Alfiandri, Harahap, SR. 2012:1 (1)
Kajian Kualitas Air di Sekitar Penambangan Pasir Laut Dusun Sungai Injap Kelurahan Terkul Kecamatan Rupat Kabupaten Bengkalis Alfiandri Alumni Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana Universitas Riau dan Pegawai Negeri Sipil Dinas Pertambangan Kabupaten Bengkalis
Syaiful Ramadhan Harahap Dosen Tetap Program Studi Budidaya Perikanan, Fakultas Pertanian Universitas Islam Indragiri Tembilahan
Study of Water Quality around The Sea Sand Mining at Dusun Sungai Injap Kelurahan Terkul Kecamatan Rupat District of Bengkalis
Abstract The research on water quality assessment around the sea of sand mining from Dusun Sungai Injap Kelurahan Terkul Kecamatan Rupat District of Bengkalis was carried out for three months (June to August 2011) using the survey method. Results showed that sand mining activities have an impact on water quality degradation based on the concentration parameter Brightness, Turbidity, TSS and Heavy Metals (Pb and Zn) which are not in accordance with quality standards Kep.Men.LH. No. 51 Tahun 2004. While the parameters of temperature, pH, COD and BOD5 was still at the threshold established quality standards. These results show that the sea sand mining activities have resulted in contamination in the surrounding waters of Dusun Sungai Injap Kelurahan Terkul Kecamatan Rupat District of Bengkalis. Required effort and control of marine sand mining activities of Local Government and the Office concerned, given the impacts of marine sand mining activities can be very harmful to people's lives around. The discovery of the concentration of heavy metals (Pb and Zn) in excess of standard quality and are very dangerous both for ecological and aquatic biota as well as very dangerous to the health of people who consume marine life that has been contaminated heavy metals. Keywords: mining activity, marine sand, water quality, heavy metal.
PENDAHULUAN
Pasir laut adalah salah satu sumber daya alam yang bersifat tidak dapat pulih (non renewable resource) yang telah lama dimanfaatkan dan akhir-akhir ini menjadi hal penting baik pada skala nasional maupun daerah. Pasir laut adalah bahan galian pasir yang terletak pada wilayah perairan Indonesia yang tidak mengandung unsur mineral golongan A atau B dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan (Keppres No. 33 Tahun 2002). Wilayah Kabupaten Bengkalis terdiri dari daratan dan pulau, serta kawasan perairan cukup luas. Potensi yang terkandung di kawasan perairan dan kelautan Kabupaten Bengkalis sangat melimpah, diantaranya sektor perikanan dan sumber daya alam (SDA) seperti migas dan sumber mineral lainnya seperti pasir laut. Pada dasarnya potensi ini menjadi penopang perekonomian masyarakat Kabupaten Bengkalis, khususnya masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya dari sektor kelautan dan perairan. Potensi pasir laut yang ada di Kabupaten Bengkalis di antaranya terdapat di perairan Pulau Rupat terutama di Kecamatan Rupat dan Kecamatan Rupat Utara dengan potensi cadangan sebesar 105.575.000 m3 untuk pasir laut dan 5.026.000 m3 untuk pasir pantai (Distamben Kabupaten Bengkalis, 2009). Potensi pasir laut dengan jumlah yang besar tersebut sebagian besar terdapat di kelurahan Tanjung Kapal Kecamatan Rupat dengan besaran potensi sebesar 42.000.000 m3 atau sebesar 39,78% dari potensi cadangan pasir laut di Pulau Rupat (Bappeda Kabupaten Bengkalis, 2010). Potensi pasir laut yang besar ini belum digali secara maksimal, hanya baru sebatas penambangan secara tradisional oleh masyarakat pesisir di kawasan itu dengan sitem sedot menggunakan pompa Domfeng dengan jumlah penambang berdasarkan mesin Domfeng yang digunakan yaitu sebanyak 9 orang (Distamben Kabupaten Bengkalis, 2009). Pemanfaatan maupun pengelolaan sumber daya alam (SDA) berupa pasir laut ini harus mempertimbangkan dampak lingkungan yang mungkin terjadi. Mengingat selama ini pengelolaan SDA terkadang mengabaikan aspek berkelanjutan dan dampak lingkungan. Akibatnya, menimbulkan degradasi mutu lingkungan yang berlangsung dalam waktu yang lama yang tentu saja akan menjadi harga mahal yang harus dibayar sebagai implikasi dari eksploitasi/penambangan pasir tersebut. Karena tidak dipungkiri akibat penambangan pasir laut yang tak terkendali, telah berpengaruh terhadap kerusakan lingkungan dan ekosistem biota laut. Aktivitas penambangan pasir laut di Rupat saat ini menimbulkan dilema, dari aspek ekonomi, masyarakat pesisir berupaya meningkatkan taraf hidup dengan cara menambang pasir. Tetapi sebaliknya jika dilihat dari sudut pandang aspek lingkungan, aktivitas penambangan pasir sangat berpotensi menurunkan kualitas perairan dan kerusakan ekosistem (biota) laut.
Kekhawatiran akan menurunnya kualitas perairan dan terdegradasinya ekosistem akibat dampak penambangan pasir laut ini sangat beralasan mengingat aktivitas penambangan pasir laut di kawasan Kepulauan Riau (Kepri) beberapa waktu lalu, mengakibatkan menurunnya kualitas air baik secara fisika, kimia maupun biologi, berkurangnya daerah penangkapan ikan dan hilangnya gugusan pulau-pulau kecil. Penambangan pasir laut menghasilkan debu-debu halus yang disebut debri dan akan mengikuti arus laut. Debri bisa berkelana hingga 20-30 mil jauhnya dan dapat menutupi terumbu karang, serta mengganggu kehidupan biota laut. Jelas sekali dampak debri ini pada hutan bakau, garis pantai, dan keberlangsungan terumbu karang. Jika terumbu karang rusak, dampaknya langsung ke populasi ikan dan akan berpengaruh pada pendapatan nelayan. Kerusakan paling nyata pada penambangan pasir laut di pulau Rupat adalah terjadinya abrasi pantai dan kekeruhan air laut. Terjadinya abrasi akan menyebabkan kerusakan ekosistem dan populasi hutan bakau serta hilangnya daerah asuhan ikan. Sementara itu, meningkatnya kekeruhan akan menyebabkan bermigrasinya populasi ikan dan rusaknya ekosistem terumbu karang (Delinom, 2004). Mengingat besar dan luasnya kemungkinan dampak yang ditimbulkan dari kegiatan penambangan pasir laut di Rupat Kabupaten Bengkalis, maka diperlukan sebuah kajian untuk mengetahui parameter apa saja yang telah mencemari perairan sekitar kegiatan penambangan pasir laut di perairan Dusun Sungai Injap Kelurahan Terkul Kecamatan Rupat sehingga dapat diketahui status kualitas perairan di sekitar lokasi penambangan pasir laut di perairan Dusun Sungai Injap Kelurahan Terkul Kecamatan Rupat ditinjau dari parameter fisika dan kimia perairan. Tujuan dilakukannya kajian ini adalah untuk memberikan gambaran dan informasi tentang dampak lingkungan yang terjadi akibat kegiatan penambangan pasir laut di perairan Dusun Sungai Injap Kelurahan Terkul Kecamatan Rupat Kabupaten Bengkalis dengan cara mengidentifikasi parameter apa saja yang telah mencemari perairan sekitar kegiatan penambangan pasir laut di perairan Dusun Sungai Injap Kelurahan Terkul Kecamatan Rupat Kabupaten Bengkalis sehingga diketahui gambaran mengenai status kualitas perairan di sekitar lokasi penambangan pasir laut di perairan Dusun Sungai Injap Kelurahan Terkul Kecamatan Rupat Kabupaten Bengkalis ditinjau dari parameter fisika dan kimia perairan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Juni hingga Agustus 2011 di perairan Dusun Sungai Injap Kelurahan Terkul Kecamatan Rupat. Dusun Sungai Injap Kelurahan Terkul Kecamatan Rupat dipilih sebagai lokasi penelitian karena memiliki potensi pasir laut yang sangat besar yaitu 42 juta m3 atau sebesar 39,78% dari total potensi pasir laut yang ada di Pulau Rupat. Besarnya potensi ini
tentu saja memicu kegiatan penambangan pasir laut yang saat ini telah dilakukan masyarakat sekitar yang jumlahnya cenderung terus bertambah, sehingga dikhawatirkan dapat berdampak terhadap menurunnya kualitas perairan disekitar Pulau Rupat. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel air, sampel sedimen pasir, aquades, H2SO4 pekat, larutan hydrogen peroksida (H2O2), HNO3, HgCl, dan HCl larutan standar Pb dan Zn. Alat yang digunakan dalam penelitian ini terbagi atas 2 (dua) yaitu : 1) alat yang digunakan dalam pengambilan dan pengukuran sampel di lapangan (in situ), 2) alat yang digunakan untuk analisis sampel di laboratorium (ex-situ). Alat yang digunakan dalam pengambilan dan pengukuran sampel in situ meliputi: GPS (Global Positioning System) merek Garmin untuk menentukan posisi stasiun pengamatan, pH meter merek Scott and myron L Multimeter II untuk mengukur derajat keasaman, thermometer raksa untuk mengukur suhu, secchi disk untuk mengukur kecerahan, Secci disk untuk mengukur kecerahan, kertas label, kemmerer water sampler kapasitas 1 liter untuk media penyimpanan air sampel dan coolpack sebagai media pendingin untuk menyimpan botol sampel yang berisi sampel air guna di analisis di laboratorium (ex-situ). Sedangkan alat yang digunakan untuk analisis sampel di laboratorium meliputi : gelas ukur, gelas beaker, pipet tetes, Freezer, timbangan analitik, alat pemanas (hot plate), labu takar, oven Atomic Adsorbtion Spectroscopy (AAS) merek Perkin Elmer 3110, buret untuk titrasi, shaker dan pengaduk. Analisis ex-situ untuk parameter fisika dan kimia dilakukan di Laboratorium Ekologi Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Sedangkan untuk sampel logam berat dilakukan di laboratorium jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Prosedur Penelitian Pengambilan sampel parameter fisika, kimia perairan ditetapkan secara purporsive (sengaja) dengan frekwensi pengambilan sampel sebanyak 1 (satu) kali ulangan pada 6 titik sampel yang terdiri atas 5 stasiun sampling kualitas air laut permukaan dan 1 stasiun sampling sedimen dasar. Pengambilan sampel air laut permukaan lebih diarahkan pada pusat-pusat kegiatan penambangan pasir di perairan. Sampel air yang diambil mengacu pada SNI 6989.57:2008 tentang Metoda Pengambilan Air Permukaan. Lokasi sampling adalah sebanyak enam (6) lokasi yang dianggap dapat mewakili hasil penelitian ini dengan keadaan yang sebenarnya, yaitu St. 1 (berada di muara), St. 2 (di perairan laut ± 200 meter dari St. 1 lokasi penambangan pasir laut), St. 3 (di perairan laut ± 200 meter dari St. 2 lokasi penambangan pasir laut), St. 4 (di perairan laut ± 400 meter dari St. 3), St. 5 (badan sungai ± 800 meter dari St. 4) dan St. 6 (Sedimen yang terdapat di pantai tempat penimbunan Pasir Laut). Untuk melihat keterkaitan antara prameter pencemar pada sedimen pasir dengan yang terdapat di perairan maka pada stasiun 2, 3 dan 4 yang merupakan pusat kegiatan penambangan pasir diambil juga sampel sedimen pasir.
Pengambilan sampel dilakukan pada sekitar pukul 9.00 hingga 11.00 WIB dimana rentang waktu tersebut intensitas kegiatan penambangan pasir yang dilakukan cenderung tinggi. Selanjutnya untuk pengamatan suhu, kecerahan, pH dilakukan langsung di lokasi sampling (in situ). Sedangkan sampel untuk parameter kekeruhan, TSS, BOD5, COD, logam berat Fe, Pb dan Zn dibawa ke laboratorium untuk dianalisis (ex-situ). Untuk mengatahui kondisi kualitas perairan Selat Rupat disekitar kegiatan penambangan pasir Dusun Sungai Injap, data-data yang diperoleh dibandingkan dengan baku mutu menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu yang diperuntukkan untuk biota laut.
HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter lingkungan yaitu pengukuran kualitas air di sekitar kegiatan penambangan pasir laut Dusun Sungai Injap yang dilakukan, meliputi parameter fisika, kimia dan logam berat. Parameter yang diukur antara lain Suhu, Kecerahan, Kekeruhan, TSS, pH, COD BOD5, logam berat (Fe, Pb dan Zn). Baku mutu menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 51 tahun 2004 untuk kehidupan organisme akuatik. Namun akibat kerusakan sensor AAS untuk parameter Fe maka pada penelitian ini logam Fe tidak terdeteksi. Hasil pengukuran kualitas air dan sedimen pada masing-masing lokasi penelitian disajikan pada pada Tabel 1 dan 2. Tabel 1. Kualitas Air Perairan Dusun Sungai Injap Sekitar Kegiatan Penambangan Pasir Parameter Satuan
1
2
Stasiun 3
4
5
Rerata
I. Parameter Fisika 0 Suhu C 30 30 30 30 30 30 Kecerahan Cm 60 50 50 65 70 59 Kekeruhan NTU 15 16 16,5 14,4 13 14,98 TSS mg/L 90 91 93 88 85 89,40 II. Parameter Kimia pH 8,5 8 8 8 8 8,10 COD mg/L 41,36 33,84 37,6 30,08 33,84 35,3440 BOD5 mg/L 13,8 13 13,6 13,6 12,18 13,2360 III. Logam Berat Perairan Pb mg/L 0,01368 0,01421 0,01705 0,01155 0,01048 0,0134 Zn mg/L 0,1575 0,2323 0,2953 0,1535 0,063 0,1803
Baku Mutu*) 28-32 300 <5 80 7-8,5 20 0,008 0,05
Tabel 2. Logam Berat yang Terkandung dalam Sedimen Pasir Dusun Sungai Injap No 1 2
Parameter Satuan Pb Zn
Keterangan :
mg/L mg/L *)
Stasiun Baku Rerata Mutu*) 2 3 4 6 0,0663 0,0694 0,0661 0,05888 0,0434 0,008 0,3231 0,3572 0,3124 0,2953 0,2147 0,05
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu yang diperuntukkan untuk biota laut
Berdasarkan hasil analisa dari parameter fisika, kimia dan logam berat perairan dan sedimen pada masing-masing stasiun pengamatan maka dapat diperoleh gambaran bahwa perairan Dusun Sungai Injap di sekitar lokasi kegiatan penambangan pasir laut telah mengalami penurunan kualitas perairan yang relatif besar bila merujuk pada Kep.Men.LH. No. 51. Tahun 2004 tentang baku mutu untuk kehidupan biota laut. Hal ini terlihat dari beberapa parameter yang kandungannya masih terlalu tinggi, melebihi batas kadar maksimum yang diperbolehkan. Parameter kualitas air yang tidak memenuhi ataupun melampaui baku mutu berdasarkan Kep.Men.LH. No. 51. Tahun 2004 di perairan Dusun Sungai Injap adalah parameter fisika berupa Kecerahan, Kekeruhan, TSS dan parameter kimia berupa DO dan Logam Berat (Pb dan Zn). Penurunan kualitas perairan pada masing-masing stasiun pengamatan relatif berfluktuasi antara stasiun yang satu dengan stasiun lainnya. Kecuali untuk parameter suhu yang menunjukkan nilai yang seragam yaitu 300C. Seragamnya suhu dalam penelitian ini tidak terlepas dari sifat laut tropik yang memiliki massa air permukaan yang cenderung hangat yang disebabkan oleh adanya pemanasan yang terjadi secara terus menerus sepanjang tahun. Pemanasan tersebut mengakibatkan terbentuknya stratifikasi di dalam kolom perairan yang disebabkan oleh adanya gradien suhu. Berdasarkan gradien suhu secara vertikal di dalam kolom perairan, Wyrtki (1961) menyatakan bahwa suhu permukaan perairan atau disebut juga lapisan permukaan tercampur pada laut tropik akan cenderung membentuk lapisan yang homogen. Hal ini analog dengan proses pengambilan sampel air untuk parameter suhu yang dilakukan pada permukaan perairan. Selain itu waktu pengukuran parameter suhu perairan yang dilakukan pada kisaran waktu yang hampir sama yaitu antara pukul 09.00 – 11.00 wib juga sebagai faktor penyebab seragamnya suhu pada seluruh stasiun penelitian. Stasiun penelitian yang terletak pada lintang yang sama, sehingga menyebabkan radiasi yang diterima perairan sama di setiap stasiunnya juga merupakan faktor lainnya yang menyebabkan keseragaman suhu perairan. Hal ini sesuai dengan pendapat Dahuri et al dalam Purba (2005) yang menyatakan bahwa suhu perairan sangat dipengaruhi oleh radiasi matahari dan posisi matahari serta letak geologis, kondisi awan, proses interaksi air dan udara, kenaikan panas, penguapan dan hembusan angin. Kemungkinan adanya pengaruh dari kegiatan penambangan pasir terhadap keseragaman suhu dan relatif tingginya suhu permukaan perairan pada setiap
stasiun penelitian dapat dilihat dari nilai tingginya nilai kekeruhan dan TSS dan rendahnya kecerahan perairan. Tingginya nilai kekeruhan dan TSS dapat menyebabkan intensitas cahaya matahari tidak dapat menembus badan air dan hanya terkonsentrasi pada lapisan permukaan sehingga cenderung menyebabkan suhu lapisan permukaan menjadi lebih tinggi. Karena suhu perairan yang relatif tinggi juga dapat dipengaruhi oleh aktivitas antropogenik yang berasal dari kegiatan manusia berkaitan dalam hal ini yaitu kegiatan penambangan pasir. Karakteristik lokasi penelitian yang merupakan Selat yang relatif luas juga sebagai faktor pendorong terjadinya keseragaman suhu pada seluruh stasiun pengamatan. Hal ini didukung oleh pendapat Lapan (2003) yang menyatakan bahwa perairan yang relatif luas seperti selat cendrung memiliki suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan perairan sempit seperti sungai atau muara sungai karena interaksi perairan sempit dengan daratan lebih kuat daripada perairan luas. Hal ini analog dengan lokasi pengambilan sampel yang dilakukan di Selat Rupat yang relatif luas yaitu disekitar daerah penambangan pasir. Kecerahan pada setiap stasiun penelitian berkisar antara 50 – 70 cm. Dengan kecerahan terendah terdapat pada stasiun 2 dan 3 sedangkan kecerahan tertinggi terdapat pada stasiun 5. Rendahnya nilai kecerahan pada stasiun 2 dan 3 sangat terkait erat dengan kegiatan penambangan pasir laut yang dilakukan, dimana stasiun 2 dan 3 merupakan stasiun yang berada pada lokasi penambangan pasir laut. Sedangkan rendahnya nilai kecerahan pada stasiun 1 lebih disebabkan oleh transport sedimen dari hulu menuju hilir yang dibawa oleh sungai yang terdapat di Dusun Sungai Injap. Hal ini disebabkan oleh lokasi stasiun 1 yang berada pada muara sungai Dusun Sungai Injap. Dimana pada muara sungai terjadi proses turbulensi (pengadukan) antara air yang berasal dari daratan dengan air yang berasal dari laut yang menyebabkan rendahnya nilai kecerahan pada stasiun 1. Hal ini juga dapat dilihat dari tingginya nilai kekeruhan dan TSS di kedua stasiun ini. Proses penyedotan pasir laut yang dilakukan akan menyebabkan terjadinya pengadukan substrat dasar/sedimen sehingga terjadi suspensi substrat ke dalam kolom air. Nilai kecerahan pada lokasi penelitian akan berangsur-angsur tinggi sejalan dengan semakin jauhnya lokasi kegiatan penambangan pasir dengan lokasi pengambilan sampel seperti yang terlihat pada stasiun 5. Kecerahan sangat berkaitan erat dengan sinar matahari dan mempunyai arti penting dalam hubungannya dengan beraneka gejala termasuk penglihatan, fotosintesis dan pemanasan. Sinar matahari merupakan sumber energi bagi kehidupan jasad hidup di perairan. Sinar matahari sangat dibutuhkan oleh tumbuhan air untuk proses asimilasi. Terganggunya proses fotosintesis dan asimilasi dari tumbuhan air akan menyebabkan terganggunya produktifitas primer perairan yang tentunya juga akan berdampak kepada hilangnya sumber energi dari biota laut. Hilangnya sumber energi akan berdampak pada hilangnya sumberdaya biota disekitar kegiatan penambangan pasir yang tentunya akan merugikan perekonomian masyarakat nelayan dan hilangnya sumber asupan gizi masyarakat. Bila merujuk pada Kep.Men.LH. No. 51. Tahun 2004 tentang pedoman baku mutu air laut untuk biota, kecerahan yang diinginkan adalah lebih besar dari 3 m.
Maka kecerahan perairan diseluruh lokasi pengamatan tidak memenuhi baku mutu untuk produktifitas biota. Perairan Dusun Sungai Injap sekitar kegiatan penambangan pasir secara kasat mata terlihat berwarna kuning kecokelatan dan cenderung keruh. Air yang keruh lebih disebabkan adanya padatan tersuspensi dalam jumlah yang tinggi. Hal ini sebagai akibat adanya proses pengadukan sedimen dasar perairan akibat kegiatan penambangan pasir. Hal ini dapat dilihat dari tingginya nilai kekeruhan dan TSS pada stasiun 2, 3 dan 4 yang merupakan pusat kegiatan penambangan pasir laut. Selain itu tingginya nilai kekeruhan dan TSS yang tinggi juga disebabkan oleh transport sedimen dari hulu menuju hilir yang dibawa oleh sungai yang terdapat di Dusun Sungai Injap . Hal ini dapat dilihat dari tingginya nilai kekeruhan dan TSS pada stasiun 1, yaitu muara Sungai Dusun Sungai Injap. Proses turbulensi (pengadukan) antara air yang berasal dari daratan dengan air yang berasal dari laut di sekitar muara juga menjadi faktor penyebab tingginya nilai kekeruhan dan TSS pada stasiun 1. Pada saat pasang maupun surut, terjadi pertemuan dua massa air yang berbeda dan saling mendesak. Hal ini berdampak pada terjadinya turbulensi yang dapat menyebabkan terjadinya proses percampuran dua massa air yang berbeda salinitasnya. Penelitian ini juga menunjukkan adanya kecenderungan nilai kekeruhan dan TSS mulai dari lokasi sampling disekitar kegiatan penambangan pasir laut dan muara sungai (stasiun 1 sampai 4) dengan stasiun yang berada jauh dari kegiatan penambangan (stasiun 5). Kekeruhan pada seluruh stasiun penelitian menunjukkan angka yang relatif tinggi yaitu berkisar antara 13 – 16,5 NTU. Kekeruhan tertinggi terdapat pada stasiun 3 yang merupakan stasiun yang paling dekat dengan kegiatan penambangan pasir laut Dusun Sungai Injap. Sedangkan kekeruhan terendah terdapat pada stasiun 5 yang merupakan stasiun yang terjauh dari lokasi penambangan dan merupakan stasiun yang memiliki kedalaman yang paling dalam dibandingkan stasiun-stasiun penelitian yang lain. Bila merujuk pada baku mutu parameter kekeruhan menurut Kep.Men.LH. No. 51. Tahun 2004, maka kekeruhan perairan belum memenuhi baku mutu yang ditetapkan yaitu lebih kecil dari 5 NTU. Tingginya nilai kekeruhan pada stasiun 3 analog dengan tingginya nilai TSS dan berbanding terbalik dengan kecerahan pada stasiun ini. Dimana nilai TSS pada stsiun 3 ini mencapai 93 mg/L sedangkan kecerahan perairan hanya 50 cm. Tingginya nilai kekeruhan pada seluruh stasiun pengamatan sangat terkait erat dengan kegiatan penyedotan dan pencucian pasir laut dilokasi penambangan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya proses penyedotan pasir laut dengan menggunakan mesin domfeng telah menyebabkan terjadinya pengadukan substrat dasar dan tersuspensi ke dalam tubuh perairan. Proses pencucian pasir yang dilakukan di atas kapal pengumpul juga memperparah kekeruhan perairan. Dimana sisa air proses pencucian akan kembali masuk ke dalam perairan bersama substrat yang dibawanya. Selain itu kegiatan bongkar muat di pelabuhan Dumai dan intensitas pelayaran yang tinggi juga mempengaruhi dan memberikan kontribsi terhadap tingginya tingkat kekeruhan yang terjadi di Selat Rupat. Secara visual kekeruhan disekitar perairan Dusun Sungai Injap dapat dilihat dari warna perairan yang kuning kecoklatan dan cenderung bertekstur kasar. Sehingga dapat dipastikan
tingginya nilai kekeruhan pada perairan dominan disebabkan oleh kegiatan penambangan pasir. Kekeruhan yang tinggi tentunya akan menghambat intensitas cahaya matahari ke dalam perairan yang kemudian akan mengganggu proses fotosintesis dan asimilasi oleh produsen primer perairan. Terganggunya proses fotosintesis tidak hanya berpengaruh terhadap produktifitas primer perairan bahkan bisa berdampak kepada kematian biota secara massal akibat kekurangan oksigen akibat terganggunya proses fotosintesis. Kematian biota secara massal tentunya tidak hanya merugikan secara ekonomi tetapi juga berdampak pada ekologi akibat terganggunya rantai makanan. Analog dengan kekeruhan, nilai TSS pada seluruh stasiun pengamatan tergolong sangat tinggi yaitu berkisar 85 – 93 mg/L. Sama dengan parameter lainnya, nilai TSS tertinggi terdapat di stasiun 3 yaitu 93 mg/L. Sedangkan nilai TSS terendah terdapat di stasiun 5 yaitu 85 mg/L. Nilai TSS pada seluruh stasiun pengamatan dapat dipastikan berasal dari kegiatan penambangan pasir laut di perairan Dusun Sungai Injap. Hal ini dapat dibuktikan secara visual dan fisik, dimana apabila kita memasukkan tangan ke dalam perairan akan terasa butiran-butiran pasir halus dengan warna air kecoklatan. Hal ini sejalan dengan pendapat Effendi (2003) yang menyatakan bahwa Padatan tersuspensi total (total suspended solid) adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1 m) yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter pori 0,45 m. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasadjasad renik, yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Berangsur-angsur semakin rendahnya nilai TSS seiring dengan semakin jauhnya lokasi stasiun penelitian dengan lokasi penambangan pasir laut juga menjadi bukti bahwa kegiatan penambangan pasir laut telah berdampak pada penurunan kualitas lingkungan terutama parameter TSS. Merujuk pada baku mutu Kep.Men.LH. No. 51. Tahun 2004 untuk parameter TSS. Maka nilai TSS untuk seluruh stasiun pengamatan telah melebihi ambang batas yang ditetapkan untuk biota laut yaitu 80 mg/L. TSS (Total Suspended Solid) adalah semua zat padat (pasir, lumpur, dan tanah liat) atau partikel-partikel yang tersuspensi dalam air dan dapat berupa komponen hidup (biotik) seperti fitoplankton, zooplankton, bakteri, fungi, ataupun komponen mati (abiotik) seperti detritus dan partikel-partikel anorganik. TSSmerupakan tempat berlangsungnya reaksi-reaksi kimia yang heterogen, dan berfungsi sebagai bahan pembentuk endapan yang paling awal dan dapat menghalangi kemampuan produksi zat organik di suatu perairan. Tinggi rendahnya masukan TSS dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jumlah dan aktivitas di sepanjang perairan, kelerengan dan curah hujan (Harijogja et al, 2002). Penetrasi cahaya matahari ke permukaan dan bagian yang lebih dalam tidak berlangsung efektif akibat terhalang oleh TSS, sehingga fotosintesis tidak berlangsung sempurna. Sebaran TSS di laut antara lain dipengaruhi oleh masukan yang berasal dari darat melalui aliran sungai, ataupun dari udara dan perpindahan karena resuspensi endapan akibat pengikisan serta kegiatan penambangan (Permana, 1994).
Beberapa sumber dan komposisi beberapa partikulat pencemar yang umum berada di suatu perairan antara lain erosi tanah, lumpur merah dari pabrik aluminium oksida, padatan dari pencucian batubara, lubang tanah liat, kegiatan penimbunan sisa pengerukan, penyulingan pasir-pasir mineral, dan pabrik pencucian, kerikil dan kegiatan-kegiatan lainnya (Connel, 1995). Komposisi dan sifat partikulat pencemar dari erosi tanah berupa mineral tanah, pasir, tanah liat dan lumpur, sedangkan mineral sedimen, pasir, tanah liat, lumpur, detritus organik dihasilkan dari kegiatan penimbunan sisa pengerukan maupun penambangan. Menurut US-EPA (1972) pengaruh TSS sangat beragam, tergantung pada sifat kimia alamiah bahan tersuspensi tersebut, khususnya bahan toksik. Untuk zat padat tanpa bagian toksik yang nyata seperti tanah liat, pemisahan bahan tersuspensi serta penutupan oleh tanaman bentik dan hewan tidak bertulang belakang dapat menyebabkan angka kematian yang tinggi. Tanaman menderita abrasi dan kerusakan mekanik, hewan yang tidak bertulang belakang yang lebih kecil mati tercekik, dan hewan tidak bertulang belakang besar yang mempunyai insang akan mengalami penyumbatan pada alat penglihatan dan permukaan tubuh lainnya. Pengaruh yang berbahaya pada ikan, zooplankton, dan makhluk hidup lainnya pada prinsipnya adalah penyumbatan insang oleh partikel. Hasil penelitian Tarigan (2003) menunjukkan bahwa telur makhluk hidup air yang terdapat pada sedimen menderita angka kematian yang tinggi. Partikel terlarut juga dapat menyebabkan kematian pada telur non bentik dengan melalui penyerapan pada permukaan telur. Kedua pengaruh tersebut mengakibatkan penurunan aliran air dan oksigen terlarut ke dalam telur. Pengaruh keduanya terhadap perilaku ikan terjadi dalam bentuk penolakan ikan terhadap air keruh, hambatan makan dan peningkatan pencarian tempat terlindung. Selain itu kekeruhan juga mengurangi aktivitas dan mempengaruhi jalur migrasi ikan. Umumnya tingkat kekeruhan atau kecerahan suatu perairan sangat dipengaruhi oleh kandungan TSS. Pada perairan pantai, kekeruhan air sangat dipengaruhi oleh kontribusi suspensi dari sungai yang dibawa arus sepanjang pantai (longshore current). Selain itu dipengaruhi pengadukan gelombang terhadap sedimen pantai. Namun kandungan zat padat tersuspensi di perairan ini tampaknya sudah menyebabkan rendahnya tingkat kecerahan air laut karena adanya intervensi kegiatan penambangan pasir laut yang menyebabkan terjadinya proses pengadukan yang lebih besar. Nilai pH perairan pada seluruh lokasi pengamatan menunjukkan nilai yang cenderung sama yaitu 8. Kecuali pada stasiun 1 yang menunjukkan nilai pH 8,5. Jika merujuk pada baku mutu Kep.Men.LH. No. 51. Tahun 2004 untuk parameter pH. Maka nilai pH pada seluruh lokasi sampling penelitian menunjukkan kisaran yang relatif normal dan sesuai baku mutu yang ditetapkan yaitu 7 – 8,5. Nilai derajat keasaman (pH) suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan (Saeni, 1989). Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5 (Effendi, 2003). Air laut sebenarnya
mempunyai kemampuan untuk menyangga dan mencegah perubahan pH. Perubahan pH sedikit saja dari pH alami akan memberikan petunjuk terganggunya sistem penyangga. Hal ini dapat menimbulkan perubahan dan ketidakseimbangan kadar CO2 yang dapat membahayakan kehidupan laut. Ada 2 fungsi dari pH yaitu sebagai faktor pembatas, setiap organisme mempunyai toleransi yang berbeda terhadap pH maksimal, minimal serta optimal dan sebagai indeks keadaan lingkungan. Selanjutnya Nurdjanto (2000) menambahkan bahwa derajat keasaman di suatu perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain oleh aktifitas fotosintesis, suhu, anion, dan kation. Nilai pH sangat mempengaruhi proses bio-kimiawi perairan, misalnya porses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah dan akan terjadi peningkatan toksisitas logam pada pH rendah (Novotny dan Olem, 1994). Selain itu larutan yang memiliki nilai pH rendah dapat menjadi bersifat korosif. Hasil analisa pH pada seluruh lokasi pengamatan masih mendukung kehidupan biota perairan. Kisaran nilai konsentrasi COD pada masing-masing stasiun penelitian berkisar antara 30,08 – 41,36 mg/L. Sedangkan kisaran konsentrasi BOD5 pada seluruh stasiun pengamatan berkisar antara 12,18 – 13,8 mg/L. Jika merujuk pada Kep.Men.LH. No. 51. Tahun 2004 untuk biota laut maka parameter COD dan BOD5 pada seluruh stasiun pengamatan masih dibawah ambang batas yang ditentukan yaitu 80 mg/L untuk parameter COD dan 20 mg/L untuk parameter BOD5. Menurut Lee et al (1978) perairan yang mengandung BOD lebih dari 10 mg/l berarti perairan tersebut telah tercemar oleh bahan organik, sedangkan apabila dibawah 3 mg/l berarti perairan tersebut masih cukup bersih. Nilai BOD5 ini juga dapat bermakna adanya kemungkinan dominasi bahan-bahan pencemar toksik di Perairan Lobam yang dapat menghambat aktivitas mikroba perombak bahan organik. Pada perairan yang banyak mengandung bahan-bahan toksik dapat mengakibatkan nilai BOD5 yang diperoleh kurang akurat karena bahan-bahan toksik yang terdapat dalam air sampel dapat menghambat bahkan mematikan mikroorganisme perombak bahan organic (Effendi, 2003). Secara alamiah logam berat terdapat di seluruh alam, namun dalam kadar yang sangat rendah. Asal masuknya unsur logam berat kedalam perairan secara alami dibagi tiga antara lain a) berasal dari pantai termasuk sungai-sungai serta hasil pengikisan oleh gelombang dan pelapukan batuan, b) berasal dari lautan akibat aktivitas vulkanik yang berada di dalam laut, c) berasal dari atmosfir dalam bentuk partikel atau debu yang jatuh ke dalam laut (Bryan dalam Supriharyono, 2000). Ubbe (1992) menyatakan bahwa bahan pencemar logam berat dalam perairan dapat dipengaruhi oleh parameter oseanografi antara lain suhu, salinitas, pH, kecepatan arus, turbelensi dan gelombang. Peningkatan kandungan logam berat dalam air laut selain diduga oleh peningkatan aktivitas disekitar perairan, dapat juga diduga oleh rendahnya pH dan salinitas, tingginya suhu dan masuknya nutrien dari muara sungai ke dalam laut.
Logam berat yang diteliti pada penelitian ini adalah logam Fe, Pb dan Zn yang terakumulasi dalam perairan maupun yang terendap pada sedimen dasar. Namun logam Fe tidak terdeteksi akibat terjadinya kerusakan sensor Fe pada AAS yang digunakan sehingga logam berat yang dibahas pada penelitian ini terbatas pada loam Pb dan Zn. Logam Pb merupakan salah satu logam non essensial yang sangat berbahaya dan dapat menyebabkan keracunan (toksisitas) pada makhluk hidup. Racun ini bersifat komulatif, artinya sifat racunnya akan muncul apabila terakumulasi cukup besar dalam tubuh makhluk hidup. Timbal terdapat dalam air karena adanya kontak antara air dengan tanah atau udara tercemar timbal, air yang tercemar oleh limbah industri atau akibat korosi pipa dan alat-alat logam yang digunakan pada industri dan kegiatan penambangan (Ulfin dalam Purnomo, 2007). Kisaran logam Pb yang terakumulasi pada perairan pada seluruh lokasi sampling adalah 0,01048 – 0,01705mg/L. Dimana konsentrasi Pb pada perairan lebih kecil dibandingkan dengan konsentrasi Pb yang terdapat pada sedimen pasir yang berkisar antara 0,0694 – 0,05888 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan logam Pb yang terakumulasi pada perairan terkait erat dengan keberadaan logam Pb pada sedimen pasir. Hal ini dapat dilihat dari linearnya konsentrasi logam Pb di perairan dengan konsentrasi logam Pb yang ada pada sedimen pasir. Dimana tingginya konsentrasi logam Pb pada sedimen akan diikuti dengan tingginya konsentrasi logam Pb pada perairan seperti yang terjadi pada stasiun 2, 3 dan 4. Dengan kata lain kegiatan penambangan pasir pada stasiun 2, 3 dan 4 telah memberikan kontribusi yang nyata terhadap tingginya konsentrasi logam Pb pada perairan Dusun Sungai Injap. Jika merujuk pada baku mutu Kep.Men.LH. No. 51. Tahun 2004 untuk parameter logam Pb. Maka konsentrasi logam Pb perairan Dusun Sungai Injap sekitar kegiatan penambangan pasir laut telah jauh melampaui ambang batas baku mutu yang ditetapkan yaitu 0,008 mg/L sehingga sangat berbahaya bagi kehidupan biota laut. Sumber keberadaan logam berat Pb pada perairan Dusun Sungai Injap ini dapat dipastikan berasal dari kegiatan penambangan pasir laut. Hal ini dapat dilihat dari tingginya kandungan logam Pb dalam sedimen yang diikuti dengan tingginya konsentrasi logam Pb pada perairan. Konsentrasi logam Pb pada sedimen yang tertinggi terdapat pada stasiun 3 yang merupakan stasiun yang berada pada kegiatan penambangan pasir laut yang analog dengan konsentrasi logam Pb yang tertinggi pada perairan. Kesimpulan mengenai tingginya pengaruh dari kegiatan penambangan pasir laut di Desa Sungai Injap terhadap tingginya konsentrasi logam Pb baik pada sedimen maupun perairan dapat dilihat dari tingginya konsentrasi logam Pb pada stasiun 2, 3 dan 4 yang merupakan stasiun yang berada di daerah penambangan pasir laut yang secara berangsur-angsur turun seiring dengan jauhnya jarak stasiun dengan kegiatan penambangan pasir seperti yang dapat dilihat pada konsentrasi logam Pb yang terdapat pada stasiun 4. Stasiun 6 yang berlokasi pada daerah pengumpulan pasir yang berada di pinggir pantai merupakan stasiun dengan konsentrasi logam Pb yang terendah dibandingkan dengan stasiun yang lain. Rendahnya konsentrasi Pb pada stasiun 6 diprediksi akibat peluruhan logam pada saat proses pencucian pasir dilakukan di lokasi
penambangan. Selain itu terbukanya tempat penimbunan pasir di pinggir pantai pada stasiun 6 menyebabkan sedimen pasir mengalami proses pemanasan oleh sinar matahari langsung yang dapat menyebabkan memuainya senyawa-senyawa logam dan luruhnya senyawa logam tersebut apabila terjadi hujan. Selain berasal dari kegiatan penambangan pasir, keberadaan logam berat Pb pada perairan sekitar Dusun Sungai Injap juga diduga berasal dari kawasan pemukiman di daerah pesisir pantai Kota Dumai yaitu berasal dari aktivitas yang dilakukan oleh manusia yang menghasilkan limbah rumah tangga yang menyumbangkan logam Pb melalui sampah - sampah metabolik dan korosi pipa-pipa air yang masuk perairan Rupat melalui sungai. Palar (1994) menyatakan bahwa logam – logam berat yang masuk ke dalam perairan berupa ion - ion logam, mengalami interaksi dengan ion-ion logam lainnya. Disini terjadi reaksi hidrolisis, pengomplekan ion-ion logam dan kemudian mengalami reaksi reduksi oksidasi, kemudian logam ini membentuk persenyawaan seperti persenyawaan hidroksida, senyawa oksida, senyawa karbonat dan senyawa sulfida. Dalam kondisi perairan yang stabil, senyawa – senyawa ini mudah sekali membentuk ikatan – ikatan permukaan dengan partikel – partikel yang terdapat pada badan perairan. Aktifitas pelayaran yang tinggi dan kegiatan industri serta bongkar muat disekitar areal pelabuhan Dumai juga akan mempengaruhi peningkatan konsentrasi Pb yang terdapat di perairan Rupat. Bukan saja berasal dari peluruhan atau korosi kapal dan industri, logam Pb juga dapat berasal dari udara melalui hasil pembakaran bahan bakar fosil baik dari kegiatan industri maupun transportasi. Emisi merupakan hasil samping dari pembakaran yang terjadi dari mesin-mesin industri, kapal maupun kendaraan bermotor. Timbal pada lapisan udara dalam bentuk tetrametil-Pb dan tetraetil-Pb yang berfungsi sebagai anti ketuk pada kendaraan bermotor. Semua senyawa uraian dari tetraetil-Pb tersebut sulit larut dalam minyak, namun dapat larut baik dalam air dan Pb (Timbal) masuk ke perairan melalui pengkristalan di udara berupa hasil pembakaran bensin dan jatuh melalui hujan, proses korosi batuan mineral, pertambangan dan limbah industri baterai (Palar, 1994). Logam Pb bersifat toksis terhadap biota laut, kadar Pb sebesar 0.1 – 0.2 mg/L telah dapat menyebabkan keracunan pada jenis ikan tertentu (Thamzil, 1980), dan pada kadar 188 mg/L dapat membunuh ikan-ikan (Palar, 1994). Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Murphy (1979) diketahui bahwa biotabiota perairan seperti crustacea akan mengalami kematian setelah 245 jam, bila pada badan perairan di mana biota itu berada terlarut Pb pada konsentrasi 2.75-49 mg/L. Sedangkan biota perairan lainnya, yang dikelompokkan dalam golongan insecta akan mengalami kematian dalam rentang waktu yang lebih panjang yaitu antara 168-336 jam, bila pada badan perairan tempat hidupnya terlarut 3.5-64 mg/L Pb. Kisaran logam Zn yang terakumulasi pada perairan pada seluruh lokasi sampling adalah 0,063 – 0,2953 mg/L. Dimana konsentrasi Zn pada perairan lebih kecil dibandingkan dengan konsentrasi Pb yang terdapat pada sedimen pasir yang berkisar antara 0,2953 – 0,3572 mg/L. Hal ini analog dengan konsentrasi logam
Pb yang terdapat di lokasi penelitian, dimana keberadaan logam Zn yang terakumulasi pada perairan juga terkait erat dengan keberadaan logam Zn pada sedimen pasir. Hal ini dapat dilihat dari linearnya konsentrasi logam Zn di perairan dengan konsentrasi logam Zn yang ada pada sedimen pasir. Dimana tingginya konsentrasi logam Zn pada sedimen akan diikuti dengan tingginya konsentrasi logam Zn pada perairan seperti yang terjadi pada stasiun 2, 3 dan 4. Dengan kata lain kegiatan penambangan pasir pada stasiun 2, 3 dan 4 telah memberikan kontribusi yang nyata terhadap tingginya konsentrasi logam Zn pada perairan Dusun Sungai Injap. Jika merujuk pada baku mutu Kep.Men.LH. No. 51. Tahun 2004 untuk parameter logam Zn. Maka konsentrasi logam Zn perairan Dusun Sungai Injap sekitar kegiatan penambangan pasir laut telah jauh melampaui ambang batas baku mutu yang ditetapkan yaitu 0,05 mg/L sehingga sangat berbahaya bagi kehidupan biota laut. Analog dengan konsentrasi logam Pb, sumber keberadaan logam berat Zn pada perairan Dusun Sungai Injap ini juga dapat didominasi dari kegiatan penambangan pasir laut. Hal ini dapat dilihat dari tingginya kandungan logam Zn dalam sedimen yang diikuti dengan tingginya konsentrasi logam Zn pada perairan. Konsentrasi logam Zn pada sedimen yang tertinggi terdapat pada stasiun 3 yang merupakan stasiun yang berada pada kegiatan penambangan pasir laut yang analog dengan konsentrasi logam Zn yang tertinggi pada perairan. Kesimpulan mengenai tingginya pengaruh dari kegiatan penambangan pasir laut di Desa Sungai Injap terhadap tingginya konsentrasi logam Zn baik pada sedimen maupun perairan dapat dilihat dari tingginya konsentrasi logam Zn pada stasiun 2, 3 dan 4 yang merupakan stasiun yang berada di daerah penambangan pasir laut yang secara berangsur-angsur turun seiring dengan jauhnya jarak stasiun dengan kegiatan penambangan pasir seperti yang dapat dilihat pada konsentrasi logam Pb yang terdapat pada stasiun 4. Stasiun 6 yang berlokasi pada daerah pengumpulan pasir yang berada di pinggir pantai merupakan stasiun dengan konsentrasi logam Zn yang terendah dibandingkan dengan stasiun yang lain. Rendahnya konsentrasi Zn pada stasiun 6 diprediksi akibat peluruhan logam pada saat proses pencucian pasir dilakukan di lokasi penambangan. Selain itu terbukanya tempat penimbunan pasir di pinggir pantai pada stasiun 6 menyebabkan sedimen pasir mengalami proses pemanasan oleh sinar matahari langsung yang dapat menyebabkan memuainya senyawa-senyawa logam dan luruhnya senyawa logam tersebut apabila terjadi hujan. Hasil penelitian ini analog dengan pendapat Darmono (1995) bahwa sumber logam berat Zn di perairan adalah berupa deposit-deposit yang terbawa atau ada pada sungai-sungai, estuaria dan perairan lepas pantai, penambangan, pengerukan dan pemanfaatan logam akan mengangkat material sedimen yang juga mengandung Logam Zn disekitar sungai dan estuaria yang menuju laut itu sendiri. Selain diduga berasal dari kegiatan penambangan pasir, logam Zn diduga juga berasal dari kegiatan industri dan pelayaran di sekitar perairan Rupat. Selain itu faktor pengenceran juga turut mempengaruhi, sebagaimana menurut Hutagalung (1984), logam yang masuk ke perairan akan mengalami pengenceran, pengendapan dan dispersi. Tingginya kandungan logam Zn di perairan kemungkinan diduga oleh sifat logam Zn dalam lingkungan perairan dan sangat
dipengaruhi oleh bentuk senyawanya. Effendi (2003) menyatakan bahwa logam Zn di perairan umumnya berbentuk persenyawaan sphalerite (ZnS), calamine (ZnCO3), oksida seng (ZnO) dan milemite (Zn2SiO4). Logam Zn juga bersifat racun dalam kadar tinggi, namun dalam kadar rendah dibutuhkan oleh organisme sebagai ko-enzim. Hasil percobaan LC50 selama 96 jam menunjukkan bahwa Zn pada kadar 60 ppm telah dapat menyebabkan kematian 50 hewan uji (ikan) (Connel, 1995), pada kadar 310 ppb telah dapat mematikan 50% emberio kerang C. virginica (LC50, 24 jam), dan pada kadar 166 ppb dan 195,4 ppb telah dapat mematikan embrio dan larva kerang M. marcenaria sebanyak 50% (LC50, 24 jam) (Calabrese, 1977).
KESIMPULAN Parameter Kecerahan, Kekeruhan, TSS, serta Logam Berat Pb dan Zn sudah tidak mendukung kehidupan biota laut sesuai dengan baku mutu Kep.Men.LH. No. 51 Tahun 2004. Sedangkan parameter Suhu, pH, COD dan BOD5 masih berada pada ambang batas baku mutu yang ditetapkan Kep.Men.LH. No. 51 Tahun 2004. Melihat kondisi ini, maka dapat disimpulkan bahwa status perairan Dusun Sungai Injap Kelurahan Terkul Kecamatan Rupat Kabupaten Bengkalis saat ini dalam kondisi tercemar akibat kegiatan penambangan pasir laut yang dilakukan. Dampak nyata dari kegiatan penambangan pasir laut di perairan Dusun Sungai Injap Kelurahan Terkul Kecamatan Rupat Kabupaten Bengkalis adalah rendahnya kecerahan perairan, tingginya TSS dan kekeruhan serta kontaminasi logam berat yang tinggi pada perairan yang berasal dari pengadukan sedimen pasir laut. Selain itu dampak lainnya berupa tingginya rambatan gelombang dan perubahan pola arus akibat kegiatan penambangan pasir laut diprediksi akan merubah pola sebaran sedimen pantai. Perubahan pola faktor-faktor eksternal dari kegiatan penambangan juga dapat memberikan dampak negatif terhadap ekologi dan lingkungan di sekitar kegiatan penambangan pasir laut Dusun Sungai Injap Kelurahan Terkul Kecamatan Rupat Kabupaten Bengkalis.
DAFTAR PUSTAKA
Alaerts, G dan Santika, S.S., 1997. Metoda Penelitian Air. Surabaya. Penerbit Usaha Nasional. 309 hal. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Bengkalis. 2010. Kegiatan Perencanaan dan Pemanfaatan Potensi Bahan Tambang Galian C (Pasir Laut) di Kecamatan Rupat dan Kecamatan Rangsang Barat Kabupaten Bengkalis. Boniska, F.A, 2008. Kajian Dampak Lingkungan Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongann C ( Studi Kasus daerah Sendangmulyo) Tesis MIL UNDIP. (Tidak diterbitkan), Boyd, G. E. and F.Koppler. 1990. water Quality Management in Fish Pond Culture. International Centre Agriculture Experiment Station Auburn Univercity, Aurburn. 359 pp. Brian C. Batchelor, 1983. Late Cainozoic Coastal and Offshore Stratigraphy in Western Malaysia and Indonesia, thesis Ph D, Dept. of Geology, University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Connell, D.W., and G.J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Y. Koestoer [Penerjemah]; Terjemahan dari: Chemistry and Ecotoxicology of Pollution. UI-Press. Jakarta. Dahuri R., Rais Y., Putra S.,G., Sitepu, M.J., 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Universitas Indonesia. Jakarta. Dinas Pertambangan dan Energi (DISTAMBEN) Kabupaten Bengkalis. 2009. Laporan Pemetaan Potensi Pertambangan Kabupaten Bengkalis. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. Hutagalung. 1984. Metode Pengolahan Zn. http://smk3ae.wordpress.com/2009/02 /18/metode-pengolahan-seng-zn-suatu-tinjauan-pada-instalasipengolahan-air/ (23 November 2011, 15.34 wib) Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.Kep-51/2004 Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Air Laut. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jakarta.
Lee, C.D., S.B. Wang, and C.L. Kuo. 1978. Bhentich and fish as biological indicator of water quality with references of water pollution in developing countries. Bangkok. Lili, Sarmili, Noor C., Aryanto., D dan Setiady, D. 2011. Keberadaan Pasir Laut di Perairan Kepulauan Riau dan Sekitarnya. Artikel Puslitbang Geologi Kelautan. Http://mgi.esdm.go.id. (Dikunjungi 14 Februari 2011). Nontji, A. 2001. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan. Novonty, V., and H. Olem. 1994. Water Quality, Prevention, Identification and Management of Diffuse Pollution. Van Nostrans Reinhold. New York. Nurdijanto. 2000. Kimia Lingkungan. Pati. Yayasan peduli Lingkungan.857 hal. Palar, H., 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Bhineka Cipta, Jakarta. 50 hal. Republik Indonesia, 2007. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sekretariat Negara, Jakarta. Riley, Peter. 2005. 100 Pengetahuan tentang Planet Bumi. Cetakan ke 3. Alih bahasa oleh Evi Janu Kusumawati. Penerbit Pakar Raya, Bandung. Saeni, M.S. 1989. Kimia Lingkungan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ditjen Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati Institut Pertanian Bogor. Bogor. Siska, M. 2009. Kandungan Logam Berat (Cd, Cu, Pb Dan Zn) Pada Sedimen Dasar dan Siput Gonggong (Strombus canarium) di Pantai Pulau Bintan Kepulauan Riau. Thesis Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Riau. Pekanbaru. (Tidak diterbitkan) Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis, PT. Gramedia, Jakarta. Wardoyo, S.T.H. 1989. Kriteria Kualitas Air untuk Pertanian dan Perikanan. Makalah pada Seminar Pengendalian Pencemaran Air. Dirjen Pengairan Departemen Pekerjaan Umum. Bandung. Wyrtki, K. 1961. “Physical Oceanography of Southheast Asian Waters. Naga Report Vol 2. The Univ. California, Scrips. Ins of Oceanography.