Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
KAJIAN PENGARUH FAKTOR PANJANG UKUR PADA METODE ESSENTIAL WORK OF FRACTURE TERHADAP HASIL PENGUJIAN KETANGGUHAN RETAK POLYPROPYLENE Bambang Kusharjanta dan Dody Ariawan Staf pengajar, Teknik Mesin, FT UNS Surakarta
ABSTRACT DENT (Double Egde Notch Tension Specimen) polypropylene spesimens of thickness 1,2 mm have been pulled to complete fracture 6 variation of gage length. Within this experiment specimens underwent full ligament yielding prior to final fracture, producing stress-strain curves at 8 variation of ligament length in each gage length. This stress-strain curves were geometrically similar to one another for each ligament length. On the basis of this, the method of Essential Work of fracture was used to study the effect of gage length to the fracture toughness polypropylene film. The experiment results showed that a linier relationship exist beetween spesifik total work of frkture and ligament length l, over entire gage length. The variation gage length wasnot effected the essential work of fracture energy. The average spesifik essential work of fracture energy of polipropylene obtainet was 2.29 kg.mm/mm2. The slope of the line, which reffered to the non-spesific essential work of fracture energy βwp, increased with increasing gage length, this due to gretarer stability of testing for longer gage length. The stabilyty of testing showen with greater total work of fracture with longer gage length Keywords: polypropylene,dent, gage length, ligament, strees-strain curves PENDAHULUAN Salah satu parameter penting dalam mekanika bahan adalah ketangguhan material. Metode EWFM (the essential work of fracture method) untuk pengujian dan perhitungan ketangguhan retak bahan terutama bahan polimer atau plastik merupakan salah satu cara yang dikembangkan. Metode EWF merupakan metode alternatif dari metode untuk pengujian dan perhitungan ketangguhan retak, yaitu metode J-integral serta metode LEFM (linear elastic fracture mechanics). Akan tetapi terdapat suatu masalah dalam penggunaan metode-metode tersebut, yaitu validitas hasil pengujian dengan metode J-Integral dan LEFM terutama jika spesimen yang digunakan dalam pengujian ketangguhan jenisnya polimer ulet (ductile polymer) serta ukuran spesimen yang cukup kecil. Keterbatasan pada LEFM adalah, daerah-K mengelilingi dan mengontrol perilaku dari daerah plastis dan ujung retak (crack tip). Dari gambar 1.1 terlihat, K (faktor intensitas tegangan) terus membuat karakteristik dari situasi di sekitar retakan, meskipun dengan plastisitas yang terbatas. Daerah plastis yang besar yang terletak pada permulaan retak akan meniadakan daerah-K sehingga K tidak dapat lagi digunakan dan metode LEFM tidak valid dalam pengujian dan perhitungan ketangguhan material tersebut (Dowling, 1999). Sedangkan keterbatasan pada metode J-Integral adalah, ukuran spesimen yang diperlukan dalam pengujian ketangguhan, guna menjamin penggunaan metode J-Integral agar tetap di dalam kondisi bidang regangannya (plain-strain) cukup besar. Dengan keterbatasan dari penggunaan metode LEFM dan J-Integral, maka digunakan metode EWF. Metode EWF merupakan sebuah metode yang sederhana dalam pengujian dan perhitungan ketangguhan material, yang dalam analisanya hanya memerlukan energi total patah material yang terjadi pada bagian retaknya dan muluran plastis (plastic yielding) di daerah sekitar retakan.
