KAJIAN MIKROENKAPSULASI EKSTRAK VANILI DAN RETENSI VANILIN SELAMA PENYIMPANAN
RENI RAHMALIA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Kajian Mikroenkapsulasi Ekstrak Vanili dan Retensi Vanilin Selama Penyimpanan” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2008
Reni Rahmalia NRP F251040221
ABSTRACT
RENI RAHMALIA. Study on Microencapsulation of Vanilla Extract and Vanillin Retention During Storage. Under supervision of SUGIYONO and DWI SETYANINGSIH. The objectives of this research were to observe the effects of microencapsulation process on the flavour physicochemical characteristics, and to observe the vanillin retention during storage. The research was conducted in four steps. The first step of this research: material preparation including ‘curing’ to produce the half dried vanilla which would be processed further in extraction step. The second step: choosing the suitable coating material for vanilla extract microencapsulation. The content of vanillin in the vanilla powder, vanilla powder solubility and aw (water activity) were observed. Based on these parameters, the two best coating materials were chosen for microencapsulation in the third step. The third step: formulations of vanilla extract microencapsulation. The effect of coating materials which were obtained from the previous step, concentration of coating material (10%, 20%, 30%) and ratio between vanilla extract and coating material (3:2, 2:1, 3:1), were evaluated. The following parameters were measured: vanilla powder solubility, aw (water activity), content of vanillin in the vanilla powder, yield and vanillin recovery. The forth step: observing vanillin retention during storage. The vanilla powder was stored at 4°C, 30°C and 55°C for 6 weeks. The decrease of vanillin retention rate during storage was measured using Arrhenius, Avrami equation and half life. The results showed that the two best coating materials from the second step were maltodextrin and a mixture of maltodextrin-modified cassava starch Flomax 8 (2:1). Coating material, coating concentration and ratio between vanilla extract and coating material gave a significant difference to the yield, vanillin content and vanillin recovery. The low ratio of vanilla extract and coating material gave a high vanillin recovery of vanilla powder (the 3:2 ratio gave a higher recovery than those of the 2:1 and 3:1 ratios). The vanilla powder coated by maltodextrin and modified cassava starch Flomax 8 (2:1) had a higher yield, vanillin content and vanillin recovery compared to vanilla powder coated by only maltodextrin. The highest coating concentration (30%) gave the highest vanillin content of vanilla powder, and the higher ratio between extract and coating material, the higher vanillin content. The type of coating material gave a significant effect to the solubility of vanilla powder. Vanilla powder coated with maltodextrin had a higher solubility than that of vanilla powder coated with a mixture of maltodextrin and modified cassava starch Flomax 8 (2:1). The concentration of coating material and ratio between extract vanilla and coating material did not effect the solubility. The type of coating materials, coating material concentration and ratio between vanilla extract and coating material did not effect water activity of the obtained vanilla powder. Vanillin content decreased during storage. The time and temperature of storage gave a significant effect to the vanillin retention and water activity. Based on acceleration test by using Arrhenius equation, the vanillin retention of vanilla
powder B (a mixture of maltodextrin-modified cassava starch Flomax 8 as coating material) during storage was higher than that of vanilla powder A (maltodekstrin as coating material). According to Avrami equation, the decrease of vanillin retention was the highest at 55°C, followed 30°C and 4°C. The vanilla powder A stored at 4°C, 30°C and 55°C had half lives of 11.47, 7.65 and 6.52 weeks respectively. The vanilla powder B stored at 4°C, 30°C and 55°C had half lives of 11.87, 10.93 and 6.88 weeks respectively.
Keywords: microencapsulation, vanilla powder, vanillin retention
RINGKASAN RENI RAHMALIA. Kajian Mikroenkapsulasi Ekstrak Vanili Dan Retensi Vanilin Selama Penyimpanan. Dibimbing oleh SUGIYONO dan DWI SETYANINGSIH. Vanili merupakan salah satu flavoring agent yang penggunaannya cukup luas di industri pangan, farmasi dan kosmetik. Vanili alami memiliki lebih dari 250 komponen organik yang memberikan flavor dan aroma yang khas. Vanili dapat diolah menjadi bubuk vanili dengan cara mikroenkapsulasi. Mikroenkapsulasi flavor dilakukan untuk memproduksi bubuk flavor sehingga dapat mencegah kehilangan flavor, memperpanjang umur simpan dan membuat flavor mudah digunakan. Mikroenkapsulasi ekstrak vanili diharapkan dapat menahan komponen volatil vanili dalam waktu lama. Tujuan penelitian ini yaitu Mempelajari pengaruh proses mikroenkapsulasi ekstrak vanili dan sifat fisiokimia mikrokapsul (bubuk vanili) yang dihasilkan serta mempelajari pola retensi vanilin bubuk vanili selama penyimpanan. Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama penelitian yaitu persiapan bahan meliputi proses curing untuk mendapatkan vanili ½ kering yang selanjutnya dilanjutkan proses ekstraksi vanili. Tahap kedua penelitian yaitu pemilihan bahan penyalut untuk mendapatkan bahan penyalut yang tepat untuk mikroenkapsulasi ekstrak vanili. Parameter yang diamati pada tahap ini adalah kadar vanilin pada bubuk, kelarutan bubuk vanili dan aw (water activity). Dari tahap ini dipilih 2 perlakuan bahan penyalut yang memberikan hasil terbaik dari parameter yang diamati. Tahap ketiga penelitian yaitu formulasi mikroenkapsulasi ekstrak vanili. Faktor yang diuji adalah jenis penyalut, konsentrasi penyalut dan rasio ekstrak vanili dengan penyalut. Penyalut yang digunakan adalah dua penyalut terbaik dari penelitian pemilihan penyalut. Penyalut dibuat dengan konsentrasi 10%, 20% dan 30%. Ekstrak vanili dengan penyalut dibuat dengan rasio 3 : 2, 2 : 1 dan 3 : 1. Parameter yang diamati kelarutan bubuk vanili, aw (water activity), rendemen dan recovery vanilin bubuk vanili. Tahap keempat penelitian yaitu retensi vanilin selama penyimpanan. Pada tahap keempat ini dipilih dua perlakuan untuk mengetahui retensi vanilin selama penyimpanan. Penyimpanan dilakukan pada suhu 4oC, 30oC dan 55oC selama tujuh minggu. Pengukuran laju penurunan retensi vanilin selama penyimpanan menggunakan persamaan Arrhenius, persamaan Arami dan waktu paruh. Parameter aw diamati pada minggu ke-0 dan minggu ke-4. Hasil penelitian menunjukkan dua penyalut yang memberikan sifat terbaik pada parameter yang diamati dari penelitian tahap kedua adalah penyalut maltodekstrin dan campuran maltodekstrin dengan pati tapioka termodifikasi Flomax 8 (2 : 1). Dari penelitian tahap ketiga, didapatkan hasil jenis penyalut, konsentrasi bahan penyalut dan rasio ekstrak vanili dengan penyalut berpengaruh nyata terhadap rendemen, kadar vanilin dan recovery vanilin bubuk vanili. Konsentrasi penyalut sampai 30% meningkatkan recovery vanilin selama pengeringan. Semakin kecil rasio ekstrak vanili dengan penyalut semakin besar recovery vanilin bubuk vanili. Rasio ekstrak vanili dengan penyalut 3 : 2 memberikan recovery vanilin yang lebih besar dibandingkan rasio 2 : 1 dan 3 : 1.
Bubuk vanili dengan penyalut campuran maltodekstrin dan pati tapioka termodifikasi Flomax 8 (2 : 1) menghasilkan rendemen, kadar vanilin dan recovery vanilin lebih tinggi dibanding bubuk vanili dengan penyalut maltodekstrin saja. Kadar vanilin bubuk vanili tertinggi pada konsentrasi paling besar (30%), semakin besar rasio ekstrak terhadap penyalut, kadar vanili semakin besar. Jenis penyalut berpengaruh nyata terhadap kelarutan bubuk vanili. Bubuk vanili dengan penyalut maltodekstrin memiliki kelarutan lebih tinggi dibanding dengan bubuk vanili dengan penyalut campuran maltodekstrin dan pati tapioka termodifikasi Flomax 8 (2 : 1). Konsentrasi penyalut dan rasio ekstrak vanili terhadap penyalut tidak berpengaruh nyata terhadap kelarutan. Jenis penyalut, konsentrasi penyalut dan rasio eksrak vanili dengan penyalut tidak berpengaruh terhadap aw bubuk vanili yang dihasilkan. Pola retensi vanilin pada bubuk vanili selama penyimpanan memperlihatkan kecenderungan menurun dengan semakin lama penyimpanan. Suhu dan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap retensi vanilin selama penyimpanan bubuk vanili. Suhu dan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap aw bubuk vanili. Berdasarkan persamaan Avrami, penurunan retensi vanilin paling besar terjadi pada suhu 55oC, diikuti oleh suhu 30oC dan 4oC. Berdasarkan uji akselerasi menggunakan persamaan Arrhenius, retensi vanilin bubuk vanili B (campuran maltodekstrin dan pati tapioka termodifikasi Flomax 8 sebagai penyalut) selama penyimpanan lebih tinggi dibanding retensi vanilin bubuk vanili A (maltodekstrin sebagai penyalut). Bubuk vanili A yang disimpan pada suhu 4°C, 30°C dan 55°C memiliki waktu paruh 11.47, 7.65 dan 6.52 minggu. Bubuk vanili B yang disimpan pada suhu 4°C, 30°C dan 55°C memiliki waktu paruh 11.87, 10.93 dan 6.88 minggu. . Keywords: mikroenkapsulasi, bubuk vanili, retensi vanilin
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KAJIAN MIKROENKAPSULASI EKSTRAK VANILI DAN RETENSI VANILIN SELAMA PENYIMPANAN
RENI RAHMALIA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma
PRAKATA
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadhirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ini berhasil diselesaikan. Penelitian Kajian Mikroenkapsulasi Ekstrak Vanili dan Retensi Vanilin Selama Penyimpanan dilaksanakan atas dana dari Riset Unggulan Terpadu Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Penelitian ini berlangsung dari bulan April 2006 sampai dengan September 2007 di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor dan SEAFAST Center. Terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc dan Ibu Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, MSi selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan. Terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma atas kesediaannya sebagai penguji luar komisi. Terima kasih kepada rekan-rekan IPN angkatan 2004: Mira, Iin, Marleni, Agnani, Neni, Sandi, Reno, Dorkas, Santi, dan rekanrekan yang tidak bisa disebutkan satu per satu, serta adikku Ganes terima kasih telah banyak membantu serta memberi motivasi kepada penulis. Terima kasih kepada Bapak dan Ibu Teknisi di laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor dan SEAFAST Center atas segala bantuan dan kerjasamanya. Ungkapan terima kasih yang tidak terhingga penulis persembahkan kepada orang-orang tercinta, yang selalu men-support penulis dengan doa : Ibunda, Ayahanda, kakak dan adik terima kasih atas dukungan dan kasih sayangnya. Kepada suamiku, terima kasih atas segala motivasi, keikhlasan, dan do’a, terima kasih atas cintanya. Kepada Soleh Kecil Rafan, terima kasih selalu menceriakan hari-hari ibu, semoga menjadi anak soleh dan berbakti. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2008 Reni Rahmalia
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 13 Februari 1977 dari Bapak U.R. Munawar dan Ibu Salamah. Penulis adalah putri kedua dari 4 bersaudara. Pendidikan SD sampai SMA ditempuh penulis di Sumedang sejak tahun 1983 sampai dengan 1995. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur PMDK pada tahun 1995. Gelar sarjana diperoleh penulis pada tahun 1999, dengan skripsi berjudul “Mempelajari Kadar Timbal Pada Daun Teh dan Seduhannya dari Lokasi yang Dilalui Jalan Raya”. Tahun 1999 - 2004 penulis bekerja pada Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, IPB sebagai asisten dosen. Tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan pada Program Studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI
Halaman xi DAFTAR ISI .................................................................................................... DAFTAR TABEL ............................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xv
PENDAHULUAN ............................................................................................ Latar Belakang ........................................................................................... Tujuan Penelitian ....................................................................................... Manfaat Penelitian .....................................................................................
1 1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... Vanili ......................................................................................................... Ekstraksi Vanili.......................................................................................... Mikroenkapsulasi....................................................................................... ray drying............................................................................................... Bahan Penyalut.......................................................................................... Pati Termodifikasi...................................................................................... Maltodekstrin.............................................................................................
4 4 7 8 12 15 17 18
METODOLOGI ............................................................................................... Tempat dan Waktu Penelitian.................................................................... Bahan dan Alat........................................................................................... Metode Penelitian....................................................................................... I. Persiapan bahan ................................................................................. II. Pemilihan bahan penyalut.................................................................... III. Formulasi mikroenkapsulasi ekstrak vanili ........................................ IV. Retensi vanilin selama penyimpanan.................................................. Analisis statistik..........................................................................................
20 20 20 21 21 23 23 24 24
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ I. Pembuatan ekstrak vanili...................................................................... II. Pengaruh jenis penyalut terhadap aw, kadar vanili dan kelarutan produk bubuk vanili ........................................................................... Nilai aw................................................................................................. Kadar vanilin........................................................................................ Kelarutan ............................................................................................ III. Pengaruh jenis penyalut, konsentrasi penyalut dan rasio ekstrak vanili dengan penyalut terhadap rendemen, aw, kelarutan dan retensi vanilin selama pengeringan produk bubuk vanili
30 30 31 32 33 34 34
Rendemen........................................................................................... Nilai aw............................................................................................... Kelarutan............................................................................................ Kadar vanilin...................................................................................... Recovery vanilin.................................................................................
35 36 36 38 40
IV. Retensi vanilin selama penyimpanan................................................. Laju penurunan retensi vanilin berdasarkan persamaan Arrhenius.... Laju penurunan retensi vanilin berdasarkan persamaan Avrami........ Waktu paruh bubuk vanili...................................................................
42 45 47 49
SIMPULAN DAN SARAN..............................................................................
59
Simpulan .................................................................................................. Saran ........................................................................................................
59 60
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
61
LAMPIRAN .....................................................................................................
68
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Komponen utama vanili cured ................................................................. Aplikasi metode enkapsulasi dalam industri pangan ............................... Karakteristik bahan penyalut untuk enkapsulasi flavor ........................... Karakteristik pati tapioka termodifikasi Flomax 8................................... Aw, kelarutan dan kadar vanilin bubuk vanili .......................................... Parameter persamaan Arrhenius bubuk vanili A dan B ........................... Nilai Ea dan jenis reaksi yang terjadi....................................................... Hasil perhitungan persamaan Avrami...................................................... Waktu paruh bubuk vanili A dan B..........................................................
6 13 16 27 29 41 47 48 50
DAFTAR GAMBAR Halaman Buah vanili segar ..................................................................................... 4 Struktur kimia komponen utama vanili..................................................... 5 Skema struktur mikrokapsul...................................................................... 10 Skema proses mikroenkapsulasi flavor ................................................... 12 Proses kuring vanili ½ kering modifikasi.................................................. 21 Proses ekstraksi vanili............................................................................... 22 Proses mikroenkapsulasi vanili modifikasi............................................... 24 Rendemen bubuk vanili dari tiap perlakuan.............................................. 35 Aw bubuk vanili dari tiap perlakuan.......................................................... 37 Kelarutan bubuk vanili dari tiap perlakuan............................................... 37 Kadar vanilin bubuk vanili dari tiap perlakuan......................................... 38 Retensi vanilin (%) selama pengeringan dari tiap perlakuan................... 41 Pola retensi vanilin bubuk vanili A............................................................ 44 Pola retensi vanilin bubuk vanili B............................................................ 44 Hubungan ln k dengan waktu penyimpanan bubuk vanili A..... 49 Hubungan ln k dengan waktu penyimpanan bubuk vanili B..... 50 Bubuk vanili A setelah penyimpanan minggu ke-4.................................. 51 Bubuk vanili B setelah penyimpanan minggu ke-4.................................. 52 Nilai aw bubuk vanili A dan B pada minggu ke-0 dan minggu ke-4.......... 53 Proses hidrasi, awal collaps dan full collaps pada produk... 55 flavor terenkapsulasi ............................................................................... 21 Penampakan luar bubuk vanili dengan penyalut maltodektrin setelah 56 penyimpanan minggu keempat.................................................................. 22 Penampakan luar bubuk vanili dengan penyalut maltodektrin dan pati 57 tapioka termodifikasi Flomax 8 setelah penyimpanan minggu keempat...................................................................................................... 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
Gambar proses kuring vanili ½ kering modifikasi................................... Gambar proses ekstraksi vanili ................................................................ Kurva standar vanilin ............................................................................... Contoh produk bubuk vanili hasil penelitian ........................................... Sidik ragam aw penelitian tahap II ........................................................... Uji beda Duncan aw penelitian tahap II .................................................. Sidik ragam kadar vanilin penelitian tahap II.......................................... Uji beda Duncan kadar vanilin penelitian tahap II ................................. Sidik ragam kelarutan penelitian tahap II................................................ Uji beda Duncan kelarutan penelitian tahap II ....................................... Sidik ragam rendemen penelitian tahap III.............................................. Uji beda Duncan jenis penyalut terhadap rendemen................................ Uji beda Duncan konsentrasi terhadap rendemen................................... Uji beda Duncan rasio terhadap rendemen .............................................. Uji sidik ragam aw penelitian tahap III .................................................... Uji beda Duncan jenis penyalut terhadap aw ............................................ Uji beda Duncan konsentrasi terhadap aw .............................................. Uji beda Duncan rasio terhadap aw .......................................................... Sidik ragam kelarutan penelitian tahap III............................................... Uji beda Duncan jenis penyalut terhadap kelarutan................................. Uji beda Duncan konsentrasi terhadap kelarutan.................................... Uji beda Duncan rasio terhadap kelarutan ............................................... Sidik ragam kadar vanilin penelitian tahap III......................................... Uji beda Duncan jenis penyalut terhadap kadar vanilin........................... Uji beda Duncan konsentrasi terhadap kadar vanilin.............................. Uji beda Duncan rasio terhadap kadar vanilin ......................................... Sidik ragam recovery vanilin ................................................................. Uji beda Duncan jenis penyalut terhadap recovery vanilin ..................... Uji beda Duncan konsentrasi terhadap recovery vanilin......................... Uji beda Duncan rasio terhadap recovery vanilin .................................... Sidik ragam retensi vanilin bubuk vanili A selama penyimpanan........... Uji beda Duncan suhu penyimpanan terhadap retensi vanilin bubuk vanili A selama penyimpanan ................................................................. Uji beda Duncan lama penyimpanan terhadap retensi vanilin bubuk vanili A selama penyimpanan ................................................................. Sidik ragam retensi vanilin bubuk vanili B selama penyimpanan ........... Uji beda Duncan suhu penyimpanan terhadap retensi vanilin bubuk vanili B selama penyimpanan ................................................................. Uji beda Duncan lama penyimpanan terhadap retensi vanilin bubuk vanili B selama penyimpanan ................................................................. Sidik ragam aw bubuk vanili A selama penyimpanan .............................. Uji beda Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap aw bubuk vanili A selama penyimpanan ....................................................... Uji beda Duncan pengaruh suhu penyimpanan terhadap aw
68 69 70 70 71 71 71 72 72 72 72 73 73 73 74 74 74 75 75 75 76 76 76 77 77 77 77 78 78 78 79 79 79 79 80 80 80 81
bubuk vanili A selama penyimpanan ....................................................... Sidik ragam aw bubuk vanili A selama penyimpanan .............................. Uji beda Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap aw bubuk vanili A selama penyimpanan ....................................................... 42 Uji beda Duncan pengaruh suhu penyimpanan terhadap aw bubuk vanili A selama penyimpanan ......................................................
