KAJIAN PENERAPAN PRATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 53 TAHUN 2012 UNTUK PENGENDALIAN AFLATOKSIN PADA PALA
NI MADE VINA CITANIRMALA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Kajian Penerapan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 53 Tahun 2012 untuk Pengendalian Aflatoksin Pada Pala adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor,
Oktober 2016
Ni Made Vina Citanirmala NIM F252130035
RINGKASAN NI MADE VINA CITANIRMALA. Kajian Penerapan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 53 Tahun 2012 untuk Pengendalian aflatoksin pada Rantai Pasok Pala. Dibimbing oleh WINIATI P RAHAYU dan RATIH DEWANTIHARIYADI. Pala adalah salah satu komoditas andalan ekspor Indonesia yang sering ditemukan terkontaminasi aflatoksin sehingga menyebabkan penolakan ekspor oleh Uni Eropa (UE). Kementerian Pertanian berupaya mendorong agar pelaku usaha dapat menghasilkan pala yang aman dengan menerbitkan Permentan nomor 53 tahun 2012 sebagai pedoman penanganan pascapanen pala Penelitian bertujuan untuk (1) mengevaluasi data penolakan pala karena aflatoksin oleh UE selama kurun waktu 5 tahun terakhir, (2) mengevaluasi penerapan Peraturan Menteri Pertanian No. 53 Tahun 2012 (Permentan No.53/2012) tersebut di tingkat petani, pengumpul, eksportir dan pembina pusat dan daerah, serta (3) mengidentifikasi tahap kritis penanganan pala. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Siau Barat, Kabupaten Kepulauan Sitaro, Provinsi Sulawesi Utara sebagai salah satu sentra produksi pala Siau ekspor. Metode penelitian dilakukan dengan (1) mengevaluasi data penolakan pala Indonesia oleh UE dengan merekam kandungan aflatoksin pala yang ditolak dan membandingkannya dengan standar Indonesia (2) mengevaluasi Penerapan Permentan No.53/2012 terhadap aspek panen, pascapanen, sarana dan prasarana, pelestarian lingkungan serta pengawasan melalui survei. Survei dilakukan terhadap 60 petani, 10 pengumpul, 2 eksportir dan 3 pembina teknis melalui wawancara, (3) identifikasi tahap kritis menggunakan bantuan pohon keputusan pada prinsip HACCP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 73% kasus penolakan pala oleh UE karena mengandung aflatoksin dalam jumlah melebihi standar aflatoksin di Indonesia (20 ppb). Kadar aflatoksin yang melebihi standar diduga karena pala tercemar kapang toksigenik saat panen dan pascapanen. Oleh sebab itu praktik penanganan panen dan pascapanen pala pada rantai pasok pala harus diperbaiki. Hasil evaluasi penerapan Permentan 53/2012 menunjukkan pada praktik penanganan pala di tingkat petani yang masih kurang pada aspek pascapanen (54.4%) meskipun cukup (70.4%) pada aspek panen. Kurangnya penanganan pala pada aspek pascapanen di tingkat petani disebabkan minimnya aspek sarana dan prasarana (57.2%). Di tingkat pengumpul praktik penanganan pala pada aspek pascapanen dinilai cukup (62.5%), namun kurang didukung oleh aspek sarana dan prasarana (36.7%). Penanganan pala sudah diterapkan sesuai Permentan No.53/2012 oleh eksportir, namun penerapan pengawasan oleh pembina masih kurang dan baru 56.3% yang sesuai. Untuk mengendalikan kontaminasi aflatoksin maka pengawasan pada rantai pasok pala perlu dilakukan seluruh oleh stakeholder terutama pada tujuh tahap kritis pasok pala yang meliputi pemanenan dan pengeringan di tingkat petani, penerimaan, pengeringan dan penyimpanan di tingkat pengumpul serta penerimaan dan pengiriman di tingkat eksportir. Kata kunci : aflatoksin, kecamatan Siau Barat, pala, Permentan 53 tahun 2012, rantai pasok
SUMMARY NI MADE VINA CITANIRMALA. Implementation of Minister Agriculture Regulation Number 53, 2012 for Controling Aflatoxin on Nutmeg Supply Chain in Siau Barat District. Supervised by WINIATI P RAHAYU dan RATIH DEWANTI-HARIYADI. Nutmeg is one of Indonesia main exported commodity frequently contaminated by aflatoxin. Nutmeg from Indonesia was often rejected by European Union, particulary that from Siau Barat District, North Sulawesi Province as the central production of Siau nutmeg. In 2012 the Ministry of Agricultural (MA) issued a regulation number 53 regarding good practices on nutmeg to improve the safety of nutmeg. The objectives of this research were to (1) evaluate rejection cases of Indonesian nutmeg by European Union (EU) during the last five years (2) evaluate implementation of the MA regulation at a nutmeg supply chain, starting from farmer level, middlemen, exporter and government official in Siau Barat District; and (3) identify critical points for mold growth and/or aflatoxin formation along the nutmeg supply chain (harvest, postharvest, equipment, environment conservation and supervising). This research were conducted through (1) evaluation on rejection cases of Indonesian nutmeg by EU and comparing it with Indonesian aflatoxins standard and export requirements, (2) surveys of the implementation of regulation 53, 2012 to 60 farmers, 10 middlemen, 2 exporters and 3 government officials in Siau Barat district as respondents, (3) identification of critical steps during nutmeg production using HACCP decision trees. The results showed that 73 % of rejection cases by EU was due to aflatoxin content that also exceeded the Indonesian aflatoxins standard (20 ppb). The high levels of aflatoxin was suspected to be produced by toxigenic mold contaminating nutmeg during harvest and post harvest. Therefore handling practices for harvest and postharvest on nutmeg production must be improved. Evaluation results of the MA regulation implementation at farmer level suggested poor postharvest handling (54.4%) although the handling for harvest was moderate (70.4 %). Poor handling practices of nutmeg at farmer level was caused by the lack of facilities and infrastructure (57.2 %). At the middleman level, handling practices nutmeg at postharvest was considered to be moderate (62.5 %), although it was not supported with facilities and infrastructure (36.7 %). Handling practices at exporter level was generally good, however supervision at government official level was poor (56.3 %). To control contamination of aflatoxin on supply chain, all stakeholders should participate in monitoring critical steps at various level. Critical control points determined at farmer level were harvesting and drying, at middlemen level were receiving, drying and storage, while at exporter level were receiving and shipment. Keywords : aflatoxin, Minister of Agricultural Regulation No. 53 year 2012, nutmeg, Siau Barat District, supply chain
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KAJIAN PENERAPAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 53 TAHUN 2012 UNTUK PENGENDALIAN AFLATOKSIN PADA PALA
NI MADE VINA CITANIRMALA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Magister Profesional Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Nugraha Edhi Suyatma,STP, DEA
Tugas Akhir Nama NIM
: Kajian Penerapan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 53 Tahun 2012 untuk Pengendalian Aflatoksin pada Pala : Ni Made Vina Citanirmala : F252130035
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc Anggota
Prof. Dr. Winiati P Rahayu Ketua
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi
Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 12 Agustus 2016
Tanggal Lulus :
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Manfaat
1 1 2 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA Pala Aflatoksin Penanganan Pascapanen Pala Good Handling Practices Peraturan Menteri Pertanian No. 53 Tahun 2012 Penerapan Kebijakan
3 3 4 4 5 5 8
3 METODE Tempat dan Waktu Bahan Metode
8 8 9 9
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Evaluasi Penolakan Pala oleh Uni Eropa Penerapan Permentan No.53/2012 di Tingkat Petani Penerapan Permentan No.53/2012di Tingkat Pengumpul Penerapan Permentan No.53/2012 di Tingkat Eksportir Penerapan Permentan No.53/2012 di Tingkat Pembina Penetapan Tahap Kritis Pengolahan Pala
13 13 16 21 22 24 24
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
31 31 31
DAFTAR PUSTAKA
32
LAMPIRAN
35
RIWAYAT HIDUP
45
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Spesifikasi persyaratan khusus mutu biji pala Spesifikasi persyaratan umum mutu biji pala Persyaratan umum mutu fuli Aspek dan kriteria dalam kuesioner di tingkat petani, pengumpul, eksportir dan pembina Kadar aflatoksin pala Indonesia yang ditolak oleh UE Standar pala SNI dan persyaratan UE Penerapan Permentan No.53/2012 untuk tiap kriteria pada aspek panen di tingkat petani Penerapan Permentan No.53/2012 untuk tiap kriteria pada aspek pascapanen di tingkat petani Penerapan Permentan No.53/2012 untuk tiap kriteria pada aspek sarana dan prasarana di tingkat petani Penerapan Permentan No.53/2012 untuk tiap kriteria pada aspek pelestarian lingkungan di tingkat petani Penerapan Permentan No.53/2012 untuk tiap kriteria pada aspek pascapanen di tingkat pengumpul Penerapan Permentan No.53/2012 untuk tiap kriteria pada aspek sarana dan prasarana di tingkat pengumpul Penerapan Permentan No.53/2012 untuk tiap kriteria pada aspek sarana dan prasarana di tingkat eksportir Penerapan Permentan No.53/2012 pada rantai pasok pala di tingkat pembina Penetapan tahap kritis pengolahan pala di tingkat petani Penetapan tahap kritis pengolahan pala di tingkat pengumpul Penetapan tahap kritis pengolahan pala di tingkat eksportir
6 7 7 11 14 15 17 18 19 20 21 22 23 24 27 28 30
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7
Bagian-bagian buah pala Peta Lokasi Penelitian Diagram alir penelitian Penyebab penolakan pala Indonesia oleh UE Profil petani Alat panen pala Diagram alir pengolahan pala pada rantai pasok pala
3 9 10 13 16 17 25
DAFTAR LAMPIRAN 1 2
Formulir observasi sebagai alat pengamatan Pohon keputusan menggunakan prinsip HACCP
35 43
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pala (Myristica fragrans Houtt) dikenal sebagai tanaman rempah yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Biji, fuli dan hasil olahan minyak pala merupakan komoditas ekspor yang digunakan dalam industri pangan seperti minuman cola, roti, daging dan masakan ikan, sayur serta bahan pengawet. Selain itu juga untuk keperluan industri non pangan seperti pada industri kosmetik dan farmasi. Permintaan biji dan fuli pala serta minyak atsirinya diperkirakan akan tetap tinggi, karena pala mempunyai citarasa yang khas. Sampai saat ini Indonesia termasuk salah satu negara produsen dan pengekspor biji dan fuli pala terbesar dunia (Uncomtrade 2014). Sebagian besar pala (99 %) diproduksi oleh perkebunan rakyat, dimana sekitar 75 % pala dunia berasal dari Provinsi Sulawesi Utara. Salah satu sentra produksi terbesar pala ekspor di Provinsi Sulawesi Utara adalah Kecamatan Siau Barat yang terletak di Pulau Siau, Kabupaten Kepulauan Sitaro. Produksi pala dari pulau ini sudah terkenal di dunia dengan nama internasional Siau nutmeg (Ditjenbun 2013a). Selain itu, Kabupaten Kepulauan Sitaro ditetapkan sebagai kawasan perkebunan pala melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 46 tahun 2015. Keputusan tersebut bertujuan mendukung keberlangsungan produksi pala dari daerah tersebut. Tujuan ekspor pala Indonesia adalah Uni Eropa (UE), Vietnam, Amerika Serikat, Jepang dan India. Apabila dilihat dari nilai ekspor tahun 2014, nilai ekspor terbesar adalah ke UE yang mencapai 39.20 %, diikuti Vietnam sebesar 18.34 % dan Amerika Serikat sebesar 13.86 % (Kementan 2014). Pala yang diekspor Indonesia ke UE dalam bentuk biji pala utuh dan bubuk serta fuli/mace. Perhatian masyarakat internasional terhadap keamanan pangan yang dikonsumsinya sudah sangat tinggi, sehingga mereka mensyaratkan standar yang tinggi pada bahan pangan yang akan diterima dan dikonsumsinya (Hariyadi 2007). Uni Eropa sebagai negara tujuan ekspor menetapkan persyaratan yang tinggi terhadap keamanan produk pangan, yang tercantum pada Regulation (EC) No 852/2004 on the hygiene of foodstuffs yang didasarkan pada sistem Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP). Pada periode tahun 2009-2011 terjadi 20 kasus penolakan pala Indonesia oleh Uni Eropa yang dipublikasi melalui Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF). Penyebab utama penolakan (95 %) adalah kontaminasi aflatoksin terutama aflatoksin B1 (AFB1) yang melebihi ambang batas dan sisanya (5 %) disebabkan oleh kontaminasi logam berat merkuri. Kementerian Pertanian menindaklanjuti kasus penolakan pala dengan menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 53/Permentan /OT.140/9/2012 (Permentan No. 53/2012) tentang Penanganan Pascapanen Pala. Permentan No. 53/2012 menjadi pedoman bagi petani/ kelompok tani, petugas lapangan dan pelaku usaha dalam menerapkan perlakuan pascapanen yang baik dan benar yang mengacu pada prinsip-prinsip good handling practice (GHP).