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Gambar 1:Daerah-K mengelilingi dan mengontrol perilaku dari daerah plastis dan ujung retak (crack tip). Tinjauan Pustaka Penelitian tentang EWF pernah dilakukan Wu dan Mai (1996) berdasarkan konsep yang pertama kali dikenalkan oleh Broberg (1975). Dari hasil penelitiannya didapatkan bahwa Kerja Esensial Patah merupakan salah satu parameter mekanik material, independen terhadap geometri benda uji dan panjang ligamen, serta ekivalen dengan metode J-Integral. Dalam penelitiannya menggunakan dua jenis polymer campuran (toughened polymer blends), yakni: polybutylenes terephthalate) / polycarbonate / impact modifier (PBT/PC/IM) dan ABS/PC. Tipe geometri untuk semua spesimen, yaitu double edge notched tension (DENT), single edge notched 3 point bending (SEN-3PB) dan compact tension (CT). Selain itu, diungkapkan pula bahwa, we didapatkan jika nilai l/t cukup besar untuk mencapai kondisi plane-stress di dalam daerah ligamennya. Kemudian, dengan penurunan nilai l/t, maka pembatas plastis (plastic constrain) meningkat dan transisi antara kondisi patah plane-stress/plane-strain dapat terjadi pada l/t tertentu. Wu dan Mai, berpendapat, transisi tersebut sering terjadi pada l/t = 3-5. Selain Wu dan Mai, penelitian tentang EWF juga dilakukan oleh Ching dkk (2000). Dalam eksperimennya menggunakan variasi panjang ukur spesimen terhadap tipe geometri DENT terhadap variasi panjang ukur. Bahan yang digunakan adalah jenis PETG (Polyethelene Terephthalete Glycol). Dari hasil percobaannya disimpulkan bahwa energi esensial spesifik (w e ) tidak dipengaruhi panjang ukur. Selain itu juga diperoleh bahwa laju regangan tidak mempunyai pengaruh terhadap w e . Mereka. juga mengemukakan masalah validitas range pada panjang ligamen dan transisi antara planestress/plane-strain. Yakni, untuk validitas dalam pengukuran plane stress we, maka panjang ligamen harus memenuhi persyaratan: (3-5)t≤ l ≤ min ( W
3
atau 2rp). Dengan t merupakan ketebalan
spesimen dan 2rp adalah ukuran dari daerah plastis. Kemudian, 2rp =
E we . Dimana E adalah π σy 2
Modulus Young dan σy merupakan Kekuatan Mulur Uniaxial (Uniaxial Tensile Yield Strength). Selain itu, pada panjang ligamen l ≤ (3-5)t, batasan plastis (plastic constrain) meningkat dan transisi antara plane-stress/plane-strain dapat terjadi. Pengujian ketangguhan retak bahan polyvinylchloride dengan metode EWF dilakukan oleh Kusharjanta, B. (2001). Dalam eksperimennya menggunakan pengaruh laju pembebanan untuk pengujian ketangguhan retak bahan polyvinylchloride. Dari hasil penelitiannya didapatkan bahwa harga energi esensial patah spesifik w e tidak dipengaruhi oleh laju pembebanan tetapi menurunkan kemiringan garis hubungan antara energi patah total spesifik terhadap panjang ligamen. Sehingga bila ada faktor lain yang mempengaruhi dan hanya bergantung pada bahannya maka parameter w e merupakan parameter ketangguhan retak bahan. S. Hashemi dan J.G. Williams [2000] melakukan penelitian tentang pengaruh temperatur terhadap kerja essensial dan non essensial patah terhadap polycarbonate. Penelitian tersebut dilakukan terhadap dua jenis tipe spesimen yaitu tipe SENT dan DENT. Dimana untuk tipe SENT dilakukan penelitian pada temperatur 25oC, 60oC dan 100oC dan untuk tipe spesimen DENT dilakukan penelitian pada temperatur 25oC, 40oC, 60oC, 80oC, 100oC dan 120oC. Hasilnya menunjukkan bahwa harga kerja essensial patah spesifik kurang lebih tidak terpengaruh oleh temperatur, tetapi harga kerja
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
essential patah non-spesifik meningkat untuk temperatur yang semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena tegangan luluh dari spesimen semakin turun dengan semakin tingginya temperatur. Terhadap keseluruhan variasi temperatur hasilnya menunjukkan bahwa harga We dan βwp untuk tipe spesimen SENT secara konsisten lebih tinggi dari pada tipe DENT. Polimer Secara umum bahan polimer terbagi menjadi tiga macam yaitu plastik termoplastik, plastik termosetting, dan karet. Plastik termoplastik merupakan jenis plastik yang dapat dilunakan terusmenerus dengan pemanasan atau dikeraskan dengan pendinginan. Contohnya: nylon, polyetilen dan polisulfon. Polypropylene Polypropylene adalah plastik yang paling banyak diminati dan salah satu bahan yang paling murah sejak bahan tersebut dapat disintesa dari bahan mentah petrokimia berbahan murah.
