6
Kajian pemanfaatan gas CO2 telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, antara lain oleh Syahrial dan Bioletty (2007), yang mengkaji potensi sekuestrasi CO2 dan penggunaan teknologi EOR dalam menciptakan mekanisme pembangunan
bersih
di
Indonesia.
Begitupula
dengan
hasil
penelitian
Ismukurnianto (2008), yang mengkaji upaya mitigasi dari gas CO2 dan gas rumah kaca lainnya dari industri minyak dan gas bumi di Indonesia, dan hasil penelitian Rangkuti (2009), yang mengkaji upaya pengembangan model pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung terciptanya mekanisme pembangunan bersih atau clean development mechanism (CDM) di Indonesia. Beberapa penelitian dan kajian sebelumnya masih bersifat parsial dan belum mengkaji secara menyeluruh tentang bagaimana proses pengendalian gas CO2 yang berasal dari gas ikutan, dan pemanfaatannya dalam proses injeksi dan recovery cadangan minyak bumi, sehingga dapat menguntungkan secara ekonomi dan sekaligus mengurangi emisi gas CO2 yang dihasilkan oleh industri migas. Kebaruan dari penelitian ini terletak pada rancangan proses penangkapan dan penyimpanan gas CO2 yang terintegrasi dalam sistem carbon capture and storage (CCS) dan upaya mitigasi dampak pemanasan global, khususnya dalam upaya reduksi emisi gas CO2 pada industri migas di Jawa Barat, khususnya Indramayu dan Majalengka, yaitu dengan merancang proses penyerapan CO2 (CO2 absorption) pada proses sesudah pembakaran (post combustion capture), sehingga dapat diketahui metode absorpsi kimia (chemical absorption) yang paling efisien dalam proses removal gas CO2 di dalam gas ikutan dan CO2 yang dapat dimanfaatkan dari unit amin (amine unit), dan selanjutnya merancang proses injeksi CO2 (CO2 injection) pada sumur migas tidak produktif, sehingga dapat diketahui metode injeksi CO2 tercampur (miscible CO2 flooding) yang paling efektif dalam proses enhanced oil recovery (EOR) di dalam sumur EOR potensial dan CO2 yang dapat disimpan dengan aman ke dalam formasi geologi.
7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Efek Rumah Kaca (Greenhouse Effect) Menurut IPCC (2007a), cuaca di bumi sangat dipengaruhi oleh radiasi matahari. Radiasi matahari yang masuk ke bumi mencapai 342 watts per square metre (W m-2) dan sekitar 107 W m-2 dari radiasi tersebut direfeleksikan kembali ke angkasa luar karena adanya awan dan permukaan bumi. Permukaan bumi dapat menyerap radiasi matahari sebesar 168 W m-2, sedangkan atmosfer menyerap 67 W m-2. Radiasi permukaan bumi ke atmosfir sekitar 390 W m-2 dan sekitar 235 W m-2 diradiasikan ke luar bumi sebagai radiasi gelombang panjang. Jumlah radiasi balik yang dipancarkan oleh gas rumah kaca sebesar 324 W m-2. Atmosfer mempunyai lapisan gas rumah kaca dan awan, yang dapat mengemisikan kembali sebagian radiasi infra merah yang diterima ke permukaan bumi. Keberadaan lapisan atmosfir membuat panas yang ada di permukaan bumi dapat bertahan dan proses ini dinamakan efek rumah kaca (greenhouse effect). Dalam jangka panjang akan terjadi keseimbangan antara radiasi yang masuk dan yang keluar sehingga suhu di bumi mencapai nilai tertentu, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3 Neraca energi radiasi matahari (IPCC 2007a).
8
Menurut IPCC (2007b), kontribusi gas rumah kaca terhadap pemanasan global tergantung dari jenis gasnya. Gas rumah kaca yang sangat penting kontribusinya terhadap pemanasan global adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC), dan sulfir heksafluorida (SF6), seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Setiap gas rumah kaca mempunyai global warming potential (GWP) yang diukur secara relatif berdasarkan emisi CO2 dengan nilai 1. Nilai GWP yang semakin besar membuat tingkat kerusakannya dan dampaknya terhadap bumi akan semakin besar.
Tabel 1 Global warming potential (GWP) (Shires dan Loughran 2004) Recommended GWP No.
Gas
IPCC Revise GWP (IPCC’S
(UNFCCC 2000);
Third Assessment Report, 2001);
Applicable through 2012
Likely to be applicable after 2012
1
1
1.
Carbon dioxide (CO2)
2.
Methane (CH4)
21
23
3.
Nitrous oxide (N2O)
310
296
4.
Hydrofluorocarbons (HFCs)
140 – 11900
120 – 1200
5.
Perfluorocarbons (PFCs)
6500 - 9200
5700 – 11900
6.
Sulphur hexfluoride (SF6)
23900
22200
2.2. Dampak Pemanasan Global dan Perubahan Iklim Menurut IPCC (2007c), pemanasan global (global warming) disebabkan oleh hasil dari beberapa aktivitas manusia dan jika terus-menerus dilanjutkan, maka emisi antropogenik gas rumah kaca (greenhouse gas) dapat meningkatkan temperatur rata-rata global dari 1,1 - 6,4oC selama abad 21. Temperatur global biasanya berkisar 0,74oC pada batas sebelum revolusi industri, dan peningkatan di atas 2 - 5oC dapat berpengaruh terhadap lebih dari 30% spesies dan 15 - 40% ekosistem, terutama kehidupan koral di lautan. Menurut IPCC (2007c), temperatur global yang tinggi akan mempengaruhi ketersediaan air dan produksi makanan akan semakin berkurang. Hujan, banjir dan cuaca ekstrim lainnya akan lebih sering terjadi dan sekitar 30% daerah pesisir pantai dan akan hilang. Kekurangan nutrisi, diare, radang pernapasan, penyakit menular dan penyebaran vektor penyakit menular akan semakin meningkat.
9
Menurut Measey (2010), beberapa dampak perubahan iklim di Indonesia, yaitu peningkatan temperatur, curah hujan, dan tinggi permukaan laut, serta ancaman terhadap ketersediaan makanan. Peningkatan GRK juga akan mendorong ke arah variasi cuaca yang lebih ekstrim. Sejak tahun 1990, temperatur tahunan rata-rata di Indonesia naik sekitar 0,3oC, dan sudah terjadi dalam beberapa musim. Pada tahun 2020, diperkirakan suhu rata-rata di Indonesia akan naik 0,36 - 0,47oC, dan akan mengalami curah hujan yang lebih banyak 2 - 3% setiap tahun. Tinggi permukaan laut naik 0,57 cm per tahun dan permukaan tanah turun 0,8 cm per tahun, sehingga berdampak terhadap 60% kota-kota yang berada di pesisir laut di Indonesia, mengurangi kesuburan tanah 2 - 8% per tahun, dan mengurangi produksi beras dan jagung masing-masing sebesar 4% dan 50% per tahun.
2.3. Upaya Mitigasi Dampak Pemanasan Global Menurut Shao dan Stangeland (2009), IPCC telah merekomendasikan 50 85% pengurangan emisi gas rumah kaca global dari tahun 2000 - 2050 dan puncak emisi sebelum tahun 2015, sebagai upaya untuk menghindari berbagai konsekuensi berbahaya dari pemanasan global. CCS adalah salah satu dari beberapa jalan keluar yang dibutuhkan untuk mencapai target pengurangan emisi tersebut. Energi dapat diperoleh dari sumber yang dapat diperbaharui dan lebih efisien. Bahan bakar energi fosil dapat dikarbonisasi dengan teknologi carbon dioxide capture and storage (CCS) dan perbaikan pengelolaan penghutanan. Menurut IPCC (2005a), CCS adalah proses pemisahan CO2 dari industri dan sumber yang terkait dengan energi, pengangkutan ke lokasi penyimpanan dan pengisolasian dalam jangka waktu yang panjang dari atmosfer. CCS dapat diperlakukan sebagai pilihan upaya mitigasi untuk menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfir. Tersedia bukti di seluruh dunia, kemungkinan tersedia potensi teknis sedikitnya sekitar 2.000 gigatonne (Gt) CO2 dari kapasitas penyimpanan di dalam berbagai formasi geologi. Pada kebanyakan skenario untuk dapat menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir antara 450 - 750 part per million by volume (ppmv) CO2, sehingga CCS dapat berkontribusi sebesar 15 - 55% dalam upaya mitigasi secara kumulatif di seluruh dunia sampai tahun 2100.
10
2.4. Konvensi Internasional Perubahan Iklim (UNFCC) Menurut Sugiyono (2006), pemanasan global mulai mendapat perhatian sejak tahun 1980an, saat World Meteorological Organization (WMO) dan United Nation Environment Programme (UNEP) membentuk Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 1988 dan mengusulkan kepada Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk melakukan tindakan menanggulangi pemanasan global. PBB kemudian mengeluarkan resolusi tentang penanggulangan pemanasan global untuk saat ini dan generasi mendatang, yang selanjutnya ditindak lanjuti dengan mengadakan World Summit di Rio de Janeiro tahun 1992, dan menghasilkan konvensi di bidang biodiversitas, perubahan iklim dan agenda 21. Konvensi untuk perubahan iklim disebut United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dan mengadakan rapat tahunan tingkat menteri yang disebut Conference of the Party (COP) dan rapat lima tahunan
setingkat
kepala
negara.
Beberapa
hasil
yang
penting
dari
penyelenggaraan COP, adalah COP 3 di Kyoto pada tahun 1997 yang menghasilkan Kyoto Protocol dan mengharuskan negara maju atau Annex I secara hukum untuk mengurangi emisi CO2 sebesar 5,2% dari level tahun 1990 pada periode dari tahun 2008 sampai 2012. Menurut Murdiyarso (2007), dengan Protokol Kyoto memungkinkan untuk penerapan tiga mekanisme fleksibilitas (flexibility mechanisms) agar negara Annex I dapat tetap memenuhi komitmennya dengan biaya yang fleksibel, yaitu: 1. Joint Implementation (JI), kerjasama antara sesama negara Annex I (negara maju) dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca; biasanya ini dilakukan dengan investasi asing antar negara Annex I yang diimbali dengan unit penurunan emisi (Emission Reduction Unit – ERU); 2. International Emission Trading (IET), sertifikat ERU pada negara Annex I; 3. Clean Development Mechanism (CDM), pada dasarnya adalah gabungan dari JI dan IET yang berlangsung antara negara Annex I dengan negara non-Annex I dengan persyaratan mendukung pembangunan berkelanjutan di negara nonAnnex I. Komoditas yang digunakan adalah CER (Certified Emission Reduction) yaitu jumlah penurunan emisi yang telah disertifikasi.
11
2.5. Potensi CCS sebagai Bagian dari CDM Menurut Bakker et al. (2008), sementara masih diperdebatkan untuk memasukkan sistem CCS ke dalam CDM, sudah terdapat kemajuan yang telah dibuat dalam membantu memecahkan berbagai hambatan dalam penggabungan CCS ke dalam CDM. Salah satu estimasi dari potensi pengolahan gas alam dalam sistem CCS ke dalam CDM, dalam sektor industri migas, terdapat potensi yang harus dipertimbangkan dan menjadi peluang awal bagi penerapan teknologi CCS pada sistem CDM. Tiga permasalahan yang dapat dihubungkan dengan CCS adalah apakah cara pelaksanaan CDM dan prosedurnya dapat mengakomodasi teknologi CCS secara spesifik. Berdasarkan hal itu, sudah dikembangkan metodologi dasar yang dapat menggambarkan tiga hipotesis aktivitas proyek CCS di bawah CDM, yang mungkin dapat mengikuti penggabungan metodologi yang berbeda secara teknologi, yaitu: 1. Penangkapan CO2 dari pembangkit listrik tenaga batubara dan penggunaannya pada suatu pengoperasian kembali dalam enhanced coal bed methane (ECBM). 2. Penangkapan CO2 dari pabrik batubara, dan penyimpanannya ke dalam sumur migas yang telah habis atau formasi dasar lautan. 3. Penangkapan CO2 dari suatu pabrik pengolahan gas alam, dan penyimpanannya ke dalam sumur migas yang telah habis atau formasi dasar lautan. Menurut Andrews (2011), pembahasan tentang CCS menjadi bagian dari CDM telah didiskusikan dalam pertemuan terakhir UNFCCC, yaitu pada COP16 dan Conference of the Parties serving as the Meeting of the Parties to the Kyoto Protocol (CMP6) yang dilaksanakan pada tanggal 29 November hingga 11 Desember 2010 di Cancun, Meksiko. Dalam pertemuan tersebut disepakati oleh Ad-Hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP) untuk memperhatikan isu tentang pemasukan CCS di bawah sistem CDM dan mengusulkan sebuah opsi bahwa CCS layak untuk segera menjadi bagian dari sistem CDM, dan selanjutnya akan dibahas lebih lanjut ke dalam the Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA), dan pada akhirnya di dalam teks keputusan yang diadopsi oleh CMP disetujui bahwa CCS sudah layak berada di bawah CDM oleh semua negara peserta COP16.