2 Meskipun telah diberlakukan Permentan No. 53 tahun 2012, Indonesia masih mengalami penolakan pala oleh UE. Penolakan pala sebanyak 19 kasus terjadi pada periode 2013-2014 yang disebabkan oleh kontaminasi aflatoksin (88 %) dan kapang (12 %). Beberapa kasus penolakan terjadi pada pala yang berasal dari Kecamatan Siau Barat yang merupakan salah satu daerah pemasok pala ekspor. Batas maksimum cemaran aflatoksin B1 pada pala yang ditetapkan UE dalam UE Regulasi No.165/2010 sebesar 5 ppb dan aflatoksin total 10 ppb. Batas maksimum cemaran aflatoksin pala di Amerika Serikat dan Jepang belum diatur secara khusus untuk komoditi pala, sehingga secara umum mengacu pada batas maksimum cemaran aflatoksin total pada pangan. Batas maksimum cemaran aflatoksin total pada pangan adalah sebesar 20 ppb di Amerika Serikat (NGFA 2011), sedangkan di Jepang sebesar 10 ppb (USDA-FAS 2010). Di Indonesia penetapan batas maksimum cemaran aflatoksin diatur dalam SNI 7385:2009 tentang Batas Maksimum Kandungan Mikotoksin dalam Pangan dan juga diatur melalui Peraturan Kepala Badan POM RI No.HK.00.06.1.52.4011 tahun 2009 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia Makanan. Dalam SNI dan peraturan Kepala Badan POM ini belum diatur secara khusus mengenai batas maksimum cemaran mikotoksin pada pala, sehingga dalam hal ini pala dikategorikan sebagai rempah-rempah bubuk dengan cemaran maksimum aflatoksin B1 sebesar 15 ppb dan aflatoksin total sebesar 20 ppb. Berdasarkan kasus penolakan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian penerapan Permentan No. 53/2012 untuk mengetahui tingkat penerapan permentan tersebut pada rantai pasok pala dari Kecamatan Siau Barat, Pulau Siau, Kabupaten Kepulauan Sitaro, Provinsi Sulawesi Utara. Penelitian penerapan Permentan tersebut perlu dilakukan mengingat pala merupakan salah satu andalan ekspor Indonesia serta banyak dimanfaatkan sebagai pangan dalam negeri, sehingga keamanan pala harus terjamin. Salah satu upaya dalam penjaminan mutu dan keamanan pala dapat dicapai apabila penerapan Permentan No. 53/2012 tentang Penanganan Pascapanen Pala dilaksanakan dengan baik. Perumusan Masalah Sebanyak 95 % penolakan ekspor pala Indonesia ke Uni Eropa dalam lima tahun terakhir disebabkan oleh kontaminasi aflatoksin. Kontaminasi aflatoksin dapat dipicu oleh penanganan pascapanen pala yang tidak sesuai dengan prinsipprinsip GHP dalam rantai pasok pala baik di tingkat petani, pengumpul dan eksportir, serta kurangnya perhatian dan penanganan pala pada tahap-tahap kritis selama pascapanen pala. Hal ini mungkin terjadi di Kecamatan Siau Barat, kabupaten Kepulauan Sitaro, provinsi Sulawesi Utara baik di tingkat petani, pengumpul dan di tingkat eksportir yang palanya diekspor ke UE. Kasus penolakan pala karena aflatoksin oleh UE setelah dikeluarkannya Permentan No. 53/2012 (periode 2013-2014) masih terjadi. Dengan adanya kasus penolakan pala tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui penerapan Permentan yang memuat prinsip-prinsip GHP dalam rantai pasok pala di tingkat petani, pengumpul dan eksportir, serta evaluasi peranan instansi pembina pusat dan daerah dalam mencegah timbulnya kontaminasi aflatoksin pada pala.
3
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengevaluasi data penolakan pala karena aflatoksin oleh Uni Eropa selama kurun waktu 5 tahun terakhir, 2) mengevaluasi penerapan Permentan No. 53/2012 pada praktik penanganan pascapanen pala di tingkat petani, pengumpul, eksportir, serta dukungan pembina tingkat Kabupaten Kepulauan Sitaro, tingkat Provinsi di Sulawesi Utara, serta pembina tingkat pusat di Kementerian Pertanian, 3) menetapkan tahap-tahap kritis penanganan pascapanen pada rantai pasok pala di Kecamatan Siau Barat. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan informasi dan masukan/saran bagi penerapan Permentan No. 53/2012, serta sebagai masukan bagi pelaku usaha dalam upaya meningkatkan keamanan pala.
2 TINJAUAN PUSTAKA Pala Pala sebagai tanaman rempah memiliki nilai ekonomis tinggi karena setiap bagian tanaman dapat dimanfaatkan dalam berbagai industri. Biji, fuli dan olahannya berupa minyak pala merupakan komoditas ekspor dan digunakan dalam industri pangan. Buah pala berbentuk bulat dan berkulit kuning dan yang sudah tua berdaging putih. Bijinya berkulit tipis agak keras berwarna merah. Biji pala bila dikeringkan akan berubah dari putih menjadi coklat tua dengan aroma khas. Bagian-bagian buah pala dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.
Daging buah Cangkang Fuli/Mace
Gambar 1. Bagian-bagian buah pala Di Indonesia dikenal beberapa jenis pala (Nurdjannah 2007), yaitu : a. Myristica fragrans Houtt, yang merupakan jenis utama dan mendominasi jenis lain dalam segi mutu maupun produktivitas.Tanaman ini merupakan tanaman asli pulau Banda.
4 b. M. argenta Warb, lebih dikenal dengan nama Papuanoot alias pala Irian Barat, asli Irian Barat, khususnya di daerah kepala burung. Tumbuh di hutan dan mutunya dibawah pala Banda. c. M. scheffert Warb. terdapat di hutan Irian Jaya. d. M. speciosa, terdapat di pulau Bacan. Jenis ini tidak mempunyai nilai ekonomi. e. M. succeanea, terdapat di pulau Halmahera. Jenis ini tidak mempunyai nilai ekonomi. Pala dari jenis Myristica fragrans Houtt memiliki mutu maupun produktivitas yang paling baik bila dibandingkan dengan jenis lain, sehingga pala dari jenis ini yang dijadikan komoditi ekspor . Negara-negara Eropa yaitu Belanda dan Italia merupakan tujuan utama ekspor pala dan fuli. Selain itu pala juga diekspor ke Amerika Serikat dan beberapa negara Asia.
Aflatoksin Aflatoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan terutama oleh Aspergillus flavus dan A.parasiticus. Konsumsi aflatoksin dalam jangka panjang dapat menyebabkan kanker hati. Akumulasi dari aflatoksin dapat menurunkan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit (IARC 2002). Aspergillus flavus dan A.parasiticus sering mengontaminasi komoditas pertanian seperti kacangkacangan, jagung, serealia dan rempah-rempah (Pooja et al 2015; Walid et al 2014). Kontaminasi kapang dapat terjadi pada saat panen, pengolahan hingga penyimpanan (Ashiq et al. 2014). Setiap tahapan dalam rantai produksi pertanian dapat menjadi titik potensial terjadinya kontaminasi aflatoksin bila kondisi lingkungan dan cara penanganan tidak tepat. Penelitian Ezekiel et al. (2013) terhadap 36 sampel rempah-rempah yang terdiri dari lada ashanti, lada hitam dan pala calabash yang berasal dari Lagos, Nigeria menunjukkan 67 % sampel terkontaminasi kapang dari genus Aspergillus, Fusarium, Penicillium dan Rhizopus. Penelitian Okano et al. (2012) terhadap 25 sampel pala dari Indonesia menunjukkan adanya kontaminasi aflatoksin B dan G. Golongan kapang yang memproduksi aflatoksin G adalah Aspergillus nomius dan A. bombycis.
Penanganan Pascapanen Pala Mutu biji dan fuli dipengaruhi oleh faktor prapanen dan pascapanen. Faktor prapanen diantaranya yaitu jarak tanam yang berpengaruh terhadap ukuran biji; dan pemeliharaan tanaman yang berpengaruh terhadap ketahanan buah pala terhadap serangan hama dan penyakit. Sedangkan faktor panen yang berpengaruh pada mutu pala yaitu cara dan waktu panen serta faktor pascapanen yaitu penanganan buah pala. Buah yang dipanen pada waktu masih muda, akan menghasilkan biji dan fuli dengan kualitas yang rendah. Demikian pula dengan penanganan buah setelah panen yang kurang baik, misalnya penjemuran yang dilakukan secara tergesa-gesa atau suhu pengeringan yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan biji pala banyak yang pecah atau berkerut (Nurdjannah 2007).
5
Panen merupakan tahap akhir dari budidaya tanaman dan sebagai tahap awal dari pascapanen. Sementara itu pascapanen menurut Permentan No. 53/2012 adalah suatu kegiatan yang meliputi pemisahan daging buah, biji dan fuli; pengeringan; pengawetan; pensortiran; pengemasan; penyimpanan; standardisasi mutu dan transportasi. Penanganan pascapanen dilakukan untuk persiapan pemasaran termasuk penanganan selama penyimpanan pemasaran. Pala yang telah dipanen selanjutnya akan diperdagangkan melalui jalur-jalur tataniaga sampai akhirnya ke konsumen. Panjang pendeknya jalur tataniaga menentukan tindakan panen dan pascapanen yang sebaiknya dilakukan. Tindakan panen dan pascapanen yang tepat dapat mencegah pala dari cemaran mikotoksin, bahan kimia pertanian, logam berat dan kontaminasi silang.
Good Handling Practices Good Handling Practices atau penanganan pascapanen hasil pertanian asal tanaman yang baik berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 44 tahun 2009, mempunyai peranan penting dalam menekan kehilangan/kerusakan hasil, memperpanjang daya simpan, mempertahankan kesegaran, meningkatkan daya guna, meningkatkan nilai tambah, meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya dan sarana, meningkatkan daya saing, mengembangkan usaha pasca panen hasil pertanian asal tanaman yang berkelanjutan. Pangan yang dihasilkan melalui praktik GHP diharapkan dapat memenuhi SNI atau persyaratan teknis minimal (PTM). Persyaratan untuk penerapan GHP meliputi panen, penanganan pasca panen, bangunan, lokasi, peralatan dan mesin, bahan perlakuan, wadah dan pembungkus, tenaga kerja, standardisasi mutu, keamanan dan keselamatan kerja (k3), pengelolaan lingkungan, pencatatan, pengawasan dan penelusuran balik, sertifikasi, serta pembinaan dan pengawasan.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 53 Tahun 2012 Peraturan Menteri Pertanian No. 53/2012 merupakan pedoman penanganan pascapanen pala yaitu sebagai acuan teknis tentang penanganan pascapanen pala dan fuli secara baik bagi petani/kelompok tani, pelaku usaha, dan pembina. Penanganan yang baik dimulai dari panen hingga pascapanen untuk menghasilkan pala yang berkualitas tinggi dan aman. Panen. Buah pala yang sudah masak petik umumnya sudah berumur 9 bulan setelah pembungaan. Hal ini ditandai oleh warna buah yang berwarna kuning kecoklatan; dan beberapa buah sudah mulai merekah (membelah) melalui alur belahnya; kulit biji (tempurung) berwarna coklat tua sampai hitam dan mengkilat; serta warna fuli memerah. Panen buah pala dilakukan dengan memetik langsung dari pohon, atau dapat pula dengan memungut buah yang sudah berjatuhan. Buah pala yang sudah jatuh hendaknya dipungut sedini mungkin untuk menghindari kontaminasi hama bubuk biji (Poecilips myristiceae) dan kapang yang dapat menyebabkan kerusakan biji pala.
6 Penanganan pasca panen. Buah pala terdiri dari 83.3 % daging buah; 3.22 % fuli; 3.94 % tempurung biji, dan 9.54 % daging biji. Setelah proses pemisahan, penanganan pascapanen untuk bagian daging buah, biji dan fuli dilakukan secara terpisah karena membutuhkan kondisi yang berbeda. Biji yang terkumpul dipilah menjadi 3 jenis, yaitu : (1) yang gemuk dan utuh; (2) yang kurus atau keriput; dan (3) yang cacat. Proses pengeringan biji pala dilakukan secara bertahap yaitu pengeringan awal, pengupasan tempurung/cangkang biji, pengapuran dan pengeringan akhir. Pengeringan biji pala dapat berlangsung sekitar 9 hari bergantung dari cuaca sekitarnya. Biji pala yang telah kering ditandai dengan terlepasnya bagian kulit biji (cangkang) dan apabila biji pala digoyangkan akan berbunyi. Kadar air biji pala pada kondisi tersebut sekitar 8-10 %. Biji yang sudah kering kemudian dipecah untuk memisahkan tempurung/cangkang dari daging biji. Pemecahan biji dapat dilakukan secara manual dengan menggunakan pemukul atau menggunakan alat pemecah biji. Standar Mutu. Standar mutu pala dan fuli di Indonesia telah diatur menurut Standar Nasional Indonesia. Standar mutu biji pala yang diatur dalam SNI 01-0006-1993 dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2. Sedangkan untuk kriteria standar mutu fuli mengacu pada SNI 01-0007-1993 dengan persyaratan umum yang dijabarkan pada Tabel 3. Dalam standar mutu biji pala dan fuli ini tidak mengatur tentang kandungan aflatoksin. Tabel 1. Spesifikasi persyaratan khusus mutu biji pala Jenis Uji Mutu
Jumlah Biji per ½ kg
Calibrated Nutmeg (CN) CN 60-65 60 – 72 CN 70-75 77-83 CN 80-85 88-94 CN 90-95 99-105 CN 100-105 110-116 CN 110-115 121-127 CN > 120 > 132
Biji Rusak Akibat Serangga (b/b)
Persyaratan Biji Biji Pecahan Keriput (%) (%)
Keseragaman Maksimum
maks. 2 maks. 2 maks. 2 maks. 2 maks. 2 maks. 2 maks. 2
maks. 2 maks. 2 maks. 2 maks. 2 maks. 2 maks. 2 maks. 2
maks. 2 maks. 2 maks. 2 maks. 2 maks. 2 maks. 2 maks. 2
seragam seragam seragam seragam seragam seragam seragam
maks. 2
maks 2
maks 2
tidak dipersyarat kan
tidak dipersyarat kan
maks 2
tidak dipersyaratkan tidak dipersyaratkan
BWP tidak tidak (Broken, dipersya dipersyarat Wormy, ratkan kan Punky) Sumber : SNI 01-0006-1993
tidak dipersyarat kan
maks 25
ABCD Average Rimpel
Maks 121 tidak dipersya ratkan
tidak dipersyaratkan
7
Tabel 2. Spesifikasi persyaratan umum mutu biji pala Jenis Uji Kadar air (% b/b) Biji berkapang (%) Serangga utuh mati (ekor) Kotoran mamalia (mg/ lbs) Kotoran binatang lain (mg/ lbs) Benda asing (% b/b) Sumber : SNI 01-0006-1993
Persyaratan maks.10 maks. 8 maks 4 maks. 0 maks. 0 maks. 0
Tabel 3. Persyaratan umum mutu fuli Jenis Uji Kadar air (% b/b) Kotoran mamalia (mg/ lbs)
Persyaratan maks.10 maks. 3
Kotoran binatang lain (mg/ lbs) Benda asing (% b/b) Serangga utuh mati (ekor)
maks 1 maks. 0.5 maks. 4
Fuli berkapang (% b/b)
maks. 2
Cemaran serangga (% b/b)
maks 1
Sumber : SNI 01-0006-1993 Persyaratan khusus fuli digolongkan ke dalam 5 golongan mutu, yaitu : a) Mutu Whole I (mutu utuh I) : utuh dan pecahan besar, sampai sekitar 1/3 dari utuh, warna kuning dan atau kuning kemerahan sampai merah. b) Mutu Whole II (mutu utuh II) : utuh dan pecahan besar, sampai sekitar 1/3 dari utuh, berwarna gelap/buram. c) Mutu Gruis/Broken I (mutu pecah I): pecah-pecah dengan ukuran sampai minimum 1/12 dari yang utuh, berwarna kuning atau kuning kemerah– merahan sampai merah. d) Mutu Gruis/Broken II (mutu pecah II) : pecah-pecah dengan ukuran sampai minimum 1/12 dari yang utuh, berwarna buram atau kuning dan atau kemerah merahan. e) Black mace (fuli hitam) : yang tidak termasuk whole (utuh), gruis (pecah) yang berwarna gelap hampir hitam. Bangunan. Memenuhi persyaratan lokasi, teknis dan kesehatan serta sanitasi. Lokasi bangunan bebas dari cemaran, berada di tempat yang layak dan memiliki saluran air yang baik, dekat dengan sentra produksi, serta sebaiknya tidak dekat dengan perumahan. Persyaratan teknis dan kesehatan bangunan disesuaikan dengan produk yang ditangani untuk mempermudah sanitasi dan pemeliharaan, tata letak disesuaikan dengan urutan proses penanganan dan penerangannya mencukupi. Mempunyai fasilitas air bersih, sarana pembuangan, toilet serta wastafel.