Gambar 2: Struktur atom polypropylene Dari polyethilen sampai polypropylene, substitusi sebuah grup methil pada setiap karbon kedua dari rantai utama polymer, menahan rotasi dari rantai tersebut, menghasilkan rantai yang kuat tetapi kurang fleksibel. Grup methil dalam rantai juga meningkatkan temperatur transisi gelas. Dengan penggunaan katalis stereo spesifik, polypropylene isostatik dapat disintesa yang memiliki melting point o o o o 165 C -176 C ( 310 F - 350 F). Sehingga polypropylene memiliki kekuatan tarik, kekuatan lentur, dan kekakuan lebih tinggi dari pada polyethilen tetapi memiliki katahanan impak yang rendah terutama pada temperatur yang rendah. Material ini dapat digunakan pada temperatur 120o C tanpa deformasi. Polypropylene memiliki keseimbangan yang bagus dari propertisnya untuk menghasilkan barang-barang. Hal uji meliputi bahan kimia, moisture dan tahanan panas, juga dengan densitas yang rendah (0,900 - 0,910 g/cm3) kekerasan permukaan yang bagus dan stabilitas dimensi. Polypropylene juga memiliki tahanan fleksibilitas sehingga dapat digunakan dalam produk. Karena monomernya yang murah maka polypropylene adalah material thermoplastic yang sangat kompetitif. Metode Kerja Esensial Perpatahan Metode Kerja Esensial Perpatahan (The Essential Work Of Fracture Method), mengemukakan bahwa ketika benda padat ulet (ductile solid) dengan retakan (gambar 2.2) dikenakan beban, proses perpatahan dan deformasi plastis mengambil tempat di dua daerah yang berbeda, yaitu daerah proses bagian dalam (the inner proses zone) dan daerah proses bagian luar (the outer proses zone).
Gambar 3: Proses perpatahan dan deformasi plastis pada pembebanan benda padat ulet (ductile solid) dengan retakan
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Selama terkumpul di daerah plastisnya tidak berhubungan langsung dengan kerja perpatahan itu sendiri. Hanya kerja yang berhubungan langsung dengan daerah proses perpatahan itu sendiri yang merupakan material konstan. Oleh sebab itu, kerja perpatahan total, Wf, seharusnya dipisah menjadi dua bagian, yakni: Kerja Esensial Perpatahan (We) dan Kerja Non-Esensial Perpatahan (Wp). Kerja esensial perpatahan adalah energi yang terkumpul di dalam daerah proses perpatahan, dan kerja non-esensial perpatahan adalah energi yang terkumpul di dalam daerah plastisnya. Untuk itu kerja total perpatahan diberikan dengan persamaan: Wf = We + Wp (1) Secara fisik, We adalah kerja yang diperlukan untuk menghasilkan dua permukaan retakan yang baru dan termasuk di dalam proses dari perpatahan itu sendiri. Di dalam proses perpatahan polimer ulet, We diperlukan untuk membentuk dan pada akhirnya untuk merobek daerah retakan pada takikan (gambar 4).
Gambar 4: Proses perpatahan dari polimer ulet Teoritisnya, kerja esensial spesifik dari perpatahan untuk Mode I (gambar 2.3), dapat didefinisikan dengan persamaan: εn −
−
δIC
We = d ∫ σ d ε − ∫ σ (Δ L ) dΔ L εnd
0
(2)
Jelasnya, komponen pertama dari persamaan 2. memberikan kerja plastis untuk takikan dan komponen keduanya mengacu kepada kerja perpatahan pada takikan. We adalah secara esensial merupakan energi dari permukaan, dan untuk ketebalan yang diberikan proporsional terhadap panjang ligamen, l (=W –a). Wp adalah jumlah dari energi dan proporsional terhadap l2
Gambar 5: Mode Pembebanan I Dengan demikian, energi kerja total dari perpatahan dituliskan kembali dari persamaan 1, sebagai Wf = We + βwptl2 (3) Dan kerja spesifik total dari perpatahan, wf, persamaannya menjadi: 2 ⎛ Wf ⎞ ⎛ We ⎞ ⎛ βwptl ⎞ ⎟ ⎟ = ⎜ ⎟+ ⎜ ⎝ tl ⎠ ⎝ tl ⎠ ⎝ tl ⎠ ⎛ Wf ⎞ wf = ⎜ ⎟ = we + βwpl (4) ⎝ tl ⎠
wf = ⎜
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Dengan asumsi we merupakan material konstan, wp dan β tidak tergantung terhadap panjang ligamen. Menurut persamaan 4, ketika wf diplotkan terhadap l pada grafik, maka bentuk grafiknya berupa garis lurus yang merupakan hubungan antara wf dengan l. Ekstrapolasi garis ini ke panjang ligamen nol, didapatkan we, yang dapat dilihat pada perpotongan antara garis ekstrapolasi dengan sumbu wf pada grafik. Kemiringan garis dari grafik tersebut memberikan nilai βwp (gambar 6.)
