KAJIAN PEMUPUKAN FOSFAT TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN SORGUM (Sorghum bicolor L.)
Oleh Ir. LINDUNG, MP NIP 19640611 199103 1010 WIDYAISWARA
BALAI PELATIHAN PERTANIAN JAMBI 2011
2
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sorgum adalah tanaman serealia yang potensial untuk dibudidayakan dan dikembangkan, khususnya pada daerah-daerah marginal dan kering di Indonesia (Dajue dan Guangwei, 2000). Mudjisihono dan Suprapto (1987) mengemukakan tanaman sorgum mempunyai ketahanan tumbuh lebih baik dibanding tanaman serealia lain di lahan kering dengan iklim kering, daya adaptasi agroekologi yang luas, tahan terhadap kekeringan, produksi tinggi, perlu input lebih sedikit serta lebih tahan terhadap hama dan penyakit (Sumarno dan Karsono 1996). Sebagai bahan pangan, sorgum berada pada urutan ke-5 di dunia setelah gandum, padi, jagung dan barley (ICRISAT/FAO, 1996). Di negara maju biji sorgum disampaing sebagai bahan pangan digunakan juga sebagai pakan ternak unggas, sedang batang dan daunnya untuk ternak ruminansia. Sebagai bahan pangan dan pakan ternak alternatif, sorgum memiliki kandungan nutrisi yang baik, bahkan kandungan protein bijinya lebih tinggi dari pada beras. Dimana kandungan protein biji sorgum ternyata 1,6 kali lipat kandungan protein beras Selain bahan pangan dan pakan ternak biji sorgum juga merupakan bahan baku industri seperti industri etanol, sebagai bahan baku bioetanol, sorgum dapat berkompetisi dengan molases tebu. Tanaman sorgum memiliki produksi biji dan biomasa yang jauh lebih tinggi dibanding tebu, adaptasi tanaman sorgum jauh lebih luas dibanding tebu sehingga sorgum dapat ditanam di hampir semua jenis lahan, baik lahan subur maupun lahan marjinal. Sorgum disamping memiliki sifat lebih tahan terhadap kekeringan juga salinitas tinggi dan genangan air (water lodging), sorgum memerlukan pupuk relatif lebih sedikit dan pemeliharaannya lebih mudah dari pada tebu, laju pertumbuhan tanaman sorgum jauh lebih cepat, umurnya hanya 3,5 – 4 bulan dibanding tebu 7 bulan Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2005 sekitar 81.176 hektar lahan pertanian di Pulau Jawa telah dialih fungsikan menjadi areal pemukiman dan industri. Fakta ini menunjukkan riskannya ketahanan pangan nasional jika hanya mengandalkan satu komoditi saja, yakni beras. Oleh karena itu upaya pengembangan pangan alternatif yang berbasis umbi-umbian, tanaman pohon atau biji-bijian, menjadi amat penting. Tanaman sorgum adalah salah satu pilihan utamanya Seperti diketahui bahwa lahan-lahan pangan yang tersedia maupun yang disediakan didominasi oleh tanah-tanah mineral masam yang bermasalah, diantaranya yang terluas adalah jenis Ultisol. Kesuburan kimia, fisika, dan biologi jenis tanah ini umumnya rendah. Tingginya kandungan Al, Fe, dan Mn disertai rendahnya kandungan P dan Ca, beberapa unsur hara makro dan mikro lainnya pada tanah ini merupakan penghambat utama bagi pertumbuhan tanaman (Hakim et al, 1986). Apabila tanah ini dikelola dengan baik misalnya melalui teknologi pemupukan, terutama pupuk fosfat (P) dan ditanami tanaman yang toleran terhadap
3
permasalahan ini, maka lahan ini merupakan potensi yang besar untuk pengembangan pertanian. Sorgum adalah salah satu tanaman yang adaptasinya luas, maka berpotensi baik untuk dikembangkan dengan penerapan teknologi budidaya yang tepat seperti penggunaan varietas unggul dan pemupukan yang tepat, baik dosis maupun waktu pemberian. Ketersediaan P tanah untuk tanaman terutama sangat dipengaruhi oleh sifat dan ciri tanahnya sendiri yang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : 1) tipe liat, 2) pH tanah, 3) waktu reaksi, 4) temperature dan 5) bahan organic tanah. Disamping itu penggenangan juga dapat mempengaruhi. Fosfat menjadi tidak tersedia dan tidak larut disebabkan fiksasi oleh mineral-mineral liat dan ion-ion AL, Fe, Mg, ataupun Ca yang banyak larut, membentuk senyawa komplek dan tidak larut. Suatu kenyataan bahwa ketersediaan P tanah sangat dipengaruhi oleh pH tanah, pada kebanyakan tanah kesediaan P maksimum dijumpai pada kisaran pH antara 5,5 – 7,0. Ketersediaan P akan menurun bila pH tanah lebih rendah dari 5,5 atau lebih tinggi dari 7,0. Pada pH rendah jerapan P terjadi oleh ion Fe dan Al. Diatas pH 7,0 fiksasi atau jerapan dilakukan oleh kalsium dan magnesium yang banyak tersedia dan larut yang menyebabkan P mengendap. Pada tanah yang mempunyai kemampuan jerapan (fiksasi) tinggi, masa penggunaan P akan lebih pendek, demikian juga sebaliknya apabila pada tanah yang mempunyai kemampuan jerapan (fiksasi) rendah maka masa penggunaan P akan lebih panjang. Sehubungan dengan itu maka dosis dan waktu pemberian pupuk fosfat harus dipertimbangkan (Nyakpa et al, 1988) Pemupukan yang tepat baik dosis dan waktu pemberian yang sesuai dengan kebutuhan tanaman dapat mengoptimalkan proses-proses fisiologis tanaman. Proses fisiologis yang optimal dapat mendorong tanaman untuk memberikan respon pertumbuhan, hasil, dan kualitas yang optimal pula. Mengingat tanaman sorgum selama pertumbuhannya mempunyai beberapa fase, yaitu fase vegetatif, fase generatif, dan fase masak maka pemberian pupuk P akan lebih efesien bila memperhatikan fase-fase tanaman tersebut, dengan kata lain jumlah pupuk dan waktu pemupukan akan mempengaruhi serapan P yang efesien bagi tanaman sorgum Efektifitas yang tinggi dari pupuk fosfor sangat dipengaruhi oleh jumlah, cara dan waktu pemberian. Hasil yang tinggi dengan penggunaan pupuk yang efesien dapat meningkatkan pendapatan petani. Penerapan yang tepat serta sesuai dengan kondisi lahan adalah suatu cara untuk meningkatkan produktivitas tanaman (Sutoro.Y, Soelaeman dan Iskandar, 1988).
1.2. Perumusan Masalah Pemberian pupuk dalam jumlah dan waktu yang tepat merupakan pertimbangan penting dalam melakukan suatu pemupukan. Serapan P yang besar oleh tanaman akan memberikan pengaruh yang penting dalam peningkatan hasil.
4
Pertambahan P ke dalam tanah dapat berasal dari berbagai sumber, yaitu ; (1) dari pupuk fosfat, (2) pelapukan mineral-mineral yang mengandung P dan (3) dari sisa hewan dan tanaman. Pertambahan P ke dalam tanah yang berasal dari sisa hewan dan tanaman sangat kecil, karena konsumsi fosfat oleh tanaman dan hewan sedikit, demikian juga dengan pelapukan mineral yang mengandung P sangat rendah dan dalam waktu yang relative lama. Sehingga dengan demikian pertambahan P ke dalam tanah yang terbesar adalah dari pupuk fosfat sintetis (Nyakpa et al., 1988) Pemupukan P berperan cukup penting karena tanaman yang tumbuh di tanah yang kekurangan P kurang baik pertumbuhannya, pucat, dan hasilnya rendah (Harris dan Karmas, 1989). Pemupukan P dapat merangsang pertumbuhan awal bibit tanaman. P merangsang pembentukan bunga, buah dan biji, bahkan mampu mempercepat pemasakan buah dan membuat biji lebih bernas. Pupuk P yang berasal dari pupuk buatan merupakan hal yang sangat berguna bagi tanaman karena cepat dan mudah tersedia bagi tanaman dalam bentuk ion orthofosfat primer (H2PO4 -) dan ion orthofosfat sekunder (HPO4 -2). Dengan memberikan pupuk P maka tanaman akan mudah melakukan serapan P, yang berarti semakin banyak pupuk P yang diberikan semakin banyak pula serapan P oleh tanaman. Serapan P yang banyak akan menyediakan energi kimiawi yang banyak pula, dimana energi ini digunakan dalam proses fisiologis tanaman seperti pembentukan protein. Berkaitan dengan hal-hal yang dikemukana di atas, masalah yang diidentifikasi dirumusakan sebagai berikut : 1) Bagaimanakah perbedaan karakteristika pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum yang diberi pupuk fosfat berbagai dosis dan waktu pemberian berbeda 2) Kapankah waktu dan dosis yang tepat pupuk fosfat itu diberikan untuk memperoleh hasil sorgum lebih tinggi
1.3. Maksud Penelitian Penelitian dilaksanakan dengan maksud untuk mengkaji respon tanaman sorgum yang diberikan pupuk fosfat dengan berbagai dosis dan variasi waktu pemberian. Sedangkan tujuan percobaan adalah diperolehnya ketetapan dosis dan waktu pemberian pupuk fosfat pada tanaman sorgum. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan positif pada perkembangan ilmu tanaman dan teknologi budidaya pertanian, khususnya budidaya tanaman sorgum. Pada pengembangan ilmu tanaman, penelitian itu dapat memberikan sumbangan pada ilmu pupuk dan pemupukan. Berdasarkan hal itu dapat disusun teknolgi budidaya tanaman sorgum guna memenuhi kebutuhan akan sorgum produksi dalam negeri.