8 Peralatan dan mesin. Peralatan dan mesin yang digunakan dalam penanganan pascapanen tidak berkarat atau mudah mengelupas, mudah dibersihkan dan dikontrol, tidak mencemari hasil dan mudah untuk disanitasi. Wadah dan pembungkus. Wadah dan pembungkus terbuat dari bahan yang tidak mengganggu kesehatan atau mempengaruhi mutu hasil, tahan selama pengangkutan, mudah dibersihkan dan disanitasi. Selain itu, wadah dan bahan pengemas harus disimpan dalam ruangan kering berventilasi serta dilakukan pengecekan kebersihan dari infestasi jasad pengganggu sebelum digunakan. Pengelolaan lingkungan. Pengelolaan limbah yang ramah lingkungan guna pelestarian lingkungan merupakan hal yang penting. Selain itu, dalam penanganan pascapanen harus memperhatikan keamanan dari kontaminasi silang baik fisik, kimia maupun biologi. Pengawasan. Pengawasan kualitas pala dilaksanakan oleh Dinas yang membidangi perkebunan di tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Sistem pengawasan diterapkan secara baik pada titik kritis untuk memantau kemungkinan adanya kontaminasi. Dalam sistem pengawasan dilakukan kegiatan antara lain monitoring dan evaluasi, pencatatan dan pelaporan. Monitoring dan evaluasi dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan dan dinas bidang perkebunan. Pencatatan dilakukan secara sistematis meliputi data bahan baku, jenis produksi, kapasitas produksi dan permasalahan yang dihadapi serta tindak lanjutnya. Penanganan pascapanen pala dilaporkan kepada dinas teknis yang membina, yaitu dinas kabupaten/kota dan diteruskan kepada dinas provinsi dan kepada Direktorat Jenderal Perkebunan.
Penerapan Kebijakan Peraturan Menteri adalah bentuk dari kebijakan pelaksanaan. Kebijakan pelaksanaan merupakan penjabaran dari kebijakan umum sebagai strategi pelaksanaan tugas di bidang tertentu. Instansi atau Lembaga yang berwenang menetapkan kebijakan pelaksanaan adalah menteri/pejabat setingkat menteri dan pimpinan Lembaga Pemerintah Non Kementerian. Menurut pendapat beberapa pakar dalam Nugroho (2011) implementasi kebijakan adalah kegiatan untuk melaksanakan suatu kebijakan yang dituangkan dalam suatu peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun lembaga negara dalam rangka mencapai tujuan yang dituangkan dalam kebijakan tersebut.
3 METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Bogor dan Jakarta untuk pengumpulan data sekunder, sementara data primer diperoleh dari responden petani dan pengumpul di Pulau Siau, Kabupaten Kepulauan Sitaro. Kecamatan Siau Barat merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang
9
Biaro, Sulawesi Utara. Ibukota Kecamatan Siau Barat adalah Ondong dan secara geografis terletak pada 2o 41’ 44” – 2o 45’ 8” Lintang Utara dan 125o 19’ 45” – 1250 22’ 7” Bujur Timur. Kecamatan Siau Barat berbatasan langsung dengan Laut Sulawesi di sebelah barat, Kecamatan Siau Barat Selatan di sebelah selatan, Gunung Tamata di sebelah timur dan Kecamatan Siau Barat Utara di sebelah utara. Kecamatan Siau Barat terdiri dari 9 desa yaitu : Pelingsawang, Peling, Bumbiha, Paseng, Paniki, Ondong, Pehe, Kanawong, dan Lehi (Gambar 2). Penelitian dilakukan bulan Juli – Agustus 2015. Jumlah penduduk kecamatan Siau Barat yang memiliki mata pencaharian sebagai petani sebanyak 1.849 orang, komoditi terbesar yang diproduksi adalah pala (BPS Sitaro, 2015). Responden eksportir berasal dari kota Manado dan responden pembina adalah pembina di Dinas Perkebunan Kabupaten Kepulauan Sitaro, Dinas perkebunan Provinsi Sulawesi Utara, dan di Direktorat Jenderal Perkebunan.
Gambar 2. Peta lokasi penelitian (BPS Kab. Kep. Sitaro 2014) Bahan Bahan yang digunakan meliputi data sekunder yang diperoleh dengan mengakses website RASFF (rapid alert system for food and feed) tentang penolakan dan notifikasi pala ekspor Indonesia ke UE periode tahun 2009-2014; standar biji pala diperoleh dari Badan Standardisasi Nasional; Permentan No. 53/2012 tentang pedoman penanganan pascapanen pala diperoleh dari Kementerian Pertanian dan formulir observasi. Metode Penelitian dilakukan melalui tiga tahapan yaitu, 1) evaluasi data penolakan pala terkontaminasi aflatoksin oleh UE lima tahun terakhir, 2) evaluasi penerapan Permentan No. 53/2012 di tingkat petani, pengumpul, eksportir dan pembina dan 3) analisis tahap kritis pengolahan pala di tingkat petani, pengumpul dan eksportir. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
10 Evaluasi data penolakan pala terkontaminasi aflatoksin. Pengumpulan data dilakukan dengan mengakses website RASFF. Analisis data penolakan pala oleh UE mengacu pada standar aflatoksin dan persyaratan pala Indonesia. Evaluasi penerapan Permentan No. 53/2012 di tingkat petani, pengumpul, eksportir dan pembina. Pengembangan formulir observasi Pengumpulan data dengan mewawancarai petani, pengumpul, eksportir dan pembina. Penilaian penerapan Permentan No. 53/2012 di tingkat petani, pengumpul, eksportir dan pembina. Analisis tahap kritis pengolahan pala di tingkat petani, pengumpul, dan eksportir. Pemetaan diagram alir rantai pasok pala. Penetapan titik kritis menggunakan pohon keputusan pada prinsip HACCP (CAC 2003).
Gambar 3. Diagram alir penelitian 1. Evaluasi data penolakan pala terkontaminasi aflatoksin Pengumpulan data penolakan pala dilakukan dengan mengakses website RASFF dengan data pada rentang tahun 2009 – 2014. Data penolakan yang diolah berdasarkan kasus penolakan oleh UE yang disebabkan kontaminasi aflatoksin saja. Selanjutnya hasil olahan data penolakan disandingkan dengan standar aflatoksin di Indonesia. Hasil penyandingan merupakan persentase dari kasus penolakan yang masuk ke dalam standar aflatoksin Indonesia dari total kasus penolakan oleh UE yang diakibatkan kontaminasi aflatoksin. Standar aflatoksin di Indonesia yang digunakan adalah SNI 7385:2009 tentang Batas Maksimum Kandungan Mikotoksin dalam Makanan (aftatoksin B1 = 15 ppb dan aflatoksin total = 20 ppb untuk rempah-rempah bubuk). Evaluasi selanjutnya dilakukan terhadap standar mutu pala terbaru yaitu SNI 2015 dan Peraturan Kepala Badan POM RI No.HK.00.06.1.52.4011 tahun 2009 untuk mengetahui pemenuhan persyaratan standar pala Indonesia dengan persyaratan standar ekspor pala UE. Evaluasi dilakukan dengan menyandingkan persyaratan standar pala Indonesia dengan standar ekspor pala UE. 2. Evaluasi penerapan Permentan No. 53/2012 di tingkat petani, pengumpul, eksportir dan pembina Formulir observasi sebagai alat pengamatan dikembangkan dengan mengacu pada isi Permentan No. 53/2012 (Lampiran 1). Pertanyaan dalam formulir dikategorikan menjadi 5 aspek dan 33 kriteria yang berkaitan dengan potensi kontaminasi kapang penghasil aflatoksin dan aflatoksin. Pertanyaan yang ditujukan untuk petani meliputi 4 aspek dan 17 kriteria, untuk pengumpul terdiri
11
dari 2 aspek dan 8 kriteria, untuk eksportir mencakup 2 aspek dan 4 kriteria sementara untuk pembina pusat dan daerah terdiri dari 1 aspek dan 4 kriteria (Tabel 4). Tabel 4. Aspek dan kriteria dalam kuesioner di tingkat petani, pengumpul, eksportir dan pembina Responden Petani
Aspek a. Panen
b. Pascapanen
c. Sarana dan prasarana d. Pelestarian lingkungan Pengumpul
a. Pascapanen
b. Sarana dan Prasarana
Eksportir
Pembina
a.
Sarana dan prasarana
b.
Pelestarian lingkungan
Pengawasan
Kriteria 1 Kriteria petik 2 Belah segera panen 3 Cara panen 4 Lama pala di tanah 1 Buah segera diproses 2 Wadah panen dibersihkan 3 Biji disortir 4 Metode pengeringan 5 Wadah pengeringan 6 Lama pengeringan 7 Lama penyimpanan 8 Penyimpanan 9 Kemasan biji 1 Lokasi pengolahan 2 Bahan wadah dan pembungkus 3 Pembersihan wadah 1 Pemeriksaan kontaminasi silang 2 Pengolahan limbah 1 Pengeringan 2 Sortasi biji 3 Lama penyimpanan 4 Pengawasan kelembaban saat Penyimpanan 1 Bangunan 2 Kebersihan wadah 3 Alat 4 Pengemas 1 Bangunan (lokasi, persyaratan teknis dan kesehatan, sanitasi) 2 Alat dan mesin (bahan dasar, kemudahan pembersihan) 1 Pemeriksaan kontaminasi silang 2 Pengolahan limbah 1 Sistem pengawasan manajemen mutu terpadu 2 Monitoring dan evaluasi 3 Pencatatan 4 Pelaporan
12 Pembahasan aspek mutu tidak dilakukan dalam penelitian ini disebabkan responden tidak menerapkan standar mutu biji pala (SNI 01-0006-1993). Evaluasi penerapan Permentan No. 53/2012 dilakukan dengan mewawancarai 60 petani, 10 pengumpul, 2 eksportir, dan 3 instansi pembina menggunakan kuesioner yang telah dikembangkan. Wawancara terhadap petani melibatkan petugas penyuluh lapangan Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. Responden ditentukan dengan menggunakan purposive sampling method (Palys 2008). Pemilihan responden eksportir berdasarkan adanya kasus penolakan ekspor pala dari eksportir, sedangkan responden petani dan pengumpul adalah pemasok ke eksportir tersebut. Responden pembina pusat dan daerah adalah pembina yang khusus menangani komoditi pala. Dari hasil pengamatan terhadap kriteria dan aspek, tahap selanjutnya dilakukan penilaian tingkat penerapan Permentan No. 53/2012 (PP) untuk kriteria dan aspek. PP kriteria dan PP aspek dihitung dengan menggunakan rumus :
( ) ( ) Keterangan PP : Penerapan Permentan No. 53/2012 Pada hasil penilaian PP kriteria dan PP aspek masing-masing kemudian diklasifikasikan ke dalam 3 kategori, yaitu 1) PP >80 % : baik, 2) PP 60 – 80 %: cukup, dan 3) PP <60 %: kurang. Klasifikasi ini mengadopsi pada penilaian usaha perkebunan (Ditjenbun 2013b). 3. Analisis tahap kritis pengolahan pala di tingkat petani, pengumpul dan eksportir Analisis tahap kritis penanganan pala di tingkat petani, pengumpul dan eksportir dalam rantai pasok pala dilakukan dengan menyusun diagram alir rantai pasok pala. Penentuan tahap kritis pada setiap tahap proses dilakukan menggunakan diagram pohon keputusan (Lampiran 2) sesuai Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) (CAC 2003). HACCP merupakan pendekatan pencegahan yang dianggap dapat memberikan jaminan dalam menghasilkan pangan aman (Dewanti-Hariyadi 2011). Bahaya signifikan yang dijadikan dasar penentuan titik kritis adalah potensi kontaminasi kapang toksigenik dan aflatoksin.