Gambar 6. Plot grafik we terhadap l Metodologi Penelitian Bahan Bahan yang digunakan adalah polypropylene dengan tebal 1,2 mm. Bentuk Dalam Penelitian ini digunakan dua bentuk spesimen yang pertama adalah untuk uji tarik untuk menentukan propertis dari polypropylene, yang kedua untuk uji EWF untuk menentukan ketangguhan retak dari bahan polypropylene. 1. Dimensi Spesimen Uji Tarik Bentuk dan ukuran benda uji menggunakan standar ASTM D 638-97 dengan dimensi spesimen tipe IV. 2. Spesimen Uji EWF Bentuk dan ukuran benda uji dapat dilihat pada gambar 7. serta parameter pada tabel 1. Tabel 1: Parameter spesimen uji EWF Spesimen Panjang Ukur (mm) 1 50 2 70 3 90 4 110 5 130 6 150
Gambar 7: Benda uji untuk Kerja Esensial Spesifk Perpatahan Dimensi untuk semua golongan spesimen: L (panjang total) = 250 mm Panjang ligamen (l) = {16,14,12,10,8,6,4,2}mm
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
a/2 (lebar ligamen) = (l-Wo)/2 mm T (tebal plat) = 1,2 mm Laju pertambahan panjang = 25 mm/menit W ( lebar total ) = 50 mm Cara Penelitian Pada pengujian EWF ini menggunakan mesin ujik tarik GOTECH dengan jumlah spesimen pengujian tarik sebanyak 54 buah yang terdiri dari 48 buah spesimen dengan retakan dan panjang ligamen yang bervariasi pada masing-masing golongan panjang ukurnya dan 6 buah spesimen untuk menentukan nilai tegangan plastisnya. Variasi ligamen spesimen dimulai pada l= 16 mm sampai dengan l= 2 mm dengan beda 2 mm sehingga berjumlah 8 spesimen untuk tiap golongan panjang ukur. Pengujian dilakukan dengan 6 buah panjang ukur yaitu 50 mm, 70 mm, 90 mm, 110 mm, dan 130 mm, 150 mm serta dengan laju regangan untuk semua pengujian 25 mm/menit. Hasil dari pengujian EWF ini adalah berupa kurva tegangan-regangan untuk setiap spesimen pada masing-masing panjang ukurnya. Setelah semua kelompok diuji kemudian kurva teganganregangan untuk tiap spesimen dihitung luasan areanya. Luasan area ini adalah harga energi patah total (Wf) dari setiap spesimen. Selanjutnya dibagi dengan luas area patah ligamen (t.l) untuk mendapatkan energi patah total spesifik (wf). Setelah semua dari spesimen hasil uji diperoleh harga wf, kemudian diplotkan ke dalam bidang wf vs. ligamen dan diekstrapolasi hingga ke harga l=0. Perpotongan garis regresi dengan sumbu wf ini merupakan harga esensial patah spesifik (we). Setelah diuji tarik, permukaaan patahan kemudian difoto untuk mendapatkan gambar kontur patahan. HASIL DAN PEMBAHASAN Dengan menggunakan data yang didapat dari pengujian ASTM dan EWF, akan dilakukan perhitungan tegangan plastis dan EWF untuk menentukan kerja esensial patah spesifik.