5
1.4. Kerangka Pemikiran Hasil utama yang diharapkan dari tanaman sorgum adalah biji dan batangnya maka unsur hara P harus diperhatikan. Kekurangan P mengakibatkan pertumbuhan dan hasil sorgum menjadi tidak sempurna. Untuk memenuhi kebutuhan unsur hara tertentu maka yang paling efektif adalah dengan pemberian pupuk buatan (pupuk anorganik). Beberapa percobaan pemupukan menyatakan bahwa bentuk fosfat yang cepat larut dalam tanah adalah bentuk yang disukai oleh tanaman sorgum. Pada pertumbuhannya semasa kecil merupakan waktu-waktu kritis; apabila fosfat yang ada dalam tanah tidak cukup, maka pertumbuhannya menjadi kurus dan kerdil. Pupuk P yang baik adalah pupuk super fosfat yang larut dalam air, dalam hal ini SP-36, pemupukan dengan menggunakan pupuk buatan dosis dan waktu aplikasi SP-36 akan dapat memberikan gambaran untuk mengetahui efesiensi pupuk P terhadap pertumbuhan dan hasil sorgum. Lahan untuk pengembangan tanaman umumnya adalah lahan kering yang bermasalah terutama jenis Ultisol yang tingkat kesuburannya rendah. Tanah ini miskin kandungan hara terutama P yang sering menjadi faktor pembatas pertumbuhan tanaman. Melalui pemberian pupuk P ke dalam tanah akan dapat merubah serapan hara P oleh tanaman. Pemupukan P akan dapat meningkatkan jumlah P total maupun ketersediaan P di dalam tanah, bahkan bila terjadi pengikatan oleh partikel-partikel tanah atau senyawa lain, P yang terikat tersebut tetap lebih mudah larut dari P yang berasal dari tanah. Dengan kata lain, P yang berasal dari pupuk lebih mudah tersedia dari P yang berasal dari tanah (Thompson dan Troeh, 1978).
1.5. Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran maka dapat dirumuskan hipotesis, yaitu Pemberian pupuk fosfat dengan berbagai dosis pada beberapa waktu pemberian berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum
III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini merupakan percobaan lapangan yang dilaksanakan pada Lahan Praktek Balai Pelatihan Pertanian Jambi di Desa Pondok Meja, Kecamatan Mestong, Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi. Jenis tanah Ultisol, pada ketinggian 24 meter di atas permukaan laut. Waktu Penelitian dimulai bulan Maret 2009 sampai dengan bulan Juni 2009.
6
3.2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah : benih sorgum varietas Numbu, Urea, KCl, SP-36, dan Curater. Sedangkan alat yang digunakan adalah : parang, cangkul, meteran, tugal kayu, leaf area meter, oven, timbangan, alat-alat tulis dan gunting.
3.3. Rancangan Percobaan Percobaan ini adalah percobaan Faktorial 3 x 3 dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 kali ulangan. Adapun perlakuannya adalah sebagai berikut : 1. Faktor I adalah dosis pemupukan P (d), terdiri atas 3 taraf, yaitu : d 1 (dosis 100 kg SP-36/ha setara 36 kg P2O5/ha) d 2 (dosis 150 kg SP-36/ha setara 54 kg P2O5/ha) d 3 (dosis 200 kg SP-36/ha setara 72 kg P2O5/ha) 2. Faktor II adalah waktu pemupukan P (w), terdiri atas 3 taraf, yaitu : w1 (1/2 dosis P, 7 hari sebelum tanam dan 1/2 dosis saat tanam) w2 (1/2 dosis P, saat tanam dan 1/2 dosis 7 HST) w3 (1/2 dosis P, 7 HST dan 1/2 dosis 14 HST)
3.4. Pelaksanaan Penelitian Sebelum diolah, tanah terlebih dahulu dianalisis untuk mengetahui pH, kadar P, Al, kandungan Bahan Organik dan Fe yang terkandung dalam tanah. Langkah kerja di lapangan meliputi pengolahan tanah, pengapuran, penanaman jarak 75 x 25 cm, pemupukan, pemeliharaan lain, dan pemanenan.
3.5. Pengamatan Variable yang diamati adalah serapan P jaringan tanaman, tinggi tanaman, luas daun, laju tumbuh tanaman, laju asimilasi bersih, berat kering brangkasan, panjang malai, jumlah biji per malai, berat biji per malai, 3.6. Analisis Data Data hasil pengamatan dianalisis secara statistika dengan sidik ragam, dilanjutkan dengan uji Beda Jarak Berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test/DMRT) pada taraf α = 5%.
7
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Serapan P 4.1.1
Residu P di Tanah Sebelum percobaan dilakukan, terlebih dahulu dilakuan analisis kimia tanah awal. Hasil analisis tanah awal disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil analisis tanah sebelum percobaan. No Sifat Kimia Tanah Nilai 1 pH H2O (1:1) 4,07 pH KCl (1:1) 3,28 2 P-Tersedia (ppm) 13,22 3 N-Total (%) 0,05 4 C-Organik (%) 1,79 5 KTK (me/100 g) 14,01 6 K-dd (me/100 g) 0,41
Kriteria Sangat masam Sangat masam Rendah Sangat rendah Rendah Rendah Sedang
Tabel 1 menunjukkan bahwa P tersedia pada tanah yaitu sebesar 13,22 ppm. yang termasuk dalam kriteria rendah. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa P tersedia termasuk kategori kurang (Fathan et al., 1988), oleh karena itu tindakan pemupukan P harus dilakukan di lahan percobaan. Residu P di tanah merupakan sisa unsur pupuk P yang diberikan. Sedangkan kandungan P jaringan menunjukkan pada serapan unsur P oleh tanaman. Residu P di tanah merupakan sisa unsur pupuk P yang diberikan berdasarkan perlakuan. Setelah tanaman Sorgum dipanen, tanah dimasing-masing perlakuan dianalisis untuk mengetahui sisa unsur P-nya. Hasil analisis residu P di tanah disajikan pada Gambar 1.
Residu P di tanah (ppm)
8
30 20 10 0
d1
d2
d3
w1
10.22
11.42
15.89
w2
13.01
20.48
25.22
w3
18.43
24.23
29.15
Gambar 1.
Grafik dan data rata-rata residu P di tanah (ppm) berdasarkan perlakuan dosis pada berbagai waktu pemupukan
Gambar 1 menunjukkan bahwa semakin tinggit dosis pupuk yang diberikan mengakibatkan semakin tinggi residu P di tanah. Hasil uji ragam menunjukkan bahwa perlakuan dosis pemupukan dan perlakuan waktu pemupukan berpengaruh sangat nyata, dan terjadi interaksi antara kedua perlakuan tersebut terhadap residu P di tanah. Hasil uji beda rata-rata terhadap residu P di tanah disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Residu P di tanah hasil perlakuan dosis dan waktu pemupukan (ppm) Waktu Dosis Pemupukan Pemupukan d1 d2 d3 w1 10,220 c 11,417 c 15,890 c C B A w2 13,007 b 20,483 b 25,220 b C B A w3 18,430 a 24,227 a 29,153 a C B A Keterangan : Angka yang didampingi huruf yang sama pada kolom dan jenis perlakuan yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada DMRT 5%
Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan dosis pemupukan 72 kg P/ha berbeda dengan semua perlakuan dosis lainnya. Perlakuan dosis 54 kg P/ha berbeda nyata dengan dosis 36 kg P/ha. Perlakuan waktu pemupukan baik itu perlakuan-perlakuan w1, w2, maupun w3 berbeda satu sama lainnya.