12
2.6. Carbon Capture and Storage (CCS) Menurut McKinsey (2008), carbon capture and storage (CCS) adalah teknologi yang berpotensi besar dalam mengurangi emisi gas rumah kaca walaupun dalam waktu yang bersamaan masih tetap menggunakan bahan bakar fosil tersebut. Gas CO2 yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil selanjutnya ditangkap, diangkut, dan akhirnya disimpan dengan aman ke dalam formasi geologi. CCS adalah suatu teknologi yang bertujuan untuk mencegah dihasilkannya CO2 dari berbagai sumber besar untuk masuk ke dalam atmosfir, seperti pembangkit tenaga listrik berbahan bakar batubara. Menurut McKinsey (2008), teknologi CCS ditujukan untuk menangkap sekitar 90% dari emisi gas CO2 dari sumbernya dan mencegah secara permanen pelepasannya ke dalam atmosfer. CCS dirancang dalam tiga langkah. Pertama, CO2 ditangkap (capture) dan dipadatkan di lokasi sumber emisi. Kedua, CO2 dialirkan (transportation) atau diangkut ke suatu lokasi penyimpanan. Ketiga, CO2 disimpan untuk selamanya dalam formasi geologi (CO2 storage). Menurut Syahrial dan Bioletty (2007), carbon capture and storage (CCS) adalah konsep yang relatif baru berkembang di era tahun 1980an dan saat ini belum diterapkan dalam skala besar. Konsep CO2 capture tersebut diperkirakan dapat diterapkan pada sumber CO2 yang besar dengan proses atau tahap kompresi, transportasi dan injeksi ke dalam reservoir geologi untuk injeksi CO2 dalam rangka proses penerapan enhanced oil recovery (EOR) untuk meningkatkan produksi minyak pada tahap produksi tersier. Gas CO2 tersebut apabila berlebihan dan tidak mampu seluruhnya terserap untuk kebutuhan EOR, maka pilihan lain adalah disimpan dalam depleted reservoir, deep saline aquifer (underground storage), coal bed methane.
2.6.1. CO2 Capture Menurut CO2Net (2005), proses penangkapan gas CO2 atau teknologi dekarbonisasi gas CO2 dapat dibagi dalam 3 kategori, yaitu : 1. Post-combustion, proses pemisahan CO2 sebagai gas buang dilakukan secara kimia dan fisika yang merupakan proses conventional air-fired combustion
13
dengan kadar CO2 yang dipisahkan berkisar 3-12%. Diharapkan proses ini dapat memisahkan CO2 dari campuran N2, O2 dan gas lain seperti (SOx, NOx) 2. Pre-combustion, CO2 ditangkap dari campuran gas yang didominasi oleh gas H2 pada tekanan 15-40 bar dan kandungan CO2 atau C sebesar 15-40% yang diproduksikan oleh bahan bakar hidrokarbon. Pada saat pemisahan CO2/H2 terdapat gas lainnya yaitu CO2 dan H2S. 3. Oxyfuel combustion (Denitrogenation), CO2 dapat terproduksikan pada saat sebelum atau selama proses combustion atau konversi energi. Perbedaan proses ketiga kategori di atas adalah target yang dihasilkan selama proses pemisahan yaitu menghasilkan CO2 dari udara (contoh pemisahan oksigen dari sebagian besar nitrogen), untuk itu tidak diperlukan proses pemisahan CO2. Keuntungan lain dengan proses ini sebagian besar “impurities” bisa ditangkap, sehingga tidak ada gas buang, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4 Teknologi CO2 capture (Li 2008).
14
Menurut Li (2008), teknologi penangkapan gas CO2 sering digolongkan menjadi post-combustion, pre-combustion atau oxy-fuel CO2 capture. Di dalam post-combustion capture, gas CO2 dipisahkan dari komponen-komponen gas buang lainnya dengan cara penyerapan. Post-combustion capture digunakan untuk menangkap gas CO2 dari gas buang yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil dan biomassa di dalam udara. Hal ini merupakan suatu proses mendasar, sehingga gas CO2 di dalam gas buang pada tekanan atmosfir pada umumnya dipindahkan oleh suatu proses penyerapan kimia yang menggunakan bahan penyerap (absorbent) seperti alkanolamin. Menurut Li (2008), di dalam pre-combustion capture, karbon di dalam bahan bakar dipisahkan sebelum pembakaran. Pre-combustion capture digunakan untuk memisahkan ikatan karbon bahan bakar sebelum bahan bakar dibakar. Hal ini melibatkan suatu reaksi antara bahan bakar dan oksigen, terutama menghasilkan gas sintesis atau 'gas bahan bakar', yang berisi karbon monoksida (CO) dan hidrogen(H2). Karbon monoksida bereaksi dengan uap air (H2O) di dalam suatu reaktor katalitis, yang disebut shift converter, untuk menghasilkan gas CO2 dan lebih banyak hidrogen. Gas CO2 kemudian dipisahkan, biasanya oleh suatu proses penyerapan secara fisik atau kimia. Menurut Li (2008), di dalam proses oxy-fuel combustion capture, pembakaran dilakukan dengan menggunakan oksigen murni (O2) sebagai penggganti udara, untuk mendorong ke arah gas buang yang terdiri dari gas CO2 dan uap air, yang dengan mudah dapat dipisahkan. Oxy-fuel combustion capture digunakan untuk menangkap gas CO2 dari gas buang yang dihasilkan pada pembakaran oxy-fuel. Pembakaran oxy-fuel adalah pembakaran yang berlangsung di dalam suatu kondisi denitrogenasi, menghasilkan suatu gas buang yang sebagian besar terdiri dari H2O dan CO2.
2.6.2. CO2 Transportation Menurut IEA (2003), setelah penangkapan, gas CO2 tersebut kemudian dialirkan ke tempat penampungan. Sebagian besar CO2 adalah bersifat lembam dan mudah ditangani serta dapat dialirkan melalui pipa salur dengan tekanan
15
tinggi, seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Saat ini di Amerika Serikat kurang lebih 30 juta ton/tahun gas CO2 dialirkan melalui pipa salur. Pipa salur terpanjang terpasang di pegunungan Sheep, sepanjang 656 km. Saat ini sekitar 3.100 km pipa salur terpasang di dunia dengan kapasitas 45 juta ton/tahun gas CO2. Gas CO2 dapat ditransportasikan dalam fasa fluida pada tekanan antara 80-200 bar. Menurut CO2Net (2004), kebanyakan pipa salur CO2 di Amerika Serikat dioperasikan pada tekanan 120-140 bar dan pipa salur tersebut ditanam dengan kedalaman 1 meter. Material yang digunakan pada umumnya adalah carbon steel atau material lain yang diperkirakan tahan terhadap korosi. Gas alam pada umumnya terdiri dari beberapa komponen yang dapat menyebabkan korosi seperti air (H2O) dan gas H2S. Penyebab korosi gas alam biasanya dapat diatasi dengan dehidrasi sebelum masuk jaringan pipa salur, akan tetapi pipa tersebut harus dilindungi dengan coating atau cathodic protection. Laju korosi dapat dikendalikan pada kondisi dibawah suhu 30oC, yang memungkinkan laju korosi lebih kecil dari 0,1 mm/tahun dengan menginjeksikan bahan penghambat korosi.
Gambar 5 Transportasi dan injeksi CO2 (IEA 2009).
16
2.6.3. CO2 Storage Menurut Radgen et al. (2006), cekungan yang berupa endapan sangat cocok untuk penyimpanan gas CO2 dibawah tanah. Jenis reservoir dan kapasitasnya, seperti ditunjukkan pada Tabel 2 dan Gambar 6, yaitu : 1.
Lapangan minyak dan gas yang telah terkuras (oil/gas producing reservoir),
2.
Lapisan garam di dasar laut (deep saline aquifers), dan
3.
Lapisan batu bara (unmineable coal seams).
Tabel 2 Kapasitas penyimpanan gas CO2 (IEA 2006) No.
Geological Storage Option
1
Global Capacity Gtonne CO2
% of emissions to 2050
Oil/gas producing reservoirs
920
45%
2
Deep saline aquifers
400 – 10.000
20 – 500%
3
Unminable coal measures
40
2%
Gambar 6 Formasi geologi (Radgen et al. 2006).
17
Menurut Radgen et al. (2006), persyaratan untuk penyimpanan gas CO2 yang aman dan optimal, yaitu: 1. Volume penyimpanan bergantung pada porositas serta ketebalan yang harus sesuai dengan jumlah gas CO2 yang direncanakan untuk diinjeksikan ke dalam formasi geologi. 2. Permeabilitas batuan reservoir yang sesuai untuk injeksi CO2, 3. Kedalaman lebih dari 800 m atau 2.625 ft, karena kedalaman penyimpanan gas CO2 sangat kritikal dengan densitas gas CO2 agar dapat dipastikan optimal untuk disimpan ke dalam reservoir, dan gas CO2 akan terjebak dalam bentuk cairan superkritikal. Pada tahap ini CO2 bebas akan naik sampai tudung batuan reservoir akibat dari efek gaya apung, dan akan terakumulsi, dan untuk memastikan gas CO2 tetap terperangkap maka nilai permeabilitas dari tudung batuan harus kecil.
2.7. Sistem Operasi dalam CCS Menurut Li (2008), dalam menentukan data yang diperlukan untuk mengevaluasi sifat-sifat thermodinamik gas CO2 di dalam proses CCS, sistem operasi harus digambarkan dengan beberapa daerah fase dan proses CCS. Kondisi operasi temperatur dan tekanan menyediakan dasar untuk mengidentifikasi persyaratan data yang relevan dengan data percobaan dan cakupan penerapan, dengan berdasarkan pada kelengkapan model, dan diperlukan untuk memperkecil ketidakpastian. Salah satu ciri khas prosedur CCS, khususnya dari sistem pembangkit listrik berbahan bakar fosil seperti minyak bumi dan gas alam, serta batubara, pada umumnya terdiri dari empat tahapan, yaitu penangkapan CO2 (capture) dari gas buang, pengolahan CO2 (processing), yaitu compression, dehydration, purification atau liquefaction, dan lebih lanjut compression atau pumping, penyaluran CO2 (transportion) dan penyimpanan CO2 (storage). Keempat langkah tersebut di atas penting untuk diketahui dalam menyusun sebuah rantai proses untuk sistem CCS. Kondisi operasi dari proses CCS diperkirakan berkaitan dengan tekanan dan temperatur, seperti ditunjukkan pada Tabel 3 dan Gambar 7.
18
Tabel 3 Estimasi kondisi operasi dalam proses CCS (Li 2008)
Gambar 7 Tekanan dan temperatur dalam sistem CCS (Li 2008).
2.8. Gas Ikutan Menurut Gervert (2007), gas ikutan adalah gas yang dibakar sebagai gas limbah yang tak dapat dipakai atau gas mudah terbakar, yang dilepaskan oleh tekanan katup pelepas dalam tekanan tinggi yang tidak terduga dari peralatan pabrik, dibakar melalui suatu nyala api gas (melewati cerobong vertikal) pada sumur minyak, di dalam instalasi penyulingan, atau di dalam pabrik kimia. Pada sumur-sumur produksi minyak, instalasi penyulingan, dan pabrik kimia tujuan
19
utama dari penyalaan gas adalah untuk suatu tindakan pengamanan untuk melindungi tangki-tangki atau pipa-pipa dan peralatan lainnya dari tekanan tinggi karena gangguan yang tidak terduga. Menurut Gervert (2007), pembakaran adalah suatu proses oksidasi dalam temperatur tinggi digunakan untuk membakar komponen-komponen yang mudah menyala, kebanyakan hidrokarbon, dari limbah gas dari proses operasi industri. Gas alam, propane, etilena, propilena, butadiene dan butane tercampur lebih dari 95% dari limbah gas yang dinyalakan. Di dalam pembakaran, gas-gas hidrokarbon bereaksi dengan oksigen membentuk gas karbon dioksida (CO2) dan air (H2O). Dalam beberapa limbah gas, karbon monoksida (CO) adalah komponen utama yang mudah menyala. Selama dalam reaksi pembakaran, beberapa produk-produk antara dibentuk, dan pada akhirnya, hampir semuanya dikonversi menjadi CO2 dan air (H2O). Sejumlah dari produk-produk antara yang stabil seperti karbon monoksida (CO), hidrogen (H2), dan hidrokarbon (CH) dikeluarkan sebagai emisi.
2.8.1. Gas Ikutan sebagai Sumber Emisi CO2 Menurut Syahrial dan Bioletty (2007), pada umumnya gas CO2 terkandung dalam reservoir minyak dan gas bumi, maka apabila hidrokarbon tersebut diproduksikan, gas CO2 tersebut akan terbawa ke permukaan sebagai sumber GRK, seperti gas CO2, CH4, dan N2O, yang dapat menyebabkan meningkatnya konsentrasi GRK di atmosfir. Proses pengilangan minyak, liquified petroleum gas (LPG), liquefied natural gas (LNG), dan industri lainnya pada proses pembakaran di industri migas mengandung 5 - 15% gas CO2. Menurut Syahrial dan Bioletty (2007), beberapa langkah kerja proses industri akan memproduksikan CO2 dengan konsentrasi yang lebih tinggi sebagai hasil dari proses pembakarannya dibandingkan dengan jumlah keseluruhan CO2 yang dihasilkan relatif lebih sedikit. Proses penangkapan CO2 sudah merupakan rangkaian kegiatan dari suatu industri yang menghasilkan produk CO2, sebagai contoh adalah gas alam yang keluar dari sumur biasanya mengandung CO2 dengan konsentrasi yang cukup tinggi, sehingga perlu untuk ditangkap dan disimpan kembali ke dalam reservoir.