Tegangan Luluh Rata-rata
1.5
Tegangan luluh
2
(kg/mm )
2
y
2.5
1 0.5 0 1
2
3
4
5
rata-rata
Spesimen ASTM
Gambar 8: Tegangan Luluh Polypropylene
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Analisa Hasil Pengujian EWF Untuk Panjang Ukur 50 mm Panjang Ukur 50mm 9
2
wf (kg.mm/mm )
8 7 6 5 4 3
w f = 0.186 l+ 2.2807
2
R = 0.7576
2
1 0 0
5
10
15
20
Ligamen (mm)
Gambar 9: Hubungan wf dengan l untuk panjang ukur 50 mm Dari Gambar 9.untuk panjang ukur 50 mm terlihat hubungan linier antara harga wf dengan panjang ligamen. Persamaan wf regresi linier tersebut adalah wf = 0,1861.l + 2,2807. Dari hasil tersebut harga kerja essensial patah spesifik untuk panjang ukur 50 mm adalah we = 2,2807 kg.mm/mm2 sedangkan harga kerja essensial patah non-spesifiknya βwp = 0,1861. Nilai wf pada data untuk golongan panjang ukur ini tidak terdapat penurunan yang signifikan terhadap panjang ligamen. Dengan kata lain, regresi linier untuk panjang ukur 50 mm menghasilkan hubungan linier yang baik antara wf dan l. Tetapi regresi linier tersebut menghasilkan nilai we yang besar. Oleh karena itu dilakukan penyesuaian plot grafik pada nilai kemiringan grafik (βwp) dan we-nya terhadap golongan panjang ukur yang lain. Penyesuaian tersebut dilakukan dengan cara mengeliminasi data pada ligamen yang mengalami penurunan, sehingga didapat nilai βwp dan we yang sama atau mendekati terhadap panjang ukur lainnya. Setelah dilakukan penyesuaian didapatkan grafik hubungan antara wf dan ligamen. Panjang Ukur 50mm 9 2
Wf (kg.mm/mm )
8 7 6 5 4 3
W f = 0.2404 l + 1.9509
2
R
1
2
= 0.873
0 0
5
10
15
20
Ligamen (mm)
Gambar 10: Penyesuaian hubungan wf dengan l untuk panjang ukur 50 mm Sehingga dapat dilihat regresi linier yang baru yang menghasilkan nilai wf = 0,2404.l + 1,9509 dengan nilai we = 1,9509 kg.mm/mm2 dan βwp = 0,2404. Pada plot grafik wf vs l baik sebelum maupun sesudah dilakukan penyesuaian transisi antara kondisi plane strain/plain stress tidak terjadi. Hal ini dikarenakan hubungan linier wf dengan l tidak berubah sepanjang ligamennya selain itu dari data di atas dapat dilihat bahwa nilai pcf berkisar antara 1 - 2 . Sehingga dapat dikatakan bahwa grafik antara wf dengan ligamen untuk panjang ukur 50 mm berada dalam kondisi plane stress.
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
a) b) Gambar 11 a) Penampang patah untuk panjang ukur 50 mm l = 12 mm b) Penampang patah untuk panjang ukur 50 mm l = 16 mm Golongan Panjang ukur 70 mm Untuk regresi linier dengan panjang ukur 70 mm ini menghasilkan hubungan linier yang baik antara wf dan l dengan nilai wf = 0,3173.l + 1,9805 dimana didapatkan nilai βwp = 0,3173 dan we = 1,9805 kg.mm/mm2 dari ekstrapolasi garis linier kepanjang ligamen nol. Dapat dilihat bahwa tidak adanya transisi antara kondisi plain strain/plain stress. Panjang Ukur 70 mm 9
7
2
Wf (kg.mm/mm )
8
6 5 4 3 2
W f = 0.3173 l + 1.9805
1
R = 0.8621
2
0 0
5
10
15
20
Ligamen (mm)
Gambar 12: Hubungan wf dengan l untuk panjang ukur 70 mm Sehingga proses perpatahan keseluruhan ligamen untuk panjang ukur 70 mm dalam kondisi plane stress. Golongan panjang ukur 90 mm
2
Wf (kg.mm/mm )
Panjang Ukur 90 mm 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
W f = 0.2669 l + 1.9587 2
R = 0.9221 0
5
10 Ligamen (mm)
15
20
Gambar 13: Hubungan wf dengan l untuk panjang ukur 90 mm
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Seperti halnya panjang ukur di atas, regresi linier dengan panjang ukur 90 mm juga menghasilkan grafik hubungan linier yang baik antara wf dan l, dengan nilai wf = 0,2669.l + 1,9587. Dimana dengan mengektrapolasikan garis linier ke panjang ligamen nol didapatkan nilai we = 1,9587 kg.mm/mm2 dan βwp = 0,2669. Dari grafik hubungan antara wf dan l terlihat jelas bahwa grafik ini dalam kondisi plaine stress. Hal ini dikarenakan hubungan linier wf dengan l tidak berubah sepanjang ligamennya selain itu dari gambar penampang patahnya terlihat terdapat penurunan ketebalan. Sehingga dapat dikatakan bahwa grafik antara wf dengan ligamen untuk panjang ukur 90 mm berada dalam kondisi plane stress.
