sampel dapat digunakan untuk memperkirakan
kandungan amilopektin yang dihitung berdasarkan selisih total kadar pati dengan kadar amilosa.
36
Analisis Karakteristik Bihun (Chen 2003, Purwani et al. 2006, Codex Stan 249-2006) a. Analisis Kadar Air Metode Oven Sebanyak 1 g sampel ditimbang ke dalam cawan kering kosong yang telah diketahui bobotnya. Sampel dikeringkan dalam oven bersuhu 105 °C selama 3 jam, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Cawan beserta sampel dipanaskan kembali hingga diperoleh bobot konstan. Kadar air dihitung berdasarkan rumus berikut: Kadar air (g/100 g bahan basah) = Dimana: W = W1 = W2 =
100
bobot contoh awal (g) bobot contoh + cawan setelah dikeringkan (g) bobot cawan kosong (g)
b. Waktu Pemasakan (Waktu Rehidrasi) Waktu pemasakan ditentukan dengan cara merebus 5 g bihun dengan ukuran 2-3 cm di dalam 200 ml air mendidih. Setelah 2 menit, bihun diambil setiap 30 detik dan ditekan di antara dua permukaan gelas. Waktu pemasakan optimum tercapai ketika bagian tengah bihun telah terehidrasi sempurna. c. Analisis Tekstur Pengukuran tekstur bihun dilakukan terhadap bihun yang telah dimasak pada suhu dan waktu tertentu. Pemasakan dilakukan dengan cara memasukkan 25 gram bihun ke dalam 500 ml air mendidih bersuhu 100 °C selama 5 menit. Bihun yang telah dimasak kemudian disiram dengan 200 ml air dingin untuk menghentikan pemanasan, selanjutnya ditiriskan dan diukur menggunakan Texture Analizer TA-XT2. Dilakukan juga pengukuran tekstur terhadap bihun komersial. Kondisi yang digunakan pada pengukuran tekstur bihun antara lain test mode and option: TPA, probe dengan bentuk silinder berdiameter 35 mm, pre test speed: 2.0 mm/s, test speed: 0.1 mm/s, post test speed: 2.0 mm/s, distance: 75%,
37
time: 5 sec dan calibrate probe: 15 mm. Selama pengukuran, bihun akan diberi gaya kompresi sebanyak dua kali. Dari kondisi pengukuran tersebut akan diperoleh kurva texture profile analysis (TPA) bihun seperti yang terdapat pada Gambar 11. Kurva TPA yang diperoleh dapat memberikan informasi mengenai parameter tekstur bihun, antara lain: kekerasan (hardness), daya rekat (adhesiveness), elastisitas (elasticity) dan kelengketan (gumminess/stickyness).
Gambar 11 Kurva texture profile analysis (TPA) Kekerasan ditentukan dari maksimum gaya (nilai puncak) pada tekanan/kompresi pertama dan dinyatakan dengan satuan gf (gram force). Daya kohesif dihitung dari luasan di bawah kurva pada tekanan kedua (A2) dibagi dengan luasan di bawah kurva pada tekanan pertama (A1) atau A2/A1. Elastisitas ditentukan dari jarak yang ditempuh oleh produk pada tekanan kedua sehingga tercapai nilai gaya maksimumnya (L2) dibandingkan dengan jarak yang ditempuh oleh produk pada tekanan pertama sehingga tercapai nilai gaya maksimumnya (L1) atau L2/L1 (satuan gs; gram second). Kelengketan ditentukan dari luasan yang berada di bawah sumbu x (nilai negatif dengan satuan gf). d. Analisis Warna (Hutching 1999) Sistem notasi warna yang diterapkan dalam penelitian ini adalah sistem notasi Hunter. Sistem notasi Hunter menggunakan tiga notasi warna, yaitu L*
38
untuk menyatakan parameter kecerahan (warna kromatis, 0 = hitam sampai 100 = putih), a* untuk menyatakan warna kromatik campuran merah hijau (a+ = 0-100 untuk warna merah, a- = 0-(-80) untuk warna hijau), dan b* untuk menyatakan warna kromatik campuran biru kuning (b+ = 0-70, untuk warna kuning, b- = 0-(70) untuk warna biru). Pada pengamatan warna ini digunakan Chromameter CR200 Minolta. Sampel bihun dipotong sepanjang 2-3 mm dan ditempatkan pada wadah yang transparan. Selanjutnya sensor alat didekatkan pada sampel dan dilakukan pengukuran warna bihun. Pengukuran akan menghasilkan nilai L, a, dan b. e. KPAP dan Persen Rehidrasi Sebanyak 5 g bihun dengan ukuran 2-3 cm direbus dalam 200 ml air mendidih sesuai dengan waktu rehidrasinya. Bihun ditiriskan dan dibilas dengan akuades kemudian ditimbang dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Bihun dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 105 °C selama satu malam. Persentase rehidrasi dan persentase cooking loss dihitung sebagai berikut: PR (%) = KPAP = 1
100 100
Dimana: A B C KAm BSm PR
= = = = = =
berat cawan dan sampel setelah direhidrasi berat cawan dan sampel setelah dikeringkan berat cawan kadar air awal berat sampel awal persen rehidrasi
f. Analisis Organoleptik Bihun Analisis organoleptik dilakukan terhadap produk bihun yang dihasilkan dengan 4 kriteria mutu yaitu kekerasan, elastisitas, kelengketan, dan kesukaan. Uji yang digunakan adalah uji skoring untuk menentukan formulasi bihun sukun yang paling disukai. Penilaian untuk tingkat kekerasan, elastisitas dan kelengketan terdiri atas 5 skor, sedangkan untuk tingkat kesukaan panelis diminta untuk memberikan skor dari 1 (sangat tidak suka) hingga 7 (sangat suka). Panelis yang
39
digunakan adalah panelis tidak terlatih dengan jumlah 25 orang. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode General Linier Methods untuk mengetahui pengaruh perbedaan formula terhadap ranking kesukaan sampel. Apabila hasil analisis berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut dengan uji Duncan untuk mengetahui formula yang memiliki ranking terbaik.
Rancangan Percobaan dan Analisis Data a. Rancangan Percobaan Penelitian tahap I yaitu kajian pengaruh penambahan tepung beras terhadap karakteristik bahan baku dan karakteristik bihun yang dihasilkan, didisain dengan satu faktor perlakuan yaitu dengan menggunakan rancangan satu faktor dalam acak lengkap. Model aditif linier pada rancangan percobaan tersebut adalah sebagai berikut (Matjik dan Sumertajaya 2006): Yij = µ + βi + εij Dimana: Yij µ βi εij
= = = =
nilai pengamatan pada taraf ke-i, ulangan ke-j komponen aditif rataan pengaruh utama faktor perlakuan ke-i galat perlakuan ke-i, ulangan ke-j
Penelitian tahap II yaitu kajian pengaruh hidrokoloid dan garam terhadap profil gelatinisasi bahan baku dan tahap III aplikasi interaksi jenis tepung, jenis dan konsentrasi hidrokoloid serta konsentrasi garam pada bihun sukun didisain dengan tiga faktor perlakuan yaitu dengan menggunakan rancangan tiga faktor dalam acak lengkap. Model aditif linier pada rancangan percobaan tersebut adalah sebagai berikut: Yijkl = µ + αi + βj + γk + εijkl Dimana: Yijkl
=
µ
=
nilai pengamatan pada faktor jenis tepung taraf ke-i, faktor jenis dan konsentrasi hidrokoloid taraf ke-j, faktor konsentrasi garam taraf ke-k dan ulangan ke-l komponen aditif rataan
40
αi
=
βj
=
γk εijkl
= =
pengaruh utama faktor jenis tepung (tepung sukun 100% dan campuran tepung sukun – tepung beras) pengaruh utama faktor jenis dan konsentrasi hidrokoloid (guar gum 1%, guar gum 0.5%, iles-iles 1%, iles-iles 0.5%) pengaruh utama faktor konsentrasi garam (0%, 1%, 2%) pengaruh acak yang menyebar normal (0, σ2)
b. Analisis Data Penentuan pengaruh perlakuan pada setiap tahapan penelitian terhadap karakteristik gelatinisasi campuran bahan baku dan kualitas produk bihun sukun yang dihasilkan, dilakukan dengan menggunakan metode General Linier Method (GLM) pada program Statistical Analysis System (SAS 9.1 2003). Apabila kombinasi perlakuan berpengaruh terhadap parameter karakteristik gelatinisasi dan kualitas produk bihun, maka dilakukan uji lanjut Duncan pada program yang sama untuk mengetahui perlakuan yang dapat memberikan karakteristik campuran bahan baku yang paling sesuai untuk produk bihun dan perlakuan yang menghasilkan produk bihun yang paling baik.
41
HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap I. Pengaruh Substitusi Tepung Beras Terhadap Karakteristik Gelatinisasi Bahan Baku Bihun Sukun Pencampuran
tepung
sukun
dengan
tepung
beras
menghasilkan
karakteristik tepung yang berbeda dengan tepung alami, tergantung proporsi masing-masing tepung dalam campuran. Tepung beras yang digunakan berasal dari beras dengan kandungan amilosa sedang yaitu varietas Rojolele. Untuk melihat pengaruh penambahan tepung beras varietas Rojolele terhadap karakteristik gelatinisasi bahan baku, maka dilakukan substitusi tepung beras terhadap tepung sukun pada dua level konsentrasi yaitu 15% dan 30%. Pencampuran kedua jenis tepung ini diharapkan dapat memperbaiki karakteristik gelatinisasi bahan baku dan pada akhirnya dapat memperbaiki karakteristik produk bihun sukun yang dihasilkan. Profil Gelatinisasi Tepung Profil gelatinisasi tepung sukun dan campuran tepung sukun – tepung beras yang diukur dengan rapid visco analyzer disajikan pada Gambar 12. Kedua jenis tepung ini menunjukkan pola profil gelatinisasi yang berbeda, sehingga ketika dilakukan pencampuran terhadap keduanya maka akan diperoleh profil
3500
120
3000
100
2500
80
2000
60
1500
40
1000
20
500 0
0 0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
Waktu (menit) tp sukun 100 %
tp sukun 85 % + tp beras 15 %
tp sukun 70 % + tp beras 30 %
tp beras 100 %
Gambar 12 Profil gelatinisasi tepung dan campuran tepung
Suhu (°C)
Viskositas (cP)
gelatinisasi yang berbeda pula.
42
Profil gelatinisasi tepung sukun 100% menunjukkan perbedaan mendasar dengan tepung beras 100%. Tepung sukun 100% memiliki viskositas puncak dan breakdown yang jauh lebih rendah dibandingkan tepung beras. Secara visual, pencampuran tepung beras dengan tepung sukun meningkatkan viskositas puncak dan viskositas breakdown bahan baku. Tepung beras memiliki viskositas puncak yang tinggi, jauh di atas viskositas puncak tepung sukun. Tepung beras juga memiliki viskositas breakdown yang tinggi, ditandai dengan bentuk kurva yang menurun dengan tajam setelah mencapai viskositas puncak. Profil gelatinisasi bahan baku dijabarkan menjadi beberapa parameter seperti dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Profil gelatinisasi tepung sukun, tepung beras dan campuran keduanya VP (cP)
VT (cP)
Tepung sukun
1915.5
1864
Tepung beras
3005
Tepung sukun 85% + tepung beras 15% Tepung sukun 70% + tepung beras 30%
Bahan
VB (cP)
VA (cP)
VS (cP)
WP (mnt)
SG (°C)
51.5
3019.5
1155.5
10.54
76.73
1238
1767
2681
1443
9.27
80.15
2209
1741
468
3105
1364
8.33
77.30
2138
1500
638
2734
1234
8.67
77.35
Keterangan: VP = viskositas puncak, VT = viskositas trough, VB = viskositas breakdown, VA = viskositas akhir, VS = viskositas setback, WP = waktu puncak, SG = suhu gelatinisasi
Viskositas puncak merupakan kemampuan pati untuk mengembang dengan bebas sebelum mengalami breakdown. Viskositas puncak yang dihasilkan dari pencampuran tepung beras 15% lebih tinggi dibandingkan pencampuran tepung beras 30%. Campuran tepung dengan kandungan amilosa lebih tinggi memiliki viskositas puncak yang rendah. Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa campuran tepung sukun dan tepung beras dengan rasio 85%:15% memiliki kandungan amilosa yang rendah, sehingga menghasilkan viskositas puncak yang lebih tinggi. Perubahan viskositas puncak sebagai fungsi dari kandungan amilosa sejalan dengan beberapa hasil penelitian lain. Blazek dan Copeland (2007) dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa untuk pati dengan kadar amilosa <30%, peningkatan kandungan amilosa akan mengakibatkan penurunan viskositas puncak pati.
43
Tabel 12 Hasil analisis proksimat tepung dan campuran tepung (% bk) Bahan
Kadar air (%)
Kadar lemak (%)
Kadar protein (%)
Kadar amilosa (%)
Kadar amilopektin (%)
Kadar pati (%)
Tepung sukun
8.47
0.98
5.56
10.01
60.47
70.48
Tepung beras
12.77
0.57
10.55
12.60
69.57
82.18
Tepung sukun 85% + tepung beras 15%
9.12
0.92
6.31
10.40
61.83
72.23
Tepung sukun 70% + tepung beras 30%
9.76
0.85
7.06
10.79
63.20
73.99
Hal yang berbeda terjadi pada tepung beras, dimana kandungan amilosa yang lebih tinggi pada tepung beras ternyata justru menghasilkan viskositas puncak yang tinggi pula. Hal ini dimungkinkan oleh kandungan amilopektin yang lebih tinggi pada tepung beras. Tepung beras memiliki kandungan amilopektin yang lebih tinggi karena kandungan patinya juga jauh lebih tinggi dibandingkan tepung sukun ataupun tepung campuran. Menurut Ratnayake et al. (2002) amilopektin merupakan komponen pati yang bertanggungjawab terhadap proses pengembangan granula, sehingga pati dengan kadar amilopektin tinggi akan menghasilkan
viskositas
puncak
yang
tinggi
pula
sebagai
hasil
dari
pengembangan granula. Hal ini menjelaskan nilai viskositas puncak tepung beras yang berbanding lurus dengan kandungan amilosanya. Viskositas puncak menunjukkan kemampuan penyerapan air oleh granula pati (Herawati 2009). Pati yang mempunyai kemampuan penyerapan air tinggi akan mengalami pembengkakan yang tinggi pula dan berakibat pada tingginya viskositas puncak pasta. Hal ini menunjukkan keterkaitan antara parameter swelling volume dengan viskositas puncak pati. Nilai swelling volume dari tepung dan campuran tepung dapat dilihat pada Tabel 13. Terdapat korelasi yang erat antara swelling volume dengan viskositas puncak (r = 0.85, Lampiran 1), dimana pati dengan swelling volume tinggi memiliki viskositas puncak yang tinggi pula. Nilai swelling volume berkaitan erat dengan nilai fraksi pati yang tidak membentuk gel (r = 0.79, Lampiran 1). Hubungan antara swelling volume dan fraksi pati yang tidak membentuk gel terkait dengan kemudahan molekul air untuk berinteraksi dengan molekul dalam granula pati dan menggantikan interaksi
44
hidrogen antar molekul, sehingga granula akan lebih mudah menyerap air dan memiliki kemampuan pengembangan yang tinggi. Adanya pengembangan tersebut akan menekan granula dari dalam, sehingga granula akan pecah dan molekul pati terutama amilosa akan keluar. Jumlah polimer yang keluar dari granula sangat tergantung pada derajat pembengkakan pati. Tabel 13 Swelling volume dan fraksi pati yang tidak membentuk gel dari tepung dan campuran tepung Bahan Tepung sukun Tepung beras Tepung sukun 85% + tepung beras 15% Tepung sukun 70% + tepung beras 30%
Swelling vol (ml/g) 10.14 ± 0.40a 7.88 ± 0.25c 9.08 ± 0.04b
Fraksi pati yang tidak membentuk gel (%) 12.91 ± 0.06a 2.39 ± 0.05d 12.32 ± 0.17b
8.54 ± 0.02b
11.46 ± 0.12c
Keterangan: superscript yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji lanjut Duncan (P<0.05)
Swelling merupakan karakteristik khas dari amilopektin. Ratnayake et al. (2002) menyatakan ketika sejumlah pati dipanaskan dalam jumlah air yang berlebih, struktur kristalinnya menjadi terganggu, sehingga menyebabkan kerusakan pada ikatan hidrogen dan molekul hidrogen keluar dari grup hidroksil amilosa dan amilopektin. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya peningkatan swelling dan kelarutan granula. Tepung dengan kandungan amilosa rendah akan memiliki swelling volume yang tinggi karena kandungan amilopektin yang berperan dalam pengembangan granula juga lebih tinggi. Selain kandungan amilosa, protein juga berperan penting dalam mempengaruhi kemampuan pengembangan granula pati. Pada pasta pati, protein mengelilingi granula pati, membatasi pengembangan granula, dan sifat kohesinya menghambat keluarnya material dari dalam granula selama proses gelatinisasi (Charles et al. 2007). Tepung beras memiliki kandungan protein tertinggi (Tabel 12), sehingga pengembangan granulanya menjadi lebih terbatas dan menghasilkan nilai fraksi pati yang tidak membentuk gel serta swelling volume yang rendah. Viskositas trough merupakan nilai viskositas minimum pada fasa suhu konstan pada profil RVA yang mengukur kemampuan pasta untuk bertahan
45
terhadap breakdown selama pendinginan. Tepung sukun memiliki viskositas trough tertinggi dibandingkan tepung beras dan campuran keduanya. Peningkatan penambahan tepung beras dalam campuran mengakibatkan penurunan viskositas trough. Hal ini terjadi karena penambahan tepung beras dalam campuran tepung meningkatkan kandungan amilosa dari campuran tepung tersebut. Nilai viskositas trough berbanding terbalik dengan kandungan amilosa dalam tepung dan campuran tepung. Viskositas breakdown dinyatakan sebagai ukuran dari disintegrasi granula atau kestabilan pasta. Pada saat breakdown, granula yang mengembang mengalami kerusakan lebih lanjut dan molekul amilosa keluar menuju larutan. Pada campuran tepung sukun dengan tepung beras, viskositas trough berbanding terbalik dengan viskositas breakdown. Viskositas breakdown diperoleh dari hasil pengurangan viskositas puncak dengan viskositas trough. Bila viskositas puncak dan trough mengalami penurunan yang tidak proporsional, maka viskositas breakdown mengalami peningkatan, menghasilkan nilai viskositas yang berbanding terbalik dengan trough. Peningkatan jumlah tepung beras yang dicampurkan dengan tepung sukun justru meningkatkan viskositas breakdown dari campuran tepung. Peningkatan nilai viskositas breakdown menunjukkan bahwa campuran tepung menjadi semakin tidak resisten terhadap panas dan pengadukan. Peningkatan jumlah penambahan tepung beras terhadap tepung sukun menurunkan kekuatan tepung terhadap pengaruh panas dan pengadukan. Viskositas akhir merupakan parameter yang mendefinisikan kualitas dari pati, diindikasikan oleh kemampuan dari material untuk membentuk pasta kental atau gel setelah pemasakan dan pendinginan serta ketahanan pasta terhadap gaya geser yang terjadi selama pengadukan. Viskositas akhir campuran tepung semakin menurun dengan meningkatnya jumlah tepung beras yang ditambahkan. Hal ini dapat dijelaskan oleh kandungan amilosa yang semakin tinggi dengan meningkatnya jumlah tepung beras yang berada dalam campuran tepung. Kandungan amilosa yang lebih tinggi menghasilkan gel dengan tingkat agregasi amilosa yang lebih tinggi pula, sehingga zona sambungan (junction zone) menjadi lebih sempit serta jaringan yang terbentuk lebih rapat dan pada akhirnya menurunkan viskositas gel yang terbentuk (Blazek & Copeland 2007).
46
Viskositas setback merefleksikan kecenderungan pati untuk mengalami retrogradasi. Viskositas setback yang lebih tinggi diperoleh pada tepung sukun yang dicampur dengan tepung beras 15%. Hal ini menunjukkan bahwa retrogradasi amilosa tertinggi terjadi pada campuran tersebut. Secara umum, substitusi tepung beras varietas Rojolele terhadap tepung sukun tidak mengubah tipe profil gelatinisasi bahan baku menjadi tipe C berdasarkan hasil analisis menggunakan RVA. Tetapi karakteristik swelling volume dan fraksi pati yang tidak membentuk gel dari tepung sukun menjadi lebih rendah dengan adanya perlakuan substitusi tepung beras. Aplikasi tepung sukun 100% dan campuran tepung sukun - tepung beras pada bihun menghasilkan produk dengan karakteristik berbeda. Dua karakteristik bihun yang diamati adalah KPAP (kehilangan padatan akibat pemasakan) dan persen rehidrasi. Nilai KPAP menunjukkan jumlah padatan yang keluar dari untaian bihun selama proses pemasakan. Semakin tinggi nilai KPAP, maka semakin banyak padatan yang keluar dari untaian bihun selama proses pemasakan. Pada Tabel 14 dapat dilihat bahwa substitusi tepung beras terhadap tepung sukun menghasilkan bihun dengan KPAP yang lebih rendah dibandingkan dengan bihun sukun 100% ataupun bihun beras 100%. Substitusi tepung beras 15% menghasilkan bihun sukun dengan KPAP lebih rendah dibandingkan bihun yang disubstitusi oleh tepung beras 30%. Tabel 14 Nilai KPAP dan persen rehidrasi bihun sukun yang disubstitusi dengan tepung beras Jumlah tepung beras yang ditambahkan 0% 15% 30% 100%
KPAP (%) b
9.47 ± 0.04 4.68 ± 0.05d 6.69 ± 0.02c 16.26 ± 0.37a
Persen rehidrasi (%) 360.40 ± 8.57a 300.89 ± 13.98b 352.07 ± 5.05a 331.82 ± 10.78a
Keterangan: superscript yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji lanjut Duncan (P<0.05)
Karakteristik persen rehidrasi sangat terkait dengan kemampuan penyerapan air selama proses rehidrasi berlangsung. Bihun dengan persen rehidrasi tinggi cenderung mengalami pembengkakan, baik selama pemasakan maupun pasca pemasakan. Substitusi tepung beras 15% pada produk bihun sukun
47
ternyata menghasilkan persen rehidrasi terendah dibandingkan dengan perlakuan lain. Simpulan Tahap I Campuran tepung sukun dan tepung beras dengan rasio 85%:15% menghasilkan nilai swelling volume, fraksi pati yang tidak membentuk gel dan viskositas puncak yang lebih tinggi dibandingkan campuran tepung sukun dan tepung beras dengan rasio 70%:30%, tetapi nilainya relatif tidak berbeda nyata. Sementara untuk viskositas breakdown dan setback, perbedaan nilai di antara kedua alternatif jumlah penambahan tepung beras tersebut cukup signifikan. Oleh karena itu jumlah penambahan tepung beras yang dipilih untuk disubstitusikan pada proses produksi bihun sukun adalah 15%. Hal lain yang mendukung pemilihan jumlah tepung beras adalah nilai kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) dan persen rehidrasi dari bihun sukun yang disubstitusi oleh tepung beras pada level 15% dan 30%. Bihun sukun dengan substitusi tepung beras 15% memiliki nilai KPAP yang lebih rendah dibandingkan dengan bihun sukun yang disubstitusi dengan tepung beras 30%, begitu pula dengan nilai persen rehidrasi. Campuran tepung sukun dan tepung beras dengan rasio 85%:15% memiliki viskositas setback yang lebih tinggi (1364 vs 1234 cP), viskositas breakdown yang lebih rendah (468 vs 638 cP), KPAP yang lebih rendah (4.68 vs 6.69%) dan persen rehidrasi yang lebih rendah (300.89 vs 352.07%) dibandingkan campuran tepung sukun dan tepung beras dengan rasio 70%:30%. Hal ini menunjukkan bahwa campuran tepung sukun dan tepung beras dengan rasio 85%:15% memiliki karakteristik yang lebih baik sebagai bahan baku bihun dibandingkan campuran tepung sukun dan tepung beras dengan rasio 70%:30%. Pada tahap penelitian selanjutnya, jumlah tepung beras terpilih yang digunakan adalah 15%.