20
2.8.2. Potensi Gas Ikutan di Indonesia Menurut Indriani (2005), produksi migas Indonesia mengalami puncak produksi pada tahun 1996, kemudian mengalami penurunan produksi setiap tahun hingga tahun 2003. Hal ini disebabkan oleh investasi yang lambat dan berkurangnya dalam eksplorasi baru, sehingga menjadi faktor kunci terjadinya penurunan produksi migas. Lapangan tua dan permasalahan birokrasi dapat pula menjadi penyebab terjadinya penurunan produksi minyak Indonesia dan membatalkan beberapa rencana dan berjalannya proyek pembangunan. Indonesia menempati peringkat enam besar penghasil gas di dunia. Pemasukan besar dari pasar liquefied natural gas (LNG) yang kompetitif dan peningkatan kebutuhan gas domestik menghasilkan perubahan besar pada beberapa industri gas alam Indonesia. Pengurangan subsidi bahan bakar dan insentif gas dari Undang-undang Migas Nomor 22 tahun 2001, menyebabkan peningkatan penggunaan gas secara domestik, sesuai dengan peningkatan kebutuhan energi. Peningkatan produksi gas domestik secara langsung berkaitan erat dengan peningkatan produksi gas ikutan Indonesia, seperti ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Total emisi GRK dan gas ikutan Indonesia (Indriani 2005)
21
Dalam jangka panjang, produksi migas dapat digunakan untuk meramalkan bagaimana perkembangan produksi gas ikutan Indonesia dari tahun 1990 hingga tahun 2020, yaitu secara teori, produksi minyak yang tinggi akan menghasilkan lebih banyak associated gas dan meningkatkan produksi gas ikutan. Hal ini sesuai dengan fakta estimasi produksi gas ikutan Indonesia dari tahun 1990 sebesar 450.279.000 ton CO2 hingga tahun 2020 yang mencapai total produksi sebesar 785.714.286 ton CO2, seperti ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 8 Total emisi GRK di Indonesia (Indriani 2005).
2.8.3. Potensi Gas Ikutan di Jawa Barat Menurut ICCSSWG (2009), Propinsi Jawa Barat memiliki kepadatan penduduk yang sangat tinggi di Indonesia. Emisi CO2 kemungkinan besar berasal dari unit pembangkit tenaga listrik dan beberapa macam industri besar seperti pabrik semen dan baja. Industri migas di Jawa Barat sebagian besar berada di daratan, dan hanya sedikit data untuk pabrik pengolahan gas di lautan, akan tetapi indikasi ini yang memberikan gambaran persentase dari total emisi CO2 dari
22
pabrik gas adalah rendah. Total volume CO2 yang diemisikan sekitar 50 juta tonnes per annum (tonnes/pa), dengan volume tertinggi berasal dari pusat pembangkit tenaga listrik dan pabrik pengolahan gas di daratan. Pusat pembangkit listrik dan pabrik pengolahan gas di daratan tersebut tersebar di beberapa lokasi di Propinsi Jawa Barat, yaitu Cilacap, Indramayu, Cimalaya, Subang dan Tugu Barat dengan sumbangan emisi CO2 yang berasal dari unit refinery, unit hidrogen, dan unit gas processing seperti ditunjukkan pada Gambar 9 dan Tabel 5.
Gambar 9 Sumber emisi CO2 di Indonesia (ICSSWG 2009). Tabel 5 Sumber emisi CO2 di Propinsi Jawa Barat (ICSSWG 2009) No.
CO2 Source
Plant Name
Operator / owner
1.
Refinery (flue gas)
Cilacap
PT Pertamina / Indonesia
2.
Refinery (flue gas)
Balongan - Langit Biru
PT Pertamina / Indonesia
3.
Refinery (H2Unit)
Cilacap
PT Pertamina / Indonesia
4.
Refinery (H2Unit)
Balongan - Langit Biru
PT Pertamina / Indonesia
5.
Gas processing (CO2 stream)
North Cylamaya
PT Pertamina / Indonesia
6.
Gas processing (CO2 stream)
Subang
PT Pertamina / Indonesia
7.
Gas processing (CO2 stream)
Tugu Barat
N/A
23
Menurut Rangkuti (2009), potensi cadangan gas ikutan di lapangan Tugu Barat kompleks mencapai 35,7 billion standard cubic feet (Bscf) (proven) ditambah 23,1 Bscf (probable), dengan potensi produksi gas ikutan hingga tahun 2015 mencapai lebih dari 11 million metric standard cubic feet per day (MMscfd), sehingga dengan ketersediaan bahan baku tersebut dapat dimanfaatkan dalam proses pengolahan gas ikutan, menjadi produk yang lebih bermanfaat bagi industri migas, sekaligus dapat mencegah terlepasnya emisi GRK ke atmosfir. Potensi produksi gas ikutan lapangan Tugu Barat dapat ditunjukkan pada Gambar 10.
Gambar 10 Potensi gas ikutan lapangan XT (Rangkuti 2009).
2.9. Potensi Penerapan Teknologi CCS di Indonesia Menurut
Syahrial
dan
Bioletty
(2007),
teknologi
sekuestrasi
(sequestration) sudah dikembangkan dan diimplementasikan di beberapa negara sejak tahun 1990, sehingga sampai saat ini teknologi tersebut terus dikembangkan dan penelitian terus dilakukan terutama pada teknologi penangkapan (capture) sehingga diharapkan di masa mendatang teknologi ini cukup efisien dan ekonomis. Negara-negara yang sudah melakukan penelitian dan pengembangan teknologi CCS diantaranya adalah :
24
1. Proyek BP and Sonatrach yang menginjeksikan CO2 dari lapangan gas In Salah, Aljazair, ke perut bumi sejak tahun 2004. Proyek ini diharapkan mampu mengurangi emisi sebesar 1.000 ton CO2 per tahun. 2. Proyek Crust di Belanda yang menginjeksikan gas CO2 ke dalam reservoir lapangan gas lepas pantai yang dilakukan oleh Gaz de France. 3. Proyek LNG Snohvit di Norwegia. State Oil sedang mengembangkan tiga lapangan gas di Brent Sea mempergunakan instalasi produksi bawah laut yang disambung ke jaringan pipa proses dan kilang pencairan di darat. Setiap tahun gas CO2 sebesar 700 ton mampu dipisahkan dari gas dan diinjeksikan ke dalam lapisan garam yang berada 2.600 m di bawah permukaan laut. 4. Industri gas alam di Alberta, Kanada, memproduksi emisi CO2 dan H2S diinjeksikan ke deep salt reservoir yang berada pada kedalaman 1.400 – 2.900 m di bawah permukaan bumi sejak tahun 1994. 5. Lapangan gas Sleipner West, Laut Utara, sejak tahun 1996 menginjeksikan CO2 ke deep salt reservoir yang berada di bawah dasar laut. 6. Beberapa proyek di Amerika yang menggunakan CO2 untuk meningkatkan perolehan minyak yang selanjutnya disimpan di dalam reservoir terkuras. Dari hasil kajian teknologi sekuestrasi CO2, terlihat kemungkinan teknologi ini bisa diterapkan di Indonesia. Indonesia memproduksi CO2 dari berbagai sumber, misalnya lapangan-lapangan minyak yang menghasilkan gas ikutan, pabrik-pabrik ammonia, kilang LNG, dan pusat-pusat listrik berbahan bakar fosil (gas, minyak dan batubara) yang dapat menjadi sumber masalah untuk mengatasinya. CO2 yang terproduksi bisa digunakan untuk meningkatkan perolehan minyak dengan injeksi CO2 atau bisa juga disimpan kembali di depleted reservoir, deep saline aquifer dan coal bed methane. Penggunaan teknologi ini di Indonesia diharapkan dapat menurunkan emisi gas buang CO2 ke atmosfir.
2.10. Potensi Penerapan CCS-EOR di Indonesia Menurut Syahrial dan Bioletty (2007), teknologi karbon dioksida sekuestrasi (CO2 sequestration) sudah dikembangkan dan diimplementasikan di beberapa negara sejak tahun 1990, dan sampai saat ini teknologi tersebut terus
25
dikembangkan dan penelitian terus dilakukan terutama pada teknologi penangkapan (capture) sehingga diharapkan di masa mendatang teknologi ini cukup efisien dan ekonomis. Penelitian untuk penerapan teknologi sekuestrasi di Indonesia belum banyak dilakukan, sementara potensi untuk menyimpan CO2 di wilayah Indonesia sangat besar, seperti ditunjukkan pada Gambar 11.
Gambar 11 Sebaran cekungan tersier di Indonesia (Lemigas 2006). Menurut
Syahrial
dan
Bioletty
(2007),
penghitungan
kapasitas
penyimpanan di formasi geologi seperti depleted reservoir, deep saline aquifer, deep ocean, dan coal bed methane secara regional belum pernah dilakukan. Sumber CO2 yang berasal dari pembangkit tenaga listrik, industri kimia dan pupuk, dan lapangan migas, apabila berlokasi dekat dengan formasi geologi yang memenuhi persyaratan penyimpanan, dapat ditangkap dan disimpan. Berdasarkan hal itu, CO2 dapat digunakan untuk meningkatkan perolehan minyak dengan menerapkan teknologi enhanced oil recovery (EOR). Pembuatan roadmap di seluruh wilayah Indonesia yang berawal dari sumber CO2 yang berasal dari industri, ditangkap kemudian disimpan ke dalam reservoir atau dimanfaatkan perlu dilakukan untuk memudahkan para investor terutama negara maju
26
melakukan mekanisme pembangunan bersih di Indonesia. Khusus untuk Indonesia, setelah menandatangani Protokol Kyoto, perlu menunjukkan peran aktif di sektor energi dalam menurunkan emisi gas CO2 ke atmosfir. Menurut ICCSSWG (2009), kawasan pantai utara Jawa berpotensi sebagai tempat penyimpanan CO2 karena memiliki banyak lapangan tua di daerah tersebut, walaupun beberapa lapangan tersebut masih aktif berproduksi, akan tetapi produksi minyak dapat dikembangkan dengan metode CO2 EOR, seperti dinjukkan pada Gambar 12.
Gambar 12 Sebaran lapangan migas di Jawa Barat (Napitupulu 2000).
Menurut ICCSSWG (2009), lokasi di kawasan pantai utara Jawa tersebut juga strategis dalam penyaluran CO2 karena dekat dengan pabrik pengolahan gas alam, Subang, seperti ditunjukkan pada Gambar 13, yang dapat menggambarkan secara mendetail proyeksi emisi CO2 hingga tahun 2018 dari 4 pembangkit tenaga listrik, yaitu 2 lokasi berada di Propinsi Jawa Barat, 1 lokasi di Propinsi Sumatera Utara dan 1 lokasi di Propinsi Kalimantan Timur, serta 1 lokasi pabrik pengolahan gas di Propinsi Jawa Barat. Proyeksi tersebut bertujuan untuk mengurangi potensi emisi gas CO2 hingga tahun 2018 yang dihasilkan dari Pulau Jawa, Sumatera,
27
Kalimantan dan Sulawesi masing-masing sebesar 1.983,5 metric ton (Mt), 158,7 Mt, 93 Mt, dan 34,7 Mt, dengan total emisi CO2 sebesar 1.938,5 Mt. Menurut ICCSSWG (2009), pabrik pengolahan gas di Subang, Jawa Barat, yang dioperasikan oleh PT. Pertamina, memproduksikan gas sebesar 200 MMscfd dengan kandungan CO2 sebesar 23%. Kandungan CO2 yang diproses berkurang menjadi 5%, dan CO2 yang dilepaskan sebesar 36 MMscfd atau 1.895 ton/hari atau 624.812 ton/tahun. Sistem amin digunakan dalam proses removal gas CO2 dengan lisensi teknologi BASF, dan dengan tingkat produksi maksimum, umur lapangan gas Subang diproyeksikan sampai tahun 2018. Jarak antara Subang dan pantai adalah 29,7 km dan 50 KM ke arah lapangan migas di lepas pantai.
Gambar 13 Rencana proyek CO2 di Indonesia (ICCSSWG 2009)
2.11. Resiko Kebocoran dan Monitoring CO2 Menurut Syahrial dan Bioletty (2007), terdapat beberapa risiko yang harus diantisipasi pada waktu menyimpan CO2 di dalam reservoir yang dapat menimbulkan kebocoran dengan merembesnya CO2 ke permukaan bumi. Kebocoran ini bisa disebabkan oleh : 1. Seismicity, timbulnya getaran-getaran kecil bumi akibat injeksi CO2. 2. Ground movement, penurunan atau kenaikan permukaan bumi yang yang diakibatkan oleh perubahan tekanan akibat induksi injeksi CO2.