9
Perbandingan dengan tanaman jagung yang satu keluarga dengan sorgum, bahwa tanggapan terhadap pupuk P yang diberikan apabila kandungan P dalam tanah kurang dari 20 mg P2O5/100 gram (Sutoro et al., 1988), dimana jika kandungan hara P2O5 sebanyak 10-20 mg maka diberikan pupuk P sebanyak 90 P2O5, jika 20-30 mg maka diberikan 60 kg P2O5/ha, dan jika 30-40 mg maka diberikan 0-30 kg P2O5/ha dengan hasil biji Sorgum yang diperoleh sekitar 2,5 – 4,0 ton /ha. Hasil analisis awal kandungan hara tanah menunjukkan bahwa unsur P sebesar 13,22 ppm. Residu pupuk P di dalam tanah masih mempunyai pengaruh terhadap peningkatan hasil pertanaman Sorgum (Sutoro et al., 1988). Pemupukan P yang bersumber dari pupuk SP 36, setelah diberikan selama dua tahun meningkatkan ketersediaan P tanah, dimana pemberian 30 – 90 kg P2O5/Ha meningkatkan kandungan P tersedia tanah 5,04-10,34 ppm lebih tinggi dibanding tanpa pemberian P yaitu 3,88 ppm (Noor dan Ningsih, 1996). Sekitar 10-20% sisa pupuk P masih dapat dimanfaatkan tanaman berikutnya (Eghball et al., 2003). Terdapat korelasi yang signifikan antara kandungan P biji dan residu P di tanah yang mengindikasikan bahwa pada tanah yang mempunyai residu P yang tinggi, pemupukan P yang tinggi tidak diperlukan dalam menghasilkan kandungan P yang tinggi pada biji (Eghball et al., 2003). Kejenuhan P dapat juga mempengaruhi residu P di tanah (Eghball et al., 2003). Kecepatan pelepasan P untuk mengisi bidang oksida besi menurun lebih cepat selama peningkatan kejenuhan serapan P dalam tanah (Sharpley, 1996). 4.1.2
Kandungan P dalam Jaringan
Kandungan P Jaringan (%)
Kandungan P dalam jaringan merupakan akumulasi unsur P yang diberikan berdasarkan perlakuan dosis dan waktu pemupukan P. Hasil yang didapat dari analisis kandungan P dalam jaringan menunjukkan keragaman antara satu perlakuan dengan perlakuan lainnya. Grafik dan data rata-rata kandungan P dalam jaringan disajikan pada Gambar 2. 0,4 0,3 0,2 0,1 0,0
d1
d2
d3
w1
0,246
0,275
0,301
w2
0,289
0,314
0,331
w3
0,316
0,321
0,343
Gambar 2. Grafik dan data rata-rata kandungan P dalam jaringan berdasarkan perlakuan dosis dan waktu pemupukan
10
Gambar 2 menunjukkan bahwa semakin meningkatnya pemberian pupuk P maka semakin besar kandungan P dalam jaringan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan dosis pemupukan dan perlakuan waktu pemupukan memberikan pengaruh sangat nyata, dan terjadi interaksi antara kedua perlakuan tersebut. Hasil uji beda rata-rata terhadap kandungan P dalam jaringan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Kandungan P dalam jaringan hasil perlakuan dosis dan waktu pemupukan (%) Waktu Dosis Pemupukan Pemupukan d1 d2 d3 w1 0,246 c 0,275 b 0,301 c C B A w2 0,289 b 0,314 ab 0,331 b C B A w3 0,316 a 0,321 a 0,346 a C B A Keterangan : Angka yang didampingi huruf yang sama pada kolom dan jenis perlakuan yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada DMRT 5%
Tabel 3 menunjukkan bahwa pemberian pupuk P dengan dosis 72 kg P/ha pada semua perlakuan waktu pemberian menghasilkan P jaringan yang terbesar yaitu 0,346 ppm, yang pengaruhnya berbeda nyata dengan P jaringan yang diberi dosis 54 kg P/ha dan 36 kg P/ha. P jaringan yang terendah terjadi pada pemberian pupuk P dengan dosis 36 kg P/ha pada saat pemberian w1 yaitu sebesar 0,246 ppm, yang berbeda nyata dengan perlakuan pemberian dosis 54 dan 72 kg P/ha. Maka dapat diduga semakin besar dosis P yang diberikan akan memberikan hasil residu P yang besar juga, demikian sebaliknya. Menurut Fathan et al. (1988), selama pertumbuhan tanaman keluarga graminae, konsentrasi hara di dalam jaringannya berubah mengikuti pola tertentu. Konsentrasi P dalam daun terus menurun dengan waktu, sedangkan fluktuasi konsentrasi P dalam batang cukup besar. Hara P terpekat terdapat di dalam biji, konsentrasi P di dalam daun, batang, dan kelobot relatif sama. Dari total hara N dan P yang diserap tanaman, 65%-74% akhirnya terdapat di dalam biji sorgum dan hanya sebesar 19%-40% untuk K. Hasil analisis ragam terhadap kandungan P di biji juga menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata untuk perlakukan dosis dan waktu pemupukan serta terjadi interaksi. Hasil uji beda rata-rata terhadap kandungan P dalam jaringan disajikan pada Tabel 4, yang menunjukkan bahwa antar perlakuan berbeda satu sama lainnya.
11
Tabel 4. Kandungan P di biji hasil perlakuan dosis dan waktu pemupukan (%) Waktu Dosis Pemupukan Pemupukan d1 d2 d3 w1 0,325 c 0,477 a 0,497 c C B A w2 0,413 b 0,474 ab 0,542 b C B A w3 0,443 a 0,464 b 0,594 a C B A Keterangan : Angka yang didampingi huruf yang sama pada kolom dan jenis perlakuan yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada DMRT 5%
4.2 Pertumbuhan dan Hasil 4.2.1
Tinggi Tanaman Peubah tinggi tanaman diamati sebanyak 6 (enam) kali, dilakukan 1 minggu sekali, dimulai dari umur 3 minggu setelah tanam (MST), 4 MST, 5 MST, 6 MST, 7 MST sampai tanaman mencapai pertumbuhan vegetatif maksimum, yaitu pada 8 MST. Data rata-rata dan grafik hasil pengamatan untuk tinggi tanaman berdasarkan dosis dan waktu pemupukan disajikan pada Gambar 3.
250 d1w1
Tinggi (cm)
200
d1w2 d1w3
150
d2w1 100
d2w2 d2w3
50
d3w1 d3w2
0 1
2
3
4
5
6
d3w3
Perlakuan
Gambar 3. Grafik rata-rata tinggi tanaman pada berbagai umur tanaman berdasarkan perlakuan dosis dan waktu pemupukan
12
Gambar 3 menunjukkan bahwa pemupukan P cenderung meningkatkan tinggi tanaman dibandingkan tinggi tanaman sorgum yang dosis pemupukannya lebih rendah. Tinggi tanaman yang tertinggi baik pada umur 3 MST, 4 MST, 5 MST, 6 MST, 7 MST, dan 8 MST terjadi pada perlakuan d3 yaitu dosis pemupukan 72 kg P/ha. Hasil analisis ragam tinggi tanaman pada umur pengamatan yaitu 3 MST, 4 MST, 5 MST, 6 MST dan 7 MST menunjukkan bahwa perlakuan dosis pemupukan dan waktu pemupukan berpengaruh tidak nyata., hal ini diduga jumlah P yang diserap tanaman sorgum untuk pertumbuhan sangat sedikit, atau sama sekali belum dapat diserap, sehingga penambahan sel-sel baru untuk pertumbuhan tinggi tanaman tidak terpengaruh pemupukan. Pada umur pengamatan 8 MST menunjunjukka hasil yang berpengaruh nyata pada perlakukan dosis pemupukan, tanaman umur 8 MST mampu memnyerap P lebih banyak, sehingga berpengaruh terhadap sel-sel baru untuk pertumbuhan tinggi tanaman. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Fanindi et.al (2008) bahwa pemupukan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan sorgum. Hasil penelitian di atas sejalan dengan Hairunsyah dan Arif (1991) yang menyatakan pada berbagai dosis P tidak mempunyai pengaruh terhadap tinggi tanaman. Sudadi dan Atmaka (2000) mengemukakan bahwa parameter pertumbuhan awal dan menengah kurang terpengaruh oleh unsur P yang bersumber dari pupuk SP 36 karena sifat karakteristik lama larut. Mengacu pada tanaman jagung, hasil penelitian Lindung (2006) menunjukkan bahwa P berpengaruh nyata pada tinggi tanaman jagung berumur 8 MST sedangkan pada umur di bawahnya berpengaruh tidak nyata. Selama pertumbuhan tanaman, konsentrasi hara di dalam jaringan berubah mengikuti pola tertentu. Konsentrasi P dalam batang mempunyai fluktuasi yang cukup besar.. Hasil uji beda rata-rata dengan menggunakan uji Duncan terhadap tinggi tanaman 8 MST disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Tinggi tanaman umur 8 MST hasil perlakuan dosis dan waktu pemupukan (cm) Waktu Dosis Pemupukan Rata-rata Pemupukan d1 d2 d3 w1 174,417 191,667 195,917 187,333 w2 181,333 193,167 200,750 191,750 w3 179,500 187,750 198,250 188,500 Rata-rata 178,417 b 190,861 ab 198,306 a Keterangan : Angka yang didampingi huruf yang sama pada kolom dan jenis perlakuan yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada DMRT 5%
Tabel 5 menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan yang memberikan hasil tertinggi terhadap tinggi tanaman 8 MST terjadi pada perlakuan d3 yaitu perlakuan
13
dosis pupuk 72 kg P/ha yang diberikan pada waktu pemupukan saat tanam dan 7 hari setelah tanam (w2) 7 HST, berbeda dengan perlakuan d1 Menurut Suryanto et al. (1992), macam pupuk P berpengaruh terhadap tinggi tanaman pada umur 8 minggu, dimana peningkatan takaran lebih dari 150 kg P/ha cenderung meningkatkan tinggi tanaman. Secara umum Tabel 6 menunjukkan adanya perbedaan pengaruh perlakuan baik secara terpisah dimana perlakukan d3 berbeda dengan d1 tetapi tidak berbeda dengan d2. Pada kombinasi perlakuan tidak terdapat perbedaan secara nyata. Hal ini menunjukkan bahwa pada pemberian pupuk P dosis 36 kg/Ha masih memacu pertumbuhan bagian vegetatif tanaman. Namun pada dosis 54kg/Ha sudah tidak mempengaruhi lagi secara nyata terhadap tinggi tanaman. Tanaman tidak akan menyerap seluruh hara yang diberikan apabila hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mencukupi (Ernawati et al., 1999). Jaringan tanaman yang mengandung unsur hara tertentu dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari konsentrasi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan maksimum, maka tanaman dikatakan dalam kondisi konsumsi mewah/luxury comsumption (Lakitan, 2001). Fosfor disini jelas bukan berfungsi dalam meningkatkan pertumbuhan batang. Fungsi ini merupakan fungsi hara nitogen. Kekahatan nitrogen menyebabkan pembelahan sel terhambat dan akibatnya menyusutkan pertumbuhan (Poerwowidodo, 1993). Hasil penelitian Bakri et al. (2004) tentang respon tanaman yang satu keluarga dengan sorgum terhadap pemupukan P, menunjukkan bahwa perlakuan status hara P dan interaksi antara perlakuan status P dan dosis pupuk P berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman, sedangkan pengaruh dosis pupuk P berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman baik pada 4 minggu setelah tanam maupun 100 hari setelah tanam. Keadaan hasil peneitian ini sejalan dengan pendapat Dean dalam Miller (1954) dalam Fauziati et al. (1991), bahwa penambahan sedikit P tersedia ke dalam tanah yang kekurangan unsur hara tersebut akan menurunkan kadar persentase P pada tanaman tersebut, tetapi apbila penambahan P dilanjutkan maka persentase P tersebut akan meningkat. 4.2.2
Luas Daun
Peubah luas daun diamati sebanyak 5 (lima) kali, pengamatan dilakukan 1 minggu sekali, dimulai dari umur 3 MST, 4 MST, 5 MST, 6 MST, 7 MST dan 8 MST. Data rata-rata dan grafik hasil pengamatan untuk setiap umur tanaman berdasarkan dosis dan waktu pemupukan disajikan pada Gambar 4.