13
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Evaluasi Penolakan Pala oleh Uni Eropa Evaluasi dilakukan terhadap kasus penolakan pala Indonesia oleh UE pada periode 2009-2014. Evaluasi terhadap penolakan pala dilakukan pada kasus penolakan oleh UE karena standar aflatoksin B1 dan total yang dipersyaratkan lebih ketat dibanding dengan negara tujuan ekspor pala Indonesia lainnya seperti Amerika Serikat dan Jepang. Selama periode 2009-2014, Indonesia mengalami 41 kasus penolakan pala oleh UE. Penyebab kontaminasi pala Indonesia antara lain adalah, 37 kasus (90 %) disebabkan oleh aflatoksin, 1 kasus (3 %) disebabkan oleh merkuri dan 3 kasus (7 %) kontaminasi kapang pada fuli pala (Gambar 4). Bila dibandingkan dengan negara India sebagai produsen pesaing pala Indonesia, kasus penolakan pala India oleh UE pada periode 2009-2014 tidak jauh berbeda dengan Indonesia yaitu 37 kasus penolakan. Penyebab penolakan pala India yaitu aflatoksin 33 kasus (89 %) dan okratoksin 4 kasus (11 %). Kadar aflatoksin pada pala India untuk B1 berkisar 6.5 - 244.57 ppb dan total 7.6 – 283.77 ppb, yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan Indonesia.
Gambar 4. Penyebab penolakan pala Indonesia oleh UE periode tahun 2009-2014 Penyebab penolakan pala Indonesia oleh UE yang disebabkan oleh aflatoksin (90 %) sebanyak 37 kasus selanjutnya disandingkan dengan standar aflatoksin Indonesia (kadar aflatoksin total 20 ppb dan B1 15 ppb) diperlihatkan pada Tabel 5. Hasil evaluasi terhadap kadar aflatoksin pada kasus penolakan pala Indonesia oleh UE menunjukkan 73 % kasus memiliki kadar aflatoksin total dan B1 yang melebihi standar aflatoksin di Indonesia. Kasus penolakan dengan kadar aflatoksin tertinggi terjadi pada tahun 2009 – 2010 (lebih dari 100 ppb). India sebagai salah satu produsen pala dunia mengalami kasus penolakan pala oleh UE seperti yang dialami Indonesia, dimana kedua negara tersebut merupakan negara berkembang. Menurut Schweiggert et al. (2007) di negara berkembang tingkat penanganan pascapanen komoditi pertanian sebagian besar masih tradisional. Kadar aflatoksin pala ekspor Indonesia yang melebihi standar UE dan standar Indonesia dapat disebabkan berbagai faktor dalam rantai pasok pala. Pala mungkin tercemar saat proses pengiriman ke negara tujuan ataupun tercemar kapang toksigenik sejak panen dan pascapanen. Pencemaran aflatoksin pala ekspor yang berasal sejak panen dan pascapanen diduga lolosnya kapang toksigenik yang tidak terdeteksi sebelum pengiriman.
14 Tabel 5. Kadar aflatoksin pala Indonesia yang ditolak oleh UE periode tahun 2009-2012 Tahun
No.
Negara pelapor total
2009
1 Belanda 140.0 2 Slovakia 33.0 3 Republik Ceko 30.3 2010 1 Inggris 105.0 2 Belanda 30.0 3 Belanda 24.0 4 Belanda 46.0 5 Belanda 6 Jerman 70.5 2010 7 Inggris 10.1 8 Jerman 9 UE 24.1 2011 1 Belanda 36 2 Belanda 59 3 Belanda 4 Jerman 16.6 5 Spanyol 20.4 6 Jerman 11.2 2012 1 Perancis 12.5 2 Perancis 65 3 Jerman 24.0 2013 1 Inggris 60.0 2 Perancis 3 Belanda 24.0 4 Italia 20.7 5 Spanyol 72.5 2014 1 Jerman 13.1 2 Belanda 57.0 3 Jerman 16.9 4 Inggris 49.5 5 Belanda 24.0 6 Belanda 32.0 7 Italia 8.1 8 Inggris 52.8 9 Belanda 10 Belanda 23.0 11 Jerman Sumber : European Commission, 2014 Keterangan : X : tidak memenuhi standar aflatoksin Indonesia √ : memenuhi standar aflatoksin Indonesia n = 37 kasus
Kadar aflatoksin (ppb) Standar Aflatoksin B1 Indonesia X 120.0 X 28.9 X 21.9 X 100.0 X 25.0 X 23.0 X 45.0 X 57.0 X 43.5 √ 6.4 √ 6.4 √ 20.3 X 29 X 55 X 17 √ 14.6 X 17.8 √ 9.0 √ 9.9 X 60 X 21.2 X 57.0 √ 8.1 X 21.0 X 19.5 X 61.4 √ X 55.0 X 15.3 X 38.7 X 21.0 X 30.0 √ 7.8 X 42.7 X 36.0 X 21.0 √ 9.8
15
Pengujian aflatoksin pala wajib dilakukan oleh eksportir sebelum pengiriman dengan ketentuan hasil uji aflatoksin total dan B1 adalah 10 dan 5 ppb harus memenuhi standar. Menurut standar pala SNI tahun 2015 dan persyaratan umum ekspor pangan UE hasil pengujian untuk biji berkapang yaitu 0 % (Tabel 6). Persyaratan UE khusus untuk pala yang diwajibkan adalah penyertaan hasil uji aflatoksin, sedangkan untuk uji biji berkapang tidak diwajibkan. Hasil di lapangan menunjukkan ekspotir melakukan pemeriksaan untuk biji berkapang hanya secara visual. Hal ini memungkinkan lolosnya kapang toksigenik pada pala ekspor. Kapang Aspergillus flavus sebagai penghasil aflatoksin keberadaan pada pala di tingkat eksportir Manado dilaporkan oleh Dharmaputra et al. (2015) berkadar sekisar 0.1 x 102 – 5.3 x 102 CFU g-1 pada 39% dari 23 sampel. Adanya kapang A. flavus tersebut dapat menyebabkan terbentuknya aflatoksin selama pengiriman disebabkan panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk mencapai negara tujuan dan saat mencapai negara tujuan kadar aflatoksin pala tinggi. Tabel 6. Standar nasional Indonesia pala (SNI 0006:2015), Peraturan Kepala BPOM tentang batas maksimum cemaran mikroba dan kimia dalam makanan (2009) dan persyaratan ekspor UE Jenis Uji
Persyaratan Pala SNI
BPOM
UE
Umum Kadar air (% b/b)
maks. 10
TD
maks 10
Biji berkapang (%) Serangga utuh mati (ekor) Serangga hidup (ekor) Kotoran mamalia (mg/ lbs) Kotoran binatang lain (mg/ lbs) Benda asing (% b/b)
0 tidak ada tidak ada TD TD 0.5
TD TD TD TD TD TD
0 tidak ada tidak ada 0 0 0.5
tidak dicantumkan batasannya
aflatoksin total: 20 ppb B1: 15 ppb
aflatoksin total: 10 ppb B1: 5 ppb
Tambahan Kadar aflatoksin total (B1)
TD : tidak ditetapkan Pencegahan kontaminasi kapang toksigenik sejak panen dan pascapanen dilakukan dengan menerapkan penanganan pala sesuai dengan GHP pada rantai pasok pala sebagaimana tercantum dalam Permentan No. 53/2012. Dengan dilakukannya evaluasi penerapan Permentan No. 53/2012 pada tahap panen dan pascapanen di tingkat petani, pengumpul dan eksportir dapat diketahui tahapan yang berpotensi terkontaminasi kapang toksigenik penghasil aflatoksin.
16 Penerapan Permentan Nomor 53/2012 pada Rantai Pasok Pala di Tingkat Petani
Persentase (%)
Profil responden Data responden petani yang dianalisis meliputi usia, pendidikan terakhir, dan pekerjaan (Gambar 5). Responden petani di Kecamatan Siau Barat sebagian besar (38.3 %) memiliki usia 41-50 tahun, disusul dengan kisaran usia 24-40 tahun (31.7 %) dan kisaran usia >50 tahun (30 %) (Gambar 5). Pendidikan terakhir responden petani sebagian besar adalah SMA (43.3 %). Tingkat pendidikan yang tinggi dapat mendukung penerapan penanganan pengolahan pala yang baik, karena responden petani dengan pendidikan yang tinggi dapat lebih mudah menerima dan memahami hal-hal baru. 100 80 60 40 20 0 24-40 41-50 >50 tahun tahun tahun Usia
S1
D3
SMA SMP
Pendidikan
SD Petani Selain petani Pekerjaan
Gambar 5. Profil petani Evaluasi Permentan No. 53/2012 di tingkat petani mencakup aspek, panen, pascapanen, prasarana dan sarana, serta pelestarian lingkungan. Pembahasan penerapan Permentan dilakukan untuk setiap kriteria pada masing-masing aspek. Aspek panen Empat kriteria yang diamati dalam aspek panen meliputi 1) kriteria panen, 2) segera panen, 3) cara panen dan 4) lama pala di tanah. Hasil evaluasi disajikan pada Tabel 7. Kriteria pertama yang diamati adalah kriteria petik (waktu panen buah pala). Hampir seluruh petani (93.3 %) sudah menerapkan Permentan No.53/2012 dengan melakukan pemanenan buah pala ketika berumur 9 bulan setelah pembungaan. Buah pala berumur 9 bulan ditandai dengan warna buah yang berwarna kuning kecoklatan, buah mulai merekah (membelah) sesuai alur belahnya, kulit biji (tempurung) berwarna coklat tua sampai hitam dan mengkilat,dan warna fuli memerah. Waktu panen yang tepat akan mempengaruhi kekuatan tempurung yang berfungsi melindungi biji pala. Apabila pala kurang umur sudah dipanen maka kekuatan tempurung akan berkurang sehingga hama mudah melubangi tempurung dan menyebabkan pencemaran. Kriteria kedua adalah segera panen. Ketika buah sudah terbelah sebagian besar (95.0 %) petani segera memanen. Hal tersebut menunjukkan penerapan Permentan No.53/2012 sudah baik. Apabila buah yang sudah siap panen namun dibiarkan di pohon selama 2-3 hari, maka buah akan terbelah sempurna dan jatuh ke tanah. Buah yang bersentuhan dengan tanah berpotensi tercemar oleh kapang toksigenik.
17
Tabel 7. Penerapan Permentan No. 53/2012 untuk tiap kriteria pada aspek panen di tingkat petani* Kriteria
PP kriteria (%) Kategori
1. Pala dipanen ketika berumur 9 bulan setelah pembungaan 2. Pala yang sudah terbelah di pohon segera dipanen 3. Penggunaan alat panen yang dapat mencegah pala jatuh ke tanah 4. Pala jatuh tidak lebih dari satu hari
93.3
Baik
95.0
Baik
23.3
Kurang
70.0
Cukup
70.4
Cukup
PP Aspek *n = 60
Kriteria ketiga adalah cara panen. Buah pala dapat dipanen dengan beberapa cara. Bila buah pala dapat dijangkau maka dapat dipetik dengan tangan, namun apabila sulit dijangkau maka dapat menggunakan alat panen (Gambar 6). Penggunaan pengait oleh petani belum mencegah jatuhnya pala ke tanah karena masuk kategori kurang menerapkan Permentan No.53/2012. Cara panen terbaik adalah mencegah pala jatuh dan bersentuhan dengan tanah sebagai sumber kontaminan kapang toksigenik (CAC 2014). Pemetikan pala dengan tangan atau menggunakan sasandeng (alat panen berwadah) dan pemasangan jaring di sekitar pohon yang akan dipanen merupakan cara panen yang dapat mencegah pala bersentuhan dengan tanah. Kriteria keempat adalah lama pala di tanah. Pengumpulan pala yang berjatuhan di tanah pada musim puncak maupun sela panen oleh 70 % petani dilakukan setiap hari dikategorikan cukup menerapkan Permentan No.53/2012. Semakin lama buah jatuh dan dibiarkan di tanah akan meningkatkan resiko tercemar oleh kapang dan serangga. Permentan No.53/2012 sudah cukup diterapkan (70.4 %) pada aspek panen di tingkat petani secara keseluruhan, namun kriteria cara panen perlu diperbaiki untuk mencegah kontaminasi kapang toksigenik penghasil aflatoksin.