a) b) Gambar 14. a) Penampang patah untuk panjang ukur 90 mm ligamen = 8 mm b) Penampang patah untuk panjang ukur 90 mm ligamen = 8 mm Golongan panjang ukur 110 mm Panjang Ukur 110 mm 9
7
2
Wf (kg.mm/mm )
8
6 5 4 3 2
W f = 0.3462 l+ 1.707
1
R = 0.8716
2
0 0
5
10
15
20
Ligamen (mm)
Gambar 15: Hubungan wf dengan l untuk panjang ukur 110 mm Untuk regresi linier dengan panjang ukur 110 mm menghasilkan nilai wf = 0,3462.l + 1,707 dengan we = 1,707 kg.mm/mm2 dan βwp = 0,3462. Disini terlihat bahwa nilai we lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai we dengan panjang ukur lain. Untuk itu harus dilakukan eliminasi terhadap ligamen yang menyebabkan nilai we ini kecil, sehingga didapatkan plot grafik dengan nilai kemiringan βwp dan we-nya sama atau hampir sama dengan panjang ukur lainnya. Dengan mengeliminasi ligamen 16 mm, dengan cara mengekstrapolasi garis linier kepanjang ligamen nol sehingga didapatkan nilai wf = 0,3074.l+ 1,9437, dengan nilai we = 1,9437 kg.mm/mm2 dan nilai βwp = 0,3074 seperti terlihat pada grafik dibawah. Dengan kata lain bahwa regresi linier pada data dengan panjang ukur 110 mm menghasilkan hubungan linier yang baik antara wf dan l, Karena tidak terlihat adanya transisi kondisi plain strain/plaine stress baik sebelum maupun sesudah dilakukan penyesuaian maka dikatakan bahwa grafik hubungan ini dalam kondisi plain strees.
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Panjang ukur 110 mm 7
2
wf ( kg.mm/mm )
6 5 4 3 2 wf = 0.3074 l + 1.9437
1
R2 = 0.8031
0 0
5
10
15
Ligamen (mm)
Gambar 16: Hubungan antara wf dengan ligamen dengan panjang ukur 110 mm Golongan Panjang Ukur 130 mm Panjang Ukur 130 mm 9 8
wf (kg.mm/mm
2)
7 6 5 4 3
wf = 0.3889 l + 1.9517
2
2
R = 0.8793
1 0 0
5
10
15
20
Ligamen (mm)
Gambar 17: Hubungan wf dengan l untuk panjang ukur 130 mm Grafik hubungan antara wf dan ligamen untuk panjang ukur 130 mm dapat dilihat pada grafik di atas, Disini terlihat bahwa hubungan linier antara wf dan l sangat baik yaitu menghasilkan nilai wf = 0,3889,l + 1,9517. Dimana dengan mengekstrapolasikan kegaris linier kepanjang ligamen nol didapatkan nilai we = 1,9517 kg.mm/mm2 dan βwp = 0,3889. Pada grafik tersebut tidak terjadi transisi antara kondisi plane strain/plane stress. Dari data juga dilihat bahwa nilai pcf tidak kurang dari satu maupun lebih dari tiga sehingga kondisi ini dikatakan bahwa golongan panjang ukur 130 dalam kondisi plane stress.