40 41
81 81 81 82
PENDAHULUAN Latar Belakang Vanili merupakan salah satu flavoring agent yang penggunaannya cukup luas di industri pangan, farmasi dan kosmetik. Vanili yang biasa digunakan dan dikenal masyarakat kita adalah vanili sintetik. Bahan makanan yang mengandung flavor sintetik sering dihindari, karena dugaan konsumen terhadap flavor sintetik mengandung senyawa toksik dan berbahaya bagi kesehatan (Teixeira et al. 2004). Vanili alami memiliki lebih dari
250 komponen organik, semua komponen
tersebut memberikan flavor dan aroma yang khas yang berbeda dengan vanili sintetik. Indonesia merupakan salah satu penghasil utama vanili di dunia. Negara lain penghasil vanili adalah Madagaskar, Meksiko, Guatemala, Costa Rica, Uganda, China, India, Papua New Guinea, Tonga, Fiji, Tahiti, dan Pilipina (Anonim 2005). Budidaya vanili di Indonesia terutama di daerah Bali, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Jawa Timur, Sumatra Selatan, Lombok, Flores, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan (Anonim 2005). Untuk daerah lain di Indonesia juga memungkinkan dilakukan pengembangan budidaya vanili, karena tanaman vanili cocok untuk daerah tropik seperti Indonesia. Dalam hal kualitas, vanili Indonesia lebih unggul dibanding vanili yang dihasilkan negara-negara lain. Vanili Indonesia memiliki kandungan vanillin 2,75 %, sementara yang lain lebih rendah (Meksiko 1,5 %). Kandungan vanillin vanili Indonesia yang lebih tinggi kemungkinan disebabkan iklim Indonesia cocok untuk budidaya vanili. Kualitas ini masih bisa ditingkatkan jika pengelolaan budidaya dan pasca panen dilakukan lebih baik (Anonim 2003). Di Indonesia, vanili merupakan komoditas lokal yang secara tradisional selalu diekspor, bahkan tidak digunakan di dalam negeri karena tingginya permintaan dunia.
Namun teknologi proses yang lebih baik dan pembuatan
produk turunannya harus disiapkan untuk mengantisipasi perkembangan pasar, memberikan nilai tambah bagi pengolahan vanili dan membuka pasar bagi produk berbasis vanili Indonesia (Setyaningsih 2006).
2
Produk turunan vanili cukup banyak, antara lain ekstrak vanili, pasta vanili, concentrated vanilla extract, vanilla flavouring, concentrated vanilla flavouring, oleoresin vanili, dan bubuk vanili. Dari beberapa produk turunan vanili tersebut, bubuk vanili menawarkan kemudahan pemanfaatan dan penggunaannya. Vanili dalam bentuk bubuk memiliki umur simpan lama, bentuk sangat praktis sehingga penyimpanan lebih hemat tempat, siap pakai dan penggunaannya lebih luas. Pada penelitian ini, ekstrak vanili diolah menjadi bubuk vanili dengan cara mikroenkapsulasi. Mikroenkapsulasi flavor merupakan suatu teknologi yang mengubah bahan flavor likuid menjadi bahan padat, sehingga dapat mengurangi degradasi atau penurunan aroma selama proses dan penyimpanan (Soottitantawat et al. 2004). Selain itu mikroenkapsulasi memberikan keawetan flavor seragam dan terhindar dari kontaminasi karena terlindungi oleh dinding kapsul. Senyawa flavor sebagian besar bersifat volatil. Mikroenkapsulasi flavor dilakukan untuk memproduksi bubuk flavor sehingga dapat mencegah kehilangan flavor karena penguapan, memperpanjang umur simpan dan membuat flavor mudah digunakan (Usha dan Pothakamury 1995). Vanili merupakan campuran kompleks lebih dari 170 komponen volatil yang terdapat dalam vanili cured (Rao dan Ravishankar 2000). Teknik mikroenkapsulasi diharapkan dapat menahan komponen volatil vanili dalam waktu lama. Pada proses mikroenkapsulasi, pemilihan penyalut sangat penting karena sangat mempengaruhi sifat emulsi sebelum pengeringan dan sifat mikrokapsul yang dihasilkan. Pemilihan penyalut tergantung dari keperluan dan produk yang diharapkan, sifat dari inti (core), proses enkapsulasi dan biaya (Amrita et al. 1999). Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan bubuk vanili berbasis vanili Indonesia, yang memiliki sifat fisikokimia yang baik dan dapat menjaga flavor dalam jangka waktu lama. Produk ini diharapkan dapat menjadi bahan yang praktis dan banyak digunakan di industri pangan.
3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini yaitu : 1.
Mempelajari pengaruh proses mikroenkapsulasi ekstrak vanili dan sifat fisiokimia mikrokapsul (bubuk vanili) yang dihasilkan
2.
Mempelajari pola retensi vanilin dari bubuk vanili selama penyimpanan.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini yaitu : 1. Memberikan informasi mengenai pembuatan salah satu produk turunan ekstrak vanili yaitu bubuk vanili. 2. Memberikan informasi mengenai mikroenkapsulasi flavor, khususnya flavor vanili alami yang dibuat dengan teknik spray drying dan sifat fisiokimia mikrokapsul (bubuk vanili) yang dihasilkan.
TINJAUAN PUSTAKA Vanili Vanili (Vanili sp) termasuk dalam famili Orchidaceae. Diperkirakan sebanyak 110 spesies tanaman teridentifikasi, namun hanya tiga spesies diantaranya yang ditanam secara komersial, yaitu V. fragnas (Salisbury) Ames atau juga dikenal dengan V. planifolia Andrwes, V. pompona Schiede dan V. tahitensis JW Moore (Rao dan Ravishankar 2000) Vanili merupakan tanaman monokotil. Perakarannya serabut dan mendatar. Akar vanili terdiri dari akar perekat, akar gantung dan akar tanah. Akar perekat dan akar gantung tumbuh di setiap ruas batang. Batang vanili disebut juga sulur yang membantu tanaman untuk menjalar. Panjang batang mencapai 100 cm. Tanaman vanili berdaun tunggal dan letaknya berselang seling. Panjang daun 9 – 22 cm dan lebarnya 3 – 7 cm dengan tulang sejajar (Rismunandar dan Sukma 2003). Buah vanili yang baru dipanen mengandung air sekitar 80% yang dikeringkan menjadi sekitar 20% pada saat proses kuring. Dalam 100 g buah kira-kira terkandung 20 g air, 3-5 g protein, 11 g lemak, 7-9 g gula, 15-20 g serat, 5-10 g abu, 1.5-3 g vanilin, 2 g resin dan asam vanilin (Guzman dan Siemonsma 1999). Buah vanili segar dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Buah vanili segar
5
Buah vanili segar hampir tidak mempunyai bau.
Flavor khas vanili
merupakan campuran kompleks lebih dari 170 komponen volatil yang terdapat dalam vanili cured. Komponen utama pembentuk flavor vanili adalah vanilin, asam vanilat, vanilil alkohol, p-hidroksi benzaldehid, asam p-hidroksibenzoat & p-hidroksi benzil alkohol. Struktur dari tiap-tiap komponen dapat dilihat pada Gambar 2. (Rao dan Ravishankar 2000).
Gambar 2. Struktur kimia komponen utama vanili Vanilin adalah senyawa aromatik dominan yang terdapat pada buah vanili dan merupakan komponen yang menentukan kelas mutu buah vanili. Hidrolisis glukovanilin (prekursor vanilin) oleh enzim β-glukosidase menghasilkan vanilin dan satu molekul β-D-glukosa.
Enzim β-glukosidase terdapat pada bagian
sitoplasma atau periplasma sel mesokrap dan endokrap buah vanili. Substrat glikovanilin terdapat pada bagian jaringan plasenta di sekitar biji (Setyaningsih 2006). Buah vanili hasil proses curing mengandung protein, gula, serat lignoselulosa, selulosa, asam organik, vanilin dan fenol monohidroksi, minyak, lilin, resin, gum, pigmen, mineral, komponen aroma volatil dan asam lemak esensial (Rao dan Ravishankar 2000). Komponen utama yang terdapat dalam vanili cured dapat dilihat pada Tabel 1.
6
Tabel 1. Komponen utama vanili cured Komponen Kimia
Kandungan (g/kg berat kering)
Vanilin
20
Asam Vanilat
1
p-hidroksi benzaldehid
2
p-hidroksibenzil metil eter
0.2
Gula
250
Lemak
150
Selulosa
150-300
Mineral
60
Air
350
Sumber : (Rao dan Ravishankar 2000) Vanilin terbentuk dari glukovanilin yang terjadi selama curing polong buah vanili. Kandungan glikosil dari vanilin atau campuran fenol lain, mannosa, galaktosa dan rhamnosa ditemukan pada sejumlah polong vanili yang sedang dalam masa perkembangan. Peningkatan kandungan glukovanilin dalam polong vanilin yang sedang berkembang pada tanaman rambatannya terjadi selama tiga bulan dan menurun (sampai berhenti) pada tahap akhir perkembangan polong. Glukovanilin umumnya dapat dilihat secara terpisah pada jaringan sebelah dalam plasenta yang berwarna putih yang letaknya di sekitar biji (Havkin dan Frenkel 2004). Berdasarkan hasil isolasi dan identifikasi komponen glikosida buah vanili segar dan cured, komposisi senyawa yang terdeteksi menurut golongannya adalah asam, aldehid alifatik, alkohol alifatik, ester alifatik, alkana, alkanon, amin, lakton, dan senyawa turunan benzen yang terdiri dari benzen ester, benzen keton, benzen eter, benzen alkohol dan fenol (Setyaningsih et al. 2003). Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Setyaningsih et al. (2003), menunjukkan
adanya peningkatan
aktivitas
enzim β-glukosidase
dalam
menghidrolisis glikosida khususnya glukovanilin menjadi senyawa volatil yang memiliki aktivitas flavor.
Aktivitas enzim β-glukosidase dijumpai sampai
7
pengeringan hari ke-5, sementara kadar vanilin terus meningkat selama proses pengeringan. Suhu optimum kerja enzim adalah 40oC. Perlakuan perendaman buah segar dalam aktivator enzim β-glukosidase butanol 0.3 M dan sistein 1mM selama 2 jam menghasilkan aktivitas enzim, kadar vanilin, dan kadar gula yang lebih tinggi dibandingkan pengeringan standar (Metode Balitro II). Peningkatan kadar vanilin tertinggi terjadi pada pengeringan hari ke-5 (2,8%, standar 1,2%) dengan kadar air sekitar 70% (Setyaningsih et al. 2003). Ekstraksi Vanili Ekstraksi
merupakan
proses
pemisahan
pelarut
yang
perpindahan zat terlarut ke dalam pelarut (Aguilera 1999).
melibatkan Pelarut yang
digunakan merupakan pelarut organik yang mempunyai titik didih rendah, tidak beracun, dan tidak mudah terbakar (Ma’mun dan Laksanahardja 1998). Ekstrak vanili dibuat dari buah kering yang dipotong-potong dengan panjang 0,5 cm.
Potongan tersebut ditempatkan di dalam jar dan ditambah
dengan etanol, gula dan air. Jar disimpan di tempat gelap dan dibiarkan selama 23 minggu. Sesekali jar tersebut dikocok. Setelah itu ekstrak disaring dengan menggunakan penyaring. Hasil ekstrak ditambah dengan sirup gula dan dikocok sampai rata. Untuk hasil yang baik, ekstrak harus disimpan selama minimal satu bulan sebelum digunakan (Arvillal 2001). Balai Besar Industri Agro memiliki alat ekstraksi yang berupa rangkaian alat yang terdiri dari bak ekstraksi, penangas air, bak penampung larutan atau cairan ekstrak I dan II, serta pompa.
Alat ini bisa digunakan untuk proses
maserasi atau perkolasi (Suwandi dan Yuni 2004) Proses ektraksi dilakukan pada suhu 50oC, agitasi selama 4-36 jam, dan pelarut ditambah dengan 20-30% larutan sodium laktat 50%. Cara ekstraksi ini dilakukan untuk menghasilkan ekstrak yang memiliki flavor yang tajam dan bebas dari bau segar (Takeji dan Thosie 2000). Gula, gliserin dan dekstrin ditambahkan untuk menghambat penguapan alkohol dan menahan aroma vanilin di dalam ekstrak (Ruhnayat 2001). Profil akhir ekstrak vanili dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yaitu asal negara, tingkat
8
kematangan buah, metode pengeringan, metode ekstraksi dan waktu penuaan ekstrak (Anonim 2005). Hasil penelitian Melawati (2006) menunjukkan bahwa cara maserasi satu tahap dapat menghasilkan ekstrak vanili dengan kadar vanilin yang tinggi dibandingkan cara maserasi dua tahap.
Pengerjaannya lebih sederhana dan
mencegah pertumbuhan jamur pada saat maserasi. Komposisi etanol : air yang paling tepat untuk maserasi buah vanili setengah kering adalah 7 : 3. Waktu ekstraksi, sukrosa dan gliserin berpengaruh terhadap kadar vanilin. Waktu maserasi dan sukrosa optimum pada waktu maserasi 12 hari dan sukrosa sebanyak 7 g dengan kadar vanilin sebesar 1509,39 mikrogram/g berat kering. Nilai kadar vanilin maksimal sebesar 1280,503 mikrogram/g dicapai pada perlakuan waktu ekstraksi 21 hari dan gliserin sebanyak 21 ml. Perlakuan waktu maserasi 12 hari, sukrosa 7 g dan gliserin 4,7 g menghasilkan kadar vanilin sebesar 3,8 g/l (Melawati 2006). Mikroenkapsulasi Mikroenkapsulasi merupakan suatu teknik di mana suatu bahan atau campuran bahan dilapisi atau diperangkap dalam bahan atau sistem lain (Madene et al. 2006). Mikroenkapsulasi memberikan perlindungan terhadap reaksi degradasi, mencegah kehilangan flavor dan mempertahankan stabilitas flavor dalam kapsul. Sebagai tambahan, enkapsulasi dapat digunakan untuk mengontrol pelepasan flavor selama pengolahan pangan dan penyimpanan (Soottitantawat et al. 2003). Menurut McNamee (1998), mikroenkapsulasi didefinisikan sebagai suatu teknik mengemas atau melapisi bahan berupa cairan, padatan atau gas dengan suatu dinding atau lapisan tipis sehingga dapat menghambat volatilisasi dan melindungi dari kerusakan kimia. Enkapsulasi flavor dilakukan untuk melindungi flavor dalam penyalut spesifik sehingga stabil terhadap panas dan dapat memperpanjang umur simpan (Krishnan et al. 2005). Proses enkapsulasi dilakukan untuk memecahkan berbagai permasalahan yang akan muncul pada waktu aplikasi dan penyimpanan, seperti komponenkomponen flavor yang memiliki volatilitas tinggi.
Apabila komponen flavor
dienkapsulasi dengan suatu penyalut, maka dapat melindungi komponen flavor
9
dari reaksi degradatif, mencegah kehilangan komponen flavor dan meningkatkan stabilitas komponen flavor, serta menekan kerugian selama penyimpanan dan pendistribusian (Hustiany 2006). Industri pangan melakukan proses mikroenkapsulasi dengan beberapa alasan (Desai & Park 2005). Mikroenkapsulasi dilakukan diantaranya untuk melindungi inti dari degradasi dengan mengurangi reaksi inti dengan lingkungan luar, mengurangi evaporasi atau laju transfer inti ke lingkungan luar serta karakteristik bahan asal dapat dimodifikasi dan menjadi bahan yang mudah ditangani. Proses enkapsulasi senyawa sensitif terdiri dari dua tahap. Tahap pertama pembuatan emulsi bahan inti (core) dengan bahan penyalut seperti polisakarida dan protein, tahap kedua pendinginan atau pengeringan emulsi. Enkapsulasi dapat mempertahankan aroma produk makanan selama pengeringan, melindungi flavor dari interaksi yang tidak diinginkan dengan makanan, meminimalkan interaksi flavor dengan flavor, menjaga reaksi yang dipicu oleh cahaya dan atau oksidasi, meningkatkan umur simpan flavor dan dapat berfungsi sebagai pengontrol pelepasan flavor (Tari dan Singhal 2002). Retensi flavor berhubungan dengan sifat inti (core) meliputi berat molekul, fungsional kimia, polaritas dan volatilitas relatif, sifat bahan penyalut serta teknologi enkapsulasi. Berdasarkan proses enkapsulasi yang digunakan, matriks enkapsulasi akan berada dalam berbagai bentuk (film, sphere, partikel tidak beraturan), berbagai struktur (porous atau padat) dan berbagai sifat fisik (amorphous atau kristalin, rubber atau gelas) yang akan mempengaruhi difusi flavor maupun stabilitas produk makanan selama penyimpanan (Madene et al. 2006). Senyawa flavor dilindungi oleh membran yang mengisolasi dari medium eksternal. Ukuran mikrokapsul bervariasi tergantung metode yang digunakan. Mikrokapsul yang sederhana terdiri dari suatu inti yang dikelilingi oleh dinding dengan ketebalan seragam atau tidak seragam. Bahan inti terdiri dari satu atau beberapa ingeredient dan dinding single atau multilayer (Madene et al. 2006). Gambar 3 memperlihatkan skema struktur mikrokapsul. Struktur sederhana terdiri dari suatu inti yang dikelilingi membran atau dinding seperti telur ayam (Gambar
10
3A). Inti terlindungi di dalam kulit atau dinding dengan ketebalan bervariasi. Sedangkan Gambar 3B memperlihatkan beberapa inti berada dalam satu mikrokapsul (Desai & Park 2005).
Inti
Inti
Bahan penyalut
Bahan penyalut
Gambar 3 Skema struktur mikrokapsul
Ukuran partikel yang dibentuk selama proses enkapsulasi terdiri dari beberapa kisaran ukuran. Apabila ukuran partikelnya > 5000 μm disebut makrokapsul, ukuran partikelnya antara 0,2 - 5000 μm disebut mikrokapsul dan apabila ukuran partikelnya antara < 0,2μm - 2000 Ao disebut nanokapsul (King 1995). Ukuran mikrokapsul < 1 μm (Crouzet 1998). Menurut Krishnan et al. (2005), mikrokapsul berukuran 0,2–5000 μm dan memiliki bermacam bentuk tergantung bahan dan metode yang digunakan. Teknologi mikroenkapsulasi telah berkembang dengan baik dan diterima di bidang farmasi, kimia, kosmetik, pangan dan industri percetakan (Augustin et al. 2001; Heinzen 2002). Penelitian di bidang pangan telah banyak dilakukan dengan berbagai metode enkapsulasi, bahan penyalut, komposisi bahan penyalut dan rasio inti terhadap bahan penyalut. Jeon et al. (2002) telah melakukan mikroenkapsulasi flavor sintetik menggunakan pati asli dan pati temodifikasi suksinilat dan oktenil suksinilat, untuk mengurangi kehilangan flavor dan meningkatkan stabilitas flavor. Dari hasil penelitian diketahui pati suksinilat jagung dan barley lebih efektif dibanding pati asli dan pati
oktenil suksinilat dalam ketahanan flavor. Pati suksinilat
menunjukkan kemampuan ketahanan flavor dibandingkan β-siklodekstrin di mana
11
banyak digunakan sebagai bahan penyalut dalam mikroenkapsulasi minyak atsiri atau flavor. Partanen et al. (2002) telah melakukan mikroenkapsulasi ekstrak jinten dengan teknik spray drying. Dari hasil penelitian, diketahui mikrokapsul dengan pati termodifikasi sebagai penyalut lebih toleran terhadap panas dibanding yang menggunakan β-siklodektrin.
Selama pemanasan, β-siklodektrin melindungi
senyawa volatil dari evaporasi sampai suhu 100oC sedangkan pati termodifikasi sampai suhu 140oC. Perlindungan senyawa volatil dari panas oleh maltodekstrin tergantung bahan yang dienkapsulasi (160oC untuk limonene dan 120oC untuk carvone). Bouthboul et al. (2002) telah melakukan mikroenkapsulasi pada komponen aroma d-limonene, ethyl hexanoate, octanal dan 1-hexanol.
Penyalut yang
digunakan pati jagung asli, pati jagung termodifikasi asetilasi dan pregelatinisasi dan maltodekstrin. Dari hasil penelitian menunjukkan maltodekstrin merupakan bahan penyalut paling efisien untuk retensi flavor. Apintanapong dan Noomhorm (2003) telah melakukan mikroenkapsulasi 2-acetyl-1-pyrroline dengan berbagai perbandingan gum arab dan maltodekstrin sebagai bahan penyalut menggunakan teknik spray drying. Kombinasi gum arab dan maltodekstrin 70 : 30 menghasilkan hasil terbaik. Liu et al. (2004) telah melakukan mikroenkapsulasi flavor jamur Agaricus bisporus dengan teknik spray drying. Dari hasil penelitian, perbandingan bahan penyalut yang memberikan retensi flavor terbaik yaitu 10% protein
kacang
kedelai, 1% gum arab dan dekstrin 15%. Hasil penelitian menunjukkan produk ideal dapat diperoleh dengan suhu udara inlet 130–140oC dan suhu udara outlet 70–80oC. Bayram et al.
(2005) telah melakukan mikroenkapsulasi flavor sumac
menggunakan sodium klorida, sukrosa, glukosa dan pati sebagai penyalut. Dari hasil penelitian, hanya sodium klorida yang cocok sebagai penyalut menggunakan teknik spray drying. Sukrosa dan glukosa mengalami karamelisasi dan melekat pada permukaan spray dryer, sedangkan pati menyumbat nozzle pada spray dryer sehingga bentuk yang dihasilkan tidak seragam.