48
Tahap II. Pengaruh Hidrokoloid dan CaCl2 Terhadap Profil Gelatinisasi Bahan Baku Bihun Sukun Penambahan garam terhadap sistem pati-hidrokoloid diketahui dapat mengubah sifat gelatinisasi dan reologi dari sistem tersebut. Efek garam terhadap sistem berpati sangat tergantung pada jenis dan konsentrasi garam yang digunakan (Viturawong et al. 2008). Garam yang dipilih untuk digunakan dalam penelitian ini adalah CaCl2. Garam kalsium klorida banyak digunakan dalam sistem pangan sebagai stabilizer, thickening agent (Codex Alimentarius Commission 2010), sequestrant dan firming agent (www.nutritiondata.com 2009) serta dikategorikan sebagai general purpose additives (www.nutritiondata.com 2009, Codex Alimentarius Commission 2010).
Pada produk pasta dan mie, kalsium klorida digunakan
sebagai stabilizer, thickening dan firming agent (Codex Alimentarius Commission 2010). Level konsentrasi CaCl2 yang digunakan adalah 0, 1 dan 2%.
Profil Gelatinisasi Secara visual, jenis tepung yang diinteraksikan dengan hidrokoloid dan CaCl2 sangat mempengaruhi profil gelatinisasi yang diperoleh. Hasil interaksi tepung sukun dengan hidrokoloid dan CaCl2 menunjukkan viskositas puncak (VP), breakdown (VB) dan akhir (VA) yang lebih rendah dibandingkan campuran tepung sukun dan tepung beras dengan penambahan hidrokoloid serta CaCl2. Secara umum penambahan CaCl2 1% menyebabkan penurunan VP, VB dan VA dari seluruh perlakuan, sementara penambahan CaCl2 2% meningkatkan kembali nilai ketiga parameter tersebut. Profil gelatinisasi yang dihasilkan dari interaksi bahan baku dengan hidrokoloid guar gum dan iles-iles serta CaCl2 disajikan pada Gambar 13 dan Gambar 14.
49
4500
4000
120
4000
3500
100 3500
100
3000
2500 60 2000 1500
Viskositas (cP)
80
40
80
2500 2000
60
1500
Suhu (°C)
3000
Suhu (°C)
Viskositas (cP)
120
40
1000
1000 20 0
0
0 0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
20
500
500
0 0.00
25.00
10.00
G1
G3
30.00
Waktu (menit)
Waktu (menit)
Native
20.00
G5
Profil suhu
Native
G2
G4
(a)
G6
Profil suhu
(b) 120
4500 4000
100
3500
120
3000
100
3500
60 2000 1500
40
80
2000 60 1500 40
1000
1000 20 0
0
0 0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
20
500
500
0 0.00
25.00
10.00
B1
B3
B5
Profil suhu
Native
B2
(c) Keterangan: G1 = Ca 0% G3 = Ca 1% G5 = Ca 2%
G2 G4 G6
20.00
30.00
Waktu (menit)
Waktu (menit)
Native
B4
B6
Profil suhu
(d) = = =
Suhu (°C)
2500
Viskositas (cP)
80 Suhu °C)
Viskositas (cP)
2500 3000
Ca 0% Ca 1% Ca 2%
B1 B3 B5
= = =
Ca 0% Ca 1% Ca 2%
B2 B4 B6
= = =
Ca 0% Ca 1% Ca 2%
Gambar 13 Perubahan profil gelatinisasi akibat penambahan CaCl2 terhadap tepung sukun yang diinteraksikan dengan guar gum 1% (a), guar gum 0.5% (b), tepung beras 15% dan guar gum 1% (c), tepung beras 15% dan guar gum 0.5% (d)
50
4000
4000
120
3500
3500
100
100
3000
60
1500
2500
Suhu (°C)
2000
80
Viskositas (cP)
80
2500
2000
60
1500
40
1000
40
1000 20
500 0 10.00
15.00
20.00
0
0
25.00
0.00
5.00
10.00
Waktu (menit)
Native
I1
I3
Profil suhu
3500
Native
I2
100
3000
100
2500
60
1500
Viskositas (cP)
2000
40
20
500 0 20.00
2000 60 1500 40 20
500 0
0 15.00
80
1000
1000
0 0.00
25.00
5.00
10.00
BI3
BI5
Profil suhu
Native
BI2
(c) I2 I4 I6
15.00
20.00
25.00
Waktu (menit)
Waktu (menit)
Keterangan: I1 = Ca 0% I3 = Ca 1% I5 = Ca 2%
Profil suhu
120
Suhu (°C)
2500
BI1
I6
3500
80
Native
I4
120
3000
10.00
25.00
(b)
4000
5.00
20.00
Waktu (menit)
I5
(a)
0.00
15.00
BI4
BI6
Profil suhu
(d) = = =
Suhu (°C)
5.00
20
500
0 0.00
Viskositas (cP)
Suhu (°C)
3000 Viskositas (cP)
120
Ca 0% Ca 1% Ca 2%
BI1 BI3 BI5
= = =
Ca 0% Ca 1% Ca 2%
BI2 BI4 BI6
= = =
Ca 0% Ca 1% Ca 2%
Gambar 14 Perubahan profil gelatinisasi akibat penambahan CaCl2 terhadap tepung sukun yang diinteraksikan dengan iles-iles 1% (a), iles-iles 0.5% (b), tepung beras 15% dan iles-iles 1% (c), tepung beras 15% dan iles-iles 0.5% (d)
51
a. Viskositas Puncak (VP) Viskositas puncak (VP) menunjukkan kondisi awal granula pati tergelatinisasi atau mencapai pengembangan maksimum hingga selanjutnya akan pecah. Beta dan Corke (2001) menyatakan bahwa viskositas puncak mengindikasikan kapasitas pengikatan air dan memiliki korelasi positif dengan kualitas produk akhir yaitu pengembangan dan jumlah polimer yang lepas. Hasil analisis data menunjukkan bahwa jenis dan konsentrasi hidrokoloid serta konsentrasi CaCl2 memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05) terhadap VP (Tabel 15, Lampiran 3). Tidak terdapat interaksi yang nyata di antara ketiga faktor perlakuan terhadap nilai VP. Tabel 15 Viskositas puncak hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 (dalam cP) Konsentrasi CaCl2 (%) 0 1 2 Kontrol
Tepung sukun 100% Guar gum 1% 0.5% 2638.0 2276.0 2045.0 1787.0 2204.0 1901.0
Iles-iles 1% 0.5% 2424.0 2199.5 1990.5 1780.0 2080.5 1876.5
Tepung sukun 85% + tepung beras 15% Guar gum Iles-iles 1% 0.5% 1% 0.5% 2965.5 2253.5 2271.0 2127.0 1913.5 1760.0 1824.5 1607.0 2203.0 1843.5 1804.0 1593.5
1915.50
Keterangan: Kontrol = tepung sukun 100%
Jenis dan konsentrasi hidrokoloid menghasilkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai VP. Hidrokoloid guar gum menghasilkan nilai VP yang lebih tinggi dibandingkan iles-iles untuk semua perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa guar gum menyebabkan peningkatan kemampuan penyerapan air dari campuran tepung, sehingga meningkatkan pengembangan campuran tepung dan pada akhirnya berefek pada peningkatan VP. Nilai VP yang lebih tinggi dihasilkan dari penggunaan konsentrasi hidrokoloid yang lebih tinggi pula, baik pada guar gum maupun iles-iles untuk semua perlakuan penambahan garam dan jenis tepung. Faktor konsentrasi CaCl2 memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap VP sistem. Pada konsentrasi garam 0%, penambahan hidrokoloid meningkatkan viskositas tepung sukun secara keseluruhan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Shi dan BeMiller (2001) yang meneliti pengaruh berbagai hidrokoloid terhadap viskositas pati kentang. Dilaporkan
52
bahwa penambahan guar gum pada pati kentang akan meningkatkan viskositas pati tersebut secara signifikan. Funami et al. (2005b) juga melaporkan hal yang sama dalam hasil penelitiannya mengenai efek guar gum terhadap pati jagung. Penambahan CaCl2 1% pada sistem berpati menyebabkan penurunan nilai VP, sementara peningkatan konsentrasi CaCl2 menjadi 2% akan meningkatkan VP dari sistem. Pola yang sama juga diperoleh pada hasil pengukuran swelling volume. Hasil analisis data menunjukkan interaksi yang nyata (P<0.05) antara tepung, hidrokoloid dan CaCl2 terhadap nilai swelling volume seperti yang terdapat pada Tabel 16 serta Lampiran 3. Swelling volume yang tinggi menunjukkan nilai VP yang tinggi pula. Tabel 16 Swelling volume (ml/g) hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 CaCl2 (%) 0 1 2 CaCl2 (%) 0 1 2 Kontrol
Tepung sukun 100% Guar gum 1% 11.14 ± 0.07a 8.51 ± 0.41hi 10.33 ± 0.13b
Iles-iles
0.5% 9.88 ± 0.06c 8.40 ± 0.04hij 9.51 ± 0.29dfce
1% 9.36 ± 0.37dfe 8.30 ± 0.05ij 9.05 ± 0.40fg
0.5% 9.11 ± 0.15fge 7.93 ± 0.01j 8.86 ± 0.18hg
Tepung sukun 85% + tepung beras 15% Guar gum Iles-iles 1% 0.5% 1% 0.5% dc dce dfge 9.63 ± 0.02 9.56 ± 0.03 9.32 ± 0.06 8.55 ± 0.13hi fge k ij 9.11 ± 0.02 7.27 ± 0.09 8.31 ± 0.21 8.29 ± 0.23ij 9.47 ± 0.15dfce 8.09 ± 0.41ij 8.47 ± 0.01hi 8.46 ± 0.35hi 10.14 ± 0.40
Keterangan: superscript yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji lanjut Duncan (P<0.05)
Penambahan garam pada sistem berpati mempengaruhi karakteristik gelatinisasi pati. Jane (1993) seperti yang dikutip oleh Viturawong et al. (2008) menyatakan bahwa gelatinisasi pati dengan keberadaan garam dikontrol oleh dua efek, yaitu struktur air dan interaksi elektrostatik antara pati dengan ion. Kedua efek ini saling berlawanan satu sama lain dan menghasilkan efek pola gelatinisasi yang sangat kompleks, tergantung pada jenis dan konsentrasi garam. Bila dibandingkan dengan kontrol, penambahan CaCl2 terhadap tepung sukun pada konsentrasi hidrokoloid 0.5% menyebabkan penurunan nilai VP, sementara penambahan garam pada penggunaan hidrokoloid 1% menyebabkan peningkatan nilai VP. Hal yang berbeda terjadi pada campuran tepung sukun dan
53
tepung beras yang diinteraksikan dengan iles-iles, dimana penambahan CaCl2 mengakibatkan penurunan nilai VP pada semua level konsentrasi penggunaan iles-iles. Hal ini menunjukkan bahwa sinergi antara CaCl2 dengan iles-iles berefek pada menurunnya kemampuan hidrasi dari campuran tepung sukun dan tepung beras, sehingga diperoleh nilai VP yang semakin rendah. Penambahan CaCl2 1% pada sistem pati – hidrokoloid menurunkan viskositas puncak dari sistem. Sudhakar et al. (1996) menyebutkan hal ini dapat dijelaskan dengan teori electrical double layer. Menurut teori tersebut, suatu electrical double layer yang mengandung kation mengelilingi pati dan menyebabkan pengeluaran anion. Anion merupakan material utama penyebab terjadinya gelatinisasi pada garam dengan cara mengganggu ikatan hidrogen antar rantai. Keberadaan electrical double layer mengakibatkan anion tidak dapat memasuki granula dan tidak dapat memicu terjadinya gelatinisasi. Pada konsentrasi CaCl2 yang lebih tinggi, viskositas puncak kembali mengalami peningkatan.
Garam pada konsentrasi yang lebih tinggi mampu
menurunkan mobilitas granula pati. Oosten (1983) seperti yang dikutip oleh Viturawong et al. (2008) menjelaskan bahwa pati merupakan penukar ion yang bersifat asam lemah dan mampu menyerap kation yang lebih bervolume seperti ion kalsium atau natrium dari larutan dan menukarnya dengan ion hidrogen yang berukuran lebih kecil. Kondisi ini menyebabkan matriks granula menjadi lebih terentang, sehingga terjadi peningkatan volume granula pati dan pada akhirnya meningkatkan kembali viskositas puncak.
b. Viskositas Trough (VT) Hasil analisis data menunjukkan bahwa jenis tepung, jenis dan konsentrasi hidrokoloid serta konsentrasi CaCl2 memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05) terhadap VT, meskipun tidak terdapat interaksi yang nyata di antara ketiga faktor tersebut terhadap nilai VT (Tabel 17, Lampiran 3). Faktor jenis tepung menghasilkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai VT. Secara umum, tepung sukun memiliki VT yang lebih tinggi dibandingkan tepung sukun yang disubstitusi dengan tepung beras. Ini menunjukkan bahwa tepung sukun
54
memiliki kemampuan lebih tinggi dalam mempertahankan struktur terhadap proses breakdown selama suhu pemanasan konstan. Tabel 17 Viskositas trough hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 (dalam cP) Konsentrasi CaCl2 (%) 0 1 2 Kontrol
Tepung sukun 85% + tepung beras 15% Iles-iles Guar gum Iles-iles 1% 0.5% 1% 0.5% 1% 0.5% 2348.5 2099.5 2288.5 1829.0 1892.5 1771.5 1972.5 1757.5 1615.0 1471.0 1632.5 1374.0 2068.0 1842.0 1859.0 1606.5 1627.5 1441.5 1864
Tepung sukun 100% Guar gum 1% 0.5% 2396.0 2100.5 1978.5 1740.0 2137.0 1862.5
Keterangan: Kontrol = tepung sukun 100%
Pengaruh hidrokoloid berbeda nyata berdasarkan hasil uji Duncan terhadap nilai VT. Penambahan guar gum menghasilkan nilai VT yang lebih tinggi dibandingkan iles-iles, kecuali pada tepung sukun yang diinteraksikan dengan hidrokoloid 0.5% pada level penambahan CaCl2 1%. Pada perlakuan tersebut, VT yang dihasilkan oleh guar gum lebih kecil dibandingkan iles-iles. Perlakuan konsentrasi hidrokoloid yang lebih tinggi menghasilkan VT yang lebih tinggi pula, baik untuk guar gum maupun iles-iles pada semua perlakuan. Konsentrasi CaCl2 mempengaruhi nilai VT secara nyata berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 3). Pengaruh penambahan garam 1% menyebabkan penurunan nilai VT sistem berpati, sementara peningkatan konsentrasi garam menjadi 2% akan meningkatkan VT dari sistem. Pola yang sama juga diperoleh pada hasil pengukuran VP. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan antara VP dengan VT pada sistem berpati. Bila dibandingkan dengan kontrol, penambahan CaCl2 menyebabkan penurunan VT pada penggunaan hidrokoloid 0.5% untuk tepung sukun 100%. Sementara pada tepung sukun yang disubstitusi dengan tepung beras, penambahan CaCl2 menyebabkan penurunan nilai VT pada semua level konsentrasi hidrokoloid yang ditambahkan. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung beras mengakibatkan penurunan kemampuan pasta pati untuk bertahan terhadap breakdown selama pendinginan.
55
c. Viskositas Breakdown (VB) Breakdown atau penurunan viskositas selama pemanasan menunjukkan kestabilan pasta selama pemanasan, dimana semakin rendah breakdown maka pasta yang terbentuk semakin stabil terhadap panas (Purwani et al. 2006). Parameter VB dan VT terkait satu sama lain karena VB merupakan selisih antara VP dengan VT. Peningkatan nilai VT pati umumnya selalu diikuti oleh peningkatan nilai VB, begitu pula sebaliknya. Nilai VB yang dihasilkan akibat interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 dapat dilihat pada Tabel 18. Hasil analisis data menunjukkan bahwa jenis tepung, jenis dan konsentrasi hidrokoloid serta konsentrasi CaCl2 memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05) terhadap VB, meskipun tidak terdapat interaksi yang nyata di antara ketiga faktor tersebut terhadap nilai VB (Lampiran 3). Tabel 18 Viskositas breakdown hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 (dalam cP) Konsentrasi CaCl2 (%) 0 1 2 Kontrol
Tepung sukun 100% Guar gum 1% 0.5% 242.0 175.5 66.5 47.0 67.0 38.5
Iles-iles 1% 0.5% 75.5 100.0 18.0 22.5 12.5 34.5 51.50
Tepung sukun 85% + tepung beras 15% Guar gum Iles-iles 1% 0.5% 1% 0.5% 677.0 424.5 378.5 355.5 298.5 289.0 192.0 233.0 344.0 237.0 176.5 152.0
Keterangan: Kontrol = tepung sukun 100%
Secara umum, tepung sukun memiliki nilai VB yang jauh lebih rendah dibandingkan campuran tepung sukun dan tepung beras. Tepung sukun yang disubstitusi dengan tepung beras menunjukkan VB yang lebih tinggi karena adanya pengaruh tepung beras terhadap sistem tersebut. Tepung beras memiliki VP yang tinggi dan setelah mencapai puncak, viskositasnya menurun dengan tajam, sehingga menghasilkan VB yang besar. Pengaruh keberadaan tepung beras sangat besar terhadap nilai VB sistem yang diamati. Pada konsentrasi CaCl2 yang tetap, peningkatan konsentrasi guar gum menyebabkan peningkatan VB sistem. Sementara peningkatan konsentrasi ilesiles justru menurunkan VB dari sistem. Hal ini terjadi pada sistem tepung sukun
56
tanpa penambahan tepung beras. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa iles-iles memiliki kemampuan untuk mempertahankan sistem dari pengaruh panas dan pengadukan selama pengukuran dengan instrumen RVA. Pada tepung sukun yang dicampurkan dengan tepung beras, iles-iles tidak menunjukkan pengaruh yang sama. Hal ini mungkin terjadi karena pengaruh keberadaan tepung beras jauh lebih kuat dalam meningkatkan VB. Peningkatan VB menunjukkan bahwa granula pati menjadi lebih tidak resisten terhadap perlakuan panas dan pengadukan (Lee et al. 2002). Hal ini menunjukkan bahwa hidrokoloid memiliki peran dalam mengubah morfologi granula pati yang melibatkan ekspansi radial dari granula untuk mengembang dan pecah (Funami et al. 2005b). Dijelaskan lebih lanjut bahwa disosiasi antara pati dan hidrokoloid melalui penyusutan struktural dari polimer tersebut selama pendinginan juga dapat meningkatkan viskositas breakdown. Hidrokoloid berinteraksi dengan elemen pati yang terdapat dalam pasta panas, seperti granula yang mengembang, granula yang terfragmentasi, serta molekul pati yang terdispersi, sehingga meningkatkan viskositas pati selama periode pendinginan. Peningkatan viskositas dalam sistem berpati ini dijelaskan sebagai kecenderungan dari elemen pati, terutama molekul amilosa, untuk bergabung atau beretrogradasi ketika suhu diturunkan (Mali et al. 2003). Bila dibandingkan dengan kontrol, penambahan CaCl2 pada tepung sukun 100% dan penggunaan guar gum 0.5% serta iles-iles 0.5 dan 1% menyebabkan penurunan nilai VB. Sementara pada campuran tepung sukun dan tepung beras, semua perlakuan cenderung mengakibatkan peningkatan nilai VB. Hal ini menunjukkan penambahan tepung beras menyebabkan penurunan kemampuan sistem untuk bertahan terhadap proses pemanasan dan pengadukan. Pada umumnya, nilai VB berbanding lurus dengan VT. Pola nilai VB yang tidak sejalan dengan VT pada penelitian ini lebih disebabkan karena peningkatan atau penurunan nilai VP dan VT yang tidak proporsional. VB diperoleh dari hasil pengurangan VP dengan VT, sehingga nilainya sangat tergantung pada kedua parameter gelatinisasi tersebut.
57
d. Viskositas Akhir (VA) Nilai VA yang dihasilkan akibat interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 dapat dilihat pada Tabel 19. Hasil analisis data menunjukkan bahwa jenis tepung, jenis dan konsentrasi hidrokoloid serta konsentrasi CaCl2 memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05) terhadap VA, meskipun tidak terdapat interaksi yang nyata di antara ketiga faktor tersebut terhadap nilai VA (Lampiran 3). Tabel 19 Viskositas akhir hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 (dalam cP) Tepung sukun 85% + tepung beras 15% Guar gum Iles-iles Guar gum Iles-iles 1% 0.5% 1% 0.5% 1% 0.5% 1% 0.5% 0 3951.5 3518.5 3891.0 3435.5 3989.0 3270.0 3496.0 3201.0 1 3149.5 2849.5 3177.0 2901.0 2875.0 2716.5 2915.0 2559.0 2 3462.5 3031.0 3408.0 3081.0 3239.0 2839.0 2868.5 2596.5 Kontrol 3019.50 Keterangan: Kontrol = tepung sukun 100%
Konsentrasi CaCl2 (%)
Tepung sukun 100%
Secara umum, VA yang dihasilkan oleh tepung sukun lebih tinggi dibandingkan VA dari campuran tepung sukun dan tepung beras, kecuali pada perlakuan penambahan guar gum 1% dan CaCl2 0%. Penambahan guar gum pada sistem menghasilkan VA yang lebih tinggi dibandingkan iles-iles. VA yang dihasilkan oleh penambahan hidrokoloid pada konsentrasi yang lebih tinggi menunjukkan nilai yang lebih tinggi, hal ini berlaku untuk kedua jenis hidrokoloid. Peningkatan konsentrasi CaCl2 dari 0% menjadi 1% menyebabkan penurunan VA, sementara peningkatan konsentrasi CaCl2 dari 1% menjadi 2% mengakibatkan peningkatan nilai VA. Pada konsentrasi CaCl2 0%, peningkatan VA tepung sukun akibat penambahan hidrokoloid pada sistem berpati dapat terjadi karena adanya interaksi antara material yang keluar dari granula selama proses gelatinisasi, seperti amilosa dan amilopektin berbobot molekul rendah, dengan hidrokoloid tersebut. Alloncle et al. (1989) dalam hasil penelitiannya mengenai karakteristik reologi dari campuran pati sereal dan galaktomanan menyatakan bahwa penambahan hidrokoloid menyebabkan gaya yang diberikan pada area ini jauh lebih besar daripada gaya di dalam suspensi pati-air pada konsentrasi pati yang setara.
58
Peningkatan gaya ini secara signifikan mempengaruhi pemecahan granula dan jumlah material yang dikeluarkan ke sistem. Peningkatan nilai viskositas akhir menunjukkan bahwa pasta semakin resisten terhadap gaya geser yang terjadi pada proses pengadukan. Penurunan VA pada penambahan CaCl2 1% dapat terjadi karena CaCl2 menurunkan kemampuan hidrasi dari hidrokoloid. Menurut Sudhakar et al. (1996), penurunan kemampuan hidrasi kemungkinan menjadi penyebab terjadinya penurunan interaksi sinergis antara pati dengan hidrokoloid, sehingga menurunkan viskositas akhir dari sistem. Bila dibandingkan dengan kontrol, penambahan tepung beras pada sistem mengakibatkan penurunan nilai VA. Hal ini menunjukkan bahwa tepung beras memiliki efek signifikan dalam menurunkan daya tahan sistem terhadap gaya geser yang timbul selama proses agitasi.
e. Viskositas Setback (VS) Setback atau perubahan viskositas selama pendinginan, diperoleh dari selisih antara VA dengan VT. Semakin tinggi nilai setback maka semakin tinggi pula kecenderungan untuk membentuk gel (meningkatkan viskositas) selama pendinginan. Tingginya nilai setback menunjukkan tingginya kecenderungan untuk terjadinya retrogradasi. Hal tersebut didasarkan pada pengertian retrogradasi yaitu terbentuknya jaringan mikrokristal dari molekul-molekul amilosa yang berikatan kembali satu sama lain atau dengan percabangan amilopektin di luar granula setelah pasta didinginkan (Winarno 2004). Menurut Beta dan Corke (2001), setback merupakan pengukuran rekristalisasi dari pati tergelatinisasi selama pendinginan. Hasil analisis data menunjukkan hanya faktor konsentrasi CaCl2 yang berpengaruh nyata terhadap nilai VS sistem (P<0.05, Lampiran 3). Nilai VS yang dihasilkan dari interaksi tepung, hidrokoloid dan garam dapat dilihat pada Tabel 20.
59
Tabel 20 Viskositas setback hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 (dalam cP) Konsentrasi CaCl2 (%) 0 1 2 Kontrol
Tepung sukun 85% + tepung beras 15% Iles-iles Guar gum Iles-iles 1% 0.5% 1% 0.5% 1% 0.5% 1542.5 1336.0 1700.5 1441.0 1603.5 1429.5 1204.5 1143.5 1260.0 1245.5 1282.5 1185.0 1340.0 1239.0 1380.0 1232.5 1241.0 1155.0 1155.50
Tepung sukun 100% Guar gum 1% 0.5% 1555.5 1418.0 1171.0 1109.5 1325.5 1168.5
Keterangan: Kontrol = tepung sukun 100%
Pada konsentrasi hidrokoloid yang tetap, peningkatan konsentrasi CaCl2 dari 0 menjadi 1% akan menurunkan VS tepung sukun. Sementara peningkatan konsentrasi CaCl2 dari 1 menjadi 2% akan meningkatkan kembali nilai VS tepung sukun. Pada campuran tepung sukun dan tepung beras, peningkatan konsentrasi CaCl2 akan menurunkan VS sistem kecuali pada penggunaan guar gum 1%. Penurunan nilai setback yang terjadi pada penambahan CaCl2 1% disebabkan oleh efek CaCl2 pada konsentrasi tersebut dalam menurunkan kemampuan hidrasi atau penyerapan air dari hidrokoloid. Hal ini mengakibatkan menurunnya interaksi antara tepung dengan hidrokoloid, dan pada akhirnya menurunkan VS. Fenomena serupa juga terjadi pada penggunaan Na2SO4 pada sistem pati jagung dan guar gum (Sudhakar et al. 1996). Bila dibandingkan dengan kontrol, seluruh perlakuan cenderung meningkatkan nilai VS. Peningkatan VS pada sistem campuran tepung terutama dengan meningkatnya konsentrasi CaCl2 lebih disebabkan oleh efek pertukaran kation pada sistem tersebut, seperti yang terjadi pada VP dan VA.
f. Waktu Puncak (WP) Waktu puncak merupakan parameter yang mengukur waktu pemasakan pasta pati. Hasil analisis data menunjukkan bahwa hanya faktor jenis tepung yang memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap nilai waktu puncak dari sistem pati (Lampiran 3). Waktu puncak yang dihasilkan dari interaksi tepung/campuran tepung, hidrokoloid dan CaCl2 disajikan pada Tabel 21.
60
Tabel 21 Waktu puncak hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 (dalam menit) Konsentrasi CaCl2 (%) 0 1 2 Kontrol
Tepung sukun 100% Guar gum 1% 0.5% 9.54 9.74 10.10 9.94 10.77 10.04
Iles-iles 1% 0.5% 10.24 10.30 12.20 11.04 12.34 11.44 10.54
Tepung sukun 85% + tepung beras 15% Guar gum Iles-iles 1% 0.5% 1% 0.5% 8.47 8.34 8.67 8.50 8.64 8.63 8.74 8.70 8.60 8.70 8.90 9.44
Keterangan: Kontrol = tepung sukun 100%
Waktu yang dibutuhkan oleh tepung sukun untuk mencapai viskositas puncak lebih lama pada semua perlakuan dibandingkan campuran tepung sukun dengan tepung beras. Hal ini menunjukkan bahwa pencampuran tepung beras dapat mempersingkat waktu proses pengolahan bahan pangan dari tepung sukun.
g. Suhu Gelatinisasi Suhu gelatinisasi merupakan suhu dimana mulai terdeteksi adanya peningkatan viskositas pada sistem pati-air yang dipanaskan, yang disebabkan oleh pembengkakan granula pati. Hasil analisis data menunjukkan bahwa hanya faktor konsentrasi CaCl2 yang memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap suhu gelatinisasi dari sistem pati (Lampiran 3). Suhu gelatinisasi yang dihasilkan dari interaksi tepung/campuran tepung, hidrokoloid dan garam disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Suhu gelatinisasi hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 (dalam °C) Konsentrasi CaCl2 (%) 0 1 2 Kontrol
Tepung sukun 100% Guar gum 1% 0.5% 76.25 76.30 77.13 77.10 77.93 77.48
Iles-iles 1% 0.5% 76.30 76.70 77.10 77.10 77.50 77.48 76.73
Keterangan: Kontrol = tepung sukun 100%
Tepung sukun 85% + tepung beras 15% Guar gum Iles-iles 1% 0.5% 1% 0.5% 76.68 76.68 76.75 76.65 77.45 77.50 77.28 77.48 77.68 77.88 77.88 78.13
61
Penambahan CaCl2 ke dalam sistem pati sukun – hidrokoloid cenderung meningkatkan suhu gelatinisasi dari sistem. Peningkatan konsentrasi CaCl2 yang ditambahkan ke dalam sistem tersebut akan semakin meningkatkan suhu gelatinisasi pati sukun. Hasil penelitian yang mendukung dilaporkan oleh Sudhakar et al. (1995) yang mempelajari efek interaksi pati jagung – xanthan gum dengan penambahan garam ke dalam sistem tersebut. Sudhakar et al. (1996) juga melaporkan hal yang serupa mengenai peningkatan suhu gelatinisasi sistem pati jagung – guar gum dengan meningkatnya konsentrasi garam yang digunakan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa peningkatan suhu gelatinisasi yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi garam dapat terjadi karena terbentuknya lapisan ganda elektrik di sekitar granula pati. Lapisan ini terdiri atas kation yang mengelilingi pati dan menghalangi masuknya anion ke dalam granula, sehingga gelatinisasi menjadi terhambat. Pada konsentrasi garam yang rendah, lapisan ganda elektrik yang terbentuk bersifat lemah, sehingga dapat ditembus oleh anion. Anion yang berhasil memasuki area granula akan menyebabkan pati tergelatinisasi, sehingga gelatinisasi lebih mudah terjadi pada suhu yang lebih rendah (Sudhakar et al. 1995, 1996). Bila dibandingkan dengan hasil tahap I, yang mengukur profil gelatinisasi bahan baku sebelum perlakuan, penambahan hidrokoloid dan CaCl2 menyebabkan perubahan pada profil gelatinisasi. Pengaruh hidrokoloid dan CaCl2 terhadap profil gelatinisasi bahan baku terangkum dalam Tabel 23. Secara umum, penambahan hidrokoloid meningkatkan viskositas dari seluruh bahan baku, sementara nilai WP dan SG menunjukkan kecenderungan yang berbeda untuk tepung sukun 100% dan campuran tepung sukun dengan tepung beras. Pengaruh penambahan CaCl2 pada tepung sukun 100% sangat dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi hidrokoloid yang digunakan, sedangkan pada campuran tepung sukun dengan tepung beras pengaruh penambahan CaCl2 relatif menunjukkan hasil yang homogen, tidak dipengaruhi oleh keberadaan hidrokoloid.
62
Tabel 23 Pengaruh hidrokoloid dan CaCl2 terhadap profil gelatinisasi bahan baku Profil gelatinisasi
Tepung sukun 100% Efek hidrokoloid
VP
Meningkat
VT
Meningkat
VB
Meningkat
VA
Meningkat
VS
Meningkat
WP
Menurun
SG
Meningkat
Efek CaCl2 Menurun pada konsentrasi HK 0.5% Menurun pada konsentrasi HK 0.5% Menurun pada konsentrasi guar gum 0.5% dan iles-iles 1% Menurun pada konsentrasi garam 1% dan HK 0.5% Menurun pada konsentrasi garam 1% dan HK 0.5% Menurun pada penggunaan guar gum Meningkat
Tepung sukun 85% + tepung beras 15% Efek hidrokoloid Efek CaCl2 Meningkat
Menurun
Meningkat
Menurun
Menurun pada penggunaan ilesiles
Menurun
Meningkat
Menurun
Meningkat
Menurun
Meningkat
Meningkat
Menurun
Meningkat
Keterangan: efek hidrokoloid diamati pada konsentrasi CaCl2 0%, HK = hidrokoloid, VP = viskositas puncak, VT = viskositas trough, VB = viskositas breakdown, VA = viskositas akhir, VS = viskositas setback, WP = waktu puncak, SG = suhu gelatinisasi
Simpulan Tahap II Faktor jenis tepung, jenis dan konsentrasi hidrokoloid serta konsentrasi CaCl2 menghasilkan pengaruh yang nyata terhadap seluruh parameter profil gelatinisasi, tetapi interaksi ketiga faktor tersebut tidak menghasilkan pengaruh yang nyata. Secara umum, tepung sukun menghasilkan nilai viskositas yang lebih tinggi dibandingkan tepung sukun yang disubstitusi dengan tepung beras 15%, kecuali untuk VB dan VS. VB menunjukkan stabilitas tepung terhadap panas, dimana tepung dengan VB rendah semakin stabil terhadap pemanasan. Penambahan tepung beras ternyata menurunkan kestabilan bahan baku terhadap panas. VS menunjukkan kecenderungan sistem pati untuk mengalami retrogradasi selama pendinginan. Nilai VS dari campuran tepung sukun dan tepung beras mengindikasikan bahwa penambahan tepung beras meningkatkan kemampuan bahan baku untuk mengalami retrogradasi. Penambahan tepung beras juga mengakibatkan penurunan waktu puncak serta peningkatan suhu gelatinisasi.
63
Penggunaan guar gum menghasilkan viskositas yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan iles-iles, kecuali untuk VS. Hal ini menunjukkan bahwa guar gum memiliki kemampuan hidrasi yang lebih besar dibandingkan iles-iles, sehingga sinergi antara tepung dengan guar gum menghasilkan viskositas yang lebih tinggi. Penggunaan iles-iles meningkatkan kemampuan retrogradasi pati yang ditunjukkan oleh nilai VS dari campuran tepung dan iles-iles yang lebih tinggi dibandingkan nilai VS dari campuran tepung dengan guar gum. Secara umum penambahan CaCl2 1% menyebabkan penurunan VP, VT, VS dan VA dari seluruh perlakuan, sementara penambahan CaCl2 2% meningkatkan kembali nilai keempat parameter tersebut. Peningkatan konsentrasi CaCl2 cenderung menurunkan nilai VB pada tepung sukun 100%, tetapi pada campuran tepung sukun dan tepung beras peningkatan konsentrasi CaCl2 ternyata diikuti oleh peningkatan VB. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan CaCl2 pada tepung sukun 100% meningkatkan stabilitas tepung tersebut terhadap panas, sedangkan penambahan CaCl2 pada campuran tepung sukun dan tepung beras justru menurunkan kestabilan bahan baku terhadap proses pemanasan. Dari penelitian Tahap II ini dapat disimpulkan bahwa penambahan tepung beras tidak mengubah profil gelatinisasi bahan baku menjadi tipe C, sementara penambahan CaCl2 meningkatkan ketahanan panas dari tepung sukun yang tercermin pada nilai VB yang rendah dengan keberadaan garam pada sistem.
Tahap III. Pengaruh Hidrokoloid dan CaCl2 Terhadap Karakteristik Bihun Sukun
Produksi Bihun Sukun Produksi bihun sukun dilakukan dengan menggunakan bahan baku tepung sukun dan campuran tepung sukun – tepung beras. Perbandingan jumlah tepung sukun – tepung beras yang digunakan dalam penelitian ini adalah 85% : 15%. Rasio ini diperoleh dari hasil pengujian terhadap karakteristik gelatinisasi campuran tepung sukun – tepung beras pada Tahap I. Hasil pengujian menunjukkan penggunaan campuran tepung sukun – tepung beras dengan rasio
64
85% : 15% menghasilkan viskositas breakdown yang rendah dan viskositas setback yang tinggi. Viskositas breakdown yang rendah menunjukkan ketahanan campuran tepung terhadap proses pemanasan dan pengadukan. Sementara nilai viskositas setback yang tinggi menunjukkan kecenderungan campuran tepung untuk mengalami retrogradasi selama pendinginan, suatu karakteristik yang diperlukan bagi produk bihun (Herawati 2009).
Pengaruh Interaksi Tepung, Hidrokoloid dan CaCl2 Terhadap Kualitas Bihun Sukun Pengaruh interaksi tepung sukun/campuran tepung sukun dan tepung beras, hidrokoloid guar gum dan iles-iles, serta CaCl2 diketahui dengan melakukan karakterisasi terhadap bihun sukun yang diperoleh. Karakteristik yang diuji antara lain intensitas warna, waktu rehidrasi, persen rehidrasi, kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP), tekstur dengan texture analyzer dan penilaian organoleptik. a. Warna Interaksi antara tepung/campuran tepung, hidrokoloid dan CaCl2 memberikan pengaruh yang nyata terhadap intensitas warna merah, intensitas warna kuning dan intensitas kecerahan bihun sukun (P<0.05). Intensitas warna bihun sukun disajikan pada Tabel 24. Tabel 24a Intensitas warna bihun sukun hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 CaCl2 (%)
Tepung sukun 100% L*
Guar gum 1% a*
b*
L*
Iles-iles 1% a*
b*
33.96 ± 0.05f 11.12 ± 0.08c 22.45 ± 0.22g 35.21 ± 0.33e 11.40 ± 0.08b 23.72 ± 0.24cd ed d ef cbd 35.81 ± 0.13 10.71 ± 0.01 23.05 ± 0.22 36.11 ± 0.00 11.78 ± 0.03a 23.96 ± 0.09cd cd ed gf a 35.98 ± 0.11 10.58 ± 0.00 22.86 ± 0.31 41.75 ± 0.67 10.35 ± 0.14g 26.55 ± 0.48a Keterangan: superscript yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji lanjut Duncan (P<0.05) L = intensitas kecerahan, a = intensitas warna merah, b = intensitas warna kuning Kontrol = tepung sukun 100%
0 1 2
65
Tabel 24b Intensitas warna bihun sukun hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 CaCl2 (%)
L*
Tepung sukun 85% + tepung beras 15% Guar gum 1% Iles-iles 1% a* b* L* a*
b*
36.58 ± 0.20cb 10.73 ± 0.01d 23.75 ± 0.08cd 36.57±0.50cb 10.64±0.07ed 24.10±0.04cb cb efg b b 36.57 ± 0.36 10.48 ± 0.11 24.60 ± 0.35 36.73±0.16 10.50±0.04efg 23.85±0.21cd cb ef cd cbd 36.56 ± 0.22 10.55 ± 0.02 23.76 ± 0.18 36.10±0.04 10.40±0.07fg 23.49±0.00ed a = 13.60 ± 0.12 b = 24.37 ± 0.17 L = 34.01 ± 0.05 Keterangan: superscript yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji lanjut Duncan (P<0.05) L = intensitas kecerahan, a = intensitas warna merah, b = intensitas warna kuning Kontrol = tepung sukun 100%
0 1 2 Kontrol
Hasil uji lanjut Duncan yang disajikan pada Lampiran 4 menunjukkan bahwa intensitas kecerahan bihun yang diproduksi dari tepung sukun 100% semakin meningkat dengan semakin tingginya konsentrasi CaCl2 yang ditambahkan. Sementara untuk bihun sukun yang diproduksi dari campuran tepung sukun dengan tepung beras, intensitas kecerahan tidak berbeda secara nyata di antara perlakuan konsentrasi CaCl2 yang ditambahkan. Interaksi antara hidrokoloid dengan CaCl2 pada bihun yang diproduksi menggunakan tepung sukun 100% mempengaruhi warna bihun sukun yang dihasilkan. Iles-iles memiliki kecenderungan untuk menghasilkan bihun sukun dengan intensitas kecerahan yang lebih tinggi, terutama dengan penambahan CaCl2 pada konsentrasi 2%. Secara umum, intensitas warna merah bihun yang dihasilkan dari perlakuan tepung sukun 100% lebih tinggi dari bihun hasil perlakuan pencampuran tepung sukun dan tepung beras. Bila dibandingkan dengan kontrol, intensitas warna merah adalah parameter yang sangat dipengaruhi oleh interaksi tepung, hidrokoloid dan garam. Hal ini dapat dilihat dari nilai a* bihun kontrol yang lebih besar dibandingkan nilai a* dari seluruh perlakuan. Dari ketiga parameter warna tersebut, iles-iles menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap intensitas warna produk bihun yang dihasilkan. Pengaruh iles-iles terutama jelas terlihat pada perlakuan penggunaan tepung sukun 100%, dimana peningkatan konsentrasi CaCl2 yang ditambahkan akan menghasilkan intensitas warna yang berbeda nyata, baik untuk parameter kecerahan, intensitas
66
warna merah maupun intensitas warna kuning. Pada Gambar 15 dapat dilihat hasil pemetaan nilai a* dan b* pada diagram kromatisitas a* b*.
(a)
(b) Gambar 15 Diagram kromatisitas a*b* dari bihun sukun 100% (a) dan bihun campuran tepung sukun-tepung beras (b)
67
Produk bihun yang dihasilkan ternyata memiliki warna yang relatif seragam, ditunjukkan oleh wilayah hasil pemetaan yang terpusat pada satu area tertentu. Hal ini berlaku untuk bihun yang dibuat dari tepung sukun 100% maupun yang dibuat dari campuran tepung sukun dan tepung beras. Hasil tersebut menunjukkan bahwa meskipun secara statistik warna yang dihasilkan oleh masing-masing perlakuan berbeda nyata, ternyata kromatisitasnya menunjukkan hasil yang relatif homogen.
b. Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) Hasil analisis data menunjukkan interaksi yang nyata (P<0.05) antara tepung, hidrokoloid dan CaCl2 terhadap nilai KPAP bihun sukun seperti yang terdapat pada Tabel 25 dan Lampiran 4. Secara umum, bihun sukun yang diproduksi dengan menggunakan tepung sukun 100% memiliki nilai KPAP yang lebih rendah dibandingkan bihun sukun yang diproduksi dengan menggunakan tepung sukun yang disubstitusi oleh tepung beras. Tabel 25 Nilai KPAP bihun sukun (dalam %) hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 CaCl2 (%) 0 1 2 Kontrol
Tepung sukun 100% Guar gum 1% 0.5%
1%
Iles-iles 0.5%
Tepung sukun 85% + tepung beras 15% Guar gum Iles-iles 1% 0.5% 1% 0.5%
6.17±0.27m 8.08±0.05jk
6.48±0.62m 7.27±0.06l
7.28±0.39l 10.77±0.09h
7.81±0.05lk 11.99±0.27g
8.63±0.00ji 9.08±0.15i
8.10±0.11jk 8.17±0.27jk
26.53±0.47a 17.07±0.03e
25.94±0.30ba 17.91±0.79d
5.29±0.13n
5.54±0.12n
11.44±0.11g
14.33±0.62f
8.47±0.02jik
8.04±0.02jk
18.84±0.23c
25.82±0.07b
9.47±0.04
Keterangan: superscript yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji lanjut Duncan (P<0.05)
Pada konsentrasi guar gum yang tetap, penambahan CaCl2 1% meningkatkan KPAP bihun sukun, tetapi saat konsentrasi CaCl2 ditingkatkan menjadi 2% terjadi penurunan nilai KPAP. Hal yang berbeda terjadi pada perlakuan penambahan iles-iles, dimana peningkatan konsentrasi CaCl2 juga meningkatkan KPAP bihun sukun yang dihasilkan. Pada bihun sukun yang diproduksi dari campuran tepung sukun dan tepung beras dengan penambahan iles-iles, penambahan CaCl2 1% menyebabkan penurunan KPAP sementara
68
peningkatan konsentrasi CaCl2 menjadi 2% meningkatkan kembali nilai KPAP bihun sukun. Pada konsentrasi CaCl2 yang tetap, peningkatan konsentrasi hidrokoloid mnghasilkan nilai KPAP yang berbeda pada setiap perlakuan. Pada bihun sukun yang diproduksi dengan penambahan guar gum, peningkatan konsentrasi guar gum akan meningkatkan KPAP bihun sukun. Sementara pada bihun yang diproduksi dengan penambahan iles-iles, peningkatan konsentrasi iles-iles cenderung menurunkan nilai KPAP dari bihun sukun yang dihasilkan. Bila dibandingkan dengan kontrol, penggunaan guar gum pada produk bihun menyebabkan penurunan nilai KPAP. Hal yang berbeda terjadi pada penggunaan iles-iles, dimana nilai KPAP semakin tinggi dengan adanya penambahan hidrokoloid tersebut terutama dengan keberadaan CaCl2 dalam sistem. Hal ini menunjukkan kemampuan guar gum yang lebih baik dalam mempertahankan struktur untaian bihun selama proses rehidrasi. Dengan mengacu pada Tabel 25, dilakukan pengelompokan terhadap produk bihun berdasarkan nilai KPAP-nya. Diperoleh dua kelompok bihun dengan klasifikasi KPAP seperti yang tersaji dalam Tabel 26 berikut. Tabel 26 Pengelompokan bihun berdasarkan nilai KPAP Nilai KPAP <17% G1, G2, G3, G4, G5, G6 I1, I2, I3, I4, I5, I6 B1, B2, B3, B4, B5, B6
>17% BI1, BI2, BI3, BI4, BI5, BI6
Bihun yang diproduksi dari tepung sukun dengan atau tanpa disubstitusi oleh tepung beras dengan penambahan guar gum termasuk dalam kelompok bihun dengan nilai KPAP <17%. Hal ini menunjukkan bahwa guar gum memiliki kemampuan lebih baik dalam mempertahankan kekompakan struktur bihun selama proses rehidrasi. Sementara untuk bihun yang diproduksi dengan penambahan iles-iles, bihun sukun tanpa substitusi tepung beras termasuk dalam kelompok bihun dengan KPAP <17%, sedangkan bihun sukun yang disubstitusi dengan tepung beras memiliki KPAP >17%. Hal ini mengindikasikan bahwa interaksi antara iles-iles dengan tepung beras mengakibatkan penurunan
69
kemampuan iles-iles dalam mempertahankan struktur untaian bihun selama proses pemasakan. Dari Tabel 26 di atas dapat dilihat bahwa pengaruh CaCl2 terhadap KPAP bihun sukun yang dihasilkan tidak signifikan. Nilai KPAP lebih ditentukan oleh interaksi antara hidrokoloid dengan tepung. Interaksi antara guar gum dengan tepung sukun maupun campuran tepung sukun dan tepung beras menghasilkan sinergisme yang menyebabkan struktur bihun yang kompak bahkan setelah direhidrasi, sedangkan iles-iles menunjukkan sinergi yang baik dengan tepung sukun yang ditandai oleh rendahnya nilai KPAP dari perlakuan tersebut. Tetapi ketika dilakukan substitusi oleh tepung beras terhadap tepung sukun, sinergi antara campuran tepung dengan iles-iles justru menghasilkan nilai KPAP yang sangat tinggi. Hal ini mungkin disebabkan oleh ketidakmampuan tepung beras untuk memasuki ikatan yang telah terbentuk antara iles-iles dan tepung sukun, sehingga tepung beras tidak terikat dengan baik pada struktur bihun dan lepas pada saat direhidrasi. Nilai KPAP berhubungan dengan beberapa karakteristik gelatinisasi tepung/campuran tepung yang digunakan sebagai bahan baku, diantaranya viskositas puncak, trough dan breakdown. Beta dan Corke (2001) menyatakan bahwa viskositas puncak mengindikasikan kapasitas pengikatan air dan memiliki korelasi positif dengan kualitas produk akhir yaitu pengembangan dan jumlah polimer yang lepas. Berdasarkan hal tersebut maka bihun sukun dengan nilai KPAP yang besar akan memiliki viskositas puncak yang tinggi pada bahan bakunya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa VT, yang menunjukkan stabilitas pasta terhadap panas dan pengadukan, berkorelasi negatif dengan nilai KPAP. Sementara breakdown memiliki korelasi positif dengan kualitas fisik mi sorgum yang dihasilkan, yaitu KPAP. Pada Tabel 27 disajikan pengelompokan bahan baku bihun sukun berdasarkan nilai VP, VT dan VB. Pada Tabel tersebut dapat dilihat bahwa terdapat kesesuaian antara nilai viskositas puncak bahan baku dengan nilai KPAP bihun yang dihasilkan. Bihun dengan KPAP rendah dihasilkan dari bahan baku dengan nilai viskositas puncak yang rendah pula. Pengecualian terjadi pada bihun yang diproduksi dari campuran tepung sukun dan tepung beras dengan
70
penambahan iles-iles (kode BI), dimana nilai viskositas puncak bahan baku yang rendah ternyata tidak menghasilkan bihun dengan KPAP rendah. Tabel 27 Pengelompokan bahan baku bihun berdasarkan nilai VP, VT dan VB Nilai VP < 2280 cP G2, G3, G4, G5, G6 I2, I3, I4, I5, I6 B2, B3, B4, B5, B6 BI1, BI2, BI3, BI4, BI5, BI6
> 2280 cP G1 I1 B1 Nilai VT
< 1885 cP G4, G6 I4, I6 B2, B3, B4, B5, B6 BI2, BI3, BI4, BI5, BI6
> 1885 cP G1, G2, G3, G5 I1, I2, I3, I5 B1 BI1 Nilai VB
< 345 cP G1, G2, G3, G4, G5, G6 I1, I2, I3, I4, I5, I6 B3, B4, B5, B6 BI3, BI4, BI5, BI6
> 345 cP B1, B2 BI1, BI2
Tidak sejalannya nilai VP bahan baku dengan karakteristik KPAP dari produk bihun yang dihasilkan mungkin disebabkan oleh lebih dominannya parameter viskositas trough (VT) pada campuran tepung sukun dan tepung beras dengan penambahan iles-iles. Nilai VT dari bahan baku yang terdiri atas campuran tepung sukun, tepung beras dan iles-iles menunjukkan nilai <1885 cP. Hal ini sejalan dengan KPAP bihun yang dihasilkan. Nilai VT yang rendah menunjukkan bahwa campuran bahan baku tersebut memiliki stabilitas terhadap panas dan pengadukan yang rendah, sehingga ketika diaplikasikan pada produk bihun akan menghasilkan KPAP yang tinggi. Karakteristik lain dari bahan baku yang berkorelasi dengan KPAP bihun adalah viskositas breakdown. Breakdown atau penurunan viskositas selama pemanasan menunjukkan kestabilan pasta selama pemanasan, dimana semakin rendah breakdown maka pasta yang terbentuk akan semakin stabil terhadap panas (Purwani et al. 2006). Menurut Beta dan Corke (2001), breakdown memiliki
71
korelasi positif dengan kualitas fisik mi sorgum yang dihasilkan, yaitu KPAP. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang diperoleh. Dengan membandingkan Tabel 26 dan 27 dapat dilihat bahwa terdapat kesesuaian antara nilai VB bahan baku dengan nilai KPAP produk bihun sukun yang dihasilkan. Bihun sukun yang memiliki KPAP rendah ternyata juga memiliki karakteristik VB yang rendah, seperti yang dapat dilihat pada bihun sukun yang diproduksi dari tepung sukun 100% dengan penambahan guar gum dan iles-iles (kode G dan I). Pengecualian terjadi pada bihun sukun yang diproduksi dari tepung sukun yang disubstitusi oleh tepung beras dengan penambahan iles-iles (kode BI). KPAP bihun dengan perlakuan tersebut menunjukkan nilai yang tinggi, sementara bahan bakunya menunjukkan nilai VB yang rendah. Hal ini dimungkinkan oleh dominannya karakteristik viskositas trough pada campuran bahan baku tersebut seperti yang telah dijelaskan di atas.
c. Persen Rehidrasi Berdasarkan hasil analisis data, terdapat interaksi yang nyata antara jenis tepung, jenis dan konsentrasi hidrokoloid serta konsentrasi CaCl2 dalam mempengaruhi persen rehidrasi bihun sukun. Nilai persen rehidrasi bihun sukun disajikan pada Tabel 28 dan Lampiran 4. Tabel 28 Nilai persen rehidrasi bihun sukun hasil interaksi tepung, hidrokoloid, dan CaCl2 CaCl2 (%) 0 1 2
CaCl2 (%) 0 1 2
Tepung sukun 100% Guar gum 1%
Iles-iles 0.5%
dec
374.69 ± 5.84 364.99 ± 19.32fde 322.34 ± 5.15ij
1% a
410.92 ± 22.81 364.83 ± 8.46fde 322.17 ± 1.74ij
0.5% bdec
377.19 ± 11.89 354.58 ± 5.38fheg 357.05 ± 8.15feg
386.45 ± 5.70bdac 327.21 ± 1.59ihj 361.46 ± 1.30fdeg
Tepung sukun 85% + tepung beras 15% Guar gum Iles-iles 1% 0.5% 1% ihjg
0.5%
348.33 ± 21.47ifheg 404.23 ± 6.85 402.35 ± 10.02bac 305.62 ± 3.12j 352.74 ± 10.99fheg 338.26 ± 13.41ifhg 307.06 ± 24.09j 332.33 ± 23.41ihjg 324.88 ± 11.06ihj Kontrol 360.40 ± 8.57 Keterangan: superscript yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji lanjut Duncan (P<0.05) 332.05 ± 5.60 354.39 ± 9.35fheg 257.30 ± 11.89k
ba
72
Bila dibandingkan dengan kontrol, substitusi tepung beras pada bihun sukun secara umum mampu menurunkan persen rehidrasi bihun. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung beras menyebabkan penurunan kemampuan penyerapan air dari produk bihun yang dihasilkan. Pada bihun sukun 100% tanpa penambahan CaCl2, peningkatan konsentrasi guar gum menyebabkan penurunan persen rehidrasi bihun sukun. Sementara untuk bihun sukun yang disubstitusi dengan tepung beras 15%, peningkatan konsentrasi guar gum menyebabkan peningkatan persen rehidrasi pada konsentrasi CaCl2 1%, dan penurunan persen rehidrasi pada konsentrasi CaCl2 2%. Pada konsentrasi guar gum 0.5%, peningkatan konsentrasi CaCl2 menyebabkan penurunan persen rehidrasi pada bihun sukun 100%. Perlakuan penambahan iles-iles tidak menghasilkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap persen rehidrasi untuk semua perlakuan. Karakteristik bihun yang diharapkan adalah yang memiliki persen rehidrasi rendah, karena bihun dengan persen rehidrasi yang tinggi cenderung mengalami pembengkakan baik selama pemasakan maupun pascapemasakan. Persen rehidrasi produk bihun sangat terkait dengan kemampuan penyerapan air selama proses rehidrasi berlangsung. Untaian bihun yang dapat menyerap air lebih banyak akan memiliki persen rehidrasi lebih tinggi dan sebaliknya untaian bihun yang kurang mampu menyerap air akan mempunyai persen rehidrasi yang lebih rendah. Berdasarkan nilai persen rehidrasinya, maka bihun sukun dikelompokkan menjadi dua seperti yang tersaji pada Tabel 29. Secara umum dapat dilihat bahwa bihun sukun yang disubstitusi dengan tepung beras (kode B dan BI) memiliki persen rehidrasi yang rendah, sedangkan bihun sukun yang tidak disubstitusi dengan tepung beras (kode G dan I) menunjukkan persen rehidrasi yang relatif lebih tinggi. Tabel 29 Pengelompokan bihun berdasarkan persen rehidrasi Nilai persen rehidrasi <335% G5, G6 I4 B1, B2, B4, B5, B6 BI4, BI5, BI6
>335% G1, G2, G3, G4 I1, I2, I3, I5, I6 B3 BI1, BI2, BI3
73
Persen rehidrasi bihun berhubungan dengan viskositas trough atau viskositas panas bahan baku. Pada Tabel 30 dapat dilihat pengelompokan bahan baku berdasarkan nilai VT. Tabel 30 Pengelompokan bahan baku berdasarkan nilai VT Nilai VT <1885 cP G4, G6 I4, I6 B2, B3, B4, B5, B6 BI2, BI3, BI4, BI5, BI6
>1885 cP G1, G2, G3, G5 I1, I2, I3, I5 B1 BI1
Viskositas panas yang tinggi menunjukkan kestabilan pasta terhadap proses pemanasan dan berefek pada rendahnya persen rehidrasi dari produk bihun yang dihasilkan. Berdasarkan Tabel 29 dan 30, secara umum bahan baku dengan nilai VT rendah cenderung menghasilkan bihun sukun dengan persen rehidrasi tinggi, begitu juga sebaliknya. Selain nilai VT, persen rehidrasi juga terkait dengan nilai swelling volume bahan baku. Swelling volume menunjukkan kemampuan bahan baku untuk mengembang dalam sistem pati-air dan sangat terkait dengan kapasitas penyerapan air. Bahan baku dengan nilai swelling volume tinggi akan memiliki persen rehidrasi yang tinggi pula. Pada Tabel 31 dapat dilihat pengelompokan bahan baku berdasarkan nilai swelling volume. Dengan membandingkan Tabel 29 dan 31 dapat dilihat bahwa bahan baku dengan nilai swelling volume rendah cenderung menghasilkan bihun dengan persen rehidrasi yang rendah pula. Tabel 31 Pengelompokan bahan baku berdasarkan nilai swelling volume Nilai swelling volume < 8.5 ml/g G4 I3,I4 B4, B6 BI3, BI4, BI5, BI6
>8.5 ml/g G1, G2, G3, G5, G6 I1, I2, I5, I6 B1, B2, B3, B5 BI1, BI2
Bila dibandingkan dengan hasil tahap I, yang mengukur nilai KPAP dan persen rehidrasi bihun sukun sebelum perlakuan, penambahan hidrokoloid dan garam menyebabkan terjadinya perubahan pada kedua parameter sifat fisik bihun
74
tersebut. Pengaruh hidrokoloid dan CaCl2 terhadap sifat fisik bihun sukun disajikan pada Tabel 32. Pada bihun yang diproduksi dari tepung sukun 100%, penambahan hidrokoloid menurunkan nilai KPAP. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan hidrokoloid dapat meningkatkan kekompakan struktur bihun selama rehidrasi. Hal yang berbeda terjadi pada bihun yang dibuat dari campuran tepung sukun dan tepung beras, dimana penambahan hidrokoloid justru semakin meningkatkan nilai KPAP. Penambahan hidrokoloid juga meningkatkan kapasitas penyerapan air dari bihun yang dapat dilihat dari nilai persen rehidrasi yang semakin tinggi dengan adanya hidrokoloid. Tabel 32 Pengaruh hidrokoloid dan garam terhadap KPAP dan persen rehidrasi bihun Tepung sukun 100% Parameter
Efek hidrokoloid
KPAP
Menurun
Persen rehidrasi
Meningkat
Efek CaCl2 Menurun pada penggunaan guar gum
Tepung sukun 85% + tepung beras 15% Efek hidrokoloid Efek CaCl2 Meningkat
Menurun pada penggunaan: - iles-iles dan Meningkat konsentrasi CaCl2 1% - guar gum dan konsentrasi CaCl2 2% Keterangan: efek hidrokoloid diamati pada konsentrasi CaCl2 0%
Meningkat
Meningkat
d. Waktu Rehidrasi Hasil analisis data menunjukkan bahwa faktor jenis tepung dan jenis serta konsentrasi hidrokoloid berpengaruh nyata terhadap waktu rehidrasi bihun sukun seperti yang disajikan pada Tabel 33 dan Lampiran 4 (P<0.05). Tidak terdapat interaksi yang nyata di antara faktor jenis tepung, jenis dan konsentrasi hidrokoloid, serta konsentrasi CaCl2 terhadap waktu rehidrasi bihun sukun. Bila dibandingkan dengan kontrol, bihun yang dibuat dari campuran tepung sukun dan tepung beras dengan penambahan iles-iles memiliki waktu rehidrasi yang lebih singkat. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi antara tepung sukun, tepung beras dan iles-iles mampu menurunkan waktu pemasakan bihun.
75
Tabel 33 Waktu rehidrasi bihun sukun (dalam menit) hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 CaCl2 (%)
Tepung sukun 100% Guar gum Iles-iles 1% 0.5% 1% 0.5%
Tepung sukun 85% + tepung beras 15% Guar gum Iles-iles 1% 0.5% 1% 0.5%
5.00 ± 0.71 5.75 ± 0.35 6.25 ± 0.35 5.50 ± 0.00 5.75 ± 0.35 0 4.75 ± 0.35 6.25 ± 0.35 5.25 ± 0.35 4.50 ± 0.71 6.75 ± 0.35 1 5.50 ± 0.00 5.50 ± 0.00 4.50 ± 0.71 5.50 ± 0.00 7.25 ± 0.35 2 5.75 ± 0.35 Kontrol Keterangan: Kontrol = tepung sukun 100%
6.75 ± 0.35 7.00 ± 0.71 6.25 ± 0.35
4.75 ± 0.35 5.50 ± 0.71 5.00 ± 0.71
5.00 ± 0.71 5.00 ± 0.00 5.00 ± 0.00
Bihun yang diproduksi dari tepung sukun 100% dengan penambahan guar gum memiliki waktu rehidrasi yang lebih singkat dibandingkan bihun yang dihasilkan dari campuran tepung sukun dan tepung beras. Sementara untuk ilesiles, bihun sukun 100% memberikan waktu rehidrasi yang lebih lama dibandingkan bihun yang diproduksi dari campuran tepung sukun dan tepung beras. Peningkatan konsentrasi guar gum cenderung mempersingkat waktu rehidrasi bihun sukun, kecuali pada konsentrasi CaCl2 2%. Sedangkan peningkatan konsentrasi iles-iles cenderung meningkatkan waktu rehidrasi bihun sukun, kecuali pada konsentrasi CaCl2 2%. Pada Tabel 34 disajikan pengelompokan bihun berdasarkan waktu rehidrasi. Terlihat bahwa bihun yang diproduksi dari tepung sukun dengan disubstitusi oleh tepung beras dan penambahan guar gum menghasilkan bihun dengan waktu rehidrasi yang relatif lebih lama dibandingkan perlakuan lainnya. Tabel 34 Pengelompokan bihun berdasarkan waktu rehidrasi Waktu rehidrasi <6 menit
>6 menit
G1, G2, G3, G5, G6 I2, I3, I5, I4, I6 B1 BI1, BI2, BI3, BI4, BI5, BI6
G4 I1 B2, B3, B4, B5, B6
Parameter waktu rehidrasi bihun sukun terkait dengan karakteristik suhu gelatinisasi dan waktu puncak dari bahan baku yang digunakan. Suhu gelatinisasi dan waktu puncak dari campuran bahan baku yang lebih tinggi menyebabkan pati lebih lambat mengalami gelatinisasi sempurna setelah introduksi gelatinisasi
76
terjadi. Oleh karena itu, bihun sukun yang dihasilkan dari bahan baku tersebut memiliki waktu rehidrasi yang lebih lama. Pada Tabel 35 dapat dilihat pengelompokan bahan baku berdasarkan suhu gelatinisasi serta waktu puncak. Bila dilihat dari karakteristik bahan baku yang digunakan, terdapat kesesuaian antara parameter waktu rehidrasi dengan suhu gelatinisasi dan waktu puncak dari bahan baku. Tabel 35 Pengelompokan bahan baku bihun berdasarkan suhu gelatinisasi dan waktu puncak Suhu gelatinisasi <77.2 °C
>77.2 °C
G1, G2, G3, G4 I1, I2, I3, I4 B1, B2 BI1, BI2
G5, G6 I5, I6 B3, B4, B5, B6 BI3, BI4, BI5, BI6 Waktu puncak
<10.34 menit
>10.34 menit
G1, G2, G3, G4, G6 I1, I2 B1, B2, B3, B4, B5, B6 BI1, BI2, BI3, BI4, BI5, BI6
G5 I3, I5, I4, I6
Secara umum, bihun sukun dengan waktu rehidrasi yang singkat memiliki karakteristik suhu gelatinisasi yang rendah. Hal ini dapat terlihat pada hampir seluruh perlakuan, kecuali pada campuran tepung sukun dengan tepung beras dan iles-iles (kode BI). Bihun dengan kode BI memiliki waktu rehidrasi yang singkat, tetapi suhu gelatinisasi bahan bakunya relatif tinggi. Hal ini dimungkinkan oleh lebih dominannya karakteristik waktu puncak bahan baku. Waktu puncak bahan baku bihun berkode BI berada pada kelompok <10.34 menit atau waktu puncak yang lebih singkat. Kondisi ini sangat berkorelasi dengan waktu rehidrasi bihun yang dihasilkan. Bahan baku dengan waktu puncak yang singkat akan menghasilkan waktu rehidrasi yang singkat pula.
77
e. Tekstur Bihun Sukun e.1. Kekerasan Berdasarkan hasil analisis data, diketahui bahwa interaksi antara tepung, hidrokoloid dan CaCl2 menghasilkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05) terhadap kekerasan bihun sukun seperti yang disajikan pada Tabel 36 dan Lampiran 4. Bihun yang dibuat dari campuran tepung sukun dan tepung beras cenderung memiliki nilai kekerasan yang lebih tinggi daripada bihun yang dibuat dari tepung sukun 100%. Tabel 36 Nilai kekerasan bihun sukun (dalam gf) hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 CaCl2 (%) 0 1 2
Tepung sukun 100% Guar gum Iles-iles 1% 0.5% 1% 0.5% 1183.45gf 1012.65jhi 904.05jk
Kontrol Bihun komersial
834.15k 1074.6ghi 1138.2gh
930.80jki 944.60jki 905.30jk
Tepung sukun 85% + tepung beras 15% Guar gum Iles-iles 1% 0.5% 1% 0.5%
1068.60ghi 1695.80c ef 1292.35 1948.65b gh 1130.25 2275.35b 1575.40 2594.90
1200.80gf 3701.70a 1434.15ed
1370.45ed 921.30jki 1491.80d
1741.10c 1182.70gf 957.50jki
Keterangan: superscript yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata pada uji lanjut Duncan (P<0.05)
Bila dibandingkan dengan kontrol, bihun yang dihasilkan dari campuran tepung sukun dan tepung beras dengan penambahan guar gum memiliki nilai kekerasan yang relatif lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa substitusi tepung beras terhadap tepung sukun mampu memperbaiki kekompakan struktur bihun yang dihasilkan. Bihun sukun yang dihasilkan pada penelitian ini secara umum memiliki tingkat kekerasan jauh di bawah bihun komersial. Bihun komersial memiliki nilai kekerasan 2594.9 gf. Bihun sukun yang berasal dari campuran tepung sukun dan tepung beras dengan penambahan guar gum 1% dan garam 2% memiliki nilai kekerasan yang paling mendekati bihun komersial. Berdasarkan nilai kekerasan yang diperoleh pada Tabel 36, bihun sukun dikelompokkan menjadi dua seperti tersaji pada Tabel 37. Dapat dilihat bahwa bihun sukun yang disubstitusi dengan tepung beras, terutama dengan penambahan guar gum, menghasilkan tingkat kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan bihun sukun 100%.