a) b) Gambar 18: a) Penampang patah untuk panjang ukur 110 mm dengan ligamen 16 mm
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
b) Penampang patah untuk panjang ukur 130 mm dengan ligamen 6 mm Golongan panjang ukur 150 mm Panjang Ukur 150 (mm) 9
7
2
Wf (kg.mm/mm )
8
6 5 4 3 2
W f = 0.3866 l+ 1.8222
1
R = 0.7477
2
0 0
5
10
15
20
Ligamen (mm)
Gambar 19: Hubungan antara wf dan ligamen untuk panjang ukur 150 mm
a) b) Gambar 20: a) Penampang patah untuk panjang ukur 150 mm dengan ligamen 6 mm b)Penampang patah untuk panjang ukur 150 mm dengan ligamen 8 mm Dari grafik panjang ukur 150 mm di atas dapat dilihat bahwa hubungan antara wf dan ligamen terlihat nilai wf = 0,3866.l + 1,8222. Sehingga didapatkan nilai we = 1,8222 kg.mm/mm2 dan nilai βwp = 0,3866. Didalam grafik ini tidak terlihat adanya transisi antara kondisi plane strain maupun plane stress maka dapat ditarik kesimpulan bahwa grafik hubungan antara wf dengan panjang ligamen untuk panjang ukur 150 mm dalam kondisi plain stress. Analisa Hubungan antara we, βwp dengan Panjang Ukur Keseluruhan grafik hubungan antara wf dengan ligamen untuk panjang ukur 50 mm sampai dengan 150 mm dapat ditampilkan menjadi sebagai berikut:
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
10 9 8
2
wf (kg.mm/mm )
7 6 5 4 3 2 1 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Ligamen (mm) 50 mm
70 mm
90 mm
110 mm
130 mm
150 mm
Gambar 21:. Hubungan antara we untuk setiap panjang ukur Hubungan we dan Panjang Ukur 3.00
we (kg.mm/mm2)
2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 0
50
100
150
200
Panjang Ukur (mm)
Gambar 22: Hubungan we dan panjang ukur Dari grafik pada gambar 18. Hubungan antara we panjang ukur terlihat harga kerja esensial patah spesifik (we) yang cukup bervariasi pada setiap golongan panjang ukurnya, tetapi tidak terdapat perbedaan yang besar terhadap nilai kerja esensial patah spesifik antar golongan panjang ukurnya. Selain itu tidak ada data dan hasil yang menyimpang terlalu jauh untuk setiap panjang ukurnya. Hal ini dapat dikatakan bahwa panjang ukur tidak berpengaruh pada kerja esensial patah spesifik polypropylene. Walaupun panjang ukur tidak berpengaruh terhadap harga kerja essensial patah spesifik polypropylene, tetapi dari gambar 5.20 harga kerja essensial patah non-spesifik polypropylene semakin besar untuk panjang ukur yang semakin besar. Harga Kerja essensial patah non-spesifik dipengaruhi oleh panjang ukur karena untuk panjang ukur yang semakin besar maka kestabilan pengujian akan lebih baik hal ini dapat dilihat dari hasil pengujian EWF dimana untuk panjang ukur yang semakin besar maka harga Kerja Patah Total Wf semakin besar. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh S.Hashemi (1997) yang meneliti pengaruh panjang ukur pada material PBT/PC Blend .
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Grafik Hubungan β Wp dengan panjang ukur 0.45 0.40 0.35
Wp
0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00 40
60
80
100
120
140
160
Panjang ukur (mm)
Gambar 23. Hubungan antara βwp dengan panjang ukur Plastic Constraint Factor Plastic constraint factor didefinisikan sebagai perbandingan dari tegangan maksimum terhadap tegangan luluh, PCF =
σ max . Disini tegangan maksimum diperoleh dari harga beban maksimum hasil σy
uji EWF dan kemudian dibagi dengan luasan penampang patah (t.l), dan σnet merupakan tegangan luluh dari polypropylene, Untuk kondisi plain stress PCF = 1 dan untuk kondisi plain strain PCF = 3. Terlihat pada data disetiap golongan panjang ukur bahwa nilai PCF meningkat seiring dengan menurunnya panjang ligamen. Fenomena ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Wu dan Mai (1996), bahwa plastic constrain meningkat dengan menurunnya panjang ligamen. Dari gambar 19. hubungan PCF dengan panjang ukur terlihat bahwa harga PCF mendekati harga 1 dan harga PCF semakin kecil untuk panjang ligamen yang semakin besar, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wu dan Mai (1996) yang melakukan penelitian EWF untuk material Polyethylene Terpthalate Glycol (PTEG), Dengan harga PCF yang mendekati harga 1 menunjukkan bahwa perpatahan pada uji EWF penelitian ini berada pada kondisi plane stress
2.3 2.1
PCF
1.9 1.7 1.5 1.3 1.1 0.9 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Ligamen (mm) G = 50 mm
G =70 mm
G = 90 mm
G = 110 mm
G = 130 mm
G = 150 mm
Gambar 24: Hubungan PCF dengan panjang ukur
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta