KAJIAN KONSUMSI MAKANAN TRADISI BADAPU DAN STATUS GIZI IBU NIFAS DI KECAMATAN SINGKIL KABUPATEN ACEH SINGKIL
TESIS
Oleh
FATMA DERI 077032002/IKM
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
KAJIAN KONSUMSI MAKANAN TRADISI BADAPU DAN STATUS GIZI IBU NIFAS DI KECAMATAN SINGKIL KABUPATEN ACEH SINGKIL
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
FATMA DERI 077032002/IKM
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
Judul Tesis
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi Minat Studi
: KAJIAN KONSUMSI MAKANAN TRADISI BADAPU DAN STATUS GIZI IBU NIFAS DI KECAMATAN SINGKIL KABUPATEN ACEH SINGKIL : Fatma Deri : 077032002 : Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat : Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat
Menyetujui Komisi Pembimbing :
(Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes) Ketua
Ketua Program Studi,
(Dr. Drs. Surya Utama, MS)
(Ros Idah Berutu, SKM., MKes.) Anggota
Dekan,
(dr. Ria Masniari Lubis, MSi.)
Tanggal Lulus : 31 Agustus 2009
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
Telah diuji pada Tanggal : 31 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua
: Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes
Anggota
: 1. Ros Idah Berutu, SKM., M.Kes 2. Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si 3. Dra. Jumirah, Apt., M.Kes.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
PERNYATAAN
KAJIAN KONSUMSI MAKANAN TRADISI BADAPU DAN STATUS GIZI IBU NIFAS DI KECAMATAN SINGKIL KABUPATEN ACEH SINGKIL
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 31 Agustus 2009
( Fatma Deri )
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
ABSTRAK
Status gizi dipengaruhi makanan yang dikonsumsi dan kondisi kesehatan. Pemilihan jenis makanan yang dikonsumsi, di antaranya dipengaruhi oleh tradisi. Tradisi badapu di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil melarang ibu nifas mengonsumsi beberapa jenis bahan makanan, mengakibatkan asupan zat gizi ibu nifas menjadi kurang sehingga menyebabkan ibu mengalami anemia. Penelitian ini adalah explanatory survey yang bertujuan untuk menganalisis asupan zat gizi tradisi badapu dan hubungannya dengan status gizi ibu nifas serta persepsi masyarakat terhadap makanan tradisi badapu. Populasi adalah ibu melahirkan setelah tiga puluh hari yang melaksanakan tradisi badapu pada bulan Maret – April 2009 sebanyak 45 orang yang menjadi sampel. Pengumpulan data asupan zat gizi menggunakan metoda Recall 24 jam. Persepsi masyarakat diperoleh dengan mewawancarai Ibu Nifas, Ibu/Ibu Mertua, Bidan Desa, Dukun Kampung dan Tokoh Adat menggunakan daftar pertanyaan terbuka. Analisis data menggunakan uji Chi-kuadrat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata asupan energi 1531,64 ± 329,99 Kal, protein 54,68 ± 14,21 gr, zat besi 8,66 ± 5,75 mg. Sebanyak 82,2 % ibu nifas mengalami anemia dengan rata-rata kadar hemoglobin 9,01 ± 1,48 gr/%. Sebanyak 68,9 % ibu nifas dengan IMT (Indeks Massa Tubuh) 18,5 - 25,5 dan 31,1 % ibu nifas dengan IMT > 25,5 dan rata-rata IMT 25,55 ± 3,21. Secara statistik, asupan energi, protein dan zat besi berhubungan secara signifikan dengan kadar hemoglobin, masing-masing (p=0,000<0,05). Asupan energi dan protein, tidak ada hubungan yang signifikan dengan IMT, masing-masing p=0,083>0,05 dan p=0,097>0,05. Disarankan kepada Penanggung jawab Program Gizi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Singkil untuk melakukan kegiatan : 1) Pendekatan yang komprehensif kepada ibu-ibu melalui BKMT (Badan Kontak Majelis Taklim) dan PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga) untuk mengubah kebiasaan badapu menjadi lebih baik sesuai kaidah kesehatan; 2) Menginstruksikan kepada Bidan Desa untuk memberikan KIE gizi dan arahan yang benar dalam melaksanakan tradisi badapu; 3) Meminta dukungan dana dari Pemda Kabupaten Aceh Singkil terhadap program perbaikan gizi masyarakat terutama untuk kegiatan pendampingan terhadap kelompok masyarakat.
Kata kunci : Konsumsi Makanan, Ibu Nifas.
i Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
ABSTRACT
The nutritional status has affected by the food consumption and the health condition. A kind of food that choosen by somebody has affected by many factors, likes habbit and tradition. Badapu tradition at Singkil in Aceh Singkil district, prohibitions post partum mothers to consume some foods, that makes post partum mother of nutrition intake get less nutrition, so they get anemia. The study is an explanatory survey, aims to analyze the intake of nutrition badapu tradition and its relationship with nutritional status of post partum mothers and the perception of community about badapu tradition. The population were post partum mothers after thirty days who compared the tradition from March to April 2009 involving 45 samples that were made to be samples. The nutrition intake were collected to Food Recall 24 hours method. The perception of community had been interviewed post partum mothers, mother from post partum mothers, the midwive, traditional healer and opinion leader with used openly questionnaire. The data obtained were analyzed through Chi-square test. The result of this study showed that average of energy intake as 1531,64 ± 329,99 Cal, protein intake as 54,68 ± 14,21 gr, and iron intake as 8,66 ± 5,75 mg. There were 82,2 % post partum mothers with anemia with the average level of Hb blood 9,01 ± 1,48 gr/% . There were 68,9% post partum mothers of cut off point of BMI (Body Mass Index) 18,5-25,0 and 31,1 % post partum mothers of cut off point of BMI >25,0 with the average BMI were 25,55 ± 3,21. Statistically, there were a significant relationship between the intakes, energy, protein and iron the level of Hb blood (respectively p=0,000<0,05). There were not significant relationship between energy intake with BMI (p=0,083>0,05) and protein intake with BMI (p=0,097>0,05). It is suggested to Nutrition Program Officer of District Health Office Aceh Singkil to consent the activites : 1) Making comprehensively approached to the mothers through Badan Kontak Majelis Taklim and Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga to change the habbit of badapu become the better role of health; 2) Giving instruction to the Midwive to provide the KIE (Communication, Information and Education) of nutrition and correct direction in implementing badapu tradition; 3) Proposing the financial support from the district government of Aceh Singkil toward the community’s nutrition improvement programs, especially for the activity of accompaniying the community group.
Key words
: Food consumption, post partum mothers.
ii Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga dengan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “ Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu dan Status Gizi Ibu Nifas di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil”. Penulisan menyadari dalam menyusun tesis ini, begitu banyak masukan, saran, dukungan, bimbingan dan bantuan yang diberikan berbagai pihak dan keluarga. Dengan penuh ketulusan hati dan keikhlasan, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat : 1. Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. dr. Ria Masniari Lubis, MSi., sebagai Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. 3. Dr. Drs. Surya Utama, MS., sebagai Ketua Program Studi Magister Ilmu
Kesehatan
Masyarakat
Fakultas
Kesehatan
Masyarakat
Universitas Sumatera Utara. 4. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, MSi., sebagai Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
iii Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
5. Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes., selaku Ketua Komisi Pembimbing yang
dengan
penuh
perhatian
dan
kesabaran
membimbing,
mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga tesis selesai. 6. Ros Idah Berutu, SKM., M.Kes., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang
dengan
penuh
perhatian
dan
kesabaran
membimbing,
mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga tesis selesai. 7. Dr. Ir. Evawany Aritonang, MSi. dan Dra. Jumirah, Apt., M.Kes., sebagai Komisi Penguji atau Pembanding yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini. 8. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mendapatkan beasiswa pada pendidikan Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. 9. Bapak Bupati Aceh Singkil, yang telah berkenan memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan dan sekaligus memberikan izin tugas belajar pada Program Studi Magister Ilmu
Kesehatan
Masyarakat
Fakultas
Kesehatan
Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
iv Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
10. Bapak Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Singkil beserta staf yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan kepada penulis dalam rangka menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. 11. Kepala Puskesmas Singkil beserta staf yang telah banyak membantu dan
memberikan
dukungan
kepada
penulis
dalam
rangka
menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. 12. Para dosen, staf dan semua pihak yang terkait di lingkungan Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. 13. Ibunda Hj. Asma Arif dan Ayahanda (Alm) H. Muchtar J. di Jambi, Ibu mertua Hj. Rosni dan Ayah mertua (Alm) H. Ahmad Rasnisyah di Singkil, serta kakak dan adik, yang telah memberikan dorongan moril serta do’a yang tiada terbatas selama penulis menjalani pendidikan. 14. Suami tercinta Iswar, SH serta ananda Alwan Farras dan Naufal Hawari, yang penuh pengertian, kesabaran, pengorbanan dan do’a serta memotivasi
dan
memberikan
dukungan
moril
agar
dapat
menyelesaikan pendidikan ini tepat waktu.
v Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
15. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat yaitu
Syaifullah, Saifuddin, Elmina Tampubolon, M. Hendro dan
Sri Lestari, yang telah membantu proses penyusunan tesis ini hingga selesai. Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini, dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagai pengambil kebijakan di bidang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.
Medan, Agustus 2009 Penulis
Fatma Deri
vi Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
RIWAYAT HIDUP
Fatma Deri, lahir pada tanggal 10 September 1967 di Kotamadya Jambi Provinsi Jambi, beragama Islam, bertempat tinggal di Jl. Karya No.1 Pulo Sarok, Singkil. Menikah dengan Iswar, SH serta dikaruniai dua orang anak, Alwan Farras dan Naufal Hawari. Riwayat pendidikan, SDN No. 34/IV Jambi (1980), SMPN 8 Jambi (1983), SMAN 1 Jambi (1986), Akademi Gizi Departemen Kesehatan RI Padang (1989), Sarjana (S1) Kesehatan Masyarakat, USU Medan (2000). Riwayat pekerjaan / jabatan, Pegawai Negeri Sipil Pusat pada Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi D.I. Aceh sejak September 1990, Staf Seksi Gizi dan Kesehatan Keluarga Kanwil Depkes Provinsi D.I. Aceh (1990-1997), Staf Seksi Sarana Kesehatan Kanwil Depkes Provinsi D.I. Aceh (1997-1998), Staf Seksi Tugas dan Perbantuan Kanwil Depkes Provinsi D.I. Aceh (2000-2002), Staf Seksi Peningkatan dan Perbaikan Gizi Dinas Kesehatan Provinsi NAD (2002-2003), Kepala Seksi Gizi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Singkil (2003-2005), Kepala Subdin KIA dan Gizi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Singkil (2005-2007).
vii Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK ....................................................................................................... i ABSTRACT ................................................................................................... ii KATA PENGANTAR ................................................................................... iii RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ vii DAFTAR ISI ................................................................................................. viii DAFTAR TABEL........................................................................................... x DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... xiii BAB 1. PENDAHULUAN ......................................................................
1
1.1. Latar Belakang ...................................................................... 1.2. Permasalahan.......................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian .................................................................. 1.4. Hipotesis ............................................................................... 1.5. Manfaat Penelitian ................................................................
1 7 7 8 8
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................
9
2.1. Status Gizi .............................................................................. 2.2. Konsumsi Makanan ............................................................... 2.3. Tradisi Badapu ....................................................................... 2.4. Landasan Teori ...................................................................... 2.5. Kerangka Konsep ...................................................................
9 16 20 24 26
BAB 3. METODE PENELITIAN ...........................................................
27
3.1. Jenis Penelitian ....................................................................... 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................. 3.3. Populasi dan Sampel .............................................................. 3.4. Metode Pengumpulan Data .................................................... 3.5. Variabel dan Definisi Operasional ......................................... 3.6. Metode Pengukuran ............................................................... 3.7. Metode Analisis Data ..............................................................
27 27 28 28 29 31 34
viii Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
BAB 4. HASIL PENELITIAN ................................................................
36
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian .................................................... 4.2. Karakteristik Responden ......................................................... 4.3. Pola Konsumsi Makanan ........................................................ 4.4. Asupan Zat Gizi ..................................................................... 4.5. Status Gizi Responden ............................................................ 4.6. Analisis Bivariat ...................................................................... 4.7. Persepsi Masyarakat terhadap Makanan Tradisi Badapu .......
36 39 43 46 48 49 53
BAB 5. PEMBAHASAN ..........................................................................
61
BAB 6.
5.1. Pola Konsumsi Makanan Ibu Nifas yang Melaksanakan Tradisi Badapu ....................................................................... 5.2. Asupan Zat Gizi Ibu Nifas yang Melaksanakan Tradisi Badapu ....................................................................... 5.3. Hubungan Asupan Zat Gizi dengan Status Gizi Ibu Nifas yang Melaksanakan Tradisi Badapu ................................................ 5.4. Persepsi Masyarakat terhadap Makanan Tradisi Badapu .......
70 78
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................
84
6.1. Kesimpulan ............................................................................. 6.2. Saran .......................................................................................
84 85
61 63
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
ix Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
DAFTAR TABEL
Nomor
Judul
Halaman
2.1.
Kategori ambang Batas IMT untuk Indonesia .....................................
13
2.2.
Batasan Anemia menurut Departemen Kesehatan ...............................
15
3.1.
Aspek Pengukuran Variabel Bebas dan Variabel Terikat ...................
34
4.1.
Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Desa dan Jenis Kelamin Di Kecamatan Singkil Tahun 2009 (Per Februari) ..............................
37
Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan Di Kecamatan Singkil Tahun 2009 (Per Februari) ...............................
38
Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan Di Kecamatan Singkil Tahun 2009 (Per Februari) ...............................
38
4.4.
Distribusi Sarana Kesehatan Di Kecamatan Singkil Tahun 2009 ........
39
4.5
Distribusi Tenaga Kesehatan Menurut Jenis Tenaga Kesehatan Di Kecamatan Singkil Tahun 2009 .......................................................
39
4.6.
Distribusi Responden Berdasarkan Umur ............................................
40
4.7.
Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan ...................................
40
4.8.
Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan .....................................
41
4.9.
Distribusi Responden Berdasarkan Kelahiran Anak ............................
41
4.10.
Distribusi Suami Responden Berdasarkan Umur ................................
42
4.11.
Distribusi Suami Responden Berdasarkan Pendidikan .......................
42
4.12.
Distribusi Suami Responden Berdasarkan Pekerjaan ...........................
43
4.13.
Distribusi Responden Berdasarkan Pola Konsumsi Makanan .............
44
4.2.
4.3.
x Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
4.14.
Distribusi Responden Berdasarkan Asupan Energi .............................
47
4.15.
Distribusi Responden Berdasarkan Asupan Protein ............................
47
4.16.
Distribusi Responden Berdasarkan Asupan Zat Besi ..........................
48
4.17.
Distribusi Responden Berdasarkan IMT ..............................................
48
4.18.
Distribusi Responden Berdasarkan Kadar Hemoglobin ......................
49
4.19. Distribusi IMT Berdasarkan Asupan Energi ........................................
50
4.20. Distribusi IMT Berdasarkan Asupan Protein .......................................
51
4.21.
Distribusi Kadar Hemoglobin Berdasarkan Asupan Energi ................
52
4.22.
Distribusi Kadar Hemoglobin Berdasarkan Asupan Protein ...............
52
4.23.
Distribusi Kadar Hemoglobin Berdasarkan Asupan Zat Besi .............
53
xi Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Judul
Halaman
1.
Diagram Penyebab Masalah Gizi .........................................................
10
2.
Faktor-faktor yang Menyebabkan Timbulnya Masalah Gizi ...............
24
3.
Penyakit Kurang Gizi ..........................................................................
25
4.
Kerangka Konsep Penelitian ................................................................
26
xii Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Judul
Halaman
1.
Formulir Identitas Responden ………………………………………….
90
2.
Formulir Metode Recall 24 Jam ………………………………….........
91
3.
Formulir Metode Frekuensi Makanan …………………………….........
92
4.
Data Pengukuran Status Gizi …………………………………………..
93
5.
Daftar Pertanyaan Wawancara Mendalam untuk Ibu Nifas ...................
94
6.
Daftar Pertanyaan Wawancara Mendalam untuk Ibu/Ibu Mertua Bidan Desa, Dukun Kampung dan Tokoh Adat .....................................
95
7.
Informed Concent ....................................................................................
96
8.
Master Data Penelitian .............................................................................
97
9.
Hasil Crosstabs (Tabel Silang) ................................................................
98
10.
Surat Izin Penelitian dari Direktur Pascasarjana USU ............................ 103
11.
Surat Izin Penelitian dari Kadinkes Kabupaten Aceh Singkil ................. 104
12.
Surat Keterangan Selesai Penelitian dari Kadinkes Aceh Singkil ........... 105
13.
Peta Kecamatan Singkil ........................................................................... 106
xiii Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Paradigma
pembangunan
nasional
yang
berorientasi
global
dan
berwawasan ilmu pengetahuan, tidak akan terlaksana tanpa peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM). Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumberdaya manusia. Hal ini dimungkinkan, karena seseorang yang mengalami kekurangan gizi akan mengakibatkan rendahnya kualitas SDM. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia merupakan tantangan berat mengahadapi persaingan bebas di era globalisasi (Depkes dan WHO, 2000). Kebutuhan akan zat gizi berubah sepanjang daur kehidupan dan ini terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan dari masing-masing tahap kehidupan tersebut. Dari setiap tahapan, kebutuhan zat gizi setiap individu berbeda. Ibu setelah melahirkan (nifas) secara fisiologis membutuhkan zat gizi yang lebih banyak dibandingkan dengan wanita dewasa biasa. Status gizi seseorang sangat dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi (dimakan) dan kondisi kesehatan. Makanan yang dikonsumsi akan diproses dalam tubuh menjadi zat gizi yang diperlukan untuk berbagai kebutuhan tubuh. Pemilihan
jenis makanan yang dikonsumsi setiap orang dipengaruhi banyak
faktor, seperti kebiasaan makan, tradisi, pemeliharaan kesehatan, daya beli keluarga dan lain-lain (Supariasa dkk, 2002).