78
Tabel 37 Pengelompokan bihun berdasarkan nilai kekerasan Kekerasan <1300 gf G1, G2, G3, G4, G5, G6 I1, I2, I3, I4, I5, I6 B2 BI3, BI4, BI6
>1300 gf B1, B3, B4, B5, B6 BI1, BI2, BI5
Pada Tabel 38 dapat dilihat pengelompokan bahan baku bihun berdasarkan nilai viskositas setback (VS). Secara umum, bahan baku dengan nilai VS rendah menghasilkan bihun sukun dengan tingkat kekerasan rendah pula. Hasil ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Beta dan Corke (2001), yang menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara nilai setback dengan tingkat kekerasan mi sorgum yang dihasilkan. Viskositas setback yang tinggi menunjukkan kemudahan pati untuk mengalami retrogradasi, sehingga lebih baik jika digunakan sebagai bahan baku bihun dibandingkan pati dengan setback yang rendah (Collado et al. 2001). Tabel 38 Pengelompokan bahan baku bihun berdasarkan viskositas setback Nilai VS <1428 cP G2, G3, G4, G5, G6 I2, I3, I4, I5, I6 B3, B4, B5, B6 BI3, BI4, BI5, BI6
>1428 cP G1 I1 B1, B2 BI1, BI2
e.2. Elastisitas Melalui uji lanjut Duncan, diketahui bahwa interaksi antara jenis tepung, jenis dan konsentrasi hidrokoloid serta konsentrasi CaCl2 menghasilkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05) terhadap elastisitas bihun. Nilai elastisitas bihun sukun dapat dilihat pada Tabel 39 dan Lampiran 4. Bihun sukun yang dihasilkan dari tepung sukun 100% memiliki elastisitas yang lebih tinggi dibandingkan bihun sukun dari campuran tepung sukun dan tepung beras.
79
Tabel 39 Nilai elastisitas bihun sukun (dalam gs) hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 Tepung sukun 100% Tepung sukun 85% + tepung beras 15% Guar gum Iles-iles Guar gum Iles-iles 1% 0.5% 1% 0.5% 1% 0.5% 1% 0.5% 0 0.52fge 0.56fde 0.62cb 0.52fg 0.60cd 0.55fgde 0.45ij 0.46ihj 1 0.65b 0.58cde 0.55fgde 0.71a 0.51fgh 0.38k 0.49igh 0.54fge 2 0.62cb 0.62cb 0.53fge 0.43kj 0.50igh 0.45ij 0.46ihj 0.49igh Kontrol 0.64 Bihun komersial 0.87 CaCl2 (%)
Keterangan:
superscript yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata pada uji lanjut Duncan (P<0.05)
Untuk perlakuan yang memberikan perbedaan nyata, pada konsentrasi CaCl2 yang tetap, peningkatan konsentrasi hidrokoloid cenderung meningkatkan elastisitas bihun sukun yang dihasilkan. Sementara pada konsentrasi hidrokoloid yang tetap, peningkatan konsentrasi CaCl2 cenderung meningkatkan elastisitas bihun sukun kecuali pada bihun yang berasal dari campuran tepung sukun dan tepung beras dengan penambahan guar gum. Bihun komersial yang diuji memiliki nilai elastisitas sebesar 0.87 gs. Bihun sukun yang dihasilkan dari penelitian ini memiliki tingkat elastisitas yang masih jauh di bawah bihun komersial. Tingkat elastisitas tertinggi diperoleh dari bihun sukun 100% dengan penambahan iles-iles 0.5% dan garam 1%. Bihun yang dihasilkan dari seluruh perlakuan memiliki nilai elastisitas yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi antara tepung, hidrokoloid dan CaCl2 menghasilkan efek negatif terhadap elastisitas bihun yang dihasilkan. Perubahan tingkat elastisitas bihun sukun berkorelasi positif dengan perubahan viskositas akhir dari bahan baku. Perbandingan antara tingkat elastisitas bihun dengan viskositas akhir disajikan pada Tabel 40. Viskositas akhir merupakan parameter yang mendefinisikan kualitas dari pati, diindikasikan oleh kemampuan dari material untuk membentuk pasta kental atau gel setelah pemasakan dan pendinginan. Secara umum bahan baku dengan nilai VA rendah menghasilkan bihun dengan elastisitas yang rendah pula. Hal ini terlihat jelas terutama pada bihun sukun yang disubstitusi dengan tepung beras. Penggunaan
80
tepung beras pada produksi bihun sukun ternyata menurunkan tingkat elastisitas dari produk yang dihasilkan. Tabel 40
Perbandingan tingkat elastisitas bihun dengan viskositas akhir bahan baku Elastisitas
<0.52 gs
≥0.52 gs G1, G2, G3, G4, G5, G6
Nilai VA <3255.25 cP >3255.25 cP G3, G4, G6 G1, G2, G5
I6
I1, I2, I3, I4, I5,
I3, I4, I6
I1, I2, I5
B3, B4, B5, B6
B1, B2
B3, B4, B5, B6
B1, B2
BI1, BI2, BI3, BI5, BI6
BI4
BI2, BI3, BI4, BI5, BI6
BI1
Elastisitas didefinisikan sebagai kemampuan bihun sukun terehidrasi untuk kembali ke kondisi semula setelah diberikan tekanan pertama oleh instrumen texture analyzer. Pengukuran dilakukan berdasarkan ketebalan awal bihun yang dibandingkan dengan ketebalan bihun setelah diberi tekanan pertama. Berdasarkan hal tersebut, maka nilai elastisitas semakin baik jika nilainya mendekati satu, yang artinya bihun dapat kembali ke kondisi semula setelah diberi tekanan. Melalui uji lanjut Duncan, bihun dengan elastisitas tertinggi dihasilkan dari tepung sukun 100% dengan penambahan iles-iles 0.5% dan CaCl2 1%. Sementara elastisitas terendah ditunjukkan oleh bihun yang diproduksi dari campuran tepung sukun dan tepung beras dengan penambahan guar gum 0.5% dan CaCl2 1%.
e.3. Kelengketan Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa interaksi antara jenis tepung, jenis dan konsentrasi hidrokoloid serta konsentrasi CaCl2 memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kelengketan bihun sukun (P<0.05) (Tabel 41, Lampiran 4). Pada konsentrasi hidrokoloid yang tetap, peningkatan konsentrasi CaCl2 menyebabkan peningkatan nilai kelengketan bihun sukun. Sementara pada konsentrasi CaCl2 yang tetap, peningkatan konsentrasi hidrokoloid dari 0.5%
81
menjadi 1% mengakibatkan penurunan kelengketan pada penggunaan guar gum dan peningkatan kelengketan pada penggunaan iles-iles. Tabel 41
CaCl2 (%)
Nilai kelengketan bihun sukun (dalam gf) hasil interaksi tepung, hidrokoloid dan CaCl2 Tepung sukun 100% Guar gum Iles-iles 1% 0.5% 1% 0.5%
Tepung sukun 85% + tepung beras 15% Guar gum Iles-iles 1% 0.5% 1% 0.5%
0 -162.35ba -170.80bac -156.65ba -151.60ba -156.80ba -328.05edf -150.25ba -143.85ba 1 -149.25ba -192.05bac -104.25a -99.10a -402.90ef -489.05g -208.15bac -158.35ba 2 -162.10ba -139.70ba -250.10bdc -335.20edf -443.90f -349.85edf -286.20edc -94.80a Kontrol -93.80 -18.30 Bihun komersial Keterangan: superscript yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata pada uji lanjut Duncan (P<0.05)
Bihun komersial memiliki nilai kelengketan sebesar -18.3 gs, sementara bihun sukun yang dihasilkan dalam penelitian ini memiliki tingkat kelengketan yang relatif tinggi yang ditunjukkan oleh kisaran nilai kelengketan antara -94.80 gf hingga -489.05 gf. Bihun sukun dengan kelengketan terendah dihasilkan dari perlakuan tepung sukun yang disubstitusi dengan tepung beras pada penambahan iles-iles 0.5% dan CaCl2 2%. Bila dibandingkan dengan kontrol, bihun yang dihasilkan dari seluruh perlakuan memiliki nilai kelengketan yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan interaksi antara tepung, hidrokoloid dan CaCl2 memiliki efek negatif terhadap kelengketan bihun yang dihasilkan. Kelengketan sering menjadi parameter yang diamati pada produk bihun, dimana bihun yang memiliki kelengketan tinggi kurang disukai karena akan menghasilkan penampakan yang kurang menarik setelah direhidrasi. Kelengketan diduga berkorelasi positif dengan KPAP, bihun dengan nilai KPAP tinggi memiliki tingkat kelengketan yang lebih tinggi pula. Nilai KPAP yang tinggi menunjukkan tingginya jumlah padatan yang keluar pada proses rehidrasi dan melekat pada permukaan bihun, sehingga bihun menjadi lengket. Pada Tabel 42 disajikan perbandingan antara tingkat kelengketan bihun dengan nilai KPAP. Bihun dengan nilai KPAP rendah memiliki tingkat kelengketan yang rendah, seperti terlihat pada perlakuan bihun sukun 100% (kode G dan I). Hal yang berbeda terjadi pada bihun sukun yang disubstitusi dengan tepung beras 15% (kode B dan BI), dimana nilai KPAP yang tinggi justru menghasilkan bihun
82
dengan tingkat kelengketan rendah. Hal ini mungkin terjadi karena efek viskositas puncak yang lebih kuat dalam mempengaruhi tingkat kelengketan bihun pada perlakuan tersebut. Tabel 42 Perbandingan tingkat kelengketan dengan nilai KPAP bihun Kelengketan <210 gf G1, G2, G3, G4, G5, G6
KPAP >210 gf
<17% G1, G2, G3, G4, G5, G6
>17%
I1, I2, I3, I4,
I5, I6
I1, I2, I3, I4, I5, I6
B1
B2, B3, B4, B5, B6
BI1, BI2, BI3, BI4, BI6
BI5
B1, B2, B3, B4, B5, B6
BI1, BI2, BI3, BI4, BI5, BI6
Viskositas puncak yang tinggi mengindikasikan kemampuan penyerapan air yang tinggi pula dan berefek pada pengembangan granula. Granula pati yang mengalami pengembangan berlebihan akan diikuti oleh peluruhan molekul amilosa dari dalam granula sebagai akibat dari ketidakmampuannya menahan tekanan. Molekul – molekul yang keluar dari dalam granula menempel pada permukaan untaian bihun dan mengakibatkan kelengketan. Perbandingan antara tingkat kelengketan bihun dengan nilai viskositas puncak bahan baku dapat dilihat pada Tabel 43. Tabel 43 Perbandingan tingkat kelengketan bihun dengan viskositas puncak Kelengketan <274 gf G1, G2, G3, G4, G5, G6
Nilai VP >274 gf
<2280 cP G2, G3, G4, G5, G6
>2280 cP G1
I1, I2, I3, I4,
I5, I6
I2, I3, I4, I5, I6
I1
B1
B2, B3, B4, B5, B6
B2, B3, B4, B5, B6
B1
BI1, BI2, BI3, BI4, BI6
BI5
BI1, BI2, BI3, BI4, BI5, BI6
f. Penilaian Organoleptik Bihun Sukun Pengaruh interaksi jenis tepung, jenis dan konsentrasi hidrokoloid serta konsentrasi CaCl2 terhadap penilaian organoleptik bihun sukun dapat diketahui
83
dengan menggunakan metode skoring. Uji tersebut dapat digunakan untuk menentukan bihun yang lebih disukai oleh panelis. Uji yang telah dilakukan menunjukkan bahwa interaksi jenis tepung, jenis dan konsentrasi hidrokoloid serta konsentrasi CaCl2 berpengaruh nyata terhadap seluruh parameter uji yang terdiri atas kekerasan, elastisitas, kelengketan dan kesukaan (P<0.05). Bihun yang berasal dari perlakuan tepung sukun 100% dengan penambahan iles-iles 1% dan CaCl2 1% menghasilkan skor kekerasan tertinggi. Bihun yang dihasilkan dari perlakuan tersebut memiliki skor kekerasan 2.96 (agak keras). Nilai kekerasan bihun sukun hasil uji organoleptik disajikan pada Tabel 44. Tabel 43 Nilai kekerasan bihun sukun hasil uji organoleptik CaCl2 (%) 0 1 2 CaCl2 (%)
Tepung sukun 100% Guar gum 1% 1.88 ± 0.78hijg 2.20 ± 0.87ehdfcg 2.84 ± 0.80ba
Iles-iles
0.5% 2.00 ± 0.71hfig 2.28 ± 0.84edfcg 2.56 ± 0.82ebdac
1% 2.00 ± 0.82hfig 2.96 ±0.84a 1.48 ± 0.65j
0.5% 1.92 ± 0.57hfijg 2.16 ± 0.85ehdficg 1.64 ± 0.81ij
Tepung sukun 85% + tepung beras 15% Guar gum 1%
Iles-iles 0.5%
0 1 2
2.60 ± 1.00bdac 2.36 ± 0.91ebdfcg 2.12 ± 0.88ehdfig Keterangan: superscript yang Duncan (P<0.05)
2.04 ± 0.84ehfig 2.28 ± 0.94edfcg 2.28 ± 0.84edfcg berbeda pada baris
1%
0.5%
1.72 ± 0.61hij 1.88 ± 0.53hijg ebdfcg 2.36 ± 0.70 2.88 ± 0.78ba 2.64 ± 0.76bac 2.44 ± 0.71ebdfc yang sama berbeda nyata pada uji lanjut
Untuk elastisitas, bihun dengan skor elastisitas tertinggi (3.20, agak elastis) dihasilkan dari perlakuan tepung sukun yang disubstitusi dengan tepung beras 15%, guar gum 1% dan CaCl2 2%. Nilai elastisitas bihun sukun hasil uji organoleptik disajikan pada Tabel 45. Tabel 45a Nilai elastisitas bihun sukun hasil uji organoleptik CaCl2 (%)
Tepung sukun 100% Guar gum
1% 0 2.08 ± 0.86dc 1 2.36 ± 0.81bdc 2 2.80 ± 0.87ba Keterangan: superscript yang Duncan (P<0.05)
0.5% 2.44 ± 0.96bdac 2.68 ± 1.07bac 2.84 ± 0.75ba berbeda pada baris
Iles-iles 1% 0.5% 2.48 ± 1.05bdac 2.36 ± 0.76bdc 2.84 ± 1.03ba 2.60 ± 0.87bdac dc 2.08 ± 1.26 1.96 ± 1.21d yang sama berbeda nyata pada uji lanjut
84
Tabel 45b Nilai elastisitas bihun sukun hasil uji organoleptik CaCl2 (%) 0 1 2
Tepung sukun 85% + tepung beras 15% Guar gum Iles-iles 1% 0.5% 1% 0.5% eghf edf ed 2.40 ± 0.71 2.80 ± 1.04 2.92 ± 1.15 2.24 ± 0.78ghf 2.76 ± 0.72edf 2.64 ± 0.95egdf 2.24 ± 0.83ghf 2.04 ± 0.54gh bdc dc h 3.08 ± 1.08 1.88± 0.73 2.08 ± 0.57gh 3.20 ± 1.04
Keterangan:
superscript yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata pada uji lanjut Duncan (P<0.05)
Untuk kelengketan, skor terendah dihasilkan dari perlakuan tepung sukun yang disubstitusi oleh tepung beras 15%, iles-iles 1% dan CaCl2 2%. Nilai kelengketan bihun sukun hasil uji organoleptik dapat dilihat pada Tabel 46. Tabel 46 Nilai kelengketan bihun sukun hasil uji organoleptik CaCl2 (%) 0 1 2 CaCl2 (%) 0 1 2
Tepung sukun 100% Guar gum Iles-iles 1% 0.5% 1% 0.5% ba eghf bac 3.72 ± 0.89 2.40 ± 0.82 3.56 ± 1.04 3.04 ± 0.98dc a ed dc 3.80 ± 1.12 2.88 ± 0.93 3.08 ± 1.04 2.96 ± 0.89edc 3.12 ± 1.01dc 2.92 ± 1.00ed 3.88 ± 1.27a 3.96 ± 1.06a Tepung sukun 85% + tepung beras 15% Guar gum Iles-iles 1% 0.5% 1% 0.5% eghf edf ed 2.40 ± 0.71 2.80 ± 1.04 2.92 ± 1.15 2.24 ± 0.78ghf 2.76 ± 0.72edf 2.64 ± 0.95egdf 2.24 ± 0.83ghf 2.04 ± 0.54gh bdc dc h 3.20 ± 1.04 3.08 ± 1.08 1.88 ± 0.73 2.08 ± 0.57gh
Keterangan:
superscript yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata pada uji lanjut Duncan (P<0.05)
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa bihun sukun yang berasal dari tepung sukun yang disubstitusi dengan tepung beras 15% dengan penambahan guar gum 1% tanpa penambahan CaCl2 (B1) dan iles-iles 0.5% dan CaCl2 1% (BI5) lebih disukai dibandingkan dengan bihun sukun yang dihasilkan dari perlakuan lain seperti tersaji pada Tabel 47. Bihun sukun yang dihasilkan dari perlakuan tersebut memiliki skor kesukaan 4.48 (netral hingga agak suka). Bihun dari kedua perlakuan tersebut memiliki tingkat kekerasan dari tidak keras hingga agak keras, elastisitas dari tidak elastis hingga agak elastis dan skor kelengketan dari tidak lengket hingga agak lengket.
85
Tabel 47 Nilai kesukaan bihun sukun hasil uji organoleptik CaCl2 (%) 0 1 2 CaCl2 (%) 0 1 2
Tepung sukun 100% Guar gum 1% 3.24 ± 1.56bac 2.88 ± 1.64bac 4.00 ± 1.68edc
Iles-iles
0.5% 4.32 ± 1.35ed 4.2 ± 1.53ed 4.16 ± 1.70ed
1% 3.48 ± 1.58bdc 3.88 ± 1.54edc 2.88 ± 1.67ba
0.5% 3.92 ± 1.29edc 3.92 ± 1.71ed 2.60 ± 1.44a
Tepung sukun 85% + tepung beras 15% Guar gum 1% e
4.48 ± 1.66 4.20 ± 1.50ed 3.92 ± 1.44edc Keterangan: superscript yang Duncan (P<0.05)
Iles-iles 0.5% edc
4.24 ± 1.67 3.72 ± 1.46edc 3.76 ± 1.64edc berbeda pada baris
1%
0.5%
ed
4.44 ± 1.53 4.20 ± 1.44ed 4.44 ± 1.26ed 4.48 ± 1.48e e 4.36 ± 1.52 4.16 ± 1.49ed yang sama berbeda nyata pada uji lanjut
Adanya perbedaan tingkat kesukaan bihun sukun menunjukkan bahwa interaksi jenis tepung, jenis dan konsentrasi hidrokoloid serta konsentrasi CaCl2 dapat mempengaruhi tingkat penerimaan panelis. Bihun sukun hasil rehidrasi dengan tingkat kesukaan tertinggi dan terendah disajikan pada Gambar 16.
(a)
(b)
.Gambar 16 Bihun sukun dengan tingkat kesukaan tertinggi (a) dan terendah (b) Hasil uji organoleptik terhadap tekstur bihun sukun tidak sejalan dengan hasil pengukuran tekstur menggunakan instrumen texture analyzer. Hal ini dapat terjadi karena uji organoleptik melibatkan persepsi manusia. Rosenthal (1999)
86
menjelaskan bahwa persepsi merupakan proses yang berulang seperti siklus dan diperoleh dengan cara mengumpulkan informasi selama menyentuh, menggigit, mengunyah dan menelan produk pangan yang diuji. Sementara instrumen texture analyzer mengandalkan transducer untuk menkonversi pengukuran fisik dan material menjadi keluaran dalam bentuk visual atau elektrik yang dapat dilihat langsung ataupun harus melalui serangkaian proses pengolahan data. Meskipun instrumen telah dirancang sedemikian rupa agar mendekati kondisi nyata dalam mulut manusia, tetap akan terdapat perbedaan antara data yang dihasilkan dari uji organoleptik dengan data yang dihasilkan dari uji menggunakan instrumen.
Simpulan Tahap III Interaksi antara tepung, hidrokoloid dan CaCl2 menghasilkan bihun dengan karakteristik yang berbeda secara signifikan. Secara umum karakteristik bihun lebih dipengaruhi oleh jenis tepung dan hidrokoloid, sementara pengaruh CaCl2 tidak memperlihatkan pola yang jelas terhadap karakteristik bihun yang dihasilkan. Bihun yang diproduksi dari tepung sukun 100 % memiliki KPAP rendah, waktu rehidrasi singkat, tingkat kekerasan rendah, elastisitas tinggi dan kelengketan rendah. Sementara bihun yang diproduksi dari campuran tepung sukun dan tepung beras memiliki KPAP rendah dan tingkat kekerasan tinggi pada penggunaan guar gum, serta waktu rehidrasi singkat dan kelengketan rendah pada penggunaan iles-iles. Bila dibandingkan dengan karakteristik KPAP dan persen rehidrasi bihun sukun sebelum perlakuan, penambahan hidrokoloid dan CaCl2 menyebabkan terjadinya perubahan
pada kedua parameter sifat fisik bihun tersebut.
Penambahan CaCl2 pada tepung sukun 100% menghasilkan bihun dengan karakteristik yang dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi hidrokoloid. Pada bihun yang diproduksi dari campuran tepung sukun dan tepung beras, penambahan CaCl2 menghasilkan bihun dengan karakteristik yang tidak tergantung pada jenis dan konsentrasi hidrokoloid yang digunakan. Perlakuan yang menghasilkan bihun dengan karakteristik terbaik adalah penggunaan tepung sukun 85% dan tepung beras 15%, guar gum 1% tanpa
87
penambahan CaCl2. Karakteristik bihun yang dihasilkan dari perlakuan ini meliputi KPAP 8.63%, persen rehidrasi 332.05%, waktu rehidrasi 5.75 menit, kekerasan 1695.80 gf, elastisitas 0.60 gs dan kelengketan -156.80 gf. Bihun hasil perlakuan ini memiliki skor kesukaan tertinggi 4.88 (netral hingga agak suka).
88
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penambahan tepung beras varietas Rojolele menurunkan kemampuan pengembangan dan ketahanan panas bahan baku, tetapi memperbaiki kemampuan pembentukan gel dan retrogradasi bahan baku. Campuran tepung sukun dan tepung beras dengan rasio 85:15 memiliki karakteristik yang lebih baik sebagai bahan baku bihun dibandingkan campuran tepung sukun dan tepung beras dengan rasio 70:30 yang ditunjukkan oleh nilai viskositas setback yang lebih tinggi serta viskositas breakdown, KPAP dan persen rehidrasi bihun yang lebih rendah. Faktor jenis tepung, jenis dan konsentrasi hidrokoloid serta konsentrasi CaCl2 menghasilkan pengaruh yang nyata terhadap seluruh parameter profil gelatinisasi, tetapi interaksi ketiga faktor tersebut tidak berpengaruh nyata. Tepung sukun menghasilkan viskositas yang lebih tinggi dibandingkan campuran tepung sukun dengan tepung beras, kecuali untuk viskositas breakdown dan setback. Penggunaan guar gum menghasilkan viskositas yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan iles-iles, kecuali untuk viskositas setback. Penambahan CaCl2 pada tepung sukun 100% meningkatkan stabilitas tepung tersebut terhadap panas, sementara penambahan CaCl2 pada campuran tepung sukun dan tepung beras justru menurunkan kestabilan bahan baku terhadap proses pemanasan. Secara umum karakteristik bihun lebih dipengaruhi oleh jenis tepung dan hidrokoloid, sementara CaCl2 menunjukkan pengaruh yang nyata hanya pada parameter warna. Intensitas kecerahan bihun yang diproduksi dari tepung sukun 100% semakin meningkat dengan semakin tingginya konsentrasi CaCl2 yang ditambahkan, sedangkan untuk bihun sukun yang diproduksi dari campuran tepung sukun dengan tepung beras, intensitas kecerahan tidak berbeda secara nyata di antara perlakuan konsentrasi CaCl2 yang ditambahkan. Bihun dengan karakteristik terbaik dihasilkan dari penggunaan tepung sukun 85% dan tepung beras 15%, guar gum 1% tanpa penambahan CaCl2. Karakteristik bihun yang dihasilkan dari perlakuan ini meliputi KPAP 8.63%, persen rehidrasi 332.05%, waktu rehidrasi 5.75 menit, kekerasan 1695.80 gf, elastisitas 0.60 gs dan
89
kelengketan -156.80 gf. Bihun hasil perlakuan ini memiliki skor kesukaan tertinggi 4.88 (netral hingga agak suka).
Saran Perlu dikaji lebih lanjut mengenai pengaruh penggunaan garam dan hidrokoloid lain, seperti NaCl dan CMC (carboxymethilcellulose), dalam memperbaiki profil gelatinisasi bahan baku dan kualitas bihun sukun yang dihasilkan terutama dalam hal tekstur. Perlu dikaji mengenai potensi penggunaan pati, seperti tapioka, sebagai pensubstitusi tepung sukun mengingat tapioka banyak diaplikasikan dalam produk noodle berbahan dasar non-terigu untuk memperbaiki tekstur dan penampakan produk yang dihasilkan.
90
DAFTAR PUSTAKA Alloncle M, Lefebvre J, Llamas G, Doublier JL. 1989. A Rheological Characterization of Cereal Starch-Galactomannan Mixtures. Cereal Chem 66:90-93. Alloncle M, Doublier JL. 1991. Viscoelastic Properties of Maize Starch/Hydrocolloid Pastes and Gels. Food Hydrocolloids 5:455-467. Akanbi TO, Nazamid S, Adebowale AA. 2009. Functional and Pasting Properties of a Tropical Breadfruit (Artocarpus Altilis) Starch from IleIfe, Osun State, Nigeria. Int Food Research J 16:151-157 [Anonim]. 2002. Sukun. www.bkp.deptan.go.id/pkk. [Diakses 29 April 2010]. Antarlina S, Purnomo S. 2009. Mie Sukun Ala BPTP Jatim. http://www.litbang.deptan.go.id/artikel/one/248/pdf/Mie%20Sukun%20Al a%20BPTP%20Jatim.pdf. [Diakses 5 Mei 2010]. [AOAC]. 1995. Official Method of Analysis of the Association of Official Agricultural Chemistry. Washington DC: Association of Official Agriculture Chemistry. Belitz HD, Grosch W. 1999. Food Chemistry. Germany: Springer Verlag. Beta T, Corke H. 2001. Noodle Quality as Related to Sorghum Starch Properties. Cereal Chem 78:417-420. Blazek J, Copeland L. 2007. Pasting and Swelling Properties of Wheat Flour and Starch in Relation to Amylose Content. Carbohydrate Polymer 7:380-387. Charles AL, Huang TC, Lai PY, Chen CC, Chang YH. 2007. Study of Wheat Flour–Cassava Starch Composite Mix and the Function of Cassava Mucilage in Chinese Noodles. Food Hydrocolloids 21:368-378. [Codex Alimentarius Commission]. 1985. Codex Stan 152-1985. Codex Standard for Wheat Flour. [Codex Alimentarius Commission]. 2006. Codex Stan 249-2006. Codex Standard for Instant Noodle. [Codex Alimentarius Commission]. 2010. GSFA Provisions for Pre-cooked Pastas and Noodles and Like Products. Collado LS, Corke H. 1999. Heat Moisture Treatment Effects of Sweetpotato Starches Differing in Amylose Content. J Food Chem 65:339-346.
91
Collado LS, Mabesa LB, Oates CG, Corke H. 2001. Bihon Type of Noodles from Heat Moisture Treated Sweetpotato Starch. J Food Sci 66:604-609. [Dewan Standardisasi Nasional]. 1992. Analisis Kandungan Pati. SNI 01-28911992. [Ditjen RLPS]. 2009. Prediksi Panen Buah Sukun di Indonesia. http://www.dephut.go.id/files/DEPHUT_Makalah_HPS.pdf. [Diakses 8 Mei 2010]. Eliasson AC, Gudmundsson M. 1996. Starch: Physicochemical and Functional Aspects. Di dalam Eliasson AC, editor. Carbohydrates In Food. New York: Marcel Dekker. Fu BX. 2008. Asian Noodles: History, Classification, Raw Materials and Processing. Food Research Int 41:888-902. Funami T, Kataoka Y, Omoto T, Goto Y, Asai I, Nishinari K. 2005. Effects of Non-Ionic Polysaccharides on the Gelatinization and Retrogradation Behavior of Wheat Starch. Food Hydrocolloids 19:1-13. Funami T, Kataoka Y, Omoto T, Goto Y, Asai I, Nishinari K. 2005. Food Hydrocolloids Control the Gelatinization and Retrogradation Behaviour of Starch. 2a. Functions of Guar Gums with Different Molecular Weights on the Gelatinization Behaviour of Corn Starch. Food Hydrocolloids 19:15-24. Glicksman M. 1982. Functional Properties of Hydrocolloids. Di dalam Glicksman M, editor. Food Hydrocolloids Vol. 1, Boca Raton: CRC Press. Graham HD, de Bravo EN. 1981. Composition of the Breadfruit. J Food Sci 46: 535-539. Herawati D. 2009. Modifikasi Pati Sagu dengan Teknik Heat Moisture Treatment (HMT) dan Aplikasinya Dalam Memperbaiki Kualitas Bihun [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hormdok R, Noomhorm A. 2007. Hydrothermal Treatments of Rice Starch for Improvement of Rice Starch Noodle Quality. LWT-Food Science and Technology 40:1723–1731. Hutching JB. 1999. Food Colour and Appearance. Gaitersburg, Maryland: Aspen Publ. Inc. [Indo Agri]. 2010. Suweg (Amorphophallus Campanulatus BL.). www.indoagri.com. [Diakses 4 Mei 2010].
92
Jacon SA, Rao MA, Cooley HJ, Walter RH. 1993. The Isolation and Characterization of a Water Extract of Konjac Flour Gum. Carbohydrate Polymer 20:35-41. Juliano BO, Sakurai J. 1985. Miscellaneous Rice Products. Di dalam Juliano BO, editor. Rice: Chemistry and Technology. Ed ke-2. St. Paul, Minessota: AACC. Khanna S, Tester RF. 2006. Influence of Purified Konjac-Glucomannan on the Gelatinization and Retrogradation of Maize and Potato Starches. Food Hydrocolloids 20:567-576. Kim YS, Wiesenborn DP, Lorenzen JH, Berglund P. 1996. Suitable of Edible Bean and Potato Starches for Starch Noodle. Cereal Chem 73:302-308. Lee MH, Baek MH, Cha DS, Park HJ, Lim ST. 2002. Freeze-Thaw Stabilization of Sweet Potato Starch Gel by Polysaccharide Gums. Food Hydrocolloids 16: 345–352. Lii CY, Chang SM. 1981. Characterization of Red Bean (Phaseolus Radiates Var. Auea) Starch and Its Noodle Quality. J Food Sci 46:78-81. Luh BS, Liu YK. 1980. Rice Flour in Baking. Di dalam BS Luh, editor. Rice Production and Utilization. Westport, Connecticut: AVI Publishing Co. Mali S, Ferrero C, Redigonda V, Beleia AP, Grossmann MVE, Zaritsky NE. 2003. Influence of pH and Hydrocolloids Addition on Yam (Dioscorea Alata) Starch Pastes Stability. Lebensmittel-Wissenschaft und-Technologie 36:475-481. Mandala IG, Bayas E. 2003. Xanthan Effect on Swelling, Solubility and Viscosity of Wheat Starch Dispersions. Food Hydrocolloids 18:191-201. Matjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor: IPB Press. Moritaka H, Kimura S, Fukuba H. 2003. Rheological Properties of Matrix-Particle Gellan Gum Gel: Effects of Calcium Chloride on The Matrix. Food Hydrocolloids 17:653-660. Muhamed A, Jamilah B, Abbas KA, Rahman RA, Roseline K. 2008. A Review on Physicochemical and Thermorheological Properties of Sago Starch. Am J of Agric and Bio Sci 3:639-646. Munarso SJ. 1998. Modifikasi Sifat Fungsional Tepung Beras dan Aplikasinya dalam Pembuatan Mi Beras Instan [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
93
[NutritionData]. 2009. Food Additives. www.nutritiondata.com. [Diakses 17 Desember 2010]. Panda H. 2005. Handbook on Speciality Gums, Adhesives , Oils, Rosin & Derivatives, Resins, Oleoresins, Katha, Chemicals with Other Natural Products. India: Asia Pasific Business Press Inc. Prabawati S, Suismono. 2009. Sukun: Bisakah Menjadi Bahan Baku Produk Pangan? Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 31:1. Purwani EY, Widaningrum, Thahrir R, Muslich. 2006. Effect of Moisture Treatment of Sago Starch on Its Noodle Quality. Indonesian J Agr Sci 7:8-14. Ratnayake WS, Hoover R, Tom W. 2002. Pea Starch: Composition, Structure and Properties – Review. Starch 54:217-234. Riley CK, Wheatley AO, Asemota HN. 2006. Isolation and Characterization of Starches from Eight Dioscorea alata Cultivars Grown in Jamaica. African J of Biotech 17:1528-1536. Rincón AM, Padilla FC. 2004. Physicochemical Properties of Breadfruit (Artocarpus Altilis) Starch from Margarita Island, Venezuela. Arch Latinoam 54:449-456. Roder N, Ellis PR, Butterworth PJ. 2005. Starch Molecular and Nutritional Properties: a Review. Adv Mol Med 1:5-14. Rosenthal AJ. 1999. Food Texture Measurement and Perception. Gaithersburg, Maryland: Aspen Publ. Inc. Sandhu KS, Kaur M, Mukesh. 2010. Studies on Noodle Quality of Potato and Rice Starches and Their Blends In Relation to Their Physicochemical, Pasting and Gel Textural Properties. Food Sci Technol 43:1289-1293. Shi X, BeMiller JN. 2002. Effects of Food Gums on Viscosities of Starch Suspensions During Pasting. Carbohydrate Polymers 60:7-18. Simon BW. 2008. Processing, Marketing and Konjac Based Food Products. http://simonbw.lecture.ub.ac.id/files/2010/03/KONJAC-SBW-PROCESS.pdf. [Diakses 8 Mei 2010]
Singh N, Singh J, Sodhi NS. 2002. Morphological, Thermal, Rheological and Noodle Making Properties of Potato and Corn Starch. J Food Agr 82:1376-1383. Sudhakar V, Singhal RS, Kulkarni PR. 1996. Effect of Salts on Interactions of Starch with Guar Gums. Food Hydrocolloids 10:329-334.
94
Syah A, Nazaruddin. 1994. Sukun dan Kluwih. Jakarta: Penebar Swadaya. [USDA]. 2004. National Nutrient Database for Standard Reference, Release 16-1. [USDA-SR 21]. 2008. Nutrition Information of www.nutritiondata.com. [Diakses 8 Mei 2010].
White
Rice
Flour.
Viturawong Y, Achayuthakan P, Suphantharika M. 2008. Gelatinization and Rheological Properties of Rice Starch/Xanthan Mixtures: Effects of Molecular Weight of Xanthan and Different Salts. J Food Chem 111:106-114. Wang HH, Sun DW, Zeng Q, Lu Y. 2000. Effect of pH, Corn Starch and Phosphates on the Pasting Properties of Rice Flour. J Food Eng 46:133138. Wattanachant S, Muhammad SKS, Hasyim DM, Rahman RA. 2002a. Characterization of Hydroxyprophylated Crosslinked Sago Starch as Compared to Commercial Modified Starch. Songklanakarin J Sci Technol 24:439-450. Wattanachant S, Muhammad SKS, Hasyim DM, Rahman RA. 2002b. Suitability of Sago Starch as a Base for Dual Modification. Songklanakarin J Sci Technol 24:432-438. Whistler RL, Daniel JR. 1985. Carbohydrates. Di dalam Fennema OR, editor. Food Chemistry. Ed ke-2. New York and Basel: Marcel Dekker Inc. Widowati S, Damardjati DS. 2001. Menggali Sumberdaya Pangan Lokal dalam Rangka Ketahanan Pangan. Majalah PANGAN No 36/X/Jan/2001. Jakarta: BULOG. Widowati S, Richana N, Suarni, Raharto P, Sarasutha IGP. 2001. Studi Potensi dan Peningkatan Dayaguna Sumber Pangan Lokal Untuk Penganekaragaman Pangan di Sulawesi Selatan. Bogor: Laporan Hasil Penelitian Puslitbangtan. Widowati S. 2003. Prospek Tepung Sukun Untuk Berbagai Produk Makanan Olahan Dalam Upaya Menunjang Diversifikasi Pangan. Makalah Pribadi Pengantar ke Falsafah Sains. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Winarno FG. 2000. Potensi dan Peran Tepung-tepungan Bagi Industri Pangan dan Program Perbaikan Gizi. Makalah pada Seminar Nasional Interaktif: Penganekaragaman Makanan Untuk Memantapkan Ketersediaan Pangan.
95
Yoshimura M, Takaya T, Nishinari K. 1996. Effects of Konjac-Glucomannan on the Gelatinization and Retrogradation of Corn Starch as Determined by Rheology and Differential Scanning Calorimetry. J Agr Food Chem 44: 2970–2976. Yoshimura M, Takaya T, Nishinari K. 1998. Rheological Studies on Mixtures of Corn Starch and Konjac-Glucomannan. Carbohydrate Polymer 35:71–79. Zaidul ISM, Norulaini NAN, Omar AKM, Yamauchi H, Noda T. 2007. RVA Analysis of Mixtures of Wheat Flour and Potato, Sweet Potato, Yam and Cassava Starches. Carbohydrate Polymer 69:784-791.
96
Lampiran 1 Grafik Korelasi a. Swelling volume vs viskositas puncak 12 SV (ml/g)
10 8
y = ‐0.001x + 12.85 R² = 0.717
6 4 2 0 0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
VP (cP)
b. Swelling volume vs fraksi pati yang tidak membentuk gel 12 10
y = 0.153x + 7.415 R² = 0.629
SV (ml/g)
8 6 4 2 0 0
2
4
6
8
10
Fraksi pati yang tidak membentuk gel (%)
12
14
97
Lampiran 2 Hasil analisis data pengaruh substitusi tepung beras terhadap swelling volume dan fraksi pati yang tidak membentuk gel dari campuran tepung serta karakteristik bihun yang dihasilkan a. Swelling volume Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor1
3
5.49250000
1.83083333
33.24
0.0028
Duncan Grouping
Mean
N
faktor1
Duncan Grouping
A
10.1400
2
s100b0
B
B
9.0800
2
s15b85
C
Mean
N
faktor1
8.5450
2
s70b30
7.8750
2
s0b100
b. Fraksi pati yang tidak membentuk gel Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor1
3
147.3314375
49.1104792
4071.34
<.0001
Duncan Grouping
Mean
N
faktor1
Duncan Grouping
A
12.9100
2
s100b0
C
B
12.3200
2
s70b30
D
Mean
N
faktor1
11.4550
2
s15b85
2.3900
2
s0b100
c. KPAP Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor1
1
4.04010000
4.04010000
2786.28
0.0004
Mean
N
faktor1
A
6.69500
2
PB2
B
4.68500
2
PB1
Duncan Grouping
b. Berat rehidrasi Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor1
1
2618.880625
2618.880625
23.71
0.0397
Duncan Grouping
Mean
N
faktor1
A
352.07
2
PB2
B
300.90
2
PB1
98 Lampiran 3
Hasil analisis data pengaruh interaksi jenis tepung, jenis dan konsentrasi hidrokoloid serta konsentrasi CaCl2 terhadap swelling volume serta profil gelatinisasi campuran tepung
a. Swelling volume
Duncan Grouping
Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor1
1
2.84700208
2.84700208
63.36
<.0001
faktor2
3
3.07988958
1.02662986
22.85
<.0001
faktor3
2
0.33871250
0.16935625
3.77
0.0377
faktor1*faktor2
3
6.92675625
2.30891875
51.39
<.0001
faktor1*faktor3
2
2.16870417
1.08435208
24.13
<.0001
faktor2*faktor3
6
8.18460417
1.36410069
30.36
<.0001
faktor*faktor*faktor
6
9.11081250
1.51846875
33.80
<.0001
Mean
N
interaksi
Duncan Grouping
Mean
N
interaksi
A
11.1400
2
g1
H
G
8.8600
2
I1
B
10.3250
2
g3
H
I
8.5500
2
B5
C
9.8750
2
g4
H
I
8.5100
2
g2
D
C
9.6250
2
BI4
H
I
8.4700
2
B6
D
C
E
9.5550
2
BI5
H
I
8.4600
2
B1
H
I
J
8.3950
2
g5
D
F
C
E
9.5050
2
g6
D
F
C
E
9.4700
2
BI2
I
J
8.3150
2
B2
D
F
E
9.3600
2
I6
I
J
8.3000
2
I5
D
F
G
E
9.3200
2
B4
I
J
8.2900
2
B3
F
G
E
9.1150
2
I3
I
J
8.0900
2
BI3
F
G
E
9.1050
2
BI6
J
7.9300
2
I4
F
G
9.0450
2
I2
7.2650
2
BI1
K
b. Viskositas puncak Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor1
1
89441.333
89441.333
3.22
0.0855
faktor2
3
1421149.500
473716.500
17.04
<.0001
faktor3
2
2810413.625
1405206.813
50.55
<.0001
99 Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor1*faktor2
3
138360.833
46120.278
1.66
0.2023
faktor1*faktor3
2
69496.292
34748.146
1.25
0.3045
faktor2*faktor3
6
195789.375
32631.563
1.17
0.3528
faktor*faktor*faktor
6
74484.042
12414.007
0.45
0.8401
Duncan Grouping
Mean
N
Faktor2
A
2328.17
12
ggm1%
C
B
2065.75
12
ils21%
C
Duncan Grouping
Duncan Grouping
Mean
B
N
Faktor2
1970.17
12
ggm0.5%
1863.92
12
ils20.5%
Mean
N
faktor3
A
2394.31
16
ca0%
B
1938.25
16
ca2%
B
1838.44
16
ca1%
b. Viskositas trough Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor1
1
1263603.000
1263603.000
76.74
<.0001
faktor2
3
817401.417
272467.139
16.55
<.0001
faktor3
2
1347263.167
673631.583
40.91
<.0001
faktor1*faktor2
3
56693.500
18897.833
1.15
0.3501
faktor1*faktor3
2
6879.500
3439.750
0.21
0.8129
faktor2*faktor3
6
68257.833
11376.306
0.69
0.6591
faktor*faktor*faktor
6
38038.500
6339.750
0.39
0.8813
Duncan Grouping
Duncan Grouping
Mean
N
A
2025.21
24
sukun
B
1700.71
24
s+b
Duncan Grouping
faktor1
Mean
N
Faktor2
Mean
N
Faktor2
A
2045.67
12
ggm1%
C
1768.25
12
ggm0.5%
B
1923.58
12
ils21%
C
1714.33
12
ils20.5%
100 Duncan Grouping
Mean
N
faktor3
A
2090.75
16
ca0%
B
1805.50
16
ca2%
C
1692.63
16
ca1%
c. Viskositas breakdown Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor1
1
680680.3333
680680.3333
151.86
<.0001
faktor2
3
150653.4167
50217.8056
11.20
<.0001
faktor3
2
289240.5417
144620.2708
32.27
<.0001
faktor1*faktor2
3
25286.1667
8428.7222
1.88
0.1598
faktor1*faktor3
2
32789.0417
16394.5208
3.66
0.0411
faktor2*faktor3
6
41784.9583
6964.1597
1.55
0.2039
faktor*faktor*faktor
6
13367.4583
2227.9097
0.50
0.8042
Duncan Grouping
Duncan Grouping
Mean
N
A
313.13
24
s+b
B
74.96
24
sukun
Mean
N
Faktor2
A
282.50
12
ggm1%
C
B
201.92
12
ggm0.5%
C
Duncan Grouping
Duncan Grouping
faktor1
Mean
B
Mean
N
A
303.56
16
ca0%
B
145.81
16
ca1%
B
132.75
16
ca2%
N
Faktor2
149.58
12
ils20.5%
142.17
12
ils21%
faktor3
d. Viskositas akhir Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor1
1
902831.021
902831.021
24.64
<.0001
faktor2
3
1802757.896
600919.299
16.40
<.0001
faktor3
2
4271026.500
2135513.250
58.29
<.0001
faktor1*faktor2
3
129934.229
43311.410
1.18
0.3374
101 Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor1*faktor3
2
47602.167
23801.083
0.65
0.5312
faktor2*faktor3
6
192468.667
32078.111
0.88
0.5273
faktor*faktor*faktor
6
85070.333
14178.389
0.39
0.8800
Duncan Grouping
Duncan Grouping
Mean
N
A
3321.33
24
sukun
B
3047.04
24
s+b
Mean
N
Faktor2
A
3444.42
12
ggm1%
B
3037.42
12
ggm0.5%
A
3292.58
12
ils21%
B
2962.33
12
ils20.5%
Duncan Grouping
Duncan Grouping
faktor1
Mean
Mean
N
A
3594.06
16
ca0%
B
3065.69
16
ca2%
C
2892.81
16
ca1%
N
Faktor2
faktor3
e. Viskositas setback Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor1
1
30250.5208
30250.5208
4.41
0.0465
faktor2
3
196374.5625
65458.1875
9.53
0.0002
faktor3
2
824504.1667
412252.0833
60.05
<.0001
faktor1*faktor2
3
15470.2292
5156.7431
0.75
0.5325
faktor1*faktor3
2
26461.1667
13230.5833
1.93
0.1674
faktor2*faktor3
6
49007.5000
8167.9167
1.19
0.3451
faktor*faktor*faktor
6
19981.8333
3330.3056
0.49
0.8129
Duncan Grouping
Duncan Grouping A
Mean
N
A
1346.33
24
s+b
B
1296.13
24
sukun
Duncan Grouping
Mean
Mean
N
Faktor2
1398.75
12
ggm1%
B
faktor1
1269.17
N
12
Faktor2
ggm0.5%
102 Duncan Grouping A
Mean
N
1369.00
12
Faktor2
ils21%
Duncan Grouping
Duncan Grouping
Mean
B
1248.00
Mean
N
A
1503.31
16
ca0%
B
1260.19
16
ca2%
B
1200.19
16
ca1%
N
Faktor2
12
ils20.5%
faktor3
f. Waktu Puncak Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor1
1
45.41575208
45.41575208
122.26
<.0001
faktor2
3
7.30835625
2.43611875
6.56
0.0021
faktor3
2
5.33703750
2.66851875
7.18
0.0036
faktor1*faktor2
3
3.84782292
1.28260764
3.45
0.0323
faktor1*faktor3
2
1.43042917
0.71521458
1.93
0.1677
faktor2*faktor3
6
1.21206250
0.20201042
0.54
0.7697
faktor*faktor*faktor
6
1.69217083
0.28202847
0.76
0.6087
Duncan Grouping
Duncan Grouping
Mean
N
A
10.6371
24
sukun
B
8.6917
24
s+b
Mean
N
Faktor2
Duncan Grouping
A
10.1783
12
ils21%
B
A
9.9008
12
ils20.5%
B
faktor1
Mean
N
Faktor2
9.3500
12
ggm1%
9.2283
12
ggm0.5%
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
faktor3
A
10.0256
16
ca2%
A
9.7463
16
ca1%
B
9.2213
16
ca0%
103
g. Suhu Gelatinisasi Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor1
1
1.11020833
1.11020833
16.20
0.0005
faktor2
3
0.10020833
0.03340278
0.49
0.6943
faktor3
2
11.75093750
5.87546875
85.72
<.0001
faktor1*faktor2
3
0.08354167
0.02784722
0.41
0.7499
faktor1*faktor3
2
0.00135417
0.00067708
0.01
0.9902
faktor2*faktor3
6
0.09822917
0.01637153
0.24
0.9592
faktor*faktor*faktor
6
0.55364583
0.09227431
1.35
0.2759
Duncan Grouping
Mean
N
A
77.33333
24
B
77.02917
24
Duncan Grouping
Mean
N
faktor3
faktor1
A
77.74063
16
ca2%
s+b
B
77.26563
16
ca1%
sukun
C
76.53750
16
ca0%
104 Lampiran 4
Hasil analisis data pengaruh interaksi jenis tepung, jenis dan konsentrasi
hidrokoloid
serta
konsentrasi
CaCl2
terhadap
karakteristik bihun sukun a. Warna 1. Intensitas kecerahan (L) Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor1
1
0.01353750
0.01353750
0.15
0.7052
faktor2
1
8.20170417
8.20170417
90.98
<.0001
faktor3
2
16.66277500
8.33138750
92.42
<.0001
faktor1*faktor2
1
9.71553750
9.71553750
107.78
<.0001
faktor1*faktor3
2
21.70442500
10.85221250
120.39
<.0001
faktor2*faktor3
2
6.77325833
3.38662917
37.57
<.0001
faktor*faktor*faktor
2
10.50647500
5.25323750
58.27
<.0001
Duncan Grouping
Mean
N
faktor2
A
37.0758
12
ils21%
B
35.9067
12
ggm1%
Mean
N
faktor3
A
37.5925
8
ca2%
B
36.3038
8
ca1%
C
35.5775
8
ca0%
Duncan Grouping
Duncan Grouping
Mean
N
interaksi
Duncan Grouping
Mean
N
interaksi
A
41.7450
2
I5
C
B
D
36.1100
2
I3
B
36.7300
2
BI3
C
B
D
36.0950
2
BI5
C
B
36.5800
2
B1
C
D
35.9750
2
G5
C
B
36.5650
2
B3
E
D
35.8100
2
G3
C
B
36.5650
2
BI1
E
35.2100
2
I1
C
B
36.5550
2
B5
F
33.9550
2
G1
2. Intensitas warna merah (a) Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor1
1
1.16600417
1.16600417
235.75
<.0001
105 Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor2
1
0.13953750
0.13953750
28.21
0.0002
faktor3
2
1.12202500
0.56101250
113.43
<.0001
faktor1*faktor2
1
0.29703750
0.29703750
60.06
<.0001
faktor1*faktor3
2
0.63540833
0.31770417
64.24
<.0001
faktor2*faktor3
2
0.54482500
0.27241250
55.08
<.0001
faktor*faktor*faktor
2
0.32627500
0.16313750
32.98
<.0001
Duncan Grouping
E
Mean
N
interaksi
Duncan Grouping
Mean
N
interaksi
A
11.78000
2
I3
E
D
10.58000
2
G5
B
11.40000
2
I1
E
F
10.54500
2
B5
C
11.11500
2
G1
E
F
G
10.50000
2
BI3
D
10.72500
2
B1
E
F
G
10.48000
2
B3
D
10.71000
2
G3
F
G
10.40000
2
BI5
D
10.64000
2
BI1
G
10.35000
2
I5
3. Intensitas warna kuning (b) Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor1
1
0.15520417
0.15520417
2.67
0.1282
faktor2
1
4.51533750
4.51533750
77.67
<.0001
faktor3
2
1.74643333
0.87321667
15.02
0.0005
faktor1*faktor2
1
7.13950417
7.13950417
122.80
<.0001
faktor1*faktor3
2
4.65203333
2.32601667
40.01
<.0001
faktor2*faktor3
2
2.68230000
1.34115000
23.07
<.0001
faktor*faktor*faktor
2
2.49543333
1.24771667
21.46
0.0001
Duncan Grouping
Mean
N
faktor2
A
24.27667
12
ils21%
B
23.40917
12
ggm1%
Duncan Grouping
Mean
N
faktor3
A
24.1638
8
ca2%
B
23.8613
8
ca1%
106 Duncan Grouping C
Duncan Grouping
Mean
N
Mean
N
faktor3
23.5038
8
ca0%
interaksi
Duncan Grouping
Mean
N
interaksi
A
26.5500
2
I5
C
D
23.7500
2
B1
C
B
24.6000
2
B3
C
D
23.7200
2
I1
C
C
B
24.1000
2
BI1
C
E
D
23.4900
2
BI5
E
C
D
23.9550
2
I3
C
E
F
23.0450
2
G3
E
C
D
23.8450
2
BI3
C
G
F
22.8600
2
G5
G
C
D
23.7550
2
B5
C
G
22.4450
2
G1
G
b. KPAP
Duncan Grouping
B
Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor1
1
535.3352083
535.3352083
5781.68
<.0001
faktor2
3
968.0161750
322.6720583
3484.89
<.0001
faktor3
2
8.2623875
4.1311937
44.62
<.0001
faktor1*faktor2
3
270.4071417
90.1357139
973.48
<.0001
faktor1*faktor3
2
95.3415292
47.6707646
514.85
<.0001
faktor2*faktor3
6
71.1449125
11.8574854
128.06
<.0001
faktor*faktor*faktor
6
86.4335708
14.4055951
155.58
<.0001
Mean
N
interaksi
Mean
N
interaksi
A
26.5300
2
BI1
J
K
8.4650
2
B5
A
25.9400
2
BI2
J
K
8.1700
2
B4
25.8150
2
BI6
J
K
8.1000
2
B2
C
18.8400
2
BI5
J
K
8.0750
2
g3
D
17.9100
2
BI4
J
K
8.0400
2
B6
E
17.0650
2
BI3
L
K
7.8050
2
I2
F
14.3350
2
I6
L
7.2800
2
I1
G
11.9950
2
I4
L
7.2700
2
g4
G
11.4350
2
I5
M
6.4800
2
g2
H
10.7750
2
I3
M
6.1650
2
g1
I
9.0800
2
B3
N
5.5350
2
g6
B
Duncan Grouping I
107 Duncan Grouping J
I
Mean
N
interaksi
8.6350
2
B1
Duncan Grouping N
Mean
N
interaksi
5.2900
2
g5
c. Persen rehidrasi Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor1
1
5823.85080
5823.85080
37.46
<.0001
faktor2
3
6081.61095
2027.20365
13.04
<.0001
faktor3
2
25878.26938
12939.13469
83.22
<.0001
faktor1*faktor2
3
5119.03532
1706.34511
10.98
<.0001
faktor1*faktor3
2
1067.10099
533.55049
3.43
0.0489
faktor2*faktor3
6
8376.37534
1396.06256
8.98
<.0001
faktor*faktor*faktor
6
4862.29540
810.38257
5.21
0.0015
Duncan Grouping
Mean
N
interaksi
A
410.93
2
g2
B
A
404.23
2
BI1
B
A
C
402.35
2
Duncan Grouping
Mean
N
interaksi
F
H
E
G
352.74
2
BI3
I
F
H
E
G
348.33
2
B2
BI2
I
F
H
G
338.26
2
BI4
B
D
A
C
386.45
2
I2
I
H
J
G
332.33
2
BI5
B
D
E
C
377.20
2
I1
I
H
J
G
332.06
2
B1
D
E
C
374.70
2
g1
I
H
J
327.21
2
I4
F
D
E
364.99
2
g3
I
H
J
324.88
2
BI6
F
D
E
364.84
2
g4
I
J
322.35
2
g5
F
D
E
G
361.46
2
I6
I
J
322.17
2
g6
E
G
357.05
2
I5
J
307.07
2
B6
F F
H
E
G
354.58
2
I3
J
305.63
2
B4
F
H
E
G
354.39
2
B3
K
257.30
2
B5
d. Waktu rehidrasi Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor1
1
2.75520833
2.75520833
13.56
0.0012
faktor2
3
10.76562500
3.58854167
17.67
<.0001
faktor3
2
0.03125000
0.01562500
0.08
0.9262
faktor1*faktor2
3
6.34895833
2.11631944
10.42
0.0001
108 Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor1*faktor3
2
1.88541667
0.94270833
4.64
0.0198
faktor2*faktor3
6
5.09375000
0.84895833
4.18
0.0051
faktor*faktor*faktor
6
2.07291667
0.34548611
1.70
0.1641
Duncan Grouping
Mean
N
A
5.8333
24
s+b
B
5.3542
24
sukun
Mean
N
faktor2
A
6.2500
12
ggm0.5%
B
5.8333
12
ggm1%
C
5.2083
12
ils21%
C
5.0833
12
ils20.5%
Duncan Grouping
faktor1
e. Tekstur 1. Kekerasan
Duncan Grouping
Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor1
1
4251930.275
4251930.275
936.42
<.0001
faktor2
3
1601972.662
533990.887
117.60
<.0001
faktor3
2
756964.820
378482.410
83.35
<.0001
faktor1*faktor2
3
1759263.186
586421.062
129.15
<.0001
faktor1*faktor3
2
421827.327
210913.663
46.45
<.0001
faktor2*faktor3
6
3894847.353
649141.226
142.96
<.0001
faktor*faktor*faktor
6
3885435.170
647572.528
142.62
<.0001
Mean
N
interaksi
Duncan Grouping
Mean
N
interaksi
A
3701.70
2
B4
G
H
1138.20
2
g6
B
1948.65
2
B3
G
H
1130.25
2
I6
B
1916.10
2
B5
G
H
I
1074.60
2
g4
C
1741.10
2
BI2
G
H
I
1068.60
2
I2
C
1695.80
2
B1
J
H
I
1012.65
2
g3
D
1491.80
2
BI5
J
K
I
957.50
2
BI6
109 Duncan Grouping
Mean
N
interaksi
Duncan Grouping
Mean
N
interaksi
E
D
1434.15
2
B6
J
K
I
944.60
2
I3
E
D
1370.45
2
BI1
J
K
I
930.80
2
I1
E
F
1292.35
2
I4
J
K
I
921.30
2
BI3
G
F
1200.80
2
B2
J
K
905.30
2
I5
G
F
1183.45
2
g1
J
K
904.05
2
g5
G
F
1182.70
2
BI4
K
834.15
2
g2
2. Elastisitas
Duncan Grouping
Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor1
1
0.09013333
0.09013333
170.33
<.0001
faktor2
3
0.01881667
0.00627222
11.85
<.0001
faktor3
2
0.00957917
0.00478958
9.05
0.0012
faktor1*faktor2
3
0.00931667
0.00310556
5.87
0.0037
faktor1*faktor3
2
0.01982917
0.00991458
18.74
<.0001
faktor2*faktor3
6
0.06862083
0.01143681
21.61
<.0001
faktor*faktor*faktor
6
0.06327083
0.01054514
19.93
<.0001
Mean
N
interaksi
Duncan Grouping
Mean
N
interaksi
A
0.71000
2
I4
F
G
0.52500
2
g1
B
0.65000
2
g3
F
G
0.52000
2
I2
C
B
0.62500
2
g5
F
G
H
0.51000
2
B3
C
B
0.62500
2
g6
I
G
H
0.50000
2
B5
C
B
0.62500
2
I1
I
G
H
0.49000
2
BI6
C
D
0.59500
2
B1
I
G
H
0.49000
2
BI3
C
D
E
0.57500
2
g4
I
H
J
0.46500
2
BI5
F
D
E
0.56000
2
g2
I
H
J
0.46000
2
BI2
J
0.45500
2
B6
E
0.52500
2
g1
0.52000
2
I2
0.51000
2
B3
F
G
D
E
0.54500
2
B2
I
F
G
D
E
0.54500
2
I3
F
G
F
G
E
0.53500
2
I5
F
G
F
G
E
0.53500
2
BI4
F
G
E
H
110
c. Kelengketan
Duncan Grouping
Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor1
1
417760.0833
417760.0833
153.29
<.0001
faktor2
3
653678.4292
217892.8097
79.95
<.0001
faktor3
2
276480.9479
138240.4740
50.73
<.0001
faktor1*faktor2
3
731384.4300
243794.8100
89.46
<.0001
faktor1*faktor3
2
430123.1579
215061.5790
78.91
<.0001
faktor2*faktor3
6
924829.6271
154138.2712
56.56
<.0001
faktor*faktor*faktor
6
658514.4438
109752.4073
40.27
<.0001
Mean
N
interaksi
Duncan Grouping
Mean
N
interaksi
A
-94.80
2
BI6
B
A
-162.35
2
g1
A
-99.10
2
I4
B
A
C
-170.80
2
g2
A
-104.25
2
I3
B
A
C
-192.05
2
g4
B
A
-139.70
2
g6
B
A
C
-208.15
2
BI3
B
A
-143.85
2
BI2
B
D
C
-250.10
2
I5
B
A
-149.25
2
g3
E
D
C
-286.20
2
BI5
B
A
-150.25
2
BI1
E
D
F
-328.05
2
B2
B
A
-151.60
2
I2
E
D
F
-335.20
2
I6
B
A
-156.65
2
I1
E
D
F
-349.85
2
B6
B
A
-156.80
2
B1
E
F
-402.90
2
B3
B
A
-158.35
2
BI4
F
-443.90
2
B5
B
A
-162.10
2
g5
-1589.05
2
B4
G
111
Lampiran 5 Data pengaruh interaksi jenis tepung, jenis dan konsentrasi hidrokoloid serta konsentrasi garam terhadap skoring tekstur bihun sukun a. Kekerasan Panel is
G1
G2
G3
G4
G5
G6
1
2
2
2
3
3
3
2
2
3
3
2
2
3
2
2
2
2
2
1
3
3
1
3
2
1
2
4
4
1
1
5
4
4
4
2
3
1
2
1
2
1
3
1
2
2
1
1
1
2
1
2
1
4
2
3
2
3
3
3
4
3
4
2
1
1
3
2
2
5
1
2
1
3
1
1
1
1
1
2
1
3
2
1
6
4
1
4
2
4
3
1
2
4
2
1
2
2
7
2
2
2
2
3
3
3
2
4
2
1
1
8
1
2
2
2
3
2
1
2
2
2
1
I1
I2
I3
I4
I5
I6
B1
B2
B3
B4
B5
B6
BI1
BI2
BI3
BI4
BI5
BI6
2
2
2
4
3
2
3
4
2
2
2
4
4
2
1
2
2
1
1
3
3
2
2
2
2
1
1
3
2
2
1
3
1
2
2
2
2
3
3
3
3
2
2
2
2
2
2
2
3
2
3
3
2
2
1
2
2
2
2
2
3
3
3
3
2
4
2
3
3
1
3
2
2
3
4
3
2
9
2
3
1
3
3
2
3
2
4
3
2
2
3
2
3
4
2
3
2
2
3
3
3
2
10
2
1
3
2
4
4
2
2
3
3
2
2
3
2
4
3
3
2
3
3
2
4
2
2
11
1
2
2
3
2
3
2
2
2
2
2
1
3
2
2
2
2
2
2
1
2
4
2
3
12
2
2
1
3
4
4
2
3
3
1
1
1
1
1
1
1
2
1
1
2
2
3
3
1
13
2
2
2
3
3
3
2
2
3
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
3
2
3
2
3
14
3
2
2
3
3
1
3
2
4
2
1
1
3
2
2
3
3
3
1
2
2
3
2
3
15
1
2
2
2
2
1
1
2
3
3
2
1
2
3
3
4
4
4
2
2
2
4
4
2
16
2
2
3
3
4
3
3
1
4
1
1
2
1
1
2
1
1
1
1
1
2
2
2
2
17
3
4
2
4
3
3
3
3
3
2
3
2
4
4
3
3
4
2
1
2
2
2
3
2
18
2
2
2
2
3
3
2
2
2
2
1
1
3
2
4
2
2
3
1
2
2
2
2
2
19
1
2
3
1
3
2
2
2
3
2
1
1
3
2
1
2
2
2
1
2
2
3
2
3
20
2
2
3
3
3
2
2
2
3
2
1
1
2
1
2
2
2
1
2
2
1
3
2
2
21
2
1
2
1
3
2
2
2
2
2
2
2
3
2
3
2
2
3
2
2
3
3
2
3
22
1
2
4
2
3
3
1
1
3
2
2
4
2
2
3
3
2
3
1
1
2
3
2
2
23
2
2
1
1
2
3
2
1
3
1
1
1
2
2
2
2
1
2
2
2
3
3
4
4
24
2
1
3
1
2
2
2
1
2
4
2
2
4
3
2
2
4
2
3
2
3
2
4
3
3
1
2
2
3
3
2
2
3
3
3
3
2
3
2
3
2
3
2
2
2
1
2
3
Total
25
47
50
55
57
71
64
50
48
74
54
37
41
65
51
59
57
53
57
43
47
59
72
66
61
Rerat a
1,9
2
2,2
2,3
2,8
2,6
2
1,9
3
2,2
1,4 8
1,6
2,6
2
2,4
2,3
2,1
2,3
1,7
1,9
2,4
2,9
2,6
2,4
SD
0,7 8
0,7 1
0,8 7
0,8 4
0,8 0
0,8 2
0,8 2
0,5 7
0,8 4
0,8 5
0,6 5
0,8 1
1,0 0
0,8 4
0,9 1
0,9 4
0,8 8
0,8 4
0,6 1
0,5 3
0,7 0
0,7 8
0,7 6
0,7 1
I2
I3
I4
I5
I6
B1
B2
B3
B4
B5
B6
BI1
BI2
BI3
BI4
BI5
BI6
b. Elastisitas Paneli s
G1
G2
G3
G4
G5
G6
1
2
3
2
3
3
3
2
2
3
4
2
1
3
3
4
2
2
2
3
2
2
3
2
4
2
1
3
2
1
2
3
1
2
1
3
1
1
3
2
2
2
1
2
1
2
4
2
4
4
3
1
2
1
2
1
2
2
2
2
4
5
5
3
4
4
4
4
4
2
1
2
2
2
2
4
3
2
2
2
3
3
4
3
4
2
1
1
2
1
3
3
1
3
1
1
2
2
2
3
5
2
2
2
3
2
2
2
2
2
3
1
1
3
1
3
4
3
3
2
2
2
2
2
2
6
2
2
2
3
2
4
4
3
1
3
1
2
4
3
4
4
3
3
2
2
2
2
2
2
7
2
2
3
2
4
4
3
3
4
2
1
2
3
2
2
3
3
3
2
2
2
2
2
2
I1
112 Paneli s
G1
G2
G3
G4
G5
G6
8
1
2
4
3
4
2
1
2
3
2
1
2
3
2
3
3
2
9
2
2
2
2
2
2
2
3
2
3
3
3
3
3
2
2
10
3
2
2
2
2
3
2
2
3
3
3
1
3
2
3
11
2
2
3
3
2
2
2
2
3
2
2
1
3
4
12
2
4
3
2
3
4
2
2
4
1
1
1
1
13
3
2
4
2
3
3
3
2
4
4
4
4
3
14
1
4
1
3
4
2
4
3
1
3
2
2
15
2
2
2
3
2
1
1
3
3
4
2
16
2
2
3
3
4
3
3
1
4
3
17
2
5
2
5
4
3
4
3
3
18
2
4
2
4
3
3
3
3
19
5
3
3
5
3
4
4
20
3
3
3
4
4
3
21
2
1
1
1
2
3
22
1
2
2
3
3
23
2
2
2
3
24
2
1
3
25
2
2
3
I1
I2
I3
I4
I5
I6
B1
B2
B3
B4
B5
B6
BI1
BI2
BI3
BI4
BI5
BI6
2
4
4
4
4
4
4
2
4
4
4
4
4
4
4
4
3
2
3
3
3
4
3
2
2
3
3
3
2
1
2
3
3
2
1
1
1
1
1
2
2
2
3
3
1
4
3
4
4
4
4
4
5
3
4
4
3
3
2
3
3
4
2
2
2
3
4
4
1
3
3
3
5
3
4
2
3
2
3
4
4
4
4
2
2
4
3
4
5
2
1
2
2
2
2
2
4
1
3
2
1
3
3
3
5
4
4
3
5
5
4
3
4
4
2
4
2
3
3
3
1
2
2
2
2
2
4
3
2
1
1
3
2
2
3
3
3
1
2
2
3
3
2
4
3
4
2
1
3
3
2
2
2
2
3
3
2
4
2
5
2
1
1
2
2
2
2
3
2
2
2
2
2
1
2
3
2
4
3
3
2
1
2
2
1
1
3
2
3
3
2
3
2
3
4
3
4
4
2
3
2
2
2
1
1
1
3
2
2
3
1
2
5
4
4
4
3
2
1
3
3
2
3
4
3
2
2
5
3
3
3
4
2
2
2
2
2
1
2
2
3
3
2
2
3
2
2
2
2
3
2
2
3
3
1
2
2
2
2
2
Total
52
61
59
67
70
71
62
59
71
65
52
49
72
62
64
74
65
73
59
59
69
67
76
70
Rerat a
2,0 8
2,4 4
2,3 6
2,6 8
2,8
2,8 4
2,4 8
2,3 6
2,8 4
2,6
2,0 8
1,9 6
2,8 8
2,4 8
2,5 6
2,9 6
2,6
2,9 2
2,3 6
2,3 6
2,7 6
2,6 8
3,0 4
2,8
SD
0,8 6
0,9 6
0,8 1
1,0 7
0,8 7
0,7 5
1,0 5
0,7 6
1,0 3
0,8 7
1,2 6
1,2 1
0,7 3
0,9 2
0,8 7
0,8 9
0,9 6
0,9 1
1,2 2
0,9 9
1,0 1
0,7 5
1,1 0
1,0 8
I1
I2
I3
I4
I5
I6
B1
B2
B3
B4
B5
B6
BI1
BI2
BI3
BI4
BI5
BI6
c. Kelengketan Paneli s
G1
G2
G3
G4
G5
G6
1
3
2
4
2
2
2
3
4
2
2
3
3
2
2
2
1
2
2
4
3
2
3
2
2
2
4
2
3
4
4
3
3
3
5
4
5
5
3
4
3
3
5
3
2
2
2
3
2
2
3
4
2
5
2
4
3
5
3
4
3
5
5
2
2
3
3
4
2
5
4
4
2
2
2
4
4
2
4
2
2
3
3
2
2
4
5
5
4
5
3
3
4
4
3
1
2
2
2
2
5
5
4
5
4
5
5
5
5
5
2
3
3
2
1
2
2
2
1
1
1
2
2
2
2
6
4
2
2
2
2
3
4
2
4
2
5
5
2
3
3
2
2
4
2
2
1
2
1
1
7
3
2
4
2
2
2
4
3
1
2
3
3
3
2
3
3
3
3
2
2
1
1
1
2
8
3
2
2
3
2
2
3
2
3
4
5
4
2
3
3
3
5
4
2
2
2
2
2
2
9
3
2
3
2
2
2
2
3
2
2
4
4
2
2
3
2
3
2
2
2
2
2
2
2
10
4
3
4
4
2
4
4
3
3
3
2
3
2
2
3
3
3
2
2
2
2
2
2
2
11
4
2
4
3
4
3
2
2
3
4
4
5
3
3
2
4
3
3
3
2
2
2
2
2
12
4
2
5
2
3
1
4
4
2
1
1
1
1
1
1
1
2
1
2
2
3
2
2
3
13
2
2
2
2
3
3
3
2
3
3
5
5
2
4
4
5
5
5
2
2
2
2
3
1
14
5
3
5
4
2
3
4
4
2
3
4
3
3
3
3
3
3
3
5
4
3
1
1
3
15
4
3
5
3
5
5
5
4
3
4
5
4
2
2
2
1
5
3
3
2
2
1
1
2
16
2
3
3
3
3
3
4
2
3
4
2
5
3
2
2
4
2
5
5
3
4
2
2
2
17
4
2
5
2
3
2
2
4
3
4
5
4
4
4
4
3
3
3
4
1
3
2
2
3
18
4
4
3
4
3
2
4
3
3
3
2
4
2
2
2
2
3
2
3
2
4
2
3
1
113 Paneli s
G1
G2
G3
G4
G5
G6
19
5
2
5
2
4
4
5
3
5
2
5
5
2
4
4
3
3
20
4
3
4
4
4
4
4
3
4
3
5
4
2
3
3
2
21
3
1
3
2
2
2
4
2
3
3
4
4
2
3
2
22
5
4
3
4
4
4
4
5
3
3
4
4
3
4
23
4
3
5
4
4
3
4
4
4
4
5
5
3
24
4
1
5
4
3
2
3
2
3
3
4
4
2
25
2
2
2
2
4
3
1
2
2
2
2
2
Total
93
60
95
72
78
73
89
76
77
74
97
99
Rerat a
3,7 2
2,4
3,8
2,8 8
3,1 2
2,9 2
3,5 6
3,0 4
3,0 8
2,9 6
3,8 8
3,9 6
SD
0,8 9
0,8 2
1,1 2
0,9 3
1,0 1
1,0 0
1,0 4
0,9 8
1,0 4
0,8 9
1,2 7
1,0 6
I1
I2
I3
I4
I5
I6
I1
I2
I3
I4
I5
I6
B1
B2
B3
B4
B5
B6
BI1
BI2
BI3
BI4
BI5
BI6
4
3
2
2
2
2
2
2
4
4
3
2
3
2
3
2
4
3
2
2
2
2
1
2
3
3
3
4
4
3
2
2
2
3
4
3
3
4
4
2
3
2
2
1
2
3
3
3
2
3
4
2
1
3
4
2
2
2
3
2
3
3
2
2
2
2
1
2
60
70
69
66
80
77
73
56
56
51
47
52
2,4
2,8
2,7 6
2,6 4
3,2
3,0 8
2,9 2
2,2 4
2,2 4
2,0 4
1,8 8
2,0 8
0,7 1
1,0 4
0,7 2
0,9 5
1,0 4
1,0 8
1,1 5
0,7 8
0,8 3
0,5 4
0,7 3
0,5 7
B1
B2
B3
B4
B5
B6
BI1
BI2
BI3
BI4
BI5
BI6
d. Kesukaan Paneli s
G1
G2
G3
G4
G5
G6
1
2
5
2
5
5
5
2
2
5
6
3
2
6
6
7
6
6
4
3
2
4
4
1
3
2
1
3
2
1
1
2
3
2
2
5
2
2
5
5
5
5
2
5
6
6
3
5
2
4
3
2
3
1
3
1
3
1
5
2
2
2
1
5
4
4
4
4
4
4
2
5
3
5
5
4
5
4
2
5
2
1
2
5
3
2
1
1
2
2
2
2
2
2
2
3
5
4
5
4
5
3
5
2
6
3
3
3
5
3
1
1
1
2
1
2
2
3
2
4
3
4
3
5
4
6
2
2
2
5
1
7
2
6
2
5
3
3
6
5
6
4
5
4
2
3
3
4
4
3
7
4
2
1
2
4
6
3
2
3
4
3
4
3
3
4
4
4
4
5
5
5
6
5
6
8
3
4
5
5
6
4
2
4
6
2
1
1
4
2
3
2
2
2
5
7
4
6
6
7
9
4
3
3
3
4
3
4
3
5
7
7
6
5
7
6
6
6
7
6
6
6
6
6
6
10
6
6
6
6
6
6
6
6
6
2
3
5
3
4
3
3
3
2
6
3
6
2
5
2
11
6
3
3
2
5
4
4
4
4
3
7
4
3
6
2
2
5
2
6
3
5
2
2
2
12
3
4
2
3
4
5
2
3
4
1
1
1
1
1
2
2
1
2
6
4
3
5
5
3
13
4
5
4
3
3
4
3
3
4
3
4
3
3
5
5
5
5
4
4
4
3
5
4
2
14
1
5
1
3
6
2
1
3
1
6
3
3
6
5
3
5
6
7
7
6
6
7
6
3
15
2
4
3
5
3
2
3
3
3
5
3
1
4
4
5
2
4
7
5
4
4
5
3
2
16
4
5
5
5
6
5
5
3
6
7
3
3
7
7
7
4
4
3
6
6
6
5
6
6
17
2
6
1
6
5
4
4
5
4
4
2
2
3
4
3
2
3
3
6
6
6
6
6
6
18
5
3
5
3
4
5
6
4
5
4
5
3
5
6
4
5
4
4
5
4
3
5
3
4
19
1
7
2
6
2
2
2
3
2
3
1
1
6
5
4
2
4
3
5
4
5
4
5
4
20
5
6
5
6
6
6
5
5
7
5
3
4
6
5
6
5
4
4
3
4
3
5
3
4
21
5
5
4
3
5
6
4
5
3
5
3
3
6
4
5
5
3
5
4
4
4
4
4
4
22
4
5
2
6
6
6
6
6
5
3
2
2
3
2
4
4
2
3
2
4
4
2
4
4
23
3
4
2
5
3
5
3
3
4
4
2
2
6
4
4
6
5
3
3
6
6
6
6
6
24
3
3
1
3
5
6
5
5
5
5
2
2
6
4
4
3
6
2
2
2
2
2
2
4
25
1
6
6
5
4
2
6
3
3
4
5
5
6
5
5
3
5
6
4
4
6
6
6
6
10 5
10 0
10 4
87
98
97
98
72
65
11 2
10 6
10 5
93
98
94
11 1
10 5
11 1
11 2
10 9
10 4
3,4 8
3,9 2
3,8 8
3,9 2
2,8 8
2,6
4,4 8
4,2 4
4,2
3,7 2
3,9 2
3,7 6
4,4 4
4,2
4,4 4
4,4 8
4,3 6
4,1 6
1,5 8
1,2 9
1,5 4
1,7 1
1,6 7
1,4 4
1,6 6
1,6 7
1,5 0
1,4 6
1,4 4
1,6 4
1,5 3
1,4 4
1,2 6
1,4 8
1,5 2
1,4 9
Total
81
108
72
Rerat a
3,2 4
4,3 2
2,8 8
4,2
4
4,1 6
SD
1,5 6
1,3 5
1,6 4
1,5 3
1,6 8
1,7 0
Keterangan warna: abu-abu terang = bihun dengan kualitas yang diinginkan abu-abu gelap = bihun dengan kualitas yang tidak diinginkan
114
Lampiran 6
Hasil analisis data pengaruh interaksi jenis tepung, jenis dan konsentrasi hidrokoloid serta konsentrasi garam terhadap skoring tekstur bihun sukun
a. Kekerasan Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor1
1
2.94000000
2.94000000
4.67
0.0311
faktor2
3
2.70000000
0.90000000
1.43
0.2333
faktor3
2
18.61000000
9.30500000
14.77
<.0001
faktor1*faktor2
3
6.86000000
2.28666667
3.63
0.0129
faktor1*faktor3
2
0.79000000
0.39500000
0.63
0.5345
faktor2*faktor3
6
15.07000000
2.51166667
3.99
0.0006
faktor*faktor*faktor
6
40.49000000
6.74833333
10.71
<.0001
Duncan Grouping
Mean
N
Inter aksi
Duncan Grouping
A
2.9600
25
i3
E
H
D
F
B
A
2.8462
26
bi4
E
H
D
F
I
B
A
2.8400
25
g5
E
H
D
F
B
A
C
2.6667
24
bi5
E
H
Mean
N
Inter aksi
C
G
2.200
25
g3
C
G
2.160
25
i4
I
G
2.120
25
b5
F
I
G
2.040
25
b2
B
D
A
C
2.6000
25
b1
H
F
I
G
2.000
25
i1
E
B
D
A
C
2.5600
25
g6
H
F
I
G
2.000
25
g2
E
B
D
F
C
2.4400
25
bi6
H
F
I
J
G
1.920
25
i2
E
B
D
F
C
G
2.3600
25
b3
H
I
J
G
1.880
25
g1
E
B
D
F
C
G
2.3600
25
bi3
H
I
J
G
1.880
25
bi2
E
D
F
C
G
2.2800
25
g4
H
I
J
1.720
25
bi1
E
D
F
C
G
2.2800
25
b6
I
J
1.640
25
i6
E
D
F
C
G
2.2800
25
b4
J
1.480
25
i5
b. Elastisitas Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor1
1
8.64000000
8.64000000
9.27
0.0024
faktor2
3
5.29333333
1.76444444
1.89
0.1297
115
Duncan Grouping
Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor3
2
7.00000000
3.50000000
3.75
0.0240
faktor1*faktor2
3
0.62666667
0.20888889
0.22
0.8797
faktor1*faktor3
2
2.52000000
1.26000000
1.35
0.2597
faktor2*faktor3
6
6.06666667
1.01111111
1.08
0.3703
faktor*faktor*faktor
6
18.97333333
3.16222222
3.39
0.0027
Mean
N
Mean
N
A
3.0833
24
bi5
B
D
A
C
2.6000
25
i4
B
A
2.9600
25
b4
B
D
A
C
2.5600
25
b3
B
A
2.9200
25
b6
B
D
A
C
2.4800
25
i1
B
A
2.8800
25
b1
B
D
A
C
2.4800
25
b2
B
A
2.8400
25
i3
B
D
A
C
2.4400
25
g2
B
A
2.8400
25
g6
B
D
C
2.3600
25
bi1
B
A
2.8000
25
g5
B
D
C
2.3600
25
g3
B
A
2.8000
25
bi6
B
D
C
2.3600
25
bi2
B
A
2.7600
25
bi3
B
D
C
2.3600
25
i2
B
A
C
2.6800
25
g4
D
C
2.0800
25
g1
B
A
C
2.6538
26
bi4
D
C
2.0800
25
i5
A
C
2.6000
25
b5
D
1.9600
25
i6
B
D
interaksi
Duncan Grouping
interaksi
c. Kelengketan Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor1
1
85.12666667
85.12666667
96.10
<.0001
faktor2
3
17.56000000
5.85333333
6.61
0.0002
faktor3
2
4.69000000
2.34500000
2.65
0.0717
faktor1*faktor2
3
41.42000000
13.80666667
15.59
<.0001
faktor1*faktor3
2
2.56333333
1.28166667
1.45
0.2362
faktor2*faktor3
6
16.39000000
2.73166667
3.08
0.0056
faktor*faktor*faktor
6
36.01000000
6.00166667
6.78
<.0001
116 Duncan Grouping
Mean
N
interaksi
Duncan Grouping
Mean
N
A
3.9600
25
i6
E
A
3.8800
25
i5
A
3.8000
25
B
A
3.7200
B
A
C
B
D
interaksi
D
2.9200
25
bi1
E
D
2.8800
25
g4
g3
E
D
F
2.8000
25
b2
25
g1
E
D
F
2.7600
25
b3
3.5600
25
i1
E
G
D
F
2.6400
25
b4
C
3.2000
25
b5
E
G
H
F
2.4000
25
g2
D
C
3.1200
25
g5
E
G
H
F
2.4000
25
b1
D
C
3.0800
25
b6
G
H
F
2.2400
25
bi2
D
C
3.0800
25
i3
G
H
F
2.2400
25
bi3
D
C
3.0400
25
i2
G
H
2.0800
25
bi6
E
D
C
2.9600
25
i4
G
H
2.0385
26
bi4
E
D
2.9200
25
g6
H
1.8750
24
bi5
d. Kesukaan
Duncan Grouping
Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor1
1
64.02666667
64.02666667
28.38
<.0001
faktor2
3
14.15333333
4.71777778
2.09
0.1002
faktor3
2
12.25000000
6.12500000
2.72
0.0670
faktor*faktor*faktor
6
46.97666667
7.82944444
3.47
0.0022
Mean
N
interaksi
Duncan Grouping
Mean
N
A
5.6400
25
i6
E
B
A
5.5200
25
i5
B
A
C
5.1200
25
B
A
C
5.0800
B
D
C
E
D
E
interaksi
D
4.0800
25
i4
E
D
3.9600
25
bi3
g3
E
D
3.9200
25
g6
25
g1
E
D
3.9200
25
bi1
4.6800
25
i1
E
D
3.8000
25
bi2
C
4.3600
25
i3
E
D
3.7200
25
g4
D
C
4.2400
25
g5
E
D
3.7200
25
b3
E
D
C
4.2400
25
b5
E
D
3.6800
25
g2
E
D
C
4.2000
25
b4
E
D
3.6800
25
bi6
E
D
C
4.1600
25
b2
E
3.5833
24
bi5
E
D
C
4.1600
25
b6
E
3.5000
26
bi4
117 Duncan Grouping E
D
C
Mean
N
4.1600
25
interaksi i2
Duncan Grouping E
Mean
N
3.4400
25
interaksi b1
118 Lampiran 7 Rekapitulasi data karakteristik bihun sukun KPAP Tepung sukun 85 % + tepung beras 15 %
Tepung sukun 100 % CaCl2 (%) 1% 6.17± 0.27m
0 1
Guar gum 0.5 % 6.48± 0.62m
8.08±0.05
2
Iles-iles
jk
7.27±0.06
5.29±0.13n
Guar gum
1%
l
0.5 %
7.28±0.39l
7.81±0.05lk h
5.54±0.12n
1%
g
10.77±0.09
11.99±0.27
11.44±0.11g
14.33±0.62f
Iles-iles 0.5 %
1%
0.5 %
8.63±0.00ji
8.10±0.11jk
26.53±0.47a
i
jk
e
17.91±0.79d
18.84±0.23c
25.82±0.07b
9.08±0.15
8.17±0.27
8.47±0.02jik
8.04±0.02jk
17.07±0.03
25.94±0.30ba
Berat Rehidrasi Tepung sukun 85 % + tepung beras 15 %
Tepung sukun 100 %
CaCl2 (%)
Guar gum 1% 0.5 % 374.69± 410.92± 5.84dec 22.81a 364.99± 364.83± 19.32fde 8.46fde 322.34± 322.17± 5.15ij 1.74ij
0 1 2
Iles-iles 1% 377.19± 11.89bdec 354.58± 5.38fheg 357.05± 8.15feg
Guar gum
0.5 % 386.45± 5.70bdac 327.21± 1.59ihj 361.46± 1.30fdeg
1% 332.05± 5.60ihjg 354.39± 9.35fheg 257.30± 11.89k
Iles-iles
0.5 % 348.33± 21.47ifheg 305.62± 3.12j 307.06± 24.09j
1%
0.5 % 402.35± 10.02bac 338.26± 13.41ifhg 324.88± 11.06ihj
404.23±6.85ba 352.74± 10.99fheg 332.33± 23.41ihjg
Waktu Rehidrasi Tepung sukun 100 %
0
1% 5.00±0.71
0.5 % 5.75±0.35
1% 6.25±0.35
0.5 % 5.50±0.00
Tepung sukun 85 % + tepung beras 15 % Guar gum Iles-iles 1% 0.5 % 1% 0.5 % 5.75±0.35 6.75±0.35 4.75±0.35 5.00±0.71
1
4.75±0.35
6.25±0.35
5.25±0.35
4.50±0.71
6.75±0.35
7.00±0.71
5.50±0.71
5.00±0.00
2
5.50±0.00
5.50±0.00
4.50±0.71
5.50±0.00
7.25±0.35
6.25±0.35
5.00±0.71
5.00±0.00
CaCl2 (%)
Guar gum
Iles-iles
Kekerasan
0
1% 1183.45gf
0.5 % 834.15k
1% 930.80jki
0.5 % 1068.60ghi
Tepung sukun 85 % + tepung beras 15 % Guar gum Iles-iles 1% 0.5 % 1% 0.5 % 1695.80c 1200.80gf 1370.45ed 1741.10c
1
1012.65jhi
1074.6ghi
944.60jki
1292.35ef
1948.65b
3701.70a
921.30jki
1182.70gf
2
904.05jk
1138.2gh
905.30jk
1130.25gh
2275.35b
1434.15ed
1491.80d
957.50jki
CaCl2 (%)
Tepung sukun 100 % Guar gum
Iles-iles
Elastisitas
0
Tepung sukun 100 % Guar gum Iles-iles 1% 0.5 % 1% 0.5 % 0.52fge 0.56fde 0.62cb 0.52fg
Tepung sukun 85 % + tepung beras 15 % Guar gum Iles-iles 1% 0.5 % 1% 0.5 % 0.60cd 0.55fgde 0.45ij 0.46ihj
1
0.65b
0.58cde
0.55fgde
0.71a
0.51fgh
0.38k
0.49igh
0.54fge
2
0.62cb
0.62cb
0.53fge
0.43kj
0.50igh
0.45ij
0.46ihj
0.49igh
CaCl2 (%)
Kelengketan
0
Tepung sukun 100 % Guar gum Iles-iles 1% 0.5 % 1% 0.5 % -162.35ba -170.80bac -156.65ba -151.60ba
Tepung sukun 85 % + tepung beras 15 % Guar gum Iles-iles 1% 0.5 % 1% 0.5 % -156.80ba -328.05edf -150.25ba -143.85ba
1
-149.25ba
-192.05bac
-402.90ef
2
ba
ba
CaCl2 (%)
-162.10
Keterangan warna:
-139.70
-104.25a bdc
-250.10
-99.10a -335.20
edf
-443.90
f
-489.05g -349.85
edf
= bihun dengan kualitas yang diinginkan = bihun dengan kualitas yang tidak diinginkan
-208.15bac -286.20
edc
-158.35ba -94.80a
119
Lampiran 8 Data hasil analisis proksimat, daya cerna pati dan serat pangan bahan baku
Data analisis proksimat (% bb) Bahan
Kadar lemak (%) 0.9
Kadar protein (%) 5.09
Kadar amilosa (%) 9.17
Kadar amilopektin (%) 48.9
Kadar pati (%)
Tepung sukun
Kadar air (%) 8.47
Tepung beras
12.77
0.49
9.20
11.00
56.7
67.7
Tepung sukun 85 % + tepung beras 15 %
9.12
0.84
5.71
9.44
50.07
59.51
Tepung sukun 70 % + tepung beras 30 %
9.76
0.78
6.32
9.72
51.24
60.96
58.07
Data daya cerna pati dan serat pangan Bahan
Daya cerna pati (%)
Serat pangan tidak larut (%)
Serat pangan larut (%)
Total serat pangan (%)
Tepung sukun
66.34
1.23
4.15
5.38
Tepung beras
55.72
8.11
9.56
17.67
Tepung sukun 85 % + tepung beras 15 %
64.74
2.26
4.96
7.22
Tepung sukun 70 % + tepung beras 30 %
63.15
3.30
5.77
9.07
120
Lampiran 9 Produk bihun sukun a. Tepung sukun 100% dan guar gum
Guar gum 1%, CaCl2 0%
Guar gum 0.5%, CaCl2 0%
Guar gum 1%, CaCl2 1%
Guar gum 0.5%, CaCl2 1%
Guar gum 1%, CaCl2 2%
Guar gum 0.5%, CaCl2 2%
121
b. Tepung sukun 100% dan Iles-iles
Iles-iles 1%, CaCl2 0%
Iles-iles 0.5%, CaCl2 0%
Iles-iles 1%, CaCl2 1%
Iles-iles 0.5%, CaCl2 1%
Iles-iles 1%, CaCl2 2%
Iles-iles 0.5%, CaCl2 2%
122
c. Tepung sukun 85% + tepung beras 15% dan guar gum
Guar gum 1%, CaCl2 0%
Guar gum 0.5%, CaCl2 0%
Guar gum 1%, CaCl2 1%
Guar gum 0.5%, CaCl2 1%
Guar gum 1%, CaCl2 2%
Guar gum 0.5%, CaCl2 2%
123
d. Tepung sukun 85% + tepung beras 15% dan Iles-iles
Iles-iles 1%, CaCl2 0%
Iles-iles 0.5%, CaCl2 0%
Iles-iles 1%, CaCl2 1%
Iles-iles 0.5%, CaCl2 1%
Iles-iles 1%, CaCl2 2%
Iles-iles 0.5%, CaCl2 2%
124
Lampiran 10 Bahan baku yang digunakan dalam produksi bihun sukun
Tepung sukun
Tepung beras
Guar gum
Iles-iles
125
Lampiran 11 Alat yang digunakan dalam produksi bihun sukun dan analisis bahan baku bihun sukun
Multifunctional Noodle Machine
Rapid Visco Analyzer
Chromameter
Texture Analyzer