28
3. Brine displacement, sebagai akibat dari injeksi CO2 terjadi perpindahan saline water ke formasi lain yang menyebabkan naiknya permukaan air sehingga menaikkan salinitas air minum di sumur artesis. 4. Kondisi sumur setelah tahap injeksi yang disebabkan oleh kesalahan desain atau konstruksi dari casing atau semen, korosi pada casing, dan kerusakan semen plug oleh CO2 atau air formasi. 5. Kekuatan tudung batuan, tekanan overbuden, dan mekanisme jebakan. Menurut Syahrial dan Bioletty (2007), untuk melihat potensi kebocoran di dalam reservoir tertentu, perlu diketahui informasi yang lebih rinci meliputi jumlah, jenis, dan umur sumur, serta teknik kompresi. Kebocoran dapat pula terjadi di sepanjang sumur patahan pada tudung batuan. Patahan pada tudung batuan disebabkan oleh : 1. Capillary leakage, kebocoran ini akan diabaikan jika secara umum tekanan kapiler yang masuk ke batuan hidrokarbon dapat menahan tekanan yang terdapat pada hidrokarbon, dan dapat diukur dengan melakukan uji pada core. 2. Difusi CO2 (disebabkan oleh perbedaan konsentrasi CO2). 3. CO2 mungkin akan bocor melalui rekahan yang dibuat oleh manusia misalnya; hydraulyc fracturing dan over pressure di reservoir, contohnya aquifer kecil tertutup. Hal ini bisa diatasi dengan cara tekanan injeksi CO2 tidak melebihi tekanan rekahnya, atau tidak melebihi tekanan awal reservoir. 4. Dilatant shear formation, rekahan yang terjadi di tudung batuan, sehingga formasi batuan membuat jalur aliran tersendiri. Hal ini menaikkan permeabilitas batuan tudung yang akan menimbulkan kebocoran, akan tetapi deformasi shear ini dapat juga menyebabkan penurunan permeabilitas. 5. CO2 bisa keluar sepanjang patahan terbuka yang mencapai batuan tudung dan dapat diminimalkan dengan analisis geologi dari reservoir yang akan diinjeksi. 6. Gangguan seismik dapat menyebabkan kerusakan pada batuan tudung. Menurut Syahrial dan Bioletty (2007), monitoring memegang peran penting dalam penelitian CO2 sekuestrasi untuk menjamin keamanan dan kefektifan formasi geologi (depleted reservoir) dalam penyimpanan CO2. Monitoring berguna untuk melihat perkembangan CO2 di reservoir, memperoleh
29
pengetahuan mengenai performance reservoir, tudung batuan, jalur migrasi, solubility, interaksi geochemical, air tanah, kualitas soil, dan pengaruhnya terhadap ekosistem dan micro-sesmicity yang berasosiasi dengan injeksi CO2, dengan menggunakan metode seismik dan pengukuran geofisik. Alasan dilakukannya monitoring pada penyimpanan CO2 bawah permukaan diantaranya: 1. Menjamin kesehatan dan keamanan. 2. Memastikan apakah injeksi dan penyimpanan CO2 tidak berdampak buruk kepada kesehatan dan lingkungan. 3. Memperkecil kemungkinan terjadinya kebocoran CO2. 4. Menjaga keseimbangan massa 5. Memastikan apakah injeksi CO2 tepat berada di target formasi dan jumlah CO2 yang diinjeksi sesuai dengan CO2 yang disimpan. Monitoring adalah implementasi untuk mengawasi rencana jumlah CO2 yang diinjeksikan sesuai dengan kuota emisi dan kredit karbon (Protokol Kyoto) yang diijinkan. 6. Mengembangkan pengetahuan mengenai kinerja CO2 yang diinjeksikan ke dalam reservoir dan meramalkannya di masa yang akan datang.
2.12. Sifat Kimia dan Fisika Gas Karbon Dioksida Menurut Solomon (2006), gas karbon dioksida adalah suatu campuran kimiawi dari dua unsur karbon dan oksigen, di dalam rasio satu menjadi dua; rumusan molekularnya adalah gas CO2. Gas tersebut berada di dalam atmosfer dalam jumlah yang kecil (370 ppmv) dan memainkan suatu peran yang sangat penting dalam lingkungan bumi sebagai suatu zat yang sangat diperlukan dalam siklus kehidupan dari tanaman dan hewan. Selama fotosintesis tanaman berasimilasi dengan gas CO2 dan melepaskan oksigen. Aktivitas antropogenik yang menyebabkan emisi gas CO2 termasuk pembakaran bahan bakar fosil dan karbon lain yang berisi beberapa bahan karbon, fermentasi dari senyawa organik seperti pembentukan gula dan dari pernafasan makhluk hidup. Sumber alami dari gas CO2, termasuk aktivitas vulkanis, mendominasi siklus karbon di bumi. Gas CO2 memiliki bau yang sedikit tajam, tidak berwarna dan lebih padat dibanding udara. Pada suhu dan tekanan normal, CO2 berbentuk sebagai suatu gas.
30
Menurut Solomon (2006), pada temperatur lebih tinggi dari 31,1oC (jika tekanan lebih besar dari 73,9 bar dan tekanan pada titik kritis), CO2 disebut menjadi dalam bentuk status super kritis dengan CO2 yang bertindak sebagai suatu gas; dibawah tekanan tinggi, kepadatan gas dapat menjadi sangat besar, mendekati atau bahkan melebihi kepadatan cairan air. Hal ini menjadi aspek penting dari sifat CO2 dan sangat relevan untuk proses penyimpanan CO2. Menurut Klins (1984), gas CO2 merupakan gas yang relatif berat, sekitar 50% lebih berat dari udara pada kondisi atmosfir dan memiliki kompresibilitas yang sangat rendah. Gas CO2 memiliki temperatur kritik 87,8oF (31oC) dan tekanan kritik 1.070 psi (89 bar). Menurut Stalkup (1983), di atas temperatur kritis, CO2 bersifat gas dengan densitas yang meningkat dengan peningkatan tekanan, seperti ditunjukkan pada Gambar 14.
Gambar 14 Diagram fasa gas CO2 (Solomon 2006). Menurut Solomon (2006), pada temperatur rendah, CO2 sebagai suatu padatan, dengan perhatian pada tekanan yang lebih kecil dari 5,1 bar, padatan
31
akan tersublimasi secara langsung ke dalam bentuk uap. Pada temperatur pertengahan (antara -56,5oC, yang merupakan tripel point, dan 31,1oC, yang merupakan critical point), CO2 kemungkinan dikembalikan dari sebuah uap menjadi sebuah larutan dengan menekan CO2 dalam kesesuaian dengan tekanan cairan (dan menghilangkan panas yang dihasilkan). Gambar 15 menunjukkan variasi densitas (kepadatan) CO2 dari perbedaan temperatur dan tekanan.
Gambar 15 Variasi densitas gas CO2 (Solomon 2006). Menurut Solomon (2006), larutan air (H2O) yang mengandung gas CO2 dapat membentuk asam karbonat, yang tidak terlalu stabil dan mudah untuk diisolasi. Daya larut gas CO2 di dalam air berkurang dengan naiknya suhu dan mengalami peningkatan dengan meningkatnya tekanan. Daya larut CO2 di dalam air juga berkurang dengan meningkatnya kadar salinitas air. Penghilangan CO2 di dalam air (bisa air laut, atau air garam di dalam formasi geologi) melibatkan sejumlah reaksi kimia antara gas dan kelarutan CO2, asam karbonat (H2CO3), ion bikarbonat (HCO3-) dan ion karbonat (CO32-) yang dapat diwakili sebagai berikut:
32
CO2 (g)
CO2 (aq)
CO2 (aq) + H2O
H2CO3 (aq)
H2CO3 (aq) HCO3
-
(aq)
H
+
H
+
(aq)
(1) (2)
+ HCO3
(aq) +
CO3
2-
-
(aq)
(aq)
(3) (4)
Reaksi terbentuknya ion bikarbonat di dalam air terjadi akibat penambahan gas CO2 ke dalam air, yang bertujuan ke arah peningkatan jumlah kelarutan gas CO2. Kelarutan gas CO2 yang bereaksi dengan air selanjutnya membentuk asam karbonat, dan pada proses reaksi berikutnya asam karbonat tersebut memisahkan diri untuk membentuk ion bikarbonat, dan kemudian ion bikarbonat tersebut dapat dipisahkan ke dalam ion karbonat. Dampak keseluruhan dari kelarutan gas CO2 secara antropogenik di dalam air adalah terjadinya kepindahan dari ion-ion karbonat dan produksi ion-ion bikarbonat, yang mengakibatkan suatu penurunan nilai derajat keasaman (pH). Menurut Goodrich (1980), viskositas gas CO2 sangat dipengaruhi oleh tekanan dan temperatur. Pada temperatur titik kritis yang konstan, yaitu pada temperatur 31,1oC, menunjukkan bahwa nilai viskositas gas CO2 semakin meningkat dengan naiknya tekanan, dan CO2 kemungkinan dikembalikan dari bentuk uap menjadi larutan. Gambar 16 memperlihatkan pengaruh tersebut dalam bentuk grafik yang menunjukkan hubungan antara tekanan pada kondisi temperatur konstan. Menurut Meer (2005), temperatur dan tekanan kritis CO2 adalah 31,1oC dan 7,38 Mpa. Superkritikal CO2 tidak berlawan dan sebagai pelarut yang sangat baik untuk campuran organik. Densitas dan viskositas CO2 adalah fungsi dari temperatur dan tekanan. Pada temperatur dan tekanan di bawah tanah, kepadatan CO2 bervariasi antara 600 kg/m3 (30°C, 8 Mpa) dan 800 kg/m3 (160°C, 70 MPa) dan kekentalan antara 004 cP (30°C, 8 Mpa) dan 008 cP (160°C, 70 MPa). Berdasarkan perbandingan, kepadatan air segar berkurang dari 1.000 kg/m3 pada kondisi permukaan menjadi sekitar 920 kg/m3 pada kedalaman 7.000 m, dan viskositas CO2 merosot dari 1,0 menjadi 0,2 cP. Air laut, bagaimanapun, mempunyai densitas dan viskositas yang lebih besar.
33
Gambar 16 Viskositas gas CO2 (IPCC 2005b).
2.13. Proses Penangkapan Gas CO2 Menurut Arnold dan Stewart (1999), beberapa proses yang dapat digunakan untuk pemisahan gas asam (CO2 dan H2S) dan gas alam, yaitu: 1.
Solid bed absorption Terdiri dari proses iron sponge, sulfa treat, zinc oxide, dan molecular sieve.
2.
Chemical solvent Terdiri dari proses monoetanolamin (MEA), metildietanolamin (MDEA), dietanolamin (DEA), diglikolamin (DGA), diisopropilamin (DIPA), hot potassium carbonate, proprietary carbonate systems.
3.
Physical solvent Terdiri dari proses flour flexsorb, selexol, shell sulfinol, dan rectisol.
4.
Direct convertion of H2S to sulfur Terdiri dari proses claus, LOCAT, stretford, IFP dan sulfa-check.
5.
Sulfide scavenger
6.
Distillation, berupa proses amin-aldehyde condensates.
7.
Gas permeation.
34
2.13.1. Chemical Solvent Menurut Arnold dan Stewart (1999), proses-proses pelarut kimia (chemical solvent) menggunakan larutan basa lemah yang dapat bereaksi dan menyerap gas asam dari suatu aliran gas. Penyerapan (absorpsi) terjadi karena adanya gaya pendorong (driving force) oleh tekanan parsial gas ke dalam cairan. Reaksinya bersifat bolak balik, dan cukup dengan mengubah tekanan dan temperatur, maka larutan basa tersebut bisa diambil (regenerated) lagi dan disirkulasikan secara berulang-ulang. Beberapa sistem yang biasa digunakan dalam proses amin, yaitu:
a. MEA (Monoetanolamin) MEA (C2H7NO) adalah jenis amin primer yang dapat digunakan untuk memisahkan H2S dan CO2. MEA adalah campuran yang stabil dan tidak terdegradasi atau perubahan komposisi sampai temperatur titik didih normalnya. MEA reaktif terhadap CO2 dan H2S. Rumus bangun MEA adalah sebagai berikut:
(Maddox 1982)
Menurut Arnold dan Stewart (1999), reaksi antara MEA dengan CO2 dan H2S antara lain sebagai berikut :
low temp
2(RNH2) + H2S
(RNH3)2S high temp
low temp
(RNH3)2S + H2S
2(RNH3)HS high temp
low temp
2(RNH2) + CO2
RNHCOONH3R (karbamat) high temp
35
Menurut Arnold dan Stewart (1999), reaksi antara MEA dengan karbonil sulfida (COS), dan karbon disulfida (CS2), dapat membentuk garam yang stabil terhadap panas (heat stable salt) yang tidak bisa diperbaharui. Pada temperatur diatas 245oF sebuah reaksi sampingan dengan kehadiran CO2 menghasilkan oxazolidone-2, sebuah garam yang stabil terhadap panas, dan menghilangkan MEA dari proses. Reaksi dengan CO2 dan H2S dibalikkan dalam kolom stripper dengan pemanasan rich MEA pada temperatur sekitar 245oF dan tekanan 10 psig. Gas asam meningkat dalam penguapan dan dipindahkan dari puncak kolom. MEA dapat diperbaharui, dan sering dipasang tambahan reclaimer untuk mengambil garam ini sebagai produk kontaminan. Menurut Arnold dan Stewart (1999), MEA yang sering disirkulasikan di dalam larutan adalah 15 - 20% berat dalam air. Dalam proses penggunaan larutan mengakibatkan 0,3 - 0,4 mol gas asam dipindahkan per mol MEA. Produk sampingan bisa berupa busa, padatan, atau hidrokarbon cair. Busa dihilangkan dengan defoamer, padatan disaring dengan filter, hidrokarbon cair dipisahkan dengan flash tank, dan produk degradasi dipindahkan lewat reclaime. MEA bisa digunakan dengan desain teliti agar tidak terjadi korosi dan kehilangan MEA.
b. DIPA (Diisopropilamin) Menurut Arnold dan Stewart (1999), DIPA (C6H15NO2) adalah amin sekunder, yang digunakan dalam proses Shell ADIP untuk memurnikan gas alam. Sistem DIPA sama dengan MEA, namun dengan kelebihan bisa menghilangkan COS dan DIPA tetap bisa diperoleh kembali. Sistemnya tidak korosif, dan hanya membutuhkan panas yang lebih sedikit untuk meregenerasinya. Lebih jelasnya mengenai rumus bangun DIPA dapat ditunjukkan pada Gambar 17.
Gambar 17 Rumus bangun DIPA (Maddox 1982).
36
Menurut Arnold dan Stewart (1999), salah satu gambaran dari proses ini adalah pada tekanan rendah DIPA lebih cenderung memisahkan H2S. Pada saat tekanan meningkat, proses pemilihan berkurang. Kemampuan DIPA untuk memisahkan CO2 sama dengan kemampuannya memisahkan H2S. Berdasarkan hal itu, maka sistem ini dapat digunakan untuk memilih memisahkan H2S saja atau untuk memisahkan CO2 dan H2S bersama-sama.
c. DEA (Dietanolamin) Menurut Arnold dan Stewart (1999), DEA (C4H11NO2) merupakan amin sekunder yang lebih lemah daripada MEA, sehingga masalah korosi tidak terlalu besar dan hanya membutuhkan panas yang lebih sedikit untuk meregenerasinya, karena tekanan uapnya lebih rendah. Lebih jelasnya mengenai rumus bangun DEA dapat ditunjukkan pada Gambar 18.
Gambar 18 Rumus bangun DEA (Maddox 1982).
Menurut Arnold dan Stewart (1999), reaksi DEA dengan CO2 dan H2S adalah sebagai berikut :
low temp
2RNH2 + H2S
(R2NH2)2S high temp
low temp
(R2NH2)2S + H2S
2(R2NH2)HS high temp
37
low temp
2R2NH + CO2
R2NHCOONH2R2 high temp
Menurut Arnold dan Stewart (1999), reaksi DEA dengan COS dan CS2 dapat membentuk campuran yang dapat diregenerasi di dalam kolom stripper. Berdasarkan hal itu, COS dan CS2 dipisahkan tanpa kehilangan DEA. Pada umumnya, sistem DEA termasuk sebuah filter karbon, tetapi tidak termasuk sebuah reclaimer. Reaksi-reaksi stoikiometri DEA dan MEA dengan CO2 dan H2S adalah sama. Berat molekul (BM) DEA adalah 105, dibandingkan dengan 61 untuk MEA. Kombinasi BM dan reaksi stoikiometri menunjukkan, bahwa untuk memisahkan jumlah gas asam yang sama dengan MEA, dibutuhkan 1,7 lb sementara MEA cukup 1 lb, dan jumlah volume yang bisa dilarutkan ke dalam air lebih besar, yaitu hingga 35% karena tidak korosif, dibandingkan dengan MEA cukup 20%. Beban berat untuk sistem DEA sekitar 0,65 per mol, lebih besar dibandingkan dengan 0,4 per mol dari MEA. Laju sirkulasi dari larutan DEA lebih sedikit dibandingkan sistem MEA. Tekanan uapnya yang hanya 1/30 kali MEA, membuat resiko kehilangan amin ini hanya ¼ - ½ lb/Mscf, dan panas yang dibutuhkan untuk meregenerasi DEA sebesar Btu/lb atau 25% dari MEA.
d. MDEA (Metildietanolamin) Menurut Kidnay dan Parrish (2006), MDEA (C5H13NO2) merupakan jenis amin tersier, lebih selektif memisahkan H2S dan lebih banyak kehilangan CO2 dalam spesifikasi perpipaan. Berdasarkan kondisi tersebut, kehilangan CO2 terjadi disebabkan oleh proses hidrolisa dari H2S lebih cepat dibandingkan terhadap CO2, dan reaksi pembentukan formasi karbamat tidak terjadi dengan amin tersier. Waktu kontak yang pendek di dalam absorber merupakan konsekuensi yang harus digunakan untuk memperoleh kemampuan penyaringan. MDEA memiliki tekanan uap yang rendah, dan dengan demikian dapat digunakan pada konsentrasi lebih dari 60% berat dalam air, tanpa kehilangan nilai penguapan. Lebih jelasnya rumus bangun MDEA dapat ditunjukkan pada Gambar 19.
38
Gambar 19 Rumus bangun MDEA (Maddox 1982).
Menurut Aliabadi (2009), reaksi antara MDEA dengan air adalah sebagai berikut :
Menurut Newman (1985), pada rasio CO2 atau H2S yang besar, hampir dua per tiga gas CO2 tidak tertangkap di absorber dan mengalir ke keluaran gas murni, karena MDEA lebih selektif terhadap H2S. Ketidakmampuan ini akibat MDEA tidak memiliki atom hidrogen (H2) yang dapat menangkap nitrogen (amin tersier) dan tidak bisa bereaksi langsung dengan CO2 untuk membentuk karbamat. Berdasarkan hal itu, MDEA sering dicampur dengan amin primer dan sekunder untuk meningkatkan kemampuannya dalam menangkap gas-gas asam.
2.13.2. Mekanisme Absorbsi Menurut Sutanto et al. (2009), prinsip peristiwa perpindahan massa dapat dijabarkan sebagai berikut :
Menurut Sutanto et al. (2009), perpindahan massa satu atau beberapa komponen antara 2 fasa melewati lapisan tipis mengikuti Hukum Fick, dengan laju perpindahan massa dijabarkan dalam satuan fluks molar (NA). Tenaga penggerak adalah perbedaan konsentrasi (dCA) dan sebagai tahanan adalah lapisan tipis kontak antar fasa (dZ).
39
Menurut Sutanto et al. (2009), peristiwa perpindahan massa antara 2 fasa juga dapat dinyatakan secara kualitatif melalui profil distribusi fugasitas, seperti ditunjukkan pada Gambar 20.
Gambar 20 Proses perpindahan antara dua fasa (Sutanto et al. 2009).
Menurut Sutanto et al. (2009), jumlah fluks molar komponen dinyatakan sebagai fungsi perbedaan fugasitas fasa curah dengan lapisan tipis sebagai tenaga penggerak peristiwa perpindahan.
Menurut Sutanto et al. (2009), absorpsi adalah proses terlarutnya komponen fasa gas dalam fasa cair akibat dari perbedaan konsentrasi (fugasitas) komponen di fasa curah (fasa gas dan fasa cair) dengan perbedaan konsentrasi (fugasitas) komponen di lapisan tipis. Mekanisme perpindahan massa absorpsi diawali dari perpindahan komponen dari fasa gas ke fasa cair melalui lapisan tipis secara difusi. Tenaga penggerak perpindahan massa di fasa gas berupa beda tekanan parsial komponen di fasa curah dengan lapisan tipis (p - pi), sedangkan tenaga penggerak perpindahan massa di fasa cair tanpa sistem reaksi berupa beda konsentrasi komponen di lapisan tipis dengan fasa curah (ai - ao).
40
Menurut Sutanto et al. (2009), pada lapisan tipis terjadi kesetimbangan yang
menyebabkan
kekontinyuan
fugasitas
sehingga
berlaku
model
kesetimbangan termodinamika di lapisan tipis. Secara sederhana, kelakuan termodinamik atau kesetimbangan fasa gas dan fasa cair dinyatakan dengan Hukum Henry, yaitu :
Menurut Sutanto et al. (2009), mekanisme absorpsi fasa gas ke dalam fasa cair melalui lapisan tipis dapat ditunjukkan pada Gambar 21.
Gambar 21 Mekanisme absorpsi (Sutanto et al. 2009).
Menurut Sutanto et al. (2009), proses absorpsi dapat terjadi karena peristiwa fisik atau melibatkan reaksi kimia. Pada absorpsi yang melibatkan pelarut kimia, tenaga penggerak perpindahan massa sangat dipengaruhi oleh reaksi kimia, sehingga fluks molar tidak linear terhadap perbedaan fugasitas (beda konsentrasi) di fasa cair, seperti ditunjukkan pada Gambar 22.
41
Menurut Sutanto et al. (2009), enchancement factor (E) adalah pengaruh reaksi terhadap laju perpindahan massa atau rasio antara perpindahan massa dengan reaksi kimia terhadap perpindahan massa tanpa reaksi kimia pada kondisi tenaga penggerak yang sama. Selama sistem belum mencapai kesetimbangan, perpindahan secara difusi (penyebaran) dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah terus berlanjut. Jumlah maksimum kandungan gas yang dapat larut pada kondisi setimbang disebut kelarutan.
Gambar 22 Absorpsi secara fisika dan kimia (Sutanto et al. 2009).
2.13.3. Peralatan Unit Amin Menurut Arnold dan Stewart (1999), jenis peralatan dan metode untuk mendisain peralatan yang dibutuhkan antara lain: a. Absorber Larutan amin absorber menggunakan aliran berlawanan arah (counter current) melalui tray atau menara untuk memberikan campuran yang baik antara larutan amin dan gas asam. Pada umumnya, menara kecil menggunakan stainless steel packing, sedangkan menara yang lebih besar menggunakan stainless steel tray. Pada umumnya jumlah tray yang digunakan adalah 20 - 24 buah.
42
Menurut Arnold dan Stewart (1999), pada umumnya, larutan amin absorber termasuk bagian scrubber pada bagian bawah menara. Scrubber ini berdiameter sama yang diperlukan untuk menara. Gas yang memasuki menara selanjutnya melewati mist eliminator dan chimney tray. Tujuan scrubber adalah memisahkan air atau hidrokarbon cair dari gas untuk melindungi larutan amin dari kontaminasi. Pada sistem MEA, dengan laju alir gas yang besar, sebuah scrubber harus dipertimbangkan pada keluaran sweet gas. Pada output gas murni dipasang separator untuk menghindari kehilangan MEA akibat tekanan uapnya rendah.
b. Heat Exchanger Menurut Arnold dan Stewart (1999), jenis heat exchanger terdiri dari shell-and-tube, double pipe, plate-and-frame, aerial coolers, dan fired heater. Pada bagian ini dibahas penukar panas tipe shell-and-tube dan pendingin udara. Rich/lean amine exchanger yang sering digunakan adalah shell-and-tube exchanger dengan penyaluran rich amine yang korosif melalui tube. Penukar panas shell-and-tube memiliki bentuk silinder, terdiri dari sekumpulan tabung (tube) yang dikelilingi pembungkus luar (shell). Tujuan dari exchanger ini adalah untuk mengurangi kerja reboiler dengan mengembalikan beberapa panas dari lean amine. Laju alir dan temperatur inlet pada umumnya diketahui. Berdasarkan hal itu, temperatur outlet dan kerjanya dapat ditentukan dengan mengasumsikan penggunaan temperatur pada outlet. Semakin cepat penggunaan temperatur ditentukan, semakin besar kerja dan panas yang dikembalikan, hanya saja exchanger lebih besar dan lebih mahal. Temperatur disain adalah sekitar 30oF yang dapat menyediakan keseimbangan dalam disain rich/lean exchanger dan reboiler yang ekonomis. Temperatur reboiler direkomendasikan lebih dari 30oF.
c. Cooler Menurut Arnold dan Stewart (1999), air cooler atau pendingin udara, biasa digunakan untuk mendinginkan fluida panas hingga mendekati temperatur sekitar. Pada pendingin udara, kumpulan tabung bisa diletakkan di sisi luar atau dalam kipas (fan) tergantung apakah kipasnya mengalirkan udara ke tabung atau
43
mengisap udara ke arahnya. Pada saat tabung diletakkan di sisi luar kipas, penukar panas itu disebut forced draft dan bila tabung diletakkan di sisi dalam fan disebut induced draft. Prinsip kerjanya adalah fluida proses masuk salah satu nozzle di header dan dipaksa masuk ke tabung oleh partition plate hingga ke ujung lain header, setelah itu fluida tersebut masuk ke tabung lainnya dan mengalir kembali ke header semula dan keluar lewat nozzle lainnya. Udara dialirkan secara vertikal atau horizontal untuk mendinginkan fluida proses. Tabung memiliki sirip (fin) karena efisiensi transfer panasnya semakin banyak kipasnya, artinya semakin luas areanya, maka efisiensinya makin besar. Temperatur keluaran fluida proses harus diatur untuk mencegah terbentuknya hidrat gas atau terlalu kentalnya fluida proses akibat pendinginan yang berlebihan. Pelarut didinginkan sehingga lebih panas 10oF dari gas asam yang masuk ke absorber, jika terlalu dingin akan mengkondensasikan sebagian gas menjadi cairan, dan jika terlalu panas akan meningkatkan temperatur uap amin sehingga amin bisa hilang sebagai panas.
d. Stripper Menurut Arnold dan Stewart (1999), amin stripper menggunakan panas dan uap air untuk membalikkan reaksi kimia dengan CO2 dan H2S dari larutan air dan membawa gas-gas tersebut ke puncak kolom. Jenis stripper terdiri dari menara yang beroperasi pada tekanan 10 - 20 psig dengan 20 tray, reboiler, dan condenser. Masukan rich amine pada tray ketiga atau keempat dari puncak. Lean amine dipisahkan pada bagian bawah stripper dan gas asam dipisahkan pada bagian atas. Laju alir uap lebih besar pada tray bagian bawah dari menara sehingga larutan dari tray bawah menyediakan laju alir lean amine dari menara ditambah air secukupnya untuk menyediakan uap air dari reboiler. Uap yang ikut terbawa ke luar akan didinginkan oleh condenser menjadi air dan dimasukkan lagi ke stripper untuk dipanaskan kembali menjadi uap. Energi yang dibutuhkan untuk melepaskan ikatan amin ini adalah jumlah dari panas yang dibutuhkan untuk menaikkan temperatur larutan, energi absorbsi, dan panas laten. Stripper memiliki bentuk dan dimensi yang sama dengan absorber, perbedaannya pada jumlah tray dan letaknya dari bawah ke atas, dan dilengkapi reboiler dan condenser.
44
e. Reboiler Menurut Arnold dan Stewart (1999), reboiler menyediakan input panas ke amin stripper, yang dapat membalikkan reaksi kimia dan menyisakan gas asam. Fungsi panas dari amin reboiler bervariasi dengan disain sistem. Diperlukan fungsi reboiler dan condenser yang lebih besar, reflux ratio yang lebih besar dan juga jumlah tray yang lebih kecil. Fungsi reboiler dan reflux ratio yang lebih kecil, dan jumlah tray yang lebih banyak harus dimiliki. Berdasarkan disain, temperatur reboiler dalam sistem operasi stripper pada tekanan 10 psig dapat diasumsikan menjadi 245oF untuk MEA 20% wt, dan 250oF untuk DEA 35% wt.
f. Overhead Condenser dan Reflux Accumulator Menurut Arnold dan Stewart (1999), condenser digunakan untuk mendinginkan gas dan mengkondensasikan uap air kembali menjadi air. Inlet temperatur pada cooler dapat dikembalikan dengan menggunakan tekanan parsial uap air untuk menentukan temperatur dari uap air. Temperatur outlet dari cooler pada umumnya sekitar 130 - 145oF yang tergantung pada suhu lingkungan. Reflux accumulator adalah separator yang digunakan untuk memisahkan gas asam dari air yang terkondensasi. Air diakumulasikan dan dipompakan kembali ke bagian atas stripper sebagai aliran kembali.
2.13.4. Proses Unit Amin Menurut Arnold dan Stewart (1999), proses amin dimulai dengan masuknya aliran gas asam ke dalam suatu separator untuk memisahkan antara gas dengan hidrokarbon cair. Gas asam masuk ke bagian bawah absorber, dan bergerak ke atas melalui rangkaian tray atau packing. Pada saat bersamaan gas ini akan kontak dengan amin yang dialirkan dari atas absorber, menyebabkan terjadinya reaksi kimia membentuk ikatan kimia lemah antara gas asam dengan rich amine, sementara gas yang lain akan keluar melalui output sebagai gas murni. Separator dipasang pada output untuk mengambil sejumlah pelarut yang ikut terbawa gas ini. Pelarut ini kemudian akan dibawa ke flash tank untuk dipisahkan dengan hidrokarbon cair, pada saat ini gas asam akan ikut keluar namun dalam
45
jumlah kecil. Aliran rich solvent ini kemudian menuju penukar panas rich/lean amine, yang berguna untuk mentransfer sebagian panas lean amine ke rich amine. Selanjutnya rich amine solution dibawa ke stripper untuk dipanaskan oleh reboiler dengan menggunakan uap sehingga ikatan kimia di dalam larutan terlepas, dengan gas asam akan langsung menuju ke condenser untuk mengkondensasikan steam agar terlepas dari gas asam, dan lean amine (yang terpanaskan) dialirkan lagi menuju heat exchanger. Lean amine ini kemudian dipanaskan dan dimasukkan lagi ke dalam absorber untuk menyerap gas asam.
2.13.5. Proses Rancangan Menurut Hartanto et al. (2009), gas alam merupakan salah satu sumber energi yang banyak digunakan di dalam berbagai industri. Gas alam umumnya mengandung berbagai macam kontaminan seperti H2S, CO2, CS2, RSH, COS, N2, NO2, dan H2O. Agar memiliki nilai jual yang tinggi, gas alam harus diproses terlebih dahulu untuk memenuhi beberapa spesifikasi tertentu, salah satunya yaitu spesifikasi kandungan CO2 dan H2S. Kedua komponen gas ini harus dihilangkan karena dapat mengganggu dalam pemanfaatan dan transmisinya. Pencampuran dengan air, gas CO2 akan membentuk asam yang bersifat korosif dan dapat merusak sistem perpipaan. Keberadaan CO2 di dalam gas alam juga dapat menurunkan nilai panas (heating value), menambah biaya kompresi, dan dapat meracuni katalis. CO2 juga akan membeku pada temperatur rendah. Menurut Hartanto et al. (2009), secara umum proses penyingkiran gas CO2 dari gas alam dilakukan melalui proses absorpsi dengan menggunakan contactor gas-cair. Contactor yang biasa digunakan adalah kolom isian (packed column) dan kolom baki (tray column), sedangkan pelarut yang paling banyak digunakan yaitu pelarut kimia alkanolamin (seperti MEA, DEA, MDEA, dan sebagainya), dalam bentuk pelarut tunggal maupun campuran, serta diperkuat dengan promotor atau activator untuk meningkatkan laju absorpsi CO2. Proses absorpsi berbasis pelarut alkanolamin ini telah diadopsi sebagai modul baku dalam banyak simulator proses komersial dengan menerapkan model kesetimbangan uap-cair (KUC) yang berbeda-beda. Bentuk fasa uap dapat digunakan persamaan keadaan soave redlich
46
kwong atau peng robinson, sedangkan di fasa cair digunakan model-model koefisien aktivitas seperti kent-eisenberg, li-mather, electrolyte non random two liquid (NRTL), dan electrolyte extended long range (ELR). Menurut Hartanto et al. (2009), penelitian awal dalam bentuk simulasi terhadap proses absorpsi CO2 ini diperlukan untuk membantu memprediksi, merancang, dan mengevaluasi proses sesungguhnya, dan di dalam simulasi ini diperlukan model KUC yang dapat merepresentasikan kesetimbangan CO2 dalam pelarut alkanolamin, baik pada alkanolamin tunggal, maupun campuran dengan promotor atau activator. Semakin banyak penggunaan promotor atau activator pada
pelarut
alkanolamin,
maka
diperlukan
model
KUC
yang
dapat
merepresentasikan kesetimbangan CO2 pada pelarut tunggal dan pada campuran dengan promotor atau activator. Model ini digunakan dalam simulasi absorpsi CO2 untuk membantu dalam merancang dan mengevaluasi proses sesungguhnya.
2.14. Proses Penyimpanan Gas CO2 2.14.1. Karakteristik Gas CO2 sebagai Fluida Pendesak a. Kelarutan Gas CO2 Di dalam Minyak Menurut Holm (1959), kelarutan CO2 dalam minyak pada temperatur o
125 F dan tekanan yang berbeda-beda menunjukkan peningkatan harga kelarutan CO2 sampai sekitar 1.600 psi. Pada penambahan diatas 160 psi kelarutan CO2 tetap, dengan harga kelarutan CO2 yang sudah tidak berubah lagi ini disebabkan sudah terjadi percampuran antara CO2 dan minyak pada tekanan tersebut. Kelarutan CO2 sangat tinggi dalam berbagai macam hidrokarbon, khususnya untuk komponen tunggal seperti heksana. Hal ini disebabkan molekul C5+ yang terkandung di dalamnya cukup besar. Adanya unsur C1 di dalam kandungan minyak akan menurunkan kelarutan CO2 sehingga percampuran sulit tercapai.
b. Pengembangan Volume Minyak Menurut Simon dan Graue (1965), CO2 yang terlarut dalam minyak akan menambah volume cairan yang disebabkan oleh pengembangan volume minyak (oil swelling). Derajat dari swelling disebut sebagai faktor swelling yang besarnya
47
merupakan perbandingan antara volume campuran minyak dan CO2 terlarut pada tekanan dan temperatur saturasi dengan volume minyak sebelum CO2 terlarut pada tekanan atmosfir dan temperatur saturasi, atau dengan rumus berikut:
Menurut Simon dan Graue (1965), kondisi jenuh dapat menghasilkan sejumlah data tentang faktor swelling. Hasil analisis data tersebut di atas yang digambarkan sebagai hubungan antara faktor swelling, fraksi mol CO2 terlarut dan ukuran molekul minyak, sehingga dapat diketahui bahwa faktor swelling bukan hanya merupakan fungsi dari banyaknya CO2 yang terlarut, tetapi juga fungsi dari ukuran molekul minyak. Korelasi antara tekanan pendesakan dengan faktor swelling, dengan sebuah harga tekanan yang dapat menyebabkan faktor swelling berharga maksimum, yaitu tekanan dengan proses pencampuran telah terjadi.
c. Penurunan Viskositas Minyak Menurut Simon dan Graue (1965), pengembangan volume minyak (swelling) oleh karena kelarutan CO2 dapat menyebabkan viskositas minyak menjadi berkurang, selanjutnya akibat dari kondisi tersebut adalah perbandingan antara viskositas campuran minyak dan CO2 dengan viskositas minyak oil in place (µ m/µ o) menjadi bertambah. Bertambahnya perbandingan tersebut menyebabkan efisiensi penyapuan akan menjadi lebih baik. Viskositas minyak dapat bertambah dengan diturunkannya tekanan saturasi, yaitu untuk minyak yang lebih kecil viskositasnya pertambahan tersebut akan lebih baik daripada minyak yang mempunyai viskositas lebih besar.
d. Ekstraksi Komponen Hidrokarbon dalam Minyak Menurut
Holm
dan
Josendal
(1974),
kemampuan
CO2
dalam
mengekstrakasi komponen hidrokarbon dalam minyak yang terjadi pada tekanan
48
pencampuran, sehingga mengakibatkan minyak yang mempunyai gravity lebih besar membutuhkan tekanan pendesakan yang juga lebih besar agar terjadi ekstraksi dari minyak. Terjadinya proses ekstraksi tersebut di atas menunjukkan bahwa ketika CO2 diinjeksikan, maka komponen C1 - C4 akan diuapkan dari minyak sampai tercapainya satu kondisi kesetimbangan, sedangkan penginjeksian CO2 lebih lanjut akan mengekstraksikan C5 - C30 yang akan membentuk daerah transisi yang akan memisahkan antara CO2 dengan minyak semula, dan jika minyak dan CO2 sudah sepenuhnya tercampur, maka proses ekstraksi tidak akan terjadi lagi dalam arti bahwa komposisi cairan hidrokarbon di daerah transisi akan sama dengan minyak semula.
e. Penambahan Densitas Minyak Menurut Holm dan Josendal (1974), terlarutnya gas CO2 dalam minyak selain menurunkan viskositas minyak dalam kenyataanya akan diikuti oleh penambahan densitas minyak, sedangkan gas CO2 yang terlarut dalam air formasi tersebut akibat penambahan densitas minyak dan pengurangan densitas air formasi dalam suatu sistem model pendesakan linier tidak akan menyebabkan pemisahan secara gravity apabila gas CO2 diinjeksikan ke dalam sistem. Hal ini disebabkan pada kondisi tekanan pendesakan dan temperatur sistem reservoir, densitas gas CO2 sangat besar jika dibandingkan dengan densitas minyak dan air formasi, selain itu kecepatan injeksi yang besar juga akan memperkecil pemisahan gravity.
f. Pengaruh Gas CO2 dalam Air Formasi dan Batuan Menurut Walker dan Dunlop (1963), gas CO2 juga mempunyai kelarutan sekitar 2 - 7% dalam air formasi, dan jika konsentrasi gas CO2 bertambah dari 0 20 Scf/Bbl, maka pH air formasi akan mengalami penurunan dari pH 7 menjadi 3,3. Selain kelarutan tersebut tergantung juga pada salinitas air, tekanan dan temperatur reservoir, pada kondisi tekanan 150 atm (2.200 psi) kelarutan gas CO2 dalam air sekitar 5%. Pada kondisi tersebut, selain dapat melarutkan air formasi, gas CO2 juga dapat melarutkan batuan yang diketahui dari kenaikan injektivitas air terutama pada batuan karbonat yang akan menambah permeabilitas batuan.
49
2.14.2. Tekanan Tercampur Minimum Gas CO2 Menurut Yellig dan Metcalfe (1980), tekanan tercampur minimum (TTM) gas CO2 terhadap minyak adalah harga tekanan yang paling rendah dalam pencampuran gas CO2 dengan minyak sudah terjadi. Harga TTM gas CO2 tersebut didapat dari hasil percobaan di laboratorium menggunakan slim-tube. Terdapat dua parameter dalam percobaan menggunakan slim-tube, dua parameter tersebut adalah temperatur percobaan dan komposisi minyak. Pada 1,2 volume pori (1,2 PV) untuk gas CO2 yang diinjeksi sudah dapat menjamin tercampurnya gas CO2 dengan minyak. Pencampuran yang terjadi ditandai perubahan warna fluida yang keluar secara berangsur-angsur dari warna gelap menjadi warna terang sejalan dengan penambahan tekanan pendesakan lebih lanjut. Pencampuran secara sempurna terjadi apabila warna sudah tidak berubah lagi dan menjadi kuning terang yang ditunjukkan berupa korelasi antara tekanan pendesakan dengan recovery, dengan harga TTM gas CO2 didapat dari intersection garis dalam percampuran belum terjadi dengan garis percampuran yang telah terjadi. Menurut Yellig dan Metcalfe (1980), temperatur mempunyai pengaruh yang besar terhadap harga TTM gas CO2. Perubahan tersebut berkisar 15 psi/oF pada temperatur antara 95 - 192oF, sedangkan komposisi minyak hampir tidak mempunyai pengaruh yang berarti pada perubahan harga TTM gas CO2. Hasil korelasi tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa pada harga temperatur tetap, dengan makin besarnya berat molekul C5+ maka TTM CO2 juga makin besar, demikian pula untuk temperatur yang makin tinggi maka TTM gas CO2 akan semakin besar baik untuk setiap berat molekul C5+ maupun untuk berat molekul C5+ yang makin besar.
2.14.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Pendesakan Gas CO2 a. Heterogenitas Batuan Reservoir Menurut Holm (1959), dalam suatu sistem pendorongan minyak oleh gas CO2 pada temperatur 130oF menunjukkan efisiensi recovery minyak akan rendah hasilnya di dalam suatu model yang diisi dengan batuan dolomite yang porositasnya tidak seragam (irregular porosity). Recovery minyak akan besar
50
hasilnya pada batuan pasir (sandstone) yang mempunyai ukuran butir seragam (uniform). Menurut Holm (1959), pada batuan dolomite dengan adanya fracture akan mengakibatkan terjadinya channeling atau by passing dari gas CO2 dalam media berpori tersebut, sehingga efisiensi penyapuan minyak akan kecil. Batuan pasir dengan ukuran butir seragam membuat efisiensi penyapuan CO2 akan lebih baik, karena porositas untuk batuan pasir (yang seragam besar butirnya) pada umumnya akan lebih besar daripada batuan dolomite, sehingga proses pendesakan gas CO2 terhadap minyak akan lebih baik dengan batuan pasir.
b. Mobility Ratio Menurut Blackwell et al. (1959), makin besar harga mobility ratio (M) maka proses terjadinya breakthrough akan makin cepat. Makin kecil mobility ratio maka efisiensi penyapuannya semakin besar, sehingga recovery kumulatif minyak yang didapat pada penginjeksien solvent yang tetap akan makin besar. Menurut Blackwell et al. (1959), nilai M lebih kecil atau < 1 tidak akan menyebabkan terjadinya penjarian dan daerah yang dicapai oleh fluida pendorong sangat luas serta efisiensi penyapuan cukup tinggi, sedangkan untuk M lebih besar atau > 1 maka akan menyebabkan terjadinya penjarian. Semakin besar mobility ratio maka bentuk front pendesakannya akan makin tidak teratur serta luas daerah yang dicapai oleh fluida pendorong semakin kecil, sehingga efisiensi penyapuannya menjadi rendah.
c. Temperatur Menurut Holm dan Josendal (1974), dalam suatu tekanan tertentu, pengembangan minyak (swelling factor) cenderung menurun dengan naiknya temperatur dan viskositas CO2 juga menurun dengan bertambahnya tekanan, sedangkan makin tinggi temperatur akan mengakibatkan harga TTM menjadi bertambah besar. Hal ini berarti bahwa temperatur reservoir yang rendah merupakan faktor yang sangat menguntungkan, atau dengan kata lain bahwa temperatur rendah memerlukan tekanan injeksi yang relatif rendah.
51
d. Komposisi Minyak dan Gas Menurut Holm dan Josendal (1974), untuk American Petroleum Institute (API) gravity rendah dengan berat molekul C5+ makin besar cenderung akan menghasilkan TTM yang tinggi. Menurut Metcalfe (1982), yang menyatakan bahwa makin besar konsentrasi C1 dalam gas CO2 maka harga TTM akan makin tinggi, sementara gas LPG dan H2S dapat menurunkan harga TTM.
e. Laju Injeksi Yellig dan Metcalfe (1980), melakukan pengujian laju injeksi terhadap recovery minyak dengan menggunakan laju injeksi antara 40 - 80 ft/d dengan alat slim-tube berdiameter 0,25 inci dan panjang 40 ft, dan menyimpulkan bahwa laju injeksi 40 ft/d dianjurkan untuk digunakan sebelum 0,7 PV pertama dari CO2 yang diinjeksikan dicapai, kemudian dilanjutkan dengan kecepatan injeksi 80 ft/d. Menurut Holm dan Josendal (1974), penggunaan peralatan slim-tube dengan panjang 52 ft dan diameter dalam 0,232 inci, dengan injeksi awal sebesar 60 ft/d dan dinaikkan perlahan-lahan sampai akhir injeksi mencapai 200 ft/d, dengan cara seperti ini ternyata injeksi CO2 dapat diselesaikan dalam 10 jam.
2.14.4. Mekanisme Pendorongan Minyak Menurut Holm dan Josendal (1974), mekanisme pendorongan minyak oleh CO2 pada dasarnya dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu solution gas drive, pendorong tak terlarut (immiscible flooding), pendorongan terlarut serentak serta pendorongan terlarut dinamik. Mekanisme pendorongan solution gas drive berlangsung tanpa adanya perubahan komposisi minyak. Pada tekanan jauh dibawah TTM, CO2 terlarut dan bersifat seperti hidrokarbon biasa, sehingga minyak didorong karena tekanan diturunkan dan CO2 terbebas dari minyak. Pendorongan tak terlarut dilakukan pada kondisi tekanan injeksi jauh dibawah harga TTM. Akibat perbedaan viskositas gas CO2 dan minyak yang cukup besar, maka seringkali terjadi masalah channeling dan makin besar tekanan injeksi, makin besar recovery minyaknya. Besarnya tekanan injeksi sangat bermanfaat pada saat blowdown recovery yaitu recovery yang diperoleh sejak injeksi
52
dihentikan hingga tekanan turun sampai minimum. Mekanisme blowdown recovey tersebut sama dengan solution gas drive dengan gas CO2 akan lepas dari minyak ketika tekanan turun dan akan mendorong minyak sehingga terproduksi. Menurut Holm dan Josendal (1974), pendorongan terlarut serentak adalah proses pendorongan dengan gas CO2 akan segera larut ke dalam minyak sehingga terdapat batas antara kedua permukaan, namun proses pendorongan ini sulit diterapkan karena membutuhkan tekanan yang tinggi dan sangat tergantung pada komposisi minyaknya, sehingga minyak yang didorong merupakan hidrokarbon ringan, dan proses pelarutan akan segera dicapai. Pendorongan terlarut dinamik adalah pendorongan minyak oleh gas CO2 akibat proses pelarutan yang bertahap. Proses ini terjadi karena kemampuan gas CO2 untuk bercampur lebih dahulu dengan sebagian komponen minyak kemudian larut pada minyak yang lebih berat.
2.14.5. Sifat-Sifat Fisik Batuan dan Fluida Reservoir Menurut DPE-LPPM (2003), sifat-sifat batuan dan fluida reservoir adalah: a. Porositas Struktur dari batuan tersusun atas bagian padat (solid) dan bagian kosong (void). Bagian solid disebut sebagai matriks batuan, sedangkan void disebut sebagai pori (ruang). Perbandingan antara volume ruang pori terhadap volume bulk atau volume batuan keseluruhan (volume matriks dan volume pori) didefinisikan sebagai porositas (Φ) dan dinyatakan dalam fraksi atau persen. Harga porositas batuan dapat diperoleh dengan melakukan analisis laboratorium terhadap coring, yang dikenal sebagai care analysis. Harga porositas batuan juga dapat diperkirakan dari hasil well logging. Hasil log meliputi density log, sonic log dan neutron log dalam kedalaman tertentu (DPE-LPPM 2003).
b. Permeabilitas (k) Permeabilitas batuan reservoir didefinisikan sebagai kemampuan batuan tersebut untuk dapat melewatkan fluida yang terkandung di dalamnya melalui pori-pori yang berhubungan tanpa merusak struktur batuan tersebut. Meskipun suatu batuan sangat porous namun belum tentu permeable, sebab permeabilitas
53
menyangkut besar lubang pori, tingkat dan tipe sementasi dan faktor-faktor lainnya, seperti terjadinya interaksi batuan dengan fluida yang melewatinya. Permeabilitas dinyatakan dalam mili darcy (mD) (DPE-LPPM 2003).
c. Saturasi Fluida Saturasi fluida didefinisikan sebagai perbandingan antara volume fluida tersebut terhadap volume total fluida (minyak, air, gas) yang mengisi pori batuan. Penentuan saturasi fluida yang terkandung dalam pori-pori batuan dapat ditentukan secara langsung dari pengukuran log dengan pengukuran laboratorium (DPE-LPPM 2003).
d. Viskositas (µ) Viskositas merupakan besaran untuk menyatakan hambatan aliran yang diakibatkan oleh fluida, viskositas dinyatakan dalam centipoises (CP). Viskositas dibagi menjadi tiga berdasarkan jenis fluida, antara lain viskositas minyak (µo), viskositas air (µw), dan viskositas gas (µg) (DPE-LPPM 2003).
e. Kompresibilitas © Kompresibilitas didefinisikan sebagai koefisien pemampatan gas dalam kondisi isothermal pada tekanan diatas titik gelembung. Kompressibilitas dapat dibedakan berdasarkan jenis fluidanya, antara lain kompresibilitas minyak (Co), air (Cw), dan gas (Cg) (DPE-LPPM 2003).
2.14.6. Enhanced Oil Recovery Menurut Handojo et al. (2009), enhanced oil recovery (EOR) merupakan usaha yang dilakukan untuk meningkatkan perolehan minyak pada suatu sumur minyak, seperti ditunjukkan pada Gambar 22. Pada umumnya melalui proses pengambilan minyak secara konvensional, hanya 20 - 40% minyak dalam sumur yang dapat diambil, dan melalui EOR, sisa minyak yang belum tereksploitasi tersebut dapat diambil hingga perolehan sumur dapat meningkat dari 20 atau 40% menjadi sekitar 60% cadangan minyak.
54
Menurut Handojo et al. (2009), EOR memiliki tiga tingkatan, yaitu primer, sekunder, dan tersier. Tahap produksi primer merupakan tahap awal pengambilan minyak dengan cara konvensional, yaitu dengan memanfaatkan minyak di reservoir sebagai sumber energi untuk memindahkan minyak ke sumur produksi, dan setelah perolehan minyak pada tahap primer menurun dan tidak lagi ekonomis, dilakukanlah tahap kedua, yaitu tahap sekunder. Tahap sekunder meliputi proses pengambilan minyak dengan cara injeksi gas, water flooding dan pressure maintenance. Pada tahap terakhir, bila tahap sekunder sudah tidak ekonomis lagi, dilakukanlah tahap ketiga yaitu dengan memanfaatkan gas, bahan kimia dan energi panas (thermal recovery) untuk membantu proses pengambilan minyak di sumur produksi, seperti ditunjukkan pada Gambar 23.
Gambar 23 Enhanced oil recovery (EOR) (Davison 2001).
2.15. Kelayakan Investasi Proyek Menurut Kuswadi (2007), untuk mengidentifikasi apakah suatu proyek pantas untuk dilaksanakan atau tidak, biasanya pihak yang akan mengambil keputusan untuk berinvestasi terlebih dahulu melakukan berbagai macam analisis agar usaha yang dijalankan dapat berjalan lancar dan mendapatkan keuntungan yang memadai. Analisis dilaksanakan dengan tujuan untuk mengurangi resiko usaha agar tidak menyesal di kemudian hari. Beberapa analisis tersebut meliputi:
55
1.
Kajian pemasaran, termasuk di dalamnya kajian persaingan, untuk melihat sampai seberapa jauh perusahaan nantinya akan dapat memasarkan produknya dari waktu ke waktu dengan keuntungan yang memadai.
2.
Kajian lokasi, termasuk di dalamnya kajian teknologi, untuk melihat apakah tenaga kerja yang diperlukan cukup tersedia di lokasi yang dipilih, kecukupan sumber bahan baku di sekitar lokasi, faktor keamanan dan sebagainya.
3.
Kajian lingkungan, untuk melihat sampai seberapa jauh terjadinya dampak lingkungan yang diakibatkan oleh usaha atau proyek yang akan dijalankan termasuk pertimbangan apakah penduduk setempat dapat menerima kehadiran proyek yang akan dijalankan.
4.
Kajian politik, sosial dan budaya, dan sebagainya, untuk memastikan apakah proyek akan dapat berjalan dengan lancar untuk jangka waktu yang relatif panjang sesuai dengan jangka waktu proyek yang diperhitungkan.
5.
Kajian ekonomi, untuk melihat apakah proyek selama berjalan dapat memberikan keuntungan termasuk kemampuan untuk mengembalikan nilai investasi seperti yang diinginkan. Menurut Giatman (2007), kegiatan investasi merupakan kegiatan penting
yang memerlukan biaya besar dan berdampak jangka panjang terhadap kelanjutan usaha. Berdasarkan hal itu, analisis yang sistematis dan rasional sangat dibutuhkan sebelum kegiatan itu direalisasikan. Pertanyaan yang paling penting diajukan sebelum keputusan diambil adalah sebagai berikut : 1. Apakah investasi tersebut akan memberikan manfaat ekonomi terhadap perusahaan? 2. Apakah investasi yang dimaksud sudah merupakan pilihan yang optimal dari berbagai kemungkinan yang ada? Menurut Giatman (2007), untuk menjawab pertanyaan pertama diperlukan analisis evaluasi investasi yang bisa menjelaskan apakah kegiatan investasi tersebut akan menjanjikan suatu keuntungan (profit) dalam jangka panjang atau tidak. Berdasarkan hal itu, agar dapat menjelaskan apakah pilihan yang akan diambil sudah merupakan alternatif pilihan yang tersedia, maka perlu dilakukan analisis pemilihan alternatif.
56
Menurut
Giatman
(2007),
suatu
investasi
merupakan
kegiatan
menanamkan modal jangka panjang, dan perlu pula disadari dari awal bahwa investasi akan diikuti oleh sejumlah pengeluaran lain yang secara periodik perlu disiapkan. Pengeluaran tersebut terdiri dari biaya operasional (operation cost), biaya perawatan (maintenance cost), dan biaya-biaya lainnya yang tidak dapat dihindarkan. Disamping pengeluaran, investasi akan menghasilkan sejumlah keuntungan atau manfaat, mungkin dalam bentuk penjualan-penjualan produk benda atau jasa atau penyewaan fasilitas. Menurut Wijaya (2006), seperti dalam penanaman modal pada umumnya, dalam pengusahaan migas juga diperlukan beberapa indikator keekonomian yang sangat berpengaruh pada siklus bisnis dan siklus keuangan. Penilaian keekonomian suatu proyek dapat dilihat dari semua pengeluaran dan pendapatan sepanjang umur proyek tersebut (life cycle analysis). Indikator keekonomian yang sering digunakan adalah :
2.15.1. Net Present Value (NPV) Menurut Giatman (2007), metode net present value (NPV) adalah metode menghitung nilai bersih (netto) pada waktu sekarang (present). Asumsi present yaitu menjelaskan waktu awal perhitungan bertepatan dengan saat evaluasi dilakukan atau pada periode tahun ke-nol (0) dalam perhitungan cash flow investasi. Metode NPV pada dasarnya memindahkan cash flow yang menyebar sepanjang umur investasi ke awal investasi (t=0) atau kondisi present. Suatu cash flow investasi tidak selalu dapat diperoleh secara lengkap, yaitu terdiri dari cashin dan cash-out, tetapi mungkin saja hanya yang dapat diukur langsung aspek biayanya saja atau benefitnya saja. Menurut Kuswadi (2007), net present value (NPV) atau nilai sekarang bersih (nilai sekarang netto = NSN) adalah perbedaan antara nilai sekarang netto (NSN) atau (total net cash flow) selama umur proyek dengan nilai sekarang dari besarnya investasi (outlay / net investment). Dapat juga dikatakan bahwa NPV adalah present value dari net cash flow (selama umur investasi) dikurangi present value dari modal yang ditanam atau disebut outlay (net investment).