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
2
Menurut Atmarita (2005), status gizi ibu dapat diketahui dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT). Berdasrkan data NSS-HKI 1999-2002 pada wanita umur 15-49 tahun terdapat sekitar 12 – 22 % yang mengalami Kekurangan Energi Kronik ( IMT < 18,5). Sedangkan data pada Gizi Dalam Angka, bahwa masalah gizi usia dewasa berdasarkan IMT dari berbagai provinsi tahun 2003 yaitu IMT < 18,5 sebesar 15,5%, IMT 18,5-25 sebesar 63,8 %, IMT > 25 sebesar 21,0 %, IMT > 27 sebesar 11,1 % dan IMT ≥ 30 sebesar 3,9 % (Depkes, 2005). Adapun masalah kekurangan gizi lain yang banyak ditemukan terutama di negara berkembang dan pada kelompok sosio-ekonomi rendah adalah Anemia. Anemia terjadi pada wanita hamil dan wanita menyusui dikarenakan mereka banyak mengalami defisiensi Fe. Secara keseluruhan, anemia terjadi pada 45 % wanita di negara berkembang dan 13 % di negara maju. Di Amerika, wanita usia subur (WUS) berkisar umur 15-49 tahun yang mengalami anemia sebesar 12 % dan wanita hamil 11%. Anemia pada wanita masa nifas (pasca persalinan) secara umum sekitar 10 % dan 22 % terjadi pada wanita nifas dari keluarga miskin (FKMUI, 2007). Menurut Arisman (2004), anemia defisiensi zat besi merupakan masalah gizi yang paling lazim di dunia dan menjangkiti lebih dari 600 juta manusia. Pada tahun 1990 menurut WHO, prevalensi anemia kurang besi pada ibu hamil sebesar 55 %, yang menyengsarakan sekitar 44 % wanita di seluruh negara sedang berkembang (kisaran angka 13,4-87,5%) . Angka tersebut pada tahun 1997, terus
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
3
membengkak hingga 74% dengan gambaran 13,4% pada Thailand dan 85,5% pada India. Di Indonesia, berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, anemia defisiensi besi pada ibu hamil 40,1 %, yang mana di daerah pedesaan lebih tinggi dari perkotaan dan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) lebih tinggi dari Kawasan Barat Indonesia (KBI). Sedangkan khusus pada ibu nifas menurut SKRT 1995, prevalensi anemia besi yaitu sebesar 45,1 % (Depkes RI, 2006). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) tahun 2005, hasil survey kerjasama dengan UNICEF bahwa status gizi kelompok WUS yaitu : Kurus (10,6 %), Normal (60,3%), Berat lebih (22,4%), Obesitas (6,7%) dan prevalensi anemia sebesar 30,2 %. Berdasarkan hasil survey pendahuluan yang penulis lakukan pada bulan Mei 2008 di Puskesmas Singkil, diperoleh data dari buku registrasi pemeriksaan darah bagi ibu hamil, bahwa sekitar 80% ibu hamil memiliki kadar hemoglobin di bawah normal ( < 11 gr%). Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa sebagian besar ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Singkil mengalami anemia defisiensi besi. Sedangkan ibu nifas belum pernah melakukan pemeriksaan darah. Penyebab mendasar dari masalah ini adalah ketidakcukupan pasokan zat gizi ke dalam sel. Meskipun banyak disebabkan oleh kekurangan zat gizi esensial, tetapi faktor penyebabnya sangat kompleks yaitu faktor pribadi, sosial, budaya, psikologis, ekonomi, politik dan pendidikan. Bila pengaruh faktor ini hanya
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
4
bersifat sementara malnutrisi bersifat akut dan bila tidak segera diperbaiki dengan cepat maka kehidupannya akan terancam (FKMUI, 2007). Menurut Foster dan Anderson (2006), masalah gizi yang terjadi sebagian besar dikarenakan adanya kepercayaan-kepercayaan yang keliru di mana-mana. Ada hubungan antara makanan dan kesehatan dengan kepercayaan-kepercayaan, pantangan-pantangan dan upacara-upacara, yang mencegah orang memanfaatkan sebaik-baiknya makanan yang tersedia bagi mereka. Kekurangan gizi disebabkan oleh kebiasaan-kebiasaan makanan yang buruk tersebut. Hal ini merupakan tugas yang sangat sulit untuk diatasi, karena kebiasaan makanan menentang terhadap perubahan yang dilakukan dibanding kebiasaan-kebiasaan lainnya. Hambatanhambatan budaya yang terjadi seperti di Haiti yaitu kepercayaan terhadap patologi humoral, yang sangat membatasi makanan para ibu menyusui. Akibat kemiskinan, makanan pokok yang tersedia bagi para wanita menjadi terbatas, sehingga adanya pembatasan panas-dingin, suatu proporsi yang tinggi dari makanan pokok yang biasanya dimakan menjadi pantang bagi para ibu menyusui. Berdasarkan studi yang dilakukan Wilson di Desa RuMuda, di timur laut Malaysia, disimpulkan bahwa setelah melahirkan wanita melayu mulai membatasi makanan dengan cara mengurangi konsumsi sayur dan buah. Hal ini disebabkan wanita yang baru melahirkan dianggap sangat peka terutama terhadap dingin yang berasal dari udara atau makanan yang dingin. Sehingga semua makanan dingin dilarang selama 40 hari pada periode pemanasan setelah melahirkan. Wanita yang baru melahirkan dibatasi makanannya hanya pada telur, madu, gandum,
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
5
tapioka, pisang yang dimasak, ikan panggang, lada hitam dan kopi. Pada masa nifas ini, mereka menolak mengonsumsi buah-buah dingin, sayuran dan ikan beracun, akan dibuatkan resep atau menu khusus (Elroy, 1996). Sedangkan bagi wanita Tamilnad, setelah melahirkan, selama 41 hari masa nifas, ada makananmakanan yang harus dihindarkan, seperti : daging biasa, telur ayam, mentega, beras, cabe, ayam, sarden, susu sapi, buah-buahan, kentang, ubi rambat dan kacang mete (Fieldhouse, 1995) Menurut Reddy (1990), apabila unsur-unsur di dalam tubuh terlalu panas atau terlalu dingin maka akan menimbulkan penyakit. Untuk mengembalikan keseimbangan unsur-unsur tersebut maka seseorang harus mengonsumsi makanan atau menjalani pengobatan yang bersifat lebih dingin atau sebaliknya. Pada, beberapa suku bangsa, ibu yang sedang menyusui kondisi tubuhnya dipandang dalam keadaan dingin sehingga ia harus memakan makanan yang panas dan menghindari makanan yang dingin. Menurut Maas (2004), di Indonesia, beberapa suku juga memberlakukan larangan atau pantangan makanan yang dikonsumsi kepada ibu setelah melahirkan. Diantaranya seperti pada masyarakat Kerinci provinsi Jambi, ibu yang sedang menyusui pantang untuk mengonsumsi bayam, ikan laut atau sayur nangka. Di beberapa daerah lain, ada juga yang memantangkan ibu yang menyusui untuk memakan telur. Pada masyarakat Betawi berlaku pantangan makan ikan asin, ikan laut, udang dan kepiting karena dapat menyebabkan ASI menjadi asin.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
6
Berdasarkan buku “Pedoman Umum Adat Aceh” bahwa di Aceh ada tradisi yang disebut Madeung yaitu suatu tradisi yang dilaksanakan bagi wanita setelah melahirkan selama 44 hari dengan berbagai macam ketentuan yang berlaku. Ketentuan dalam hal makanan, diatur bahwa makanan yang bisa dimakan yaitu nasi campur ikan kering yang digongseng. Makanan lain tidak diperbolehkan bahkan telur pun dilarang sama sekali (LAKA D.I.Aceh, 1990). Dari studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Mei 2008 melalui observasi langsung dan wawancara dengan bidan kampung atau dukun beranak, bahwa setiap ibu nifas di Kabupaten Aceh Singkil, diharuskan melakukan tradisi badapu. Tradisi badapu ini telah berlangsung secara turun temurun dari sejak dulu sampai sekarang. Ibu nifas dilarang mengonsumsi beberapa jenis bahan makanan dan hanya boleh mengonsumsi beberapa bahan makan tertentu.
Hal ini
mengakibatkan asupan zat gizi ibu menjadi kurang bila dibandingkan dengan kecukupan zat gizi yang dibutuhkan pada masa menyusui. Ibu nifas seharusnya mendapatkan makanan yang lebih dari segi jumlah maupun mutunya, agar dapat menghasilkan ASI untuk memenuhi kebutuhan bayi yang hanya bergantung pada ASI ibunya. Akan tetapi karena diharuskan menjalankan tradisi badapu, maka ibu nifas mengikuti aturan-aturan yang ada berupa pembatasan terhadap beberapa jenis makanan yang boleh dimakan. Akibat pembatasan tersebut, makanan yang dikonsumsi ibu nifas tidak memenuhi angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Hal
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
7
ini tentunya mempengaruhi status gizi ibu yang secara tidak langsung akan berdampak pula pada pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Berdasarkan uraian di atas,
perlu dilakukan kajian ilmiah untuk
mengetahui pola konsumsi makanan dan asupan zat gizi ibu nifas yang menjalankan tradisi badapu. Selanjutnya perlu dilakukan analisis kemungkinan ada hubungan asupan zat gizi ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu dengan status gizi ibu nifas di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil. Disamping itu juga perlu diketahui persepsi masyarakat Singkil terhadap makanan tradisi badapu.
1.2. Permasalahan Berdasarkan latar belakang masalah dapat dirumuskan permasalahan yaitu bagaimana hubungan asupan zat gizi ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu dengan status gizi ibu nifas di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil serta bagaimana pola konsumsi makanan ibu nifas dan persepsi masyarakat Singkil terhadap makanan tradisi badapu.
1.3. Tujuan 1. Mengetahui pola konsumsi makanan ibu nifas yang melakukan tradisi badapu di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil. 2. Mengetahui asupan zat gizi ibu nifas yang melakukan tradisi badapu di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
8
3. Mengetahui status gizi ibu nifas yang melakukan tradisi badapu di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil. 4. Menganalis hubungan asupan zat gizi ibu nifas yang melakukan tradisi badapu dengan status gizi ibu nifas di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil. 5. Mengetahui persepsi masyarakat terhadap makanan tradisi badapu.
1.4. Hipotesis Penelitian Ada hubungan asupan zat gizi ibu nifas yang melaksanakan
tradisi
badapu dengan status gizi ibu nifas di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil.
1.5. Manfaat Penelitian 1. Dapat digunakan sebagai informasi bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Singkil dalam menyusun perencanaan program promosi kesehatan dalam upaya perbaikan gizi masyarakat di Kabupaten Aceh Singkil. 2. Sebagai referensi bagi peneliti-peneliti selanjutnya untuk mengkaji dari aspek lain dan menambah khasanah kepustakaan.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
9
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Status Gizi Kualitas sumberdaya manusia (SDM) salah satunya ditentukan oleh status gizi. Hal ini dimungkinkan, karena apabila seseorang mengalami kekurangan gizi atau status gizinya jelek akan mengakibatkan rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Sumberdaya manusia yang berkualitas hanya dapat dihasilkan dari seseorang yang berstatus gizi baik. Agar menghasilkan generasi yang berkualitas di masa mendatang, status gizi harus baik, mulai dari berbentuk janin hingga dewasa. Oleh karena itu, perlu perhatian khusus dalam pemenuhan kebutuhan zat gizi
bagi ibu hamil dan ibu nifas. Ibu nifas dengan status gizi baik
akan
menghasilkan air susu ibu (ASI) yang berkualitas baik pula, sebagai makanan utama dan yang terbaik bagi pemenuhan kebutuhan zat gizi bayinya hingga berumur 6 bulan. Menurut Supariasa dkk (2002) menyatakan bahwa status gizi adalah merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara makanan yang
masuk
ke
dalam tubuh dengan kebutuhan tubuh akan zat gizi tiap individu. Sedangkan menurut Adair (1987) yang mengutip pendapat Mc. Larent, bahwa keadaan gizi sebagai suatu keaadan yang dihasilkan dari keseimbangan antara gizi yang tersedia pada suatu organisme dengan gizi lainnya yang dikeluarkan. Keaadaan gizi dihubungkan dengan indikator tertentu atau merupakan suatu gabungan
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
10
indikator dari zat gizi yang diwakilkan sehingga memberikan gambaran dari kondisi tersebut. Indikator dari keadaan gizi hanya merupakan pengungkapan keadaan fisiologis nilai gizi. Biasanya indikator dari bermacam-macam bahan gizi saling berkaitan. Menurut Departemen Kesehatan RI (2002) bahwa secara langsung keadaan gizi dipengaruhi oleh konsumsi zat gizi dan penyakit infeksi. Secara tidak langsung dipengaruhi oleh ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga, ketersediaan pelayanan kesehatan, pola asuh yang tidak memadai, seperti terlihat pada gambar 1.
STATUS GIZI
Penyebab Langsung
Ketersediaan Ketersediaan
Pangan Pangandiditingkat tingkat Rumah RumahTangga Tangga
Asuhan AsuhanIbu Ibu Dan Dan Anak Anak
Pelayanan Pelayanan Kesehatan Kesehatan
Penyebab Tidak Langsung
Penyebab Utama
Akar Masalah
Gambar 1. Diagram Penyebab Masalah Gizi
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
11
Menurut Supariasa dkk, (2002) yang mengutip pendapat Jelliffe DB, penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung dan tidang langsung. Penilaian secara langsung yaitu antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. Sedangkan penilaian secara tidak langsung yaitu : survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi. Cara pengukuran status gizi yang paling sering digunakan pada masyarakat yaitu antropometri gizi. Pengertian dari antropometri gizi adalah berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.
Dari sudut pandang
antropometri, jenis pertumbuhan dapat dibagi atas dua yaitu pertumbuhan yang bersifat
linear
dan
pertumbuhan
massa
jaringan.
Pertumbuhan
linear
menggambarkan status gizi yang dihubungkan pada saat lampau, misalnya : tinggi badan, lingkar dada, lingkar kepala. Sedangkan pertumbuhan massa jaringan menggambarkan status gizi yang dihubungkan pada saat sekarang, misalnya : berat badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak di bawah kulit. Antropometri sangat umum digunakan untuk mengukur sattus gizi dari berbagai ketidakseimbangan antara asupan energi dan protein. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
12
Berdasarkan pendapat Hadi (2001) bahwa indeks antropometri merupakan kombinasi dari beberapa parameter. Indeks antropometri penting untuk interpretasi pengukuran. Pada orang dewasa, indeks antropometri yang biasa digunakan yaitu Indeks Massa Tubuh (IMT), kombinanasi dari pengukuran berat badan dan tinggi badan. Menurut Depkes RI (1996) Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI) merupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Penggunaan IMT hanya untuk orang dewasa berumur > 18 tahun dan tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan. Nilai IMT dapat diketahui dengan menggunakan rumus yaitu :
IMT =
Beratbadan ( Kg ) Tinggibada n ( m ) xTinggibad an ( m )
Adapun batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan FAO/WHO, yang membedakan batas ambang untuk laki-laki dan perempuan, yaitu batas ambang normal untuk perempuan adalah : 18,7-23,8.
laki-laki adalah
20,1-25,0; dan
untuk
Adapun ambang batas IMT untuk Indonesia
adalah seperti pada tabel 2.1.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
13
Tabel 2.1. Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia
Kurus
Kategori Kekurangan berat badan tingkat berat Kekurangan berat badan tingkat ringan
Normal Gemuk
Kelebihan berat badan tingkat ringan Kelebihan berat badan tingkat berat
IMT < 17,0 17,0 - 18,4 18,5 - 25,0 25,1 - 27,0 > 27,0
Dari kategori ambang batas IMT di atas, maka dapat disimpulkan bahwa apabila seseorang berada pada IMT < 17,0 maka keadaan orang tersebut disebut kurus dengan kekurangan berat badan tingkat berat atau Kurang Energi Kronis (KEK) berat; apabila seseorang berada pada IMT 17,0-18,4 maka keadaan orang tersebut disebut kurus dengan kekurangan berat badan tingkat ringan atau KEK ringan; apabila seseorang berada pada IMT 18,5-25,0 maka keadaan orang tersebut termasuk kategori normal; apabila seseorang berada pada IMT 25,1-27,0 maka keadaan orang tersebut disebut gemuk dengan kelebihan berat badan tingkat ringan; apabila seseorang berada pada IMT >27,0 maka keadaan orang tersebut disebut gemuk dengan kelebihan berat badan tingkat berat. Menurut Aritonang (2007) bahwa rata-rata IMT ibu menyusui di Kecamatan Darmaga Kabupaten Bogor adalah 21,2 dengan kisaran 19,7 – 23,0 atau 21,22 ± 2,53. Hal ini berarti bahwa status gizi ibu menyusui berdasar IMT di Jawa Barat umumnya baik (normal).
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
14
Adapun penilaian status gizi secara langsung yang lain adalah pemeriksaan biokimia, yang memberikan hasil lebih tepat dan objektif. Berdasarkan pendapat Supariasa dkk (2002) dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan biokimia yang sering digunakan adalah pengukuran kandungan berbagai zat gizi dan substansi kimia lain dalam darah dan urine, misalnya pemeriksaan hemoglobin dalam darah. Hemoglobin (Hb) merupakan senyawa pembawa oksigen pada sel darah merah. Hemoglobin dapat diukur secara kimia dan jumlah Hb/100 ml darah dapat digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen pada darah. Hasil pengukuran kadar hemoglobin tersebut dibandingkan dengan standar normal yang telah ditetapkan. Hemoglobin secara luas digunakan sebagai parameter untuk menetapkan prevalensi anemia. Kandungan hemoglobin yang rendah memberikan indikasi anemia. Anemia gizi disebabkan oleh defisiensi zat besi, asam folat dan atau vitamin B12, yang kesemuanya berakar pada asupan yang tidak adekuat, ketersediaan hayati rendah (buruk) dan kecacingan yang masih tinggi. Anemia gizi merupakan keadaan menurunnya kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah sel darah merah di bawah nilai normal, yang dipatok untuk perorangan. Secara umum penyebab defisiensi zat besi, yaitu (1) kehilangan darah secara kronis, sebagai dampak perdarahan kronis, (2) asupan zat besi tidak cukup dan penyerapan tidak adekuat, dan (3) peningkatan kebutuhan akan zat besi untuk pembentukan sel darah merah yang lazim berlangsung pada masa pertumbuhan bayi, masa pubertas, masa kehamilan dan menyusui (Arisman, 2004).