(a)
(b)
Gambar 6. Alat panen pala (a) sasandeng (b) pengait
18 Aspek pascapanen Kriteria yang diamati dalam kegiatan pascapanen, adalah buah segera diproses, wadah panen dibersihkan, sortasi, metode pengeringan, wadah pengeringan, letak pengeringan, lama pengeringan, lama penyimpanan biji pala kering, letak penyimpanan biji pala kering, dan kemasan. Tingkat penerapan Permentan No.53/2012 pada kriteria pascapanen tertera pada Tabel 8. Tabel 8. Penerapan Permentan No.53/2012 untuk tiap kriteria pada aspek pascapanen di tingkat petani* Kriteria 1. Buah segera diproses 2. Wadah panen dibersihkan 3. Biji disortir 4. Metode pengeringan 5. Wadah pengeringan 6. Lama pengeringan 7. Lama penyimpanan 8. Penyimpanan 9. Kemasan biji PP Aspek *n = 60
PP kriteria (%) 96.7 65.0 98.3 1.7 1.7 6.7 93.3 100.0 26.7 54.4
Kategori Baik Cukup Baik Kurang Kurang Kurang Baik Baik Kurang Kurang
Hasil pengamatan pada pengolahan pala yang telah dipetik, hampir seluruhnya (96.7 %) petani sudah melakukan dengan baik yaitu segera setelah dipanen pala dipisah antara biji, daging buah dan fuli sehingga sudah sesuai Permentan No.53/2012. Pengolahan pala dengan segera bertujuan untuk mengurangi peluang pertumbuhan kapang. Lebih dari setengah (65 %) petani telah membersihkan wadah setiap saat akan panen. Sebelum biji pala dikeringkan, 98.3 % petani telah melakukan pensortiran menurut ukuran, warna, keriput dan biji berlubang. Pensortiran penting dilakukan untuk mencegah biji berkapang, berlubang dan kotor mencemari biji pala yang baik. Proses pengeringan menurunkan aktivitas air pala sehingga menghambat pertumbuhan kapang toksigenik. Metode pengeringan pada 98.3 % petani masih mengandalkan sinar matahari. Waktu yang dibutuhkan untuk pengeringan dengan sinar matahari relatif lebih lama dibandingkan dengan pengeringan secara mekanis. Semakin lama waktu pengeringan maka potensi terkontaminasi kapang lebih besar. Pengeringan mekanis dibutuhkan ketika musim penghujan saat cuaca basah atau kelembaban tinggi. Kombinasi pengeringan dengan sinar matahari dan mekanis dapat menghasilkan pala dengan kadar air sesuai standar walaupun cuaca tidak mendukung. Menurut Permentan No. 53/2012 wadah pengeringan yang baik adalah rak berjala dengan tinggi sekitar satu meter dari permukaan tanah. Hampir seluruh petani (98.3 %) kurang menerapkan Permentan No. 53/2012 karena tidak menggunakan rak berjala melainkan terpal, plastik bekas karung dan karung goni yang dihampar di pinggir jalan atau teras rumah. Hal ini dapat memicu kontaminasi kapang. Menurut Hedayati et al. (2007) A. flavus tumbuh sebagai saprofit pada tanah. Adanya kontak langsung maupun percikan dari tanah dapat
19
menyebabkan biji terkontaminasi oleh A. flavus. Pengeringan mekanis menggunakan rumah pengering dengan sumber uap panas dari hasil pembakaran. Sampai tahun 2014 terdapat tiga rumah pengering bantuan pemerintah di Kecamatan Siau Barat. Kapasitas rumah pengering yaitu 192 kg untuk pengeringan sekitar 5-7 hari. Rumah pengering dikelola oleh ketua kelompok tani yang juga sebagai pengumpul. Anggota kelompok tani ini tersebar di beberapa desa baik yang dekat maupun jauh dari rumah pengering. Faktor jarak ke rumah pengering dan volume panen petani yang kecil (terutama di luar panen raya) sehingga petani cendrung mengeringkan di halaman rumah (1.7 %). Sedangkan petani yang berdekatan dengan rumah pengering umumnya langsung menjual hasil panennya ke ketua kelompok (pengumpul), sehingga rumah pengering lebih banyak dimanfaatkan dan dikelola oleh pengumpul. Untuk mencegah kontaminasi kapang saat penyimpanan, seluruh petani (100%) sudah menyimpan biji pala di tempat kering dan teduh dan lama penyimpanan biji pala bercangkang yang telah kering pada sebagian besar petani (93.3 %) dibawah satu bulan. Cara penyimpanan di tempat kering dan teduh serta jangka waktu penyimpanan yang singkat dapat mengurangi risiko pertumbuhan kapang penghasil aflatoksin. Semakin lama menyimpan biji pala dalam kondisi yang tidak terkontrol suhu dan kelembabannya dapat memicu kontaminasi tersebut (Choudhary 2010). Hasil pengamatan terhadap kriteria kemasan biji pala kering, menunjukkan 73.3 % petani masih mengemas biji pala dalam karung plastik. Pengemasan pala menggunakan hanya plastik untuk biji pala diperuntukkan bila pala langsung akan dijual, namun untuk biji pala yang akan disimpan hal ini tidak dianjurkan. Sesuai dengan Maryam (2006), untuk produk yang dikemas, sebaiknya digunakan kemasan yang memiliki pori-pori untuk sirkulasi udara, dan diletakkan dengan menggunakan alas (papan). Secara keseluruhan tingkat penerapan Permentan No. 53/2012 oleh petani pada aspek pascapanen masih kurang (54.4 %), terutama pada kriteria pengeringan (metode, wadah dan lama pengeringan) dan kemasan. Minimnya pengetahuan dan fasilitas pengeringan di tingkat petani menjadi penghambat dalam penerapan penanganan pascapanen pala yang baik. Sarana dan prasarana Kriteria yang dievaluasi pada aspek sarana dan prasarana terdiri dari lokasi pengolahan, bahan wadah dan pembungkus, dan kebersihan wadah dengan hasil yang dijabarkan pada Tabel 9. Tabel 9. Penerapan Permentan No. 53/2012 untuk tiap kriteria pada aspek sarana dan prasarana di tingkat petani* Kriteria 1. Lokasi pengolahan 2. Bahan wadah dan pembungkus 3. Kebersihan wadah PP Aspek *n = 60
PP kriteria (%) 3.3 86.7 81.7 57.2
Kategori Kurang Baik Baik Kurang
20 Kriteria pertama adalah bangunan pengolahan pala yaitu kelayakan lokasi bangunan pengolahan pala, pemenuhan syarat teknis dan kesehatan bangunan (tata letak dan penerangan), serta kesediaan fasilitas sanitasi. Bangunan pengolahan pada 3.3 % petani pala masih dikategorikan kurang memenuhi persyaratan Permentan No. 53/2012 karena pengolahan dilakukan di rumah sendiri dengan volume kecil. Sebagian besar ruang atau tempat pengolahan berada di lokasi yang berpotensi menjadi penyebab pencemaran terhadap pala yang diolah. Kriteria berikutnya berkaitan dengan wadah dan pembungkus. Wadah dan pembungkus berguna untuk melindungi dan mempertahankan mutu pala terhadap pengaruh dari luar. Wadah dan pembungkus menurut Permentan No. 53/2012 harus memperhatikan hal-hal berikut : 1) wadah dan pembungkus terbuat dari bahan yang tidak melepaskan bagian atau unsur yang dapat mengganggu kesehatan atau mempengaruhi mutu serta tahan/tidak berubah selama pengangkutan dan peredaran, 2) sebelum digunakan wadah harus dibersihkan dan disanitasi, 3) wadah dan bahan pengemas disimpan pada ruangan yang kering dengan ventilasi yang cukup dan dicek kebersihan dan infestasi jasad pengganggu sebelum digunakan. Wadah dan pembungkus yang digunakan 86.7 % petani sudah baik yaitu menggunakan bahan plastik yang tidak mudah terlepas bagiannya dan mudah dibersihkan. Pencegahan kontaminasi kapang toksigenik dilakukan melalui pemeriksaan dan pembersihan wadah dan pembungkus oleh 81.1 % petani. Secara keseluruhan aspek sarana dan prasarana di tingkat petani kurang menerapkan Permentan No.53/2012 (57.2 %), terutama pada lokasi pengolahan. Pelestarian Lingkungan Dalam Permentan No. 53/2012 upaya pelestarian lingkungan mencakup pencegahan kontaminasi silang secara fisik, kimia dan biologi dan penanganan limbah yang ramah lingkungan sehingga diperoleh produk akhir yang bersih dan sehat (clean product). Evaluasi terhadap aspek pelestarian menunjukkan kurangnya perhatian petani pada aspek ini (Tabel 10). Tabel 10. Penerapan Permentan No. 53/2012 untuk tiap kriteria pada aspek pelestarian lingkungan di tingkat petani* Kriteria 1. Pemeriksaan kontaminasi silang 2. Pengolahan limbah PP Aspek *n = 60
PP kriteria (%) 5.0 0.0 2.5
Kategori Kurang Kurang Kurang
Hampir seluruh (95 %) petani tidak melakukan pencegahan kontaminasi silang. Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari kotoran pada biji pala, menjauhkan dari bahan kimia dan tidak bekerja ketika sakit. Seluruh (100 %) petani belum melakukan proses penanganan limbah yang dihasilkan dari pengolahan pala berupa kulit buah. Pengolahan limbah penting dilakukan guna mencegah terjadinya pencemaran pada lingkungan produksi.
21
Dalam hal upaya pelestarian lingkungan pada hampir seluruh petani masih kurang menerapkan sesuai dengan Permentan No. 53/2012. Limbah berupa kulit buah belum banyak dimanfaatkan menjadi produk lainnya. Kulit buah dapat diolah menjadi sirup pala, dodol, manisan dan produk olahan lainnya.
Penerapan Permentan No. 53/2012 pada Rantai Pasok Pala di Tingkat Pengumpul Pembahasan tingkat penerapan Permentan No. 53/2012 di pengumpul dilakukan untuk tiap kriteria dalam aspek, pascapanen, standar mutu, dan prasarana dan sarana. Pascapanen Kegiatan pascapanen yang diamati pada tingkat pengumpul yaitu pengeringan, sortasi biji dan penyimpanan dengan tingkat penerapan Permentan No. 53/2012 dijelaskan dalam Tabel 11. Tabel 11 Penerapan Permentan No. 53/2012 untuk tiap kriteria pada aspek pascapanen di tingkat pengumpul* Kriteria 1. Pengeringan 2. Sortasi biji 3. Lama penyimpanan 4. Pengawasan kelembaban penyimpanan PP Aspek *n = 10
PP Kriteria (%) 50 100 60
Kategori Kurang Baik Kurang
40 62.5
Kurang Cukup
Kriteria pertama adalah pengeringan. Sebagian (50 %) pengumpul melakukan pengeringan kembali terhadap biji pala yang dikumpulkan dari petani menggunakan metode pengeringan mekanis dan sinar matahari. Pedagang pengumpul biasanya menerima biji kering (dengan kadar air 12 % atau kurang), dan biji pala belum kering (dengan kadar air di atas 12 %). Biji pala dengan kadar air diatas 12 % banyak diterima oleh pengumpul terutama ketika puncak panen. Biji pala yang tidak kering dalam waktu 9 hari setelah panen harus dipisahkan karena kadar air tinggi berisiko memicu pertumbuhan kapang toksigenik. Kriteria kedua adalah sortasi biji pala. Seluruh pengumpul (100 %) sudah melakukan sortasi biji pala dengan memisahkan yang berlubang karena serangga atau sudah lama dan berkapang. Penyimpanan sebagai kriteria ketiga menunjukkan pengumpul kurang (60 %) melakukan pengontrolan suhu dan kelembaban saat penyimpanan serta 40 % pengumpul menyimpan biji pala lebih dari tiga minggu. Menurut Fernandez et al. (2010), suhu dan kelembaban merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kapang toksigenik. Aspek pascapanen di tingkat pengumpul sudah cukup menerapkan Permentan No. 53/2012 penanganan pascapanen, namun kriteria penyimpanan kurang sesuai dengan Permentan No. 53/2012.
22 Sarana dan prasarana Tiga kriteria yang dibahas meliputi bangunan, alat dan mesin, kebersihan wadah dengan hasil evaluasi terhadap prasarana dan sarana disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Penerapan Permentan No. 53/2012 untuk tiap kriteria pada aspek sarana dan prasarana di tingkat pengumpul* Kriteria 1. Bangunan 2. Kebersihan wadah 3. Alat PP Aspek *n = 10
PP Kriteria (%) 30 80 0 36.7
Kategori Kurang Cukup Kurang Kurang
Kriteria pertama, bangunan di pengumpul belum dilengkapi dengan ruang pengolahan pala yang memadai. Kebersihan wadah sebagai kriteria kedua menunjukkan bahwa pengumpul (80 %) menggunakan wadah berbahan plastik yang tidak mudah lepas dan sebelum digunakan dibersihkan. Kriteria ketiga yaitu alat dan mesin. Penggunaan mesin di tingkat pengumpul tidak dibahas karena eksportir umumnya menginginkan biji pala bercangkang, bila menginginkan tanpa cangkang barulah pengumpul memecah biji secara manual dengan alat pemecah cangkang. Peralatan pemecah cangkang yang digunakan pada seluruh pengumpul adalah palu kayu dan tatakan batu. Palu kayu dan tatakan batu sulit untuk dibersihkan dan meninggalkan serpihan pala yang berpeluang sebagai sumber kontaminan. Secara menyeluruh untuk aspek sarana dan prasarana di tingkat pengumpul kurang diterapkan (36.7 %), keterbatasan alat untuk produksi dan bangunan menjadi hambatan dalam pelaksanaan Permentan No. 53/2012. Untuk mencegah cemaran fisik, alat untuk pemecah biji pala sebaiknya digantikan dengan mesin pemecah cangkang ukuran kecil terbuat dari bahan yang kuat dan tidak mudah berkarat. Bangunan di tingkat pengumpul belum memenuhi syarat-syarat seperti lokasi bangunan bebas dari cemaran, baiknya tidak dekat dengan perumahan, memenuhi persyaratan teknis dan kesehatan bangunan disesuaikan dengan produk yang ditangani untuk mempermudah sanitasi dan pemeliharaan untuk sanitasi, bangunan harus mempunyai fasilitas air bersih, sarana pembuangan, toilet serta wastafel.
Penerapan Permentan No. 53/2012 pada Rantai Pasok Pala di Tingkat Eksportir Pada tingkat eksportir, aspek yang dibahas meliputi sarana dan prasarana dan pelestarian lingkungan, dengan hasil pengamatan tingkat penerapan Permentan sebagaimana dijelaskan pada Tabel 13.
23
Tabel 13
Penerapan Permentan No. 53/2012 untuk tiap kriteria pada aspek sarana dan prasarana serta pelestarian lingkungan di tingkat eksportir*
Kriteria
PP Kriteria (%)
Kategori
1.
100
Baik
100 50
Baik Kurang
83.3
Baik
Bangunan Lokasi Persyaratan teknis dan kesehatan 2. Sanitasi 3. Alat dan mesin Peralatan Kemudahan membersihkan alat dan mesin PP Aspek *n = 2
Evaluasi terhadap kriteria bangunan dan sanitasi di tingkat eksportir dikategorikan baik yaitu, berada jauh dari daerah buangan sampah, peternakan, industri berpolusi dan jauh dari rumah penduduk. Persyaratan teknis dan kesehatan bangunan yaitu mudah dibersihkan dan disanitasi, tata letak diatur sesuai dengan urutan proses penanganan dan penerangan dalam ruang kerja cukup sudah terpenuhi. Fasilitas sanitasi berupa penyediaan air bersih, dilengkapi sarana pembuangan sesuai ketentuan, dan bangunan dilengkapi toilet yang berada di luar ruang pengolahan serta dilengkapi dengan wastafel sudah tersedia. Kriteria alat dan mesin dikategorikan kurang karena ada satu eksportir yang menggunakan peralatan yang terbuat dari bambu. Peralatan yang terbuat dari bambu akan mudah menyerap air dan berpotensi menjadi sumber bahaya biologis seperti kapang toksigenik (Tang et al. 2012). Mesin penghancur cangkang biji pala yang berukuran besar mempersulit tindakan pembersihan, hal ini berpotensi sebagai tempat pertumbuhan kapang toksigenik (CAC 2014). Penerapan Aspek pelestarian lingkungan di tingkat eksportir dinilai baik karena sesuai Permentan No. 53/2012 telah diterapkan pencegahan kontaminasi silang fisik, biologi dan kimia dengan baik. Pekerja menggunakan seragam kerja lengkap dengan penutup kepala, melepas alas kaki ketika masuk ke ruang pengolahan dan mencuci tangan sebelum bekerja. Limbah yang dihasilkan di eksportir sangat minim. Pecahan cangkang dimanfaatkan menjadi bahan biofuel. Secara keseluruhan penerapan Permentan No. 53/2012 di tingkat eksportir sudah baik pada aspek mutu, sarana dan prasarana serta pelestarian lingkungan, namun untuk aspek alat dan mesin masih masuk dalam kategori kurang sesuai dengan Permentan No. 53/2012. Pencegahan kontaminasi kapang toksigenik dan aflatoksin sudah dilakukan oleh eksportir, walaupun demikian produksi pembentukan aflatoksin dapat terjadi saat panen. Untuk itu penting melakukan pengawasan pala mulai dari kebun guna mencegah kontaminasi kapang toksigenik (Pitt et al. 2013).
24 Penerapan Permentan No. 53/2012 pada Rantai Pasok Pala di Tingkat Pembina Kabupaten, Provinsi dan Pusat Dinas yang membidangi perkebunan baik di provinsi maupun kabupaten/kota berwenang melakukan pengawasan penanganan pascapanen pala dan fuli yang meliputi empat aspek yaitu, 1) sistem pengawasan manajemen mutu terpadu, 2) monitoring dan evaluasi, 3) pencatatan dan 4) pelaporan. Hasil wawancara terhadap sistem pengawasan menunjukkan para pembina di dinas perkebunan kabupaten, provinsi dan pusat sudah melakukan pengawasan terhadap titik kritis dalam proses penanganan pasca panen untuk memantau kemungkinan adanya kontaminasi. Penyuluh pertanian di tingkat kabupaten yang menangani komoditi perkebunan termasuk pala memiliki pengetahuan yang masih terbatas mengenai titik kritis dan penanganan pascapanen yang baik. Hasil evaluasi Penerapan Permentan pada tingkat pembina dijabarkan pada Tabel 14. Tabel 14 Penerapan Permentan No. 53/2012 pada aspek pengawasan di tingkat pembina* Kriteria
PP kriteria (%) Sistem pengawasan 75 Monitoring dan evaluasi 50 Pencatatan 50 Pelaporan 50
Kategori
1. 2. 3. 4.
Cukup Kurang Kurang Kurang
PP Aspek
56.3
Kurang
*n = 3 Monitoring dan evaluasi pada tiap tingkatan kegiatan di dinas kabupaten, provinsi dan pusat kurang dilaksanakan secara berkala. Hal ini juga ditemui pada pencatatan (recording) data yang sistematis penanganan pasca panen pala (bahan baku, jenis produksi, kapasitas produksi dan permasalahan yang dihadapi dan rencana tindak lanjutnya) yang masih kurang (50%) dilakukan di tingkat pembina. Sama halnya dengan pelaporan setiap usaha pascapanen pala dan fuli belum dilaporkan berkala ke dinas kabupaten/kota, berjenjang ke dinas kabupaten/kota yang akan melaporkan ke dinas provinsi dan ke Direktorat Jenderal Perkebunan. Secara keseluruhan aspek pengawasan oleh pembina yang menangani komoditi pala di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten masih kurang (56.3%).
Penetapan Tahap Kritis Pengolahan Pala Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan, tahap pengolahan pala pada rantai pasok pala dapat dilihat pada Gambar 7. Tahap pengolahan pada rantai pasok dimulai dari tingkat petani, pengumpul dan eksportir selanjutnya ke negara tujuan ekspor.
25
Petani
Pengumpul
Pasar
Exportir
Pemanenan
Penerimaan
Penerimaan
Pemisahan daging buah, fuli dan biji
Sortasi
Sortasi
Pengeringan
Pemecahan cangkang
Pengkelasan mutu
Pengkelasan mutu
Penyimpanan
Pengemasan
Pengiriman
Penyimpanan
Sortasi Pengeringan Pengkelasan mutu Fumigasi
Pengiriman
Pengiriman
Gambar 7. Diagram alir pengolahan pala pada rantai pasok pala Kegiatan pengolahan di tingkat petani Pemanenan. Tahap pertama yang dilakukan petani adalah memanen buah pala pada tingkat kematangan yang tepat yaitu 9 bulan setelah pembungaan. Pemanenan menggunakan alat panen berupa pengait dan sasandeng. Pemisahan. Segera setelah pala dipanen selanjutnya langsung dibelah dan dipisahkan antara daging buah, fuli dan biji pala. Pemisahan dilakukan segera untuk mencegah pala terkontaminasi kapang. Sortasi. Sortasi bertujuan memisahkan biji pala berlubang, berserangga atau berkapang dengan biji pala yang baik sebelum dikeringkan untuk mencegah kontaminasi silang saat pengeringan. Pengeringan. Pengeringan di tingkat petani sebagian besar menggunakan sinar matahari dengan waktu penjemuran yang dibutuhkan tergantung cuaca. Pengkelasan mutu. Biji pala dikelompokan ke dalam mutu A dan AT apabila biji tidak berlubang, berserangga dan pecah, dan bila sebaliknya maka masuk ke dalam kelompok mutu B dan C. Mutu A dan AT bernilai lebih tinggi dari mutu B dan C serta ditujukan untuk diekspor. Pengiriman. Petani umumnya tidak menyimpan biji pala dalam jangka panjang melainkan langsung melakukan pengiriman ke pengumpul. Biji pala yang dikirim ke pengumpul masih bercangkang. Wadah yang digunakan petani untuk pengiriman sebagian besar adalah kantong plastik. Kegiatan pengolahan di tingkat pengumpul Penerimaan. Pengumpul yang utamanya gabungan kelompok tani menerima biji pala dari petani yang sudah menjadi mitra. Untuk biji pala ekspor pengumpul hanya menerima kelompok mutu A dan AT. Sortasi. Sortasi dilakukan setelah penerimaan bahan baku dengan memeriksa secara visual biji pala dari kelas mutu A dan AT. Pengeringan. Pengeringan di tingkat pengumpul merupakan pengeringan lanjutan apabila biji pala dari petani belum kering, biasanya banyak terjadi ketika puncak panen bersamaan dengan musim hujan. Pengeringan dilakukan dengan penjemuran sinar matahari.
26 Pengkelasan mutu. Biji pala kering bercangkang dikelompokan kembali ke mutu A, AT serta mutu B dan C. Pengkelasan mutu dilakukan disebabkan pengeringan lanjutan dapat mengakibatkan terjadinya penurunan mutu biji pala. Penyimpanan. Biji pala untuk masing-masing kelas dikemas dalam karung goni. Penyimpanan dilakukan secara terpisah untuk kelas mutu A dan AT untuk mencegah terkontaminasi biji pala mutu B dan C. Tempat penyimpanan di tingkat pengumpul belum dirancang secara khusus. Pengiriman. Biji pala bercangkang dikirim ke eksportir dengan wadah karung goni dan menggunakan transportasi mobil dan kapal laut untuk menuju ke kota Manado. Kegiatan pengolahan di tingkat eksportir Penerimaan. Pada saat penerimaan dilakukan pengukuran kadar air dan pencuplikan untuk menentukan mutu. Persyaratan untuk kadar air adalah dibawah 12%, sedangkan untuk mutu adalah A dan AT. Sortasi. Sortasi biji pala dilakukan untuk mencegah mutu B dan C masuk ke mutu A dan AT. Pemecahan cangkang. Pemecahan cangkang dilakukan menggunakan mesin pemecah cangkang. Pemecahan dilakukan untuk biji pala yang langsung akan dikirim. Pengkelasan mutu. Biji pala tanpa cangkang kemudian dikelompokan ke dalam mutu ABCD (tidak berlubang, retak dan berkapang, berasal dari pala mutu A), SS (tidak berlubang, retak dan berkapang, berasal dari pala mutu AT), BWP (biji pala retak, berkapang). Biji pala yang akan diekspor adalah mutu ABCD. Pengemasan. Biji pala tanpa cangkang dikemas dalam karung goni dan dipisahkan untuk masing-masing kelompok mutu. Penyimpanan. Penyimpanan dipisahkan untuk masing-masing kelompok mutu. Saat penyimpanan dilakukan pemantauan suhu dan kelembaban. Fumigasi. Fumigasi dilakukan untuk mengeliminasi serangga. Jenis fumigan yang digunakan adalah phosphine (PH3) dengan waktu 3x24 jam. Fumigan menurut Permentan No. 53/2012 menggunakan methyl bromide, namun penggunaan zat tersebut dilarang oleh UE sehingga diganti dengan PH3. Pengiriman. Pengiriman ke negara tujuan menggunakan kapal laut. Penetapan tahap kritis di tingkat petani, pengumpul dan eksportir bertujuan untuk meningkatkan pengawasan terhadap penanganan dan pengolahan pala pada tahap-tahap yang rentan terkontaminasi kapang toksigenik dan aflatoksin dengan mengacu pada hasil evaluasi Penerapan Permentan No. 53/2012. Evaluasi tahap kritis dilakukan pada 20 tahap pengolahan pala dalam diagram alir dengan menggunakan pohon keputusan telah menghasilkan 7 tahap proses pengolahan yaitu, di tingkat petani (pemanenan, pengeringan), pengumpul (penerimaan, pengeringan, penyimpanan) dan eksportir (penerimaan dan pengiriman). Tahap kritis di tingkat petani Pencegahan kontaminasi oleh A. flavus pada saat panen merupakan langkah awal yang penting dilakukan, terutama ketika panen bertepatan dengan
27
musim penghujan.Tahap panen dan pengeringan ditetapkan menjadi tahap kritis di tingkat petani. Penetapan tahap kritis di tingkat petani dijabarkan pada Tabel 15. Tabel 15. Penetapan tahap kritis pengolahan pala di tingkat petani Proses Pemanenan
Pemisahan daging buah, fuli dan biji Sortasi
Pengeringan
Bahaya potensial Biologi : kapang toksigenik
P1*
P2*
P3* P4*
Y
N
Y
Biologi : Y kapang toksigenik, Biologi : Y kapang toksigenik, Biologi : Y kapang toksigenik
N
N
CP
N
N
CP
N
Y
N
N
Pengkelasan mutu
Biologi : kapang toksigenik
Pengiriman
Biologi : kapang toksigenik
Y
N
N
CCP /CP CCP
CCP
CP
Keterangan Cara panen dengan pengait menyebabkan biji pala tercemar karena jatuh ke tanah Pemisahan segera dilakukan setelah panen Biji pala rusak sudah dipisahkan dengan biji pala yang baik Masih tergantung pada sinar matahari, fasilitas pengeringan tidak memadai Biji pala sudah dipisahkan antara tidak berkapang (A dan AT), berkapang (B dan C) Waktu pengiriman singkat
*(Y/N) : Y = Yes, N = No, CCP = Critical Control Point, CP = Control Point P1: Adakah tindakan pengendalian? P2: Apakah tahapan dirancang secara spesifik untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya yang mungkin terjadi sampai tingkatan yang dapat diterima? P3: Dapatkah kontaminasi dengan bahaya yang diidentifikasi terjadi melebihi tingkatan yang dapat diterima atau dapatkah ini meningkat sampai tingkatan yang tidak dapat diterima? P4: Akankah tahapan berikutnya menghilangkan bahaya yang teridentifikasi atau mengurangi tingkatan kemungkinan terjadinya sampai tingkatan yang dapat diterima
Faktor lain yang memicu pertumbuhan kapang toksigenik dan produksi aflatoksin saat panen menurut Miraglia et al. (2009) antara lain kerusakan mekanis atau kerusakan yang disebabkan oleh serangga dan burung. Pemanenan sebagai tahap kritis disebabkan petani belum mencegah biji pala jatuh ke tanah. Tanah merupakan habitat bagi kapang antara lain A. flavus penyebab kontaminasi aflatoksin yang sering mengontaminasi produk pertanian (Sumijati 2009). Dedaunan dan buah pala yang jatuh membusuk di sekitar pohon menjadi tempat tumbuh bagi A.flavus dan turut berpotensi mencemari buah pala yang jatuh (Guchi 2015). Pengeringan pala menjadi tahap kritis karena masih mengandalkan sinar matahari, sehingga lama pengeringan sangat bergantung dari kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembaban. Proses pengeringan dengan sinar matahari membutuhkan waktu 7-9 hari jika sinar matahari tidak konstan sehingga peluang pala terpapar kontaminan lebih besar. Pengeringan mekanis dapat digunakan
28 untuk mengurangi paparan menjadi 5-7 hari dengan suhu 45 0C. Pengeringan harus menggunakan wadah berupa rak-rak kering dan bersih dengan letak rak tidak berdekatan dengan lantai atau tanah. Pembersihan terhadap rak dilakukan setiap hari, apabila diperlukan dapat dilakukan disinfektan berbasis alkohol (CAC 2014). Tahap kritis di tingkat pengumpul Pada tingkat pengumpul tahap kritis yang teridentifikasi adalah tahap penerimaan, pengeringan dan penyimpanan (Tabel 16). Pemeriksaan pala saat penerimaan dilakukan oleh pengumpul untuk mengendalikan aflatoksin. Potensi terbentuknya aflatoksin di tingkat petani yaitu pada saat penanganan pascapanen. Tabel 16. Penetapan tahap kritis pengolahan pala di tingkat pengumpul Proses Penerimaan
Sortasi
Pengeringan
Pengkelasan mutu
Bahaya P1* P2* potensial Biologi : Y N kapang toksigenik Kimia : Y N aflatoksin
P3* P4* Y
Y
CCP /CP CP
Y
N
CCP
Biologi : kapang toksigenik Biologi : kapang toksigenik Kimia : aflatoksin Biologi : kapang toksigenik
Y
N
N
Y
N
Y
Y
N
Y
Y
N
N
CP
N
N
CCP
CCP
Keterangan Pemeriksaan secara visual biji pala berkapang Petani tidak melakukan uji aflatoksin Pemisahan segera biji pala yang baik dengan biji rusak Masih bergantung pada sinar matahari, fasilitas pengeringan tidak memadai
CP
Biji pala sudah dipisahkan antara tidak berkapang (A dan AT), berkapang (B dan C) Penyimpanan Biologi : Y N Y N CCP Terbatasnya volume kapang penyimpanan, serta toksigenik tidak adanya Kimia : Y N Y N CCP pengukur suhu dan aflatoksin kelembaban Pengiriman Biologi : Y N N CP Pengiriman kapang dilakukan dalam toksigenik waktu singkat *(Y/N) : Y = Yes, N = No, CCP = Critical Control Point, CP = Control Point P1: Adakah tindakan pengendalian? P2: Apakah tahapan dirancang secara spesifik untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya yang mungkin terjadi sampai tingkatan yang dapat diterima? P3: Dapatkah kontaminasi dengan bahaya yang diidentifikasi terjadi melebihi tingkatan yang dapat diterima atau dapatkah ini meningkat sampai tingkatan yang tidak dapat diterima?
29 P4: Akankah tahapan berikutnya menghilangkan bahaya yang teridentifikasi atau mengurangi tingkatan kemungkinan terjadinya sampai tingkatan yang dapat diterima
Pengeringan dilakukan kembali pada biji pala dari petani ketika kadar air diatas 12%. Walaupun pengeringan kembali sudah dilakukan oleh pengumpul, namun belum didukung dengan sarana pengering yang baik. Terbatasnya sarana dan prasarana dapat berakibat buruknya praktik pengolahan pala (Ambra et al. 2014). Selain itu, kurangnya pengetahuan tentang penanganan pala mengakibatkan proses pengeringan sebagai tahapan kritis di tingkat pengumpul yang perlu diperhatikan secara khusus. Tahap penyimpanan biji pala sebagai tahap kritis kedua di tingkat pengumpul disebabkan karena tempat penyimpanan belum dirancang secara khusus, antara lain karena masih terbatasnya volume penyimpanan, serta tidak adanya pengukur suhu dan kelembaban. Semakin lama (lebih dari sebulan) menyimpan biji pala dengan kondisi yang tidak terkontrol suhu dan kelembabannya dapat meningkatkan kadar air biji pala sesuai penelitian Thomas dan Krishnakumari (2015), sehingga memicu pertumbuhan kapang toksigenik (Kumar et al. 2008). Umumnya penyimpanan produk dengan aktivitas air tinggi, suhu berkisar 0 25-37 C dan kelembaban tinggi dapat memicu pertumbuhan A. flavus (Gallo et al. 2015). Penelitian Schimt et al. (2009) menunjukkan kondisi optimal A. flavus memproduksi aflatoksin pada suhu 25-30 0C dan aw 0.99. Pengumpul perlu dilengkapi dengan alat pengukur kadar air serta tempat penyimpanan bervolume besar dilengkapi dengan alat pengukur suhu dan kelembaban. Untuk menjaga suhu penyimpanan agar tetap dibawah 25 0C dapat menggunakan pendingin udara. Tahap kritis di tingkat eksportir Tahapan kritis di tingkat eksportir yaitu penerimaan dan pengiriman. Penentapan tahap kritis dapat dilihat pada Tabel 17. Penerimaan merupakan tahap awal untuk mencegah bahaya aflatoksin pada pala yang dipasok dari pengumpul agar kandungan aflatoksin tidak melebihi standar UE. Pengujian kadar aflatoksin saat penerimaan perlu dilakukan oleh eksportir karena menurut penelitian Dharmaputra et al. (2015) pada pala dari Kepulauan Sitaro menunjukkan kandungan aflatoksin di tingkat pengumpul berkisar 0.11 – 1.34 ppb. Tahap kritis kedua adalah pengiriman. Pengiriman ke negara tujuan berjangka waktu sekitar dua bulan melalui jalur laut. Pemantauan kondisi penyimpanan selama pengiriman oleh jasa pengangkutan belum melakukan pencatatan suhu dan kelembaban (data logger), hal ini yang mengakibatkan pihak responden eksportir tidak dapat melakukan pencegahan terbentuknya aflatoksin. Eksportir dapat memantau suhu dan kelembaban dengan melakukan perjanjian dengan pihak jasa pengangkut untuk menyediakan data logger. Kontaminasi aflatoksin sulit dihilangkan dengan proses pemanasan maupun pengolahan, oleh sebab itu pencegahan dilakukan sejak awal panen dan pascapanen. Pada rantai pasok pala, petani dan pengumpul adalah tingkatan yang melakukan kegiatan panen dan pascapanen. Tahap pengeringan ditetapkan sebagai titik kritis dan menjadi fokus utama di tingkat petani dan pengumpul karena merupakan satu-satunya proses yang dapat menghambat pertumbuhan kapang toksigenik. Hasil evaluasi penolakan pala oleh UE menunjukkan tingginya kadar
30 aflatoksin saat mencapai negara tujuan ekspor disebabkan antara lain pala tercemar kapang toksigenik saat panen dan pascapanen. Tabel 17. Penetapan tahap kritis pengolahan pala di tingkat eksportir Proses
Bahaya potensial Kimia : aflatoksin
P1* P2* P3* Y
N
Y
Sortasi
Biologi : kapang toksigenik
Y
N
N
Pemecahan cangkang
Biologi : kapang toksigenik Biologi : kapang toksigenik Biologi : kapang toksigenik
Y
N
N
Y
N
N
Y
N
Penyimpanan Biologi : kapang toksigenik Fumigasi Biologi : kapang toksigenik Pengiriman Biologi : kapang toksigenik Kimia : aflatoksin
Y
N
Y
N
N
Y
N
Y
Y
N
Y
Penerimaan
Pengkelasan mutu Pengemasan
P4* N
CCP Keterangan /CP CCP Kemungkinan terbentuk aflatoksin saat penyimpanan CP Biji pala sudah dipisahkan antara tidak berkapang (A dan AT), berkapang (B dan C) CP Pemecahan menggunakan mesin CP
N
CP
N
CP
Biji pala untuk ekspor mutu tidak berkapang (ABCD) Kemasan menggunakan goni memudahkan biji berespirasi sehingga tetap kering Suhu dan kelembaban terpantau
CP
Khusus proses eliminasi serangga
N
CCP
N
CCP
Jasa pengangkutan belum sepenuhnya menerapkan sistem pemantauan suhu dan kelembaban
*(Y/N) : Y = Yes, N = No, CCP = Critical Control Point, CP = Control Point P1: Adakah tindakan pengendalian? P2: Apakah tahapan dirancang secara spesifik untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya yang mungkin terjadi sampai tingkatan yang dapat diterima? P3: Dapatkah kontaminasi dengan bahaya yang diidentifikasi terjadi melebihi tingkatan yang dapat diterima atau dapatkah ini meningkat sampai tingkatan yang tidak dapat diterima? P4: Akankah tahapan berikutnya menghilangkan bahaya yang teridentifikasi atau mengurangi tingkatan kemungkinan terjadinya sampai tingkatan yang dapat diterima
Hal tersebut diperlihatkan oleh hasil evaluasi penerapan Permentan 53/2012 terhadap praktik panen dan pascapanen di tingkat petani. Pada praktik panen secara keseluruhan sudah cukup baik, namun masih kurang untuk praktik pascapanen terutama pengeringan disebabkan terbatasnya fasilitas pengering.
31
Begitu juga praktik pengeringan di tingkat pengumpul mempunyai fasilitas pengering yang terbatas. Terbatasnya fasilitas pengering ini dapat mengakibatkan proses penghambatan pertumbuhan kapang toksigenik tidak tercapai sehingga dapat memicu aflatoksin didukung oleh kondisi lingkungan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pengendalian kontaminasi aflatoksin pada rantai pasok pala dari Kecamatan Siau Barat dilakukan melalui pengawasan terhadap tahap kritis pada tahap pemanenan dan pengeringan di tingkat petani, penerimaan, pengeringan dan penyimpanan di tingkat pengumpul, serta penerimaan dan pengiriman di tingkat eksportir. Hasil evaluasi Permentan 53/2012 pada rantai pasok pala menunjukkan tingkat penerapan terendah pada pascapanen yaitu tahap kritis pengeringan di tingkat petani dan penyimpanan di tingkat pengumpul. Rendahnya penerapan Permentan 53/2012 di tingkat petani dan pengumpul disebabkan minimnya sarana dan prasarana pengolahan pala terutama fasilitas pengering dan bangunan penyimpanan. Kontaminasi aflatoksin dapat dicegah dengan menghambat perkembangan kapang toksigenik pada pala sejak pascapanen sehingga ekspor pala Indonesia tidak mengalami penolakan.
Saran Dalam rangka meningkatkan penanganan panen dan pascapanen pala maka pemerintah dan eksportir perlu bersinergi untuk meningkatkan sosialisasi penanganan pala serta membangun sarana dan prasarana pengolahan proses pengeringan dan penyimpanan di tingkat petani dan pengumpul. Selain itu, untuk selanjutnya perlu dilakukan penelitian pengaruh proses pengiriman pala ekspor terhadap kontaminasi kapang toksigenik dan aflatoksin.
32
DAFTAR PUSTAKA Ambra P, Davide S, Angelo G, Maria LG. 2014. Co-occurrence of aflatoxins and ochratoxin A in spices commercialized in Italy. Food Control. 39:192-197 Ashiq S, Hussain M, Ahmad B. 2014. Natural occurrence of mycotoxins in medicinal plants: A review. Fungal Genetics and Biology. 66(5) : 1-10. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Kecamatan Siau Barat dalam Angka 2015. Sitaro (ID) : BPS Kab. Kep. Sitaro. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2015. Pala. SNI 0006:2015. Jakarta (ID) : BSN. [CAC] Codex Allimentarius Commission. 2003. Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) System and Guidelines for its Application. Maryland (US) : CAC. [CAC] Codex Allimentarius Commission. 2014. Code Hygienic Practices for Spices and Dried Aromatic Herbs. Maryland (US) : CAC Choudhary AK, Kumara P. 2010. Management of mycotoxin contamination in pre-harvest and post-harvest crops: present status and future prospects. J. Phytol. 2(7):37–52. [Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2013a. Statistik Perkebunan Tanaman Rempah dan Penyegar. Jakarta (ID) : Kementan. [Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2013b. Pedoman Teknis Penilaian Usaha Perkebunan Tahun 2014. Jakarta (ID) : Kementan. Dewanti-Hariyadi R. 2012. HACCP Pendekatan Sistematik Pengendalian Keamanan Pangan. Jakarta [ID]: Dian Rakyat. Dharmaputra OS, Ambarwati S, Retnowati I, Nurfadila N. 2015. Fungal infection and aflatoxin contamination in stored nutmeg (Myristica fragrans) kernels at various stages of delivery chain in North Sulawesi province. Biotropia. 22(2) : 129-139. [EC] European Commission. 2004. Regulation (EC) 852/2004 on the Hygiene of Foodstuff. EU : Eroupean Commission. [EC] European Commission. 2010. Commission regulation (EU) No 165/2010 of 26 February 2006 amending regulation (EC) No 1881/2006 setting maximum level for certain contaminants in foodstuffs as regards aflatoxins. Official Journal of the European Union. L50/8eL50/12. EU : Eroupean Commission. [EC] European Commission. 2014. RASFF Portal [Website]. [diunduh 2014 Oktober 7].Tersedia pada https://webgate.ec.europa.eu/rasff-window/ portal. Ezekiel CN, Fapohunda SO, Olorunfemi MF, Oyebanji AO, Obi I. 2013. Mycobiota and aflatoxin B1 contamination of Piper guineense (Ashanti pepper), P. nigrum L. (black pepper) and Monodora myristica (calabash nutmeg) from Lagos, Nigeria. International Food Research Journal. 20(1): 111-116 (2013). Fernandez CML, Mansilla ML, Tadeo JL. Mycotoxins in fruits and their processed products: analysis, occurrence and health implications. J Adv Res. 2010; 1(2):113–22.
33
Gallo A, Solfrizzo M, Epifani F, Panzarini G, Perrone G. 2015. Effect of temperature and water activity on gene expression and aflatoxin biosynthesis in Aspergillus flavus on almond medium. International Journal of Food Microbiology. Manuscript. Guchi E. Implication of Aflatoxin Contamination in Agricultural Products. 2015. American Journal of Food and Nutrition. 3(1):12-20. Hedayati MT, Pasqualetto AC, Warn PA, Bowyer, P, Denning DW. 2007. Aspergillus flavus: human pathogen, allergen and mycotoxin producer. Microbiology. 153:1677-1692. Hariyadi P. 2007. Pangan dan daya saing bangsa. Di dalam: Hariyadi P (ed). Upaya Peningkatan Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan melalui Ilmu dan Teknologi. Bogor: Southeast Asian Food Science & Technology (SEAFAST) Center IPB. [IARC] International Agency for Research on Cancer - World Health Organization.(2002). IARC Monograph on the Evaluation of Carcinogenic Risk to Humans. 82:171. [ISO] International Organization for Standardization. 2002. Nutmeg, whole or broken, and mace, whole or in pieces (Myristica fragrans Houtt) – Specification. ISO 6577. [Kementan-RI] Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2009. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 44/Permentan/OT.140/10/2009 tentang Pedoman Penangan Pascapanen Hasil Pertanian Asal Tanaman yang Baik (Good Handling Practices). Jakarta (ID) : Kementan. [Kementan-RI] Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2012. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 53/Permentan/OT.140/9/2012 tentang Proses Penanganan Panen Dan Pascapanen Pala dan Fuli. Jakarta (ID) : Kementan. [Kementan-RI] Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2014. Statistik pertanian. Jakarta [ID] :Kementan. Kumar V, Basu MS, Rajendran TP. 2008. Mycotoxin research and mycoflora in some commercially important agricultural commodities. Crop Protection. 27: 891-905. Maryam, R. 2006. Pengendalian terpadu kontaminasi mikotoksin. Wartazoa, 16 (1) : 21-30. Miraglia M, Marvin HJP, Kleter GA, Battilani P, Brera C, Coni E et al. 2009. Climate change and food safety: An emerging issue with special focus on Europe. Food and Chemical Toxicology. 47:1009-1021. [NGFA] National Grain and Feed Association. 2011. FDA Mycotoxin Regulatory Guidance. Washington (US) : NGFA. Nugroho R. 2011. Public Policy. Ed ke-3. Jakarta (ID) : Gramedia. Nurdjannah N. 2007. Teknologi Pengolahan Pala. Jakarta (ID) : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Okano K, Tomita T, Ohzu Y, Takai M, Ose A, Kotsuka A, Ikeda N, Sakata J, Kumeda Y, Nakamura N, Ichinoe M. 2012. Aflatoxins B and G contamination and aflatoxigenic fungi in nutmeg. Shokuhin Eiseigaku Zasshi (Jour). 53(5):211-6. Palys T. 2008. Purposive sampling. In Lisa M. Given (Ed.), The sage encyclopedia of qualitative research methods. (pp. 698-699). Thousand Oaks CA: SAGE Publications.
34 Pitt JL, Taniwaki MH, Cole MB. 2013. Mycotoxin in major crops as influenced by growing, harvesting, storage and processing, with emphasis on the achievement of Food Safety Objectives. Food Control. 32:205-215. Pooja BM, Sowmini S, Madhurima BP, Farid W, Kiran KS. 2015. Biotechnological advances for combating Aspergillus flavus and aflatoxin contamination in crops. Plant Science. 234:119-132. Schimt HM, Abdel HA, Magan N, Geisen R. 2009. Complex regulation of the aflatoxin biosynthesis gene cluster of Aspergillus flavus in relation to various combinations of water activity and temperature. International Journal of Food Microbiology. 135:231–237. Schweiggert U, Carle R, Schieber A. 2007. Conventional and alternative processes for spice production : a review. Trend in Food Science & Technology. 18 : 260 – 268. Sumijati. 2009. Studi tentang Aspergilus flavus dan aflatoksin pada tahap budidaya kacang tanah dari beberapa lokasi lahan kering di kabupaten karanganyar the study of Aspergilus flavus and aflatoxin in peanut culture on selected dry-land fields at karanganyar district. Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimat. 6(2): 91- 98. Tang TKH, Schmidt O, Liese W. 2012. Protection of bamboo against mould using environment-friendly chemicals. Journal of Tropical Forest Science. 24(2):285-290. Thomas RA, Krishnakumari S. 2015. Proximate analysis and mineral composition of Myristica fragrans seeds. Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry. 3(6):39-42. Uncomtrade. 2014. Top exporter nutmeg [Internet]. [diunduh 2015 Januari 8]. Tersedia pada http://comtrade.un.org/ db/ce/ce Snapshot. aspx?px=H1 &cc= 090810. [USDA-FAS] United States Departemen of Agriculture Foreign Agricultural Service. 2010. New action level for aflatoxin in food. GAIN report JA0022. Walid H, Stefano F, Roda AT, Najet AK, Virgilio B, Quirico M, Samir J. 2014. Fungal and aflatoxin contamination of marketed spices. Food Control. 37(3): 177-181.
LAMPIRAN
36
Pascapanen
Panen
Aspek
Jika buah pala dipungut dari yang berjatuhan, berapa lama pala tersebut sudah berada di tanah?
Peralatan apakah yang digunakan untuk memetik buah pala (boleh lebih dari dua alat)?
3
4
Apakah buah yang telah dipetik segera dibelah, dipisahkan daging buah, biji dan fuli?
Apakah buah yang sudah mulai membelah segera dipanen?
2
1.
Apakah kriteria buah pala yang dipetik ?
Pertanyaan
1
No.
Lampiran 1. Formulir Observasi di Tingkat Petani
a.Ya
a. Sasandeng
a. 1 hari atau dibawah 1 hari
a.Ya
a. Berumur 9 bulan setelah pembungaan, berwarna kuning kecoklatan dan beberapa sudah merekah.
b.Tidak
b. Pengait c. Galah
b. Diatas 1 hari
b.Tidak
b. Dibawah umur 9 bulan, warna belum kuning kecoklatan dan belum merekah c. Diatas 9 bulan, warna kuning kecokelatan, dan banyak yang sudah merekah.
Penilaian jawaban responden Baik Kurang
36
Aspek
Pertanyaan
Apakah tas/kantong wadah panen dibersihkan setiap panen?
Apakah biji yang terkumpul kemudian disortir antara baik dan rusak?
Pengeringan biji pala yang masih memiliki tempurung/ cangkang biji dilakukan dengan metode apa?
Apabila pengeringan dengan sinar matahari, maka wadah untuk menjemur menggunakan apa?
Berapa lama waktu pengeringan biji pala dengan sinar matahari?
Apakah penyimpanan biji disimpan secara baik pada tempat yang cukup kering dan teduh?
Biji pala tanpa cangkang dikemas dengan apa?
Jika disimpan, berapa lama biji pala tanpa cangkang disimpan?
No.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Lampiran 1. Formulir Observasi di Tingkat Petani (lanjutan)
a.Ya
a. Karung goni
a.Ya
b. 7-9 hari
a. rak jemur. Tingginya rak jemur
b. Menggunakan alat pengering (oven) c. Keduanya
a.Ya
a.Ya
b.Tidak
b. Karung plastik c. Kardus
b.Tidak
a. Lebih dari 9 hari c. 5-7 hari
b. Terpal c. plastik bekas karung d. karung goni
a. Penjemuran dengan sinar matahari
b.Tidak
b.Tidak
Penilaian jawaban responden Baik Kurang
37
37
38
Sarana dan prasarana
Aspek
Apakah lokasi bebas dari pencemaran (bukan di daerah pembuangan sampah/kotoran cair maupun padat)?
Apakah wadah dan pembungkus dibuat dari bahan yang tidak melepaskan bagian atau unsur yang dapat mengganggu kesehatan?
Apakah sebelum digunakan wadah dibersihkan dan dikenakan tindakan sanitasi?
Apakah wadah dan bahan pengemas disimpan pada ruangan yang kering dan ventilasi yang cukup?
Apakah wadah dan bahan pengemas dicek kebersihan dan infestasi jasad pengganggu sebelum digunakan?
2.
3.
4.
5.
Pertanyaan
1.
No.
Lampiran 1. Formulir Observasi di Tingkat Petani (lanjutan)
a.Ya
a.Ya
a.Ya
a.Ya
a.Ya
b.Tidak
b.Tidak
b.Tidak
b.Tidak
b.Tidak
Penilaian jawaban responden Baik Kurang
38
Pelestarian lingkungan
Aspek
2.
1.
No.
Apakah sudah dilakukan pencegahan terhadap kontaminasi silang yang berasal dari : fisik (kontaminasi dengan barangbarang asing selain pala, misalnya : rambut, kotoran, dll); kimia (tercemar bahan-bahan kimia); biologi (tercemar jasad renik yang bisa berasal dari pekerja yang sakit, kotoran/sampah di sekitar yang membusuk). Apakah penanganan limbah dikelola dengan baik dan benar? (limbah yang berupa bahan organik dapat diolah lebih lanjut menjadi kompos; limbah yang berupa air harus dibuatkan saluran dan pembuangannya)
Pertanyaan
Lampiran 1. Formulir Observasi di Tingkat Petani (lanjutan)
a.Ya
a.Ya
b.Tidak
b.Tidak
Penilaian jawaban responden Baik Kurang
39
39
40
Apakah ketika biji atau fuli pala dikeringkan kembali proses pengering? Metode pengeringannya?
Pertanyaan
Apakah wadah yang digunakan dikenakan tindakan sanitasi/ dibersihkan?
Berapa lama biji disimpan?
Apakah dilakukan pengontrolan suhu dan kelembaban selama penyimpanan?
Apakah dilakukan pengontrolan suhu dan kelembaban biji dan fuli pala dalam kemasan selama pengangkutan/transportasi?
1
2
3
4
2
1
No.
Apakah dilakukan sortasi biji dan fuli dengan memisahkan biji dan fuli yang rusak? Aspek Prasarana dan Sarana
Pascapanen
Aspek
Lampiran 1. Formulir Observasi di Tingkat Pengumpul
a.Ya
a.Ya
a.Dibawah 4 minggu
a.Ya
a.Ya
a.Ya
b.Tidak
b.Tidak
a. Diatas 4 minggu
b.tidak
b.tidak
b.tidak
Penilaian jawaban responden Baik Kurang
40
No.
Pertanyaan
Apakah bangunan sudah dilengkapi dengan sarana a. Ya pembuangan?
Apakah bangunan sudah dilengkapi sarana toilet a. Ya dengan letak tidak terbuka langsung ke ruang proses?
4
5
a. Ya
Apakah bangunan sudah dilengkapi dengan sarana penyediaan air bersih?
3
a. Ya
Apakah bangunan dibuat berdasarkan perencanaan yang memenuhi persyaratan teknik dan kesehatan sesuai dengan jenis produk yang ditangani, sehingga mudah dibersihkan, mudah dilaksanakan tindak sanitasi dan mudah dipelihara?
2
b. Tidak
b. Tidak
b. Tidak
b. Tidak
b. Tidak
Penilaian jawaban responden Baik Kurang
Aspek Prasarana dan Sarana 1 Apakah lokasi bebas dari pencemaran (bukan di a. Ya daerah pembuangan sampah/kotoran, industry dan pemukiman penduduk)?
Aspek
Lampiran 1. Formulir Observasi di Tingkat Eksportir
41
41
42
2
Apakah penanganan limbah dikelola dengan baik dan benar? Dengan cara limbah yang berupa bahan organik dapat diolah lebih lanjut menjadi kompos; limbah yang berupa air harus dibuatkan saluran dan pembuangannya
a. Ya
a.Ya
Apakah bangunan sudah dilengkapi dengan bak a. Ya cuci tangan (wastafel)?
6
b. Tidak
b.Tidak
b. Tidak
Penilaian jawaban responden Baik Kurang
Pertanyaan
No.
Pelestarian Lingkungan 1 Apakah sudah dilakukan pencegahan terhadap kontaminasi silang yang berasal dari : fisik (kontaminasi dengan barangbarang asing selain pala, misalnya : rambut, kotoran, dll); kimia (tercemar bahan-bahan kimia); biologi (tercemar jasad renik yang bisa berasal dari pekerja yang sakit, kotoran/sampah di sekitar yang membusuk).
Aspek
Lampiran 1. Formulir Observasi di Tingkat Eksportir (lanjutan)
42
Aspek Pengawasan
Pertanyaan
Apakah pelaksanaan pengawasan penanganan pascapanen pala dan fuli dilakukan oleh Dinas yang membidangi perkebunan baik di provinsi maupun kabupaten/kota secara terpadu? Apakah dilakukan monitoring dan evaluasi ? (kegiatan mengamati, meninjau kembali, mempelajari, dan menilik yang dilakukan secara terus menerus atau berkala disetiap tingkatan kegiatan, untuk memastikan bahwa kegiatan yang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana) Apakah dilakukan pencatatan (recording) data yang sistematis agar tersedia sewaktu-waktu dibutuhkan? Apakah dilakukan pelaporan setiap usaha penanganan pascapanen pala dan fuli agar dapat dilaporkan kepada dinas teknis yang membina?
No.
1
2
3
4
Lampiran 1. Formulir Observasi di Tingkat Pembina
a. Ya
a. Ya
a. Ya
a. Ya
b. Tidak
b. Tidak
b. Tidak
b. Tidak
Penilaian jawaban responden Baik Kurang
43
43
44
Lampiran 2. Desicision tree dalam penentuan CCP pada proses P1
Adakah tindakan pengendalian?
Ya
Lakukan modifikasi tahapan dalam proses atau produk
Tidak
Adakah pengendalian pada tahap ini perlu untuk keamanan
Bukan CCP
Tidak
P2
Ya
Berhenti
Apakah tahapan dirancang secara spesifik untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya yang mungkin terjadi sampai tingkatan yang dapat diterima?
Ya
Tidak
P3
Dapatkah kontaminasi dengan bahaya yang teridentifikasi atau dapatkah ini meningkat sampai tingkatan yang tidak dapat diterima?
Ya
P4
Bukan CCP
Tidak
Berhenti
Akankah tahapan berikutnya menghilangkan bahaya yang teridentifikasi atau mengurangi tingkatan kemungkinan terjadinya sampai tingkatan yang dapat diterima?
Ya
Bukan CCP
CCP
Tidak
Berhenti
45
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 10 September 1980 sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan I Nyoman Kawi dan Ni Nyoman Sudjiati. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakutas Teknologi Pertanian Institut Teknologi Indonesia. Penulis lulus pada tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke Program Studi Magister Profesional Teknologi Pangan pada Program Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2013. Penulis bekerja sebagai Fungsional Khusus di Direktorat Jenderal PPHP tahun 2005 – 2015 dilanjutkan Fungsional Umum di Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian Kementerian Pertanian tahun 2016 - sekarang. Karya ilmiah yang berjudul Kajian Penerapan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 53 Tahun 2012 untuk Pengendalian Aflatoksin pada Rantai Pasok Pala telah dimasukan pada Jurnal Mutu Pangan tahun 2016 dan diperkirakan akan terbit pada tahun 2016. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S2 penulis.