57
Menurut Wijaya (2006), net present value merupakan jumlah keuntungan bersih yang dinilai pada waktu sekarang. Perhitungan NPV bukan menggunakan trial and error, memperhitungkan nilai waktu, dan bisa mempertimbangkan resiko. NPV dihitung dengan menggunakan discount rate sama dengan MARR (minimum attractive rate of return). MARR adalah tingkat pengembalian minimum yang diinginkan. MARR tergantung pada lingkungan, jenis kegiatan, tujuan dan kebijakan organisasi, dan tingkat resiko dari masing-masing proyek. Menurut Wijaya (2007), nilai NPV dapat memberikan penilaian keekonomian proyek, yaitu apabila NPV positif, maka hal tersebut menunjukkan proyek tersebut layak dijalankan karena memberikan keuntungan. Nilai NPV negatif, berarti bahwa proyek tidak layak dijalankan karena akan memberikan kerugian secara ekonomis, dan apabila NPV = 0, berarti investasi tersebut menghasilkan rate of return yang sama besarnya dengan harga yang digunakan.
2.15.2. Internal Rate of Return (IRR) Menurut Giatman (2007), berbeda dengan metode sebelumnya, yang pada umumnya mencari nilai ekuivalensi cash flow dengan mempergunakan suku bunga sebagai faktor penentu utamanya, maka pada metode internal rate of return (IRR) justru yang akan dicari adalah suku bunganya di saat NPV sama dengan nol. Dalam metode IRR informasi yang dihasilkan berkaitan dengan tingkat kemampuan cash flow dalam mengembalikan investasi yang dijelaskan dalam bentuk % periode waktu. Logika sederhananya menjelaskan seberapa kemampuan cash flow dalam mengembalikan modalnya dan seberapa besar pula kewajiban yang harus dipenuhi. Kemampuan inilah yang disebut dengan internal rate of return (IRR), sedangkan kewajiban disebut dengan minimum atractive rate of return (MARR). Rencana investasi akan dikatakan layak atau menguntungkan jika IRR > MARR. Menurut Giatman (2007), nilai MARR umumnya ditetapkan secara subjektif melalui beberapa pertimbangan tertentu dari investasi tersebut. Pertimbangan yang dimaksud adalah : a. Suku bunga investasi (i);
58
b. Biaya lain yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan investasi (Cc); c. Faktor resiko investasi (α). MARR = i + Cc + ±, jika Cc dan ± tidak ada atau nol, maka MARR = i (suku bunga), sehingga MARR ≥ i. Menurut Giatman (2007), faktor risiko dipengaruhi faktor risiko dari usaha, tingkat persaingan usaha sejenis dan manajemen style dari pimpinan perusahaan. Berdasarkan hal itu, nilai MARR biasanya ditetapkan secara subjektif dengan memperhatikan faktor-faktor di atas. Nilai IRR dapat pula dihitung berdasarkan estimasi cash flow investasi. Menurut Kuswadi (2007), internal rate of return (IRR) adalah suatu tingkat bunga (bukan bunga bank) yang menggambarkan tingkat keuntungan proyek, sehingga nilai sekarang netto dari seluruh ongkos investasi proyek (total net cash flow setelah di-present-value-kan (nilai sekarang netto = NSN), jumlahnya sama dengan biaya investasi (project cost atau initial cost). IRR adalah tingkat penghasilan atau biasa disebut dengan investment rate (yield rate) yang menggambarkan tingkat keuntungan dari proyek atau investasi dalam persen (%) pada angka NPV. Dalam menghitung NPV, tingkat bunga sudah diketahui, maka dalam menghitung IRR, tingkat bunganya belum diketahui tetapi justru akan dicari pada NPV sama dengan nol. Hasil perhitungan IRR selanjutnya harus dibandingkan dengan biaya modal atau tingkat keuntungan yang dikehendaki atau kemungkinan mendapatkan keuntungan lain yang dianggap paling mudah atau yang dikenal dengan MARR. Menurut Kuswadi (2007), keunggulan dalam perhitungan IRR adalah memperhitungkan nilai uang terhadap fungsi waktu (time value of money), dan baik sekali sebagai tolak ukur dalam pengambilan keputusan, apabila tingkat bunga atas modal atau tingkat bunga disyaratkan (required rate of return) diketahui. Kelemahan dari perhitungan IRR adalah adanya asumsi bahwa hasil dari arus kas bersih pada setiap tahun diinvestasikan kembali dengan tingkat bunga yang sama dengan IRR, namun dalam kenyataan hal ini justru tidak benar, dan cukup sulit perhitungannya karena harus dilakukan dengan metode coba-coba (trial and error). Perhitungan akan lebih mudah bila menggunakan komputer.
59
Menurut Wijaya (2006), internal rate of return (IRR) merupakan harga bunga yang menyebabkan harga semua cash inflow sama besarnya dengan outflow bila cash flow ini didiskon untuk suatu waktu tertentu. IRR adalah tingkat diskonto yang menyebabkan NPV sama dengan nol. Penghitungan IRR pada umumnya dilakukan dengan penggunaan trial and error yaitu menentukan NPV pada beberapa tingkat diskon sampai diperoleh nilai NPV negatif dan positif, kemudian dilakukan interpolasi dengan NPV sama dengan nol. IRR juga sering digunakan untuk mendefinisikan segi keekonomian lapangan marjinal, yaitu lapangan yang jika dikembangkan dengan sistem kontrak yang berlaku akan memberikan IRR yang lebih kecil dari MARR. Hal ini perlu diketahui, sebagai landasan kelayakan dan bentuk insentif yang tepat terhadap lapangan marjinal.
2.15.3. Pay Out Time (POT) Menurut Kuswadi (2007), metode payback period (PBP) sering juga disebut pay out time (POT) atau masa pulang (kembalinya) modal, adalah jangka waktu yang diperlukan untuk mendapatkan kembali jumlah modal yang ditanam. Resiko yang didapat semakin kecil jika modal semakin cepat kembali. Jadi metode ini menilai proyek penanaman modal atas dasar kecepatan kembalinya modal yang ditanam pada proyek. Perhitungan pengembalian modal didasarkan atas laba bersih ditambah penyusutan = net cash flow. Menurut Giatman (2007), analisis pay out time (POT) pada dasarnya bertujuan
untuk
mengetahui
seberapa
lama
(periode)
investasi
akan
dikembangkan saat terjadinya kondisi pulang pokok (break even-point). Periode waktu pengembalian (k) saat kondisi BEP adalah :
k(PBP) = ∑ CFt > 0 Keterangan : k = periode pengembalian,
CFt = cash flow periode ke t
Menurut Giatman (2007), jika komponen cash flow benefit dan cost-nya bersifat annual, maka formulanya menjadi :
60
Investasi k(PBP) =
x periode waktu Annual Benefit
Menurut Wijaya (2006), pay out time (POT) adalah panjangnya waktu yang diperoleh sampai investasi kembali. Investor selalu menginginkan dana yang ditanamkannya cepat kembali yaitu proyek dengan POT lebih pendek, namun indikator POT ini mempunyai kelemahan yaitu tidak memberikan gambaran apa yang terjadi setelah POT tercapai, sehingga POT jarang digunakan sebagai parameter utama dalam pemilihan proyek tetapi sebagai pertimbangan tambahan.
2.15.4. Profitability Index (PI) Menurut Kuswadi (2007), profitability index atau indeks tingkat laba disebut juga sebagai benefit cost ratio (BCR), adalah rasio yang menggambarkan perbandingan setiap satu unit uang yang diinvestasikan. Besarnya angka PI tidak lain adalah perbandingan antara laba dan biaya yang telah dikeluarkan.
∑NCF PI = Nilai investasi selama umur proyek Besarnya angka PI tidak lain adalah perbandingan antara laba dan biaya yang telah dikeluarkan. Proyek baru dikatakan bagus bila PI > 1. Biasanya sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan, BCR suatu proyek harus diperbandingkan juga dengan BCR proyek atau alternatif lainnya. Menurut Giatman (2007), metode benefit cost ratio (BCR) adalah salah satu metode yang sering digunakan dalam tahap-tahap evaluasi awal perencanaan investasi atau sebagai analisis tambahan dalam rangka memvalidasi hasil evaluasi yang telah dilakukan dengan metode lainnya. Metode BCR memberikan penekanan terhadap nilai perbandingan antara aspek manfaat (benefit) yang akan diperoleh dengan aspek biaya yang akan ditanggung (cost) dengan adanya investasi tersebut.
61
2.16. Regulasi Sektor Migas dalam Era Otonomi Daerah Menurut DPE-LPPM (2003), terdapat tiga peraturan perundang-undangan yang mendasari tata cara regulasi dan kebijakan di sektor migas pada sistem pemerintahan otonomi daerah saat ini. Beberapa perangkat perundang-undangan tersebut adalah undang-undang (UU.) Nomor (No.) 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, UU. No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan UU. No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Pasal 2 ayat (1) dan pasal 10 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 menjelaskan bahwa wilayah negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibagi dalam daerah propinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang bersifat otonom. Pasal 18 ayat (3) menjelaskan bahwa kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut meliputi: 1. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; 2. Pengaturan administratif; 3. Pengaturan tata ruang; 4. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; 5. Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan 6. Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. Pasal 18 ayat (4) menjelaskan bahwa kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling jauh adalah 12 (dua belas) mil laut. Pengukuran dilakukan dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi, dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten atau kota. Pasal 18 ayat (5), menjelaskan bahwa apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil. Kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut. Kewenangan untuk kabupaten atau kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi yang dimaksud.
62
Pasal 14 huruf (e) UU. No. 33 Tahun 2004 menjelaskan bahwa penerimaan pertambangan minyak bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan. Pembagian dilakukan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yaitu: 1. 84,5% (delapan puluh empat setengah persen) untuk pemerintah; dan 2. 15,5% (lima belas setengah persen) untuk daerah. Pasal 14 huruf (f) UU. No. 33 Tahun 2004 menjelaskan bahwa penerimaan pertambangan gas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan. Pembagian dilakukan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan perimbangan: 1. 69,5% (enam puluh sembilan setengah persen) untuk pemerintah; dan 2. 30,5% (tiga puluh setengah persen) untuk daerah berlaku dibagi dengan perimbangan 70% untuk pusat dan 30% untuk daerah. Pasal 19 UU. No. 33 Tahun 2004 menjelaskan bahwa penerimaan pertambangan minyak bumi dan gas bumi yang dibagikan ke daerah adalah penerimaan negara dari sumber daya alam pertambangan minyak bumi dan gas bumi dari wilayah daerah yang bersangkutan, setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya. Dana bagi hasil dari pertambangan minyak bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf (e) angka (2) sebesar 15% (lima belas persen) dibagi dengan rincian sebagai berikut: 1. 3% (tiga persen) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; 2. 6% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten atau kota penghasil; dan 3. 6% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten atau kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Dana bagi hasil dari pertambangan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf (f) angka (2) sebesar 30% (tiga puluh persen) dibagi dengan rincian sebagai berikut: 1. 6% (enam persen) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; 2. 12% (dua belas persen) dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil; dan 3. 12% (dua belas persen) dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi bersangkutan.
63
Bagian kabupaten atau kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan ayat (3) huruf c tersebut di atas, dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten atau kota dalam provinsi yang bersangkutan. Pasal 9 ayat 1 dan ayat 2 UU. No. 22 Tahun 2001 menjelaskan bahwa badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), swasta, dan koperasi; pengusaha kecil berhak untuk turut serta dalam usaha migas. Khusus untuk swasta maka pemerintah membagi menjadi dua, yaitu yang berbentuk badan usaha (BU) dan bentuk usaha tetap (BUT). BUT adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan melaksanakan kegiatan di wilayah NKRI, sedangkan BU adalah perusahaan berbadan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan di wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia. BUT dalam menjalankan usahanya hanya diperbolehkan melaksanakan kegiatannya di sektor hulu (pasal 9 ayat 2). BU atau BUT yang melaksanakan kegiatan di sektor hulu dilarang mengerjakan kegiatan di sektor hilir dan BU yang melakukan kegiatan di sektor hilir dilarang melaksanakan kegiatan di sektor hulu. Dalam pasal 11 ayat (1) dijelaskan bahwa kegiatan usaha hulu sebagaimana dilaksanakan oleh BU atau BUT berdasarkan kontrak kerjasama dengan badan pelaksana (BP). Kepada BU atau BUT hanya diberikan satu wilayah kerja sebagaimana tercantum dalam pasal 13 ayat (1). BU atau BUT dapat mengusahakan beberapa wilayah kerja, dengan membentuk badan hukum yang terpisah untuk setiap wilayah kerja sebagaimana dijelaskan dalam pasal 13 ayat (2). Dalam pasal 14 ayat 1 dijelaskan bahwa jangka waktu kontrak kerjasama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) tahun, dan BU atau BUT dapat mengajukan perpanjangan jangka waktu kontrak kerjasama paling lama 20 (dua puluh) tahun. Masing-masing BU diberi kewenangan untuk menetapkan harga jual bahan bakar minyak (BBM) dan gas bumi sebagaimana dijelaskan dalam pasal 28 ayat (2).