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
15
Menurut Departemen Kesehatan RI (1995), bahwa batasan anemia di Indonesia, seperti terlihat pada tabel 2.2 berikut :
Tabel 2.2. Batasan Anemia menurut Departemen Kesehatan Kelompok Anak Balita Anak Usia Sekolah Wanita Dewasa Laki-laki Dewasa Ibu Hamil Ibu Menyusui > 3 bulan
Batasan Normal 11 gram % 12 gram % 12 gram % 13 gram % 11 gram % 12 gram %
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, bahwa rata-rata kadar hemoglobin penduduk perkotaan di Indonesia pada kelompok perempuan dewasa adalah 13 g/dl dengan SD 1,72 g/dl (dengan kisaran 11,28 – 14,72 g/dl), dan pada kelompok ibu hamil rata-rata 11,81 g/dl dengan SD 1,55 g/dl ( dengan kisaran 10,26 – 13,36 g/dl). Adapun untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam rata-rata pada perempuan dewasa adalah 13,06 g/dl. Prevalensi anemia pada penduduk perkotaan untuk kelompok perempuan untuk Indonesia adalah sebesar 11,3 % dan Provinsi NAD adalah 10,4 % (Depkes, 2008). Rata-rata kadar hemoglobin hasil Riskesdas ini, relatif sama dengan ratarata kadar hemoglobin pada ibu menyusui di Kecamatan Darmaga Kabupaten Bogor, hasil penelitian yang dilakukan oleh Aritonang (2007) yaitu 12,23 ± 1,68 g/dl. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kadar hemoglobin ibu menyusui sudah baik karena ≥ 12 g/dl.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
16
2.2. Konsumsi Makanan Manusia membutuhkan makanan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuh. Kebutuhan zat gizi setiap orang berbeda-beda sesuai dengan umur, jenis kelamin. Agar kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi, maka harus mengonsumsi makanan setiap hari sesuai dengan anjuran gizi. Makanan yang dikonsumsi seseorang dapat diketahui jumlah dan kandungan zat gizinya dengan cara melakukan penilaian konsumsi makanan atau survei diet. Menurut Supariasa dkk (2002) menyatakan bahwa survei konsumsi makanan adalah salah satu metode yang digunakan dalam penetuan status gizi seseorang atau kelompok. Survei konsumsi makanan bertujuan untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga dan perorangan serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi makanan tersebut. Hasil survei konsumsi makanan tidak dapat menentukan status gizi seseorang atau masyarakat secara langsung, namun dapat digunakan sebagai bukti awal akan kemungkinann terjadinya kekurangan gizi pada seseorang. Berdasarkan jenis data yang diperoleh, maka pengukuran konsumsi makanan menghasilkan dua jenis data konsumsi, yaitu bersifat kualitatif dan kuantitatif. Metode yang bersifat kualitatif untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan serta cara-cara memperoleh bahan makanan tersebut. Metode pengukuran konsumsi makanan yang bersifat kualitatif antara lain : metode
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
17
frekuensi makanan (food frequency), metode dietary history, metode telepon dan metode pendaftaran makanan (food list). Sedangkan metode yang bersifat kuantitatif untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Konsumsi Bahan Makanan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar Konversi Mentah-Masak (DKMM) dan Daftar Penyerapan Minyak. Metode pengukuran konsumsi secara kuantitatif antara lain : metode recall 24 jam, perkiraan makanan (estimated food records), penimbangan makanan (food weighing), metode food account, metode inventaris (inventory method) dan pencatatan (household food records). Metode recall makanan merupakan tehnik yang paling sering digunakan baik secara klinis maupun penelitian. Metode ini mengharuskan pelaku mengingat semua makanan dan jumlahnya sebaik mungkin dalam waktu tertentu ketika tanya jawab berlangsung. Pengingatan sering dilakukan untuk 1-3 hari. Menurut Gibney ( 2002) bahwa informasi yang berkenaan dengan aturan makan pada suatu periode tertentu dapat diperoleh dengan menanyakan individu untuk mengingat kembali jumlah dan jenis makanan yang sudah mereka makan. Recall 24 jam adalah suatu usaha untuk mengingat kembali banyaknya jumlah makanan yang dikonsumsi pada satu hari sebelumnya ( 24 jam yang lalu). Masa ini dipertimbangkan dapat memberikan daya ingat serta informasi yang dapat dipercaya, Adapun bila masa mengingat lebih panjang, maka daya ingat menjadi lebih terbatas.
Metode recall 24 jam merupakan metode yang secara luas
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
18
digunakan untuk memperoleh informasi terhadap makanan pada individu. Metode ini sering digunakan pada survey nasional karena memiliki tingkat tanggapan yang tinggi dan dapat memberikan informasi secara terinci untuk mewakili kelompok populasi yang berbeda. Menurut Soekirman (2000), bahwa kebutuhan akan zat gizi tidak sama bagi semua orang, tetapi tergantung pada banyak hal antara lain umur, kelamin, dan pekerjaan. Keseimbangan jumlah dan jenis zat gizi yang dibutuhkan berbagai kelompok orang ditetapkan dalam suatu daftar yang dikenal sebagai Daftar Kecukupan Gizi yang dianjurkan (DKG) yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Recommended Dietary Allowance (RDA). Di Indonesia DKG ditetapkan setiap lima tahun sekali oleh sekelompok pakar dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. Menurut Hasil Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 2004, Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk perorangan/individu diperoleh dari perbandingan antara konsumsi zat gizi dengan keadaan gizi seseorang. Caranya yaitu dengan membandingkan pencapaian konsumsi zat gizi individu tersebut terhadap AKG. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, nomor : 1593/Menkes/SK/XI/ 2005, dapat dilihat bahwa kecukupan gizi bagi ibu nifas disesuaikan dengan kelompok umur ibu dan kemudian diberikan penambahan energi 500 kkal, protein 17 gram dan zat besi 6 mg.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
19
Menurut Depkes RI (1990) bahwa klasifikasi tingkat konsumsi makanan di bagi menjadi empat dengan cut of points sebagai berikut: •
Baik
: ≥ 100 % AKG
•
Sedang
: 80 – 99 % AKG
•
Kurang
: 70 – 80 % AKG
•
Defisit
: < 70 %
Menurut Adair (1987) menyatakan bahwa jumlah dan mutu produksi ASI menggambarkan status gizi ibu hamil sebelumnya sampai selama menyusui, sama juga halnya dengan kesehatan ibu, kebutuhan aktivitas fisik dan lingkungan serta tekanan kejiwaan. Pada periode menyusui ini sedapat mungkin zat-zat gizi diperlukan oleh ibu-ibu. Dengan pengecualian pada energi dan beberapa zat gizi khusus dapat diambil dari cadangan di tubuh ibu. Rekomendasi FAO/WHO tahun 1974 untuk asupan energi pada masa nifas diasumsikan menghasilkan energi hanya 60% saja. Sehingga ibu membutuhkan tambahan energi setiap hari, yaitu 550 kkal. Sedangkan rekomendasi dari U.S. National Research Council, tambahan energi 500 kkal/hari. Mengutip pendapat Thomson dan Black bahwa kebutuhan energi pada masa nifas dapat ditambahkan kira-kira 200-300 kkal/hari selama 3 bulan pertama masa nifas. Adapun untuk asupan protein selama menyusui rekomendasi FAO/WHO yaitu sebesar 46 g/hari yang lebih rendah dari U.S. RDA’S yaitu 66 g/hari.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
20
Menurut Aritonang (2007) konsumsi zat gizi dari pangan pada ibu menyusui di Kecamatan Darmaga Kabupaten Bogor sebelum dilakukan intervensi rata-rata energi sebesar 1574,0 ± 527,1 Kal, rata-rata protein sebesar 46,7 ± 20,1 gr, dan rata-rata zat besi sebesar 13,6 ± 5,6 mg.
2.3. Tradisi Badapu Badapu berasal dari kata dapur yang artinya “naik dapur”.
Pada
masyarakat pinggiran (pedesaan), ibu setelah melahirkan akan ditempatkan di dapur, dengan membuatkan bale-bale berukuran 1 X 2 m sebagai tempat tidur dan disampingnya dibuat tungku dengan bahan bakar dari kayu jenis tertentu. Pada masyarakat perkotaan, ibu nifas masih melaksanakan tradisi badapu, namun tidur di kamar dan tungku
diganti dengan kompor, sehingga tidak mengganggu
lingkungan sekitar akibat asap yang ditimbulkan dan juga ramah lingkungan. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada Mei 2008, melalui wawancara dengan Dukun Kampung, tradisi badapu merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan bagi seorang ibu setelah melahirkan di mulai dari hari ke 7 sampai hari ke 60 (untuk kelahiran anak pertama) dan hari ke 40 (untuk kelahiran anak selanjutnya). Ada beberapa ritual yang harus dijalankan ibu nifas saat menjalankan tradisi badapu, yaitu memanaskan tubuh ibu pada pagi dan sore hari dengan nyala api tungku; memulihan kondisi perut ibu setelah melahirkan menggunakan batu bata atau kelapa muda yang sudah dipanaskan ditungku lalu dibungkus
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
21
dengan kain dan daun mengkudu, lalu diletakkan di atas perut ibu, setelah dingin dipanaskan kembali; memulihkan alat genital ibu dengan menggunakan batu kerikil kecil kira-kira sebesar bola pimpong yang dipanaskan dalam abu tungku, lalu dibungkus dengan kain dan daun kunyit kemudian ditempelkan pada vagina, setelah dingin dipanaskan kembali. Pada saat menjalankan tradisi badapu, ibu nifas dilarang mengonsumsi beberapa jenis bahan makanan seperti : telur, kerang, udang, ikan tongkol, susu, pepaya, pisang, nenas dan cabe. Sedangkan bahan makanan yang boleh dikonsumsi seperti : ikan segar, ikan asin, ikan teri, yang pengolahannya dengan cara digoreng kering, dibakar atau digongseng. Jenis sayuran yang bisa dikonsumsi adalah : daun singkong, daun katu dan daun pepaya, yang dimasak dengan cara direbus. Karena adanya pembatasan terhadap konsumsi air, maka sayur yang direbus tadi, airnya diperas sehingga mengandung sedikit air. Selain itu ibu nifas tidak diperbolehkan minum air putih namun meminum air yang khusus diramu. Setiap pagi ibu meminum “minuman mentah” yang terbuat dari remasan daun-daunan seperti daun pepaya, daun nenas, daun inay/pacar dan lain-lain, yang dicampur dengan kunyit, jahe, jeruk nipis serta madu. Jenis minuman mentah tersebut setiap tiga hari diganti kemudian dibuat minuman mentah lainnya yang terbuat dari daun-daunan berbeda. Sebagai pengganti air putih, dibuatkan “minuman pariuk” yaitu rebusan beberapa macam daun-daun kayu dicampur rempah-rempah. Minuman pariuk tersebut hanya untuk tiga hari saja selanjutnya dibuat rebusan yang baru lagi.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
22
Tradisi badapu yang dilakukan di kabupaten Aceh Singkil, ternyata juga dilakukan di daerah lain di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang disebut Madeung. Pada negara lain seperti Malaysia, yang memiliki budaya hampir menyerupai Indonesia juga melakukan tradisi seperti ini. Berdasarkan pendapat Elroy dan Townsend (1996) yang membahas hasil studi Christine Wilson, seorang antropolog nutrisi yang melakukan studi di RuMuda, sebuah desa berpenduduk 600 orang di timur laut Malaysia, sesaat setelah melahirkan wanita melayu dianjurkan memulai membatasi makanan. Bukannya menghindari sumber protein hewani, mereka mengurangi konsumsi buah dan sayuran selama kira-kira enam minggu. Pola ini menggambarkan bahwa di Malaysia menganggap kualitas panas dan dingin dihubungkan dengan makanan, obat dan tingkat kerapuhan. Untuk melindungi kesehatan sang ibu, mereka tidur dipanggung kayu, yang disebut dengan ”pembaringan perapian,” berada di atas api kayu kecil. Sepanjang hari, mereka istirahat beberapa saat di panggung juga tetap melakukan aktivitas seperti biasanya. Karena buah dan sayuran dianggap sebagai makanan ”dingin”
maka kalau dikonsumsi akan
mengakibatkan ketidakseimbangan, jadi harus dihindari. Selama 40 hari pemanasan, ibu diperbolehkan makan nasi dan ikan dengan lada hitam yang merupakan bahan pokok di desa-desa nelayan Melayu.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
23
Antropolog Amerika lainnya, Carol Laderman, juga melakukan studi di kampung lain yaitu desa Merchang 20 km dari desa RuMuda. Para wanita yang termasuk dalam studi, beberapa diantaranya mengikuti pantangan makanan selama 40 hari penuh, beberapa yang lainnya hanya dalam waktu singkat dan ada juga yang tidak sama sekali. Wanita Merchang sangat fleksibel dan pragmatis dalam menafsirkan pantangan makanan setelah melahirkan. Awalnya mereka mencoba makanan yang panas saja, jika semuanya berjalan dengan baik, mereka akan mencoba menambahkan makanan yang netral dan akhirnya makanan yang Pantangan dalam suku Melayu hanya merupakan pedoman yang
dingin.
seharusnya dijalankan, bukan larangan yang sesungguhnya berkaitan dengan kekeuatan gaib atau sanksi sosial. Kepatuhan terhadap aturan tergantung pada beberapa faktor seperti kehati-hatian atau keberanian seseorang dan pengalaman setelah melahirkan bayi pertama. Wanita Merchang dari kelompok berada yang mampu mengkonsumsi berbagai variasi makanan, lebih cenderung untuk mematuhi pantangan daripada wanita kurang mampu yang memiliki sedikit pilihan. Berdasarkan dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ibu nifas pada beberapa daerah di wilayah Indonesia dan beberapa daerah di negara lain, ditemukan adanya larangan dan pantangan mengonsumsi beberapa jenis bahan makanan serta adanya kebiasaan menjalankan suatu tradisi pemanasan dengan tujuan untuk mempercepat pemulihan kondisi ibu setelah melahirkan.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
24
2.4. Landasan Teori Berdasarkan hasil studi kepustakaan dapat diasumsikan bahwa konsumsi makanan merupakan salah satu determinan penting yang mempengaruhi status gizi masyarakat. Dalam Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (1979) digambarkan beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya masalah gizi serta kaitan satu faktor dengan faktor lainnya. Berdasarkan pendapat para ahli (seperti Pines, Call dan Levinson), bahwa faktor yang mempengruhi status gizi dapat dilukiskan seperti gambar 2 di bawah ini (Supariasa dkk, 2002).
Zat gizi dalam makanan Ada tidaknya program pemberian makanan di luar keluarga
Konsumsi makanan
Daya beli keluarga
Status Gizi
Kebiasaan makan Kesehatan Pemeliharaan kesehatan Lingkungan Fisik dan sosial
Gambar 2. Faktor-faktor yang Menyebabkan Timbulnya Masalah Gizi
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
25
Jika asupan makanan tidak cukup dalam tubuh, maka akan mengakibatkan masalah gizi. Masalah gizi memiliki dimensi yang luas karena menyangkut ha-hal yang sangat multidisiplin yang saling berhubungan dan mempengaruhi seperti masalah kesehatan, masalah sosial, ekonomi, budaya, pola asuh, pendidikan, seperti terlihat pada gambar 3 di bawah ini (FKM-UI, 2007).
Food habits, Tradition
Poverty
Carelessness
Ignorance
Anorexia
Inadequate food intake
Malnutrition
Congenital defect : Prematurity Metabolical Errors Anatomical Gastrointestinal defects, Mental retardation
Increased diet needs (Individual variation) - growth - injury - pregnancy - illness - lactation - work
Disaster : Personal, Natural, Man-made, War
Gambar 3 : Penyakit Kurang Gizi
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
26
2.5. Kerangka Konsep Persepsi terhadap makanan tradisi badapu akan mempengaruhi pola konsumsi makanan yang selanjutnya akan mempengaruhi asupan zat gizi ibu nifas. Asupan zat gizi akan mempengaruhi status gizi ibu nifas. Pola konsumsi makanan ibu nifas saat melaksanakan tradisi badapu di Kecamatan Singkil yaitu harus mematuhi pantangan/larangan terhadap beberapa bahan pangan yang bisa dikonsumsi sehingga akan berpengaruh pada asupan zat gizi ibu nifas dan akan berdampak pula pada status gizi ibu nifas. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar kerangka konsep penelitian di bawah ini : Variabel Independent
Variabel Dependent
Asupan Zat Gizi : - Asupan Energi - Asupan Protein - Asupan Zat Besi
Status Gizi Ibu Nifas : - IMT - Kadar Hb
Pola Konsumsi Makanan Ibu Nifas yang melaksanakan Tradisi Badapu
Persepsi terhadap Makanan Tradisi Badapu
Gambar 4. Kerangka Konsep Penelitian
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
27
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah survey dengan type eksplanatory atau penjelasan yang ditujukan untuk mempelajari pola konsumsi makanan tradisi badapu dan hubungan asupan zat gizi ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu dengan status gizi ibu nifas di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil (kuantitatif) serta persepsi masyarakat terhadap makanan tradisi badapu (kualitatif).
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Adapun alasan memilih Kecamatan Singkil karena masyarakat di Kecamatan Singkil masih melaksanakan tradisi badapu. Sedangkan Kecamatan Singkil merupakan ibukota kabupaten yang seharusnya mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan telah menjalankan peradapan yang lebih modern, terutama program gizi pada ibu menyusui.
Pelaksanaan
penelitian dimulai dengan melakukan penelusuran kepustakaan,
penyusunan
proposal, seminar proposal, penelitian dan analisa data serta penyusunan laporan akhir. Waktu penelitian di lapangan dilaksanakan pada bulan Maret – April 2009.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
28
3.3. Populasi dan Sampel Pada penelitian kuantitatif, populasinya adalah ibu melahirkan setelah tiga puluh hari yang melaksanakan tradisi badapu pada bulan Maret - April 2009 di Kecamatan Singkil. Seluruh populasi akan dijadikan sampel dalam penelitian (total sampling) yaitu sebanyak 45 orang. Sedangkan pada penelitian kualitatif, sampel yang menjadi partisipan adalah Ibu nifas, Ibu/Ibu Mertua, Bidan Desa, Bidan /Dukun Kampung dan Tokoh Adat, yang berjumlah 26 orang. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive dengan pertimbangan tertentu serta keterbatasan tenaga, dana dan waktu.
3.4. Metode Pengumpulan Data Data primer pada penelitian kuantitatif adalah penilaian konsumsi makanan yang diperoleh dari : a) asupan zat gizi berupa energi, protein dan zat besi dengan menggunakan metode Recall 24 jam (lampiran 2); b) pola konsumsi makanan dengan menggunakan formulir metode frekuensi makanan (lampiran 3). Sedangkan data status gizi dilakukan dengan pengukuran tinggi badan dan berat badan serta pemeriksaan kadar hemoglobine. Data kualitatif tentang persepsi masyarakat terhadap makanan tradisi badapu
dilakukan dengan wawancara
mendalam (in-dept interview) terhadap partisipan menggunakan daftar pertanyan bersifat terbuka, yang telah dipersiapkan. Tenaga pengambil data adalah ahli gizi dan analis dari Puskesmas Singkil dan Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Singkil.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
29
Data sekunder dihimpun melalui pencatatan dokumen dari Puskesmas Singkil, Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Singkil, Dinas Kesehatan Provinsi Nanggroe Aceh dan Departemen Kesehatan RI.
3.5. Variabel dan Defenisi Operasional Pada penelitian ini terdapat dua variabel yang diukur, yaitu asupan zat gizi (X) sebagai variabel bebas (independent) dan status gizi (Y) sebagai variabel terikat (dependent).
3.5.1. Variabel bebas (Independent) •
Asupan zat gizi adalah zat gizi yang masuk ke dalam tubuh untuk memenuhi kecukupan zat gizi agar dapat menjalankan fungsi fisiologis. Intake zat gizi dapat dinilai berdasarkan tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein dan tingkat kecukupan zat besi yang akan dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (AKG).