14
7,000
6,000
Luas daun (cm 2)
5,000
4,000
3,000
2,000
1,000
0
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
7 MST
8 MST
d1w1
634.05
1,124.20
2,476.84
4,490.37
4,830.02
6,300.556
d1w2
616.10
1,208.48
2,638.84
4,520.43
5,051.27
6,012.748
d1w3
606.44
1,222.42
2,739.93
4,387.65
4,828.65
5,783.450
d2w1
530.35
944.53
2,722.67
4,537.11
5,351.99
6,074.837
d2w2
458.26
1,027.91
2,818.13
4,689.33
5,473.94
6,421.288
d2w3
551.09
1,368.98
2,851.70
4,796.15
5,221.52
6,460.469
d3w1
321.96
1,032.80
3,154.99
5,434.46
5,760.19
6,783.976
d3w2
307.52
1,394.61
3,588.25
5,451.51
5,839.16
6,886.686
d3w3
492.85
1,027.80
3,292.86
5,655.02
5,748.57
6,719.694
Gambar 4.
Rata-rata luas daun pada berbagai umur tanaman berdasarkan perlakuan dosis pemupukan
Gambar 4 menunjukkan bahwa perlakuan dosis pemupukan P 72 kg/Ha memberikan nilai rata-rata luas daun tertinggi sedangkan yang terendah pada dosis pemupukan P 36 kg/Ha. Berdasarkan analisis ragam terhadap luas daun menunjukkan bahwa perlakuan dosis pemupukan berpengaruh sangat nyata, sedangkan waktu pemupukan berpengaruh tidak nyata terhadap luas daun umur 6 MST. Pada umur pengamatan tanaman selain 6 MST, semua perlakuan berpengaruh tidak nyata. Pemupukan P cenderung meningkatkan luas daun dibandingakan luas daun sorgum yang tanpa pemupukan. Luas daun yang terluas baik pada umur 3 MST, 4 MST, 5 MST, 6 MST, 7 MST dan 8 MST terjadi pada perlakuan dengan dosis pemupukan. Diduga bahwa semakin meningkatnya umur tanaman maka bagianbagian tanaman, termasuk daun membutuhkan unsur hara semakin banyak juga, sehingga dibutuhkan unsur hara P yang lebih banyak pula.
15
Uji beda rata dari perlakuan dosis pemupukan yang berpengaruh nyata pada luas daun umur tanaman 6 MST disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Luas daun 6 MST hasil perlakuan dosis dan waktu pemupukan (cm2) Waktu Dosis Pemupukan Rata-rata Pemupukan d1 d2 d3 w1 4490,4 4537,1 5434,5 4820,6 w2 4520,4 4689,3 5451,5 4887,1 w3 4387,6 4796,1 5655,0 4946,3 Rata-rata 4466,2 b 4674,2 b 5513,7 a Keterangan : Angka yang didampingi huruf yang sama pada kolom dan jenis perlakuan yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada DMRT 5%
Tabel 6 menunjukkan bahwa interaksi kombinasi perlakuan dosis pemupukan dan waktu pemupukan memberikan luas daun tertinggi dicapai pada kombinasi dosis pemupukan 72 kg P/ha dengan waktu pemupukan saat tanaman dan 14 MST (w3). Daun berfungsi sebagai penerima cahaya dan alat fotosintesis yang dapat menjadi indikator pertumbuhan dan sebagai data penunjang untuk menjelaskan proses pertumbuhan selama pembentukan biomasa (Sitompul dan Guritno, 1995). Mengingat unsur P sebagai unsur penting dalam menyusun sumber energi, maka ketersediaan P bagi tanaman dengan penambahan dosis pemupukan P maka akan terpenuhinya kebutuhan P bagi tanaman sehingga dapat memacu berlangsungnya proses fisiologis yang mendorong pertumbuhan daun. Luas daun mempunyai kaitan dengan tinggi tanaman yaitu sebagai parameter pertumbuhan ataupun sebagai hasil fotosintat. Kaitan luas daun, tinggi tanaman dan kandungan P jaringan seperti disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Tinggi tanaman, luas daun, dan kandungan P jaringan.
Perlakuan d1 d2 d3 w1 w2 w3
Tinggi tanaman (cm) 177,92 189,31 194,97 186,08 186,50 189,61
Luas daun (cm2) 6.032,3 6.318,9 6.796,8 6.386,5 6.440,2 6.321,2
Kandungan P jaringan (%) 0,2838 0,3034 0,3259 0,2741 0,3112 0,3278
Tabel 7 menunjukkan, pada perlakuan dosis pemupukan P, semakin tinggi tanaman semakin luas daunnya, semakin banyak kandungan P jaringan. Pada
16
perlakuan waktu pemupukan ternyata perlakuan w2 memberikan tinggi tanaman dan luas daun yang terbesar, namun jumlah kandungan P jaringan bukan yang tertinggi. Peranan utama unsur P pada pembentukan luas daun pada dasarnya adalah sebagai sumber energi dan membantu peningkatan penyerapan nitrogen. Pemupukan nitrogen mempunyai pengaruh yang nyata terhadap perluasan daun, terutama lebar dan luas daun (Humphries dan Wheeler, 1963 dalam Gardner, 1991).
4.2.3
Berat Kering Brangkasan
Meningkatnya berat kering tajuk tanaman berkaitan dengan meningkatnya tinggi tanaman yang dipengaruhi oleh meningkatnya ketersediaan hara di dalam tanah, khususnya P, sehingga pembentukan jaringan tanaman menjadi lebih baik. Marschner (1986) dalam Sulaiman dan Eviati (2000), mengemukakan bahwa meningkatnya ketersediaan suatu unsur hara tanaman dalam tanah akan mempengaruhi peningkatan serapan hara tanaman yang lain. Dengan demikian proses metabolisme tanaman menjadi lebih baik yang dicirikan oleh meningkatnya berat kering tajuk tanaman (biomassa). Jika P diberikan berlebih, pertumbuhan akar sering melebihi pertumbuhan tajuk. Ini menyebabkan nisbah tajuk-akar rendah, berlawanan dengan akibat kelebihan nitrogen (Salisbury dan Ross, 1995). Pemberian nitrogen akan merangsang pembentukan akar baru dan rambut-rambut akar yang mempunyai kapasitas serap per satuan berat sangat tinggi, dan jika di lingkungan itu pasok P juga rendah maka keadaan perkembangan akar ini sangat menguntungkan bagi penyerapan total P (Porwowidodo, 1993). Pemberian pupuk P meningkatkan berat kering akar sampai dosis 150 kg P/ha (Suryanto et al., 1992). Akar cenderung berproliferasi dalam zona mengandung bahan organik dan pupuk, terutama yang mengandung N dan P (Duncan dan Ohlrogge, 1958 dalam Gardner et al., 1991). Tanaman yang dipupuk P mengembangkan lebih banyak akar dibandingkan dengan tanaman yang tidak dipupuk, tetapi hal ini bukan merupakan pengaruh langsung; ketersediaan P mula-mula meningkatkan fotosintesis yang selanjutnya meningkatkan pertumbuhan akar. Berat kering tanaman merupakan hasil fotosintesis, jika diketahui berat kering tanaman, maka dapat diketahui kemampuan tanaman sebagai penghasil fotosintat (Goldworthy dan Fisher, 1992). Peubah berat kering brangkasan dalam penelitian ini merupakan penjumlahan berat kering tajuk dengan berat kering akar, diamati sebanyak 7 (tujuh) kali, dimana pengamatan dilakukan dengan tanaman yang berbeda-beda. Pengamatan dilakukan pada tanaman umur 3 MST, 4 MST, 5 MST, 6 MST, 7 MST sampai tanaman mencapai pertumbuhan vegetatif maksimum, yaitu pada 8 MST, dan yang terakhir pada tanaman sudah dipanen atau 14 MST. Data rata-rata berat kering brangkasan untuk setiap umur pengamatan berdasarkan perlakuan disajikan pada Gambar 5.
Berat kering brangkasan (gram)
17
100 80 60 40 20 0
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
7 MST
8 MST
14 MST
d1w1
2,033
11,198
23,639
40,680
48,387
70,807
74,448
d1w2
1,759
8,599
33,810
45,223
50,075
78,716
82,806
d1w3
1,454
8,432
22,791
41,821
49,803
79,169
83,222
d2w1
1,796
8,518
22,287
42,471
50,532
76,678
80,247
d2w2
1,693
6,629
22,283
43,348
54,712
80,713
84,479
d2w3
2,652
7,221
30,021
47,981
53,640
85,170
89,138
d3w1
0,988
7,839
16,831
44,087
57,767
87,135
91,547
d3w2
0,884
3,887
27,279
55,699
67,102
90,952
95,606
d3w3
1,607
8,418
18,499
46,674
60,159
83,699
88,024
Gambar 5.
Grafik dan data rata-rata berat kering brangkasan pada berbagai umur tanaman berdasarkan perlakuan dosis pemupukan
Gambar 5 menunjukkan bahwa berat kering brangkasan tanaman umur 8 MST dan 14 MST terjadi peningkatan yang kecil, dibandingkan dibandingkan laju peningkatan dari umur 3 MST sampai ke 8 MST. Berdasarkan hasil analisis ragam berat kering brangkasan pada berbagai umur tanaman menunjukkan bahwa perlakuan dosis pemupukan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap berat kering brangkasan tanaman umur 7 MST, 8 MST, dan 14 MST, sedangkan pada umur pengamatan tanaman lainnya memberikan pengaruh tidak nyata. Perlakuan waktu pemupukan memberikan pengaruh tidak nyata, serta tidak terjadi interaksi antara kedua perlakuan pada semua umur tanaman yang diamati. Hasil uji beda rata-rata dari perlakuan yang memberikan pengaruh nyata disajikan pada Tabel 8, Tabel 9 dan Tabel 10.
Tabel 8.
Berat kering brangkasan 7 MST hasil perlakuan dosis dan waktu pemupukan (gram)
18
Waktu Pemupukan w1 w2 w3 Rata-rata
Dosis Pemupukan d1 d2 48,387 50,532 50,075 54,713 49,803 53,641 49,422 b 52,962 b
d3 57,767 67,102 60,159 61,675 a
Rata-rata 52,229 57,297 54,534
Keterangan : Angka yang didampingi huruf yang sama pada kolom dan jenis perlakuan yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada DMRT 5%
Tabel 8 menunjukkan bahwa perlakuan dosis pemupukan 72 kg P/ha berbeda nyata dan lebih besarl dibandingkan dengan berbagai perlakuan dosis pupuk lainnya, sedangkan waktu perlakuan tidak memberikan benda nyata. Kombinasi d3w2 dan d3w3 mempunyai beda nyata dengan perlakuan d1 untuk semua waktu perlakuan. Hal yang sama terjdi pada umur pengamatan tanaman umur 8 MST dan 14 MST seperti tertera pada Tabel 9 dan Tabel 10. Tabel 9.
Berat kering brangkasan 8 MST hasil perlakuan dosis dan waktu pemupukan terhadap (gram) Waktu Dosis Pemupukan Rata-rata Pemupukan d1 d2 d3 w1 70,807 76,678 87,135 78,207 w2 78,716 80,714 90,952 83,461 w3 79,169 85,170 83,699 82,679 Rata-rata 76,231 b 80,854 b 87,262 a 81.449
Keterangan : Angka yang didampingi huruf yang sama pada kolom dan jenis perlakuan yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada DMRT 5%
Tabel 10. Berat kering brangkasan 14 MST hasil perlakuan dosis dan waktu pemupukan (gram) Waktu Dosis Pemupukan Rata-rata Pemupukan d1 d2 d3 w1 74,448 80,247 91,547 82,081 w2 82,806 84,479 95,605 87,630 w3 83,222 89,138 88,024 86,795 Rata-rata 80,159 b 84,621 b 91,726 a Keterangan : Angka yang didampingi huruf yang sama pada kolom dan jenis perlakuan yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada DMRT 5%
Berat kering brangkasan tersebut lebih terpacu lagi pada pemberian P dosis 72 kg/Ha, yang ditunjukkan oleh perbedaan nyata dengan tanpa pemberian P, dan lebih tinggi dari dosis yang lebih rendah. Pada tingkat pemberian ini, diduga
19
perkembangan akar lebih pesat dibanding dosis yang lebih rendah, sehingga luas permukaan akar berfungsi menyerap unsur-unsur hara menjadi lebih besar (Follet et al., 1981; Glendinning, 1981). Marschner (1986) dalam Sulaiman dan Eviati (2000), mengemukakan bahwa meningkatnya ketersediaan suatu unsur hara tanaman dalam tanah akan mempengaruhi peningkatan serapan hara tanaman yang lain. Dengan demikian proses metabolisme tanaman menjadi lebih baik yang dicirikan oleh meningkatnya berat brangkasan tanaman.
4.2.4
Laju Tumbuh Tanaman
Laju tumbuh tnaman (mg cm-2hari-1)
Laju tumbuh tanaman (LTT) adalah bertambahnya berat dalam komunitas tanaman per satuan luas dalam satu satuan waktu, tang digunakan secara luas dalam analisis pertumbuhan tanaman budidaya yang ditanam di lapangan (Gardner, 1991). Pada penelitian ini LTT diukur sebanyak 3 kali yaitu mulai umur 3 MST ke 4 MST, 4 MST ke 5 MST, 5 MST ke 6 MST, 6 MST ke 7 MST, dan 7 MST ke 8 MST. Hasil pengamatan terhadap laju tumbuh tanaman hasil perlakuan dosis dan waktu pemupukan disajikan pada Gambar 6.
5.0 4.5
d1w1
4.0
d1w2
3.5
d1w3
3.0
d2w1
2.5
d2w2
2.0
d2w3
1.5
d3w1 d3w2
1.0
d3w3
0.5 0.0 3 ke 4 MST 4 ke 5 MST 5 ke 6 MST 6 ke 7 MST 7 ke 8 MST
Umur tanaman
Gambar 6.
Grafik laju tumbuh tanaman pada berbagai umur tanaman berdasarkan perlakuan dosis pemupukan
Gambar 6 menunjukkan bahwa pada umur 3 MST ke 4 MST menuju 4 MST 5 MST semua tanaman pengamatan mengalami kenaikan LTT demikian
20
sampai pada umur 5 MST ke 6 MST, kecuali tanaman-tanaman pada perlakuan d1w1, d1w2, dan d2w3. Setelah mengalami kenaikan nilai LTT ini menurun kemudian menaik lagi untuk semua tanamn pengamatan. Keadaan LTT ini diduga karena adanya perbedaan-perbedaan fisiologis antar tanaman sehingga LTT tidak menunjukkan kecenderungan yang sama. Heddy (2001) menyatakan bahwa analisis pertumbuhan tanaman hanya dapat memberikan sedikit informasi tentng prosesproses fisiologis yang mengatur reaksi tanaman terhadap faktor-faktor lingungan. Hasil anlisis ragam terhadap LTT menunjukkan hanya pada tanaman umur 6 MST ke 7 MST yang memberikan pengaruh nyata, sedangkan yang lainnya tidak memberikan pengaruh nyata. Hasil uji beda rata-rata terhadap LTT disjikan pada Tabel 11 Tabel 11. Laju tumbuh tanaman umur 6 MST ke 7 MST hasil perlakuan dosis dan waktu pemupukan Waktu Dosis Pemupukan Rata-rata Pemupukan d1 d2 d3 w1 1,1010 1,1517 1,9543 1,4023 w2 0,6933 1,6237 1,6290 1,3153 w3 1,1403 0,8083 1,9260 1,2916 Rata-rata 0,9782 b 1,1946 b 1,8364 a Keterangan : Angka yang didampingi huruf yang sama pada kolom dan jenis perlakuan yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada DMRT 5%
Tabel 11 menunjukkan bahwa perlakuan d3w1 dan d3w3 memberikan hasil tertinggi dan bereda dengan perlakuan d2w3, d1w1, d1w2, dan d1w3, sedangkan dengan perlakuan lain nnya tidak berbeda. Ini menunjukkan bahwa ada perbedaan nilai LTT antara tanaman yang diberikan pupuk P tinggi dan tanaman yang dipupuk P dosis lebih rendah. Pemberian pupuk P mengandung arti juga menciptakan lingkugan tumbuh tanaman, yang selanjutnya akan mempengaruh proses fisiologis. 4.2.5
Laju Asimilasi Bersih
Laju asimilasi bersih (LAB) atau disebut juga dengan laju satuan daun, adalah hasil bersih dari asimilasi, kebanyakan hasil fotosintesis, per satuan luas daun dan waktu. Hasil perhitungan terhadap laju asimilasi bersih disajikan pada Gambar 7.
21
Laju asimilasi bersih (mg cm -2hari -1)
0.015
0.010
0.005
0.000
3 ke 4 MST
4 ke 5 MST
5 ke 6 MST
6 ke 7 MST
7 ke 8 MST
d1w1
0.003
0.003
0.001
0.005
0.002
d1w2
0.002
0.004
0.001
0.002
0.006
d1w3
0.002
0.002
0.002
0.003
0.008
d2w1
0.003
0.001
0.002
0.004
0.008
d2w2
0.001
0.002
0.003
0.010
0.008
d2w3
0.001
0.002
0.001
0.006
0.006
d3w1
0.001
0.001
0.002
0.015
0.008
d3w2
0.001
0.002
0.005
0.007
0.006
d3w3
0.002
0.001
0.003
0.013
0.004
Umur tanaman
Gambar 7.
Grafik dan data rata-rata laju asimilasi bersih pada berbagai umur tanaman berdasarkan perlakuan dosis pemupukan
Gambar 7 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi laju asimilasi bersih. Pada umur 3 ke 4 MST menunju 5 ke 6 MST terjadi kenaikan laju asimilasi bersih, pada perlakuan d1w2, d2w2, d2w3, dan d3w2, namun pada tanamantanaman dengan perlakuan d1w2, d2w1, d3w3terjadi penurunan laju asimilasi bersih. Terdapat kenaikan laju asimilasi bersih terjadi pada semua tanaman dengan semua perlakuan yaitu pada umur tanaman 5 ke 6 MST menuju 6 ke 7 MST. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam rentang waktu yang sama, laju asimilasi bersih untuk tiap tanaman tidak selalu sama. Sejalan dengan hasil penilitian ini, Stoy (1965) dalam Heddy (2001) menyatakan bahwa sewaktu tanaman tumbuh dalam fase vegetatif, peningkatan indek laju daun menyebabkan penurunan dalam unit laju daun., dengn akibat bahwa terjadi peningkatan laju tumbuh tanaman terhadap waktu.
22
Hasil anlisis ragam terhadap LAB sama dengan hasil yang terjadi pada LTT yaitu menunjukkan hanya pada tanaman umur 6 MST ke 7 MST yang memberikan pengaruh nyata, sedangkan yang lainnya tidak memberikan pengaruh nyata. Hasil uji beda rata-rata terhadap LAB disjikan pada Tabel 12 Tabel 12. Laju asimilasi bersih tanaman umur 6 MST ke 7 MST hasil perlakuan dosis dan waktu pemupukan Waktu Dosis Pemupukan Rata-rata Pemupukan d1 d2 d3 w1 0,0057 0,0043 0,0203 0,0101 w2 0,0029 0,0100 0,0067 0,0062 w3 0,0033 0,0060 0,0297 0,0130 Rata-rata 0,0037 b 0,0068 ab 0,0189 a Keterangan : Angka yang didampingi huruf yang sama pada kolom dan jenis perlakuan yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada DMRT 5%
Tabel 12 menunjukkan bahwa perlakuan d3w3 yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan d3w1 dan d2w2, sedangan dengan yang lainnya berbeda nyata. Adanya beda rata-rata setiap perlakuan menunjukkan adanya perunahan lingkungan tumbuh karena adanya perlakuan pemberian pupuk dengan dosis dan waktu yang berbeda. Hal ini sejalan dengan Gardner, et al, (1991) bahwa laju asimilasi juga meliputi penambahan mineral, tetapi bukan merupakan bagian yang besar karena mineral hanya menyusun 5 % berat total atau bahkan kurang itu. Selanjutnya diuraikan bahwa laju asimilasi bersih itu tidak konstan terhadap waktu, tetapi menunjukkan suatu kecenderungan penurunan ontogenetic seiring dengan usia tanaman. Kecenderungan usia dipercepat oleh adanya lingkungan yang tidak menguntungkan (Hunt, 1978) 4.2.6
Jumlah Biji
Pada tanaman dari kultivar teradaptasi yang diairi dan dipupuk dengan baik, jumlah biji merupakan fungsi laju fotosintesis atau pasokan hasil asimilasi (Gardner et al., 1991). Jumlah biji berkaitan dengn panjang malai, yang merupakan salah satu indikasi yang menunjukkan banyaknya biji per maial, semakin panjang malai maka dianggap semakin banyak biji sorgum. Jumlah biji yang diamati dalam penelitian ini adalah jumlah biji yang sudah dirontokkan per malai. Data rata-rata hasil pengamatan panjang malai dan jumlah biji per malai disajikan pada Gambar 8 dan 9.
23
Panjang maia (cm)
36 34 32 30 28 26
d1
d2
d3
w1
30.2
30.8
33.3
w2
29.7
32.8
30.5
w3
33.3
34.3
33.3
Jumlah biji per malai
Gambar 8.
Grafik dan data rata-rata panjang malai pada berbagai umur tanaman berdasarkan perlakuan dosis pemupukan
3500 3400 3300 3200 3100 3000
d1
d2
d3
w1
3233
3289
3344
w2
3187
3326
3401
w3
3265
3297
3391
Gambar 9.
Grafik dan data rata-rata jumlah biji per malai berdasarkan perlakuan dosis pada berbagai waktu pemupukan
Gambar 8 menunjukkan bahwa panjang malai bervariasi antar perlakuan, sedangkan pada Gambar 9 menunjukkan perlakuan dosis terbesar (d3) memberikan jumlah biji per malai semakin banyak, dibandingan perlakuan dosis yng lebih rendah (d2 dan d1). Berarti semakin banyak pupuk P yang diberikan semakin banyak jumlah biji baik pada jumlah per malai. Hubungan antara panjang malai dan jumlah biji per malai disajikan pada Tabel 13.
24
Tabel 13. Panjang malai dan jumlah biji per malai hasil perlakuan dosis dan waktu pemupukan Jumlah Panjang malai Perlakuan biji per (cm) malai d1w1 30,2 3.233 d1w2 29,7 3.187 d1w3 33,3 3.265 d2w1 30,8 3.289 d2w2 32,8 3.326 d2w3 34,3 3.297 d3w1 33,3 3.345 d3w2 30,5 3.401 d3w3 33,3 3.391 Rata-rata 32,0 3.3034 Hasil analisis ragam untuk panjang malai dan jumlah biji per malai menunjukkan bahwa semua perlakuan dosis dan waktu pemupukan memberikan pengaruh tidak nyata. Terjadinya jumlah biji yang semakin banyak dari semakin banyaknya pemberian pupuk P diduga bahwa unsur P memegang peranan penting dalam pembentukan biji Sorgum. Menurut Effendi (1985), pada pembentukan biji, senyawa-senyawa fosfat yang tersimpan di daun dan batang dipindahkan dan disimpan di biji, dimana pada waktu masak ¾ dari seluruh fosfat yang ada pada tanaman ada di biji.
4.2.7
Berat Biji Berat biji yang diamati dalam penelitian ini meliputi berat biji per malai dan berat 1000 biji dengan kadar air 14%. Grafik dan data rata-rata hasil pengamatan disajikan pada Gambar 10 dan 11
.
Berat biji per malai (gram)
25
150 100 50 0
d1
d2
d3
w1
107.29
117.73
123.05
w2
106.20
114.99
128.81
w3
111.77
116.35
126.53
Berat 1000 biji (gram)
Gambar 10. Grafik dan data rata-rata berat biji per malai berdasarkan perlakuan dosis pada berbagai waktu pemupukan 50 40 30 20 10 0
d1
d2
d3
w1
33.49
29.838
40.751
w2
36.665
38.133
40.053
w3
34.785
38.426
39.139
Gambar 11. Grafik dan data rata-rata berat 1000 biji berdasarkan perlakuan dosis pada berbagai waktu pemupukan Gambar 10 dan Gambar 11 menunjukkan bahwa semakin banyak pupuk P yang diberikan semakin berat biji sorgum, baik pada berat biji per malai maupun berat 1000 biji. Hasil analisis ragam biji menunjukkan bahwa perlakuan dosis pemupukan berpengaruh sangat nyata, sedangkan perlakuan waktu pemupukan berpengaruh tidak nyata, serta tidak terjadi interaksi antara kedua perlakuan tersebut terhadap hasil berat biji per malai dan berat 1000. Hasil uji beda rata-rata terhadap berat biji disajikan pada Tabel 14 dan Tabel 15.
26
Tabel 14. Berat biji per malai hasil perlakuan dosis dan waktu pemupukan (gram) Waktu Dosis Pemupukan Rata-rata Pemupukan d1 d2 d3 107.29 117.73 123.05 116.02 w1 106.20 114.99 128.81 116.67 w2 111.77 116.35 126.53 118.22 w3 Rata-rata
108.42 c
116.36 b
126.13 a
Keterangan : Angka yang didampingi huruf yang sama pada kolom dan jenis perlakuan yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada DMRT 5%
Tabel 15. Berat 1000 biji hasil perlakuan dosis dan waktu pemupukan (gram) Waktu Dosis Pemupukan Rata-rata Pemupukan d1 d2 d3 w1 33.491 29.838 40.751 34.694 w2 36.665 38.133 40.053 38.284 w3 34.785 38.426 39.139 37.450 Rata-rata 34.981 b 35.466 b 39.981 a Keterangan : Angka yang didampingi huruf yang sama pada kolom dan jenis perlakuan yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada DMRT 5%
Tabel 14 menunjukkan bahwa perlakuan dosis pemupukan secara tunggal berbeda satu sama lainnya, tetapi perlakuan waktu pemupukan menunjukka hasil berbeda tidak nyata. Ini menunjukkan bahwa semakin besar dosis pupuk P yang diberikan maka semakin besar hasil berat biji per malai. Tabel 15 menunjukkan bahwa perlakuan dosis pemupukan secara tunggal berbeda satu sama lainnya, namun pada perlakuan waktu pemupukan menunjukkan bahwa perlakuan w2 berbeda dengan w1, tetapi tidak berbeda dengan w3. Hubungan antara jumlah biji per malai, berat biji per mali dan berat 1000 biji disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Jumlah biji per malai, berat biji per malai dan berat 1000 biji hasil perlakuan dosis dan waktu pemupukan Jumlah biji Berat biji per Berat 1000 Perlakuan per malai malai (gram) biji (gram) d1w1 3.233 107,29 33,49 d1w2 3.187 106,20 36,67 d1w3 3.265 111,77 34,78 d2w1 3.289 117,73 29,84 d2w2 3.326 114,99 38,13 d2w3 3.297 116,35 38,43 d3w1 3.345 123,05 40,75 d3w2 3.401 128,81 40,05 d3w3 3.391 126,53 39,14 Rata3.3034 116,97 36,81 rata
27
Perlakuan dosis pupuk P yang semakin banyak memberikan nilai rata-rata berat biji yang semakin berat pula, baik pada berat biji per malail maupun berat 1000 biji. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan yang nyata antara perlakuan yang dipupuk dosis rendah dengan perlakuan yang menggunakan pupuk P dosis lebih besar. Penelitian Fauziati dan Simatupang (1993) tentang minus one element seperti pada penjelasan Tabel 5 yang sudah diulas, juga menunjukkan bahwa berat 1000 biji dengan perlakuan lengkap minus P merupakan yang terendah dibanding lengkap minus N ataupun minus K. Fotosintat yang antara lain diakumulasikan dalam bentuk berat jaringan, jumlah dan ukuran biji sehingga tanaman menunjukkan tanggap berat biji yang tertinggi. Menurut Nurjen et al. (2002) menyatakan bahwa, berat kering berangkasan menggambarkan hasil bersih dari proses fotosintesa, sedangkan menurut Leomis dan William (1969) dalam Ismail et al. (2001) produksi bahan kering tanaman merupakan fungsi dari laju fotosintesa seluruh daun. Semakin tinggi akumulasi fotosintat dalam daun, maka kemampuan tanaman untuk membentuk organ generatif semakin meningkat. Menurut Fischer dan Palmer (1984) jumlah biji per satuan luas dipengaruhi oleh laju produksi asimilat yang berlangsung selama perkembangan tanaman Berdasarkan serapan hara P pada daun terdekat dengan malai yang diambil pada saat tanaman 8 MST, terlihat bahwa dengan pemberian pupuk P yang semakin banyak, kemampuan tanaman dalam menyerap unsur hara P semakin banyak. Pada tanaman yang kekurangan P akan terbentuk biji yang ringan dan kecilkecil, sehingga tanaman yang diberikan pupuk P memberikan hasil yang lebih tinggi (Noor dan Ningsih, 1986).
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 1. Dosis pemupukan P meningkatkan tinggi tanaman pada umur 8 minggu setelah tanam (194,97 cm), luas daun 6 minggu setelah tanam (5.513,7 cm2), berat kering brangkasan umur 7, 8, dan 14 minggu setelah tanam (61,676 gram, 87,262 gram, dan 91,726 gram), laju tumbuh tanaman dan laju asimilasi bersih umur 6 dan 7 minggu setelah tanam (1,825 mg cm-2hari-1 dan 0,0189 mg cm-2hari-1), dan kandungan P jaringan (0,3259 %). 2. Dosis pemupukan P sebesar 72 kg P/ha meningkatkan serapan P dan hasil, yang masing-masing ditunjukkan dari kandungan P jaringan sebesar 0,3259 %, dan berat biji sebesar 39,98 gram (setara dengan 3,998 ton/ha).
3. Waktu pemupukan 7 dan 14 hari setelah tanam dari berbagai dosis pupuk P yang diberikan meningkatkan serapan P yang ditunjukkan dari kandungan P jaringan sebesar 0,3278 %.
28
4. Interaksi dosis dengan waktu pemupukan P dapat meningkatkan kandungan jaringan sebesar 0,3463%.
5.2.Saran Berdasarkan hasil penelitan, maka saran yang diajukan adalah diperlukan penelitian lebih lanjut dengan dosis pemupukan P lebih dari 72 kg P/ha pada berbagai waktu pemupukan yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Mangga.Barani, 2007. Workshop tentang penggunaan sorgum manis sebagai bahan baku ethanol, Jakarta Anonim. 2004. Unsur hara penting tanaman Sorgum. Majalah Pertanian Abdi Tani No.4 Edisi XXI, Oktober-Desember 2004. hal 26-28. Bakri, A. Hermawan, dan Waluyo. 2003. Penentuan ketersediaan fosfat tanah dan respon tanaman jagung dengan dosis P berbeda pada Ultisol Batumarta. Jurnal Tanaman Tropika 7(1) : 33-43, April 2004 Barber, S.A. 1976. Efficient fertilizer use. Smer. Soc. Of Agronomy Spec. Pub. 26:13-29. Black, C. A. 1976. Soils plant relationship. John Willey and Sons, New York. Buckman, H. O. Dan N. C. Brady. 1980. The nature and properties of soil. Macmillan Publishing Commpany. New York. Dajue L dan Guangwei S, 2000. Sweet Sorghum A Fine Forage Crop for the Beijing Region, China. Paper Presented in FAO e-Conference on Tropical Silage, 1 Sept 15 Dec 1999 in FAO, 2000. Vol. 161: 123 124. Donahue, R. L., R. W. Miller, dan J. C. Shickluna. 1977. Soils. An introduction to soils and plant growth. 4th. Interlino Printing Co., Inc. Quezon. Philippines. Effendi, S. 1985. Bercocok Tanam Sotgum. Cetakan ke-7. Jakarta. CV Yasaguna. Eghball, B., John F. S., Gary E., dan J. E. Gilley. 2003. Phosphorus managament. Agronomy Journal Vol. 95: 1233-1239. September-October 2003. American Society of Agronomy. Ernawati, R., I. Dwiwarni, Hasanah, dan Agusni. 1999. Pengaruh pemberian pupuk NPK multiorganik pada tiga kultivar cabai merah dalam Prosiding Kongres
29