12
Soottitantawat et al. (2005) telah melakukan mikroenkapsulasi l-menthol dengan teknik spray drying, menggunakan
gum arab dan pati termodifikasi
(CAPSUL, HI-CAP 100) sebagai penyalut. Hasil penelitian menunjukkan retensi l-menthol meningkat dengan meningkatnya konsentrasi padatan. Krishnan et al. (2005) telah melakukan mikroenkapsulasi oleoresin cardamon dengan gum arab, maltodekstrin dan pati termodifikasi sebagai penyalut. Penyalut dengan perbandingan gum arab, maltodekstrin dan pati termodifikasi 4/6 : 1/6 : 1/6 memberikan hasil terbaik dibanding yang menggunakan 100% gum arab sebagai bahan penyalutnya. Spray drying Sejumlah metode dilakukan untuk proses mikroenkapsulasi. Menurut Madene et al. (2006), beberapa teknik enkapsulasi yang telah dilakukan yaitu koaservasi, kokristalisasi, spray drying, fluid bed drying, spray cooling, ekstrusi dan inklusi molekular. Skema proses mikroenkapsulasi flavor dapat dilihat pada Gambar 4. Aplikasi metode enkapsulasi dalam industri pangan dapat dilihat pada Tabel 2. flavor
Bahan penyalut
Emulsi
Proses kimia
-
Koaservasi Kokristalisasi Inklusi molecular Polimerisasi interfarsial
Proses mekanik
-
Spray drying Spray chilling/cooling Ekstrusi Fluidized bed
Mikropartikel (mikrokapsul) Gambar 4 Skema proses mikroenkapsulasi flavor (Desai & Park 2005)
13
Di antara sejumlah metode, spray drying merupakan metode paling populer untuk mikroenkapsulasi flavor (Soottitantawat et al. 2003).
Dua metode yang
banyak digunakan untuk enkapsulasi flavor yaitu spray drying dan ekstrusi (Goubet et al. 1998).
Freeze drying, koaservasi dan teknik adsorpsi juga
digunakan di industri. Tabel 2 Aplikasi metode enkapsulasi dalam industri pangan Teknik enkapsulasi
Bentuk produk
Aplikasi
Koaservasi
Pasta / bubuk
Chewing gum, pasta gigi, produk
/ kapsul
bakery
Spray drying
Bubuk
Konfeksionari, susu bubuk, flavor,
Fluid bed drying
Bubuk / granula
minuman instan Konfeksionari
Spray cooling/chilling
Bubuk
Es
Ekstrusi
Bubuk / granula
minuman instan, konfeksionari, teh
Inklusi molekular
Bubuk
minuman instan, konfeksionari
Madene et al. (2006)
Spray drying merupakan teknik mikroenkapsulasi tertua. Metode ini telah digunakan sejak tahun 1930, digunakan untuk mengenkapsulasi flavor menggunakan gum arab sebagai penyalut (Bayram et al. 2005). Menurut Gadet et al. (2005), di antara sejumlah proses enkapsulasi metode yang sering digunakan yaitu spray drying dan freeze drying, spray drying lebih banyak digunakan karena biayanya lebih rendah dibanding freeze drying. Menurut Teixeira et al. (2004), teknik spray drying menyediakan ketahanan aroma yang tinggi selama pengeringan. Keuntungan dari metode spray drying adalah melindungi komponen flavor dan mengontrol pelepasan komponen flavor selama penyimpanan. Keuntungan penggunaan pengering semprot adalah dapat menangani bahan-bahan yang tidak stabil terhadap panas
(Hustiany 2006).
Spray drying merupakan metode yang paling umum digunakan di industri pangan. Hal ini disebabkan teknik ini ekonomis, fleksibel, peralatan mudah tersedia, dan menghasilkan produk berkualitas tinggi (Bayram et al. 2005).
14
Mikroenkapsulasi flavor menggunakan spray drying telah dikembangkan dengan pelepasan panas terkontrol (Cho & Park 2002). Teknik mikroenkapsulasi yang umum digunakan dalam industri pangan adalah spray drying, karena spray drying dianggap metode paling mudah diterapkan dan paling ekonomis.
Di
samping itu peralatan yang digunakan untuk mikroenkapsulasi dengan metode spray drying banyak tersedia (Clarke 2000). Mikroenkapsulsi dengan teknik spray drying memiliki tiga tahapan utama (Desai & Park 2005,
Bayram et al. 2005).
Tahap pertama yaitu persiapan
dispersi atau emulsi, kemudian homogenisasi dispersi dan tahap akhir yaitu atomisasi dispersi dalam chamber pengering. (2005),
Menurut
Soottitantawat et al.
tahap umum mikroenkapsulasi dengan teknik spray drying yaitu
mentransformasikan bahan bentuk likuid berupa larutan, dispersi atau emulsi menjadi partikel kering dengan cara men-spray bahan dalam udara panas. Menurut Liu et al. (2003), suhu sebaiknya tidak terlalu tinggi karena akan menyebabkan penguapan beberapa komponen volatil. Suhu udara inlet berhubungan erat dengan kecepatan pengeringan dan kemampuan untuk mengeringkan produk, untuk memperoleh struktur granula dengan kandungan air yang cocok untuk stabilitas produk mikroenkapsul.. Ketika suhu udara inlet rendah, kemampuan evaporasi tidak cukup untuk membentuk membran kapsul yang baik. Produk yang dihasilkan memiliki kandungan air tinggi dan memiliki fluiditas rendah sehingga mudah lengket. Sebaliknya, ketika suhu udara inlet tinggi, evaporasi yang berlebih dapat menyebabkan keretakan dalam membran maupun kehilangan komponen flavor melalui penguapan dan terdekomposisinya komponen sensitif panas pada suhu tinggi. Hal ini juga menyebabkan off-flavor (Liu et al. 2003). Suhu udara outlet memiliki pengaruh yang nyata terhadap kadar air produk dan struktur mikroenkapsul. Suhu udara outlet dan inlet harus dikontrol. Suhu udara outlet tinggi, akan membantu untuk membentuk suatu kesatuan dan struktur dinding yang padat serta meningkatkan pengaruh pengeringan. Apabila suhu udara outlet terlalu tinggi, produk akan retak karena overheating (Liu et al. 2003). Produk mikroenkapsulasi dengan teknik spray drying berukuran 1-50 μm (Richard dan Benolt 2000). Proses mikroenkapsulasi dengan teknik spray drying
15
memberikan beberapa keuntungan dibanding metode lain yaitu biaya operasi rendah, produk kapsul yang dihasilkan berkualitas tinggi dan cepat larut, berukuran kecil dan memiliki stabilitas tinggi (Madene et al. 2006). Kekurangan metode ini yaitu mikrokapsul yang dihasilkan tidak seragam dan keterbatasan pemilihan bahan penyalut (viskositas rendah pada konsentrasi tinggi). Bahan Penyalut Enkapsulasi merupakan suatu teknik di mana suatu atau campuran bahan disalut dengan sistem atau bahan lain.
Bahan yang disalut disebut bahan inti
(core) dan bahan penyalut disebut cangkang (shell), bahan dinding (wall material), carrier atau enkapsulan (Madene et al. 2006). Bahan penyalut yang ideal menurut Desai & Park (2005) harus memiliki sifat sebagai berikut : 1. Memiliki sifat reologi yang baik pada konsentrasi tinggi dan penanganannya mudah selama proses enkapsulasi 2. Mampu mendispersi dan mengemulsi bahan inti dan menstabilkan emulsi 3. Tidak bereaksi dengan bahan yang akan dienkapsulasi selama proses dan penyimpanan 4. Mampu melindungi bahan inti selama proses dan penyimpanan 5. Mampu
melepaskan
pelarut
padaa
proses
pengeringan
atau
tahap
penghilangan pelarut 6. Mampu memberikan perlindungan maksimum bahan inti dari lingkungannya (oksigen, panas, cahaya, kelembaban) 7. Larut dalam pelarut yang diperbolehkan di industri pangan (air, etanol) 8. Tidak mahal, food-grade Bahan penyalut yang biasa digunakan bervariasi terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, gum dan selulosa (Brazel 1999). Bahan penyalut untuk enkapsulasi flavor harus memiliki sifat tidak bereaksi dengan inti, berada dalam bentuk yang mudah ditangani, memiliki viskositas rendah pada konsentrasi tinggi, memberikan perlindungan maksimum inti dari faktor eksternal dan dapat menstabilkan emulsi (Madene et al. 2006). Karakteristik bahan penyalut yang biasa digunakan untuk enkapsulasi flavor dapat dilihat pada Tabel 3.
16
Tabel 3 Karakteristik bahan penyalut untuk enkapsulasi flavor Bahan Penyalut
Karakteristik bahan
Maltodekstrin (DE <20)
Pembentuk film
Pati termodifikasi
Emulsifier yang baik
Gum arab
Emulsifier, pembentuk film
Selulosa termodifikasi
Pembentuk film
Gelatin
Emulsifier, pembentuk film
Siklodekstrin
Emulsifier
Lesitin
Emulsifier
Whey protein
Emulsifier yang baik
Hydrogenated fat
Barrier terhadap oksigen dan air
Madene et al. (2006) Sifat penyalut yang optimal untuk proses spray drying yaitu memiliki kelarutan yang tinggi dalam air, viskositas rendah pada konsentrasi tinggi, memiliki sifat emulsifier dan pembentuk film yang baik dan pengeringan yang efisien (Re-MI 1998). Karbohidrat merupakan bahan yang banyak digunakan sebagai penyalut di industri pangan. Karbohidrat seperti pati, maltodekstrin, sirup glukosa dan gum akasia menjadi pilihan untuk bahan enkapsulasi karena kemampuannya berikatan dengan flavor, harga rendah dan dapat digunakan untuk aneka ragam industri (Dziezak 1988; Mutka & Nelson 1988). Bahan penyalut yang dapat digunakan dengan teknik spray drying adalah gum arab, pati termodifikasi (esterifikasi dan suksinilasi) dan pati hidrolisis (maltodektrin).
Semua bahan ini mempunyai
viskositas yang rendah pada konsentrasi tinggi (King 1995). Pati dan produk turunannya seperti maltodekstrin dan β-siklodekstrin banyak digunakan untuk enkapsulasi flavor (Madene et al. 2006). Pati dan bahan berdasar pati (pati termodifikasi, maltodekstrin dan βsiklodekstrin) banyak digunakan di industri pangan untuk melindungi komponen volatil.
Bahan-bahan tersebut bertindak sebagai penyalut untuk enkapsulasi
aroma, fat replacer dan stabilizer emulsi (Thomas & Atwell 1999).
17
Pengikatan senyawa volatil oleh pati diklasifikasikan dalam dua tipe. Di satu sisi senyawa flavor dikelilingi oleh heliks amylase melalui ikatan hidrofobik, di sisi lain terjadi interaksi polar dengan adanya ikatan hidrogen antara grup hidroksil pati dengan senyawa flavor (Arvisenet et al. 2002; Boutboul et al. 2002).
Pati dan produk berbahan dasar pati seperti pati termodifikasi,
maltodekstrin dan β-siklodekstrin digunakan secara luas di industri pangan untuk melindungi komponen volatil. Gum arab sangat efektif sebagai bahan penyalut karena mampu melindungi koloid dengan baik (Krishnan et al. 2005). Gum arab mampu menstabilkan emulsi pada range pH yang lebar. Gum arab dapat digunakan bersama dengan gum lain, karbohidrat dan protein. Namun harga yang tinggi dan ketersediaan yang terbatas membatasi penggunaan gum arab untuk enkapsulasi. Maltodekstrin dan pati termodifikasi telah diinvestigasi sebagai pengganti gum arab (McNamee 1998). Pati Termodifikasi Pati asli sangat terbatas penggunaannya karena memiliki viskositas tinggi, sangat kohesif, stabil pada suhu rendah, tidak tahan pada makanan dengan pH rendah (Jobling 2004). Di samping sebagai zat gizi, pati biasanya ditambahkan ke dalam bahan makanan sebagai pengental, pengikat, pembentuk gel, perekat, bahan enkapsulasi, pembentuk film, penstabil, pembentuk tekstur, pengganti lemak atau untuk tujuan proses. Pati termodifikasi adalah pati asli yang telah diubah sifat-sifat fisik dan/atau kimianya. Walaupun penampilan pati modifikasi menyerupai pati asli, modifikasi mempertinggi daya guna pati dengan memperbaiki kualitas fungsional spesifik seperti suhu gelatinisasi, kejernihan pasta, viskositas dan kemampuan membentuk film (Ferris et al. 2001). Pengendalian sifat-sifat pati merupakan salah satu faktor penting dalam fungsionalitas pati, yang terutama dapat dicapai dengan modifikasi kimia pati ketika berada dalam bentuk granula.
Dengan modifikasi ini dapat diperoleh
kombinasi sifat-sifat yang cocok untuk aplikasi tertentu agar pati mempunyai kegunaan yang lebih banyak dan dapat digunakan dalam kondisi pengolahan yang lebih luas (Jobling 2004).
18
Menurut Wurzburg (1986), metode modifikasi pati antara lain adalah derivatisasi (substitusi atau stabilisasi) yaitu mengganti gugus hidroksil pati dengan gugus fungsional lain seperti propilen oksida (hidroksipropilasi) pada kondisi alkali, atau dengan asetat (asetilasi), suksinat, oktenil suksinat, fosfat atau hidroksietil dan kationik. Derivatisasi ini menghambat asosiasi amilosa dalam pati tergelatinisasi, memperbaiki kejernihan, menurunkan kemampuan membentuk gel, memperbaiki kapasitas menahan air, memperbaiki kekentalan dan stabilitas pembekuan (freeze-thawing)
serta menurunkan retrogradasi/sineresis. Pati
modifikasi jenis ini dapat digunakan untuk mikroenkapsulasi. Pati termodifikasi secara kimia oktenil suksinilat (n-OSA) memiliki sifat fungsional mendekati gum arab (Jeon et al. 2002). Pati n-OSA menstabilkan emulsi melalui berbagai kemungkinan mekanisme. Pati n-OSA dilaporkan lebih unggul dibanding gum akasia dalam sifat emulsi dan menahan flavor volatil selama spray drying. Kelebihan pati hasil modifikasi ini tidak berasa (Kuentz et al. 2005). Walaupun demikian, pati termodifikasi memiliki kekurangan, sering memiliki off-taste yang tidak diharapkan dan bukan pelindung yang baik dari oksidasi (Qi dan Xu 1999). Maltodekstrin Maltodekstrin merupakan produk yang dibentuk melalui hidrolisis parsial pati dengan asam atau enzim, dapat dibuat dengan berbagai DE (Dextrose Equivalent). DE merupakan suatu ukuran derajat hidrolisis polimer pati (Madene 2006). Apabila dalam satu molekul hidrolisat amilosa dan amilopektin mengandung 100 unit anhidroglukosa dan terdapat 1 gugus gula pereduksi, maka nilai DE-nya adalah 1. Nilai DE sama dengan 50 adalah maltosa (Wuzburg 1989). Nilai DE sama dengan 100 adalah murni dekstrosa (glukosa) dan nilai DE sama dengan 0 adalah pati asli. Hidrolisat dengan DE di bawah 20 adalah maltodekstrin, sedangkan DE diantara 20 dan 100 adalah sirup glukosa (Murphy 2000). Maltodekstrin sebagai penyalut sangat berperan dalam sistem pembentuk dinding. Produk dengan DE sedang atau lebih rendah lebih efisien digunakan untuk enkapsulasi dengan spray drying. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya
19
keseimbangan panjangnya polimer, yang menolong untuk menangkap komponen flavor pada permukaan droplet yang diinginkan (Kenyon 1995). Penggunaan maltodektrin sebagai penyalut dapat mengurangi biaya karena harganya murah, memiliki viskositas yang rendah pada rasio padatan yang tinggi dan tersedia dalam beberapa berat molekul yang berbeda (Apintanapong dan Noomhorm 2003).
Kekurangan maltodekstrin sebagai penyalut yaitu memiliki
sifat emulsifier yang rendah dan retensi volatil rendah (Buffo dan Reineccius 2000).
METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian dan Laboratorium South East Asian Food & Agriculture Science & Technology (SEAFAST)
Center
IPB.
Penelitian
dimulai dari bulan April 2006 sampai dengan September 2007. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan-bahan untuk kuring vanili, ekstraksi vanili, mikroenkapsulasi dan bahan-bahan untuk analisis. -
Bahan yang digunakan untuk kuring vanili terdiri atas vanili segar (Vanilla planifolia Andrews) yang diperoleh dari Kuningan Jawa Barat, sistein 1 mM dan butanol 0.3 M.
-
Bahan untuk ekstraksi vanili terdiri atas vanili ½ kering hasil kuring, etanol 60% dan sukrosa.
-
Bahan untuk mikroenkapsulasi terdiri atas pati tapioka termodifikasi Flomax 8 dan maltodekstrin DE 10 dari National Starch, CMC dan air destilata.
-
Bahan untuk analisa terdiri atas vanilin standar, etanol p.a., NaOH, air destilata, kertas saring. Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas alat-alat untuk kuring
vanili, ekstraksi vanili, mikroenkapsulasi dan alat-alat untuk analisis. -
Alat yang digunakan untuk kuring vanili yaitu kotak peram, waterbath, oven, pisau, wadah plastik dan timbangan.
-
Alat yang digunakan untuk ekstraksi vanili yaitu pisau, timbangan analitik, gelas ukur, wadah gelas, pengaduk kayu dan rotary vacuum evaporator.
-
Alat yang digunakan untuk mikroenkapsulasi yaitu homogenizer, spray dryer dan neraca analitik.
-
Alat-alat yang digunakan untuk analisis yaitu spektrofotometer, aw-meter, termometer, Scanning Electron Microscopy (SEM) dan peralatan gelas.
21
Metode Penelitian I. Persiapan bahan Pada tahap ini dilakukan proses pengeringan vanili untuk mendapatkan vanili ½ kering, selanjutnya vanili ½ kering ini dijadikan sebagai bahan ekstraksi vanili untuk mendapatkan ekstrak vanili. 1. Proses kuring vanili ½ kering modifikasi Proses kuring dilakukan mengikuti metode yang dilakukan oleh Setyaningsih (2006). Pada buah vanili segar dilakukan penggoresan (scratching) minimal 3 garis longitudinal tiap buah, kemudian dilakukan perendaman dengan larutan butanol 0,3 M dan sistein 1 mM selama 2 jam, setelah itu dilakukan penirisan selama 15 menit. Selanjutnya dilakukan pemanasan (scalding) pada suhu 40oC selama 30 menit, kemudian dilakukan pemeraman (sweating) selama 24 jam, dan dikeringkan pada suhu 40oC selama 3 jam (Gambar 5).
Buah vanili segar 3 kg, ka + 80%
Penyayatan (Scratching) min 3 garis longitudinal/buah Perendaman dengan larutan sistein 1 mM dan butanol 0.3 M, 2 jam Penirisan, + 15 menit
Pelayuan (Scalding), 40 oC, 30 menit
Penirisan, + 1 jam Pemeraman (Sweating) selama 24 jam
Pengeringan, 40 oC, 3 jam
Buah vanili ½ kering Gambar 5 Proses kuring vanili ½ kering modifikasi (Setyaningsih 2003)
22
Gambar proses kuring vanili ½ kering modifikasi dapat dilihat pada Lampiran 1. 2. Proses Ekstraksi Vanili Proses ekstraksi vanili mengikuti metode yang telah dilakukan oleh Melawati (2006). Buah vanili ½ kering sebanyak 30 g dipotong 0,2-0,5 cm, selanjutnya vanili diekstrak dengan menggunakan pelarut etanol dan air (7 : 3), kemudian ditambah sukrosa sebanyak 7,3 g. Proses maserasi dilakukan selama 16 hari kemudian dilakukan penyaringan sehingga didapatkan ekstrak vanili triple fold 100 ml. Selanjutnya dilakukan penguapan etanol menggunakan rotary vacuum evaporator pada suhu 40 oC, kecepatan 150 rpm selama 3 jam, dari 300 ml ekstrak yang diuapkan didapatkan 160-170 ml (Gambar 6). Gambar proses ekstraksi vanili dapat dilihat pada Lampiran 2.
Buah vanili ½ kering Dipotong 0,2-0,5 cm 30 g
Air 30 ml
Sukrosa 7,3 g
Maserasi 16 hari Etanol 60% 70 ml Penyaringan
Ekstrak vanili triple fold 100 ml
Ampas
Pemekatan ekstrak vanili
Ekstrak vanili pekat
Gambar 6 Proses ekstraksi vanili (Melawati 2006)
23
II. Pemilihan bahan penyalut Tahap penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bahan penyalut yang tepat untuk mikroenkapsulasi ekstrak vanili. Dari tahap ini dipilih 2 perlakuan bahan penyalut yang memberikan hasil terbaik dari parameter yang diamati. Bahan penyalut yang digunakan maltodekstrin DE 10 dan pati tapioka termodifikasi Flomax 8 dibuat dengan perbandingan 1 : 0, 0 : 1, 1 : 2, 2 : 1 dan 1 : 1. Mikroenkapsulasi dengan spray dryer mengikuti metode Krishnan et al. (2005) yang telah dimodifikasi. Bahan-bahan penyalut dilarutkan dalam air destilata dengan konsentrasi 30%, kemudian ditambahkan ekstrak vanili. Perbandingan ekstrak vanili dan bahan penyalut = 3 : 2. Setelah itu campuran direhidrasi pada suhu 10-12oC selama 12 jam. Pada proses mikroenkapsulasi ekstrak vanili ini sebelum dikeringkan dengan spray dryer ditambah CMC 0,5% untuk
membantu
kestabilan
emulsi.
Campuran
dihomogenisasi
homogenizer selama 5 menit pada kecepatan 3000 rpm.
dengan
Spray dryer diatur
suhunya, suhu inlet 140–150oC dan suhu outlet 70–80oC (Gambar 7). Sampel disimpan di suhu -30 oC sampai dianalisis. Parameter yang diamati pada tahap ini adalah kadar vanilin pada powder mengikuti metode Jeon et al (2003) yang telah dimodifikasi, kelarutan bubuk vanili dan aw (water activity). III. Formulasi mikroenkapsulasi ekstrak vanili Faktor yang diuji adalah jenis penyalut, konsentrasi penyalut dan perbandingan ekstrak vanili dengan penyalut. Penyalut yang digunakan adalah dua penyalut terbaik dari penelitian pemilihan penyalut.
Penyalut dalam air
destilata dibuat dengan konsentrasi 10%, 20% dan 30%. Ekstrak vanili dengan penyalut dibuat dengan perbandingan 3 : 2, 2 : 1 dan 3 : 1. Sampel disimpan di suhu -30 oC sampai dianalisis. Parameter yang diamati meliputi kelarutan, aw (water activity), rendemen dan recovery vanilin bubuk vanili.
24
Maltodekstrin DE 10 dan pati tapioka termodifikasi Flomax 8
Air destilata Pencampuran Ekstrak vanili
Penyimpanan pada suhu 10-12 oC, 12 jam
Pembuatan emulsi dengan homogenizer pada kecepatan 3000 rpm selama 10 menit
Pengeringan dengan spray dryer suhu inlet 130–140 oC, suhu outlet 70–80 oC.
Bubuk vanili Gambar 7 Proses mikroenkapsulasi vanili modifikasi (Krishnan et al. 2005)
IV. Retensi vanilin selama penyimpanan Pada tahap ketiga ini dipilih dua perlakuan untuk mengetahui retensi vanilin selama penyimpanan. Penyimpanan dilakukan pada suhu 4oC, 30oC dan 55oC selama tujuh minggu. Sampel disimpan di botol kaca bertutup. Pengamatan terhadap kadar vanilin dilakukan setiap minggu.
Pengukuran laju penurunan
retensi vanilin selama penyimpanan menggunakan persamaan Arrhenius dan persamaan Avrami.
Pada tahap ini juga dilakukan perhitungan waktu paruh
bubuk vanili. Parameter aw diamati pada minggu ke-0 dan minggu ke-4. Bentuk bubuk diamati pada minggu ke-4 menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM). - Persamaan Arrhenius yaitu : k = ko.e-Ea/RT di mana : ko = konstanta laju absolut k
= konstanta laju penurunan pada suhu T
Ea = Energi aktivasi (J/mol)
25
-
R
= Konstanta gas ideal (8,314 JK-1mol-1)
T
= Suhu absolut (oK)
Persamaan Avrami yaitu : R = exp [- (kt)n] di mana : n = parameter untuk menentukan mekanisme laju penurunan retensi vanilin k = konstanta laju penurunan vanilin R = retensi vanilin selama penyimpanan t =
-
waktu penyimpanan.
Waktu paruh (t½) yaitu : t½ = 0,693/k di mana : k = slope dari persamaan regresi yang menghubungkan ln persen retensi
vanilin
selama
penyimpanan
dengan
waktu
penyimpanan Prosedur analisis dari parameter-parameter yang diamati : a. Kadar vanilin dengan metode spektrofotometer (AOAC 1995) 1. Pembuatan kurva standar Vanilin standar ditimbang sebanyak 0,025 g dengan gelas kimia 5 ml, dilarutkan dengan 500 μl etanol p.a, dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml, kemudian gelas kimia dibilas dengan akuades. Air bilasan dimasukkan ke dalam labu ukur dan ditepatkan hingga tanda tera. Larutan ini disebut larutan A dengan konsentrasi 0,1% atau 1000 ppm. Larutan A dipipet berturut-turut 0, 100, 2001000 μl, masing - masing larutan tersebut dimasukkan ke dalam labu takar 10 ml, kemudian ditepatkan dengan akuades sampai tanda tera.
Larutan ini disebut
larutan B dengan seri konsentrasi larutan dari 0,1,2-100 ppm. Larutan B dipipet berturut-turut 0, 100, 200-1000μl, masing - masing larutan tersebut dimasukkan ke dalam labu takar 10 ml, kemudian masing-masing ditambahkan 200 μl 0,1 N NaOH dan air suling sampai tanda tera. Blanko dibuat dari larutan B seperti tahap tersebut tanpa penambahan 0,1 N NaOH. Larutan yang akan diukur absorbansinya dengan seri konsentrasi dari 0, 1, 2-10 ppm. Masing-masing larutan diukur
26
absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 348 nm. Kurva standar dibuat dengan cara memplotkan antara konsentrasi vanilin (ppm) dengan selisih absorbansi (larutan + NaOH dikurangi larutan blanko). 2. Penentuan absorbansi larutan sampel Larutan sampel dipipet sebanyak 1000 μl dengan menggunakan pipet mikron, dimasukkan ke dalam labu takar 10 ml, ditambahkan akuades sampai tanda tera. Larutan ini disebut larutan 1. Larutan 1 dipipet sebanyak 200 μl dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml, ditambahkan 200 μl 0.1 N NaOH dan akuades sampai tanda tera.
Larutan blanko dibuat tanpa penambahan 0.1 N
NaOH. Masing-masing larutan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 348 nm, dihitung selisih absorbansi antara larutan yang ditambah dengan 0,1 N NaOH dan larutan blanko.
Kemudian dihitung konsentrasi vanilinnya
berdasarkan kurva standar. Kadar vanilin (μg/g berat kering) = Y x 500 x V W x (100 - H) Di mana : Y
: Konsentrasi vanilin berdasarkan kurva standar (μg/ml) atau ppm
V
: Volume ekstrak single fold (ml)
W
: Bobot buah vanili yang diekstrak
H
: Kadar air (%)
500
: Faktor pengenceran sampel
b. Kelarutan mikrokapsul (Aini 2001) Tingkat kelarutan menyatakan jumlah bubuk padat terlarut yang lolos melewati kertas saring setelah sebelumnya dilarutkan dalam air (40oC) dengan konsentrasi tertentu. Bubuk dilarutkan dengan konsentrasi 5% dengan volume larutan tertentu, disaring dengan kertas saring yang telah diketahui berat keringnya (a). Kertas saring tersebut lalu dikeringkan dengan oven (100oC, 1 jam). Setelah dikeluarkan dari oven lalu didinginkan dalam desikator sampai mencapai suhu kamar dan ditimbang. Pengovenan dan penimbangan dilakukan dilakukan sampai berat konstan (b).
27
Perhitungan tingkat bahan terlarut dapat ditentukan dengan persamaan : bahan
tidak
larut
(%)
=
b − a berat sampel
x 100 %
c. Aw (water activity) Aw produk mikroenkapsulasi diukur
dengan menggunakan Aw-meter
WA-360 Shibaura Electronics Co. Ltd. Sebelum dilakukan pengukuran, alat dikalibrasi dengan larutan garam NaCl jenuh. Kalibrasi selesai dan dinyatakan berhasil apabila angka yang tertera di alat menunjukkan 0,750.
Selanjutnya
sampel dimasukkan ke dalam tempat sampel dengan cawan khusus kemudian ditutup. Tombol start ditekan. Pengukuran selesai apabila nilai sudah stabil dan tertera tulisan completed. d. Rendemen Rendemen dihitung dengan rumus : Rendemen (% ) =
Berat total mikrokapsul ( g ) x 100% berat total padata n (g)
e. Recovery vanilin Recovery vanilin bubuk vanili disajikan dalam bentuk persen (%) dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah vanilin setelah dienkapsulasi (g/100g) dengan jumlah vanilin sebelum dienkapsulasi (g/100g) dikalikan 100. Recovery vanilin (%) = jumlah vanilin setelah dienkapsulasi (g/100g) x 100 jumlah vanilin sebelum dienkapsulasi (g/100g)
f. Retensi vanilin selama penyimpanan Retensi vanilin selama penyimpanan dihitung dengan rumus : Retensi vanilin (%) = (C/Co) x 100 C = retensi vanilin hari ke-x; Co = retensi vanilin hari ke-0
g. Bentuk mikrokapsul Bentuk
mikrokapsul
Microscopy (SEM).
diamati
menggunakan
Scanning
Electron
Sampel yang diamati yaitu bubuk vanili yang sudah
disimpan 4 minggu. Sampel ditempatkan pada potongan spesimen yang telah
28
diberi karbon, kemudian spesimen disapuh dengan lapisan emas selama 4 menit, arus listrik 100 mA dan ketebalan penyapuhan 400 Å. Sampel yang telah disapuh dimasukkan ke dalam alat Scanning
Electron Microscope yang dilengkapi
kamera foto dengan pembesaran 3500x.
Analisis statistik Penelitian pemilihan bahan penyalut menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor dengan tiga ulangan. Perlakuan yang diuji yaitu jenis penyalut yang digunakan tunggal dan kombinasi dua bahan penyalut. Bahan penyalut yang digunakan maltodekstrin DE 10 dan pati tapioka termodifikasi Flomax 8 dengan perbandingan 1 : 0, 0 : 1, 1 : 2, 2 : 1 dan 1 : 1. Penelitian
formulasi
mikroenkapsulasi
ekstrak
vanili
menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) tiga faktor dengan dua ulangan. Faktor pertama yaitu jenis penyalut yang merupakan dua penyalut terbaik dari penelitian pemilihan penyalut. Faktor kedua yaitu konsentrasi penyalut (10%, 20% dan 30%). Faktor ketiga yaitu rasio ekstrak vanili dengan penyalut (3 : 2, 2 : 1 dan 3 : 1). Penelitian pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap nilai aw menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktor dengan dua ulangan. Faktor pertama lama penyimpanan (0 dan 4 minggu) dan faktor kedua suhu penyimpanan (4, 30 dan 55oC). Penelitian retensi vanilin selama penyimpanan menggunakan rancangan petak terpisah (Split plot Design) RAL dua faktor dengan dua ulangan. Faktor pertama suhu penyimpanan (4, 30 dan 55oC) dan faktor kedua, waktu penyimpanan (0, 7, 14, 21, 28, 35, 42). Perhitungan ANOVA dengan P > = 0.05 menggunakan program SAS versi 6.12.
Apabila terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan, dilakukan Uji
Perbandingan Berganda Duncan (DMRT, Duncan Multiple Range Test).
HASIL DAN PEMBAHASAN IV. Pembuatan ekstrak vanili Sebelum dilakukan ekstraksi vanili, pada vanili dilakukan proses kuring mengikuti metode yang dilakukan oleh Setyaningsih et al. (2003). Proses kuring yang dilakukan yaitu kuring vanili ½ kering hasil modifikasi. Pada metode kuring ini, dilakukan perendaman buah vanili segar dengan butanol 0,3 M dan sistein 0,001 M selama 2 jam. Kedua zat tersebut berperan sebagai aktivator enzim βglukosidase yang dapat menghidrolisis senyawa prekursor glukovanilin menjadi vanilin yang merupakan salah satu senyawa pembentuk flavor vanili yang dominan. Vanili
yang
telah
dipanen
masih
memiliki
jaringan
hidup
dan
melangsungkan aktivitas fisiologisnya. Dalam proses kuring vanili, perlu untuk menghentikan perkembangan vegetative dan merusak struktur sel, sehingga sejumlah enzim dapat kontak dengan substratnya. Struktur sel dapat rusak diantaranya dengan cara pelayuan dengan air panas, pemanasan dengan sinar matahari atau oven dan pembekuan. Proses ini disebut killing, proses ini juga merusak fungsi respirasi dengan merusak sel membran.
Di antara sejumlah
proses, killing dengan air panas serta panas dengan oven dan sinar matahari metode yang banyak digunakan (Rao dan Ravishankar 2000). Pada penelitian ini, proses killing dilakukan yaitu dengan pelayuan pada suhu 40oC. Proses pelayuan ini menyebabkan sel menjadi rusak sehingga memungkinkan terjadinya difusi substrat untuk bertemu dengan enzim dan mempercepat proses kuring. Pada proses ini inhibitor yang menghambat kerja enzim juga mati. Selanjutnya dilakukan pemeraman, aktivitas sebagian besar enzim aktif pada tahap ini. Pengeringan dilakukan menggunakan oven selama 3 jam dengan suhu 40oC selama 5 hari. Pengeringan ini bertujuan untuk mengurangi kadar air dari vanili. Dari hasil penelitian didapatkan hasil kadar vanilin vanili setengah kering hasil kuring sebesar 2,5%. Hasil ini lebih rendah dari kadar vanilin yang dihasilkan dari hasil penelitian Setyaningsih et al. (2003) yaitu sebesar 2,8% tetapi masih di
30
atas kadar vanilin yang dihasilkan dari hasil penelitian metode Balitro II yaitu sebesar 1,2%. Vanili ½ kering hasil kuring selanjutnya digunakan sebagai bahan untuk ekstraksi vanili. Metode ekstraksi yang dilakukan yaitu metode ekstraksi dengan cara maserasi yang dilakukan oleh Melawati (2006). Metode maserasi yaitu metode ekstraksi dengan cara merendam bahan
yang akan diekstrak dalam
wadah. Pada buah vanili setengah kering tadi dipotong berukuran 0,2-0,5 cm. Pengecilan ukuran ini bertujuan meningkatkan daya ekstraksi. Daya ekstraksi akan semakin meningkat dengan semakin kecilnya ukuran bahan.
Hal ini
disebabkan kontak antara bahan yang diekstrak merupakan proses osmosis yang berjalan lambat. Apabila bahan terlalu halus dapat membentuk suspensi dengan pelarut, selain itu juga dapat terjadi penguapan senyawa volatil yang berlebihan sebelum proses ekstraksi (Ketaren dan Suastawa 1994). Pada penelitian ini, dibuat ekstrak vanili triple fold. Pelarut yang digunakan 100 ml sedangkan vanili sebanyak 30 gram. Pelarut yang digunakan pada penelitian ini yaitu etanol dengan konsentrasi 60% dan air, kedua pelarut ini dibuat dengan perbandingan 7 : 3. Sukrosa yang ditambahkan pada larutan ini dapat meningkatkan viskositas, membantu mengekstrak senyawa aromatik, meningkatkan warna, menghambat penguapan alkohol dan menahan aroma vanilin dalam ekstrak (Ruhnayat 2001). Sedangkan menurut Purseglove et al. (1981), penambahan gula untuk memberikan kesan smoothness dan kekentalan pada
ekstrak,
membantu
memantapkan
komponen
aroma,
serta
dapat
memperpanjang umur simpan. Proses maserasi dilakukan menggunakan wadah gelas, dilakukan pengadukan sebanyak dua kali setiap harinya. Proses maserasi dilakukan selama 16 hari. Setelah 16 hari dilakukan penyaringan untuk memisahkan ekstrak vanili dengan ampasnya. Selanjutnya dilakukan pemekatan ekstrak vanili dengan rotary vacuum evaporator. Dari hasil pengukuran, ekstrak vanili setengah kering yang digunakan pada pembuatan bubuk vanili mengandung kadar vanilin sebesar 2,161 g/l. Kadar vanilin yang terkandung pada ekstrak vanili setengah kering yang sudah dipekatkan sebesar 3,23 g/l.
31
V.
Pengaruh jenis penyalut terhadap aw, kadar vanilin dan kelarutan produk ekstrak vanili terenkapsulasi (bubuk vanili) Pada proses mikroenkapsulasi, pemilihan penyalut sangat penting karena
sangat mempengaruhi sifat emulsi sebelum pengeringan dan sifat mikrokapsul (bubuk) yang dihasilkan. Pada penelitian ini digunakan bahan penyalut pati tapioka termodifikasi Flomax 8 dan maltodekstrin DE 10. Kedua bahan ini di dapat dari PT National Starch. Pati tapioka termodifikasi Flomax 8 merupakan jenis pati yang aplikasinya diperuntukkan untuk enkapsulasi flavor dengan spray drying. Mikrokapsul atau bubuk yang didapat dengan menggunakan penyalut pati tapioka termodifikasi Flomax 8 jenis ini memiliki daya alir yang baik dan dapat direkonstitusi dengan air. Selain itu pati jenis ini memiliki viskositas rendah dan tidak berasa sehingga cocok untuk enkapsulasi flavor (National Starch 2006). Adapun karakteristik dari pati tapioka termodifikasi Flomax 8 dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Karakteristik pati tapioka termodifikasi Flomax 8 Karakteristik
Keterangan
Kadar air (%)
10
pH
5
Warna
off white
Viskositas
Rendah
Kejernihan
Baik
Aplikasi
Enkapsulasi flavor dengan spray drying
Sumber : National Starch (2006) Maltodektrin merupakan salah satu jenis bahan penyalut berbahan dasar karbohidrat yang banyak digunakan untuk mikroenkapsulasi flavor. Berbagai penelitian mikroenkapsulasi telah dilakukan di mana menggunakan maltodekstrin sebagai bahan penyalutnya. Dari beberapa penelitian, maltodektrin dengan DE rendah memberikan retensi flavor lebih baik. Seperti penelitian yang dilakukan
32
oleh Yoshii et al. (2001), maltodekstrin dengan DE 10 telah memberikan retensi flavor terbaik pada penelitian yang dilakukan pada duabelas jenis flavor. Dengan meningkatnya DE (DE 10, DE 15, DE 20, DE 25 and DE 36,5), retensi flavor menurun. Penelitian Shiga et al. (2003) mengenkapsulasi komponen flavor lenthionine dengan penyalut yang memiliki DE 8, 11 dan 25. Hasil penelitiannya menyebutkan nilai DE bahan penyalut berpengaruh terhadap retensi komponen flavor. Retensi flavor meningkat dengan semakin menurunnya nilai DE. Goubet et al. (1998) melaporkan hasil yang sama mengenai pengaruh DE terhadap retensi flavor.
Menurut Voiley dan Simatos et al.
(1980), retensi flavor
meningkat dengan meningkatnya berat molekul disebabkan karena berkurangnya difusi flavor selama pengeringan. Bang dan Reineccius (1990) menerangkan bahwa laju pembentukan crust
mikrokapsul (bubuk) meningkat dengan
meningkatnya berat molekul penyalut. Produk dengan DE sedang atau lebih rendah lebih efisien digunakan untuk enkapsulasi dengan spray drying.
Hal ini kemungkinan disebabkan adanya
keseimbangan panjangnya polimer, yang menolong untuk menangkap komponen flavor pada permukaan droplet yang diinginkan (Kenyon 1995).
Dari hasil
beberapa penelitian yang telah dilakukan, maka pada penelitian ini digunakan maltodekstrin yang memiliki nilai DE rendah yaitu DE 10. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh jenis penyalut yaitu maltodekstrin dan pati tapioka termodifikasi Flomax 8 yang dibuat dengan perbandingan 1 : 0, 0 : 1, 1 : 2, 2 : 1 dan 1 : 1 terhadap aw, kelarutan dan kadar vanilin yang bervariasi dari produk ekstrak vanili terenkapsulasi (bubuk vanili). Data nilai aw, kelarutan dan kadar vanilin dari bubuk vanili dapat dilihat pada Tabel 5.
Nilai aw (water activity) Pada penelitian ini aw yang dihasilkan berkisar 0,442-0,478
(Tabel 5).
Hasil sidik ragam menunjukkan jenis dan komposisi penyalut yang digunakan pada penelitian ini tidak berpengaruh nyata terhadap aw bubuk vanili (Lampiran 5 dan Lampiran 6).
33
Tabel 5 Nilai aw, kelarutan dan kadar vanilin bubuk vanili Penyalut malto
aw
Kelarutan (%)
kadar vanilin (g/100g)
: pati tapioka
dekstrin
termodifikasi Flomax 8 1:0
0,443 a
90,28
a
1,15 a
0:1
0,478 a
26,69
b
1,15 a
1:2
0,462 a
59,87
c
1,18 a
2:1
0,442 a
78,43
d
1,18 a
1:1
0,475 a
67,58
e
1,14 a
Keterangan : Huruf yang sama dalam baris dan kolom menunjukkan tidak ada beda nyata antar perlakuan (p = 0.05). Retensi komponen flavor dipengaruhi oleh aw (aw = RH/100). Produk yang dianggap paling baik yaitu produk dengan aw terendah dihasilkan dari perlakuan menggunakan penyalut maltodekstrin dan penyalut maltodekstrin dengan pati tapioka termodifikasi Flomax 8 dengan perbandingan 2 : 1 yaitu 0,442. Pada aw rendah, kapsul berada pada keadaan glassy, kondisi ini menyebabkan flavor yang dienkapsulasi memiliki mobilitas rendah sehingga laju pelepasan flavor pun rendah. Sekali saja struktur kapsul rusak dengan masuknya air, laju pelepasan pun meningkat. Ini dapat disebabkan mobilitas tinggi dari flavor yang dienkapsulasi, di mana kapsul mulai berada pada kondisi plastis (Soottitantawat et al.
2005).
Hasil penelitiannya pada produk
l-menthol terenkapsulasi
menunjukkan pada aw rendah hanya sejumlah kecil l-menthol yang lepas dari mikrokapsul.
Semakin besar nilai aw maka semakin besar pula mobilitas l-
menthol terenkapsulasi. L-menthol mulai lepas dari penyalut pada aw lebih besar dari 0,5.
Kadar vanilin Dari hasil penelitian, kadar vanilin dari bubuk vanili berkisar antara 1,14 1,18 g/100g (Tabel 5). Hasil sidik ragam menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata vanilin bubuk vanili dari semua perlakuan (Lampiran 7 dan Lampiran 8). Hasil yang tidak berbeda nyata ini disebabkan ekstrak vanili yang ditambahkan
34
pada semua perlakuan sama yaitu 3 : 2 terhadap penyalut, sementara jenis dan komposisi penyalut tidak berpengaruh nyata terhadap kadar vanilin bubuk vanili.
Kelarutan Kelarutan bubuk vanili yang dilarutkan pada air suhu 40oC berkisar antara 26,69 - 90,28 % (Tabel 5). Hasil sidik ragam menunjukkan jenis dan komposisi penyalut yang digunakan pada penelitian ini berpengaruh nyata terhadap kelarutan produk bubuk vanili (Lampiran 9).
Dari hasil uji lanjut Duncan,
kelarutan produk bubuk vanili berbeda antar perlakuan (Lampiran 10). Kelarutan bubuk vanili
terbesar pada perlakuan dengan penyalut maltodekstrin sebesar
92,28% dan kelarutan terendah pada perlakuan dengan penyalut pati tapioka termodifikasi Flomax 8 sebesar 26,69%. Perbedaan kelarutan ini disebabkan karakteristik awal dari 2 jenis penyalut ini berbeda, maltodekstrin memiliki sifat lebih mudah larut daripada pati tapioka termodifikasi Flomax 8.
Hal
ini
berpengaruh terhadap kelarutan bubuk vanili yang dihasilkan.
VI.
Pengaruh jenis penyalut, konsentrasi penyalut dan rasio ekstrak vanili dengan penyalut terhadap rendemen, aw, kelarutan dan retensi vanilin selama pengeringan produk ekstrak vanili terenkapsulasi (bubuk vanili) Dari penelitian tahap II, diketahui jenis dan komposisi penyalut tidak
berpengaruh nyata terhadap aw dan kadar vanilin, tetapi berpengaruh nyata terhadap kelarutan. Berdasarkan penelitian tahap II, maka dua penyalut yang dipilih yang memberikan kelarutan tertinggi yaitu maltodekstrin dan campuran maltodekstrin dan pati tapioka termodifikasi Flomax 8 dengan perbandingan 2 : 1. Hasil penelitian menunjukkan jenis penyalut, konsentrasi penyalut dan rasio antara ekstrak vanili dengan penyalut memberikan hasil yang berbeda terhadap rendemen, aw, kelarutan, kadar vanilin dan recovery vanilin bubuk vanili.
Rendemen Rendemen
bubuk vanili pada penelitian ini berkisar 18,68 - 31,80%
(Gambar 8). Rendemen paling tinggi sebesar 31,80% didapat dari perlakuan menggunakan bahan penyalut maltodekstrin dan pati tapioka termodifikasi
35
Flomax 8 (2 : 1), dengan konsentrasi penyalut 10% dan rasio ekstrak vanili dengan penyalut 3 : 1. Rendemen paling rendah sebesar 18,68% didapat dari perlakuan menggunakan bahan penyalut maltodekstrin, dengan konsentrasi penyalut 30% dan rasio ekstrak vanili dengan penyalut 3 : 2. Dari hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis penyalut, konsentrasi bahan penyalut dan rasio ekstrak vanili dengan penyalut berpengaruh nyata terhadap rendemen bubuk vanili yang dihasilkan (Lampiran 11). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan rendemen bubuk vanili dengan penyalut maltodektrin dan maltodekstrin dan pati tapioka termodifikasi Flomax 8 (2 : 1) memiliki perbedaan yang nyata (Lampiran 12). Perlakuan dengan jenis penyalut maltodekstrin dan pati tapioka termodifikasi Flomax 8 menghasilkan rendemen yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan menggunakan jenis penyalut maltodektrin saja. Hal ini disebabkan karakteristik awal dari kedua sifat penyalut ini berbeda. Pati termodifikasi dengan DE tertentu cenderung membentuk kerak pada dinding tabung pengering (Che Man et al. 1999). Hal ini dapat menyebabkan rendahnya rendemen yang dihasilkan dengan menggunakan spray drying.
40
31,80
Rendemen (%)
35 30 25
18,68
20 15 10 5 0 3:2
2:1
3:1
3:2
2:1
3:1
Rasio ekstrak vanili dengan penyalut
Rasio ekstrak vanili dengan penyalut
Maltodekstrin
Maltodekstrin : Flomax 8
10%
20%
30%
Gambar 8 Rendemen bubuk vanili dari tiap perlakuan
36
Hasil uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi terhadap rendemen, didapatkan hasil konsentrasi penyalut (10, 20, 30%) dan rasio ekstrak vanili dengan penyalut (3 : 2, 2 : 1, 3 : 1) menghasilkan nilai yang berbeda nyata terhadap rendemen bubuk vanili (Lampiran 13 dan Lampiran 14). Dari hasil penelitian, semakin tinggi konsentrasi jenis penyalut dan semakin besar rasio penyalut terhadap ekstrak vanili semakin rendah rendemen yang dihasilkan, hal ini disebabkan karena viskositas bahan yang akan dikeringkan semakin tinggi. Menurut Young et al. (1993), viskositas yang terlalu tinggi mengganggu proses atomisasi dan mengakibatkan pembentukan droplet yang besar dan panjang yang menyebabkan kecepatan pengering berkurang sehingga rendemen mikrokapsul berkurang. Menurut Hustiany (2006), semakin besar jumlah penyalut semakin besar pula rendemen produk flavor terenkapsulasi. Hal ini disebabkan jumlah penyalut sangat berperan terhadap rendemen produk flavor terenkapsulasi. Sementara itu, air dan komponen flavor ada yang menguap selama proses pengeringan dan peranannya kecil terhadap rendemen produk flavor terenkapsulasi. Meskipun peningkatan
konsentrasi
atau
viskositas
akan
meningkatkan
rendemen
mikrokapsul tetapi masing-masing bahan mempunyai batas maksimal untuk peningkatan viskositas sampai akhirnya tidak tidak terjadi peningkatan viskositas lagi, bahkan peningkatan viskositas akan menurunkan rendemen mikrokapsul (Bhandari et al. 1992).
Nilai aw Nilai (Gambar 9).
aw bubuk vanili
dari berbagai perlakuan berkisar 0,437 - 0,451
Dari hasil sidik ragam didapatkan hasil bahwa jenis penyalut,
konsentrasi bahan penyalut dan rasio ekstrak vanili dengan penyalut tidak berpengaruh nyata terhadap aw bubuk vanili yang dihasilkan (Lampiran 15).
Kelarutan Kelarutan bubuk vanili dari berbagai perlakuan berkisar 78,06 - 89,57% (Gambar 10). Dari hasil sidik ragam dan uji lanjut Duncan didapatkan bahwa jenis penyalut berpengaruh nyata terhadap kelarutan bubuk vanili, sedangkan konsentrasi bahan penyalut dan rasio ekstrak vanili dengan penyalut tidak
37
berpengaruh nyata terhadap kelarutan bubuk vanili (Lampiran 19 dan Lampiran 20). Bubuk vanili dengan penyalut maltodekstrin memiliki kelarutan lebih tinggi dibanding dengan menggunakan bahan penyalut maltodekstrin dan pati tapioka termodifikasi Flomax 8. Hal ini disebabkan sifat asal dari bahan penyalut, maltodekstrin memiliki kelarutan lebih tinggi dibanding pati tapioka termodifikasi Flomax 8. Hal ini berpengaruh terhadap kelarutan bubuk vanili yang dihasilkan. 0,600 Aw 0,500
0,437 0,451
0,400 0,300 0,200 0,100 0,000 3:2
2:1
3:1
3:2
2:1
3:1
Rasio ekstrak vanili dengan penyalut
Rasio ekstrak vanili dengan penyalut
Maltodekstrin
Maltodekstrin : Flomax 8
10%
20%
30%
Gambar 9 Aw bubuk vanili dari tiap perlakuan 100
89,57
Kelarutan ( % )
78,06 75
50
25
0
3:2
2:1
3:1
3:2
2:1
3:1
Rasio ekstrak vanili dengan penyalut
Rasio ekstrak vanili dengan penyalut
Maltodekstrin
Maltodekstrin : Flomax 8 10%
20%
30%
Gambar 10 Kelarutan bubuk vanili dari tiap perlakuan
38
Kadar vanilin Kadar vanilin bubuk vanili dari berbagai perlakuan berkisar 0,40 - 2,17 g/100g (Gambar 11). Kadar vanilin tertinggi didapat dari perlakuan bubuk vanili dengan penyalut maltodekstrin dan pati tapioka termodifikasi (2 : 1), konsentrasi penyalut 30% dan rasio ekstrak vanili dengan penyalut (3 : 1). Dari hasil sidik ragam didapatkan bahwa jenis penyalut, konsentrasi bahan penyalut dan rasio ekstrak vanili dengan penyalut berpengaruh nyata terhadap kadar vanilin bubuk vanili (Lampiran 23). Kadar Vanilin (g/100g
3,00 2,50
2,17
2,00 1,50 1,00
0,40
0,50 0,00 3:2
2:1
3:1
3:2
2:1
3:1
Rasio ekstrak vanili dengan penyalut
Rasio ekstrak vanili dengan penyalut
Maltodekstrin
Maltodekstrin : Flomax 8
10%
20%
30%
Gambar 11 Kadar vanilin dari tiap perlakuan Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan kadar vanilin bubuk vanili dengan penyalut maltodektrin dan maltodekstrin dan pati tapioka termodifikasi Flomax 8 (2 : 1) memiliki perbedaan yang nyata (Lampiran 24). Kadar vanilin bubuk vanili dengan penyalut maltodekstrin dan pati tapioka termodifikasi Flomax 8 (2 : 1) memiliki nilai lebih tinggi dibanding kadar vanilin dengan penyalut maltodekstrin saja.
Hal ini berarti
kombinasi penyalut maltodekstrin dan
pati tapioka
termodifikasi Flomax 8 (2 : 1) memiliki kemampuan lebih tinggi dalam melindungi kadar vanilin dibanding hanya menggunakan penyalut maltodekstrin saja.
39
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan konsentrasi (10, 20, 30%) menghasilkan nilai yang berbeda nyata terhadap kadar vanilin bubuk vanili (Lampiran 25). Pada rasio ekstrak vanili dengan penyalut sama, kadar vanilin memiliki nilai tertinggi pada konsentrasi terbesar (30%) diikuti pada konsentrasi 20% dan kadar vanilin terendah pada konsentrasi 10%. Hal ini disebabkan vanilin lebih terlindungi oleh penyalut dalam jumlah yang lebih banyak atau konsentrasinya lebih tinggi dibanding dengan konsentrasi lebih rendah. Konsentrasi penyalut sangat berperan dalam pembentukan crust. Menurut Menting dan Hoogstad (1967) dalam Rosenberg et al. (1990), komponen volatil dapat menguap sampai terbentuknya lapisan keras yang mengelilingi droplet (crust). Kehilangan komponen volatil dapat terjadi jika komponen volatil dapat menguap melalui crust dengan cara berdifusi melalui pori-pori atau celah-celah yang terbentuk pada crust. Pada konsentrasi penyalut yang lebih tinggi crust yang terbentuk lebih kompak sehingga akan mengurangi kehilangan komponen volatil. Peningkatan konsentrasi penyalut selain akan mengurangi waktu pembentukan crust, juga akan mengurangi kehilangan komponen volatil. Dengan viskositas yang semakin tinggi, lapisan yang mengelilingi inti akan terbentuk dengan cepat sehingga inti akan segera terlindungi. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan rasio ekstrak vanili dengan penyalut
(3 : 2, 2 : 1, 3 : 1) memberikan nilai yang berbeda nyata terhadap kadar vanilin bubuk vanili (Lampiran 26). Semakin besar rasio ekstrak vanili terhadap penyalut semakin besar kadar vanilin bubuk vanili. Hal ini dapat dimengerti karena semakin banyak ekstrak vanili yang ditambahkan, kadar vanilin yang terkandung juga makin besar sehingga akan menghasilkan kadar vanilin pada bubuk vanili lebih tinggi dibanding kadar vanilin bubuk vanili yang dibuat dengan penambahan ekstrak vanili yang lebih sedikit. Seperti telah disebutkan di atas, kadar vanilin bubuk vanili tertinggi yaitu 2,17 g/100g didapat dari perlakuan bubuk vanili dengan penyalut maltodekstrin dan pati tapioka termodifikasi (2 : 1), konsentrasi penyalut 30% dan rasio ekstrak vanili dengan penyalut (3 : 1). Sampai saat ini belum ada standar kadar vanilin dalam mikrokapsul atau bubuk, sehingga belum dapat ditarik kesimpulan apakah kadar vanilin bubuk vanili pada penelitian ini lebih rendah atau sudah masuk
40
standar. Namun dari hasil beberapa ujicoba melarutkan bubuk vanili dalam air, setelah dilarutkan kurang tercium aroma khas vanili dari bubuk vanili ini. Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan komponen flavor yang mendukung aroma khas vanili yang terkandung dalam bubuk vanili ini masih rendah. Demikian juga vanilin sebagai komponen utama penyusun flavor vanili dalam bubuk vanili tersebut masih rendah, apalagi komponen flavor yang lain sudah pasti memiliki nilai lebih rendah dari vanilin, sehingga dapat dimengerti mengapa aroma khas vanili bubuk vanili hasil penelitian ini setelah dilarutkan kurang tercium.
Recovery vanilin Recovery vanilin bubuk vanili dihitung berdasarkan perbandingan jumlah vanilin setelah dienkapsulasi (g/100g) dan jumlah vanilin sebelum dienkapsulasi (g/100g) dikalikan 100. Retensi vanilin bubuk vanili selama pengeringan pada penelitian ini dinyatakan sebagai recovery vanilin bubuk vanili. Dari hasil penelitian diperoleh hasil recovery vanilin bubuk vanili dari berbagai perlakuan berkisar 28,88 - 83,62% (Gambar 12). Recovery vanilin bubuk vanili terbesar adalah 83,62% pada perlakuan menggunakan penyalut maltodekstrin dan pati tapioka termodifikasi Flomax 8 dengan konsentrasi penyalut 30% dan rasio ekstrak dengan penyalut 3 : 2. Dari hasil sidik ragam terlihat bahwa jenis penyalut, konsentrasi bahan penyalut dan rasio ekstrak vanili dengan penyalut berpengaruh nyata terhadap recovery vanilin bubuk vanili (Lampiran 27).
Hasil uji lanjut Duncan
menunjukkan hasil recovery vanilin bubuk vanili dengan bahan penyalut maltodekstrin dan pati tapioka termodifikasi Flomax 8 (2 : 1) memiliki nilai lebih tinggi dibanding dengan penyalut maltodekstrin saja (Lampiran 28). Hal ini dipengaruhi oleh sifat komposisi kimia bahan penyalut. Sifat bahan penyalut tergantung komposisi kimianya (Goubet et al. 1998). Sifat bahan penyalut dapat mempengaruhi retensi, ditentukan dari viskositasnya. Jika viskositas rendah, internal mixing dapat terjadi dan memperlambat pembentukan lapisan semipermeabel, sehingga dapat memperbesar kehilangan komponen volatil.
41
100 Recovery vanilin (%)
83,62 80 60 40
28,88
20 0 3:2
2:1
3:1
3:2
2:1
3:1
Rasio ekstrak vanili dengan penyalut
Rasio ekstrak vanili dengan penyalut
Maltodekstrin
Maltodekstrin : Flomax 8
10%
20%
30%
Gambar 12 Recovery vanilin (%) bubuk vanili dari tiap perlakuan Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan hasil konsentrasi penyalut (10, 20 dan 30%) menghasilkan hasil yang berbeda nyata terhadap recovery vanilin (Lampiran 29).
Pada penelitian ini, peningkatan konsentrasi penyalut sampai 30%
meningkatkan recovery vanilin. Hal ini sejalan dengan penelitian Medikasari (1998) dan Shiga et al. (2003). Hasil penelitian Shiga et al. (2003), retensi flavor lenthionine meningkat dengan meningkatnya konsentrasi penyalut (30, 40 dan 50%). Hasil penelitian Reineccius (1989) menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi padatan bahan penyalut meningkatkan retensi flavor diacetyl. Kandungan padatan yang tinggi menyebabkan suspensi menjadi kental. Tingginya viskositas cenderung membatasi terjadinya pindah panas konveksi di dalam kapsul dan akan memperlambat difusi volatil ke permukaan kapsul. Menurut Rosenberg
et al. (1990), konsentrasi padatan mempengaruhi
viskositas dan berperan terhadap kehilangan komponen volatil.
Viskositas
berpengaruh terhadap pergerakan komponen volatil ke permukaan droplet yang dikeringkan. Viskositas dapat dinaikkan sampai nilai optimal untuk meningkatkan retensi. Apabila viskositas terus dinaikkan akan menurunkan retensi komponen
42
flavor. Sebelum droplet terbentuk di atomizer, emulsi mengalami turbulensi, sehingga dapat mempertinggi kehilangan komponen volatil.
Peningkatan
viskositas sampai nilai optimum dapat mengurangi internal mixing dan mempertahankan emulsi.
Di luar nilai optimalnya, waktu tinggal emulsi di
atomizer lebih lama dan pembentukan droplet menjadi terlalu lama, hal ini mempertinggi kehilangan komponen volatil.
Peningkatan padatan yang lebih
tinggi dapat menyebabkan padatan menjadi tidak larut. Kondisi ini menyebabkan terjadinya celah-celah (crack) pada lapisan (crust) sehingga komponen flavor berdifusi keluar melalui celah-celah yang terbentuk. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan rasio ekstrak vanili dengan penyalut
(3 : 2, 2 : 1, 3 : 1) memberikan nilai yang berbeda nyata terhadap recovery vanilin bubuk vanili (Lampiran 30).
Hasil penelitian menunjukkan recovery vanilin
bubuk vanili dari perlakuan rasio ekstrak vanili dan penyalut 3 : 2 lebih tinggi dibandingkan rasio 2 : 1 dan 3 : 1. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Hustiany (2006) dan Soottitantawat (2004). Bhandari et al. (1992) melakukan penambahan penyalut untuk meningkatkan retensi flavor. Dengan penyalut yang lebih banyak dan flavor lebih sedikit, flavor akan lebih banyak terlindungi oleh penyalut selama pengeringan.
IV. Retensi vanilin selama penyimpanan Pola retensi vanilin dapat diketahui dengan cara melakukan penyimpanan selama enam minggu terhadap bubuk vanili. Pada penelitian ini sampel disimpan pada tiga suhu penyimpanan yaitu suhu pada suhu 4oC, 30oC dan 55oC. Suhu 4oC mewakili penyimpanan pada suhu dingin dan suhu 30oC mewakili suhu kamar. Penyimpanan produk pada suhu tinggi tidak umum dilakukan, tetapi pada penelitian ini dilakukan penyimpanan bubuk vanili pada suhu 55oC dengan alasan untuk melihat cepatnya terjadi kerusakan karena pengaruh suhu. Bubuk vanili disimpan dalam botol kaca bertutup.
Bubuk vanili yang
disimpan dibuat dari perlakuan bahan penyalut maltodekstrin (A) dan maltodekstrin yang dikombinasikan dengan pati tapioka termodifikasi Flomax 8 (2 : 1) (B), konsentrasi penyalut masing-masing 30% dan rasio ekstrak vanili dengan penyalut 3 : 1.
Kedua perlakuan ini dipilih berdasarkan nilai kadar
vanilin tertinggi bubuk vanili dengan penyalut maltodekstrin dan maltodekstrin
43
yang dikombinasikan dengan pati tapioka termodifikasi Flomax 8 (2 : 1) dari penelitian tahap III, yaitu diperoleh dari perlakuan konsentrasi penyalut 30% dan rasio ekstrak vanili dengan penyalut 3 : 1. Setelah dilakukan penyimpanan selama enam minggu, diketahui bahwa retensi vanilin cenderung menurun selama penyimpanan pada semua suhu penyimpanan (Gambar 13 dan Gambar 14). Dari hasil sidik ragam retensi vanilin selama penyimpanan, menunjukkan bahwa faktor suhu (4, 30 dan 55 oC) dan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap retensi vanilin selama penyimpanan baik untuk bubuk vanili A maupun B (Lampiran 31 dan Lampiran 34). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan suhu penyimpanan (4oC, 30oC dan 55oC) memberikan nilai yang berbeda nyata terhadap retensi vanilin selama penyimpanan, baik untuk bubuk vanili A maupun B (Lampiran 32 dan Lampiran 35).
Penurunan retensi vanilin untuk bubuk vanili A dan bubuk vanili B
memperlihatkan pola yang sama. Penurunan retensi vanilin terbesar suhu 55oC, diikuti oleh suhu 30oC dan 4oC. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan lama penyimpanan memberikan nilai yang berbeda nyata terhadap retensi vanilin selama penyimpanan, baik untuk bubuk vanili A maupun B (Lampiran 33 dan Lampiran 36). Penyimpanan sampai minggu ke-4, pengaruh lama penyimpanan terhadap retensi vanilin bubuk vanili A dan B menunjukkan pola yang sama. Penyimpanan minggu ke-0 sampai minggu ke-2 menunjukkan hasil yang berbeda nyata, penyimpanan minggu ke-2 dan ke-3 tidak berbeda nyata, penyimpanan minggu ke-3 dan ke-4 berbeda nyata. Untuk bubuk vanili A, penyimpanan minggu ke-4 dan ke-5 menunjukkan hasil tidak berbeda nyata, tetapi minggu ke-5 dan ke-6 berbeda nyata. Sedangkan untuk bubuk vanili B, penyimpanan minggu ke-4 sampai minggu ke-6 menunjukkan hasil berbeda nyata. Selama penyimpanan retensi vanilin mengalami penurunan. Hal ini disebabkan terjadi perubahan komposisi kimia yang dapat berakibat pada perubahan berbagai komponen flavor, termasuk vanilin.
Menurut Cheetam
(2002), perubahan selama penyimpanan dapat terjadi karena interaksi di antara komponen seperti reaksi oksidasi-reduksi. Wilbraham dan Matta (1992) menyatakan dua dari tiga gugus fungsi yang dimiliki vanilin yakni gugus aldehid
44
(-COH) dan hidroksil (-OH) dapat teroksidasi karena keberadaan oksigen di sekelilingnya. Aldehid jika teroksidasi akan menjadi asam karboksilat (-COOH),
Retensi vanilin selama penyimpanan (%)
sedangkan hidroksil akan berubah menjadi aldehid (-COH).
100 80 60 40 20 0 1
2
3
4
5
6
7
Lama penyimpanan (minggu) 4°C
30°C
55°C
Retensi vanilin selama penyimpanan (%)
Gambar 13 Pola retensi vanilin bubuk vanili A
100 80 60 40 20 0 1
2
3
4
5
6
Lama penyimpanan (minggu) 4°C
30°C
55°C
Gambar 14 Pola retensi vanilin bubuk vanili B
7
45
Penurunan retensi vanilin selama penyimpanan sejalan dengan hasil penelitian Anklam et al. (1997) dalam Sofyaningsih (2007), di mana vanilin dalam susu segar yang disimpan mengalami penurunan selama penyimpanan mengalami penurunan.
Penurunan vanilin terjadi karena vanilin teroksidasi
menjadi asam vanilat.
Proses oksidasi vanilin dalam susu segar dipengaruhi
konsentrasi vanilin yang ditambahkan ke dalam susu. Stabilitas vanilin dalam susu segar yang disimpan pada suhu 22 oC selama 6 jam mengakibatkan semua vanilin dioksidasi menjadi asam vanilat dalam susu segar yang mengandung 900 ppm vanilin masih tersisa 90%. Proses oksidasi juga dipengaruhi oleh waktu. Setelah 3 jam penyimpanan, pada sampel yang mengandung 2 ppm vanilin terjadi oksidasi vanilin menjadi asam vanilat sekitar 50%, sedangkan setelah 6 jam vanilin teroksidasi seluruhnya.
Laju penurunan retensi vanilin berdasarkan persamaan Arrhenius Laju penurunan retensi vanilin dapat diketahui menggunakan persamaan Arrhenius untuk mengukur energi aktivasi (Ea) pada suhu T(oK). Persamaan Arrhenius yaitu : k = ko.e-Ea/RT Persamaan di atas dilogaritmakan sehingga didapat persamaan : ln k = ln ko - Ea/RT di mana : ko = konstanta laju absolut k
= konstanta laju penurunan pada suhu T
Ea = Energi aktivasi (J/mol) R = Konstanta gas ideal (8,314 JK-1mol-1) T
= Suhu absolut (oK)
Nilai k dari masing-masing suhu digunakan untuk menentukan nilai energi aktivasi (Ea) vanilin pada suhu T, dengan persamaan Arrhenius. Dari persamaan yang didapat dengan cara menghubungkan antara ln k dan 1/T, akan diperoleh kemiringan yang merupakan Ea/R
(Ea adalah energi aktivasi dan R adalah
konstanta gas ideal) dan perpotongan yang merupakan ln ko. Adapun parameterparameter persamaan Arrhenius bubuk vanili A dan B dapat dilihat pada Tabel 6.
46
Tabel 6 Parameter persamaan Arrhenius bubuk vanili A dan B Bubuk Vanili
Suhu Penyimpanan 4 oC 30 oC 55 oC 4 oC 30 oC 55 oC
A
B
k 0,0501 0,0690 0,0763 0,0491 0,0525 0,0751
T (oK) -2,994 277 -2,674 303 -2,573 328 -3,014 277 -2,947 303 -2,589 328 ln k
1/T 0,00361 0,00333 0,00305 0,00361 0,00333 0,00305
Ea (kJ/mol)
ko
6,25
0,7838
6,31
0,7241
Dari parameter-parameter persamaan Arrhenius, maka dapat diduga konstanta laju penurunan retensi vanilin bubuk vanili A dan B.
Apabila suhu
penyimpanan diasumsikan 27oC, maka laju penurunan retensi vanilin bubuk vanili A yaitu : k = 0,7838 . e -6250,382/( 8,314 . (273 + 27)) k = 0,7838 . e - 2,505967 k = 0,0639 Laju penurunan retensi vanilin bubuk vanili B yaitu : k = 0,7241. e -6309,744/( 8,314 . (273 + 27)) k = 0,7241. e - 2,529767 k = 0,0577 Nilai Ea dapat digunakan untuk melihat laju penurunan retensi vanilin. Semakin kecil nilai Ea berarti laju penurunan retensi vanilin semakin cepat. Sebaliknya, nilai Ea semakin besar berarti laju penurunan retensi vanilin turun lebih lambat dengan adanya perubahan suhu. Dari hasil perhitungan persamaan Arrhenius (Tabel 6), diketahui Ea bubuk vanili A lebih kecil dibanding Ea bubuk vanili B. Hal ini berarti laju penurunan retensi vanilin bubuk vanili A lebih cepat dibanding laju penurunan retensi vanilin bubuk vanili B. Dari perhitungan nilai k, laju penurunan retensi vanilin bubuk vanili A lebih besar dibanding laju penurunan retensi vanilin bubuk vanili B. Hasil ini sesuai dengan perhitungan nilai Ea. Nilai Ea merupakan suatu ukuran sensitivitas suhu terhadap reaksi, misalnya seberapa cepat reaksi akan terjadi apabila suhu dinaikan (Robertson 1993). Nilai Ea bubuk vanili A dan B yaitu 6,25 dan 6,31 kJ/mol, dilihat dari
47
nilai Ea diketahui jenis reaksi yang terjadi yaitu reaksi difusi terkontrol. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 7. Nilai Ea bubuk vanili A dan B berada pada kisaran 034 kJ/mol. Tabel 7 Nilai Ea dan jenis reaksi yang terjadi Jenis Reaksi Reaksi difusi terkontrol
Ea (kJ/mol) 0 - 34
Oksidasi lipid
42 -105
Degradasi flavor dalam sayuran kering
42 - 105
Reaksi enzimatis
42 - 126
Degradasi vitamin
84 - 126
Degradasi warna dalam sayuran kering
67 - 147
Pencoklatan non enzimatis
105 - 210
Sumber : Robertson (1993)
Laju penurunan retensi vanilin berdasarkan persamaan Avrami Laju penurunan retensi vanilin bubuk vanili pada penelitian ini juga dihitung berdasarkan persamaan Avrami. Persamaan Avrami merupakan suatu persamaan yang dapat digunakan untuk melihat laju penurunan retensi flavor terenkapsulasi. Beberapa penelitian yang telah menggunakan persamaan ini untuk penentuan flavor terenkapsulasi seperti penelitian yang dilakukan oleh Yoshii et al. (2003), Soottitantawat et al. (2005) dan Hustiany (2006). Persamaan Avrami yaitu : R = exp [- (kt)n] Kemudian persamaan di atas dilogaritmakan sebanyak dua kali sehingga didapat persamaan : -ln(ln R) = n lnk + n lnt Di mana : n = parameter untuk menentukan mekanisme laju penurunan retensi vanilin k = konstanta laju penurunan vanilin R = retensi vanilin selama penyimpanan t = waktu penyimpanan.
48
Berdasarkan perhitungan persamaan Avrami pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa penurunan retensi vanilin bubuk vanili A dan B paling besar terjadi pada suhu 55oC, diikuti oleh suhu 30oC dan 4oC. Hal ini sesuai dengan pola penurunan retensi vanilin bubuk vanili A dan B pada Gambar 13 dan 14 di atas. Menurut persamaan Avrami, nilai n semakin besar dengan semakin cepatnya penurunan retensi komponen
flavor, sedangkan nilai k semakin
kecil dengan semakin
lambatnya penurunan retensi komponen flavor. Dari Tabel 8 dapat dilihat, nilai n bubuk vanili A dan B pada suhu 55oC paling besar diikuti oleh bubuk vanili yang disimpan pada suhu 30oC dan 4oC. Hal ini berarti bubuk vanili yang disimpan pada suhu 55oC paling cepat mengalami penurunan retensi vanilin. Demikian pula dengan nilai k. Nilai k bubuk vanili A dan B pada suhu 55oC paling besar diikuti oleh bubuk vanili yang disimpan pada suhu 30oC dan 4oC. Hal ini berarti sampel bubuk vanili yang disimpan pada suhu 4oC paling lambat mengalami penurunan retensi vanilin. Tabel 8 Hasil perhitungan persamaan Avrami Bubuk
Suhu
Vanili
Penyimpanan
A
B
Dari
Persamaan Avrami
n
k
R2
4oC
y = 0,0121x - 1,5123
0,0121 5,2708 e-55 0,8381
30oC
y = 0,0196x - 1,5142
0,0196 2,8092 e-34 0,9481
55oC
y = 0,0232x - 1,5039
0,0232 7,0425 e-29 0,9078
4oC
y = 0,0128x - 1,5231
0,0128 2,1052 e-52 0,9633
30oC
y = 0,0134x - 1,5184
0,0134 6,1673 e-50 0,9268
55oC
y = 0,0219x - 1,5122
0,0219 1,0279 e-30 0,8728
perhitungan
berdasarkan
persamaan
Avrami,
terbukti
suhu
berpengaruh terhadap retensi flavor terenkapsulasi. Soottintawat et al. (2004) menyatakan semakin tinggi suhu penyimpanan, pelepasan flavor terenkapsulasi meningkat. Hal ini dapat dimengerti karena semakin tinggi suhu berbagai reaksi kimia yang melibatkan komponen flavor termasuk mekanisme pelepasan flavor semakin cepat terjadi. Dengan keterangan di atas dapat diperoleh penjelasan kenapa pada suhu lebih tinggi retensi vanilin lebih cepat turun.
49
Waktu paruh bubuk vanili Pada penelitian ini dilakukan perhitungan waktu paruh (t½) bubuk vanili, seperti yang dilakukan oleh Cai & Corke (2000) dan Krishnan et al. (2005) pada produk yang mereka enkapsulasi. Waktu paruh (t½) didefinisikan sebagai waktu untuk mengurangi suatu nilai menjadi 50%, dihitung dari slope ‘k’, waktu paruh (t½) dinyatakan dengan rumus t½ = 0,693/k. k merupakan slope dari persamaan regresi yang menghubungkan ln persen retensi vanilin selama penyimpanan dengan waktu penyimpanan. Grafik hubungan ln k dengan waktu penyimpanan bubuk vanili A dan B dapat dilihat pada Gambar 15 dan Gambar 16. Dari hasil perhitungan waktu paruh, didapatkan nilai waktu paruh bubuk vanili yang bervariasi untuk berbagai suhu penyimpanan (Tabel 9).
4,70
ln % retensi vanilin
4,60 4,50
y = -0,0604x + 4,5678
4,40
R = 0,8907
2
4,30 4,20
y = -0,0906x + 4,5701
4,10
R = 0,9591
2
4,00
y = -0,1063x + 4,5468
3,90
2
R = 0,9551
3,80 0
1
2
3 4 minggu
4°C
30°C
5
6
7
55°C
Gambar 15 Hubungan ln % retensi vanilin dengan waktu penyimpanan bubuk vanili A
50
ln %retensi vanilin
4,70 4,60 y = -0,0584x + 4,5936
4,50
2
R = 0,9751 y = -0,0634x + 4,5823
4,40
2
R = 0,9481
4,30 4,20 4,10 4,00
y = -0,1007x + 4,5652
3,90
R = 0,9135
2
0
1
2
3
4
5
6
7
minggu
4°C
30°C
55°C
Gambar 16 Hubungan ln % retensi vanilin dengan waktu penyimpanan bubuk vanili B Tabel 9 Waktu paruh bubuk vanili A dan B Bubuk vanili
Suhu penyimpanan 4oC
A
30oC 55oC 4oC
B
30oC 55oC
Persamaan regresi y = -0,0604x + 4,5678 R2 = 0,8907 y = -0,0906x + 4,5701 R2 = 0,9591 y = -0,1063x + 4,5468 R2 = 0,9551 y = -0,0584x + 4,5936 R2 = 0,9751 y = -0,0634x + 4,5823 R2 = 0,9481 y = -0,1007x + 4,5652 R2 = 0,9135
k
t½ (minggu)
0,0604
11,47
0,0906
7,65
0,1063
6,52
0,0584
11,87
0,0634
10,93
0,1007
6,88
Waktu paruh bubuk vanili pada penelitian ini cukup singkat, di mana waktu paruh terbesar kurang dari 3 bulan. Waktu paruh terbesar 11,47 dan 11,87 minggu untuk bubuk vanili A dan B yang disimpan pada suhu penyimpanan 4oC. Waktu paruh terkecil yaitu bubuk vanili A dan B yang disimpan pada suhu penyimpanan 55oC yaitu 6,52 dan 6,88 minggu. Waktu paruh bubuk vanili A yang disimpan pada suhu penyimpanan 30oC yaitu 7,65 minggu, sementara
51
waktu paruh bubuk vanili B yang disimpan pada suhu penyimpanan
30oC
mendekati bubuk vanili B yang disimpan pada suhu penyimpanan 4oC yaitu sebesar 10,93 minggu. Bubuk vanili hasil pengeringan sebelum dilakukan penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 4. Produk berbentuk bubuk kering dan berwarna putih agak krem. Warna bubuk vanili berwarna putih agak krem, hal ini disebabkan ekstrak vanili berwarna coklat tua. Hal ini berpengaruh terhadap warna bubuk yang dihasilkan. Bubuk vanili berukuran 1 sampai 5,3 µm. Menurut King (1995) dan Krishnan et al. (1995), produk disebut mikrokapsul apabila berukuran 0,2 sampai 5000 µm. Bubuk vanili hasil penelitian ini merupakan mikrokapsul karena memiliki ukuran pada kisaran 0,2 sampai 5000 µm. Bubuk vanili A dan B setelah penyimpanan minggu ke-4 dapat dilihat pada Gambar 17 dan 18. Bubuk vanili yang disimpan pada suhu 55oC terutama bubuk vanili B terlihat mengalami kerusakan di mana partikel bubuk telah menyatu atau mengalami penggumpalan dan berubah warna menjadi coklat. Bubuk vanili A dan B yang disimpan 4oC setelah penyimpanan 4 minggu berwarna putih agak krem seperti warna bubuk vanili sebelum disimpan, serta bentuknya belum berubah.
Bubuk vanili yang disimpan pada suhu 30oC
warnanya belum berubah tetapi partikel bubuk ada yang sudah mulai menyatu.
Gambar 17 Bubuk vanili A setelah penyimpanan minggu ke-4 (A1 = suhu 55oC, A2 = suhu 30oC dan A3 = 4oC)
52
Gambar 18 Bubuk vanili B setelah penyimpanan minggu ke-4 (B1 = suhu 55oC, B2 = suhu 30oC dan B3 = 4oC) Warna dan penampakan bubuk vanili A dan B yang disimpan pada suhu 4oC dan 30oC setelah penyimpanan selama empat minggu masih layak dikonsumsi karena warna dan penampakannya belum berubah dari bubuk vanili pada saat pertama kali disimpan. Bubuk vanili A dan B yang disimpan pada suhu 55oC setelah penyimpanan selama 4 minggu sudah tidak layak dikonsumsi karena warnanya sudah jauh berubah dari bubuk vanili sebelum dilakukan penyimpanan yaitu warnanya menjadi coklat dan partikel bubuk sudah menyatu (mengalami penggumpalan). Warna dan penampakan bubuk vanili yang disimpan pada suhu 55 oC setelah penyimpananan selama empat sudah mengalami perubahan, yaitu warna berubah coklat dan mengalami pengumpalan. Hasil perhitungan waktu paruh, nilai kadar vanilin bubuk vanili A dan B yang disimpan pada suhu 55 oC berkurang menjadi setengahnya setelah penyimpanan selama enam minggu lebih. Dari hasil ini dapat dilihat, warna dan penampakan lebih cepat berubah dibandingkan nilai kadar vanilin, sehingga warna dan penampakan dapat dijadikan indikator kerusakan bubuk vanili. Dari hasil sidik ragam diketahui lama dan suhu penyimpanan serta interaksi antara lama dan suhu penyimpanan mempengaruhi aw bubuk vanili (Lampiran 37 dan Lampiran 40). Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap aw
bubuk vanili A dan B
menunjukkan hasil berbeda nyata antara penyimpanan minggu ke-0 dan ke-4
53
(Lampiran 38 dan Lampiran 41). Nilai aw bubuk vanili A dan B minggu ke-4 lebih besar dari minggu ke-0. Untuk bubuk vanili B yang disimpan pada suhu 55 o
C mengalami kenaikan aw terbesar, setelah penyimpanan selama empat minggu
memiliki nilai aw 0,540. Dari hasil pengukuran aw, diketahui adanya perubahan aw bubuk vanili setelah penyimpanan selama empat minggu (Gambar 19). Kenaikan nilai aw yang besar pada bubuk vanili yang disimpan pada suhu 55oC menyebabkan retensi vanilin paling rendah dibanding bubuk vanili yang disimpan pada suhu 30 o
C dan 4 oC. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Hustiany (2006), hasil
penelitiannya menunjukkan nilai aw produk flavor terenkapsulasi dengan pati terasilasi atau tersuksinilasi sebesar 0,57-0,59 menjadi komponen flavor mudah lepas dibandingkan apabila produk flavor terenkapsulasi dengan hidrolisat pati terasilasi atau tersuksinilasi dengan aw sebesar 0,49-0,56. 0,54 0,449 0,450
0,443
0,459 0,443
0,476 0,443
0,461 0,441 0,438 0,438 0,438
0,300
Aw 0,150
0,000 Suhu 4 oC Suhu 30 oC Suhu 55 oC Suhu 4 oC Suhu 30 oC Suhu 55 oC
A Minggu ke-0
B Minggu ke-4
Gambar 19 Nilai aw bubuk vanili A dan B pada minggu ke-0 dan minggu ke-4 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh suhu penyimpanan (4, 30 dan 55 oC) terhadap aw bubuk vanili A dan B menunjukkan hasil berbeda nyata (Lampiran 39 dan Lampiran 42).
Suhu dapat menyebabkan perubahan struktur bubuk,
54
perubahan struktur akan semakin meningkat dengan meningkatnya suhu (Whorton 1995). Dari penjelasan ini dapat diduga, perubahan struktur bubuk yang disebabkan karena pengaruh suhu, dapat menyebabkan perubahan nilai berbagai komponen termasuk nilai aw. Namun perlu penelitian lebih lanjut bagaimana suhu penyimpanan dapat mempengaruhi aw bubuk vanili. Menurut Soottitantawat et al. (2004), pada range aw tinggi, laju pelepasan komponen flavor dari produk terenkapsulasi (bubuk) cenderung meningkat. Hal ini disebabkan struktur bubuk mulai rusak.
Menurut Bayram et al. (2005),
kehilangan
tergantung
flavor
selama
penyimpanan
mempertahankan kesatuan struktur partikel bubuk.
dari
kemampuan
Itulah sebabnya mengapa
bubuk vanili yang disimpan pada suhu 55oC mengalami penurunan retensi vanilin terbesar. Hal ini karena struktur partikel bubuk telah mengalami kerusakan. Menurut Whorton dan Reineccius (1995) dalam Hustiany (2006), nilai aw yang tinggi akan menyebabkan molekul-molekul air yang berada di sekitar produk flavor terenkapsulasi berpenetrasi ke dalam partikel-partikel penyalut. Produk flavor terenkapsulasi mengalami hidrasi. Permukaan dinding penyalut menjadi “stress” dan membentuk kerak. Kondisi seperti ini merupakan awal dari collaps yang menyebabkan retensi flavor terenkapsulasi menurun serta flavor lepas dari dinding penyalut. Partikel-partikel produk flavor terenkapsulasi saling berdekatan dan teragglomerasi membentuk fully collaps. Proses hidrasi, awal collaps dan full collaps pada produk flavor terenkapsulasi dapat dilihat pada Gambar 20. Pada penelitian ini SEM digunakan untuk melihat penampakan luar dari bubuk setelah mengalami penyimpanan. Pengamatan penampakan luar dengan SEM ini seperti yang dilakukan oleh Soottitantawat et al. (2004). Dari hasil pengukuran SEM dapat dilihat, adanya perbedaan penampakan luar bubuk pada tiga tingkat suhu penyimpanan setelah penyimpanan minggu keempat (Gambar 21dan 22). Dari Gambar 21 dan 22 dapat dilihat penampakan luar bubuk vanili A dan B yang disimpan di suhu 55oC, 30 oC dan 4 oC. Pada penyimpanan suhu 55oC (Gambar 21a dan 22a), struktur bubuk vanili mengalami kerusakan, partikelpartikel bubuk vanili berdekatan, beragglomerasi dan bersatu sama lain. Demikian juga dengan partikel bubuk vanili yang disimpan di suhu 30oC (Gambar
55
21b dan 22b), adanya partikel-parikel bubuk vanili yang mulai berdekatan dan menyatu sama lain tetapi tidak sebanyak yang disimpan di suhu 55oC. Partikel bubuk vanili yang disimpan di suhu 4oC (Gambar 21c dan 22c) belum mengalami kerusakan struktur.
Perubahan aw menyebabkan kerusakan struktur partikel
bubuk, Selama struktur kapsul utuh, retensi volatil dapat dipertahankan (Soottitantawat et al. 2005).
HIDRASI
H 2O
H 2O
H2 O H 2O
AWAL “COLLAPS”
Flavor
Flavor
Flavor
“FULL COLLAPS”
Gambar 20 Proses hidrasi, awal “collaps” dan ‘full collaps” pada produk flavor terenkapsulasi (2006)).
(Whorton dan Reineccius (1995) dalam Hustiany
56
5 kV
X3.500
5 μm
230811
5 kV
5 μm
X3.500
(a)
230814
(b)
5 kV
5 μm
X3.500
230813
(c)
Gambar 21 Penampakan luar bubuk vanili dengan penyalut maltodektrin setelah penyimpanan minggu keempat. (a). Suhu 55 oC, (b). Suhu 30 oC dan (c). suhu 4 oC. Perbesaran 3500x, 1 bar = 5 μm
57
5 kV
5 μm
X3.500
230817
5 kV
5 μm
X3.500
(a)
230818
(b)
5 kV
5 μm
X3.500
230819
(c) Gambar 22 Penampakan luar bubuk vanili dengan penyalut maltodektrin dan pati modifikasi Flomax 8 (2 : 1) setelah penyimpanan minggu keempat. (a). Suhu 55 oC, (b). Suhu 30 oC dan (c). suhu 4 oC. Perbesaran 3500x, 1 bar = 5 μm Kestabilan komponen flavor terenkapsulasi selama penyimpanan dan distribusi dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya adalah aw
(Whorton dan
Reineccius 1995 dalam Hustiany 2006; Soottitantawat et al. 2004) dan suhu (Soottitantawat et al.
2005).
Menurut Hustiany (2006), stabilitas retensi
komponen flavor selama penyimpanan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya adalah suhu, aw, jenis komponen flavor dan jenis penyalut. Pada penelitian ini terlihat bahwa suhu dan aw mempengaruhi retensi vanilin selama
58
penyimpanan.
Faktor
suhu
diduga
merupakan
mempengaruhi retensi vanilin selama penyimpanan.
faktor
dominan
yang
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa suhu berpengaruh nyata terhadap nilai aw bubuk vanili selama penyimpanan. Dari hasil perhitungan waktu paruh, diketahui waktu paruh terbesar dari bubuk vanili yang disimpan pada suhu rendah yaitu hanya sekitar tiga bulan. Pada penelitian ini selama penyimpanan bubuk vanili disimpan pada botol kaca bertutup.
Berdasarkan perhitungan waktu paruh, perlu dipilih alternatif
pengemasan yang lain yang dapat memberikan perlindungan maksimal. Menurut Gilbertson (1971), untuk mengurangi kehilangan komponen volatil,
produk
enkapsulasi disimpan dalam kondisi dingin dalam wadah kedap udara. Pemberian kemasan sekunder atau tersier dapat memperpanjang umur simpan produk.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil penelitian menunjukkan jenis dan komposisi penyalut yang berbeda menghasilkan aw, kelarutan dan kadar vanilin yang bervariasi dari produk bubuk vanili. Dua penyalut yang memberikan sifat terbaik pada parameter yang diamati dari penelitian pemilihan bahan penyalut adalah penyalut maltodekstrin dan kombinasi maltodekstrin dengan pati tapioka termodifikasi Flomax 8 (2 : 1). Jenis penyalut, konsentrasi bahan penyalut dan rasio ekstrak vanili dengan penyalut berpengaruh nyata terhadap rendemen, kadar vanilin dan recovery vanilin bubuk vanili.
Bubuk vanili dengan penyalut maltodekstrin dan pati
tapioka termodifikasi Flomax 8 (2 : 1) menghasilkan rendemen, kadar vanilin dan recovery vanilin lebih tinggi dibanding bubuk vanili dengan penyalut maltodekstrin saja. Kadar vanilin bubuk vanili tertinggi pada konsentrasi paling besar (30%), semakin besar rasio ekstrak terhadap penyalut, kadar vanilin semakin besar. Konsentrasi penyalut sampai 30% meningkatkan recovery vanilin bubuk vanili.
Semakin kecil rasio ekstrak vanili dengan penyalut semakin besar
recovery vanilin bubuk vanili.
Rasio ekstrak vanili dengan penyalut 3 : 2
memberikan recovery vanilin bubuk vanili yang lebih besar dibandingkan rasio 2 : 1 dan 3 : 1. Jenis penyalut berpengaruh nyata terhadap kelarutan bubuk vanili. Bubuk vanili
dengan
penyalut
maltodekstrin
memiliki
kelarutan
lebih
tinggi
dibandingkan dengan bubuk vanili dengan penyalut maltodekstrin dan pati tapioka termodifikasi Flomax 8 (2 : 1). Konsentrasi penyalut dan rasio ekstrak vanili terhadap penyalut tidak berpengaruh nyata terhadap kelarutan. penyalut,
Jenis
konsentrasi penyalut dan rasio eksrak vanili dengan penyalut tidak
berpengaruh terhadap aw bubuk vanili yang dihasilkan. Pola
retensi
vanilin
pada
bubuk
vanili
selama
penyimpanan
memperlihatkan kecenderungan menurun dengan semakin lama penyimpanan. Suhu dan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap retensi vanilin dan aw bubuk vanili selama penyimpanan. Berdasarkan persamaan Avrami, penurunan
60
retensi vanilin paling besar terjadi pada suhu 55oC, diikuti oleh suhu 30oC dan 4oC.
Berdasarkan uji akselerasi menggunakan persamaan Arrhenius,
laju
penurunan retensi vanilin bubuk vanili A lebih cepat dibanding laju penurunan retensi vanilin bubuk vanili B. Dari perhitungan waktu paruh, diketahui waktu paruh bubuk vanili A dan B memiliki nilai waktu paruh cukup singkat yaitu kurang dari 3 bulan. Bubuk vanili A yang disimpan pada suhu 4°C, 30°C dan 55°C memiliki waktu paruh 11.47, 7.65 dan 6.52 minggu. Bubuk vanili B yang disimpan pada suhu 4°C, 30°C dan 55°C memiliki waktu paruh 11.87, 10.93 dan 6.88 minggu.
Saran Pada penelitian ini, konsentrasi vanilin yang disalut masih rendah sehingga aroma khas vanili dari bubuk vanili masih kurang tercium. Ekstrak vanili yang lebih pekat diperlukan untuk mendapatkan konsentrasi vanilin yang lebih tinggi. Untuk mendapatkan ekstrak vanili dengan konsentrasi vanilin lebih tinggi perlu dicoba teknik ekstraksi yang lain misalnya ekstraksi superkritikal (supercritical extraction). Selain itu perlu dilakukan uji organoleptik menggunakan panelis terlatih untuk memberikan penilaian sensori terhadap bubuk vanili yang dihasilkan dan juga dilakukan penelitian aplikasi bubuk vanili pada berbagai produk pangan.
DAFTAR PUSTAKA
Aguilera J.M. 1999. Microstructural Principles of Food Processing and Engineering. Second Edition. Aspen Publisher, Inc.Gaithersburg. Aini N. 2001. Mikroenkapsulasi β-karoten ekstrak buah dan tepung labu kuning (Curcubita moschata). Thesis Program Pasca Sarjana. Yogyakarta : UGM. Almatsier S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Amrita K, Dabur RS, Kapoor CM. 1999. Application of microencapsulation technology in dairy industry. Indian Food Industry 18 : 57–64. Anonim. 2003. Budidaya Panili. http://www.sptn.or.id/article.php.[Pebruari 2006] Anonim. 2005. The Legend of Panili. http://www.panili.com/html/products.html. [Pebruari 2006] Apintanapong M, Noomhorm A. 2003. The use of spray-drying to microencapsulate 2-acetyl-1-pyrroline, a major flavour component of aromatic rice. International J. Food Sci & Technol 38 : 95–102. Arpah, 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluarsa Produk Pangan. Program Studi Ilmu Pangan, Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Arvillal.2001.Panili Extract Recipes. http://www.cyber kitchen.com/ubbs/archive/MIXES/.html. [Pebruari 2006] Arvisenet G, Le Bail P, Voilley A, Cayot N. 2000. Influence of physicochemical interactions between amylase and aroma compounds on the retention of aroma in food-like matrices. J. of Agric. Food Chem. 50 : 7088–7093. Augustin MA, Sanguansri L, Margetts C, Young B. 2001. Microencapsulation of food ingredients. Food Australia 53 : 220–223. Bangs, W.E., and Reineccius, G.A. 1990. Characterization of selected material for lemon oil encapsulation by spray drying. J. Food Sci., 55, 1356-1358. Bayram, O. A. Bayram M & Tekin A. R. 2005. Spray drying of sumac .avour using sodium chloride, sucrose, glucose and starch as carriers. Journal of Food Engineering 69. 253–260. Beristain, C.I., Mendoza, R.E., Garcia, H.S. & VernonCarter, E.J. 1996. Encapsulation of orange peel oil by crystallization. LebensmiitelWissenschaft undTechnologie, 29, 645-647.
62
Bhandari BR, E D Dumoulin, H M J Richartd, I Nouleau, dan A M Lebert. 1992. Flavor encapsulation by spray drying : application to citral and linalyl acetate. J. of Food Sci. 57 (1): 217-221. Boutboul A, Giampaoli P, Feigenbaum P, Ducruet V. 2002. Influence of the nature and treatment of strach on aroma retention. Carbohydrate Polymers 47 : 73-82. Brazel, C. S. 1999. Microencapsulation: offering solution for the food industry. Cereal Foods World, 44, 388-393. Buffo R, Reineccius GA. 2000. Optimization of gum acacia/modified starches/maltodextrin blends for the spray drying of flavours. Perfumer & Flavorist 25 : 37–49. Burdock AG. 1997. Enclopedia of Food and Color Additives. Vol I & III. Nirginia : CRC Press, Inc. Reston Cai, Y. Z., Corke . H. 2000. Production and properties of spray dried amaranthus betacyanins pigments. Journal of Science, 65, 1248-1252. Cheetam P S J. 2002. Plant-Derived Natural Sources of Flavours. Di dalam Taylor A J. 2002. Food Flavour Technology. CRC Press. UK. Che Man Y.B, Irwandi J., Abdullah W.J.W. 1999. Effect of different types of maltodextrin and drying methods physico-chemical and sensory propperties of encapsulated durian flavor. J.Sci.Food.Agric.79: 1075-1080. Cho YH, Park J. 2002. Characteristics of double-encapsulated flavor powder prepared by secondary coating proses. J. Food Sci 67 (3): 968-72. Clarke P. 2000. Spray Drying. Food Sci Australia, Australia. Crouzet, J. 1998. Aromes alimentaries. Agroalimentaire F 4100, 1-16, Paris.
In : Techniques de l’ingenieur,
Departemen Pertanian. 2004. Statistik Perkebunan Indonesia. Panili, Direktorat Jendral Bina Produksi Perkebunan. Jakarta. Desai, K. G. H & H. J. Park. 2005. Recent Developments in Microencapsulation of Food Ingredients. Drying Technology, 23: 1361-1394. Seoul. Korea Selatan. Dziezak, J. D. 1988. Microencapsulation and encapsulation ingredient. Food Technology, 42, 136-151. Ferris S, Munganga A, Matovu R, Kolijn S, Hagenimana V, Karuni E. 2001. Marketing Opportunities for Starch and High Quality Flour Production from
63
Cassava and Sweetpotato in Uganda. Resource and Crop Management, Research Monograph No.29 : 88. Gadet, M. D, J.M. Nzikou, A. Etoumongo, M. Linder, S. Desobry. 2005. Encapsulation and storage of safou pulp oil in 6DE maltodextrins. Process Biochemistry 40. 265–271. Brazzaville, Congo. Gilbertson, G. 1971. Oleoresin as flavor ingredients. The Flavour Industry, 43, 403-405. Goubet, I., Le Quere, J.L. & Voilley, A. 1998. Retention of aroma compounds by carbohydrates: influence of their physicochemical characteristics and of their physical state. Journal of agricultural of Food Chemistry, 48, 19811990. Guzman CC, Siemonsma JS. 1999. Plant Resources of South-East Asia. Spice. Porsea. Bogor. Havkin D, Frenkel. 2004. Interrelation of curing and botany in panili (Panili planifolia) bean. Proc.XXVI IHC-Future for Medicinal & Aromatic Plants. Cant. Int. Dev. Agency (CIDA) Heinzen C. 2002. Microencapsulation solve time dependent problems for foodmakers. European Food and Drink Review 3 : 27–30. Hustiany R. 2006. Modifikasi Asilasi dan Suksinilasi Pati Tapioka sebagai Bahan Enkaapsulasi Komponen Flavor. Disertasi. Bogor : IPB. Jeon YJ, Vasanthan T, Temelli F, Song BK. 2002. The suitability of barley and corn starches in their asli and chemically modified forms for volatile meat flavor encapsulation. Food Research International 36 : 349–355 Jobling S. 2004. Improving starch for food and industrial applications. Current Opinion in Plant Biology 7 : 210–218 Kenyon, M.M. 1995. Modified starch, maltodextrin, and corn syruops solids as wall material for food encapsulation. Di dalam Risch, S.J. dan G.A. Reineccius (Eds.). Encapsulation and Controlled Release of Food Ingredients. ACS, Washington. Ketaren, S. dan Suastawa I. G. M. 1994. Pengaruh tingkat mutu buah panili (Vanilla planifolia A.) dan nisbah bahan dengan pelarut terhadap rendemen dan mutu oleoresin yang dihasilkan. Jurnal teknologi Industri Pertaanian. Vol 5(3). Hal 161-171. Fateta. IPB. Bogor. King, A.H. 1995. Encapsulation of food ingredients. A review of available technology, focusing on hydrocolloids. Di dalam Risch, S.J. dan G.A.
64
Reineccius (Eds.). Encapsulation and Controlled Release of Food Ingredients. American Chemical Society, Washington, D.C. Krishnan S, Bhosale R., Singhal RS. 2005. Microencapsulation of cardamom oleoresin: Evaluation of blends of gum arabic, maltodextrin and a modified starch as wall materials. Carbohydrate Polymers 61 : 95–102 Kuentz M, Egloff P, Ro¨thlisberger D. 2005. A technical feasibility study of surfactant-free drug suspensions using octenyl succinate-modified starches. Europ J of Pharmaceutics and Biopharmaceutics : 1–7. Liu Z-q, Zhou J-h, Zeng Y-l, Ouyang X-l. 2004. The enhancement and encapsulation of Agaricus bisporus flavor. J of Food Engineering 65 : 391– 396. Madene A, Jacquot M., Scher J, Desobry S. 2006. Flavour encapsulation and controlled release – a review. International J of Food Sci and Technol 41 : 1–21 Ma’mun, Laksanahardja. 1998. Oleoresin Panili dalam Monograf Panili. Balitro Bogor. Mattjik AA, Sumertajaya M. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Jilid I. Bogor : IPB Press. McNamee, B.F., O’Riodan, E.D., & O’Sullivan, M. 1998. Emuldification and microencapsulation properties of gum arabic. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 46, 4551-4555. Medikasari .1998. Mempelajari Pengaruh Konsentrasi dan Nisbah Bahan Matriks serta Penyimpanan Terhadap Retensi Komponen Flavor Terenkapsulasi. Tesis. Bogor : IPB. Melawati. 2006. Optimasi Proses Maserasi Panili (Vanilla planifolia Andrews) Hasil Modifikasi Proses Kuring. Skripsi. Bogor. Fateta-IPB. Mongenot N, Charrier S, Chalier P. 2000. Effect of Ultrasound Emulsification on Cheese Aroma Encapsulation by Carbohydrates. J. Agric. Food Chem. 48 : 861-867. Murphy, P. 2000. Starch. Di dalam G.O. Phillips dan P.A. Williams (Eds.). Handbook of Hydrocolloids. Woodhead Pub. Lim., Inggris. Mustika L. 1998. Mikroenkapsulasi Asam Lemak Omega-3 dari Minyak Limbah Pengalengan Ikan Lemuru (Sardinella lemuru) dengan Metode Koaservasi Kompleks. Skripsi Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian. Bogor : IPB.
65
Mutka, J.R. & Nelson, D.B. 1988. Preparation of encapsulated flavors with high flavor level. Food Technology, 42, 154-157. National Starch. 2006. Food Innovation. http://www.foodinnovation.com. [Mei 2006] Partanen R, Ahro M, Hakala M, Kallio H, Forssell P. 2002. Microencapsulation of caraway extract in beta cyclodextrin and modified starhes. European Food Research and Tech. 214 (3) : 242-247. Purseglove, J. W., Brown, Green, dan Robbins. 1981. Spices Vol 2. Longman. London. Qi ZH, Xu A. 1999. Starch based ingredients for flavour encapsulation. Cereal Foods World 44 ( 7) : 460–465. Rao SR, Ravishankar, GA. 2000. Review : Panili Flavour : Production by Convensional and Biotechnological Routes. Journal Science Food Agric 80 : 289-304. Reineccius, G.A. 1989. Spray drying of food flavors. In “flavor Encapsulation”, eds. Risch, S. J., and Reineccius, G.AA., Washington DC, Aamerican Chemical Society, pp. 55 -66 Reineccius, G. A. 1991. Carbohydrates foor flavor encapsulation. Technology, 4, 144-147.
Food
Re-MI. 1998. Microencapsulation by spray-drying. Drying Technol 16 : 1195– 1236. Richard J, Benoıˆ t, JP. 2000. Microencapsulation. In: Techniques de l’ingenieur. J. 2210, 1–20. Paris : Techniques de l’ingenieur. Rismunandar, Sukma ES. 2003. Bertanam Panili. Jakarta : Penebar Swadaya. Robertson, G. L. 1993. Food Packaging. New York : Marcel Dekker, Inc. Rosenberg, M., I. J. Kopelman, dan Y. Taalmon. 1990. Factors affecting retention in spray-drying microencapsulation of volatile materials. J. Agric. Food Chem. 38:1288-1294. Ruhnayat, A. 2001. Budidaya Tanaman Panili (Vanili planifolia Andrews). Balitro. Bogor. Sajuti R, Ilham, Swastika, Sughartini, Elizavet, Prasetyo. 2002. Analisis Penawaran dan Permintaan Komoditas Lada dan Panili. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
66
Setyaningsih D, Soehartono MT, Apriantono A, Mariska I. 2003. Peranan Aktivitas Enzim β-Glukosidase pada Pembentukan Flavor Panili Selama Proses Curing. Ringkasan Hasil Penelitian Hibah Bersaing Tahun 2003. Hal 56-58. Bogor : IPB. Setyaningsih D. 2006. Peranan Aktivitas Enzim β-Glukosidase pada Pembentukan Flavor Panili Selama Proses Kuring. Ringkasan Disertasi. Bogor : IPB. Shiga H, Yoshii H, Nishiyama T. 2001. Flavor encapsulation and release characteristics of spray-dried powder by the blended encapsulant of cyclodextrin and gum arabic. Drying Technol 19 : 1385–1395. Sofyaningsih, M. 2007. Stabilitas retensi vanillin pada produk ekstrak pekat daan pasta vanili selama penyimpaanan. Tesis Bogor : IPB Soottitantawat A, Yoshii H, Furuta T, Ohkawara M, P Forsell dan R. Partanen. 2004. Effect of water activity on the release characteristics and oxidative stability of D limonene encapsulated by spray drying J of Agric Food Chem. 52:1269-1276. Soottitantawat , A., K. Takayama, K. Okamura, D. Muranaka, H. Yosshi, T. Furuta, M. Ohkawara dan P. Linko. 2005. Microencapsulation of lmenthol by spray drying and its release characteristics. Innovative food sci. and Emerging Tech. 6: 163-170. Suwandi A, Yuni S. 2004. Pengolahan dan Pemasaran Vanili. Jakarta : Penebar Swadaya. Takeji F, Thosie N. 2000. Production http://v3espanet.com/txtcoc.DB . [Pebruari 2006]
Panili
Extract.
Tari TA, Singhal RS. 2002. Starch based spherical aggregates: reconfirmation of the role of amylose on the stability of a model flavouring compound, vanillin. Carbohydrates Polymers 50 : 279–282. Teixeira MI, Andrade LR, Farina M, Rocha-Lea o, M.H.M. 2004. Characterization of short chain fatty acid microcapsules produced by spray drying. Materials Sci and Engineering C 24 : 653–658. Thomas D J, Atwell WA. 1999. Starches. Saint Paul, Minnesota : Eagan Press. Usha R, Pothakamury UR. 1995. Fundamental aspects of controlled release in foods. Trends in Food Sci and Technol 6 (12) : 397–406. Voiley , A., and Simatos, D. 1980. Retention of aroma during freeze and air drying. In “Food Process Engineering”. Eds. Linko, P., Malkki, Y., Olkku, J. and Larinkari, J., Applied Sciences, London, pp. 371-384.
67
Whorton C dan G A Reineccius.1995.Encapsulation and Controlled Release of FoodIngredients. ACS, Washington. Wilbraham A.C. dan Matta M.S. 1992. Pengantar Kimia Organik dan Hayati. Terjemahan Suminar A. Penerbit ITB. Bandung. Wurzburg OB. 1986. In O.B. Wirzburg, Modified Starches: properties and uses (p 41-53). Boca Raton, FL : CRC Press. Yoshii H, Soottitantawat A, Liu XD. 2001. Flavor release from spray-dried maltodextrin/gum arabic or soy matrices as a function of storage relative humidity. Innovative Food Science and Emerging Technologies 2 : 55–61. Young S.L., X. Sarda, and M. Rosenberg. 1993. Microencaptulating Propeerties of Whey Proteins. J. Dairy Sci. 76: 2878-2885. Zeller BL, Saleeb FZ, Ludescher RD. 1999. Trends in development of porous carbohydrate food ingredients for use in flavor encapsulation. Trends in Food Sci & Technol 9 : 389-394.
68
Lampiran 1 Gambar proses kuring vanili ½ kering modifikasi (Setyaningsih 2003)
(A)
(F)
(G)
(B)
(E)
(C)
(D)
(H)
(I)
(J)
Keterangan : (A) Vanili segar, ((B) Penyayatan (Scratching) min 3 garis longitudinal/buah (C) Perendaman dengan larutan sistein 1 mM dan butanol 0.3 M, 2 jam (D) Vanili hasil penirisan, (E) Pelayuan (Scalding), 40 oC, 30 menit (F) Vanili hasil penirisan, (G) Pembungkusan vanili dengan kain hitam (H) Pemeraman (Sweating) selama 24 jam (I) Pengeringan, 40 oC, 3 jam (J) Vanili ½ kering
69
Lampiran 2 Gambar proses ekstraksi vanili (Melawati 2006)
(A)
(D)
(B)
(E)
(C)
(F)
Keterangan : (A) Vanili ½ kering (B) Vanili ½ kering dipotong 0,2 - 0,5 cm (C) Larutan etanol 60% : air (7 : 3) dan sukrosa untuk merendam vanili ½ kering (D) Proses perendaman vanili ½ kering selama 16 hari (E) Penyaringan (F) Ekstrak vanili
70
Lampiran 3 Kurva standar vanilin
10
KadarVanilin (ppm
8 6 4 2 0 0
0,1
0,2
0,3
0,4
Absorbansi Kurva Standar Vanilin
Y 2
R
= 14,925X + 0,2689 = 0,9925
Lampiran 4 Contoh produk bubuk vanili hasil penelitian
0,5
0,6
71
Lampiran 5 Sidik ragam aw penelitian tahap II Source
DF
Model 4 Error 10 Corrected Total 14
Sum of Squares 0.00346227 0.00333667 0.00679893
Mean Square F Value 0.00086557 0.00033367
R-Square
C.V.
Root MSE
aw Mean
0.509237
3.968687
0.01826655
0.46026667
2.59
Pr > F 0.1010
Lampiran 6 Uji beda Duncan aw penelitian tahap II Duncan Grouping
Mean
N
Perlakuan
A A A A A A A A A
0.47800
3
P2
0.47533
3
P5
0.46233
3
P3
0.44333
3
P1
0.44233
3
P4
Lampiran 7 Sidik ragam kadar vanilin penelitian tahap II Source
DF
Sum of Squares
Model
4
0. 762.62110667
0.1906552766
Error
10
0.30765633333
0.4307656333
Corrected Total 14
l.07027744000
R R-Square 0.150410
C.V. 3.564957
Mean Square F Value
Root MSE
Van Mean
20.75489420
582.19200000
0.44
Pr > F 0.7755
72
Lampiran 8 Uji beda Duncan kadar vanilin penelitian tahap II Duncan Grouping
Mean
N
Perlakuan
A A A A A A A A A
1.508
3
P2
1.500
3
P4
1.482
3
P5
1.477
3
P1
1.471
3
P3
Lampiran 9 Sidik ragam kelarutan penelitian tahap II Source
DF
Sum of Squares
Mean Square F Value
Model
4
5431.52632308
1357.88158077 310.74 0.0001
Error
8
34.95880000
Corrected Total 12
5466.48512308
R-Square
C.V.
0.993605
3.448660
Root MSE 2.09041862
Pr > F
4.3698500
KelarutanMean 60.61538462
Lampiran 10 Uji beda Duncan kelarutan penelitian tahap II Duncan Grouping
Mean
N
Perlakuan
A
90.280
1
P1
B
78.430
3
P4
C
67.583
3
P5
D
59.867
3
P3
E
26.693
3
P2
Lampiran 11 Sidik ragam rendemen penelitian tahap III Source
DF
Model 17 Error 18 Corrected Total 35
Sum of Squares
Mean Square F Value
Pr > F
661.64041389 56.42735000 718.06776389
38.92002435 12.42 3.13485278
0.0001
73
R-Square 0.921418
Source
C.V. 6.985266
DF
JP 1 KONS 2 JP*KONS 2 RASIO 2 JP*RASIO 2 KONS*RASIO 4 JP*KONS*RASIO 4
Root MSE 1.77055155
Type I SS 33.77546944 436.10193889 0.86377222 154.49928889 4.31348889 25.69591111 6.39054444
RNDMN Mean 25.34694444
Mean Square 33.77546944 218.05096944 0.43188611 77.24964444 2.15674444 6.42397778 1.59763611
F Value 10.77 69.56 0.14 24.64 0.69 2.05 0.51
Lampiran 12 Uji beda Duncan jenis penyalut terhadap rendemen Duncan Grouping
Mean
N
JP
A
26.3156
18
P2
B
24.3783
18
P1
Lampiran 13 Uji beda Duncan konsentrasi terhadap rendemen Duncan Grouping
Mean
N
KONS
A
29.9183
12
K1
B
24.6417
12
K2
C
21.4808
12
K3
Lampiran 14 Uji beda Duncan rasio terhadap rendemen Duncan Grouping
Mean
N
RASIO
A
27.5758
12
R3
B
25.8792
12
R2
C
22.5858
12
R1
Pr > F 0.0041 0.0001 0.8722 0.0001 0.5153 0.1303 0.7294
74
Lampiran 15 Sidik ragam aw penelitian tahap III Source
DF
Sum of Squares
Mean Square F Value
Pr > F
Model
17
0.00069300
0.00004076
0.9960
Error
18
0.00280900
0.00015606
Corrected Total 35
0.00350200 Root MSE 1.80179155
0.26
R-Square 0.995175
C.V. 3.327903
Source
DF
JP
1
140.54102500
KONS
2
11582.51683889
JP*KONS
2
27.84021667
13.92010833
4.29 0.0300
RASIO
2
197.87077222
98.93538611
30.47 0.0001
JP*RASIO
2
10.61951667
5.30975833
1.64 0.2225
KONS*RASIO
4
71.25007778
17.81251944
JP*KONS*RASIO 4
22.68836667
5.67209167
Type I SS
VanMean 54.14194444 Mean Square F Value
140.54102500
43.29 0.0001
5791.25841944 1783.87
5.49
Duncan Grouping
Mean
N
JP
A
0.443889
18
P1
0.440111
18
P2
A
Lampiran 17 Uji beda Duncan konsentrasi terhadap aw Duncan Grouping
Mean
N
KONS
A
0.443417
12
K3
0.441583
12
K1
0.441000
12
K2
A A A A
0.0001
0.0046
1.75 0.1836
Lampiran 16 Uji beda Duncan jenis penyalut terhadap aw
A
Pr > F
75
Lampiran 18 Uji beda Duncan rasio terhadap aw Duncan Grouping
Mean
N
RASIO
A
0.443333
12
R2
0.442667
12
R1
0.440000
12
R3
A A A A
Lampiran 19 Sidik ragam kelarutan penelitian tahap III Source
DF
Sum of Squares
Mean Square F Value
Pr > F
Model
17
1051.05358056
61.82668121 114.37
0.0001
Error
18
9.73045000
Corrected Total 35
R-Square 0.990827
1060.784030
C.V. 0.877653
Source
0.54058056
Root MSE 0.73524183
KelarutanMean 83.77361111
DF
Type I SS
Mean Square F Value
Pr > F
JP
1
1047.70900278
KONS
2
0.69840556
0.34920278
0.65
JP*KONS
2
0.19020556
0.09510278
0.18 0.8401
RASIO
2
0.01153889
0.00576944
0.01 0.9894
JP*RASIO
2
0.14740556
0.07370278
0.14 0.8734
KONS*RASIO
4
1.29976111
0.32494028
0.60
JP*KONS*RASIO 4
0.99726111
0.24931528
0.46 0.7632
1047.70900278 1938.12 0.0001
Lampiran 20 Uji beda Duncan jenis penyalut terhadap kelarutan Duncan Grouping Mean N JP A
89.1683
18
P1
B
78.3789
18
P2
0.5359
0.6667
76
Lampiran 21 Uji beda Duncan konsentrasi terhadap kelarutan Duncan Grouping
Mean
N
KONS
A
83.9208
12
K3
83.8133
12
K1
83.5867
12
K2
A A A A
Lampiran 22 Uji beda Duncan rasio terhadap kelarutan Duncan Grouping A
Mean
N
RASIO
83.7933
12
R2
83.7775
12
R1
83.7500
12
R3
A A A A
Lampiran 23 Sidik ragam kadar vanilin penelitian tahap III Source
DF
Model 17 Error 18 Corrected Total 35 R-Square 0.998737
Sum of Squares
Mean Square
9.35404397 0.01175800 9.36601389
0.55025035 0.00065322
C.V. Root MSE 2.434206 256.30841007
Pr > F
842.36
0.0001
VAN Mean 10529.44638889
Source
DF
JP KONS
1 2
0.0075690 0.00756900 6.66569706 3.33284853
11.59 5102.17
0.0032 0.0001
JP*KONS
2
0.00218817 0.00109408
1.67
0.2152
RASIO
2
2.12464872 1.06232436
1626.28
0.0001
JP*RASIO
2
0.00058517 0.00029258
0.45
0.6459
KONS*RASIO
4
0.5518901
0.13797253
211.22
0.0001
0.00167767 0.00041942
0.64
0.6394
JP*KONS*RASIO 4
Type I SS
F Value
Mean Square
F Value
Pr > F
77
Lampiran 24 Uji beda Duncan jenis penyalut terhadap kadar vanilin Duncan Grouping A
Mean 1.067444
N 18
JP P2
B
1.038444
18
P1
Lampiran 25 Uji beda Duncan konsentrasi terhadap kadar vanilin Duncan Grouping
Mean
N
KONS
A
1.59117
12
K3
B
1.02975
12
K2
C
0.53792
12
K1
Lampiran 26 Uji beda Duncan rasio terhadap kadar vanilin Duncan Grouping
Mean
N
RASIO
A
1.37700
12
R3
B
0.98975
12
R2
C
0.79208
12
R1
Lampiran 27 Sidik ragam recovery vanilin Source
DF
Sum of Squares
Mean Square F Value
Pr > F
709.01922435 218.40
0.0001
Model
17
12053.32681389
Error
18
58.43615000
Corrected Total 35
12111.76296389
R-Square 0.995175
C.V. 3.327903
Root MSE 1.80179155
3.24645278
VanMean 54.14194444
78
Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
JP
1
140.54102500
KONS
2
11582.51683889
JP*KONS
2
27.84021667
RASIO
2
197.87077222
98.93538611
JP*RASIO
2
10.61951667
KONS*RASIO
4
JP*KONS*RASIO 4
140.54102500
Pr > F
43.29
0.0001
5791.25841944 1783.87
0.0001
13.92010833
4.29
0.0300
30.47
0.0001
5.30975833
1.64
0.2225
71.25007778
17.81251944
5.49
0.0046
22.68836667
5.67209167
1.75
0.1836
Lampiran 28 Uji beda Duncan jenis penyalut terhadap recovery vanilin Duncan Grouping A
Mean 56.1178
N 18
JP P2
B
52.1661
18
P1
Lampiran 29 Uji beda Duncan konsentrasi terhadap recovery vanilin Duncan Grouping
Mean
N
KONS
A
76.2408
12
K3
B
53.8783
12
K2
C
32.3067
12
K1
Lampiran 30 Uji beda Duncan rasio terhadap recovery vanilin Duncan Grouping
Mean
N
RASIO
A
57.0908
12
R1
B
53.9800
12
R2
C
51.3550
12
R3
79
Lampiran 31 Sidik ragam retensi vanilin bubuk vanili A selama penyimpanan Source LAMA ERROR LAMA SUHU LAMA*SUHU ERROR SUHU
Lampiran
DF 2 3 6 12 18
Type I SS 821.335 6.264 7772.121 265.770 4.062
Mean Square 410.6676 2.0879 1295.3540 22.1475 0.2257
F Value 196.68 5740.28 98.15
32 Uji beda Duncan suhu penyimpanan terhadap retensi vanilin bubuk vanili A selama penyimpanan
Duncan Grouping A
Mean 81.38214
N 14
Suhu T1
B
78.99214
14
T2
C
70.47786
14
T3
Lampiran
33 Uji beda Duncan lama penyimpanan terhadap retensi vanilin bubuk vanili A selama penyimpanan
Duncan Grouping
Mean
N
Lama
A
100.00
6
0
B
91.725
6
1
C
75.977
6
2
C
74.217
6
3
D
68.663
6
4
D
66.229
6
5
E
61.785
6
6
Lampiran 34 Sidik ragam retensi vanilin bubuk vanili B selama penyimpanan Source LAMA ERROR LAMA SUHU LAMA*SUHU ERROR SUHU
DF 2 3 6 12 18
Type I SS 821.3352 6.2639 7772.1210 265.7701 4.0619
Mean Square 410.6676 2.0879 1295.3540 22.1475 0.2257
F Value 196.68 5740.28 98.15
80
Lampiran
35 Uji beda Duncan suhu penyimpanan terhadap retensi vanilin bubuk vanili B selama penyimpanan
Duncan Grouping A
Mean 81.047
N 14
Suhu T1
B
74.874
14
T2
C
70.252
14
T3
Lampiran
36 Uji beda Duncan suhu penyimpanan terhadap retensi vanilin bubuk vanili B selama penyimpanan
Duncan Grouping
Mean
N
Lama
A
100
6
0
B
90.172
6
1
C
74.378
6
2
C
72.670
6
3
D
68.278
6
4
E
62.692
6
5
F
59.548
6
6
Lampiran 37 Sidik ragam aw bubuk vanili A selama penyimpanan Source
DF
Model 5 Error 6 Corrected Total 11
0.00175500 0.00002867 0.00178367
R-Square 0.983928 Source LAMA SUHU LAMA*SUHU
Sum of Squares
C.V. 0.483409
DF
Type I SS
1 2 2
0.00100833 0.00043143 0.00031524
Mean Square 0.00035100 0.00000478 Root MSE 0.00218581 Mean Square
F Value 73.47
Pr > F 0.0001
Aw Mean 0.45216667 F Value
0.00100833 211.05 0.00021571 45.15 0.00015762 32.99
Pr > F 0.0001 0.0002 0.0006
81
Lampiran 38 Uji beda Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap aw bubuk vanili A selama penyimpanan Duncan Grouping A
Mean 0.461333
N 6
LAMA L2
B
0.443000
6
L1
Lampiran 39 Uji beda Duncan pengaruh suhu penyimpanan terhadap aw bubuk vanili A selama penyimpanan Duncan Grouping
Mean
N
Suhu
A
0.464667
4
T3
B
0.449600
4
T2
B
0.446000
4
T1
Lampiran 40 Sidik ragam aw bubuk vanili B selama penyimpanan Source
DF
Model 5 Error 6 Corrected Total 11 R-Square 0.997410 Source LAMA SUHU LAMA*SUHU
Sum of Squares 0.01642800 0.00004267 0.01647067 C.V. 0.580552
DF
Type I SS
1 2 2
0.00546133 0.00657664 0.00439003
Mean Square
F Value Pr > F
0.00328560 462.04 0.00000711 Root MSE 0.00266667 Mean Square
0.0001
Aw Mean 0.45933333 F Value
0.00546133 768.00 0.00328832 462.42 0.00219502 308.67
Pr > F 0.0001 0.0001 0.0001
Lampiran 41 Uji beda Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap aw bubuk vanili B selama penyimpanan Duncan Grouping A
Mean 0.480667
N 6
LAMA L2
B
0.438000
6
L1
82
Lampiran 42 Uji beda Duncan pengaruh suhu penyimpanan terhadap aw bubuk vanili A selama penyimpanan Duncan Grouping
Mean
N
Suhu
A
0.505333
4
T3
B
0.447600
4
T2
C
0.439500
4
T1