•
Tingkat kecukupan Energi : adalah hasil rata-rata energi yang dikonsumsi sehari (satuan Kilokalori/Kal) dibandingkan dengan AKG dikali 100 %.
•
Tingkat kecukupan Protein : adalah hasil rata-rata protein yang dikonsumsi sehari (satuan gram/gr) dibandingkan dengan AKG dikali 100 %.
•
Tingkat kecukupan zat besi : adalah hasil rata-rata zat besi yang dikonsumsi sehari (satuan miligram/mgr) dibandingkan dengan AKG dikali 100 %.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
30
•
Pola konsumsi makanan adalah gambaran tentang jenis dan frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan selama periode tertentu : hari, minggu dan bulan (selama menjalankan masa badapu).
•
Tradisi badapu adalah : suatu kebiasaan yang harus dilakukan oleh ibu setelah melahirkan di mulai pada hari ke 7 sampai hari ke 40 - 60 (habis masa nifas).
•
Persepsi masyarakat terhadap makanan tradisi badapu adalah tanggapan atau pendapat masyarakat terhadap kebiasan makanan pada ibu nifas yang menjalankan tradisi badapu dan akibat yang ditimbulkan saat menjalani kebiasaan itu. Persepsi ini akan diperoleh dari partisipan atau nara sumber : -
Ibu nifas
adalah ibu yang melahirkan setelah tiga puluh hari dan
melaksanakan tradisi badapu. -
Ibu/Ibu Mertua adalah orang tua dari ibu nifas atau orang tua dari suami yang sangat berperan pada pelaksanaan tradisi badapu.
-
Bidan Desa adalah tenaga pelayanan kesehatan yang menolong persalinan di desa atau wilayah kerjanya.
-
Bidan/Dukun Kampung adalah orang yang mempunyai keahlian, yang diperoleh secara turun temurun atau berdasarkan pengalaman dalam menolong persalinan.
-
Tokoh Adat adalah seseorang yang mengerti dan mampu dalam melaksanakan adat istiadat yang berlaku pada suatu kelompok masyarakat.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
31
3.5.2. Variabel terikat (Dependent) •
Status gizi adalah gambaran atau hasil akhir dari keseimbangan antara pemasukan dan penyerapan zat-zat gizi dengan penggunaan zat-zat gizi tersebut dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa, 2002). Status gizi yang akan dinilai adalah sebagai berikut :
•
Indeks Masa Tubuh (IMT) adalah metode untuk memantau status gizi orang dewasa berumur di atas 18 tahun sesuai dengan rumus perhitungannya.
•
Pemeriksaan kadar hemoglobin (Hb) adalah pengukuran terhadap kandungan hemoglobin dan hasilnya dibandingkan dengan nilai ambang batas.
3.6. Metode Pengukuran Pengukuran dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menentukan cara memperoleh data kuantitatif yang diinginkan berdasarkan indikator variabel yang telah ditentukan. Skala pengukuran yang digunakan yaitu pengukuran ordinal. Sedangkan pada data kualitatif tidak ada pengukuran data. 3.6.1. Variabel bebas (Independent) Konsumsi makanan dapat dinilai berdasarkan : a. Asupan zat gizi diketahui dengan menghitung tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein dan tingkat kecukupan zat besi, menggunakan metode recall 24 jam sebanyak dua kali, yang dilakukan oleh tenaga ahli gizi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Singkil dan Puskesmas Singkil.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
32
Bahan makanan yang recall akan dianalisa zat gizinya menggunakan metode Nutrisurvey. Hasil rata-rata dari masing-masing zat gizi akan dibandingkan dengan AKG bagi bangsa Indonesia rekomendasi Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi ke VIII tahun 2004 (Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI, Nomor : 1593/ Menkes/SK/XI/2005). Skala pengukuran adalah ordinal. Klasifikasi tingkat asupan zat gizi sebagai berikut : •
Baik
•
Sedang : 81 – 99 % AKG
•
Kurang: 70 – 80 % AKG
•
Defisit : < 70 % AKG
: ≥ 100 % AKG
b. Pola Konsumsi makanan diukur berdasarkan jenis dan frekuensi dari bahan makanan yang dikonsumsi selama periode tertentu. Bahan makanan akan dikelompokkan berdasarkan : Makanan Pokok, Lauk Hewani, Lauk Nabati, Sayur-sayuran, Buah-buahan dan lain-lain. Setiap bahan makanan akan dilihat frekuensi konsumsinya selama periode sebagai berikut : •
Satu kali atau lebih dalam sehari
•
Dua sampai lima kali seminggu
•
Sekali atau beberapa kali sebulan (masa badapu)
•
Tidak pernah sama sekali
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
33
3.6.2. Variabel terikat (Dependent). Status gizi yang akan dilihat dari Indeks Masa Tubuh (IMT) dan Kadar hemoglobin (Hb). a. Indeks Masa Tubuh dapat diketahui nilainya dengan rumus yang telah ditentukan yaitu perbandingan antara berat badan (kilogram) dengan tinggi badan (meter) kali tinggi badan (Depkes RI, 1996). Berat badan diukur menggunakan timbangan injak Seca dengan tingkat ketelitian 0,1 kg. Sedangkan tinggi badan diukur menggunakan microtoise berskala 200 cm dengan ketelitian 0,1 cm. Nilai IMT akan dikategorikan seperti berikut : - Kurus
: bila IMT < 18,5
- Normal
: bila IMT 18,5 – 25,0
- Gemuk
: bila IMT > 25,0
b. Pemeriksaan kadar hemoglobin dilakukan menggunakan alat HemoCue Hb 201+ dengan metode cyanmethemoglobin. Prinsip kerja metode ini adalah Sodium nitrit mengubah hemoglobin menjadi methamoglobin, yang kemudian bereaksi dengan sodium azide membentuk azidemethemoglobin yang berwarna merah. Intensitas warna dibaca dengan dua panjang gelombang (570 nanometer dan 880 nanometer), lalu dibandingkan dengan standar. Hasil pemeriksaan kadar Hb akan dikategorikan sebagai berikut : - Anemia
: bila Hb < 11 gram%
- Tidak Anemia
: bila Hb ≥ 11 gram%
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
34
Pengukuran variabel bebas dan variabel terikat lebih jelas dapat dilihat pada tabel 3.1 di bawah ini.
Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas dan Variabel Terikat No 1.
2.
Nama Variabel Aupan zat gizi : - Asupan Energi - Asupan Protein - Asupan Zat Besi Status Gizi : - IMT
- Kadar Hb
Cara Ukur
Recall 24 jam
Skala Ukur Ordinal
Hasil Ukur 1. Baik 2. Sedang 3. Kurang 4. Defisit
Menimbang Ordinal BB & Mengukur TB
1. Kurus 2. Normal 3. Gemuk
Memeriksa Kadar Hb
1. Anemia 2. Tidak Anemia
Ordinal
3.7. Metode Analisis Data 3.7.1. Analisis univariat Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi dari seluruh variabel bebas yaitu asupan zat gizi berupa asupan energi, protein, zat besi dan variabel terikat yaitu status gizi ibu nifas berupa IMT dan kadar hemoglobin. Demikian pula dengan distribusi pola konsumsi makanan ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
35
3.7.2. Analisis bivariat Analisis bivariat dilakukan pada data kuantitatif untuk melihat hubungan antara variabel bebas yaitu asupan zat gizi berupa asupan energi, protein dan zat besi dengan variabel terikat yaitu status gizi ibu nifas berupa IMT dan kadar hemoglobin dengan menggunakan uji Chi-kuadrat (χ 2). 3.7.3. Analisis data kualitatif Data kualitatif yang menggambarkan persepsi masyarakat terhadap makanan tradisi badapu disajikan secara deskriptif dengan menyajikan pendapat responden dalam bentuk narasi. Analisa data dilakukan dengan menggunakan teknik analisa kualitatif dan dibandingkan dengan teori kepustakaan maupun asumsi yang ada.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
36
BAB 4 HASIL PENELITIAN
4.1.
Deskripsi Lokasi Penelitian Kecamatan Singkil merupakan salah satu kecamatan di kabupaten Aceh
Singkil, dengan luas wilayah 459 Km2. Kecamatan Singkil terdiri dari 16 desa (kampong) dengan 4 kemukiman.
Tabel 4.1. Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Desa dan Jenis Kelamin di Kecamatan Singkil Tahun 2009 (Per Februari).
Jenis Kelamin Jumlah Laki-laki Perempuan n % n % 1. Pasar Singkil 1.003 5,34 945 5,03 1.948 2. Ujung 1.255 6,68 1.273 6,77 2.528 3. Pulo Sarok 2.128 11,32 2.064 10,98 4.192 4. Kilangan 805 4,28 826 4,40 1.631 5. Kota Simboling 150 0,80 139 0,74 289 6. Teluk Ambun 419 2,23 455 2,42 874 7. Rantau Gedang 308 1,64 323 1,72 631 8. Teluk Rumbia 421 2,24 429 2,28 850 9. Paya Bumbung 225 1,20 211 1,12 436 10. Pemuka 173 0,92 164 0,87 337 11. Takal Pasir 272 1,45 281 1,50 553 12. Selok Aceh 273 1,45 251 1,34 524 13. Suka Makmur 370 1,97 359 1,91 729 14. Ujung Bawang 449 2,39 436 2,32 885 15. Siti Ambia 708 3,77 751 4,00 1.459 16. Suka Damai 479 2,55 446 2,37 925 Jumlah 9.438 50,23 9.353 49,77 18.791 Sumber : Kantor Kecamatan Singkil, Tahun 2009 No
Desa
%
13,45 22,31 8,68 1,54 4,65 3,36 4,52 2,32 1,79 2,94 2,79 3,88 4,71 7,76 4,92 89,63
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
37
Berdasarkan data dari Kantor Kecamatan Singkil, jumlah penduduk di kecamatan Singkil tahun 2009 sebanyak 18.791 jiwa, yang terdiri dari laki-laki 9.438 jiwa dan perempuan 9.353 jiwa, dengan kepadatan penduduk berkisar 41 jiwa per Km2. Penduduk yang paling banyak terdapat di desa Pulo Sarok dengan jumlah penduduk 4.192 jiwa (22,31 %) dan yang paling sedikit terdapat di desa Simboling dengan jumlah penduduk 289 jiwa (1,54%), seperti tertera pada tabel 4.1 di atas. Tingkat pendidikan penduduk di kecamatan Singkil relatif rendah, karena paling banyak penduduk dengan pendidikan tamat SD/sederajat sebesar 22,36 % sedangkan yang paling sedikit penduduk dengan pendidikan strata-2 yaitu 0,14 %. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel 4.2 di bawah ini.
Tabel 4.2. Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan di Kecamatan Singkil Tahun 2009 (Per Februari) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Tingkat Pendidikan Tidak / Belum Sekolah Tidak Tamat SD / Sederajat Tamat SD / Sederajat SLTP / Sederajat SLTA / Sederajat Diploma I / II Akademi / Diploma III Diploma IV / Strata 1 Strata 2 Jumlah Sumber : Kantor Kecamatan Singkil Tahun 2009
Jumlah 3.861 3.858 4.202 2.208 3.467 161 266 742 26 18.791
% 20,55 20,53 22,36 11,75 18,45 0,86 1,42 3,95 0,14 100,00
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
38
Pekerjaan penduduk di kecamatan Singkil yang paling banyak yaitu sebagai wiraswasta sebanyak 32,68 % sedangkan yang paling sedikit yaitu buruh sebanyak 5,31 %, seperti dapat dilihat pada tabel 4.3.
Tabel 4.3. Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan di Kecamatan Singkil Tahun 2009 (Per Februari). No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis Pekerjaan
Wiraswasta Pegawai Swasta / Industri Petani Buruh Nelayan PNS / TNI / POLRI Jumlah Sumber : Kantor Kecamatan Singkil Tahun 2009
Jumlah 1.965 906 1.114 319 570 1.138 6.012
% 32,68 15,07 18,53 5,31 9,48 18,93 100,00
Sarana pelayanan kesehatan di kecamatan Singkil hanya ada Puskesmas Perawatan sebanyak satu buah dan Puseksmas Pembantu sebanyak tiga buah. Sarana kesehatan lainnya, dapat dilihat pada tabel 4.4 di bawah ini.
Tabel 4.4. Distribusi Sarana Kesehatan di Kecamatan Singkil Tahun 2009
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Jenis Sarana Kesehatan Puskesmas Perawatan Puskesmas Pembantu Puskesmas Keliling Ambulance Toko Obat Berizin Praktek Dokter Umum Praktek Dokter Gigi Praktek Bidan Jumlah Sumber : Puskesmas Singkil Tahun 2009
Jumlah 1 3 1 1 5 3 1 16
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
39
Jumlah tenaga kesehatan di kecamatan Singkil cukup banyak yaitu 64 orang sehingga dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan baik. Jenis tenaga yang paling banyak adalah Bidan yang berjumlah 29 orang dan paling sedikit yaitu tenaga Sarjana Kesehatan Masyarakat, Ahli Gizi dan Pekarya Kesehatan masing-masing satu orang, seperti pada tabel 4.5 di bawah ini.
Tabel 4.5. Distribusi Tenaga Menurut Jenis Tenaga Kesehatan di Kecamatan Singkil Tahun 2009
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Jenis Sarana Kesehatan Medis (dokter umum dan dokter gigi) Sarjana Kesehatan Masyarakat Perawat (D III Perawat dan SPK) Bidan (D III Bidan dan Bidan A) Tehnisi Medis (Fisioterafis, Analis, Gigi dan Farmasi) Sanitasi (D III Sanitasi dan SPPH) Gizi (D III Gizi) Pekarya Kesehatan Jumlah Sumber : Puskesmas Singkil Tahun 2009
4.2.
Jumlah 4 1 24 19 11 3 1 1 64
Karakteristik Responden Responden pada penelitian ini adalah ibu melahirkan setelah tiga puluh
hari yang melaksanakan tradisi badapu pada
bulan Maret - April 2009 di
kecamatan Singkil. Karakteristik reponden meliputi umur, pendidikan, pekerjaan dan kelahiran anak.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
40
Kategori kelompok umur responden disesuaikan dengan kelompok umur yang ada pada Angka Kecukupan Gizi 2004 bagi orang Indonesia, karena pada tiap kelompok umur tersebut berbeda angka kecukupan gizinya. Pada tabel 4.6 di bawah, dapat dilihat bahwa responden terbanyak pada kelompok umur 19 – 29 tahun dan kelompok umur 30 – 49 tahun masing-maisng sebesar 48,9 % sedangkan kelompok umur 16 – 18 tahun sebesar 2,2 %.
Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Umur
Umur
Jumlah
16 - 18 tahun 19 - 29 tahun 30 - 49 tahun
1 22 22 45
Jumlah Tingkat
pendidikian
responden
dikategorikan
Persen 2,2 48,9 48,9 100,0
berdasarkan
tingkat
pendidikan pada Pendidikan Nasional, yaitu tingkat dasar, menengah dan tinggi. Pada tabel 4.7 di bawah, dapat dilihat bahwa responden paling banyak memiliki pendidikan tingkat dasar (SD-SMP) sebanyak 44,4 % dan paling sedikit memiliki pendidikan tingkat tinggi sebanyak 22,2 %.
Tabel 4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan
Pendidikan Dasar (SD-SMP) Menengah (SMU/SMK) Tinggi (PT) Jumlah
Jumlah 20 15 10 45
Persen 44,4 33,3 22,2 100,0
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
41
Pada tabel 4.8 di bawah, dapat dilihat bahwa sebagian besar responden (68,9 %) tidak bekerja atau sebagai Ibu Rumah Tangga. Hal ini dimungkinkan bahwa sebagian responden memiliki tingkat pendidikan tingkat pendidikan dasar (SD-SMP). Terdapat 22,2 % yang bekerja sebagai PNS dan 8,9 % bekerja sebagai Pegawai Honorer.
Tabel 4.8. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan
Pekerjaan
Jumlah
PNS Pegawai Honorer Tidak Bekerja
10 4 31 45
Jumlah
Persen 22,2 8,9 68,9 100,0
Tradisi badapu akan dilaksanakan oleh ibu yang melahirkan anak pertama sejak hari ke 7 sampai hari ke 60. Sedangkan pada kelahiran anak ke dua dan selanjutnya, tradisi badapu hanya sampai hari ke 40-45. Pada tabel 4.9 di bawah, dapat dilihat bahwa sebagian responden (53,3 %) melaksanakan tradisi badapu pada kelahiran anak ke 2 – 4. Pada anak pertama, terdapat 26,7 % responden dan sebanyak 20 % pada anak ke 5 dan seterusnya.
Tabel 4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Kelahiran Anak
Kelahiran Anak 1 2-4 ≥5 Jumlah
Jumlah 12 24 9 45
Persen 26,7 53,3 20,0 100,0
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
42
Sebagai data pendukung, diperoleh dari data suami meliputi umur, pendidikan dan pekerjaan. Pada tabel 4.10 di bawah, dapat dilihat bahwa sebagian besar suami responden (64,5 %) pada kelompok umur 30 – 49 tahun. Terdapat 31,1 % pada kelompok umur 19 – 29 tahun dan 4,4,% pada kelompok umur > 50 tahun.
Tabel 4.10. Distribusi Suami Responden Berdasarkan Umur
Umur
Jumlah
19 - 29 tahun 30 - 49 tahun ≥ 50 tahun
14 29 2 45
Jumlah
Persen 31,1 64,5 4,4 100,0
Pendidikan suami responden yang paling banyak adalah pendidikan tingkat menengah (SMU/SMK) sebesar 44,4 %. Sebanyak 33,3 % pada pendidikan tingkat dasar (SD- SMP) dan 22,2 % pada pendidikan tingkat tinggi (PT). Secara jelas, dapat dilihat pada tabel 4.11 di bawah ini.
Tabel 4.11. Distribusi Suami Responden Berdasarkan Pendidikan
Pendidikan Dasar (SD-SMP) Menengah (SMU/SMK) Tinggi (PT) Jumlah
Jumlah 15 20 10 45
Persen 33,3 44,4 22,2 100,0
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
43
Pekerjaan suami responden yang banyak adalah sebagai Wiraswasta (33,3 %) dan sebagai Petani/Nelayan/Buruh (31,1 %). Hal ini sesuai dengan tingkat pendidikan suami responden yang hanya pada tingkat dasar dan menengah. Terdapat 26,7 % yang bekerja sebagai PNS dan 8,9 % sebagai Pegawai Honorer. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.12 di bawah ini.
Tabel 4.12. Distribusi Suami Responden Berdasarkan Pekerjaan
Pekerjaan PNS Pegawai Honorer Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Jumlah 4.3.
Jumlah 12 4 15 14 45
Persen 26,7 8,9 33,3 31,1 100,0
Pola Konsumsi Makanan Pola makan atau kebiasaan makanan yang terdapat dalam suatu
masyarakat dapat dicemati antara lain melalui adanya pangan pantangan atau larangan atau tabu. Biasanya, pangan pantangan ini ditujukan untuk anak kecil, ibu hamil dan ibu menyusui (Baliwati, dkk, 2004). Pola konsumsi masyarakat dapat menujukkan tingkat keberagaman pangan masyarakat. Dari pola konsumsi makanan ini akan memberikan gambaran terhadap jenis dan frekuensi dari bahan makanan yang dikonsumsi responden selama melaksanakan tradisi badapu. Secara lebih jelas dapat dilihat pada tabel 4.13 di bawah.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
44
Tabel 4.13. Distribusi Responden Berdasarkan Pola Konsumsi Makanan Nama Bahan Makanan Makanan Pokok : - Beras Pangan Hewani : - Ikan - Ayam - Daging - Lele - Telur Pangan Nabati : - Tempe - Tahu Sayur-sayuran : - Daun Katu - Daun singkong - Kacang panjang - Bayam - Sawi pahit Buah-buahan : - Jeruk - Apel - Pisang Snack : - Roti/Krekers - Pisang goreng - Kacang Hijau - Susu
Frekuensi Konsumsi ≥ 1X/hr 2-5X/mg 1X/BbrpX/bl Tidak Pernah n % n % n % n %
Jumlah n %
45 100
0
0
0
0
0
0
43 0 0 0 0
0 3 0 2 1
0 6,7 0,0 4,4 2,2
1 17 4 2 2
2,2 37,8 8,9 4,4 4,4
1 25 41 41 42
2,2 55,6 91,1 91,1 93,3
45 45 45 45 45
6 13,3 3 6,7
17 37,8 17 37,8
8 8
17,8 17,8
14 17
31,1 37,8
45 100 45 100
7 7 5 0 0
25 19 14 15 3
55,6 42,2 31,1 33,3 6,7
4 3 3 4 0
8,9 6,7 6,7 8,9 0,0
9 16 23 26 42
20,0 35,6 51,1 57,8 93,3
45 45 45 45 45
5 11,1 5 11,1 3 6,7
3 1 0
6,7 2,2 0,0
35 38 42
77,8 84,4 93,3
45 100 45 100 45 100
3 0 0 1
6,7 0,0 0,0 2,2
23 40 41 40
51,1 88,9 91,1 88,9
45 45 45 45
95,6 0,0 0,0 0,0 0,0
15,6 15,6 11,1 0,0 0,0
2 4,4 1 2,2 0 0,0 6 0 1 4
13,3 0,0 2,2 8,9
13 5 3 0
28,9 11,1 6,7 0,0
45 100 100 100 100 100 100
100 100 100 100 100
100 100 100 100
Dari data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa pola konsumsi makanan ibu nifas saat melaksanakan tradisi badapu kurang bervariasi karena setiap hari umumnya hanya mengkonsumi nasi dan ikan, hanya sebagian kecil yang melengkapi dengan pangan nabati, sayuran dan buah-buahan.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
45
Seluruh (100 %) responden mengonsumsi beras sebagai makanan pokok sumber karbohidrat sebanyak 750 gr beras sehari untuk tiga kali makan (pagi, siang dan malam). Hanya sebagian kecil responden mengonsumsi makanan selingan untuk tambahan energi dari pangan sumber karbohidrat lain misalnya roti/krekers dan pisang goreng. Sesuai anjuran bahwa seharusnya ibu nifas mengonsumsi makanan tambahan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi ibu selama menyusui. Konsumsi sumber protein dari pangan hewani pada umumnya ikan. Hampir seluruh (95,6 %) responden mengonsumsi ikan setiap hari lebih kurang 150 gr dengan frekuensi ≥1X/hari ( pagi, siang dan malam). Ada sebanyak 2,2 % yang tidak mengonsumsi ikan sama sekali karena memang tidak bisa makan ikan. Sebanyak 37,8 % responden yang mengonsumsi ayam dengan frekuensi 1X/BbrpX/bulan. Sedangkan yang mengonsumsi daging, lele dan telur hanya sebagian kecil yaitu kurang dari 10 % responden. Konsumsi sumber protein dari pangan nabati yaitu tahu dan tempe. Tempe dikonsumsi sebanyak 100 gr/hari dan tahu 200 gr/hari (siang dan malam). Sebanyak 37,8 % responden yang mengonsumsi tempe dan tahu dengan frekuensi 2-5X/ minggu. Hal ini berkenaan dengan hari pekan (Onan) yang dilaksanakan dua kali seminggu, sehingga tahu dan tempe dapat dibeli untuk dikonsumsi. Sumber protein nabati yang lain, berasal dari kacang hijau dikonsumsi oleh sebagian kecil (< 10 %) responden sebagai makanan selingan. Sedangkan susu hanya dikonsumsi kira-kira oleh 10 % reponden.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
46
Sayur-sayuran yang sering dikonsumsi yaitu daun katuk, daun singkong dicampur dengan kacang panjang lebih kurang sebanyak 200 gr/hari. Hanya sebagian kecil responden (15 %), setiap hari mengonsumsi sayuran tersebut pada makan siang dan malam saja. Sebagian (50 %) responden yang mengonsumsi sayuran dengan frekuensi 2-5X/ minggu. Sebanyak 20 % responden sama sekali tidak mengonsumsi sayuran. Konsumsi buah-buahan sangat rendah sekali karena adanya pantangan untuk mengonsumsinya. Hanya sebagian kecil responden (< 5 %) yang mengonsumsi buah jeruk dan apel setiap hari dengan jumlah lebih kurang 200 gr/hari (siang dan malam). Sedangkan konsumsi buah dengan frekuensi 25X/minggu sebanyak 11 % responden. Sebanyak 78 %. responden tidak mengonsumsi buah sama sekali.
4.4.
Asupan Zat Gizi Asupan zat gizi diperoleh dengan cara menayakan makanan yang telah
dikonsumsi responden pada satu hari kemarin (recall 24 jam). Recall dilakukan sebanyak dua kali. Hasil recall tersebut selanjutnya dianalisa zat gizinya dengan menggunakan program nutrisurvey, sehingga akan diperoleh rata-rata asupan zat gizi berupa energi, protein dan zat besi. Berdasarkan tabel 4.14 di bawah, menunjukkan bahwa rata-rata asupan energi responden adalah 1531,66 Kal dengan standar deviasi sebesar 329,99 Kal. Sebagian besar (73,4 %) responden dengan asupan energi tingkat defisit (< 70 %
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
47
AKG), sebanyak 13,3 % dengan asupan energi tingkat sedang (81-99 % AKG), sebanyak 11,1 % dengan asupan energi tingkat kurang (70-80 % AKG) dan hanya 2,2 % dengan asupan energi tingkat baik (≥100 % AKG).
Tabel 4.14. Distribusi Responden Berdasarkan Asupan Energi
Intake Energi Baik : ≥ 100 % AKG Sedang : 81 - 99 % AKG Kurang : 70 - 80 % AKG Defisit : < 70 % AKG Jumlah Rata-rata
Jumlah
Persen
1 2,2 6 13,3 5 11,1 33 73,4 45 100,0 1531,64 ± 329,99
Berdasarkan tabel 4.15 di bawah ini, dapat dilihat bahwa rata-rata asupan protein responden adalah 54,68 gr dengan standar deviasi 14,21 gr. Sebanyak 33,3 % reponden dengan asupan protein tingkat kurang dan hanya 15,6 % responden dengan asupan protein tingkat baik.
Tabel 4.15. Distribusi Responden Berdasarkan Asupan Protein
Intake Protein Baik : ≥ 100 % AKG Sedang : 81 - 99 % AKG Kurang : 70 - 80 % AKG Defisit : < 70 % AKG Jumlah Rata-rata
Jumlah
Persen 7 15,6 11 24,4 15 33,3 12 26,7 45 100,0 54,68 ± 14,21
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
48
Pada tabel 4.16 di bawah ini menunjukkan bahwa rata-rata asupan zat besi responden adalah 8,66 mg dengan standar deviasi sebesar 5,75 mg. Sebagian besar (91,1 %) responden dengan asupan zat besi tingkat defisit dan sebanyak 8,9 % responden dengan asupan zat besi tingkat kurang.
Tabel 4.16. Distribusi Responden Berdasarkan Asupan Zat Besi
Intake Zat Besi Kurang : 70 - 80 % AKG Defisit : < 70 % AKG Jumlah Rata-rata
4.5.
Jumlah
Persen
4 41 45 8,66 ± 5,75
8,9 91,1 100,0
Status Gizi Responden Status gizi responden yang dinilai adalah IMT dan kadar hemoglobin.
Berdasarkan tabel 4.17 di bawah, menunjukkan bahwa rata-rata IMT responden sebesar 25,55 dengan standar deviasi 3,21. Sebagian besar (68,9 %) responden memiliki IMT 18,5 – 25 atau status gizi normal dan sebanyak 31,1 % yang memiliki IMT > 25 atau gemuk. IMT responden yang baik dan gemuk saat ini merupakan manifestasi status gizi responden pada masa hamil yang baik.
Tabel 4.17. Distribusi Responden Berdasarkan IMT IMT Kurus (IMT < 18,5) Normal (IMT 18,5 - 25,0) Gemuk (IMT > 25,0) Jumlah Rata-rata
Jumlah
Persen
0 31 14 45 25,55 ± 3,21
0,0 68,9 31,1 100,0
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
49
Dari pemeriksaan darah responden diperoleh rata-rata kadar hemoglobin sebesar 9,01 gr% dengan standar deviasi sebesar 1,48 gr%. Sebagian besar (84,4 %) responden memilki kadar Hb < 11 gr/% atau mengalami anemia dan hanya 15,6 % yang memilki kadar Hb ≥ 11 gr/% atau tidak mengalami anemia. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.18 di bawah ini.
Tabel 4.18. Distribusi Responden Berdasarkan Kadar Hemoglobin Kadar Hemoglobin Anemia (Hb < 11 gr/%) Tidak Anemia (Hb ≥ 11 gr/%) Jumlah Rata-rata
4.6.
Jumlah 37 8 45 9,01 ± 1,48
Persen 82,2 17,8 100,0
Analisis Bivariat Hasil analisis bivariat ini untuk melihat hubungan antara variabel bebas
yaitu asupan zat gizi meliputi asupan energi, asupan protein dan asupan zat besi dengan variabel terikat yaitu status gizi ibu nifas berdasarkan IMT dan kadar hemoglobin dengan bantuan program SPSS versi 11,5 menggunakan uji ChiSquare. Dari tabel 4.19 di bawah ini, dapat dilihat bahwa di antara asupan energi pada tingkat defisit (< 70 % AKG) sebanyak 78,8 % ibu nifas dengan IMT normal (18,5-25) dan 33,3 % ibu nifas dengan IMT gemuk. Sedangkan di antara asupan energi pada tingkat kurang (70-80 % AKG) sebanyak 40 % ibu nifas memiliki IMT normal dan 60 % ibu nifas dengan IMT gemuk. Pada ibu yang asupan energi
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
50
pada tingkat sedang (80-90 % AKG) sebanyak 50 % yang memiliki IMT normal dan gemuk. Pada ibu nifas yang asupan energi baik, 100 % memiliki IMT gemuk. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,083, maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara asupan energi dengan IMT.
Tabel 4.19. Distribusi IMT Berdasarkan Asupan Energi
Asupan Energi Baik Sedang Kurang Defisit
Normal N % 0 0,0 3 50,0 2 40,0 26 78,8
IMT Gemuk N % 1 100,0 3 50,0 3 60,0 7 21,1
Jumlah N 1 6 5 33
% 100,0 100,0 100,0 100,0
Pada tabel 4.20 di bawah ini, menunjukkan bahwa di antara asupan protein pada tingkat defisit (< 70 % AKG) sebanyak 91,7 % ibu nifas memiliki IMT normal (18,5 - 25). Sedangkan di antara asupan protein pada tingkat kurang (70-80 % AKG) sebanyak 73,3 % ibu nifas memiliki IMT normal. Pada ibu nifas dengan asupan protein pada tingkat sedang (80-90 % AKG) sebanyak 54,5 % yang memiliki IMT normal. Di antara ibu nifas dengan asupan protein pada tingkat baik (≥ 100 % AKG) sebanyak 42,9 % memiliki IMT normal. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,097, maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara asupan protein dengan IMT.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
51
Tabel 4.20. Distribusi IMT Bersadarkan Asupan Protein
Asupan Protein Baik Sedang Kurang Defisit
Normal N % 3 42,9 6 54,5 11 73,3 11 91,7
IMT Gemuk N % 4 57,1 5 45,5 4 26,7 1 8,3
Jumlah N 7 11 15 12
% 100,0 100,0 100,0 100,0
Dari hasil analisis hubungan asupan energi dengan kadar hemoglobin menunjukkan bahwa semua ibu nifas (100,0 %) dengan asupan energi tingkat defisit (< 70 % AKG) memiliki kadar Hb < 11 gr% atau mengalami anemia. Sedangkan di antara ibu nifas dengan asupan energi pada tingkat kurang (70-80 % AKG) sebanyak 60,0 % mengalami anemia dan 40 % tidak mengalami anemia. Di antara ibu nifas dengan asupan energi pada tingkat sedang (80-90 % AKG) sebanyak 83,3 % ibu nifas memiliki kadar Hb ≥ 11 gr% atau tidak mengalami anemia dan 16,7 % yang mengalami anemia. Di antara ibu nifas yang asupan energi tingkat baik 100 % tidak mengalami anemia. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,000 maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara asupan energi dengan kadar hemoglobin. Lebih jelas dapat dilihat pada tabel 4.21 dibawah ini.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
52
Tabel 4.21. Distribusi Kadar Hemoglobin Bersadarkan Asupan Energi
Asupan Energi Baik Sedang Kurang Defisit
< 11 gr% N % 0 0,0 1 16,7 3 60,0 33 100,0
Kadar Hemoglobin ≥ 11 gr% Jumlah N % N % 1 100,0 1 100,0 5 83,3 6 100,0 2 40,0 5 100,0 0 0,0 33 100,0
Dari hasil analisis hubungan asupan protein dengan kadar hemoglobin menunjukkan bahwa pada asupan protein tingkat defisit dan kurang, seluruh (100 %) ibu nifas mengalami anemia. Di antara asupan protein pada tingkat sedang sebanyak 90,9 % ibu nifas yang mengalami anemia. Di antara asupan protein tingkat baik, seluruh (100 %) ibu nifas tidak mengalami anemia. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,000, maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara asupan protein dengan kadar hemoglobin. Secara jelas dapat dilihat pada tabel 4.22 di bawah ini.
Tabel 4.22. Distribusi Kadar Hemoglobin Bersadarkan Asupan Protein
Asupan Protein Baik Sedang Kurang Defisit
< 11 gr% N % 0 0,0 10 90,9 15 100,0 12 100,0
Kadar Hemoglobin ≥ 11 gr% Jumlah N % N % 7 100,0 7 100,0 1 9,1 11 100,0 0 0,0 15 100,0 0 0,0 12 100,0
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
53
Berdasarkan hasil analisis hubungan asupan zat besi dengan kadar hemoglobin menunjukkan bahwa pada asupan zat besi tingkat defisit, sebanyak 90,2 % ibu nifas mengalami anemia. Sedangkan pada asupan zat besi tingkat kurang, seluruh (100 %) ibu nifas tidak mengalami anemia. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,000, maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara asupan zat besi dengan kadar hemoglobin. Secara jelas dapat dilihat pada tabel 4.23 di bawah ini.
Tabel 4.23. Distribusi Kadar Hemoglobin Bersadarkan Asupan Zat Besi
Asupan Zat Besi Kurang Defisit
4.7.