Nasional VII HITI Bandung. Puslitbang Tanaman Pangan. Badan Litbang Departemen Pertanian. Hal 793-799 Fanindi, A., Siti Yuhaeni, dan Wahyu H. Pertumbuhan dan produktivitas tanaman sorgum (Sorghum bicolor (L) Moench dan Sorgum sudanense (piper) Stafp yang mendapatkan kombinasi pemupukan N, P, K dan Ca. Balitnak Bogor, 2008. Fathan, R., M. Rahardjo dan A. K. Makarim, 1988. Hara tanaman jagung. Pusat Penelitian Tanman Jagung dalam Jagung, Penyunting Subandi, Mahyuddin Syam dan Adi Widjono. Pusat Penelitian dan pengembangan Tanaman Pangan. Balitbang Pertanian Jakarta.. Hal 67-80. Fischer, K. S. dan A.F.E. Palmer. 1984. The physiology of tropical field crop. Terjemahan oleh Tohari. Fisiologi tanaman budidaya tropik. Jogjakarta., Fakultas pertanian UGM. Fauziati, N. dan R. S. Simatupang. 1993. Skrining kendala keharaan pada tanaman jagung di tanah podsolik merah kuning Kalimantan Selatan dalam Prosiding Hasil Penelitian Jagung, Balittan Baru. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian, 1993. 151:77-86 Gardner, F. P., Pearce, R. B., dan Mitchell, R. L., 1991. Physiology of Crop Plants. Terjemahan oleh Herawati Susilo. Fisiologi Tanaman Budidaya. Pendamping: Subianto. UI-Press. Jakarta. Goldsworthy, P.R., dan N.M. Fisher. 1992. The Physiology of Tropical Field Crops. Terjemahan: Fisiologi Tanaman Budidaya Tropika. Penerjemah Tohari. UGMPress. Yogyakarta. Hairunsyah dan M. Z. Arif. 1991. Kajian pemberian pupuk kandang dan fosfat terhadap pertumbuhan dan hasil jagung pada tanah pasiran dan lempung dalam Prosiding Hasil Penelitian Jagung, Balittan Baru. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian, 1993. 151:23-27. Hakim, L. dan M. Sediyarsa. 1986. Percobaan perbandingan beberapa sumber pupuk fosfat alam di daerah Lampung Utara. hlm. 179 194. Dalam U. Kurnia, J. Dai, N. Suharta, I.P.G. Widjaya-Adhi, J. Sri Adiningsih, S. Sukmana, J. Prawirasumantri (Ed.). Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah, Cipayung, 10 13 November 1981. Pusat Penelitian Tanah, Bogor. Hakim, N. 1986 Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung Harris, R. E dan Karmas. 1989. Evaluasi gizi pada pengolahan bahan pangan. Bandung. ITB Press. Heddy, Suwasono, 2001.Ekofisiologi Tanaman. Suatu Pertumbuhan Tanaman. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Kajian
Kuantittif
30
ICRISAT/FAO, 1996. (International Crops Research Institute for The Semi-Arid Tropic), sebuah lembaga penelitian yang ber-markas di India. Kegunaan Tanamaan Sorgum Iowe, L. B., B. S. Ayers dan S. K. Ries. 1972 Relationship of seed protein and amino acid composition to seedling vigor dan yield of wheat. Agr. J. 64:608-611 Ismail, C., Suwono dan Kasijadi. 2001. Pengaruh Pupuk SP-36 terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah. Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian Volume 4 No. 1 Tahun 2001 Lakitan, B. 2001. Dasar-dasar fisiologi tumbuhan. Jakarta. Cetakan keempat. PT. Raja Grafindo Persada. Lindsay, W. L. 1971. Chemical equilibria in soils. John Willey and Sons, New York. Lindung. Kajian dosis dan waktu pemupukan fosfat terhadap serapan P, hasil dan kualitas biji pada tanaman jagung. Tesis Program Magister Agronomi Prpgram Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (Tidak dipublikasikan), 2006. Mas’ud, P. 1992. Telaah kesuburan tanah. Bandung. Angkasa Mudjisihono R dan Suprapto HS, 1987. Budidaya dan Pengolahan Sorgum. Penebar Swadaya, Jakarta, 130. Noor, A. dan Ningsih, Rina Dirgahayu, 1996 . Efektifitas SP-36 dan TSP pada Tanamn Jagung di Lahan Pasang Surut Sulfat Masam, dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung, Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serelia Lain, 1998). Muqnisjah, W. Q. dan S. Nakamura. 1984. Vigor of soybean seed produce from different nitrogen and phosphorus fertilizer application. Seed Sci. and technol. 12:475-482. Nurjen, M., Susiarso dan A. Nugroho. 2002. Peranan pupuk kotoran ayam dan nitrogen (urea) terhadap pertumbuhan dan hasil kacang hijau varietas Srititi. Jurnal Agrivita Vol. 24 No. 1. 2002 Nyakpa, M. Yusuf, A.M.Lubis, Mamat, A.P, A.Ghaffar.A, Go.BH dan Nurhayati.H 1988. “Kesuburan Tanah.Universitas Lampung Poerwowidodo. 1993. Telaah kesuburan tanah. Angkasa. Bandung. Radin, J. W. dan Eidenbock, M. P. 1984. Hidraulic conductance as a factor limiting leaf expansion of phosphorus-defecient cotton plant. Plant Physiol, 75:372-377. Salisbury, F. B. dan Cleon W. Ross. 1992. Plant physiology. Wadsworth Publishing Co., A. Division of Wadsworth, Inc.
31
Sharpley, A. N. 1996. Avaibility of residual phosphorus in manured soil. Soil Sci. Soc. Am. J:60:1459-1466. Sitompul, S. M. dan B. Guritno. 1995. Analisis pertumbuhan tanaman. UGM Press. Yogyakarta. Sri Adiningsih, J. dan Mulyadi. 1993. Alternatif teknik rehabilitasi dan pemanfaatan lahan alang-alang. hlm. 29 50. Dalam S. Sukmana, Suwardjo, J. Sri Adiningsih, H. Subagjo, H.Suhardjo, Y. Prawirasumantri (Ed.). Pemanfaatan lahan alang-alang untuk usaha tani berkelanjutan. Prosiding Seminar Lahan Alang-alang, Bogor, Desember 1992. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Setyamidjaja D. 1986. Pupuk dan Pemupukan. Suplex. Jakarta. Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2004. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. hlm. 21 66. Dalam A. Adimihardja, L.I. Amien, F. Agus, D. Djaenudin (Ed.). Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Stasiun Klimatologi Jambi, 2009. Data hujan bulanan tahun 2004 – 2009 Kabupaten Muaro Jambi Sulaiman dan Eviati. 2002. Metode analisis uji tanah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat dan The Participatory Development of Agricultural Technology Project (PAATP). Bogor Sumarno dan S. Karsono. 1996. Perkembangan produksi sorgum di dunia dan penggunaannya. Risalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agroindustri, 17-18 Januari 1995. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian No. 4-1996: 13-24. Suryanto , S. Sudibyo, dan S. Nuryani. 1992. Serapan hara Fe, Mn, Zn, dan Cu oleh tanaman jagung pada tanah gambut dari Pontianak yang dikapur dan diberi berbeagai pupuk P. Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas pertanian. UGM. Yogyakarta. Sutoro,Y. Soelaeman dan Iskandar. 1988. Budidaya Tanaman Jagung dalam Jagung. 1988. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. dalam Jagung, Penyunting Subandi, Mahyuddin Syam dan Adi Widjono. Pusat Penelitian dan pengembangan Tanaman Pangan. Balitbang Pertanian Jakarta.. Hal 49-66. Soepardi, G. 1979. Masalah kesuburan tanah di Indonesia. Departemen Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor Sudadi dan W. Atmaka. 2000. Pengaruh dosis pupuk dolomit dan SP 36 terhadap jumlah bintil akar dan hasil kacang tanah di tanah latosol. Sains Tanah 1(1):1-6.
32
Sumaryo dan Suryono. 2000. Pengaruh dosis pupuk dolomit dan SP-36 terhadap jumlah bintil akar dan hasil tanaman kacang tanah di tanah latosol. Jurnal Penelitian Agronomi. Vol. 2 No.2. Juli-Desember 2000. Fakultas Pertanian. UNS. Surakarta. Suryanto , S. Sudibyo, dan S. Nuryani. 1992. Serapan hara Fe, Mn, Zn, dan Cu oleh tanaman jagung pada tanah gambut dari Pontianak yang dikapur dan diberi berbeagai pupuk P. Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas pertanian. UGM. Yogyakarta Sutejo, 2002. Pupuk dan Pemupukan . Jakarta. Rineka Cipta Suyamto. 1996. Penelitian lapang pemupukan kedelai pada jenis tanah alluvial. Grumosol, latosol, dan planosol. Komponen perbaikan teknologi untuk meningkatkan produktifitas tanaman kacang-kacangan dan umbi-umbian. Edisi khusus Balitkabi N0. 13. Malang. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. Hal 150-159. Thompson, L. M. dan F. R. Troeh. 1978. Soil and soil fertility. Mc. Graw Hill Book company. New York Tisdale, S. L., W. L. Nelson, dan J. Beaton. 1985. Soil fertility and fertilizers. 4 th. Macmillan Publishing Co. New York. Terry, N. dan Ulrich, A. 1973. Effects of phosphorus deficiency on the photosynthesis and respiration of leaves of sugar beet. Plant Physiol, 54, 379381. Yuniarti, A. 1999. Beberapa sifat kimia tanah (pH, P dan K tersedia) dan hasil padi gogo (Oriza sativa) akibat pemberian dosis pupuk P dan K pada Utisols Pondok Meja. Jambi. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian Unpad. Bandung. 39h.