< 11 gr% n % 0 0,0 37 90,2
Kadar Hemoglobin ≥ 11 gr% Jumlah N % N % 4 100,0 4 100,0 4 9,8 41 100,0
Persepsi Masyarakat terhadap Makanan Tradisi Badapu Persepsi masyarakat terhadap makanan tradisi badapu diperoleh dari
pendapat masyarakat yang berjumlah 26 orang, yang diwakili oleh ibu nifas sebanyak 8 (delapan) orang, ibu/ibu mertua sebanyak 8 (delapan) orang, bidan desa
sebanyak 4 (empat) orang, bidan kampung sebanyak 4 (empat) orang dan
tokoh adat sebanyak 2 (dua) orang yang diambil secara purposive sebesar 20 %. Pendapat tersebut digali dengan melakukan wawancara mendalam berdasarkan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
54
4.7.1. Atas inisiatif siapa tradisi badapu dilaksanakan Dari hasil wawancara
tentang inisiatif melaksanakan tradisi badapu,
diperoleh pendapat sebagai berikut yaitu : sebanyak 10 orang menyatakan atas inisiatif orang tua (Ibu atau Ibu Mertua) karena ibu nifas baru melahirkan anak pertama sehingga inisiatif untuk melaksanakan tradisi badapu dari orang tua; sebanyak 11 orang menyatakan atas inisiatif orang tua dan ibu nifas karena ibu nifas sudah pernah melaksanakan tradisi badapu, sehingga mempunyai keinginan melaksanakan tradisi badapu pada kelahiran anak berikutnya yang didukung pula oleh orang tua; sebanyak 3 orang menyatakan atas inisiatif ibu nifas sendiri karena ibu nifas tersebut menjalankan tradisi badapu tanpa ada bantuan orang tua pada kelahiran anak selanjutnya; dan 2 orang menyatakan atas inisiatif orang tua dan bidan kampung karena orang tua dan bidan kampung yang memegang peranan yang besar pada pelaksanaan tradisi badapu. Berikut ini kutipan hasil wawancara dari beberapa orang informan yaitu : “Badapu ini adalah inisiatif orang tua karena sudah turun temurun dari nenek moyang”. “Badapu ini atas keinginan sendiri dan orang tua untuk mengikuti tradisi yang ada”. “Saya menjalankan tradisi ini karena sudah melakukannya pada anak sebelumnya” “Tradisi badapu ini dilakukan atas inisatif orang tua dan bidan/dukun kampung”. 4.7.2. Apakah setuju untuk melaksanakan tradisi badapu Dari hasil wawancara diketahui bahwa sebanyak 21 orang menyatakan setuju untuk melaksanakan tradisi badapu dan hanya 5 orang yang tidak setuju pada pelaksanaan tradisi badapu.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
55
Berikut ini kutipan hasil wawancara dari beberapa orang informan yaitu : “Harus setuju pada tradisi badapu yang telah dilakukan secara turun temurun”. “Oh, saya pribadi sangat tidak setuju pada pelaksanaan tradisi badapu ini” 4.7.3. Alasan setuju atau tidak untuk melaksanakan tradisi badapu. Berdasarkan hasil wawancara maka diketahui alasan yang setuju melaksanakan tradisi badapu karena tradisi badapu ini bermanfaat bagi kesehatan, supaya badan sehat dan cepat sembuh atau dapat memulihkan dan mengembalikan kondisi tubuh seperti semula. Berikut ini kutipan hasil wawancara dari beberapa orang informan yaitu : “Badapu untuk memulihkan dan mengembalikan kondisi tubuh seperti semula”. “Dengan badapu badan jadi sehat dan kuat (tidak lemah), dapat mengeluarkan keringat sehingga badan jadi segar”. “Dengan badan jadi sehat, cepat pulih seperti semula”. Adapun alasan yang tidak setuju untuk melaksanakan tradisi badapu karena bertentangan dengan kaedah kesehatan atau tidak sehat, badapu tidak ada manfaatnya karena merepotkan dan terlalu kaku. Berikut ini kutipan hasil wawancara dari beberapa orang informan yaitu : “Saya tidak setuju karena tradisi badapu membatasi asupan zat gizi, dengan melarang ibu nifas mengkonsumsi beberapa jenis bahan makanan”. “Tradisi badapu sangat merepotkan dan terlalu kaku dengan berbagai macam aturan”.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
56
4.7.4. Makanan yang boleh dimakan pada saat melaksanakan tradisi badapu Pendapat tentang makanan yang boleh dimakan oleh ibu nifas saat melaksanakan tradisi badapu yaitu : nasi;
ikan yang digoreng/ dipanggang
sampai kering supaya rahim dan alat kewanitaan cepat kering dan jenis bahan makanan lain dilarang untuk dikonsumsi; ayam; daging; tempe; tahu; sayursayuran (daun singkong, daun katu, kacang panjang, bayam), buah-buahan yang tidak banyak mengandung air (jeruk, apel, pisang) supaya alat kewanitaan cepat kering, “minuman mentah” dan “minuman pariuk” Berikut ini kutipan hasil wawancara dari beberapa orang informan yaitu : “Makanan yang boleh dimakan hanya nasi dan ikan digoreng/dipanggang saja”. “Makanan yang bisa dimakan oleh orang yang sedang badapu yaitu nasi, ikan digoreng/dipanggang, ayam, tempe, tahu, sayur rebus (daun singkong, daun katu dan kacang panjang dicampur) untuk makan siang dan malam”. “Ibu yang badapu boleh makan nasi, ikan yang digoreng kering, sayur (airnya di peras), minuman periuk dan minuman mentah”. 4.7.5. Makanan yang tidak boleh dimakan pada saat melaksanakan tradisi badapu Dari hasil wawancara diktehaui bahwa makanan yang tidak boleh dimakan adalah jenis bahan makanan yang dapat menimbulkan efek tidak baik bagi ibu dan bayi. Ikan tongkol, ikan teri, ikan yang berbisa (lele, pari, hiu, marang, sebaung), udang, kepiting, telur karena dapat mengakibatkan gatal-gatal. Sayuran yang menjalar (kangkung), sayuran yang mengandung gas (nangka, kol, pakis, sawi) karena dapat menyebabkan perut ibu dan bayi kembung. Buah-buahan yang banyak mengandung air (pepaya, semangka, nenas, jambu air) karena
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
57
memperlambat proses pemulihan alat kewanitaan. Cabe dan santan yang dapat menyebabkan bayi mencret. Berikut ini kutipan hasil wawancara dari beberapa orang informan yaitu : .“Makanan yang tidak boleh dimakan oleh ibu nifas yaitu Ikan tongkol, telur, udang, sayur yang berangin (kol, pakis, kangkung) buah yang banyak mengandung air (nenas, pepaya, semangka), cabe atau yang pedas-pedas”. “Makanan yang tidak boleh dimakan yaitu daging, ikan yang diolah dengan santan atau air, cabe”. “Makananan yang tidak boleh dimakan yaitu ikan yang berbisa (hiu, pari, marang, sebaung), lokan/kerang, udang, sayur yang bergas (kol, sawi, kangkung) buah-buahan (pepaya, semangka,) karena sifatnya dingin, cabe, santan dan air dingin”. 4.7.6. Makanan saat melaksanakan tradisi badapu Pendapat mengenai makanan saat melaksanakan tradisi badapu secara umum menyatakan bahwa ada beberapa jenis makanan yang dipantangkan atau dilarang, dan ibu nifas harus mentaati aturan yang ada, agar tidak memberikan dampak buruk bagi kesehatan ibu dan bayi. Makanan bagi ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu harus dapat memberikan efek panas atau dalam kondisi hangat dan menghindari bahan makanan yang dingin-dingin karena tubuh ibu nifas dalam kondisi dingin. Berikut ini kutipan hasil wawancara dari beberapa orang informan yaitu : “Makanan bagi ibu nifas yang sedang badapu berbeda dengan makanan pada wanita biasa, tidak boleh makan cabe dan santan mengganggu pencernaan bayi sehingga bayi menglami mencret”. “Ibu nifas harus makan makanan yang sifatnya panas (seperti merica, durian) untuk memulihkan peranakan. Makanan dimakan dalam kondisi hangat dan tidak boleh dingin karena tubuh ibu dalam keadaan dingin”. “Makanan badapu penuh aturan dan berbeda dengan makanan orang biasa. Ada makanan dan minuman khusus yang dibuat untuk ibu nifas yang sedang badapu yaitu nasi lancing, minuman pariuk dan minuman mentah”
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
58
4.7.7. Manfaat tradisi badapu terhadap kesehatan ibu nifas Dari hasil wawancara dapat diketahui bahwa tradisi badapu ada manfaatnya terhadap kesehatan ibu nifas diantaranya dapat membersihkan darah kotor dalam perut, luka sehabis melahirkan dan alat genital menjadi cepat kering serta kembali seperti semula. Badan menjadi sehat, segar, wangi dan kuat karena keringat banyak keluar akibat minum “minuman pariuk” dan “minuman mentah”. Akan tetapi ada juga yang menyatakan tradisi badapu tidak ada manfaat karena tubuh didiang dengan api, sehingga dapat mengakibatkan tubuh kekeringan. Berikut ini kutipan hasil wawancara dari beberapa orang informan yaitu : “Manfaat dari badapu adalah membersihkan darah kotor dan alat genital cepat kering dan rapat kembali”. “Manfaat badapu badan menjadi segar, ringan, keringat keluar sehingga merapatkan pori-pori”. “Dengan badapu badan jadi sehat, mengeluarkan darah putih/kotor dan mengeringkan luka dalam perut setelah melahirkan”. “Tradisi badapu tidak ada manfaatnya karena harus didiang dekat api sehingga tubuh kekeringan”. 4.7.8. Pengaruh tradisi badapu terhadap jumlah ASI Pendapat tentang pengaruh tradisi badapu terhadap jumlah ASI yaitu ASI menjadi lebih banyak karena makan sayur dan minuman air rebusan (minuman pariuk), jumlah ASI biasa saja karena tidak ada pengaruhnya pada ASI, jumlah ASI berkurang karena adanya larangan mengkonsumsi beberapa jenis makanan. Berikut ini kutipan hasil wawancara dari beberapa orang informan yaitu : “ASI menjadi lebih banyak karena banyak makan sayur”. “Jumlah ASI biasa saja, tidak ada perubahannya”. “Kualitas dan kuantitas ASI berkurang”karena adanya larangan mengkonsumsi beberapa jenis makanan”. “ASI menjadi lebih banyak karena meminum minuman rebusan (daun nangka direbus) sebagai pengganti air putih yang diganti setiap tiga hari”.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
59
4.7.9. Saran terhadap tradisi badapu Dari hasil wawancara diketahui bahwa 19 orang menyaran agar tradisi badapu harus diteruskan, karena untuk kebaikan dan kesehatan. Sebanyak 5 orang menyarankan yang baik-baik diteruskan dan yang tidak baik dihilangkan. Ada satu orang menyarankan tradisi badapu tidak perlu dilakukan karena repot dan tidak bersih. Satu orang menyaranka tradisi badapu dihilangkan secara bertahap karena susah menghapusnya secara cepat. Berikut ini kutipan hasil wawancara dari beberapa orang informan yaitu : “Tradisi badapu harus diteruskan, karena untuk kebaikan dan kesehatan”. “Tradisi badapu tidak perlu dilakukan karena merepotkan dan tidak bersih”. “Tradisi yang baik diteruskan, yang tidak baik (pantangan) dihilangkan”. “Sebaiknya tradisi badapu dihilangkan secara bertahapkarena susah untuk menghapusnya secara cepat” 4.7.10. Perasaan ibu dalam melaksanakan tradisi badapu Dari wawancara yang khusus bagi ibu nifas diketahui sebanyak 4 orang menyatakan perasaannya biasa saja saat melaksanakan tradisi badapu, sebanyak 2 orang merasa senang melaksanakan tradisi badapu, satu orang merasa rileks dan satu orang merasa bosan melaksanakan tradisi badapu ini. Berikut ini kutipan hasil wawancara dari beberapa orang informan yaitu : “Perasaan saya dalam melaksanakan tradisi badapu ini biasa saja”. “Dalam melaksanakan tradisi badapu ini, saya merasa senang-senang saja”. “Saya jalani tradisi badapu ini dengan rileks saja”. “Tradisi badapu ini, bagi saya sangat membosankan”.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
60
4.7.11. Jumlah air yang diminum ibu dalam satu hari Wawancara khusus kepada ibu nifas untuk mengetahui jumlah air yang diminum dalam satu hari sangat bervariasi. Ada yang minum empat liter sehari karena merasa haus terus dan sering menyusukan. Ada yang minum tiga liter karena banyak minum. Ada yang minum hanya dua setengah liter, seperti minum pada kebiasaan normal. Ada juga yang hanya satu setengah liter karena memang agak kurang minum air. Berikut ini kutipan hasil wawancara dari beberapa orang informan yaitu : “Jumlah air yang diminum dalam satu hari, banyak ya karena merasa haus terus, sehingga sering minum apalagi sedang menyusukan bayi, kira-kira ada empat liter”. “Air yang diminum dalam satu hari banyak juga ya, kurang lebih tiga liter”. “Minum air kayaknya seperti biasanya, normal saja sekitar dua setengah liter”. “Saya memang kurang sekali minum air, mungkin cuma satu setengah dalam sehari”.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
61
BAB 5 PEMBAHASAN
5.1.
Pola Konsumsi Makanan Ibu Nifas yang Melaksanakan Tradisi Badapu Berdasarkan wawancara pada ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu
dengan menggunakan formulir food frekuensi, maka hasil yang didapat memberikan gambaran pola konsumsi bahan makanan ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu. Pola konsumsi makanan pada ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu kurang bervariasi dan hampir sama setiap hari dengan menu utama nasi dan ikan goreng/panggang. Seluruh ibu nifas (100%) mengonsumsi beras sebagai bahan makanan sumber karbohidrat penyumbang energi terbesar dan hanya sebagian kecil (13,3 %) yang mengonsumsi makanan selingan untuk tambahan energi. Hal ini mengakibatkan sebagian besar ibu nifas (73,4 %) mengalami defisit energi. Sedikitnya ibu nifas yang mengonsumsi makanan selingan karena ada larangan untuk bisa mengonsumsi makanan tersebut. Pangan hewani sumber protein yang paling banyak dikonsumsi setiap hari adalah ikan (97,8 %) karena ikan merupakan lauk utama yang mudah di dapat dan tidak menimbulkan efek buruk bagi kesehatan ibu nifas dan bayinya. Ada sebagian kecil responden yang mengonsumsi ayam, lele atau telur dengan frekuensi 2-5X/minggu atau 1X/beberapa kali/bulan sebagai variasi saja. Akan tetapi ada juga responden yang tidak mengonsumsi telur karena dianggap dapat
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
62
menimbulkan gatal pada alat genital sehingga dilarang. Padahal sesungguhnya telur merupakan pangan yang bergizi lagi murah dan justru berguna mempercepat proses pemulihan setelah melahirkan. Pangan nabati yang banyak dikonsumsi tempe dan tahu dengan frekuensi 2-5X /minggu (37,8 %). Pangan sumber protein yang dikonsumsi ibu nifas pada tradisi badapu masih kurang, dari segi jumlah dan jenisnya. Oleh karena itu, ibu nifas harus meningkatkan konsumsi protein dengan menambah jumlah maupun jenisnya pangan sumber protein. Konsumsi sayur-sayuran masih sangat rendah, karena hanya 15 % ibu nifas yang mengonsumsi sayur-sayuran setiap hari. Begitu pula konsumsi buahbuahan juga masih sangat rendah, kurang dari 5 % ibu nifas yang mengkonsumsi buah-buahan setiap hari. Pola pangan di Indonesia, sebagian besar penduduk menggunakan beras sebagai bahan makanan pokok. Di antara lauk hewani, penduduk Indonesia relatif lebih banyak makan ikan daripada daging dan telur. Konsumsi rata-rata sayuran masih rendah, begitu pula dengan konsumsi buah-buahan juga masih rendah (Almatsier, 2009). Pola konsumsi makanan ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu tersebut, relatif sama dengan pola pangan penduduk Indonesia. Pola konsumsi makanan ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu, pada umumnya dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah ibu nifas yang tradisional, karena hanya mengkonsumsi nasi dan ikan saja. Adapun menu yang disajikan untuk satu hari yaitu nasi dan ikan yang digoreng/ dipanggang sampai kering untuk sarapan pagi, makan siang dan makan malam.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
63
Kelompok kedua adalah ibu nifas yang sudah menambahkan sayuran pada menu makan siang dan malam. Menu yang disajikan untuk satu hari berupa nasi, ikan goreng/panggang dan sayur campur rebus (terdiri dari daun katu, daun singkong dan kacang panjang) atau bening bayam. Kelompok ketiga adalah ibu nifas yang sudah melengkapi menu makanan dengan sayuran dan buah-buahan tertentu ditambah makanan selingan sebagai snack. Menu yang disajikan untuk satu hari berupa nasi, ikan goreng/ panggang, sayur campur rebus (terdiri dari daun katu, daun singkong, kacang panjang) atau bening bayam, buah-buahan (jeruk, apel, pisang), roti serta susu. Dari hasil penelitian C.S. Wilson, pola konsumsi makanan ibu menyusui di daerah RuMuda, Malaysia, dapat dilihat susunan menu yang disajikan untuk satu hari adalah : sarapan pagi berupa tiga buah kue “apam” (dengan kunyit), merica hitam, parutan kelapa dan teh manis; makan siang berupa nasi, semur telur, ikan panggang, ikan asin goreng; dan makan malam berupa nasi, kari ikan tanpa saus/kuah; dan makanan snak berupa teh manis, tiga buah kue bolu dan telur (Adair, 1987). Pola konsumsi ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu relatif sama dengan pola konsumsi makanan ibu menyusui di daerah RuMuda, Malaysia.
5.2.
Asupan Zat Gizi Ibu Nifas yang Melaksanakan Tradisi Badapu. Dari hasil recall 24 jam yang dilakukan sebanyak dua kali terhadap
makanan yang dikonsmsi ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu, maka diketahui rata-rata asupan energi, protein dan zat besi sebagai berikut :
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
64
5.2.1. Asupan energi Dari hasil penelitian ini, rata-rata asupan energi ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu adalah 1531,64 ± 329,99. Sebagian besar (73,4 %) ibu nifas dengan asupan energi tingkat defisit, sebanyak 11,1 % dengan asupan energi kurang, sebanyak 13,3 % dengan asupan energi tingkat sedang dan 2,2 % asupan energi baik. Rata-rata asupan energi pada penelitian ini relatif sama dengan rata-rata konsumsi energi ibu menyusui di kecamatan Darmaga kabupaten Bogor dari hasil penelitian Aritonang (2007), bahwa total rata-rata konsumsi energi ibu menyusui sebelum dilakukan intervensi 1574,0 ± 527,1 Kal. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan C.S. Wilson di daerah RuMuda, Malaysia, konsumsi energi pada ibu nifas setelah 28 hari melahirkan adalah 2087 Kal (Adair, 1987). Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) Hasil Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 2004, kebutuhan energi bagi ibu menyusui enam bulan pertama ada tambahan sebesar 500 kal/hari, sehingga kebutuhan energi per hari pada kelompok umur 16 – 18 tahun sebesar 2700 kal, pada kelompok 19 – 29 tahun sebesar 2400 Kal dan kelompok umur 30 – 49 tahun sebesar 2300 kal. Bila dibandingkan
dengan
AKG,
maka
konsumsi
energi
ibu
nifas
yang
melaksanakanan tradisi badapu sebagian besar mengalami defisit (< 70 % AKG). Adapun ibu menyusui di Malaysia, konsumsi energi berdasarkan The Recommended Dietary Allowances of The Ministry of Health for Malaysians (Malay R.D.A.’s) sebesar 2700 Kal.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
65
Rendahnya asupan energi pada ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu dikarenakan sebagian besar ibu nifas hanya mengonsumsi beras sebagai sumber penghasil energi utama. Kontribusi karbohidrat diperoleh dari beras sebanyak 700 gr sehari untuk tiga kali makan (pagi, siang dan malam). Hanya sebagian kecil responden mengonsumsi makanan selingan untuk tambahan energi dari pangan sumber karbohidrat lain, misalnya roti/krekers dan pisang goreng. Sesuai anjuran seharusnya ibu nifas mengonsumsi makanan tambahan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi ibu selama menyusui dan kebutuhan bayi, terutama pada bayi dengan ASI Ekslusif. Pada masa laktasi, seorang ibu memerlukan tambahan energi untuk memproduksi air susu ibu (ASI), untuk energi yang tersimpan di dalam ASI sendiri. Dalam keadaa normal, pada periode enam bulan pertama laktasi diharapkan seluruh atau sekurang-kurangnya 80 % kebutuhan energi bayi dapat disediakan dari ASI. Disamping itu, ibu juga perlu memelihara kesehatannya sesudah melahirkan (Almatsier, 2009). Penambahan kalori sepanjang 3 bulan pertama pascapartum mencapai sebanyak 500 Kal. Rekomendasi ini didasarkan pada asumsi, bahwa tiap 100 cc ASI berkemampuan memasok 67-77 Kal. Efisiensi konversi energi yang terkandung dalam makanan menjadi energi susu sebesar rata-rata 80 %, dengan kisaran 76-94 %. Dari sini dapat diperkirakan besaran energi yang diperlukan untuk menghasilkan 100 cc susu, sekitar 85 Kal. Sementara kalori yang dihabiskan untuk menghasilkan 850 cc ASI adalah 750 Kal (Arisman, 2004).
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
66
5.2.2. Asupan protein Berdasarkan hasil penelitian ini, rata-rata asupan protein adalah 54,68 ± 14,21 gr. Asupan protein pada sebagian ibu nifas masih kurang. Di antaranya, sebanyak 33,3 % dengan asupan protein tingkat kurang dan 26,7 % dengan asupan protein tingkat defisit. Sebanyak 24,4 % dengan asupan protein tingkat sedang dan 15,6 % dengan asupan protein tingkat baik. Rata-rata asupan protein pada penelitian ini, lebih tinggi bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Aritonang (2007) pada ibu menyusui di kecamatan Darmaga, Bogor, dimana total rata-rata konsumsi protein ibu menyusui sebelum dilakukan intervensi adalah 46,7 ± 20,1 gr. Adapun penelitian C.S. Wilson pada ibu menyusui di daerah RuMuda, Malaysia, konsumsi protein adalah 58,9 gr (Adair, 1987). Bila dibandingkan dibandingkan dengan AKG Hasil Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 2004, seharusnya konsumsi protein sebesar 67 gr/hari, setelah ada penambahan sebanyak 17 gr, maka sebagian besar ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu mengalami kekurangan protein. Pada ibu nifas di daerah RuMuda, Malaysia, seharusnya mengonsumsi protein sebesar 71 gr (berdasarkan Malay R.D.A.s). Protein mempunyai fungsi sebagai zat pembangun. Selain itu berfungsi dalam pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan, mengganti sel-sel yang mati dan aus terpakai. Sebagai badanbadan anti, protein berfungsi dalam mekanisme pertahanan tubuh melawan berbagai mikroba dan zat toksik lain. Sebagai zat-zat
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
67
pengatur, protein mengatur proses-proses metabolisma dalam bentuk enzim dan hormon. Sumber protein hewani dapat berbentuk daging dan alat-alat dalam (hati, pankreas, ginjal, paru, jantung dan jeroan). Susu dan telur termasuk protein hewani berkualitas tinggi. Ikan, kerang dan jenis udang merupakan protein yang baik. Sumber protein nabati seperti golongan kacang-kacangan : kacang hijau, kacang kedelei serta olahan kedelei yaitu tempe dan tahu (Sediaoetama, 2008). Asupan protein ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu masih kurang dan defisit karena hanya mengonsumsi sumber protein hewani (ikan) dan kurang mengonsumsi sumber protein hewani jenis lainnya dan sumber protein nabati. Selain jenis pangan yang kurang, jumlah yang dikonsumsi juga masih kurang bila dibandingkan dengan yang seharusnya dikonsumsi ibu nifas. Sehingga kebutuhan protein ibu nifas sebesar 67 gr/hari tidak dapat terpenuhi. Kontribusi protein terbanyak diperoleh dari konsumsi ikan yang digoreng/dipanggang sampai kering berkisar 150 gram setiap hari. Sebagian kecil saja dari ibu nifas ada yang mengonsumsi tempe dan tahu masing-masing berkisar 100 dan 200 gram (makan siang dan malam). Tahu atau tempe tersebut biasanya dikonsumsi saat adanya hari Onan (hari pekan mingguan) yang dilaksanakan dua kali seminggu yaitu hari Senin dan Kamis. Sedangkan makanan sumber protein lainnya adalah susu dan kacang hijau yang hanya dikonsumsi oleh beberapa orang saja. Padahal sesungguhnya konsumsi protein sangat penting dan harus cukup bagi ibu nifas untuk mengganti jaringan yang telah rusak dan mengatur prosesproses matabolisme serta melawan berbagai mikroba yang datang dari luar tubuh.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
68
5.2.3. Asupan zat besi Berdasarkan hasil penelitian ini, rata-rata asupan zat besi adalah 8,66 ± 5,75 mg. Sebagian besar (91,1 %) ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu mengalami defisit zat besi dan sebesar 8,9 % dengan asupan zat besi tingkat kurang. Rata-rata asupan zat besi pada penelitian ini, sangat rendah dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Aritonang (2007), di mana total rata-rata konsumsi zat besi ibu menyusui di kecamatan Darmaga, Bogor, sebelum dilakukan intervensi adalah 13,6 ± 6,6 mg. Sedangkan pada penelitian C.S. Wilson, konsumsi protein ibu nifas adalah 12,8 mg (Adair, 1987). Bila dibandingkan dibandingkan dengan AKG Hasil Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 2004, konsumsi zat besi seharusnya sebesar 32 mg/hari, setelah penambahan sebesar 6 mg, maka sebagian besar ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu mengalami defisit zat besi. Konsumsi zat besi pada ibu nifas di daerah RuMuda, Malaysia, berdasarkan Malay R.D.A.s hanya 15 mg. Zat besi (Fe) merupakan microelement yang essensial bagi tubuh. Zat besi terutama diperlukan dalam hemopobesis (pembentukan darah), yaitu dalam sintesa hemoglobin (Hb). Di samping itu berbagai jenis enzim memerlukan Fe sebagai faktor penggiat (Sediaoetama, 2008). Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi-hem seperti terdapat dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani, dan besi-nonhem dalam makanan nabati. Bentuk besi di dalam makanan berpengaruh terhadap
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
69
penyerapannya. Besi-hem dapat diserap dua kali lipat daripada besi-nonhem. Kurang lebih 40 % dari besi di dalam daging, ayam dan ikan terdapat sebagai besi-hem dan selebihnya sebagai besi-nonhem. Besi-nonhem juga terdapat di dalam telur, serealia, kacang-kacangan, sayuran hijau dan beberapa jenis buahbuahan. Makan besi-hem dan nonhem secara bersama dapat meningkatkan penyerapan besi-nonhem. Daging, ayam dan ikan mengandung suatu faktor yang membantu penyerapan besi. Faktor ini terdiri dari asam amino yang mengikat besi dan membantu penyerapannya. Susu sapi, keju dan telur tidak mengandung faktor ini sehingga tidak dapat membantu penyerapan besi (Almatsier, 2009). Hanya sekitar 25 % WUS memenuhi kebutuhan Fe sesuai dengan AKG (26 mg/hr). Secara rata-rata, wanita mengkonsumsi 6,5 mg Fe per hari melalui diet makanan. Kecukupan asupan Fe tidak hanya dipenuhi dari konsumsi makanan sumber Fe, tetapi dipengaruhi oleh variasi penyerapan Fe. Variasi ini disebabkan oleh perubahan fisiologis tubuh seperti hamil dan menyusui sehingga meningkatkan kebutuhan Fe bagi tubuh, tipe Fe yang dikonsumsi dan faktor diet yang mempercepat dan menghambat penyerapan Fe (FKM-UI, 2007). Apabila dilihat dari pola konsumsi makanan ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu, sebagian besar responden yang defisit zat besi dikarenakan repsonden sangat kurang mengonsumsi makanan sumber utama zat besi yang banyak terdapat pada daging sapi, ayam, telur, dan sayuran berwarna hijau. Disamping itu adanya larangan untuk mengonsumsi jenis makanan tertentu seperti telur, karena dianggap dapat mengganggu kesehatan ibu nifas. Kondisi ini makin
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
70
diperburuk dengan kurang dan tidak adanya mengonsumsi sayuran serta buahbuahan yang mengandung asam askorbat atau vitamin C yang berfungsi untuk meningkatkan absorpsi Fe dalam tubuh.
5.3.
Hubungan Asupan Zat Gizi dengan Status Gizi Ibu Nifas yang Melaksanakan Tradisi Badapu Berdasarkan hasil uji statistik bivariat dengan menggunakan uji chi-square,
maka diketahui bahwa asupan energi dan protein tidak ada hubungan secara signifikan dengan IMT dengan nilai p=0,083>0,05 dan p=0,097>0,05. Sedangkan pada asupan energi, protein dan zat besi ada hubungan secara signifikan dengan kadar hemoglobin dengan masing-masing nilai p=0,000 <0,05. 5.3.1. Hubungan asupan energi dengan IMT ibu nifas Dari hasil uji statistik, menyatakan bahwa asupan energi tidak ada hubungan yang signifikan dengan IMT (p=0,083>0,05). Pada tabel 4.19 dapat dilihat, bahwa di antara ibu nifas yang asupan energi tingkat defisit, ada sebanyak 21,2 % dengan IMT gemuk. Demikian pula pada asupan energi tingkat kurang, terdapat sebanyak 60 % dengan IMT gemuk. Kondisi ini memperlihatkan bahwa meskipun asupan energi ibu nifas pada tingkat defisit dan kurang, namun IMT ibu nifas masih pada kategori gemuk. Hal ini dimungkinkan, pada masa hamil status gizi ibu (IMT) pada kategori baik atau gemuk. Kelebihan energi sebagian akan disimpan sebagai glikogen dalam hati dan jaringan otot, sebagian lagi diubah menjadi lemak untuk kemudian disimpan
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
71
sebagai cadangan energi di dalam jaringan lemak (Almatsier, 2009). Meskipun ibu nifas mengalami defisit energi pada saat melaksanakan tradisi badapu, akan tetapi masih mempunyai cadangan pada masa hamil, sehingga akan dipergunakan sebagai sumber energi pada masa badapu. Oleh sebab itu, cadangan lemak dan otot belum terurai menjadi energi. Keadaan ini dapat dilihat dari kondisi ibu nifas tidak ada yang memilki IMT kurang (IMT < 18,5). Simpanan lemak selama hamil, sebanyak 4 kg atau setara dengan 36.000 Kal akan habis setelah 105 - 121 hari, atau sekitar 3,5 - 4 bulan (Arisman, 2004). Oleh karena masa pelaksanaan tradisi badapu hanya berlangsung berkisar 40 – 60 hari, sehingga ibu nifas masih dapat mempergunakan cadangan energi yang ada dalam tubuh tersebut untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh ibu nifas. 5.3.2. Hubungan asupan protein dengan IMT ibu nifas Dari hasil uji statistik, menyatakan bahwa asupan protein tidak ada hubungan yang signifikan dengan IMT (p=0,097>0,05), seperti terlihat pada tabel 4.20. Di antara ibu nifas asupan energi defisit, terdapat 8,3 % ibu nifas yang gemuk. Sedangkan di antara ibu yang asupan protein kurang, sebanyak 26,7 % ibu nifas yang gemuk. Hal ini memperlihatkan bahwa meskipun asupan protein defisit dan kurang, namun ibu nifas memilki IMT gemuk. Protein berfungsi untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh; pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh seperti hormon dan enzim; mengatur keseimbangan
air;
memelihara
netralitas
tubuh;
pembentukan
antibodi,
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
72
mengangkut zat-zat gizi dan juga sebagai sumber energi. Kebutuhan protein untuk orang dewasa dihitung dengan cara keseimbangan nitrogen. Keseimbangan nitrogen dihitung dengan membandingkan jumlah jumlah konsumsi nitrogen melalui makanan dengan kehilangan nitrogen dari tubuh melalui urine, feses dan dari permukaan kulit. Bila konsumsi nitrogen melebihi kehilangan nitrogen, seseorang
dikatakan
dalam
keadaan
keseimbangan
nitrogen
positif.
Keseimbangan ini harus terjadi pada bayi, anak-anak, remaja, selama kehamilan dan menyusukan serta dalam masa penyembuhan. Bila sel membutuhkan protein tertentu, sel tersebut akan membentuknya dari asam amino yang tersedia. Di dalam protein sel-sel, ada persediaan metabolik asam amino yang berada dalam keseimbangan dinamis yang dapat digunakan. Perubahan protein secara terus menerus pada orang dewasa diperlukan untuk memelihara persediaan asam amino agar terpenuhi segera kebutuhan asam amino bagi berbagi sel dan jaringan. Jaringan yang paling aktif dalam perubahan protein adalah protein plasma, mukosa saluran cerna, pankreas, hati dan ginjal. Sedangkan jaringan otot dan kulit biasanya tidak terlalu aktif (Almatsier, 2009). Selama menyusui, ibu membutuhkan tambahan protein di atas kebutuhan normal sebesar 17 gr/hari. Peningkatan kebutuhan ini ditujukan bukan hanya untuk transformasi menjadi protein susu, tetapi juga untuk sintesis hormon yang memproduksi ASI yaitu prolaktin serta yang mengeluarkan ASI yaitu oksitoksin (Arisman, 2004).
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
73
Berdasarkan pernyataan di atas, protein yang dikonsumsi ibu nifas lebih diutamakan pada pemeliharaan dan perbaikan jaringan tubuh ibu setelah melahirkan dan tidak terlalu aktif digunakan pada jaringan otot. Selain itu, protein bagi ibu nifas untuk menghasilkan Air Susu Ibu. Asupan protein yang defisit dan kurang pada ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu, tentunya akan mempengaruhi pemulihan kondisi ibu menjadi lebih lama. Selain itu juga akan mempengaruhi ASI yang dihasilkan baik dari kuantitas maupun kualitas. Dari keadaan tersebut, dapat dinyatakan bahwa asupan protein tidak ada hubungannya dengan IMT ibu nifas. 5.3.3. Hubungan asupan energi dengan kadar hemoglobin ibu nifas Dari hasil uji statistik, menyatakan bahwa asupan energi ada hubungan yang signifikan dengan kadar hemoglobin darah (p=0,000<0,05). Semakin tinggi asupan energi ibu nifas, semakin banyak yang memiliki kadar hemoglobin ≥ 11 gr% (tidak mengalami anemia), seperti terlihat pada tabel 4.21. Seluruh ibu nifas (100 %) yang asupan energi sedang memiliki kadar hemoglobin ≥ 11 gr% (tidak mengalami anemia). Sementara seluruh ibu nifas (100 %) yang asupan energi defisit memiliki kadar hemoglobin < 11 gr%
(mengalami anemia). Hal ini
menunjukkan bahwa asupan energi berhubungan dengan kadar hemoglobin darah. Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup guna menunjang proses pertumbuhan dan melakukan aktivitas harian. Kegiatan vital tubuh meliputi mempertahankan tonus otot, sistem peredaran darah, pernapasan,
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
74
kelenjer juga metabolisme dalam sel dan mempertahankan suhu tubuh (FKM-UI, 2007). Sebagian besar besi berada dalam hemoglobin yang berperan membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa kembali karbon dioksida dari seluruh sel ke paru-paru untuk dikeluarkan dari tubuh. Menurunnya hemoglobin darah mengakibatkan energi di dalam otot terganggu dan terjadi penumpukan asam laktat yang menyebabkan rasa lelah (Almatsier, 2009). Oleh karena asupan energi pada ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu defisit dan kurang, mengakibatkan kurangnya pembentukan hemoglobin, sehingga ibu mengalami kekurangan Fe yang ditandai dengan gejala letih, lelah, lesu dan lemas. 5.3.4. Hubungan asupan protein dengan kadar hemoglobin ibu nifas Dari hasil uji statistik, menyatakan bahwa asupan protein ada hubungan yang signifikan dengan kadar hemoglobin darah (p=0,000<0,05). Semakin tinggi asupan protein ibu nifas, semakin besar yang memiliki kadar hemoglobin ≥ 11 gr% (tidak mengalami anemia), seperti terlihat pada tabel 4.22. Di antara ibu nifas dengan asupan protein baik, seluruh ibu nifas (100 %) tidak mengalami anemia. Sedangkan di antara ibu nifas dengan asupan protein kurang serta defisit, seluruh ibu nifas (100%) mengalami anemia. Hal ini menunjukkan bahwa asupan protein berhubungan dengan kadar hemoglobin darah.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
75
Hemoglobin, pigmen darah yang berwarna merah dan berfungsi sebagai pengangkut oksigen dan karbon dioksida adalah ikatan protein. Begitupun bahanbahan lain yang berperan dalam pengumpalan darah (Almatsier, 2009). Di dalam tubuh, zat besi tidak terdapat bebas, tetapi berasosiasi dengan molekul protein. Dalam timbunan, zat besi berbentuk ferri dan berasosiasi dengan protein membentuk ferritin. Komponen proteinnya disebut apoferritin. Dalam kondisi transport, zat besi terdapat dalam bentuk ferro dan berasosiasi dengan protein membentuk transferin. Komponen proteinnya diberi nama apotransferin. Transferin di dalam plasma darah disebut serotransferin, sedang yang di dalam air susu disebut lactotransferin dan di dalam telur di sebut ovotrasferin. Perbedaan dalam karakteristik komponen proteinnya (Sediaoetama, 2009). Konsumsi protein khususnya pangan hewani akan bermanfaat membantu absorbsi zat besi. Sumber utama Fe adalah pangan hewani terutama berwarna merah, yaitu hati dan daging. Pangan hewani relatif lebih tinggi tingkat absorpsinya yaitu 20-30 % dibandingkan pangan nabati hanya 1-7 %. Absorpsi Fe dalam pencernaan dipengaruhi oleh simpanan serta hal-hal lain terkait dengan cara Fe dikonsumsi. Zat peningkat absorpsi adalah sistein (daging), vitamin C, sitrat, malat dan laktat yang umunya terdapat dalam buah-buahan (FKM-UI, 2007). Rendahnya asupan protein ibu nifas dikarenakan ibu nifas pada umumnya mengonsumsi pangan hewani jenis ikan dan jarang mengonsumsi daging yang merupakan sumber utama zat besi dan zat peningkat absorpsi. Di samping itu
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
76
jumlah yang dikonsumsi kurang, sehingga mempengaruhi metabolisme zat besi dalam tubuh. Hal tersebut mengakibatkan sebagian besar (82,2 %) ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu mengalami anemia. 5.3.5. Hubungan asupan zat besi dengan kadar hemoglobin ibu nifas Dari hasil uji statistik, menyatakan bahwa asupan zat besi ada hubungan yang signifikan dengan kadar hemoglobin darah (p=0,000<0,05). Semakin tinggi asupan zat besi ibu nifas, semakin besar yang memiliki kadar hemoglobin ≥ 11 gr% (tidak mengalami anemia), seperti terlihat pada tabel 4.22. Di antara ibu nifas yang asupan zat besi kurang, seluruh ibu nifas (100 %) tidak mengalami anemia. Di antara ibu nifas yang asupan zat besi defisit, sebagian besar ibu nifas (90,2%) mengalami anemia. Hal ini menunjukkan bahwa asupan zat besi berhubungan dengan kadar hemoglobin darah. Di dalam erythyocyt zat besi terdapat dalam bentuk ferro dan merupakan komponen dari struktur hemoglobin, zat khusus yang sanggup mengangkut O2 dari paru-paru ke sel-sel jaringan dan sebaliknya mengangkut CO2 dari sel-sel jaringan ke paru-paru untuk dibuang ke luar tubuh dalam udara respirasi (Sediaoetama, 2009) Defisiensi (kekurangan) Fe terjadi saat jumlah Fe yang diabsorpsi tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Hal ini disebabkan oleh rendahnya asupan Fe, penurunan bioavailabilitas Fe dalam tubuh, peningkatan kebutuhan Fe karena perubahan fisiologi. Defisiensi Fe menunjukkan terjadinya kondisi
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
77
penipisan cadangan Fe dalam tubuh yang dibuktikan adanya penurunan level serum ferritin. Kekurangan Fe dapat menyebabkan anemia mikrositik. Anemia jenis ini anemia yang paling banyak terdapat di dunia, dimana sekitar 60-70 % anemia disebabkan oleh kekurangan Fe. Dalam hemoglobin, Fe akan mengikat 4 oksigen, sehingga gejala kekurangan Fe akan menyebabkan rendahnya peredaran oksigen dalam tubuh sehingga mengakibatkan mudah pusing, lelah, letih dan lesu dan turunnya konsentrasi belajar (FKM-UI, 2007). Bila di dalam hidangan kadar Fe rendah, disebut defisiensi type primer. Bila kandungan Fe dalam hidangan mencukupi, tetapi absorpsi dan utilisasinya dalam proses metabolisme Fe terhambat disebut defisiensi sekunder. Type sekunder terutama terjadi karena infestasi cacing tambang. Anemia defisiensi Fe di Indonesia dapat berbentuk type primer maupun type sekunder. Pada ibu yang sedang hamil atau menyusukan, adalah kombinasi kurangnya konsumsi dan meningkatnya kebutuhan untuk kehamilan dan produkdi air susu (Sediaoetama, 2009) Pada ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu, defisiensi Fe terjadi karena supplai zat besi dari makanan sangat rendah (type primer) dan kebutuhan zat besi ibu nifas yang meningkat (type sekunder). Kurangnya asupan zat besi, akan mengakibatkan kekurangan Fe dalam tubuh, sehingga ibu akan mengalami kekurangan hemoglobin, yang ditandai dengan rendahnya kadar Hb. Akibat kekurangan Fe tersebut, ibu nifas mengalami anemia mikrositik dengan gejala
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
78
pusing, lelah, letih dan lesu. Di samping itu kebutuhan zat besi bagi ibu nifas meningkat, sehingga perlu penambahan Fe sebesar 6 mg/hari.
Penambahan
diperlukan untuk mengganti kehilangan darah, mempertahankan Fe tubuh serta memproduksi air susu. Banyaknya ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu mengalami anemia tidak terlepas dari kondisi ibu saat hamil. Dari registrasi pemeriksaan darah pada ibu hamil di Puskesmas Singkil, kira-kira 80 % ibu hamil mengalami anemia. Bagi setiap ibu hamil akan diberikan tablet tambah darah atau Tablet Fe sebanyak 90 tablet. Namun ibu hamil yang mendapatkan tablet Fe masih sangat rendah, yang tergambar dari hasil cakupan yaitu Fe1 : 29,84 % dan Fe3 : 24,94 %. Hal ini dapat diasumsikan, bahwa sekitar 20 % ibu hamil yang menkonsumsi tablet Fe. Pada ibu hamil yang tidak mengonsumsi tablet Fe besar kemungkinan akan mengalami anemia.
5.4.
Persepsi Masyarakat terhadap Makanan Tradisi Badapu Dari hasil wawancara yang dilakukan pada Ibu Nifas, Ibu/Ibu Mertua,
Bidan Desa, Bidan/Dukun Kampung dan Tokoh Adat, dapat diambil kesimpulan bahwa ibu setelah melahirkan harus melaksanakan tradisi badapu yang memiliki bermacam aturan serta pantangan atau larangan untuk mengonsumsi beberapa jenis bahan makanan. Tradisi badapu ini, telah dilakukan secara turun temurun dari sejak zaman nenek moyang dan selalu dipertahankan sampai sekarang. Meskipun, ibu nifas memiliki tingkat pendidikan yang tinggi (PT) dan tidak setuju
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
79
terhadap tradisi badapu, namun tetap harus melaksanakan tradisi tersebut karena untuk mengahargai dan menyenangkan hati orang tua (Ibu). Saat melaksanakan tradisi badapu ibu nifas boleh mengonsumsi nasi dan ikan yang digoreng/panggang sampai kering serta sayur dan buah yang tidak banyak mengandung air, seperti daun katu, daun singkong, kacang panjang, bayam, buah apel dan jeruk. Tujuannya agar rahim dan alat genital setelah melahirkan cepat kering dan pulih. Bahan makanan yang tidak boleh dimakan atau dipantangkan, biasanya bahan makanan yang dapat menganggu kondisi ibu nifas dan bayi. Jenis bahan makanan yang dilarang, diantaranya : ikan yang berbisa (lele, pari, marang), ikan tongkol, udang, kerang, telur, ikan asin, yang dapat mengakibatkan gatal-gatal. Sayuran yang dilarang adalah sayur yang mengandung gas seperti kol, nangka, sawi, kangkung karena akan mengakibatkan perut ibu kembung dan berpengaruh pula pada perut bayi. Buah-buahan yang dilarang adalah buah-buahan yang banyak mengandung
air seperti pepaya, nenas, semangka, karena dapat
mengganggu kondisi ibu dan pemulihan rahim menjadi lama. Larangan untuk mengonsumsi sayur dan buah tersebut dikarenakan adanya sifat dingin pada bahan makanan tersebut. Ibu nifas tubuhnya dalam kondisi dingin, sehingga dilarang mengonsumsi makanan yang bersifat dingin. Kepada ibu nifas diberikan makanan yang dapat menghangatkan tubuh atau makanan dalam keadaan hangat sehingga dapat mengeluarkan keringat yang banyak dan tubuh menjadi segar.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
80
Wanita Melayu di Malaysia, setelah melahirkan menghindari makan buah dan sayur. Hal ini berhubungan dengan kualitas panas dan dingin dari makanan. Buah dan sayuran dianggap sebagai makanan dingin, sehingga kalau dikonsumsi akan mengakibatkan ketidakseimbangan. Oleh karena itu buah dan sayuran harus dihindari (Elroy, 1996). Adanya pantangan makanan ini merupakan gejala yang hampir universal berkaitan
dengan
konsepsi
"panas-dingin"
yang
dapat
mempengaruhi
keseimbangan unsur-unsur dalam tubuh manusia. Apabila unsur-unsur di dalam tubuh terlalu panas atau terlau dingin maka akan menimbulkan penyakit. Untuk mengembalikan keseimbangan unsur-unsur tersebut maka seseorang harus mengonsumsi makanan atau menjalani pengobatan yang bersifat lebih "dingin" atau sebaliknya. Pada, beberapa suku bangsa, ibu yang sedang menyusui kondisi tubuhnya dipandang dalam keadaan "dingin" sehingga ia harus memakan makanan yang "panas" dan menghindari makanan yang "dingin" (Reddy, 1990). Bagi para anggota masyarakat, makanan dibentuk secara budaya, sehingga sesuatu yang akan dimakan memerlukan pengesahan budaya dan keaslian. Sedemikian kuat kepercayaan mengenai apa yang dianggap makanan dan apa yang dianggap bukan makanan sehingga terbukti sangat sukar untuk meyakinkan orang menyesuaikan makanan tradisional mereka demi kepentingan gizi yang benar. Tidak ada manfaatnya untuk menyarankan makanan yang seimbang apabila makanan yang disarankan itu melanggar kepercayaan inti yang bertalian dengan pantangan makanan “panas – dingin”. (Foster/Anderson, 2006).
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
81
Pada tradisi badapu, selain adanya pantangan mengonsumsi beberapa jenis bahan makanan, ternyata ada juga sisi positif yang dilakukan ibu nifas yaitu setiap pagi meminum “minuman mentah” yang terbuat dari daun-daunan yang digiling halus dan dan “minuman periuk” yang terbuat dari rebusan daun-daunan, yang memiliki banyak khasiat untuk kesehatan ibu nifas. “Minuman mentah” terbuat dari daun pepaya, daun ahu-ahu, daun wang digiling halus, diminum selama tiga hari. Pada hari berikutnya, daun yang digunakan adalah daun rajo-rajo, daun capo, daun piladang, daun paruntas, daun inay, daun pegaga, daun kancing baju, daun kacang kayu, daun lancing, daun nenas dan lain-lain yang dicampur dengan kunyit, jahe, jeruk nipis, dan digiling halus. Daun-daun tersebut digunakan secara bergantian selama menjalankan tradisi badapu. Minuman mentah bermanfaat untuk mengeringkan luka dalam perut dan mengeluarkan darah kotor. Selain itu, sebagai pengganti air putih, dibuatkan “minuman pariuk” yaitu rebusan beberapa macam daun-daun kayu dicampur rempah-rempah sebanyak dua liter. Daun yang digunakan adalah daun sedukung anak, daun rajo-rajo, daun kancing baju, daun piladang, daun inay, daun pegaga, daun capo, daun kacang kayu, daun nangka, daun lancing dan tambahkan cengkeh, pala, ketumbar, kayu manis, lalu direbus dengan air sebanyak dua liter. Apabila minuman pariuk tersebut sudah habis, dapat ditambahkan air untuk direbus kembali. Setelah tiga hari, daun-daun diganti dengan yang baru untuk dibuat rebusan kembali. Minuman periuk ini bermanfaat untuk mengeluarkan darah kotor/darah putih,
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
82
mengeluarkan keringat sehingga badan jadi segar dan harum, juga dapat menghasilkan ASI dalam jumlah banyak. Namun, ada juga ibu nifas yang tidak meminum “minuman mentah” karena merepotkan dan sulit untuk mendapatkan bahan yang diperlukan, sehingga ibu nifas menggantinya dengan meminum jamu olahan yang sudah siap pakai yaitu jamu bersalin atau jamu 40 hari, yang mudah didapat serta praktis. Cairan yang dikonsumsi seseorang, terutama air minum, sekurangkurangnya dua liter atau setara dengan delapan gelas setiap harinya, agar proses faali dalam tubuh berlangsung dengan lancar dan seimbang. Dengan mengonsumsi cukup cairan, seseorang dapat terhindar dari menderita dehidrasi atau kekurangan cairan tubuh serta dapat menurunkan resiko menderita penyakit batu ginjal (Depkes, 1996) Jumlah air “minuman pariuk” yang diminum ibu nifas, bila dibandingkan dengan kebutuhan air yang harus dipenuhi sehari, masih kurang dari dua liter. Seharusnya ibu nifas minum paling sedikit dua liter atau lebih banyak lagi. Oleh karena itu, ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu, selain minum “minuman periuk” harus ditambah dengan minum air putih agar kebutuhan cairan tubuh terpenuhi, sehingga ibu kekurangan cairan tubuh dan tidak menderita gangguan sakit pinggang, seperti yang sering dialami ibu nifas saat melaksanakan badapu. Menurut Dukun Kampung, pelaksanaan tradisi badapu di mulai pada hari ke tujuh, supaya ibu nifas menyelesaikan dulu pengobatan secara medis. Di samping itu, ada waktu yang cukup bagi keluarga mempersiapkan segala sesuatu
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
83
yang berkenaan dengan tradisi badapu misalnya dana untuk acara syukuran sebagai tanda dimulainya tradisi badapu dan menyiapkan bahan-bahan untuk keperluan badapu (pembuatan tungku dan bale-bale tempat tidur ibu nifas). Pada kelahiran anak pertama, pelaksanaan tradisi badapu sampai hari ke 60 dengan tujuan agar ibu nifas mendapatkan pengobatan yang cukup dan sempurna dengan meminum “minuman mentah” serta “minuman periuk”, sehingga seluruh darah kotor telah habis keluar dan urat-urat dalam rahim serta alat genital sembuh dengan sempurna seperti semula. Proses pemulihan selama lebih kurang dua bulan pada anak pertama menjadi pondasi yang kuat untuk persiapan proses kelahiran selanjutnya. Pada kelahiran anak ke dua dan seterusnya, ibu nifas hanya melaksanakan tradisi badapu sampai hari ke 40-45 saja. Hal ini disebabkan tubuh ibu telah mendapatkan perawatan yang sempurna pada kelahiran anak pertama sehingga pada kelahiran selanjutnya meskipun pelaksanaan tradisi badapu 40 - 45 hari, kesehatan ibu nifas sudah bisa pulih kembali.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
84
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Penelitian ini menggambarkan pola konsumsi makanan dan asupan zat gizi (asupan energi, protein dan zat besi) ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu, status gizi ibu nifas serta hubungan asupan zat gizi terhadap status gizi. Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pola konsumsi makanan ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu relatif kurang baik karena tidak bervariasi. Hal ini disebabkan adanya pantangan atau larangan untuk mengkonsumsi beberapa jenis bahan makanan yang dianggap dapat mempengaruhi dan mengganggu kondisi kesehatan ibu nifas dan bayi. 2. Asupan zat gizi ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu sangat kurang, yaitu sebanyak 91,1 % ibu nifas defisit zat besi, sebanyak 73,4 % ibu nifas defisit energi dan sebanyak 26,7 % ibu nifas defisit protein. 3. Ada sebanyak 82,2 % ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu memiliki kadar hemoglobin < 11 gr% atau mengalami anemia. Sebanyak 68,9 % ibu nifas pada IMT kategori normal dan 31,1 % pada kategori gemuk.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
85
4. Hasil analisis Bivariat, menunjukkan bahwa asupan energi, protein dan zat besi ada hubungan yang signifikan dengan kadar hemoglobin masing-masing mempunyai nilai p=0,000<0,05. Sedangkan asupan energi dan protein tidak ada hubungan yang signifikan dengan IMT, masing-masing mempunyai nilai p=0,083>0,05) dan p=0,097>0,05. 5. Adanya pantangan/larangan pada ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu untuk mengonsumsi beberapa jenis bahan makanan yang bersifat dingin atau banyak mengandung air, yang umumnya terdapat pada sayuran dan buahbuahan. Oleh karena itu, ibu nifas harus menghindari makanan yang sifatnya dingin dan mengkonsumsi makanan yang sifatnya panas atau dalam keadaan hangat.
6.2. Saran Pada ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu diperoleh gambaran pola konsumsi makanan yang kurang baik dan asupan zat gizi yang defisit, sehingga disarankan kepada Penanggung jawab Program Gizi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Singkil agar melakukan kegiatan sebagai berikut : 1. Pendekatan yang komprehensif kepada Ibu-ibu dengan melibatkan berbagai pihak terkait seperti Badan Kontak Majlis Taklim (BKMT) atau kelompok perwiridan/ pengajian ibu-ibu dan PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga) untuk merubah kebiasaan badapu menjadi lebih baik sesuai kaidah kesehatan.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
86
2. Menginstruksikan kepada Bidan Desa untuk memberikan KIE gizi dan arahan yang benar dalam melaksanakan tradisi badapu secara berkala pada masyarakat terutama pada kelompok ibu-ibu dan tokoh masyarakat, dalam hal pemilihan dan pengolahan bahan makanan yang bergizi sehingga tercipta keluarga dan masyakat yang sadar gizi. Tenaga kesehatan juga diharapkan dapat memotivasi ibu-ibu hamil untuk mau mengonsumsi tablet Fe sehingga tidak mengalami anemia dalam menghadapi proses persalinan. 3. Meminta dukungan dana yang proporsional untuk sektor kesehatan dari Pemerintahan Daerah Kabupaten Aceh Singkil, sehingga dapat menunjang program perbaikan gizi masyarakat khususnya ibu nifas, diantaranya kegiatan kunjungan pada masyarakat atau pendampingan terhadap kelompok-kelompok masyarakat. Untuk pihak akademisi disarankan agar dapat melakukan penelitian lanjutan yaitu : 1. Akibat atau dampak yang ditimbulkan dari asap tungku saat melaksanakan tradisi badapu terhadap kesehatan ibu dan bayi. 2.
Kajian yang lebih mendalam tentang khasiat dan manfaat dari bahan-bahan yang digunakan untuk membuat “minuman pariuk” dan “minuman mentah” yang harus diminum oleh ibu nifas saat melaksanakan tradisi badapu.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
87
DAFTAR PUSTAKA
Adair, Linda, S., 1987. Nutritional Anthropology, New York : Alan R. Liss, Inc. Almatsier, Sunita, 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Arisman, M.B., 2004, Gizi Dalam Daur Kehidupan, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Aritonang, Evawany, 2007. Pengaruh Pemberian Mie Instan Fortifikasi pada Ibu Menyusui terhadap Kadar Zink dan Besi ASI serta Pertumbuhan Linier Bayi, Bogor : Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Atmarita., 2005. Nutritional Problems in Indonesia, Jakarta Baliwati YF, Khomsan A, Dwiriani CM., 2004. Pengantar Pangan dan Gizi, Jakarta : Penerbit Swadaya. Departemen Kesehatan, RI., 1990. Pedoman Petugas Gizi Puskesmas, Jakarta. _____________, 1995. Pedoman Pemberian Besi bagi Petugas, Jakarta. _____________, 1996. Pedoman Praktis Memantau Status Gizi Orang Dewasa, Jakarta. _____________, 1996. 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang, Jakarta. _____________ dan World Health Organization, 2000. Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2001-2005, Jakarta. _____________, 2005. Gizi Dalam Angka, Jakarta. _____________, 2006. Rencana Pembangunan Kesehatan Tahun 2005-2009, Jakarta. _____________, 2007. Pedoman Pemantauan Konsumsi Gizi, Jakarta _____________, 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar RISKESDAS Indonesia Tahun 2007, Jakarta.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
88
_____________, 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar RISKESDAS Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2007, Jakarta. Elroy, Ann, Mc.,Patricia K. Townsend., 1996. Medical Antropology In Ecological Perspective, Third Edition. New York : Wadsworth, Inc. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Fieldhouse, Paul., 1995. Food and Nutrition. New York : Chapman & Hall. Foster, George, M., Anderson, Barbara, Gallatin,. 2006. Antropologi Kesehatan. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia. Frank-Spohrer, Gail C., 1996. Community Nutrition. Applying Epidemiologi to Contemporary Practice. Maryland : An Aspen Publication, Inc. Gibney, Michael J., Vorster, Hester H., Kok, Frans J., 2002. Introduction to Human Nutrition.: Malden : Blackwell Science Ltd. Lembaga Adat dan Kebudayaan (LAKA) Daerah Istimewa Aceh, 1990. Pedoman Umum Adat Aceh, Edisi I. Banda Aceh : Lembaga Adat dan Kebudayaan. Maas, Linda T., 2004. Kesehatan Ibu dan Anak. Persepsi Budaya dan Dampak Kesehatannya, Medan : USU Digital Library. Poerwandari, E. Kristi,. 2007. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta : LPSP3 Fakultas Psikologi UI. Reddy, P.H. 1990. "Dietary practices during pregnancy, lactation and infaancy : Implications for Health", Health Transition : The Culture. Social and Behavioral determinants of Health, volume II. Disunting oleh John C. Caldwell, et al., Canberra: Health Transition Centre. Riyadi, Hadi. 2001. Buku Ajar : Metode Penelitian Status Gizi Secara Antropometri. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Sanjur, Diva., 1982. Social and Cultural Perspectives in Nutrition. United Status of Amerika : Prentice Hall, Inc. Sediaoetama, Achmad Djaeni. 2008. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid I dan II. Jakarta : Dian Rakyat.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009
89
Soekirman, 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta : Dirjen Dikti Depdiknas. Sugiyono, 2007. Metoda Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung : Penerbit Alfabeta. Suharjo, Harper LJ, Deaton BJ, Driskel JA., 1986. Pangan, Gizi dan Pertanian. Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia. Supariasa, I, Dewa, Nyoman., Bakri, Bachtyar., Fajar, Ibnu., 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Wilson, Christine,. 1980. Food, Ecology and Culture. New York, London, Paris : Gordon and Breach Sciense Publishers.
Fatma Deri : Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2009